07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI -...

64
BAB VI RESPON GLOBALISASI 6.1 . Agama dan Globalisasi Analisis mengenai responsi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi pada Bab ini diawali dengan uraian pengantar mengenai hubungan agama dan gobalisasi. Tidak mudah menemukan formula hubungan keduanya dalam sifatnya yang tunggal dan monolitik. Hubungan agama dan globalisasi lebih bersifat kompleks sekompleks makna agama dan globalisasi itu sendiri ketika dipahami oleh masing-masing pakar dan agamawan pada setiap agama. Kompleksitas hubungan keduanya terletak pada perspektif dan dimensi apa globalisasi itu dipandang sebagai kekuatan dunia yang mempengaruhi agama. Apakah globalisasi dilihat dalam perspektif ekonomi, politik atau perspektif kebudayaan? Dari perspektif- perspektif ini yang dapat membantu memahami secara tepat bagaimana globalisasi mempengaruhi kehidupan beragama dalam interaksinya di masyarakat lokal. Begitu pula kompleksitas hubungan agama dan globalisasi ini dapat menemukan titik fokus jika dapat mendudukkan secara tepat bagaimana agama dimengerti oleh kaum agamawan ketika meresponsi globalisasi. Jika agama dipahami sebagai sistem keparcayaan terhadap yang sakral, maka ia mengandung ajaran mengenai nilai-

Transcript of 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI -...

Page 1: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

BAB VI RESPON GLOBALISASI

6.1 . Agama dan Globalisasi Analisis mengenai responsi komunitas Masjid

Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi pada Bab ini diawali dengan uraian pengantar mengenai hubungan agama dan gobalisasi. Tidak mudah menemukan formula hubungan keduanya dalam sifatnya yang tunggal dan monolitik. Hubungan agama dan globalisasi lebih bersifat kompleks sekompleks makna agama dan globalisasi itu sendiri ketika dipahami oleh masing-masing pakar dan agamawan pada setiap agama. Kompleksitas hubungan keduanya terletak pada perspektif dan dimensi apa globalisasi itu dipandang sebagai kekuatan dunia yang mempengaruhi agama. Apakah globalisasi dilihat dalam perspektif ekonomi, politik atau perspektif kebudayaan? Dari perspektif-perspektif ini yang dapat membantu memahami secara tepat bagaimana globalisasi mempengaruhi kehidupan beragama dalam interaksinya di masyarakat lokal.

Begitu pula kompleksitas hubungan agama dan globalisasi ini dapat menemukan titik fokus jika dapat mendudukkan secara tepat bagaimana agama dimengerti oleh kaum agamawan ketika meresponsi globalisasi. Jika agama dipahami sebagai sistem keparcayaan terhadap yang sakral, maka ia mengandung ajaran mengenai nilai-

Page 2: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

306 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

nilai suci dalam arti nilai-nilai yang dihormati kebenarannya sehingga senantiasa diperjuangkan oleh pemeluknya dalam kehidupan nyata. Pada gilirannya nilai-nilai yang dipercayainya itu tumbuh mentradisi dan terinstitusi secara sosial menjadi sistem kebudayaan di mana agama itu dilahirkan dan berkembang. Namun terdapat pula sekelompok orang yang memahami agama secara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris kehilangan dimensi kerohaniannya sebagai sistem kepercayaan yang dapat mengantarkan manusia dalam kehidupan yang bermartabat dan luhur.

Untuk itu dengan melihat perspektif-perspektif agama dan globalisasi secara relevan dan mendudukkan hubungan keduanya dengan baik, akan diketahui secara jelas bagaimana kompleksitas perspektif-perspektif itu terurai, sehingga dapat dipahami dengan benar bagaimana agama memberikan responsi ketika berinteraksi dengan globalisasi sebagai kekuatan dunia yang mengubah dalam realitas sosial. Kekuatan dunia di sini berarti globalisasi dipandang secara teoritis sebagai kekuatan eknomi, politik dan kebudayaan.

Sebagai fenomena kebudayaan yang mengubah, globalisasi juga menghadirkan kebudayaan baru yang berdampak pada perubahan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya oleh setiap pemeluknya sekian lama ketika keduanya berinteraksi dalam wilayah yang terbuka diantara lokalitas dan globalitas. Proses interaksi diantara ruang lokalitas dan globalitas ini tidak saja

Page 3: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 307

melahirkan peleburan kebudayaan secara evolutif dan menyatu, akan tetapi juga memungkinkan munculnya tata baru di dunia sosial, seperti nilai moral baru, sensitifitas agama, pertukaran nilai akibat responsi spiritual dan berbagai bentuk elemen ajaran agama yang melahirkan etika global. Pada satu sisi globalisasi dapat mendorong terwujudnya harmoni sosial di tengah masyarakat multikultural dalam konsensus etika global. Namun di sisi lain, globalisasi dapat menjadi peringatan sekaligus ancaman yang menakutkan jika ia menimbulkan penyeragaman kebudayaan baru yang instan yang menghancurkan nilai-nilai transedensi agama. Berbagai dampak positif dan negatif globalisasi itu juga menghasilkan respon yang berbeda dalam diri setiap kelompok agama, satu pihak tidak menerima globalisasi dalam rupa timbulnya reaksi penolakan yang keras, dan menghendaki kembali ke nilai-nilai yang bersifat tradisionalistik dan kolot, yang tidak jarang reaksinya diekspresikan melalui cara-cara kekerasan yang meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Ada pula pihak lain yang memanfaatkan globalisasi sebagai sebuah kekuatan dunia yang dipandang secara kreatif dan optimistik.1

Apabila globalisasi dilihat sebagai bagian dari kekuatan kapitalisme global, semua masyarakat dan elemen lain, termasuk agama (institusi) ditariknya

1 Mark Juergensmeyer, “Introduction: Religious Ambivalence to Global

Civil Society”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 5.

Page 4: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

308 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

menjadi aktor ekonomi yang mendukung pertumbuhan kapitalisme. Hal ini terjadi karena sistem kapitalisme pada globalisasi ekonomi selalu menuntut penguasaan tunggal atas dunia, sehingga membangkitkan minat para aktor ekonomi untuk melakukan investasi, produksi dan konsumsi yang kesemuanya bergantung pada besarnya kekuatan “nilai pasar” di masyarakat sebagai sumber keuntungan yang tidak ada habisnya.2 Sebagai perwujudan ideologi kapitalisme, globalisasi dengan demikian tumbuh dalam kehendak ekspansi yang kuat untuk menguasai tata dunia dalam doktrin pertumbuhan ekonomi, melakukan ekploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia, memperluas produksi barang ke berbagai negara dan bangsa, serta penyebaran tingkat konsumsi barang dengan memperluas jaringan pasar ke seluruh dunia sebagai komoditas yang menyatu. Doktrin pertumbuhan ekonomi kapitalistik itu lahir dalam rangkaian misinya untuk mendapatkan keuntungan material berlipat ganda yang tidak jarang orientasinya mengabaikan kepentingan sosial masyarakat lapisan bawah. Globalisasi dengan demikian, tidak saja menjelma menjadi sistem kekuasaan ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik dunia yang bersifat kapitalistik.

Sebagai sistem kekuasaan ekonomi dan politik dunia, kapitalisme telah berkembang sedemikian pesat.

2 Abdullahi A. An-Na’im, “The Politics of Religion and the Morality of

Globalization”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 24.

Page 5: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 309

Sebagai contoh, pada saat terjadi kelemahan ekonomi satu negara, seperti AS, akan mengakibatkan terjadi goncangan ekonomi di negara-negara lain. Ini artinya dalam situasi ketika politik ekonomi seluruh dunia sudah menyatu, maka globalisasi telah berada pada puncak perkembangan sejarahnya. Seluruh dunia telah menjadi satu secara ekonomi dengan AS sebagai penggerak utamanya secara politik. Oleh karena itu, goncangan ekonomi yang terjadi di AS, menimbulkan goncangan juga di berbagai bagian lain dunia. Robinson menyebutnya sebagai tahapan kapitalisme global yang memuncak dengan intensive capitalism ketika kebutuhan manusia di berbagai belahan dunia telah menjadi komoditas tunggal di mana hal itu terjadi setelah extensive capitalism tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme di berbagai belahan dunia.3

Namun globalisasi yang bersifat kapitalistik itu juga dapat mendorong kehadiran kekuatan alternatif, yaitu civil society di masyarakat beragama, di mana masyarakat beragama berperan sebagai aktor kemanusiaan (human agency) yang mempunyai kebebasan untuk merumuskan sekaligus merealisasikan dirinya sebagai agen global civil society, menjadi agen kekuatan sosial dunia yang memihak masyarakat sipil. Bukan sebagai aktor sosial

3 William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism: Production, Class,

and State in a Transnational World (Baltimotre and London: The Johns Hopkins University Press, 2004), 6-7.

Page 6: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

310 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang mendukung sistem ekonomi kapitalistik yang meminggirkan peran masyarakat kecil.4

Oleh karena itu transformasi agama sebagai organisasi masyarakat sipil di tengah globalisasi merupakan keharusan sejarah dan tuntutan ideal untuk membangun mobilisasi masyarakat akar rumput, di mana masyarakat dapat lebih efektif untuk melakukan sendiri dalam mencapai tujuan dan cita-cita sosial mereka sendiri ketika merespon globalisasi. Ini artinya organisasi masyarakat sipil yang bersifat top-down yang lahir di tengah globalisasi, dapat dibentuk oleh sekelompok kecil orang dalam ruang-ruang lokalitas dengan kegiatan dan agenda yang sesuai dengan isu-isu yang dikehendaki sebagaimana isu-isu yang dipersoalkan di tingkat global dalam wujud keperpihakannya pada masyarakat. 5

Dalam konteks pertumbuhan agama-agama dunia sebagai bagian dari agama internasional, globalisasi juga sebenarnya merupakan fenomena alamiah bersifat religius yang kemunculannya telah ada sejak proses persebaran agama-agama itu terjadi di masa lalu, ketika mereka hendak keluar dari geo-kultral di mana agama-agama itu pertama kali dilahirkan. Proses persebaran agama-agama ini membawa misi yang sama atau hampir sama untuk merekrut pemeluk dan jumlah anggota ke seluruh dunia, ke berbagai bangsa, etnik dan budaya yang

4 Abdullahi A. An-Na’im, “The Politics of Religion....., 25. 5 Andi Widjajanto, dkk., Transnasionalisasi Masyarakat Sipil

(Yogyakarta: LKiS, 2007), 148-149.

Page 7: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 311

berbeda, seperti yang ditunjukkan dari kelahiran agama Hindu dan Buddha dari anak benua India yang menyebar dan bertransformasi ke kawasan Asia Timur di China, Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Kekristenan yang semula menjadi bagian dari sekte Yahudi yang memerdekakan diri di Yerusalem tumbuh menyebar dan bertransformasi ke benua Eropa, Amerika dan Australia, dan Islam yang berasal dari tanah Arab mengalami perluasan pengaruh ke bagian laut China, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tentu berbeda dengan situasi dan kondisi global dewasa ini, di mana globalisasi juga merupakan kekuatan dunia yang dapat mendorong semua elemen masyarakat dalam posisi yang sejajar dan terbuka untuk berinteraksi, dan agama menjadi bagian utama dari proses interaksi itu dengan wajah sosialnya yang beragam.6

Dalam hal interaksi antara agama dengan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh globalisasi, misalnya juga melahirkan pertentangan diantara keduanya.7 Wajah agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang hadir terlebih dahulu sebelum manusia menemukan berbagai produk ilmu pengetahuan dalam perkembangan globalnya. Sementara pertentangan muncul karena

6 Peter Berger, “Religion and Global Society”, dalam Mark Juergensmeyer (ed.), Religion in Global Civil Society (New York: Oxford University Press, 2005), 16.

7 Mehrzad Boroujerdi, “Subduing Globalization: the Challenge of the Indigenization Movement”, dalam Birgit Schaebler dan Leif Stenberg (ed.), Globalization and the Muslim World: Culture, Religion and Modernity (New York: Syracuse University Press, 2004), 31.

Page 8: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

312 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

perbedaan pandangan antara agama dan ilmu pengetahuan dalam mengklaim hakikat kebenaran. Pada satu sisi, agama dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang mempunyai kebenaran mutlak, hakikat kebenarannya bersifat final dan tidak terbantahkan karena muatan sakralitas nilai kepercayaannya itu yang tidak membutuhkan bukti-bukti empirik dan ilmiah. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan penemuan manusia yang cenderung subyektif, kebenarannya bersifat relatif dan desakralisasi karena senantiasa mengalami perubahan dan penemuan-penemuan baru dalam rangkaian metode berfikir manusia yang bersifat tesis antitesis dan sintesis. Asumsi ini sebetulnya tidak selamanya benar dan juga tidak sepenuhnya benar, karena ilmu pengetahuan juga terikat dengan kode etik suci dalam mempertanggungjawabkan kebenaran ilmiah yang ditemukannya dalam mengembangkan peradaban hidup manusia agar sejalan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.8

Pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama ini juga timbul di Dunia Islam, di mana Islam mencoba bereaksi secara radikal melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan untuk merespon perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dibawa oleh globalisasi, seperti ditunjukkan dari munculnya istilah “islamic economics” sebagai bagian dari ilmu agama.9 Meskipun demikian,

8 Ibid., 35. 9 Ibid., 37-38.

Page 9: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 313

agaknya perkembangan ilmu pengetahuan sekuler yang sedemikian pesat berhadapan dengan ilmu agama yang sakral itu belum menemukan solusi akademiknya di Dunia Islam sampai kini, terutama perdebatan menyangkut otoritas kebenaran ontologi dan epistemologi ilmu itu sendiri. Perdebatan menjadi lebih ironis karena tidak lagi dapat melihat sisi kemanfaatan kehadiran keduanya bagi kehidupan kemanusiaan.

Dalam konteks lokal, yakni komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, globalisasi sebagai kekuatan dunia juga direspon secara kompleks dan ambivalen. Pada pembentukan identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning dalam sejarah masa lampaunya yang menghasilkan agama Islam yang “ditaklukkan” oleh etnik Jawa, juga menimbulkan responsi yang beragam ketika berhadapan dengan kekuatan globalisasi. Responsi terhadap globalisasi dalam komunitas masjid ini dapat dilihat dari penerimaannya secara bersyarat terhadap gagasaan-gagasan multikulturalisme dan toleransi religius yang tumbuh di masyarakat Plosokuning, sikap kian menguatnya identitas lokal komunitas dalam bentuk bangkitnya tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal dari warisan leluhur sebagai sistem nilai, filosofi dan pengetahuan kebudayaan, penerimaannya secara selektif terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menimbulkan persoalan tersendiri bagi perubahan identitas dan tumbuhnya hal-hal baru, dan juga responsinya terhadap kecenderungan bergesernya

Page 10: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

314 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

agama menjadi bagian kebudayaan yang semula hidup dalam bayang-bayang politik monarkhi tradisional yang membelenggu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa responsi terhadap globalisasi tidak saja menghasilkan penguatan identitas tetapi juga perubahannya pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning sehingga kian majemuk? Perubahan yang bagaimana yang terjadi pada identitas komunitas masjid tersebut? Kenyataan dan perspektif globalisasi seperti apa yang direspon oleh komunitas itu sehingga mempengaruhi identitasnya yang bersifat lokal? Bukankah globalisasi juga dilihat sebagai aktor kebudayaan hegemonik yang kehadirannya dapat melenyapkan identitas lokal komunitas masjid? Dan apakah hal itu juga terjadi? Pertanyaan-pertanyaan yang rumit tersebut dicoba diuraikan pada analisis di bawah ini, terutama untuk melihat bagaimana responsi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi yang masuk di lingkungannya, yang terfokus ke dalam empat jenis responsi sebagaimana disinggung di atas, yaitu responsi multikulturalisme dan toleransi religius, bangkitnya identitas lokal komunitas, responsi kehadiran teknologi informasi dan komunikasi, dan responsi perubahan identitas.

Page 11: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 315

6.2. Respon Komunitas Masjid Terhadap Globalisasi

6.2.1. Respon Multikulturalisme dan Toleransi Religius

Respon pertama komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi dapat diketahui dari isu-isu multikulturalisme dan wacana toleransi religius yang masuk ke lingkungan lokalnya, sehingga identitas komunitas masjid yang semula dibangun oleh kehadiran agama Islam dari dunia luar yang masuk ke dalam etnik lokal sehingga membentuk corak kebudyaaan Jawa yang semula tertutup karena romantisme sejarah, kian mengalami perubahaan. Perubahan itu ditandai dengan keterbukaan pandangan dan sikap komunitas masjid terhadap isu-isu multikulturalisme dan toleransi religius yang juga menggema sebagai wacana ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kenyataan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

Kondisi ini juga dikukuhkan dari penetapan kedudukan Masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai cagar kebudayaan nasional oleh negara. Penetapan masjid sebagai benda cagar kebudayaan telah melahirkan kesadaran sosial bahwa komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning merupakan bagian dari komunitas kebudayaan. Hanya saja komunitas kebudayaan yang bagaimana yang mendorong komunitas masjid ini beresponsi ketika berinteraksi dengan dunia luar? Jika melihat dari perubahan kesadaran kebudayaan ini

Page 12: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

316 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

menunjukkan komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning merupakan kelompok lokal yang semula bersikap tertutup dalam pandangan dunianya berubah menjadi bersifat terbuka. Ini artinya dalam konteks kebudayaan lokal, era gobalisasi mendorong identitas lokal pada komunitas itu, seperti yang ditunjukkan dari ekspresi tradisi-tradisi agama dan budaya Jawa yang bersifat simbolis itu tetap hidup, namun sekaligus terbuka menemukan ruang pertemuan bagi munculnya makna baru, yakni tumbuhnya pandangan mengenai pengakuan terhadap multikulturalisme dan toleransi religius, sehingga menjadi cara pandang dan perilaku sosial komunitasnya dalam beragama dan berbudaya.

Perubahan identitas lokal komunitas masjid dengan demikian, tidak terjadi pada bentuk atau simbol dari identitas komunitas, tetapi pada substansi yang memuat makna baru yang mengubah pandangan dan perilaku komunitas di tengah kemajemukan masyarakatnya. Kecenderungan kemajemukan sosial ini tidak hanya ditandai dari kesadaran adanya perbedaan komunitas Plosokuning Jero dan Plosokuning Jobo dalam lingkup internal masjid, tetapi juga dari sisi perbedaan etnik dan agama yang tumbuh di lingkungan komunitas, seperti etnik Jawa, Sumatera dan lain-lain.

Selain itu, perubahan pandangan komunitas masjid dalam merespon isu multikulturalisme dan toleransi religius, juga didukung oleh faktor keistimewaan daerah Yogyakarta sebagai pusat pendidikan sekaligus pusat

Page 13: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 317

kebudayaan lokal di Indonesia yang memberi warna globalisasi sebagai sebuah sistem dunia yang dibangun oleh ketergantungannya pada kekuatan lokal.10 Robertson menjelaskan bahwa kekuatan lokal yang disebut glokalisasi itu yang memberikan pengaruh pada kekuatan global sehingga globalisasi juga ditegakkan diantara unsur-unsur lokalitas yang hidup di berbagai belahan negara, etnik dan bangsa, yang kemudian disebut juga globalisasi lokal. Oleh karena itu keistimewaan daerah Yogyakarta dengan kebudayaan lokalnya dan kemajemukan masyarakatnya yang hidup kemudian tumbuh menjadi bagian dari dunia global yang terintegrasi dalam karakteristik glokalisasi dunia yang heterogen.

Ini artinya sebagai bagian dari wilayah Yogyakarta, Dusun Plosokuning tidak terlepas dari pengaruh masyarakat urban yang memutuskan untuk menetap di wilayah Dusun Plosokuning. Hal itu terjadi karena Dusun Plosokuning secara geografis berada di wilayah jantung kota Yogyakarta seiring dengan perluasan wilayah kota, yang tidak jauh dari pusat-pusat pendidikan utama, seperti UGM, Sekolah Tinggi Santo Paulus dan UII. Selain itu, akses masyarakat Dusun Plosokuning ke arah tempat-tempat keramaian kota juga tidak begitu jauh untuk ditempuh, kurang lebih sekitar 10, 2 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, memungkinkan terjadinya banyak

10 Lihat globalisasi sebagai sistem, Roland Robertson, Globalization Social Theory and Global Culture (London: Sage Publications, 1993), 61-83.

Page 14: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

318 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

perubahan dalam kehidupan sosial dan corak masyarakatnya. Masyarakat Plosokuning yang semula bersifat homogen, baik dalam agama, suku maupun pekerjaannya di masa lalu di awal mula masjid ini berdiri kemudian seiring dengan perjalanan waktu mengalami diferensiasi dan keragaman sosial. Keragaman sosial dan diferensiasi pekerjaan ini timbul karena wilayah Plosokuning juga menjadi sasaran penting dari urbanisasi masyarakat Indonesia dari berbagai daerah yang menetap di dusun ini, sehingga melahirkan kemajemukan dalam agama, suku, budaya dan bahkan dalam pekerjaan yang digeluti.

Sebagai sebuah bangsa besar, Indonesia mempunyai komposisi penduduk yang sangat beragam, setidaknya berbagai macam suku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang menunjukkan negeri ini bersifat multikultural. Etnis terbesar yang menempati wilayah Indonesia adalah etnis Jawa dengan jumlah 83,9 juta (41,7%), urutan kedua yaitu etnis Sunda dengan prosentasi 31 juta (15,4%), etnis-etnis lain seperti Madura, Batak, Minahasa, Papua, Ambon, Timor, Minangkabau, Betawi, Bugis, Melayu dan Banten masing-masing berkisar antara 4-7 juta atau setara 2-4,5%. Sedangkan, etnis terkecil adalah Tionghoa dengan penduduk 1.738.936 jiwa (0,86%).11

11 Supardi, “Pendidikan Sejarah Lokal: Dalam Kontekss

Multikulturalisme”, Jurnal Cakrawala Pendidikan UNY Yogyakarta, Februari 2006, Th. XXV, Nomor 1, 119.

Page 15: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 319

Demikian pula Yogyakarta sebagai daerah yang dijuluki sebagai miniatur Indonesia modern, dengan analogi bahwa raja adalah bentuk perwakilan dari presiden, walikota dan bupati sebagai gubernur dan seterusnya. Analogi tersebut mengantarkan pemahaman bahwa komposisi masyarakat Yogyakarta tidak berbeda jauh dengan realitas keberagaman masyarakat Indonesia yang berbineka. Hanya saja ia berada dalam lingkup yang lebih kecil, yakni setingkat provinsi. Selain itu, daerah Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pendidikan terebesar di negeri ini, menunjukkan banyak pemuda dan pemudi, baik itu dari golongan pelajar maupun mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia datang untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari 130 institusi pendidikan tinggi tumbuh, baik itu institusi pendidikan yang dimiliki oleh kelembagaan swasta, lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah maupun lembaga kedinasan.12

Dampak dari kedudukan Yogyakarta sebagai basis pendidikan terbesar ini memperlihatkan bahwa para pemuda dan pemudi dari daerah lain, bahkan dari negara lain yang tinggal di daerah ini mempunyai latar belakang budaya, tradisi, agama dan gaya hidup (life style) yang berbeda. Dalam konteks ini, Yogyakarta dapat disebut sebagai ciri masyarakat multikultural yang khas keindonesiaan yang bersuku-suku. Tentu masyarakat

12www.pendidikan-diy.go.id. Diunduh pada tanggal 16 Februari 2015.

Page 16: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

320 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

multikultural yang menjadi ciri khasnya ini tidak tumbuh secara statis dalam arti hanya melihat kenyataan dengan membiarkan adanya perbedaan, melainkan masyarakat multikultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan, kemanusiaan dan keterbukaan terhadap perbedaan sebagaimana spirit dan karakteristik konseptual dari multikulturalisme itu sendiri yang lahir dari kesadaran akan adanya perbedaan dari kelompok-kelompok sosial. Pertanyaannya kemudian, apakah kesadaran multikulturalisme yang tumbuh itu juga dapat hidup berdampingan dengan kebudayaan lokal Jawa yang mendominasi alam kebudayaan masyarakat Yogyakarta, sehingga tidak melahirkan konflik dan pertentangan budaya?

Berdasarkan realitas masyarakat yang tinggal di Yogyakarta yang bersifat majemuk, konflik antar suku dan kelompok pun beberapa kali terjadi. Konflik antar kelompok muncul karena alasan perbedaan nilai atas suatu sikap kebudayaan tertentu yang tidak selamanya diterima oleh kelompok dari satu wilayah tertentu sehingga melahirkan sikap eksklusivitas.13 Ketegangan ini

13 Konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia kerapkali

diakibatkan oleh hubungan sosial lintas agama yang relatif eksklusif. Kerusuhan yang terjadi di masa lalu, seperti di Maumere (NTT) dan Timur Timor (1995), Surabaya, Situbondo,Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1977), Jakarta, Solo, Kupang (199), Ambon dan Sambas Kalimantan (1999) dan lain-lain merupakan bagian dari keberlanjutan konflik yang diakibatkan oleh pola hubungan lintas agama yang tertutup. Beberapa fasilitas keagamaan, seperti masjid, gereja dan lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kelompok agama tertentu menjadi korban dari eksklusivitas dari pola hubungan sosial yang tidak menjamin keharmonisan diantara kelompok yang

Page 17: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 321

dapat menjadi sebuah pertentangan pemahaman sehingga melahirkan kericuhan sosial dan anomali, di mana masing-masing pihak mengedepankan kebenaran dirinya secara eksklusif, tanpa ada yang mau mengalah diantara masing-masing pihak yang bersitegang itu. Tidak adanya sikap mau mengalah di sini dapat diartikan tidak munculnya sikap saling menghormati karena pemahaman nilai kebenarannya sendiri yang ditonjolkan di tengah perbedaan yang menuntut saling pengertian. Sebagaimana juga artikel yang ditulis oleh Christian Joppke, bahwa konflik masyarakat migrasi (urban society), yaitu konflik yang timbul karena perbedaan budaya, agama, ras, suku dan minoritas akibat urbanisasi sosial yang tidak terbendung perlu dijembatani dengan pemahaman multikulturalisme sebagai sebuah kesadaran sosial bersama akan kemajemukan.14

Istilah multikulturalisme itu sendiri dimaknai sebagai ekspresi pengakuan atas eksistensi keragamaan budaya, baik keragaman tradisional sebagaimana

berbeda itu. Meskipun faktor utama pemicu konflik itu hakikatnya tidak semata dilatarbelakangi oleh masalah perbedaan agama, melainkan juga masalah lain, seperti kondisi sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu kecenderungan konflik dari kanyataan heterogenitas ini akan terus berpeluang melahirkan konflik jika pola hubungan sosial lintas agama yang dipratekkan masyarakat masih bersifat tertutup dan eksklusif. Marwan Salahuddin, “Mengenal Kearifan Lokal di Klepu Ponorogo; Praktek Hubungan Sosial Lintas Agama dan Mekanisme Pencegahan Konflik”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 49.

14 Christian Joppke. “The Retreat of Multiculturalisme in the Liberal State: Theory and Policy”, The British Journal of Sociology, 2004, Vol. 55, Issue 2, 237.

Page 18: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

322 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

keragaman suku, ras, budaya dan agama serta keragaman berbagai macam bentuk kehidupan (subkultur) yang senantiasa mengalami perkembangan dalam proses kehidupan sosial.15 Ini artinya wawasan multikulturalisme yang tumbuh dapat mendorong bagaimana masyarakat mesti bersikap ketika menghadapi keragaman. Keragaman dalam masyarakat multikultur kadangkala menghadirkan dua wajah ambivalensi yang saling terkait.

Pada satu sisi, terdapat masyarakat yang memahami wawasan multikulturalisme akan mendorong sebuah harmonisasi sosial dalam wujud tumbuhnya nilai-nilai toleransi yang bersifat universal. Namun di sisi lain, arogansi ekspresi yang menunjukkan eksistensi diri maupun identitas kelompok di masyarakat dapat berujung pada sikap intoleransi, baik dalam skala fikiran maupun tindakan sosial. Sikap intoleransi terjadi bermula dari diri masing-masing pihak yang secara arogan menganggap pendapat dan pemahaman yang diekspresikannya, misalnya mengenai ajaran agama yang paling benar, sementara yang lain salah yang berdampak melahirkan konflik dan sikap intoleran.16

Pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, respon intoleransi religius seperti itu justru tidak muncul

15 Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme

di Indonesia”, ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015.

16 John Hick, Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan Press, 1985), 89.

Page 19: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 323

ke permukaan sebagaimana pandangan FGD yang direpresentasikan oleh statemen Bapak Raden Ngabehi Suprobo mengenai kerukunan beragama yang menjadi bagian dari wacana multikulturalisme di lingkungan mereka :

Terkait dengan kerukunan narasumber bilang kalau daerah tersebut masyarakatnya rukun meski akhir-akhir ini ada banyak pendatang yang membawa keyakinan yang berbeda dengan apa yang diyakini oleh orang Jero tersebut. Karena orang Jero menganut paham agama yang dekat dengan NU, maka di saat Sholat Taraweh diwajibkan 23 rokaat, sedangkan orang Jobo menjalankannya dengan 11 rokaat, seperti orang Muhammadiyah. Dan ini tidak masalah karena sudah masalah keyakinan masing-masing orang asalkan orang tersebut tidak mengganggu atau menghasut orang lain, dan selama ini tidak ada konflik masalah keyakinan tersebut.17 Pandangan yang dikutip dari hasil FGD di atas,

terutama mengenai kerukunan dalam perbedaan tersebut dimaknai dalam konteks kebudayaan Jawa sebagai sikap tenggang rasa, yakni perasaan orang Jawa dalam menghormati perbedaan, tanpa harus mengganggu eksistensi keyakinan lain dengan mengakui keberadaannya yang berbeda dengan dirinya sebagai satu

17 Hasil FGD pandangan Bapak R. Ng. Suprobo, Komunitas

Plosokuning Jero, pada tanggal 4 Desember 2014.

Page 20: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

324 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

kesatuan dalam satu tempat, tetapi berbeda eksistensi. Cara pandang harmonisasi sosial, yakni satu kesatuan ini juga didukung oleh pemikiran Bapak Raden Muhammad Agung sebagaimana hasil FGD di bawah ini yang memaknai toleransi tidak saja membiarkan tetapi saling mendukung keberadaan masing-masing pihak untuk eksis dan saling menyapa:

Terkait dengan kerukunan beragama sangat diharuskan dan harus ada toleransi. Karena ini masalah keyakinan tutur dari narasumber. Kalau zaman dulu di sini mayoritasnya penganut paham NU dan hampir tidak ada paham yang lain, akan tetapi sejak berkembangnya zaman ada paham lain yang ada di daerah sekitar masjid. Misalkan saja sekarang sudah ada orang Muhammadiyah di daerah sekitar masjid, yang menjadikan perbedaannya saat sholat taraweh dan sholat subuh, kalau taraweh mereka hanya 11 rokaat dan saat sholat subuh mereka tidak menggunakan do’a qunut. Akan tetapi terkait dengan tradisi yang sudah ada di sini sejak dulu, mereka masih mau mengikuti meski tidak sepenuhnya sama, misalkan saat ada kerabat yang meninggal dari orang yang menganut paham Muhammadiyah itu ditahlili selama 7 hari. Sedangkan untuk 40 hari, 100 hari, 1 tahun dan 1000 harinya tidak dilaksanakan karena sudah dijadikan satu saat 7 hari itu.18

18 Hasil FGD, pandangan Bapak Raden Muhammad Agung, Komunitas

Plosokunng Jero, pada tangal 5 Dsember 2014.

Page 21: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 325

Menariknya keunikan toleransi religus dari komunitas masjid ini justru membiarkan dengan menghargai perbedaan tata peribadatan dalam satu komunitas, khususnya dalam shalat tarawih pada bulan puasa Ramadhan.19 Komunitas Plosokuning Jero menjalankan tata peribadatan shalat tarawih sebanyak 23 rakaat, sedangkan komunitas Plosokuning Jobo menjalankannya hanya 11 rakaat. Begitu juga dalam acara tahlilan yang berbeda.20

Sikap toleransi dalam internal agama seperti ini terjadi tidak hanya masing-masing pihak dituntut oleh kondisi sosial untuk membiarkan perbedaan, tetapi juga merupakan hasil dari munculnya kesadaran baru untuk merayakan perbedaan sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan dan interpretasi ajaran agama. Bahkan dalam tata peribadatan sekalipun, seiring dengan arus urbanisasi sosial yang masuk di lingkungan masjid dengan kehadiran para pendatang yang berbeda keyakinan. Sikap toleransi religius atas perbedaan keyakinan ini juga ditunjukkan tidak hanya di lingkungan internal agama Islam, akan tetapi antara agama Islam

19 Shalat tarawih secara harafiah berarti shalat istirahat, istilah lain dari shalat tarawih adalah Qiyam al-Lail, yang artinya shalat malam hari. Shalat tarawih adalah ibadah shalat yang tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan pada malam bulan puasa yang dilakukan secara berkelompok. Hanya masing-masing kelompok umat dalam menunaikan ibadah shalat ini berbeda, satu pihak ada yang menunaikan 11 rakaat (gerakan), sementara pihak yang lain dua puluh tiga rakaat.

20 Tahlil adalah ritual tradisi yang dilakukan secara berkelompok dalam rangka mendoakan arwah leluhur, yakni mendoakan salah satu anggota keluarga, kerabat atau tetangga yang sudah meninggal agar mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan.

Page 22: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

326 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dengan Kekristenan yang diperlihatkan dengan kehadiran gereja dan komunitasnya di wilayah ini sebagai kenyataan sejarah keindonesiaan yang disadarinya. Meskipun pada awalnya kehadiran mereka diwaspadai, namun akhirnya diterima dengan alasan-alasan yang rasionalistik; yang dapat diterima oleh akal sehat publik, selain juga karena nilai-nilai agama dan budaya yang dipercayai yang menjunjung tinggi nilai harmonitas budaya; keselarasan hidup, nilai kesatuan antara diri dan lingkungannya, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Saelan di bawah ini :

Dan pada saat itu daerah Plosokuning itu semua masyarakatnya beragama Islam, baru akhir-akhir ini ada agama lain yang masuk. Contohnya di Perumnas Minomartani sekarang sudah ada gereja. Kalau masalah tahunnya sudah lupa tetapi berdirinya gereja tersebut pada saat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Jadi semenjak berdirinya gereja itu. Jemaat yang mau melakukan pembaktian banyak pendatang baru yang beragama Kristen yang tinggal di Minomartani, mereka masuk dengan cara membeli tanah orang Minomartani.21 Kata toleransi itu sendiri semula merupakan istilah

asing yang terderivasi dari bahasa Latin yang mengalami pengindonesiaan, yakni tolerantia yang artinya

21 Hasil FGD pandangan Bapak Saelan, Komunitas Plosokuning Jobo, pada tanggal 5 Desember 2015.

Page 23: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 327

kelembutan hati, kelonggaran, kesabaran dan keinginan. Ia juga dapat diartikan tolerar yang bermakna dasar sebagai sikap yang saling menghargai, membiarkan dan membolehkan.22 Pengertian keindonesiaaan ini mengantarkan pemahaman untuk bersikap longgar dan sabar yang memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain, meskipun berbeda pandangan, sehingga dapat melahirkan sikap terbuka dan jiwa yang lapang dada terhadap perbedaan.23

Ini artinya dalam konsepsi dan pergumulan sejarahnya, toleransi juga menjadi menguat dalam agama Islam sering dengan isu-isu kerukunan beragama, menjadi bagian dari keniscayaan sejarah dan perkembangan kesadaran teologis, yakni karena tujuan dari toleransi itu sendiri untuk membangun kedamaian dan kenyamanan di tengah keberagaman, sebagaimana pesan dasar agama ketika lahir ke dunia sebagai pembawa rahmat kepada manusia dan dunia kosmosnya, meskipun pesan itu tidak diaktualiasasikan dengan utuh di negeri-negeri Timur Tengah saat ini. Terlebih lagi pesan dasar teologis ini sangat dibutuhkan oleh komunitas masjid di tengah keberagaman kelompok dengan latar belakang sejarah, kebudayaan serta identitas

22 Lucia Herma, dkk., “Toleransi dalam Interdiskursus Teks Sastra dan

Teks Non-Sastra”, Jurnal MAKARA, Sosial Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003, 2.

23 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta Selatan: Penerbit Fitrah, 2007), 81.

Page 24: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

328 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang sebenarnya saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain.24

Jika mengacu pada pada analisis di atas, sikap toleransi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning sejalan dengan sikap Pemerintah Yogyakarta, yang mengambil makna toleransi dengan merayakan perbedaan, seperti yang tampak dari beragam perayaan baik yang bersifat religi, budaya maupun sekedar perayaan festival yang digelar secara terbuka bagi masyarakat umum. Ini artinya, tidak ada diskriminasi minoritas atau mayoritas bagi masyarakat untuk turut mengakses berbagai acara tersebut. Seperti halnya dengan mengadakan acara-acara yang bercorak keislaman yang berkonteks kebudayaan Jawa, seperti perayaan Sekaten di alun alun utara Keraton yang disaksikan oleh beragam masyarakat dari ragam suku dan agama. Acara lain yang mewujudkan penghormatan dan toleransi pada agama lain yang kemudian diikuti oleh masyarakat umum, adalah perayaan Tahun Baru Imlek yang dilihat sebagai peristiwa kebudayaan Tionghoa, dan juga perayaan Hari Raya Nyepi yang digelar secara kolosal oleh masyarakat Hindu di kompleks candi Prambanan setiap tahun.

Berbagai jenis perayaan kebudayaan etnik dan agama tersebut tidak membatasi siapapun untuk berpartisipasi. Hal ini juga sejalan dengan status daerah

24 Zuhairi Misrawi, Ibid., 182.

Page 25: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 329

Yogyakarta sebagai pusat pendidikan di Indonesia dan daerah destinasi pariwisata dunia, selain juga penetapannya sebagai “city of tolerance” atau kota toleransi yang dicetuskan pada tanggal 3 Maret 2011, oleh mantan walikota Yogyakarta Henry Zudianto bersama Aliansi Jogja Untuk Indonesia Damai (Aliansi) di kompleks Balai Kota.25 Masalahnya kemudian makna toleransi ini juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan industri pariwisata yang tumbuh di daerah ini sebagai bagian dari komoditi ekonomi yang menarik bagi para pelaku ekonomi dunia untuk melibatkan diri.

Dengan demikian globalisasi yang memberikan pandangan baru dalam bentuk kesadaran bersama tentang nilai multikulturalisme dan toleransi religius juga menguat di daerah Yogyakarta, bahkan juga di komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Globalisasi yang terus mendorong dunia menjadi satu (global village) secara universal yang dilahirkan dari keragaman, di mana tradisi-tradisi agama dan kebudayaan lokal yang hidup di seluruh dunia yang berjauhan tempat itu turut mewarnai globalisasi, sehingga tidak lagi bersifat monolitik dalam dominasi kebudayaan besar.

6.2.2. Respon Bangkitnya Lokalitas

Respon kedua dari komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning terhadap globalisasi adalah

25http://news.okezone.com. Diunduh pada tangal 3 Maret 2015.

Page 26: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

330 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

bangkitnya unsur-unsur lokalitas dalam identitas sosialnya sebagai bagian dari tuntutannya untuk menyuarakan nilai-nilai dan tatanan dunia yang adil di tengah gempuran globlisasi yang mendominasi semua sendi kehidupan masyarakat untuk diseragamkan, seperti yang terjadi di lingkungan mereka. Sebagai sistem dunia yang tunggal yang terlahir dari proses modernisasi dan kapitalisme global, globalisasi mau tidak mau juga dilihat sebagai kekuatan kebudayaan besar yang mengancam terhadap eksistensi jatidiri lokal suatu komunitas.

Sebagaimana gambaran arti globalisasi yang luas sebagai suatu tatanan dunia dalam perekonomian, politik, interaksi sosial yang didukung oleh jejaring teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat. Tentu saja hal itu mengundang respon komunitas lokal terhadap eksistensi jatidiri kebudayaannya. Kebudayaan yang selama ini dipandang sebagai nilai kearifan yang mapan, ketika dihadapkan pada globalisasi, ia menghadapi gempuran nilai-nilai baru yang kadang tidak sejalan dengan tradisi yang telah berlaku, dan bahkan meminggirkanya. Setidaknya ada tiga responsi yang menjadi opsi pada setiap komunitas lokal dalam menghadapi globalisasi, yaitu responsi berdiri sendiri-sendiri, sintesis dan sinkretis.26 Kemungkinan lain dari

26 Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa

(Yogyakarta: LESFI, 2002), 9.

Page 27: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 331

respon globalisasi adalah berubahnya tampilan kebudayaan etnik.27

Responsi berdiri sendiri menghasilkan komunitas lokal itu mengisolasi diri dari dunia global sehingga berada dalam stagnasi budaya. Responsi sintesis mendorong komunitas lokal berdialog dengan dunia global sehinga menghasilkan perpaduan kebudayaan yang kadangkala kontras, dan reponsi sinkretis menghasilkan komunitas lokal itu melebur secara inheren dalam dunia global sehingga kehilangan jatidiri aslinya, serta respon perubahan tampilan kebudayaan berarti globalisasi telah melenyapkan kebudayaan lokal komunitas itu dengan mengganti dalam tampilan kebudayaan yang sama sekali baru.

Namun Robertson mengungkapkan bahwa globalisasi dapat menjadi pemicu bangkitnya identitas lokal pada ruang-ruang publik yang disebut glocalization, seperti yang disinggung diatas. Gejala dari menguatnya identitas lokal yang dipicu oleh globalisasi merupakan bagian dari dari pengobat rasa rindu dengan “lingkungan rumah” yang dahulu pernah dilalui. 28 Identitas lokal menggeliat kuat di tengah luasnya peran media informasi

27Menurut Damami, perubahan masyarakat Jawa yang berpenampilan

“tidak Jawa” atau lebih menghayati kultur lain merupakan dampak dari globalisasi. Secara pribadi, hal ini sah-sah saja, hanya saja orang tersebut telah tercerabut dari akar etnisnya. Ibid., 11.

28 Richard Giulianotti and Roland Robertson, “Glocalization, Globalization and Migration: The Case of Scottish Football Supporters in North America”, International Sociology, March 2006, Vol. 21 (London: Sage Publications, 2006), 171-198.

Page 28: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

332 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dan kontestasi dengan budaya-budaya baru. Dampaknya, adanya upaya melakukan peneguhan identitas lokal sebagai responsi kebudayaan alternatif, seperti yang ditunjukkan dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang diekspresikan secara unik oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning di berbagai kesempataan dan peristiwa khusus. Ekspresi identitas itu merupakan bagian dari sumber nilai, pengetahuan dan pengalaman lokal yang mengandung kearifan hidup dalam jatidirinya yang diwariskan dari para leluluhur.

Ini berarti penguatan identitas lokal dalam era globalisasi terekspresi karena adanya kekuatiran akan kehilangan situasi di masa lalu, dalam wujud tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan lokalnya yang menyejarah dalam komunitas. Reaksi kekuatiran ini timbul akibat adanya unsur-unsur melankolis dan romantisme historis yang termemori dalam diri individu maupun kelompok, sehingga untuk menghilangkan kekuatiran itu muncul sikap ekspresif dalam membangkitkan identitasnya di masa lalu untuk tetap eksis dalam pilihan berbudaya. Ruang ekspresi itu menjadi semakin ditunjukkan, terutama bagi masyarakat urban di tengah perubahan sosial akibat globalisasi yang merasa tercerabut dari akar budaya asal-usulnya. Namun tidak hanya itu, ekspresi terhadap identitas yang menguat juga dilatari oleh kehendak untuk mempromosikan kebudayaan lokal maupun tradisi-tradisi yang telah membudaya di masyarakat, yang kemudian juga ter–

Page 29: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 333

upload di jejaring dunia maya, sebagaimana disampaikan oleh Arjun Appadurai dengan memanfaatkan teknologi baru digital yang dibawa oleh globalisasi sebagai lanskap global yang mendorong suatu komunitas dapat hidup eksis dan berekpresi dalam dunia maya.29

Lanskap globalisasi yang terkoneksi secara sosial tidak pelak, ia seperti buntalan benang yang kompleks; sulit untuk diuraikan kembali dalam lanskap yang tunggal. Fenomena tersebut berpengaruh signifikan pada kehidupan sosial, sehingga hubungan inter-koneksi, dapat pula mendorong terbentuknya ekspresi atas identitas, tradisi dan keaslian (local wisdom) dalam masyarakat.30 Kenyataan ini terlihat karena globalisasi berdampak melahirkan rasa kekuatiran terhadap eksistensi tradisi dan kebudayaan lokal dari ancaman kepunahan. Kekuatiran tersebut diaktualisasikan dengan memperkuat identitas lokal dalam merespon isu-isu dan dinamika globalisasi sebagai arus kebudaayaan besar, seperti yang diperlihatkan pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Pokok fikiran yang hendak digarisbawahi dari tantangan globalisasi sebagai kebudayaan besar, adalah “kekuatiran akan kehilangan identitas lokal” di tengah maraknya kebudayaan baru

29 Lih., Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global

Cultural Economy”, dalam G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA, Blackwell, 2006).

30 Roland Robertson, “Globalization Theori and Civilizational Analysis”, Comparative Civilizations Review, 1987, 21, Downloaded on - journals.lib.byu.edu. Diunduh pada tanggal 24 November 2014.

Page 30: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

334 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang dianggap lebih modern atau sejalan dengan tuntutan zaman. Kebudayaan besar itu hadir dengan orientasi nilai-nilai yang lebih materialistik dan kekinian, sehingga identitas lokal yang bersifat kekunoan itu menjadi alternatif yang ditunjukkan sebagai jatidiri komunitas yang luhur karena memang berasal dari warisan leluhur .

Oleh karena itu, Robertson juga menganalisis bahwa globalisasi merupakan sebuah tatanan satu tempat atau a single place,31 yaitu tata masyarakat dunia yang semakin luas tanpa dinding pembatas antara satu tempat dengan tempat lain. Dalam satu waktu masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat saling berinteraksi secara bersamaan melalui produk-produk modernitas yang disebut dengan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam analisisnya mengenai a single place tersebut atau tempat yang tunggal, dapat ditambahkan bahwa globalisasi memberikan pengertian munculnya tata hubungan antara kondisi lokal dan situasi global (Local-global nexus) dan atau kondisi global dan situasi lokal (global-local nexus) yang saling berkelindan dalam satu tempat.32

Hal Ini membuktikan ruang-ruang lokalitas menjadi bagian dari ruang globalitas. Sebaliknya, ruang globalitas

31 John Tomlinson, “Globalization and Culture” Paper was presented at University of Nottingham Ningbo China (UNNC), Research Seminar Series 2006-2007 (Publication on IAPS website), 2. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2005.

32 Roland Robertson, Mapping the Global Condition: Globalization as the Global Concept: Theory, Culture and Society, Vol. 7 (London: SAGE Publications, 1990), 21.

Page 31: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 335

juga menjadi bagian dari ruang lokalitas dalam suatu hubungan kebudayaan yang saling mempengaruhi secara hibrida (cangkokan), sebagaimana yang juga diekspresikan oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, baik dalam menerima teknologi global yang membangkitkan kesadaran identitasnya maupun yang mengubah identitas lokalnya dengan memanfaatkan jejaring teknologi tersebut.

Sejalan dengan itu, Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang menjadi pewaris kebudayaan lokal di Indonesia juga menghadapi globalisasi sebagai sebuah tantangan yang direspon secara positif dan kreatif. Langkah ini dilakukan dengan usaha penguatan kebudayaan Jawa dalam kehidupan sosial masyarakatnya, termasuk pada komunitas di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, tanpa harus tertinggal dari apa yang disebut dengan makna peradaban modern. Artinya ada keseimbangan antara nilai kebudayaan lokal warisan leluhur dan semangat perkembangan zaman, terutama dalam memberi kontribusi bagi makna baru wajah globalisasi yang dipandang bias itu.

Dalam meresponsi tantangan globalisasi dalam sektor ekonomi, pariwisata dan jatidiri kebudayaan, Pemerintah Yogyakarta telah melakukan rebranding33 logo “Jogja Istimewa” yang diluncurkan pada pertengahan bulan Maret 2015 ini. Usaha melakukan

33 Rubrik KR., “Yogyakarta Butuh Rebranding Luar-Dalam”, Koran Kedaulatan Rakjat, 9 Maret 2015.

Page 32: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

336 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

rebranding dilakukan untuk tetap mengikuti perkembangan zaman tanpa harus melupakan identitas lokal atas makna keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah Indonesia, sebagai penentu kebijakan tingkat pusat juga mengeluarkan produk undang-undang keistimewaan bagi daerah Yogyakarta sebagai wujud dukungannya, agar dapat menjaga kekayaan kebudayaan bangsa atas keistimewaan Yogyakarta sebagai kota budaya yang unik. Setidaknya sikap ini menjadikan pemerintah daerah dan Keraton Yogyakarta mempunyai posisi yang sama dalam mendorong dan menentukan ke mana keistimewaan Yogyakarta akan dibawa di masa depan. 34

Tantangan dari budaya asing yang masuk melalui globalisasi sebenarnya jauh hari telah disadari oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Hal itu ditunjukkan sebagaimana pengakuan Raja Jawa itu dalam kutipan berikut:

Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih ini karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerjasama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang

34 W. Riawan Tjandra, “UU Perda 2014 dan DIY”, Koran Kedaulatan

Rakjat, 19 Maret 2015.

Page 33: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 337

sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”.35 Sikap raja itu menunjukkan globalisasi yang

datang dari kebudayaan Barat, tidak harus menjadi ancaman, justru diberi tempat dan dipertemukan (hibrid) sebagai bentuk harmonisasi sosial dalam filosofi kehidupan bangsa Timur. Harmonisasi sosial adalah nilai estetika keselarasan hidup tanpa kehilangan identitas dasar yang lahir dari asal-usulnya sebagai sebuah etnik di mana ia dilahirkan dan tumbuh dalam kebudayaan etnik itu. Dalam pada itu putra penerusnya, yaitu Sri Sultan Hemengkubuwono X juga menandaskan di tengah gencarnya kritik publik, bahwa “penggunaan pakaian tradisional (busana Jawa) bagi para pegawai negeri dalam peringatan Hadeging Nagari Ngayogyakarta (ulang tahun berdirinya negeri Yogyakarta) tidak sekedar untuk melestarikan budaya, tetapi juga dapat membentengi diri dari kebudayaan asing”.36 Hal itu memperlihatkan bahwa dalam diri raja sebagai pewaris nilai dan tradisi Keraton sekaligus mewakili pemerintah setempat, menyadari akan kuatnya tantangan zaman yang ditimbulkan dari arus globalisasi sebagai bagian dari ekspansi kebudayaan dunia. Bahwa jika tidak disikapi dengan bijak, globalisasi

35 Laksmi Kusuma Wardani, “Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural

Sultan Hamengkubuwono IX terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta”. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik, Universitas Kristen Petra Surabaya, Vol. 25, No. 1, 2012, 58.

36 Rubrik KR., “Penggunaan Pakaian Jawa sesuai Pakem: Bentengi Diri dari Budaya Asing”, Koran Kedaulatan Rakjat, 20 Maret 2015.

Page 34: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

338 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang bersifat ekspansif itu menggerus nilai-nilai tradisi dan identitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu diperlukan adanya sikap kreatif yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk mendorong kesadaran penguatan identitas lokal, dan percontohan bagi masyarakat secara luas untuk dipelajari di tengah globalisasi yang dapat menimbulkan hal-hal baru yang menggantikan secara frontal hal-hal yang lama.

Pada praktek-praktek kehidupan sosial, komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning sebagai kelompok lokal setingkat dusun ternyata mempunyai sikap kearifan tersendiri, di mana hal-hal baru yang datang dari kebudayaan atau masyarakat luar sekalipun, cenderung diterima dengan kesadaran kritis. Sikap ini sejalan dengan konsep filsosofi kehidupan orang Jawa yang lahir dari fenomena kehidupan orang desa, yakni prinsip mandi atau berenang di arus sungai yang mengalir begitu deras, yaitu anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli, yang artinya secara filosofis adalah kesadaran manusia untuk berkontestasi “menghanyutkan diri dalam arus air tetapi tetap sadar dan tidak hanyut ke dalam arusnya” atau kehilangan identitasnya. Filosofi lokal ini mengandung nilai bahwa komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning memiliki kesadaran pandangan dunianya yang terbuka terhadap hal-hal baru di tengah perbedaan dengan hal-hal yang lama.

Sikap yang cenderung terbuka (menghanyutkan diri; angeli) terhadap kebudayaan baru tersebut,

Page 35: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 339

kemudian dibentengi dengan kesadaran akan munculnya sikap yang tidak mudah terbawa arus atau tidak tengelam (ora keli) oleh globalisasi yang masuk di lingkungan mereka, sehingga tidak kehilangan kesadaran identitas lokalnya. Hal ini juga sejalan dengan pemahaman filosofi toleransi pada kebudayaan Jawa yang cenderung mengutamakan tepa slira. Tepa slira merupakan sebuah konsep toleransi dalam arti tumbuhnya sikap saling pengertian karena perbedaan.37 Sejarah tentang kehidupan Raja Amangkurat Jawi IV misalnya, yang mengharapkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat beretika dan berperilaku mulia sebagai pembeda antara masyarakat berbudaya dan masyarakat secara umum.38 Kemuliaan yang dimaksudkan adalah sebuah konsep tentang etika dan spiritualitas mengenai perintah, anjuran, larangan serta harapan yang mencakup kesadaran untuk menjaga wasiat dan tidak melanggarnya, dorongan cinta terhadap tanah air, harapan mendapat anugerah Tuhan, serta memanjatkan doa kepada-Nya.39

Kerangka berpikir kebudayaan religius tersebut menjadi berat dan absurd jika dihadapkan dengan realitas sosial bahwa globalisasi telah menyeret masyarakat di negeri ini ke dalam kompetisi hidup yang serba materalistik. Nilai-nilai materialisme yang tumbuh telah menjungkirbalikkan tatanan nilai-nilai lama yang

37 Purwadi, Pemikiran Religius Masyarakat Jawa (Yogyakarta: Elmatera Publishing, 2012), 6.

38 Ibid., 14. 39 Ibid., 15.

Page 36: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

340 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

bersifat spiritual. Ini artinya kehadiran globalisasi tidak lain adalah bagian dari ekspansi kapitalisme ke seluruh dunia. Sebagaimana pernyataan yang ditegaskan oleh Robinson, bahwa globalisasi yang menghadirkan dunia baru yang kapitalistik itu berkembang dalam empat tahapan sejarah dunia.40

Tahap pertama antara tahun 1492-1789 yang disebutnya sebagai fase transisi dari masyarakat feodalistik ke kapitalisme di Eropa dan ekspansi keluarnya. Era ini disebut juga sebagai era penemuan dan penaklukan yang disimbolkan dengan kedatangan Colombus di Amerika. Pada tahap ini bangsa-bangsa Barat tersebar ke seluruh dunia dan mendiami berbagai wilayah bumi dimulai sebagai minoritas pada tempat baru itu. Minoritas yang berhasil secara ekonomi kemudian meningkatkan statusnya sebagai mayoritas secara politik yang berakhir dengan pemerdekaan dirinya sebagai bangsa dan negara baru. AS adalah contoh utama dari negara dan bangsa baru pada era ini. Tahap kedua terjadi pada akhir tahun 1900, sering dengan timbulnya revolusi industri yang diikuti dengan lahirnya kelas borjuis dan kehadiran negara-bangsa baru yang disimbolkan dengan keberhasilan Revolusi Perancis dan revolusi manufaktur di Inggris.

Tahap ketiga yang terjadi sampai dengan awal tahun 1970an, adalah tahap munculnya kapitalisme

40 William I. Robinson, A Theory of Global Capitalism....., 4-5.

Page 37: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 341

monopoli korporasi dengan terbentuknya satu pasar dunia bersama dan sistem negara-bangsa ketika kapitalisme telah diorganisasikan dengan baik dalam perusahaan raksasa. Hadirnya badan-badan dunia, seperti Bank Dunia, IMF, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagainya adalah simbol tahap ini. Tahap keempat, yaitu tahap yang sedang dimasuki kapitalisme Barat yang didukung oleh teknologi microchips dan komputer atau disebut pula zaman teknologi informasi, yang secara politik diikuti pula oleh runtuhnya sosialisme abad ke-20 M., serta kegagalan negara-negara Dunia Ketiga untuk menawarkan gerakan pembebasan sebagai alternatif bagi dominasi kapitalisme global. Tahap yag merupakan tahap perubahan dari negara-bangsa ke tahap transnasional, negara tanpa batas. Perubahan-perubahan ini telah menempatkan kapitalisme Barat yang mengglobal itu menjadi satu-satunya kekuatan politik dan ekonomi dunia.

Menurut Korten yang juga mengulas globalisasi sebagai pemerintahan korporasi atau transnational state dengan kapitalismenya itu menimbulkan dampak dalam tiga masalah sosial utama, yaitu pertama, semakin tingginya keyataan unemployment, penutupan berbagai perusahaan, upah di bawah standar, dan sebagainya sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kedua, meningginya kegelisahan sosial yang muncul dengan meningkatnya angka kejahatan, penggunaan obat-obat terlarang, angka perceraian yang tinggi, dan

Page 38: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

342 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

sebagainya. Ketiga, adalah krisis lingkungan hidup yang semakin meluas.41 Goldsmith menambahkan bahwa korporasi-korporasi tersebut dengan mudah dapat memindahkan (re-locate) pabrik-pabrik mereka dari satu negara ke negara lain, termasuk negara mereka sendiri karena alasan profit untuk mendapatkan upah pekerja yang dapat dibayar lebih murah tanpa memperhitungkan akibat sosial yang harus dipikul oleh para pekerja yang ditinggalkan.42 Krisis-krisis global yang ditimbulkan ini semakin mengindikasikan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pranata-pranata sosial, seperti demokrasi, pemerintah dan pranata kebudayaan lokal.

Dengan demikian globalisasi yang disertai dengan perkembangan kapitalisme global dengan perluasan pasarnya ke seluruh dunia berdampak menimbulkan perubahan di masyarakat, bahkan sampai di tingkat komunitas lokal dengan krisis hilangnya pranata kebudayaan yang dipeliharanya sekian lama. Dalam konteks komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, responsi globalisasi yang bias kapitalistik ini mendorong munculnya kesadaran baru dan tanggung jawab sosial bersama, dengan tetap menjaga keseimbangan mempertahankan identitas lokal sebagai pengemban kebudayaan Jawa yang luhur dalam komunitas karena ketinggian nilai-nilai spiritual, keadilan dan

41 David C. Korten, When Corporations Rule the World (London: Earthscan Publication Ltds., 1996), 18-21.

42 James Goldsmith, The Response to GATT and Global Free Trade (London: MacMillan, 1995), 37.

Page 39: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 343

kemanusiaannya di satu sisi, dan di sisi lain tanggung jawab dan kesadaran menghadapi perubahan dari dunia luar yang masuk, seperti budaya konsumeristik yang serba kebendaan.

Tentu saja tanggung jawab ini menjadi berat, khususnya bagi generasi muda Masjid Pathok Negoro Plosokuning saat ini, dan di masa depan karena kekuatiran kian kehilangan identitas lokalnya dari warisan sejarah masa lalu leluhurnya sebagai jatidiri yang berusaha dibanggakan. Kekuatiran kehilangan identitas lokal sebagai bentuk krisis jatidiri komunitas ini pernah diungkapkan oleh seorang peneliti berkebangsaan Belanda, yaitu Niels Mulder. Niels Mulder dalam buku catatan perjalanannya selama di Yogyakarta mengungkapkan sebagaimana kutipan statemennya berikut ini :

Keterputusan dengan masa lalu, dengan generasi tua, mencolok mata. Sering kali anak-anak muda merasa hebat berbicara bahasa Indonesia dengan logat Jakarta untuk menunjukkan “kekotaannya”. Pembantu kami yang masih muda hampir protes dengan kebiasaanku mendengarkan karawitan Jawa. Banyak orang tua mengeluh oleh karena tuntutan-tuntutan anak mereka yang tidak lagi dididik dalam kebijaksanaan Jawa untuk menahan diri. Seorang narasumber yang sudah tua, yang hidupnya bekerja sebagai guru, menggambarkan bahwa anak muda telah kehilangan rasa tujuan dan rasa kejawaannya-

Page 40: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

344 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

yang tentu saja sangat menyedihkan bila kecemasan itu diucapkan di kota kebudayaan Yogyakarta. Tetapi bagaimanapun materialis dan keluarnya orientasi hidup mereka, tidak bisa disangkal bahwa generasi muda adalah juga orang Jawa. Mereka pasti orang Jawa tetapi juga pembawa kesadaran yang berbeda, yang mungkin sudah agak kabur dan sulit diterangkan, yang mungkin berkurang dalam hal imajinasi. Yogyakarta telah menjadi bagian dari Indonesia, sebuah kota provinsi di wilayah pinggiran yang secara kultural tergantung pada sumber asing dan berkurang dalam hal keorisinilan”.43 Dari pengakuan Mulder di atas, banyak dinamika

kehidupan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta, terutama perubahan pola pikir yang terjadi di kalangan pemuda Jawa yang mulai melupakan nilai-nilai identitas lokal, tercerabut dari akar budayanya, dan berpikir sangat materialistik demi eksistensi sosial. Perubahan itu terjadi menurut Mulder karena keterputusan mata rantai kebudayaan generasi muda dengan kebudayaan leluhur yang dimiliki oleh generasi tua. Ini artinya ada kesenjangan sosial dan budaya antara generasi muda dan generasi tua sehingga memunculkan pemisahan pola pikir yang sangat berdampak pada terkikisnya kebudayaan Jawa yang adiluhung sebagai identitasi sosial masyarakat

43 Niels Mulder, Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 273-274.

Page 41: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 345

yang semula dibanggakan, digantikan oleh kebudayan global yang bersifat kapitalistik dan keduniaan.

Namun kekuatiran Mulder tersebut tidak sepenuhnya berlaku dalam komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang mengambil inisiatif secara kreatif untuk mewariskan tradisi religius dan kebudayaannya dari generasi yang tua ke generasi yang lebih muda. Mereka mengekspresikan identitas lokalnya tidak dalam rangka berkonfrontasi atau meleburkan diri menyatu dalam globalisasi. Akan tetapi justru memperkuat identitas lokal komunitasnya untuk hadir dalam kesadaran yang diwariskan kepada generasi selanjutnya, sekaligus diekspresikan secra koloboratif menjadi bagian dari globalisasi yang mendorong keragaman nilai, agama dan kebudayaan global tumbuh dalam kesadaran lokalitas.44 Penguatan identitas ini tidak hanya ditunjukkan kembali dengan mendialogkan agama dengan kebudayaan sehingga meneguhkan identitas lokalnya sebagai identitas primordial.45 Akan tetapi

44 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, diterjemahkan oleh Ahmad Baso (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), 15-16.

45 Dalam realitas keindonesiaan, masyarakat di tanah air selalu berada dalam tarik menarik diantara dua identitas, yaitu identitas prmordial dan identitas nasional. Identitas primordial merupakan identitas yang terbentuk sebelum era kemerdekaan yang lahir karena faktor keberagamaan budaya, etnik dan agama, sehingga di kemudian hari menghasilkan ciri pluralitas masyarakat Indonesia. Identitas primordial melahirkan beragam identitas masyarakat di Indonesia, seperti identitas Timor, identitas Jawa, identitas Minangkabau, identitas Bali, identitas Batak, identitas Sunda, identitas Dayak dan sebagainya. Sementara identitas nasional yang lahir dari hasil pergumulan dengan keragaman identitas primordial itu merupakan identitas baru, yakni identitas kebangsaan sebagai orang Indonesia. Problem

Page 42: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

346 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

mereka juga melakukan responsi globalisasi yang menghasilkan perubahan identitas.

6.2.3. Respon Kehadiran Teknologi Informasi dan

Komunikasi Perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi dengan derasnya arus globalisasi yang menyebar ke seluruh dunia merupakan dua proses yang saling terkait. Kedua kekuatan dunia itu saling mendukung secara eksistensial. Tidak ada globalisasi yang tumbuh di suatu negara, bangsa atau komunitas sosial tanpa menyertakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang mengiringinya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga akan berjalan lambat, bahkan tersendat-sendat jika masyarakat di suatu bangsa atau negara tidak berpikir secara global. Ini artinya masyarakat yang tidak memiliki wawasan globalisasi atau kerangka berpikir yang mendunia juga akan menyulitkan mereka menerima kehadiran teknologi informasi dan komunikasi di mana mereka bertempat tinggal dan bernteraksi dalam ikatan komunitasnya, dan dengan dunia luar .

yang muncul dan tak terpecahkan hingga saat ini dengan persoalan identitas ganda itu adalah ketika menempatkan identitas nasional sebagai identitas baru yang belum menemukan karakteristik dan bentuk kebudayaannya. Lih. John A Titaley, Religiositas Di Alenia Ketiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 157-158.

Page 43: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 347

Globalisasi yang berbasis pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang masuk dalam masyarakat yang terbuka pada gilirannya juga menghasilkan penetrasi nilai baru yang berasal dari dunia luar. Penetrasi nilai baru itu terjadi ketika masyarakat menggunakan media informasi (information), komunikasi (communication), dan teknologi (technology) di mana nilai-nilai baru itu hadir secara terselubung, bersamaan dengan munculnya kepentingan kapitalisme dan industrialisasi yang berorientasi pada perluasan pasar (maketing oriented). Wilayah Indonesia yang dihuni oleh berbagai suku dan agama yang kini telah menjadi bagian dari pasar kapitalisme itu pun tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan penetrasi nilai baru dalam globalisasi itu. Lebih lagi didukung dengan kemudahan perangkat-perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dibeli oleh masyarakat di berbagai tempat, seperti radio, handphone, camera, tape recorder, video, VCD, DVD, internet, komputer, dan sebagainya. Perangkat-perangkat itu tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara modern, tetapi juga dimanfaatkan untuk mendokumentasikan berbagai tradisi dan kebudayaan lokalnya yang hidup.46

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi itu tentu saja menciptakan kebanggaan primordial

46 Setiyono, Tantangan Seni Tradisional di Tengah Arus Globalisasi, FBS-UNY, Makalah tidak diterbitkan.

Page 44: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

348 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

tersendiri, selain juga dipakai untuk tujuan-tujuan komersial. Komersialisasi tradisi dan budaya lokal itu yang kemudian menjadi bagian dari industrialisasi budaya dan komoditas yang bernilai ekonomi, seperti penggunaan perangkat VCD untuk mendokumentasikan pertunjukan wayang kulit dan seni tari Jathilan yang produknya dapat dijual bebas di sejumlah toko. Namun tetap saja kesejahteraan terbesar dari industrialisasi budaya tidak mereka dapatkan sebesar yang diperoleh perusahan-perusahaan raksasa penyedia perangkat teknologi informasi dan komunikasi itu.

Perangat teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang mengiringi kapitalisme saat ini dapat dikelompokan menjadi empat jenis, yaitu pertama, perangkat media cetak yang digunakan untuk mendokumentasikan secara tertulis dalam halaman kertas berupa berita dan ilmu pengetahuan, seperti koran, majalah dan jurnal. Kedua, perangkat media audio yang digunakan untuk memperoleh informasi melalui pendengaran, seperti tape, radio dan compact disk, Ketiga, media audio visual yang digunakan untuk memperoleh informasi melalui penglihatan dan pendengaran langsung, seperti televsi, tv kabel dan internet, dan Keempat perangkat media eketronika yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi diantara individu maupun kelompok, seperti komputer, handpohone, LCD, dan laptop.

Page 45: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 349

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang juga masuk ke dalam komunitas masjid sebagai bentuk responsinya yang positif dan hati-hati terhadap globalisasi, mengakibatkan banyak perubahan pada dunia komunitas mereka sendiri. Sekat-sekat identitas yang semula membatasi perbedaan antara komunitas Plosokuning Jero dengan Plosokuning Jobo kian memudar, perubahan status sosial, seperti tingkat kebangsawanan, dan status ekonomi kedua komunitas dan pandangannya terhadap identitas primordialnya yang harus bertahan dengan ciri tradisionalismenya juga berubah.

Ini artinya globalisasi telah meratakan dunia sosial mereka yang semula tersekat ke dalam perbedaan status sosial, ekonomi dan bahkan tembok politik monarkhi, serta terisolir dari dunia luar karena kesetiaan pada identitas primordial di masa lalunya kian membuka diri menjadi kekuatan lokalitas yang eksis. Sekat-sekat yang membatasi itu telah didatarkan oleh masuknya globalisasi yang terjadi di lingkungan komunitas melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Friedman, globalisasi yang diartikan sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world) semakin menjadi nyata, di mana dunia menjadi datar pada abad 21 M ini. Dalam sejarah, globalisasi menjadikan dunia semakin datar dimulai dari tiga gelombang perisitiwa dunia yang berlangsung secara evoltif dan monumental dengan aktor yang berbeda-beda, yaitu pertama

Page 46: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

350 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

globalisasi yang dimulai sejak 1492 ketika Columbus mulai membuka perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru. Pada masa ini, negara maupun pemerintah yang dipicu oleh imperialisme telah mendobrak dinding pembatas wilayah, sehingga dunia menjadi satu melalui ekspansi bangsa-bangsa Barat ke seluruh dunia. Penyatuan global ini melihat dunia yang semula berukuran besar menjadi berukuran menengah.47

Kedua, globalisasi yang berlangsung dari sekitar tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh masa depresi besar dan meletusnya Perang Dunia I dan II. Pelaku utama dalam proses penyatuan global versi kedua ini adalah perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan tenaga kerja yang dipelopori oleh Belanda dan Inggris sejak timbulnya revolusi industri di Eropa. Proses penyatuan global digerakkan oleh jatuhnya biaya transportasi berkat kemajuan mesin uap, kereta api dan jatuhnya biaya telekomunikasi berkat telegraf, telepon, PC, satelit dan serat optic dan w.w.w. (world wide web). Kekuatan dibalik globalisasi masa ini adalah terobosan di bidang perangkat keras berawal dari kapal uap dan kereta api sampai telepon dan komputer, sehingga dunia menjadi diratakan kian kecil.48

Ketiga, globalisasi yang dimulai sekitar tahun 2000. Motor penggerak globalisasi versi ketiga ini adalah

47 Thomas L. Friedman, The World is Flat...., 9. 48 Ibid., 9-10.

Page 47: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 351

kekuatan lokal baru yang ditemukan untuk bekerjasama dalam lingkup global. Proses penyatuan global versi ketiga ini lahir untuk memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok kecil di seluruh dunia sebagai aktor global dalam ‘tatanan dunia yang datar’ (flat-world platform) yang menggantikan aktor globalisasi versi pertama dan kedua.49 Proses kovergensi dari gelombang glibalisasi itu pada akhirnya menjadikan dunia datar, terlebih dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang, seperti netscape yang menghidupkan internet sehingga mudah diakses oleh siapapun yang mendorong dunia semakin diratakan. Semakin internet dihidupkan, semakin beragam individu di seluruh dunia melakukan banyak hal di web. Perkembangan teknologi internet ini sebagai revolusi sunyi yang tidak disadari kebanyakan orang. Padahal revolusi sunyi ini mendorong lebih banyak individu di berbagai tempat untuk merancang, mempertunjukkan, mengelola dan berkolaborasi dalam dunia yang kecil tetapi berdampak global. Pekerjaan dan aktivitas budaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok mengalir lebih cepat, dan mendorong mereka menawarkan berita dan opini mereka sendiri di web., menulis ensiklopedia mereka sendiri lalu meng-upload-nya ke seluruh dunia, termasuk dalam mengunggah aktivitas tradisi agama dan kebudayaan lokal mereka sendiri.

49 Ibid., 10-11.

Page 48: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

352 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Ini artinya komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang bersifat lokal itu secara kreatif juga menerima globalisasi dengan cara memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian dari kebutuhan komunitas dalam berkontekstualisasi, terutama pada dua hal, yaitu pertama, kebutuhan mengekspresikan identitas lokalnya ke dunia global seiring dengan kesadaran globalnya yang tumbuh melalui interaksi sosialnya di dunia maya, dengan memanfaatkan jaringan internet yang tersedia, seperti situs blog., dan video sehingga kian memperluas pengaruhnya sampai tingkat global. Teknologi informasi dan komunikasi, terutama penggunaan jaringan internet ini telah memberikan jalan bagi komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning untuk mengekpresikan identitasnya sebagai kekuatan lokal ke dunia global lewat berbagai kegiatan tradisi keagamaan dan kultural yang sarat dengan kearifan lokal dan pesan-pesan religius.

Tanpa penggunaan jaringan internet tersebut, komunitas masjid Pathok Negoro Plosokuning tidak akan mampu menembus dunia yang berjauhan jarak itu. Mereka menjadi komuntas kecil yang terisolir yang hanya dikenal oleh dunia sosial mereka sendiri. Oleh karena itu hampir semua kegiatan komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang memiliki nuansa kebadayaan lokal diunggah dan diinformasikan dalam dunia maya. Dampaknya, kreatifitas komunitas lokal masjid ini dikenal mendunia, selain tentu juga menghasilkan nilai tambah

Page 49: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 353

dalam memperkaya khasanah industri kepariwisataan, dan bagi perkembangan eksistensi kesejahteraan komunitas lokal itu sendiri. Kedua, globalisasi juga mengubah identitas komunitasnya menjadi majemuk. Identitas majemuk komunitas Masjid Pathok Negoro ditandai dari selain ekspresi tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang ditunjukkan dalam kegiatan-kegiatannya di masyarakat yang selalu dipertahankan, juga tumbuhnya pandangan dunianya yang baru dalam kesadaran nilai-nilai multikulturalisme, terutama responsi keragaman etnik dan agama yang hidup di sekitar komunitas masjid yang disikapi secara toleran karena sejalan dengan falasafah kebudayaan lokal mereka sendiri, sekaligus identitas lokalnya menjadi bagian dari dunia globalisasi teknologi informasi dan komunikasi yang masuk dan diterima di lingkungan komunitas itu. Tentu saja hal ini juga berdampak bagi munculnya perubahan nilai-nilai baru yang masuk, seperti nilai-nilai efisiensi, kreatifitas dan efektifitas. Globalisasi dengan demikian, memberikan jalan yang rata bagi komunitas masjid ini untuk menghidupkan kesadaran dan kebanggaan lokalitasnya yang tidak hanya berguna bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat dunia umumnya untuk memperoleh informasi baru melalui pemanfaatan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang melekat menjadi bagian dari di lingkungan mereka.

Perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan komunitas lokal Masjid Pathok Negoro

Page 50: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

354 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Plosokuning selain jejaring internet, juga tampak dari penggunaan alat pengeras suara modern, sepert TOA yang dipasang di masjid sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tanpa meninggalkan alat tradisional berupa kentongan dan bedug yang menandai waktu shalat sebagai bentuk kearifan budaya lokalnya yang terpelihara. Alat pengeras suara sebagai media teknologi informasi dan komunikasi ini selain berfungsi untuk menandai waktu shalat tiba, juga digunakan secara kreatif sebagai media yang mendorong integrasi sosial komunitas dalam berkohesi sosial, disamping pemakaian gadget handphone untuk berkomunikasi antar anggota komunitas di wilaah lokal. Jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang lain juga digunakan oleh komunitas masjid ini, seperti media koran dan televisi online, serta media sosial (medsos) lain yang dipakai dalam mengkomunikasikan identitas lokalnya di dunia global seiring dengan kesadaran budaya pariwisata yang muncul, sehingga jangkauannya tidak hanya bersifat lokal, yang semula hanya diketahui oleh komunitas lokal dalam mengkampanyekan nilai-nilai lokalitasnya di Dusun Plosokuning saja, tetapi ke seluruh dunia karena dapat diakses secara luas, ontime dan online oleh masyarakat di belahan dunia manapun.

Identitas lokal itu ditunjukkan dengan cara mengekspresikan tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang sarat dengan filosofi religius dan nilai estetika kebudayaan Jawa yang berharmoni dengan

Page 51: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 355

dunia global. Namun identitas komunitas masjid ini juga menghadapi tantangan berat, berupa masuknya nilai-nilai baru yang lebih materialistik dan rasionalistik dalam kehidupan mereka. Tradisi dan kebudayaan lokal yang menguat tidak hanya karena alasan-alasan rasionalistik untuk menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal yang dipedomani dan menjadi kebanggaan lokalnya, melainkan juga keterbukaan itu juga pelan-pelan menggeser nilai-nilai lama dengan masuknya orientasi kesejahteraan yang memanfaatkan tradisi dan budaya lokal komunitas untuk tujuan industri pariwisata. Ini artinya tradisi dan kebudayan lokal itu juga berkolaborasi menjadi produk budaya yang kehadirannya secara ekonomi menjadi bagian dari tujuan industrialisasi pariwisata yang berkembang di Yogyakarta pada umumnya.

6.2.4. Respon Perubahan Identitas: Dari Politik Ke

Kebudayaan Respon-respon komunitas masjid terhadap

globalisasi itu juga berdampak, tidak hanya dalam proses kesadaran menguatnya identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya dalam periodisasi sejarah pembentukannya yang panjang, akan tetapi juga menghasilkan perubahan identitas komunitas di mana tradisi lokal berharmoni dengan nilai-nilai modernitas global yang masuk ke lingkungan mereka sebagai konsekuensi dari globalisasi yang telah didatarkan.

Page 52: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

356 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Bahkan perubahan global yang mendatarkan dunia ini juga telah menggeser identias komunitas masjid yang semula bersifat politik menjadi bagian dari kebudayaan lokal. Rangkaian proses perubahan identitas dari politik ke kebudayaan ini dapat dijelaskan dalam tiga pokok pemikiran berikut.

Pertama, dalam sejarah masa lalunya pada awalnya pembentukan identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning lahir oleh ikatan agama Islam sebagai agama asing yang tumbuh dalam konteks kebudayaan lokal Jawa. Hanya saja agama Islam yang menjadi identitas komunitas itu tidak lahir karena keperluan murni agama Islam itu sendiri sebagai agama asing yang kecenderungannya memiliki doktrin universal yang melampau kebudayaan lokal, melainkan akibat kebutuhan Keraton sebagai sebuah negara yang menempatkan masjid sebagai kekuatan “legitimasi” raja dalam mengatur masyarakatnya di masa lampau. Akibat kekuatan politik raja, identitas komunitas masjid menjadi bersifat politik, bahkan mengalami keterbelahan sosial, yaitu komunitas pertama yang disebut Plosokuning Jero adalah kelompok para bangsawan yang mengurus masjid karena hak-hak politik lokal dari ikatan geneologisnya dengan raja. Sementara yang kedua, adalah komunitas Plosokuning Jobo, yang terdiri dari masyarakat umum yang tidak memiliki hak atas kekuasaan politik raja atas masjid karena kehadirannya sebagai pendatang yang

Page 53: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 357

tidak memiliki ikatan kekerabatan, seperti komunitas Plosokuning Jero.

Kedua, seiring dengan perubahan globalisasi yang masuk yang menjadi bagian dari kesadaran kebudayaan, pembelahan sosial komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning mulai terkikis sehingga menghasilkan perubahan identitas agama dan etnik menjadi bagian dari identitas kebudayaan Jawa. Ia tidak lagi menjadi identitas politik yang membelah komunitas masjid. Perubahan identitas komunitas masjid yang menempatkan agama sebagai kekuatan kebudayaan ini, tidak hanya mendapat dukungan dari komunitas itu sendiri yang ditunjukkan dari menggeliatnya tampilan kebudayaan lokal yang diperlihatkannya ke masyarakat dunia, melainkan juga dukungan dari pihak Keraton sebagai lembaga adat dan kebudayaan Jawa yang terus menerus menyokong keberadaan komunitas budaya lokal ini. Selain, tentu saja dukungan negara seiring dengan penetapan masjid sebagai benda yang bernilai cagar kebudayaan, warisan lokal yang dibanggakan bangsa yang menjadi faktor utama pemicu perubahan identitas.

Perubahan identitas ini juga memberikan penjelasan bahwa agama pada dasarnya sebagaimana dalam konsepsi Durkheim lahir dari kebudayaan masyarakatnya, ia menjadi produk kebudayaan,50 di mana

50 Istilah agama menjadi bagian dari produk kebudayaan di sini

dimaksudkan untuk memahami agama sebagai salah satu institusi sosial yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan menusia akan agama lahir karena

Page 54: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

358 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

agama dapat tumbuh di suatu masyarakat jika berdialog dengan kebudayaannya, seperti yang ditunjukkan dari ekspresi tradisi dan budaya-budaya lokal yang dilakukan oleh komunitas masjid tersebut sebagai bagian dari identitasnya.51 Oleh karena itu tidak ada salahnya apabila disimpulkan bahwa agama sebenarnya lahir sebagai bagian dari kebudayaan masyarakatnya.52 Dengan

ketidakberdayaan manusia dalam menyelesaikan persoalan dirinya sendiri, terutama berkenaan dengan masalah akhir kehidupan (ulitimete concerns), seperti soal penderitaan, akhir sejarah manusia, persoalan kematian yang kemudian menimbulkan jawaban-jawaban ketika manusia melakukan aksi dan refleksi atas persoalan itu. Aksi dan refleski ini mencerminkan hubungan sosial manusia dengan manusia lain, atau dengan lingkungannya (kekuatan alam), sehingga melahirkan tindakan berbudaya. Ini artinya sebagai makhluk berbudaya, manusia melakukan aksi dan refleksi teologis yang sejalan dengan tindakan berbudaya. Jadi dalam beragama tidak dapat dipisahkan dari cara berbudaya manusia, atau dengan kata lain manusia beragama itu manusia yang berbudaya. John A. Titaley, Religiositas Di Alenia Ketiga....., 162.

51 Sebagai kenyataan sejarah sosial, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya mengandung sistem nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai kepatuhan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia dapat hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan. Tetapi keduanya juga memiliki perbedaan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi (spiritualitas privat), namun tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas sosial tidak akan mendapat tempat di mana ia tumbuh. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transedental (Bandung: Mizan, 2001), 196.

52 Agama dan kebudayaan dapat mempunyai dua pengertian yang sama, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah terancam setiap kali menghadapi perubahan sosial. Agama adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang berperan besar dalam menjelaskan struktur normatif dan tata sosial serta dalam memahami dan menafsirkan dunia sosial. Sementara seni, tradisi dan atau kebudayaan itu merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia dalam masyarakat tertentu yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Oleh karena itu, baik agama maupun kebudayaan, memberikan wawasan dan cara

Page 55: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 359

karakeristik kebudayaan ini, agama dapat tumbuh dan berkembang lebih manusiawi, ia dapat menghadirkan kesadaran nilai etik dan estetika bagi pemeluknya. Karena dalam kebudayaan itulah manusia menemukan nilai-nilai etik sekaligus nilai-nilai estetik yang berguna untuk memperindah kehidupan dunia.

Ketiga, perubahan identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang semula dibentuk oleh hubungan etnik dan agama ini tidak lahir dari dirinya sendiri, melainkan muncul sebagai akibat dari responsinya terhadap globalisasi, di mana globalisasi yang masuk melalui kehadiran pusat-pusat pendidikan modern yang menyebarkan ilmu pengetahuan, dan agen-agen kepariwisataan global, dengan dukungan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan identitas komunitas masjid itu bangkit menguat sekaligus mengalami perubahan. Identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang semula lahir dari identitas politik raja-raja Jawa zaman dahulu, mengalami perubahan menjadi bagian dari kebudayaan luhur karena keluhuran nilai-nilai yang dikandung identitas lokalnya itu terekspresi secara global melalui kreatifitas komunitas masjid dalam

pandang yang sama dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan nilai kemanusiaan pemeluknya. Hendar Riyadi, “Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama”, dalam Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003.

Page 56: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

360 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang mendunia.

Nilai-nilai universal dari kebudayaan luhur tersebut yang mendorong identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning berinteraksi melalui responsinya menjadi bagian dari dunia yang terglobalkan, sehingga memperkaya makna dan konsepsi globalisasi itu sendiri sebagai sebuah sistem dunia yang menyatu yang dibangun dari kekuatan lokalitas yang disebut glokalisasi atau globalisasi yang bersifat bioregional. Ini artinya dalam perspektif kebudayaan, identitas lokal komunitas masjid itu secara kolaboratif berdialog dengan globalisasi melalui pemanfaatan jaringan internet (IT) sehingga menghasilkan pandangan bahwa globalisasi menjadi bersifat bio-regional, yakni kreatifitas kehidupan lokal masyarakat dengan ekspresi identitasnya yang memperkaya warna dunia.

Dengan demikian, globalisasi dipandang tidak menjadikan dunia menyatu dalam keseragamam kebudayaan, dalam arti proses pembaratan budaya dan ekspansi kapitalisme global. Akan tetapi tumbuh dalam kekuatan kolaboratif lokal yang menciptakan pandangan bahwa dunia sosial secara universal adalah majemuk. Ini artinya globalisasi tidak hanya melahirkan kesatuan dunia dalam keseragaman, tetapi juga tumbuhnya kebudayaan lokal yang didatarkan, menciptakan lapangan permainan baru masyarakat lokal dalam memperjuangkan hak-hak hidup dan nilai keadilan dunia

Page 57: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 361

dari kelompok akar rumput. Globalisasi juga pada akhirnya tidak lagi dimaknai secara vertikal dan monolitik yang lahir dari kekuasaan ekonomi, politik dan kebudayaan yang besar, melainkan bersifat horisontal dan konvergen; mendatar dari bawah sebagaimana yang ditunjukkan oleh kreatifitas lokal komunitas masjid dalam mengekspresikan identitasnya, sekaligus menyuarakan nilai-nilai kearifan hidup yang dimiliki dari sejarah masa lalu leluhurnya yang membangkitkan kesadaran untuk menjadi aktor global.

6.3. Refleksi Keindonesiaan

Dalam sejarah peradaban manusia, identitas agama (dan etniknya) adalah yang paling mengakar, primordial dan otentik pada diri manusia, ia sudah ada secara potensial ketika manusia terlahir ke dunia. Persoalannya ialah mengapa identitas agama kemudian tumbuh begitu mengakar pada manusia dan tidak dapat hilang begitu saja, bahkan sejak zaman primitif dan animistik ketika manusia belum mengenal institusi keagamaan dan pranata-pranata lain hingga era global sekarang? Jawabannya tidak lain sebab agama ketika menjadi identitas manusia, ia melahirkan kesadaran nilai-nilai dan pengetahuan yang dapat memberikan jawaban atas seluruh persoalan hidup manusia yang tidak mampu dipecahkan oleh akal sehatnya sendiri.

Agama memberi jalan kesadaran nilai dan pengetahuan bagi manusia untuk menyadari

Page 58: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

362 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

keterbatasan hidupnya, baik keterbatasan fisik, pengetahuan maupun psikisnya. Agama juga menjadi jalan bagi manusia untuk mengetahui arah hidupnya; dari mana asal usul dan takdir kehidupannya, dan akan ke mana akhir hidup yang dijalaninya (sangkan paraning dumadi), karena kecenderungan hidup manusia yang menyadari atas “kekuasaan” dirinya yang terbatas, terbatas karena kekuasaan manusia sebagai individu dibatasi oleh lingkungan sekitarnya, dan juga terbatas karena ia dibatasi oleh kesadaran adanya kekuasaan adikodrati dan absolut yang selalu dipuja sekaligus ditakuti. Oleh karena itulah pada setiap tiga peristiwa kehidupan penting yang terjadi pada diri manusia, yaitu pada saat kelahiran, pada saat perkawinan dan pada saat kematian. Manusia menemukan identitas agama pada dirinya melalui rangkaian upacara atau ritus yang membawa pesan dan makna terdalam dari peristiwa-peristiwa alamiah itu, dan kemudian diekspresikan secara budayawi dalam lingkungan komunitasnya.

Dalam konteks pergumulan dengan identitas keindonesiaan, agama Kristen, Islam, Katolik, Hindu dan Buddha, terakhir Konghucu adalah "agama-agama internasional" yang datang ke kawasan ini sejak dulu kala. Islam dari Tanah Arab, Kristen dan Katolik dari negeri Eropa setelah migrasi dari Timur Tengah, Hindu dan Budhha dari negeri India, dan Konghucu dari negeri China, semula mereka adalah "agama asing" yang tidak dikenal oleh penduduk pribumi di negeri ini. Kini mereka

Page 59: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 363

mendapat tempat; mempribumi, mengkonteksstualisasi, nyaris menggantikan agama lokal penduduk pribumi, bahkan menjadi identitas nasional yang diakui secara resmi oleh negara.

Pertanyaannya kemudian, apa keunggulan agama-agama internasional yang mengglobal itu sehingga menjadi "identitas nasional" bagi bangsa Indonesia, bahkan berhasil menggantikan secara formal kedudukan agama lokal penduduk pribumi? Sebuah pertanyaan yang sensitif sehingga membutuhkan jawaban yang tidak sesederhana yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, dan memerlukan sikap kehati-hatian dalam meresponnya. Mungkin juga agama-agama itu memiliki keunggulan doktrinal karena doktrin atau ajarannya yang bersifat mendunia itu mendorongnya ikut berperan membentuk ideologi negara kebangsaan, mungkin juga agama-agama ini memiliki ritual peribadatan yang dokmatik yang terdokumentasi dalam kitab sucinya masing-masing, mungkin juga mempunyai konsepsi ketuhanan yang jelas dan absolut jika dibandingkan dengan agama lokal dari para luluhur penduduk pribumi. Itulah mungkin keunggulan agama-agama tersebut yang kini telah bertransformasi menjadi agama nasional, dan berperan membangun peradaban Indonesia. Peran mereka tidak hanya ditunjukkan dalam berkontestasi, tetapi juga berekspresi mewarnai khasanah kebudayaan Nusantara sebagai wilayah kebudayaan yang selalu terbuka karena memang letak geo-sosialnya yang terbuka

Page 60: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

364 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dalam bentuk gugusan pulau yang terpisah, namun saling terhubung oleh lautan.

Persoalannya lagi yang muncul, ialah bagaimana dengan identitas kebudayaan pemeluk agama-agama ini dalam konteks keindonesiaan sebagai bagian dari dunia yang terglobalisasi? Apakah memiliki dua identitas sekaligus, yakni identitas keindonesiaan di mana dirinya tumbuh, dan identitas dari negeri asal agama-agama ini lahir pertama kali? Apakah yang pemeluk Islam selain memiliki identitas keindonesiaan, juga identitasnya berkiblat ke Timur Tengah? Begitu pula yang beragama Kristen dan Katolik, apakah mereka juga beridentitas dengan kiblat ke Eropa, selain beridentitas keindonesiaan? Begitu pula dengan pemeluk Hindu dan Buddha, apakah mereka juga beridentitas yang berkiblat ke negeri India, selain Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan refleksi budayawi ini menjadi siginifikan untuk memahami jatidiri masyarakat yang tinggal di alam kebudayaan Nusantara yang kebudayaannya ternyata juga dibentuk oleh unsur-unsur internasional yang telah menjadi kekayaan lokal itu, dan itu sejak dulu kala, sehingga memerlukan perhatian yang serius dalam rangkaian proses pengayaan identitas kebangsaan Indonesia di tengah percaturan global.

Sebagaimana kehadiran globalisasi yang serta merta menghadirkan konsep negara bangsa (nation state), pada akhirnya melahirkan kosekuensi sosial bahwa identitas agama dan ras (suku) tidak dapat menjadi identitas

Page 61: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 365

(politik) kebangsaan, kenapa? Oleh sabab identitas agama dan ras cenderung menciptakan diskriminasi kemanusiaan, terutama terhadap yang berbeda dengan dirinya dan dalam simbolisme dan primordialisme yang menutupi interaksinya, terlebih jika menyangkut perbedaan teologi dan dokmatika, sehingga kehilangan nilai religiusitasnya. Oleh karena itu identitas agama dan ras hendaknya bertumpu pada substansi identitas itu yang menjadi sumber nilai dan pengalaman penganutnya yang bersifat universal dan luhur bagi kemanusiaan.53

Sumber nilai dan pengalaman ini yang terus diperjuangkan oleh umat manusia yang memeluknya sehingga sejalan dengan falsafah bangsa (Pancasila) dan dapat memperkaya identitas kebangsaan Indonesia. Akan tetapi identitas kebangsaan itu tidak dapat terdiri dari nilai-nilai substansial identitas saja, melainkan perlu dibungkus dengan form, simbol, atau logosentrisme yang melampui identitas agama dan ras itu. Tanpa simbol yang mengikatnya, nilai-nilai identitas nasional akan memudar dan hilang ditelan oleh perubahan zaman, seperti masuknya ideologi-ideologi baru, gagasan-gagasan baru yang lebih materialistik yang tidak sejalan dengan semangat awal identitas kebangsaan Indonesia itu lahir. Demikianlah kedudukan agama dan ras atau etnik menjadi sumbangsih yang berharga bagi bangunan nilai-niai kebangsaan sebuah negara dan bangsa, serta

53 Manuel Castells, The Power of Identity, (UK: Blackwell Publishing, 2005), 6..

Page 62: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

366 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

disitulah manusia dapat membela negara dan bangsanya di tengah arus globalisasi dewasa ini, terutama dalam menegakkan keadilan, perdamaian dan kesejahteraan, yang tentu saja sejalan dengan ajaran agama yang dihayatinya.

Arus globalisasi saat ini sebenarnya tidak hanya sebuah fenomena alamiah dalam sejarah, yang berarati proses penyatuan dunia yang beragam menjadi satu dalam kekuatan kebudayaan, ekonomi dan politik yang mendunia (kapitalisme). Tetapi juga bermakna lahirnya kekuatan politik, ekonomi dan kebudayaan lokal yang menghasilkan keragaman global. Keragaman global ini menciptakan kesadaraan manusia untuk tidak hidup dalam dunianya sendiri, melainkan berinteraksi dan berkolaborasi dalam ruang yang luas dan terbuka. Ini artinya globalisasi telah menjadikan dunia yang datar ini sebagai lapangan permainan yang luas dan terbuka. Manusia berinteraksi karena tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat yang bersifat vertikal, seperti struktur ekonomi, politik, dan kebudayaan besar, melainkan bersifat horisontal, yakni mendatar.

Kehadiran globalisasi, dengan demikian telah menggempur tembok-tembok yang membatasi manusia dalam berinteraksi dan meraih kesuksesan dan cita-cita hidupnya. Ini artinya pada masa lalu yang menjadi kekuatan globalisasi adalah strukur negara dan sruktur ekonomi dan politik raksasa yang bersifat hirarkial dan ekspansif. Kini aktor globalisasi itu adalah diri manusia

Page 63: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

Respon Globalisasi 367

sendiri sebagai makhluk yang berdimensi global. Kenapa manusia menjadi aktor globalisasi? Karena manusia adalah makhluk berbudaya yang dianugerahi Tuhan dengan keunggulan, kecerdasan berfikir, kemampuan berkreasi dan berinteraksi, dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan jalan bagi manusia-manusia itu untuk menjadi aktor global. Dengan kecerdasan dan kreativitasnya, manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang menghuni dalam unit-unit sosial, ruang-ruang lokal dan wilayah yang terkecil sekalipun dapat dikenal dunia hanya karena secara kreatif dan berwawasan mendunia, ia mampu memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi, seperti medsos dan internet, bahkan dapat melakukan aktivitas bisnis dan berkolaborasi dalam mengekspresi identitas agama dan kebudayaan lokalnya yang dipelajari dari kehidupan leluhurnya.

Jadi pada akhirnya, globalisasi hadir dengan membalikkan semua batas-batas vertikal dunia dan manusia, ia telah meratakan jalan yang mendorong manusia yang hidup dalam ruang-ruang lokal itu dapat berkreasi secara otonom dan cepat dalam mewarnai kemajuan dunia global. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena kekuatan globalisasi kini tidak lagi dimonopoli oleh negara-negara besar, tidak pula dimonopoli oleh kekuatan ekonomi raksasa yang seringkali menciptakan ketidakadilan dunia, melainkan diri manusia sendiri yang hidup dalam ruang lokalitas, sebagai kekuatan bio-

Page 64: 07 BAB VI RESPIONSI GLOBALISASI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/6/D_762008001_BAB VI.pdfsecara dangkal sebagai struktur ideologi sehingga nyaris

368 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

regional dalam dunia yang telah diratakan oleh globalisasi. Dan manusia Indonesia dengan perbedaan primordial agama, suku dan kebudayaannya yang hidup di wilayah-wilayah pariferal peradaban dunia, dan seringkali terabaikan dalam peta dunia itu dapat bangkit dalam kesadaran kebangsaannya untuk berkontribusi memperkaya arti dan dinamika globalisasi.