Post on 01-Feb-2023
AB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar sesuai dengan norma-norma atau aturan di dalam masyarakat. Setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat menjadi pendidik, sebab pendidik merupkan suatu perbuatan sosial yang mendasar untuk petumbuhan atau perkembangan anak didik menjadi manusia yang mampu berpikir dewasa dan bijak. Orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yangtertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anakadalah dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak dirumah; fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah. Kesalahan interaksi dalam keluarga yangdikarenakan kurang optimalnya anggota keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dapat menimbulkan berbagai permasalahan dalam keluarga. Pandangan konstruksi perkembangan percaya bahwa ketika individu itu tumbuh mereka mendapatkan model berhubungan dengan orang lain.Ada dua variasi utama dalam pandangan ini yang satu menekankankontinuitas dan stabilitas dalam hubungan (pandangan kontinuoitas) dan satu lagi berfokus pada diskontinuitas dan perubahan dan hubungan (pandangan diskontinuitas). Bagi sebagian orang, peran orang tua direncanakan dan dikoordinasikan dengan baik. Bagi orang lain, peran orang tua datang sebagai kejutan. Ada banyak mitos tentang pengasuhan, termasuk mitos bahwa kelahiran anak akan menyelamatkan perkawinan yang gagal. Tren yang makin berkembang adalah memandang orang tua sebagai manajer atas kehidupan anak. II. PERMASALAHAN
Seiring dengan perkembangan waktu ada beberapa yang berubah dalam perannya. Sebagian penelitian menunjukan bahwa ibu yangbekerja diluar rumah secara umum tidak memiliki efek yang buruk terhadap perkembangan anak. Namun dalam keadan tertentuefek negatif dari ibu yang di bekerja ditemukan, seperti ketika ibu bekerja lebih dari 30 jam pada tahun pertama kehidupan bayi. Keluarga dalam keadaan bercerai menunjukan lebih banyak masalah penyesuaian dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Seperti keluarga yang bercerai,anak-anak dalam keluarga tiri memiliki lebih banyak masalah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh. Keluarga berpendapatan tinggi lebih cenderung untuk menggunakan disiplin yang menimbulkan internalisasi; keluarga berpendapatan rendah cenderung menggunakan disiplin yang mendorong eksternalisasi. Dari berbagai permasalahan tersebut diatas maka tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut : 1. Bagaimana peranan keluarga dalam perkembangan anak ? 2. Bagaimana bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteks perlindungan anak? III. TUJUAN PENULISAN Tulisan ini bertujuan untuk : 1. Menggambarkan peranan keluarga dalam perkembangan anak. 2. Menggambarkan bentuk pola pengasuhan keluarga dalam konteksperlindungan anak BAB II LANDASAN TEORI A. Pengasuhan Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga ataurumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dansosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagianggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang
yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001). Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup ; 1.) Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. 2.) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya. 3.) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. 4.) Proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, 5.) Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns1997). Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksiyang terus menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuanuntuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengasuhan Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga ataurumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dansosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagianggota keluarga lainnya (Engel, 1997). Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau
seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya (Brooks, 2001). Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup ; 1.) Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya. 2.) Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya. 3.) Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. 4.) Proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, 5.) Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns1997). Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksiyang terus menerus antara orangtua dengan anak yang bertujuanuntuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik, mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan. B. Pola Asuh Orangtua B.1. Definisi Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan
pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untukmempengaruhi anak. Hubungan baik yang tercipta antara anak danorangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalamdiri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antaraanak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis(seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anakdapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku. B.2. Dimensi pola asuh Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu : B.1. Definisi Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak yang merupakanpola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untukmempengaruhi anak. Hubungan baik yang tercipta antara anak danorangtua akan menimbulkan perasaan aman dan kebahagiaan dalamdiri anak. Sebaliknya hubungan yang buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati, pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antaraanak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis(seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anakdapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam Iswantini, 2002). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku. B.2. Dimensi pola asuh
Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu : a. Responsiveness atau Responsifitas Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap membenci, menolak atau mengabaikananak. Orangtua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi. Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau responsifitas terdiri atas : 1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk medengarkan atau menampung pendapat, keinginanatau keluhan anak, dan juga kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan. 2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan yang dicapai anak-anaknya. b.
Demandingness atau tuntutan Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadiindividu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial. Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan terdiri atas : 1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua menekankanpada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi lebihdewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri. 2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah lakuanaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap anak
. B.3. Gaya Pola Asuh Orangtua Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan,
tuntutan kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalambagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristikorangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999). Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif padaotoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting , authoritative parenting dan permissive parenting . Menurut (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000), ada tiga tipepola asuh orangtua: a. Pola asuh a u t h o r i t a r i a n , yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpamemberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenaicara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan
sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalamrumah (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: 1.) Kaku 2) Tegas 3.) Suka menghukum 4.) Kurang ada kasih sayang serta simpatik 5.) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak 6.) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian 7.) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. b. Pola asuh a u t h o r i t a t i v e , yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya
adalah: 1.) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orangtua dan anak. 2.) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. 3.) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. 4.) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. c. Pola asuh permissive , yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitasmereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua (Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting . Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak(tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan
unresponsive (Baumrind, 1971 dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan : 1.) Adanya kontrol yang kurang 2.) Orangtua bersikap longgar atau bebas 3.) Bimbingan terhadap anak kurang. B.4.Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards, 2006): a. Pendidikan orangtua Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktifdalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakangpendidikan orangtua, informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu mengamati tanda-tandapertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004). b. Lingkungan Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan merupakan proses yang panjang,maka proses pengasuhan akan mencakup 1) interaksi antara anak,orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses mendukung dan menolak keberadaan
anak dan orang tua, serta 5) proses mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya (Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006). c. Budaya Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakatdisekitarnya dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000). Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat keyakinan, yang mencakup (a)pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan disiplinkepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001). Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).
2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan
bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak: 1. Gaya komunikasi berbeda Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional. 2. Gaya bermain berbeda Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk pengendalian diri. 3. Membangun rasa percaya diri Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. 4. Gaya disiplin unik Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah. 5. Persiapkan anak untuk dunia nyata Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia. Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001). Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan
dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahandan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagaipelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masayang akan datang (Berk, 2000). Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) . Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabilaperingkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untukpembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008). Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian
, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah.Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008). BAB IV PENUTUP 4.1. KESIMPULAN Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang posisi strategis bagi perkembangan kepribadian anak. keluarga yang ideal akan membentuk pribadi-pribadi anak-anak yang ideal puladan pada akhirnya anak-anak yang ideal akan mewujudkan masa depan masyarakat dan Negara yang ideal juga. Perwujudan kesejahteraan keluarga tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga yaitu dalam suatu keluarga diharapkan ada suatu keharmonisan, hubungan yang penuh kemesraan dan kasih sayang yang merupakan dambaan setiap orang. Keharmonisan tersebut akan diperlihatkan melalui jalinan relasi baik yang bersifat fisik maupun relasi psikis. Pengasuhan ( parenting ) keluarga pada anak-anak memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktek pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istrimungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan. 4.2. SARAN 1. Pengasuhan dalam keluarga tidak boleh di abaikan atau berjalanseadanya, namun pengasuhan adalah tugas utama didalam hidup
berumah tangga dan jangan sampai kesibukan pekerjaan melupakantugas pengasuhan. 2. Konflik perkawinan, berbagai bentuk kekerasan, dan penggunaan hukuman harus dihindari dalam proses pengasuhan terhadap anak.3. Pemerintah, diharapkan dapat membuat kebijakan yang ketat berupa perumusan undang-undang dalam hal pengasuhan keluarga pada anaknya karena apabila pengasuhan anak baik, maka akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan berprestasi serta akan memajukan negara di masa mendatang. Sosialisasi pentingnya pola pengasuhan keluarga terhadap anak harus terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. HURLOCK B. ELISABETH. 1996. PERKEMBANGAN ( SUATU PENDEKATAN SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN ).JAKARTA; PENERBIT ERLANGGA. 2. SANTOSO SLAMET. 2010.TEORI PSIKOLOGI SOSIAL( DIMENSI PERAN SOSIAL).BANDUNG; PT.REFIKA-ADITAMA 3. BOWES & HAYES, (1999), Children, Families and Communities, Contexts and Consequences, Oxford University Press. 4. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak . 5. Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak . 6. Undang-undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam kehidupan anak: 1. Gaya komunikasi berbeda Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih luas interaksi relasional. 2. Gaya bermain berbeda Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk pengendalian diri. 3. Membangun rasa percaya diri Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. 4. Gaya disiplin unik Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas. mengajar anak-anak konsekuensi dari benar dan salah. 5. Persiapkan anak untuk dunia nyata Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan kerasnya dunia. Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001). Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja sama dengan ibu dalam melakuan
perawatan anak. Gaya pengasuhan anak merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan, pengarahandan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagaipelindung dan pengasuh. Seorang ibu, tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masayang akan datang (Berk, 2000). Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar. Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia, 2008) . Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik. Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau menghukumnya apabilaperingkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka. Motivasi intrinsik akan lebih efektif untukpembelajaran sang anak (Miserandino, 1996 dalam Papalia, 2008). Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak berprestasi rendah.Begitu pula dengan orangtua yang
permissive yang lepas tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah. Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008). BAB IV PENUTUP 4.1. KESIMPULAN Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang posisi strategis bagi perkembangan kepribadian anak. keluarga yang ideal akan membentuk pribadi-pribadi anak-anak yang ideal puladan pada akhirnya anak-anak yang ideal akan mewujudkan masa depan masyarakat dan Negara yang ideal juga. Perwujudan kesejahteraan keluarga tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga yaitu dalam suatu keluarga diharapkan ada suatu keharmonisan, hubungan yang penuh kemesraan dan kasih sayang yang merupakan dambaan setiap orang. Keharmonisan tersebut akan diperlihatkan melalui jalinan relasi baik yang bersifat fisik maupun relasi psikis. Pengasuhan ( parenting ) keluarga pada anak-anak memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktek pengasuhan dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istrimungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan. 4.2. SARAN 1. Pengasuhan dalam keluarga tidak boleh di abaikan atau berjalanseadanya, namun pengasuhan adalah tugas utama didalam hidup berumah tangga dan jangan sampai kesibukan pekerjaan melupakantugas pengasuhan. 2.
Konflik perkawinan, berbagai bentuk kekerasan, dan penggunaan hukuman harus dihindari dalam proses pengasuhan terhadap anak.3. Pemerintah, diharapkan dapat membuat kebijakan yang ketat berupa perumusan undang-undang dalam hal pengasuhan keluarga pada anaknya karena apabila pengasuhan anak baik, maka akan tumbuh menjadi manusia yang baik dan berprestasi serta akan memajukan negara di masa mendatang. Sosialisasi pentingnya pola pengasuhan keluarga terhadap anak harus terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. HURLOCK B. ELISABETH. 1996. PERKEMBANGAN ( SUATU PENDEKATAN SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN ).JAKARTA; PENERBIT ERLANGGA. 2. SANTOSO SLAMET. 2010.TEORI PSIKOLOGI SOSIAL( DIMENSI PERAN SOSIAL).BANDUNG; PT.REFIKA-ADITAMA 3. BOWES & HAYES, (1999), Children, Families and Communities, Contexts and Consequences, Oxford University Press. 4. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak . 5. Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak . 6. Undang-undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
BAB I
PERAN DAN TUGAS PEREMPUAN DALAM KELUARGA
Wanita (seorang ibu) itu adalah mengurus di dalam rumahsuaminya dan mendidik putra-putrinya (Al Hadist Syarif)
Peran dan tugas perempuan dalam keluarga secara garis
besar dibagi menjadi peran wanita sebagai ibu, ibu sebagai
istri, dan anggota masyarakat. Dalam kesempatan kali ini
pembicaraan lebih ditekankan pada tugas perempuan dalam
membina kesehatan mental bagi dirinya, keluarganya maupun
masyarakatnya. Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan
baik, maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan
dari peran itu.
Di samping itu, perempuan harus menguasai cara atau
teknik memainkan peran atau melaksanakan tugasnya, disesuaikan
dengan setiap situasi yang dihadapinya. Sebagai ibu, pendidik
anak-anak perempuan harus mengetahui porsi yang tepat dalam
memberikan kebutuhan-kebutuhan anaknya, yang disesuaikan
dengan tahap perkembangannya. Sikap maupun perilakunya harus
dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Sebagai
seorang istri, wanita harus menumbuhkan suasana yang harmonis,tampil bersih, memikat dan mampu mendorong suami untuk hal-halyang positif. Sebagai anggota masyarakat, wanita diharapkan peran sertanya dalam masyarakat.
Keberhasilan melakukan peran di atas, tentunya bukan
merupakan hal yang mudah, yang penting adalah kemauan dan
usaha untuk selalu belajar.
BAB II
PERAN PEREMPUAN SEBAGAI IBU
2.1 Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan suatu lembaga sosial yang paling besar
perannya bagi kesejahteraan sosial dan kelestarian anggota-
anggotanya terutama anak-anaknya. Keluarga merupakan
lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan
pembentukan pribadi anak. Keluarga merupakan wadah tempat
bimbingan dan latihan anak sejak kehidupan mereka yang sangat
musa. Dan diharapkan dari keluargalah seseorang dapat menempuh
kehidupannya dengan masak dan dewasa.
Berbicara mengenai pendidikan anak, maka yang paling
besar pengaruhnya adalah ibu. Ditangan ibu keberhasilan
pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut-sertaan bapak
tidak dapat diabaikan begitu saja. Ibu memainkan peran yang
penting di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa
balita. Pendidikan di sini tidak hanya dalam pengertian yang
sempit. Pendidikan dalam keluarga dapat berarti luas, yaitu
pendidikan iman, moral, fisik/jasmani, intelektual,
psikologis, sosial, dan pendidikan seksual.
Peranan ibu di dalam mendidik anaknya dibedakan menjadi
tiga tugas penting, yaitu ibu sebagai pemuas kebutuhan anak;
ibu sebagai teladan ataau “model” peniruan anak dan ibu
sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak.
2.2 Ibu sebagai sumber pemenuhan kebutuhan anak
Fungsi ibu sebagai pemuas kebutuhan ini sangat besar
artinya bagi anak, terutama pada saat anak di dalam
ketergantungan total terhadap ibunya, yang akan tetap
berlangsung sampai periode anak sekolah, bahkan sampai
menjelang dewasa. Ibu perlu menyediakan waktu bukan saja untuk
selalu bersama tetapi untuk selalu berinteraksi maupun
berkomunikasi secara terbuka dengan anaknya.
Pada dasarnya kebutuhan seseorang meliputi kebutuhan fisik,
psikis, sosial dan spiritual. Kebutuhan fisik merupakan
kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain
sebagainya. Kebutuhan psikis meliputi kebutuhan akan kasih
sayang, rasa aman, diterima dan dihargai. Sedang kebutuhan
sosial akan diperoleh anak dari kelompok di luar lingkungan
keluarganya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya
memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman
sebayanya. Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang
menjadikan anak mengerti kewajiban kepada Allah, kepada Rasul-
Nya, orang tuanya dan sesama saudaranya. Dalam pendidikan
spiritual, juga mencakup mendidik anak berakhlak mulia,
mengerti agama, bergaul dengan teman-temannya dan menyayangi
sesama saudaranya, menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Karena
memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban
orang tua kepada anaknya dan merupakan hak untuk anak atas
orang tuanya, maka jika orang tuanya tidak menjalankan
kewajiban ini berarti menyia-nyiakan hak anak.
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim:
Rasulullah saw Bersabda: “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah
(bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Seorang ibu harus memberikan atau memuaskan kebutuhan anak secara wajar, tidak berlebihan maupun tidak kurang. Pemenuhan kebutuhan anak secara berlebihan atau kurang akan menimbulkan pribadi yang kurang sehat di kemudian hari.
Dalam memenuhi kebutuhan psikis anak, seorang ibu harus
mampu menciptakan situasi yang aman bagi putra-putrinya. Ibu
diharapkan dapat membantu anak apabila mereka menemui
kesulitan-kesulitan. Perasaan aman anak yang diperoleh dari
rumah akan dibawa keluar rumah, artinya anak akan tidak mudah
cemas dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul.
Seorang ibu harus mampu menciptakan hubungan atau ikatan
emosional dengan anaknya. Kasih sayang yang diberikan ibu
terhadap anaknya akan menimbulkan berbagai perasaan yang dapat
menunjang kehidupannya dengan orang lain. Cinta kasih yang
diberikan ibu pada anak akan mendasari bagaimana sikap anak
terhadap orang lain. Seorang ibu yang tidak mampu memberikan
cinta kasih pada anak-anaknya akan menimbulkan perasaan
ditolak, perasaan ditolak ini akan berkembang menjadi perasaan
dimusuhi. Anak dalam perkembangannya akan menganggap bahwa
orang lainpun seperti ibu atau orang tuanya. Sehingga
tanggapan anak terhadap orang lain juga akan bersifat
memusuhi, menentang atau agresi.
Seorang ibu yang mau mendengarkan apa yang dikemukakan
anaknya, menerima pendapatnya dan mampu menciptakan komunikasi
secara terbuka dengan anak, dapat mengembangkan perasaan
dihargai, diterima dan diakui keberadaanya. Untuk selanjutnya
anak akan mengenal apa arti hubungan di antara mereka dan akan
mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya. Anak akan tahu
bagaimanacara menghargai orang lain, tenggang rasa dan
komunikasi, sehingga dalam kehidupan dewasanya dia tidak akan
mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.
2.3 Ibu sebagai teladan atau model bagi anaknya.
Dalam mendidik anak seorang ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Mengingat bahwa perilaku orangtua khususnya ibu akan ditiru yang kemudian akan dijadikan panduandalam perlaku anak, maka ibu harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Seperti yang difirmankan Allah dalam:
Surat Al-Furqaan ayat 74:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri-istri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi golongan
orang-orang yang bertaqwa.”
Kalau kita perhatikan naluri orang tua seperti yang Allah
firmankan dalam Al Qur’an ini, maka kita harus sadar bahwa
orang tua senantiasa dituntut untuk menjadi teladan yang baik
di hadapan anaknya.
Sejak anak lahir dari rahim seorang ibu, maka ibulah yang
banyak mewarnai dan mempengaruhi perkembangan pribadi,
perilaku dan akhlaq anak. Untuk membentuk perilakua anak yang
baik tidak hanya melalui bil lisan tetapi juga dengan bil hal yaitu
mendidik anak lewat tingkah laku. Sejak anak lahir ia akan
selalu melihat dan mengamati gerak gerik atau tingkah laku
ibunya. Dari tingkah laku ibunya itulah anak akan senantiasa
melihat dan meniru yang kemudian diambil, dimiliki dan
diterapkan dalam kehiduapnnya. Dalam perkembangan anak proses
identifikasi sudah mulai timbul berusia 3 – 5 tahun. Pada saat
ini anak cenderung menjadikan ibu yang merupakan orang yang
dapat memenuhi segala kebutuhannya maupun orang yang paling
dekat dengan dirinya, sebagai “model” atau teladan bagi sikap
maupun perilakunya. Anak akan mengambil, kemudian memiliki
nilai-nilai, sikap maupun perilaku ibu. Dari sini jelas bahwa
perkembangan kepribadian anak bermula dari keluarga, dengan
cara anak mengambil nilai-nilai yang ditanamkan orang tua baik
secara sadar maupun tidak sadar. Dalam hal ini hendaknya orang
tua harus dapat menjadi contoh yang positif bagi anak-anaknya.
Anak akan mengambil nilai-nilai, sikap maupun perilaku orang
tua, tidak hanya apa yang secara sadar diberika pada anaknya
misal melalui nasehat-nasehat, tetapi juga dari perilaku orang
tua yang tidak disadari. Sering kita lihat banyak orang tua
yang menasehati anaknya tetapi mereka sendiri tidak
melakukannya. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak sepenuhnya
mengambil nilai, norma yang ditanamkan. Jadi, untuk melakukan
peran sebagai model, maka ibu sendiri harus sudah memiliki
nilai-nilai itu sebagai milik pribadinya yang tercermin dalam
sikap dan perilakunya. Hal ini penting artinya bagi proses
belajar anak-anak dalam usaha untuk menyerap apa yang
ditanamkan.
2.4 Ibu sebagi pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya
Perlu diketahui bahwa pada waktu kelahirannya,
pertumbuhan berbagai organ belum sepenuhnya lengkap.
Perkembangan dari organ-organ ini sangat ditentukan oleh
rangsang yang diterima anak dari ibunya. Rangsangan yang
diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai
pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif anak. Bila pada
bulan-bulan pertama anak kurang mendapatkan stimulasi visual
maka perhatian terhadap lingkungan sekitar kurang. Stimulasi
verbal dari ibu akan sangat memperkaya kemampuan bahasa anak.
Kesediaan ibu untuk berbicara dengan anaknya akan
mengembangkan proses bicara anak. Jadi perkembangan mental
anak akan sangat ditentukan oleh seberapa rangsang yang
diberikan ibu terhadap anaknya. Rangsangan dapat berupa
cerita-cerita, macam-macam alat permainan yang edukatif maupun
kesempatan untuk rekreasi yang dapat memperkaya pengalamannya.
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa kunci
keberhasilan seorang anak di kehidupannya sangat bergantung
pada ibu. Sikap ibu yang penuh kasih sayang, memberi
kesempatan pada anak untuk memperkaya pengalaman, menerima,
menghargai dan dapat menjadi teladan yang positif bagi
anaknya, akan besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi
anak. Jadi dapat dikatakan bahwa bagaimana gambaran anak akan
dirinya ditentukan oleh interaksi yang dilakukan ibu dengan
anak. Konsep diri anak akan dirinya positif, apabila ibu dapat
menerima anak sebagaimana adanya, sehingga anak akan mengerti
kekurangan maupun kelebihannya. Kemampuan seorang anak untuk
mengerti kekurangan maupun kelebihannya akan merupakan dasar
bagi keseimbangan mentalnya.
Berbicara masalah peran ibu sebagai istri pendamping
suami tentunya tidak lepas dari peran ibu sebagai ibu rumah
tangga. Tetapi ada baiknya dilihat beberapa peran yang pokok
seorang wanita sebagai pendamping suami.
3.2 Istri Sebagai Teman/Partner Hidup
Pengertian teman di sini mempunyai arti adanya kedudukan
yang sama. Istri dapat menjadi teman yang dapat diajak
berdiskusi tentang masalah yang dihadapi suami. Sehingga
apabila suami mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri
mampu memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka beban yang
dirasakan suami berkurang. Disamping itu sebagai teman
menandung pengertian jadi pendengar yang baik. Selama di
kantor suami kadang mengalami ketidak-puasan atau perlakuan
yang kurang mengenakkan, kejengkelan-kejengkelan ini dibawanya
pulang. Di sini istri dapat mengurangi beban suami dengan cara
mendengarkan apa yang dirasakan suami, sikap seperti ini dapat
memberi ketenangan pada suami.
3.2.1 Istri sebagai penasehat yang bijaksana
Sebagai manusia biasa suami tidak dapat luput dari kesalahan
yang kadang tidak disadarinya. Nah, di sini istri sebaiknya
memberikan bimbingan agar suami dapat berjalan di jalan yang
benar. Selain itu suami kadang menghadapi masalah yang pelik,
nasehat istri sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya.
3.2.2 Istri sebagai pendorong suami
Sebagai manusia, suami juga masih selalu membutuhkan kemajuan
di bidang pekerjaannya. Di sini peran istri dapat memberikan
dorongan atau motivasi pada suami. Suami diberi semangat agar
dapat mencapai jenjang karier yang diinginkan, tentunya harus
diingat keterbatasan-keterbatasannya. Artinya istri tidak
boleh yang terlalu ambisi terhadap karir atau kedudukan suami,
kalau suami tidak mampu jangan dipaksakan, hal ini akan
menimbulkan hal-hal yang negatif.
Pada prinsipnya dari apa yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa peran istri sebagai pendamping suami dapat
sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan
yang paling penting bahwa semua peran itu dapat dilakukan
dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama
yang baik dan saling pengertian.
Demikianlah sekelumit pokok-pokok yang dapat dijadikan
pengetahuan bagi ibu-ibu dalam melakukan perannya di dalam
keluarga. Insya Allah, keluarga kita semua menjadi keluarga
Sakinah.
Semoga bermanfaat. Wassalam Wr.Wb.
BAB IV
PERAN WANITA DALAM MASYARAKAT
4.1 Peran Wanita Dalam Masyarakat
Secara kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat
melepaskan diri dari keterikatannya dengan manusia lain.
Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan
individu lain merupakan suatu usaha manusi untuk memenyhi
kebutuhan sosialnya. Dari hubungan antar pribadi ini,
tumbuhlah perasaan diterima, ditolak, dihargai-tidak
dihargaidan diakui-tidak diakui. Di samping itu dari hubungan
antar pribadi ini, manusia dapat lebih mengenal dirinya
sendiri, banyak mendapatkan penilaian dan memberikan
penilaian. Bergaul dengan individu lain, membuka kesempatan
bagi wanita untuk dapat menyatakan diri dan mengembangkan
kemampuannya.
Suatu kenyataan bahwa dewasa ini keikut-sertaan wanita
dalam mencapai tujuan pembangunan sangat diharapkan. Berbagai
peran dan tugas ditawarkan bagi wanita, dalam hal ini tentunya
kita harus selalu selektif jangan sampai terkecoh sehingga
lupa pada kodratnya.
Dalam hubungan antar pribadi (pergaulan) masing-masing
individu diberi kesempatan untuk mengembangkan pribadinya agar
dapat mendekati sempurna. Wanita, dalam bergaul memperoleh
banyak kesempatan untuk menghayati proses sosialisasi itu,
baik sebagai subjek atau objek dalam kehidupan bersama.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan individu lain, Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan silaturahmi sebagai usaha untuk mempererat persaudaraan dengan sesama umat. Dari silaturahmi inilah awal tumbuhnya Ukhuwah Islamiyah, yang merupakan suatu cara untuk mencapai terwujudnya masyarakat Islam yang bersatu. Keberhasilan kita dalam menciptakan suasana yang harmonis dalam masyarakat pada umumnya, maupun sesama muslim pada khususnya dapat ditentukan oleh kemampuan untuk memberikan kasih sayang, menghindarkan diri dari sifat kasar, dengki, fitnah, dan saling curiga mencurigai. Di samping itu pergaulankita dengan individu lain ditentukan oleh:
a. Pengertian bahwa tiap individu mempunyai kepribadian
tertentu, yang unik dan hanya dimiliki oleh individu tersebut.
b. Pengertian bahwa tiap individu mempunyai kebutuhan yang
berbeda dengan individu lain, hal ini akan mendasari
perilakunya.
c. Kemampuan kita untuk mengerti perasaan orang lain, toleran,
dan penuh pengertian.
d. Sikap untuk menghargai orang lain sebagai suatu pribadi dan
tidak terlalu mementingkan diri kita sendiri.
BAB V
KESIMPULAN
BUTIR-BUTIR PENTING
PENDIDIKAN IMAN (dalam Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, DR.Abdullah Nashih Ulwan)
1. Mengikat anak dengan dasar-dasar iman, antara lain iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab samawi, iman kepada Rasul, iman kepada pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, iman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hari hisab, dan neraka.
a. Mengenalkan kekuasaan Allah, penciptaan langit dan bumi (Al-Baqarah: 164; Ath-Thariq: 5-10; Abasa: 24-32; Faathir: 27-28; Qaaf: 6-8; An Nahl: 10-17)
b. Menanamkan roh khusus, takwa dan ubudiyah kepada Allah SWT ( Al-Hajj: 34-35; Maryam:58; Al Hadiid: 16; Aj-Jumar:23)
c. Mendidik anak menyadari akan muraqabatullah (pengawasan Allah)
2. Mengawali pendidikan dengan kalimat “ la ilaha ilallah”3. Mengenalkan hukum haram dan haram4. Menyuruh beibadah sejak berusia tujuh tahun5. Mendidik untuk mencintai Rasulullah saw, mencintai ahli
baitnya dan cnita membaca Al Qur’an
PENDIDIKAN BIDANG AKHLAQ (dalam Praktek Rasullullah saw Mendidik Anak bidang Akhlaq dan Pergaulan karangan Drs. M.Thalib)
1. Mendidik berlaku santun kepada orang tua dan orangb lain2. Mendidik menghormati saudara tua dan tetangga3. Mendidik mengetahui hak dan mengajarkan menghormati orang
lain4. Mendidik menjauhi yang haram5. Mendidik berlaku adil6. Menanamkan kejujuran7. Melatih memikul tanggung jawab8. Mendidik meringankan kesulitan orang lain9. Mengajarkan etika makan10. Membiasakan mengucap salam keika masuk rumah
PENDIDIKAN BIDANG PERGAULAN1. Memilihkan teman sebaya yang baik2. Memberi salam ketika bertemu orang lain3. Melatih berani menyampaikan pesan
4. Melatih berani bertanya5. Melatih mengurus kepentingan orang lain6. Mengunjungi orang sakit7. Mengajak menghadiri walimah
MENDIDIK BIDANG INTELIGENSI1. Mengajari sholat dan berdo’a2. Menguji bacaan Al-Qur’an3. Menjelaskan proses kejadian manusia4. Melatih berpikir yang berguna5. Mendidik berbagai pengetahun yang bermanfaat6. Mengajari kepemimpinan
MENDIDiK BIDANG EMOSI1. Memperlakukan dengan kasih sayang2. Melatih keberanian3. Mengajarkan sikap tenang4. Melatih kesabaran ketika sakit, dan menghadapi musibah5. Mengajari berdo’a ketika sakit6. Menyuruh pembina persaudaraan7. Mengajari menyikapi kesalahan orang lain
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PEREMPUAN SEBAGAI ISTRI1. Taat kepada Allah dan Rasulnya 2. Taat kepada suami selama dalam lingkaran ketaatan kepada
Allah3. Menyerahkan diri apabila suami menginginkan 4. Tidak boleh memasukkan laki-laki yang tidak disenangi suami
saat suami tidak ada di rumah5. Tidak meremehkan pemberian nafkah suami6. Menjaga harta suami dengan tidak berlebihan dalam
membelanjakannya7. Bersama-sama suami mendidik anak8. Mengurus rumah sehingga nampak asri dan nyaman9. Menghibur suami dikala susah dan mengalami masalah10. Menjaga rahasia suami dan rumah tangga
Diposkan oleh Muhammad Akbar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke FacebookLabel: AGAMA
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Ibu Rumah TanggaPeran wanita dalam rumah tanggaSaat wanita telah memutuskan untuk menikah kemudian dikaruniai anak, maka saat itulahtanggung jawab sebagai Ratu rumah tangga semakin besar. Menjadi seorang istri dan seorangibu itu adalah sesuatuyang menarik untuk dialami, namun hal itu juga bukan sesuatu hal yangmudah untuk dijalani. Wanita miliki kemampuan besar untuk hamil, melahirkan, menyusui, sertamendidik setiap generasi yang lahir ke dunia ini. Atas semua kelebihan itu saya sebagai wanitasangat bersyukur dan bahagia, semua itu seperti anugrah terbesar yang telah Alloh berikan. Namun karena wanita juga seorang manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan, tak bisalepas juga dari pentingnya peran seorang lelaki, sekuat kuatnya wanita masih tetapmembutuhkan bimbingan, perlindungan, rasa aman, rasa nyaman, dukungan, motivasi dariseorang Kepala Rumah tangga yaitu Suami sholeh. Atas masing masing fitrah dari Alloh SWTtersebut, munculah saling kerja sama, disinilah rasa tanggung jawab atas masing masing peranantara suami dan istri harus selalu dijaga, sehingga tercipta keluarga yang bahagia.Selain berperan sebagai pendidik generasi, wanita juga berperan menjadi penyejuk hati suami,mengingatkan suami dikala khilaf, menjadi pelipur lara disaat suami sedih, menjadi teman sejatisampai akhir khayat, menjadi bidadari nya di dunia maupun diakhirat.Tugas utama wanita adalah menjadikan Rumah sebagai Istana terbaik. Wanita adalah pemimpindalam urusan rumah tangga, dan amanah itu akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti.Contohnya seperti kegiatan sehari hari dalam urusan rumah tangga, wanita bertanggung jawabuntuk mengurus kebutuhananggota keluarga baik kebutuhan suami maupun anak- anaknya,selain itu dia juga bertanggung jawab untuk mendidik anak anaknya dengan baik menciptakangenerasi yang sholeh dan berilmu.“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.
Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorangwanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanyatentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentangharta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yangdipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829)