Post on 14-May-2023
1. Mengapa Berubah? Pertanyaan yang basi. Ya, memang basi karena kita semua tahu bahwa manusia pada dasarnya secara naluri memiliki keinginan untuk berubah menuju ke arah yang lebih baik. Bila ia seorang karyawan, secara naluri ia ingin adanya tantangan baru terhadap pekerjaannya atau bagaimana mengerjakan pekerjaan rutin menjadi lebih menarik dengan mengubah metode kerja maupun suasana bekerja. Bila perubahan tersebut berdampak pada dirinya sendiri maka tak perlu ia berkoordinasi dengan orang lain atau teman kerjanya. Namun bila menyangkut perubahan terhadap proses atau prosedur kerja maka ia tak bisa melakukannya sendiri karena perlu diskusi lebih lanjut dengan teman kerja dan bahkan dengan penyelia maupun atasan dari penyelia. Kasus 1 : Perubahan Demi Perbaikan PT A bergerak di bidang perlengkapan otomotif sebagai penyedia suku-‐cadang merek tertentu. Seorang karyawan yang kreatif berinisiatif melakukan perombakan proses kerjanya sehingga mempercepat proses produksi di area kerjanya yang merupakan bagian akhir alias finishing dari produk akhir perusahaan A tersebut. Hasilnya memang bagus karena kecepatan produksinya meningkat yang tadinya 1000 suku cadang dalam sehari, meningkat menjadi 1400 suku cadang, atau kenaikan sebesar 40%. Sayangnya peningkatan produksi yang juga berarti percepatan proses produksi ini ia lakukan bersama dengan beberapa tim kerja di bagiannya saja tanpa koordinasi dengan bagian lain, termasuk PPIC (Production Planning and Inventory Control) sehingga terlalu banyak produk akhir tertumpuk di gudang pengiriman. Hal ini terjadi karena perusahaan otomotif yang membeli produk tersebut menerapkan JIT (just in time) production system sehingga kebutuhan suku cadang telah ditetapkan jumlah dan waktunya untuk pemesanan setiap tiga bulan. Penumpukan persediaan produk akhir tersebut menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah. Tak hanya itu, karywan di bagian akhir tersebut menjadi sering menganggur dan berdampak negatif terhadap situasi kerja di PT A. Bila Anda adalah Penyelia (supervisor) dari karyawan yang kreatif di PT A tersebut, apa yang Anda lakukan? Bayangkan bahwa kejadian ini benar-‐benar Anda alami, uraikan secara rinci apa yang Anda lakukan di bawah ini: ........................................................................................................................................................................ ........................................................................................................................................................................ ........................................................................................................................................................................ ........................................................................................................................................................................
Dari Kasus 1 di atas ada beberapa alternatif yang mungkin bisa Anda lakukan terhadap karywan kreatif tersebut: 1. Mempertanyakan kepadanya mengapa Anda tak dilibatkan dalam perubahan
ini. Andai dari awal ia melibatkan Anda, tentunya tak terjadi penumpukan barang di gudang.
2. Memberi teguran keras terhadap apa yang ia lakukan meskipun produksi meningkat namun tak memikirkan dampaknya terhadap biiaya persediaan (inventory cost).
3. Memberi pujian kepadanya atas inisiatif positif yang telah ia lakukan meskipun pada akhirnya perusahaan merugi.
4. Menanyakan kepadanya apa tujuan melakukan perubahan proses kerja. Apapun alternatif yang Anda ambil, masing-‐masing memiliki risiko. Mungkin sebelum mengambil tindakan, Anda menguraikan terlebih dahulu masing masing risiko dan dampaknya: Alternatif Dampak Risiko 1. Mempertanyakan mengapa tak melalui persetujuan dengan Anda
• Terlalu birokratis karena sebenarnya perbaikan proses hanya mencakup bidang kerja karyawan bersangkutan
• Dalam jangka panjang bisa membunuh kreatifitas karyawan dalam upaya perbaikan berkesinambungan
Sedang
2. Memberi teguran keras
• Dampak negatif langsung terhadap karywana bersangkutan karena yang ia lakukan sebenarnya demi peningkatan produktifitas perusahaan – mengapa musti disalahkan?
• Tak menciptakan iklim pembelajaran yang dinamis dimana kesalahan karyawan dihargai asalkan tak mengulang kesalahan yang sama lagi nantinya.
Tinggi
3. Memberi pujian atas inisiatif baiknya
• Memberikan sinyal yang kurang baik kepada karyawan dan juga karyawan lainnya karena perubahan yang terjadi justru berdampak kepada kerugian.
Sedang hingga Tinggi
4. Menanyakan tujuan melakukan perubahan
• Menciptakan ruang dialog sehingga sekaligus sebagai media untuk mengetahui lebih jauh sikap dan perilaku karyawan tersebut untuk kepentingan jangka panjang perusahaan.
Rendah
Tentu, pilihan yang bisa Anda lakukan tak berhenti dengan empat hal di atas, bisa lebih banyak lagi. Bahkan untuk setiap pilihan, akan Anda kembangkan lagi pencabangan lebih lanjut di setiap pilihan awal yang Anda pilih tergantung dari jawaban karyawan Anda terhadap pilihan Anda. Pertanyaan mengapa berubah merupakan hal mendasar yang seharusnya dilontarkan terlebih dahulu sebelum membicarakan manajemen perubahan. Tanpa mulai dari pertanyaan ini maka program perubahan yang sedang direncanakan bisa dikatakan hampir pasti akan gagal. Mengapa? Setiap program perubahan atau pembaharuan harus dilandasi oleh sebuah alasan kuat untuk berubah. Tanpa ada alasan ini ibaratnya kita membangun rumah, dengan tujuan sebagai tempat berteduh, namun tanpa membuat fondasi. Bisa dibayangkan, berapa lama rumah tersebut akan bertahan. Bisa jadi sebelum selesai dibangun sudah runtuh dindingnya. Sebuah organisasi yang melakukan perubahan karena hanya ingin lebih baik saja tanpa memahami sepenuhnya alasan mengapa musti berubah, akan menjalani implementasi yang tidak lancar karena di setiap perbaikan yang dilakukan tak mengetahui arahnya akan kemana. Hal ini penting karena setiap perubahan selalu melibatkan karyawan yang menjalankan perubahan tersebut. Bila karyawan tak memahami sepenuhnya makna dari perubahan yang dilakukan maka bisa dipastikan tingkat komitmennya tak mengikat kuat di dalam dirinya. Akibatnya, perubahan berjalan ala kadarnya, sekadar memenuhi standar perbaikan saja. Dari Kasus 1 di atas bisa kita lihat bahwa perubahan hanya didasari inisiatif seseorang yang kemudian melakukan perubahan di unit kerjanya sendiri dan berdampak kepada kinerja perusahaan secara menyeluruh.
Pemicu Perubahan Secara garis besar, pemicu perubahan ada dua yaitu Eksternal dan Internal. Tentu ini adalah pemicu yang sangat global dalam pengertian sebuah perubahan. Mengapa? Sebuah organisasi, baik itu bisnis maupun layanan pemerintah, biasanya memiliki karakteristik khusus dalam bisnisnya sehingga membedakan pemicu eksternal dan internal saja tidak cukup, namun harus lebih dalam lagi. Bahkan dalam banyak kasus, pemicunya merupakan faktor eksternal dan juga internal. Dalam faktor eksternal pun masih bisa dikategorikan yang sifatnya kompetisi di dalam industri dimana organisasi tersebut bersaing maupun faktor
...setiap perubahan selalu melibatkan karyawan yang menjalankan perubahan tersebut.
ekonomi, sosial, politik dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah suatu negara sehingga menyebabkan sebuah organisasi berubah. Faktor Eksternal Dalam mengkaji pemicu perubahan yang berasal eksternal, bisa digunakan perangkat (tool) yang dikenalkan oleh Michael Porter dalam Five Forces model yang merupakan analisis komprehensif menyangkut lima hal ini: 1. Posisi Tawar Pembeli -‐ mengkaji bagaimana posisi tawar pembeli di dalam
industri dimana organisasi bersaing. Dalam kajian ini fokusnya adalah seberapa kuat posisi tawar pembeli dalam penawaran produk/jasa yang ditawarkan oleh industri. Untuk industri dengan jumlah pembeli yang banyak (eceran) maka posisi tawar organisasi terhadap pembeli relatif lebih kuat karena pilihan pelanggan yang luas. Namun bila jumlah pembeli terkonsentrasi hanya kepada beberapa pelanggan saja maka posisi tawar organisasi terhadap pembeli (pelanggan) menjadi relatif lemah. Banyak faktir lagi yang dibahas dalam hal ini termasuk switching cost. Namun intinya, pembeli atau pelanggan bisa merupakan pemicu perubahan.
2. Posisi Tawar Pemasok – yaitu bagaimana kekuatan tawar pemasok dikaji relatif terhadap organisasi. Bila pemasok jumlahnya terbatas maka posisi tawar organisas menjadi melemah. Namun bila banyak pemasok tersedia maka posisi tawar organisasi menjadi lebih kuat.
3. Ancaman Pendatang Baru – di sini dikaji bagaimana pendatang baru bisa masuk dalam kancah persaingan. Contoh mudahnya bila dalam industri tersebut dibutuhkan investasi yang tak besar maka pendatang baru bisa banyak meramaikan pasar. Ini bisa mengurangi posisi tawar organisasi.
4. Ancaman Produk / Jasa Substitusi – yaitu mengkaji adanya kemungkinan penawaran produk / jasa yang mengancam produk / jasa yang saat ini sedang ditawarkan oleh organisasi kepada pembeli.
5. Intensitas Persaingan dari Pemain yang Ada – yaitu mengkaji bagaimana pesaing-‐pesaing yang saat ini ini menggerakkan jurus-‐jurus pemasarannya dan menyerang penawaran yang diajukan oleh sebuah organisasi kepada pembelinya. Semakin meningkat persaingan maka memicu sebuah organisasi untuk melakukan perubahan.
Kelima hal di atas, baik secara sendiri-‐sendiri maupun gabungan, bisa merupakan pemicu terjadinya perubahan. Kejelian sebuah organisasi melakukan kajian ini akan melahirkan sebuah perubahan yang memiliki alasan kuat.
Faktor Internal Perubahan yang dipicu oleh faktor internal bisa disebabkan dari banyak hal juga, misalnya karena adanya perubahan komposisi pemegang saham, migrasi suatu sistem informasi dan komunikasi, efisiensi dalam menjalankan perusahaan (salah satu contohnya adalah Kasus 1 di atas), dan sebagainya. Selama dekade terakhir terjadi adalah adanya keputusan dari sebuah organisasi untuk implementasi ERP (Enterprise Resource Planning) yang memerlukan integrasi dari semua kegiatan yang ada di dalam organisasi yang bersangkutan. Salah satu perangkat yang bisa digunakan dalam hal ini adalah Value Chain model dari Michael Porter. Di dalam model ini diuraikan aktivitas organisasi dari kegiatan primer nya dan kegiatan pendukung (support).
Teknologi, Informasi dan Manusia Terlepas apakah itu eksternal maupun eksternal, ada cara lain untuk mengidentifikasi pemicu perubahan yaitu dipopulerkan dengan bahasa asing TIP yang merupakan singkatan dari technology (teknologi), information (informasi) dan people (manusia). Dalam sebuah workshop seorang peserta bertanya tentang apa saja yang musti berubah, apakah semua hal yang kita miliki (termasuk istri) juga kita berubah? Pertanyaan jujur yang menurut saya bagus. Mengapa? Kata ‘perubahan’ sekarang sudah begitu seringnya kita dengar dalam setiap membicarakan segala sesuatu terkait dengan lingkungan pekerjaan kita dewasa ini, atau tepatnya beberapa dekade terakhir ini. Untuk menjawab pertanyaan ini saya perlu melongok kembali pemikiran John Naisbitt dalam bukunya bertajuk “Mind Set!” yang diterbitkan tahun 2007 yang lalu. Di dalam buku tersebut ia mengemukakan sebelas mindset (pola pikir) terkait perubahan dan transformasi. Yang mengagetkan adalah pendapatnya bahwa pernyataan “satu-‐satunya yang tetap adalah perubahan” salah kaprah. Justru ia menekankan bahwa meskipun banyak perubahan, namun lebih banyak yang konstan (Mind Set #1). Ia mengambil contoh petani yang sudah ia kenal sejak masa kecilnya, namun sekarang masih juga ada petani. Yang berubah adalah “bagaimana” sesuatu dilakukan bukan “apa” yang dilakukan. Apa bisa kita merubah manusia untuk tak memerlukan lagi produk-‐produk pertanian? Mustahil. Yang mengalami perubahan adalah cara bercocok-‐tanam dan memanennya, menggunakan teknologi yang semakin maju. Pertanyaan menarik lainnya adalah mengapa musti berubah, apalagi bila tak ada masalah? Setidaknya ada tiga hal yang memicu terjadinya perubahan, yitu TIP : Technology, Information, & People (Schoemer, 2009). Sebagai contoh, kemajuan teknologi telah menyebabkan cara berkomunikasi berbeda dari waktu ke waktu. Masih ingat media komunikasi jaman dulu seperti telegram dan telex? Sekarang sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi digantikan dengan komunikasi instan melalui SMS atau BBM atau email. Orang masih tetap butuh berkomunikasi sejak dahulu kala hingga kini, hanya saja cara berkomunikasinya semakin mudah dan cepat, real-‐time. Pada awal era SMS, saat itu orang banyak yang meragukan efektifitasnya karena handset jaman dulu masih belum disertai keypad yang mendukung. Namun fenomena yang terjadi adalah meningkatnya lalu-‐lintas komunikasi via SMS hingga salah satu operator seluler pada saat itu menikmati pendapatan melimpah dari SMS bahkan melebihi dari pendapatan lalu-‐lintas suara (voice). Kebutuhan akan tersedianya informasi yang akurat dalam waktu yang cepat semakin hari juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan untuk membuat keputusan lebih cepat dan juga dalam hal volume yang musti diputuskan juga mengalami peningkatan. Kegunaan
informasi paling utama memang dalam hal pengambilan keputusan. Kebutuhan akan informasi yang akurat dan cepat sudah merupakan sesuatu yang alamai yang dibutuhkan masyarakat. Kita ambil contoh fenomena mudik yang baru saja kita alami. Dewasa ini masyarakat ingin ‘segera’ mengetahui informasi tentang ketersediaan tiket transportasi yang ia perlukan untuk mudik. Beberapa puluh tahun yang lalu masyarakat musti mengantri dari Subuh untuk mendapatkan informasi ketersediaan tiket di stasiun KA (misalnya). Tak jarang dijumpai bahwa setelah mengantri ternyata tiket tak tersedia, Tuntutan akan informasi yang akurat dan tepat itulah memicu perubahan sehingga penyelenggaraan transportasi KA kemudian dipermudah dengan adanya ketersediaan tiket dan jadwal melalui situs internet seperti yang telah terjadi dewasa ini, meski perlu penyempurnaan lagi.
Hal terakhir adalah mengenai people yakni aspek manusia yang juga merupakan salah satu pemicu perubahan, bahkan ini mungkin merupakan kontributor terbesar. Bisa dikatakan justru faktor manusia inilah yang merupakan faktor dominan karena baik dari segi penyedia maupun penerima layanan, faktor manusia berperan sentral memicu perubahan. Sebagai penyedia, dorongan untuk memberikan layanan yang lebih baik, lebih cepat dan lebih akurat, memicu terjadinya erubahan. Sebagai penerima layanan, keinginan untuk dilayani lebih baik merupakan hal yang alami dan bisa dikatakan tak ada batas maksimum kepuasannya. Kasus 2: Pemanfaatan TIK di Korea Sebagai ilustrasi bagaimana TIP bekerja dengan baik bisa kita lihat studi kasus yang terjadi di Korea dalam kebijakan informasi nasional dan strategi e-‐
Government. Korea telah membuat lompatan besar dalam hal teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam lima dekade terakhir ini. Pada tahun 1960, penetrasi telepon di negara itu hanya 0.36 per 100 orang penduduk. Pada tahun 1981 Korea menyamai rata-‐rata dunia dalam hal penetrasi ini. Dewasa ini, Korea telah dalam posisi “memimpin” dalam hal penetrasi akses internet pita lebar (broadband). Sebuah kemajuan yang luar biasa dalam TIK dari posisi bawah, rata-‐rata dan akhirnya pada barisan papan atas. Dampaknya kepada sektor ekonomi juga terasa karena pada tahun 1960 pendapatan per kapita hanya di bawah100 dolar. Pada tahun 2010 Korea telah mencapai angka 20 ribu dolar dalam pendapatan per kapita dan ekonomi Korea menduduki posisi nomer 13 peringkat dunia. Bagaimana Korea bisa mencapai prestasi luar biasa tersebut. Negara ini merupakan contoh baik dalam harmonisasi ketiga faktor dalam TIP. Dalam hal teknologi, Korea telah memfokuskan strategi TIK berfokus global, tak sekedar mencari pembanding nasional tapi global. Kebutuhan akan informasi yang cepat dan akurat juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah sehingga setiap teitik dimana dimungkinkan adanya kebutuhan mendesak, telah dipertimbangkan di dalam rencana pengembangan dan strategi TIK berwawasan global. Dari segi manusia, pemerintah Korea memfokuskan dalam program pembelajaran melalui apa yang disebut dengan “memakmurkan masyarakat melalui digitalisasi”. Visi Korea dalam hal TIK sudah sangat jelas sebagai cetak-‐biru pembangunan infrastruktur berfokus pada penciptaan iklim usaha yang kompetitif dan kondusif sehingga semua industri di Korea menjadi mandiri, tak dimanjakan oleh fasilitas belaka.
Bagaimana di Indonesia? Perubahan dalam konteks Reformasi Birokrasi Nasional masih mengalami kendala pada faktor ketiga yaitu ‘P’ yang seharusnya justru sebagai pemicu utama. Dalam konteks ini tentunya pemerintah sebagai “penyedia” layanan belum dilengkapi oleh birokrat yang siap untuk melakukan perubahan. Alih-‐alih menjalankan perubahan, konsep dasar dan visi perubahan sendiri belum mengakar sepenuhnya dari faktor manusia. Untuk memulai perubahan yang sistematik dan terencana dengan baik perlu adanya perubahan pola pikir bahwa yang namanya pemerintah itu sebenarnya jangan diartikan secara harafiah sebagai “memerintah” atau “memberikan instruksii” kepada masyarakat namun justru seharusnya “melayani”. Mungkin juga ini kesalahan dari dulunya mengapa penyelenggara tata-‐kelola negara disebutnya sebagai pemerintah yang bisa disalah-‐artikan oleh manusianya. Bila pola pikir sudah benar maka akan terlihat dalam perilaku sehari-‐hari dimana si birokrat mengadopsi perilaku dari dilayani menjadi melayani, dari kebal terhadap kritik menjadi tebuka dan legowo terhadap kritik, dari instruktif menjadi fasilitatif (namun decisive), dari keinginan selalu ingin dihormati menjadi sering memberikan apresiasi, dan seterusnya. Bila ini sudah benar, maka lebih mudah mengendalikan teknologi dan informasi. Price Waterhouse’ Six Levers of Change Cara melihat pemicu perubahan lainnya adalah yang biasa dikenal dengan Six Levers of Change. Sebenarnya saya mempelajari hal ini pada saat saya bekerja di Price Waterhouse Indonesia Konsultan pada tahun 1994 – 1997 dari metodologi yang dikenal dengan Change Integration. Namun saya cukup kaget ketika melakukan pencarian di mesin google ternyata sudah banyak pihak yang menggunaan Six Levers of Change, tak hanya Price Waterhouse yang dulu saya kenal pertama kali. Ini membuktikan bahwa cara melihat pemicu dengan Six Levers ini merupakan suatu hal yang efektif dan mudah dipahami. Keenam hal tersebut sebenarnya penjabaran dari tiga kelompok utama yaitu strategik, organisasi, dan proses dengan penjabaran sebagai berikut: Strategik Organisasi Proses • Pelanggan dan pasar • Produk dan jasa
• Struktur dan infrastruktur • SDM, kompetensi dan kompensasi
• Proses bisnis • Teknologi informasi
Kasus 3: Industri Telekomunikasi di Indonesia Industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami perjalanan yang dinamis dengan persaingan yang ketat diantara pemain yang ada di pasar dan kemungkinan hadirnya pemain baru. Jumlah pelanggan seluler yang mencapai 225 juta pada tahun 2010 dan rata-‐rata pengguna SIM card 1,33 kartu per orang. Tak heran bisa dijumpai seseorang memiliki lebih dari satu nomor untuk memenuhi kebutuhannya dalam berkomunikasi. Hal ini wajar karena operator seluler menawarkan paket murah untuk komunikasi on-‐net (di dalam jaringan yang sama dari sebuah operator). Hal ini mempengaruhi perilaku saat akan menelepon dengan melihat nomer yang dituju dan kemudian menentukan SIM card mana yang dipakai untuk menelepon. Persaingan untuk memperebutkan pelanggan sudah tak bisa dielakkan lagi. Pelanggan sudah benar-‐benar menjadi raja karena semua operator berupaya membujuk supaya menggunakan jasanya. Yang terjadi kemudian adalah perang harga diantara pemain yang ada dengan menawarkan fitur-‐fitur menarik, misalnya dengan memberi gratis ratusan SMS, bicara bebas dalam waktu tertentu, atau penawaran lainnya. Mengelola operator telepon bukan suatu hal mudah. Ada hubungan sebab-‐akibat yang erat dan langsung terasa dalam waktu relatif cepat bila salah satu komponennya berubah. Komponen tersebut adalah tarif (price), permintaan (demand), kapasitas (capacity) dan biaya (cost). Empat hal ini sangat dinamis. Bila tarif diturunkan, maka secara otomatis permintaan, dalam bentuk lalu lintas bicara (traffic), meningkat yang berdampak kepada penggunaan kapasitas yang tadinya menganggur menjadi penuh. Bila penggunaan kapasitas semakin penuh maka biaya per percakapan menjadi turun. Masalahnya tak berhenti di situ saja. Karena tarif yang turun maka banyak pelanggan baru sehingga menambah lagi arus percakapan sehingga bisa terjadi mengalami masalah dalam hal kapasitas
yang kemudian menurunkan kualitas layanan. Untuk itu maka perlu investasi lagi guna memperluas cakupan (coverage) dan meningkatkan kapasitas. Industri telekomunikasi tak lepas dari regulasi yang cukup ketat, tak hanya di Indonesia, tapi juga di negara lain. Di Indonesia, masih belum jelas apakah pemerintah ingin melihat industri ini sebagai penggerak pertumbuhan atau sebagai mesin pencetak uang. Bila dimanfaatkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharapkan mengambil langkah-‐langkah yang mendukung pencapaiannya, mungkin dengan jalan menurunkan biaya penggunaan frekuensi dan tarif interkoneksi. Investasi di industri ini saat ini (2010-‐2011) mencapai angka yang cukup besar yaitu sekitar 30 trilyun atau sekitar 3.6 milyar dolar. Dengan mengambil kasus industri telekomunikasi seperti di atas, apa yang Anda lakukan bila Anda adalah seorang CEO di salah satu operator telekomunikasi? Pertama, tentunya Anda akan melakukan analisis secara mendalam mengenai dinamika industri ini dalam hal potensi pasar maupun kebutuhan serta ekspektasi pengguna jasa telekomunikasi. Berapa besar pasarnya? Bila Indonesia sebesar 240 juta, dan Anda targetkan 75 persen merupakan basis pengguna layanan telekomunikasi, berarti ada 180 juta orang yang memerlukan telepon. Dengan mengambil asumsi 1.5 SIM card per orang berarti ada pasar total sebesar 270 juta. Ini merupakan potensi pasar yang besar dan mustahil Anda tak tergerak untuk tidak melakukan apa-‐apa alias mengelola bisnis Anda dengan cara rutin. Tentu Anda akan gunakan ini sebagai pemicu pertama untuk berubah, yaitu menangkap peluang pasar yang besar. Kedua, Anda akan melihat lebih dalam lagi bauran produk dan fitur yang saat ini sedang Anda tawarkan maupun rencana ke depannya. Seberapa besar Anda akan meraup potensi pasar suara (voice) alias percakapan telpon, pesan pendek (SMS) maupun pasar data (internet pita lebar)? Dari segi bauran produk dan fitur saja sudah banyak sekali pemicu yang bisa Anda gunakan sebagai basis untuk melakukan berubah. Perusahaan telekomunikasi yang Anda pimpin mungkin juga telah atau akan memiliki beberapa jenis SIM card ditujukan untuk menarik segmen tertentu, misalnya yang suka melakukan SMS, yang suka melakukan chatting atau yang suka menelepon. Banyak sekali pemicu yang bisa Anda tetapkan sebagai alasan kuat untuk melakukan perubahan, baik sifatnya hanya menyangkut produk tertentu atau peningkatan fitur-‐fitur baru. Semuanya tentu untuk memuaskan pelanggan dan sekaligus meraup kesempatan bisnis yang terbuka lebar dari analisis pasar dan kemampuan produk dan fitur yang ditawarkan perusahaan Anda.
Bila dua hal di atas, baik dari segi pelanggan dan pasar serta produk dan jasa bersifat strategis; maka sudah pasti akan ada dampaknya kepada perubahan proses bisnis untuk memenuhi kebutuhan dari perubahan yang diinginkan. Bila dari kajian sebelumnya perlu untuk membidik segmen mahasiswa dengan produk SIM card tertentu yang akan diluncurkan, maka perlu diatur proses dan prosedur untuk melakukan pemasaran ke kampus-‐kampus sejak dari POS (point of sales) hingga aktivasi. Perubahan proses bisnis sering kali, apalagi di industri telekomunikasi, dimungkinkan oleh adanya perubahan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) yang memungkinkan (enable) proses baru bisa dijalankan secara efektif dan terintegrasi. Untuk sebab itu seringkali disebut bahwa TIK sebagai enabler perubahan. Hal terakhir yang perlu Anda kaji adalah pengaturan internal organisasi Anda dari segi kelembagaan maupun kompetensi SDM. Apakah perubahan yang akan dilakukan memerlukan kelembagaan khusus, misalnya bila ingin masuk segmen khusus mahasiswa apa perlu membentuk unit kerja tertentu yang menangani segmen tersebut atau cukup menggunakan yang telah ada. Bila perlu penambahan supaya fokus berarti Anda melakukan reorganisasi. Selanjutnya Anda lihat peta kompetensi SDM yang ada apa mencukupi untuk mendukung penambahan segmen pasar baru dari segi kompetensi dan jumlah orang. Dari ilustrasi ini sebetulnya jelas bahwa perubahan dipicu oleh perubahan yang terjadi di luar organisasi, yang kemudian dari segi internal organisasi ingin melakukan perubahan untuk meraup peluang pasar yang ada. Secara sederhana bisa digambarkan alurnya sebagai berikut:
Diagram di atas menunjukkan bahwa pemicu perubahan eksternal menyebabkan sebuah organisasi mengkaji pasr dan pelanggan, baik dalam kondisi saat ini maupun prakiraan pertumbuhannya; kemudian disertai dengan kajian terhadap produk dan jasa yang ditawarkan. Kedua kajian ini merupakan kajian strategik yang kemudian menyebabkan perlunya kajian proses mencakup proses bisnis dan TIK pendukung yang kemudian menyebabkan perlunya mengkaji organisasi
dari segi struktur dan infrastruktur serta kajian tentang kompetensi SDM dan imbalannya (rewards). Ada kalanya pemicu perubahan tak berpangkal dari kajian strategik dalam hal pasar dan pelanggan, maupun produk dan jasa, namun karena adanya deregulasi. Kasus 4: Perubahan Yang Dipicu Deregulasi Sebuah BUMN yang memproduksi komoditi strategis untuk keperluan petani mengalami tantangan yang belum pernah dialami sebelumnya, yaitu dengan dibukanya keran impor salah satu komoditi dari empat komoditi yang diproduksi dan didistribusikannya. Selama puluhan tahun BUMN tersebut adalah pemegang monopoli distribusi dari keempat komoditi strategis tersebut. Selama puluhan tahun pula BUMN tersebut tidak pernah berpikir serius mengenai apa yang disebut dengan pemasaran karena pada dasarnya yang dilakukan adalah pendistribusian komoditi tersebut kepada petani di seluruh Indonesia. Dengan dibukanya keran impor oleh pemerintah dimana swasta boleh mengimpor komoditi tersebut dari luar negeri dan mendistribusikannya di dalam negeri merupakan tantangan tersendiri. Menghadapi tantangan tersebut maka BUMN tersebut melakukan kajian berikut ini: • Mengkaji biaya distribusi dari setiap komoditi yang disalurkannya dan
kemudian membandingkannya dengan pendapatan yang ia peroleh sehingga diperoleh laba di setiap propinsi BUMN tersebut mendistribusikannya;
• Menetapkan apa yang disebut sebagai ‘daerah tumpuan’ yaitu propinsi-‐propinsi yang secara komersial memberikan keuntungan kepada BUMN tersebut;
• Melakukan peta subsidi-‐silang dengan daerah-‐daerah minus yaitu yang biaya distribusinya lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh;
• Melakukan kajian proses bisnis dan melakukan rekayasa proses bisnis menyiapkan diri menghadapi lingkugan usaha yang baru, persaingan dalam distribusi salah satu komoditinya dengan pihak swasta;
• Melakukan kajian untuk mendesain TIK mendukung proses bisnis yang baru; • Melakukan kajian organisasi untuk menyiapkan kelembagaan yang memadai
dalam menghadapi perubahan tersebut; • Melakukan perencanaan pelatihan kepada karyawan yang berada di barisan
depan untuk menyiapkan mereka menjadi pemasar ulung yang bisa bersaing dengan pihak swasta.
Dari contoh BUMN tersebut di atas, jelas bahwa yang mereka lakukan adalah perubahan yang dipicu oleh kondisi eksternal – keinginan pemerintah melakukan deregulasi – dan BUMN tersebut mengkaji pemicu internal yaitu dari segi proses dan organisasi. Kajian ini sudah cukup menjadi alasan mengapa BUMN tersebut harus berubah.
-‐-‐-‐ooOoo-‐-‐-‐ Setelah memahami dengan komprehensif alasan sebuah organisasi untuk berubah maka langkah selanjutnya adalah merencanakan dengan terstruktur bagaimana perubahan akan dijalankan. Namun sebelum membahas hal tersebut, pada Bab 2 kita akan membahas Delapan Tahapan Perubahan yang dipopulerkan oleh John Kotter dan biasa disebut sebagai Model Kotter.
Ringkasan • Sebelum melakukan perubahan, alasan untuk berubah harus jelas karena hal
ini harus dikomunikasikan secara transparan dan mudah dipahami oleh setiap individu di dalam organisasi.
• Ditinjau dari asalnya, alasan perubahan bisa dipicu dari dua hal yaitu karena faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terkait dengan perkembangan pasar maupun persaingan, sedangkan faktor internal terkait efisiensi dan efektifitas organisasi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan pemangku kepentingan (stakeholders) nya.
• Cara melihat alasan berubah bisa dilakukan dengan melihat tiga hal: teknologi – perkembangan teknologi memungkinkan perubahan yang tak pernah terbayang sebelumnya, informasi – semakin cepat dan lengkapnya kebutuhan akan informasi, dan manusia – bagaimana manusia menginginkan hidup yang lebih baik dengan melakukan perubahan.
• Alasan berubah juga bisa ditinjau dari tiga kategori yang terdiri dari enam pemicu: strategik (pasar dan pelanggan, produk dan jasa), proses (proses bisnis, teknologi informasi dan komunikasi), dan organisasi (struktur dan infrastruktur, kompetensi SDM dan imbal-‐jasa).
GW 3 Maret 2012