@UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat...

13
1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai tubuh Kristus adalah salah satu denominasi gereja tertua dan terbesar di Sumatera Utara yang kantor pusatnya berada di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara. HKBP berdiri sejak tahun 1861 1 dengan mayoritas jemaat adalah masyarakat suku Batak Toba, masyarakat yang menganut tatanan paham patriarkhi. 2 Sejak tahun 2002, HKBP memiliki visi,misi dan tujuan yangtercantum dalam pembukaan AP HKBP 2002. Visi, misi dan tujuan HKBP dicantumkan dalam AP HKBP 2002 tersebut adalah untuk menjawab kekeliruan atas dasar-dasar iman yang mengakibatkan HKBP menjadi eksklusif. Sesungguhnya seringkali sebuah kekeliruan terjadi bukan karena disengaja, bukan pula karena ada motivasi untuk merusak. Ada kalanya kekeliruan itu terjadi karena perbedaan penafsiran dan situasi zamannya. Situasi seperti ini bisa saja terjadi dalam konteks pelayanan gereja. HKBP sebagai tubuh Kristus, juga tidak luput dari problematika seperti ini. Pemahaman teologi yang didasarkan kepada iman dan penghayatan akan firman Tuhan, ada kalanya akan berbenturan dengan perbedaan penafsiran. Hal ini lumrah, mengingat gereja adalah persekutuan orang percaya di segala tempat, di segala zaman dan di segala waktu. Gereja adalah sebuah persekutuan lintas generasi. Pemahaman teologis di masa generasi tertentu bisa saja berbeda dengan generasi sesudahnya. Ini adalah konsekuensi realita bahwa setiap generasi adalah anak zamannya sendiri. 3 1 Tim Perumus , Almanak HKBP 2013, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2013), h. 513 2 Menurut Rosemary Radfort Ruether, masyarakat patriarkhi adalah masyarakat di mana bapak menjadi dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan. Lihat Lisa Isherwood & Dorothea McEwan Ruether, setidaknya ada 6 kriteria/ciri masyarakat patriarkhi : Pertama, garis keturunan mengikuti ayah; kedua, suami memiliki kekuasaan atas istri, termasuk hal memukul dan menganiaya, bahakan menjual istri dalam perbudakan; ketiga, anak laki-laki lebih disukai daripada anak perempuan; keempat, peran perempuan umumnya terbatas pada ketrampilan rumah tangga, bukan dalam politik dan budaya, kelima, sebagai istri, tubuh, seksualitas dan kemampuan reproduksi perempuan dimiliki oleh suaminya dan keenam, hak untuk menerima warisan sebagai janda dan anak perempuan sangat dibatasi. Lih. Rosemary Radford Ruethes, The Dictionary of Feminist Theologies,(Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press, 1966), h. 85 3 Bonar Napitupulu, Beberapa catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2012), h. xvi @UKDW

Transcript of @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat...

Page 1: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai tubuh Kristus adalah salah satu

denominasi gereja tertua dan terbesar di Sumatera Utara yang kantor pusatnya berada di

Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara. HKBP berdiri sejak tahun 18611 dengan mayoritas

jemaat adalah masyarakat suku Batak Toba, masyarakat yang menganut tatanan paham

patriarkhi.2 Sejak tahun 2002, HKBP memiliki visi,misi dan tujuan yangtercantum dalam

pembukaan AP HKBP 2002. Visi, misi dan tujuan HKBP dicantumkan dalam AP HKBP

2002 tersebut adalah untuk menjawab kekeliruan atas dasar-dasar iman yang

mengakibatkan HKBP menjadi eksklusif.

Sesungguhnya seringkali sebuah kekeliruan terjadi bukan karena disengaja, bukan

pula karena ada motivasi untuk merusak. Ada kalanya kekeliruan itu terjadi karena

perbedaan penafsiran dan situasi zamannya. Situasi seperti ini bisa saja terjadi dalam

konteks pelayanan gereja. HKBP sebagai tubuh Kristus, juga tidak luput dari

problematika seperti ini. Pemahaman teologi yang didasarkan kepada iman dan

penghayatan akan firman Tuhan, ada kalanya akan berbenturan dengan perbedaan

penafsiran. Hal ini lumrah, mengingat gereja adalah persekutuan orang percaya di segala

tempat, di segala zaman dan di segala waktu. Gereja adalah sebuah persekutuan lintas

generasi. Pemahaman teologis di masa generasi tertentu bisa saja berbeda dengan

generasi sesudahnya. Ini adalah konsekuensi realita bahwa setiap generasi adalah anak

zamannya sendiri.3

1 Tim Perumus , Almanak HKBP 2013, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2013), h. 513

2Menurut Rosemary Radfort Ruether, masyarakat patriarkhi adalah masyarakat di mana bapak

menjadi dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara

keseluruhan. Lihat Lisa Isherwood & Dorothea McEwan Ruether, setidaknya ada 6 kriteria/ciri masyarakat

patriarkhi : Pertama, garis keturunan mengikuti ayah; kedua, suami memiliki kekuasaan atas istri, termasuk

hal memukul dan menganiaya, bahakan menjual istri dalam perbudakan; ketiga, anak laki-laki lebih disukai

daripada anak perempuan; keempat, peran perempuan umumnya terbatas pada ketrampilan rumah tangga,

bukan dalam politik dan budaya, kelima, sebagai istri, tubuh, seksualitas dan kemampuan reproduksi

perempuan dimiliki oleh suaminya dan keenam, hak untuk menerima warisan sebagai janda dan anak

perempuan sangat dibatasi. Lih. Rosemary Radford Ruethes, The Dictionary of Feminist

Theologies,(Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press, 1966), h. 85 3

Bonar Napitupulu, Beberapa catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP,

(Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2012), h. xvi

@UKDW

Page 2: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

2

Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah

karena kesadaran akan kekeliruan yang terjadi dalam konteks pelayanan HKBP, serta

kesadaran akan sejarah perjalanan dan pelayanan HKBP yang senantiasa dikaitkan

dengan ke-Batak-an sehingga terkesan eksklusif. Kata Batak pada HKBP itu telah

menjadikan HKBP selama ini eksklusif, sehingga kecenderungannya hanya

mengakomodasi suku Batak saja. Eksklusivisme HKBP tidak hanya berasal dari

keberadaannya sebagai gereja suku Batak melainkan juga merupakan warisan teologi para

misionaris yang dididik dalam gerakan-gerakan kebangunan rohani dan pietisme abad 19

yang pemahamannya eksklusif. Ulrich Beyer dalam ceramah Tema rapat Pendeta HKBP

tahun 2005, mengatakan bahwa : “ungkapan HKBP adalah HKBP”, juga lahir dari jiwa

dan semangat eksklusivisme yang menimbulkan kecenderungan menilai di luar HKBP,

tidak ada kebenaran. Eksklusivisme ini juga menimbulkan ketertutupan HKBP terhadap

pembaharuan.4

Sesuai dengan perkembangan zaman perjalanan panjang HKBP dalam

pelayanannya, kemudian menimbulkan kesadaran untuk merumuskan dan menata aturan

dan peraturan HKBP demi membongkar pemahaman tentang gereja HKBP yang eksklusif

tersebut. Oleh sebab itu, dalam aturan dan peraturan HKBP 2002 terpatrikan visi, misi

dan tujuan HKBP, sebagai berikut :

Bahasa Indonesia :

HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, serta

mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih

Tuhan Yesus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global,

terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Maha Kuasa.5

Bahasa Batak Toba :

HKBP mangerbang gabe huria na inklusif, dialogis jala ungkap huhut marhatauon

jala marhagogoon pahembangkon parngoluon na marmutu di bagasan holong ni

Tuhan Jesus Kristus, rap dohot sude halak di bagasan masyarakat global, tarlumobi

masyarakat kristen, asa gabe hasangapon di Debata Ama Pargogo na so hatudosan.6

4 Ulrich Beyer,” Pendeta HKBP Terpanggil Membaharui Diri dalam Rangka Memberdayakan Warga

dan Massyarakat di Tengah Era Globalisasi, Notulen Rapat Pendeta HKBP Tahun 2005, (Tarutung : Kantor

Pusat HKBP, 2005), h. 231 5 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2002), h. 95

6Ibid., h. 3

@UKDW

Page 3: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

3

Untuk mengerti dan memahami lebih detail tentang visi HKBP di atas, perlu lebih dahulu

memahami kata-kata kunci dalam visi tersebut dengan sebaik-baiknya. Kata-kata kunci

dalam visi tersebut, ialah :7

a. Berkembang menjadi = menyatakan bahwa pencapaian visi ini adalah suatu proses

berjangka panjang dan yang penuh harapan.

b. Inklusif = tidak eksklusif, dalam arti bukan hanya bagi suku Batak, tetapi juga bagi

suku-suku dan bangsa-bangsa lain; bukan lagi hanya di tanah Batak atau Indonesia,

tetapi di seluruh dunia; bukan lagi hanya berbahasa Batak Toba tetapi juga berbahasa

lain.

c. Dialogis = mampu dan ingin berkomunikasi serta bergaul dengan semua orang,

golongan, suku dan bangsa dalam masyarakat global, termasuk sesama umat

beragama; di samping itu juga mengutamakan dialog dalam mengatasi masalah dalam

berbagai pelayanan gerejawi; dalam organisasi dan kepemimpinan serta pelayanan

selalu mengutamakan kebersamaan melalui tim kerja (team work) dan bukan birokratis

– sentralistis dan mengutamakan manajemen berbasis jemaat, bukan manajemen

berbasis pimpinan.

d. Terbuka = tidak menutup diri terhadap perubahan zaman yang berpengaruh pada

kebutuhan jemaat dan masyarakat, tetapi dapat menerima perubahan untuk

peningkatan mutu pelayanan gerejawi sesuai dengan firman Tuhan; selalu berpegang

pada prinsip transparansi ( keterbukaan) dalam pengelolaan berbagai pelayanan

terutama pengelolaan keuangan.

e. Kehidupan yang bermutu = kehidupan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan

kehendak Allah.

f. Bersama-sama = mengutamakan kebersamaan yang sehati, sepikir, baik dalam jemaat

maupun dalam pergaulan dalam masyarakat Indonesia dan global; juga mengutamakan

kepentingan bersama, bukan kepentingan diri sendiri; dan mengutamakan pelayanan,

bukan kehormatan diri atau jabatan.

g. Untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa = kehidupan HKBP, dalam arti semua

pelayanannya adalah untuk kemuliaan Tuhan.

Dengan adanya visi seperti yang tertera di atas, HKBP juga menetapkan misi yang

harus dilaksanakan HKBP dalam rangka mencapai visi tersebut, yakni :

7 Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, (P. Siantar : L-SAPA, 2008), h. 146-147

@UKDW

Page 4: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

4

Berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga

jemaat HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar

mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku

kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan bersama segenap

masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan

global dalam menghadapi tantangan abad-21.8

Dalam Aturan Peraturan HKBP 2002 sangat jelas dinyatakan, bahwa HKBP dalam

mewujudkan visi dan misi HKBP berpegang teguh pada prinsip : 1) melayani, bukan

dilayani (Mrk. 10:45), 2) Menjadi garam dan terang (Mat. 5 :13-14), 3) Menegakkan

keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Mrk 16:15, Luk 4 : 18-19).9Selanjutnya,

dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, bab II pasal 2, dikatakan, bahwa HKBP adalah satu

wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di

seluruh dunia.10

Dari penjelasan di atas, terlihat jelas identitas gereja HKBP adalah

terbuka, universal (Am) dan Inklusif.11

Namun dalam kenyataannya, gereja HKBP masih

dalam proses menjadi gereja yang terbuka, universal dan inklusif.

Setelah 12 tahun visi HKBP lahir dan dicantumkan dalam AP HKBP, maka

tembok-tembok eksklusivisme dan rohnya sudah selayaknya hancur serta runtuh dari

seluruh aras pelayanan HKBP. Sejak lahirnya visi ini, HKBP sudah seharusnya

menghancurkan serta meruntuhkan pemahaman, stereotipe, tradisi dan sebagainya, yang

masih mendukung adanya tembok pemisah antara pendeta laki-laki dan pendeta

perempuan di HKBP. Sudah selayaknya,HKBP terhindar dan jauh dari pola hidup yang

memarginalkan.

Visi HKBP ini, adalah merupakan suatu impian yang harus diwujudnyatakan dalam

seluruh aras pelayanan HKBP. Harapan supaya gereja HKBP sungguh-sungguh

mengembangkan pelayanan yang bersifat menyeluruh (“holistic ministry”) dengan

melibatkan warganya yang plural itu. Gereja HKBP sungguh-sungguh siap menyambut

pelayanan pendeta perempuan di dalam struktur dan dalam segala aras pelayanan di

HKBP. Akan tetapi nampaknya, pendeta perempuan di HKBP masih hidup dalam suasana

dilematis. Hal ini terbukti dari minimnya pendeta perempuan yang ditempatkan pada

8 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, h. 92-93

9 Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, h. 96

10 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, h. 100

11 Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia,

Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka” dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005,

(Tarutung : kantor Pusat HKBP, 2005), h. 255

@UKDW

Page 5: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

5

posisi pengambil keputusan, bahkan dalam unsur pimpinan pusat HKBP belum ada

pendeta perempuan dan pimpinan dalam pelayanan yang non struktural di HKBP.

Selain itu, suasana dilematis terhadap keberadaan dan kepemimpinan pendeta

perempuan di HKBP adalah dengan masih adanya pemahaman dan sikap penolakan

warga jemaat terhadap pendeta perempuan. Pemahaman bahwa pelayan laki-laki sebagai

pelayan ideal dalam gereja telah tertanam dalam pikiran jemaat sejak lama dan

diwariskan secara turun temurun. Pendeta perempuan itu, kurang berwibawa. Jika

pendeta perempuan hamil dan melahirkan, bagaimana dengan pelayanannya di jemaat.

Bagaimana dia melayani jika medan pelayanannya, dengan jarak yang jauh dan tidak

didukung oleh infrastruktur yang baik, jalannya sulit dan sunyi, atau bagaimana dia

melayani pada malam hari. Wah... pelayan perempuan itu repot.12

Resistensi terhadap

pelayan perempuan terkadang justru datang dari kaum ibu dalam jemaat itu sendiri.

Paham patriarkhi yang telah tertanam dalam alam pikiran jemaat dan diwariskan secara

turun temurun, sangat berpengaruh dalam hidup pelayan gereja, sehingga jemaat lebih

senang jika pelayan mereka adalah laki-laki. Hal ini sangat bersesuaian dengan cara pikir

dari teolog Thomas Aquinas, yang menganggap, bahwa hanya seorang laki-laki yang

dapat mencerminkan “gambar dan citra” Allah.13

Ini adalah ironi dalam perjalanan dan

perjuangan yang panjang untuk meruntuhkan dominasi paham patriarkhi, untuk

mengupayakan kesetaraan gender dalam pelayanan pendeta perempuan dalam gereja

HKBP.

Dari realita di atas dan ditambah dengan pengalaman pribadi penulis sebagai

Pendeta perempuan di HKBP, ada sebuah kegelisahan bahwa sesuai dengan visi HKBP

yang mengatakan bahwa, HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan

terbuka. Seharusnya pendeta perempuan tidak perlu lagi mengalami berbagai hambatan

dalam mengembangkan pelayanannya dalam struktur HKBP dan dalam aras

pelayanannya sebagai pendeta HKBP, apabila seluruh pelayan dan jemaat di HKBP dapat

menerima dan menerapkan visi dan misi HKBP 2002 secara murni dan konsekwen.

Memang harus diakui bahwa implementasi visi HKBP terhadap keberadaan dan

kepemimpinan pelayan pendeta perempuan di HKBP, sebenarnya belum begitu terasa.

12

Pengalaman seorang Pendeta perempuan yang ditolak melayani sebagai Pendeta Ressort di salah

satu gereja HKBP di daerah pedesaan. 13

Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta :

Kanisius, 1992 & Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992), h. 81

@UKDW

Page 6: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

6

Hal ini disebabkan HKBP masih pertama sekali memiliki visi tersebut. Visi ini belum

cukup dikenal dan dipahami oleh warga jemaat dan bahkan para pelayan di HKBP,

sehingga visi ini, belum betul-betul meresap dalam segala aras pelayanan di HKBP.

Di samping itu juga, sosialisasi visi HKBP ini terhadap pelayan dan warga jemaat di

HKBP, kurang begitu intens dilakukan, sehingga di dalam seluruh aras pelayanan HKBP,

visi ini belum begitu dirasakan implementasinya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan atas

visi HKBP ini masih terbatas pada kalangan birokrat gereja. Pada hal, visi ini adalah visi

yang harus disosialisasikan hingga aras warga jemaat serta dalam seluruh aras pelayanan

di HKBP, karena visi ini sangat bermanfaat untuk membantu HKBP dalam

memperbaharui diri, keluar dari sikap yang eksklusif menjadi inklusif.

Melihat permasalahan yang ada di atas, maka penulis mencoba memberi

sumbangan dari pemahaman Paulus terhadap gereja sebagai tubuh Kristus dalam 1

Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, dalam upaya memahami makna visi inklusivitas

HKBP. Dengan pemahaman yang benar tentang gereja sebagai tubuh Kristus akan

mempermudah implementasi visi tersebut pada seluruh aras pelayanan di HKBP secara

khusus terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP.

Walaupun tidak secara implisit dinyatakan bahwa visi inklusif HKBP merupakan

implementasi dari surat Paulus ke jemaat Korintus, seperti tertulis dalam 1 Korintus

12:12-31 dan Galatia 3:28, namun dalam perjalanannya, pemahaman teologis rasul Paulus

ini banyak mempengaruhinya. Pemahaman Paulus mengenai gereja sebagai tubuh kristus

(1 Korintus 12:12-31), adalah barangkali gambaran yang paling kuat mengenai

persekutuan orang percaya dalam satu tubuh. Gambaran tubuh yang terdiri dari berbagai

organ tubuh yang berbeda-beda, menentang perasaan rendah diri di satu pihak (1 kor 12 :

21-25) dan di pihak lain menentang perasaan congkak. Masing-masing anggota tubuh

mempunyai fungsi dan tidak ada yang hanya menjadi penonton. Setiap anggota menjadi

partisipan aktif dalam hidup, pelayanan, persekutuan dan pembangunan gereja. Perbedaan

yang ada adalah melulu dalam pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang

satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Mereka saling bertautan satu sama lain.

Kekuatan dan kecenderungan dari gambaran satu tubuh ini bukan saja adalah pengakuan

“singleness” tetapi juga “pluralism”.1 Korintus 12:12-31 ini didukung dengan tulisan

@UKDW

Page 7: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

7

Paulus dalam Galatia 3:28, yang mengatakan tidak ada perbedaan laki-laki dan

perempuan. 14

Selanjutnya Robinson mengatakan bahwa komunitas Kristen sekarang dihadapkan

dengan kesadaran akan keberadaan dan tuntutan yang sangat beragam di antara

anggotanya: menuntut lebih banyak keterbukaan dalam kaitannya dengan gender,

perbedaan seksual atau pengertian feminisme dalam arti “equality” dan bukan lagi

subordinasi, termasuk dalam pembagian kekuasaan. 15

Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, pemahaman Paulus tentang gereja

sebagai tubuh Kristus dapat bermakna dan bahkan dalam wujudnyata visi HKBP,sehingga

pendeta HKBP memperoleh kesadaran bahwa perbedaan yang ada adalah melulu dalam

pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang satu lebih tinggi atau lebih rendah

dari yang lain. Oleh karena itu penulis, memilih 1 Korintus 12:12-32 dan Galatia 3:28,

untuk dikaji secara kritis, sehingga jelas terlihat fungsi teks dalam memahami visi HKBP.

Berdasarkan uraian deskripsi di atas, penulis termotivasi untuk melakukan

penelitian dengan judul: “VISI HKBP DIPERHADAPKAN DENGAN

KEBERADAAN PENDETA PEREMPUAN DI HKBP”. (Suatu Studi Exegetis Kritis

Pandangan Paulus dalam Surat 1 Korintus 12-12-31 & Galatia 3 : 28, Diperhadapkan

Dengan Keberadaan Pelayanan dan Kepemimpinan Pendeta Perempuan di HKBP)

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pendeta HKBP, bahwa implementasi visi

HKBP khususnya mengenai pendeta perempuan belum berjalan dengan baik, karena itu

penulis sangat terdorong untuk menggumuli masalah ini, berdasarkan studi exegetis kritis

1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dengan memakai hermeneutika feminis. Bertolak

dari latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok yang dapat dirumuskan dalam

tulisan ini adalah sebagai berikut: “Apakah HKBP telah mengimplementasikan visi

HKBP khususnya mengenai kesetaraan gender terhadap pendeta perempuan di

HKBP?”

14

Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia,

Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka” dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005,

h. 246 15

Ibid , h.247

@UKDW

Page 8: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

8

III. Pertanyaan Penelitian

Untuk meneliti lebih dalam maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di

HKBP?

2. Bagaimana pandangan budaya Batak tentang pelayanan dan kepemimpinan

perempuan?

3. Bagaimana studi kritis 1 Korintus 12 : 12-31 dan Galatia 3:28 berdasarkan

hermeneutik feminisyang menjadi landasan teologis mengimplementasikan visi

HKBP tersebut.

IV. Tujuan Penelitian

Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

- Agar HKBP mengetahui sejauh mana sosialisasi dan pengimplementasian visi

HKBP tersebut.

- Mengetahui dampak implementasi visi HKBP khususnya dalam kesetaraan gender

di HKBP.

V. Kegunaaan Penelitian dalam

Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk :

- Memberikan masukan dan pemikiran kepada HKBP dalam rangka

mengimplementasikan visi HKBP, terhadap pendeta perempuan.

- Memberikan semangat dan dorongan bagi pendeta perempuan HKBP, untuk

mengembangkan diri demi mencapai posisi strategis di HKBP.

- Memberikan sumbangan/kontribusi pemikiran dari hasil studi exegetis kritis

berdasarkan hermeneutik feminis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28,

dalam rangka mengimplementasikan visi HKBP tersebut.

VI. Batasan Masalah

Meskipun ketidakadilan dan diskriminasi akibat struktur HKBP, bisa terjadibaik

pendeta laki-laki maupun pendeta perempuan di HKBP. Namun, tulisan ini difokuskan

pada penelitian tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi terhadap keberadaan

dan kepemimpinan pendeta perempuan, oleh karena yang menduduki jabatan dalam

@UKDW

Page 9: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

9

struktur HKBP didominasi oleh pendeta laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba,

pembeda-bedaan antara laki-laki dan perempuan masih sangat kuat,hal ini juga

mempengaruhi kehidupan dan pelayanan di gereja HKBP. Oleh karena itu, sumbangan

teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, sangat diharapkan untuk

menyadarkan semua pihak, baik semua pendeta maupun warga jemaat HKBP tentang

karunia-karunia yang berbeda-beda, yang dimiliki setiap anggota jemaat dapat

dipergunakan dalam pembangunan gereja sebagai tubuh Kristus. Esensi studi ini ialah,

untuk memberikan sumbangan pemikiran teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan

Galatia 3:28, untuk mendapatkan pemahaman bahwa setiap warga jemaat dapat

mempergunakan karunia-karunia masing-masing untuk membangun tubuh Kristus. Setiap

warga jemaat dapat mengekspresikan diri dalam pelayanan dan kepemimpinan di gereja

sebagai tubuh Kristus, tanpa membeda-bedakan laki-laki maupun perempuan, karena

semua mereka adalah anggota tubuh Kristus. Karena itu, dalam penelitian atau pengkajian

teks digunakan metode penafsiran historis kritis dengan memakai hermeneutika feminis.

VII. Metodologi Penulisan

Di satu pihak, tulisan ini merupakan suatu studi exegetis kritis yang didasarkan pada

hermeneutik feminis namun di pihak lain, berusaha mendeskripsikan dan mengkaji

implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP. Maka metode

penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan observasi

partisipatoris. Terkait dengan bagian exegetis surat Paulus, maka metode penulisan yang

digunakan adalah penafsiran Alkitab dengan metode penafsiran historis kritis

berdasarkan hermeneutik feminis. Metode penafsiran historis kritis merupakan satu cara

sistematis untuk menafsirkan sebuah teks, guna memperoleh pemahaman yang tepat dan

memadai mengenai teks tersebut.16

Namun dalam metode penafsiran historis kritis

tersebut, penulis mempertimbangkan sudut pandang perempuan. Meskipun pengalaman

dan pemahaman perempuan dipertimbangkan dalam penggalian teks tersebut, namun hal

itu tidak akan mengurangi kekritisan dalam menganalisis dan memahami teks. Sebaliknya

pengalaman dan pemahaman perempuan tersebut merupakan alat bantu untuk

menganalisis dan memahami teks. Penafsiran historis kritis secara metodologis

menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu dengan melakukan rekonstruksi sejarah

16

John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,

1988), h. 24

@UKDW

Page 10: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

10

untuk memperkenalkan dan menggambarkan makna yang dimiliki teks sebagaimana

adanya di dalam konteks sejarah kekristenan mula-mula, sehingga dapat dipahami sebagai

penyataan masa kini. 17

Secara khusus sejarah Alkitab memiliki dua aspek yang harus diteliti, yaitu : 1)

Alkitab memiliki sebuah sejarah yang disusun di dalam kerangka sejarah Israel dan

sejarah kekristenan mula-mula. 2) Alkitab juga menceritakan sebuah sejarah yang usianya

lebih awal daripada Alkitab itu sendiri. Di samping itu penulisan sejarah Alkitab juga

memperlihatkan kompleksitas Alkitab. Penulisan ini menjelaskan kepelbagaian pemikiran

dan tindakan yang muncul dalam kehidupan Israel dan gereja, baik dari prespektif politik,

sosial, maupun agama. Oleh karena itu, penelitian terhadap Alkitab bukan hanya mencari

apa yang unik dalam Alkitab, tetapi juga menjelaskan rekonstruksi peristiwa sebagai cara

untuk memahami berbagai pemikiran dan tindakan yang muncul dan berkembang di

dalam sejarah Israel dan gereja di berbagai waktu dan tempat. 18

Dalam metode penelitian historis kritis perlu dilakukan penelitian dan evaluasi

terhadap sumber-sumber sejarah. Dalam proses ini ada dua hal yang perlu dilakukan : 1)

External Criticism, perlu dilakukan pengujian terhadap keabsahan saksi mata untuk

mempertimbangkan kredibilitas seseorang dan apakah peristiwa yang disampaikan tidak

cacat. 2) Internal criticism, tugas kritis dimulai dari teks sebagai suatu kesaksian tentang

pengalaman dan tindakan manusia di masa lalu. Langkah selanjutnya adalah evaluasi

terhadap posisi penulis, secara khusus mengenai konsistensi internalnya, bias yang ada

padanya dan kemampuan serta keakuratannya dalam melaporkan apa yang dia ketahui.19

Melakukan studi exegetis kritis terhadap 1 Korintus 12 : 12-31 dan Galatia 3:28

dengan memakai hermeneutik feminis dalam tulisan ini, berarti mencoba menggali makna

kesatuan tubuh Kristus dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis

berdasarkan prinsip-prinsip/ nilai-nilai feminis.

Penulis memakai hermeneutik feminis ini dengan pemahaman bahwa usaha

penafsiran ini tidak hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan perempuan, tetapi juga

oleh dan untuk kepentingan semua orang, laki-laki dan perempuan, dalam

memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan mutualitas. Menurut Margaret A. Farley

prinsip dasar bagi hermeneutik feminis yaitu perempuan adalah manusia sepenuhnya dan

17

Edgar Krentz, The Historical – Critical Method ( Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 33 18

Ibid. 19

Ibid., h.42-44

@UKDW

Page 11: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

11

harus diperlakukan demikian.20

Selanjutnya Farley mengatakan bahwa prinsip dasar ini

harus dikaitkan secara erat dengan prinsip kesederajatan (equality) yaitu perempuan dan

laki-laki sama-sama manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian, dan

mutualitas didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah subjek yang mewujudkan

diri, mandiri dan saling berhubungan.21

Selanjutnya penulis tertarik memakai hermeneutik feminis didasarkan pada

pernyataan Marie Claire Barth – Frommel, bahwa Alkitab (Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru) bersifat androsentris. Naskahnya ditulis, ditafsirkan dan diturunalihkan

oleh laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Alkitab dibentuk oleh kaum laki-

laki dalam budaya patrirakhi, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan di dalam

Alkitab ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhat dan mengabaikan

sudut pandang perempuan.22

Apa yang dikatakan oleh Barth –Frommel sejajar dengan pendapat Paul K. Jewett

yang mengatakan bahwa ada banyak bagian Alkitab yang bersifat androsentris dan hal itu

sangat erat kaitannya dengan latar belakang Yudaisme yang begitu kuat mempengaruhi

proses pembentukan Alkitab. Dalam Yudaisme hubungan antara laki-laki dan perempuan

dipahami dalam konsep : laki-laki sebagai figur yang superior dan perempuan sebagai

figur yang inferior, laki-laki sebagai pembuat keputusan dan perempuan harus taat pada

keputusan laki-laki.23

Sebuah hermeneutika feminis yang kritis harus beralih dari teks-teks androsentrik

kepada konteks-konteks sosial historis mereka. sebuah rekonstruksi kritis tentang

penindasan historis kaum perempuan di dalam agama dan komunitas biblika yang

patriarkhi, serta analisis tentang pembenaran teologis, konseptualnya, harus didasarkan

pada sebuah visi alternatif Alkitabiah feminis tentang interaksi historis-budaya-

keagamaan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam komunitas Kristen.24

Bahasa

teks dan penafsiran Alkitab yang androsentris, mengakibatkan kaum perempuan

20

E. Sumargono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), h. 24 21

Ibid., h. 39 22

Marie Claire Barth – Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu : Pengantar Teologi

Feminis, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), h. 27-29 23

Paul K. Jewett, MAN : As Male and Female, (Grand Rapids : WB. Eerdmans Publishing

Company, 1975), h. 93 24

Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis tentang

Asal-Usul Kekristenan, Terj. Stephen Suleeman, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), h. 60-63

@UKDW

Page 12: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

12

termarginalkan secara historis-teologis.25

Perempuan tidak dianggap sebagai mahkluk

otonom. Laki-laki adalah subjek, yang mutlak, sedangkan perempuan adalah “yang lain”.

Struktur-struktur masyarakat, budaya dan juga ilmu pengetahuan, mendefenisikan

perempuan sebagai mahkluk yang muncul dari laki-laki dan menduduki tempat nomordua

dan inferior. Dalam konsep yang demikian maka prinsip hermeneutik feminis merupakan

suatu alternatif. Hermeneutik ini memberi ruang yang cukup bagi perempuan dan

memberi jawab terhadap berbagai penafsiran androsentris atas teks-teks Alkitab yang

mengandung bias patriarkhi. Melalui hermeneutik feminis kita dapat melihat kesaksian

Alkitab yang autentik, yang bermakna dalam pergumulan hidup umat Kristen dan

memberi makna keselamatan kepada semua ciptaan.

Terkait dengan itu, maka dalam penelitian ini ada beberapa proses yang akan

dilakukan untuk mencapai suatu penelitian ilmiah yang cukup memadai antara lain :

- Melakukan studi kritis memakai hermeneutik feminis terhadap 1 Korintus 12:12-

31 dan Galatia 3:28 dengan metode penafsiran historis kritis.

- Melakukan studi kepustakaan atau literatur dan studi lapangan dengan

menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Studi lapangan yang dimaksud

antara lain : wawancara, observasi, serta survei yang berkaitan dengan aspek-

aspek judul tesis ini. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari,

mendalami dan memanfaatkan teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah

literatur baik buku-buku, dokumen-dokumen tertulis di HKBP, jurnal, majalah

atau karya tulis lainnya yang relevan dengan judul tesis ini.

VIII. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab I sebagai bab pendahuluan merupakan titik tolak dan landasan bagi

pembahasan bab-bab berikutnya. Bab ini menyajikan Pendahuluan (Latar belakang

Masalah, Perumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan

Penelitian, Batasan Masalah, Metodologi Penulisan dan Sistematika Penulisan).

25

Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis

tentang Asal-Usul Kekristenan, h. 68

@UKDW

Page 13: @UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50120324/a69a95... · 2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan

13

BAB II Analisa kritis terhadap visi HKBP: Menjadi Gereja Yang Inklusif, Dialogis

dan Terbuka diperhadapkan dengan keberadaan Pendeta HKBP

Bab ini mengenai latar belakang visi HKBP serta analisa kritis terhadap

implementasi visi HKBP yang diperhadapkan dengan keberadaan pendeta perempuan di

HKBP. Termasuk di dalamnya hasil studi lapangan berdasarkan wawancara, serta

observasi atas keberadaan pendeta perempuan pada daerah pedesaan dan perkotaan, dan

dokumen-dokumen HKBP. Kemudian data-data hasil penelitian tersebut akan dianalisa.

BAB III Studi Historis Kritis Terhadap 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28

dengan memakai hermeneutik feminis

Dalam bab ini akan diuraikan studi historis Kritis terhadap 1 Korintus 12:12-31

dan Galatia 3 :28 yang berisi, konteks kehidupan baik secara umum maupun secara

khusus dan tafsiran dengan memakai hermeneutuk feminis.

BAB IV Sumbangan dari studi exegetis kritis berdasarkan hermeneutik feminis dari

1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 terhadap Visi HKBP

Bab ini berisi sumbangan/kontribusi pemikiran hasil studi exegetis kritis

berdasarkan hermeneutik feminis 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dalam rangka

mengimplementasikan visi HKBP tahun 2002.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran bagi HKBP dalam

melaksanakan dan melanjutkan pelayanan HKBP di segala aras dengan tetap teguh dalam

prinsip kesetaraan gender dalam membangun tubuh Kristus sesuai dengan visi HKBP.

@UKDW