farmasi.ulm.ac.idfarmasi.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/Prosiding-Seminar-Nasional-2016.pdf ·...
Transcript of farmasi.ulm.ac.idfarmasi.ulm.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/Prosiding-Seminar-Nasional-2016.pdf ·...
ISBN 9
PROSPEK PERKEMBANGAN PRODUK HALALDAN AMAN PADA OBAT, MAKANAN, DAN KOSMETIK
PROSIDINGSEMINAR NASIONAL KEFARMASIAN 2016
HOTEL ARIA BARITOBA\.lAR\lASIN
8 OKTOBER 2015
PS FARf\TA!IFAK U LTAS MATEMAT$(&.OANILMU PENGETAHUAF6 At&M[I{IY} f, $IIAS I,A iI BU ri G il[*GT3*'I
i
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
“Prospek Perkembangan Produk Halal dan
Aman pada Obat, Makanan, dan Kosmetik”
Sabtu 8 Oktober 2016 di Hotel Aria Barito Banjarmasin
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Copyright @ 2016
ISBN : 978-602-73121-1-1
Penulis:
Tim Penulis
Reviewer:
Dr. Sutomo, M.Si., Apt
Khoerul Anwar, M.Sc., Apt
Editor:
Muhammad Ikhwan Rizki, M.Farm., Apt
Penyuting:
M. Achrizal Haq
Diterbitkan oleh:
Program Studi Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat
Alamat Penerbit:
Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selata Telp. (0511) 4773112
www.farmasi.unlam.ac.id
ii
SUSUNAN KEPANITIAAN:
Ketua Panitia
M. Ikhwan Rizki, M. Farm., Apt.
Wakil Ketua
Muhammad Rafi
Sekretaris dan Registrasi
Fadlilaturrahmah, M.Sc., Apt.
Isni Munisa
Karina Ulya Afifa
Gabriella Stivani
Bendahara
Valentina Meta Srikartika, M.PH., Apt.
Nuraina Mardiah
Seksi Acara
Mia Fitriana, M.Si. Apt.
Rollah M. Arasyi Hasan
Perlengkapan
M. Aldhi Ashshiddiqi
Publikasi dan Dokumentasi
M. Achrizal Haq
Dana dan Sponsorship
Wildasari Safitri
Seksi Konsumsi
Lisda Noorsyifa
Hubungan Masyarakat
Adriana Sri Rejeki H.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’aalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT. Semua atas izin-Nya, sehingga buku prosiding ini dapat selesai.
Prosiding ini merupakan kumpulan publikasi oral dan poster pada Seminar Nasional
Kefarmasian dengan tema “Prospek Perkembangan Produk Halal dan Aman pada
Obat, Makanan, dan Kosmetik” pada 8 Oktober 2016 di Hotel Aria Barito
Banjarmasin.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang ikut terlibat dalam membantu penyelesaikan prosiding ini, baik dalam memberi
saran atau masukkan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada para peneliti yang
bersedia untuk artikel penelitiannya diterbitkan pada prosidinng ini.
Kami menyadari bahwa prosiding ini jauh dari kesempurnaan. Kami berharap
mendapat banyak masukkan dan kritikan untuk menjadikan lebih baik. Semoga buku
ini bermanfaat bagi kita semua.
Banjarbaru, Oktober 2016
Tim Penulis,
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................... i
Kepanitiaan........................................................................................................ ii
Kata Pengantar.......................................................................................................... iii
Daftar Isi........................................................................................................................ iv
Studi in silico Metabolit Sekunder Brucea javanica sebagai Inhibitor EGFR
Mutan T790M-L858R-V948R
Mohammad Rizki Fadhil Pratama................................................................................
1-14
Penyusunan HACCP Plan Produksi Bakso Ikan di UKM Pangasius
Hypopthalmus NUA Banjarbaru
Ricca Mailinda Sari, Alia Rahmi, dan Susi..................................................................
15-24
Persepsi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Unit 1
Yogyakarta Terhadap Kualitas Obat Generik Ditinjau dari Dimensi
Nurul Mardiati, Sampurno, Chairun Wiedyaningsih..................................................
25-39
Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Daerah Ulin Banjarmasin
Mochammad Maulidie Alfiannor Saputera, Ratih Pratiwi Sari....................................
40-44
Analisis Kuantitatif Kadar Asam Lemak Bebas Dalam Minyak Goreng Bekas
di Kecamatan Banjarmasin Utara
Amaliyah Wahyuni.......................................................................................................
45-51
Analisis Hubungan Karakteristik Terhadap Persepsi Pasien Diabetes Mellittus
Tipe 2 Di RSUD Ratu Zalecha Martapura
Eka Agustya Muliastuti, Difa Intannia.........................................................................
52-57
Review: Aktivitas Antihipertensi Tumbuhan Obat dan Prediksi Mekanisme
Kerjanya
Dyah Retno Widyastuti, Muhammad Ikhwan Rizki..................................................
58-73
Optimasi Konsentrasi Pelarut Etanol Terhadap Rendemen dan Total
Flavonoid Ekstrak Daun Gaharu (Aquillaria microcarpa Baill.)
Destria Indah Sari, Liling Triyasmono........................................................................
74-78
Optimasi Formula Gel Spermisida Ekstrak Kulit Kayu Durian (Durio
zibethinus Murr.) dengan Variasi Konsentrasi HPMC dan Gliserin Metode
Simplex Lattice Design
Nani Kartinah, Rizki Hardianti, Mia Fitriana, Anni Nurliani.....................................
79-86
Studi Farmakognostik dan Uji Parameter Nonspesifik Ekstrak Metanol Daun
Kasturi (Mangifera casturi Kosterm.)
Sutomo, Nadya Agustina, Arnida, Fadilaturrahmah..................................................
87-93
Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Infusa Akar Manuran
v
(Coptosapelta tomentosa Valeton Ex K. Heyne) Asal Kotabaru Kalimantan
Selatan
Arnida, Ratih Purnama Putri, Fadlilaturrahmah, Sutomo..........................................
94-98
Pengaruh Tingkat Pengetahuan Keluarga dan Pola Pengobatan Terhadap
Kepatuhan Pengobatan Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJ
Sambang Lihum Banjarbaru
Eriza Nur Aq Liny, Valentina Meta Srikartika, Herningtyas Nautika Lingga...........
99-105
Adsorpsi Zat Warna Limbah Cair Batik Kalteng Menggunakan Komposit
Magnetik Berbasis Bahan Alam
Retno Agnestisia, Deklin Frantius................................................................................
106-113
Gambaran karakteristik bentuk dan ukuran sel darah Ikan timpakul
(Periopthalmodon schlosseri)
Hidayaturrahmah, Heri Budi Santoso, Muhamat, Annisa Widyastuty......................
114-125
Efek Hipoglikemik Ekstrak Metanol Daun Gaharu (Aquilaria microcarpa
Baill.) Pada Tikus Jantan Yang Diinduksi Aloksan
Mega Permata Sari, Nurlely, Noor Cahaya, Mustofa.................................................
126-131
Pengaruh Pemberian Kurkumin Per Oral Dengan Selang Waktu
Terhadap Profil Farmakokinetika Eritromisin
Noor Cahaya, Abshar Fariz, Destria Indah Sari...........................................................
132-144
Formulasi Emulgel yang Mengandung Ekstrak Etanol Kulit Batang Bangkal
(Nauclea subdita) Sebagai Tabir Surya
Dina Rahmawanty, Dian Fatmawati, Fadlilaturrahmah............................................
145-152
Penentuan Kadar Fenolik Total, dan Flavonoid Total, serta
AktivitasAntioksidan Ekstrak Etanol Biji Tiga Spesies Tanaman Penghasil
Gaharu: Aquilaria microcarpa, Aquilaria malacensis, dan Aquilaria beccariana
Beny Rahmanto, Wawan Halwany, Fajar Lestari, Khoerul Anwar, Liling
Triyasmono, Muhammad Ikhwan Rizki, Destria Indah Sari....................................
153-160
Karakteristik Fisikokimia Dispersi Padat Ofloksasin Dengan Pembawa PEG
6000 dalam Sistem Biner dan Terner
Prima Happy Ratnapuri, Suwaldi, Akhmad Kharis.....................................................
161-167
Prevalensi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Stroke Yang Dirawat di Sebuah
Rumah Sakit di Kota Tasikmalaya
Ajeng Nilla Anindi, Ilham Alifiar................................................................................
168-175
Formulasi dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Gambir
Lutfi Chabib, Oktavia Indrati, Muhammad Ikhwan Rizki.......................................
176-182
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas
Mergangsan Yogyakarta
Andriana Sari, Haafizah Dania, Dian Retno Palupi.................................................
183-193
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
Studi in silico Metabolit Sekunder Brucea javanica sebagai Inhibitor EGFR Mutan T790M-L858R-
V948RMohammad Rizki Fadhil Pratama
Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Email : [email protected]
Abstrak Brucea javanica diketahui memiliki banyak metabolit sekunder dengan beragam
aktivitas, seperti antimalaria, antimikroba, maupun antikanker. Ekstrak Brucea javanica diketahui dapat menghambat perkembangan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Salah satu penyebab terjadinya NSCLC adalah mutasi pada Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR), suatu reseptor epidermal yang meregulasi proses proliferasi sel. Mutasi pada EGFR terutama pada posisi T790M, L858R dan V948R adalah salah satu penyebab overproliferasi pada sel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis metabolit sekunder dari Brucea javanica dengan potensi paling besar sebagai inhibitor EGFR mutan T790M-L858R-V948R. Metode yang digunakan adalah molecular docking beberapa metabolit sekunder Brucea javanica terhadap EGFR mutan T790M-L858R-V948R, dengan bruceajavanin A menunjukkan energi bebas ikatan paling negatif dan konstanta inhibisi paling kecil, secara berturut-turut sebesar -9,93 kcal/mol dan 52,67 nM. Bruceajavanin A menunjukkan afinitas lebih tinggi pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R dibandingkan EGFR wild type, dimana interaksi pada asam amino posisi 790-800 terutama pada 795-Phe memiliki pengaruh penting terhadap afinitas bruceajavanin A. Hasil tersebut memberikan prediksi bahwa bruceajavanin A memiliki aktivitas sebagai inhibitor EGFR mutan T790M-L858R-V948R dan memiliki potensi untuk dikembangkan pada terapi NSCLC. Kata kunci : Brucea javanica, bruceajavanin A, docking, EGFR, NSCLC
Abstract Brucea javanica was known for have many secondary metabolites with various
activities such as antimalarial, antimicrobial, or anticancer. Brucea javanica extract was known for inhibits development of Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). One of the causes of NSCLC is mutations in Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR), an epidermal receptors that regulates cell proliferation processes. Mutations in EGFR mainly on position T790M, L858R and V948R is one of causes of overproliferation cell. The present study aims to determine the most potent secondary metabolites of Brucea javanica as EGFR mutan T790M-L858R-V948R inhibitor, with bruceajavanin A provide most negative free energy of binding and lowest inhibition constants -9.93 kcal/mol and 52.67 nM, respectively. Bruceajavanin A show higher affinity towards EGFR mutan T790M-L858R-V948R than EGFR wild type, with interactions at position 790-800 particularly on 795-Phe had important influences towards affinity of bruceajavanin A. This results predicted that bruceajavanin A has activity as EGFR mutan T790M-L858R-V948R inhibitor and should be potential to be developed as NSCLC therapy. Keywords : Brucea javanica, bruceajavanin A, docking, EGFR, NSCLC
1
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
I. PENDAHULUAN
Eksplorasi aktivitas terapeutik dari
Brucea javanica atau Buah Makasar telah
dilakukan sejak pertengahan 1900-an dan
masih terus diteliti efek-efek baru dari
bermacam metabolit sekunder tumbuhan
tersebut. Berbagai aktivitas dari ekstrak
maupun fraksi aktif dari B. javanica yang
telah diketahui diantaranya adalah sebagai
antimalaria (Kitagawa et al., 1994; Wagih
et al., 2008), antiparasit (Nakao et al.,
2009), antimikroba (O’Donnel & Gibbons,
2007; Widyantoro, 2014), antioksidan
(Widyantoro, 2014), antipiretik (Wagih et
al., 2008), dan antikanker (Kitagawa et al.,
1994; Chen et al., 2016; Liu et al., 2016;
Nakao et al., 2009; Wagih et al., 2008).
Terkait aktivitas antikanker, ekstrak B.
javanica menunjukkan aktivitas pada
berbagai jenis sel kanker, seperti kanker
paru (Ji et al., 2015; Ren et al., 2010),
kanker usus besar, kanker rongga mulut,
kanker prostat (Alves et al., 2014), kanker
payudara (Kumala et al., 2009), kanker
hati, kanker pankreas, dan kanker lambung
(Chen et al., 2016).
Pada kanker paru, kombinasi
ekstrak etanol B. javanica dan cantharidin
menunjukkan perbaikan tingkat kualitas
kehidupan yang ditandai dengan
penurunan laju perkembangan sel kanker
dan penurunan efek samping terapi (Ji et
al., 2015). Sediaan dari ekstrak B. javanica
sendiri telah dikembangkan dan hasilnya
diketahui dapat meningkatkan efektifitas
senyawa antikanker lain 1,6 kali lebih baik
(Liu et al., 2016) dan tahap pengujiannya
telah melalui pengujian fase II (Lu et al.,
2013). Ekstrak daun B. javanica sendiri
memiliki LD50 pada mencit jantan dan
betina sebesar 1003,65 mg/kgBB yang
menunjukkan tingkatan toksisitas “mild”
untuk pemberian secara oral, yang
memungkinkan untuk dikembangkan
sebagai bahan obat (Angelina et al., 2012).
Kanker paru sendiri
diklasifikasikan menjadi Non-Small-Cell
Lung Cancer (NSCLC), Small-Cell Lung
Cancer (SCLC), serta tumor neuro-
endokrin, yang mana kasus NSCLC
menjadi kasus kanker paru paling sering
terjadi hingga 85% dari keseluruhan kasus
(Alves et al., 2014; Jorge et al., 2014).
Kanker paru bahkan diperkirakan menjadi
penyebab kematian lebih dari 158.000
orang di amerika serikat pada tahun 2016,
menjadikan kanker paru sebagai jenis
kanker paling mematikan di amerika
serikat, lebih banyak dibandingkan
kombinasi jumlah kematian kanker usus
besar, kanker payudara, kanker prostat,
dan kanker pankreas (Siegel et al., 2016).
Meskipun diketahui bahwa
merokok merupakan salah satu faktor
utama penyebab kanker paru, sebanyak
15-20% dari penderita kanker paru
2
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 diketahui tidak pernah merokok. Hal
tersebut memberikan petunjuk bahwa
faktor pencetus kanker paru tidak hanya
eksternal namun juga internal (Kuykendall
& Chiappori, 2014). Salah satu faktor
genetik yang diketahui menjadi salah satu
penyebab kanker paru adalah terjadinya
kelainan pada Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) (Jorge et al., 2014).
EGFR merupakan reseptor
epidermal yang terdapat pada permukaan
hampir seluruh sel tubuh dan berperan
sebagai regulator keseimbangan jumlah sel
dalam tubuh. Peran utama dari EGFR
adalah dalam proses cascade signalling
proliferasi sel melalui jalur Mitogen-
Activated Protein Kinase (MAPK). EGFR
menstimulasi proliferasi sel yang
dibutuhkan dalam proses regenerasi sel
tubuh. Pada kanker, terjadi over-ekspresi
EGFR pada organ-organ seperti paru yang
memicu over-proliferasi sel (Jorge et al.,
2014; Kuykendall & Chiappori, 2014).
Beberapa faktor diketahui menjadi
penyebab over-ekspresi EGFR, salah
satunya adalah mutasi pada asam amino
tertentu dari EGFR. Beberapa jenis mutasi
seperti T790M (Jorge et al., 2014; Sakai et
al., 2013; Suda et al., 2009), L858R, dan
V948R (Cappuzzo, 2014) diketahui
menyebabkan over-ekspresi EGFR serta
resistensi terhadap Small Kinase Inhibitors
(SKIs) seperti gefitinib, erlotinib, dan
afatinib. Mutasi tersebut bahkan menjadi
50% penyebab NSCLC pada penderita
non-perokok (Jorge et al., 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk
memprediksi interaksi antara beberapa
metabolit sekunder dari B. Javanica
dengan EGFR mutan T790M-L858%-
V948R. Ada 22 metabolit sekunder dari B.
Javanica sebagai ligan uji. Hasil dari
penelitian ini akan memberikan prediksi
mengenai jenis metabolit sekunder dari B.
Javanica yang memiliki aktivitas paling
baik sebagai inhibitor EGFR mutan
T790M-L858R-V948R untuk dapat
dikembangkan lebih lanjut sebagai terapi
pada NSCLC.
II. BAHAN DAN METODE
A. Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara in
silico dengan metode molecular docking.
Perangkat keras yang digunakan adalah
Ultrabook ASUS seri A46CB dengan
prosessor Intel core i5-3337U@1,8GHz
dan sistem operasi windows 7 Ultimate
64-bit SP-1.
B. Preparasi Ligan
Ligan yang digunakan adalah
senyawa-senyawa metabolit sekunder dari
Brucea javanica yaitu bruceajavanin A &
B, bruceantine, bruceantinol, bruceine A,
B, C, D, E, F, G, H & I, bruceolide,
3
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 bruceoside A, B, C, D, E & F, brusatol,
dan canthine-6-one. Struktur masing-
masing ligan diskesta menggunakan
software GaussView 3.08 dan dioptimasi
geometri dengan menggunakan Gaussian
03W dari Gaussian, Inc. dengan metode ab
initio Hartree-Fock basis set 3-21G.
Optimasi geometri dilakukan untuk
memperoleh konformasi paling ideal dari
struktur senyawa yang disketsa dan
mendekati bentuk alaminya (Cosconati et
al., 2010).
C. Konversi Ligan
Ligan yang telah dioptimasi
dikonversi dari format .log menjadi format
.pdb menggunakan software OpenBabel
2.3.2 (O’Boyle et al., 2011). Ligan lalu
diberi muatan dan diatur torsinya
menggunakan software AutoDockTools
1.5.6.rc3 (Morris et al, 2009).
D. Preparasi Reseptor
Reseptor yang digunakan adalah
reseptor EGFR mutan T790M-L858R-
V948R (PDB ID 5HG7) dan EGFR wlid
type (PDB ID 5FED). Struktur molekul
reseptor diperoleh website Protein Data
Bank (PDB) http://www.rscb.org.
Reseptor diunduh dalam format .pdb
kemudian dihilangkan bagian yang tidak
digunakan, diberi hidrogen non-polar,
diberi muatan, serta diatur posisi grid box
menggunakan software AutoDockTools
1.5.6.rc3 (Morris et al., 2009).
E. Validasi Reseptor
Reseptor yang akan digunakan
divalidasi terlebih dahulu. Metode yang
digunakan adalah redocking dengan ligan
ko-kristal dari masing-masing reseptor
digunakan sebagai ligan uji. Parameter
pengamatan pada proses validasi adalah
RMSD yang menggambarkan rata-rata
selisih posisi atom hasil redocking dengan
hasil kristalografi. Software docking
cenderung menunjukkan hasil yang sama
dengan hasil kristalografi jika memberikan
nilai RMSD kurang dari 2Å. Semakin
kecil nilai RMSD menunjukkan posisi
ligan hasil docking dengan posisi ligan
hasil kristalografi (Bissantz et al., 2000).
F. Molecular Docking
Program docking yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Autodock 4.2.3
dari The Scripps Research Institute, Inc.
(Morris et al, 2009). Metode yang
digunakan adalah pose selection yaitu
dengan melakukan docking pada bagian
kantung aktif reseptor yang berikatan
dengan ligan pada reseptor hasil
kristalografi (Kontoyianni et al, 2004).
4
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 G. Interpretasi Hasil
Parameter yang diamati untuk
penentuan afinitas ligan terhadap reseptor
adalah energi bebas ikatan (ΔG),
konstanta inhibisi prediksi (ki), residu
asam amino, serta ikatan hidrogen.
Afinitas ligan terhadap reseptor ditentukan
oleh nilai ΔG dan ki. Semakin negatif nilai
ΔG dan semakin kecil nilai ki
menunjukkan afinitas ligan yang semakin
tinggi (Kim & Skolnick, 2007). Ligan uji
dengan residu asam amino dan ikatan
hidrogen yang mendekati ligan alami
menunjukkan kemiripan jenis interaksi
dalam hal ini menggambarkan kemiripan
aktivitas (Cosconati et al, 2010). Ligan
dengan afinitas paling tinggi pada EGFR
mutan T790M-L858R-V948R dilakukan
docking kembali pada EGFR wild type
untuk mengetahui perbedaan afinitas dan
interaksi pada dua jenis EGFR tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seluruh ligan uji disketsa dan
dioptimasi geometri menggunakan metode
Hartree-Fock dengan basis set 3-21G.
Metode tersebut merupakan pendekatan ab
initio dengan tingkat kepercayaan yang
relatif tinggi untuk pengerjaan in silico
meski dibutuhkan waktu yang relatif lebih
lama dibandingkan metode lain (Cosconati
et al., 2010). Struktur 2 dimensi dan 3
dimensi dari seluruh ligan yang digunakan
ditunjukkan pada tabel I.
Tabel I. Struktur 2D dan 3D ligan
Senyawa Struktur 2D Struktur 3D
Bruceajavanin A (BJA)
Bruceajavanin B (BJB)
Bruceantine (BTN)
Bruceantinol (BTL)
Bruceine A (BCA)
Bruceine B (BCB)
Bruceine C (BCC)
Bruceine D (BCD)
Bruceine E (BCE)
Bruceine F (BCF)
5
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
Bruceine G (BCG)
Bruceine H (BCH)
Bruceine I (BCI)
Bruceolide (BLD)
Bruceoside A (BSA)
Bruceoside B (BSB)
Bruceoside C (BSC)
Bruceoside D (BSD)
Bruceoside E (BSE)
Bruceoside F (BSF)
Brusatol (BST)
Canthine-6-one (CTN)
Validasi reseptor dilakukan dengan
metode redocking menggunakan Autodock
4.2.3. Validasi dilakukan pada kantung
aktif dari masing-masing reseptor dengan
posisi ligan hasil kristalografi dijadikan
sebagai acuan penentuan koordinat dan
ukuran dari masing-masing grid box. Hasil
redocking ditunjukkan pada gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. Overlay posisi ligan hasil redocking (warna biru) dan ligan hasil kristalografi (warna merah) pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)
Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa
posisi masing-masing ligan hasil
redocking nyaris bertumpuk dengan posisi
ligan hasil kristalografi. Parameter
pengamatan pada validasi ditunjukkan
pada tabel II.
6
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Tabel II. Hasil validasi reseptor 5HG7
dan 5FED Reseptor 5HG7 5FED RMSD
(Å) 1,505 1,957
ΔG (kcal/mol) -7,59 -7,63
Ki (µM) 2,72 2,55
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val 743-Ala 745-Lys 775-Cys 790-Met 791-Gln
- 793-Met
- 796-Gly 844-Leu 856-Phe
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala 745-Lys
- 790-Thr 791-Gln 792-Leu 793-Met 794-Pro 796-Gly 844-Leu
- Ikatan
Hidrogen 2 0
Koordinat grid box
x=-13,489 y=15,359 z=-25,336
x=-2,124 y=51,583 z=-20,44
Ukuran grid box (Å) 40x40x40 40x40x40
Nilai RMSD pada masing-masing
reseptor tidak ada yang lebih besar dari
2Å, yang menunjukkan bahwa posisi ligan
hasil redocking tidak terlalu jauh dengan
ligan hasil kristalografi (Bissantz et al.,
2000). Selanjutnya seluruh ligan uji
dilakukan docking terhadap reseptor
EGFR T790M-L858-V948R. Hasil
docking ditunjukkan pada tabel III-VIII.
Tabel III. Hasil docking metabolit sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (1)
Ligan BJA BJB BTN BTL ΔG
(kcal/mol) -9,93 -9,64 -8,27 -7,19
Ki (µM) 0,05267 0,08599 0,87240 5,37
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - -
792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- - - -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - -
792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- -
841-Arg -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- - - -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
- 856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- -
841-Arg -
844-Leu -
856-Phe Ikatan
Hidrogen 1 0 2 1
Tabel IV. Hasil docking metabolit
sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (2)
Ligan BCA BCB BCC BCD ΔG
(kcal/mol) -8,08 -8,31 -8,52 -7,01
Ki (µM) 1,2 0,81349 0,56767 7,33
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly
718-Leu 719-Gly
- 723-Phe 726-Val 743-Ala
- - - - - - -
796-Gly
718-Leu - - -
726-Val 743-Ala
- - - -
792-Leu 793-Met
- 796-Gly
7
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
797-Cys - - - -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
- 856-Phe
797-Cys - - - -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
- 856-Phe
797-Cys - - - -
841-Arg -
844-Leu -
856-Phe
797-Cys - - - - - -
844-Leu -
856-Phe Ikatan
Hidrogen 2 2 1 1
Tabel V. Hasil docking metabolit
sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (3)
Ligan BCE BCF BCG BCH ΔG
(kcal/mol) -6,48 -7,09 -7,29 -6,48
ki (µM) 17,86 6,38 4,5 17,93
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- - - - - -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala
- -
790-Met 791-Gln 792-Leu 793-Met
- 796-Gly 797-Cys
- - - - - -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly
- 723-Phe 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- - - - - -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala
- -
790-Met -
792-Leu 793-Met
- 796-Gly 797-Cys
- - - - - -
844-Leu -
856-Phe Ikatan
Hidrogen 3 2 2 2
Tabel VI. Hasil docking metabolit
sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (4)
Ligan BCI BLD BSA BSB ΔG
(kcal/mol) -8,21 -7,49 -7,42 -7,12
ki (µM) 0,95929 3,25 3,63 5,99
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly
- 723-Phe 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys 799-Leu
- - - - -
844-Leu -
856-Phe
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- - - -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
- 856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val
- - - - - - -
795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp 801-Tyr 804-Glu 841-Arg
- - -
856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - -
792-Leu 793-Met
- 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- -
841-Arg -
844-Leu - -
Ikatan Hidrogen 2 1 5 3
Tabel VII. Hasil docking metabolit
sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (5)
Ligan BSC BSD BSE BSF ΔG
(kcal/mol) -7,65 -7,84 -6,2 -5,34
ki (µM) 2,45 1,78 28,44 122,13
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala
- - -
791-Gln 792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- 804-Glu 841-Arg
- 844-Leu
718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val
- - - - - - -
795-Phe 796-Gly 797-Cys
- 800-Asp 801-Tyr 804-Glu 841-Arg
- -
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- - - - - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- 800-Asp
- -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
718-Leu 719-Gly
- -
726-Val 743-Ala 745-Lys 775-Cys 790-Met
- - - -
796-Gly 797-Cys
- - - -
841-Arg -
844-Leu
8
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
- -
- 856-Phe
- 856-Phe
854-Thr 856-Phe
Ikatan Hidrogen 2 2 2 1
Tabel VIII. Hasil docking metabolit
sekunder Brucea javanica terhadap reseptor 5HG7 (6)
Ligan BST CTN ΔG
(kcal/mol) -7,97 -7,26
ki (µM) 1,43 4,73
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly 720-Ser
- 726-Val 743-Ala
- - - - -
793-Met -
796-Gly 797-Cys
- - - -
841-Arg 842-Asn 844-Leu
- 856-Phe
718-Leu 719-Gly 720-Ser 723-Phe 726-Val 743-Ala
- 775-Cys 790-Met 791-Gln 792-Leu 793-Met
- - - - - - - - -
844-Leu -
856-Phe Ikatan Hidrogen 1 1 Hasil docking terhadap reseptor
EGFR T790M-L858R-V948R tersebut
menunjukkan perbedaan afinitas antar
masing-masing ligan, dengan
bruceajavanin A menunjukkan afinitas
tertinggi dengan nilai ΔG paling negatif
dan ki paling kecil secara berturut-turut
sebesar -9,93 kcal/mol dan 0,05267 µM.
Untuk afinitas terendah ditunjukkan oleh
bruceoside F dengan ΔG paling positif dan
ki paling besar secara berturut-turut
sebesar -5,34 kcal/mol dan 122,13 µM.
Meskipun paling rendah, namun
bruceoside F masih menunjukkan nilai ΔG
negatif, yang menunjukkan bahwa reaksi
antara bruceoside F dan EGFR mutan
T790M-L858R-V948R akan terjadi secara
spontan (Kontoyianni et al, 2004). Hal
tersebut menunjukkan seluruh ligan uji
memiliki afinitas dan mempunyai aktivitas
sebagai inhibitor terhadap EGFR mutan
T790M-L858R-V948. Selanjutnya
bruceajavanin A dilakukan docking
terhadap EGFR wild type. Hasil docking
ditunjukkan pada tabel IX.
Tabel IX. Perbandingan hasil docking bruceajavanin A pada reseptor 5HG7 dan 5FED
Ligan Bruceajavanin A Reseptor 5HG7 5FED
ΔG (kcal/mol) -9,93 -7,98
Ki (µM) 0,05267 1,4
Residu Asam Amino
718-Leu 719-Gly 720-Ser 726-Val 743-Ala
- - -
792-Leu 793-Met 795-Phe 796-Gly 797-Cys 800-Asp 844-Leu
- 856-Phe
718-Leu 719-Gly
- 726-Val 743-Ala 744-Ile 745-Lys 790-Thr
- 793-Met
- -
797-Cys 800-Asp 844-Leu 855-Asp
- Ikatan Hidrogen 1 0 Ket : Warna hijau menunjukkan
kesamaan residu asam amino
9
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Pada tabel IX dapat dilihat bahwa
bruceajavanin A memiliki afinitas lebih
tinggi pada EGFR mutan T790M-L858R-
V948R dibandingkan EGFR wild type.
Nilai ki pada EGFR mutan T790M-
L858R-V948R lebih kecil 26 kali lipat
dibandingkan EGFR wild type, yang
menunjukkan bahwa afinitas
bruceajavanin A 26 kali lipat lebih tinggi
pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R
dibandingkan EGFR wild type. Hasil
tersebut menjelaskan bahwa bruceajavanin
A akan lebih cenderung untuk berinteraksi
dengan sel NSCLC dengan EGFR yang
termutasi dibandingkan dengan sel normal
dengan EGFR wild type. Dengan kata lain,
bruceajavanin A dapat menghambat EGFR
lebih selektif terhadap sel NSCLC
dibandingkan sel normal. Hal tersebut
sekaligus menjelaskan mengapa ekstrak B.
javanica memiliki efek samping yang
relatif lebih rendah pada terapi kanker
dengan kombinasi antikanker lain (Ji et al.,
2015).
Pada tabel IX juga dapat diamati
pada kedua jenis reseptor tersebut terdapat
8 residu asam amino yang sama-sama
berinteraksi (warna hijau pada tabel IX).
Hal yang menarik adalah pada EGFR
mutan T790M-L858R-V948R interaksi
banyak terjadi pada daerah hinge region
yaitu pada asam amino nomor 790-800
(Cappuzzo, 2014) dengan 6 residu asam
amino, sedangkan pada EGFR wild type
interaksi lebih banyak terjadi pada daerah
asam amino 743-745. Meski demikian
pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R
interaksi justru tidak terjadi pada asam
amino 790 yang mengalami mutasi.
Interaksi pada asam amino 790 justru
terjadi pada EGFR wild type. Dengan kata
lain subtitusi dari asam amino threonin
dengan metionin pada residu nomor 790
secara signifikan menurunkan afinitas dari
suatu ligan terhadap kantung aktif dari
EGFR (Sakai et al., 2013; Suda et al.,
2009). Afinitas bruceajavanin A yang
lebih tinggi pada EGFR mutan T790M-
L858R-V948R lebih dipengaruhi oleh
banyaknya interaksi pada daerah asam
amino nomor 790-800. Lebih jelasnya
dapat diamati pada visualisasi hasil
docking pada gambar 2.
(a)
10
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
(b)
Gambar 2. Perbandingan interaksi dari bruceajavanin A pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)
Pada gambar 2.a dapat dilihat
bahwa interaksi pada reseptor EGFR
mutan T790M-L858R-V948R didominasi
pada daerah asam amino 792-800.
Menarik untuk dicermati bahwa pada
bruceajavanin A terdapat interaksi pada
asam amino 795-Phe yang terletak cukup
jauh dari kantung aktif EGFR (gambar
2.a), yang mana interaksi tersebut
disebabkan oleh rantai samping
dimethyloxirane dari bruceajavanin A.
Interaksi tersebut juga ditunjukkan pada
hasil docking bruceajavanin B yang juga
memiliki rantai samping serupa (Tabel I),
yang mana menyebabkan bruceajavanin B
menunjukkan afinitas yang juga relatif
tinggi dibandingkan metabolit sekunder B.
javanica lainnya (Tabel III). Hal tersebut
menunjukkan bahwa interaksi pada asam
amino 795-Phe tersebut memiliki peranan
penting untuk afinitas suatu ligan terhadap
kantung aktif dari EGFR. Untuk
mengamati pengaruh interaksi pada asam
amino 795-Phe tersebut dapat diamati pada
Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3. Perbandingan posisi dari bruceajavanin A (warna merah) hasil docking pada reseptor EGFR mutan T790M-L858R-V948R (a) dan EGFR wild type (b)
11
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1 Pada gambar 3.a dapat dilihat
bahwa posisi bruceajavanin A (warna
merah gambar 3) cenderung menyamping
dan memberikan penampang yang lebih
besar untuk berinteraksi dengan kantung
aktif dari EGFR mutan T790M-L858R-
V948R. Hal tersebut tak lepas dari mutasi
pada asam amino 790 yang menyebabkan
hilangnya hambatan sterik yang
seharusnya ada pada bagian luar dari
kantung aktif EGFR (Gambar 3.b). Mutasi
tersebut juga mengubah bentuk hinge
region kantung aktif yang sebelumnya
cenderung dalam menjadi lebih dangkal,
sehingga kemungkinan interaksi pada
bagian hinge region asam amino nomor
790-800 menjadi lebih besar (Suda et al.,
2009). Dengan demikian, eksplorasi lebih
lanjut pada daerah asam amino tersebut
dapat dilakukan untuk meningkatkan
afinitas ligan terhadap kantung aktif EGFR
mutan T790M-L858R-V948R, dan
diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh
untuk terapi NSCLC.
IV. KESIMPULAN
Afinitas yang ditunjukkan oleh
bruceajavanin A terhadap EGFR mutan
T790M-L858R-V948R dipengaruhi oleh
subtituen dimethyloxirane dari rantai
samping cincin tetrahidrofurannya.
Perbedaan afinitas dari bruceajavanin A
pada EGFR mutan T790M-L858R-V948R
dan EGFR wild type terutama dipengaruhi
oleh mutasi pada asam amino 790 yang
mempengaruhi orientasi bruceajavanin A
pada kantung aktif EGFR. Eksplorasi
interaksi lebih lanjut pada daerah asam
amino 790-800 dapat dilakukan untuk
meningkatkan afinitas bruceajavanin A
terhadap EGFR mutan T790M-L858R-
V948R, dengan asam amino 795-Phe
memiliki pengaruh penting terhadap
afinitas ligan terhadap kantung aktif
EGFR. Dengan demikian isolasi
bruceajavanin A dari B.javanica dapat
dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
efek antiproliferatif dari metabolit
sekunder B. javanica.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis berterima kasih kepada
Rektor Universitas Muhammadiyah
Palangkaraya Dr. Bulkani, M.Pd. yang
telah memberikan bantuan pendanaan
dalam rangka terlaksanakannya penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alves, I.A.B.S., H.M.Miranda, L.A.L.Soares, & K.P.Randau. 2014. Simaroubaceae Family : Botany, Chemical Composition and Biological Activities. Revista Brasileira de Farmacognosia. Vo. 24. 481-501.
Angelina, M., I.D.Dewijanti, S.D.S.Banjarnahor, Megawati, &
12
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
T.Yuliani. 2012. Acute Toxicity of Brucea javanica Merril Leaves Extract on Mice. The Journal of Tropical Life Science. Vol. 2. No. 2. 29-31.
Bissantz, C., G.Folkers, & D.Rognan. 2000. Protein-based Virtual Screening of Chemical Databases : Evaluation of Different Docking/Scoring Combinations. Journal of Medicinal Chemistry.Vol 43. 4759-4767.
Cappuzzo, F. 2014. Guide to Targeted Therapies : EGFR Mutations in NSCLC. Springer International Publishing, Switzerland.
Chen, J.H., S.H.Kim, P.W.Fan, C.Y.Liu, C.H.Hsieh, & K.Fang. 2016. The Aqueous Extract of Chinese Medicinal Herb Brucea javanica Suppresses The Growth of Human Liver Cancer and The Derived Stem-like Cells by Apoptosis. Drug Design, Development and Therapy. Vol. 10. 2003-2013.
Choi, Y.W., L.J.Hodgkiss, & K.D.Hyde. 2005. Enzyme Production by Endophytes of Brucea javanica. Journal of Agricultural Technology. 55-66.
Cosconati, S., S.Forli, A.L.Perryman, R.Harris, D.S.Goodsell, & A.J.Olson. 2010. Virtual Screening with AutoDock : Theory and Practice. Expert Opinion Drug Discovery. Vol 5. No 6. 597-607.
Ji, Z.Q., X.E.Huang, X.Y.Wu, J.Liu, L.Wang, & J.H.Tang. 2015. Safety of Brucea javanica and Cantharidin Combined with Chemotherapy for Treatment of NSCLC Patients. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol. 15. No. 20. 8603-8605.
Jorge, S.E.D.C., S.S.Kobayashi, & D.B.Costa. 2014. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) Mutations in Lung Cancer : Preclinical and Clinical Data. Brazilian Journal of
Medical and Biological Research. Vol. 47. No. 11. 929-939.
Kim, R. & J.Skolnick. 2007. Assesment of Programs for Ligand Binding Affinity Prediction. Journal of Computational Chemistry. 1-15.
Kitagawa, I., T.Mahmud, P. Simanjuntak, K.Hori, T.Uji, & H.SHibuya. 1994. Indonesia Medicinal Plants VII. Chemical Structures of Three New Triterpenoids, Bruceajavanin A, Dihydrobruceajavanin A, and Bruceajavanin B, and a New Alkaloidal Glycosida, Bruceacanthinoside, from The Stem of Brucea javanica (Simaroubaceae). Chemical and Pharmaceutical Bulletin. Vol 42. 1416-1421.
Kontoyianni, M., McClellan, & Sokol. 2004. Evaluation of Docking Performance : Comparative Data on Docking Algorithm. Journal of Medicinal Chemistry. Vol 47. 558-565.
Kumala, S., E.P.Septisetyani, & E.Meiyanto. 2009. Fraksi n-Butanolik Kapang Endofit Buah Makasar Meningkatkan Efek Apoptosis Doxorubicin pada Sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia. Vol. 20. No. 1. 42-47.
Kuykendall, A. & A.Chiappori. 2014. Special Report: Advanced EGFR Mutation-Positive Non-Small-Cell Lung Cancer: Case Report, Literature Review, and Treatment Recommendations. Cancer Control. Vol. 21. No. 1. 67-73.
Liu, T.T., L.Q.Mu, W.Dai, C.B.Wang, X.Y.Liu, & D.X.Xiang. 2016. Preparation, Characterization, and Evalution of Antitumor Effect of Brucea javanica Oil Cationic Nanoemulsions. International Journal of Nanomedicine. Vol. 11. 2515-2529.
Lu, Y.Y., X.E.Huang, J.Cao, X.Xu, X.Y.Wu, J.Liu, J.Xiang, & L.Xu. 2013. Phase II Study on Javanica Oil
13
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 1-14 Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin ISBN: 978-602-73121-1-1
Emulsion Injection (Yadanzi®) Combined with Chemotherapy in Treating Patients with Advanced Lung Adenocarcinoma. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. Vol. 14. No. 8. 4791-4794.
Morris, G. M., R.Huey, W.Lindstrom, M.F.Sanner, R.K.Belew,D.S.Goodsell, & A.J.Olson. 2009. Autodock4 and AutoDockTools4: Automated Docking with Selective Receptor Flexiblity. Journal of Computational Chemistry. Vol 16. 2785-2791.
Nakao, R., C.Mizukami, Y.Kawamura, Subeki, S.Bawm, M.Yamasaki, Y.Maede, H.Matsuura, K.Nabeta, N.Nonaka, Y.Oku, & K.Katakura. 2009. Evaluation of Efficacy of Bruceine A, a Natural Quassinoid Compound Extracted from a Medicinal Plant, Brucea javanica, for Canine Babesiosis. Journal of Veterinary Medical Science. Vol. 71. No. 1. 33-41.
O’Boyle, N., M.Banck, C.A.James, C.Morley, T.Vandermeersch, & G.R.Hutchison. 2011. Open Babel : AN Open Chemical Toolbox. Journal of Chemoinformatics. Vol 3. No. 33.
O’Donnel, G. & S.Gibbons. 2007. Antibacterial Activity of Two Canthin-6-one Alkaloids from Allium neapolitanum. Phytotherapy Research.
Ren, D., N.F.Villeneuve, T.Jiang, T.Wu, A.Lau, H.A.Toppin, & D.D.Zhang. 2010. Brusatol Enhances The Efficacy of Chemotherapy by Inhibiting the Nrf2-mediated Defense Mechanism. Proceedings of the National Academy of Sciences. 1-6.
Rothschild, S.I. 2015. Review : Targeted Therapies in Non-Small Cell Lung Cancer – Beyond EGFR and ALK. Cancers. Vol. 7. 930-949.
Sakai, K., A.Horiike, D.L.Irwin, K.Kudo, Y.Fujita, A.Tanimoto, T.Sakatani, R.Saito, K.Kaburaki, N.Yanagitani, F.Ohyanagi, M.Nishio, & K.Nishio. 2013. Detection of Epidermal Growth Factor Receptor T790M Mutation in Plasma DNA from Patients Refractory to Epidermal Growth Factor Receptor Tyrosine Kinase Inhibitor. Cancer Sciences. 1-7.
Siegel, R.L., K.D.Miller, & A.Jemal. 2016. Cancer Statistics. CA : A Cancer Journal for Clinicians. Vol. 66. No. 1. 7-30.
Suda, K., R.Onozato, Y.Yatabe, & T.Mitsudomi. 2009. EGFR T790M Mutation : A Double Role in Lung Cancer Cell Survival. Journal of Thoracic Oncology. Vol. 4. No. 1. 1-4.
Wagih, M.E., G.Alam, S.Wiryowidagdo, & K.Attia. 2008. Improved Production of The Indole Alkaloid Canthin-6-one from Cell Suspension Culture of Brucea javanica (L.) Merr. Indian Journal of Science and Technology. Vol. 1. No. 7. 1-6.
Widyantoro, A. 2014. Metabolit Sekunder Prospektif dari Famili Simaroubaceae. Jurnal Penelitian Saintek. Vol. 19. No. 2. 14-22.
14
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
15
Penyusunan HACCP Plan Produksi Bakso Ikan di
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA Banjarbaru
*Ricca Mailinda Sari, Alia Rahmi, dan Susi
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat
*Email: [email protected]
Abstrak
Produksi perikanan budidaya Indonesia menempati peringkat keempat dunia
pada tahun 2010 dan 2011, total produksi Ikan Patin nasional pada tahun 2012 juga
menempati urutan kedua terbesar dunia. Besarnya potensi sumberdaya perikanan
budidaya yang dimiliki oleh Indonesia dan produksinya menunjukkan bahwa
perikanan memiliki potensi yang baik untuk pemenuhan gizi masyarakat dan
pertumbuhan perekonomian, namun pengolahannya masih banyak dilakukan secara
tradisional dengan penanganan dan pengolahan yang kurang memperhatikan sanitasi
dan higiene. Sehingga, diperlukan acuan dalam pengelolaan mutu yaitu dengan
menggunakan prinsip-prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).
Tujuan penelitian ini adalah menyusun HACCP Plan untuk proses produksi bakso ikan
di UKM Pangasius Hypopthalmus NUA guna menjamin keamanan produk yang
dihasilkan. Penerapan Pre-requisite Programme di UKM Pangasius Hypopthalmus
NUA berdasarkan aspek GMP termasuk kategori level IV (terendah), sedangkan SSOP
sudah dijalankan beberapa program sanitasi namun belum ada dokumen tertulis
sebagai kebijakan. Pada pengamatan mutu diketahui bahwa sejauh ini UKM Pangasius
Hypopthalmus NUA sudah dapat memproduksi bakso ikan patin yang sesuai dengan
SNI 7266:2014. Pada penyusunan HACCP Plan diidentifikasi 7 CCP, yaitu pada air
dan es (CCP-1), telur (CCP-2), thawing (CCP-3), pelumatan dan pencampuran (CCP-
4), penyimpanan bahan baku ikan (CCP-5), perebusan (CCP-6) dan penyimpanan
bakso ikan (CCP-7). Kendali kritis pada CCP-1 adalah dengan pengaturan suhu yaitu
dengan batas kritis minimal 100°C, CCP-3 maksimal 5°C, CCP-5 maksimal -18°C,
CCP-6 pada 90-100°C dan CCP-7 maksimal -18°C, sedangkan CCP-2 dan CCP-4
adalah tidak adanya kotoran/sisa bahan lain yang menempel pada bahan maupun alat.
Kata kunci: Bakso ikan, Keamanan pangan, HACCP, GMP, SSOP, UKM.
Abstract
Indonesian aquaculture production ranks fourth in the world in 2010 and 2011,
while total national production of Pangasius in 2012 ranks second in the world.
Indonesian aquculture resource shows good potential for the fulfillment of public nutrition
and economic growth. However, it is processing is still done traditionally with minimum
attention to sanitation and hygiene. This calls for the deployment of Hazard Analysis and
Critical Control Point (HACCP) principles to order to assure the safety of fisheries
product. The purpose of this study is to develop a HACCP Plan for fishball production
carried on UKM Pangasius Hypopthalmus NUA in order to ensure the safety of the
products produced. Pre-requisite Programme implementation in UKM Pangasius
hypopthalmus NUA i.e. GMP and SSOP indicated that the enterprise falls in level IV
category for GMP and no written document has been issued for the exist sanitation
program. Observation on the quality fishball produced by UKM Pangasius Hypopthalmus
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
16
NUA is in accordance with SNI 7266:2014. The deployment of 12 step (7-principles) of
HACCP, identifies 7 CCP they are on water and ice (CCP-1), egg (CCP-2), thawing (CCP-
3), size reduction and mixing (CCP-4), storage of fish (CCP-5), boiling (CCP-6) and
storage of fish balls (CCP-7). Critical control at CCP-1 is the temperature setting threshold
of at least 100° C, CCP-3 up to 5° C, CCP-5 up to -18° C, CCP-6 at 90-100° C and
maximum 18°C on CCP-7, while CCP-2 and CCP-4 is the absence of dirt and of other
materials on the material and tools.
Keywords: Fishball, Food Safety, HACCP, GMP, SSOP,UKM
I. PENDAHULUAN
Produksi perikanan budidaya Indonesia
menempati peringkat keempat dunia dengan
total produksi pada tahun 2010 sebanyak
2.305.000 ton dan 2.718.000 ton pada tahun
2011(FAO, 2012). Besarnya potensi
sumberdaya perikanan budidaya yang dimiliki
oleh Indonesia tersebut dan produksinya
menunjukkan bahwa perikanan memiliki
potensi yang baik untuk berkontribusi di
dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya
protein hewani di samping kontribusinya
dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Ikan patin dinilai lebih aman untuk
kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah
dibandingkan dengan daging hewan ternak
(Susanto dan Amri, 2002). Bakso ikan yang
merupakan olahan ikan populer memiliki
potensi pasar yang baik. Pengolahan hasil
perikanan di Indonesia banyak dilakukan
secara tradisional dengan modal dan skala
usaha kecil, sehingga penggunaan alat masih
sederhana, selain itu penanganan dan
pengolahan kurang memperhatikan sanitasi
dan hygiene. Pengolahan hasil perikanan di
Kalimantan Selatan sebagian besar
dilaksanakan oleh usaha kecil menengah
(UKM). UKM Pangasius Hypopthalmus
NUA merupakan salah satu UKM
pengolahan hasil perikanan di Banjarbaru
dengan produksi bakso ikan yang memiliki
produktivitas cukup besar. penggunaan
bahan baku ikan patin untuk produksinya
mencapai 100kg perbulan (Dinas
Perikanan Banjarbaru, 2014).
Untuk meningkatkan mutu produk
bakso ikan diperlukan suatu kesesuaian
dengan standar mutu yang berlaku. Dalam
lingkup nasional, standar mutu yang
dipakai adalah adalah Standar Nasional
Indonesia (SNI). Selain itu, sebagai acuan
dalam pengelolaan mutu keamanan
pangan, digunakan prinsip-prinsip Hazard
Analysis and Critical Control Point
(HACCP). HACCP bersifat sebagai sistem
pengendalian mutu sejak bahan baku
dipersiapkan sampai produk akhir
diproduksi masal dan didistribusikan.
Penerapan HACCP akan menjamin mutu
keamanan dengan pengendalian pada titik
kritis. Selain itu, HACCP juga dapat
berfungsi sebagai promosi perdagangan di
era pasar global yang persaingannya
semakin kompetitif.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
17
II. METODE PENELITIAN
Tahap penelitian terdiri dari tahapan
seperti diuraikan diagram alir pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir tahap penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Pre-requisite Programme
di UKM Pangasius Hypopthalmus
NUA
a. Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP)
adalah suatu pedoman cara berproduksi
makanan yang bertujuan agar produsen
memenuhi persyaratan–persyaratan yang
telah ditentukan untuk menghasilkan
produk makanan bermutu dan sesuai
dengan tuntutan konsumen. Berdasarkan
hasil pemeriksaan sarana produksi pangan
industri rumah tangga berdasarkan
PERKEPBPOM Tahun 2012, UKM
Pangasius Hypopthalmus NUA termasuk
dalam kategori level IV. Sesuai dengan
peraturan BPOM, level ini merupakan
level terendah dari kriteria maka perlu
dilakukan audit internal dengan frekuensi
setiap hari untuk perbaikan proses
produksi bakso ikan patin di UKM
Pangasius Hypopthalmus NUA.
b. Sanitation Standard Operating
Procedure (SSOP)
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
sudah menjalankan beberapa program
SSOP namun belum ada dokumen tertulis
sebagai kebijakan sanitasi yang mengatur
keseluruhan aspek proses produksi.
Sehingga program SSOP harus dibuat dan
dipenuhi oleh UKM sebelum menerapkan
HACCP.
2. Mutu Fisik, Kimia dan Biologis
Mutu bahan baku yang digunakan
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA,
yaitu :
a. Air proses
Dengan menggunakan standar SNI
AMDK 01-3553-2006 dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 diketahui
bahwa air proses yang digunakan UKM
Pangasius Hypopthalmus NUA memenuhi
standar parameter kimia terdapat beberapa
nilai yang melebihi batas maksimum yaitu
kalium permanganat dan amonium. Kadar
Mulai
Studi kepustakaan tentang produksi bakso ikan dan HACCP
Pengamatan kesiapan UKM untuk penerapan HAACP meliputi kondisi UKM dan penerapan Pre-requisite
programme serta evaluasi.
Pengamatan terhadap mutu fisik, kimia dan biologis bahan baku (ikan segar sesuai SNI 2729:2013, ikan beku sesuai SNI 4110:2014, air sesuai SNI 01-3553-2006, es sesuai
SNI 4872:2015) dan produk bakso ikan sesuai SNI 7266:2014 serta analisis data.
Melakukan penyusunan dan implementasi sistem HACCP (12 tahap, 7 prinsip)
Pengecekan kesiapan HACCP Plan dan dokumen pendukungnya
Hasil
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
18
kalium permanganat dan amonium pada
air memang lebih tinggi dibandingkan
standar, namun karena penggunaan air
proses ini hanya sebagai bahan penolong
maka resiko kalium permanganat dan
amonium pada produk sangat rendah jauh
di bawah batas aman. Pada parameter
mikrobiologi, nilai angka lempeng total
lebih tinggi dan uji Salmonella
menunjukkan hasil yang positif, namun air
baku untuk produksi ini kemudian akan
diberi perlakuan pemanasan hingga
mendidih pada suhu 100oC kemudian
digunakan untuk proses perebusan bakso
ikan. Menurut International Dairy
Federation (1986) pada suhu pasteurisasi
mikroorganisme tidak tahan panas yaitu
bakteri patogen dan bakteri pembusuk
seperti Salmonella dapat dibunuh.
b. Es batu
Dengan menggunakan standar SNI
4872:2015 (persyaratan mutu es yang
digunakan dalam proses penanganan dan
pengolahan ikan) yaitu berdasarkan syarat
mutu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010 didapatkan
hasil bahwa semua parameter sudah sesuai
dengan standar yang berlaku kecuali
parameter mangan. Batas maksimal
standar parameter mangan yaitu 0,4 mg/l
sedangkan nilai hasil uji sedikit lebih
tinggi yaitu sebesar 0,46 mg/l.
Kadar mangan pada es memang lebih
tinggi dibandingkan standar, namun karena
perbandingan penggunaan es batu dan
bahan baku ikan patin yaitu 1:7,5 maka
penyerapan mangan dari es batu dalam
produk berada pada jumlah yang lebih
kecil lagi di bawah batas aman.
c. Ikan patin segar
Dengan menggunakan standar SNI 01-
2729.2-2006, yaitu berdasarkan parameter
kenampakan, bau dan tekstur menun-
jukkan bahwa ikan patin yang merupakan
bahan baku dalam pengolahan bakso ikan
di UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
ini telah sesuai standar yaitu mendapatkan
nilai 8 (standar 7).
d. Fillet ikan patin
Dengan menggunakan standar SNI
4110:2014 (persyaratan mutu dan
keamanan pangan ikan beku). Hasil
pengujian fillet ikan patin beku yang telah
disimpan selama 1 bulan di dalam freezer
dengan suhu penyimpanan beku ≤-18oC
telah sesuai standar cemaran mikroba dan
logam.
Mutu produk akhir bakso ikan patin
Bakso ikan segar dan Bakso ikan yang
telah mengalami penyimpanan pada
lemari pendingin selama 1 bulan, yaitu
waktu rata-rata penyimpanan sebelum
bakso ikan dikonsumsi. Hasil uji kimia
kedua sampel bakso yaitu cemaran logam
dan uji mikroba diketahui bahwa kedua
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
19
sampel telah sesuai standar yaitu memiliki
nilai yang lebih rendah dibandingkan
dengan standar persyaratan mutu dan
keamanan bakso ikan (SNI 7266:2014)
3. Penyusunan Hazard Analisis and
Critical Control Point (HACCP)
Tim HACCP
Tim penyusunan HACCP Plan terdiri
dari pihak internal maupun eksternal
UKM, yaitu:
1. Pemilik UKM Pangasius Hypopthalmus
NUA
2. Karyawan bagian penerimaan dan
penyiapan bahan baku
3. Karyawan bagian proses dan
pengemasan
4. Pegawai Dinas Perikanan Kota
Banjarbaru
5. Penulis
Deskripsi produk
Deskripsi produk bakso ikan patin
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
Banjarbaru dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Deskripsi produk bakso ikan patin
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
Banjarbaru. Nama produk Bakso ikan patin beku
Komposisi Daging ikan patin, tepung
tapioka, susu, telur, kaldu
ayam, merica, garam dan
gula.
Pengemasan primer Pengemas plastik
Pengemas sekunder Box pendingin
Metode pengawetan Beku
Kondisi penyimpanan Beku
Cara distribusi Dengan box pendingin
Masa kadaluarsa < 6 bulan
Persyaratan konsumen SNI 7266:2014
Tujuan konsumen Umum
Cara penyiapan
konsumsi
Dimasak terlebih dahulu
Identifikasi pengguna produk
Bakso ikan patin adalah jenis produk
beku (frozen) yang harus dimasak kembali
saat akan dikonsumsi. Produk ini dapat
dikonsumsi oleh semua orang kecuali bayi
usia 0-6 bulan. Produk ini juga tidak
ditujukan secara khusus untuk kelompok
populasi tertentu.
Penyusunan diagram alir
Diagram alir proses produksi bakso ikan
patin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir proses produksi
bakso ikan patin
Verifikasi diagram alir
Verifikasi diagram alir dilakukan
dengan observasi di lapangan beberapa
kali dengan didampingi oleh pemilik UKM
Pangasius Hypopthalmus NUA, diagram
Digiling
Disimpan
di Freezer
t ≤ 1 bulan
T≤ -18oC
Dilumatkan
dan
dicampur
Dicetak
Dimasukan dalam
air panas t= 5 menit T= 65-
80oC
Direbus dalam
air mendidih t= 10-15 menit
T=90-100oC
Diangkat,ditir
iskan dan
didinginkan
Ditimbang Dikemas
Ikan
patin
Dicuci
Difillet Dicuci Ditimbang Dikemas
Thawing
t= 10 jam
T= 25-
30oC
Disimpan dalam freezer
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
20
alir yang digunakan pada Gambar 2 telah
sesuai atau terverifikasi.
Analisa bahaya (Prinsip 1)
Analisa bahaya dilakukan mulai dari
kedatangan bahan baku dari supplier
sampai produk dipasarkan ke konsumen.
Tahap analisa bahaya yang pertama
dilakukan yaitu identifikasi bahaya pada
setiap bahan baku dan juga tahapan proses
produksi yang dilaksanakan. Hazard atau
bahaya digolongkan menjadi 3 jenis yaitu
kimia, biologi, dan fisik. Bahaya yang
teridentifikasi selanjutnya ditentukan
signifikansinya dengan berdasarkan
tingkat keparahan (severity) dan peluang
terjadinya (likelihood).
Penentuan CCP (Prinsip 2)
Penentuan CCP dilakukan dengan
bantuan pohon keputusan. Pohon
keputusan merupakan seri pertanyaan logis
yang menanyakan potensi setiap bahaya.
Digunakan 2 jenis pohon keputusan yaitu
untuk penetapan CCP pada bahan baku
dan pada tahapan proses.
Critical Control Point (CCP) yang
teridentifikasi dari bahan baku dan tahapan
proses yaitu:
1. Air dan es
Bahaya biologi pada bahan baku air
dan es yang digunakan dalam proses
produksi bakso ikan patin merupakan
CCP, meskipun pada tahapan berikutnya
dalam proses produksi yaitu penyimpanan
bahan baku pada suhu beku -18°C dan
tahap perebusan suhu 90-100oC selama 10-
15 menit mematikan bakteri, namun
terdapat jeda waktu yang cukup panjang
selama penyimpanan bahan baku dan pada
saat proses thawing sampai dengan
pencetakan adonan sebelum dilakukan
pemanasan juga dimungkinkan terjadinya
perkemba- ngan bakteri pada suhu ruang.
Sehingga sebaiknya air yang digunakan
pada saat penanganan bahan baku adalah
air yang sudah direbus sehingga tidak
mengandung bahaya biologi seperti bakteri
patogen Escherichia coli dan Salmonella.
2. Telur
Bahaya biologi pada telur berupa
bakteri patogen Salmonella. Faktor yang
berpengaruh besar dalam pencegahan
bakteri Salmonella pada telur ini adalah
kebersihan kandang di tingkat supplier
(peternakan). Jika kebersihan kandang
terjaga, maka kemungkinan besar unggas
tidak akan terinfeksi Salmonella. Hal lain
yang harus diperhatikan adalah
penanganan telur, apabila penanganan
telur tidak dilakukan dengan baik,
misalnya kotoran unggas masih menempel
pada cangkang telur, maka kemungkinan
Salmonella dapat mencemari telur
terutama saat dipecah sehingga kebersihan
selama penyimpanan produk harus sangat
diperhatikan (Jawetz & Adelberg`s, 1996;
Jurnal Litbang Pertanian, 2007 dan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
21
Erianto, 2007). Hal yang dapat dilakukan
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
dalam mengendalikan bahaya pada telur
ini yaitu dengan memilih bahan baku telur
yang tidak terdapat kotoran yang
menempel pada cangkang telur dan telur
yang akan digunakan harus dilakukan
pencucian terlebih dahulu agar kotoran
yang ada pada cangkang tidak mencemari
bagian dalam telur.
3. Thawing
Pada proses thawing, bahan baku yang
beku dicairkan agar menjadi lunak
sehingga dapat diproses. Proses thawing
sangat mempengaruhi mutu biologi dari
bahan baku dikarenakan suhu thawing
yang lebih tinggi dari suhu pembekuan
dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan bakteri yang sempat
terinaktivasi selama suhu pembekuan.
Kontrol terhadap suhu thawing dan lama
waktu thawing menjadi penting untuk
mencegah kontaminasi biologi.
4. Pelumatan dan pencampuran
Proses pelumatan dan pencampuran
bahan ini bertujuan untuk membuat
adonan bakso. Tahapan proses pelumatan
dan pencampuran adonan dilakukan di
tempat penggilingan daging umum,
dimana alat ini digunakan bersama-sama
dengan konsumen lain yang menggiling
daging ikan. Proses ini menjadi CCP
dikarenakan terdapat bahaya kontaminasi
yang harus dikendalikan yaitu dengan
menerapkan GMP dan SSOP selama
proses penggilingan yaitu kebersihan pada
alat dan tempat penggilingan.
5. Penyimpanan bahan baku ikan patin
Proses penyimpanan bahan baku ikan
patin kemungkinan terdapat jenis bahaya
biologis berupa cemaran mikroba. Tahap
ini dirancang spesifik untuk mengurangi
bahaya dan menjaga kualitas bahan baku
sampai batas aman yaitu dengan
penyimpanan suhu beku lebih rendah dari
-18oC. Sejauh ini berdasarkan hasil
pengamatan mutu pada bahan baku fillet
ikan patin yang telah mengalami
penyimpanan 30 hari didapatkan hasil
bahwa uji cemaran mikroba menunjukkan
nilai yang telah sesuai standar.
6. Perebusan
Perebusan merupakan tahapan proses
yang dilakukan selama kurang lebih 10-15
menit pada suhu 90-100C hingga bakso
ikan matang. Proses perebusan ini
merupakan proses penting karena suhu
perebusan akan mempengaruhi kualitas
bakso dan tekstur yang dihasilkan. Selain
itu, perebusan merupakan salah satu proses
yang dilakukan untuk mengendalikan dan
mengurangi mikroba patogen yang
mungkin ada selama proses produksi.
7. Penyimpanan bakso ikan patin beku
Pada proses penyimpanan bakso ikan
patin kemungkinan terdapat jenis bahaya
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
22
biologis berupa cemaran mikroba
Salmonella, E. Coli, V. Cholera dan V.
Parahaemoliticus. Tahap ini dirancang
spesifik untuk mengurangi bahaya dan
menjaga kualitas bahan baku sampai batas
aman yaitu dengan penyimpanan suhu
beku lebih rendah dari -18oC.
Penetapan batas kritis (critical limit)
untuk setiap CCP (Prinsip 3)
Batas kritis adalah kriteria yang
membedakan parameter yang dapat
diterima atau parameter yang tidak dapat
diterima/ditolak pada produk/tahapan
proses. Penetapan batas kritis untuk untuk
bahaya pada proses produksi pembuatan
bakso ikan patin sebagai (CCP) ditetapkan
berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) untuk air dan es (CCP-1) sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010, telur (CCP-
2) berdasarkan kebersihan cangkang telur,
penyimpanan bahan baku fillet ikan patin
beku dan thawing (CCP-3 dan CCP-4)
sesuai SNI ikan beku 4110:2014,
pelumatan dan pencampuran (CCP-4)
berdasarkan kebersihan alat, perebusan
dan penyimpanan produk bakso ikan
(CCP-6 dan CCP-7) sesuai SNI bakso ikan
7266:2014.
Penetapan sistem pemantauan
untuk setiap CCP (Prinsip 4)
Batas kritis berupa bahaya biologis
bakteri patogen pada tahapan
penyimpanan bahan baku ikan patin,
perebusan dan penyimpanan bakso ikan
patin beku sebagai titik kendali kritis atau
CCP haruslah dipantau atau dimonitor
keberadaannya.
Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)
Tindakan koreksi adalah segala
tindakan yang diambil saat hasil
pemantauan/monitoring CCP mengindika-
sikan hilangnya kendali.
Penetapan Prosedur Verifikasi (Prinsip
6)
Tindakan verifikasi merupakan suatu
kegiatan penerapan metode-metode,
prosedur pengujian dan analisis serta
evaluasi lain sebagai tambahan dalam
sistem pemantauan untuk mengetahui dan
memastikan efektifitas terhadap HACCP
Plan.
Penetapan Penyimpanan Catatan dan
Dokumentasi (Prinsip 7)
Dokumentasi ini berfungsi sebagai
acuan dan bukti penerapan HACCP.
Penentuan sistem dokumentasi bertujuan
untuk menjaga dan mempermudah
pengendalian atau pembaharuan
(updating) catatan dan HACCP Plan.
Rekaman monitoring yaitu berupa form
yang diisi dan disimpan untuk setiap CCP.
HACCP Plan produksi bakso ikan
patin di UKM Pangasius Hypopthalmus
NUA selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
23
Tabel 2. HACCP Plan produksi bakso ikan patin UKM Pangasius Hypopthalmus NUA
CCP Batas kritis
Prosedur Monitoring
Tindakan
Koreksi
(Apa & Siapa)
Verifikasi (Apa &
Siapa)
Rekaman (Records)
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Prinsip 2 Prinsip 3 Prinsip 4 Prinsip 5 Prinsip 6 Prinsip 7
Bahan baku air dan
es
Air sudah direbus dengan suhu
100°C selama 10 menit
Suhu perebusan air Panci
perebusan
Pengukuran dengan
termometer
Setiap
proses
Penanggung jawab
produksi
Jika suhu tidak tercapai 100ºC lakukan
penambahan suhu perebusan dan waktu
perebusan ditambah 15 menit
Verifikasi batas kritis, review catatan,
kalibrasi alat dan pastikan staff
bertanggung jawab sistem berjalan baik
Form 2.0.
Monitoring CCP-1
Bahan baku telur Tidak ada kotoran pada
cangkang telur
Kotoran Cangkang
telur
Diperiksa secara visual Setiap akan
digunakan
Penanggung jawab
produksi
Jika terdapat kotoran dilakukan pencucian
ulang telur
Verifikasi batas kritis, review catatan
dan pastikan staff bertanggung jawab sistem berjalan baik
Form 2.0.
Monitoring CCP-2
Thawing Suhu chiller yang digunakan
dalam proses thawing ≤ 5°C
dengan suhu bahan 8°C pada akhir thawing
Suhu chiller dan
suhu bahan
Cold storage Pengukuran suhu
chiller dan bahan
secara benar dan teliti
Setiap
proses
Penanggung jawab
Produksi
Jika suhu bahan >8°C segera proses
produk
Verifikasi batas kritis, review catatan,
kalibrasi alat dan pastikan staff
bertanggung jawab sistem berjalan baik
Form 3.0.
Monitoring CCP-3
Pelumatan dan
pencampuran
Tidak ada sisa bahan lain
dibagian dalam alat yang
bersentuhan dengan adonan
Alat food
processor
Di tempat
penggilingan
daging umum
Diperiksa secara visual Setiap
sebelum
proses
Penanggung jawab
Produksi
Jika terdapat sisa bahan lain dilakukan
pembersihan ulang
Verifikasi batas kritis, review catatan
dan pastikan staff bertanggung jawab
sistem berjalan baik
Form 4.0.
Monitoring CCP-4
Penyimpanan
bahan baku ikan
patin
Suhu penyimpanan beku ≤ -
18oC
Suhu penyimpanan Freezer Pengukuran suhu
penyimpanan secara
teliti dan benar
4 jam sekali Penanggung jawab
Produksi
Jika suhu freezer > - 18oC selama lebih
dari 4 jam maka cek suhu fillet ikan patin,
apabila sudah memperlihatkan tanda-tanda thawing, pindahkan makanan ke freezer
lain yang memiliki suhu sesuai standar.
Segera perbaiki freezer tersebut dan jika bahan telah lembek maka harus segera
diproses pemasakan.
Verifikasi batas kritis, review catatan,
kalibrasi alat dan pastikan staff
bertanggung jawab sistem berjalan baik
Form 5.0.
Monitoring CCP-5
Perebusan Perebusan bakso dengan suhu ≥
90C selama 10 menit
Suhu perebusan Panci
perebusan
Pengukuran suhu
perebusan dengan thermometer
Setiap
proses
Penanggung jawab
Produksi
Jika suhu tidak tercapai 100ºC lakukan
penambahan suhu perebusan dan waktu perebusan ditambah 15 menit
Dokumen pencatatan suhu, dokumen
verifikasi, kalibrasi alat dan pastikan staff bertanggung jawab bahwa sistem
berjalan baik
Form 6.0
Monitoring CCP-6
Penyimpanan
bakso ikan patin
Suhu penyimpanan beku ≤ -
18oC
Suhu penyimpanan Freezer Pengukuran suhu
penyimpanan
4 jam sekali Penanggung jawab
Produksi
Jika suhu freezer > - 18oC selama lebih
dari 4 jam maka cek suhu bakso ikan patin, apabila sudah memperlihatkan
tanda-tanda thawing, pindahkan makanan
ke freezer lain yang memiliki suhu sesuai standar. Segera perbaiki freezer tersebut
dan jika bahan telah lembek maka harus
segera diproses pemasakan/perebusan.
Verifikasi batas kritis, review catatan,
kalibrasi alat dan pastikan staff bertanggung jawab bahwa sistem
berjalan baik
Form 7.0
Monitoring CCP-7
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 15-24
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
24
IV. KESIMPULAN
Penerapan Pre-requisite Programme di
UKM Pangasius Hypopthalmus NUA,
berdasarkan hasil pemeriksaan sarana
produksi pangan industri rumah tangga
termasuk dalam kategori level IV
(terendah), sedangkan untuk SSOP,
beberapa program sanitasi sudah
dijalankan namun belum ada dokumen
tertulis. Pada pengamatan mutu, UKM
Pangasius Hypopthalmus NUA sudah
dapat memproduksi bakso ikan patin yang
sesuai dengan standar SNI 7266:2014.
Pada penerapan 12 tahap/7 prinsip
HACCP ditetapkan 7 CCP yang
didokumentasikan dalam HAACP plan.
Tujuh CCP tersebut adalah pada air dan es
(CCP-1), telur (CCP-2), proses thawing
(CCP-3), pelumatan dan pencampuran
(CCP-4), penyimpanan bahan baku ikan
(CCP-5), perebusan (CCP-6) dan
penyimpanan bakso ikan (CCP-7). Kendali
kritis pada CCP-1, CCP-3, CCP-5, CCP-6
dan CCP-7 adalah dengan pengaturan suhu
yaitu dengan batas kritis minimal 100°C;
maksimal 5°C; maksimal -18°C; 90-
100°C; maksimal -18°C, sedangkan CCP-
2 dan CCP-4 adalah tidak adanya
kotoran/sisa bahan lain yang menempel.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh PT.
Indofood Sukser Makmur Tbk untuk
program beasiswa penelitian Indofood
Riset Nugraha (IRN) 2015-2016.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K dan Khairuman. 2008. Buku
Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi.
AgroMedia Pustaka. Jakarta
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006.
SNI 01-2729.2-2006 Ikan Segar
bagian 2: Persyaratan Bahan Baku.
BSN. Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014.
SNI 4110:2014 Ikan Beku. BSN.
Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2014.
SNI 7266:2014 Bakso Ikan. BSN.
Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015.
SNI 01-3553-2006 Air Minum
Dalam Kemasan. BSN. Jakarta
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2015.
SNI 4872:2015 Es Untuk
Penanganan Dan Pengolahan Ikan.
BSN. Jakarta
Dinas Perikanan Banjarbaru. 2014. Data
UKM Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan. Banjarbaru.
Erianto, Dadang. 2007. Penugasan Blok
KBTI Artikel Ilmiah Shigellosis.
Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Indonesia. Jakarta.
FAO, 2012. Produksi Perikanan Budidaya
Dunia. 2012.
[IDF] International Dairy Federation.
1983. Pasteurizing Plant Manual.
The Society of Dairy Technology. 72
Ermine Street, Huntingdo.
Jawetz, M dan Adelberg`s. 1996.
Mikrobiologi Kedokteran. Salemba
Medica, Jakarta.
[MENKES] Menteri Kesehatan. 2010.
492/Menkes/Per/IV/2010
Persyaratan kualitas air minum.
Jakarta.
Susanto, H dan K. Amri. 2002. Budidaya
Ikan Patin. Penebar Swadaya.
Jakarta
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
25
Persepsi Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta terhadap
Kualitas Obat Generik Ditinjau dari Dimensi
Safety, Efficacy, dan Acceptability
*Nurul Mardiati1, Sampurno
2, Chairun Wiedyaningsih
3
1 Sekolah Tinggi Farmasi Borneo Lestari, Banjarbaru
2Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta
3Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Roadmap upaya peningkatan penggunaan obat generik sebenarnya sudah
dilakukan pemerintah jauh sebelum resmi memberlakukan skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Akan tetapi persepsi pasien terhadap obat generik di masa penerapan
JKN ini dinilai oleh banyak pengamat masih buruk. Obat generik masih dianggap
sebagai obat murah sehingga mutunya diragukan. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui persepsi pasien terhadap kualitas obat generik ditinjau dari dimensi safety,
efficacy, dan acceptability. Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitik
dengan pendekatan kuantitatif, desain survey cross sectional. Jumlah sampel sebanyak
150 responden. Alat penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data yaitu
analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi pasien terhadap
kualitas obat generik mayoritas tergolong baik yaitu sebesar 113 responden (75,3%).
Rata-rata skor mulai dari yang terbesar berturut-turut safety (3,02); efficacy (2,75); dan
acceptability (2,73). Seluruh rata-rata skor jawaban responden pada item-item
pernyataan dimensi safety, efficacy, dan acceptability menunjukkan persepsi yang baik
pasien terhadap kualitas obat generik.
Kata kunci: Persepsi Pasien, Kualitas, Obat Generik
ABSTRACT
Roadmap for improving the use of generik drugs actually has been done long
before the government commit officially JKN scheme. However, the patient's perception of
generik drugs is still bad in JKN era by considering many observers. Generic drugs are still
regarded as a cheap drug so its quality is doubtful.This study was conducted to determine
the patient’s perception about quality of generik drugs which was studied based on safety,
efficacy, and acceptability dimensions. The design of this research is descriptive-analytic
study with a quantitative approach, cross-sectional survey. The sample size was 150
respondents. Research of tools used was questionnaire. Data analysis was descriptive test.
The results of the research showed that the majority of patients (75,3%) have good
perception to the quality of generic drugs. Average score from the largest sequentially
safety (3,02), efficacy (2,75), and acceptability (2,73). All of average score of respondents'
answers on items safety, efficacy, and acceptability dimensions showed good perception of
patients on the quality of generic drugs.
Keywords: Patient’s perception, Quality, Generik drug
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
26
I. PENDAHULUAN
Semua warga negara berhak atas
kesehatannya termasuk masyarakat miskin.
Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem
yang mengatur pelaksanaan bagi upaya
pemenuhan hak warga negara untuk tetap
hidup sehat dengan mengutamakan pada
pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sebagaimana diamanatkan konstitusi dan
Undang-undang Republik Indonesia No.
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, dalam rangka memenuhi
hak masyarakat memasuki tahun 2014
pemerintah telah secara resmi
menggulirkan skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).
Sistem jaminan ini akan
menciptakan perubahan mendasar di
bidang sistem jaminan kesehatan seperti
penataan standardisasi pelayanan,
standardisasi tarif, penataan formularium,
dan penggunaan obat rasional yang
berdampak pada kendali mutu dan kendali
biaya. Upaya-upaya tersebut pada aspek
pelayanan obat sendiri, maka seluruh
fasilitas kesehatan diwajibkan mengacu
pada Formularium Nasional (Fornas).
Obat-obatan dalam Fornas ini sebagian
besar merupakan obat generik. Hal ini
berkaitan dengan keputusan pemerintah
agar dibudayakan penggunaan obat
generik karena obat generik berkhasiat
baik dengan harga ekonomis (Anonim,
2012). Salah satu implikasi yang
diharapkan dari kebijakan tersebut adalah
meningkatnya penggunaan obat generik.
Mayoritas konsumen Indonesia
menganggap obat generik sebagai obat
berkualitas rendah dengan harga rendah
(Jakarta Post, 2010). Persepsi tersebut
pada dasarnya tidak benar sebab industri
farmasi merupakan salah satu industri
yang regulasinya paling ketat. Pemerintah
menerapkan standar manufaktur nasional
ketat yang dikenal sebagai CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik) atau c-GMP
(Current Good Manufacturing Practice)
(Priyambodo, 2007). Setiap obat baik obat
generik maupun obat branded generik dan
paten harus memenuhi standar kualitas
sebelum diluncurkan ke pasar. Dimensi
kualitas obat menurut konsumen
menggunakan dimensi yang sesuai dengan
dimensi kualitas yang digunakan di
seluruh dunia oleh pemerintah dalam
menilai kualitas obat. Pemerintah di
seluruh dunia menilai kelayakan obat yang
diluncurkan ke pasar berdasarkan pada
safety, efficacy, dan acceptability (Firth,
2001).
Roadmap upaya meningkatkan
penggunaan obat generik sebenarnya
sudah dilakukan pemerintah jauh sebelum
resmi menggulirkan skema JKN, dimulai
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan No. 085/Menkes/PER/I/1989
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
27
tentang Kewajiban Menuliskan Resep
dan/atau Menggunakan Obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah
(dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
digantikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010).
Demikian pula dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kesehatan No.
988/MENKES/SKNIII/2004 tentang
pencantuman nama generik pada label obat
(dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
digantikan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 068/MENKES/SK/II/2006.
Akan tetapi persepsi pasien
terhadap obat generik di masa penerapan
JKN ini dinilai oleh banyak pengamat
masih buruk, salah satunya yang
menyatakan bahwa masih ada persepsi
yang salah tentang obat generik, yaitu obat
generik dianggap sebagai obat murah
sehingga mutunya diragukan (Binfar
Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Persepsi pasien yang buruk terhadap
obat generik dapat mengakibatkan sugesti
yang buruk sehingga mempengaruhi
pengalaman kesembuhan pasien (Waber
et al., 2008).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui persepsi pasien rawat jalan di
RS PKU Muhammadiyah unit 1
Yogyakarta terhadap kualitas obat generik
ditinjau dari dimensi safety, efficacy, dan
acceptability.
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah
penelitian deskriptif-analitik dengan
pendekatan kuantitatif, desain survey cross
sectional. Alat yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian ini adalah
kuesioner. Jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini dihitung dengan
menggunakan rumus Slovin, diperoleh 150
responden. Cara pengambilan sampel
dilakukan dengan simple random
sampling. Subyek penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pasien rawat jalan di RS PKU
Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS PKU
Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta. Waktu
penelitian dilaksanakan pada bulan Januari
2015-Februari 2015.
C. Analisis Data
Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan persepsi pasien terhadap
obat generik diinjau dari dimensi safety,
efficacy, dan acceptability berdasarkan
skor jawaban responden. Persepsi pasien
terhadap obat generik diinjau dari dimensi
safety, efficacy, dan acceptability
digolongkan ke dalam empat kategori
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
28
yaitu sangat baik, baik, buruk, dan sangat
buruk.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Deskriptif Persepsi Pasien
terhadap Kualitas Obat Generik
Persepsi pasien rawat jalan di RS
PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta
terhadap kualitas obat generik dapat dilihat
pada tabel I.
Tabel I. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS PKU
Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik
Persepsi Pasien terhadap
Kualitas Obat Generik
Jumlah Persentase
Sangat baik 11 7,3%
Baik 113 75,3%
Buruk 26 17,3%
Sangat buruk 0 0%
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwasanya
dari 150 responden, persepsi pasien
terhadap kualitas obat generik mayoritas
yaitu sebesar 113 responden (75,3%)
tergolong baik. Secara umum baik dari
dimensi safety, efficacy, maupun
acceptability mayoritas pasien memiliki
persepsi yang baik terhadap kualitas obat
generik.
B. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS
PKU Muhammadiyah Unit 1
Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik Ditinjau dari Dimensi Safety
Persepsi pasien rawat jalan di RS
PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta
terhadap kualitas obat generik ditinjau dari
dimensi safety dapat dilihat tabel 2.
Dimensi safety merupakan syarat
kualitas yang menyangkut keamanan obat
termasuk efek samping yang
ditimbulkannya (Departemen Kesehatan
RI, 1983). Safety menurut konsumen
didefinisikan sebagai tingkat konsekuensi
atau resiko atas penggunaan obat, merujuk
kepada potensi adanya efek samping dan
kontraindikasi (Urbanus, 2013).
Berdasarkan tabel II, dapat
diketahui bahwasanya rata-rata skor
jawaban responden terkait dimensi safety
adalah 3,02. Hal ini bermakna bahwasanya
kualitas obat generik dari dimensi safety
secara rata-rata dipersepsikan dengan baik
oleh responden. Pasien secara umum
percaya dengan safety obat generik. Skor
rata-rata jawaban responden dari dimensi
safety berdasarkan analisis data yang
dilakukan merupakan skor yang tertinggi
dibandingkan dengan kedua dimensi
lainnya, yaitu efficacy dan acceptability.
Hal ini bermakna bahwa safety
merupakan dimensi kualitas yang
dipersepsikan paling baik oleh pasien
dibandingkan dengan dimensi kualitas
lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
29
Tabel II. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi
Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah
Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik Ditinjau dari Dimensi Safety
Keterangan:
STS: Sangat tidak setuju
TS : Tidak setuju S : Setuju
SS : Sangat setuju
Persepsi pasien terhadap kualitas
obat generik berdasarkan rata-rata skor
jawaban responden mulai dari yang
tertinggi hingga yang terendah berturut-
turut yaitu safety, efficacy dan
acceptability. Data selengkapnya dapat
dilihat pada tabel 3 dan 4. Rata-rata skor
jawaban responden pada item-item
pernyataan dimensi safety menunjukkan
persepsi yang baik pasien terhadap kualitas
obat generik. Mayoritas responden yaitu
101 (67,3%) dan 125 (83,3%) berturut-
turut menyatakan setuju proses produksi
dan distribusi obat generik mampu
memastikan bahwa generik aman serta
layak dikonsumsi ketika sampai ditangan
pasien sebagai konsumen. Sebagian besar
responden yaitu 121 (80,7%) menyatakan
yakin dengan keamanan obat generik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
Excellus (2007) yang menyatakan
bahwasanya mayoritas 90% responden
yakin bahwasanya obat generik sama
amannya dengan obat branded.
Mayoritas 118 (78,7%) responden
juga setuju bahwasanya obat generik
disetujui peredarannya oleh Balai
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
sebagaimana obat branded di Indonesia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
Pernyataan Sub
dimensi
STS TS S SS Rata-rata
n % n % n % n %
Label berisi informasi obat yang jelas
memastikan bahwa obat generik aman digunakan ketika sampai di tangan saya
sebagai konsumen
Label obat 2 1,3% 4 2,7% 90 60,0% 54 36,0% 3,31
Proses produksi obat generik mampu
memastikan bahwa obat generik aman dan layak dikonsumsi ketika sampai di tangan
saya sebagai konsumen
Keamanan 0 0 % 10 6,7% 101 67,3% 39 26,0% 3,19
Dibandingkan dengan obat branded, obat
generik memiliki efek samping yang lebih
banyak
Efek
samping
9 6,0% 106 70,7% 31 20,7% 4 2,7% 2,80
Saya percaya keamanan obat generik
karena mencantumkan label yang lengkap (nama obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa,
indikasi, dosis/aturan pakai, nama &
alamat pabrik, no batch, dan no registrasi)
Label obat 1 0,7% 17 11,3% 110 73,3% 22 14,7% 3,02
Proses distribusi obat generik mampu
memastikan bahwa obat generik aman dan
layak dikonsumsi ketika sampai di tangan saya sebagai konsumen
Keamanan 1 0,7% 12 8,0% 125 83,3% 12 8,0% 2,99
Saya kurang yakin dengan keamanan obat
generik
Keamanan 12 8,0% 121 80,7% 16 10,7% 1 0,7% 2,96
Obat generik disetujui peredarannya oleh BPOM sebagaimana obat branded di
Indonesia
Keamanan 3 2,0% 20 13,3% 118 78,7% 9 6,0% 2,89
Rata-rata Skor 3,02
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
30
Excellus (2007) yang menyatakan
mayoritas 90% responden setuju
bahwasanya obat generik disetujui
peredarannya oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagaimana obat
branded. Terkait pernyataan ini, langkah
mudah yang dapat dilakukan pasien yaitu
melakukan pemeriksaan nomor registrasi
yang tercantum pada kemasan ketika
membeli atau menerima obat. Nomor
registrasi merupakan nomor identitas yang
dikeluarkan oleh BPOM setelah proses
registrasi obat tersebut disetujui. Bila tidak
tercantum nomor registrasi, obat tersebut
kemungkinan ilegal atau bahkan palsu.
Nomor registrasi yang dicantumkan
sebagai tanda izin edar absah yang
diberikan oleh pemerintah pada setiap
kemasan obat dipersepsikan konsumen
sebagai bentuk pemastian bahwasanya
obat generik disetujui peredarannya oleh
BPOM sebagaimana obat branded.
Item pernyataan dengan skor
tertinggi menunjukkan persepsi yang
sangat baik terhadap kualitas obat generik,
yaitu terkait label obat. Hampir semua
informasi keselamatan obat yang
dibutuhkan oleh konsumen secara ilmiah
dapat ditemukan di label pada kemasan
obat (Urbanus, 2013). Label obat
umumnya memuat informasi seperti nama
obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa, indikasi,
dosis/aturan pakai, nama & alamat pabrik,
no batch, dan no registrasi. Label pada
produk farmasi mempunyai peran yang
amat penting terutama untuk kepentingan
dan keselamatan konsumen sekaligus
marketing tool. Salah satu aspek yang
dinilai sebelum suatu obat diizinkan untuk
boleh dipasarkan, adalah kelengkapan dan
kebenaran informasi yang terdapat pada
label obat (Sampurno, 2011).
Pernyataan “label berisi informasi
obat yang jelas memastikan bahwa obat
generik aman digunakan ketika sampai di
tangan saya sebagai konsumen”
berdasarkan rata-rata skor jawaban
responden yaitu 3,31. Berdasarkan survei
yang dilakukan, pada item pernyataan
tersebut diketahui mayoritas yaitu 90
responden (60,0%) menyatakan setuju.
Sejalan dengan hasil penelitian
tersebut, item pernyataan terkait label obat
yang lain yaitu pada pernyataan “saya
percaya keamanan obat generik karena
mencantumkan label yang lengkap (nama
obat/zat aktif, tanggal kadaluarsa, indikasi,
dosis/aturan pakai, nama & alamat pabrik,
no batch, dan no registrasi)”, berdasarkan
rata-rata skor jawaban responden yaitu
3,02. Berdasarkan survei yang dilakukan,
pada item pernyataan tersebut juga
diketahui mayoritas yaitu 110 responden
(73,3%) menyatakan setuju.
Sebagian besar responden yang
menyatakan kesetujuan dengan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
31
tercantumnya label yang lengkap dan jelas
dalam pemastian keamanan obat, secara
tidak langsung menyiratkan bahwasanya
konsumen memiliki minat yang baik
dalam mendapatkan informasi obat dari
label. Sementara itu, minoritas responden
yang menyatakan ketidaksetujuannya
dengan tercantumnya label yang lengkap
dan jelas dalam pemastian keamanan obat
secara tidak langsung menyiratkan
kelompok pasien dengan minimnya minat
konsumen dalam mendapatkan informasi
obat dari label.
Minoritas responden ini
menggambarkan kelompok pasien yang
kecenderungannya memiliki trust yang
tinggi dengan tenaga kesehatan baik itu
dokter maupun apoteker. Setiap obat yang
diberikan oleh tenaga kesehatan oleh
pasien langsung dipercaya sebagai obat
dengan kualitas yang baik dan pasien
merasa cukup dengan penjelasan informasi
singkat dari tenaga kesehatan. Pasien
cenderung merasa kurang perlu untuk
memeriksa label yang berisi informasi
obat. Padahal label yang berisi informasi
komprehensif mengenai informasi produk
obat tersebut perlu diketahui oleh
konsumen. Menurut Urbanus (2013),
pasien pada kelompok minoritas ini
menunjukkan minatnya untuk
mendapatkan informasi obat dari label
sebagai bentuk evaluasi keamanan obat
cenderung hanya ketika mendapati efek
samping saat mengonsumsi obat. Selain itu
pada pasien dengan kondisi penyakit akut
atau kronis, pasien yang merasa tidak
mendapatkan pengobatan yang efektif, dan
pasien yang pada saat yang bersamaan
mengonsumsi beberapa obat sekaligus.
Sejalan dengan hal tersebut,
laporan Syhakhang et al., (2004)
menyatakan bahwasanya konsumen di
beberapa negara berkembang memiliki
trust terhadap dokter dan apoteker dalam
penyedian obat yang berkualitas baik.
Kecenderungan tersebut pada kelompok
pasien ini juga karena mengingat sebagian
besar responden menjadikan tenaga
kesehatan baik itu dokter maupun apoteker
sebagai sumber pengetahuan utama
mengenai obat-obatan.
Trust yang tinggi terhadap dokter
dan apoteker di satu sisi memang positif,
tetapi seringkali dalam praktiknya tenaga
kesehatan baik itu dokter maupun apoteker
tidak punya cukup waktu untuk
memberikan informasi mengenai obat
yang akan digunakan oleh pasien yang
bersangkutan. Oleh sebab itu minat
konsumen dalam mendapatkan informasi
obat dari label secara mandiri menjadi hal
yang penting.
Minat konsumen dalam
mendapatkan informasi obat dari label
secara mandiri yang rendah tidak dapat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
32
sepenuhnya dipersalahkan kepada pasien
semata, informasi obat yang terdapat di
label seringkali dirasakan terlalu
complicated bagi pasien awam sehingga
pasien sangat malas untuk membacanya.
Padahal label tersebut telah dipersiapkan
secara serius oleh produsen yang
bersangkutan dan dievaluasi secara cermat
oleh Tim Evaluasi yang ada di Badan
Regulatori Obat. Informasi yang ada dalam
kemasan itu sebenarnya sangat bermanfaat
bagi pasien (Sampurno, 2011).
Menurut laporan Institute of
Medicine (IOM) Amerika Serikat tahun
2006 yang bertopik Preventing Medication
Errors, disebutkan bahwa di Amerika
Serikat setiap tahun terjadi lebih dari 1,5
juta kejadian efek samping obat lebih dari
sepertiganya adalah pasien rawat jalan
dengan nilai kerugian sekitar US$ 1 milyar
tiap tahunnya. Laporan tersebut
menyatakan penyebab utamanya label obat
yang menyebabkan terjadinya kesalahan
medikasi (medication errors) dan Adverse
Drug Event (ADEs) karena pasien tidak
memahami dengan benar instruksi yang
terdapat pada label obat. Oleh karena itu
kemampuan pasien untuk mengerti dan
paham terhadap instruksi yang terdapat
pada label adalah sangat kritikal.
Disamping adanya fakta bahwa informasi
yang ada pada label kurang dipahami
oleh pasien, sebagaimana diungkapkan
sebelumnya para dokter dan apoteker di
Amerika Serikat tidak punya cukup waktu
untuk memberikan konseling mengenai
obat yang akan digunakan oleh pasien
yang bersangkutan (Sampurno, 2011).
Berbagai temuan di Amerika
Serikat yang dilaporkan antara lain
menyatakan kurangnya standar dan
regulasi terkait labelling obat merupakan
akar penyebab misunderstanding dan
medication error. Dibutuhkan praktik
evidence-based yang seharusnya berperan
sebagai guide konten dan format labelling.
Petunjuk penggunaan obat pada label
sangat penting untuk pasien dan
seharusnya ringkas serta jelas. Bahasa
yang digunakan harus distandarisasi untuk
meningkatkan pemahaman pasien guna
pengobatan yang efektif dan aman.
Labelling obat seharusnya dipandang
sebagai bagian sistem yang terintegrasi
dari informasi pasien (Sampurno, 2011).
Menurut Engel et al. (1995) harapan yang
diciptakan oleh label cukup kuat untuk
mengubah persepsi konsumen atas produk.
Item pernyataan dengan skor
terendah pada dimensi safety ditunjukkan
item terkait efek samping obat. Menurut
definisi WHO, efek samping obat
merupakan segala sesuatu khasiat yang
tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Obat yang ideal bekerja secara selektif
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
33
artinya hanya berkhasiat terhadap keluhan
atau gangguan tertentu tanpa aktivitas lain.
Semakin selektif suatu obat terhadap target
aksi tertentu, semakin kecil efek
sampingnya dengan demikian semakin
aman obat tersebut (Tjay dan Rahardja,
2002).
Pernyataan “dibandingkan dengan
obat branded, obat generik memiliki efek
samping yang lebih banyak”, berdasarkan
rata-rata skor jawaban responden yaitu
2,80. Berdasarkan survei yang dilakukan,
pada item pernyataan tersebut diketahui
meski mayoritas responden menyatakan
setuju tetapi persentasenya hanya
menunjukkan 70,7%. Hal ini
menggambarkan masih cukup banyaknya
pasien yang meragukan keamanan obat
generik ditinjau dari sisi efek samping
obat.
Akan tetapi penilaian ini juga
memungkinkan sebagai penilaian orang
awam terhadap efek samping obat. Jika
tidak ada keluhan-keluhan misalnya
jantung berdebar-debar, mulut terasa
kering, dan mual sebelum minum obat
kemungkinan besar pasien memang
mengalami efek samping obat. Akan tetapi
pada dasarnya tidak mudah untuk
membedakan apakah hal tersebut suatu
efek samping atau gejala penyakit lain
pasien, apalagi jika hal tersebut secara
bersamaan. Hasil penelitian terkait hal
yang sama oleh Al-Gedadi et al. (2008)
menunjukkan persentase yang lebih tinggi,
yaitu 127 responden (31,2%) menyatakan
bahwasanya obat generik lebih banyak
efek samping dibandingkan dengan obat
branded. Hasil penelitian oleh Mainar dan
Arteida (2012) bahkan menunjukkan
persentase yang lebih tinggi dibandingkan
studi sebelumnya, yaitu 42,3% responden
menyatakan bahwasanya obat generik
lebih banyak efek samping dibandingkan
dengan obat branded.
C. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS
PKU Muhammadiyah Unit 1
Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik Ditinjau dari Dimensi
Efficacy
Persepsi pasien rawat jalan di RS
PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta
terhadap kualitas obat generik ditinjau dari
dimensi efficacy dapat dilihat tabel 3.
Dimensi efficacy berarti obat yang
berkualitas harus dapat memberikan efek
terapi yang diinginkan sesuai dengan
indikasi yang telah ditentukan
(Departemen Kesehatan RI, 1983).
Efficacy merupakan respon maksimal yang
dihasilkan suatu obat. Efficacy menurut
konsumen didefinisikan sebagai potensi
obat untuk menyembuhkan penyakit atau
meredakan gejala penyakit (Syhakhang et
al., 2004).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
34
Berdasarkan tabel 3, dapat
diketahui bahwasanya rata-rata skor
jawaban responden terkait dimensi efficacy
adalah 2,75. Hal ini bermakna bahwasanya
kualitas obat generik dari dimensi efficacy
secara rata-rata dipersepsikan dengan baik
oleh responden.
Tabel III. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah
Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat Generik
Ditinjau dari Dimensi Efficacy
Keterangan:
STS: Sangat tidak setuju TS : Tidak setuju
S : Setuju
SS : Sangat setuju
Seluruh rata-rata skor jawaban
responden pada item-item pernyataan
dimensi efficacy juga menunjukkan
persepsi yang baik pasien terhadap kualitas
obat generik. Hal ini secara umum
bermakna pasien percaya dengan efficacy
obat generik. Mayoritas responden yaitu
101 responden (67,3%) menyatakan setuju
bahwasanya obat generik merupakan obat
yang manjur dan ampuh untuk mengobati
gangguan kesehatan. Sejalan dengan hal
tersebut, sebagian besar responden yaitu
100 responden (66,7%) juga menyatakan
bahwasanya obat generik memberikan
hasil yang memuaskan dalam
menyembuhkan masalah kesehatan yang
dialami. Item pernyataan dengan skor
tertinggi ditunjukkan pernyataan
“dibandingkan dengan obat branded, obat
generik kurang efektif”, berdasarkan rata-
rata skor jawaban responden yaitu 3,00.
Berdasarkan survei yang dilakukan, pada
item pernyataan tersebut diketahui
mayoritas responden yaitu 122 (81,3%)
menyatakan tidak setuju.
Menurut sebuah studi di bagian
utara New York yang melibatkan 2003
responden oleh Excellus (2007), mayoritas
83% responden setuju obat generik sama
efektifnya dengan obat branded. Studi oleh
Igbinovia (2007) menunjukkan hal yang
Pernyataan Sub dimensi STS TS S SS Rata-rata
n % N % n % n %
Dibandingkan dengan obat
branded, obat generik bekerja kurang efektif
Kemanjuran 14 9,3% 122 81,3% 14 9,3% 0 0% 3,00
Obat generik merupakan
obat yang manjur dan ampuh
untuk mengobati gangguan kesehatan yang saya alami
Kemanjuran 8 5,3% 30 20,0% 101 67,3% 11 7,3% 2,77
Dibandingkan dengan obat
branded, bagi saya obat generik membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk
memberikan efek yang saya inginkan
Onset obat 4 2,7% 88 58,7% 45 30,0% 13 8,7% 2,55
Obat generik memberikan
hasil yang memuaskan
dalam menyembuhkan masalah kesehatan yang saya
alami
Kemanjuran 8 5,3% 38 25,3% 100 66,7% 4 2,7% 2,67
Rata-rata Skor 2,75
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
35
sama, mayoritas reponden yaitu 55%
responden menyatakan bahwasnya obat
generik sama efektifnya dengan obat
branded. Demikian juga dengan hasil
penelitian oleh Shrank et al. (2009) yang
menunjukkan minoritas responden setuju
bahwasanya obat branded lebih efektif
dibandingkan dengan obat generik.
Onset merupakan kecepatan obat
untuk mendapatkan efek terapi, waktu obat
dikonsumsi sampai menimbulkan efek
terapi. Item pernyataan dengan skor
terendah ditunjukkan item terkait onset
obat. Pernyataan “dibandingkan dengan
obat branded, bagi saya obat generik
membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk memberikan efek yang saya
inginkan”, berdasarkan rata-rata skor
jawaban responden yaitu 2,55.
Berdasarkan survei yang dilakukan,
pada item pernyataan tersebut diketahui
mayoritas responden yaitu 88 responden
(58,7%) menyatakan tidak setuju. Terkait
hal ini, hasil penelitian oleh Mainar dan
Arteida (2012) menunjukkan 36,1%
pasien menyatakan setuju obat generik
membutuhkan waktu yang sama
dibandingkan obat branded untuk
memberikan efek yang diinginkan.
Onset obat pada faktanya masih
membutuhkan beragam parameter dan
pengujian yang menjelaskan serta
membuktikan hal tersebut. Onset obat
generik dan obat branded generik
kemungkinan sama dan kemungkinan juga
berbeda. Hal ini tidak dapat terlepas dari
beragam faktor yang mempengaruhinya
salah satunya zat tambahan obat misalnya
zat pengisi, pembawa, dan penghancur
(IAI Bali, 2013).
D. Persepsi Pasien Rawat Jalan di RS
PKU Muhammadiyah Unit 1
Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik Ditinjau dari Dimensi
Acceptability
Persepsi pasien rawat jalan di RS
PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta
terhadap kualitas obat generik ditinjau dari
dimensi acceptability dapat dilihat pada
tabel 4.
Dimensi acceptability berarti obat
yang berkualitas harus dapat diterima oleh
konsumen. Acceptability menyangkut
bentuk sediaan obat, warna, rasa, dan
kemasan yang menarik serta sesuai dengan
keinginan konsumen sehingga dapat
memberikan kepuasan kepada konsumen
(costumer satisfaction) (Departemen
Kesehatan RI, 1983) Acceptability
menurut konsumen didefinisikan sebagai
performansi obat untuk memenuhi
keinginan konsumen. Acceptability
merupakan tingkat kepuasan konsumen
terhadap obat (Urbanus, 2013).
Berdasarkan tabel IV, dapat diketahui
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
36
bahwasanya rata-rata skor jawaban
responden terkait dimensi acceptability
adalah 2,73. Hal ini bermakna bahwasanya
kualitas obat generik dari dimensi
acceptability secara rata-rata dipersepsikan
dengan baik oleh responden.
Tabel IV. Distribusi Jawaban Responden tentang Persepsi
Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah
Unit 1 Yogyakarta terhadap Kualitas Obat
Generik Ditinjau dari Dimensi Acceptability
Rata-rata skor jawaban responden pada
item-item pernyataan dimensi acceptability
menunjukkan persepsi yang baik pasien
terhadap kualitas obat generik. Mayoritas
responden yaitu 110 (73,3%) dan 131
(87,3%) berturut-turut menyatakan setuju
bahwasanya obat generik memiliki warna
dan bentuk yang meyakinkan bagi pasien
sebagai konsumen. Sebagian besar
responden yaitu 117 (78,7%) menyatakan
ketidakengganan menggunakan obat
generik karena rasanya. Akan tetapi
berbeda dengan dimensi kualitas obat
lainnya, pada dimensi acceptability
diketahui terdapat item pernyataan yang
menunjukkan persepsi buruk terhadap
kualitas obat generik, yaitu terkait
tampilan obat.
Secara tradisional kemasan
dimaknai untuk mewadahi dan melindungi
produk (Sampurno, 2011). Pernyataan
“obat generik memiliki kemasan yang
meyakinkan bagi saya sebagai konsumen”,
berdasarkan rata-rata skor jawaban
responden yaitu 2,68. Berdasarkan survei
yang dilakukan, pada item pernyataan
tersebut diketahui mayoritas yaitu 107
responden (71,3%) menyatakan setuju.
Dapat dinyatakan fungsi kemasan yang
secara tradisional dimaknai untuk
mewadahi dan melindungi produk dengan
demikian telah terpenuhi dengan baik
menurut persepsi responden.
Akan tetapi, lebih dari sekedar
fungsi kemasan yang secara tradisonal
yang dimaknai untuk mewadahi dan
melindungi produk; kemasan juga
memiliki banyak fungsi untuk memberi
nilai tambah bagi attractiveness produk
Pernyataan Sub dimensi STS TS S SS Rata-rata
n % n % n % n %
Obat generik memiliki warna yang meyakinkan bagi saya
sebagai konsumen
Warna 0 0% 37 24,7% 110 73,3% 3 2,0% 2,77
Saya enggan menggunakan
obat generik karena rasanya tidak enak
Rasa 11 7,3% 117 78,0% 22 14,7% 0 0% 2,93
Obat generik memiliki bentuk
yang meyakinkan bagi saya sebagai konsumen
Bentuk 0 0% 17 11,3% 131 87,3% 2 1,3% 2,90
Obat generik memiliki
kemasan yang meyakinkan
bagi saya sebagai konsumen
Kemasan 11 7,3% 29 19,3% 107 71,3% 3 2,0% 2,68
Tampilan obat generik kurang
menarik bagi saya
Tampilan 5 3,3% 55 36,7% 81 54,0% 9 6,0% 2,37
Rata-rata Skor 2,73
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
37
dengan desain warna yang menarik serta
deskripsi produk yang elegan sehingga
mengundang orang untuk membeli dan
menggunakannya (Sampurno, 2011).
Menurut Hague dan Jackson (1993)
produk yang kemasannya dirancang untuk
memperbaiki produknya dan merangsang
pelanggan sehingga menambah customer
satisfaction. Jika kemasan membuat
produk itu lebih menarik, kemasan itu
memberinya nilai tambah. Menurut Peter
dan Olson (2000) warna kemasan bahkan
juga dianggap memiliki dampak yang
penting terhadap afeksi, kognisi, dan
perilaku konsumen. Dampak ini lebih dari
sekedar menarik perhatian konsumen
dengan cara menggunakan warna yang
menarik perhatian.
Terkait dengan hal tersebut,
pernyataan “tampilan obat generik kurang
menarik bagi saya” berdasarkan rata-rata
skor jawaban responden yaitu 2,37.
Berdasarkan survei yang dilakukan, pada
item pernyataan tersebut diketahui
mayoritas responden yaitu 81 (54,0%)
menyatakan setuju. Obat branded generic
tampilan kemasannya berwarna-warni dan
menarik konsumen. Dibandingkan dengan
obat branded generic, tampilan obat
generik sangat sederhana. Obat generik
dalam praktiknya seringkali diserahkan ke
pasien tanpa kemasan. Konsumen bahkan
kadang mendapatkan obat tanpa identitas
nama obat sama sekali (Urbanus, 2013).
Terkait tampilan obat generik yang
sangat sederhana ini, Direktur Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D
menyatakan bahwasanya tampilan obat
generik merupakan salah satu faktor
penting yang menentukan keinginan pasien
untuk memilihnya. Bentuk tampilan
kemasan yang berupa botol-botol besar
yang berisi obat dalam jumlah besar
seharusnya sudah ditiadakan. Jika obat
branded generic atau paten dikemas dalam
bentuk strip, maka obat generik seharusnya
juga demikian. Tampilan obat generik
perlu dibuat lebih menarik, dengan
demikian diharapkan citra obat generik
akan menjadi lebih baik di masyarakat
(Kartika, 2013).
Hasil studi terdahulu oleh Urbanus
(2013) bahkan menyebutkan kemasan obat
generik yang sangat sederhana
menyebabkan konsumen meragukan safety
dan efficacy obat. Akan tetapi, hal ini tidak
tergambar dalam pelaksanaan penelitian
ini. Meskipun berdasarkan survei yang
dilakukan persepsi tentang tampilan dan
kemasan (desain) obat generik termasuk
kategori buruk responden tetap memiliki
persepsi yang baik terhadap kualitas obat
generik ditinjau dari dimensi safety dan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
38
efficacy obat. Kemasan obat
generik sebagai indikator oleh pasien
dalam melakukan penilaian kualitas obat
generik juga sesuai dengan studi oleh
Babar et al. (2010).
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat
berdasarkan penelitian yang dilakukan
adalah persepsi pasien rawat jalan RS PKU
Muhammadiyah Unit 1 Yogyakarta
terhadap kualitas obat generik ditinjau dari
dimensi safety, efficacy, dan acceptability
secara umum baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gedadi, N.A., Hassali, M.A., dan
Shafie, A.A., 2008. A pilot survey
on perceptions and knowledge of
generic medicines amongconsumers
in Penang Malaysia. Pharmacy
Practice, 6 (2): 93–97.
Anonim. 2012. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Masyarakat. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta
Babar, Z.U.D., Stewart, J., Reddy, S.,
Alzaher, W., Vareed, P., Yacoub, N.,
2010. An Evaluation of Consumers’
Knowledge, Perceptions, and
Attitudes Regarding Generic
Medicines in Auckland. Pharm
World Sci, 32, 440–448.
Binfar Kementerian Kesehatan RI. 2014.
Wawancara RCTI tentang
Peredaran Obat Generik di Pasaran.
http://www.binfar.org/wawancara-
rcti-tentang-peredaran-obat-generik-
di-pasaran/ Diakses tanggal 12
Agustus 2014
Departemen Kesehatan RI, 1983.
Kebijakan Obat Nasional.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Engel, J.F., Blackweel, R.D., dan Miniard,
P.W., 1995. Perilaku Konsumen.
Binarupa Aksara, Jakarta.
Excellus. 2007. Survey of Consumer
AttitudesToward Generic Drugs.
Excellus Blue Cross Blue Shield. 1–
22.
Firth, J.D. 2001. Scientific Background of
Medicine 2: Medical Masterclass.
Royal college of physicians, London.
Hague, P. dan Jackson, P., 1993. Riset
Pemasaran Dalam Praktik. Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
IAI Bali. 2013. Salah Persepsi Obat Paten
dan Obat Generik
<http://www.ikatanapotekerindonesi
abali.com/main/index.php/berita/beri
ta-terbaru/86-salah-persepsi-obat-
paten-dan-obat-generik//>. Diakses
pada 23 Maret 2015
Igbinovia, M.E.. 2007. The Perceived
Benefits of Generic Versus Branded
Medicines. Tesis. Pretoria.
Jakarta Post. 2010. Distrust Keeps Generic
Drug Use Low. Jakarta Post edisi 3
Agustus 2010.
Kartika, U., 2013. Cerdas Pilih Obat
Generik Sukseskan JKN 2014,
diakses pada
27Januari2015<http://health.kompas.
com/read/2013/12/29/2046228/Cerd
as.Pilih.Obat.Generik.Sukseskan.JK
N.2014>.
Mainar, A.S. dan Arteida, N., 2012.
Physicians’ and Patients’ Opinions
on The Use of Generic Drugs. J
Pharmacol Pharmacother, 3 (3):
268–270.
Peter, J.P. dan Olson, J.C., 2000.
Consumer Behavior Perilaku
Konsumen Dan Strategi Pemasaran.
Erlangga, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 25-39
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
39
Priyambodo, B. 2007. Manajemen
Farmasi Industri. Global Pustaka
Utama, Yogyakarta.
Sampurno, 2011. Manajemen Pemasaran
Farmasi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Shrank, W.H., Cox, E., Fischer, M.A.,
Mehta, J., dan Choudhry, N.K..
2009. Patients’ Perceptions Of
Generic Medications. Health Aff
(Millwood). Vol. 28 (2): 546–556.
Syhakhang, L., Freudenthal, S., Tomson,
G., dan Wahlstrom, R., 2004.
Knowledge and Perception of Drug
Quality among Drugs Seller and
Consumers in Lao PDR. Health
Policy and Planning, 19 (6): 391–
401.
Syhakhang, L., Freudenthal, S., Tomson,
G., dan Wahlstrom, R.. 2004.
Knowledge and Perception of Drug
Quality among Drugs Seller and
Consumers in Lao PDR. Health
Policy and Planning. Vol. 19 (6):
391–401.
Tjay, T. dan Rahardja, K., 2002. Obat-
Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,
Dan Efek-Efek Sampingnya. Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Urbanus, C.B., 2013. 'Price and Brand
Name as Indicators of Quality
Dimensions for Generic Drugs',
Tesis, MM, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Waber, R.L., Shiv, B., dan Carmon, Z.
2008. Commercial features of
placebo and therapeutic efficacy.
JAMA, Vol. (9): 1016–1
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
40
Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert
Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah
Ulin Banjarmasin
*Mochammad Maulidie Alfiannor Saputera, Ratih Pratiwi Sari
Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Obat high alert merupakan obat-obat yang memiliki risiko tinggi
membahayakan keselamatan pada pasien jika tidak digunakan secara tepat. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No.58 Tahun 2014 kategori obat high alert dibagi
menjadi 3, diantaranya Elektrolit konsentrat tinggi, LASA (Look Alike Sounds Alike)
dan Sitostatik. Obat high alert harus disimpan terpisah dan diberi penandaan khusus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase kesesuaian penyimpanan
obat high alert dan persentase kesesuaian penyimpanan masing-masing kategori obat
high alert. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian
dilakukan pada 25 April - 05 Mei 2016 di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin.
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh obat high alert yang ada di
Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin. Teknik sampling yang digunakan adalah
teknik sampling jenuh. Alat penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data
berupa lembar observasi. Hasil persentase kesesuaian penyimpanan obat high alert dari
6 depo obat di Instalasi Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak 42,62% yang sesuai
dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2104 dan
persentase kesesuaian penyimpanan masing-masing kategori obat high alert yang sesuai
dengan SOP RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2014 adalah elektrolit konsentrat tinggi
sebanyak 80%, LASA (Look Alike Sound Alike) sebanyak 21,16% dan Sitostatik
sebanyak 26,71%.
Kata Kunci: Kesesuaian, Penyimpanan, Obat High Alert, Instalasi Farmasi
ABSTRACT
High alert drugs are drugs that have a high risk of endangering the safety of
patients if not used properly. According to the Regulation health minister No. 58 of 2014
high-alert drugs are divided into three categories, including high concentrations of
electrolytes, LASA (Look Alike Sounds Alike) and cytostatic. High alert medication should
be stored separately and given special notation. The purpose of this study was to determine
the percentage of high alert medications storage suitability and storage suitability of the
percentage of each category of high-alert medications. The kind of research used is
descriptive research. The research was done on April 25 - May 5 in 2016 in pharmacy
installation of Ulin regional public hospital Banjarmasin. Population and sample in this
study are all high alert medications in pharmacy installation of Ulin regional public
hospital Banjarmasin. The sampling technique used is saturated sampling technique.
Research tool used for data collection in the form of observation sheets. The results of the
percentage of high alert medications storage suitability of the six installation drug of in
pharmacy installation of Ulin local general hospital Banjarmasin as much as 42.62% in
accordance with SOP (Standard Operating Procedure) Ulin Regional Public Hospital
Banjarmasin in 2014 and storage suitability percentage of each category of high alert
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
41
medications in accordance with SOP Ulin Regional Public Hospital Banjarmasin in 2014
is highly concentrated electrolyte as much as 80%, LASA (Look Alike Sound Alike) of
21.16% and a cytostatic as much as 26.71%.
Keywords: Suitability, Storage, High Alert drugs, Pharmacy Installation
I. PENDAHULUAN
Pelayanan kefarmasian di rumah
sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat
termasuk pelayanan farmasi klinik.
Termasuk keputusan untuk menggunakan
terapi obat, pertimbangan pemilihan obat,
dosis, rute dan metode pemberian,
pemantauan terapi obat serta pemberian
informasi dan konseling pada pasien
(American Societharmacist, 1993).
Pelayanan kefarmasian merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait Obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu pelayanan kefarmasian,
mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada
produk (drug oriented) menjadi paradigma
baru yang berorientasi pada pasien (patient
oriented) dengan filosofi pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care)
(DepKes, 2014).
Menurut Permenkes RI no 58
Tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Maka Rumah
Sakit perlu mengembangkan kebijakan
obat untuk meningkatkan keamanan,
khususnya obat yang perlu diwaspadai
(high-alert medications). Obat High Alert
adalah obat yang harus diwaspadai karena
sering menyebabkan terjadi kesalahan
serius (sentinel event), obat yang berisiko
tinggi menyebabkan dampak yang tidak di
inginkan (adverse outcome). Adapun yang
termasuk Obat High Alert adalah Elektrolit
konsentrat tinggi, LASA (Look Alike
Sound Alike) dan Sitostatik/Obat kanker.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bayang (2010)
menunjukkan bahwa kesalahan dalam
pemberian obat disebabkan oleh prosedur
penyimpanan obat yang kurang tepat
khususnya untuk obat LASA (Look Alike
Sound Alike) yaitu obat-obatan yang
bentuk/rupanya dan
pengucapannya/namanya mirip.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan penelitian meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer
yang diperoleh dari pengamatan langsung
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
42
seperti lembar observasi yang berisi
ketentuan mengenai kesesuaian
penyimpanan obat high alert di Instalasi
Farmasi RSUD Ulin Banjarmasin periode
April - Mei 2016. Data sekunder yang
diperoleh dengan pengamatan dokumen,
meliputi: dokumen berupa SOP RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2014.
B. Metode
Teknik yang digunakan adalah
teknik sampling jenuh, yaitu semua
populasi dijadikan sebagai sampel.
Data yang sudah di kumpulkan dari
lembar observasi kemudian diolah dengan
cara mengelompokkan antara data
penyimpanan obat high alert kategori
Elektrolit Konsentrat Tinggi, LASA (Look
Alike Sound Alike) dan Sitostatik yang
sesuai dan tidak sesuai. Pada penelitian ini
dilakukan analisis presentase dan disajikan
dalam bentuk tabel, dengan rumus :
(Mahfoedz, 2010)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada 6
Depo, yaitu Depo Logistik, Depo
Handling Central Cytostatic, Depo
Umum, Depo BPJS, Depo IGD, dan Depo
Tulip. Hasil menunjukkan dari 6 depo
terdapat 42,62% yang sesuai dan yang
tidak sesuai sebesar 57,38%.
Hasil menunjukkan bahwa
penyimpanan obat high alert kategori
Elektrolit konsentrat tinggi yang 100%
sesuai terdapat pada Depo Logistik
(Gudang), Depo Umum, dan Depo Tulip
karena jumlah obat Elektrolit konsentrat
tinggi yang sedikit. Sedangkan untuk
penyimpanan Elektrolit konsentrat tinggi
yang tidak sesuai dengan SOP, terdapat
pada Depo BPJS (75%) dan Depo IGD
(25%). Ketidaksesuaian dikarenakan tidak
adanya stiker obat high alert pada
kemasan Elektrolit konsentrat tinggi. Hal
ini dikarenakan kurangnya sikap disiplin
tenaga kefarmasian terhadap SOP tentang
penyimpanan obat high alert. Sehingga
masih ada Elektrolit konsentrat tinggi yang
tidak mencantumkan stiker pada
kemasannya.
Kategori LASA yang sesuai
dengan SOP RSUD Ulin yang terbanyak
pada Depo Logistik sebanyak 35,90%,
Depo Umum sebanyak 35,29%, Depo
BPJS sebanyak 13,70%, Depo Tulip
sebanyak 12,90% dan Depo IGD yang
paling sedikit kesesuaiannya yaitu
sebanyak 8%. Hal ini dikarenakan tidak
terdapat stiker LASA dan tidak disimpan
terpisah dengan obat lain. Jumlah
ketidaksesuaian obat LASA yang tertinggi
terdapat pada Depo IGD (92%), kemudian
Depo BPJS (86,30%), dan Depo Tulip
(87,10%). Hal ini dikarenakan Depo IGD
P = F/N x 100 %
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
43
buka selama 24 jam, sehingga petugas
kefarmasian yang ada di Depo IGD lebih
fokus ke pelayanan resep dibandingkan
penyimpanan obat high alert. Untuk
mengatasi masalah tersebut hendaknya
pihak Rumah Sakit menambah jumlah
tenaga Kefarmasian, agar pelayanan obat
maksimal dan petugas kefarmasian dapat
menjalankan tugas dengan baik.
Kategori obat Sitostatik yang sesuai
dengan SOP RSUD Ulin yang terbanyak
pada Depo Logistik sebanyak 75%, pada
Handling Central Cytostatic sebanyak
41,86% dan Depo BPJS sebanyak 16,67%.
Sedangkan untuk urutan obat kanker yang
tidak sesuai dengan SOP, paling tinggi
ketidaksesuaiannya terdapat pada Depo
Umum dan Depo Tulip yaitu sebanyak
100%, kemudian Depo BPJS sebanyak
83,33% dan Depo Handling Central
Cytostatic sebanyak 58,14%.
Ketidaksesuaian dikarenakan tidak
terdapat stiker obat kanker dan stiker obat
high alert pada kemasan obat kanker.
Karena Tenaga Kefarmasian khawatir akan
paparan obat kanker. Hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan tentang cara
penanganan obat Sitostatik yang benar.
Sehingga perlu diadakan pelatihan untuk
penanganan obat Sitostatik.
Tabel I. Lembar Rekapitulasi Kesesuaian Penyimpanan Obat High Alert di 6 Depo Farmasi
RSUD Ulin Banjarmasin
No
Tempat
Pengambilan
Sampel
Kategori Obat
High Alert
Persentase (%)
Sesuai Tidak
Sesuai
1 Depo Logistik
(Gudang)
Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %
LASA (Look Alike Sound Alike) 35,90 % 64,10 %
Sitostatik 75 % 25 %
2 Handling Central
Cytostatic
Elektrolit Konsentrat Tinggi - -
LASA (Look Alike Sound Alike) - -
Sitostatik 41,86 % 58,14 %
3 Depo Umum
Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %
LASA (Look Alike Sound Alike) 35,29 % 64,71 %
Sitostatik 0 % 100 %
4 Depo BPJS
Elektrolit Konsentrat Tinggi 25 % 75 %
LASA (Look Alike Sound Alike) 13,70% 86,30%
Sitostatik 16,67 % 83,33%
5
Depo IGD
(Instalasi Gawat
Darurat)
Elektrolit Konsentrat Tinggi 75 % 25 %
LASA (Look Alike Sound Alike) 8 % 92 %
Sitostatik - -
6 Depo Tulip
Elektrolit Konsentrat Tinggi 100 % 0 %
LASA (Look Alike Sound Alike) 12,90% 87,10%
Sitostatik 0 % 100 %
Jumlah keseluruhan kesesuaian 42,62 % 57,38 %
Sumber: Data primer
Penyimpanan obat high alert yang
masih belum sesuai dengan SOP RSUD
Ulin tahun 2014, dapat menimbulkan
risiko kesalahan distribusi obat ke pasien.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 40-44
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
44
Kekeliruan dalam pengambilan obat high
alert disebabkan penyimpanan obat high
alert yang tidak sesuai denagn SOP RSUD
Ulin tahun 2014, sehingga dapat
membahayakan keselamatan pasien.
Mengingat sistem distribusi di RSUD Ulin
Banjarmasin untuk Rawat Jalan
menggunakan Individual Prescribing/
resep perseorangan, sedangkan untuk
Rawat Inap gabungan antara sistem Unit
Dose Dispensing (UDD) dan One Daily
Dose (ODD). Apabila terdapat
penyimpanan obat high alert yang tidak
sesuai dengan SOP RSUD Ulin tahun
2014, maka akan merugikan dan
membahayakan keselamatan pasien.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah:
1. Persentase kesesuaian penyimpanan
obat high alert yang sesuai dengan SOP
RSUD Ulin Banjarmasin sebanyak
42,62 % dan yang tidak sesuai sebanyak
57,38 %.
2. Persentase kesesuaian penyimpanan
masing-masing kategori obat high alert
berdasarkan SOP RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2014 pada 6 Depo
yaitu, kategori Elektrolit konsentrat
tinggi yang sesuai sebanyak 80% dan
tidak sesuai 20%, untuk kategori
LASA (Look Alike Sound Alike) yang
sesuai sebanyak 21,16% dan tidak
sesuai sebanyak 78,84% dan untuk
kategori Sitostatik yang sesuai
sebanyak 26,71% dan tidak sesuai
sebanyak 73,29%.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2014.
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 58 tahun
2014 Tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit. Jakarta. Depkes RI.
American Society of Hospital Pharmacists.
ASHP, 1993, Medication Therapy
and Patient Care: Organization and
Delivery of Service-Statements,
ASHP, Maryland.
Bayang, T.A., 2013, Analisis Faktor
Penyebab Medication Error di
Rumah Sakit Umum Daerah Anwar
Makatutu Bantaeng Tahun 2013,
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mahfoedz, I., 2010, Metode Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif Bidang
Kesehatan, Keperawatan,
Kebidanan, Kedokteran, Fitramaya,
Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
45
Analisis Kuantitatif Kadar Asam Lemak Bebas
Dalam Minyak Goreng Bekas Di Kecamatan
Banjarmasin Utara
Amaliyah Wahyuni
Akademi Farmasi ISFI Banjarmasin
Email : [email protected]
ABSTRAK
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai media
pengolahan bahan makanan. Penggunaan minyak goreng berulang dengan pemanasan
pada suhu tinggi akan menghasilkan kadar asam lemak bebas. Peningkatan kadar
asam lemak bebas dapat menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya adalah
kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam
minyak goreng bekas ayam (fried chicken) dan menunjukkan apakah memenuhi
standar SNI 01-3741-2013 yaitu maksimal 0,30% pada minyak goreng bekas ayam
(fried chicken) di Kecamatan Banjarmasin Utara. Jenis penelitian adalah penelitian
deskriptif, melibatkan pengujian secara kuantitatif. Teknik pengambilan sampel
berupa accidendal sampling. Populasi penelitian adalah minyak goreng bekas hasil
penggorengan ayam tepung (fried chicken) pedagang di Banjarmasin Utara. Analisis
kuantitatif kadar asam lemak bebas dilakukan menggunakan uji titrasi alkalimetri.
Berdasarkan hasil penelitian dari 8 sampel minyak goreng bekas ayam (fried chicken)
menunjukkan hasil kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas hasil
penggorengan ayam (fried chicken) di Banjarmasin Utara dimulai dari nilai kadar asam
lemak bebas terendah sampai tertinggi yaitu 0,54%, 0,55%, 0,57%, 0,68%, 0,68%,
1,22%, 1,28%, 1,36%. Semua sampel tidak memenuhi standar kadar asam lemak bebas
dan hal ini tidak sesuai dengan SNI 01-3741-2013 yaitu maksimal 0,30%.
Kata Kunci : Analisis Kuantitatif, Asam Lemak Bebas, Minyak Goreng Bekas
ABSTRACT
Cooking oil is one of the basic human needs as food processing media. The use of
cooking oil repeatedly by heating at high temperature will produce high levels of free fatty
acids. Increased levels of free fatty acids can cause various diseases, one of which is
cancer. This study aims to determine how levels of free fatty acids in used cooking oil
chicken (fried chicken) andindicate whether it meets the standard of SNI 01-3741-2013 is a
maximum of 0.30% on used cooking oil chicken (fried chicken) in the District of North
Banjarmasin. This research is a descriptive study, involves testing quantitatively. The
sampling technique in the form of accidental sampling. The study population is the result
of frying oil used cooking flour chicken (fried chicken) banjarmasin traders in the north.
Quantitative analysis of the levels of free fatty acids in used cooking oil made using
titration test alkalimetry. Based on the research results of 8 samples of used cooking oil
chicken (fried chicken) shows the results of the levels of free fatty acids in used cooking oil
result of frying chicken (fried chicken) in North Banjarmasin start from the value of free
fatty acid lowest to highest is 0.54%, 0.55%, 0.57%, 0.68%, 0.68%, 1.22%, 1.28%, 1.36%.
all samples did not meet the standards of free fatty acid and it is not in accordance which
maximum SNI 01-3741-2013 is 0.30%.
Keyword : Quantitative Analysis , Free Fatty Acids, Used Cooking Oil
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
46
I. PENDAHULUAN
Minyak goreng merupakan
minyak yang dimasak bersama bahan
pangan sebagai medium penghantar panas
dalam memasak bahan pangan.Minyak
goreng mengandung vitamin A, D, E, dan
lemak untuk pembentukan sel serta
pertambahan tubuh,sehingga minyak
goreng dapat disebut sehat. Namun,
minyak goreng juga dapat berbahaya bagi
tubuh yang disebabkan oleh
penggunaannya dalam proses memasak
seperti pemanasan dengan suhu tinggi
agar makanan terasa gurih. Pemanasan
suhu tinggi dapat mengoksidasi minyak
goreng dan menghasilkan radikal bebas
(Graha, 2010).
Rusaknya minyak goreng
diakibatkan oleh oksidasi dan lemak
hidrolisis antara lain peroksida, asam
lemak, aldehid, dan keton. Kerusakan
minyak atau lemak akibat pemanasan
suhu tinggi (200◦C-250
◦C) akan
mengakibatkan keracunan dalam tubuh
dan berbagai macam reaksi yang terjadi
selama proses penggorengan seperti
reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi,
dan reaksi dengan logam dapat
mengakibatkan minyak menjadi rusak.
Kerusakan tersebut menyebabkan minyak
menjadi berwarna kecoklatan, lebih
kental, berbusa, berasap, serta
meninggalkan odor yang tidak disukai
pada makanan hasil gorengan. Perubahan
akibat pemanasan tersebut antara lain
disebabkan oleh terbentuknya senyawa
yang bersifat toksik dalam bentuk
hidrokarbon, asam lemak hidroksi,
epoksida, senyawa-senyawa siklik, dan
senyawa senyawa poplimer (Ketaren,
2008).
Zat dan bahan makanan dapat
menimbulkan bahaya jika mengalami
pengolahan kurang tepat seperti cara
menggoreng yang berlebihan, penggunaan
minyak goreng yang berulang kali, dan
pemanasan dengan suhu yang tinggi
(Tapan, 2005). Salah satu makanan yang
memiliki potensi bahaya tersebut adalah
ayam goreng tepung pada ayam goreng
bereaksi dengan minyak panas akan
memproduksi senyawa kimia akrilamida
(karsinogen). Selain itu minyak goreng
yang dipakai berulang kali berpotensi
menimbulkan berbagai macam penyakit
yaitu penyakit jantung, hati, ginjal, dan
menghasikan jenis karsinogen yang akan
menempel pada makanan berikutnya yang
masuk kedalam penggorengan
(Cancerhelps, 2014).
Asam lemak bebas terdapat
didalam lemak atau minyak, terutama dari
sumber nabati. Asam lemak bebas dapat
mengalami perubahan atau kerusakan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
47
baik secara fisik atau kimia. Penyebab
perubahan atau kerusakan ini adalah
kerena proses oksidasi dan hidrolisis
akibat cara penggorengan pada suhu
tinggi dan pemakaian yang berulang.
Asam lemak bebas yang tinggi tidak baik
untuk kesehatan karena asam lemak bebas
membentuk senyawa yang bersifat racun,
radikal bebas dan dapat merangsang
terjadinya kangker atau karsionogen
(Surjadibroto, 2003). Menurut SNI tahun
2013 tentang standar mutu minyak yang
menyatakan bahwa kadar maksimal asam
lemak bebas adalah 0,30 % b/b.
Kecamatan Banjarmasin Utara
dengan luas 8806,29 km2dan memiliki
jumlah penduduk 145,656 jiwa (Badan
Pusat Statistik, 2016). Kecamatan
Banjarmasin Utara dimana terdapat
pedagang kaki lima menjual ayam goreng
dengan harga yang murah dan terjangkau.
Oleh karena itu aktivitas jual beli tinggi
dan terbatasnya waktu anggota keluarga
mengolah makanan sendiri. Hasil Survey
yang telah dilakukan pedagang
mengunakan minyak goreng berulang
tanpa diganti minyak goreng yang baru
dan dapat mempengaruhi kesehatan bagi
yang mengkonsumsi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, peneliti sebagai
mahasiswa ingin mengetahui kadar asam
lemak bebas pada minyak goreng bekas
hasil penggorengan ayam dengan
menggunkan titrasi alkalimetri.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif
melibatkan pengujian secara kuantitatif,
dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Farmasi Akfar ISFI Banjarmasin pada
bulan April 2016 – Juni 2016. Populasi
dari penelitian ini adalah minyak goreng
bekas hasil penggorengan ayam tepung
(fried chicken) pedagang di banjarmasin
utara. Sampel yang digunakan adalah
accidental sampling yaitu teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
siapa saja secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat dijadikan sampel.
survei lapangan yaitu minyak goreng
bekas hasil penggorengan ayam tepung
(fried chicken) di Kecamatan Banjarmasin
Utara. Berdasarkan survei yang telah
dilakukan terdapat 6 sampel minyak
goreng bekas hasil penggorengan ayam
tepung (fried chicken).
Sampel yang diteliti adalah
minyak goreng bekas hasil penggorengan
ayam (fried chicken). Minyak goreng
bekas hasil penggorengan ayam diambil
dari pedagang ayam goreng (fried
chicken) di Kecamatan Banjarmasin
Utara, terdapat 8 sampel minyak goreng
bekas hasil penggorengan ayam dalam
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
48
satu tempat yang berbeda untuk masing-
masing sampel.
Pengambilan sampel minyak goreng
bekas hasil penggorengan ayam (fried
chicken) merupakan minyak goreng yang
sudah mengalami proses penggorengan
berulang kali tanpa diganti minyak goreng
yang baru. Sampel minyak goreng bekas
hasil penggorengan ayam ini berbau
tengik dan warna minyak yang digunakan
dalam penelitian ini berwarna kuning,
coklat kemerahan dan kehitam - hitaman..
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian menggunakan metode
Titrasi Alkalimetri dilakukan dengan
mentitrasi sampel dengan NaOH 0,1 N,
pengujian ini dilakukan 3 replikasi atau
pengulangan yang bertujuan untuk
mempertegas atau memperjelas hasil dari
pengujian sampel. Sampel yang ingin
dititrasi terlebih dahulu ditimbang
sebanyak 10 gram, lalu dimasukkan
dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian 50
ml etanol 96% dicampurkan dengan
sampel, penggunaan etanol berfungsi
untuk melarutkan lemak sehingga dapat
bereaksi dengan NaOH. Sebelum dititrasi,
dilakukan pemanasan hingga mendidih,
pemanasan bertujuan untuk mempercepat
reaksi agar sampel dan etanol larut secara
sempurna. Sampel yang telah tercampur
dengan etanol 96% kemudian ditetesi
indikator phenolptealin sebanyak 3 tetes,
penambahan indikator phenolptealin
bertujuan untuk mengetahui terjadinya
titik ekivalen dengan terjadinya
perubahan warna pada larutan. Setelah itu
dititrasi dengan NaOH 0,1 N dan diamati
secara visual akan berwarna pink atau
merah muda.
Pada penelitian ini didapatkan
hasil akhir yakni perubahan warna pink
susu pada larutan sampel minyak goreng
bekas ayam (fried chicken), karena
dipengaruhi oleh warna sampel minyak
goreng dan minyak goreng yang
dipanaskan dengan etanol 96% akan
berubah warna menjadi larutan keruh
yang dapat dilihat secara visual, sehingga
setelah ditetesi dengan indikator
phenolptealin berubah menjadi warna
pink susu.
Keuntungan analisis kadar asam
lemak bebas menggunakan metode Titrasi
Alkalimetri adalah memerlukan waktu
yang cepat, hasil perubahan warna yang
baik, metode yang digunakan sederhana,
pelarut yang digunakan mudah didapat,
hasil yang diperoleh akurat, peralatan
yang digunakan sederhana dan lebih
ekonomis dibandingkan dengan
spektrofotometri serapan atom.
Kekurangannya yaitu pada penentuan titik
akhir titrasi perubahan warna bisa menjadi
berubah dari warna sebelumnya dan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
49
pembacaan skala pada buret harus sangat
teliti.
Tabel I. Hasil kadar asam lemak bebas pada
minyak goreng bekas ayam goreng (fried chicken)
dari sampel 1 sampai sampel 8
Kode
Sampe
l
Berat
Sampe
l (g)
Kadar
Asam
Lema
k
Bebas
Memenu
hi standar
Tidak
memenu
hi
standar
1 10,3 g 0,68
% − √
2 10,3 g 1,22
% − √
3 10,3 g 0,68
% − √
4 10,3 g 0,54
% − √
5 10,3 g 1,28
% − √
6 10,3 g 0,57
% − √
7 10,3 g 0,55
% − √
8 10,3 g 1,36
% − √
Perhitungan kadar asam lemak
bebas dilakukan 3 replikasi untuk
memperjelas atau mempertegas hasil
kadar asam lemak bebas pada sampel
minyak goreng bekas ayam (fried
chicken) yaitu diperoleh kadar asam
lemak bebas pada masing-masing sampel
dari sampel 1 sampai sampel 8, nilai
kadar asam lemak bebasnya diatas standar
SNI 01- 3741-2013 yaitu maksimal
0,30%. (Badan Standarisasi Nasional,
2013).
Hasil analisis kadar asam lemak
bebas di lihat dari warna minyak goreng
bekas ayam (fried chicken) berpengaruh
terhadap hasil kadar asam lemak bebas
dari makanan yang digoreng. Semakin
gelap warna dari minyak goreng, maka
semakin tinggi kadar asam lemak
bebasnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Austic (2010) yang
menyatakan bahwa semkin tinggi asam
lemak bebas, maka kualitas minyak
semakin turun. Perubahan warna minyak
goreng yang awalnya jernih kekuningan
menjadi lebih gelap dipengaruhi beberapa
faktor, seperti adanya panas akibat suhu
yang tinggi 1800C sampai 200
0C dan
terjadinya reaksi kimia dalam minyak
goreng karena proses oksidasi dan
hidrolisis. Berdasarkan hasil analisis
kadar asam lemak bebas menunjukkan
bahwa asam lemak bebas minyak goreng
bekas ayam (fried chicken) dari sampel 1
sampai sampel 8 hasil kadar asam lemak
bebasnya berbeda.
Perbedaan hasil kadar asam lemak
bebas karena warna minyak yang berbeda
dari masing-masing sampel yaitu sampel
1 berwarna kuning ke merahan, sampel 2
berwarna hitam, sampel 3 berwarna
kuning ke merahan, sampel 4 berwarna
kuning, sampel 5 berwarna hitam, sampel
6 berwarna kuning, sampel 7 berwarna
kuning, sampel 8 berwarna hitam.
Sehingga dapat disimpulkan semakin
hitam warna minyak goreng maka kadar
asam lemak bebasnya semakin meningkat.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
50
Perhitungan kadar asam lemak
bebas menyatakan bahwa dari 8 sampel
yang diuji, nilai kadar asam lemak bebas
pada minyak goreng bekas ayam dimulai
dari nilai yang terendah sampai nilai
tertinggi yaitu 0,54%b/b, 0,55%b/b,
0,57%b/b, 0,68%b/b, 0,68%b/b,
1,22%b/b, 1,28%b/b, 1,36%b/b.
Berdasarkan nilai pada tabel diatas dapat
dinyatakan bahwa semua sampel tidak
memenuhi standar SNI 01-3741-2013
yaitu maksimal 0,30% pada minyak
goreng bekas ayam (fried chicken) dan
minyak goreng tersebut tidak bisa
digunakan untuk menggoreng makanan.
Cara menanggulangi atau saran
agar minyak goreng dapat digunakan
adalah penyimpanan minyak goreng
dalam wadah tertutup rapat dan wadah
yang higienis. Setelah menggoreng sisa
minyak didinginkan dan disaring untuk
membersihkan, mengurangi bau dari sisa
penggorengan sebelumnya. Maksimal
pengulangan penggorengan sebanyak 4
kali, apabila terjadi perubahan warna
gelap pada proses penggorengan maka
harus diganti minyak goreng yang baru.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 8 sampel dengan
menggunakan metode Titrasi Alkalimetri,
maka kadar asam lemak bebas dalam
minyak goreng bekas hasil penggorengan
ayam (fried chicken) di Banjarmasin
Utara dimulai dari nilai kadar asam lemak
bebas terendah sampai tertinggi yaitu
0,54%, 0,55%, 0,57%, 0,68%, 0,68%,
1,22%, 1,28%, 1,36%.
Minyak goreng bekas hasil
penggorengan ayam (fried chicken) di
Banjarmasin Utara diperoleh 8 sampel
tidak memenuhi standar SNI 01-3741-
2013 yaitu 0,30%, karena 8 sampel yang
diuji masing-masing sampel nilai kadar
asam lemak bebasnya melebihi 0,30%.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, A., Sadikin, Y.T., dan
Winarno, F.G., 1997, Pengaruh
lama penggorengan dan
penggunaan adsorben terhadap
mutu minyak goreng bekas
penggorengan tahu-tempe. Buletin
Teknol Dan Industri Pangan. 8 (1) :
40-45
Almatsier, S., 2002, Prinsip Dasar Ilmu
Gizi, Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Austutik, I.A.P., 2010.,Pengaruh suhu
interaksi minyak goreng bekas
Dengan menggunakan karbon aktif
Biji kelor Terhadap angka iodine
dan angka peroksida. Jurusan kimia
Fakultas sains dan teknologi
Universitas islam negeri (uin)
maulana Malik ibrahim, malang.
Badan Pusat Statistik, 2016, Jumlah
Penduduk Kota Banjarmasin,
Banjarmasin
BSN. 2013, Minyak Goreng. SNI 01-
3741-2013, Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 45-51
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
51
Blumenthal, M.M., 1996, Frying
technology, Di dalam: Bailey’s
Industrial Oil and Fat Technology,
Edible Oil and Fat Product: Product
and Application Technology (4th
ed., Vol3).Wiley-Interscience
Publication, New York, pp 429-482.
Choe, E., and D.B. Min., 2007, Chemitry
of Deep-Fat Frying oils, Journal of
food Science, Vol.72(5). Institute
of Food Technologiests.
Febriansyah, Reza., 2007, Mempelajari
pengaruh penggunaan berulang dan
Aplikasi adsorben terhadap kualitas
minyak dan tingkat penyerapan
minyak pada kacang sulut. Fakultas
teknologi pertanian Institut
pertanian bogor, Bogor.
Sudarmadji, S., 2007, Analisa untuk
bahan Pangan dan pertanian,
Liberty. Yogyakarta.
Sutiah, K.S., and Wahyu S.B., 2008, Studi
Kualitas Minyak Goreng dengan
parameter Viskositas dan Indeks
Bias. Jurusan Fisika FMIPA UNDIP
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 52-57
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
52
Analisis Hubungan Karakteristik Terhadap
Persepsi Pasien Diabetes Mellittus Tipe 2 Di RSUD
Ratu Zalecha Martapura
*Eka Agustya Muliastuti, Difa Intannia
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang
ditandai tingginya kadar glukosa darah diakibatkan defisiensi fungsi insulin. DM
merupakan suatu penyakit kronik, dimana ketika seseorang menderita penyakit kronik
maka orang tersebut akan memiliki pandangan tersendiri terhadap penyakitnya.
Faktor yang dapat mempengaruhi pandangan pasien terhadap penyakit adalah adanya
karakteristik pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
karakteristik dengan persepsi pasien DM. Desain penelitian yang digunakan adalah
cross sectional dengan analisis data menggunakan uji korelasi Kendall-Tau. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada pasien DM rawat jalan yang berobat
di poliklinik penyakit dalam RSUD Ratu Zalecha Martapura. Persepsi diukur dengan
kuesioner Brief Illness Perception Questionnaire (BIPQ). Total sampel yang dianalisis
berjumlah 47 orang. Hasil analisis hubungan antara karakteristik dengan persepsi
yaitu usia berhubungan signifikan dengan item identity (0,043) dan concern (0,046),
tingkat pendidikan dengan item Illness Representative (0,012), pekerjaan berhubungan
dengan consequences (0,023), penghasilan dengan timeline (0,009), dan riwayat keluarga
berhhubungan signifikan dengan emotional representative (0,039). Sedangkan
karakteristik jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi.
Kata kunci: persepsi, karakteristik, diabetes mellitus tipe 2, BIPQ
ABSTRACT
Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease which the symptom is the elevation of
blood sugar lever caused by insufficiency of insulin function. DM is chronic disease, when
a person suffers from chronic disease then that person will have its own views against the
disease. Factors that may affect the patient’s view of the disease is the presence of the
characteristics of the patient. This research aims to analyze the correlation between
characteristics and perception of DM patient. The design used is cross sectional study with
data analysis using correlational test Kendall-Tau. This research is done by using
questionnaire and filled by DM out-patient which get their treatment in internal disease
ward at RSUD Ratu Zalecha Martapura. The perception is measured with Brief Illness
Perception Questionnaire (BIPQ). Total sampel analyzed are 47 people. The result of
correlation between characteristics and perception who is significant are age with identity
(0,043) and concern (0,046), education with item Illness Representative (0,012), job with
consequences (0,023), income with timeline (0,009), and family history with emotional
representative (0,039). While the characteristics of gendre does not have a significant
correlation with perception.
Keywords: Perception, characteristics, diabetes mellitus, BIPQ.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
53
I. PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM)
merupakan penyakit yang disebabkan
karena hiperglikemia. Hiperglikemia
terjadi karena pankreas yang tidak mampu
memproduksi insulin dan adanya
defisiensi fungsi insulin (Wilson & Price,
2002). Sejauh mana komplikasi yang
timbul akibat DM pada semua organ serta
semua sistem tubuh sangat tergantung
pada bagaimana cara menjaga agar
glukosa darah selalu berada dalam keadaan
normal. Salah satu hal terpenting bagi
penderita DM adalah melakukan
pengendalian glukosa darah untuk
menjaga dan mengetahui kadar glukosa
darah tetap dalam keadaan normal
(Tandra, 2008). Salah satu hal penting
dalam melakukan perawatan DM adalah
dengan adanya pandangan pasien terhadap
penyakit yang dideritanya atau dapat
dikatakan bagaimana persepsi pasien
terhadap penyakit yang dideritanya.
Model teori Self-Regulatory Model
(SRM) menyatakan bahwa respon
seseorang terhadap penyakit dapat
mempengaruhi tindakan seseorang seperti
melakukan manajemen diri (Gard, 2000).
Persepsi yang buruk dari penyakit yang
diderita dan adanya ketidakpatuhan
terhadap terapi dapat menyebabkan hasil
klinis yang kurang baik bagi pasien
(Youngmee, 2010). Salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi persepsi pasien
adalah adanya karakteristik yang berbeda
dari setiap pasien. Penelitian yang
dilakukan oleh Norfazilah et al. 2013
tentang persepsi pada pasien kronik
hipertensi menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara nilai total
persepsi dengan riwayat keluarga.
II. METODE PENELITIAN
A. Model Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kuantitatif non-eksperimental
dengan desain penelitian korelasional.
Teknik yang digunakan adalah cross
sectional study. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif analitik yaitu
menggambarkan serta menganalisis
hubungan karakteristik terhadap persepsi
pasien DM. Pengambilan data melalui
kuesioner dilakukan pada pasien DM
rawat jalan peserta BPJS di poliklinik
penyakit dalam RSUD Ratu Zalecha dari
Februari-Maret 2016. Penelitian
menggunakan data primer dan sekunder.
Data primer didapat dari wawancara
dengan pasien terdiri dari nama pasien,
jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan,
pekerjaan, penyakit lain, penghasilan,
riwayat keluarga, dan kuesioner persepsi.
Sedangkan data sekunder terdiri dari
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
54
tanggal pasien berobat, diagnosa DM, dan
resep pasien. Pengukuran persepsi pasien
menggunakan metode Brief Illness
Questionnaire (BIP-Q). Penilaian dari
kuesioner BIP-Q dengan skor 1-11 dimana
terdapat 3 item pernyataan negatif yaitu
pada pertanyaan no 3,4, dan 7. Penarikan
kesimpulan dari hasil yang didapatkan
pada kuesioner BIP-Q dengan
mengelompokkan rentang hasil yang
didapat, seperti dibawah ini:
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada pasien
dewasa dengan umur ≥ 17 tahun dengan
minimal telah menjalani pengobatan
selama 2 bulan sebelum penelitian
dilakukan. Sebelumnya, kuesioner BIP-Q
terlebih dahulu divalidasi. Validasi
dilakukan dengan mengambil 30 sampel
pasien di Puskesmas Tanjung Rema
Martapura. Dari hasil uji validitas,
kuesioner BIP-Q ini valid karena hasil
p<0,05 dan reliabel dengan nilai
Cronbanch’s Alpha 0,722. Populasi yang
didapat selama penelitian berjumlah 117
pasien memenuhi inklusi, dan kemudian
terdapat pasien yang dieksklusi
dikarenakan banyak pasien yang menderita
komplikasi penyakit hipertensi, gagal
ginjal, kolesterol dan gagal jantung.
sehingga sampel penelitian ini berjumlah
47 pasien penderita DM.
A. Gambaran Karakteristik Pasien
Gambaran karakteristik pasien dapat
dilihat pada tabel 1, sebagai berikut:
Tabel I. Distribusi Karakteristik Pasien
Karakteristik Jumlah
Pasien
(n=47)
Persentase
(%)
Usia
26-45 Tahun
46-55 Tahun
56-65 Tahun >65 Tahun
7
20
17 3
14,9
42,6
36,2 6,4
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
19 28
40,4 59,6
Tingkat Pendidikan SD
SMP SMA
Sarjana/Diploma
8
6 23
10
17,0
12,8 48,9
21,3
Pekerjaan
PNS
TNI/POLRI
Swasta Pensiunan
Tidak Bekerja
3
1
11 11
21
6,4
2,1
23,4 23,4
44,7
Penghasilan
< Rp. 1.500.000
Rp. 1.500.000 - Rp.
2.500.000 > Rp 2.500.000-Rp.
3.500.000
>Rp 3.500.000
23
3
1
20
48,9
6,4
2,1
42,6
Riwayat Keluarga
Ada
Tidak Ada
17
30
36,2
63,8
B. Gambaran Persepsi Diabetes
Mellitus
Persepsi seseorang terhadap penyakit
terbagi menjadi tiga, yaitu persepsi
kognitif, coping atau tindakan dan
penilaian. Persepsi kognitif terdiri dari
lima komponen yaitu identity, cause,
timeline, consequences, dan control/cure.
Setelah seseorang mengartikan suatu
ancaman maka orang tersebut akan
merencanakan tindakan untuk menangani
ancaman tersebut, dan terakhir pasien akan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
55
melakukan penilaian terkait penyakit yang
dideritanya (Gard, 2000).
Tabel II. Nilai Rata-rata dan Standar
Deviasi Persepsi
Hasil kuesioner BIPQ didapatkan
nilai total rata-rata persepsi pasien DM
sebesar 40,12. Berdasarkan gambaran
persepsi pasien DM dapat ditarik
kesimpulan bahwa pasien cenderung
menganggap penyakit yang dideritanya
mengancam atau berbahaya bagi
kehidupannya. Semakin tinggi nilai yang
didapatkan pada item persepsi maka
semakin pasien menganggap penyakit
yang dideritanya mengancam
kehidupannya.
C. Hubungan Karakteristik dengan
Item Persepsi Pasien Diabetes
Mellitus
Berikut merupakan hasil analisis
hubungan antara karakteristik dengan item
persepsi pasien diabetes mellitus.
Tabel II. Hasil Analisis hubungan
karakteristik dengan item
persepsi pasien DM
Usia JK TP Pek. Peng. RK
r R r R R r
Consequen
ces
-0,172 0,200 -0,018 0,270* -0,190 -0,036
Timeline 0,094 -0,123 0,086 -0,202 0,323* -0,140
Personal
control
0,087 0,176 -0,056 0,163 -0,070 -0,147
Treatment
control
0,191 -0,088 -0,123 -0,042 0,020 0,123
Identity -0,245* 0,026 0,133 -0,043 0,156 -0,131
Concern -0,238* 0,000 0,039 -0,056 -0,034 -0,067
Illness
comprehen
sibility
-0,019 0,115 0,298* -0,104 0,142 -2,17
Emotional
representat
ive
-0,167 0,078 -0,043 0,087 -0,124 -0,265*
*= berhubungan signifikan
Hasil analisis yang didapatkan
yaitu terdapat hubungan yang signifikan
antara item identity (-0,245) dan concern
(-0,238), tingkat pendidikan dengan item
Illness Representative (0,298), pekerjaan
berhubungan dengan consequences
(0,270), penghasilan dengan timeline
(0,323), dan riwayat keluarga berhubungan
signifikan dengan emotional
representative (-0,265). Sedangkan
karakteristik jenis kelamin tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan persepsi.
Terdapat hubungan yang negatif
antara usia dengan identy dan concern,
selain itu hubungan antara riwayat
keluarga dengan emotional representative
juga memiliki hubungan yang negatif.
Artinya semakin bertambahnya usia pasien
maka pasien akan semakin tidak
merasakan kekhawatiran akan penyakit
yang di rasakan dan semakin pasien tidak
Rata-rata ± SD
Item Brief Illness
Perception
Questionnaire (BIPQ)
(n=47)
Consequences Timeline
Control Personal
Treatment Control
Identity
Concern
Illness Comprehensibility
Emotional
Representations
5,70 ± 2,28 6,06 ± 2,92
3,68 ± 2,09
2,63 ± 1,99
4,78 ± 2,10
7,02 ± 3,00
5,23 ± 2,87
5,00 ± 2,66
Jumlah (%)
Penyebab Utama
Diabetes Mellitus
Gaya Hidup Emosional
Keturunan
Kelelahan Penyakit Lain
43(57,3) 12(16,0)
8(10,7)
5(6,7) 1(1,3)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
56
merasakan gejala penyakit yang
dideritanya. Hal ini dapat dikarenakan
pasien telah terbiasa dengan penyakit yang
dideritanya selama ini. Peneliti lain juga
menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara usia dengan persepsi pasien. Pasien
yang lebih muda akan cenderung
menganggap penyakit yang diderita lebih
mengancam hal ini dapat dikarenakan
kurangnya pengalaman dalam menangani
penyakit (Norfazilah et al., 2013).
Sedangkan arti dari hubungan antara
riwayat keluarga pasien dengan emotional
representative menyatakan bahwa pasien
yang memiliki riwayat keluarga akan
memiliki gambaran emosional yang lebih
rendah dalam dirinya dikarenakan
kemungkinan pasien telah memiliki
wawasan terkait cara penanganan penyakit
yang dideritanya.
Sedangkan hubungan yang
didapatkan pada item tingkat pendidikan
dengan illness representative, pekerjaan
dengan consequences, dan penghasilan
dengan timeline memiliki jenis hubungan
yang positif artinya hubungan yang
didapatkan searah. Ketika pasien memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi maka
semakin banyak pula wawasan tentang
penyakit yang dideritanya. Peneliti lain
menyatakan bahwa hubungan antara
pendidikan dengan persepsi pasien yang
memiliki tingkat pendidikan lebih rendah
cenderung akan memiliki kontrol penyakit
yang rendah (Norfazilan et al., 2013).
Sedangkan pasien yang memiliki
pekerjaan tetap atau jelas maka pandangan
pasien terkait rasa khawatir dalam
menjalani kehidupannya semakin tinggi
pula, hal ini dapat dikarenakan pasien akan
menganggap bahwa penyakitnya
mengganggu pekerjaannya dan akan
menurunkan kinerja saat melakukan
kegiatan. Terakhir yaitu hubungan antara
penghasilan dengan timeline menyatakan
bahwa semakin pasien memiliki
penghasilan yang tinggi maka pasien akan
mengganggap atau berpandangan bahwa
penyakit yang dideritanya akan semakin
lama. Sedangkan menurut Kim et al.
(2012) pasien dengan pendapatan yang
rendah akan memiliki persepsi penyakit
yang lebih mengancam terutama dalam
pengendalian diri.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Nilai gambaran karakteristik pasien
DM yaitu pasien dengan kelompok
usia 46-55 tahun (42,6%), pasien
dengan jenis kelamin perempuan
(59,6%), tingkat pendidikan terbanyak
SMA (48,9%), pasien tidak bekerja
(44,7%), penghasilan terbanyak yaitu
kelompok <Rp 1.500.000 (48,9%) dan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
57
pasien tidak memiliki riwayat keluarga
(63,8%).
2. Nilai gambaran persepsi yang
didapatkan, yaitu poin consequences
5,70±2,28, timeline 6,06±2,92,
personal control 3,68±2,09, treatment
control 2,63±1,99, identity 4,78±2,10,
concern 7,02±3,00, illness
comprehensibility 5,23±2,87, dan
emotional representations 5,00±2,66.
3. Terdapat hubungan yang signifikan
antara item identity (0,043) dan
concern (0,046), tingkat pendidikan
dengan item Illness Representative
(0,012), pekerjaan berhubungan
dengan consequences (0,023),
penghasilan dengan timeline (0,009),
dan riwayat keluarga berhubungan
signifikan dengan emotional
representative (0,039). Sedangkan
karakteristik jenis kelamin tidak
memiliki hubungan yang signifikan
dengan persepsi.
DAFTAR PUSTAKA
Broadbent, E., L. Donkin & J. C. Stroh.
2011. Illness and Treatment
Perceptions are Asssociated with
Adherence to Medication, Diet, and
Exercise in Diabetic Patients.
Diabetes Care. 34:338-340.
Gard, P. R. 2000. A Behavioural Approach
to Pharmacy Practice. Blackwell
Science Ltd. UK.
Kim Y., I.S. Evangelista, & L.R. Philips.
2012. Racial/Ethnic Differences in
Illness Perceptions in Minority
Patients Undergoing Maintenance
Hemodyalysis. Nephrol Nurs J.
39(1):39-49.
Norfazilah A., A. Samuel, P.T. Law, A.
Ainaa, A. Nurul, M.H, Syahnaz, &
M.N. Azmawati. 2013. Illness
Perception among hypertensive
patients in primary care centre
UKMMC. Malays Fam Physician.
8(3):19-25
Tandra, Hans. 2008. Segala Sesuatu Yang
Harus Anda Ketahui Tentang
Diabetes. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Wilson, Price. 2002. Patofisiologi Konsep
Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi
4. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Youngmee K. & L.S. Evangellsta. 2010.
Relationship between Illness
Perceptions, Treatment Adherence,
and Clinical Outcome in Patients on
Maintenance Hemodialysis. Nephrol
Nurs J. 37(3):271-281.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
58
Review: Aktivitas Antihipertensi Tumbuhan Obat
dan Prediksi Mekanisme Kerjanya
Dyah Retno Widyastuti dan *Muhammad Ikhwan Rizki
Program Studi Farmasi FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Hipertensi merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang besar dan
menimbulkan kejadian komplikasi. Hipertensi diterapi dengan obat-obatan
antihipertensi yang secara umum memiliki beberapa efek samping. Sejak lama,
masyarakat Indonesia memanfaatkan bahan alam untuk mengobati berbagai penyakit
karena relatif lebih aman dan adanya efek sinergisme senyawa kimia dalam tumbuhan.
Artikel review ini bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah beberapa tumbuhan yang
berpotensi sebagai antihipertensi dan prediksi mekanisme kerjanya. Metode yang
digunakan yaitu dengan studi literatur berupa e-book, baik jurnal lokal maupun
internasional. Berdasarkan hasil review literatur, hipertensi dapat diatasi dengan
menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon aristatus (Blume) Miq.), daun pepaya
(Carica papaya L.), daun atau biji alpukat (Persea americana Mill.), daun seledri (Apium
graveolens L.), umbi bawang putih (Allium sativum L.), daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.), buah mengkudu (Morinda citrifolia L.), daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.), dan daun atau buah sirsak (Annona muricata L.). Prediksi
mekanisme antihipertensi tumbuhan tersebut dengan bekerja sebagai diuretik,
penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE), maupun vasodilator.
Kata Kunci: Angiotensin Converting Enzyme (ACE), antihipertensi, tumbuhan, diuretik,
vasodilator
ABSTRACT
Hypertension is a high prevalent cardiovascular disease and causes complications.
Hypertension can be treated by using antihypertensive medicines which have some side
effects. Natural products, especially plants, have been used by Indonesian society because
they are relatively safer due to synergism effect of the phytochemicals. This paper aimed to
review some potential antihypertensive plants and prediction of their mechanism action.
Review on this paper used e-books and journals, both locally and internationally
published. Based on this review, hypertension can be overcome by using some plants
including kumis kucing leaves (Ortosiphon aristatus (Blume) Miq.), papaya leaves (Carica
papaya L.), avocado leaves or seeds (Persea americana Mill.), celery leaves (Apium
graveolens L.), garlic corm (Allium sativum L.), bilimbi leaves (Averrhoa bilimbi L.), noni
fruit (Morinda citrifolia L.), bayleaf (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.), and soursop
leaves or fruits (Annona muricata L.). Prediction mechanism of these plants is by acting as
diuretic, Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor, or vasodilator.
Keywords: Angiotensin Converting Enzyme (ACE), antihypertensive, plants, diuretic,
vasodilator
\
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
59
I. PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan penyakit
kardiovaskular yang mampu menimbulkan
komplikasi (Irawati, 2015). Hipertensi,
dikenal sebagai tekanan darah tinggi,
adalah kondisi yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistolik sebesar
140 mmHg atau lebih serta tekanan darah
diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih
(Khan, 2006.; Lakshmi et al., 2011).
Penyakit ini dapat memicu komplikasi
meliputi infark miokard, gagal jantung,
aritmia, stroke (Khan, 2006), hipertropi
ventrikel kiri, retinopati (Faridah, 2014),
sindroma cushing’s (Joshi et al., 2013),
gagal ginjal kronis (Lakshmi et al., 2011;
Talha et al., 2011), dan kebutaan (Sari,
2015).
Berdasarkan etiologinya, hipertensi
dibedakan menjadi hipertensi primer dan
sekunder (Lakshmi et al., 2010). JNC 7
dalam Khan (2006) menggolongkan
hipertensi ke dalam tingkatan hipertensi
stadium 1 dan hipertensi stadium 2.
Penyakit hipertensi dikenal sebagai silent
killer karena penyakit ini sering kali
muncul tanpa menimbulkan gejala yang
spesifik (Sari, 2015). Namun, ada
beberapa gejala yang dapat dikaitkan
dengan penyakit ini. Margowati et al.
(2016) dan Joshi et al. (2013) menyatakan
bahwa pada umumnya, penderita
hipertensi mengeluhkan sakit kepala,
kelelahan, pandangan buram, tinitus,
epistaksis, jantung berdebar, terengah-
engah saat beraktivitas, dan sesak pada
dada.
Hipertensi saat ini menjadi
penyakit tidak menular yang banyak
diderita oleh berbagai kalangan
masyarakat (Margowati et al., 2016).
Prevalensi hipertensi di Indonesia pada
tahun 2010 sebesar 30% dengan insiden
komplikasi lebih tinggi pada wanita
sebesar 52% dibandingkan pada pria
sebesar 48% (Mulyani et al., 2014). Angka
ini diperkirakan akan terus meningkat
hingga 60% pada tahun 2025 (Ashraf et
al., 2013). Tiga dari empat penderita
hipertensi berpeluang mengalami
komplikasi (Lakshmi et al., 2011). Hal ini
mengindikasikan bahwa penyakit
hipertensi tidak dapat dipandang sebelah
mata dan memerlukan pengobatan yang
tepat.
Pengobatan hipertensi dapat
dilakukan baik secara konvensional
maupun dengan memanfaatkan bahan
alam. Golongan obat antihipertensi yang
sering digunakan untuk menurunkan
tekanan darah antara lain diuretik,
penghambat β-adrenergik, penghambat
enzim ACE dan reseptor AT, antagonis
kalsium, dan penghambat α-adrenergik
(Khan, 2006). Konsumsi obat
antihipertensi dapat menimbulkan efek
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
60
samping berupa gatal, kemerahan, batuk,
dehidrasi, pusing, aritmia, dan kram otot
(Iswantini et al., 2015; Joshi et al., 2013).
Efek samping tersebut memicu masyarakat
memanfaatkan bahan alam seperti tumbuh-
tumbuhan untuk membuat tekanan darah
kembali normal. Selain itu, bahan alam
dinilai lebih murah dibandingkan dengan
obat konvensional. Adanya efek
sinergisme antar senyawa metabolit
sekunder menyebabkan timbulnya efek
farmakologi. Senyawa metabolit sekunder
juga memiliki aktivitas polivalen, sehingga
memungkinkan mengatasi berbagai
penyakit (Bone & Mills, 2013).
Antihipertensi yang terkandung dalam
tumbuhan dapat bekerja antara lain sebagai
diuresis, vasodilator, atau mempengaruhi
kerja jantung (Mulyani et al., 2014).
Penulisan artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara ilmiah beberapa
tumbuhan yang berkhasiat sebagai
antihipertensi dan prediksi mekanisme
kerjanya agar dapat dimanfaatkan lebih
lanjut untuk mengatasi hipertensi.
II. METODE
Metode yang digunakan pada
artikel review ini yaitu dengan studi
literatur berupa e-book dan jurnal. E-book
maupun jurnal yang digunakan telah
dipublikasi secara lokal maupun
internasional. Keduanya diperoleh melalui
penyedia jurnal di internet.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus
(Blume) Miq.)
Kumis kucing, terutama bagian
daunnya, secara tradisional digunakan
untuk mengobati hipertensi (Jaiswal et al.,
2012). Orthosiphon aristatus (Blume)
Miq. dikenal pula sebagai Orthosiphon
stamineus Benth, tergolong famili
Lamiaceae (Adnyana et al., 2013;
Manshor et al., 2013). Daun kumis kucing
berwarna hijau, berupa daun tunggal
bertangkai, berbentuk bulat telur, dan
berukuran panjang 4-12 cm dan lebar 5-8
cm (Kartasapoetra, 2004). Senyawa
metabolit sekunder yang terkandung dalam
daun kumis kucing antara lain alkaloid,
saponin, flavonoid, polifenol (Iswantini et
al., 2015; Singh et al., 2015), asam
organik (Pattamadilok et al., 2003), dan
diterpene (Ohashi et al., 2000). Senyawa
flavonoid yang terkandung dalam daun
kumis kucing antara lain kuersetin,
eupatorin, sinensetin, salvigenin, dan
tetramethylscuttellarein (Iswantini et al.,
2015; Pattamadilok et al., 2003). Senyawa
bioaktif yang berkhasiat antihipertensi
adalah flavonoid (Iswantini et al., 2015).
Berikut gambar 1 daun kumis kucing.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
61
Gambar 1. Daun kumis kucing (BPOM
RI, 2008)
Ekstrak air daun kumis kucing
terbukti mampu menurunkan tekanan
darah. Senyawa methyripariochromene A
diprediksikan memiliki aksi diuretik
sehingga mampu menurunkan tahanan
perifer dan output kardiak. Pemberian oral
ekstrak air daun kumis kucing mampu
meningkatkan ekskresi elektrolit melalui
urin 2-3 kali dari frekuensi urinasi normal
(Singh et al., 2015). Pemberian ekstrak air
daun kumis kucing dengan konsentrasi 50
ppm juga mampu menurunkan tekanan
darah dengan mekanisme sebagai
penghambat Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) dengan potensi inhibisi
sebesar 69,20%. Senyawa bioaktif yang
bertanggung jawab sebagai penghambat
ACE adalah flavonoid, terutama kuersetin
yang dapat diidentifikasi di dalamnya
(Iswantini et al., 2015). Penelitian
Manshor et al. (2013) juga membuktikan
bahwa daun kumis kucing dapat bertindak
sebagai vasorelaksan dengan cara
menurunkan konsentrasi intraselular ion
kalsium sehingga dapat menurunkan
tekanan darah.
Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya (Carica papaya L.),
tergolong famili Cariaceae, telah dikenal
memiliki banyak manfaat baik secara
ekonomis maupun farmakologis (Maisarah
et al., 2014; Ravikant et al., 2012). Pepaya
bermanfaat antara lain sebagai laksatif,
analgesik, antibakteri, amubisida, dan
kardiotonik. Pepaya, terutama bagian
daunnya, secara empiris digunakan sebagai
agen antihipertensi (Asaolu et al., 2010).
Ciri morfologis daun pepaya antara lain
berupa daun berukuran besar dengan
diameter 50-70 cm, berwarna hijau tua,
berlekuk, dan memiliki tulang daun
menjari (Kalayasari et al., 2014). Daun
pepaya mengandung berbagai senyawa
kimia seperti saponin, tanin, glikosida
jantung, alkaloid (Kalayasari et al., 2014;
Maisarah et al., 2014), flavonoid, fenolik,
antrakuinon, triterpene, asam amino, dan
mineral (Ergardir et al., 2014; Asaolu et
al., 2010). Senyawa alkaloid yang terdapat
dalam daun pepaya antara lain carpaine,
pseudocarpaine, dan dehydrocarpain I dan
II (Kalayasari, 2014; Ergardir et al., 2014).
Brasil et al. (2014) mengidentifikasi
senyawa flavonoid berupa kuersetin,
kaempferol, rutin, maghaslin, clitorin, dan
nicotiflorin dalam ekstrak metanol daun
pepaya. Gambar 2 menunjukkan gambaran
morfologis daun pepaya dalam keadaan
segar.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
62
Gambar 2. Daun pepaya (Pangtey,
2016)
Daun pepaya sebagai antihipertensi
diprediksikan bekerja sebagai agen
diuretik karena adanya kalium. Ekstrak air
daun pepaya yang diberikan terhadap tikus
Sprague-Dawley jantan dewasa dengan
dosis 10 mg/kg mampu menurunkan
tekanan darah seperti pada aktivitas
hydrochlorthiazide (Kalayasari et al.,
2014). Penelitian Ravikant et al. (2012)
membuktikan bahwa pemberian ekstrak
etanol daun pepaya dapat menurunkan
tekanan darah secara signifikan melalui
pengaruh pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron, khususnya dengan
menghambat aktivitas ACE. Brasil et al.
(2014) juga mengungkapkan ekstrak
metanol daun pepaya secara in vitro
bekerja sebagai penghambat ACE.
Senyawa yang bertanggung jawab
terhadap penghambatan ACE adalah
senyawa golongan flavonoid seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya.
Alpukat (Persea americana Mill.)
Persea americana termasuk dalam
famili Lauraceae dan secara umum dikenal
dengan nama alpukat (Anaka et al., 2009).
Tumbuhan ini memiliki banyak manfaat
baik sebagai pelengkap nutrisi maupun
sebagai obat bahan alam (Grace et al.,
2015). Alpukat saat ini muncul sebagai
pilihan masyarakat untuk mengatasi
hipertensi dengan memanfaatkan bagian
daun atau bijinya (Anaka et al., 2009;
Ilozue et al., 2014). Daun alpukat berupa
daun tunggal, simetris, dan bertangkai
(Rukmana, 1997). Daun berbentuk ovalis
memanjang, tebal, pangkal dan ujung
meruncing dengan tepi rata, pertulangan
daun menyirip dengan panjang 10-20 cm
dan lebar 3-10 cm. Warna kemerahan
menunjukkan daun alpukat masih muda,
sedangkan daun tua berwarna hijau (Grace
et al., 2015). Senyawa kimia yang
terkandung dalam daun alpukat meliputi
terpenoid, flavonoid, tanin katekat, kuinon,
saponin, steroid, alkaloid, mineral (Irawati,
2015), acetogenin alifatik, dan kumarin
(Ragasa et al., 2014). Biji alpukat
berbentuk bulat seperti bola dengan
diameter 2,5-5 cm dan keping biji
berwarna putih kemerahan (BPOM, 2008).
Hasil skrining fitokimia Grace et al.
(2015) dan Ilozue et al. (2014)
membuktikan bahwa ekstrak metanol biji
alpukat mengandung alkaloid, terpenoid,
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
63
flavonoid, saponin, dan glikosida jantung.
Selain itu, penelitian Anaka et al. (2009)
menunjukkan bahwa biji alpukat juga
mengandung tanin. Biji dan daun alpukat
ditunjukkan pada gambar 3.
(a) (b)
Gambar 3. (a) Biji alpukat serta (b) daun
alpukat (BPOM RI, 2008)
Aktivitas antihipertensi daun
alpukat dipengaruhi oleh senyawa kimia
pada daun alpukat. Senyawa kimia yang
diperkirakan berperan aktif dalam
mekanisme antihipertensi antara lain
flavonoid, saponin, dan alkaloid.
Flavonoid akan mempengaruhi kerja ACE
dimana ACE dihambat sehingga
pengubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II terinhibisi. Hal ini
menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi
penurunan resistensi perifer dan juga
tekanan darah (Irawati, 2015; ragasa et al.,
2014). Mekanisme yang terlibat dalam
aktivitas hipotensif ekstrak air biji alpukat
ialah melalui efek vasorelaksan yang
ditimbulkan oleh tanin. Tanin adalah
senyawa polifenol yang diprediksikan
mampu menurunkan masuknya ion
kalsium sehingga tekanan darah dapat
diturunkan (Anaka et al., 2009). Penelitian
Rinayanti et al. (2013) membuktikan
bahwa biji alpukat memiliki efek inhibisi
pada ACE dengan nilai IC50 sebesar 1043
µg/ml pada ekstrak etanol, 476 µg/ml pada
ekstrak etil asetat, dan 500 µg/ml dalam
ekstrak metanol.
Seledri (Apium graveolens L.)
Seledri, Apium graveolens L.
adalah tumbuhan dari famili Apiaceae
yang dimanfaatkan baik sebagai obat
maupun bahan pangan (Brancovic et al.,
2010; Asif et al., 2011). Bagian seledri
yang berkhasiat sebagai antihipertensi
adalah daunnya (Fitria & Saputra, 2016).
Adapun ciri morfologi daun seledri antara
lain berupa daun majemuk, anak daun
berjumlah 3-7 helai, berwarna hijau
keputih-putihan sampai hijau dengan
ukuran panjang 2-7,5 cm, lebar 2-5 cm,
dan tangkai 1-2,7 cm (Alam & Teguh,
2015). Kandungan kimia yang ada pada
daun seledri secara umum yaitu saponin,
flavonoid, polifenol (Alam & Teguh,
2015), isoimperatorin, isokuersetin, asam
linoleat, magnesium (Asif et al., 2011),
apigenin, luteolin (Brancovic et al., 2010),
tanin, fitosterol, phtalides terutama 3-n-
butylphtalide, dan kalium (Fitria &
Saputra, 2016; Moghadam et al., 2013).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
64
Gambar 4 menunjukkan morfologi daun
seledri.
Gambar 4. Daun seledri (Alam & Teguh,
2006).
Penelitian Moghadam et al. (2013)
membuktikan bahwa pemberian ekstrak n-
heksan, metanol, dan etanol daun seledri
dengan dosis 300 mg/kg mampu
menurunkan tekanan darah tikus yang
diinduksi hipertensi secara signifikan
tanpa berpengaruh pada tekanan darah dan
denyut jantung tikus bertekanan darah
normal. Hal ini sejalan dengan penelitian
Brancovic et al. (2010) dengan hasil
pemberian ekstrak air maupun etanol daun
seledri mampu menyebabkan penurunan
tekanan darah pada kelinci. Mekanisme
kerja antihipertensi daun seledri
diprediksikan timbul karena adanya
konstituen kimia berupa senyawa
flavonoid apigenin dan kuersetin di mana
kedua senyawa ini bertindak sebagai
vasodilator (Fitria & Saputra, 2016;
Brancovic et al., 2010). Senyawa 3-n-
butylphtalide bertindak sebagai diuretik
maupun vasodilator (Madhavi et al.,
2013), sedangkan senyawa kalium
berperan sebagai diuretik (Fitria &
Saputra, 2016).
Bawang Putih (Allium sativum L.)
Bawang putih (Allium sativum L.)
adalah tanaman dalam famili Alliaceae
yang umbinya telah dikenal luas sebagai
bumbu masakan dan juga sebagai obat
berbagai penyakit, termasuk hipertensi
(Londhe et al., 2012). Ciri morfologis
tumbuhan ini yaitu tumbuh secara
berumpun dan berdiri tegak sampai
setinggi 30-75 cm, memiliki batang semu.
Helai daun mirip pita, pipih dan
memanjang. Akar bawang putih terdiri
dari serabut kecil yang berjumlah banyak
(Thomas, 1989). Menurut Londhe et al.
(2012), bawang putih mengandung
setidaknya 33 senyawa sulfur, enzim,
assam amino, dan mineral seperti
selenium. Penelitian Pavni et al., 2011
membuktikan senyawa terpenoid dan
glikosida ada pada umbi lapis bawang
putih. Selain itu, terdapat senyawa kimia
lain seperti saponin, flavonoid, polifenol,
dan minyak atsiri (Alam & Teguh, 2015).
Komponen bioaktif khas yang ada pada
bawang putih adalah senyawa allicin
(Rizwan et al., 2013; Pavni et al., 2011).
Berikut gambar umbi lapis bawang putih.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
65
Gambar 5. Umbi lapis bawang putih
(Alam & Teguh, 2006)
Aktivitas penurunan tekanan darah
oleh umbi lapis bawang putih dikaitkan
dengan produksi hidrogen sulfida dan
adanya senyawa allicin yang menghambat
pembentukan angiotensin II dan
menimbulkan efek vasodilator (Londhe et
al., 2012). Senyawa allicin juga mampu
melindungi dan mengembalikan elastisitas
pembuluh darah arteri, menghambat ACE
yang mengakibatkan terjadinya penurunan
produksi angiotensin II (zat pemicu retensi
natrium dan air serta vasokonstriksi)
sehingga tekanan darah dapat diturunkan
(Madhura, 2015). Penggunaan umbi
bawang putih sebanyak 600-900 mg per
hari (1,8-2,7 g/hari bawang segar) selama
4 minggu mampu menurunkan tekanan
darah secara signifikan menurut Fatenah &
Akhondzadeh, 2002). Allicin juga mampu
meningkatkan sintesis nitrit oksida yang
mampu memicu relaksasi otot polos
(Rizwan et al., 2013).
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Belimbing wuluh, sering dikenal
masyarakat sebagai belimbing tunjuk atau
belimbing asam, tergolong famili
Oxalidaceae (Hernani et al., 2009). Bagian
daun dari tumbuhan ini dapat
dimanfaatkan sebagai antihipertensi.
Adapun ciri makroskopik daun belimbing
wuluh yaitu berupa daun majemuk
menyirip gasal (imparipinnate) dengan
panjang 30 hingga 60 cm dan jumlah helai
daun sebanyak 11-37 helai. Daun
belimbing wuluh berwarna hijau sedang
dengan warna yang lebih pucat pada
permukaan bawah daun dengan ukuran
panjang 2-10 cm dan lebar 1,21-25 cm
(Roy et al., 2011; Pasagi et al., 2014).
Kandungan senyawa yang ada pada daun
belimbing wuluh antara lain senyawa
diterpen terutama phytol (Hidayati et al.,
2010), flavonoid tipe luteoin dan apigenin,
dietil phtalat (Hernani et al., 2009),
saponin, triterpenoid, tanin, sulfur, dan
kalium (Roy et al., 2011; Mulyani et al.,
2014). Gambar 6 menunjukkan daun
belimbing wuluh.
Gambar 6. Daun belimbing wuluh (Love
& Paul, 2011)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
66
Penelitian membuktikan bahwa
ekstrak daun belimbing wuluh memiliki
efek diuresis pada dosis 52,517
mg/100gBB dan 105,034 mg/100gBB
pada tikus putih jantan. Efek diuresis ini
dikarenakan kandungan kalium pada daun
belimbing wuluh dapat mempengaruhi
ekskresi urin. Kalium mampu bekerja
sebagai diuretik untuk meningkatkan
pengeluaran natrium serta berperan dalam
menurunkan retensi natrium melalui
peningkatan jumlah urin yang mekanisme
kerjanya pada ginjal (Mulyani et al., 2014;
Harjanti & Parmadi, 2014). Menurut
Hernani et al. (2009), senyawa phytol
sebagai suatu diterpen asiklik
kemungkinan memberikan efek hipotensif
pada dosis 33 mg/kgBB secara pada
kucing. Senyawa phytol bekerja sebagai
agen diuretik dengan menurunkan kadar
natrium dalam ruang interstisial dan di
dalam sel otot polos pembuluh darah
sehingga penurunan tekanan darah dapat
terjadi (Hidayati et al., 2010; Harjanti &
Parmadi, 2014).
Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Mengkudu (Morinda citrifolia L.),
tergolong dalam famili Rubiaceae, dikenal
memiliki berbagai manfaat dalam dunia
medis terutama untuk bagian buahnya
(Sari, 2015). Buah mengkudu berbentuk
bulat lonjong dengan diameter 7,5-10 cm
dengan permukaan terbagi dalam sel-sel
poligonal berbintik. Buah mengkudu
beraroma seperti keju busuk karena
kandungan asam kaprik dan asam kaproat
(Sari, 2015; Hidayat et al., 2004). Zat aktif
yang terkandung dalam buah mengkudu
antara lain scopoletin, octoanoic acid,
kalium, vitamin C, alkaloid, antrakuinon,
b-sitosterol, asam linoleat, alizarin, asam
amino, acubin, L-asperuloside, asam
kaproat (Sari, 2015), fenol, antrakuinon,
glikosida, flavonoid, triterpenoid, dan
sterol (Singh, 2012). Gambar 7
menunjukkan gambar buah mengkudu
yang dilansir dari BPOM RI (2008).
Gambar 7. Buah mengkudu (BPOM RI,
2008)
Aktivitas antihipertensi buah
mengkudu telah dibuktikan oleh penelitian
Suidah (2011) dan Sitepu (2015). Buah
mengkudu dapat menurunkan tekanan
darah dengan menghambat enzim ACE
(Singh, 2012). Selain itu, zat aktif berupa
scopoletin dan xeronin dapat menurunkan
tekanan darah yang mana kedua zat ini
mampu menurunkan resistensi perifer
(Sari, 2015; Hidayat et al., 2004).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
67
Senyawa scopoletin juga dapat berfungsi
sebagai vasodilator (Sitepu, 2015).
Salam (Syzygium polyanthum (Wight)
Walp.)
Salam memiliki nama ilmiah
Syzygium polyanthum (Wight) Walp.
dengan sinonim Eugenia polyantha Wight,
suku Myrtaceae (Ismail et al., 2016; Azlini
et al., 2011). Daun salam telah dikenal
masyarakat luas sebagai bumbu masakan
yang juga memiliki khasiat sebagai
antihipertensi (Margowati et al., 2016).
Ciri-ciri morfologis daun salam meliputi
berbau aromatik lemah dengan rasa kelat.
Helai daun berbentuk jorong memanjang,
dengan pangkal dan ujung daun yang
meruncing. Daun berwarna hijau
kecoklatan sampai coklat, ukuran panjang
sekitar 7-15 cm, lebar sekitar 5-10 cm
(Kartasapoetra, 2004). Berdasarkan
penelitian Liliwirianis et al. (2011), daun
salam mengandung alkaloid, saponin,
steroid, fenolik, dan flavonoid. Daun
salam juga mengandung tanin dan
terpenoid (Ismail et al., 2016; Azlini et al.,
2011). Kandungan minyak atsiri dalam
daun salam juga telah banyak diteliti
bahwa daun salam mengandung eugenol,
cis-4-decenal, α-pinene, farnesol, β-
ocimene, dan nonanal (Ismail et al., 2016).
Gambar di bawah ini menunjukkan daun
salam dalam kondisi segar.
Gambar 8. Daun salam (Rizki &
Hariandja, 2015)
Terpenoid, senyawa fenolik, tanin,
dan flavonoid terutama eugenol dan
terpenoid telah dibuktikan secara in vitro
maupun in vivo mampu menurunkan
tekanan darah dengan bertindak sebagai
vasorelaksan (Azlini et al., 2011; Ismail et
al., 2016). Daun salam diprediksikan
bekerja secara langsung pada pembuluh
darah dengan aksi ringan sebagai diuretik
(Margowati et al., 2016; Azlini et al.,
2011). Penelitian Ahmad et al. (2013)
membuktikan bahwa mekanisme
hipotensif daun salam diperoleh melalui
pelepasan nitrit oksida dari sel-sel endotel
yang akan memicu vasodilatasi pembuluh
darah.
Sirsak (Annona muricata L.)
Sirsak dengan nama ilmiah Annona
muricata L., tegolong famili Annonaceae,
merupakan tumbuhan yang dikenal
memiliki beragam khasiat farmakologis.
Tumbuhan ini juga dikenal sebagai nangka
belanda (Kurniasih et al., 2015). Salah satu
bagian tumbuhan sirsak yang berkhasiat
obat adalah daunnya. Morfologi daun
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
68
sirsak adalah berbentuk bulat dan panjang,
dengan bentuk daun menyirip dan ujung
meruncing, permukaan daun mengkilap,
berwarna hijau muda hingga hijau tua
(Sunarjono, 2005). Daun sirsak
mengandung senyawa golongan alkaloid
seperti retikulin, koreksimin, koklarin,
anomurin, anomuricin E, anomuricin C,
muricapentocin, acetogenin, annocatacin,
annocatalin, annohexocin, annonacin, dan
annanol, serta senyawa minyak atsiri
seperti β-kariopilin (Nwokocha, 2012;
Kurniasih et al., 2015). Menurut Hubert et
al. (2010), daun sirsak juga mengandung
flavonoid, vitamin C, dan kalium.
Selain daun, buah sirsak juga
banyak memiliki manfaat seperti sebagai
antikanker, antikonvulsan, antimalaria, dan
antihipertensi (Patel, 2016). Buah sirsak
adalah buah dengan bentuk hati berwarna
hijau. Diameter buah bervariasi mulai 15
hingga 20 cm. Satu buah sirsak dapat
mengandung 5 sampai 200 biji (Patel,
2016; Sunarjono, 2005). Kandungan
senyawa kimia pada buah sirsak antara
lain alkaloid, fenolik, minyak atsiri
(Adefegha et al., 2015), senyawa
asetogenin, dan beberapa mineral seperti
K, Ca, Na, Cu, Fe, dan Mg (Patel, 2016).
Gambar 9 menunjukkan profil tumbuhan
Annona muricata L.
Gambar 9. (a) Pohon sirsak dan profil
(b) daun, (c) bunga, dan (d)
buah sirsak (Moghadamtousi
et al., 2015)
Pemberian ekstrak air daun sirsak
dengan dosis 917-48,5 mg/kg terbukti
dapat menurunkan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik tanpa
mempengaruhi denyut jantung secara
signifikan (Nwokocha, 2012; Patel, 2016).
Prediksi mekanisme yang mungkin bagi
efek antihipertensi daun sirsak adalah
sebagai antagonis kalsium dengan alkaloid
anomurin bertindak sebagai senyawa
bioaktif (Nwokocha, 2012). Penelitian
Hubert et al. (2010) membuktikan bahwa
efek antihipertensi daun sirsak ditimbulkan
oleh senyawa flavonoid dan kalium.
Flavonoid diprediksikan mampu bertindak
sebagai penghambar ACE sehingga
pelepasan hormon aldosteron dapat
dihambat. Hal ini mengakibatkan lebih
banyak NaCl dikeluarkan dari dalam tubuh
sehingga tekanan darah menurun.
Flavonoid juga mampu memodulasi
pelepasan nitric oxide sebagai vasodilator.
Selain itu, kalium juga memiliki efek
vasodilatasi sehingga sinergisme efek zat
kimia dalam daun sirsak dapat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
69
menurunkan tekanan darah (Mans et al.,
2010; Hubert et al., 2010).
Aktivitas antihipertensi buah sirsak
tidak berbeda jauh dengan daunnya.
Adefagha et al. (2015) membuktikan
bahwa ekstrak air buah sirsak memiliki
aktivitas inhibisi ACE dengan EC50
sebesar 0,14±0,02 mg/mL. Penghambatan
enzim ACE oleh ekstrak buah sirsak
diprediksikan karena adanya senyawa
fenolik. Senyawa ini menunjukkan
hubungan struktur dan aktivitas pada
penghambatan ACE dengan mengkelat ion
seng pada sisi aktif enzim.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari review ini adalah hipertensi dapat
diatasi dengan beberapa tumbuhan yaitu
daun kumis kucing (Ortosiphon aristatus
(Blume) Miq.), daun pepaya (Carica
papaya L.), daun atau biji alpukat (Persea
americana Mill.), daun seledri (Apium
graveolens L.), umbi bawang putih (Allium
sativum L.), daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.), buah mengkudu
(Morinda citrifolia L.), daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.),
dan daun atau buah sirsak (Annona
muricata L.). Mekanisme antihipertensi
tumbuhan ini yaitu dengan bekerja sebagai
agen diuretik, penghambat Angiotensin
Converting Enzyme (ACE), maupun
sebagai vasodilator.
DAFTAR PUSTAKA
Adefagha, S.A., S.I. Oyeleye, & G. Oboh.
2015. Distribution of Phenolic
Contents, Antidiabetic Potentials,
Antihypertensive Properties, and
Antioxidative Effects of Soursop
(Annona muricata L.) Fruit Parts In
Vitro. Journal of Biochemistry
Research International. 2015: 1-8.
Adnyana, I.K. F. Setiawan, M. Insanu.
2013. From Ethnopharmacology to
Clinical Study of Orthosiphon
stamineus Benth. Internaational
Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. 5(3): 66-
73.
Ahmad, W.A.N.W. & A. Ismail. 2013.
Nitric Oxide Involvement in
Hypotensive Effect of Syzygium
polyanthum Wight. Walp. Var.
Polyanthum Leaves. Journal of
Medical Sciences. 1(2): 1-4.
Alam & Teguh. 2016. Tumbuhan Herbal
Berkhasiat. Asosiasi Herbalis
Nusantara, Jakarta.
Anaka, O.N., R.I. Ozolua, & S.O. Okpo.
2009. Effect of aqueous seed extract
of Persea americana mill
(Lauraceae) on the blood pressure of
sprague-dawley rats. African Journal
of Pharmacy and Phharmacology.
3(10): 485-490.
Asaolu, M.F., S.S. Asaolu, & I.G.
Adanlawo. 2010. Evaluation of
Phytochemicals and Antioxidants of
Four Botanicals with
Antihypertensive Properties.
International Journal of Pharma &
Bio Sciences. 1(2): 1-8.
Asaolu, M.F., S.S. Asaolu, I.G. Adanlawo,
B.T. Aluko, A. Smith, Y. Rufina,
Ibitoye, Yemisi, & A. Michael. 2010.
Comparative Chemical
Compositions of the Leaves of Some
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
70
Selected Antihypertensive Medicinal
Plants in Nigeria. Journal of
Scholars Research Library. 2(2): 11-
15.
Ashraf, R., R.A. Khan, I. Ashraf, & A.A.
Qureshi. 2013. Effects of Allium
sativum (Garlic) on Systolic and
Diastolic Blood Pressure in Patients
with Essential Hypertension. J.
Pharm. Sci. 26(5): 859-865.
Asif, H.M., M. Akram, K. Usmanghani, N.
Akhtar, P.A. Shah, M. Uzair, M.
Ramzan, S.M.A. Shah, & R.
Rehman. 2011. Monograph of
Apium graveolens Linn. Journal of
Medicinal Plants Research. 5(8):
1494-1496.
Azlini, I., S.S. Amrah, M. Mohamed, &
S.S.J. Mohsin. 2011. Hypotensive
Effects of Aqueous Extract of
Eugenia polyantha Leaves are Partly
Mediated via Cholinergic Receptor.
Journal of Universiti Sains
Malaysia. 2(3): 20-28.
Bone, K. & S. Mills. 2013. Principles and
Practice of Phytotherapy. Second
Edition. Churchill Livingstone
Elsevier, New York.
BPOM RI. 2008. Taksonomi. Badan
Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta.
Brancovic, S., D. Kitic, M. Radenkovic, S.
Velijkovic, M. Kostic, B.
Miladinovic, & D. Pavlovic. Acta
Medica Medianae. 49(1): 13-15.
Brasil, G.A., S.N. Ronchi, A.M.
Nascimento, E.M. Lima, W. Romao,
H.B. Costa, R. Scherer, J.A. ra, D.
Lenz, N.S. Bissoli, D.C. Endringer,
& T.U. Andrade. 2014.
Antihypertensive Effect of Carica
papaya Via Reduction in ACE
Activity and Improved Baroreflex.
Journal of Planta Med. 80: 1580-
1587.
Elgadir, M., M. Salama, & A. Adam. 2014.
Carica papaya as A Source of
Natural Medicine and Its Utilization
in Selected Pharmaceutical
Applications. International Journal
of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. 6(1): 880-884.
Faridah, V.N. 2014. Rebusan Daun
Alpukat (Persea americana Mill)
Dapat Menurunkan Tekanan Darah
Sistole dan Diastole pada Penderita
Hipertensi Usia 45-59 Tahun di Desa
Turi Kec. Turi Lamongan. Surya.
1(17): 67-74.
Fatenah, S.B. & A. Akhondzadeh. 2008.
Cardiovascular Effects of Allium
Sativum (Garlic): An Evidence-
based Review. The Journal of
Theran University Heart Center.
1(2008): 5-10.
Fitria, T. & O. Saputra. 2016. Khasiat
Daun Seledri (Apium graveolens)
terhadap Tekanan Darah Ttinggi
pada Pasien Hiperkolesterolemia.
Majority. 5(2): 120-127.
Harjanti, R. & A. Parmadi. 2014. Elixir of
Extract Leaf Belimbing Wuluh
(Averrhoa Bilimbi L.) as Anti
Hypertension with Method of
Maserasi. Indonesian Journal on
Medical Science. 1(1): 27-31.
Hernani, C. Winarti, & T. Marwati. 2009.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun
Belimbing Wuluh Terhadap
Penurunan Tekanan Darah pada
Hewan Uji. J. Pascapanen. 6(1): 54-
61.
Hidayat, T., E.S. Wahyuni, & S.S.
Karyono. 2004. Pengaruh Kestrak
Buah Mengkudu (Morinda citrifolia)
terhadap Aorta Terpisah Marmut
(Cavia porcellus) Tanpa Endotel.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 1(1):
1-6.
Hidayati, D.N., Y. Anas, & S. Nurikha.
2012. Peningkatan Efek
Antihipertensi Kaptopril Oleh
Ekstrak Etanol Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada
Tikus Hipertensi yang Diinduksi
Monosodium Glutamat. Farmasi
Wahid Hasyim. 1: 33-42.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
71
Hubert, H.P., D. Pinandjojo, & F. Tih.
2012. Pengaruh Teh Daun Sirsak
(Annona muricata Linn.) terhadap
Penurunan Tekanan Darah Normal
pada Laki-laki Dewasa Muda.
Universitas Kristen Maranatha. 1: 1-
6.
Irawati, N.A.V. 2015. Antihypertensive
Effects of Avocado Leaf Extract
(Persea americana Mill). J. Majority.
4(1): 44-50.
Ismail, A., M. Mohamed, S.A. Sulaiman,
& W.A.N.W. Ahmad. 2013.
Autonomic Nervous System
Mediates the Hypotensive Effects of
Aqueous and Residual Methanolic
Extract of Syzygium polyanthum
(Wight) Walp. var. polyanthum
Leaves in Anaesthetized Rats.
Evidance-Based Complementary and
Alternative Medicine. 1: 1-18.
Iswantini, D., M. Rahminiwati, H.N.
Rohsela, & L.K. Darusman. 2015. In
Vitro Inhibition of Water Extract of
Kumis Kucing and Tempuyung
Towards Angiotensin Converting
Enzyme Activity. International
Journal of Advances in Science
Engineering and Technology. 5(12):
109-114.
Jaiswal, N., S. Singh, & G. Verma. 2012.
Ethnobotany and Diuretics Activity
of Some Selected Medicinal Plants.
The Journal of Phytopharmacology.
1(2): 21-33.
Joshi, U.H., T.H. Ganatra, P.N. Bhalodiya,
T.R. Desai, & P.R. Tirgar. 2012.
Comparative Review on Harmless
Herbs with Allopathic Remedies as
Anti-Hypertensive. Research
Journal of Pharmaceutical,
Biological, and Chemical. 3(2): 673-
689.
Kalaiyarasi, L. & S.D. Mubeen. 2014. In
Vitro Study of Thrombolytic
Activity by Using Aqueous
Preparation of Different Parts of
Carica papaya Plant Extract. IOSR-
JPBS. 9(3): 34-39.
Kartasapoetra, G. 2004. Budidaya
Tanaman Berkhasiat Obat. Rineka
Cipta, Jakarta.
Khan, M.G. 2006. Encyclopedia of Heart
Diseases. Elsevier, Amsterdam.
Kurniasih, N., M. Kusmiyati, Nurhasanah,
R.P. Sari, & R. Wafdan. 2015.
Potensi Daun Sirsak (Annona
muricata Linn.), Daun Binahong
(Andredera cordifolia (Ten)
Steenis), dan Daun Benalu Mangga
(Dendropthoe pentandra) sebagai
Antioksidan Pencegah Kanker.
Politeknik Kesehatan Bandung. 9(1):
162-184.
Lakshmi, T., A. Roy, K. Durgha, & V.
Manjusha. 2011. Coping with
Hypertension Using Safer Herbal
Medicine – A Therapeutic Review.
International Journal of Drug
Development & Research. 3(3): 31-
59.
Liliwirianis, N., N.L.W. Musa, W.Z.W. M.
Zain, J. Kassim, & S.A. Karim. 2011.
Preliminary Studies on
Phytochemical Screening of Ulam
and Fruit from Malaysia. E- Journal
of Chemistry 8 (S1).
Londhe, V.P., A.T. Gavasane, S.S. Nipate,
D.D. Bandawane, & P.D. Chaudhari.
2012. Role of Garlic (Allium
sativum) in Various Diseases.
Journal of Pharmaceutical Research
and Opinion. 1(4): 129-134.
Love, K. & R.E. Paul. 2011. Bilimbi.
Fruits and Nuts. 1(1): 1-6.
Madhavi, D., D. Kagan, V. Rao, & M.T.
Murray. 2013. A Pilot Study to
Evaluate the Antihypertensive Effect
of a Celery Extract in Mild to
Moderate Hypertensive Patients.
Natural Medicine Journal. 4(4): 1-4.
Madhura, T.K. 2015. Miracle of Allicin.
Global Journal of Medical Research.
15(5): 10-16.
Maisarah, A.M., R. Asmah, & O. Fauziah.
2014. Proximate Analysis,
Antioxidant and Antiproliferative
Activities of Different Parts of
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
72
Carica papaya. Journal of Nutrition
and Food Sciences. 4(2): 2-8.
Mans, D.R.A., S.C.E.H. Sallevelt, R.
Soekhoe, R. Bipat, & J.R. Toelsi.
2010. Evaluation of Plants with
Presumed Antihypertensive
Properties for Their Potential to
decrease Peripheral Resistance
Using Isolated Guinea Pig Aorta
Rings Pre-contracted with
Phenylephrine. Academic Journal of
Suriname. 1: 15-19.
Manshor, N.M., A. Dewa, M.Z. Asmawi,
Z. Ismail, N. Razali, & Z. Hassan.
2013. Vascular Reactivity
Concerning Orthosiphon stamineus
Benth-Mediated Antihypertensive in
Aortic Rings of Spontaneously
Hypertensive Rats. International
Journal of Vascular Medicine. 1(1):
1-9.
Margowati, S., S. Priyanto, & M.
Wiharyani. 2016. Efektivitas
Pengunaan Rebusan Daun Alpukat
dengan Rebusan Daun Salam dalam
Penurunan Tekanan Darah pada
Lansia. Univerity Research
Colloquium. 3: 236-248.
Moghadam, M.H. M. Imenshahidi, & S.A.
Mohajeri. 2013. Antihypertensive
Effect of Celery Seed on Rat Blood
Pressure in Chronic Administration.
Journal of Medical Food. 16(6):
558-563.
Moghadamtousi, S.Z., M. Fadaeinasab, S.
Nikzad, G. Mohan, H.M. Ali., &
H.A. Kadir. 2015. Annona muricata
(Annonaceae): A review of Its
Traditional Uses, Isolated
Acetogenins and Biological
Activities. Int. J. Mol. Sci. 16:
15625-15657.
Mulyani, S. E.M. Rosa, & T. Huriah. 2014.
Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
terhadap Penurunan Tekanan Darah
Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) Hipertensi.
Muhammadiyah Journal of Nursing.
1: 177-184.
Nwokocha, C.R., D.U. Owu, A. Gordon,
K. Thaxter, G. McCalla, R.I. Ozolua,
& L. Young. 2012. Possible
Mechanisms of Action of the
Hypotensive Effect of Annona
Muricata (Soursop) in Normotensive
Sprague–Dawley Rats. Journal of
Pharmaceutical Biology. 50(11):
1436-1441.
Ohashi, K., T. Bohgaki, T. Matsuhara, &
H. Shibuya. 2000. Chemical
Structures of Two New Migrated
Pimarine-type Diterpenes,
Neoorthosiphols A and B, and
Suppressive Effects of Rat Thoracic
Aorta of chemical Constituents
Isolated from the Leaves of
Orthosiphon aristatus (Lamiaceae).
Chem. Pharm. Bull. 48(3): 433-435.
Pasagi, J.R., Hamidah, & Junairiah. 2014.
Analisis Hubungan Kekerabatan
Varietas pada Belimbing (Averrhoa
carambola L.) Melalui Pendekatan
Morfologi. Jurnal Ilmiah Biologi.
2(2): 26-33.
Patel, S. & J.K. Patel. 2016. A Review on
A Miracle Fruits of Annona
muricata. Journal of
Pharmacognosy & Phytochemistry.
5(1): 137-148.
Pattamadilok, D., Y. Techadamrongsin, T.
Boonraud, & J. Bansiddhi. 2003.
Chemical Specification of
Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.
Journal of Medicinal Plant Research.
44(3): 189-200.
Pavni, K., B. Esha, J. Neha, A. Tushar, K.
Shrey, A. Suchit, A. Sarita, R. Vibha,
& W. Neeraj. 2011. Phytochemical
Screening of Developing Garlic and
Effect of Its Aqueous Extracts on
Viability of Cardiac Cell Line.
Journal of Pharmacy Research. 4(3):
902-904.
Ragasa, C.Y. R.F. Galian, E. Lagueux, &
C.C. Shen. 2014. Chemical
Constituents of the Fruit of Persea
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 58-73
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
73
americana. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological, and
Chemical Sciences. 5(6): 984-989.
Ravikant, T., G. Nishant, S. Shashipal, T.
Samriti, T. Rajeev, Kumar, V. Vikas,
& S. Dishant. 2012.
Antihypertensive Effect of Ethanolic
Extract of Indian Carica papaya L.
in Renal Artery Occluded
Hypertensive Rats. International
Journal of Pharmaceutical and
Clinical Research. 4(3): 20-23.
Rinayanti, A., M. Radji, A. Mun’im, &
F.D. Suyatna. 2013. Screening
Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) Inhibitor Activity of
Antihypertensive Medicinal Plants
from Indonesia. International
Journal of Pharmacy Teaching &
Practices. 4(1): 527-532.
Rizki, M.I. & E.M. Hariandja. 2015.
Review: Aktivitas Farmakologis,
Senyawa Aktif, dan Mekanisme
Kerja Daun Salam (Syzygium
polyanthum). Prosiding Seminar
Nasional Perkembangan Terkini
Sains dan Farmasi Klinik, Padang.
Roy, A., R.V. Getha, & T. Lakshmi. 2011.
Averrhoa bilimbi Linn– Nature’s
Drug Store-A Pharmacological
Review. International journal of
Drug Development & Research.
3(3): 101-108.
Rukmana, R. 1997. Budidaya Tumbuhan
Obat. Kanisius, Yogyakarta.
Sari, C.Y. 2015. Penggunaan Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
untuk Menurunkan Tekanan Darah.
J. Majority. 4(3): 34-42.
Singh, D.R. 2012. Morinda citrifolia L.
(Noni): A Review of The Scientific
Validation for Its Nutritional and
Therapeutic Properties. Journal of
Diabetes and Endocrinology. 3(6):
77-91.
Singh, M.K., B.Gidwani, A. Gupta, & H.
Dhongade. 2015. A Review of the
Medicinal Plants of Genus
Orthosiphon (Laminaceae).
International Journal of Biological
Chemistry. 9(6): 318-331.
Sitepu, N.F. 2015. Pengaruh Jus
Mengkudu terhadap Penurunan
Tekanan darah pada Pasien
hipertensi di RSUD Deli Serdang
Lubuk Pakam. Nestra. 4(4): 6-15.
Smith, G.S.R., J.B. Chauhan, & C.R. Jain.
2015. Preliminary Phytochemical
Investigation and TLC Analysis of
Peel and Seed Extracts of Persea
americana. Asian Journal of
Pharmaceutical Science &
Technology. 5(3): 167-171.
Suidah, H. 2011. Pengaruh Mengkudu
terhadap Penurunan Tekanan Darah
pada Penderita Hipertensi di desa
Wedoroklurak Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal
Keperawatan. 1(1): 1-10.
Sunarjono, H. 2005. Buku Pintar Tanaman
Obat. Agromedia, Jakarta.
Talha, J., M. Priyanka, & A. Akanksha.
2011. Hypertension and Herbal
Plants. International Research
Journal of Pharmacy. 8: 26-30.
Thomas, A.N.S. 1989. Tanaman Obat
Tradisional I. Kanisius, Yogyakarta.
Wijayakusuma, H.M. 1998. Tanaman
Berkhasiat Obat di Indonesia.
Pustaka Kartini, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
74
Optimasi Konsentrasi Pelarut Etanol
Terhadap Rendemen dan Total Flavonoid Ekstrak
Daun Gaharu (Aquillaria microcarpa Baill.)
*Destria Indah Sari, Liling Triyasmono
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Pemilihan pelarut dan konsentrasi yang digunakan merupakan salah satu faktor
yang harus dipertimbangkan dalam suatu proses ekstraksi, karena dapat
mempengaruhi prosentase rendemen dan jumlah metabolit sekunder yang ingin
diekstraksi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh konsentrasi pelarut
etanol dengan rendemen dan total flavonoid ekstrak daun gaharu. Ekstraksi dilakukan
dengan metode maserasi ultrasonikasi dengan variasi pelarut etanol 30%, 50%, 70%
dan 96%. Hasil rendemen yang diperoleh untuk masing-masing konsentrasi etanol
30%, 50%, 70% dan 96% secara berturut-turut adalah 19,04% , 23,36%, 19,08%, dan
22,08%. Total flavonoid yang diperoleh dari dua kali replikasi sebesar 7,947 ± 0,289
EK, 10,034 ± 0,081 EK, 21,293 ± 0,658 EK, dan 28,697 ± 1,666 EK. Dengan demikian,
etanol 96% merupakan konsentrasi yang optimal untuk ekstraksi flavonoid daun
Aquillaria microcarpa Baill.
Kata kunci : Daun gaharu, ekstrak etanol, rendemen, flavonoid total
ABSTRACT
Selection of solvent and its concentration were some factors need to be considered
in extraction process, since they could influence extract yield and secondary metabolite
amount in extract. This research was aimed to determined ethanol concentration optimum
to gaharu leaves extract yield and total flavonoid. Extraction were performed with
ultrasonication maceration using ethanol 30%, 50%, 70% and 96%. Yield obtained from
those concentrations were 19,04% , 23,36%, 19,08%, and 22,08%, respectively. As total
flavonoid obtained from conducted in duplication were 7,947 ± 0,289 EK, 10,034 ± 0,081
EK, 21,293 ± 0,658 EK, and 28,697 ± 1,666 EK, respectively. Therefore, ethanol 96% were
optimum ethanol concentration for flavonoid extraction of gaharu leaves.
Keywords : gaharu leaves, ethanol extract, yield, total flavonoid
I. PENDAHULUAN
Gaharu (Aquilaria microcarpa
Baill.) merupakan tanaman yang dikenal
masyarakat lokal Kalimantan. Bagian daun
dari tanaman ini secara empiris digunakan
untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Metabolit sekunder yang memiliki potensi
sebagai antidiabetic agent salah satunya
adalah golongan flavonoid, dengan
mekanisme kerja dengan cara
menstimulasi sel β untuk melepaskan
lebih banyak insulin. Dalam ekstrak etanol
daun gaharu, diketahui mengandung
metabolit sekunder flavonoid, fenol, dan
tanin.
Etanol merupakan pelarut ekstraksi
yang sangat sering digunakan. Keuntungan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
75
dari pelarut ini antara lain mudah didapat,
harganya relatif murah, dan sifatnya yang
dapat campur dengan air pada berbagai
konsentrasi atau rasio memudahkan dalam
mengatur kepolaran pelarut untuk
mengoptimalkan ekstraksi metabolit
sekunder.
Daun gaharu (Aquilaria
microcarpa Baill.) digunakan sebagai
penurun kadar glukosa darah oleh
masyarakat lokal Kalimantan secara
empiris. Ekstrak daun gaharu diketahui
mengandung senyawa metabolit sekunder
flavonoid, terpenoid, dan senyawa fenol
(Mega & Swastini, 2010). Flavonoid
dinyatakan mampu meningkatkan
pemanfaatan glukosa pada jaringan perifer,
menstimulasi sel beta pankreas untuk
meningkatkan sekresi insulin dan
bertindak sebagai inhibitor glukosidase
(Jadhav & Puchchakayala, 2012).
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu daun
gaharu, kulit batang bangkal, asam asetat
anhidrat, aluminium (III) klorida (Merck),
standar kuersetin p.a. (Sigma), etanol
berbagai konsentrasi, aquades.
B. Pengolahan Serbuk Simplisia Daun
Gaharu
Sampel daun gaharu diambil dari
daerah Tamiang Layang, Kalimantan
Tengah. Pengambilan dilakukan pada pagi
hari. Tanaman gaharu yang digunakan
berusia di atas 5 tahun (cukup dewasa)
agar didapatkan kandungan senyawa
metabolit sekunder yang maksimal.
Sampel yang telah diperoleh,
dikumpulkan, lalu dibersihkan dari benda-
benda asing dari luar (disortasi basah) dan
dicuci bersih di bawah air mengalir
kemudian dirajang. Hasil rajangan
dikeringkan pada suhu kamar selama
beberapa hari dan dikeringkan dalam oven
pada suhu 50˚C, lalu dipisahkan dari
bagian-bagian tanaman yang tidak
dikehendaki atau dari benda-benda asing
selama proses pengeringan (disortasi
kering), setelah itu dilakukan pengubahan
bentuk simplisia menjadi bentuk serbuk
dengan cara dihaluskan dengan
menggunakan blender sehingga menjadi
serbuk halus. Selanjutnya serbuk halus
tersebut ditimbang dan disimpan dalam
wadah bersih.
C. Ekstraksi Daun Gaharu
Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi ultrasonikasi. Serbuk daun
gaharu ditimbang sebanyak 25 gram, lalu
masing-masing ditambahkan 150 ml (1:6)
pelarut etanol yaitu 30%, 50%, 70% dan
96%. Sampel kemudian diaduk
menggunakan magnetic stirer dengan
kecepatan 50 rpm selama 15 menit.
Maserat kemudian diultrasonikasi dengan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
76
ultrasonic bath selama 30 menit pada suhu
50°C dengan frekuensi gelombang 50 kHz
(Sa’adah, 2010). Kemudian didiamkan
dalam bejana maserator selama 24 jam
pada suhu kamar, lalu disaring dari
pelarutnya dengan menggunakan corong
Buchner. Setelah itu dilakukan
sentrifugasi. Kemudian dilakukan
evaporasi dengan rotary evaporator pada
suhu 70°C hingga diperoleh filtrat. Filtrat
yang diperoleh lalu diuapkan lagi dengan
waterbath hingga diperoleh ekstrak pekat.
Ekstrak pekat kemudian ditimbang dan
ditentukan nilai rendemennya. Selanjutnya
ekstrak disimpan pada suhu kamar
sebelum dilakukan analisis kandungan
flavonoid.
C. Pembuatan Kurva Baku Kuersetin
Seri kadar dibuat dengan
menggunakan kuersetin sebagai baku
standar. Sebanyak 100 mg kuersetin
dilarutkan ke dalam 100 ml etanol p.a.
(1000 ppm), lalu dibuat larutan baku kerja
kuersetin sebesar 40, 60, 80, 100, dan 120
ppm. Satu mililiter larutan baku kerja
ditambah 1 mL larutan AlCl3 10% dan 8
mL larutan asam asetat 5%. Panjang
gelombang maksimum didapat dari hasil
scanning larutan kuersetin 100 ppm.
Setelah campuran didiamkan 15 menit
pada suhu kamar, lalu dilakukan
pembacaan absorbansi seri kadar dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang
416 nm. Kemudian dari hasil tersebut
dibuat persamaan kurva baku y = bx + a.
D. Penentuan Kadar Total
Flavonoid dalam Ekstrak
Daun Gaharu
Sebanyak 50 mg sampel ekstrak
etanol 30% dan 50% dilarutkan ke dalam
10 ml etanol p.a. Satu mililiter larutan
tersebut ditambah 1 mL larutan AlCl3
10% dan 8 mL larutan asam asetat 5%,
divortex dan didiamkan selama 15 menit,
dan dibaca di spektrofotometer pada
panjang gelombang maksimal. Hasil
absorbansi dimasukkan ke dalam
persamaan kurva baku, dan dihitung kadar
total flavonoid masing-masing.
Sebanyak 20 mg sampel ekstrak
etanol 70% dan 96% dilarutkan ke dalam
10 ml etanol p.a. Satu mililiter larutan
tersebut ditambah 1 mL larutan AlCl3
10% dan 8 mL larutan asam asetat 5%,
divortex dan didiamkan selama 15 menit,
dan dibaca di spektrofotometer pada
panjang gelombang maksimal. Hasil
absorbansi dimasukkan ke dalam
persamaan kurva baku, dan dihitung kadar
total flavonoid masing-masing.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan rendemen ekstrak daun
gaharu
Hasil perolehan prosentase
rendemen ekstrak terbesar dimiliki oleh
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
77
ekstrak etanol 50%, seperti terlihat pada
Tabel I.
B. Pembuatan kurva baku kuersetin
Absorbansi dari seri kadar
kuersetin menghasilkan kurva baku
kuersetin Y = 0,00655x – 0,02660.
C. Penentuan Kadar Total Flavonoid
Ekstrak Daun Gaharu
Penetapan operating time
ditentukan dari perolehan absorbansi yang
stabil atau tetap selama jangka waktu
tertentu. Operating time yang diperoleh
dalam penelitian ini adalah 16 menit.
Kadar total flavonoid ekstrak daun
gaharu dinyatakan dalam satuan EK.
Kadar tertinggi berada dalam ekstrak
etanol 96%, seperti yang terlihat pada
Tabel I.
Tabel I. Prosentase rendemen dan kadar
total flavonoid ekstrak etanol daun gaharu
Konse
ntrasi
etanol
(%)
Rende
men
ekstra
k (%)
Kadar
total
flavonoid
(EK*)
30%
19,04
7,947 ±
0,289
50%
23,36
10,034 ±
0,081
70%
19,08
21,293 ±
0,658
96%
22,08
28,697 ±
1,666
*Kadar flavonoid dituliskan dalam bentuk
ekuivalen katekin (EK : mg katekin/g) ekstrak).
Berdasarkan tabel di atas,
rendemen tertinggi dihasilkan dengan
etanol 50%, diikuti 96%,70%, dan 30%.
Sedangkan kadar total flavonoid tertinggi
secara berturut-turut dihasilkan pelarut
etanol 96%, 70%, 50%, dan 30%.
Rendemen ekstrak etanol 50% dan 96%
hampir sama, tetapi kadar total flavonoid
dalam ekstrak etanol 96% hampir tiga kali
lipat kadar total flavonoid ekstrak etanol
50%. Rendemen yang besar namun tidak
diikuti kadar flavonoid yang besar pada
ekstrak etanol 50% diduga karena terdapat
kandungan metabolit lain yang lebih polar
yang dominan tertarik dalam pelarut
tersebut dibandingkan flavonoid.
IV. KESIMPULAN
Konsentrasi etanol yang
optimal terhadap kadar total flavonoid
adalah etanol 96%.
DAFTAR PUSTAKA
Andrungayan, R.R., 2015. Aktivitas
Ekstrak Etanol Daun Gaharu
(Aquilaria microcarpa Baill.)
terhadap Tes Toleransi Glukosa
Oral, Glikogen Hati, dan
Histopatologi Pankreas Tikus Putih
yang Diinduksi Aloksan. Skripsi PS
FMIPA. Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru.
Hossain, M.B., Barry-Ryan, C., Martin-
Diana, A.B. and Brunton, N.P.,
2011. Optimisation of accelerated
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 74-78
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
78
solvent extraction of antioxidant
compounds from rosemary
(Rosmarinus officinalis L.),
marjoram (Origanum majorana L.)
and oregano (Origanum vulgare L.)
using response surface methodology.
Food Chemistry, 126(1), pp.339-
346.
Jadhav, R. & Puchchakayala, G., 2012.
Hypoglicemic and Antiidiabetic
Activity of Flavonoids : Boswellic
Acid, Ellagic Acid, Quercetin, Rutin
On Streptozotocin-Nicotinamide
Induced Type 2 Diabetic Rats.
International Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences, Vol 4,
Issue 2, p.251-256.
Jung M., Park, M., Lee, H.C., Kang, Y.H.,
Kang, E.S., and Kim, S.K., 2006.
Antidiabetic Agents from Medicinal
Plants. Current Medicinal
Chemistry, Vol.13 No.10, p.1203-
1218.
Mega, I. M., & Swastini, D. A., 2010.
Screening Fitokimia Dan Aktivitas
Antiradikal Bebas Ekstrak Metanol
Daun Gaharu (Gyrinops versteegii).
Jurnal Kimia, 4 (2) : 187-192.
Sa’adah, L. 2010. Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Tanin dari Daun Belimbing
Wuluh. Skripsi Jurusan Kimia,
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim, Malang.
Spigno, G., Tramelli, L. & De Faveri,
D.M., 2007. Effects of extraction
time, temperature and solvent on
concentration and antioxidant
activity of grape marc phenolics.
Journal of food engineering, 81(1),
pp.200-208.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
79
Optimasi Formula Gel Spermisida Ekstrak Kulit
Kayu Durian (Durio zibethinus Murr.) dengan
Variasi Konsentrasi HPMC dan Gliserin
Metode Simplex Lattice Design
*Nani Kartinah1, Rizki Hardianti
1, Mia Fitriana
1, Anni Nurliani
2
1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat,
2Program Studi Biologi Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Ekstrak kulit kayu Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan bahan
spermisida alami yang terbukti memiliki efek immotile terhadap spermatozoa manusia
secara in vitro. Sediaan gel ekstrak kulit kayu Durian dibuat untuk kontrasepsi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dari kombinasi HPMC-gliserin dan untuk
menentukan formula optimal sediaan gel ekstrak kulit kayu Durian. Formulasi sediaan
gel dibuat dengan memvariasikan rasio HPMC-gliserin yaitu F1 (1,6%; 12%), F2
(2,6%;11%), F3 (3,6%;10%). Optimasi formula dilakukan dengan menggunakan
metode simplex lattice design (SLD). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi HPMC-
gliserin dapat meningkatkan viskositas (koef=+266,67) dan daya lekat (koef=+473,33)
tetapi dapat menurunkan daya sebar (koef=-3,87) sediaan gel. Nilai total respons F1
(0,327), F2 (0,455), F3 (0,658). Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa
kombinasi HPMC-gliserin memiliki pengaruh yang signifikan pada viskositas, daya
lekat dan daya sebar sediaan (p<0,05). Formula ketiga dengan komposisi 3,6% HPMC
dan 10% gliserin merupakan formula yang paling optimal.
Kata kunci : Gel, ekstrak kulit kayu, D.zibethinus, simplex lattice design
ABSTRACT
Durian (Durio zibethinus Murr.) cortex extract is a natural spermicide ingredient
which has an immotile effect against human spermatozoa in vitro. Gel preparation from
the extract of Durian’s cortex designed as a spermicidal. This research aims to determine
the combination effect of HPMC-glycerine and to optimizing formula of gel spermicide of
the extract Durian’s cortex. The gel was formulated by changing the HPMC and glycerine
ratio F1 (1,6%;12%), F2 (2,6%;11%), and F3 (3,6%;10%). The composition was
optimized using simplex lattice design (SLD). The result showed the combination of
HPMC-glycerine was increase of viscosity value (koef = +266.67) and adhesion value (koef
= +473.33) but decreased of spreadibility (koef= -3,87) . Total response value of F1 (0,327),
F2 (0,455), F3 (0,658). Based on result, the combination of HPMC and glycerine had
significant effect on the viscosity, adhesion and spreadibility of gel (p<0,05). The third
formulation with proportion of 3,6% HPMC and 10% glycerine was selected as the
optimum formula.
Keywords : Gel, cortex’s extract, D.zibethinus, simplex lattice design
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
80
I. PENDAHULUAN
Spermisida adalah agen yang
dapat menurunkan motilitas (pergerakan)
sperma sehingga menurunkan kemampuan
pembuahan sel telur (Rusmiati, 2007).
Hasil uji in vitro menunjukkan ekstrak
kulit kayu durian dapat menyebabkan
immotile pada sperma manusia (Nurliani &
Santoso, 2010). Senyawa pada ekstrak
dapat mengganggu pembentukan protein.
Apabila proses pembentukan protein
terganggu, menyebabkan sperma berada
dalam keadaan tidak motil dan terjadi
kematian (Siswanti et al., 2003).
Ekstrak kulit kayu D. zibethinus
dibuat dalam sediaan gel. Diperlukan
optimasi formula agar tujuan penggunaan
dapat dicapai mengingat tiap komponen
memiliki alasan, fungsi dan proporsi yang
dapat mempengaruhi gel yang dihasilkan
(Nurlaela et al., 2012).
Optimasi formula sediaan gel
spermisida ekstrak kulit kayu D. zibethinus
menggunakan metode Simplex Lattice
Design (SLD) untuk mendapatkan
beberapa respon optimum dari variasi
kombinasi bahan tambahan (Bolton,
1997). Penilaian respon optimum
didasarkan pada sifat fisik gel yaitu
viskositas, daya lekat dan daya sebar
(Hapsari et al., 2014).
II. BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu alat
gelas (Iwaki pyrex), hot plate stirrer
(Stuart CB 302), dan viskometer
Brookfield (model LV).
Bahan yang digunakan yaitu
akuades, ekstrak kulit kayu D. zibethinus,
gliserin (Brataco), HPMC K 100 M
Premium (Honest).
B. Pembuatan Gel Ekstrak Kulit Kayu
Durian
Ada tiga formula yang disiapkan.
Disajikan pada tabel I.
Tabel I. Formula Gel
Komposisi Bobot (%b/b)
F1 F2 F3
Ekstrak 2% 2% 2%
HPMC 1,6% 2,6% 3,6%
Gliserin 12% 11% 10%
Zat
tambahan 15,25% 15,25% 15,25%
Aquadest
bebas CO2
ad
100%
ad
100%
ad
100%
Ekstrak kulit kayu D. zibethinus
dilarutkan dengan gliserin diatas hot plate
pada suhu 20o C, setelah larut keseluruhan
ditambahkan 10 mL aquadest bebas CO2.
Campuran tersebut kemudian disaring dan
didapat campuran I. Selanjutnya HPMC
dan akuades panas dicampur dan
diletakkan di atas pemanas, diaduk hingga
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
81
homogen, campuran ini disebut campuran
II. Selanjutnya campuran 1 ditambahkan
sedikit demi sedikit ke dalam campuran II,
diaduk hingga terbentuk menjadi gel.
C. Uji Viskositas, Daya Lekat dan
Daya Sebar Sediaan Gel Ekstrak
Kulit Kayu Durian
a. Uji Viskositas
Sampel ditempatkan pada rotor
viscometer Brookfield. Digunakan
berbagai kecepatan (6 rpm, 12 rpm, 30
rpm dan 60 rpm) dan berbagai nomor
spindle (1, 2, 3 dan 4) (Jufri et al., 2006).
Syarat nilai viskositas gel yang baik yaitu
2000 – 4000 cPs (Arikumalasari et al.,
2013).
b. Uji Daya Lekat
Sampel diletakkan diantara dua
kaca objek, kemudian kaca objek
diberikan beban sebesar 50 g,100 g, dan
150 g selama 5 menit. Dihitung waktu
yang dibutuhkan agar kedua kaca objek
terlepas. (Arikumalasari et al., 2013).
Syarat waktu daya lekat yang baik adalah
tidak kurang dari 4 detik (Ulaen et al.,
2013).
c. Uji Daya Sebar
Sampel sebanyak 0,5 g diletakkan
pada sebuah kaca persegi. Setelah
dibiarkan selama 1 menit, diukur diameter
gel yang menyebar. Dilakukan langkah yg
sama pada beban sebesar 50 g, 100 g, dan
150 g (Kuncahyo, 2011). Syarat daya
sebar gel yang baik 5 - 7 cm (Mappa et al.,
2013).
D. Penetapan Profil Viskositas, Daya
Lekat dan Daya Sebar Sediaan gel
Menggunakan Simplex Lattice
Design
Penentuan profil viskositas, daya
lekat dan daya sebar sediaan dengan
pendekatan SLD digunakan untuk
mendapatkan nilai koefisien pengaruh
kombinasi HPMC-gliserin. Persamaan
yang digunakan yaitu :
Y = a (A) + b (B) + ab (A)(B)
Keterangan :
Y = Respon (hasil percobaan)
a, b, ab = Koef. Yang dapat dihitung
dari hasil percobaan
A, B = Besarnya komponen A dan B
dengan jumlah A + B selalu
satu
(Patel &Patel, 2007).
E. Penetapan Formula Optimum
Menggunakan Simplex Lattice
Design
Formula optimum dipilih
berdasarkan nilai total respon yang paling
besar. Perhitungan respon menggunakan
rumus:
R = (bobot x Nviskositas) + (bobot x N daya
lekat) + (bobot x Ndaya sebar)
N merupakan normalitas yang dihitung
menggunakan rumus :
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
82
N = 𝐗−𝐗𝐦𝐢𝐧
𝐗𝐦𝐚𝐱−𝐗𝐦𝐢𝐧
Keterangan :
X = Respon (hasil percobaan)
Xmin = Respon minimal yang
diinginkan
Xmax = Respon maksimal yang
diinginkan
(Patel & Patel, 2007)
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dievaluasi
secara statistik, menggunakan Design
Expert Version 8.0.9 dengan metode
Analysis of Variance (ANOVA) One Way.
(Kuncahyo, 2011)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi pada sediaan gel
spermisida terdiri dari ekstrak kulit kayu
D. zibethinus, HPMC, gliserin, zat
tambahan dan akuades bebas CO2. Alasan
pemilihan HPMC sebagai basis gel untuk
menghasilkan cairan lebih jernih, tidak
menimbulkan toksisitas dan iritasi serta
memiliki pH stabil dalam rentang 3-11
(Rowe et al., 2009). Gliserin digunakan
sebagai emolien untuk membentuk
viskositas dengan memperbesar ukuran
unit molekul (Martin et al., 1993). Tujuan
pencampuran HPMC dan gliserin adalah
HPMC yang dapat menurunkan daya sebar
sediaan dan dapat diatasi dengan
penambahan gliserin. Selain itu,
pencampuran HPMC dan gliserin akan
berpengaruh pada viskositas sediaan
(Sukma, 2013).
A. Hasil Uji Viskositas
Pengujian viskositas (besarnya
kekentalan zat cair) menentukan
kemudahan suatu molekul bergerak karena
adanya gesekan antar lapisan material
(Ningrum & Toifur, 2014). Hasil
pemeriksaan viskositas pada setiap
formula dapat dilihat pada gambar 1
berikut :
Gambar 1. Grafik rerata nilai viskositas sediaan
gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus
Penambahan konsentrasi HPMC dan
penurunan konsentrasi gliserin dapat
meningkatkan viskositas sediaan gel
dengan mekanisme pembentukan basis gel
HPMC secara kumparan acak
(Arikumalasari et al., 2013) dan terjadi
proses hidrasi molekul air melalui
pembentukan ikatan hidrogen (Raton &
Smooley, 1993). Hasil analisis statistik
menunjukkan kombinasi HPMC-gliserin
berpengaruh signifikan terhadap viskositas
gel (p<0,05)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
83
B. Hasil Uji Daya Lekat
Hasil pemeriksaan daya lekat gel
pada setiap formula terlihat pada gambar
2 berikut :
Gambar 2. Grafik rerata nilai daya lekat sediaan
gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus
Penambahan konsentrasi HPMC dan
penurunan konsentrasi gliserin
meningkatkan nilai daya lekat sediaan gel
(Ulaen et al., 2013). Hasil analisis statistik
menunjukkan kombinasi HPMC-gliserin
berpengaruh signifikan terhadap daya lekat
gel (p<0,05)
C. Hasil Uji Daya Sebar
Gel yang baik membutuhkan waktu
yang lebih sedikit untuk tersebar (Madan
& Singh, 2010). Hasil pemeriksaan daya
sebar gel pada setiap formula terlihat pada
gambar 3 berikut :
Gambar 3. Grafik rerata nilai daya sebar sediaan
gel ekstrak kulit kayu D.zibethinus
Peningkatan konsentrasi HPMC dan
penurunan gliserin pada tiap formula
menyebabkan penurunan daya sebar.
Penurunan daya sebar terjadi melalui
meningkatnya ukuran unit molekul
sehingga meningkatkan tahanan untuk
mengalir dan menyebar (Sukmawati et al.,
2014). Hasil analisis statistik menunjukkan
kombinasi HPMC-gliserin berpengaruh
signifikan terhadap daya sebar gel
(p<0,05)
D. Penetapan Profil Viskositas, Daya
Lekat dan Daya Sebar Sediaan gel
Menggunakan Simplex Lattice
Design
Hasil contour plot untuk respon
viskositas dapat dilihat pada gambar 4
berikut :
Gambar 4. Grafik hasil uji viskositas sediaan gel
ekstrak kulit kayu D.zibethinus
dengan SLD
Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan
persamaan untuk viskositas yaitu:
Y = 3856,94(A) + 2223,61(B) + 266,67(A)(B)
Persamaan ini menunjukkan bahwa
interaksi antara kedua bahan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
84
mempengaruhi peningkatan respon
viskositas (koef = +266,67).
Hasil contour plot untuk respon
daya lekat dapat dilihat pada gambar 5
berikut :
Gambar 5. Grafik hasil uji daya lekat sediaan gel
ekstrak kulit kayu D.zibethinus
dengan SLD
Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan
persamaan untuk daya lekat yaitu:
Y = 614,14 (A) + 26,14(B) + 473,33(A)(B)
Persamaan ini menunjukkan bahwa
interaksi antara kedua bahan
mempengaruhi peningkatan respon daya
lekat (koef = +473,33).
Hasil contour plot untuk respon
daya sebar dapat dilihat pada gambar 6
berikut :
Gambar 6. Grafik hasil uji daya sebar sediaan gel
ekstrak kulit kayu D.zibethinus
dengan SLD
Berdasarkan pendekatan SLD didapatkan
persamaan untuk daya lekat yaitu:
Y = 5,20(A) + 7,66(B) – 3,87(A)(B)
Persamaan ini menunjukkan bahwa
interaksi antara kedua bahan
mempengaruhi penurunan respon daya
sebar (koef = -3,87).
E. Penetapan Formula Optimum
Menggunakan Simplex Lattice
Design
Besarnya respon total yang
diperoleh terlihat pada gambar 6 berikut :
Gambar 6. Grafik total respon sediaan gel ekstrak
kulit kayu D.zibethinus dengan SLD
Hasil total respon menunjukkan bahwa
konsentrasi HPMC 3,6% dan gliserin 10%
merupakan formula optimum (total
respon=0,658). Pertimbangan dalam
permilihan formula optimum adalah nilai
desirability mendekati atau sama dengan
1 (Bolton, 1997). Nilai desirability sama
dengan 1 memberikan nilai hasil yang
sama pada target dan menggambarkan
suatu respon yang meningkat secara linier
(Fariz et al., 2012).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
85
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah :
1. Kombinasi HPMC dan gliserin akan
meningkatkan viskositas (koef =
+266,67) dan daya lekat (koef =
+473,33), serta menurunkan daya sebar
(koef = - 3,87) sediaan gel
2. Konsentrasi HPMC 3,6% dan gliserin
10% menghasilkan gel ekstrak kulit
kayu D. zibethinus yang memiliki sifat
optimum.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada DIKTI yang
telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arikumalasari, J., I.G. Dewantara, & N.P.
Wijayanti. 2013. Optimasi HPMC
sebagai Gelling Agent dalam
Formula Gel Ekstrak Kulit Buah
Manggis (Garcinia mangostana L.).
Jurnal Farmasi Udayana. 2: 12-18.
Bolton, S. 1997. Pharmaceutical
Statistics : Practical and Clinical
Applications, Edisi ke-3. Marcel
Dekker Inc, New York.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia,
Edisi ke-3. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Fariz, Y.A., N. W. Surya., & M.S.Fira.
2012. Penerapan Metode Response
Optimizer Dan Steepest Descent di
Bidang Industri (Studi Kasus Di PT.
ABCDE). Jurnal Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. 4 : 1-8.
Hapsari, I., A. Rosyadi, & R.
Wahyuningrum. 2014. Optimasi
Kombinasi Minyak Atsiri Bunga
Kenanga dengan Herba Kemangi
dalam Gel sebagai Repelan Nyamuk
Aedes aegypti dengan Metode
Simplex Lattice Design. Prosiding
Seminar Nasional. Yogyakarta.
Jufri, M., A. Effionora, & M.U. Putri.
2006. Uji Stabilitas Sediaan
Mikroemulsi Menggunakan
Hidrosilat Pati (DE 35-40) sebagai
Stabilizer. Majalah Ilmu
Kefarmasian. 3: 08-21.
Kuncahyo, I. 2009. Optimasi Campuran
Avicel pH 101 dan Pati Jagung
dalam Pembuatan Tablet Ekstrak
Daun Mimba (Azadirachta indica
A. Juss) secara Simplex Lattice
Design. Jurnal Farmasi Indonesia.
6:21-33
Mappa.T., H.J. Edy, & N. Kojong. 2013.
Formulasi Gel Ekstrak Daun
Sasaladahan (Peperomia pellucida
L.) dan Uji Efektivitasnya terhadap
Luka Bakar pada Kelinci
(Oryctolagus cuniculus). Pharmacon
Jurnal Ilmiah Farmasi. 2: 49-56.
Martin, A., J. Swarbrick, & A. Cammarata.
1993. Farmasi Fisik : Dasar-dasar
Farmasi Fisik dalam Ilmu
Farmasetik, Edisi ke-3. Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Ningrum, E.P. 2015. Efek Spermisida Gel
Ekstrak Kulit Kayu Durian ((Durio
zibethinus Murr.) terhadap
Viabilitas dan Morfologi
Spermatozoa Manusia secara In
Vitro. Skripsi Program Strata-1
FMIPA Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.
Nurlaela, E, S. Nining, & A. Ikhsanudin.
2012 Optimasi Komposisi Tween 80
dan Span 80 sebagai Emulgator
dalam Repelan Minyak Atsiri Daun
Sere (Cymbopogon citratus (D.C)
Stapf) terhadap Nyamuk Aedes
aegypti Betina pada Basis Vanishing
Cream dengan Metode Simplex
Lattice Design. Jurnal Ilmiah
Kefarmasian. 2: 41-54
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 79-86
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
86
Nurliani, A&H. B. Santoso, 2010. Efek
Spermatisida Ekstrak Kulit Kayu
Durian (DuriozibethinusMurr.)
terhadap Mortilitas dan Kecepatan
Gerak Spermatozoa Manusia secara
In Vitro. Sains dan Terapan Kimia.
4: 60-72.
Patel, D.M & N.M. Patel.2007.
Gastroretentive Drug Delivery
System of Carbamazepine:
Formulation Optimization Using
Simplex Lattice Design: A Technical
Note, AAPS. PharmSciTech.8:82–
86
Raton, B & C.K. Smooley. 1993. Food
and Drug Administration. CRC
Press Inc, London.
Rowe, R.C., Paul, J. Sheskey,& M.E.
Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th
Edition. Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Association,
London.
Rusmiati.2007. Pengaruh Ekstrak Kayu
Secang (Caesalpinia sappan L.)
terhadap Spermatozoa Mencit.
Jurnal Biosciantiae. 42:63-70.
Siswanti, T., O.P. Astirin, & T.
Widiyani.2003. Pengaruh Ekstrak
Temu Putih (Curcuma zedoaria
Rosc.) terhadap Spermatogenesis
dan Kualitas Spermatozoa Mencit
(Mus musculus L.). BioSmart.7: 38-
42.
Sukma, D.H. 2013. Pengaruh Gliserin
Terhadap Laju Pelepasan
Meloksikam dari Basis Gel
Carbopol secaraIn Vitro.Skripsi
Universitas Jember, Jawa Timur.
Sukmawati, N.M.A., C.I.S. Arisanti, &
N.P.A.D. Wijayanti. 2014. Pengaruh
Variasi Konsentrasi PVA, HPMC
dan Gliserin terhadap Sifat Fisika
Masker Wajah Gel Peel Off Ekstrak
Etanol 96% Kulit Buah Manggis
(Garcinia mangostanaL.). Majalah
Kefarmasian. 8: 1-8.
Ulaen, S.P.J., Y. Banne, & R.A. Suatan.
2013. Pembuatan Salep Anti Jerawat
dari Ekstrak Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.).
Jurnal Poltekes Manado.45-49.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
87
Studi Farmakognostik dan Uji Parameter
Nonspesifik Ekstrak Metanol Daun Kasturi
(Mangifera casturi Kosterm.)
*Sutomo, Nadya Agustina, Arnida, Fadilaturrahmah
Program Studi Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Kasturi (Mangifera casturi Kosterm.) merupakan salah satu tumbuhan endemik
Kalimantan Selatan. Daun M. casturi mengandung beberapa golongan senyawa yang
berpotensi sebagai obat. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data hasil analisis
farmakognostik, batas-batas maksimal kandungan senyawa tertentu dan profil
kromatogram kandungan kimia ekstrak metanol daun M. casturi. Analisis
farmakognostik terhadap tumbuhan meliputi morfologi, anatomi, dan identifikasi
kandungan kimia. Batasan maksimal kandungan senyawa tertentu berdasarkan
parameter non spesifik meliputi kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam,
total bakteri dan kapang, dan kadar Pb dalam ekstrak. Karakteristik tumbuhan M.
casturi yaitu memiliki batang berwarna coklat tua dengan permukaan kasar dan
bergetah, daun berwarna hijau, berbentuk lancet, kulit buah matang berwarna coklat
keunguan, daging buah berwarna kuning terang hingga jingga, berbau khas, berasa
manis agak asam dan banyak mengandung serabut. M. casturi mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, steroid, dan fenol yang dibuktikan berdasarkan uji identifikasi
kimia dan analisis secara KLT. Pengujian parameter non spesifik ekstrak metanol daun
M. casturi secara berturut-turut yaitu, kadar air 15,5±0,7%; kadar abu total
3,67±0,39%; kadar abu tidak larut asam 0,67±0,28%; tidak terdeteksi adanya
pertumbuhan bakteri pada ekstrak daun M. casturi; sedangkan total kapang yaitu
<1.101 koloni/g; dan kadar Pb yaitu 3 mg/kg.
Kata Kunci : Kasturi, analisis, farmakognostik, Mangifera casturi, parameter non
spesifik
ABSTRAK
Kasturi (Mangefera casturi Kosterm.) is one of the endemic plants of South
Kalimantan. M. casturi leaves contain several group of compounds potential to the
treatment. This research aims to provide data analysis results pharmacognostic, maximum
limits of certain compounds and profile chromatogram of chemical content of methanol
extract from M. casturi leaves. Pharmacognostic analysis of the plant include morphology,
anatomy, and the identification of compounds. The maximum limits of certain
coumpounds by non-specific parameters include water content, total ash, ash content
insoluble in acid, total bacteria and fungi, and Pb content in the extract. M. casturi
characteristic is having dark-brown stems with roughly surface and sticky, green leaves,
lancet-shapes, fruit skin has a purplish brown colour, flesh of fruit has a bright yellow till
orange colour, distinctive smell, slightly sour sweet taste, and contains lots of fiber. M.
casturi contains alkaloids, flavonoids, steroids, and phenols that has been proved by
chemical identification test and analysis of TLC. Non-specific parameter testing about
methanol extract of leaves M. casturi consecutively given, water content 15,5±0,7%; total
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
88
ash 3,67±0,39%; ash content insoluble in acid 0,67±0,28%; undetected any bacterial
contamination in the extract of M. casturi leaves; while the total mold contamination is
<1.101 colonies/g; and Pb contents is 3 mg/kg.
Keywords : Kasturi, pharmacognostic analysis, Mangifera casturi, non-specific parameter
I. PENDAHULUAN
Tumbuhan kasturi (Mangifera
casturi) mengandung senyawa yang dapat
dimanfatkan dalam pengobatan. Aktivitas
M. casturi diantaranya, daun berkhasiat
sebagai anti inflamasi (Syanjaya, 2009)
dan mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Vibrio cholera dan E. coli (Oktafia,
2009). Kulit batang mammpu menghambat
pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli
(Rosyidah et al., 2010; Mulyani, 2015).
Pada buah M. casturi memiliki aktifitas
antioksidan (Sutomo et al., 2014) dan
antiinflamasi (Fakhrudin et al., 2013).
Aktivitas simplisia ditentukan oleh
kesesuaian karakteristik tumbuhan dan
jumlah kandungan senyawa yang terdapat
didalamnya. Penelusuran kandungan
senyawa pada simplisia berkaitan erat
dengan pengujian parameter spesifik pada
ekstrak dalam menentukan kandungan
senyawa aktif. Selain itu, parameter non
spesifik juga diperlukan dalam mengetahui
mutu ekstrak. Parameter non spesifik
berperan dalam penentuan jaminan
terhadap batas-batas kandungan tertentu
yang masih diperbolehkan. Menurut
Saifudin et al. (2011), tujuan penentuan
parameter non spesifik adalah untuk
menjaga kandungan senyawa, keamanan
dan stabilitas ekstrak agar memiliki
konsistensi keamanan dan efikasi pada
konsumen
II. BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah alat semprot,
aluminium foil, autoklaf (All American),
ayakan, batang pengaduk, blender
(Kessler), beaker glass, bunsen, cawan
petri, cawan porselin, chamber KLT,
cawan petri, corong pisah, desikator,
furnace (Ney-Vulcan D-550), gelas ukur,
grinder (MKOM-200 Agrowindo), pipa
kapiler, kondensor, hotplate stirrer
(Stuart), heater mantle (Glass Cool), pipet,
Inductively Coupled Plasma Atomic
Emission Spectroscopy (Horiba), inkubator
(Memmert), kaca arloji, krus porselin, labu
destilasi, labu ukur, lampu UV 254 dan
366 nm, lemari asaam (Lokal), maserator,
oven (Vinco), rotary evaporator (Heidolf),
plat silika gel GF254, pipet tetes, tabung
reaksi, timbangan analitik (Pioner), vial
dan vortex (Jeio Tech).
Bahan-bahan yang digunakan
adalah daun M. casturi, ammonia (teknis),
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
89
asam asetat (teknis), asam formiat (teknis),
asam klorida (teknis), asam sulfat (teknis),
akuades, brom (teknis), etanol (teknis),
etanol (pa), etil asetat (pa), FeCl3 (teknis),
fehling (teknis), fluoroglusin (teknis),
iodium (teknis), kalium iodida (teknis),
kapas, kertas saring Whatman, media
Nutrient Agar (NA) dan Potato Dextrose
Agar (PDA), kloroform (pa), n-heksan
(pa), natrium klorida, natrium hidroksida,
metanol (teknis), metanol (pa), reagen
Dragendorff, Mayer, Wagner, serbuk
magnesium dan toluen (teknis).
B. Pengolahan Sampel
Daun M. casturi (2 kg) dibersihkan
dengan air mengalir. Daun bersih dirajang
menjadi bagian lebih kecil selanjutnya
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan
dan terlindung dari cahaya matahari.
Simplisia kering diserbukkan (sebagian
disimpan untuk analisis) dan sebagian
diekstraksi.
a. Analisis farmakognostik M. casturi
Dilakukan pemeriksaan meliputi
morfologi, anatomi dan organoleptik.
Analisis mikroskopik dilakukan terhadap
irisan membujur dan melintang daun M.
casturi. Pengamatan dilakukan terhadap
bagian sel yang muncul menggunakan
mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x.
b. Pembuatan ekstrak
Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi. Sebanyak 250 g serbuk kering
direndam dengan pelarut metanol dalam
bejana maserasi. Perbandingan antara
jumlah serbuk dan pelarut yang digunakan
yaitu 1:5. Ekstraksi dilakukan 3×24 jam
dengan pergantian pelarut setiap 1×24 jam.
c. Uji parameter non spesifik
Uji parameter non spesifik meliputi
kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak
larut asam, total cemaran bakteri dan
kapang, kadar logam timbal (Pb) pada
ekstrak metanol daun M. casturi. Metode
penetapan didasarkan pada Parameter
Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat
(Depkes RI, 2000).
d. Identifikasi kandungan kimia
Identifikasi kandungan kimia
dilakukan dua tahap, yaitu identifikasi
kandungan kimia pada serbuk simplisia
dan ekstrak dengan uji reaksi; dan
identifikasi kandungan kimia ekstrak
secara KLT.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tumbuhan M. casturi memiliki
perakaran tunggang yang berwarna coklat
keabu-abuan. Batang berbentuk silindris,
batang utama memiliki ketinggian ± 20 m,
diameter batang ± 1 m. Permukaan batang
kasar, lembab dan bergetah. Lapisan luar
kulit batang berwarna coklat tua dengan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
90
retakan keabu-abuan dari kulit yang telah
mati, lapisan dalam berwarna coklat muda.
Daun berwarna hijau muda sampai hijau tua
dengan ukuran panjang ± 20 - 27 cm dan
lebar ± 5,5 - 8,5 cm. Tulang daun menyirip
dengan jumlah 17-23 pasang. Daun
berbentuk lancet dengan ujung runcing, tepi
daun rata, dan permukaan daun kasar. Buah
berwarna coklat keunguan dengan dengan
bintik-bintik bulat kecil kehijauan saat
matang. Permukaan kulit licin dan bergetah.
Buah memiliki panjang ± 6-8 cm dan
diameter ±4-5 cm. Daging buah tipis dan
berair, berwarna kuning terang hingga
jingga, memiliki rasa yang manis dan
banyak mengandung serabut.
Pada pemeriksaan anatomi
(Gambar1 ), daun M. casturi memiliki
stomata tipe parasitik dimana sumbu sel
tetangga sejajar dengan sumbu sel penutup
serta celah (Depkes RI, 1995)..
Gambar 1. Hasil pemeriksaan anatomi sel daun,
kulit batang, dan buah M.casturi
(Perbesaran 40x). (a) Penampang
melintang daun M.casturi, (b)
Penampang membujur daun M. casturi
Pemeriksaan organoleptik dapat
memberikan pengenalan awal secara
objektif sebagai dasar untuk menguji
simplisia secara fisik selama penyimpanan
yang dapat mempengaruhi khasiatnya dan
menunjang identifikasi ekstrak selanjutnya
(Harborne, 1996). Hasil pemeriksaan
organolpetik menunjukkan karakteristik
dauan yaitu daun berwarna hijau, berbau
khas lemah, dan tidak berasa.
Metode ekstraksi secara maserasi
(cara dingin) dipilih untuk meminimalisir
rusaknya kandungan senyawa karena
karena pemanasan. Hasil ekstraksi didapat
rendemen ekstrak daun sebanyak
12,032%. Dari hasil analisis terhadap
parameter non spesifik didapatkan nilai
kadar air 15,9%; kadar abu total 3,67%;
kadar abu tidak larut asam 0,67%; serta
analisis cemaran seperti yang disajikan
pada tabel I. Penentuan kadar air terkait
dengan kemurnian ekstrak. Semakin sedikit
kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit
kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh
pertumbuhan jamur (Saifudin et al., 2011).
Tabel I. Parameter non spesifik ekstrak
metanol daun M. casturi
Hasil penentuan kadar air ekstrak
daun M. casturi melebihi batas kadar air
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
91
yang diperbolehkan oleh BPOM (2014).
Tingginya kadar air dapat disebabkan oleh
proses pengeringan yang kurang optimal
(Prasetyo & Inoriah, 2013) serta absorbsi
air ke dalam ekstrak saat proses
penyimpanan akibat lingkungan yang
lembab (Saifudin et al., 2011).
Penentuan kadar abu bertujuan
untuk mengukur jumlah komponen
anorganik atau mineral yang tersisa setelah
proses pengabuan (Sudarmadji, 1989).
Kadar seyawa anorganik atau mineral
dalam jumlah tertentu dapat
mempengaruhi sifat fisik bahan (Winarno,
1987). Abu yang tidak larut asam
menunjukkan keberadaan pengotor seperti
pasir atau silikat yang berasal dari tanah
(Sudarmadji, 1989). Hasil penentuan kadar
abu total dan abu tidak larut asam ekstrak
metanol daun, M. casturi telah memenuhi
persyaratan Farmakope Herbal Indonesia.
Uji total bakteri dan total kapang
dilakukan untuk mengetahui jumlah
mikroba yang dapat mengkontaminasi
ekstrak. Keberadaan cemaran mikroba
dapat mempengaruhi stabilitas ekstrak dan
dapat membahayakan kesehatan (BPOM,
2008). Terdapat pertumbuhan kapang pada
ekstrak dapat disebabkan oleh adanya
kandungan air dalam ekstrak. Menurut
Fardiaz et al. (1992), kandungan air dalam
ekstrak merupakan salah satu faktor
pendukung pertumbuhan kapang.
Penentuan kadar logam pada
ekstrak berguna menjamin bahwa ekstrak
tidak mengandung logam melebihi batas
yang ditetapkan karena bersifat toksik
terhadap kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan kadar Pb telah memenuhi
persyaratan BPOM (2014).
Hasil identifikasi kimia (tabel 2)
menunjukkn adanya kesamaan kandungan
senyawa pada serbuk dan ekstrak
sedangkan penyebaran kandungan
senyawa pada bagian simplisia M. casturi
memiliki perbedaan. Hal ini menjelaskan
bahwa penggunaan simplisia M. casturi
dalam bentuk segar dan yang telah
mengalami proses pengeringan memiliki
konsistensi aktivitas sesuai dengan peran
kandungan senyawa pada masing-masing
bagian tumbuhan. Diferensiasi metabolit
sekunder dalam suatu tumbuhan dapat
dipengaruhi oleh perbedaan proses sintesis
sel pada tahap tertentu sehingga terjadi
suatu proses produksi yang kompleks
(Gutzeit, & Muller, 2014).
Tabel II. Identifikasi kandungan kimia
simplisia dan ekstrak metanol
daun, kulit batang, dan buah M.
casturi
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
92
Identifikasi senyawa kimia
terhadap ekstrak dengan metode KLT
bertujuan memberikan gambaran adanya
kandungan senyawa yang telah
diidentifikasi sebelumnya mencegah
pemalsuan terhadap zat aktif. Identifikasi
secara KLT meliputi identifikasi senyawa
golongan alkaloid, flavonoid, fenol,
steroid dan terpenoid. Identifikasi senyawa
secara KLT disajikan pada gambar 2.
Reagen spesifik untuk senyawa
alkaloid adalah wagner, mayer dan
dragendorf. Identifikasi senyawa alkaloid
pada ekstrak menunjukkan hasil positif
dengan ditandainya bercak warna jingga
pada kromatogram. Senyawa fenolik
(flavonoid dan polifenol) menunjukkan
warna biru sampai biru tua ketika
direaksikan dengan reagen semprot FeCl3.
Identifikasi senyawa triterpenoid/steroid
menggunakan pereaksi semprot larutan
Liebermann Burchard tidak menunjukkan
bercak berwarna ungu atau merah jingga.
Hal tersebut memberikan informasi bahwa
ekstrak metanol daun M. casturi yang diuji
tidak teridentifikasi adanya triterpenoid.
Pada uji steroid, beberapa bercak
kromatogram menunjukkan warna hijau
kebiruan. Hasil tersebut memberikan
informasi bahwa ekstrak metanol daun M.
casturi positif mengandung senyawa
steroid. Hal tersebut juga sesuai dengan
hasil reaksi identifikasi golongan senyawa
sebelumnya terhadap serbuk dan ekstrak
metanol daun M. casturi.
Gambar 2. Identifikasi senyawa ekstrak
metanol daun M. casturi
terhadap kromatogram.
IV. KESIMPULAN
Daun Mangifera casturi Kosterm.
berwarna hijau, berbau khas lemah, dan
tidak berasa. Terdapat fragmen pengenal
seperti stomata tipe parasitik, sklerenkim
memanjang, dan dalam ekstrak metanol
mengandung senyawa flavonoid, alkaloid,
fenol, serta steroid. Kadar air dan kadar
abu dalam ekstrak metanol adalah 15,5 dan
3,67% sedangkan cemaran bakteri,
kapang, dan timbal secara berturut-turut
adalah <1,10; <1,10; dan 3 mg/kg.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 87-93
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
93
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada
Kementrian Ristek Dikti melalui dana
PUPT dan semua pihak yang berperan atas
terselesaikannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2008. Pengujian Mikrobiologi
Pangan. Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Badan Pengawasan Obat
dan Makanan Republik Indonesia.
Jakarta.
BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. 12 Tahun
2014 tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional.
Depkes, RI. 1995. Materia Medika
Indonesia, Jilid 6. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Depkes, RI. 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional, Jakarta.
Fakhrudin, N., P.P. Susilowati, Sutomo &
S. Wahyono. 2013. Antiinflamatory
Activity of Methanolic Extract of
Mangifera casturi in Thioglycollate-
Induced Leukocyte Migration in
Mice. Traditional Medicine Journal.
18(3): 151-156.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gutzeit, H.O. & J.L. Muller. 2014. Plant
Natural Products: Synthesis,
Biological Functions and Practical
Applications, First Edition. Wiley
Blackwell, Jerman
Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia
Penuntun Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan, Terbitan
Kedua. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Mulyani, R. 2015. Karakterisasi Sediaan
Edible Film Ekstrak Etanol Kulit
Batang Kasturi (Mangifera casturi
Kosterm) dengan Variasi
Konsentrasi Gelatin Sebagai
Polimer. Skripsi. Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Oktafia, S. 2009. Uji Aktifitas Antibakteri
Ekstrak Metanol Daun Kasturi
(Mangifera casturi Kosterm)
Terhadap Bakteri Vibrio cholera dan
Escherichia coli secara In Vitro.
Skripsi. Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.
Prasetyo, M.S. & E. Inoriah. 2013.
Pengelolaan Budidaya Tanaman
Obat-Obatan (Bahan Simplisia).
Badan Penelitian Fakultas UNIB,
Bengkulu.
Rosyidah, K., S.A Nurhumainina, N.
Komari & M.D. Astuti. 2010.
Aktifitas Antibakteri Fraksi Saponin
dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi
(Mangifera casturi). Alchemy. 1(2):
65-69.
Saifudin, A., V. Rahayu, & H.Y. Teruna,
2011. Standarisasi Bahan Obat
Alam Edisi Pertama. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Sudarmaji, S. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Sutomo., S. Wahyuono, E.P. Setyowati, S.
Rianto, A. Yuswanto. 2014.
Antioxidant Activity Assay of
Extracts and Active Fractions of
Kasturi fruit (Mangifera casturi
Kosterm.) Using 1, 1-diphenyl-2-
picrylhydrazyl Method. Journal of
Natural Products. 7: 124-130.
Syanjaya, L. 2009. Uji Aktivitas
Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun
Kasturi (Mangifera casturi)
Terhadap Mencit (Mus musculus)
yang Diinduksi Karagenin. Skripsi.
Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.
Winarno. F.G. 1987. Kimia Pangan dan
Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
94
Aktivitas Penghambatan Polimerisasi Hem Infusa
Akar Manuran (Coptosapelta Tomentosa Valeton Ex
K. Heyne) Asal Kotabaru Kalimantan Selatan
*Arnida, Ratih Purnama Putri, Fadlilaturrahmah, Sutomo
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Malaria merupakan salah satu penyakit di dunia termasuk Indonesia yang
disebabkan oleh Plasmodium. Kasus malaria diperparah dengan timbulnya resistensi
Plasmodium karena penurunan akumulasi obat pada pencernaan parasit, mutasi gen
dan tingginya resistensi penggunaan antimalaria. Penemuan antimalaria baru terus
diupayakan termasuk dari tumbuhan. Coptosapelta tomentosa adalah tumbuhan obat
Indonesia yang digunakan secara empiris oleh masyarakat Kotabaru dalam
pengobatan malaria. Penelitian ini bertujuan menentukan persentase penghambatan
dan nilai IC50 polimerisasi hem setelah pemberian infusa akar C. tomentosa. Penelitian
ini dilakukan dengan pemberian sampel uji pada konsentrasi infusa 17; 8,5; 4,25; 2,125;
1,0625 dan 0,53125 mg/mL. Hasil penelitian rata-rata kadar hemozoin pada konsentrasi
sampel infusa masing-masing sebesar 54,67±8,76; 85,82±3,20; 97,24±7,44; 100±0; 100±0
dan 100±0 mg/mL. Rata-rata persen penghambatan pada konsentrasi infusa secara
berturut-turut adalah 63,13±5,91; 42,12±2,16; 34,42±5,02; 24,69±8,34; 13,79±5,20 dan
0±0. Nilai IC50 penghambatan polimerisasi hem infusa akar C. tomentosa adalah
9,61±0,99 mg/mL. Analisis data menggunakkan uji Independent Sample t-Test
membandingkan antara IC50 infusa terhadap klorokuin difosfat didapatkan hasil p >
0,05 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna, artinya infusa akar
C. tomentosa memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang sebanding
terhadap klorokuin difosfat.
Kata Kunci : Coptosapelta tomentosa Valeton ex K. Heyne, IC50, Infusa, penghambatan,
polimerisasi hem.
ABSTRACT
Malaria is one of the diseases in the world especially Indonesia which caused by
Plamodium. Malaria case is worsen by Plamodium resistance due to reduction of medicine
accumulation of parasite digestion, gen mutation, and high resistance of anti-malaria
usage. The continuous effort to invent the new anti-malaria preferred to be plants.
Coptosapelta tomentosa is medicinal plant of Indonesia which is empirically used by
people in Kotabaru as part of the treatment for Malaria. The objective of this research is to
determine the inhibitory percentage and IC50 value of hem polimerysation after the
administration of test sample infusion at 17; 8,5; 4,25; 2,125; 1,0625 and 0,53125 mg/mL
concentration. The result of this research is that the hemozoin average level of each
infusion samples are 54,67±8,76; 85,82±3,20; 97,24±7,44; 100±0; 100±0 and 100±0
mg/mL. The inhibitory percentage of infusion concentration in order are 63,13±5,91;
42,12±2,16; 34,42±5,02; 24,69±8,34; 13,79±5,20 and 0±0. The inhibitory IC50 value of
manuran roots hem infusion polimerysaton is 9,61±0,99 mg/mL. The data is analyzed by
using Independent Sample t-Test to compare between IC50 infusion and klorokuin
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
95
diphosphate with the result p > 0,05 which shows that there is no significant difference,
thus, the infusion of C. Tomentosa roots has the inhibitor activity which is comparable to
klorokuin diphosphate.
Keywords: Coptosapelta tomentosa Valeton ex K. Heyne, hem polimerysation, IC50,
Infusion, inhibitor.
I. PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia
termasuk Indonesia (Depkes RI, 2003).
Indonesia berada di peringkat ketiga
tertinggi jumlah kasus malaria di wilayah
Asia Tenggara yaitu sebesar 229.819 kasus
dengan jumlah kematian sebesar 432 jiwa
(WHO, 2012). Kasus malaria diperparah
dengan timbulnya resistensi disebabkan
oleh penurunan akumulasi obat pada
pencernaan parasit, mutasi gen dan
tingginya intensitas penggunaan
antimalaria (Saleh et al., 2014). Upaya
penanganan kasus malaria diantaranya
penemuan antimalaria baru. Polimerisasi
hem merupakan metode pengujian in vitro
dengan target penghambatan polimerisasi
hem pada vakuola digesti Plasmodium.
Akar manuran (Coptosapelta tomentosa)
digunakan secara empiris oleh masyarakat
Kotabaru sebagai antimalaria. Penelitian
ini bertujuan menentukan nilai IC50
penghambatan polimerisasi hem dari nilai
persentase penghambatan polimerisasi
hem setelah pemberian infusa akar C.
tomentosa.
II. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain
sentrifus, ELISA reader, inkubator,
mikrotube, mikropipet, neraca analitik, pH
meter, seperangkat infudator dan vortex
mixer. Bahan yang digunakan antara lain
akar C. tomentosa, akuades, amonia, asam
asetat anhidrat, asam asetat glasial p.a.,
DMSO p.a., FeCl3, gelatin, H2SO4 pekat,
HCl, kloroform, klorokuin difosfat p.a.,
kristal hematin p.a., metanol, NaCl,
NaOH, reagen Dragendorff, reagen Mayer,
serbuk magnesium.
B. Pembuatan Infusa Akar C.
tomentosa
Sebanyak 10 gram serbuk akar C.
tomentosa ditambahkan dengan akuades
sebanyak 100 mL. Campuran tersebut
dimasukkan ke dalam penangas air selama
15 menit terhitung mulai temperatur 90oC.
Larutan infusa tersebut disaring
menggunakan kain flanel. Sebanyak 1 mL
dari larutan infusa 10% diuapkan sampai
menghasilkan bobot tetap bernilai 17
mg/mL yang dinyatakan sebagai bobot
konversi pengujian.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
96
C. Skrining fitokimia Akar C.
tomentosa
Dilakukan uji skrining fitokimia
terhadap senyawa alkaloid, flavonoid,
steroid, triterpenoid, tanin, saponin,
fenolik dan antrakuinon.
D. Pembuatan kurva baku hematin
Pembuatan seri kadar larutan
hematin sebanyak 400 μL dalam larutan
NaOH 0,1 M dengan konsentrasi: 250,
125; 62,5; 31,25; 15,625; 7,8125; dan
3,90625 μM. Larutan dipipet 100 μL dari
masing-masing konsentrasi ke dalam
mikrokultur 96 sumuran dan dilakukan
pembacaan nilai absorbansi pada ELISA
Reader panjang gelombang 405 nm.
E. Uji penghambatan polimerisasi hem
Sebanyak 50 μL sampel bahan uji
dipipet ke dalam mikrotube dari masing-
masing konsentrasi 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625
dan 0,3125% dibuat triplet. Larutan uji
ditambahkan 100 μL larutan hematin 1
mM dalam NaOH 0,2 M. Kemudian
sebanyak 50 μL larutan asam asetat glasial
100% (pH 2,6) ditambahkan pada
mikrotube yang sudah berisi larutan
hematin dan sampel, kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 24 jam. Sebagai
kontrol positif adalah klorokuin difosfat
dengan konsentrasi 10; 5; 2,5; 1,25; 0,625
dan 0,3125% sedangkan sebagai kontrol
negatif adalah akuades. Setelah inkubasi,
mikrotube disentrifuse dengan kecepatan
8000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dibuang dan endapan dicuci sebanyak 4
kali dengan 200 μL DMSO 100%.
Masing-masing pencucian dilakukan
dengan cara disentrifuse berkecepatan
8000 rpm selama 10 menit. Endapan yang
diperoleh ditambah 200 μL NaOH 0,1 M.
Setiap 100 μL larutan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam mikroplate 96
sumuran dan dibaca nilai absorbansinya
dengan ELISA reader pada panjang
gelombang 405 nm. Nilai absorbansi yang
diperoleh diplot ke persamaan garis regresi
linear kurva standar sehingga dapat
ditentukan konsentrasi 𝛽-hematin bahan
uji pada setiap sumuran.
F. Analisis data
Nilai Absorbansi pada masing-
masing konsentrasi perlakuan
diinterpolasikan ke persamaan kurva baku.
Aktivitas penghambatan polimerisasi hem
dinyatakan berdasarkan nilai IC50 yang
diperoleh dari analisis probit nilai
persentase penghambatan polimerisasi
hem.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode infusa dipilih sebagai
pendekatan pada penggunaan secara
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
97
tradisional akar C. tomentosa oleh
masyarakat dengan merebus akar C.
tomentosa dan meminum air rebusannya
tersebut. Akar C. tomentosa mengandung
senyawa flavanoid yang bersifat polar dan
mudah bercampur dengan air.
A. Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia yang
dilakukan, akar C. tomentosa mengandung
golongan senyawa flavonoid, tanin,
saponin, fenolik dan antrakuinon.
B. Pengujian Aktivitas Penghambatan
Polimerisasi Hem
Kurva baku hematin ditentukan
untuk mengetahui rumus persamaan linear
yang berfungsi pada penentuan kadar
hemozoin. Hasil kurva baku hematin,
menghasilkan grafik kurva baku (Gambar
1) dengan r² = 0,994 dengan persamaan y
= 0,011 x + 0,244.
Gambar 1. Grafik absorbansi kurva baku
hematin
Polimerisasi hematin terjadi jika
ditandai dengan pengurangan kristal β-
hematin yang terbentuk (Purwanto, 2011).
Pada penelitian ini, absorbansi kadar β-
hematin semakin kecil dengan
meningkatnya konsentrasi uji. Konsentrasi
uji yang tinggi menghasilkan
penghambatan polimerisasi hem yang
tinggi pula (Tabel 1). Nilai persentase
penghambatan polimerisasi hem yang
diperoleh, selanjutnya dianalisis probit
untuk menentukan nilai IC50. Nilai IC50
yang diperoeh adalah 9,61 ± 0,99 mg/mL
artinya infusa akar C. tomentosa dengan
konsentrasi 8,23 mg/mL memberikan
penghambatan polimerisasi hem 50%.
Nilai tersebut diperbandingkan dengan
nilai IC50 klorokuin difosfat sebagai
kontrol positif. Klorokuin difosfat
menghasilkan nilai IC50 8,23±1,00 mg/mL.
Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa
yang mempunyai nilai IC50 lebih kecil dari
nilai IC50 klorokuin difosfat 12 mg/mL,
maka senyawa tersebut dapat dikatakan
memiliki aktivitas penghambatan
polimerisasi hem. Hal tersebut juga
menjadi landasan untuk menetapkan
bahwa infusa akar C. tomentosa memiliki
aktivitas penghambatan polimerisasi hem.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 94-98
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
98
Tabel I. Rata-rata persen penghambatan
dan IC50 dari sampel
IV. KESIMPULAN
Infusa akar C. tomentosa pada
konsentrasi 17; 8,5; 4,25; 2,125; 1,0625;
dan 0,53125 mg/mL memperlihatkan
persen penghambatan secara berturut-turut
63,13±5,91; 42,12±2,16; 34,42±5,02;
24,69±8,34; 13,79±5,20 dan 0±0 %. Infusa
akar C. tomentosa memiliki aktivitas
penghambatan polimerisasi hem
berdasarkan nilai IC50 9,61±0,99 mg/mL.
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan pendanaan dari Kementrian Ristek
Dikti pada skim Hibah Bersaing.
DAFTAR PUSTAKA
Baelsmans, R., E. Deharo, V. Munoz, M.
Sauvain & H. Ginsburg. 2000.
Experimental conditions for testing
the inhibitory activity of
chloroquine on the formation of β-
hematin. Experimental
Parasitology. 42: 55-60.
Depkes RI. 2008. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di
Indonesia. Direktur jendral PPM &
PLP, Jakarta. Dalam Setiyanggono,
N. E., Nuri & E. Puspitasari. Uji
Aktivitas Antimalaria Ekstrak
Kering Daun Tithonia diversifolia
pada Mencit yang Diinfeksi
Plasmodium berghei (Antimalarial
Activity of Dry Extract of Tithonia
diversifolia Leaves on Plasmodium
berghei Infected Mice). e-Jurnal
Pustaka Kesehatan. 2: 100-104.
Depkes RI. 2003. Keputusan menteri
kesehatan nomor:
1202/MENKES/SK/VIII/ 2003
tentang indikator Indonesia sehat
2010 dan pedoman penetapan
indikator propinsi sehat dan
kabupaten/kota Sehat. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Purwanto. 2011. Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Penghambat Polimerisasi
Hem dari Fungi Endofit Tumbuhan
Artemisia Annua L. Tesis Magister
Farmasi Sains dan Teknologi,
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Saleh, I., D. Handayani & C. Anwar. 2014.
Polymorphisms in the pfcrt and
pfmdr1 Genes in Plasmodium
falciparum Isolates from South
Sumatera, Indonesia. Journal
Medical Indonesia. 23: 3-8.
WHO. 2012. Disease Burden in SEA
Region. http://www.searo.who.int/
LinkFiles/Malaria_in_the_SEAR_
Map_SEAR_Endemicity_10.pdf.
Diakses tanggal Oktober 2015.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
99
Pengaruh Tingkat Pengetahuan Keluarga dan
Pola Pengobatan terhadap Kepatuhan Pengobatan
Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan
RSJ Sambang Lihum Banjarbaru
*Eriza Nur Aq Liny, Valentina Meta Srikartika, Herningtyas Nautika Lingga
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Kepatuhan pasien skizofrenia dalam menjalankan terapi akan memberikan
dampak yang positif bagi kondisi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur
tingkat kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia, menggambarkan tingkat
pengetahuan keluarga dan pola pengobatan pasien, serta mengevaluasi hubungan
antara tingkat pengetahuan keluarga dan pola pengobatan pasien terhadap kepatuhan
pengobatan pasien. Tingkat pengetahuan diukur dengan kuesioner tingkat
pengetahuan yang diberikan kepada keluarga pasien melalui wawancara terpimpin,
kepatuhan ditentukan berdasarkan kuesioner kepatuhan yang diisi oleh keluarga
pasien dan Medical Possession Ratio (MPR), sedangkan pola pengobatan ditentukan
dengan melihat data resep dan rekapitulasi data dari depo 2. Hasil menunjukkan
bahwa dari 101 pasien skizofrenia di RSJ Sambang Lihum 79,2% patuh terhadap
pengobatan. Mayoritas keluarga pasien memiliki tingkat pengetahuan tinggi (60,4%).
Gambaran pola pengobatan menunjukkan mayoritas jenis obat yang dikonsumsi pasien
adalah kombinasi atipikal dengan tipikal (85,1%), jumlah obat yang dikonsumsi adalah
2 obat (57,4%), dan lama pengobatan berkisar 1-5 tahun (68,3%). Tingkat pengetahuan
keluarga berhubungan signifikan dengan kepatuhan minum obat pasien (p-
value=0,001). Pasien dengan keluarga yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi
cenderung 5,5 kali (95%,CI:1,9-15,8) lebih patuh dibandingkan pasien dengan keluarga
yang memiliki tingkat pengetahuan sedang. Sedangkan hasil pola pengobatan tidak
terdapat hubungan antara kepatuhan pasien minum obat dengan seluruh aspek pola
pengobatan.
Kata kunci : Skizofrenia, pengetahuan keluarga, pola pengobatan, kepatuhan
ABSTRACT
Therapeutics adherence of schizophrenia patients will have a positive impact for the
patient's condition. This study aimed to measure the adherence level of schizophrenia
patiens, describe family knowledge and patient treatment patterns, and to evaluate the
correlation between family knowledge, patients treatment patterns and patients adherence.
Family knowledge was determined by questionnaire given to patient's family through
guided interviews, medication adherence was determined by the combination of adherence
questionnaire and Medical Possession Ratio (MPR), while the pattern of treatment is
determined by examine the prescription data and data summary from depo 2. The results
showed that percentage of medication adherence was 79,2% of 101 patients. The majority
of families have a high level of knowledge (60,4%). The patterns of treatment showed that
the majority type of drugs were the combination of atypical and typical (85,1%), the
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
100
amount of drugs consumed were two drugs (57,4%), and duration range of illnesss was
from 1-5 years (68,3%). The analysis showed that family’s knowledge was associated with
adherence (p value= 0,001). Patients who had families with high level of knowledge were
5,5 times (95%,CI:1,9-15,8) more likely to adhere than the patients who had families with
moderate level of knowledge. While there was no correlation between medication
adherence with all aspect of treatment patterns.
Keywords: Schizophrenia, family knowledge, treatment patterns, adherence
I. PENDAHULUAN
Seseorang yang menderita
gangguan jiwa skizofrenia adalah orang
yang mengalami keretakan jiwa atau
keretakan kepribadian (Hawari, 2003).
Dari hasil survei di rumah sakit di
Indonesia, sekitar 0,5-1,5 per seribu
penduduk mengalami gangguan jiwa
(Riza et al., 2012). Riset kesehatan dasar
tahun 2013 menyebutkan bahwa
prevalensi skizofrenia di Kalimantan
Selatan adalah 1,4 per seribu dan
merupakan prevalensi dengan nilai
tertinggi, dibandingkan provinsi lainnya di
Kalimantan (Riskesdas, 2013).
Salah satu faktor penyebab
kambuhnya pasien dengan gangguan jiwa
adalah keluarga yang tidak tahu cara
menangani pasien skizofrenia di rumah.
Pengetahuan keluarga dapat membantu
keluarga dalam memberikan perawatan
kepada pasien skizofrenia, sehingga pasien
patuh mengkonsumsi obat dan terhindar
dari kekambuhan (Purnamasari et al .,
2013). Penanganan skizofrenia adalah
dengan menggunakan pengobatan
antipsikotik (Irwan et al., 2008). Jenis obat
merupakan salah satu penyebab
ketidakpatuhan (Sirait & Mustika, 2009).
Lamanya penyakit dapat memberikan efek
negatif terhadap kepatuhan pasien.
Makin lama pasien mengidap penyakit,
makin kecil pasien tersebut patuh pada
pengobatannya (Notoatmodjo, 2003).
Pasien-pasien tidak patuh minum obat
disebabkan kejenuhan karena banyaknya
obat yang dikonsumsi (Yuliantika et al.,
2012). Penelitian bertujuan untuk
mengukur tingkat kepatuhan pasien
skizofrenia, menggambarkan tingkat
pengetahuan keluarga dan pola pengobatan
pasien skizofrenia, serta mengevaluasi
hubungan antara tingkat pengetahuan
keluarga dan pola pengobatan terhadap
kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia.
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
.Penelitian dilakukan menggunakan
survei deskriptif korelasi dengan
mengambil data kuesioner dan data resep.
Penelitian ini merupakan penelitian non
eksperimental dengan metode pendekatan
cross sectional.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
101
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan
April-Mei tahun 2016, di instalasi rawat
jalan RSJ Sambang Lihum.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh keluarga pasien penderita
skizofrenia yang berobat di RSJ Sambang
Lihum. Teknik yang digunakan untuk
menentukan sampel yaitu quota sampling.
Jumlah sampel yang dijadikan responden
pada penelitian ini minimal sejumlah 87
responden.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi yang ditentukan
untuk menentukan sampel pada penelitian
ini yaitu keluarga dari pasien skizofrenia,
minimal telah menjalani 1 kali terapi rawat
jalan dan keluarga yang memiliki
hubungan dengan pasien (orang tua,
saudara kandung, anak, pasangan suami
istri, dan keluarga jauh) yang tinggal satu
rumah dengan pasien skizofrenia dan
bertanggung jawab dalam perawatan
serta pengobatan pasien sehari-hari.
Kriteria eksklusi yaitu pasien
dengan data resep tidak lengkap (nama
pasien, no resep, tanggal pengambilan
obat, jenis obat, jumlah obat) dan data
lama pengobatan yang didapat di depo 2
(Ruang rekapitulasi data resep), keluarga
pasien yang telah terlibat pada penelitian,
namun mengundurkan diri, dan keluarga
pasien tidak dalam kondisi sehat.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang
digunakan adalah kuesioner dan data
resep. Kuesioner terdiri atas tingkat
pengetahuan dan kepatuhan pengobatan.
Data resep berupa nama pasien, no resep,
tanggal resep, jenis obat, dan jumlah obat
untuk melihat pola pengobatan dan
perhitungan metode MPR.
F. Analisis Data
Analisis data hasil kuesioner
pengetahuan keluarga dikategorikan menjadi 3
kategori, pengetahuan rendah jika nilai 0-4,
pengetahuan sedang jika nilai 5-8, dan
pengetahuan tinggi jika nilai 9-12. Kuesioner
kepatuhan pasien dianalisa jika nilai 7-11
pasien dikategorikan patuh dan tidak patuh
jika nilai 0-6 (Sinaga, 2014). Kepatuhan juga
diukur dengan metode MPR nilai MPR
yang digunakan maksimal 1 (100%). Bila
nilai MPR <0,8 dikategorikan tidak patuh
dan ≥0,8 dikategorikan patuh (Sikka et al,
2005). Pasien dikatakan patuh jika nilai
kedua metode yaitu kuesioner dan MPR
menunjukkan bahwa pasien patuh. Hasil
keseluruhan data dinalisis menggunakan
komputasi SPSS 21 dengan uji kolerasi
Chi-Square dan Binary logistic dengan
tingkat kepercayaan (α=0,05).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
102
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama waktu penelitian yang
dilakukan didapatkan sampel sebanyak
133 keluarga pasien skizofrenia yang
berobat di instalasi rawat jalan RSJ
Sambang Lihum Banjarbaru. Namun,
hanya 101 orang yang dijadikan sampel
dan 32 orang lainnya dieksklusi.
Tabel I. Distribusi Karakteristik Keluarga
Pasien Skizofrenia di Instalasi
Rawat Jalan RSJ Sambang
Lihum Banjarbaru
Tabel II. Distribusi Karakteristik Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat
Jalan RSJ Sambang Lihum
Banjarbaru
Gambar 1. Hasil Kombinasi Kuesioner dan MPR
Kepatuhan Pasien Skizofrenia
Tabel III. Hubungan Pengetahuan Keluarga
dengan Kepatuhan Minum Obat
Pasien Skizofrenia
Berdasarkan hasil penelitian ini
diperoleh hasil analisis Chi-Square pada
tabel III menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara
pengetahuan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien skizofrenia, dengan p-
value = 0,001. Hasil wawancara dengan
keluarga pasien, mayoritas keluarga pasien
mengetahui jika pasien tidak minum obat
maka pasien akan kambuh. Keluarga juga
mengetahui bahwa pasien harus terus
kontrol berobat kedokter tepat waktu.
Keluarga yang mengetahui hal tesebut,
tentunya dapat membantu pasien patuh
dalam menjalankan terapi pengobatannya.
Penelitian yang dilakukan oleh
Purnamasari et al (2013) didapatkan hasil
(p-value= <0,01) yang artinya terdapat
hubungan signifikan antara pengetahuan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
103
keluarga dengan kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini
juga didukung oleh Butar (2012), bahwa
pasien yang telah diberi penjelasan
tentang pengobatannya oleh keluarga akan
menunjukkan peningkatan kepatuhan
sehingga menghasilkan peningkatan hasil
terapi.
Analisis selanjutnya menggunakan
Binary logistic didapatkan hasil bahwa
pasien dengan keluarga yang memiliki
pengetahuan tinggi akan 5,5 kali lebih
patuh meminum obat, dibandingkan pasien
dengan keluarga yang memiliki tingkat
pengetahuan sedang. Hasil analisis dapat
dilihat pada tabel IV.
Tabel IV.Hasil analisis OR Tingkat
Pengetahuan Keluarga terhadap
Kepatuhan
Hubungan pola pengobatan
terhadap kepatuhan pasien skizofrenia
yang terdiri dari jenis obat, jumlah obat,
dan lama pengobatan dengan kepatuhan
minum obat pasien dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel V. Hubungan Jenis Obat dengan
Kepatuhan Pasien Skizofrenia
Tabel VI. Hubungan Jumlah Obat dengan
Kepatuhan Pasien Skizofrenia
Tabel VII. Hubungan Lama Pengobatan
Dengan Kepatuhan Pasien
Skizofrenia
Hasil pada tabel V, VII, dan VIII
tentang jenis obat, jumlah obat, dan lama
pengobatan didapatkan nilai p-value
>0,05 , sehingga tidak terdapat hubungan
antara seluruh aspek pola pengobatan
tersebut dengan kepatuhan minum obat
pasien skizofrenia. Tidak adanya
hubungan antara jenis obat, jumlah obat
dan lama sakit dengan kepatuhan
kemungkinan dikarenakan pasien
skizofrenia di RSJ Sambang Lihum tidak
melakukan pengobatan sendiri, melainkan
pengobatan menjadi tanggung jawab
keluarga pasien dan dikarenakan pada
kasus pasien gangguan jiwa, pasien tidak
mampu berpikir secara logis khususnya
untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga
yang diperlukan pada pasien gangguan
jiwa adalah peran keluarga. Dalam hal ini
didukung oleh tingginya tingkat
pengetahuan keluarga.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
104
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah :
1. Tingkat kepatuhan meminum obat
pasien skizofrenia di RSJ Sambang
Lihum (79,2%) pasien patuh.
2. Tingkat pengetahuan keluarga pasien
di RSJ Sambang Lihum mayoritas
memiliki tingkat pengetahuan yang
tinggi (60,4%). Pola pengobatan pada
pasien skizofrenia di RSJ Sambang
Lihum menunjukkan bahwa jenis obat
yang paling banyak diresepkan dokter
adalah jenis kombinasi antara atipikal
dan tipikal (85,1%). Jumlah obat yang
paling banyak dikonsumsi oleh pasien
adalah 2 obat (57,4%). Lama
pengobatan yang paling banyak
diderita pasien adalah berkisar 1
sampai 5 tahun (68,3%).
3. Tingkat pengetahuan keluarga
berhubungan signifikan dengan
kepatuhan minum obat pasien
skizofrenia (p =0,001). Pasien dengan
keluarga yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi cenderung 5,5 kali
(95%,CI:1,9-15,8) lebih patuh
meminum obat dibandingkan pasien
dengan keluarga yang memiliki tingkat
pengetahuan sedang. Sedangkan hasil
pola pengobatan tidak terdapat
hubungan antara kepatuhan pasien
minum obat dengan seluruh aspek pola
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Butar, B. O. D. 2011. Hubungan
Pengetahuan Keluarga dengan
Tingkat Kepatuhan Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Daerah
Provinsi Sumatra Utara Medan.
Skripsi Fakultas Keperawatan,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Hawari, D. 2003. Pendekatan Holistic
pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
FKUI, Jakarta.
Irwan, M., A. Fajriansyah,, B. Sinuhadji.
& M. Indrayana. 2008.
Penatalaksanaan Skizofrenia .
Fakultas Kedokteran Universitas
Riau, Riau.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Rhineka Cipta,
Jakarta.
Purnamasari, N., T. Tololiu, & D. H. C.
Pangemanan. 2013. Hubungan
Pengetahuan Keluarga Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pasien
Skizofrenia Di Poliklinik Rumah
Sakit Prof. V.L. Ratumbuysang
Manado. Ejournal keperawatan (e-
Kp). 1 (1).
Riskesdas. 2013. Laporan Nasional 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Riza H., Jumaini. & Arneliwati. 2012.
Hubungan Tingkat Pengetahuan
Keluarga Tentang Perawatan Pasien
Halusinasi dengan Perilaku
Keluarga dalam Merawat Pasien
Halusinasi. Jurnal Keperawatan. 3
(9).
Sikka R., F. Xia. & R.E. Aubert. 2005.
Estimating medication adherence
using administrative claims data. Am
J Manag Care. 11(7):449-457.
Sinaga, N. A. 2014. Hubungan
Pengetahuan Keluarga Dengan
Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 99-105
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
105
Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia
Paranoid di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Jiwa Aceh. Skripsi
Program Studi Pendidikan Dokter,
Universitas Syiah Kuala Darussalam,
Banda Aceh.
Sirait, A. & W. Mustika. 2009. Faktor-
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan
pasien Skizofrenia Menjalani
Pengobatan Dirumah Sakit Jiwa
Daerah Propinsi Sumatera Utara
Medan Tahun 2009.
http://webcache.googleusercontent.c
om/search?q=cache:vk0yDPBpYakJ:
sari-mutiara.ac.id/new/wp
(diakses tanggal 10 Desember 2015)
Yuliantika., Jumaini. & F. Sabrian. 2012.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kepatuhan Minum Obat Pada
Pasien Skizofrenia.
http://webcache.googleusercontent.c
om/search?q=cache:KB0_pDVcZYg
J:repository.unri.ac.id/xmlui/bitstrea
m/handle/123456789/4267/JURNAL
.pdf%3Fsequence%3D1+&cd=1&hl
=id&ct=clnk
(diakses tanggal 20 November 2015)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
106
Adsorpsi Zat Warna Limbah Cair Batik Kalteng
menggunakan Komposit Magnetik Berbasis Bahan Alam
*Retno Agnestisia, Deklin Frantius
Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Bahan alam berupa bentonit disintesis dengan oksida besi guna menciptakan
komposit magnetik yang dapat diaplikasikan sebagai adsorben zat warna limbah cair
batik Kalteng dalam larutan. Sintesis komposit dilakukan menggunakan metode
kopresipitasi dengan rasio mol Fe2+
: Fe3+
= 1 : 2 pada temperatur sintesis 85οC.
Karakterisasi dilakukan dengan metode FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD (X-
ray diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2. Adsorpsi dilakukan menggunakan sistem
batch dengan kajian adsorpsi yang dipelajari meliputi pengaruh pH dan waktu kontak
adsorpsi. Bentonit dan komposit bentonit magnetik hasil sintesis mampu mengadsorpsi
zat warna limbah cair batik Kalteng secara optimal pada pH asam dan waktu kontak
90 menit dengan kemampuan adsorpsi masing-masing sebesar 75% dan 83%.
Komposit magnetik hasil sintesis mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi dan
mempercepat proses pemisahan partikel adsorben dalam larutan menggunakan medan
magnet eksternal.
Kata kunci : bentonit, magnetit dan adsorpsi.
ABSTRACT
Natural materials such as bentonite was synthesized by iron oxide to create
magnetic komposite bentonite which can be applied as adsorbent of dye wastewater batik
Kalteng in aqueous solution. Synthesis magnetic komposite was done by coprecipitation
method in the molar ratio Fe2+
: Fe3+
= 1 : 2 at synthesis temperature of 85οC.
Characterizations of materials were done using FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD
(X-ray diffraction) and fisiorpsi gas N2 methods. Adsorption using batch system with the
effects pH and contact time of adsorption were studied. The bentonite and bentonite
magnetic composite can adsorbed dye wastewater batik Kalteng from aqueous phase on
acid pH and contact time of 90 minutes with the adsorption capacity were 75% and 83%.
Magnetic composite increased the adsorption capacity and accelerated the adsorption of
adsorbent from aqueous phase using external magnetic field.
Keywords : bentonite, magnetite and adsorption.
I. PENDAHULUAN
Batik benang bintik merupakan
kain batik khas Kalimantan Tengah
(Kalteng) yang memiliki nilai seni yang
tinggi. Kekhasan batik terletak pada jenis
motif yang mencerminkan kebudayaan
suku Dayak, suku asli daerah Kalimantan
Tengah (Riefahmad, 2013).
Motif dan corak yang dituangkan
pada kain batik, ternyata melibatkan
proses pewarnaan menggunakan pewarna
sintetis. Dalam proses pewarnaan,
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
107
senyawa ini hanya tergunakan sekitar 25%
sedangkan sisanya akan dibuang kealiran
air sebagai limbah.
Limbah zat warna yang dihasilkan
umumnya merupakan senyawa organik
non-biodegradable dan bersifat
karsinogenik (Cahyadi, 2006). Selain
dapat membahayakan kesehatan, limbah
zat warna juga dapat memunculkan
permasalahan pada penggunaan air bersih,
kerusakan estetika badan air dan
ketidakseimbangan ekosistem.
Mengingat faktor resiko yang
ditimbulkan, maka pengolahan limbah zat
warna dari pabrik pembuatan Batik
Kalteng sangat perlu untuk diupayakan.
Metode adsorpsi merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk
mengatasi hal tersebut. Metode ini dinilai
efektif, preparasi mudah dan pembiayaan
operasional yang relatif murah. Salah satu
bahan yang dapat digunakan sebagai
adsorben adalah bentonit. Saat ini bentonit
merupakan material yang keberadaannya
cukup melimpah dan memiliki harga yang
relatif murah. Cadangan bentonit di
Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 380
juta ton, yang merupakan aset potensial
Indonesia yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya (Syuhada et al., 2009).
Bentonit merupakan material alam
yang memiliki struktur berlapis dengan
situs aktif bermuatan negatif. Situs aktif ini
dihasilkan dari substitusi isomorfik yang
terjadi pada permukaan lapisan
monmorilonit penyusun bentonit.
Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
bentonit, antara lain sifat mudah
mengembang, kapasitas tukar kation yang
tinggi, luas permukaan yang besar, stabil
secara kimia dan mekanika (Ortega et al.,
2013). Kelebihan-kelebihan tersebut
menjadikan bahan ini banyak
dimanfaatkan sebagai adsorben
kontaminan air, khususnya ion logam dan
senyawa kationik seperti ion Pb(II),
Cd(II)–Ni(II), Cu(II) dan Zn(II), Cr(VI),
limbah uranium, ion posfat, zat warna
methylene blue, malachite green, brilliant
green, basic red 46 dan direct blue 85
dalam larutan.
Uji adsorpsi bentonit terhadap
limbah zat warna ternyata memiliki
kesulitan dalam proses pemisahan fase
padat adsorben dalam larutan setelah
proses adsorpsi. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kesulitan
tersebut ialah dengan menyisipkan bahan
magnetik berupa oksida besi fasa magnetit
(Fe3O4) pada jaringan struktur bentonit,
sehingga diperoleh bentonit yang memiliki
sifat kemagnetan. Dengan pemberian sifat
kemagnetan, diharapkan pemisahan
partikel-partikel adsorben setelah proses
adsorpsi dapat dilakukan dengan mudah
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
108
dan cepat menggunakan medan magnet
eksternal (Oliveira et al., 2003).
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu limbah
cair batik Kalteng, bentonit alam,
FeCl3·6H2O, FeSO4·7H2O, HCl 37%,
AgNO3, NH4OH, NaOH, akuades dan
kertas whatman 42µ.
B. Persiapan Sampel Limbah Cair
Batik Kalteng
Limbah cair batik Kalteng yang
diperoleh dari industri X disaring
menggunakan kertas saring whatman 42µ.
Filtrat yang diperoleh diencerkan dengan
akuades dengan faktor pengenceran 10
kali.
C. Persiapan Sampel Bentonit Alam
Bentonit alam dibersihkan dari
pengotor kasar, kemudian dipanaskan
dalam oven pada temperatur 70οC selama
3 jam. Selanjutnya digerus dan diayak
dengan menggunakan ayakan lolos 100
mesh. Hasil ayakan yang diperoleh (BM)
dikarakterisasi menggunakan instrumen
FTIR (Fourier Transform Infrared), XRD (X-
ray diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2
menggunakan persamaan BET.
D. Aktivasi Bentonit Alam
Sebanyak 50 gram sampel BM
direfluks dengan 250 mL HCl 5 M selama
3 jam pada temperatur 100οC. Kemudian
disaring dan dicuci dengan akuades hingga
lolos uji klor menggunakan AgNO3 0,1 M.
Padatan dikeringkan dalam oven pada
temperatur 100οC selama 3 jam, digerus
dan diayak dengan menggunakan ayakan
lolos 60 mesh. Hasil yang diperoleh (BA)
selanjutnya dikarakterisasi dengan
menggunakan instrumen instrumen FTIR
(Fourier Transform Infrared), XRD (X-ray
diffraction) dan fisiorpsi isotermal gas N2
menggunakan persamaan BET.
E. Sintesis Komposit Magnetik
Larutan Fe2+
dan Fe3+
dibuat dalam
volume 100 mL dengan konsentrasi
masing-masing sebesar 0,05 M dan 0,1 M.
Kedua larutan dimasukan ke dalam gelas
beker yang didalamnya terdapat 2 gram
sampel BA. Campuran diaduk pada
temperatur 85οC, kemudian ditambahkan
larutan NH4OH tetes demi tetes hingga pH
mencapai 10. Campuran didinginkan
selama 3 jam kemudian koloid yang
terbentuk dipisahkan dari larutan
menggunakan medan magnet eksternal.
Padatan dicuci menggunakan akuades dan
dioven pada temperatur 100οC selama 2
jam, selanjutnya digerus perlahan-lahan
sampai diperoleh bubuk halus. Produk
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
109
komposit yang terbentuk (KBM)
dikarakterisasi dengan menggunakan
instrumen FTIR (Fourier Transform
Infrared), XRD (X-ray diffraction) dan
fisiorpsi isotermal gas N2 menggunakan
persamaan BET.
E. Uji Adsorpsi
Uji adsorpsi sampel BA dan KBM
terhadap zat warna limbah cair batik
Kalteng menggunakan sistem batch
dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu
penentuan pH dan waktu kontak optimum.
1) Penentuan pH Optimum
Sebanyak 0,05 gram sampel BA dan
KBM digunakan untuk mengadsorpsi 50
mL limbah cair batik Kalteng pada pH 3
(asam), 7 (netral) dan 10 (Basa). Proses
dilakukan menggunakan shaker selama 3
jam pada temperatur kamar. Konsentrasi
zat warna limbah cair batik Kalteng yang
tidak teradsorpsi diukur dengan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.
2) Penentuan Waktu Kontak Optimum
Sebanyak 0,05 gram sampel BA dan
KBM digunakan untuk mengadsorpsi 50
mL limbah cair batik Kalteng pada pH
optimum dengan variasi waktu 5, 10, 20,
40, 60, 90, 180, 300 dan 420 menit pada
temperatur kamar. Konsentrasi zat warna
limbah cair batik Kalteng yang tidak
teradsorpsi diukur dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis.
F. Uji Pemisahan Adsorben dalam
Larutan Zat Warna Limbah Cair
Batik Kalteng
Larutan zat warna limbah cair batik
Kalteng masing-masing dimasukan pada 2
buah botol sampel. Botol sampel pertama
ditambahkan dengan adsorben BA dan
botol sampel kedua ditambahkan adsorben
KBM. Masing-masing campuran diaduk
kemudian didiamkan beberapa saat. Pada
botol sampel kedua diberi medan magnet
eksternal. Kemudian diamati apa yang
terjadi pada masing-masing campuran.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentonit Magnetik
Bentonit alam diaktivasi terlebih
dahulu sebelum digunakan pada tahap
sintesis untuk menghilangkan pengotor
dan meningkatkan karakteristik
permukaan. Sintesis komposit magnetik
dilakukan dengan metode kopresipitiasi,
yang bertujuan untuk pembentukan oksida
besi fasa magnetit (Fe3O4) pada jaringan
struktur bentonit.
Gambar 1 menyajikan data spektra
hasil analisis menggunakan spekroskopi
FTIR. Gambar 1(a) merupakan spektrum
inframerah sampel BM. Berdasarkan
seluruh data puncak-puncak serapan
diperoleh informasi bahwa sampel yang
dianalisis merupakan keluarga dari mineral
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
110
silika alumina. Pola spektra inframerah
sampel BM dan BA sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 1(a) dan 1(b)
secara keseluruhan tidak menunjukkan
perubahan yang signifikan. Sedikit
pergeseran terjadi pada daerah bilangan
gelombang 1041,56 cm-1
. Pergeseran ini
mengindikasikan bahwa terjadi
dealuminasi pada struktur dasar bentonit.
Bilangan gelombang 918,12 cm-1
mengalami pergeseran ke arah bilangan
gelombang lebih besar yang
mengindikasikan bahwa semakin
homogennya lingkungan dari struktur Al-
OH akibat adanya disolusi atom-atom
logam di luar kerangka dasar penyusun
bentonit (non-oktahedral) (Holtzer et al.,
2011).
Gambar 1. Spektra Inframerah : (a) BM;
(b) BA dan (c) KBM
Pola spektra inframerah sampel BA
dan KBM yang ditunjukkan pada Gambar
1(b) dan (c) memperlihatkan adanya
perubahan, seperti pada pita serapan
470,63 cm-1
mengalami pergeseran kearah
bilangan gelombang yang lebih kecil yang
menandakan bahwa terjadi perubahan
ikatan pada vibrasi Si-O-Si. Hal ini juga
berkorelasi dengan bilangan gelombang
1049,28 cm-1
yang mengalami pergeseran
sebesar 1041,56 cm-1
yang menunjukan
bahwa vibrasi Si-O dalam keadaan kurang
bebas. Data ini juga didukung dengan
bentuk spektrum pada bilangan gelombang
400-500 cm-1
yang
lebih landai bila
dibandingkan dengan data spektrum BA.
Hal tersebut menunjukan bahwa kekuatan
ikatan tekuk Si-O berkurang karena
terdapatnya ikatan-ikatan antara oksigen
dengan Fe yang berasal dari oksida besi
yang memberikan kompetisi kekuatan
ikatan tarik menarik antara Si-O-Fe
(Ardianto, 2013).
Untuk memperkuat hasil identifikasi
dan mengetahui fase oksida besi yang
terbentuk pada jaringan struktur bentonit,
diperlukan data pendukung berupa data
XRD. Difraktogram sinar-x untuk ketiga
sampel ditunjukkan pada Gambar 2.
Berdasarkan standar yang dikeluarkan
oleh Joint Comitte on Powder
Difraction (JCPDS) dapat dinyatakan
bahwa sampel BM yang digunakan pada
penelitian ini mengandung mineral
monmorilonit, illit, cristobalit, kuarsa dan
feldspar. Data XRD memperlihatkan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
111
adanya perubahan yang cukup jelas pada
pucak feldspar di 2θ = 28,68ο dan
cristobalit di 2θ = 36,08ο mengalami
penurunan intensitas. Hal ini
mengindikasikan bahwa aktivasi
menyebabkan kerusakan pada struktur
mineral feldspar dan cristobalit yang
merupakan mineral pengotor penyusun
bentonit.
Gambar 2. Difraktogram (a) BM; (b) BA
dan (c) KBM (M =
Monmorilonit, I = Illit, C =
Cristobalit, Feld= Feldspar,
Q = Kuarsa, M* = Oksida
besi fasa magnetit)
Difraktogram pada Gambar 2(c)
memperlihatkan perubahan pola difraksi
pada sampel KBM dengan munculnya
puncak-puncak baru yang karakteristik
untuk oksida besi fase magnetit (Fe3O4)
yaitu pada 2θ sebesar 35,490; 43,14
0; dan
62,820 yang masing-masing berkesesuaian
dengan d = 2,53Å; 2,10Å; dan 1,48Å yang
tumpang tindih dengan puncak milik dari
mineral monmorilonit penyusun bentonit.
Analisis luas permukaan spesifik
dengan fisisorpsi isotermal gas N2
menggunakan gas sorption analyzer
berdasarkan persamaan BET juga
menunjukkan bahwa bentonit memiliki
karakteristik permukaan yang lebih baik
dengan adanya perlakuan aktivasi dan
sintesis. Terjadi peningkatan luas
permukaan spesifik dari 11,99 m2/g (BM)
menjadi 116,48 m2/g (BA) dan 125,74
m2/g (KBM).
B. Uji Adsorpsi terhadap Zat Warna
Limbah Cair Batik Kalteng
Uji adsorpsi terhadap Zat Warna
Limbah Cair Batik Kalteng dilakukan
menggunakan sistem batch dengan kajian
adsorpsi yang dipelajari meliputi pH dan
waktu kontak optimum. Persentase zat
warna limbah cair yang teradsorp
dianalisis menggunakan spektrofotometer
UV-Vis berdasarkan data absorbansi
sebelum dan sesudah pengontakan dengan
adsorben.
1) Penentuan pH Optimum
Kemampuan adsorpsi dari kedua jenis
adsorben memiliki pola yang sama.
Terlihat bahwa adsorpsi zat warna limbah
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
112
cair batik Kalteng baik oleh BA maupun
KBM terjadi pada pH asam, yaitu 3.
Gambar 3. Adsorpsi Zat Warna Limbah
Cair oleh (a) BA dan (b)
KBM sebagai fungsi pH
2) Penentuan Waktu Kontak
Optimum
Pola adsorpsi zat warna limbah cair
batik Kalteng menggunakan sampel BA
dan KBM pada beberapa variasi waktu
adsorpsi memperlihatkan adanya
kemiripan. Terlihat bahwa adsorpsi zat
warna limbah cair optimal terjadi pada
menit ke-90.
Gambar 4. Grafik hubungan antara waktu
adsorpsi terhadap % teradsorp
zat warna limbah cair batik
Kalteng pada (a) BA dan (b)
KBM
Interaksi ini membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mencapai kestabilan ikatan
karena molekul zat warna dari limbah cair
memerlukan waktu untuk mengatur diri agar
posisis molekul dapat berikatan dengan
permukaan bentonit.
Berdasarkan hasil yang diperoleh %
teradsorp zat warna limbah cair batik Kalteng
menggunakan adsorben BA dan KBM optimal
berturut-turut adalah 75% dan 83%. Hasil
menunjukkan bahwa komposit mampu
meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit
terhadap zat warna limbah cair batik Kalteng.
Hal ini terjadi karena komposit memiliki
karakteristik luas permukaan yang lebih besar
berdasarkan hasil analisis menggunakan
persamaan BET.
Gambar 5. Penampakan visual limbah
cair setelah uji adsorpsi pada
waktu kontak 90 menit
C. Uji Pemisahan Adsorben dalam
Limbah Cair Batik Kalteng
Uji pemisahan dilakukan pada kedua jenis
adsorben. Setelah digunakan pada proses
adsorpsi, fase padat adsorben dipisahkan dari
dalam larutan. Sampel BA dipisahkan dengan
pengendapan secara alami oleh gaya gravitasi
bumi, sedangkan KBM menggunakan medan
magnet eksternal. Dari hasil pengamatan
terlihat bahwa fase padat KBM yang memiliki
sifat kemagnetan dapat terpisah dari dalam
larutan dengan mudah dan cepat menggunakan
medan magnet eksternal dengan waktu yang
dibutuhkan selama 10 menit, sedangkan
bentonit teraktivasi yang hanya didasarkan
pada gaya gravitasi membutuhkan waktu
selama 120 menit.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 106-113
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
113
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah :
1. Aktivasi asam mampu mendisolusi kation
logam dan mineral pengotor serta mampu
meningkatkan kristalinitas dan luas
permukaan bentonit, terlihat dari hasil
analisis menggunakan FTIR, XRD dan
luas permukaan spesifik menggunakan
persamaan BET.
2. Proses adsorpsi bentonit teraktivasi dan
komposit bentonit magnetik terhadap zat
warna limbah cair batik Kalteng mencapai
optimum pada pH asam dan waktu kontak
90 menit.
3. Persentase teradsorpsinya zat warna
limbah cair batik Kalteng pada bentonit
teraktivasi dan komposit bentonit
magnetik masing-masing adalah 75% dan
83%.
4. Pengkompositan bentonit dengan oksida
besi fasa magnetit mampu meningkatkan
kemampuan adsorpsinya terhadap limbah
zat warna batik Kalteng.
5. Komposit bentonit magnetik lebih cepat
terpisah didalam larutan ketika diberikan
pengaruh medan magnet eksternal dengan
waktu yang dibutuhkan selama 10 menit,
sedangkan bentonit teraktivasi yang hanya
didasarkan pada gaya gravitasi
membutuhkan waktu selama 120 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Agnestisia, R. 2015. Sintesis Bentonit
Magnetik dan Aplikasinya sebagai
Adsorben Zat Warna Rhodamine B.
Seminar Nasional Kefarmasian
2015. ISBN : 978-602-73121-0-4.
Ardianto, D., 2013, Sintesis Bentonit
Magnetik dengan Metode Presipitasi
sebagai Adsorben Ion Logam Berat
Cd2+
dan Co2+
, Skripsi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia :
Depok.
Cahyadi, W. 2006, Analisis dan Aspek
Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,
Penerbit PT Bumi Aksara, Jakarta.
Hamsah, D., 2007, Pembuatan, Pencirian
dan Uji Aplikasi Nanokomposit
Berbasis Montmorilonit dan Besi
Oksida, Skripsi, FMIPA, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Holtzer, M., Bobrowski, A and Kumon, S.,
2011, Temperature Influence on
Structural Changes of Foundry
Bentonites, J. Molecular. Structure,
1004, 102–108.
Oliveira, L.C.A., Rios, R.V.R.A., Fabris,
J.D., Sapag, K., Garg, V.K. and
Lago, R.M., 2003, Clay – Iron Oxide
Magnetic Composites for the
Adsorption of Contaminants in
Water, J. Appl. Clay. Sci., 22, 169-
177.
Ortega, E., Ramos and Flores-Cano., 2013,
Binary Adsorption of Heavy Metals
from Aqueous Solution Onto Natural
Clays. Chemical Engineering
Journal, 225, 535–546.
http://riefahmad.blogspot.com/2013/
05/benang-bintik-batik-khas-
dayak.html, diakses tanggal 2
Februari 2016.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
114
Gambaran Karakteristik Bentuk Dan Ukuran Sel
Darah Ikan Timpakul (Periopthalmodon schlosseri)
*Hidayaturrahmah, Heri Budi Santoso, Muhamat, Annisa Widyastuty,
Program Studi Biologi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Darah merupakan salah satu komponen cairan tubuh yang sangat penting
dalam transportasi oksigen dan nutrisi. Sel darah dapat dipengaruhi oleh faktor
kondisi fisiologis, aktifitas, kebutuhan oksigen dan kondisi di habitat. Penelitian ini
dilakukan untuk mengkaji penjelasan ilmiah mengenai gambaran karakteristik bentuk
dan ukuran sel darah ikan timpakul (Periopthalmodon schlosseri) yang memiliki
keunikan adaptasi di wilayah pasang surut Sungai Barito Kalimantan Selatan.
Pengambilan sampel menggunakan metode penangkapan hewan langka yaitu metode
line transect. Sampel didapatkan dari wilayah pasang surut Sungai Barito Kalimantan
Selatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sel darah eritrosit P. schlosseri berbentuk
oval sedangkan trombosit dan differensiasi leukosit cenderung berbentuk bundar.
Ukuran sel eritrosit P. schlosseri lebih besar dengan ukuran panjang 10,59 ± 1,39 µm
dan lebar 5,89 ± 0,79 µm, inti sel panjang 4,05 ± 1,01 dan lebar inti sel 2,33 ± 0,32. Sel
limfosit berdiameter 7,60 ± 1,13 µm dan diameter inti 5,96 ± 1,60 µm. Sel Monosit
berdiameter 7,06 ± 1,04 µm dan diameter inti sel monosit 4,56 ± 0,82 µm.Sel neutrophil
berdiameter 6,25 ± 0,49 µm dan inti sel berdiameter 4,99 ± 0,47 µm. Sel eosinophil
berdiameter 7,12 ± 0,52 µm dan diameter inti sel 3,81 ± 0,30 µm. Sel trombosit
berdiameter 3,51 ± 0,81 µm, inti sel berdiameter 3 ± 0,62 µm. Karakteristik sel darah
ikan timpakul (P. schlosseri) ternyata berbeda dengan ikan lainnya. Perbedaan tersebut
terdapat pada sel eritrosit yang berbentuk oval, ukuran sel lebih besar dan memiliki
inti sel berukuran kecil sehingga ruang sitoplasma lebih banyak dalam pengikatan
oksigen yang mampu mendukung keunikan adaptasi di air dan di darat.
Kata kunci : Sel darah, ikan timpakul, Peritahlmodon schlosseri
ABSTRACT
Bloodis one of the components of body fluidsis very important in the transport of
oxygen and nutrients. Blood cells can be influenced by physiological conditions, activity,
oxygen consumption and habitat conditions. This study aimed to determine the was
conducted to assess the scientific explanation of the characteristic features
Periopthalmodon schlosseri blood cells that have unique adaptations Sampling methods
are catching endangered animals line transect method. Samples obtained from the
intertidal zone of the Barito River in South Kalimantan. The results of the study in the
form of characteristic blood cells erythrocytes are oval whereas platelet and leukocyte
differentiation tends to be round. P. schlosseri erythrocyte cell size larger than other blood
cells with a length that is10,59 ± 1,39 µm and a width of 5,89 ± 0,79 µm, a nucleus
length of 4.05 ± 1.01 and a width of 2,33 ± 0,32. Lymphocyte cell diameter of 7,60 ± 1.13
µm and a nucleus diameter of 5,96 ± 1,60 µm. Monocytes cell diameter 7,06 ± 1,04 µm
and a nucleus diameter of 4,56 ± 0,82 µm. Neutrophil cell diameter of 6,25 ± 0,49 µm and
a cell nucleus diameter 4,99 ± 0,47 µm. Eosinophil cell diameter of 7,12 ± 0.52 µm and a
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
115
nucleus diameter of 3,81 ± 0,30 µm. Platelet cell diameter 3,51 ± 0,81 µm, the cell
nucleus diameter 3 ± 0,62 µm. Characteristics blood cells of fish mudskipper (P.
schlosseri) in erythrocytes were oval-shaped cell, the cell size is larger and has a core of
small cell cytoplasm so much more space in the binding of oxygen is capable of supporting
unique adaptation in the water and on land
Keywords : erythrocyte, estuary Barito, P. schlosseri, platelets
I. PENDAHULUAN
Darah merupakan salah satu
komponen cairan yang sangat berperan
dalam fisiologi, metabolisme, aktifitas
tubuh dan daya tahan tubuh (Thrall, 2004).
Darah pada semua vertebrata mengandung
plasma, eritrosit, beberapa jenis leukosit
dan trombosit atau keping darah. Karakter
sel darah mempunyai peranan penting
dalam proses kehidupan agar nutrisi dan
oksigen tersedia terus menerus dalam
proses metabolisme di seluruh jaringan
yang membutuhkan. Darah membawa
substansi dari tempatnya dibentuk ke
semua bagian tubuh dan menjaga tubuh
agar dapat melakukan fungsinya dengan
baik (Fujaya, 2004).
Sel darah memiliki beberapa
karakteristik meliputi ukuran dan bentuk
sel darah (Vazquez & Guerrero, 2007).
Bentuk dan ukuran sel darah terutama
eritrosit sangat berpengaruh terhadap
volume pengangkutan oksigen (Najiah,
2008; Nikmaa, 1997). Sel darah pada ikan
berbentuk oval mempunyai volume
oksigen lebih besar dibandingkan bentuk
bundar. Hal ini karena bentuk oval lebih
banyak ruang dalam pengangkutan
oksigen (Shadkhast, 2010; Vajssi, 2012).
Sel darah dapat dipengaruhi oleh faktor
kondisi fisiologis, kondisi lingkungan
(Irianto, 2005), aktifitas (Fujaya, 2004),
dan kebutuhan oksigen (Hrubrec &
Smisth, 2000).
Ikan timpakul (Periophthalmodon
schlosseri) mempunyai habitat dan cara
adaptasi yang berbeda dengan ikan pada
umumnya (Hidayaturrahmah &
Muhamat, 2013). P. schlosseri
mempunyai keunikan dari segi adaptasi
fisiologi, morfologi, serta perilaku hidup
seperti amfibi, sehingga ikan ini berbeda
dengan ikan akuatik lainnya. Adaptasi
fisiologi ikan ini memiliki kemampuan
bernafas di luar air atau disebut air
breathing (Graham & Lee, 2004;
Ishimitsu, 1999).
Berdasarkan penelitian Lavabetha
(2014), bahwa profil darah P. schlosseri
dari Sungai Barito mempunyai nilai
haemoglobin dan leukosit yang lebih
banyak dibandingkan dengan ikan akuatik
lainnya yang merupakan hasil adaptasi
terhadap lingkungannya. Selain itu,
penelitian Yudistira (2011), menjelaskan
bahwa P. schlosseri memiliki perbedaan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
116
struktur insang dibandingkan ikan akuatik
lainnya. Terdapat saluran di bagian insang
untuk pembuluh darah yang berisi sel
darah dalam pengikatan oksigen (Low
dkk, 1989). Keunikan fisiologi dari cara
beradaptasi P. schlosseri yang berbeda
dengan ikan akuatik pada umumnya
sangat berpengaruh terutama terhadap
sistem metabolisme, sistem imun dan
haemostatis.
Karakteristik sel darah memiliki
potensi untuk diteliti lebih lanjut karena
keunikan fisiologi, morfologi dan
tingkahlaku ikan timpakul berbeda dengan
ikan pada umumnya. Berdasarkan hal
tersebut, penelitian ini difokuskan untuk
mengkaji karakteristik sel darah P.
schlosseri dengan mengamati bentuk dan
ukuran sel serta inti sel darah yang
berpotensi memiliki keunikan
karakteristik sebagai penunjang bentuk
adaptasi di darat dan di air.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan adalah
darah Periophthalmodon schlosseri
dari wilayah pasang surut Sungai Barito,
larutan Giemsa 10%, larutan EDTA,
kertas label, metanol 70 %, dan akuades.
B. Cara pegambilan sampel ikan
timpakul
Penentuan lokasi pengambilan
sampel dilakukan menggunakan metode
penangkapan hewan langka yaitu metode
line transect dikarenakan populasi ikan
timpakul (P. schlosseri) penyebarannya
tidak merata serta sulit di temukan.
Sampel timpakul ditangkap menggunakan
pancing dengan umpan anakan katak
sawah atau udang kecil. Sampel hidup
dimasukan ke dalam ember yang berisi air
payau dari lokasi kemudian segera dibawa
ke laboratorium untuk dilakukan tahap
aklimatisi terlebih dahulu di laboratorium
sebelum dilakukan pengamatan lebih
lanjut. Pengambilan sampel dilakukan
pada sepuluh individu timpakul.
C. Metode pengambilan darah
Pembuatan sediaan apusan darah
dilakukan dengan mengambil darah P.
schlosseri dari vena caudalis di antara
sisik ikan dekat ekor menggunakan spuit
1 mL. Spuit sebelumnya diisi dengan
sedikit larutan EDTA (Ethylene Diamine
Tetra Acid). Jarum spuit dimasukkan dari
belakang anal ke arah vertebrate (tulang
belakang). Darah dihisap perlahan
sebanyak 1 mL dan sampel darah
dipindahkan ke dalam tabung penyimpan
darah (botol vial) yang telah diisi dua
tetes larutan EDTA. Darah yang telah
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
117
diambil menjadi darah stok (Ronaldo,
2008).
D. Pembuatan Preparat Ulas Darah
Pembuatan preparat ulas darah
dilakukan dengan menempatkan setetes
darah pada gelas obyek, dibuat preparat
ulas dan dibiarkan kering. Setelah itu
dilanjutkan dengan proses fiksasi.
Preparat yang telah kering direndam ke
dalam metanol selama 5 menit, kemudian
dikeringanginkan, dimasukkan ke dalam
larutan Giemsa 10% selama 30 menit.
Setelah diwarnai, preparat dikeringkan
dan siap untuk diamati di bawah
mikroskop (Subowo, 1992).
Pengamatan sediaan karakteristik
sel darah P. schlosseri dengan tahapan
berikut: diamati preparat di bawah
mikroskop yang telah dihubungkan
dengan perangkat komputer dengan
menggunakan aplikasi dari mikroskop
Olympus CX 31 yaitu DP2-BSW. Objek
sel yang akan diamati berupa sel eritrosit,
trombosit dan diferensiasi leukosit P.
schlosseri dengan parameter ukuran (µm)
dan bentuk sel serta inti sel yang
didokumentasikan dalam bentuk foto.
E. Analisis data
Data yang dikumpulkan berupa
data kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif berupa ukuran sel dan inti sel
yang disajikan dalam bentuk rerata dan
standard deviasi. Data kualitatif meliputi
pengamatan terhadap bentuk sel dan inti
sel darah. Data kuantitatif dan kualitatif
yang diperoleh dalam penelitian ini
kemudian disajikan dalam bentuk tabel
dan dokumentasi foto.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengukuran panjang dan
berat Periopthalmodon schlosseri yang
didapat (Tabel 1).
Tabel I. Rata- rata pengukuran panjang (cm)
dan berat (g) Periopthalmodon
schlosseri
Gambar 1. Pengukuran panjang dan berat
Periopthalmodon schlosseri.
Hasil pengukuran panjang P.
schlosseri dari 10 ekor sampel mempunyai
ukuran paling kecil 25 cm dan ukuran
paling besar 28 cm, sedangkan ukuran
rata- rata panjang tubuh ikan 26,04 cm.
Berat ikan paling ringan 150 g dan paling
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
118
berat 202,64 g, sedangkan berat rata- rata
yaitu 172, 56 g.
Tabel II. Bentuk dan Ukuran Sel Darah
Hasil pengukuran sel darah P.
schlosseri pada (Tabel 2) menunjukkan
sel eritrosit dengan kisaran panjang 9,2 –
11,98 µm dan kisaran lebar 5,1 – 6,68
µm, sedangkan pada inti sel eritrosit
mempunyai ukuran panjang yang berkisar
antara 3,04– 5,06 µm dan kisaran lebar
2,01 – 2,65 µm. Bentuk sel dan inti pada
eritrosit ditunjukkan pada (Gambar 2)
berbentuk oval. Inti sel eritrosit terletak di
tengah sel dan dikelilingi sitoplasma
berwarna bening.
Gambar 2. Gambaran karakteristik eritrosit
P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan
perbesaran 1000x
Sel limfosit memiliki kisaran
diameter sel 6,47- 8,73 µm dan kisaran
diameter inti sel 4,36 – 7,56 µm (Tabel
2). Sel limfosit berbentuk bundar dengan
inti berukuran lebih besar dan tidak
bergranula sehingga inti sel hampir
memenuhi permukaan ruang sel dan
mempunyai sitoplasma lebih sedikit
(Gambar 3).
Gambar 3. Gambaran karakteristik limfosit
P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan
perbesaran 1000x.
Diameter sel monosit memiliki
kisaran 6,47 – 8,73 µm dan diameter inti
sel monosit berkisar antara 3,73 – 5,38
µm (Tabel 2). Monosit berbentuk bundar.
Sel monosit mempunyai perbandingan
ukuran sama antara sitoplasma dengan
inti sel. Sehingga ukuran antara inti sel
dan sitoplasma hampir sama (Gambar 4).
Gambar 4. Gambaran karakteristik
monosit P. schlosseri dengan pewarnaan
giemsa dan perbesaran 1000x
Sel neutrophil pada P. schlosseri
memiliki ukuran diameter berkisar antara 5,76
– 6,74 µm sedangkan inti sel neutrophil
berkisar antara 4,52 – 5,46 µm. Sel neutrophil
P. schlosseri berbentuk bundar dan memiliki
inti sel yang besar serta bersegment
(bergranula). Sitoplasma neutrophil berwarna
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
119
ungu pucat, sedangkan pada inti berwarna
ungu tua (Gambar 5).
Gambar 5. Gambaran karakteristik
neutrophil P. Schlosseri dengan
pewarnaan giemsa dan perbesaran 1000x.
Sel eosinophil pada P. schlosseri
berkisar antara 6,6 – 7,64 µm dengan diameter
inti berkisar antara 3,51 – 4,11 µm. Sel
eosinophil berbentuk bundar dan memiliki
inti sel yang besar dan bersegment
(bergranula). Sitoplasma berwarna ungu
pucat, sedangkan pada inti berwarna ungu
kemerah muda (Gambar 6).
Gambar 6. Gambaran karakteristik eosinophil
P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan
perbesaran 1000x.
Pada sel trombosit pada P.
schlosseri berkisar antara 2,7 – 4,32 µm
dan inti sel berada pada kisaran 2,38 –
3,62 µm. Bentuk sel serta inti pada
trombosit berbentuk tidak beraturan
mempunyai sitoplasma yang sedikit dan
inti selnya lebih besar (Gambar 7).
Gambar 7. Gambaran karakteristik trombosit
P. schlosseri dengan pewarnaan giemsa dan
perbesaran 1000x.
B. Pembahasan
Periopthalmodon schlosseri
merupakan ikan yang memiliki
kemampuan bernafas di luar air (air-
breather) dan mempunyai perilaku hidup
berbeda pada ikan umumnya yang
berhabitat di wilayah pasang surut dengan
perairan payau sehingga dapat beradaptasi
secara fisiologi, anatomi dan perilaku
(Ravi & Rajagoval, 2007).
Aktifitas ikan ini hampir 90% di
daratan dan sangat aktif ketika berada di
luar air. Aktifitas ikan di luar air antara
lain mencari makan, menarik lawan jenis,
interaksi sosial, menjaga teritorial
sedangkan aktifitas ikan di air antara lain
mengambil air untuk membasahi tubuh
agar terjaga kelembaban permukaan
tubuh, mengambil oksigen menggunakan
insang, membuat sarang, dan meletakan
telur di dalam sarang berlumpur serta
memberikan sel telur tersebut oksigen
dengan cara meniupkan oksigen yang
diambil dari permukaan atau udara agar
sel telur tersebut dapat tumbuh dan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
120
berkembang pada kondisi hipoksia
(Polgar & Lim, 2007).
a. Karakteristik sel darah
Periopthalmodon schlosseri
Eritrosit
Menurut Al Majed (2011)
menjelaskan bahwa ukuran besar atau
kecil eritrosit pada ikan merupakan
gambaran dari penyesuaian fisiologi
terhadap habitatnya baik di dalam air,
berlumpur maupun kondisi hipoksia.
Selain itu, menurut Hartman (1997),
ukuran eritrosit pada vertebrata
mencerminkan posisi filogenetik spesies
dan jumlah sel dalam satuan volume
darah dalam pertukaran gas. Eritrosit
yang sudah matang umumnya memiliki
panjang 13 – 16 µm dan lebar 7- 10 µm
(Affandi & Tang, 2002). Sel eritrosit P.
schlosseri pada penelitian ini memiliki sel
dan inti berbentuk oval dengan panjang
10,59 ± 1,39µm dan lebar 5,89 ± 0,79µm
dan panjang inti sel 4,05 ±
1,01 dengan lebar 2,33 ± 0,32. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ukuran sel
eritrosit P. schlosseri mendekati ukuran
sel eritrosit matang.
Berdasarkan dari karakteristik
bentuk sel eritrosit, P. schlosseri
mempunyai bentuk yang lebih
mendukung dengan keunikan adaptasi air
breather dan kemampuan bertahan pada
kondisi hipoksia. Hal tersebut
dikarenakan kebutuhan P. schlosseri yang
lebih banyak terhadap oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metabolismenya.
Menurut penelitian Vajsii (2012)
membuktikan bahwa sel oval mampu
memuat oksigen lebih banyak jika
dibandingkan dengan sel berbentuk
bundar. Hal ini terjadi karena bentuk oval
dari sel memberikan ruang lebih untuk
pertukaran oksigen.
Perbedaan karakteristik sel
eritrosit pada ikan menunjukkan adanya
perbedaan cara adaptasi hidup. Ukuran sel
ini juga dipengaruhi oleh aktifitas
metabolisme, aktifitas tubuh serta
kebutuhan oksigen (Tobin, 1994). Sel
eritrosit merupakan salah satu komponen
yang membawa dan menyebarkan
oksigen serta pertukaran oksigen dengan
karbondioksida ke seluruh jaringan. Sel
eritrosit mempunyai keunikan morfologi
sebagai bentuk adaptasi P. schlosseri
seperti amphibi, yang mampu bertahan
dalam kondisi hipoksia. Menurut Graham
(1997), P. schlosseri memiliki penyerapan
oksigen yang tidak hanya diserap oleh
insang namun juga diserap oleh
permukaan kulit karena adanya kapiler
darah pada kulit ikan ini.
Trombosit
Karakteristik trombosit pada
penelitian ini jauh lebih kecil jika
dibandingkan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
121
dengan sel darah lainnya.. Bentuk sel
serta inti trombosit P. schlosseri
berbentuk tidak beraturan serta memiliki
inti yang berukuran besar memenuhi
hampir seluruh ruang sel sehingga
sitoplasma pada trombosit hanya sedikit
(Gambar 7). Sel trombosit P. schlosseri
yaitu 3,51± 0,81 µm dengan diameter inti
3 ± 0,62 µm (Tabel 2).
Dalam hal ini proses pembekuan
darah berkaitan dengan cara adaptasi yang
lebih banyak diluar air. Sehingga
pembekuan darah ikan ini lebih cepat
dibandingkan ikan pada umumnya.
Fujaya (2004) menjelaskan bahwa darah
pada permukaan tubuh ikan akuatik
mengalami kesulitan untuk menggumpal
karena enzim yang diperlukan serta
komponen penggumpalan akan terlepas
sebelum sumber terbentuk. Selain itu,
dikaitkan dengan ukuran yang kecil sel ini
lebih cepat beredar dan melekat di
pembuluh darah. Sedangkan pada ukuran
inti trombosit yang besar memberikan
ruang lebih banyak terhadap komponen
pembekuan darah seperti protein darah
serta enzim untuk mempercepat perbaikan
bagian yang rusak di pembuluh darah.
Limfosit
Limfosit merupakan sel-sel respon
pertahanan tubuh terpenting pada ikan.
Lavabetha (2014), menyatakan jumlah
leukosit dari P. schlosseri lebih tinggi dari
kisaran jumlah leukosit ikan pada
umumnya. Adanya peningkatan jumlah
limfosit yang tinggi biasanya disebabkan
oleh adanya infeksi viral atau bakteri ke
tubuh ikan atau gangguan kesehatan
(Moyle & Cech 2004). Hal ini
menjelaskan bahwa ikan ini mempunyai
pertahanan tubuh yang lebih kuat
dibandingkan dengan ikan pada umumnya
dikarenakan perilaku air-breathing
mengakibatkan infeksi dan menstimulasi
respon kekebalan terhadap organisme
atau mikroorganisme patogen yang masuk
ke dalam tubuh yang dapat menyerang
ketika P. schlosseri berada di daratan
maupun perairan. Pada penelitian ini, sel
limfosit berdiameter 7,60 ± 1,13 µm serta
inti sel 5,96 ± 1,60µm (Tabel 2).
Karakteristik bentuk sel maupun inti
limfosit P. schlosseri hampir sama pada
kebanyakan ikan umumnya yaitu
berbentuk bundar (Gambar 3).
Herlina (2008), menjelaskan
bahwa limfosit berfungsi untuk
menetralisir virus yang ada di pembuluh
darah. Hal tersebut terjadi karena P.
schlosseri lebih sering berada di luar air
sehingga mengakibatkan virus lebih cepat
menginfeksi. Namun dengan ukuran sel
limfosit yang lebih besar, sistem imun
dapat bekerja dengan baik dalam proses
fagositasis virus. Limfosit berukuran
besar ditemukan pada germinal pusat dari
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
122
nodus limpa, ginjal dan di sirkulasi tidak
normal (Feldman dkk., 2000).
Monosit
Nabib & Pasaribu (1989),
menjelaskan bahwa monosit berfungsi
sebagai makrofag yang memfagosit sisa–
sisa jaringan dan agen penyebab penyakit.
Hasil pengukuran sel monosit
menunjukan diameter sel sebesar 7,06 ±
1,04 µm dengan diameter inti 4,56 ± 0,82
µm (Tabel 2). Evans dkk (1999),
menjelaskan selain dari keunikan yang
dimiliki, P. schlosseri juga mampu
bertahan dalam kondisi yang lebih
ekstrim terhadap lingkungan. Hal ini
dikaitkan dengan rataan pengukuran
diameter sel dan inti sel monosit yang
lebih besar dibandingkan dengan C.
dimerus yang merupakan ikan akuatik
pada umumnya.
Secara umum, bentuk monosit
berbentuk seperti kacang, tapal kuda,
bundar dan juga tidak beraturan (Feldman
dkk., 2000). Hasil pengamatan morfologi
monosit P. schlosseri menunjukkan sel
maupun inti monosit berbentuk bundar.
Neutrophil
Nikinmaa (1997), menjelaskan
bahwa neutrophil merupakan salah satu
jenis leukosit termasuk kelompok
granulsit. Hasil penelitian ini neutrophil
memiliki ukuran diameter 6,25 ± 0,49µm
dengan diameter inti 4,99 ± 0,47 µm
(Tabel 2). Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa sel neutrophil berfungsi didalam
pembuluh darah dalam memfagosit
bakteri lebih cepat, karena P. schlosseri
lebih banyak menghabiskan waktu di luar
air.
Morfologi neutrophil secara
umum berbentuk bundar dan tidak
beraturan serta memiliki segment pada
inti sel (Schlam dkk., 1983). Sel
neutrophil P. schlosseri berbentuk bundar
dan inti sel memiliki 2 segment. Segment
pada inti sel biasanya bervariasi pada
setiap speies, hal ini karena inti sel
mengandung antibacterial dan
antiviralprotein inhibitor (Feldman dkk.,
2000).
Eosinophil
Eosinophil berukuran lebih besar
dibandingkan neutrophil dan memiliki inti
bersegment, bergranul, dan mempunyai
banyak bentuk (Canfield, 2006).
Eosinophil yang diamati berukuran
diameter 7,12± 0,52 µm dan diameter inti
3,81 ± 0,30 µm. Hal ini dapat dikatakan
bahwa bentuk, ukuran serta jumlah granul
sangat berbeda- beda pada setiap spesies
(chinabut dkk, 1991).
Eosinophil berfungsi merespon
parasit yang menyerang tubuh hewan
(Irianto, 2005). Pengaktifan sel ini
terhadap respon parasit mengubah
morfologi permukaan sel dan fungsi
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
123
aktifitas sel. Inti sel eosinophil
mengandung cytotoxicity terhadap
parasit, serta enzim asam fosfat yang aktif
(Feldman dkk., 2000).
Berdasarkan ukuran inti sel yang
berukuran 3,81 ± 0,30 µm dan memiliki
3- 4 segment pada inti sel sehingga P.
schlosseri mampu merespon parasit yang
menyerang tubuh ikan ini pada saat di
dalam air maupun di luar air. Bahija &
Husaiin (2010), melaporkan bahwa kulit
ikan timpakul yang hidup dilingkungan
tercemar logam berat tidak terindikasi
parasit.
Basophil
Pada pangamatan preparat apus
darah sel basophil ikan timpakul tidak
ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada
(Tabel 2) yang menunjukkan bahwa dari
10 sampel darah ikan timpakul yang
diamati, tidak ditemukan adanya sel
basophil. Hal tersebut dikarenakan
keberadaan basophil di dalam sirkulasi
darah ikan ditemukan hanya pada
beberapa spesies ikan tertentu (Moyle &
Cech 2004). Basophil bahkan lebih jarang
ditemukan pada pemeriksaan darah
dibandingkan dengan eosinophil. Sedikit
diketahui tentang morpologi dan fungsi
basophil (Feldman dkk., 2000).
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah :
1. Karakteristik bentuk sel darah ikan
timpakul (P. schlosseri) yaitu eritrosit
sel dan inti sel berbentuk oval; sel
dan inti sel monosit berbentuk
bundar; sel dan inti sel monosit
berbentuk bundar; sel dan inti sel
neutrophil berbentuk bundar dan inti
bersegment; sel dan inti eosinophil
berbentuk bundar dan inti
mempunyai segment; sel dan inti sel
trombosit berbentuk budar.
2. Karakteristik ukuran sel darah (P.
schlosseri) yaitu kisaran panjang sel
eritrosit sel 9,2 – 11,98 µm dan
kisaran lebar 5,1 – 6,68 µm,; kisaran
diameter sel limfosit 6,47- 8,73 µm
dan kisaran diameter inti sel 4,36 –
7,56 µm; Diameter sel monosit
memiliki kisaran 6,47 – 8,73 µm dan
diameter inti sel monosit berkisar
antara 3,73 – 5,38 µm; Diameter sel
neutrophil berkisar antara 5,76 – 6,74
µm sedangkan inti sel neutrophil
berkisar antara 4,52 – 5,46 µm;
berkisar antara 6,6– 7,64 µm dengan
diameter inti berkisar antara 3,51 –
4,11 µm; sel trombosit berkisar
antara 2,7 – 4,32 µm dan inti sel
berada pada kisaran 2,38 – 3,62 µm.
3. Karakteristik sel darah ikan timpakul
(P. schlosseri) ternyata berbeda
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
124
dengan ikan lainnya. Perbedaan
tersebut terdapat pada sel eritrosit
yang berbentuk oval, ukuran sel lebih
besar dan memiliki inti sel berukuran
kecil sehingga ruang sitoplasma lebih
banyak dalam pengikatan oksigen
yang mampu mendukung keunikan
adaptasi di air dan di darat.
DAFTAR PUSTAKA
Adelbert, M. R. 2008. Gambaran Darah
Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio
Linn) Strain Majalaya Yang
Berasal Dari Daerah Ciampea
Bogor Skripsi .Fakultas
Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Affandi,R. & Tang UM. 2002. Fisiologi
Hewan Air. Riau: Uni Press.
Al Majed. 2011. A study on blood
parameter of Barbus xanthopterus,
Barbus Sharpeyi and their hybrid.
Bas. J. Vet. Vol. 10. No 2
Canfield, PJ. 2006. Complemarative cell
morphology in the peripheral blood
film from exotic and native animals.
Aust Vet J 76: 793-800.
Dellman, HD. &M.E. Brown. 1989.
Buku Teks Histologi Veteriner.
Hartono(Penterjemah). Jakarta, UI
Press.
Evan DH, Claiborne JB & Claiborne GK.
1999. Osmoregulation, acid-base
regulation, and nitrogen excretion.
In: Horn MH, Martin KLM &
Chotkowski MA (eds) Intertidal
fishes:life in two worlds.
Academic Press, San Diego, p.79-
96.
Feldman,B. F, J.G. Zinkl, N. C Jain,
& Schalm. 2000. Schalm's
Veterinary Hematology. Blackwell
Publishing.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan :
Dasar Pengembangan Teknologi
Perikanan.Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta. Hal 95-109
Graham, J. B. 1997. Air-breathing
Fishes.Evolution, Diversity, and
adaptation.Academic Press. San
Diego.
--------.& H.J. Lee. 2004. Breathing Air In
Air: In What Ways Might Extant
Amphibious Fish Biology Relate To
Prevailing Concepts About Early
Tetrapods, The Evolution Of
Vertebrate Air Breathing, And The
Vertebrate Land Transition
Physiological and Biochemical
Zoology, 77(5): 720-731
Hartman, F.A & M.A. Lessler. 1964.
Erytrocyte measurements in fish.
amphibians, and reptils, The
biology Bulletin, 126:83-88
Herlina, T. 2008. Hematologi.
InfoKarikan Vol. 5 No. 1. April,
Hidayaturrahmah & Muhamat, 2013.
Habitat ikan Timpakul
(Periphthalmodon schlosseri) di
Muara Sungai Barito.
EnviroScience 9 (2013) 134-139.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan
Teleostei. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Ishimatsu, A., MA. Nancy, K. Ogawa, Y.
Hishida, T. Takeda, S. Oikawa, T.
Kanda
& K. Huat. 1999. Arterial Blood gas
levels and Cardiosvascular Function
During Vaying Environmental
Conditions In A Musdkipper,
Peiopthalamdon schlosseri . The
Journal od Experimmental Biology
202, 1753-1762.
----------. 2012. Evolution of the
Cardiorespiratory System in Air-
Breathing Fishes. Aqua-BioScience
Monographs, Vol. 5, No. 1, pp. 1–
28
---------- Y. Hishida, T. Takita, T. Kanda,
S. Oikawa, T. Takeda & KH. Khoo
1998.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 114-125
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
125
Mudskipper store air in their burrows.
Nature, 391: 237-238.
Johansen K. 1970: Air Breathing In
Fishes. Fish Physiology
IV.Academic Press, New York:
361–411.
Lavabetha.A.R.R.R. 2014. Profil
Darah Ikan Timpakul
(Periophthalmodon Schlosseri) Dari
Muara Sungai Barito Kalimantan
Selatan. Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru.
Low, W.P., D.J.W. Lane, dan Y.K. Ip.
1988. A comparative study of
terrestrial adaptations of the gills in
three mudskippers. Periophthalmus
chrysospilos, Boleophthalmus
boddaerti, and Periophthalmodon
schlosseri. Biological Bulletin Vol.
175: 434-438.
Moyle, P. B. & J. J. Cech. 1988. Fish
an Introduction to Ichthyology
Second
Edition.Prentice Hall, New Jersey.
Nabib, R & F. H. Pasaribu. 1989. Patologi
dan Penyakit Ikan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Najjiah M, Nadirah,.& H. Marina . 2008.
Erythrocyte Morphology in Healthy
freshwater fish spesies from
Malaysia. Research Journal of
Fisheries and Hydrology, 3(1):32-
35.
Nikinmaa, M. 1997. Oxygen and
carbondioxide transfort in
vertebrate erythrocytes; an
evolutionary change in the role of
membrane transfort. The Journal
of Experimnetal Biology, 200:369-
380.
Polgar, G. & R. Lim. 2007.Chapter of the
edited collection: Mangroves:
Ecology, Biology and Taxonomy.
Mudskippers: human use,
ecotoxicology and biomonitoring of
mangrove and other softbottom
intertidal ecosystems. Institute of
Biological Sciences, Institute of
Ocean and Earth Sciences, Faculty
of Science, University of Malaya,
Kuala Lumpur, Malaysia.
-------. Kaila, kesavan. Sivakumar,
Sanhya., & Santhanam,
Rajagopal. 2010.
Antibacterial activity of the mucus of
mudskipper Boleophthalmus
boddarti (Pallas, 1770) from Vellar
Estuary. Advances in
Environmental Sciences
International Journal of the Bioflux
Society.
Shadkhast, Mohammad. Homayoun,
Reza, Shabazkia. Amin, Bigham-
Sadegh.Sayed, Ebrahim, Shariati.
Taji, Mahmoudi.,& Mojdeh
Shariffian, Fard. 2010. The
Morphological Charasterization of
the Blood Cells in the Central Asian
Tortoise (Testude horsfieldii).
Veterinary Reseearch Forum. Vol:1,
No 3, 134-141.Subowo, 1992.
Histologi Umum. Bumi Aksara.
Jakarta.
Vajsii, S. 2012. Variation in the size od
erythrocyte in the blood of
Neurergus kaiseri and Neurergus
microspilotus from Iran.
Department of Biology, Razi
university. Baghabriesham.
Vazquez, G. Rey & G. A. Guerrero.
2007. Characterization of blood
cells and hematological parameters
in Cichlasoma dimerus (Teleostei,
Perciformes). Tissue and Cell 39
(2007) 151–160
Yudistira, D.2011. Struktur Histologi
Insang Ikan Timpakul
(Periophtalmodon schlosseri)
Kalimantan Selatan.Skripsi,
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.Universitas
Lambung Mangk
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
126
Efek Hipoglikemik Ekstrak Metanol Daun Gaharu
(Aquilaria microcarpa Baill.) Pada Tikus Jantan
Yang Diinduksi Aloksan
Mega Permata Sari1, *Nurlely
1, Noor Cahaya
1 , Mustofa
2
1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
2Departemen Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Gaharu dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk menurunkan kadar
glukosa darah oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Kandungan flavonoid daun
gaharu memiliki aktivitas antioksidan yang diduga berperan menurunkan kadar
glukosa darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas hipoglikemik
ekstrak metanol daun A. microcarpa terhadap kadar glukosa darah postprandial. Daun
gaharu diekstraksi dengan metode perkolasi menggunakan pelarut metanol. Pengujian
efek hipoglikemik dilakukan melalui pengukuran kadar glukosa postprandial.
Penelitian ini menggunakan tikus jalur Wistar sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi 6
kelompok: kontrol normal (Na-CMC 0,5%), positif (glibenklamid), negatif, dan
perlakuan (ekstrak dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB). Tikus
diinduksi aloksan (150 mg/kg BB) dan diberikan perlakuan sesuai kelompoknya selama
14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol A. microcarpa dapat
menurunkan kadar glukosa darah pada dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200
mg/kg BB setelah 14 hari pemberian perlakuan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa ekstrak metanol A. mocrocapa memiliki efek hipoglikemik.
Kata Kunci : kadar glukosa darah, postprandial, daun gaharu
ABSTRACT
Gaharu leaves was empirically used in traditional medicines by South Borneo
people for lowering blood glucose level. Some chemical substances in gaharu leaves
possess a potency as an antioxidant which could lower blood glucose levels. This study
aimed to evaluate hypoglycemic effect of methanol extract of A. microcarpa. Gaharu leaves
was extracted by percolation method using methanol. Hypoglycemic effect was evaluated
by the postprandial glucose level using 24 Wistar strain male rats which were divided into 6
groups. They were normal control (Na-CMC 0.5%), positive control (glibenclamide, 0.5
mg/kg BW), negative, and treatment (methanol extract of A. microcarpa at doses of 50,
100, and 200 mg/kg BW,). Alloxan was intraperitoneally induced (150 mg/kg BW) and all
treatments were administered for 14 days. Blood glucose level was measured on day 0,7
and 14. The results revealed that methanol extract of A. microcarpa is able to lower blood
glucose level at the doses of 50, 100, and 200 mg/kg BW after 14 days of treatment
administration. Therefore, it can be concluded that methanol extract of A. microcarpa
leaves possesses hypoglycemic effect.
Keywords: hypoglycemic effect, postprandial, gaharu leaves
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
127
I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah karena
defisiensi insulin akibat nekrosis sel β
berat atau defisiensi insulin relatif
sehingga sel β tidak dapat menghasilkan
cukup insulin (Mycek et al, 2001).
Pengobatan diabetes mellitus dapat
dilakukan dengan terapi farmakologi yaitu
pemberian insulin atau obat hipogikemik
oral (Katzung, 2007). Selain pengobatan
farmakologi, penderita diabetes mellitus
dapat menggunakan pengobatan herbal
atau berasal dari tanaman. Salah satu
tanaman yang secara empiris dapat
menurunkan kadar glukosa darah adalah
tanaman gaharu (Aquilaria microcarpa
Baill.). Daun gaharu (Aquilaria
microcarpa Baill) secara empiris
digunakan sebagai antidiabetes oleh
masyarakat Tamiang Layang Kalimantan
tengah. Daun A. microcarpa mengandung
beberapa senyawa metabolit sekunder
seperti flavonoid, tanin, dan fenol (Sari,
2016).
Senyawa-senyawa metabolit
sekunder yang memiliki peran dalam
penurunan kadar glukosa darah anatara
lain flavonoid, tanin, dan fenol.
Mekanisme flavonoid dalam menurunkan
kadar glukosa darah adalah dengan
merangsang pelepasan insulin dari sel beta
yang tidak mengalami kerusakan (Fawzy
et al, 2008). Selain itu efek penurunan
kadar glukosa darah dapat pula diberikan
oleh tannin dengan meningkatkan aktivitas
transpor glukosa pada jaringan adiposa dan
menunjukkan aktivitas yang hampir sama
dengan insulin (Hernawan et al, 2004).
Fenol memiliki aktivitas antioksidan yang
mampu memnghambat kerusakan sel β
pankreas (Suryani et al., 2013).
Pengukuran kadar glukosa darah
salah satunya dapat dilakukan secara
postprandial yaitu pengukuran setelah 2
jam pemberian glukosa. Berdasarkan latar
belakang di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan pengujian tentang efek
hipoglikemik ekstrak metanol daun A.
microcarpa dengan parameter kadar
glukosa darah postprandial. Pengujian
aktivitas bertujuan untuk mengevaluasi
aktivitas ekstrak metanol A. microcarpa
sebagai penurun kadar glukosa darah
postprandial.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan adalah
akuades (Sigma), aloksan, aluminium foil,
daun A. microcapra, glibenklamid
(Indofarma), glukosa, kertas Whatman
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
128
nomor 1, metanol (teknis), NaCl 0,9%
(teknis), Natrium Karboksil Metil Selulosa
(Na-CMC 0,5%), dan standar pellet.
Hewan uji yang digunakan yaitu tikus
jantan galur dengan berat 170-240 gram
dan umur berkisar 2-3 bulan.
B. Pembuatan Ekstrak Metanol Daun
A. microcarpa
Serbuk daun A. microcarpa
ditimbang sebanyak 200 g, diekstraksi
dengan metode perkolasi menggunakan
pelarut metanol. Filtrat yang diperoleh
dipisahkan dari residu dengan kertas
Whatman nomor 1. Ekstrak cair yang
diperoleh, dipekatkan dengan vacuum
rotary evaporator dengan suhu 550 C dan
diuapkan di atas waterbath hingga
diperoleh ekstrak kental.
C. Penginduksian Aloksan
Dua puluh empat tikus jantan galus
wistar dibagi menjadi 6 kelompok.
Sebanyak 5 kelompok diinduksi aloksan
secara intraperitoneal (150 mg/kg BB).
Pengukuran kadar glukosa darah
postprandial dilakukan pada hari ketiga
setelah penginduksian aloksan.
D. Pengujian Aktivitas
Kelompok uji diberikan ekstrak
metanol daun A. microcarpa dengan
pemberian perlakuan dilakukan selama 14
hari. Perlakuan pengujian aktivitas
diberikan pada kelompok kontrol normal,
positif, negatif, dan ekstrak metanol daun
A. microcarpa (50 mg/kg BB, 100 mg/kg
BB, dan 200 mg/kg BB).
E. Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Postprandial
Hewan uji yang telah diukur kadar
glukosa darah puasa diberikan glukosa
secara per oral. Pengukuran kadar glukosa
darah postprandial dilakukan setelah 2 jam
pemberian glukosa.
F. Analisis Data
Data yang didapat dari pengukuran
kadar glukosa darah postprandial
dianalisa dengan program SPSS 21
menggunakan uji distribusi normal dengan
metode Shapiro-Wilk dan uji homogenitas
dengan metode Levene’s Test. Jika data
terdistribusi normal dan homogen, uji
dilakukan dengan uji parametrik yaitu uji
One Way Anova dan Post Hoc LSD.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi merupakan proses
penyarian kimia yang terdapat di dalam
suatu tanaman. Serbuk kering A.
microcarpa sebanyak 200 gram diekstraksi
menggunakan metode perkolasi dengan
pelarut metanol. Hasil dari ekstraksi
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
129
berupa ekstrak kental sebanyak 58 gram
dengan persen rendemen sebesar 29%.
Pengujian aktivitas diabetes
dilakukan dengan menggunakan kontrol
normal, kontrol negatif, kontrol positif dan
ekstrak metanol daun A. microcarpa (50
mg/kg BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg
BB). Penginduksi yang digunakan yaitu
aloksan dengan pengukuran kadar glukosa
darah dilakukan secara postprandial
selama 14 hari. Persentase penurunan
kadar glukosa darah postprandial dapat
dilihat pada Gambar 1.
Keterangan:
Postprandial H-7 * p < 0,05; berbeda bermakna
dengan kelompok Kn
Postprandial H-14 # p < 0,05; berbeda bermakna
dengan kelompok Kn
Gambar 1. Persentase rata-rata penurunan
kadar glukosa darah
postprandial
Berdasarkan data persentase
penurunan kadar glukosa darah
postprandial yang diperoleh dan dianalisis
statistik menunjukkan bahwa data tersebut
terdistribusi normal (p > 0,05) dan homoen
(p < 0,05) sehingga dilanjutkan dengan uji
parametrik one way ANOVA dan uji Post
Hoc LSD.
Hasil analisis statistik persentase
penurunan kadar glukosa darah
postprandial pada hari ke-7 dan 14
menunjukkan bahwa kontrol negatif
berbeda bermakna dengan dosis 50 mg/kg
BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB.
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga dosis
pemberian tersebut memiliki aktivitas
dalam penurunan kadar glukosa darah
pada hewan uji. Berdasarkan hasil analisis
juga menunjukkan bahwa dosis 50 mg/kg
BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB
tidak berbeda bermakna dengan kontrol
positif yang artinya bahwa ketiga dosis
tersebut memiliki aktivitas yang sebanding
dengan kontrol positif yang diberikan
glibenklamid.
Kadar glukosa darah yang
diperoleh pada postprandial menunjukkan
bahwa ekstrak metanol daun A.
microcarpa dapat menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus yang diabetes.
Hasil data persentase penurunan kadar
glukosa darah menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis pemberian, semakin
besar persentase penurunan kadar glukosa
darah tersebut. Kemampuan dalam
menurunkan kadar glukosa darah dari
ekstrak metanol daun A. microcarpa dapat
disebabkan karena adanya kandungan
*
#
# # #
-10
0
10
20
30
40
50
60
Per
sen
tase
ra
ta-r
ata
pen
uru
na
n K
GD
Po
stp
ran
dia
l
*
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
130
flavonoid di dalamnya. Flavonoid
memiliki aktivitas antioksidan yang dapat
berperan dalam menangkal radikal bebas
di dalam tubuh. Berdasarkan penelitian
Sari (2016), ekstrak metanol daun A.
microcarpa memiliki aktivitas antioksidan
sangat aktif dengan nilai IC50 sebesar
15,59 ppm. Selain itu, flavonoid juga
berperan dalam menurunkan kadar glukosa
darah dengan merangsang pelepasan
insulin dari sel beta yang tidak mengalami
kerusakan (Fawzy et al, 2008). Mekanisme
dari flavonoid ini memiliki kemiripan
dengan kontrol positif yang digunakan
yaitu glibenklamid.
Efek penurunan kadar glukosa
darah dari ekstrak metanol daun A.
microcarpa ini dapat pula didukung
dengan adanya kandungan senyawa
lainnya, seperti fenol dan tanin. Fenol juga
memiliki aktivitas antioksidan yang dapat
menangkal radikal bebas dari efek
diabetogenik aloksan. Peran fenol sebagai
antioksidan diduga mampu melindungi sel
β pankreas dari efek toksik radikal bebas
yang diproduksi di bawah kondisi
hiperglikemia kronis. Senyawa tannin
yang terdapat dalam ekstrak metanol daun
A. microcarpa juga memiliki peran dalam
menurunkan kadar glukosa darah dengan
menghambat absorpsi glukosa (Meiyanti et
al, 2006). Tanin juga merupakan senyawa
fenolik seperti flavonoid sehingga
memiliki aktivitas antioksidan yang dapat
menangkal radikal bebas dari efek
diabetogenik aloksan (Setiawan, 2000).
Oleh karena itu, efek penurunan kadar
glukosa darah yang dihasilkan oleh ekstrak
metanol A. microcarpa dapat disebab
karena adanya peran dari kandungan
senyawanya yaitu flavonoid, fenol, dan
tanin.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah ekstrak metanol daun
A. Microcarpa memiliki efek penurunan
kadar glukosa darah pada tikus yang
diinduksi aloksan dengan dosis 50 mg/kg
BB, 100 mg/kg BB dan 200 mg/kg BB.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi atas dana penelitian
yang diberikan melalui Hibah Penelitian
Kerja Sama Antar Perguruan Tinggi
(PEKERTI) 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Fawzy, G. A., H. M. Abdallah, M. S. A.
Marzouk, F. M. Soliman & A. A.
Sleem. 2008. Antidiabetic and
Antioxidant Activities of Major
Flavonoids of Cynanchum acutum
L. (Asclepiadaceae) Growing in
Egypt. Z. Naturforsch. 63: 658 –
662.
Hernawan, U. E., Sutarno & A. D.
Setyawan. 2004. Aktifitas
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Hal: 126-131
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
131
Hipoglikemik dan Hipolipidemik
Ekstrak Air Daun Bungur
(Lagerstroemia speciosa [L.] Pers.)
terhadap Tikus Diabetik.
Biofarmasi. 1: 15 – 23.
Katzung, B. G. 2007. Farmakologi Dasar
& Klinik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Meiyanti, H. R. Dewoto & F. D. Suyatna.
Efek Hipoglikemik Daging Buah
Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa (Sheff.) Boerl.)
terhadap Kadar Gula Darah pada
Manusia Sehat Setelah
Pembebanan Glukosa. Universa
Medicina. 25: 114-120.
Mycek, M. J., R. A. Harvey, P. C.
Champe. 2001. Famakologi Ulasan
Bergambar Edisi 2. Widya Medika,
Jakarta.
Sari, M. P. 2016. Penetapan Kadar
Flavonoid Total, Efek Antioksidan
dan Hipoglikemik Ekstrak Metanol
Daun Gaharu (Aquilaria
microcarpa Baill.) pada Tikus
Jantan. Skripsi Program Studi
Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.
Setiawan, D. 2000. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Trobus Agriwidya.
Bogor.
Suryani, N., T. Endang, & Aulanni’am.
2013. Pengaruh Ekstrak Metanol
Biji Mahoni terhadap Peningkatan
Kadar Insulin, Penurunan Ekspresi
TNF-a dan Perbaikan Jaringan
Pankreas Tikus Diabetes. Jurnal
Kedokteran Brawijaya. 27: 137-
145.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal- 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
132
Pengaruh Pemberian Kurkumin Per Oral
dengan Selang Waktu Terhadap Profil
Farmakokinetika Eritromisin
*Noor Cahaya, Abshar Fariz, Destria Indah Sari
1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Eritromisin merupakan substrat dari enzim sitokrom P450 CYP3A4 dan
kurkumin merupakan inhibitor pada enzim tersebut. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui profil farmakokinetika eritromisin setelah diberikan kurkumin dengan
selang waktu 1 jam secara oral pada tikus jantan galur Wistar. Penelitian dibagi
menjadi 2 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok I (kontrol)
diberi eritromisin secara oral dosis 1 g/kg BB dan kelompok II (perlakuan) diberi
kurkumin secara oral dosis tunggal 180 mg/kg BB 1 jam sesudah eritromisin. Cuplikan
darah diambil dari vena lateralis ekor tikus pada jam ke- 0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,5; 2; 4; 6
dan 8 setelah diberikan eritromisin. Kadar masing-masing obat dalam plasma
ditetapkan dengan menggunakan teknik spektrofotometri UV-Vis derivatif yang telah
divalidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kurkumin 1 jam setelah
eritromisin menunjukkan tidak terjadi perubahan pada nilai Cmaks (p>0,05), namun
terjadi perubahan pada nilai t1/2 (p<0,05) dan AUC (p<0,05). Dari penelitian ini dapat
disimpulkan terjadi perubahan profil farmakokinetika eritromisin yang diberikan
selang waktu dengan kurkumin pada tikus jantan galur Wistar.
Kata Kunci: Kurkumin, eritromisin, farmakokinetika.
ABSTRACT
Erythromysin is substrate of the cytochrome P450 enzymes CYP3A4 and curcumin is an
inhibitor of enzyme CYP3A4. The study was aimed to investigate profil pharmacokinetic
erythromycin when given curcumin one hour after erythromycin in male Wistar rats. The
study was divided into two groups, each consisting of 5 rats. Group I (control) was given
oral erythromycin dose of 1 g/kg and group II (experiment) was given a single dose of
curcumin orally 180 mg/kg an hour after erythromycin. Blood sample were taken from the
lateral vein of rats at 0.25; 0.5; 0.75; 1; 1,5 ;2; 4; 6 and 8 hours after given erythromycin.
Erythromycin plasma concentrations were determinated by derivated UV-Vis
spectrophotometry that has been validated. The result of study showed the administration
of curcumin an hour after erythromycin did not change the value of Cmax (p>0,05), but
there was change in the value of t1/2 (p<0.05) and AUC (p<0.05). The results indicate that
the administration of curcumin in a single dose one hour after erythromycin gives the
change of erythromycin pharmacokinetic profile in male Wistar rats.
Keywords: Curcumin, erythromycin, pharmacokinetic.
I. PENDAHULUAN
Pelayanan kefarmasian sudah
bergeser dari drug oriented menuju patient
oriented (pharmaceutical care). Oleh
karena itu, farmasis dituntut perannya
secara aktif dalam pharmaceutical care
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
133
yaitu memaksimalkan hasil terapi pada
pasien dengan mencegah atau mengurangi
berbagai Drug Related Problem (DRP).
Salah satu dari DRP adalah munculnya
interaksi obat yang diakibatkan oleh
interaksi antara obat dengan obat atau obat
dengan makanan (Stockley, 2008).
Interaksi obat dianggap penting secara
klinis jika berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektifitas
obat yang berinteraksi sehingga terjadi
perubahan pada efek terapi dan tidak
sesuai dengan yang diinginkan (Piscitelli
& Rodvold, 2005).
Penyakit infeksi masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang cukup banyak, khususnya di negara
berkembang. Tingginya prevalensi infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) serta
dampak yang ditimbulkannya membawa
akibat pada tingginya konsumsi obat bebas
(seperti anti influenza, obat batuk,
multivitamin) dan antibiotika (Richard,
2000). Pengobatan ISPA yang diresepkan
dokter di Rumah sakit YARSIS di kota
Surakarta berkisar antara 4-6 macam yang
meliputi bronkodilator, antihistamin,
analgetik-antiinflamasi, kortikosteroid, dan
antibiotik sebanyak 52,69% (Rahmawati et
al, 2006). Salah satu antibiotik yang
digunakan untuk infeksi saluran
pernafasan adalah antibiotik golongan
makrolida yaitu eritromisin (Rizky et al,
2010).
Berdasarkan hasil beberapa
penelitian, eritromisin tidak dapat
diberikan bersama beberapa jenis obat
tertentu yang dimetabolisme oleh enzim
sitokrom P450 seperti karbamazepin,
kortikosteroid, warfarin, terfenadin,
asetamizol, quinidin, teofillin dan obat-
obat antikoagulan (Gunawan, 2007).
Eritromisin merupakan substrat enzim
sitokrom P450 CYP3A4. Apabila obat
eritromisin dikombinasikan dengan
inhibitor enzim sitokrom P450 CYP3A4
seperti simetidin dan verapamil maka
berakibat dapat menaikkan kadar
eritromisin dalam plasma. Interaksi ini
tidak diinginkan karena dapat
menyebabkan efek toksik (Jambhekar &
Breen, 2009). Oleh karena itu, interaksi
yang dapat menyebabkan perubahan profil
farmakokinetika sangat penting untuk
diperhatikan penggunaannya ketika di
berikan bersamaan dengan obat lain, salah
satunya penggunaan senyawa kurkumin.
Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan bahwa kurkumin dapat
mempengaruhi aktivitas enzim sitokrom P-
450 antara lain CYP1A1, CYP1A2
(Supandi, 2009), CYP2E1, dan CYP3A4
(Oetari, 2006). Senyawa kurkumin ini
merupakan inhibitor enzim
biotransformasi obat terutama enzim
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
134
sitokrom P-450. Sifat inhibisi ini
menyebabkan kurkumin harus
diperhatikan jika digunakan bersamaan
dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh
enzim yang sama (Oetari, 2006). Salah
satu obat yang dimetabolisme oleh enzim
sitokrom P450 yaitu eritromisin
(Suharjono, 2006). Penghambatan aktivitas
enzim dapat mengakibatkan konsentrasi
yang lebih tinggi dari obat substrat
sehingga meningkatkan potensi efek
samping obat dan toksisitas (Gunawan,
2007). Eritromisin merupakan antibiotik
yang dimetabolisme oleh enzim yang sama
dengan kurkumin sehingga dikhawatirkan
terjadi interaksi dan dapat mempengaruhi
profil farmakokinetika. Seperti diketahui
bahwa kurkumin dipasarkan secara bebas
untuk suplemen penambah nafsu makan,
dan berdasarkan penelitian kurkumin
memiliki efek sebagai anti inflamasi
(Sardjiman, 2000). Pada penderita terapi
infeksi saluran nafas akut (ISPA),
antibiotik eritromisin juga sering diberikan
bersama dengan analgetik atau
antiinflamasi sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi tanda dan gejala penyakit
(Dipiro et al, 2005). Selain itu pada
penderita ISPA merupakan salah satu
penyakit infeksi yang erat kaitannya
dengan masalah gizi sehingga pemberian
suplemen makanan yang mengandung
kurkumin dengan antibiotik eritromisin
kemungkinan bisa terjadi (Amir, 2008).
Sehingga interaksi antara kurkumin
dengan eritromisin perlu dikaji agar ada
informasi lebih lengkap tentang pengaruh
profil farmakokinetika eritromisin
terhadap senyawa kurkumin.
Frekuensi pemakaian suatu obat
ditetapkan berdasarkan parameter
farmakokinetiknya, frekuensi dua jenis
obat atau lebih yang mempunyai waktu
paruh berbeda maka frekuensi
pemakaiannya seharusnya berlainan
(Rusdiana, 2003). Pemilihan dengan
pemberian selang waktu 1 jam karena tmaks
dari eritromisin adalah 1,2 jam (Kavi et al,
1998) sehingga masih ada kemungkinan
kurkumin dapat mempengaruhi parameter
Cmaks, t1/2 dan AUC dari eritromisin pada
waktu tersebut. Berdasarkan penelitian lain
yang pernah dilakukan pemberian
kurkumin secara oral dosis tunggal
diberikan 1 jam sebelum Rifampisin
berdasarkan hasil penelitian tersebut,
kurkumin dinyatakan mempengaruhi nilai
Cmaks dan AUC dari rifampisin (Wahyono
et al, 2007). Berdasarkan masalah tersebut
maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui pengaruh
kurkumin yang diberikan dengan selang
waktu satu jam terhadap profil
farmakokinetika eritromisin.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
135
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu 2,2-
bipyridil p.a (Merck), aquadest, asetonitril
p.a (Merck), EDTA (Merck), eritromisin
stearat p.a (Baoji Goukang Technology),
ferri klorida (FeCl3) p.a (Merck), kalium
dihidrogen fosfat p.a (Merck), metanol p.a
(Merck), NaCMC (Brataco) dan natrium
hidroksida p.a (Merck). Hewan uji yang
digunakan yaitu tikus jantan galur Wistar
dengan bobot 200-300 gram, usia 3-4
bulan.
B. Ekstraksi Eritromisin dari Sampel
Darah
Sampel darah yang diperoleh
ditambahkan EDTA, kemudian
disentrifuge pada kecepatan 2200 rpm
selama 5 menit. Supernatan diambil
sebanyak 0,5 mL dan ditambahkan 1 mL
asetonitril. Larutan divorteks selama 1
menit kemudian disentrifuge lagi selama 5
menit pada kecepatan 2200 rpm. Plasma
yang telah dideproteinasi ini yang
digunakan sebagai cuplikan untuk diukur
serapannya (Stubss et al, 1985).
C. Pembuatan Spektra Serapan Normal
Larutan baku induk eritromisin
dibuat dengan melarutkan 10 mg
eritromisin dalam 100 mL metanol.
Kemudian larutan baku induk tersebut
diencerkan hingga konsentrasinya 10
µg/mL. Sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke
tabung reaksi lalu ditambahkan 0,5 mL
larutan 2,2-bipyridil dan 0,3 mL larutan
ferri klorida. Larutan ini dipanaskan 70oC
selama 10 menit. Volume larutan
ditambahkan sampai volumenya 5 mL
dengan larutan dapar fosfat. Larutan baku
induk kurkumin dibuat dengan melarutkan
10 mg kurkumin dalam 100 mL metanol.
Larutannya diencerkan hingga konsentrasi
0,5 µg/mL. Larutan ini diberi perlakuan
sama seperti larutan eritromisin.
Serapannya dibaca dengan
spektrofotometer UV-Vis, kemudian di-
overlay pada panjang gelombang 400–600
nm (Batubara et al, 2005; Pasha et al,
2012).
D. Penentuan Panjang Gelombang
Analisis
Masing-masing larutan standar
yang mengandung eritromisin 10 µg/mL,
larutan standar kurkumin 0,5 µg/mL,
larutan standar eritromisin 10 µg/mL yang
mengandung 0,5 ml sampal darah dan
campuran larutan eritromisin dan
kurkumin 0,5 µg/mL kemudian diekstraksi
lalu dilakukan derivatisasi dengan FeCl3
dan 2,2-bipyridil. Cuplikannya dibaca
serapan dengan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 400–600 nm.
Berdasar spektra yang diperoleh, dibuat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
136
kurva serapan derivat pertama dan kedua
dari setiap larutan. Panjang gelombang
pada saat amplitudo nol pada larutan
kurkumin dan amplitudo sama pada
larutan eritromisin dan campuran
eritromisin-kurkumin digunakan sebagai
panjang gelombang analisis (Hayun et al,
2006).
E. Pembuatan Kurva Baku dan Uji
Linieritas
Masing-masing sebanyak 0,5 mL
sampel darah tikus ditambahkan 0,5 mL
larutan baku standar 0,5; 1; 2; 3; 5 dan 7
µg/mL. Sampel plasma mengandung
eritromisin diekstraksi lalu dilakukan
derivatisasi dengan FeCl3 dan 2,2-
bipyridil. Cuplikannya diukur serapannya
pada spektrofotometer UV-Vis. Kemudian
dibuat kurva kalibrasinya dari data yang
diperoleh. Koefisien korelasi dihitung dari
persamaan garis regresi linier untuk
melihat linieritas kurva kaliberasi tersebut.
Kriteria linieritas untuk bioanalisis matriks
biologis dipenuhi minimal pada koefisien
korelasi 0,95 (Harahap, 2009).
F. Penentuan Batas Deteksi (LOD) dan
Batas Kuantifikasi (LOQ)
Sampel plasma mengandung
eritromisin pada konsentrasi 0,5; 1; 2; 3; 5
dan 7 µg/mL disiapkan dan diderivatisasi.
Cuplikan diukur serapannya pada
spektrofotometer UV-Vis menggunakan
panjang gelombang analisis yang dipilih.
Data hasil pengukuran kemudian dihitung
untuk menentukan nilai LOD dan LOQ
(Harmita, 2004).
G. Uji Akurasi dan Presisi
Sampel plasma pada konsentrasi
rendah, sedang, dan tinggi disiapkan dan
diderivatisasi. Cuplikan diukur serapannya
pada spektrofotometer UV-Vis. Lakukan
masing-masing 3 kali replikasi. Dihitung
nilai persentase akurasi (%diff) dan rata-
rata recoverinya untuk uji akurasi.
Sedangkan untuk uji presisi dihitung nilai
koefisien variasinya (%cv) pada
konsentrasi rendah, sedang dan tinggi
(CDER, 2001).
H. Uji in vivo pada subjek tikus
1. Pembuatan Larutan Obat
Larutan pensuspensi NaCMC 0,5%
dibuat dengan memasukkan 0,5 gram
NaCMC dalam 100 mL aquadest
kemudian dipanaskan hingga larut.
Larutan stok kurkumin dibuat dalam
konsentrasi 64 mg/mL. Sebanyak 75 mg
kurkumin disuspensikan dalam 25 mL
larutan NaCMC 0,5%. Larutan stok
eritromisin dibuat dalam konsentrasi 360
mg/mL. Sebanyak 500 mg eritromisin
stearat disuspensikan dalam 25 mL larutan
NaCMC 0,5%.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
137
2. Penyiapan subjek
Subjek tikus dipuasakan selama
±10 jam, dimana berat badannya telah
memenuhi persyaratan sebagai hewan
yang siap diujikan (200-300 gram). Subjek
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok kontrol dan kelompok uji
(Supandi, 2009). Subjek kontrol diberikan
suspensi eritromisin secara peroral dengan
dosis 1 g/kgBB. Sedangkan subjek
kelompok uji diberikan kurkumin 180
mg/kgBB secara oral 60 menit setelah
pemberian suspensi eritromisin.
3. Pengambilan darah
Setelah perlakuan dilakukan
pengambilan darah sebanyak 9 sampel
darah dengan rentang waktu 4x waktu
paruh obat. Darah diambil pada vena
lateralis ekor. Pengambilan darah
dilakukan pada jam ke 0,25; 0,5; 0,75; 1;
1,5; 2; 4; 6 dan 8. Pengambilan darah
diambil sebanyak ± 0,5 mL dan ditampung
pada tabung berisi EDTA, kemudian
disentrifuge dengan kecepatan 2200 rpm
selama 5 menit dan diambil plasmanya 0,5
mL. Plasma yang diperoleh diperlakukan
sama seperti pada penetapan kadar obat
dalam plasma secara in vitro (Supandi,
2009).
4. Penentuan Profil Farmakokinetika
Penentuan parameter
farmakokinetika dapat ditentukan dengan
cara membuat grafik antara waktu
terhadap kadar obat dalam plasma.
Berdasarkan grafik tersebut akan terlihat
nila Cmaks eritromisin dalam plasma.
Penentuan nilai t½ dihitung dengan rumus
menggunakan data eliminasi obat (kurva
menurun dari grafik antara waktu terhadap
kadar obat). Sedangkan nilai AUC
ditentukan dengan menggunakan rumus
trapesium untuk menghitung luas area di
bawah kurva pada grafik antara waktu
terhadap kadar obat dalam plasma (Shargel
& Yu, 2005).
5. Analisa Data
Hasil perhitungan parameter Cmaks,
t1/2 dan AUC selanjutnya dianalisis secara
statistik dengan uji t tidak berpasangan
pada taraf kepercayaan 95%. Pengujian
dilakukan dengan uji Shapiro-wilk untuk
mengetahui data terdistribusi normal dan
normalitas data dilihat menggunakan uji
Levene’s Test.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Panjang Gelombang
Analisis dengan Spektrofotometri
UV-Vis Derivatif
Metode spektrofotometri derivatif
adalah salah satu metode spektrofotometri
yang dapat digunakan untuk analisis
campuran beberapa zat secara langsung
tanpa harus melakukan pemisahan terlebih
dahulu walaupun dengan panjang
gelombang yang berdekatan. Penentuan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
138
panjang gelombang optimum yang lebar
akan lebih akurat menggunakan
derivatisasi spektra. Proses yang terjadi
dalam derivatisasi data spektra adalah
derivatisasi dari kurva secara matematis
dengan menentukan kemiringan/gradien
serapan antara panjang gelombang tertentu
secara menyeluruh (Nurhidayati, 2007).
Hasil derivatisasi spektra normal
pada pembacaan amplitudo 400-600 nm
dari eritromisin standar, kurkumin, dan
campuran eritromisin dengan kurkumin,
serta eritromisin dalam plasma pada orde
kesatu dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1.Spektra derivat orde pertama standar
eritromisin (hijau), kurkumin (merah),
dan campuran eritromisin-kurkumin
(biru) serta eritromisin dalam matriks
plasma (coklat)
Berdasarkan hasil spektra
derivatisasi pada gambar 1 tersebut
diperoleh spektra yang lebih tajam dan
berhimpit antara cuplikan standar
eritromisin dalam pelarut, dengan
eritromisin dalam plasma serta campuran
eritromisin bersama dengan kurkumin.
Cuplikan dibaca serapannya (scanning)
pada panjang gelombang 400-600 nm,
karena baik larutan eritromisin dan
kurkumin memiliki warna larutan yang
dapat diserap pada rentang panjang
gelombang tersebut dan kedua larutan
tersebut memiliki gugus kromofor.
Spektra yang didapatkan
merupakan hasil diderivatisasi orde satu
pada interval 4 nm. Interval yang terlalu
rendah akan menghasilkan spektra
derivatif yang kasar dimana amplitudo
akan mengakibatkan spektra berupa garis
putus-putus sedangkan jika interval terlalu
tinggi bisa mengakibatkan amplitudo yang
dihasilkan terlalu lebar sehingga puncak
amplitudo optimum sulit diukur. Panjang
gelombang 520-570 nm hasil derivat orde
kesatu eritromisin standar, eritromisin
plasma, dan campuran eritromisin-
kurkumin saling berhimpit satu sama
lainnya. Hal ini menunjukkan pada rentang
panjang gelombang tersebut hanya
amplitudo eritromisin yang terbaca.
Panjang gelombang yang digunakan untuk
analisis yaitu 547 nm karena pada panjang
gelombang ini, spektra derivat orde kesatu
antara eritromisin standar, eritromisin
plasma, dan campuran eritromisin-
kurkumin mempunyai amplitudo optimum
(gambar 1). Panjang gelombang ditentukan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
139
dengan metode peak to peak dari
penggabungan spektrum derivatif larutan
baku dan sampel (analit). Metode ini
dilihat dari spektrum yang saling tumpang
tindih antara spektrum eritromisin standar,
spektrum eritromisin plasma, dan
spektrum campuran eritromisin-kurkumin
sehingga dapat terlihat amplitudo optimum
pada panjang gelombang analisis. Dari
hasil penggabungan spektrum derivatif
tersebut, dicari daerah panjang gelombang
dimana terdapat spektrum yang saling
berimpit satu sama lain secara total
(Hayun, 2006).
B. Kurva Baku Eritromisin
Pembuatan kurva baku eritromisin
dilakukan pada seri kadar 0,5µg/mL;
1µg/mL; 2 µg/mL; 3 µg/mL; 5 µg/mL dan
7 µg/mL.
Gambar 2. Kurva baku eritromisin.
Persamaan kurva baku yang
diperoleh pada konsentrasi 0,5-7 ppm
yaitu y= -0,0895x - 0,0194 dengan nilai r =
0,9998 yang berarti besarnya hubungan
antara amplitudo dengan kadar yang
menyatakan sebesar 99,98% hasil yang
didapatkan akurat dan presisi. Hasil yang
didapatkan sudah memenuhi persyaratan
dimana kriteria linieritas untuk bioanalisis
matriks biologi dipenuhi minimal pada
koefisien 0,95 (Harahap, 2009).
C. Nilai batas deteksi (LOD) dan batas
kuantifikasi (LOQ)
Penentuan batas deteksi (LOD) dan
batas kuantifikasi (LOQ) dihitung
menggunakan data dari kurva baku yang
didasarkan pada standar deviasi respons
analit dan slope kurva baku. Hasil yang
didapatkan dapat dilihat pada tabel I
berikut.
Tabel 1. Hasil perhitungan LOD dan LOQ
Batas deteksi (LOD) menyatakan
jumlah terkecil analit yang masih
memberikan respons signifikan dengan
matriks. Batas kuantifikasi (LOQ)
menyatakan jumlah terkecil analit dimana
pengukuran masih memberikan hasil yang
akurat dan presisi. Batas yang diperoleh ini
kemudian disesuaikan dengan hasil yang
didapatkan pada kontrol maupun uji.
Kadar yang diperoleh tidak boleh di bawah
hasil LOD maupun LOQ untuk
y = -0,0895x - 0,0194
-0,8
-0,6
-0,4
-0,2
0,0
0 2 4 6 8
Am
pli
tud
o
Kadar (µg/mL)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
140
memberikan hasil yang akurat dan presisi
(Harmita, 2004). Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh nilai LOD yaitu
0,1485 ppm hal ini berarti bahwa
campuran obat dan matrik plasma pada
konsentrasi tersebut masih dapat terbaca
absorbansinya tetapi tidak dapat digunakan
dalam perhitungan karena dapat membuat
bias dalam perhitungan. Sedangkan batas
kuantitasi merupakan parameter pada
analisis dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih
dapat memenuhi akurasi dan presisi. Nilai
batas kuantitasi (LOQ) pada pengujian ini
sebesar 0,4950 µg/mL.
D. Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis terhadap
parameter akurasi dan presisi dilakukan
pada 3 seri konsentrasi yaitu pada
konsentrasi rendah (0,5 µg/mL), sedang (5
µg/mL) dan tinggi (7 µg/mL) masing-
masing dilakukan 3 kali replikasi. Akurasi
dan presisi dinyatakan dalam nilai %diff
(%different) yaitu nilai rata-rata
penyimpangan pengukuran dari nilai
sebenarnya dan %cv (coefficient of
variation) ) yaitu nilai perbandingan
simpangan baku terhadap rata-ratanya.
Hasil validasi yang diperoleh dapat dilihat
pada tabel II.
Tabel II. Hasil penentuan parameter
akurasi dan presisi metode analisis.
Akurasi dari suatu metode analisis
merupakan kedekatan nilai hasil uji yang
diperoleh dengan prosedur tersebut dengan
harga yang sebenarnya. Akurasi
merupakan ukuran ketepatan prosedur
analisis. Pengujian akurasi dilakukan pada
3 level konsentrasi yaitu rendah (0,5
µg/mL); sedang (3 µg/mL) dan tinggi (7
µg/mL). Hasil pengujian akurasi pada
ketiga konsentrasi tersebut memenuhi
persyaratan untuk %diff yang tidak boleh
lebih dari 15% untuk ketiga konsentrasi.
Presisi merupakan ukuran yang
menunjukkan kesesuaian hasil dengan
pengujian berulang. Presisi ditentukan
dengan menghitung nilai koefisien variasi
(%cv) pada tiap-tiap seri konsentrasi. Nilai
%cv diperoleh untuk konsentrasi rendah
yaitu 5,5103%, konsentrasi sedang
3,9082%, dan konsentrasi tinggi 3,8557%.
Hasil ini juga sudah memenuhi persyaratan
presisi yaitu koefisien variasi kurang dari
15%.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
141
E. Penentuan Parameter Farmako-
kinetika
Pengujian secara in vivo
menggunakan hewan uji tikus jantan galur
Wistar dengan tujuan untuk mengetahui
profil farmakokinetika eritromisisn setelah
pemberian kurkumin. Profil
farmakokinetika yang diamati berupa
kadar maksimum (Cmaks), waktu paruh
(t1/2) dan nilai AUC. Pengambilan
cuplikan darah dilakukan pada jam ke-
0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,5; 2; 4; 6 dan 8, darah
dipreparasi kemudian dianalisis untuk
mengetahui kadar eritromisin. Hasil
penentuan kadar eritromisin dalam darah
tikus secara in vivo dalam bentuk nilai
rata-rata pada setiap kelompok hewan
disajikan dalam bentuk grafik, terlihat
pada gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Kurva kadar rata-rata eritromisin dalam
darah pada waktu tertentu untuk kelompok yang
diberikan eritromisin/kontrol (biru) dan kelompok
dengan pemberian eritromisin dan kurkumin/
perlakuan (merah) dengan selang waktu 1 jam.
Berdasarkan cuplikan darah yang
mengandung eritromisin yang telah
diperoleh untuk kelompok kontrol dan
perlakuan dilakukan perhitungan
parameter Cmaks, t1/2 dan AUC untuk
melihat lebih jauh pengaruh pemberian
kurkumin terhadap farmakokinetika
eritromisin dengan pemberian selang
waktu. Hasil perhitungan parameter Cmaks
t1/2 dan AUC eritromisin dapat dilihat
pada tabel III dibawah ini.
Tabel III. Hasil perhitungan parameter
Cmaks, t1/2 dan AUC
Hasil perhitungan parameter
farmakokinetika kemudian dianalisis
secara statistik dengan uji komparatif t
tidak berpasangan untuk melihat nilai
signifikansi perubahan parameter
farmakokinetika antara kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan. Hasil dapat
diperoleh dapat dilihat pada tabel IV.
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 2 4 6 8 10
Kel.yang diberikan Eritromisin
Kel.yang diberikan Eritromisin+Kurkumin
Waktu (jam)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
142
Tabel IV. Uji signifikansi parameter
Cmaks, t1/2 dan AUC
menggunakan uji t tidak
berpasangan.
Berdasarkan hasil statistik nilai
kadar maksimum antara kelompok kontrol
dengan perlakuan tidak berbeda signifikan
yang ditunjukkan oleh hasil uji t (p>0,05).
Hasil statistik ini menunjukkan bahwa
pemberian kurkumin dengan selang waktu
tidak meningkatkan kadar Cmaks
eritromisin tetapi adanya peningkatan
kadar sebesar 1,909%, kemungkinan
inhibisi terhadap enzim sitokrom P450
CYP3A4 masih sedikit. Peningkatan ini
dapat disebabkan oleh adanya interaksi
pada proses metabolisme (Wahyono,
2007). Peningkatan kadar obat pada
plasma menyebabkan waktu yang
diperlukan untuk mencapai kadar
maksimum menjadi lebih lama karena ada
kemungkinan kurkumin dengan pemberian
selang waktu dapat mempengaruhi pada
tingkat absorbsi sehingga kecepatan
absorbsi semakin lambat dan waktu yang
diperlukan obat untuk mencapai kadar
maksimum semakin lama.
Berdasarkan hasil statistik waktu
paruh eliminasi eritromisin terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan
(p<0,05). Nilai waktu paruh obat
tergantung dari kecepatan eliminasi.
Apabila kecepatan eliminasi obat berjalan
lambat, maka waktu paruh obat akan
semakin panjang. Hasil ini menunjukkan
bahwa dengan pemberian selang waktu
terjadi interaksi metabolisme yang dapat
mempengaruhi kecepatan eliminasi dan
memperlama waktu paruh eliminasi
eritromisin. Penelitian lain menunjukkan
hasil yang sama yang menyebabkan
semakin lama waktu paruh eliminasi
rifampisin dengan adanya pemberian
kurkumin (Wahyono, 2007).
Perbedaan signifikan juga terjadi
pada parameter AUC eritromisin. Terjadi
peningkatan nilai AUC sebesar 31,533%.
Secara statistik dari hasil uji t diperoleh
nilai (p<0,05) sehingga terdapat perbedaan
yang signifikan antara AUC kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan. Hasil
serupa juga diperoleh pada penelitian
sebelumnya dimana kurkumin mampu
meningkatkan AUC parasetamol hingga
88,36% secara signifikan (p<0,05)
(Samudra, 2005). Adanya perbedaan yang
signifikan pada nilai AUC kedua
kelompok, karena adanya peningkatan
nilai dari Cmaks dan t1/2 juga
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
143
mengakibatkan nilai AUC meningkat.
Peningkatan ini karena adanya interaksi
pada proses metabolisme oleh inhibisi
kurkumin pada enzim sitokrom P450
(Mach et al, 2010).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisis
data yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Pemberian kurkumin secara oral
dengan selang waktu pemberian
terhadap nilai Cmaks eritromisin
meningkat dari 5,927 g/mL menjadi
6,040 g/mL.
2. Pemberian kurkumin secara oral
dengan selang waktu pemberian
terhadap nilai t1/2 eritromisin
meningkat dari 1,851 jam menjadi
2,873 jam.
3. Pemberian kurkumin secara oral
dengan selang waktu pemberian
terhadap nilai AUC eritromisin
meningkat dari 22,787 g.jam/mL
menjadi 29,972 g.jam/mL.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, A. 2008. Pengaruh penyuluhan
model pendampingan Terhadap
perubahan status gizi anak usia 6
– 24 bulan. Tesis. Progam
Pascasarjana Universitas
Diponegoro, Semarang.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R.
Matzke, B.G. Wells, & L.M.
Posey. 2005. Sixth Edition
Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach. The
Mc Graw Hill Companies Inc,
USA.
Donatus, I. A. 1994. Antaraksi
kurkuminoid-teofilin : I. hubungan
peringkat dosis kurkuminoid
dengan toksisitas akut dan kinerja
toksikokinetika teofilin pada tikus,
Laporan Penelitian Mandiri,
Lembaga Penelitian UGM,
Yogyakarta.
Gunawan, S.G. 2007. Farmakologi dan
Terapi edisi 5. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Harahap, Y. 2009. Validasi Metode
Analisis Rebamipid dalam Plasma
in vitro secara Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu
Kefarmasian. 6: 156-167.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan
Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya. Majalah Ilmu
Kefarmasian. 3: 117 – 135.
Hayun, Harianto & Yenti. 2006. Penetapan
Kadar Tripolidina Hidroklorida dan
Pseudoefedrina Hidroklorida dalam
Tablet Anti Influenza secara
Spektrofotometri Derivatif.
Majalah Ilmu Kefarmasian. 3: 94-
105.
Jambhekar, S.S., & P.J. Breen. 2009. Basic
Pharmacokinetics. Pharmaceutical
Press, London.
Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Diterjemahkan oleh
Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
Salemba Medika, Jakarta.
Kavi, J., J. M. Webberley, J. M. Andrews
& R. Wise. 1998. A comparison of
the pharmacokinetics and tissue
penetration of spiramycin and
erythromycin. Journal of
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 132-144
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
144
antimicrobial chemotherapy. 22
:105-110.
Nurhidayati, L. 2007. Spektrofotometri
Derivatif dan Aplikasinya Dalam
Bidang Farmasi. Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia. 5 : 91-99.
Oetari, R.A. 2006. Perkembangan
Kurkumin sebagai Senyawa Aktif
Curcuma Long L. Dalam Bidang
Farmasi. Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Pasha, S.I., F. Rehman., D. Tirupathi.,
T.Gopi, S. Kumar dan
A.R.Neelesh. 2012. New visible
spectrophotometric method for the
determination of Erythromycin
stearate in bulk drug & their
formulations. An International
Journal of Advances in
Pharmaceutical Sciences. 3 : 92-
97.
Piscitelli, S.C., Rodvold, K.A. 2005. Drug
Interactions in Infectious Diseases
2nd
Edition. Humana Press Inc.
Totowa. NJ
Rahmawati, F., R. Handayani & V. Gosal.
2006. Kajian Retrospektif Interaksi
Obat di Rumah Sakit Pendidikan
Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah
Farmasi Indonesia. 17: 177-183.
Richard, R.E. 2000. Handbook of
Antibiotics.3rd
Edition, Philadelphia.
Rizky, I., Saepudin & Dimas, A. 2010,
Analisis Peresepan Antibiotik Pada
Pasien Anak di Wilayah Kota
Yogyakarta Berdasarkan Data di
Apotek Pada Tahun 2009. Skripsi.
Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
Rusdiana, T., S. Fauzi & A. Sukmadjaja.
2003. Interaksi Farmakokinetik
Kombinasi Obat Parasetamol dan
Fenilpropanolamin Hidroklorida
Sebagai Komponen Obat Flu.
Farmaka. 1: 1-6
Sardjiman. 2000. Synthesis of some new
series of curcumin analouges, anti-
oxidative, anti-inflammatory, anti-
bacterial acitivities and qualitative
structure-activity-relationship.
Disertasi. Gadjah Mada University,
Yogyakarta.
Shargel, L. & A.B.C. Yu. 2005.
Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan. Edisi
ke-2. Airlangga University Press,
Surabaya.
Stockley. 2008. Stockley’s Drug
Interaction 8th
Edition. The
Pharmaceutical Press, London.
Stubss, C., J.M. Haigh, & I. Kaanfer.
1985. Determination of
Erythromycin in Serum and Urine
By High Performance
Chromatography with Ultraviolet
Detection. Journal Pharmaceutical
Sciences. 74: 1126-1128.
Suharjono. 2006. Penentuan Isoform
Sitokrom P450 Potensial Pada
Metabolisme Obat Dengan Model
Obat Gliklazid. Jurnal Farmasi
Indonesia. 3 : 28-37.
Supandi. 2009. Pengaruh Pemberian Air
Perasan Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza D. Dietr) terhadap
Parameter AUC dan Cmaks
Ibuprofen yang diberikan secara
Oral pada Tikus Jantan Galur
Wistar. Fakultas
Wahyono, D., A.R. Hakim &
Purwantiningsih. 2007. Pengaruh
Pemberian Sirup Curcuma Plus®
terhadap Farmakokinetika
Rifampisin pada Tikus. Majalah
Farmasi. 4 : 163-168.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
145
Formulasi Emulgel yang Mengandung Ekstrak
Etanol Kulit Batang Bangkal (Nauclea subdita)
Sebagai Tabir Surya
*Dina Rahmawanty, Dian Fatmawati, Fadlilaturrahmah
Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Ekstrak etanol kulit batang bangkal (Nauclea subdita) memiliki aktivitas sebagai
tabir surya.Ekstrak etanol kulit batang bangkal diformulasikan dalam bentuk sediaan
emulgel untuk kemudahan penggunaannya pada kulit.Penelitian ini bertujuan untuk
memformulasi sediaan emulgel yang mengandung ekstrak etanol kulit batang bangkal
(Nauclea subdita) sebagai tabir surya dan juga menentukan nilai SPF dari ekstrak
etanol dan emulgel kulit batang bangkal.Formulasi emulgel menggunakan natrium
lauril sulfatdan setostearil alkohol (1:9) sebagai surfaktan dan karbopol 12,5% sebagai
gelling agent. Penentuan nilai SPF dari ekstrak etanol dan emulgel kulit batang bangkal
diuji secara in vitro menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
290-320 nm. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit batang bangkal
dengan konsentrasi 250 ppm, 500 ppm dan 750 ppm memiliki nilai SPF sebesar 10, 16
dan 19. Nilai SPF emulgel ekstrak etanol kulit batang bangkal dengan ekstrak sebanyak
0,5 % b/b; 1 % b/b; dan 1,5 % b/b berturut-turut memiliki nilai SPF 11, 18, dan 21.
Kata kunci : Emulgel, In Vitro, Tabir surya, Bangkal (Nauclea subdita)
ABSTRACT
Ethanolic extract from stem bark of bangkal (Nauclea subdita) has an activity as
sunscreen The ethanolic extract of bangkal’s stem bark was formulated in the form of
emulgel for ease of application on the skin. The aims of this study was to formulate
emulgel dosage form that contains ethanolic extract from stem bark of bangkal (Nauclea
subdita) as a sunscreen and determine its SPF value. Emulgel was formulated by using
sodium lauryl sulfate and cetostearyl alcohol (1: 9) as a surfactant and 12,5% karbopol as
gelling agent. Determination of SPF value from ethanolic extract and emulgel of bangkal
stem bark had been tested by using UV-Vis Spectrophotometer at wavelength range 290-
320 nm. The results showed that ethanolic extract from stem bark of bangkal with
concentration 250 ppm, 500 ppm and 750 ppm had SPF value 10, 16 and 19. The SPF
value of emulgel from bangkal’s stem bark extract amount 0,5% w/w; 1% w/w; and 1,5%
w/w had an SPF value 11, 18, and 21.
Keywords : Emulgel, In Vitro, Sunscreen, Bangkal (Nauclea subdita)
I. PENDAHULUAN
Paparan sinar matahari secara
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
kulit terbakar bahkan kanker kulit.Hasil
penelitian Garoli et al. (2009) tentang
usaha pencegahan dan pengurangan
dampak negatif dari sinar matahari
terhadap kulit semakin meningkat dengan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
146
penggunaan kosmetik tabir
surya.Kemampuan tabir surya dalam
mencegah paparan sinar matahari
ditunjukkan oleh nilai sun protecting
factor (SPF). Nilai SPF didefinisikan
sebagai rasio energi UV yang dibutuhkan
untuk memproduksi dosis eritrema
minimal (MED) pada kulit yang dilindungi
dibagi dengan energi UV pada kulit yang
tidak dilindungi tabir surya. Menurut Kale
et al. (2011) pengukuran nilai SPF secara
in vitro memiliki keuntungan tidak
mengekspos subyek manusiaterhadap
radiasiUV yang berbahaya,efektif dari segi
biaya dan dapat memberikan datastatistik
yang signifikan untuk membantu
mengembangkan produk tabir suryayang
efektif.
Kosmetik untuk tabir surya akhir-
akhir ini banyak dikembangan
menggunakan bahan alam karena adanya
anggapan bahwa pemakaian bahan alam
lebih aman digunakan dan mempunyai
efek samping yang relatif sedikit (Leony,
2014). Penelitian Maulina (2014)
menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit
batang bangkal memiliki aktivitas sebagai
tabir surya.Hasil kajian farmakognostik
Nisa (2013) menunjukkan bahwa kulit
batang tanaman bangkal memiliki
kandungan senyawa aktif seperti
flavonoid, saponin, steroid dan tanin.
Bentuk sediaan yang dipilih adalah
emulgel.Emulgel merupakan salah satu
bentuk sediaan kulit yang merupakan
gabungan dari sediaan emulsi dan
gel.Sediaan emulgel disebut juga sebagai
sediaan emulsi yang viskositas fase airnya
ditingkatkan melalui penambahan gelling
agent.Kelebihan dari sediaan emulgel
adalah nyaman digunakan dan mampu
melekat pada waktu yang relatif lama pada
kulit sehingga dapat mendukung
penggunaannya sebagai sediaan tabir surya
(Panwar, 2011).Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk membuat ekstrak etanol kulit
batang bangkal menjadi suatu sediaan
farmasi untuk kemudahan penggunaannya
pada kulit.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah
akuades, ekstrak etanol kulit batang
bangkal (Nauclea subdita), etanol 96 %,
karbopol 940 ®, metil paraben (Brataco),
minyak zaitun, setosteril alkohol
(Brataco), sodium lauril sulfat (Konimex),
propilen glikol (Brataco), propil paraben
(Brataco), dan trietanolamin (Brataco).
B. Pembuatan simplisia kulit batang
bangkal
Pengambilan sampel kulit batang
bangkal dengan cara mengupas 1/3 bagian
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
147
bawah kulit batang dengan ketebalan 2-6
mm. Kulit batang bangkal dicuci bersih di
bawah air mengalir lalu dirajang,
kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 50˚C. Sampel yang sudah kering lalu
dibuat serbuk.
C. Pembuatan ekstrak etanol kulit
batang bangkal
Serbuk kulit batang bangkal sebanyak
200 gram dimasukkan ke dalam bejana
maserasi dan direndam menggunakan
pelarut etanol 96% dengan perbandingan
1:5. Ekstraksi dilakukan selama selama 3 x
24 jam sambil sesekali dilakukan
pengadukan.
D. Penentuan nilai SPF ekstrak secara
in-Vitro
Ekstrak etanol kulit batang bangkal
diencerkan dengan etanol 96% pada
konsentrasi 250 ppm, 500 ppm, dan 750
ppm. Diukur absorbansinya pada panjang
gelombang antara 290-320 nm, dengan
etanol 96% sebagai blanko.
E. Pembuatan Sediaan
Karbopol dicampurkan ke dalam
akuades yang telah dipanaskan (80oC), pH
gel diatur dengan penambahan TEA.Fase
minyak dari emulsi dibuat dengan
melarutkan setosteril alkohol dalam
minyak zaitun (60oC).Fase air dibuat
dengan melarutkan sodium lauril sufat
dalam akuades (70oC).Fase minyak
ditambahkan ke dalam fase air sambil
terus diaduk.Ekstrak etanol kulit batang
bangkal, metil paraben, dan propil
paraben, dilarutkan dalam propilen glikol
dan ditambahkan dalam emulsi.Emulsi
dicampurkan dengan gel karbopol (Priani
et al., 2014).
Tabel I. Formulasi emulgel ekstrak etanol
kulit batang bangkal
F. Evaluasi sediaan
a. Uji organoleptik
Pemeriksaan organoleptis meliputi
pemeriksaan terhadap warna, bau, dan
konsistensi dari sediaan.
b. Uji pH
Satu gram sediaan emulgel
diencerkan dengan akuades hingga 10
Bahan F I
(% b/b)
F II
(% b/b)
F III
(% b/b)
F IV
(% b/b)
Ekstrak
etanol N.
subdita
- 0,5 1 1,5
Minyak
zaitun
20 20 20 20
Sodium
lauril
sulfat
0,75 0,75 0,75 0,75
Setosteril
alkohol
6,75 6,75 6,75 6,75
Propilen
glikol 5 5 5 5
Metil
paraben 0,18 0,18 0,18 0,18
Propil
paraben 0,02 0,02 0,02 0,02
Gel
karbopol
2%
(+TEA)
12,5 12,5 12,5 12,5
Akuades
ad 100 100 100 100
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
148
mL.pH meter dikalibrasi menggunakan
larutan dapar pH 7. Elektroda dicelupkan
ke dalam larutan yang diperiksa (Voigt,
1994).
c. Uji viskositas
Pengukuran dilakukan
menggunakan viskometer Brookfield
dengan spindel nomor 4 dan kecepatan 6,
12, 30, dan 60 rpm (Mayangkara, 2011).
d. Uji daya sebar
Sediaan emulgel sebanyak 0,5 gram
diletakkan di tengah kaca transparan yang
dilapisi kertas grafik dibawahnya, diberi
beban dari ukuran terkecil sampai ukuran
terbesar (50 g, 100 g, 150 g), dibiarkan
selama 1 menit dan diukur diameter daerah
penyebaran emulgel (Shovyana &
Zulkarnain, 2013).
e. Uji daya lekat
Sebanyak 0,5 gram sediaan
dioleskan diatas gelas objek, diatas sediaan
tersebut diletakkan objek gelas lain dan
ditindih dengan beban 1 kg selama 5
menit. Kemudian beban seberat 80 gram
dilepaskan dan dicatat waktunya hingga
kedua objek gelas tersebut lepas
(Shovyana & Zulkarnain, 2013).
G. Penentuan nilai SPF emulgel secara
in-vitro
Emulgel sebanyak 0,5 gram
ditimbang, dan ditambah etanol 96% pada
labu ukur 10 mL. Spektrofotometer UV-
Vis dikalibrasi dengan etanol 96%. Dibuat
kurva serapan larutan uji dalam kuvet,
dengan panjang gelombang antara290-320
nm.Serapan rata-ratanya (Ar) ditetapkan
dengan interval 5 nm.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan nilai SPF ekstrak secara
in-vitro
Senyawa kimia yang berperan
sebagai bahan aktif tabir surya pada kulit
batang bangkal adalah flavonoid. Menurut
penelitian Wolf et al. (2001) senyawa
flavonoid sebagai tabir surya bekerja
dengan cara menyerap sinar yang masuk
ke kulit sehingga dapat mengurangi
kerusakan kulit yang disebabkan oleh sinar
ultraviolet. Senyawa flavonoid mempunyai
gugus kromofor yang mampu menyerap
sinar UV, baik UV A maupun UV B.
Senyawa kromofor dapat terbentuk karena
adanya sistem konjugasi yaitu rantai atom
karbon dengan ikatan rangkap dan tunggal
yang berselang seling. Sistem cincin
terkonjugasi pada senyawa flavonoid
adalah ikatan tangkap C=C dan C=O
(Budimarwanti, 2010).
Tabel II. Nilai SPF Ekstrak Etanol Kulit
Batang Bangkal
Konsentrasi
Nilai
SPF Kemampuan
250 ppm 10 Maksimal (8-15)
500 ppm 16 Ultra (>15)
750 ppm 19 Ultra (>15)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
149
B. Uji Organoleptis
Penambahan ekstrak etanol kulit
batang bangkal berpengaruh terhadap
warna dan konsistensi emulgel.
Penambahan ekstrak etanol kulit batang
bangkal dalam emulgel membuat warna
emulgel semakin gelap mendekati warna
ekstrak dan konsistensi emulgel yang
dihasilkan menjadi semakin kurang kental.
C. Uji pH
Sediaan emulgel dengan pH terlalu
basa menyebabkan kulit bersisik dan
sediaan emulgel dengan pH terlalu asam
akan mengiritasi kulit (Angela, 2012).
Gambar 1. Hasil Uji pH
Hasil pH sediaan telah memenuhi
persyaratan nilai pH kulit yaitu antara 4,5-
6,5 (Ida & Noer, 2012). Hasil analisis
ANOVA memberikan signifikansi 0,00
(p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan ekstrak berpengaruh secara
signifikan terhadap pH sediaan.
D. Uji Viskositas
Viskositas merupakan ketahanan
sediaan akibat gesekan fluida, semakin
tinggi nilai viskositas maka ketahanan
sediaan meningkat sehingga fluida akan
sulit mengalir (Ariyanti, 2010).
Gambar 2. HasilUji Viskositas
Hasil uji viskositas sediaan
emulgel ekstrak etanol kulit batang
bangkal masuk dalam rentang sediaan tabir
surya yang baik yaitu 2000-50000 cPs
(Badan Standarisasi Nasional, 1996).Hasil
analisis ANOVA memberikan signifikansi
0,00 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
dengan penambahan ekstrak viskositas
sediaan menjadi semakin menurun.Ekstrak
yang bersifat asam mampu menghidrolisis
sebagian ikatan partikel dalam sediaan
mengakibatkan penyerapan air dari
lingkungan sekitar sehingga viskositas
sediaan cendrung menurun (Gozali et al.,
2009).
6,43 6,40 6,37
6,33
6,25
6,3
6,35
6,4
6,45
F I (0%) F II
(0,5%)
F III
(1%)
F IV
(1,5%)
Nil
ai p
H
Formula Emulgel
41666,67
28666,67
7916,67 4750,00
0
10000
20000
30000
40000
50000
F I (0%) F II
(0,5%)
F III (1%) F IV
(1,5%)N
ilai
Vis
ko
sita
s (c
Ps)
Formula Emulgel
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
150
E. Uji Daya Sebar
Uji daya sebar bertujuan untuk
mengetahui kemudahan penggunaan
sediaan emulgel pada pengolesan ke
kulit.Sediaan yang baik dapat menyebar
dengan mudah di tempat aksi.
Gambar 3. Hasil Uji Daya Sebar
Syarat daya sebar sediaan
semisolid yang baik yaitu berkisar antara
5-7 cm (Garg et al. 2002). Hasil uji daya
sebar yang memenuhi persyaratan pada
pemberian beban 50 g adalah formula III
dan IV, pada beban 100 g dan 150 g
adalah formula II, III dan IV.Hasil analisis
ANOVA memberikan nilai signifikansi
0,00 (p<0,05) sehingga penambahan
ekstrak etanol kulit batang bangkal
berpengaruh secara signifikan terhadap
daya sebar emulgel yang dihasilkan.
Penambahan ekstrak dalam sediaan
menghasilkan daya sebar yang semakin
besar.Hal ini disebabkan karena
penambahan ekstrak dalam sediaan
mengakibatkan viskositas sediaan menjadi
semakin menurun.Viskositas berbanding
terbalik dengan daya sebar
sediaan.Semakin kecil viskositas maka
semakin besar daya sebar sediaan.
F. Uji Daya Lekat
Daya lekat berhubungan dengan
lamanya kontak antara sediaan dengan
kulit dan kenyamanan penggunaan
sediaan.Sediaan yang baik mampu
menjamin waktu kontak dengan kulit
sehingga dapat memberikan efek yang
optimal.Tidak ada persyaratan khusus
mengenai daya lekat sediaan semipadat,
namun sebaiknya daya lekat sediaan
semipadat adalah lebih dari 1 detik
(Afianti & Murrukmihadi, 2015).Hasil uji
daya lekat emulgel ekstrak ekstrak etanol
kulit batang bangkal memiliki daya lekat
yang baik.
Gambar 4. Hasil Uji Daya Lekat
Hasil analisis ANOVA
memberikan nilai signifikansi 0,00
(p<0,05) sehingga penambahan ekstrak
etanol kulit batang bangkal berpengaruh
secara signifikan terhadap daya lekat
4,1 4,3
5,0
6,1
4,5 5,1
5,5
6,3
4,7
5,4 5,9
6,6
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
F I (0%) F II (0,5%) F III (1%) F IV
(1,5%)
Day
a S
ebar
(cm
)
Formula Emulgel
50 g
100
g150
g
29,8767
18,2200 14,2333 11,9800
0
10
20
30
40
F I (0%) F II (0,5%) F III (1%) F IV (1,5%)
Day
a L
ekat
(det
ik)
Formula Emulgel
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
151
sediaan emulgel yang dihasilkan, dengan
penambahan ekstrak daya lekat sediaan
menjadi semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena penambahan ekstrak
mengakibatkan viskositas sediaan menjadi
semakin menurun.Viskositas berbanding
lurus dengan daya lekat sehingga semakin
kecil viskositas maka semakin kecil pula
daya sebar sediaan.
G. Penentuan Nilai SPF Emulgel
Secara In Vitro
Hasil penelitian menunjukkan nilai
SPF sediaan emulgel berbanding lurus
dengan konsentrasi ekstrak, semakin besar
konsentrasi ekstrak yang ditambahkan
akan meningkatkan nilai SPF. Nilai SPF
dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa
aktif yang terkandung di dalam ekstrak.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka
semakin banyak senyawa yang dapat
menyerap sinar ultraviolet yang masuk ke
dalam kulit sehingga nilai SPF semakin
tinggi.Menurut Gustianti et al. (2015)
basis dan sediaan emulgel menggunakan
minyak zaitun sebagai fase minyak
memiliki nilai SPF tertinggi, sehingga
formula I memiliki kemampuan sebagai
tabir surya karena menggunakan minyak
zaitun dalam formula.
Tabel III. Nilai SPF Ekstrak Etanol Kulit
Batang Bangkal
Formula Nilai SPF Kemampuan
F I (0 % b/b
ekstrak) 2 Minimal (2-4)
F II (0,5 % b/b
ekstrak) 11 Maksimal (8-15)
F III (1 % b/b
ekstrak) 18 Ultra (>15)
F IV (1,5 %
b/b ekstrak) 21 Ultra (>15)
IV. KESIMPULAN
Hasil pengujian menunjukkan
bahwa ekstrak etanol kulit batang bangkal
dengan konsentrasi 250 ppm, 500 ppm dan
750 ppm memiliki kemampuan sebagai
tabir suryadengan nilai SPF berturut-turut
sebesar 10, 16 dan 19.Emulgel tabir surya
ekstrak etanol kulit batang bangkal
memiliki kemampuan sebagai tabir surya
dengan konsentrasi ekstrak 0,5 % b/b
memiliki nilai SPF 11termasuk tabir surya
maksimal, 1 % b/b memiliki nilai SPF
18termasuk tabir surya ultra, dan 1,5 % b/b
memiliki nilai SPF 21 termasuk tabir surya
ultra.
DAFTAR PUSTAKA
Afianti, H.P. & M. Murrukmihadi. 2015.
Pengaruh Variasi Kadar Gelling
Agent HPMC Terhadap Sifat Fisik
Dan Aktivitas Antibakteri Sediaan
Gel Ekstrak Etanolik Daun Kemangi
(Ocimum basilicum L. Forma
Citratum Back.) Majalah
Farmasetik. 11(2): 307-315.
Angela, L. 2012. Aktivitas Antioksidan dan
Stabilitas Fisik Gel Anti-Aging Yang
Mengandung Ekstrak Air Kentang
Kuning (Solanum tuberosum L.).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 145-152
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
152
Skripsi Universitas Indonesia,
Depok.
Ariyanti, E.S. 2010.Otomatisasi
Pengukuran Koefisien Viskositas Zat
Cair Menggunakan Gelombang
Ultrasonik. Skripsi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim,
Malang.
Budimarwanti, C. S. H. 2010. Efektivitas
Katalis Asam Basa pada Sintesis 2-
hidroksikalkon, Senyawa yang
Berpotensi sebagai Zat Warna.Jurdik
Kimia FMIPA UNY, Yogyakarta.
Garg, A., D. Aggrawal., S. Garg., & A.K.
Singla. 2002. Spreading of Semisolid
Formulation : An Update.
Pharmaceutical Technology, India.
Garoli, D., M.G. Pelizzo, P. Nicolossi, A.
Peserico, E. Tonin, & M. Alaibac.
2009. Effectiveness of Different
Substrate Materials for In Vitro
Sunscreen Test. Journal of
Dermatological Science. 56(2): 89-
98.
Gozali, D., M. Abdassah, & S.
Lathiefah.2009. Formulasi Krim
Pelembab Wajah yang Mengandung
Tabir Surya Nanopartikel Zink
Oksida Salut Silikon, Jurnal
Farmaka.7(1).
Ida, N., & S. F. Noer. 2012. Uji Stabilitas
Fisik Gel Ekstrak Lidah Buaya (Aloe
Vera L.). Majalah Farmasi Dan
Farmakologi. 16 (2) : 79 – 84.
Kale, S., S. Bhandare, M. Gaikwad, V.
Urunkar, & A. Rajmane. 2011.
Formulation &In Vitro Evaluation
For Sun Protection Factor Of Lutein
Ester Extracted. Research Journal of
Pharmaceutical Sciences.2(3).
Leony, B. 2014.Pengaruh Pemberian
Ekstrak Gambir Terhadap Sifat Fisik
dan Nilai Sun Protection Factor
(SPF) Pada Hasil Jadi Krim Tabir
Surya.e-Journal. 3(1): 209-216.
Maulina, R. 2014. Penentuan Nilai Sun
Protecting Factor (SPF) dan
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol
Kulit Batang Bangkal (Nauclea
subdita) Secara In Vitro.Skripsi
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Mayangkara, J. 2011. Pengaruh Etanol
dalam Asam Oleat Terhadap
Penetrasi Liposom Transdermal
Glukosamin Menggunakan Difusi
Franz. Skripsi Universitas Indonesia,
Depok.
Nisa, H. 2013. Kajian Farmakognostik
Kulit Batang Pohon Bangkal
(Nauclea subdita (Kohrt.)
Steud.).Skripsi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.
Panwar, A.S. 2011. Emulgel: A Review.
Asian Journal of Pharmacy and Life
Science.1(3): 334.
Priani, S. E., H. Humanisya, & F.
Darusman. 2014. Development of
Sunscreen Emulgel Containing
Cinnamomum burmannii Stem Bark
Extract. International Journal of
Science and Research.3(12): 2338-
2341.
Shovyana, H. H & Zulkarnain, A. K. 2013.
Stabilitas Fisik Dan Aktivitas Krim
W/O Ekstrak Etanolik Buah
Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa (Scheff.) Boerl,)
Sebagai Tabir Surya.Traditional
Medicine Journal.18 (2): 109-117.
Wasitaatmadja, S. M. 1997.Penuntun Ilmu
Kosmetik Medik. Penerbit.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Wolf, R., D. Wolf, P. Morganti, & V.
Ruocco. 2001. Sunscreen. Clinics in
Dermatology.19: 252- 459.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
153
Penentuan Kadar Fenolik Total dan Flavonoid
Total, serta Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol
Biji Tiga Spesies Tanaman Penghasil Gaharu:
Aquilaria microcarpa, Aquilaria malaccensis, dan
Aquilaria beccariana
Beny Rahmanto1, Wawan Halwany
1, Fajar Lestari
1, Khoerul Anwar
2*, Liling
Triyasmono2, Muhammad Ikhwan Rizki
2, Destria Indah Sari
2
1Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Banjarbaru
2Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Kalimantan Selatan merupakan habitat tumbuhan penghasil gaharu antara lain
jenis Aquilaria microcarpa, A. malaccensis dan A. beccariana. Pada tanaman penghasil
gaharu, biji dari buah gaharu belum banyak dimanfaatkan. Biji umumnya memiliki
kandungan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antioksidan. Tujuan
penelitian ini yaitu mengetahui kadar senyawa fenolik total, flavonoid total, dan
aktivitas antioksidan ekstrak etanol biji gaharu spesies A. microcarpa, A. beccariana,
dan A. malaccensis. Serbuk biji gaharu diekstraksi dengan etanol 70% secara maserasi.
Ekstrak ditentukan kadar fenolik total dengan metode Folin-Ciocalteau dan kadar
flavonoid total menggunakan metode kolorimetri. Aktivitas antioksidan diuji dengan
metode DPPH. Kadar fenolik total pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.
malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 0,384 µg/mg; 0,445 µg/mg; dan
0,410 µg/mg. Kadar flavonoid total pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.
malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 10,18 µg/mg; 11,67 µg/mg; dan
4,97 µg/mg. Aktivitas antioksidan (IC50) pada ekstrak etanol biji A. microcarpa, A.
malaccensis dan A. beccariana berturut-turut sebesar 114,17 ppm; 424,52 ppm; dan
193,91 ppm. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kadar fenolik total, flavonoid total
dan aktivitas antioksidan terbesar pada ekstrak etanol biji A. malaccensis.
Kata kunci: A. microcarpa, A. malaccensis, A. beccariana, biji, gaharu, fenol, flavonoid
ABSTRACT
Agarwood is widely available in South Kalimantan, such as Aquilaria microcarpa,
A. malaccensis and A. beccariana. Agarwood seeds from the fruit are not widely used.
Seeds generally contain secondary metabolite, compounds that have antioxidant activity.
The aims of this study were to determine total phenolic, total flavonoids and antioxidant
activity of ethanol extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds.
Agarwood seed powder was extracted with 70% ethanol by maceration. Total phenolic
content was determined by Folin-Ciocalteau method and total flavonoid content using
colorimetric methods. The antioxidant activity assay was used DPPH. Total phenolic
content in ethanolic extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were
0.384 µg/mg; 0.445 µg/mg; and 0.410 µg/mg respectively. Levels of total flavonoids in
ethanolic extract of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were 10.18
µg/mg; 11.67 µg/mg; and 4.97 µg/mg. The antioxidant activity (IC50) in ethanolic extract
of A. microcarpa, A. malaccensis and A. beccariana seeds were 114.17 ppm; 424.52 ppm;
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
154
and 193.91 ppm. Ethanolic extract of A. malaccensis seed contained level of total phenolic,
flavonoids, and antioxidant activity higher than seeds of A. microcarpa and A. beccariana.
Keywords: A. microcarpa, A. malaccensis, A. beccariana, seeds, agarwood, phenolic,
flavonoids
I. PENDAHULUAN
Bahan dari alam turun-temurun
telah digunakan di Indonesia untuk
mengatasi berbagai penyakit. Obat yang
berasal dari alam relatif aman untuk
digunakan (Elfahmi et al., 2014).
Metabolit sekunder yang ada di dalam
bagian dari tanaman memiliki banyak
khasiat dalam mengatasi berbagai
penyakit, terutama untuk penyakit
degeneratif seperti hiperlipidemia dan
diabetes melitus (Heinrich et al., 2012).
Efek sinergisme antar senyawa metabolit
sekunder menyebabkan kemampuan bahan
alam dapat melebihi kemampuan obat
sintesis yang hanya terdiri dari senyawa
tunggal (Bone & Mills, 2013). Salah satu
bahan alam yang terdapat di Indonesia
yang dapat digunakan sebagai bahan obat
yaitu tanaman gaharu .
Tanaman gaharu (agarwood)
merupakan tanaman genus Aquilaria yang
terdiri dari berbagai spesies yang tersebar
di seluruh dunia. Beberapa spesies gaharu
yang banyak terdapat di Kalimantan
Selatan yaitu tanaman gaharu seperti A.
beccariana, A. microcarpa, dan A.
malaccensis. Pada tanaman penghasil
gaharu, bagian batang yang sudah
mengandung gaharu memiliki nilai jual
tinggi. Bagian tanaman lain seperti biji
dari buah gaharu belum banyak
dimanfaatkan. Biji umumnya memiliki
kandungan senyawa metabolit sekunder
yang memiliki aktivitas antioksidan kuat.
Pada biji delima (Punica granatum)
terkandung tanin terhidrolisis yang
diketahui mengandung asam elagik dengan
kemampuan kuat sebagai antioksidan
(Pedriali et al., 2010). Biji anggur (Vitis
vinifera) mengandung flavonoid mencapai
4-5% termasuk kaempferol-3-O-glukosida,
kuersetin-3-O-glukosida, kuersetin, dan
mirisetin. Golongan fenol yang terkandung
yaitu proantosianidin, asam galat, katekin,
epikatekin, dan epikatekin-3-O-galat
(Nassiri-Asl & Hosseinzadeh, 2009).
Radikal bebas merupakan molekul
yang memiliki satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan di kulit valensi
terluarnya. Radikal bebas pada konsentrasi
tinggi dapat menyebabkan kerusakan
struktur sel (Das et al., 2010). Beberapa
penyakit yang disebabkan radikal bebas
diantaranya hipertensi, diabetes melitus,
kanker, alzheimer, jantung koroner,
penyakit ginjal, dan fibrosis. Radikal bebas
yang terbentuk dalam tubuh dapat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
155
dinetralkan oleh antioksidan (Das et al.,
2010). Antioksidan merupakan molekul
yang dapat mencegah terjadinya stres
oksidatif. Senyawa golongan fenolik dan
flavonoid umumnya memiliki kemampuan
antioksidan (Veskoukis et al., 2012). Pada
bagian biji gaharu diduga kuat
mengandung senyawa fenolik dan
flavonoid, sehingga berpotensi digunakan
sebagai antioksidan. Pada bagian biji juga
tidak pernah dimanfaatkan. Aktivitas
antioksidan dari suatu bahan alam
umumnya berbanding lurus dengan
keberadaan senyawa fenolik dan flavonoid
yang terdapat dalam suatu tumbuhan.
Semakin tinggi konsentrasi kadar senyawa
fenolik dan flavonoid yang terkandung,
maka aktivitas dalam menghambat radikal
bebas juga semakin besar (Rumayati et al.,
2014).
Senyawa metabolit sekunder pada
tanaman dengan genus yang sama
umumnya memiliki kandungan senyawa
yang sama. Namun, kadar senyawa
metabolit sekunder yang terkandung di
dalam tanaman satu genus bervariasi.
Perbedaan kadar senyawa aktif akan
mempengaruhi aktivitas farmakologi di
dalam tubuh. Pada penelitian ini
digunakan biji dari tiga jenis spesies
gaharu yaitu A. microcarpa, A.
malaccensis dan A. beccariana. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui
kandungan total flavonoid, total fenolik,
dan aktivitas antioksidan dari ekstrak
etanol biji gaharu dari tiga spesies yang
berbeda. Manfaat penelitian ini diharapkan
dapat diketahui biji pada spesies tanaman
gaharu yang memiliki aktivitas antioksidan
yang paling kuat, sehingga masyarakat
dapat memanfaatkan biji gaharu dengan
nilai jual yang tinggi. Aktivitas
antioksidan juga dapat dijadikan dasar
dalam mengembangan obat antihiperlipid
dan antidiabetes.
BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan
adalah biji tanaman gaharu dari spesies A.
beccariana, A. microcarpa, dan A.
malaccensis. Bahan-bahan lainnya yaitu
akuades, etanol, kloroform, HCl pekat,
larutan DPPH 1 mM, asam galat,
kuersetin, pereaksi Follin Ciocalteu 10%,
Na2CO 2%, larutan heksametilentetramina
(HMT) 0.5%, aseton, 10% AlCl3, asam
asetat glasial, dan etil asetat.
Alat - alat yang digunakan adalah
neraca analitik, penggilingan, batang
pengaduk, tabung reaksi, sudep, gelas
piala, erlenmeyer, kertas aluminium foil,
corong, pipet volumetrik, pipet mikro,
cawan porselin, oven, eksikator, vacuum
evaporator, cawan porselin, penangas air,
corong pisah, shaker, kapas, labu ukur,
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
156
biotek's epoch micro -volume
spectrophotometer system, dan
spektofotometer UV-VIS.
B. Pengolahan Sampel
biji gaharu yang dikumpulkan
selanjutnya dibersihkan dari benda-benda
asing dari luar (disortasi basah) dan dicuci
bersih di bawah air mengalir. Hasil
rajangan dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 50˚C, setelah sampel kering
dipisahkan dari benda-benda asing
(disortasi kering). Dilakukan pengubahan
bentuk menjadi bentuk serbuk dengan
cara dihaluskan dengan menggunakan
blender, lalu diayak dengan pengayak no.
25. Serbuk halus yang diperoleh tersebut
ditimbang dan disimpan dalam wadah
bersih.
C. Pembuatan Ekstrak
Ekstraksi biji gaharu dilakukan
dengan cara perendaman serbuk dengan
nisbah sampel pelarut : etanol 70% sama
dengan 1:10. Simplisia direndam dalam
pelarut selama 3 hari sambil sesekali
diaduk. Setiap 24 jam disaring, filtrat yang
diperoleh dikumpulkan dan pelarut diganti
dengan yang baru dengan jumlah yang
sama dengan yang pertama. Filtrat yang
diperoleh dipisahkan dari residu dengan
menggunakan kertas Whatman nomor 1.
Ekstrak cair yang diperoleh, dipekatkan
dengan vacuum rotary evaporator dengan
suhu 450 C. Kemudian diuapkan di atas
waterbath sampai diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak kental dimasukkan ke dalam
wadah dan disimpan di dalam lemari
pendingin.
D. Uji Kandungan Fenolik Total
Kandungan senyawa fenolik
dianalisis dengan menimbang 100 mg
ekstrak dimasukkan ke dalam labu 10 mL,
dilarutkan dengan masing-masing pelarut
sampai tanda batas. Diambil 0,5 ml lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
tambahkan 0,75 mL reagen Folin-
Ciocalteau 10%. Campuran didiamkan
selam 5 menit ditambahakan dengan 2 mL
Na2CO3 2% dan divortex kemudian
didiamkan selama 15 menit lakukan
replikasi sebanyak 3x. Dilakukan
pembacaan absorbansi dengan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum. Blanko yang
digunakan terdiri atas semua pereaksi yang
digunakan tetapi tidak mengandung asam
galat ataupun sampel uji. Digunakan asam
galat sebagai baku induk atau senyawa
marker.
E. Uji kandungan flavonoid total
Kandungan senyawa flavonoid
dianalisis dengan cara ditimbang seksama
50 mg ekstrak kemudian dilarutkan ke
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
157
dalam 10 mL pelarut. Diambil 1 ml lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 1 mL AlCl3 2% dan
ditambahkan 8 mL asam asetat glasial 5%
lakukan replikasi sebanyak 3x. Dilakukan
pembacaan absorbansi dengan
spektrofotomtri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum. Blanko yang
digunakan terdiri atas semua pereaksi yang
digunakan tetapi tidak mengandung
kuarsetin ataupun sampel uji. Kuersetin
digunakan sebagai senyawa standar.
F. Uji Antiksidan
Larutan ekstrak biji A.microcarpa
dibuat dengan menimbang 100 mg sampel
yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga
volume 10 mL, didapat larutan 10.000
ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,1; 0,2
; 0,3; dan 0,5 mL dimasukkan ke dalam
labu ukur 10 mL, masing masing di
tambah metanol p.a. hingga tanda batas.
Didapat konsentrasi 100, 200, 300, dan
500 ppm.
Larutan ekstrak biji A.malacensis
dibuat dengan menimbang 100 mg sampel
yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga
volume 10 mL, didapat larutan 10.000
ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,05;
0,1 ; 0, 15; 0,2 dan 0,25 mL dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL, masing masing
di tambah metanol p.a. hingga tanda batas.
Didapat konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan
250 ppm.
Larutan ekstrak biji A.beccariana
dibuat dengan menimbang 100 mg sampel
yang dilarutkan dalam metanol p.a. hingga
volume 10 mL, didapat larutan 10.000
ppm. Dari larutan tersebut diambil 0,05;
0,1 ; 0, 15; 0,2 dan 0,25 mL dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL, masing masing
di tambah metanol p.a. hingga tanda batas.
Didapat konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan
250 ppm.
Pada masing-masing sampel
sebanyak satu mL larutan DPPH 0,4 mM
ditambahkan dengan setiap konsentrasi
larutan sampel sebanyak 4 mL. Larutan
didiamkan di tempat gelap selama 20
menit. Larutan dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang maksimal.
Dibuat larutan blanko DPPH.
Larutan DPPH 0,4 mM diambil 1 mL
selanjutnya ditambahkan metanol pa
sebanyak 4 mL (pelarut sampel). Larutan
didiamkan di tempat gelap selama 20
menit. Larutan dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang maksimal.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penetapan kadar fenol total
Penentuan kadar fenol total
dilakukan dengan metode Folin-
Ciocalteau.. Reagen folin – Ciocalteau
membentuk larutan kompleks berwarna
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
158
biru tua apabila direaksikan dengan larutan
yang mengandung senyawa fenolat pada
suasana basa. Komplek berwarna biru tua
yang akan ditentukan absorbansinya
secara spektroskopi (Zulharmitta et al,
2010). Kadar fenol total disajikan pada
Tabel I.
Tabel I. Hasil penentuan kadar fenol total
dari ekstrak biji gaharu
Sampel Absorbansi
Sampel
Fenol
Total
(µg/mg)
Rata-
Rata
(µg/mg)
A. Microcarpa 0,715 0,382
0,384 0,720 0,385
0,718 0,384
A. malaccensis 0,809 0,443
0,445 0,811 0,445
0,813 0,446
A. beccariana 0,757 0,409
0,410 0,759 0,411
0,760 0,412
Hasil penelitian menunjukkan
kadar fenol total tertinggi didapat pada
ekstrak etanol biji A. malaccensis. Variasi
kadar fenol antar spesies pada biji gaharu
juga tidak terlalu besar. Pengujian total
fenol sangat tergantung pada struktur
kimianya. Senyawa fenol yang mempunyai
gugus fungsi hidroksil yang banyak atau
dalam kondisi bebas (aglikon) akan
dihasilkan kadar total fenol yang tinggi
dan begitu juga sebaliknya (Widyawati et
al., 2010). Terdapat perbedaan kadar
antara kadar fenol total pada biji dengan
daun menurut beberapa literatur. Kadar
fenol total ekstrak metanol pada daun
gaharu jenis A. malaccensis sebesar 31,71
µg/mg (Wil et al., 2014). Senyawa fenol
secara umum berbeda pada masing-masing
bagian tanaman. Pada banyak tanaman,
senyawa fenol tersebar pada daerah daun
sehingga kandungannya besar. Meskipun
demikian, penelitian ini dapat dijadikan
perbandingan senyawa fenol yang terdapat
pada biji dan daun tanaman gaharu. Kadar
flavonoid total dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Kadar flavonoid total ekstrak
biji gaharu
Sampel Absorbansi
Sampel
Flavonoid
Total
(µg/mg)
Rata-
Rata
(µg/mg)
B. Microcarpa 0,670 10,41
10,18 0,645 10,02
0,652 10,13
B. malaccensis 0,750 11,64
11,67 0,795 12,33
0,712 11,06
B. beccariana 0,328 5,14
4,97 0,302 4,74
0,322 5,04
Kadar flavonoid total yang
diperoleh dinyatakan dalam % (b/b).
Kadar flavonoid total pada ketiga ekstrak
biji gaharu menunjukkan kadar terbesar
pada biji spesies A. malaccensis. Kadar
flavonoid total terkecil pada biji spesies A.
beccariana. Terdapat perbedaan yang
cukup besar kadar flavonoid total antara
biji A. microcarpa atau A. malaccensis
dengan A. beccariana. Perbedaan kadar
flavonoid total disebabkan karena adanya
perbedaan spesies meskipun memiliki
genus yang sama.
Uji antioksidan menggunakan
metode DPPH. Hasil pengujian disajikan
pada tabel III, IV, dan V.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
159
Tabel III. Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak biji A. microcarpa
Tabel IV. Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak biji A. malaccensis
Tabel V. Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak biji A. beccariana
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa ekstrak biji A.
malaccensis memiliki aktivitas antioksidan
paling kuat dengan IC50 sebesar 114,17
ppm, sedangkan paling lemah yaitu
ekstrak biji A. microcarpa dengan IC50
sebesar 424,52 ppm. Senyawa fenol dan
flavonoid yang terdapat pada ekstrak biji
gaharu berkontribusi terhadap aktivitas
antioksidan. Kemampuan aktivitas
antioksidan ditentukan pada golongan
flavonoid yang terkandung dalam sampel.
Semakin banyak gugus hidroksi bebas
pada flavanoid yang dapat
menyumbangkan hidrogen maka semakin
efektif sebagai antioksidan (Rahayu et al,
2013).
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kadar fenolik total pada ekstrak etanol
biji A. microcarpa, A. malaccensis dan
A. beccariana berturut-turut sebesar
0,384 µg/mg; 0,445 µg/mg dan 0,410
µg/mg.
2. Kadar flavonoid total pada ekstrak
etanol biji A. microcarpa, A.
malaccensis dan A. beccariana
berturut-turut sebesar 10,18 µg/mg;
11,67 µg/mg; dan 4,97 µg/mg.
3. Aktivitas antioksidan berdasarkan
Inhibitory Concentration 50 (IC50)
pada ekstrak etanol biji A. microcarpa,
A. malaccensis dan A. beccariana
berturut-turut sebesar 424,52 ppm,
114,17 ppm dan 193,91 ppm.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian , Hal: 153-160
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
160
DAFTAR PUSTAKA
Bone, K. and Mills, S. 2013. Principles
and Practice of Phytotherapy,
Second Edition, Churchill
Livingstone Elsevier, New York.
Das A., S, Anisur R. M. and A. K. Ghosh.
2010. Free Radicals and Their
Role in Different Clinical
Conditions. International Journal
of Pharma Sciences and Research
(IJPSR). 1. (3)185-192.
Elfahmi. Woerdenbag, H. Kayser, O.
2014. Jamu: Indonesian traditional
herbal medicine towards rational
phytopharmacological use, Journal
of Herbal Medicine, 4 (2014), 51–
73
Nassiri-Asl, M. and Hosseinzadeh, H.
2009. Review of the
Pharmacological Effects of Vitis
vinifera (Grape) and its Bioactive
Compounds. Phytother. Res. 23,
1197–1204
Pedriali, C.A. A.U. Fernandes P.A.D.
Santos M.M.D. Silva, D. Severino,
& M.B.D. Silva. 2010. Antioxidant
Activity, Cito- and Phototoxicity of
Pomegranate (Punica granatum L.)
Seed Pulp Extract. Ciênc. Tecnol.
Aliment., Campinas. 30 (4) : 1017-
1021.
Rahayu. D. S, Dewi. K, dan Enny. F,
2013. Penentuan Aktivitas
Antioksidan dari Ekstrak Etanol
Daun Ketapang (Terminalia
catappa L) dengan Metode 1,1-
Difenil-2-Pikrilhidrazil (DPPH).
Labortorium Kimia Organik
Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Diponegoro
Rumayati1, N. Idiawati, L. Destiarti. 2014.
Uji Aktivitas Antioksidan, Total
Fenol Dan Toksisitas Dari Ekstrak
Daun Dan Batang Lakum
(Cayratia trifolia (L) Domin).
JKK.3: 30-35
Widyawati, P.S., H. Wijaya, P.S.
Harjosworo & D.Sajuthi. 2010.
Pengaruh Ekstraksi Dan
Fraksinasi Terhadap Kemampuan
Menangkap Radikal Bebas Dpph
(1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil)
Ekstrak Dan Fraksi Daun Beluntas
(Pluchea indica Less). Seminar
Rekayasa Kimia Dan Proses.
Wil, N.N.a.N., N.A.M. Omar, N.A.
Ibrahim1 & S.N. Tajuddin. 2014.
In vitro Antioxidant Activity And
Phytochemical Screening
ofAquilaria malaccensis leaf
extracts. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research.
6(12):688-693
Zulharmitta, D. Elrika & H. Rivai. 2010.
Penentuan Pengaruh Jenis Pelarut
Ekstraksi Terhadap Perolehan
Kadar Senyawa Fenolat Dan Daya
Antioksidan Dari Herba Miniran
(Phyllanthus niruri L.). Jurnal
Farmasi Higea. 2( 1).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
161
Karakteristik Fisikokimia Dispersi Padat Ofloksasin
dengan Pembawa PEG 6000 dalam
Sistem Biner dan Terner
*Prima Happy R.1, Suwaldi
2, Akhmad Kharis
2
1Program Studi Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat
2Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Ofloksasin (OFX) adalah antimikroba golongan fluorokuinolon yang memiliki
spektrum luas. Senyawa ini memiliki sifat zwitter ion yang memiliki kelarutan rendah
pada kondisi pH small intestine, sehingga memerlukan peningkaan kelarutan dan
disolusi dengan sistem dispersi padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik fisikokimia dispersi padat ofloksasin dalam sistem biner dan terner.
Formula dispersi padat sistem terner disusun berdasarkan desain faktorial 23 dengan
komposisi pembawa polietilenglikol 6000 (PEG 6000), komposisi natrium lauril sulfat
(SLS) dan metode pembuatan (campuran fisik dan penguapan pelarut) sebagai variable
bebas (X). Efisiensi disolusi pada menit 60 sebagai variable tergantung (Y), dan
disiapkan sistem biner dengan perbandingan yang sama tanpa penambahan SLS.
Kandungan Ofloksasin dibuat konstan 100 mg.Dispersi padat Ofloksasin dengan
metode penguapan pelarut menunjukkan kelarutan dan disolusi yang lebih tinggi dari
Ofloksasin murni dan campuran fisiknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan laju disolusi dengan urutan sebagai berikut: OFX-PEG 6000-SLS > OFX-
PEG 6000.
Kata Kunci : Ofloksasin (OFX), PEG 6000, dispersi padat, sistem biner dan terner,
disolusi
ABSTRACT
Ofloxacin is a synthetic fluoroquinolone broad spectrum antimicrobial agent. These
compounds are zwitter ion which has a low solubility at the pH conditions in the small
intestine, thus requiring an increase in solubility and dissolution of solid dispersion
systems. This study aims to determine the physicochemical characteristics of the solid
dispersion of Ofloxacin in binary and ternary systems. Ternary solid dispersion systems
were prepared using 23 factorial design with the amount of hydrophilic carriers PEG 6000,
the amount of sodium lauryl sulfate (SLS), and method of preparations (physical mixture
and solvent evaporation) as independent variables (X). Dissolution efficiency in 60 minute
(DE60) was chosen as dependent variables (Y) and binary systems were prepared by the
same comparison without SLS. The amount of Ofloxacin (100 mg) constant. Ofloxacin
solid dispersions with solvent evaporation showed higher solubility and dissolution than
pure Ofloxacin and their physical mixtures. The general trend indicated that there was an
increase in dissolution rate for solid dispersions prepared in following order : OFX-
PEG6000-SLS > OFX-PEG6000.
Keywords : Ofloxacin (OFX), PEG 6000, Solid dispersion, biner and terner systems,
dissolution
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
162
I. PENDAHULUAN
Senyawa ofloksasin (OFX) bertindak
sebagai zwitter ion atau senyawa yang bersifat
amfoter, memiliki gugus fungsi yang bersifat
asam dan bersifat basa sekaligus. Pada pH
netral zwitter-ion akan bermuatan positif
(kation) maupun bermuatan negatif (anion).
Kelarutan di dalam air senyawa yang bersifat
zwitter ion akan minimal pada titik iso
elektrik, sehingga tidak menguntungkan bagi
kebanyakan senyawa dengan pemberian
peroral absorpsi terjadi pada pH fisiologis
(Lipinski, 2007). Ofloksasin bersifat zwitter
ion pada kondisi pH small intestine yang
merupakan tempat utama terjadinya proses
absorpsi karena memiliki permukaan yang
lebih luas dan membran yang lebih permeabel
dibandingkan bagian lainnya.
Dalam rangka meningkatkan kelarutan
dan disolusi dari senyawa OFX, maka
kombinasi baru meliputi OFX, polimer larut
air, dan surfaktan akan diteliti. Dalam hal ini,
penambahan surfaktan dapat meningkatkan
kecepatan disolusi obat yang sukar larut dalam
air (Wulff dkk., 1996). Beberapa variasi jenis
dan komposisi pembawa dikembangkan untuk
meningkatkan kelarutan dan disolusi yang
rendah. Pemilihan polimer dan surfaktan
didasarkan atas kemampuan pembawa untuk
melarutkan obat dalam keadaan padat dan
kemampuan meningkatkan kelarutan dan
disolusi obat.
Oleh karena itu, PEG 6000 digunakan
sebagai polimer yang larut air karena memiliki
kemampuan dalam mendispersikan senyawa
obat secara molekular. Sedangkan surfaktan
yang dipilih sebagai komponen ketiga dalam
sistem terner adalah Natrium Lauril Sulfat
(SLS) karena memiliki aksi solubilisasi yang
baik untuk beberapa obat (Serajuddin, 1999;
Yuli, 2003).
II. BAHAN DAN METODE
A. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah
timbangan analitik, pH meter, seperangkat
alat uji disolusi, Stirer, Ultrasonikator,
Spektrofotometri UV/Visible (Hitachi).
Bahan-bahan yang digunakan adalah
Ofloksasin (PT. Nufarindo), Natrium lauril
sulfat (Brataco), Polietilenglikol 6000
(Brataco). Bahan dalam pharmaceutical
grade. Etanol dalam derajat pro analisis.
B. Desain Faktorial
Sistem terner dispersi padat OFX
dipersiapkan menggunakan desain
faktorial 23
(3 faktor dan 2 level), dimana
faktor yang dioptimasi adalah :
X1 : jumlah pembawa larut air PEG 6000
(250-350mg)
X2 : jumlah surfaktan SLS (25-75mg)
X3 : metode pembuatan dispersi padat
(pencampuran fisik-penguapan pelarut)
Sistem biner dispersi padat dipersiapkan
tanpa penambahan surfaktan (sebagai
perbandingan). Rancangan formula terlihat
pada tabel I.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
163
Tabel I. Formula Dispersi Padat OFX PF (pencampuran fisik ; PP (penguapan pelarut)
Kode
For
mula
Obat
(mg)
Nilai Sebenarnya (mg)
PEG 6000 SLS Metode
Formula Terner
P9 100 250 25 PF
P10 100 250 75 PF
P11 100 350 25 PF
P12 100 350 75 PF
S9 100 250 25 PP
S10 100 250 75 PP
S11 100 350 25 PP
S12 100 350 75 PP
Formula Biner
S7 100 250 - PP
S8 100 350 - PP
P7 100 250 - PF
P8 100 350 - PF
C. Pembuatan Dispersi Padat OFX
a. Metode campuran fisik : Sejumlah
OFX dan pembawa dimasukkan dalam
mortir. Campuran dibuat dengan
triturasi sederhana dalam mortir
proselen, kemudian di ayak dengan
ayakan mesh no.44 dan disimpan dalam
desikator hingga studi selanjutnya.
b. Metode penguapan pelarut : Sejumlah
OFX dan pembawa dilarutkan dalam
pelarut tertentu dengan bantuan stirer.
Pelarut diuapkan pada suhu 45°C
sampai tercapai berat konstan. Massa
ini diserbuk dan diayak dengan ayakan
mesh no.44 dan disimpan dalam
desikator hingga studi selanjutnya.
D. Pembuatan Kurva Baku OFX
Larutan standar dipersiapkan dengan
melarutkan 1,0 mg OFX dalam 100 ml
dapar fosfat pH 7,4. Larutan standar
ditentukan panjang gelombang maksimum
antara 200-400 nm. Kemudian dibuat
variasi larutan kerja dengan rentang
konsentrasi 2 μg/ml sampai 10 μg/ml dan
diukur absorbansinya pada panjang
gelombang maksimum 288 nm dengan
blangko dapar fosfat pH 7,4.
E. Disolusi in vitro
Disolusi formula diselidiki
berdasarkan USP 30, menggunakan
metode keranjang dengan kecepatan 100
rpm dan pengujian dilakukan dengan
replikasi 3 kali. Sebanyak 100 mg sampel
dimasukkan dalam kapsul, kemudian
dimasukkan ke dalam keranjang disolusi.
Pada setiap selang waktu tertentu, diambil
sampel sebanyak 5 ml yang kemudian
digantikan dengan medium dan volume
yang sama. Sampel dianalisis dengan
spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang maksimum 288 nm. Medium
disolusi yang digunakan berupa dapar
fosfat pH 7,4 sebagai simulated gastric
juice sebanyak 900 ml dengan temperatur
yang dipertahankan yaitu 37±0.5°C.
F. Pengujian Kelarutan
OFX murni dan formula dispersi
padat dengan jumlah berlebih (±50 mg)
dimasukkan pada vial tertutup yang berisi
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
164
5 ml dapar fosfat pH 7,4 dengan suhu 37
±0,5°C, kemudian diletakkan pada shaking
thermostatic waterbath selama 3 jam.
Sampel disaring dengan membran filter
0,45μm dan dianalisis dengan
spektrofotometri UV panjang gelombang
288 nm.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kurva Baku OFX
Penentuan panjang gelombang
maksimum ofloksasin didapatkan dengan
menggunakan larutan standar 10 μg/ml
ofloksasin dalam dapar fosfat pH 7,4 yang
diukur panjang gelombangnya pada 200-
400 nm sehingga didapatkan panjang
gelombang maksimum 288 nm. Persamaan
kurva baku didapatkan y=0,0675x +
0,0003 dengan nilai R2=0,999, kurva baku
diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1. Kurva baku OFX dalam dapar fosfat pH 7,4
B. Uji Keseragaman Kandungan
Keseragaman kandungan formula
dispersi padat menunjukkan bahwa
kandungan ofloksasin berkisar 96-99 %,
dengan nilai simpangan baku < 5%.
C. Uji Disolusi
Persen obat terdisolusi OFX murni
dan hasil dispersinya terlihat pada gambar
2, dimana terjadi peningkatan jumlah obat
terdisolusi dengan adanya pembawa
PEG6000. Pada sistem terner, penambahan
surfaktan SLS memberikan peningkatan
disolusi yang semakin besar, dan metode
penguapan pelarut memberikan hasil yang
lebih maksimal dibanding pencampuran
fisik. Campuran terner menggunakan
pembawa PEG6000-SLS menghasilkan
persen obat terdisolusi yang jauh lebih
besar yaitu 102,249% (S10).
Gambar 2. Profil disolusi ofloksasin
Kinetika disolusi obat dapat
ditentukan dengan menemukan fitting
terbaik dari data pelepasan obat secara
berturut-turut ke dalam plot persamaan
orde nol, orde satu, dan Higuchi (Mouzan
dkk.,2011). Koefisien korelasi (R2) dari
plot jumlah obat terlarut (%) sebagai
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
165
fungsi waktu dan koefisien korelasi (R2)
dari plot jumlah obat terlarut (%) sebagai
fungsi akar waktu semua lebih besar dari
harga r tabel, maka pelepasan ofloksasin
dari pembawa dikontrol oleh kedua
mekanisme yaitu difusi dan erosi.
Mekanisme difusi lebih dominan karena
harga koefisien korelasi dari plot akar
waktu vs % terlarut lebih besar daripada
harga koefisien korelasi dari plot waktu vs
% terlarut.
Parameter DE60 (Dissolution
Efficiency pada menit ke 60) digunakan
untuk melihat profil disolusi yang
sesungguhnya. Data DE60 diperoleh dari
pengukuran luas daerah dibawah kurva
(AUC) pada masing-masing waktu hingga
60 menit. Hasil rerata DE60 menunjukkan
formula S10 dengan pembawa PEG6000
sebesar 74,50%. Metode penguapan
pelarut menghasilkan rata-rata obat
terdisolusi yang jauh lebih besar karena
sistem ini menghasilkan dispersi obat yang
lebih merata, sehingga terbentuk kompleks
molekuler yang lebih baik dibanding
metode pencampuran fisik.
Secara keseluruhan dari penelitian
ini dapat dilihat campuran terner dengan
penambahan surfaktan SLS lebih potensial
untuk mengantarkan OFX dan dihasilkan
peningkatan disolusi yang signifikan.
Penambahan surfaktan dapat
meningkatkan kecepatan disolusi obat
yang sukar larut dalam air (Wulff dkk.,
1996), dimana Natrium Lauril Sulfat
(SLS) digunakan sebagai komponen ketiga
dalam sistem terner karena memiliki aksi
solubilisasi yang baik untuk beberapa obat
(Yuli, 2003; Serajuddin, 1999).
D. Desain Faktorial Dispersi Padat OFX
Rancangan prediksi formulasi pada
pengujian in-vitro yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
a. Metode pencampuran fisik
DE60 = -33,14 + (0,10*PEG6000) +
(1,31*SLS) - (2,59 10-3
*PEG6000*SLS)
b. Metode penguapan pelarut
DE60 = -60,84 + (0,26*PEG6000) +
(1,95*SLS) - (4,04 10-3
*PEG6000*SLS)
Terlihat dari persamaan penambahan
pembawa PEG6000 memiliki efek positif
begitu juga surfaktan SLS yang memiliki
efek positif terhadap peningkatan DE60,
dan secara tunggal peningkatan dengan
surfaktan jauh lebih besar dibanding
pembawa. Interaksi pembawa dengan
surfaktan menghasilkan efek negatif,
sebagaimana terlihat dari hasil percobaan
peningkatan jumlah pembawa dan
surfaktan yang berlebihan akan
menurunkan kembali persen obat
terdisolusi. Uji Anova terhadap efek dari
faktor dan interaksinya memberikan hasil
yang signifikan, ini berarti pelepasan
ofloksasin dari sediaan dispersi padat
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
166
tergantung pada kedua faktor dan interaksi
dari faktor-faktor tersebut.
E. Uji Kelarutan OFX
Waktu kesetimbangan adalah waktu
yang diperlukan oleh suatu zat untuk
mencapai keadaan jenuhnya, dimana hasil
penelitian menunjukkan pada jam ke 3
kelarutan obat mengalami penurunan,
maka disimpulkan pada jam tersebut
waktu kesetimbangan kelarutan telah
tercapai.
Ofloksasin murni menunjukkan
kelarutan 2,879 ± 0,041 mg/ml. Seluruh
sampel dispersi padat ofloksasin
menunjukan peningkatan kelarutan
dibandingkan senyawa murninya (gambar
3), dimana metode penguapan pelarut
dispersi padat ofloksasin sistem biner dan
terner menunjukkan kelarutan yang lebih
tinggi dibandingkan senyawa murni dan
pencampuran fisiknya.
Gambar 3. Kelarutan OFX sistem biner dan terner
pada suhu 37±0,5°C
Data kelarutan menunjukkan bahwa
kelarutan maksimal tercapai pada sistem
terner yaitu kombinasi pembawa larut air
(PEG 6000) dengan surfaktan (SLS) yang
diformulasikan dengan metode penguapan
pelarut, dengan kelarutan sebesar 7,739 ±
0,067 mg/ml. Hal ini disebabkan karena
kombinasi terner memberikan kontribusi
dalam meningkatkan keterbasahan dari
partikel obat dan adanya mekanisme
solubilisasi deri pembawa larut air dan
surfaktan.
IV. KESIMPULAN
1. Dispersi padat ofloksasin sistem terner
menghasilkan peningkatan disolusi
dan kelarutan yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan campuran
biner, terlihat pada formula S10
(OFX-PEG6000-SLS).
2. Sistem dispersi padat dengan metode
penguapan pelarut meningkatkan
kelarutan secara signifikan
dibandingkan ofloksasin murni dan
campuran fisiknya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada PT. Nufarindo
atas bantuan bahan ofloksasin dan kepada
Prof. Dr. Suwaldi, M.Sc., Apt. Dan Prof.
Dr. Akhmad Kharis N., M.Si., Apt. atas
bimbingannya sehingga penelitian ini
berjalan dengan baik.
2,879
5,057
6,215 5,731
7,556
012345678
P7 S7 P10 S10
OFX BINER TERNER
Ke
laru
tan
(m
g/m
L)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 161-167
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
167
DAFTAR PUSTAKA
Alkhamis, KA., Allaboun, H., Al-Momani,
W.Y., 2003, Study of the
Solubilization of Gliclazide by
Aqueous Micellar Solutions,
J.Pharm.Sci, 92:839
Chiou, W.L., Riegelman, S., 1971,
Pharmaceutical Applications of
Solid Dispersion System,
J.Pharm.Sci., 60:1165-1175
Garad, S.D. 2004, How to Improve the
Bioavailability of Poorly Soluble
Drugs, Am.Pharm.Rev, 7:80-85 cit.
Essa E.A. dan Balata G.F. 2012,
Preparation and characterization of
domperidone solid dispersions, J.
Pharm. Sci, 25(4):783- 791
Leuner, C. and Dressman, J., 2000,
Improving drug solubility for oral
delivery using solid dispersion, Eur.
J. Pharm. Biopharm., 50, 47-60.
Lipinski, C. 2007, Drug Solubility in
Water and Dimethylsulfoxide, in
Molecular Drug Properties -
Measurement and Prediction (ed R.
Mannhold), Wiley- VCH Verlag
GmbH & Co. KGaA, Weinheim,
Germany, 258-259
Serajuddin, A.T.M., 1999, Solid
Dispersion of Poor Water Soluble
Drugs : Early Promises, Subsequent
Problems, and Recent
Breakthroughs, J.Pharm.Sci., 88:
1058-1066
Shargel, L, dan Yu, A., 1999, Applied
Biopharmaceutics and Pharmaco-
kinetics, 4th
Ed., Appleton & Lange.
Wulff, M., M. Alden and Craig, D.Q.M.,
1996, An Investigations into the
Critical Surfactant Concentration for
Solid Solubility of Hydrophobic
Drug in Different Polyethylene
glycols, Int. J. Pharm. 142, 189-198.
Yuli, L.O., 2003, Relationships between
the Hydrophilic-Lipophilic Balance
Values of Pharmaceutical Excipients
and Their Multidrug Resistance
Modulating Effect in CaCo-2 Cells
and Rat Intestines, J.Control.Rel.,
90:37- 48
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
168
Prevalensi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Stroke Yang Dirawat Di Sebuah Rumah Sakit
Di Kota Tasikmalaya
Ajeng Nilla Anindi, *Ilham Alifiar
Program Studi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada
*Email : [email protected]
Abstrak
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang menyebabkan kerusakan
neurologis sehingga meningkatkan angka kecacatan yang akan menurunkan kualitas
hidup pasien. Pemberian terapi yang aman dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
stroke. Keamanan suatu pengobatan dapat dilihat dari potensi interaksi pada obat
yang diberikan. Interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat dirubah karena
adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau bahan kimia. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat prevalensi potensi interaksi pada pasien stroke yang dirawat
di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya periode April–Mei 2016. Penelitian ini
meupakan penelitin cross-sectional dengan pengambilan data secara prospektif, data
pasien didapatkan dari ruang inap penyakit saraf, kemudian dilakukan pencatatan
status pasien dari buku rekamedik pasien, kekurangan rekamedik dilengkapi dengan
melihat catatan perawat, melihat kondisi pasien langsung dan wawancara pasien atau
keluarga pasien. Data berikut dilakukan analisis statistik. Data yang dihasilkan pada
102 pasien menunjukkan adanya potensi interaksi obat dengan obat yaitu sebanyak 31
pasien (30,39%) mengalami potensi interaksi obat. Penelitian ini mennunjukkan
bahwa penggunaan obat pada pasien stroke yang di rawat di RSUD dr.Soekardjo Kota
Tasikmalaya aman namun terdapat beberapa obat yang membutuhkan monitoring .
Kata kunci: Stroke, potensial interaksi obat, neuroprotektor, antiplatelet, antihipertensi
Abstract
Stroke is a cerebrovascular disease that causes neurological damage that increased
the number of defects that would degrade the quality of life of patients. Provision of safe
therapy can improve quality of life for stroke patients. The security of a treatment can be
seen from the potential interaction of the drug administered. Drug interactions occur when
the effect of the drug was changed for their other drugs, herbs, food, drinks or chemicals.
This study aims to determine the appropriate medicine use, safe and effective in stroke
patient treated in dr. Soekardjo Tasikmalaya Hospital period from April to May 2016. This
study is a cross-sectional accounted for prospectively collecting data, patient data obtained
from nerve room, then recording of the patient's status from the medical record, lack of
data on medical record taking data from nurse’s book of patient, seeing the condition of
the patient and the patient or the patient's family interview. The data generated in 102
patients suggest the potential for drug interactions with medications that as many as 31
patients (30,39%) had the potential for drug interactions with various levels of
significance. The use of drugs in stroke patients were treated in dr.Soekardjo
Tasikmalaya Hospital safe, but it needs to be monitoring of some drugs that have the
potential interaction.
Keywords: Stroke, potential drug interactions, neuroprotective, antiplatelet,
antihypertensive.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
169
I. PENDAHULUAN
Stroke telah menjadi penyebab kematian
utama di hampir semua rumah sakit di
Indonesia, yakni 14,5 %. Menurut hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdas)
Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan
telah terjadi peningkatan prevalensi stroke
di Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007)
menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Selain
itu, sebagian dari pasien yang mengalami
stroke akan berakhir dengan kecacatan.
Berdasarkan beberapa penelitian
didapatkan tingkat kecacatan stroke
mencapai 65% (Anonim, 2013).
Kualitas hidup pasien stroke dapat
meningkat dengan memberikan terapi
dengan tujuan untuk mengurangi
kerusakan neurologi dan mengurangi
mortalitas dan disabilitas jangka panjang,
mencegah komplikasi sekunder
immobilitas dan disfungsi neurologi,
mencegah kekambuhan stroke (Ikawati,
2011).
Terapi yang diberikan harus terjamin
kualitasnya yaitu melihat keamanan suatu
pengobatan (Siregar, 2005). Penggunaan
obat dikatakan aman dapat dilihat dari
kejadian potensi interaksi pada obat-
obatan yang diberikan.
II. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional deskriptif dengan metode
pengambilan data secara prosfektif dengan
desain studi cross sectional.
B. Populasi Dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah
seluruh pasien stroke yang dirawat di
RSUD dr. Soekrdjo Kota Tasikmalaya
periode April-Mei 2016.
Sampel penelitian ini adalah pasien
stroke yang dirawat di RSUD dr. Soekrdjo
Kota Tasikmalaya periode April-Mei 2016
yang menyetujui informed consent.
C. Instrument
Informed consent, lembar data
pasien berupa data wawancara dan data
hasil laboratorium pasien.
D. Prosedur Kerja
Pencatatan pasien stroke yang
dirawat di ruang 5 RSUD dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya, melakukan wawancara
untuk data yang tidak tercantumkan dalam
data rekamedik, melengkapi data pasien
setelah pasien selesai dirawat.
E. Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan
Analisis Chi-square, dilanjutkan dengan
Analisis Odds Ratio.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
170
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini pasien yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak
102 pasien. Gambaran dari karakteristik
pasien dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel I.
Pada hasil kajian demografi
menunjukkan bahwa proporsi kejadian
stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki,
dan rentang usia 0-60 tepatnya usia 58-67
tahun dengan pendidikan terakhir SD.
Tabel I. Hasil I
Karakteristik
Pasien
Keterangan Jenis Stroke Total
Stroke
Hemoragik
Stroke
Iskemik
Jenis Kelamin Laki-laki 13 (38,2%) 39 (57,4%) 52 (51,0%)
Perempuan 21 (61,8%) 29 (42,6%) 50 (49,0%)
Usia 0-60 tahun 22 (64,7%) 36 (52,9%) 58 (56,9%)
>60 tahun 12 (35,3%) 32 (47,1%) 44 (43,1%)
Tingkat
Pendidikan
SD 26 (76,5%) 38 (55,9%) 64 (62,7%)
SLTP 5 (14,7%) 11 (16,2%) 16 (15,7%)
SLTA 3 (8,8%) 10 (14,7%) 13 (12,7%)
Perguruan Tinggi 0 (0,0%) 9 (13,2%) 9 (8,8%)
Tabel II. Hasil II
Karakteristik Pasien
Jenis Stroke Total
Stroke
Hemoragik
Stroke
Iskemik
Hipertensi 6 (17,6%) 8 (11,8%) 14 (13,7%)
Diabetes 0 (0.0%) 2 (2,9%) 2 (2,0%)
Stroke 1 (2,9%) 5 (7,4%) 6 (5,9%)
Jantung 0 (0.0%) 1 (1,5%) 1 (1,0%)
Komplikasi 0 (0,0%) 3 (4,4%) 3 (2,9%)
Penyakit Lainnya 2 (5,9%) 5 (7,4%) 7 (6,9%)
Tidak Ada Riwayat Penyakit 25 (73,5%) 44 (64,7%) 69 (67,6%)
Tabel III. Hasil III
Karakteristik Pasien
Jenis
Stroke
Total
Stroke
Hemoragik
Stroke
Iskemik
Hipertensi 19 (55,9%) 20 (29,4%) 39 (38,2)
Stroke 0 (0,0%) 5 (7,4%) 5 (4,9%)
Kolesterol 0(0,0%) 2 (2,9%) 2 ((2,0%)
Jantung 0 (0,0%) 3 (4,4%) 3 (2,9%)
Komplikasi 6 (17,6%) 23 (33,8%) 29 (28,4%)
Penyakit Lainnya 7 (20,6%) 10 (14,7%) 17 (16,7%)
Tidak Ada Riwayat Penyakit 2 (5,9%) 5(7,4%) 7 (6,9%)
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
171
Hipertensi merupakan riwayat
penyakit keluarga terbanyak. Selain itu
hipertensi pun merupakan riwayat
penyakit pasien terbanyak. Hal tersebut
disebabkan karena hipertensi kronis dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi
endothelial dari pembuluh darah,
akibatnya akan terjadi vasokonstriksi,
poliferasi sel-sel otot polos pembuluh
darah, agregasi trombosit, adhesi leukosit,
dan peningkatan permeabilitas untuk
makromolekuler. Kondisi ini akan
mempercepat terjadinya aterosklerosis
yang menyebabkan terjadinya stroke
iskemik (Budiarto, 2002).
Pasien stroke yang dirawat di ruang
5 RSUD dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya
memiliki kebiasaan merokok, minum kopi
dan minum teh yang disajikan pada Tabel
IV. Kebiasaan minum kopi merupakan
kebiasaan terbanyak yaitu 53,9%. Pada
penelitian Martiani (2012) menyatakan
bahwa kebiasaan minum kopi
meningkatkan resiko kejadian hipertensi,
namun tergantung dari frekuensi konsumsi
harian. Tekanan darah akan
mempengaruhi aliran darah ke otak. Jika
aliran darah ke otak menurun atau
meningkat akan menyebabkan
pengangkutan oksigen ke otak secara pasif
mengikuti perubahan tekanan perfusi otak
(Wibowo et.al, 2001). Adapun profil
penggunaan obat pada pasien strok yang
dirawat di ruang 5 disajikan pada Tabel V.
Tabel IV. Hasil IV
Karakteristik Pasien
Jenis Stroke Total
Stroke
Hemoragik
Stroke
Iskemik
Penggunaan Rokok 15 (44,1%) 29 (42,6%) 44 (43,1%)
Peminum Kopi 15(44,1%) 40 (58,8%) 55 (53,9%)
Peminum The 17 (50,0%) 33 (48,5%) 50 (49,0%)
Penggunaa Obat Bebas 34 (64,7%) 34 (50,0%) 56 (54,9%)
Penggunaan Obat Herbal/Tradisional 15 (44,1%) 36 (52,9%) 51 (50,0%)
Tabel V. Hasil V
Golongan Obat
Stroke
Iskemik
Stroke
Hemoragik
Antiplatelet 30 2
Antihipertensi 38 12
Antihiperlipidemia 3 0
Diuretik 23 24
Antifibrinolitik 4 10
Neuroprotektor 66 34
Antihiperasiditas 58 31
Antibiotik 31 23
NSAIDs 16 7
Antikonvulsi 6 3
Antiemetik 6 8
Antidisritmik 2 0
Antiangina 1 0
Antidiabetik 3 0
Neurotropik 15 4
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
172
Pada penelitian ini, analisis
kuantitatif dan kualitatif hanya dilakukan
terhadap 3 golongan obat yaitu golongan
obat neuroprotektor, antihipertensi dan
antiplatelet.
Pada tabel profil penggunaan obat,
pasien stroke yang dirawat di ruang 5
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
terdapat beberapa obat yang berinteraksi
dengan golongan obat neuroprotektor,
antihipertensi dan antiplatelet. Data pasien
yang memiliki potensi interaksi obat
dengan obat disajikan pada Tabel 6.
Tabel VI. Hasil VI
Jenis Stroke Potensi Interaksi Nilai OR (Odds Ratio)
Ada Tidak
Stroke
Hemoragik
4 (11,8%) 30 (88.2%) OR = 4,939
Confidence Interval =
1,563-15,611 Stroke Iskemik 27 (39,7%) 41 (60,3%)
Total 31 (30,4%) 71 (69.6%)
Gambar 1. Hasil I
Hasil Odds Ratio menunjukkan
bahwa pasien stroke iskemik 4 kali
lipatnya mengalami potensi interaksi dari
pasien stroke hemoragiik. Adapun obat-
obatan yang memiliki potensi interaksi
disajikan pada Tabel 16.
Penggunaan amlodipin dan
valsartan tidak berinteraksi secara
signifikan. Pada penelitian yang dilakukan
terhadap 12 subjek sehat menunjukkan
tidak adanya efek yang diubah secara
signifikan pada pemberian dosis oral
tunggal valsartan 160 mg dan amlodipin 5
mg yang dikombinasikan, walaupun
farmakokinetik valsartan menunjukkan
terjadinya variasi antara subjek penelitian
(Baxter, 2010). Menurut Karpov et.al
(2012) bahwa penggunaan single pil
kombinasi amlodipin-valsartan merupakan
penggunaan yang aman dan efektif dalam
menurunkan tekanan darah.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
173
Tabel VII. Hasil VII
Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah
Pasien
Amlodipin-Valsartan Tidak signifikan 9
Amlodipin-Klopidogrel Tidak signifikan 2
Aspirin-Sukralfat Tidak signifikan 1
(Baxter, 2010)
Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah
Pasien
Amlodipin-Karbamazepim Signifikan, lakukan monitoring 1
Aspirin-Klopidogrel Signifikan, lakukan monitoring 12
Klopidogrel-Statin Resiko C 3
Klopidogrel-Omeprazol Serius, gunakan alternative 1
(Lacy, et.al., 2008)
Jenis Obat Level Signifikansi Jumlah
Pasien
Aspirin-Furosemid Signifikansi 3 1
Aspirin-Ketorolak Signifikansi 1 2
Kaptopril-Furosemid Signifikansi 2 2
Kaptopril-Aspirin Signifikansi 2 3
(Zucchero et.al., 2002)
Amlodipin dengan klopidogrel
menyebabkan efek terapi klopidogrel
menurun, amlodipin dengan carbamazepin
menyebabkan peningkatan metabolism
amlodipin dan penurunan metabolisme
carbamazepin (Lacy, 2008).
Aspirin dapat mengurangi efek
diuretik dari furosemid dan venodilatasi
furosemid dengan mekanisme yang terjadi
akibat efek asprin berlawanan dengan efek
diuretik furosemide. Kerja aspirin
menghambat sintesis dari prostaglandin,
sedangkan prostaglandin tersebut
diperlukan dalam proses natriuresis dan
eksresi dari natrium dan air (Syamsudin,
2013). Selain itu, kombinasi aspirin dan
furosemid dapat meningkatkan resiko
gagal ginjal akut dan toksisitas salisilat.
Ketorolak berinteraksi dengan Aspirin
yaitu dapat meningkatkan reaksi efek
samping dari ketorolak. Pemberian
ketorolak bersama dengan aspirin dapat
meningkatkan resiko serius yang
berhubungan dengan efek samping
ketorolak (Lacy, 2008).
Potensi interaksi terjadi antara
aspirin dengan ranitidin yaitu efek aspirin
sebagai antiplatelet menurun, studi klinis
membuktikan bahwa farmakokinetik pada
single dose 1g aspirin tidak mengalami
perubahan yang besar pada 6 orang sehat
yang diberikan ranitidin 150mg 2 kali
pemberian dalam 1 minggu, namun pada
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
174
studi klinis yang dilakukan terhadap 10
orang sehat yang diberikan ranitidin
ditemukan adanya penurunan efek
antiplatelet dari aspirin, selain penurunan
efek antiplatelet, diikuti pula dengan
penurunan kadar salisilat dalam darah
akibat adanya perubahan pada fase
absorpsi (Lev et.al. 2007).
Pemakaian aspirin dengan
klopidogrel secara bersamaan dapat
meningkatan resiko perdarahan, namun
penggunaan kombinasi aspirin dan
klopidogrel dapat bermanfaat
(Baxter,2010).
Aspirin dapat dihambat fase
absorpsinya dengan adanya sukralfat,
dalam Baxter (2010) studi klinis
membuktikan bahwa 1g sukralfat 4x sehari
selama 2 hari tidak menurunkan fase
absorpsi asprin pada single dose 650mg.
Kombinasi kaptopril-aspirin dilaporkan
dapat menyebabkan gagal ginjal (Baxter,
2010). Bukti klinis dalam Baxter (2010)
ditunjukkan pada penelitian terhadap 8
pasien dengan hipertensi esensial,
mendapatkan aspirin 600mg setiap 6 jam
untuk 5 dosis dan dosis kaptopril 25
sampai 100 mg tidak mengubah efek
kaptopril secara signifikan. Walaupun,
efek prostaglandin untuk kaptopril
dihambat dan efek penurunan tekanan
darah lemah pada 4 orang pasien dari 8
orang pasien. Dalam studi lain, pada 15
pasien dengan hipertensi,aspirin 75 mg
sehari tidak mengubah efek antihipertensi
dari kaptopril 25 mg dua kali sehari.
Pemberian kaptopril ataupun
ramipril yang dikombinasikan dengan
furosemid dapat meningkatkan resiko
terjadinya hipotensi pada awal penggunaan
kombinasi obat ini. Kejadian ini
diakbatkan karena hilangnya natrium dan
cairan dari dalam tubuh secara mendadak
akibat efek diuretik dari furosemid
meningkat, sehingga disarankan dosis
furosemid tidak lebih dari 80mg dalam
sehari dan dosis kaptopril diberikan dari
dosis terkecil (Syamsudin, 2013).
Klopidogrel berinteraksi dengan
atorvastatin yaitu dengan mengambat
aktivasi klopidogrel yang dimetabolisme
oleh enzim CYP3A4 (Clarke, 2003).
Menurut Baxter (2010) bahwa omeprazol
akan menghambat metabolisme
klopidogrel, karena omeprazole dan
klopidogrel merupakan prodrug yang
harus diaktifkan di hati oleh enzim
CYP2C19, sehingga efek antiplatelet
klopidogrel akan terhambat. Studi yang
dilakukan oleh Kurniawan dan
Simadibrata (2013) menunjukkan bahwa
tidak ada peningkatan kejadian
kardiovaskular secara bermakna pada
pasien yang mendapatkan PPI dan
klopidogrel, dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Walaupun masih
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 168-175
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
175
bersifat kontroversial, konsensus ahli
terkini merekomendasikan pemberian PPI
pada pasien yang mendapatkan
klopidogrel, khususnya pasien dengan
risiko tinggi.
IV. KESIMPULAN
Pola pengobatan pada pasien stroke
yang dirawat di ruang 5 RSUD dr.
Soekardjo Kota Tasikmalaya aman namun
terdapat beberapa obat perlu dilakukan
monitoring pemberiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Badan Peneliti Dan Pengembangan
Kesehatan kementrian kesehatan RI.
Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug
Interaction 9th
edition. London:
Pharmacetical Press.
Budiarto, G. 2002. Stroke and
Hypertension. Dalam: pendidikan
dokter berkelanjutan, Update on
Neurology. Surabaya: Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Clarke TA, Waskell LA. 2003. The
Metabolism Of Clopidogrel Is
Catalyzed By Human Cytochrome
P450 3A And Is Inhibited By
Atorvastatin. Drug Metab Dispos
31, 53–9.
Ikawati Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit
Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta:
Bursa Ilmu Karangkajen.
Karpov, Y., Dongre, N.dan Vigdorchik, A.
2012. Amlodipine/Valsartan Single-
Pill Combination A Prospective,
Observational Evaluation Of The
Real-Life Safety And Effectiveness
In The Routine Treatment Of
Hypertension [abstract ]. 29: 134-
147.
Kurniawan, I. dan Simadibrata, M. 2013.
Potential Interaction Between Proton
Pump Inhibitor And Clopidogrel.
Med J Indones, 22 (01).
Lacy C.F., Armstrong L.L., Goldman
M.P., Lance L.L. 2008-2009. Drug
Information Handbook. 17th
edition.America: American
Pharmacists Association.
Lev EI, Ramabadran RS, Guthikonda S,
Patel R, Kleiman A, Granada JF,
DeLao T, Kleiman NS. 2007.
Effect Of Ranitidine On The
Antiplatelet Effects Of Aspirin In
Healthy Human Subjects. Am
JCardiol, 99. 124–8.
Martiani, A. 2012. Faktor Risiko
Hipertensi Ditinjau Dari Kebiasaan
Minum Kopi. [Artikel Penelitian].
Semarang: Universitas Diponegoro.
Syamsudin. 2013. Interaksi Obat Konsep
Dasar dan Klinis. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Wibowo, S. dan Gofir, A. 2001.
Farmakoterapi Dalam Neurologi.
Jakarta: Salemba Medika.
Zucchero, F.J., Hogan, M.J., Sommer,
C.D. 2002. Evaluation Of Drug
Interactions 4th
edition.
Washington: American
Pharmaceutical Association.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
176
Formulasi dan Uji Stabilitas Sediaan Gel
Ekstrak Gambir
*Lutfi Chabib1, Oktavia Indrati
1, Muhammad Ikhwan Rizki
2
1Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia
2Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Sinar ultraviolet (UV) dari sinar matahari memiliki efek oksidatif radikal bebas yang
dapat menyebabkan inflamasi (peradangan) dan penuaan dini. Senyawa antioksidan
merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas. Gambir merupakan tumbuhan
yang mengandung katekin yang berpotensi sebagai antimutagenik, antioksidan dan
antibakteri. Sediaan gel memiliki sifat tiksotropik dan pseudoplastik serta memiliki sifat
mudah dioleskan, mudah dicuci dan tidak meninggalkan lapisan berminyak pada kulit.
Tujuan dari penelitian ini membuat formulasi sediaan gel dari ekstrak gambir dan mengetahui
kestabilan fisik dari sediaan gel ekstrak gambir. Dilakukan pembuatan ekstrak gambir dengan
maserasi. Ekstrak gambir tersebut dibuat sediaan gel dan di uji sifat fisiknya. Gel ekstrak
gambir yang dibuat kemudian diuji stabilitas fisiknya. Dilakukan identifikasi kandungan
kimia gel ekstrak gambir dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Dari hasil penelitian
didapat kesimpulan bahwa ekstrak gambir dapat dibuat sediaan gel dan memiliki kestabilan
fisik yang memenuhi persyaratan.
Kata kunci: Gambir, gel stabilitas.
ABSTRACT
Ultraviolet (UV) light from the sun have the effect of oxidative free radicals that
can cause inflammation and premature aging. Antioxidant are compounds that can
neutralize free radicals. Gambir (Uncaria gambir) is a plant that contains catechins
potential as antimutagenic, antioxidant and antibacterial. Gel has thixotropic,
pseudoplastic properties and easily applied on the skin. The purpose of this study make a
gel formulation of gambir extract and determine the physical stability. Gambir extract has
been made by maceration. Gambir extract the gel formulation and test its physical
properties. Gambir extract gel stability test was conducted. To identify the chemical
constituents gambir extract gel with Thin Layer Chromatography (TLC). From the results
of the study concluded that gambir extracts capable of forming a gel formulation to meet
the requirements of physical stability.
Keywords: Gambir, gen, stabillity.
I. PENDAHULUAN
Indonesia berada di daerah tropis
yang menyebabkan kulit orang Indonesia
selalu terpapar sinar matahari. Paparan
sinar matahari yang berlebihan
mempunyai banyak dampak pada
kehidupan. Sinar ultraviolet (UV) dari
sinar matahari memiliki efek oksidatif
radikal bebas yang dapat menyebabkan
inflamasi (peradangan) dan penuaan dini.
Sehingga menyebabkan kulit menjadi
kusam, berkerut, timbul flek-flek hitam
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
177
yang secara estetika sangat mengganggu.
Oleh karena itu, diperlukan suatu zat yang
dapat menghambat radikal bebas tersebut,
yaitu zat antioksidan. Senyawa
antioksidan merupakan senyawa
antiradikal bebas yang dapat menetralkan
radikal bebas reaktif menjadi bentuk tidak
reaktif yang relatif stabil sehingga dapat
melindungi sel dari efek radikal bebas
(Sofia, 2003).
Gambir merupakan ekstrak kering
dari daun dan ranting tanaman Uncaria
gambir Roxb. Ekstrak gambir diketahui
mengandung katekin sebagai komponen
utama. Katekin merupakan suatu senyawa
polifenol yang banyak dijumpai pada
tanaman tingkat tinggi, yang berpotensi
sebagai antimutagenik, antioksidan dan
antibakteri (Arakawa et al., 2004; Miller,
1996; Nakagawa et al., 2005; Velury,
2004).
Sediaan gel sebagai kosmetika
perawatan kulit masih jarang ditemui dan
penggunaannya masih terbatas. Apabila
dibandingkan dengan krim dan lotion, gel
mempunyai kelebihan dari segi fisik.
Kelebihan-kelebihan sediaan gel adalah
berupa sediaan semi solid transparan atau
tembus cahaya yang memiliki aliran
tiksotropik dan pseudoplastik serta
memiliki sifat mudah dioleskan, mudah
dicuci dan tidak meninggalkan lapisan
berminyak pada kulit (Carter, 1975).
Oleh karena alasan-alasan tersebut,
pada penelitian ini akan dibuat suatu
sediaan kosmetik perawatan kulit dengan
memanfaatkan senyawa katekin dalam
gambir sebagai sediaan gel antioksidan.
Diharapkan dengan penelitian ini,
pemanfaatan gambir akan menjadi lebih
beragam dan menambah alternatif pilihan
sediaan antioksidan dari bahan alam.
Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat
formulasi sediaan gel dari ekstrak gambir,
mengetahui kestabilan fisik dari sediaan
gel ekstrak gambir, dan mengetahui
kandungan ketakin pada sediaan gel dari
ekstrak gambir yang berfungsi sebagai
antioksidan.
II. BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini antara lain: gambir,
carbopol, triethanolamin, metil paraben,
gliserin, dikloromethana, etanol, pelarut,
dan tokopherol. Alat-alat yang digunakan
pada penelitian ini antara lain: alat-alat
gelas, timbangan, macerator, rotary
evaporator, homogenizer, viskosimeter,
alat uji daya lekat, dan spektrofotometer.
Pada awalnya dilakukan ekstraksi
gambir dengan metode maserasi
menggunakan etil asetat dengan
perbandingan 1:5 b/v. Maserasi dilakukan
selama 3 hari pada suhu kamar, dimana
setiap 24 jam larutan dipisahkan dengan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
178
menggunakan kertas saring. Kemudian
ampasnya dimaserasi ulang selama 24 jam
lagi dan nantinya disaring, ulangan
dilakukan sampai 2 kali. Filtrat pertama,
kedua dan ketiga digabung dan
dievaporasi menggunakan rotari
evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental. Selanjutnya dari ekstrak yang
didapat dibuat sediaan gel dengan formula
sebagai berikut:
R/ Carbopol
Methyl paraben
Triethanolamin
Gliserin
Ekstrak gambir
Air
Dilakukan uji stabilitas fisik
sediaan gel dengan melakukan uji
homogenitas, daya sebar, daya lekat, dan
uji viskositas. Kandungan kimia gel
ektrak gambir juga diuji dengan
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Fase diam yang digunakan yaitu
silica GF254 dengan pengembang eluen
dikloromethana:etanol 99% (4:1).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses awal pembuatan serbuk
adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia dengan cara pengecilan partikel
gambir kemudian diserbuk (penyerbukan)
dengan menggunakan grinder. Secara
umum pembuatan simplisia melalui
tahapan-tahapan, yaitu pengumpulan
bahan baku, pengecilan partikel, dan
penyerbukan. Gambir yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh dari CV.
Amanah Alam Raya, Batam, Sumatera
Barat. Gambir yang digunakan ini
merupakan jenis Black Cube, yang mana
kandungan senyawa katekinnya paling
banyak dibandingkan jenis bentuk gambir
yang lain.
Pada proses penyerbukan gambir ini
diperlukan proses yang tidak boleh terlalu
lama, karena serbuk mudah teroksidasi,
sehingga harus segera disimpan dalam
tempat yang rapat agar serbuk tidak
berubah warna. Serbuk gambir diayak
dengan mesh 50-60. Untuk mendapatkan
ekstrak kental dan serbuk kering dari
gambir dengan cara serbuk gambir yang
telah diayak diremaserasi dengan pelarut
etanol 80% selama 3 hari. Suatu ekstraksi
dibedakan menjadi 2 berdasarkan
perbedaan kelarutan, yaitu ekstraksi
sederhana dan ekstraksi pelarut.
Pemeriksaan organoleptik dilakukan
sebagai pengenalan awal terhadap ekstrak
maka dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan panca indera untuk
mendeskripsikan bentuk, warna, rasa dan
bau dari ekstrak kental gambir. Hasil dari
pemeriksaan ekstrak gambir yang
dihasilkan tertera dalam Tabel I berikut
ini.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
179
Tabel I. Data Hasil Uji Organoleptik
Ektstrak Kental Gambir
Pada penelitian ini dilakukan uji
stabilitas fisik yang meliputi: uji daya
sebar, daya lekat, viskositas, dan
homogenitas. Gel ekstrak gambir setelah
diuji homogenitasnya menunjukkan
bahwa pada gel ekstrak gambir selama 4
minggu penyimpanan pada suhu kamar
tidak mengalami perubahan fisik dalam
hal homogenitasnya. Hasil penelitian uji
homogenitas selama 4 minggu
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel II
dibawah ini.
Tabel II Hasil Uji Homogenitas Gel
Ekstrak Gambir Selama 4
Minggu Penyimpanan
Uji homogenitas ini adalah faktor
yang penting dan merupakan salah satu
ukuran dari kualitas sediaan gel. Ekstrak
gambir sebagai zat aktifnya harus
terdispersi dan tercampur secara
homogen pada medium dispers (basis)
agar dapat memberikan efeknya secara
maksimal sebagai antioksidan.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat
bahwa homogenitas gel ekstrak gambir
selama 4 minggu penyimpanan pada suhu
kamar tidak mengalami perubahan fisik
dalam hal homogenitasnya. Hal ini
ditandai dengan tidak mengalami
agregasi partikel. Sediaan gel ekstrak
gambir tetap berbentuk semipadat dan
tidak pernah berbentuk cair serta tidak
mengalami pemisahan atau pemecahan
kedua fase.
Daya sebar gel mencerminkan
kemampuan gel untuk menyebar pada
lokasi pemakaian dan seberapa lunaknya
gel apabila dioleskan pada kulit sehingga
memberi kenyamanan pada saat
pemakaian. Semakin besar nilai diameter
daya sebar menggambarkan bahwa gel
akan menyebar dengan cepat hanya
dengan sedikit pengolesan. Gel yang baik
adalah gel yang memiliki daya sebar
paling luas sehingga kontak antara zat
aktif dengan sel penyerap kulit semakin
bagus. Hasil pengujian daya sebar dapat
dilihat pada tabel III dibawah ini.
Tabel III. Hasil Uji Daya Sebar Gel
Ekstrak Gambir Selama 4
Minggu Penyimpanan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
180
Semakin lama penyimpanan gel
gambir mengalami peningkatan daya
sebar. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji
dari minggu pertama hingga minggu
keempat mengalami peningkatan daya
sebar. Pengaruh lama penyimpanan
terhadap daya sebar dapat disebabkan
oleh wadah yang digunakan berupa
plastik, sehingga dapat terjadi peristiwa
absorbsi dari zat terlarut ke permukaan
wadah dengan cara zat terlarut dapat
berdifusi ke dalam plastik dengan
bantuan pelarut atau pembawa untuk
diabsorbsi dan diikat ke tempat-tempat
dalam plastik (Ansel, 2005), dan ini
menyebabkan zat terlarut/fase dalam
berkurang dalam sediaan, bila volume
fase dalam suatu sediaan berkurang maka
viskositas sediaan itu semakin menurun
(Lachman et al., 1994), oleh karena itu
semakin lama penyimpanan maka fase
dalam sediaan tersebut semakin
berkurang dan sediaan tersebut akan
semakin encer, sehingga daya sebarnya
semakin luas.
Uji daya lekat dilakukan guna
mengetahui lama waktu menempelnya
gel pada permukaan kulit, dimana waktu
ini yang akan menentukan seberapa
banyak gel yang dapat diserap oleh sel-
sel penyerap pada permukaan kulit,
sehingga dengan pengukuran daya lekat
gel dapat dilihat stabilitas fisiknya. Gel
ekstrak gambir setelah dilakukan uji daya
lekat selama 4 minggu penyimpanan pada
suhu kamar maka dapat dilihat pada
Tabel IV dibawah ini.
Tabel IV. Hasil Uji Daya Lekat (Detik)
Gel Ekstrak Gambir Selama 4
Minggu Penyimpanan
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kemampuan daya lekat gel ekstrak
gambir dari selama 4 minggu
penyimpanan pada suhu kamar
menunjukkan bahwa daya lekat pada hari
pertama yang paling tinggi dibandingkan
dengan hari ke-2,3, dan 4, hal ini
disebabkan pengaruh lama penyimpanan,
dimana selama 4 minggu penyimpanan
pada suhu kamar daya lekat pada masing-
masing formula mengalami penurunan.
Hal ini mungkin disebabkan karena
selama penyimpanan adanya pengaruh
wadah dalam menyerap fase dalam/ fase
terlarut sehingga sediaan akan semakin
encer dan daya lekatnya semakin singkat.
Uji viskositas yang dilakukan
dengan viskotester Rion seri VT-04F ini
bertujuan untuk mengetahui seberapa
kental gel yang dihasilkan. Hasil
pengukuran viskositas (desi pascal –
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
181
seconds) gel ekstrak gambir dapat dilihat
pada tabel V berikut ini.
Tabel V. Hasil Uji Viskositas (dPa’s) Gel
Ekstrak Gambir Selama 4
Minggu Penyimpanan
Gambar 1. Grafik Viskositas Gel
Gambir
Dari data dan gambar grafik
diatas, diketahui bahwa lamanya
penyimpanan selama 4 minggu pada suhu
kamar juga mempengaruhi viskositas dari
gel ekstrak gambir selama 4 minggu
penyimpanan viskositasnya menurun, hal
ini disebabkan karena dipengaruhi oleh
wadah dan sifat basis ataupun penyerapan
kelembaban udara sekitarnya selama
masa penyimpanan, yang akan
mengakibatkan kekentalannya berkurang,
oleh karena itu viskositasnya makin
turun.
Gambar 2. Hasil Uji KLT dengan
Pereaksi Semprot
Anisaldehida-Asam
Sulfat
Dari hasil uji KLT di atas dapat
dilihat bahwa tanda e merupakan ekstrak
kental gambir yang digunakan sebagai
pembanding, hRf dari e adalah 60. Untuk
membandingkan antara ekstrak kental
dengan gel ekstrak gambir, maka gel
ekstrak gambir terlebih dahulu dilarutkan
dengan etanol 80% sebanyak 5 ml,
kemudian disaring untuk mendapatkan
larutan dari gel ekstrak gambir. Untuk
tanda F merupakan formula gel ekstrak
gambir, nilai hRf F1 adalah 59. Dari nilai
hRf ini menunjukkan bahwa antara
ekstrak kental dengan gel ekstrak gambir
pada formula memiliki profil
kromatogram yang mirip. Ini berarti gel
ekstrak gambir pada formula memiliki
kandungan senyawa katekin sama seperti
pada ekstrak kental gambir.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 176-182
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
182
Gambar 3. Hasil Uji KLT Dengan
Pereaksi Semprot AlCl3
Hasil KLT menunjukkan bahwa
hRf untuk ekstrak kental dan gel ekstrak
gambir memiliki profil kromatogram
yang mirip, hasil ini ditunjukkan dari
nilai hRf untuk tanda e yang berarti
ekstrak kental adalah 60, kemudian F
adalah formula gel ekstrak gambir
sebesar 59. Ini menunjukkan bahwa
dalam gel ekstrak gambir terdapat
kandungan gambir (senyawa katekin)
sama seperti dengan ekstrak kental yang
terdapat juga kandungan senyawa
katekin. Ekstrak kental dalam uji KLT ini
merupakan pembanding dari gel ekstrak
gambir. Maka dalam gel ekstrak gambir
tersebut terdapat kandungan senyawa
katekin yang sama dengan ekstrak kental.
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian didapat
kesimpulan bahwa ekstrak gambir dapat
dibuat sediaan gel dan memiliki
kestabilan fisik yang memenuhi
persyaratan.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi. ed 4. UI Press.
Jakarta.
Arakawa, H., Masako, M., Robuyusi, S.,
Miyazaki, 2004, Role of Hydrogen
Peroxide in Bactericidal Action of
Catechin, Biological &
Pharmaceutical Bulletin, 27
Carter. 1975. Depending for
Pharmaceutical Students, 12th
edition, Pitman Medical Publishing
Co. Ltd, London.
Lachman, L. Lieberman, H. Kanig, J.
1994. Teori dan Praktek Industri
Farmasi. edisi II. diterjemahkan
oleh Siti Suyatmi, UI Press, Jakarta.
Miller, A.L., 1996, Antioxidant
Flavonoid: Structure, Function and
Clinical Usage, Alt Med Rev, 1
Nakagawa, K., Fujii, S., Ohgi, A., Uesato,
S, 2005, Antioxidative Activity of
3-O-Octanoyl-(+)-Catechin, A
Newly Synthesized Catechin, In
Vitro, Journal of Health Science, 51
Sofia, D., 2003, Antioksidan dan Radikal
Bebas, http://www.chem-is-
try/?sect=artikel&ext=81 (diakses
tanggal 30 April 2009)
Velury, R., Weir, T.L, Bais, H.P.,
Stermitz, F.R., Vivanco J.M., 2004,
Phytotoxic and Antimicrobial
Activities of Catechin Derivative,
J.Agric.Food. Chem, 52
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
183
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien
Hipertensi di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta
Andriana Sari, *Haafizah Dania, Dian Retno Palupi
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogtakarta
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdes) tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta sebagai urutan ketiga jumlah
kasus hipertensi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola
penggunaan obat dan persentase kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada pasien
hipertensi di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan pengumpulan data secara retrospektif. Subyek penelitian adalah
pasien hipertensi yang melakukan pengobatan di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta
pada periode Februari-Maret 2016. Data diperoleh dari catatan medik pasien. Evaluasi
DRPs yang dilakukan berdasarkan Drug Information Handbook 22th ed, JNC VII, dan
JNC VIII. Jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah 122 pasien. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi monoterapi yaitu
amlodipin sejumlah 104 pasien (85,2%) dan captopril 4 pasien (3,3%). Antihipertensi
kombinasi 2 obat yaitu amlodipine+captopril sejumlah 1 pasien (0,8%),
amlodipine+HCT 7 pasien (5,8%), amlodipine+furosemid 4 pasien (3,3%) dan
captopril+furosemid 1 pasien (0,8%). Terapi kombinasi 3 obat antihipertensi yaitu
amlodipine+HCT+furosemid sejumlah 1 pasien (0,8%). Dari 122 pasien yang dievaluasi
kejadian Drug Related Problems (DRPs) terdapat 34 kejadian yang mengalami DRPs
atau 27,8%. Evaluasi DRPs adalah sebagai berikut : indikasi yang tidak diterapi
sebanyak 8 (6,5%),dosis obat terlalu rendah 4 (3,3%), dan timbulnya reaksi obat
merugikan 22 (18%) kejadian.
Kata kunci : Drug Related Problems, Hipertensi, Puskesmas Mergangsan
ABSTRACT
The prevalence of hypertension in Indonesia is relatively high. Study from basic
medical research (Riskesdes) in 2013 was reported Yogyakarta as the third highest number
of cases of hypertension in Indonesia. Aims of this study to determine the pattern of drug
use and the percentage of Drug Related Problems (DRPs) in hypertensive patients at
Mergangsan community health centers Yogyakarta. This was a descriptive with
retrospective study . Subjects were patients with hypertension in Mergangsan community
health centers Yogyakarta during period of February to March 2016. Data were retrieved
from patient medical records. DRPs evaluation based on the Drug of Information
Handbook 22th
ed, JNC VII, and JNC VIII. The number of patients who fulfilled the
inclusion criteria was 122 patients. The results showed that the number of patients who
used monotherapy antihypertensive was 104 patients (85.2%) with Amlodipine and 4
patients (3.3%) with captopril therapy. Combination Antihypertensive or two drugs was 1
patient (0.8%) with amlodipine + captopril, 7 patients (5.8%) with amlodipine + HCT, 4
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
184
patients (3.3%) with amlodipine + furosemide and 1 patient (0, 8%) with captopril +
furosemide combination therapy respectively. Combination of antihypertensive with 3
combination therapy was 1 patient (0.8%) by amlodipine + HCT + furosemide .Of the 122
patients was evaluated of (DRPs) we obtained 34 events were DRPs experienced by 27.8%.
which are: untreated indications was 8 (6.5%), underdose was 4 (3.3%), and the incidence
of adverse drug reactions was 22 (18%).
Key words: Drug Related Problems, hypertension, Mergangsan Community Health Center
I. PENDAHULUAN
Prevalensi hipertensi di Indonesia
cukup tinggi. Pada tahun 2013 prevalensi
penyakit hipertensi ini sebesar 26,5%,
tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehata hanya sebesar 9,5%
(Anonim,2013). Profil data kesehatan
Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa
pada tahun 2010 hipertensi menjadi salah
satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat
inap terbanyak di rumah sakit, dengan
proporsi kasus 57,62% wanita dan
42,38% pria, serta 4,8% pasien
meninggal dunia (Anonim, 2011). Hasil
riset kesehatan dasar (Riskesdes) tahun
2013 menempatkan D.I Yogyakarta
sebagai urutan ketiga jumlah kasus
hipertensi di Indonesia berdasarkan
diagnosis dan minum obat (Anonim,
2013). Hipertensi yang telah mengalami
komplikasi biasanya memerlukan obat
dalam jumlah yang lebih banyak dan perlu
adanya terapi dan kombinasi obat. Hal ini
menyebabkan pasien memiliki potensi
munculnya masalah terkait obat Drug
Related Problems (DRPs) lebih besar.
(Cipolle, et al., 1998).
Penelitian di Indonesia, yang
dilakukan oleh Ratih Fitriani, hasil
penelitiannya menunjukkan dari 90 lembar
rekam medik yang diambil jumlah item
obat yang digunakan adalah sebanyak
576 dan diperoleh total seluruh
kejadian DRPs adalah 51 kasus yang
meliputi kategori obat salah 6 kasus
11,78%, overdose 18 kasus atau 35,3%
dan underdose 27 kasus atau 52,94%
(Fitriani, 2007). Berdasarkan penelitian
Gumi dan kawan-kawan menunjukkan
bahwa DRPs yang terjadi pada terapi
pasien hipertensi di UPT Puskesmas
Jembrana adalah mengenai efektifitas
terapi yang terjadi sebanyak 100%.
Penyebab DRPsnya adalah pemilihan obat
(24,44%), pemilihan dosis (26,67%),
pasien (46,67%) dan penyebab yang tidak
jelas (2,22%). Penelitian ini
menyebutkan adanya hubungan antara
penyebab DRPs terhadap perubahan
terapi, dimana semakin banyak penyebab
DRPs yang terjadi maka kemungkinan
dilakukannya perubahan terapi semakin
besar (Gumi et al, 2013). Kurangnya
pengetahuan tentang pengobatan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
185
hipertensi ataupun salah dalam
pemberian terapi obat sehingga
memunculkan berbagai macam DRPs.
Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk
melakukan evaluasi DRPs untuk bisa
meningkatkan efektivitas terapi obat
dengan melihat pola pengobatan dan
prosentase kasus hipertensi supaya tidak
mengganggu proses penyembuhan pasien.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Alat penelitian yang digunakan
adalah lembar pengambil data dan bahan
penelitian meliputi kartu rekam medik
pasien hipertensi di Puskesmas
Mergangsan Yogyakarta, dan kemudian
diidentifikasi kejadian DRPs.
B. Metode
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian non-eksperimental (deskriptif).
Pengumpulan data dilakukan secara
retrospektif dengan mengambil
informasi dari catatan rekam medik
pasien hipertensi di Puskesmas
Mergangsan Yogyakarta tahun 2016.
Target populasi pada penelitian ini adalah
pasien hipertensi usia 18-90 tahun yang
menjalani pengobatan di puskesmas
Mergangsan Yogyakarta periode Februari-
Maret 2016. Sampel penelitian adalah
semua pasien hipertensi yang sedang
menjalankan pengobatan di Puskesmas
Mergangsan Yogyakarta periode
Februari-Maret 2016 kecuali pasien
hamil pre-ekslamsia dan data rekam medik
tidak lengkap.
Data pasien akan dikumpulkan
pada bulan Februari-Maret 2016 di
Puskesmas Mergangsan, yang akan
diambil yaitu data rekamedik pasien
yang kemudian di evaluasi kejadian
DRPsnya dengan standar terapi
berdasarkan Drug Information
Handbook 22th ed, JNC VII dan JNC
VIII. Data pasien dikumpulkan dari
rekam medik pasien hipertensi di
Puskesmas Mergangsan yang meliputi: 1).
Data base pasien: nomor rekam medik,
umur, jenis kelamin dan diagnosis terakhir,
2). Terapi obat pasien: nama obat, dosis,
aturan pakai, lama pakai dan jumlah obat.
C. Analisis Data
Hasil data yang diperoleh kemudian
dilakukan analisis deskriptif yaitu :
1. Karakteristik subyek penelitian
berdasarkan jenis kelamin, umur,
diagnosis penyakit penyerta, dan terapi
obat yang diterima oleh pasien.
2. Kemudian dilakukan evaluasi DRPs
berdasarkan Drug Information
Handbook 22th ed, JNC VII dan JNC
VIII.
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
186
3. Hasil pengolahan data kejadian Drug
Related Problems tersebutkemudian
dilakukan perhitungan persentase
kejadian tiap-tiap DRPs dengan rumus
sebagai berikut:
∑ kejadian DRPs tiap kategori x 100%
∑seluruh subyek/pasien
Total kejadian DRPs x 100%
Jumlah seluruh subyek/pasien
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Indentifikasi Karakteristik Pasien
Total jumlah subyek dari populasi
yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dalam penelitian ini yaitu 122
pasien. Hipertensi didominasi kelompok
lanjut usia (≥60 tahun) yaitu sebesar
74,6% (Tabel I). Hal ini menunjukkan
bahwa sejalan dengan bertambahnya usia,
tekanan darah semakin meningkat.
Perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamika seiring dengan penuaan
ditambah adanya berbagai macam
penyakit menyebabkan pasien dengan usia
lanjut seringkali mendapatkan terapi
polimorfi. Kompleksitas penggunaan obat
dengan perubahan fisiologis tubuh dari
adanya penuaan menyebabkan masalah
terkait dengan penggunaan obat (Supraptia
et al., 2014).
Tabel I. Karakteristik Pasien Hipertensi di
Puskesmas Mergangsan Yogyakarta periode
Februari-Maret 2016
Karakteristik Kategori ∑ %
Jenis Kelamin Perempuan 88 72,2
Laki-laki 34 27,8
Usia ( tahun ) 18-39 4 3,2
40-59 27 22,1
≥60 91 74,6
Pada tabel I terdapat 88 pasien
perempuan dan 34 pasien laki-laki. Dari
data diatas dapat dilihat bahwa perempuan
lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan laki-laki. Pada penelitian
Ramli 2013, dari 23 responden yang
terdiagnosis hipertensi yang berjenis
kelamin laki-laki adalah sebanyak 10
orang atau 43,5%. Pada survei dari badan
kesehatan nasional dan penelitian nutrisi
melaporkan hipertensi lebih
mempengaruhi wanita dibanding pria.
Diagnosis lain yang menyertai penyakit
hipertensi yang paling banyak dialami oleh
pasien di Puskesmas Mergangsan pada
periode Februari-Maret 2016 adalah
Hiperlipid dan Diabetes Melitus.
Penelitian ini sama halnya dengan
penelitian Davila et al. (2008) yang
menjelaskan bahwa penyakit lain yang
paling umum dijumpai pada pasien
hipertensi adalah gangguan metabolisme
lipid dan diabetes melitus, karena kedua
penyakit ini berpengaruh terhadap tekanan
darah pasien.
Pada penelitian ini golongan obat
antihipertensi yang digunakan adalah
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
187
diuretik, Angiotensin Converting Enzym
Inhibitor (ACEI) dan Calcium Channel
Blocker (CCB). Jenis dan jumlah obat dari
masing-masing golongan dapat dilihat
pada tabel II.
Tabel II. Pola Penggunaan Obat Antihipertensi Pada
Pasien Hipertensi di Puskesmas Mergangsan
Yogyakarta Periode Februari-Maret 2016 Variasi Golongan
Obat
Jenis
Antihipertens
i
∑ Pasien
N %
Monoterapi CCB
ACEI
Amlodipin
Captopril
104
4
85,2
3,3
Kombinasi 2 antihipertensi
CCB – ACEI
CCB – Diuretik
Amlodipin – Captopril
Amlodipin –
HCT Amlodipin –
Furosemid
Captopril – Furosemid
1
7
0,8
5,8
3,3
0,8
4
ACEI –Diuretik 1
Kombinasi 3 antihipertensi
CCB – Diuretik – Diuretik
Amlodipin – HCT –
Furosemid
1 0,8%
Total 122 100
Keterangan :
ACEI : Angiotensin Converting Enzym Inhibitor
CCB : Calcium Channel Blocker
HCT : Hidroklortiazid
Diketahui obat antihipertensi
tunggal lebih banyak digunakan yaitu
sebanyak 88,5% dibandingkan obat
antihipertensi kombinasi (Tabel II).
Antihipertensi tunggal utamanya
digunakan obat golongan Calcium
Channel Blocker (CCB) yaitu amlodipin
(85,2%) dan antihipertensi kombinasi
antara amlodipin dengan hidroklortiazid.
Penggunaan amlodipin sekali sehari dapat
meningkatkan kepatuhan pasien untuk
mengkonsumsi obat (Tambuwun et al.,
2015). Kombinasi 2 obat antihipertensi
amlodipin dengan Hidroklortiazid (HCT)
lebih menguntungkan untuk dipilih
sebagai obat antihipertensi yang tekanan
darah pasiennya tidak terkontrol
(Supraptia et al., 2014). Amlodipin
memiliki kemampuan memperbaiki efek
vasokontriksi vasa eferen arteri ginjal,
hiperplasi dan hipertrofi pembuluh darah
akibat induksi angiostensin II, sehingga
efektif untuk proteksi terhadap penyakit
ginjal, jantung dan penyakit pembuluh
darah (Kabo, 2011). Pemilihan kombinasi
obat antihipertensi sebaiknya dipilih dari
golongan obat yang berbeda dan dimulai
dari dosis yang lebih rendah. Terapi
kombinasi ini dimulai apabila pemakaian
terapi tunggal dengan dosis lazim gagal
mencapai target tekanan darah (Muchid et
al., 2006).
B. Identifikasi Drug Related Problems
(DRPs)
Kejadian DRPs yang dianalisis
meliputi indikasi yang tidak diterapi, terapi
obat yang tidak perlu, pemilihan obat tidak
tepat atau obat salah, dosis terlalu rendah,
reaksi obat merugikan, dosis terlalu tinggi,
dan kegagalan dalam menerima
obat/kepatuhan pasien. Drug Related
Problems kategori kegagalan dalam
menerima obat atau kepatuhan pasien tidak
dimasukkan dalam penelitian ini karena
subyek dalam penelitian ini diambil secara
retrospektif dengan menggunakan data
rekam medik, sehingga tidak
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
188
dimungkinkan untuk mengukur kepatuhan
pasien karena tidak bertemu pasien secara
langsung untuk melakukan wawancara
kepada pasien guna menilai kepatuhan
penggunaan obatnya. Diketahui terdapat
34 kejadian atau 27,8% yang mengalami
Drug Related Problems (DRPs) dari 122
pasien tersebut. Evaluasi Drug Related
Problems (DRPs) dapat dilihat pada tabel
III.
Tabel III. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
pada pasien hipertensi di Puskesmas Mergangsan
Yogyakarta periode Februari-Maret 2016
No Kategori Drug Related
Problems
Jumlah %
1. Indikasi yang tidak diterapi 8 6,5
2. Terapi obat tidak perlu 0 0
3. Pemilihan obat tidak tepat 0 0
4. Dosis terlalu rendah 4 3,3
5. Reaksi obat merugikan 22 18
6. Dosis terlalu tinggi 0 0
Total 34 27,8
1. Kategori Indikasi yang tidak
diterapi
Pada penelitian ini, berdasarkan
JNC VII pemilihan pengobatan
berdasarkan klasifikasi hipertensi pasien.
Hipertensi stage II membutuhkan terapi
kombinasi untuk mencapai tekanan darah
<140/90 mmHg untuk pasien tanpa
komplikasi penyakit lain dan <130/80
mmHg untuk pasien dengan adanya
komplikasi penyakit lain. Kombinasi
dengan dua golongan obat yang berbeda
diharapkan mampu menurunkan tekanan
darah secara efektif dari efek sinergis antar
obat dan dengan dosis obat yang lebih
rendah sehingga dapat meminimalkan efek
samping bagi pasien (Chobanian et al.,
2003). Hal ini berbeda dengan pemilihan
obat berdasarkan JNC VIII, dimana
perlunya tambahan terapi obat
antihipertensi pada pasien dikarenakan
pasien hipertensi dengan komplikasi
penyakit lain yaitu diabetes melitus dan
pada pasien lanjut usia. Selain itu, tekanan
darah pasien tersebut tidak terkontrol
dilihat dari pemeriksaan tekanan darah
sebelumnya.
Tabel IV. Kejadian Drug Related Problems
Kategori Indikasi yang tidak diterapi No.
Pasien
Umur
(tahun
)
Tekana
n Darah
(mmHg
)
Keterangan Jumlah
Pasien
JNC VII JNC VIII N %
3
17
69
88
63
81
170/90
160/100
160/90
Pasien hanya
mendapatkan
monoterapi obat,
padahal pasien
termasuk
hipertensi stage II
dengan
komplikasi DM.
Pasien
membutuhkan
kombinasi terapi
antihipertensi agar
target tekanan
darah tercapai
(<130/80)
Pasien dengan
komplikasi
penyakit lain yaitu
DM dan umur
pasien >60 tahun.
Selain itu tekanan
darah pasien tidak
terkontrol dengan
monoterapi obat
antihipertensi.
Maka
membutuhkan
kombinasi terapi
obat antihipertensi
untuk mencapai
target tekanan
darah <140/90
mmHg.
3 33,
3
27
61
80
100
119
64
69
54
64
43
160/100
180/90
170/100
170/90
180/990
Pasien hanya
mendapatkan
monoterapi obat,
padahal pasien
termasuk
hipertensi stage II
tanpa komplikasi
DM. Pasien
membutuhkan
kombinasi terapi
agar target
tekanan darah
tercapai
(<140/90mmHg)
Pasien tanpa
komplikasi
penyakit DM
dengan tekanan
darah tidak
terkontrol dengan
monoterapi obat
antihipertensi.
Maka butuh
kombinasi obat
golongan lain agar
target tekanan
darah tercapai yaitu
<150/90 mmHg
untuk pasien umur
>60 tahun dan
<140/90mmHg
untuk pasien umur
<60 tahun.
5 66,
7
Total DRPs Kategori Kategori Indikasi yang tidak diterapi 8 100
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
189
2. Kategori Dosis Obat Terlalu
Rendah
Penggunaan obat dengan dosis
terlalu rendah dapat menyebabkan tidak
tercapainya outcome terapi yang
diinginkan. Jumlah kejadian DRPs pada
dosis yang terlalu rendah dapat dilihat
pada tabel V. Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa jumlah kejadian
DRPs kategori dosis obat terlalu rendah
sebanyak 4 kejadian
Tabel V. Kejadian Drug Related Problems
Kategori Dosis Obat Terlalu Rendah No.Pasien Nama
Obat
Dosis
Penggunaan
Dosis
Standar
∑Pasien
N %
9,15, 88, 93
Kaptopril 2 x 12,5 mg 2-3 x 25 mg 3 x 12,5 mg
4 100
Total DRPs Kategori Dosis Obat Terlalu Rendah 4 100
Dosis kaptopril berdasarkan Drug
Information Handbook (DIH) adalah 25
mg 2-3 kali sehari atau untuk dosis awal
yang lebih rendah yaitu 12,5 mg 3 kali
sehari. Kisaran dosis menurut JNC VII
adalah 25-100 mg perhari dalam 2 dosis
terbagi. Pada penelitian ini pasien
mendapatkan kaptopril dengan dosis 12,5
mg 2 kali sehari. Maka seharusnya dosis
kaptopril dinaikkan untuk dapat
menurunkan tekanan darah sehingga target
terapi dapat tercapai. Dosis terlalu rendah
apabila dosis, frekuensi, dan durasi
pengobatan yang diberikan pada pasien
dengan kekuatan lebih rendah di bawah
dosis lazim berdasarkan standar Drug
Information Handbook. Dosis obat
tergantung pada masing-masing individu
karena perbedaan individual terhadap
respon obat tidak selalu dapat diperkirakan
(Joenoes, 2004). Pemberian obat dengan
dosis yang terlalu rendah berisiko
menyebabkan kegagalan dalam terapi dan
dapat menyebabkan kadar obat dalam
darah dalam keadaan subterapetik
(Kazouni et al., 2011).
3. Reaksi Obat Merugikan
Kategori reaksi obat merugikan
meliputi pasien mengalami alergi terhadap
obat, pasien yang berisiko apabila
penggunaan obat yang terlalu berbahaya
bila digunakan, dan efek obat berubah
karena induksi/inhibisi enzim oleh obat
lain atau terjadinya interaksi obat (Cipolle
et al., 1998). Pada penelitian ini yang
termasuk reaksi obat yang merugikan
adalah karena adanya efek obat berubah
karena induksi/inhibisi enzim oleh obat
lain atau terjadinya interaksi obat.
Penelitian ini menemukan 5 kasus
interaksi obat dari 22 total kejadian (Tabel
V). Dari 5 kasus tersebut, kasus dengan
kejadian terbanyak terdapat pada kasus
interaksi obat antara amlodipin dengan
simvastatin dengan persentase 68,2%.
Menurut lexicomp online tingkat risiko
interaksi antara obat amlodipin dengan
simvastatin adalah D. Tingkat risiko D ini
menunjukkan modifikasi kedua obat perlu
dipertimbangkan lagi. Hal ini dikarenakan
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
190
amlodipine dapat meningkatkan
konsentrasi serum simvastatin.
Tabel VI. Kejadian Drug Related Problems
Kategori Reaksi Obat Merugikan No.
Pasien
Interaksi
Obat
Tingkat
Resiko
Keterangan ∑Pasien
N %
76 Amlodipin -
Antasida
C Antasida
menurunkan efek CCB
1 4,5
20, 26,
55, 68
Amlodipin -
Ketokonazol
D Agen antifungi
dapat
meningkatkan efek toxic dari
CCB
4 18,2
39 HCT – Allopurinol
C Diretik thiazid meningkatkan
potensi alergi
atau hipersensitivitas
terhadap
allopurinol dan meningkatkan
konsentrasi
serum allopurinol
(meningkatkan
konsentrasi Oxypurinol
yaitu metabolit
aktif dari
allopurinol)
1 4,5
36 Amlodipin –
Fenitoin
D Amlodipin
dapat meningkatkan
efek toxic dari
fenitoin
1 4,5
5, 6, 19, 22,
25, 31,
34, 35, 58, 60,
63, 65,
71, 72, 73
Amlodipin - Simvastatin
D Amlodipin menghambat
metabolisme
simvastatin melalui
intestinal dan
hati
15 68,2
Total DRPs Kategori Reaksi Obat Merugikan 22 100
Keterangan :
A = Interaksi tidak diketahui
B = Tidak ada tindakan yang diperlukan
C = Terapi perlu dipantau
D = Pertimbangkan modifikasi terapi
X = Hindari kombinasi
Amlodipin dengan statin sama-
sama dimetabolisme oleh enzim CYP3A4.
Amlodipin menghambat metabolisme
simvastatin melalui intestinal dan hati
sehingga menyebabkan meningkatnya
konsentrasi puncak dari HMG-CoA
reduktase inhibitor. Beberapa penelitian
menyebutkan interaksi tersebut
menyebabkan rhabdomyolysis (Nishio et
al., 2005). Kadar statin yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan risiko
toksisitas musculoskeletal. Miopati
dinyatakan sebagai nyeri otot atau
kelemahan yang terkait dengan terlalu
tingginya kreatinin kinase yang melebihi
sepuluh kali batas normal. Apabila
simvastatin tetap ingin digunakan
management yang dapat dilakukan adalah
penggunaan simvastatin tidak melebihi
dosis 20 mg sehari. Alternatif yang lebih
aman untuk pasien yang menerima
amlodipin adalah dengan pemberian obat
lain seperti fluvastatin, pravastatin dan
rosuvastatin, karena obat-obat tersebut
tidak dimetabolisme oleh CYP450 3A4
dengan mempertimbangkan risk and
benefit (Nishio et al., 2005). Pada
penelitian ini dosis simvastatin yang
diberikan adalah 10 mg 1 kali sehari
sehingga masih aman digunakan untuk
pasien dengan pengggunaan obat
amlodipin.
Antasida dapat menurunkan efek
terapi CCB. Tingkat risiko interaksi antara
kedua obat ini adalah C. Jika obat dengan
tingkat risiko interaksinya C maka
management terapi yang dapat dilakukan
adalah perlu pemantauan terapi obat yang
diberikan. Selain itu antasida juga dapat
berinteraksi dengan kaptopril, dimana
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
191
antasida dapat menurunkan konsentrasi
serum kaptopril. Interaksi antara
penghambat ACE dan antasida merupakan
interaksi dengan mekanisme yang
melibatkan aspek farmakokinetika dari
obat. Bioavailabilitas penghambat ACE
menurun pada pemakaian bersama
makanan atau antasida yang menyebabkan
perlambatan pengosongan lambung dan
peningkatan pH lambung (Shionoiri,
1993). Management terapinya adalah
dengan memberi selang waktu minum 2
jam atau lebih pada kedua obat.
Interaksi obat yang lainnya adalah
interaksi antara amlodipin dengan
ketokonazole. Ketokonazole dapat
meningkatkan konsentrasi plasma
amlodipin melalui penghambatan intestinal
dan enzim CYP450 3A4 (DIH ed
22th
).Management terapi yang dapat
dilakukan yaitu monitoring pasien
terhadap efek toxic yang dapat timbul dari
CCB (amlodipin) serta memonitoring
tekanan darah secara berkala (Opie, 2012).
Diuretik thiazid (HCT) dapat
meningkatkan potensi alergi atau
hipersensitivias terhadap allopurinol.
Diuretik thiazid juga dapat meningkatkan
konsentrasi serum allopurinol
(meningkatkan konsentrasi Oxypurinol
yaitu metabolit aktif dari Allopurinol).
Hindari kombinasi terapi antara HCT
dengan allopurinol. Bila tetap akan
digunakan secara bersamaan, pastikan
untuk dapat memonitoring ketat pasien
mengenai gejala hipersensitivitas
allopurinol.
Fenitoin dengan amlodipin dapat
terjadi interaksi yaitu amlodipin dapat
meningkatkan efek toxic dari fenitoin
(DIH ed 22th
). Tingkat risiko interaksi
kedua obat adalah D. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan penggunaan amlodipin
dengan fenitoin jika terjadi peningkatan
cepat efek toxic dari fenitoin. Selain itu
perlu monitoring tekanan darah pasien jika
obat digunakan secara bersamaan.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah :
1. Penggunaan obat antihipertensi pada
pasien hipertensi di puskesmas
Mergangsan Yogyakarta periode
Februari-Maret 2016 adalah terdapat
penggunaan obat monoterapi yaitu
amlodipin 104 pasien (85,2%) dan
kaptopril 4 pasien (3,3%). Terapi
kombinasi 2 obat yaitu amlodipin –
kaptopril 1 pasien (0,8%), amlodipin –
HCT 7 pasien (5,8%), amlodipin –
furosemid 4 pasien (3,3%) dan
kaptopril – furosemid 1 pasien (0,8%).
Terapi kombinasi 3 obat antihipertensi
yaitu amlodipin – HCT – furosemid 1
pasien (0,8%).
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
192
2. Dari 122 pasien yang dievaluasi Drug
Related Problems (DRPs) terdapat 34
kejadian yang mengalami DRPs atau
27,8%. Evaluasi DRPs adalah sebagai
berikut : indikasi yang tidak diterapi
sebanyak 8 (6,5%), dosis obat terlalu
rendah 4 (3,3%), dan timbulnya reaksi
obat merugikan atau terjadinya
interaksi obat sebanyak 22 (18%)
kejadian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011, Data Global Status Report
on Communicable Diseases 2010,
WHO
Anonim, 2013,Riset Kesehatan Dasar,
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Chobanian, Aram V., George, L.B., Henry,
R.B., William, C.C., Lee, A.G.,
Joseph, L. I., Daniel, W.J., Barry,
J.M., Suzanne, O., Jackson, T.W.,
2003,The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Preassure,
The JNC 7 Report. USA: American
Medical
Association,http://www.ncbi.nih.gov
./pubmed/14676222). Diakses 21
Mei 2016
Cipolle, R.J. Strand. L. M. Morley, P. C,
1998,Pharmaceutical Care Practise,
The Mac Graw Hill Companies,
New York.
Davila, E.P., dan Wayway, M.H., 2008,
Comorbidities of Patients with
Hypertension Admitted to
Emergency Departments in Florida
Hospital, Florida Public Health
Review. 5: 84-89.
Fitriani, Ratih, 2007,Identifikasi Drug
Related Problems (DRPs) Kategori
Kontraindikasi dan Ketidaktepatan
Dosis Obat Pada Pasien Hipertensi
Geriatri Di Instalasi Rawat Inap
RSUD Dr. Mowardi Surakarta,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.
Gumi, V.C., Larasanty, L.P.F., Udayani,
N.N.W., 2013, Identifikasi Drug
Related Problems Pada Penanganan
Pasien Hipertensi Di UPT
Puskesmas Jembrana, Skripsi,
Jurusan Farmasi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Udayana, Bali.
James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman
WC, Himmelfarb CD, Handler J,
2014, Evidence based guideline for
the management of high blodd
pressure in adults: report from the
panel member appointed to the
height joint national committee (JNC
8), JAMA, 311 (5): 507-520 .
Joenoes, N., 2004, Ars Prescribendi Resep
Yang Rasional II, Airlangga
University Press, Surabaya.
Kabo, P., 2011,Bagaimana Menggunakan
Obat-Obat Kardiovaskuler Secara
Rasional, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Kazouni, A., Mohammed, B. S., Simpson,
C.R., Helms, P.J., dan McLay, J.S.,
2011, Paracetamol prescribing in
primary care: too little and too
much? British Journal of Clinical
Pharmacology, 72: 500-504.
Lacy C. F., Armstrong L. L., Goldman M.
P., Lance L. L., 2013, Drug
Information Handbook ed 22th
, Lexi-
Comp Inc., Ohio.
Muchid, Abdul., Umar, F., Chusun.,
Masrul., Wurjati, R., Purnama, N.R.,
Lestari, S.B., Syamsuddin, F.,
Pamela, D.S., Retnohidayanti, D.,
2006,Pharmacceutical untuk
penyakit hipertensi, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik
Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian, Hal: 183-193
Sabtu, 8 Oktober 2016, Hotel Aria Barito Banjarmasin
ISBN: 978-602-73121-1-1
193
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen kesehatan,
Jakarta.
Nishio, S., Watanabe, H., Kosuge, K.,
Uchido, S., Hayashi, H., dan Ohashi,
K., 2005,Interaction Between
Amlodipin dan Simvastatin in
patient with Hypercholesterolemia
and Hypertension, Departement of
Clinical Pharmacology and
Therapentics and Departemen of
Internal Medicine III, Hamamatsu
University School of Medicine,
Hamamatsu, Japan, 28 : 223-227 .
Opie, L.H., 2012, Drug Interactions of
Antihypertensive Agents,South
African Family Practile, 54: S23-
S25.
Ramli, Dewi Adinda Nurfitri,
2013,Hubungan Faktor Resiko
Penyakit Hipertensi dengan
Timbulnya Nyeri Tengkuk Pada
lansia Di Puskesmas Jongaya
Makassar,Skripsi, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Shionoiri, H., 1993, Pharmacokinetics
drug interaction with ACE
inhibitors, Clin Pharmaconet 25: 1,
20-58. PMID : 8354016.
www.medscape.com/medline.
Diakses tanggal 21 Mei 2016.
Supraptia, B., Nilamsari, W., Hapsari, P.,
Muzayan, H., dan Firdausi, H., 2014,
Permasalahan terkait obat
antihipertensi pada pasien usia lanjut
di poli geriatri RSUD Dr. Soepomo,
Surabaya,Jurnal Farmasi dan Ilmu
Kefarmasian indonesia, 1: 36-41.
Tambuwun, P.G., Suling, P.L., dan
Mintjelungan, C.N., 2015, Gambaran
Keluhan Di Rongga Mulut Pada
Pengguna Obat Antihipertensi Di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah
Sakit Tingkat III Robert Wolter
Monginsidi Manado. e-GIGI, 3: 241-
245.