sonnymarta.files.wordpress.com file · Web viewYang melatar belakangi membuat makalah dengan judul...
Transcript of sonnymarta.files.wordpress.com file · Web viewYang melatar belakangi membuat makalah dengan judul...
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Jl. Raya Telang PO BOX 2 Kamal – Bangkalan 69162
Telp. (031) 3011146. Fax. (031) 3011508
Website : www.trunojoyo.ac.id E-mail : [email protected]
Disusun Oleh :
SONNY MARTA M09.01.111.00098
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT.
Karena atas izin, taufiq dan hidayahnya jualah penyusun makalah yang berjudul
“PENGULANGAN TINDAK PIDANA ( RECIDIVE )” ini dapat penulis selesaikan.
Selanjutnya salawat salam tak lupa pula penulis tujukan keada Nabi
Rasujhfsdjl Muhammad SAW, beserta keluarga dan pengikutnya sekalian. Yang
mana beliau telah mewariskan dua pusaka yang tak ternilai untuk kebaikan manusia
di dunia wal akhirat.
Saya sadar sepenuhnya bahwa makalah yang saya buat ini jauh dari
sempurna, maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak untuk penyempurnaan makalah saya selanjutnya.
Kamal, 05 Juli 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Yang melatar belakangi membuat makalah dengan judul Pengulangan Tindak
Pidana ( Recidive ), ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum Pidana
Fakultas Hukum Semester II – Universitas Trunojoyo, dengan tujuan untuk
mengetahui dan memahami salah satu bab mengenai tentang Pengulangan Tindak
Pidana ( Recidive ).
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah
dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti
dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun
dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai
contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive
pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana
penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun
diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa
kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian,
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan
pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Rumusan Masalah
1. Definisi Recidive
2. Recidive kejahatan dan beserta unsur-unsurnya
3. Recidive pelanggaran
4. Dan tujuan penghukuman beserta teori yang ada
Tujuan Permasalahan1. Agar dapat memahami tentang pengertian Recidive
2. Untuk memahami Recidive kejahatan dan unsur-unsurnya
3. Untuk Memahami Recidive Pelanggaran yang ada pada Buku II KUHP
4. Untuk mengetahui tujuan penghukumannya
BAB II
PEMBAHASANA. Definisi Recidive
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi pada dalam hal seorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana
lagi. Recidive ini menjadi alasan untuk memperberat pemidanaan.
Sistem Pemberatan Pidana Berdasarkan RecidiveSistem pemberatan pidana berdasarkan recidive dibagi menjadi dua yaitu :
Recidive Umum
Dalam sistem ini dianut bahwasanya setiap pengulangan terhadap jenis
tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk pemberatan pidana. Dalam sistem ini tidak dikenal adanya
daluarsa recidive.
Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur KejahatanRecidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive ( kejahatan-kejahatan
tertentu ), yang membedakan antara lain :
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan yang sejenis
Mengenai hal tersebut diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal
tertentu dalam buku II KUHP, yaitu pasal 137 ayat 2, 144 ayat 2, 157 ayat 2,
161 ayat 2, 163 ayat 2,208 ayat 2, 216 ayat 3, 321 ayat 2, 293 ayat 2, dan
303 bis ayat 2.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kelompok
jenis.
Yang termasuk recidive jenis ini diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Menurut Edwin: H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :
Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana.Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja
atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.Harus ada maksud jahat ( mens rea )Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-
undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma
dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.
b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang.
Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.
Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan.
C. Recidive Pelanggaran
Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi
dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492,
495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran adalah sebagai
berikut :
Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran
yang terdahulu.
Harus sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk
pelanggaran terdahulu.
Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya
putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541,
544, 545, dan 549.
Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.
Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali
muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \
hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak
puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam
menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh
Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya
pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang
sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan
hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri
diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak
pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan
siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi
manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap
manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan
mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh
karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat
dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolutTokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara
lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu
konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan,
maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah
hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari
hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi
dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan
bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam
bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil
kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis',
sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah
diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran
mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian
teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada
hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi
dan disertai nafsu membalas.
b. Teori relatif atau teori tujuanPara penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan,
dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan
penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan
yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian
mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu
menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan
pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi
pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi
umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri
untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya
menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah
dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka
yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga
pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori GabunganMenurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan
unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat
itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu
berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau
menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat
kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar
mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus
diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan.
Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
Daftar Pustaka
Muhammad, Gerry R, KUHP & KUHAP, Permata press, 2007.
Prof, Dr, Prodjodikoro Wirjono SH, Asas-asas HUKUM PIDANA Di Indonesia, retika
aditama, 2003
Windari. Rusmilawati SH MH, Buku Ajar Hukum Pidana, Bangkalan, 2009.
www.google.com artikel pengulangan tindak pidana.
www.google.com Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung,
1969.
www.google.com Recedive.