farmasi.ulm.ac.idfarmasi.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/Prosiding-Seminar-Nasional-2016.pdf ·...

199
ISBN 9 PROSPEK PERKEMBANGAN PRODUK HALAL DAN AMAN PADA OBAT, MAKANAN, DAN KOSMETIK PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEFARMASIAN 2016 HOTEL ARIA BARITO BA\.lAR\lASIN 8 OKTOBER 2015 PS FARf\TA!I FAK U LTAS MATEMAT$(&.OAN ILMU PENGETAHUAF6 At&M [I{IY} f, $IIAS I,A iI BU ri G il[*GT3*'I

Transcript of farmasi.ulm.ac.idfarmasi.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/Prosiding-Seminar-Nasional-2016.pdf ·...

ISBN 9

PROSPEK PERKEMBANGAN PRODUK HALALDAN AMAN PADA OBAT, MAKANAN, DAN KOSMETIK

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL KEFARMASIAN 2016

HOTEL ARIA BARITOBA\.lAR\lASIN

8 OKTOBER 2015

PS FARf\TA!IFAK U LTAS MATEMAT$(&.OANILMU PENGETAHUAF6 At&M[I{IY} f, $IIAS I,A iI BU ri G il[*GT3*'I

i

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

“Prospek Perkembangan Produk Halal dan

Aman pada Obat, Makanan, dan Kosmetik”

Sabtu 8 Oktober 2016 di Hotel Aria Barito Banjarmasin

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Copyright @ 2016

ISBN : 978-602-73121-1-1

Penulis:

Tim Penulis

Reviewer:

Dr. Sutomo, M.Si., Apt

Khoerul Anwar, M.Sc., Apt

Editor:

Muhammad Ikhwan Rizki, M.Farm., Apt

Penyuting:

M. Achrizal Haq

Diterbitkan oleh:

Program Studi Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Lambung Mangkurat

Alamat Penerbit:

Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selata Telp. (0511) 4773112

www.farmasi.unlam.ac.id

ii

SUSUNAN KEPANITIAAN:

Ketua Panitia

M. Ikhwan Rizki, M. Farm., Apt.

Wakil Ketua

Muhammad Rafi

Sekretaris dan Registrasi

Fadlilaturrahmah, M.Sc., Apt.

Isni Munisa

Karina Ulya Afifa

Gabriella Stivani

Bendahara

Valentina Meta Srikartika, M.PH., Apt.

Nuraina Mardiah

Seksi Acara

Mia Fitriana, M.Si. Apt.

Rollah M. Arasyi Hasan

Perlengkapan

M. Aldhi Ashshiddiqi

Publikasi dan Dokumentasi

M. Achrizal Haq

Dana dan Sponsorship

Wildasari Safitri

Seksi Konsumsi

Lisda Noorsyifa

Hubungan Masyarakat

Adriana Sri Rejeki H.

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT. Semua atas izin-Nya, sehingga buku prosiding ini dapat selesai.

Prosiding ini merupakan kumpulan publikasi oral dan poster pada Seminar Nasional

Kefarmasian dengan tema “Prospek Perkembangan Produk Halal dan Aman pada

Obat, Makanan, dan Kosmetik” pada 8 Oktober 2016 di Hotel Aria Barito

Banjarmasin.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang ikut terlibat dalam membantu penyelesaikan prosiding ini, baik dalam memberi

saran atau masukkan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada para peneliti yang

bersedia untuk artikel penelitiannya diterbitkan pada prosidinng ini.

Kami menyadari bahwa prosiding ini jauh dari kesempurnaan. Kami berharap

mendapat banyak masukkan dan kritikan untuk menjadikan lebih baik. Semoga buku

ini bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, Oktober 2016

Tim Penulis,

iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................... i

Kepanitiaan........................................................................................................ ii

Kata Pengantar.......................................................................................................... iii

Daftar Isi........................................................................................................................ iv

Studi in silico Metabolit Sekunder Brucea javanica sebagai Inhibitor EGFR

Mutan T790M-L858R-V948R

Mohammad Rizki Fadhil Pratama................................................................................

1-14

Penyusunan HACCP Plan Produksi Bakso Ikan di UKM Pangasius

Hypopthalmus NUA Banjarbaru

Ricca Mailinda Sari, Alia Rahmi, dan Susi..................................................................

15-24

Persepsi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Unit 1

Yogyakarta Terhadap Kualitas Obat Generik Ditinjau dari Dimensi

Nurul Mardiati, Sampurno, Chairun Wiedyaningsih..................................................

25-39

Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Umum Daerah Ulin Banjarmasin

Mochammad Maulidie Alfiannor Saputera, Ratih Pratiwi Sari....................................

40-44

Analisis Kuantitatif Kadar Asam Lemak Bebas Dalam Minyak Goreng Bekas

di Kecamatan Banjarmasin Utara

Amaliyah Wahyuni.......................................................................................................

45-51

Analisis Hubungan Karakteristik Terhadap Persepsi Pasien Diabetes Mellittus

Tipe 2 Di RSUD Ratu Zalecha Martapura

Eka Agustya Muliastuti, Difa Intannia.........................................................................

52-57

Review: Aktivitas Antihipertensi Tumbuhan Obat dan Prediksi Mekanisme

Kerjanya

Dyah Retno Widyastuti, Muhammad Ikhwan Rizki..................................................

58-73

Optimasi Konsentrasi Pelarut Etanol Terhadap Rendemen dan Total

Flavonoid Ekstrak Daun Gaharu (Aquillaria microcarpa Baill.)

Destria Indah Sari, Liling Triyasmono........................................................................

74-78

Optimasi Formula Gel Spermisida Ekstrak Kulit Kayu Durian (Durio

zibethinus Murr.) dengan Variasi Konsentrasi HPMC dan Gliserin Metode

Simplex Lattice Design

Nani Kartinah, Rizki Hardianti, Mia Fitriana, Anni Nurliani.....................................

79-86

Studi Farmakognostik dan Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Metanol Daun

Kasturi (Mangifera casturi Kosterm.)

Sutomo, Nadya Agustina, Arnida, Fadilaturrahmah..................................................

87-93

Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Infusa Akar Manuran

v

(Coptosapelta tomentosa Valeton Ex K. Heyne) Asal Kotabaru Kalimantan

Selatan

Arnida, Ratih Purnama Putri, Fadlilaturrahmah, Sutomo..........................................

94-98

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Keluarga dan Pola Pengobatan Terhadap

Kepatuhan Pengobatan Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJ

Sambang Lihum Banjarbaru

Eriza Nur Aq Liny, Valentina Meta Srikartika, Herningtyas Nautika Lingga...........

99-105

Adsorpsi Zat Warna Limbah Cair Batik Kalteng Menggunakan Komposit

Magnetik Berbasis Bahan Alam

Retno Agnestisia, Deklin Frantius................................................................................

106-113

Gambaran karakteristik bentuk dan ukuran sel darah Ikan timpakul

(Periopthalmodon schlosseri)

Hidayaturrahmah, Heri Budi Santoso, Muhamat, Annisa Widyastuty......................

114-125

Efek Hipoglikemik Ekstrak Metanol Daun Gaharu (Aquilaria microcarpa

Baill.) Pada Tikus Jantan Yang Diinduksi Aloksan

Mega Permata Sari, Nurlely, Noor Cahaya, Mustofa.................................................

126-131

Pengaruh Pemberian Kurkumin Per Oral Dengan Selang Waktu

Terhadap Profil Farmakokinetika Eritromisin

Noor Cahaya, Abshar Fariz, Destria Indah Sari...........................................................

132-144

Formulasi Emulgel yang Mengandung Ekstrak Etanol Kulit Batang Bangkal

(Nauclea subdita) Sebagai Tabir Surya

Dina Rahmawanty, Dian Fatmawati, Fadlilaturrahmah............................................

145-152

Penentuan Kadar Fenolik Total, dan Flavonoid Total, serta

AktivitasAntioksidan Ekstrak Etanol Biji Tiga Spesies Tanaman Penghasil

Gaharu: Aquilaria microcarpa, Aquilaria malacensis, dan Aquilaria beccariana

Beny Rahmanto, Wawan Halwany, Fajar Lestari, Khoerul Anwar, Liling

Triyasmono, Muhammad Ikhwan Rizki, Destria Indah Sari....................................

153-160

Karakteristik Fisikokimia Dispersi Padat Ofloksasin Dengan Pembawa PEG

6000 dalam Sistem Biner dan Terner

Prima Happy Ratnapuri, Suwaldi, Akhmad Kharis.....................................................

161-167

Prevalensi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Stroke Yang Dirawat di Sebuah

Rumah Sakit di Kota Tasikmalaya

Ajeng Nilla Anindi, Ilham Alifiar................................................................................

168-175

Formulasi dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Gambir

Lutfi Chabib, Oktavia Indrati, Muhammad Ikhwan Rizki.......................................

176-182

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas

Mergangsan Yogyakarta

Andriana Sari, Haafizah Dania, Dian Retno Palupi.................................................

183-193

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

Studi in silico Metabolit Sekunder Brucea javanica sebagai Inhibitor EGFR Mutan T790M-L858R-

V948RMohammad Rizki Fadhil Pratama

Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Email : [email protected]

Abstrak Brucea javanica diketahui memiliki banyak metabolit sekunder dengan beragam

aktivitas, seperti antimalaria, antimikroba, maupun antikanker. Ekstrak Brucea javanica diketahui dapat menghambat perkembangan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Salah satu penyebab terjadinya NSCLC adalah mutasi pada Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR), suatu reseptor epidermal yang meregulasi proses proliferasi sel. Mutasi pada EGFR terutama pada posisi T790M, L858R dan V948R adalah salah satu penyebab overproliferasi pada sel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis metabolit sekunder dari Brucea javanica dengan potensi paling besar sebagai inhibitor EGFR mutan T790M-L858R-V948R. Metode yang digunakan adalah molecular docking beberapa metabolit sekunder Brucea javanica terhadap EGFR mutan T790M-L858R-V948R, dengan bruceajavanin A menunjukkan energi bebas ikatan paling negatif dan konstanta inhibisi paling kecil, secara berturut-turut sebesar -9,93 kcal/mol dan 52,67 nM. Bruceajavanin A menunjukkan afinitas lebih tinggi pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R dibandingkan EGFR wild type, dimana interaksi pada asam amino posisi 790-800 terutama pada 795-Phe memiliki pengaruh penting terhadap afinitas bruceajavanin A. Hasil tersebut memberikan prediksi bahwa bruceajavanin A memiliki aktivitas sebagai inhibitor EGFR mutan T790M-L858R-V948R dan memiliki potensi untuk dikembangkan pada terapi NSCLC. Kata kunci : Brucea javanica, bruceajavanin A, docking, EGFR, NSCLC

Abstract Brucea javanica was known for have many secondary metabolites with various

activities such as antimalarial, antimicrobial, or anticancer. Brucea javanica extract was known for inhibits development of Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). One of the causes of NSCLC is mutations in Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR), an epidermal receptors that regulates cell proliferation processes. Mutations in EGFR mainly on position T790M, L858R and V948R is one of causes of overproliferation cell. The present study aims to determine the most potent secondary metabolites of Brucea javanica as EGFR mutan T790M-L858R-V948R inhibitor, with bruceajavanin A provide most negative free energy of binding and lowest inhibition constants -9.93 kcal/mol and 52.67 nM, respectively. Bruceajavanin A show higher affinity towards EGFR mutan T790M-L858R-V948R than EGFR wild type, with interactions at position 790-800 particularly on 795-Phe had important influences towards affinity of bruceajavanin A. This results predicted that bruceajavanin A has activity as EGFR mutan T790M-L858R-V948R inhibitor and should be potential to be developed as NSCLC therapy. Keywords : Brucea javanica, bruceajavanin A, docking, EGFR, NSCLC

1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

I. PENDAHULUAN

Eksplorasi aktivitas terapeutik dari

Brucea javanica atau Buah Makasar telah

dilakukan sejak pertengahan 1900-an dan

masih terus diteliti efek-efek baru dari

bermacam metabolit sekunder tumbuhan

tersebut. Berbagai aktivitas dari ekstrak

maupun fraksi aktif dari B. javanica yang

telah diketahui diantaranya adalah sebagai

antimalaria (Kitagawa et al., 1994; Wagih

et al., 2008), antiparasit (Nakao et al.,

2009), antimikroba (O’Donnel & Gibbons,

2007; Widyantoro, 2014), antioksidan

(Widyantoro, 2014), antipiretik (Wagih et

al., 2008), dan antikanker (Kitagawa et al.,

1994; Chen et al., 2016; Liu et al., 2016;

Nakao et al., 2009; Wagih et al., 2008).

Terkait aktivitas antikanker, ekstrak B.

javanica menunjukkan aktivitas pada

berbagai jenis sel kanker, seperti kanker

paru (Ji et al., 2015; Ren et al., 2010),

kanker usus besar, kanker rongga mulut,

kanker prostat (Alves et al., 2014), kanker

payudara (Kumala et al., 2009), kanker

hati, kanker pankreas, dan kanker lambung

(Chen et al., 2016).

Pada kanker paru, kombinasi

ekstrak etanol B. javanica dan cantharidin

menunjukkan perbaikan tingkat kualitas

kehidupan yang ditandai dengan

penurunan laju perkembangan sel kanker

dan penurunan efek samping terapi (Ji et

al., 2015). Sediaan dari ekstrak B. javanica

sendiri telah dikembangkan dan hasilnya

diketahui dapat meningkatkan efektifitas

senyawa antikanker lain 1,6 kali lebih baik

(Liu et al., 2016) dan tahap pengujiannya

telah melalui pengujian fase II (Lu et al.,

2013). Ekstrak daun B. javanica sendiri

memiliki LD50 pada mencit jantan dan

betina sebesar 1003,65 mg/kgBB yang

menunjukkan tingkatan toksisitas “mild”

untuk pemberian secara oral, yang

memungkinkan untuk dikembangkan

sebagai bahan obat (Angelina et al., 2012).

Kanker paru sendiri

diklasifikasikan menjadi Non-Small-Cell

Lung Cancer (NSCLC), Small-Cell Lung

Cancer (SCLC), serta tumor neuro-

endokrin, yang mana kasus NSCLC

menjadi kasus kanker paru paling sering

terjadi hingga 85% dari keseluruhan kasus

(Alves et al., 2014; Jorge et al., 2014).

Kanker paru bahkan diperkirakan menjadi

penyebab kematian lebih dari 158.000

orang di amerika serikat pada tahun 2016,

menjadikan kanker paru sebagai jenis

kanker paling mematikan di amerika

serikat, lebih banyak dibandingkan

kombinasi jumlah kematian kanker usus

besar, kanker payudara, kanker prostat,

dan kanker pankreas (Siegel et al., 2016).

Meskipun diketahui bahwa

merokok merupakan salah satu faktor

utama penyebab kanker paru, sebanyak

15-20% dari penderita kanker paru

2

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 diketahui tidak pernah merokok. Hal

tersebut memberikan petunjuk bahwa

faktor pencetus kanker paru tidak hanya

eksternal namun juga internal (Kuykendall

& Chiappori, 2014). Salah satu faktor

genetik yang diketahui menjadi salah satu

penyebab kanker paru adalah terjadinya

kelainan pada Epidermal Growth Factor

Receptor (EGFR) (Jorge et al., 2014).

EGFR merupakan reseptor

epidermal yang terdapat pada permukaan

hampir seluruh sel tubuh dan berperan

sebagai regulator keseimbangan jumlah sel

dalam tubuh. Peran utama dari EGFR

adalah dalam proses cascade signalling

proliferasi sel melalui jalur Mitogen-

Activated Protein Kinase (MAPK). EGFR

menstimulasi proliferasi sel yang

dibutuhkan dalam proses regenerasi sel

tubuh. Pada kanker, terjadi over-ekspresi

EGFR pada organ-organ seperti paru yang

memicu over-proliferasi sel (Jorge et al.,

2014; Kuykendall & Chiappori, 2014).

Beberapa faktor diketahui menjadi

penyebab over-ekspresi EGFR, salah

satunya adalah mutasi pada asam amino

tertentu dari EGFR. Beberapa jenis mutasi

seperti T790M (Jorge et al., 2014; Sakai et

al., 2013; Suda et al., 2009), L858R, dan

V948R (Cappuzzo, 2014) diketahui

menyebabkan over-ekspresi EGFR serta

resistensi terhadap Small Kinase Inhibitors

(SKIs) seperti gefitinib, erlotinib, dan

afatinib. Mutasi tersebut bahkan menjadi

50% penyebab NSCLC pada penderita

non-perokok (Jorge et al., 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk

memprediksi interaksi antara beberapa

metabolit sekunder dari B. Javanica

dengan EGFR mutan T790M-L858%-

V948R. Ada 22 metabolit sekunder dari B.

Javanica sebagai ligan uji. Hasil dari

penelitian ini akan memberikan prediksi

mengenai jenis metabolit sekunder dari B.

Javanica yang memiliki aktivitas paling

baik sebagai inhibitor EGFR mutan

T790M-L858R-V948R untuk dapat

dikembangkan lebih lanjut sebagai terapi

pada NSCLC.

II. BAHAN DAN METODE

A. Rancangan Penelitian

Penelitian dilaksanakan secara in

silico dengan metode molecular docking.

Perangkat keras yang digunakan adalah

Ultrabook ASUS seri A46CB dengan

prosessor Intel core i5-3337U@1,8GHz

dan sistem operasi windows 7 Ultimate

64-bit SP-1.

B. Preparasi Ligan

Ligan yang digunakan adalah

senyawa-senyawa metabolit sekunder dari

Brucea javanica yaitu bruceajavanin A &

B, bruceantine, bruceantinol, bruceine A,

B, C, D, E, F, G, H & I, bruceolide,

3

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 bruceoside A, B, C, D, E & F, brusatol,

dan canthine-6-one. Struktur masing-

masing ligan diskesta menggunakan

software GaussView 3.08 dan dioptimasi

geometri dengan menggunakan Gaussian

03W dari Gaussian, Inc. dengan metode ab

initio Hartree-Fock basis set 3-21G.

Optimasi geometri dilakukan untuk

memperoleh konformasi paling ideal dari

struktur senyawa yang disketsa dan

mendekati bentuk alaminya (Cosconati et

al., 2010).

C. Konversi Ligan

Ligan yang telah dioptimasi

dikonversi dari format .log menjadi format

.pdb menggunakan software OpenBabel

2.3.2 (O’Boyle et al., 2011). Ligan lalu

diberi muatan dan diatur torsinya

menggunakan software AutoDockTools

1.5.6.rc3 (Morris et al, 2009).

D. Preparasi Reseptor

Reseptor yang digunakan adalah

reseptor EGFR mutan T790M-L858R-

V948R (PDB ID 5HG7) dan EGFR wlid

type (PDB ID 5FED). Struktur molekul

reseptor diperoleh website Protein Data

Bank (PDB) http://www.rscb.org.

Reseptor diunduh dalam format .pdb

kemudian dihilangkan bagian yang tidak

digunakan, diberi hidrogen non-polar,

diberi muatan, serta diatur posisi grid box

menggunakan software AutoDockTools

1.5.6.rc3 (Morris et al., 2009).

E. Validasi Reseptor

Reseptor yang akan digunakan

divalidasi terlebih dahulu. Metode yang

digunakan adalah redocking dengan ligan

ko-kristal dari masing-masing reseptor

digunakan sebagai ligan uji. Parameter

pengamatan pada proses validasi adalah

RMSD yang menggambarkan rata-rata

selisih posisi atom hasil redocking dengan

hasil kristalografi. Software docking

cenderung menunjukkan hasil yang sama

dengan hasil kristalografi jika memberikan

nilai RMSD kurang dari 2Å. Semakin

kecil nilai RMSD menunjukkan posisi

ligan hasil docking dengan posisi ligan

hasil kristalografi (Bissantz et al., 2000).

F. Molecular Docking

Program docking yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Autodock 4.2.3

dari The Scripps Research Institute, Inc.

(Morris et al, 2009). Metode yang

digunakan adalah pose selection yaitu

dengan melakukan docking pada bagian

kantung aktif reseptor yang berikatan

dengan ligan pada reseptor hasil

kristalografi (Kontoyianni et al, 2004).

4

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 G. Interpretasi Hasil

Parameter yang diamati untuk

penentuan afinitas ligan terhadap reseptor

adalah energi bebas ikatan (ΔG),

konstanta inhibisi prediksi (ki), residu

asam amino, serta ikatan hidrogen.

Afinitas ligan terhadap reseptor ditentukan

oleh nilai ΔG dan ki. Semakin negatif nilai

ΔG dan semakin kecil nilai ki

menunjukkan afinitas ligan yang semakin

tinggi (Kim & Skolnick, 2007). Ligan uji

dengan residu asam amino dan ikatan

hidrogen yang mendekati ligan alami

menunjukkan kemiripan jenis interaksi

dalam hal ini menggambarkan kemiripan

aktivitas (Cosconati et al, 2010). Ligan

dengan afinitas paling tinggi pada EGFR

mutan T790M-L858R-V948R dilakukan

docking kembali pada EGFR wild type

untuk mengetahui perbedaan afinitas dan

interaksi pada dua jenis EGFR tersebut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Seluruh ligan uji disketsa dan

dioptimasi geometri menggunakan metode

Hartree-Fock dengan basis set 3-21G.

Metode tersebut merupakan pendekatan ab

initio dengan tingkat kepercayaan yang

relatif tinggi untuk pengerjaan in silico

meski dibutuhkan waktu yang relatif lebih

lama dibandingkan metode lain (Cosconati

et al., 2010). Struktur 2 dimensi dan 3

dimensi dari seluruh ligan yang digunakan

ditunjukkan pada tabel I.

Tabel I. Struktur 2D dan 3D ligan

Senyawa Struktur 2D Struktur 3D

Bruceajavanin A (BJA)

Bruceajavanin B (BJB)

Bruceantine (BTN)

Bruceantinol (BTL)

Bruceine A (BCA)

Bruceine B (BCB)

Bruceine C (BCC)

Bruceine D (BCD)

Bruceine E (BCE)

Bruceine F (BCF)

5

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

Bruceine G (BCG)

Bruceine H (BCH)

Bruceine I (BCI)

Bruceolide (BLD)

Bruceoside A (BSA)

Bruceoside B (BSB)

Bruceoside C (BSC)

Bruceoside D (BSD)

Bruceoside E (BSE)

Bruceoside F (BSF)

Brusatol (BST)

Canthine-6-one (CTN)

Validasi reseptor dilakukan dengan

metode redocking menggunakan Autodock

4.2.3. Validasi dilakukan pada kantung

aktif dari masing-masing reseptor dengan

posisi ligan hasil kristalografi dijadikan

sebagai acuan penentuan koordinat dan

ukuran dari masing-masing grid box. Hasil

redocking ditunjukkan pada gambar 1.

(a)

(b)

Gambar 1. Overlay posisi ligan hasil redocking (warna biru) dan ligan hasil kristalografi (warna merah) pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa

posisi masing-masing ligan hasil

redocking nyaris bertumpuk dengan posisi

ligan hasil kristalografi. Parameter

pengamatan pada validasi ditunjukkan

pada tabel II.

6

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Tabel II. Hasil validasi reseptor 5HG7

dan 5FED Reseptor 5HG7 5FED RMSD

(Å) 1,505 1,957

ΔG (kcal/mol) -7,59 -7,63

Ki (µM) 2,72 2,55

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val 743-Ala 745-Lys 775-Cys 790-Met 791-Gln

- 793-Met

- 796-Gly 844-Leu 856-Phe

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala 745-Lys

- 790-Thr 791-Gln 792-Leu 793-Met 794-Pro 796-Gly 844-Leu

- Ikatan

Hidrogen 2 0

Koordinat grid box

x=-13,489 y=15,359 z=-25,336

x=-2,124 y=51,583 z=-20,44

Ukuran grid box (Å) 40x40x40 40x40x40

Nilai RMSD pada masing-masing

reseptor tidak ada yang lebih besar dari

2Å, yang menunjukkan bahwa posisi ligan

hasil redocking tidak terlalu jauh dengan

ligan hasil kristalografi (Bissantz et al.,

2000). Selanjutnya seluruh ligan uji

dilakukan docking terhadap reseptor

EGFR T790M-L858-V948R. Hasil

docking ditunjukkan pada tabel III-VIII.

Tabel III. Hasil docking metabolit sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (1)

Ligan BJA BJB BTN BTL ΔG

(kcal/mol) -9,93 -9,64 -8,27 -7,19

Ki (µM) 0,05267 0,08599 0,87240 5,37

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - -

792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- - - -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - -

792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- -

841-Arg -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- - - -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

- 856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- -

841-Arg -

844-Leu -

856-Phe Ikatan

Hidrogen 1 0 2 1

Tabel IV. Hasil docking metabolit

sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (2)

Ligan BCA BCB BCC BCD ΔG

(kcal/mol) -8,08 -8,31 -8,52 -7,01

Ki (µM) 1,2 0,81349 0,56767 7,33

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly

718-Leu 719-Gly

- 723-Phe 726-Val 743-Ala

- - - - - - -

796-Gly

718-Leu - - -

726-Val 743-Ala

- - - -

792-Leu 793-Met

- 796-Gly

7

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

797-Cys - - - -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

- 856-Phe

797-Cys - - - -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

- 856-Phe

797-Cys - - - -

841-Arg -

844-Leu -

856-Phe

797-Cys - - - - - -

844-Leu -

856-Phe Ikatan

Hidrogen 2 2 1 1

Tabel V. Hasil docking metabolit

sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (3)

Ligan BCE BCF BCG BCH ΔG

(kcal/mol) -6,48 -7,09 -7,29 -6,48

ki (µM) 17,86 6,38 4,5 17,93

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- - - - - -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala

- -

790-Met 791-Gln 792-Leu 793-Met

- 796-Gly 797-Cys

- - - - - -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly

- 723-Phe 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- - - - - -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala

- -

790-Met -

792-Leu 793-Met

- 796-Gly 797-Cys

- - - - - -

844-Leu -

856-Phe Ikatan

Hidrogen 3 2 2 2

Tabel VI. Hasil docking metabolit

sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (4)

Ligan BCI BLD BSA BSB ΔG

(kcal/mol) -8,21 -7,49 -7,42 -7,12

ki (µM) 0,95929 3,25 3,63 5,99

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly

- 723-Phe 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys 799-Leu

- - - - -

844-Leu -

856-Phe

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- - - -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

- 856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val

- - - - - - -

795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp 801-Tyr 804-Glu 841-Arg

- - -

856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - -

792-Leu 793-Met

- 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- -

841-Arg -

844-Leu - -

Ikatan Hidrogen 2 1 5 3

Tabel VII. Hasil docking metabolit

sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (5)

Ligan BSC BSD BSE BSF ΔG

(kcal/mol) -7,65 -7,84 -6,2 -5,34

ki (µM) 2,45 1,78 28,44 122,13

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala

- - -

791-Gln 792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- 804-Glu 841-Arg

- 844-Leu

718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val

- - - - - - -

795-Phe 796-Gly 797-Cys

- 800-Asp 801-Tyr 804-Glu 841-Arg

- -

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- - - - - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- 800-Asp

- -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

718-Leu 719-Gly

- -

726-Val 743-Ala 745-Lys 775-Cys 790-Met

- - - -

796-Gly 797-Cys

- - - -

841-Arg -

844-Leu

8

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

- -

- 856-Phe

- 856-Phe

854-Thr 856-Phe

Ikatan Hidrogen 2 2 2 1

Tabel VIII. Hasil docking metabolit

sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (6)

Ligan BST CTN ΔG

(kcal/mol) -7,97 -7,26

ki (µM) 1,43 4,73

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly 720-Ser

- 726-Val 743-Ala

- - - - -

793-Met -

796-Gly 797-Cys

- - - -

841-Arg 842-Asn 844-Leu

- 856-Phe

718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val 743-Ala

- 775-Cys 790-Met 791-Gln 792-Leu 793-Met

- - - - - - - - -

844-Leu -

856-Phe Ikatan Hidrogen 1 1 Hasil docking terhadap reseptor

EGFR T790M-L858R-V948R tersebut

menunjukkan perbedaan afinitas antar

masing-masing ligan, dengan

bruceajavanin A menunjukkan afinitas

tertinggi dengan nilai ΔG paling negatif

dan ki paling kecil secara berturut-turut

sebesar -9,93 kcal/mol dan 0,05267 µM.

Untuk afinitas terendah ditunjukkan oleh

bruceoside F dengan ΔG paling positif dan

ki paling besar secara berturut-turut

sebesar -5,34 kcal/mol dan 122,13 µM.

Meskipun paling rendah, namun

bruceoside F masih menunjukkan nilai ΔG

negatif, yang menunjukkan bahwa reaksi

antara bruceoside F dan EGFR mutan

T790M-L858R-V948R akan terjadi secara

spontan (Kontoyianni et al, 2004). Hal

tersebut menunjukkan seluruh ligan uji

memiliki afinitas dan mempunyai aktivitas

sebagai inhibitor terhadap EGFR mutan

T790M-L858R-V948. Selanjutnya

bruceajavanin A dilakukan docking

terhadap EGFR wild type. Hasil docking

ditunjukkan pada tabel IX.

Tabel IX. Perbandingan hasil docking bruceajavanin A pada reseptor 5HG7 dan 5FED

Ligan Bruceajavanin A Reseptor 5HG7 5FED

ΔG (kcal/mol) -9,93 -7,98

Ki (µM) 0,05267 1,4

Residu Asam Amino

718-Leu 719-Gly 720-Ser 726-Val 743-Ala

- - -

792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys 800-Asp 844-Leu

- 856-Phe

718-Leu 719-Gly

- 726-Val 743-Ala 744-Ile 745-Lys 790-Thr

- 793-Met

- -

797-Cys 800-Asp 844-Leu 855-Asp

- Ikatan Hidrogen 1 0 Ket : Warna hijau menunjukkan

kesamaan residu asam amino

9

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Pada tabel IX dapat dilihat bahwa

bruceajavanin A memiliki afinitas lebih

tinggi pada EGFR mutan T790M-L858R-

V948R dibandingkan EGFR wild type.

Nilai ki pada EGFR mutan T790M-

L858R-V948R lebih kecil 26 kali lipat

dibandingkan EGFR wild type, yang

menunjukkan bahwa afinitas

bruceajavanin A 26 kali lipat lebih tinggi

pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R

dibandingkan EGFR wild type. Hasil

tersebut menjelaskan bahwa bruceajavanin

A akan lebih cenderung untuk berinteraksi

dengan sel NSCLC dengan EGFR yang

termutasi dibandingkan dengan sel normal

dengan EGFR wild type. Dengan kata lain,

bruceajavanin A dapat menghambat EGFR

lebih selektif terhadap sel NSCLC

dibandingkan sel normal. Hal tersebut

sekaligus menjelaskan mengapa ekstrak B.

javanica memiliki efek samping yang

relatif lebih rendah pada terapi kanker

dengan kombinasi antikanker lain (Ji et al.,

2015).

Pada tabel IX juga dapat diamati

pada kedua jenis reseptor tersebut terdapat

8 residu asam amino yang sama-sama

berinteraksi (warna hijau pada tabel IX).

Hal yang menarik adalah pada EGFR

mutan T790M-L858R-V948R interaksi

banyak terjadi pada daerah hinge region

yaitu pada asam amino nomor 790-800

(Cappuzzo, 2014) dengan 6 residu asam

amino, sedangkan pada EGFR wild type

interaksi lebih banyak terjadi pada daerah

asam amino 743-745. Meski demikian

pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R

interaksi justru tidak terjadi pada asam

amino 790 yang mengalami mutasi.

Interaksi pada asam amino 790 justru

terjadi pada EGFR wild type. Dengan kata

lain subtitusi dari asam amino threonin

dengan metionin pada residu nomor 790

secara signifikan menurunkan afinitas dari

suatu ligan terhadap kantung aktif dari

EGFR (Sakai et al., 2013; Suda et al.,

2009). Afinitas bruceajavanin A yang

lebih tinggi pada EGFR mutan T790M-

L858R-V948R lebih dipengaruhi oleh

banyaknya interaksi pada daerah asam

amino nomor 790-800. Lebih jelasnya

dapat diamati pada visualisasi hasil

docking pada gambar 2.

(a)

10

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

(b)

Gambar 2. Perbandingan interaksi dari bruceajavanin A pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)

Pada gambar 2.a dapat dilihat

bahwa interaksi pada reseptor EGFR

mutan T790M-L858R-V948R didominasi

pada daerah asam amino 792-800.

Menarik untuk dicermati bahwa pada

bruceajavanin A terdapat interaksi pada

asam amino 795-Phe yang terletak cukup

jauh dari kantung aktif EGFR (gambar

2.a), yang mana interaksi tersebut

disebabkan oleh rantai samping

dimethyloxirane dari bruceajavanin A.

Interaksi tersebut juga ditunjukkan pada

hasil docking bruceajavanin B yang juga

memiliki rantai samping serupa (Tabel I),

yang mana menyebabkan bruceajavanin B

menunjukkan afinitas yang juga relatif

tinggi dibandingkan metabolit sekunder B.

javanica lainnya (Tabel III). Hal tersebut

menunjukkan bahwa interaksi pada asam

amino 795-Phe tersebut memiliki peranan

penting untuk afinitas suatu ligan terhadap

kantung aktif dari EGFR. Untuk

mengamati pengaruh interaksi pada asam

amino 795-Phe tersebut dapat diamati pada

Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3. Perbandingan posisi dari bruceajavanin A (warna merah) hasil docking pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)

11

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Pada gambar 3.a dapat dilihat

bahwa posisi bruceajavanin A (warna

merah gambar 3) cenderung menyamping

dan memberikan penampang yang lebih

besar untuk berinteraksi dengan kantung

aktif dari EGFR mutan T790M-L858R-

V948R. Hal tersebut tak lepas dari mutasi

pada asam amino 790 yang menyebabkan

hilangnya hambatan sterik yang

seharusnya ada pada bagian luar dari

kantung aktif EGFR (Gambar 3.b). Mutasi

tersebut juga mengubah bentuk hinge

region kantung aktif yang sebelumnya

cenderung dalam menjadi lebih dangkal,

sehingga kemungkinan interaksi pada

bagian hinge region asam amino nomor

790-800 menjadi lebih besar (Suda et al.,

2009). Dengan demikian, eksplorasi lebih

lanjut pada daerah asam amino tersebut

dapat dilakukan untuk meningkatkan

afinitas ligan terhadap kantung aktif EGFR

mutan T790M-L858R-V948R, dan

diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh

untuk terapi NSCLC.

IV. KESIMPULAN

Afinitas yang ditunjukkan oleh

bruceajavanin A terhadap EGFR mutan

T790M-L858R-V948R dipengaruhi oleh

subtituen dimethyloxirane dari rantai

samping cincin tetrahidrofurannya.

Perbedaan afinitas dari bruceajavanin A

pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R

dan EGFR wild type terutama dipengaruhi

oleh mutasi pada asam amino 790 yang

mempengaruhi orientasi bruceajavanin A

pada kantung aktif EGFR. Eksplorasi

interaksi lebih lanjut pada daerah asam

amino 790-800 dapat dilakukan untuk

meningkatkan afinitas bruceajavanin A

terhadap EGFR mutan T790M-L858R-

V948R, dengan asam amino 795-Phe

memiliki pengaruh penting terhadap

afinitas ligan terhadap kantung aktif

EGFR. Dengan demikian isolasi

bruceajavanin A dari B.javanica dapat

dilakukan untuk meningkatkan efektivitas

efek antiproliferatif dari metabolit

sekunder B. javanica.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis berterima kasih kepada

Rektor Universitas Muhammadiyah

Palangkaraya Dr. Bulkani, M.Pd. yang

telah memberikan bantuan pendanaan

dalam rangka terlaksanakannya penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alves, I.A.B.S., H.M.Miranda, L.A.L.Soares, & K.P.Randau. 2014. Simaroubaceae Family : Botany, Chemical Composition and Biological Activities. Revista Brasileira de Farmacognosia. Vo. 24. 481-501.

Angelina, M., I.D.Dewijanti, S.D.S.Banjarnahor, Megawati, &

12

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

T.Yuliani. 2012. Acute Toxicity of Brucea javanica Merril Leaves Extract on Mice. The Journal of Tropical Life Science. Vol. 2. No. 2. 29-31.

Bissantz, C., G.Folkers, & D.Rognan. 2000. Protein-based Virtual Screening of Chemical Databases : Evaluation of Different Docking/Scoring Combinations. Journal of Medicinal Chemistry.Vol 43. 4759-4767.

Cappuzzo, F. 2014. Guide to Targeted Therapies : EGFR Mutations in NSCLC. Springer International Publishing, Switzerland.

Chen, J.H., S.H.Kim, P.W.Fan, C.Y.Liu, C.H.Hsieh, & K.Fang. 2016. The Aqueous Extract of Chinese Medicinal Herb Brucea javanica Suppresses The Growth of Human Liver Cancer and The Derived Stem-like Cells by Apoptosis. Drug Design, Development and Therapy. Vol. 10. 2003-2013.

Choi, Y.W., L.J.Hodgkiss, & K.D.Hyde. 2005. Enzyme Production by Endophytes of Brucea javanica. Journal of Agricultural Technology. 55-66.

Cosconati, S., S.Forli, A.L.Perryman, R.Harris, D.S.Goodsell, & A.J.Olson. 2010. Virtual Screening with AutoDock : Theory and Practice. Expert Opinion Drug Discovery. Vol 5. No 6. 597-607.

Ji, Z.Q., X.E.Huang, X.Y.Wu, J.Liu, L.Wang, & J.H.Tang. 2015. Safety of Brucea javanica and Cantharidin Combined with Chemotherapy for Treatment of NSCLC Patients. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol. 15. No. 20. 8603-8605.

Jorge, S.E.D.C., S.S.Kobayashi, & D.B.Costa. 2014. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) Mutations in Lung Cancer : Preclinical and Clinical Data. Brazilian Journal of

Medical and Biological Research. Vol. 47. No. 11. 929-939.

Kim, R. & J.Skolnick. 2007. Assesment of Programs for Ligand Binding Affinity Prediction. Journal of Computational Chemistry. 1-15.

Kitagawa, I., T.Mahmud, P. Simanjuntak, K.Hori, T.Uji, & H.SHibuya. 1994. Indonesia Medicinal Plants VII. Chemical Structures of Three New Triterpenoids, Bruceajavanin A, Dihydrobruceajavanin A, and Bruceajavanin B, and a New Alkaloidal Glycosida, Bruceacanthinoside, from The Stem of Brucea javanica (Simaroubaceae). Chemical and Pharmaceutical Bulletin. Vol 42. 1416-1421.

Kontoyianni, M., McClellan, & Sokol. 2004. Evaluation of Docking Performance : Comparative Data on Docking Algorithm. Journal of Medicinal Chemistry. Vol 47. 558-565.

Kumala, S., E.P.Septisetyani, & E.Meiyanto. 2009. Fraksi n-Butanolik Kapang Endofit Buah Makasar Meningkatkan Efek Apoptosis Doxorubicin pada Sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia. Vol. 20. No. 1. 42-47.

Kuykendall, A. & A.Chiappori. 2014. Special Report: Advanced EGFR Mutation-Positive Non-Small-Cell Lung Cancer: Case Report, Literature Review, and Treatment Recommendations. Cancer Control. Vol. 21. No. 1. 67-73.

Liu, T.T., L.Q.Mu, W.Dai, C.B.Wang, X.Y.Liu, & D.X.Xiang. 2016. Preparation, Characterization, and Evalution of Antitumor Effect of Brucea javanica Oil Cationic Nanoemulsions. International Journal of Nanomedicine. Vol. 11. 2515-2529.

Lu, Y.Y., X.E.Huang, J.Cao, X.Xu, X.Y.Wu, J.Liu, J.Xiang, & L.Xu. 2013. Phase II Study on Javanica Oil

13

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1

Emulsion Injection (Yadanzi®) Combined with Chemotherapy in Treating Patients with Advanced Lung Adenocarcinoma. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol. 14. No. 8. 4791-4794.

Morris, G. M., R.Huey, W.Lindstrom, M.F.Sanner, R.K.Belew,D.S.Goodsell, & A.J.Olson. 2009. Autodock4 and AutoDockTools4: Automated Docking with Selective Receptor Flexiblity. Journal of Computational Chemistry. Vol 16. 2785-2791.

Nakao, R., C.Mizukami, Y.Kawamura, Subeki, S.Bawm, M.Yamasaki, Y.Maede, H.Matsuura, K.Nabeta, N.Nonaka, Y.Oku, & K.Katakura. 2009. Evaluation of Efficacy of Bruceine A, a Natural Quassinoid Compound Extracted from a Medicinal Plant, Brucea javanica, for Canine Babesiosis. Journal of Veterinary Medical Science. Vol. 71. No. 1. 33-41.

O’Boyle, N., M.Banck, C.A.James, C.Morley, T.Vandermeersch, & G.R.Hutchison. 2011. Open Babel : AN Open Chemical Toolbox. Journal of Chemoinformatics. Vol 3. No. 33.

O’Donnel, G. & S.Gibbons. 2007. Antibacterial Activity of Two Canthin-6-one Alkaloids from Allium neapolitanum. Phytotherapy Research.

Ren, D., N.F.Villeneuve, T.Jiang, T.Wu, A.Lau, H.A.Toppin, & D.D.Zhang. 2010. Brusatol Enhances The Efficacy of Chemotherapy by Inhibiting the Nrf2-mediated Defense Mechanism. Proceedings of the National Academy of Sciences. 1-6.

Rothschild, S.I. 2015. Review : Targeted Therapies in Non-Small Cell Lung Cancer – Beyond EGFR and ALK. Cancers. Vol. 7. 930-949.

Sakai, K., A.Horiike, D.L.Irwin, K.Kudo, Y.Fujita, A.Tanimoto, T.Sakatani, R.Saito, K.Kaburaki, N.Yanagitani, F.Ohyanagi, M.Nishio, & K.Nishio. 2013. Detection of Epidermal Growth Factor Receptor T790M Mutation in Plasma DNA from Patients Refractory to Epidermal Growth Factor Receptor Tyrosine Kinase Inhibitor. Cancer Sciences. 1-7.

Siegel, R.L., K.D.Miller, & A.Jemal. 2016. Cancer Statistics. CA : A Cancer Journal for Clinicians. Vol. 66. No. 1. 7-30.

Suda, K., R.Onozato, Y.Yatabe, & T.Mitsudomi. 2009. EGFR T790M Mutation : A Double Role in Lung Cancer Cell Survival. Journal of Thoracic Oncology. Vol. 4. No. 1. 1-4.

Wagih, M.E., G.Alam, S.Wiryowidagdo, & K.Attia. 2008. Improved Production of The Indole Alkaloid Canthin-6-one from Cell Suspension Culture of Brucea javanica (L.) Merr. Indian Journal of Science and Technology. Vol. 1. No. 7. 1-6.

Widyantoro, A. 2014. Metabolit Sekunder Prospektif dari Famili Simaroubaceae. Jurnal Penelitian Saintek. Vol. 19. No. 2. 14-22.

14

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

15

Penyusunan HACCP Plan Produksi Bakso Ikan di

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA Banjarbaru

*Ricca Mailinda Sari, Alia Rahmi, dan Susi

Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat

*Email: [email protected]

Abstrak

Produksi perikanan budidaya Indonesia menempati peringkat keempat dunia

pada tahun 2010 dan 2011, total produksi Ikan Patin nasional pada tahun 2012 juga

menempati urutan kedua terbesar dunia. Besarnya potensi sumberdaya perikanan

budidaya yang dimiliki oleh Indonesia dan produksinya menunjukkan bahwa

perikanan memiliki potensi yang baik untuk pemenuhan gizi masyarakat dan

pertumbuhan perekonomian, namun pengolahannya masih banyak dilakukan secara

tradisional dengan penanganan dan pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi

dan higiene. Sehingga, diperlukan acuan dalam pengelolaan mutu yaitu dengan

menggunakan prinsip-prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).

Tujuan penelitian ini adalah menyusun HACCP Plan untuk proses produksi bakso ikan

di UKM Pangasius Hypopthalmus NUA guna menjamin keamanan produk yang

dihasilkan. Penerapan Pre-requisite Programme di UKM Pangasius Hypopthalmus

NUA berdasarkan aspek GMP termasuk kategori level IV (terendah), sedangkan SSOP

sudah dijalankan beberapa program sanitasi namun belum ada dokumen tertulis

sebagai kebijakan. Pada pengamatan mutu diketahui bahwa sejauh ini UKM Pangasius

Hypopthalmus NUA sudah dapat memproduksi bakso ikan patin yang sesuai dengan

SNI 7266:2014. Pada penyusunan HACCP Plan diidentifikasi 7 CCP, yaitu pada air

dan es (CCP-1), telur (CCP-2), thawing (CCP-3), pelumatan dan pencampuran (CCP-

4), penyimpanan bahan baku ikan (CCP-5), perebusan (CCP-6) dan penyimpanan

bakso ikan (CCP-7). Kendali kritis pada CCP-1 adalah dengan pengaturan suhu yaitu

dengan batas kritis minimal 100°C, CCP-3 maksimal 5°C, CCP-5 maksimal -18°C,

CCP-6 pada 90-100°C dan CCP-7 maksimal -18°C, sedangkan CCP-2 dan CCP-4

adalah tidak adanya kotoran/sisa bahan lain yang menempel pada bahan maupun alat.

Kata kunci: Bakso ikan, Keamanan pangan, HACCP, GMP, SSOP, UKM.

Abstract

Indonesian aquaculture production ranks fourth in the world in 2010 and 2011,

while total national production of Pangasius in 2012 ranks second in the world.

Indonesian aquculture resource shows good potential for the fulfillment of public nutrition

and economic growth. However, it is processing is still done traditionally with minimum

attention to sanitation and hygiene. This calls for the deployment of Hazard Analysis and

Critical Control Point (HACCP) principles to order to assure the safety of fisheries

product. The purpose of this study is to develop a HACCP Plan for fishball production

carried on UKM Pangasius Hypopthalmus NUA in order to ensure the safety of the

products produced. Pre-requisite Programme implementation in UKM Pangasius

hypopthalmus NUA i.e. GMP and SSOP indicated that the enterprise falls in level IV

category for GMP and no written document has been issued for the exist sanitation

program. Observation on the quality fishball produced by UKM Pangasius Hypopthalmus

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

16

NUA is in accordance with SNI 7266:2014. The deployment of 12 step (7-principles) of

HACCP, identifies 7 CCP they are on water and ice (CCP-1), egg (CCP-2), thawing (CCP-

3), size reduction and mixing (CCP-4), storage of fish (CCP-5), boiling (CCP-6) and

storage of fish balls (CCP-7). Critical control at CCP-1 is the temperature setting threshold

of at least 100° C, CCP-3 up to 5° C, CCP-5 up to -18° C, CCP-6 at 90-100° C and

maximum 18°C on CCP-7, while CCP-2 and CCP-4 is the absence of dirt and of other

materials on the material and tools.

Keywords: Fishball, Food Safety, HACCP, GMP, SSOP,UKM

I. PENDAHULUAN

Produksi perikanan budidaya Indonesia

menempati peringkat keempat dunia dengan

total produksi pada tahun 2010 sebanyak

2.305.000 ton dan 2.718.000 ton pada tahun

2011(FAO, 2012). Besarnya potensi

sumberdaya perikanan budidaya yang dimiliki

oleh Indonesia tersebut dan produksinya

menunjukkan bahwa perikanan memiliki

potensi yang baik untuk berkontribusi di

dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya

protein hewani di samping kontribusinya

dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Ikan patin dinilai lebih aman untuk

kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah

dibandingkan dengan daging hewan ternak

(Susanto dan Amri, 2002). Bakso ikan yang

merupakan olahan ikan populer memiliki

potensi pasar yang baik. Pengolahan hasil

perikanan di Indonesia banyak dilakukan

secara tradisional dengan modal dan skala

usaha kecil, sehingga penggunaan alat masih

sederhana, selain itu penanganan dan

pengolahan kurang memperhatikan sanitasi

dan hygiene. Pengolahan hasil perikanan di

Kalimantan Selatan sebagian besar

dilaksanakan oleh usaha kecil menengah

(UKM). UKM Pangasius Hypopthalmus

NUA merupakan salah satu UKM

pengolahan hasil perikanan di Banjarbaru

dengan produksi bakso ikan yang memiliki

produktivitas cukup besar. penggunaan

bahan baku ikan patin untuk produksinya

mencapai 100kg perbulan (Dinas

Perikanan Banjarbaru, 2014).

Untuk meningkatkan mutu produk

bakso ikan diperlukan suatu kesesuaian

dengan standar mutu yang berlaku. Dalam

lingkup nasional, standar mutu yang

dipakai adalah adalah Standar Nasional

Indonesia (SNI). Selain itu, sebagai acuan

dalam pengelolaan mutu keamanan

pangan, digunakan prinsip-prinsip Hazard

Analysis and Critical Control Point

(HACCP). HACCP bersifat sebagai sistem

pengendalian mutu sejak bahan baku

dipersiapkan sampai produk akhir

diproduksi masal dan didistribusikan.

Penerapan HACCP akan menjamin mutu

keamanan dengan pengendalian pada titik

kritis. Selain itu, HACCP juga dapat

berfungsi sebagai promosi perdagangan di

era pasar global yang persaingannya

semakin kompetitif.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

17

II. METODE PENELITIAN

Tahap penelitian terdiri dari tahapan

seperti diuraikan diagram alir pada

Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penerapan Pre-requisite Programme

di UKM Pangasius Hypopthalmus

NUA

a. Good Manufacturing Practices (GMP)

Good Manufacturing Practices (GMP)

adalah suatu pedoman cara berproduksi

makanan yang bertujuan agar produsen

memenuhi persyaratan–persyaratan yang

telah ditentukan untuk menghasilkan

produk makanan bermutu dan sesuai

dengan tuntutan konsumen. Berdasarkan

hasil pemeriksaan sarana produksi pangan

industri rumah tangga berdasarkan

PERKEPBPOM Tahun 2012, UKM

Pangasius Hypopthalmus NUA termasuk

dalam kategori level IV. Sesuai dengan

peraturan BPOM, level ini merupakan

level terendah dari kriteria maka perlu

dilakukan audit internal dengan frekuensi

setiap hari untuk perbaikan proses

produksi bakso ikan patin di UKM

Pangasius Hypopthalmus NUA.

b. Sanitation Standard Operating

Procedure (SSOP)

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

sudah menjalankan beberapa program

SSOP namun belum ada dokumen tertulis

sebagai kebijakan sanitasi yang mengatur

keseluruhan aspek proses produksi.

Sehingga program SSOP harus dibuat dan

dipenuhi oleh UKM sebelum menerapkan

HACCP.

2. Mutu Fisik, Kimia dan Biologis

Mutu bahan baku yang digunakan

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA,

yaitu :

a. Air proses

Dengan menggunakan standar SNI

AMDK 01-3553-2006 dan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor

492/MENKES/PER/IV/2010 diketahui

bahwa air proses yang digunakan UKM

Pangasius Hypopthalmus NUA memenuhi

standar parameter kimia terdapat beberapa

nilai yang melebihi batas maksimum yaitu

kalium permanganat dan amonium. Kadar

Mulai

Studi kepustakaan tentang produksi bakso ikan dan HACCP

Pengamatan kesiapan UKM untuk penerapan HAACP meliputi kondisi UKM dan penerapan Pre-requisite

programme serta evaluasi.

Pengamatan terhadap mutu fisik, kimia dan biologis bahan baku (ikan segar sesuai SNI 2729:2013, ikan beku sesuai SNI 4110:2014, air sesuai SNI 01-3553-2006, es sesuai

SNI 4872:2015) dan produk bakso ikan sesuai SNI 7266:2014 serta analisis data.

Melakukan penyusunan dan implementasi sistem HACCP (12 tahap, 7 prinsip)

Pengecekan kesiapan HACCP Plan dan dokumen pendukungnya

Hasil

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

18

kalium permanganat dan amonium pada

air memang lebih tinggi dibandingkan

standar, namun karena penggunaan air

proses ini hanya sebagai bahan penolong

maka resiko kalium permanganat dan

amonium pada produk sangat rendah jauh

di bawah batas aman. Pada parameter

mikrobiologi, nilai angka lempeng total

lebih tinggi dan uji Salmonella

menunjukkan hasil yang positif, namun air

baku untuk produksi ini kemudian akan

diberi perlakuan pemanasan hingga

mendidih pada suhu 100oC kemudian

digunakan untuk proses perebusan bakso

ikan. Menurut International Dairy

Federation (1986) pada suhu pasteurisasi

mikroorganisme tidak tahan panas yaitu

bakteri patogen dan bakteri pembusuk

seperti Salmonella dapat dibunuh.

b. Es batu

Dengan menggunakan standar SNI

4872:2015 (persyaratan mutu es yang

digunakan dalam proses penanganan dan

pengolahan ikan) yaitu berdasarkan syarat

mutu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

492/MENKES/PER/IV/2010 didapatkan

hasil bahwa semua parameter sudah sesuai

dengan standar yang berlaku kecuali

parameter mangan. Batas maksimal

standar parameter mangan yaitu 0,4 mg/l

sedangkan nilai hasil uji sedikit lebih

tinggi yaitu sebesar 0,46 mg/l.

Kadar mangan pada es memang lebih

tinggi dibandingkan standar, namun karena

perbandingan penggunaan es batu dan

bahan baku ikan patin yaitu 1:7,5 maka

penyerapan mangan dari es batu dalam

produk berada pada jumlah yang lebih

kecil lagi di bawah batas aman.

c. Ikan patin segar

Dengan menggunakan standar SNI 01-

2729.2-2006, yaitu berdasarkan parameter

kenampakan, bau dan tekstur menun-

jukkan bahwa ikan patin yang merupakan

bahan baku dalam pengolahan bakso ikan

di UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

ini telah sesuai standar yaitu mendapatkan

nilai 8 (standar 7).

d. Fillet ikan patin

Dengan menggunakan standar SNI

4110:2014 (persyaratan mutu dan

keamanan pangan ikan beku). Hasil

pengujian fillet ikan patin beku yang telah

disimpan selama 1 bulan di dalam freezer

dengan suhu penyimpanan beku ≤-18oC

telah sesuai standar cemaran mikroba dan

logam.

Mutu produk akhir bakso ikan patin

Bakso ikan segar dan Bakso ikan yang

telah mengalami penyimpanan pada

lemari pendingin selama 1 bulan, yaitu

waktu rata-rata penyimpanan sebelum

bakso ikan dikonsumsi. Hasil uji kimia

kedua sampel bakso yaitu cemaran logam

dan uji mikroba diketahui bahwa kedua

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

19

sampel telah sesuai standar yaitu memiliki

nilai yang lebih rendah dibandingkan

dengan standar persyaratan mutu dan

keamanan bakso ikan (SNI 7266:2014)

3. Penyusunan Hazard Analisis and

Critical Control Point (HACCP)

Tim HACCP

Tim penyusunan HACCP Plan terdiri

dari pihak internal maupun eksternal

UKM, yaitu:

1. Pemilik UKM Pangasius Hypopthalmus

NUA

2. Karyawan bagian penerimaan dan

penyiapan bahan baku

3. Karyawan bagian proses dan

pengemasan

4. Pegawai Dinas Perikanan Kota

Banjarbaru

5. Penulis

Deskripsi produk

Deskripsi produk bakso ikan patin

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

Banjarbaru dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Deskripsi produk bakso ikan patin

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

Banjarbaru. Nama produk Bakso ikan patin beku

Komposisi Daging ikan patin, tepung

tapioka, susu, telur, kaldu

ayam, merica, garam dan

gula.

Pengemasan primer Pengemas plastik

Pengemas sekunder Box pendingin

Metode pengawetan Beku

Kondisi penyimpanan Beku

Cara distribusi Dengan box pendingin

Masa kadaluarsa < 6 bulan

Persyaratan konsumen SNI 7266:2014

Tujuan konsumen Umum

Cara penyiapan

konsumsi

Dimasak terlebih dahulu

Identifikasi pengguna produk

Bakso ikan patin adalah jenis produk

beku (frozen) yang harus dimasak kembali

saat akan dikonsumsi. Produk ini dapat

dikonsumsi oleh semua orang kecuali bayi

usia 0-6 bulan. Produk ini juga tidak

ditujukan secara khusus untuk kelompok

populasi tertentu.

Penyusunan diagram alir

Diagram alir proses produksi bakso ikan

patin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir proses produksi

bakso ikan patin

Verifikasi diagram alir

Verifikasi diagram alir dilakukan

dengan observasi di lapangan beberapa

kali dengan didampingi oleh pemilik UKM

Pangasius Hypopthalmus NUA, diagram

Digiling

Disimpan

di Freezer

t ≤ 1 bulan

T≤ -18oC

Dilumatkan

dan

dicampur

Dicetak

Dimasukan dalam

air panas t= 5 menit T= 65-

80oC

Direbus dalam

air mendidih t= 10-15 menit

T=90-100oC

Diangkat,ditir

iskan dan

didinginkan

Ditimbang Dikemas

Ikan

patin

Dicuci

Difillet Dicuci Ditimbang Dikemas

Thawing

t= 10 jam

T= 25-

30oC

Disimpan dalam freezer

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

20

alir yang digunakan pada Gambar 2 telah

sesuai atau terverifikasi.

Analisa bahaya (Prinsip 1)

Analisa bahaya dilakukan mulai dari

kedatangan bahan baku dari supplier

sampai produk dipasarkan ke konsumen.

Tahap analisa bahaya yang pertama

dilakukan yaitu identifikasi bahaya pada

setiap bahan baku dan juga tahapan proses

produksi yang dilaksanakan. Hazard atau

bahaya digolongkan menjadi 3 jenis yaitu

kimia, biologi, dan fisik. Bahaya yang

teridentifikasi selanjutnya ditentukan

signifikansinya dengan berdasarkan

tingkat keparahan (severity) dan peluang

terjadinya (likelihood).

Penentuan CCP (Prinsip 2)

Penentuan CCP dilakukan dengan

bantuan pohon keputusan. Pohon

keputusan merupakan seri pertanyaan logis

yang menanyakan potensi setiap bahaya.

Digunakan 2 jenis pohon keputusan yaitu

untuk penetapan CCP pada bahan baku

dan pada tahapan proses.

Critical Control Point (CCP) yang

teridentifikasi dari bahan baku dan tahapan

proses yaitu:

1. Air dan es

Bahaya biologi pada bahan baku air

dan es yang digunakan dalam proses

produksi bakso ikan patin merupakan

CCP, meskipun pada tahapan berikutnya

dalam proses produksi yaitu penyimpanan

bahan baku pada suhu beku -18°C dan

tahap perebusan suhu 90-100oC selama 10-

15 menit mematikan bakteri, namun

terdapat jeda waktu yang cukup panjang

selama penyimpanan bahan baku dan pada

saat proses thawing sampai dengan

pencetakan adonan sebelum dilakukan

pemanasan juga dimungkinkan terjadinya

perkemba- ngan bakteri pada suhu ruang.

Sehingga sebaiknya air yang digunakan

pada saat penanganan bahan baku adalah

air yang sudah direbus sehingga tidak

mengandung bahaya biologi seperti bakteri

patogen Escherichia coli dan Salmonella.

2. Telur

Bahaya biologi pada telur berupa

bakteri patogen Salmonella. Faktor yang

berpengaruh besar dalam pencegahan

bakteri Salmonella pada telur ini adalah

kebersihan kandang di tingkat supplier

(peternakan). Jika kebersihan kandang

terjaga, maka kemungkinan besar unggas

tidak akan terinfeksi Salmonella. Hal lain

yang harus diperhatikan adalah

penanganan telur, apabila penanganan

telur tidak dilakukan dengan baik,

misalnya kotoran unggas masih menempel

pada cangkang telur, maka kemungkinan

Salmonella dapat mencemari telur

terutama saat dipecah sehingga kebersihan

selama penyimpanan produk harus sangat

diperhatikan (Jawetz & Adelberg`s, 1996;

Jurnal Litbang Pertanian, 2007 dan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

21

Erianto, 2007). Hal yang dapat dilakukan

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

dalam mengendalikan bahaya pada telur

ini yaitu dengan memilih bahan baku telur

yang tidak terdapat kotoran yang

menempel pada cangkang telur dan telur

yang akan digunakan harus dilakukan

pencucian terlebih dahulu agar kotoran

yang ada pada cangkang tidak mencemari

bagian dalam telur.

3. Thawing

Pada proses thawing, bahan baku yang

beku dicairkan agar menjadi lunak

sehingga dapat diproses. Proses thawing

sangat mempengaruhi mutu biologi dari

bahan baku dikarenakan suhu thawing

yang lebih tinggi dari suhu pembekuan

dapat menyebabkan terjadinya

pertumbuhan bakteri yang sempat

terinaktivasi selama suhu pembekuan.

Kontrol terhadap suhu thawing dan lama

waktu thawing menjadi penting untuk

mencegah kontaminasi biologi.

4. Pelumatan dan pencampuran

Proses pelumatan dan pencampuran

bahan ini bertujuan untuk membuat

adonan bakso. Tahapan proses pelumatan

dan pencampuran adonan dilakukan di

tempat penggilingan daging umum,

dimana alat ini digunakan bersama-sama

dengan konsumen lain yang menggiling

daging ikan. Proses ini menjadi CCP

dikarenakan terdapat bahaya kontaminasi

yang harus dikendalikan yaitu dengan

menerapkan GMP dan SSOP selama

proses penggilingan yaitu kebersihan pada

alat dan tempat penggilingan.

5. Penyimpanan bahan baku ikan patin

Proses penyimpanan bahan baku ikan

patin kemungkinan terdapat jenis bahaya

biologis berupa cemaran mikroba. Tahap

ini dirancang spesifik untuk mengurangi

bahaya dan menjaga kualitas bahan baku

sampai batas aman yaitu dengan

penyimpanan suhu beku lebih rendah dari

-18oC. Sejauh ini berdasarkan hasil

pengamatan mutu pada bahan baku fillet

ikan patin yang telah mengalami

penyimpanan 30 hari didapatkan hasil

bahwa uji cemaran mikroba menunjukkan

nilai yang telah sesuai standar.

6. Perebusan

Perebusan merupakan tahapan proses

yang dilakukan selama kurang lebih 10-15

menit pada suhu 90-100C hingga bakso

ikan matang. Proses perebusan ini

merupakan proses penting karena suhu

perebusan akan mempengaruhi kualitas

bakso dan tekstur yang dihasilkan. Selain

itu, perebusan merupakan salah satu proses

yang dilakukan untuk mengendalikan dan

mengurangi mikroba patogen yang

mungkin ada selama proses produksi.

7. Penyimpanan bakso ikan patin beku

Pada proses penyimpanan bakso ikan

patin kemungkinan terdapat jenis bahaya

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

22

biologis berupa cemaran mikroba

Salmonella, E. Coli, V. Cholera dan V.

Parahaemoliticus. Tahap ini dirancang

spesifik untuk mengurangi bahaya dan

menjaga kualitas bahan baku sampai batas

aman yaitu dengan penyimpanan suhu

beku lebih rendah dari -18oC.

Penetapan batas kritis (critical limit)

untuk setiap CCP (Prinsip 3)

Batas kritis adalah kriteria yang

membedakan parameter yang dapat

diterima atau parameter yang tidak dapat

diterima/ditolak pada produk/tahapan

proses. Penetapan batas kritis untuk untuk

bahaya pada proses produksi pembuatan

bakso ikan patin sebagai (CCP) ditetapkan

berdasarkan Standar Nasional Indonesia

(SNI) untuk air dan es (CCP-1) sesuai

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

492/MENKES/PER/IV/2010, telur (CCP-

2) berdasarkan kebersihan cangkang telur,

penyimpanan bahan baku fillet ikan patin

beku dan thawing (CCP-3 dan CCP-4)

sesuai SNI ikan beku 4110:2014,

pelumatan dan pencampuran (CCP-4)

berdasarkan kebersihan alat, perebusan

dan penyimpanan produk bakso ikan

(CCP-6 dan CCP-7) sesuai SNI bakso ikan

7266:2014.

Penetapan sistem pemantauan

untuk setiap CCP (Prinsip 4)

Batas kritis berupa bahaya biologis

bakteri patogen pada tahapan

penyimpanan bahan baku ikan patin,

perebusan dan penyimpanan bakso ikan

patin beku sebagai titik kendali kritis atau

CCP haruslah dipantau atau dimonitor

keberadaannya.

Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)

Tindakan koreksi adalah segala

tindakan yang diambil saat hasil

pemantauan/monitoring CCP mengindika-

sikan hilangnya kendali.

Penetapan Prosedur Verifikasi (Prinsip

6)

Tindakan verifikasi merupakan suatu

kegiatan penerapan metode-metode,

prosedur pengujian dan analisis serta

evaluasi lain sebagai tambahan dalam

sistem pemantauan untuk mengetahui dan

memastikan efektifitas terhadap HACCP

Plan.

Penetapan Penyimpanan Catatan dan

Dokumentasi (Prinsip 7)

Dokumentasi ini berfungsi sebagai

acuan dan bukti penerapan HACCP.

Penentuan sistem dokumentasi bertujuan

untuk menjaga dan mempermudah

pengendalian atau pembaharuan

(updating) catatan dan HACCP Plan.

Rekaman monitoring yaitu berupa form

yang diisi dan disimpan untuk setiap CCP.

HACCP Plan produksi bakso ikan

patin di UKM Pangasius Hypopthalmus

NUA selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 2.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

23

Tabel 2. HACCP Plan produksi bakso ikan patin UKM Pangasius Hypopthalmus NUA

CCP Batas kritis

Prosedur Monitoring

Tindakan

Koreksi

(Apa & Siapa)

Verifikasi (Apa &

Siapa)

Rekaman (Records)

Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa

Prinsip 2 Prinsip 3 Prinsip 4 Prinsip 5 Prinsip 6 Prinsip 7

Bahan baku air dan

es

Air sudah direbus dengan suhu

100°C selama 10 menit

Suhu perebusan air Panci

perebusan

Pengukuran dengan

termometer

Setiap

proses

Penanggung jawab

produksi

Jika suhu tidak tercapai 100ºC lakukan

penambahan suhu perebusan dan waktu

perebusan ditambah 15 menit

Verifikasi batas kritis, review catatan,

kalibrasi alat dan pastikan staff

bertanggung jawab sistem berjalan baik

Form 2.0.

Monitoring CCP-1

Bahan baku telur Tidak ada kotoran pada

cangkang telur

Kotoran Cangkang

telur

Diperiksa secara visual Setiap akan

digunakan

Penanggung jawab

produksi

Jika terdapat kotoran dilakukan pencucian

ulang telur

Verifikasi batas kritis, review catatan

dan pastikan staff bertanggung jawab sistem berjalan baik

Form 2.0.

Monitoring CCP-2

Thawing Suhu chiller yang digunakan

dalam proses thawing ≤ 5°C

dengan suhu bahan 8°C pada akhir thawing

Suhu chiller dan

suhu bahan

Cold storage Pengukuran suhu

chiller dan bahan

secara benar dan teliti

Setiap

proses

Penanggung jawab

Produksi

Jika suhu bahan >8°C segera proses

produk

Verifikasi batas kritis, review catatan,

kalibrasi alat dan pastikan staff

bertanggung jawab sistem berjalan baik

Form 3.0.

Monitoring CCP-3

Pelumatan dan

pencampuran

Tidak ada sisa bahan lain

dibagian dalam alat yang

bersentuhan dengan adonan

Alat food

processor

Di tempat

penggilingan

daging umum

Diperiksa secara visual Setiap

sebelum

proses

Penanggung jawab

Produksi

Jika terdapat sisa bahan lain dilakukan

pembersihan ulang

Verifikasi batas kritis, review catatan

dan pastikan staff bertanggung jawab

sistem berjalan baik

Form 4.0.

Monitoring CCP-4

Penyimpanan

bahan baku ikan

patin

Suhu penyimpanan beku ≤ -

18oC

Suhu penyimpanan Freezer Pengukuran suhu

penyimpanan secara

teliti dan benar

4 jam sekali Penanggung jawab

Produksi

Jika suhu freezer > - 18oC selama lebih

dari 4 jam maka cek suhu fillet ikan patin,

apabila sudah memperlihatkan tanda-tanda thawing, pindahkan makanan ke freezer

lain yang memiliki suhu sesuai standar.

Segera perbaiki freezer tersebut dan jika bahan telah lembek maka harus segera

diproses pemasakan.

Verifikasi batas kritis, review catatan,

kalibrasi alat dan pastikan staff

bertanggung jawab sistem berjalan baik

Form 5.0.

Monitoring CCP-5

Perebusan Perebusan bakso dengan suhu ≥

90C selama 10 menit

Suhu perebusan Panci

perebusan

Pengukuran suhu

perebusan dengan thermometer

Setiap

proses

Penanggung jawab

Produksi

Jika suhu tidak tercapai 100ºC lakukan

penambahan suhu perebusan dan waktu perebusan ditambah 15 menit

Dokumen pencatatan suhu, dokumen

verifikasi, kalibrasi alat dan pastikan staff bertanggung jawab bahwa sistem

berjalan baik

Form 6.0

Monitoring CCP-6

Penyimpanan

bakso ikan patin

Suhu penyimpanan beku ≤ -

18oC

Suhu penyimpanan Freezer Pengukuran suhu

penyimpanan

4 jam sekali Penanggung jawab

Produksi

Jika suhu freezer > - 18oC selama lebih

dari 4 jam maka cek suhu bakso ikan patin, apabila sudah memperlihatkan

tanda-tanda thawing, pindahkan makanan

ke freezer lain yang memiliki suhu sesuai standar. Segera perbaiki freezer tersebut

dan jika bahan telah lembek maka harus

segera diproses pemasakan/perebusan.

Verifikasi batas kritis, review catatan,

kalibrasi alat dan pastikan staff bertanggung jawab bahwa sistem

berjalan baik

Form 7.0

Monitoring CCP-7

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

24

IV. KESIMPULAN

Penerapan Pre-requisite Programme di

UKM Pangasius Hypopthalmus NUA,

berdasarkan hasil pemeriksaan sarana

produksi pangan industri rumah tangga

termasuk dalam kategori level IV

(terendah), sedangkan untuk SSOP,

beberapa program sanitasi sudah

dijalankan namun belum ada dokumen

tertulis. Pada pengamatan mutu, UKM

Pangasius Hypopthalmus NUA sudah

dapat memproduksi bakso ikan patin yang

sesuai dengan standar SNI 7266:2014.

Pada penerapan 12 tahap/7 prinsip

HACCP ditetapkan 7 CCP yang

didokumentasikan dalam HAACP plan.

Tujuh CCP tersebut adalah pada air dan es

(CCP-1), telur (CCP-2), proses thawing

(CCP-3), pelumatan dan pencampuran

(CCP-4), penyimpanan bahan baku ikan

(CCP-5), perebusan (CCP-6) dan

penyimpanan bakso ikan (CCP-7). Kendali

kritis pada CCP-1, CCP-3, CCP-5, CCP-6

dan CCP-7 adalah dengan pengaturan suhu

yaitu dengan batas kritis minimal 100°C;

maksimal 5°C; maksimal -18°C; 90-

100°C; maksimal -18°C, sedangkan CCP-

2 dan CCP-4 adalah tidak adanya

kotoran/sisa bahan lain yang menempel.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh PT.

Indofood Sukser Makmur Tbk untuk

program beasiswa penelitian Indofood

Riset Nugraha (IRN) 2015-2016.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, K dan Khairuman. 2008. Buku

Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi.

AgroMedia Pustaka. Jakarta

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006.

SNI 01-2729.2-2006 Ikan Segar

bagian 2: Persyaratan Bahan Baku.

BSN. Jakarta.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014.

SNI 4110:2014 Ikan Beku. BSN.

Jakarta.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014.

SNI 7266:2014 Bakso Ikan. BSN.

Jakarta.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015.

SNI 01-3553-2006 Air Minum

Dalam Kemasan. BSN. Jakarta

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015.

SNI 4872:2015 Es Untuk

Penanganan Dan Pengolahan Ikan.

BSN. Jakarta

Dinas Perikanan Banjarbaru. 2014. Data

UKM Pengolahan dan Pemasaran

Hasil Perikanan. Banjarbaru.

Erianto, Dadang. 2007. Penugasan Blok

KBTI Artikel Ilmiah Shigellosis.

Fakultas Kedokteran Universitas

Islam Indonesia. Jakarta.

FAO, 2012. Produksi Perikanan Budidaya

Dunia. 2012.

[IDF] International Dairy Federation.

1983. Pasteurizing Plant Manual.

The Society of Dairy Technology. 72

Ermine Street, Huntingdo.

Jawetz, M dan Adelberg`s. 1996.

Mikrobiologi Kedokteran. Salemba

Medica, Jakarta.

[MENKES] Menteri Kesehatan. 2010.

492/Menkes/Per/IV/2010

Persyaratan kualitas air minum.

Jakarta.

Susanto, H dan K. Amri. 2002. Budidaya

Ikan Patin. Penebar Swadaya.

Jakarta

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

25

Persepsi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta terhadap

Kualitas Obat Generik Ditinjau dari Dimensi

Safety, Efficacy, dan Acceptability

*Nurul Mardiati1, Sampurno

2, Chairun Wiedyaningsih

3

1 Sekolah Tinggi Farmasi Borneo Lestari, Banjarbaru

2Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta

3Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Roadmap upaya peningkatan penggunaan obat generik sebenarnya sudah

dilakukan pemerintah jauh sebelum resmi memberlakukan skema Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN). Akan tetapi persepsi pasien terhadap obat generik di masa penerapan

JKN ini dinilai oleh banyak pengamat masih buruk. Obat generik masih dianggap

sebagai obat murah sehingga mutunya diragukan. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui persepsi pasien terhadap kualitas obat generik ditinjau dari dimensi safety,

efficacy, dan acceptability. Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitik

dengan pendekatan kuantitatif, desain survey cross sectional. Jumlah sampel sebanyak

150 responden. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data yaitu

analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi pasien terhadap

kualitas obat generik mayoritas tergolong baik yaitu sebesar 113 responden (75,3%).

Rata-rata skor mulai dari yang terbesar berturut-turut safety (3,02); efficacy (2,75); dan

acceptability (2,73). Seluruh rata-rata skor jawaban responden pada item-item

pernyataan dimensi safety, efficacy, dan acceptability menunjukkan persepsi yang baik

pasien terhadap kualitas obat generik.

Kata kunci: Persepsi Pasien, Kualitas, Obat Generik

ABSTRACT

Roadmap for improving the use of generik drugs actually has been done long

before the government commit officially JKN scheme. However, the patient's perception of

generik drugs is still bad in JKN era by considering many observers. Generic drugs are still

regarded as a cheap drug so its quality is doubtful.This study was conducted to determine

the patient’s perception about quality of generik drugs which was studied based on safety,

efficacy, and acceptability dimensions. The design of this research is descriptive-analytic

study with a quantitative approach, cross-sectional survey. The sample size was 150

respondents. Research of tools used was questionnaire. Data analysis was descriptive test.

The results of the research showed that the majority of patients (75,3%) have good

perception to the quality of generic drugs. Average score from the largest sequentially

safety (3,02), efficacy (2,75), and acceptability (2,73). All of average score of respondents'

answers on items safety, efficacy, and acceptability dimensions showed good perception of

patients on the quality of generic drugs.

Keywords: Patient’s perception, Quality, Generik drug

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

26

I. PENDAHULUAN

Semua warga negara berhak atas

kesehatannya termasuk masyarakat miskin.

Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem

yang mengatur pelaksanaan bagi upaya

pemenuhan hak warga negara untuk tetap

hidup sehat dengan mengutamakan pada

pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Sebagaimana diamanatkan konstitusi dan

Undang-undang Republik Indonesia No.

40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional, dalam rangka memenuhi

hak masyarakat memasuki tahun 2014

pemerintah telah secara resmi

menggulirkan skema Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN).

Sistem jaminan ini akan

menciptakan perubahan mendasar di

bidang sistem jaminan kesehatan seperti

penataan standardisasi pelayanan,

standardisasi tarif, penataan formularium,

dan penggunaan obat rasional yang

berdampak pada kendali mutu dan kendali

biaya. Upaya-upaya tersebut pada aspek

pelayanan obat sendiri, maka seluruh

fasilitas kesehatan diwajibkan mengacu

pada Formularium Nasional (Fornas).

Obat-obatan dalam Fornas ini sebagian

besar merupakan obat generik. Hal ini

berkaitan dengan keputusan pemerintah

agar dibudayakan penggunaan obat

generik karena obat generik berkhasiat

baik dengan harga ekonomis (Anonim,

2012). Salah satu implikasi yang

diharapkan dari kebijakan tersebut adalah

meningkatnya penggunaan obat generik.

Mayoritas konsumen Indonesia

menganggap obat generik sebagai obat

berkualitas rendah dengan harga rendah

(Jakarta Post, 2010). Persepsi tersebut

pada dasarnya tidak benar sebab industri

farmasi merupakan salah satu industri

yang regulasinya paling ketat. Pemerintah

menerapkan standar manufaktur nasional

ketat yang dikenal sebagai CPOB (Cara

Pembuatan Obat yang Baik) atau c-GMP

(Current Good Manufacturing Practice)

(Priyambodo, 2007). Setiap obat baik obat

generik maupun obat branded generik dan

paten harus memenuhi standar kualitas

sebelum diluncurkan ke pasar. Dimensi

kualitas obat menurut konsumen

menggunakan dimensi yang sesuai dengan

dimensi kualitas yang digunakan di

seluruh dunia oleh pemerintah dalam

menilai kualitas obat. Pemerintah di

seluruh dunia menilai kelayakan obat yang

diluncurkan ke pasar berdasarkan pada

safety, efficacy, dan acceptability (Firth,

2001).

Roadmap upaya meningkatkan

penggunaan obat generik sebenarnya

sudah dilakukan pemerintah jauh sebelum

resmi menggulirkan skema JKN, dimulai

dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kesehatan No. 085/Menkes/PER/I/1989

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

27

tentang Kewajiban Menuliskan Resep

dan/atau Menggunakan Obat Generik di

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah

(dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

digantikan dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.

HK.02.02/MENKES/068/I/2010).

Demikian pula dengan dikeluarkannya

Peraturan Menteri Kesehatan No.

988/MENKES/SKNIII/2004 tentang

pencantuman nama generik pada label obat

(dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

digantikan dengan Keputusan Menteri

Kesehatan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 068/MENKES/SK/II/2006.

Akan tetapi persepsi pasien

terhadap obat generik di masa penerapan

JKN ini dinilai oleh banyak pengamat

masih buruk, salah satunya yang

menyatakan bahwa masih ada persepsi

yang salah tentang obat generik, yaitu obat

generik dianggap sebagai obat murah

sehingga mutunya diragukan (Binfar

Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Persepsi pasien yang buruk terhadap

obat generik dapat mengakibatkan sugesti

yang buruk sehingga mempengaruhi

pengalaman kesembuhan pasien (Waber

et al., 2008).

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui persepsi pasien rawat jalan di

RS PKU Muhammadiyah unit 1

Yogyakarta terhadap kualitas obat generik

ditinjau dari dimensi safety, efficacy, dan

acceptability.

II. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah

penelitian deskriptif-analitik dengan

pendekatan kuantitatif, desain survey cross

sectional. Alat yang digunakan dalam

pelaksanaan penelitian ini adalah

kuesioner. Jumlah sampel yang digunakan

dalam penelitian ini dihitung dengan

menggunakan rumus Slovin, diperoleh 150

responden. Cara pengambilan sampel

dilakukan dengan simple random

sampling. Subyek penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

pasien rawat jalan di RS PKU

Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS PKU

Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta. Waktu

penelitian dilaksanakan pada bulan Januari

2015-Februari 2015.

C. Analisis Data

Analisis deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan persepsi pasien terhadap

obat generik diinjau dari dimensi safety,

efficacy, dan acceptability berdasarkan

skor jawaban responden. Persepsi pasien

terhadap obat generik diinjau dari dimensi

safety, efficacy, dan acceptability

digolongkan ke dalam empat kategori

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

28

yaitu sangat baik, baik, buruk, dan sangat

buruk.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Deskriptif Persepsi Pasien

terhadap Kualitas Obat Generik

Persepsi pasien rawat jalan di RS

PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta

terhadap kualitas obat generik dapat dilihat

pada tabel I.

Tabel I. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS PKU

Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik

Persepsi Pasien terhadap

Kualitas Obat Generik

Jumlah Persentase

Sangat baik 11 7,3%

Baik 113 75,3%

Buruk 26 17,3%

Sangat buruk 0 0%

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwasanya

dari 150 responden, persepsi pasien

terhadap kualitas obat generik mayoritas

yaitu sebesar 113 responden (75,3%)

tergolong baik. Secara umum baik dari

dimensi safety, efficacy, maupun

acceptability mayoritas pasien memiliki

persepsi yang baik terhadap kualitas obat

generik.

B. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS

PKU Muhammadiyah Unit 1

Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik Ditinjau dari Dimensi Safety

Persepsi pasien rawat jalan di RS

PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta

terhadap kualitas obat generik ditinjau dari

dimensi safety dapat dilihat tabel 2.

Dimensi safety merupakan syarat

kualitas yang menyangkut keamanan obat

termasuk efek samping yang

ditimbulkannya (Departemen Kesehatan

RI, 1983). Safety menurut konsumen

didefinisikan sebagai tingkat konsekuensi

atau resiko atas penggunaan obat, merujuk

kepada potensi adanya efek samping dan

kontraindikasi (Urbanus, 2013).

Berdasarkan tabel II, dapat

diketahui bahwasanya rata-rata skor

jawaban responden terkait dimensi safety

adalah 3,02. Hal ini bermakna bahwasanya

kualitas obat generik dari dimensi safety

secara rata-rata dipersepsikan dengan baik

oleh responden. Pasien secara umum

percaya dengan safety obat generik. Skor

rata-rata jawaban responden dari dimensi

safety berdasarkan analisis data yang

dilakukan merupakan skor yang tertinggi

dibandingkan dengan kedua dimensi

lainnya, yaitu efficacy dan acceptability.

Hal ini bermakna bahwa safety

merupakan dimensi kualitas yang

dipersepsikan paling baik oleh pasien

dibandingkan dengan dimensi kualitas

lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

29

Tabel II. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi

Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah

Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik Ditinjau dari Dimensi Safety

Keterangan:

STS: Sangat tidak setuju

TS : Tidak setuju S : Setuju

SS : Sangat setuju

Persepsi pasien terhadap kualitas

obat generik berdasarkan rata-rata skor

jawaban responden mulai dari yang

tertinggi hingga yang terendah berturut-

turut yaitu safety, efficacy dan

acceptability. Data selengkapnya dapat

dilihat pada tabel 3 dan 4. Rata-rata skor

jawaban responden pada item-item

pernyataan dimensi safety menunjukkan

persepsi yang baik pasien terhadap kualitas

obat generik. Mayoritas responden yaitu

101 (67,3%) dan 125 (83,3%) berturut-

turut menyatakan setuju proses produksi

dan distribusi obat generik mampu

memastikan bahwa generik aman serta

layak dikonsumsi ketika sampai ditangan

pasien sebagai konsumen. Sebagian besar

responden yaitu 121 (80,7%) menyatakan

yakin dengan keamanan obat generik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

Excellus (2007) yang menyatakan

bahwasanya mayoritas 90% responden

yakin bahwasanya obat generik sama

amannya dengan obat branded.

Mayoritas 118 (78,7%) responden

juga setuju bahwasanya obat generik

disetujui peredarannya oleh Balai

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

sebagaimana obat branded di Indonesia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

Pernyataan Sub

dimensi

STS TS S SS Rata-rata

n % n % n % n %

Label berisi informasi obat yang jelas

memastikan bahwa obat generik aman digunakan ketika sampai di tangan saya

sebagai konsumen

Label obat 2 1,3% 4 2,7% 90 60,0% 54 36,0% 3,31

Proses produksi obat generik mampu

memastikan bahwa obat generik aman dan layak dikonsumsi ketika sampai di tangan

saya sebagai konsumen

Keamanan 0 0 % 10 6,7% 101 67,3% 39 26,0% 3,19

Dibandingkan dengan obat branded, obat

generik memiliki efek samping yang lebih

banyak

Efek

samping

9 6,0% 106 70,7% 31 20,7% 4 2,7% 2,80

Saya percaya keamanan obat generik

karena mencantumkan label yang lengkap (nama obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa,

indikasi, dosis/aturan pakai, nama &

alamat pabrik, no batch, dan no registrasi)

Label obat 1 0,7% 17 11,3% 110 73,3% 22 14,7% 3,02

Proses distribusi obat generik mampu

memastikan bahwa obat generik aman dan

layak dikonsumsi ketika sampai di tangan saya sebagai konsumen

Keamanan 1 0,7% 12 8,0% 125 83,3% 12 8,0% 2,99

Saya kurang yakin dengan keamanan obat

generik

Keamanan 12 8,0% 121 80,7% 16 10,7% 1 0,7% 2,96

Obat generik disetujui peredarannya oleh BPOM sebagaimana obat branded di

Indonesia

Keamanan 3 2,0% 20 13,3% 118 78,7% 9 6,0% 2,89

Rata-rata Skor 3,02

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

30

Excellus (2007) yang menyatakan

mayoritas 90% responden setuju

bahwasanya obat generik disetujui

peredarannya oleh FDA (Food and Drug

Administration) sebagaimana obat

branded. Terkait pernyataan ini, langkah

mudah yang dapat dilakukan pasien yaitu

melakukan pemeriksaan nomor registrasi

yang tercantum pada kemasan ketika

membeli atau menerima obat. Nomor

registrasi merupakan nomor identitas yang

dikeluarkan oleh BPOM setelah proses

registrasi obat tersebut disetujui. Bila tidak

tercantum nomor registrasi, obat tersebut

kemungkinan ilegal atau bahkan palsu.

Nomor registrasi yang dicantumkan

sebagai tanda izin edar absah yang

diberikan oleh pemerintah pada setiap

kemasan obat dipersepsikan konsumen

sebagai bentuk pemastian bahwasanya

obat generik disetujui peredarannya oleh

BPOM sebagaimana obat branded.

Item pernyataan dengan skor

tertinggi menunjukkan persepsi yang

sangat baik terhadap kualitas obat generik,

yaitu terkait label obat. Hampir semua

informasi keselamatan obat yang

dibutuhkan oleh konsumen secara ilmiah

dapat ditemukan di label pada kemasan

obat (Urbanus, 2013). Label obat

umumnya memuat informasi seperti nama

obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa, indikasi,

dosis/aturan pakai, nama & alamat pabrik,

no batch, dan no registrasi. Label pada

produk farmasi mempunyai peran yang

amat penting terutama untuk kepentingan

dan keselamatan konsumen sekaligus

marketing tool. Salah satu aspek yang

dinilai sebelum suatu obat diizinkan untuk

boleh dipasarkan, adalah kelengkapan dan

kebenaran informasi yang terdapat pada

label obat (Sampurno, 2011).

Pernyataan “label berisi informasi

obat yang jelas memastikan bahwa obat

generik aman digunakan ketika sampai di

tangan saya sebagai konsumen”

berdasarkan rata-rata skor jawaban

responden yaitu 3,31. Berdasarkan survei

yang dilakukan, pada item pernyataan

tersebut diketahui mayoritas yaitu 90

responden (60,0%) menyatakan setuju.

Sejalan dengan hasil penelitian

tersebut, item pernyataan terkait label obat

yang lain yaitu pada pernyataan “saya

percaya keamanan obat generik karena

mencantumkan label yang lengkap (nama

obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa, indikasi,

dosis/aturan pakai, nama & alamat pabrik,

no batch, dan no registrasi)”, berdasarkan

rata-rata skor jawaban responden yaitu

3,02. Berdasarkan survei yang dilakukan,

pada item pernyataan tersebut juga

diketahui mayoritas yaitu 110 responden

(73,3%) menyatakan setuju.

Sebagian besar responden yang

menyatakan kesetujuan dengan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

31

tercantumnya label yang lengkap dan jelas

dalam pemastian keamanan obat, secara

tidak langsung menyiratkan bahwasanya

konsumen memiliki minat yang baik

dalam mendapatkan informasi obat dari

label. Sementara itu, minoritas responden

yang menyatakan ketidaksetujuannya

dengan tercantumnya label yang lengkap

dan jelas dalam pemastian keamanan obat

secara tidak langsung menyiratkan

kelompok pasien dengan minimnya minat

konsumen dalam mendapatkan informasi

obat dari label.

Minoritas responden ini

menggambarkan kelompok pasien yang

kecenderungannya memiliki trust yang

tinggi dengan tenaga kesehatan baik itu

dokter maupun apoteker. Setiap obat yang

diberikan oleh tenaga kesehatan oleh

pasien langsung dipercaya sebagai obat

dengan kualitas yang baik dan pasien

merasa cukup dengan penjelasan informasi

singkat dari tenaga kesehatan. Pasien

cenderung merasa kurang perlu untuk

memeriksa label yang berisi informasi

obat. Padahal label yang berisi informasi

komprehensif mengenai informasi produk

obat tersebut perlu diketahui oleh

konsumen. Menurut Urbanus (2013),

pasien pada kelompok minoritas ini

menunjukkan minatnya untuk

mendapatkan informasi obat dari label

sebagai bentuk evaluasi keamanan obat

cenderung hanya ketika mendapati efek

samping saat mengonsumsi obat. Selain itu

pada pasien dengan kondisi penyakit akut

atau kronis, pasien yang merasa tidak

mendapatkan pengobatan yang efektif, dan

pasien yang pada saat yang bersamaan

mengonsumsi beberapa obat sekaligus.

Sejalan dengan hal tersebut,

laporan Syhakhang et al., (2004)

menyatakan bahwasanya konsumen di

beberapa negara berkembang memiliki

trust terhadap dokter dan apoteker dalam

penyedian obat yang berkualitas baik.

Kecenderungan tersebut pada kelompok

pasien ini juga karena mengingat sebagian

besar responden menjadikan tenaga

kesehatan baik itu dokter maupun apoteker

sebagai sumber pengetahuan utama

mengenai obat-obatan.

Trust yang tinggi terhadap dokter

dan apoteker di satu sisi memang positif,

tetapi seringkali dalam praktiknya tenaga

kesehatan baik itu dokter maupun apoteker

tidak punya cukup waktu untuk

memberikan informasi mengenai obat

yang akan digunakan oleh pasien yang

bersangkutan. Oleh sebab itu minat

konsumen dalam mendapatkan informasi

obat dari label secara mandiri menjadi hal

yang penting.

Minat konsumen dalam

mendapatkan informasi obat dari label

secara mandiri yang rendah tidak dapat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

32

sepenuhnya dipersalahkan kepada pasien

semata, informasi obat yang terdapat di

label seringkali dirasakan terlalu

complicated bagi pasien awam sehingga

pasien sangat malas untuk membacanya.

Padahal label tersebut telah dipersiapkan

secara serius oleh produsen yang

bersangkutan dan dievaluasi secara cermat

oleh Tim Evaluasi yang ada di Badan

Regulatori Obat. Informasi yang ada dalam

kemasan itu sebenarnya sangat bermanfaat

bagi pasien (Sampurno, 2011).

Menurut laporan Institute of

Medicine (IOM) Amerika Serikat tahun

2006 yang bertopik Preventing Medication

Errors, disebutkan bahwa di Amerika

Serikat setiap tahun terjadi lebih dari 1,5

juta kejadian efek samping obat lebih dari

sepertiganya adalah pasien rawat jalan

dengan nilai kerugian sekitar US$ 1 milyar

tiap tahunnya. Laporan tersebut

menyatakan penyebab utamanya label obat

yang menyebabkan terjadinya kesalahan

medikasi (medication errors) dan Adverse

Drug Event (ADEs) karena pasien tidak

memahami dengan benar instruksi yang

terdapat pada label obat. Oleh karena itu

kemampuan pasien untuk mengerti dan

paham terhadap instruksi yang terdapat

pada label adalah sangat kritikal.

Disamping adanya fakta bahwa informasi

yang ada pada label kurang dipahami

oleh pasien, sebagaimana diungkapkan

sebelumnya para dokter dan apoteker di

Amerika Serikat tidak punya cukup waktu

untuk memberikan konseling mengenai

obat yang akan digunakan oleh pasien

yang bersangkutan (Sampurno, 2011).

Berbagai temuan di Amerika

Serikat yang dilaporkan antara lain

menyatakan kurangnya standar dan

regulasi terkait labelling obat merupakan

akar penyebab misunderstanding dan

medication error. Dibutuhkan praktik

evidence-based yang seharusnya berperan

sebagai guide konten dan format labelling.

Petunjuk penggunaan obat pada label

sangat penting untuk pasien dan

seharusnya ringkas serta jelas. Bahasa

yang digunakan harus distandarisasi untuk

meningkatkan pemahaman pasien guna

pengobatan yang efektif dan aman.

Labelling obat seharusnya dipandang

sebagai bagian sistem yang terintegrasi

dari informasi pasien (Sampurno, 2011).

Menurut Engel et al. (1995) harapan yang

diciptakan oleh label cukup kuat untuk

mengubah persepsi konsumen atas produk.

Item pernyataan dengan skor

terendah pada dimensi safety ditunjukkan

item terkait efek samping obat. Menurut

definisi WHO, efek samping obat

merupakan segala sesuatu khasiat yang

tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang

dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.

Obat yang ideal bekerja secara selektif

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

33

artinya hanya berkhasiat terhadap keluhan

atau gangguan tertentu tanpa aktivitas lain.

Semakin selektif suatu obat terhadap target

aksi tertentu, semakin kecil efek

sampingnya dengan demikian semakin

aman obat tersebut (Tjay dan Rahardja,

2002).

Pernyataan “dibandingkan dengan

obat branded, obat generik memiliki efek

samping yang lebih banyak”, berdasarkan

rata-rata skor jawaban responden yaitu

2,80. Berdasarkan survei yang dilakukan,

pada item pernyataan tersebut diketahui

meski mayoritas responden menyatakan

setuju tetapi persentasenya hanya

menunjukkan 70,7%. Hal ini

menggambarkan masih cukup banyaknya

pasien yang meragukan keamanan obat

generik ditinjau dari sisi efek samping

obat.

Akan tetapi penilaian ini juga

memungkinkan sebagai penilaian orang

awam terhadap efek samping obat. Jika

tidak ada keluhan-keluhan misalnya

jantung berdebar-debar, mulut terasa

kering, dan mual sebelum minum obat

kemungkinan besar pasien memang

mengalami efek samping obat. Akan tetapi

pada dasarnya tidak mudah untuk

membedakan apakah hal tersebut suatu

efek samping atau gejala penyakit lain

pasien, apalagi jika hal tersebut secara

bersamaan. Hasil penelitian terkait hal

yang sama oleh Al-Gedadi et al. (2008)

menunjukkan persentase yang lebih tinggi,

yaitu 127 responden (31,2%) menyatakan

bahwasanya obat generik lebih banyak

efek samping dibandingkan dengan obat

branded. Hasil penelitian oleh Mainar dan

Arteida (2012) bahkan menunjukkan

persentase yang lebih tinggi dibandingkan

studi sebelumnya, yaitu 42,3% responden

menyatakan bahwasanya obat generik

lebih banyak efek samping dibandingkan

dengan obat branded.

C. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS

PKU Muhammadiyah Unit 1

Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik Ditinjau dari Dimensi

Efficacy

Persepsi pasien rawat jalan di RS

PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta

terhadap kualitas obat generik ditinjau dari

dimensi efficacy dapat dilihat tabel 3.

Dimensi efficacy berarti obat yang

berkualitas harus dapat memberikan efek

terapi yang diinginkan sesuai dengan

indikasi yang telah ditentukan

(Departemen Kesehatan RI, 1983).

Efficacy merupakan respon maksimal yang

dihasilkan suatu obat. Efficacy menurut

konsumen didefinisikan sebagai potensi

obat untuk menyembuhkan penyakit atau

meredakan gejala penyakit (Syhakhang et

al., 2004).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

34

Berdasarkan tabel 3, dapat

diketahui bahwasanya rata-rata skor

jawaban responden terkait dimensi efficacy

adalah 2,75. Hal ini bermakna bahwasanya

kualitas obat generik dari dimensi efficacy

secara rata-rata dipersepsikan dengan baik

oleh responden.

Tabel III. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah

Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat Generik

Ditinjau dari Dimensi Efficacy

Keterangan:

STS: Sangat tidak setuju TS : Tidak setuju

S : Setuju

SS : Sangat setuju

Seluruh rata-rata skor jawaban

responden pada item-item pernyataan

dimensi efficacy juga menunjukkan

persepsi yang baik pasien terhadap kualitas

obat generik. Hal ini secara umum

bermakna pasien percaya dengan efficacy

obat generik. Mayoritas responden yaitu

101 responden (67,3%) menyatakan setuju

bahwasanya obat generik merupakan obat

yang manjur dan ampuh untuk mengobati

gangguan kesehatan. Sejalan dengan hal

tersebut, sebagian besar responden yaitu

100 responden (66,7%) juga menyatakan

bahwasanya obat generik memberikan

hasil yang memuaskan dalam

menyembuhkan masalah kesehatan yang

dialami. Item pernyataan dengan skor

tertinggi ditunjukkan pernyataan

“dibandingkan dengan obat branded, obat

generik kurang efektif”, berdasarkan rata-

rata skor jawaban responden yaitu 3,00.

Berdasarkan survei yang dilakukan, pada

item pernyataan tersebut diketahui

mayoritas responden yaitu 122 (81,3%)

menyatakan tidak setuju.

Menurut sebuah studi di bagian

utara New York yang melibatkan 2003

responden oleh Excellus (2007), mayoritas

83% responden setuju obat generik sama

efektifnya dengan obat branded. Studi oleh

Igbinovia (2007) menunjukkan hal yang

Pernyataan Sub dimensi STS TS S SS Rata-rata

n % N % n % n %

Dibandingkan dengan obat

branded, obat generik bekerja kurang efektif

Kemanjuran 14 9,3% 122 81,3% 14 9,3% 0 0% 3,00

Obat generik merupakan

obat yang manjur dan ampuh

untuk mengobati gangguan kesehatan yang saya alami

Kemanjuran 8 5,3% 30 20,0% 101 67,3% 11 7,3% 2,77

Dibandingkan dengan obat

branded, bagi saya obat generik membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk

memberikan efek yang saya inginkan

Onset obat 4 2,7% 88 58,7% 45 30,0% 13 8,7% 2,55

Obat generik memberikan

hasil yang memuaskan

dalam menyembuhkan masalah kesehatan yang saya

alami

Kemanjuran 8 5,3% 38 25,3% 100 66,7% 4 2,7% 2,67

Rata-rata Skor 2,75

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

35

sama, mayoritas reponden yaitu 55%

responden menyatakan bahwasnya obat

generik sama efektifnya dengan obat

branded. Demikian juga dengan hasil

penelitian oleh Shrank et al. (2009) yang

menunjukkan minoritas responden setuju

bahwasanya obat branded lebih efektif

dibandingkan dengan obat generik.

Onset merupakan kecepatan obat

untuk mendapatkan efek terapi, waktu obat

dikonsumsi sampai menimbulkan efek

terapi. Item pernyataan dengan skor

terendah ditunjukkan item terkait onset

obat. Pernyataan “dibandingkan dengan

obat branded, bagi saya obat generik

membutuhkan waktu yang lebih lama

untuk memberikan efek yang saya

inginkan”, berdasarkan rata-rata skor

jawaban responden yaitu 2,55.

Berdasarkan survei yang dilakukan,

pada item pernyataan tersebut diketahui

mayoritas responden yaitu 88 responden

(58,7%) menyatakan tidak setuju. Terkait

hal ini, hasil penelitian oleh Mainar dan

Arteida (2012) menunjukkan 36,1%

pasien menyatakan setuju obat generik

membutuhkan waktu yang sama

dibandingkan obat branded untuk

memberikan efek yang diinginkan.

Onset obat pada faktanya masih

membutuhkan beragam parameter dan

pengujian yang menjelaskan serta

membuktikan hal tersebut. Onset obat

generik dan obat branded generik

kemungkinan sama dan kemungkinan juga

berbeda. Hal ini tidak dapat terlepas dari

beragam faktor yang mempengaruhinya

salah satunya zat tambahan obat misalnya

zat pengisi, pembawa, dan penghancur

(IAI Bali, 2013).

D. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS

PKU Muhammadiyah Unit 1

Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik Ditinjau dari Dimensi

Acceptability

Persepsi pasien rawat jalan di RS

PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta

terhadap kualitas obat generik ditinjau dari

dimensi acceptability dapat dilihat pada

tabel 4.

Dimensi acceptability berarti obat

yang berkualitas harus dapat diterima oleh

konsumen. Acceptability menyangkut

bentuk sediaan obat, warna, rasa, dan

kemasan yang menarik serta sesuai dengan

keinginan konsumen sehingga dapat

memberikan kepuasan kepada konsumen

(costumer satisfaction) (Departemen

Kesehatan RI, 1983) Acceptability

menurut konsumen didefinisikan sebagai

performansi obat untuk memenuhi

keinginan konsumen. Acceptability

merupakan tingkat kepuasan konsumen

terhadap obat (Urbanus, 2013).

Berdasarkan tabel IV, dapat diketahui

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

36

bahwasanya rata-rata skor jawaban

responden terkait dimensi acceptability

adalah 2,73. Hal ini bermakna bahwasanya

kualitas obat generik dari dimensi

acceptability secara rata-rata dipersepsikan

dengan baik oleh responden.

Tabel IV. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi

Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah

Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat

Generik Ditinjau dari Dimensi Acceptability

Rata-rata skor jawaban responden pada

item-item pernyataan dimensi acceptability

menunjukkan persepsi yang baik pasien

terhadap kualitas obat generik. Mayoritas

responden yaitu 110 (73,3%) dan 131

(87,3%) berturut-turut menyatakan setuju

bahwasanya obat generik memiliki warna

dan bentuk yang meyakinkan bagi pasien

sebagai konsumen. Sebagian besar

responden yaitu 117 (78,7%) menyatakan

ketidakengganan menggunakan obat

generik karena rasanya. Akan tetapi

berbeda dengan dimensi kualitas obat

lainnya, pada dimensi acceptability

diketahui terdapat item pernyataan yang

menunjukkan persepsi buruk terhadap

kualitas obat generik, yaitu terkait

tampilan obat.

Secara tradisional kemasan

dimaknai untuk mewadahi dan melindungi

produk (Sampurno, 2011). Pernyataan

“obat generik memiliki kemasan yang

meyakinkan bagi saya sebagai konsumen”,

berdasarkan rata-rata skor jawaban

responden yaitu 2,68. Berdasarkan survei

yang dilakukan, pada item pernyataan

tersebut diketahui mayoritas yaitu 107

responden (71,3%) menyatakan setuju.

Dapat dinyatakan fungsi kemasan yang

secara tradisional dimaknai untuk

mewadahi dan melindungi produk dengan

demikian telah terpenuhi dengan baik

menurut persepsi responden.

Akan tetapi, lebih dari sekedar

fungsi kemasan yang secara tradisonal

yang dimaknai untuk mewadahi dan

melindungi produk; kemasan juga

memiliki banyak fungsi untuk memberi

nilai tambah bagi attractiveness produk

Pernyataan Sub dimensi STS TS S SS Rata-rata

n % n % n % n %

Obat generik memiliki warna yang meyakinkan bagi saya

sebagai konsumen

Warna 0 0% 37 24,7% 110 73,3% 3 2,0% 2,77

Saya enggan menggunakan

obat generik karena rasanya tidak enak

Rasa 11 7,3% 117 78,0% 22 14,7% 0 0% 2,93

Obat generik memiliki bentuk

yang meyakinkan bagi saya sebagai konsumen

Bentuk 0 0% 17 11,3% 131 87,3% 2 1,3% 2,90

Obat generik memiliki

kemasan yang meyakinkan

bagi saya sebagai konsumen

Kemasan 11 7,3% 29 19,3% 107 71,3% 3 2,0% 2,68

Tampilan obat generik kurang

menarik bagi saya

Tampilan 5 3,3% 55 36,7% 81 54,0% 9 6,0% 2,37

Rata-rata Skor 2,73

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

37

dengan desain warna yang menarik serta

deskripsi produk yang elegan sehingga

mengundang orang untuk membeli dan

menggunakannya (Sampurno, 2011).

Menurut Hague dan Jackson (1993)

produk yang kemasannya dirancang untuk

memperbaiki produknya dan merangsang

pelanggan sehingga menambah customer

satisfaction. Jika kemasan membuat

produk itu lebih menarik, kemasan itu

memberinya nilai tambah. Menurut Peter

dan Olson (2000) warna kemasan bahkan

juga dianggap memiliki dampak yang

penting terhadap afeksi, kognisi, dan

perilaku konsumen. Dampak ini lebih dari

sekedar menarik perhatian konsumen

dengan cara menggunakan warna yang

menarik perhatian.

Terkait dengan hal tersebut,

pernyataan “tampilan obat generik kurang

menarik bagi saya” berdasarkan rata-rata

skor jawaban responden yaitu 2,37.

Berdasarkan survei yang dilakukan, pada

item pernyataan tersebut diketahui

mayoritas responden yaitu 81 (54,0%)

menyatakan setuju. Obat branded generic

tampilan kemasannya berwarna-warni dan

menarik konsumen. Dibandingkan dengan

obat branded generic, tampilan obat

generik sangat sederhana. Obat generik

dalam praktiknya seringkali diserahkan ke

pasien tanpa kemasan. Konsumen bahkan

kadang mendapatkan obat tanpa identitas

nama obat sama sekali (Urbanus, 2013).

Terkait tampilan obat generik yang

sangat sederhana ini, Direktur Jenderal

Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D

menyatakan bahwasanya tampilan obat

generik merupakan salah satu faktor

penting yang menentukan keinginan pasien

untuk memilihnya. Bentuk tampilan

kemasan yang berupa botol-botol besar

yang berisi obat dalam jumlah besar

seharusnya sudah ditiadakan. Jika obat

branded generic atau paten dikemas dalam

bentuk strip, maka obat generik seharusnya

juga demikian. Tampilan obat generik

perlu dibuat lebih menarik, dengan

demikian diharapkan citra obat generik

akan menjadi lebih baik di masyarakat

(Kartika, 2013).

Hasil studi terdahulu oleh Urbanus

(2013) bahkan menyebutkan kemasan obat

generik yang sangat sederhana

menyebabkan konsumen meragukan safety

dan efficacy obat. Akan tetapi, hal ini tidak

tergambar dalam pelaksanaan penelitian

ini. Meskipun berdasarkan survei yang

dilakukan persepsi tentang tampilan dan

kemasan (desain) obat generik termasuk

kategori buruk responden tetap memiliki

persepsi yang baik terhadap kualitas obat

generik ditinjau dari dimensi safety dan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

38

efficacy obat. Kemasan obat

generik sebagai indikator oleh pasien

dalam melakukan penilaian kualitas obat

generik juga sesuai dengan studi oleh

Babar et al. (2010).

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat

berdasarkan penelitian yang dilakukan

adalah persepsi pasien rawat jalan RS PKU

Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta

terhadap kualitas obat generik ditinjau dari

dimensi safety, efficacy, dan acceptability

secara umum baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Gedadi, N.A., Hassali, M.A., dan

Shafie, A.A., 2008. A pilot survey

on perceptions and knowledge of

generic medicines amongconsumers

in Penang Malaysia. Pharmacy

Practice, 6 (2): 93–97.

Anonim. 2012. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 40 Tahun 2012 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Jaminan

Kesehatan Masyarakat. Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia,

Jakarta

Babar, Z.U.D., Stewart, J., Reddy, S.,

Alzaher, W., Vareed, P., Yacoub, N.,

2010. An Evaluation of Consumers’

Knowledge, Perceptions, and

Attitudes Regarding Generic

Medicines in Auckland. Pharm

World Sci, 32, 440–448.

Binfar Kementerian Kesehatan RI. 2014.

Wawancara RCTI tentang

Peredaran Obat Generik di Pasaran.

http://www.binfar.org/wawancara-

rcti-tentang-peredaran-obat-generik-

di-pasaran/ Diakses tanggal 12

Agustus 2014

Departemen Kesehatan RI, 1983.

Kebijakan Obat Nasional.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

Engel, J.F., Blackweel, R.D., dan Miniard,

P.W., 1995. Perilaku Konsumen.

Binarupa Aksara, Jakarta.

Excellus. 2007. Survey of Consumer

AttitudesToward Generic Drugs.

Excellus Blue Cross Blue Shield. 1–

22.

Firth, J.D. 2001. Scientific Background of

Medicine 2: Medical Masterclass.

Royal college of physicians, London.

Hague, P. dan Jackson, P., 1993. Riset

Pemasaran Dalam Praktik. Pustaka

Binaman Pressindo, Jakarta.

IAI Bali. 2013. Salah Persepsi Obat Paten

dan Obat Generik

<http://www.ikatanapotekerindonesi

abali.com/main/index.php/berita/beri

ta-terbaru/86-salah-persepsi-obat-

paten-dan-obat-generik//>. Diakses

pada 23 Maret 2015

Igbinovia, M.E.. 2007. The Perceived

Benefits of Generic Versus Branded

Medicines. Tesis. Pretoria.

Jakarta Post. 2010. Distrust Keeps Generic

Drug Use Low. Jakarta Post edisi 3

Agustus 2010.

Kartika, U., 2013. Cerdas Pilih Obat

Generik Sukseskan JKN 2014,

diakses pada

27Januari2015<http://health.kompas.

com/read/2013/12/29/2046228/Cerd

as.Pilih.Obat.Generik.Sukseskan.JK

N.2014>.

Mainar, A.S. dan Arteida, N., 2012.

Physicians’ and Patients’ Opinions

on The Use of Generic Drugs. J

Pharmacol Pharmacother, 3 (3):

268–270.

Peter, J.P. dan Olson, J.C., 2000.

Consumer Behavior Perilaku

Konsumen Dan Strategi Pemasaran.

Erlangga, Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

39

Priyambodo, B. 2007. Manajemen

Farmasi Industri. Global Pustaka

Utama, Yogyakarta.

Sampurno, 2011. Manajemen Pemasaran

Farmasi. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Shrank, W.H., Cox, E., Fischer, M.A.,

Mehta, J., dan Choudhry, N.K..

2009. Patients’ Perceptions Of

Generic Medications. Health Aff

(Millwood). Vol. 28 (2): 546–556.

Syhakhang, L., Freudenthal, S., Tomson,

G., dan Wahlstrom, R., 2004.

Knowledge and Perception of Drug

Quality among Drugs Seller and

Consumers in Lao PDR. Health

Policy and Planning, 19 (6): 391–

401.

Syhakhang, L., Freudenthal, S., Tomson,

G., dan Wahlstrom, R.. 2004.

Knowledge and Perception of Drug

Quality among Drugs Seller and

Consumers in Lao PDR. Health

Policy and Planning. Vol. 19 (6):

391–401.

Tjay, T. dan Rahardja, K., 2002. Obat-

Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,

Dan Efek-Efek Sampingnya. Elex

Media Komputindo, Jakarta.

Urbanus, C.B., 2013. 'Price and Brand

Name as Indicators of Quality

Dimensions for Generic Drugs',

Tesis, MM, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Waber, R.L., Shiv, B., dan Carmon, Z.

2008. Commercial features of

placebo and therapeutic efficacy.

JAMA, Vol. (9): 1016–1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

40

Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert

Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah

Ulin Banjarmasin

*Mochammad Maulidie Alfiannor Saputera, Ratih Pratiwi Sari

Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Obat high alert merupakan obat-obat yang memiliki risiko tinggi

membahayakan keselamatan pada pasien jika tidak digunakan secara tepat. Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan No.58 Tahun 2014 kategori obat high alert dibagi

menjadi 3, diantaranya Elektrolit konsentrat tinggi, LASA (Look Alike Sounds Alike)

dan Sitostatik. Obat high alert harus disimpan terpisah dan diberi penandaan khusus.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase kesesuaian penyimpanan

obat high alert dan persentase kesesuaian penyimpanan masing-masing kategori obat

high alert. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian

dilakukan pada 25 April - 05 Mei 2016 di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin.

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh obat high alert yang ada di

Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin. Teknik sampling yang digunakan adalah

teknik sampling jenuh. Alat penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data

berupa lembar observasi. Hasil persentase kesesuaian penyimpanan obat high alert dari

6 depo obat di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak 42,62% yang sesuai

dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2104 dan

persentase kesesuaian penyimpanan masing-masing kategori obat high alert yang sesuai

dengan SOP RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2014 adalah elektrolit konsentrat tinggi

sebanyak 80%, LASA (Look Alike Sound Alike) sebanyak 21,16% dan Sitostatik

sebanyak 26,71%.

Kata Kunci: Kesesuaian, Penyimpanan, Obat High Alert, Instalasi Farmasi

ABSTRACT

High alert drugs are drugs that have a high risk of endangering the safety of

patients if not used properly. According to the Regulation health minister No. 58 of 2014

high-alert drugs are divided into three categories, including high concentrations of

electrolytes, LASA (Look Alike Sounds Alike) and cytostatic. High alert medication should

be stored separately and given special notation. The purpose of this study was to determine

the percentage of high alert medications storage suitability and storage suitability of the

percentage of each category of high-alert medications. The kind of research used is

descriptive research. The research was done on April 25 - May 5 in 2016 in pharmacy

installation of Ulin regional public hospital Banjarmasin. Population and sample in this

study are all high alert medications in pharmacy installation of Ulin regional public

hospital Banjarmasin. The sampling technique used is saturated sampling technique.

Research tool used for data collection in the form of observation sheets. The results of the

percentage of high alert medications storage suitability of the six installation drug of in

pharmacy installation of Ulin local general hospital Banjarmasin as much as 42.62% in

accordance with SOP (Standard Operating Procedure) Ulin Regional Public Hospital

Banjarmasin in 2014 and storage suitability percentage of each category of high alert

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

41

medications in accordance with SOP Ulin Regional Public Hospital Banjarmasin in 2014

is highly concentrated electrolyte as much as 80%, LASA (Look Alike Sound Alike) of

21.16% and a cytostatic as much as 26.71%.

Keywords: Suitability, Storage, High Alert drugs, Pharmacy Installation

I. PENDAHULUAN

Pelayanan kefarmasian di rumah

sakit merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem pelayanan

kesehatan rumah sakit yang berorientasi

kepada pelayanan pasien, penyediaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai yang bermutu dan

terjangkau bagi semua lapisan masyarakat

termasuk pelayanan farmasi klinik.

Termasuk keputusan untuk menggunakan

terapi obat, pertimbangan pemilihan obat,

dosis, rute dan metode pemberian,

pemantauan terapi obat serta pemberian

informasi dan konseling pada pasien

(American Societharmacist, 1993).

Pelayanan kefarmasian merupakan

kegiatan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah, dan

menyelesaikan masalah terkait Obat.

Tuntutan pasien dan masyarakat akan

peningkatan mutu pelayanan kefarmasian,

mengharuskan adanya perluasan dari

paradigma lama yang berorientasi kepada

produk (drug oriented) menjadi paradigma

baru yang berorientasi pada pasien (patient

oriented) dengan filosofi pelayanan

kefarmasian (pharmaceutical care)

(DepKes, 2014).

Menurut Permenkes RI no 58

Tahun 2014 tentang standar pelayanan

kefarmasian di Rumah Sakit. Maka Rumah

Sakit perlu mengembangkan kebijakan

obat untuk meningkatkan keamanan,

khususnya obat yang perlu diwaspadai

(high-alert medications). Obat High Alert

adalah obat yang harus diwaspadai karena

sering menyebabkan terjadi kesalahan

serius (sentinel event), obat yang berisiko

tinggi menyebabkan dampak yang tidak di

inginkan (adverse outcome). Adapun yang

termasuk Obat High Alert adalah Elektrolit

konsentrat tinggi, LASA (Look Alike

Sound Alike) dan Sitostatik/Obat kanker.

Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Bayang (2010)

menunjukkan bahwa kesalahan dalam

pemberian obat disebabkan oleh prosedur

penyimpanan obat yang kurang tepat

khususnya untuk obat LASA (Look Alike

Sound Alike) yaitu obat-obatan yang

bentuk/rupanya dan

pengucapannya/namanya mirip.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan penelitian meliputi data

primer dan data sekunder. Data primer

yang diperoleh dari pengamatan langsung

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

42

seperti lembar observasi yang berisi

ketentuan mengenai kesesuaian

penyimpanan obat high alert di Instalasi

Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin periode

April - Mei 2016. Data sekunder yang

diperoleh dengan pengamatan dokumen,

meliputi: dokumen berupa SOP RSUD

Ulin Banjarmasin tahun 2014.

B. Metode

Teknik yang digunakan adalah

teknik sampling jenuh, yaitu semua

populasi dijadikan sebagai sampel.

Data yang sudah di kumpulkan dari

lembar observasi kemudian diolah dengan

cara mengelompokkan antara data

penyimpanan obat high alert kategori

Elektrolit Konsentrat Tinggi, LASA (Look

Alike Sound Alike) dan Sitostatik yang

sesuai dan tidak sesuai. Pada penelitian ini

dilakukan analisis presentase dan disajikan

dalam bentuk tabel, dengan rumus :

(Mahfoedz, 2010)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada 6

Depo, yaitu Depo Logistik, Depo

Handling Central Cytostatic, Depo

Umum, Depo BPJS, Depo IGD, dan Depo

Tulip. Hasil menunjukkan dari 6 depo

terdapat 42,62% yang sesuai dan yang

tidak sesuai sebesar 57,38%.

Hasil menunjukkan bahwa

penyimpanan obat high alert kategori

Elektrolit konsentrat tinggi yang 100%

sesuai terdapat pada Depo Logistik

(Gudang), Depo Umum, dan Depo Tulip

karena jumlah obat Elektrolit konsentrat

tinggi yang sedikit. Sedangkan untuk

penyimpanan Elektrolit konsentrat tinggi

yang tidak sesuai dengan SOP, terdapat

pada Depo BPJS (75%) dan Depo IGD

(25%). Ketidaksesuaian dikarenakan tidak

adanya stiker obat high alert pada

kemasan Elektrolit konsentrat tinggi. Hal

ini dikarenakan kurangnya sikap disiplin

tenaga kefarmasian terhadap SOP tentang

penyimpanan obat high alert. Sehingga

masih ada Elektrolit konsentrat tinggi yang

tidak mencantumkan stiker pada

kemasannya.

Kategori LASA yang sesuai

dengan SOP RSUD Ulin yang terbanyak

pada Depo Logistik sebanyak 35,90%,

Depo Umum sebanyak 35,29%, Depo

BPJS sebanyak 13,70%, Depo Tulip

sebanyak 12,90% dan Depo IGD yang

paling sedikit kesesuaiannya yaitu

sebanyak 8%. Hal ini dikarenakan tidak

terdapat stiker LASA dan tidak disimpan

terpisah dengan obat lain. Jumlah

ketidaksesuaian obat LASA yang tertinggi

terdapat pada Depo IGD (92%), kemudian

Depo BPJS (86,30%), dan Depo Tulip

(87,10%). Hal ini dikarenakan Depo IGD

P = F/N x 100 %

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

43

buka selama 24 jam, sehingga petugas

kefarmasian yang ada di Depo IGD lebih

fokus ke pelayanan resep dibandingkan

penyimpanan obat high alert. Untuk

mengatasi masalah tersebut hendaknya

pihak Rumah Sakit menambah jumlah

tenaga Kefarmasian, agar pelayanan obat

maksimal dan petugas kefarmasian dapat

menjalankan tugas dengan baik.

Kategori obat Sitostatik yang sesuai

dengan SOP RSUD Ulin yang terbanyak

pada Depo Logistik sebanyak 75%, pada

Handling Central Cytostatic sebanyak

41,86% dan Depo BPJS sebanyak 16,67%.

Sedangkan untuk urutan obat kanker yang

tidak sesuai dengan SOP, paling tinggi

ketidaksesuaiannya terdapat pada Depo

Umum dan Depo Tulip yaitu sebanyak

100%, kemudian Depo BPJS sebanyak

83,33% dan Depo Handling Central

Cytostatic sebanyak 58,14%.

Ketidaksesuaian dikarenakan tidak

terdapat stiker obat kanker dan stiker obat

high alert pada kemasan obat kanker.

Karena Tenaga Kefarmasian khawatir akan

paparan obat kanker. Hal ini disebabkan

kurangnya pengetahuan tentang cara

penanganan obat Sitostatik yang benar.

Sehingga perlu diadakan pelatihan untuk

penanganan obat Sitostatik.

Tabel I. Lembar Rekapitulasi Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert di 6 Depo Farmasi

RSUD Ulin Banjarmasin

No

Tempat

Pengambilan

Sampel

Kategori Obat

High Alert

Persentase (%)

Sesuai Tidak

Sesuai

1 Depo Logistik

(Gudang)

Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %

LASA (Look Alike Sound Alike) 35,90 % 64,10 %

Sitostatik 75 % 25 %

2 Handling Central

Cytostatic

Elektrolit Konsentrat Tinggi - -

LASA (Look Alike Sound Alike) - -

Sitostatik 41,86 % 58,14 %

3 Depo Umum

Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %

LASA (Look Alike Sound Alike) 35,29 % 64,71 %

Sitostatik 0 % 100 %

4 Depo BPJS

Elektrolit Konsentrat Tinggi 25 % 75 %

LASA (Look Alike Sound Alike) 13,70% 86,30%

Sitostatik 16,67 % 83,33%

5

Depo IGD

(Instalasi Gawat

Darurat)

Elektrolit Konsentrat Tinggi 75 % 25 %

LASA (Look Alike Sound Alike) 8 % 92 %

Sitostatik - -

6 Depo Tulip

Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %

LASA (Look Alike Sound Alike) 12,90% 87,10%

Sitostatik 0 % 100 %

Jumlah keseluruhan kesesuaian 42,62 % 57,38 %

Sumber: Data primer

Penyimpanan obat high alert yang

masih belum sesuai dengan SOP RSUD

Ulin tahun 2014, dapat menimbulkan

risiko kesalahan distribusi obat ke pasien.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

44

Kekeliruan dalam pengambilan obat high

alert disebabkan penyimpanan obat high

alert yang tidak sesuai denagn SOP RSUD

Ulin tahun 2014, sehingga dapat

membahayakan keselamatan pasien.

Mengingat sistem distribusi di RSUD Ulin

Banjarmasin untuk Rawat Jalan

menggunakan Individual Prescribing/

resep perseorangan, sedangkan untuk

Rawat Inap gabungan antara sistem Unit

Dose Dispensing (UDD) dan One Daily

Dose (ODD). Apabila terdapat

penyimpanan obat high alert yang tidak

sesuai dengan SOP RSUD Ulin tahun

2014, maka akan merugikan dan

membahayakan keselamatan pasien.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari penelitian ini adalah:

1. Persentase kesesuaian penyimpanan

obat high alert yang sesuai dengan SOP

RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak

42,62 % dan yang tidak sesuai sebanyak

57,38 %.

2. Persentase kesesuaian penyimpanan

masing-masing kategori obat high alert

berdasarkan SOP RSUD Ulin

Banjarmasin tahun 2014 pada 6 Depo

yaitu, kategori Elektrolit konsentrat

tinggi yang sesuai sebanyak 80% dan

tidak sesuai 20%, untuk kategori

LASA (Look Alike Sound Alike) yang

sesuai sebanyak 21,16% dan tidak

sesuai sebanyak 78,84% dan untuk

kategori Sitostatik yang sesuai

sebanyak 26,71% dan tidak sesuai

sebanyak 73,29%.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2014.

Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia nomor 58 tahun

2014 Tentang Standar Pelayanan

Rumah Sakit. Jakarta. Depkes RI.

American Society of Hospital Pharmacists.

ASHP, 1993, Medication Therapy

and Patient Care: Organization and

Delivery of Service-Statements,

ASHP, Maryland.

Bayang, T.A., 2013, Analisis Faktor

Penyebab Medication Error di

Rumah Sakit Umum Daerah Anwar

Makatutu Bantaeng Tahun 2013,

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Mahfoedz, I., 2010, Metode Penelitian

Kualitatif dan Kuantitatif Bidang

Kesehatan, Keperawatan,

Kebidanan, Kedokteran, Fitramaya,

Yogyakarta.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

45

Analisis Kuantitatif Kadar Asam Lemak Bebas

Dalam Minyak Goreng Bekas Di Kecamatan

Banjarmasin Utara

Amaliyah Wahyuni

Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin

Email : [email protected]

ABSTRAK

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai media

pengolahan bahan makanan. Penggunaan minyak goreng berulang dengan pemanasan

pada suhu tinggi akan menghasilkan kadar asam lemak bebas. Peningkatan kadar

asam lemak bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya adalah

kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam

minyak goreng bekas ayam (fried chicken) dan menunjukkan apakah memenuhi

standar SNI 01-3741-2013 yaitu maksimal 0,30% pada minyak goreng bekas ayam

(fried chicken) di Kecamatan Banjarmasin Utara. Jenis penelitian adalah penelitian

deskriptif, melibatkan pengujian secara kuantitatif. Teknik pengambilan sampel

berupa accidendal sampling. Populasi penelitian adalah minyak goreng bekas hasil

penggorengan ayam tepung (fried chicken) pedagang di Banjarmasin Utara. Analisis

kuantitatif kadar asam lemak bebas dilakukan menggunakan uji titrasi alkalimetri.

Berdasarkan hasil penelitian dari 8 sampel minyak goreng bekas ayam (fried chicken)

menunjukkan hasil kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas hasil

penggorengan ayam (fried chicken) di Banjarmasin Utara dimulai dari nilai kadar asam

lemak bebas terendah sampai tertinggi yaitu 0,54%, 0,55%, 0,57%, 0,68%, 0,68%,

1,22%, 1,28%, 1,36%. Semua sampel tidak memenuhi standar kadar asam lemak bebas

dan hal ini tidak sesuai dengan SNI 01-3741-2013 yaitu maksimal 0,30%.

Kata Kunci : Analisis Kuantitatif, Asam Lemak Bebas, Minyak Goreng Bekas

ABSTRACT

Cooking oil is one of the basic human needs as food processing media. The use of

cooking oil repeatedly by heating at high temperature will produce high levels of free fatty

acids. Increased levels of free fatty acids can cause various diseases, one of which is

cancer. This study aims to determine how levels of free fatty acids in used cooking oil

chicken (fried chicken) andindicate whether it meets the standard of SNI 01-3741-2013 is a

maximum of 0.30% on used cooking oil chicken (fried chicken) in the District of North

Banjarmasin. This research is a descriptive study, involves testing quantitatively. The

sampling technique in the form of accidental sampling. The study population is the result

of frying oil used cooking flour chicken (fried chicken) banjarmasin traders in the north.

Quantitative analysis of the levels of free fatty acids in used cooking oil made using

titration test alkalimetry. Based on the research results of 8 samples of used cooking oil

chicken (fried chicken) shows the results of the levels of free fatty acids in used cooking oil

result of frying chicken (fried chicken) in North Banjarmasin start from the value of free

fatty acid lowest to highest is 0.54%, 0.55%, 0.57%, 0.68%, 0.68%, 1.22%, 1.28%, 1.36%.

all samples did not meet the standards of free fatty acid and it is not in accordance which

maximum SNI 01-3741-2013 is 0.30%.

Keyword : Quantitative Analysis , Free Fatty Acids, Used Cooking Oil

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

46

I. PENDAHULUAN

Minyak goreng merupakan

minyak yang dimasak bersama bahan

pangan sebagai medium penghantar panas

dalam memasak bahan pangan.Minyak

goreng mengandung vitamin A, D, E, dan

lemak untuk pembentukan sel serta

pertambahan tubuh,sehingga minyak

goreng dapat disebut sehat. Namun,

minyak goreng juga dapat berbahaya bagi

tubuh yang disebabkan oleh

penggunaannya dalam proses memasak

seperti pemanasan dengan suhu tinggi

agar makanan terasa gurih. Pemanasan

suhu tinggi dapat mengoksidasi minyak

goreng dan menghasilkan radikal bebas

(Graha, 2010).

Rusaknya minyak goreng

diakibatkan oleh oksidasi dan lemak

hidrolisis antara lain peroksida, asam

lemak, aldehid, dan keton. Kerusakan

minyak atau lemak akibat pemanasan

suhu tinggi (200◦C-250

◦C) akan

mengakibatkan keracunan dalam tubuh

dan berbagai macam reaksi yang terjadi

selama proses penggorengan seperti

reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi,

dan reaksi dengan logam dapat

mengakibatkan minyak menjadi rusak.

Kerusakan tersebut menyebabkan minyak

menjadi berwarna kecoklatan, lebih

kental, berbusa, berasap, serta

meninggalkan odor yang tidak disukai

pada makanan hasil gorengan. Perubahan

akibat pemanasan tersebut antara lain

disebabkan oleh terbentuknya senyawa

yang bersifat toksik dalam bentuk

hidrokarbon, asam lemak hidroksi,

epoksida, senyawa-senyawa siklik, dan

senyawa senyawa poplimer (Ketaren,

2008).

Zat dan bahan makanan dapat

menimbulkan bahaya jika mengalami

pengolahan kurang tepat seperti cara

menggoreng yang berlebihan, penggunaan

minyak goreng yang berulang kali, dan

pemanasan dengan suhu yang tinggi

(Tapan, 2005). Salah satu makanan yang

memiliki potensi bahaya tersebut adalah

ayam goreng tepung pada ayam goreng

bereaksi dengan minyak panas akan

memproduksi senyawa kimia akrilamida

(karsinogen). Selain itu minyak goreng

yang dipakai berulang kali berpotensi

menimbulkan berbagai macam penyakit

yaitu penyakit jantung, hati, ginjal, dan

menghasikan jenis karsinogen yang akan

menempel pada makanan berikutnya yang

masuk kedalam penggorengan

(Cancerhelps, 2014).

Asam lemak bebas terdapat

didalam lemak atau minyak, terutama dari

sumber nabati. Asam lemak bebas dapat

mengalami perubahan atau kerusakan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

47

baik secara fisik atau kimia. Penyebab

perubahan atau kerusakan ini adalah

kerena proses oksidasi dan hidrolisis

akibat cara penggorengan pada suhu

tinggi dan pemakaian yang berulang.

Asam lemak bebas yang tinggi tidak baik

untuk kesehatan karena asam lemak bebas

membentuk senyawa yang bersifat racun,

radikal bebas dan dapat merangsang

terjadinya kangker atau karsionogen

(Surjadibroto, 2003). Menurut SNI tahun

2013 tentang standar mutu minyak yang

menyatakan bahwa kadar maksimal asam

lemak bebas adalah 0,30 % b/b.

Kecamatan Banjarmasin Utara

dengan luas 8806,29 km2dan memiliki

jumlah penduduk 145,656 jiwa (Badan

Pusat Statistik, 2016). Kecamatan

Banjarmasin Utara dimana terdapat

pedagang kaki lima menjual ayam goreng

dengan harga yang murah dan terjangkau.

Oleh karena itu aktivitas jual beli tinggi

dan terbatasnya waktu anggota keluarga

mengolah makanan sendiri. Hasil Survey

yang telah dilakukan pedagang

mengunakan minyak goreng berulang

tanpa diganti minyak goreng yang baru

dan dapat mempengaruhi kesehatan bagi

yang mengkonsumsi. Berdasarkan latar

belakang tersebut, peneliti sebagai

mahasiswa ingin mengetahui kadar asam

lemak bebas pada minyak goreng bekas

hasil penggorengan ayam dengan

menggunkan titrasi alkalimetri.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif

melibatkan pengujian secara kuantitatif,

dilaksanakan di Laboratorium Kimia

Farmasi Akfar ISFI Banjarmasin pada

bulan April 2016 – Juni 2016. Populasi

dari penelitian ini adalah minyak goreng

bekas hasil penggorengan ayam tepung

(fried chicken) pedagang di banjarmasin

utara. Sampel yang digunakan adalah

accidental sampling yaitu teknik

penentuan sampel berdasarkan kebetulan,

siapa saja secara kebetulan bertemu

dengan peneliti dapat dijadikan sampel.

survei lapangan yaitu minyak goreng

bekas hasil penggorengan ayam tepung

(fried chicken) di Kecamatan Banjarmasin

Utara. Berdasarkan survei yang telah

dilakukan terdapat 6 sampel minyak

goreng bekas hasil penggorengan ayam

tepung (fried chicken).

Sampel yang diteliti adalah

minyak goreng bekas hasil penggorengan

ayam (fried chicken). Minyak goreng

bekas hasil penggorengan ayam diambil

dari pedagang ayam goreng (fried

chicken) di Kecamatan Banjarmasin

Utara, terdapat 8 sampel minyak goreng

bekas hasil penggorengan ayam dalam

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

48

satu tempat yang berbeda untuk masing-

masing sampel.

Pengambilan sampel minyak goreng

bekas hasil penggorengan ayam (fried

chicken) merupakan minyak goreng yang

sudah mengalami proses penggorengan

berulang kali tanpa diganti minyak goreng

yang baru. Sampel minyak goreng bekas

hasil penggorengan ayam ini berbau

tengik dan warna minyak yang digunakan

dalam penelitian ini berwarna kuning,

coklat kemerahan dan kehitam - hitaman..

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian menggunakan metode

Titrasi Alkalimetri dilakukan dengan

mentitrasi sampel dengan NaOH 0,1 N,

pengujian ini dilakukan 3 replikasi atau

pengulangan yang bertujuan untuk

mempertegas atau memperjelas hasil dari

pengujian sampel. Sampel yang ingin

dititrasi terlebih dahulu ditimbang

sebanyak 10 gram, lalu dimasukkan

dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian 50

ml etanol 96% dicampurkan dengan

sampel, penggunaan etanol berfungsi

untuk melarutkan lemak sehingga dapat

bereaksi dengan NaOH. Sebelum dititrasi,

dilakukan pemanasan hingga mendidih,

pemanasan bertujuan untuk mempercepat

reaksi agar sampel dan etanol larut secara

sempurna. Sampel yang telah tercampur

dengan etanol 96% kemudian ditetesi

indikator phenolptealin sebanyak 3 tetes,

penambahan indikator phenolptealin

bertujuan untuk mengetahui terjadinya

titik ekivalen dengan terjadinya

perubahan warna pada larutan. Setelah itu

dititrasi dengan NaOH 0,1 N dan diamati

secara visual akan berwarna pink atau

merah muda.

Pada penelitian ini didapatkan

hasil akhir yakni perubahan warna pink

susu pada larutan sampel minyak goreng

bekas ayam (fried chicken), karena

dipengaruhi oleh warna sampel minyak

goreng dan minyak goreng yang

dipanaskan dengan etanol 96% akan

berubah warna menjadi larutan keruh

yang dapat dilihat secara visual, sehingga

setelah ditetesi dengan indikator

phenolptealin berubah menjadi warna

pink susu.

Keuntungan analisis kadar asam

lemak bebas menggunakan metode Titrasi

Alkalimetri adalah memerlukan waktu

yang cepat, hasil perubahan warna yang

baik, metode yang digunakan sederhana,

pelarut yang digunakan mudah didapat,

hasil yang diperoleh akurat, peralatan

yang digunakan sederhana dan lebih

ekonomis dibandingkan dengan

spektrofotometri serapan atom.

Kekurangannya yaitu pada penentuan titik

akhir titrasi perubahan warna bisa menjadi

berubah dari warna sebelumnya dan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

49

pembacaan skala pada buret harus sangat

teliti.

Tabel I. Hasil kadar asam lemak bebas pada

minyak goreng bekas ayam goreng (fried chicken)

dari sampel 1 sampai sampel 8

Kode

Sampe

l

Berat

Sampe

l (g)

Kadar

Asam

Lema

k

Bebas

Memenu

hi standar

Tidak

memenu

hi

standar

1 10,3 g 0,68

% − √

2 10,3 g 1,22

% − √

3 10,3 g 0,68

% − √

4 10,3 g 0,54

% − √

5 10,3 g 1,28

% − √

6 10,3 g 0,57

% − √

7 10,3 g 0,55

% − √

8 10,3 g 1,36

% − √

Perhitungan kadar asam lemak

bebas dilakukan 3 replikasi untuk

memperjelas atau mempertegas hasil

kadar asam lemak bebas pada sampel

minyak goreng bekas ayam (fried

chicken) yaitu diperoleh kadar asam

lemak bebas pada masing-masing sampel

dari sampel 1 sampai sampel 8, nilai

kadar asam lemak bebasnya diatas standar

SNI 01- 3741-2013 yaitu maksimal

0,30%. (Badan Standarisasi Nasional,

2013).

Hasil analisis kadar asam lemak

bebas di lihat dari warna minyak goreng

bekas ayam (fried chicken) berpengaruh

terhadap hasil kadar asam lemak bebas

dari makanan yang digoreng. Semakin

gelap warna dari minyak goreng, maka

semakin tinggi kadar asam lemak

bebasnya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Austic (2010) yang

menyatakan bahwa semkin tinggi asam

lemak bebas, maka kualitas minyak

semakin turun. Perubahan warna minyak

goreng yang awalnya jernih kekuningan

menjadi lebih gelap dipengaruhi beberapa

faktor, seperti adanya panas akibat suhu

yang tinggi 1800C sampai 200

0C dan

terjadinya reaksi kimia dalam minyak

goreng karena proses oksidasi dan

hidrolisis. Berdasarkan hasil analisis

kadar asam lemak bebas menunjukkan

bahwa asam lemak bebas minyak goreng

bekas ayam (fried chicken) dari sampel 1

sampai sampel 8 hasil kadar asam lemak

bebasnya berbeda.

Perbedaan hasil kadar asam lemak

bebas karena warna minyak yang berbeda

dari masing-masing sampel yaitu sampel

1 berwarna kuning ke merahan, sampel 2

berwarna hitam, sampel 3 berwarna

kuning ke merahan, sampel 4 berwarna

kuning, sampel 5 berwarna hitam, sampel

6 berwarna kuning, sampel 7 berwarna

kuning, sampel 8 berwarna hitam.

Sehingga dapat disimpulkan semakin

hitam warna minyak goreng maka kadar

asam lemak bebasnya semakin meningkat.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

50

Perhitungan kadar asam lemak

bebas menyatakan bahwa dari 8 sampel

yang diuji, nilai kadar asam lemak bebas

pada minyak goreng bekas ayam dimulai

dari nilai yang terendah sampai nilai

tertinggi yaitu 0,54%b/b, 0,55%b/b,

0,57%b/b, 0,68%b/b, 0,68%b/b,

1,22%b/b, 1,28%b/b, 1,36%b/b.

Berdasarkan nilai pada tabel diatas dapat

dinyatakan bahwa semua sampel tidak

memenuhi standar SNI 01-3741-2013

yaitu maksimal 0,30% pada minyak

goreng bekas ayam (fried chicken) dan

minyak goreng tersebut tidak bisa

digunakan untuk menggoreng makanan.

Cara menanggulangi atau saran

agar minyak goreng dapat digunakan

adalah penyimpanan minyak goreng

dalam wadah tertutup rapat dan wadah

yang higienis. Setelah menggoreng sisa

minyak didinginkan dan disaring untuk

membersihkan, mengurangi bau dari sisa

penggorengan sebelumnya. Maksimal

pengulangan penggorengan sebanyak 4

kali, apabila terjadi perubahan warna

gelap pada proses penggorengan maka

harus diganti minyak goreng yang baru.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan terhadap 8 sampel dengan

menggunakan metode Titrasi Alkalimetri,

maka kadar asam lemak bebas dalam

minyak goreng bekas hasil penggorengan

ayam (fried chicken) di Banjarmasin

Utara dimulai dari nilai kadar asam lemak

bebas terendah sampai tertinggi yaitu

0,54%, 0,55%, 0,57%, 0,68%, 0,68%,

1,22%, 1,28%, 1,36%.

Minyak goreng bekas hasil

penggorengan ayam (fried chicken) di

Banjarmasin Utara diperoleh 8 sampel

tidak memenuhi standar SNI 01-3741-

2013 yaitu 0,30%, karena 8 sampel yang

diuji masing-masing sampel nilai kadar

asam lemak bebasnya melebihi 0,30%.

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, A., Sadikin, Y.T., dan

Winarno, F.G., 1997, Pengaruh

lama penggorengan dan

penggunaan adsorben terhadap

mutu minyak goreng bekas

penggorengan tahu-tempe. Buletin

Teknol Dan Industri Pangan. 8 (1) :

40-45

Almatsier, S., 2002, Prinsip Dasar Ilmu

Gizi, Penerbit PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Austutik, I.A.P., 2010.,Pengaruh suhu

interaksi minyak goreng bekas

Dengan menggunakan karbon aktif

Biji kelor Terhadap angka iodine

dan angka peroksida. Jurusan kimia

Fakultas sains dan teknologi

Universitas islam negeri (uin)

maulana Malik ibrahim, malang.

Badan Pusat Statistik, 2016, Jumlah

Penduduk Kota Banjarmasin,

Banjarmasin

BSN. 2013, Minyak Goreng. SNI 01-

3741-2013, Badan Standarisasi

Nasional, Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

51

Blumenthal, M.M., 1996, Frying

technology, Di dalam: Bailey’s

Industrial Oil and Fat Technology,

Edible Oil and Fat Product: Product

and Application Technology (4th

ed., Vol3).Wiley-Interscience

Publication, New York, pp 429-482.

Choe, E., and D.B. Min., 2007, Chemitry

of Deep-Fat Frying oils, Journal of

food Science, Vol.72(5). Institute

of Food Technologiests.

Febriansyah, Reza., 2007, Mempelajari

pengaruh penggunaan berulang dan

Aplikasi adsorben terhadap kualitas

minyak dan tingkat penyerapan

minyak pada kacang sulut. Fakultas

teknologi pertanian Institut

pertanian bogor, Bogor.

Sudarmadji, S., 2007, Analisa untuk

bahan Pangan dan pertanian,

Liberty. Yogyakarta.

Sutiah, K.S., and Wahyu S.B., 2008, Studi

Kualitas Minyak Goreng dengan

parameter Viskositas dan Indeks

Bias. Jurusan Fisika FMIPA UNDIP

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 52-57

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

52

Analisis Hubungan Karakteristik Terhadap

Persepsi Pasien Diabetes Mellittus Tipe 2 Di RSUD

Ratu Zalecha Martapura

*Eka Agustya Muliastuti, Difa Intannia

Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang

ditandai tingginya kadar glukosa darah diakibatkan defisiensi fungsi insulin. DM

merupakan suatu penyakit kronik, dimana ketika seseorang menderita penyakit kronik

maka orang tersebut akan memiliki pandangan tersendiri terhadap penyakitnya.

Faktor yang dapat mempengaruhi pandangan pasien terhadap penyakit adalah adanya

karakteristik pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara

karakteristik dengan persepsi pasien DM. Desain penelitian yang digunakan adalah

cross sectional dengan analisis data menggunakan uji korelasi Kendall-Tau. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada pasien DM rawat jalan yang berobat

di poliklinik penyakit dalam RSUD Ratu Zalecha Martapura. Persepsi diukur dengan

kuesioner Brief Illness Perception Questionnaire (BIPQ). Total sampel yang dianalisis

berjumlah 47 orang. Hasil analisis hubungan antara karakteristik dengan persepsi

yaitu usia berhubungan signifikan dengan item identity (0,043) dan concern (0,046),

tingkat pendidikan dengan item Illness Representative (0,012), pekerjaan berhubungan

dengan consequences (0,023), penghasilan dengan timeline (0,009), dan riwayat keluarga

berhhubungan signifikan dengan emotional representative (0,039). Sedangkan

karakteristik jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi.

Kata kunci: persepsi, karakteristik, diabetes mellitus tipe 2, BIPQ

ABSTRACT

Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease which the symptom is the elevation of

blood sugar lever caused by insufficiency of insulin function. DM is chronic disease, when

a person suffers from chronic disease then that person will have its own views against the

disease. Factors that may affect the patient’s view of the disease is the presence of the

characteristics of the patient. This research aims to analyze the correlation between

characteristics and perception of DM patient. The design used is cross sectional study with

data analysis using correlational test Kendall-Tau. This research is done by using

questionnaire and filled by DM out-patient which get their treatment in internal disease

ward at RSUD Ratu Zalecha Martapura. The perception is measured with Brief Illness

Perception Questionnaire (BIPQ). Total sampel analyzed are 47 people. The result of

correlation between characteristics and perception who is significant are age with identity

(0,043) and concern (0,046), education with item Illness Representative (0,012), job with

consequences (0,023), income with timeline (0,009), and family history with emotional

representative (0,039). While the characteristics of gendre does not have a significant

correlation with perception.

Keywords: Perception, characteristics, diabetes mellitus, BIPQ.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

53

I. PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM)

merupakan penyakit yang disebabkan

karena hiperglikemia. Hiperglikemia

terjadi karena pankreas yang tidak mampu

memproduksi insulin dan adanya

defisiensi fungsi insulin (Wilson & Price,

2002). Sejauh mana komplikasi yang

timbul akibat DM pada semua organ serta

semua sistem tubuh sangat tergantung

pada bagaimana cara menjaga agar

glukosa darah selalu berada dalam keadaan

normal. Salah satu hal terpenting bagi

penderita DM adalah melakukan

pengendalian glukosa darah untuk

menjaga dan mengetahui kadar glukosa

darah tetap dalam keadaan normal

(Tandra, 2008). Salah satu hal penting

dalam melakukan perawatan DM adalah

dengan adanya pandangan pasien terhadap

penyakit yang dideritanya atau dapat

dikatakan bagaimana persepsi pasien

terhadap penyakit yang dideritanya.

Model teori Self-Regulatory Model

(SRM) menyatakan bahwa respon

seseorang terhadap penyakit dapat

mempengaruhi tindakan seseorang seperti

melakukan manajemen diri (Gard, 2000).

Persepsi yang buruk dari penyakit yang

diderita dan adanya ketidakpatuhan

terhadap terapi dapat menyebabkan hasil

klinis yang kurang baik bagi pasien

(Youngmee, 2010). Salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi persepsi pasien

adalah adanya karakteristik yang berbeda

dari setiap pasien. Penelitian yang

dilakukan oleh Norfazilah et al. 2013

tentang persepsi pada pasien kronik

hipertensi menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara nilai total

persepsi dengan riwayat keluarga.

II. METODE PENELITIAN

A. Model Penelitian

Jenis penelitian ini adalah

penelitian kuantitatif non-eksperimental

dengan desain penelitian korelasional.

Teknik yang digunakan adalah cross

sectional study. Penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif analitik yaitu

menggambarkan serta menganalisis

hubungan karakteristik terhadap persepsi

pasien DM. Pengambilan data melalui

kuesioner dilakukan pada pasien DM

rawat jalan peserta BPJS di poliklinik

penyakit dalam RSUD Ratu Zalecha dari

Februari-Maret 2016. Penelitian

menggunakan data primer dan sekunder.

Data primer didapat dari wawancara

dengan pasien terdiri dari nama pasien,

jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,

pekerjaan, penyakit lain, penghasilan,

riwayat keluarga, dan kuesioner persepsi.

Sedangkan data sekunder terdiri dari

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

54

tanggal pasien berobat, diagnosa DM, dan

resep pasien. Pengukuran persepsi pasien

menggunakan metode Brief Illness

Questionnaire (BIP-Q). Penilaian dari

kuesioner BIP-Q dengan skor 1-11 dimana

terdapat 3 item pernyataan negatif yaitu

pada pertanyaan no 3,4, dan 7. Penarikan

kesimpulan dari hasil yang didapatkan

pada kuesioner BIP-Q dengan

mengelompokkan rentang hasil yang

didapat, seperti dibawah ini:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada pasien

dewasa dengan umur ≥ 17 tahun dengan

minimal telah menjalani pengobatan

selama 2 bulan sebelum penelitian

dilakukan. Sebelumnya, kuesioner BIP-Q

terlebih dahulu divalidasi. Validasi

dilakukan dengan mengambil 30 sampel

pasien di Puskesmas Tanjung Rema

Martapura. Dari hasil uji validitas,

kuesioner BIP-Q ini valid karena hasil

p<0,05 dan reliabel dengan nilai

Cronbanch’s Alpha 0,722. Populasi yang

didapat selama penelitian berjumlah 117

pasien memenuhi inklusi, dan kemudian

terdapat pasien yang dieksklusi

dikarenakan banyak pasien yang menderita

komplikasi penyakit hipertensi, gagal

ginjal, kolesterol dan gagal jantung.

sehingga sampel penelitian ini berjumlah

47 pasien penderita DM.

A. Gambaran Karakteristik Pasien

Gambaran karakteristik pasien dapat

dilihat pada tabel 1, sebagai berikut:

Tabel I. Distribusi Karakteristik Pasien

Karakteristik Jumlah

Pasien

(n=47)

Persentase

(%)

Usia

26-45 Tahun

46-55 Tahun

56-65 Tahun >65 Tahun

7

20

17 3

14,9

42,6

36,2 6,4

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

19 28

40,4 59,6

Tingkat Pendidikan SD

SMP SMA

Sarjana/Diploma

8

6 23

10

17,0

12,8 48,9

21,3

Pekerjaan

PNS

TNI/POLRI

Swasta Pensiunan

Tidak Bekerja

3

1

11 11

21

6,4

2,1

23,4 23,4

44,7

Penghasilan

< Rp. 1.500.000

Rp. 1.500.000 - Rp.

2.500.000 > Rp 2.500.000-Rp.

3.500.000

>Rp 3.500.000

23

3

1

20

48,9

6,4

2,1

42,6

Riwayat Keluarga

Ada

Tidak Ada

17

30

36,2

63,8

B. Gambaran Persepsi Diabetes

Mellitus

Persepsi seseorang terhadap penyakit

terbagi menjadi tiga, yaitu persepsi

kognitif, coping atau tindakan dan

penilaian. Persepsi kognitif terdiri dari

lima komponen yaitu identity, cause,

timeline, consequences, dan control/cure.

Setelah seseorang mengartikan suatu

ancaman maka orang tersebut akan

merencanakan tindakan untuk menangani

ancaman tersebut, dan terakhir pasien akan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

55

melakukan penilaian terkait penyakit yang

dideritanya (Gard, 2000).

Tabel II. Nilai Rata-rata dan Standar

Deviasi Persepsi

Hasil kuesioner BIPQ didapatkan

nilai total rata-rata persepsi pasien DM

sebesar 40,12. Berdasarkan gambaran

persepsi pasien DM dapat ditarik

kesimpulan bahwa pasien cenderung

menganggap penyakit yang dideritanya

mengancam atau berbahaya bagi

kehidupannya. Semakin tinggi nilai yang

didapatkan pada item persepsi maka

semakin pasien menganggap penyakit

yang dideritanya mengancam

kehidupannya.

C. Hubungan Karakteristik dengan

Item Persepsi Pasien Diabetes

Mellitus

Berikut merupakan hasil analisis

hubungan antara karakteristik dengan item

persepsi pasien diabetes mellitus.

Tabel II. Hasil Analisis hubungan

karakteristik dengan item

persepsi pasien DM

Usia JK TP Pek. Peng. RK

r R r R R r

Consequen

ces

-0,172 0,200 -0,018 0,270* -0,190 -0,036

Timeline 0,094 -0,123 0,086 -0,202 0,323* -0,140

Personal

control

0,087 0,176 -0,056 0,163 -0,070 -0,147

Treatment

control

0,191 -0,088 -0,123 -0,042 0,020 0,123

Identity -0,245* 0,026 0,133 -0,043 0,156 -0,131

Concern -0,238* 0,000 0,039 -0,056 -0,034 -0,067

Illness

comprehen

sibility

-0,019 0,115 0,298* -0,104 0,142 -2,17

Emotional

representat

ive

-0,167 0,078 -0,043 0,087 -0,124 -0,265*

*= berhubungan signifikan

Hasil analisis yang didapatkan

yaitu terdapat hubungan yang signifikan

antara item identity (-0,245) dan concern

(-0,238), tingkat pendidikan dengan item

Illness Representative (0,298), pekerjaan

berhubungan dengan consequences

(0,270), penghasilan dengan timeline

(0,323), dan riwayat keluarga berhubungan

signifikan dengan emotional

representative (-0,265). Sedangkan

karakteristik jenis kelamin tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan persepsi.

Terdapat hubungan yang negatif

antara usia dengan identy dan concern,

selain itu hubungan antara riwayat

keluarga dengan emotional representative

juga memiliki hubungan yang negatif.

Artinya semakin bertambahnya usia pasien

maka pasien akan semakin tidak

merasakan kekhawatiran akan penyakit

yang di rasakan dan semakin pasien tidak

Rata-rata ± SD

Item Brief Illness

Perception

Questionnaire (BIPQ)

(n=47)

Consequences Timeline

Control Personal

Treatment Control

Identity

Concern

Illness Comprehensibility

Emotional

Representations

5,70 ± 2,28 6,06 ± 2,92

3,68 ± 2,09

2,63 ± 1,99

4,78 ± 2,10

7,02 ± 3,00

5,23 ± 2,87

5,00 ± 2,66

Jumlah (%)

Penyebab Utama

Diabetes Mellitus

Gaya Hidup Emosional

Keturunan

Kelelahan Penyakit Lain

43(57,3) 12(16,0)

8(10,7)

5(6,7) 1(1,3)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

56

merasakan gejala penyakit yang

dideritanya. Hal ini dapat dikarenakan

pasien telah terbiasa dengan penyakit yang

dideritanya selama ini. Peneliti lain juga

menyatakan bahwa terdapat hubungan

antara usia dengan persepsi pasien. Pasien

yang lebih muda akan cenderung

menganggap penyakit yang diderita lebih

mengancam hal ini dapat dikarenakan

kurangnya pengalaman dalam menangani

penyakit (Norfazilah et al., 2013).

Sedangkan arti dari hubungan antara

riwayat keluarga pasien dengan emotional

representative menyatakan bahwa pasien

yang memiliki riwayat keluarga akan

memiliki gambaran emosional yang lebih

rendah dalam dirinya dikarenakan

kemungkinan pasien telah memiliki

wawasan terkait cara penanganan penyakit

yang dideritanya.

Sedangkan hubungan yang

didapatkan pada item tingkat pendidikan

dengan illness representative, pekerjaan

dengan consequences, dan penghasilan

dengan timeline memiliki jenis hubungan

yang positif artinya hubungan yang

didapatkan searah. Ketika pasien memiliki

tingkat pendidikan yang tinggi maka

semakin banyak pula wawasan tentang

penyakit yang dideritanya. Peneliti lain

menyatakan bahwa hubungan antara

pendidikan dengan persepsi pasien yang

memiliki tingkat pendidikan lebih rendah

cenderung akan memiliki kontrol penyakit

yang rendah (Norfazilan et al., 2013).

Sedangkan pasien yang memiliki

pekerjaan tetap atau jelas maka pandangan

pasien terkait rasa khawatir dalam

menjalani kehidupannya semakin tinggi

pula, hal ini dapat dikarenakan pasien akan

menganggap bahwa penyakitnya

mengganggu pekerjaannya dan akan

menurunkan kinerja saat melakukan

kegiatan. Terakhir yaitu hubungan antara

penghasilan dengan timeline menyatakan

bahwa semakin pasien memiliki

penghasilan yang tinggi maka pasien akan

mengganggap atau berpandangan bahwa

penyakit yang dideritanya akan semakin

lama. Sedangkan menurut Kim et al.

(2012) pasien dengan pendapatan yang

rendah akan memiliki persepsi penyakit

yang lebih mengancam terutama dalam

pengendalian diri.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Nilai gambaran karakteristik pasien

DM yaitu pasien dengan kelompok

usia 46-55 tahun (42,6%), pasien

dengan jenis kelamin perempuan

(59,6%), tingkat pendidikan terbanyak

SMA (48,9%), pasien tidak bekerja

(44,7%), penghasilan terbanyak yaitu

kelompok <Rp 1.500.000 (48,9%) dan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

57

pasien tidak memiliki riwayat keluarga

(63,8%).

2. Nilai gambaran persepsi yang

didapatkan, yaitu poin consequences

5,70±2,28, timeline 6,06±2,92,

personal control 3,68±2,09, treatment

control 2,63±1,99, identity 4,78±2,10,

concern 7,02±3,00, illness

comprehensibility 5,23±2,87, dan

emotional representations 5,00±2,66.

3. Terdapat hubungan yang signifikan

antara item identity (0,043) dan

concern (0,046), tingkat pendidikan

dengan item Illness Representative

(0,012), pekerjaan berhubungan

dengan consequences (0,023),

penghasilan dengan timeline (0,009),

dan riwayat keluarga berhubungan

signifikan dengan emotional

representative (0,039). Sedangkan

karakteristik jenis kelamin tidak

memiliki hubungan yang signifikan

dengan persepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Broadbent, E., L. Donkin & J. C. Stroh.

2011. Illness and Treatment

Perceptions are Asssociated with

Adherence to Medication, Diet, and

Exercise in Diabetic Patients.

Diabetes Care. 34:338-340.

Gard, P. R. 2000. A Behavioural Approach

to Pharmacy Practice. Blackwell

Science Ltd. UK.

Kim Y., I.S. Evangelista, & L.R. Philips.

2012. Racial/Ethnic Differences in

Illness Perceptions in Minority

Patients Undergoing Maintenance

Hemodyalysis. Nephrol Nurs J.

39(1):39-49.

Norfazilah A., A. Samuel, P.T. Law, A.

Ainaa, A. Nurul, M.H, Syahnaz, &

M.N. Azmawati. 2013. Illness

Perception among hypertensive

patients in primary care centre

UKMMC. Malays Fam Physician.

8(3):19-25

Tandra, Hans. 2008. Segala Sesuatu Yang

Harus Anda Ketahui Tentang

Diabetes. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Wilson, Price. 2002. Patofisiologi Konsep

Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi

4. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Youngmee K. & L.S. Evangellsta. 2010.

Relationship between Illness

Perceptions, Treatment Adherence,

and Clinical Outcome in Patients on

Maintenance Hemodialysis. Nephrol

Nurs J. 37(3):271-281.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

58

Review: Aktivitas Antihipertensi Tumbuhan Obat

dan Prediksi Mekanisme Kerjanya

Dyah Retno Widyastuti dan *Muhammad Ikhwan Rizki

Program Studi Farmasi FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Hipertensi merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang besar dan

menimbulkan kejadian komplikasi. Hipertensi diterapi dengan obat-obatan

antihipertensi yang secara umum memiliki beberapa efek samping. Sejak lama,

masyarakat Indonesia memanfaatkan bahan alam untuk mengobati berbagai penyakit

karena relatif lebih aman dan adanya efek sinergisme senyawa kimia dalam tumbuhan.

Artikel review ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah beberapa tumbuhan yang

berpotensi sebagai antihipertensi dan prediksi mekanisme kerjanya. Metode yang

digunakan yaitu dengan studi literatur berupa e-book, baik jurnal lokal maupun

internasional. Berdasarkan hasil review literatur, hipertensi dapat diatasi dengan

menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon aristatus (Blume) Miq.), daun pepaya

(Carica papaya L.), daun atau biji alpukat (Persea americana Mill.), daun seledri (Apium

graveolens L.), umbi bawang putih (Allium sativum L.), daun belimbing wuluh

(Averrhoa bilimbi L.), buah mengkudu (Morinda citrifolia L.), daun salam (Syzygium

polyanthum (Wight) Walp.), dan daun atau buah sirsak (Annona muricata L.). Prediksi

mekanisme antihipertensi tumbuhan tersebut dengan bekerja sebagai diuretik,

penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE), maupun vasodilator.

Kata Kunci: Angiotensin Converting Enzyme (ACE), antihipertensi, tumbuhan, diuretik,

vasodilator

ABSTRACT

Hypertension is a high prevalent cardiovascular disease and causes complications.

Hypertension can be treated by using antihypertensive medicines which have some side

effects. Natural products, especially plants, have been used by Indonesian society because

they are relatively safer due to synergism effect of the phytochemicals. This paper aimed to

review some potential antihypertensive plants and prediction of their mechanism action.

Review on this paper used e-books and journals, both locally and internationally

published. Based on this review, hypertension can be overcome by using some plants

including kumis kucing leaves (Ortosiphon aristatus (Blume) Miq.), papaya leaves (Carica

papaya L.), avocado leaves or seeds (Persea americana Mill.), celery leaves (Apium

graveolens L.), garlic corm (Allium sativum L.), bilimbi leaves (Averrhoa bilimbi L.), noni

fruit (Morinda citrifolia L.), bayleaf (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.), and soursop

leaves or fruits (Annona muricata L.). Prediction mechanism of these plants is by acting as

diuretic, Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor, or vasodilator.

Keywords: Angiotensin Converting Enzyme (ACE), antihypertensive, plants, diuretic,

vasodilator

\

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

59

I. PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan penyakit

kardiovaskular yang mampu menimbulkan

komplikasi (Irawati, 2015). Hipertensi,

dikenal sebagai tekanan darah tinggi,

adalah kondisi yang ditandai dengan

peningkatan tekanan darah sistolik sebesar

140 mmHg atau lebih serta tekanan darah

diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih

(Khan, 2006.; Lakshmi et al., 2011).

Penyakit ini dapat memicu komplikasi

meliputi infark miokard, gagal jantung,

aritmia, stroke (Khan, 2006), hipertropi

ventrikel kiri, retinopati (Faridah, 2014),

sindroma cushing’s (Joshi et al., 2013),

gagal ginjal kronis (Lakshmi et al., 2011;

Talha et al., 2011), dan kebutaan (Sari,

2015).

Berdasarkan etiologinya, hipertensi

dibedakan menjadi hipertensi primer dan

sekunder (Lakshmi et al., 2010). JNC 7

dalam Khan (2006) menggolongkan

hipertensi ke dalam tingkatan hipertensi

stadium 1 dan hipertensi stadium 2.

Penyakit hipertensi dikenal sebagai silent

killer karena penyakit ini sering kali

muncul tanpa menimbulkan gejala yang

spesifik (Sari, 2015). Namun, ada

beberapa gejala yang dapat dikaitkan

dengan penyakit ini. Margowati et al.

(2016) dan Joshi et al. (2013) menyatakan

bahwa pada umumnya, penderita

hipertensi mengeluhkan sakit kepala,

kelelahan, pandangan buram, tinitus,

epistaksis, jantung berdebar, terengah-

engah saat beraktivitas, dan sesak pada

dada.

Hipertensi saat ini menjadi

penyakit tidak menular yang banyak

diderita oleh berbagai kalangan

masyarakat (Margowati et al., 2016).

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada

tahun 2010 sebesar 30% dengan insiden

komplikasi lebih tinggi pada wanita

sebesar 52% dibandingkan pada pria

sebesar 48% (Mulyani et al., 2014). Angka

ini diperkirakan akan terus meningkat

hingga 60% pada tahun 2025 (Ashraf et

al., 2013). Tiga dari empat penderita

hipertensi berpeluang mengalami

komplikasi (Lakshmi et al., 2011). Hal ini

mengindikasikan bahwa penyakit

hipertensi tidak dapat dipandang sebelah

mata dan memerlukan pengobatan yang

tepat.

Pengobatan hipertensi dapat

dilakukan baik secara konvensional

maupun dengan memanfaatkan bahan

alam. Golongan obat antihipertensi yang

sering digunakan untuk menurunkan

tekanan darah antara lain diuretik,

penghambat β-adrenergik, penghambat

enzim ACE dan reseptor AT, antagonis

kalsium, dan penghambat α-adrenergik

(Khan, 2006). Konsumsi obat

antihipertensi dapat menimbulkan efek

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

60

samping berupa gatal, kemerahan, batuk,

dehidrasi, pusing, aritmia, dan kram otot

(Iswantini et al., 2015; Joshi et al., 2013).

Efek samping tersebut memicu masyarakat

memanfaatkan bahan alam seperti tumbuh-

tumbuhan untuk membuat tekanan darah

kembali normal. Selain itu, bahan alam

dinilai lebih murah dibandingkan dengan

obat konvensional. Adanya efek

sinergisme antar senyawa metabolit

sekunder menyebabkan timbulnya efek

farmakologi. Senyawa metabolit sekunder

juga memiliki aktivitas polivalen, sehingga

memungkinkan mengatasi berbagai

penyakit (Bone & Mills, 2013).

Antihipertensi yang terkandung dalam

tumbuhan dapat bekerja antara lain sebagai

diuresis, vasodilator, atau mempengaruhi

kerja jantung (Mulyani et al., 2014).

Penulisan artikel ini bertujuan untuk

mengkaji secara ilmiah beberapa

tumbuhan yang berkhasiat sebagai

antihipertensi dan prediksi mekanisme

kerjanya agar dapat dimanfaatkan lebih

lanjut untuk mengatasi hipertensi.

II. METODE

Metode yang digunakan pada

artikel review ini yaitu dengan studi

literatur berupa e-book dan jurnal. E-book

maupun jurnal yang digunakan telah

dipublikasi secara lokal maupun

internasional. Keduanya diperoleh melalui

penyedia jurnal di internet.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus

(Blume) Miq.)

Kumis kucing, terutama bagian

daunnya, secara tradisional digunakan

untuk mengobati hipertensi (Jaiswal et al.,

2012). Orthosiphon aristatus (Blume)

Miq. dikenal pula sebagai Orthosiphon

stamineus Benth, tergolong famili

Lamiaceae (Adnyana et al., 2013;

Manshor et al., 2013). Daun kumis kucing

berwarna hijau, berupa daun tunggal

bertangkai, berbentuk bulat telur, dan

berukuran panjang 4-12 cm dan lebar 5-8

cm (Kartasapoetra, 2004). Senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dalam

daun kumis kucing antara lain alkaloid,

saponin, flavonoid, polifenol (Iswantini et

al., 2015; Singh et al., 2015), asam

organik (Pattamadilok et al., 2003), dan

diterpene (Ohashi et al., 2000). Senyawa

flavonoid yang terkandung dalam daun

kumis kucing antara lain kuersetin,

eupatorin, sinensetin, salvigenin, dan

tetramethylscuttellarein (Iswantini et al.,

2015; Pattamadilok et al., 2003). Senyawa

bioaktif yang berkhasiat antihipertensi

adalah flavonoid (Iswantini et al., 2015).

Berikut gambar 1 daun kumis kucing.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

61

Gambar 1. Daun kumis kucing (BPOM

RI, 2008)

Ekstrak air daun kumis kucing

terbukti mampu menurunkan tekanan

darah. Senyawa methyripariochromene A

diprediksikan memiliki aksi diuretik

sehingga mampu menurunkan tahanan

perifer dan output kardiak. Pemberian oral

ekstrak air daun kumis kucing mampu

meningkatkan ekskresi elektrolit melalui

urin 2-3 kali dari frekuensi urinasi normal

(Singh et al., 2015). Pemberian ekstrak air

daun kumis kucing dengan konsentrasi 50

ppm juga mampu menurunkan tekanan

darah dengan mekanisme sebagai

penghambat Angiotensin Converting

Enzyme (ACE) dengan potensi inhibisi

sebesar 69,20%. Senyawa bioaktif yang

bertanggung jawab sebagai penghambat

ACE adalah flavonoid, terutama kuersetin

yang dapat diidentifikasi di dalamnya

(Iswantini et al., 2015). Penelitian

Manshor et al. (2013) juga membuktikan

bahwa daun kumis kucing dapat bertindak

sebagai vasorelaksan dengan cara

menurunkan konsentrasi intraselular ion

kalsium sehingga dapat menurunkan

tekanan darah.

Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya (Carica papaya L.),

tergolong famili Cariaceae, telah dikenal

memiliki banyak manfaat baik secara

ekonomis maupun farmakologis (Maisarah

et al., 2014; Ravikant et al., 2012). Pepaya

bermanfaat antara lain sebagai laksatif,

analgesik, antibakteri, amubisida, dan

kardiotonik. Pepaya, terutama bagian

daunnya, secara empiris digunakan sebagai

agen antihipertensi (Asaolu et al., 2010).

Ciri morfologis daun pepaya antara lain

berupa daun berukuran besar dengan

diameter 50-70 cm, berwarna hijau tua,

berlekuk, dan memiliki tulang daun

menjari (Kalayasari et al., 2014). Daun

pepaya mengandung berbagai senyawa

kimia seperti saponin, tanin, glikosida

jantung, alkaloid (Kalayasari et al., 2014;

Maisarah et al., 2014), flavonoid, fenolik,

antrakuinon, triterpene, asam amino, dan

mineral (Ergardir et al., 2014; Asaolu et

al., 2010). Senyawa alkaloid yang terdapat

dalam daun pepaya antara lain carpaine,

pseudocarpaine, dan dehydrocarpain I dan

II (Kalayasari, 2014; Ergardir et al., 2014).

Brasil et al. (2014) mengidentifikasi

senyawa flavonoid berupa kuersetin,

kaempferol, rutin, maghaslin, clitorin, dan

nicotiflorin dalam ekstrak metanol daun

pepaya. Gambar 2 menunjukkan gambaran

morfologis daun pepaya dalam keadaan

segar.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

62

Gambar 2. Daun pepaya (Pangtey,

2016)

Daun pepaya sebagai antihipertensi

diprediksikan bekerja sebagai agen

diuretik karena adanya kalium. Ekstrak air

daun pepaya yang diberikan terhadap tikus

Sprague-Dawley jantan dewasa dengan

dosis 10 mg/kg mampu menurunkan

tekanan darah seperti pada aktivitas

hydrochlorthiazide (Kalayasari et al.,

2014). Penelitian Ravikant et al. (2012)

membuktikan bahwa pemberian ekstrak

etanol daun pepaya dapat menurunkan

tekanan darah secara signifikan melalui

pengaruh pada sistem renin-angiotensin-

aldosteron, khususnya dengan

menghambat aktivitas ACE. Brasil et al.

(2014) juga mengungkapkan ekstrak

metanol daun pepaya secara in vitro

bekerja sebagai penghambat ACE.

Senyawa yang bertanggung jawab

terhadap penghambatan ACE adalah

senyawa golongan flavonoid seperti yang

telah dipaparkan sebelumnya.

Alpukat (Persea americana Mill.)

Persea americana termasuk dalam

famili Lauraceae dan secara umum dikenal

dengan nama alpukat (Anaka et al., 2009).

Tumbuhan ini memiliki banyak manfaat

baik sebagai pelengkap nutrisi maupun

sebagai obat bahan alam (Grace et al.,

2015). Alpukat saat ini muncul sebagai

pilihan masyarakat untuk mengatasi

hipertensi dengan memanfaatkan bagian

daun atau bijinya (Anaka et al., 2009;

Ilozue et al., 2014). Daun alpukat berupa

daun tunggal, simetris, dan bertangkai

(Rukmana, 1997). Daun berbentuk ovalis

memanjang, tebal, pangkal dan ujung

meruncing dengan tepi rata, pertulangan

daun menyirip dengan panjang 10-20 cm

dan lebar 3-10 cm. Warna kemerahan

menunjukkan daun alpukat masih muda,

sedangkan daun tua berwarna hijau (Grace

et al., 2015). Senyawa kimia yang

terkandung dalam daun alpukat meliputi

terpenoid, flavonoid, tanin katekat, kuinon,

saponin, steroid, alkaloid, mineral (Irawati,

2015), acetogenin alifatik, dan kumarin

(Ragasa et al., 2014). Biji alpukat

berbentuk bulat seperti bola dengan

diameter 2,5-5 cm dan keping biji

berwarna putih kemerahan (BPOM, 2008).

Hasil skrining fitokimia Grace et al.

(2015) dan Ilozue et al. (2014)

membuktikan bahwa ekstrak metanol biji

alpukat mengandung alkaloid, terpenoid,

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

63

flavonoid, saponin, dan glikosida jantung.

Selain itu, penelitian Anaka et al. (2009)

menunjukkan bahwa biji alpukat juga

mengandung tanin. Biji dan daun alpukat

ditunjukkan pada gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3. (a) Biji alpukat serta (b) daun

alpukat (BPOM RI, 2008)

Aktivitas antihipertensi daun

alpukat dipengaruhi oleh senyawa kimia

pada daun alpukat. Senyawa kimia yang

diperkirakan berperan aktif dalam

mekanisme antihipertensi antara lain

flavonoid, saponin, dan alkaloid.

Flavonoid akan mempengaruhi kerja ACE

dimana ACE dihambat sehingga

pengubahan angiotensin I menjadi

angiotensin II terinhibisi. Hal ini

menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi

penurunan resistensi perifer dan juga

tekanan darah (Irawati, 2015; ragasa et al.,

2014). Mekanisme yang terlibat dalam

aktivitas hipotensif ekstrak air biji alpukat

ialah melalui efek vasorelaksan yang

ditimbulkan oleh tanin. Tanin adalah

senyawa polifenol yang diprediksikan

mampu menurunkan masuknya ion

kalsium sehingga tekanan darah dapat

diturunkan (Anaka et al., 2009). Penelitian

Rinayanti et al. (2013) membuktikan

bahwa biji alpukat memiliki efek inhibisi

pada ACE dengan nilai IC50 sebesar 1043

µg/ml pada ekstrak etanol, 476 µg/ml pada

ekstrak etil asetat, dan 500 µg/ml dalam

ekstrak metanol.

Seledri (Apium graveolens L.)

Seledri, Apium graveolens L.

adalah tumbuhan dari famili Apiaceae

yang dimanfaatkan baik sebagai obat

maupun bahan pangan (Brancovic et al.,

2010; Asif et al., 2011). Bagian seledri

yang berkhasiat sebagai antihipertensi

adalah daunnya (Fitria & Saputra, 2016).

Adapun ciri morfologi daun seledri antara

lain berupa daun majemuk, anak daun

berjumlah 3-7 helai, berwarna hijau

keputih-putihan sampai hijau dengan

ukuran panjang 2-7,5 cm, lebar 2-5 cm,

dan tangkai 1-2,7 cm (Alam & Teguh,

2015). Kandungan kimia yang ada pada

daun seledri secara umum yaitu saponin,

flavonoid, polifenol (Alam & Teguh,

2015), isoimperatorin, isokuersetin, asam

linoleat, magnesium (Asif et al., 2011),

apigenin, luteolin (Brancovic et al., 2010),

tanin, fitosterol, phtalides terutama 3-n-

butylphtalide, dan kalium (Fitria &

Saputra, 2016; Moghadam et al., 2013).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

64

Gambar 4 menunjukkan morfologi daun

seledri.

Gambar 4. Daun seledri (Alam & Teguh,

2006).

Penelitian Moghadam et al. (2013)

membuktikan bahwa pemberian ekstrak n-

heksan, metanol, dan etanol daun seledri

dengan dosis 300 mg/kg mampu

menurunkan tekanan darah tikus yang

diinduksi hipertensi secara signifikan

tanpa berpengaruh pada tekanan darah dan

denyut jantung tikus bertekanan darah

normal. Hal ini sejalan dengan penelitian

Brancovic et al. (2010) dengan hasil

pemberian ekstrak air maupun etanol daun

seledri mampu menyebabkan penurunan

tekanan darah pada kelinci. Mekanisme

kerja antihipertensi daun seledri

diprediksikan timbul karena adanya

konstituen kimia berupa senyawa

flavonoid apigenin dan kuersetin di mana

kedua senyawa ini bertindak sebagai

vasodilator (Fitria & Saputra, 2016;

Brancovic et al., 2010). Senyawa 3-n-

butylphtalide bertindak sebagai diuretik

maupun vasodilator (Madhavi et al.,

2013), sedangkan senyawa kalium

berperan sebagai diuretik (Fitria &

Saputra, 2016).

Bawang Putih (Allium sativum L.)

Bawang putih (Allium sativum L.)

adalah tanaman dalam famili Alliaceae

yang umbinya telah dikenal luas sebagai

bumbu masakan dan juga sebagai obat

berbagai penyakit, termasuk hipertensi

(Londhe et al., 2012). Ciri morfologis

tumbuhan ini yaitu tumbuh secara

berumpun dan berdiri tegak sampai

setinggi 30-75 cm, memiliki batang semu.

Helai daun mirip pita, pipih dan

memanjang. Akar bawang putih terdiri

dari serabut kecil yang berjumlah banyak

(Thomas, 1989). Menurut Londhe et al.

(2012), bawang putih mengandung

setidaknya 33 senyawa sulfur, enzim,

assam amino, dan mineral seperti

selenium. Penelitian Pavni et al., 2011

membuktikan senyawa terpenoid dan

glikosida ada pada umbi lapis bawang

putih. Selain itu, terdapat senyawa kimia

lain seperti saponin, flavonoid, polifenol,

dan minyak atsiri (Alam & Teguh, 2015).

Komponen bioaktif khas yang ada pada

bawang putih adalah senyawa allicin

(Rizwan et al., 2013; Pavni et al., 2011).

Berikut gambar umbi lapis bawang putih.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

65

Gambar 5. Umbi lapis bawang putih

(Alam & Teguh, 2006)

Aktivitas penurunan tekanan darah

oleh umbi lapis bawang putih dikaitkan

dengan produksi hidrogen sulfida dan

adanya senyawa allicin yang menghambat

pembentukan angiotensin II dan

menimbulkan efek vasodilator (Londhe et

al., 2012). Senyawa allicin juga mampu

melindungi dan mengembalikan elastisitas

pembuluh darah arteri, menghambat ACE

yang mengakibatkan terjadinya penurunan

produksi angiotensin II (zat pemicu retensi

natrium dan air serta vasokonstriksi)

sehingga tekanan darah dapat diturunkan

(Madhura, 2015). Penggunaan umbi

bawang putih sebanyak 600-900 mg per

hari (1,8-2,7 g/hari bawang segar) selama

4 minggu mampu menurunkan tekanan

darah secara signifikan menurut Fatenah &

Akhondzadeh, 2002). Allicin juga mampu

meningkatkan sintesis nitrit oksida yang

mampu memicu relaksasi otot polos

(Rizwan et al., 2013).

Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

Belimbing wuluh, sering dikenal

masyarakat sebagai belimbing tunjuk atau

belimbing asam, tergolong famili

Oxalidaceae (Hernani et al., 2009). Bagian

daun dari tumbuhan ini dapat

dimanfaatkan sebagai antihipertensi.

Adapun ciri makroskopik daun belimbing

wuluh yaitu berupa daun majemuk

menyirip gasal (imparipinnate) dengan

panjang 30 hingga 60 cm dan jumlah helai

daun sebanyak 11-37 helai. Daun

belimbing wuluh berwarna hijau sedang

dengan warna yang lebih pucat pada

permukaan bawah daun dengan ukuran

panjang 2-10 cm dan lebar 1,21-25 cm

(Roy et al., 2011; Pasagi et al., 2014).

Kandungan senyawa yang ada pada daun

belimbing wuluh antara lain senyawa

diterpen terutama phytol (Hidayati et al.,

2010), flavonoid tipe luteoin dan apigenin,

dietil phtalat (Hernani et al., 2009),

saponin, triterpenoid, tanin, sulfur, dan

kalium (Roy et al., 2011; Mulyani et al.,

2014). Gambar 6 menunjukkan daun

belimbing wuluh.

Gambar 6. Daun belimbing wuluh (Love

& Paul, 2011)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

66

Penelitian membuktikan bahwa

ekstrak daun belimbing wuluh memiliki

efek diuresis pada dosis 52,517

mg/100gBB dan 105,034 mg/100gBB

pada tikus putih jantan. Efek diuresis ini

dikarenakan kandungan kalium pada daun

belimbing wuluh dapat mempengaruhi

ekskresi urin. Kalium mampu bekerja

sebagai diuretik untuk meningkatkan

pengeluaran natrium serta berperan dalam

menurunkan retensi natrium melalui

peningkatan jumlah urin yang mekanisme

kerjanya pada ginjal (Mulyani et al., 2014;

Harjanti & Parmadi, 2014). Menurut

Hernani et al. (2009), senyawa phytol

sebagai suatu diterpen asiklik

kemungkinan memberikan efek hipotensif

pada dosis 33 mg/kgBB secara pada

kucing. Senyawa phytol bekerja sebagai

agen diuretik dengan menurunkan kadar

natrium dalam ruang interstisial dan di

dalam sel otot polos pembuluh darah

sehingga penurunan tekanan darah dapat

terjadi (Hidayati et al., 2010; Harjanti &

Parmadi, 2014).

Mengkudu (Morinda citrifolia L.)

Mengkudu (Morinda citrifolia L.),

tergolong dalam famili Rubiaceae, dikenal

memiliki berbagai manfaat dalam dunia

medis terutama untuk bagian buahnya

(Sari, 2015). Buah mengkudu berbentuk

bulat lonjong dengan diameter 7,5-10 cm

dengan permukaan terbagi dalam sel-sel

poligonal berbintik. Buah mengkudu

beraroma seperti keju busuk karena

kandungan asam kaprik dan asam kaproat

(Sari, 2015; Hidayat et al., 2004). Zat aktif

yang terkandung dalam buah mengkudu

antara lain scopoletin, octoanoic acid,

kalium, vitamin C, alkaloid, antrakuinon,

b-sitosterol, asam linoleat, alizarin, asam

amino, acubin, L-asperuloside, asam

kaproat (Sari, 2015), fenol, antrakuinon,

glikosida, flavonoid, triterpenoid, dan

sterol (Singh, 2012). Gambar 7

menunjukkan gambar buah mengkudu

yang dilansir dari BPOM RI (2008).

Gambar 7. Buah mengkudu (BPOM RI,

2008)

Aktivitas antihipertensi buah

mengkudu telah dibuktikan oleh penelitian

Suidah (2011) dan Sitepu (2015). Buah

mengkudu dapat menurunkan tekanan

darah dengan menghambat enzim ACE

(Singh, 2012). Selain itu, zat aktif berupa

scopoletin dan xeronin dapat menurunkan

tekanan darah yang mana kedua zat ini

mampu menurunkan resistensi perifer

(Sari, 2015; Hidayat et al., 2004).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

67

Senyawa scopoletin juga dapat berfungsi

sebagai vasodilator (Sitepu, 2015).

Salam (Syzygium polyanthum (Wight)

Walp.)

Salam memiliki nama ilmiah

Syzygium polyanthum (Wight) Walp.

dengan sinonim Eugenia polyantha Wight,

suku Myrtaceae (Ismail et al., 2016; Azlini

et al., 2011). Daun salam telah dikenal

masyarakat luas sebagai bumbu masakan

yang juga memiliki khasiat sebagai

antihipertensi (Margowati et al., 2016).

Ciri-ciri morfologis daun salam meliputi

berbau aromatik lemah dengan rasa kelat.

Helai daun berbentuk jorong memanjang,

dengan pangkal dan ujung daun yang

meruncing. Daun berwarna hijau

kecoklatan sampai coklat, ukuran panjang

sekitar 7-15 cm, lebar sekitar 5-10 cm

(Kartasapoetra, 2004). Berdasarkan

penelitian Liliwirianis et al. (2011), daun

salam mengandung alkaloid, saponin,

steroid, fenolik, dan flavonoid. Daun

salam juga mengandung tanin dan

terpenoid (Ismail et al., 2016; Azlini et al.,

2011). Kandungan minyak atsiri dalam

daun salam juga telah banyak diteliti

bahwa daun salam mengandung eugenol,

cis-4-decenal, α-pinene, farnesol, β-

ocimene, dan nonanal (Ismail et al., 2016).

Gambar di bawah ini menunjukkan daun

salam dalam kondisi segar.

Gambar 8. Daun salam (Rizki &

Hariandja, 2015)

Terpenoid, senyawa fenolik, tanin,

dan flavonoid terutama eugenol dan

terpenoid telah dibuktikan secara in vitro

maupun in vivo mampu menurunkan

tekanan darah dengan bertindak sebagai

vasorelaksan (Azlini et al., 2011; Ismail et

al., 2016). Daun salam diprediksikan

bekerja secara langsung pada pembuluh

darah dengan aksi ringan sebagai diuretik

(Margowati et al., 2016; Azlini et al.,

2011). Penelitian Ahmad et al. (2013)

membuktikan bahwa mekanisme

hipotensif daun salam diperoleh melalui

pelepasan nitrit oksida dari sel-sel endotel

yang akan memicu vasodilatasi pembuluh

darah.

Sirsak (Annona muricata L.)

Sirsak dengan nama ilmiah Annona

muricata L., tegolong famili Annonaceae,

merupakan tumbuhan yang dikenal

memiliki beragam khasiat farmakologis.

Tumbuhan ini juga dikenal sebagai nangka

belanda (Kurniasih et al., 2015). Salah satu

bagian tumbuhan sirsak yang berkhasiat

obat adalah daunnya. Morfologi daun

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

68

sirsak adalah berbentuk bulat dan panjang,

dengan bentuk daun menyirip dan ujung

meruncing, permukaan daun mengkilap,

berwarna hijau muda hingga hijau tua

(Sunarjono, 2005). Daun sirsak

mengandung senyawa golongan alkaloid

seperti retikulin, koreksimin, koklarin,

anomurin, anomuricin E, anomuricin C,

muricapentocin, acetogenin, annocatacin,

annocatalin, annohexocin, annonacin, dan

annanol, serta senyawa minyak atsiri

seperti β-kariopilin (Nwokocha, 2012;

Kurniasih et al., 2015). Menurut Hubert et

al. (2010), daun sirsak juga mengandung

flavonoid, vitamin C, dan kalium.

Selain daun, buah sirsak juga

banyak memiliki manfaat seperti sebagai

antikanker, antikonvulsan, antimalaria, dan

antihipertensi (Patel, 2016). Buah sirsak

adalah buah dengan bentuk hati berwarna

hijau. Diameter buah bervariasi mulai 15

hingga 20 cm. Satu buah sirsak dapat

mengandung 5 sampai 200 biji (Patel,

2016; Sunarjono, 2005). Kandungan

senyawa kimia pada buah sirsak antara

lain alkaloid, fenolik, minyak atsiri

(Adefegha et al., 2015), senyawa

asetogenin, dan beberapa mineral seperti

K, Ca, Na, Cu, Fe, dan Mg (Patel, 2016).

Gambar 9 menunjukkan profil tumbuhan

Annona muricata L.

Gambar 9. (a) Pohon sirsak dan profil

(b) daun, (c) bunga, dan (d)

buah sirsak (Moghadamtousi

et al., 2015)

Pemberian ekstrak air daun sirsak

dengan dosis 917-48,5 mg/kg terbukti

dapat menurunkan tekanan darah baik

sistolik maupun diastolik tanpa

mempengaruhi denyut jantung secara

signifikan (Nwokocha, 2012; Patel, 2016).

Prediksi mekanisme yang mungkin bagi

efek antihipertensi daun sirsak adalah

sebagai antagonis kalsium dengan alkaloid

anomurin bertindak sebagai senyawa

bioaktif (Nwokocha, 2012). Penelitian

Hubert et al. (2010) membuktikan bahwa

efek antihipertensi daun sirsak ditimbulkan

oleh senyawa flavonoid dan kalium.

Flavonoid diprediksikan mampu bertindak

sebagai penghambar ACE sehingga

pelepasan hormon aldosteron dapat

dihambat. Hal ini mengakibatkan lebih

banyak NaCl dikeluarkan dari dalam tubuh

sehingga tekanan darah menurun.

Flavonoid juga mampu memodulasi

pelepasan nitric oxide sebagai vasodilator.

Selain itu, kalium juga memiliki efek

vasodilatasi sehingga sinergisme efek zat

kimia dalam daun sirsak dapat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

69

menurunkan tekanan darah (Mans et al.,

2010; Hubert et al., 2010).

Aktivitas antihipertensi buah sirsak

tidak berbeda jauh dengan daunnya.

Adefagha et al. (2015) membuktikan

bahwa ekstrak air buah sirsak memiliki

aktivitas inhibisi ACE dengan EC50

sebesar 0,14±0,02 mg/mL. Penghambatan

enzim ACE oleh ekstrak buah sirsak

diprediksikan karena adanya senyawa

fenolik. Senyawa ini menunjukkan

hubungan struktur dan aktivitas pada

penghambatan ACE dengan mengkelat ion

seng pada sisi aktif enzim.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari review ini adalah hipertensi dapat

diatasi dengan beberapa tumbuhan yaitu

daun kumis kucing (Ortosiphon aristatus

(Blume) Miq.), daun pepaya (Carica

papaya L.), daun atau biji alpukat (Persea

americana Mill.), daun seledri (Apium

graveolens L.), umbi bawang putih (Allium

sativum L.), daun belimbing wuluh

(Averrhoa bilimbi L.), buah mengkudu

(Morinda citrifolia L.), daun salam

(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.),

dan daun atau buah sirsak (Annona

muricata L.). Mekanisme antihipertensi

tumbuhan ini yaitu dengan bekerja sebagai

agen diuretik, penghambat Angiotensin

Converting Enzyme (ACE), maupun

sebagai vasodilator.

DAFTAR PUSTAKA

Adefagha, S.A., S.I. Oyeleye, & G. Oboh.

2015. Distribution of Phenolic

Contents, Antidiabetic Potentials,

Antihypertensive Properties, and

Antioxidative Effects of Soursop

(Annona muricata L.) Fruit Parts In

Vitro. Journal of Biochemistry

Research International. 2015: 1-8.

Adnyana, I.K. F. Setiawan, M. Insanu.

2013. From Ethnopharmacology to

Clinical Study of Orthosiphon

stamineus Benth. Internaational

Journal of Pharmacy and

Pharmaceutical Sciences. 5(3): 66-

73.

Ahmad, W.A.N.W. & A. Ismail. 2013.

Nitric Oxide Involvement in

Hypotensive Effect of Syzygium

polyanthum Wight. Walp. Var.

Polyanthum Leaves. Journal of

Medical Sciences. 1(2): 1-4.

Alam & Teguh. 2016. Tumbuhan Herbal

Berkhasiat. Asosiasi Herbalis

Nusantara, Jakarta.

Anaka, O.N., R.I. Ozolua, & S.O. Okpo.

2009. Effect of aqueous seed extract

of Persea americana mill

(Lauraceae) on the blood pressure of

sprague-dawley rats. African Journal

of Pharmacy and Phharmacology.

3(10): 485-490.

Asaolu, M.F., S.S. Asaolu, & I.G.

Adanlawo. 2010. Evaluation of

Phytochemicals and Antioxidants of

Four Botanicals with

Antihypertensive Properties.

International Journal of Pharma &

Bio Sciences. 1(2): 1-8.

Asaolu, M.F., S.S. Asaolu, I.G. Adanlawo,

B.T. Aluko, A. Smith, Y. Rufina,

Ibitoye, Yemisi, & A. Michael. 2010.

Comparative Chemical

Compositions of the Leaves of Some

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

70

Selected Antihypertensive Medicinal

Plants in Nigeria. Journal of

Scholars Research Library. 2(2): 11-

15.

Ashraf, R., R.A. Khan, I. Ashraf, & A.A.

Qureshi. 2013. Effects of Allium

sativum (Garlic) on Systolic and

Diastolic Blood Pressure in Patients

with Essential Hypertension. J.

Pharm. Sci. 26(5): 859-865.

Asif, H.M., M. Akram, K. Usmanghani, N.

Akhtar, P.A. Shah, M. Uzair, M.

Ramzan, S.M.A. Shah, & R.

Rehman. 2011. Monograph of

Apium graveolens Linn. Journal of

Medicinal Plants Research. 5(8):

1494-1496.

Azlini, I., S.S. Amrah, M. Mohamed, &

S.S.J. Mohsin. 2011. Hypotensive

Effects of Aqueous Extract of

Eugenia polyantha Leaves are Partly

Mediated via Cholinergic Receptor.

Journal of Universiti Sains

Malaysia. 2(3): 20-28.

Bone, K. & S. Mills. 2013. Principles and

Practice of Phytotherapy. Second

Edition. Churchill Livingstone

Elsevier, New York.

BPOM RI. 2008. Taksonomi. Badan

Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia, Jakarta.

Brancovic, S., D. Kitic, M. Radenkovic, S.

Velijkovic, M. Kostic, B.

Miladinovic, & D. Pavlovic. Acta

Medica Medianae. 49(1): 13-15.

Brasil, G.A., S.N. Ronchi, A.M.

Nascimento, E.M. Lima, W. Romao,

H.B. Costa, R. Scherer, J.A. ra, D.

Lenz, N.S. Bissoli, D.C. Endringer,

& T.U. Andrade. 2014.

Antihypertensive Effect of Carica

papaya Via Reduction in ACE

Activity and Improved Baroreflex.

Journal of Planta Med. 80: 1580-

1587.

Elgadir, M., M. Salama, & A. Adam. 2014.

Carica papaya as A Source of

Natural Medicine and Its Utilization

in Selected Pharmaceutical

Applications. International Journal

of Pharmacy and Pharmaceutical

Sciences. 6(1): 880-884.

Faridah, V.N. 2014. Rebusan Daun

Alpukat (Persea americana Mill)

Dapat Menurunkan Tekanan Darah

Sistole dan Diastole pada Penderita

Hipertensi Usia 45-59 Tahun di Desa

Turi Kec. Turi Lamongan. Surya.

1(17): 67-74.

Fatenah, S.B. & A. Akhondzadeh. 2008.

Cardiovascular Effects of Allium

Sativum (Garlic): An Evidence-

based Review. The Journal of

Theran University Heart Center.

1(2008): 5-10.

Fitria, T. & O. Saputra. 2016. Khasiat

Daun Seledri (Apium graveolens)

terhadap Tekanan Darah Ttinggi

pada Pasien Hiperkolesterolemia.

Majority. 5(2): 120-127.

Harjanti, R. & A. Parmadi. 2014. Elixir of

Extract Leaf Belimbing Wuluh

(Averrhoa Bilimbi L.) as Anti

Hypertension with Method of

Maserasi. Indonesian Journal on

Medical Science. 1(1): 27-31.

Hernani, C. Winarti, & T. Marwati. 2009.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun

Belimbing Wuluh Terhadap

Penurunan Tekanan Darah pada

Hewan Uji. J. Pascapanen. 6(1): 54-

61.

Hidayat, T., E.S. Wahyuni, & S.S.

Karyono. 2004. Pengaruh Kestrak

Buah Mengkudu (Morinda citrifolia)

terhadap Aorta Terpisah Marmut

(Cavia porcellus) Tanpa Endotel.

Jurnal Kedokteran Brawijaya. 1(1):

1-6.

Hidayati, D.N., Y. Anas, & S. Nurikha.

2012. Peningkatan Efek

Antihipertensi Kaptopril Oleh

Ekstrak Etanol Daun Belimbing

Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada

Tikus Hipertensi yang Diinduksi

Monosodium Glutamat. Farmasi

Wahid Hasyim. 1: 33-42.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

71

Hubert, H.P., D. Pinandjojo, & F. Tih.

2012. Pengaruh Teh Daun Sirsak

(Annona muricata Linn.) terhadap

Penurunan Tekanan Darah Normal

pada Laki-laki Dewasa Muda.

Universitas Kristen Maranatha. 1: 1-

6.

Irawati, N.A.V. 2015. Antihypertensive

Effects of Avocado Leaf Extract

(Persea americana Mill). J. Majority.

4(1): 44-50.

Ismail, A., M. Mohamed, S.A. Sulaiman,

& W.A.N.W. Ahmad. 2013.

Autonomic Nervous System

Mediates the Hypotensive Effects of

Aqueous and Residual Methanolic

Extract of Syzygium polyanthum

(Wight) Walp. var. polyanthum

Leaves in Anaesthetized Rats.

Evidance-Based Complementary and

Alternative Medicine. 1: 1-18.

Iswantini, D., M. Rahminiwati, H.N.

Rohsela, & L.K. Darusman. 2015. In

Vitro Inhibition of Water Extract of

Kumis Kucing and Tempuyung

Towards Angiotensin Converting

Enzyme Activity. International

Journal of Advances in Science

Engineering and Technology. 5(12):

109-114.

Jaiswal, N., S. Singh, & G. Verma. 2012.

Ethnobotany and Diuretics Activity

of Some Selected Medicinal Plants.

The Journal of Phytopharmacology.

1(2): 21-33.

Joshi, U.H., T.H. Ganatra, P.N. Bhalodiya,

T.R. Desai, & P.R. Tirgar. 2012.

Comparative Review on Harmless

Herbs with Allopathic Remedies as

Anti-Hypertensive. Research

Journal of Pharmaceutical,

Biological, and Chemical. 3(2): 673-

689.

Kalaiyarasi, L. & S.D. Mubeen. 2014. In

Vitro Study of Thrombolytic

Activity by Using Aqueous

Preparation of Different Parts of

Carica papaya Plant Extract. IOSR-

JPBS. 9(3): 34-39.

Kartasapoetra, G. 2004. Budidaya

Tanaman Berkhasiat Obat. Rineka

Cipta, Jakarta.

Khan, M.G. 2006. Encyclopedia of Heart

Diseases. Elsevier, Amsterdam.

Kurniasih, N., M. Kusmiyati, Nurhasanah,

R.P. Sari, & R. Wafdan. 2015.

Potensi Daun Sirsak (Annona

muricata Linn.), Daun Binahong

(Andredera cordifolia (Ten)

Steenis), dan Daun Benalu Mangga

(Dendropthoe pentandra) sebagai

Antioksidan Pencegah Kanker.

Politeknik Kesehatan Bandung. 9(1):

162-184.

Lakshmi, T., A. Roy, K. Durgha, & V.

Manjusha. 2011. Coping with

Hypertension Using Safer Herbal

Medicine – A Therapeutic Review.

International Journal of Drug

Development & Research. 3(3): 31-

59.

Liliwirianis, N., N.L.W. Musa, W.Z.W. M.

Zain, J. Kassim, & S.A. Karim. 2011.

Preliminary Studies on

Phytochemical Screening of Ulam

and Fruit from Malaysia. E- Journal

of Chemistry 8 (S1).

Londhe, V.P., A.T. Gavasane, S.S. Nipate,

D.D. Bandawane, & P.D. Chaudhari.

2012. Role of Garlic (Allium

sativum) in Various Diseases.

Journal of Pharmaceutical Research

and Opinion. 1(4): 129-134.

Love, K. & R.E. Paul. 2011. Bilimbi.

Fruits and Nuts. 1(1): 1-6.

Madhavi, D., D. Kagan, V. Rao, & M.T.

Murray. 2013. A Pilot Study to

Evaluate the Antihypertensive Effect

of a Celery Extract in Mild to

Moderate Hypertensive Patients.

Natural Medicine Journal. 4(4): 1-4.

Madhura, T.K. 2015. Miracle of Allicin.

Global Journal of Medical Research.

15(5): 10-16.

Maisarah, A.M., R. Asmah, & O. Fauziah.

2014. Proximate Analysis,

Antioxidant and Antiproliferative

Activities of Different Parts of

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

72

Carica papaya. Journal of Nutrition

and Food Sciences. 4(2): 2-8.

Mans, D.R.A., S.C.E.H. Sallevelt, R.

Soekhoe, R. Bipat, & J.R. Toelsi.

2010. Evaluation of Plants with

Presumed Antihypertensive

Properties for Their Potential to

decrease Peripheral Resistance

Using Isolated Guinea Pig Aorta

Rings Pre-contracted with

Phenylephrine. Academic Journal of

Suriname. 1: 15-19.

Manshor, N.M., A. Dewa, M.Z. Asmawi,

Z. Ismail, N. Razali, & Z. Hassan.

2013. Vascular Reactivity

Concerning Orthosiphon stamineus

Benth-Mediated Antihypertensive in

Aortic Rings of Spontaneously

Hypertensive Rats. International

Journal of Vascular Medicine. 1(1):

1-9.

Margowati, S., S. Priyanto, & M.

Wiharyani. 2016. Efektivitas

Pengunaan Rebusan Daun Alpukat

dengan Rebusan Daun Salam dalam

Penurunan Tekanan Darah pada

Lansia. Univerity Research

Colloquium. 3: 236-248.

Moghadam, M.H. M. Imenshahidi, & S.A.

Mohajeri. 2013. Antihypertensive

Effect of Celery Seed on Rat Blood

Pressure in Chronic Administration.

Journal of Medical Food. 16(6):

558-563.

Moghadamtousi, S.Z., M. Fadaeinasab, S.

Nikzad, G. Mohan, H.M. Ali., &

H.A. Kadir. 2015. Annona muricata

(Annonaceae): A review of Its

Traditional Uses, Isolated

Acetogenins and Biological

Activities. Int. J. Mol. Sci. 16:

15625-15657.

Mulyani, S. E.M. Rosa, & T. Huriah. 2014.

Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing

Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

terhadap Penurunan Tekanan Darah

Tikus Putih Jantan (Rattus

novergicus) Hipertensi.

Muhammadiyah Journal of Nursing.

1: 177-184.

Nwokocha, C.R., D.U. Owu, A. Gordon,

K. Thaxter, G. McCalla, R.I. Ozolua,

& L. Young. 2012. Possible

Mechanisms of Action of the

Hypotensive Effect of Annona

Muricata (Soursop) in Normotensive

Sprague–Dawley Rats. Journal of

Pharmaceutical Biology. 50(11):

1436-1441.

Ohashi, K., T. Bohgaki, T. Matsuhara, &

H. Shibuya. 2000. Chemical

Structures of Two New Migrated

Pimarine-type Diterpenes,

Neoorthosiphols A and B, and

Suppressive Effects of Rat Thoracic

Aorta of chemical Constituents

Isolated from the Leaves of

Orthosiphon aristatus (Lamiaceae).

Chem. Pharm. Bull. 48(3): 433-435.

Pasagi, J.R., Hamidah, & Junairiah. 2014.

Analisis Hubungan Kekerabatan

Varietas pada Belimbing (Averrhoa

carambola L.) Melalui Pendekatan

Morfologi. Jurnal Ilmiah Biologi.

2(2): 26-33.

Patel, S. & J.K. Patel. 2016. A Review on

A Miracle Fruits of Annona

muricata. Journal of

Pharmacognosy & Phytochemistry.

5(1): 137-148.

Pattamadilok, D., Y. Techadamrongsin, T.

Boonraud, & J. Bansiddhi. 2003.

Chemical Specification of

Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.

Journal of Medicinal Plant Research.

44(3): 189-200.

Pavni, K., B. Esha, J. Neha, A. Tushar, K.

Shrey, A. Suchit, A. Sarita, R. Vibha,

& W. Neeraj. 2011. Phytochemical

Screening of Developing Garlic and

Effect of Its Aqueous Extracts on

Viability of Cardiac Cell Line.

Journal of Pharmacy Research. 4(3):

902-904.

Ragasa, C.Y. R.F. Galian, E. Lagueux, &

C.C. Shen. 2014. Chemical

Constituents of the Fruit of Persea

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

73

americana. Research Journal of

Pharmaceutical, Biological, and

Chemical Sciences. 5(6): 984-989.

Ravikant, T., G. Nishant, S. Shashipal, T.

Samriti, T. Rajeev, Kumar, V. Vikas,

& S. Dishant. 2012.

Antihypertensive Effect of Ethanolic

Extract of Indian Carica papaya L.

in Renal Artery Occluded

Hypertensive Rats. International

Journal of Pharmaceutical and

Clinical Research. 4(3): 20-23.

Rinayanti, A., M. Radji, A. Mun’im, &

F.D. Suyatna. 2013. Screening

Angiotensin Converting Enzyme

(ACE) Inhibitor Activity of

Antihypertensive Medicinal Plants

from Indonesia. International

Journal of Pharmacy Teaching &

Practices. 4(1): 527-532.

Rizki, M.I. & E.M. Hariandja. 2015.

Review: Aktivitas Farmakologis,

Senyawa Aktif, dan Mekanisme

Kerja Daun Salam (Syzygium

polyanthum). Prosiding Seminar

Nasional Perkembangan Terkini

Sains dan Farmasi Klinik, Padang.

Roy, A., R.V. Getha, & T. Lakshmi. 2011.

Averrhoa bilimbi Linn– Nature’s

Drug Store-A Pharmacological

Review. International journal of

Drug Development & Research.

3(3): 101-108.

Rukmana, R. 1997. Budidaya Tumbuhan

Obat. Kanisius, Yogyakarta.

Sari, C.Y. 2015. Penggunaan Buah

Mengkudu (Morinda citrifolia L.)

untuk Menurunkan Tekanan Darah.

J. Majority. 4(3): 34-42.

Singh, D.R. 2012. Morinda citrifolia L.

(Noni): A Review of The Scientific

Validation for Its Nutritional and

Therapeutic Properties. Journal of

Diabetes and Endocrinology. 3(6):

77-91.

Singh, M.K., B.Gidwani, A. Gupta, & H.

Dhongade. 2015. A Review of the

Medicinal Plants of Genus

Orthosiphon (Laminaceae).

International Journal of Biological

Chemistry. 9(6): 318-331.

Sitepu, N.F. 2015. Pengaruh Jus

Mengkudu terhadap Penurunan

Tekanan darah pada Pasien

hipertensi di RSUD Deli Serdang

Lubuk Pakam. Nestra. 4(4): 6-15.

Smith, G.S.R., J.B. Chauhan, & C.R. Jain.

2015. Preliminary Phytochemical

Investigation and TLC Analysis of

Peel and Seed Extracts of Persea

americana. Asian Journal of

Pharmaceutical Science &

Technology. 5(3): 167-171.

Suidah, H. 2011. Pengaruh Mengkudu

terhadap Penurunan Tekanan Darah

pada Penderita Hipertensi di desa

Wedoroklurak Kecamatan Candi

Kabupaten Sidoarjo. Jurnal

Keperawatan. 1(1): 1-10.

Sunarjono, H. 2005. Buku Pintar Tanaman

Obat. Agromedia, Jakarta.

Talha, J., M. Priyanka, & A. Akanksha.

2011. Hypertension and Herbal

Plants. International Research

Journal of Pharmacy. 8: 26-30.

Thomas, A.N.S. 1989. Tanaman Obat

Tradisional I. Kanisius, Yogyakarta.

Wijayakusuma, H.M. 1998. Tanaman

Berkhasiat Obat di Indonesia.

Pustaka Kartini, Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

74

Optimasi Konsentrasi Pelarut Etanol

Terhadap Rendemen dan Total Flavonoid Ekstrak

Daun Gaharu (Aquillaria microcarpa Baill.)

*Destria Indah Sari, Liling Triyasmono

Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Pemilihan pelarut dan konsentrasi yang digunakan merupakan salah satu faktor

yang harus dipertimbangkan dalam suatu proses ekstraksi, karena dapat

mempengaruhi prosentase rendemen dan jumlah metabolit sekunder yang ingin

diekstraksi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh konsentrasi pelarut

etanol dengan rendemen dan total flavonoid ekstrak daun gaharu. Ekstraksi dilakukan

dengan metode maserasi ultrasonikasi dengan variasi pelarut etanol 30%, 50%, 70%

dan 96%. Hasil rendemen yang diperoleh untuk masing-masing konsentrasi etanol

30%, 50%, 70% dan 96% secara berturut-turut adalah 19,04% , 23,36%, 19,08%, dan

22,08%. Total flavonoid yang diperoleh dari dua kali replikasi sebesar 7,947 ± 0,289

EK, 10,034 ± 0,081 EK, 21,293 ± 0,658 EK, dan 28,697 ± 1,666 EK. Dengan demikian,

etanol 96% merupakan konsentrasi yang optimal untuk ekstraksi flavonoid daun

Aquillaria microcarpa Baill.

Kata kunci : Daun gaharu, ekstrak etanol, rendemen, flavonoid total

ABSTRACT

Selection of solvent and its concentration were some factors need to be considered

in extraction process, since they could influence extract yield and secondary metabolite

amount in extract. This research was aimed to determined ethanol concentration optimum

to gaharu leaves extract yield and total flavonoid. Extraction were performed with

ultrasonication maceration using ethanol 30%, 50%, 70% and 96%. Yield obtained from

those concentrations were 19,04% , 23,36%, 19,08%, and 22,08%, respectively. As total

flavonoid obtained from conducted in duplication were 7,947 ± 0,289 EK, 10,034 ± 0,081

EK, 21,293 ± 0,658 EK, and 28,697 ± 1,666 EK, respectively. Therefore, ethanol 96% were

optimum ethanol concentration for flavonoid extraction of gaharu leaves.

Keywords : gaharu leaves, ethanol extract, yield, total flavonoid

I. PENDAHULUAN

Gaharu (Aquilaria microcarpa

Baill.) merupakan tanaman yang dikenal

masyarakat lokal Kalimantan. Bagian daun

dari tanaman ini secara empiris digunakan

untuk menurunkan kadar glukosa darah.

Metabolit sekunder yang memiliki potensi

sebagai antidiabetic agent salah satunya

adalah golongan flavonoid, dengan

mekanisme kerja dengan cara

menstimulasi sel β untuk melepaskan

lebih banyak insulin. Dalam ekstrak etanol

daun gaharu, diketahui mengandung

metabolit sekunder flavonoid, fenol, dan

tanin.

Etanol merupakan pelarut ekstraksi

yang sangat sering digunakan. Keuntungan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

75

dari pelarut ini antara lain mudah didapat,

harganya relatif murah, dan sifatnya yang

dapat campur dengan air pada berbagai

konsentrasi atau rasio memudahkan dalam

mengatur kepolaran pelarut untuk

mengoptimalkan ekstraksi metabolit

sekunder.

Daun gaharu (Aquilaria

microcarpa Baill.) digunakan sebagai

penurun kadar glukosa darah oleh

masyarakat lokal Kalimantan secara

empiris. Ekstrak daun gaharu diketahui

mengandung senyawa metabolit sekunder

flavonoid, terpenoid, dan senyawa fenol

(Mega & Swastini, 2010). Flavonoid

dinyatakan mampu meningkatkan

pemanfaatan glukosa pada jaringan perifer,

menstimulasi sel beta pankreas untuk

meningkatkan sekresi insulin dan

bertindak sebagai inhibitor glukosidase

(Jadhav & Puchchakayala, 2012).

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu daun

gaharu, kulit batang bangkal, asam asetat

anhidrat, aluminium (III) klorida (Merck),

standar kuersetin p.a. (Sigma), etanol

berbagai konsentrasi, aquades.

B. Pengolahan Serbuk Simplisia Daun

Gaharu

Sampel daun gaharu diambil dari

daerah Tamiang Layang, Kalimantan

Tengah. Pengambilan dilakukan pada pagi

hari. Tanaman gaharu yang digunakan

berusia di atas 5 tahun (cukup dewasa)

agar didapatkan kandungan senyawa

metabolit sekunder yang maksimal.

Sampel yang telah diperoleh,

dikumpulkan, lalu dibersihkan dari benda-

benda asing dari luar (disortasi basah) dan

dicuci bersih di bawah air mengalir

kemudian dirajang. Hasil rajangan

dikeringkan pada suhu kamar selama

beberapa hari dan dikeringkan dalam oven

pada suhu 50˚C, lalu dipisahkan dari

bagian-bagian tanaman yang tidak

dikehendaki atau dari benda-benda asing

selama proses pengeringan (disortasi

kering), setelah itu dilakukan pengubahan

bentuk simplisia menjadi bentuk serbuk

dengan cara dihaluskan dengan

menggunakan blender sehingga menjadi

serbuk halus. Selanjutnya serbuk halus

tersebut ditimbang dan disimpan dalam

wadah bersih.

C. Ekstraksi Daun Gaharu

Ekstraksi dilakukan dengan metode

maserasi ultrasonikasi. Serbuk daun

gaharu ditimbang sebanyak 25 gram, lalu

masing-masing ditambahkan 150 ml (1:6)

pelarut etanol yaitu 30%, 50%, 70% dan

96%. Sampel kemudian diaduk

menggunakan magnetic stirer dengan

kecepatan 50 rpm selama 15 menit.

Maserat kemudian diultrasonikasi dengan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

76

ultrasonic bath selama 30 menit pada suhu

50°C dengan frekuensi gelombang 50 kHz

(Sa’adah, 2010). Kemudian didiamkan

dalam bejana maserator selama 24 jam

pada suhu kamar, lalu disaring dari

pelarutnya dengan menggunakan corong

Buchner. Setelah itu dilakukan

sentrifugasi. Kemudian dilakukan

evaporasi dengan rotary evaporator pada

suhu 70°C hingga diperoleh filtrat. Filtrat

yang diperoleh lalu diuapkan lagi dengan

waterbath hingga diperoleh ekstrak pekat.

Ekstrak pekat kemudian ditimbang dan

ditentukan nilai rendemennya. Selanjutnya

ekstrak disimpan pada suhu kamar

sebelum dilakukan analisis kandungan

flavonoid.

C. Pembuatan Kurva Baku Kuersetin

Seri kadar dibuat dengan

menggunakan kuersetin sebagai baku

standar. Sebanyak 100 mg kuersetin

dilarutkan ke dalam 100 ml etanol p.a.

(1000 ppm), lalu dibuat larutan baku kerja

kuersetin sebesar 40, 60, 80, 100, dan 120

ppm. Satu mililiter larutan baku kerja

ditambah 1 mL larutan AlCl3 10% dan 8

mL larutan asam asetat 5%. Panjang

gelombang maksimum didapat dari hasil

scanning larutan kuersetin 100 ppm.

Setelah campuran didiamkan 15 menit

pada suhu kamar, lalu dilakukan

pembacaan absorbansi seri kadar dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang

416 nm. Kemudian dari hasil tersebut

dibuat persamaan kurva baku y = bx + a.

D. Penentuan Kadar Total

Flavonoid dalam Ekstrak

Daun Gaharu

Sebanyak 50 mg sampel ekstrak

etanol 30% dan 50% dilarutkan ke dalam

10 ml etanol p.a. Satu mililiter larutan

tersebut ditambah 1 mL larutan AlCl3

10% dan 8 mL larutan asam asetat 5%,

divortex dan didiamkan selama 15 menit,

dan dibaca di spektrofotometer pada

panjang gelombang maksimal. Hasil

absorbansi dimasukkan ke dalam

persamaan kurva baku, dan dihitung kadar

total flavonoid masing-masing.

Sebanyak 20 mg sampel ekstrak

etanol 70% dan 96% dilarutkan ke dalam

10 ml etanol p.a. Satu mililiter larutan

tersebut ditambah 1 mL larutan AlCl3

10% dan 8 mL larutan asam asetat 5%,

divortex dan didiamkan selama 15 menit,

dan dibaca di spektrofotometer pada

panjang gelombang maksimal. Hasil

absorbansi dimasukkan ke dalam

persamaan kurva baku, dan dihitung kadar

total flavonoid masing-masing.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan rendemen ekstrak daun

gaharu

Hasil perolehan prosentase

rendemen ekstrak terbesar dimiliki oleh

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

77

ekstrak etanol 50%, seperti terlihat pada

Tabel I.

B. Pembuatan kurva baku kuersetin

Absorbansi dari seri kadar

kuersetin menghasilkan kurva baku

kuersetin Y = 0,00655x – 0,02660.

C. Penentuan Kadar Total Flavonoid

Ekstrak Daun Gaharu

Penetapan operating time

ditentukan dari perolehan absorbansi yang

stabil atau tetap selama jangka waktu

tertentu. Operating time yang diperoleh

dalam penelitian ini adalah 16 menit.

Kadar total flavonoid ekstrak daun

gaharu dinyatakan dalam satuan EK.

Kadar tertinggi berada dalam ekstrak

etanol 96%, seperti yang terlihat pada

Tabel I.

Tabel I. Prosentase rendemen dan kadar

total flavonoid ekstrak etanol daun gaharu

Konse

ntrasi

etanol

(%)

Rende

men

ekstra

k (%)

Kadar

total

flavonoid

(EK*)

30%

19,04

7,947 ±

0,289

50%

23,36

10,034 ±

0,081

70%

19,08

21,293 ±

0,658

96%

22,08

28,697 ±

1,666

*Kadar flavonoid dituliskan dalam bentuk

ekuivalen katekin (EK : mg katekin/g) ekstrak).

Berdasarkan tabel di atas,

rendemen tertinggi dihasilkan dengan

etanol 50%, diikuti 96%,70%, dan 30%.

Sedangkan kadar total flavonoid tertinggi

secara berturut-turut dihasilkan pelarut

etanol 96%, 70%, 50%, dan 30%.

Rendemen ekstrak etanol 50% dan 96%

hampir sama, tetapi kadar total flavonoid

dalam ekstrak etanol 96% hampir tiga kali

lipat kadar total flavonoid ekstrak etanol

50%. Rendemen yang besar namun tidak

diikuti kadar flavonoid yang besar pada

ekstrak etanol 50% diduga karena terdapat

kandungan metabolit lain yang lebih polar

yang dominan tertarik dalam pelarut

tersebut dibandingkan flavonoid.

IV. KESIMPULAN

Konsentrasi etanol yang

optimal terhadap kadar total flavonoid

adalah etanol 96%.

DAFTAR PUSTAKA

Andrungayan, R.R., 2015. Aktivitas

Ekstrak Etanol Daun Gaharu

(Aquilaria microcarpa Baill.)

terhadap Tes Toleransi Glukosa

Oral, Glikogen Hati, dan

Histopatologi Pankreas Tikus Putih

yang Diinduksi Aloksan. Skripsi PS

FMIPA. Universitas Lambung

Mangkurat. Banjarbaru.

Hossain, M.B., Barry-Ryan, C., Martin-

Diana, A.B. and Brunton, N.P.,

2011. Optimisation of accelerated

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

78

solvent extraction of antioxidant

compounds from rosemary

(Rosmarinus officinalis L.),

marjoram (Origanum majorana L.)

and oregano (Origanum vulgare L.)

using response surface methodology.

Food Chemistry, 126(1), pp.339-

346.

Jadhav, R. & Puchchakayala, G., 2012.

Hypoglicemic and Antiidiabetic

Activity of Flavonoids : Boswellic

Acid, Ellagic Acid, Quercetin, Rutin

On Streptozotocin-Nicotinamide

Induced Type 2 Diabetic Rats.

International Journal of Pharmacy

and Pharmaceutical Sciences, Vol 4,

Issue 2, p.251-256.

Jung M., Park, M., Lee, H.C., Kang, Y.H.,

Kang, E.S., and Kim, S.K., 2006.

Antidiabetic Agents from Medicinal

Plants. Current Medicinal

Chemistry, Vol.13 No.10, p.1203-

1218.

Mega, I. M., & Swastini, D. A., 2010.

Screening Fitokimia Dan Aktivitas

Antiradikal Bebas Ekstrak Metanol

Daun Gaharu (Gyrinops versteegii).

Jurnal Kimia, 4 (2) : 187-192.

Sa’adah, L. 2010. Isolasi dan Identifikasi

Senyawa Tanin dari Daun Belimbing

Wuluh. Skripsi Jurusan Kimia,

Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim, Malang.

Spigno, G., Tramelli, L. & De Faveri,

D.M., 2007. Effects of extraction

time, temperature and solvent on

concentration and antioxidant

activity of grape marc phenolics.

Journal of food engineering, 81(1),

pp.200-208.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

79

Optimasi Formula Gel Spermisida Ekstrak Kulit

Kayu Durian (Durio zibethinus Murr.) dengan

Variasi Konsentrasi HPMC dan Gliserin

Metode Simplex Lattice Design

*Nani Kartinah1, Rizki Hardianti

1, Mia Fitriana

1, Anni Nurliani

2

1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat,

2Program Studi Biologi Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Ekstrak kulit kayu Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan bahan

spermisida alami yang terbukti memiliki efek immotile terhadap spermatozoa manusia

secara in vitro. Sediaan gel ekstrak kulit kayu Durian dibuat untuk kontrasepsi.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari kombinasi HPMC-gliserin dan untuk

menentukan formula optimal sediaan gel ekstrak kulit kayu Durian. Formulasi sediaan

gel dibuat dengan memvariasikan rasio HPMC-gliserin yaitu F1 (1,6%; 12%), F2

(2,6%;11%), F3 (3,6%;10%). Optimasi formula dilakukan dengan menggunakan

metode simplex lattice design (SLD). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi HPMC-

gliserin dapat meningkatkan viskositas (koef=+266,67) dan daya lekat (koef=+473,33)

tetapi dapat menurunkan daya sebar (koef=-3,87) sediaan gel. Nilai total respons F1

(0,327), F2 (0,455), F3 (0,658). Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa

kombinasi HPMC-gliserin memiliki pengaruh yang signifikan pada viskositas, daya

lekat dan daya sebar sediaan (p<0,05). Formula ketiga dengan komposisi 3,6% HPMC

dan 10% gliserin merupakan formula yang paling optimal.

Kata kunci : Gel, ekstrak kulit kayu, D.zibethinus, simplex lattice design

ABSTRACT

Durian (Durio zibethinus Murr.) cortex extract is a natural spermicide ingredient

which has an immotile effect against human spermatozoa in vitro. Gel preparation from

the extract of Durian’s cortex designed as a spermicidal. This research aims to determine

the combination effect of HPMC-glycerine and to optimizing formula of gel spermicide of

the extract Durian’s cortex. The gel was formulated by changing the HPMC and glycerine

ratio F1 (1,6%;12%), F2 (2,6%;11%), and F3 (3,6%;10%). The composition was

optimized using simplex lattice design (SLD). The result showed the combination of

HPMC-glycerine was increase of viscosity value (koef = +266.67) and adhesion value (koef

= +473.33) but decreased of spreadibility (koef= -3,87) . Total response value of F1 (0,327),

F2 (0,455), F3 (0,658). Based on result, the combination of HPMC and glycerine had

significant effect on the viscosity, adhesion and spreadibility of gel (p<0,05). The third

formulation with proportion of 3,6% HPMC and 10% glycerine was selected as the

optimum formula.

Keywords : Gel, cortex’s extract, D.zibethinus, simplex lattice design

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

80

I. PENDAHULUAN

Spermisida adalah agen yang

dapat menurunkan motilitas (pergerakan)

sperma sehingga menurunkan kemampuan

pembuahan sel telur (Rusmiati, 2007).

Hasil uji in vitro menunjukkan ekstrak

kulit kayu durian dapat menyebabkan

immotile pada sperma manusia (Nurliani &

Santoso, 2010). Senyawa pada ekstrak

dapat mengganggu pembentukan protein.

Apabila proses pembentukan protein

terganggu, menyebabkan sperma berada

dalam keadaan tidak motil dan terjadi

kematian (Siswanti et al., 2003).

Ekstrak kulit kayu D. zibethinus

dibuat dalam sediaan gel. Diperlukan

optimasi formula agar tujuan penggunaan

dapat dicapai mengingat tiap komponen

memiliki alasan, fungsi dan proporsi yang

dapat mempengaruhi gel yang dihasilkan

(Nurlaela et al., 2012).

Optimasi formula sediaan gel

spermisida ekstrak kulit kayu D. zibethinus

menggunakan metode Simplex Lattice

Design (SLD) untuk mendapatkan

beberapa respon optimum dari variasi

kombinasi bahan tambahan (Bolton,

1997). Penilaian respon optimum

didasarkan pada sifat fisik gel yaitu

viskositas, daya lekat dan daya sebar

(Hapsari et al., 2014).

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu alat

gelas (Iwaki pyrex), hot plate stirrer

(Stuart CB 302), dan viskometer

Brookfield (model LV).

Bahan yang digunakan yaitu

akuades, ekstrak kulit kayu D. zibethinus,

gliserin (Brataco), HPMC K 100 M

Premium (Honest).

B. Pembuatan Gel Ekstrak Kulit Kayu

Durian

Ada tiga formula yang disiapkan.

Disajikan pada tabel I.

Tabel I. Formula Gel

Komposisi Bobot (%b/b)

F1 F2 F3

Ekstrak 2% 2% 2%

HPMC 1,6% 2,6% 3,6%

Gliserin 12% 11% 10%

Zat

tambahan 15,25% 15,25% 15,25%

Aquadest

bebas CO2

ad

100%

ad

100%

ad

100%

Ekstrak kulit kayu D. zibethinus

dilarutkan dengan gliserin diatas hot plate

pada suhu 20o C, setelah larut keseluruhan

ditambahkan 10 mL aquadest bebas CO2.

Campuran tersebut kemudian disaring dan

didapat campuran I. Selanjutnya HPMC

dan akuades panas dicampur dan

diletakkan di atas pemanas, diaduk hingga

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

81

homogen, campuran ini disebut campuran

II. Selanjutnya campuran 1 ditambahkan

sedikit demi sedikit ke dalam campuran II,

diaduk hingga terbentuk menjadi gel.

C. Uji Viskositas, Daya Lekat dan

Daya Sebar Sediaan Gel Ekstrak

Kulit Kayu Durian

a. Uji Viskositas

Sampel ditempatkan pada rotor

viscometer Brookfield. Digunakan

berbagai kecepatan (6 rpm, 12 rpm, 30

rpm dan 60 rpm) dan berbagai nomor

spindle (1, 2, 3 dan 4) (Jufri et al., 2006).

Syarat nilai viskositas gel yang baik yaitu

2000 – 4000 cPs (Arikumalasari et al.,

2013).

b. Uji Daya Lekat

Sampel diletakkan diantara dua

kaca objek, kemudian kaca objek

diberikan beban sebesar 50 g,100 g, dan

150 g selama 5 menit. Dihitung waktu

yang dibutuhkan agar kedua kaca objek

terlepas. (Arikumalasari et al., 2013).

Syarat waktu daya lekat yang baik adalah

tidak kurang dari 4 detik (Ulaen et al.,

2013).

c. Uji Daya Sebar

Sampel sebanyak 0,5 g diletakkan

pada sebuah kaca persegi. Setelah

dibiarkan selama 1 menit, diukur diameter

gel yang menyebar. Dilakukan langkah yg

sama pada beban sebesar 50 g, 100 g, dan

150 g (Kuncahyo, 2011). Syarat daya

sebar gel yang baik 5 - 7 cm (Mappa et al.,

2013).

D. Penetapan Profil Viskositas, Daya

Lekat dan Daya Sebar Sediaan gel

Menggunakan Simplex Lattice

Design

Penentuan profil viskositas, daya

lekat dan daya sebar sediaan dengan

pendekatan SLD digunakan untuk

mendapatkan nilai koefisien pengaruh

kombinasi HPMC-gliserin. Persamaan

yang digunakan yaitu :

Y = a (A) + b (B) + ab (A)(B)

Keterangan :

Y = Respon (hasil percobaan)

a, b, ab = Koef. Yang dapat dihitung

dari hasil percobaan

A, B = Besarnya komponen A dan B

dengan jumlah A + B selalu

satu

(Patel &Patel, 2007).

E. Penetapan Formula Optimum

Menggunakan Simplex Lattice

Design

Formula optimum dipilih

berdasarkan nilai total respon yang paling

besar. Perhitungan respon menggunakan

rumus:

R = (bobot x Nviskositas) + (bobot x N daya

lekat) + (bobot x Ndaya sebar)

N merupakan normalitas yang dihitung

menggunakan rumus :

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

82

N = 𝐗−𝐗𝐦𝐢𝐧

𝐗𝐦𝐚𝐱−𝐗𝐦𝐢𝐧

Keterangan :

X = Respon (hasil percobaan)

Xmin = Respon minimal yang

diinginkan

Xmax = Respon maksimal yang

diinginkan

(Patel & Patel, 2007)

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dievaluasi

secara statistik, menggunakan Design

Expert Version 8.0.9 dengan metode

Analysis of Variance (ANOVA) One Way.

(Kuncahyo, 2011)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi pada sediaan gel

spermisida terdiri dari ekstrak kulit kayu

D. zibethinus, HPMC, gliserin, zat

tambahan dan akuades bebas CO2. Alasan

pemilihan HPMC sebagai basis gel untuk

menghasilkan cairan lebih jernih, tidak

menimbulkan toksisitas dan iritasi serta

memiliki pH stabil dalam rentang 3-11

(Rowe et al., 2009). Gliserin digunakan

sebagai emolien untuk membentuk

viskositas dengan memperbesar ukuran

unit molekul (Martin et al., 1993). Tujuan

pencampuran HPMC dan gliserin adalah

HPMC yang dapat menurunkan daya sebar

sediaan dan dapat diatasi dengan

penambahan gliserin. Selain itu,

pencampuran HPMC dan gliserin akan

berpengaruh pada viskositas sediaan

(Sukma, 2013).

A. Hasil Uji Viskositas

Pengujian viskositas (besarnya

kekentalan zat cair) menentukan

kemudahan suatu molekul bergerak karena

adanya gesekan antar lapisan material

(Ningrum & Toifur, 2014). Hasil

pemeriksaan viskositas pada setiap

formula dapat dilihat pada gambar 1

berikut :

Gambar 1. Grafik rerata nilai viskositas sediaan

gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus

Penambahan konsentrasi HPMC dan

penurunan konsentrasi gliserin dapat

meningkatkan viskositas sediaan gel

dengan mekanisme pembentukan basis gel

HPMC secara kumparan acak

(Arikumalasari et al., 2013) dan terjadi

proses hidrasi molekul air melalui

pembentukan ikatan hidrogen (Raton &

Smooley, 1993). Hasil analisis statistik

menunjukkan kombinasi HPMC-gliserin

berpengaruh signifikan terhadap viskositas

gel (p<0,05)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

83

B. Hasil Uji Daya Lekat

Hasil pemeriksaan daya lekat gel

pada setiap formula terlihat pada gambar

2 berikut :

Gambar 2. Grafik rerata nilai daya lekat sediaan

gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus

Penambahan konsentrasi HPMC dan

penurunan konsentrasi gliserin

meningkatkan nilai daya lekat sediaan gel

(Ulaen et al., 2013). Hasil analisis statistik

menunjukkan kombinasi HPMC-gliserin

berpengaruh signifikan terhadap daya lekat

gel (p<0,05)

C. Hasil Uji Daya Sebar

Gel yang baik membutuhkan waktu

yang lebih sedikit untuk tersebar (Madan

& Singh, 2010). Hasil pemeriksaan daya

sebar gel pada setiap formula terlihat pada

gambar 3 berikut :

Gambar 3. Grafik rerata nilai daya sebar sediaan

gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus

Peningkatan konsentrasi HPMC dan

penurunan gliserin pada tiap formula

menyebabkan penurunan daya sebar.

Penurunan daya sebar terjadi melalui

meningkatnya ukuran unit molekul

sehingga meningkatkan tahanan untuk

mengalir dan menyebar (Sukmawati et al.,

2014). Hasil analisis statistik menunjukkan

kombinasi HPMC-gliserin berpengaruh

signifikan terhadap daya sebar gel

(p<0,05)

D. Penetapan Profil Viskositas, Daya

Lekat dan Daya Sebar Sediaan gel

Menggunakan Simplex Lattice

Design

Hasil contour plot untuk respon

viskositas dapat dilihat pada gambar 4

berikut :

Gambar 4. Grafik hasil uji viskositas sediaan gel

ekstrak kulit kayu D.zibethinus

dengan SLD

Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan

persamaan untuk viskositas yaitu:

Y = 3856,94(A) + 2223,61(B) + 266,67(A)(B)

Persamaan ini menunjukkan bahwa

interaksi antara kedua bahan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

84

mempengaruhi peningkatan respon

viskositas (koef = +266,67).

Hasil contour plot untuk respon

daya lekat dapat dilihat pada gambar 5

berikut :

Gambar 5. Grafik hasil uji daya lekat sediaan gel

ekstrak kulit kayu D.zibethinus

dengan SLD

Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan

persamaan untuk daya lekat yaitu:

Y = 614,14 (A) + 26,14(B) + 473,33(A)(B)

Persamaan ini menunjukkan bahwa

interaksi antara kedua bahan

mempengaruhi peningkatan respon daya

lekat (koef = +473,33).

Hasil contour plot untuk respon

daya sebar dapat dilihat pada gambar 6

berikut :

Gambar 6. Grafik hasil uji daya sebar sediaan gel

ekstrak kulit kayu D.zibethinus

dengan SLD

Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan

persamaan untuk daya lekat yaitu:

Y = 5,20(A) + 7,66(B) – 3,87(A)(B)

Persamaan ini menunjukkan bahwa

interaksi antara kedua bahan

mempengaruhi penurunan respon daya

sebar (koef = -3,87).

E. Penetapan Formula Optimum

Menggunakan Simplex Lattice

Design

Besarnya respon total yang

diperoleh terlihat pada gambar 6 berikut :

Gambar 6. Grafik total respon sediaan gel ekstrak

kulit kayu D.zibethinus dengan SLD

Hasil total respon menunjukkan bahwa

konsentrasi HPMC 3,6% dan gliserin 10%

merupakan formula optimum (total

respon=0,658). Pertimbangan dalam

permilihan formula optimum adalah nilai

desirability mendekati atau sama dengan

1 (Bolton, 1997). Nilai desirability sama

dengan 1 memberikan nilai hasil yang

sama pada target dan menggambarkan

suatu respon yang meningkat secara linier

(Fariz et al., 2012).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

85

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1. Kombinasi HPMC dan gliserin akan

meningkatkan viskositas (koef =

+266,67) dan daya lekat (koef =

+473,33), serta menurunkan daya sebar

(koef = - 3,87) sediaan gel

2. Konsentrasi HPMC 3,6% dan gliserin

10% menghasilkan gel ekstrak kulit

kayu D. zibethinus yang memiliki sifat

optimum.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada DIKTI yang

telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arikumalasari, J., I.G. Dewantara, & N.P.

Wijayanti. 2013. Optimasi HPMC

sebagai Gelling Agent dalam

Formula Gel Ekstrak Kulit Buah

Manggis (Garcinia mangostana L.).

Jurnal Farmasi Udayana. 2: 12-18.

Bolton, S. 1997. Pharmaceutical

Statistics : Practical and Clinical

Applications, Edisi ke-3. Marcel

Dekker Inc, New York.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia,

Edisi ke-3. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta

Fariz, Y.A., N. W. Surya., & M.S.Fira.

2012. Penerapan Metode Response

Optimizer Dan Steepest Descent di

Bidang Industri (Studi Kasus Di PT.

ABCDE). Jurnal Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam. 4 : 1-8.

Hapsari, I., A. Rosyadi, & R.

Wahyuningrum. 2014. Optimasi

Kombinasi Minyak Atsiri Bunga

Kenanga dengan Herba Kemangi

dalam Gel sebagai Repelan Nyamuk

Aedes aegypti dengan Metode

Simplex Lattice Design. Prosiding

Seminar Nasional. Yogyakarta.

Jufri, M., A. Effionora, & M.U. Putri.

2006. Uji Stabilitas Sediaan

Mikroemulsi Menggunakan

Hidrosilat Pati (DE 35-40) sebagai

Stabilizer. Majalah Ilmu

Kefarmasian. 3: 08-21.

Kuncahyo, I. 2009. Optimasi Campuran

Avicel pH 101 dan Pati Jagung

dalam Pembuatan Tablet Ekstrak

Daun Mimba (Azadirachta indica

A. Juss) secara Simplex Lattice

Design. Jurnal Farmasi Indonesia.

6:21-33

Mappa.T., H.J. Edy, & N. Kojong. 2013.

Formulasi Gel Ekstrak Daun

Sasaladahan (Peperomia pellucida

L.) dan Uji Efektivitasnya terhadap

Luka Bakar pada Kelinci

(Oryctolagus cuniculus). Pharmacon

Jurnal Ilmiah Farmasi. 2: 49-56.

Martin, A., J. Swarbrick, & A. Cammarata.

1993. Farmasi Fisik : Dasar-dasar

Farmasi Fisik dalam Ilmu

Farmasetik, Edisi ke-3. Universitas

Indonesia Press, Jakarta

Ningrum, E.P. 2015. Efek Spermisida Gel

Ekstrak Kulit Kayu Durian ((Durio

zibethinus Murr.) terhadap

Viabilitas dan Morfologi

Spermatozoa Manusia secara In

Vitro. Skripsi Program Strata-1

FMIPA Universitas Lambung

Mangkurat, Banjarbaru.

Nurlaela, E, S. Nining, & A. Ikhsanudin.

2012 Optimasi Komposisi Tween 80

dan Span 80 sebagai Emulgator

dalam Repelan Minyak Atsiri Daun

Sere (Cymbopogon citratus (D.C)

Stapf) terhadap Nyamuk Aedes

aegypti Betina pada Basis Vanishing

Cream dengan Metode Simplex

Lattice Design. Jurnal Ilmiah

Kefarmasian. 2: 41-54

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

86

Nurliani, A&H. B. Santoso, 2010. Efek

Spermatisida Ekstrak Kulit Kayu

Durian (DuriozibethinusMurr.)

terhadap Mortilitas dan Kecepatan

Gerak Spermatozoa Manusia secara

In Vitro. Sains dan Terapan Kimia.

4: 60-72.

Patel, D.M & N.M. Patel.2007.

Gastroretentive Drug Delivery

System of Carbamazepine:

Formulation Optimization Using

Simplex Lattice Design: A Technical

Note, AAPS. PharmSciTech.8:82–

86

Raton, B & C.K. Smooley. 1993. Food

and Drug Administration. CRC

Press Inc, London.

Rowe, R.C., Paul, J. Sheskey,& M.E.

Quinn. 2009. Handbook of

Pharmaceutical Excipients 6th

Edition. Pharmaceutical Press and

American Pharmacists Association,

London.

Rusmiati.2007. Pengaruh Ekstrak Kayu

Secang (Caesalpinia sappan L.)

terhadap Spermatozoa Mencit.

Jurnal Biosciantiae. 42:63-70.

Siswanti, T., O.P. Astirin, & T.

Widiyani.2003. Pengaruh Ekstrak

Temu Putih (Curcuma zedoaria

Rosc.) terhadap Spermatogenesis

dan Kualitas Spermatozoa Mencit

(Mus musculus L.). BioSmart.7: 38-

42.

Sukma, D.H. 2013. Pengaruh Gliserin

Terhadap Laju Pelepasan

Meloksikam dari Basis Gel

Carbopol secaraIn Vitro.Skripsi

Universitas Jember, Jawa Timur.

Sukmawati, N.M.A., C.I.S. Arisanti, &

N.P.A.D. Wijayanti. 2014. Pengaruh

Variasi Konsentrasi PVA, HPMC

dan Gliserin terhadap Sifat Fisika

Masker Wajah Gel Peel Off Ekstrak

Etanol 96% Kulit Buah Manggis

(Garcinia mangostanaL.). Majalah

Kefarmasian. 8: 1-8.

Ulaen, S.P.J., Y. Banne, & R.A. Suatan.

2013. Pembuatan Salep Anti Jerawat

dari Ekstrak Rimpang Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.).

Jurnal Poltekes Manado.45-49.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

87

Studi Farmakognostik dan Uji Parameter

Nonspesifik Ekstrak Metanol Daun Kasturi

(Mangifera casturi Kosterm.)

*Sutomo, Nadya Agustina, Arnida, Fadilaturrahmah

Program Studi Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Kasturi (Mangifera casturi Kosterm.) merupakan salah satu tumbuhan endemik

Kalimantan Selatan. Daun M. casturi mengandung beberapa golongan senyawa yang

berpotensi sebagai obat. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data hasil analisis

farmakognostik, batas-batas maksimal kandungan senyawa tertentu dan profil

kromatogram kandungan kimia ekstrak metanol daun M. casturi. Analisis

farmakognostik terhadap tumbuhan meliputi morfologi, anatomi, dan identifikasi

kandungan kimia. Batasan maksimal kandungan senyawa tertentu berdasarkan

parameter non spesifik meliputi kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam,

total bakteri dan kapang, dan kadar Pb dalam ekstrak. Karakteristik tumbuhan M.

casturi yaitu memiliki batang berwarna coklat tua dengan permukaan kasar dan

bergetah, daun berwarna hijau, berbentuk lancet, kulit buah matang berwarna coklat

keunguan, daging buah berwarna kuning terang hingga jingga, berbau khas, berasa

manis agak asam dan banyak mengandung serabut. M. casturi mengandung senyawa

alkaloid, flavonoid, steroid, dan fenol yang dibuktikan berdasarkan uji identifikasi

kimia dan analisis secara KLT. Pengujian parameter non spesifik ekstrak metanol daun

M. casturi secara berturut-turut yaitu, kadar air 15,5±0,7%; kadar abu total

3,67±0,39%; kadar abu tidak larut asam 0,67±0,28%; tidak terdeteksi adanya

pertumbuhan bakteri pada ekstrak daun M. casturi; sedangkan total kapang yaitu

<1.101 koloni/g; dan kadar Pb yaitu 3 mg/kg.

Kata Kunci : Kasturi, analisis, farmakognostik, Mangifera casturi, parameter non

spesifik

ABSTRAK

Kasturi (Mangefera casturi Kosterm.) is one of the endemic plants of South

Kalimantan. M. casturi leaves contain several group of compounds potential to the

treatment. This research aims to provide data analysis results pharmacognostic, maximum

limits of certain compounds and profile chromatogram of chemical content of methanol

extract from M. casturi leaves. Pharmacognostic analysis of the plant include morphology,

anatomy, and the identification of compounds. The maximum limits of certain

coumpounds by non-specific parameters include water content, total ash, ash content

insoluble in acid, total bacteria and fungi, and Pb content in the extract. M. casturi

characteristic is having dark-brown stems with roughly surface and sticky, green leaves,

lancet-shapes, fruit skin has a purplish brown colour, flesh of fruit has a bright yellow till

orange colour, distinctive smell, slightly sour sweet taste, and contains lots of fiber. M.

casturi contains alkaloids, flavonoids, steroids, and phenols that has been proved by

chemical identification test and analysis of TLC. Non-specific parameter testing about

methanol extract of leaves M. casturi consecutively given, water content 15,5±0,7%; total

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

88

ash 3,67±0,39%; ash content insoluble in acid 0,67±0,28%; undetected any bacterial

contamination in the extract of M. casturi leaves; while the total mold contamination is

<1.101 colonies/g; and Pb contents is 3 mg/kg.

Keywords : Kasturi, pharmacognostic analysis, Mangifera casturi, non-specific parameter

I. PENDAHULUAN

Tumbuhan kasturi (Mangifera

casturi) mengandung senyawa yang dapat

dimanfatkan dalam pengobatan. Aktivitas

M. casturi diantaranya, daun berkhasiat

sebagai anti inflamasi (Syanjaya, 2009)

dan mampu menghambat pertumbuhan

bakteri Vibrio cholera dan E. coli (Oktafia,

2009). Kulit batang mammpu menghambat

pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli

(Rosyidah et al., 2010; Mulyani, 2015).

Pada buah M. casturi memiliki aktifitas

antioksidan (Sutomo et al., 2014) dan

antiinflamasi (Fakhrudin et al., 2013).

Aktivitas simplisia ditentukan oleh

kesesuaian karakteristik tumbuhan dan

jumlah kandungan senyawa yang terdapat

didalamnya. Penelusuran kandungan

senyawa pada simplisia berkaitan erat

dengan pengujian parameter spesifik pada

ekstrak dalam menentukan kandungan

senyawa aktif. Selain itu, parameter non

spesifik juga diperlukan dalam mengetahui

mutu ekstrak. Parameter non spesifik

berperan dalam penentuan jaminan

terhadap batas-batas kandungan tertentu

yang masih diperbolehkan. Menurut

Saifudin et al. (2011), tujuan penentuan

parameter non spesifik adalah untuk

menjaga kandungan senyawa, keamanan

dan stabilitas ekstrak agar memiliki

konsistensi keamanan dan efikasi pada

konsumen

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah alat semprot,

aluminium foil, autoklaf (All American),

ayakan, batang pengaduk, blender

(Kessler), beaker glass, bunsen, cawan

petri, cawan porselin, chamber KLT,

cawan petri, corong pisah, desikator,

furnace (Ney-Vulcan D-550), gelas ukur,

grinder (MKOM-200 Agrowindo), pipa

kapiler, kondensor, hotplate stirrer

(Stuart), heater mantle (Glass Cool), pipet,

Inductively Coupled Plasma Atomic

Emission Spectroscopy (Horiba), inkubator

(Memmert), kaca arloji, krus porselin, labu

destilasi, labu ukur, lampu UV 254 dan

366 nm, lemari asaam (Lokal), maserator,

oven (Vinco), rotary evaporator (Heidolf),

plat silika gel GF254, pipet tetes, tabung

reaksi, timbangan analitik (Pioner), vial

dan vortex (Jeio Tech).

Bahan-bahan yang digunakan

adalah daun M. casturi, ammonia (teknis),

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

89

asam asetat (teknis), asam formiat (teknis),

asam klorida (teknis), asam sulfat (teknis),

akuades, brom (teknis), etanol (teknis),

etanol (pa), etil asetat (pa), FeCl3 (teknis),

fehling (teknis), fluoroglusin (teknis),

iodium (teknis), kalium iodida (teknis),

kapas, kertas saring Whatman, media

Nutrient Agar (NA) dan Potato Dextrose

Agar (PDA), kloroform (pa), n-heksan

(pa), natrium klorida, natrium hidroksida,

metanol (teknis), metanol (pa), reagen

Dragendorff, Mayer, Wagner, serbuk

magnesium dan toluen (teknis).

B. Pengolahan Sampel

Daun M. casturi (2 kg) dibersihkan

dengan air mengalir. Daun bersih dirajang

menjadi bagian lebih kecil selanjutnya

dikeringkan dengan cara diangin-anginkan

dan terlindung dari cahaya matahari.

Simplisia kering diserbukkan (sebagian

disimpan untuk analisis) dan sebagian

diekstraksi.

a. Analisis farmakognostik M. casturi

Dilakukan pemeriksaan meliputi

morfologi, anatomi dan organoleptik.

Analisis mikroskopik dilakukan terhadap

irisan membujur dan melintang daun M.

casturi. Pengamatan dilakukan terhadap

bagian sel yang muncul menggunakan

mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x.

b. Pembuatan ekstrak

Ekstraksi dilakukan dengan metode

maserasi. Sebanyak 250 g serbuk kering

direndam dengan pelarut metanol dalam

bejana maserasi. Perbandingan antara

jumlah serbuk dan pelarut yang digunakan

yaitu 1:5. Ekstraksi dilakukan 3×24 jam

dengan pergantian pelarut setiap 1×24 jam.

c. Uji parameter non spesifik

Uji parameter non spesifik meliputi

kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak

larut asam, total cemaran bakteri dan

kapang, kadar logam timbal (Pb) pada

ekstrak metanol daun M. casturi. Metode

penetapan didasarkan pada Parameter

Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat

(Depkes RI, 2000).

d. Identifikasi kandungan kimia

Identifikasi kandungan kimia

dilakukan dua tahap, yaitu identifikasi

kandungan kimia pada serbuk simplisia

dan ekstrak dengan uji reaksi; dan

identifikasi kandungan kimia ekstrak

secara KLT.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tumbuhan M. casturi memiliki

perakaran tunggang yang berwarna coklat

keabu-abuan. Batang berbentuk silindris,

batang utama memiliki ketinggian ± 20 m,

diameter batang ± 1 m. Permukaan batang

kasar, lembab dan bergetah. Lapisan luar

kulit batang berwarna coklat tua dengan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

90

retakan keabu-abuan dari kulit yang telah

mati, lapisan dalam berwarna coklat muda.

Daun berwarna hijau muda sampai hijau tua

dengan ukuran panjang ± 20 - 27 cm dan

lebar ± 5,5 - 8,5 cm. Tulang daun menyirip

dengan jumlah 17-23 pasang. Daun

berbentuk lancet dengan ujung runcing, tepi

daun rata, dan permukaan daun kasar. Buah

berwarna coklat keunguan dengan dengan

bintik-bintik bulat kecil kehijauan saat

matang. Permukaan kulit licin dan bergetah.

Buah memiliki panjang ± 6-8 cm dan

diameter ±4-5 cm. Daging buah tipis dan

berair, berwarna kuning terang hingga

jingga, memiliki rasa yang manis dan

banyak mengandung serabut.

Pada pemeriksaan anatomi

(Gambar1 ), daun M. casturi memiliki

stomata tipe parasitik dimana sumbu sel

tetangga sejajar dengan sumbu sel penutup

serta celah (Depkes RI, 1995)..

Gambar 1. Hasil pemeriksaan anatomi sel daun,

kulit batang, dan buah M.casturi

(Perbesaran 40x). (a) Penampang

melintang daun M.casturi, (b)

Penampang membujur daun M. casturi

Pemeriksaan organoleptik dapat

memberikan pengenalan awal secara

objektif sebagai dasar untuk menguji

simplisia secara fisik selama penyimpanan

yang dapat mempengaruhi khasiatnya dan

menunjang identifikasi ekstrak selanjutnya

(Harborne, 1996). Hasil pemeriksaan

organolpetik menunjukkan karakteristik

dauan yaitu daun berwarna hijau, berbau

khas lemah, dan tidak berasa.

Metode ekstraksi secara maserasi

(cara dingin) dipilih untuk meminimalisir

rusaknya kandungan senyawa karena

karena pemanasan. Hasil ekstraksi didapat

rendemen ekstrak daun sebanyak

12,032%. Dari hasil analisis terhadap

parameter non spesifik didapatkan nilai

kadar air 15,9%; kadar abu total 3,67%;

kadar abu tidak larut asam 0,67%; serta

analisis cemaran seperti yang disajikan

pada tabel I. Penentuan kadar air terkait

dengan kemurnian ekstrak. Semakin sedikit

kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit

kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh

pertumbuhan jamur (Saifudin et al., 2011).

Tabel I. Parameter non spesifik ekstrak

metanol daun M. casturi

Hasil penentuan kadar air ekstrak

daun M. casturi melebihi batas kadar air

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

91

yang diperbolehkan oleh BPOM (2014).

Tingginya kadar air dapat disebabkan oleh

proses pengeringan yang kurang optimal

(Prasetyo & Inoriah, 2013) serta absorbsi

air ke dalam ekstrak saat proses

penyimpanan akibat lingkungan yang

lembab (Saifudin et al., 2011).

Penentuan kadar abu bertujuan

untuk mengukur jumlah komponen

anorganik atau mineral yang tersisa setelah

proses pengabuan (Sudarmadji, 1989).

Kadar seyawa anorganik atau mineral

dalam jumlah tertentu dapat

mempengaruhi sifat fisik bahan (Winarno,

1987). Abu yang tidak larut asam

menunjukkan keberadaan pengotor seperti

pasir atau silikat yang berasal dari tanah

(Sudarmadji, 1989). Hasil penentuan kadar

abu total dan abu tidak larut asam ekstrak

metanol daun, M. casturi telah memenuhi

persyaratan Farmakope Herbal Indonesia.

Uji total bakteri dan total kapang

dilakukan untuk mengetahui jumlah

mikroba yang dapat mengkontaminasi

ekstrak. Keberadaan cemaran mikroba

dapat mempengaruhi stabilitas ekstrak dan

dapat membahayakan kesehatan (BPOM,

2008). Terdapat pertumbuhan kapang pada

ekstrak dapat disebabkan oleh adanya

kandungan air dalam ekstrak. Menurut

Fardiaz et al. (1992), kandungan air dalam

ekstrak merupakan salah satu faktor

pendukung pertumbuhan kapang.

Penentuan kadar logam pada

ekstrak berguna menjamin bahwa ekstrak

tidak mengandung logam melebihi batas

yang ditetapkan karena bersifat toksik

terhadap kesehatan. Hasil penelitian

menunjukkan kadar Pb telah memenuhi

persyaratan BPOM (2014).

Hasil identifikasi kimia (tabel 2)

menunjukkn adanya kesamaan kandungan

senyawa pada serbuk dan ekstrak

sedangkan penyebaran kandungan

senyawa pada bagian simplisia M. casturi

memiliki perbedaan. Hal ini menjelaskan

bahwa penggunaan simplisia M. casturi

dalam bentuk segar dan yang telah

mengalami proses pengeringan memiliki

konsistensi aktivitas sesuai dengan peran

kandungan senyawa pada masing-masing

bagian tumbuhan. Diferensiasi metabolit

sekunder dalam suatu tumbuhan dapat

dipengaruhi oleh perbedaan proses sintesis

sel pada tahap tertentu sehingga terjadi

suatu proses produksi yang kompleks

(Gutzeit, & Muller, 2014).

Tabel II. Identifikasi kandungan kimia

simplisia dan ekstrak metanol

daun, kulit batang, dan buah M.

casturi

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

92

Identifikasi senyawa kimia

terhadap ekstrak dengan metode KLT

bertujuan memberikan gambaran adanya

kandungan senyawa yang telah

diidentifikasi sebelumnya mencegah

pemalsuan terhadap zat aktif. Identifikasi

secara KLT meliputi identifikasi senyawa

golongan alkaloid, flavonoid, fenol,

steroid dan terpenoid. Identifikasi senyawa

secara KLT disajikan pada gambar 2.

Reagen spesifik untuk senyawa

alkaloid adalah wagner, mayer dan

dragendorf. Identifikasi senyawa alkaloid

pada ekstrak menunjukkan hasil positif

dengan ditandainya bercak warna jingga

pada kromatogram. Senyawa fenolik

(flavonoid dan polifenol) menunjukkan

warna biru sampai biru tua ketika

direaksikan dengan reagen semprot FeCl3.

Identifikasi senyawa triterpenoid/steroid

menggunakan pereaksi semprot larutan

Liebermann Burchard tidak menunjukkan

bercak berwarna ungu atau merah jingga.

Hal tersebut memberikan informasi bahwa

ekstrak metanol daun M. casturi yang diuji

tidak teridentifikasi adanya triterpenoid.

Pada uji steroid, beberapa bercak

kromatogram menunjukkan warna hijau

kebiruan. Hasil tersebut memberikan

informasi bahwa ekstrak metanol daun M.

casturi positif mengandung senyawa

steroid. Hal tersebut juga sesuai dengan

hasil reaksi identifikasi golongan senyawa

sebelumnya terhadap serbuk dan ekstrak

metanol daun M. casturi.

Gambar 2. Identifikasi senyawa ekstrak

metanol daun M. casturi

terhadap kromatogram.

IV. KESIMPULAN

Daun Mangifera casturi Kosterm.

berwarna hijau, berbau khas lemah, dan

tidak berasa. Terdapat fragmen pengenal

seperti stomata tipe parasitik, sklerenkim

memanjang, dan dalam ekstrak metanol

mengandung senyawa flavonoid, alkaloid,

fenol, serta steroid. Kadar air dan kadar

abu dalam ekstrak metanol adalah 15,5 dan

3,67% sedangkan cemaran bakteri,

kapang, dan timbal secara berturut-turut

adalah <1,10; <1,10; dan 3 mg/kg.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

93

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada

Kementrian Ristek Dikti melalui dana

PUPT dan semua pihak yang berperan atas

terselesaikannya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2008. Pengujian Mikrobiologi

Pangan. Pusat Pengujian Obat dan

Makanan Badan Pengawasan Obat

dan Makanan Republik Indonesia.

Jakarta.

BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia No. 12 Tahun

2014 tentang Persyaratan Mutu Obat

Tradisional.

Depkes, RI. 1995. Materia Medika

Indonesia, Jilid 6. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia,

Jakarta.

Depkes, RI. 2000. Parameter Standar

Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.

Direktorat Pengawasan Obat

Tradisional, Jakarta.

Fakhrudin, N., P.P. Susilowati, Sutomo &

S. Wahyono. 2013. Antiinflamatory

Activity of Methanolic Extract of

Mangifera casturi in Thioglycollate-

Induced Leukocyte Migration in

Mice. Traditional Medicine Journal.

18(3): 151-156.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gutzeit, H.O. & J.L. Muller. 2014. Plant

Natural Products: Synthesis,

Biological Functions and Practical

Applications, First Edition. Wiley

Blackwell, Jerman

Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia

Penuntun Cara Modern

Menganalisis Tumbuhan, Terbitan

Kedua. Institut Teknologi Bandung,

Bandung.

Mulyani, R. 2015. Karakterisasi Sediaan

Edible Film Ekstrak Etanol Kulit

Batang Kasturi (Mangifera casturi

Kosterm) dengan Variasi

Konsentrasi Gelatin Sebagai

Polimer. Skripsi. Universitas

Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Oktafia, S. 2009. Uji Aktifitas Antibakteri

Ekstrak Metanol Daun Kasturi

(Mangifera casturi Kosterm)

Terhadap Bakteri Vibrio cholera dan

Escherichia coli secara In Vitro.

Skripsi. Universitas Lambung

Mangkurat, Banjarbaru.

Prasetyo, M.S. & E. Inoriah. 2013.

Pengelolaan Budidaya Tanaman

Obat-Obatan (Bahan Simplisia).

Badan Penelitian Fakultas UNIB,

Bengkulu.

Rosyidah, K., S.A Nurhumainina, N.

Komari & M.D. Astuti. 2010.

Aktifitas Antibakteri Fraksi Saponin

dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi

(Mangifera casturi). Alchemy. 1(2):

65-69.

Saifudin, A., V. Rahayu, & H.Y. Teruna,

2011. Standarisasi Bahan Obat

Alam Edisi Pertama. Graha Ilmu,

Yogyakarta.

Sudarmaji, S. 1989. Analisa Bahan

Makanan dan Pertanian. Penerbit

Liberty, Yogyakarta.

Sutomo., S. Wahyuono, E.P. Setyowati, S.

Rianto, A. Yuswanto. 2014.

Antioxidant Activity Assay of

Extracts and Active Fractions of

Kasturi fruit (Mangifera casturi

Kosterm.) Using 1, 1-diphenyl-2-

picrylhydrazyl Method. Journal of

Natural Products. 7: 124-130.

Syanjaya, L. 2009. Uji Aktivitas

Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun

Kasturi (Mangifera casturi)

Terhadap Mencit (Mus musculus)

yang Diinduksi Karagenin. Skripsi.

Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarbaru.

Winarno. F.G. 1987. Kimia Pangan dan

Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

94

Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Infusa

Akar Manuran (Coptosapelta Tomentosa Valeton Ex

K. Heyne) Asal Kotabaru Kalimantan Selatan

*Arnida, Ratih Purnama Putri, Fadlilaturrahmah, Sutomo

Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Malaria merupakan salah satu penyakit di dunia termasuk Indonesia yang

disebabkan oleh Plasmodium. Kasus malaria diperparah dengan timbulnya resistensi

Plasmodium karena penurunan akumulasi obat pada pencernaan parasit, mutasi gen

dan tingginya resistensi penggunaan antimalaria. Penemuan antimalaria baru terus

diupayakan termasuk dari tumbuhan. Coptosapelta tomentosa adalah tumbuhan obat

Indonesia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kotabaru dalam

pengobatan malaria. Penelitian ini bertujuan menentukan persentase penghambatan

dan nilai IC50 polimerisasi hem setelah pemberian infusa akar C. tomentosa. Penelitian

ini dilakukan dengan pemberian sampel uji pada konsentrasi infusa 17; 8,5; 4,25; 2,125;

1,0625 dan 0,53125 mg/mL. Hasil penelitian rata-rata kadar hemozoin pada konsentrasi

sampel infusa masing-masing sebesar 54,67±8,76; 85,82±3,20; 97,24±7,44; 100±0; 100±0

dan 100±0 mg/mL. Rata-rata persen penghambatan pada konsentrasi infusa secara

berturut-turut adalah 63,13±5,91; 42,12±2,16; 34,42±5,02; 24,69±8,34; 13,79±5,20 dan

0±0. Nilai IC50 penghambatan polimerisasi hem infusa akar C. tomentosa adalah

9,61±0,99 mg/mL. Analisis data menggunakkan uji Independent Sample t-Test

membandingkan antara IC50 infusa terhadap klorokuin difosfat didapatkan hasil p >

0,05 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna, artinya infusa akar

C. tomentosa memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang sebanding

terhadap klorokuin difosfat.

Kata Kunci : Coptosapelta tomentosa Valeton ex K. Heyne, IC50, Infusa, penghambatan,

polimerisasi hem.

ABSTRACT

Malaria is one of the diseases in the world especially Indonesia which caused by

Plamodium. Malaria case is worsen by Plamodium resistance due to reduction of medicine

accumulation of parasite digestion, gen mutation, and high resistance of anti-malaria

usage. The continuous effort to invent the new anti-malaria preferred to be plants.

Coptosapelta tomentosa is medicinal plant of Indonesia which is empirically used by

people in Kotabaru as part of the treatment for Malaria. The objective of this research is to

determine the inhibitory percentage and IC50 value of hem polimerysation after the

administration of test sample infusion at 17; 8,5; 4,25; 2,125; 1,0625 and 0,53125 mg/mL

concentration. The result of this research is that the hemozoin average level of each

infusion samples are 54,67±8,76; 85,82±3,20; 97,24±7,44; 100±0; 100±0 and 100±0

mg/mL. The inhibitory percentage of infusion concentration in order are 63,13±5,91;

42,12±2,16; 34,42±5,02; 24,69±8,34; 13,79±5,20 and 0±0. The inhibitory IC50 value of

manuran roots hem infusion polimerysaton is 9,61±0,99 mg/mL. The data is analyzed by

using Independent Sample t-Test to compare between IC50 infusion and klorokuin

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

95

diphosphate with the result p > 0,05 which shows that there is no significant difference,

thus, the infusion of C. Tomentosa roots has the inhibitor activity which is comparable to

klorokuin diphosphate.

Keywords: Coptosapelta tomentosa Valeton ex K. Heyne, hem polimerysation, IC50,

Infusion, inhibitor.

I. PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat di dunia

termasuk Indonesia (Depkes RI, 2003).

Indonesia berada di peringkat ketiga

tertinggi jumlah kasus malaria di wilayah

Asia Tenggara yaitu sebesar 229.819 kasus

dengan jumlah kematian sebesar 432 jiwa

(WHO, 2012). Kasus malaria diperparah

dengan timbulnya resistensi disebabkan

oleh penurunan akumulasi obat pada

pencernaan parasit, mutasi gen dan

tingginya intensitas penggunaan

antimalaria (Saleh et al., 2014). Upaya

penanganan kasus malaria diantaranya

penemuan antimalaria baru. Polimerisasi

hem merupakan metode pengujian in vitro

dengan target penghambatan polimerisasi

hem pada vakuola digesti Plasmodium.

Akar manuran (Coptosapelta tomentosa)

digunakan secara empiris oleh masyarakat

Kotabaru sebagai antimalaria. Penelitian

ini bertujuan menentukan nilai IC50

penghambatan polimerisasi hem dari nilai

persentase penghambatan polimerisasi

hem setelah pemberian infusa akar C.

tomentosa.

II. METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain

sentrifus, ELISA reader, inkubator,

mikrotube, mikropipet, neraca analitik, pH

meter, seperangkat infudator dan vortex

mixer. Bahan yang digunakan antara lain

akar C. tomentosa, akuades, amonia, asam

asetat anhidrat, asam asetat glasial p.a.,

DMSO p.a., FeCl3, gelatin, H2SO4 pekat,

HCl, kloroform, klorokuin difosfat p.a.,

kristal hematin p.a., metanol, NaCl,

NaOH, reagen Dragendorff, reagen Mayer,

serbuk magnesium.

B. Pembuatan Infusa Akar C.

tomentosa

Sebanyak 10 gram serbuk akar C.

tomentosa ditambahkan dengan akuades

sebanyak 100 mL. Campuran tersebut

dimasukkan ke dalam penangas air selama

15 menit terhitung mulai temperatur 90oC.

Larutan infusa tersebut disaring

menggunakan kain flanel. Sebanyak 1 mL

dari larutan infusa 10% diuapkan sampai

menghasilkan bobot tetap bernilai 17

mg/mL yang dinyatakan sebagai bobot

konversi pengujian.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

96

C. Skrining fitokimia Akar C.

tomentosa

Dilakukan uji skrining fitokimia

terhadap senyawa alkaloid, flavonoid,

steroid, triterpenoid, tanin, saponin,

fenolik dan antrakuinon.

D. Pembuatan kurva baku hematin

Pembuatan seri kadar larutan

hematin sebanyak 400 μL dalam larutan

NaOH 0,1 M dengan konsentrasi: 250,

125; 62,5; 31,25; 15,625; 7,8125; dan

3,90625 μM. Larutan dipipet 100 μL dari

masing-masing konsentrasi ke dalam

mikrokultur 96 sumuran dan dilakukan

pembacaan nilai absorbansi pada ELISA

Reader panjang gelombang 405 nm.

E. Uji penghambatan polimerisasi hem

Sebanyak 50 μL sampel bahan uji

dipipet ke dalam mikrotube dari masing-

masing konsentrasi 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625

dan 0,3125% dibuat triplet. Larutan uji

ditambahkan 100 μL larutan hematin 1

mM dalam NaOH 0,2 M. Kemudian

sebanyak 50 μL larutan asam asetat glasial

100% (pH 2,6) ditambahkan pada

mikrotube yang sudah berisi larutan

hematin dan sampel, kemudian diinkubasi

pada suhu 37oC selama 24 jam. Sebagai

kontrol positif adalah klorokuin difosfat

dengan konsentrasi 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625

dan 0,3125% sedangkan sebagai kontrol

negatif adalah akuades. Setelah inkubasi,

mikrotube disentrifuse dengan kecepatan

8000 rpm selama 10 menit. Supernatan

dibuang dan endapan dicuci sebanyak 4

kali dengan 200 μL DMSO 100%.

Masing-masing pencucian dilakukan

dengan cara disentrifuse berkecepatan

8000 rpm selama 10 menit. Endapan yang

diperoleh ditambah 200 μL NaOH 0,1 M.

Setiap 100 μL larutan yang diperoleh

dimasukkan ke dalam mikroplate 96

sumuran dan dibaca nilai absorbansinya

dengan ELISA reader pada panjang

gelombang 405 nm. Nilai absorbansi yang

diperoleh diplot ke persamaan garis regresi

linear kurva standar sehingga dapat

ditentukan konsentrasi 𝛽-hematin bahan

uji pada setiap sumuran.

F. Analisis data

Nilai Absorbansi pada masing-

masing konsentrasi perlakuan

diinterpolasikan ke persamaan kurva baku.

Aktivitas penghambatan polimerisasi hem

dinyatakan berdasarkan nilai IC50 yang

diperoleh dari analisis probit nilai

persentase penghambatan polimerisasi

hem.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode infusa dipilih sebagai

pendekatan pada penggunaan secara

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

97

tradisional akar C. tomentosa oleh

masyarakat dengan merebus akar C.

tomentosa dan meminum air rebusannya

tersebut. Akar C. tomentosa mengandung

senyawa flavanoid yang bersifat polar dan

mudah bercampur dengan air.

A. Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia yang

dilakukan, akar C. tomentosa mengandung

golongan senyawa flavonoid, tanin,

saponin, fenolik dan antrakuinon.

B. Pengujian Aktivitas Penghambatan

Polimerisasi Hem

Kurva baku hematin ditentukan

untuk mengetahui rumus persamaan linear

yang berfungsi pada penentuan kadar

hemozoin. Hasil kurva baku hematin,

menghasilkan grafik kurva baku (Gambar

1) dengan r² = 0,994 dengan persamaan y

= 0,011 x + 0,244.

Gambar 1. Grafik absorbansi kurva baku

hematin

Polimerisasi hematin terjadi jika

ditandai dengan pengurangan kristal β-

hematin yang terbentuk (Purwanto, 2011).

Pada penelitian ini, absorbansi kadar β-

hematin semakin kecil dengan

meningkatnya konsentrasi uji. Konsentrasi

uji yang tinggi menghasilkan

penghambatan polimerisasi hem yang

tinggi pula (Tabel 1). Nilai persentase

penghambatan polimerisasi hem yang

diperoleh, selanjutnya dianalisis probit

untuk menentukan nilai IC50. Nilai IC50

yang diperoeh adalah 9,61 ± 0,99 mg/mL

artinya infusa akar C. tomentosa dengan

konsentrasi 8,23 mg/mL memberikan

penghambatan polimerisasi hem 50%.

Nilai tersebut diperbandingkan dengan

nilai IC50 klorokuin difosfat sebagai

kontrol positif. Klorokuin difosfat

menghasilkan nilai IC50 8,23±1,00 mg/mL.

Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa

yang mempunyai nilai IC50 lebih kecil dari

nilai IC50 klorokuin difosfat 12 mg/mL,

maka senyawa tersebut dapat dikatakan

memiliki aktivitas penghambatan

polimerisasi hem. Hal tersebut juga

menjadi landasan untuk menetapkan

bahwa infusa akar C. tomentosa memiliki

aktivitas penghambatan polimerisasi hem.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

98

Tabel I. Rata-rata persen penghambatan

dan IC50 dari sampel

IV. KESIMPULAN

Infusa akar C. tomentosa pada

konsentrasi 17; 8,5; 4,25; 2,125; 1,0625;

dan 0,53125 mg/mL memperlihatkan

persen penghambatan secara berturut-turut

63,13±5,91; 42,12±2,16; 34,42±5,02;

24,69±8,34; 13,79±5,20 dan 0±0 %. Infusa

akar C. tomentosa memiliki aktivitas

penghambatan polimerisasi hem

berdasarkan nilai IC50 9,61±0,99 mg/mL.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih atas segala

bantuan pendanaan dari Kementrian Ristek

Dikti pada skim Hibah Bersaing.

DAFTAR PUSTAKA

Baelsmans, R., E. Deharo, V. Munoz, M.

Sauvain & H. Ginsburg. 2000.

Experimental conditions for testing

the inhibitory activity of

chloroquine on the formation of β-

hematin. Experimental

Parasitology. 42: 55-60.

Depkes RI. 2008. Pedoman

Penatalaksanaan Kasus Malaria di

Indonesia. Direktur jendral PPM &

PLP, Jakarta. Dalam Setiyanggono,

N. E., Nuri & E. Puspitasari. Uji

Aktivitas Antimalaria Ekstrak

Kering Daun Tithonia diversifolia

pada Mencit yang Diinfeksi

Plasmodium berghei (Antimalarial

Activity of Dry Extract of Tithonia

diversifolia Leaves on Plasmodium

berghei Infected Mice). e-Jurnal

Pustaka Kesehatan. 2: 100-104.

Depkes RI. 2003. Keputusan menteri

kesehatan nomor:

1202/MENKES/SK/VIII/ 2003

tentang indikator Indonesia sehat

2010 dan pedoman penetapan

indikator propinsi sehat dan

kabupaten/kota Sehat. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia,

Jakarta.

Purwanto. 2011. Isolasi dan Identifikasi

Senyawa Penghambat Polimerisasi

Hem dari Fungi Endofit Tumbuhan

Artemisia Annua L. Tesis Magister

Farmasi Sains dan Teknologi,

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Saleh, I., D. Handayani & C. Anwar. 2014.

Polymorphisms in the pfcrt and

pfmdr1 Genes in Plasmodium

falciparum Isolates from South

Sumatera, Indonesia. Journal

Medical Indonesia. 23: 3-8.

WHO. 2012. Disease Burden in SEA

Region. http://www.searo.who.int/

LinkFiles/Malaria_in_the_SEAR_

Map_SEAR_Endemicity_10.pdf.

Diakses tanggal Oktober 2015.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

99

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Keluarga dan

Pola Pengobatan terhadap Kepatuhan Pengobatan

Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan

RSJ Sambang Lihum Banjarbaru

*Eriza Nur Aq Liny, Valentina Meta Srikartika, Herningtyas Nautika Lingga

Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Kepatuhan pasien skizofrenia dalam menjalankan terapi akan memberikan

dampak yang positif bagi kondisi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur

tingkat kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia, menggambarkan tingkat

pengetahuan keluarga dan pola pengobatan pasien, serta mengevaluasi hubungan

antara tingkat pengetahuan keluarga dan pola pengobatan pasien terhadap kepatuhan

pengobatan pasien. Tingkat pengetahuan diukur dengan kuesioner tingkat

pengetahuan yang diberikan kepada keluarga pasien melalui wawancara terpimpin,

kepatuhan ditentukan berdasarkan kuesioner kepatuhan yang diisi oleh keluarga

pasien dan Medical Possession Ratio (MPR), sedangkan pola pengobatan ditentukan

dengan melihat data resep dan rekapitulasi data dari depo 2. Hasil menunjukkan

bahwa dari 101 pasien skizofrenia di RSJ Sambang Lihum 79,2% patuh terhadap

pengobatan. Mayoritas keluarga pasien memiliki tingkat pengetahuan tinggi (60,4%).

Gambaran pola pengobatan menunjukkan mayoritas jenis obat yang dikonsumsi pasien

adalah kombinasi atipikal dengan tipikal (85,1%), jumlah obat yang dikonsumsi adalah

2 obat (57,4%), dan lama pengobatan berkisar 1-5 tahun (68,3%). Tingkat pengetahuan

keluarga berhubungan signifikan dengan kepatuhan minum obat pasien (p-

value=0,001). Pasien dengan keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi

cenderung 5,5 kali (95%,CI:1,9-15,8) lebih patuh dibandingkan pasien dengan keluarga

yang memiliki tingkat pengetahuan sedang. Sedangkan hasil pola pengobatan tidak

terdapat hubungan antara kepatuhan pasien minum obat dengan seluruh aspek pola

pengobatan.

Kata kunci : Skizofrenia, pengetahuan keluarga, pola pengobatan, kepatuhan

ABSTRACT

Therapeutics adherence of schizophrenia patients will have a positive impact for the

patient's condition. This study aimed to measure the adherence level of schizophrenia

patiens, describe family knowledge and patient treatment patterns, and to evaluate the

correlation between family knowledge, patients treatment patterns and patients adherence.

Family knowledge was determined by questionnaire given to patient's family through

guided interviews, medication adherence was determined by the combination of adherence

questionnaire and Medical Possession Ratio (MPR), while the pattern of treatment is

determined by examine the prescription data and data summary from depo 2. The results

showed that percentage of medication adherence was 79,2% of 101 patients. The majority

of families have a high level of knowledge (60,4%). The patterns of treatment showed that

the majority type of drugs were the combination of atypical and typical (85,1%), the

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

100

amount of drugs consumed were two drugs (57,4%), and duration range of illnesss was

from 1-5 years (68,3%). The analysis showed that family’s knowledge was associated with

adherence (p value= 0,001). Patients who had families with high level of knowledge were

5,5 times (95%,CI:1,9-15,8) more likely to adhere than the patients who had families with

moderate level of knowledge. While there was no correlation between medication

adherence with all aspect of treatment patterns.

Keywords: Schizophrenia, family knowledge, treatment patterns, adherence

I. PENDAHULUAN

Seseorang yang menderita

gangguan jiwa skizofrenia adalah orang

yang mengalami keretakan jiwa atau

keretakan kepribadian (Hawari, 2003).

Dari hasil survei di rumah sakit di

Indonesia, sekitar 0,5-1,5 per seribu

penduduk mengalami gangguan jiwa

(Riza et al., 2012). Riset kesehatan dasar

tahun 2013 menyebutkan bahwa

prevalensi skizofrenia di Kalimantan

Selatan adalah 1,4 per seribu dan

merupakan prevalensi dengan nilai

tertinggi, dibandingkan provinsi lainnya di

Kalimantan (Riskesdas, 2013).

Salah satu faktor penyebab

kambuhnya pasien dengan gangguan jiwa

adalah keluarga yang tidak tahu cara

menangani pasien skizofrenia di rumah.

Pengetahuan keluarga dapat membantu

keluarga dalam memberikan perawatan

kepada pasien skizofrenia, sehingga pasien

patuh mengkonsumsi obat dan terhindar

dari kekambuhan (Purnamasari et al .,

2013). Penanganan skizofrenia adalah

dengan menggunakan pengobatan

antipsikotik (Irwan et al., 2008). Jenis obat

merupakan salah satu penyebab

ketidakpatuhan (Sirait & Mustika, 2009).

Lamanya penyakit dapat memberikan efek

negatif terhadap kepatuhan pasien.

Makin lama pasien mengidap penyakit,

makin kecil pasien tersebut patuh pada

pengobatannya (Notoatmodjo, 2003).

Pasien-pasien tidak patuh minum obat

disebabkan kejenuhan karena banyaknya

obat yang dikonsumsi (Yuliantika et al.,

2012). Penelitian bertujuan untuk

mengukur tingkat kepatuhan pasien

skizofrenia, menggambarkan tingkat

pengetahuan keluarga dan pola pengobatan

pasien skizofrenia, serta mengevaluasi

hubungan antara tingkat pengetahuan

keluarga dan pola pengobatan terhadap

kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia.

II. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

.Penelitian dilakukan menggunakan

survei deskriptif korelasi dengan

mengambil data kuesioner dan data resep.

Penelitian ini merupakan penelitian non

eksperimental dengan metode pendekatan

cross sectional.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

101

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan

April-Mei tahun 2016, di instalasi rawat

jalan RSJ Sambang Lihum.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh keluarga pasien penderita

skizofrenia yang berobat di RSJ Sambang

Lihum. Teknik yang digunakan untuk

menentukan sampel yaitu quota sampling.

Jumlah sampel yang dijadikan responden

pada penelitian ini minimal sejumlah 87

responden.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi yang ditentukan

untuk menentukan sampel pada penelitian

ini yaitu keluarga dari pasien skizofrenia,

minimal telah menjalani 1 kali terapi rawat

jalan dan keluarga yang memiliki

hubungan dengan pasien (orang tua,

saudara kandung, anak, pasangan suami

istri, dan keluarga jauh) yang tinggal satu

rumah dengan pasien skizofrenia dan

bertanggung jawab dalam perawatan

serta pengobatan pasien sehari-hari.

Kriteria eksklusi yaitu pasien

dengan data resep tidak lengkap (nama

pasien, no resep, tanggal pengambilan

obat, jenis obat, jumlah obat) dan data

lama pengobatan yang didapat di depo 2

(Ruang rekapitulasi data resep), keluarga

pasien yang telah terlibat pada penelitian,

namun mengundurkan diri, dan keluarga

pasien tidak dalam kondisi sehat.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang

digunakan adalah kuesioner dan data

resep. Kuesioner terdiri atas tingkat

pengetahuan dan kepatuhan pengobatan.

Data resep berupa nama pasien, no resep,

tanggal resep, jenis obat, dan jumlah obat

untuk melihat pola pengobatan dan

perhitungan metode MPR.

F. Analisis Data

Analisis data hasil kuesioner

pengetahuan keluarga dikategorikan menjadi 3

kategori, pengetahuan rendah jika nilai 0-4,

pengetahuan sedang jika nilai 5-8, dan

pengetahuan tinggi jika nilai 9-12. Kuesioner

kepatuhan pasien dianalisa jika nilai 7-11

pasien dikategorikan patuh dan tidak patuh

jika nilai 0-6 (Sinaga, 2014). Kepatuhan juga

diukur dengan metode MPR nilai MPR

yang digunakan maksimal 1 (100%). Bila

nilai MPR <0,8 dikategorikan tidak patuh

dan ≥0,8 dikategorikan patuh (Sikka et al,

2005). Pasien dikatakan patuh jika nilai

kedua metode yaitu kuesioner dan MPR

menunjukkan bahwa pasien patuh. Hasil

keseluruhan data dinalisis menggunakan

komputasi SPSS 21 dengan uji kolerasi

Chi-Square dan Binary logistic dengan

tingkat kepercayaan (α=0,05).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

102

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama waktu penelitian yang

dilakukan didapatkan sampel sebanyak

133 keluarga pasien skizofrenia yang

berobat di instalasi rawat jalan RSJ

Sambang Lihum Banjarbaru. Namun,

hanya 101 orang yang dijadikan sampel

dan 32 orang lainnya dieksklusi.

Tabel I. Distribusi Karakteristik Keluarga

Pasien Skizofrenia di Instalasi

Rawat Jalan RSJ Sambang

Lihum Banjarbaru

Tabel II. Distribusi Karakteristik Pasien

Skizofrenia di Instalasi Rawat

Jalan RSJ Sambang Lihum

Banjarbaru

Gambar 1. Hasil Kombinasi Kuesioner dan MPR

Kepatuhan Pasien Skizofrenia

Tabel III. Hubungan Pengetahuan Keluarga

dengan Kepatuhan Minum Obat

Pasien Skizofrenia

Berdasarkan hasil penelitian ini

diperoleh hasil analisis Chi-Square pada

tabel III menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara

pengetahuan keluarga dengan kepatuhan

minum obat pasien skizofrenia, dengan p-

value = 0,001. Hasil wawancara dengan

keluarga pasien, mayoritas keluarga pasien

mengetahui jika pasien tidak minum obat

maka pasien akan kambuh. Keluarga juga

mengetahui bahwa pasien harus terus

kontrol berobat kedokter tepat waktu.

Keluarga yang mengetahui hal tesebut,

tentunya dapat membantu pasien patuh

dalam menjalankan terapi pengobatannya.

Penelitian yang dilakukan oleh

Purnamasari et al (2013) didapatkan hasil

(p-value= <0,01) yang artinya terdapat

hubungan signifikan antara pengetahuan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

103

keluarga dengan kepatuhan minum obat

pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini

juga didukung oleh Butar (2012), bahwa

pasien yang telah diberi penjelasan

tentang pengobatannya oleh keluarga akan

menunjukkan peningkatan kepatuhan

sehingga menghasilkan peningkatan hasil

terapi.

Analisis selanjutnya menggunakan

Binary logistic didapatkan hasil bahwa

pasien dengan keluarga yang memiliki

pengetahuan tinggi akan 5,5 kali lebih

patuh meminum obat, dibandingkan pasien

dengan keluarga yang memiliki tingkat

pengetahuan sedang. Hasil analisis dapat

dilihat pada tabel IV.

Tabel IV.Hasil analisis OR Tingkat

Pengetahuan Keluarga terhadap

Kepatuhan

Hubungan pola pengobatan

terhadap kepatuhan pasien skizofrenia

yang terdiri dari jenis obat, jumlah obat,

dan lama pengobatan dengan kepatuhan

minum obat pasien dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel V. Hubungan Jenis Obat dengan

Kepatuhan Pasien Skizofrenia

Tabel VI. Hubungan Jumlah Obat dengan

Kepatuhan Pasien Skizofrenia

Tabel VII. Hubungan Lama Pengobatan

Dengan Kepatuhan Pasien

Skizofrenia

Hasil pada tabel V, VII, dan VIII

tentang jenis obat, jumlah obat, dan lama

pengobatan didapatkan nilai p-value

>0,05 , sehingga tidak terdapat hubungan

antara seluruh aspek pola pengobatan

tersebut dengan kepatuhan minum obat

pasien skizofrenia. Tidak adanya

hubungan antara jenis obat, jumlah obat

dan lama sakit dengan kepatuhan

kemungkinan dikarenakan pasien

skizofrenia di RSJ Sambang Lihum tidak

melakukan pengobatan sendiri, melainkan

pengobatan menjadi tanggung jawab

keluarga pasien dan dikarenakan pada

kasus pasien gangguan jiwa, pasien tidak

mampu berpikir secara logis khususnya

untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga

yang diperlukan pada pasien gangguan

jiwa adalah peran keluarga. Dalam hal ini

didukung oleh tingginya tingkat

pengetahuan keluarga.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

104

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1. Tingkat kepatuhan meminum obat

pasien skizofrenia di RSJ Sambang

Lihum (79,2%) pasien patuh.

2. Tingkat pengetahuan keluarga pasien

di RSJ Sambang Lihum mayoritas

memiliki tingkat pengetahuan yang

tinggi (60,4%). Pola pengobatan pada

pasien skizofrenia di RSJ Sambang

Lihum menunjukkan bahwa jenis obat

yang paling banyak diresepkan dokter

adalah jenis kombinasi antara atipikal

dan tipikal (85,1%). Jumlah obat yang

paling banyak dikonsumsi oleh pasien

adalah 2 obat (57,4%). Lama

pengobatan yang paling banyak

diderita pasien adalah berkisar 1

sampai 5 tahun (68,3%).

3. Tingkat pengetahuan keluarga

berhubungan signifikan dengan

kepatuhan minum obat pasien

skizofrenia (p =0,001). Pasien dengan

keluarga yang memiliki tingkat

pengetahuan tinggi cenderung 5,5 kali

(95%,CI:1,9-15,8) lebih patuh

meminum obat dibandingkan pasien

dengan keluarga yang memiliki tingkat

pengetahuan sedang. Sedangkan hasil

pola pengobatan tidak terdapat

hubungan antara kepatuhan pasien

minum obat dengan seluruh aspek pola

pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Butar, B. O. D. 2011. Hubungan

Pengetahuan Keluarga dengan

Tingkat Kepatuhan Pasien

Skizofrenia di Rumah Sakit Daerah

Provinsi Sumatra Utara Medan.

Skripsi Fakultas Keperawatan,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Hawari, D. 2003. Pendekatan Holistic

pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.

FKUI, Jakarta.

Irwan, M., A. Fajriansyah,, B. Sinuhadji.

& M. Indrayana. 2008.

Penatalaksanaan Skizofrenia .

Fakultas Kedokteran Universitas

Riau, Riau.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan

Perilaku Kesehatan. Rhineka Cipta,

Jakarta.

Purnamasari, N., T. Tololiu, & D. H. C.

Pangemanan. 2013. Hubungan

Pengetahuan Keluarga Dengan

Kepatuhan Minum Obat Pasien

Skizofrenia Di Poliklinik Rumah

Sakit Prof. V.L. Ratumbuysang

Manado. Ejournal keperawatan (e-

Kp). 1 (1).

Riskesdas. 2013. Laporan Nasional 2013.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan. Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Riza H., Jumaini. & Arneliwati. 2012.

Hubungan Tingkat Pengetahuan

Keluarga Tentang Perawatan Pasien

Halusinasi dengan Perilaku

Keluarga dalam Merawat Pasien

Halusinasi. Jurnal Keperawatan. 3

(9).

Sikka R., F. Xia. & R.E. Aubert. 2005.

Estimating medication adherence

using administrative claims data. Am

J Manag Care. 11(7):449-457.

Sinaga, N. A. 2014. Hubungan

Pengetahuan Keluarga Dengan

Tingkat Kepatuhan Minum Obat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

105

Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia

Paranoid di Unit Rawat Jalan

Rumah Sakit Jiwa Aceh. Skripsi

Program Studi Pendidikan Dokter,

Universitas Syiah Kuala Darussalam,

Banda Aceh.

Sirait, A. & W. Mustika. 2009. Faktor-

Faktor Penyebab Ketidakpatuhan

pasien Skizofrenia Menjalani

Pengobatan Dirumah Sakit Jiwa

Daerah Propinsi Sumatera Utara

Medan Tahun 2009.

http://webcache.googleusercontent.c

om/search?q=cache:vk0yDPBpYakJ:

sari-mutiara.ac.id/new/wp

(diakses tanggal 10 Desember 2015)

Yuliantika., Jumaini. & F. Sabrian. 2012.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kepatuhan Minum Obat Pada

Pasien Skizofrenia.

http://webcache.googleusercontent.c

om/search?q=cache:KB0_pDVcZYg

J:repository.unri.ac.id/xmlui/bitstrea

m/handle/123456789/4267/JURNAL

.pdf%3Fsequence%3D1+&cd=1&hl

=id&ct=clnk

(diakses tanggal 20 November 2015)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

106

Adsorpsi Zat Warna Limbah Cair Batik Kalteng

menggunakan Komposit Magnetik Berbasis Bahan Alam

*Retno Agnestisia, Deklin Frantius

Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Bahan alam berupa bentonit disintesis dengan oksida besi guna menciptakan

komposit magnetik yang dapat diaplikasikan sebagai adsorben zat warna limbah cair

batik Kalteng dalam larutan. Sintesis komposit dilakukan menggunakan metode

kopresipitasi dengan rasio mol Fe2+

: Fe3+

= 1 : 2 pada temperatur sintesis 85οC.

Karakterisasi dilakukan dengan metode FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD (X-

ray diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2. Adsorpsi dilakukan menggunakan sistem

batch dengan kajian adsorpsi yang dipelajari meliputi pengaruh pH dan waktu kontak

adsorpsi. Bentonit dan komposit bentonit magnetik hasil sintesis mampu mengadsorpsi

zat warna limbah cair batik Kalteng secara optimal pada pH asam dan waktu kontak

90 menit dengan kemampuan adsorpsi masing-masing sebesar 75% dan 83%.

Komposit magnetik hasil sintesis mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi dan

mempercepat proses pemisahan partikel adsorben dalam larutan menggunakan medan

magnet eksternal.

Kata kunci : bentonit, magnetit dan adsorpsi.

ABSTRACT

Natural materials such as bentonite was synthesized by iron oxide to create

magnetic komposite bentonite which can be applied as adsorbent of dye wastewater batik

Kalteng in aqueous solution. Synthesis magnetic komposite was done by coprecipitation

method in the molar ratio Fe2+

: Fe3+

= 1 : 2 at synthesis temperature of 85οC.

Characterizations of materials were done using FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD

(X-ray diffraction) and fisiorpsi gas N2 methods. Adsorption using batch system with the

effects pH and contact time of adsorption were studied. The bentonite and bentonite

magnetic composite can adsorbed dye wastewater batik Kalteng from aqueous phase on

acid pH and contact time of 90 minutes with the adsorption capacity were 75% and 83%.

Magnetic composite increased the adsorption capacity and accelerated the adsorption of

adsorbent from aqueous phase using external magnetic field.

Keywords : bentonite, magnetite and adsorption.

I. PENDAHULUAN

Batik benang bintik merupakan

kain batik khas Kalimantan Tengah

(Kalteng) yang memiliki nilai seni yang

tinggi. Kekhasan batik terletak pada jenis

motif yang mencerminkan kebudayaan

suku Dayak, suku asli daerah Kalimantan

Tengah (Riefahmad, 2013).

Motif dan corak yang dituangkan

pada kain batik, ternyata melibatkan

proses pewarnaan menggunakan pewarna

sintetis. Dalam proses pewarnaan,

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

107

senyawa ini hanya tergunakan sekitar 25%

sedangkan sisanya akan dibuang kealiran

air sebagai limbah.

Limbah zat warna yang dihasilkan

umumnya merupakan senyawa organik

non-biodegradable dan bersifat

karsinogenik (Cahyadi, 2006). Selain

dapat membahayakan kesehatan, limbah

zat warna juga dapat memunculkan

permasalahan pada penggunaan air bersih,

kerusakan estetika badan air dan

ketidakseimbangan ekosistem.

Mengingat faktor resiko yang

ditimbulkan, maka pengolahan limbah zat

warna dari pabrik pembuatan Batik

Kalteng sangat perlu untuk diupayakan.

Metode adsorpsi merupakan salah satu

metode yang dapat digunakan untuk

mengatasi hal tersebut. Metode ini dinilai

efektif, preparasi mudah dan pembiayaan

operasional yang relatif murah. Salah satu

bahan yang dapat digunakan sebagai

adsorben adalah bentonit. Saat ini bentonit

merupakan material yang keberadaannya

cukup melimpah dan memiliki harga yang

relatif murah. Cadangan bentonit di

Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 380

juta ton, yang merupakan aset potensial

Indonesia yang harus dimanfaatkan

sebaik-baiknya (Syuhada et al., 2009).

Bentonit merupakan material alam

yang memiliki struktur berlapis dengan

situs aktif bermuatan negatif. Situs aktif ini

dihasilkan dari substitusi isomorfik yang

terjadi pada permukaan lapisan

monmorilonit penyusun bentonit.

Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh

bentonit, antara lain sifat mudah

mengembang, kapasitas tukar kation yang

tinggi, luas permukaan yang besar, stabil

secara kimia dan mekanika (Ortega et al.,

2013). Kelebihan-kelebihan tersebut

menjadikan bahan ini banyak

dimanfaatkan sebagai adsorben

kontaminan air, khususnya ion logam dan

senyawa kationik seperti ion Pb(II),

Cd(II)–Ni(II), Cu(II) dan Zn(II), Cr(VI),

limbah uranium, ion posfat, zat warna

methylene blue, malachite green, brilliant

green, basic red 46 dan direct blue 85

dalam larutan.

Uji adsorpsi bentonit terhadap

limbah zat warna ternyata memiliki

kesulitan dalam proses pemisahan fase

padat adsorben dalam larutan setelah

proses adsorpsi. Upaya yang dapat

dilakukan untuk mengatasi kesulitan

tersebut ialah dengan menyisipkan bahan

magnetik berupa oksida besi fasa magnetit

(Fe3O4) pada jaringan struktur bentonit,

sehingga diperoleh bentonit yang memiliki

sifat kemagnetan. Dengan pemberian sifat

kemagnetan, diharapkan pemisahan

partikel-partikel adsorben setelah proses

adsorpsi dapat dilakukan dengan mudah

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

108

dan cepat menggunakan medan magnet

eksternal (Oliveira et al., 2003).

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu limbah

cair batik Kalteng, bentonit alam,

FeCl3·6H2O, FeSO4·7H2O, HCl 37%,

AgNO3, NH4OH, NaOH, akuades dan

kertas whatman 42µ.

B. Persiapan Sampel Limbah Cair

Batik Kalteng

Limbah cair batik Kalteng yang

diperoleh dari industri X disaring

menggunakan kertas saring whatman 42µ.

Filtrat yang diperoleh diencerkan dengan

akuades dengan faktor pengenceran 10

kali.

C. Persiapan Sampel Bentonit Alam

Bentonit alam dibersihkan dari

pengotor kasar, kemudian dipanaskan

dalam oven pada temperatur 70οC selama

3 jam. Selanjutnya digerus dan diayak

dengan menggunakan ayakan lolos 100

mesh. Hasil ayakan yang diperoleh (BM)

dikarakterisasi menggunakan instrumen

FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD (X-

ray diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2

menggunakan persamaan BET.

D. Aktivasi Bentonit Alam

Sebanyak 50 gram sampel BM

direfluks dengan 250 mL HCl 5 M selama

3 jam pada temperatur 100οC. Kemudian

disaring dan dicuci dengan akuades hingga

lolos uji klor menggunakan AgNO3 0,1 M.

Padatan dikeringkan dalam oven pada

temperatur 100οC selama 3 jam, digerus

dan diayak dengan menggunakan ayakan

lolos 60 mesh. Hasil yang diperoleh (BA)

selanjutnya dikarakterisasi dengan

menggunakan instrumen instrumen FTIR

(Fourier Transform Infrared), XRD (X-ray

diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2

menggunakan persamaan BET.

E. Sintesis Komposit Magnetik

Larutan Fe2+

dan Fe3+

dibuat dalam

volume 100 mL dengan konsentrasi

masing-masing sebesar 0,05 M dan 0,1 M.

Kedua larutan dimasukan ke dalam gelas

beker yang didalamnya terdapat 2 gram

sampel BA. Campuran diaduk pada

temperatur 85οC, kemudian ditambahkan

larutan NH4OH tetes demi tetes hingga pH

mencapai 10. Campuran didinginkan

selama 3 jam kemudian koloid yang

terbentuk dipisahkan dari larutan

menggunakan medan magnet eksternal.

Padatan dicuci menggunakan akuades dan

dioven pada temperatur 100οC selama 2

jam, selanjutnya digerus perlahan-lahan

sampai diperoleh bubuk halus. Produk

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

109

komposit yang terbentuk (KBM)

dikarakterisasi dengan menggunakan

instrumen FTIR (Fourier Transform

Infrared), XRD (X-ray diffraction) dan

fisiorpsi isotermal gas N2 menggunakan

persamaan BET.

E. Uji Adsorpsi

Uji adsorpsi sampel BA dan KBM

terhadap zat warna limbah cair batik

Kalteng menggunakan sistem batch

dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu

penentuan pH dan waktu kontak optimum.

1) Penentuan pH Optimum

Sebanyak 0,05 gram sampel BA dan

KBM digunakan untuk mengadsorpsi 50

mL limbah cair batik Kalteng pada pH 3

(asam), 7 (netral) dan 10 (Basa). Proses

dilakukan menggunakan shaker selama 3

jam pada temperatur kamar. Konsentrasi

zat warna limbah cair batik Kalteng yang

tidak teradsorpsi diukur dengan

menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.

2) Penentuan Waktu Kontak Optimum

Sebanyak 0,05 gram sampel BA dan

KBM digunakan untuk mengadsorpsi 50

mL limbah cair batik Kalteng pada pH

optimum dengan variasi waktu 5, 10, 20,

40, 60, 90, 180, 300 dan 420 menit pada

temperatur kamar. Konsentrasi zat warna

limbah cair batik Kalteng yang tidak

teradsorpsi diukur dengan menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis.

F. Uji Pemisahan Adsorben dalam

Larutan Zat Warna Limbah Cair

Batik Kalteng

Larutan zat warna limbah cair batik

Kalteng masing-masing dimasukan pada 2

buah botol sampel. Botol sampel pertama

ditambahkan dengan adsorben BA dan

botol sampel kedua ditambahkan adsorben

KBM. Masing-masing campuran diaduk

kemudian didiamkan beberapa saat. Pada

botol sampel kedua diberi medan magnet

eksternal. Kemudian diamati apa yang

terjadi pada masing-masing campuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentonit Magnetik

Bentonit alam diaktivasi terlebih

dahulu sebelum digunakan pada tahap

sintesis untuk menghilangkan pengotor

dan meningkatkan karakteristik

permukaan. Sintesis komposit magnetik

dilakukan dengan metode kopresipitiasi,

yang bertujuan untuk pembentukan oksida

besi fasa magnetit (Fe3O4) pada jaringan

struktur bentonit.

Gambar 1 menyajikan data spektra

hasil analisis menggunakan spekroskopi

FTIR. Gambar 1(a) merupakan spektrum

inframerah sampel BM. Berdasarkan

seluruh data puncak-puncak serapan

diperoleh informasi bahwa sampel yang

dianalisis merupakan keluarga dari mineral

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

110

silika alumina. Pola spektra inframerah

sampel BM dan BA sebagaimana

ditampilkan pada Gambar 1(a) dan 1(b)

secara keseluruhan tidak menunjukkan

perubahan yang signifikan. Sedikit

pergeseran terjadi pada daerah bilangan

gelombang 1041,56 cm-1

. Pergeseran ini

mengindikasikan bahwa terjadi

dealuminasi pada struktur dasar bentonit.

Bilangan gelombang 918,12 cm-1

mengalami pergeseran ke arah bilangan

gelombang lebih besar yang

mengindikasikan bahwa semakin

homogennya lingkungan dari struktur Al-

OH akibat adanya disolusi atom-atom

logam di luar kerangka dasar penyusun

bentonit (non-oktahedral) (Holtzer et al.,

2011).

Gambar 1. Spektra Inframerah : (a) BM;

(b) BA dan (c) KBM

Pola spektra inframerah sampel BA

dan KBM yang ditunjukkan pada Gambar

1(b) dan (c) memperlihatkan adanya

perubahan, seperti pada pita serapan

470,63 cm-1

mengalami pergeseran kearah

bilangan gelombang yang lebih kecil yang

menandakan bahwa terjadi perubahan

ikatan pada vibrasi Si-O-Si. Hal ini juga

berkorelasi dengan bilangan gelombang

1049,28 cm-1

yang mengalami pergeseran

sebesar 1041,56 cm-1

yang menunjukan

bahwa vibrasi Si-O dalam keadaan kurang

bebas. Data ini juga didukung dengan

bentuk spektrum pada bilangan gelombang

400-500 cm-1

yang

lebih landai bila

dibandingkan dengan data spektrum BA.

Hal tersebut menunjukan bahwa kekuatan

ikatan tekuk Si-O berkurang karena

terdapatnya ikatan-ikatan antara oksigen

dengan Fe yang berasal dari oksida besi

yang memberikan kompetisi kekuatan

ikatan tarik menarik antara Si-O-Fe

(Ardianto, 2013).

Untuk memperkuat hasil identifikasi

dan mengetahui fase oksida besi yang

terbentuk pada jaringan struktur bentonit,

diperlukan data pendukung berupa data

XRD. Difraktogram sinar-x untuk ketiga

sampel ditunjukkan pada Gambar 2.

Berdasarkan standar yang dikeluarkan

oleh Joint Comitte on Powder

Difraction (JCPDS) dapat dinyatakan

bahwa sampel BM yang digunakan pada

penelitian ini mengandung mineral

monmorilonit, illit, cristobalit, kuarsa dan

feldspar. Data XRD memperlihatkan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

111

adanya perubahan yang cukup jelas pada

pucak feldspar di 2θ = 28,68ο dan

cristobalit di 2θ = 36,08ο mengalami

penurunan intensitas. Hal ini

mengindikasikan bahwa aktivasi

menyebabkan kerusakan pada struktur

mineral feldspar dan cristobalit yang

merupakan mineral pengotor penyusun

bentonit.

Gambar 2. Difraktogram (a) BM; (b) BA

dan (c) KBM (M =

Monmorilonit, I = Illit, C =

Cristobalit, Feld= Feldspar,

Q = Kuarsa, M* = Oksida

besi fasa magnetit)

Difraktogram pada Gambar 2(c)

memperlihatkan perubahan pola difraksi

pada sampel KBM dengan munculnya

puncak-puncak baru yang karakteristik

untuk oksida besi fase magnetit (Fe3O4)

yaitu pada 2θ sebesar 35,490; 43,14

0; dan

62,820 yang masing-masing berkesesuaian

dengan d = 2,53Å; 2,10Å; dan 1,48Å yang

tumpang tindih dengan puncak milik dari

mineral monmorilonit penyusun bentonit.

Analisis luas permukaan spesifik

dengan fisisorpsi isotermal gas N2

menggunakan gas sorption analyzer

berdasarkan persamaan BET juga

menunjukkan bahwa bentonit memiliki

karakteristik permukaan yang lebih baik

dengan adanya perlakuan aktivasi dan

sintesis. Terjadi peningkatan luas

permukaan spesifik dari 11,99 m2/g (BM)

menjadi 116,48 m2/g (BA) dan 125,74

m2/g (KBM).

B. Uji Adsorpsi terhadap Zat Warna

Limbah Cair Batik Kalteng

Uji adsorpsi terhadap Zat Warna

Limbah Cair Batik Kalteng dilakukan

menggunakan sistem batch dengan kajian

adsorpsi yang dipelajari meliputi pH dan

waktu kontak optimum. Persentase zat

warna limbah cair yang teradsorp

dianalisis menggunakan spektrofotometer

UV-Vis berdasarkan data absorbansi

sebelum dan sesudah pengontakan dengan

adsorben.

1) Penentuan pH Optimum

Kemampuan adsorpsi dari kedua jenis

adsorben memiliki pola yang sama.

Terlihat bahwa adsorpsi zat warna limbah

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

112

cair batik Kalteng baik oleh BA maupun

KBM terjadi pada pH asam, yaitu 3.

Gambar 3. Adsorpsi Zat Warna Limbah

Cair oleh (a) BA dan (b)

KBM sebagai fungsi pH

2) Penentuan Waktu Kontak

Optimum

Pola adsorpsi zat warna limbah cair

batik Kalteng menggunakan sampel BA

dan KBM pada beberapa variasi waktu

adsorpsi memperlihatkan adanya

kemiripan. Terlihat bahwa adsorpsi zat

warna limbah cair optimal terjadi pada

menit ke-90.

Gambar 4. Grafik hubungan antara waktu

adsorpsi terhadap % teradsorp

zat warna limbah cair batik

Kalteng pada (a) BA dan (b)

KBM

Interaksi ini membutuhkan waktu yang

cukup lama untuk mencapai kestabilan ikatan

karena molekul zat warna dari limbah cair

memerlukan waktu untuk mengatur diri agar

posisis molekul dapat berikatan dengan

permukaan bentonit.

Berdasarkan hasil yang diperoleh %

teradsorp zat warna limbah cair batik Kalteng

menggunakan adsorben BA dan KBM optimal

berturut-turut adalah 75% dan 83%. Hasil

menunjukkan bahwa komposit mampu

meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit

terhadap zat warna limbah cair batik Kalteng.

Hal ini terjadi karena komposit memiliki

karakteristik luas permukaan yang lebih besar

berdasarkan hasil analisis menggunakan

persamaan BET.

Gambar 5. Penampakan visual limbah

cair setelah uji adsorpsi pada

waktu kontak 90 menit

C. Uji Pemisahan Adsorben dalam

Limbah Cair Batik Kalteng

Uji pemisahan dilakukan pada kedua jenis

adsorben. Setelah digunakan pada proses

adsorpsi, fase padat adsorben dipisahkan dari

dalam larutan. Sampel BA dipisahkan dengan

pengendapan secara alami oleh gaya gravitasi

bumi, sedangkan KBM menggunakan medan

magnet eksternal. Dari hasil pengamatan

terlihat bahwa fase padat KBM yang memiliki

sifat kemagnetan dapat terpisah dari dalam

larutan dengan mudah dan cepat menggunakan

medan magnet eksternal dengan waktu yang

dibutuhkan selama 10 menit, sedangkan

bentonit teraktivasi yang hanya didasarkan

pada gaya gravitasi membutuhkan waktu

selama 120 menit.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

113

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari

penelitian ini adalah :

1. Aktivasi asam mampu mendisolusi kation

logam dan mineral pengotor serta mampu

meningkatkan kristalinitas dan luas

permukaan bentonit, terlihat dari hasil

analisis menggunakan FTIR, XRD dan

luas permukaan spesifik menggunakan

persamaan BET.

2. Proses adsorpsi bentonit teraktivasi dan

komposit bentonit magnetik terhadap zat

warna limbah cair batik Kalteng mencapai

optimum pada pH asam dan waktu kontak

90 menit.

3. Persentase teradsorpsinya zat warna

limbah cair batik Kalteng pada bentonit

teraktivasi dan komposit bentonit

magnetik masing-masing adalah 75% dan

83%.

4. Pengkompositan bentonit dengan oksida

besi fasa magnetit mampu meningkatkan

kemampuan adsorpsinya terhadap limbah

zat warna batik Kalteng.

5. Komposit bentonit magnetik lebih cepat

terpisah didalam larutan ketika diberikan

pengaruh medan magnet eksternal dengan

waktu yang dibutuhkan selama 10 menit,

sedangkan bentonit teraktivasi yang hanya

didasarkan pada gaya gravitasi

membutuhkan waktu selama 120 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Agnestisia, R. 2015. Sintesis Bentonit

Magnetik dan Aplikasinya sebagai

Adsorben Zat Warna Rhodamine B.

Seminar Nasional Kefarmasian

2015. ISBN : 978-602-73121-0-4.

Ardianto, D., 2013, Sintesis Bentonit

Magnetik dengan Metode Presipitasi

sebagai Adsorben Ion Logam Berat

Cd2+

dan Co2+

, Skripsi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Indonesia :

Depok.

Cahyadi, W. 2006, Analisis dan Aspek

Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,

Penerbit PT Bumi Aksara, Jakarta.

Hamsah, D., 2007, Pembuatan, Pencirian

dan Uji Aplikasi Nanokomposit

Berbasis Montmorilonit dan Besi

Oksida, Skripsi, FMIPA, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Holtzer, M., Bobrowski, A and Kumon, S.,

2011, Temperature Influence on

Structural Changes of Foundry

Bentonites, J. Molecular. Structure,

1004, 102–108.

Oliveira, L.C.A., Rios, R.V.R.A., Fabris,

J.D., Sapag, K., Garg, V.K. and

Lago, R.M., 2003, Clay – Iron Oxide

Magnetic Composites for the

Adsorption of Contaminants in

Water, J. Appl. Clay. Sci., 22, 169-

177.

Ortega, E., Ramos and Flores-Cano., 2013,

Binary Adsorption of Heavy Metals

from Aqueous Solution Onto Natural

Clays. Chemical Engineering

Journal, 225, 535–546.

http://riefahmad.blogspot.com/2013/

05/benang-bintik-batik-khas-

dayak.html, diakses tanggal 2

Februari 2016.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

114

Gambaran Karakteristik Bentuk Dan Ukuran Sel

Darah Ikan Timpakul (Periopthalmodon schlosseri)

*Hidayaturrahmah, Heri Budi Santoso, Muhamat, Annisa Widyastuty,

Program Studi Biologi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Darah merupakan salah satu komponen cairan tubuh yang sangat penting

dalam transportasi oksigen dan nutrisi. Sel darah dapat dipengaruhi oleh faktor

kondisi fisiologis, aktifitas, kebutuhan oksigen dan kondisi di habitat. Penelitian ini

dilakukan untuk mengkaji penjelasan ilmiah mengenai gambaran karakteristik bentuk

dan ukuran sel darah ikan timpakul (Periopthalmodon schlosseri) yang memiliki

keunikan adaptasi di wilayah pasang surut Sungai Barito Kalimantan Selatan.

Pengambilan sampel menggunakan metode penangkapan hewan langka yaitu metode

line transect. Sampel didapatkan dari wilayah pasang surut Sungai Barito Kalimantan

Selatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sel darah eritrosit P. schlosseri berbentuk

oval sedangkan trombosit dan differensiasi leukosit cenderung berbentuk bundar.

Ukuran sel eritrosit P. schlosseri lebih besar dengan ukuran panjang 10,59 ± 1,39 µm

dan lebar 5,89 ± 0,79 µm, inti sel panjang 4,05 ± 1,01 dan lebar inti sel 2,33 ± 0,32. Sel

limfosit berdiameter 7,60 ± 1,13 µm dan diameter inti 5,96 ± 1,60 µm. Sel Monosit

berdiameter 7,06 ± 1,04 µm dan diameter inti sel monosit 4,56 ± 0,82 µm.Sel neutrophil

berdiameter 6,25 ± 0,49 µm dan inti sel berdiameter 4,99 ± 0,47 µm. Sel eosinophil

berdiameter 7,12 ± 0,52 µm dan diameter inti sel 3,81 ± 0,30 µm. Sel trombosit

berdiameter 3,51 ± 0,81 µm, inti sel berdiameter 3 ± 0,62 µm. Karakteristik sel darah

ikan timpakul (P. schlosseri) ternyata berbeda dengan ikan lainnya. Perbedaan tersebut

terdapat pada sel eritrosit yang berbentuk oval, ukuran sel lebih besar dan memiliki

inti sel berukuran kecil sehingga ruang sitoplasma lebih banyak dalam pengikatan

oksigen yang mampu mendukung keunikan adaptasi di air dan di darat.

Kata kunci : Sel darah, ikan timpakul, Peritahlmodon schlosseri

ABSTRACT

Bloodis one of the components of body fluidsis very important in the transport of

oxygen and nutrients. Blood cells can be influenced by physiological conditions, activity,

oxygen consumption and habitat conditions. This study aimed to determine the was

conducted to assess the scientific explanation of the characteristic features

Periopthalmodon schlosseri blood cells that have unique adaptations Sampling methods

are catching endangered animals line transect method. Samples obtained from the

intertidal zone of the Barito River in South Kalimantan. The results of the study in the

form of characteristic blood cells erythrocytes are oval whereas platelet and leukocyte

differentiation tends to be round. P. schlosseri erythrocyte cell size larger than other blood

cells with a length that is10,59 ± 1,39 µm and a width of 5,89 ± 0,79 µm, a nucleus

length of 4.05 ± 1.01 and a width of 2,33 ± 0,32. Lymphocyte cell diameter of 7,60 ± 1.13

µm and a nucleus diameter of 5,96 ± 1,60 µm. Monocytes cell diameter 7,06 ± 1,04 µm

and a nucleus diameter of 4,56 ± 0,82 µm. Neutrophil cell diameter of 6,25 ± 0,49 µm and

a cell nucleus diameter 4,99 ± 0,47 µm. Eosinophil cell diameter of 7,12 ± 0.52 µm and a

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

115

nucleus diameter of 3,81 ± 0,30 µm. Platelet cell diameter 3,51 ± 0,81 µm, the cell

nucleus diameter 3 ± 0,62 µm. Characteristics blood cells of fish mudskipper (P.

schlosseri) in erythrocytes were oval-shaped cell, the cell size is larger and has a core of

small cell cytoplasm so much more space in the binding of oxygen is capable of supporting

unique adaptation in the water and on land

Keywords : erythrocyte, estuary Barito, P. schlosseri, platelets

I. PENDAHULUAN

Darah merupakan salah satu

komponen cairan yang sangat berperan

dalam fisiologi, metabolisme, aktifitas

tubuh dan daya tahan tubuh (Thrall, 2004).

Darah pada semua vertebrata mengandung

plasma, eritrosit, beberapa jenis leukosit

dan trombosit atau keping darah. Karakter

sel darah mempunyai peranan penting

dalam proses kehidupan agar nutrisi dan

oksigen tersedia terus menerus dalam

proses metabolisme di seluruh jaringan

yang membutuhkan. Darah membawa

substansi dari tempatnya dibentuk ke

semua bagian tubuh dan menjaga tubuh

agar dapat melakukan fungsinya dengan

baik (Fujaya, 2004).

Sel darah memiliki beberapa

karakteristik meliputi ukuran dan bentuk

sel darah (Vazquez & Guerrero, 2007).

Bentuk dan ukuran sel darah terutama

eritrosit sangat berpengaruh terhadap

volume pengangkutan oksigen (Najiah,

2008; Nikmaa, 1997). Sel darah pada ikan

berbentuk oval mempunyai volume

oksigen lebih besar dibandingkan bentuk

bundar. Hal ini karena bentuk oval lebih

banyak ruang dalam pengangkutan

oksigen (Shadkhast, 2010; Vajssi, 2012).

Sel darah dapat dipengaruhi oleh faktor

kondisi fisiologis, kondisi lingkungan

(Irianto, 2005), aktifitas (Fujaya, 2004),

dan kebutuhan oksigen (Hrubrec &

Smisth, 2000).

Ikan timpakul (Periophthalmodon

schlosseri) mempunyai habitat dan cara

adaptasi yang berbeda dengan ikan pada

umumnya (Hidayaturrahmah &

Muhamat, 2013). P. schlosseri

mempunyai keunikan dari segi adaptasi

fisiologi, morfologi, serta perilaku hidup

seperti amfibi, sehingga ikan ini berbeda

dengan ikan akuatik lainnya. Adaptasi

fisiologi ikan ini memiliki kemampuan

bernafas di luar air atau disebut air

breathing (Graham & Lee, 2004;

Ishimitsu, 1999).

Berdasarkan penelitian Lavabetha

(2014), bahwa profil darah P. schlosseri

dari Sungai Barito mempunyai nilai

haemoglobin dan leukosit yang lebih

banyak dibandingkan dengan ikan akuatik

lainnya yang merupakan hasil adaptasi

terhadap lingkungannya. Selain itu,

penelitian Yudistira (2011), menjelaskan

bahwa P. schlosseri memiliki perbedaan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

116

struktur insang dibandingkan ikan akuatik

lainnya. Terdapat saluran di bagian insang

untuk pembuluh darah yang berisi sel

darah dalam pengikatan oksigen (Low

dkk, 1989). Keunikan fisiologi dari cara

beradaptasi P. schlosseri yang berbeda

dengan ikan akuatik pada umumnya

sangat berpengaruh terutama terhadap

sistem metabolisme, sistem imun dan

haemostatis.

Karakteristik sel darah memiliki

potensi untuk diteliti lebih lanjut karena

keunikan fisiologi, morfologi dan

tingkahlaku ikan timpakul berbeda dengan

ikan pada umumnya. Berdasarkan hal

tersebut, penelitian ini difokuskan untuk

mengkaji karakteristik sel darah P.

schlosseri dengan mengamati bentuk dan

ukuran sel serta inti sel darah yang

berpotensi memiliki keunikan

karakteristik sebagai penunjang bentuk

adaptasi di darat dan di air.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang digunakan adalah

darah Periophthalmodon schlosseri

dari wilayah pasang surut Sungai Barito,

larutan Giemsa 10%, larutan EDTA,

kertas label, metanol 70 %, dan akuades.

B. Cara pegambilan sampel ikan

timpakul

Penentuan lokasi pengambilan

sampel dilakukan menggunakan metode

penangkapan hewan langka yaitu metode

line transect dikarenakan populasi ikan

timpakul (P. schlosseri) penyebarannya

tidak merata serta sulit di temukan.

Sampel timpakul ditangkap menggunakan

pancing dengan umpan anakan katak

sawah atau udang kecil. Sampel hidup

dimasukan ke dalam ember yang berisi air

payau dari lokasi kemudian segera dibawa

ke laboratorium untuk dilakukan tahap

aklimatisi terlebih dahulu di laboratorium

sebelum dilakukan pengamatan lebih

lanjut. Pengambilan sampel dilakukan

pada sepuluh individu timpakul.

C. Metode pengambilan darah

Pembuatan sediaan apusan darah

dilakukan dengan mengambil darah P.

schlosseri dari vena caudalis di antara

sisik ikan dekat ekor menggunakan spuit

1 mL. Spuit sebelumnya diisi dengan

sedikit larutan EDTA (Ethylene Diamine

Tetra Acid). Jarum spuit dimasukkan dari

belakang anal ke arah vertebrate (tulang

belakang). Darah dihisap perlahan

sebanyak 1 mL dan sampel darah

dipindahkan ke dalam tabung penyimpan

darah (botol vial) yang telah diisi dua

tetes larutan EDTA. Darah yang telah

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

117

diambil menjadi darah stok (Ronaldo,

2008).

D. Pembuatan Preparat Ulas Darah

Pembuatan preparat ulas darah

dilakukan dengan menempatkan setetes

darah pada gelas obyek, dibuat preparat

ulas dan dibiarkan kering. Setelah itu

dilanjutkan dengan proses fiksasi.

Preparat yang telah kering direndam ke

dalam metanol selama 5 menit, kemudian

dikeringanginkan, dimasukkan ke dalam

larutan Giemsa 10% selama 30 menit.

Setelah diwarnai, preparat dikeringkan

dan siap untuk diamati di bawah

mikroskop (Subowo, 1992).

Pengamatan sediaan karakteristik

sel darah P. schlosseri dengan tahapan

berikut: diamati preparat di bawah

mikroskop yang telah dihubungkan

dengan perangkat komputer dengan

menggunakan aplikasi dari mikroskop

Olympus CX 31 yaitu DP2-BSW. Objek

sel yang akan diamati berupa sel eritrosit,

trombosit dan diferensiasi leukosit P.

schlosseri dengan parameter ukuran (µm)

dan bentuk sel serta inti sel yang

didokumentasikan dalam bentuk foto.

E. Analisis data

Data yang dikumpulkan berupa

data kuantitatif dan kualitatif. Data

kuantitatif berupa ukuran sel dan inti sel

yang disajikan dalam bentuk rerata dan

standard deviasi. Data kualitatif meliputi

pengamatan terhadap bentuk sel dan inti

sel darah. Data kuantitatif dan kualitatif

yang diperoleh dalam penelitian ini

kemudian disajikan dalam bentuk tabel

dan dokumentasi foto.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil pengukuran panjang dan

berat Periopthalmodon schlosseri yang

didapat (Tabel 1).

Tabel I. Rata- rata pengukuran panjang (cm)

dan berat (g) Periopthalmodon

schlosseri

Gambar 1. Pengukuran panjang dan berat

Periopthalmodon schlosseri.

Hasil pengukuran panjang P.

schlosseri dari 10 ekor sampel mempunyai

ukuran paling kecil 25 cm dan ukuran

paling besar 28 cm, sedangkan ukuran

rata- rata panjang tubuh ikan 26,04 cm.

Berat ikan paling ringan 150 g dan paling

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

118

berat 202,64 g, sedangkan berat rata- rata

yaitu 172, 56 g.

Tabel II. Bentuk dan Ukuran Sel Darah

Hasil pengukuran sel darah P.

schlosseri pada (Tabel 2) menunjukkan

sel eritrosit dengan kisaran panjang 9,2 –

11,98 µm dan kisaran lebar 5,1 – 6,68

µm, sedangkan pada inti sel eritrosit

mempunyai ukuran panjang yang berkisar

antara 3,04– 5,06 µm dan kisaran lebar

2,01 – 2,65 µm. Bentuk sel dan inti pada

eritrosit ditunjukkan pada (Gambar 2)

berbentuk oval. Inti sel eritrosit terletak di

tengah sel dan dikelilingi sitoplasma

berwarna bening.

Gambar 2. Gambaran karakteristik eritrosit

P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan

perbesaran 1000x

Sel limfosit memiliki kisaran

diameter sel 6,47- 8,73 µm dan kisaran

diameter inti sel 4,36 – 7,56 µm (Tabel

2). Sel limfosit berbentuk bundar dengan

inti berukuran lebih besar dan tidak

bergranula sehingga inti sel hampir

memenuhi permukaan ruang sel dan

mempunyai sitoplasma lebih sedikit

(Gambar 3).

Gambar 3. Gambaran karakteristik limfosit

P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan

perbesaran 1000x.

Diameter sel monosit memiliki

kisaran 6,47 – 8,73 µm dan diameter inti

sel monosit berkisar antara 3,73 – 5,38

µm (Tabel 2). Monosit berbentuk bundar.

Sel monosit mempunyai perbandingan

ukuran sama antara sitoplasma dengan

inti sel. Sehingga ukuran antara inti sel

dan sitoplasma hampir sama (Gambar 4).

Gambar 4. Gambaran karakteristik

monosit P. schlosseri dengan pewarnaan

giemsa dan perbesaran 1000x

Sel neutrophil pada P. schlosseri

memiliki ukuran diameter berkisar antara 5,76

– 6,74 µm sedangkan inti sel neutrophil

berkisar antara 4,52 – 5,46 µm. Sel neutrophil

P. schlosseri berbentuk bundar dan memiliki

inti sel yang besar serta bersegment

(bergranula). Sitoplasma neutrophil berwarna

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

119

ungu pucat, sedangkan pada inti berwarna

ungu tua (Gambar 5).

Gambar 5. Gambaran karakteristik

neutrophil P. Schlosseri dengan

pewarnaan giemsa dan perbesaran 1000x.

Sel eosinophil pada P. schlosseri

berkisar antara 6,6 – 7,64 µm dengan diameter

inti berkisar antara 3,51 – 4,11 µm. Sel

eosinophil berbentuk bundar dan memiliki

inti sel yang besar dan bersegment

(bergranula). Sitoplasma berwarna ungu

pucat, sedangkan pada inti berwarna ungu

kemerah muda (Gambar 6).

Gambar 6. Gambaran karakteristik eosinophil

P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan

perbesaran 1000x.

Pada sel trombosit pada P.

schlosseri berkisar antara 2,7 – 4,32 µm

dan inti sel berada pada kisaran 2,38 –

3,62 µm. Bentuk sel serta inti pada

trombosit berbentuk tidak beraturan

mempunyai sitoplasma yang sedikit dan

inti selnya lebih besar (Gambar 7).

Gambar 7. Gambaran karakteristik trombosit

P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan

perbesaran 1000x.

B. Pembahasan

Periopthalmodon schlosseri

merupakan ikan yang memiliki

kemampuan bernafas di luar air (air-

breather) dan mempunyai perilaku hidup

berbeda pada ikan umumnya yang

berhabitat di wilayah pasang surut dengan

perairan payau sehingga dapat beradaptasi

secara fisiologi, anatomi dan perilaku

(Ravi & Rajagoval, 2007).

Aktifitas ikan ini hampir 90% di

daratan dan sangat aktif ketika berada di

luar air. Aktifitas ikan di luar air antara

lain mencari makan, menarik lawan jenis,

interaksi sosial, menjaga teritorial

sedangkan aktifitas ikan di air antara lain

mengambil air untuk membasahi tubuh

agar terjaga kelembaban permukaan

tubuh, mengambil oksigen menggunakan

insang, membuat sarang, dan meletakan

telur di dalam sarang berlumpur serta

memberikan sel telur tersebut oksigen

dengan cara meniupkan oksigen yang

diambil dari permukaan atau udara agar

sel telur tersebut dapat tumbuh dan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

120

berkembang pada kondisi hipoksia

(Polgar & Lim, 2007).

a. Karakteristik sel darah

Periopthalmodon schlosseri

Eritrosit

Menurut Al Majed (2011)

menjelaskan bahwa ukuran besar atau

kecil eritrosit pada ikan merupakan

gambaran dari penyesuaian fisiologi

terhadap habitatnya baik di dalam air,

berlumpur maupun kondisi hipoksia.

Selain itu, menurut Hartman (1997),

ukuran eritrosit pada vertebrata

mencerminkan posisi filogenetik spesies

dan jumlah sel dalam satuan volume

darah dalam pertukaran gas. Eritrosit

yang sudah matang umumnya memiliki

panjang 13 – 16 µm dan lebar 7- 10 µm

(Affandi & Tang, 2002). Sel eritrosit P.

schlosseri pada penelitian ini memiliki sel

dan inti berbentuk oval dengan panjang

10,59 ± 1,39µm dan lebar 5,89 ± 0,79µm

dan panjang inti sel 4,05 ±

1,01 dengan lebar 2,33 ± 0,32. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa ukuran sel

eritrosit P. schlosseri mendekati ukuran

sel eritrosit matang.

Berdasarkan dari karakteristik

bentuk sel eritrosit, P. schlosseri

mempunyai bentuk yang lebih

mendukung dengan keunikan adaptasi air

breather dan kemampuan bertahan pada

kondisi hipoksia. Hal tersebut

dikarenakan kebutuhan P. schlosseri yang

lebih banyak terhadap oksigen untuk

memenuhi kebutuhan metabolismenya.

Menurut penelitian Vajsii (2012)

membuktikan bahwa sel oval mampu

memuat oksigen lebih banyak jika

dibandingkan dengan sel berbentuk

bundar. Hal ini terjadi karena bentuk oval

dari sel memberikan ruang lebih untuk

pertukaran oksigen.

Perbedaan karakteristik sel

eritrosit pada ikan menunjukkan adanya

perbedaan cara adaptasi hidup. Ukuran sel

ini juga dipengaruhi oleh aktifitas

metabolisme, aktifitas tubuh serta

kebutuhan oksigen (Tobin, 1994). Sel

eritrosit merupakan salah satu komponen

yang membawa dan menyebarkan

oksigen serta pertukaran oksigen dengan

karbondioksida ke seluruh jaringan. Sel

eritrosit mempunyai keunikan morfologi

sebagai bentuk adaptasi P. schlosseri

seperti amphibi, yang mampu bertahan

dalam kondisi hipoksia. Menurut Graham

(1997), P. schlosseri memiliki penyerapan

oksigen yang tidak hanya diserap oleh

insang namun juga diserap oleh

permukaan kulit karena adanya kapiler

darah pada kulit ikan ini.

Trombosit

Karakteristik trombosit pada

penelitian ini jauh lebih kecil jika

dibandingkan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

121

dengan sel darah lainnya.. Bentuk sel

serta inti trombosit P. schlosseri

berbentuk tidak beraturan serta memiliki

inti yang berukuran besar memenuhi

hampir seluruh ruang sel sehingga

sitoplasma pada trombosit hanya sedikit

(Gambar 7). Sel trombosit P. schlosseri

yaitu 3,51± 0,81 µm dengan diameter inti

3 ± 0,62 µm (Tabel 2).

Dalam hal ini proses pembekuan

darah berkaitan dengan cara adaptasi yang

lebih banyak diluar air. Sehingga

pembekuan darah ikan ini lebih cepat

dibandingkan ikan pada umumnya.

Fujaya (2004) menjelaskan bahwa darah

pada permukaan tubuh ikan akuatik

mengalami kesulitan untuk menggumpal

karena enzim yang diperlukan serta

komponen penggumpalan akan terlepas

sebelum sumber terbentuk. Selain itu,

dikaitkan dengan ukuran yang kecil sel ini

lebih cepat beredar dan melekat di

pembuluh darah. Sedangkan pada ukuran

inti trombosit yang besar memberikan

ruang lebih banyak terhadap komponen

pembekuan darah seperti protein darah

serta enzim untuk mempercepat perbaikan

bagian yang rusak di pembuluh darah.

Limfosit

Limfosit merupakan sel-sel respon

pertahanan tubuh terpenting pada ikan.

Lavabetha (2014), menyatakan jumlah

leukosit dari P. schlosseri lebih tinggi dari

kisaran jumlah leukosit ikan pada

umumnya. Adanya peningkatan jumlah

limfosit yang tinggi biasanya disebabkan

oleh adanya infeksi viral atau bakteri ke

tubuh ikan atau gangguan kesehatan

(Moyle & Cech 2004). Hal ini

menjelaskan bahwa ikan ini mempunyai

pertahanan tubuh yang lebih kuat

dibandingkan dengan ikan pada umumnya

dikarenakan perilaku air-breathing

mengakibatkan infeksi dan menstimulasi

respon kekebalan terhadap organisme

atau mikroorganisme patogen yang masuk

ke dalam tubuh yang dapat menyerang

ketika P. schlosseri berada di daratan

maupun perairan. Pada penelitian ini, sel

limfosit berdiameter 7,60 ± 1,13 µm serta

inti sel 5,96 ± 1,60µm (Tabel 2).

Karakteristik bentuk sel maupun inti

limfosit P. schlosseri hampir sama pada

kebanyakan ikan umumnya yaitu

berbentuk bundar (Gambar 3).

Herlina (2008), menjelaskan

bahwa limfosit berfungsi untuk

menetralisir virus yang ada di pembuluh

darah. Hal tersebut terjadi karena P.

schlosseri lebih sering berada di luar air

sehingga mengakibatkan virus lebih cepat

menginfeksi. Namun dengan ukuran sel

limfosit yang lebih besar, sistem imun

dapat bekerja dengan baik dalam proses

fagositasis virus. Limfosit berukuran

besar ditemukan pada germinal pusat dari

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

122

nodus limpa, ginjal dan di sirkulasi tidak

normal (Feldman dkk., 2000).

Monosit

Nabib & Pasaribu (1989),

menjelaskan bahwa monosit berfungsi

sebagai makrofag yang memfagosit sisa–

sisa jaringan dan agen penyebab penyakit.

Hasil pengukuran sel monosit

menunjukan diameter sel sebesar 7,06 ±

1,04 µm dengan diameter inti 4,56 ± 0,82

µm (Tabel 2). Evans dkk (1999),

menjelaskan selain dari keunikan yang

dimiliki, P. schlosseri juga mampu

bertahan dalam kondisi yang lebih

ekstrim terhadap lingkungan. Hal ini

dikaitkan dengan rataan pengukuran

diameter sel dan inti sel monosit yang

lebih besar dibandingkan dengan C.

dimerus yang merupakan ikan akuatik

pada umumnya.

Secara umum, bentuk monosit

berbentuk seperti kacang, tapal kuda,

bundar dan juga tidak beraturan (Feldman

dkk., 2000). Hasil pengamatan morfologi

monosit P. schlosseri menunjukkan sel

maupun inti monosit berbentuk bundar.

Neutrophil

Nikinmaa (1997), menjelaskan

bahwa neutrophil merupakan salah satu

jenis leukosit termasuk kelompok

granulsit. Hasil penelitian ini neutrophil

memiliki ukuran diameter 6,25 ± 0,49µm

dengan diameter inti 4,99 ± 0,47 µm

(Tabel 2). Dalam hal ini dapat dikatakan

bahwa sel neutrophil berfungsi didalam

pembuluh darah dalam memfagosit

bakteri lebih cepat, karena P. schlosseri

lebih banyak menghabiskan waktu di luar

air.

Morfologi neutrophil secara

umum berbentuk bundar dan tidak

beraturan serta memiliki segment pada

inti sel (Schlam dkk., 1983). Sel

neutrophil P. schlosseri berbentuk bundar

dan inti sel memiliki 2 segment. Segment

pada inti sel biasanya bervariasi pada

setiap speies, hal ini karena inti sel

mengandung antibacterial dan

antiviralprotein inhibitor (Feldman dkk.,

2000).

Eosinophil

Eosinophil berukuran lebih besar

dibandingkan neutrophil dan memiliki inti

bersegment, bergranul, dan mempunyai

banyak bentuk (Canfield, 2006).

Eosinophil yang diamati berukuran

diameter 7,12± 0,52 µm dan diameter inti

3,81 ± 0,30 µm. Hal ini dapat dikatakan

bahwa bentuk, ukuran serta jumlah granul

sangat berbeda- beda pada setiap spesies

(chinabut dkk, 1991).

Eosinophil berfungsi merespon

parasit yang menyerang tubuh hewan

(Irianto, 2005). Pengaktifan sel ini

terhadap respon parasit mengubah

morfologi permukaan sel dan fungsi

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

123

aktifitas sel. Inti sel eosinophil

mengandung cytotoxicity terhadap

parasit, serta enzim asam fosfat yang aktif

(Feldman dkk., 2000).

Berdasarkan ukuran inti sel yang

berukuran 3,81 ± 0,30 µm dan memiliki

3- 4 segment pada inti sel sehingga P.

schlosseri mampu merespon parasit yang

menyerang tubuh ikan ini pada saat di

dalam air maupun di luar air. Bahija &

Husaiin (2010), melaporkan bahwa kulit

ikan timpakul yang hidup dilingkungan

tercemar logam berat tidak terindikasi

parasit.

Basophil

Pada pangamatan preparat apus

darah sel basophil ikan timpakul tidak

ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada

(Tabel 2) yang menunjukkan bahwa dari

10 sampel darah ikan timpakul yang

diamati, tidak ditemukan adanya sel

basophil. Hal tersebut dikarenakan

keberadaan basophil di dalam sirkulasi

darah ikan ditemukan hanya pada

beberapa spesies ikan tertentu (Moyle &

Cech 2004). Basophil bahkan lebih jarang

ditemukan pada pemeriksaan darah

dibandingkan dengan eosinophil. Sedikit

diketahui tentang morpologi dan fungsi

basophil (Feldman dkk., 2000).

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1. Karakteristik bentuk sel darah ikan

timpakul (P. schlosseri) yaitu eritrosit

sel dan inti sel berbentuk oval; sel

dan inti sel monosit berbentuk

bundar; sel dan inti sel monosit

berbentuk bundar; sel dan inti sel

neutrophil berbentuk bundar dan inti

bersegment; sel dan inti eosinophil

berbentuk bundar dan inti

mempunyai segment; sel dan inti sel

trombosit berbentuk budar.

2. Karakteristik ukuran sel darah (P.

schlosseri) yaitu kisaran panjang sel

eritrosit sel 9,2 – 11,98 µm dan

kisaran lebar 5,1 – 6,68 µm,; kisaran

diameter sel limfosit 6,47- 8,73 µm

dan kisaran diameter inti sel 4,36 –

7,56 µm; Diameter sel monosit

memiliki kisaran 6,47 – 8,73 µm dan

diameter inti sel monosit berkisar

antara 3,73 – 5,38 µm; Diameter sel

neutrophil berkisar antara 5,76 – 6,74

µm sedangkan inti sel neutrophil

berkisar antara 4,52 – 5,46 µm;

berkisar antara 6,6– 7,64 µm dengan

diameter inti berkisar antara 3,51 –

4,11 µm; sel trombosit berkisar

antara 2,7 – 4,32 µm dan inti sel

berada pada kisaran 2,38 – 3,62 µm.

3. Karakteristik sel darah ikan timpakul

(P. schlosseri) ternyata berbeda

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

124

dengan ikan lainnya. Perbedaan

tersebut terdapat pada sel eritrosit

yang berbentuk oval, ukuran sel lebih

besar dan memiliki inti sel berukuran

kecil sehingga ruang sitoplasma lebih

banyak dalam pengikatan oksigen

yang mampu mendukung keunikan

adaptasi di air dan di darat.

DAFTAR PUSTAKA

Adelbert, M. R. 2008. Gambaran Darah

Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio

Linn) Strain Majalaya Yang

Berasal Dari Daerah Ciampea

Bogor Skripsi .Fakultas

Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor.

Affandi,R. & Tang UM. 2002. Fisiologi

Hewan Air. Riau: Uni Press.

Al Majed. 2011. A study on blood

parameter of Barbus xanthopterus,

Barbus Sharpeyi and their hybrid.

Bas. J. Vet. Vol. 10. No 2

Canfield, PJ. 2006. Complemarative cell

morphology in the peripheral blood

film from exotic and native animals.

Aust Vet J 76: 793-800.

Dellman, HD. &M.E. Brown. 1989.

Buku Teks Histologi Veteriner.

Hartono(Penterjemah). Jakarta, UI

Press.

Evan DH, Claiborne JB & Claiborne GK.

1999. Osmoregulation, acid-base

regulation, and nitrogen excretion.

In: Horn MH, Martin KLM &

Chotkowski MA (eds) Intertidal

fishes:life in two worlds.

Academic Press, San Diego, p.79-

96.

Feldman,B. F, J.G. Zinkl, N. C Jain,

& Schalm. 2000. Schalm's

Veterinary Hematology. Blackwell

Publishing.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan :

Dasar Pengembangan Teknologi

Perikanan.Penerbit Rineka Cipta,

Jakarta. Hal 95-109

Graham, J. B. 1997. Air-breathing

Fishes.Evolution, Diversity, and

adaptation.Academic Press. San

Diego.

--------.& H.J. Lee. 2004. Breathing Air In

Air: In What Ways Might Extant

Amphibious Fish Biology Relate To

Prevailing Concepts About Early

Tetrapods, The Evolution Of

Vertebrate Air Breathing, And The

Vertebrate Land Transition

Physiological and Biochemical

Zoology, 77(5): 720-731

Hartman, F.A & M.A. Lessler. 1964.

Erytrocyte measurements in fish.

amphibians, and reptils, The

biology Bulletin, 126:83-88

Herlina, T. 2008. Hematologi.

InfoKarikan Vol. 5 No. 1. April,

Hidayaturrahmah & Muhamat, 2013.

Habitat ikan Timpakul

(Periphthalmodon schlosseri) di

Muara Sungai Barito.

EnviroScience 9 (2013) 134-139.

Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan

Teleostei. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Ishimatsu, A., MA. Nancy, K. Ogawa, Y.

Hishida, T. Takeda, S. Oikawa, T.

Kanda

& K. Huat. 1999. Arterial Blood gas

levels and Cardiosvascular Function

During Vaying Environmental

Conditions In A Musdkipper,

Peiopthalamdon schlosseri . The

Journal od Experimmental Biology

202, 1753-1762.

----------. 2012. Evolution of the

Cardiorespiratory System in Air-

Breathing Fishes. Aqua-BioScience

Monographs, Vol. 5, No. 1, pp. 1–

28

---------- Y. Hishida, T. Takita, T. Kanda,

S. Oikawa, T. Takeda & KH. Khoo

1998.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

125

Mudskipper store air in their burrows.

Nature, 391: 237-238.

Johansen K. 1970: Air Breathing In

Fishes. Fish Physiology

IV.Academic Press, New York:

361–411.

Lavabetha.A.R.R.R. 2014. Profil

Darah Ikan Timpakul

(Periophthalmodon Schlosseri) Dari

Muara Sungai Barito Kalimantan

Selatan. Universitas Lambung

Mangkurat. Banjarbaru.

Low, W.P., D.J.W. Lane, dan Y.K. Ip.

1988. A comparative study of

terrestrial adaptations of the gills in

three mudskippers. Periophthalmus

chrysospilos, Boleophthalmus

boddaerti, and Periophthalmodon

schlosseri. Biological Bulletin Vol.

175: 434-438.

Moyle, P. B. & J. J. Cech. 1988. Fish

an Introduction to Ichthyology

Second

Edition.Prentice Hall, New Jersey.

Nabib, R & F. H. Pasaribu. 1989. Patologi

dan Penyakit Ikan. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Najjiah M, Nadirah,.& H. Marina . 2008.

Erythrocyte Morphology in Healthy

freshwater fish spesies from

Malaysia. Research Journal of

Fisheries and Hydrology, 3(1):32-

35.

Nikinmaa, M. 1997. Oxygen and

carbondioxide transfort in

vertebrate erythrocytes; an

evolutionary change in the role of

membrane transfort. The Journal

of Experimnetal Biology, 200:369-

380.

Polgar, G. & R. Lim. 2007.Chapter of the

edited collection: Mangroves:

Ecology, Biology and Taxonomy.

Mudskippers: human use,

ecotoxicology and biomonitoring of

mangrove and other softbottom

intertidal ecosystems. Institute of

Biological Sciences, Institute of

Ocean and Earth Sciences, Faculty

of Science, University of Malaya,

Kuala Lumpur, Malaysia.

-------. Kaila, kesavan. Sivakumar,

Sanhya., & Santhanam,

Rajagopal. 2010.

Antibacterial activity of the mucus of

mudskipper Boleophthalmus

boddarti (Pallas, 1770) from Vellar

Estuary. Advances in

Environmental Sciences

International Journal of the Bioflux

Society.

Shadkhast, Mohammad. Homayoun,

Reza, Shabazkia. Amin, Bigham-

Sadegh.Sayed, Ebrahim, Shariati.

Taji, Mahmoudi.,& Mojdeh

Shariffian, Fard. 2010. The

Morphological Charasterization of

the Blood Cells in the Central Asian

Tortoise (Testude horsfieldii).

Veterinary Reseearch Forum. Vol:1,

No 3, 134-141.Subowo, 1992.

Histologi Umum. Bumi Aksara.

Jakarta.

Vajsii, S. 2012. Variation in the size od

erythrocyte in the blood of

Neurergus kaiseri and Neurergus

microspilotus from Iran.

Department of Biology, Razi

university. Baghabriesham.

Vazquez, G. Rey & G. A. Guerrero.

2007. Characterization of blood

cells and hematological parameters

in Cichlasoma dimerus (Teleostei,

Perciformes). Tissue and Cell 39

(2007) 151–160

Yudistira, D.2011. Struktur Histologi

Insang Ikan Timpakul

(Periophtalmodon schlosseri)

Kalimantan Selatan.Skripsi,

Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.Universitas

Lambung Mangk

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

126

Efek Hipoglikemik Ekstrak Metanol Daun Gaharu

(Aquilaria microcarpa Baill.) Pada Tikus Jantan

Yang Diinduksi Aloksan

Mega Permata Sari1, *Nurlely

1, Noor Cahaya

1 , Mustofa

2

1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

2Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Gaharu dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk menurunkan kadar

glukosa darah oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Kandungan flavonoid daun

gaharu memiliki aktivitas antioksidan yang diduga berperan menurunkan kadar

glukosa darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas hipoglikemik

ekstrak metanol daun A. microcarpa terhadap kadar glukosa darah postprandial. Daun

gaharu diekstraksi dengan metode perkolasi menggunakan pelarut metanol. Pengujian

efek hipoglikemik dilakukan melalui pengukuran kadar glukosa postprandial.

Penelitian ini menggunakan tikus jalur Wistar sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi 6

kelompok: kontrol normal (Na-CMC 0,5%), positif (glibenklamid), negatif, dan

perlakuan (ekstrak dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB). Tikus

diinduksi aloksan (150 mg/kg BB) dan diberikan perlakuan sesuai kelompoknya selama

14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol A. microcarpa dapat

menurunkan kadar glukosa darah pada dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200

mg/kg BB setelah 14 hari pemberian perlakuan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa ekstrak metanol A. mocrocapa memiliki efek hipoglikemik.

Kata Kunci : kadar glukosa darah, postprandial, daun gaharu

ABSTRACT

Gaharu leaves was empirically used in traditional medicines by South Borneo

people for lowering blood glucose level. Some chemical substances in gaharu leaves

possess a potency as an antioxidant which could lower blood glucose levels. This study

aimed to evaluate hypoglycemic effect of methanol extract of A. microcarpa. Gaharu leaves

was extracted by percolation method using methanol. Hypoglycemic effect was evaluated

by the postprandial glucose level using 24 Wistar strain male rats which were divided into 6

groups. They were normal control (Na-CMC 0.5%), positive control (glibenclamide, 0.5

mg/kg BW), negative, and treatment (methanol extract of A. microcarpa at doses of 50,

100, and 200 mg/kg BW,). Alloxan was intraperitoneally induced (150 mg/kg BW) and all

treatments were administered for 14 days. Blood glucose level was measured on day 0,7

and 14. The results revealed that methanol extract of A. microcarpa is able to lower blood

glucose level at the doses of 50, 100, and 200 mg/kg BW after 14 days of treatment

administration. Therefore, it can be concluded that methanol extract of A. microcarpa

leaves possesses hypoglycemic effect.

Keywords: hypoglycemic effect, postprandial, gaharu leaves

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

127

I. PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah suatu

penyakit yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah karena

defisiensi insulin akibat nekrosis sel β

berat atau defisiensi insulin relatif

sehingga sel β tidak dapat menghasilkan

cukup insulin (Mycek et al, 2001).

Pengobatan diabetes mellitus dapat

dilakukan dengan terapi farmakologi yaitu

pemberian insulin atau obat hipogikemik

oral (Katzung, 2007). Selain pengobatan

farmakologi, penderita diabetes mellitus

dapat menggunakan pengobatan herbal

atau berasal dari tanaman. Salah satu

tanaman yang secara empiris dapat

menurunkan kadar glukosa darah adalah

tanaman gaharu (Aquilaria microcarpa

Baill.). Daun gaharu (Aquilaria

microcarpa Baill) secara empiris

digunakan sebagai antidiabetes oleh

masyarakat Tamiang Layang Kalimantan

tengah. Daun A. microcarpa mengandung

beberapa senyawa metabolit sekunder

seperti flavonoid, tanin, dan fenol (Sari,

2016).

Senyawa-senyawa metabolit

sekunder yang memiliki peran dalam

penurunan kadar glukosa darah anatara

lain flavonoid, tanin, dan fenol.

Mekanisme flavonoid dalam menurunkan

kadar glukosa darah adalah dengan

merangsang pelepasan insulin dari sel beta

yang tidak mengalami kerusakan (Fawzy

et al, 2008). Selain itu efek penurunan

kadar glukosa darah dapat pula diberikan

oleh tannin dengan meningkatkan aktivitas

transpor glukosa pada jaringan adiposa dan

menunjukkan aktivitas yang hampir sama

dengan insulin (Hernawan et al, 2004).

Fenol memiliki aktivitas antioksidan yang

mampu memnghambat kerusakan sel β

pankreas (Suryani et al., 2013).

Pengukuran kadar glukosa darah

salah satunya dapat dilakukan secara

postprandial yaitu pengukuran setelah 2

jam pemberian glukosa. Berdasarkan latar

belakang di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan pengujian tentang efek

hipoglikemik ekstrak metanol daun A.

microcarpa dengan parameter kadar

glukosa darah postprandial. Pengujian

aktivitas bertujuan untuk mengevaluasi

aktivitas ekstrak metanol A. microcarpa

sebagai penurun kadar glukosa darah

postprandial.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang digunakan adalah

akuades (Sigma), aloksan, aluminium foil,

daun A. microcapra, glibenklamid

(Indofarma), glukosa, kertas Whatman

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

128

nomor 1, metanol (teknis), NaCl 0,9%

(teknis), Natrium Karboksil Metil Selulosa

(Na-CMC 0,5%), dan standar pellet.

Hewan uji yang digunakan yaitu tikus

jantan galur dengan berat 170-240 gram

dan umur berkisar 2-3 bulan.

B. Pembuatan Ekstrak Metanol Daun

A. microcarpa

Serbuk daun A. microcarpa

ditimbang sebanyak 200 g, diekstraksi

dengan metode perkolasi menggunakan

pelarut metanol. Filtrat yang diperoleh

dipisahkan dari residu dengan kertas

Whatman nomor 1. Ekstrak cair yang

diperoleh, dipekatkan dengan vacuum

rotary evaporator dengan suhu 550 C dan

diuapkan di atas waterbath hingga

diperoleh ekstrak kental.

C. Penginduksian Aloksan

Dua puluh empat tikus jantan galus

wistar dibagi menjadi 6 kelompok.

Sebanyak 5 kelompok diinduksi aloksan

secara intraperitoneal (150 mg/kg BB).

Pengukuran kadar glukosa darah

postprandial dilakukan pada hari ketiga

setelah penginduksian aloksan.

D. Pengujian Aktivitas

Kelompok uji diberikan ekstrak

metanol daun A. microcarpa dengan

pemberian perlakuan dilakukan selama 14

hari. Perlakuan pengujian aktivitas

diberikan pada kelompok kontrol normal,

positif, negatif, dan ekstrak metanol daun

A. microcarpa (50 mg/kg BB, 100 mg/kg

BB, dan 200 mg/kg BB).

E. Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Postprandial

Hewan uji yang telah diukur kadar

glukosa darah puasa diberikan glukosa

secara per oral. Pengukuran kadar glukosa

darah postprandial dilakukan setelah 2 jam

pemberian glukosa.

F. Analisis Data

Data yang didapat dari pengukuran

kadar glukosa darah postprandial

dianalisa dengan program SPSS 21

menggunakan uji distribusi normal dengan

metode Shapiro-Wilk dan uji homogenitas

dengan metode Levene’s Test. Jika data

terdistribusi normal dan homogen, uji

dilakukan dengan uji parametrik yaitu uji

One Way Anova dan Post Hoc LSD.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi merupakan proses

penyarian kimia yang terdapat di dalam

suatu tanaman. Serbuk kering A.

microcarpa sebanyak 200 gram diekstraksi

menggunakan metode perkolasi dengan

pelarut metanol. Hasil dari ekstraksi

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

129

berupa ekstrak kental sebanyak 58 gram

dengan persen rendemen sebesar 29%.

Pengujian aktivitas diabetes

dilakukan dengan menggunakan kontrol

normal, kontrol negatif, kontrol positif dan

ekstrak metanol daun A. microcarpa (50

mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg

BB). Penginduksi yang digunakan yaitu

aloksan dengan pengukuran kadar glukosa

darah dilakukan secara postprandial

selama 14 hari. Persentase penurunan

kadar glukosa darah postprandial dapat

dilihat pada Gambar 1.

Keterangan:

Postprandial H-7 * p < 0,05; berbeda bermakna

dengan kelompok Kn

Postprandial H-14 # p < 0,05; berbeda bermakna

dengan kelompok Kn

Gambar 1. Persentase rata-rata penurunan

kadar glukosa darah

postprandial

Berdasarkan data persentase

penurunan kadar glukosa darah

postprandial yang diperoleh dan dianalisis

statistik menunjukkan bahwa data tersebut

terdistribusi normal (p > 0,05) dan homoen

(p < 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji

parametrik one way ANOVA dan uji Post

Hoc LSD.

Hasil analisis statistik persentase

penurunan kadar glukosa darah

postprandial pada hari ke-7 dan 14

menunjukkan bahwa kontrol negatif

berbeda bermakna dengan dosis 50 mg/kg

BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga dosis

pemberian tersebut memiliki aktivitas

dalam penurunan kadar glukosa darah

pada hewan uji. Berdasarkan hasil analisis

juga menunjukkan bahwa dosis 50 mg/kg

BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB

tidak berbeda bermakna dengan kontrol

positif yang artinya bahwa ketiga dosis

tersebut memiliki aktivitas yang sebanding

dengan kontrol positif yang diberikan

glibenklamid.

Kadar glukosa darah yang

diperoleh pada postprandial menunjukkan

bahwa ekstrak metanol daun A.

microcarpa dapat menurunkan kadar

glukosa darah pada tikus yang diabetes.

Hasil data persentase penurunan kadar

glukosa darah menunjukkan bahwa

semakin tinggi dosis pemberian, semakin

besar persentase penurunan kadar glukosa

darah tersebut. Kemampuan dalam

menurunkan kadar glukosa darah dari

ekstrak metanol daun A. microcarpa dapat

disebabkan karena adanya kandungan

*

#

# # #

-10

0

10

20

30

40

50

60

Per

sen

tase

ra

ta-r

ata

pen

uru

na

n K

GD

Po

stp

ran

dia

l

*

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

130

flavonoid di dalamnya. Flavonoid

memiliki aktivitas antioksidan yang dapat

berperan dalam menangkal radikal bebas

di dalam tubuh. Berdasarkan penelitian

Sari (2016), ekstrak metanol daun A.

microcarpa memiliki aktivitas antioksidan

sangat aktif dengan nilai IC50 sebesar

15,59 ppm. Selain itu, flavonoid juga

berperan dalam menurunkan kadar glukosa

darah dengan merangsang pelepasan

insulin dari sel beta yang tidak mengalami

kerusakan (Fawzy et al, 2008). Mekanisme

dari flavonoid ini memiliki kemiripan

dengan kontrol positif yang digunakan

yaitu glibenklamid.

Efek penurunan kadar glukosa

darah dari ekstrak metanol daun A.

microcarpa ini dapat pula didukung

dengan adanya kandungan senyawa

lainnya, seperti fenol dan tanin. Fenol juga

memiliki aktivitas antioksidan yang dapat

menangkal radikal bebas dari efek

diabetogenik aloksan. Peran fenol sebagai

antioksidan diduga mampu melindungi sel

β pankreas dari efek toksik radikal bebas

yang diproduksi di bawah kondisi

hiperglikemia kronis. Senyawa tannin

yang terdapat dalam ekstrak metanol daun

A. microcarpa juga memiliki peran dalam

menurunkan kadar glukosa darah dengan

menghambat absorpsi glukosa (Meiyanti et

al, 2006). Tanin juga merupakan senyawa

fenolik seperti flavonoid sehingga

memiliki aktivitas antioksidan yang dapat

menangkal radikal bebas dari efek

diabetogenik aloksan (Setiawan, 2000).

Oleh karena itu, efek penurunan kadar

glukosa darah yang dihasilkan oleh ekstrak

metanol A. microcarpa dapat disebab

karena adanya peran dari kandungan

senyawanya yaitu flavonoid, fenol, dan

tanin.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian ini adalah ekstrak metanol daun

A. Microcarpa memiliki efek penurunan

kadar glukosa darah pada tikus yang

diinduksi aloksan dengan dosis 50 mg/kg

BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Kementerian Riset, Teknologi

dan Pendidikan Tinggi atas dana penelitian

yang diberikan melalui Hibah Penelitian

Kerja Sama Antar Perguruan Tinggi

(PEKERTI) 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Fawzy, G. A., H. M. Abdallah, M. S. A.

Marzouk, F. M. Soliman & A. A.

Sleem. 2008. Antidiabetic and

Antioxidant Activities of Major

Flavonoids of Cynanchum acutum

L. (Asclepiadaceae) Growing in

Egypt. Z. Naturforsch. 63: 658 –

662.

Hernawan, U. E., Sutarno & A. D.

Setyawan. 2004. Aktifitas

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

131

Hipoglikemik dan Hipolipidemik

Ekstrak Air Daun Bungur

(Lagerstroemia speciosa [L.] Pers.)

terhadap Tikus Diabetik.

Biofarmasi. 1: 15 – 23.

Katzung, B. G. 2007. Farmakologi Dasar

& Klinik. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

Meiyanti, H. R. Dewoto & F. D. Suyatna.

Efek Hipoglikemik Daging Buah

Mahkota Dewa (Phaleria

macrocarpa (Sheff.) Boerl.)

terhadap Kadar Gula Darah pada

Manusia Sehat Setelah

Pembebanan Glukosa. Universa

Medicina. 25: 114-120.

Mycek, M. J., R. A. Harvey, P. C.

Champe. 2001. Famakologi Ulasan

Bergambar Edisi 2. Widya Medika,

Jakarta.

Sari, M. P. 2016. Penetapan Kadar

Flavonoid Total, Efek Antioksidan

dan Hipoglikemik Ekstrak Metanol

Daun Gaharu (Aquilaria

microcarpa Baill.) pada Tikus

Jantan. Skripsi Program Studi

Farmasi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarbaru.

Setiawan, D. 2000. Atlas Tumbuhan Obat

Indonesia. Trobus Agriwidya.

Bogor.

Suryani, N., T. Endang, & Aulanni’am.

2013. Pengaruh Ekstrak Metanol

Biji Mahoni terhadap Peningkatan

Kadar Insulin, Penurunan Ekspresi

TNF-a dan Perbaikan Jaringan

Pankreas Tikus Diabetes. Jurnal

Kedokteran Brawijaya. 27: 137-

145.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal- 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

132

Pengaruh Pemberian Kurkumin Per Oral

dengan Selang Waktu Terhadap Profil

Farmakokinetika Eritromisin

*Noor Cahaya, Abshar Fariz, Destria Indah Sari

1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Eritromisin merupakan substrat dari enzim sitokrom P450 CYP3A4 dan

kurkumin merupakan inhibitor pada enzim tersebut. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui profil farmakokinetika eritromisin setelah diberikan kurkumin dengan

selang waktu 1 jam secara oral pada tikus jantan galur Wistar. Penelitian dibagi

menjadi 2 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok I (kontrol)

diberi eritromisin secara oral dosis 1 g/kg BB dan kelompok II (perlakuan) diberi

kurkumin secara oral dosis tunggal 180 mg/kg BB 1 jam sesudah eritromisin. Cuplikan

darah diambil dari vena lateralis ekor tikus pada jam ke- 0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,5; 2; 4; 6

dan 8 setelah diberikan eritromisin. Kadar masing-masing obat dalam plasma

ditetapkan dengan menggunakan teknik spektrofotometri UV-Vis derivatif yang telah

divalidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kurkumin 1 jam setelah

eritromisin menunjukkan tidak terjadi perubahan pada nilai Cmaks (p>0,05), namun

terjadi perubahan pada nilai t1/2 (p<0,05) dan AUC (p<0,05). Dari penelitian ini dapat

disimpulkan terjadi perubahan profil farmakokinetika eritromisin yang diberikan

selang waktu dengan kurkumin pada tikus jantan galur Wistar.

Kata Kunci: Kurkumin, eritromisin, farmakokinetika.

ABSTRACT

Erythromysin is substrate of the cytochrome P450 enzymes CYP3A4 and curcumin is an

inhibitor of enzyme CYP3A4. The study was aimed to investigate profil pharmacokinetic

erythromycin when given curcumin one hour after erythromycin in male Wistar rats. The

study was divided into two groups, each consisting of 5 rats. Group I (control) was given

oral erythromycin dose of 1 g/kg and group II (experiment) was given a single dose of

curcumin orally 180 mg/kg an hour after erythromycin. Blood sample were taken from the

lateral vein of rats at 0.25; 0.5; 0.75; 1; 1,5 ;2; 4; 6 and 8 hours after given erythromycin.

Erythromycin plasma concentrations were determinated by derivated UV-Vis

spectrophotometry that has been validated. The result of study showed the administration

of curcumin an hour after erythromycin did not change the value of Cmax (p>0,05), but

there was change in the value of t1/2 (p<0.05) and AUC (p<0.05). The results indicate that

the administration of curcumin in a single dose one hour after erythromycin gives the

change of erythromycin pharmacokinetic profile in male Wistar rats.

Keywords: Curcumin, erythromycin, pharmacokinetic.

I. PENDAHULUAN

Pelayanan kefarmasian sudah

bergeser dari drug oriented menuju patient

oriented (pharmaceutical care). Oleh

karena itu, farmasis dituntut perannya

secara aktif dalam pharmaceutical care

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

133

yaitu memaksimalkan hasil terapi pada

pasien dengan mencegah atau mengurangi

berbagai Drug Related Problem (DRP).

Salah satu dari DRP adalah munculnya

interaksi obat yang diakibatkan oleh

interaksi antara obat dengan obat atau obat

dengan makanan (Stockley, 2008).

Interaksi obat dianggap penting secara

klinis jika berakibat meningkatkan

toksisitas dan atau mengurangi efektifitas

obat yang berinteraksi sehingga terjadi

perubahan pada efek terapi dan tidak

sesuai dengan yang diinginkan (Piscitelli

& Rodvold, 2005).

Penyakit infeksi masih merupakan

salah satu masalah kesehatan masyarakat

yang cukup banyak, khususnya di negara

berkembang. Tingginya prevalensi infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) serta

dampak yang ditimbulkannya membawa

akibat pada tingginya konsumsi obat bebas

(seperti anti influenza, obat batuk,

multivitamin) dan antibiotika (Richard,

2000). Pengobatan ISPA yang diresepkan

dokter di Rumah sakit YARSIS di kota

Surakarta berkisar antara 4-6 macam yang

meliputi bronkodilator, antihistamin,

analgetik-antiinflamasi, kortikosteroid, dan

antibiotik sebanyak 52,69% (Rahmawati et

al, 2006). Salah satu antibiotik yang

digunakan untuk infeksi saluran

pernafasan adalah antibiotik golongan

makrolida yaitu eritromisin (Rizky et al,

2010).

Berdasarkan hasil beberapa

penelitian, eritromisin tidak dapat

diberikan bersama beberapa jenis obat

tertentu yang dimetabolisme oleh enzim

sitokrom P450 seperti karbamazepin,

kortikosteroid, warfarin, terfenadin,

asetamizol, quinidin, teofillin dan obat-

obat antikoagulan (Gunawan, 2007).

Eritromisin merupakan substrat enzim

sitokrom P450 CYP3A4. Apabila obat

eritromisin dikombinasikan dengan

inhibitor enzim sitokrom P450 CYP3A4

seperti simetidin dan verapamil maka

berakibat dapat menaikkan kadar

eritromisin dalam plasma. Interaksi ini

tidak diinginkan karena dapat

menyebabkan efek toksik (Jambhekar &

Breen, 2009). Oleh karena itu, interaksi

yang dapat menyebabkan perubahan profil

farmakokinetika sangat penting untuk

diperhatikan penggunaannya ketika di

berikan bersamaan dengan obat lain, salah

satunya penggunaan senyawa kurkumin.

Berdasarkan penelitian yang

pernah dilakukan bahwa kurkumin dapat

mempengaruhi aktivitas enzim sitokrom P-

450 antara lain CYP1A1, CYP1A2

(Supandi, 2009), CYP2E1, dan CYP3A4

(Oetari, 2006). Senyawa kurkumin ini

merupakan inhibitor enzim

biotransformasi obat terutama enzim

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

134

sitokrom P-450. Sifat inhibisi ini

menyebabkan kurkumin harus

diperhatikan jika digunakan bersamaan

dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh

enzim yang sama (Oetari, 2006). Salah

satu obat yang dimetabolisme oleh enzim

sitokrom P450 yaitu eritromisin

(Suharjono, 2006). Penghambatan aktivitas

enzim dapat mengakibatkan konsentrasi

yang lebih tinggi dari obat substrat

sehingga meningkatkan potensi efek

samping obat dan toksisitas (Gunawan,

2007). Eritromisin merupakan antibiotik

yang dimetabolisme oleh enzim yang sama

dengan kurkumin sehingga dikhawatirkan

terjadi interaksi dan dapat mempengaruhi

profil farmakokinetika. Seperti diketahui

bahwa kurkumin dipasarkan secara bebas

untuk suplemen penambah nafsu makan,

dan berdasarkan penelitian kurkumin

memiliki efek sebagai anti inflamasi

(Sardjiman, 2000). Pada penderita terapi

infeksi saluran nafas akut (ISPA),

antibiotik eritromisin juga sering diberikan

bersama dengan analgetik atau

antiinflamasi sebagai terapi penunjang

untuk mengatasi tanda dan gejala penyakit

(Dipiro et al, 2005). Selain itu pada

penderita ISPA merupakan salah satu

penyakit infeksi yang erat kaitannya

dengan masalah gizi sehingga pemberian

suplemen makanan yang mengandung

kurkumin dengan antibiotik eritromisin

kemungkinan bisa terjadi (Amir, 2008).

Sehingga interaksi antara kurkumin

dengan eritromisin perlu dikaji agar ada

informasi lebih lengkap tentang pengaruh

profil farmakokinetika eritromisin

terhadap senyawa kurkumin.

Frekuensi pemakaian suatu obat

ditetapkan berdasarkan parameter

farmakokinetiknya, frekuensi dua jenis

obat atau lebih yang mempunyai waktu

paruh berbeda maka frekuensi

pemakaiannya seharusnya berlainan

(Rusdiana, 2003). Pemilihan dengan

pemberian selang waktu 1 jam karena tmaks

dari eritromisin adalah 1,2 jam (Kavi et al,

1998) sehingga masih ada kemungkinan

kurkumin dapat mempengaruhi parameter

Cmaks, t1/2 dan AUC dari eritromisin pada

waktu tersebut. Berdasarkan penelitian lain

yang pernah dilakukan pemberian

kurkumin secara oral dosis tunggal

diberikan 1 jam sebelum Rifampisin

berdasarkan hasil penelitian tersebut,

kurkumin dinyatakan mempengaruhi nilai

Cmaks dan AUC dari rifampisin (Wahyono

et al, 2007). Berdasarkan masalah tersebut

maka perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk mengetahui pengaruh

kurkumin yang diberikan dengan selang

waktu satu jam terhadap profil

farmakokinetika eritromisin.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

135

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang digunakan yaitu 2,2-

bipyridil p.a (Merck), aquadest, asetonitril

p.a (Merck), EDTA (Merck), eritromisin

stearat p.a (Baoji Goukang Technology),

ferri klorida (FeCl3) p.a (Merck), kalium

dihidrogen fosfat p.a (Merck), metanol p.a

(Merck), NaCMC (Brataco) dan natrium

hidroksida p.a (Merck). Hewan uji yang

digunakan yaitu tikus jantan galur Wistar

dengan bobot 200-300 gram, usia 3-4

bulan.

B. Ekstraksi Eritromisin dari Sampel

Darah

Sampel darah yang diperoleh

ditambahkan EDTA, kemudian

disentrifuge pada kecepatan 2200 rpm

selama 5 menit. Supernatan diambil

sebanyak 0,5 mL dan ditambahkan 1 mL

asetonitril. Larutan divorteks selama 1

menit kemudian disentrifuge lagi selama 5

menit pada kecepatan 2200 rpm. Plasma

yang telah dideproteinasi ini yang

digunakan sebagai cuplikan untuk diukur

serapannya (Stubss et al, 1985).

C. Pembuatan Spektra Serapan Normal

Larutan baku induk eritromisin

dibuat dengan melarutkan 10 mg

eritromisin dalam 100 mL metanol.

Kemudian larutan baku induk tersebut

diencerkan hingga konsentrasinya 10

µg/mL. Sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke

tabung reaksi lalu ditambahkan 0,5 mL

larutan 2,2-bipyridil dan 0,3 mL larutan

ferri klorida. Larutan ini dipanaskan 70oC

selama 10 menit. Volume larutan

ditambahkan sampai volumenya 5 mL

dengan larutan dapar fosfat. Larutan baku

induk kurkumin dibuat dengan melarutkan

10 mg kurkumin dalam 100 mL metanol.

Larutannya diencerkan hingga konsentrasi

0,5 µg/mL. Larutan ini diberi perlakuan

sama seperti larutan eritromisin.

Serapannya dibaca dengan

spektrofotometer UV-Vis, kemudian di-

overlay pada panjang gelombang 400–600

nm (Batubara et al, 2005; Pasha et al,

2012).

D. Penentuan Panjang Gelombang

Analisis

Masing-masing larutan standar

yang mengandung eritromisin 10 µg/mL,

larutan standar kurkumin 0,5 µg/mL,

larutan standar eritromisin 10 µg/mL yang

mengandung 0,5 ml sampal darah dan

campuran larutan eritromisin dan

kurkumin 0,5 µg/mL kemudian diekstraksi

lalu dilakukan derivatisasi dengan FeCl3

dan 2,2-bipyridil. Cuplikannya dibaca

serapan dengan spektrofotometer UV-Vis

pada panjang gelombang 400–600 nm.

Berdasar spektra yang diperoleh, dibuat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

136

kurva serapan derivat pertama dan kedua

dari setiap larutan. Panjang gelombang

pada saat amplitudo nol pada larutan

kurkumin dan amplitudo sama pada

larutan eritromisin dan campuran

eritromisin-kurkumin digunakan sebagai

panjang gelombang analisis (Hayun et al,

2006).

E. Pembuatan Kurva Baku dan Uji

Linieritas

Masing-masing sebanyak 0,5 mL

sampel darah tikus ditambahkan 0,5 mL

larutan baku standar 0,5; 1; 2; 3; 5 dan 7

µg/mL. Sampel plasma mengandung

eritromisin diekstraksi lalu dilakukan

derivatisasi dengan FeCl3 dan 2,2-

bipyridil. Cuplikannya diukur serapannya

pada spektrofotometer UV-Vis. Kemudian

dibuat kurva kalibrasinya dari data yang

diperoleh. Koefisien korelasi dihitung dari

persamaan garis regresi linier untuk

melihat linieritas kurva kaliberasi tersebut.

Kriteria linieritas untuk bioanalisis matriks

biologis dipenuhi minimal pada koefisien

korelasi 0,95 (Harahap, 2009).

F. Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan

Batas Kuantifikasi (LOQ)

Sampel plasma mengandung

eritromisin pada konsentrasi 0,5; 1; 2; 3; 5

dan 7 µg/mL disiapkan dan diderivatisasi.

Cuplikan diukur serapannya pada

spektrofotometer UV-Vis menggunakan

panjang gelombang analisis yang dipilih.

Data hasil pengukuran kemudian dihitung

untuk menentukan nilai LOD dan LOQ

(Harmita, 2004).

G. Uji Akurasi dan Presisi

Sampel plasma pada konsentrasi

rendah, sedang, dan tinggi disiapkan dan

diderivatisasi. Cuplikan diukur serapannya

pada spektrofotometer UV-Vis. Lakukan

masing-masing 3 kali replikasi. Dihitung

nilai persentase akurasi (%diff) dan rata-

rata recoverinya untuk uji akurasi.

Sedangkan untuk uji presisi dihitung nilai

koefisien variasinya (%cv) pada

konsentrasi rendah, sedang dan tinggi

(CDER, 2001).

H. Uji in vivo pada subjek tikus

1. Pembuatan Larutan Obat

Larutan pensuspensi NaCMC 0,5%

dibuat dengan memasukkan 0,5 gram

NaCMC dalam 100 mL aquadest

kemudian dipanaskan hingga larut.

Larutan stok kurkumin dibuat dalam

konsentrasi 64 mg/mL. Sebanyak 75 mg

kurkumin disuspensikan dalam 25 mL

larutan NaCMC 0,5%. Larutan stok

eritromisin dibuat dalam konsentrasi 360

mg/mL. Sebanyak 500 mg eritromisin

stearat disuspensikan dalam 25 mL larutan

NaCMC 0,5%.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

137

2. Penyiapan subjek

Subjek tikus dipuasakan selama

±10 jam, dimana berat badannya telah

memenuhi persyaratan sebagai hewan

yang siap diujikan (200-300 gram). Subjek

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok kontrol dan kelompok uji

(Supandi, 2009). Subjek kontrol diberikan

suspensi eritromisin secara peroral dengan

dosis 1 g/kgBB. Sedangkan subjek

kelompok uji diberikan kurkumin 180

mg/kgBB secara oral 60 menit setelah

pemberian suspensi eritromisin.

3. Pengambilan darah

Setelah perlakuan dilakukan

pengambilan darah sebanyak 9 sampel

darah dengan rentang waktu 4x waktu

paruh obat. Darah diambil pada vena

lateralis ekor. Pengambilan darah

dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 0,75; 1;

1,5; 2; 4; 6 dan 8. Pengambilan darah

diambil sebanyak ± 0,5 mL dan ditampung

pada tabung berisi EDTA, kemudian

disentrifuge dengan kecepatan 2200 rpm

selama 5 menit dan diambil plasmanya 0,5

mL. Plasma yang diperoleh diperlakukan

sama seperti pada penetapan kadar obat

dalam plasma secara in vitro (Supandi,

2009).

4. Penentuan Profil Farmakokinetika

Penentuan parameter

farmakokinetika dapat ditentukan dengan

cara membuat grafik antara waktu

terhadap kadar obat dalam plasma.

Berdasarkan grafik tersebut akan terlihat

nila Cmaks eritromisin dalam plasma.

Penentuan nilai t½ dihitung dengan rumus

menggunakan data eliminasi obat (kurva

menurun dari grafik antara waktu terhadap

kadar obat). Sedangkan nilai AUC

ditentukan dengan menggunakan rumus

trapesium untuk menghitung luas area di

bawah kurva pada grafik antara waktu

terhadap kadar obat dalam plasma (Shargel

& Yu, 2005).

5. Analisa Data

Hasil perhitungan parameter Cmaks,

t1/2 dan AUC selanjutnya dianalisis secara

statistik dengan uji t tidak berpasangan

pada taraf kepercayaan 95%. Pengujian

dilakukan dengan uji Shapiro-wilk untuk

mengetahui data terdistribusi normal dan

normalitas data dilihat menggunakan uji

Levene’s Test.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan Panjang Gelombang

Analisis dengan Spektrofotometri

UV-Vis Derivatif

Metode spektrofotometri derivatif

adalah salah satu metode spektrofotometri

yang dapat digunakan untuk analisis

campuran beberapa zat secara langsung

tanpa harus melakukan pemisahan terlebih

dahulu walaupun dengan panjang

gelombang yang berdekatan. Penentuan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

138

panjang gelombang optimum yang lebar

akan lebih akurat menggunakan

derivatisasi spektra. Proses yang terjadi

dalam derivatisasi data spektra adalah

derivatisasi dari kurva secara matematis

dengan menentukan kemiringan/gradien

serapan antara panjang gelombang tertentu

secara menyeluruh (Nurhidayati, 2007).

Hasil derivatisasi spektra normal

pada pembacaan amplitudo 400-600 nm

dari eritromisin standar, kurkumin, dan

campuran eritromisin dengan kurkumin,

serta eritromisin dalam plasma pada orde

kesatu dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1.Spektra derivat orde pertama standar

eritromisin (hijau), kurkumin (merah),

dan campuran eritromisin-kurkumin

(biru) serta eritromisin dalam matriks

plasma (coklat)

Berdasarkan hasil spektra

derivatisasi pada gambar 1 tersebut

diperoleh spektra yang lebih tajam dan

berhimpit antara cuplikan standar

eritromisin dalam pelarut, dengan

eritromisin dalam plasma serta campuran

eritromisin bersama dengan kurkumin.

Cuplikan dibaca serapannya (scanning)

pada panjang gelombang 400-600 nm,

karena baik larutan eritromisin dan

kurkumin memiliki warna larutan yang

dapat diserap pada rentang panjang

gelombang tersebut dan kedua larutan

tersebut memiliki gugus kromofor.

Spektra yang didapatkan

merupakan hasil diderivatisasi orde satu

pada interval 4 nm. Interval yang terlalu

rendah akan menghasilkan spektra

derivatif yang kasar dimana amplitudo

akan mengakibatkan spektra berupa garis

putus-putus sedangkan jika interval terlalu

tinggi bisa mengakibatkan amplitudo yang

dihasilkan terlalu lebar sehingga puncak

amplitudo optimum sulit diukur. Panjang

gelombang 520-570 nm hasil derivat orde

kesatu eritromisin standar, eritromisin

plasma, dan campuran eritromisin-

kurkumin saling berhimpit satu sama

lainnya. Hal ini menunjukkan pada rentang

panjang gelombang tersebut hanya

amplitudo eritromisin yang terbaca.

Panjang gelombang yang digunakan untuk

analisis yaitu 547 nm karena pada panjang

gelombang ini, spektra derivat orde kesatu

antara eritromisin standar, eritromisin

plasma, dan campuran eritromisin-

kurkumin mempunyai amplitudo optimum

(gambar 1). Panjang gelombang ditentukan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

139

dengan metode peak to peak dari

penggabungan spektrum derivatif larutan

baku dan sampel (analit). Metode ini

dilihat dari spektrum yang saling tumpang

tindih antara spektrum eritromisin standar,

spektrum eritromisin plasma, dan

spektrum campuran eritromisin-kurkumin

sehingga dapat terlihat amplitudo optimum

pada panjang gelombang analisis. Dari

hasil penggabungan spektrum derivatif

tersebut, dicari daerah panjang gelombang

dimana terdapat spektrum yang saling

berimpit satu sama lain secara total

(Hayun, 2006).

B. Kurva Baku Eritromisin

Pembuatan kurva baku eritromisin

dilakukan pada seri kadar 0,5µg/mL;

1µg/mL; 2 µg/mL; 3 µg/mL; 5 µg/mL dan

7 µg/mL.

Gambar 2. Kurva baku eritromisin.

Persamaan kurva baku yang

diperoleh pada konsentrasi 0,5-7 ppm

yaitu y= -0,0895x - 0,0194 dengan nilai r =

0,9998 yang berarti besarnya hubungan

antara amplitudo dengan kadar yang

menyatakan sebesar 99,98% hasil yang

didapatkan akurat dan presisi. Hasil yang

didapatkan sudah memenuhi persyaratan

dimana kriteria linieritas untuk bioanalisis

matriks biologi dipenuhi minimal pada

koefisien 0,95 (Harahap, 2009).

C. Nilai batas deteksi (LOD) dan batas

kuantifikasi (LOQ)

Penentuan batas deteksi (LOD) dan

batas kuantifikasi (LOQ) dihitung

menggunakan data dari kurva baku yang

didasarkan pada standar deviasi respons

analit dan slope kurva baku. Hasil yang

didapatkan dapat dilihat pada tabel I

berikut.

Tabel 1. Hasil perhitungan LOD dan LOQ

Batas deteksi (LOD) menyatakan

jumlah terkecil analit yang masih

memberikan respons signifikan dengan

matriks. Batas kuantifikasi (LOQ)

menyatakan jumlah terkecil analit dimana

pengukuran masih memberikan hasil yang

akurat dan presisi. Batas yang diperoleh ini

kemudian disesuaikan dengan hasil yang

didapatkan pada kontrol maupun uji.

Kadar yang diperoleh tidak boleh di bawah

hasil LOD maupun LOQ untuk

y = -0,0895x - 0,0194

-0,8

-0,6

-0,4

-0,2

0,0

0 2 4 6 8

Am

pli

tud

o

Kadar (µg/mL)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

140

memberikan hasil yang akurat dan presisi

(Harmita, 2004). Berdasarkan hasil

perhitungan diperoleh nilai LOD yaitu

0,1485 ppm hal ini berarti bahwa

campuran obat dan matrik plasma pada

konsentrasi tersebut masih dapat terbaca

absorbansinya tetapi tidak dapat digunakan

dalam perhitungan karena dapat membuat

bias dalam perhitungan. Sedangkan batas

kuantitasi merupakan parameter pada

analisis dan diartikan sebagai kuantitas

terkecil analit dalam sampel yang masih

dapat memenuhi akurasi dan presisi. Nilai

batas kuantitasi (LOQ) pada pengujian ini

sebesar 0,4950 µg/mL.

D. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis terhadap

parameter akurasi dan presisi dilakukan

pada 3 seri konsentrasi yaitu pada

konsentrasi rendah (0,5 µg/mL), sedang (5

µg/mL) dan tinggi (7 µg/mL) masing-

masing dilakukan 3 kali replikasi. Akurasi

dan presisi dinyatakan dalam nilai %diff

(%different) yaitu nilai rata-rata

penyimpangan pengukuran dari nilai

sebenarnya dan %cv (coefficient of

variation) ) yaitu nilai perbandingan

simpangan baku terhadap rata-ratanya.

Hasil validasi yang diperoleh dapat dilihat

pada tabel II.

Tabel II. Hasil penentuan parameter

akurasi dan presisi metode analisis.

Akurasi dari suatu metode analisis

merupakan kedekatan nilai hasil uji yang

diperoleh dengan prosedur tersebut dengan

harga yang sebenarnya. Akurasi

merupakan ukuran ketepatan prosedur

analisis. Pengujian akurasi dilakukan pada

3 level konsentrasi yaitu rendah (0,5

µg/mL); sedang (3 µg/mL) dan tinggi (7

µg/mL). Hasil pengujian akurasi pada

ketiga konsentrasi tersebut memenuhi

persyaratan untuk %diff yang tidak boleh

lebih dari 15% untuk ketiga konsentrasi.

Presisi merupakan ukuran yang

menunjukkan kesesuaian hasil dengan

pengujian berulang. Presisi ditentukan

dengan menghitung nilai koefisien variasi

(%cv) pada tiap-tiap seri konsentrasi. Nilai

%cv diperoleh untuk konsentrasi rendah

yaitu 5,5103%, konsentrasi sedang

3,9082%, dan konsentrasi tinggi 3,8557%.

Hasil ini juga sudah memenuhi persyaratan

presisi yaitu koefisien variasi kurang dari

15%.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

141

E. Penentuan Parameter Farmako-

kinetika

Pengujian secara in vivo

menggunakan hewan uji tikus jantan galur

Wistar dengan tujuan untuk mengetahui

profil farmakokinetika eritromisisn setelah

pemberian kurkumin. Profil

farmakokinetika yang diamati berupa

kadar maksimum (Cmaks), waktu paruh

(t1/2) dan nilai AUC. Pengambilan

cuplikan darah dilakukan pada jam ke-

0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,5; 2; 4; 6 dan 8, darah

dipreparasi kemudian dianalisis untuk

mengetahui kadar eritromisin. Hasil

penentuan kadar eritromisin dalam darah

tikus secara in vivo dalam bentuk nilai

rata-rata pada setiap kelompok hewan

disajikan dalam bentuk grafik, terlihat

pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Kurva kadar rata-rata eritromisin dalam

darah pada waktu tertentu untuk kelompok yang

diberikan eritromisin/kontrol (biru) dan kelompok

dengan pemberian eritromisin dan kurkumin/

perlakuan (merah) dengan selang waktu 1 jam.

Berdasarkan cuplikan darah yang

mengandung eritromisin yang telah

diperoleh untuk kelompok kontrol dan

perlakuan dilakukan perhitungan

parameter Cmaks, t1/2 dan AUC untuk

melihat lebih jauh pengaruh pemberian

kurkumin terhadap farmakokinetika

eritromisin dengan pemberian selang

waktu. Hasil perhitungan parameter Cmaks

t1/2 dan AUC eritromisin dapat dilihat

pada tabel III dibawah ini.

Tabel III. Hasil perhitungan parameter

Cmaks, t1/2 dan AUC

Hasil perhitungan parameter

farmakokinetika kemudian dianalisis

secara statistik dengan uji komparatif t

tidak berpasangan untuk melihat nilai

signifikansi perubahan parameter

farmakokinetika antara kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan. Hasil dapat

diperoleh dapat dilihat pada tabel IV.

-1

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 2 4 6 8 10

Kel.yang diberikan Eritromisin

Kel.yang diberikan Eritromisin+Kurkumin

Waktu (jam)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

142

Tabel IV. Uji signifikansi parameter

Cmaks, t1/2 dan AUC

menggunakan uji t tidak

berpasangan.

Berdasarkan hasil statistik nilai

kadar maksimum antara kelompok kontrol

dengan perlakuan tidak berbeda signifikan

yang ditunjukkan oleh hasil uji t (p>0,05).

Hasil statistik ini menunjukkan bahwa

pemberian kurkumin dengan selang waktu

tidak meningkatkan kadar Cmaks

eritromisin tetapi adanya peningkatan

kadar sebesar 1,909%, kemungkinan

inhibisi terhadap enzim sitokrom P450

CYP3A4 masih sedikit. Peningkatan ini

dapat disebabkan oleh adanya interaksi

pada proses metabolisme (Wahyono,

2007). Peningkatan kadar obat pada

plasma menyebabkan waktu yang

diperlukan untuk mencapai kadar

maksimum menjadi lebih lama karena ada

kemungkinan kurkumin dengan pemberian

selang waktu dapat mempengaruhi pada

tingkat absorbsi sehingga kecepatan

absorbsi semakin lambat dan waktu yang

diperlukan obat untuk mencapai kadar

maksimum semakin lama.

Berdasarkan hasil statistik waktu

paruh eliminasi eritromisin terdapat

perbedaan signifikan antara kelompok

kontrol dengan kelompok perlakuan

(p<0,05). Nilai waktu paruh obat

tergantung dari kecepatan eliminasi.

Apabila kecepatan eliminasi obat berjalan

lambat, maka waktu paruh obat akan

semakin panjang. Hasil ini menunjukkan

bahwa dengan pemberian selang waktu

terjadi interaksi metabolisme yang dapat

mempengaruhi kecepatan eliminasi dan

memperlama waktu paruh eliminasi

eritromisin. Penelitian lain menunjukkan

hasil yang sama yang menyebabkan

semakin lama waktu paruh eliminasi

rifampisin dengan adanya pemberian

kurkumin (Wahyono, 2007).

Perbedaan signifikan juga terjadi

pada parameter AUC eritromisin. Terjadi

peningkatan nilai AUC sebesar 31,533%.

Secara statistik dari hasil uji t diperoleh

nilai (p<0,05) sehingga terdapat perbedaan

yang signifikan antara AUC kelompok

kontrol dengan kelompok perlakuan. Hasil

serupa juga diperoleh pada penelitian

sebelumnya dimana kurkumin mampu

meningkatkan AUC parasetamol hingga

88,36% secara signifikan (p<0,05)

(Samudra, 2005). Adanya perbedaan yang

signifikan pada nilai AUC kedua

kelompok, karena adanya peningkatan

nilai dari Cmaks dan t1/2 juga

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

143

mengakibatkan nilai AUC meningkat.

Peningkatan ini karena adanya interaksi

pada proses metabolisme oleh inhibisi

kurkumin pada enzim sitokrom P450

(Mach et al, 2010).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan analisis

data yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Pemberian kurkumin secara oral

dengan selang waktu pemberian

terhadap nilai Cmaks eritromisin

meningkat dari 5,927 g/mL menjadi

6,040 g/mL.

2. Pemberian kurkumin secara oral

dengan selang waktu pemberian

terhadap nilai t1/2 eritromisin

meningkat dari 1,851 jam menjadi

2,873 jam.

3. Pemberian kurkumin secara oral

dengan selang waktu pemberian

terhadap nilai AUC eritromisin

meningkat dari 22,787 g.jam/mL

menjadi 29,972 g.jam/mL.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. 2008. Pengaruh penyuluhan

model pendampingan Terhadap

perubahan status gizi anak usia 6

– 24 bulan. Tesis. Progam

Pascasarjana Universitas

Diponegoro, Semarang.

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R.

Matzke, B.G. Wells, & L.M.

Posey. 2005. Sixth Edition

Pharmacotherapy A

Pathophysiologic Approach. The

Mc Graw Hill Companies Inc,

USA.

Donatus, I. A. 1994. Antaraksi

kurkuminoid-teofilin : I. hubungan

peringkat dosis kurkuminoid

dengan toksisitas akut dan kinerja

toksikokinetika teofilin pada tikus,

Laporan Penelitian Mandiri,

Lembaga Penelitian UGM,

Yogyakarta.

Gunawan, S.G. 2007. Farmakologi dan

Terapi edisi 5. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta.

Harahap, Y. 2009. Validasi Metode

Analisis Rebamipid dalam Plasma

in vitro secara Kromatografi Cair

Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu

Kefarmasian. 6: 156-167.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan

Validasi Metode dan Cara

Perhitungannya. Majalah Ilmu

Kefarmasian. 3: 117 – 135.

Hayun, Harianto & Yenti. 2006. Penetapan

Kadar Tripolidina Hidroklorida dan

Pseudoefedrina Hidroklorida dalam

Tablet Anti Influenza secara

Spektrofotometri Derivatif.

Majalah Ilmu Kefarmasian. 3: 94-

105.

Jambhekar, S.S., & P.J. Breen. 2009. Basic

Pharmacokinetics. Pharmaceutical

Press, London.

Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar

dan Klinik. Diterjemahkan oleh

Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga.

Salemba Medika, Jakarta.

Kavi, J., J. M. Webberley, J. M. Andrews

& R. Wise. 1998. A comparison of

the pharmacokinetics and tissue

penetration of spiramycin and

erythromycin. Journal of

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

144

antimicrobial chemotherapy. 22

:105-110.

Nurhidayati, L. 2007. Spektrofotometri

Derivatif dan Aplikasinya Dalam

Bidang Farmasi. Jurnal Ilmu

Kefarmasian Indonesia. 5 : 91-99.

Oetari, R.A. 2006. Perkembangan

Kurkumin sebagai Senyawa Aktif

Curcuma Long L. Dalam Bidang

Farmasi. Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Pasha, S.I., F. Rehman., D. Tirupathi.,

T.Gopi, S. Kumar dan

A.R.Neelesh. 2012. New visible

spectrophotometric method for the

determination of Erythromycin

stearate in bulk drug & their

formulations. An International

Journal of Advances in

Pharmaceutical Sciences. 3 : 92-

97.

Piscitelli, S.C., Rodvold, K.A. 2005. Drug

Interactions in Infectious Diseases

2nd

Edition. Humana Press Inc.

Totowa. NJ

Rahmawati, F., R. Handayani & V. Gosal.

2006. Kajian Retrospektif Interaksi

Obat di Rumah Sakit Pendidikan

Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah

Farmasi Indonesia. 17: 177-183.

Richard, R.E. 2000. Handbook of

Antibiotics.3rd

Edition, Philadelphia.

Rizky, I., Saepudin & Dimas, A. 2010,

Analisis Peresepan Antibiotik Pada

Pasien Anak di Wilayah Kota

Yogyakarta Berdasarkan Data di

Apotek Pada Tahun 2009. Skripsi.

Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta.

Rusdiana, T., S. Fauzi & A. Sukmadjaja.

2003. Interaksi Farmakokinetik

Kombinasi Obat Parasetamol dan

Fenilpropanolamin Hidroklorida

Sebagai Komponen Obat Flu.

Farmaka. 1: 1-6

Sardjiman. 2000. Synthesis of some new

series of curcumin analouges, anti-

oxidative, anti-inflammatory, anti-

bacterial acitivities and qualitative

structure-activity-relationship.

Disertasi. Gadjah Mada University,

Yogyakarta.

Shargel, L. & A.B.C. Yu. 2005.

Biofarmasetika dan

Farmakokinetika Terapan. Edisi

ke-2. Airlangga University Press,

Surabaya.

Stockley. 2008. Stockley’s Drug

Interaction 8th

Edition. The

Pharmaceutical Press, London.

Stubss, C., J.M. Haigh, & I. Kaanfer.

1985. Determination of

Erythromycin in Serum and Urine

By High Performance

Chromatography with Ultraviolet

Detection. Journal Pharmaceutical

Sciences. 74: 1126-1128.

Suharjono. 2006. Penentuan Isoform

Sitokrom P450 Potensial Pada

Metabolisme Obat Dengan Model

Obat Gliklazid. Jurnal Farmasi

Indonesia. 3 : 28-37.

Supandi. 2009. Pengaruh Pemberian Air

Perasan Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza D. Dietr) terhadap

Parameter AUC dan Cmaks

Ibuprofen yang diberikan secara

Oral pada Tikus Jantan Galur

Wistar. Fakultas

Wahyono, D., A.R. Hakim &

Purwantiningsih. 2007. Pengaruh

Pemberian Sirup Curcuma Plus®

terhadap Farmakokinetika

Rifampisin pada Tikus. Majalah

Farmasi. 4 : 163-168.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

145

Formulasi Emulgel yang Mengandung Ekstrak

Etanol Kulit Batang Bangkal (Nauclea subdita)

Sebagai Tabir Surya

*Dina Rahmawanty, Dian Fatmawati, Fadlilaturrahmah

Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Ekstrak etanol kulit batang bangkal (Nauclea subdita) memiliki aktivitas sebagai

tabir surya.Ekstrak etanol kulit batang bangkal diformulasikan dalam bentuk sediaan

emulgel untuk kemudahan penggunaannya pada kulit.Penelitian ini bertujuan untuk

memformulasi sediaan emulgel yang mengandung ekstrak etanol kulit batang bangkal

(Nauclea subdita) sebagai tabir surya dan juga menentukan nilai SPF dari ekstrak

etanol dan emulgel kulit batang bangkal.Formulasi emulgel menggunakan natrium

lauril sulfatdan setostearil alkohol (1:9) sebagai surfaktan dan karbopol 12,5% sebagai

gelling agent. Penentuan nilai SPF dari ekstrak etanol dan emulgel kulit batang bangkal

diuji secara in vitro menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang

290-320 nm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit batang bangkal

dengan konsentrasi 250 ppm, 500 ppm dan 750 ppm memiliki nilai SPF sebesar 10, 16

dan 19. Nilai SPF emulgel ekstrak etanol kulit batang bangkal dengan ekstrak sebanyak

0,5 % b/b; 1 % b/b; dan 1,5 % b/b berturut-turut memiliki nilai SPF 11, 18, dan 21.

Kata kunci : Emulgel, In Vitro, Tabir surya, Bangkal (Nauclea subdita)

ABSTRACT

Ethanolic extract from stem bark of bangkal (Nauclea subdita) has an activity as

sunscreen The ethanolic extract of bangkal’s stem bark was formulated in the form of

emulgel for ease of application on the skin. The aims of this study was to formulate

emulgel dosage form that contains ethanolic extract from stem bark of bangkal (Nauclea

subdita) as a sunscreen and determine its SPF value. Emulgel was formulated by using

sodium lauryl sulfate and cetostearyl alcohol (1: 9) as a surfactant and 12,5% karbopol as

gelling agent. Determination of SPF value from ethanolic extract and emulgel of bangkal

stem bark had been tested by using UV-Vis Spectrophotometer at wavelength range 290-

320 nm. The results showed that ethanolic extract from stem bark of bangkal with

concentration 250 ppm, 500 ppm and 750 ppm had SPF value 10, 16 and 19. The SPF

value of emulgel from bangkal’s stem bark extract amount 0,5% w/w; 1% w/w; and 1,5%

w/w had an SPF value 11, 18, and 21.

Keywords : Emulgel, In Vitro, Sunscreen, Bangkal (Nauclea subdita)

I. PENDAHULUAN

Paparan sinar matahari secara

berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

kulit terbakar bahkan kanker kulit.Hasil

penelitian Garoli et al. (2009) tentang

usaha pencegahan dan pengurangan

dampak negatif dari sinar matahari

terhadap kulit semakin meningkat dengan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

146

penggunaan kosmetik tabir

surya.Kemampuan tabir surya dalam

mencegah paparan sinar matahari

ditunjukkan oleh nilai sun protecting

factor (SPF). Nilai SPF didefinisikan

sebagai rasio energi UV yang dibutuhkan

untuk memproduksi dosis eritrema

minimal (MED) pada kulit yang dilindungi

dibagi dengan energi UV pada kulit yang

tidak dilindungi tabir surya. Menurut Kale

et al. (2011) pengukuran nilai SPF secara

in vitro memiliki keuntungan tidak

mengekspos subyek manusiaterhadap

radiasiUV yang berbahaya,efektif dari segi

biaya dan dapat memberikan datastatistik

yang signifikan untuk membantu

mengembangkan produk tabir suryayang

efektif.

Kosmetik untuk tabir surya akhir-

akhir ini banyak dikembangan

menggunakan bahan alam karena adanya

anggapan bahwa pemakaian bahan alam

lebih aman digunakan dan mempunyai

efek samping yang relatif sedikit (Leony,

2014). Penelitian Maulina (2014)

menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit

batang bangkal memiliki aktivitas sebagai

tabir surya.Hasil kajian farmakognostik

Nisa (2013) menunjukkan bahwa kulit

batang tanaman bangkal memiliki

kandungan senyawa aktif seperti

flavonoid, saponin, steroid dan tanin.

Bentuk sediaan yang dipilih adalah

emulgel.Emulgel merupakan salah satu

bentuk sediaan kulit yang merupakan

gabungan dari sediaan emulsi dan

gel.Sediaan emulgel disebut juga sebagai

sediaan emulsi yang viskositas fase airnya

ditingkatkan melalui penambahan gelling

agent.Kelebihan dari sediaan emulgel

adalah nyaman digunakan dan mampu

melekat pada waktu yang relatif lama pada

kulit sehingga dapat mendukung

penggunaannya sebagai sediaan tabir surya

(Panwar, 2011).Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk membuat ekstrak etanol kulit

batang bangkal menjadi suatu sediaan

farmasi untuk kemudahan penggunaannya

pada kulit.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah

akuades, ekstrak etanol kulit batang

bangkal (Nauclea subdita), etanol 96 %,

karbopol 940 ®, metil paraben (Brataco),

minyak zaitun, setosteril alkohol

(Brataco), sodium lauril sulfat (Konimex),

propilen glikol (Brataco), propil paraben

(Brataco), dan trietanolamin (Brataco).

B. Pembuatan simplisia kulit batang

bangkal

Pengambilan sampel kulit batang

bangkal dengan cara mengupas 1/3 bagian

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

147

bawah kulit batang dengan ketebalan 2-6

mm. Kulit batang bangkal dicuci bersih di

bawah air mengalir lalu dirajang,

kemudian dikeringkan dengan oven pada

suhu 50˚C. Sampel yang sudah kering lalu

dibuat serbuk.

C. Pembuatan ekstrak etanol kulit

batang bangkal

Serbuk kulit batang bangkal sebanyak

200 gram dimasukkan ke dalam bejana

maserasi dan direndam menggunakan

pelarut etanol 96% dengan perbandingan

1:5. Ekstraksi dilakukan selama selama 3 x

24 jam sambil sesekali dilakukan

pengadukan.

D. Penentuan nilai SPF ekstrak secara

in-Vitro

Ekstrak etanol kulit batang bangkal

diencerkan dengan etanol 96% pada

konsentrasi 250 ppm, 500 ppm, dan 750

ppm. Diukur absorbansinya pada panjang

gelombang antara 290-320 nm, dengan

etanol 96% sebagai blanko.

E. Pembuatan Sediaan

Karbopol dicampurkan ke dalam

akuades yang telah dipanaskan (80oC), pH

gel diatur dengan penambahan TEA.Fase

minyak dari emulsi dibuat dengan

melarutkan setosteril alkohol dalam

minyak zaitun (60oC).Fase air dibuat

dengan melarutkan sodium lauril sufat

dalam akuades (70oC).Fase minyak

ditambahkan ke dalam fase air sambil

terus diaduk.Ekstrak etanol kulit batang

bangkal, metil paraben, dan propil

paraben, dilarutkan dalam propilen glikol

dan ditambahkan dalam emulsi.Emulsi

dicampurkan dengan gel karbopol (Priani

et al., 2014).

Tabel I. Formulasi emulgel ekstrak etanol

kulit batang bangkal

F. Evaluasi sediaan

a. Uji organoleptik

Pemeriksaan organoleptis meliputi

pemeriksaan terhadap warna, bau, dan

konsistensi dari sediaan.

b. Uji pH

Satu gram sediaan emulgel

diencerkan dengan akuades hingga 10

Bahan F I

(% b/b)

F II

(% b/b)

F III

(% b/b)

F IV

(% b/b)

Ekstrak

etanol N.

subdita

- 0,5 1 1,5

Minyak

zaitun

20 20 20 20

Sodium

lauril

sulfat

0,75 0,75 0,75 0,75

Setosteril

alkohol

6,75 6,75 6,75 6,75

Propilen

glikol 5 5 5 5

Metil

paraben 0,18 0,18 0,18 0,18

Propil

paraben 0,02 0,02 0,02 0,02

Gel

karbopol

2%

(+TEA)

12,5 12,5 12,5 12,5

Akuades

ad 100 100 100 100

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

148

mL.pH meter dikalibrasi menggunakan

larutan dapar pH 7. Elektroda dicelupkan

ke dalam larutan yang diperiksa (Voigt,

1994).

c. Uji viskositas

Pengukuran dilakukan

menggunakan viskometer Brookfield

dengan spindel nomor 4 dan kecepatan 6,

12, 30, dan 60 rpm (Mayangkara, 2011).

d. Uji daya sebar

Sediaan emulgel sebanyak 0,5 gram

diletakkan di tengah kaca transparan yang

dilapisi kertas grafik dibawahnya, diberi

beban dari ukuran terkecil sampai ukuran

terbesar (50 g, 100 g, 150 g), dibiarkan

selama 1 menit dan diukur diameter daerah

penyebaran emulgel (Shovyana &

Zulkarnain, 2013).

e. Uji daya lekat

Sebanyak 0,5 gram sediaan

dioleskan diatas gelas objek, diatas sediaan

tersebut diletakkan objek gelas lain dan

ditindih dengan beban 1 kg selama 5

menit. Kemudian beban seberat 80 gram

dilepaskan dan dicatat waktunya hingga

kedua objek gelas tersebut lepas

(Shovyana & Zulkarnain, 2013).

G. Penentuan nilai SPF emulgel secara

in-vitro

Emulgel sebanyak 0,5 gram

ditimbang, dan ditambah etanol 96% pada

labu ukur 10 mL. Spektrofotometer UV-

Vis dikalibrasi dengan etanol 96%. Dibuat

kurva serapan larutan uji dalam kuvet,

dengan panjang gelombang antara290-320

nm.Serapan rata-ratanya (Ar) ditetapkan

dengan interval 5 nm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan nilai SPF ekstrak secara

in-vitro

Senyawa kimia yang berperan

sebagai bahan aktif tabir surya pada kulit

batang bangkal adalah flavonoid. Menurut

penelitian Wolf et al. (2001) senyawa

flavonoid sebagai tabir surya bekerja

dengan cara menyerap sinar yang masuk

ke kulit sehingga dapat mengurangi

kerusakan kulit yang disebabkan oleh sinar

ultraviolet. Senyawa flavonoid mempunyai

gugus kromofor yang mampu menyerap

sinar UV, baik UV A maupun UV B.

Senyawa kromofor dapat terbentuk karena

adanya sistem konjugasi yaitu rantai atom

karbon dengan ikatan rangkap dan tunggal

yang berselang seling. Sistem cincin

terkonjugasi pada senyawa flavonoid

adalah ikatan tangkap C=C dan C=O

(Budimarwanti, 2010).

Tabel II. Nilai SPF Ekstrak Etanol Kulit

Batang Bangkal

Konsentrasi

Nilai

SPF Kemampuan

250 ppm 10 Maksimal (8-15)

500 ppm 16 Ultra (>15)

750 ppm 19 Ultra (>15)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

149

B. Uji Organoleptis

Penambahan ekstrak etanol kulit

batang bangkal berpengaruh terhadap

warna dan konsistensi emulgel.

Penambahan ekstrak etanol kulit batang

bangkal dalam emulgel membuat warna

emulgel semakin gelap mendekati warna

ekstrak dan konsistensi emulgel yang

dihasilkan menjadi semakin kurang kental.

C. Uji pH

Sediaan emulgel dengan pH terlalu

basa menyebabkan kulit bersisik dan

sediaan emulgel dengan pH terlalu asam

akan mengiritasi kulit (Angela, 2012).

Gambar 1. Hasil Uji pH

Hasil pH sediaan telah memenuhi

persyaratan nilai pH kulit yaitu antara 4,5-

6,5 (Ida & Noer, 2012). Hasil analisis

ANOVA memberikan signifikansi 0,00

(p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan ekstrak berpengaruh secara

signifikan terhadap pH sediaan.

D. Uji Viskositas

Viskositas merupakan ketahanan

sediaan akibat gesekan fluida, semakin

tinggi nilai viskositas maka ketahanan

sediaan meningkat sehingga fluida akan

sulit mengalir (Ariyanti, 2010).

Gambar 2. HasilUji Viskositas

Hasil uji viskositas sediaan

emulgel ekstrak etanol kulit batang

bangkal masuk dalam rentang sediaan tabir

surya yang baik yaitu 2000-50000 cPs

(Badan Standarisasi Nasional, 1996).Hasil

analisis ANOVA memberikan signifikansi

0,00 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

dengan penambahan ekstrak viskositas

sediaan menjadi semakin menurun.Ekstrak

yang bersifat asam mampu menghidrolisis

sebagian ikatan partikel dalam sediaan

mengakibatkan penyerapan air dari

lingkungan sekitar sehingga viskositas

sediaan cendrung menurun (Gozali et al.,

2009).

6,43 6,40 6,37

6,33

6,25

6,3

6,35

6,4

6,45

F I (0%) F II

(0,5%)

F III

(1%)

F IV

(1,5%)

Nil

ai p

H

Formula Emulgel

41666,67

28666,67

7916,67 4750,00

0

10000

20000

30000

40000

50000

F I (0%) F II

(0,5%)

F III (1%) F IV

(1,5%)N

ilai

Vis

ko

sita

s (c

Ps)

Formula Emulgel

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

150

E. Uji Daya Sebar

Uji daya sebar bertujuan untuk

mengetahui kemudahan penggunaan

sediaan emulgel pada pengolesan ke

kulit.Sediaan yang baik dapat menyebar

dengan mudah di tempat aksi.

Gambar 3. Hasil Uji Daya Sebar

Syarat daya sebar sediaan

semisolid yang baik yaitu berkisar antara

5-7 cm (Garg et al. 2002). Hasil uji daya

sebar yang memenuhi persyaratan pada

pemberian beban 50 g adalah formula III

dan IV, pada beban 100 g dan 150 g

adalah formula II, III dan IV.Hasil analisis

ANOVA memberikan nilai signifikansi

0,00 (p<0,05) sehingga penambahan

ekstrak etanol kulit batang bangkal

berpengaruh secara signifikan terhadap

daya sebar emulgel yang dihasilkan.

Penambahan ekstrak dalam sediaan

menghasilkan daya sebar yang semakin

besar.Hal ini disebabkan karena

penambahan ekstrak dalam sediaan

mengakibatkan viskositas sediaan menjadi

semakin menurun.Viskositas berbanding

terbalik dengan daya sebar

sediaan.Semakin kecil viskositas maka

semakin besar daya sebar sediaan.

F. Uji Daya Lekat

Daya lekat berhubungan dengan

lamanya kontak antara sediaan dengan

kulit dan kenyamanan penggunaan

sediaan.Sediaan yang baik mampu

menjamin waktu kontak dengan kulit

sehingga dapat memberikan efek yang

optimal.Tidak ada persyaratan khusus

mengenai daya lekat sediaan semipadat,

namun sebaiknya daya lekat sediaan

semipadat adalah lebih dari 1 detik

(Afianti & Murrukmihadi, 2015).Hasil uji

daya lekat emulgel ekstrak ekstrak etanol

kulit batang bangkal memiliki daya lekat

yang baik.

Gambar 4. Hasil Uji Daya Lekat

Hasil analisis ANOVA

memberikan nilai signifikansi 0,00

(p<0,05) sehingga penambahan ekstrak

etanol kulit batang bangkal berpengaruh

secara signifikan terhadap daya lekat

4,1 4,3

5,0

6,1

4,5 5,1

5,5

6,3

4,7

5,4 5,9

6,6

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

F I (0%) F II (0,5%) F III (1%) F IV

(1,5%)

Day

a S

ebar

(cm

)

Formula Emulgel

50 g

100

g150

g

29,8767

18,2200 14,2333 11,9800

0

10

20

30

40

F I (0%) F II (0,5%) F III (1%) F IV (1,5%)

Day

a L

ekat

(det

ik)

Formula Emulgel

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

151

sediaan emulgel yang dihasilkan, dengan

penambahan ekstrak daya lekat sediaan

menjadi semakin menurun. Hal ini

disebabkan karena penambahan ekstrak

mengakibatkan viskositas sediaan menjadi

semakin menurun.Viskositas berbanding

lurus dengan daya lekat sehingga semakin

kecil viskositas maka semakin kecil pula

daya sebar sediaan.

G. Penentuan Nilai SPF Emulgel

Secara In Vitro

Hasil penelitian menunjukkan nilai

SPF sediaan emulgel berbanding lurus

dengan konsentrasi ekstrak, semakin besar

konsentrasi ekstrak yang ditambahkan

akan meningkatkan nilai SPF. Nilai SPF

dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa

aktif yang terkandung di dalam ekstrak.

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka

semakin banyak senyawa yang dapat

menyerap sinar ultraviolet yang masuk ke

dalam kulit sehingga nilai SPF semakin

tinggi.Menurut Gustianti et al. (2015)

basis dan sediaan emulgel menggunakan

minyak zaitun sebagai fase minyak

memiliki nilai SPF tertinggi, sehingga

formula I memiliki kemampuan sebagai

tabir surya karena menggunakan minyak

zaitun dalam formula.

Tabel III. Nilai SPF Ekstrak Etanol Kulit

Batang Bangkal

Formula Nilai SPF Kemampuan

F I (0 % b/b

ekstrak) 2 Minimal (2-4)

F II (0,5 % b/b

ekstrak) 11 Maksimal (8-15)

F III (1 % b/b

ekstrak) 18 Ultra (>15)

F IV (1,5 %

b/b ekstrak) 21 Ultra (>15)

IV. KESIMPULAN

Hasil pengujian menunjukkan

bahwa ekstrak etanol kulit batang bangkal

dengan konsentrasi 250 ppm, 500 ppm dan

750 ppm memiliki kemampuan sebagai

tabir suryadengan nilai SPF berturut-turut

sebesar 10, 16 dan 19.Emulgel tabir surya

ekstrak etanol kulit batang bangkal

memiliki kemampuan sebagai tabir surya

dengan konsentrasi ekstrak 0,5 % b/b

memiliki nilai SPF 11termasuk tabir surya

maksimal, 1 % b/b memiliki nilai SPF

18termasuk tabir surya ultra, dan 1,5 % b/b

memiliki nilai SPF 21 termasuk tabir surya

ultra.

DAFTAR PUSTAKA

Afianti, H.P. & M. Murrukmihadi. 2015.

Pengaruh Variasi Kadar Gelling

Agent HPMC Terhadap Sifat Fisik

Dan Aktivitas Antibakteri Sediaan

Gel Ekstrak Etanolik Daun Kemangi

(Ocimum basilicum L. Forma

Citratum Back.) Majalah

Farmasetik. 11(2): 307-315.

Angela, L. 2012. Aktivitas Antioksidan dan

Stabilitas Fisik Gel Anti-Aging Yang

Mengandung Ekstrak Air Kentang

Kuning (Solanum tuberosum L.).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

152

Skripsi Universitas Indonesia,

Depok.

Ariyanti, E.S. 2010.Otomatisasi

Pengukuran Koefisien Viskositas Zat

Cair Menggunakan Gelombang

Ultrasonik. Skripsi Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim,

Malang.

Budimarwanti, C. S. H. 2010. Efektivitas

Katalis Asam Basa pada Sintesis 2-

hidroksikalkon, Senyawa yang

Berpotensi sebagai Zat Warna.Jurdik

Kimia FMIPA UNY, Yogyakarta.

Garg, A., D. Aggrawal., S. Garg., & A.K.

Singla. 2002. Spreading of Semisolid

Formulation : An Update.

Pharmaceutical Technology, India.

Garoli, D., M.G. Pelizzo, P. Nicolossi, A.

Peserico, E. Tonin, & M. Alaibac.

2009. Effectiveness of Different

Substrate Materials for In Vitro

Sunscreen Test. Journal of

Dermatological Science. 56(2): 89-

98.

Gozali, D., M. Abdassah, & S.

Lathiefah.2009. Formulasi Krim

Pelembab Wajah yang Mengandung

Tabir Surya Nanopartikel Zink

Oksida Salut Silikon, Jurnal

Farmaka.7(1).

Ida, N., & S. F. Noer. 2012. Uji Stabilitas

Fisik Gel Ekstrak Lidah Buaya (Aloe

Vera L.). Majalah Farmasi Dan

Farmakologi. 16 (2) : 79 – 84.

Kale, S., S. Bhandare, M. Gaikwad, V.

Urunkar, & A. Rajmane. 2011.

Formulation &In Vitro Evaluation

For Sun Protection Factor Of Lutein

Ester Extracted. Research Journal of

Pharmaceutical Sciences.2(3).

Leony, B. 2014.Pengaruh Pemberian

Ekstrak Gambir Terhadap Sifat Fisik

dan Nilai Sun Protection Factor

(SPF) Pada Hasil Jadi Krim Tabir

Surya.e-Journal. 3(1): 209-216.

Maulina, R. 2014. Penentuan Nilai Sun

Protecting Factor (SPF) dan

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol

Kulit Batang Bangkal (Nauclea

subdita) Secara In Vitro.Skripsi

Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas

Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Mayangkara, J. 2011. Pengaruh Etanol

dalam Asam Oleat Terhadap

Penetrasi Liposom Transdermal

Glukosamin Menggunakan Difusi

Franz. Skripsi Universitas Indonesia,

Depok.

Nisa, H. 2013. Kajian Farmakognostik

Kulit Batang Pohon Bangkal

(Nauclea subdita (Kohrt.)

Steud.).Skripsi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarbaru.

Panwar, A.S. 2011. Emulgel: A Review.

Asian Journal of Pharmacy and Life

Science.1(3): 334.

Priani, S. E., H. Humanisya, & F.

Darusman. 2014. Development of

Sunscreen Emulgel Containing

Cinnamomum burmannii Stem Bark

Extract. International Journal of

Science and Research.3(12): 2338-

2341.

Shovyana, H. H & Zulkarnain, A. K. 2013.

Stabilitas Fisik Dan Aktivitas Krim

W/O Ekstrak Etanolik Buah

Mahkota Dewa (Phaleria

macrocarpa (Scheff.) Boerl,)

Sebagai Tabir Surya.Traditional

Medicine Journal.18 (2): 109-117.

Wasitaatmadja, S. M. 1997.Penuntun Ilmu

Kosmetik Medik. Penerbit.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Wolf, R., D. Wolf, P. Morganti, & V.

Ruocco. 2001. Sunscreen. Clinics in

Dermatology.19: 252- 459.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

153

Penentuan Kadar Fenolik Total dan Flavonoid

Total, serta Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol

Biji Tiga Spesies Tanaman Penghasil Gaharu:

Aquilaria microcarpa, Aquilaria malaccensis, dan

Aquilaria beccariana

Beny Rahmanto1, Wawan Halwany

1, Fajar Lestari

1, Khoerul Anwar

2*, Liling

Triyasmono2, Muhammad Ikhwan Rizki

2, Destria Indah Sari

2

1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Banjarbaru

2Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Kalimantan Selatan merupakan habitat tumbuhan penghasil gaharu antara lain

jenis Aquilaria microcarpa, A. malaccensis dan A. beccariana. Pada tanaman penghasil

gaharu, biji dari buah gaharu belum banyak dimanfaatkan. Biji umumnya memiliki

kandungan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antioksidan. Tujuan

penelitian ini yaitu mengetahui kadar senyawa fenolik total, flavonoid total, dan

aktivitas antioksidan ekstrak etanol biji gaharu spesies A. microcarpa, A. beccariana,

dan A. malaccensis. Serbuk biji gaharu diekstraksi dengan etanol 70% secara maserasi.

Ekstrak ditentukan kadar fenolik total dengan metode Folin-Ciocalteau dan kadar

flavonoid total menggunakan metode kolorimetri. Aktivitas antioksidan diuji dengan

metode DPPH. Kadar fenolik total pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.

malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 0,384 µg/mg; 0,445 µg/mg; dan

0,410 µg/mg. Kadar flavonoid total pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.

malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 10,18 µg/mg; 11,67 µg/mg; dan

4,97 µg/mg. Aktivitas antioksidan (IC50) pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.

malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 114,17 ppm; 424,52 ppm; dan

193,91 ppm. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kadar fenolik total, flavonoid total

dan aktivitas antioksidan terbesar pada ekstrak etanol biji A. malaccensis.

Kata kunci: A. microcarpa, A. malaccensis, A. beccariana, biji, gaharu, fenol, flavonoid

ABSTRACT

Agarwood is widely available in South Kalimantan, such as Aquilaria microcarpa,

A. malaccensis and A. beccariana. Agarwood seeds from the fruit are not widely used.

Seeds generally contain secondary metabolite, compounds that have antioxidant activity.

The aims of this study were to determine total phenolic, total flavonoids and antioxidant

activity of ethanol extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds.

Agarwood seed powder was extracted with 70% ethanol by maceration. Total phenolic

content was determined by Folin-Ciocalteau method and total flavonoid content using

colorimetric methods. The antioxidant activity assay was used DPPH. Total phenolic

content in ethanolic extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were

0.384 µg/mg; 0.445 µg/mg; and 0.410 µg/mg respectively. Levels of total flavonoids in

ethanolic extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were 10.18

µg/mg; 11.67 µg/mg; and 4.97 µg/mg. The antioxidant activity (IC50) in ethanolic extract

of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were 114.17 ppm; 424.52 ppm;

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

154

and 193.91 ppm. Ethanolic extract of A. malaccensis seed contained level of total phenolic,

flavonoids, and antioxidant activity higher than seeds of A. microcarpa and A. beccariana.

Keywords: A. microcarpa, A. malaccensis, A. beccariana, seeds, agarwood, phenolic,

flavonoids

I. PENDAHULUAN

Bahan dari alam turun-temurun

telah digunakan di Indonesia untuk

mengatasi berbagai penyakit. Obat yang

berasal dari alam relatif aman untuk

digunakan (Elfahmi et al., 2014).

Metabolit sekunder yang ada di dalam

bagian dari tanaman memiliki banyak

khasiat dalam mengatasi berbagai

penyakit, terutama untuk penyakit

degeneratif seperti hiperlipidemia dan

diabetes melitus (Heinrich et al., 2012).

Efek sinergisme antar senyawa metabolit

sekunder menyebabkan kemampuan bahan

alam dapat melebihi kemampuan obat

sintesis yang hanya terdiri dari senyawa

tunggal (Bone & Mills, 2013). Salah satu

bahan alam yang terdapat di Indonesia

yang dapat digunakan sebagai bahan obat

yaitu tanaman gaharu .

Tanaman gaharu (agarwood)

merupakan tanaman genus Aquilaria yang

terdiri dari berbagai spesies yang tersebar

di seluruh dunia. Beberapa spesies gaharu

yang banyak terdapat di Kalimantan

Selatan yaitu tanaman gaharu seperti A.

beccariana, A. microcarpa, dan A.

malaccensis. Pada tanaman penghasil

gaharu, bagian batang yang sudah

mengandung gaharu memiliki nilai jual

tinggi. Bagian tanaman lain seperti biji

dari buah gaharu belum banyak

dimanfaatkan. Biji umumnya memiliki

kandungan senyawa metabolit sekunder

yang memiliki aktivitas antioksidan kuat.

Pada biji delima (Punica granatum)

terkandung tanin terhidrolisis yang

diketahui mengandung asam elagik dengan

kemampuan kuat sebagai antioksidan

(Pedriali et al., 2010). Biji anggur (Vitis

vinifera) mengandung flavonoid mencapai

4-5% termasuk kaempferol-3-O-glukosida,

kuersetin-3-O-glukosida, kuersetin, dan

mirisetin. Golongan fenol yang terkandung

yaitu proantosianidin, asam galat, katekin,

epikatekin, dan epikatekin-3-O-galat

(Nassiri-Asl & Hosseinzadeh, 2009).

Radikal bebas merupakan molekul

yang memiliki satu atau lebih elektron

yang tidak berpasangan di kulit valensi

terluarnya. Radikal bebas pada konsentrasi

tinggi dapat menyebabkan kerusakan

struktur sel (Das et al., 2010). Beberapa

penyakit yang disebabkan radikal bebas

diantaranya hipertensi, diabetes melitus,

kanker, alzheimer, jantung koroner,

penyakit ginjal, dan fibrosis. Radikal bebas

yang terbentuk dalam tubuh dapat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

155

dinetralkan oleh antioksidan (Das et al.,

2010). Antioksidan merupakan molekul

yang dapat mencegah terjadinya stres

oksidatif. Senyawa golongan fenolik dan

flavonoid umumnya memiliki kemampuan

antioksidan (Veskoukis et al., 2012). Pada

bagian biji gaharu diduga kuat

mengandung senyawa fenolik dan

flavonoid, sehingga berpotensi digunakan

sebagai antioksidan. Pada bagian biji juga

tidak pernah dimanfaatkan. Aktivitas

antioksidan dari suatu bahan alam

umumnya berbanding lurus dengan

keberadaan senyawa fenolik dan flavonoid

yang terdapat dalam suatu tumbuhan.

Semakin tinggi konsentrasi kadar senyawa

fenolik dan flavonoid yang terkandung,

maka aktivitas dalam menghambat radikal

bebas juga semakin besar (Rumayati et al.,

2014).

Senyawa metabolit sekunder pada

tanaman dengan genus yang sama

umumnya memiliki kandungan senyawa

yang sama. Namun, kadar senyawa

metabolit sekunder yang terkandung di

dalam tanaman satu genus bervariasi.

Perbedaan kadar senyawa aktif akan

mempengaruhi aktivitas farmakologi di

dalam tubuh. Pada penelitian ini

digunakan biji dari tiga jenis spesies

gaharu yaitu A. microcarpa, A.

malaccensis dan A. beccariana. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui

kandungan total flavonoid, total fenolik,

dan aktivitas antioksidan dari ekstrak

etanol biji gaharu dari tiga spesies yang

berbeda. Manfaat penelitian ini diharapkan

dapat diketahui biji pada spesies tanaman

gaharu yang memiliki aktivitas antioksidan

yang paling kuat, sehingga masyarakat

dapat memanfaatkan biji gaharu dengan

nilai jual yang tinggi. Aktivitas

antioksidan juga dapat dijadikan dasar

dalam mengembangan obat antihiperlipid

dan antidiabetes.

BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan

adalah biji tanaman gaharu dari spesies A.

beccariana, A. microcarpa, dan A.

malaccensis. Bahan-bahan lainnya yaitu

akuades, etanol, kloroform, HCl pekat,

larutan DPPH 1 mM, asam galat,

kuersetin, pereaksi Follin Ciocalteu 10%,

Na2CO 2%, larutan heksametilentetramina

(HMT) 0.5%, aseton, 10% AlCl3, asam

asetat glasial, dan etil asetat.

Alat - alat yang digunakan adalah

neraca analitik, penggilingan, batang

pengaduk, tabung reaksi, sudep, gelas

piala, erlenmeyer, kertas aluminium foil,

corong, pipet volumetrik, pipet mikro,

cawan porselin, oven, eksikator, vacuum

evaporator, cawan porselin, penangas air,

corong pisah, shaker, kapas, labu ukur,

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

156

biotek's epoch micro -volume

spectrophotometer system, dan

spektofotometer UV-VIS.

B. Pengolahan Sampel

biji gaharu yang dikumpulkan

selanjutnya dibersihkan dari benda-benda

asing dari luar (disortasi basah) dan dicuci

bersih di bawah air mengalir. Hasil

rajangan dikeringkan menggunakan oven

pada suhu 50˚C, setelah sampel kering

dipisahkan dari benda-benda asing

(disortasi kering). Dilakukan pengubahan

bentuk menjadi bentuk serbuk dengan

cara dihaluskan dengan menggunakan

blender, lalu diayak dengan pengayak no.

25. Serbuk halus yang diperoleh tersebut

ditimbang dan disimpan dalam wadah

bersih.

C. Pembuatan Ekstrak

Ekstraksi biji gaharu dilakukan

dengan cara perendaman serbuk dengan

nisbah sampel pelarut : etanol 70% sama

dengan 1:10. Simplisia direndam dalam

pelarut selama 3 hari sambil sesekali

diaduk. Setiap 24 jam disaring, filtrat yang

diperoleh dikumpulkan dan pelarut diganti

dengan yang baru dengan jumlah yang

sama dengan yang pertama. Filtrat yang

diperoleh dipisahkan dari residu dengan

menggunakan kertas Whatman nomor 1.

Ekstrak cair yang diperoleh, dipekatkan

dengan vacuum rotary evaporator dengan

suhu 450 C. Kemudian diuapkan di atas

waterbath sampai diperoleh ekstrak kental.

Ekstrak kental dimasukkan ke dalam

wadah dan disimpan di dalam lemari

pendingin.

D. Uji Kandungan Fenolik Total

Kandungan senyawa fenolik

dianalisis dengan menimbang 100 mg

ekstrak dimasukkan ke dalam labu 10 mL,

dilarutkan dengan masing-masing pelarut

sampai tanda batas. Diambil 0,5 ml lalu

dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

tambahkan 0,75 mL reagen Folin-

Ciocalteau 10%. Campuran didiamkan

selam 5 menit ditambahakan dengan 2 mL

Na2CO3 2% dan divortex kemudian

didiamkan selama 15 menit lakukan

replikasi sebanyak 3x. Dilakukan

pembacaan absorbansi dengan

spektrofotometri UV-Vis pada panjang

gelombang maksimum. Blanko yang

digunakan terdiri atas semua pereaksi yang

digunakan tetapi tidak mengandung asam

galat ataupun sampel uji. Digunakan asam

galat sebagai baku induk atau senyawa

marker.

E. Uji kandungan flavonoid total

Kandungan senyawa flavonoid

dianalisis dengan cara ditimbang seksama

50 mg ekstrak kemudian dilarutkan ke

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

157

dalam 10 mL pelarut. Diambil 1 ml lalu

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu

ditambahkan 1 mL AlCl3 2% dan

ditambahkan 8 mL asam asetat glasial 5%

lakukan replikasi sebanyak 3x. Dilakukan

pembacaan absorbansi dengan

spektrofotomtri UV-Vis pada panjang

gelombang maksimum. Blanko yang

digunakan terdiri atas semua pereaksi yang

digunakan tetapi tidak mengandung

kuarsetin ataupun sampel uji. Kuersetin

digunakan sebagai senyawa standar.

F. Uji Antiksidan

Larutan ekstrak biji A.microcarpa

dibuat dengan menimbang 100 mg sampel

yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga

volume 10 mL, didapat larutan 10.000

ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,1; 0,2

; 0,3; dan 0,5 mL dimasukkan ke dalam

labu ukur 10 mL, masing masing di

tambah metanol p.a. hingga tanda batas.

Didapat konsentrasi 100, 200, 300, dan

500 ppm.

Larutan ekstrak biji A.malacensis

dibuat dengan menimbang 100 mg sampel

yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga

volume 10 mL, didapat larutan 10.000

ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,05;

0,1 ; 0, 15; 0,2 dan 0,25 mL dimasukkan

ke dalam labu ukur 10 mL, masing masing

di tambah metanol p.a. hingga tanda batas.

Didapat konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan

250 ppm.

Larutan ekstrak biji A.beccariana

dibuat dengan menimbang 100 mg sampel

yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga

volume 10 mL, didapat larutan 10.000

ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,05;

0,1 ; 0, 15; 0,2 dan 0,25 mL dimasukkan

ke dalam labu ukur 10 mL, masing masing

di tambah metanol p.a. hingga tanda batas.

Didapat konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan

250 ppm.

Pada masing-masing sampel

sebanyak satu mL larutan DPPH 0,4 mM

ditambahkan dengan setiap konsentrasi

larutan sampel sebanyak 4 mL. Larutan

didiamkan di tempat gelap selama 20

menit. Larutan dibaca absorbansinya pada

panjang gelombang maksimal.

Dibuat larutan blanko DPPH.

Larutan DPPH 0,4 mM diambil 1 mL

selanjutnya ditambahkan metanol pa

sebanyak 4 mL (pelarut sampel). Larutan

didiamkan di tempat gelap selama 20

menit. Larutan dibaca absorbansinya pada

panjang gelombang maksimal.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan kadar fenol total

Penentuan kadar fenol total

dilakukan dengan metode Folin-

Ciocalteau.. Reagen folin – Ciocalteau

membentuk larutan kompleks berwarna

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

158

biru tua apabila direaksikan dengan larutan

yang mengandung senyawa fenolat pada

suasana basa. Komplek berwarna biru tua

yang akan ditentukan absorbansinya

secara spektroskopi (Zulharmitta et al,

2010). Kadar fenol total disajikan pada

Tabel I.

Tabel I. Hasil penentuan kadar fenol total

dari ekstrak biji gaharu

Sampel Absorbansi

Sampel

Fenol

Total

(µg/mg)

Rata-

Rata

(µg/mg)

A. Microcarpa 0,715 0,382

0,384 0,720 0,385

0,718 0,384

A. malaccensis 0,809 0,443

0,445 0,811 0,445

0,813 0,446

A. beccariana 0,757 0,409

0,410 0,759 0,411

0,760 0,412

Hasil penelitian menunjukkan

kadar fenol total tertinggi didapat pada

ekstrak etanol biji A. malaccensis. Variasi

kadar fenol antar spesies pada biji gaharu

juga tidak terlalu besar. Pengujian total

fenol sangat tergantung pada struktur

kimianya. Senyawa fenol yang mempunyai

gugus fungsi hidroksil yang banyak atau

dalam kondisi bebas (aglikon) akan

dihasilkan kadar total fenol yang tinggi

dan begitu juga sebaliknya (Widyawati et

al., 2010). Terdapat perbedaan kadar

antara kadar fenol total pada biji dengan

daun menurut beberapa literatur. Kadar

fenol total ekstrak metanol pada daun

gaharu jenis A. malaccensis sebesar 31,71

µg/mg (Wil et al., 2014). Senyawa fenol

secara umum berbeda pada masing-masing

bagian tanaman. Pada banyak tanaman,

senyawa fenol tersebar pada daerah daun

sehingga kandungannya besar. Meskipun

demikian, penelitian ini dapat dijadikan

perbandingan senyawa fenol yang terdapat

pada biji dan daun tanaman gaharu. Kadar

flavonoid total dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Kadar flavonoid total ekstrak

biji gaharu

Sampel Absorbansi

Sampel

Flavonoid

Total

(µg/mg)

Rata-

Rata

(µg/mg)

B. Microcarpa 0,670 10,41

10,18 0,645 10,02

0,652 10,13

B. malaccensis 0,750 11,64

11,67 0,795 12,33

0,712 11,06

B. beccariana 0,328 5,14

4,97 0,302 4,74

0,322 5,04

Kadar flavonoid total yang

diperoleh dinyatakan dalam % (b/b).

Kadar flavonoid total pada ketiga ekstrak

biji gaharu menunjukkan kadar terbesar

pada biji spesies A. malaccensis. Kadar

flavonoid total terkecil pada biji spesies A.

beccariana. Terdapat perbedaan yang

cukup besar kadar flavonoid total antara

biji A. microcarpa atau A. malaccensis

dengan A. beccariana. Perbedaan kadar

flavonoid total disebabkan karena adanya

perbedaan spesies meskipun memiliki

genus yang sama.

Uji antioksidan menggunakan

metode DPPH. Hasil pengujian disajikan

pada tabel III, IV, dan V.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

159

Tabel III. Hasil uji aktivitas antioksidan

ekstrak biji A. microcarpa

Tabel IV. Hasil uji aktivitas antioksidan

ekstrak biji A. malaccensis

Tabel V. Hasil uji aktivitas antioksidan

ekstrak biji A. beccariana

Berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa ekstrak biji A.

malaccensis memiliki aktivitas antioksidan

paling kuat dengan IC50 sebesar 114,17

ppm, sedangkan paling lemah yaitu

ekstrak biji A. microcarpa dengan IC50

sebesar 424,52 ppm. Senyawa fenol dan

flavonoid yang terdapat pada ekstrak biji

gaharu berkontribusi terhadap aktivitas

antioksidan. Kemampuan aktivitas

antioksidan ditentukan pada golongan

flavonoid yang terkandung dalam sampel.

Semakin banyak gugus hidroksi bebas

pada flavanoid yang dapat

menyumbangkan hidrogen maka semakin

efektif sebagai antioksidan (Rahayu et al,

2013).

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kadar fenolik total pada ekstrak etanol

biji A. microcarpa, A. malaccensis dan

A. beccariana berturut-turut sebesar

0,384 µg/mg; 0,445 µg/mg dan 0,410

µg/mg.

2. Kadar flavonoid total pada ekstrak

etanol biji A. microcarpa, A.

malaccensis dan A. beccariana

berturut-turut sebesar 10,18 µg/mg;

11,67 µg/mg; dan 4,97 µg/mg.

3. Aktivitas antioksidan berdasarkan

Inhibitory Concentration 50 (IC50)

pada ekstrak etanol biji A. microcarpa,

A. malaccensis dan A. beccariana

berturut-turut sebesar 424,52 ppm,

114,17 ppm dan 193,91 ppm.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

160

DAFTAR PUSTAKA

Bone, K. and Mills, S. 2013. Principles

and Practice of Phytotherapy,

Second Edition, Churchill

Livingstone Elsevier, New York.

Das A., S, Anisur R. M. and A. K. Ghosh.

2010. Free Radicals and Their

Role in Different Clinical

Conditions. International Journal

of Pharma Sciences and Research

(IJPSR). 1. (3)185-192.

Elfahmi. Woerdenbag, H. Kayser, O.

2014. Jamu: Indonesian traditional

herbal medicine towards rational

phytopharmacological use, Journal

of Herbal Medicine, 4 (2014), 51–

73

Nassiri-Asl, M. and Hosseinzadeh, H.

2009. Review of the

Pharmacological Effects of Vitis

vinifera (Grape) and its Bioactive

Compounds. Phytother. Res. 23,

1197–1204

Pedriali, C.A. A.U. Fernandes P.A.D.

Santos M.M.D. Silva, D. Severino,

& M.B.D. Silva. 2010. Antioxidant

Activity, Cito- and Phototoxicity of

Pomegranate (Punica granatum L.)

Seed Pulp Extract. Ciênc. Tecnol.

Aliment., Campinas. 30 (4) : 1017-

1021.

Rahayu. D. S, Dewi. K, dan Enny. F,

2013. Penentuan Aktivitas

Antioksidan dari Ekstrak Etanol

Daun Ketapang (Terminalia

catappa L) dengan Metode 1,1-

Difenil-2-Pikrilhidrazil (DPPH).

Labortorium Kimia Organik

Jurusan Kimia FMIPA Universitas

Diponegoro

Rumayati1, N. Idiawati, L. Destiarti. 2014.

Uji Aktivitas Antioksidan, Total

Fenol Dan Toksisitas Dari Ekstrak

Daun Dan Batang Lakum

(Cayratia trifolia (L) Domin).

JKK.3: 30-35

Widyawati, P.S., H. Wijaya, P.S.

Harjosworo & D.Sajuthi. 2010.

Pengaruh Ekstraksi Dan

Fraksinasi Terhadap Kemampuan

Menangkap Radikal Bebas Dpph

(1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil)

Ekstrak Dan Fraksi Daun Beluntas

(Pluchea indica Less). Seminar

Rekayasa Kimia Dan Proses.

Wil, N.N.a.N., N.A.M. Omar, N.A.

Ibrahim1 & S.N. Tajuddin. 2014.

In vitro Antioxidant Activity And

Phytochemical Screening

ofAquilaria malaccensis leaf

extracts. Journal of Chemical and

Pharmaceutical Research.

6(12):688-693

Zulharmitta, D. Elrika & H. Rivai. 2010.

Penentuan Pengaruh Jenis Pelarut

Ekstraksi Terhadap Perolehan

Kadar Senyawa Fenolat Dan Daya

Antioksidan Dari Herba Miniran

(Phyllanthus niruri L.). Jurnal

Farmasi Higea. 2( 1).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

161

Karakteristik Fisikokimia Dispersi Padat Ofloksasin

dengan Pembawa PEG 6000 dalam

Sistem Biner dan Terner

*Prima Happy R.1, Suwaldi

2, Akhmad Kharis

2

1Program Studi Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat

2Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Ofloksasin (OFX) adalah antimikroba golongan fluorokuinolon yang memiliki

spektrum luas. Senyawa ini memiliki sifat zwitter ion yang memiliki kelarutan rendah

pada kondisi pH small intestine, sehingga memerlukan peningkaan kelarutan dan

disolusi dengan sistem dispersi padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

karakteristik fisikokimia dispersi padat ofloksasin dalam sistem biner dan terner.

Formula dispersi padat sistem terner disusun berdasarkan desain faktorial 23 dengan

komposisi pembawa polietilenglikol 6000 (PEG 6000), komposisi natrium lauril sulfat

(SLS) dan metode pembuatan (campuran fisik dan penguapan pelarut) sebagai variable

bebas (X). Efisiensi disolusi pada menit 60 sebagai variable tergantung (Y), dan

disiapkan sistem biner dengan perbandingan yang sama tanpa penambahan SLS.

Kandungan Ofloksasin dibuat konstan 100 mg.Dispersi padat Ofloksasin dengan

metode penguapan pelarut menunjukkan kelarutan dan disolusi yang lebih tinggi dari

Ofloksasin murni dan campuran fisiknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya

peningkatan laju disolusi dengan urutan sebagai berikut: OFX-PEG 6000-SLS > OFX-

PEG 6000.

Kata Kunci : Ofloksasin (OFX), PEG 6000, dispersi padat, sistem biner dan terner,

disolusi

ABSTRACT

Ofloxacin is a synthetic fluoroquinolone broad spectrum antimicrobial agent. These

compounds are zwitter ion which has a low solubility at the pH conditions in the small

intestine, thus requiring an increase in solubility and dissolution of solid dispersion

systems. This study aims to determine the physicochemical characteristics of the solid

dispersion of Ofloxacin in binary and ternary systems. Ternary solid dispersion systems

were prepared using 23 factorial design with the amount of hydrophilic carriers PEG 6000,

the amount of sodium lauryl sulfate (SLS), and method of preparations (physical mixture

and solvent evaporation) as independent variables (X). Dissolution efficiency in 60 minute

(DE60) was chosen as dependent variables (Y) and binary systems were prepared by the

same comparison without SLS. The amount of Ofloxacin (100 mg) constant. Ofloxacin

solid dispersions with solvent evaporation showed higher solubility and dissolution than

pure Ofloxacin and their physical mixtures. The general trend indicated that there was an

increase in dissolution rate for solid dispersions prepared in following order : OFX-

PEG6000-SLS > OFX-PEG6000.

Keywords : Ofloxacin (OFX), PEG 6000, Solid dispersion, biner and terner systems,

dissolution

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

162

I. PENDAHULUAN

Senyawa ofloksasin (OFX) bertindak

sebagai zwitter ion atau senyawa yang bersifat

amfoter, memiliki gugus fungsi yang bersifat

asam dan bersifat basa sekaligus. Pada pH

netral zwitter-ion akan bermuatan positif

(kation) maupun bermuatan negatif (anion).

Kelarutan di dalam air senyawa yang bersifat

zwitter ion akan minimal pada titik iso

elektrik, sehingga tidak menguntungkan bagi

kebanyakan senyawa dengan pemberian

peroral absorpsi terjadi pada pH fisiologis

(Lipinski, 2007). Ofloksasin bersifat zwitter

ion pada kondisi pH small intestine yang

merupakan tempat utama terjadinya proses

absorpsi karena memiliki permukaan yang

lebih luas dan membran yang lebih permeabel

dibandingkan bagian lainnya.

Dalam rangka meningkatkan kelarutan

dan disolusi dari senyawa OFX, maka

kombinasi baru meliputi OFX, polimer larut

air, dan surfaktan akan diteliti. Dalam hal ini,

penambahan surfaktan dapat meningkatkan

kecepatan disolusi obat yang sukar larut dalam

air (Wulff dkk., 1996). Beberapa variasi jenis

dan komposisi pembawa dikembangkan untuk

meningkatkan kelarutan dan disolusi yang

rendah. Pemilihan polimer dan surfaktan

didasarkan atas kemampuan pembawa untuk

melarutkan obat dalam keadaan padat dan

kemampuan meningkatkan kelarutan dan

disolusi obat.

Oleh karena itu, PEG 6000 digunakan

sebagai polimer yang larut air karena memiliki

kemampuan dalam mendispersikan senyawa

obat secara molekular. Sedangkan surfaktan

yang dipilih sebagai komponen ketiga dalam

sistem terner adalah Natrium Lauril Sulfat

(SLS) karena memiliki aksi solubilisasi yang

baik untuk beberapa obat (Serajuddin, 1999;

Yuli, 2003).

II. BAHAN DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah

timbangan analitik, pH meter, seperangkat

alat uji disolusi, Stirer, Ultrasonikator,

Spektrofotometri UV/Visible (Hitachi).

Bahan-bahan yang digunakan adalah

Ofloksasin (PT. Nufarindo), Natrium lauril

sulfat (Brataco), Polietilenglikol 6000

(Brataco). Bahan dalam pharmaceutical

grade. Etanol dalam derajat pro analisis.

B. Desain Faktorial

Sistem terner dispersi padat OFX

dipersiapkan menggunakan desain

faktorial 23

(3 faktor dan 2 level), dimana

faktor yang dioptimasi adalah :

X1 : jumlah pembawa larut air PEG 6000

(250-350mg)

X2 : jumlah surfaktan SLS (25-75mg)

X3 : metode pembuatan dispersi padat

(pencampuran fisik-penguapan pelarut)

Sistem biner dispersi padat dipersiapkan

tanpa penambahan surfaktan (sebagai

perbandingan). Rancangan formula terlihat

pada tabel I.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

163

Tabel I. Formula Dispersi Padat OFX PF (pencampuran fisik ; PP (penguapan pelarut)

Kode

For

mula

Obat

(mg)

Nilai Sebenarnya (mg)

PEG 6000 SLS Metode

Formula Terner

P9 100 250 25 PF

P10 100 250 75 PF

P11 100 350 25 PF

P12 100 350 75 PF

S9 100 250 25 PP

S10 100 250 75 PP

S11 100 350 25 PP

S12 100 350 75 PP

Formula Biner

S7 100 250 - PP

S8 100 350 - PP

P7 100 250 - PF

P8 100 350 - PF

C. Pembuatan Dispersi Padat OFX

a. Metode campuran fisik : Sejumlah

OFX dan pembawa dimasukkan dalam

mortir. Campuran dibuat dengan

triturasi sederhana dalam mortir

proselen, kemudian di ayak dengan

ayakan mesh no.44 dan disimpan dalam

desikator hingga studi selanjutnya.

b. Metode penguapan pelarut : Sejumlah

OFX dan pembawa dilarutkan dalam

pelarut tertentu dengan bantuan stirer.

Pelarut diuapkan pada suhu 45°C

sampai tercapai berat konstan. Massa

ini diserbuk dan diayak dengan ayakan

mesh no.44 dan disimpan dalam

desikator hingga studi selanjutnya.

D. Pembuatan Kurva Baku OFX

Larutan standar dipersiapkan dengan

melarutkan 1,0 mg OFX dalam 100 ml

dapar fosfat pH 7,4. Larutan standar

ditentukan panjang gelombang maksimum

antara 200-400 nm. Kemudian dibuat

variasi larutan kerja dengan rentang

konsentrasi 2 μg/ml sampai 10 μg/ml dan

diukur absorbansinya pada panjang

gelombang maksimum 288 nm dengan

blangko dapar fosfat pH 7,4.

E. Disolusi in vitro

Disolusi formula diselidiki

berdasarkan USP 30, menggunakan

metode keranjang dengan kecepatan 100

rpm dan pengujian dilakukan dengan

replikasi 3 kali. Sebanyak 100 mg sampel

dimasukkan dalam kapsul, kemudian

dimasukkan ke dalam keranjang disolusi.

Pada setiap selang waktu tertentu, diambil

sampel sebanyak 5 ml yang kemudian

digantikan dengan medium dan volume

yang sama. Sampel dianalisis dengan

spektrofotometri UV-Vis pada panjang

gelombang maksimum 288 nm. Medium

disolusi yang digunakan berupa dapar

fosfat pH 7,4 sebagai simulated gastric

juice sebanyak 900 ml dengan temperatur

yang dipertahankan yaitu 37±0.5°C.

F. Pengujian Kelarutan

OFX murni dan formula dispersi

padat dengan jumlah berlebih (±50 mg)

dimasukkan pada vial tertutup yang berisi

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

164

5 ml dapar fosfat pH 7,4 dengan suhu 37

±0,5°C, kemudian diletakkan pada shaking

thermostatic waterbath selama 3 jam.

Sampel disaring dengan membran filter

0,45μm dan dianalisis dengan

spektrofotometri UV panjang gelombang

288 nm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kurva Baku OFX

Penentuan panjang gelombang

maksimum ofloksasin didapatkan dengan

menggunakan larutan standar 10 μg/ml

ofloksasin dalam dapar fosfat pH 7,4 yang

diukur panjang gelombangnya pada 200-

400 nm sehingga didapatkan panjang

gelombang maksimum 288 nm. Persamaan

kurva baku didapatkan y=0,0675x +

0,0003 dengan nilai R2=0,999, kurva baku

diperlihatkan pada gambar 1.

Gambar 1. Kurva baku OFX dalam dapar fosfat pH 7,4

B. Uji Keseragaman Kandungan

Keseragaman kandungan formula

dispersi padat menunjukkan bahwa

kandungan ofloksasin berkisar 96-99 %,

dengan nilai simpangan baku < 5%.

C. Uji Disolusi

Persen obat terdisolusi OFX murni

dan hasil dispersinya terlihat pada gambar

2, dimana terjadi peningkatan jumlah obat

terdisolusi dengan adanya pembawa

PEG6000. Pada sistem terner, penambahan

surfaktan SLS memberikan peningkatan

disolusi yang semakin besar, dan metode

penguapan pelarut memberikan hasil yang

lebih maksimal dibanding pencampuran

fisik. Campuran terner menggunakan

pembawa PEG6000-SLS menghasilkan

persen obat terdisolusi yang jauh lebih

besar yaitu 102,249% (S10).

Gambar 2. Profil disolusi ofloksasin

Kinetika disolusi obat dapat

ditentukan dengan menemukan fitting

terbaik dari data pelepasan obat secara

berturut-turut ke dalam plot persamaan

orde nol, orde satu, dan Higuchi (Mouzan

dkk.,2011). Koefisien korelasi (R2) dari

plot jumlah obat terlarut (%) sebagai

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

165

fungsi waktu dan koefisien korelasi (R2)

dari plot jumlah obat terlarut (%) sebagai

fungsi akar waktu semua lebih besar dari

harga r tabel, maka pelepasan ofloksasin

dari pembawa dikontrol oleh kedua

mekanisme yaitu difusi dan erosi.

Mekanisme difusi lebih dominan karena

harga koefisien korelasi dari plot akar

waktu vs % terlarut lebih besar daripada

harga koefisien korelasi dari plot waktu vs

% terlarut.

Parameter DE60 (Dissolution

Efficiency pada menit ke 60) digunakan

untuk melihat profil disolusi yang

sesungguhnya. Data DE60 diperoleh dari

pengukuran luas daerah dibawah kurva

(AUC) pada masing-masing waktu hingga

60 menit. Hasil rerata DE60 menunjukkan

formula S10 dengan pembawa PEG6000

sebesar 74,50%. Metode penguapan

pelarut menghasilkan rata-rata obat

terdisolusi yang jauh lebih besar karena

sistem ini menghasilkan dispersi obat yang

lebih merata, sehingga terbentuk kompleks

molekuler yang lebih baik dibanding

metode pencampuran fisik.

Secara keseluruhan dari penelitian

ini dapat dilihat campuran terner dengan

penambahan surfaktan SLS lebih potensial

untuk mengantarkan OFX dan dihasilkan

peningkatan disolusi yang signifikan.

Penambahan surfaktan dapat

meningkatkan kecepatan disolusi obat

yang sukar larut dalam air (Wulff dkk.,

1996), dimana Natrium Lauril Sulfat

(SLS) digunakan sebagai komponen ketiga

dalam sistem terner karena memiliki aksi

solubilisasi yang baik untuk beberapa obat

(Yuli, 2003; Serajuddin, 1999).

D. Desain Faktorial Dispersi Padat OFX

Rancangan prediksi formulasi pada

pengujian in-vitro yang diperoleh adalah

sebagai berikut :

a. Metode pencampuran fisik

DE60 = -33,14 + (0,10*PEG6000) +

(1,31*SLS) - (2,59 10-3

*PEG6000*SLS)

b. Metode penguapan pelarut

DE60 = -60,84 + (0,26*PEG6000) +

(1,95*SLS) - (4,04 10-3

*PEG6000*SLS)

Terlihat dari persamaan penambahan

pembawa PEG6000 memiliki efek positif

begitu juga surfaktan SLS yang memiliki

efek positif terhadap peningkatan DE60,

dan secara tunggal peningkatan dengan

surfaktan jauh lebih besar dibanding

pembawa. Interaksi pembawa dengan

surfaktan menghasilkan efek negatif,

sebagaimana terlihat dari hasil percobaan

peningkatan jumlah pembawa dan

surfaktan yang berlebihan akan

menurunkan kembali persen obat

terdisolusi. Uji Anova terhadap efek dari

faktor dan interaksinya memberikan hasil

yang signifikan, ini berarti pelepasan

ofloksasin dari sediaan dispersi padat

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

166

tergantung pada kedua faktor dan interaksi

dari faktor-faktor tersebut.

E. Uji Kelarutan OFX

Waktu kesetimbangan adalah waktu

yang diperlukan oleh suatu zat untuk

mencapai keadaan jenuhnya, dimana hasil

penelitian menunjukkan pada jam ke 3

kelarutan obat mengalami penurunan,

maka disimpulkan pada jam tersebut

waktu kesetimbangan kelarutan telah

tercapai.

Ofloksasin murni menunjukkan

kelarutan 2,879 ± 0,041 mg/ml. Seluruh

sampel dispersi padat ofloksasin

menunjukan peningkatan kelarutan

dibandingkan senyawa murninya (gambar

3), dimana metode penguapan pelarut

dispersi padat ofloksasin sistem biner dan

terner menunjukkan kelarutan yang lebih

tinggi dibandingkan senyawa murni dan

pencampuran fisiknya.

Gambar 3. Kelarutan OFX sistem biner dan terner

pada suhu 37±0,5°C

Data kelarutan menunjukkan bahwa

kelarutan maksimal tercapai pada sistem

terner yaitu kombinasi pembawa larut air

(PEG 6000) dengan surfaktan (SLS) yang

diformulasikan dengan metode penguapan

pelarut, dengan kelarutan sebesar 7,739 ±

0,067 mg/ml. Hal ini disebabkan karena

kombinasi terner memberikan kontribusi

dalam meningkatkan keterbasahan dari

partikel obat dan adanya mekanisme

solubilisasi deri pembawa larut air dan

surfaktan.

IV. KESIMPULAN

1. Dispersi padat ofloksasin sistem terner

menghasilkan peningkatan disolusi

dan kelarutan yang lebih tinggi secara

signifikan dibandingkan campuran

biner, terlihat pada formula S10

(OFX-PEG6000-SLS).

2. Sistem dispersi padat dengan metode

penguapan pelarut meningkatkan

kelarutan secara signifikan

dibandingkan ofloksasin murni dan

campuran fisiknya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada PT. Nufarindo

atas bantuan bahan ofloksasin dan kepada

Prof. Dr. Suwaldi, M.Sc., Apt. Dan Prof.

Dr. Akhmad Kharis N., M.Si., Apt. atas

bimbingannya sehingga penelitian ini

berjalan dengan baik.

2,879

5,057

6,215 5,731

7,556

012345678

P7 S7 P10 S10

OFX BINER TERNER

Ke

laru

tan

(m

g/m

L)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

167

DAFTAR PUSTAKA

Alkhamis, KA., Allaboun, H., Al-Momani,

W.Y., 2003, Study of the

Solubilization of Gliclazide by

Aqueous Micellar Solutions,

J.Pharm.Sci, 92:839

Chiou, W.L., Riegelman, S., 1971,

Pharmaceutical Applications of

Solid Dispersion System,

J.Pharm.Sci., 60:1165-1175

Garad, S.D. 2004, How to Improve the

Bioavailability of Poorly Soluble

Drugs, Am.Pharm.Rev, 7:80-85 cit.

Essa E.A. dan Balata G.F. 2012,

Preparation and characterization of

domperidone solid dispersions, J.

Pharm. Sci, 25(4):783- 791

Leuner, C. and Dressman, J., 2000,

Improving drug solubility for oral

delivery using solid dispersion, Eur.

J. Pharm. Biopharm., 50, 47-60.

Lipinski, C. 2007, Drug Solubility in

Water and Dimethylsulfoxide, in

Molecular Drug Properties -

Measurement and Prediction (ed R.

Mannhold), Wiley- VCH Verlag

GmbH & Co. KGaA, Weinheim,

Germany, 258-259

Serajuddin, A.T.M., 1999, Solid

Dispersion of Poor Water Soluble

Drugs : Early Promises, Subsequent

Problems, and Recent

Breakthroughs, J.Pharm.Sci., 88:

1058-1066

Shargel, L, dan Yu, A., 1999, Applied

Biopharmaceutics and Pharmaco-

kinetics, 4th

Ed., Appleton & Lange.

Wulff, M., M. Alden and Craig, D.Q.M.,

1996, An Investigations into the

Critical Surfactant Concentration for

Solid Solubility of Hydrophobic

Drug in Different Polyethylene

glycols, Int. J. Pharm. 142, 189-198.

Yuli, L.O., 2003, Relationships between

the Hydrophilic-Lipophilic Balance

Values of Pharmaceutical Excipients

and Their Multidrug Resistance

Modulating Effect in CaCo-2 Cells

and Rat Intestines, J.Control.Rel.,

90:37- 48

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

168

Prevalensi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien

Stroke Yang Dirawat Di Sebuah Rumah Sakit

Di Kota Tasikmalaya

Ajeng Nilla Anindi, *Ilham Alifiar

Program Studi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada

*Email : [email protected]

Abstrak

Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang menyebabkan kerusakan

neurologis sehingga meningkatkan angka kecacatan yang akan menurunkan kualitas

hidup pasien. Pemberian terapi yang aman dapat meningkatkan kualitas hidup pasien

stroke. Keamanan suatu pengobatan dapat dilihat dari potensi interaksi pada obat

yang diberikan. Interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat dirubah karena

adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau bahan kimia. Penelitian ini

bertujuan untuk melihat prevalensi potensi interaksi pada pasien stroke yang dirawat

di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya periode April–Mei 2016. Penelitian ini

meupakan penelitin cross-sectional dengan pengambilan data secara prospektif, data

pasien didapatkan dari ruang inap penyakit saraf, kemudian dilakukan pencatatan

status pasien dari buku rekamedik pasien, kekurangan rekamedik dilengkapi dengan

melihat catatan perawat, melihat kondisi pasien langsung dan wawancara pasien atau

keluarga pasien. Data berikut dilakukan analisis statistik. Data yang dihasilkan pada

102 pasien menunjukkan adanya potensi interaksi obat dengan obat yaitu sebanyak 31

pasien (30,39%) mengalami potensi interaksi obat. Penelitian ini mennunjukkan

bahwa penggunaan obat pada pasien stroke yang di rawat di RSUD dr.Soekardjo Kota

Tasikmalaya aman namun terdapat beberapa obat yang membutuhkan monitoring .

Kata kunci: Stroke, potensial interaksi obat, neuroprotektor, antiplatelet, antihipertensi

Abstract

Stroke is a cerebrovascular disease that causes neurological damage that increased

the number of defects that would degrade the quality of life of patients. Provision of safe

therapy can improve quality of life for stroke patients. The security of a treatment can be

seen from the potential interaction of the drug administered. Drug interactions occur when

the effect of the drug was changed for their other drugs, herbs, food, drinks or chemicals.

This study aims to determine the appropriate medicine use, safe and effective in stroke

patient treated in dr. Soekardjo Tasikmalaya Hospital period from April to May 2016. This

study is a cross-sectional accounted for prospectively collecting data, patient data obtained

from nerve room, then recording of the patient's status from the medical record, lack of

data on medical record taking data from nurse’s book of patient, seeing the condition of

the patient and the patient or the patient's family interview. The data generated in 102

patients suggest the potential for drug interactions with medications that as many as 31

patients (30,39%) had the potential for drug interactions with various levels of

significance. The use of drugs in stroke patients were treated in dr.Soekardjo

Tasikmalaya Hospital safe, but it needs to be monitoring of some drugs that have the

potential interaction.

Keywords: Stroke, potential drug interactions, neuroprotective, antiplatelet,

antihypertensive.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

169

I. PENDAHULUAN

Stroke telah menjadi penyebab kematian

utama di hampir semua rumah sakit di

Indonesia, yakni 14,5 %. Menurut hasil

riset kesehatan dasar (Riskesdas)

Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan

telah terjadi peningkatan prevalensi stroke

di Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007)

menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Selain

itu, sebagian dari pasien yang mengalami

stroke akan berakhir dengan kecacatan.

Berdasarkan beberapa penelitian

didapatkan tingkat kecacatan stroke

mencapai 65% (Anonim, 2013).

Kualitas hidup pasien stroke dapat

meningkat dengan memberikan terapi

dengan tujuan untuk mengurangi

kerusakan neurologi dan mengurangi

mortalitas dan disabilitas jangka panjang,

mencegah komplikasi sekunder

immobilitas dan disfungsi neurologi,

mencegah kekambuhan stroke (Ikawati,

2011).

Terapi yang diberikan harus terjamin

kualitasnya yaitu melihat keamanan suatu

pengobatan (Siregar, 2005). Penggunaan

obat dikatakan aman dapat dilihat dari

kejadian potensi interaksi pada obat-

obatan yang diberikan.

II. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

observasional deskriptif dengan metode

pengambilan data secara prosfektif dengan

desain studi cross sectional.

B. Populasi Dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah

seluruh pasien stroke yang dirawat di

RSUD dr. Soekrdjo Kota Tasikmalaya

periode April-Mei 2016.

Sampel penelitian ini adalah pasien

stroke yang dirawat di RSUD dr. Soekrdjo

Kota Tasikmalaya periode April-Mei 2016

yang menyetujui informed consent.

C. Instrument

Informed consent, lembar data

pasien berupa data wawancara dan data

hasil laboratorium pasien.

D. Prosedur Kerja

Pencatatan pasien stroke yang

dirawat di ruang 5 RSUD dr. Soekardjo

Kota Tasikmalaya, melakukan wawancara

untuk data yang tidak tercantumkan dalam

data rekamedik, melengkapi data pasien

setelah pasien selesai dirawat.

E. Analisis Data

Data diolah dengan menggunakan

Analisis Chi-square, dilanjutkan dengan

Analisis Odds Ratio.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

170

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini pasien yang

memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak

102 pasien. Gambaran dari karakteristik

pasien dalam penelitian ini dapat dilihat

pada Tabel I.

Pada hasil kajian demografi

menunjukkan bahwa proporsi kejadian

stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki,

dan rentang usia 0-60 tepatnya usia 58-67

tahun dengan pendidikan terakhir SD.

Tabel I. Hasil I

Karakteristik

Pasien

Keterangan Jenis Stroke Total

Stroke

Hemoragik

Stroke

Iskemik

Jenis Kelamin Laki-laki 13 (38,2%) 39 (57,4%) 52 (51,0%)

Perempuan 21 (61,8%) 29 (42,6%) 50 (49,0%)

Usia 0-60 tahun 22 (64,7%) 36 (52,9%) 58 (56,9%)

>60 tahun 12 (35,3%) 32 (47,1%) 44 (43,1%)

Tingkat

Pendidikan

SD 26 (76,5%) 38 (55,9%) 64 (62,7%)

SLTP 5 (14,7%) 11 (16,2%) 16 (15,7%)

SLTA 3 (8,8%) 10 (14,7%) 13 (12,7%)

Perguruan Tinggi 0 (0,0%) 9 (13,2%) 9 (8,8%)

Tabel II. Hasil II

Karakteristik Pasien

Jenis Stroke Total

Stroke

Hemoragik

Stroke

Iskemik

Hipertensi 6 (17,6%) 8 (11,8%) 14 (13,7%)

Diabetes 0 (0.0%) 2 (2,9%) 2 (2,0%)

Stroke 1 (2,9%) 5 (7,4%) 6 (5,9%)

Jantung 0 (0.0%) 1 (1,5%) 1 (1,0%)

Komplikasi 0 (0,0%) 3 (4,4%) 3 (2,9%)

Penyakit Lainnya 2 (5,9%) 5 (7,4%) 7 (6,9%)

Tidak Ada Riwayat Penyakit 25 (73,5%) 44 (64,7%) 69 (67,6%)

Tabel III. Hasil III

Karakteristik Pasien

Jenis

Stroke

Total

Stroke

Hemoragik

Stroke

Iskemik

Hipertensi 19 (55,9%) 20 (29,4%) 39 (38,2)

Stroke 0 (0,0%) 5 (7,4%) 5 (4,9%)

Kolesterol 0(0,0%) 2 (2,9%) 2 ((2,0%)

Jantung 0 (0,0%) 3 (4,4%) 3 (2,9%)

Komplikasi 6 (17,6%) 23 (33,8%) 29 (28,4%)

Penyakit Lainnya 7 (20,6%) 10 (14,7%) 17 (16,7%)

Tidak Ada Riwayat Penyakit 2 (5,9%) 5(7,4%) 7 (6,9%)

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

171

Hipertensi merupakan riwayat

penyakit keluarga terbanyak. Selain itu

hipertensi pun merupakan riwayat

penyakit pasien terbanyak. Hal tersebut

disebabkan karena hipertensi kronis dapat

menyebabkan terjadinya disfungsi

endothelial dari pembuluh darah,

akibatnya akan terjadi vasokonstriksi,

poliferasi sel-sel otot polos pembuluh

darah, agregasi trombosit, adhesi leukosit,

dan peningkatan permeabilitas untuk

makromolekuler. Kondisi ini akan

mempercepat terjadinya aterosklerosis

yang menyebabkan terjadinya stroke

iskemik (Budiarto, 2002).

Pasien stroke yang dirawat di ruang

5 RSUD dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya

memiliki kebiasaan merokok, minum kopi

dan minum teh yang disajikan pada Tabel

IV. Kebiasaan minum kopi merupakan

kebiasaan terbanyak yaitu 53,9%. Pada

penelitian Martiani (2012) menyatakan

bahwa kebiasaan minum kopi

meningkatkan resiko kejadian hipertensi,

namun tergantung dari frekuensi konsumsi

harian. Tekanan darah akan

mempengaruhi aliran darah ke otak. Jika

aliran darah ke otak menurun atau

meningkat akan menyebabkan

pengangkutan oksigen ke otak secara pasif

mengikuti perubahan tekanan perfusi otak

(Wibowo et.al, 2001). Adapun profil

penggunaan obat pada pasien strok yang

dirawat di ruang 5 disajikan pada Tabel V.

Tabel IV. Hasil IV

Karakteristik Pasien

Jenis Stroke Total

Stroke

Hemoragik

Stroke

Iskemik

Penggunaan Rokok 15 (44,1%) 29 (42,6%) 44 (43,1%)

Peminum Kopi 15(44,1%) 40 (58,8%) 55 (53,9%)

Peminum The 17 (50,0%) 33 (48,5%) 50 (49,0%)

Penggunaa Obat Bebas 34 (64,7%) 34 (50,0%) 56 (54,9%)

Penggunaan Obat Herbal/Tradisional 15 (44,1%) 36 (52,9%) 51 (50,0%)

Tabel V. Hasil V

Golongan Obat

Stroke

Iskemik

Stroke

Hemoragik

Antiplatelet 30 2

Antihipertensi 38 12

Antihiperlipidemia 3 0

Diuretik 23 24

Antifibrinolitik 4 10

Neuroprotektor 66 34

Antihiperasiditas 58 31

Antibiotik 31 23

NSAIDs 16 7

Antikonvulsi 6 3

Antiemetik 6 8

Antidisritmik 2 0

Antiangina 1 0

Antidiabetik 3 0

Neurotropik 15 4

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

172

Pada penelitian ini, analisis

kuantitatif dan kualitatif hanya dilakukan

terhadap 3 golongan obat yaitu golongan

obat neuroprotektor, antihipertensi dan

antiplatelet.

Pada tabel profil penggunaan obat,

pasien stroke yang dirawat di ruang 5

RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

terdapat beberapa obat yang berinteraksi

dengan golongan obat neuroprotektor,

antihipertensi dan antiplatelet. Data pasien

yang memiliki potensi interaksi obat

dengan obat disajikan pada Tabel 6.

Tabel VI. Hasil VI

Jenis Stroke Potensi Interaksi Nilai OR (Odds Ratio)

Ada Tidak

Stroke

Hemoragik

4 (11,8%) 30 (88.2%) OR = 4,939

Confidence Interval =

1,563-15,611 Stroke Iskemik 27 (39,7%) 41 (60,3%)

Total 31 (30,4%) 71 (69.6%)

Gambar 1. Hasil I

Hasil Odds Ratio menunjukkan

bahwa pasien stroke iskemik 4 kali

lipatnya mengalami potensi interaksi dari

pasien stroke hemoragiik. Adapun obat-

obatan yang memiliki potensi interaksi

disajikan pada Tabel 16.

Penggunaan amlodipin dan

valsartan tidak berinteraksi secara

signifikan. Pada penelitian yang dilakukan

terhadap 12 subjek sehat menunjukkan

tidak adanya efek yang diubah secara

signifikan pada pemberian dosis oral

tunggal valsartan 160 mg dan amlodipin 5

mg yang dikombinasikan, walaupun

farmakokinetik valsartan menunjukkan

terjadinya variasi antara subjek penelitian

(Baxter, 2010). Menurut Karpov et.al

(2012) bahwa penggunaan single pil

kombinasi amlodipin-valsartan merupakan

penggunaan yang aman dan efektif dalam

menurunkan tekanan darah.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

173

Tabel VII. Hasil VII

Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah

Pasien

Amlodipin-Valsartan Tidak signifikan 9

Amlodipin-Klopidogrel Tidak signifikan 2

Aspirin-Sukralfat Tidak signifikan 1

(Baxter, 2010)

Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah

Pasien

Amlodipin-Karbamazepim Signifikan, lakukan monitoring 1

Aspirin-Klopidogrel Signifikan, lakukan monitoring 12

Klopidogrel-Statin Resiko C 3

Klopidogrel-Omeprazol Serius, gunakan alternative 1

(Lacy, et.al., 2008)

Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah

Pasien

Aspirin-Furosemid Signifikansi 3 1

Aspirin-Ketorolak Signifikansi 1 2

Kaptopril-Furosemid Signifikansi 2 2

Kaptopril-Aspirin Signifikansi 2 3

(Zucchero et.al., 2002)

Amlodipin dengan klopidogrel

menyebabkan efek terapi klopidogrel

menurun, amlodipin dengan carbamazepin

menyebabkan peningkatan metabolism

amlodipin dan penurunan metabolisme

carbamazepin (Lacy, 2008).

Aspirin dapat mengurangi efek

diuretik dari furosemid dan venodilatasi

furosemid dengan mekanisme yang terjadi

akibat efek asprin berlawanan dengan efek

diuretik furosemide. Kerja aspirin

menghambat sintesis dari prostaglandin,

sedangkan prostaglandin tersebut

diperlukan dalam proses natriuresis dan

eksresi dari natrium dan air (Syamsudin,

2013). Selain itu, kombinasi aspirin dan

furosemid dapat meningkatkan resiko

gagal ginjal akut dan toksisitas salisilat.

Ketorolak berinteraksi dengan Aspirin

yaitu dapat meningkatkan reaksi efek

samping dari ketorolak. Pemberian

ketorolak bersama dengan aspirin dapat

meningkatkan resiko serius yang

berhubungan dengan efek samping

ketorolak (Lacy, 2008).

Potensi interaksi terjadi antara

aspirin dengan ranitidin yaitu efek aspirin

sebagai antiplatelet menurun, studi klinis

membuktikan bahwa farmakokinetik pada

single dose 1g aspirin tidak mengalami

perubahan yang besar pada 6 orang sehat

yang diberikan ranitidin 150mg 2 kali

pemberian dalam 1 minggu, namun pada

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

174

studi klinis yang dilakukan terhadap 10

orang sehat yang diberikan ranitidin

ditemukan adanya penurunan efek

antiplatelet dari aspirin, selain penurunan

efek antiplatelet, diikuti pula dengan

penurunan kadar salisilat dalam darah

akibat adanya perubahan pada fase

absorpsi (Lev et.al. 2007).

Pemakaian aspirin dengan

klopidogrel secara bersamaan dapat

meningkatan resiko perdarahan, namun

penggunaan kombinasi aspirin dan

klopidogrel dapat bermanfaat

(Baxter,2010).

Aspirin dapat dihambat fase

absorpsinya dengan adanya sukralfat,

dalam Baxter (2010) studi klinis

membuktikan bahwa 1g sukralfat 4x sehari

selama 2 hari tidak menurunkan fase

absorpsi asprin pada single dose 650mg.

Kombinasi kaptopril-aspirin dilaporkan

dapat menyebabkan gagal ginjal (Baxter,

2010). Bukti klinis dalam Baxter (2010)

ditunjukkan pada penelitian terhadap 8

pasien dengan hipertensi esensial,

mendapatkan aspirin 600mg setiap 6 jam

untuk 5 dosis dan dosis kaptopril 25

sampai 100 mg tidak mengubah efek

kaptopril secara signifikan. Walaupun,

efek prostaglandin untuk kaptopril

dihambat dan efek penurunan tekanan

darah lemah pada 4 orang pasien dari 8

orang pasien. Dalam studi lain, pada 15

pasien dengan hipertensi,aspirin 75 mg

sehari tidak mengubah efek antihipertensi

dari kaptopril 25 mg dua kali sehari.

Pemberian kaptopril ataupun

ramipril yang dikombinasikan dengan

furosemid dapat meningkatkan resiko

terjadinya hipotensi pada awal penggunaan

kombinasi obat ini. Kejadian ini

diakbatkan karena hilangnya natrium dan

cairan dari dalam tubuh secara mendadak

akibat efek diuretik dari furosemid

meningkat, sehingga disarankan dosis

furosemid tidak lebih dari 80mg dalam

sehari dan dosis kaptopril diberikan dari

dosis terkecil (Syamsudin, 2013).

Klopidogrel berinteraksi dengan

atorvastatin yaitu dengan mengambat

aktivasi klopidogrel yang dimetabolisme

oleh enzim CYP3A4 (Clarke, 2003).

Menurut Baxter (2010) bahwa omeprazol

akan menghambat metabolisme

klopidogrel, karena omeprazole dan

klopidogrel merupakan prodrug yang

harus diaktifkan di hati oleh enzim

CYP2C19, sehingga efek antiplatelet

klopidogrel akan terhambat. Studi yang

dilakukan oleh Kurniawan dan

Simadibrata (2013) menunjukkan bahwa

tidak ada peningkatan kejadian

kardiovaskular secara bermakna pada

pasien yang mendapatkan PPI dan

klopidogrel, dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Walaupun masih

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

175

bersifat kontroversial, konsensus ahli

terkini merekomendasikan pemberian PPI

pada pasien yang mendapatkan

klopidogrel, khususnya pasien dengan

risiko tinggi.

IV. KESIMPULAN

Pola pengobatan pada pasien stroke

yang dirawat di ruang 5 RSUD dr.

Soekardjo Kota Tasikmalaya aman namun

terdapat beberapa obat perlu dilakukan

monitoring pemberiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Riset Kesehatan Dasar.

Badan Peneliti Dan Pengembangan

Kesehatan kementrian kesehatan RI.

Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug

Interaction 9th

edition. London:

Pharmacetical Press.

Budiarto, G. 2002. Stroke and

Hypertension. Dalam: pendidikan

dokter berkelanjutan, Update on

Neurology. Surabaya: Bagian Ilmu

Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga.

Clarke TA, Waskell LA. 2003. The

Metabolism Of Clopidogrel Is

Catalyzed By Human Cytochrome

P450 3A And Is Inhibited By

Atorvastatin. Drug Metab Dispos

31, 53–9.

Ikawati Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit

Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta:

Bursa Ilmu Karangkajen.

Karpov, Y., Dongre, N.dan Vigdorchik, A.

2012. Amlodipine/Valsartan Single-

Pill Combination A Prospective,

Observational Evaluation Of The

Real-Life Safety And Effectiveness

In The Routine Treatment Of

Hypertension [abstract ]. 29: 134-

147.

Kurniawan, I. dan Simadibrata, M. 2013.

Potential Interaction Between Proton

Pump Inhibitor And Clopidogrel.

Med J Indones, 22 (01).

Lacy C.F., Armstrong L.L., Goldman

M.P., Lance L.L. 2008-2009. Drug

Information Handbook. 17th

edition.America: American

Pharmacists Association.

Lev EI, Ramabadran RS, Guthikonda S,

Patel R, Kleiman A, Granada JF,

DeLao T, Kleiman NS. 2007.

Effect Of Ranitidine On The

Antiplatelet Effects Of Aspirin In

Healthy Human Subjects. Am

JCardiol, 99. 124–8.

Martiani, A. 2012. Faktor Risiko

Hipertensi Ditinjau Dari Kebiasaan

Minum Kopi. [Artikel Penelitian].

Semarang: Universitas Diponegoro.

Syamsudin. 2013. Interaksi Obat Konsep

Dasar dan Klinis. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Wibowo, S. dan Gofir, A. 2001.

Farmakoterapi Dalam Neurologi.

Jakarta: Salemba Medika.

Zucchero, F.J., Hogan, M.J., Sommer,

C.D. 2002. Evaluation Of Drug

Interactions 4th

edition.

Washington: American

Pharmaceutical Association.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

176

Formulasi dan Uji Stabilitas Sediaan Gel

Ekstrak Gambir

*Lutfi Chabib1, Oktavia Indrati

1, Muhammad Ikhwan Rizki

2

1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia

2Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Sinar ultraviolet (UV) dari sinar matahari memiliki efek oksidatif radikal bebas yang

dapat menyebabkan inflamasi (peradangan) dan penuaan dini. Senyawa antioksidan

merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas. Gambir merupakan tumbuhan

yang mengandung katekin yang berpotensi sebagai antimutagenik, antioksidan dan

antibakteri. Sediaan gel memiliki sifat tiksotropik dan pseudoplastik serta memiliki sifat

mudah dioleskan, mudah dicuci dan tidak meninggalkan lapisan berminyak pada kulit.

Tujuan dari penelitian ini membuat formulasi sediaan gel dari ekstrak gambir dan mengetahui

kestabilan fisik dari sediaan gel ekstrak gambir. Dilakukan pembuatan ekstrak gambir dengan

maserasi. Ekstrak gambir tersebut dibuat sediaan gel dan di uji sifat fisiknya. Gel ekstrak

gambir yang dibuat kemudian diuji stabilitas fisiknya. Dilakukan identifikasi kandungan

kimia gel ekstrak gambir dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Dari hasil penelitian

didapat kesimpulan bahwa ekstrak gambir dapat dibuat sediaan gel dan memiliki kestabilan

fisik yang memenuhi persyaratan.

Kata kunci: Gambir, gel stabilitas.

ABSTRACT

Ultraviolet (UV) light from the sun have the effect of oxidative free radicals that

can cause inflammation and premature aging. Antioxidant are compounds that can

neutralize free radicals. Gambir (Uncaria gambir) is a plant that contains catechins

potential as antimutagenic, antioxidant and antibacterial. Gel has thixotropic,

pseudoplastic properties and easily applied on the skin. The purpose of this study make a

gel formulation of gambir extract and determine the physical stability. Gambir extract has

been made by maceration. Gambir extract the gel formulation and test its physical

properties. Gambir extract gel stability test was conducted. To identify the chemical

constituents gambir extract gel with Thin Layer Chromatography (TLC). From the results

of the study concluded that gambir extracts capable of forming a gel formulation to meet

the requirements of physical stability.

Keywords: Gambir, gen, stabillity.

I. PENDAHULUAN

Indonesia berada di daerah tropis

yang menyebabkan kulit orang Indonesia

selalu terpapar sinar matahari. Paparan

sinar matahari yang berlebihan

mempunyai banyak dampak pada

kehidupan. Sinar ultraviolet (UV) dari

sinar matahari memiliki efek oksidatif

radikal bebas yang dapat menyebabkan

inflamasi (peradangan) dan penuaan dini.

Sehingga menyebabkan kulit menjadi

kusam, berkerut, timbul flek-flek hitam

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

177

yang secara estetika sangat mengganggu.

Oleh karena itu, diperlukan suatu zat yang

dapat menghambat radikal bebas tersebut,

yaitu zat antioksidan. Senyawa

antioksidan merupakan senyawa

antiradikal bebas yang dapat menetralkan

radikal bebas reaktif menjadi bentuk tidak

reaktif yang relatif stabil sehingga dapat

melindungi sel dari efek radikal bebas

(Sofia, 2003).

Gambir merupakan ekstrak kering

dari daun dan ranting tanaman Uncaria

gambir Roxb. Ekstrak gambir diketahui

mengandung katekin sebagai komponen

utama. Katekin merupakan suatu senyawa

polifenol yang banyak dijumpai pada

tanaman tingkat tinggi, yang berpotensi

sebagai antimutagenik, antioksidan dan

antibakteri (Arakawa et al., 2004; Miller,

1996; Nakagawa et al., 2005; Velury,

2004).

Sediaan gel sebagai kosmetika

perawatan kulit masih jarang ditemui dan

penggunaannya masih terbatas. Apabila

dibandingkan dengan krim dan lotion, gel

mempunyai kelebihan dari segi fisik.

Kelebihan-kelebihan sediaan gel adalah

berupa sediaan semi solid transparan atau

tembus cahaya yang memiliki aliran

tiksotropik dan pseudoplastik serta

memiliki sifat mudah dioleskan, mudah

dicuci dan tidak meninggalkan lapisan

berminyak pada kulit (Carter, 1975).

Oleh karena alasan-alasan tersebut,

pada penelitian ini akan dibuat suatu

sediaan kosmetik perawatan kulit dengan

memanfaatkan senyawa katekin dalam

gambir sebagai sediaan gel antioksidan.

Diharapkan dengan penelitian ini,

pemanfaatan gambir akan menjadi lebih

beragam dan menambah alternatif pilihan

sediaan antioksidan dari bahan alam.

Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat

formulasi sediaan gel dari ekstrak gambir,

mengetahui kestabilan fisik dari sediaan

gel ekstrak gambir, dan mengetahui

kandungan ketakin pada sediaan gel dari

ekstrak gambir yang berfungsi sebagai

antioksidan.

II. BAHAN DAN METODE

Bahan-bahan yang digunakan pada

penelitian ini antara lain: gambir,

carbopol, triethanolamin, metil paraben,

gliserin, dikloromethana, etanol, pelarut,

dan tokopherol. Alat-alat yang digunakan

pada penelitian ini antara lain: alat-alat

gelas, timbangan, macerator, rotary

evaporator, homogenizer, viskosimeter,

alat uji daya lekat, dan spektrofotometer.

Pada awalnya dilakukan ekstraksi

gambir dengan metode maserasi

menggunakan etil asetat dengan

perbandingan 1:5 b/v. Maserasi dilakukan

selama 3 hari pada suhu kamar, dimana

setiap 24 jam larutan dipisahkan dengan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

178

menggunakan kertas saring. Kemudian

ampasnya dimaserasi ulang selama 24 jam

lagi dan nantinya disaring, ulangan

dilakukan sampai 2 kali. Filtrat pertama,

kedua dan ketiga digabung dan

dievaporasi menggunakan rotari

evaporator hingga diperoleh ekstrak

kental. Selanjutnya dari ekstrak yang

didapat dibuat sediaan gel dengan formula

sebagai berikut:

R/ Carbopol

Methyl paraben

Triethanolamin

Gliserin

Ekstrak gambir

Air

Dilakukan uji stabilitas fisik

sediaan gel dengan melakukan uji

homogenitas, daya sebar, daya lekat, dan

uji viskositas. Kandungan kimia gel

ektrak gambir juga diuji dengan

menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT). Fase diam yang digunakan yaitu

silica GF254 dengan pengembang eluen

dikloromethana:etanol 99% (4:1).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses awal pembuatan serbuk

adalah tahapan pembuatan serbuk

simplisia dengan cara pengecilan partikel

gambir kemudian diserbuk (penyerbukan)

dengan menggunakan grinder. Secara

umum pembuatan simplisia melalui

tahapan-tahapan, yaitu pengumpulan

bahan baku, pengecilan partikel, dan

penyerbukan. Gambir yang digunakan

dalam penelitian ini diperoleh dari CV.

Amanah Alam Raya, Batam, Sumatera

Barat. Gambir yang digunakan ini

merupakan jenis Black Cube, yang mana

kandungan senyawa katekinnya paling

banyak dibandingkan jenis bentuk gambir

yang lain.

Pada proses penyerbukan gambir ini

diperlukan proses yang tidak boleh terlalu

lama, karena serbuk mudah teroksidasi,

sehingga harus segera disimpan dalam

tempat yang rapat agar serbuk tidak

berubah warna. Serbuk gambir diayak

dengan mesh 50-60. Untuk mendapatkan

ekstrak kental dan serbuk kering dari

gambir dengan cara serbuk gambir yang

telah diayak diremaserasi dengan pelarut

etanol 80% selama 3 hari. Suatu ekstraksi

dibedakan menjadi 2 berdasarkan

perbedaan kelarutan, yaitu ekstraksi

sederhana dan ekstraksi pelarut.

Pemeriksaan organoleptik dilakukan

sebagai pengenalan awal terhadap ekstrak

maka dilakukan pemeriksaan dengan

menggunakan panca indera untuk

mendeskripsikan bentuk, warna, rasa dan

bau dari ekstrak kental gambir. Hasil dari

pemeriksaan ekstrak gambir yang

dihasilkan tertera dalam Tabel I berikut

ini.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

179

Tabel I. Data Hasil Uji Organoleptik

Ektstrak Kental Gambir

Pada penelitian ini dilakukan uji

stabilitas fisik yang meliputi: uji daya

sebar, daya lekat, viskositas, dan

homogenitas. Gel ekstrak gambir setelah

diuji homogenitasnya menunjukkan

bahwa pada gel ekstrak gambir selama 4

minggu penyimpanan pada suhu kamar

tidak mengalami perubahan fisik dalam

hal homogenitasnya. Hasil penelitian uji

homogenitas selama 4 minggu

penyimpanan dapat dilihat pada Tabel II

dibawah ini.

Tabel II Hasil Uji Homogenitas Gel

Ekstrak Gambir Selama 4

Minggu Penyimpanan

Uji homogenitas ini adalah faktor

yang penting dan merupakan salah satu

ukuran dari kualitas sediaan gel. Ekstrak

gambir sebagai zat aktifnya harus

terdispersi dan tercampur secara

homogen pada medium dispers (basis)

agar dapat memberikan efeknya secara

maksimal sebagai antioksidan.

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat

bahwa homogenitas gel ekstrak gambir

selama 4 minggu penyimpanan pada suhu

kamar tidak mengalami perubahan fisik

dalam hal homogenitasnya. Hal ini

ditandai dengan tidak mengalami

agregasi partikel. Sediaan gel ekstrak

gambir tetap berbentuk semipadat dan

tidak pernah berbentuk cair serta tidak

mengalami pemisahan atau pemecahan

kedua fase.

Daya sebar gel mencerminkan

kemampuan gel untuk menyebar pada

lokasi pemakaian dan seberapa lunaknya

gel apabila dioleskan pada kulit sehingga

memberi kenyamanan pada saat

pemakaian. Semakin besar nilai diameter

daya sebar menggambarkan bahwa gel

akan menyebar dengan cepat hanya

dengan sedikit pengolesan. Gel yang baik

adalah gel yang memiliki daya sebar

paling luas sehingga kontak antara zat

aktif dengan sel penyerap kulit semakin

bagus. Hasil pengujian daya sebar dapat

dilihat pada tabel III dibawah ini.

Tabel III. Hasil Uji Daya Sebar Gel

Ekstrak Gambir Selama 4

Minggu Penyimpanan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

180

Semakin lama penyimpanan gel

gambir mengalami peningkatan daya

sebar. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji

dari minggu pertama hingga minggu

keempat mengalami peningkatan daya

sebar. Pengaruh lama penyimpanan

terhadap daya sebar dapat disebabkan

oleh wadah yang digunakan berupa

plastik, sehingga dapat terjadi peristiwa

absorbsi dari zat terlarut ke permukaan

wadah dengan cara zat terlarut dapat

berdifusi ke dalam plastik dengan

bantuan pelarut atau pembawa untuk

diabsorbsi dan diikat ke tempat-tempat

dalam plastik (Ansel, 2005), dan ini

menyebabkan zat terlarut/fase dalam

berkurang dalam sediaan, bila volume

fase dalam suatu sediaan berkurang maka

viskositas sediaan itu semakin menurun

(Lachman et al., 1994), oleh karena itu

semakin lama penyimpanan maka fase

dalam sediaan tersebut semakin

berkurang dan sediaan tersebut akan

semakin encer, sehingga daya sebarnya

semakin luas.

Uji daya lekat dilakukan guna

mengetahui lama waktu menempelnya

gel pada permukaan kulit, dimana waktu

ini yang akan menentukan seberapa

banyak gel yang dapat diserap oleh sel-

sel penyerap pada permukaan kulit,

sehingga dengan pengukuran daya lekat

gel dapat dilihat stabilitas fisiknya. Gel

ekstrak gambir setelah dilakukan uji daya

lekat selama 4 minggu penyimpanan pada

suhu kamar maka dapat dilihat pada

Tabel IV dibawah ini.

Tabel IV. Hasil Uji Daya Lekat (Detik)

Gel Ekstrak Gambir Selama 4

Minggu Penyimpanan

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa kemampuan daya lekat gel ekstrak

gambir dari selama 4 minggu

penyimpanan pada suhu kamar

menunjukkan bahwa daya lekat pada hari

pertama yang paling tinggi dibandingkan

dengan hari ke-2,3, dan 4, hal ini

disebabkan pengaruh lama penyimpanan,

dimana selama 4 minggu penyimpanan

pada suhu kamar daya lekat pada masing-

masing formula mengalami penurunan.

Hal ini mungkin disebabkan karena

selama penyimpanan adanya pengaruh

wadah dalam menyerap fase dalam/ fase

terlarut sehingga sediaan akan semakin

encer dan daya lekatnya semakin singkat.

Uji viskositas yang dilakukan

dengan viskotester Rion seri VT-04F ini

bertujuan untuk mengetahui seberapa

kental gel yang dihasilkan. Hasil

pengukuran viskositas (desi pascal –

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

181

seconds) gel ekstrak gambir dapat dilihat

pada tabel V berikut ini.

Tabel V. Hasil Uji Viskositas (dPa’s) Gel

Ekstrak Gambir Selama 4

Minggu Penyimpanan

Gambar 1. Grafik Viskositas Gel

Gambir

Dari data dan gambar grafik

diatas, diketahui bahwa lamanya

penyimpanan selama 4 minggu pada suhu

kamar juga mempengaruhi viskositas dari

gel ekstrak gambir selama 4 minggu

penyimpanan viskositasnya menurun, hal

ini disebabkan karena dipengaruhi oleh

wadah dan sifat basis ataupun penyerapan

kelembaban udara sekitarnya selama

masa penyimpanan, yang akan

mengakibatkan kekentalannya berkurang,

oleh karena itu viskositasnya makin

turun.

Gambar 2. Hasil Uji KLT dengan

Pereaksi Semprot

Anisaldehida-Asam

Sulfat

Dari hasil uji KLT di atas dapat

dilihat bahwa tanda e merupakan ekstrak

kental gambir yang digunakan sebagai

pembanding, hRf dari e adalah 60. Untuk

membandingkan antara ekstrak kental

dengan gel ekstrak gambir, maka gel

ekstrak gambir terlebih dahulu dilarutkan

dengan etanol 80% sebanyak 5 ml,

kemudian disaring untuk mendapatkan

larutan dari gel ekstrak gambir. Untuk

tanda F merupakan formula gel ekstrak

gambir, nilai hRf F1 adalah 59. Dari nilai

hRf ini menunjukkan bahwa antara

ekstrak kental dengan gel ekstrak gambir

pada formula memiliki profil

kromatogram yang mirip. Ini berarti gel

ekstrak gambir pada formula memiliki

kandungan senyawa katekin sama seperti

pada ekstrak kental gambir.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

182

Gambar 3. Hasil Uji KLT Dengan

Pereaksi Semprot AlCl3

Hasil KLT menunjukkan bahwa

hRf untuk ekstrak kental dan gel ekstrak

gambir memiliki profil kromatogram

yang mirip, hasil ini ditunjukkan dari

nilai hRf untuk tanda e yang berarti

ekstrak kental adalah 60, kemudian F

adalah formula gel ekstrak gambir

sebesar 59. Ini menunjukkan bahwa

dalam gel ekstrak gambir terdapat

kandungan gambir (senyawa katekin)

sama seperti dengan ekstrak kental yang

terdapat juga kandungan senyawa

katekin. Ekstrak kental dalam uji KLT ini

merupakan pembanding dari gel ekstrak

gambir. Maka dalam gel ekstrak gambir

tersebut terdapat kandungan senyawa

katekin yang sama dengan ekstrak kental.

IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian didapat

kesimpulan bahwa ekstrak gambir dapat

dibuat sediaan gel dan memiliki

kestabilan fisik yang memenuhi

persyaratan.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi. ed 4. UI Press.

Jakarta.

Arakawa, H., Masako, M., Robuyusi, S.,

Miyazaki, 2004, Role of Hydrogen

Peroxide in Bactericidal Action of

Catechin, Biological &

Pharmaceutical Bulletin, 27

Carter. 1975. Depending for

Pharmaceutical Students, 12th

edition, Pitman Medical Publishing

Co. Ltd, London.

Lachman, L. Lieberman, H. Kanig, J.

1994. Teori dan Praktek Industri

Farmasi. edisi II. diterjemahkan

oleh Siti Suyatmi, UI Press, Jakarta.

Miller, A.L., 1996, Antioxidant

Flavonoid: Structure, Function and

Clinical Usage, Alt Med Rev, 1

Nakagawa, K., Fujii, S., Ohgi, A., Uesato,

S, 2005, Antioxidative Activity of

3-O-Octanoyl-(+)-Catechin, A

Newly Synthesized Catechin, In

Vitro, Journal of Health Science, 51

Sofia, D., 2003, Antioksidan dan Radikal

Bebas, http://www.chem-is-

try/?sect=artikel&ext=81 (diakses

tanggal 30 April 2009)

Velury, R., Weir, T.L, Bais, H.P.,

Stermitz, F.R., Vivanco J.M., 2004,

Phytotoxic and Antimicrobial

Activities of Catechin Derivative,

J.Agric.Food. Chem, 52

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

183

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien

Hipertensi di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta

Andriana Sari, *Haafizah Dania, Dian Retno Palupi

Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogtakarta

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Hasil riset kesehatan dasar

(Riskesdes) tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta sebagai urutan ketiga jumlah

kasus hipertensi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola

penggunaan obat dan persentase kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada pasien

hipertensi di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dengan pengumpulan data secara retrospektif. Subyek penelitian adalah

pasien hipertensi yang melakukan pengobatan di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta

pada periode Februari-Maret 2016. Data diperoleh dari catatan medik pasien. Evaluasi

DRPs yang dilakukan berdasarkan Drug Information Handbook 22th ed, JNC VII, dan

JNC VIII. Jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah 122 pasien. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi monoterapi yaitu

amlodipin sejumlah 104 pasien (85,2%) dan captopril 4 pasien (3,3%). Antihipertensi

kombinasi 2 obat yaitu amlodipine+captopril sejumlah 1 pasien (0,8%),

amlodipine+HCT 7 pasien (5,8%), amlodipine+furosemid 4 pasien (3,3%) dan

captopril+furosemid 1 pasien (0,8%). Terapi kombinasi 3 obat antihipertensi yaitu

amlodipine+HCT+furosemid sejumlah 1 pasien (0,8%). Dari 122 pasien yang dievaluasi

kejadian Drug Related Problems (DRPs) terdapat 34 kejadian yang mengalami DRPs

atau 27,8%. Evaluasi DRPs adalah sebagai berikut : indikasi yang tidak diterapi

sebanyak 8 (6,5%),dosis obat terlalu rendah 4 (3,3%), dan timbulnya reaksi obat

merugikan 22 (18%) kejadian.

Kata kunci : Drug Related Problems, Hipertensi, Puskesmas Mergangsan

ABSTRACT

The prevalence of hypertension in Indonesia is relatively high. Study from basic

medical research (Riskesdes) in 2013 was reported Yogyakarta as the third highest number

of cases of hypertension in Indonesia. Aims of this study to determine the pattern of drug

use and the percentage of Drug Related Problems (DRPs) in hypertensive patients at

Mergangsan community health centers Yogyakarta. This was a descriptive with

retrospective study . Subjects were patients with hypertension in Mergangsan community

health centers Yogyakarta during period of February to March 2016. Data were retrieved

from patient medical records. DRPs evaluation based on the Drug of Information

Handbook 22th

ed, JNC VII, and JNC VIII. The number of patients who fulfilled the

inclusion criteria was 122 patients. The results showed that the number of patients who

used monotherapy antihypertensive was 104 patients (85.2%) with Amlodipine and 4

patients (3.3%) with captopril therapy. Combination Antihypertensive or two drugs was 1

patient (0.8%) with amlodipine + captopril, 7 patients (5.8%) with amlodipine + HCT, 4

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

184

patients (3.3%) with amlodipine + furosemide and 1 patient (0, 8%) with captopril +

furosemide combination therapy respectively. Combination of antihypertensive with 3

combination therapy was 1 patient (0.8%) by amlodipine + HCT + furosemide .Of the 122

patients was evaluated of (DRPs) we obtained 34 events were DRPs experienced by 27.8%.

which are: untreated indications was 8 (6.5%), underdose was 4 (3.3%), and the incidence

of adverse drug reactions was 22 (18%).

Key words: Drug Related Problems, hypertension, Mergangsan Community Health Center

I. PENDAHULUAN

Prevalensi hipertensi di Indonesia

cukup tinggi. Pada tahun 2013 prevalensi

penyakit hipertensi ini sebesar 26,5%,

tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga

kesehata hanya sebesar 9,5%

(Anonim,2013). Profil data kesehatan

Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa

pada tahun 2010 hipertensi menjadi salah

satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat

inap terbanyak di rumah sakit, dengan

proporsi kasus 57,62% wanita dan

42,38% pria, serta 4,8% pasien

meninggal dunia (Anonim, 2011). Hasil

riset kesehatan dasar (Riskesdes) tahun

2013 menempatkan D.I Yogyakarta

sebagai urutan ketiga jumlah kasus

hipertensi di Indonesia berdasarkan

diagnosis dan minum obat (Anonim,

2013). Hipertensi yang telah mengalami

komplikasi biasanya memerlukan obat

dalam jumlah yang lebih banyak dan perlu

adanya terapi dan kombinasi obat. Hal ini

menyebabkan pasien memiliki potensi

munculnya masalah terkait obat Drug

Related Problems (DRPs) lebih besar.

(Cipolle, et al., 1998).

Penelitian di Indonesia, yang

dilakukan oleh Ratih Fitriani, hasil

penelitiannya menunjukkan dari 90 lembar

rekam medik yang diambil jumlah item

obat yang digunakan adalah sebanyak

576 dan diperoleh total seluruh

kejadian DRPs adalah 51 kasus yang

meliputi kategori obat salah 6 kasus

11,78%, overdose 18 kasus atau 35,3%

dan underdose 27 kasus atau 52,94%

(Fitriani, 2007). Berdasarkan penelitian

Gumi dan kawan-kawan menunjukkan

bahwa DRPs yang terjadi pada terapi

pasien hipertensi di UPT Puskesmas

Jembrana adalah mengenai efektifitas

terapi yang terjadi sebanyak 100%.

Penyebab DRPsnya adalah pemilihan obat

(24,44%), pemilihan dosis (26,67%),

pasien (46,67%) dan penyebab yang tidak

jelas (2,22%). Penelitian ini

menyebutkan adanya hubungan antara

penyebab DRPs terhadap perubahan

terapi, dimana semakin banyak penyebab

DRPs yang terjadi maka kemungkinan

dilakukannya perubahan terapi semakin

besar (Gumi et al, 2013). Kurangnya

pengetahuan tentang pengobatan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

185

hipertensi ataupun salah dalam

pemberian terapi obat sehingga

memunculkan berbagai macam DRPs.

Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk

melakukan evaluasi DRPs untuk bisa

meningkatkan efektivitas terapi obat

dengan melihat pola pengobatan dan

prosentase kasus hipertensi supaya tidak

mengganggu proses penyembuhan pasien.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Alat penelitian yang digunakan

adalah lembar pengambil data dan bahan

penelitian meliputi kartu rekam medik

pasien hipertensi di Puskesmas

Mergangsan Yogyakarta, dan kemudian

diidentifikasi kejadian DRPs.

B. Metode

Jenis penelitian ini merupakan

penelitian non-eksperimental (deskriptif).

Pengumpulan data dilakukan secara

retrospektif dengan mengambil

informasi dari catatan rekam medik

pasien hipertensi di Puskesmas

Mergangsan Yogyakarta tahun 2016.

Target populasi pada penelitian ini adalah

pasien hipertensi usia 18-90 tahun yang

menjalani pengobatan di puskesmas

Mergangsan Yogyakarta periode Februari-

Maret 2016. Sampel penelitian adalah

semua pasien hipertensi yang sedang

menjalankan pengobatan di Puskesmas

Mergangsan Yogyakarta periode

Februari-Maret 2016 kecuali pasien

hamil pre-ekslamsia dan data rekam medik

tidak lengkap.

Data pasien akan dikumpulkan

pada bulan Februari-Maret 2016 di

Puskesmas Mergangsan, yang akan

diambil yaitu data rekamedik pasien

yang kemudian di evaluasi kejadian

DRPsnya dengan standar terapi

berdasarkan Drug Information

Handbook 22th ed, JNC VII dan JNC

VIII. Data pasien dikumpulkan dari

rekam medik pasien hipertensi di

Puskesmas Mergangsan yang meliputi: 1).

Data base pasien: nomor rekam medik,

umur, jenis kelamin dan diagnosis terakhir,

2). Terapi obat pasien: nama obat, dosis,

aturan pakai, lama pakai dan jumlah obat.

C. Analisis Data

Hasil data yang diperoleh kemudian

dilakukan analisis deskriptif yaitu :

1. Karakteristik subyek penelitian

berdasarkan jenis kelamin, umur,

diagnosis penyakit penyerta, dan terapi

obat yang diterima oleh pasien.

2. Kemudian dilakukan evaluasi DRPs

berdasarkan Drug Information

Handbook 22th ed, JNC VII dan JNC

VIII.

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

186

3. Hasil pengolahan data kejadian Drug

Related Problems tersebutkemudian

dilakukan perhitungan persentase

kejadian tiap-tiap DRPs dengan rumus

sebagai berikut:

∑ kejadian DRPs tiap kategori x 100%

∑seluruh subyek/pasien

Total kejadian DRPs x 100%

Jumlah seluruh subyek/pasien

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Indentifikasi Karakteristik Pasien

Total jumlah subyek dari populasi

yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi dalam penelitian ini yaitu 122

pasien. Hipertensi didominasi kelompok

lanjut usia (≥60 tahun) yaitu sebesar

74,6% (Tabel I). Hal ini menunjukkan

bahwa sejalan dengan bertambahnya usia,

tekanan darah semakin meningkat.

Perubahan farmakokinetik dan

farmakodinamika seiring dengan penuaan

ditambah adanya berbagai macam

penyakit menyebabkan pasien dengan usia

lanjut seringkali mendapatkan terapi

polimorfi. Kompleksitas penggunaan obat

dengan perubahan fisiologis tubuh dari

adanya penuaan menyebabkan masalah

terkait dengan penggunaan obat (Supraptia

et al., 2014).

Tabel I. Karakteristik Pasien Hipertensi di

Puskesmas Mergangsan Yogyakarta periode

Februari-Maret 2016

Karakteristik Kategori ∑ %

Jenis Kelamin Perempuan 88 72,2

Laki-laki 34 27,8

Usia ( tahun ) 18-39 4 3,2

40-59 27 22,1

≥60 91 74,6

Pada tabel I terdapat 88 pasien

perempuan dan 34 pasien laki-laki. Dari

data diatas dapat dilihat bahwa perempuan

lebih banyak menderita hipertensi

dibandingkan laki-laki. Pada penelitian

Ramli 2013, dari 23 responden yang

terdiagnosis hipertensi yang berjenis

kelamin laki-laki adalah sebanyak 10

orang atau 43,5%. Pada survei dari badan

kesehatan nasional dan penelitian nutrisi

melaporkan hipertensi lebih

mempengaruhi wanita dibanding pria.

Diagnosis lain yang menyertai penyakit

hipertensi yang paling banyak dialami oleh

pasien di Puskesmas Mergangsan pada

periode Februari-Maret 2016 adalah

Hiperlipid dan Diabetes Melitus.

Penelitian ini sama halnya dengan

penelitian Davila et al. (2008) yang

menjelaskan bahwa penyakit lain yang

paling umum dijumpai pada pasien

hipertensi adalah gangguan metabolisme

lipid dan diabetes melitus, karena kedua

penyakit ini berpengaruh terhadap tekanan

darah pasien.

Pada penelitian ini golongan obat

antihipertensi yang digunakan adalah

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

187

diuretik, Angiotensin Converting Enzym

Inhibitor (ACEI) dan Calcium Channel

Blocker (CCB). Jenis dan jumlah obat dari

masing-masing golongan dapat dilihat

pada tabel II.

Tabel II. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Pada

Pasien Hipertensi di Puskesmas Mergangsan

Yogyakarta Periode Februari-Maret 2016 Variasi Golongan

Obat

Jenis

Antihipertens

i

∑ Pasien

N %

Monoterapi CCB

ACEI

Amlodipin

Captopril

104

4

85,2

3,3

Kombinasi 2 antihipertensi

CCB – ACEI

CCB – Diuretik

Amlodipin – Captopril

Amlodipin –

HCT Amlodipin –

Furosemid

Captopril – Furosemid

1

7

0,8

5,8

3,3

0,8

4

ACEI –Diuretik 1

Kombinasi 3 antihipertensi

CCB – Diuretik – Diuretik

Amlodipin – HCT –

Furosemid

1 0,8%

Total 122 100

Keterangan :

ACEI : Angiotensin Converting Enzym Inhibitor

CCB : Calcium Channel Blocker

HCT : Hidroklortiazid

Diketahui obat antihipertensi

tunggal lebih banyak digunakan yaitu

sebanyak 88,5% dibandingkan obat

antihipertensi kombinasi (Tabel II).

Antihipertensi tunggal utamanya

digunakan obat golongan Calcium

Channel Blocker (CCB) yaitu amlodipin

(85,2%) dan antihipertensi kombinasi

antara amlodipin dengan hidroklortiazid.

Penggunaan amlodipin sekali sehari dapat

meningkatkan kepatuhan pasien untuk

mengkonsumsi obat (Tambuwun et al.,

2015). Kombinasi 2 obat antihipertensi

amlodipin dengan Hidroklortiazid (HCT)

lebih menguntungkan untuk dipilih

sebagai obat antihipertensi yang tekanan

darah pasiennya tidak terkontrol

(Supraptia et al., 2014). Amlodipin

memiliki kemampuan memperbaiki efek

vasokontriksi vasa eferen arteri ginjal,

hiperplasi dan hipertrofi pembuluh darah

akibat induksi angiostensin II, sehingga

efektif untuk proteksi terhadap penyakit

ginjal, jantung dan penyakit pembuluh

darah (Kabo, 2011). Pemilihan kombinasi

obat antihipertensi sebaiknya dipilih dari

golongan obat yang berbeda dan dimulai

dari dosis yang lebih rendah. Terapi

kombinasi ini dimulai apabila pemakaian

terapi tunggal dengan dosis lazim gagal

mencapai target tekanan darah (Muchid et

al., 2006).

B. Identifikasi Drug Related Problems

(DRPs)

Kejadian DRPs yang dianalisis

meliputi indikasi yang tidak diterapi, terapi

obat yang tidak perlu, pemilihan obat tidak

tepat atau obat salah, dosis terlalu rendah,

reaksi obat merugikan, dosis terlalu tinggi,

dan kegagalan dalam menerima

obat/kepatuhan pasien. Drug Related

Problems kategori kegagalan dalam

menerima obat atau kepatuhan pasien tidak

dimasukkan dalam penelitian ini karena

subyek dalam penelitian ini diambil secara

retrospektif dengan menggunakan data

rekam medik, sehingga tidak

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

188

dimungkinkan untuk mengukur kepatuhan

pasien karena tidak bertemu pasien secara

langsung untuk melakukan wawancara

kepada pasien guna menilai kepatuhan

penggunaan obatnya. Diketahui terdapat

34 kejadian atau 27,8% yang mengalami

Drug Related Problems (DRPs) dari 122

pasien tersebut. Evaluasi Drug Related

Problems (DRPs) dapat dilihat pada tabel

III.

Tabel III. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

pada pasien hipertensi di Puskesmas Mergangsan

Yogyakarta periode Februari-Maret 2016

No Kategori Drug Related

Problems

Jumlah %

1. Indikasi yang tidak diterapi 8 6,5

2. Terapi obat tidak perlu 0 0

3. Pemilihan obat tidak tepat 0 0

4. Dosis terlalu rendah 4 3,3

5. Reaksi obat merugikan 22 18

6. Dosis terlalu tinggi 0 0

Total 34 27,8

1. Kategori Indikasi yang tidak

diterapi

Pada penelitian ini, berdasarkan

JNC VII pemilihan pengobatan

berdasarkan klasifikasi hipertensi pasien.

Hipertensi stage II membutuhkan terapi

kombinasi untuk mencapai tekanan darah

<140/90 mmHg untuk pasien tanpa

komplikasi penyakit lain dan <130/80

mmHg untuk pasien dengan adanya

komplikasi penyakit lain. Kombinasi

dengan dua golongan obat yang berbeda

diharapkan mampu menurunkan tekanan

darah secara efektif dari efek sinergis antar

obat dan dengan dosis obat yang lebih

rendah sehingga dapat meminimalkan efek

samping bagi pasien (Chobanian et al.,

2003). Hal ini berbeda dengan pemilihan

obat berdasarkan JNC VIII, dimana

perlunya tambahan terapi obat

antihipertensi pada pasien dikarenakan

pasien hipertensi dengan komplikasi

penyakit lain yaitu diabetes melitus dan

pada pasien lanjut usia. Selain itu, tekanan

darah pasien tersebut tidak terkontrol

dilihat dari pemeriksaan tekanan darah

sebelumnya.

Tabel IV. Kejadian Drug Related Problems

Kategori Indikasi yang tidak diterapi No.

Pasien

Umur

(tahun

)

Tekana

n Darah

(mmHg

)

Keterangan Jumlah

Pasien

JNC VII JNC VIII N %

3

17

69

88

63

81

170/90

160/100

160/90

Pasien hanya

mendapatkan

monoterapi obat,

padahal pasien

termasuk

hipertensi stage II

dengan

komplikasi DM.

Pasien

membutuhkan

kombinasi terapi

antihipertensi agar

target tekanan

darah tercapai

(<130/80)

Pasien dengan

komplikasi

penyakit lain yaitu

DM dan umur

pasien >60 tahun.

Selain itu tekanan

darah pasien tidak

terkontrol dengan

monoterapi obat

antihipertensi.

Maka

membutuhkan

kombinasi terapi

obat antihipertensi

untuk mencapai

target tekanan

darah <140/90

mmHg.

3 33,

3

27

61

80

100

119

64

69

54

64

43

160/100

180/90

170/100

170/90

180/990

Pasien hanya

mendapatkan

monoterapi obat,

padahal pasien

termasuk

hipertensi stage II

tanpa komplikasi

DM. Pasien

membutuhkan

kombinasi terapi

agar target

tekanan darah

tercapai

(<140/90mmHg)

Pasien tanpa

komplikasi

penyakit DM

dengan tekanan

darah tidak

terkontrol dengan

monoterapi obat

antihipertensi.

Maka butuh

kombinasi obat

golongan lain agar

target tekanan

darah tercapai yaitu

<150/90 mmHg

untuk pasien umur

>60 tahun dan

<140/90mmHg

untuk pasien umur

<60 tahun.

5 66,

7

Total DRPs Kategori Kategori Indikasi yang tidak diterapi 8 100

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

189

2. Kategori Dosis Obat Terlalu

Rendah

Penggunaan obat dengan dosis

terlalu rendah dapat menyebabkan tidak

tercapainya outcome terapi yang

diinginkan. Jumlah kejadian DRPs pada

dosis yang terlalu rendah dapat dilihat

pada tabel V. Berdasarkan tabel tersebut

dapat diketahui bahwa jumlah kejadian

DRPs kategori dosis obat terlalu rendah

sebanyak 4 kejadian

Tabel V. Kejadian Drug Related Problems

Kategori Dosis Obat Terlalu Rendah No.Pasien Nama

Obat

Dosis

Penggunaan

Dosis

Standar

∑Pasien

N %

9,15, 88, 93

Kaptopril 2 x 12,5 mg 2-3 x 25 mg 3 x 12,5 mg

4 100

Total DRPs Kategori Dosis Obat Terlalu Rendah 4 100

Dosis kaptopril berdasarkan Drug

Information Handbook (DIH) adalah 25

mg 2-3 kali sehari atau untuk dosis awal

yang lebih rendah yaitu 12,5 mg 3 kali

sehari. Kisaran dosis menurut JNC VII

adalah 25-100 mg perhari dalam 2 dosis

terbagi. Pada penelitian ini pasien

mendapatkan kaptopril dengan dosis 12,5

mg 2 kali sehari. Maka seharusnya dosis

kaptopril dinaikkan untuk dapat

menurunkan tekanan darah sehingga target

terapi dapat tercapai. Dosis terlalu rendah

apabila dosis, frekuensi, dan durasi

pengobatan yang diberikan pada pasien

dengan kekuatan lebih rendah di bawah

dosis lazim berdasarkan standar Drug

Information Handbook. Dosis obat

tergantung pada masing-masing individu

karena perbedaan individual terhadap

respon obat tidak selalu dapat diperkirakan

(Joenoes, 2004). Pemberian obat dengan

dosis yang terlalu rendah berisiko

menyebabkan kegagalan dalam terapi dan

dapat menyebabkan kadar obat dalam

darah dalam keadaan subterapetik

(Kazouni et al., 2011).

3. Reaksi Obat Merugikan

Kategori reaksi obat merugikan

meliputi pasien mengalami alergi terhadap

obat, pasien yang berisiko apabila

penggunaan obat yang terlalu berbahaya

bila digunakan, dan efek obat berubah

karena induksi/inhibisi enzim oleh obat

lain atau terjadinya interaksi obat (Cipolle

et al., 1998). Pada penelitian ini yang

termasuk reaksi obat yang merugikan

adalah karena adanya efek obat berubah

karena induksi/inhibisi enzim oleh obat

lain atau terjadinya interaksi obat.

Penelitian ini menemukan 5 kasus

interaksi obat dari 22 total kejadian (Tabel

V). Dari 5 kasus tersebut, kasus dengan

kejadian terbanyak terdapat pada kasus

interaksi obat antara amlodipin dengan

simvastatin dengan persentase 68,2%.

Menurut lexicomp online tingkat risiko

interaksi antara obat amlodipin dengan

simvastatin adalah D. Tingkat risiko D ini

menunjukkan modifikasi kedua obat perlu

dipertimbangkan lagi. Hal ini dikarenakan

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

190

amlodipine dapat meningkatkan

konsentrasi serum simvastatin.

Tabel VI. Kejadian Drug Related Problems

Kategori Reaksi Obat Merugikan No.

Pasien

Interaksi

Obat

Tingkat

Resiko

Keterangan ∑Pasien

N %

76 Amlodipin -

Antasida

C Antasida

menurunkan efek CCB

1 4,5

20, 26,

55, 68

Amlodipin -

Ketokonazol

D Agen antifungi

dapat

meningkatkan efek toxic dari

CCB

4 18,2

39 HCT – Allopurinol

C Diretik thiazid meningkatkan

potensi alergi

atau hipersensitivitas

terhadap

allopurinol dan meningkatkan

konsentrasi

serum allopurinol

(meningkatkan

konsentrasi Oxypurinol

yaitu metabolit

aktif dari

allopurinol)

1 4,5

36 Amlodipin –

Fenitoin

D Amlodipin

dapat meningkatkan

efek toxic dari

fenitoin

1 4,5

5, 6, 19, 22,

25, 31,

34, 35, 58, 60,

63, 65,

71, 72, 73

Amlodipin - Simvastatin

D Amlodipin menghambat

metabolisme

simvastatin melalui

intestinal dan

hati

15 68,2

Total DRPs Kategori Reaksi Obat Merugikan 22 100

Keterangan :

A = Interaksi tidak diketahui

B = Tidak ada tindakan yang diperlukan

C = Terapi perlu dipantau

D = Pertimbangkan modifikasi terapi

X = Hindari kombinasi

Amlodipin dengan statin sama-

sama dimetabolisme oleh enzim CYP3A4.

Amlodipin menghambat metabolisme

simvastatin melalui intestinal dan hati

sehingga menyebabkan meningkatnya

konsentrasi puncak dari HMG-CoA

reduktase inhibitor. Beberapa penelitian

menyebutkan interaksi tersebut

menyebabkan rhabdomyolysis (Nishio et

al., 2005). Kadar statin yang tinggi

dikaitkan dengan peningkatan risiko

toksisitas musculoskeletal. Miopati

dinyatakan sebagai nyeri otot atau

kelemahan yang terkait dengan terlalu

tingginya kreatinin kinase yang melebihi

sepuluh kali batas normal. Apabila

simvastatin tetap ingin digunakan

management yang dapat dilakukan adalah

penggunaan simvastatin tidak melebihi

dosis 20 mg sehari. Alternatif yang lebih

aman untuk pasien yang menerima

amlodipin adalah dengan pemberian obat

lain seperti fluvastatin, pravastatin dan

rosuvastatin, karena obat-obat tersebut

tidak dimetabolisme oleh CYP450 3A4

dengan mempertimbangkan risk and

benefit (Nishio et al., 2005). Pada

penelitian ini dosis simvastatin yang

diberikan adalah 10 mg 1 kali sehari

sehingga masih aman digunakan untuk

pasien dengan pengggunaan obat

amlodipin.

Antasida dapat menurunkan efek

terapi CCB. Tingkat risiko interaksi antara

kedua obat ini adalah C. Jika obat dengan

tingkat risiko interaksinya C maka

management terapi yang dapat dilakukan

adalah perlu pemantauan terapi obat yang

diberikan. Selain itu antasida juga dapat

berinteraksi dengan kaptopril, dimana

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

191

antasida dapat menurunkan konsentrasi

serum kaptopril. Interaksi antara

penghambat ACE dan antasida merupakan

interaksi dengan mekanisme yang

melibatkan aspek farmakokinetika dari

obat. Bioavailabilitas penghambat ACE

menurun pada pemakaian bersama

makanan atau antasida yang menyebabkan

perlambatan pengosongan lambung dan

peningkatan pH lambung (Shionoiri,

1993). Management terapinya adalah

dengan memberi selang waktu minum 2

jam atau lebih pada kedua obat.

Interaksi obat yang lainnya adalah

interaksi antara amlodipin dengan

ketokonazole. Ketokonazole dapat

meningkatkan konsentrasi plasma

amlodipin melalui penghambatan intestinal

dan enzim CYP450 3A4 (DIH ed

22th

).Management terapi yang dapat

dilakukan yaitu monitoring pasien

terhadap efek toxic yang dapat timbul dari

CCB (amlodipin) serta memonitoring

tekanan darah secara berkala (Opie, 2012).

Diuretik thiazid (HCT) dapat

meningkatkan potensi alergi atau

hipersensitivias terhadap allopurinol.

Diuretik thiazid juga dapat meningkatkan

konsentrasi serum allopurinol

(meningkatkan konsentrasi Oxypurinol

yaitu metabolit aktif dari Allopurinol).

Hindari kombinasi terapi antara HCT

dengan allopurinol. Bila tetap akan

digunakan secara bersamaan, pastikan

untuk dapat memonitoring ketat pasien

mengenai gejala hipersensitivitas

allopurinol.

Fenitoin dengan amlodipin dapat

terjadi interaksi yaitu amlodipin dapat

meningkatkan efek toxic dari fenitoin

(DIH ed 22th

). Tingkat risiko interaksi

kedua obat adalah D. Oleh karena itu perlu

dipertimbangkan penggunaan amlodipin

dengan fenitoin jika terjadi peningkatan

cepat efek toxic dari fenitoin. Selain itu

perlu monitoring tekanan darah pasien jika

obat digunakan secara bersamaan.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1. Penggunaan obat antihipertensi pada

pasien hipertensi di puskesmas

Mergangsan Yogyakarta periode

Februari-Maret 2016 adalah terdapat

penggunaan obat monoterapi yaitu

amlodipin 104 pasien (85,2%) dan

kaptopril 4 pasien (3,3%). Terapi

kombinasi 2 obat yaitu amlodipin –

kaptopril 1 pasien (0,8%), amlodipin –

HCT 7 pasien (5,8%), amlodipin –

furosemid 4 pasien (3,3%) dan

kaptopril – furosemid 1 pasien (0,8%).

Terapi kombinasi 3 obat antihipertensi

yaitu amlodipin – HCT – furosemid 1

pasien (0,8%).

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

192

2. Dari 122 pasien yang dievaluasi Drug

Related Problems (DRPs) terdapat 34

kejadian yang mengalami DRPs atau

27,8%. Evaluasi DRPs adalah sebagai

berikut : indikasi yang tidak diterapi

sebanyak 8 (6,5%), dosis obat terlalu

rendah 4 (3,3%), dan timbulnya reaksi

obat merugikan atau terjadinya

interaksi obat sebanyak 22 (18%)

kejadian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, Data Global Status Report

on Communicable Diseases 2010,

WHO

Anonim, 2013,Riset Kesehatan Dasar,

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

Chobanian, Aram V., George, L.B., Henry,

R.B., William, C.C., Lee, A.G.,

Joseph, L. I., Daniel, W.J., Barry,

J.M., Suzanne, O., Jackson, T.W.,

2003,The Seventh Report of the Joint

National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Preassure,

The JNC 7 Report. USA: American

Medical

Association,http://www.ncbi.nih.gov

./pubmed/14676222). Diakses 21

Mei 2016

Cipolle, R.J. Strand. L. M. Morley, P. C,

1998,Pharmaceutical Care Practise,

The Mac Graw Hill Companies,

New York.

Davila, E.P., dan Wayway, M.H., 2008,

Comorbidities of Patients with

Hypertension Admitted to

Emergency Departments in Florida

Hospital, Florida Public Health

Review. 5: 84-89.

Fitriani, Ratih, 2007,Identifikasi Drug

Related Problems (DRPs) Kategori

Kontraindikasi dan Ketidaktepatan

Dosis Obat Pada Pasien Hipertensi

Geriatri Di Instalasi Rawat Inap

RSUD Dr. Mowardi Surakarta,

Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas

Muhammadiyah Surakarta,

Surakarta.

Gumi, V.C., Larasanty, L.P.F., Udayani,

N.N.W., 2013, Identifikasi Drug

Related Problems Pada Penanganan

Pasien Hipertensi Di UPT

Puskesmas Jembrana, Skripsi,

Jurusan Farmasi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Udayana, Bali.

James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman

WC, Himmelfarb CD, Handler J,

2014, Evidence based guideline for

the management of high blodd

pressure in adults: report from the

panel member appointed to the

height joint national committee (JNC

8), JAMA, 311 (5): 507-520 .

Joenoes, N., 2004, Ars Prescribendi Resep

Yang Rasional II, Airlangga

University Press, Surabaya.

Kabo, P., 2011,Bagaimana Menggunakan

Obat-Obat Kardiovaskuler Secara

Rasional, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta.

Kazouni, A., Mohammed, B. S., Simpson,

C.R., Helms, P.J., dan McLay, J.S.,

2011, Paracetamol prescribing in

primary care: too little and too

much? British Journal of Clinical

Pharmacology, 72: 500-504.

Lacy C. F., Armstrong L. L., Goldman M.

P., Lance L. L., 2013, Drug

Information Handbook ed 22th

, Lexi-

Comp Inc., Ohio.

Muchid, Abdul., Umar, F., Chusun.,

Masrul., Wurjati, R., Purnama, N.R.,

Lestari, S.B., Syamsuddin, F.,

Pamela, D.S., Retnohidayanti, D.,

2006,Pharmacceutical untuk

penyakit hipertensi, Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193

Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin

ISBN: 978-602-73121-1-1

193

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan Departemen kesehatan,

Jakarta.

Nishio, S., Watanabe, H., Kosuge, K.,

Uchido, S., Hayashi, H., dan Ohashi,

K., 2005,Interaction Between

Amlodipin dan Simvastatin in

patient with Hypercholesterolemia

and Hypertension, Departement of

Clinical Pharmacology and

Therapentics and Departemen of

Internal Medicine III, Hamamatsu

University School of Medicine,

Hamamatsu, Japan, 28 : 223-227 .

Opie, L.H., 2012, Drug Interactions of

Antihypertensive Agents,South

African Family Practile, 54: S23-

S25.

Ramli, Dewi Adinda Nurfitri,

2013,Hubungan Faktor Resiko

Penyakit Hipertensi dengan

Timbulnya Nyeri Tengkuk Pada

lansia Di Puskesmas Jongaya

Makassar,Skripsi, Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Shionoiri, H., 1993, Pharmacokinetics

drug interaction with ACE

inhibitors, Clin Pharmaconet 25: 1,

20-58. PMID : 8354016.

www.medscape.com/medline.

Diakses tanggal 21 Mei 2016.

Supraptia, B., Nilamsari, W., Hapsari, P.,

Muzayan, H., dan Firdausi, H., 2014,

Permasalahan terkait obat

antihipertensi pada pasien usia lanjut

di poli geriatri RSUD Dr. Soepomo,

Surabaya,Jurnal Farmasi dan Ilmu

Kefarmasian indonesia, 1: 36-41.

Tambuwun, P.G., Suling, P.L., dan

Mintjelungan, C.N., 2015, Gambaran

Keluhan Di Rongga Mulut Pada

Pengguna Obat Antihipertensi Di

Poliklinik Penyakit Dalam Rumah

Sakit Tingkat III Robert Wolter

Monginsidi Manado. e-GIGI, 3: 241-

245.