013.A-hal 104-111.pdf

download 013.A-hal 104-111.pdf

of 8

Transcript of 013.A-hal 104-111.pdf

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    104

    EVALUASI PENERAPAN SISTEM PERTANIAN TERPADU BERBASIS SAPI POTONG DI DELAPAN LOKASI DENGAN LETAK GEOGRAFIS YANG

    BERBEDA

    Hardi Julendra, Andi Febrisiantosa, Ema Damayanti, Satriyo Krido Wahono, M. Faiz Karimy, Lusty Istiqomah, Hendra Herdian

    UPT. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), LIPI Jl. Jogja Wonosari Km. 31, Gading, Playen Gunungkidul, Yogyakarta

    Telp/Faks : 0274-392570 / 0274 - 391168 e-mail : [email protected]

    ABSTRAK

    Dilakukan evaluasi sistem pertanian terpadu berbasis peternakan yang telah diterapkan di beberapa lokasi dengan kondisi geografis dan ketersediaan sumber daya alam yang berbeda. Daerah dataran tinggi bersuhu sejuk (1500- 2500 m dpl) diwakili oleh wilayah Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah dan Tanah Datar di Sumatera Barat. Dataran rendah daerah pesisir, bersuhu panas kering diwakili oleh Belu di Nusa Tenggara Timur, Kaur di Bengkulu, Bantul dan Gunungkidul di D.I.Yogyakarta (0- 600 m dpl), sedangkan dataran sedang bersuhu sedang diwakili oleh Purwokerto (600- 1500 m dpl). Evaluasi dilakukan terhadap keberlangsungan sistem di tempat yang berbeda secara geografis. Konsep pertanian terpadu yang diterapkan adalah budidaya sapi pedaging dan bibit, penerapan biogas dari kotoran sapi, pengolahan pupuk organik dari limbah biogas, budidaya tanaman pangan dan budidaya hijauan sebagai sumber pakan serta pengawetan pakan melalui teknik silase. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa terjadi perbedaan produktifitas dari sistem pertanian terpadu yang diterapkan di masing masing wilayah. Perbedaan tersebut karena ketersediaan sumber pakan, pola beternak sapi, pola penanganan biogas dan penanganan pupuk organik, sehingga memiliki keterbatasan yang berbeda dalam produktifitas budidaya sapi. Perbedaan produktifitas tersebut dengan introduksi beberapa teknologi terkait pertanian terpadu tidak mempengaruhi keberlangsungan usaha sistim pertanian terpadu. Melalui penerapan sistem pertanian terpadu berbasis sapi potong, usaha ternak dan tani dapat dilakukan secara simultan. Efisiensi usaha dapat dilakukan karena memanfaatkan limbah hasil usaha yang satu untuk digunakan sebagai input bagi usaha yang lain tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi. Penerapan sistem biogas dalam sistem pertanian terpadu dapat menurunkan tingkat polusi yang dihasilkan dari usaha peternakan (ramah lingkungan) sekaligus menghasilkan sumber energi yang dapat menunjang kegiatan usaha di sektor yang lain dalam satu lokasi. Kata kunci : pertanian terpadu, sapi, biogas, pakan

    PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk,

    urbanisasi dan kenaikan pendapatan di Negara Negara berkembang menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan sumber pangan asal hewan seiring dengan terjadinya kompetisi lahan untuk budidaya tanaman dan peternakan (IFAD, 2004). Konsumsi protein daging per kapita di Indonesia mencapai 3,41 g/kapita pada tahun 2012

    meningkat dari 2,55 g/kapita pada tahun 2010 (BPS, 2013a). Populasi sapi potong juga meningkat seiring kebutuhan yaitu 14,8 juta ekor pada tahun 2011 meningkat dari 12,2 juta ekor pada tahun 2008 (BPS, 2013b). Akan tetapi kondisi terbalik dengan luas lahan pertanian yang ada di Indonesia. Luas lahan pertanian RTP (Rumah Tangga Pertanian) di Indonesia pada tahun 2013 mengalami penurunan 16,8

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    105

    % dibandingkan luas lahan pada tahun 2010 (BPN, 2013). Akibatnya terjadi krisis pakan ternak di beberapa tempat wilayah sentra- sentra peternakan di Indonesia.

    Revolusi di dunia peternakan ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi ternak tetapi mengurangi seminimal mungkin dampak negative pada lingkungan. Pertanian konvensial telah diketahui banyak menyebabkan penurunan kesuburan tanah karena pemupukan yang intensif khususnya pada daerah marginal. Pada saat yang sama juga diupayakan agar sumber daya alam tetap lestari. Konsep system integrasi tanaman dan ternak memberikan solusi untuk meningkatkan produktivitas ternak dan tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penggunaan bahan. Peningkatan kebutuhan akan lahan dan kenaikan kebutuhan akan produk ternak membuat hal itu menjadi makin penting untuk dapat memastikan penggunaan sumber pakan yang efektif termasuk limbah pertanian. Sistem pertanian terpadu menerapkan seminimal mungkin penggunaan bahan untuk mendapatkan keuntungan yang layak dan tinggi dan level produksi berkelanjutan dengan meminimalkan efek negative pertanian dan menjaga lingkungan (IFAD, 2004).

    Beberapa petani di Negara tropis dan sub tropis telah menerapkan manajemen terpadu budidaya tanaman dan ternak. Pada system ini limbah tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk tanaman (van Keulen and Schiere, 2004). Konsep pertanian terpadu di Indonesia sudah mulai banyak diterapkan. UPT BPPTK LIPI Yogyakarta sudah menginisiasi kegiatan IFS sejak tahun 2006 di beberapa wilayah yaitu Belu NTT (Julendra dkk., 2007), Gunungkidul D.I.Yogyakarta (Febrisiantosa dkk, 2007), Banyumas Jawa Tengah (Istiqomah dkk., 2010), Kaur Bengkulu, Tanah Datar Sumatera Barat dan wilayah lainnnya seperti Temanggung dan Wonosobo Jawa Tengah. Konsep yang diterapkan

    mengintegrasikan peternakan sapi potong dan sapi bibit dengan pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk organik. Suplai pakan didapatkan dari limbah pertanian yang ditingkatkan nilai nutrisinya dengan proses silase. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan system pertanian terpadu yang telah diterapkan di wilayah wilayah tersebut dengan memperhatikan faktor faktor yang mungkin berpengaruh pada keberhasilan maupun kegagalan penerapan sistem pertanian terpadu.

    METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan

    membangun usaha peternakan dan pertanian terpadu berkonsep terintegrasi di beberapa daerah dengan tipologi geografis yang berbeda di wilayah Indonesia. Lokasi tersebut adalah Wonosobo, Temanggung dan Tanah Datar (wilayah dataran tinggi atau pegunungan), Banyumas, Belu dan Gunungkidul (wilayah dataran sedang), serta Kaur dan Bantul (wilayah dataran rendah dan panas). Desain sistem pertanian terpadu yang dibangun adalah berbasis ternak sapi potong diintegrasikan dengan usaha tanaman pertanian atau perkebunan disesuaikan dengan potensi lokal daerah tersebut. Kotoran ternak yang merupakan limbah hasil usaha peternakan diproses terlebih dahulu menggunakan teknologi Biogas guna menghasilkan pupuk yang merupakan input bagi sistem produksi tanaman pertanian atau perkebunan. Skala yang dibangun disesuaikan dengan potensi ternak yang tersedia, yaitu berkisar antara 5 sampai 200 ekor ternak sapi potong. Skala unit biogas yang dibangun disesuaikan dengan jumlah kotoran yang dihasilkan, yaitu dengan kapasitas 3 27 meter kubik. Penerapan sistem pertanian terpadu berbasis sapi potong di masing masing wilayah kemudian dikarakterisasi dan diamati keberlanjutan sistem yang diterapkan dan usaha yang dijalankan. Data yang didapat dianalisis secara deskriptif.

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    106

    HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep pertanian terpadu yang

    diterapkan ditampilkan pada Gambar 1. Ternak yang dipelihara adalah ruminansia besar khususnya sapi. Sapi yang dipelihara umumnya jenis sapi lokal (peranakan Ongole dan sapi Bali) dan sapi keturunan (Simental). Pemeliharaan ditujukan untuk penggemukan dan pembibitan. Pembibitan umumnya menggunakan inseminasi buatan yang dilakukan oleh mantra hewan setempat. Pemeriksaan dan konsultasi kesehatan umumnya telah dilakukan oleh mantri hewan di bawah koordinasi Dinas Peternakan setempat. Kotoran yang dihasilkan dari ternak sapi yang umumnya sekitar 10 20 kg kotoran segar. Penerapan sistem pertanian terpadu merupakan salah satu

    upaya untuk mewujudkan suatu sistem pertanian berkelanjutan yang mandiri dan ramah lingkungan. Salah satu potensi aplikasi teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam rangkaian sistem tersebut adalah diimplementasikannya teknologi biogas. Teknologi ini sudah dikenal lama dan ramah lingkungan. Melalui teknologi ini, dalam satu proses yang berlangsung, limbah hasil kegiatan beternak dapat dikonversi menjadi gas metana sebagai sumber energi sekaligus menghasilkan produk lain yaitu pupuk organik (Febrisiantosa dkk., 2007). Hasil samping dari biogas dihasilkan limbah padat dan limbah cair (sluri), yang keduanya dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.

    Gambar 1. Konsep pertanian peternakan terpadu yang berbasis ternak sapi

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    107

    Hasil yang didapat menunjukkan bahwa produksi biogas yang dihasilkan dari 2 ekor sapi jenis Peranakan Ongole adalah rata-rata 201 liter/hari dari total input/hari 30 kg feses. Jumlah sludge padat dan cair yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan pemupukan organik. Jumlah sludge (pupuk organik) yang dihasilkan melalui proses biogas dari dua ekor sapi adalah 92,5 kg dengan total padatan 7%. Pupuk organik dibuat dari sludge biogas yang keluar dalam bentuk lumpur (slurry), untuk itu dilakukan upaya untuk mendapatkan pupuk padat dan cair (Febrisiantosa dkk., 2007). Metoda

    yang dilakukan adalah dengan melaklukan pemisahan sludge antara padat dan cair dengan carta pengendapan dan penyaringan. Padatan diendapkan satu malam dan cairannya disaring (Julendra dkk, 2009). Pada Tabel 1 ditampilkan data penerapan biogas dalam konsep IFS pada beberapa lokasi di Indonesia. Besarnya kapasitas digester biogas disesuaikan dengan jumlah dan jenis sapi yang dibudidayakan. Digester biogas yang digunakan umumnya tipe floating roof. Tipe ini dipilih karena lebih mudah pembuatan dan perawatannya serta lebih murah biaya pembuatannya.

    Tabel 1. Tipe Digester Biogas dibeberapa lokasi IFS

    Lokasi Tipe biogas

    Volume digester

    Volume gas

    Produk pupuk organik

    Jenis Tanaman Budidaya

    Wonosobo, Jawa Tengah

    Floating Roof

    6 m kubik 4000 liter Langsung ke lahan Singkong

    Temanggung, Jawa Tengah

    Floating roof

    10 m kubik

    Nd Difermentasi menjadi pupuk padat dan cair

    Tembakau, padi

    Banyumas, Jawa Tengah

    Floating roof

    3 m kubik Nd Langsung dialirkan ke lahan

    Sayuran, rumput

    Belu, NTT Floating roof

    27 m kubik

    5,2 liter/ menit

    Langsung dialirkan ke lahan

    Palawija

    Kaur, Bengkulu

    Floating roof

    3 m kubik Nd Langsung dialirkan ke lahan

    Sawit

    Tanah Datar, Sumatera Barat

    Fix Dome* 7 m kubik 2 liter/menit

    Diproses fermentasi menjadi pupuk padat dan pupuk cair

    Rumput, padi, sayuran

    Gunungkidul, D.I.Yogyakarta

    Floating roof

    12 m kubik

    Nd Langsung dialirkan ke lahan

    Rosella

    Bantul, D.I.Yogyakarta

    Tanpa digester biogas

    - - Diproses fermentasi menjadi pupuk padat

    Usaha pupuk organik dan kebun

    Pisang dan Jati

    * Hasil introduksi dari Dinas Pertanian Sumbar

    Dari Tabel 1. di atas diketahui bahwa setiap daerah dengan kondisi geografis berbeda ternyata disamping

    berternak memiliki keinginan yang berbeda dalam memanfaatkan sistem ini. Daerah- daerah yang subur cenderung

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    108

    memanfaatkan slurry biogas untuk dijadikan pupuk organik, tetapi daerah yang kurang subur membuang slurry biogas langsung kelahan pertaniannya. Hal ini dilakukan supaya lahan pertaniannya dapat dialiri sumber pupuk dan air secara kontiniu. Manajemen yang lebih tertata telah diterapkan oleh Kelompok Ternak Ngudi Rejeki Bantul dimana kotoran sapi yang dikoleksi pada pagi dan sore hari dikumpulkan dalam tempat tersendiri dan diformulasi dengan bahan tambahan untuk dijadikan pupuk organik siap jual (komunikasi langsung dengan ketua kelompok). Agak berbeda dengan UMKM Tanjung Lurah,

    Salimpaung, Tanah Datar, Sumatera Barat proses pembuatan pupuk organik ditambahkan serbuk gergaji, abu arang sekam, dedak, kulit kakao, batang pohon pisang, kapur, daun Titonia dan inokulum kapang Tricoderma untuk difermentasi selama 1 minggu. Dalam satu batch fermentasi diproses sebanyak 4 ton/minggu. Proses fermentasi berlangsung 3 tahap masing masing selama 1 minggu dan dilanjutkan proses penggeringan dan penggilingan serta pengemasan (komunikasi langsung dengan Bapak Yon Nasri/ pemilik usaha).

    Tabel 2. Karakteristik konsep pertanian terpadu yang diterapkan di beberapa wilayah Lokasi Letak

    geografis Sumber pakan

    Jenis sapi Jumlah peternak

    Populasi sapi

    Taraf Pendidikan

    SDM

    Tahun Penerapan

    IFS Wonosobo, Jawa Tengah

    Pegunungan Rumput Hijauan

    Ongole dan Simental

    1 5 10 ekor SLTP 2009

    Temanggung, Jawa Tengah

    Pegunungan Hijauan, ampas bir

    Ongole dan simental

    1 15 ekor Sarjana 2009

    Banyumas, Jawa Tengah

    Dataran tinggi

    Hijauan, limbah pertanian

    Ongole dan Simental

    2 20 ekor SMA, Sarjana

    2010

    Belu, NTT Dataran rendah

    Padang rumput

    Sapi Bali 1 200 ekor Diploma 2007

    Kaur, Bengkulu

    Dataran rendah

    Hijauan dan pelepah sawit, alang-alang, dedak

    Ongole 1 10 ekor Sarjana 2013

    Tanah Datar, Sumatera Barat

    Dataran tinggi, basah

    Hijauan, jerami, kulit kakao, dedak

    Simental 10 90 ekor SD - SMA 2013

    Berjiharjo, Gunungkidul

    Dataran tinggi, kering

    Hijauan, limbah pertanian (rending, jerami)

    Peranakan ongole dan Simental

    1 5 ekor Sarjana 2006

    Bantul, D.I.Y Dataran rendah

    Jerami, rumput, dedak, onggok,

    Peranakan Ongole, Simental

    15 50 ekor SMA 2010

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    109

    Pupuk organik digunakan untuk berbagai macam tanaman pertanian seperti ditampilkan pada Tabel 2. Budidaya tanaman hortikultura (khususnya sayuran organik) dengan metode vertikultur sangat tepat untuk menopang kebutuhan sumber pangan dengan memanfaatkan pupuk cair yang dihasilkan dari peternakan dan sebagai upaya efisiensi pertanian pada lahan yang terbatas (Julendra dan Kali Taek, 2009). Tanaman pertanian yang dibudidayakan disesuaikan dengan kebutuhan, lokasi dan kondisi geografis setempat. Konsep vertikultur yang lebih tertata telah diterapkan di UMKM Pondok Pesantren Roudlotul Huda dan Berkah Farm di Sokaraja, Banyumas yang memanfaatkan limbah cair dari proses biogas. Hasil IPTEKDA UPT.

    BPPTK LIPI di Sokaraja Banyumas telah berhasil menerapkan sistem pertanian organiuk dengan menggunakan sistem vertikultur dengan menggunakan media tanam berupa tanah, limbah biogas padat, sekam, dan abu sekam dengan perbandingan masing-masing 7:7:3:3. Media penyiraman tanaman menggunakan limbah cair biogas dengan sistem tetes dari selang berlubang kecil ke dalam pot tanaman. Bibit tanaman yang ditanam yaitu sawi, kangkung, dan seledri dan telah tumbuh dalam jangka waktu 2 minggu setelah penyemaian. Lahan pertanian organik pada tahap awal cukup membutuhkan lahan berukuran 2x3 m (Istiqomah, 2011).

    Gambar 2. Sistem irigasi tetes memanfaatkan limbah cair biogas Istiqomah, 2011)

    Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan IFS diantaranya adalah faktor sumber daya alam, lingkungan dan sumber daya manusia. Faktor sumber daya alam yaitu tersedianya ternak sapi potong sebagai sumber penghasil kotoran guna diolah menjadi pupuk bagi pertanian. Sumber daya manusia yang tersedia sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha pertanian terpadu ini. Budaya etos kerja yang tinggi dapat menunjang keberhasilan penerapan usaha terpadu ini. Lingkungan memberikan pengaruh karena dapat mempengaruhi kinerja unit

    biogas yang dibangun, kondisi lingkungan yang mendukung proses biogas adalah ketersediaan air dan suhu yang ideal untuk proses fermentasi di dalam digester biogas.

    Beberapa kajian memperlihatkan pengaruh SDM pada keberhasilan program introduksi terknologi. Hutagalung (2011) menyebutkan bahwa program penyuluhan pertanian terkait dengan karakteristik social ekonomi petani yang keberhasilannya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas lahan dan produksi, sedangkan lamanya usaha dan

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    110

    jumlah tanggungan keluarga tidak memiliki pengaruh signifikan. Peran kelembagaan pertanian/peternakan juga memiliki peran signifikan dalam menentukan keberhasilkan pertanian / peternakan. Pada saat penerapan teknologi sudah diaplikasikan pada masyarakat, kelembagaan penyuluhan pertanian memeliki peran. Payung (2013) dalam hasil surveinya menyebutkan bahwa kelembagaan pertanian memiliki peran penting dalam optimalisasi penerapan teknologi di daerah.

    Kondisi geografis juga sangat mempengaruhi keberhasilan program IFS. Survei dan pemetaan lokasi menjadi pada saat sebelum diterapkan IFS sangat penting sebagai dasar pemilihan jenis tanaman dan ternak yang akan dibudidayakan. Sumanto dan Juarini (2004) menyebutkan bahwa kesesuaian lahan bagi ternak merupakan salh satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan peningkatan produktivitas ternak, terutama ruminansia. Ini berarti bahwa tidak semua kondisi lahan dipermukaan bumi ini akan sesuai bagi kehidupan ternak ruminansia. Melalui pendekatan perpaduan kondisi agroklimat dan penggunaan lahannya serta produktivitas tanaman pangan dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan dana arah pengembangan lahan bagi ternak ruminansia dapat ditentukan.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Melalui penerapan sistem pertanian terpadu berbasis sapi potong, usaha ternak dan tani dapat dilakukan secara simultan. Efisiensi usaha dapat dilakukan karena memanfaatkan limbah hasil usaha yang satu untuk digunakan sebagai input bagi usaha yang lain tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi. Penerapan sistem biogas dalam sistem pertanian terpadu dapat menurunkan tingkat polusi yang dihasilkan dari usaha peternakan (ramah lingkungan) sekaligus menghasilkan sumber energi

    yang dapat menunjang kegiatan usaha di sektor yang lain dalam satu lokasi.

    DAFTAR PUSTAKA

    BPS. 2013a. Rata-rata Konsumsi Protein (gram) per Kapita Menurut Kelompok Makanan 1999, 2002 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=05&notab=4

    BPS. 2013b. Populasi Ternak (000 ekor) 2000-2011. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=24&notab=12.

    BPN. 2013. Luas lahan rumah tangga pertanian Indonesia 2003 2013.

    IFAD, 2004. Integrated crop-livestock farming systems. www.ifad.org/lrkm/factsheet/integratedcrop.pdf

    van Keulen, H. and H. Schiere. 2004. Crop-livestock systems: old wine in new bottles? "New directions for a diverse planet". Proceedings of the 4th International Crop Science Congress, 26 Sep 1 Oct 2004, Brisbane, Australia. Published on CDROM. Web site www.cropscience.org.au.

    Febrisiantosa, A., R. Maryana, P. I. Pudjiono, H. Herdian. 2007. Implementasi Teknologi Biogas Sebagai Penyedia Energi dan Pupuk Organik Pada Rumah Tangga Petani di Pedesaan. Prosiding Seminar Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemanfaatan Bahan Baku Lokal, Yogyakarta 5 Desember 2007.

    Julendra, H., Putut Irwan Pudjiono, Roni Maryana. 2007. Pemanfaatan Kotoran Sapi sebagai Energi Alternatif dan Pupuk Organik Dalam Rangka Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu. Prosiding Nasional Implementasi Hasil Hasil Riset.

  • Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan LIPI 2013

    111

    UPT. BPPTK LIPI, BPTP Yogyakarta dan UGM.

    Istiqomah, L. 2011. Laporan Kemajuan Tahap Akhir. IPTEKDA XIV. Penguatan Program Penggemukan Ternak Sapi Potong Dengan Sistem Kereman Di Wilayah Kecamatan Sokaraja, Purwokerto, Jawa Tengah.

    Julendra, H. Dan J. Kali Taek. 2009. Model Pertanian Terpadu Pengembangan Sapi Bali (Bos taurus) di Lahan Marginal. Prosiding Nasional Implementasiu Hasil Hasil Riset. UPT. BPPTK LIPI, BPTP Yogyakarta dan UGM.

    Payung, M., J. Muhidong dan Daniel. 2013. Peranan Sumber Daya Manusia Dan Kelembagaan Penyuluhan Dalam Peningkatan Produksi Tanaman Pangan Untuk Keberlanjutan Ketahanan

    Pangan Daerah Di Merauke. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/4fd787e699e40731ff4b78ace335d3b7.pdf

    Sumanto dan E. Juarni. 2004. Potensi kesesuaian lahan untuk pengembangan ternak ruminansia di propinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004.

    Hutagalung, R. H. 2011. Evaluasi terhadap petani peserta program penyuluhan pertanian SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu). Skripsi Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.