kelase2012.files.wordpress.com file · Web viewDewasa ini pengaturan Hukum Waris yang ada di...
Transcript of kelase2012.files.wordpress.com file · Web viewDewasa ini pengaturan Hukum Waris yang ada di...
HUKUM PERDATA
Pewarisan: Waris Adat dan Pembagian Waris
Untuk Janda
Nama Anggota:
Ovienov Ameliasari (110110120311)
Saffana Zatalini (110110120312)
Widinasnita Putri N. (110110120325)
Akmal Tri Harjayanti (110110120328)
Andini Ramadhani (110110120351)
Wardah Latifah (110110120356)
Windi Saptarani (1101101203
Vanessa Leoprayogo (1101101203
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini, kami akan
membahas mengenai “WARIS ADAT DAN PEMBAGIAN WARIS UNTUK
JANDA”
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai pengertian tentang waris adat. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Bandung, 11 November 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangDewasa ini pengaturan Hukum Waris yang ada di Indonesia ini semakin
beragam, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir
manusia. Bangsa Indonesia yang terlahir dalam pluralisme Hukum Waris (waris
menurut perdata, adat, dan islam) menimbulkan banyak perbedaan dalam acuan
pengaturan waris. Perbedaan ini dikhawatirkan akan memicu munculnya api konlik.
Sebagai negara yang terdiri atas masyarakat majemuk maka tentu cita-cita
negara adalah mewujudkan masyarakat yang teratur dan saling menghargai serta
menghormati perbedaan satu sama lain sehingga tujuan negara dapat terwujud yaitu
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakatnya begitu juga sama hal nya dalam
pengaturan waris.
Judul makalah ini sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk
dicermati dan perlu diperhatikan lebih agar setiap orang dapat lebih mengerti dan
memahami dengan benar tentang Hukum Waris di Indonesia, agar dalam
penjalananya semuanya terjalin dengan teratur.
B. Identifikasi MasalahSesuai dengan judul makalah ini “Hukum Waris dan
Perkembanganya”.Terkait dengan penerapan Hukum Waris dalam pelaksanaanya
banyak berkaitan dengan pluralisme adat yang ada di Indonesia.Berkaitan dengan
judul tersebut maka masalah yang dapat di identifikasikan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan waris dalam pluralisme Hukum Adat di Indonesia?
2. Bagaimana pembagian waris yang ditinggalkan sepihak (janda/duda)?
3. Bagaimana konteks waris janda dalam pluralisme adat dan waris islam?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pewarisan yang Dilakukan Terhadap Ahli WarisMenurut Undang-Undang ada 2 cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan Undang-Undang
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang. Selain itu juga berlaku suatu asas, bahwa apabila
seseorang meninggal, maka seketika itu pula hak dan kewajibanya beralih pada
ahli warisnya, asas tersebut tercantum dalam satu pepatah Perancis yang
berbunyi : “Le Mort Saisit Le Vit “ si sedangkan pengoperan segala hak dan
kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris dinamakan “ Saisine”.
Menurut pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak menuntut supaya segala
apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Siapa yang berhak mewarisi dalam
Undang-Undang diatur dalam beberapa golongan yaitu:
1. Golongan pertama yaitu anak-anak beserta turunan-turunan dalam garis
lencang ke bawah,.
2. Orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal .
3. Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.
4. Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun pihak ibu, keturunan
paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari
kakek dan nenek beserta keturunanya, sampai derajat keenam dihitung dari
pewaris.
Hak mewarisi oleh suami atau isteri dari si meninggal, baru sejak tahun 1935
(di negeri Belanda tahun 1923) dimasukkan dalam Undang-Undang yaitu
disamakan dengan seseorang anak yang sah. Akibatnya peraturan baru ini, apabila
tidak terdapat anak sama sekali, suami isteri itu mengecualikan lain-lain anggota
keluarga .kejadian yang semacam ini memang telah ditentang keras oleh aliran
yang berpendirian, bahwa suami isteri sebenarnya sudah cukup diberikan hak
untuk memungut hasil dari harta peninggalanya saja.
Dalam hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa yang berhak menjadi
ahli waris digunakan 2 garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan
merupakan suatu garis hukum yang menentuka urutan keutamaan di antara
golongan-golongan dalam keluarga pewaris, adapun garis pokok penggantian
merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah diantara
orang di dalam keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dengan mencermati
dari urutan keutamaan di antara golongan keluarga pewaris maupun dari garis
pokok penggantian maka, dapat dikatakan bahwa kedudukan janda tidak termasuk
dalam 2 pokok tersebut, dengan demikian janda tidak termasuk kelompok ahli
waris sehingga tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya. Seperti
apa yang dikemukakan oleh Soekanto mengenai kedudukan janda. Beliau
menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya
sebagai waris, tetapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika perlu
seumur hidup.untuk nafkah janda itu perlu juga diberi bagian sekaligus dari harta
peninggalan suaminya. Menurut teer haar pangkal pikiran hukum adat adalah
bahwa istri merupakan “orang luar” tidak mempunyai hak akan waris, tetapi
sebagai istri ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia
memerlukanya.
B. Hukum Waris IslamDalam hukum waris islam terdapat 5 asas dalam hukum kewarisanya
yaitu:
1. Asas ijbari
2. Asas bilateral
3. Asas individual
4. Ass keadilan berimbang
5. Asas semata karena kematian.
Asas ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya sesuai dengan ketetapan allah
tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Pada surah An-Nisa
ayat 12 dituliskan bahwa : “para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
(suami) tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak namun apabila jika kamu
mempunyai anak maka para istri mendapatkan seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayarnya utang-utangmu….” Dari ayat diatas jelas bahwa hukum waris dalam
islam mengatur hak-hak wanita yang ditinggal oleh suaminya (janda).
C. Hukum Waris Perdata Dalam hukum perdata barat terdapat ciri khas dalam hukum warisnya yakni “
adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu
menuntut pembagian dari harta warisan” ini berarti, apabila seorang ahli waris
menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak
dapat ditolak oleh ahli waris yang lainya. Ketentuanya tertera dalam pasal 1066
BW, yaitu :
a. Seseorag yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan dalam
keadaan tidak terbagi-bagi diantara para ahli waris yang adat
b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada
perjanjian yang melarang hal tersebut.
c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peningalan dapat saja dilakukan
hanya untuk beberapa waktu tertentu.
d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima
tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendak oleh beberapa pihak.
BAB III
OBJEK PENELITIAN
A. Kasus PosisiPada tanggal 7 Oktober 2011, Moerdiono ( mantan Menteri Sekertaris
Agama di Era Soeharto ) meninggal di Rumah Sakit di Singapura. Moerdiono
memiliki 3 (tiga) orang istri. Marjati adalah istri sah Moerdiono, mereka
dikarunia 4 (empat) orang anak yaitu Ninuk Mardiana Pambudy, Novianto
Prakoso, Indrawan Budi Prasetyo dan almarhum Baroto Joko Nugroho.Beliau
juga memiliki 2 (dua) istri dari pernikahan siri yaitu Machica Moechtar dan
Poppy Dharsono. Dari pernikahannya dengan pedangdut Machica, Moerdiono
dikaruniai seorang putra bernama Iqbal Ramadhan, sedangkan dari Poppy
Dharsono tidak dikaruniai anak.
Sebelum meninggal, Moerdiono mengajukan gugatan cerai pada Marjati
dengan alasan sudah tidak ada lagi keharmonisan. Upaya hukum Banding ditolak
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 5 Oktober 2011 dengan pertimbangan :
a. Fakta persidangan menunjukkan bahwa Moerjono yang sudah meninggalkan
Marjati selama 25 tahun.
b. Kasus perceraian terbilang langka dikarenakan Moerdiono telah berusia 70
tahunan.
c. Bukti perselisihan yang diajukan tidak lengkap.
Putusan itu sekaligus mementahkan gugatan mengingat Moerdiono
sudah tutup usia.
Pada tahun 1993, Moerdiono menikahi Marchica secara Siri.Machica di
ceraikan oleh Moerdiono tahun 1998. Setelah Iqbal dilahirkan tahun 1996,
Moerdiono tidak mau mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak membayai
hidup Iqbal sejak berusia 2 ( dua ) tahun. Akibatnya Iqbal kesulitan memperoleh
Akta Kelahiran karena tidak ada Buku Nikah orang tuanya. Tahun 2008, Machica
mengajukan permohonan istbat nikah, pengesahan anak, biaya hadhanah, nafkah
anak, dan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Tiga Raksa, Tangerang,
Banten. Mengajukan gugatan cerai tersebut dikarenakan pada perpisahan dahulu
belum melegalkan Machica cerai secara hukum akibat pernikahan
siri.Pengadilan Agama menyatakan pernikahan keduanya sah, namun menolak
melansir isbat tersebut karena terbentur dengan asas monogami yang dianut
dalam UU Perkawinan.
Tanggal 14 Oktober 1998 Moerdiono dan Poppy Dharsono menikah
secara agama di bawah tangan (nikah siri).Pernikahan tersebut dihadiri oleh
orang tua Poppy, Mudin.dan istri, dan Almarhum Haji Ramli. Pernikahan mereka
tersebut tidak dikaruniai anak.Almarhum Moerdiono meninggalkan harta
warisan kurang lebih 60 Milyar, termasuk di dalamnya rumah di Jl. Sriwijaya.
B. Status Perkawinan
1. Moerdiono dan Marjati
Moerdiono dan Marjati menikah pada tanggal, saat ini mereka telah
dikarunia 4 (empat) orang anak.Pernikahan mereka sah sacara agama dan
secara hukum Negara, karena dilakukan menurut hukum masing – masing
agama dan dicatat oleh pegawai pencatan perkawinan dari KUA.
Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1972 :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan
yang berlaku.
Perkawinan Moerdiono dan Marjati telah memenuhi rukun perkawinan
dalam Islam, yakni :
a. Calon mempelai laki – laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
Perkawinan antara Moerdiono dan Marjati dikarunia 4 (empat) orang
anak, yaitu :
1. Ninuk Mardiana Pambudy
2. Novianto Prakoso ( Almarhum )
3. Indrawan Budi Prasetyo dan
4. Baroto Joko Nugroho ( Almarhum )
Moerdiono dan Marjati menempati rumah yang berada di Jl. Sriwijaya,
Jakarta.Akan tetapi, sudah 25 tahun terakhir ini mereka tidak hidup satu atap,
dengan kata lain berpisah tempat tinggal. Pada akhirnya Moerdiono menggugat
cerai Marjati dengan alasan sudah tidak hidup harmonis dan sering terjadi
pertengkaran namun Pengadilan Agama menolak gugatan Moerdiono. Akhirnya,
Moerdiono mengajukan Banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
putusannya pada 5 Oktober 2011 menolak gugatan Moerdiono, sehingga Marjati
tetap berstatus sebagai istri sah.
Moerdiono meninggal tanggal 7 Oktober 2011, tidak lama setelah putusan
Pengadilan Negeri Jakarta selatan menolak permohonan banding Moerdiono
sehingga pada saat Moerdiono meninggal status Marjati tetap sebagai istri sah
Moerdiono.
2. Moerdiono dan Marchica
Moerdiono menikahi Marchica pada tahun 1993 secara siri. Pernikahan
mereka tidak bisa dicatat oleh KUA karena Moerdiono masih terikat dengan
perkawinan lain, yaitu perkawinan dengan Istri pertamanya, Marjati.
3. Moerdiono dan Poppy Dharsono
Pada tanggal 14 Oktober 1998, Moerdiono menikah dengan Poppy
Dharsono secara siri (di bawah tangan, diam–diam).Artinya, perkawinan mereka
tidak dicatat dan tidak dilangsungkan di hadapan petugas pencatat perkawinan
dari KUA (Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan mereka tidak sah di
menurut hukum Negara Indonesia. Sebagaimana ketentuan UU No 1 tahun 1974
tentang Perkawinan sebagai berikut ;
Pasal 2 ayat (2) :
“ tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku. “
Dari sini dapat dikatakan bahwa status hukum perkawinan yang dilakukan Moerdiono
dan Poppy Dharsono adalah perkawinan mereka sah secara agama Islam namun tidak
sah di mata hukum negara karena tidak dicatat oleh KUA.
BAB IV
ANALISIS
A. Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris AdatSecara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan
siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian . Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang
menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris,
dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu:
1. Keturunan pewaris (anak-anak pewaris)
2. Orang tua pewaris
3. Saudara pewaris beserta keturunannya
4. Kakek nenek pewaris
Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil
sebagai ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris, adalah :
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris ;
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris .
Korelasi dengan sistem garis keturunan adalah positif, oleh karena dalam hal ini
garis pokok keutamaan mapun garis pokok penggantian menjadi variabel tidak bebas
(independen variabel)1.Dengan mencermati dari urutan keutamaan di antara
golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari garis pokok penggantian, maka
dapat dikatakan bahwa kedudukan janda tersebut tidak termasuk dalam garis pokok
keutamaan maupun garis pokok penggantian. Dengan demikian, janda (isteri
pewaris ) tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian dari
harta peninggalan suaminya.
Demikian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto mengenai
kedudukan janda .Beliau menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta
1Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, 1985, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, (Jakarta:Ghalia Indonesia), hlm.19-20
tersebut, jika perlu seumur hidup2. Menurut Ter Haar, pangkal pikiran hukum adat
ialah bahwa isteri sebagai “orang luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan
tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia
memerlukannya3.
Dari kedua pendapat di atas, keduanya memiliki kesamaan pikiran yaitu bahwa
janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini
mapun dari hasil barang asal suami. Hal ini untuk menghindari agar janda tidak
terlantar setelah suaminya meninggal dunia
2. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik
penghasilan dari barang-barang itu, terlebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap
merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi
3. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau sungguh-sungguh
diperlukan olehnya untuk keperluan nafkahnya
4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam
keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi.
Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya.
Akan tetapi, pada dasarnya, hukum adat berbeda-beda di setiap wilayah.Oleh sebab
itu sangatlah suit untuk menentuan hukum adat.
B. Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris IslamDalam hukum waris Islam telah diatur dan ditata yang menyangkut peralihan
harta warisan dari seorang pewaris kepada para ahli warisnya. Proses peralihan
semacam ini dikenal dengan ilmu faraid, yakni ilmu pembagian harta waris. Ilmu
yang menerangkan ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi bagian ahli waris yang
secara garis besarnya dibedakan dalam dua hal, yakni :
1. peraturan-peraturan tentang pembagian harta warisan
2. peraturan-peraturan yang menghitung bagian-bagian dari masing-masing yang
berhak atas harta warisan.
Warisan memiliki beberapa unsur, yakni pewaris , ahli waris dan harta
warisan. Ketiga unsur tersebut memiliki aturan-aturan tertentu yang mendasar. Harta
2Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta:Rajawali), hlm.1173R. Soepomo, 1996, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta:Pradnya Paramita), hlm.95
warisan baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris apabila dari keseluruhan harta
warisan yang ada tersebut telah dikurangi oleh biaya penguburan jenazah dan hutang-
hutang pewaris serta wasiat pewaris .
Menurut Al-Quran.
Kedudukan janda menurut Al-Quran terdapat pada surah An-Nisa ayat 12
yang artinya sebagai berikut :
“Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta
peninggalanmu, jika bagimu tidak ada anak, Bagi isteri-isterimu sebagai janda
peninggalanmu seperdelapan dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada
anak” (Hazairin, 1982 :7).
Dari ayat ini memberi penjelasan bahwa janda (isteri) terhadap harta peninggalan
almarhum suaminya akan memperoleh seperempat bagian, bila suami yang
diwarisinya tidak mempunyai far’u waris yakni anak yang berhak waris baik secara
fardh mapun secara ushubah. Dan janda (isteri) almarhum suaminya akan
memperoleh seperdelapan bagian, bila suami yang diwarisinya mempunyai far’u
waris, baik yang lahir dari isteri pewaris ini maupun isterinya yang lain.
Pada hakekatnya, menurut ketentuan hukum Islam, kedudukan janda/para janda
(isteri) alamarhum suaminya, kedudukan bapak dan ibu, anak laki-laki dan anak
perempuan yaitu tidak pernah mahjub hirman atau terhalang, sebagaimana yang
dikemukakan oleh As’ad Yunus4 yaitu :
1. suami atau isteri
2. anak laki-laki
3. anak perempuan
4. ayah
5. ibu.
Dengan demikian janda (isteri) dari almarhum suaminya tidak akan pernah
kehilangan hak waris dan pewaris. Hanya saja yang terjadi sebagaimana yang tersebut
dalam ayat Al-Quran yang dikemukakan di atas yaitu perubahan besarnya bagian
yang diperolehnya. Seorang janda akan memperoleh seperempat bagian dari harta
peninggalan suaminya, jikalau mempunyai anak. Kemudian ia akan mendapat
seperdelapan bagian jika tidak mempunyai turunan (anak).
4As’ad Yunus, 1992, Pokok-Pokok Kewarisan Islam, Jakarta:Qushwa, hlm.52
Menurut Praktek Badan Peradilan.
Kedudukan janda menurut putusan Pengadilan Agama, pada hakekatnya sama
saja dengan ketentuan hukum Islam (menurut Al-Quran) sebagaimana yang diuraikan
di atas. Karena para hakim dalam memutuskan perkara waris yang diajukan
kepadanya juga berpedoman pada ketentuan Hukum Islam. Hanya saja oleh hakim
Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum Islam pada setiap putusannya bukan
hanya semata-mata bersumberkan kepada Al-Quran dan Hadis-Hadis Nabi serta Ijma’
dan Qiyas serta kitab-kitab fiqh para madzhab dan sumber hukum lainnya, tapi para
hakim juga menjadikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu rujukan
dalam pengambilan keputusannya. Di mana setiap perkara perkara waris yang
diajukan kepadanya bilamana salah seorang suami atau isteri yang meninggal lebih
dahulu, maka isteri atau suami yang hidup memperoleh setengah bagian dari harta
bersama selama masa perkawinan.Dan setengan bagiannya itu menjadi harta warisan
bagi pewaris terhadap para ahli warisnya. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 96 ayat (1) menyatakan : “Apabila terjadi cerai
mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dan
pasal 171 sub (ekonomi) menyatakan bahwa “harta warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Oleh sebab itu, bila seorang isteri (janda) ditinggal mati oleh almarhum
suaminya di mana keduanya mempunyai harta yang diperoleh selama masa
perkawinan yang disebut sebagai harta bersama, maka si janda memperoleh setengah
bagian dari harta bersama ditambah seperempat bila tidak ada anak alamarhum
seuaminya, atau seperdelapan bila punya anak dari setengan harta bersama yang
disatukan dengan harta bawaan suaminya. Demikian praktek yang dilakukan oleh
Badan Peradailan Agama bagi setiap perkara warisan bila salah seorang suami atau
isteri yang menjadi pewaris .
Dengan demikian, kedudukan janda dalam hukum waris Islam sama dengan
kedudukan ahli waris lainnya seperti kedudukan suami, ayah, ibu, anak laki-laki dan
anak perempuan tidak pernah mahjub hirman/terhalang. Dan mendapat bagian
seperempat bila tidak ada anak dan seperdelapan bila ada anak.Dan menurut praktek
Badan Peradilan Agama setengah bagian dari harta bersama diberikan kepada janda
yang ditinggal mati almarhum suaminya.
C. Kedudukan Janda dalam Waris Hukum Negara (KUHPerdata /
BW)Pembagian waris menurut hukum Negara, dilihat dari apakah almarhum suami
dan istri (janda) telah melakukan pisah harta sebelum menikah. Apabila ada pisah
harta, maka harta peninggalan dibagi dua terlebih dahulu, yakni separuh milik
istri(janda), dan separuh lainnya milik almarhum. Separuh harta peninggalan
almarhum tersebut selanjutnya diberikan kepada Golongan I Waris, yaitu istri dan
anak.
Anak memiliki Legitime Portie, yang merupakan hak mutlak.Anak berhak
menuntut apabila anak tidak mendapat harta warisan dari peninggalan almarhum.
Apabila harta peninggalan almarhum diberikan seluruhnya kepada anak, isti(janda)
tidak dapat menuntut karena ia tidak memiliki Legitime Portie.Apabila terdapat pisah
harta, maka harta peninggalan tidak dibagi dua terlebih dahulu, harta peninggalan
tersebut langsung dibagi kepada Golongan I.
Kemudian munculah pertanyaan seperti diantaranya:
Kapan diberlakukan Hukum Waris Adat atau Hukum Waris Negara?
Penggunaan hukum waris tergantung dimana seseorang tersebut tinggal. Apabila
seseorang tersebut tinggal dan hidup di dalam lingkungan yang masih menjunjung
tinggi hukum adat, maka Hukum Waris Adat lah yang akan diberlakukan. Akan
tetapi, apabila seseorang tersebut tinggal dan hidup di lingkungan yang
memberlakukan hukum Negara, maka yang akan diberlakukan adalah Hukum Waris
Negara.
Kapan diberlakukan Hukum Waris Islam atau Hukum Waris Negara?
Disaat seseorang ingin memberlakukan Hukum Waris Islam, maka yang perlu
dilakukan yaitu datang ke Pengadilan Agama. Akan tetapi, apabila ia menggunakan
jasa Notaris, maka yang akan diberlakukan adalah Hukum Waris Negara.
Maka dari itu, pada kasus yang telah disebutkan diatas mengenai perkawinan
Moerdiono berikut adalah penjelasan mengenai pembagian warisnya:
Ahli Waris Moerdiono
Dalam Al – Quran Surah An – Nisaa ( IV ) ayat : 11, 12, 176 ditentukan
jumlah bagian – bagian dzaul faraid. Untuk orang – orang tertentu dalam keadaan
tertentu, bagiannya : 1/8, ¼, ½, 1/6, 1/3, 2/3.
Ø Dzaul Faraidh
1. Istri – Istri Moerdiono yaitu Marjati, Poppy Dharsono dan Marchica mendapat
1/8 ( seperdelapan ) bagian dari harta, karena mereka ada yang memiliki anak.
Ø Surah An – Nisa ayat 12 :
Ø “ Dan bagianmu ( suami – suami ) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri – istri mu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka ( istri – istrimu ) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah ( dipenuhi ) wasiat yang mereka buat atau ( dan setelah dibayar ) utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan ( setelah dipenuhi ) wasiat yang
kamu buat atau (dan setelah dibayar ) utang – utangmu. Jika seseorang meninggal,
baik laki – laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki – laki ( seibu ) atau
seorang saudara perempuan ( seibu ), maka bagi masing – masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara – saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersama – sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah
( dipenuhi wasiat ) yang dibuatnya atau ( dan setelah dibayar ) utangnya dengan
tidak menyusahkan ( kepada ahli waris ). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha
Mengetahui, Maha Penyantun. “
Ø Ashabah Bilghairi
1. Ninuk ( anak perempuan Moerdiono ), mendapat 1/3 ( sepertiga ) dari harta
warisan.
2. M. Iqbal dan Indrawan, mendapat 2/3 ( duapertiga ) bagian dari harta warisan.
Perhitungan :
- Istri Moerdiono/orang adalah 1/8 : 3 = 1/24 per orang.
- Bagian untuk ashabah adalah :
Sisanya yaitu 8/8 – 1/8 = 7/8 untuk laki – laki dan perempuan.
Untuk laki – laki 2/3 x 7/8 = 14/24 ( bagian Iqbal dan Indrawan )
Untuk perempuan 1/3 x 7/8 = 7/24 ( bagian Ninuk )
Pada dasarnya status anak perempuan adalah sebagai dzaul faraidh, yaitu
seharusnya mendapat waris dalam bilangan tertentu tidak boleh menghabiskan. Akan
tetapi kalau ia didampingi bersama saudaranya laki – laki, maka anak perempuan dan
laki – laki ini boleh menghabiskan harta peninggalan orang tuanya, dengan
perbandingan bagian untuk seorang anak laki – laki adalah dua kali anak perempuan.
· Orang tua Moerdiono dan Baroto ( anak Moerdiono ) tidak termasuk ahli waris
karena mereka telah meninggal mendahului si pewaris ( Moerdiono ).
· Cucu laki – laki dari anak laki – laki tidak mendapatkan waris karena ada anak
laki – laki.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KesimpulanDari pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan yaitu seseorang yang berhak mendapatkan warisan menurut Undang-
Undang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu sebagai ahli waris menurut
ketentuan Undang-Undang dan karena ditunjuk dalam surat wasiat. Ahli-ahli
waris untuk mendapatkan warisannya dapat dilakukan dengan perhitungannya
masing-masing.Antara istri, anak baik laki-laki ataupun perempuan mendapatkan
warisan yang berbeda-berbeda.
Dalam kasus Moerdiono yang memiliki tiga istri yaitu satu istri sah dan
dua istri dari pernikahan siri.Setelah Moerdiono meninggal, para istri beliau
mendapatkan warisannya masing-masing. Para istri Moerdiono yaitu Marjati,
Marchica, dan Poppy Dharsono mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian dari
harta karena mereka ada yang memiliki anak. Untuk masing-masing anak
Moerdiono dari hasil pernikahannya dengan Marjati pun mendapatkan
warisannya masing-masing seperti yang telah ada di pembahasan
sebelumnya
B. SaranPewarisan perlu dilakukan oleh si pewaris terhadap ahli warisnya yang
telah ditunjuk dengan melalui surat wasiat yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini
perlu dilakukan agar jelas siapa saja yang mendapatkan warisan.Selain itu, perlu
dilakukan perhitungan yang jelas mengenai ahli-ahli waris baik meliputi istri,
anak-anaknya, orang tuanya, dll agar semua ahli waris mendapatkan warisannya
dengan yang sesuai atau yang semestinya dan dilakukan dengan adil.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Irianto, Sulistyowati (2006). Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia.
Muhibbin, Moh. (2009). Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Suparman, Eman (2007). Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW. Bandung: Refika Aditama.