umpalangkaraya.ac.idumpalangkaraya.ac.id/dosen/adyferdian/wp-content/uploads/2019/01/... · Web...
Transcript of umpalangkaraya.ac.idumpalangkaraya.ac.id/dosen/adyferdian/wp-content/uploads/2019/01/... · Web...
FILSAFAT PENDIDIKAN YANG BERKEMAJUAN
A. Perkenalan Filsafat
Filsafat diperkenalkan melalui peristiwa atau kejadian. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi di alam semesta ini menimbulkan pertanyaan apakah yang
sebenarnya terjadi dan apakah yang menjadi asal dari segala yang ada dalam alam
ini. Beberapa orang filsuf Yunani sekitar abad ke-4 sampai abad ke-2 SM telah
berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang amat mendasar tentang
apakah asal mula atau dasar dari segala yang ada dalam alam ini. Hal ini pulalah
yang menjadi pertanyaan dan pemikiran bagi beberapa orang pada masa sekitar
600 - 200 tahun Sebelum Masehi (SM) di Yunani. Dimulai dari Thales dari
Miletus yang diperkirakan hidup antara tahun 624 - 548 SM dianggap sebagai
orang pertama yang berupaya mencari jawaban atas pertanyaan tentang asal
segala benda alam ini. ia berpendapat bahwa asal segala yang ada ialah air. Air
yang senantiasa bergerak dan tidak pernah diam dipandangnya sebagai asas
kehidupan segala yang ada. Kemudian, Anaximenes yang hidup antara tahun 585
- 528 SM berpandangan bahwa yang menjadi dasar bagi semua benda dan
kehidupan di alam ini ialah udara. Pandangan ini dikemukakannya dengan
landasan pemikiran bahwa manusia dan semua makhluk hidup itu bernapas,
yaitu mengambil udara yang melingkupi alam semesta. Lalu, Herakleitos yang
hidup sekitar tahun 540 – 480 SM berpendapat bahwa tidak ada yang kekal di
alam ini. Segala sesuatu tentu mengalami perubahan. Jadi, hakikat segala sesuatu
itu ialah perubahan itu sendiri. Perubahan dilambangkan sebagai sifat api. Oleh
karenanya, ia berpendapat bahwa dasar segala sesuatu ialah api. Adapun
perubahan itu berlaku di bawah suatu hukum yang disebutnya logos, artinya
1
pikiran yang benar. Kata logika yang Anda kenal sekarang ini berasal dari kata
logos itu. Anda yakin bahwa yang kekal itu adalah Tuhan pencipta alam semesta
ini. Orang yang berpikir itu menggunakan akalnya untuk mengetahui apa yang
menjadi dasar atau asal segala sesuatu atau hakikat sesuatu itu, serta hukum yang
mendasari perubahan yang terjadi padanya. Anda tentu dapat memahami bahwa
Herakleitos telah meletakkan dasar bagi dunia baru, yakni dunia pikiran yang
bernama logos yang bersifat kekal (Poedjiadi dan Al Muchtar, 2014).
Filsafat (dari bahasa Yunani φιλοσοφία, philosophia, secara harfiah
bermakna "pecinta kebijaksanaan") adalah kajian masalah umum dan mendasar
tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa.
Istilah ini kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Pythagoras (c. 570–495
SM). Tokoh Besar Filsafat di dunia ada tiga yaitu Scorates, Plato, dan Aristoteles.
Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 - 399 SM) adalah filsuf dari Athena,
Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis
Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli
filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah
guru Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. Semasa
hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulisan apapun sehingga
sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan muridnya, Plato.
Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates
sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal
sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya adalah berasal dari catatan Plato,
Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal
diantaranya adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis oleh
2
Plato. Dialog-dialog inilah yang menjadi dasar bagaimana cara berpikir Scorates.
Peninggalan pemikiran Socrates yang paling penting ada pada cara dia berfilsafat
dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan melalui satu
dialektika. Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi
pembuka jalan bagi para filsuf selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari
memikirkan alam menjadi manusia juga dikatakan sebagai jasa dari Sokrates.
Manusia menjadi objek filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh
para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran tentang manusia ini menjadi
landasan bagi perkembangan filsafat etika dan epistemologis di kemudian hari.
Berikutnya yaitu Plato. Plato (bahasa Yunani: Πλάτων) (427 - 347 SM)
adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues
dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di
dunia barat. Ia adalah murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi
oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Sumbangsih Plato yang
terpenting adalah pandangannya mengenai idea. Pandangan Plato terhadap idea-
idea dipengaruhi oleh pandangan Sokrates tentang definisi. Idea yang dimaksud
oleh Plato bukanlah ide yang dimaksud oleh orang modern. Orang-orang modern
berpendapat ide adalah gagasan atau tanggapan yang ada di dalam pemikiran saja.
Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Idea adalah dunia
yang melampaui manusia maka idea tidak tergantung pada pemikiran manusia,
melainkan pikiran manusia yang tergantung pada dunia idea. Idea adalah citra
pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah
ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita. Idea-idea ini saling berkaitan satu
dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas
3
dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea genap. Namun,
pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan idea-idea
tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala
idea yang ada.
Plato juga mempunyai pandangan tentang dunia indrawi dan idea. Dunia
indrawi adalah dunia nyata yang mencakup benda-benda jasmani yang konkret,
yang dapat dirasakan oleh panca indra kita. Dunia indrawi ini tiada lain hanyalah
refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Selalu terjadi perubahan dalam dunia
indrawi ini. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia jasmani ini fana, dapat
rusak, dan dapat mati. Dunia idea adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita.
Dalam dunia ini tidak ada perubahan, semua idea bersifat abadi dan tidak dapat
diubah. Hanya ada satu idea “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia idea semuanya
sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang
bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah
intelektual. Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran".
Aristoteles (bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 – 322 SM)
adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung. Ia
menulis tentang berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi,
logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan
Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang
paling berpengaruh di pemikiran Barat. Berlawanan dengan Plato yang
menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, Aristoteles menjelaskan
bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Pemikiran lainnya
adalah tentang gerak di mana dikatakan semua benda bergerak menuju satu
4
tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak
dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak
itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang
tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian
Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu
sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih
dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun
demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi,
eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Hal lain dalam kerangka
berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah silogisme yang dapat
digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran
yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis):
Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor).
Sokrates adalah manusia (premis minor)
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan mati
(Wikipedia).
Secara garis besar, filsafat adalah pandangan menyeluruh manusia melalui
cara berpikir untuk melihat kebenaran dengan suatu cara yang berasal dari teori
dan pengalaman empiris. Pernyataan itulah yang pertama kali muncul di kepala kita
ketika akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a). Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari
bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, suka (loving), dan ’sophia’ =
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan
atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan
5
menjadi bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti
‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak
semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”.
Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum
semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya (Kristiawan, 2016).
Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam berpikir, manusia terlihat dari aspek
kemanusiaannya jika dia memikirkan kemajuannya dan kemajuan kemajuan inilah salah
satu isyarat bahwa dalam proses berpikir manusia senangtiasa berupaya berbenah diri
untuk hari esok lebih baik dari hari ini, demikian pula pendidikan., pendidikan tidak akan
selangkah lebih maju jika hanya diterima apa adanya, namun perlu adanya perbaikan
dalam bentuk suatu upaya untuk proses berpikir secara mendalam.
Oleh karenanya dengan memahami filsafat dengan baik maka orang akan dapat
mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari. Filsafat
mengkaji dan memikirkan tentang hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis,
terpadu, universal dan radikal yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari
perkembangan ilmu-ilmu yang bersangkutan. Oleh karenanya yang membantu filsafat
pendidikan terlaksanan dengan baik, maka terdapat beberapa teori yang menjadi acuan
dalam menopang terselenggaranya pendidikan yang maksimal (Tola, 2014).
Filsafat adalah kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan
Penomenologi Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia
lengkap dengan unsur-unsur dan puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula
bahwa pada akhirnya kesadaran kita akan sampai pada kesimpulan bahwa, dengan
6
filsafat kita akan menemukan dunia yang plural, artinya banyak Dunia dan setiap
yang ada dan yang mungkin ada merepresentasikan Dunianya masing-masing.
Filsafat Esensialisme mengejar kebenaran dari segala esensi yang ada; maka
mudah dipahami bahwa hakekat Esensi adalah pusat atau sentralnya Filsafat
Esensialisme. Sementara Filsafat Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang
diyakini berada di tangan Tuhan (Marsigit, 2014).
Muhmidayeli (2011: 1) filsafat bukanlah sekedar kebenaran, hikmah dan atau
kebijaksanaan itu sendiri, tetapi lebih pada cinta akan kebenaran atau
kebjaksanaan yang tentu ditunjukkan pada upaya hati-hati dan serius yang
dilakukan oleh seseorang melalui tata cara yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam menggunakan daya pikir kritisnya guna meraih kebenaran, kebaikan dan
atau kebijaksanaan sejati. Jadi Filsafat adalah upaya berpikir dan bertindak benar
dengan menggunakan rasio sebagai instrumen utama untuk mengetahui secara
murni berbagai ragam realitas yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini dan
nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan manusia.
Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak
mustahil kalau banyak di antara para filsuf memberikan definisinya secara berbeda-beda.
Obyek material filsafat yang diteliti adalah segala sesuatu, sedangkan Subyek materialnya
yaitu mencari hakekat. Maka dari itu berfilsafat berarti mempertanyakan dasar dan asal-
usul dari segala-galanya; untuk mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia. Adapun
pengertian Filsafat menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Cicero (106 - 43 SM): Filsafat adalah “ibu” dari semua seni (The mother of all the arts). Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai art vitae (seni kehidupan).
7
2. Plato (427 - 347 SM): Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
3. Aristoteles (384 - 322 SM): Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
4. Al Farabi (872 – 950M): Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya.
5. Francis Bacon (1584 – 1617M) : Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu,
dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
6. Rene Descartes (1596 – 1650M): Filsafat adalah kumpulan segala
pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
7. Immanuel Kant (1724 – 1804M): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika)
Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)
Sampai di manakah harapan kita? (jawabannya Agama)
Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi)
8. Johann Gotlich Fickte (1762-1814M): Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan suatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
9. Paul Nartorp (1854-1924M): Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar) yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.
8
10. Bertrand Russel (1872 – 1970): Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
11. Harold H. Titus (1896 - 1984M): (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2). Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3). Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); dan (4). Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
12. Notonagoro (1905 – 1981M): Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
13. Kattsoff (1908 – 1979M): filsafat adalah:
Filsafat adalah berpikir secara kritis, Filsafat adalah berpikir dalam bentuk yang sistematis. Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut. Filsafat adalah berpikir secara rasional. Filsafat bersifat komprehensif.
14. Hasbullah Bakry: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
15. Muhamad Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya di dalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan.
16. Ismaun: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati).
9
17. N. Driyarkara S.Y., mengatakan: Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sosiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ke ‘mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
18. Endang Saifuddin Anshari (1987M), mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat juga dikatakan sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat segala yang ada: (a) hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada paham (pemahamnnya) tersebut.
19. Sidi Gazalba (1992M): Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir radikal, sistematis dan universal.
20. Marsigit (2014M), Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya.
Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang
mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya
agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman
modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu
dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah perkembangan sejak dahulu
10
kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau
lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode
sistematis) (Kristiawan, 2016).
KategoriPertanyaan filosofis dapat dikelompokkan ke dalam kategori. Pengelompokan ini
memungkinkan para filsuf untuk fokus pada serangkaian topik serupa dan
berinteraksi dengan pemikir lain yang tertarik dengan pertanyaan yang sama.
Pengelompokan juga membuat filosofi lebih mudah bagi siswa untuk didekati.
Siswa dapat mempelajari prinsip-prinsip dasar yang terlibat dalam satu aspek
lapangan tanpa terbebani dengan keseluruhan teori filosofis. Berbagai sumber
menyajikan beragam skema kategoris. Kategori yang diadopsi dalam artikel ini
bertujuan untuk keluasan dan kesederhanaan. Kelima cabang utama ini dapat
dipisahkan menjadi sub cabang dan masing-masing sub cabang memiliki banyak
bidang studi yang spesifik.
Metafisika dan epistemologi Teori nilai Sains, logika dan matematika Sejarah filsafat barat Tradisi filosofis
Perpecahan ini tidak lengkap, tidak saling eksklusif atau berdiri sendiri-sendiri.
(Seorang filsuf mungkin mengkhususkan diri pada epistemologi kantian, estetika
platonik, atau filsafat politik modern.)
11
Metafisika
Metafisika adalah studi tentang ciri-ciri paling umum dari realitas, seperti
eksistensi, waktu, objek dan properti mereka, keseluruhan dan bagiannya,
kejadian, proses dan sebab akibat, serta hubungan antara budi dan tubuh.
Metafisika mencakup kosmologi, studi tentang dunia secara keseluruhan dan
ontologi, studi tentang realitas. Pokok perdebatan utamanya adalah antara
realisme, yang berpendapat bahwa ada entitas yang independen terlepas dari
persepsi mental dan idealisme mereka, yang berpendapat bahwa realitas tersebut
dibangun secara mental atau immaterial. Metafisika membahas topik identitas.
Esensi adalah himpunan atribut yang membuat objek sebaimana dasarnya dan
tanpa esensi objek itu akan kehilangan identitasnya, sementara aksiden adalah
properti yang dimiliki objek, yang tanpanya objek masih tetap dapat
mempertahankan identitasnya. Partikular adalah objek yang dikatakan ada di
ruang dan waktu, berlawanan dengan benda abstrak, seperti angka, dan universal,
yang merupakan sifat yang dimiliki oleh beberapa hal khusus, seperti warna
kemerahan suatu benda atau jenis kelamin. Jenis eksistensi (jika ada) benda
universal dan abstrak adalah isu perdebatan dalam metafisika.
12
Epistemologi
Dignaga pendiri aliran epistemologi dan logika Buddhis.
Ahli epistemologi mempelajari sumber pengetahuan, termasuk intuisi, argumen a
priori, ingatan, pengetahuan perseptual, pengetahuan diri dan kesaksian. Mereka
juga bertanya: Apa itu kebenaran? Apakah pengetahuan itu benar-benar keyakinan
sejati? Apakah ada kepercayaan yang dibenarkan? Pengetahuan empiris
mencakup pengetahuan proposisional (pengetahuan bahwa ada sesuatu yang
terjadi), kecakapan (pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu) dan
pengenalan (familiaritas dengan seseorang atau sesuatu). Ahli epistemologi
memeriksa hal ini dan bertanya apakah pengetahuan itu benar-benar layak.
Teori nilai
Teori nilai (atau aksiologi) adalah cabang utama filsafat yang membahas topik
seperti kebaikan, keindahan dan keadilan. Teori nilai meliputi etika, estetika,
filsafat politik, filsafat feminis, filsafat hukum dan yang lainnya.
13
Etika
Akademi kekaisaran Beijing adalah pusat intelektual untuk etika Konfusianisme dan klasik selama dinasti Yuan, Ming dan Qing.
Etika, atau "filsafat moral", mempelajari dan mempertimbangkan perilaku yang
baik dan yang buruk, nilai yang benar dan salah, serta kebaikan dan kejahatan.
Penyelidikan utamanya meliputi bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan
mengidentifikasi standar moralitas. Ini juga mencakup meta-investigasi tentang
apakah cara terbaik untuk hidup atau standar terkait yang ada. Cabang utama etika
adalah etika normatif, meta-etika dan etika terapan. Area perdebatan utamanya
meliputi konsekuensial, dimana tindakan dinilai berdasarkan hasil potensial dari
tindakan tersebut, seperti misalnya untuk memaksimalkan kebahagiaan, yang
disebut utilitarianisme, dan deontologi, dimana tindakan dinilai sesuai dengan
bagaimana mereka mematuhi prinsip, terlepas dari tujuan negatif (Wikipedia,
2018).
Para ahli memiliki berbagai pendapat tentang cabang-cabang filsafat di
antaranya sebagai berikut (Surajiyo, 2005: 19-20):
1. Plato membedakan filsafat pada tiga cabang yaitu dialetika, fisika, dan etika.
2. Aristoteles merumuskan filsafat kedalam empat cabang yaitu: logika, filsafat
teoretis (mencakup 3 ilmu yaitu: ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu
metafisika). Menurut Aristoteles ilmu metafisika merupakan inti dari filsafat.
14
Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat praktis (mencakup 3 ilmu yaitu
ilmu etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik). Cabang terakhir adalah filsafat
poetika atau kesenian.
3. Lousis O. Kattsoff menyebutkan cabang filsafat adalah logika, metodologi,
metafisika, epistemologi, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat
antropologi, filsafat sosial, etika, estetika dan filsafat agama.
4. The Liang Gie membagi filsafat menjadi: metafisika, epistemologi,
metodologi, logika, etika, estetika dan sejarah filsafat.
5. Harry Hamersma membagi cabang fisafat menjadi: Filsafat tentang pengetahuan (meliputi epistemologi, logika, kritik ilmu-ilmu); Filsafat keseluruhan kenyataan (meliputi metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus meliputi teologi metafisik, antropologi dan kosmologi); Filsafat tentang tindakan (meliputi etika dan estetika); Sejarah filsafat.
6. Poedjawijatna membagi filsafat atas: ontologia, theodicea, antropologia, metaphysica, ethica, logica (mayor dan minor), aesthetica (Kristiawan, 2016).
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM mengemukakan bahwa dari cabang filsafat
menurut beberapa tokoh tersebut, persoalan kefilsafatan meliputi bidang yang
sangat luas, sehingga sulit untuk membahasnya karena mempunyai argumentasi
masing-masing. Persoalan filsafat di samping dapat dideskripsikan ciri-cirinya,
juga dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Jenis-jenis persoalan filsafat bersesuaian
dengan cabang-cabang filsafat. Ada tiga jenis persoalan filsafat yang utama yaitu
persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan dan persoalan
tentang nilai-nilai (Kristiawan, 2016).
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi bersangkutan dengan cabang
filsafat metafisika. Persoalan pengetahuan (knowledge) ditinjau dari segi isinya
bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi sedangkan kebenaran (truth)
15
ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.
Persoalan nilai-nilai (values) terbagi atas nilai-nilai tingkah laku dan nilai-nilai
keindahan. Nilai-nilai tingkah laku berkaitan dengan cabang filsafat etika,
sedangkan nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.
1. Metafisika
Istilah metafisika berasal dari Bahasa Yunani meta la physica yang
dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-
benda fisik. Aristoteles menggunakan istilah proto philosiphia (filsafat
pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di
belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika
dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam
(ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Persoalan-persoalan
metafisika dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi, persoalan
kosmologi, dan persoalan antropologi (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM: 31).
Ontologi membahas tentang “ada” atau konkret. Pertanyaan yang diajukan:
apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu. Bagaimana
penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi, dan apa sifat dasar
kenyataan atau keberadaan. Segala sesuatu yang ada, secara khusus dibagi
dalam tiga substansi yaitu kosmos, manusia, dan Tuhan. ontologi bisa
dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret
secara kritis. Pada metafisika khusus terdapat gagasan atau ide para pemikir.
Oleh sebab itu, sebagian orang beranggapan bahwa epistemologi adalah
bagian dari metafisika, karena epistemologi mempersoalkan kebenaran
pengetahuan metafisis.
16
Muhmidayeli (2011: 10) Metafisika merupakan cabang kajian filsafat
yang mengkaji persoalan yang berkenaan dengan hakikat realitas. Konsentrasi
filsafa disini diarahkan fokus untuk menelaah dan atau mengkaji secara
mendalam dan menyeluruh (holistik) tentang hakikat yang ada dan yang
dianggap ada.
2. Epistemologi
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Kebenaran
pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemologi karena tepat
susunannya atau logis. Meskipun logika dan epistemology merupakan dua hal
yang berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, logika menjadi
prasyarat yang mendasari epistemologi. Epistemologi membicarakan secara
rinci dasar, batas dan objek pengetahuan. Oleh sebab itu epistemologi oleh
sebagian orang disebut juga filsafat ilmu. Epistemologi mempersoalkan
kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science)
secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan. Epistemologi
berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, dan metode yang sah tentang pengetahuan.
Pertanyaan dalam epistemologi adalah “apa yang dapat saya ketahui?” (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM: 32). Persoalan-persoalan dalam epistemologi
adalah: bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?; Dari mana
pengetahuan itu diperoleh?; Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat
dinilai?; Apa perbedaan pengetahuan apriori dengan pengetahuan posteriori?.
17
Epistemologi membicarakan pengetahuan dan susunannya. Ilmu atau science
adalah pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-
ulang melalui eksperimen sehingga dapat dipelajari oleh orang yang berbeda
dalam waktu yang berbeda. Epistemologi membahas hakikat ketepatan
susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah
yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya.
Isi pernyataannya adalah sesuatu yang ingin diketahui. Secara umum terdapat
empat jenis kebenaran yang dikenal orang, yaitu kebenaran religius,
kebenaran filosofis, kebenaran estetis, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran
religius, adalah kebenaran yang dibangun atas dasar kaidah-kaidah agama
atau keyakinan tertentu yang tidak dapat dibantah. Kebenaran religius disebut
juga kebenaran mutlak.
Bentuk pemahamannya dogmatis. Kebenaran filosofis adalah kebenaran
hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau
the nature, meskipun bersifat subjektif dan relatif, namun mendalam karena
melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran
intelektual semata. Kebenaran filosofis berguna untuk menyadarkan kita pada
relatifnya pengetahuan yang kita miliki, karena pengetahuan itu terus berubah
dalam arti berkembang. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah
berpikir, sedangkan dasarnya adalah rasio. Kebenaran estetis, ialah kebenaran
berdasarkan indah dan tidak indah. Keindahan yang dimaksud adalah
berdasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa senang,
tenang dan nyaman. Wiramihardja (2007: 32-33) mengemukakan kebenaran
ilmiah ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama
18
menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti (fakta),
sama halnya dengan kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji lapangan
yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang
berdasarkan rasio atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang
menunjangnya. Pengertian bukti disini adalah bukti empiris, yaitu hasil
pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang
melalui eksperimen, sesuai dengan apa adanya, bukan apa yang seharusnya,
dan merupakan ciri-ciri pengetahuan (Kristiawan, 2016).
Capaldi (1981: 12) dalam bidang epistemologi, konsentrasi filsafat tertuju
pada pembicaraan problem pengetahuan. Secara akademis, epistemologi
merupakan kajian yang berkaitan tentang persoalan dasar ilmu pengetahuan
yang meliputi: 1. Hakikat ilmu; 2. Jenis ilmu pengethuan yang mungkin dapat
diraih manusia; 3. Sumber ilmu pengetahuan itu; dan 4. Batas-batas ilmu
pengetahuan manusia (Muhmidayeli, 2011: 12).
3. Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan penilaian atau
yang berhubungan dengan nilai guna. Gagasan mengenai aksiologi dipelopori
oleh Lozte, kemudian Brentano, Husserl, Scheller dan Nicolai Hatmann
(Wiramihardja A. S., 2007: 36-37). Menurut Scheller ada dua bidang yang
paling populer terkait penilaian yaitu tingkah laku dan keadaan atau tampilan
fisik, sehingga aksiologi dibagi dalam 2 jenis yaitu etika dan estetika. Etika
adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia
dari sudut baik dan buruk. Mudah bagi seseorang dalam menilai arti baik,
19
tetapi mengapa sebaliknya disebut buruk bukan tidak baik. Etika dalam
Bahasa Yunani berasal dari ethos = kebiasaan, habit, atau custom. Hampir
tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik dan buruk, oleh karena
itu istilah etis dan tidak etis kurang tepat, yang lebih tepat adalah etika baik
dan etika buruk/ jahat. Estetika merupakan bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan tidak indah/ jelek.
Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafat mengenai apa yang
membuat rasa senang, puas yang dinikmati seseorang ketika mengamati suatu
benda estetis (Surajiyo, 2005: 107). Secara visual dan imajinasi, estetika
disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan
kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam
bidang ini adalah Alexander Baumgarten yang dianggap sebagai awal
diwacanakannya estetika (Kristiawan, 2016).
Muhmidayeli (2011: 14) dalam bidang aksiologi, pemikiran filsafat
diarahkan pada persoalan nilai, baik dalam konteks estetika, moral maupun
agama. Persoalannya apakah nilai itu absolut atau relatif. Artinya ujung dari
keseluruhan aktivitas berpikir filsafat dalam bidang metafisika maupun
epistemologi ialah terwujudnya tingkah laku dan perbuatan-perbuatan
manusia yang mengandung nilai.
B. Aliran – Aliran Filsafat
Filsafat selalu berkembang mengikuti ruang dan waktu yaitu zaman.
Zaman selalu bergerak dan berubah mengikuti perkembangan pola pikir
manusia yang selalu ingin mengetahui banyak hal. Wilardjo (2009), Wikipedia,
20
Marsigit (2014), dan Nuzulah, F., Yadri, M., & Fitria, L. (2017)
mengemukakan Aliran-aliran filsafat yang ada sampai saat ini yaitu:
Materialisme, Dualisme, Empirisme, Rasionalisme, Kritisisme, Idealisme,
Renaissance, Eksistensialisme, Fenomenologi, Intuisionalisme, Tomisme,
Pragmatisme, Filsafat Analitik, Strukturalisme, Poststrukturalisme,
Dekonstruksionisme.
1. MATERIALISME Materialisme merupakan faham atau aliran yang
menganggap bahwa di dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam)
dan dunia fisik adalah satu. Pada abad ke-19 pertengahan, aliran ini tumbuh
subur di Barat disebabkan, dengan faham ini, orang-orang merasa
mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan
alam. Diantara tokoh-tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-528),
Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Demokritos (460-545
SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1775 M), Feuerbach
(1804-1877 M), Spencer (1820- 1903 M), dan Karl Marx (1818-1883 M).
2. DUALISME. Dualisme adalah ajaran atau faham yang memandang alam
ini terdiri atas dua macam hakikat yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani.
Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama asasi
dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam
alam. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
adalah terdapat dalam diri manusia. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain
adalah Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-
1650 M), Fechner (1802-1887 M), Arnold Gealinex, Leukippos,
Anaxagoras, Hc. Daugall dan A. Schopenhauer (1788-1860 M).
21
3. EMPIRISME. Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman
sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/penginderaan.
Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia
merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Empirisme berasal dari kata
Yunani ”empiris” yang berarti pengalaman indrawi. Karena itu, empirisme
dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun
pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya
aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme. Tokoh-tokoh aliran ini
antara lain Francis Bacon (1210-1292 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M),
John Locke (1632-1704 M), David Hume (1711-1776 M), George Berkeley
(1665-1753 M), Herbert Spencer (1820-1903 M), dan Roger Bacon (1214-
1294 M).
4. RASIONALISME. Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar
rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang
hakiki. Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-XVII
sampai akhir abad ke-XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu
pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk
menemukan kebenaran. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan
mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan
yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui
ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan
kekuasaan akal budi, lama-kelamaan orang-orang abad itu berpandangan
22
dalam kegelapan. Dan ketika mereka mampu menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan pada
abad XVIII, maka abad itu disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Sebagai aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh
pengetahuan dan kebenaran, rasionalisme selalu berpendapat bahwa akal
merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan. Dan menurut
rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum
”sebab-akibat”, karena peristiwa yang tak terhingga dalam kejadian alam ini
tidak mungkin dapat diobservasi. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Rene
Descartes (1596-1650 M), Nicholas Malerbranche (1638-1775 M), B. De
Spinoza (1632-1677 M), G.W.Leibniz (1646-1716 M), Christian Wolff
(1679-1754 M), dan Blaise Pascal (1623-1662 M).
5. KRITISISME. Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat
bertolak belakang dari tujuan semula. Pada satu sisi landasan aliran
rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang lebih
mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua
tawaran tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak
kedua pandangan di atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M). Kant
berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan
penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
kritisisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Kritik der Reinen
Vernunft (kritik rasio murni), Kritik der Urteilskraft, dan lainnya. Bagi
Kant, dalam pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu
ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri.
23
Memang ada suatu realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi
realitas tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang
merupakan sintesis antara yang diluar (aposteriori) dan ruang waktu (a
priori).
6. IDEALISME. Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh.
Istilah idealisme diambil dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam
jiwa. Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran
yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa,
ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran
yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia.
Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni
dari Plato, yang menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam idea itu.
Pada zaman Aufklarung para filsuf yang mengakui aliran serbadua,
seperti Descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat
keruhanian dan kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur
keruhanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum
agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling
setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat
yang mendalam. Puncak zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19,
yaitu saat Jerman sedang memiliki pengaruh besar di Eropa. Tokoh-tokoh
aliran ini adalah : Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677 M), Liebniz
24
(1685-1753 M), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant(1724-1881 M), J.
Fichte (1762-1814 M), F.Schelling (1755-1854 M), dan G. Hegel (1770-
1831 M)
7. RENAISSANCE. Dalam periodisasi sejarah filsafat Barat, istilah
renaissance digunakan untuk menandai masa-masa antara abad ke-13 dan
akhir abad ke 15. Istilah Renaissance sendiri berasal dari bahasa Perancis
yang berarti kebangkitan kembali. Oleh sejarawan istilah tersebut digunakan
untuk menunjukkan berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya
Eropa. Ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern, yaitu
menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.
Berbeda dengan abad sebelumnya, yakni abad pertengahan yang lebih
menitikberatkan pada aspek ajaran agama Kristen di mana gereja menjadi
simbol kejayaan dan kekuasaan dalam segala aspek kehidupan termasuk
dalam pemikiran. Orientasi pemikiran di abad ini lebih bersifat teosentris
ketimbang filosofis murni. Maka tak heran bila segala sesuatunya
dikembalikan kepada Tuhan. Sehingga akhirnya gereja sangat mendominasi
dan siapa pun tidak bisa mengganggu gugat kekuasaan dan otoritasnya.
Beberapa tokoh pemikir era ini adalah Dante Alighieri (1265-1321 M) dari
Italia. Ia merupakan tokoh kritis yang berani menentang minoritas gereja
pada saat itu. Paus Bonaface VIII yang berkuasa saat itu ditentang akibat
ambisi politiknya yang besar dan seharusnya tidak begitu. Tetapi, bukan
berarti ia benci terhadap ajaran agama Kristen.
8. EKSISTENSIALISME. Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari
kata dasar exist. Kata exist itu sendiri berasal dari bahasa ex: keluar, dan
25
sister: berdiri. Jadi, eksistensi berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat
eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat
eksistensialisme lebih sulit ketimbang eksistensi. Dalam filsafat dibedakan
antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang
dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan
bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon Manggis menjadi
pohon manggis. Buaya menjadi buaya. Manusia menjadi manusia. Namun,
dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat
membayangkan kursi, pohon manggis, buaya, atau manusia. Namun, belum
pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir.
Disinilah peran eksistensia. Eksistensia membuat yang ada dan bersosok
jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada
di tempat. Pohon manggis dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Buaya
dapat hidup dan merajai sungai. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan
membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksestensia,
segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir.
Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi
bangkai. Manusia mati. Demikiankah penting peranan eksistensia. Olehnya,
segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Tanpanya, segala
sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan. Eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme
tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah
ada dan tak ada persoalan.
26
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan
hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini
berarti bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai
dengan kemungkinan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu,
menurut kaum eksistensialis, hidup ini dibuka. Nilai hidup yang paling
tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup
dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat,
mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib,
peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan.
Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak
sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu
membuat orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan,
sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis
memegang kemerdekaan sebagai norma. Namun, bagi kaum eksistensialis
yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk
kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan,
dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan
hidup. Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan
puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan karena masa
depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang
ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan
faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itulah
27
perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu
terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius,
dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan. Tokoh-tokoh
aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, S. Kierkegaard (1813-
1855 M), Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), Karl Jaspers (1883-1969 M),
Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973 M), Ren
LeSenne dan M. Merleau Ponty (1908-1961 M).
9. FENOMENOLOGI. Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme
adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala)
adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suka
melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang
mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-
hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran ”a way of looking
at things”. Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih adalah
gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat
gedung itu, ditambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul.
Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan
objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat.
Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang
disebut konstitusi.
Menurut intensionalisme (Brentano), manusia menampakkan dirinya
sebagai hal yang transenden, sintesis dari objek dan subjek. Manusia
28
sebagai entre aumonde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu.
Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus
mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal
yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal,
sehingga benda dibawa ke mulutnya. Fenomenologi merupakan aliran.
Tokoh terpentingnya adalah: Edmund Husserl (1859-1938 M). Ia selalu
berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumenagumen, konsep-
konsep, atau teori umum. ”Zuruck zu den sachen selbst” – kembali kepada
benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk
mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki
hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada
gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita ”mengambil jarak” dari objek itu,
melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-
gejala itu kita cermati, maka objek itu ”berbicara” sendiri mengenai
hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi,
antropologi, dan studistudi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
Tokoh-tokohnya adalah Edmund Husserl (1959-1938 M), Max Scheller
(1874- 1928 M), Hartman (1882-1950 M), Martin Heidegger (1889-1976
M), Maurice Merleau Ponty (1908-1961 M), Jean Paul Sartre (1905-1980
M), dan Soren Kierkegaard (1813- 1855 M).
10.INTUISIONALISME. Intuisionalisme adalah suatu aliran atau faham yang
menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan
dan pembenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak
29
didasarkan pada penalaran. Jadi, intuisi adalah nonanalitik dan tidak
didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu dan sering bercampur aduk
dengan perasaan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plotinos (205-270 M) dan
Henri Bergson (1859-1994M).
11.TOMISME. Nama aliran ini disandarkan kepada Thomas Aquinas, salah
seorang tokoh intelektual termasyur skolastik Barat yang hidup pada tahun
1225-1274 M. Ada yang berpendapat bahwa Thomas hanya menyesuaikan
Aristoteles dengan ajaran Katolik. Hal ini tidaklah betul. Ia memang
menyerap ajaran Aristoteles tetapi ia menyusun sistem yang berlainan dari
sistem Aristoteles. Thomas dilahirkan dekat kota Aquino pada tahun 1225.
Karenanya, ia akrab disebut Thomas Aquinas. Ia menjadi murid Albertus di
Paris. Warisan buku-bukunya sangat banyak dan sampai sekarang masih
dipelajari orang dan malahan menjadi pedoman dalam aliran yang masih
sangat banyak penganutnya. Teologi dan filsafat adalah dua hal yang
banyak dikaji dan ditelaahnya. Bagi Thomas, kedua disiplin ilmu tersebut
tidak bisa dipisah malah saling berkait dan mempengaruhi.
12.PRAGMATISME. Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani ”pragma”
yang artinya perbuatan atau tindakan. ”Isme” di sini sama artinya dengan
isme-isme yang lainnya, yaitu aliran atau ajaran atau paham. Dengan
demikian, pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran
itu menuruti tindakan. Kriteria kebenarannya adalah ”faedah” atau
”manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar
apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it
works (apabila teori dapat diaplikasikan). Pada awal perkembangannya,
30
pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu
pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi
kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut,
pragmatisme akhrinya berkembang menjadi suatu metode untuk
memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-
hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan
filsafat sejak zaman Yunani Kuno (Guy W. Stroh: 1968). Pragmatisme telah
membawa perubahan yang besar terhadap budaya Amerika dari lewat abad
ke-19 hingga kini. Falsafah ini telah dipengaruhi oleh teori Charles Darwin
dengan teori evolusinya dan Albert Einstein dengan teori relativitasnya.
Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi dan
sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di
antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan
irasionalisme. Ide tradisional telah mengatakan bumi ini tetap dan manusia
mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni,
sementara nihilisme dan irasionalisme adalah menolak semua dugaan dan
ketentuan. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik
yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi itulah pragmatisme
menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi
praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-
masing pihak.
Metode yang dipakai sangat populer untuk dipakai dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu, dan menjadi populer. Filsafat yang
berkembang di Amerika pada abad ke-19 ini sekaligus menjadi filsafat khas
31
Amerika dengan tokohtokohnya seperti Charles Sander Peirce, William
James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat
mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika. Namun, filsafat ini
akhirnya menjadi leibh terkenal sebagai metode dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut
kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat
yang khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan
keputusan, model berindak, dan model praktis Amerika. Bagi kaum
pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting.
Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil
untuk melakukan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal
dan metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide
atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau
keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan
tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini,
sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil
lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan
diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya
tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip
pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini; pragmatisme tidak
lain adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu
ide atau tindakan. Karena itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu
filsafat tentang tindakan. Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala
32
kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan
memperhatikan kegunaannya secara praktis.
Tokoh aliran ini adalah William James. Ia termasuk tokoh sangat
berpengaruh dari Amerika Serikat. Tokoh lainnya adalah John Dewey,
Charles Sanders Peirce dan F.C.S. Schiller. Bagi William James (1842-1910
M), pengertian atau putusan itu benar jika pada praktik dapat dipergunakan.
Putusan yang tidak dapat dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat
pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu
benar, tidak saja jika terbuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan
tetapi jika bertindak dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Tokoh ini juga
berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Dalam bidang
tersebut ia berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam
filsafat, kata James, akal dengan segala perbuatannya ditaklukkan
perbuatan. Ia tak lebih pemberi informasi bagi praktik hidup dan sebagai
pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita. Dalam bukunya The
Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak,
yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang
mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita
anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. Hal
itu disebabkan karena dalam perkembangannya ia dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
13.FILSAFAT ANALITIK. Selain aliran di atas, masih ada lagi aliran yang
menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep.
Aliran ini disebut aliran filsafat analitik. Dalam berfilsafat aliran ini
33
berprinsip bahwa jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. ”Batas-
batas bahasaku adalah batas-batas duniaku”. Soal-soal falsafi seyogyanya
dipecahkan melalui analisis bahasa, untuk mendapatkan atau tidak
mendapatkan makna di balik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu
pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu
bersifat faktual. Pencetus aliran ini adalah Ludwig Wittgenstein (1899-1952
M). Belakangan, tepat sejak tahun 1960 berkembang aliran strukturalisme
yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-
bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
14.STRUKTURALISME. Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang
dikembangkan oleh banyak semiotisian berbasis model linguistik Suassure.
Strukturalis bertujuan untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian
sistem tanda sebagai ’bahasa’ – seperti yang dilakukan Levi-Strauss dan
mitos, ketentuan hubungan dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar;
serta Barthes dan Gremais dengan ’grammar’ pada narasi. Mereka
melakukan suatu pencarian untuk suatu ”struktur yang tersembunyi” yang
terletak di bawah ’permukaan yang tampak’ dari suatu fenomena. Social
Semiotics kontemporer telah bergeser di bawah konsentrasi pada strukturalis
yang menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara apa yang
terkandung dalam suatu sistem. Melakukan eksplorasi penggunaan tanda-
tanda dalam situasi tertentu. Teori semiotik modern suatu ketika disatukan
dengan pendekatan Marxis yang diwarnai oleh aturan ideologi.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang
34
mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud,
keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche;
bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya
adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau
human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada
semua keadaan. Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy
Strauss, Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam
pandangan Levi-Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya
dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos
biasanya dianggap sebagai ’impian’ kolektif, basis ritual, atau semacam
’permainan’ estetika semata, dan figur-figur mitologinya sendiri dipikirkan
hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau
dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai taraf semata
sebagai ’mainan anakanak' serta menolak adanya relasi apa pun dengan
dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian
Levi-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam
pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan
mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam
dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa
Levi-Strauss pada analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang
muncul direduksi ke dalam beberapa elementer sruktural dasar namun
dengan satu permasalahan yang mendasar: disatu sisi tampakanya dalam
mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika disana, tak ada kontinuitas.
35
Karakteristik apa pun bisa disematkan pada subjek apa saja; setiap relasi
yang mungkin bisa ditemukan.
15.POST-STRUKTURALISME. Istilah post-strukturalisme sebenarnya
jarang digunakan. Post-strukturalisme sebenarnya lebih ditujukan pada
munculnya pemikiran-pemikiran yang mengembangkan strukturalisme lebih
jauh. Beberapa yang dikategorikan post-strukturalis antara lain Jacques
Derrida, Michel Foucault sempat dikategorikan sebagai post-strukturalis
namun kemudian orang menggolongkan sebagai beyond structuralist.
Jacques Lacan memunculkan konsep bahwa nirsadar adalah ranah yang
terstruktur layaknya bahasa. Konsep ini berbeda dari Freud yang
menganggap bahwa nirsadar berisi hal-hal instingtif. Lacan bahkan melihat
bahwa nirsadar hadir bersama dengan bahasa. Lacan melihat bahasa adalah
suatu sistem pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh
menggambarka konsep yang diekspresikannya. Ada cermatan bahwa pada
kenyataannya, sistem linguistik berada di luar manusia yang menjadi subjek.
Pemakai bahasa terpisah secara radikal dari sistem tanda. Ada jarak lebar
antara apa yang mereka rasakan dan bagaimana sebuah sistem kebahasaan
memungkinkan seorang pemakai bahasa memanfaatkan untuk
mengekspresikan perasaan tersebut. Semisal, anak ingin mengekspresikan
kasih sayang kepada orang tua. Mungkin dia akan mengatakan”Kasih
sayang ibu sepanjang jalan”. Namun, tetap saja terdapat hal yang tidak
terekspresikan. ”sepanjang jalan” hanyalah tanda yang dianggap mewakili
namun sebenarnya meredusir perasaan abstrak si anak terhadap kasih
sayang ibunya. Bagi Lacan, hal itu merupakan faktor penting yang
36
menunjukkan bahwa manusia sebagai subjek, pertama-tama terpisah dari
peranti-peranti representasi, namun pada saat bersamaan, keberadaan
dirinya sebagai subjek juga dibentuk oleh peranti-peranti tersebut. Oleh
Lacan, algoritma atau diagram Saussure tentang pertanda / penanda
digunakan untuk menunjukkan pengandaian-pengandaian yang dibuat kaum
strukturalis mengenai hubungan manusia dengan tanda.
Lacan menyatakan, yang primer justru konsep (petanda) dan karena
itu berada di atas diagram. Sementara entitas (penanda), yakni yang
sekunder, berada di bagian dasar diagram. Sebuah ide dapat berdiri sendiri,
lepas dari segala bentuk mediasi. Anak hanya dapat menangkap gagasan
tentang ”kucing” setelah orangtuanya (others) menjelaskan bahwa makhluk
yang dia tanyakan itu bernama ”kucing”. Anak dapat memahami konsep
”kucing” karena ”kucing” memang telah hadir sebelumnya sebagai elemen
bangunan besar langue yang mendahului kelahiran bayi sebagai individu.
Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa maka menjadi masuk akal
untuk mengklaim bahwa linguistik dan semiotik adalah hal penting yang
dapat kita gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan menempatkan isi
ketaksadaran sebagai penanda (signiferi); proses primer ketaksadaran
diletakkan pada ekspresi dan distorsi dirinya sendiri (dalam Freud:
condensation dan displacement; sedangkan Lacan menggunakan istilah yang
sama dengan Roman Jacobson: metaphor dan metonym). Verdichtung
(condensation) adalah struktur superimposisi dari penanda yang menjadi
karakteristik metafor. Verschiebung (displacement) menunjukkan
signifikansi transfer yang sama seperti yang ditemui pada metonimi. Kita
37
terbiasa mengaitkan metafor dengan ungkapan yang berbau puitis,
menimbulkan emosi. Metafor sendiri berarti ”menembus” makna linguistik.
Jacobson menjelaskan gejala pemaknaan ini sebagai hasil dari asosiasi pada
tatanan paragdimatik. Kalau metafor bekerja atas dasar hubungan
paragdimatik, metonimi bekerja atas dasar hubungan sintagmatik. Kalau
metafor banyak dijumpai dalam puisi, metonimi dalam prosa. Kalau metafor
lahir dari kesadaran kita untuk menghubungkan (mengasosiasikan), maka
metonimi berasal dari kesadaran untuk menggabungkan
(mengkombinasikan). Metonimi menghasilkan makna dari hasil hubungan
logis, sementara metafor melalui kekuatan imajinasi.
16.DEKONSTRUKSIONISME. Jacques Derrida menolak permaknaan
tentang pemaknaan tanda yang dianggap sebagai proses murni dan
sederhana. Derrida menawarkan suatu proses pemaknaan dengan cara
membongkar (to dismantle) dan menganalisis secara kritis. Bagi Derrida,
hubungan antara penanda dan petanda mengalami penundaan untuk
menemukan makna lain atau makna baru. Makna tidak dapat terlihat dalam
satu kali jadi, melainkan pada waktu dan situasi yang berbeda-beda dengan
makna yang berbeda-beda pula. Proses dekonstruksi ini bersifat tidak
terbatas. Derrida mengemukakan bahwa nilai sebuah tanda ditentukan
sepenuhnya oleh perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang terwadahi
dalam konsep differance. Namun, konsep tersebut juga menegaskan bahwa
nilai sebuah tanda tidak dapat hadir seketika. Nilainya terus ditunda
(deffered) dan ditentukan – bahkan juga dimodifikasi – oleh tanda
berikutnya dalam satu aliran sintagma. Derrida mengambil contoh stigma
38
sebuah lagu Inggris: Ten green bottles standing on a wall, maka
berlangsunglah modifikasi tahap berikutnya. Kini ”sepuluh botol hijau”
disertai pula informasi tambahan ”diatas dinding” (standing on a wall)
sehingga jawaban terhadap pertanyaan ”sepuluh apa?” tertunda lagi. Saat
membaca kata terakhir yaitu ”dinding” (wall), maka kata ”dinding” bukan
lagi tanda yang berdiri sendiri. Karena ”dinding” tersebut adalah ”dinding”
yang di atasnya terpajang sepuluh botol bir.
C. Pendidikan yang Berkemajuan: Filsafat, Politik, dan Ideologi
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan
merupakan aktivitas belajar yang sadar dilakukan menurut akal pikiran.
Mudyahardjo (2010: 45-46) pendidikan yaitu objek formal ilmu pendidikan,
yang dapat diartikan secara luas, sempit, luas terbatas. Dalam pengertian luas,
pendidikan samadengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman
belajar. Oleh karena itu, pendidikan didefinisikan sebagai keseluruhan
pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya (lifelong).
Philosophy of education is the branch of applied or practical philosophy
concerned with the nature and aims of education and the philosophical
problems arising from educational theory and practice. Because that practice is
ubiquitous in and across human societies, its social and individual
manifestations so varied, and its influence so profound, the subject is wide-
ranging, involving issues in ethics and social/political philosophy,
39
epistemology, metaphysics, philosophy of mind and language, and other areas
of philosophy.
Filsafat pendidikan yang berkemajuan berarti bagaimana cara berpikir
tentang menyadarkan manusia bahwa belajar dari teori dan pengalaman dalam
mencari kebenaran pernyataan-pernyataan yang masuk akal dan dan melampui
alam pikiran baik negatif maupun positif melalui fenomena yang saling
berhubungan sehingga mampu membangkitkan potensi diri untuk dapat
bersosialisasi dan hidup bersama masyarakat pada era revolusi industri 4.0
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hal tersebut dipengaruhi beberapa aliran filsafat yaitu dualisme,
empirisme, rasionalisme, kristisisme, idealisme, eksistensialisme, dan
fenomenologi.
Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama,
yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Kemajuan dalam
pandangan Islam bersifat multiaspek baik dalam kehidupan keagamaan
maupun dalam seluruh dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama
sebagai bentuk peradaban alternatif yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah.
Adapun da’wah Islam sebagai upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan
diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya
kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat
manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat
sosial lainnya (Nashir, 2018).
Pendidikan menciptakan manusia menjadi manusia seutuhnya.
Muhmidayeli (2011: 36) pendidikan sangat terkait aktivitas mulia manusia
40
yang tugas utamanya adalah membantu pengembangan humanitas manusia
untuk menjadi manusia yang berkepribadian mulia dan utama menurut
karakteristik idealitas manusia yang diinginkan atau sesuai potensi kodratnya
masing-masing (human dignity). Kualitas suatu masyarakat memliki hubungan
strategis dengan kualitas dunia pendidikan, utamanya pendidikan persekolahan,
karena didalamnya ada upaya yang sunguh-sunguh tentang kependidikan untuk
mempersiapkan generasi yang terampil dan memiliki ilmu pengetahuan dengan
dilandasi pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks
yang luas.
The philosophy of education examines the goals, forms, methods, and
meaning of education. Berdasarkan realitas-realitas kependidikan yang menjadi
objek kajian filsafat pendidikan antara lain menyangkut hal-hal yang berkenaan
dengan:
1. Hakikat manusia ideal sebagai acuan pokok bagi pengembangan dan
penyempurnaan;
2. Pendidikan dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu landasan berpikir dan
berbuat dalam tatanan hidup suatu masyarakat;
3. Hakikat tujuan kependidikan sebagai arah bangun pengembangan pola
dunia pendidikan;
4. Hakikat pendidik dan anak didik sebagai subjek-subjek yang terlihat
langsung dalam pelaksanaan proses edukasi;
5. Hakikat pengetahuan dan nilai sebagai aspek penting yang dikembangkan
dalam aktivitas pendidikan;
41
6. Hakikat kurikulum sebagai tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam proses
kependidikan menuju peraihan tujuan-tujuan;
7. Hakikat metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan
penumbuhkembangan potensi subjek didik;
8. Alternatif-alternatif yang mungkin dilalui dalam pengembangan sumber
daya manusia baik menyangkut prinsip-prinsip, metode maupun alat-alat
pendukung peraihan tujuan;
9. Keterkaitan dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga laind alam lingkup
masyarakat, seperti pendidikan dan dunia politik, pendidikan dan sistem
pemerintahan, pendidikan, tata hukum, dan adat dalam masyarakat; dan
10. Keterkaitan dunia pendidikan dengan perubahan-perubahan taraf hidup
dalam masyarakat (Muhmidayeli, 2011: 41).
1. Ontologis
Dimulai dari menyikapi masalah kebenaran dalam filsafat dan kebanaran
Agama pada umumnya dimaknai di satu sisi agama ber-alat-kan kepercayaan, di
lain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi,
jika kebenaran yang dibicarakan dengan mempergunakan alat yang sama seperti
akal manusia dan terdapat perbedaan yang gambarannya tidak bisa dipertemukan,
pada dasarnya hal yang kita cari dapat dikatakan bukan kebenaran. Karena
namanya kebenaran walaupun bagaimana wujudnya tetap mengandung makna
(kebenaran) (Tola, 2014).
Pendidikan Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme, Akhiran-
tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika
Filsafat Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat Esensialisme, Filsafat
42
Eksistensialisme, Filsafat Materialisme, dst dapat dipandang sebagai anti-
tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter Timur atau Karakter Indonesia
berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi pandangannya
(Marsigit, 2014).
Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik,
adapun alasannya antara lain: Pertama, karena pendidikan bersifat normatif,
maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat normatif
pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat
bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat
preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang
seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam
pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu
dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan secara holistik
dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme,
Realisme, Pragmatisme, dan sebagainya. Namun demikian, bangsa
Indonesia sesungguhnya memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri,
yaitu filsafat pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan
hal ini berbagai aliran filsafat pendidikan perlu kita pelajari, namun
demikian bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap
berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai aliran filsafat pendidikan
akan dapat membantu Anda untuk tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat
lain. Di samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat
43
pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis
pendidikan kita. Dengan memahami landasan filosofis pendidikan
diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep tentang pendidikan yang akan
mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan (Tatang,
2018).
Hypothetical analyses memberikan petunjuk bahwa keadaan
ontologis krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini
berelasi linear dengan forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan
Indonesia secara menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai bentuk
yang belum berbentuk, forma yang belum berforma, dan struktur yang
belum berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara
kebetulan dan secara tidak kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma
eksternal bersubstansial dalam waktu (kala) terbuka (baik atau buruk).
Sebagaian forma eksternal bersubstansial mempunyai dimensi lebih
tinggi sehingga forma Indonesia yang belum berforma tidak mampu
mengendalikannya.
Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang belum
berforma lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, merugikan,
melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari dalam diri sendiri.
Sedangkan segenap komponen dan komponen kunci terlibat dalam pusaran
krisis multidimensi forma yang belum berforma, sehingga meraka tidak
mampu dan tidak akan mampu mengatasi persoalan internal bangsa, jika
mereka tidak mampu keluar dari dimensi forma yang belum berforma.
Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk mengambil peruntungan
pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari dan
44
memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis
multidimensi forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan
diperluas dengan adanya interaksi potensi-potensi negatif komponen kunci.
Potensi-potensi negatif komponen kunci telah memberikan pengaruh dan
memperbesar daya ontologis krisis multidimansi bangsa untuk menjadi bola
liar tak terkendali menuju subordinat potensi negatif dominan dunia di
bawah pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah digunakan
potensi negatif dunia untuk memperkokohkan kedudukannya dengan
membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban bangsa-bangsa dunia
(Marsigit, 2014). Potensi negatif dunia dapat menjadi satu pembelajaran
bahwa pendidikan yang berkemajuan memerlukan tantangan tersebut.
Peradaban dunia mempengaruhi pendidikan di berbagai negara. Peradaban
menciptakan tesis dan anti tesis terhadap apa yang telah dihasilkannya.
2. Epistemologi
Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan sebagai upaya merefleksikan
kondisi faktual pendidikan dan harapan di waktu yang akan datang,
berbasis pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui suatu tesis bahwa
sebagai bangsa kita masih belum terlepas dari krisis multidimensi.
Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi faktual kita dalam
berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsa-
bangsa lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut
masih bersifat laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai
dengan beragam konflik dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan
kekisruhan bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya; dekadensi moral;
45
missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak dapat
dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga yang
mencari solusi dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme,
egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten,
klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya instant dan hedonisme;
kebijakan diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas dasar
kepentingan sesaat dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan
nepotisme. Untuk mampu melihat secara jernih segala unsur yang
terkandung di dalam krisis multidimensi tersebut, kita perlu melakukan
kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat, politik dan ideologi
khususnya bidang pendidikan.
Telaah filsafat telah memberi petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran
dalam sejarahnya; sedangkan politik dan ideologi telah memberikan
konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat benang merah secara
filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa
Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi
besar dunia di satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog
kecerdasan lokal atau kearifan lokal.
Pendidikan terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya.
Dimensi pengalaman hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa
Pendidikan Esensialisme Mutlak dengan demikian akan bersifat Anti-
Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain yang dapat diturunkan bahwa
diapun pada akhirnya bersifat Materialisme, Realisme, dan
Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme mengejar
46
kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya
sekaligus sebagai pusatnya. Jika diekstensikan maka dengan mudah dapat
dipahami bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada akhirnya juga bersifat
Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai
sejalan dengan Humanisme,Empirisisme, Nihilisme, Reduksionisme, dan
Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan
Esensialisme dan Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan
Hedonisme.
Secara normatif, Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka
Pendidikan Realisme Mutlak bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan
Materialisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar
hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan Rasionalisme Mutlak
berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia
adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat
diturunkan yaitu Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan
bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis diametris dari Rasionalisme adalah
Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar hakekat
kebenaran pada Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat Anti-
Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat
Materialisme, Eksploitasi Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan
Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak. Pendidikan Relativisme Mutlak
mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka
bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan
sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka
47
(Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang
bersifat Saintisisme Mutlak, Anti-Spiritualisme, Pendidikan Laskar,
Kapitalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme, Materialisme, Liberalisme,
Open-ended Mutlak (Marsigit, 2014).
3. Aksiologi
Peran pendidikan dimulai dari aspirasi masyarakat yang
menginginkan kecerdasan dalam kehidupan berbangsa (Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945). Kehidupan berbangsa harus dijalani masyarakat
Indonesia dengan mempunyai kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor berbasis kearifan lokal (local wisdom) dan penguasaan
teknologi informasi komunikasi.
Pendidikan yang Berkemajuan akan menjamin masyarakat menjadi melek
teknologi, informasi, dan komunikasi sehingga mampu beradaptasi.
D. Filsafat Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Pengembangan pendidikan tidak akan sukses selama pelaku-pelaku yang
berkompeten untuk menunjang pendidikan tersebut tidak saling bekerja sama.
Oleh karena itu, pengembangan pendidikan perlu dilakukan di luar sekolah atau
pada masyarakat secara umum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing
(Yunus, 2014: 6). Secara filsafat maka pengembangan pendidikan berbasis
kearifan lokal yaitu termasuk dalam aliran filsafat pragmatisme. Pragmatisme
berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria
kebenarannya adalah ”faedah” atau ”manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap
oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu
48
teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan). Dalam usahanya
untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan
berbagai filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik,
yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan
pendirian yang dianut masing-masing pihak. Konsep atau gagasan dari para tokoh
perjuangan atau pahlawan atau dari sebuah bangunan sejarah yang mempunyai
makna kehidupan dapat diimplementasikan dalam pendidikan pada saat ini.
1. Ontologi
Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh
pendidikan yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan
kebudayaan di dalam kurikulum pendidikan. Mulai dari TK (Taman
Kanak-kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur
kebuda-yaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca
indera jasmani, kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti.
Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,
mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu, cerita
dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran
dan budi pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar, misalnya di Sekolah
Menengah Pertama (Taman Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah
Menengah Madya), diberikan pelajaran olah gendhing (Suparlan, 2015).
2. Epistemologi
Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar telah
mengakibatkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya
49
mencerdaskan kehi-dupan bangsa dan proses pemerdekaan manusia,
tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas. Untuk
menangkal model pendidikan sebagai komoditas maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap
distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat pendidikan adalah sebagai usaha
untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak,
sehingga anak menjadi manusia yang utuh baik jiwa dan rohaninya.
Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut dengan filsafat
pendidikan among yang di dalamnya merupakan konvergensi dari
filsafat progresivisme tentang kemam-puan kodrati anak untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi deng-an memberikan
kebebasan berpikir seluas-luasnya, dipadukan dengan pemikir-an
esensialisme yang memegang teguh kebudayaan yang sudah teruji
selama ini. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara menggunakan
kebudayaan asli Indonesia sedangkan nilai-nilai dari Barat diambil
secara selektif adaptatif sesuai dengan teori trikon (kontinyuitas,
konvergen dan konsentris). Tiga kontribusi filsafat pendidikan Ki Hadjar
Dewantara terhadap pendidikan Indonesia adalah penerapan trilogi
kepemimpinan dalam pendidikan, tri pusat pendidikan dan sistem
paguron. Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat
Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam per-
50
guruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat
(Suparlan, 2015).
Dwiarso (2010) mengemukakan Ki Hadjar Dewantara
memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan
diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini, yai-tu
Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No,
yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton
di sini adalah secara pasif dengan segenap panca indera.
Niteni (affective) adalah menandai, mem-pelajari,
mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan nirokke
(psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal
menghadapi perkembangan anak (Suparlan, 2015).
Selain Ki Hadjar Dewantara, di Kalimantan Tengah juga ada Huma
Betang, Abubakar HM (2016) mengemukakan Huma Betang mememiliki
filosofis secara sosiologi pada kehidupan masyarakat dan diatur dalam
Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 10 tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16
Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah .
Huma Betang adalah rumah adat khas yang dihuni oleh masyarakat
Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat
pemukiman suku Dayak Kalimantan Tengah. Hal inilah yang melandasi
adanya Huma Betang bila dilihat dari konteks sejarah maka tidaklah heran
bahwa Huma Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi masyarakat
Kalimantan Tengah. Mengenai model bangunan perlu disampaikan bahwa
51
Huma Betang menyerupai rumah panggung yang apabila dilihat dari
model dan kontruksi bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan
memanjang, secara tidak langsung hal tersebut merujuk kepada maksud
dan tujuan. Secara garis besar tinggi dari pada Huma Betang tersebut
berkisar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah dan panjang
bangunan diperkirakan mencapai 150 dan lebar sampai dengan 30
meter(4).
Huma Betang di Kalimantan Tengah adalah perilaku hidup yang
menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta
taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Dalam
Huma Betang tersebut terdapat empat pilar falsafah hidup utama yaitu:
Kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan menjunjung tinggi Hukum adat
dan Hukum nasional dengan menjunjung tinggi prinsip hidup “Belom
Bahadat” (artinya hidup bertata krama dan beradab) dan “Belom Penyang
Hinje Simpei” (hidup dalam kedamaian, kebersamaan, kesetaraan,
keharmonisan, toleransi, menjunjung tinggi hukum dan kerja sama untuk
meraih kesejahteraan bersama).
Falsafah Huma Betang yang merupakan pilar kehidupan masyarakat
Dayak kalimantan Tengah berkaitan erat dan sesuai dengan falsafah
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Interkoneksi nilai-nilai Huma Betang dengan falsafah
Pancasila meliputi nilai untuk hidup saling tolong menolong, rukun, saling
menjaga keamanan dan pertahanan, serta saling menghargai dan memberi
52
kebebasan beragama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
(Pelu dan Tarantang, 2018).
Di lain daerah, Fakta sejarah bahwa masyarakat Gorontalo memiliki
tradisi yang jika diperhatikan dengan baik akan melahirkan kondisi
kolektif di masyarakat. Pengakuan dan pelaksanaan nilai kolektifitas inilah
sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara ini
sesulit apapun kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat jika
dihadapi dengan rasa kebersamaan tentu masalah itu dapat diatasi. Dan
sarana yang dapat menciptakan rasa kolektifitas masyarakat Gorantalo
adalah Huyula (Yunus, 2014: 8).
Huyula dapat pula disebut sebagai karakter lokal Gorontalo yang
terwariskan secara turun temurun. Menurut Noor (Mohammad, 2005:376-
377) karakter masyarakat adat Gorontalo adalah; penganut agama Islam
yang taat (100% orang Gorontalo) kecuali pendatang dan yang pindah
agama, tetapi masyarakat Gorontalo yang beragama Islam tidak fanatik,
menghormati pemimpin yang sering mengarah pada kultus individu
selama pemimpin tersebut memihak kepada kepentingan rakyat yang
diperkuat oleh ajaran Islam, dan masyarakat Gorontalo sangat familiar,
menghargai kebersamaan, terdiri dari rumpun keluarga yang sangat erat
hubungannya satu sama lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan budaya
Huyula sebagai modal masyarakat Gorontalo membangun daerahnya.
Tetapi, dengan hadirnya globalisasi yang kurang terfilterisasi dengan baik
menyebabkan budaya Huyula sedikit demi sedikit hilang dalam kebiasaan
masyarakat Gorontalo (Yunus, 2014: 8).
53
3. Aksiologi
Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan kepada anak didik karena
merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan,
rasa kesucian, dan rasa keindahan (Suparlan, 2015). Peran Seni tari
melalui makna tari itu sendiri yang harus diterapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Makna dari seni tari itulah yang salah satunya
melandasi filosofi Ki Hadjar Dewantara.
Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Muda
(Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni.
Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik
intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara 'ngerti',
melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta
nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak
menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akalnya,
memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau
melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan
masyarakat (Suparlan, 2015).
Di Kalimantan Tengah, Huma Betang sebagai filosofi masyarakat.
Farada (2015) mengemukakan filosofi dari Huma Betang merupakan
nilai-nilai yang akan selalu melekat pada diri setiap masyarakat
Kalimantan Tengah dalam arti kata, nilai-nilai yang ada didalam Huma
Betang tersebut bukan hanya sekedar warisan akan tetapi untuk dikelola
54
oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Walaupun tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa Huma Betang akan punah seiring berjalannya waktu dan arus
globalisasi dan modernisasi (Pelu dan Tarantang, 2018).
Di Gorontalo, budaya Huyula merupakan budaya Gorontalo
yang diwariskan oleh leluhur yang memiliki nilai-nilai seperti
kerja sama, tanggung jawab dan toleransi yang mulai
dilupakan oleh masyarakat Gorontalo sehingga kondisi ini jika
tidak mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat
Gorontalo akan menyebabkan hilangnya budaya Huyula di
Gorontalo (Yunus, 2014: 9).
E. Filsafat Pendidikan dalam Pembelajaran abad 21
Pembelajaran abad 21 merupakan pembelajaran yang menggabungkan
beberapa pemikiran dari aliran filsafat kritisisme, idealisme, renaissance, dan
eksistensialisme. Aliran-aliran tersebut membawa pengaruh pada pembelajaran
abad 21 untuk mengabungkan aktivitas berpikir kritis, kreatif, komunikasi, dan
kolaborasi.
1. Ontologi
Globalisasi merupakan era dimana tidak ada lagi batas antara
negara-negara dalam menjalani kerjasama dalam berbagai bidang yaitu
ekonomi, sosial budaya, politik, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan
perdamaian dunia (Ben-Peretz, 2009). Pengaruh globalisasi yang sedang
dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu
yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan
55
datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa Indonesia harus secara
serius menangani masalah ini (Suparlan, 2015).
Harari (2018) mengemukakan tentang bagaimana pikiran manusia
menghadapi masa kini. Pikiran kita saat ini adalah akumulasi perjalanan
budaya sapiens selama 2,5 juta tahun. Jadi otak manusia adalah biologis,
tetapi pikiran adalah budaya. Karena pikiran adalah produk budaya, ia
rentan terhadap relasi kekuasaan sama seperti bentuk-bentuk budaya
lainnya. Maka itu akan memengaruhi cara kita melihat 'kebenaran'.
Setelah berevolusi selama 2,5 juta tahun, apakah kita semakin pintar?
Sepertinya tidak. Produk utama pikiran manusia pada abad 21 adalah
kebodohan. Dia memperingatkan bahwa, "Kita seharusnya tidak
meremehkan kebodohan manusia.” Ada dua produk utama pikiran
manusia 'bodoh' pada abad ke-21: yang pertama adalah Artificial
Intelligence (AI). Produk kedua adalah serangkaian logika manusia yang
terpelintir.
AI tidak bodoh. Sebaliknya, itu cukup cerdas seperti namanya.
Namun AI menampilkan paradoks dari kecerdasan kita. Pikiran manusia
begitu pintar sehingga mampu menciptakan sesuatu yang bahkan lebih
pintar daripada manusia itu sendiri. Tunggu dulu, ini tidak terdengar
pintar sama sekali. Mungkin ini bodoh. Mengapa pikiran manusia
menciptakan sesuatu yang akan membuat pikiran manusia itu sendiri
usang? Ini cukup merusak diri jika Anda memikirkannya. Bunuh diri
penuh kesadaran, dalam setiap arti kata. Disimpulkan bahwa manusia
menggunakan kecerdasan mereka untuk menciptakan hal-hal yang pada
56
akhirnya akan membuat pikiran mereka sendiri tidak berguna. Alasannya
adalah karena manusia menyerahkan kekuasaan mereka untuk membuat
keputusan untuk Artificial Intelligence. Pikiran tidak dapat memutuskan
video Youtube mana yang harus ditonton tanpa melihat bagian yang
direkomendasikan. Rekomendasi ini adalah algoritma, yang pada
dasarnya AI secara halus membuat keputusan atas nama saya. Harari
mengatakan bahwa di masa lalu, "... massa memberontak melawan
eksploitasi." Di masa sekarang, "... massa takut tidak relevan." Manusia
dibuat berlebihan oleh AI. Orang-orang diberhentikan dari pekerjaan
mereka karena keputusan yang dibuat oleh bos AI mereka yang dapat
menghitung efisiensi kerja lebih akurat daripada bos manusia. Di mana
manusia kurang? Pada dasarnya kita kekurangan kecepatan. Sekali lagi,
ini adalah kesalahan dan kebodohan kita sendiri untuk menciptakan
sesuatu yang sangat cepat seperti komputer. Era digital kekuatan yang
paling penting diperoleh melalui "konektivitas dan kemampuan
pembaruan". Sayangnya, manusia sangat lambat untuk terhubung dan
memperbarui diri, meskipun nama-nama mewah yang kami berikan
untuk dua keterampilan ini, yaitu sosialisasi dan pendidikan. Untuk
terhubung, kita hanya manusia perlu bersosialisasi untuk membuat
jaringan. Ini membutuhkan banyak waktu dan kesabaran, terutama untuk
mendapatkan kepercayaan orang lain. Untuk memperbaharui diri kita,
kita memiliki institusi mewah yang disebut pendidikan dan proses mewah
yang disebut pembelajaran. Pendidikan formal dari playgroup ke program
doktor membutuhkan rata-rata 26 tahun. Sebaliknya, apa yang harus
57
dilakukan AI untuk menghubungkan dan memperbarui sendiri? Hanya
satu hal: colokkan. Ini akan menghubungkan dirinya dengan AI lain dan
menyerap data dalam hitungan detik. Hanya itu saja. Tidak repot. Tidak
berantakan. Dibandingkan dengan AI, manusia hanyalah sekumpulan
saraf yang tidak efisien. Tidak heran kita dibuat berlebihan.
Setelah AI, yang kedua pada daftar kebodohan manusia adalah
logika bengkok. Kami berpikir bahwa manusia tumbuh lebih bijak setelah
total 2,5 juta tahun berlatih menjadi manusia. Tetap cerdas dan sehat di
tengah-tengah cara berpikir yang tidak konsisten bahwa manusia
mengabadikan untuk menghibur baik secara temporal dan spasial.
2. Epistemologi
Pendidikan adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap mansuia
yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran mengajarkan keterampilan
mengerjakan aktivitas tertentu berdasarkan teori dan pengalaman. Zubaidah
(2016) mengemukakan kehidupan di abad ke-21 menuntut berbagai
keterampilan yang harus dikuasai seseorang, sehingga diharapkan
pendidikan dapat mempersiapkan siswa untuk menguasai berbagai
keterampilan tersebut agar menjadi pribadi yang sukses dalam hidup.
Keterampilan-keterampilan penting di abad ke-21 masih relevan dengan
empat pilar kehidupan yang mencakup learning to know, learning to do,
learning to be dan learning to live together. Empat prinsip tersebut masing-
masing mengandung keterampilan khusus yang perlu diberdayakan dalam
kegiatan belajar, seperti keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah,
metakognisi, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, inovasi dan
58
kreasi, literasi informasi, dan berbagai keterampilan lainnya. Pencapaian
keterampilan abad ke-21 tersebut dilakukan dengan memperbarui kualitas
pembelajaran, membantu siswa mengembangkan partisipasi, menyesuaikan
personalisasi belajar, menekankan pada pembelajaran berbasis
proyek/masalah, mendorong kerjasama dan komunikasi, meningkatkan
keterlibatan dan motivasi siswa, membudayakan kreativitas dan inovasi
dalam belajar, menggunakan sarana belajar yang tepat, mendesain aktivitas
belajar yang relevan dengan dunia nyata, memberdayakan metakognisi, dan
mengembangkan pembelajaran student-centered. Berbagai keterampilan
abad ke-21 harus secara eksplisit diajarkan. Secara singkat, pembelajaran
abad ke-21 memiliki prinsip pokok bahwa pembelajaran harus berpusat
pada siswa, bersifat kolaboratif, kontekstual, dan terintegrasi dengan
masyarakat. Peran guru dalam melaksanakan pembelajaran abad ke-21
sangat penting dalam mewujudkan masa depan anak bangsa yang lebih
baik.
US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi
kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The 4Cs”communication,
collaboration, critical thinking, dan creativity. Kompetensi-kompetensi
tersebut penting diajarkan pada siswa dalam konteks bidang studi inti dan
tema abad ke-21. Assessment and Teaching of 21st Century Skills
(ATC21S) mengkategorikan keterampilan abad ke-21 menjadi 4 kategori,
yaitu way of thinking, way of working, tools for working dan skills for
living in the world (Griffin, McGaw & Care, 2012). Way of thinking
mencakup kreativitas, inovasi, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan
59
pembuatan keputusan. Way of working mencakup keterampilan
berkomunikasi, berkolaborasi dan bekerjasama dalam tim. Tools for
working mencakup adanya kesadaran sebagai warga negara global maupun
lokal, pengembangan hidup dan karir, serta adanya rasa tanggung jawab
sebagai pribadi maupun sosial. Sedangkan skills for living in the world
merupakan keterampilan yang didasarkan pada literasi informasi,
penguasaan teknologi informasi dan komunikasi baru, serta kemampuan
untuk belajar dan bekerja melalui jaringan sosial digital (Zubaidah, 2016).
3. Aksiologi
Setiap siswa belajar dengan cara yang berbeda-beda, sehingga guru
ditantang untuk menemukan cara membantu semua siswa belajar secara
efektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk
pedagogi yang secara konsisten lebih berhasil dari yang lain dalam
membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang
keterampilan abad ke-21. Wagner (2010) dan Change Leadership Group
dari Universitas Harvard mengidentifikasi kompetensi dan keterampilan
bertahan hidup yang diperlukan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan,
dunia kerja, dan kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh
(7) keterampilan berikut: (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan
masalah, (2) kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan
kemampuan beradaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu
berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu
mengakses dan menganalisis informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu
dan imajinasi.
60
Di antara ragam kompetensi dan keterampilan yang diharapkan
berkembang pada siswa sehingga perlu diajarkan pada siswa di abad ke-
21 di antaranya adalah personalisasi, kolaborasi, komunikasi,
pembelajaran informal, produktivitas dan content creation. Elemen
tersebut juga merupakan kunci dari visi keseluruhan pembelajaran abad
ke-21. Dunia kerja juga sangat memerlukan keterampilan personal
(memiliki inisiatif, keuletan, tanggung jawab, berani mengambil resiko,
dan kreatif), keterampilan sosial (bekerja dalam tim, memiliki jejaring,
memiliki empati dan rasa belas kasih), serta keterampilan belajar
(mengelola, mengorganisir, keterampilan metakognitif, dan tidak mudah
patah semangat atau merubah persepsi/sudut pandang dalam menghadapi
kegagalan) (Zubaidah, 2016). Keterampilan abad 21 perlu dikuasai oleh
manusia yang tidak ingin pembelajarannya akan tertinggal jauh.
61
Sumber: http://edorigami.edublogs.org/2010/10/02/comparing-20th-and-21st-century-educational-paradigms/
62
F. Strategi Filsafat Pendidikan Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0
Sistem pendidikan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman,
baik kurikulum, metode dan model, konten, sarana dan prasana, dan media
pembelajaran. Perkembangan zaman saat ini telah memasuki revlosi industri
4.0. Shcwab (2006: 11) mengemukakan.
The word “revolution” denotes abrupt and radical change. Revolutions have occurred throughout history when new technologies and novel ways of perceiving the world trigger a profound change in economic systems and social structures. Given that history is used as a frame of reference, the abruptness of these changes may take years to unfold.
Artinya "revolusi" menunjukkan perubahan yang tiba-tiba dan radikal.
Revolusi telah terjadi sepanjang sejarah ketika teknologi baru dan cara baru
memahami dunia memicu perubahan besar dalam sistem ekonomi dan struktur
sosial. Mengingat bahwa sejarah digunakan sebagai kerangka acuan, maka
perubahan yang mendadak ini mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk berkembang. Sekarang telah memasuki revolusi industri keempat. Itu
dimulai pada pergantian abad ini dan dibangun di atas revolusi digital. Ini
ditandai dengan lebih banyak di mana-mana internet seluler, dengan sensor
yang lebih kecil dan lebih kuat telah menjadi lebih murah, dan dengan
kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin. Teknologi digital yang memiliki
perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan jaringan di inti mereka
bukanlah hal baru, tetapi tidak berhubungan dengan revolusi industri ketiga,
mereka menjadi lebih canggih dan terintegrasi dan, sebagai akibatnya,
mentransformasikan masyarakat dan ekonomi global. Pemahaman tersebut
diinspirasi dari aliran filsafat fenomenologi, bahwa pendidikan selalu
dipengaruhi gejala yaitu adanya perkembangan peran teknologi yang terus
63
meningkat kemajuannya. Teknologi menjadi sumber pengetahuan dan
kebenaran yang wajib untuk diikuti perkembangannya karena akan membantu
pendidikan mencapai tujuannya.
1. Ontologi
Jika kita menuju hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan
Berbasis Rasio atau Berbasis Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat
diturunkan sebagai atau berbentuk Cognitive-Based Education, Anti-
Spiritualisme, Dunia Parsial dan Hedonisme. Dalam era Kontemporer
(Revolusi Industri 4.0), terdapat main-set yang cukup kuat dan signifikan
bahwa semua pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan
mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya
akan mencari hakikat kebenaran ada di dalam Pasar. Dengan metode yang
sama seperti sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
Berbasis Pasar dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-
sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital,
Kompetisi Mutlak, Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme,
ragmatisme, Hedonisme, dan Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif
Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Monokulturisme,
Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak (Nilai Budaya Tertutup Mutlak).
Dari Narasi Besar nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya
Pendidikan Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended
Mutlak, Kebebasan Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi.
Pendidikan Kapitalisme yang bersifat Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital,
64
Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak,
Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong, Closed-ended, dan Alienisasi.
Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme,
Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial dengan sifat
Eksploitasi Vital, Kolaborasi, Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended.
Pendidikan Pragmatisme Mutlak yang bersifat Praktis (budaya instant), Anti-
Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime. Pendidikan Sentralistik yang
bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar, Closed-ended
Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme,
Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang
bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme,
Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia
Terbelah. Pendidikan Demokrasi Pancasila yang seyogyanya bersifat
Spiritualsme, Mono-Dualis (Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-
tertutup, Demokratis, Public Educator, Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal
Ika (monokultur-heterogonomous), dan Dunia-Akhirat (seutuhnya) (Marsigit,
2014).
2. Epistemologi
Bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada pembangunan
mengedepankan infrastruktur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
tetapi lupa bahwa sekarang memasuki era modernisasi dan industrialisasi
berbasis sains dan teknologi sebagai indikator utamanya. Mahfud (2016)
mengemukakan kemajuan sains dan teknologi memang telah mampu
membuka lebar rahasia alam semesta. Komunikasi dan infromasi semakin
65
dekat antara negara-negara di dunia. Pergesekan akibat berbagai kebudayaan,
tata nilai, dan norma saling bertemu membawa konflik dan menjadi beban
pergeseran tata nilai yang dapat menghancurkan manusia, misalnya dengan
tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta dunia.
Kebudayan dan teknologi sering bergeseran satu sama lainnya yang
menyebabkan berbagai patologi sosial di masyarakat. Sebab akibat yang
dirasakan oleh masyarakat juga telah menjadi lahan untuk terus berupaya
berkembang dalam mempertahankan diri. Pendidikan merupakan sistem
pertahanan diri untuk tetap hidup berdampingan dengan era revolusi industri
4.0.
3. Aksiologi
Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin
Ilmu Egosentris dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan
Laskar dan Metode Pendidikan melalui cara Indoktrinasi untuk menuju
Masyarakat Terdealienasi (Uniformitas) sebagai prasyarat terwujudnya
hilirnya bagi Karakter Kontemporer Global (Power Now-
(Neo)Kapitalisme). Oleh karena ini Politik Pendidikan Kontemporer
Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan Kapitalisme dan Politik
Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan
dengan Politik Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi
(Uniformitas). Perlu dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada
kesamaan sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada; sehingga terdapat
wacana bagi diperolehnya Uniformitas hak dan kewajiban (Marsigit, 2014).
66
Strategi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan revolusi
industri 4.0 sehingga masyarakat mampu hidup dalam pergaulan dan
interaksi. Nils A. Shapiro mengemukakan ada enam strategi untuk
mengahdapi tantangan revolusi industri 4.0, yaitu:
a. Perencanaan yang cermat (carefull planning);
b. Latihan dan Pengalaman (training and experince);
c. Bersedia belajar dari orang lain (willingness to learn from others);
d. Bersedia bekerjasama selama dan sekeras diperlukan (commitment
to working as long and as hard as necessary); and
e. Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran (courage to
overcome disappointed and setbeacks) (Mahfud, 2016: 112-115).
Enam hal tersebut merupakan hasil pengalaman di lapangan atau sesuai realitas
empirik. Enam hal tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi dan
karakteristik masing-masing orang sehingga strategi itu dapat berhasil guna sesuai
tujuan dan prosedur yang berlaku.
G. Referensi
Abubakar HM. (2016). Huma Betang dan Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Dayak. Humanika 1(2). 259-294. http:// garuda. ristekdikti. go. id / journal/article/508819
Ben-Peretz, M. (2009). Policy-making in education : a holistic approach in response to global changes. Maryland-The United States of America: Rowman & Littlefield Education
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape-Penguin Random House LLC. Direview: Suzie Handajani (2018): Jurnal Humaniora 30(3). 342-344. http://doi.org/10.22146/jh.v30i3.39310
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
https://en.wikipedia.org/wiki/Philosophy#Philosophical_progress
http://edorigami.edublogs.org/2010/10/02/comparing-20th-and-21st-century-educational-paradigms/
http://en.wikipedia.org/wiki/Philosophy_of_education
67
http://plato.stanford.edu/entries/education-philosophy/
https://powermathematics.blogspot.com/
Kristiawan, M. 2016. Filsafat Pendidikan “The Choice is Yours”. Jogyakarta: Valia Pustaka
Marsigit. (2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan. Orasi Ilmiah pada Rapat majelis Guru Besar. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd
Mahfud, C. (2016). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama
Mudyahardjo, R. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nashir, H. (2018). Muhammadiyah dan Kehadiran Islam Berkemajuan di Indonesia. Makalah ini disampaikan dalam kuliah umum di Monash University, 16 Februari 2018. http://www.suaramuhammadiyah.id/ 2018/02/16/muhammadiyah-dan-kehadiran-islam-berkemajuan-di-indonesia/
Nuzulah, F., Yadri, M., & Fitria, L. (2017). Aksiologi Pendidikan Menurut Macam-Macam Filsafat Dunia (Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Eksistensialisme). Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. http://eprints.umsida.ac.id/id/eprint/573
Pelu, I.E.AS. dan Tarantang, (2018). Interkoneksi Nilai-Nilai Huma Betang Kalimantan Tengah dengan Pancasila. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 14(2). 119-126. DOI: htpps://10.23971/jsam.v14i2.928
Poedjiadi, A. Dan Al Muchtar, S. (2014). Modul Filsafat. Jakarta: UT. http://repository.ut.ac.id/4144/1/IDIK4006-M1.pdf
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat 25(1). 56-74. https://doi.org/10.22146/jf.12614
Tatang. 2018. Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: UPI. http:// file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/...PENDIDIKAN/BBM_2.pdf diakses tgl 19 Desember 2018
Tola, B. (2014). Fungsi Filsafat Pendidikan Terhadap Ilmu Pendidikan. Jurnal Irfani 10(1). 54-62. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir
68
Wilardjo, S.B. (2009). Aliran-Aliran Filsafat Ilmu yang Berkait dengan Ekonomi. Value Added “Majalah Ekonomi dan Bisnis” 6(1). 1-19. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/vadded/article/view/699
Yunus, R. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, tanggal 10 Desember 2016 di Program Studi Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa Sintang – Kalimantan Barat
69