Post on 12-Aug-2015
description
Tugas Makalah Hari/Tanggal : Kamis, 18 Oktober 2012
Satuan Proses Dosen : Prof Dr Ir Erliza Hambali
CARRAGEENAN SEBAGAI STABILIZER DAN EMULSIFIER
DI BERBAGAI BIDANG INDUSTRI
Oleh :
Fitriana Dewie Pannita F34100081
Hafizah Khaerina F34100110
Hanisa Pratiwi F34100132
2012
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Saat ini perkembangan industri semakin banyak dan bergerak maju baik di
dalam maupun luar negeri. Perkembangan industri di tengah masyarakat ini membuat
kebutuhan produsen sebagai penghasil suatu produk pun kian banyak. Mereka
berlomba- lomba untuk menghasilkan produk dengan inovasi terbaru dan terefisien
yang dijadikan sebagai suatu keunggulan produk yang membuat konsumen tertarik
untuk menggunakannya.
Demi memenuhi kebutuhan produsen agar tetap menghasilkan produk sesuai
dengan permintaan pasar, saat ini banyak digunakan bahan substitusi atau bahan
pengganti dengan fungsi yang sama. Salah satu contohnya adalah carrageenan,
terbuat dari rumput laut atau algae merah, yang digunakan sebagai stabilizer dan
emulsifier di berbagai bidang industri. Carrageenan banyak digunakan pada industri
pangan, industri farmasi dan kosmetik. Permintaan dunia terhadap rumput laut kering
penghasil karagenan diprediksi mencapai 369.800 ton atau naik dua kali lipat jika
dibandingkan dengan kebutuhan tahun 2007. Peluang itu perlu dimanfaatkan oleh
petani rumput laut Indonesia, yang merupakan salah satu produsen rumput laut
terbesar di dunia.
Kebutuhan dunia untuk rumput laut penghasil karagenan, yakni jenis cotonii
dan spinosum, diperkirakan meningkat seiring tumbuhnya industri pengolah.
Indonesia merupakan eksportir rumput laut terbesar di dunia jenis cotonii. Tahun
2010, produksi rumput laut penghasil karagenan adalah sekitar 75,85 persen dari
total ekspor di dunia (Kompas, 2011/09/08). Oleh karena itu, dengan tingginya minat
industri di dunia terhadap karagenan, diharapkan Indonesia terus gencar
mengembangkan karagenan hingga memiliki nilai ekonomis tertinggi dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi.
I.2 Tujuan
Mengetahui proses konversi rumput laut menjadi karagenan dan mengetahui
manfaat dari karagenan terhadap suatu produk yang dihasilkan di berbagai industri.
II. PEMBAHASAN
Karagenan adalah senyawa yang termasuk golongan polisakarida yang
diekstraksi dari beberapa spesies rumput laut atau alga merah (rhodophyceae).
Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat
terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa.
Tiga jenis karagenan yang paling penting adalah karagenan iota, kappa, dan lambda.
Sedangkan karagenan mu adalah prekursor karagenan kappa, karagenan nu adalah
prekursor iota. Jenis karagenan ini diperoleh dari spesies rhodophyta yang berbeda.
Secara alami, jenis iota dan kappa dibentuk secara enzimatis dari prekursornya oleh
sulfohydrolase. Sedangkan secara komersial, jenis ini diproduksi menggunakan
perlakuan alkali atau ekstraksi dengan alkali (Distantina dkk 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Van Bosse (1913-1928) melaporkan bahwa
sekitar 555 jenis spesies rumput laut tumbuh di perairan Indonesia (Basmal 2000).
Rumput laut yang telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan ada 61 jenis dan 21
jenis diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional (Anggadiredja 1992).
Rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan dijadikan sebagai bahan
komoditi ekspor yaitu Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Sargassum dan Hypnea.
Salah satu bentuk hasil olahan rumput laut yang paling potensial dan bernilai
ekonomis tinggi yaitu polisakarida alga, dan salah satunya adalah karagenan (Satari
1996).
Karagenan dapat diekstraksi dari protein dan lignin rumput laut dan dapat
digunakan dalam industri pangan karena karakteristiknya yang dapat berbentuk geli,
bersifat mengentalkan, dan menstabilkan material utamanya. Karagenan sendiri tidak
dapat dimakan oleh manusia dan tidak memiliki nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.
Oleh karena itu, karagenan hanya digunakan dalam industri pangan karena fungsi
karakteristiknya yang dapat digunakan untuk mengendalikan kandungan air dalam
bahan pangan utamanya, mengendalikan tekstur, dan menstabilkan makanan.
II.1 Pemilihan Material
Rumput laut termasuk golongan algae atau ganggang yang terdiri dari empat
kelas, yaitu Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), dan
Chlorophyceae (ganggang hijau), Cyanophyceae (ganggang hijau - biru). Rumput
laut yang sering dimanfaatkan adalah dari jenis ganggang merah karena mengandung
agar-agar, karagenan, porpiran, maupun furcelaran (Indriani, 1999).
Rumput laut memiliki kandungan karbohidrat 39-55% (gula atau vegetable-
gum), protein 17,2-27,13%, sedikit lemak 0,08%, dan abu 1,5% yang sebagian besar
merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, rumput laut juga
mengandung vitamin-vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan C ;
betakaroten ; serta mineral, seperti kalium, kalium fosfor, natrium, zat besi, dan
yodium. Beberapa jenis rumput laut mengandung lebih banyak vitamin dan mineral
penting, seperti kalsium dan zat besi bila dibandingkan dengan sayuran dan buah-
buahan, serta mengandung protein yang cukup tinggi. Zat-zat tersebut sangat baik
untuk dikonsumsi sehari-hari karena mempunyai fungsi dan peran penting untuk
menjaga dan mengatur metabolisme tubuh manusia. Kandungan utama yang
fungsional rumput laut yang dipakai yaitu agar, karagenan, dan alginat.
Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) penghasil karagenan, jenis karagenan yang dihasilkan dari rumput
laut Eucheuma cottonii adalah kappa karagenan yang mengandung lebih dari 34%
3,6 anhidro-D-galaktosa dan 25% ester sulfat. Karagenan dibagi menjadi 3 fraksi
berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan. Ketiganya
berbeda dalam sifat gel dan reaksinya terhadap protein. Kappa karagenan
menghasilkan gel yang kuat, sedangkan iota membentuk gel yang halus dan mudah
dibentuk, dan lambda tidak dapat membentuk gel. Karagenan yaitu senyawa
hidrokoloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi
dari rumput laut jenis-jenis karaginofit, seperti Eucheuma sp., Chondrus sp., Hypnea
sp., dan Gigartina sp.. Eucheuma cottonii memiliki ciri-ciri fisik seperti thallus
silindris, permukaan licin, cartilogineus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-
kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering
terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses
adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai
kualitas pencahayaan (Aslan, 1998).
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik didaerah pantai terumbu
karena tempat ini mempunyai persyaratan untuk pertumbuhan, yaitu faktor
kedalaman suhu, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khasnya adalah daerah
yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan
substrat batu karang mati karena tempat ini (Atmadja 1996).
Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia
perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karagenan. Kadar karagenan
dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan
lokasi tumbuhnya.
Gambar 1. Eucheuma cottoni
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut (Aslan 1998) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieraceae
Genus : Eucheuma cottonii
II.2 Pemilihan Proses Konversi dan Kondisi Proses
Menurut Glikcksman (1983), karagenan yaitu getah rumput laut yang
diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot
water) atau larutan alkali pada temperatur tinggi. Pembuatannya menggunakan
metode ekstraksi dimana dilakukan pemisahan komponen solute (cair) dan
campurannya menggunakan sejumlah massa solven sebagai tenaga pemisah. Proses
ekstraksi menggunakan larutan alkali untuk melepaskan karagenan dari unit
intraseluler dan juga untuk memisahkan lemak dan protein. Setelah itu dilakukan
penambahan alkohol yang berfungsi untuk mengendapkan karagenan.
Saat ini produksi karagenan kebanyakan menghasilkan semirefine
carrageenan (SRC) belum mendapatkan refine carrageenan. Metode alkohol
merupakan salah satu metode yang dapat menghasilkan refine karagenan. Pada
proses ekstraksi karagenan dengan metode alkohol digunakan larutan alkali yaitu
KOH untuk memisahkan karagenan dari rumput laut. KOH merupakan salah satu
basa kuat dan bersifat alkali sehingga dapat membantu ekstraksi polisakarida dari
rumput laut dan berfungsi untuk mengkatalisis hilangnya gugus-6-sulfat dari unit
monomernya dengan membentuk 3,6-anhidrogalaktosa sehingga dapat meningkatkan
kekuatan gel dan reaktifitas produk terhadap protein (Mustamin 2012).
Ada dua macam cara memproduksi karagenan, yaitu skala rumah tangga dan
skala industri (Anonim 2012).
A. Produksi Karagenan untuk Skala Rumah Tangga
- Rumput laut direndam dalam air tawar selama 12 – 24 jam, kemudian dibilas lalu
ditiriskan.
- Setelah bersih, rumput laut direbus dalam air dengan perbandingan rumput laut
dengan air sebesar 1 : 15, suhu 120o C selama 15 menit. Perebusan memakai
pressure cooker, selanjutnya dilakukan perebusan lagi tanpa tekanan pada suhu 10o C
selama 2 – 3 jam.
- Rumput laut yang lunak dihancurkan dengan blender dan ditambahkan air panas (90o
C) dengan perbandingan 1 : 30. Hasilnya disaring dengan kain kasa halus.
- Filtrat diendapkan menambahkan metil alkohol dengan perbandingan 2,5 : 1, dapat
juga dengan menambahkan alkohol 90 % atau membekukannya pada suhu -10o C - 6o
C selama 24 – 48 jam.
- Endapan yang bercampur alkohol disaring dengan kain kasa. Hasil saringan masih
berupa karagenan basah. Filtrat yang beku perlu dicairkan dahulu untuk selanjutnya
disaring lagi.
- Karagenan basah dikeringkan selama 3 – 4 hari. Tepung karagenan dapat diperoleh
setelah proses penggilingan.
B. Produksi Karagenan Untuk Skala Industri
- Rumput laut dicuci dengan air tawar kemudian dikeringkan sampai kadar air menjadi
15 – 25 %.
- Rumput laut kering diesktraksi dengan ditambah air panas dan kalsium hidroksida
atau natrium hidrosida. Selama ekstraksi terjadi penghancuran dan hasilnya berupa
pasta. Penghancuran ini bertujuan untuk memperluas permukaan rumput laut
sehingga proses pelarutan karagenan akan lebih mudah.
- Pasta selanjutnya dimasukkan ke tangki atau bejana dan dipanaskan selama 24 jam
pada suhu 90o – 95o C.
- Setelah itu pindahkan ke tangki lain atau bejana dan dipanaskan selama 24 jam pada
suhu 90o – 95o C.
- Setelah mendidih disaring dengan filter aid atau tanah diatomea. Hasilnya disaring
lagi dengan filter press.
- Filtrat yang dihasilkan dipompa ke dalam tangki yang berisi propil alkohol dan akan
didapatkan serat karagenan.
- Serat karagenan di-press, kemudian dicuci dengan alkohol segar dan di-press lagi.
- Lembaran karagenan yang didapat dikeringkan dengan rotary dryer. Untuk
mendapatkan tepung karagenan lembaran tersebut digiling.
Gambar 2. Skema struktur pengulangan disakarida pada karagenan komersial
(Distantina dkk 2010)
II.3 Gambaran Reaksi yang Terjadi
Ekstraksi karagenan dari rumput laut Eucheuma cottonii pada prinsipnya
dimulai dengan sistem ekstraksi dengan suatu basa yang kemudian dilanjutkan
dengan penyaringan, pengendapan dan penggilingan hingga menjadi suatu tepung.
Untuk memperoleh tepung karagenan dengan kekuatan gel yang tinggi, rumput laut
yang digunakan sebaiknya rumput laut yang telah diberi perlakuan alkali panas.
Rasyid (2010), menjelaskan bahwa perbedaan penggunaan basa berpengaruh pada
kekentalan dan kekuatan gel karagenan. Jika diinginkan suatu produk yang kental
dengan kekuatan gel rendah maka digunakan garam natrium, untuk gel yang elastis
digunakan garam kalsium sedangkan garam kalium menghasilkan gel yang keras.
Untuk kappa karagenan lebih sensitif terhadap ion-ion kalium sedangkan iota
karagenan lebih sensitif dengan ion-ion kalsium .
Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali mempunyai dua fungsi yaitu
membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan berfungsi untuk mengkatalisis
hilangnya gugus-6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3,6-
anhidrogalaktosa sehingga mengakibatkan kenaikan kekuatan gelnya. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Sheng Yao et al. (1986) ekstraksi yang dilakukan
dengan NaOH 2% mempunyai gel 3 – 5 kali lebih kuat jika dibanding dengan air.
Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis karagenan
(Guiseley et a.l, 1980). KOH dipilih karena efek kation terhadap kappa karagenan
yang menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan alkali lain seperti NaOH dan
Ca(OH)2.
Ekstraksi karagenan dilakukan dengan metode pengepresan sebagai berikut:
rumput laut kering dicuci dengan air sampai bersih kemudian rumput laut diekstraksi
dengan menggunakan panci double unit dengan volume pelarut sebanyak 25 kali
berat rumput laut kering. Ekstraksi dilakukan menggunakan perlakuan bahan
pengekstrak yaitu soda abu dan NaOH dengan konsentrasi masing-masing 0,5%
(b/v). Suhu selama ekstraksi berkisar antara 90o -95oC dan lama waktu ekstraksi 3
jam. Rumput laut kemudian disaring dengan menggunakan kain penyaring. Filtrat
yang diperoleh kemudian dipanaskan kembali dengan menggunakan bahan penjendal
KOH 3% dan KCl 3%, serta bahan pengendap organik isopropil alkohol yang akan
menarik air dari filtrat karagenan sehingga akan diperoleh serat karagenan. Filtrat
dibiarkan semalam sehingga menjendal kemudian diiris dengan menggunakan alat
pemotong agar-agar sehingga diperoleh gel karagenan yang berupa lembaran dengan
ketebalan + 0,8 cm. Lembaran karagenan kemudian dibungkus dengan menggunakan
kain blacu, selanjutnya dipress. Pengepresan dilakukan di dalam kotak kayu dan
diberi beban berupa batu yang ditambahkan secara bertahap. Pengepresan dilakukan
selama semalam, sehingga air keluar dan diperoleh lembaran tipis. Setelah
pengepresan selesai karagenan dijemur beserta kainnya sehingga diperoleh
karagenan kertas. Karagenan kertas kemudian ditepungkan sehingga diperoleh
karagenan tepung.
Pengendapan karagenan hasil ekstraksi yang telah mengalami filtrasi dapat
dilakukan dengan alkohol (Glicksman 1983). Alkohol yang dapat digunakan yaitu
methanol, etanol, dan isopropil alkohol. Kebanyakan karagenan yang dipakai dalam
pangan isolasi dengan pengendapan selektif oleh isopropil alkohol karena hasilnya
lebih murni dan pekat/kental. Hanya satu kekurangan Isopropil alkohol yaitu lebih
mahal dibanding methanol dan etanol.
Doty (1987) membedakan karagenan berdasarkan kandungan sulfatnya
menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28 %
dan iota karagenan jika lebih dari 30 %. Winarno (1996) menyatakan, bahwa kappa
karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karagenan
dihasilkan dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karagenan dari Chondrus
crispus, selanjutmya membagi karagenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit
penyusunnya yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan yaitu :
Gambar 3. Struktur molekul kappa karagenan (Tojo dan Prado 2003).
Kappa karagenan tersusun dari α(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β (1,4)-3,6-
anhidro-D-galaktosa. Kappa- karagenan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester
dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat
menurunkan daya gelasi dari kappa karagenan, tetapi dengan pemberian alkali
mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan
3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat
dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996)
Kappa karagenan jika dimasukkan ke dalam air dingin akan membesar
membentuk sebaran kasar yang memerlukan pemanasan sampai 700C untuk
melarutkannya. Suhu pembentukan gel dan kualitas gel dipengaruhi oleh konsentrasi,
jumlah dan adanya ion-ion logam seperti K+, NH4+, Ca++, Sr++ dan Ba++. Secara umum
karagenan membentuk gel yang keras pada suhu antara 450C dan 650C dan meleleh
kembali jika suhu dinaikkan sampai 10-200C dari suhu yang telah ditetapkan tadi.
Gel yang lebih lemah terbentuk jika terdapat ion NH4+, Ca++, Sr++ dan Ba++. Kappa
karagenan mempunyai tipe gel yang rigid atau mudah pecah dicirikan dengan
tingginya sineresis, yaitu adanya aliran cairan pada permukaan gel. Aliran ini
berasal dari pengerutan gel sebagai akibatnya meningkatnya gumpalan pada daerah
penghubung. Sineresis tergantung pada konsentrasi kation-kation yang ada dan harus
dicegah dalam jumlah yang berlebih (Anonim 1977). Gel yang terbentuk dari kappa
karagenan berwarna agak gelap dan mempunyai tekstur mudah retak (Fardiaz 1989).
Gambar 4. Struktur kimia iota karagenan (Tojo dan Prado 2003)
Iota karagenan diisolasi dari Eucheuma spinosum mengandung kira-kira 30%
3,6 anhidro-D-galaktosa dan 32% ester sulfat. Iota mempunyai gel yang bersifat
elastis, bebas sineresis (Anonim 1977). Gel yang terbentuk berwarna lebih jernih
dibandingkan jenis kappa karagenan dan mempunyai tekstur empuk dan elastis
(Fardiaz 1989). Molekul iota karagenan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada
setiap residu D-galaktosa dan gugus 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhidro-
D-galaktosa.
Iota karagenan mempunyai sifat larut dalam air dingin dan larutan garam
natrium. Di dalam larutan garam kation lain seperti K+ dan Ca2+ tidak dapat larut dan
hanya menunjukkan pengembangan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
jenis dan konsentrasi kation, densitas karagenan, suhu, pH, adanya ion penghambat
dan yang lainnya. Larutan iota karagenan stabil pada lingkungan elektrolit kuat
seperti NaCl 20-25% (Angka dan Suhartono 2000).
Adapun sifat fisik yang dimiliki karagenan tipe iota ini adalah:
1. Larutan memperlihatkan karakteristik thiksotropik
2. Larut dalam air panas, Natrium karagenan iota larut dalam air dingin dan air
panas
3. Penambahan ion Ca akan menyebabkan pembentukan gel tahan lama, elastis,
dan meningkatkan temperatur pembentukan gel dan pelelehan
4. Gel bersifat elastis, membentuk heliks dengan ion Ca
5. Gel bening
6. Stabil dalam keadaan dingin
7. Tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik
8. Diperkirakan mengandung 32% ester sulfat dan 30% 3,6-AG
9. Penggunaan konsentrasi 0,02%-2,0%
Gambar 4. Struktur kimia lambda karagenan (Tojo dan Prado 2003)
Karagenan tipe lambda berbeda dengan kappa dan iota kargenan, karena
mengandung residu disulfat-D-galaktose, sedangkan kappa dan iota karagenan selalu
memiliki gugus 4-fosfat ester (Winarno 1996). Struktur kimia lambda karagenan
dapat dilihat pada Gambar 4.
Adapun sifat fisik yang dimiliki karagenan tipe lambda ini adalah:
1. Aliran bebas, larutan pseudo-plastik non-gel dalam air
2. Larut sebagian dalam air dingin, dan larut dengan baik dalam air panas
3. Tidak terbentuk gel, rantai polimer terdistribusi acak
4. Kekentalan bervariasi dari kekenatalan rendah hingga tinggi
5. Penambahan kation memberikan efek yang kecil terhadap viskositas
6. Sesuai untuk pelarut yang dapat bercampur dengan air
7. Tidak larut dalam sebagian besar pelarut organic
8. Stabil dalam berbagai variasi temperatur, termasuk temperatur pembekuan
9. Larut dalam larutan garam 5%, baik dingin maupun panas
10. Diperkirakan mengandung 35% ester sulfat dan sedikit atau bahkan tidak
mengandung 30% 3,6-AG sama sekali
11. Penggunaan konsentrasi 0.1 – 1.0 %
Berdasarkan pada stereotipe struktur molekul dan posisi ion sulfatnya, iota
karagenan, kappa karagenan, dan lambda karagenan yang dibedakan oleh jumlah dan
posisi ester sulfat dan kandungan 3,6 anhidro-D-galaktosa. Ketiganya berbeda dalam
sifat gel dan reaksinya terhadap protein. Kappa karagenan menghasilkan gel yang
kuat (rigid), sedangkan iota karagenan membentuk gel yang halus (flaccid) dan
mudah dibentuk (Anggadiredja 1996).
Sifat dasar karagenan terdiri dari tiga tipe karagenan yaitu kappa, iota dan
lambda karagenan. Tipe karagenan yang paling banyak dalam aplikasi pangan adalah
kappa karagenan. Sifat-sifat karagenan meliputi kelarutan, viskositas, pembentukan
gel dan stabilitas pH.
Viskositas dan kekuatan gel karagenan merupakan sifat utama yang diperlukan
untuk diterapkan di industri pangan dan farmasi. Menurut Campo et al. (2009)
pembentukan gel merupakan hasil crosslinking antara rantai heliks yang berdekatan,
dengan grup sulfat menghadap ke bagian luar. Kelarutan dalam air sangat
dipengaruhi kadar grup sulfat (bersifat hidrofilik) dan kation dalam karagenan.
Kation yang terionisasi yang dijumpai dalam karagenan adalah sodium (Na),
potasium (K), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Banyaknya fraksi sulfat dan
keseimbangan kation dalam air menentukan kekentalan atau kekuatan gel yang
dibentuk karagenan (Campo et al. 2009).
Karagenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan
terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan karagenan
dapat mempertahankan kondisi proses produksi karagenan. Hidrolisis asam akan
terjadi jika karagenan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai
dengan peningkatan suhu. Larutan karagenan akan menurun viskositasnya jika
pHnya diturunkan dibawah 4,3 (Imeson 2003).
Kappa dan iota karagenan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH
rendah, tetapi tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam
pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan
glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh
pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah
(Moirano 1977).
Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena
penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu
jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau
mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.
Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain,
tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat
elastis dan kekakuan. Kappa karagenan dan iota karagenan merupakan fraksi yang
mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika
dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan.
Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
tipe karagenan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion tandingan dan zat-zat terlarut
lainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat hidrofilik sedangkan
gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lambda karagenan mudah larut
pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dan mengandung
gugus sulfat yang tinggi. Karagenan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya
gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik.
Karagenan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-
anhidro-D-galaktosa.
Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari
gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis
potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karagenan dalam bentuk
garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk
mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah
larut. Lambda karagenan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya.
II.4 Deskripsi Produk yang Dihasilkan
Manfaat karagenan sangat penting perannya sebagai stabilizer (penstabil),
thickener (bahan pengental), pensuspensi, pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain.
Menurut Sadhori (1989), manfaat karagenan dalam bidang industri adalah sebagai
berikut :
a. Bidang makanan
Industri makanan sebagai pengental pensuspensi, penstabil dan pengemulsi, seperti
pada produk-produk chocolate milk, ice cream, keju, jelly, produk susu, makanan
untuk diet, saus, mentega, sayur, produk daging, ikan kaleng.
b. Bidang kosmetik
Industri kosmetika digunakan untuk pembuatan sabun, krim, pasta gigi, lotion,
shampoo, dan pewarna rambut.
c. Bidang kosmetika
Industri farmasi digunakan untuk peluntur, bahan suspensi, pengemulsi, penstabil,
tablet, salep, kapsul, plester, dan sebagainya.
d. Sebagai bahan adhesive dalam industri kertas dan industri tekstil, pengalengan
makanan, industri fotografi, inseksida, pastisida. Sebagai bahan pengisi dalam
industri tekstil.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada standar mutu karagenan. Standard
mutu karagenan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization
(FAO) dan Food Chemicals Codex (FCC) European Economic Community (EEC).
Tabel 1. Standar mutu karagenan
ParameterKaragenan
komersial
Karagenan
standar
FAO
Karagenan
standar
FAO
Karagenan
standar
FAO
Kadar air (%) 14,24±0,25 Maks 12 Maks 12 Maks 12
Kadar abu (%) 18,60±0,22 15 – 40 18 – 40 15 – 40
Kekuatan gel
(dyne/cm2)685,5024±13,43 - - -
Titik leleh (oC) 50,21±1,05 - - -
Titik gel (oC) 34,10±1,86 - - -
Sumber : A/S Kobenhavas Pektifabrik (1978).
Beberapa produk olahan rumput laut merah yang cukup terkenal di Indonesia
diantaranya Processed Euchema Seaweed (PES), Philippines Natural Grade (PNG),
Semi-Refined Carrageenan (SRC), Alternatively Refined Carageenan (arc) dan
Alkali-Modified Flour (AMF). Produk-produk tersebut merupakan produk yang
diolah secara langsung dengan meggunakan basa untuk menghasilkan karagenan.
Proses pengolahan dengan menggunakan basa merupakan proses ekstraksi
karagenan yang paling ekonomis. Kemudian setelah diekstraksi, karagenan terlarut
dikeringkan dan diubah bentuknya menjadi tepung dengan grade gel tertentu.
Semi-refined carrageenan (SRC) adalah salah satu produk karagenan dengan
tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refined karagenan, karena masih
mengandung sejumlah kecil selulosa yang ikut mengendap bersama karagenan.
Karagenan merupakan senyawa dengan berat molekul yang cukup tinggi dan
merupakan material polidispersi. Ekstrak karagenan kappa komersil memiliki berat
molekul dengan rentang 400–560 kDa, sedangkan Processed Euchema Seaweed
(PES) memiliki berat molekul 615kDa (Parlina 2009).
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Jenis karagenan yang sering digunakan untuk keperluan industri ialah
karagenan iota, kappa, dan lamda. Karagenan terbentuk dari hasil ekstraksi getah
rumput laut dengan menggunakan air panas atau perlakuan larutan alkali. Metode
alkohol merupakan salah satu metode untuk menghasilkan turunan karagenan berupa
refine carrageenan. Karagenan dapat diproduksi melalui skala rumah tangga atau
skala industri.
Karagenan digunakan dalam banyak industri untuk keperluan stabilizer,
thickener, suspensi, pembentuk gel, pengemulsi, dan sebagainya. Produk yang dapat
menggunakan karagenan sebagai bahan baku pembuatan produk diantaranya ialah
susu cokelat, es krim, keju, pewarna rambut, salep, kapsul, insektisida, pestisida, dan
lainnya.
III.2 Saran
Potensi pasar karagenan di Indonesia masih luas terbuka. Sebaiknya dibentuk
suatu baku mutu persyaratan untuk karagenan yang diproduksi dan digunakan dalam
negeri. Standardisasi mutu dapat membentuk suatu keseragaman mutu, sehingga
pihak produsen yang membutuhkan karegenan tidak perlu menyortir kembali atau
memberikan spesifikasi khusus mengenai karagenan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977. Carragenan. USA: Marine Colloids Division, FMC. Corporation. 1-35P.
dalam Pengaruh Pencampuran Kappa dan Iota Karagenan Terhadap Viskositas dan
Kekuatan Gel Karagenan Campuran. Bogor : IPB.
Anonim. 2012. Alternatif Lain Bisnis Pengolahan Rumput Laut. [terhubung berkala:]
http://bisnisukm.com/pengolahan-rumput-laut-menjadi-karagenan.html (diaskes pada
15 Oktober 2012).
Anggadiredja, J.T., 1992. Etnobotany and Etnopharmacology Study of Indonesian Marine
Marco Algae. Jakarta : Study Report BPP Technology.
Aslan, L.M. 1998. Seri Budidaya Rumpu Laut. Yogyakarta : Kanisius.
Atmadja, WS., Kadi A Sulistijo, Rahmaniar. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah dalam
Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi,
LIPI.
Angka, S. L., Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bogor : IPB.
Anggadiredja, J.T., Kusmiyati, Sri Istini, dan H. Purwoto. 1996. Potensi dan Manfaat
Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi, Prosiding Seminar Nasional Rumput
Laut, APBIRI. Jakarta.
Campo, V.L., Kawano, D.F., Silva Júnior, Ivone Carvalho. 2009. “Carrageenans:
Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis”,
Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.
Distantina, Sperisa, dkk. 2010. Proses Ekstraksi Karagenan dari Eucheuma cottonii,
dalam Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Doty, MS., Santos, GA., 1987. The Production and Uses of Eucheuma Dalam : Studies of
Seven Commercial Seaweeds Resources. Ed. By : M.S. Doty, J.F. Caddy and B.
Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281 Rome.
Fardiaz, D., 1989. Hidrokoloid. Bogor : PAU IPB.
Glicksman, 1983. Seaweed extracts. Di dalam Glicksman M (ed). Food Hydrocolloids Vol
II. Florida : CRC Press.
Imeson, A. P., 2000. Carrageenan di dalam Handbook of Hydrocolloids. Jakarta :
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Indriyani, H. dan E. Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput
Laut. Jakarta : Penebar Swadaya.
Moirano, AL., 1977. Sulfated Seaweed Polysacharides dalam Food Colloids. Westport,
Connecticut : The AVI Publishing Company.
Mustamin, Fatimah. 2012. Skripsi Studi Pengaruh KOH dan Lama Ekstraksi terhadap
Karakteristik Karagenan dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Makassar : Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hassanudin.
Parlina, Iin. 2009. Karagenan, Produk Olahan Rumput Laut Indonesia yang sangat
Bermanfaat. [terhubung berkala:] http://iinparlina.wordpress.com/2009/06/12/
karagenan-produk-olahan-rumput-laut-merah-indonesia-yang-sangat-bermanfaat/
(diakses pada 15 Oktober 2012).
Rasyid, A. 2010. Ekstrak Natrium Alginat dari Alga Coklat. Pusat Penelitian Oseanografi.
Jakarta : Puslitbang Oseanologi, LIPI.
Sadhori, N.S., 1989. Budidaya Rumput Laut. Jakarta : Balai Pustaka.
Satari, R., 1996. Potensi Pemanfaatan Rumput Laut dalam Pengenalan Jenis-jenis Rumput
Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi, LIPI.
Van de Velde,.F.,Knutsen, S.H., Usov, A.I., Romella, H.S., and Cerezo, A.S., 2011. 1H
and 13 C High Resolution NMR Spectoscopy of Carrageenans: Aplication in
Research and Industry, Trend in Food Science and Technology. 13, 73-92.
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.
Sheng, Yao., Wanging S.L., L.Zhien and Yanxia Z., 1986. Preparation and Properties of
Carrageenan From some Species of Eucheuma in Hainan Island Cina. China : Jurnal
Fish.
Towle, A.G., 1973. Carrageenan. In : R.L Whistler (Ed). Industrial Gum : Polysacharides
and Their Derivates. London : Academic Press.
Tojo, E., Prado, J., 2003. Chemical composition of carrageenan blends determined by IR
spectroscopy combined with a PLS multivariate calibration method. Carbohydrate
Research.