himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang...

23

Click here to load reader

Transcript of himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang...

Page 1: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

LEGAL ANOTASI ----------------------------------------------------------------------------------------------------

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.26 P/HUM/2007Perihal:

Uji Materiil Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2007

tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul----------------------------------------------------------------------------------------------------

Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

Oleh: Muktiono, SH. M.Phil.1

Kasus dan Para Pihak

Pengujian Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul, 01 Mei 2007Surat Permohonan tertanggal 23 Oktober 20072

Kepada Mahkamah Agung Republik IndonesiaRegistrasi Perkara Nomor: 26 P/HUM/2007. Surat Permohonan teregistrasi di Kepaniteraan MA tanggal 7 November 20073.

Pihak Pemohon: 1. Mukhotib MD., S.Ag.;2. Sri Roviana, S.Ag.;3. Nukman Firdausie;4. Wasingatu Zakian;5. Rini Yuni Astuti;6. Juli Eko Nugroho;7. dan 24 orang pemohon lainnya, sehingga keseluruhan Pemohon

berjumlah 30 orang

Pihak Termohon:Bupati Bantul

Fakta-FaktaPersidangan:

Pemohon:I. Kepentingan Pemohon terkait dengan pengesahan Perda a quo:

1. Pemohon 1-25 adalah kelompok lembaga masyarakat sipil yang mempunyai konsen terhadap perlindungan hak-hak warga negara khususnya bagi masyarakat korban akibat disahkannya Perda a quo;

2. Pemohon 26-30 adalah penduduk Kabupaten Bantul yang telah dirugikan hak-haknya seperti hak atas jaminan sosial dan hak atas nafkah untuk pribadi dan keluarganya sebagai akibat disahkannya Perda a quo;

3. Pemohon mempunyai hak konstitusional atas perlindungan sebagai warga negara oleh Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “…Kemudian dari pada itu

1 Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. 2 Putusan hal. 4 merangkan bahwa terdapat perbedaan atara tanggal Surat Permohonan, 23 Oktober 2007, dengan tanggal penerimaan permohonan dan teregistrasinya di Kepaniteraan Mahkamah Agung yaitu 7 November 2007. 3 Lihat footnote no.2

1

Page 2: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

Rulesof Law

untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”;

4. Pemohon memiliki hak yang sama di depan hukum untuk mendapatkan keadilan dan jaminan perlindungan sebagai warga negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

5. Pemohon memiliki hak yang sama atas perlindungan dan pemenuhan hak asasinya yang merupakan tanggung jawab dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”

II. Dasar Hukum Permohonan6. Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”;

7. Pasal 11 ayat (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa “ Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:… b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang..”;

8. Pasal 31 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “(1). Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; (2). Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; (3). Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.”

9. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; dan e. Peraturan Daerah.”

10. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil;

III. Alasan Pemohon:11. Permohonan keberatan hak uji materiil masih dalam batas tenggang waktu

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 bahwa “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersngkutan)”. Perda a quo ditetapkan atau disahkan pada tanggal 1 Mei 2007 dan Permohonan Keberatan didaftarkan pada tanggal 24 Oktober 2007, jadi kalau dihitung Permohonan Keberatan diajukan 176 hari setelah pengesahan Perda a quo;

12. Secara delegatif dan hirarkhis, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

2

Page 3: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

dari Perda a quo yang memerintahkan untuk dilakukannya pengaturan di tingkat peraturan daerah tentang pelarangan pelacuran. Pengaturan terkait dengan pelacuran sudah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian Perda a quo secara hirarkhis norma tidak mempunyai acuan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

13. Pasal 2 Perda a quo yang menyatakan bahwa “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan pelacuran di seluruh wilayah Daerah” mengandung kekaburan norma (vague of norm) atau obscuur libel yaitu pada terminologi “ketertiban dalam masyarakat” yang tidak secara tegas dan jelas menyebutkan parameter acuannya. Hal ini telah menimbulkan permasalah dalam penerapannya yaitu berupa tindakan salah tangkap oleh aparat terhadap anggota masyarakat yang mempunyai aktifitas bukan pelacuran tetapi ditangkap dengan alasan untuk menciptakan ketertiban. Salah satu dampak negatif dari ketentuan Perda a quo di atas adalah berkurangnya kegiatan atau adat kebiasaan ziarah Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon sehingga aktifitas ekonomi yang terkait dengan ritual tersebut menjadi terganggu dan berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan;

14. Perda a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pemkab Bantul telah menempuh jalur represi yang berdampak lain di luar tujuan dalam menangani permasalahan pelacuran. Penanganan kemiskinan secara masif dan struktural seharusnya lebih menjadi prioritas Pemkab Bantul dan bukan menyusun Perda a quo yang sebenarnya sudah diatur dalam KUHP sehingga berakibat menurunya aktifitas ekonomi masyarakat (lihat poin 13);

15. Pasal 10 ayat (2) Perda a quo yang berbunyi “Pelaksanaan pembinaan masyarakat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini diatur oleh Bupati” tidak sesuai dengan ketentuan pada pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal Perda a quo tersebut memberikan kewenangan pada Bupati dan aparatnya untuk bertindak sewenang-wenang seperti yang dilakukan ole Satuan Polisi Pamong Pradja yang melakukan tindakan salah tangkap terutama terhadap perempuan sehingga dengan demikian perempuan adalah korban utama dari pengesahan Perda a quo;

16. Ketentuan pidana yag dirumuskan secara alternatif dalam Pasal 8 Perda a quo yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)” tidak menimbulkan efek prevensi dan detterent (jera) bagi mucikari karena ancaman pidana bagi mucikari dan penyedia bordil terlalu ringan. Padahal Pasal 295 KUHP menyatakan bahwa “(1) Diancam: 1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain; 2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga”. Lebih lanjut Pasal 296 menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

3

Page 4: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Dengan demikian jelas bahwa ketentuan pidana dalam Perda a quo bertentangan dengan KUHP.

17. Pasal 3, 4, 5 Perda a quo yang mengatur bahwa “(1) Setiap orang dilarang melakukan pelacuran di wilayah Daerah. (2) Setiap orang dilarang menjadi mucikari di wilayah Daerah; Setiap orang atau badan hukum dilarang menyediakan bangunan untuk dipergunakan melakukan pelacuran di Daerah; Setiap orang atau masyarakat dilarang melindungi kegiatan pelacuran di seluruh wilayah Daerah” dan dilanjutkan dengan ketentuan Pidana pada Pasal 8 yang berbunyi “(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan atau Pasal 5, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) (2) Tidak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pelanggaran”. Pasal 54 KUHP mengatur bahwa “Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Apabila melihat ketentuan Perda a quo diatas dan definisi Pelacuran dalam Pasal 1 angka (4) yang berbunyi “Pelacuran adalah serangkaian tindakan yang dilakukan setiap orang atau badan hukum meliputi ajakan, membujuk, mengorganisasi, memberikan kesempatan, melakukan tindakan, atau memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda atau perbuatan lain untuk melakukan perbuatan cabul” maka jelas bahwa rumusan delik Pelacuran adalah delik yang mengkategorikan percobaan pelacuran sebagai sebuah tindak pidana pelanggaran. Seperti membujuk untuk melakukan perbuatan cabul tapi kemudian tidak sampai terlaksana sampai selesai karena kehendaknya sendiri maka itu pun masuk katergori tindak pidana pelanggaran menurut Perda a quo. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Perda a quo bertentangan dengan KUHP;

18. Definisi Pelacuran dalam Pasal 1 angka (4) Perda a quo yang berbunyi “Pelacuran adalah serangkaian tindakan yang dilakukan setiap orang atau badan hukum meliputi ajakan, membujuk, mengorganisasi, memberikan kesempatan, melakukan tindakan, atau memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda atau perbuatan lain untuk melakukan perbuatan cabul” mempersamakan antara pencabulan dengan pelacuran atau setidaknya perbuatan cabul sebagai elemen pokok atau tujuan dari pelacuran. Padahal pelacuran dengan perbuatan cabul adalah sangat berbeda secara esensi karena pelacuran selalu mempunyai aspek imbalan jasa (sebagai motif) atas suatu hubungan seksual yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian Perda a quo tidak dapat memberikan pengertian yang jelas tentang arti Pelacuran itu sendiri sebagai norma imperatif dalam suatu dogma hukum pidana yang menjadi pokok pengaturannya. Ketidakjelasan tersebut bisa berakibat pada penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan aparat penegak hukum Perda a quo melalui penafsiran secara sepihak yang berdasarkan atas kepentingan kekuasaan semata. Ketidakjelasan terminologis tersebut juga bertentangan dengan Pasal 5 huruf (f) Undng-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:…kejelasan rumusan”. Dengan demikian Perda a quo juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

19. Pasal 9 ayat (2) Perda a quo berbunyi “(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h.mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Polisi Republik Indonesia, bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Polisi Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau

4

Page 5: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

keluarganya; i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan”. Apabila melihat ketentuan Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (maksudnya adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang: oleh penulis) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut tersebut dalam Pasal ayat (1) huruf a (maksudnya adalah pejabat polisi negara republik Indonesia)” maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) Perda a quo tidak sejalan dengan Pasal 7 ayat (2) KUHAP karena dasar kewenangannya tidak bersumber dari Undang-Undang dan juga tidak terdapat ketentuan koordinasi dengan pejabat polisi Republik Indonesia (Polri). Selain itu, ketentuan pada Pasal 9 ayat (1) Perda a quo yang menyatakan bahwa “Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah ini sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang hukum acara pidana yang berlaku” mempertegas kontradiksi norma antara Pasal 9 (1) dengan Pasal 9 ayat (2) Perda a quo;

20. Perda a quo bertentangan dengan Pasal 1, 2, dan 4 (1) Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa “Negara mengutuk segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan memajukan kesetaraan hak-haknya dengan laki-laki termasuk melalui:penyematan prinsip kesetaraan dalam peraturan perundang-undangan; membentuk peraturan peratura perundang-undangan termasuk memuat sanksi yang tepat untuk melarang diskriminasi terhadap perempuan; institusionalisasi perlindungan yang efektif terhadap perempuan berbasis kesetaraan termasuk melalui sistem peradilan yang kompeten; menahan diri untuk tidak terlibat dalam tindakan atau praktek apa pun yang mendiskriminasikan perempuan dan memastikan otoritas dan lembaga publik dalam tindakannya selaras dengan hal tersebut (sebagai kewajiban);mengambil semua tindakan termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan, mengubah aturan hukum dan adat kebiasaan yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan”. Pasal 1 angaka (4) Perda a quo (lihat poin 18) yang memberikan pemaknaan yang kabur terhadap istilah “pelacuran” dan ”perbuatan cabul” dapat berpotensi menjadikan perempuan sebagai korban dalam implementasinya. Perempuan yang berdandan cantik untuk berangkat kerja pada shift malam atau yang sedang berwisata ke Parangtritis dapat secara subjektif oleh aparat penegak Perda a quo ditangkap atau setidaknya dihentikan aktifitasnya karena tuduhan pelacuran. Dengan demikian maka Perda a quo telah menempatkan wanita sebagai korban diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi berbasis jender dalam CEDAW yang sudah diratifikasi Indonesia dan karenanya sudah semestinya untuk dicabut;

21. Pembiaran atas keberadaan kebijakan-kebijakan derah yang diskriinatif terhadap perempuan berpotensi melanggungkan diskriminasi terhadap perempuan yang selama ni terjadi dan tengah diperjuangkan untuk dihapuskan keberadaannya. Menurut pendapat kartini Sjahrir (Yayasan Jurnal Perempuan 2000), Perempuan itu sebenarnya adalah yang di-empu-kan. Artinya dia yang dihormati. Begitupun hal tersebut tetap tidak mengurangi bobot diririnya sebagai objek. Bahkan bisa dikatakan upaya penjelasan sebagaimana diutarakan di atas muncul ketika dimensi objek begitu menonjol;

22. Perda a quo khususnya Pasal 2 (lihat poin 13), Pasal 4 (lihat poin 17), dan Pasal 6 (“Kegiatan usaha yang terbukti diikuti kegiatan pelacuran, aparat Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan penutupan”) bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa “ Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas: pengayoman, kemanusian,

5

Page 6: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”. Karena penyusunan Perda a quo bertentangan secara formil dalam proses pembentukannya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka sudah semestinya untuk dicabut;

23. Perda a quo dalam pasal-pasalnya (lihat poin 13, 17, 18, dan 20) bertentangan dengan Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi”;

24. Terdapat potensi akan terjadinya prostitusi terselubung akibat penegakan Perda a quo yang disebabkan oleh tidak terselesaikannya akar permasalahan utama dari prostitusi seperti kemiskinan dan belum terciptanya lapangan kerja yang memadai khususnya bagi perempuan oleh Pemda Kabupaten Bantul yang seharusnya menjadi prioritas. Selain itu juga akan terjadi labelling terhadap perempuan yang dianggap terkait dengan prostitusi meskipun yang bersangkutan tidak terlibat maupun bagi yang sudah taubat;

25. Perda a quo bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan” karena menyebabkan dampak negatif terhadap perempuan yang diakibatkan oleh kekaburan normanya atau vague of norms (lihat poin 13, 17, 18);

26. Perda a quo yang bisa mengakibatkan dampak berupa tindakan salah tangkap oleh aparat penegak Perda (lihat poin 20) telah melanggar Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa “(2) Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum; (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”;

27. Pasal 1 angka (4) Perda a quo yang menyatakan bahwa “Pelacuran adalah serangkaian tindakan yang dilakukan setiap orang atau badan hukum meliputi ajakan, membujuk, mengorganisasi, memberikan kesempatan, melakukan tindakan, atau memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda atau perbuatan lain untuk melakukan perbuatan cabul” yang membuka kemungkinan terjadinya persangkaan subyektif aparat terhadap individu sehingga terjadi tindakan salah tangkap maka bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;

28. Penyusunan Perda a quo dilakukan secara tergesa-gesa tanpa didahului oleh proses penyusunan naskah akademik secara layak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Proses-proses tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya sehingga jika satu proses saja tidak dilalaui secara layak maka proses-proses yang lainya juga menjadi tidak kredibel. Proses tersebut mencakup beberapa fase yaitu fase inisiatif, fase kajian perundang-undangan, fase penelitian dan need assesment, fase naskah akademik, fase penyusunan draft peraturan daerah, fase penyusunan dan pengesahan peraturan daerah, dan fase sosialisasi. Jadi dengan tidak dilaksanakannya secara

6

Page 7: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

layak fase penyusunan naskah akademik dalam pembentukan Perda a quo dapat disimpulkan bahwa dari aspek pembentukan, Perda a quo bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

IV. Tuntutan Pemohon:29. Menyatakan hukumnya Perda a quo bertentangan dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan;

30. Menyatakan hukumnya Perda a quo melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

31. Menyatakan hukumnya Perda a quo cacat hukum dan tidak sah, oleh karenanya batal demi hukum;

32. Memerintahkah putusan perkara dimuat dalam Berita Negara RI;33. Memerintahkan Pemerintah Kabupaten Bantul serta Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Bantul menerbitkan kebijakan pembatalan dan pencabutan atas Perda a quo paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan uji materiil ini;

34. Membebankan segala biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Pemerintah Kabupaten Bantul serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bantul;

35. Ex aequo et bono

V. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim:

36. Bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun 2007, diundangkan tanggal 1 Mei 2007;

37. Bahwa sebelum menimbang substansi permohonan keberatan yang diajukan maka terlebih dahulu perlu ditimbang apakakah permohonan keberatan yang diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yang menyatakan bahwa “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersngkutan)”

38. Bahwa Perda a quo diundangkan tanggal 01 Mei 2007 sedangkan permohonan keberatan hak uji materiil didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 7 November 2007 dan dengan demikian permohonan para Pemohon telah melewati tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil;

39. Bahwa oleh karena Para Pemohon Hak Uji Materiil dipihak yang dikalahkan, maka harus membayar biaya perkara;

40. Hak atas perlindungan hukum yang adil dan setara serta bebas dari diskriminasi berbasis jender;

41. Hak atas keamanan diri;

7

Page 8: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

Hak Asasi Manusia

Amar Putusan

42. Hak atas perlindungan hak milik;43. Hak untuk menghidupi dan memuliakan hidup (hak untuk bekerja dan

mencari nafkah);44. Hak atas identitas dan ekspresi budaya;45. Hak atas kesetaraan di depan hukum;46. Hak untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang atau dengan cara

menyalahgunakan wewenang;47. Hak atas privasi individu dalam lingkup pribadi, keluarga, korespondensi,

termasuk dalam usaha mempertahankan martabat dan harga diri);48. Hak atas kebebasan untuk berpindah atau berdiam diri dalam suatu teritori

negara;49. Hak atas kepemilikan harta benda baik secara individu maupu kolektif;50. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindugan dan perlakuan hukum yang

adil serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum;

51. Menyatakan gugatan keberatan hak uji materiil para Pemohon tidak dapat diterima;

52. Menghukum para Pemohon keberatan hak uji materiil untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);

53. Mengikat terhadap semua pihak

-----------------------------------------------------------------------------------------

54. Bahwa Permohonan keberatan tidak diterima oleh Hakim karena telah kadaluarsa atau melewati tenggang waktu yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari. Menurut argumentasi Hakim, Perda a quo diundangkan tanggal 01 Mei 2007 sedangkan permohonan keberatan hak uji materiil didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 7 November 2007 dan dengan demikian permohonan para Pemohon telah melewati tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Hal ini tidak sama dengan cara menghitung tenggang waktu yang dilakukan oleh para Pemohon. Permohonan keberatan hak uji materiil masih dalam batas tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 bahwa “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan)”. Perda a quo ditetapkan atau disahkan pada tanggal 1 Mei 2007 dan Permohonan Keberatan didaftarkan pada tanggal 24 Oktober 2007, jadi kalau dihitung Permohonan Keberatan diajukan 176 hari setelah pengesahan Perda a quo. Jadi, lepas dari perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemohon di atas, proses persidangan dan pembuatan putusan oleh majelis hakim berhenti hanya pada proses pemeriksaan tenggang waktu saja dan belum masuk pada pemeriksaan substansi permohonan.

55. Bahwa Penentuan kedaluwarsa (atau biasa disebut daluwarsa) atau habisnya tenggang waktu telah menjadi isu penting dalam hukum seperti yang diatur dalam Pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa “Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun,

8

Page 9: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

Validitas Putusan

Isu dan Analisis

sesudah dua belas tahun; 4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.” dan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa tersebut tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tidak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.” Sedangkan terkait dengan tindakan pemerintah berupa surat penetapan (beschikking/decision), maka berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur bahwa “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

56. Bahwa dalam penjelasan di atas (lihat poin 55) terkandung maksud mengapa diaturnya masalah daluarsa adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak bagi individu pemegang hak keperdataan (termasuk yang diperoleh atau dikuatkan melalui penetapan pejabat tata usaha negara berupa surat penetapan atau beschikking) maupun seseorang yang akan dituntut berdasarkan hukum pidana. Yang ditekankan disini adalah perlunya batasan-batasan hukum, in casu berbasis tenggang waktu, bagi seseorang yang ingin menggugat hak keperdataan yang dimiliki oleh seseorang, demikian juga bagi pejabat publik yang ingin melaksanakan proses penuntutan terhadap seseorang;

57. Bahwa ketentuan terkait dengan kedaluwarsa atau tenggang waktu untuk mengajukan keberatan-keberatan secara hukum di atas (lihat poin 55) semata-mata adalah terkait dengan objek pengaturan hukum yang ditujukan terhadap individu-individu yang bersifat konkrit (baik yang perdata, pidana, maupun pemerintahan) dan bukan terhadap objek pengaturan yang ditujukan kepada publik (umum) yang abstrak;

58. Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yang berbunyi “(1) hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi; (2) Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa peraturan perundang-undangan yang bisa diujimateriilkan normanya bersifat “umum” dan di bawah undang-undang. Sifat norma yang umum dan abstrak tersebut adalah berupa policy rules atau beleidregels yang ditujukan kepada masyarakat umum dan norma-normanya masih belum konkrit tidak seperti suatu penetapan (beschikking atau decision) yang sudah konkrit, final dan individual. Pengaturan tenggang waktu atau kedaluwarsa sebagaimana dijelaskan diatas (lihat poin 55-57) tidak ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dengan alasan bahwa kepentingan publik mempunyai bobot kepentingan yang lebih tinggi dan menyangkut kehidupan masyarakat yang lebih luas sehingga perlindungan kepentingan masyarakat melalui permohonan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan perlu tidak dibatasi oleh kedaluwarsa. Tapi sayang sekali pada Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 menentukan bahwa “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan)”. Hal ini menunjukan secara normatif telah terjadi kotradiksi norma (contradiction of norm).

59. Bahwa kemudian Pada tanggal 30 Mei 2011 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang salah satunya mengatur tentang pencabutan atau penghapusan ketentuan batas waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil;

9

Page 10: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

60. Bahwa terkait penghapusan tenggang waktu permohonan hak uji materiil oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin terhadap Perda a quo yang telah diajukan permohanan hak uji materiil dan diputusan melalui Putusan Nomor 26P/HUM/2007 diajukan kembali permohonan dengan alasan bahwa aturan menyangkut tenggang waktu yang menjadi dasar tidak diterimanya permohonan sudah dicabut dan selain itu proses pemerikaan permohonan belum masuk pada substansi permasalahan yang menjadi alasan permohonanan;

61. Bahwa Pasal 9 Peraturan Mahakamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil menyatakan “Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali”. Apabila dibaca secara sekilas maka seolah-olah ketentuan tersebut tidak memberikan kesempatan atau peluang untuk megajukan Peninjauan Kembali (PK) atau menguji ulang Perda a quo. Namun untuk mengetahui jenis putusan seperti apa yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 9 tersebut, maka dapat dilihat lebih lanjut pada ketentuan Pasal 6 yang mengkategorikan Putusan permohonan keberatan menjadi dua kemungkinan yaitu “Putusan yang mengabulkan permohonan” dan “Putusan yang menolak permohonan keberatan”. Putusan yang mengabulkan permohonan keberatan dibuat oleh hakim apabila hakim berpendapat bahwa permohonan keberatan tersebut beralasan karena peraturan perundang-undangan tersebut betentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Sedangkan Putusan yang menolak permohonan keberatan dibuat apabila hakim berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan. Di sini terlihat jelas bahwa Putusan yang dimaksud oleh Pasal 6 adalah putusan yang dirumuskan oleh hakim setelah melalui pemeriksaan terhadap substansi permasalahan yang dimohonkan dalam permohonan keberatan dan tidak menyangkut mengenai “Putusan yang tidak diterima” karena telah melebihi tenggang waktu.

62. Bahwa permohonan keberatan terhadap Perda a quo diputuskan oleh hakim dengan amar putusan yang berbunyi “ Menyatakan gugatan keberatan hak uji materiil para Pemohon tidak dapat diterima”. Putusan tersebut bukan putusan yang secara eksplist menolak permohonan keberatan para pemohon melainkan hanya “tidak dapat diterima” karena menurut pendapat para hakim permohonan keberatan tersebut telah melewati batas tenggang waktu yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari. Putusan yang menyatakan bahwa “permohonan tidak dapat diterima” juga menyiratkan bahwa hakim belum masuk dalam penilaian terhadap substansi permasalahan yang dimohonkan sehingga belum masuk dalam kategori “Putusan yang menolak permohonan” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 9 Peraturan Mahakamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yag menyatakan bahwa “Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali”.

63. Bahwa dengan dicabutnya ketentuan tentang tenggang waktu permohonan keberatan hak uji materiil melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan juga penafsiran secara restriktif terhadap Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil, maka terhadap Putusan permohonan keberatan hak uji materiil Perda a quo Nomor 26P/HUM/2007 sudah sepatutnya untuk diberikan peluang bagi pengujian ulang. Pengujian ulang tersebut dilakukan dengan cara mengajukan kembali permohonan keberatan hak uji materiil melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) atau mekanisme pengajuan permohonan keberatan yang biasa. Sekiranya perlu bagi Mahkamah Agung untuk melakukan terobosan hukum dalam menghadapi kasus-kasus seperti permohonan hak uji materiil Perda a quo agar tetap sejalan dengan kemajuan yang telah dibuatnya yaitu tentang penghapusan masa tenggang waktu pengajuan permohonan hak uji materiil.

64. Bahwa hakim sebaiknya juga mempertimbangkan ketentuan-ketentuan terkait hak asasi manusia sebagai bagian dari pertimbangan untuk melakukan terobosan hukum terhadap permohonan keberatan hak uji materiil Perda a quo, yaitu:

a. Pasal 6 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) jo. Pasal 16 Kovenan Internasiona Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dimanapun mempunyai hak atas pengakuan

10

Page 11: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

sebagai subjek hukum”. Hal ini berarti bahwa perempuan mempunyai hak atas pengakuan sebagai subjek hukum (legal personality) dan harus mempunyai kesetaraan dengan pria di depan hukum. Hak ini bersifat absolut dan harus dijamin dalam semua permasalahan dan sepanjang waktu terlepas dari status keperdataan perempuan. Dengan pengakuan terhadap hak tersebut maka timbul pelarangan terhadap diskriminasi berbasis jenis kelamin termasuk kekerasan berbasis jender. Hak perempuan atas kesetaraan dengan laki-laki juga berarti bahwa Negara harus menghapus semua diskriminasi hukum dan faktual terhadap perempuan baik di sektor prifat maupun publik. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa negara secara minimum terikat kewajiban untuk mengambil semua tindakan yang tepat untuk mengubah kebiasaan dan tradisi lokal yang mungkin melemahkan perwujudan secara penuh hak perempuan atas kesetaraan;

b. Pasal 1 dan Pasal 2 DUHAM juga menyatakan bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan” dan “ Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”.

c. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan bahwa “Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya” dan “Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini”;

d. Pasal 9, Pasal 12 , Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 17 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa:

1) Tidak seorang jua dapat ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang;

2) Perlindungan hukum terhadap hak privasi individu termasuk dalam lingkup keluarga, korespondensi dan juga martabat dan nama baiknya;

3) Setiap orang berhak atas kebebasan berpindah dan berdiam di dalam batas-batas teritori suatu negara; dan

4) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”;

e. Pasal 1, 2, dan 4 (1) Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa:

1) Negara mengutuk segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan memajukan kesetaraan hak-haknya dengan laki-laki. Arti diskriminasi terhadap perempuan disini berdasarkan Pasal 1 CEDAW adalah “segala bentuk pembedaan, pengucilan/penolakan/pengeluaran, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan berupa pelemahan atau penghapusan terhadap pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar oleh

11

Page 12: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

perempuan, berdasarkan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa melihat status pernikahan mereka, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, perdata atau yang lainnya;

2) Penyematan prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam peraturan perundang-undangan;

3) Membentuk peraturan perundang-undangan termasuk memuat sanksi yang tepat untuk melarang diskriminasi terhadap perempuan;

4) Institusionalisasi perlindungan yang efektif terhadap perempuan berbasis kesetaraan termasuk melalui sistem peradilan yang kompeten;

5) Menahan diri untuk tidak terlibat dalam tindakan atau praktek apa pun yang mendiskriminasikan perempuan dan memastikan otoritas dan lembaga publik dalam tindakannya selaras dengan hal tersebut (sebagai bagian dari prinsip kewajiban negara);

6) Mengambil semua tindakan termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan, mengubah aturan hukum dan adat kebiasaan yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan.

f. Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, yang mengatur bahwa “ Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain”. Diskriminasi menurut Komite Hak Asasi Manusia diartikan sebagai berbagai macam pembedaan, pengucilan (exclusion), pembatasan, atau pengutamaan yang didasarkan pada berbagai macam landasan seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal usul sosial atau kebangsaan, properti, keturunan atau status yang lain, yang mana semua itu bertujuan atau mempunyai dampak pada penghapusan atau pelemahan terhadap pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak dan kebebasan bagi semua orang dengan pijakan yang sama (General comment No. 18 (1989), para. 7). Jadi jelas disini bahwa diskriminasi terkait disahkannya Perda a quo tidak selalu diukur dari ada atau tidaknya secara tersurat atau eksplisit dalam pasal-pasalnya ketentuan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan, tetapi dampak dari ketentuan Perda a quo juga bisa dijadikan indikator bahwa Perda a quo bersifat diskriminatif atau tidak;

g. Hak atas kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi merupakan pilar bagi hukum hak asasi manusia. Ketentuan hukum internasional di bidang hak asasi manusia menunjukan bahwa hak atas kesetaraan di depan hukum dan oleh hukum, termasuk pelarangan diskriminasi, merupakah prinsip pelingkup (payung) dengan alasan:

1) Sangat esensi bagi perdamaian dan keamanan internasional;

2) Persyaratan bagi penikmatan semua hak asasi manusia baik itu hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya;

3) Merupakan sebuah prinsip hukum umum yang mengikat

12

Page 13: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

semua negara. h. Prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi tidak berarti bahwa

semua pembedaan yang dibuat dalam masyarakat adalah ilegal dalam perspektif hukum internasional. Pembedaan dapat dianggap sah secara hukum dengan ketentuan bahwa:

1) Dilaksanakan dengan tujuan yang sah atau legitimate;2) Berbasis pada kriteria yang masuk akal (reasonable) dan

objektif;3) Suatu tujuan yang diduga tidak dapat dibenarkan secara

objektif (objectively justified) dan tindakan-tindakan yang tidak proporsional terhadap pencapaian tujuan yang sah adalah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional.

i. Pasal 9 ayat (1) dan (4), Pasal 14 (1) Pasal 17 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menentukan bahwa:

1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta tidak dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang melainkan harus mengacu pada aturan hukum yang sah;

2) Setiap orang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahan harus diberikan hak untuk membawa kasusnya ke pengadilan agar pengadilan dapat menentukan tanpa tertunda-tunda tentang keabsahan penahananya dan memerintahkan pembebasannya jika penahananya tersebut tidak sah menurut hukum;

3) Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya.

4) Setiap orang yang akan dikenai tuduhan melakukan tindak pidana setidak-tidaknya mendapatkan jaminan sebagai berikut:

a) Mendapatkan pemberitahuan tentang sifat dan alasan pengenaan tuduhan secara cepat dan terperinci dengan menggunakan bahasa yang dia mengerti;

b) Mendapatkan kesempatan dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara sesuai pilihanya;

c) Menjalani persidangan tanpa penundaan yang tidak semestinya;

d) Menjalani secara langsung persidangan dan melakukan pembelaan baik oleh dirinya sendiri maupun dibantu oleh penasehat hukum, dan berhak atas penasehat hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu (pro bono);

e) Mengajukan permintaan atas dihadirkan dan diperiksanya para saksi yang memberatkannya dan demikian juga untuk para saksi yang meringankanya dengan persyaratan yang setara;

f) Mendapatkan bantuan penerjemah bagi mereka yang tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam proses persidangan;

g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah.

j. Pasal 74 ayat (5) Statuta Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC)

13

Page 14: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

menyatakah bahwa “Putusan harus tertulis dan berisi secara lengkap tentang pernyataan-pernyataan yang dilandasi alasan-alasan (reasoned judgment) sebagai bentuk temuan fakta-fakta dan kesimpulan majelis hakim…Pembacaan putusan atau ringkasan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka”;

k. Hak atas putusan yang beralasan (the right to reasoned judgment) berarti bahwa Pengadilan harus selalu memberikan alasan-alasan atas putusan mereka, meskipun mungkin saja mereka tidak memberikan jawaban atas semua argumen yang diajukan oleh Pemohon;

l. Berdasarkan Kovenan Hak Sipil dan Politik bahwa Seseorang berhak atas kompensasi apabila berdasarkan bukti yang meyakinkan telah menjadi korban atas suatu kegagalan atau kesalahan proses peradilan (justice). Pengampunan berdasarkan keadilan (equity) tidak memberikan dasar apapun terhadap kompensasi;

m. Prinsip umum terkait keabsahan penangkapan dan penahan dalam perspektif hak asasi manusia yaitu “liberty is the rule and detention the exception”. Hal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi dasar penangkapan atau penahanan yang dinilai oleh pengamatan yang objektif dan berdasarkan fakta-fakta dan bukan hanya kecurigaan yang subjektif.

n. Dasar yang paling umum bagi sebuah perampasan kebebasan yang sah secara hukum adalah:

1) Setelah mendapatkan putusan dari persidangan di pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak;

2) Berdasarkan tuduhan yang masuk akal atas suatu tindakan pidana atau untuk mencegah seseorang melakukan suatu tindak pidana;

3) Untuk mencegah seseorang melarikan diri setelah melakukan suatu tindak pidana.

o. Ide tentang lembaga peradilan yang imparsial atau tidak memihak merupakan aspek utama dari hak atas peradilan yang layak dan adil. Hal ini berarti bahwa semua hakim yang terlibat harus bertindak secara objektif dan mendasarkan putusan mereka pada fakta-fakta yang relevan dan hukum yang berlaku serta tanpa mengutamakan kepentingan salah satu pihak. Tidaklah cukup sekedar mengharapkan hakim untuk berbuat layak dan adil, tapi mereka juga harus dianggap memihak;

p. Hak atas peradilan yang layak dan adil (the right to fair trial) dapat dilanggar dengan berbagai macam cara, tetapi sebagai prinsip umum adalah bahwa seorang tertuduh kapanpun harus diberi kesempatan untuk membantah tuduhan, mempertanyakan tentang barang bukti, dan menguji silang para saksi yang semuanya itu dilakukan dalam suasana yang bermartabat atau tidak merendahkan diri. Kegagalan dan kekurangan pada tahap penyelidikan akan membahayakan secara serius hak atas proses peradilan yang fair dan adil serta hak atas praduga tak bersalah (the right to be presumed innocent);

q. Penangkapan dan penahan dianggap sah secara hukum menurut hukum hak asasi manusia internasional harus memenuhi persyaratan yaitu:

1) Dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum acara dan hukum materiilnya berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional;

2) Terbebas dari kesewenang-wenangan dalam arti hukum dan penerapanya harus tepat, adil, dapat diperkirakan dan memenuhi prinsip proses yang adil (due process of law).

14

Page 15: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

r. Bahwa terkait arti kesewenang-wenangan dalam penangkapan atau penahanan, menurut Komite Hak Asasi Manusia, tidak dipersamakan dengan “melawan hukum”, tetapi harus ditafsirkan lebih luas lagi yang mencakup elemen-elemen seperti ketidakpatutan, ketidakadilan dan ketidakbisaan untuk diprediksikan (unpredicability). Hal ini berarti bahwa menahan seseorang sebagai pelaksanaan penangkapan yang sah menurut hukum tidak hanya semata-mata diukur dari parameter hukum saja melainkan juga melihat pada kelayakan semua alasan-alasan terkait penangkapan dan penahanan;

-----------------------------------------------end-------------------------------------------

15

Page 16: himawanreza5.files.wordpress.com  · Web viewHal ini berarti bahwa perampasan kebebasan seseorang kapan pun jua harus secara objektif terjustifikasi dari segi alasan yang menjadi

16