07 Erina Pane

download 07 Erina Pane

of 23

Transcript of 07 Erina Pane

Aspek Hukum Perjanjian dalam Asuransi SyariahErina Pane* Abstrak: Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan). Kata kunci: asuransi, syariah, perjanjian

Pendahuluan Manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya suatu musibah yang dapat melenyapkan dirinya atau berkurangnya nilai ekonomi seseorang. Keadaan ini dapat tejadi baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaan yang diakibatkan oleh meninggal dunia, kecelakaan, sakit, atau kehilangan fungsi suatu benda seperti kecelakaan, kehilangan dan juga kebakaran. Asuransi merupakan persiapan yang dibuat untuk menghadapi kerugian sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang anggota dari kelompok tersebut, maka kerugian itu akan ditanggung bersama. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa berasuransi merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan qadla dan qadar Allah SWT. Islam sendiri menganjurkan agar setiap manusia harus mempersiapkan diri menghadapi segala cobaan atau musibah yang akan terjadi. Dalam sebuah ayat Q.S. Al-Taghaabun ayat 11, dinyatakan bahwa : Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.

*

Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Bandar Lampung.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

148

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

Konsep asuransi Islam bukanlah hal baru, karena sudah ada sejak zaman Rasulullah yang disebut dengan aqilah, bahkan menurut Thomas Patrick dalam bukunya Dictionary of Islam, hal ini sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut aqilah harus membayar uang darah atas nama pembunuh. Menurut Muhammad Muhsin Khan, kata aqilah berarti asabah yang menunjukkan hubungan ayah dengan pembunuh. Oleh karena itu, ide pokok dari aqilah adalah suku Arab zaman dulu harus siap untuk melakukan finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan premi dalam praktik asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-aqilah sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang.1 Saat ini telah tumbuh perusahaan asuransi yang dibentuk berdasarkan prinsip syariah. Terlebih lagi upaya tersebut didorong dengan legalitas dari pemerintah dengan ditetapkannya KMK Nomor : 426 / KMK. 06/2003 yang di dalamnya antara lain mengatur ketentuan-ketentuan mengenai asuransi syariah. Namun bagaimana pun praktek asuransi syariah merupakan suatu peristiwa hukum yang menimbulkan hubungan hukum para pihak. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak yang dalam hal ini masuk dalam kajian hukum perdata, khususnya hukum perjanjian. Perjanjian dalam Hukum Islam Iltizam (perikatan) Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan untuk menyebut kontrak (contract). Istilah terakhir, yaitu akad, merupakan istilahMuhammad Syakir Sula, Konsep dan Operasional Asuransi Syariah (Life And General), (Jakarta: Gema Insani, 2004), p. 311

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

149

tua yang sudah digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku. Sedangkan istilah pertama, yaitu iltizam, merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum, meskipun istilah itu sendiri juga sudah tua. Semula dalam hukum Islam pra modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai dalam arti perikatan yang timbul dari perjanjian.2 Baru pada zaman modern, istilah iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Para fuqaha apabila berbicara tentang hubungan perhutangan antara dua pihak atau lebih sering menggunakan ungkapan terisinya dzimmah dengan suatu hak atau seuatu kewajiban. Dzimmah secara harfiah berarti tanggungan, sedangkan secara terminologis berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban. Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada orang tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmahnya berisi suatu hak atau suatu kewajiban. Artinya ada kewajiban baginya yang menjadi hak orang lain dan harus dilaksanakannya untuk orang lain itu. Apabila dia telah melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak orang lain tersebut dikatakan bahwa dzimmah nya telah kosong atau bebas. Dalam hukum Islam, terdapat sebuah kaidah fikih (asas hukum Islam) yang berbunyi al-ashlu baraatudz-dzimmah3 (asasnya adalah bebasnya dzimmah). Maksudnya bahwa asas pokoknya adalah bahwa bagi seseorang tidak terdapat hak apapun atas milik orang lain, atau pada asasnya seseorang tidak memikul kewajiban apapun terhadap orang lain sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka ungkapan fuqaha mengenai terisinya dzimmah seseorang dengan hak atau kewajiban itu dapat digunakan untuk mendifinisikan perikatan dalam hukum Islam. Dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa perikatan dalam hukum Islam adalahSyamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Radjawali Persada, 2007), p.47 3 Ibid2

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

150

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada pihak atau orang lain. Sumber-sumber Perikatan dalam Hukum Islam Sumber-sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi lima macam4 yaitu : a. akad (al-aqd); b. kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah); c. perbuatan merugikan (al-fil adh-adharr); d. perbuatan bermanfaat (al-fil an-nafi); e. syarak. Kehendak sepihak dalam hukum Islam menimbulkan akibat hukum yang luas dan bermacam-macam. Dalam hubungan ini, dalam hukum Islam terdapat tindakan-tindakan hukum yang menimbulkan akibat hukum berupa perikatan berdasar kehendak sepihak dan ada pula tindakan hukum yang diperselisihkan apakah cukup kehendak sepihak untuk melahirkan perikatan ataukah harus ada pernyataan dari kedua belah pihak atau lebih tepatnya harus ada ijab dan kabul. Dalam hukum Islam, tindakan yang melahirkan akibat hukum semata berdasarkan kehendak sepihak tanpa perlunya pertemuan dengan kehendak pihak lain, meliputi : (1) perikatan (al-iltizam) dalam pengertian klasik, seperti orang yang menyatakan akan memberikan sesuatu kepada orang lain; (2) janji (sepihak), seperti orang yang menetapkan atas dirinya untuk melakukan sesuatu di masa akan datang, misalnya berjanji akan menjual sesuatu kepada orang lain (janji untuk melakukan jual-beli), atau akan memberi hadiah apabila atas sesuatu yang dilakukan orang lain (al-jualah); dan (3) nazar, yaitu orang yang berniat untuk melaksanakan sesuatu di masa datang sebagai suatu perbuatan ibadah kepada Tuhan, misalnya apabila lulus ujian akan bersedekah kepada rumah yatim.

4

Ibid, p.60

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

151

Adapun tindakan yang diperselisihkan adalah apakah merupakan tindakan sepihak semata atau perlu kepada adanya ijab dan kabul dari dua belah pihak meliputi hibah (al-hibah) dan pinjam pakai (al-ariah) di satu pihak serta penanggungan (alkafalah) dan pinjam uang (al-qard) di lain pihak. Akad (perjanjian)5 Kata akad berasal dari al-aqad yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad, sebagai berikut : a. akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad; b. akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. Berdasarkan kedua definisi tersebut memperlihatkan bahwa : a. akad merupakan keterikatan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu dengan yang lain, karena akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul; b. akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain; c. tujuan akad adalah melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan

5

Ibid, 68-72

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

152

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut hukum akad (hukm al-aqd). Tujuan akad untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum, sementara tujuan akad untuk akad tidak bernama ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad. Tujuan akad bernama dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu : a. pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at-tamlik); b. melakukan pekerjaan (al-amal) c. melakukan persekutuan (al-isytirak); d. melakukan pendelegasian (at-tafwidh); e. melakukan penjaminan (at-tautsiq). Asas Perjanjian dalam Hukum Islam Asas Ibahah (Mabda al-ibahah) Asas ini dirumuskan dalam adagium pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya. Dalam tindakan muamalah berlaku asas bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. Asas Kebebasan Berakad (Mabda Hurriyyah at-Taaqud) Adalah suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Adanya asas ini didasarkan kepada beberapa dalil antara lain yaitu: (i) Firman Allah pada Qs. Al Maa'idah ayat 1: Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjianperjanjian). Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

153

dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya;6 (ii) Sabda Nabi saw yaitu Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka;7 (iii) Sabda Nabi saw yaitu Barangsiapa menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali pembeli mensyaratkan lain;8 (iv) Kaidah Hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji.9 Asas Konsensualisme (Mabda ar-Radhaiyyah) Asas ini menyatakan bahwa unuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Adapun dalil hukumnya adalah : (i) Firman Allah, Qs. An Nisaa ayat 29 : Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar-tukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat). Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.;10 (ii) Firman Allah, Qs. An Nisaa ayat 4 : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya11.

6 7

Lihat Quran surat Al Maa'idah ayat 1 Hadist ini diriwayatkan oleh al-Hakim dari Sahabat Abu Hurairah 8 Sahih al-Bukhari 9Asjmuni A.Rahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), p.44 10 Lihat, Quran surat An Nisaa ayat 29 11 Lihat, Qs. An Nisaa ayat 4

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

154

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

(iii) Sabda Nabi saw, sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat.12 (iv) Kaidah Hukum Islam, bahwa pada asasnya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. Asas Janji itu Mengikat Dalam Al Quran dan Hadist terdapat banyak perintah agar menepati janji, diantaranya: (i) Firman Allah, Qs. Al Israa ayat 34 Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (ii) Asar dari Ibn Masud, janji itu adalah hutang. Asas Keseimbangan (Mabda at-Tawazun fi alMuawadhah) Secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul resiko.

Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan) Asas ini maksudnya adalah akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (muhdarat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.13 Asas Amanah Asas ini maksudnya bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak12 13

Hadist Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah Syamsul Anwar, . p. 90

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

155

dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya.14 Asas Keadilan Keadilan adalah tujuan yang hendak dicapai oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al Quran yang menegaskan bahwa berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada takwa, sebagai Qs. Al Maaidah ayat 8 : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Syarat Akad Terbentuknya suatu akad yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun dan syarat akad. Syarat akad dibedakan menjadi empat macam, yaitu : a. syarat terbentuknya akad (syuruth al-iniqad) b. syarat keabsahan akad (syuruth ash-shihhah) c. syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruthan-nafadz) d. syarat mengikatnya akad (syuruth al-luzum) Rukun Akad, rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun. Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat15, yaitu: a. para pihak yang membuat akad (al-aqidah); b. pernyataan kehendak para pihak (shigatul-aqd) c. objek akad (mahallul-aqd) dan d. tujuan akad (maudhu al-aqh).14 15

Ibid, p.91 Ibid, p.96

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

156

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

Syarat Terbentuknya Akad (Syuruth al-iniqad) Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad di atas memerlukan syarat-syarat agar unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat terbentuknya akad (syuruth al-iniqad). syarat-syarat dimaksud atau syarat-syarat terbentuknya akad (syuruth al-iniqad), yaitu : a. tamyiz; b. berbilang pihak (at-taadud); c. persesuaian ijab dan kabul (kesepakatan) d. kesatuan majelis akad; e. objek akad dapat diserahkan; f. objek akad tertentu atau dapat ditentukan; g. objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki/mutaqawwim dan mamluk); h. tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak. Kedelapan syarat ini beserta rukun akad yang disebutkan terdahulu dinamakan pokok (al-ashl). Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam pengertian bahwa akad tidak memiliki wujud yuridis syari apa pun. Akad semacam ini disebut akad batil. Syarat-syarat Keabsahan Akad (Syuruth ash-Shihhah) Rukun dan syarat terbentuknya akad yang telah disebutkan memerlukan kualitas tambahan sebagai unsur penyempurna. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat terbentuknya, akad memang sudah terbentuk dan mempunyai wujud yuridis syari, namun belum serta merta sah. Unuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut memerlukan unsurunsur penyempurna yang menjadikan suatu akad sah. Unsurunsur penyempurna itu disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan ini dibedakan menjadi dua macam yaitu : a. syarat-syarat keabsahan umum yang berlaku terhadap semua akad; b. syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi masingmasing aneka akad khusus.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

157

Dimana rukun pertama, yaitu para pihak dengan dua syarat terbentuknya, yaitu tamyiz dan terbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua, juga tidak memerlukan sifat penyempurna. Dan rukun ketiga, yaitu objek akad dengan ketiga syaratnya memerlukan sifat-sifat sebagai unsur penyempurna. Syarat Berlakunya Akibat Hukum (Syuruth an-Nafadz) Apabila telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya, maka suatu akad dinyatakan sah. Akan tetapi, meskipun sudah sah, ada kemungkinan bahwa akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad yang belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya itu, meskipun sudah sah, tersebut akad maukuf (terhenti/tergantung). Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akad yang sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat hukum, yaitu : a. adanya kewenangan sempurna atas objek akad; b. adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan. Syarat Mengikatnya Akad (Syarthul-Luzum) Pada asasnya, akad yang telah memenuhi rukunnya, serta syarat terbentuknya, syarat keabsahannya dan syarat berlakunya akibat hukum, yang karena itu akad tersebut sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat, meskipun rukun dan semua syaratnya telah terpenuhi. Hal itu disebabkan leh sifat akad itu sendiri atau oleh adanya hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian secara sepihak) pada salah satu pihak. Asuransi Syariah dalam Fatwa MUI Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat dengan DSN-MUI) tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabbaru

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

158

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.16 Menurut Muhammad Syakir Sula, asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong-menolong yang disebut dengan taawun yaitu prinsip hidup saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah islamiah antara sesama anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (risiko). Asuransi syariah dikenal juga dengan istilah takaful yang berarti saling memikul risiko diantara sesama orang, sehingga antara yang satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lainnya. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar tolong-menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana atau sumbangan atau derma (tabarru) yang ditunjuk untuk menanggung risiko tersebut.17 Asuransi syariah mengemban visi dan misi sebagai berikut : 1. Misi Aqidah Ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari rida Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Asuransi syariah membawa misi untuk membersihkan umatNya dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan syariat-Nya. 2. Misi Ibadah (taawun) Maksudnya adalah asuransi yang bertumpu pada konsep tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan perlindungan, menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung. 3. Misi Isghtisodi ekonomi Adalah misi ekonomi sebagai rahmatan lilalamin untuk seluruh umat manusia baik itu Islam ataupun non - Islam yang dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja. 4. Misi Keummatan

Muhammad Syakir Sula, ..., p. 30 Sofiniyah Ghufron, Sistem Operasional Asuransi Syariah, (Jakarta: Renaissan, 2005), p. 17-1817

16

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

159

Misi keumatan bertujuan membantu untuk memperkuat jaringan ekonomi umat terutama lapisan ekonomi menengah. Produk yang diciptakan bertujuan untuk membantu berbagai lapisan masyarakat dalam mendapatkan jasa asuransi.18 Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan peserta adalah berupa sejumlah dana yang terdiri dari Dana Tabungan dan Tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan dan alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan tabarru adalah dana kebajikan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life insurance maupun general insurance).19 Asuransi Menurut Islam Dalam bahasa Arab, asuransi disebut at-tamin, penanggung disebut muammin, sedangkan tertanggung disebut muamman lahu atau mustamin. At-tamin memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Quraisy: 4. Men-tamin-kan sesuatu artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.20 Menurut Sofiniyah Ghufron asuransi dalam hal ini bertujuan memperkecil adanya risiko yang ditimbulkan oleh bencana dan malapetaka tersebut.21

18 19

Abdullah Amrin, ..., p.5 Muhammad Syakir Sula, ... 20 Muhammad Syakir Sula, ..., p. 28 21 Ibid, p. 18

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

160

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

Asuransi syariah merupakan kesepakatan saling menolong, yang telah diatur antara sejumlah orang, yang bertujuan untuk meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang menimpa sebagian dari mereka dengan memberikan pemberian (derma) dari masing-masing individu. Dalam hal ini asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong-menolong. Mayoritas ulama beranggapan bahwa berasuransi hukumnya haram, karena mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Gharar (Ketidakpastian) Menurut bahasa, gharar adalah al-khida (penipuan), yaitu suatu tindakan yang didalamnya diperkirankan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi Fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Menurut Islam, gharar ini merusak akad karena gharar terjadi apabila kedua belah pihak (peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan pengandaian semata. Jadi Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian yang tidak dapat dipastikan. b. Maisir (Judi atau Untung-Untungan) Maisir adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja, yang biasa juga disebut dengan berjudi. Prinsip berjudi dilarang, baik yang terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, lalu mengharapkan keuntungan semata. Rasulullah melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi atau terkaan dan bukan diperoleh dari bekerja. c. Riba (Bunga) Riba merupakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Az-Zuhailli mengatakan, ada 2 (dua) jenis riba yang diharamkan dalam Islam. Pertama, riba annasiah yaitu riba yang diambil karena si peminjam yangJurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

161

tidak mampu mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru tidak terkecuali apakah utang tersebut berupa harga barang yang dijual ataupun utang uang. Kedua, riba al-fadl yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis yaitu emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum), garam, dan buah tamar. Riba ini diharamkan atas dasar sadd adh-dharai yaitu untuk menghindar dari sampai kepada riba an-nasiah.22 Dalam setiap kegiatan muamalah, termasuk asuransi, tata cara dan operasinya harus sesuai dan berlandaskan pada Al Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Prinsip-prinsip tersebut tidak boleh dilanggar, karena salah satu ketentuan Al Quran dan hadis Nabi Muhammad menjadi landasan setiap kegiatan yang bersifat muamalah yang harus menghindari unsur-unsur tersebut diatas, yaitu unsur gharar, maisir, dan riba. Islam selalu menekankan setiap bentuk usaha dan investasi pada aspek keadilan, suka sama suka, dan kebersamaan dalam menghadapi setiap risiko. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:

Akad (Perjanjian)Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun nonhukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).

22

Ibid, p.48-54

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

162

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). Adanya saksi dari kedua belah pihak. Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatuJurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

163

saat diminta kewajibannya. (disimpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).

Gharar (Ketidakjelasan)Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum. Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.

Tabarru dan TabunganTabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketikaJurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

164

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong. Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud). Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.

Maisir (Judi)Allah SWT berfirman dalam Q.s. al-Maidah ayat 90, sebagai berikut : "Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan." Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

165

asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu.23 Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak/sedikitnya klaim yang dibayarkannya. Riba Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga. Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam Q.s. Ali Imron ayat 130, sebagai berikut :

23

Ibid

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

166

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim) Dana Hangus Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan. Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan). Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

167

masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya. Dewan Pengawas Syariah Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris. Simpulan Meskipun Islam menganggap bahwa asuransi konvensional bertentangan dengan ajaran Islam, bukan berarti tertutup kemungkinan adanya asuransi dalam Islam. Asuransi sangat penting peranannya dalam setiap kehidupan manusia karena asuransi merupakan salah satu sarana untuk memperkecil kerugian akibat terjadinya bencana atau malapetaka. Dalam penyelenggaraan usahanya asuransi kerugian atau jiwa syariah menerapkan prinsip tolong-menolong. Prinsip ini merupakan fondasi dasar dalam menegakkan konsep asuransi syariah, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surat al-Maidah : 2, azZukhruf : 32, dan al-Anfaal : 72. Selain prinsip taawun, asuransi ini juga menerapkan beberapa prinsip berikut : a. Berserah diri dan ikhtiar b. Saling bertanggung jawab c. Saling bekerja sama dan saling membantu d. Saling melindungi dan berbagi kesusahan Namun, prinsip yang paling utama yang merupakan fondasi baik dalam konsep asuransi kerugian maupun asuransi jiwa adalah prinsip tolong-menolong. Akad yang mendasari kontrak asuransi asuransi syariah adalah akad tabarru. Dalam akad ini, pihak pemberi dengan ikhlas memberikan sesuatu dalam bentuk kontribusi/premi tanpa ada keinginan untuk menerima apapun dari orang yang menerima kontribusi atau premi tersebut. Akad ini bertujuan menerapkan konsep yang mempresentasikan

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

168

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

firman Allah SWT. dalam Surat Al-Maidah : 2, bahwa bentuk tolong-menolong diwujudkan dalam kontribusi berupa dana tabarru (kebajikan). Hasil surplus dana tabarru dikembalikan sebagian kepada peserta melalui mekanisme mudharabah (bagi hasil). Berdasarkan kontrak asuransi syariah (kerugian) atas akad tabarru, perusahaan tidak diharuskan memberikan sesuatu kepada peserta. Namun, apabila perusahaan akan memberikan sesuatu berupa bonus atau hadiah sebagai tanda terima kasih, itu diperbolehkan asal tidak dijadikan sebagai keharusan. Ada sebagian perusahaan yang memberikan bagi hasil (mudharabah) apabila terjadi surplus dana tabarru atas rujukan dari syarikat Takaful Malaysia. Penyelenggaraan usahanya asuransi syariah didasari atas falsafah bahwa umat manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Agar kehidupan bersama dapat terselenggara, sesama umat manusia harus tolong-menolong, saling bertanggung jawab, dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lain. Takaful yang berarti saling menanggung antarumat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai mahkluk sosial. Atas dasar pijakan tersebut, di antara peserta bersepakat menanggung bersama diantara mereka atas risiko yang diakibatkan oleh kematian, kebakaran, kehilangan, dan sebagainya. Dengan demikian, sistem asuransi syariah harus bersifat universal, berlaku secara umum. Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang, melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah" Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Dimana asuransi syariah merupakan sebuah sistem di mana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar yang digunakan untuk membayar klaim atas musibah yang dialami oleh peserta yang lain.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009

Erina Pane: Aspek Hukum Perjanjian:

169

Daftar Pustaka Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 _______, Perjanjian Baku (Standart) Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, 1981 Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) buku pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. _______, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) buku kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. _______, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986. Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. _______, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Satrio, J., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Subekti, Hukum Kontrak, PT. Intermassa, Jakarta, 1985. _______, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1982. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) KMK Nomor : 426 / KMK. 06 / 2003 tentang Usaha Perasuransian Syariah.

Jurnal Asy-Syirah Vol. 43, Edisi Khusus, 2009