Post on 05-Feb-2018
Volume 9, Nomor 1, Januari 2015
Volume 9 Nomor 1Halaman
1421 - 1516 Jurnal IPK
JU
RN
AL IN
OV
AS
I PE
ND
IDIK
AN
KIM
IAV
olu
me 9
, Nom
or 1
, Januari 2
015
ISSN 1979-0503
ISSN 1979-0503
Semarang,Januari 2015
PANDUAN PENULISAN NASKAH JURNAL INOVASI PENDIDIKAN KIMIA
Naskah yang diterbitkan dalam jurnal terdiri atas naskah hasil penelitian dan naskah hasil pemikiran konseptual. Naskah ditulis menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar antara 10 sampai 15 halaman. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 dengan margin atas, bawah, kiri, dan kanan masing-masing 3,0 cm, huruf jenis arial ukuran 10 (kecuali judul naskah menggunakan huruf ukuran 12 bold), spasi 1,5 kecuali abstrak, judul tabel, judul gambar, dan daftar pustaka menggunakan spasi tunggal. Nama penulis disertai dengan institusi asal ditulis di bagian bawah judul naskah dengan huruf arial 9 dan dicetak miring. Naskah terdiri atas abstrak dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka. Abstrak ditulis maksimal 200 kata disertai dengan 3 sampai dengan 5 buah kata kunci yang diambil dari judul naskah. Judul dan subjudul ditulis rata kiri dengan aturan: (1) judul ditulis dengan huruf kapital, (2) subjudul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama tiap kata, (3) sub-subjudul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf depan kata pertama. Pustaka dirujuk berdasarkan sistem nama tahun, dan ditulis dalam daftar pustaka sesuai dengan urutan abjad. Template file naskah artikel dapat diunduh di web site: http://kimia.unnes.ac.id
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih ditulis pada akhir naskah sebelum daftar pustaka.
Pengiriman naskah
Naskah dikirimkan dalam bentuk hardcopy sebanyak 2 eksemplar disertai dengan softcopy
kepada editor naskah Dra. Nanik Wijayati, M.Si. atau Ella Kusumastuti, S.Si., M.Si. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Negeri Semarang, Gedung D6 lantai 2 Kampus Sekaran, Gunungpati Semarang
50229, telp: (024) 8508035, atau melalui email ke alamat: sri_kadarwati@yahoo.co.id. Penulis yang
naskahnya dimuat diminta untuk memberikan kontribusi sebesar Rp. 100.000,- dan yang
bersangkutan akan mendapatkan Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia (JIPK) sebanyak 1 eksemplar.
JURNAL IPKJURNAL INOVASI PENDIDIKAN KIMIA
ISSN 1979-0503Volume 9, Nomor 1, Januari 2015
Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli
Ketua PenyuntingTri Widodo
Wakil Ketua PenyuntingWisnu Sunarto
Penyunting PelaksanaSigit PriatmokoNanik Wijayati
HarjonoHarjito
Sri KadarwatiCepi KurniawanElla Kusumastuti
Penyunting Ahli (Mitra Bestari)Mudatsir (Universitas Gadjah Mada), Hanny Wijaya (Institut Pertanian Bogor), Effendi
(Universitas Negeri Malang), Liliasari (Universitas Pendidikan Indonesia), Nurfina Aznam (Universitas Negeri Yogyakarta), Bambang Cahyono (Universitas Diponegoro), Achmad Binadja
(Universitas Negeri Semarang), D.Y.P. Sugiharto (Universitas Negeri Semarang)
Pelaksana Tata UsahaWoro Sumarni
Pembantu Pelaksana Tata UsahaWijayanti Setyodewi
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2, Jl. Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229, Telp./Fax: (024) 8508035. Email: sri_kadarwati@yahoo.co.id
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah dipublikasikan di media lain. Naskah diketik dengan format seperti tercantum pada Panduan Penulisan JIPK di bagian
belakang jurnal ini, dan dapat diunduh di laman http://kimia.unnes.ac.id. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya, maka Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia Volume 9 Nomor
1 tahun 2015 berhasil diterbitkan. Jurnal ini hadir di hadapan pembaca sebagai wadah
bagi penulisan hasil pemikiran dan penelitian di bidang pengembangan mutu pendidikan
khususnya pendidikan kimia.
Rasa terima kasih kami sampaikan kepada para penulis atas kontribusinya
yang berupa artikel terhadap penerbitan edisi ini. Kami berharap agar para peneliti,
akademisi, pengamat, dan praktisi di bidang pendidikan kimia dapat berpartisipasi
menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya yang dituangkan dalam bentuk
tulisan dan dimasukkan ke dalam jurnal ini. Kontribusi penulis berupa saran atau solusi
yang komprehensif dan mendalam diharapkan dapat dikembangkan berdasarkan
pengamatan atau pengalaman hasil refleksi terhadap permasalahan dan kenyataan di
lapangan. Kita dapat secara bersama-sama mewujudkan peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan melalui semangat pengabdian, rasa kepemilikan, dan tekad untuk
memajukan pendidikan di tanah air.
Semoga kehadiran jurnal ini dapat memacu pemikiran-pemikiran yang menggali
hingga ke akar permasalahan dan bermanfaat bagi semua pihak yag bergerak di bidang
pendidikan. Kritik dan saran bagi penyempurnaan penerbitan jurnal ini dimasa yang
akan datang dapat disampaikan kepada Dewan Penyunting yang dengan senang hati
menerima dan menjadikannya sebagai masukan untuk meningkatkan mutu jurnal.
Ketua Penyunting
DAFTAR ISI
PENERAPAN PENDEKATAN SALINGTEMAS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR KIMIA
Suriyanto dan Syaiful Rijal Alinata (1421-1430)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MEA DAN REACT PADA MATERI REAKSI
REDOKS
Fitriya Karima dan Kasmadi Imam Supardi (1431-1439)
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING
BERBANTUAN FLASH INTERAKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR
Siti Nursiami dan Soeprodjo (1440-1449)
PENINGKATAN KEMAMPUAN CHEMO-ENTREPRENEURSHIP SISWA MELALUI
PENERAPAN KONSEP KOLOID YANG BERORIENTASI LIFE SKILL
Wibi Tegar Lelono dan Saptorini (1450-1458)
PENERAPAN SELF ASSESSMENT UNTUK ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR
TINGKAT TINGGI SISWA
Meiriza Ardiana dan Sudarmin (1459-1467)
PENERAPAN MODEL ASSURE DENGAN METODE PROBLEM SOLVING UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
Widia Maya Sari dan Endang Susiloningsih (1468-1477)
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC DENGAN
PENILAIAN PRODUK BERBASIS CHEMO-ENTREPRENEURSHIP
Siti Munawaroh dan Subiyanto Hadi Saputro (1478-1486)
PENGEMBANGAN MEDIA SMILE-FLASH BERPENDEKATAN CHEMO-
EDUTAINMENT PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN
Yan Sandi Nurfitrasari dan Woro Sumarni (1487-1495)
PEMANFAATAN MODEL PLTL BERBANTUAN LKS BERBASIS INKUIRI UNTUK
MENINGKATKAN KOMPETENSI KIMIA
Bunga Amelia dan Antonius Tri Widodo (1496 -1505)
PENGEMBANGAN DIKTAT PRAKTIKUM BERBASIS GUIDED DISCOVERY-INQUIRY
BERVISI SCIENCE, ENVIRONMENT, TECHNOLOGY AND SOCIETY
Risqiatun Nikmah dan Achmad Binadja (1506 -1516)
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata, Penerapan Pendekatan Saling…. 1421
PENERAPAN PENDEKATAN SALINGTEMAS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR KIMIA
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur Jl. Dr. Cipto No. 35, Telp. (0328) 662325 – 662322 Kode Pos 69417
E-mail: suriyanto_as_63@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pendekatan Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat (Salingtemas) merupakan pendekatan yang dianjurkan dalam proses belajar mengajar sains ditingkat pendidikan menengah untuk mengatasi hasil belajar yang kurang memuaskan. Pendekatan Salingtemas memberi pembelajaran sains secara kontekstual sehingga siswa dibawa ke situasi memanfaatkan konsep sains ke dalam bentuk teknologi untuk kepentingan masyakarat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pendekatan Salingtemas dapat meningkatkan kinerja ilmiah siswa kelas XI-IPA 3 SMA Negeri 2 Sumenep dalam pembelajaran kimia pada materi pokok larutan Asam dan Basa. Penentuan keberhasilan proses didasarkan pada diskriptor kualifikasi terhadap aktivitas belajar siswa, sedangkan penentuan keberhasilan hasil belajar ditemukan melalui ulangan harian. Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Siswa merasa senang belajar, ini dapat dilihat dari hasil observasi keaktifan siswa dalam kelas pada siklus kedua meningkat dan dari hasil respon/ minat terhadap penerapan pendekatan Salingtemas yang menyatakan mereka sangat berminat (28,6%), berminat (57,1%), dan kurang berminat (14,3%); (2) Penerapan pendekatan Salingtemas dapat meningkatkan kinerja ilmiah dan prestasi belajar materi pelajaran kimia khususnya materi pokok Larutan Asam dan Basa pada siswa kelas XI-IPA 3 SMA Negeri 2 Sumenep dengan ketuntasan klasikal 42 siswa (100%) dan daya serap 81,23%.
Kata Kunci: pendekatan salingtemas, prestasi belajar kimia
ABSTRACT
Approach of Science, Environment, Technology, and Society (Salingtemas) is a recommended approach in teaching and learning of science secondary education level to overcome learning outcomes unsatisfactory. Salingtemas approach gives contextually science learning so that students brought to the situation utilizing scientific concepts in the form of technology for the benefit of society. The purpose of this study was to determine whether the approach can improve the performance of scientific Salingtemas class XI-IPA 3 SMAN 2 Sumenep in learning the subject matter of the solution chemistry of acids and bases. Determination of the success of the process is based on diskriptor qualification of the activity of student learning, while determination of the success of learning outcomes discovered through daily tests. The results from this study are: (1) The students were delighted to learn, it can be seen from the observation of active students in the classroom on the second cycle increased and the results of the response/ interest in the application of Salingtemas approach stating they are very interested (28.6%), interested (57.1%), and lack of interest (14.3%); (2) Application of Salingtemas approach can improve scientific performance and learning achievement in particular subject matter solution chemistry of acids and bases in class XI IPA 3 SMAN 2 Sumenep with classical completeness 42 students (100%) and the absorption of the course 81.23%. Keywords: salingtemas approach, chemistry learning achievement
1422 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1421-1430
PENDAHULUAN
Ilmu Kimia merupakan salah satu
mata pelajaran yang diajarkan di sekolah
menengah. Kimia dapat membentuk
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
rasional serta dinamis sehingga mampu
membentuk ide-ide baru yang berguna bagi
kepentingan teknologi yang mempunyai
peranan penting bagi perbaikan hidup
manusia. Namun, masih banyak siswa yang
menganggap kimia merupakan mata
pelajaran yang sulit untuk dipelajari,
sehingga hasil belajar yang diperoleh masih
belum memuaskan (Hanum & Mahlian,
2013).
Dari dokumen-dokumen resmi KBK
dari Pusat Kurikulum Depdiknas, visi dan
pendekatan Science, Environment,
Technology, and Society (SETS) atau Sains,
Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat
(Salingtemas) merupakan salah satu
pendekatan yang dianjurkan dalam proses
belajar mengajar sains ditingkat pendidikan
menengah (Binadja, et al., 2008).
Dalam pembelajaran Salingtemas,
atau bervisi Salingtemas, pendekatan yang
paling dianjurkan adalah pendekatan
Salingtemas itu sendiri. Sejumlah ciri atau
karakteristik pendekatan Salingtemas
adalah bertujuan memberi pembelajaran
sains secara kontekstual. Siswa dibawa ke
situasi untuk memanfaatkan konsep sains
ke bentuk teknologi untuk kepentingan
masyakarat. Siswa diminta untuk berfikir
tentang berbagai kemungkinan akibat yang
terjadi dalam proses transfer sains tersebut
ke bentuk teknologi. Siswa dapat
menjelaskan keterhubungkaitan antara
unsur sains yang dibincangkan dengan
unsur-unsur lain dalam Salingtemas yang
mempengaruhi berbagai keterkaitan antar
unsur tersebut. Siswa dapat
mempertimbangkan manfaat atau kerugian
dari pada menggunakan konsep sains
tersebut bila diubah dalam bentuk teknologi
yang berkenaan. Ditinjau dari sisi
konstruktifisme, siswa dapat diajak
membahas tentang Salingtemas dari
berbagai macam arah dan dari berbagai
macam titik awal tergantung pengetahuan
dasar yang dimiliki oleh siswa bersangkutan
(Nuryanto & Binadja, 2010).
Keunggulan pembelajaran dengan
pendekatan Salingtemas dibandingkan
pendekatan lainnya yaitu mengenai
bagaimana cara membuat peserta didik
dapat melakukan penyelidikan untuk
mendapatkan pengetahuan, sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang
saling berkaitan, sehingga diharapkan dapat
menyelesaikan masalah yang diperkirakan
timbul di sekitar kehidupannya (Paramayanti
& Fitrihidayati, 2014).
Dalam ilmu kimia konsep sains,
lingkungan, teknologi dan masyarakat
(Salingtemas) yang paling menonjol adalah
expose realita kerusakan kualitas
lingkungan sebagai akibat eksploitasi ilmu
dan teknologi kimia yang kurang
memperhatikan dampak negatif yang
ditimbulkannya. Juga cara-cara untuk
mengatasi dampak negarif tersebut (Cajas,
1999). Sayangnya topik-topik yang terkait
tidak selalu dibingkai di dalam suatu konsep
induk yang dapat berfungsi sebagai
advance organizer. Oleh karena itu tidak
dapat diharapkan setelah mempelajari topik-
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata, Penerapan Pendekatan Saling…. 1423
topik ini siswa atau mahasiswa memperoleh
gambaran yang komprehensif dan dapat
dijadikan acuan dasar bagi pembelajaran
lebih lanjut.
Suhaidi (2006) dalam makalahnya
yang berjudul Strategi Pembelajaran Kimia
Berorientasi Salingtemas menyatakan
bahwa kekhawatiran akan lemahnya
dampak pembelajaran Salingtemas
terhadap sikap dan perilaku siswa sudah
dikemukakan oleh banyak penulis. Salah
satu diantaranya adalah Membiela, (1999)
yang menemukan bahwa pembelajaran
Sains dan Teknologi Masyarakat (STM) atau
Science Technology And Society (STS) di
Spanyol saat ini menjadi lemah dan amat
kecil pengaruhnya karena tidak didukung
oleh sistem pendidikan yang ada dan
perumusan konsep yang memiliki relevansi
personal dan sosial bagi siswa.
Jika persoalan di atas kita usung ke
Indonesia, dapat dirasakan perlunya
dirumuskan kurikulum atau ranah kajian
yang elegant untuk grand concept
Salingtemas Nasional, sehingga makna,
keefektifan dan manfaat dari gerakan ini
benar-benar dapat dirasakan. Isu-isu
provokatif terkait dengan hal ini cukup
banyak termasuk yang paling baru misalnya
penggunaan formalin, boraks dan zat warna
terlarang didalam makanan, dampak
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET) terhadap kesehatan orang yang
hidup di bawahnya, pencemaran lingkungan
karena industri kimia yang kurang
memperhatikan kaidah Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), dan (jika
masing-masing dianggap relevan)
penggundulan hutan (illegal logging) yang
menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Fakta-fakta ini perlu dikemas menjadi
konsep yang utuh, bermakna sosial jelas,
relevan dan dirancang untuk digarap secara
lintas bidang agar dapat dikembangkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
diperlukan untuk menerapkannya didalam
kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian Frank dan Barzilai
(2006) menunjukkan bahwa 95% siswa
berpendapat jika konsep Salingtemas
dimasukkan ke dalam proses pembelajaran,
maka memberi kesempatan kepada mereka
untuk memperoleh pengetahuan dan
mempertinggi pemahaman mereka antar
cabang ilmu pengetahuan sehingga
diharapkan melalui kegiatan pembelajaran
yang berwawasan Salingtemas akan
diperoleh pemikiran tentang hasil teknologi
dari transformasi sains, tanpa harus
merusak atau merugikan lingkungan dan
masyarakat (Arlitasari, et al., 2013).
Tahapan dan kegiatan pembelajaran
dengan pendekatan Salingtemas dapat
dibagi menjadi lima. Pertama, tahap invitasi
yang bertujuan untuk merumuskan masalah
dan mengetahui hubungan dengan
pengetahuan sebelumnya. Tahap eksplorasi
berisi tentang eksperimen/ aktivitas fisik,
melakukan observasi yang melibatkan
kelima pancaindra, interaksi sosial sampai
pengambilan keputusan. Tahap pengenalan
konsep berisi diskusi yang dipandu oleh
guru dengan memberikan suasana sehingga
siswa aktif bertanya dengan tujuan
meluruskan pengetahuan yang diperoleh
secara ilmiah. Tahap aplikasi, yaitu berupa
aktivitas tambahan untuk mengaplikasi
konsep yang diperoleh dalam konteks yang
1424 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1421-1430
berbeda. Kelima adalah tahap evaluasi,
yaitu penilaian terhadap hasil yang telah
dilakukan selama pendekatan pembelajaran
diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
(1) apakah pendekatan Salingtemas dapat
meningkatkan kinerja ilmiah siswa dan
pemahamannya terhadap pelajaran kimia
materi pokok Larutan Asam dan Basa
khususnya pada siswa kelas XI-IPA 3 SMA
Negeri 2 Sumenep, (2) apakah pendekatan
Salingtemas dapat meningkatkan prestasi
belajar kimia materi pokok Larutan Asam
dan Basa pada siswa kelas XI-IPA 3 SMA
Negeri 2 Sumenep. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui
apakah pendekatan Salingtemas dalam
pembelajaran kimia pada meteri pokok
larutan Asam dan Basa dapat meningkatkan
kinerja ilmiah siswa kelas XI-IPA 3 SMA
Negeri 2 Sumenep, (2) menerapkan
Pendekatan Sains, Lingkungan, Teknologi
dan Masyarakat untuk Meningkatkan
Prestasi Belajar Kimia Materi Pokok Larutan
Asam dan Basa pada Siswa Kelas XI-IPA 3
SMA Negeri Sumenep.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini
dilaksanakan di SMA Negeri 2 Sumenep
Kelas XI IPA 3 Semester II tahun pelajaran
2013/2014. Subyek penelitian adalah
seluruh siswa kelas XI IPA 3 sebanyak 42
siswa. Sumber data dalam penelitian ini
adalah: (1) Siswa, tentang aktivitas belajar
siswa dalam pembelajaran kimia Materi
Pokok Larutan Asam dan Basa melalui
pendekatan Salingtemas pada siswa kelas
XI IPA 3 Semester II SMA Negeri 2
Sumenep tahun pelajaran 2013/2014; (2)
Guru, tentang aktivitas guru dalam
pengelolaan pembelajaran kimia materi
pokok Larutan Asam dan Basa melalui
pendekatan Salingtemas pada Siswa kelas
XI IPA 3 Semester II SMA Negeri 2
Sumenep tahun pelajaran 2013/2014; (3)
Dokumen tentang nilai hasil belajar siswa.
Kegiatan pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan instrumen
penelitian antara lain pengamatan
(observasi), catatan lapangan, angket dan
dokumentasi. Pengamatan difokuskan pada
pelaksanaan pembelajaran kimia Materi
pokok Larutan Asam dan Basa rmelalui
pendekatan Salingtemas. Catatan lapangan
dilakukan dengan mencatat peristiwa nyata
yang terjadi dalam kegiatan belajar-
mengajar, baik secara deskriptif maupun
refleksi. Angket dilakukan untuk mengetahui
minat/ respon siswa terhadap proses
pembelajaran. Dokumentasi berupa
kegiatan mendokumen data verbal tertulis
dan foto.
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan teknik analisis data kualitatif
yang bersifat linear (mengalir) yang di
dalamnya melibatkan kegiatan penelaahan
seluruh data yang telah dikumpulkan,
reduksi data (di dalamnya terdapat kegiatan
pengkatagorian dan pengklasifikasian) dan
verifikasi serta penyimpulan data.
Penentuan keberhasilan proses didasarkan
pada diskriptor kualifikasi terhadap aktivitas
belajar siswa, sedangkan penentuan
keberhasilan hasil belajar ditemukan melalui
ulangan harian.
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata, Penerapan Pendekatan Saling…. 1425
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Siklus Pertama peneliti
merencanakan tindakan berdasarkan
kompetensi dasar “mendeskripsikan teori-
teori Asam Basa dengan menentukan sifat
larutan dan menghitung pH larutan” pada
materi pokok Larutan Asam dan Basa.
Tindakan diarahkan untuk pencapaian
indikator yang dirumuskan antara lain
menjelaskan teori Asam dan Basa,
menjelaskan derajat keasaman (pH)
Larutan, menjelaskan kekuatan Asam dan
Basa melakukan praktikum Larutan Asam
dan Basa. Menghitung pH Larutan Asam
dan Basa, mengamati perubahan warna
indikator Asam Basa, menyiapkan alat
pengambil data tentang minat belajar,
aktivitas belajar siswa, dan hasil belajar
siswa serta mengarahkan siswa
berkelompok.
Tahapan pendekatan Salingtemas,
yaitu tahap invitasi, eksplorasi, pengenalan
konsep, aplikasi, dan evaluasi. Invitasi:
guru memulai pelajaran menyampaikan
indikator hasil belajar, memotivasi rasa ingin
tahu siswa tentang konsep yang akan di
pelajari, guru mengkaitkan pelajaran dengan
pengetahuan awal siswa. Eksplorasi: guru
menjelaskan garis-garis besar materi yang
akan dipelajari kemudian membagikan
Lembar Kegiatan Eksperimen (LKE)
Larutan Asam-Basa sebagai bahan yang
harus dipelajari kepada kelompok siswa.
Pada tahap ini, siswa melakukan observasi,
eksperimen dan berinteraksi dengan teman
sekelompok. Hasil eksperimen di diskusikan
untuk mendapatkan solusi berdasarkan
kesepakatan. Penemuan konsep: siswa
secara berkelompok melakukan problem
solving untuk mendapatkan konsep-konsep
yang dipelajari. Aplikasi: konsep yang telah
diperoleh diaplikasikan dalam konteks yang
berbeda melalui pertanyaan-pertanyaan
dalam LKE. Evaluasi: siswa mem-
presentasikan hasil kerjanya dan
didiskusikan bersama-sama dengan
kelompok lain. Pada Siklus kedua
merupakan implementasi tindakan
pembelajaran hasil perbaikan siklus pertama
pada materi pokok Larutan Asam dan Basa
sehingga diperoleh hasil yang optimal.
Tindakan direncanakan berdasarkan
hasil refleksi siklus sebelumnya yaitu materi
pokok Larutan Asam dan Basa pada
penentuan rumus pH Larutan Asam dan
Basa serta menghitung pH melalui
pendekatan Salingtemas pada tahapan
Invitasi, Eksplorasi, Penemuan konsep,
Aplikasi, dan Evaluasi. Data hasil
pengamatan aktivitas siswa dapat dilihat
pada Tabel 1 tentang hasil observasi
keaktifan siswa di kelas.
1426 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1421-1430
Tabel 1. Persentase keaktifan siswa dalam kelas per siklus
Aspek yang diamati
Skor
Sangat kurang
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
I II I II I II I II I II
Minat siswa mengikuti materi Pokok Larutan Asam dan Basa
7,1 9,5 16,7 59,5 59,5 23,8 23,8
Perhatian siswa dalam materi Pokok Larutan Asam dan Basa
7,1 9,5 16,7 57,1 57,1 26,2 26,2
Aktivitas siswa dalam materi Pokok Larutan Asam dan Basa
7,1 7,1 14,3 61,9 61,9 23,8 23,8
Aktivitas siswa dalam mengerjakan tugas MateriPokok Larutan Asam dan Basa
7,1 7,1 14,3 66,7 66,7 19,0 19,0
Intensitas bertanya siswa dengan guru
85,7 71,4 14,3 28,6
Intensitas bertanya siswa dengan siswa
85,7 71,4 14,3 28,6
Keaktifan merespon pertanyaan guru
76,2 71,4 11,9 16,7 11,9 11,9
Keaktifan siswa dalam kerjasama kelompok
66,7 47,6 19,0 38,1 14,3 14,3
Dari Tabel 1 diketahui bahwa pada
siklus I aktivitas siswa belum menunjukkan
hasil positif. Siswa baru kelihatan menonjol
aktivitasnya pada kegiatan mengerjakan
tugas (66,7 % Baik), sementara pada
aktivitas bertanya (85,7% Kurang) dan
merespon pertanyaan guru (76,2% Kurang)
masih belum menonjol. Sedangkan pada
siklus II. aktivitas siswa sudah terjadi
peningkatan dibandingkan dengan hasil
pada siklus I. Siswa tetap kelihatan
menonjol aktivitasnya pada kegiatan
mengerjakan tugas (66,7 % Baik),
sementara pada aktivitas bertanya mulai
kelihatan peningkatannya sehingga ada
perubahan yang semula 85,7% ada pada
kategori kurang menjadi 71,4 %.
Sementara pada aspek merespon
pertanyaan guru yang semula 76,2%
Kurang menjadi 71,4 %. Hal ini
menandakan bahwa siswa sudah mulai
mengaktifkan memorinya sejak awal hingga
akhir pembelajaran. Siswa secara aktif
mengkonstruk informasi atau pengetahuan
dalam benaknya sendiri sesuai prinsip teori
pembelajaran kontruktivistik (Slavin, 1995),
sebagai salah satu karakteristik dari
pembelajaran dengan pendekatan
Salingtemas.
Hasil belajar kognitif siswa
diperoleh melalui tes evaluasi di akhir siklus
pembelajaran. Adapun data hasil belajar
yang telah dianalisis tampak pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil evaluasi belajar siswa per siklus
Keterangan Siklus I Siklus II
Nilai Terendah 18 71 Nilai Tertinggi 68 100 Nilai rata-rata 43,09 81,14 Modus 35 71 Median 44 79 Simpangan Baku
12,56 8,55
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata, Penerapan Pendekatan Saling…. 1427
Dari data pada Tabel 2 dapat
diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai
rata-rata siswa dari 43,09 pada siklus I
menjadi 81,14 pada siklus II. Hal ini berarti
pendekatan Salingtemas benar-benar
efektif diterapkan dalam pembelajaran
Kimia khususnya materi Larutan Asam dan
Basa. Sebagaimana ditulis oleh Mulyasa
(2002) dan Djamarah (2002) yang dikutip
oleh Nuryanto dan Binadja (2010) dalam
artikel mereka bahwa tingkat efektivitas
pembelajaran dengan pendekatan
Salingtemas ditinjau dari hasil belajar dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1) sangat
efektif, apabila nilai rata-rata hasil belajar
seluruh siswa dalam satu kelas adalah 100;
(2) efektif, apabila nilai rata-rata hasil
belajar seluruh siswa dalam satu kelas
adalah 75-99; (3) kurang efektif, apabila
nilai rata-rata hasil belajar seluruh siswa
dalam satu kelas adalah 60-74; dan (4)
tidak efektif, apabila nilai rata-rata hasil
belajar seluruh siswa dalam satu kelas
kurang dari 60 (Nuryanto & Binadja, 2010).
Untuk mengetahui ketuntasan
belajar siswa baik secara individu maupun
klasikal guru dan sekolah menentukan
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dan
untuk mata pelajaran Kimia ini ditetapkan
KKM nya adalah nilai 70. Dari analisis nilai
tes di akhir siklus akhirnya diketahui jumlah
dan persentase siswa yang tuntas secara
individual dan klasikal serta dapat diketahui
pula tingkat daya serap siswa secara
klasikal. Data prestasi belajar siswa ini
tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Data prestasi belajar dalam 2 siklus
Gambar 1 membuktikan bahwa
siswa yang tuntas belajar di kelas
meningkat dari 0 % (tidak tuntas secara
klasikal) pada siklus I menjadi 100 %
(tuntas secara klasikal) pada siklus II. Ini
berarti mengalami peningkatan sebesar
100 %. Daya serap juga mengalami
peningkatan dari 43,14% pada siklus I
menjadi 81,23% pada siklus II. Berarti
terjadi peningkatan 38,09%. Dengan
demikian pembelajaran Salingtemas dalam
pembelajaran ini dapat menjadikan siswa
1428 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1421-1430
lebih aktif mengenal lingkungan sekitarnya
serta peka terhadap permasalahan yang
ada di lingkungan tempat tinggalnya
sebagai langkah awal melakukan
penyelidikan ilmiah. Hal ini sesuai dengan
karakteristik pengajaran Salingtemas yaitu:
1) mengambil konsep dengan cara
mengidentifikasi masalah-masalah lokal, 2)
menggunakan kegiatan laboratorium yang
berasal dari sumber lokal (manusia dan
material) untuk memecahkan masalah, 3)
menekankan keterampilan proses yang
biasa digunakan ilmuwan untuk
mempelajari ilmunya (Handayani, et al.,
2009).
Minat siswa juga menjadi pokok
perhatian peneliti guna mengukur
ketertarikan siswa pada proses
pembelajaran dengan pendekatan
Salingtemas. Melalui angket siswa
diperoleh data tentang minat siswa
terhadap proses pembelajaran. Gambar 2
memaparkan persentase ketertarikan siswa
terhadap proses pembelajaran
menggunakan pendekatan Salingtemas.
Gambar 2. Minat dan respon siswa
Gambar 2 menunjukkan bahwa
57% siswa berminat dan 29% sangat
berminat. Hanya 14% yang kurang
berminat terhadap pembelajaran kimia
dengan pendekatan Salingtemas. Bahkan
tidak ada siswa yang menyatakan (0%)
tidak berminat. Dengan demikian
pembelajaran ini dapat diketagorikan
efektif, ditinjau dari minat belajar siswa
sesuai kategorisasi sebagai berikut: (1)
sangat efektif, apabila nilai rata-rata angket
minat belajar seluruh siswa dalam satu
kelas adalah 100; (2) efektif, apabila nilai
rata-rata angket minat belajar seluruh siswa
dalam satu kelas adalah 75-99; (3) kurang
efektif, apabila nilai rata-rata angket minat
belajar seluruh siswa dalam satu kelas
adalah 60-74; dan (4) tidak efektif, apabila
nilai rata-rata angket minat belajar seluruh
Suriyanto* dan Syaiful Rijal Alinata, Penerapan Pendekatan Saling…. 1429
siswa dalam satu kelas adalah kurang dari
60 (Nuryanto & Binadja, 2010).
Berdasarkan data-data di atas,
maka dapat digambarkan partisipasi siswa
dalam merancang kegiatan belajarnya
sudah meningkat, minat dan perhatian
siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar
menggunakan pendekatan Salingtemas
sudah meningkat, aktifitas siswa dalam
mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru sudah meningkat, siswa sudah mulai
aktif bertanya dan menjawab pertanyaan
guru, tingkat pemahaman siswa terhadap
penjelasan-penjelasan yang telah diberikan
oleh guru sudah mencapai tolak ukur yang
telah ditetapkan, tingkat penguasaan materi
secara utuh sudah meningkat dimana
tingkat penguasaan siswa dalam
menghubungkan topik pelajaran
sebelumnya sudah meningkat, kesulitan
siswa mengikuti pola yang diterapkan guru,
terutama dalam menghubungkan materi
yang telah diperoleh sebelumnya dengan
materi yang sedang dipelajari sudah mulai
berkurang, serta evaluasi hasil belajar
siswa secara klasikal sudah tuntas.
SIMPULAN
Simpulan dari penelitian ini adaah:
(1) Para siswa merasa senang belajar,
dapat dilihat dari hasil observasi keaktifan
siswa dalam kelas pada siklus kedua
meningkat dan dari hasil respon/ minat
terhadap penerapan pendekatan
Salingtemas yang menyatakan mereka
sangat berminat (28,6%), berminat (57,1%),
akan tetapi masih ada yang kurang
berminat (14,3%); (2) Penerapan
pendekatan Salingtemas dapat
meningkatkan kinerja ilmiah dan prestasi
belajar materi pelajaran kimia khususnya
materi pokok Larutan Asam dan Basa pada
siswa kelas XI-IPA 3 SMA Negeri 2
Sumenep dengan ketuntasan klasikal 42
siswa (100%) dan daya serap 81,23%.
DAFTAR PUSTAKA
Arlitasari, O., Pujayanto, dan Budiharti, R.,
2013, Pengembangan Bahan Ajar IPA Terpadu Berbasis Salingtemas dengan Tema Biomasa Energi Alternatif Terbarukan, Jurnal Pendidikan Fisika, Hal. 81-89.
Binadja, A., Wardani, S., dan Nugroho, S., 2008. Keberkesanan Pembelajaran Kimia Materi Ikatan Kimia Bervisi SETS pada Hasil Belajar Siswa, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Hal. 256-262.
Cajas, F., 1999, Public Understanding of Science: Using Technology to Echance School Science In Everyday Life. International Journal of Science Education Hal. 765-773.
Depdiknas, 2003, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 2004, Jakarta: Depdiknas.
Handayani, S.N., Indriwati, S.E., dan Suwono, H., 2009, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Group Investigation dengan Pendekatan Salingtemas Dalam Meningkatkan Kemampuan Kerja Ilmiah dan Hasil Belajar Kognitif Biologi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Lawang. Jurnal Biologi dan Pengajarannya CHIMERA, Hal. 42-50.
Hanum, L., dan Mahlian, M., 2013, Penerapan Metode Team Teaching Pada Materi Ikatan Kimia Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMAN 9 Tunas Bangsa Banda Aceh, Jurnal Chimica Didactica Act, Hal. 1-6.
1430 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1421-1430
Membiela, P., 1999, Toward the Reform of Science Teaching in Spain: the Social and Personal Relevance of junior Secondary School Science Projects for a socially Responsible Understanding of Science, International Journal of Science Education.
Nuryanto, dan Binadja, A., 2010, Efektivitas Pembelajaran Kimia dengan Pendekatan Salingtemas Ditinjau dari Minat dan Hasil Belajar Siswa, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Hal. 552-556.
Paramayanti, I., dan Fitrihidayati, H., 2014, Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Terpadu Tema Pencemaran Air dengan Pendekatan Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat
(Salingtemas) Kelas VII SMP, Jurnal Pendidikan Sains e-Pensa, Hal. 123-129.
Slavin, R.E., 1995, Cooperative Learning: Theory, Reseach, and Practice, Boston: Ally and Bacon.
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Kurikulum 2004, 2003, Jakarta: Depdiknas.
Suhaidi, I., 2006, Strategi Pembelajaran Kimia Berorientasi Salingtemas, dalam Buku Panduan Seminar Nasional Kimia. Surabaya: Himpunan Kimia Indonesia jawa Timur.
Wellington, J., 2000, Teaching and Learning Secondary Science Contemporary issues and Practical Approaches. London: Routledge.
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi, Penerapan Model Pembelajaran…. 1431
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MEA DAN REACT PADA MATERI REAKSI REDOKS
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035
E-mail: chemistquw@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap adanya perbedaan hasil belajar siswa yang
diberi pembelajaran MEA dan REACT pada materi reaksi oksidasi reduksi, dan hasil belajar mana yang lebih baik di antara keduanya. Penelitian dilaksanakan di suatu SMA Negeri di Pekalongan tahun ajaran 2013/2014 dengan populasi seluruh siswa kelas X MIPA. Sampel diambil menggunakan teknik cluster random sampling, karena populasi berdistribusi normal dan homogen. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest group design. Pengambilan data dilakukan dengan metode tes, observasi, dan dokumentasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa adanya perbedaan rata-rata nilai post-test antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 setelah keduanya diberikan perlakuan yang berbeda pada materi yang sama. Hasil belajar kognitif diperoleh dari pretest dan posttest masing-masing kelas eksperimen. Hasil menunjukkan adanya peningkatan dari skor pretest dan posttest pada kedua kelas eksperimen tersebut dengan nilai rata-rata pretest kelas eksperimen 1 (MEA) 34 meningkat menjadi 74 pada posttest dan kelas eksperimen 2 (REACT) 39 meningkat menjadi 84,97. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran MEA dan REACT dapat meningkatkan hasil belajar. Hasil belajar kimia aspek kognitif yang diberi pembelajaran REACT lebih baik dibandingkan yang diberi pembelajaran MEA.
Kata Kunci: materi reaksi redoks, MEA, model pembelajaran, REACT
ABSTRACT
This study aims to reveal the difference in learning outcomes of students who were given learning material MEA and REACT on oxidation-reduction reactions, and which one is better between the two models. The experiment was conducted in a Senior High School in Pekalongan academic year 2013/2014 with the entire population of students of science class grade X. Samples were taken using cluster random sampling technique, because of the normal distribution and homogenous population. Design research is pretest-posttest group design. Data collection was performed by the method of testing, observation, and documentation. The result showed that the average difference between the value of post-test experimental class 1 and class 2 after the second experiment are given different treatment on the same material. Cognitive learning results were obtained from the pretest and posttest each class experiment. Results showed an increase of pretest and posttest scores in both the experimental class with an average value pretest experiment class 1 (MEA) 34 increased to 74 in the posttest and experimental class 2 (REACT) 39 increased to 84.97. Based on the results of this study, it can be concluded that the implementation of MEA and REACT learning models can improve learning outcomes of students. Student learning outcomes in the cognitive aspects of chemistry REACT was better than by MEA.
Keywords: learning model, material redox reactions, MEA, REACT
PENDAHULUAN
Mata pelajaran kimia sebagai salah
satu rumpun Ilmu Pengetahuan Alam
menuntut siswa berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran. Farid (2013) menyatakan
bahwa pembelajaran kimia menekankan
pada cara siswa menguasai konsep-konsep
dan bukan menghafal fakta satu sama lain.
Konsep-konsep kimia mempunyai tingkat
1432 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1431-1439
generalisasi dan abstraksi tinggi yang
menyebabkan siswa dapat mengalami
kesukaran dalam penguasaan. Mereka
cenderung lebih memilih untuk menghafal
daripada memahami konsep-konsep kimia
tersebut. Hal tersebut tentunya menjadi tidak
efektif karena kimia bukanlah untuk
dihafalkan melainkan untuk dipahami.
Perlunya pemahaman yang lebih membuat
kimia tidak begitu disukai oleh siswa.
Faktor guru dan cara mengajarnya
merupakan faktor yang penting. Bagaimana
sikap dan kepribadian guru, tinggi dan
rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru,
serta bagaimana cara guru itu mengajarkan
pengetahuan itu kepada siswanya, turut
menentukan bagaimana hasil belajar yang
dapat dicapai siswa.
Ilmu kimia mempunyai peranan
penting dalam menyelesaikan beberapa
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
antara lain masalah lingkungan hidup,
keterbatasan energi, kesehatan, dan
sebagainya. Oleh karena itu, pembelajaran
di kelas hendaknya tidak hanya
menitikberatkan pada penguasaan materi
untuk menyelesaikan secara matematis,
tetapi juga mengaitkan bagaimana siswa
mengenali permasalahan kimia dalam
kehidupannya dan bagaimana memecahkan
permasalahan tersebut dengan
pengetahuan yang diperoleh di sekolah.
Model pembelajaran konstektual
dan kooperatif dinilai sesuai untuk
diterapkan dalam pembelajaran kimia.
Contoh model pembelajaran kooperatif
adalah Model Eliciting Activities (MEA), yaitu
model pembelajaran untuk memahami,
menjelaskan, dan mengkomunikasikan
konsep-konsep yang terkandung dalam
suatu sajian permasalahan melalui
pemodelan (Rusyida, 2013).
Salah satu contoh model
pembelajaran konsteksual adalah REACT.
Strategi REACT dijabarkan oleh Crawford
(2001), bahwasannya ada lima strategi yang
harus tampak yaitu: Relating, Experiencing,
Applying, Cooperating, Transferring.
Relating (mengaitkan) adalah pembelajaran
dengan mengaitkan materi yang sedang
dipelajari dengan konteks pengalaman
kehidupan nyata atau pengetahuan yang
sebelumnya. Experiencing (mengalami)
merupakan pembelajaran yang membuat
siswa belajar dengan melakukan kegiatan
(learning by doing) melalui eksplorasi,
penemuan, pencarian, aktivitas pemecahan
masalah, dan laboratorium. Applying
(menerapkan) adalah belajar dengan
menerapkan konsep-konsep yang telah
dipelajari untuk digunakan, dengan
memberikan latihan-latihan yang realistik
dan relevan. Cooperating (bekerjasama)
adalah pembelajaran dengan
mengkondisikan siswa agar bekerja sama,
sharing, merespon dan berkomunikasi
dengan para pembelajar yang lainnya.
Kemudian Transferring (mentransfer)
adalah pembelajaran yang mendorong
siswa belajar menggunakan pengetahuan
yang telah dipelajarinya ke dalam konteks
atau situasi baru yang belum dipelajari di
kelas berdasarkan pemahaman. Selain itu
Ultay dan Calik (2011) menyatakan bahwa
strategi REACT merupakan strategi yang
sudah populer di Turki. Strategi ini banyak
diterapkan oleh guru-guru dalam pelajaran
Fisika maupun Kimia. Strategi REACT terdiri
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi, Penerapan Model Pembelajaran…. 1433
dari lima aspek Relating, Experiencing,
Appliying, Colaborating, dan Transferring.
Hanya saja sedikit berbeda dalam
Colaborating tetapi artinya sama dengan
Cooperating yaitu bekerjasama.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah ada peningkatan rata-rata
hasil belajar siswa dengan model
pembelajaran MEA dan REACT dan hasil
mana yang lebih baik diantara keduanya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui adanya peningkatan hasil
belajar siswa yang diberi pembelajaran MEA
dengan REACT pada materi pokok reaksi
oksidasi reduksi, dan untuk mengetahui
hasil mana yang lebih baik diantara
keduanya model tersebut.
METODE
Penelitian dilakukan di suatu SMA
Negeri di Pekalongan pada materi reaksi
oksidasi reduksi. Desain penelitian adalah
pretest-posttest group design yaitu desain
penelitian dengan melihat perbedaan pretest
dan posttest antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol (Sugiyono, 2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X
IPA SMA tersebut tahun ajaran 2013/2014.
Kelas X MIPA 3 merupakan kelas
eksperimen 1 dan kelas X MIPA 4
merupakan kelas eksperimen 2 yang diambil
dengan teknik cluster random sampling.
Variabel bebas penelitian ini adalah model
pembelajaran dan variabel terikatnya adalah
hasil belajar siswa. Kelas eksperimen 1
menggunakan model pembelajaran MEA
sedangkan kelas eksperimen 2
menggunakan model pembelajaran REACT.
Metode pengumpulan data di-
lakukan dengan metode tes, observasi, dan
dokumentasi. Bentuk instrumen yang
digunakan berupa soal tes, lembar
observasi, serta perangkat pembelajaran
yang meliputi silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, dan bahan ajar.
Analisis data yang digunakan
terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap awal
dan tahap akhir. Analisis tahap awal meliputi
uji normalitas dan homogenitas yang
digunakan untuk melihat kondisi awal
penelitian sebagai pertimbangan dalam
pengambilan sampel dan analisis uji coba
soal untuk menentukan soal yang layak
digunakan dalam pre-test dan post-test.
Analisis tahap akhir yaitu analisis
peningkatan hasil belajar Peningkatan hasil
belajar diukur dengan uji t-test (Sugiyono,
2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini merupakan data
hasil belajar terhadap proses pembelajaran
dengan model MEA dan REACT materi
reaksi redoks. Hasil belajar yang didapatkan
dalam penelitian ini meliputi hasil belajar
pada ranah psikomotorik dan kognitif.
Data hasil belajar ranah psiko-
motorik didapatkan pada pada kegiatan
praktikum yang meliputi delapan aspek. Tiap
aspek dianalisis secara deskriptif untuk
mengetahui aspek mana yang dimiliki siswa
dan yang perlu dikembangkan. Hasil belajar
ranah psikomotorik kegiatan praktikum
meliputi delapan aspek yang disajikan
dalam Tabel 1.
1434 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1431-1439
Tabel 1. Skor rerata aspek psikomotorik kegiatan praktikum
Tabel 1 menunjukkan bahwa 6 dari 8
aspek yang ada pada kelas eksperimen 2
lebih tinggi dibanding kelas eksperimen 1,
yang mana kelas eksperimen 1 meng-
gunakan pembelajaran REACT sedangkan
kelas eksperimen 2 menggunakan moddel
pembelajaran MEA. Enam aspek tersebut
adalah kepemimpinan, diskusi, bekerja-
sama, keterampilan praktikum, ketepatan
hasil praktikum, dan pembuatan laporan
sementara. Pada kelas eksperimen 1
sebanyak 17 dari 32 siswa memperoleh skor
dengan kriteria sangat baik, sedangkan
pada kelas eksperimen 2 sebanyak 19 dari
30 siswa memperoleh skor dengan kriteria
sangat baik. Artinya kegiatan praktikum
membantu siswa dalam pembelajaran. Farid
(2013) menyatakan bahwa kegiatan
praktikum dapat lebih efektif membantu
siswa membangun pengetahuan, mengem-
bangkan kemampuan logika dan
kemampuan memecahkan masalah dengan
baik. Adanya praktikum membantu siswa
lebih dapat memahami materi yang mereka
pelajari karena mereka mendapatkan
pengalaman secara langsung (Kurnianto et
al, 2010). Pengalaman langsung dalam
pembelajaran kimia dapat diperoleh melalui
kegiatan laboratorium dan pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari, situasi
pembelajaran seperti ini akan menantang
siswa untuk memecahkan permasalahan
(Dwijayanti dan Yulianti, 2010). Kegiatan
praktikum dengan strategi REACT pada
dasarnya berorientasi pada investigasi dan
penemuan, sehingga output yang dihasilkan
merupakan suatu pemecahan masalah dari
masalah yang ditemukan oleh siswa (Baser
dan Durmus, 2010).
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa
skor aspek diskusi pada kelas eksperimen 1
adalah 3,34 sedangkan pada kelas
eksperimen 2 adalah 3,76, artinya kelas
eksperimen 2 lebih unggul pada aspek
diskusi. Aspek diskusi pada pembelajaran
REACT menekankan pada faktor
transferring. Transferring artinya mem-
pelajari sesuatu dalam konteks
pengetahuan yang telah ada, menggunakan
dan memperluas apa yang telah diketahui.
Transferring juga bermakna
menghubungkan apa yang sudah dipelajari
siswa atau apa yang sudah diketahui siswa
secara konteks. Crawford (2001)
mendefinisikan transferring sebagai
penggunaan pengetahuan dalam konteks
yang baru. Dalam proses pembelajaran,
transfer atau pemindahan pengetahuan
jarang terjadi karena siswa tidak berminat
mengaitkan dan mengaplikasikan konsep
Aspek Eksperimen 1 Eksperimen 2
Kepemimpinan 3,45 3,56 Diskusi 3,34 3,76 Bekerjasama 3,68 3,84 Keterampilan praktikum 3,7 3,8 Ketepatan hasil praktikum 3,46 3,81 Pembuatan laporan sementara 3,68 3,7 Kebersihan tempat dan alat Keseriusan
3,8 3,53
3,54 3,51
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi, Penerapan Model Pembelajaran…. 1435
yang mereka miliki dalam konteks
pembelajaran yang lain. Untuk mencapai
pemahaman yang mendalam diperlukan
kemampuan berpikir dan kemampuan
memindahkan pengetahuan. Pemindahan
merupakan alat pemusatan daya pikir. Jadi,
siswa membutuhkan kemahiran berpikir
supaya mereka mampu memindahan
sesuatu. Peran guru perlu diperluas dengan
membuat bermacam-macam pengalaman
belajar dengan fokus pada pemahaman
bukan pada hafalan. Jika siswa telah
mampu memindahkan dan mengaplikasikan
pengetahuannya dalam kehidupan sehari-
hari maka dapat dikatakan siswa tersebut
telah memiliki pemahaman yang mendalam.
Aspek bekerjasama (Tabel 1) pada
kelas eksperimen 2 lebih unggul dibanding
kelas eksperimen 1 yaitu dengan skor 3,84
dari 3,68. Aspek bekerjasama pada
pembelajaran REACT menekankan pada
faktor cooperating. Kelas eksperimen 2
sudah terbiasa untuk belajar secara
kooperatif. Siswa yang bekerja secara
individu dalam memecahkan suatu
permasalahan sering tidak menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Terkadang
siswa merasa bingung kecuali jika guru
memberikan petunjuk penyelesaian langkah
demi langkah. Sebaliknya, siswa yang
bekerja secara kelompok sering dapat
mengatasi masalah yang kompleks dengan
sedikit bantuan. Melalui cooperating siswa
lebih terdorong untuk memecahkan
berbagai permasalahan dalam
pembelajaran karena siswa dapat
bekerjasama dengan siswa lainnya dalam
memecahkan masalah pada materi
pelajaran yang ditemukan (Nopiyanita,
2013). Pembelajaran dengan metode
kooperatif dapat meningkatkan aktivitas,
interaksi, motivasi dan prestasi belajar
dalam pembelajaran kimia (Fajri,
2012).Pengalaman kerjasama tidak hanya
membantu siswa mempelajari bahan ajar,
tetapi konsisten dengan dunia nyata.
Bekerja dengan teman sebaya dalam
kelompok kecil akan meningkatkan kesiapan
siswa dalam menjelaskan pemahaman
konsep dan menyarankan pendekatan
pemecahan masalah bagi kelompoknya.
Dengan mendengarkan pendapat orang lain
dalam satu kelompok, siswa akan
mengevaluasi kembali dan
memformulasikan pemahaman konsep.
Siswa akan belajar menilai pendapat orang
lain karena terkadang perbedaan strategi
yang digunakan akan menghasilkan
pemecahan masalah yang lebih baik. Ketika
sebuah kelompok berhasil mencapai tujuan,
maka anggota kelompoknya akan
memperoleh kepercayaan dan motivasi diri
yang tinggi.
Tabel 1 memperlihatkan skor aspek
keterampilan praktikum kelas eksperimen 2
lebih tinggi dari kelas eksperimen 2 yaitu 3,8
dari 3,7. Aspek keterampilan praktikum pada
pembelajaran REACT menekankan pada
faktor applying. Applying artinya suatu tahap
pembelajaran bagaimana menempatkan
suatu konsep untuk digunakan. Guru tidak
perlu mentransfer semua pengetahuan
kepada siswa tetapi mengajak siswa untuk
berpikir dan mencari jawaban sendiri atas
permasalahan yang diberikan oleh guru
maupun siswa itu sendiri. Cara demikian
akan melatih kemahiran aplikasi dan cara
penyelesaian masalah. Dalam pembelajar-
1436 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1431-1439
an kimia, latihan soal tidak hanya diperoleh
melalui buku teks atau LKS saja melainkan
juga dari aktivitas hidup keseharian. Jadi
guru harus mampu memotivasi siswa dalam
memahami konsep melalui pemberian
latihan soal yang sifatnya realistik dan
relevan dengan keseharian. Gambaran
proses pembelajaran dengan strategi
REACT dapat memberikan pengalaman
yang kaya kepada siswa. Pengalaman yang
disediakan oleh guru dapat meningkatkan
pemahaman siswa tentang sesuatu yang
mereka pelajari, sehingga mereka
diharapkan dapat menerapkan pada kondisi
nyata dalam kehidupan sehari-hari
(Ismawati, 2010).
Aspek ketepatan hasil praktikum
(Tabel 1) skor kelas eksperimen 2 lebih
tinggi dari kelas eksperimen 1 yaitu 3,81 dari
3,46 . Aspek ketepatan hasil praktikum pada
kelas eksperimen 2 menekankan pada
faktor relating dan experiencing. Relating
yaitu menghubungkan pengetahuan yang
sudah ada atau menghubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Crawford (2001)
menyatakan bahwa dalam proses
pembelajaran harus dimulai dengan
pertanyaan dan fenomena-fenomena yang
menarik dan akrab bagi siswa, bukan
dengan hal-hal yang sifatnya abstrak dan di
luar jangkauan persepsi, pemahaman, dan
pengetahuan siswa. Suatu pembelajaran
akan lebih bermakna jika siswa mengalami
secara langsung dibandingkan hanya
membayangkan saja dari penjelasan guru.
Siswa lebih tertarik untuk mengikuti
pembelajaran saat diberikan suatu
permasalahan yang disesuaikan dengan
kehidupan sehari-hari dan lebih teratarik
karena adanya praktikum (Arum, 2012).
Sedangkan experiencing (mengalami)
mempunyai arti learning by doing atau
belajar melalui eksplorasi, penemuan, dan
penciptaan (Crawford, 2001) . Aktivitas
experiencing di dalam kelas dapat berupa
kegiatan memanipulasi peralatan,
pemecahan masalah, dan kegiatan di
laboratorium. Aktivitas lain juga diberikan
seperti eksperimen, diskusi dalam
kelompok, latihan, dan tugas rumah. Belajar
akan lebih bermakna jika siswa mengalami
apa yang dipelajarinya tidak hanya
mengetahuinya saja (Hasnawati, 2006).
Siswa akan lebih siap belajar apabila
mereka disajikan sesuatu yang sifatnya
nyata dan mampu ditangkap secara visual,
auditori, dan kinestetik. Salah satu strategi
yang dapat digunakan untuk mewujudkan
hal ini adalah melalui aktivitas experience.
Aktivitas experience akan mengembangkan
kesiapan siswa untuk memahami konsep-
konsep yang sifatnya abstrak.
Pada uji ketuntasan belajar siswa
didapatkan hasil bahwa kelas eksperimen 1
dan kelas eksperimen 2 telah mencapai
ketuntasan belajar dengan didasarkan pada
KKM yang ditetapkan di SMA tersebut. KKM
yang ditetapkan pada mata pelajaran kimia
adalah 75. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa penerapan model pembelajaran MEA
dan REACT dapat membuat rata-rata nilai
siswa mencapai KKM. Hal ini sesuai dengan
penelitian Rusyida (2013) tentang
penerapan model pembelajaran MEA yang
juga telah mencapai KKM yaitu 80 pada
mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1
Ungaran. Pada kelas eksperimen 1,
sebanyak 24 dari 32 siswa tuntas KKM.
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi, Penerapan Model Pembelajaran…. 1437
Sedangkan pada kelas eksperimen 2,
sebanyak 27 dari 30 siswa juga tuntas KKM.
Hal ini menunjukkan proporsi ketuntasan
klasikal kelas eksperimen 1 lebih tinggi
dibanding kelas eksperimen 2.
Hasil rata-rata pretest dan posttest
pada dua kelas eksperimen ditunjukkan
pada Gambar 1. Nilai rata-rata pretest kelas
eksperimen 1 dengan penerapan model
pembelajaran MEA dan kelas eksperimen 2
dengan model pembelajaran REACT
menunjukkan hasil yang hampir sama (tidak
berbeda secara signifikan), sedangkan nilai
rata-rata posttest kelas eksperimen 2 lebih
tinggi daripada kelas eksperimen 1
Gambar 1. Hasil pretest dan posttest pada dua kelas eksperimen
Gambar 1 menunjukkan adanya
perbedaan rata-rata nilai antara kelas
eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2,
dengan perbedaan nilai rata-rata posttest
sebesar 7,25. Hal ini berarti terdapat
perbedaan peningkatan hasil belajar setelah
diberikan pembelajaran menggunakan
model yang berbeda. Perbedaan
peningkatan antara kelas eksperimen 1 dan
kelas eksperimen 2 disebabkan
pembelajaran pada kelas eksperimen 1
menggunakan model pembelajaran MEA
dan kelas eksperimen 2 menggunakan
model pembelajaran REACT.
Berdasarkan hasil belajar
psikomotor (Tabel 1) dan hasil belajar
kognitif (Gambar 1) dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaran
REACT pada kelas eksperimen 2 lebih
efektif untuk meningkatkan hasil belajar
siswa dibanding dengan penerapan model
pembelajaran MEA pada kelas eksperimen
1. Yuniawatika (2011) menyatakan
pembelajaran dengan strategi REACT
menunjukkan peran yang berarti dalam
meningkatkan kemampuan koneksi dan
repesentasi matematik.
Dalam pembelajaran
startegi REACT, fokus
kegiatan belajar se-
penuhnya berada pada
siswa yaitu berpikir
menemukan solusi dari
suatu masalah termasuk
proses untuk me-
mahami suatu konsep
dan prosedur. Keber-
hasilan pembelajaran dengan strategi
REACT terjadi karena pada pembelajaran
siswa terstimulus secara aktif, sehingga
kemampuan siswa berkembang dan terus
meningkat. Temuan ini sesuai dengan
pernyataan Crawford (2001) yang
menyatakan bahwa strategi REACT memiliki
kelebihan antara lain dapat memperdalam
pemahaman siswa serta membuat belajar
menyeluruh dan menyenangkan. Pada
penggunaan model pembelajaran REACT
peran aktif guru lebih banyak daripada di
kelas eksperimen 1 (MEA) hanya saja tetap
1438 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1431-1439
mengutamakan sifat student centered. Guru
tidak menjelaskan secara panjang lebar
seperti pada model konvensial ceramah
akan tetapi guru lebih suka memancing
penjelasan materi dengan cara mengaitkan
pada kehidupan sehari-hari atau pada
pengetahuan yang sudah diperoleh
sebelumnya (Relating), mengaitkan pada
kejadian yang dialami oleh siswa atau
nantinya siswa akan mengalami dalam
praktium misalnya (Experiencing), kemudian
dari pengetahuan yang siswa peroleh,
diharapkan siswa dapat mengaplikasikan
dalam kehidupan (Applying), siswa
melaksanakan kegiatan dengan cara
bekerjasama (Cooperating) dan siswa saling
berbagi informasi atau pengetahuan dengan
sesamanya (Transferring).
Berdasarkan hasil belajar
psikomotor, hasil belajar kognitif dan
ketuntasan klasikal, maka pembelajaran
REACT lebih berhasil daripada
pembelajaran MEA. Pemilihan model
pembelajaran merupakan suatu hal yang
penting untuk menentukan kualitas
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
karakteristik Contextual Teaching Learning
yang menghubungkan pembelajaran
dengan kehidupan sehari-hari sehingga
siswa dapat memaknai tentang yang
dipelajari, bukan hanya mengetahui. Strategi
pembelajaran REACT dapat membantu
siswa menemukan konsepnya sendiri,
bekerjasama, dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari sehingga dalam
pelaksanaannya selalu menghadirkan
fenomena-fenomena alam atau lingkungan
yang dapat dengan mudah ditemui oleh
siswa (Yuliati, 2008). Pembelajaran dengan
strategi REACT terbukti dapat meningkatkan
motivasi siswa dalam pembelajaran
sehingga siswa menjadi lebih aktif dalam
kegiatan belajar mengajar (Mulyasa, 2006).
Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian
yang sudah dikembangkan sebelumnya,
antara lain Marthen (2010) menyatakan
kemampuan matematis siswa sekolah
peringkat tinggi, sedang dan rendah dengan
model pembelajaran REACT lebih tinggi
daripada siswa yang belajarnya
konvensional. Ismawati (2010) juga
menyatakan rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen setelah diberi perlakuan yaitu
pembelajaran inkuiri berstrategi REACT
lebih baik dari kelas kontrol (tanpa
pmbelajaran inkuiri berstrategi REACT).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama ada perbedaan rata-rata hasil
belajar kimia yang signifikan antara kelas
yang diberi pembelajaran MEA dan
pembelajaran REACT. Kedua Hasil belajar
kimia yang diberi pembelajaran REACT
terbukti lebih baik dibandingkan yang diberi
pembelajaran MEA.
DAFTAR PUSTAKA
Arum, W.F., 2012, Penerapan Model Pembelajaran CLIS dengan Metode Eksperimen dalam Pembelajaran Fisika di Kelas VIII SMP, Jurnal Pembelajaran Fisika, Vol 1, No 2, Hal: 138-144.
Fitriya Karima* dan Kasmadi Imam Supardi, Penerapan Model Pembelajaran…. 1439
Baser, M. dan Durmus, S., 2010, The Effectiveness of Computer Supported Versus Real Laboratory Inquiry Learning Environments on Understanding of Direct Current Electricity Among Pre-Service Elementary School Teachers, Eurasia Journal of Mathematics, Sciense dan Technology Education, Vol
6, No 1, Hal: 47-61.
Crawford, L.M., 2001, Teaching Contextually: Research, Rationale, And Tachniques for Improving Student Motivation and Achievment in Mathematics and Sciences, Texas: CCI Publishing, INC.
Dwijayanti, P. dan Yulianti, P., 2010, Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa melalui Pembelajaran Problem Based Instruction pada Mata Kuliah Fisika Lingkungan, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 6, No 1, Hal: 108-114.
Farid, A., 2013, Pengaruh Penerapan Strategi REACT terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI, Chemistry in Education, Vol 3,
No 1, Hal: 36-42.
Fajri, L., 2012, Upaya Peningkatan Proses dan Hasil Belajar Kimia Materi Koloid melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Dilengkapi dengan TTS bagi Siswa Kelas XI IPA 4 SMA Negeri 2 Boyolali Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012, Jurnal Pendidikan
Kimia, Vol 1, No 1, Hal: 89-96.
Hasnawati, 2006, Pendekatan Contextual Teaching Learning Hubungannya dengan Evaluasi Pembelajaran, Jurnal Ekonomi dan Pendidikan,
Vol 3, No 1, Hal: 53-62.
Ismawati, R., 2010, Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Berstrategi REACT terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Semarang, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
Kurnianto, Dwijayanti, dan Khumaedi, 2010, Pengembangan Kemampuan Menyimpulkan dan Mengkomunikasikan Konsep
Fisika melalui Kegiatan Praktikum Fisika Sederhana, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 6, No 1, Hal: 6-9.
Marthen, T., 2010, Pembelajaran melalui Pendekatan REACT Meningkatkan Kemampuan Matematis Siswa SMP, Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol 11, No
2, Hal: 129-141.
Mulyasa, 2006 , Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nopiyanita, T., 2013, Penerapan Model Pembelajaran Teams Game Tournament (TGT) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Kimia dan Kreativitas Siswa pada Materi Reaksi Redoks Kelas X Semester Genap SMA Negeri 3 Sukoharjo Tahun Ajaran 2012/2013, Jurnal Pendidikan Kimia, Vol 2, No 4, Hal:
135-141.
Rusyida, W.Y., 2013, Komparasi Model Pembelajaran CTL dan MEA terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Lingkaran, UNNES Journal of Mathematic Education, Vol 2, No 1, Hal: 1-7.
Sugiyono, 2010, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta.
Ultay, N. dan Calik, M., 2011, Distinguishing 5E Model from REACT Strategy an Example of Acids and Bases Topic, Necatibey Faculty of Education Electronic Journal of Science and Mathematics Education, Vol 5, No 2, Hal: 199-
220.
Yuliati, L., 2008, Model-Model Pembelajaran Fisika “Teori Dan Praktek”, Malang: LP3 Universitas Negeri Malang.
Yuniawatika, 2011, Penerapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Representasi Matematika Siswa Sekolah Dasar, Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Vol 1, No
1, Hal: 107-120.
1440 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1440-1449
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBANTUAN FLASH INTERAKTIF TERHADAP HASIL BELAJAR
Siti Nursiami* dan Soeprodjo
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035
E-mail: amimi15@yahoo.com
ABSTRAK
Creative Problem Solving (CPS) merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat
pada keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan kreativitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model pembelajaran Creative Problem Solving berbantuan flash interaktif efektif bila diterapkan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dengan populasi seluruh siswa kelas XI IPA di suatu SMA N di kota Magelang tahun pelajaran 2013/2014. Teknik sampling menggunakan cluster random sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, tes, observasi, dan angket. Uji yang digunakan untuk menganalisis data adalah uji perbedaan dua rata-rata, uji ketuntasan klasikal, dan uji estimasi rata-rata hasil belajar kognitif. Hasil uji perbedaan dua rata-rata dua pihak menunjukkan adanya perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji ketuntasan belajar kelas eksperimen mencapai ketuntasan belajar (individual dan klasikal) sedangkan kelas kontrol belum mencapai ketuntasan klasikal. Hasil uji estimasi rata-rata menunjukkan rata-rata hasil belajar kelas eksperimen dari 86,25 sampai 87,35 dan kelas kontrol dari 81,45 sampai 82,55 sehingga bisa disimpulkan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving terbukti efektif diterapkan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Kata kunci: creative problem solving, flash interaktif, hasil belajar
ABSTRACT
Creative Problem Solving (CPS) is a learning model that is centered on problem solving skills, followed by strengthening creativity. The purpose of this study was to determine whether the Creative Problem Solving learning model-assisted interactive flash effectively can be applied to the material solubility and solubility product. This research is experimental research with the entire population of students of class XI IPA at a high school in Magelang in 2013/2014 school year. Sampling techniques used cluster random sampling. Collecting data in this study used the methods of documentation, testing, observation, and questionnaires. The test is used to analyze the data are two average value test, mastery learning classical test, and the estimated average test results of cognitive learning. The result of the two average value indicated the differences between experimental group and control group. The result of the test was obtained that experiment group achieved the learning completeness (individual and classical) while control group had not achieved classical completeness yet. The result of the estimation of average treatments showed experimental group of the average of the test result was 86,25 until 87,35 and control group was 81,45 until 82,55 so it can be concluded that the learning model Creative Problem Solving has been effectively applied to the material solubility and solubility product.
Keywords: creative problem solving, interactive flash, learning outcomes
PENDAHULUAN
Kimia merupakan pelajaran yang
erat hubungannya dengan lingkungan yang
dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan
sehari-hari. Siswa yang belajar kimia
diharapkan akan memberikan output yang
baik bagi masyarakat, dalam hal ini dapat
Siti Nursiami* dan Soeprodjo, Keefektifan Model Pembelajaran Creative …. 1441
dikatakan dengan berhasilnya siswa
menyelesaikan kewajibannya adalah belajar
dengan menghasilkan hasil secara
maksimal. Guru, kurikulum, siswa, sarana
dan prasarana serta strategi atau model
balajar mengajar adalah faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa (Sutikno,
2010). Salah satu faktor yang utama yang
menentukan apakah siswa akan berminat
dan termotivasi untuk belajar adalah faktor
yang berasal dari guru sendiri (Aritonang,
2008) dan salah satu faktor penyebab siswa
sulit menerima materi yang diajarkan adalah
kurang variatifnya model pembelajaran yang
dilakukan oleh guru (Nurhadi, 2004).
Dari semua materi yang ada dalam
mata pelajaran kimia terdapat materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan yang
tergolong materi yang cukup sulit. Sebuah
SMA di Magelang memiliki output yang
belum maksimal pada materi ini. Beberapa
faktor yang menyebabkan belum
maksimalnya hasil belajar siswa antara lain
kurangnya pemahaman tentang penulisan
rumus kimia, reaksi ionisasi dan
stoikiometriya.
Dalam hal ini perlu adanya
peningkatan pembelajaran kimia di SMA
dalam pemahaman siswa terhadap materi
serta aplikasinya di masyarakat. Sejalan
dengan perkembangan teknologi di bidang
pendidikan banyak dikembangkan model-
model pembelajaran, salah satunya adalah
model pembelajaran Creative Problem
Solving (CPS). Model CPS adalah suatu
model pembelajaran yang berpusat pada
keterampilan pemecahan masalah yang
diikuti dengan penguatan kreativitas
(Rosalin, 2008). Ketika dihadapkan dengan
suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan
keterampilan memecahkan masalah untuk
memilih dan mengembangkan tanggapan-
nya. Tidak hanya dengan cara menghafal
tanpa dipikir, keterampilan memecahkan
masalah memperluas proses berpikir.
Siswa dalam menerima materi
pembelajaran memerlukan suatu alat bantu
yang dapat digunakan pada kegiatan belajar
mengajar. Alat bantu yang dimaksud ialah
media pembelajaran. Media pembelajaran
semakin mendapat sorotan dalam dunia
pendidikan di Indonesia karena perannya
yang sangat penting dalam keberhasilan
siswa. Keberhasilan menggunakan media
dalam proses pembelajaran akan menentu-
kan hasil belajar, antara lain tergantung
pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan
pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan
(Sutjiono, 2005).
Komunikasi yang tidak berjalan
dengan baik, menyebabkan pesan yang
disampaikan oleh guru sulit dipahami oleh
siswa. Sebaliknya, apabila komunikasi
berjalan efektif dan efisien, maka semakin
banyak tujuan pembelajaran tercapai.
Dalam komunikasi dibutuhkan media yang
dapat menyampaikan pesan. Model pem-
belajaran flash interaktif dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif untuk me-
nyampaikan pesan (guru) kepada penerima
pesan (siswa) (Fatkurrohman, 2012).
Flash Interaktif merupakan aplikasi
multimedia interaktif. Multimedia merupakan
gabungan antara berbagai media seperti
teks grafik, bunyi, animasi dan video yang
dikirim dan dikendalikan dengan program
komputer (dalam satu software digital) serta
mempunyai kemampuan interaktif untuk
1442 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1440-1449
menjadi salah satu alternatif yang baik
sebagai alat bantu dalam pembelajaran.
Menurut pengertian ini, multimedia interaktif
digambarkan sebagai multimedia non linear
yang memberikan kendali kepada pemakai
daripada komputer. Sehingga terjadi
interaksi atau hubungan timbal balik antara
pengguna dengan seluruh program isi
materi yang ada di dalamnya (Arsyad,
2009).
Putri (2010) dalam penelitiannya
tentang pengaruh artikel kimia terhadap
model pembelajaran CPS memperoleh
kontribusi sebesar 32,87% terhadap hasil
belajar kimia siswa. Sama halnya dengan
keberhasilan penelitian yang dilakukan
Sudiran (2012) tentang penerapan model
pembelajaran CPS memperoleh
peningkatan hasil belajar pada siklus
pertama sebesar 36,84% dan siklus kedua
sebesar 81,58%. Kusumawati, et al., (2012)
melakukan penelitian tentang implementasi
peer tutoring berbantuan compact disc
dalam bentuk flash interaktif pembelajaran
memberikan pengaruh sebesar 81,72%
terhadap hasil belajar siswa. Kontribusi
sebesar 75,4% dalam penelitian yang
dilakukan Solikhakh, et al., (2012) tentang
pengembangan perangkat pembelajaran
dalam kemasan compact disc (flash
interaktif) pembelajaran berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Keberhasilan
penelitian di atas memberikan kontribusi
gagasan untuk menerapkan model
pembelajaran dengan bantuan media
tersebut sebagai bahan penelitian yang
dilaksanakan.
Permasalahan yang dihadapi dalam
penelitian ini adalah apakah model
pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif efektif terhadap hasil belajar siswa
pada pembelajaran materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan. Sedangkan tujuan yang
ingin dicapai peneliti adalah untuk
mengetahui keefektifan model pembelajaran
CPS berbantuan flash interaktif terhadap
hasil belajar siswa pada materi kelarutan
dan hasil kali kelarutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dengan desain yang digunakan
adalah pretest-posttest group design yang
merupakan penelitian yang diamati dengan
melihat perbedaan pretest dan posttest
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Kelas XI IPA 3 merupakan kelas eksperimen
dan kelas XI IPA 4 sebagai kelas kontrol
yang diambil berdasarkan teknik cluster
random sampling yaitu pengambilan dua
kelas secara acak dari populasi bersyarat,
yaitu populasi harus bersifat normal dan
memiliki homogenitas yang sama. Kelas
eksperimen diberi pembelajaran
menggunakan model pembelajaran Creative
Problem Solving (CPS) berbantuan flash
interaktif sementara kelas kontrol diberikan
pembelajaran menggunakan metode
ceramah dan diskusi. Desain penelitian
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Desain penelitian pretest-posttest group design
Kelompok Pre test
Perlakuan Post test
Eksperimen
Kontrol
T1
T1
X
Y
T2
T2
Siti Nursiami* dan Soeprodjo, Keefektifan Model Pembelajaran Creative …. 1443
Metode pengumpulan data
dilakukan dengan metode tes, metode
dokumentasi, lembar observasi dan lembar
angket. Bentuk instrumen yang digunakan
adalah soal pretest dan posttest, lembar
observasi afektif, lembar observasi
prikomotorik dan angket tanggapan siswa.
Metode tes digunakan untuk mengetahui
hasil belajar ranah kognitif. Adapun bentuk
soal tes yang digunakan adalah pilihan
ganda sebanyak 25 butir soal yang telah
disusun sesuai dengan indikator
pembelajaran. Soal yang digunakan antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah
sama. Hasil kognitif siswa dianalisis
menggunakan metode statistik parametrik
antara lain normalitas, kesamaan dua
varians, perbedaan dua rata-rata, uji
ketuntasan belajar dan uji estimasi rata-rata.
Sedangkan hasil belajar afektif dan
psikomotorik serta angket tanggapan siswa
dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang diperoleh
sebagai syarat pengambilan sampel
penelitian menggunakan data nilai ulangan
harian kelas XI IPA materi larutan
penyangga menunjukkan bahwa populasi
terbukti berdistribusi normal dan memiliki
tingkat homogenitas yang sama, dibuktikan
dengan hasil analisis χ2
hitung (11,02) kurang
dari χ2kritis (11,07). Analisis kondisi awal
bertujuan untuk membuktikan bahwa antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
berangkat dari kondisi yang sama. Data
yang digunakan adalah nilai pretest. Hasil
analisis menunjukkan kedua kelompok
berdistribusi normal, memiliki varians yang
sama dan tidak ada perbedaan yang
signifikan pada kedua kelas.
Pembelajaran menggunakan model
pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif dilaksanakan dalam lima kali
pertemuan. Adapun hasil penelitian tersebut
dipaparkan dalam tiga ranah yaitu hasil
belajar ranah kognitif, hasil belajar ranah
afektif dan hasil belajar ranah psikomotorik.
Hasil uji ketuntasan belajar menunjukkan
bahwa siswa kelas eksperimen telah
mencapai ketuntasan belajar baik secara
individual maupun klasikal karena terdapat
27 siswa yang lulus dari total 30 siswa
berdasarkan KKM (77). Hasil ini juga
diperkuat dengan analisis uji estimasi rata-
rata hasil belajar kognitif dari 86,25 sampai
87,35 yang artinya bahwa pembelajaran
kelas eksperimen yang menggunakan
model pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif terbukti efektif saat diterapkan
pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Hasil ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Mulyasa (2002) bahwa
keberhasilan kelas dilihat dari jumlah
peserta didik yang mampu menyelesaikan
atau mencapai minimal 65%, sekurang-
kurangnya 85% dari jumlah peserta didik
yang ada di kelas tersebut. Hasil analisis
ketuntasan belajar kelas kontrol lebih
rendah dibanding kelas eksperimen yaitu 19
siswa yang lulus dari total 30 siswa. Hasil
analisis uji estimasi rata-rata hasil belajar
kognitif kelas kontrol dari 81,45 sampai
82,55. Kedua kelas memiliki jarak proporsi
ketuntasan yang lumayan jauh, namun rata-
rata hasil belajar yang dihasilkan tidak jauh
perbedaannya. Hasil rata-rata kelas
1444 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1440-1449
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat
dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Perbandingan rata-rata hasil belajar pretest-posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol
Gambar 1 memperlihatkan perban-
dingan rata-rata hasil belajar pretest dan
posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
ketuntasan belajar siswa kelas eksperimen
lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan
perbedaan yang sangat jauh, namun kedua
kelas mempunyai rata-rata hasil belajar
yang tidak terpaut jauh yaitu kelas
eksperimen sebesar 86,80 dan kelas kontrol
sebesar 82,00. Hal ini dikarenakan
banyaknya siswa kelas kontrol yang belum
mencapai ketuntasan individual dengan nilai
yang hampir memenuhi KKM (77) yaitu 76.
Lebih tingginya hasil belajar yang diperoleh
kelas eksperimen daripada kelas kontrol
menunjukan bahwa penggunaan model
pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif pada proses pembelajaran kelas
eksperimen memberikan output yang lebih
baik dan terbukti lebih efektif bila digunakan
dalam proses belajar mengajar daripada
penerapan metode ceramah dan diskusi
pada proses pembelajaran kelas kontrol.
Pembelajaran matematika menggunakan
model CPS dapat membuat siswa lebih aktif
dan kreatif dalam menciptakan
solusi suatu masalah yang
diberikan. Hal ini senada dengan
pembelajaran pada materi kela-
rutan dan hasil kali kelarutan
yang membutuhkan hitungan
untuk menyelesaikan setiap
masalah. Keaktifan dan kreati-
vitas membantu siswa dalam
memecahkan setiap masalah
dalam materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan dalam pembelajaran mengguna-
kan model CPS. Ekayanti, et al., (2013)
menjelaskan bahwa keaktifan siswa
dimungkinkan jika siswa diberi kesempatan
untuk berpartisipasi atau terlibat dalam
proses pembelajaran. Partisipasi aktif siswa
sangat berpengaruh pada proses
perkembangan berpikir, emosi dan sosial.
Hasil belajar afektif diperoleh
melalui pengamatan terhadap sikap siswa
selama proses pembelajaran berlangsung
dengan pengukuran menggunakan lembar
observasi. Rata-rata hasil belajar afektif
pada kelas eksperimen sebesar 89,83 dan
kelas kontrol sebesar 80,85. Hasil penelitian
rata-rata untuk tiap aspek afektif dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa
hasil observasi hasil belajar afektif kelas
eksperimen lebih baik daripada kelas
kontrol, namun dalam aspek etika dan
sopan santun dalam berkomunikasi
keduanya sama-sama memiliki poin yang
sangat tinggi. Rata-rata nilai seluruh aspek
kelas eksperimen sebesar 4,5 dengan
kriteria sangat tinggi, sedangkan kelas
Siti Nursiami* dan Soeprodjo, Keefektifan Model Pembelajaran Creative …. 1445
kontrol sebesar 4,03 dengan kriteria tinggi.
Kedua kelas mempunyai perbedaan
kuantitatif yaitu besarnya rata-rata aspek
afektif kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol. Hal ini meunjukkan
hasil belajar afektif kelas eksperimen lebih
baik. Hasil analisis rata-rata nilai tiap aspek
disajikan dalam Gambar 2.
Tabel 1. Rata-rata tiap aspek afektif kelas eksperimen dan kelas kontrol
Aspek Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Rata-rata Kriteria Rata-rata Kriteria
Kehadiran Partisipasi aktif dalam pembelajaran Kemampuan bertanya atau mengemukakan pendapat Kelengkapan dan kerapian catatan Perhatian siswa terhadap materi pembelajaran Bekerjasama dengan teman/kelompok saat pembelajaran Etika/sopan santun dalam berkomunikasi Interaksi dengan guru
4,26 4,16 3,87
4,76
4,7
4,43
4,87
4,87
Tinggi Tinggi Tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi Tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi
4,23 3,3 3,76
3,97
4
4,03
4,8
4,13
Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sangat tinggi Tinggi
Gambar 2. Perbandingan rata-rata nilai tiap aspek afektif kelas eksperimen dan kelas kontrol
Gambar 2 memperlihatkan bahwa
rata-rata tiap aspek afektif pada kelas
eksperimen lebih besar daripada kelas
kontrol, namun demikian pada beberapa
aspek yaitu kehadiran siswa, bertanya/
mengemukakan pendapat serta aspek etika/
sopan santun saat pembelajaran, kedua
kelas mempunyai nilai kriteria yang hampir
1446 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1440-1449
sama. Hal ini membuktikan bahwa kedua
kelas tingkat kedisiplinan dan keaktifan yang
hampir sama pula, dimana akan
berpengaruh pada hasil belajar kognitif pula.
Pada aspek lain kelas eksperimen lebih
unggul dengan kriteria sangat tinggi
daripada kriteria tinggi yang dihasilkan kelas
kontrol. Aspek kelengkapan catatan,
perhatian siswa terhadap materi
pembelajaran serta interkasi dengan guru
merupakan tiga aspek yang lebih unggul
pada kelas eksperimen. Sesuai dengan
ketuntasan klasikal hasil belajar yang
diperoleh, tiga aspek tersebut memiliki
peran yang lebih menonjol dibandingkan
aspek lain pada kelas eksperimen secara
umum. Sejalan dengan pendapat Totiana
(2012) siswa yang diajar menggunakan
model CPS memiliki aktivitas belajar lebih
tinggi daripada siswa yang diajar dengan
menggunakan metode konvensional.
Hasil belajar psikomotorik dilihat
saat pelaksanaan praktikum. Praktikum
yang dilaksanakan bertujuan untuk
memprediksi terbentuknya endapan
berdasarkan harga Ksp, dimana praktikum
dilakukan oleh kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Penilaian yang dilakukan saat
melakukan observasi pada kedua kelas
meliputi beberapa aspek diantaranya aspek
persiapan pelaksanaan praktikum,
kepemimpinan, dinamika kelompok,
keterampilan dalam melaksanakan
praktikum, kebersihan dan laporan
praktikum. Setiap aspek dinilai dengan
rentang skor dalam lembar observasi 1
sampai 4. Pengamatan dilakukan oleh
peneliti sendiri dan guru mitra yang
mengajar. Hasil analisis rata-rata nilai tiap
aspek penilaian psikomotorik disajikan
dalam Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan rata-rata nilai tiap aspek psikomotorik kelas eksperimen dan kelas kontrol
Siti Nursiami* dan Soeprodjo, Keefektifan Model Pembelajaran Creative …. 1447
Gambar 3 memperlihatkan bahwa
rata-rata nilai per aspek psikomotorik kelas
eksperimen lebih unggul daripada kelas
kontrol. Namun pada aspek pertama yaitu
pada persiapan pelaksanaan praktikum
kedua kelas hampir memiliki nilai yang sama
hanya terpaut sedikit saja. Hal ini
menunjukkan kedua kelas telah siap untuk
mengikuti praktikum tentang memperkirakan
terbentuknya endapan berdasarkan harga
Ksp. Proses pembelajaran praktikum yang
dilaksanakan pada pertemuan keempat
sebelum diadakannya ulangan harian pada
pertemuan selanjutnya dan lebih
fleksibelnya waktu yang diberikan saat
melakukan praktikum serta rasa penasaran
siswa tentang proses praktikum yang akan
dijalani menjadi alasan utama siswa
antusias mengikuti pembelajaran praktikum.
Kelas eksperimen yang telah diberikan
pembelajaran menggunakan model
pembelajaran CPS dimana model ini
menuntut siswa untuk berpikir kritis dan
kreatif untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan. Dalam mengatasi kesulitan
pelajaran, diharapkan siswa menggunakan
langkah-langkah kreatif dalam memecahkan
masalah. Model pembelajaran yang
digunakan pada kelas eksperimen
berdampak pada hasil belajar psikomotorik
yang lebih maksimal daripada kelas kontrol
yang menggunakan metode pembelajaran
ceramah dan diskusi.
Untuk mengetahui hasil
pembelajaran secara deskriptif maka
dilakukan observasi dengan memberikan
lembar angket pendapat siswa pada kelas
eksperimen dimana terdapat kegiatan
pembelajaran menggunakan model
pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Respon atau tanggapan siswa
terhadap masing-masing pernyataan
dinyatakan dalam 4 kategori, yaitu SS
(sangat setuju) dengan skor 4, S (setuju)
dengan skor 3, TS (tidak setuju) dengan
skor 2 dan STS (sangat tidak setuju) dengan
skor 1. Aspek tanggapan siswa yang
diberikan sebanyak sepuluh yang
menyangkut bagaimana minat dan
tanggapan siswa terhadap model
pembelajaran dan media yang telah
dilaksanakan selama proses pembelajaran.
Hasil analisis deskriptif angket tanggapan
disajikan dalam Gambar 4.
Hasil analisis tanggapan siswa
menunjukkan banyak aspek yang unggul
pada skor kriteria 3 (setuju) pada 6
pernyataan angket. Sedangkan 4
pernyataan yang lain unggul pada skor
kriteria 4 (sangat setuju). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa siswa menyukai
kegiatan pembelajaran dengan model
pembelajaran CPS berbantuan flash
interaktif. Secara keseluruhan dari angket
yang disebar, hasil analisis skor angket
yang didapat sebesar 84,75 yang tergolong
kategori sangat baik. Dari seluruh siswa
yang memberikan tanggapan melalui
angket, sebanyak 13 siswa menyatakan
sangat setuju, 16 siswa menyatakan setuju
dan 1 siswa menyatakan tidak setuju. Hal ini
menunjukkan sekitar 29 siswa dari 30 siswa
menyukai pembelajaran menggunakan
model pembelajaran berbantuan flash
interaktif pada materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan.
1448 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1440-1449
Gambar 4. Hasil angket tanggapan siswa
SIMPULAN
Secara umum pembahasan
menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan model pembelajaran CPS
berbantuan flash interaktif efektif terhadap
hasil belajar siswa kelas XI IPA 3 sebagai
kelas eksperimen pada materi kelarutan
dan hasil kali kelarutan. Hal ini dapat
diketahui dari hasil analisis keefektivan
model pembelajaran terhadap hasil belajar
siswa melalui uji estimasi rata-rata yang
memperoleh nilai rata-rata sebayak 86,25
sampai 87,35.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, K.T., 2008, Minat dan Motivasi
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Jurnal Pendidikan Penabur, Vol 10, No 7, Hal: 11-21.
Arsyad, A., 2009, Media pembelajaran (Cetakan ke-3), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ekayanti, H.B.S. dan Usman R., 2013, Pemanfaatan CD Interaktif sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Siswa pada Pembelajaran Matematika, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol 2, No 11, Hal: 1-14.
Fatkurrohman, F., 2012, Pengembangan Media CD pembelajaran Interaktif Mata Pelajaran Geografi Topik Atmosfer, Jurnal Pendidikan Geografi, Vol 1, No 1, Hal: 6.
Kusumawati, R., Wuryanto, dan Arif A., 2012. Implementasi Peer Tutoring dengan Pendekatan Inquiry Berbantuan CD Pembelajaran terhadap Hasil Belajar. Unnes Journal of Mathematics Education, Vol 1, No 2, Hal: 1-8.
Mulyasa, E., 2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurhadi, 2004, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Malang: Universitas Negeri Malang.
Siti Nursiami* dan Soeprodjo, Keefektifan Model Pembelajaran Creative …. 1449
Putri, I.R dan Kasmadi I.S., 2010, Pengaruh Penggunaan Artikel Kimia dari Internet pada Model Pembelajaran Creative Problem Solving terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa SMA, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 4, No 1, Hal: 574-581.
Rosalin, E., 2008, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual, Bandung: PT Karsa Mandiri Persada.
Solikhakh, R.A., Rismono, dan Waluya, S.B., 2012, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Beracuan Kontruktivisme dalam Kemasan CD Interaktif Kelas VIII Materi Geometrid dan Pengukuran, Unnes Journal of Research Mathematics Education, Vol 1, No 1, Hal: 13-19.
Sudiran, 2012, Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Fisika, Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika, Vol 4, No 1, Hal: 7-12.
Sutikno, S., 2010, Keefektifan Pembelajaran Menggunakan Media Puzzle terhadap Pemahaman IPA Pokok Bahasan Kalor pada Siswa SMP, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 1, No 6, Hal: 123-127.
Sutjiono, T.W.A., 2005, Pendayagunaan Media Pembelajaran, Jurnal Pendidikan Penabur, Vol 4, No 4, Hal: 76-84.
Totiana, F., Elfi S.V.H., dan Redjeki. T., 2012, Efektivitas Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) yang Dilengkapi Media Pembelajaran Laboratorium Virtual terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Koloid Kelas XI IPA Semester Genap SMA Negeri 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2011/2012, Jurnal Pendidikan Kimia, Vol 1, No 1, Hal: 74-79.
1450 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1450-1458
PENINGKATAN KEMAMPUAN CHEMO-ENTREPRENEURSHIP SISWA MELALUI PENERAPAN KONSEP KOLOID YANG BERORIENTASI
LIFE SKILL
Wibi Tegar Lelono* dan Saptorini Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang
Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035 E-mail: bungloncilik13@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan Chemo-
entrepreneurship siswa setelah mendapatkan penerapan konsep koloid yang berorientasi Life Skill. Penelitian ini menggunakan Pretest and Posttest Design dengan pengambilan sampel menggunakan teknik Cluster Random Sampling, yakni kelas XI IPA 5 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 6 sebagai kelas kontrol. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir atau produk. Untuk kelas eksperimen, produk yang dibuat diserahkan sepenuhnya kepada siswa, sedangkan kelas kontrol telah ditentukan oleh guru. Untuk nilai akhir siswa adalah rerata dari nilai posttest, afektif, psikomotor, dan produk. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rerata pretest kelas eksperimen adalah 37,24 dan kelas kontrol 35,03 sedangkan nilai akhir kelas ekperimen adalah 83,25 dan kelas kontrol 80,75. Pengaruh variabel bebas terhadap variabel kontrol sebesar 0,517 dikategorikan sedang. Peningkatan kemampuan chemo-entrepreneurship kelas eksperimen sebesar 57% sedangkan kelas kontrol sebesar 54%. Uji t nilai akhir mendapatkan hasil kemampuan chemo-entrepreneurship kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Simpulan dari penelitian ini adalah penerapan konsep koloid yang berorientasi Life skill dapat meningkatkan kemampuan Cheom-entrepreneurship siswa, dan kemampuan Chemo-entrepreneurship kelas eksperimen meningkat sebesar 57% sedangkan kelas kontrol sebesar 54%.
Kata kunci: chemo-entrepreneurship, koloid, life skill
ABSTRACT
This study aims to determine the increase in the ability of Chemo-entrepreneurship
students after getting the application of the concept of colloid, which is oriented Life Skill. This study used pretest and posttest design with a sampling technique using cluster random sampling, the grade XI science as an experimental class 5 and class 6 as a class XI science of control. This study is divided into three stages: preparation, execution, and the final stage or products. For the experimental class, products made entirely handed over to the students, while the control class has been determined by the teacher. The final value is the average of the grades students posttest, affective, psychomotor, and products. Based on the results, the average value of the experimental class pretest was 37.24 and 35.03 in the control group while the final value of the experimental class are 83.25 and 80.75 in the control class. The influence of independent variables on the control variables were categorized by 0.517. Improving the ability of chemo-entrepreneurship in the experimental class by 57% while the control class is 54%. T test at the end of the value that has been done to get the ability chemo-class entrepreneurship experiment proved to be better than the control class. Conclusions from this research is the application of the concept of colloid, which is oriented Life skills can improve students' ability Cheom-entrepreneurship, and the ability Chemo-entrepreneurship in the experimental class increased by 57% while the control group only 54%.
Keywords: chemo-entrepreneurship, colloids, life skills
Wibi Tegar Lelono* dan Saptorini, Peningkatan Kemampuan Chemo …. 1451
PENDAHULUAN
Ilmu kimia sebagai salah satu mata
pelajaran di SMA yang mempelajari tentang
fenomena alam yang sangat dekat dengan
kehidupan sehari-hari. Namun pada kenya-
taannya justru pelajaran kimia dianggap
sebagai sesuatu hal yang menakutkan oleh
sebagian besar siswa, hal ini ditandai
dengan adanya sikap pasif dalam menerima
materi dan adanya kecenderungan
menghafal bukan untuk memahami maupun
mengaitkan materi yang diperoleh dengan
kehidupan sehari-hari. Oleh karena hal-hal
tersebut, secara langsung maupun tidak
langsung akan menyebabkan rendahnya
kecakapan hidup (life skill) yang dimiliki oleh
siswa (Kusuma, et al., 2009). Padahal untuk
dapat berhasil dalam kehidupan setelah
lulus pendidikan menengah maupun
perguruan tinggi tidak hanya berbekal
selembar kertas ijazah, tetapi harus memiliki
kemampuan memasarkan pengetahuan,
memiliki jiwa entrepreneurship, jujur, dan
kreatif (Sumarti, 2008)
Alasan rasional lainnya tentang
penerapan pembelajaran yang berorientasi
life skill adalah karena pendidikan harus
dikelola secara demand-driven. Artinya,
materi atau konten yang diajarkan kepada
peserta didik merupakan refleksi nilai-nilai
kehidupan nyata yang dihadapinya
(Desmawati, et al., 2009). Sejalan dengan
Soebroto, et al., (2008) yang menyatakan
bahwa metode life skill dalam pembelajaran
merupakan sebuah pembelajaran yang
menghadirkan tema-tema dan masalah ke-
manusiaan, menumbuhkembangkan potensi
manusia secara nyata agar siap hidup
dengan proses yang betul-betul hidup. Hal
ini dikarenakan kecakapan hidup tidak
semata-mata hanya memiliki kemampuan
tertentu saja, namun ia harus memiliki
kemampuan dasar pendukungnya secara
fungsional seperti membaca, menulis,
menghitung, merumuskan dan memecahkan
masalah, mengelola sumber-sumber daya,
bekerja dalam tim atau kelompok, terus
belajar di tempat bekerja, mempergunakan
teknologi dan lain sebagainya (Susiwi,
2007).
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistika (2014) mencatat data pengang-
guran per Februari 2014 didominasi lulusan
SMA. Lulusan SMA yang menganggur
mencapai 9,10% dari total penganggur.
Pengangguran tertinggi kedua di Indonesia
adalah lulusan SMP dengan 7,44%.
Sedangkan lulusan universitas menempati
urutan ketiga dengan 4,31% kemudian
paling sedikit jumlah penganggurannya
adalah lulusan SD dengan 3,69 % dari 7,15
juta orang Indonesia yang menganggur. Hal
ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi
pendidikan tidak menunjukan relevansi
semakin mudah mendapatkan pekerjaan di
negeri ini. Kondisi lain yang perlu
diperhatikan adalah sebagian besar lulusan
sekolah menengah, lebih dari 81% tidak
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi
(Supartono, 2012). Sedangkan berdasarkan
observasi di SMA Negeri 9 Semarang
sekitar 10% alumnusnya tidak melanjutkan
di perguruan tinggi. Sebagian dari mereka
harus masuk ke dunia kerja bagi yang
memenuhi persyaratan dari pemilik
pekerjaan, dan sebagian yang lain harus
belajar ketrampilan tertentu agar kelak dapat
1452 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1450-1458
memperoleh peluang bekerja. Dari data ini
memberi gambaran bahwa sebenarnya
kondisi pendidikan kita membutuhkan suatu
pembelajaran yang berorientasi life skill
untuk meningkatkan kemampuan berwira-
usaha sebagai bekal setelah lulus.
Menurut Kusuma & Siadi (2010)
Salah satu pengembangan konsep CEP
dalam pendidikan kimia antara lain dalam
bentuk life skill pada setiap mata kuliah yang
berpeluang. Dari gagasan tersebut
penerapan konsep kimia SMA juga dirasa
perlu untuk dikaitkan dengan life skill, salah
satu konsep kimia adalah koloid, dari
konsep ini banyak yang dapat dikaji siswa
karena keterkaitannya dalam kehidupan
sehari-hari. Agar dapat meningkatkan ke-
mampuan chemo-entrepreneurship siswa,
pembelajaran harus didesain dan dilaksana-
kan berangkat dari obyek atau fenomena
yang ada disekitar kehidupan peserta didik
yang kemudian dikembangkan ke dalam
konsep koloid. Pembelajaran kimia yang
seperti ini akan lebih menyenangkan dan
memberi kesempatan pada peserta didik
untuk mengoptimalkan potensinya agar
menghasilkan produk. Bila peserta didik
sudah terbiasa dengan kondisi belajar yang
demikian, tidak menutup kemungkinan akan
memotivasi mereka untuk berwirausaha
(Supartono, 2006). Pada penelitian ini ada
batasan untuk kemampuan chemo-
entrepreneurship yaitu hanya sampai pada
tahap produksi.
Rumusan masalah dari penelitian ini
adalah apakah ada peningkatan kemam-
puan chemo-entrepreneurship siswa setelah
mendapat penerapan konsep yang
berorientasi life skill dan berapakah besar
peningkatannya. Tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah mengetahui ada
tidaknya peningkatan kemampuan chemo-
entrepreneurship siswa SMA setelah
mendapatkan penerapan materi pokok
koloid yang berorientasi life skill dan
mengetahui besarnya peningkatan yang
terjadi.
METODE PENELITIAN
Popoluasi dari penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas XI IPA suatu SMA N di
Semarang tahun pelajaran 2013/2014,
sedangkan sampelnya adalah kelas XI IPA
5 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI
IPA 6 sebagai kelas kontrol. Pengambilan
sampel tersebut ditentukan dengan teknik
cluster random sampling dengan mengambil
dua kelas dari enam kelas populasi secara
acak. Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah pembelajaran pada materi koloid
yang berorientasi life skill. Pembelajaran ini
dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap
akhir atau produk. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah peningkatan kemam-
puan chemo-entrepreneurship siswa. Desain
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pretest and posttest design. Penelitian ini
terbagi menjadi 3 tahapan yaitu
perencanaan, pelaksanaan, dan tahap akhir
(Kadarwati, et al., 2010). Untuk kelas
eksperimen produk yang akan dibuat
diserahkan sepenuhnya kepada siswa
sedangkan kelas kontrol telah ditentukan
oleh guru.
Pengumpulan data dilakukan de-
ngan metode dokumentasi, tes, observasi.
Wibi Tegar Lelono* dan Saptorini, Peningkatan Kemampuan Chemo …. 1453
Instrumen penelitian yang digunakan berupa
soal pretest-posttest, lembar observasi
psikomotorik, afektif, dan produk. Analisis
data yang digunakan terbagi dalam dua
tahap, yaitu tahap awal dan tahap akhir.
Analisis tahap awal digunakan untuk melihat
kondisi awal penelitian sebagai pertimbang-
an dalam pengambilan sampel. Analisis
tahap akhir meliputi uji normalitas untuk
menentukan statistika yang akan digunakan,
uji persamaan dua varians, dan uji hipotesis
untuk mengetahui mana yang lebih baik
kelas eksperimen atau kelas kontrol
(Sudjana, 2002), dan analisis pengaruh
antarvariabel untuk mengetahui besarnya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat (Soeprodjo, 2002), dan yang terakhir
adalah menghitung peningkatan kemam-
puan chemo-entrepreneurship masing-
masing kelas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini meliputi data
hasil belajar dari setiap proses yaitu
perencanaan, pembuatan, dan produk. Hasil
belajar yang didapatkan dari setiap
prosesnya adalah kognitif dan afektif pada
tahap persiapan, psikomotorik pada tahap
pelaksanaan, dan terakhir adalah nilai
produk pada tahap akhir. Pada setiap
tahapnya penilaian dilakukan dengan
menggunakan lembar observasi kecuali
untuk menilai kemampuan kognitif yang
menggunakan soal, penyusunan lembar
observasi dan soal sudah disesuaikan
dengan indikator kemampuan chemo-
entreprenurship yaitu kemampuan ber-
inovasi, kemampuan berkreasi, kemampuan
mempunyai ide orisinil, kemampuan
mempunyai daya imajinasi tinggi,
kemampuan memandang sesuatu dari
berbagai sudut pandang, dan kemampuan
menganalisis data (Lestari, 2009). Untuk
jenis soal yang dipakai adalah uraian
dengan kemungkinan banyak jawaban. Soal
uraian sengaja dipilih karena melihat
indikator kemampuan chemo-
entrepreneurship yang berhubungan dengan
kemampuan berpikir tingkat tinggi dan
kebebasan dalam menentukan jawaban
yang inovatif serta kreatif.
Hasil belajar yang pertama adalah
ranah afektif yang mengukur tahap
perisapan digunakan indikator yaitu
bertanggung jawab dengan tugasnya,
bekerjasama dalam kelompok, kemampuan
berinovasi, kemampuan berkreasi, kemam-
puan mempunyai ide orisinil, kemampuan
mempunyai daya imajinasi tinggi. Dari setiap
indikator harus disusun kategori untuk
penilaian yang memperhatikan aspek
kecakapan hidup yang dimiliki oleh siswa
(Kusuma, et al., 2009). Seperti pada
indikator kemampuan berinovasi, siswa
akan mendapat skor maksimal jika semua
kategorinya yaitu siswa dapat menggali
informasi melalui berbagai sumber,
mengolah informasi, dan menghubungkan
informasi dengan suatu masalah sehingga
tercipta penyelesaiannya melalui produk
yang dibuat dapat dilaksnakan oleh siswa.
Hasil rerata skor afektif dari 6 indikator
tersebut disajikan dalam Tabel 1.
1454 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1450-1458
Tabel 1. Skor rerata aspek afektif
Aspek Kelas
eksperimen Kelas kontrol
Bertanggung jawab dengan tugasnya
3,84 3,00
Bekerjasama dalam kelompok
3,77 3,00
Kemampuan berinovasi
3,13 3,33
Kemampuan berkreasi
3,30 3,00
Kemampuan mempunyai ide orisinil
3,47 3,33
Kemampuan mempunyai daya imajinasi tinggi
3,25 4,00
Berdasarkan data dari Tabel 1
dapat disimpulkan bahwa tidak semua
indikator afektif dari kelas eksperimen lebih
baik daripada kelas kontrol seperti kemam-
puan berinovasi yang mana kelas
eksperimen mempunyai rata-rata 3,13
sedangkan kelas kontrol 3,33, selain itu
pada aspek rata-rata kemampuan mem-
punyai daya imajinasi tinggi kelas
eksperimen 3,25 sedangkan untuk kelas
kontrol adalah 4,00.
Indikator afektif kemampuan ber-
inovasi dan memiliki daya imajinasi tinggi
kelas eksperimen lebih rendah daripada
kelas kontrol. Hal ini terlihat ketika pada
tahap persiapan berlangsung, di kelas
kontrol ketika produk sudah di-
tentukan, banyak siswa yang
mengusulkan untuk mencoba
mencari alternatif bahan lain sebagai
pengganti bahan utama pembuatan
produknya. Perilaku kelas kontrol ini
mengindikasikan bahwa kemampuan
chemo-entrepreneurship juga berhu-
bungan dengan science process skill
yang mana kemampuan berpikir
seorang yang digunakan membangun
konsep pengetahuan untuk menyelesaikan
suatu masalah (Özgelen, 2012). Aspek
afektif juga dipengaruhi oleh karakter siswa,
yakni berkaitan dengan ilmu pengetahuan
yang dipengaruhi oleh berbagai macam
kompetensi yang salah satunya adalah
psikologi yang di dalamnya menyangkut
karakter (Duit, 2007). Selain itu Siswa
dengan kecakapan berpikir tingkat tinggi
mampu belajar, meningkatkan kinerja
mereka, dan mengurangi kelemahan
mereka (Heong, et al., 2011).
Penilaian psikomotorik dilakukan
dengan menggunakan lembar observasi
psikomotorik. Lembar observasi ini memuat
6 indikator yaitu mempersiapan alat dan
bahan percobaan, melakukan prosedur
percobaan dengan benar, menjaga keber-
sihan alat dan ruang kerja, membuat
laporan, kemampuan memandang sesuatu
dari berbagai sudut pandang, dan kemam-
puan menganalisis data. Seperti aspek
afektif, setiap indikator pada aspek psiko-
motorik juga diberikan kategori untuk
penilaiannya. Dengan skor 4 adalah yang
tertinggi dan 1 adalah yang terendah. Skor
rerata psikomotorik dapat dilihat pada Tabel 2.
Aspek Kelas
eksperimen Kelas kontrol
Mempersiapan alat dan bahan percobaan
3,70 3,00
Melakukan prosedur percobaan dengan benar
3,70 3,70
Menjaga kebersihan alat dan ruang kerja
3,66 3,00
Membuat laporan 3,33 3,33
Kemampuan memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang
3,66 3,00
Kemampuan menganalisis data 3,66 3,66
Tabel 2. Skor rerata aspek psikomotorik
Wibi Tegar Lelono* dan Saptorini, Peningkatan Kemampuan Chemo …. 1455
Berdasarkan Tabel 2 diketahui
bahwa masih ada beberapa indikator kelas
eksperimen yang mempunyai rerata sama
dengan kelas kontrol. Indikator yang
memiliki rerata sama adalah melakukan pro-
sedur percobaan dengan benar, membuat
laporan, dan kemampuan menganalisis
data. Untuk indikator melakukan prosedur
percobaan dengan benar dan membuat
laporan memperoleh rerata yang sama,
karena pada indikator tersebut siswa kelas
eksperimen dan kontrol sudah mempunyai
dasar materi yang hampir sama. Hal yang
membedakan adalah prosedur percobaan
kelas eksperimen dibuat sendiri oleh siswa,
sedangkan prosedur kelas kontrol sudah
dibuat oleh peneliti. Sorotan utama aspek
psikomotorik ini adalah kemampuan meng-
analisis data kelas eksperimen dan kontrol
yang mempunyai rerata sama. Kemampuan
menganalisis data selain berhubungan
dengan aspek psikomotorik siswa, juga
berhubungan dengan aspek kognitifnya.
bahwa kelas eksperimen dan kontrol dipilih
karena berangkat keadaan yang sama
(berdistribusi normal dan homogen) maka
dapat disimpulkan bahwa apabila ada
kesamaan itu merupakan hal yang wajar.
Produk yang telah dibuat oleh siswa
dinilai dalam lembar penilaian produk.
Penilaian produk terdiri dari 5 indikator.
Indikator ini dipilih karena sabagai syarat
minimal produk dinyatakan baik. Indikator
yang dipakai adalah bentuk fisik, inovasi,
pemakaian bahan baku, keamanan produk,
dan khasiat produk. Pada indikator
keamanan produk dibutuhkan kriteria untuk
masing-masing produk yang dibuat siswa.
Untuk kelas eksperimen karena produk yang
dibuat dibebaskan maka lembar penilaian ini
harus dilengkapi dengan berbagai macam
jenis produk yang memanfaaatkan konsep
koloid serta syarat keamanan produknya.
Hasil rerata nilai setiap indikator yang
dicapai untuk kelas eksperimen dan kontrol
menunjukkan produk yang baik. Untuk
rerata nilai tiap indikator produk tersaji
dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rerata nilai produk
Aspek Kelas
Eksperimen Kelas
Kontrol
Bentuk Fisik 4,00 3,33
Inovasi 3,33 3,00
Pemakaian Bahan Baku
4,00 3,00
Keamanan Produk 3,33 3,00
Khasiat Produk 3,66 3,00
Berdasarkan Tabel 3 dapat di-
simpulkan bahwa produk yang dihasilkan
oleh kelas eksperimen lebih baik daripada
kelas kontrol. Hal ini menunjukan bahwa
dengan diserahkan sepenuhnya pemilihan
produk kepada siswa dapat memberikan
pengalaman lebih luas, mendidik siswa gar
lebih mandiri dan dapat mendidik siswa
memahami suatu masalah secara men-
dalam yang nantinya berujung pada hasil
yang baik (Siadi, et al., 2009). Selain itu
dengan dibebaskan siswa untuk memilih
produknya pembelajaran kimia akan lebih
bermakna karena siswa akan mengetahui
dari mulai persiapan hingga tahap akhir.
Dengan tiap tahapnya dilakukan dengan
baik maka akan mendapatkan hasil yang
baik pula.
Hasil belajar selanjutnya adalah
aspek kognitif, pada aspek ini pengukuran
dilakukan dengan soal. Nilai yang di-
1456 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1450-1458
dapatkan akan dijumlah dengan nilai afektif,
psikomotorik, dan produk yang kemudian
rata-rata untuk menjadi nilai akhir. Perlakuan
ini dilakukan karena penelitian ini tidak
melihat hasil belajar kognitif sebagai nilai
utama, tetapi setiap tahap dalam prosesnya.
Pada setiap prosesnya meliputi aspek
afektif, psikomotorik, dan produk seperti
yang dilakukan oleh Supartono et al.,
(2009). Chemo-entrepreneurship sejatinya
adalah suatu konsep kimia yang dikaitkan
dengan dengan obyek nyata. Dengan
demikian siswa juga memiliki kesempatan
untuk mempelajari proses pengolahan suatu
bahan menjadi suatu produk yang ber-
manfaat, bernilai ekonomi dan menumbuh-
kan semangat berwirausaha (Supartono, et
al., 2009). Dari dasar itulah nilai yang
digunakan adalah total keseluruhan tahapan
yang dilakukan oleh siswa.
Rata-rata nilai akhir kelas
eksperimen adalah 83,25 sedangkan kelas
kontrol adalah 80,75. Dari rata-rata nilai
akhir itu bisa dikatakan kemampuan chemo-
entrepreneurship kelas eksperimen lebih
baik daripada kelas kontrol. Untuk
membuktikan itu nilai akhir ini akan di uji
secara statistika, uji yang yang akan
dilakukan adalah uji kesamaan dua varians,
uji t, menentukan pengaruh variabel (rb),
koefisien determinasi (KD), dan uji
peningkatan chemo-entrepreneurship. Untuk
hasil semua uji disajikan pada Tabel 4.
Langkah awal yang dilakukan
sebelum uji t adalah dengan uji kesamaan
dua varians. Dengan ketentuan jika Fhitung
lebih kecil daripa Fkritis maka menggunakan
uji t, tetapi jika Fhitung lebih besar dripada
Fkritis maka menggunakan uji t’. Hasil
perhitungan didapatkan Fhitung sebesar 3,294
sedangkan Fkritis adalah 0,799. Karena Fhitung
lebih besar daripada Fkritis dapat ditarik
kesimpulan bahwa kedua kelas memiliki
varians yang berbeda maka selanjutnya
digunakan uji t’. Pada uji t’ sebagai
pembanding bukan ttabel melainkan t’’. Jika t’
lebih besar daripada t’’ maka dapat disimpul-
kan kemampuan chemo-entreprenurship
kelas eksperimen lebih baik daripada kelas
kontrol. Jika t’ lebih kecil daripada t’’ maka
dapat disimpulkan kemampuan chemo-
entrepreneurship kelas eksperimen tidak
lebih baik dari pada kelas kontrol (Sudjana,
2002).
Tabel 4. Hasil uji statistika nilai akhir
Jenis Statistika
Hasil Keterangan
Uji F 3,294 Varians kedua kelompok berbeda
Uji t' 3,93
Kemampuan CEP kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol
RB 0,517 Sedang
KD 26,17% -
Peningkatan 57% kelas Eksperimen
54% Kelas Kontrol
Dari uji t’ didapatkan bahwa t’
sebesar 3,93 sedangkan t’’ memiliki nilai
sebesar 1,687. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa kemampuan chemo-
entrepreneurship kelas eksperimen lebih
baik daripada kelas kontrol.
Menentukan pengaruh variabel
bertujuan untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel kontrol.
Dari Tabel 4 didapat rb sebesar 0,517 atau
bisa dikatakan pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat adalah sedang.
Wibi Tegar Lelono* dan Saptorini, Peningkatan Kemampuan Chemo …. 1457
Setelah mengetahui pengaruh variabel
selanjutnya adalah menentukan koefisien
determinasi. Dari Tabel 4 didapatkan
koefisien determinasi (KD) sebesar 26,77%.
Hal ini berarti penerapan konsep koloid yang
berorientasi life skill memberikan kontribusi
sebesar 26,77% dalam peningkatan
kemampuan chemo-entrepreneuship siswa.
Uji peningkatan kemampuan
chemo-entrepreneurship kelas eksperimen
dan kelas kontrol bertujuan untuk
mengetahui besarnya peningkatan kemam-
puan chemo-entrepreneurship siswa setelah
menerima perlakuan. Peningkatan kemam-
puan chemo-entrepreneurship kelas
eksperimen sebesar 57% sedangkan kelas
kontrol adalah 54%. Hal ini sejalan dengan
Sumarni (2009) yang menyatakan bahwa
jiwa kewirausahaan mahasiswa dapat
ditumbuhkan atau dilatihkan dengan metode
dan media yang tepat. Metode dan media
yang digunakan akan lebih baik bila
berorientasi pada life skill siswa.
Dilihat dari peningkatan kelas
eksperimen dan kontrol menunjukkan
bahwa penerapan konsep yang berorientasi
life skill ini dapat mengubah pandangan
pembelajaran yang hanya berorientasi
kepada banyaknya materi pembelajaran
kimia (subject matter oriented). Pem-
belajaran yang berorientasi life skill juga
memungkinkan siswa untuk lebih termotivasi
meningkatkan kualitas dirinya. Kualitas diri
disini adalah kemampuan chemo-
entrepreneurship yang diharapkan dengan
meningkatnya hal tersebut dapat membantu
siswa dalam mempersiapkan kehidupannya
di masa mendatang. Dengan memberikan
bekal kemampuan chemo-entrepreneurship
kepada siswa sejak dini diharapkan akan
semakin banyak terciptanya peluang usaha
baru yang memanfaatkan konsep-konsep
kimia, dampaknya selain mengurangi
pengangguran dan ketergantungan menjadi
pegawai juga memperlihatkan keber-
maknaan suatu pelajaran yang didapatkan
siswa.
SIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan
sebagai berikut. Pertama, terdapat
peningkatan kemampuan chemo-
entrepreneurship siswa setelah penerapan
konsep koloid yang berorientasi life skill.
Kedua, peningkatan kemampuan chemo-
entrepreneurship siswa kelas ekperimen
sebesar 57% sedangkan kelas kontrol
sebesar 54%.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika, 2014, Tingkat
Pengangguran Terbuka, Diunduh di http://www.bps.go.id/int/index.php/site/search?cari=Jumlah+pengangguran&Submit=Cari, diunduh pada tanggal 14 Juli 2014.
Desmawati, L., Suminar, T., Budiarti, & Emmy, 2009, Penerapan Model Pendidikan Kecakapan Hidup pada Program Pendidikan Kesetaraan di Kota Semarang, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu
Pendidikan: UNNES.
Duit, R., 2007, Science Education Research Internationally: Conceptions, Research Method, Journal of Mathematics, Science & Technology Education, Vol 3, No 1, Hal: 3-15.
1458 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1450-1458
Heong, Y.M., Widad, Jailani, T. & Mohaffyza, M., 2011, The Level of Marzano Higher Order Thingking Skills Among Technical Education Students, International Journal of Social Science and Humanity, Vol 1,
No 2, Hal: 121-125.
Kadarwati, S., Saputro, S.H. & Priatmoko, S., 2010, Upaya Peningkatan Hasil Belajar Kimia Fisika 5 dengan Pendekatan Chemo-Entrepreneurship melalui Kegiatan Lesson Study, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 4, No 1, Hal: 532-543.
Kusuma, E. & Siadi, K., 2010, Pengembangan Bahan Ajar Kimia Berorientasi Chemoentrepreneurship untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Life Skill Mahasiswa, Jurnal Inovasi Pendidika Kimia, Vol 4, No
1, Hal: 544-551.
Kusuma, E., Sukirno, & Kurniati, I., 2009, Penggunaan Pendekatan Chemoentrepreneurship Berorientasi Green Chemistry untuk Meningkatkan Kemampuan Life Skill Siswa SMA, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 3, No 1, Hal:
366-372.
Lestari, I., 2007, Pengaruh Pemanfaatan Software Macromedia Flash mx Sebagai Media Chemo-Edutainment (CET) pada Pembelajaran dengan Pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) yerhadap Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Pokok Materi Sistem Koloid, Skripsi, Semarang: Jurusan Kimia
FMIPA UNNES.
Özgelen, S., 2012, Student’s Science Process Skills Within A Cognitive Domain Framework, Journal of Mathematics, Science & Technology Education, Vol 8, No 4, Hal: 283-
292.
Siadi, K., Mursiti. S. & Laelly. I.N., 2009, Komparasi Hasil Belajar Kimia Antara Siswa Yang Diberi Metode Drill Dengan Resitasi, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 3, No 1, Hal:360-365.
Soebroto, T., Susatyo, E.B. & Zulaechah, W.U., 2008, Komparasi Hasil Belajar Sains Kimia dengan Metode Life Skill dan Mind Mapping Pada Siswa MTs, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 2,
No 2, Hal: 312-316.
Soeprodjo, 2002, Pengantar Statistik untuk Penelitian, Semarang: Jurusan
Kimia FMIPA Unnes.
Sudjana, N., 2002, Metoda Statistika, Bandung: Tarsito.
Sumarni, W., 2009, Peningkatan Efektivitas Perkuliahan Kimia Dasar Melalui Pembelajaran Berorientasi Chemo-Entrepreneurship (CEP) Menggunakan Media Chemo-Edutainment (CET), Lembaran Ilmu Kependidikan, Vol 40, No 1, Hal: 53-58.
Sumarti, S.S., 2008, Peningkatan Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa Calon Guru Kimia Dengan Pembelajaran Praktikum Kimia Dasar Berorientasi Chemo-entrepreneurship, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 2, No
2, Hal: 305-311.
Supartono, Saptorini, & Asmorowati, D.S., 2009, Pembelajaran Kimia Menggunakan Kolaborasi Konstruktif Dan Inkuiri Berorientasi Chemo-entrepreneurship, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 3, No
2, Hal: 476-483.
Supartono, 2006, Peningkatan Kreativitas Peserta didik melalui pembelajaran kimia dengan pendekatan chemo-entrepreneurship (CEP), Semarang:
Jurusan Kimia FMIPA UNNES.
Supartono, 2012, Implementasi Soft Skill dalam Pembelajaran Chemoentrepreneurship (CEP) sebagai Upaya Pengembangan Konservasi Sumber Daya Insani, Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia Jurusan Kimia FMIPA UNNES, Semarang 16 Oktober 2012.
Susiwi, 2007, Perencanaan Pembelajaran Kimia, Bandung: Jurusan Pendidikan Kimia UPI.
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin, Penerapan Self Assessment Untuk …. 1459
PENERAPAN SELF ASSESSMENT UNTUK ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035
E-mail: memey.ardiana@yahoo.com
ABSTRAK
Pembaharuan paradigma pembelajaran dalam kurikulum 2013 menuntut adanya
keterampilan berpikir siswa. Meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian tujuan pembelajaran dalam kurikulum tersebut. Penerapan self assessment pada siswa bertujuan untuk memberikan umpan balik agar siswa dapat memperbaiki cara belajarnya. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui deskripsi dari setiap indikator keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa, serta untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan self assessment dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan desain penelitian dominant-less dominant design. Metode analisis data yang digunakan yaitu mix methods, gabungan antara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat capaian siswa yang bervariasi pada setiap indikator dengan total skor maksimum 160. Tiga dari sepuluh indikator yang terdapat dalam penelitian ini mendapatkan tingkat capaian baik, yaitu indikator mengambil keputusan dengan total skor 88, analisis dengan total skor 96, dan membuat larutan dengan total skor 99. Tujuh indikator lainnya mendapatkan tingkat capaian kurang, yaitu dengan total skor 75 untuk indikator identifikasi masalah, 78 untuk kesimpulan, 76 untuk evaluasi, 74 untuk prediksi, 65 untuk berpikir deduktif, 59 untuk berpikir induktif, dan 68 untuk berpikir kreatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa masih tergolong kurang. Kata Kunci: analisis keterampilan, berpikir tingkat tinggi siswa, self assessment
ABSTRACT
Renewal of the learning paradigm in the curriculum of 2013 requires the students'
thinking skills. Improve students' higher-order thinking skills is one of the efforts to support the achievement of learning objectives in the curriculum. The application of self-assessment on students aiming to provide feedback for students to improve the way of learning. The aim of this study is to determine the description of each indicator higher order thinking skills of students, as well as to determine the students' response to the application of self-assessment and higher level thinking skills. This research is descriptive research with study design dominant-less dominant design. Methods of data analysis methods were used that mix, a combination of quantitative and qualitative. The results showed that the level of achievement of students who vary in each indicator with a total maximum score of 160. Three of the ten indicators contained in this study to get a good level of achievement, ie indicators take decisions with a total score of 88, the analysis with a total score of 96, and make the solution with a total score of 99. Seven other indicators of the level of achievement getting less, with a total score of 75 for the indicators of problem identification, 78 to conclusions, 76 for evaluation, 74 to predictions, 65 for deductive thinking, inductive thinking 59, and 68 to think creatively. This shows that the higher order thinking skills of students is still relatively lacking. Keywords: analytical skills, students' higher-order thinking, self-assessment
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi saat ini mengalami perubahan
yang pesat, sehingga menuntut kesiapan
semua pihak untuk menyesuaikan dengan
kondisi yang ada. Untuk menghadapi
perubahan teknologi yang cepat maka
1460 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1459-1467
kemampuan berpikir merupakan aspek yang
perlu mendapat penekanan dalam
pengajaran. Pendidikan juga mengalami
pembaharuan dari waktu ke waktu dan tidak
pernah berhenti. Pendidikan sebagai suatu
proses yang disadari untuk mengem-
bangkan potensi individu sehingga memiliki
kecerdasan pikir, emosional, berwatak, dan
berketerampilan untuk siap hidup di tengah-
tengah masyarakat (Mulyati, 2000).
Berdasarkan hasil observasi awal seorang
guru kimia mengakui belum adanya
penekanan terhadap keterampilan berpikir
siswa dalam pembelajaran.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skill/ HOTS) adalah
berpikir pada tingkat lebih tinggi, tidak
sekedar menghafalkan fakta atau
mengatakan sesuatu kepada seseorang
persis seperti sesuatu yang disampaikan
kepada kita. Kemampuan berpikir tingkat
tinggi adalah proses berpikir yang
melibatkan aktivitas mental dalam usaha
mengeksplorasi pengalaman yang
kompleks, reflektif, dan kreatif yang
dilakukan secara sadar untuk mencapai
tujuan, yaitu memperoleh pengetahuan yang
meliputi tingkat berpikir analitis, sintesis, dan
evaluatif (Wardana, 2010). Menurut Cohen
(1971), kemampuan berpikir tingkat tinggi
dibagi menjadi empat aspek kelompok,
yaitu: mengambil keputusan, pemecahan
masalah, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
Dari empat aspek kelompok tersebut
dijabarkan lagi ke dalam sepuluh indikator,
yaitu 1) mengambil keputusan, 2) identifikasi
masalah, 3) analisis, 4) mengusulkan solusi,
5) kesimpulan, 6) evaluasi, 7) prediksi, 8)
berpikir deduktif, 9) berpikir induktif, dan 10)
berpikir kreatif.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi
juga berpengaruh terhadap nilai akademis
siswa. Hal tersebut tertuang dalam
penelitian yang dilakukan oleh Zohar dan
Dori (2003) yang hasilnya menunjukkan
bahwa murid yang memiliki nilai akademis
tinggi juga memiliki skor tinggi dalam hal
berpikir tingkat tinggi. Pentingnya
mengetahui kemampuan diri termasuk
kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
digunakan sebagai tolak ukur untuk
mengembangkan kemampuan tersebut.
Begitu juga dengan self assessment,
penilaian terhadap diri sendiri ini pun dapat
digunakan untuk mengembangkan ke-
mampuan serta cara belajar siswa.
Rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu bagaimana gambaran tentang
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa,
terutama pada setiap indikator keterampilan
berpikir tingkat tinggi, serta bagaimana
respon siswa terhadap penerapan self
assessment dan keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Diharapkan melalui penelitian
ini didapatkan gambaran tentang ke-
terampilan berpikir tingkat tinggi siswa serta
respon siswa terhadap penerapan self
assessment dan keterampilan berpikir
tingkat tinggi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang bertujuan untuk dapat
menggambarkan dan menerangkan suatu
gejala atau data yang diperoleh di lapangan
(Sukardi, 2008). Metode yang digunakan
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin, Penerapan Self Assessment Untuk …. 1461
dalam penelitian ini yaitu metode gabungan
(mix methods) antara penelitian kualitatif
dan kuantitatif dengan desain penelitian
dominant-less dominant design (Creswell,
1994). Penelitian dengan menggunakan
metode gabungan ini bertujuan untuk saling
melengkapi gambaran hasil observasi
mengenai fenomena yang diteliti dan untuk
memperkuat analisis penelitian. Subyek
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
kelas X kelas IPA 2 di suatu SMA N di
Ungaran yang terdistribusi ke dalam satu
kelas dengan jumlah siswa sebanyak 40
orang yang terdiri dari 14 siswa laki-laki dan
26 siswa perempuan. Teknik pengambilan
subyek penelitian ini menggunakan
purposisve sampling yaitu mengambil
sampel pada populasi berdasarkan suatu
kriteria tertentu. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi,
wawancara, dokumentasi, dan triangulasi/
gabungan (Sugiyono, 2012). Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain
instrumen soal beserta rubrik penilaian,
lembar observasi, angket, dan pedoman
wawancara. Siswa yang telah mempelajari
materi kimia redoks untuk kelas X,
mengerjakan
instrumen soal yang
telah melalui validasi
dan disesuaikan
dengan indikator
keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Hasil
kerja siswa dianalisis
oleh 3 observer. Data
yang didapat dianalisis secara kuantitatif
untuk selanjutnya dideskripsikan secara
kualitatif. Analisis secara kuantitatif untuk
lembar observasi oleh 3 observer meng-
gunakan reliabilitas (Mardapi, 2012). Hasil
observasi dari setiap indikator dikategorikan
berdasarkan kriteria tingkat capaian yang
telah ditentukan kemudian dilakukan analisis
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang didapatkan dari hasil
observasi berupa jumlah skor dari masing-
masing indikator keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Hasil observasi menunjukkan
rentang tingkat capaian kurang baik hingga
baik. Tidak terdapat indikator yang
mendapatkan tingkat capaian sangat baik
maupun sangat kurang baik. Hasil observasi
dari 3 observer didapatkan nilai reliabilitas
0,93. Hasil tersebut menunjukkan hasil
observasi dapat dipakai karena
reliabilitasnya termasuk kategori sangat
baik. Setelah dilakukan analisis data
didapatkan data total skor dan kategori dari
setiap indikator keterampilan berpikir tingkat
tinggi yang ditunjukkan Tabel 1.
Tabel 1. Hasil observasi jumlah skor setiap indikator HOTS
Hasil yang didapatkan bervariasi
pada setiap indikator. Tiga dari sepuluh
indikator yang terdapat dalam penelitian ini
Aspek HOTS Indikator HOTS Total Skor
Tingkat Capaian
Mengambil Keputusan Mengambil Keputusan 88 Baik Pemecahan Masalah Identifikasi masalah 75 Kurang Baik
Analisis 96 Baik Mengusulkan solusi 99 Baik Kesimpulan 78 Kurang Baik
Berpikir Kritis Mengevaluasi 76 Kurang Baik Memprediksi 74 Kurang Baik Berpikir deduktif 65 Kurang Baik Berpikir induktif 59 Kurang Baik Berpikir Kreatif Berpikir kreatif 68 Kurang Baik
1462 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1459-1467
mendapatkan tingkat capaian baik,
sedangkan tujuh indikator lainnya
mendapatkan tingkat capaian kurang baik.
Hasil tersebut menunjukkan tingkat capaian
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa
masih kurang. Hasil pengamatan tersebut
dijabarkan lagi dari setiap indikatornya. Hasil
observasi yang didapatkan untuk indikator
mengambil keputusan dijabarkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil observasi indikator mengambil keputusan
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 16 Kurang Baik 16 Sangat Kurang Baik 8
Jumlah 40
Lebih dari separuh jumlah siswa
tergolong masih kurang dalam keterampilan
berpikir mengambil keputusan. Belum ada
siswa yang mendapatkan tingkat capaian
sangat baik dalam mengambil keputusan.
Keterampilan berpikir mengambil keputusan
pada siswa masih kurang. Keterampilan
mengambil keputusan sangat diperlukan
terutama dalam bidang sains. Terdapat
keterkaitan yang sangat erat antara berpikir
ilmiah dengan pengambilan keputusan,
khususnya saat menggunakan aturan logika
dan bukti untuk mendefinisikan per-
masalahan.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator identifikasi masalah
dijabarkan pada Tabel 3. Hasil yang
didapatkan sangat bervariasi mulai dari
sangat baik hingga sangat kurang baik.
Tabel 3. Hasil observasi indikator identifikasi masalah
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 3 Baik 4 Kurang Baik 18 Sangat Kurang Baik 15
Jumlah 40
Mayoritas siswa masih kurang
dalam keterampilan identifikasi masalah.
Hanya sedikit siswa yang masuk dalam
kategori sangat baik dan baik dibandingkan
dengan jumlah siswa yang masuk dalam
kategori kurang baik dan sangat kurang
baik. Keterampilan berpikir dalam identifikasi
masalah sangat diperlukan mengingat
identifikasi masalah merupakan langkah
awal dalam pemecahan masalah. Siswa
perlu mengetahui apa yang menjadi
masalah serta mampu mendefinisikan
masalah tersebut sebelum dilakukan tahap
selanjutnya dalam memecahkan masalah.
Hasil observasi pada indikator
analisis dijabarkan pada Tabel 4. Hasil yang
didapat pada indikator analisis sangat
bervariasi mulai dari sangat baik hingga
sangat kurang baik.
Tabel 4. Hasil observasi indikator analisis
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 3 Baik 18 Kurang Baik 11 Sangat Kurang Baik 8
Jumlah 40
Separuh dari jumlah siswa termasuk
baik dalam keterampilan menganalisis
masalah. Namun jumlah siswa yang masuk
kategori kurang baik dan sangat kurang baik
juga tidak sedikit, sehingga masih perlu
adanya pengembangan keterampilan
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin, Penerapan Self Assessment Untuk …. 1463
analisis masalah. Analisis masalah
diperlukan sebelum menemukan solusi
untuk memecahkan suatu masalah.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator mengusulkan solusi
dijabarkan pada Tabel 5. Hasil yang didapat
untuk indikator mengusulkan solusi sangat
bervariasi mulai dari sangat baik hingga
kurang baik.
Tabel 5. Hasil observasi indikator
mengusulkan solusi
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 6 Baik 8 Kurang Baik 25 Sangat Kurang Baik 1
Jumlah 40
Siswa yang masuk dalam kategori
sangat baik dan baik belum mencapai
separuh dari jumlah siswa. Lebih dari
separuh jumlah siswa masih kurang dalam
keterampilan mengusulkan solusi. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa keterampilan
mengusulkan solusi pada siswa masih perlu
dikembangkan lagi.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator kesimpulan dijabarkan pada
Tabel 6. Pada indikator ini didapatkan hasil
observasi siswa masih kurang dalam
keterampilan membuat kesimpulan. Tabel 6
menunjukkan bahwa tidak terdapat siswa
yang masuk dalam kategori sangat baik
dalam indikator kesimpulan. Hanya sedikit
siswa yang masuk dalam kategori baik.
Sedangkan hasil paling banyak terdapat
dalam kategori kurang baik. Hasil observasi
tersebut menjelaskan bahwa keterampilan
berpikir siswa dalam indikator kesimpulan
masih kurang. Sehingga masih perlu adanya
pengembangan keterampilan berpikir
menyimpulkan.
Tabel 6. Hasil observasi indikator kesimpulan
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 6 Kurang Baik 26 Sangat Kurang Baik 8
Jumlah 40
Dua diantara empat indikator pada
aspek pemecahan masalah masih tergolong
kurang baik. Upaya peningkatan
keterampilan berpikir siswa pada aspek
pemecahan masalah perlu ditingkatkan.
Karena dengan memiliki keterampilan
berpikir dalam memecahkan masalah maka
hasil belajar siswa akan menjadi lebih baik.
Pemecahan masalah efektif untuk
meningkatkan hasil belajar (Selvianti, et al.,
2013)
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator evaluasi dijabarkan pada
Tabel 7. Hasil yang didapat untuk indikator
evaluasi sangat bervariasi mulai dari sangat
baik hingga kurang baik. Pada indikator ini
didapatkan hasil observasi pada tingkat
capaian kurang baik.
Tabel 7. Hasil observasi indikator evaluasi
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 4 Baik 1 Kurang Baik 22 Sangat Kurang Baik 13
Jumlah 40
Tabel 7 menunjukkan bahwa siswa
yang masuk dalam kategori sangat baik dan
baik hanya sedikit. Terdapat lebih dari
separuh jumlah siswa masuk dalam kategori
1464 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1459-1467
kurang baik, dan yang termasuk dalam
kategori sangat kurang baik juga tidak
sedikit. Hasil observasi pada siswa yang
masih belum baik dalam dalam keterampilan
berpikir mengevaluasi memerlukan adanya
perhatian lebih terhadap pengembangan
keterampilan berpikir tersebut.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator prediksi dijabarkan pada
Tabel 8. Pada indikator ini didapatkan hasil
observasi masih kurang dalam keterampilan
memprediksi.
Tabel 8. Hasil observasi indikator prediksi
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 5 Kurang Baik 24 Sangat Kurang Baik 11
Jumlah 40
Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak
terdapat siswa yang masuk dalam kategori
sangat baik pada indikator prediksi. Jumlah
siswa yang masuk dalam kategori baik
hanya sedikit, sedangkan yang masuk
dalam kategori kurang baik jumlahnya
mencapai lebih dari separuh jumlah siswa
subyek penelitian, serta siswa yang masuk
dalam kategori sangat kurang baik juga
tidak sedikit. Hasil tersebut menunjukkan
siswa masih kurang dalam keterampilan
berpikir memprediksi.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator berpikir deduktif dijabarkan
pada Tabel 9. Pada indikator ini didapatkan
hasil observasi masih kurang dalam
keterampilan berpikir deduktif.
Tabel 9. Hasil observasi indikator berpikir
deduktif
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 4 Kurang Baik 17 Sangat Kurang Baik 19
Jumlah 40
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak
terdapat siswa yang masuk dalam kategori
sangat baik. Hanya sedikit siswa yang
masuk dalam kategori baik. Cukup banyak
siswa yang masuk dalam kategori kurang
baik, sedangkan siswa yang masuk dalam
kategori sangat kurang baik mencapai lebih
dari separuh jumlah siswa. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa keterampilan berpikir
siswa dalam berpikir deduktif masih jauh
dari kategori baik. Sehingga perlu adanya
perhatian lebih terhadap pengembangan
keterampilan berpikir deduktif pada siswa.
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator berpikir induktif dijabarkan
pada Tabel 10. Pada indikator ini didapatkan
hasil observasi masih kurang dalam
keterampilan berpikir induktif.
Tabel 10. Hasil observasi indikator berpikir induktif
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 0 Kurang Baik 19 Sangat Kurang Baik 21
Jumlah 40
Tabel 10 menunjukkan bahwa tidak
ada siswa yang masuk dalam kategori baik
maupun sangat baik. Siswa yang masuk
dalam kategori kurang baik dan sangat
kurang hampir sama. Hasil tersebut
menunjukkan keterampilan berpikir induktif
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin, Penerapan Self Assessment Untuk …. 1465
siswa masih sangat kurang. Hasil pada
indikator berpikir induktif ini merupakan hasil
terendah dibandingkan 9 indikator lainnya.
Sehingga sangat diperlukan adanya
pengembangan terhadap keterampilan
berpikir induktif ini, mengingat seluruh siswa
dalam subyek penelitian ini belum ada yang
memiliki keterampilan baik dalam berpikir
induktif.
Empat indikator pada aspek berpikir
kritis mendapatkan hasil tingkat capaian
kurang baik. Keterampilan berpikir kritis
pada siswa dinilai sangat penting karena
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Keterampilan berpikir kritis perlu dikuasai
oleh semua orang karena dapat digunakan
untuk melindungi diri sendiri dan orang lain
untuk pengambilan keputusan yang
bijaksana dalam kehidupan sehari-hari.
(Liliasari, 2009)
Hasil observasi yang didapatkan
untuk indikator berpikir kreatif dijabarkan
pada Tabel 11. Pada indikator ini didapatkan
hasil observasi masih kurang dalam
keterampilan berpikir kreatif.
Tabel 11. Hasil observasi indikator berpikir kreatif
Kategori Total Siswa
Sangat Baik 0 Baik 4 Kurang Baik 20 Sangat Kurang Baik 16
Jumlah 40
Tabel 11 menunjukkan bahwa
hanya sedikit siswa yang masuk dalam
kategori baik, sedangkan untuk kategori
sangat baik tidak ada siswa yang mewakili.
Separuh dari jumlah siswa masuk dalam
kategori kurang baik, serta tidak sedikit
siswa yang masuk dalam kategori sangat
kurang baik. Hasil tersebut menjelaskan
bahwa keterampilan berpikir kreatif pada
siswa masih jauh dari baik. Sehingga
diperlukan adanya pengembangan terhadap
keterampilan berpikir kreatif pada siswa.
Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa yaitu
melalui pengajuan masalah (Siswono,
2005).
Analis data selain dikategorikan
pada setiap indikator juga dikategorikan
berdasarkan aspek keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Hasil analisis data yang
dikategorikan berdasarkan aspek kelompok
ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah skor setiap aspek
Indikator Total Skor
Tingkat Capaian
Mengambil
Keputusan
88 Baik
Pemecahan
Masalah
87 Baik
Berpikir Kritis 68,5 Kurang Baik
Berpikir Kreatif 68 Kurang Baik
Tabel 12 menunjukkan bahwa
tingkat capaian dari empat aspek
keterampilan berpikir tingkat tinggi tersebut
belum menunjukkan hasil yang memuaskan,
terdapat dua aspek yang tingkat capaiannya
kurang baik. Untuk aspek mengambil
keputusan dan pemecahan masalah muncul
hasil yang lebih baik daripada aspek berpikir
kritis dan berpikir kreatif. Indikator yang
terdapat pada aspek berpikir kritis, yaitu
evaluasi, prediksi, berpikir deduktif, dan
berpikir induktif, serta aspek berpikir kreatif
perlu mendapat perhatian lebih untuk
dikembangkan. Meskipun aspek pemecahan
1466 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1459-1467
masalah mendapatkan tingkat capaian baik,
namun untuk indikator identifikasi masalah
dan mengambil keputusan masih perlu
dikembangkan lagi.
Hasil penelitian keterampilan
berpikir tingkat tinggi pada siswa masih
perlu mendapat perhatian untuk
dikembangkan. Siswa yang baru tahun
pertama memasuki bangku SMA dan baru
mendapatkan pelajaran kimia di jenjang
SMA ini memerlukan dorongan atau
bantuan dari tim pendidik atau guru untuk
mengembangkan keterampilan berpikir
tersebut. Siswa yang memiliki nilai
akademis tinggi juga memiliki skor tinggi
dalam berpikir tingkat tinggi (Zohar dan Dori,
2003). Diharapkan dengan dimilikinya
keterampilan tersebut oleh siswa juga akan
berpengaruh terhadap hasil belajar.
Pengembangan keterampilan berpikir
tingkat tinggi dapat dilakukan dengan
pemilihan strategi pembelajaran yang tepat,
seperti Quantum Learning (Prayoga, et al.,
2013), Project Based Learning
(Susanawati, et al., 2013), pembelajaran
kooperatif (Redhana, 2003), pembelajaran
inkuiri (Liliasari, 2009), dan pembelajaran
berbasis proyek (Luthvitasari, et al., 2013).
Siswa memiliki respon positif
terhadap penerapan self assessment.
Mereka beranggapan bahwa dengan
adanya self assessment, mereka dapat
memperkirakan kemampuan mereka
sehingga dapat memperbaiki cara belajar.
Siswa merasa belum memiliki keterampilan
berpikir tingkat tinggi, sehingga siswa
mengharapkan adanya pengembangan
keterampilan berpikir tingkat tinggi oleh guru
melalui pembelajaran tertentu agar
pembelajaran di kelas tidak monoton
konvesional saja.
SIMPULAN
Hasil observasi menunjukkan siswa
termasuk dalam kategori kurang dalam
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Tujuh
indikator keterampilan berpikir tingkat tinggi
siswa mendapatkan tingkat capaian kurang
baik, yaitu untuk indikator identifikasi
masalah, kesimpulan, evaluasi, prediksi,
berpikir deduktif, berpikir induktif, dan
berpikir kreatif. Tiga indikator lainnya yaitu
mengambil keputusan, analisis, dan
mengusulkan solusi, mendapatkan tingkat
capaian baik. Respon siswa terhadap self
assessment sangat positif, mereka senang
dengan adanya self assessment. Kemudian
respon siswa terhadap keterampilan berpikir
tingkat tinggi, mereka merasa belum
memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi
dan mengharapkan adanya pengembangan
terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, J., 1971, Thinking, Chicago: Rand
McNally dan Company.
Creswell, J.W., 1994, Research Design Qualitative dan Quantitative Approaches, United State: Sage Publications.
Liliasari, 2009, Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sains Kimia Menuju Profesionalitas Guru, Bandung:
Pascasarjana UPI.
Meiriza Ardiana* dan Sudarmin, Penerapan Self Assessment Untuk …. 1467
Luthvitasari, N., Putra, N.M.D.,dan Linuwih, S., 2013, Implementasi Pembelajaran Berbasis Proyek Pada Keterampilan Berpikir dan Kemahiran Generik Sains, Innovative Journal of Curriculum and Educational Technology, Vol 2,
No 1, Hal: 159-164.
Mardapi, J., 2012, Pengukuran Penilaian dan Evaluasi Pendidikan, Yogyakarta: Nuha Merdika.
Mulyati, A., 2000, Strategi Belajar Mengajar Kimia, Prinsip, dan Aplikasinya Menuju Pembelajaran yang Efektif, Bandung: JICA IMSTEP UPI Bandung.
Prayoga, A., Sikumbang, D., dan Marpaung, R.R.T., 2013, Pengaruh Metode Quantum Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa, Jurnal Ilmu Pendidikan Unila, Vol 1,
No 4, Hal: 522-534.
Redhana, I.W., 2003, Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi Pemecahan Masalah, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja,
Vol 36, No 3, Hal: 301-313.
Selvianti, Ramdani, dan Jusniar, 2013, Efektivitas Metode Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Generik Sains Siswa Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 8 Makasar (Studi Pada Materi Pokok Hidrolisis Garam), Jurnal Chemica, Vol 14, No
1, Hal: 55-65.
Siswono, T.Y.E., 2005, Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah, Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, Vol 10, No 1,
Hal: 1-9.
Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Sukardi, 2008, Metodologi Penelitian
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Susanawati, E., Diantoro, M., dan Yulianti, L., 2013, Pengaruh Strategi Project
Based Learning dengan Thinkquest Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Fisika Siswa SMA Negeri 1 Kraksaan, Jurnal Pendidikan UPI,
Vol 18, No 2, Hal: 218-231.
Wardana, N., 2010, Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Ketahanmalangan Terhadap Kemampuan Berfikir Tingkat Tinggi dan Pemahaman Konsep Fisika, Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran, Vol 6, No 2,
Hal:1625-1635.
Zohar, A. dan Dori, Y.J., 2003, Higher Order Thinking Skills and Low-Achieving Students: Are They Mutually Exclusive, The Journal of The Learning Science, Vol 12, No 2,
Hal:145-181.
1468 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1468-1477
PENERAPAN MODEL ASSURE DENGAN METODE PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035
E-mail: widiamaya14@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar kimia antara siswa yang diberi model pembelajaran ASSURE dengan metode Problem Solving dan metode yang biasa digunakan oleh guru pengampu dan apabila ada perbedaan, hasil belajar manakah yang lebih baik diantara keduanya. Sampel diambil dengan teknik cluster random sampling, diperoleh kelas eksperimen XI IPA 1 sebanyak 30 siswa dan kelas kontrol XI IPA 2 sebanyak 30 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode dokumentasi, observasi, dan tes. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata kelas eksperimen 83,26 dan kelas kontrol 75,1. Hasil uji perbedaan dua rata-rata dua pihak menunjukkan ada perbedaan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Sedangkan uji perbedaan dua rata-rata menunjukkan kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pada hasil belajar kimia di antara siswa yang diberi model pembelajaran ASSURE dengan metode Problem Solving dengan metode yang biasa digunakan oleh guru. Hasil belajar kimia dan keterampilan berpikir kritis pada siswa yang diberi model pembelajaran ASSURE dengan metode Problem Solving terbukti lebih baik daripada hasil belajar kimia siswa yang diberi metode yang biasa digunakan oleh guru. Kata kunci: ASSURE, keterampilan berpikir kritis, problem solving.
ABSTRACT
This study aims to determine whether there are differences in learning outcomes in chemistry among students by learning model ASSURE Problem Solving method and the method usually used by teachers and if there are differences, Which better learning outcomes between the two. Samples were taken at random cluster sampling technique, obtained grade XI Science 1 amounted to 30 students as an experimental class 2 and class XI science class numbered 30 students as control. Data collection method used is the documentation, observation and tests. The results showed the average value of the experimental class and control class 83.26 75.1. Test results on the average difference between the two classes, shows that there are differences between the experimental class with the control class. While the difference in the two trials showed that the average of the experimental class is better than the control class. The results showed that there are differences in the chemistry learning outcomes among students who were given learning model ASSURE Problem Solving method with the method used by the teacher. Results subjects studied chemistry and critical thinking skills in students who were given learning model ASSURE Problem Solving method proved to be better than the results of studying chemistry students who were given the method used by the teacher. Keywords: ASSURE, critical thinking skills, problem solving
PENDAHULUAN
Keberhasilan proses pembelajaran
ditentukan oleh banyak faktor antara lain
siswa, guru, sarana prasarana, kurikulum,
model dan metode pembelajaran yang
digunakan. Kualitas pembelajaran yang
optimal memerlukan srategi dan metode
pembelajaran yang tepat dan efektif karena
metode yang kurang tepat akan berdampak
pada siswa, diantaranya akan menimbulkan
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih, Penerapan Model Assure dengan …. 1469
rasa bosan, pelajaran yang monoton, dan
susah memahami materi yang disampaikan
guru. Ketidaknyamanan siswa mengikuti
pelajaran mengakibatkan siswa cenderung
pasif sehingga keterampilan berpikir kritis
siswa menjadi rendah dan hasil belajarnya
pun kurang maksimal.
Kendala dalam pembelajaran kimia
adalah metode pembelajaran yang
dilaksanakan guru yang menyebabkan
rendahnya aktivitas dan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran kimia. Metode
pembelajaran yang diterapkan oleh guru
sebenarnya sudah baik, tetapi dalam
pelaksanaannya metode tersebut kurang
dikemas secara baik dan kurang bervariasi,
sehingga siswa merasa bosan dan kurang
tertarik mengikuti pembelajaran.
Pribadi (2011) dalam bukunya
menjelaskan bahwa model pembelajaran
ASSURE memiliki kepanjangan Analyze
lerner characteristics, State performance
objectives, Select methods, media, and
materials, Utilize materials, Require learner
participation, Evaluate and revise. Dali
(2011) mengemukakan bahwa Model
ASSURE mempunyai asas yang sangat
kukuh untuk membangunkan courseware
pembelajaran. Berdasarkan kajian-kajian
lepas, model ini bukan sekedar memberi
panduan kepada guru dalam pengajaran
dan pembelajaran setiap ciri yang
terkandung dalam ASSURE boleh
mengubah persepsi pelajar terhadap proses
pengajaran dan pembelajaran yang
dianggap membosankan.
Khasanah (2012) menyatakan
model ASSURE merupakan model
pembelajaran yang menciptakan sebuah
aktivitas belajar yang efektif. Hal tersebut
sependapat dengan Michael, et al., yang
dikutip oleh Pribadi (2011) bahwa desain
pembelajaran ASSURE dirancang dan
dikembangkan untuk menciptakan aktivitas
pembelajaran yang efektif dan efisien.
Angela (2011) menerangkan bahwa model
pembelajaran ASSURE ini merupakan suatu
model pembelajaran yang logis dan
sederhana. Hal ini disebabkan karena model
ASSURE adalah sebuah model pelajaran
yang dirancang dengan baik dimulai dengan
menangkap perhatian siswa, menyatakan
tujuan yang harus dipenuhi, menyajikan
materi, melibatkan siswa dalam
pembelajaran, menilai pemahaman siswa,
menyediakan umpan balik dan akhirnya
melakukan evaluasi.
Menurut Fitriyanto, et al., (2012)
metode pembelajaran problem solving
adalah penggunaan metode dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa
menghadapi berbagai masalah baik itu
masalah pribadi atau perorangan maupun
masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri
atau secara bersama-sama. Tugas guru
dalam metode Problem Solving adalah
memberikan kasus atau masalah kepada
peserta didik untuk dipecahkan. Kegiatan
peserta didik dalam Problem Solving
dilakukan melalui prosedur: (1)
mengidentifikasi penyebab masalah; (2)
mengkaji teori untuk mengatasi masalah
atau menemukan solusi; (3) memilih dan
menetapkan solusi yang paling tepat; (4)
menyusun prosedur mengatasi masalah
berdasarkan teori yang telah dikaji.
Penggunaan indikator keterampilan
berpikir kritis pada penelitian ini adalah
1470 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1468-1477
indikator berpikir kritis dari Ennis (2006).
Dyastuti (2013) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir siswa dapat
dikembangkan menggunakan model
Creative Problem Solving. Indikator
kemampuan berpikir kritis yang digunakan
adalah bertanya dan menjawab pertanyaan
yang membutuhkan penjelasan, melakukan
deduksi, membuat nilai keputusan,
memutuskan suatu tindakan (Ennis, 1996).
Indikator berpikir kritis yang dipakai pada
penelitian ini adalah (1) mencari jawaban
yang jelas dari setiap pertanyaan, (2)
mencari alasan, (3) mencari alternatif
pemecahan masalah, (4) mencari
penjelasan sebanyak mungkin. Afrizo (2012)
menyatakan bahwa metode Problem
Solving dapat menumbuhkan keterampilan
berpikir kritis siswa.
Permasalahan dalam penelitian ini
adalah apakah terdapat perbedaan hasil
belajar kimia antara siswa yang diberi model
pembelajaran ASSURE dengan metode
Problem Solving dan metode yang biasa
digunakan oleh guru pengampu? Apabila
terdapat perbedaan, manakah yang lebih
baik antara siswa yang diberi model
pembelajaran ASSURE dengan metode
Problem Solving dan metode yang biasa
digunakan oleh guru pengampu tersebut?
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
perbedaan hasil belajar kimia antara siswa
yang diberi model pembelajaran ASSURE
dengan metode Problem Solving dan
metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu dan untuk mengetahui manakah
yang lebih baik model pembelajaran
ASSURE dengan metode Problem Solving
dan metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di suatu
SMA di Semarang pada materi buffer.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
kelas XI IPA tahun pelajaran 2013/2014.
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan
menggunakan teknik cluster random
sampling yang merupakan teknik
pengambilan sampel dimana populasi
dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok
atau cluster, kemudian kelompok yang
diperlukan diambil secara acak. Dalam
penelitian ini diambil dua kelas anggota
populasi sebagai sampel, yaitu kelas XI IPA
1 sebagai kelas eksperimen menggunakan
model pembelajaran ASSURE dengan
metode Problem Solving dan kelas XI IPA 2
metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu sebagai kelas kontrol.
Variabel bebas dalam penelitian ini
ialah pembelajaran dengan variasi
perlakuan model pembelajaran ASSURE
dengan metode Problem Solving dan
metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu. Variabel terikat dalam penelitian
ini ialah hasil belajar siswa. Data hasil
belajar diperoleh melalui tes tertulis di akhir
proses pembelajaran. Variabel kontrol
dalam penelitian ini adalah kurikulum, guru
yang sama, materi, dan jumlah jam
pelajaran yang sama.
Metode pengumpulan data
dilakukan dengan metode dokumentasi,
metode observasi, dan metode tes. Analisis
data penelitian ini menggunakan analisis
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih, Penerapan Model Assure dengan …. 1471
data tahap awal dan tahap akhir. Analisis
data tahap awal terdiri atas uji normalitas
dan uji homogenitas. Analisis data tahap
akhir terdiri atas uji kesamaan dua varians,
uji hipotesis, dan analisis deskriptif untuk
data hasil belajar afekif dan psikomotorik. Uji
hipotesis ini terdiri atas uji perbedaan dua
rata-rata dua pihak dan uji perbedaan dua
rata-rata satu pihak kanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan awal populasi penelitian
diketahui dengan menggunakan analisis
data tahap awal. Berdasarkan analisis tahap
awal, semua anggota populasi penelitian
telah berdisribusi normal sehingga
memenuhi syarat dalam menentukan uji
statistika yang digunakan yaitu
menggunakan uji statistik parametrik. Uji
homogenitas populasi diperoleh hasil bahwa
populasi memiliki homogenitas yang sama.
Karena telah memiliki normalitas dan
homogenitas yang sama, pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik cluster
random sampling (Sugiyono, 2006). Oleh
karena itu kondisi awal populasi diketahui
dalam keadaan yang sama.
Penelitian dilaksanakan dengan
mengambil dua kelas populasi sebagai
kelas sampel, yaitu kelas XI IPA 1 sebagai
kelas eksperimen dengan jumlah siswa 30
dan kelas XI IPA 2 sebagai kelas kontrol
dengan jumlah siswa 30. Kedua kelas
kemudian diberi materi yang sama yaitu
materi buffer tetapi dengan menggunakan
metode pembelajaran yang berbeda.
Pembelajaran kelas eksperimen
menggunakan model pembelajaran
ASSURE dengan metode Problem Solving
dan metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu. Siswa dibagi-bagi menjadi
beberapa kelompok kecil dalam kelas
eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol,
siswa tidak dibagi dalam kelompok.
Pelaksanaan model pembelajaran
ASSURE dengan metode Problem Solving
ini juga mengalami beberapa hambatan,
yaitu pada awal-awal diterapkan
pembelajaran, siswa kelas ekperimen
kurang aktif untuk bertanya atau
berpendapat. Cara yang dilakukan untuk
mengatasi hambatan-hambatan tersebut
adalah guru memotivasi siswa agar siswa
aktif berpartisipasi dalam pembelajaran
(terutama pada saat presentasi hasil diskusi
kelas) karena dengan aktif menyampaikan
gagasan, pendapat, pertanyaan, atau
sanggahan maka dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis mereka.
Kedua kelas diberi pembelajaran
yang berbeda, pada pertemuan terakhir
masing-masing kelas eksperimen diberikan
posttest untuk mendapatkan data nilai hasil
belajar kognitif. Data nilai posttest tersebut
kemudian dilakukan uji kesamaan dua
varians, uji perbedaan dua rata-rata dua
pihak dan uji hipotesis.
Hasil Uji Kesamaan Dua Varians
Data Post Test diperoleh Fhitung 1,17
sedangkan Ftabel 2,10 sehingga dapat
diketahui perhitungan uji kesamaan dua
varians baik kelas eksperimen maupun
kelas kontrol memiliki varians yang sama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kelas
eksperimen dan kelas kontrol mempunyai
tingkat varians yang sama dengan kata lain
kedua kelas homogen.
1472 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1468-1477
Uji hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan uji perbedaan dua rata-rata
dua pihak dan uji perbedaan dua rata-rata
satu pihak kanan. Data yang digunakan
yaitu nilai hasil belajar kognitif (posttest)
antara kelas eksperimen dengan kelas
kontrol. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata
Dua Pihak Data Post Test diperoleh thitung
3,88 sedangkan ttabel 2,002. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil
belajar antara kelas eksperimen dengan
kelas kontrol.
Uji satu pihak digunakan untuk
membuktikan hipotesis yang menyatakan
bahwa hasil belajar kimia kelas eksperimen
lebih baik dibandingkan dengan kelas
kontrol. Hasil uji satu pihak kanan diperoleh
thitung sebesar 3,88 sedangkan ttabel sebesar
2,0 sehingga dapat dibuktikan bahwa hasil
belajar kelas eksperimen lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Jadi dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran
ASSURE dengan Problem Solving
memberikan pengaruh positif dalam
meningkatkan hasil belajar siswa dan
keterampilan berpikir kritis.
Pada penelitian ini, pencapaian rata-
rata nilai posttest kimia pada kelas
eksperimen yang diberi model pembelajaran
ASSURE dengan metode Problem Solving
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
nilai post test kelas kontrol yang diberi
metode yang biasa digunakan oleh guru
pengampu. Bowen dan Bodner (2004)
menyatakan bahwa pembelajaran
menggunaan metode Problem Solving
menunjukkan peningkatan prestasi
mahasiswa dalam mata pelajaran sintesis
organik. Hal ini disebabkan karena siswa
yang diberikan pembelajaran menggunakan
metode Problem Solving rasa ingin tahunya
meningkat. Hal ini sependapat dengan
Hamdani (2011) yang menyatakan bahwa
metode Problem Solving adalah suatu cara
menyajikan pelajaran dengan medorong
siswa untuk mencari dan memecahkan
suatu masalah atau persoalan untuk
pencapaian tujuan pembelajaran.
Pembelajaran yang disertai dengan
game atau permainan menjadi daya tarik
tersendiri dalam proses pembelajaran
sehingga siswa tidak merasa bosan dan
jenuh. Hal ini sesuai dengan keunggulan
pembelajaran metode Problem Solving.
Pembelajaran yang menyenangkan ini yang
akhirnya membuat siswa dapat lebih
memahami materi dan dapat menyelesaikan
berbagai jenis tipe soal. Hal ini karena
metode Problem Solving dapat
menumbuhkan keterampilan berpikir kritis
siswa (Afrizon, 2012).
Rata-rata nilai posttest kelas
eksperimen dan kelas kontrol telah
melampaui KKM seperti pada Tabel 1. Hal
ini berarti kedua metode sama-sama dapat
meningkatkan hasil belajar kognitif siswa.
Rata-rata nilai posttest kelas eksperimen
(metode Problem Solving) lebih tinggi
dibandingkan nilai rata-rata posttest kelas
kontrol (metode yang biasa digunakan oleh
guru pengampu) dengan selisih nilai 8,16.
Perbedaan rata-rata nilai posttest tidak
terlalu jauh karena penerapan kedua
metode ini sama-sama baik untuk
mengaktifkan siswa mencapai kompetensi
yang ingin dicapai namun metode Problem
Solving membuat siswa lebih aktif
dibandingkan dengan metode yang biasa
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih, Penerapan Model Assure dengan …. 1473
digunakan oleh guru pengampu. Hal ini
disebabkan karena pada saat pembelajaran
dengan metode Problem Solving siswa lebih
aktif untuk berdiskusi dari pertanyaan yang
diberikan guru dan bertanya mengenai
materi yang belum mereka pahami dari
pernyataan yang diberikan guru (Ristiasari,
2012). Selain itu metode Problem Solving
juga membuat siswa lebih termotivasi untuk
menyelesaikan soal karena siswa merasa
penasaran dan bersemangat untuk
menemukan jawaban (Rahmawati, 2009).
Tabel 1. Proporsi nilai hasil posttest kelas
eksperimen dan kelas kontrol
Table 1 menunjukkan bahwa pada
uji ketuntasan hasil belajar kognitif
menunjukkan bahwa kelas eksperimen
sudah mencapai batas ketuntasan individu
dengan KKM 72 dan 27 dari 30 siswa telah
mencapainya nialai KKM. Kelas kontrol
sudah mencapai batas ketuntasan individu
dengan KKM 72 dan 25 dari 30 siswa telah
mencapainya, namun jumlah siswa yang
telah mencapai nilai KKM lebih banyak kela
eksperimen daripada kelas kontrol. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa metode
Problem Solving lebih baik dari metode yang
biasa digunakan oleh guru pengampu
meskipun kedua-duanya juga merupakan
metode yang sama-sama baik untuk
diterapkan pada pembelajaran.
Hasil perhitungan uji kesamaan dua
varians diperoleh data kedua kelas memiliki
varians yang sama. Sedangkan pada uji
perbedaan dua rata-rata dua pihak diperoleh
kesimpulan bahwa antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol, keduanya memiliki
perbedaan dan pada uji perbedaan rata-rata
satu pihak kanan dapat ditarik simpulan
bahwa hasil belajar kognitif kelas
eksperimen lebih baik dari pada kelas
kontrol, dengan kata lain pembelajaran
dengan menggunakan metode Problem
Solving memberikan hasil
belajar kognitif yang lebih
baik dari pada
pembelajaran yang
diberikan dengan
menggunakan model yang
biasa digunakan guru
pengampu khususnya pada
pokok materi buffer.
Rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen maupun kelas kontrol sudah
mencapai batas ketuntasan minimum. Akan
tetapi, kelas eksperimen jumlah siswa yang
tuntas, belajar lebih banyak dibanding kelas
kontrol. Siswa yang tuntas pada kelas
eksperimen sebanyak 27. Sedangkan pada
kelas kontrol, siswa yang tuntas sebanyak
25. Selain berdasarkan analisis data
posttest diperoleh hasil yaitu adanya
perbedaan hasil belajar kognitif pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata
hasil belajar kognitif kelas eksperimen lebih
besar dari kelas kontrol yaitu masing-masing
sebesar 83,27 dan 75,10 dapat dilihat pada
Gambar 1 .
Kriteria Kelas Kontrol Kelas
Eksperimen
KKM 72 72 Jumlah yang tuntas 25 dari 30 siswa 27 dari 30 siswa
jumlah yang tudak tuntas 5 dari 30 siswa 3 dari 30 siswa nilai maximal 86 100 nilai minimal 52 66
S 7,84 8,46 S
2 61,40 71,58
Rata-rata 75,1 83,26
1474 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1468-1477
Gambar 1. Hasil belajar ranah kognitif
Nilai keterampilan berpikir kritis
siswa diperoleh dari hasil nilai Posttest
dengan menggunakan soal uraian yang tiap
soalnya telah disesuaikan dengan indikator
keterampilan berpikir kritis dari Ennis (1996).
Pada penelitian ini, indikator keterampilan
berpikir kritis dari Ennis yang
digunakan ada 4 adalah (1)
mencari jawaban yang jelas dari
setiap pertanyaan, (2) mencari
alasan, (3) mencari alternatif
pemecahan masalah, (4)
mencari penjelasan sebanyak
mungkin apabila
memungkinkan. Soal uraian
yang dipakai pada Posttest sebanyak 10
soal.
Perbandingan ketercapaian siswa
dalam setiap aspek penilain keterampilan
berpikir kritis antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Kritis
Gambar 2 menyatakan bahwa
pencapaian keterampilan berpikir kritis
siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada
kelas kontrol pada semua indikator. Hal ini
dikarenakan pada kelas eksperimen siswa
terbiasa mengerjakan kasus pada setiap
pertemuan. Pemberian kasus pada setiap
pertemuan pembelajaran dapat
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa
terhadap materi pembelajaran (Fachrurazi,
2011). Penyelesaian kasus yang kompleks
pada kelas eksperimen menuntut siswa
untuk dapat berpikir kritis dengan cara
membangun ide-ide baru yang dapat
mereka lakukan melalui studi pustaka,
praktikum dan diskusi. Studi pustaka
dilakukan oleh siswa untuk menambah
informasi-informasi dari berbagai sumber
belajar yang berkaitan dengan kasus dari
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih, Penerapan Model Assure dengan …. 1475
setiap pertemuan (Sarwi dan Liliasari,
2009).
Penilaian aspek psikomotorik
diperoleh dari hasil observasi terhadap
siswa pada saat praktikum. Ada tujuh aspek
yang diobservasi pada penilaian
psikomotorik pada saat praktikum
berlangsung, dengan kategori tiap aspek
meliputi sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah,
dan sangat rendah. Skor berturut-turut dari 5
sampai 1.
Reliabilitas yang diperoleh dari
perhitungan menggunakan rumus intereter
reliability pada kelas eksperimen adalah
0,864, sedangkan pada kelas kontrol
diperoleh reliabilitas sebesar 0,724. Hal ini
berarti analisis nilai psikomotor terhadap
kedua kelas baik kelas eksperimen maupun
kelas kontrol memiliki reliabilitas yang baik
karena mendekati nilai 1. Namun reliabiltas
kelas eksperimen lebih besar yaitu 0,864.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan siswa kelas eksperimen dalam
aspek psikomotor dalam praktikum lebih
baik daripada kemampuan siswa pada
kelas kontrol.
Perbandingan ketercapaian siswa
dalam aspek penilaian psikomotor dalam
praktikum antara siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 5.
Ada 12 aspek yang akan diteliti yaitu aspek
persiapan alat, persiapan bahan,
keterampilan mengukur volume larutan
akan dianalisis menggunakan gelas ukur,
keterampilan melakukan pegamatan
menggunakan skala ukur, keterampilan
menuangkan zat ke dalam gelas kimia atau
erlenmeyer, keterampilan mereaksikan zat
yang digunakan, keterampilan
menggunakan pH indikator universal,
membuat laporan sementara. Hasil analisis
data pengamatan, menuliskan kesimpulan,
menuang sisa larutan kerja ke tempat yang
telah disediakan, membersihkan semua
alat-alat yang telah digunakan,
mengembalikan alat ketempat semula, yang
masing-masing ditandai dengan kode P1,
P2, P3, P4, P5, P6, P7, P8, P9, P10, P11,
P12 sedangkan kriteria penilaian terbagi
menjadi 4 bagian yaitu sangat baik, baik,
cukup dan kurang yang diwakili oleh kode A,
B, C, D. Data selengkapnya terlihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Ketrcapaian Tiap
Aspek dalam Penilaian Praktikum Antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Penilaian aspek afektif diperoleh
dari hasil observasi terhadap siswa pada
saat proses pembelajaran. Ada enam aspek
yang diobservasi pada penilaian afektif pada
saat pembelajaran berlangsung, dengan
kategori tiap aspek meliputi sangat tinggi,
tinggi, cukup, rendah, dan sangat rendah.
Skor berturut-turut dari 5 sampai 1.
Aspek Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
A B C D A B C D
A1 16 14 0 0 5 25 0 0
A2 6 22 2 0 0 25 5 0
A3 9 20 1 0 5 20 5 0
A4 2 28 0 0 0 24 2 4
A5 0 30 0 0 0 30 0 0
A6 1 29 0 0 0 25 5 0
A7 0 27 3 0 0 30 0 0
A8 0 13 12 5 0 10 11 9
A9 0 20 10 0 0 20 10 0
A10 0 30 0 0 0 30 0 0
A11 0 30 0 0 0 30 0 0
A12 4 26 0 0 0 30 0 0
1476 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1468-1477
Reliabilitas yang diperoleh dari
perhitungan menggunakan rumus intereter
reliability pada kelas eksperimen adalah
0,776, sedangkan pada kelas kontrol
diperoleh reliabilitas sebesar 0,701. Hal ini
berarti analisis nilai afektif terhadap kedua
kelas baik kelas eksperimen maupun kelas
kontrol memiliki reliabilitas yang baik karena
mendekati nilai 1. Namun reliabiltas kelas
eksperimen lebih besar yaitu 0,864. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan
siswa kelas eksperimen dalam aspek afektif
dalam praktikum lebih baik daripada
kemampuan siswa pada kelas kontrol.
Perbandingan ketercapaian siswa
dalam aspek penilaian afektif dalam diskusi
antara siswa kelas ekspperimen dan kelas
kontrol dapat dilihat pada tabel 6. Ada 12
aspek yang akan diteliti yaitu kehadiran,
partisipasi aktif dalam pembelajaran,
kemampuan kerjasama dalam kelompok,
kedisiplinan, kepemilikan alat atau sumber
belajar, minat terhadap pembelajaran, yang
masing-masing ditandai dengan kode P1,
P2, P3, P4, P5, P6 sedangkan kriteria
penilaian terbagi menjadi 5 bagian yaitu
sangat baik, baik, cukup, kurang dan sangat
kurang yang diwakili oleh kode A, B, C, D,
E. Data selengkapnya terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Ketercapaian Tiap
Aspek dalam Penilaian Diskusi Antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan antara lain (1) terdapat
perbedaan hasil belajar kimia dan
keterampilan berpikir kritis antara siswa
yang diberi model pembelajaran ASSURE
dengan metode Problem Solving, (2) hasil
belajar kimia dan keterampilan berpikir kritis
siswa yang diberi model pembelajaran
ASSURE dengan metode Problem Solving
lebih baik daripada siswa yang diberi
metode yang sering dipakai oleh guru
pengampu.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizon, R., Ratnawulan, dan Fauzi, A.,
2012, Peningkatan Perilaku
Berkarakter dan Keterampilan
Berpikir Kritis Siswa Kelas IX MTsN
Model Padang pada Mata Pelajaran
IPA-Fisika Menggunakan Model
Problem Based Instruction, Jurnal
Penelitian Pembelajaran Fisika, Vol
3, No 1, Hal: 1-17.
Bowen C.W. dan Bodner G.M., 2004,
Problem Solving Processesused By
graduate Students While Solving
Tasks Inorganic Synthesis,
Department of Chemistry, Purdue
University, International Journal of
Science Education, Vol 13, Hal: 143-
158.
Aspek Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
A B C D E A B C D E
A1 16 14 0 0 0 5 25 0 0 0 A2 6 22 2 0 0 0 15 5 6 4 A3 9 20 1 0 0 5 20 5 0 0 A4 2 28 0 0 0 0 24 2 4 0 A5 0 30 0 0 0 0 30 0 0 0 A6 7 21 2 0 0 0 18 5 3 4
Widia Maya Sari* dan Endang Susiloningsih, Penerapan Model Assure dengan …. 1477
Dyastuti, 2013, Pembelajaran Creative
Problem Solving untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa pada Pembelajaran
Fisika Kelas XI IPA 6 MAN 3
Malang, Jurnal Penelitian
Pendidikan Fisika, Vol 2, No 1, Hal:
1-12.
Ennis, H., 1996, The Critical Thinking
Skills, Boston: Allyn dan Bacon.
Fachrurazi, 2011, Penerapan Pembelajaran
Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis dan Komunikasi Matematis
Siswa Sekolah Dasar, Jurnal
Penelitian Pendidikan, Vol 1, No 2,
Hal: 76-89.
Fitriyanto. F., Nurhayati. S., dan Saptorini,
2012, Penerapan Model
Pembelajaran Problem Solving
Pada Materi Larutan Penyangga
Dan Hidrolisis, Chemistry In
Education, Vol 1, No 1, Hal: 1-5
Hamdani, 2011, Strategi Belajar Mengajar,
Bandung: Pustaka Setia.
Khasanah, D.I.N., 2012, Penerapan Desain
Sistem Pembelajaran ASSURE
untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Memukul Bola dalam Permainan
Kasti pada Siswa Kelas IV SD
Negeri Purworejo Kecamatan
Banjarsari Surakarta Tahun
Pelajaran 2011/2012, Jurnal
Mahasiswa Pendidikan Jasmani
Kesehatan Dan Rekreasi, Vol 1,
No 1, Hal: 1-17.
Megaw, A.E., 2001, Deconstructing the
Heinich, Molenda, Russella, and
Smaldino Instructional Design
Model, Georgia, University of
Gergia.
Mulyatiningsih, E., 2011, Metode Penelitian
Terapan Bidang Pendidikan,
Bandung: Alfabeta.
Pribadi, B., 2011, Model ASSURE Untuk
Mendesain Pembelajaran Sukses,
Jakarta: Dian Rakyat.
Rahmawati, D., 2009, Kompetensi berpikir
Kritis Dan Kreatif Dalam Pemecahan
Masalah Matematika di SMP Negeri
2 Malang, Jurnal Pendidikan
Matematika, Vol 1, No 2, Hal: 1-8
Ristiasari, T., Priyono, B., dan Sukaesih, S.,
20012, Model Pembelajaran
Problem Solving Dengan Mind
Mapping Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa, Unnes
Journal of Biology Education, Vol
1, No 3, Hal: 1-8.
Sarwi dan Liliasari, 2009, Penerapan
Strategi Kooperatif dan
Pemecahan Masalah pada Konsep
Gelombang pntuk
Mengembangkan Keterampilan
Berfikir Kritis, Jurnal Pendidikan
Fisika Indonesia, Vol 5, No 2, Hal:
90-95
Sugiyono, 2006, Statistika untuk Penelitian,
Bandung: Alfabeta.
Dali, N., 2011, Rasional Ciri-Ciri Reka
Bentuk Instruksional Model
ASSURE dalam Penggunan
Courseware Pengajaran dan
Pembelajaran, Jurnal Penelitian
Sultan Idris Education University,
Vol 2, No 1, Hal: 1-8.
1478 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1478-1486
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC DENGAN PENILAIAN PRODUK BERBASIS CHEMO-ENTREPRENEURSHIP
Siti Munawaroh* dan Subiyanto Hadi Saputro
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035
E-mail: belajarchemistry@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan evaluasi pada produk berbasis Chemo-Entrepreneurship pada materi sistem koloid dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik dan apakah model tersebut efektif diterapkan. Populasi penelitian ini adalah kelas XI IPA suatu sekolah menengah atas di Magelang tahun ajaran 2013/2014. Sampel pada penelitian ini adalah kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 2 sebagai kelas kontrol, teknik sampling dilakukan dengan subjek sampel. Rata-rata hasil belajar pada kelas eksperimen 79,28 dan kelas kontrol sebesar 71,10. Uji ketuntasan belajar menunjukan bahwa kelas eksperimen telah mencapai ketuntasan belajar (baik individual maupun klasikal) sedangkan kelas kontrol belum mencapai ketuntasan klasikal. Hasil dari uji perbedaan rata-rata pada dua kelas menunjukan adanya perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai t-hitung hasil posttest menunjukan 3,948 sementara pada t-kritis 1,998. Uji pada perbedaan rata-rata dua kelas menunjukan terdapat perbedaan rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji perbedaan rata-rata satu pihak (pihak kanan) menunjukan bahwa nilai t-hitung adalah 3,95, sementara t-kritis adalah 1,998 sehingga bisa disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik kelas eksperimen lebih baik dibandingkan kelas kontrol. Kata kunci: chemo-enterpreneurship, pembelajaran kooperatif tipe CIRC, penilaian produk
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine whether the type of cooperative learning
model CIRC with the evaluation based products Chemo-Entrepreneurship on the material colloidal systems can improve student learning outcomes and whether the model is effectively applied. The study population was a class XI IPA a high school in Magelang academic year 2013/2014. Samples in this research is class XI IPA 1 as an experimental class and class XI IPA 2 as the control class, sampling techniques performed with the subject sample. The average learning outcomes in experimental class and control class 79.28 for 71.10. Test completeness study showed that the experimental class have achieved mastery learning (either individually or classical) while the control group had not reached the classical completeness. Results of the test the average difference in the two classes shows the difference between the experimental class and control class. Value t-test results showed 3.948 posttest while on t-critical 1,998. Test on the difference in average there are two classes showed an average difference between the experimental class and control class. Test average difference one side (right side) shows that the value of t-test was 3.95, while the t-critical was 1,998 so it can be concluded that the results of the experimental class students learn better than the control class. Keywords: chemo-entrepreneurship, cooperative learning CIRC, product assessment
PENDAHULUAN
Sistem koloid merupakan salah satu
materi yang harus dikuasai siswa kelas XI
IPA pada semester genap. Oleh karena itu
materi sistem koloid ini harus benar-benar
dikuasai siswa, karena materinya dalam
bentuk bacaan dan hafalan sering kali guru
menganggap bahwa materi sistem koloid ini
Siti Munawaroh* dan Subiyanto Hadi Saputro, Keefektifan Model Pembelajaran …. 1479
bisa dipelajari dengan mandiri oleh siswa,
sementara dari sudut pandang siswa, kimia
merupakan mata pelajaran yang rumit.
Guru, kurikulum, siswa, sarana dan
prasarana serta strategi atau model
pengajaran adalah faktor yang mem-
pengaruhi hasil belajar siswa (Sutikno, et al.,
2010). Faktor yang paling utama
menentukan apakah siswa akan berminat
dan termotivasi untuk belajar adalah faktor
dari guru sendiri (Aritonang, 2008). Guru
sebagai fasilitator guru harus mampu
merancang, metode, model dan pendekatan
pembelajaran sehingga siswa bisa
termotivasi untuk belajar.
Dari sudut pandang guru, siswa
mampu mempelajari materi koloid ini secara
mandiri sehingga pada praktek pembe-
lajaran materi sistem koloid ini menerapkan
belajar mandiri dan hanya mengulas sekilas
materi sistem koloid ini, akibatnya hasil
belajar siswa pada materi sistem koloid tidak
memuaskan (Fajri et al., 2012). Hal serupa
terjadi di suatu sekolah menengah atas di
Magelang, bahwa hasil belajar siswa pada
materi sistem koloid belum ada yang
mencapai nilai KKM yaitu 75. Nilai maksimal
yang diperoleh siswa 73 sementara nilai
minimal 33.
Pembelajaran kooperatif berbasis
kontekstual learning bisa dijadikan alternatif
yang dilakukan oleh guru untuk mendong-
krak hasil belajar siswa (Nurhayati, et al.,
2013). Salah satu alternatif yang bisa dicoba
adalah model pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai
anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya heterogen (Rasyid, 2012).
Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak
tipe salah satunya yaitu CIRC (Cooperative
Integrated Reading and Composition) .
Model pembelajaran CIRC efektif
dapat meningkatkan keterampilan membaca
dan menulis (Durukan, 2011). Diharapkan
dengan implementasi model ini juga dapat
meningkatkan hasil belajar pada materi
sistem koloid. Menurut Sasongko (2013)
CIRC terdiri dari tiga unsur penting yaitu
kegiatan dasar terkait, pengajaran langsung,
pemahaman bacaan, seni berbahasa serta
menulis terpadu. Model CIRC menuntut para
siswa bekerja dalam tim-tim yang heterogen.
Salah satu aspek penting dalam kegiatan
pembelajaran adalah penilaian, jenis tehnik
penilaian yang bisa diterapkan salah
satunya adalah penilaian produk. Suwandi
(2011) membagi pembuatan produk dalam
tiga tahap dan pada setiap tahap tersebut
dilakukan penilaian, meliputi tahap per-
siapan, tahap pembuatan produk (proses)
dan tahap penilaian produk (appraisal).
Konsep pendekatan chemo-
entrepreneurship (CEP) adalah suatu
pendekatan pembelajaran kimia yang
dikaitkan dengan obyek nyata sehingga
memungkinkan siswa dapat mempelajari
proses pengolahan suatu bahan menjadi
produk yang bermanfaat, bernilai ekonomi
dan menumbuhkan semangat berwirausaha
(Supartono, et al., 2006).
Permasalahan yang dihadapi dalam
penelitian ini adalah apakah model
pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
penilaian produk berbasis CEP efektif
digunakan dalam pembelajaran sistem
koloid serta dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Sedangkan tujuan dari
1480 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1478-1486
penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah model pembelajaran kooperatif tipe
CIRC dengan penilaian produk berbasis
CEP efektif digunakan dalam pembelajaran
materi sistem koloid dan untuk mengetahui
apakah model ini dapat meningkatkan hasil
belajar peserta didik pada materi sistem
koloid.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian eksperimen. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pretest-posttest group design, yakni
penelitian dengan melihat perbedaan pretest
dan posttest antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Desain penelitian disajikan
pada Tabel 1:
Tabel 1. Desain Penelitian Pretest-Posttest
Group Design
Kelas Pretest Perlakuan Posttest
I T1 A T2 II T1 B T2
(Sugiyono, 2010 ). Nilai ujian akhir semester gasal
kedua kelas tersebut diuji normalitas,
homogenitas dan perbedaan dua rata-rata
untuk mengetahui kondisi awal serta
menentukan teknik analisis data apakah
menggunakan statistik parametrik atau non
parametrik, kemudian dilanjutkan menyusun
kisi-kisi tes, menyusun instrument tes uji
coba berdasarkan kisi-kisi, uji coba soal
instrument tes setelah itu hasil uji coba
dianalisis data hasil ujicoba yang meliputi
validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan
daya beda soal, kemudian menentukan
soal-soal yang sesuai kriteria, menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran
kooperatif tipe CIRC dengan penilaian
produk berbasis CEP pada kelas
eksperimen, melaksanakan tes hasil belajar
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol,
menganalisis data hasil belajar dan yang
terakhir menyusun hasil penelitian.
Metode pengumpulan data dilakukan
dengan metode tes, metode dokumentasi,
lembar observasi dan lembar angket.
Metode tes digunakan untuk mengetahui
hasil belajar ranah kognitif. Adapun bentuk
soal tes yang digunakan adalah pilihan
ganda sebanyak 30 butir soal yang telah
disusun sesuai dengan indikator, soal tes
yang digunakan antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol adalah sama. Lembar
observasi digunakan untuk mengetahui hasil
belajar ranah afektif dan psikomotor,
sedangkan lembar angket digunakan untuk
mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
penilaian produk berbasis CEP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pembelajaran
kooperatif tipe CIRC dengan penilaian
produk berbasis CEP pada materi sistem
koloid meliputi tiga ranah yakni hasil belajar
ranah kognitif, hasil belajar ranah afektif
serta hasil belajar ranah psikomotorik.
Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
penlaian produk berbasis CEP dikatakan
efektif bila hasil belajar kognitif siswa telah
mencapai ketuntasan individual dan
ketuntasan klasikal tercapai.
Hasil uji ketuntasan belajar me-
nunjukan siswa kelas eksperimen telah
mencapai ketuntasan belajar baik secara
Siti Munawaroh* dan Subiyanto Hadi Saputro, Keefektifan Model Pembelajaran …. 1481
individual maupun klasikal berdasarkan
KKM (75). Keefektifan pembelajaran
diperoleh jika ketuntasan klasikal telah
mencapai 85%. Hasil analisis ketuntasan
belajar diketahui hasil belajar siswa kelas
eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas
kontrol. Hasil tersebut menunjukan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
penilaian produk berbasis CEP efektif
digunakan pada materi sistem koloid.
Perbedaan rata-rata hasil belajar dan
peningkatan hasil belajar ditunjukan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan hasil belajar pretest-posttest, dan n-gain antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Gambar 1 memperlihatkan perban-
dingan hasil belajar kelas eksperimen dan
kontrol baik hasil belajar pretest, posttes,
maupun N-Gain. Perbedaan sangat jelas
bila membandingkan antara hasil pretest
dan posttes kelas eksperimen, hasil pretest
menunjukan bahwa rata-rata hasil belajar
kelas eksperimen dan kelas kontrol uji
perbedaan rata-rata tidak ada perbedaan
antara keduanya, kemudian setelah
diterapkan model pembelajaran kooperatif
tipe CIRC dengan penilaian produk berbasis
CEP hasil posttest menunjukan adanya
perbedaan rata-rata antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol, perbedaan
peningkatan hasil belajar ini didukung
dengan adanya data N-Gain, untuk kelas
eksperimen penerapan model pembelajaran
CIRC dengan Jelas terlihat bahwa
peningkatan hasil belajar dengan model
CIRC dengan Penilaian Produk berbasis
CEP lebih besar dibandingkan Model
Konvensional. Selanjutnya untuk melihat
besarnya pengaruh dan kontribusi kegiatan
pembelajaran maka dilakukan uji koeefisien
korelasi dan uji koefisien determinasi. Hasil
uji koefisien korelasi diperoleh rb sebesar
0,48 sehingga besarnya KD
adalah 23,04%, besarnya
pengaruh model pembela-
jaran CIRC dengan penilaian
produk berbasis CEP adalah
sedang. Hasil serupa ditun-
jukan oleh penelitian yang
dilakukan oleh (Fadilah, et
al., 2012) pembelajaran
kooperatif tipe CIRC dengan penggunaan
Chemdiary book memberikan kontribusi
sebesar 27,085% pada pembelajaran kimia
materi sistem koloid. Model pembelajaran
CIRC efektif digunakan dalam pengajaran
materi dalam bentuk bacaan (Setyaningrum,
et al., 2012) model ini cocok diterapkah
untuk materi yang berupa bacaan dan
hafalan seperti materi sistem koloid.
Hasil belajar afektif diperoleh dari
lembar observasi melalui pengamatan
terhadap sikap siswa selama berlangsung-
nya proses pembelajaran. Lembar observasi
disertai dengan rubrik penskoran dengan
rentang 1 sampai dengan 4, pengamatan
dilakukan oleh dua observer. Data hasil
belajar afektif dianalisis secara deskriptif
1482 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1478-1486
hasil rata-rata nilai setiap afektif pada kelas
eksperimen dan kontrol disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan rata-rata hasil belajar afektif kelas eksperimen dan kelas kontrol
Gambar 2 memperlihatkan rata-rata
nilai tiap aspek pada kelas eksperimen
relatif sama dengan kelas kontrol, tetapi
pada beberapa aspek rata-rata kelas
eksperimen lebih tinggi diandingkan kelas
kontrol secara deskriptif tidak ada
perbedaan yang terlihat antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol kecuali pada
dua aspek yang pertama yaitu kehadiran
dan kerjasama. Pada aspek kehadiran kelas
eksperimen lebih unggul, karena siswa lebih
tertarik belajar materi sistem koloid dengan
model kooperatif tipe CIRC dengan
penilaian produk berbasis CEP sedangkan
pada aspek kerjasama kelas eksperimen
lebih unggul karena pada kegiatan pem-
belajaran materi koloid selalu diterapkan
model kooperatif sehingga siswa kelas
eksperimen lebih terbiasa untuk bekerja-
sama secara kelompok, sesuai dengan
pendapat Muijs dan David (2008) model
pembelajaran kooperatif tidak hanya
memperluas pengetahuan siswa melainkan
juga meningkatkan keterampilan sosial dan
rasa empati terhadap sesama siswa. Selain
kedua aspek tersebut se-cara deskriptif
aspek lainnya tidak
menunjukkan perbeda-an
namun bila dilihat secara
kuantitatif kelas eksperimen
masih lebih unggul
dibandingkan dengan kelas
kontrol. Kegiatan pembela-
jaran kooperatif juga dapat
meningkatkan aktivitas sis-
wa karena dalam
pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif
dan bekerjasama dengan anggota kelompok
supaya tujuan pembelajaran bisa tercapai.
Selain hasil belajar kognitif dan
afektif dalam penelitian ini juga melihat data
hasil belajar psikomotorik, ranah psiko-
motorik dilihat saat pelaksanaan praktikum,
praktikum yang dilakukan adalah untuk
mengetahu sifat-sifat koloid dan cara
pembuatan koloid, kegiatan praktikum ini
dilakukan kelas eksperimen dan kelas
kontrol dengan panduan praktikum yang
sama hal ini dilakukan untuk menghindari
kesenjangan antara kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Penilaian ranah psikomotorik
dilakukan dengan lembar observasi dengan
rubrik penskoran, rentang skor dalam
lembar psikomotorik 1 sampai dengan 4.
Pengamatan dilakukan oleh dua orang
observer. Aspek penilaian meliputi delapan
aspek yaitu: kemampuan siswa dalam
memimpin kelompok, dinamika kelompok,
persipan alat, keterampilan menggunakan
alat, kebersihan tempat, ketertiban dan
ketepatan waktu, hasil praktikum dan
Siti Munawaroh* dan Subiyanto Hadi Saputro, Keefektifan Model Pembelajaran …. 1483
pelaporan. Hasil analisis rerata nilai setiap
aspek disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan rata-rata nilai setiap aspek psikomotorik kelas eksperimen dan kelas kontrol
Penilaian kegiatan praktikum meliputi
keterampilan menggunakan alat, keteram-
pilan mengamati, dan ketepatan waktu
dalam menyelesaikan praktikum. Rata-rata
nilai aspek keterampilan menggunakan alat
untuk kelas eksperimen lebih baik di-
bandingkan dan kelas kontrol hal ini
dikarenakan sebelum praktikum dimulai
untuk kelas eksperimen diberikan kesem-
0patan untuk mendiskusikan LKS praktikum
terlebih dahulu, analisis secara deskriptif
kedua kelas berada di tingkatan yang sama
pada seluruh aspek hal ini dikarenakan
kedua kelas menggunakan panduan
praktikum yang sama, namun bila dilihat
secara kuantitatif hasil belajar ranah
psikomotor kelas eksperimen lebih baik dari
kelas kontrol. Sesuai dengan hasil penelitian
Sukiastini, et al., (2013) pembelajaran model
kooperatif tipe CIRC tidak hanya memen-
tingkan aktivitas secara
individu tetapi juga
berkontribusi terhadap anggota
kelompok sehingga dapat
mengoptimalkan kerja
kelompok. Selain praktikum
pengamatan sifat-sifat koloid
kelas eksperimen juga
melakukan praktikum
pembuatan produk adapun
produk yang dibuat selanjutnya dinilai
dengan rubrik penilaian produk, jenis produk
yang dibuat disamakan yaitu berupa
makanan, tujuan dari pembatasan produk
adalah untuk mempermudah penilaian
sehingga rubrik yang digunakan juga sama.
Selain itu, produk yang dibuat juga harus
bernilai jual, sesuai dengan konsep
pendekatan chemo-entrepreneurship. Pem-
belajaran kimia yang unggul adalah suatu
pembelajaran yang tidak membosankan,
meningkatkan motivasi dan dan jiwa
entrepreneur (Sumarni, 2009).
Hasil analisis angket ini digunakan
sebagai evaluasi terhadap penelitian yang
telah dilakukan. Angket memiliki tingkatan
respon mulai dari sangat setuju, setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju. Hasil angket
tanggapan siswa terhadap pembelajaran
disajikan pada Gambar 4.
1484 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1478-1486
Gambar 4. Hasil angket tanggapan siswa
Hasil analisis data angket tang-
gapan siswa menunjukkan bahwa
penerapan model CIRC dengan penilaian
produk berbasis CEP baik untuk
meningkatkan hasil belajar kognitif serta
siswa memberi respon positif terhadap
pelaksanaan pembelajaran. Hal ini didukung
oleh respon siswa sebanyak 18 siswa
menyatakan sangat setuju dan 12 lainnya
menyatakan setuju jadi 30 siswa menyukai
model pembelajaran yang diterapkan. Hasil
penyebaran angket, siswa memilih sangat
setuju dan setuju terhadap pernyataan
bahwa siswa merasa terbantu dalam
memahami materi koloid dengan adanya
penerapan model kooperatif tipe CIRC
dengan penilaian produk berbasis CEP.
Penilaian produk berbasis CEP juga
membuat siswa lebih termotivasi dalam
belajar karena siswa dituntut menghasilkan
produk yang bernilai jual pada pembelajaran
materi sitem koloid. Selain itu, aktivitas
siswa juga meningkat, siswa lebih aktif
bertanya dan berpendapat dalam kegiatan
diskusi kelompok serta meningkatkan
kerjasama antar siswa. Sebanyak 30 siswa
dari total 32 siswa tertarik dengan kegiatan
pembuatan produk berbasis CEP, karena
selain meningkatkan pemahaman materi
juga dapat meningkatkan keterampilan
siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data
dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan
Siti Munawaroh* dan Subiyanto Hadi Saputro, Keefektifan Model Pembelajaran …. 1485
penilaian produk berbasis CEP efektif
digunakan pada pembelajaran sitem koloid
dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa
sebesar 68%.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, K.T., 2008, Minat dan Motivasi dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Jurnal Pendidikan Penabur, Vol 10, No 7, Hal: 11-21.
Durukan, E., 2011, Effects of Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC) Technique on Reading-Writingskills, Educational Research and Reviews, Vol 6, No 1, Hal: 102-109.
Fadilah, A., Nurwachid, B.S., dan Kusoro, S., 2010, Pembelajaran Cooperative Integrated Reading And Composition Didukung Penggunaan Chemdiary Book, Chemistry in Education, Vol 2, No 1, Hal: 68-73.
Fajri, L., Kus, S.M dan Agung, N.C.S., 2012, Upaya Peningkatan Hasil Belajar dan Proses Belajar Koloid melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) Dilengkapi dengan Teka-Teki Silang Bagi Siswa Kelas XI IPA 4 SMA N 2 Boyolali pada Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012, Jurnal Pendidikan Kimia (JPK),Vol 1, No 1, Hal: 89-96.
Muijs,D. dan David, R., 2008, Effective Teaching Teori dan Aplikasi (Terjemahan Soetjipto, H.P dan Soetjipto. S.M.), Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Nurhayati, D., Subiyanti H.S dan S. Mantini, R.S., 2013, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Berbasis Contextual Teaching And Learning, Chemistry in Education, Vol 2, No 1, Hal: 2-6.
Rasyid, A., 2012, Pembelajaran Kooperatif Dengan Tipe TGT dengan Menggunakan Media Kartu Kerja terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Pokok Ikatan Kimia di Kelas X SMA N 2 Binjai Tahun Pelajaran 2011/2012, Skripsi, Medan: FMIPA Universitas Negeri Medan.
Sasongko, A., 2013, Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and composition) dengan Alat Peraga Materi Peluang pada Kelas XI SMK Wongsorejo Gembong Tahun 2011/2012, Ekuivalen-Pendidikan Matematika, Vol 1, No 1, Hal: 08-14.
Setyaningrum, R.R., Moch, C., dan Mashuri, 2012, Keefektifan Model Pembelajaran CIRC dan NHT dengan Pemodelan Matematika dalam Menyelesaikan Soal Cerita Kelas VIII, Unnes Journal Mathematic Education, Vol 1, No 2, Hal: 37-42.
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sukiastini, I.G.A.N.K, Sadia I.W., dan Suastra I.W., 2013, Pengaruh Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif, Jurnal Penelitian Pasca Undiksha, Vol 3, No 1, Hal: 1-11.
Sumarni, W., 2009, Peningkatan Efektivitas Perkuliahan Kimia Dasar Melalui Pembelajaran Perorientasi Entrepreneurship (CEP) Menggunakan Media Chemoedutaintment (CET), Lembaran Ilmu Pendidikan, Vol 38, No 1, Hal: 53-58.
Supartono, Nanik, W., dan Anita, H.S., 2009, Kajian Prestasi Belajar Siswa SMA dengan Pendekatan Student Team Achievment Divisions melalui Pendekatan Chemo-Entrepreneurship, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 3, No 1, Hal: 337-344.
1486 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1478-1486
Sutikno, Susilo, dan Purwantoko, R.A., 2010, Keefektifan Pembelajaran Menggunakan Media Puzzle Terhadap Pemahaman IPA Pokok Bahasan Kalor Pada Siswa SMP, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, Vol 1, No 6, Hal:123-127.
Suwandi, S., 2011, Model-model Assessmen dalam Pembelajaran, Surakarta: Yuma Pustaka.
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni, Pengembangan Media Smile-Flash …. 1487
PENGEMBANGAN MEDIA SMILE-FLASH BERPENDEKATAN CHEMO-EDUTAINMENT PADA MATERI KELARUTAN DAN
HASIL KALI KELARUTAN
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang
Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035 E-mail : yan_sandi74@yahoo.com
ABSTRAK
Media smile-flash merupakan media yang di dalamnya terdapat unsur simulasi, materi,
dan lagu. Dengan menyisipkan lagu dalam pembelajaran, proses pembelajaran akan lebih menyenangkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh penggunaan media tersebut pada peningkatan pemahaman konsep, dan (2) mengetahui respon siswa terhadap menggunakan media tersebut dalam pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (R&D) dengan subjek penelitan adalah siswa kelas XI IPA di sebuah sekolah di Magelang. Objek penelitian adalah media smile-flash dengan pendekatan chemo-edutainment pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Tahap pengembangan media smile-flash dengan pendekatan chemo-edutainment dilakukan dengan: (1) pendefinisian, (2) perancangan, dan (3) pengembangan. Instrumen penelitian berupa angket validasi, angket respon siswa dan soal-soal peningkatan pemahaman konsep. Media dinyatakan layak ditinjau dari aspek materi, media, dan bahasa dengan persentase rata-rata sebesar 82,5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penggunaan media berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep siswa, terbukti thitung (12,24) lebih besar dari tkritis (2,05) dan (2) pembelajaran menggunakan media smile-flash dengan pendekatan chemo-edutainment mendapatkan respon positif dari siswa. Kata kunci: chemo-edutainment, kelarutan dan hasil kali kelarutan, smile-flash
ABSTRACT
Smile-flash media is a medium in which there is an element of simulation, material, and songs. By inserting song learning, the learning process will be more fun that is expected to increase students' understanding. This study aims to (1) know the influence of the media on an improved understanding of the concept, and (2) determine the response of students to use the media in learning. This study is a research & development (R & D) with a research subject is class XI IPA at a school in Magelang. The object of research is a medium-flash smile with chemo-edutainment approach to the material solubility and solubility product. Media development stage smile-flash with chemo-edutainment approach is done by: (1) definition, (2) the design, and (3) development. The research instrument is a validation questionnaire, student questionnaire responses and the questions increase understanding of the concept. Media declared eligible in terms of material aspects, media, and languages with an average percentage of 82.5%. The results showed that (1) the use of media a positive effect on students' understanding of concepts, proven tcount (12.24) is greater than the tcritic (2,05) and (2) learning to use media-flash smile with chemo-edutainment approach to get a positive response from students. Keywords: chemo-edutainment, solubility and solubility product, smile-flash
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya arus
globalisasi, upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia semakin bertambah
sehingga menuntut adanya perbaikan
sistem pendidikan. Rendahnya kualitas pen-
didikan di Indonesia mendorong pemerintah
untuk melakukan perbaikan di segala aspek.
1488 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1487-1495
Semua pihak yang bersangkutan seperti
objek, subjek, dan fasilitator memiliki
peranan penting dalam perbaikan kualitas
pendidikan. Seorang guru tidak hanya
dituntut untuk menguasai materi dalam
kurikulum saja, tetapi juga harus memiliki
kemampuan dalam mengelola pembelajaran
yang menarik, kreatif, inovatif, dan
menyenangkan bagi siswa.
Sebagai fasilitator, guru berperan
dalam memberikan pelayanan untuk memu-
dahkan siswa dalam proses pembelajaran
(Senjaya, 2008). Salah satu komponen
penting dalam proses pembelajaran adalah
media. Kurangnya media menjadi salah satu
dampak dari proses pembelajaran yang
berpusat pada guru, sehingga siswa tidak
memiliki budaya untuk belajar mandiri.
Seorang pendidik dituntut kreativitasnya
untuk membuat media pembelajaran yang
inovatif dan menarik sesuai dengan
kebutuhan siswa. Selain itu media
pembelajaran harus dipilih secara tepat
sesuai dengan tujuan pembelajaran agar
proses belajar mengajar dapat berjalan lebih
efektif sehingga dapat membantu siswa
dalam memahami materi pada pembelajaran
(Miarso, 2007).
Pemahaman materi diartikan bukan
hanya mengetahui yang sifatnya, mengingat
saja, tetapi juga mampu mengungkapkan
kembali dalam bentuk lain atau kata-katanya
sendiri. Seseorang dikatakan menguasai
konsep apabila dapat memahami makna
secara ilmiah baik teori maupun
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
(Dahar, 2003). Dengan memahami konsep,
siswa diharapkan dapat menyampaikan
kembali materi-materi yang telah didapatkan
pada proses pembelajaran.
Konsep dalam materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan merupakan konsep yang
sulit karena mensyaratkan beberapa konsep
seperti kesetimbangan kimia dan fisika,
hukum Le Chatelier, kimia larutan, dan
persamaan kimia (Onder, 2006).Banyak
siswa yang merasa bingung dan sulit
mendalami materi yang diberikan guru,
meskipun siswa dapat menyelesaikan
berbagai macam solal hitungan pada
kelarutan dan hasil kali kelarutan, tidak
menjamin siswa tersebut dapat memahami
konsep-konsep yang ada (Raviolo, 2001).
Akibatnya siswa cenderung malas untuk
mencari informasi dari berbagai sumber
referensi. Untuk itu dibutuhkan sebuah
media yang dapat membantu siswa dalam
memahami konsep kelarutan dan hasil kali
kelarutan.
Media smile-flash merupakan
media yang di dalamnya terdapat unsur
simulasi, materi, dan lagu. Dengan menyi-
sipkan lagu dalam pembelajaran, proses
pembelajaran akan lebih menyenangkan.
Seorang pendengar akan mengingat musik
dan lagu yang disukainya. (Stalinski dan
Schellenberg, 2013). Dengan kata lain,
musik akan membantu seseorang untuk
mengingat. Siswa akan lebih memahami
materi yang diberikan dengan menyisipkan
simulasi visual dan musik. Animasi dan
simulasi akan lebih membantu siswa dalam
memahami bentuk molekul dalam kimia.
Media smile-flash dibuat menggunakan
aplikasi macromedia flash pro 8. Media
smile-flash digunakan sebagai perantara
atau pengantar pesan dari guru kepada
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni, Pengembangan Media Smile-Flash …. 1489
siswa untuk membantu siswa memahami
konsep yang berkaitan dengan materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan. Media
smile-flash disajikan dengan pendekatan
chemo-edutainment.
Chemo-edutainment adalah sebuah
konsep pembelajaran kimia yang menarik
yang salah satunya dapat diwujudkan
melalui media pembelajaran (Harjono dan
Harjito, 2010). Media pembelajaran ber-
pendekatan Chemo-edutainment (CET)
adalah media yang menggabungkan unsur
education (pendidikan) dan entertainment
(hiburan). Edutainment bertujuan untuk
merangsang pikiran, perasaan, perhatian,
dan kemauan belajar siswa dengan
melibatkan emosi melalui media visual
ataupun audio visual seperti video,
computer, dan warna yang hidup.
Penggunaan media Chemo-edutainment di
kalangan siswa dapat membantu untuk
belajar secara mandiri
maupun didalam kelas.
Rumusan masalah
pada penelitian ini adalah
mengetahui kelayakan media
smile-flash berpendekatan
CET, mengetahui pengaruh
media terhadap peningkatan
pemahaman konsep siswa,
dan mengetahui respon siswa
terhadap penggunaan media
smile-flash berpendekatan
CET. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk; (1) mengetahui
kelayakan media smile-flash berpendekatan
CET, (2) mengetahui pengaruhnya terhadap
pening-katan pemahaman konsep siswa,
dan (3) mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran menggunakan media media
smile-flash berpendekatan CET.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
pengembangan (RdanD) dengan mengikuti
desain Thiagarajan yang meliputi four D
models (4-D) yaitu pendefinisian, peren-
canaan, pengembangan, dan penyebaran.
Dalam penelitian ini hanya dilakukan dalam
tiga tahap yaitu sampai tahap pengem-
bangan saja dengan pertimbangan bahwa
pada tahap pengembangan sudah
dihasilkan media yang baik.
Objek penelitian ini adalah media
smile-flash berpendekatan chemo-
edutainment untuk materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan. Alur kerja penelitian
dapat dilihat pada skema Gambar 1.
Gambar 1. Bagan Alur Kerja Penelitian
1490 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1487-1495
Uji kelayakan media dilakukan oleh
ahli materi, ahli media, dan ahli bahasa.
Instrumen validasi menggunakan isian
angket yang diwujudkan dalam hitungan
persentase kelayakan. Uji coba skala kecil
dilakukan untuk mengetahui tanggapan
siswa terhadap media smile-flash
berpendekatan CET. Subjek pada uji coba
skala kecil adalah siswa kelas XII IPA yang
pernah mendapatkan materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan sebanyak 10 siswa. Uji
coba skala besar dilakukan untuk
mengetahui efektivitas penggunaan media
terhadap peningkatan pemahaman konsep
siswa dan mendapatkan respon siswa
terhadap penggunaan media smile-flash
berpendekatan CET dalam proses
pembelajaran. Analisis peningkatan
pemahaman konsep siswa dilakukan
menggunakan uji t. Subjek uji coba skala
besar adalah siswa
kelas XI IPA
sebanyak satu kelas.
Instrumen
pengumpulan data
pada penelitian ini
berupa lembar
validasi, soal
pemahaman konsep,
dan angket respon
siswa. Data hasil
validasi dan respon
dianalisis
menggunakan teknik
analisis deskriptif
persentase
(Arikunto, 2010). Media smile-flash
berpendekatan CET dinyatakan layak
apabila hasil validasi oleh para ahli, dan
respon siswa terhadap media mencapai
kategori minimal baik atau layak dengan
persentase minimal sebesar 76%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produk yang dihasilkan yaitu berupa
media smile-flash berpendekatan chemo-
edutainment untuk materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan. Media smile-flash
berpendekatan chemo-edutainment berisi
simulasi, materi, dan lagu yang dikemas
dalam sebuah media yang disajkan dengan
pendekatan chemo-edutainment. Konsep
Chemo-edutainment dalam media
pembelajaran untuk siswa perlu diwujudkan
dalam bentuk media pembelajaran yang
inovatif dan menarik. Tampilan awal media
smile-flash berpendekatan chemo-
edutainment disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tampilan awal media smile-flash berpendekatan chemo-edutainment
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni, Pengembangan Media Smile-Flash …. 1491
Produk berupa media smile-flash
yang dihasilkan, diuji kelayakannya melalui
validasi oleh para ahli. Validator terdiri dari
ahli materi, media, dan bahasa. Validasi
dilakukan dengan memberikan penilaian
terhadap media pada angket validasi yang
telah disediakan. Komentar dan saran dari
validator dijadikan bahan perbaikan
sebelum digunakan pada uji coba skala kecil
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Daftar masukan dari validator dan tindak lanjut
Validator Saran Tindak lanjut
Ahli Materi
Rumus kimia masih banyak yang salah Rumus-rumus kimia sudah dibetulkan Warna-warna zat dalam simulasi belum sesuai dengan aslinya
Warna-warna zat pada simulasi sudah disesuaikan dengan aslinya
Simulasi disesuaikan dengan aslinya Simulasi sudah disesuaikan dengan aslinya
Materi hasil kali kelarutan perlu diperbaiki
Materi hasil kali kelarutan sudah diperbaiki
Ahli Media Font kurang besar Font sudah dibesarkan Sewaktu dibuat full screen, font tidak ikut membesar
Tampilan sudah dibetulkan sehingga ketika dibuat fullscreen, font ikut membesar
Ahli Bahasa
Kalimat percakapan monoton dan kurang variatif.
Kalimat percakapan dibenahi supaya tidak monoton dan lebih variatif
Ada beberapa penggunaan kalimat yang belum efektif.
Kalimat dalam media dibenahi supaya lebih efektif.
Presentase kelayakan media oleh validasi ahli ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase kelayakan media ditinjau dari validasi ahli
Data persentase media
menunjukkan media smile-flash
berpendekatan chemo-edutainment valid
dan layak digunakan sebagai media
pembelajaran di sekolah. Setelah media
dinyatakan layak, tahap selanjutnya adalah
uji coba skala kecil.
UJi coba skala kecil dilakukan untuk
mengetahui respon siswa terhadap media
smile-flash. Hasil uji coba skala kecil
ditunjukkan pada Tabel 2.
1492 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1487-1495
Tabel 2.. Respon siswa terhadap media smile-flash berpendekatan chemo-edutainment pada uji coba skala kecil
Aspek yang diuji Skor NP (%) Kriteria
Pemahaman materi kelarutan dan hasil kali kelarutan pada media smile-flash
31 77.5 Baik
Penggunaan bahasa pada media smile-flash 27 67.5 Cukup Kemudahan pengoperasian media smile-flash 30 75 Cukup Tampilan media smile-flash 32 80 Baik Visualisasi konsep-konsep yang bersifat abstrak 32 80 Baik Respon terhadap lagu kimia pada media smile-flash 35 87.5 Sangat baik Respon terhadap simulasi pada media smile-flash 37 92.5 Sangat baik Kemenarikan penyajian media smile-flash 38 95 Sangat baik
Jumlah 81.75
Hasil uji coba skala kecil dari 8
aspek, 6 aspek menunjukkan kriteria baik
dan sangat baik. Adanya kekurangan pada
aspek penggunaan bahasa dan kemudahan
pengoperasian yang ditunjukkan dari
persentase rata-rata respon siswa pada
kedua aspek sehingga dilakukan revisi
sebelum digunakan untuk uji coba skala
besar. Adapun komentar dari siswa
terhadap media smile-flashditujukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Daftar masukan dari siswa dan tindak lanjut
Komentar Tindak lanjut
Ada beberapa kalimat pada media yang susah dipahami
Kalimat pada media sudah diperbaiki
Beberapa tombol ada yang tidak berfungsi Tombol pada media sudah diperbaiki sehingga berfungsi dengan baik
Media smile-flash yang telah
diperbaiki sesuai dengan masukan dari
siswa pada uji coba skala kecil, digunakan
untuk uji coba skala besar. Uji coba skala
besar dilakukan dengan memberikan
pembelajaran materi kelarutan dan hasil kali
kelarutan menggunakan media smile-flash
kepada siswa. Efektivitas penggunaan
media terhadap peningkatan pemahaman
konsep siswa diukur menggunakan data
pretest dan data posttest dan dianaslisis
menggunakan uji t. Hasil analisis
peningkatan pemahaman konsep
menggunakan uji t menunjukkan hasil thitung
(12,24) lebih kecil dari tkritis (2,05) yang
berarti terdapat peningkatan pemahaman
konsep yang signifikan setelah
pembelajaran menggunakan media smile-
flash berpendakatan CET pada materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan.
Hasil ini menunjukkan bahwa media
smile-flash dengan pendekatan chemo-
edutainment dapat meningkatkan
pemahaman konsep kimia siswa.
Peningkatan pemahaman konsep siswa
dapat dilihat dari peningkatan hasil belajar
kognitif yang terjadi (Sundari et al, 2008).
Respon siswa terhadap pembelajaran
menggunakan media smile-flash dengan
pendekatan chemo-edutainment diwujudkan
dalam bentuk isian angket yang dihitung
dalam persen ditunjukkan pada Tabel 4.
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni, Pengembangan Media Smile-Flash …. 1493
Tabel 4. Respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan media smile-flash berpendekatan chemo-edutainment pada uji coba skala besar
Aspek yang diuji Skor Kriteria
Pemahaman materi kelarutan dan hasil kali kelarutan pada media smile-flash
103 Sangat baik
Penggunaan bahasa pada media smile-flash 94 Baik Kemudahan pengoperasian media smile-flash 90 Baik Tampilan media smile-flash 91 Baik Visualisasi konsep-konsep yang bersifat abstrak 89 Baik Respon terhadap lagu kimia pada media smile-flash 101 Sangat baik Respon terhadap simulasi pada media smile-flash 85 Baik Kemenarikan penyajian media smile-flash 91 Cukup Pembelajaran menggunakan media smile-flash di dalam kelas membangkitkan motivasi siswa
92 Baik
Efisiensi penggunaan waktu 88 Baik Efisiensi penggunaan media smile-flash sebagai alat belajar mandiri 95 Baik
Rata-rata 92.6 Sangat Baik
Berdasarkan Tabel 4 Rata-rata
respon siswa terhadap pembelajaran
menggunakan media smile-flash pada
semua aspek berada pada kategori tinggi
dengan nilai rata-rata skor sebesar 92.6 dari
skor maksimal 112, sehingga dapat
dikatakan bahwa secara garis besar siswa
memberikan respon yang baik terhadap
setiap aspek pada butir pernyataan nomor 1
sampai 11. Motivasi siswa meningkat
setelah pembelajaran menggunakan media
smile-flash. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan siswa pada butir 9 yang
memberikan respon baik sebesar 92
Kekurangan terdapat pada respon siswa
terhadap simulasi pada media
smile-flash yang terdapat pada
butir pertanyaan nomor 7. Data
menunjukkan siswa memberikan
respon cukup yaitu sebesar 85. Hal
itu dikarenakan ada beberapa
simulasi pada media yang
pengoperasiannya yang kurang
jelas. Berdasarkan analisis
deskrptif pernyataan pada butir 7 tersebut,
kekurangan pada media smile-flash telah
diperbaiki sehingga simulasi pada media
menjadi jelas pengoperasiannya dan mudah
dipaham oleh siswa. Secara keseluruhan
siswa memberikan respon yang baik
terhadap pembelajaran menggunakan
media smile-flash . Penggunaan media
berbasis teknologi akan memudahkan siswa
mencapai kompetensi dasar dari materi
serta membuat pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan (Viajayani, 2013).
Hasil analisis respon siswa terhadap
media smile-flash secara keseluruhan dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Respon siswa terhadap media smile-flash
1494 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1487-1495
Gambar 3 memperlihatkan bahwa
dari 28 siswa pada uji coba skala besar,
diperoleh 8 siswa memberikan tanggapan
sangat baik, 15 siswa memberikan
tanggapan baik, dan sisanya memberikan
tanggapan cukup. Sebagian besar siswa
memberikan tanggapan yang sangat baik
terhadap pembelajaran menggunakan
media smile-flash di dalam kelas, dan
sisanya memberikan tanggapan baik dan
cukup terhadap penggunaan media. Secara
keseluruhan siswa memberikan tanggapan
positif terhadap pembelajaran media smile-
flash di dalam kelas.
Pembelajaran kelarutan dan hasil
kali kelarutan menggunakan media smile-
flash berpendekatan chemo-edutainment di
dalam kelas membangkitkan motivasi siswa
dalam belajar dan memberikan banyak
pengetahuan yang belum diketahui
sebelumnya. Penerapan media animasi
dapat meningkatkan motivasi dan prestasi
belajar siswa (Haryati, 2013). Adanya
tampilan-tampilan berupa animasi menarik
pada media dan unsur musik yang
dimasukkan dalam media memberikan
kesan yang tidak membosankan dan
membuat siswa tidak tegang dalam
menerima materi pembelajaran (Prasetyo,
2008). Dikarenakan subjek penelitian adalah
siswa SMA yang pada umumnya menyukai
musik, pemberian unsur musik pada media
dapat diterima dengan baik oleh siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, dapat disimpulkasn sebagai
berikut: (1) media smile-flash berpendekat-
an chemo-edutainment yang telah dikem-
bangkan dinyatakan layak oleh , (2) Media
smile-flash berpendekatan chemo-
edutainment efektif dalam meningkatkan
pemahaman konsep siswa pada materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan, (3)
Respon siswa terhadap pembelajaran
menggunakan media smile-flash ber-
pendekatan chemo-edutainment baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar.R.W. 2003. Aneka wacana pendidikan ilmu pengetahuan alam. Bandung.
Falvo, D. 2008. Animation and simulation for teaching and learning molecular chemistry. Indternational Journal Technology of Teaching and Learning. 4(1):68-77.
Harjono dan Harjito. 2010. Pengembangan media pembelajaran chemo-edutainment untuk matapelajaran sains-kimia di SMP. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 4(1):506-511.
Haryati, S., Miharty, dan Pratiwi, R. 2013. Pemanfaatan media animasi dalam pembelajaran kimia untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa di SMAN 12 Pekanbaru. Prosiding Semirata DMIPA Universitas Lampung.
Miarso, Y.H. 2007. Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Miswadi, S.S., Priatmoko, S., dan Inayah, A. 2008. Peningkatan hasil belajar kimia melalui pembelajaran berbantuan komputer dengan media chemo-edutainment. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 2.(1).182-189
Okan, Z. 2003. Edutainment is Learning at Risk. British Journal of Educational Technology. 34(3):255.
Yan Sandi Nurfitrasari * dan Woro Sumarni, Pengembangan Media Smile-Flash …. 1495
Onder, I., dan Geban, O. 2006. The effect of conceptual change text oriented instruction on students undersatanding of the solubility equilibrium concept. Journal of Education. 30: 166-173
Prasetya, A.T., Priatmoko, S., dan Miftakhudin. 2008. Pengaruh penggunaan media pembelajaran berbasis computer dengan pendekatan chemo-edutainment terhadap hasil belajar kimia SMA. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 2.(2).287-293
Raviolo, A. 2001. Assesing students conceptual understanding of solubility equilibrium. Journal of Chemical Education. 78(5):629-631.
Senjaya, W. 2008. Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Silberberg, M. S. 2009. Chemistry: The molecular nature of matter and change fifth edition. New York: McGraw-Hill Companies
Stalinski, S. M., dan Schellenberg, E. G. 2013. Listeners remember music they like. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition.3(39).700-716.
Viajayani, E.R., Radiyono, Y., dan Rahardjo, D.T. 2013. Pengembangan media pembelajaran fisika menggunakan macromedia flash pro 8 pada pokok bahasan suhu dan kalor. Jurnal Pendidikan Fisika. 1(1):144-155.
1496 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1496 -1505
PEMANFAATAN MODEL PLTL BERBANTUAN LKS BERBASIS INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI KIMIA
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang
Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035 E-mail : first.amelia@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana peningkatan kompetensi kimia
dengan model pembelajaran PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri. Populasi penelitian ini adalah siswa Kelas XI IPA suatu SMA Negeri di Semarang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cluster random sampling, yakni kelas XI IPA 1 sebagai eksperimen I dengan perlakuan model pembelajaran PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri, kelas XI IPA 2 sebagai eksperimen II dengan LKS berbasis inkuiri, dan kelas XI IPA 3 sebagai kontrol dengan metode ceramah dan diskusi pada pokok materi buffer dan hidrolisis. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, tes, observasi, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan kognitif yang signifikan antara kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan XI IPA 3. Kelas eksperimen I memiliki peningkatan kompetensi kimia yang paling signifikan dengan rerata hasil belajar sebesar 87,5, sedangkan kelas eksperimen II memiliki rerata hasil belajar 83,43, dan kelas kontrol dengan rerata hasil belajar 77,35. Hasil respon siswa terhadap pembelajaran menunjukan frekuensi terbanyak pada kolom setuju dan sangat setuju sehingga siswa menyukai model pembelajaran yang digunakan. Simpulan penelitian ini 1) terdapat perbedaan signifikan kompetensi kimia antara kelas eksperimen I, II dan kontrol, 2) peningkatan kompetensi kimia yang signifikan pada kelas eksperimen I, 3) respon siswa terhadap pembelajaran baik.
Kata kunci: kompetensi, LKS berbasis inkuiri, model PLTL
ABSTRACT
This research aims for knowing chemistry competence’s improving by application of
PLTL model with Worksheet based on inquiry. The populations are XI grades natural sciences students of an high school in Semarang. Samples were taken by cluster random sampling and got XI IPA 1 as an experimental class I by application of PLTL model with Worksheet based on Inquiry while XI IPA 2 as an experimental class II by using Worksheet based on Inquiry, and XI IPA 3 as a control group using lecture and discussion on the subject buffer and hydrolysis. Data collecting used some methods as documentations, tests, observation, and questionnaire. Research result shown significant difference on cognitive aspect of XI IPA 1, XI IPA 2, and XI IPA 3. The most significant improvement by 1
st experimental class resulted average score 87.5,
experimental class II has average score 83,43, and control class has average score 77.35. Students response by application of model show most answer in agree and very agree columns mean students like learning model used. Conclusions are 1) there are significant difference on chemistry competence between experiment I, II and control classes, 2) the most chemistry competence improvement in experimental class I, 3) students responses are good.
Keywords: competence ; PLTL model; Worksheet based on Inquiry
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran di kelas
menjadi bagian paling penting karena akan
menentukan hasil pembelajaran berupa
perubahan sikap dan tingkah laku siswa
serta kualitas guru dalam mengajar. Definisi
pembelajaran adalah suatu proses interaksi
antara guru dan siswa untuk menumbuhkan
pemahaman, kreativitas, keaktifan, daya
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo, Pemanfaatan Model PLTL Ber…. 1497
pikir, potensi dan minat siswa (Retnowati,
2012). Pembelajaran di kelas berlangsung
kurang optimal apabila hanya terjadi
komunikasi satu arah, yakni dari guru
kepada siswa (Tecaher Centered
Learning). Komunikasi satu arah meng-
akibatkan siswa kurang terlibat dalam
proses pembelajaran sehingga segala
potensi yang dimiliki oleh siswa tidak dapat
dikembangkan secara maksimal.
Mata pelajaran kimia termasuk
mata pelajaran yang dekat dengan
lingkungan sekitar serta sangat erat
hubunganya dengan kehidupan sehari-hari.
Ilmu kimia telah banyak memberikan
manfaat dalam kehidupan, mulai dari
makanan, tekstil, kosmetik, hingga berbagai
alat transportasi. Salah satu pokok materi
kimia yang aplikasinya erat sekali dalam
kehidupan sehari-hari adalah materi buffer
dan hidrolisis. Guru hanya mengajarkan
konsep-konsep dan hafalan rumus melalui
ceramah sehingga terasa membosankan
bagi siswa.
Penggunaan model pembelajaran
peer-led team learning (PLTL) berbantuan
lembar kerja siswa (LKS) berbasis inkuiri
diharapkan dapat memberikan variasi
model pembelajaran yang dapat me-
ningkatkan partisipasi aktif siswa dan
pemahaman terhadap materi ajar kimia.
Strategi pembelajaran dapat diartikan
sebagai cara khusus dan urut sehingga
pembelajaran menjadi runtut dan dapat
mencapai tujuan yang ditetapkan (Widodo
2011). PLTL berusaha merangkum banyak
aspek dalam proses penemuan ilmiah
(scientific discovery) melalui praktikum dan
diskusi, sehingga mengatasi berbagai
ketergantungan atas kesendirian melalui
berbagai mode berpikir dan saling tukar
pendapat. Proses diskusi menjadikan siswa
sebagai analisator yang baik (Miri, et.al,
2007). Model PLTL memberikan penga-
laman belajar kepada siswa dan guru
dalam kelas dan menghasilkan peningkatan
nilai hasil belajar (Keiler & Mills, 2012).
Penelitian Wahyuni & Kristia-
ningrum (2008) menyatakan sebagian
besar siswa menganggap bahwa kimia
merupakan pelajaran yang sulit dan siswa
kurang terlibat aktif dalam proses
pembelajaran kimia. Hasil observasi yang
dilakukan di salah satu sekolah menengah
atas di kota Semarang yang masuk dalam
kategori baik dengan akreditasi A,
ditemukan bahwa sekitar 50% siswa masih
harus mengikuti tes remedial. Keadaan ini
mengidentifikasikan perlunya model pem-
belajaran yang tepat untuk menghasilkan
partisipasi dan tingkat pemahaman yang
lebih pada siswa. LKS berbasis inkuiri
menekankan pada pendekatan siswa
dalam mencari pemahaman kimia yang
menitikberatkan pada aktivitas pemberian
pengalaman belajar, ekplorasi pengeta-
huan, serta mencari tahu jawaban atas
pertanyaan ilmiah yang diajukan siswa.
Inovasi model pembelajaran ini selaras
dengan visi Indonesia dalam menyongsong
globalisasi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Barthlow (2011) menunjukan bahwa
inkuiri terbimbing dapat membantu siswa
untuk mempresentasikan fenomena kimia
yang bersifat makroskopis ke dalam
simbolis, misalnya sifat larutan buffer yang
tidak dapat diamati secara kasat mata
dapat diketahui dengan menghitung pH
1498 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1496 -1505
larutan dengan rumus buffer sehingga
siswa mudah untuk memahaminya.
Recktenwald & Edwards (2010)
menyatakan bahwa dalam proses
pembelajaran inkuiri siswa diberikan tugas-
tugas yang otentik sehingga diharapkan
untuk memilih metode pemacahan masalah
dengan mandiri, tidak hanya menjalankan
langkah satndar.
Seorang siswa harus meng-
gunakan segenap kemampuannya dan
bertindak sebagai ilmuwan (scientist) yang
melakukan eksperimen dan mampu
melakukan proses mental berinkuiri yang
digambarkan dengan terapan-terapan yang
dilaluinya (Zuriyani, 2012). LKS inkuiri
membimbing siswa untuk dapat peka
terhadap aspek kimia dalam kehidupan
sehari-hari dan tidak hanya menerima fakta
di sekitar mereka tetapi juga memicu
mereka melakukan pengamatan, bertanya,
melakukan eksperimen, mengasosiasi, dan
mengomunikasikannya, selaras dengan
Kurikulum 2013. Pembelajaran dengan pola
penemuan yang dilakukan dengan diskusi
dan berpikir kreatif yang intensif mampu
memotivasi siswa untuk meningkatkan
komunikasi dalam menyelesaikan masalah
(Marks & Eilks, 2009).
Tujuan penelitian ini adalah (1) me-
ngetahui perbedaan signifikan kompetensi
kimia antara siswa dengan model
pembelajaran PLTL berbantuan LKS
berbasis inkuiri dengan siswa yang
menggunakan LKS berbasis inkuiri dan
siswa tanpa model PLTL maupun LKS
berbasis inkuiri pada materi buffer dan
hidrolisis siswa kelas XI; (2) mengetahui
peningkatan hasil belajar dalam buffer dan
hidrolisis dengan model pembelajaran
PLTL dengan LKS berbasis inkuiri; dan (3)
mengetahui respons siswa pada pem-
belajaran buffer dan hidrolisis dengan
model pembelajaran PLTL dengan LKS
berbasis inkuiri.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan observasi di SMA 5
Semarang masih banyak siswa yang
mengikuti tes remidi mata pelajaran kimia,
kurangnya keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran, dan kurangnya variasi model
pembelajaran. Adanya kesesuaian perma-
salahan tersebut menjadi latar belakang
penelitian penerapan model PLTL
berbantuan LKS berbsis inkuiri ini
dilaksanakan di SMA 5 Semarang.
Popoluasi dari penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas XI IPA tahun pelajaran
2013/2014, sedangkan sampelnya adalah
kelas XI IPA 1, 2 dan 3. Kelas XI IPA 1
sebagai kelas eksperimen 1, kelas XI IPA 2
sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas XI
IPA 3 sebagai kelas kontrol. Pengambilan
sampel tersebut ditentukan dengan teknik
cluster random sampling dengan meng-
ambil tiga kelas dari lima kelas populasi
secara acak. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran.
Model pembelajaran tersebut disajikan
dalam tiga variasi, yakni pembelajaran
dengan model PLTL berbantuan LKS
berbasis inkuiri, pembelajaran dengan LKS
berbasis inkuiri, dan pembelajaran dengan
pendekatan ceramah dan diskusi. Variabel
terikat berupa hasil belajar dan kompetensi
kimia siswa pada materi buffer dan
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo, Pemanfaatan Model PLTL Ber…. 1499
hidrolisis. Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pretest and post-test
comparation group. Adapun desain pe-
nelitiannya dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Desain Penelitian pre-test and post-test comparation (Suharsimi, 2010)
Gambar 1 menunjukkan sampel
yang terdiri dari kelas eksperimen 1, eks-
perimen 2, dan kontrol diukur kompetensi
awalnya dengan diberi pre-test ( O1) dan
setelah diberikan perlakuan (X) kemudian
diukur komptensi akhirnya dengan
menggunakan post-test (O2). Kelas eks-
perimen 1 diberi perlakuan dengan model
PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri
(XT1), kelas eksperimen 2 diberi perlakuan
dengan penggunaan LKS berbasis Inkuiri
(XT2), dan kelas kontol diberi perlakuan
dengan pendekatan ceramah dan diskusi
(Xc). Pengumpulan data dilakukan
dengan metode dokumentasi, tes,
observasi, dan angket. Instrumen penelitian
yang digunakan berupa soal pretest-post
test, angket respons siswa, serta lembar
observasi psikomotorik dan afektif. Analisis
data yang digunakan terbagi dalam dua
tahap, yaitu tahap awal dan tahap akhir.
Analisis tahap awal digunakan untuk
melihat kondisi awal penelitian sebagai
pertimbangan dalam pengambilan sampel.
Analisis tahap akhir meliputi analisis
peningkatan hasil belajar dan respon siswa.
Peningkatan hasil belajar diukur dengan uji
t-test (Sugiyono, 2010). Data respon siswa
dianalisis secara deskriptif dengan tujuan
mengetahui tanggapan siswa terhadap
model pembelajaran PLTL berbantuan
LKS berbasis inkuiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini meliputi data
hasil belajar dan angket tanggapan siswa
terhadap proses pembelajaran dengan
model PLTL berbantuan LKS berbasis
inkuiri. Hasil belajar yang didapatkan dalam
penelitian ini meliputi hasil belajar pada
ranah afektif, psikomotorik dan kognitif.
Hasil belajar pada ranah afektif
diukur kedalam 4 kategori yaitu, (1) parti-
sipasi siswa, (2) tanggung jawab, (3) rasa
ingin tahu, dan (4) kedisiplinan. Kategori
partisipasi siswa meliputi aspek kemam-
puan membuat rangkuman materi,
berpendapat, bertanya, menjawab
pertanyaan dan mendengarkan dengan
aktif. Kategori tanggung jawab meliputi
tanggung jawab menyelesaikan tugas dan
jujur. Kategori rasa ingin tahu meliputi
keingintahuan dan keceramatan siswa
dalam menyelesaikan permasalahan.
Kategori kedisiplinan meliputi kedisiplinan
siswa dalam mengikuti pembelajaran dan
mengumpulkan tugas. Hasil penilaian
afektif dari 4 kategori tersebut disajikan
dalam Tabel 1.
1500 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1496 -1505
Tabel 1. Skor rerata aspek afektif
Berdasarkan Tabel 1 dapat di-
ketahui bahwa rerata aspek afektif yang
memperoleh skor tertinggi pada kelas
eksperimen I adalah kategori partisipasi
aktif, sedangkan aspek tanggung jawab
memperoleh skor tertinggi pada kelas
ekperimen II dan kontrol. Partisipasi aktif
mencapai skor tertinggi pada kelas
eksperimen I dikarenakan penerapan
model PLTL berbantuan LKS berbasis
inkuiri yang mengkondisikan siswa
berdiskusi dalam kelompok-
kelompok kecil yang dipandu
oleh peer-leaders sehingga
siswa merasa lebih leluasa
dalam bertanya, mengemukakan pendapat,
dan berdiskusi dalam kelompok. Hal ini
sesuai dari pendapat Fortier (2012) yang
menyatakan bahwa peer-leaders mampu
membuat pembelajaran menjadi me-
nyenangkan dan siswa aktif untuk
berdiskusi tanpa merasa enggan dalam
bertanya.
Penilaian psikomotorik juga
dilakukan dengan menggunakan lembar
observasi. Penilaian psikomotorik terbagi
menjadi dua, yaitu psikomotorik pada
kegiatan pembelajaran dan psikomotorik
pada saat praktikum. Ranah psikomotorik
kegiatan pembelajaran diukur dalam 3 kate-
gori, yaitu (1) partisipasi siswa, (2) kreati-
vitas siswa, (3) kemampuan berkomunikasi.
Kategori partisipasi siswa meliputi aspek
merumuskan pertanyaan, meng-
interpretasi pertanyaan, dan
mengerjakan soal-soal di depan
kelas. Kategori kreativitas siswa
meliputi aspek memprediksi
masalah berdasarkan observasi
teoritis, menganalisis permasalahan, dan
menemukan alternatif lain solusi yang
memungkinkan. Kategori kemampuan ber-
komunikasi meliputi aspek memberikan
argurmen, menyimpulkan materi, dan
terampil dalam memberikan presentasi.
Hasil peniliaian ranah psikomotorik
kegiatan pembelajaran dari 3 kategori
tersebut disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Skor rerata aspek psikomotorik kegaiatan pembelajaran
Berdasarkan Tabel 2 dapat
diketahui bahwa skor rerata tertinggi pada
kelas eksperimen I yaitu pada aspek
kreativitas, sedangkan aspek kemampuan
berkomunikasi mencapai skor tertinggi
pada kelas eksperimen II dan kontrol.
Aspek kreativitas mencapai skor tertinggi
pada kelas eksperimen I karena dengan
model PLTL berbantuan LKS berbasis
inkuri melatih siswa untuk memprediksi
permasalahan berdasarkan hasil obervasi
teoritis dan menemukan jawaban atas
pertanyaan yang mereka ajukan
berdasarkan hasil penyelidikan. Hal ini juga
selaras dengan pendapapat Praptiwi et al
(2012) yang menyatakan pembelajaran
bahwa inkuiri terbimbing efektif untuk
Aspek Eksperimen 1 Eksperimen II Kontrol
Partisipasi aktif 4,39 4,09 3,84
Tanggung jawab
4,27 4,14 4,12
Rasa ingin tahu 4,18 3,93 3,72
kedisiplinan 3,96 3,96 3,96
Aspek Eksperimen I Eksperimen II Kontrol
Partisipasi siswa 4,19 3,94 3,79 Kreativitas 4,5 3,84 3,45 Kemampuan berkomunikasi
4,35 4,04 3,88
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo, Pemanfaatan Model PLTL Ber…. 1501
meningkatkan penguasaan konsep dan
unjuk kerja siswa. Kemampuan ber-
komunikasi pada kelas eksperimen I
tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
kelas lainya karena dengan model PLTL
siswa dilatih untuk menjelaskan hasil
diskusi bersama teman kelompoknya,
saling bertukar pendapat, serta melakukan
presentasi.
Penilaian kompetensi psikomo-
torik pada aspek kegiatan praktikum
meliputi tujuh aspek. Tiap aspek dianalisis
secara deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui aspek mana yang dimiliki siswa
dan yang perlu dikembangkan.Hasil belajar
ranah kegiatan psikomotorik kegiatan
praktikum meliputi 7 aspek yang disajikan
dalam Tabel 3.
Tabel 3. Skor rerata aspek psikomotorik kegiatan parktikum
Berdasarkan Tabel 3 diketahui
bahwa skor rerata tertinggi pada kelas
eksperimen I dan kontrol yaitu pada aspek
ketepatan prosedur praktikum, sedangkan
pada kelas eksperimen II pada aspek
ketepatan dalam pengamatan. Kelas
eksperimen I memiliki rerata skor tertinggi
pada aspek ketepatan prosedur praktikum
karena penggunaan model PLTL ber-
bantuan LKS berbasis inkuri menuntun
siswa untuk dapat mempelajari prosedur
praktikum dengan benar sebelum melaku-
kan praktikum. Siswa dapat melaksanakan
praktikum dengan lancar dan lebih mudah
bekerjasama dengan kelompoknya karena
terdapat pembagian tugas yang jelas dan
pemecahan masalah dalam LKS tersebut.
Pengalaman langsung dalam pembelajaran
kimia dapat diperoleh melalui kegiatan
laboratorium dan pengalaman dalam
sehari-hari, situasi pembelajaran seperti ini
akan menantang siswa untuk memecahkan
permasalahan (Dwijayanti & Yulianti, 2010)
Penggunaan model
PLTL berbantuan LKS berbasis
inkuiri dapat meningkatkan
partisipasi siswa karena siswa
secara aktif membangun konsep
pengetahunya melalui diskusi,
sehingga pengetahuan dalam
ingatan siswa dapat bertahan
lebih lama. Perbandingan rerata
skor afektif dan psikomotorik
pada ketiga kelas tersebut
disajikan pada Gambar 2.
Aspek Eksperimen I
Eksperimen II
Kontrol
Persiapan alat dan bahan praktikum
4,09 3,90 3,74
Ketepatan prosedur praktikum
4,63 4,28 4,25
Ketepatan dalam pengamatan
4,60 4,37 3,54
Kerjasama dalam kelompok
4,51 3,90 3,51
Ketepatan hasil praktikum
3,87 3,68 3,83
Kebersihan alat dan ruangan
4,15 3,68 4,12
Pembuatan laporan sementara
4,57 3,31 3,35
1502 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1496 -1505
Gambar 2. Rerata aspek afektif dan dan psikomotorik pada kelompok kelas
Berdasarkan Gambar 2 kelas
eksperimen 1 memiliki rerata tertinggi pada
rerata skor afektif sebesar 4,24 (sangat
baik) dibandingkan kelas eksperimen 2
sebesar 4,07 (baik) dan kelas kontrol
sebesar 3,91 (baik). Penggunaan model
PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri ini
juga membuktikan meningkatnya
pasrtisipasi siswa dalam pembelajaran. Hal
ini juga diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Bretz (2005) yang menyata-
kan model PLTL memungkinkan siswa
belajar dengan berbagai cara, baik secara
visual, kinestetik, maupun lainya. Gambar 2
juga menunjukan rataan penilaian ranah
psikomotorik kegiatan pembelajaran dan
praktikum kelas eksperimen I lebih tinggi
dibandingkan kelas eksprimen 2 dan kelas
kontrol. Hal ini dikarenakan model
pembelajaran PLTL berbantuan LKS
berbasis inkuiri yang diterapkan di kelas
eksperimen I yang memicu siswa dalam
mengembangkan rasa percaya diri,
kemampuan komunikasi dan ketepatan
dalam kegiatan praktikum. Selain itu, model
PLTL membantu mengembangkan keteku-
nan dan pemahaman siswa (Nelson &
Gosser, 2009). Penilaian dari ranah afektif
dan psikomotorik menunjukan bahwa kelas
eksperimen I lebih unggul daripada kelas
eksperimen II maupun kontrol.
Hasil belajar pada ranah kognitif
diukur melalui data pre-test dan post-test.
Analisis data pre-test dan post-test
dilakukan dengan uji t. Analisis data post-
test pada kelas eksperimen I menunjukan
bahwa thitung (35,34) lebih dari ttabel (2,704),
di kelas eksperimen II thitung (37,69) lebih
dari ttabel (2,68), dan di kelas kontrol thitung
(34,86) lebih dari ttabel (2,66). Hal ini ini
berarti di ketiga kelas terjadi peningkatan
hasil belajar setelah dilakukan pelakuan di
masing-masing kelas.
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo, Pemanfaatan Model PLTL Ber…. 1503
Model PLTL berbantuan LKS ber-
basis inkuiri dapat meningkatkan partisipasi
dan hasil belajar siswa. Penggunaan LKS
berbasisis inkuiri memungkinkan siswa
untuk belajar dengan penemuan secara
mandiri maupun diskusi kelompok sehingga
hasil belajar kognitif mereka meningkat.
Pembelajaran kimia dengan inkuiri ber-
pengaruh pada peningkatan hasil belajar
siswa Yuniyanti et.al., (2012).
Berdasarkan hasil belajar siswa
dapat diketahui bahwa kelas eksperimen I
memiliki rerata 87,5, sedangkan kelas
eksperimen II memiliki rerata hasil belajar
83,43, dan kelas kontrol dengan rerata
hasil belajar 77,35. Ketiga kelas sampel
dapat dikatakan memiliki kompetensi
kognitif yang berbeda. Perbedaan signifikan
tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
kompetensi kognitif yang paling baik dari
ketiga kelas yang diuji adalah kelas
eksperimen I (model PLTL dan LKS
berbasis Inkuiri).
Adanya peningkatan tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mark (2012) yang menyatakan bahwa
terjadi peningkatan hasil belajar yang
signifikan dengan menggunakan model
PLTL di dalam pembelajaran.
Penelitian ini tidak hanya meng-
gunakan uji t dalam melihat peningkatan
kompetensi kimia tetapi juga N-gain.
Peningkatan hasil belajar ditinjau dari harga
N-gain yang tinggi (Rusnayati & Prima,
2011). Persentase N-gain digunakan untuk
mengetahui peningkatan rata-rata hasil
belajar yang signifikan pada kelompok
eksperimen I, II, dan kelas kontrol. Hasil
persentase N gain untuk setiap kelas
dtunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji N-gain
Kelas Skor rerata n gain kriteria
Eksperimen I 0,79 Tinggi
Eksperimen II 0,73 Tinggi
Kontrol 0,63 Sedang
Tabel 3 menunjukan bahwa perhi-
tungan skor N-gain hasil belajar kelompok
eksperimen I ebesar 0,79 (tinggi), kelas
eksperimen II sebesar 0,73 (tinggi), dan
kelas kontrol sebesar 0,63 (sedang). Skor
N-gain eksperimen I lebih besar daripada
eksperimen II dan kontrol, dapat diartikan
bahwa peningkatan rata-rata hasil belajar
kelas eksperimen I lebih besar daripada
kelas eksperimen II dan kelas kontrol.
Berdasarkan hasil perhitungan
angket data pendapat siswa di kelas
eksperimen I mengenai penggunaan model
PLTL berbantuan LKS berbasis inkuri
setelah berlangsung dalam proses
pembelajaran menunjukkan 9 dari 30 siswa
memberi tanggapan dengan kriteria sangat
setuju, 19 siswa memberikan tanggapan
dengan kriteria setuju dan 2 orang siswa
menjawab tidak setuju. Selain itu, skor
setiap itemnya juga menunjukkan sebagian
besar siswa beranggapan setuju bahwa
model PLTL berbantuan LKS berbasis
ikuiri; (1) meningkatkan partisipasi aktif
siswa, (2) membuat pelajaran lebih mudah
dipahami, (3) meningkatkan kreasi dan
daya inovasi, (4) peran peer-leders dalam
pembelajaran membuat pembelajaran lebih
rileks, (5) membangun kelompok belajar,
(6) meningkatkan percaya diri, (7)
meningkatkan motivasi belajar, dan (8)
1504 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1496 -1505
meningkatkan kemampuan komunikasi.
Secara umum didapatkan bahwa siswa
menganggap pembelajaran lebih mudah
dipahami dengan menggunakan model
PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri. Hal
ini ditandai oleh frekuensi terbanyak pada
kolom setuju dan sangat setuju, sehingga
siswa menyukai pembelajaran dengan
model PLTL berbantuan LKS berbasis
inkuiri. Respon siswa setelah mendapatkan
pembelajaran dengan model PLTL tinggi
(Narode, 2012). Hal ini berarti model PLTL
berbantuan LKS berbasis inkuri baik
diterapkan dalam proses pembelajaran
materi buffer dan hidrolisis.
SIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan
sebagai berikut. Pertama, terdapat
perbedaan signifikan kompetensi kimia
antara siswa dengan model pembelajaran
PLTL berbantuan LKS berbasis inkuiri
dengan siswa yang menggunakan LKS
berbasisis inkuiri dan siswa tanpa model
PLTL maupun LKS berbasis inkuiri. Kedua,
terdapat peningkatan kompetensi kimia
yang signifikan pada kelas yang diberi
perlakuaan model PLTL berbantuan LKS
berbasis inkuiri dan penggunaan LKS
berbasis inkuiri pada pokok materi buffer
dan hidrolisis. Ketiga, respons siswa pada
pembelajaran buffer dan hidrolisis dengan
model PLTL dengan LKS berbasis inkuiri
sudah baik.
DAFTAR PUSTAKA
Barthlow, M.J. 2011. The effectiveness of Process Oriented Guided Inquiry Learning to Reduce Alternate Conceptions in Secondary Chemistry. Dissertation. Lynchburg: Liberty University
Bretz, S.L. All Students are not Created equal: Learning styles in chemistry classroom. In: Pienta, N., Greenbowe, T. Cooper, M (Eds). 2005. Chemists’ Guide to Effevtive Teaching.Volume II. New Jersey: Prentice Hall
Dwijayanti, P. & Yulianti, P. 2010. Pengembangan kemampuan berpikir kritis mahasiswa melalui pembelajaran problem based instruction pada mata kuliah fisika lingkungan. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia . 6 (2): 108-114
Fortier, A.S. 2012. Peer Led Team Learning and teaching high school - a letter. Peer-Led Team Leraning implementation in high schools. The Peer-Led Team Learning Project Newsletter . 10 (2): 42-45
Keiler, L.S., & Mills, P. 2012. Peer-Mediated Instruction in High School. Peer-Led Team Learning: Implementation in High Schools. The Peer-Led Team Learning Project Newsletter . 12 (1): 71-72
Mark, L. J. (2012). Leading Workshops at Brooklyn International High School. Peer-Led Team Learning: Implementation in High Schools. The Peer-Led Team Learning Project Newsletter . 3 (3): 30-31
Marks, R. & Eilks, I. 2009. Promoting scientific literacy using a sociocritical and problem oriented approach to chemistry teaching: concept, examples, experiences. International Journal of Environmental & Science Education. 4 (3): 231-245
Bunga Amelia* dan Antonius Tri Widodo, Pemanfaatan Model PLTL Ber…. 1505
Miri, B., David, B & Uri, Z. 2007. Purposely teaching for the promotion of higher-order thingking skills: a case of critical thinking. Journal Research Science Education. 37 (4) 353-36.9
Narode, (2012). PLTL and the Future of Science Teacher Education. Peer-Led Team Learning: Implementation in High Schools. Diunduh di http://www.pltlis.org. Tanggal 23 desember 2013
Nelson, V.P, and Gosser, D. 2009. Peer Led Team learning : Student Faculty Partnership for Transformingthe Learning Environment. New Jersey: Parctice Hall.
Praptiwi, L., Sarwi, & Handayani, L. 2012. Efektivitas model pembelajaran eksperimen inkuiri terbimbing berbantuan my own dictionary untuk meningkatkan penguasaan konsep dan unjuk kerja siswa smp RSBI. Unnes Science Education Journal.1 (2) : 86-95.
Recktenwald, G. & Edwards, R. 2010. Guided Inquiry laboratory exercise designed to develop qualitative reasoning skills in undergraduate engineering students. 40
th
ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference. Diunduh di: http://fie-conference.org
Retnowati, D. 2012. Pengaruh metode pembelajaran kuantum dengan pendekatan kimia hijau terhadap hasil belajar kimia materi redoks. Skripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang
Rusnayati & Prima. 2011. Penerapan model pembelajaran problem based learning dengan pendekatan inkuiri untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep elastisitas pada siswa SMA. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Yogyakarta : FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D. Bandung : Alfabeta
Suharsimi, A. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wahyuni, S., & Kristianingrum, A. 2008. Meningkatkan Hasil Belajar Kimia dan Peran Aktif Siswa melalui model PBI dengan media CD interaktif. Jurnal Pendidikan Kimia. 2 (1) : 199-208
Widodo, A.T. 2011.Pembelajaran Inofatif Bidang Sains. Semarang : Program Pasca Sarjana Unnes.
Yuniyanti, E.D., Widha, S., & Haryono. 2012. Pembelajaran kimia menggunakan inkuiri terbimbing dengan media modul e-learning ditinjau dari kemampuan pemahaman membaca dan kemampuan berpikir abstrak. Jurnal Pasca UNS. 1 (2) : 112-120.
Zuriyani, E. 2012. Strategi Pembelajaran Inquiry Pada Mata Pelajaran IPA.Palembang: Widiyaiswara BDK Palembang.
1506 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
PENGEMBANGAN DIKTAT PRAKTIKUM BERBASIS GUIDED DISCOVERY-INQUIRY BERVISI SCIENCE,
ENVIRONMENT, TECHNOLOGY AND SOCIETY
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang
Gedung D6 Lantai 2 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, 50229, Telp. (024)8508035 E-mail: nikmahrisqiatun@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas diktat praktikum berbasis Guided
Discovery–Inquiry bervisi Science, Environment, Technology and Society (SETS), mengetahui pengaruh terhadap peningkatan keterampilan proses sains dan tanggapan siswa terhadap diktat pada materi penyangga dan hidrolisis. Penelitian ini menggunakan tipe research and development yang diadopsi dari Sugiyono. One-Group Pretest and Posttest Design digunakan pada saat uji coba skala luas dan pengambilan sampelnya menggunakan teknik Purposive Sampling. Berdasarkan hasil penelitian, validitas diktat praktikum mencapai skor 202 (sangat layak). Penggunaan diktat praktikum berbasis Guided Discovery–Inquiry bervisi SETS dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Adanya peningkatan tersebut dibuktikan dengan hasil thitung (10,34) lebih dari ttabel (2,04). Hasil tanggapan siswa menunjukkan 7 dari 30 siswa memberi tanggapan dengan kriteria sangat layak dan sisanya memberikan tanggapan dengan kriteria layak. Selain itu, rata-rata hasil belajar pada ranah psikomotorik maupun afektif mencapai kategori baik dan 21 dari 30 siswa mampu mencapai KKM berdasarkan hasil belajar pada ranah kognitif. Jadi hasil penelitian ini menunjukkan diktat praktikum berbasis Guided Discovery–Inquiry bervisi SETS sangat valid, dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan mendapat tanggapan positif dari siswa.
Kata kunci: diktat praktikum; guided discovery-inquiry; keterampilan proses sains
ABSTRACT
Study aims to determine the validity of practicum dictates based Guided Discovery-
Inquiry with Science, Environment, Technology and Society (SETS) vision, investigate the effect on the improvement of scientific process skills and knowing student responses toward the dictates used in buffer and hydrolisis. This study used research and development type which is adopted from Sugiyono. One-group pretest and posttest design is used when this product was tried in large scale and the sample was taken by using purposive sampling technique. Based on the results of research, the validity of the practicum dictates reached score 202 (very feasible). Using practicum dictates based Guided Discovery-Inquiry with SETS vision could increase students' scientific process skills. It was proven by the result of tcalculation (10.34) is greater than ttable (2.04). The results of student responses showed 7 of 30 students gave very feasible criteria and the remainder gave feasible criteria. In addition, the average of learning result in the psychomotor and affective achieved good category and 21 of 30 students achieved KKM on the learning result of cognitive. So the results showed practicum dictates based Guided Discovery-Inquiry with SETS vision is very feasible, could increase scientific process skills and got a positive responses from students.
Keywords: practicum dictates; guided discovery-inquiry; scientific prosess skills
PENDAHULUAN
Ilmu kimia adalah ilmu yang
diperoleh dan dikembangkan berdasarkan
eksperimen yang mencari jawaban atas
pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana
gejala-gejala alam yang melibatkan ke-
terampilan dan penalaran. Selain itu, ilmu
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja, Pengembangan Diktat Praktikum Berbasis …. 1507
kimia merupakan produk ilmu pengetahuan
dan proses kerja ilmiah. Penjelasan
mengenai kimia sebagai produk dan proses
kerja ilmiah diantaranya berkaitan dengan
adanya kegiatan praktikum di laboratorium.
Kegiatan praktikum sangat diperlukan dalam
pembelajaran kimia yang hakekatnya
termasuk pembelajaran sains. Selama lebih
dari satu abad, “Laboratory Experiences”
telah diakui untuk mempromosikan tujuan
utama pendidikan sains, termasuk
peningkatan pemahaman siswa tentang
konsep-konsep dalam ilmu pengetahuan
dan penerapannya; keterampilan ilmiah
praktis dan kemampuan memecahkan
masalah; kebiasaan berpikir ilmiah;
pemahaman tentang bagaimana ilmu
pengetahuan dan pekerjaan ilmuan, minat
dan motivasi (Hofstein & Naaman, 2007).
Salah satu komponen yang penting untuk
diperhatikan dalam pemebelajaran di
laboratorium yakni diktat praktikum. Diktat
praktikum adalah buku penunjang kegiatan
praktikum yang berisi materi dan
serangkaian prosedur yang akan dilakukan
dalam praktikum. Keberadaan diktat
praktikum dapat memengaruhi keberhasilan
pembelajaran di laboratorium karena
sebagai acuan atau pedoman siswa dalam
melakukan praktikum. Walaupun peran
diktat praktikum sangat penting dan
berpengaruh terhadap keberhasilan
pembelajaran namun tidak semua sekolah
memerhatikan keberadaan diktat praktikum
tersebut.
Berdasarkan observasi di SMA 1
Kajen pada 24 April 2013, siswa tidak
mempunyai buku khusus yang berisi
panduan praktikum kimia atau diktat.
Panduan praktikumnya tertera pada LKS
yang hanya berisi penjelasan materi dan
prosedur-prosedur praktikum secara sing-
kat. Sering kali siswa hanya mengfokuskan
pada prosedurnya saja selama praktikum,
bukan pada ide atau konsep dasarnya.
Selama ini kegiatan praktikum juga kurang
memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berpikir independen atau membangun
pengetahuannya sendiri dan kurang mema-
hami penerapannya dalam teknologi,
pengaruhnya terhadap lingkungan dan
masyarakat. Kegiatan praktikum seharusnya
memberikan kesempatan siswa untuk
menyelidiki dan menemukan sendiri konsep
yang dipelajarinya.
Oloyede (2010) merekomendasikan
metode Guided Discovery untuk diterapkan
saat pembelajaran pada kurikulum kimia
dengan alasan mata pelajaran kimia sangat
penting dan guru harus menggunakan
metode yang membuat siswa memahami
konsep. Selain itu, Saptorini (2008)
mengatakan bahwa guru kimia perlu
memiliki kemampuan merancang kegiatan
laboratorium inkuiri dan menerapkannya
pada proses pembelajaran. Oleh karena itu,
diktat praktikum yang dikembangkan dalam
penelitian ini berbasis metode pembelajaran
Guided Discovery-Inquiry. Menurut Makmun
dalam Nufus (2009) pada pembelajaran
Guided Discovery-Inquiry, guru menyajikan
bahan pelajaran tidak dalam bentuk final,
siswalah yang diberi kesempatan untuk
mencari serta menemukan konsep sendiri
dengan bimbingan seluas-luasnya dari guru.
Selain itu, diktat praktikum yang
dikembangkan bervisi SETS agar siswa
dapat menghubungkan konsep materi yang
1508 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
telah dipelajari dengan unsur sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
Fokus pengajaran SETS haruslah mengenai
tentang cara membuat siswa agar dapat
melakukan penyelidikan untuk mendapatkan
pengetahuan yang berkaitan dengan sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang
saling berkaitan satu sama lainnya (Binadja,
1999).
Diktat praktikum yang dikembang-
kan berdasarkan metode Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS diharapkan dapat
memberikan dampak terhadap peningkatan
keterampilan proses sains siswa. Hal ini
dikarenakan tujuan pendidikan sains adalah
membiasakan individu menggunakan
keterampilan
proses sains
(Aktamis & Ergin,
2008). Keteram-
pilan proses sains
harus ditumbuh-
kan dalam diri
siswa SMA se-
suai dengan taraf
pemikirannya (Wardani et al, 2009).
Pendapat tersebut didukung oleh Aka et al
(2010) yang mengharuskan panduan belajar
sains untuk siswa mencakup pengalaman
yang meningkatkan keterampilan proses
seperti mengamati, mengukur, mengklasi-
fikasikan, dan memprediksi. Keterampilan
proses sains adalah proses yang dapat
diterapkan pada hampir setiap sisi
kehidupan yang harus dimiliki dan
digunakan oleh setiap individu dalam
masyarakat melek sains (Scientific Literate
Societies) untuk meningkatkan kualitas dan
standar hidup (Sheeba, 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui validitas diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquirybervisi
SETS yang dikembangkan, mengetahui pe-
ngaruh penggunaanya terhadap pening-
katan keterampilan proses sains siswa dan
mengetahui tanggapan siswa terhadap
diktat praktikum tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
Research and Development yang diadopsi
dari Sugiyono (2010). Langkah-langkah
penelitian dan pengembangannya ditun-
jukkan seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Langkah-langkah penelitian dan pengembangan (Sugiyono,2010)
Berdasarkan adanya potensi dan
masalah yang telah ditemukan dalam studi
pustaka dan lapangan di SMA N 1 Kajen
maka dirancanglah desain produk model
diktat praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS. Materi dalam model
diktat praktikum yang dikembangkan adalah
bab penyangga dan hidrolisis. Validasi
desain dilakukan dengan cara Expert
Judgement. Model diktat praktikum
dikatakan valid jika mampu mencapai skor
validitas lebih dari 143 dengan kriteria
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja, Pengembangan Diktat Praktikum Berbasis …. 1509
sangat layak atau layak. Tahapan revisi
akan dilakukan jika ada saran atau masukan
untuk perbaikan.
Uji coba produk (skala kecil) dan uji
coba penggunaan (skala luas) dilaksanakan
di SMA N 1 Kajen. Uji skala kecil dilakukan
terhadap enam siswa (2 siswa XI IPA 2, 2
siswa XI IPA 4 dan 2 siswa XI IPA 5). Uji
skala luas dilakukan terhadap 30 siswa
kelas XI IPA 1. Teknik pengambilan sampel
pada uji skala luas adalah Purposive
Sampling. Desain penelitiannya meng-
gunakan One-Grup Pretest and Posttest
Design dengan cara membandingkan
keadaan sebelum dan sesudah
menggunakan diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS
(before-after).
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi,
tes, portofolio dan angket. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
lembar validasi model diktat praktikum, soal
pretest-posttest, lembar penilaian afektif dan
psikomotorik, lembar penilaian portofolio
dan angket respon siswa terhadap
pembelajaran dengan model diktat
praktikum. Uji signifikansi t-test dilakukan
untuk mengetahui ada atau tidaknya
peningkatan keterampilan proses sains
siswa sebelum dan sesudah menggunakan
diktat praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS. Jika nilai thitung lebih
dari ttabel maka dapat disimpulkan terdapat
peningkatan keterampilan proses sains
siswa secara signifikan. Analisis data angket
dilakukan secara deskriptif. Jika rata-rata
skor tanggapan siswa lebih dari 37 maka
siswa menganggap diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS sudah layak sebagai sumber belajar.
Hal itu berarti siswa memberi tanggapan
positif terhadap diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dan pengembangan diktat
praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS dilaksanakan
menggunakan metode Research and
Development (R & D). Hasil penelitian dan
pengembangan diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisis SETS
meliputi hasil validitas oleh ahli, hasil
belajar, data pengaruh penggunaan model
diktat praktikum terhadap peningkatan KPS
dan hasil tanggapan siswa.
Penilaian kelayakan model diktat
praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS dilakukan dengan
menggunakan instrumen penilaian bahan
ajar tahap I dan tahap II dari BSNP.
Penilaian dilakukan oleh 2 dosen FMIPA
UNNES dan 2 guru SMA N 1 Kajen. Tahap I
dari penilaian model diktat praktikum fokus
pada penilaian kelengkapan komponen-
komponen yang meliputi Kompetensi Inti
(KI), Kompetensi Dasar (KD), daftar isi,
tujuan setiap bab, peta konsep, kata kunci,
soal latihan dan daftar pustaka. Hasil
penilaian pakar terhadap model diktat
praktikum menunjukkan bahwa penilaian
tahap 1 dari pakar secara keseluruhan
memberikan skor maksimal. Hal ini berarti
komponen-komponen tersebut dinyatakan
telah lengkap dalam diktat praktikum yang
dikembangkan oleh peneliti. Penilaian tahap
1510 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
II meliputi 3 komponen yaitu komponen
kelayakan isi, komponen kebahasaan, dan
komponen penyajian. Hasil penilaian
validator terhadap komponen-komponen
tersebut disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Rerata Penilaian Tiap Komponen
Komponen
Penilaian
Kriteria Validator I
Validator II
Validator III Validator IV Rerata
Kelayakan isi 3,7 3,9 2,8 3,3 3,4 Sangat baik Kebahasaan 3,9 4 2,5 3,8 3,6 Sangat baik Penyajian 3,7 4 3,4 3,6 3,7 Sangat baik
Rata-rata penilaian tiap komponen
mencapai kriteria sangat baik. Hal ini berarti
validator menganggap bahwa komponen
kelayakan isi, kebahasaan dan penyajian
dari diktat praktikum berbasis Guided
Discovery-Inquiry bervisi SETS sudah
sangat baik sesuai dengan instrumen
penilaian bahan ajar tahap II dari BSNP.
Adapun perolehan skor total pada penilaian
tahap II model diktat praktikum disajikan
pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Perolehan Skor Total Penilaian Tahap II
Rata-rata skor dari keempat
validator sebesar 202 dengan kriteria sangat
layak artinya model diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS sangat layak digunakan sebagai
sumber belajar. Walaupun secara
keseluruhan sudah dikatakan valid dan
sangat layak, tahap revisi masih dilakukan
oleh peneliti guna memperbaiki model diktat
praktikum agar lebih baik lagi karena masih
ada sedikit kekurangan pada aspek tertentu.
Setelah dilakukan validasi model diktat
praktikum dengan revisi kemudian
dilanjutkan uji coba produk atau uji skala
kecil.
Tahapan uji coba skala kecil
bertujuan untuk mengukur keterbacaan,
keterlaksanaan, dan keterpahaman siswa
terhadap instruksi-instruksi dalam diktat
praktikum. Pada uji coba skala kecil
didapatkan rata-rata tanggapan secara
klasikal sebesar 47 dengan kriteria layak.
Semua responden setuju bahwa
tata bahasa yang digunakan dalam
diktat praktikum berbasis Guided
Discovery-Inquiry bervisi SETS
mudah dipahami dan jelas serta
memberikan pengalaman cara
belajar baru bagi mereka. Hal itu berarti
siswa memberikan tanggapan positif bahwa
model diktat praktikum layak diterapkan
dalam pembelajaran. Hasil uji coba skala
kecil telah memenuhi ketentuan
sebagaimana yang dinyatakan oleh Surianto
(2012) bahwa petunjuk-petunjuk yang
diberikan dalam pembelajaran di
laboratorium harus jelas sehingga siswa
Validator Perolehan skor
Skor maksimal
Kriteria
Validator I 214 228 Sangat layak Validator II 225 228 Sangat layak Validator III 167 228 Layak Validator IV 201 228 Sangat layak Rata-rata skor 202 228 Sangat layak
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja, Pengembangan Diktat Praktikum Berbasis …. 1511
melakukan percobaan dengan cara yang
tepat dan sebagai hasilnya mereka bisa
memperoleh pengetahuan, pemahaman,
keahlian dan sikap kebenaran ilmiah.
Karena respon dari responden pada uji coba
skala kecil adalah positif, maka tahapan
revisi terhadap diktat praktikum pada uji
coba skala kecil tidak dilakukan.
Tahapan selanjutnya adalah uji coba
skala luas. Data yang didapatkan dalam uji
coba skala luas adalah (1) data hasil belajar
pada ranah psikomotorik, afektif, dan
kognitif, (2) data pengaruh model diktat
terhadap peningkatan keterampilan proses
sains, dan (3) data tanggapan siswa
terhadap diktat praktikum berbasis Guided
Discovery-Inquiry bervisi SETS.
Berdasarkan hasil belajar pada
ranah psikomotorik dapat diketahui bahwa
20 dari 30 siswa mendapat nilai
psikomotorik dengan kategori sangat baik
dan 10 siswa mendapat nilai dengan
kategori baik. Pada kegiatan praktikum
hidrolisis diketahui 24 dari 30 siswa
mendapat nilai psikomotorik dengan
kategori sangat baik dan 6 siswa mendapat
nilai dengan kategori baik. Terdapat
peningkatan nilai psikomotorik siswa dari
praktikum penyangga ke praktikum hidrolisis
dengan menggunakan diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS. Pencapaian rata-rata skor tiap aspek
psikomotoriknya disajikan pada tabel 3
dengan keterangan A (praktikum
penyangga) dan B (praktikum hidrolisis).
Tabel 3. Rata-rata Skor Tiap Aspek Psikomotorik
Aspek Skor
A Kriteria B Kriteria
Persiapan siswa dalam melakukan praktikum 3,6 Sangat tinggi 3,6 Sangat tinggi Persiapan alat dan bahan 3 Tinggi 3 Tinggi Kelengkapan alat dan bahan praktikum 3,9 Sangat tinggi 3,9 Sangat tinggi Kemampuan siswa dalam bekerja 2,9 Tinggi 3 Tinggi Penguasaan cara kerja praktikum 3,3 Sangat tinggi 3,4 Sangat tinggi Keterampilan menggunakan alat 3,5 Sangat tinggi 3,6 Sangat tinggi Keterampilan melakukan pengukuran 3,4 Sangat tinggi 3,3 Sangat tinggi Keterampilan mengamati objek 3,6 Sangat tinggi 3,2 Sangat tinggi Kebersihan alat dan tempat praktikum 3,2 Sangat tinggi 3,3 Sangat tinggi Kecakapan bekerjasama dalam kelompok 3,4 Sangat tinggi 3,5 Sangat tinggi Pelaporan hasil praktikum sementara 3 tinggi 2,9 Tinggi
Aspek psikomotorik dalam praktikum
yang memperoleh skor tertinggi adalah
aspek kelengkapan alat dan bahan
praktikum. Aspek ini sangat tinggi
dikarenakan dalam proses pembelajaran
menggunakan diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS
memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada siswa untuk merancang dan
mempersiapkan alat dan bahan sesuai
kebutuhan mereka sendiri. Selain kegiatan
praktikum, kegiatan pembelajaran lainnya
adalah diskusi. Diskusi digunakan dalam
proses pembelajaran guna menggali
pengetahuan siswa terhadap materi yang
telah dipelajari.
Berdasarkan hasil penilaian diskusi
dapat diketahui bahwa 8 dari 30 siswa
1512 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
mendapat nilai dengan kategori sangat baik
dan 22 siswa mendapat nilai dengan
kategori baik. Rata-rata skor psikomotorik
diskusi siswa secara klasikal adalah 25
dengan kategori baik. Pembelajaran
menggunakan diktat praktikum kimia SMA
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS ini memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menyelidiki dan menemukan
sendiri konsep yang dipelajarinya. Diskusi
yang dilakukan
oleh siswa
mencakup topik
tentang
penyangga dan
hidrolisis yang
dikaitkan
dengan unsur-unsur SETS. Melalui diskusi
keterampilan berpendapat, bertanya dan
kepercayaan diri dalam berkomunikasi
dapat dikembangkan. Adapun rekapitulasi
skor tiap aspeknya disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Rata-Rata Skor Tiap Aspek Psikomotorik (Diskusi)
Aspek Skor Kriteria
Kecakapan bertanya 3,1 Sangat tinggi Kecakapan berpendapat 3 Tinggi Toleransi 3,3 Sangat tinggi Kepercayaan diri dalam berkomunikasi 3,4 Sangat tinggi Kemampuan merumuskan masalah 3 Tinggi Kemampuan menentukan variabel 3 Tinggi Kemampuan menentukan hipotesis 3 Tinggi Kemampuan memecahkan masalah 3 Tinggi
Aspek psikomotorik dalam berdis-
kusi yang memperoleh skor tertinggi adalah
aspek kepercayaan diri dalam berko-
munikasi. Siswa dilatih untuk menjelaskan
hasil diskusi dengan teman sekelompoknya
dan saling bertukar pendapat selama proses
diskusi berlangsung.
Berdasarkan hasil belajar pada
ranah afektif dapat diketahui bahwa 8 dari
30 siswa mendapat nilai afektif dengan
kategori sangat baik dan 22 siswa mendapat
nilai dengan kategori baik. Rata-rata skor
afektif siswa selama proses pembelajaran
secara klasikal adalah 23 dengan kategori
baik. Adapun skor tiap aspek afektif siswa
disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Rata-Rata Skor Tiap Aspek Afektif
Aspek afektif yang memperoleh skor
tertinggi adalah disiplin dalam kehadiran di
kelas, sedangkan aspek yang memperoleh
skor paling rendah adalah aspek keberanian
siswa dalam mengerjakan soal di depan
kelas. Hal ini disebabkan kebanyakan siswa
merasa kurang percaya diri dengan jawaban
mereka dan takut salah dengan jawaban
yang mereka kerjakan.
Berdasarkan hasil belajar pada
ranah kognitif dapat diketahui bahwa 9 dari
30 siswa belum memenuhi kriteria KKM.
Batas minimum atau KKM pelajaran kimia
yang ditetapkan
oleh sekolah adalah 75.
Hasil belajar kognitif diambil dari nilai
Aspek Skor Kriteria
Disiplin dalam kehadiran di kelas 3,7 Sangat tinggi Kerjasama dalam kelompok 3,3 Sangat tinggi Kejujuran 3 Tinggi Bertanggung jawab 3,4 Sangat tinggi Rasa ingin tahu 3,1 Sangat tinggi Kecakapan berkomunikasi 3,3 Sangat tinggi Keberanian dalam mengerjakan soal di depan kelas 3 Tinggi
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja, Pengembangan Diktat Praktikum Berbasis …. 1513
capai indikator dengan kategori baik.
Ketidaktuntasan siswa disebabkan be-
berapa faktor. Faktor-faktor yang
memengaruhi hasil belajar digolongkan
menjadi faktor internal dan faktor eksternal
(Saptorini, 2011). Faktor internal yang
memengaruhi hasil belajar disebabkan
ketidaksiapan siswa dalam mengerjakan
posttest dan kesulitan memahami materi.
Selain itu, motivasi siswa juga dapat
memengaruhi prestasi belajarnya. Marsita et
al (2010) menyatakan penyebab kesulitan
siswa dalam memahami materi penyangga
antara lain kurangnya minat dan perhatian
siswa pada saat proses pembelajaran
berlangsung, kurangnya kesiapan siswa
dalam menerima konsep baru dan
penanaman konsep yang kurang dalam.
Faktor eksternal yang memengaruhi hasil
belajar dalam uji skala luas ini adalah
adanya kendala-kendala yang ditemukan
saat proses pembelajaran. Penyusunan
RPP dan silabus dalam pembelajaran
menggunakan diktat praktikum kimia SMA
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS berdasarkan kurikulum 2013.
Terdapat ketidaksiapan siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran berdasarkan
kurikulum 2013 sehingga guru terkadang
kesulitan untuk mengarahkan siswa untuk
mengikuti langkah-langkah pembelajaran-
nya.
Selain melihat hasil belajar siswa,
dilakukan juga uji signifikansi untuk
mengetahui ada atau tidaknya peningkatan
keterampilan proses sains siswa. Data yang
digunakan untuk uji signifikansi adalah data
hasil pretest dan posttest. Setiap butir
pertanyaannya mampu mengukur keteram-
pilan proses sains siswa yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya. Penyusunan
butir pertanyaan pretest dan posttest telah
mengadopsi instrumen tes seperti yang
dikembangkan oleh Tek et al (2011). Cara
untuk menguji signifikansi peningkatan
proses sainsnya dengan uji t-test
(Suharsimi, 2010). Berdasarkan hasil
perhitungan data dapat diketahui bahwa
nilai thitung(10,34) lebih dari ttabel (2,04),
artinya dapat disimpulkan terdapat
peningkatan keterampilan proses sains
secara signifikan setelah menggunakan
diktat praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS. Hasil penelitian ini
menambah bukti bahwa keterampilan
proses sains dapat dikembangkan melalui
kegiatan praktikum. Penelitian yang
sebelumnya sudah membuktikan tentang
peningkatan keterampilan proses sains
melalui kegiatan praktikum adalah penelitian
yang pernah dilakukan oleh Siskaet
al(2013). Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa terdapat peningkatan keterampilan
proses sains siswa secara signifikan dalam
pembelajaran kimia materi laju reaksi
melalui pembelajaran praktikum berbasis
inquiry. Selanjutnya untuk melihat
peningkatan setiap aspek KPS dapat dilihat
pada gambar 2.
posttest dan nilai portofolio. Nilai portofolio
dari kesembilan siswa tersebut sudah di
atas KKM tetapi nilai postesnya masih jauh
di bawah KKM sehingga nilai akhirnya
menjadi rendah. Namun, jika dilihat dari
penilaian ranah psikomotorik dan afektif
kesembilan siswa tersebut mampu men-
1514 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
Gambar 2. Hasil peningkatan tiap aspek KPS
Pada gambar 2 skor tiap aspek
diperoleh dari hasil analisis jawaban siswa
pada pretest dan posttest. Hasil jawaban
siswa pada pretest dan posttest dianalisis
berdasarkan spesifikasi masing-masing
aspek KPS kemudian dihitung nilai rata-rata
tiap aspek KPS secara klasikal. Rata-rata
KPS siswa XI IPA 1 sebelum perlakuan
mencapai skor 10 dari 30 dan mencapai
skor 21 dari 30 setelah mendapat perlakuan
dengan menggunakan diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS. Pengukuran dilakukan dengan 30
butir pertanyaan yang mencakup sembilan
aspek keterampilan proses sains
sebagaimana yang disebutkan oleh
Saptorini (2011). Kesembilan aspek
keterampilan proses sains (KPS) tersebut
yaitu: (1) mengobservasi, (2) membuat
hipotesis, (3) merencanakan penelitian, (4)
mengendalikan variabel, (5) menginter-
pretasikan atau menafsirkan data, (6)
menyusun simpulan sementara (inferensi),
(7) memprediksi, (8) menerapkan konsep,
dan (9) mengkomunikasikan hasil
penyelidikan dan penemuan. Berdasarkan
gambar 2 dapat diketahui bahwa kete-
rampilan proses sains siswa mengalami
peningkatan pada tiap aspeknya setelah
melakukan pembelajaran dengan
menggunakan diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS. Hal
ini berarti sesuai dengan pendapat Sawitri
dalam Trisnawati (2011) yang menyatakan
bahwa tujuan penyusunan diktat praktikum
salah satunya adalah untuk mengaktifkan
siswa dan membantu siswa dalam
mengembangkan keterampilan proses
sains. Aspek KPS yang mencapai skor
tertinggi adalah aspek interpretasi dan
mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan
penemuan. Aspek interpretasi dan
berkomunikasi dapat mengukur kemampuan
siswa dalam menafsirkan data dan
menjelaskan hasil penyelidikan dan
penemuannya.
Berdasarkan hasil pengisian angket
tanggapan siswa mengenai diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS yang telah berlangsung dalam proses
Risqiatun Nikmah* dan Achmad Binadja, Pengembangan Diktat Praktikum Berbasis …. 1515
pembelajaran menunjukkan 7 dari 30 siswa
memberi tanggapan dengan kriteria sangat
layak dan 23 siswa memberikan tanggapan
dengan kriteria layak. Rata-rata skor
tanggapan secara klasikal yang diberikan
oleh siswa adalah 46 dengan kategori layak.
Selain itu, skor setiap itemnya juga
menunjukkan sebagian besar siswa
beranggapan setuju bahwa diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry bervisi
SETS; (1) sangat membantu dalam kegiatan
praktikum, (2) instruksinya mudah dilaksa-
nakan, (3) penyusunan kontennya menarik,
(4) tata bahasanya mudah dipahami, (5)
menarik minat untuk membacanya, (6)
membangkitkan rasa ingin tahu, (7) dapat
dijadikan referensi, (8) terbaca dengan jelas,
(9) memberikan pengalaman cara belajar
baru, (10) mengarahkan belajar mandiri,
(11) memudahkan belajar karena
tersedianya gambar-gambar yang men-
dukung, (12) dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam memahami
keterkaitan SETS, dan (13) pemakainnya
praktis. Berdasarkan hasil tanggapan siswa
tersebut dapat dikatakan bahwa siswa
memberikan tanggapan positif terhadap
diktat praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry. Hal ini berarti diktat praktikum
berbasis Guided Discovery-Inquiry layak
diterapkan dalam proses pembelajaran
materi penyangga dan hidrolisis. Setelah
dilakukan uji coba skala luas adapun
pembenahan atau revisi yang perlu
dilakukan berdasarkan kekurangan-
kekurangan yang didapatkan dalam uji skala
luas. Pembenahan diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS yang
dilakukan pada tahap akhir adalah
penambahan instruksi yang lebih jelas pada
bagian praktikum membuat larutan
penyangga asam dan basa. Hal ini
dikarenakan pada praktikum tersebut siswa
merasa kebingungan dan solusinya pada
saat itu guru harus menjelaskan kembali
maksud dari praktikum tersebut kepada
setiap kelompok.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh kesimpulan, yaitu: (1) validitas
diktat praktikum berbasis Guided Discovery-
Inquiry bervisi SETS mencapai skor 202
dengan kategori sangat layak berdasarkan
penilaian menggunakan instrumen tahap II
BSNP, (2) diktat praktikum berbasis Guided
Discovery-Inquiry bervisi SETS dapat
meningkatkan keterampilan proses sains
siswa kelas XI IPA 1 SMA N 1 Kajen secara
signifikan, dan (3) diktat praktikum berbasis
Guided Discovery-Inquiry bervisi SETS
mendapatkan tanggapan positif dari siswa
dengan rata-rata skor tanggapan siswa
secara klasikal sebesar 46 dengan kategori
layak.
DAFTAR PUSTAKA
Aka, E.I., Guven, E.,& Aydogdu, M. 2010.
Effect of Problem Solving Method on Science Process Skills and Academic Achievement.Journal of TURKISH SCIENCE EDUCATION . 7(4):13-25
Aktamis, H & Ergin, O. 2008. The Effect of Scientific Process Skills Education on Student’s Scientific Creativity, Science Attitudes and Academic Achievements.Asia –Pasific Forum on Science Learning and Teaching. 9(4): 1-21
1516 Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol 9, No. 1, 2015, hlm 1506 -1516
Binadja,A. 1999. Hakekat dan Tujuan Pendidikan SETS. Seminar Lokakarya Nasional Pendidikan SETS. Semarang 14-15 Desember 1999
Hofstein & Naaman, M.R. 2007. The Laboratory in Science education: The State of the Art. Journal Chemistry Education Research and Practice 105- 107.8(2): 105-107
Marsita, A.R., Priatmoko, S., & Kusuma, E. 2010. Analisis Kesulitan Belajar Kimia Siswa SMA dalam Memahami Materi Larutan Penyangga dengan menggunakan Two-Tier Multiple Choice Diacnostic Instrument. Jurnal Inovasi Kimia. 4(1): 512-520
Nufus, H.2011. Komparasi hasil belajar kimia materi larutan penyangga dan hidrolisis menggunakan pembeajaran guided discovery-inquiry (GDI) dan cooperative integrated reading dan composition (CIRC) di SMAN 4 Semarang. Skripsi. Semarang: FMIPA UNNES
Oloyede, O.I. 2010. Comparative Effect of the Guided Discovery and Concept Mapping Teaching Stategies on Sss Students’Chemistry Achivement. Humanity and Social Journal.5(1): 1-6
Saptorini. 2008. Peningkatan Keterampilan Generik sains bagi Mahasiswa Melalui Perkuliahan Praktikum Kimia Analisis Instrumen Berbasis Inkuiri. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia.2(1): 190-198
Saptorini. 2011. Stategi Pembelajaran Kimia. Semarang: UNNES
Sheeba, M.N. 2013. An Anatomy of Science Process Skills In The Light Of The Challenges to Realize Science
Instruction Leading To Global Excellence in Education. Educationia Confab. 2(4): 108-123
Siska, M., Kurnia, & Sunarya, Y. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA Melalui Pembelajaran Praktikum Berbasis Inquiry pada Materi Laju Reaksi. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia. 1(1): 69-75
Sugiyono. 2010. Metode Penellitian Kuantitatif Kalitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suharsimi, A. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT rineka cipta
Surianto. 2012. Pengembangan Buku Petunjuk Praktikum Kimia SMA kelas XI Semester Ganjil berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Thesis. Medan: UNIMED
Tek, O.E., Tuang, W.Y., Yasin, S.Md., Baharom, S., & Yahaya, A. 2011. The Development and Validation of an All Encompassing Malaysian-Based Science Process Skills Test for Secondary Schools. Journal of science and Mathematics Education in Southeast Asia 2011. 34(2): 203-263
Trisnawati, E. 2011. Pengembangan Petunjuk Praktikum Biologi Materi Struktur Sel dan Jaringan Berbasis Empat Pilar Pendidikan. Skripsi. Semarang: UNNES
Wardani, S., Widodo, A.T., & Priyani, N.E. 2009. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Pendekatan Keterampilan Proses Sains Berorientasi Problem-Based Instruction. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 3(1): 391-399
PANDUAN PENULISAN NASKAH JURNAL INOVASI PENDIDIKAN KIMIA
Naskah yang diterbitkan dalam jurnal terdiri atas naskah hasil penelitian dan naskah hasil pemikiran konseptual. Naskah ditulis menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar antara 10 sampai 15 halaman. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 dengan margin atas, bawah, kiri, dan kanan masing-masing 3,0 cm, huruf jenis arial ukuran 10 (kecuali judul naskah menggunakan huruf ukuran 12 bold), spasi 1,5 kecuali abstrak, judul tabel, judul gambar, dan daftar pustaka menggunakan spasi tunggal. Nama penulis disertai dengan institusi asal ditulis di bagian bawah judul naskah dengan huruf arial 9 dan dicetak miring. Naskah terdiri atas abstrak dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka. Abstrak ditulis maksimal 200 kata disertai dengan 3 sampai dengan 5 buah kata kunci yang diambil dari judul naskah. Judul dan subjudul ditulis rata kiri dengan aturan: (1) judul ditulis dengan huruf kapital, (2) subjudul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama tiap kata, (3) sub-subjudul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf depan kata pertama. Pustaka dirujuk berdasarkan sistem nama tahun, dan ditulis dalam daftar pustaka sesuai dengan urutan abjad. Template file naskah artikel dapat diunduh di web site: http://kimia.unnes.ac.id
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih ditulis pada akhir naskah sebelum daftar pustaka.
Pengiriman naskah
Naskah dikirimkan dalam bentuk hardcopy sebanyak 2 eksemplar disertai dengan softcopy
kepada editor naskah Dra. Nanik Wijayati, M.Si. atau Ella Kusumastuti, S.Si., M.Si. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Negeri Semarang, Gedung D6 lantai 2 Kampus Sekaran, Gunungpati Semarang
50229, telp: (024) 8508035, atau melalui email ke alamat: sri_kadarwati@yahoo.co.id. Penulis yang
naskahnya dimuat diminta untuk memberikan kontribusi sebesar Rp. 100.000,- dan yang
bersangkutan akan mendapatkan Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia (JIPK) sebanyak 1 eksemplar.
JURNAL IPKJURNAL INOVASI PENDIDIKAN KIMIA
ISSN 1979-0503Volume 9, Nomor 1, Januari 2015
Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli
Ketua PenyuntingTri Widodo
Wakil Ketua PenyuntingWisnu Sunarto
Penyunting PelaksanaSigit PriatmokoNanik Wijayati
HarjonoHarjito
Sri KadarwatiCepi KurniawanElla Kusumastuti
Penyunting Ahli (Mitra Bestari)Mudatsir (Universitas Gadjah Mada), Hanny Wijaya (Institut Pertanian Bogor), Effendi
(Universitas Negeri Malang), Liliasari (Universitas Pendidikan Indonesia), Nurfina Aznam (Universitas Negeri Yogyakarta), Bambang Cahyono (Universitas Diponegoro), Achmad Binadja
(Universitas Negeri Semarang), D.Y.P. Sugiharto (Universitas Negeri Semarang)
Pelaksana Tata UsahaWoro Sumarni
Pembantu Pelaksana Tata UsahaWijayanti Setyodewi
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D6 Lantai 2, Jl. Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229, Telp./Fax: (024) 8508035. Email: sri_kadarwati@yahoo.co.id
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah dipublikasikan di media lain. Naskah diketik dengan format seperti tercantum pada Panduan Penulisan JIPK di bagian
belakang jurnal ini, dan dapat diunduh di laman http://kimia.unnes.ac.id. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.