tahapAN KESADARAN

148
Membangun Kesadaran Rasa Sejati DINAMIKA PERKEMBANGAN ILMU ILMIAH MODERN, DAN INTUISI PRIMITIF-MODERN-POSTMODERNISM “Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati” By: sabdalangit ae banyusegoro Prologue Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini. Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau jangan- jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke- tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia. Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar

Transcript of tahapAN KESADARAN

Page 1: tahapAN KESADARAN

Membangun Kesadaran Rasa Sejati

DINAMIKA PERKEMBANGAN

ILMU ILMIAH MODERN, DAN INTUISI

PRIMITIF-MODERN-POSTMODERNISM

“Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati”

By: sabdalangit ae banyusegoro

Prologue

Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.

Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia. Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : “kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu”.

Kesadaran; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan

Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik (wadag), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap

Page 2: tahapAN KESADARAN

hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum lah genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib.

Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati. Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh (asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis ..it’s nonsense ! Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tak cukup hanya berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman akal-budi (rasionalisme-empirisisme) saja.

Kesadaran adalah Proses yang Dinamis

Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad/ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah.

Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta

Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong

Page 3: tahapAN KESADARAN

sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.

Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan berlebihan atau lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling dan waspadha.

Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula. Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa latu adadamar ; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (the problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu.

TAHAP-TAHAP KESADARAN

1. Kesadaran Jasad

Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri (survival) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ubo rampe naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya

Page 4: tahapAN KESADARAN

menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. Jika ada sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri (tanpa analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan hadiah/menyamankan tubuh (stick & carrot). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal yang sanggup direspon oleh naluri hewani.

Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia pada galibnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam (harmonisasi).

Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.

Kesadaran Akal Budi

Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan

Page 5: tahapAN KESADARAN

diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara empiris (empirisisme).

1. Kesadaran Nalar

Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, category, form, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (nggawa latu) sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada (fenomenon). Namun Organon sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri (being) yang melampaui akal-budi manusia.

Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam scope kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan (conclusion) sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).

2. Kesadaran Empirisisme

Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip Organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi. Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani

Page 6: tahapAN KESADARAN

pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance abad pertengahan di Barat.

Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.

Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.

Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran) di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.

Dinamika Kesadaran A La Barat

Sejenak kita flash back, sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat ontologi, ephistemologi, dan aksiologi, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?

Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?.

Page 7: tahapAN KESADARAN

Kedua, versus hakikat (noumena/essence): Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?

Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang kowledge pada zaman renaissance. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.

Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat/essence kehidupan (noumena) di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan kodrat/hukum alam. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata wadag (fenomena) toh tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat” hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan.

Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya.

Keterbatasan Kesadaran Akal Budi :

Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui noumena, berupa realitas hakekat atau essence. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut. Pertama, sebatas pengetahuan kognitif (cognitive science). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan : “…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis. Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa

Page 8: tahapAN KESADARAN

dilihat dengan indera atau fenomena. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.

Kedua, sebatas penafsiran subyektif. Melalui instrospeksionisme (introspectionism). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.

Ketiga, bersifat relative-obyektif. Dalam disiplin sosiologi terdapat pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (marxianism: sosialisme, komunisme leninisme dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam perspektif sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (spiritual) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.

KESADARAN INTUITIF

Menjawab kelemahan Bacon di atas, seorang filsuf P.D. Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran yang bersifat intuitif yang merangkum keduanya, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi (higher consciuousness) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (higher reality). P.D. Ouspensky menyebut temuan metodenya dengan berbagai istilah: Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic. Sebuah metode sebagai upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan yang esensial (noumena). Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran Ouspensky

Page 9: tahapAN KESADARAN

mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu. Mafhum lah kita mengapa sikap para filsuf besar Yunani tampak paradoksal dengan mengatakan bahwa; semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya.

Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi menurut Webster Dictionary adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu. Senada dengan itu menurut psikolog sosial dan sekaligus pengikut Guru Besar Psikologi Daniel Kahneman pada Princeton University, David G. Myers (Intuition; Its power and perils; 2002) pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa usaha. Kalimat Kahneman yang menjadi pedoman Myers adalah ; ….kami mempelajari berbagai intuisi, beragam pemikiran dan preferensi yang mendatangkan pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.

Berangkat dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif yang banyak mengandung misteri kehidupan, lebih lanjut Ken Wilber (dalam: An Integral Theory of Consciousness, 1997) menyarankan agar melakukan pendekatan secara integratif. Setidaknya menempuh dua langkah berikut; Pertama penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa eksistensi kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika), beyond side. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Saran Wilber sangat bijaksana, namun demikian, pendekatan integral ini lebih terasa sebagai himbauan moral saja. Ia tidak mengkonsep secara tegas dalam tataran aksiologi sebagai terobosan ilmu pengetahuan.

Dasar manusia, tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan intuisi manusia. Disebut sebagai teori energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini, hipotesis penelitian dilakukan dengan berpijak pada asumsi atau pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak

Page 10: tahapAN KESADARAN

nama lain, seperti tenaga dalam, aura, prana, ki, dan chi. Wilber secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya.

Meredam Arogansi Ilmiah

Jika dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan tetapi, paling tidak Wilber menegaskan bahwa fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini arogansi ilmiah sedapat mungkin harus dicegah. Saran Wilber tersebut patut dijadikan warning, betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan paca indera saja seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri kehidupan. Hegemoni arogansi ilmiah justru membuat manusia teralienasi dengan ke-ada-an misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen “orang suci” yang telah menghegemoni kesadaran intuisi umat manusia dengan doktrin yang menciutkan hati. Ironis sekali, sebuah kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya. Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapaun yang tertarik mengembangkan intuisi harus meredam arogansi ilmiah termasuk arogansi dogma-dogma, lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. Jika rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat– bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada (being) di luar fikiran kita sebagai kebenaran esensial noumena.

Benar kalimat nenek-moyang bangsa kita, Nggawa latu adadamar. Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai modal utama untuk membuka kesadaran intuitif kita. Yakni, adanya kesadaran bahwa kecenderungan rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya. Terlebih lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana pembanding lainnya, sebagai data komparatif yang akan diolah rasio.

Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran

Sekalipun gaib/abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara logic dan empiris. Hanya saja pembuktian terencana dan empiris lebih sulit dilakukan. Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat spontanitas saja. Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada

Page 11: tahapAN KESADARAN

korelasinya. Seorang enterpreneur sejati, seniman dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. Intuisi adalah awal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih.

Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat kontemplatif. Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten. Tak puas hanya dengan melakukan kontemplasi, terdapat pendekatan Psikologi Perkembangan. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia berupa kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.

Contoh Bekerjanya Intuisi

Intuisi adalah hal yang sepele namun tak bisa dianggap sepele. Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan non-sense dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan (baca: kodrat alam). Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga al hasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika milik sendiri.

Sekedar contoh proses diperolehnya kebenaran intuisi terdapat dalam beberapa contoh kasus berikut:

Pada tanggal 1 bulan Mei 2006, sewaktu duduk berbincang dan diskusi bersama kawan-kawan, istri tiba-tiba berteriak histeris sambil terkesima, secara tidak sengaja melihat seperti kelebatan gambaran (view) seolah melihat “layar tancap” yang berisi “film” kejadian guncangan gempa dahsyat sekali. Dalam kelebatan tersebut sekilas tampak papan penunjuk arah tertera tulisan Ke Jl. Parangtritis, Ke Bantul, Klaten, Yogyakarta. Sehari kemudian jam 18.00 bayangan itu muncul lagi, namun kali ini sekelebat

Page 12: tahapAN KESADARAN

tertera tanggal “27”. Dalam gambaran itu tampak seolah gempa terjadi waktu remang-remang, tidak jelas apakah pagi atau sore hari. Ternyata bayangan itu benar-benar terjadi tanggal 27 Mei 2009. Antara tanggal 1 mei hingga tanggal 26 Mei, status bayangan tersebut belumlah sebagai kebenaran intuisi. Namun ketika gempa benar-benar terjadi persis tanggal dan harinya, barulah bayangan itu menjadi kebenaran intuisi.

Dalam alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya karena dalam metode intuisi kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi. Posisi kita sebagai obyek intuisi sangatlah determinan, hanya menunggu bukti itu terjadi dengan sendirinya. Selain itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. Lamanya pebuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka.

Contoh lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca yang budiman pernah mengalami kejadian serupa.

Bekerjanya intuisi kita biasanya dimulai dari kasus-kasus sederhana. Sebagai contoh misalnya: anda tiba-tiba merasakan keinginan kuat dari dalam lubuk hati untuk menelpon teman anda yang lama tak ada kabar berita. Setelah anda menelpon ternyata teman anda sedang mengharapkan bantuan anda. Contoh lain misalnya anda tak tahu entah alasan apa namun merasa ingin sekali kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah anda mendapati seorang pencuri mencoba masuk ke rumah anda. Anda bebas mengartikan intuisi anda sebagai ilham, ataukah nurani, bisikan gaib, karomah, wangsit, laduni atau sasmita. Ilustrasi yang lain, misalnya anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba orang yang bersangkutan menelpon atau mengunjungi anda. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan. Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata wadag anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki (enigma), semakin mudah menyaksikan eksistensi gaib (noumena) di sekitar anda.

Page 13: tahapAN KESADARAN

Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula six-sense. Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan, akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh temuan baru (discovery) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. Bahkan apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan metode ilmiah paling kontemporer sekalipun. Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (higher consciuousness) tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran.

Pertanyaannya; Mungkinkah suatu saat ditemukan kamera canggih yang dapat mengambil gambar wujud roh ? Tidak tertutup kemungkinan ! Mungkin sudah menjadi kodrat/rumus Tuhan bahwa perkembangan kesadaran intuisi (batin) manusia berkembang lebih pesat jauh meninggalkan kesadaran akal-budi.

Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa intuisi bekerja secara misterius, kesadarannya dapat melampaui kecepatan kesadaran akal-budi. Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan. Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta untuk membuka segenap enigma sebagai noumena, kebenaran esensial yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia.

Pemberdayaan Intuisi a la Timur

Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai given (anugrah dari Tuhan) yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan. Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.

Javanese Tradition

Manusia memiliki kecenderungan ontologis untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui kasunyatan (kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional (akal-budi) dan

Page 14: tahapAN KESADARAN

empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur rasa di luar jasad (six-sense). Dengan mengasah intuisi atau pemberdayaan indera (ke-enam) sebagai indera perasa kita yang ada dalam rasa sejati (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki rasa sejati sebagai indera ke-enam (six sense). Namun demikian six sense kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka indera ke-enam terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Hampir senada, Dr. A Ciptoprawiro (dalam bukunya: Filsafat Jawa; 1986) mencoba menjelaskan intuisi dengan mengatakan kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa perasaan & pengetahuan.

Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks perasaan pengetahuan tersebut harus dibedakan dengan perasaan panca indra. Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai rahsa sejati atau rasa jati. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau berfikir dengan hati. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan menggalih (analisa menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu persoalan berat, orang Jawa sering mengatakan, akan melakukan ngenggar-enggar penggalih. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku atau kesadaran rasa sejati tidak bersifat statis tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran.

Tradisi Jawa mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi indera ke-enam kita. Yakni antara lain dengan cara semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata, dan laku prihatin. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan nafsu negatif atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas rahsa sejati, yakni berupa indera ke-enam kita yang menjadi “mata tombak” mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan dinamisme 1500-100 SM jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai ruang-ruang gaib dengan menyaksikan noumena, berbagai eksistensi metafisika nan mistis. Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat. Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan mistisism. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan rahsa sejati dengan cara: nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (waskitha). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disipkan pepéling (pengingat) termasuk dalam tradisi kesenian tembang terdapat gaya pangkur. Pangkur bermakna nyimpang såkå piålå, mungkúr såkå nafsu dur angkårå.

Dalam tradisi Jawa keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada kewaskitaan para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan futurolog masyhur seperti ; KGPAA Mangkunegoro IV,

Page 15: tahapAN KESADARAN

Raden Ngabehi Ranggawarsita, P Jayabaya, RM Sastra Nagara, Mbah Ageng (Ki Metaram) Juru Nujum Sri Sultan HB IX, KPH Cakraningrat dan masih banyak lagi. Di negara barat seperti Nostradamus, Jucelino Noberga da Luz dan Franciscoshabiz (Brazilia), John Naisbitt, Suku Bangsa Maya dll. Berbagai ajaran spiritual Jawa bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu. Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga pencapaian hasilnya berbeda-beda. Ahli spiritual Jawa tidak mengenal kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “gentur laku” mulai dari wong cilik, rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan. Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi sebagai cagar budaya sekaligus menjadi centrum cagar spiritual hasil “olah batin” para leluhur bumi nusantara.

Pada saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dsb. Paling tidak terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi. Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci dsb karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali kemampuan intuitif sejak lahir sebagai talenta untuk menemukan kebenaran sejati. Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat yang berada dalam ruang universalitas nilai. Tidak diperlukan pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan akan beresiko fragmentasi, terkotak-kotak terbatas dalam ruang yang sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad.

Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga ngelmu tuwa, yang berhasil meraihnya disebut “uwong tuwa” atau sesepuh. Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau ngelmune tuwa atau orang yang tinggi ilmunya. Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (mbodoni), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap. Jika berhadapan langsung pun kadang justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa disangka-sangka dan diduga-kira ketinggian falsafah hidupnya.

Bagi yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif thinking. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi beyon side, eksistensi yang ada di luar akal-budi kita (noumena). Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri. Asal mau membiasakan diri ; memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri atau ditolak. Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama, selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita. Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan dan

Page 16: tahapAN KESADARAN

khayalan keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati disebut pula sebagai hati nurani (kareping rahsa).

Jika diurutkan cara bekerjanya intuisi adalah sebagai berikut :

rahsa sejati (kareping rahsa) — sukma sejati (guru sejati) — getaran hati (nurani) – intuisi — respon otak (imajinasi)

Bandingkan dengan kronologi nafsu berikut ini :

obyek yang menyenangkan –- panca indera –- hati -– respon otak (imajinasi atau perencanaan pemenuhan hasrat/keinginan jasad)

Kesadaran

Dalam ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni; (1) Jasad, (2) akal-budi, (3) nafsu, (4) roh, (5) rasa (indera ke-enam), (6) cahya, (7) atma. Intuisi setara dengan kesadaran urutan ke lima. Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni orang pilihan, dan orang awam.

Orang Awam (kesadaran lahiriah)

Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (nawung kridha) atau wahdatul wujud, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teksbook, referensi) dan dari mulut ke mulut, kulak jare adol jare, ceunah ceuk ceunah, serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.

Orang Pilihan (kesadaran batiniah)

Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini dalam terminologi Jawa lazim disebut Nawung Kridha atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat

Page 17: tahapAN KESADARAN

kesadarannya semakin tinggi pula. Disebut juga sebagai satu mungging rimbagan, yakni orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran curiga manjing warangka, atau dwi tunggal (loroning atunggil), pamoring kawula Gusti, atau manunggaling kawula Gusti. Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana, sedangkan dalam terminologi Latin sebagai Imago Dei, sementara istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya Orang Biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati sajroning ngaurip (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (rahsaning karep) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (kareping rahsa). Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya six-sense kita.

Beberapa Tipe Orang Pilihan

KRT. Ronggo Warsito dalam karyanya suluk Pamoring Kawula Gusti, berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni :

1.Tipe Etis ;

yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah waskita dan susila anor raga. Orang pilihan tipe etis telah mampu megharmonisasi antara batin dengan perbuatannya. Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan dalam cerita wayang dengan lakon Wisnu Murti, yakni Prabu Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang Bimasuci, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai kesadaran triloka yakni alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut rijalul gaib.

2.Tipe Kosmologis ;

yakni olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal dan mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos mencapai high consciuousness dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati, yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin patipurna; batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata. Maka secara emanatif manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat cahya sejati nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang transenden yakni; sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal alam kelanggengan nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat

Page 18: tahapAN KESADARAN

berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya sejati (disebut pula nurulah). Asal roh adalah hakekat cahya yang suci maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. Inikah yang sebenarnya sebagai hakekat “malaikat” ? silahkan anda telaah sendiri.

3. Tipe Teologis ;

Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara rasional locic sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang untouchable makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat di mana suatu agama dahulu dilembagakan.

Ngelmu Kasampurnan

Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi manusia (highest consciuousness). Maka dalam istilah Jawa ilmu kasampurnan disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran. Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Idiom Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil menggapai ilmu kasampurnan, yakni; jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah. Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar kemampuan akal-budi (kawaskithan). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.

Pencapaian kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai

Page 19: tahapAN KESADARAN

melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah; yakni sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih rahsa sejati (lihat thread; Serat Wedhatama). Wedha adalah petunjuk atau laku/langkah, Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (solah tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan batin atau båwå. Wujud solah akan merefleksikan keadaan båwå dalam batin, namun kesadaran båwå juga termanifestasikan ke dalam wujud solah. Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan båwå, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual) dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;

1. Madu Båså

Meliputi adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang yang mampu membawa diri, mawas diri atau mulat sarira. Kata-kata yang tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan ajining diri kerana lathi. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa yang ada dalam ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju. Itulah bahasa akan menjadi “madu” tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.

2. Madu Råså

Meliputi empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga. Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat. Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami bahwa derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan oleh perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama. Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain. Keadaan mental

Page 20: tahapAN KESADARAN

seseorang madu rasa, memiliki kematangan, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap, tanggap, empatik dan peduli lingkungan.

3. Madu Bråtå

Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha, eling terhadap sangkan paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan. Kedua, madu brata diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk menyebut seseorang yang dapat menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan kesadaran lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam. Madu brata, “madu”nya perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai jagad kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar memiliki hubungan yang harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala alam. Madu bråtå sepadan dengan sikap hamemayu hayuning bawånå. Ketiga, pangastuti dan rasa sejati yang dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti. Seseorang memiliki daya batin yang jinurung ing gaib, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam, atau kodrat alam lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka Idune idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan, sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).

Senada dengan serat Wedhatama, dapat dilihat dalam Filsafat Widyatama, terdapat dalam suluk Sukma Lelana, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran tentang Widyatama atau ajaran tentang lakutama, yakni perilaku utama, atau budi pekerti yang luhur. Dikemas dalam bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat kehidupan adiluhung, dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup (ngudi kawicaksanan), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan). Di dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad, kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (kasampurnan). Orang yang ngudi kawicaksanan dan kawaskitan disebut sebagai seorang jalma sulaksana.

Kemampuan Hewan dengan Manusia

Mengulas tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri pada jalur hukum alam atau

Page 21: tahapAN KESADARAN

kodrat Tuhan. Hal ini sekilas tampak paradoksal namun kenyataannya demikian adanya. Karena di satu sisi akal manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu. Resikonya adalah penguasaan nafsu atas jiwa (lihat thread; Mengenal Jati Diri; Hakekat Neng ning nung nang). Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah kira.

Jalan satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran, sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah, akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina di dunia.

Dalam konteks demikian tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karena hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas kemampuannya. Sebaliknya manusia terbebani untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan, kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya adalah malapetaka di dunia maupun setelah ajal tiba.

Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah,

Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.

Satu kebenaran intuitif seseorang

bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang

Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuitif

Tidak sebanyak jumlah manusia di bumi

Apalagi sebanyak bintang di langit

********

By: sabdalangit.wordpress.com

Page 22: tahapAN KESADARAN

INDIKATOR INTERAKSI Dengan SUPERNATURAL BEING

Supernatural, magical, occult, magic, invisible, hidden, mysterious, mystical, uncanny, mystic, fairy, inscrutable, faerie, fey, preternatural, orphic, cryptic, superlunary, fairytale, astral.

Supernatural being, dapat saya artikan secara lazim sebagai ke-ada-an yang bersifat non-alami, tidak bersifat fisik. Sementara yang lain menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, misteri, penuh teka-teki, tidak dapat diselidiki, atau tidak dapat dipahami. Benarkah supernatural being tidak dapat dijelaskan secara ilmiah ? Dalam konteks ini apakah gaib itu nyata ?

Barangkali jawaban yang saya berikan terkesan unik, aneh dan berbeda dari kebiasaan umum. Nyata atau tidak nyata tergantung siapa yang menjawabnya. Jika jawaban keluar dari seseorang yang mempunyai kemampuan indigo, atau orang-orang yang sering mengalami interaksi dengan mahluk halus dan berbagai hal gaib, atau orang yang indera penglihatannya sering menangkap obyek metafisik (supernatural being), tentu gaib tidak lagi bersifat invisible, maupun inscrutable. Sebaliknya menjadi tampak nyata, maka boleh-boleh saja disebut sebagai kasunyatan atau kenyataan. Lain halnya bagi seseorang yang samasekali tidak pernah melihat gaib, apalagi menyangkal terhadap sesuatu yang gaib, tentu saja gaib menjadi sesuatu yang sama sekali tidak nyata (preternatural).

Dapat dimaklumi, harapan untuk dapat MELIHAT atau menyaksikan “kasunyatan” gaib bukanlah hal mudah. Meskipun demikian bukan berarti bahwa seseorang lantas samasekali tidak pernah berinteraksi dengan supernatural being. Untuk itu setidaknya perlu dipahami beberapa faktor berikut :

Ada anggapan keliru yang kadang tidak disadari. Beberapa orang menganggap kemampuan berinteraksi dengan supernatural being selalu ditandai oleh kemampuan mata wadagnya (eyes/mata fisik) untuk melihat secara visual “obyek” gaib. Pemahaman ini tentu saja keliru kaprah. Karena berinteraksi dengan gaib tidak melulu dengan melibatkan mata wadag Anda. Perlu kita sadari bahwa interaksi dengan supernatural being dapat melibatkan salah satu, beberapa bagian, atau seluruh panca indera yang kita miliki. Namun pada kenyataannya masing-masing panca indera tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam berinteraksi dengan supernatural being. Ada orang yang indera penciumannya lebih tajam, sementara yang lainnya ada pada penglihatan matanya, pendengarannya, perasa (kulit), atau getaran nuraninya atau mata batin (third eyes atau six sense) yang lebih tajam. Oleh sebab itu bagi yang belum bisa menyaksikan dengan mata wadag, seyogyanya janganlah berkecil hati, sebab setiap orang apapun jenis kelamin, agama, kepercayaan, budaya, suku-bangsanya, tetap dapat berinteraksi dengan kasunyatan gaib (supernatural being ) atau noumena metafisik menurut filsuf Aristoteles. Yang lebih penting seyogyanya kita dapat mengenali kemampuan dan kelebihan yang ada pada diri kita sendiri, mengetahui panca indera mana yang lebih peka saat terjadi interaksi dengan supernatural

Page 23: tahapAN KESADARAN

being. Dengan adanya tulisan ini, paling tidak dapat menjadi sarana komparasi, dan sedikit membantu kepada para pembaca yang budiman untuk dapat lebih mengenali mana panca indera Anda yang paling peka.

Kebanyakan orang awam tidak menyadari bilamana dirinya sudah mengalami suatu interaksi dengan supernatural being. Karena kurangnya komparasi dan pengetahuan mengenai seluk-beluk dimensi metafisik dan kurangnya referensi yang ada baik dari pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, maupun bahan bacaan yang ada.

Bagi yang sudah mengalami interaksi dengan gaib pun, terkadang ia sendiri menyanggahnya dengan berbagai macam alasan ekstrim misalnya gaib itu tidak ada. Sementara beberapa yang lain malah sangat membatasi diri supaya jangan sampai bersentuhan dengan gaib dengan alasan takut tersesat, musrik, sirik dan lain sebagainya. Meskipun supernatural being atau kasunyatan gaib pernah disaksikannya melalui indera penglihatan, perasa, atau penciuman, tetapi karena suatu alasan supernatural being tersebut tidak terdapat dalam “kamus” yang diyakininya. Serta merta suatu kasunyatan gaib tsb justru dianggapnya sebagai halusinasi, bahkan dianggap sebagai godaan iman belaka. Hal itu disebabkan sistem pengetahuan yang didapatkan tidaklah tepat. Apalagi pemahaman tentang dimensi gaib yang salah kaprah namun telah tertanam sejak usia dini kemudian berlangsung sedemikian lamanya, akan terbenam ke dalam alam pikiran bawah sadarnya. Keadaan itu sangat berpengaruh terhadap pola pikirnya sendiri dalam mensikapi supernatural being atau noumena gaib.

MELURUSKAN PEMAHAMAN

Dengan alasan sederhana, karena penulis terlahir dari moyang yang berdarah Jawa, serta bernaung, hidup, makan, menghirup udara dari tanah Jawa pula, kiranya tidaklah berlebihan jika saya menggunakan ngèlmu Jåwå untuk mengurai tema di atas. Para pembaca yang budiman pun bebas memilih mau menggunakan perspektif dan ilmu dari manapun asalnya. Apa yang kita ketahui, bukanlah dijadikan senjata untuk mencari menangnya sendiri, atau mau menjadi sang juara, melainkan kita share untuk memperoleh kelengkapan suatu pengetahuan spiritual tentang sesuatu yang nyata ada (supernatural being ) dan terjadi di sekitar kehidupan kita.

Di dalam tradisi spiritual Jawa terdapat “disiplin” yang disebut sebagai ngèlmu kasunyatan. Bukan sekedar ilmu yang dirumuskan melalui sistem logika pikir dan rasionalitas saja. Ngèlmu kasunyatan merupakan ilmu yang menanamkan prinsip tabiat alam yang selalu jujur apa adanya dan berbicara tentang sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Ngèlmu kasunyatan merupakan ilmu unik, dapat dianggap ilmu kebatinan (spirits) yang melihat sesuatu dari sisi metafisika. Namun ngèlmu kasunyatan juga mencakup sisi fisik, empiris, atau ilmu wadag yang dapat dikelompokkan ke dalam tradisi ilmiah. Karena dasar dari ngèlmu kasunyatan adalah data yang dikumpulkan dari pengalaman atau fakta empiris, maupun jalan spiritual (pengalaman batin). Peristiwa alam yang terjadi berulang-ulang, kemudian diamati, dicermati dan dianalisa. Selanjutnya kejadian empiris berikutnya diurai apakah ada alur

Page 24: tahapAN KESADARAN

kronologi peristiwa dengan peristiwa sebelumnya. Jika terdapat pola yang runtut dan konsisten, dapat disimpulkan terdapat hubungan sebab akibat dengan peristiwa sebelumnya. Data-data dan fakta empiris selalu di-cross check dengan “pengalaman” batin agar dapat diambil makna dan benang merahnya. Cara ini oleh sebagian orang disebut sebagai ngèlmu titèn. Ngèlmu titèn diperoleh melalui metode mengamati, menandai dan mencermati (observasi) terhadap rangkaian peristiwa alam dihubungkan dengan pengalaman batin seseorang. Manfaatnya, tidak hanya seseorang mampu memahami bahasa alam, tetapi juga mampu membaca fenomena alam yang menjadi pertanda akan terjadinya suatu peristiwa. Ngèlmu kasunyatan meliputi dimensi kasunyatan wadag (fisik) disebut natural being, maupun dimensi kasunyatan gaib atau metafisika yang disebut pula sebagai supernatural being. Dalam perspektif ngèlmu kasunyatan, adalah beberapa faktor yang menjadi sumber kelemahan dalam memahami supernatural being yakni sulitnya mengumpulkan fakta dan data pendukung. Kekurangan data dan kesimpulan dini dapat menimbulkan distorsi pemahaman. Atau kesalahan dalam menilai sesuatu akibat kurangnya informasi dan data-data benar-benar faktual. Agar supaya lebih mudah memahami tulisan ini, bagaimana distorsi pemahaman tersebut dapat penulis kemukakan beberapa contoh kasus berikut ini :

1. DISTORSI PEMAHAMAN. Sesuatu yang bersifat tak kasat mata, lazimnya disebut “lêlêmbut” atau segala macam makhluk astral, bersifat selalu menipu dan berubah-ubah wujudnya. Hal itu membuat sebagian orang menganggap supernatural being bersifat subyektif, artinya setiap orang akan melihatnya sebagai wujud yang berbeda-beda bentuknya sekalipun terhadap “obyek” yang sama.

KOREKSI. “Obyek” gaib tetaplah berwujud paten dan tetap. Tidak berubah-ubah seperti yang disangkakan orang selama ini. Memang ada satu dua mahluk halus yang mampu merubah wujudnya (untuk sementara waktu dan hanya kepada manusia yang kurang awas). Namun perubahan wujud itu hanyalah sebatas kamuflase atau tipuan pada indera mata orang yang melihatnya. Artinya makhluk halus tidak dapat sungguh-sungguh merubah-ubah wujudnya. Dan hanya sedikit saja jenis makhluk halus yang dapat berkamuflase, atau memalsukan wujudnya yang asli. Di antaranya sejenis genderuwo dan siluman. Sedangkan di antara jenis berikut ; binatang “halus”, jim, kuntilanak, pêri, sundêl bolong, banaspati, bajang kêrik, kêblak, rohalus, léak, wéwé, butô, pôcôngan, di mata manusia tidak dapat berkamuflase. Wujudnya selalu tetap begitu-begitu saja. Makhluk halus yang memiliki kemampuan berkamuflase, tergolong dalam jenis mahluk halus dengan tingkat kesaktian tinggi.

Lantas pertanyaaanya; mengapa ada pula orang-orang yang melihat satu obyek gaib dalam wujud yang berbeda-beda? Jawabnya, ada dua kemungkinan. Pertama, disebabkan oleh rendahnya kemampuan indera dalam melihat “obyek” gaib. Sehingga yang tampak hanyalah sebagian dari wujud keseluruhan. Dapat dianalogikan sebagai orang buta yang mendefinisikan wujud gajah sesuai bagian tubuh yang dapat disentuhnya. Masing-masing orang buta akan mendefinisikan gajah sesuai dengan bagian tubuh gajah mana yang dapat mereka sentuh. Kasusnya sama persis dengan orang-orang saat melihat “obyek” gaib. Mereka hanya mendefinisikan sebagian dari keseluruhan obyek yang bisa dilihatnya. Misalnya

Page 25: tahapAN KESADARAN

seseorang melihat penampakan tubuh manusia tanpa kepala, bukan berarti obyek gaibnya benar-benar tanpa kepala. Melainkan mereka hanya melihat wujud pada bagian-bagian tertentu saja. Artinya mereka belum dapat menembus tabir gaib yang menyelimuti kepala si “obyek” gaib. Lain halnya bagi seseorang yang memiliki kemampuan tinggi dalam melihat gaib. Obyek gaib akan dilihat secara utuh. Hal ini bisa dilakukan penelitian dengan metode mengumpulkan beberapa orang yang memiliki kemampuan melihat gaib dengan tingkat kemampuan yang kurang lebih setara. Mereka melihat obyek gaib berupa makhluk astral yang sama persis wujud, bau, suara dan rupa tubuhnya.

Kedua, penampakan wujud yang berasal dari endapan alam pikiran bawah sadar. Lebih tepatnya disebut sebagai ilusi, halusinasi atau khayalan (imajiner). Sejak kecil biasanya seseorang sudah mendapat cerita-cerita, dongeng, bahkan “pendidikan” yang menceritakan tentang wujud makhluk halus. Apalagi disertai dengan deskripsi dan visualisasi dalam gambar dan lukisan. Visualisasi imajiner tersebut lambat laun meresap ke dalam bawah sadarnya. Pada saat seseorang berada di suatu tempat dan baru merasakan aura gaib, otomatis rekaman bawah sadar tersebut tervisualisasi secara imajiner. Bahkan pada saat seseorang tidur pulas bisa saja wujud astral yang telah terrekam di alam pikiran bawah sadar tersebut muncul tervisualisasi di alam mimpi. Semua menjadi seolah nyata dan benar. Walaupun terkadang mimpi dapat menjadi sinyal akan sesuatu yang benar-benar akan terjadi, bukan berarti wujud astralnya merupakan kebenaran. Bisa jadi wujud astral dalam mimpi hanya menjadi perlambang atau bahasa simbol saja. Misalnya Anda bermimpi diculik “setan” berwarna merah bertanduk dan membawa tongkat, itu bisa berarti tim kesayangan Anda akan dikalahkan oleh FC Manchester United. Kebetulan sebelumnya Anda pernah melihat lambang tim bola dari Inggris itu yang berbentuk “setan merah” (red devil) bertanduk dengan membawa tombak. Contoh lainnya misalnya Anda melewati daerah yang sangat angker. Karena tidak percaya diri alias bernyali ciut belum-belum sudah ketakutan sendiri dan tanpa sadar berandai-andai muncul penampakan. Dalam kondisi seperti ini alam pikiran bawah sadar akan mengendalikan Anda. Sebab itu lah si penakut biasanya justru melihat penampakan menakutkan. Tetapi penampakan itu sekedar halusinasi yang berasal dari alam pikiran bawah sadar yang seolah menjadi tampak nyata. Dalam istilah Jawa penampakan palsu ini lazim disebut mêmêdi, atau mêmêt ing budi. Yakni “hantu” palsu yang berasal dari alam pikiran bawah sadarnya sendiri. Lucunya, orang lantas berdoa untuk mengusir hantu, padahal hantunya ada dalam pikirannya sendiri.

2. DISTORSI PEMAHAMAN. Ada pendapat yang mengatakan bahwa makhluk halus adalah musuh manusia. Sehingga pada saat terjadi suatu penampakkan atau terjadi interaksi dengan supernatural being serta-merta dianggap sebagai gangguan atau tipu daya mahkluk halus yang akan menggoda keimanan dan menyesatkan bangsa manusia. Karena itu saat terjadi peristiwa penampakan makhluk astral yang sesungguhnya, dengan segera disanggah dan diingkari bahkan selalu berusaha untuk melawannya. Pendapat demikian kiranya kurang bijaksana, dapat dibilang terlalu GeEr (kêgêdèn rumångså).

Page 26: tahapAN KESADARAN

KOREKSI. Dalam tataran kesadaran kosmologis, makhluk halus apapun jenisnya, hidup menghuni jagad halus dalam fungsinya untuk mengisi peranan-peranan dalam prinsip mekanisme keseimbangan alam (tata kosmos). Sesuai prinsip plus-minus, yin-yang, siang-malam, hitam-putih, dst, semua bermuara pada prinsip keseimbangan alam. Hitam bukan berarti jahat, karena adanya “hitam” sebagai faktor penyeimbang terhadap “putih”. Sebagai contoh, Bethårå Kålå (yang ternyata benar-benar ada), oleh sebagian orang dianggap raja dunia kegelapan atau “dunia hitam”. Faktanya, Bethårå Kålå bukanlah makhluk halus yang jahat. Sebaliknya, ia memiliki kesadaran kosmologis yang menghasilkan perilaku bijaksana dalam menjalankan fungsi-sungsi kehidupannya sebagai bagian dari elemen penyeimbang di dalam mekanisme dan hukum tata kosmos. Bethårå Kålå memimpin “rakyat” nya dari ragam jenis mahluk halus yang ada (khususnya di Nusantara). Di dalam prinsip universe, setiap makhluk memiliki FUNGSI-nya masing-masing sebagai unsur penyeimbang kehidupan yang ada di dalam makro kosmos. Istilah fungsi terasa lebih egaliter dan tepat jika dibandingkan dengan istilah TUGAS. Demikian pula dengan Bethårå Kålå, bukan bertugas, melainkan sekedar menjalankan fungsinya kenapa ia ada dan hidup di dalam jagad ini. Fungsinya dalam batas menjadikan manusia-manusia yang tidak éling dan waspådå atau orang-orang yang melanggar wêwalêr (hukum alam) di dalam pola harmoni dan kesalarasan tata kosmos, sebagai tumbal. Atau dalam bahasa lebih halusnya, menjadi orang-orang yang tidak lolos dalam mekanisme seleksi alam. Makhluk halus tidak akan menganggu manusia, kecuali manusia sadar atau tidak telah mengganggu ketentraman mereka. Mengganggu kehidupan makhluk termasuk bentuk perilaku bertentangan dengan hukum alam di mana sifat alam selalu memberi kehidupan kepada seluruh makhluk. Sebaliknya, bagi manusia yang telah mempunyai kesadaran kosmologis perilaku dan perbuatannya selalu selaras dan harmonis dengan hukum alam. Selalu memberi kehidupan (dalam arti luas) kepada makhluk hidup yang lain termasuk jagad lêlêmbut. Sebagai konsekuensinya para mahkluk halus jenis apapun akan selalu bersahabat (tidak menganggu) manusia yang telah meraih kesadaran kosmologis di manapun manusia berada. Bahkan tanpa disadari oleh bangsa manusia, makhluk halus seringkali membantu dan menolong orang-orang yang sedang mengalami kesulitan atau orang-orang yang akan dan sedang tertimpa celaka. Dalam tradisi spiritual Jawa, kesadaran kosmologis, atau keselarasan tata kosmologi diungkapkan dalam bentuk “laku” menghormati dan menghargai SEDULUR PAPAT KEBLAT, yakni seluruh mahkluk yang berada di empat penjuru mata angin sebagai sama-sama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Manusia tidak boleh bersikap arogan memusuhi seluruh sêdulur papat kéblat tsb, karena mereka adalah sama-sama sebagai titahing Gusti (ciptaan tuhan) yang berfungsi menjalankan perannya masing-masing serta bertanggungjawab untuk saling memberikan wêlas asih kepada seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa pilih kasih. Itulah inti sari dari prinsip keselarasan dan keseimbangan alam. Memiliki alur berupa; Sing gawé urip, urip, nguripi.

Jika semua orang memiliki kesadaran tata kosmos (kesadaran kosmologis), tentu saja dunia ini akan aman tenteram dan penuh berkah berlimpah ruah. Sekali lagi, makhluk halus dari “dunia hitam” mereka ADA bukan untuk memusuhi dan membinasakan manusia. Sebagian orang berprasangka mahluk halus dari “dunia hitam” sebagai musuh bebuyutan manusia. Sebagai konsekuensinya sikap manusiapun terbawa-bawa untuk selalu memusuhi segala macam makhluk halus yang telah dicap sebagai kalangan

Page 27: tahapAN KESADARAN

“dunia hitam”. Rasanya aneh jika Tuhan bikin musuh untuk ciptaanNya yang lain. Tuhan jadi terkesan suka “mengadu domba”, suka menciptakan permusuhan di antara makhluk-makhlukNya. Kok terasa sangat kontradiktif wông katanya “sabung ayam” saja tidak disukai sang tuhan, kok malah Ia sendiri suka memecahbelah bikinanNya sendiri. Tuhan bikin musuh untuk diriNya dan sekaligus musuh bagi manusia. Namun manusia disuruh untuk membinasakan semua musuh yang Tuhan ciptakan sendiri. Prasangka seperti ini masih banyak menghinggapi benak orang. Karena pemahamannya yang rancu dan kaprah yang telah mengendap di dalam alam pikiran bawah sadar yang tertanam sejak usia dini. Rasanya aneh saja jika tuhan kok mau-maunya membuat musuh untuk dirinya sendiri, sementara jenis makhluk lainnya yang disebut manusia disuruh membela-Nya. Lagi-lagi ini gambaran tuhan dengan politik “devide et impera”. Lantas dimana letak kebijaksanaanNya? Mudah-mudahan ia sekedar tuhan di dalam angan-angannya manusia, alias tuhan aspal. Soalé saya jadi takut sekali, jika demikian faktanya sewaktu-waktu tuhan dengan semauNya sendiri akan membuat musuh-musuh baru, dan lagi-lagi manusia disuruh membasmi musuh-musuh produk baru tsb. Kalau begitu adanya, tak lama lagi bumi akan segera hancur oleh peperangan antar manusia, peperangan yang sengaja diciptakan tuhan. Ironis sekali.

Kembali pada tema. Para pembaca yang budiman silahkan mencoba bersahabat, wêlas asih kepada seluruh makhluk. Tak usah berlama-lama lakukan selama 35 hari saja, maka Anda akan merasakan khasiat dan manfaatnya. Anda akan menemukan kemudahan dan keselamatan di manapun berada. Banyak hal yang menggembirakan, pas, sesuai yang diharapkan seolah-olah serba kebetulan tetapi hal itu sesungguhnya bukanlah kebetulan, melainkan Anda telah berada dalam lajur keselarasan dan harmonisasi dengan hukum alam. Sebagai konsekuensinya anugrah dan berkah akan selalu berlimpah kepada Anda, keluarga, dan orang-orang tercinta. Pada kenyataannya, makhluk halus justru makhluk yang sangat jujur dan patuh kepada kodrat alam. Tidak mengenal basa-basi-busuk seperti halnya bangsa manusia. Sebaliknya makhluk halus memiliki ketegasan sikap, jika berkata ya (sanggup/setuju) mereka tidak akan menjadi pecundang dan pengkhianat di kemudian hari, jika berkata tidak (menolak/tak sanggup/tidak setuju) mereka juga tidak akan melakukan sebaliknya. Kelebihannya dibanding dengan manusia, makhluk halus sebagaimana halnya binatang dan tanaman, dalam menjalani hidup mereka tidak mau melanggar hukum alam. Jika kita mau jujur mengakui, yang sering melanggar hukum alam justru makhluk yang mengklaim diri paling sempurna dan memiliki akal, yakni bangsa manusia. Tabiat makhluk halus tidak seperti yang disangkakan orang selama ini.

3. DISTORSI PEMAHAMAN. Banyak orang mempunyai anggapan salah kaprah dengan menganggap lêlêmbut sebagai musuh yang akan selalu mengganggu keberadaan seseorang. Itu sebabnya mengapa orang suka melakukan pengusiran makhluk halus dari tempat tinggal, rumah atau tempat tertentu yang dianggap angker. Mereka sangat percaya diri, menyangka mampu mengusir lêlêmbut, sementara melihat saja belum pernah.

Page 28: tahapAN KESADARAN

KOREKSI. Rumångså biså, nanging ora biså rumångså. Oleh karena perilaku tidak bersahabat ini, orang kapan saja bisa mendapat celaka akibat ulahnya sendiri. Disamping itu, sikap demikian justru banyak menebar musuh dan semakin menutup ketajaman mata batinnya sendiri. Manusia kadang suka berlebihan, mereka sebagai pendatang baru tetapi suka mengusir penghuni lama yang sudah tinggal lebih dulu ratusan tahun lamanya. Manusia yang demikian ini terang-terangan melakukan penjajahan dan penindasan terhadap para lêlêmbut. Boleh jadi lêlêmbut kalah dan terusir dari di tempat itu (untuk sementara waktu). Boleh jadi lêlêmbut kesulitan menembus “pagar gaib” yang dipancangkan mengelilingi rumah yang angker hingga para lêlêmbut terusir dari rumahnya sendiri. Akan tetapi ditempat lain, di luar “pagar” itu, si pengusir sudah tidak lagi “terpagari” dari serangan balik atau pembalasan dari para lêlêmbut terusir. Cepat atau lambat si pengusir/penjajah/penindas pasti akan menerima akibat dari ulahnya sendiri yang berlebihan itu. Kata pepatah,”Siapa menabur angin, ia akan menuai badai”. Kita tak boleh semena-mena dan tega hati sekalipun terhadap makhluk halus. Mereka semua adalah sama-sama titah Gusti yang mustinya saling menebar rasa wêlas asih dan saling menghargai satu sama lainnya.

Bagi para siswa, dan para pembaca yang budiman yang telah memiliki kemampuan dalam “pemagaran gaib”, termasuk mengusir dan menangkap makhluk halus, seyogyanya jangan sampai bersikap sewenang-wenang. Akan lebih bermanfaat bermanfaat dengan menjaga sikap lebih lembut, sopan, beradab, penuh rasa hormat dan welas asih kepada seluruh makhluk. Menurut pengalaman saya pribadi, makhluk halus penghuni tempat atau rumah angker, sekuat dan seganas apapun lêlêmbut, jika mereka telah lebih dahulu tinggal di tempat tsb, mereka tak perlu diusir. Hanya perlu disrabani saja. Yakni dihargai dan diajak rebugan, diminta pengertiannya untuk tidak menampakkan diri dan jangan sampai terjadi gangguan kepada orang yang menghuninya. Misalnya Anda sekedar mengucap,”Kita semua sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, bersama-sama tinggal di tempat yang sama. Hendaknya saling menghargai, menghormati, menjaga, melindungi, dan saling mendoakan. Aku tidak akan mengganggumu, kamu juga jangan mengganggu ku”. Ucapkan kalimat yang makna dan intinya seperti di atas, dengan melibatkan lisan dan getaran nurani. Getaran khusus itu dalam istilah Jawa disebut kêmbang têlêng ing ati. Getaran kêmbang têlêng ing ati itulah yang akan menjadi bahasa universal dan dapat dipahami oleh seluruh makhluk hidup apapun jenis dan bangsanya.

Cara demikian merupakan wujud nyata sikap dan pengertian manusia terhadap mahluk halus. Pasti aktivitas makhluk halus tak akan mengganggu aktivitas manusia lagi. Akan lebih efektif jika pada saat melakukan negosiasi dan penyelarasan disajikan ubo rampe sekedarnya misalnya teh tubruk, kopi tubruk, kembang setaman sekedar sebagai lambang persahabatan dan penghargaan. Seperti halnya Anda memberikan sajian kepada kenalan baru atau para tetangga di sekitar tempat tinggal Anda. Cara yang mudah, murah, sederhana, tidak beresiko dan efektif. Namun semua itu merupakan pilihan masing-masing orang, dan tentunya mau dijalani atau tidak kembali pada prinsip kesadaran tata kosmos masing-masing individu. Doa kepada sang Jagadnata bukan sekedar ucapan di bibir saja. Tanpa ada upaya konkrit pada akhirnya doa hanya sekedar lips service saja. Misalnya Anda berdoa pada tuhan

Page 29: tahapAN KESADARAN

supaya para tetangga tidak mengganggu dan memusuhi Anda sekeluarga. Harapan itu tak akan terwujud jika hanya mengandalkan doa saja, tanpa diikuti adanya interaksi yang baik kepada para tetangga.

Setelah kita mampu mengoreksi pola pikir (mind set) mengenai pemahaman terhadap supernatural being, selanjutnya para pembaca yang budiman akan lebih mudah memahami tulisan berikut. Di sini tak perlu bicara soal benar-salah. Rasakan saja dalam nurani dengan penuh kejujuran. Cross-kan dengan apa yang pernah Anda rasakan dan alami sendiri. Walaupun nalar yang terdogma oleh berbagai dongeng terkadang mengajak hendak mengingkarinya, namun jangan khawatir Anda akan mendapat jawaban paling jujur dari lubuk hati yang paling dalam. Itupun jika mau mengakui dengan penuh kejujuran dan kepolosan.

Berikut ini tanda-tanda terjadinya interaksi dengan supernatural being ;

Aroma Sedap dan Harum ; semacam dupa, ratus, kemenyan, harum bunga-bungaan; mawar, kanthil, kenanga, melati, kembang setaman, sedap malam, kayu cendana, bau daun sirih, dsb. Ragam aroma tersebut merupakan pertanda akan keberadaan supernatural being tidak jauh dari tempat kita berada. Aroma wewangian seperti penulis sebut di atas, merupakan cirikhas astral dari kalangan manusia (leluhur), atau kelas yang lebih tinggi (dèwi/widhôdari), ratu gung binatara, atau orang-orang yang memiliki derajat keluhuran tinggi. Sementara ada pula leluhur yang memiliki cirikhas misalnya aroma tembakau, rokok klobot, klembak, nasi liwet, madu, dst. Masing-masing leluhur memiliki cirikhas aroma, bahkan ada yang berbau seperti malam (lilin) rebusan sarang lebah madu. Aroma juga mencirikan apa yang disukai atau sering digunakan seseorang semasa hidupnya dulu. Misalnya Mbah Ageng atau Ki Metaram Juru Nujum Sri Sultan HB IX kehadirannya ditandai dengan aroma rokok klobot bercampur klembak menyan. Karena Mbah Ageng ini sangat suka dengan rokok jenis itu. Sementara itu, Gusti Mangkunegoro mempunyai aroma khas bunga mawar-melati dan kayu cendana. Cirikhas KRK adalah aroma bunga setaman yang meninggalkan bekas aroma sangat wangi selama 4-5 jam semenjak kehadirannya. Yang Mulia Sultan Aji Sulaeman dan YM Sultan Aji Parikesit raja Kutai Kertanegara generasi 17-18 memiliki aroma khas dupa ratus. Sebagian orang zaman sekarang banyak pula yang berbau kapur barus atau kamper yang begitu menusuk hidung. Terutama bagi orang yang saat matinya ditaburkan bubuk kamper. Akan tetapi banyak juga leluhur yang aromanya biasa-biasa saja, tidak kuat, tidak harum tidak juga menebar aroma tak sedap. Meskipun aroma wewangian dapat dijadikan acuan sebagai pertanda keberadaan leluhur atau supernatural being bangsa manusia, namun ada pengecualian yakni bau wangi bunga kemuning yang begitu semerbak dan menusuk hidung. Itu pertanda makhluk astral sebangsa pêri (makhluk astral berujud perempuan cantik nan mempesona yang sering bersuamikan bangsa manusia). Apaka Anda berminat ? J Barangkali itulah sebabnya kenapa sebangsa pêri suka dengan tanaman pohon kemuning.

Page 30: tahapAN KESADARAN

Aroma Tak Sedap. Segala macam aroma yang tidak sedap. Misalnya bau bangkai, bau singkong bakar, bau pete/jengkol, bau kotoran atau semacam tinja, bau amis, anyir seperti darah, bau comberan, bau-bau busuk. Ini pertanda kehadiran berbagai macam jenis lelembut. Masing-masing lêlêmbut memiliki cirikhas aroma masing-masing. Singkong bakar adalah cirikhas bau gendruwo yakni makhluk halus dengan ciri-ciri tingginya mencapai 3 meter bahkan ada yang lebih, tubuhnya mirip primata, wajah dan rambut menyerupai perpaduan antara wajah singa dengan anjing, kemungkinan makhluk ini memiliki gen atau kromosom yang dekat dengan bangsa manusia. Terbukti gendruwo bisa menghamili seorang wanita. Ada lagi misalnya bau pesing (bau urine kering) menandakan keberadaan wéwé (istri gêndruwo). Bau pesing adalah aroma yang berasal dari pôpôk bayi wéwé. Sedangkan bau jengkol, pete, merupakan cirikhas keberadaan siluman di sekitar tempat kita berada. Bau jengkol dan pete merupakan salah satu pertanda paling akurat untuk mengukur tingginya kesaktian yang dimiliki makhluk halus yang mempunyai aroma tersebut. Aroma pete dan jengkol menandakan lêlêmbut yang ada di sekitar kita memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Bau jengkol atau pete mudah ditemukan di mana-mana. Jika Anda ingin membuktikan sendiri, terdapat lokasi yang ideal untuk membuktikannya. Sebut saja misalnya di sepanjang tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang), tepatnya sepanjang jalur Gunung Héjo (ada pada km 97-67). Bau jengkol dan pete itu berasal dari wilayah kraton siluman yang memiliki kemampuan tinggi yang berada di seputar Gunung Héjo. Tepatnya berada di samping kiri lajur tol Bandung arah Jakarta km 97 s/d km 70. Atau di sebelah utara tempat peristirahatan km 97. Sekalipun Anda menghidupkan AC dan menutup kaca mobil rapat-rapat, bau jengkol dan pete sangat menyengat itu tetap dapat menembus ke dalam ruangan kendaraan Anda. Bagi para pembaca budiman yang mempunyai sipat kandêl sekelas sastrå bêdati, ajian sêkar jagad, dan ajian kålåcåkrå yang asli (kw-1), akan mudah sekali melenyapkan bau jengkol tersebut hanya dalam waktu kurang 1 menit. Lain lagi dengan jenis kuntilanak memiliki bau yang menjijikkan, anyir seperti darah busuk bercampur bau comberan. Yang jelas, lêlêmbut yang tergolong “kelas bawah” atau kotor yakni sétan bêkasakan, jim priprayangan, dêdêmit, hantu, baunya sangat tidak sedap membuat perut terasa mual.

Fenomena Alam Spesifik. Fenomena alam biasanya menjadi pertanda akan kehadiran leluhur besar. Sebagai contoh di antaranya adalah datangnya hembusan angin yang cukup kuat, mendadak, kemudian senyap begitu saja dan suasana kembali dalam keheningan. Biasanya menjadi suatu pertanda kehadiran leluhur (besar). Peristiwa ini sering terjadi pada saat melaksanakan dawuh/perintah leluhur. Atau pada saat Anda melaksanakan suatu upacara besar. Tak jarang menjadi pertanda saat terjadi interaksi dengan para leluhur besar bumiputra. Misalnya kehadiran Prabu BW 5, KRK, dll. Pertanda itu terjadi pula pada saat bôlôséwu mengiringi dalam suatu perjalanan. Sementara itu Panembahan Bodho (kerabat Majapahit) tandanya dapat berupa angin kencang yang memandu sepanjang perjalanan spiritual. Di saat keadaan tertentu, pertanda dapat berupa hujan amat-sangat lebat disertai gelegar halilintar yang begitu dahsyat mengelilingi kita, sebagai pertanda Panembahan Bodo turut njangkung dan njampangi dalam suatu acara atau pekerjaan besar. Sementara Ki Ageng Mangir Wonoboyo dan Gusti MN kehadirannya disertai pertanda terjadi hentakan sangat kuat hingga terasa menggetarkan tanah seperti gempa bumi. Sementara itu Panembahan Senopati dan Kjg Sultan Agung ada pertanda khusus berupa pancaran energi ke segala penjuru yang terasa sangat kuat disertai harum bunga telasih. Adapula yang berupa fenomena awan yang selalu menaungi di atas jalan yang kita lalui, sehingga suasananya menjadi mendung yang memayungi sepanjang perjalanan spiritual kita. Pertanda unik ada pada Yang Mulia Sultan Sulaeman,

Page 31: tahapAN KESADARAN

yakni berupa pelangi. Munculnya pelangi sangat tidak lazin karena kemunculannya tanpa disertai hujan dan terpaan sinar matahari. Peristiwa itu menjadi cirikhas pada saat beliau sedang njangkung dan njampangi. Terkadang berupa cincin pelangi dengan lingkaran berdiameter kurang lebih 2 meter. Misalnya terjadi pada saat perjalanan udara dari Kutai menuju Jakarta, cincin pelangi tersebut tampak selalu mengiringi di samping pesawat. Semua peristiwa itu mudah saja dialami oleh siapapun apabila sudah terbiasa dalam lajur “laku” spiritual yang tepat atau pas & pênêr. Selain beberapa tanda di atas, misalnya pada permukaan air tiba-tiba muncul gelombang yang cukup kuat walaupun tidak ada terpaan angin. Gejala ini sebagai salah satu pertanda akan kehadiran leluhur dengan daya kekuatan supra tergolong besar. Misalnya pada saat Anda melakukan hening, mêsu budhi, atau meditasi di suatu tempat dengan maksud manêgês kepada para pendahulu. Peristiwa lainnya misalnya terjadi kabut yang turun secara cepat, kadang membentuk konfigurasi yang mempunya maksud sebagai perlambang adanya tabir gaib yang menjadi sekat antara dimensi wadag dengan dimensi yang abadi.

Suara Misterius. Terdengar sayup suara-suara yang terasa membawa getaran mistis, sakral. Adapula terdengar suara-suara sangat asing di telinga Anda. Walau terjadinya singkat namun begitu bermakna. Suara menjadi terasa asing, karena sebelumnya tidak pernah terdengar di dimensi wadag. Atau indera raga Anda belum pernah mendengar suara itu sebelumnya. Suara-suara aneh atau sangat langka dan terasa asing terdengar di telinga kita lazim dialami oleh pelaku meditasi. Peristiwa itu terjadi karena proses meditasi telah mencapai pada kesadaran batin. Batin dan sukma pelaku meditasi lah yang mendengar suara-suara itu dan kemudian berhasil ditransfer ke telinga fisiknya. Dalam keadaan sadar ragawi, tidak sedang tidur, tidak meditasi, secara tak sengaja kita mendengar sayup-sayup suara gending di tengah malam hingga dini hari. Mungkin di antara para pembaca yang budiman pada saat tiba tengah malam mendengar suara gamelan pengiring reyog terdengar sayup-sayup hilang dan muncul berasal dari arah wilayah Pandan Simo hingga Pantai Trisik wilayah Bantul dan Kulonprogo. Alunan suara itu berasal dari aktivitas astral dari dimensi lain. Tujuannya bukan untuk mengganggu bangsa manusia, melainkan mereka sedang menjalani aktivitas kehidupannya sendiri. Mungkin saja aktivitas mereka itu sebagai salah satu bentuk mensyukuri atas segala nikmat dan berkah alam semesta. Bagi yang pernah atau sedang tinggal di Jogja, barangkali pernah mendengar sayup-sayup suara marching band pada jam-jam tertentu misalnya jam 04.00 – 05.30 pagi berasal dari wilayah timur Kota Jogjakarta. Sudah puluhan tahun lamanya penulis mulai mendengar suara misterius itu. Jika di datangi sumber suara itu di wilayah sekitar Bandara Internasional Adisucipto justru terdengar semakin menjauh dan hilang. Saking penasarannya, sampai suatu ketika ingin sekali tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Alhasil ternyata suara itu berasal dari aktivitas astral. Di saat perang kemerdekaan pernah terjadi pemboman yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap Angkatan Udara yang sedang melakukan aktivitas marching band. Akibatnya satu pleton TNI AU masa kemerdekaan yang sedang melakukan aktivitas marching band itu seluruhnya tewas. Suara itu bukan rekaman alam atas peristiwa masa lalu (saya masih belum paham dengan “teori” ini), namun sungguh-sungguh merupakan aktivitas yang dilakukan pada saat ini oleh para pahlawan yang gugur di masa perang kemerdekaan. Agar supaya menjadi pêpéling bagi generasi bangsa saat ini.

Mata Batin. Dalam hal ini berupa perasaan berupa feeling atau naluri Anda. Tentu setiap orang pernah merasakan muncul suatu perasaan tidak enak hati, khawatir, takut, gelisah (perasaan negatif) atau

Page 32: tahapAN KESADARAN

sebaliknya merasakan ketenangan, keberanian, ketenteraman yang luar biasa (perasaan positif) tanpa tahu apa yang menjadi penyebabnya. Gejala psikhis seperti ini dapat muncul ketika terjadi interaksi dengan makhluk astral. Hanya saja kesadaran ragawi yang meliputi pikiran, nalar, maupun panca indera yang melekat di dalam diri kita, tidak dapat merasakan suatu interaksi dengan supernatural being. Sebaliknya mata batin kita yang tidak terikat oleh raga, bahkan bersifat tembus dimensi ruang dan waktu justru lebih mampu merasakannya. Terkadang indera visual seseorang tidak dapat melihat supernatural being, tetapi mata batinnya justru sangat tajam. Bahkan seringkali mata batin sudah mampu mengidentifikasi sinyal gaib, sementara indera yang lain belum bisa merasakannya. Untuk menguji tingkat akurasi mata batin seseorang, dapat dilakukan komparasi dengan seseorang yang mampu melihat supernatural being dengan indera mata visualnya atau dengan anak-anak indigo. Apabila keduanya berpendapat sama dan selaras, setidaknya dapat menjadi sarana untuk mengukur tingkat akurasinya. Dalam tulisan ini penulis ingin menarik benang merah, di mana perasaan positif dapat menjadi parameter di mana makhluk astral yang ada di sekitar kita bersifat positif pula, atau leluhur bangsa manusia, dapat pula dikatakan energi yang cocok dengan diri kita. Sebaliknya perasaan negatif menandakan makhluk astral yang ada disekitar kita bukan berasal dari sukma atau leluhur bangsa manusia. Atau energi yang tidak cocok dengan diri kita.

Mencium Aroma Singgûl. Gejala ini saya kelompokkan tersendiri karena aroma singgul merupakan sinyalemen yang sangat khusus. Terutama berlaku di Jawa atau masyarakat Jawa. Singgûl sendiri merupakan racikan dari dua macam tanaman herbal, yakni dlingo dan bênglé. Keduanya diparut dan dicampur dengan sedikit air. Dijadikan borèh yang biasa digunakan pada acara lelayu atau orang meninggal dunia. Cara pemakaian singgûl, para pelayat cukup mengoleskannya sendiri di bagian kening kiri dan kanan. Biasanya disediakan pada acara takziah atau layatan orang meninggal dunia. Singgûl berfungsi untuk menolak sawan yang keluar dari jasad orang baru meninggal, supaya sawan tidak mengenai para pelayat. Terkena sawan menyebabkan seseorang menjadi sakit demam, ngilu, lemas bahkan lebih berat dari itu, dan dapat berlangsung lebih dari sebulan. Sementara itu munculnya aroma singgûl menjadi salah satu pertanda atau sinyalemen jika ada seseorang yang akan meninggal dunia. Jika bau itu tercium pada saat Anda sedang sendirian saja di rumah atau di suatu tempat biasanya seseorang yang sudah kita kenal akan meninggal dunia dalam waktu yang tidak lama. Jika aroma itu muncul pada saat Anda sedang berada di antara kerumunan orang-orang, atau sedang berkumpul bersama di suatu acara, maka di antara orang-orang itu ada seseorang yang akan meninggal dunia dalam waktu dekat. Memang terasa serem kawan. Karena aroma singgûl identik dengan kabar kematian. Tapi hal itu jangan membuat Anda lantas takut untuk kumpul bersama-sama.J

Getaran Energi. Getaran energi terasa bersentuhan atau menerpa tubuh Anda. Energi bisa terasa lembut dan halus, bisa pula terasa kuat terasa menusuk. Namun semua itu tidak dapat dijadikan patokan apakah suatu energi bersifat positif atau negatif. Namun ada kunci sederhana, jika energi datangnya dari samping tubuh, dari belakang, dari atas atau dari bawah justru energi itu bersifat positif artinya baik untuk diri kita. Tetapi jika energi itu menerpa dari arah depan Anda, biasanya energi negatif, atau buruk untuk diri kita. Seperti halnya karakter santet, tenung, guna-guna, meskipun saat mendekat bisa saja datang dari belakang rumah, samping, atau pun dari atas rumah. Tetapi pada saat serangan merasuk ke dalam tubuh selalu melalui arah depan tubuh korban. Bagi yang memiliki tingkat kepekaan yang cukup

Page 33: tahapAN KESADARAN

sensitif, getaran energi mudah dirasakan dan dibedakan dari mana sumbernya dan berasal dari sebangsa apa. Apakah tergolong energi alam (natural energy), energi leluhur (supernatural energy), atau berasal dari energi lêlêmbut, jim priprayangan (khodam atau préwangan). Atau malah berasal dari inner power (tenaga dalam) seseorang yang berada tidak jauh dari mana Anda berdiri. Semakin intens berlatih Anda akan semakin mudah membedakan dari mana suatu energi berasal. Tulisan ini bermaksud mempermudah Anda untuk belajar mengembangkan kepekaan dan kemampuan mendeteksi suatu energi metafisis.

Indera Perasa Kulit. Dalam hal ini maksudnya adalah kulit dan bulu halus pada pori-pori kulit kita. Kulit sebagai salah satu dari panca indera kita, mempunyai tingkat kepekaan relatif lebih sensitif dibanding indera-indera yang lainnya. Anda tentu pernah mengalami kejadian di mana bulu halus atau bulu roma tiba-tiba terasa merinding. Hal ini disebakan adanya perubahan suhu secara tiba-tiba menjadi dingin, atau ada hembusan hawa dingin. Bulu kuduk pada bagian tengkuk kita termasuk memiliki kepekaan yang lebih sensitif. Selain hawa dingin, Anda juga bisa merasakan hawa hangat. Gejala tersebut datang dari luar diri kita. Ini pertanda adanya interaksi lebih intens dengan makhluk astral. Namun tidak seperti aroma wangi, tanda-tanda ini tidak dapat dijadikan acuan, dari bangsa mana astral yang berada di sekitar Anda. Bisa jadi leluhur bisa pula dari sebangsa lêlêmbut, jim priprayangan, sêtan bêkasakan.

Gejala itu merupakan peristiwa sangat biasa dan wajar terjadi kapan dan di mana saja berada karena merupakan fakta mahluk astral selalu terdapat di mana-mana. Sekalipun mempunyai sifat wujud yang berbeda, antara manusia dengan supernatural being tak dapat dipisahkan. Banyak sekali ragam supernatural being yang berada dalam dimensi yang sama dengan bangsa manusia, yakni dimensi wadag atau fisik. Namun begitu banyak pula supernatural being yang hidupnya berada dalam dimensi astral, dimensi gaib, atau dimensi non-fisik. Penghuni dimensi-dimensi tersebut bisa saling berinteraksi dalam kadar intensitas dan kualitas yang berbeda-beda. Yang paling penting kita jangan mengambil kesimpulan dini, menganggap rasa merinding tersebut merupakan kehadiran makhluk halus yang akan mengganggu kita. Sekali lagi, kita jangan ke-GeEr-an. Yang jelas gejala itu menjadi pertanda tak jauh dari tempat kita berada ada makhluk lain selain diri kita. Sapalah mereka dengan penuh råså wêlas asih dengan bahasa dan kalimat sebisa Anda ucapkan. Merupakan inti dari kalimat yang Anda ucapkan adalah bahasa kasih yang universal, yang berasal dari kêmbang têlêng ing ati, getaran yang tumbuh dari dalam sanubari Anda.

Masih banyak lagi peristiwa yang menjadi pertanda atau gejala adanya interaksi dengan sesuatu yang bersifat non-fisik. Tulisan singkat ini sekedar untuk komparasi dengan berbagai pengalaman para pembaca semua. Dengan harapan nantinya para sedulur yang merasa belum pernah berinteraksi dengan gaib tidak berkecil hati hanya karena tidak pernah supernatural being atau penampakan obyek astral. Tidak harus bisa melihat secara visual, paling tidak akan merasakan berbagai pertanda dan fenomena di atas, untuk selanjutnya memahami noumena, ngèlmu kasunyatan, yang nyata bukan sekedar angan, imajinasi, hayalan, ilusi, halusinasi pikiran saja. Apalagi masing-masing orang berbeda talenta, ada yang lebih tajam indera pendengarannya, atau penciumannya, ketimbang indera matanya.

Page 34: tahapAN KESADARAN

Semoga bermanfaat

SANEPAN

01. Abang dluwang (putih/pucęt bangęt)

02. Abót kapúk (entheng bangęt)

03. Abót męrang sagędhęng (entheng bangęt)

04. Agal glepúng (lumer bangęt)

05. Aji gódhóng garíng (ora ĺnĺ ajiné)

06. Amba gódhóng kélór (ciyút bangęt)

06. Antęng kitiran (polah ora karuwan)

07. Arang kranjang (kęręp bangęt)

08. Arang wulu kucing (akeh/kerep bangęt)

09. Arúm jamban (bangęr bangęt)

10. Atós dębóg (ęmpuk bangęt)

11. Bantęr kéyong (alon bangęt)

12. Bęning lęri (buthęg bangęt)

13. Bénjo tampah (bundęr bangęt)

14. Brintík linggís (lurús/kaku bangęt)

15. Dhuwúr kęncúr (ęndhek bangęt)

16. Gędhe guręm (cilík bangęt)

17. Jęro tapak męri (cęthek bangęt)

18. Kandęl kulít bawang (tipís bangęt)

19. Kędhep tęsmak (jingglęng/męnthęlęng)

Page 35: tahapAN KESADARAN

20. Kuníng silít kwali (iręng bangęt)

21. Kuru semangka (lęmu bangęt)

22. Landhęp dhęngkúl (kęthúl bangęt)

23. Lęgi bratawali (pait bangęt)

24. Lęmęs pikulan (kaku bangęt)

25. Lónjóng mimís (mlayu)(bantęr bangęt)

26. Pait madu (lęgi bangęt)

27. Pęręt bęton (lunyu bangęt)

28. Ręsík pęcęren (ręgęd bangęt)

29. Rindhík asu digitík (cępęt bangęt)

30. Suwé banyu sinaring (cępęt bangęt)

31. Suwé mijęt wóhing ranti (cępęt bangęt)

FALSAFAH HIDUP KEJAWEN

Dasar-Dasar Falsafah Hidup Kejawen: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Bèrbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik

Perpustakaan pelestarian budaya Yogyakarta

Ketuhanan

1. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe. (Tuhan itu tunggal, ada di mana-mana, yang menciptakan jagad raya seisinya, disembah seluruh manusia sejagad dengan caranya masing-masing)

2. Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran. (Tuhan ada di mana saja, di dalam dirimu juga ada, namun kamu jangan berani mengaku sebagai Tuhan)

3. Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan. (Tuhan itu berada jauh namun tidak ada jarak, dekat tidak bersentuhan)

Page 36: tahapAN KESADARAN

4. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi. (Tuhan itu abadi dan tak bisa diperumpamakan, menjadi asal dan tujuan kehidupan)

5. Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran. (Tuhan itu bisa mewujud namun perwujudannya bukan Tuhan)

6. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata. (Tuhan berkuasa tanpa alat dan pembantu, mencipta alam dan seluruh isinya, yang tampak dan tidak tampak)

7. Pangeran iku ora mbedak-mbedakake kawulane. (Tuhan itu tidak membeda-bedakan (pilih kasih) kepada seluruh umat manusia)

8. Pangeran iku maha welas lan maha asih, hayuning bawana marga saka kanugrahaning Pangeran. (Tuhan Maha Belas-Kasih, bumi terpelihara berkat anugrah Tuhan)

9. Pangeran iku maha kuwasa, pepesthen saka karsaning Pangeran ora ana sing bisa murungake. (Tuhan itu Mahakuasa, takdir ditentukan atas kehendak Tuhan, tiada yang bisa membatalkan kehendak Tuhan)

10. Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran. (Kehidupan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan)

11. Pangeran iku ora sare. (Tuhan tidak pernah tidur)

12. Beda-beda pandumaning dumadi. (Tuhan membagi anugrah yang berbeda-beda)

13. Pasrah marang Pangeran iku ora ateges ora gelem nyambut gawe, nanging percaya yen Pangeran iku maha Kuwasa. Dene kasil orane apa kang kita tuju kuwi saka karsaning Pangeran. (Pasrah kepada Tuhan bukan berarti enggan bekerja, namun percaya bahwa Tuhan Menentukan)

14. Pangeran nitahake sira iku lantaran biyung ira, mulo kudu ngurmat biyung ira. (Tuhan mencipta manusia dengan media ibumu, oleh sebab itu hormatilah ibumu)

15. Sing bisa dadi utusaning Pangeran iku ora mung jalma manungsa wae. (Yang bisa menjadi utusan Tuhan bukan hanya manusia saja)

16. Purwa madya wasana. (zaman awal/ sunyaruri, zaman tengah/ mercapada, zaman akhir/ keabadian)

17. Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran kang murbeng jagad. (Berubahnya keadaan itu atas kehendak Tuhan yang mencipta alam)

18. Ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake. (Tak ada kesaktian yang menyamai takdir Tuhan, sebab takdir itu tidak ada yang bisa membatalkan)

19. Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka lan seneng gawe sangsaraning liyan. (Bener yang menurut Tuhan itu bila tidak memiliki sifat angkara murka dan gemar membuat kesengsaraan orang lain)

Page 37: tahapAN KESADARAN

20. Ing donya iki ana rong warna sing diarani bener, yakuwi bener mungguhing Pangeran lan bener saka kang lagi kuwasa. (Kebenaran di dunia ada dua macam, yakni benar menurut Tuhan dan benar menurut penguasa)

21. Bener saka kang lagi kuwasa iku uga ana rong warna, yakuwi kang cocok karo benering Pangeran lan kang ora cocok karo benering Pangeran. (Benar menurut penguasa juga memiliki dua macam jenis yakni cocok dengan kebenaran menurut Tuhan dan tidak cocok dengan kebenaran Tuhan)

22. Yen cocok karo benering Pangeran iku ateges bathara ngejawantah, nanging yen ora cocok karo benering Pangeran iku ateges titisaning brahala. (Kebenaran yang sesuai dengan kebenaran menurut Tuhan, itu berarti tuhan yang mewujud, namun bila tidak sesuai dengan kebenaran menurut Tuhan, berarti penjelmaan angkara)

23. Pangeran iku dudu dewa utawa manungsa, nanging sakabehing kang ana iki uga dewa lan manungsa asale saka Pangeran. (Tuhan itu bukan dewa atau manusia, namun segala yang ada (dewa dan manusia) adanya berasal dari Tuhan.

24. Ala lan becik iku gandengane, kabeh kuwi saka karsaning Pangeran. (Keburukan dan kebaikan merupakan satu kesatuan, semua itu sudah menjadi rumus/kehendak Tuhan)

25. Manungsa iku saka dating Pangeran mula uga darbe sipating Pangeran. (Manusia berasal dari zat Tuhan, maka manusia memiliki sifat-sifat Tuhan)

26. Pangeran iku ora ana sing Padha, mula aja nggambar-nggambarake wujuding Pangeran. (Tidak ada yang menyerupai Tuhan, maka janganlah melukiskan dan menggambarkan wujud tuhan)

27. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, mula saka kuwi aja darbe pangira yen manungsa iku bisa dadi wakiling Pangeran. (Tuhan berkuasa tanpa perlu pembantu, maka jangan menganggap manusia menjadi wakil Tuhan di bumi)

28. Pangeran iku kuwasa, dene manungsa iku bisa. (Tuhan itu Mahakuasa, sementara itu manusia hanyalah bisa)

29. Pangeran iku bisa ngowahi kahanan apa wae tan kena kinaya ngapa. (Tuhan mampu merubah keadaan apa saja tanpa bisa dibayangkan/perumpamakan)

30. Pangeran bisa ngrusak kahanan kang wis ora diperlokake, lan bisa gawe kahanan anyar kang diperlokake. (Tuhan mampu merusak keadaan yang tidak diperlukan lagi, dan bisa membuat keadaan baru yang diperlukan)

31. Watu kayu iku darbe dating Pangeran, nanging dudu Pangeran. (Batu dan kayu adalah milik zat Tuhan, namun bukanlah Tuhan)

32. Manungsa iku bisa kadunungan dating Pangeran, nanging aja darbe pangira yen manungsa mau bisa diarani Pangeran. (Di dalam manusia dapat bersemayam zat tuhan, akan tetapi jangan merasa bila manusia boleh disebut Tuhan)

Page 38: tahapAN KESADARAN

33. Titah alus lan titah kasat mata iku kabeh saka Pangeran, mula aja nyembah titah alus nanging aja ngina titah alus. (Makhluk halus dan makhluk kasar/wadag semuanya berasal dari tuhan, maka dari itu jangan menyembah makhluk halus, namun juga jangan menghina makluk halus)

34. Samubarang kang katon iki kalebu titah kang kasat mata, dene liyane kalebu titah alus. (Semua yang tampak oleh mata termasuk makhluk kasat mata, sedangkan lainnya termasuk makhluk halus)

35. Pangeran iku menangake manungsa senajan kaya ngapa. (Tuhan memenangkan manusia walaupun seperti apa manusia itu)

36. Pangeran maringi kawruh marang manungsa bab anane titah alus mau. (Tuhan memberikan pengetahuan kepada manusia tentang eksistensi makhluk halus)

37. Titah alus iku ora bisa dadi manungsa lamun manungsa dhewe ora darbe penyuwun marang Pangeran supaya titah alus mau ngejawantah. (Makhluk halus tidak bisa menjadi manusia bila manusia tidak punya permohonan kepada Tuhan agar makhluk halus menampakkan diri)

38. Sing sapa wani ngowahi kahanan kang lagi ana, iku dudu sadhengah wong, nanging minangka utusaning Pangeran. (Siapa yang berani merubah keadaan yang terjadi, bukanlah sembarang orang, namun sebagai “utusan” tuhan)

39. Sing sapa gelem nglakoni kabecikan lan ugo gelem lelaku, ing tembe bakal tampa kanugrahaning Pangeran. (Siapa saja yang bersedia melaksanakan kebaikan dan juga mau “lelaku” prihatin, kelak akan memperoleh anugrah tuhan)

40. Sing sapa durung ngerti lamun piyandel iku kanggo pathokaning urip, iku sejatine durung ngerti lamun ana ing donyo iki ono sing ngatur. (siapa yang belum paham, lalu menganggap sipat kandel itu sebagai rambu-rambu hidup, yang demikian itu sesungguhnya belum memahami bila di dunia ini ada yang mengatur)

41. Sakabehing ngelmu iku asale saka Pangeran kang Mahakuwasa. (Semua ilmu berasal dari Tuhan yang Mahakuasa)

42. Sing sapa mikani anane Pangeran, kalebu urip kang sempurna. (Siapa yang mengetahui adanya Tuhan, termasuk hidup dalam kesempurnaan).

Kebatinan

1. Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira. (Lahirnya manusia karena berkat adanya kedua orang tua)

2. Manungsa iku kanggonan sipating Pangeran. (Di dalam manusia tedapat sifat-sifat Tuhan)

3. Titah alus iku ana patang warna, yakuwi kang bisa mrentah manungsa nanging ya bisa mitulungi manungsa, kapindho kang bisa mrentah manungsa nanging ora mitulungi manungsa, katelu kang ora

Page 39: tahapAN KESADARAN

bisa mrentah manungsa nanging bisa mitulungi manungsa, kapat kang ora bisa mrentah manungsa nanging ya ora bisa mrentah manungsa.

(Makhluk halus ada empat macam, pertama ; yang bisa memerintah manusia namun bisa juga menolong manusia. Kedua; yang bisa memerintah manusia namun tidak bisa menolong manusia. Ketiga ; yang tidak bisa memerintah manusia namun bisa menolong manusia. Keempat ; yang tidak bisa memerintah anusia namun juga tak bisa diperintah manusia.

4. Lelembut iku ana rong warna, yakuwi kang nyilakani lan kang mitulungi. (Makhluk halus ada dua macam; yang mencelakai dan yang menolong)

5. Guru sejati bisa nuduhake endi lelembut sing mitulungi lan endi lelembut kang nyilakani. (Guru Sejati bisa memberikan petunjuk mana makhluk halus yang bisa menolong dan mana yang mencelakakan)

6. Ketemu Gusti iku lamun sira tansah eling. (“Bertemu” Tuhan dapat dicapai dengan cara selalu eling)

7. Cakra manggilingan. (Kehidupan manusia akan seperti roda yang selalu berputar, kadang di bawah kadang di atas. Hukum sebab akibat dan memungkinkan terjadi penitisan)

8. Jaman iku owah gingsir. (Zaman akan selalu mengalami perubahan)

9. Gusti iku dumunung ana atining manungsa kang becik, mulo iku diarani Gusti iku bagusing ati. (Tuhan berada di dalam hati manusia yang baik, oleh sebab itu disebut Gusti (bagusing ati)

10. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe. Dene kang durung mikani awake dhewe durung mikani dating Pangeran. (Siapa yang mengetahui zat Tuhan berarti mengetahui dirinya sendiri. Sedangkan bagi yang belum memahami jati dirinya sendiri maka tidak mengetahui pula zat Tuhan)

11. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajat ira, awit samangsa ana wolak-waliking jaman ora ngisin-ngisini. (Keadaan dunia tidaklah abadi, maka jangan mengagungkan kekayaan dan derajat pangkat, sebab bila sewaktu-waktu terjadi zaman serba berbalik tidak menderita malu)

12. Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah. (Keadaan yang ada sekarang ini tidak akan berlangsung lama pasti akan mengalami perubahan, maka dari itu janganlah lupa kepada sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan)

13. Lamun sira kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, sira kudu weruh alamira pribadi. Lamun sira durung mikan alamira pribadi adoh ketemune. (Bila kamu ingin mengetahui alam di zaman kelanggengan. Kamu harus memahami alam jati diri (jagad alit), bila kamu belum paham jati dirimu, maka akan sulit untuk menemukan (alam kelanggengan)

14. Yen sira wus mikani alamira pribadi, mara sira mulanga marang wong kang durung wikan. (Jika kamu sudah memahami jati diri, maka ajarilah orang-orang yang belum memahami)

Page 40: tahapAN KESADARAN

15. Lamun sira wus mikani alamira pribadi, alam jaman kelanggengan iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan. (Bila kamu sudah mengetahui sejatinya diri pribadi, tempat zaman kelanggengan itu seumpama dekat tanpa bersentuhan, jauh tanpa jarak)

16. Lamun sira durung wikan alamira pribadi mara takono marang wong kang wus wikan. (Bila anda belum paham jati diri pribadi, datang dan tanyakan kepada orang yang telah paham)

17. Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi. (Bila anda belum paham saudaramu yang sejati, carilah hingga ketemu dirimu pribadi)

18. Kadangira pribadi ora beda karo jeneng sira pribadi, gelem nyambut gawe. (“Saudara sejati” mu tidak berbeda dengan diri pribadimu, bersedia bekerja)

19. Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti. (Pintalah Tuhan bila anda sedang menderita kesengsaraan, pujilah bila anda sedang menerima anugrah)

20. Lamun sira pribadi wus bisa caturan karo lelembut, mesthi sira ora bakal ngala-ala marang wong kang wus bisa caturan karo lelembut. (Bila anda sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus, pasti anda tidak akan menghina dan mencela orang yang sudah bisa bercakap-cakap dengan makhluk halus)

21. Sing sapa nyembah lelembut iku keliru, jalaran lelembut iku sejatine rowangira, lan ora perlu disembah kaya dene manembah marang Pangeran. (Siapa yang menyembah lelembut adalah tindakan keliru, sebab lelembut sesungguhnya teman mu sendiri)

22. Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran. (Memahami tuhan berarti sudah memahami diri sendiri, jika belum memahami jati diri, mustahil akan memahami Tuhan)

23. Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe. (Siapa yang gemar merusak ketentraman orang lain, pasti akan dihukum oleh Tuhan dan dipermalukan oleh perbuatannya sendiri)

24. Lamun ana janma ora kepenak, sira aja lali nyuwun pangapura marang Pangeranira, jalaran Pangeranira bakal aweh pitulungan. (Walaupun mengalami zaman susah, namun janganlah lupa mohon ampunan kepada Tuhan, sebab Tuhan akan memberikan pertolongan)

25. Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi, dene ketemune Gusti lamun sira tansah eling. (Tuhan ada di dalam diri pribadi, dapat anda ketemukan dengan cara selalu eling)

Filsafat Kemanusiaan

1. Rame ing gawe sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana. (Giat bekerja/membantu dengan tanpa pamrih, memelihara alam semesta /mengendalikan nafsu)

Page 41: tahapAN KESADARAN

2. Manungsa sadrema nglakoni, kadya wayang umpamane. (Manusia sekedar menjalani apa adanya, seumpama wayang)

3. Ati suci marganing rahayu. (Hati yang suci menjadi jalan menuju keselamatan jiwa dan raga)

4. Ngelmu kang nyata, karya reseping ati. (Ilmu yang sejati, membuat tenteram di hati)

5. Ngudi laku utama kanthi sentosa ing budi. (Menghayati perilaku mulia dengan budi pekerti luhur)

6. Jer basuki mawa beya. (Setiap usaha memerlukan beaya)

7. Ala lan becik dumunung ana awake dhewe. (Kejahatan dan kebaikan terletak di dalam diri pribadi)

8. Sing sapa lali marang kebecikaning liyan, iku kaya kewan. (Siapa yang lupa akan amal baik orang lain, bagaikan binatang)

9. Titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lan legawaning ati, darbe sipat berbudi bawaleksana. (Ciri khas orang mulia yakni, perbuatan dan sikap batinnya halus , tutur kata yang santun, lapang dada, dan mempunyai sikap wibawa luhur budi pekertinya)

10. Ngunduh wohing pakarti. (Orang dapat menerima akibat dari ulahnya sendiri)

11. Ajining dhiri saka lathi lan budi. (Berharganya diri pribadi tergantung ucapan dan akhlaknya)

12. Sing sapa weruh sadurunge winarah lan diakoni sepadha-padhaning tumitah iku kalebu utusaning Pangeran. (Siapa yang mengetahui sebelum terjadi dan diakui sesama manusia, ia termasuk utusan tuhan)

13. Sing sapa durung wikan anane jaman kelanggengan iku, aja ngaku dadi janma linuwih. (Siapa yang belum paham adanya zaman keabadian, jangan mengaku menjadi orang linuwih)

14. Tentrem iku saranane urip aneng donya. (Ketenteraman adalah sarana menjalani kehidupan di dunia)

15. Yitna yuwana lena kena. (Eling waspdha akan selamat, yang lengah akan celaka)

16. Ala ketara becik ketitik. (Yang jahat maupun yang baik pasti akan terungkap juga)

17. Dalane waskitha saka niteni. (Cara agar menjadi awas, adalah berawal dari sikap cermat dan teliti)

18. Janma tan kena kinira kinaya ngapa. (Manusia sulit diduga dan dikira)

19. Tumrap wong lumuh lan keset iku prasasat wisa, pangan kang ora bisa ajur iku kena diarani wisa, jalaran mung bakal nuwuhake lelara. (Bagi manusia, fakir dan malas menjadi bisa/racun, makanan yang tak bisa hancur dapat disebut sebagai bisa/racun, sebab hanya akan menimbulkan penyakit)

20. Klabang iku wisane ana ing sirah. Kalajengking iku wisane mung ana pucuk buntut. Yen ula mung dumunung ana ula kang duwe wisa. Nanging durjana wisane dumunung ana ing sekujur badan. (Racun

Page 42: tahapAN KESADARAN

bisa Lipan terletak di kepala, racun bisa kalajengking ada di ujung ekor, racun bisa ular hanya ada pada ular yang berbisa, namun manusia durjana racun bisanya ada di sekujur badan)

21. Geni murub iku panase ngluwihi panase srengenge, ewa dene umpama ditikelake loro, isih kalah panas tinimbang guneme durjana. (Nyala api panasnya melebihi panas matahari, namun demikian umpama panas dilipatgandakan, masih kalah panas daripada ucapan orang durjana)

22. Tumprape wong linuwih tansah ngundi keslametaning liyan, metu saka atine dhewe. (Bagi orang linuwih selalu berupaya menjaga keselamatan untuk sesama, yang keluar dari niat suci diri pribadi)

23. Pangucap iku bisa dadi jalaran kebecikan. Pangucap uga dadi jalaraning pati, kesangsaran, pamitran. Pangucap uga dadi jalaraning wirang. (Ucapan itu dapat menjadi sarana kebaikan, sebaliknya ucapan bisa pula menyebabkan kematian, kesengsaraan. Ucapan bisa menjadi penyebab menanggung malu)

24. Sing bisa gawe mendem iku: 1) rupa endah; 2) bandha, 3) dharah luhur; 4) enom umure. Arak lan kekenthelan uga gawe mendem sadhengah wong. Yen ana wong sugih, endah warnane, akeh kapinterane, tumpuk-tumpuk bandhane, luhur dharah lan isih enom umure, mangka ora mendem, yakuwi aran wong linuwih. (Penyebab orang menjadi lupa diri adalah : gemerlap hidup, harta, kehormatan, darah muda. Arak dan minuman juga membuat mabuk sementara orang. Namun bila ada orang kaya, tampan rupawan, banyak kepandaiannya, hartanya melimpah, terhormat, dan masih muda usia, namun semua itu tidak membuat lupa diri, itulah orang linuwih)

25. Sing sapa lena bakal cilaka. (Siapa terlena akan celaka)

26. Mulat salira, tansah eling kalawan waspada. (Jadi orang harus selalu mawas diri, eling dan waspadha)

27. Andhap asor. (Bersikap sopan dan santun)

28. Sakbegja-begjane kang lali luwih begja kang eling klawan waspada. (Seberuntungnya orang lupa diri, masih lebih beruntung orang yang eling dan waspadha)

29. Sing sapa salah seleh. (Siapapun yang bersalah akan menanggung celaka)

30. Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. (Bertanding tanpa bala bantuan)

31. Sugih ora nyimpen. (Orang kaya namun dermawan)

32. Sekti tanpa maguru. (Sakti tanpa berguru, alias dengan menjalani laku prihatin yang panjang)

33. Menang tanpa ngasorake. (Menang tanpa menghina)

34. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. (Yang mengganggu akan lebur, yang menghalangi akan hancur)

35. Mumpung anom ngudiya laku utama. (Selagi muda berusahalah selalu berbuat baik)

Page 43: tahapAN KESADARAN

36. Yen sira dibeciki ing liyan, tulisen ing watu, supaya ora ilang lan tansah kelingan. Yen sira gawe kebecikan marang liyan tulisen ing lemah, supaya enggal ilang lan ora kelingan. (Jika kamu menerima kebaikan orang lain, tulislah di atas batu supaya tidak hilang dari ingatan. Namun bila kamu berbuat baik kepada orang lain hendaknya ditulis di atas tanah, supaya segera hilang dari ingatan)

37. Sing sapa temen tinemu. (Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)

38. Melik nggendhong lali. (Pamrih menyebabkan lupa diri)

39. Kudu sentosa ing budi. (Harus selamat ke dalam jiwa)

40. Sing prasaja. (Menjadi orang harus bersikap sabar)

41. Balilu tau pinter durung nglakoni. (Orang bodoh yang sering mempraktekan, kalah pandai dengan orang pinter namun belum pernah mempraktekan)

42. Tumindak kanthi duga lan prayogo. (Bertindak dengan penuh hati-hati dan teliti/tidak sembrono)

43. Percaya marang dhiri pribadi. (Bersikaplah percaya diri)

44. Nandur kebecikan. (Tanamlah selalu kebaikan)

45. Janma linuwih iku bisa nyumurupi anane jaman kelanggengan tanpa ngalami pralaya dhisik. (Manusia linuwih adalah dapat mengetahui adanya zaman keabadian tanpa harus mati lebih dulu)

46. Sapa kang mung ngakoni barang kang kasat mata wae, iku durung weruh jatining Pangeran. (Siapa yang hanya mengakui hal-hal kasat mata saja, itulah orang yang belum memahami sejatinya Tuhan)

47. Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking. (Bila anda mendapat anugrah ilmu yang membuat banyak orang senang, janganlah kamu merasa pintar, sebab apabila Tuhan mengambil lagi ilmu yang menyebabkan anda terkenal itu, anda akan menjadi orang biasa lagi, malah lebih bermanfaat daun yang kering)

48. Sing sapa gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh wales kang luwih gedhe katimbang apa kang wis ditindakake. (Barang siapa gemar membuat orang lain bahagia, anda akan mendapatkankan balasan yang lebih besar dari apa yang telah anda lakukan)

Sabdalangit

KRITIK TERHADAP “LAKU PRIHATIN”

Page 44: tahapAN KESADARAN

Berusaha memaknai laku prihatin secara tepat,

yang selama ini banyak orang telah salah kaprah

dalam memaknai dan memahaminya.

MAKNA PRIHATIN by sabdalangit

Untuk memudahkan pemahaman, prihatin saya akronimkan sebagai kepanjangan dari rasa perih ing sajroning batin. Perih di dalam batin karena seseorang tidak lagi bergumul dalam kenikmatan jasad mengumbar nafsu-nafsu ragawinya. Sebaliknya meredam atau mengendalikan nafsu-nafsu tersebut agar berfungsi secara alamiah dan proporsional, yakni sekedar sebagai alat mempertahankan kelangsungan hidup (survival), bukan untuk mengumbar segala keinginan ragawi yang erat dengan kenikmatan. Pengendalian atas nafsu-nafsu sebagai bentuk sikap mengikuti kareping rahsa (sejati). Sementara itu sikap mengumbar hawa nafsu merupakan perilaku menuruti segala macam kemauan dan keinginan panca indera tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban diri pribadinya maupun orang lain. Saya gambarkan sebagai sikap mengikuti rahsaning karep (mengumbar napsu hawa).

Nafsu tak perlu dimatikan, hanya butuh pengendalian diri atau sikap mengekang hawa nafsu. Jika belum terbiasa konsekuensinya akan menimbulkan efek perasaan yang tidak nikmat karena pupusnya kesenangan ragawi yang selalu didambakan jasad. Hal inilah yang membuat kekecewaan dan akhirnya menimbulkan efek “kepedihan atau kepahitan” yang dirasakannya. Sebaliknya, mengumbar hawa nafsu, akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan (bersifat semu) yang tiada taranya. Namun kesenangan itu hanya sebatas “kulit” atau kesenangan imitasi yang tak ada limitnya. Bagai meneguk air laut, semakin banyak diminum, semakin terasa haus. Untuk lebih jelasnya para pembaca silahkan membuka kembali posting saya terdahulu tentang “Di manakah level Anda” di mana saya gambarkan proses perjalanan kesadaran manusia.

Itulah gambaran dari rahsaning karep, wujud konkritnya hanya berupa “kesenangan” yang bersifat imitasi saja. Sebaliknya, kareping rahsa (sejati) sekalipun terasa pahit hanyalah pada level “kulit”nya saja. Bagi orang yang memahami hakekat kehidupan, di balik penderitaan dan kepahitan itu sungguh menyimpan sejuta kebahagiaan. Hanya saja sedikit orang yang benar-benar tahu dan mau membuktikan “postulat” ini. Karep maksudnya adalah keinginan nafsu sering dikiaskan pula sebagai “godaan setan yang terkutuk”. Godaan bisa berasal dari luar diri, yang diserap oleh panca indera, yakni; pori-pori kulit sebagai efek rangsangan akibat adanya persentuhan dengan lawan jenis dsb. Bisa pula melalui rangsangan mata, telinga, penciuman, dan indera pencicip mulut sebagai gerbang kerakusan perut.

Page 45: tahapAN KESADARAN

Mulut juga bisa berperan sebagai pengobral kata-kata hasutan, penebar kalimat kebencian dan permusuhan. Dalam cerita pewayangan, panca indera dilukiskan ke dalam simbol-simbol Pendawa Lima. Jika tepat memanajemen akan memproduksi output yang sangat positif dan konstruktif, sebaliknya menimbulkan output yang sangat negatif, merusak, destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan alamnya.

MANUSIA MENENTUKAN PILIHAN, TUHAN (ALAM) MENENTUKAN KONSEKUENSINYA

Semua orang dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ibarat pisau, manusia bebas memilih mau menggunakannya sebagai sarana yang positif dan konstruktif atau digunakan sebagai sarana negatif dan destruktif. Yang jelas, bukan urusan tuhan untuk mengatur apakah seseorang memilih jahat, hidup berada dalam kegelapan, atau memilih menjadi baik, hidup dalam cahaya terang. Jika tuhan yang memilihkan, berarti itu tuhan palsu yang berada di dalam imajinasi manusia. Imajinasi manusia beresiko “menciptakan” tuhan bodoh dengan manajemen yang tidak adil. Bagi tuhan yang maha pinter, tentunya untuk menentukan pilihan tersebut semua terserah manusia. Sementara itu, tuhan atau hukum alam semesta cukup merangkai konsekuensi secara detil, adil dan lugas untuk masing-masing pilihan manusia tersebut. Nah dengan pemahaman seperti ini, terasa tuhan lebih adil kan. Selain itu, manusia akan berhenti mencari-cari kambing hitam, menyalahkan tuhan karena tidak memberikan petunjuk untuk dirinya. Petunjuk untuk menjatuhkan pilihan pun menjadi tanggungjawab setiap manusia. Siapa yang mau berusaha, tentu akan membuahkan hasil.

UNTUK APA MENJALANI LAKU PRIHATIN (NURUTI KAREPING RAHSA) ?

Perlu saya garis bawahi bahwa laku prihatin sangat berbeda dengan penderitaan. Penderitaan merupakan keadaan tidak menyenangkan, yang menyiksa secara lahir atau pun batin. Namun tidak semua penderitaan adalah bentuk laku prihatin. Untuk menilai apakah suatu keadaan termasuk kategori laku prihatin ataukah bukan, Anda bisa mencermati faktor penyebabnya. Selain itu suatu penderitaan termasuk laku prihatin atau bukan, sangat tergantung cara masing-masing individu dalam mengambil sikap.

Pertama, perilaku dan sikap yang tabah, sabar, tulus, bijaksana dan arif. Tipikal pribadi demikian ini mempunyai level kesadaran yang bermanfaat sebagai pengendalian nafsu. Kemerdekaan lahir dan batin yang terbesar manusia justru pada saat mana ia bisa meredam, menahan, atau mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Inilah sifat arif dan bijaksana, yang merubah penderitaan menjadi bentuk “laku prihatin”. Bahkan dalam tataran kesadaran spiritual yang lebih tinggi, seseorang akan menganggap

Page 46: tahapAN KESADARAN

penderitaannya sebagai jalan “penebusan dosa” atau “menjalani sanksi” (eksekusi pidana) atas kesalahan yang sadar atau tidak telah dilakukan di waktu yang telah lalu. Dalam tradisi Jawa-isme, menjalani penderitaan (musibah, bencana, sakit, kesulitan dll) dengan sikap sabar, tulus, dan tabah, sepadan dengan makna karma-yoga atau kesadaran diri untuk melakukan penebusan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Kedua, sikap yang keduwung nepsu. Atau dikuasai oleh nafsunya sendiri manakala tengah mengalami suatu penderitaan. Misalnya sikap emosional yang berlebihan; bersedih terlalu berlarut-larut, kalap, putus asa, selalu menggerutu dan grenengan, selalu mencari-cari kesalahan pada pihak-pihak lain, serta tak mau melakukan instropeksi diri.

Mengapa nafsu tak perlu dilenyapkan? Karena melenyapkan atau menghilangkan nafsu samasekali justru merupakan tindakan melawan kodrat alam. Coba Anda bayangkan jika nafsu dimusnahkan, pasti kehidupan manusia akan segera punah dari muka bumi dalam waktu 100 tahun ke depan. Karena nafsu itu ada, karena menjadi alat untuk bertahan hidup, regenerasi, serta melangsungkan kehidupan. Sebaliknya, memanfaatkan nafsu secara berlebihan atau tak terkendali sama halnya dengan melakukan bunuh diri dan membunuh kehidupan lainnya secara perlahan namun pasti. Nafsu adalah anugrah Tuhan, berkah alam semesta juga. Nafsu hanya perlu dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai kodrat alam. Jika digunakan secara arif dan bijak akan menghasilkan kebaikan pula. Bukankah semua manusia lahir ke bumi berkat “jasa baik” sang nafsu juga. Sebab itu, nafsu tidak perlu dimusnahkan atau dilenyapkan dari dalam jagad alit diri manusia. Pengendalian nafsu bertujuan supaya seseorang berpegang pada prinsip nuruti kareping rahsa. Bukan sebaliknya nuruti rasaning karep. Sampai disini, alasan utama mengapa seseorang perlu menjalani laku prihatin, tidak lain untuk menggapai kesadaran lebih tinggi dalam memaknai apa sejatinya hidup di dunia ini. Pada gilirannya, kesadaran tersebut dapat menjadi sarana utama untuk menggapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Secara spiritual, laku prihatin mempunyai energi yang memancar ke segala penjuru. Energi yang timbul dari dalam diri (jagad kecil) yang selaras dan harmonis dengan hukum alam (jagad besar). Keselarasan dan sinergi di antara keduanya inilah yang akan menempatkan seorang penghayat laku prihatin dalam jalur hidup yang penuh dengan anugrah dan berkah alam semesta.

PRINSIP DASAR DALAM LAKU PRIHATIN

Menjalani laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk mengendalikan nafsu negatif yang bersumber dari kelima indera yang dengan instrumen hati sebagai terminal nafsu tersebut (tapa brata dan tarak brata). Kita semua tahu, bahwa pemenuhan nafsu negatif memiliki daya tarik yang luar biasa karena di dalamnya menyimpan segudang kenikmatan. Kenikmatannya sungguh dahsyat dan

Page 47: tahapAN KESADARAN

menggiurkan, namun bersifat semu atau imitasi. Anda bisa juga menyebutnya sebagai kenikmatan palsu, di mana kenikmatannya bersifat tidak langgeng, dan cenderung merusak. Tak ada kepuasan, dan setiap saat minta dituruti kemauannya tanpa kenal waktu. Setiap hari tuntutan nafsu akan semakin bertambah kompleks dan semakin variatif. Artinya, tingkat kepuasan nafsu hanyalah sementara saja. Apabila nafsu berubah menjadi liar maka karakternya menjadi negatif dan destruktif. Sebagai konsekuensinya, bagi yang belum terbiasa menjalani laku prihatin, ia akan merasakan “kepedihan” dan “kehausan” dalam hati. Bagaikan minum air garam, semakin banyak minum Anda akan semakin merasa haus. Itulah karakter nafsu negatif. Paling prinsip menjalani laku prihatin, adalah berupa PENGUASAAN dan DOMINASI “kerajaan batin” terhadap “kerajaan jasad” yang berpusat di dalam gejolak nafsu.

SULITNYA MENGIDENTIFIKASI LAKU PRIHATIN

Dari pembahasan ini dapat diambil intisari bahwa menjalani keprihatinan (laku prihatin) sama sekali TIDAK IDENTIK dengan perilaku yang gemar hidup dalam penderitaan, kesengsaraan dan serba kekurangan. TIDAK IDENTIK pula dengan perilaku serba membatasi diri untuk menghindari gaya hidup yang serba kecukupan lahir dan batin. Bukankah kita semua tidak ingin menjadi “pengemis” atau menjadi orang “peminta-minta” yang telapak-tangannya selalu menengadah?!

Untuk menghindari cara hidup seperti itu, kita mesti memegang prinsip bahwa setiap saat “kerajaan batin” harus mampu ngemong atau mengasuh “kerajaan jasad” agar tidak nyelonong ke arah yang negatif. Dengan begitu terbangun pola keseimbangan antara “kerajaan batin” dengan “kerajaan lahir”. Dalam implementasi perbuatan, dapat dilihat ketika SIKAP seseorang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan, maksudnya memenuhi segala keinginannya melebihi apa yang ia butuhkan. Idealnya, hidup ini dijalani dengan sikap sakmadyaning gesang ; artinya proporsional, selaras, dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup. Prinsip keseimbangan tersirat dalam sebuah tamsil “ngono ya ngono ning aja ngono”. Untuk itu sering kita diingatkan agar supaya menjalani hidup secara proporsional, tetap berada dalam batas toleransi untuk melakukan sesuatu hal, asal tidak kebablasan, atau melampaui batas nilai kepantasan, nilai kebutuhan, dan melebihi batas nilai kewajaran (norak). Kemewahan hidup bukan lantas berarti seseorang tidak menjalani “laku prihatin”. Namun hidup bermewah-mewahan konotasinya adalah hidup berlebih-lebihan (melebihi apa yang menjadi kebutuhan), dan makna ini yang termasuk tidak menjalani “laku prihatin”. Misalnya seorang pengusaha, membeli mobil berjumlah 10 unit dengan berbagai tipe dan mahal harganya untuk menjelajah medan yang berbeda-beda, atau untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaannya. Ini bukan termasuk pola hidup berlebihan dan bermewah-mewah. Lain halnya, keluarga kecil yang terdiri hanya 3 orang anggota keluarga, membeli kendaraan mewah hingga 4 unit atau lebih, melebihi apa yang dibutuhkan untuk operasional sehari-hari. Ini termasuk hidup berlebihan dan bermewah-mewah. Walaupun hal itu menjadi hak setiap orang untuk melakukannya, namun dampak negatif ada pada dirinya sendiri. Kembali kepada diri sendiri.

Page 48: tahapAN KESADARAN

CONTOH PENILAIAN TERHADAP “LAKU PRIHATIN”

Berikut di bawah ini, saya kemukakan beberapa contoh teknis mengidentifikasi apakah suatu penderitaan merupakan bentuk keprihatinan atau bukan. Jika bukan, penderitaan itu bisa jadi merupakan hukuman atau akibat dari sebab pernah melakukan kesalahan kepada orang lain. Maka dari itu kita bisa melihat apa faktor penyebab seseorang mengalami penderitaan.

Suatu keadaan menderita BUKAN termasuk dalam kategori LAKU PRIHATIN, apabila keadaan itu akibat dari ulah perbuatannya sendiri. Misalnya sebagai berikut;

Seseorang dipenjara karena ia mencuri, korupsi, membunuh orang.

Seseorang yang hidupnya serba susah, celaka, sial dan menemui kesulitan, karena ia gemar mempersulit orang lain, menyerobot hak orang lain, dan sering menyakiti hati sesama, atau sering menyusahkan orang banyak baik disadari maupun tidak disadarinya.

Seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi, karena ia orang yang malas bekerja, menyia-nyiakan masa-masa belajar dengan mengejar kesenangan hedonistis.

Orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena ia orang yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya untuk bertanggungjawab menjalankan tugas dan tanggungjawab pekerjaan.

Kehilangan harta benda, karena ia seorang yang pelit, atau orang yang mencari harta denga cara menindas (menari di atas bangkai). Misalnya menangguk untung besar atas pembebasan tanah (menyerobot) yang dilakukan secara tidak adil, kurang adil dan tidak jujur, rentenir dan sejenisnya.

Sakit parah di masa tua hingga menghabiskan seluruh harta kekayaannya, karena di masa lalu ia menjadi hakim, pengacara, aparat penegak hukum, jaksa, dsb yang sering mempraktekan “pagar makan tanaman”, tidak menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran.

Mengalami berbagai peristiwa tragis, yang mengakibatkan kehilangan harta benda atau nyawa, sakit parah tak kunjung sembuh, tak ada orang yang mau menolongnya, karena di masa lalu ia berpraktek menjadi rentenir, lintah darat, atau memiliki pesugihan, atau sering menyerobot hal orang lain.

Contoh-contoh di atas lebih berupa hukuman atau karma (karma-pala). Yakni akibat ulah dirinya sendiri yang menimbulkan dampak berlangsungnya hukum sebab-akibat. Siapa menanam, akan mengetam. Meskipun demikian, orang yang terkena karma atau terkena eksekusi dari mekanisme hukum alam, jika dapat menjalani semua penderitaan itu dengan PENUH KESADARAN untuk menerima dan instropeksi diri akan kesalahannya selama ini, sikap demikian justru akan mempercepat selesainya “masa

Page 49: tahapAN KESADARAN

hukuman”. Paling tidak, kemungkinan masih ada waktu untuk mengoreksi kesalahan lalu memperbaiki pada sisa-sisa waktu yang masih ada. Sikap demikian termasuk laku prihatin level bawah. Caranya adalah menjalani masa-masa “hukuman” dengan sikap menerima, sabar, ikhlas, tidak menggerutu. Lebih ideal jika kita melakukan evaluasi diri apakah kira-kira kesalahan yang kita lakukan baik yang kita sadari maupun yang tidak disadari selama menjalani kehidupan ini. Setelah itu, berusaha mengoreksi kesalahan-kealahan selama ini, yakni dengan menjalani kehidupan dengan prinsip yang lebih ideal dibanding waktu masa lalu.

Karena sulitnya mengidentifikasi suatu penderitaan, apakah termasuk hukuman ataukah jalan untuk laku prihatin. Saya pribadi menempuh sikap “paling aman”, dengan cara lebih suka menganggap suatu penderitaan sebagai HUKUMAN tuhan atau alam semesta, ketimbang menganggapnya sebagai COBAAN (bagi orang-orang beriman). Jika saya menganggap setiap derita sebagai cobaan, maka sikap demikian beresiko menimbulkan sikap kurang waspada dan kurang eling. Sebaliknya tanpa disadari justru membuat sikap “besar kepala”, merasa diri sudah beriman lalu disayang tuhan. Karena tuhan sayang kepada kita kemudian tuhan memberi cobaan. Inilah sikap yang penuh bias, sikap menghibur diri sendiri, sikap GEDE RASA (Ge-eR), dengan menyangka disayang-sayang Tuhan, lalu tuhan pun mencoba dirinya. Di sinilah awal mula kita tergelincir karena hilangnya sikap eling dan waspada. Terlalu naif kiranya.

Lalu…manakah yang disebut laku prihatin ? Baiklah, di bawah ini saya fokuskan pembahasan soal apa saja perbuatan yang termasuk kategori LAKU PRIHATIN. Termasuk pembahasan beberapa scope atau lingkup/cakupan laku prihatin yang menentukan level-level kualitasnya. LAKU bermakna bahwa perbuatan yang tidak disengaja maupun disengaja atau direncanakan secara sadar untuk mengoptimalkan kekuasaan “kerajaan batin” atas “kerajaan jasad” kita sendiri.

KATEGORI LAKU PRIHATIN

Dilihat dari faktor penyebabnya, laku prihatin dapat dibagi menjadi dua kategori. Yakni laku prihatin disengaja, dan laku prihatin tidak disengaja ; by sabdalangit

Laku Prihatin Tidak Sengaja

Suatu keadaan di mana seseorang terpaksa mengalami suatu penderitaan yang disebabkan bukan oleh akibat langsung dari ulah dirinya sendiri. Keprihatinan tak sengaja ini disebabkan oleh ulah orang lain. Seseorang mengalami keprihatinan karena menjadi obyek penderita saja. Dengan kata lain keprihatinan

Page 50: tahapAN KESADARAN

timbul sebagai akibat atas situasi dan kondisi keadaan di sekeliling kita, misalnya ulah orang lain yang bertindak ceroboh, maupun ada unsur sengaja ingin mencelakai diri kita. Misalnya ulah para koruptor yang menggasak kekayaan negara mengakibatkan kesengsaraan rakyat yang tak kunjung usai. Atau ulah teroris yang meledakkan bom, sehingga membunuh salah satu anggota keluarga yang menopang nafkah bagi seluruh keluarganya. Akibatnya adalah timbulnya kesulitan hidup bagi anggota keluarga yang dinafkahi korban yang telah mati. Anggota keluarga yang ditinggalkan, hidup dalam suasana penuh keprihatinan. Keprihatinan tak sengaja, di dalamnya termasuk keprihatinan sebagai akibat dari force major atau kejadian yang tak terelakkan seperti musibah dan bencana alam. Penderitaan yang dialami sebagai ekses atau akibat buruk atas kejadian di luar diri yang menimpanya. Namun demikian penderitaan yang menimpa diri kita tidak secara otomatis menjadi ajang untuk menjalani (laku) prihatin. Semua masih tergantung pada cara kita merespon atau menyikapinya. Apabila diri kita tetap banyak-banyak mensyukuri sisa-sisa nikmat dan anugrah yang ada, serta tidak ngedumel atau menggerutu (grenengan), atau selalu mengeluh. Sebaliknya justru dijalani dengan benteng kekuatan terakhir yakni kesabaran dan ketulusan, tetap kuat dan semangat berusaha dengan gigih, sekuat tenaga dan pikiran untuk meneruskan hidup, maka penderitaan yang dialami itu barulah akan berubah menjadi “laku” prihatin.

Sia-sia kah kesabaran, ketulusan, dan sikap gigih berusaha yang Anda lakukan ? Tentu saja tidak ada yang sia-sia. Dalam kurun waktu tertentu, cepat atau lambat, apa yang Anda lakukan akan membuahkan hasil yang gemilang. Kesuksesan hidup lahir dan batin akan Anda rasakan. Begitulah rumus baku sebagai kuci dalam upaya Anda merubah MUSIBAH menjadi ANUGRAH yang terindah. Masukkan prinsip hidup di atas ke dalam jiwa Anda, lalu wujudkan kesadaran “jiwa” anda tersebut ke dalam perbuatan nyata, yakni menghayatinya dalam setiap gerak langkah kehidupan Anda di manapun dan suasana apapun juga. Itulah makna dari JAWA, yakni jiwa kang kajawi, jiwa kang kajawa. Menjiwai nilai-nilai luhur kedalam perbuatan sehari-hari. Nilai-nilai luhur yang telah dijiwai, lalu dihayati dalam perbuatan nyata. Jawa iku jawabe ! dudu mung ujare. Yang penting adalah tindakan nyata, bukan sekedar mulut berbusa-busa memainkan teori. Falsafah hidup bagi orang Jawa yang belum hilang kejawaannya; yang terpenting dari nilai luhur, bukan sekedar katanya (teorinya), tetapi aplikasinya dalam perbuatan sehari-hari. Bangunlah jiwanya, maka bangunkan badannya..!! Kesadaran jiwa, diimbangi oleh kesadaran berbuat.

Laku Prihatin Disengaja

Laku Prihatin disengaja atau direncanakan mempunyai dua macam orientasi. Pertama ; laku prihatin yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup diri pribadi. Misalnya Anda melakukan berbagai ritual puasa, cegah turu, atau melek-melek, cegah syahwat atau sesirih. Anda mengembara berkelana jauh tanpa bekal apapun di tangan dengan tujuan merasakan kehidupan yang polos, lugas, apa adanya, dan mendapatkan berbagai pengalaman untuk merasakan sisi kehidupan yang tak pernah Anda rasakan sebelumnya. Atau Anda sengaja hidup dalam suasana yang serba kekurangan atau pas-pasan. Laku

Page 51: tahapAN KESADARAN

prihatin ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas mental lahir dan batin setiap masing-masing pribadi yang sengaja menjalani “laku prihatin” model demikian. Namun laku prihatin ini manfaatnya belum bisa dirasakan oleh orang lain atau lingkup yang lebih luas secara langsung. Kedua ; laku prihatin dengan tujuan agar hidup kita bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas. Misalnya membantu sesama, atau menolong orang lain yang sedang mengalami penderitaan dan kesulitan dengan tulus tanpa pamrih apapun (tapa ngrame).

LEVEL LAKU PRIHATIN

Level Bawah (Orientasi Diri Pribadi)

Laku prihatin level bawah berorientasi untuk kebutuhan meningkatkan kualitas diri pribadi. Masing-masing orang sah-sah saja menjalani laku prihatin level bawah ini dengan cara dan gaya yang berbeda-beda, misalnya dengan cara berpuasa, cegah tidur, cegah sahwat, cegah makan, atau mengembara tanpa bekal uang di tangan, makan hanya apa yang ditemukan saja, menjalani hidup dalam kondisi serba pas-pasan bahkan serba kekurangan. Semua dijalani dengan kesabaran dan ketulusan, untuk membangun kekuatan mental lahir dan batin. Hilangnya rasa takut berganti dengan nyali berani hidup dalam gelimang derita dan sengsara (lara lapa). Namun laku prihatin ini efeknya sebatas mematangkan dan menguatkan keadaan mental lahir dan batin si pelaku. Apapun cara laku prihatin yang Anda lakukan tidaklah menjadi soal, yang penting dilakukan dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah karena akan percuma sia-sia saja, tak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Manusia sejati kuat mental lahir dan batin bukanlah orang yang berani mati, tetapi orang yang berani hidup. Yakni hidup dalam gelimang sengsara dan derita (kuat tapa brata; lara lapa, lara wirang). Namun, menjalani laku prihatin seperti itu belumlah cukup untuk meraih suatu kemuliaan yang sejati. Diumpamakan, kita baru memperoleh instrumen atau alat untuk meraih tujuan. Alat itu berupa kematangan sikap, lahir dan batin, solah (perilaku lahir) dan bawa (perilaku batin) yang arif dan bijaksana dalam memahami dan menjalani kehidupan yang teramat kompleks ini.

Level Tinggi (Orientasi Publik)

Berbeda dengan laku prihatin di atas, yang saya kategorikan sebagai bentuk laku prihatin level bawah, maka laku prihatin ORIENTASI PUBLIK saya kategorikan sebagai laku prihatin level tinggi. Penghayat laku prihatin bukan lagi berorientasi untuk meningkatkan kualitas mental lahir dan batin dengan obyek (sasaran) pribadinya sendiri. Dengan bekal instrumen atau alat berupa kualitas diri lahir dan batin sudah tercapai, maka yang paling utama adalah memanfaatkan instrumen tersebut dalam kehidupan sehari-

Page 52: tahapAN KESADARAN

hari dalam lingkup “ruang publik”, dengan obyek/sasaran yang lebih luas yakni orang banyak. Laku prihatin berorientasi publik, dilakukan dengan penuh kesadaran diri akan makna sejatinya kehidupan ini. Termasuk untuk menjawab atas pertanyaan,”untuk apa kita lahir dan berada di planet bumi ini? Bagi saya pribadi, kita hidup bukan untuk MENCARI. Melainkan untuk memberi. Memberi artinya membuat diri kita bermanfaat untuk seluruh makhluk dan lingkungan alam di sekitar kita. Yakni saling memberi kasih sayang (welas asih) kepada seluruh makhluk tanpa kecuali. Welas asih memiliki wujud konkrit, yakni berupa SEDEKAH (donodriyah) atau memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh makhluk. Meliputi sedekah lahir berupa harta, tenaga, pikiran, sedekah doa (paling lemah). Dan sedekah batin berupa kasih sayang yang menghasilkan rasa nyaman, aman, tenteram. Memberi, atau donodriyah, dalam falsafah hidup Jawa disebut sebagai mulat laku jantraning bumi. Mengikuti sifat tabiat bumi yang selalu memberi kehidupan kepada seluruh makhluk tanpa kecuali, dan tanpa pilih kasih. Untuk menghayatinya, kita terlebih dahulu harus menjadi manusia yang memiliki instrumen lahir dan batin yang cukup ideal. Yakni menjadi manusia yang MERDEKA LAHIR & BATIN, yang manusia yang tidak lagi tersekat-sekat oleh primordialisme agama, golongan, kepentingan politik, suku, dan ras.

Coba simak baik-baik serat Wedhatama bait Sinom pupuh 29 berikut ini :

Mungguh ugering ngaurip,

Uripe lan tri prakara,

Wirya arta tri winasis,

Kalamun kongsi sepi,

Saka wilangan tetelu,

Telas tilasing janma,

Aji godhong jati aking,

Temah papa papariman ngulandara

Page 53: tahapAN KESADARAN

Pedoman hidup itu demikian seyogyanya,

hidup dengan tiga prinsip;

Keluhuran (kemuliaan, kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan.

Bila tiga perkara itu tak satu pun dapat diraih,

habis lah harga diri manusia.

Masih lebih berharga daun jati kering, bakal mendapatlah derita, sengsara dan terlunta.

Dalam Pupuh Sinom serat Wedhatama karya Ingkang Wicaksana Gusti Mangkunegoro IV di atas menggambarkan prestasi hidup seseorang yang sangat ideal untuk menjalani laku prihatin. Sekilas tampak paradoksal dengan laku prihatin yang sering diidentikkan dengan keadaan yang serba tidak enak, menderita dan sengsara. Tapi coba lah kita telaah dengan melibatkan nurani. Saya coba berefleksi dengan mengajukan pertanyaan berikut ;

Pilih model yang manakah untuk menjalani laku prihatin, apakah menjalani hidup dalam keadaan serba kekurangan, pas-pas-an, ataukah menjalani hidup dalam keadaan serba kecukupan materi, kaya ilmu, dan berkuasa ?

Jangan tergesa menjawab dan menyimpulkan. Para pembaca yang budiman silahkan melanjutkan membaca tulisan di bawah ini.

Prihatinnya Orang Kaya Harta

Orang yang kaya harta melakukan prihatin dengan cara memanfaatkan hartanya tidak hanya untuk kepentingan dan kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Tetapi harta-kekayaannya

Page 54: tahapAN KESADARAN

dimanfaatkan pula agar menjadi berkah bagi orang-orang di sekitarnya termasuk lingkungan alamnya. Hartanya bermanfaat untuk menolong dan membantu orang banyak tanpa pilih kasih, tidak berdasarkan sentimen agama, ras, suku, golongan, kelompok kepentingan. Itulah orang kaya harta yang mau menjalani laku prihatin. Hidupnya mberkahi, jauh lebih bermanfaat ketimbang orang yang menjalani laku prihatin level bawah.

Prihatinnya Orang Kaya Ilmu

Orang kaya ilmu, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu spiritual, akan menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan ilmunya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Tetapi dimanfaatkan pula agar menjadi berkah bagi orang-orang di sekelilingnya, untuk masyarakat luas, bangsa, termasuk lingkungan alam sekitarnya. Ilmunya dibagi secara tulus, tanpa mengharap upah atau imbalan kepada siapa saja yang memerlukan. Dan dilakukan tanpa pilih kasih, tidak berdasar sentimen agama, ras, suku, golongan, kelompok, dan kepentingan. Itulah orang kaya ilmu yang menjalani laku prihatin.

Prihatinnya Orang Punya Kekuasaan

Orang punya otoritas kekuasaan menjalani laku prihatin dengan cara memanfaatkan kekuasaannya untuk menciptakan berkah bukan saja bagi diri dan keluarganya, lebih utama adalah untuk dipersembahkan kepada rakyat dan ibu pertiwinya (alam semesta). Kekuasaannya dijadikan sarana untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya serta untuk menjaga kelestarian lingkungan alam. Dengan kata lain, kekuasaan dimanfaatkan untuk menciptakan negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Itulah orang punya otoritas kekuasaan yang menjalani laku prihatin. Negarawan sejati, adalah wajah orang yang sugih kuwasa yang menjalani laku prihatin. Berbeda dengan “politikus sejati” yang hanya membela kelompoknya, kepentingannya, golongannya, sesama keyakinan, sesama suku dan rasnya sendiri. Namun untuk memenuhi kriteria ini bukan berarti kita harus menjadi pemimpin, pejabat, penguasa. Kita perlu menyadari bahwa setiap diri kita merupakan seorang pemimpin. Yakni pemimpin untuk diri kita sendiri, keluarga, sahabat, kelompok, organisasi dst.

Kesempatan Besar Menggapai Kamulyan Sejati

Page 55: tahapAN KESADARAN

Kenapa musti sugih bondo, sugih ngelmu, sugih kuwasa ? Bagaimanapun juga seseorang yang dilengkapi dengan 3 macam kemampuan tersebut (setidaknya memiliki salah satu di antaranya), akan memiliki kesempatan besar untuk selalu MEMBERI (telapak tangan telungkup) kepada yang lain. Lain halnya orang yang menjalani laku prihatin untuk dirinya sendiri, walau kemauan ada, tetapi belum tentu memiliki kemampuan untuk memberi. Secara logik orang yang lengkap memiliki 3 kemampuan tersebut akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menjalani laku prihatin level tinggi. Ia memiliki “ladang amal”. Sehingga ia lebih banyak kesempatan untuk menanam “pohon kebaikan” dengan jumlah sebanyak-banyaknya. Tentu “buah-buah” yang dihasilkan pun akan lebih banyak lagi. Dalam satu kali tanam saja bisa mencapai ribuan, bahkan jutaan “pohon kebaikan”. Dengan kata lain, jika benar-benar memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya, seseorang lebih mudah menggapai kamulyan sejati dalam kehidupan dunia maupun kehidupan sejati kelak. Seorang presiden, ratu, raja, gubernur, bupati, dan pejabat daerah lainnya, adalah orang-orang yang memiliki ladang amal, alias memiliki kesempatan besar meraih kamulyan sejati. Persoalannya, apakah orang-orang itu mau memanfaatkan kesempatan besar itu ? Semua tergantung pilihan sikap dan kesadaran spiritualnya masing-masing.

KAYA HATI ; Laku Prihatin Level Tinggi

Laku prihatin level tinggi, adalah dengan cara memberi sesuatu yang bermanfaat kepada banyak orang. Memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain artinya adalah BERSEDEKAH. Sudah beberapa kali saya sampaikan dalam beberapa tulisan terdahulu, jika kita ingin bersedekah, atau membiasakan telapak tangan kita selalu “telungkup” mulailah sejak kita belum menjadi orang kaya, sejak belum memiliki ilmu yang luas, dan sebelum menjadi penguasa. Banyak orang berjanji akan bersedekah (donodriyah) dengan cara membantu, menolong, memberi tapi nanti jika sudah kaya, sudah punya harta, sudah punya ilmu atau sudah berkuasa.

wrote by sabdalangit

Prinsip demikian biasanya gagal terlaksana karena setelah benar-benar kaya akan lupa terhadap janji-janjinya sendiri yang pernah diucap pada waktu masih miskin atau hidup ngrekoso. Maka idealnya untuk memberi, menolong, membantu sesama hendaknya dibiasakan sejak kita belum menjadi orang kaya, sejak ilmu pengetahuan dan spiritual kita masih pas-pasan. Kita harus mensetting HATI kita, menjadi orang yang KAYA HATI. Orang yang kaya hati tidak lagi menghitung-hitung berapa prosentase harta untuk dikeluarkan sebagai sarana membantu dan menolong orang lain. Jika kita masih saja menghitung prosentasenya, kita masih terjebak pada kebiasaan buruk untuk menggugurkan kewajiban saja. Setelah mengeluarkan hartanya sekian persen, maka ia menganggap sudah selesailah tanggungjawab sosialnya. Inilah kebiasaan buruk yang terus terpelihara sampai saat ini.

Page 56: tahapAN KESADARAN

Sementara itu, menurut pengalaman, KAYA HATI adalah modal utama, terutama untuk meraih kekayaan ilmu dan materi. Seringkali pintu rejeki seret atau tertutup rapat gara-gara seseorang memiliki HATI yang MISKIN. Sebuah pengalaman nyata dan bisa dibuktikan oleh siapa saja, sungguh KAYA HATI justru menjadi kunci pembuka menuju kesuksesan lahir batin, kesuksesan moril dan materiil.

Untuk menjadi orang yang kaya hati, tentu harus belajar. Pada tahap awal akan terasa pahit dan getir menjadi orang yang kaya hati. Untuk itu diperlukan kegigihan, ketekunan, kesabaran, tekad bulat, serta sikap percaya diri bahwa apa yang Anda lakukan bukanlah hal yang sia-sia. Agar sikap percaya diri itu bisa tumbuh dalam diri pribadi, biasanya seseorang memerlukan bukti atau contoh, setidaknya pengalaman yang dialami orang lain. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menumbuhkan sikap percaya diri bagi para pembaca yang budiman yang tengah belajar menjadi orang yang kaya hati. Bahwa sikap dan tindakan Anda sama sekali bukanlah hal yang sia-sia. Sebaliknya, kaya hati merupakan sikap yang selaras dan harmonis dengan hukum alam. Yang akan membuat diri kita selalu berada dalam lajur yang penuh berkah dan anugrah.

TOLOK UKUR KAYA HATI

KAYA HATI sama dengan MURAH HATI. Orang yang murah hati, akan selalu mudah rejekinya. Semakin banyak memberi (tentu dengan ketulusan) akan semakin banyak menerima atau mendapatkan rejeki. Maka orang yang kaya hati, selama hidupnya tak pernah mengalami penderitaan akibat kekurangan. Orang yang kaya hati, hidupnya akan selalu terjaga dari segala kefakiran. Sebab kaya hati akan menjadi PAGAR GAIB yang senantiasa melindungi diri kita dari segala macam marabahaya, derita dan sengsara. Sudahkah kita murah hati ??? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, seyogyanya dilakukan secara obyektif. Jangan berpegang pada penilaian dari kacamata kita sendiri (subyektif). Tetapi dengarkan dan lihatlah apa penilaian orang-orang lain pada diri kita sendiri (obyektif).

“jadilah orang yang kaya hati,

sejak kita belum menjadi kaya harta,

kaya ilmu, dan kaya kuasa”

Page 57: tahapAN KESADARAN

SETIAP ORANG PUNYA SESUATU UNTUK MEMBANTU & MENOLONG

Sekalipun seseorang paling miskin se-Indonesia, namun bukan berarti tak punya apa-apa lagi untuk modal menjalani laku prihatin level tinggi. Dalam falsafah hidup Jawa (kejawen) mempunyai prinsip bahwa bersedekah bisa dilakukan melalui empat cara sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Cara-cara tersebut menunjukkan level atau tingkatan derajat nilai dalam menjalani laku prihatin. Berikut ini saya urutkan dari level paling bawah :

Sedekah Doa : sedekah doa adalah doa bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. Namun demikian sedekah doa merupakan sedekah yang paling mudah dan sedekah yang paling lemah. Boleh dibilang sedekah ini tanpa memerlukan modal. Jika mulut tak kuasa berucap, hatipun masih bisa berdoa. Anda bisa melakukan sambil berbaringan, sambil duduk santai dst. Bahkan orang yang sedang terkapar sakitpun masih bisa bersedekah doa untuk orang lain.

Sedekah Pikir dan Wicara (tuturkata) : satu level lebih tinggi dari sedekah doa. Sedekah ini memerlukan modal berupa kemampuan berfikir yang konstruktif, dan kemampuan menyusun kata-kata menjadi rangkaian kalimat tuturkata yang menentramkan hati dan menumbuhkan semangat hidup bagi orang lain.

Sedekah Tenaga ; satu level lebih tinggi dari sedekah point 2 di atas. Orang yang bersedekah harta memerlukan modal dan perjuangan yang lebih banyak. Kita butuh tenaga, untuk memperoleh tenaga kita harus memenuhi kebutuhan makan minum yang cukup. Pemenuhan kebutuhan makan dan minum memerlukan beaya. Tenaga yang keluar merupakan tetesan keringat dan aliran energi yang kita miliki. Jadi sedekah tenaga memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit.

Sedekah Harta ; satu level lebih tinggi dari sedekah tenaga. Sedekah harta memerlukan lebih banyak pengorbanan waktu, pikiran, tenaga dan harta itu sendiri. Untuk memperoleh harta kita butuh pikiran dan tenaga. Kita bisa bayangkan betapa tidak mudah mencari harta, meskipun demikian setelah mendapatkannya sebagian dari harta kita sedekahkan untuk membantu dan menolong orang lain. Oleh sebab itu sedekah harta adalah “laku” prihatin yang paling berat. Apalagi jika sedekah itu bermanfaat tidak hanya untuk satu dua orang, melainkan dapat dirasakan oleh banyak orang (rakyatnya). Seorang pemimpin dengan jiwa negarawan sejati, ia akan menjalani “laku” prihatin dengan melibatkan segenap jiwa raganya. Melibatkan lahir dan batinnya demi mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin, ratu, raja, penguasa yang bersifat adil, arif dan bijaksana, serta berhasil mensejahterakan rakyat serta memakmurkan bangsanya akan mudah sekali menggapai kemuliaan sejati setelah ia “lahir” ke dalam kehidupan yang sejati setelah raganya ajal. Karena sedekah yang ia lakukan tidak lagi bersifat ketengan atau eceran, melainkan bersifat borongan bermanfaat untuk orang banyak.

Seorang negarawan sejati, pemimpin besar, presiden, ratu, raja, pejabat, seharusnya dipegang oleh orang-orang yang mampu melakukan ke-empat macam sedekah tersebut. Bahkan setiap diri kita

Page 58: tahapAN KESADARAN

idealnya jumeneng mandireng pribadi. Pribadi yang mampu mulat laku jantraning bumi menjadi manusia yang mempunyai kesadaran spiritual tinggi, menjadi manusia kosmologis. Menjadi pribadi yang mau dan mampu untuk selalu memberi ke-empat macam sedekah.

semoga bermanfaat

Rahasia Kekuatan Doa

Kami tidak akan membahas mengenai etika berdoa, karena dalam setiap agama tentunya sudah diajarkan mengenai tata cara dan etika berdoa, kami yakin para pembaca sudah lebih memahaminya. Tujuan kami menulis jauh dari maksud menggurui, semata hanya ingin berbagi pengalaman. Dengan kata lain, apa yang kami sampaikan juga pernah kami lakukan dan rasakan. Tujuan kami menulis adalah untuk berbagi kepada sesama, barangkali dapat memberi sedikit manfaat untuk para pembaca yang budiman. Dengan menggunakan akal budi dan hati nurani (nur/cahaya dalam hati) yang penuh keterbatasan kami berusaha mencermati, mengevaluasi dan kemudian menarik benang merah, berupa nilai-nilai (hikmah) dari setiap kejadian dan pengalaman dalam doa-doa kami.

Berkaitan dengan Waktu dan tempat yang dianggap mustajab untuk berdoa, kiranya setiap orang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Kedua faktor itu berpengaruh pula terhadap kemantapan hati dan tekad dalam mengajukan permemohonan kepada Tuhan YME. Namun bagi saya pribadi semua tempat dan waktu adalah baik untuk melakukan doa. Pun banyak juga orang meyakini bahw doanya akan dikabulkan Tuhan, walaupun doanya bersifat verbal atau sebatas ucapan lisan saja. Hal ini sebagai konsekuensi, bahwa dalam berdoa hendaknya kita selalu berfikir positif (prasangka baik) pada Tuhan. Kami tetap menghargai pendapat demikian.

SULITNYA MENILAI KESUKSESAN DOA

Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit sekali mengukur prosentase antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;

Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan

Page 59: tahapAN KESADARAN

kebenarannya. Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah asumsi bahwa hanya sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan.

Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Mahatunggal tentu menurut ukuran kita adalah baik dan ideal, akan tetapi apa yang baik dan ideal menurut kita, belum tentu baik dalam perspektif Tuhan. Tanpa kita sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja yang paling baik untuk kita. Tuhan Sang Pengelola Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat pula. Ketidaktahuan dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (rumus/kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.

Prinsip kebaikan meliputi dua sifat atau dimensi, universal dan spesifik. Kebaikan universal, akan berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup. Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan spesifik meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam benak. Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan karakter buruk dalam berdoa, yakni; sok tahu. Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya. Jujur saja, kita belum tentu benar dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.

Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “bisa nggayuh kawicaksanane Gusti”.

HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA

Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat kita lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk memahami bahwa doa sesungguhnya bukan saja sekedar permohonan (verbal). Lebih dari itu, doa adalah usaha yang nyata netepi rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya tampak pula pada gejala kosmos. Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan lisan. Tetapi PALING PENTING adalah doa butuh penggabungan antara dimensi batiniah dan lahiriah (laten dan manifesto) metafisik dan fisik. Doa akan menjadi mustajab dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat Tuhan;

Page 60: tahapAN KESADARAN

Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; hati, pikiran, ucapan, tindakan. Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa orang sering merasa ada saja doa yang tidak terkabul ? Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada Tuhan. Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita sendiri. Misalnya kita berdoa mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa juga diikrarkan terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana caranya hidup yang sehat. Tetapi tindakan kita tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan secara berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten. Doa yang kuat dan mustajab harus konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat), ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai terjadi kontradiktori. Sebab kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit.

Untuk hasil akhir, pasrahkan semuanya kepada “kehendak” Tuhan, tetapi ingat usaha mewujudkan doa merupakan tugas manusia. Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran yang penuh, bahwa manusia bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak, biarkan itu menjadi kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita adalah berusaha maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang sering keliru mengkonsep doa. Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas lisan saja. Selanjutnya doa dan harapan secara mutlak dipasrahkan pada Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan besar dalam memahami doa karena terjebak oleh sikap fatalistis. Sikap fatalis menyebabkan kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa. Ujung-ujungnya Tuhan akan dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan doanya memang sudah menjadi NASIB yang digariskan Tuhan. Lebih salah kaprah, bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai bentuk cobaan dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab kepasrahan itu artinya pasrah akan penentuan kualitas dan kuantitas hasil akhir. Yang namanya ikhtiar atau usaha tetap menjadi tugas dan tanggungjawab manusia.

Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa itu pada dasarnya menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam rumus (kodrat) Tuhan. Kesulitannya adalah mengetahui apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun kita menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita juga tidak tahu persis, apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa kebaikan atau sebaliknya membuat kita celaka.

Berdoa secara spesifik dan detil dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek jatuh ke tangan kita, atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati. Padahal jika kita bener-bener menjadi Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya yang akan “menjebak” kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita terwujud. Maka dalam berdoa sebaiknya menurut kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa “berdoa sesuai kodrat alam” atau hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri kita. Sebagai contoh; ya Tuhan, andai saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang disekitarku, maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa berkah untuk ku, jauhkanlah.

Page 61: tahapAN KESADARAN

Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana.

Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri kita pada rumus dan kodrat yang terbaik…untuk masing-masing orang ! Sayangnya, kita sering lupa bahwa doa kita adalah doa sok tahu, pasti baik buat kita, dan doa yang telah menyetir atau mendikte kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti rahsaning karep.

DOA MERUPAKAN PROYEKSI PERBUATAN KITA,

AMAL KEBAIKAN KITA PADA SESAMA MENJADI DOA

TAK TERUCAP YANG MUSTAJAB.

Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci memahami misteri kekuatan doa; doa adalah seumpama cermin !! Doa kita akan terkabul atau tidak tergantung dari amal kebaikan yang pernah kita lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa kita merupakan cerminan akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain. Jika kita secara sadar atau tidak sering mencelakai orang lain maka doa mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu menolong dan membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi “doa” sepanjang waktu, hidupnya selalu mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan. Kita gemar dan ikhlas mendermakan harta kita untuk membantu orang-orang yang memang tepat untuk dibantu. Selanjutnya cermati apa yang akan terjadi pada diri kita, rejeki seperti tidak ada habisnya! Semakin banyak beramal, akan semakin banyak pula rejeki kita. Bahkan sebelum kita mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang kita harapkan. Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita pada sesama, akan menjadi doa yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab. Ibarat sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada orang lain, sesungguhnya perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri.

Dalam tradisi spiritual Jawa terdapat suatu rumus misalnya :

1. Siapa gemar membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu mendapatkan kemudahan.

2. Siapa yang memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang sesama pula.

3. Siapa suka mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.

4. Siapa suka meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.

5. Siapa gemar mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang hina.

6. Siapa yang gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.

Page 62: tahapAN KESADARAN

7. Siapa menanam “pohon” kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.

Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang kita lakukan merupakan doa untuk kita sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan menampakkan gambaran asli atas apa yang kita lakukan. Sering kita saksikan orang-orang yang memiliki kekuatan dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada konsistensi dalam perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali lagi ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita tidak menyetir atau mendikte Tuhan.

Berikut ini merupakan “rumus” agar supaya kita lebih cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri;

Jangan pernah berharap-harap kita menerima (anugrah), apabila kita enggan dalam memberi.

Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita sering membuat orang lain celaka.

Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta, apabila kita kurang peduli terhadap sesama.

Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar, apabila kita selalu menghitung untung rugi dalam bersedekah.

Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila kita gemar menghina sesama.

Lima “rumus” di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para pembaca yang budiman mengidentifikasi sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang tentunya tiada terbatas jumlahnya.

Resume

Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu memadukan empat unsur di atas yakni : hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan nyata. Dengan syarat perbuatan kita tidak bertentangan dengan isi doa. Di lain sisi amal kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa mustajab sepanjang waktu, hanya jika, kita melakukannya dengan ketulusan. Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari saat “membuang ampas makanan” tak berarti.

JIKA INGIN DIBERI,

MEMBERILAH TERLEBIH DAHULU !

Page 63: tahapAN KESADARAN

Dahulu saya pernah mengalami kebanyakan asa, lalu giat sekali berdoa bermacam-macam hal. Siang-malam berdoa isinya permohonan apa saja yang diinginkan. Waktu berdoa pun hanya pada waktu tertentu yang dianggap tijab. Tetapi saya masih merasakan kehampaan dalam hidup. Bahkan dirasakan realitas yang terjadi justru semakin menjauh dari harapan seperti yang terucap dalam setiap doa. Lama-kelamaan muncul kesadaran ada yang tidak beres dalam prinsip pemahaman saya ini.

Kesadaran diri muncul lagi manakala merasa sangat kurang dalam melakukan amal kebaikan terhadap sesama. Kami berfikir, betapa buruknya tabiat ini, yang selalu banyak meminta-minta, tetapi sedikit “memberi”. Coba mengingat apa saja kebaikan yang pernah kami lakukan pada sesama, Parah…sepertinya kok nggak ada… atau kami yang sudah lupa. Namun yang teringat justru keburukan dan kesalahan yang pernah kami lakukan pada teman, keluarga, orang tua, dan pada orang lain. Kami menjadi resah sendiri, merasa dalam kehidupan ini kami tidak bermanfaat samasekali untuk orang banyak, sementara kami nggak tahu malu dengan selalu meminta-minta terus Hyang Widhi. Egois, maunya enaknya sendiri. Berharap-harap memperoleh pemenuhan hak-hak sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi enggan memenuhi kewajiban untuk beramal baik pada sesama.

Hingga pada suatu saat kami mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti, paling tidak menurut diri kami sendiri. Sejak itu, terjadilah perubahan paradigma dalam memandang dan memahami rumus Tuhan. Doa (harapan) adalah perbuatan konkrit. Sejak saat itu, dengan sekuat tenaga setiap saat ada kesempatan kami melakukan sesuatu yang kira-kira ada manfaat untuk orang lain. Dimulai dari hal-hal sepele, sampai yang tidak sepele. Dasar pemikiran kami adalah kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang telah menerima sekian puluh atau ratus anugrah dalam setiap detiknya. Namun kenyataannya manusia tiada rasa “malu” setiap saat selalu meminta pada Tuhan. Lantas kapan bersukurnya ? Jika berdoa memohon sesuatu, kami lebih banyak melakukannya untuk mendoakan teman, kerabat, keluarga. Sedangkan untuk diri sendiri, tiada yang pantas dilakukan selain lebih banyak mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan.

Banyak mengucapkan syukur di bibir saja tidak cukup. Kami harus lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. Rasa bersyukur serta doa-doa melebur dan mewujud ke dalam satu perbuatan. Rasa sukur termanifestasikan kedalam perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang. Demikian pula cara berdoa tidak sekedar terucap melalui mulut, namun lebih penting adalah mewujud dalam perbuatan nyata.

Cara kami berdoa seperti itu mungkin terasa “aneh dan nyleneh” bagi beliau-beliau yang telah berilmu tinggi dan menguasai ajaran agama secara teksbook. Akan tetapi prinsip dan cara-cara itulah yang kami pribadi rasa paling pas. Maklum saya ini orang bodoh yang masih belajar ke sana-kemari. Tetapi paling tidak, kami secara pribadi telah membuktikan manfaat dan hasilnya. Mohon maaf apabila banyak kata dan ucapan yang kurang berkenan, saya menyadari sebagai orang yang masih bodoh banyak kekurangan, tetapi memaksa diri untuk menulis.

Arwah Beramanat

Page 64: tahapAN KESADARAN

Kejadian ini saya alami tahun 2007. Pada saat itu saya tinggal di Jakarta, –sekalipun saya bukan nasrani, tetapi karena sikap saya yang menghargai sesama tanpa membedakan agama–, saya mendapat undangan hadir dalam acara selamatan 40 hari yang diisi dengan doa missa arwah dari keluarga rekan yang beragama Katolik. Tepatnya di daerah Ciputat, Kab Tangerang. Yang meninggal sebut saja namanya Bapak P dan saya belum pernah kenal dan bertemu sebelumnya dengan beliau. Acara dimulai pukul 19.00 sampai 21.00 saya berangkat dari rumah jam 19 malam. Pada saat itu saya melintasi jalan potong di daerah Bintaro sektor 3, tiba-tiba dari dalam mobil saya bersama istri melihat ada sosok laki-laki. Saya tahu persis bahwa laki-laki setengah baya itu adalah arwah seseorang. Ia mengikuti di samping mobil yang saya kendarai. Saya bertanya,”anda siapa dan mau ke mana ? Jawab arwah laki-laki itu,”Saya (pak) P, saya akan menunjukkan jalan menuju ke rumah saya. Rupanya arwah Pak P tahu jika saya diundang ntuk missa arwah dirinya dan saya juga belum pernah berkunjung ke rumahnya. Sehingga harus nanya-nanya jalan menuju alamat rumahnya. Lantas saya ikuti arwah saja Pak P ke mana dia arahnya. Selanjutnya saya mengikuti di belakangnya menyusuri Jalan Deplu, terus melintas perempatan Jln Fatmawati ke timur arah kompleks Pndok Indah. Sesampainya di perempatan bunderan kecil saya belok ke selatan atau ke kiri terus ke timur. Saya pikir kenapa tidak melewati jalan besar saja melewati depan RS Pondok Indah ? Belum selesai saya bertanya-tanya dalam batin, tiba-tiba pak P berhenti sambil menunjukkan sesuatu. Tepatnya di sebelah barat lapangan tenis ada pertigaan terdapat pohon besar tepat di depan kios kaki lima. Saya melihat di dekat pohon itu ada sosok makhluk berbulu pendek seperti lumut hijau baunya anyir dan busuk sekali, makhluk itu di daerah Jawa biasanya disebut “Buto Ijo” yakni sejenis siluman yang dipiara orang untuk mencari jalan pintas meraih kekayaan harta benda. Pak P menjelaskan secara singkat bahwa dia meninggal tepat di dekat pohon itu sewaktu akan berangkat ke kantor kira-kira jan 09.00 sampailah pak P di lokasi ini, tiba-tiba lehernya dicekik makhluk itu hingga menemui ajal.

Langkah pertama, saya turun dari mobil dan berusaha untuk “melenyapkan” makhluk itu sebisa yang saya lakukan, tidak dengan doa melainkan harus dengan “cara khusus” barulah makhluk itu dapat diatasi. Doa itu untuk memohon sesuatu kepada Tuhan, dan Tuhan tidak serta merta melenyapkan makhluk itu, namun tetap butuh usaha kita sendiri yakni perlu tindakan konkrit untuk menaklukkan. Jika saya berhasil menundukkan, hal itu tidak lepas dari anugrah Tuhan yang telah berikan kepadaku. Ini sama halnya dengan aksi menangkap koruptor, tidak bisa dengan berdoa saja, tetapi butuh tindakan konkrit berupa penyergapan atau penyadapan suara si koruptor itu sewaktu menjalankan aksi jahatnya.

Perjalanan menuju rumah pak P saya lanjutkan, karena atas petunjuk pak P saya segera sampai rumahnya tanpa harus tanya-tanya alamat di jalan. Pukul 21.00 acara missa arwah selesai. Saya bertemu dengan istri pak P dan menanyakan untuk kroscek dengan kejadian tadi, “apakah suami ibu meninggalnya di dalam mobil dan di daerah kompleks Pondok Indah dekat pohon besar ? dan meninggal dengan posisi ke dua tangan memegang lehernya sendiri seperti orang sesak nafas ? Ibu P membenarkan semua. Agar supaya tidak banyak tanda tanya, saya mengaku sudah mendapat cerita dari teman yang lain sebelumnya. Saya melihat foto almarhum pak P ternyata persis seperti yang saya temui

Page 65: tahapAN KESADARAN

sepanjang perjalanan tadi. Hanya saja wujud arwah atau ruh ternyata selalu tampak lebih muda, lebih segar bugar, lebih ganteng ketimbang raganya sewaktu hidup.

Sepulang dari undangan, sesampai saya di rumah, pak P ternyata menyusul saya. Kira-kira selama 2 jam arwah pak P berkunjung di rumah saya dari jam 23.00 hingga 01.00 wib. Pak P banyak menceritakan kisahnya sewaktu beliau masih hidup dari A sampai Z. Arwah pak P menitipkan pesan kepada saya agar disampaikan kepada istrinya yang masih hidup. Pesan-pesannya sbb; pertama, mohon disampaikan maaf kepada istrinya karena dulu pak P mempunyai WIL dan istrinya tak pernah tahu. Pak P merasa sangat menyesal karena telah membagi “jatah” tidak secara adil kepada keluarga, istri dan anak-anak. Kedua, pak P memberi tahu bahwa dia punya rekening di salah satu bank di Jakarta, sedangkan keluarganya tidak ada yang mengetahui rekening pak P tersebut. Pak P minta supaya istri dan anak-anaknya diberitahu soal rekening dan jumlah tabungannya agar supaya dimanfaatkan untuk melanjutkan hidup keluarga yang ditinggalkan. Ketiga, pak P memberitahukan bahwa dia punya kerjasama bisnis dengan menyebut nama seseorang, dan pak P belum pernah menerima jatah dari pembagian hasilnya. Pak P minta supaya disampaikan kepada istri dan anak-anaknya agar supaya dapat diurus hak-haknya dalam kerjasama dengan rekannya tersebut. Semua pesan itu saya catat satu persatu (kecuali soal WIL pak P) di atas kertas agar tidak lupa, dan paginya saya serahkan kepada istri dan anak-anak yang ditinggalkan. Alangkah terkejutnya istri dan anak-anak pak P karena selama ini tak pernah mengetahui hal itu. Saya merahasiakan kejadian semalam di depan bu P agar tidak menjadi panjang lebar dan penuh tanda-tanya. Saya bilang bahwa kemarin sepulang dari rumah ibu saya bertemu seseorang yang tidaksaya kenal, orang itu memberikan secarik kertas catatan yang berisi pesan-pesan tadi.

Besok paginya bu P dan anak-anak melakukan pengecekan di bank dan melacak rekanan yang namanya saya catat di kertas. Sangat mengejutkan ternyata semua benar adanya, baik nomer rekening, jumlah uang yang ditabung, maupun nama seseorang tercantum dalam kerjasama dengan almarhum pak P.

Seminggu setelah peristiwa itu, arwah pak P kembali datang ke rumah saya, kali ini pak P hanya mengucapkan,”…terimakasih atas segala bantuannya, Tuhan yang akan membalas kebaikan anda ! pak P juga berpamitan bahwa dia akan melanjutkan “perjalanan”nya setelah 40 hari kematiannya itu. Selamat jalan pak P, terusno lakumu, ojo parang tumuleh, lepaso parane, jembaro kubure, semoga amal kebaikanmu diterima disisinya, dan segala kesalahan diampuni Tuhan.

Misteri Di Balik Bulan Sura

Page 66: tahapAN KESADARAN

MISTERI BULAN SURA

Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura akan jatuh pada hari Senin tanggal 29 Desember 2008. Secara lugas maknanya adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.

MELURUSKAN BERITA “burung”

Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.

Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.

Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia.

Page 67: tahapAN KESADARAN

Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.

Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera penglihatan maupun indera batiniah. Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah dicapai.

MISTERI BULAN SURA

Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi”

Page 68: tahapAN KESADARAN

untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.

Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura yang bernama Sura Duraka. Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka. Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007. Musibah banyak terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil barat laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan. 4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV peliput berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra. Dan masih banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak meliputi darat, laut dan udara.

Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;

1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

Page 69: tahapAN KESADARAN

2. Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.

3. Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.

4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.

5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi

Page 70: tahapAN KESADARAN

bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.

6. Larung sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.

Sugeng warsa enggal

Senin Legi, 1 Sura 1942 taun je

(29 Desember 2008)

KITA adalah 1 bangsa,

dalam 1 bangsa tidak berlaku; pihakmu,

pihakku, dan pihak mereka

Page 71: tahapAN KESADARAN

Dalam rasa kebersamaan ini semoga Tuhan melimpahkan berkah, rahmat, anugrah, dan kemuliaan bagi kita semua, untuk menggapai kehidupan sejati yang lebih baik. Kita jaga toleransi, redamkan hawa nafsu angkara, endapkan segala ke-aku-an, kita tundukkan sikap narsis; egosentris; egois; bengis. Bahu-membahu, menciptakan negeri yang indah, sejuk, tenteram. Kita buang benih-benih kebencian, dan taburkan benih-benih kedamaian. Kita semai rasa kasih sayang. Kita wujudkan negeri yang penuh kebahagiaan, untuk saat ini dan selamanya. Amin

Salam Taklim

Wilujeng Rahayu

Sabdalangit

PERIBAHASA-JAWA

PERIBAHASA-JAWA

Dalam khasanah sastra Jawa dikenal apa yang dinamakan bebasan, sanepan, atau saloka. Merupakan bentuk peribahasa yang berisi makna kiasan sebagai sarana mempermudah penggambaran suatu keadaan. Keadaan bisa berupa fakta realitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan suatu kenyataan yang paradoksal. Dirangkai dalam gaya bahasa, kata dan kalimat yang indah, lembut agar tidak mudah menyinggung perasaan orang namun mudah sebagai pengingat. Pada saat ini kekayaan sastra Jawa terasa sangat minim, tidak lebih dari bahasa sehari-hari yang diterapkan dalam pergaulan masyarakat Jawa dan lainnya. Namun bila anda ingin menggunakan dalam wacana komunikasi sehari-hari tampaknya masih relevan, dan saya pikir masih bermanfaat untuk megistilahkan atau membahasakan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak wajar. Kalimat yang digunakan ibarat pantun yang terkadang terasa lucu dan aneh. Apapun tastenya, berikut ini peribahasa yang dapat kami kumpulkan dari berbagai sumber khasanah pustaka Jawa dan nara sumber langsung. Semoga bermanfaat untuk anda sekalian yang masih peduli kebudayaan lokal asli nusantara maupun bagi yang gemar olah sastra dan budaya lokal.

A

Adhang-adhang tetese embun : njagakake barang mung sak oleh-olehe.

Page 72: tahapAN KESADARAN

Adigang, adigung, adiguna : ngendelake kekuwatane, kaluhurane lan kepinterane.

Aji godhong garing (aking) : wis ora ana ajine / asor banget.

Ana catur mungkur : ora gelem ngrungokake rerasan kang ora becik.

Ana daulate ora ana begjane : arep nemu kabegjan nanging ora sida (untub-untub).

Ana gula ana semut : papan sing akeh rejekine, mesti akeh sing nekani.

Anak polah bapa kepradah : tingkah polahe anak dadi tanggungjawabe wong tuwa.

Anggenthong umos (bocor/rembes) : wong kang ora bisa nyimpen wewadi.

Angon mongso : golek waktu kang prayoga kanggo tumindak.

Angon ulat ngumbar tangan : ngulatake kahanan menawa kalimpe banjur dicolong.

Arep jamure emoh watange : gelem kepenake ora gelem rekasane.

Asu rebutan balung : rebutan barang kang sepele.

Asu belang kalung wang : wong asor nanging sugih.

Page 73: tahapAN KESADARAN

Asu gedhe menang kerahe : wong kang dhuwur pangkate mesti bae gede panguwasane.

Asu marani gebuk : njarak / sengaja marani bebaya.

Ati bengkong oleh obor : wong kang duwe niyat ala malah oleh dalan.

B

Baladewa ilang gapite (jepit wayang) : ilang kekuwatane / kaluhurane.

Banyu pinerang ora bakal pedhot (sigar) : pasulayan sedulur ora bakal medhotake sedulurane.

Bathang lelaku : lunga ijen ngambah panggonan kang mbebayani.

Bathok bolu isi madu (bolong telu) : wong asor nanging sugih kepinteran.

Blaba wuda : saking lomane nganti awake dhewe ora keduman.

Bebek mungsuh mliwis : wong pinter mungsuh wong kang podho pintere.

Becik ketitik ala ketara : becik lan ala bakal konangan ing tembe mburine.

Belo melu seton (malem minggu) : manut grubyuk ora ngerti karepe (taklid).

Beras wutah arang bali menyang takere : barang kang wis owah ora bakal bali kaya maune.

Page 74: tahapAN KESADARAN

Bidhung api rowang : ethok-ethok nulung nanging sejatine arep ngrusuhi.

Balilu tan pinter durung nglakoni (bodho) : wong bodho sering nglakoni, kalah pinter ro wong pinter nanging durung tau nglakoni.

Bubuk oleh leng : wong duwe niyat ala oleh dalan.

Bung pring petung : bocah kang longgor (gelis gedhe).

Buntel kadut, ora kinang ora udud : wong nyambut gawe borongan ora oleh mangan lan udud.

Buru (mburu) uceng kelangan dheleg : golek barang sepele malah kelangan barang luwih gedhe.

Busuk ketekuk, pinter keblinger : wong bodho lan pinter padha wae nemu cilaka.

C

Carang canthel : ora diajak guneman nanging melu-melu ngrembug.

Car-cor kaya kurang janganan : ngomong ceplas-ceplos oran dipikir disik.

Cathok gawel (timangan sabuk) : seneng cawe-cawe mesthi ora diajak guneman.

Cebol nggayuh lintang : kekarepan kang ora mokal bisa kelakon.

Page 75: tahapAN KESADARAN

Cecak nguntal cagak (empyak) : gegayuhan kang ora imbang karo kekuwatane.

Cedhak celeng boloten (gupak lendhut) : cedhak karo wong ala bakal katut ala.

Cedhak kebo gupak : cedhak karo wong ala bakal katut ala.

Ciri wanci lelai ginawa mati : pakulinan ala ora bisa diowahi yen durung nganti mati.

Cincing-cincing meksa klebus : karepe ngirit nanging malah entek akeh.

Criwis cawis : seneng maido nanging yo seneng menehi/muruki.

Cuplak andheng-andheng, yen ora pernah panggonane bakal disingkirake : wong kang njalari ala becike disingkirake.

D

Dadiya banyu emoh nyawuk, dadiya godhong emoh nyuwek, dadiyo suket emoh nyenggut : wis ora gelem nyanak / emoh sapa aruh.

Dahwen ati open (seneng nacad) : nacad nanging mbenerake wong liya.

Dandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dandhang : ala dianggep becik, becik dianggep ala.

Desa mawa cara, negara mawa tata : saben panggonan duwe cara utawa adat dhewe-dhewe.

Page 76: tahapAN KESADARAN

Dhemit ora ndulit, setan ora doyan : tansah diparingi slamet, ora ana kang ngganggu gawe.

Digarokake dilukoke : dikongkon nyambut gawe abot.

Didhadhunga medhot, dipalangana mlumpat : wong kang kenceng karepe ora kena dipenggak.

Diwenehi ati ngrogoh rempela : diwenehi sithik ora trima, malah njaluk sing akeh.

Dom sumuruping mbanyu : laku sesideman kanggo meruhi wewadi.

Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan : senajan wong liya yen lagi nemoni rekasa bakal dibelani.

Duka yayah sinipi, jaja bang mawinga-wingi : wong kang nesu banget.

Dudutan lan anculan (tali memeden sawah) : padha kethikan, sing siji ethok-ethok ora ngerti.

Durung pecus keselak besus : durung sembada nanging kepengin sing ora-ora.

E

Eman-eman ora keduman : karepe eman malah awake dewe ora keduman.

Emban cindhe emban siladan (slendang iratan pring) : pilih kasih / ora adil.

Embat-embat celarat (klarap) : wong nyambut gawe kanthi ngati-ati banget.

Page 77: tahapAN KESADARAN

Emprit abuntut bedhug : perkara sing maune sepele dadi gedhe / ngambra-ambra.

Endhas gundul dikepeti : wis kepenak ditambahi kepenak maneh.

Endhas pethak ketiban empyak : wong kang bola-bali nemu cilaka.

Enggon welut didoli udhet : panggone wong pinter dipameri kepinteran sing ora sepirowa.

Entek ngamek kurang golek : anggone nyeneni/nguneni sakatoge.

Entek jarake : wis entek kasugihane.

Esuk dhele sore tempe : wong kang ora tetep atine (mencla mencle).

G

Gagak nganggo lar-e merak : wong asor / wong cilik tumindak kaya wong luhur (gedhe).

Gajah alingan suket teki : lair lan batine ora padha, mesthi bakal ketara.

Gajah (nggajah) elar : sarwa gedhe lan dhuwur kekarepane.

Gajah ngidak rapah (godhong garing) : nerang wewalere dewe.

Page 78: tahapAN KESADARAN

Gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengahe : wong gedhe sing padha pasulayan, wong cilik sing dadi korbane.

Garang garing : wong semugih nanging sejatine kekurangan.

Gawe luwangan kanggo ngurungi luwangan : golek utang kanggo nyaur utang.

Gayuk-gayuk tuna, nggayuh-nggayuh luput : samubarang kang dikarepake ora bisa keturutan.

Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh : senajan alon-alon anggone tumindak, nanging bisa kaleksanan karepe.

Golek banyu bening : meguru golek kawruh kang becik.

Golek-golek ketemu wong luru-luru : karepe arep golek utangan malah dijaluki utang.

Gupak pulute ora mangan nangkane : melu rekasa nanging ora melu ngrasakake kepenake.

I

Idu didilat maneh : murungake janji kang wis diucapake.

Iwak lumebu wuwu : wong kena apus kanthi gampang.

J

Page 79: tahapAN KESADARAN

(n)Jagakake endhoge si blorok : njagagake barang kang durung mesthi ana lan orane.

(n)Jajah desa milang kori : lelungan menyang ngendi-endi.

Jalma angkara mati murka : nemoni cilaka jalaran saka angkara murkane.

(n)Jalukan ora wewehan : seneng njejaluk ora seneng menehi.

Jati ketlusupan ruyung : kumpulane wong becik kelebon wong ala.

Jaran kerubuhan empyak : wong wis kanji (kapok) banget.

Jarit lawas ing sampire : duwe kapinteran nanging ora digunakake.

Jer basuki mawa bea : samubarang gegayuhan mbutuhake wragat.

Jujul muwul : perkara kang nambah-nambahi rekasa.

(n)Junjung ngetebake / ngebrukake : ngalembana nanging duwe maksud ngasorake.

K

Kacang ora ninggal lanjaran : kebiasa-ane anak nirokake wong tuwane.

Kadang konang : gelem ngakoni sedulur mung karo sing sugih.

Page 80: tahapAN KESADARAN

Kala cacak menang cacak : samubarang panggawean becik dicoba dhisik bisa lan orane.

Kandhang langit, bantal ombak, kemul mega : wong sing ora duwe papan panggonan.

Katepang ngrangsang gunung : kegedhen karep/panjangka sing mokal bisa kelakon.

Katon kaya cempaka sawakul : tansah disenengi wong akeh.

Kaya banyu karo lenga : wong kang ora bisa rukun.

Kakehan gludug kurang udan : akeh omonge ora ana nyatane.

Kabanjiran segara madu : nemu kabegjan kang gedhe banget.

Kebat kliwat, gancang pincang : tumindak kesusu mesthi ora kebeneran.

Kebo bule mati setra : wong pinter nanging ora ana kang mbutuhake.

Kebo ilang tombok kandhang : wis kelangan, isih tombok wragat kanggo nggoleki, malah ora ketemu.

Kebo kabotan sungu : rekasa kakehan anak / tanggungan.

Kebo lumumput ing palang : ngadili perkara ora nganggo waton.

Page 81: tahapAN KESADARAN

Kebo mulih menyang kandhange : wong lunga adoh bali menyang omahe / asale.

Kebo nusu gudel : wong tuwa njaluk wulang wong enom.

Kegedhen empyak kurang cagak : kegedhen karep nanging ora sembada.

Kajugrugan gunung menyan : oleh kabegjan kang gedhe banget.

Kekudhung walulang macan : ngapusi nggawa jenenge wong kang diwedeni.

Kelacak kepathak : ora bisa mungkir jalaran wis kebukten.

Kena iwake aja nganti buthek banyune : sing dikarepake bisa kelakon nanging aja nganti dadi rame/rusak.

Kencana katon wingko : senajan apik nanging ora disenengi.

Kendel ngringkel, dhadang ora godak : ngakune kendel tur pinter jebule jirih tur bodho.

Kenes ora ethes : wong sugih amuk nanging bodho.

Keplok ora tombok : wong senengane komentar thok nanging ora gelem tumindak.

Kere munggah mbale : batur dipek bojo karo bendarane.

Kere nemoni malem : wong kang bedigasan / serakah.

Page 82: tahapAN KESADARAN

Kerot ora duwe untu : duwe kekarepan nanging ora duwe beaya / wragat.

Kerubuhan gunung : wong nemoni kesusahan sing gedhe banget.

Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang : nemoni cilaka kang ora kenyana-nyana.

Ketula-tula ketali : wong kang tansah nandang sengsara.

Kethek saranggon : kumpulane wong kang tindakane ala.

Kleyang kabur kanginan, ora sanak ora kadhang : wong kang ora duwe panggonan sing tetep.

Klenthing wadah uyah : angel ninggalake pakulinan tumindak ala.

Kongsi jambul wanen : nganti tumekan tuwa banget.

Krokot ing galeng : wong kang mlarat banget.

Kriwikan dadi grojogan : prakara kang maune cilik dadi gedhe banget.

Kumenthus ora pecus : seneng umuk nanging ora sembada.

Kurung munggah lumbung : wong asor / cilik didadekake wong gedhe.

Page 83: tahapAN KESADARAN

Kuthuk nggendhong kemiri : manganggo kang sarwo apik/aji liwat dalan kang mbebayani.

Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk : njarag marani bebaya.

Kuncung nganti temekan gelung : suwe banget anggone ngenteni.

L

Ladak kecangklak : wong kang angkuh nemoni pakewuh, marga tumindake dewe.

Lahang karoban manis : rupane bagus / ayu tur luhur budine.

Lambe satumang kari samerang : dituturi bola-bali meksa ora digugu.

Lanang kemangi : wong lanang kang jireh.

Legan golek momongan : wis kepenak malah golek rekasa.

Lumpuh ngideri jagad : duwe karepan kang mokal bisa keturutan.

M

Maju tatu mundur ajur : perkara kang sarwa pakwuh.

Matang tuna numbak luput : tansah luput kabh panggayuhan.

Page 84: tahapAN KESADARAN

Mbuang tilas : ethok-ethok ora ngerti marang tumindak kang ala sing lagi dilakoni.

Meneng widara uleran : katon anteng nanging sejatin ala atine.

Menthung koja kena sembagine : rumangsane ngapusi nanging sejatine malah kena apus.

Merangi tatal : mentahi rembug kang wis mateng.

Mikul dhuwur mendhem jero : bisa njunjung drajate wong tuwa.

Milih-milih tebu oleh boleng : kakehan milih wekasan oleh kang ora becik.

Mrojol selaning garu : wong kang luput saka bebaya.

Mubra-mubra mblabar madu : wong sing sarwa kecukupan.

N

Nabok anyilih tangan : tumindak ala kanthi kongkonan uwong liya.

Ngagar metu kawul : ngojok-ojoki supaya dadi pasulayan, nanging sing diojoki ora mempan.

Ngajari bebek nglangi : panggawean sing ora ana paedahe.

Page 85: tahapAN KESADARAN

Ngalasake negara : wong sing ora manut pranatane negara.

Ngalem legining gula : ngalembana kepinterane wong kang pancen pinter/sugih.

Ngaturake kidang lumayu : ngaturake barang kang wis ora ana.

Nglungguhi klasa gumelar : nindakake panggawean kang wis tumata.

Ngontragake gunung : wong cilik/asor bisa ngalahake wong luhur/gedhe, nganti gawe gegere wong akeh.

Nguthik-uthik macan dhedhe : njarag wong kang wis lilih nepsune.

Nguyahi segara : weweh marang wong sugih kang ora ana pituwase.

Nucuk ngiberake : wis disuguhi mangan mulih isih mbrekat.

Nututi layangan pedhot : nggoleki barang sepele sing wis ilang.

Nyangoni kawula minggat : ndandani barang sing tansah rusak.

Nyolong pethek : tansah mleset saka pametheke/pambatange.

O

Obah ngarep kobet mburi : tumindake penggede dadi contone/panutane kawula alit.

Page 86: tahapAN KESADARAN

Opor bebek mentas awake dhewek : rampung saka rekadayane dhewe.

Ora ana banyu mili menduwur : watake anak biasane niru wong tuwane.

Ora ana kukus tanpa geni : ora ana sbab tanpa akibat.

Ora gonjo ora unus : wong kang ala atine lan rupane.

Ora mambu enthong irus : dudu sanak dudu kadhang.

Ora tembung ora tawung : njupuk barang liyan ora kandha disik.

Ora uwur ora sembur : ora gelem cawe-cawe babar pisan.

Ora kinang ora udud : ora mangan apa-apa.

Othak athik didudut angel : guneme sajak kepenak, bareng ditemeni jebule angel.

P

Palang mangan tandur : diwenehi kapercayan malah gawe kapitunan.

Pandengan karo srengenge : memungsuhan karo penguwasa.

Page 87: tahapAN KESADARAN

Pandhitane antake : laire katon suci batine ala.

Pecruk (manuk kag magan iwak) tunggu bara : dipasrahi barang kang dadi kesenengan.

Pitik trondhol diumbar ing padaringan : wong ala dipasrahi barang kang aji, wekasane malah ngentek-entekake.

Pupur sadurunge benjut : ngati-ati sadurunge benjut.

R

Rampek-rampek kethek : nyedak-nyedak mung arep gawe kapitunan.

Rawe-rawe rantas malang-malang putung : samubarang kang ngalang-alangi bakal disingkirake.

Rebut balung tanpa isi : pasulayan merga barang kang sepele.

Rindhik asu digitik : dikongkon nindakake penggawean kang cocok karo kekarepane.

Rupa nggendhong rega : barang apik regane larang.

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah : yen padha rukun mesti padha santosa, yen padha congkrah mesthi padha bubrah/rusak.

S

Page 88: tahapAN KESADARAN

Sabar sareh mesthi bakal pikoleh : tumindak samubarang aja kesusu supaya kasil.

Sabaya pati, sabaya mukti : kerukunan kang nganti tekan pati.

Sadumuk bathuk sanyari bumi : pasulayan nganti dilabuhi tekaning pati.

Sandhing kebo gupak : cedhak wong tumindak ala, bisa-bisa katut ala.

Satru mungging cangklakan : mungsuh wong kang isih sanak sedulur.

Sadhakep awe-awe : wis ninggalake tumindak ala, nanging batien isih kepengin nglakoni maneh.

Sembur-sembur adus, siram-siram bayem : bisa kalaksanan marga oleh pandongane wong akeh.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe : nindakake panggaweyan kanthi ora melik/pamrih apa-apa.

Sing sapa salah bakal seleh : sing sapa salah bakal konangan.

Sluman slumun slamet : senajan kurang ati-ati isih diparingi slamet.

Sumur lumaku tinimba, gong lumaku tinabuh : wong kang kumudu-kudu dijaluki piwulang/ditakoni.

T

Tebu tuwuh socane : prakara kang wus apik, bubrah marga ana sing ngrusuhi.

Page 89: tahapAN KESADARAN

Tega larane ora tega patine : senajan negakake rekasane, nanging isih menehi pitulungan.

Tekek mati ing ulone : nemoni cilaka margo saka guneme dhewe.

Tembang rawat-rawat, ujare mbok bakul sunambiwara : kabar kang durung mesthi salah lan benere.

Timun jinara : prakara gampang banget.

Timun mungsuh duren : wong cilik mungsuh wang kuwat/panguwasa, mesthi kalahe.

Timun wungkuk jaga imbuh : wong bodho kanggone yen kekurangan wae.

Tinggal glanggang colong playu : ninggalake papan pasulayan.

Tulung (nulung) menthung : katone nulungi jebule malah nyilakani.

Tumbak cucukan : wong sing seneng adu-adu.

Tuna sathak bathi sanak : rugi bandha nanging bathi paseduluran.

Tunggak jarak mrajak tunggak jati mati : prakara ala ngambra-ambra, prakara becik kari sethitik.

U

Page 90: tahapAN KESADARAN

Ucul saka kudangan : luput saka gegayuhane.

Ulat madhep ati manteb : wis manteb banget kekarepane.

Undaking pawarta, sudaning kiriman : biasane pawarta iku beda karo kasunyatane.

Ungak-ungak pager arang : ngisin-isini.

W

Welas tanpa lalis : karepe welas nanging malah gawe kapitunan.

Wis kebak sundukane : wis akeh banget kaluputane.

Wiwit kuncung nganti gelung : wiwit cilik nganti gedhe tuwa.

Y

Yitna yuwana mati lena : sing ngati-ati bakal slamet, sing sembrana bakal cilaka.

Yiyidan mungging rampadan : biyene wong durjana/culika saiki dadi wong sing alim.

Yuwana mati lena : wong becik nemoni cilaka marga kurang ngati-ati.

Yuyu rumpung mbarong ronge : omahe magrong-magrong nanging sejatine mlarat.

Page 91: tahapAN KESADARAN

sabdalangit’s web

PUNCAK ILMU KEJAWEN

Puncak Ilmu Kejawen

Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;

Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang

Page 92: tahapAN KESADARAN

“linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…

Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;

Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;

Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.

Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”

Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.

Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa.

“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.

Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;

Dosomuko

Kumbokarno

Sarpokenoko

Gunawan Wibisono

Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.

Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;

1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.

Page 93: tahapAN KESADARAN

2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.

3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).

4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).

Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.

Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.

Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.

Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.

Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak

Page 94: tahapAN KESADARAN

ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.

Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.

Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.

Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.

Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.

Page 95: tahapAN KESADARAN

Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.

Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;

Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.

Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.

Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.

Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Page 96: tahapAN KESADARAN

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.

Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sifat Manusia Terpilih

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”

Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”

Page 97: tahapAN KESADARAN

Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.

Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.

Salam

Sabdalangit

SEJATINYA GURU SEJATI

Guru Sejati, dan Sedulur Papat Lima Pancer

HAKEKAT GURU SEJATI

Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat

Page 98: tahapAN KESADARAN

bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.

Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.

Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.

Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

Page 99: tahapAN KESADARAN

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER

Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI

Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.

Page 100: tahapAN KESADARAN

Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI

Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.

Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.

Page 101: tahapAN KESADARAN

Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?

Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING

Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.

Page 102: tahapAN KESADARAN

Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu; sabdalangit

SEJATINYA GURU SEJATI

Guru Sejati, dan Sedulur Papat Lima Pancer

HAKEKAT GURU SEJATI

Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.

Menurut ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka

Page 103: tahapAN KESADARAN

segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.

Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.

Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER

Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI

Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan

Page 104: tahapAN KESADARAN

kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.

Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI

Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos

Page 105: tahapAN KESADARAN

akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.

Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.

Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?

Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING

Page 106: tahapAN KESADARAN

Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.

Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu; sabdalangit