· Web viewKeringanan yang berupa pembebasan keseluruhannya antara lain diberikan terhadap impor...

94
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Transcript of  · Web viewKeringanan yang berupa pembebasan keseluruhannya antara lain diberikan terhadap impor...

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGANLUAR NEGERI

BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI 1.

PENDAHULUAN

Peranan kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama tahun kedua Repelita IV semakin menentukan dalam usaha mencapai sasaran-sasaran pemerataan pembangunan, perluasan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi dalam iklim perekonomian dunia yang bertambah suram. Dalam kerangka prio-ritas pembangunan nasional dan guna menghadapi tantangan-tan-tangan ekstern yang timbul akibat depresi ekonomi, merosotnya pasaran komoditi primer, tersendatnya perluasan perdagangan internasional serta kebijaksanaan proteksionisme di negara negara industri, kebijaksanaan perdagangan dan keuangan luar negeri dalam tahun 1985/86 ditujukan kepada peningkatan dan perluasan ekspor barang-barang di luar minyak dan gas bumi; usaha peningkatan daya masuk dan diversifikasi pasaran eks- por; pengggunaan devisa untuk impor barang dan jasa secara lebih optimal; pemanfaatan modal dari luar negeri serta mem- pertahankan kestabilan pasaran valuta asing dan tingkat ca-dangan devisa.

Gejala-gejala ke arah berbaliknya resesi ekonomi dunia selama tahun-tahun 1983 dan 1984 ternyata tidak bertahan lama, sehingga dalam tahun 1985 produksi dunia secara keselu-ruhan hanya mengalami kenaikan sebesar 2,9% dibandingkan dengan 4,4% tahun sebelumnya. Sebab utama dari perkembangan yang mengecewakan ini ialah menurunnya laju pertumbuhan di Amerika Serikat akibat kemunduran dalam kegiatan investasi, dari 6,5% dalam tahun 1984 menjadi 2,2% dalam tahun 1985. Demikian pula Jepang dan Jerman Barat mengalami penurunan dalam laju pertumbuhan produksi rill mencapai masing-masing 4,6% dan 2,4% dalam tahun 1985. Secara keseluruhan produksi riil negara-negara industri naik sebesar 4,7% dalam tahun 1984 dan hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2,8% dalam tahun 1985. Sebagai akibat dijalankannya kebijaksanaan moneter yang ketat laju inflasi terus menurun sehingga dalam tahun 1985 mencapai 3,9%. Sebaliknya tingkat pengangguran masih tetap menunjukkan kecenderungan menaik, terutama di Eropa Barat dengan tingkat

V/3

pengangguran sebesar masing-masing 13,1% dan 10,8% di Ingge- ris dan Perancis.

Merosotnya kegiatan perekonomian negara-negara industri dalam tahun 1985 sangat mempengaruhi pertumbuhan negara-nega-ra berkembang yang harus menghadapi berbagai masalah yang timbul sejak permulaan dasawarsa delapan puluhan di antaranya keambrukan pasaran dan harga komoditi primer termasuk minyak bumi, ketidak-tentuan di pasaran valuta asing dunia, tingkat bunga yang tinggi, tindakan-tindakan proteksionisme yang di-lakukan oleh negara-negara industri serta krisis hutang yang disertai dengan terjadinya pengalihan dana-dana yang terbalik yaitu dari negara-negara berkembang ke negara-negara indus-tri. Negara-negara bukan pengekspor minyak bumi secara kese-luruhan mengalami kemunduran dalam laju pertumbuhan dari 5,2% dalam tahun 1984 menjadi 4,6% dalam tahun 1985 dengan variasi yang besar menurut wilayah. Produksi riil negara-negara peng-ekspor minyak bumi dalam tahun 1985 menurun dengan 1,1% di-bandingkan dengan kenaikan sebesar 0,7% yang terjadi tahun sebelumnya.

Kemunduran dalam kegiatan produksi dunia berbarengan dengan penurunan yang tajam dalam volume perdagangan dunia, yaitu dari laju pertumbuhan sebesar 8,7% dalam tahun 1984 menjadi 2,9% dalam tahun 1985. Volume ekspor negara-negara industri dalam tahun 1985 naik sebesar 3,9%, sedangkan volume impor mengalami pertumbuhan sebesar 5,2%. Laju pertumbuhan volume ekspor negara-negara berkembang bukan pengekspor mi-nyak bumi dalam tahun 1985 adalah 3,4% dibandingkan dengan 11,7% dalam tahun 1984 dan dalam periode yang sama laju per-tumbuhan impor menurun dari 5,2% menjadi 3,3%. Volume ekspor negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi yang dalam tahun 1984 naik sebesar 0,7% menurun dengan 4,1% dalam tahun 1985, sedangkan impor mereka dalam periode yang sama ber-turut-turut menurun dengan 4,5% dan 8,8%.

Perbandingan antara perubahan harga satuan ekspor dan harga satuan impor dinyatakan dalam SDR dalam tahun 1985 le-bih menguntungkan negara-negara industri sehingga kelompok negara tersebut mengalami perbaikan dalam nilai tukar perda-gangan sebesar 1,8%. Sebaliknya penurunan harga satuan ekspor bagi negara-negara berkembang telah menyebabkan kemunduran dalam nilai tukar perdagangan sebesar 1,2% bagi negara-negara bukan pengekspor minyak bumi dan 4,2% bagi negara-negara pengekspor minyak bumi. Perkembangan nilai tukar perdagangan tersebut disebabkan karena anjloknya baik harga-harga komo-

V/4

diti primer di luar minyak bumi, terutama hasil-hasil per-tanian dan perkebunan, sebesar 12,2% maupun karena harga minyak bumi masih terus menurun dengan 4,4% dalam tahun 1985. Di lain pihak harga barang-barang industri tetap mengalami kenaikan sebesar 1,0%.

Defisit transaksi berjalan negara-negara industri dalam tahun 1985 mengecil menjadi US $ 25,4 milyar dengan perbedaan yang menyolok di antara negara-negara tersebut. Amerika Seri-kat mengalami kenaikan dalam defisit transaksi berjalan se-hingga mencapai US $ 106,5 milyar, sedangkan Jepang dan Jer-man Barat terus berhasil meningkatkan surplus pada transaksi berjalan mencapai, masing-masing US $ 50,2 milyar dan US $ 19,4 milyar dalam tahun 1985. Perkembangan ini mencerminkan ketidak-seimbangan struktural dalam pola perdagangan dan lalu lintas modal serta belum terkoordinasinya kebijaksanaan mone-ter dan fiskal di antara negara-negara industri utama.

Negara-negara berkembang memikul beban yang teramat berat dengan menurunnya nilai ekspor akibat kemerosotan yang tajam dalam pasaran komoditi dan menciutnya pasaran karena kebijak-sanaan proteksionisme pada satu pihak, serta membubungnya ke-wajiban pembayaran bunga dan angsuran hutang-hutang pada lain pihak. Defisit transaksi berjalan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada tahun 1981 dengan jumlah US $ 108,4 milyar. Karena pengekangan im-por, defisit tersebut kemudian menurun pada tahun-tahun beri-kutnya untuk kembali naik dalam tahun 1985 mencapai US $ 44,8 milyar. Negara-negara pengespor minyak bumi berhasil memper-kecil defisit transaksi berjalan mereka menjadi US $ 2,9 mil-yar dalam tahun yang sama berkat menurunnya volume impor se-besar 8,8%.

Guna menghadapi berbagai masalah moneter, keuangan dan perdagangan internasional, selama tahun 1985 negara-negara industri utama menempuh langkah-langkah bersama untuk lebih menyerasikan tingkat bunga, nilai tukar mata uang, arus modal jangka panjang dan jangka pendek, serta neraca perdagangan antar negara-negara bersangkutan. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi negara-negara industri secara lebih mantap. Tingkat bunga menunjukkan ke-cenderungan menurun dan lebih merata sedangkan nilai dollar Amerika Serikat sejak bulan Maret 1985 terus mengalami dep-resiasi terhadap valuta negara-negara industri utama lainnya.

V/5

Usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah khusus yang dihadapi negara-negara berkembang terutama yang berkaitan dengan krisis pelunasan hutang-hutang dan kemerosotan dana-dana baik untuk membiayai defisit neraca pembayaran maupun guna mempertahankan laju pembangunan juga sedang dilakukan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga keuangan multi-lateral. Pada pertemuan tahunan Dana Dana Moneter Internasio-nal dan Bank Dunia dalam bulan Oktober 1985, diakui kebutuhan akan peningkatan dalam pinjaman yang diberikan oleh bank-bank pembangunan multilateral dan bank-bank komersial pada nega- ra-negara yang mempunyai beban hutang yang paling tinggi. Se-lanjutnya Dana Moneter Internasional dalam bulan Maret 1986 telah membentuk Fasilitas Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Facility) guna memberikan bantuan dengan syarat-syarat lunak pada negara-negara berkembang berpenghasilan rendah yang menghadapi masalah neraca pembayaran yang berat.

Dalam kerangka Persetujuan umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT) selama tahun 1985 diadakan persiapan untuk mengadakan putaran baru dari Negosiasi Perdagangan Multila-teral (MTN) atas gagasan dari negara-negara industri. Kepen-tingan bagi negara-negara berkembang yang sedang diperjuang-kan ialah bahwa pelaksanaan program kerja GATT yang telah di-sepakati di masa yang lampau dapat dipercepat, khususnya li-beralisasi perdagangan di bidang hasil pertanian, produk tro-pis dan hasil sumber daya alam, dan bahwa prinsip perlakuan khusus dan preferensial tetap dapat dipertahankan.

Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini disertai deng-an kenyataan meningkatnya kesenjangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang dan tidak berhasilnya usa-ha-usaha yang telah dijalankan oleh negara-negara industri untuk mengatasi masalah keterbatasan volume perdagangan dunia, proteksionisme, arus dana-dana pembangunan, tingkat bunga yang masih tetap tinggi, ketidakseimbangan neraca pem-bayaran serta arus penanaman modal. Kenyataan tersebut kemba-li membuktikan betapa terkaitnya pertumbuhan negara-negara industri dengan pembangunan negara-negara berkembang dan se-kaligus juga betapa erat kaitan masalah-masalah di bidang mo-neter, keuangan, hutang-hutang, arus dana-dana, perdagangan dan pembangunan. Perbedaan pandangan antara negara-negara ma-ju dan negara-negara berkembang terhadap cara mengatasi keme-lut dalam situasi ekonomi internasional tetap menyebabkan ke-macetan dalam usaha mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru yang ditujukan untuk mengadakan perubahan struktural dalam hubung-an antar negara guna mempercepat pembangunan negara-negara berkembang.

V/6

Dalam situasi perekonomian dunia yang tidak menentu, ker-jasama ekonomi dan teknik antar negara-negara berkembang untuk meningkatkan kemandirian bersama mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Dalam rangka Program Aksi Caracas yang dihasilkan oleh pertemuan Kelompok-77 UNCTAD pada tahun 1981, dalam bulan Juli 1985 telah diadakan Pertemuan Tingkat Menteri guns membahas putaran negosiasi pertama ke arah perwujudan suatu Global System of Trade Preferences (GSTP) antar negara-negara berkembang.

Langkah-langkah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi an-tar negara anggota ASEAN selama tahun 1985 terus dilakukan. Perjanjian Perdagangan Preferensial yang ditujukan untuk mem- perluas perdagangan antar negara ASEAN sampai akhir tahun 1985 mencakup 12.634 jenis barang yang diberikan pengurangan bea masuk antara 20% - 50%. Di samping produk-produk tersebut kini juga sedang dijajagi kemungkinan pemberian preferensi secara sektoral, khususnya dalam sektor bahan makanan dan sektor ban mobil. Di bidang industri, dalam rangka pendirian proyek-proyek ASEAN, Proyek Pupuk Urea di Bintalu, Malaysia dalam tahun 1985 telah mulai berproduksi. Proyek Pengolahan Abu Soda di Muang Thai, Proyek Pengolahan Tembaga di Phili- pina dan Proyek Hepatitis B Vaccine di Singapura masih berada dalam berbagai tahap pembangunan. Dalam rangka kerjasama ASEAN dengan negara atau kelompok negara ke tiga, antara lain Amerika Serikat, Kanada, MEE, Jepang, Australia dan Selandia Baru terjadi kemajuan yang cukup besar. Berdasarkan Perjan- jian Kerjasama antara MEE dan ASEAN telah dilakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan perdagangan dan investasi.

B. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI.

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri.

Kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar ne-geri berpangkal tolak pada sasaran utama pembangunan jangka panjang, yaitu terciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri. Agar tingkat pertumbu- han ekonomi jangka panjang cukup memadai, dan agar hasil se-tiap tahap pembangunan dapat merupakan landasan yang kuat untuk pembangunan selanjutnya, maka kebijaksanaan perdagangan dan keuangan luar negeri ditujukan untuk mengembangkan struk-tur produksi barang-barang perdagangan internasional yang mampu bersaing baik di pasaran dalam negeri, untuk barang-ba-

V/7

barang yang bersifat substitusi impor, maupun di pasaran in-ternasional, untuk barang-barang ekspor. Sementara Indonesia belum mampu untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendi-ri, kebijaksanaan juga ditempuh untuk memanfaatkan modal dan teknologi luar negeri. Lebih lanjut, untuk memperkuat keta-hanan ekonomi, sebagai ekonomi yang terbuka dan dengan sistem devisa yang bebas, kebijaksanaan juga diarahkan untuk mem-pertahankan cadangan devisa yang memadai serta menjaga ting-kat serta kestabilan nilai tukar rupiah.

Menyadari pentingnya peningkatan efisiensi dalam lalu lintas barang dalam menunjang kemampuan bersaing industri da-lam negeri, maka Pemerintah dalam tahun 1985/86 telah mengam-bil langkah penting dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.4 Tahun 1985 tentang kebijaksanaan kelancaran arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi. Kebijaksanaan tersebut me-nyangkut masalah tatalaksana ekspor dan impor barang, pelaya-ran antar pulau, biaya angkutan laut, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum perusahaan pelayaran, dan tatalaksana operasionil pelabuhan.

Perihal tatalaksana ekspor antara lain diatur bahwa arus barang ekspor tidak perlu lagi melalui pemeriksaan pabean. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan apabila ada kecurigaan bahwa barang-barang ekspor tersebut termasuk barang yang ter-kena pengendalian atau larangan ekspor; atau apabila barang tersebut adalah barang yang terkena pajak ekspor/pajak ekspor tambahan yang pajaknya tidak dibayar sebagaimana seharusnya. Dalam pada itu terhadap barang-barang ekspor yang mendapat fasilitas Sertifikat Ekspor (SE), pemeriksaan barangnya dila-kukan di tempat tujuan ekspor oleh surveyor Societe General de Surveillance (SGS) yang ditunjuk oleh PT (Persero) Super-intending Company of Indonesia (Sucofindo) atau Pemerintah.

Mengenai tatalaksana impor, ditetapkan bahwa terhadap barang impor yang telah dilengkapi dengan Pemberitahuan Pema-sukan Barang Untuk Dipakai (PPUD), Bill of Lading (B/L), La-poran Kebenaran Pemeriksaan (LKP), dan Bukti Pembayaran Bea Masuk tidak lagi dilakukan pemeriksaan pabean. LKP tersebut diatas diterbitkan oleh SGS di negara (tempat) asal barang impor setelah meneliti kebenaran mengenai jenis dan mutu barang, volume barang, harga, biaya angkutan, Timor pos tarif, tarif bea masuk, dan PPN.

Untuk mengurangi biaya angkutan laut maka biaya pelabu- han, biaya bongkar-muat barang, dan biaya OPP/OPT dikurangi.

V/8

Dalam hal biaya pelabuhan tarif uang pandu, uang tunda, dan uang dermaga disederhanakan dan dikurangi; uang kepil ditia-dakan; uang tambat masa I diperpanjang; dan pungutan penguru-san penerimaan uang untuk pekerjaan kesyahbandaran (PUK) di-tiadakan.

Guna memperlancar arus barang ekspor dan impor, terhadap perusahaan pelayaran asing yang telah menunjuk agen, maka kapal-kapal yang dioperasikannya dapat memasuki perairan di pelabuhan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Pelabuhan yang boleh disinggahi oleh kapal-kapal tersebut adalah semua pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri.

Sebagai hasil dari kebijaksanaan tersebut diatas, arus barang antar pulau, ekspor dan impor menjadi jauh lebih lan-car, dan biaya angkutan laut dapat ditekan seminimum mungkin.

Sebagaimana halnya dalam tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1985/86 Pemerintah tetap mempertahankan sistem devisa bebas serta melanjutkan kebijaksanaan nilai tukar yang me-ngambang terkendali. Kedua hal tersebut sangat menunjang pe-laksanaan pembangunan ekonomi secara keseluruhan maupun nera- ca pembayaran pada khususnya.

Sistem devisa yang bebas serta kebijaksanaan nilai tukar yang mengambang terkendali telah memungkinkan terciptanya iklim usaha yang menarik baik bagi penaman modal luar negeri maupun penaman modal dalam negeri. Khususnya melalui kebijak-sanaan nilai tukar yang mengambang terkendali dimungkinkan terciptanya nilai tukar yang realistis. Kebijaksanaan nilai tukar yang realistis pada gilirnya menunjang daya saing ba-rang-barang ekspor di pasaran luar negeri dan mengurangi has-rat untuk mengimpor dan oleh karenanya meningkatkan produksi dalam negeri untuk barang-barang substitusi impor.

Sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan ekspor tahun-ta-hun sebelumnya, dan disesuaikan pula dengan perkembangan kea-daan, Pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian dan pe-nyempurnaan di bidang tataniaga, perpajakan, perkreditan, pe-ngawasan mutu, dan lembaga penunjang ekspor lainnya.

Di bidang tataniaga, telah diadakan penyempurnaan tata-niaga ekspor pala dan bunga pala serta tataniaga kopi. Indo-nesia adalah produsen pala dan bunga pala yang terbesar di dunia. Oleh karena itu persaingan yang tidak sehat di dalam negeri akan dapat merugikan diri sendiri. Untuk menghindari

V/9

hal itu, maka Pemerintah mengukuhkan berdirinya Badan Koordi-nasi Pemasaran Bersama (BKPB) ekspor pala dan bunga pala yang dibentuk oleh Asosiasi Pala Indonesia (ASPIN). Bersamaan dengan itu ditetapkan bahwa penawaran ke luar negeri dan kontrak-kontrak penyerahan untuk ekspor pala dan bunga pala harus melalui BKPB-ASPIN.

Sebagai akibat dari gagalnya panen kopi di Brasil, harga kopi di pasaran internasional melampaui batas harga tertinggi yang ditetapkan oleh Organisasi Kopi Internasional (ICO). Oleh karena itu sistem kuota ekspor kopi ICO dibekukan mulai 9 Pebruari 1986. Untuk mengambil manfaat semaksimal mungkin dari pembekuan sistem kuota tersebut, serta dalam rangka mem-perlancar pelaksanaan ekspor kopi, Pemerintah telah menetap-kan ketentuan mengenai jatah nasional kopi. Jatah nasional tersebut dibagi kepada eksportir terdaftar kopi berdasarkan prestasi eksportir pada tahun 1984/85, baik ke negara kuota maupun non kuota.

Di bidang perpajakan, dilakukan penyempurnaan terhadap kebijaksanaan yang telah diambil pada tahun-tahun sebelumnya yang antara lain meliputi rasionalisasi struktur bea masuk. Guna menurunkan tingkat proteksi dan mengurangi penyelundup-an, maka berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan dalam bu-lan Maret 1985 telah dilakukan penyesuaian bea masuk secara menyeluruh dengan pengurangan baik tingkat maupun rentang tarif. Tingkat maksimum diturunkan dari 225% menjadi 60%, dengan beberapa pengecualian sedang jumlah golongan diturun-kan dari 26 menjadi 16. Sehubungan dengan turunnya harga be-berapa barang ekspor, maka guna mempertahankan pamasaran barang ekspor tersebut dalam tahun 1985/86 pajak ekspor (PE) diturunkan dari 5 persen menjadi 0 persen untuk minyak kelapa mentah, refined bleached deodorized dan crude stearin, serta biji dan inti kelapa sawit. Selanjutnya, pajak ekspor tambah-an (PET) juga diturunkan dari 10 persen menjadi 0 persen un-tuk minyak kelapa sawit mentah.

Di bidang prekreditan, dalam tahun 1985/86 Pemerintah telah menetapkan bahwa perusahaan PMA dan Joint Venture yang mempunyai Angka Pengenal Eksportir Terbatas (APET) dapat mem-peroleh fasilitas kredit ekspor. Pemberian kredit ekspor ter-sebut dapat pula dilakukan oleh bank asing. Lebih lanjut apa-bila sebelumnya bank-bank asing hanya diperkenankan memberi-kan kredit di dalam wilayah DKI Jakarta, maka mulai tahun ini khusus untuk tujuan ekspor, bank-bank asing di Indonesia di-

V/10

perkenankan memberikan kredit modal kerja di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam rangka peningkatan mutu barang ekspor, diberlakukan ketentuan bahwa untuk setiap mata dagangan yang diterapkan pengawasan mutunya, harus memenuhi Standar Perdagangan (SP) yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Selanjutnya terha-dap barang-barang tersebut harus diuji mutunya oleh Laborato-rium Penguji Mutu guna memperoleh Sertifikat Mutu (SM). Namun demikian kepada eksportir yang telah mampu melaksanakan peng-awasan mutu diberikan hak untuk menerbitkan SM sendiri. Pada saat ini sudah ada 16 eksportir karet SIR yang telah diberi-kan hak tersebut. Sampai dengan tahun 1985/86 pengawasan mutu sudah diterapkan terhadap 45 komoditi.

Bursa komoditi Indonesia yang sudah lama dipersiapkan, mulai Januari 1986 secara resmi mulai beroperasi, yakni dalam perdagangan fisik karat dan kopi. Bursa tersebut dimaksudkan untuk menunjang perniagaan komoditi secara lebih tertib dan teratur, dan dengan demikian. juga memberikan jaminan dan ke-pastian berusaha.

Sejalan dengan usaha peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi, Pemerintah memandang perlu memberikan bantuan teknis khususnya di bidang pemasaran luar negeri dan manage-ment produksi bagi para eksportir dan lembaga penunjang eks-por. Untuk maksud tersebut, pada tanggal 7 Maret 1986 telah dibentuk Dewan Penunjang Ekspor (DPE) yang anggautanya ter- diri dari dunia usaha dan Pemerintah. Tugas DPE antara lain adalah membantu meningkatkan kemampuan eksportir dan lemba- ga-lembaga penunjang ekspor melalui bantuan teknis, konsul-tasi, dan bantuan-bantuan lainnya.

Di samping itu, untuk menunjang ekspor, telah didirikan PT Asuransi Ekspor Indonesia (PT ASEI). Dengan terbentuknya PT ASEI maka penyelenggaraan jaminan ekspor dan asuransi kre-dit ekspor, yang semula merupakan tanggung jawab PT Askrindo, sejak tanggal 30 Nopember 1985 ditangani oleh PT ASEI.

Usaha memperluas pasaran ekspor hasil industri terus di-laksanakan dalam tahun 1985/86, antara lain melalui pengiri-man misi dagang dan pameran dagang ke luar negeri Serta kon-sultasi antara para atase perdagangan dan perwakilan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia di luar negeri di satu pihak dengan pengusaha eksportir di lain pihak. Usaha diversifikasi ekspor tersebut tidak saja terbatas pada mata dagangan eks-

V/11

por, tetapi juga arah pasar. Sehubungan dengan itu da- gang bukan saja dikirim ke pasaran tradisional seperti Ameri-ka Serikat, Eropa Barat, dan Jepang, tetapi juga Eropa Timur dan RRC. Untuk meningkatkan hubungan dagang langsung antara Indonesia dengan RRC, maka pada tanggal 23 Juli 1985 telah dikeluarkan INPRES yang memuat pedoman penyelenggaraan hubu-ngan dagang langsung. Sebagai kelanjutannya, telah dikeluar-kan Surat keputusan Menteri Perdagangan mengenai pelaksanaan ekspor-impor ke dan dari RRC dan sekaligus mencabut dan me-nyatakan tidak berlaku lagi keputusan Menteri Perdagangan No. 102 Tahun 1967 tentang larangan ekspor ke negara RRC.

Untuk mengamankan ekspor, pada tanggal 4 Maret 1985 Indo-nesia menandatangani Code on Subsidies and Countervailing Du-ties agar tidak dikenakan bea masuk tambahan bagi barang eks-por Indonesia yang oleh negara pengimpor dianggap telah di-beri subsidi ekspor oleh Pemerintah Indonesia. Sehubungan dengan itu telah disampaikan penjelasan bahwa Indonesia seca-ra bertahap akan menghapuskan subsidi yang berbentuk SE mulai 1 April 1986 serta mengembalikannya pada sistem murni "draw back". Selain itu Pemerintah juga akan menghapuskan "subsidi"

bunga kredit ekspor secara bertahap dalam lima tahun menda-tang, sehingga pada tanggal 1 April 1990 tingkat bunga kredit ekspor akan sama besarnya dengan tingkat bunga kredit komer-sial yang berlaku umum.

Kebijaksanaan sistem imbal beli melalui mana pembelian barang-barang Pemerintah dari luar negeri yang memakai dana APBN dikaitkan dengan ekspor di luar minyak dan gas bumi te-rus dilanjutkan dalam tahun 1985/86. Sampai dengan Maret 1986, kontrak imbal beli yang telah ditandatangani mencapai jumlah US $ 1.517,0 juta, sedangkan realisasinya mencapai US $1.159,2 juta. Adapun negara-negara yang sudah menyetujui perdagangan imbal beli dengan Indonesia mencapai 23 negara, termasuk di dalamnya Amerika Serikat dan Jepang.

Walaupun pada saat ini harga minyak sangat rendah, kegia-tan eksplorasi minyak dan gas bumi masih terus ditingkatkan. Berdasarkan data eksplorasi yang ada pada saat ini, Indonesia diperkirakan mempunyai 50 cekungan yang potensiil mengandung minyak dan gas bumi. Dari jumlah tersebut, baru 18 cekungan yang telah dieksplorasi secara intensif dan 10 buah diantara-nya sudah diusahakan. Untuk meningkatkan kemampuan produksi dan ekspor pada masa mendatang, maka dalam tahun 1985/86 te-lah ditandatangani 3 buah kontrak eksplorasi baru yang meli-puti daerah-daerah daratan dan lepas pantai Bunyu, Gebang

, dan Aru.

V/12

Dalam rangka penghematan penggunaan devisa, produksi bahan bakar minyak (BBM) dari kilang dalam negeri terus di-tingkatkan. Hal ini dimungkinkan dengan telah selesainya pem-bangunan perluasan kilang-kilang Cilacap, Balikpapan, dan unit hydrocracker Dumai. Di samping itu produksi gas bumi juga terus ditingkatkan untuk memungkinkan peningkatan ekspor gas alam cair, peningkatan penyediaan bahan baku untuk indus-tri pupuk urea, serta penyediaan enersi di dalam negeri me-lengkapi minyak bumi.

Kebijaksanaan di bidang impor ditujukan untuk menunjang pengembangan industri dalam negeri, menjaga kestabilan harga bahan pokok tertentu yang diperlukan masyarakat, mengarahkan penggunaan devisa, dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Dalam rangka mendorong pengembangan industri dalam nege- ri, sebagaimana halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 1985/86 dilakukan pula penyesuaian-penyesuaian kembali pengenaan bea masuk. Untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri yang masih memerlukan barang-barang impor dan sekaligus untuk menstabilkan harga-harga dalam negeri, Peme-rintah telah memperluas lagi fasilitas pembebasan bea masuk atas beberapa bahan baku dan penolong maupun mesin berupa pembebasan sebagian atau keseluruhannya. Keringanan yang be-rupa pembebasan keseluruhannya antara lain diberikan terhadap impor kieserite sebagai bahan industri pupuk, soya bean meal sebagai bahan campuran makanan pada industri peternakan, dan barang-barang modal seperti mesin perkakas, mesin piston pem-bakaran, dan bagian-bagian utama kendaraan bermotor niaga. Keringanan yang berupa pembebasan sebagian bea masuk diberi-kan terhadap impor barang-barang untuk industri perakitan, berbagai jenis kertas dan blended tobacco sebagai bahan baku industri rokok. Sementara itu untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri, telah ditetapkan pengenaan/ penambahan ataupun pencabutan pembebasan bea masuk terhadap barang-barang elektronik, alkyl benzene, dan tyrecord fabrics.

Sebagai tindak lanjut dari Inpres No. 4 tahun 1985 , maka mulai tahun 1985/86 diberlakukan ketentuan mengenai tarif bea masuk yang seragam untuk seluruh wilayah pabean Indonesia. Di samping itu untuk impor barang keseluruh Indonesia dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan (PPn) atas barang-barang mewah.

Untuk menjamin kelancaran pengadaan bahan baku/penolong yang masih harus diimpor, dan dengan demikian memberikan ke-pastian berusaha bagi industri, di bidang tata niaga impor

V/13

dalam tahun 1985/86 telah diambil berbagai kebijaksanaan baik yang menyangkut pengaturan kembali maupun pengaturan baru tata niaga impor beberapa komoditi tertentu. Kebijaksanaan tersebut meliputi penunjukan importir dan penentuan jenis dan jumlah impor. Pengaturan kembali tataniaga impor meliputi impor kendaraan bermotor dalam rangka kepentingan Kantor Perwakilan Asing, kertas koran, piston ring, motor penggerak sepeda motor, beberapa produk industri kimia dan bahan baku plastik. Sementara itu pengaturan baru di bidang tataniaga impor meliputi impor bahan baku industri susu dan produk jadi susu, alkyl benzena, serat kapas, bearing, serat tyrecord, dioctyl phtalate (DOP), serat staple polyester, rayon visko-sa, serta kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas.

Dalam rangka menghemat penggunaan devisa maka usaha untuk meningkatkan produksi dalam negeri untuk barang-barang peng-ganti impor terus ditingkatkan. Sehubungan dengan itu, kini telah dipersiapkan pengadaan bibit jagung dan kedele serta 177 ribu hektar lahan di Jawa untuk ditanami jagung dan ke-dele. Sementara itu Proyek Aromatik di Plaju, Sumatara Sela-tan diharapkan sudah akan menghasilkan bahan baku polyester pada bulan April 1986 dengan kapasitas 150.000 ton per tahun. Selain itu Pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan pem-bangunan proyek industri rayon terpadu sesuai dengan rencana penjadwalan kembali proyek-proyek dengan investasi dan kompo-nen impor yang besar. Pabrik ini akan menghasilkan dissolving pulp sebanyak 82.500 ton per tahun, dan serat rayon kualitas tinggi (high wet modulus rayon) sebanyak 54.000 ton per ta-hun. Di samping itu, dalam rangka menjaga keseimbangan neraca pembayaran, sejak 1983 Pemerintah secara konsisten menghin-dari pengeluaran-pengeluaran yang mempunyai komponen impor yang tinggi. Kebijaksanaan moneter/perkreditan juga memperhi-tungkan pengaruhnya terhadap impor dan oleh karenanya juga terhadap keseimbangan neraca pembayaran.

Kebijaksanaan di bidang jasa-jasa dalam tahun 1985/86, sebagaimana telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, te-tap diarahkan untuk meningkatkan penerimaan devisa serta penghematan penggunaan devisa.

Untuk meningkatkan penerimaan devisa dari sektor pariwi-sata berbagai langkah telah ditempuh yang antara lain berupa pembukaan jalur penerbangan langsung, peningkatan pelayanan wisata, pengembangan obyek wisata, dan pembangunan hotel-ho-tel. Promosi pariwisata dan kerjasama antara biro pariwisata dalam dan luar negeri juga terus ditingkatkan. Pemberian

V/14

fasilitas bebas visa untuk kunjungan selama kurang dari dua bulan di Indonesia dalam tahun 1985/86 diperluas dari 26 ne-gara menjadi 29 negara. Tiga negara baru yang memperoleh fa-silitas tersebut di atas adalah Brunei Darussalam, Irlandia, dan Lichtenstein.

Di bidang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, dalam tahun 1985/86 ditetapkan kebijaksanaan yang memberikan perlindungan lebih banyak kepada TKI yang berada di luar negeri. Kebijaksanaan tersebut juga ditujukan untuk mengirim tenaga yang memenuhi persyaratan kualitas yang dite-tapkan.

Dalam upaya menghemat pengeluaran devisa, Pemerintah me-lanjutkan usaha-usaha yang telah dirintis pada tahun-tahun sebelumnya, seperti penggunaan pesawat Garuda untuk mengang-kut jemaah haji Indonesia. Dalam tahun 1985/86 usaha tersebut diperluas sehingga meliputi pula penggunaan pesawat Garuda dalam rangka pengiriman TKI.

Kebijaksanaan lalu lintas modal tahun 1985/86 yang meli-puti lalu lintas modal Pemerintah dan swasta masih merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Peme-rintah tetap berpedoman bahwa dana dari luar negeri tersebut berfungsi sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dan harus memenuhi persyaratan bahwa penggunaannya sesuai dengan renca- na pembangunan, terlepas dari ikatan politik, dan tidak me-ngakibatkan ketergantungan yang terus menerus pada luar nege-ri; sedang pelunasannya tidak membebankan neraca pembayaran di masa mendatang.

Dalam hubungan tersebut diatas maka di bidang pinjaman luar negeri Pemerintah mengambil sikap yang berhati-hati de-ngan membatasi jumlah pinjaman sesuai dengan kebutuhan. Ter-hadap proyek-proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan kredit ekspor luar negeri, telah ditetapkan pagu kredit yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Di samping itu, untuk me-ngurangi beban pembayaran utang yang lebih berat di masa yang akan datang, Pemerintah telah mengganti beberapa pinjaman de-ngan pinjaman baru yang persyaratannya lebih ringan. Lebih lanjut, Pemerintah senantiasa berusaha untuk melepaskan ke-terkaitan dari negara pemberi pinjaman. Dengan demikian maka dana pinjaman yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebaik baik-nya. Dalam rangka menunjang pengembangan industri dalam nege-ri dan perluasan kesempatan kerja telah diusahakan agar impor

V/15

yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri dalam bentuk kompo-nen.

Dalam hal lalu lintas modal swasta yang meliputi penanam- an modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri swasta, Peme-rintah terus berusaha mendorong pemasukan modal dari luar ne-geri yang diharapkan dapat lebih menggalakkan kegiatan usaha sektor swasta. Sehubungan dengan itu telah dikeluarkan Kepu-tusan Presiden No. 35 tahun 1985 tentang penyederhanaan pro-sedur perizinan yang mulai berlaku mulai 1 April 1985. Dalam keputusan tersebut antara lain ditetapkan bahwa persyaratan perizinan disederhanakan dari 25 menjadi 14 macam. Dengan pe-nyederhanaan tersebut maka waktu yang diperlukan untuk mempe-roleh surat persetujuan tetap (SPT) bagi PMDN, dan surat pem beritahuan persetujuan (SPP) untuk PMA adalah paling lama 6 minggu dibandingkan dengan waktu paling cepat 3 bulan yang diperlukan sebelumnya. Selain itu surat persetujuan sementara (SPS) dihilangkan. Di bidang perpajakan, sehubungan dengan dikeluarkangya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai No. 8 Tahun 1983, maka untuk mendorong penanaman modal, berdasarkan Keppres No. 36 Tahun 1985 ditetapkan bahwa para penanam modal dapat memperoleh kembali biaya pembayaran PPN dalam rangka impor barang modal berupa mesin dan peralatan Serta bahan ba- ku dan bahan penolong selama perusahaan belum berproduksi ko-mersiil. Di bidang perkreditan, Pemerintah telah pula membe-rikan kesempatan kepada perusahaan penanaman modal asing un- tuk memperoleh kredit ekspor dengan suku bunga rendah, yakni 9 persen per tahun. Di bidang imigrasi, juga diberikan kemu-dahan, yakni dengan memberikan visa berdiam sementara kepada manager wilayah dari cabang perusahaan asing di Indonesia. Bagi manager yang akan keluar masuk Indonesia, dapat diberi- kan multiple entry visa.

Agar arah penanaman modal sesuai dengan rencana pemba-ngunan, maka disusunlah Daftar Skala Prioritas (DSP) yang berlaku untuk suatu periode tertentu. Dalam bulan Juli tahun 1985 telah ditentukan DSP 1985 yang merupakan penyesuaian pe-nyesuaian dari perkembangan keadaan. Selain itu dalam rangka usaha menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, Pemerintah terus meningkatkan kegiatan-kegiatan promosi baik melalui pengiriman perutusan resmi pemerintah ke luar negeri, maupun peningkatan kerjasama antara pihak swasta nasional dengan swasta asing.

Ketidakpastian harga minyak internasional yang akhir- akhir ini menunjukkan gejolak yang terus-menerus turun, mero-

V/16

sotnya harga-harga komoditi ekspor non migas di pasaran du- nia, serta akan habis masa berlakunya Sertifikat Ekspor (SE) seperti telah disebutkan di muka, mendorong Pemerintah untuk mengambil serangkaian tindakan yang tertuang dalam Paket Ke-bijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk lebih menunjang kegiatan sektor swasta di bidang ekspor non migas maupun di bidang penanaman modal.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Sebagai konsekuensi dari suatu ekonomi yang terbuka, maka neraca pembayaran Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh kea-daan dan kebijaksanaan ekonomi dalam negeri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstern yang berada di luar kemampuan Pemerintah untuk mempengaruhinya. Perkembangan fak-tor-faktor ekstern tersebut sangat tidak menguntungkan dalam tahun 1985/86. Keadaan perekonomian di negara-negara industri barat, yang menjadi pasaran utama barang-barang ekspor Indo-nesia, masih lesu, seperti yang tercermin dalam tingkat per-tumbuhan ekonomi yang masih rendah dan tingkat pengangguran Yang tinggi. Di samping itu, tingkat suku bunga yang tinggi dan depresiasi dari dollar Amerika Serikat sangat mempengaru- hi biaya arus modal dan pelunasan hutang-hutang luar negeri. Penurunan dalam produksi dan permintaan yang disertai dengan tingkat pengangguran yang tinggi mengakibatkan negara-negara maju tetap mempertahankan sikap protektifnya dalam tahun 1985/86 ini. Situasi pasar internasional yang tidak mengun-tungkan tersebut masih diperberat lagi dengan meningkatnya penawaran serta persaingan diantara negara-negara pengekspor komoditi primer. Faktor ekstern lainnya yang sangat tidak me-nguntungkan neraca pembayaran Indonesia dan merupakan faktor yang terpenting dalam tahun 1985/86 ini adalah menurunnya permintaan dan harga minyak bumi yang sudah mulai dirasakan dalam tahun 1982, dan terutama penurunan drastis yang dialami sejak bulan Desember 1985.

Di samping penyebab yang berasal dari luar negeri terse-but, neraca pembayaran Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kelemahan yang terdapat pada struktur produksi dan ekspor. khususnya dalam hal struktur ekspor, besar kecilnya penerima- an devisa sangat tergantung kepada beberapa jenis barang pri-mer, seperti minyak bumi, kayu, karat, kopi dan timah. Kele-mahan struktural tersebut sangat dirasakan dalam keadaan se-perti yang dialami dalam tahun 1985/86 ini. Oleh karena itu Pemerintah hingga dewasa ini masih terus melaksanakan res-trukturalisasi, terutama di sektor industri.

V/

Walaupun terdapat kelemahan struktural maupun dampak ne-gatif dari faktor ekstern, defisit transaksi berjalan masih dapat dipertahankan dalam jumlah yang lebih rendah dari tahun sebelumnya, yakni US $ 1.832 juta dibandingkan dengan US $ 1.968 juta untuk tahun 1984/85. Di samping itu, neraca pemba-yaran Indonesia dalam tahun 1985/86 masih mengalami kenaikan dalam cadangan devisa yakni sebesar US $ 30 juta. Penurunan defisit transaksi berjalan dalam tahun 1985/86 tersebut dia-tas dimungkinkan oleh penghematan pengeluaran devisa untuk impor yang melebihi penurunan penerimaan devisa dari ekspor (lihat label V-1).

Dibandingkan dengan tahun 1984/85, nilai ekspor total da-lam tahun 1985/86 telah turun dengan 6,5%, yaitu dari US $ 19.901 juta menjadi US $ 18.612 juta. Penurunan terjadi pada ekspor minyak bumi yakni dari US $ 10.625 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 8.816 juta dalam tahun 1985/86, sedang-kan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam cair meningkat dari US $ 5.907 juta menjadi US $ 6.175 juta dan ekspor gas alam cair meningkat dari US $ 3.369 juta menjadi US $ 3.621 juta. Seperti diketahui, penurunan nilai ekspor minyak bumi tersebut di atas adalah sebagai akibat merosotnya harga mi-nyak bumi di pasaran internasional, terutama pada triwulan IV tahun 1985/86 (lihat label V - 2, V - 3 serta Grafik V - 1).

Sebagai hasil kebijaksanaan Pemerintah dalam penghematan penggunaan devisa dan kebijaksanaan pengendalian kurs devisa. yang realistis, nilai impor total dalam tahun 1985/86 telah mengalami penurunan sebesar 13,0%, yaitu dari US $ 14.427 ju-ta menjadi US $ 12.552 juta. Penurunan terbesar terjadi pada impor bukan minyak dan gas alam cair, yaitu dari US $ 11.630 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 10.078 juta dalam tahun 1985/86. Impor sektor minyak bumi juga mengalami penurunan, yaitu dari US $ 2.605 juta menjadi US $ 2.282 juta (lihat Ta-bel V-4, V-5 serta Grafik V-2). Penurunan tersebut mencermin-kan turunnya impor BBM, harga minyak mentah impor, maupun substitusi impor peralatan eksplorasi minyak dengan peralatan hasil produksi dalam negeri. Sementara itu, nilai impor sek-tor gas alam cair tidak berubah, yaitu sebesar US $ 192 juta.

Pengeluaran devisa untuk jasa-jasa telah meningkat dengan 6,0% yaitu dari US $ 7.442 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 7.892 juta dalam tahun 1985/86. Adapun perinciannya ada- lah sebagai berikut: jasa-jasa di sektor bukan minyak dan gas bumi turun dari US $ 4.061 juta menjadi US $ 4.052 juta; sek- tor minyak bumi meningkat dari US $ 2.175 juta menjadi US $

V/18

TABEL V - 1RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN,

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

V/19

NILAI EKSPOR (7.0.B),1983/84 - 1985/86

(dalam juta US dollar)

1) Angka sementara2) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan BBM sebagai hasil olahan (cross purchase) senilai US $ 983 juta

V/20

GRAFIK V - 1NILAI EKSPOR (F.O.B).

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

V/21

TABEL V - 3

NILAI EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),1983/84 - 1985/86

(dalam juta US dollar)

Repelita IY

1983/84 1984/85 1985/86Triwulan

Nilai Nilai (% Ke-naikan)Nilai (% Ke-

naikan)

I. April - Juni 1.143 1.416 (23,9) 1.550 ( 9,5)

II. Juli - September 1.354 1.424 (5,2) 1.408 (-1,1)

III. Oktober - Desember 1.493 1.558 (4,4) 1.511 (-3,0)

IV. Januari - Maret 1.377 1.509 (9,6) 1.706 (13,1)

Jumlah : 5.367 5.907 (10,1) 6.175 ( 4,5)

•) Angka sementara

TABEL V - 4NILAI IMPOR (F.O.B),

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

R e p e l i t a I V

1983/84 1984/85 1985/86

Jenis Komoditi Sem. I Sem. I I Jumlah Sem. I Sem. I I Jumlah (% ke-naikan

sem. I Sem. I I Jumlah(% ke-naikan)

Di luar Minyak Bumidan Gas Alam Cair 6.184 6.631 12.815 5.933 5.697 11.630 (- 9,2) 4.743 5.335 10.078 (-13,3)

Minyak Bumi dan 2)Hasil-hasilnya 2.004 1.269 3.273 1.443 1.162 2.605 (-20,4) 1.171 1.111 2.282 (-12,4)

Gas Alam Cair 67 149 216 105 87 192 (-11,1) 96 96 192 ( 0,0)

Jumlah seluruh impor : 8.255 8.049 16.304 2) 7.481 6.946 14.427 (-11,5) 6.010 6.542 12.552 (-13,0)

1) Angka sementara2) Termasuk BBM sebagai hasil pertukaran dengan ekspor minyak bumi mentah

senilai US $ 983 juta

GRAFIK V — 2N I L A I I N P O R ( F . O . B ) ,

1983/84 — 1985/86

V/24

(dalam juta US dollar) 20.000

15.000--

10.000--

5.000--

0,000

216 E Z Z I

192

192

10.07

TABEL V - 5

NILAI IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

Repelita IV

1983/84 1984/85 1985/86*)

TriwulanNilai Nilai (% Ke-

naikan)Nilai (% Ke-

naikan)

I. April - Juni 3.253 2.915 (-10,4) 2.482 (-14,9)

II. Juli - September 2.931 3.018 ( 3,0) 2.261 (-25,1)

III. Oktober - Desember 3.372 2.918 (-13,5) 2.630 (- 9,9)

IV. Januari - Maret 3.259 2.779 (-14,7) 2.705 (- 2,7)

Jumlah ; 12.815 11.630 (- 9,2) 10.078 (-13.3)

*) Angka Sementara

V/25

2.530 juta; dan sektor gas alam cair meningkat dari US $ 1.206 juta menjadi US $ 1.310 juta. Bagian terbesar dari ja-sa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi terdiri dari pe-ngeluaran untuk pendapatan investasi berupa bunga atas pin-jaman Pemerintah dan swasta Serta transfer keuntungan perusa-haan-perusahaan bermodal asing sejumlah US $ 1.708 juta dalam tahun 1985/86. Sementara itu penerimaan devisa dari pariwisata menunjukkan kenaikan sebesar 15,7% mencapai US $ 553 juta.

Berdasarkan perkembangan ekspor, impor dan jasa-jasa se-perti diuraikan di atas, maka transaksi berjalan dalam tahun 1985/86 mengalami defisit sebesar US $ 1.832 juta. Defisit tersebut adalah 6,9% lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat Tabel V-1).

Defisit transaksi berjalan tersebut dibelanjai dari sur-plus yang diperoleh dari transaksi modal, yang meliputi lalu lintas modal Pemerintah maupun swasta. Arus masuk netto modal sektor Pemerintah dalam tahun 1985/86 adalah sebesar US $ 1.788 juta, sedangkan pemasukan modal netto sektor swasta adalah sebesar US $ 572 juta.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pinjaman netto Pe-merintah mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan di satu pihak jumlah penarikan pinjaman Pemerintah mengalami penurunan yakni dari US $ 3.519 juta menjadi US $ 3.432 juta dan di lain pihak pelunasan kembali pokok hutang pemerintah mengalami kenaikan yaitu dari US $ 1.292 juta menjadi US $ 1.644 juta. Sementara itu pemasukan modal lain (netto) sektor swasta naik dengan US $ 73 juta yakni dari US $ 499 juta men-jadi US $ 572 juta dalam tahun 1985/86.

Berdasarkan perkembangan yang terjadi pada transaksi ber-jalan, pinjaman Pemerintah, pelunasan pinjaman Pemerintah, pemasukan modal lain, dan selisih yang tidak diperhitungkan sebesar US $ 498 juta, maka neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 1985/86 mengalami kenaikan dalam cadangan sebesar US $ 30 juta. Walaupun kenaikan tersebut tidak besar akan tetapi hasil tersebut merupakan prestasi yang tidak kecil, mengingat dalam tahun pembukuan tersebut ekspor minyak bumi mengalami penurunan sebesar US $ 1,809 milyar. Dengan demikian tingkat cadangan resmi pada akhir tahun 1985/86 menjadi US $ 5.841 juta yang cukup untuk membiayai impor di luar minyak dan gas bumi sebanyak 6,3 bulan.

V/26

C. E K S P O R

Sebagai akibat dari melemahnya pasaran minyak yang sudah berlangsung sejak tahun 1982 dan turunnya harga ekspor komo- diti primer, nilai ekspor dalam tahun kedua Repelita IV telah mengalami penurunan sebesar 6,5% yaitu dari US $ 19.901 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 18.612 juta dalam tahun 1985/86. Penurunan harga minyak bumi di pasaran internasional serta penurunan dalam volume ekspor Indonesia telah mengaki-batkan merosotnya nilai ekspor minyak bumi sebesar 17,0%, yaitu dari US $ 10.625 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 8.816 juta dalam tahun 1985/86. Sementara itu nilai ekspor gas alam cair dan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam cair mengalami kenaikan. Nilai ekspor gas alam cair meningkat sebesar 7,5%, yaitu dari US $ 3.369 juta menjadi US $ 3.621 juta dalam tahun 1985/86. Selanjutnya nilai ekspor di luar minyak bumi dan gas alam cair meningkat dari US $ 5.907 juta menjadi US $ 6.175 juta, atau suatu peningkatan sebesar 4,5%. Apabila dibandingkan dengan nilai ekspor pada tahun terakhir Repelita III yang mencapai US $ 19.816 juta, nilai ekspor pa- da tahun kedua Repelita IV adalah 6,1% lebih rendah. Hal ini juga disebabkan oleh penurunan nilai ekspor minyak bumi yang dalam jangka waktu dua tahun telah turun lebih dari US $ 3,2 milyar (lihat Tabel V-3).

Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menyebab- kan banyak mata dagangan ekspor Indonesia di luar minyak bumi dan gas alam cair mengalami penurunan harga yang cukup tajam dalam tahun 1985/86. Harga teh, minyak sawit, karat dan timah telah turun masing-masing sebesar 50,2%; 36,6%; 8,4%; dan 5,8% dalam tahun 1985/86. Namun perkembangan harga yang tidak menguntungkan tersebut dapat diimbangi dengan kenaikan volume ekspor barang yang bersangkutan maupun kenaikan nilai ekspor komoditi lainnya (lihat Tabel V-6, Tabel V-7, Grafik v - 3 Serta Grafik V - 4).

Kayu masih mengambil peranan yang paling penting dian- tara mata dagangan ekspor di luar minyak dan gas alam cair. Dalam tahun 1985/86 nilai ekspor kayu lapis mencapai US $ 838,0 juta, suatu kenaikan sebesar 20,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu volume ekspor naik dengan 17,6% sehingga menjadi 2.475,0 ribu ton. Dalam tahun 1985/86 tersebut, nilai ekspor kayu bulat, gergajian dan olahan men- capai US $ 363,9 juta dengan volume sebesar 2.184,0 ton, yang berarti suatu penurunan masing-masing sebesar 22,7% dan 29,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kebi-

V/27

V/28

6RAFIK V — 3VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARAN6 EKSPOR DI LUAR

MIGAS. 1983/84 — 1985/85

R E P E L I T A IV

Volume (ribu ton)

Nilai(juta US dollar)

V/29

3000

GRAFIK V - 3-1.

Volume (ribu ton)

Ni lai(jute lS dollar)

654.0

300

200

V/30

6RAFIK V - 3-2

1400

Karet Volume (ribu ton)

Nilai(juta US dollar)

1200-

1146.61075.0

V/31

GRAFIK V - 3-3

360

V o l u m e ( r i bu ton )

N i l a i( juta US dol lar)

3 2 0 — 309.0 T i m a h

2 8 0 —

280-

240—

200

1 6 0 —

120

— 8O —

40 —

251.5 247.5

1984/85 1985/86R E P E L I T A IV

V/32

6RAFIK V - 3-4

33

Grafik V –3-5

V/34

Grafik V –3-6

V/35

GRAFIK V — 3—7

70

Tembakau60 — Volume (ribu ton)

— 54.7

49.750 — Nilai(juta US dollar)

43.5

40 —

30 —

20 —

10 —

01984/85 1985/88

R E P E L I T A IV

20.7

27.9

21.7

V/36

GRAFIK V - 3-8

500

Volume (ribu ton)

Ni1ai(juta US dollar)

V/37

TABLE V - 7HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,1)

1983/84 – 1985/86

V/38

GRAFIK V - 4HARGA BEBERAPA J E N I S BARANG EKSPOR.

1983/84 - 1985/86V

V/39

GRAFIK V — 4-1

V/40

GRAFIK V — 4-2

V/41

GRAFIK V — 4-3

V/42

GRAFIK V — 4-4

V/43

GRAFIK V - 4-5

V/44

6RAFIK V - 4-6

V/45

jaksanaan Pemerintah untuk membatasi ekspor kayu bulat dan meningkatkan ekspor kayu olahan dan kayu lapis.

Nilai ekspor karat dalam tahun 1985/86 mencapai US $ 708,3 juta dengan volume sebesar 1.075,0 ribu ton. Jika di-bandingkan tahun 1984/85 berarti suatu penurunan sebesar 17,3% dalam nilainya dan kenaikan sebesar 3,1% dalam volume-nya. Dengan demikian, jika pada tahun 1984/85 mata dagangan ekspor karat menduduki tempat pertama dan berperan sebesar 14,5% dari seluruh penerimaan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam cair maka dalam tahun 1985/86 kedudukannya bergeser ketempat kedua dan peranannya berkurang menjadi 11,5%.

Dalam tahun 1985/86 nilai ekspor kopi mencapai US $ 654,0 juta dengan volume sebesar 294,6 ribu ton, atau suatu kenaikan sebesar 15,1% untuk nilai dan penurunan sebesar 4,1% untuk volume dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan de-mikian nilai ekspor kopi, yang berperan sebesar 10,6% dari keseluruhan ekspor di luar minyak bumi dan gas alam cair, menduduki urutan ketiga setelah kayu dan karat. Peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi tersebut disebabkan oleh me-lonjaknya harga kopi di pasaran internasional yang pada gi-lirnya disebabkan oleh menurunnya penawaran kopi dari Brazil sebagai negara produsen utama kopi dunia akibat musim kemarau panjang yang melanda sejak kwartal IV tahun 1985. Kenaikan harga tersebut di atas melampaui batas tertinggi yang dite-tapkan oleh ICO, dan berlangsung cukup lama, sehingga mendo-rong ICO untuk membekukan sistem kuota yang ada. Dengan pem-bekuan tersebut berarti bahwa setiap negara anggota produsen, termasuk Indonesia, babas menentukan volume ekspor kopi baik ke negara kuota maupun bukan.

Nilai ekspor tekstil, yang dalam tahun terakhir Repe- lita III baru mencapai US $ 290,1 juta, dalam tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup pesat sehingga mencapai urutan keempat dalam tahun 1985/86 dengan nilai ekspor sebe- sar US $ 565,0 juta. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh naiknya ekspor tekstil ke Singapura. Sementara itu eks- por tekstil ke Amerika Serikat dan Jepang mengalami penurunan.

Dalam tahun 1983/84 nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium mencapai US $ 326,5 juta, kemudian menu-run menjadi US $ 314,8 juta dalam tahun 1985/86, dan mening- kat kembali menjadi US $ 329,5 juta dalam tahun 1985/86. Ke-naikan nilai ekspor yang terjadi pada tahun 1985/86 disebab- kan oleh kenaikan dalam nilai ekspor nikel pekatan dan temba-

V/46

ga sebesar masing-masing 3,9% dan 0,6%, sedangkan nilai eks- por hasil tambang lainnya mengalami penurunan.

Selama periode 1983/84 - 1985/86, nilai ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya yang tertinggi dicapai pada tahun 1983/84 yaitu sebesar US $ 276,0 juta. Nilai ekspor ma- ta dagangan tersebut kemudian menurun sebesar 20,5% menjadi US $ 219,3 juta dalam tahun 1984/85 dan meningkat kembali se-besar 23,5% menjadi US $ 270,9 juta pada tahun 1985/86. Ke- naikan ekspor yang cukup tinggi dalam tahun 1985/86 disebab- kan oleh meningkatnya nilai ekspor udang sebesar 23,7% menja- di US $ 226,3 juta. Kenaikan nilai ekspor udang pada gilirnya merupakan hasil usaha penggalakan budidaya tambak yang mampu meningkatkan volume ekspor menjadi 52,0 ribu ton dalam tahun 1985/86, atau suatu peningkatan sebesar 19,3% dibandingkan dengan volume ekspor tahun 1984/85 yang mencapai 43,6 ribu ton.

Surplus penawaran timah yang diperkirakan mencapai 100 ribu ton, sebagai akibat dari meningkatnya produksi timah di-satu pihak dan menurunnya permintaan di lain pihak, serta ke-tidak-mampuan Dewan Timah Internasional (ITC) dalam menyedia-kan dana sebagai alat intervensi harga di pasaran internasio-nal telah mengakibatkan turunnya harga timah. Harga telah turun dari £ 10.270 dalam bulan Pebruari 1985 menjadi £ 8.549 dalam bulan Oktober 1985. Perkembangan yang tidak menguntung-kan tersebut telah menyebabkan terus menurunnya nilai ekspor timah Indonesia dari US $ 309,0 juta dalam tahun 1983/84 men-jadi US $ 251,5 juta dalam tahun 1984/85 dan kemudian turun lagi menjadi US $ 247,5 juta pada tahun 1985/86.

Ekspor aluminium dalam dua tahun pertama Repelita IV ini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Apabila da-lam tahun 1983/84 volume ekspor aluminium baru mencapai 112,0 ribu ton dengan nilai US $ 164,9 juta, maka ekspor tersebut telah meningkat menjadi 219,0 ribu ton dengan nilai sebesar US $ 223,0 juta pada tahun 1985/86. Hal ini berarti suatu ke-naikan rata-rata per tahun sebesar 39,8% untuk volume dan 16,3% untuk nilai.

Perkembangan ekspor teh dalam tahun 1985/86 tampaknya tidak selalu sejalan dengan perkembangan ekspor kopi yang mengalami kenaikan. Nilai ekspor teh telah turun sebesar 36,8% yaitu menjadi US $ 133,4 juta, disebabkan oleh merosot-nya harga teh di pasaran internasional sebesar 50,2% sebagai akibat pulihnya penawaran teh dari India sebagai negara pang-

V/47

hasil dan pengekspor teh utama di dunia.

Perkembangan ekspor lada dalam tahun 1985/86 sangat menggembirakan yaitu mencapai US $ 82,0 juta, atau suatu pe-ningkatan sebesar 25,0% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Seperti halnya dengan mata dagangan kopi, meningkatnya nilai ekspor lada tersebut terutama karena meningkatnya harga lada di pasaran internasional sebesar 80,2% yang pada gilirnya di-sebabkan oleh berkurangnya penawaran lada dari Brazil sebagai negara pengekspor utama yang mengalami bencana kekeringan.

Walau terjadi penurunan harga minyak sawit di pasaran internasional akibat melimpahnya penawaran, nilai ekspor mi-nyak sawit dalam tahun 1985/86 masih sangat menggembirakan, yaitu mencapai nilai sebesar US $ 169,7 juta, atau suatu pe-ningkatan sebesar 79,4% dibandingkan dengan tahun 1984/85. Tingginya kenaikan nilai ekspor tersebut terutama disebabkan meningkatnya volume ekspor dari 175,3 ribu ton dalam tahun 1984/85 menjadi 491,1 ribu ton dalam tahun 1985/86, atau me-ningkat dengan 180,1%. Peningkatan volume ekspor yang terbe-sar adalah ke negara-negara India, Pakistan dan Bangladesh.

Ekspor komoditi pertanian lainnya yaitu tapioka dan ba-han makanan lainnya, bungkil kopra, dan tembakau menunjukkan perkembangan yang menggembirakan pula dalam tahun 1985/86. Nilal ekspor tapioka dan bahan makanan lainnya telah mening-kat dengan 26,9% hingga mencapai US $ 163,2 juta dalam tahun 1985/86. Sementara itu nilai ekspor bungkil kopra dan temba-kau masing-masing mencapai US $ 35,3 juta dan US $ 54,7 juta, atau suatu kenaikan masing-masing sebesar 90,8% dan 25,7% dibandingkan dengan tahun 1984/85.

Kecuali alat-alat listrik, ekspor kelompok barang indus-tri lainnya seperti pupuk urea, semen, dan hasil kerajinan tangan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dalam tahun 1985/86.

Nilai ekspor hasil kerajinan tangan, pupuk urea, dan se-men dalam tahun 1985/86 masing-masing mencapai US $ 182,4 juta, US $ 103,9 juta, dan US $ 22,7 juta. Hal ini berarti masing-masing meningkat dengan 57,2%, 235,2% dan 65,7% diban-dingkan dengan tahun sebelumnya. Permintaan dalam negeri akan semen yang relatif jenuh telah mendorong usaha peningkatan ekspor ke beberapa negara, diantaranya ke India, Bangladesh, Srilangka, dan RRC. Sedangkan ekspor pupuk urea terutama di-tujukan ke Filipina, India, Bangladesh, Vietnam dan RRC.

V/48

Perkembangan ekspor alat-alat listrik dalam tahun 1985/ 86 tidak sebaik seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Semakin tajamnya persaingan ekspor barang-barang sejenis dari Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura merupakan penyebab menurunnya ekspor alat-alat listrik tersebut sebesar 66,8% menjadi US $ 44,5 juta dalam tahun 1985/86.

D. I M P 0 R

Sebagaimana yang terjadi pada dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun terakhir Repelita III dan tahun pertama Repelita IV, impor secara keseluruhan dalam tahun 1985/86 kembali me-nunjukkan penurunan yang cukup berarti, yaitu sebesar 13,0% dari US $ 14.427 juta (f.o.b.) dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 12.552 juta dalam tahun 1985/86. Penurunan tersebut ter-jadi pada impor di luar impor sektor minyak bumi dan gas alam cair sebesar 13,3% dan impor sektor minyak dan gas bumi se-besar 11,5%. Sementara itu, impor sektor LNG dalam tahun 1985/86 adalah sama dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan impor pada tahun terakhir Repe- lita III yang mencapai US $ 16.304 juta, maka impor tahun 1985/86 secara keseluruhan telah menunjukkan penurunan yang cukup tajam, yaitu sebesar 23,0%.

Penurunan impor sektor minyak bumi sebesar 12,4% dari US $ 2.605 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 2.282 juta dalam tahun 1985/86, terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak dan semakin berkurangnya impor bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah (ALC). Pengurangan impor BBM dan ALC tersebut pada gilirannya merupakan hasil dari per-luasan kilang-kilang minyak di Dumai, Balikpapan, dan Cilacap.

Nilai impor di luar impor sektor minyak dan gas bumi da- lam tahun 1985/86 semakin menurun dibandingkan 2 tahun sebe-lumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kurang cerahnya perkem-bangan ekonomi di dalam negeri yang antara lain disebabkan oleh kelesuan ekonomi dunia. Berkurangnya impor tersebut juga terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan Pemerintah di bidang impor, di antaranya kebijaksanaan pengendalian impor barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri melalui pengaturan tata niaga dan pembatasan jumlah barang yang dapat diimpor. Dalam tahun 1985/86 impor dalam rangka bantuan pro- yek menunjukkan penurunan yang berkaitan erat dengan pentaha-pan kembali proyek-proyek besar pemerintah. Sementara itu im-por program berupa impor bahan makanan dan komoditi penting

V/49

lainnya juga menunjukkan penurunan sebagai akibat tidak diim-pornya beras, gula, dan pupuk. Sedangkan impor bukan program juga menurun sebagai hasil dari kebijaksanaan Pemerintah da-lam rangka penghematan penggunaan devisa.

Menurut golongan ekonomi dan berdasar pembukaan L/C, se-bagaimana tahun-tahun sebelumnya, nilai impor (c.i.f.) bahan baku dan penolong dalam tahun 1985/86 masih menduduki urutan pertama yaitu sebesar 47,2% walaupun jumlahnya menurun diban-dingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 47,8%. Peranan impor barang modal, yang tetap menduduki urutan kedua, meng-alami kenaikan yaitu dari 33,5% menjadi 34,9%. Sementara itu impor barang konsumsi menunjukkan sedikit penurunan, yaitu dari 18,7% menjadi 17,9% (lihat Tabel V-8 , V-9 serta Grafik V - 5).

Menurunnya peranan impor barang konsumsi dalam tahun 1985/86 terutama karena menurunnya impor pangan dari US $ 579,2 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 541,8 juta dalam tahun 1985/86, atau suatu penurunan sebesar 6,5%. Penurunan impor pangan yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini pada gilirnya disebabkan karena keberhasilan program peningkatan produksi pangan, terutama beras, yang telah mengubah kedu-dukan Indonesia dari negara pengimpor beras menjadi negara yang berswasembada, bahkan mampu melakukan ekspor. Semen- tara itu, impor bukan pangan telah meningkat dari US $ 532,3 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 808,9 juta dalam tahun 1985/86, atau suatu peningkatan sebesar 52,0%.

Walau peranan impor bahan baku dan penolong dalam tahun 1985/86 mengalami sedikit penurunan namun nilai impornya me-nunjukkan peningkatan yang cukup besar yaitu dari US $ 2.790,5 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 3.567,3 juta dalam tahun 1985/86, atau peningkatan sebesar 27,8%. Pening-katan nilai impor yang cukup besar terjadi pada impor bahan kimia dan benang tenun bukan kapas yang masing-masing mening-kat dari US $ 397,3 juta dan US $ 36,8 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 726,5 juta dan US $ 114,5 juta dalam tahun 1985/86, atau suatu peningkatan masing-masing sebesar 82,9% dan 211,1%. Dalam rangka memberikan kepastian serta me-njamin kelancaran pengadaan bahan baku/penolong yang masih harus diimpor Pemerintah tetap masih memberlakukan pengaturan tataniaga impor bahan baku/penolong untuk 7 kelompok produk industri yaitu, kelompok industri listrik dan elektronika, industri kimia, industri logam, industri mesin mesin perleng-

V/50

TABEL V - 8

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.& F.),l)

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

Repelita IV

Golongan Ekonomi 1983/84 1984/852) 1985/863)

A. Barang-barang Konsumsi 1.187,2 1.111,5 1.350,7a. Pangan 612,1 579,2 541,8

1. Beras 268,9 0,0 -2. Tepung terigu 1,4 3,0 2,43. Bahan makanan lainnya

(termasuk b i j i gandum) 53,5 274,6 262,34. Gula pasir 0,0 0,0 0,65. Lain-lain 288,3 301,6 276,5

b. Bukan Pangan 575,1 532,3 808,9

6. Tekstil 34,6 38,5 38,37. Lain-lain 540,5 493,8 770,6

B. Mahan Baku/Penolong 2.801,2 2.790,5 3.567,3

1. Kapas kasar 157,8 155,6 188,32. Benang tenun kapas 0,7 0,1 0,53. Banana tenun lain 40,2 36,8 114,54. Bahan kimia 342,7 397,3 726,55. Preparat kimia dan farmasi 216,9 180,5 188,16. Pupuk 52,9 61,8 21,17. Semen 7,3 0,2 0,08, Besi beton, besi dan

baja batangan 400,3 318,6 376,89. Lain-lain 1.582,4 1.639,6 1.951,5

C. Barang Modal 2.060,7 1.954,9 2.637,41. Pipa besi atau baja 51,5 28,6 36,22. Mesin-mesin tenaga 263,1 150,9 366,83. Mesin untuk keperluan

industri dan perdagangan 119,8 72,0 236,54. Motor l i s t r i k dan

188,5 218,5transformator5. Aparat penerima dan pemancar 102,3 113,1 299,26. Bis, truk dan traktor 363,0 179,4 79,37. Alat-alat pengangkutan udara 81,0 106,5 124,38. Alat-alat pengangkutan air 32,2 61,9 157,89. Lain-lain 859,3 1.024,0 976,6

Jumlah : 6.049,1 5.856,9 7.555,4

1) Berdasarkan pembukaan L/C2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

V/51

TABEL V - 9

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMIMENURUT GOLONGAN EKONOMI,1)

1983/84 - 1985/86(dalam persentase)

Repelita IV

GOLONGAN EKONOMI 1983/84 1984/852) 1985/863)

1. Barang Konsumsi 19,6 18,7 17,9

2. Bahan Baku/Penolong 46,3 47,8 47,2

3. Barang Modal 34,1 33,5 34,9

1) Berdasarkan pembukaan L/C2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

V/52

GRAFIK V - 5

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI

MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.& F.)1983/84 – 1985/86

(34.t%) (34.9x)

V/53

kapan dan suku cadang, suku cadang kendaraan bermotor dan industri tekstil.

Peningkatan peranan impor barang modal dalam tahun 1985/86 terlihat dari meningkatnya nilai impor dari US $ 1.954,9 juta menjadi US $ 2.637,4 juta, atau meningkat dengan 34,9%. Peningkatan nilai impor yang cukup besar terjadi pada impor mesin untuk keperluan industri dan perdagangan, motor listrik dan transformator, aparat penerima dan pemancar, dan alat-alat pengangkutan air. Sementara itu, nilai impor bus, truk, dan traktor telah mengalami penurunan sebesar 55,8% dari US $ 179,4 juta menjadi US $ 79,3 juta. Hal ini terjadi karena kegiatan perakitan kendaraan tersebut mengalami pe-ningkatan yang cukup pesat dalam tahun 1985/86.

E. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH

Seperti digariskan dalam GBHN, sementara Indonesia belum mampu untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri dapat dimanfaatkan dana dari luar negeri. Pinjaman luar negeri, sebagai pelengkap sumber daya ekonomi yang tidak atau belum cukup tersedia di dalam negeri, dapat merupakan sumber tambahan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi dan membiayai impor yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan.

Peranan pinjaman luar negeri tersebut dalam Repelita IV menjadi lebih penting untuk menghadapi kenyataan semakin me-nurunnya harga minyak bumi di pasaran internasional. Penurun-an dalam nilai ekspor minyak bumi sangat mempengaruhi kemampuan mengimpor maupun besarnya dana untuk investasi. Di samping itu, penurunan harga minyak bumi juga sangat mempengaru-hi stabilitas pasar valuta asing di dalam negeri.

Dalam situasi seperti tersebut di atas, maka persetujuan pinjaman luar negeri Pemerintah selama dua tahun pertama Re-pelita IV mengalami peningkatan yaitu dari US $ 4.528,6 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US $ 4.579,1 juta dalam tahun 1984/85 dan selanjutnya meningkat lagi menjadi US $ 5.351,4 juta dalam tahun 1985/86. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, persetujuan pinjaman luar negeri tahun 1985/86 telah meningkat dengan 16,9% (lihat Tabel V-10, V - 11 serta Grafik V - 6).

Adapun perincian persetujuan pinjaman luar negeri menurut

V / 5 4

TABEL V - 10PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1)

1983/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

R a p e 1 i t a I V

1983/84 1984/852) 1985/863)

Jenis Bantuan/PinjamanNilai (% kenaikan/

penurunan)Nilai Nilai (% kenaikan/

penurunan)

1.Bantuan Program ( - ) ( - )

2.Bantuan Proyek 2.245,1 2.506,4 (+11,6) 2.473,9 ( -1,3)

3.Pinjaman Setengah Lunakdan Komersial (untuk Proyek)4) 905,0 1.278,3 (+41,2) 1.013,3 ( -20,7)

4.Pinjaman Tunai5) 1.378,5 794.4 (-42,4) 1.864,2 (+134,7)

Jumlah : 4.528,6 4.579,1 (+ 1,1) 5.351,4 ( +16,9)

1) Angka berdasarkan persetujuan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Termasuk kredit ekspor5) Berupa pinjaman obligasi dari kelompok bank

V/55

TABEL V - 11KOMPOSISI PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1)

1983/84 – 1985/86( n i l a i dalam juta US do l la r )

R e p e 1i t a IV

1983/84 1984/852) 1985/863)

Janis Bantuan/PinjamanNi l a i Persen Ni l a i Persen Ni l a i Persen

1. Bantuan Program _ - - - - -

2. Bantuan Proyek 2.245,1 49,0 2.506,4 54,7 2.473,9 46,23. Pinjaman Setengah Lunak

dan Komersial(untuk Proyek)4) 905,0 20,0 1.278,3 27,9 1.013,3 18,9

4. Pinjaman Tunai5) 1.378,5 30,4 794,4 17,4 1.864,2 34,9

Jumlah : 4.528,6 100,0 4.579,1 100,0 5.351,4 100,0

1) Angka berdasarkan persetujuan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Termasuk kredit ekspor5) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

V/56

GRAFIK V - 5PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH.

1983/84 - 1985/88

4000.0 (dalam juta US dollar) Pinjaman

Setengah Lunak & Komersial

Bantuan Proyek

3487.

1983/8

3784.7

V/57

perayaratannya adalah pinjaman lunak sebesar US $ 2.473,9 ju-ta atau 46,2% dari seluruh persetujuan pinjaman, dan pinjaman setengah lunak dan komersial sebesar US $ 2.877,5 juta atau 53,8% dari persetujuan pinjaman (lihat Tabel V-11). Diban-dingkan dengan tahun sebelumnya persetujuan proyek yang di-biayai dari pinjaman lunak tahun 1985/86 tidak banyak beru-bah, yakni turun dengan 1,3% sedangkan persetujuan proyek yang dibiayai dari pinjaman setengah lunak turun lebih dari 20,0%. Yaitu dari US $ 1.278,3 juta menjadi US $ 1.013,3 ju- ta. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan Pemerintah yang berha-ti-hati dalam mengusahakan pinjaman luar negeri, yaitu dengan memperhatikan beban pembayaran kembali hutang-hutang luar ne-geri. Sementara itu persetujuan pinjaman tunai meningkat dari US $ 794,4 juta dalam tahun 1984/85 menjadi US $ 1.864,2 ju-ta, untuk menjaga keseimbangan dalam neraca pembayaran.

Ditinjau dari segi sumber dana, persetujuan pinjaman lu-nak dalam tahun 1985/86 terdiri dari pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia sebesar US $ 1.200,0 juta; Bank Pembangunan Asia sebesar US $ 550,0 juta; Jepang sebesar US $ 303,3 juta; Amerika Serikat sebesar US $ 100,0 juta; Belanda sebesar US $ 48,2 juta; dan negara-negara serta badan-badan lainnya sebesar US $ 272,4 juta. Pinjaman lainnya untuk pembiayaan proyek dalam tahun 1985/86 diperoleh dari Jepang sebesar US $ 505,9 juta; Inggris sebesar US $ 122,8 juta; Amerika Serikat sebesar US $ 119,9 juta; dan negara-negara lainnya sebesar US $ 265,6 juta (lihat Tabel V-12).

Pelunasan hutang-hutang luar negeri Pemerintah pada akhir Repelita III berjumlah US $ 2,188 juta dan naik menjadi US $ 2.684 juta pada tahun 1984/85 dan selanjutnya meningkat lagi mencapai US $ 3,270 juta pada tahun kedua Repelita IV. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut, pelunasan angsuran pokok pinjaman untuk tahun 1984/85 dan 1985/86 masing-masing sebe- sar US $ 1.292 juta dan US $ 1.644 juta, sedangkan pembayaran bunga pinjaman masing-masing sebesar US $ 1.392 juta dan US $ 1.626 juta. Kenaikan yang cukup besar pada pelunasan angsuran pokok pinjaman terutama disebabkan mulai timbulnya kewajiban pembayaran angsuran untuk sejumlah pinjaman bersyarat lunak setelah berakhirnya masa tenggang waktu serta melemahnya ni- lai dolar Amerika Serikat terhadap beberapa mata uang utama lainnya. Kenaikan pembayaran bunga pinjaman antara lain juga disebabkan oleh melemahnya nilai dolar seperti diuraikan di atas.

Dalam pada itu perkembangan ekspor netto pada akhir Rape-

V/58

TABEL V - 12

PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1963/84 - 1985/86(dalam juta US dollar)

Jenis dan asal Repelita IV

Pinjaman 1983/84 1984/85 1985/862)

1. Pinjaman Lunak 2.245,1 2.506,41) 2.473,9

Amerika Serikat 106,5 135,0 100,0Australia 40,7 39,9 30,6Belanda 59,6 53,2 48,2Belgia 6,9 6,4 4,8Inggeris - 32,5 19,3Italia - 30,0 30,0Jepang 279,3 321,3 303,3Jerman Barat - 37,5 29,4Kanada 32,4 30,9 29,3Perancis 52,2 51,2 38,5Selandia Baru - - 1,6

Swiss - 4,1 5,5A.D.B. 400,0 500,0 550,0IDA/ IBRD 1.200,0 1.200,0 1.200,0M.E.E. 16,0 14,0 20,0U.N.D.P. 39,0 38,0 36,4IFAD, UNICEF 12,5 12,4 27,0

2. Pinjaman SetengahLunak & Komersial(untuk Proyek) 3) 905,0 1.278,31) 1.013,3

Amerika Serikat 252,0 201,2 119,0Australia 42,0 -Austria 2,7 35,6 3,9Belanda 26,8 40,0 82,8Belgia _ 15,4Inggeris 114,0 133,9 122,8Jepang 393,9 610,6 505,9Jerman Barat 54,7 114,1 71,6Kanada 12,0 20,2 24,8Perancis 44,5 72,4 24,7Swiss 4,4 8,3 42,4

3. Pinjaman Tunai4) 1.3785 1.864,21) 1.864,2

Jumlah 4.528,6 4.579,11) 5.351,4

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara

3) Termasuk kredit ekspor4) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

V/59

lita III yang berjumlah sebesar US 12.738 juta meningkat menjadi US $ 13,723 juta pada tahun 1984/85 untuk selanjutnya menurun menjadi US $ 12.298 juta dalam tahun 1985/86. Dengan demikian maka perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap nilai ekspor netto (debt ser-vice ratio) meningkat dari 17,2% dalam tahun 1983/84 menjadi 19,6% dalam tahun 1984/85 dan 26,6% dalam tahun 1985/86 (li-hat Tabel V-13).

Dari segi defisit transaksi berjalan yang menurun menjadi US $ 1.832 juta serta tingkat cadangan devisa pada akhir tahun sebesar US $ 5.841 juta, neraca pembayaran dalam tahun 1985/86 berkembang dengan cukup baik. Akan tetapi, dengan perkembangan harga minyak bumi sesudah bulan Maret 1986 dan mengingat pula meningkatnya perbandingan antara jumlah pe-lunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap nilai eks- por, sangat diperlukan kewaspadaan terhadap perkembangan ne-raca pembayaran untuk tahun-tahun mendatang. Karena itu, se-suai dengan apa yang digariskan dalam Repelita IV, Pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk senantiasa meningkatkan daya serap dan daya guna pinjaman luar negeri serta tetap berpegang pada kebijaksanaan pengendalian pinjaman luar nege-ri dalam rangka kebijaksanaan ekonomi secara keseluruhan.

V/60

TABEL V - 13

PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1983/84 - 1985/86

(dalam juta US dollar)

TahunPelunasanl)

PinjamanNilai2)

Ekspor(% dari nilai

Ekspor)

1983/84 2.188 12.738 (17,2)

1984/85 2.684 13.723 (19,6)

1985/863) 3.270 12.298 (26,6)

1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah2) Termasuk ekspor minyak bumi dan gas

alam cair (LNG) atas dasar netto3) Angka sementara

V/61

.