Post on 01-May-2021
Transportasi Perairan Kalimantan Selatan 1950-1970an
Penulis
Bambang Subiyakto
Editor
Ersis Warmansyah Abbas
Syaharuddin
Mutiani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu keistimewaan yang berhasil dicapai pertama kali dalam taraf
kebudayaan yang tinggi adalah kemampuan manusia menyelenggarakan
kegiatan di bidang transportasi air. Dengan demikian, kemampuan ini dikatakan
sebagai bentuk hasil peradaban tertua yang dicapai manusia, semenjak puluhan
abad yang lampau. Di masa itu, manusia mampu mengarungi sungai-sungai,
telaga, dan bahkan lautan dengan menggunakan sarana transportasi air untuk
mencapai tempat tertentu. Meskipun berlangsungnya sudah sejak lama, namun
bidang transportasi air termasuk peradaban tertua yang masih diselenggarakan
oleh manusia hingga jaman sekarang ini. Indonesia yang merupakan Negara
lautan yang bertabur pulau sudah dengan jelas kegiatan di bidang transportasi
air ini berlangsung di kalangan masyarakatnya.1
Masalah transportasi erat ikatannya dengan perhubungan yang
pengertiannya lebih luas dari sekedar transportasi. Sehubungan dengan hal
perhubungan, masyarakat di Indonesia mengenalnya dalam tiga bagian yaitu
bidang perhubungan darat, perhubungan laut, dan perhubungan udara.
Munculnya pembagian ini secara sederhana dapat dimengerti karena dibedakan
berdasarkan adanya unsur alam berupa tanah (darat), air (perairan, laut), dan
udara.
1 Barangkali pada masa Pos Plestosin (Holosin) atau jaman glacial berakhir, kira-kira 10.000
tahun sebelum Masehi, telah dilakukan kegiatan transportasi air. Pada masa itu Indonesia
diperkirakan memiliki iklim yang serupa masa sekarang, dan sekitar 6.000 tahun sebelum Masehi
di daerah tropis seperti Indonesia, terdapat petunjuk bahwa manusia telah melakukan
perdagangan antar pulau. Pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, terdapat
petunjuk lebih konkrit tentang kegiatan transportasi air di Indonesia, kira-kira di masa 6.000 tahun
sebelum Masehi itu. Keterangan selengkapnya periksa Sartono Kartodirdjo, et al., ed., Sejarah
Nasional Indonesia, jilid I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 2, 24,
113-114, dan 149.
Dilihat dari sudut pembedaan fisik tempat berlangsungnya transportasi di
Indonesia dibedakan berdasarkan transportasi darat yang terdiri dari
transportasi jalan raya, transportasi di atas jalan baja (kereta api), dan
transportasi perairan daratan; transportasi air (laut); dan transportasi udara.2
Keadaan ini menimbulkan konsekuensi yaitu terdapatnya pembedaan dalam
bentuk dan persyaratan teknis dari sarana dan prasarana masing-masing jenis
angkutan serta membawa pula perbedaan dalam sifat dan kemampuan jenis
sarana transportasi. Keseluruhan jenis transportasi tadi memerlukan pula
penggolongan dalam pengaturannya dan perbedaan dalam pembinaannya, yang
dalam hal ini pelaksanaannya ditangani oleh instansi khusus yang diberi
wewenang untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.3
Transportasi air pada hakekatnya melaksanakan pengangkutan dengan
unsur perairan sebagai tempat penyelenggaraannya, dalam hal ini pengangkutan
dengan kendaraan yang dilaksanakan pada segala bentuk wilayah perairan.4
Berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen 1939 (staadsblad No. 39-
442/1939), wilayah perairan Indonesia meliputi wilayah laut dan perairan
pedalaman. Melalui ordonansi 1939 ini, pengertian tentang perairan –untuk
transportasi- di Indonesia terus berkembang, terutama tentang pengertian
perairan (laut) pedalaman. Perkembangan itu misalnya dengan dikeluarkannya
UU No. 4/Prp/1960 (Lembaran Negara No. 22/1960) yang kemudian melalui
PP No. 8 tahun 1962 (Lembaran Negara No. 36/1962), lebih di pertegas lagi
dan dibedakan antara laut pedalaman (internal sea), perairan pedalaman
(internal waters) yang ada sebelumnya dengan perairan daratan (coatal waters).5
Penggunaan istilah dan pengertian perairan daratan tertuang pada Penjelasan
2 Periksa Wiwoho Soedjono, Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya Dengan Wawasan
Nusantara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 54. 3 Ibid., hlm. 55. 4 Tentang bentuk-bentuk perairan dan pengertian selanjutnya periksa ibid., hlm. 12-24, dan
61; lihat juga S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dengan Perkembangannya (Yogyakarta:
Liberty, 1984), hlm. 2-9.
5 Ibid., hlm. 14-15; Wiwoho Soedjono, op.cit., hlm. 18-24; Periksa tentang penjelasan dari UU
No. 4/Prp/1960 pasal 1 ayat 3, dan PP No. 8/1962 pasal 1.
PP. No. 8/1962 atau Tambahan Lembaran Negara Nomor 2466 meliputi bentuk
perairan sungai, danau, terusan, pantai atau selat (penyeberangan) sebagai
tempat berlangsungnya kegiatan transportasi. Batasan perairan daratan di dalam
skripsi ini untuk selanjutnya hanya menggunakan kata perairan yaitu perairan
di Kalimantan Selatan.
Perlu diketahui bahwa masalah yang menyangkut transportasi air (perairan)
di Indonesia penanganannya telah dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, namun dari segi lain, dalam prakteknya masalah yang
menyangkut transportasi perairan daratan sepenuhnya telah menjadi bidang dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, yang secara khusus pembinaan dan
pengawasannya dilaksanakan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau,
dan Penyeberangan sebagai bawahannya, disingkat DLLASDP.6 Di sini pula
letak kerumitan dan uniknya kedudukan masalah pangangkutan yang
memanfaatkan wilayah perairan sebagai jalur-jalurnya. Munculnya semacam
dualism di bidang transportasi perairan dari segi penanganannya oleh
pemerintah menyebabkan timbul ketidakpastian, berkenaan tanggung jawab,
kebijaksanaan yang tumpang tindih, kesimpangsiuran dalam soal pengaturan
dan lain sebagainya. Awal kekacauan ini dimulai semenjak tahun 1950 yang
bertambah lagi karena banyak badan pemerintah yang turut mengurusi masalah
transportasi perairan, sedangkan hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan
dengan baik.7
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dalam masalah transportasi
menangani dua bidang, yaitu masalah lalu lintas angkutan jalan raya
dilaksanakan oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, disingkat DLLAJR
6 Bandingkan, Wiwoho Soedjono, op. cit., hlm. 55; Bahan Expose: Permasalahan dan
Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI
Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983), tanpa halaman. 7 Periksa E. E. Shields, An Analysis of Vessel Utilization Problems Existent Within the Field of
Sea Communications of the Republic of Indonesia. (Djakarta: United States Operations Mission to
Indonesia Industry and Transportation Division, 1960), hlm. 3 dan 12-15; Shamsher Ali, “Inter-
Island Shipping”, Bulletin of Indonesia Economic Studies, no. 3 (1969), hlm. 45.
dan masalah lalu lintas angkutan sungai, danau dan penyeberangan oleh
DLLASDP. Di lihat dari sudut tempat berlangsungnya pengangkutan di darat
masih ditambah lagi dengan pengangkutan yang dilaksanakan di atas jalan baja
(kereta api).
Masalah transportasi perairan menjadi sangat rumit terutama dari segi
hukum dan peraturan. Selama ini masalahnya tergantung pada undang-undang
yang menyangkut masalah pelayaran secara umum, dan peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.8 Keadaan
semacam ini mengakibatkan penanganan dan pengaturan masalah transportasi
perairan bagian LLASDP sukar dipertanggungjawabkan. Sampai saat ini (1983)
belum pernah dibuat dan dikeluarkan undang-undang yang secara khusus untuk
mengatur segala masalah yang berkaitan dengan bidang dari LLASDP itu.9
Di Indonesia sejarah maritime atau pelayaran laut sudah mendapat perhatian
dari para ilmuan sosial, khususnya sejarawan, namun dari segi yang lebih
sempit lagi yaitu transportasi perairan daratan sepanjang pengetahuan penulis
masih belum mendapat perhatian, atau hampir dapat dikatakan belum ada yang
memulai menggarapnya. Berbeda dari soal pelayaran maritime, pada konteks
ini kegiatan transportasi meliputi daerah operasi di perairan yang lebih sempit
dengan menggunakan sarana-sarana angkutan relatif kecil, murah, dan
sederhana bahkan tradisional, bila dibandingkan dengan sarana transportasi di
laut. Kegiatannya spesifik kedaerahan tidak melampaui batas laut, seperti pada
perhubungan inter-insuler.10
Melihat kenyataan itu maka kegiatan di bidang transportasi perairan daratan
dengan sendirinya akan bersifat lokal, yaitu terbatas penyelenggaraannya pada
suatu daerah dan masyarakat tertentu. Suatu masyarakat dapat
menyelenggarakan bidang ini bila keadaan alam di daerahnya memungkinkan
8 Periksa Bahan Expose (1983). 9 Masalah kerumitan ini tercermin dan menjadi persoalan pokok yang diungkapkan oleh
Badan Expose (1983), begitu pula tentang belum adanya undang-undang khusus tentang LLASDP. 10 Bandingkan dengan Wiwoho Soedjono, op. cit., hlm. 61.
dan memberikan fasilitas utama berupa sungai, danau, terusan, atau pantai dan
penyeberangan. Di Indonesia tidak setiap daerahnya mempunyai fasilitas alam
semacam itu yang memungkinkan masyarakatnya mampu mewujudkannya
bidang transportasi perairan daratan. Kecuali itu terdapat daerah-daerah yang
hanya mempunyai sebagian-sebagian saja dari bentuk perairan daratan.
Keadaan ini memungkinkan setiap daerah yang menyelenggarakan bidang
transportasi perairan daratan mempunyai pertumbuhannya dan kekhasannya
sendiri.
Pada hakekatnya kegiatan transportasi perairan daratan sangat tergantung
pada faktor geografi dan kondisi alam dari suatu daerah. Dilihat dari kedua segi
itu dan penjelasan mengenai benltuk perairan, maka daerah Kalimantan Selatan
dapat dikatakan sepenuhnya memiliki persyaratan bagi terselenggaranya
transportasi perairan daratan, karena itu pula dapat dikatakan bahwa daerah ini
merupakan contoh yang paling baik dan lengkap untuk masalah transportasi
perairan daratan.
B. Lingkup Penulisan dan Permasalahan
Batasan special penulisan ini meliputi daerah Propinsi Kalimantan Selatan,
yang formatnya sama dengan daerah Kalimantan Selatan sesudah tahun 1957.
Sebelum tahun itu propinsi Kalimantan Selatan meliputi wilayah seluas 205.321
kilometer persegi. Propinsi ini kemudian dipecah dengan keluarnya Undang-
undang Darurat No. 10 tahun 1957 yang selanjutnya ditetapkan sebagai
Undang-undang dengan Undang-undang No. 21 tahun 1958 menjadi propinsi
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Luas propinsi disebut terakhir
menjadi 36.984 kilometer persegi, terletak di antara 1140 19’ 2” sampai 1160
33’ 28” Bujur Timur dan 10 21’ 49” sampai 40 10’ 14” Lintang Selatan.11
11 Buku petunjuk Territorial untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus
Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 1-2 dan 48; A. Muhid Mukift, “Perkembangan
Otonomi Daerah Propinsi Kalimantan Selatan” dalam Beberapa Aspek Pemerintahan di Daerah
(Banjarmasin: Panitia Penyelenggara Kursus Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 1983), hlm. 4-11; Tjilik Riwut, Kalimantan memanggil
Propinsi Kalimantan Selatan terdiri dari daerah Kotamadya Banjarmasin,
Kota Administratif Banjarbaru, dan sembilan daerah kabupaten. Kesembilan
daerah kabupaten ini beserta ibukotanya masing-masing dan Banjarmasin,
merupakan tempat mengalirnya sungai-sungai besar beserta anak cabangnya
kecuali Banjarbaru. Ibukota-ibukota kabupaten itu adalah Martapura
(Kabupaten Banjar), Rantau (Kabupaten Tapin), Kandangan (Kabupaten Hulu
Sungai Selatan), Barabai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah), Amuntai
(Kabupaten Hulu Sungai Utara), Tanjung (Kabupaten Tabalong), Marabahan
(Kabupaten Barito Kuala), Pleihari (Kabupaten Tanah Laut), dan Kota Baru
(Kabupaten Pulau Laut).
Sungai-sungai di Kalimantan Selatan umumnya berarus tenang, karena
keadaan tanahnya yang relative datar dan menerima pengaruh pasang surut air
laut. Keadaan demikian praktis menyebabkan penduduk dapat memanfaatkan
aliran-aliran sungai dan perairan yang lainnya untuk kegiatan transportasi di
samping untuk keperluan lain. Di Kalimantan Selatan tidak hanya terdapat
banyak sungai, tetapi juga danau dan terusan, di samping itu sebagian
wilayahnya dikelilingi oleh pantai. Terdapat beberapa pulau kecil di daerah
Kabupaten Pulau Laut. Kepualauan yang terdapat di kabupaten ini misalnya
pulau Laut dan Sabuku, terletak saling sejajar sehingga selat-selatnya berfungsi
untuk penyeberangan. Keadaan wilayah Kalimantan Selatan dengan perairan
sedemikian itu memungkinkan tempat terselenggaranya kegiatan transportasi
perairan daratan yang benar-benar lengkap.
Berbicara masalah transportasi perairan di sini sangat erat hubungannya
dengan masalah lingkungan hidup, singkatnya lingkungan. Sulit dibantah untuk
tidak mengatakan demikian itu, karena pada dasarnya pengaruh faktor
lingkungan, dalam hal ini terutama perairan, sangat besar terhadap masyarakat
di daerah Kalimantan Selatan.12 Kolerasi antara faktor lingkungan dengan
(Djakarta: Endang, 1958), hlm. 1 dan 19; J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat (Jakarta: Bumi Restu, 1975), hlm. 258-262. 12 Tentang pengertian lingkungan hidup atau lingkungan periksa Otto Soemarwoto, Ekologi
Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 1 dan 42-45.
masyarakat mengakibatkan tumbuhnya satu unsur di dalam kehidupan berupa
kegiatan di bidang transportasi perairan.13 Selain perairan yang termasuk pula
sebagai lingkungan masyarakat ialah hutan. Di dalam ilmu lingkungan hidup
atau ekologi yang dipersoalkan ialah hubungan timbal balik antara masyarakat
dengan lingkungannya, misalnya di sini perairan dan hutan.14 Masyarakat yang
tinggal di daerah Kalimanatan Selatan -terutama orang Banjar- membutuhkan
perairan dan hutan, yang keduanya telah tersedia, untuk dapat
menyelenggarakan kegiatan bidang transportasi, sebaliknya perairan dan hutan
membutuhkan perhatian masyarakat untuk kelestariannya. Daerah perairan di
Kalimantan Selatan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur-jalur
transportasi, sehingga memudahkan soal pengangkutan penumpang dan barang
atau menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Hutan-hutannya
menyediakan berbagai jenis kayu untuk digunakan bahan utama bangunan
sarana-sarana (kendaraan) transportasi perairan oleh masyarakat.
Kegiatan di bidang transportasi perairan di Kalimantan Selatan sebagai
bagian kehidupan tentu juga merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakatnya. Kegiatan transportasi perairan di sini telah tumbuh menjadi
salah satu ciri kebudayaan masyarakat di Kalimantan Selatan yang terwujud
dari kaitannya dengan faktor lingkungan geografi dan alam setempat. Beberapa
pendapat secara singkat telah mengemukakan mengenai eratnya hubungan
antara masyarakat dan kebudayaannya dengan faktor geografi dan alam sebagai
lingkungannya. Pendapat-pendapat yang kiranya cukup relevan dalam
mengungkapkan masalah ini misalnya Fischer seorang antropolog
menyebutkan bahwa salah satu dari tiga unsur pokok yang mempengaruhi
terbentuknya suatu kebudayaan adalah faktor geografi. Pendapat lain datang
dari mazhab geografi dan lingkungan, menyatakan bahwa suatu masyarakat
hanya mungkin timbul dan berkembang bersama kebudayaannya, bila ada
13 Bandingkan dengan H,. T, Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, diktat terj.
S. Poedjosoebroto, t.t., hlm. 22; Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1981), hlm. 46. 14 Tentang ekologi periksa Otto Soemarwoto, op. cit., hlm. 14-16.
tempat berpijak dan hidup bagi masyarakat itu. Huntington salah seorang tokoh
mazhab ini menyatakan bahwa kolerasi antara tempat tinggal dengan
masyarakat mempengaruhi karakteristik kehidupan dan pembentukan
kebudayaan pada masyarakat itu sendiri.15
Perlu diketahui bahwa mazhab geografi dan lingkungan sudah lama tumbuh
tidak saja di bidang sosiologi dan antropologi, tetapi juga di kalangan disiplin
sejarah, karena itu setiap penulisan sejarah soal lingkungan selalu turut
dibicarakan. Berbagai teori telah mengupas tentang kecenderungan manusia
untuk menempati daerah-daerah sepanjang aliran sungai dan pantai. Di daerah-
daerah semacam ini mereka membentuk pemukiman dan kota sebagai suatu
komunitas, kemudian mengisi kehidupan di situ dengan berbagai aktivitas.
Berkaitan dengan hal transportasi dan tempat tinggal, Sartono Kartodirdjo
menyebutkan bahwa kebanyakan kota terletak pada persilangan jalan angkutan,
seperti pengangkutan darat dan sungai. Dikatakan selanjutnya bahwa
perkembangan kota (maritime) yang tumbuh menjadi kota-kota raksasa,
terutama yang terletak di tepi muara sungai besar.16
Dilihat dari segi geografi dan keadaan alam, maka daerah-daerah
pemukiman serta kota di Kalimantan Selatan mempunyai kriterium seperti
dugaan itu, meskipun bukan berarti tumbuhnya kota-kota besar. Terutama
Banjarmasin sebagai ibukota propinsi (sejak Propinsi Kalimantan), selain
dilalui sungai Martapura yang banyak anak cabangnya, juga terletak dekat
muara sungai Barito, menghadap ke laut Jawa. Begitu juga Marabahan
merupakan kota terdapatnya banyak anak sungai mengalir dan terletak di tepi
sungai Barito di utara Banjarmasin. Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa
daerah Banjarmasin dan Marabahan terbentuk sebagai sebuah kawasan delta
yang sangat luas. Di kedua kota itu banyak anak sungai yang saling bersilangan,
permukaan tanah yang selalu atasu secara periodik tergenang air. Keduanya
15 H.T. Fischer, loc. cit.; Soerjono Soekanto, loc. cit.; lihat juga Sartono Kartodirdjo (ed.),
Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hlm. 3. 16 Ibid., hlm.2
dapat dikatakan sebagai kota perairan yang sesungguhnya, kota perairan lembah
sungai barito.17 Kota lainnya, yaitu Kota Baru merupakan kota pantai terletak
di daerah ujung utara Pulau Laut, di samping dilalui pula oleh sungai.
Lebih dari sekedar perairan alami berupa sungai, danau, dan pantai, masih
terdapat bentuk perairan berupa terusan yang sengaja dibuat oleh masyarakat di
daerah Kalimantan Selatan, di samping sebuah waduk. Penduduk asli daerah ini
(orang Banjar) telah lama berhasil memikirkan dan meluaskan adanya pengaruh
pasang surut dengan membuat terusan-terusan untuk kepentingan pertanian dan
pengangkutan.18 Membuka terusan-terusan yang menghubungkan antara satu
sungai dengan sungai lainnya, atau dari sungai ke daerah daratan, menyebabkan
kondisi wilayah Kalimantan Selatan menjadi terdiri dari bagian-bagian daratan
yang tersekat-sekat oleh jalur perairan.19 Sebagian dari gambaran keadaan
daerah Kalimantan Selatan semacam ini secara jelas lihat misalnya pada
lampiran A2 dan A3.
Batasan temporal masalah transportasi perairan di Kalimantan Selatan yang
dibicarakan adalah tahun 1950-1970-an. Batasan semacam ini pertama kali
didasarkan pada pertimbangan subyektif yaitu dengan perkiraan bahwa selama
waktu itu terdapat pengaruh-pengaruh dominan terhadap pertumbuhan bidang
transportasi perairan di Kalimantan Selatan antara tahun 1950-1970-an.
Pembicaraan di sini misalnya akan melihat gejala-gejala yang ada di dalam
17 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin (Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t. t.) hlm. 25
dan 41-42; Soemartkotjo Soediro, “Ajo Bung, ke Kalimantan Babat Alas Mertani”, harian Kompas,
1-4 Oktober 1969; Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset,
1979), hlm. 17. 18 Ibid.; William L. Collier, “Lima-puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi
Pemerintah di Tanah Berawa Kalimantan”, majalah Prisma, no. 5 (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 27;
H. J. Schophuys, “Polder, Pembukaan Sawah Pasang Surut Gaja Lama dan Gaja Baru” harian
Kompas, 7 Nopember 1969; Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin:
Fadjar, 1953), hlm. 97.
19 Orang Banjar menyebut anjir umumnya untuk terusan yang menghubungkan antar sungai
dan lebih besar dari yang disebut handil (andil) bagi terusan yang dibuat menuju ke daerah
daratan. Di samping itu ada istilah saka suatu bentuk terusan terkecil, dan tatah pengertian umum
terusan (antasan) tetapi sering yang dimaksudkan untuk mengatakan terusan berupa handil dan
saka.
bidang transportasi perairan itu sendiri sebagai masalah intern, serta gejala-
gejala yang ada di luar bidang tersebut sebagai masalah ekstern namun secara
dominan keadaannya membawa pengaruh terhadap pertumbuhan bidang
transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan.
Subyektivitas yang mendasari pemilihan waktu sedemikian itu karena
penulis pernah tinggal di daerah Kalimantan Selatan, sehingga dapat merasakan
dan mengetahui secara langsung terutama tahun 1960 ke atas mengenai
kehidupan dan keadaan yang berkenan dengan transportasi perairan. Dasar ini
kemudian dikembangkan dengan dukungan berbagai data terutama dari
sumbre-sumber tercetak untuk melihat keadaan yang sesungguhnya tentang
transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan tahun 1950-1970-an.
Beberapa indikator yang ada untuk membicarakan masalah transportasi
perairan di Kalimantan Selatan, misalnya tentang masuknya mesin-mesin tahun
1950-an ke daerah itu.20 Mesin-mesin itu berupa diesel berukuran antara 10-100
PK (Paardekracht/ tenaga kuda), digunakan untuk jenis-jenis sarana transportasi
perairan buatan rakyat setempat. Penetrasi hasil teknologi modern ini
mempunyai pengaruh bagi pertumbuhan kegiatan transportasi perairan di
Kalimantan Selatan. Lebih terasa lagi ketika motorisasi sarana-sarana
transportasi rakyat ini semakin menonjol menjelang tahun 1970-an.
Gejala lain yang penting turut mempengaruhi proses dan pertumbuhan
sektor transportasi perairan adalah perkembangan pesat yang dicapai oleh
sektor transportasi darat atau jalan raya. Pengaruh yang besar artinya dari sektor
ini ialah pembuatan jalan dan pengerasannya yang sudah mampu menerobos
sampai ke kampung-kampung dan desa-desa, dibukanya jalan-jalan darat baru
hubungan antar kota di kawasan Kalimantan Selatan, serta pertambahan jumlah
kendaraan dan jenisnya yang sangat tinggi, dan bangunan-bangunan jembatan.
Perkembangan di sektor in sudah mulai terasa sejak tahun 1960 ke atas dan lebih
meningkat lagi setelah dijalankannya roda pemerintahan di Indonesia oleh
20 Tjilik Riwut (1979), op. cit., hlm. 27.
“Orde Baru” dan dilaksanakannya Pelita I sejak tahun 1969 dan Pelita-pelita
selanjutnya.
Sarana-sarana transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan
mempunyai banyak jenis, bentuk, fungsi, serta penyebutannya. Keempat hal ini
saling bertalian untuk menunjukkan tentang kendaraan perairan di daerah ini.
Pada umumnya suatu jenis, bentuk dan fungsi mempunyai sebutan yang tertentu
bagi sarana (kendaraan) tersebut. Begitupun misalnya suatu jenis, bentuk dan
sebutan menunjukkan penggunaannya dari kendaraan perairan itu, begitu
seterusnya.
Keterangan di atas bukan berarti usaha klasifikasi secara khusus terhadap
sarana transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Keterangan itu
sekedar menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam kendaraan perairan di
daerah itu. Keanekaragaman ini muncul tentu disesuaikan dengan adanya
tuntutan dan kebutuhan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Dari berbagai
ragam itu kelak beberapa diantaranya tidak Nampak lagi hilir mudik, bahkan
akhirnya lenyap karena tidak diminati lagi oleh masyarakat. Hal ini merupakan
persoalan yang harus dihadapi oleh jenis-jenis sarana transportasi perairan di
Kalimantan Selatan.
Sungai Tabalong, Batang Pitap, Amandit, Batang Alai, Labuan Amas,
Tapin, Martapura, Tabanio, Negara, dan sebagian Barito merupakan sungai-
sungai utama tempat konsentrasi populasi di daerah Kalimantan Selatan.
Seluruh kehidupan masyarakat di daerah ini terutama orang Banjar, hampir 80%
sampai ke udik ditandai oleh suatu budaya khas, yang disebut kebudayaan
sungai.21 Salah satu yang menonjol sebagai cirinya adalah kehidupan di bidang
transportasi perairan. Bidang ini telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat
di Kalimantan Selatan sebagai sebuah aktivitas yang meliputi masalah
21 Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1982), hlm. 8-11. Tentang Kebudayaan sungai telah dikemukakan pula oleh M. Idwar
Saleh dengan mengatakan bahwa orang Banjar merupakan masyarakat “river culture” dalam
wawancara tanggal 31 Juli 1983.
pengangkutan (lalu lintas) di jalur-jalur perairan dan masalah sarana-sarana
angkutan. Singkatnya bidang yang meliputi masalah prasarana dan sarana
transportasi perairan di Kalimantan Selatan.
C. Sistematika Pembahasan
Sekalipun tulisan ini dibahasa secara tematis, tetapi selalu mengindahkan
arti dan tujuan sebagai sebuah penulisan sejarah. Pembahasan secara tematis
seperti tercermin pada sistematika berikut ini diharapkan mampu memberi
gambaran tentang keadaan atau suasana transportasi perairan di Kalimantan
Selatan selama 1950-1970-an.
Bab I Pendahuluan secara umum membahas berkenaan; masalah
permasalahan pokok, tujuan, lingkup penulisan, sistematika pembahasan, serta
cara dan sumber penulisan, Bab Kedua akan dibicarakan pengertian mengenai
transportasi perairan yang dikaitkan hubungannya dengan faktor alam seperti
perairan, hutan, keadaan geografi termasuk iklim, serta kepentingan
masyarakat. Bab Ketiga pada garis besarnya membicarakan masalah yang
berkaitan langsung tentang transportasi perairan berupa sarana dan prasarana,
serta dari keduanya ini bagi kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan.
Prasarana maksudnya berupa jalur-jalur perairan, sedangkan sarana ialah alat-
alat angkutan yang digunakan. Peran prasarana dan sarana secara bersama yang
dalam hal ini adalah transportasi perairan bagi masyarakat ialah menyangkut
soal hubungan antar tempat serta soal pengangkutan penumpang dan barang
pada umumnya. Bab Keempat membicarakan masalah dinamika sektor
transportasi perairan. Masalah yang dibahas meliputi soal modernisasi dan
motorisasi, serta dampaknya terutama terhadap sarana-sarana transportasi
perairan masyarakat. Masih pada bab ini, dibicarakan pula tentang gelaja
kemerosotan yang dialami sektor transportasi perairan. Pembahasan dikaitkan
dengan melihat beberapa faktor yang memungkinkan kemerosotan itu, misalnya
tentang kemajuan pesat dari sektor transportasi darat atau jalan raya. Terakhir,
Bab Kelima merupakan Bab Kesimpulan.
D. Cara dan Sumber Penulisan
Sangat disadari bahwa usaha melukiskan secara lengkap transportasi
perairan di Kalimantan Selatan 1950-1970-an cukup sulit, karena itu jauh dari
harapan dapat terpenuhi. Usaha penulisan ini akhirnya dengan hati-hati hanya
membatasi diri pada permasalahan seperti tercermin di dalam Sistematika
Pembahasan. Melalui permasalahan yang tematis itu diharapkan dapat diwakili,
setidaknya untuk mengisi skripsi ini sebagai sebuah karya penulisan sejarah.
Sebagaimana lajimnya, maka usaha yang dilakukan hanya berkeinginan
menerapkan metode-metode dari disiplin sejarah, sekaligus mencoba
menuangkan segala kemampuan pengetahuan yang bisa didapat selama studi di
bidang sejarah.
Langkah yang dilakukan ialah mengumpulkan sumber semaksimal
mungkin, terutama berupa bahan tercetak, secara teknis diteliti dan dipelajari.22
Melalui pengetahuan non-teknis, maksudnya sedikit ada bekal mengetahui dan
mengamati secara informal di lokasi yang menjadi pokok penulisan ini. Sumber
tercetak seperti arsip dan dokumen resmi terutama berasal dari instansi-instansi
pemerintah setempat, buku dan karangan, serta media lain berupa brosur,
majalah dan surat khabar. Mengetahui dan mengamati melalui ingatan didapat
karena penulis pernah tinggal di daerah yang diteliti, sehingga sedikitnya
penulis mengetahui tentang keadaan dan merasakan langsung perjalanan-
perjalanan dan keakraban dengan transportasi perairan di daerah Kalimantan
Selatan. Selain itu ketika akan mengangkat masalah transportasi perairan ini ke
dalam bentuk penulisan ilmiah telah pula penulis melakukan beberapa
perjalanan melalui jalur perairan, mengadakan wawancara informal dengan
masyarakat, mengunjungi beberapa pameran pembangunan baik tingkat
kabupaten maupun propinsi terutama stand Perhubungan Darat (LLAJR dan
LLASDP), Perhubungan Laut, dan Industri Rakyat, semua ini dilakukan di
22 Periksa Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm. 18-34; Sartono Kartodirdjo, “Metode
Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-metode Penelitian
Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 61-88.
dalam bulan Juni hingga Oktober 1983 di Kalimantan Selatan. Selama waktu
itu sebenarnya penulis telah pula mendapat bantuan terutama berupa keterangan
dari M. Idwar Saleh (sejarawan) sekaligus sebagai key-informan.23
BAB II
HUBUNGAN TRANSPORTASI PERAIRAN DENGAN
FAKTOR ALAM DAN ARTI PENTINGNYA BAGI MASYARAKAT
Dalam bab, dibicarakan masalah transportasi perairan di Kalimantan Selatan
dari segi geografi, alam, dan masyarakatnya. Diharapkan melalui tema ini
kesukaran mengembangkan pembicaraan dan memahami lebih jauh masalah
transportasi perairan di Kalimantan Selatan dapat dihindari. Daerah Kalimantan
Selatan secara geografi menempati posisi sentra1 dan dibatasi oleh sungai Barito,
Laut Jawa, Selat Makassar, dan Pegunungan Meratus. Daerah ini merupakan
warisan pusat kerajan Banjar di abad ke-17 yang meliputi daerah sungai-sungai
besar Barito, Martapura, dan Negara.24 Di daerah yang keadaannya semacam ini
tumbuh suatu masyarakat yang menyelenggarakan transportasi perairan.
Hampir separo wilayah Kalimantan Selatan merupakan wilayah perairan, yaitu
seluas 17.610 kilometer persegi atau sekitar 47,62% meliputi perairan sungai, danau
dan tanah genangan, pantai, termasuk terusan dan waduk Aranio di Riam Kanan.
Keadaan tanahnya stabil, relatif berupa dataran dan menerima pengaruh pasang
surut air laut.25 Keadaan tinggi tanah dari permukaan laut rata-rata adalah 0,439 –
5 meter yaitu untuk daerah Banjarmasin, Barito Kuala dan sebagian Banjar : 5 – 20
meter untuk daerah-daerah Banjar umumnya, Tanah Laut dan Pulau Laut : 10 – 20
meter lebih bagi Kabupaten-kabupaten di daerah Hulu Sungai : dan rata-rata
23 Tentang wawancara dan key-informan baik mengenai pengertian dan kegunaannya
bagi penulisan silahkan periksa Kuntowijoyo, Kegunaan Sejarah Lisan dalam Penulisan Sejarah
Nasional (Seminar Sejarah Nasional ke III, 1981), hlm. 3-6; Koentjaraningrat, “Metode
Wawancara”, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (1981), hlm. 163-194. 24 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus
Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 1 – 2; M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin
(Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t.t), hal. 25. 25 Tentang pengertian pasang surut periksa, Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta:
PT. Jayakarta Agung Offset, 1979), hlm. 17; Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan
(Bandung: Geneca Exact. 1985), hlm. 113 – 126.
tertinggi 800 – 2.000 meter di daerah pegunungan Meratus Babaris.26 Keadaan
tinggi rendah permukaan tanah dan pengaruh pasang surut di Kalimantan Selatan
menyebabkan perairan umumnya tidak memiliki arus deras, karena itu
memudahkan bagi terselenggaranya transportasi perairan daratan.
Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, seperti juga daerah lainnya di Indonesia,
termasuk daerah tropis dengan suhu tertinggi 340 celcius dan terendah 190 celcius,
sedangkan suhu rata-rata adalah 260 celcius. Daerahnya beriklim tropis dengan dua
musim, yaitu musim kemarau berlangsung antara bulan Juli – September dan
musim penghujan antara Nopember – April. Disamping kedua musim itu masih ada
yang disebut musim pancaroba, terjadi di bulan Oktober yaitu musim peralihan dari
kemarau ke penghujan (kantering), dan sekitar Mei atau April sebagai musim
peralihan dari penghujan ke kemarau. Selebihnya di daerah Kalimantan Selatan
mengenal musim yang terjadi setiap empat tahun sekali disebut musim kemarau
panjang.
Angin yang bertiup di daerah ini terjadi antara Nopember – April adalah angin
timur, sifatnya banyak mengandung titik air. Sebaliknya antara bulan Mei –
Oktober bertiup angin barat yang kering sifatnya sehingga musim ketika itu adalah
kemarau.27
Kalimantan Selatan pada dasarnya sebagai daerah penerima hujan yang cukup.
Hasil pengamatan antara tahun 1930 – 1960 misalnya untuk daerah Kabupaten
Banjar dan sekitarnya, tidak ada yang disebut bulan kering, yaitu yang curah
hujannya kurang dari 60 milimeter per bulan.28 Rata-rata curah hujan tahunan untuk
daerah Kalimantan Selatan umumnya lebih dari 2.000 milimeter dengan di atas 100
26 Data-data diambil dan disimpulkan dari Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan
Selatan (1971), Op.cit, hlm. 2- 4 dan 160: Tjilik Riwut (1979), Op. Cit., hlm. 69: Monografi
Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (Martapura: Bappeda Kabupaten Dati II Banjar, 1982). Hlm. 3 –
7). 27 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), Loc.cit. 28 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982), Op. Cit., hlm. 6.
hari hujan.29 Mengenai curah hujan di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1
Daftar Curah Hujan Daerah Kalimantan Selatan, 1966 – 1970
Tahun 1966 1967 1968 1969 1970
Milimeter 2.488 1.894 2.601 1.799 2.226
Hari 110 100 116 98 115
Sumber: diambil dan dihimpun dari Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah
Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Lakaus Kopkamtib Daerah
Kalimantan Selatan, 1971), hlm. 151 – 161.
Melalui musim dan daftar curah hujan itu bisa diketahui bagaimana
pengaruh musim dan banyaknya curah hujan bagi kelancaran lalu lintas transportasi
perairan di daerah Kalimantan Selatan. Selain hujan, di daerah Kalimantan Selatan
pada umumnya selalu diliputi oleh kabut-kabut tebal yang lembab sifatnya,
terutama pada malam dan pagi hari. Di daerah ini terutama Banjarmasin dan Barito
Kuala, waktu sepanjang malam hingga pagi selalu diliputi oleh kabut Stratus yang
ketika siang berubah menjadi awan cumulus dan cumulunimbus. Kabut di daerah
ini selain kurang bagi bagi kesehatan masyarakat juga tidak jarang menimbulkan
masalah yang cukup serius bagi lalu lintas umumnya. Kabut stratus di malam hari
kerap kali terlalu tebal menyelimuti permukaan bumi sehingga sukar ditembus oleh
sinar lampu-lampu kendaraan, akibatnya menghalangi penglihatan para
pengendara. Keadaan kabut di musim hujan bahkan lebih tebal lagi seringkali
menutupi permukaan sungai dan perairan umunya di waktu malam dan pagi hari,
serta baru mulai menghilang sekitar pukul 08.00. Kabut seperti ini tidak jarang
menimbulkan kecelakaan lalu lintas perairan di malam hari. Baik kabut stratus
maupun cumulus pada siang hari sering pula mengganggu kelancaran
penerbangan.30
A. Keadaan Perairan Yang Memungkinkan Penyelenggaraan Transportasi
29 Ibid. 30 Ibid., hlm. 4.
Wilayah perairan seluas 17.610 kilometer persegi atau 47,62% dari luas
wilayah Kalimantan Selatan seluruhnya merupakan perairan yang meliputi
semua sungai dengan ana cabangnya, danau dan tanah genangan, pantai-pantai
yang mengelilingi sebagian daratan Kalimantan Selatan dan kepulauan di
kabupaten Pulau Laut, segala macam terusan, dan waduk Aranio. Perairan
seluas ini bagi masyarakat tidak semata-mata berfungsi untuk pertanian
ataupun perikanan, melainkan sama pentingnya adalah untuk transportasi.
Sebagian dari perairan itu digunakan sebagai jalur-jalur transportasi oleh
penduduk di Kalimantan selatan.
Iklim musim yang member cukup curah hujan, permukaan tanah rencah
dan relatif datar, dan pasang sumur air laut yang kuat mengakibatkan keadaan
perairan di Kalimantan Selatan cukup tenang. Sungai, danau, atau terusan,
misalnya, sampai pada jangkauan yang cukup jauh ke pedalaman keadaan
arusnya masih cukup tenang sehingga memudahkan penyelenggaraan
teransportasi di atasnya. Lalu lintas pengangkutan di perairan Kalimantan
Selatan dengan menggunakan perahu dan kapal tidak begitu mendapat
kesulitan karena arus air. Sarana-sarana transportasi perairan yang dikayuh
atau pakai mesin dengan mudah menghilir atuapun memudiki jalur-jalur
perairan jauh sampai ke daerah-daerah pedalaman.
1. Bentuk-bentuk Perairan
Bentuk-bentuk perairan di Kalimantan Selatan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk kegiatan transportasi dapat dikatakan yang paling
sempurna dan lengkap dibandingkan dengan beberapa daerah lainnya di
Indonesia. Kenyataan ini dapat dilihat pada bentuk-bentuk perairan yang
ada di daerah ini dikategorikan sebagai perairan daratan untuk tempat
berlangsungnya kegiatan transportasi masyarakat setempat.
Sungai disebut batang atau batang banyu oleh masyarakat Kalimantan
Selatan dalam bahasa Banjar. Jumlah sungai di daerah ini barangkali
mendekati ratusan, dari yang lebarnya ratusan meter sampai cabang-cabang
anak sungai selebar beberapa meter; dari yang panjangnya ratusan kilometer
sampai yang beberapa kilometer atau kurang dari kilometer. Semua itu
adalah sungai alam yang dapat dimanfaatkan untuk jalur-jalur transportasi
rakyat. Sungai-sungai besar dan kecil terhampar berkelok-kelok dan tidak
jarang yang saling berpotongan, ditambah sejumlah terusan member kesan
bagaikan hamparan jarring laba-laba raksnaa pada suatu kawasan yang luas.
Pada bagian-bagian di dalam jarring itu terdapat banyak anak sungai dengan
cabang-cabangnya, dan di situ terbentuklah pusat-pusat permukiman yang
lalu berkembang dan berubah menjadi perkampungan besar atau kota. Pada
daerah yang keadaannya seperti di Kalimantan Selatan itu semua
perkampungan dan kta penting dibangun pada persilangan sungai atau
dimuaranya untuk menghindari isolasi alam.31 Gambaran mengenai kota-
kota dan pusat-pusat permukiman ini bisa dilihat pada lampiran Al-A6.
Perairan di daerah Kalimantan Selatan merupakan karunia alam yang
memungkinkan kehidupan bermula, berlangsung, dan berkembang.
Melaksanakan transportasi perairan berarti aspek kehidupan yang dijangkau
semakin luas dan komplek, menyangkut berbagai segi didalam kehidupan
masyarakat.32 Seperti pada fungsi dan posisi jalan di suatu daerah atau kota,
demikian pula gambaran sungai-sungai yang terdapat di Kalimantan
Selatan. Sungai-sungai berfungsi sebaga jalan raya, setiap hari terlihat
penduduk yang sibuk hilir mudik menembus dari satu sungai ke sungai kecil
lainnya kemudian ke luar lagi menuju ke sungai lebih besar. Pemandangan
di atas sungai sekitar tahun 1950-an Nampak dari masyarakat yang
melakukan kegiatan untuk berdagang, berburu, mencari ikan, ke kantor, ke
sekolah, ke pasar, rekreasi, bertani dan rupa-rupa kegiatan sehari-hari
merupakan keistimewaan lalu lintas di daerah ini.33 Gambar-gambar
31 M. Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin (Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, t.t.). hlm. 26
dan 41; Bandingkan juga pada Sartono Kardodirdjo, (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-
kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hlm. 2 – 4. 32 Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1982), hlm. 8 – 10 ; M. Idwar Saleh, “Sekelumit Mengenai Rumah-rumah Tradisional
Banjar”, dalam Majalah Tak Berkala Bandarmasih, no. 2 (Banjarbaru : Museum Negeri Lambung
Mangkurat, 1982), hlm. 6 – 7. 33 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (Djakarta: Endang, 1958), hlm. 159; Amir Kiai Bondan,
Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: Fadjar, 1953), hlm. 97-105 dan 195.
padalampiran B dan C misalnya sebagai perbandingan mengenai bagaimana
kesibukan masyarakat sehari-hari dengan transportasinya di daerah
Kalimantan Selatan. Sungai-sungai utama seperti Barito, Martapura, dan
Negara menjadi penghubung antar muara dengan pedalaman, kota atau
daerah pada jarak-jarak yang jauh. Anak-anak sungai dan cabang-
cabangnya bertugas melanjutkan kegiatan masuk sampai ke desa-desa atau
kampung di dalam suatu daerah atau kota. Peran anak-anak sungai kecil
sangat vital merupakan tulang punggung lalu lintas di perairan. Anak-anak
sungai kecil itu menyerupai jalan-jalan tembus dan gang atau lorong
panjang yang menjangkau sampai ke jarak paling dekat dengan tempat
tujuan, mendekati lokasi atau tempat tinggal yang harus dicapai serang
penumpang.
Gambaran tentang sungai pada masa lampau dapat diketahui dari hasil
laporan perjalanan sungai antara bulan Mei-Juni 1987.34 Laporan ini
menyebutkan bahwa sekitar 49 anak sungai ditelusuri dengan perahu dan
terdapat sekitar 184 kampung terletak ditepi kiri kanan sepanjang sungai-
sungai yang dilalui. Perjalanan bermula di Marabahan melalui sungai Lirik
ke sungai Babahan dan sungai-sungai berikutnya hingga di sungai Balangi
dan berakhir pada sungai Mahar di Bahan. Digambarkan tentang keadaan
sungai-sungai nya yang berkelok-kelok dan tembus menembus satu dengan
lainnya, di samping gambaran keadaan kampung-kampung disepanjang
pinggiran sungai dan masyarakat yang sedang bertani atau mencari ikan.
Perkiraan sekitar jalur-jalur sungai yang dilalui ini periksa pada lampiran
A3.
Gambaran dari contoh diatas tidak jauh berbeda tentang keadaan
sungai dan kehidupan lewat 110 tahun kemudian. Tepatnya di bulan Juli
1957 presiden Soekarno beserta beberapa menteri, wartawan dalam dan luar
negeri, serta tamu lainnya terpaksa melakukan perjalanan sungai serupa
diatas. Bedanya perjalanan kali ini dilakukan dengan kapal melalui sungai
34 Arsip Nasional, “Borneo zuid En Oostkust”, bundel no. 122.
Martapura, Barito, Serapat dan Kelampan (anjir), Kapuas, dan Kahayan dari
Banjarmasin sampai di Pahandut (Palangkaraya), Kalimantan Tengah.
Begitupun sekembalinya perjalanan ini dilakukan karena hanya ada jalur
perairan yang menghubungkan antar kedua daerah, Kalimantan Selatan
dengan Kalimantan Tengah pada waktu itu.35 Melalui jalur perairan ini
pulalah yang mengeratkan hubungan masyarakat antar kedua daerah sejak
dahulu hingga sekarang ini.
Danau merupakan bentuk perairan di daerah Kalimantan Selatan yang
lebih tepat dikatakan sebagai suatu kawasan tanah rendah yang digenangi
air. Tanah genangan ini ada yang permanen dan ada yang tidak, tergantung
pada banyaknya curah hujan yang diterima dan pengaruh pasang surut air
laut. Pada umumnya tanah genangan berada di sepanjang kedua sisi sungai
yang tanahnya rendah, karena itu umumnya danau disini selalu ditemui
bersatu dengan sungai. Danai-danau yang ada akibatnya mempunyai
permukaan perairan yang sangat luas dengan tepi-tepinya yang tidak begitu
dalam yaitu antara 1-3 meter. Berbeda dengan itu waduk Aranio merupakan
danau buatan yang kedalaman airnya mencapai rata-rata 62 meter dengan
luas permukaan sekitar 92 kilometer persegi.36
Luas perairan danau di Kalimantan Selatan seluruhnya sekitar 3.950
kilometer persegi. Di antara perairan danau itu adalah Bangkau, Bitin,
Alalak Padang, Bati-bati, Babirik, Maninjau, Sebuluh, Hampangan, Aluh-
aluh, dan Cintapuri di samping waduk Aranio. Danau di sini umumnya
merupakan daerah perikanan darat dan berfungsi untuk pengairan daerah
pertanian yang berada di sekitarnya. Danau sangat penting sebagai
prasarana transportasi terutama dalam hubungannya dengan segala urusan
yang menyangkut perikanan dan pertanian. Berbeda dari danau, bagi waduk
35 Tjilik Riwut (1958), op. cit., hlm. 129 ; Gambaran tentang keadaan sungai dan
masyarakatnya pada waktu selama perjalanan presiden Soekarno itu disampaikan dan dimuat pula
secara berturut-turut pada harian Pemuda dari tanggal 30 Juli 4 Agustus 1957 oleh Notosutardjo,
wartawan dari harian ini yang ikut di dalam perjalanan tersebut. 36 Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk di Riam Kanan Atas (Martapura:
1976), hlm. 4.
Aranio memiliki kegiatan transportasi yang terisolir dari jalur-jalur perairan
umum di Kalimantan Selatan. Kegiatan transportasinya terbatas
menghubungkan kampung-kampung yang ada disekitar waduk itu.
Terusan merupakan perpanjangan dari sungai atau menghubungkan
antara sungai satu dengan lainnya yang dengan sengaja dibuat oleh manusia.
Orang Banjar sejak nenek moyangnya membuat terusan untuk system
pertanian dan prasarana transportasi yang mereka kenal dalam tiga macam.
1) Anjir, yaitu saluran primer dan umumnya menghubungkan antar sungai
dengan fungsi dititik beratkan untuk urusan transportasi dan pertanian. 2)
Handil, yaitu saluran sekunder dengan ukuran umumnya sedikit lebih kecil
dari anjir dan merupakan saluran yang dibuat untuk tujuan irigasi pertanian,
perkebunan, dan transportasi. 3) Saka, merupakan saluran tersier berfungsi
secara langsung untuk masalah pertanian, di samping transportasi.
Umumnya terusan yang dibuat selalu berkaitan dengan keperluan
pengangkutan sekalipun hanya berupa saka yang terkecil, misalnya selebar
kurang dari 2 meter. Terusan semacam ini, termasuk handil, hubungannya
dengan transportasi terbatas baik jenis sarana transportasinya maupun
tujuan. Sarana yang digunakan pada jalur terbatas ini biasanya perahu kecil
dan bertujuan untuk keperluan kegiatan pertanian dan kebun, atau
perikanan. Terusan berupa saka tidak jarang yang bersifat pribadi,
maksudnya sebagai jalur pengangkutan hanya digunakan oleh pemilik.37
Saka banyak dibuat dan dimiliki oleh keluarga-keluarga Banjar bermuara
pada sebuah sungai, anjir, atau perairan umumnya menuju ke tanah-tanah
pertanian dan kebun mereka dengan lebar rata-rata 2-4 meter, kedalaman air
antara 0,5-2 meter, dan panjang 100-2.000 meter. Istilah lainnya untuk
37 Keluarga pemilik saka biasanya bertempat tidak jauh dari saka atau tanah
pertaniannya. Umumnya rumah pemilik didirikan di muara saka, ditepi sungai. Kalau ada, disekitar
pinggiran saka didirikan juga rumah lainnya masih dari keluarga yang sama. Contoh seperti ini
misalnya pada keluarga Syamsi di Banua Anyar-kabupaten Banjar, dan H. Gani di Pangambangan-
Banjarmasin. Keterangan tambahan mengenai saka dan handil didapat juga dari M. Idwar Saleh,
dalam wawancara tanggal 4 Agustus 1983 Periksa dan bandingkan pula dengan William L. Collier,
Lima puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi Pemerintah Di Tanah Berawa
Kalimantan”, majalah Prisma, n. 5 (Jakarta : LP3ES, 1980), hlm. 21, dan 27-29.
menyebut terusan adalah tatah, biasa diucapkan oleh masyarakat dengan
mengandung pengertian terusan secara umum, namun lebih lajim pengertian
yang dimaksudkan untuk menyebutkan terusan yang berupa handil atau
saka. Sedangkan yang berupa anjir biasa pula disebut antasan.
Keberhasilan dan kebiasaan orang Banjar meluaskan pengaruh pasang
surut dengan membuat terusan merupakan keistimewaan dan membuktikan
tingkat peradaban mereka yang telah maju. Mereka mampu membuat
terusan yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan tangan
selama bertahun-tahun.38 Terusan yang digali menggunakan alat sangat
sederhana yang disebut sundak bertumpu sepenuhnya pada kekuatan
tangan. Sejak kapan orang Banjar berhasil mulai membuat terusan tidak
dapat diketahui dengan pasti, yang jelas mereka telah lama berhasil
memikirkan dan memanfaatkan adanya gerak pasang surut di daerah mereka
serta meluaskan pengaruh itu ke daerah daratan, atau menghubungkan antar
sungai.39 Pembuatan terusan dengan “cara” orang Banjar ini yang dalam
prakteknya kemudian juga dilaksanakan leh pemerintah baik pada masa
Belanda maupun oleh pemerintah baik pada masa Belanda maupun oleh
pemerintah Republik Indonesia. Cara ini yang juga kemudian dikerjakan leh
P. M. Noor ketika menjabat menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT)
dan oleh Prof. Soenarjo dalam usaha mengambangkan system pertanian
pasang surut, sekitar tahun 1960 dan 1970-an di Kalimantan Selatan, oleh
H.J. Schoophuys dan para ahli disebut dengan pembuatan terusan system
Banjar.40
Berita pertama yang dapat diketahui mengenai pembuatan terusan
yaitu pada masa pemerintahan W. Broers, penguasa tertinggi Belanda
38 Ibid.: H. J. Schophuys, “Polder, Pembukaan Sawah Pasang Surut Gaja Lama dan Gaja
Baru,” harian Kompas, 7 Nopember 1969 ; Sundak merupakan alat dari bahan besi atau kayu ulin
bermata besi, pipih bentuknya digunakan untuk mengerat tanah sehingga berbentuk prisma tegak
dengan alas bujur sangkar. 39 William L. Collier (1980), loc, cit, ; H.J. Schphuys, loc, cit, ; Tjilik Riwut (1979), oop,cit.,
hlm. 17. 40 H.H. Schophuys, loc,cit; Soemarkotj Soedirjo, “Tiga Djagoan : Schophuys, P. Noor,
Soenarjo,” harian Kompas, 3 Oktber 1969.
diwilayah Kalimantan Selatan antara tahun 1880-1890. Terusan pertama
yang dibuat atas prakarsa Belanda dengan tenaga kerja orang Banjar yaitu
anjir Serapat yang menghubungkan antara sungai Barito dengan sungai
Kapuas. Rencana pembuatan sebenarnya sudah dicetuskan oleh J. J. Myer,
namun masa jabatannya tahun 1880 berakhir dan digantikan oleh W. Brers
yang segera melaksanakan rencana itu. Anjir yang dibuat dengan ukuran
rata-rata lebar 30 meter, panjang 28 kilometer, dan kedalaman air 3 meter
berhasil diselesaikan pada tahun 1980. Perbaikan dan pembersihan terhadap
anjir Serapat pernah dilaksanakan pada tahun 1935 oleh Morggenstorm
pengusaha ketika itu. Sekitar tiga tahun kemudian Morggenstorm merasa
perlu untuk membuat sebuah anjir lagi dan dilaksanakannya pada tahun
1938 terletak di sebelah selatan anjir Serapat dengan sungai-sungai yang
sama, maka terbentuklah anjir baru sepanjang 32 kilometer yaitu anjir
Tamban.
Kedua anjir di atas begitu besar pengaruhnya untuk pembukaan
daerah baru. Antara tahun 1940 hingga 1950-an telah puluhan saluran baru
dari kedua anjir itu berupa handil dan kemudian saka dibuat oleh
masyarakat sendiri.41 Kedua anjir di atas juga semakin mendekatkan
hubungan antara masyarakat Kalimantan Tengah, terutama Kapuas, dengan
masyarakat Banjarmasin dan Marabahan di Kalimantan Selatan.
Pembuat anjir masih terus berlangsung pada jaman kedaulatan
Indonesia. Dua buah anjir dibuat bersamaan pada tahun 1950 yaitu anjir
Basarang dan Kelampan pada masa gubernur Moerdjani menjabat sebagai
gubernur pertama daerah propinsi Kalimantan Selatan. Pada tahun 1947 dan
1952, Schophyus bersama gubernur Moerdjani membuat terusan di daerah
kabupaten Barito Kuala yang dikerjakan sepenuhnya oleh masyarakat
masing-masing sepanjang lebih kurang 5 dan 25 kilometer. Hubungan
antara Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah juga bertambah ramai
dengan dibukanya kemudian anjir Talaran/Marabahan sepanjang lebih
41 Periksa dan Bandingkan dengan William L. Collier (1980), op.cit., hlm. 21.
kurang 20 kilometer oleh gubernur Sjarkawi pada tahun 1958. Mengenai
anjir-anjir ini silahkan periksa lampiran A3.
Bentuk perairan yang ada di Kalimantan Selatan meliputi pula
perairan pantai-pantainya. Panjang pantai keseluruhannya sekitar 850
kilometer meliputi panjang pantai daratan Kalimantan Selatan 510
kilometer, pantai pulau Laut 240 kilometer, dan pantai pulai Sabuku 80
kilometer. Pantai di Kalimantan Selatan dapat dibedakan dalam empat
macam. Pertama, pantai agak curam yaitu bagian pucuk ujung Petang
sepanjang 9 kilometer, dari tanjung Pamukan sampai tanjung Sepada ; dari
tanjung Saratakan sampai tanjung Pamancingan (pulau Laut) sepanjang 17
kilometer ; dan sebelah timur pulau Sabuku sepanjang 31 kilometer ; dan
sebelah timur pulau Sabuku sepanjang 31 kilometer. Kedua, pantai landai
dan bertanah agak keras yaitu dari Tanjung sampai Tanjung Petang
sepanjang 200 kilometer; dan pantai dari tanjung Kiwi sampai tanjung
Alang-alang sepanjang 120 kilometer. Ketiga, pantai landai berbatu
(karang) yaitu pantai dari Sebau sampai tanjung Salamantakan sepanjang 34
kilometer dan pantai dari Sepada Kecil sampai Sanipah sepanjang 15
kilometer. Keempat, pantai berlumpur (rawa) yaitu dari Kuala Lupak
sampai Takisung sepanjang 67 kilometer ; dari selat laut sampai ke tanjung
Sebau sepanjang 120 kilometer ; dan dari tanjung Alang-alang sampai
ditanjung Seratakan (pulau Laut) sepanjang 50 kilometer.42
Pantai-pantai tersebut pada dasarnya dapat ditelusuri oleh perahu-
perahu kecil maupun sedang dari timur sampai ke muara Barito di bagian
barat. Pantai Kalimantan Selatan merupakan tempat puluhan sungai
bermuara, dari sungai-sungai di kabupaten Pulau Laut sampai sungai-sungai
di Kabupaten Tanah Laut. Sepanjang pantai-pantainya dapat pula ditelusuri
di perairan pantai ramai leh perahu-perahu nelayan, mereka dapat pula
dengan mudah keluar-masuk antara pantai dengan sungai. Selebihnya
adalah lalu lintas penyeberangan antara daratan Kalimantan Selatan dengan
42 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 5.
pulau Laut dan Sabuku melalui selat Laut. Sarana-sarana yang digunakan
untuk penyeberangan ini biasanya berupa perahu motor dan speed boat.43
2. Masalah Perairan dan Kelancaran Lalu Lintas
Kemarau panjang merupakan masalah yang dihadapi setiap empat
tahun sekali oleh perairan dan transportasinya di Kalimantan Selatan. Setiap
tiba kemarau panjang banyak perairan yang biasa digunakan sebagai jalur-
jalur transportasi masyarakat tidak berfungsi karena kekeringan. Menurut
data dari Dinas Meteorolgi Landasan Ulin (sekarang Syamsuddin Noor)
peristiwa seperti ini terjadi tahun 1969, ketika sebagian besar perairan di
daerah Kalimantan Selatan mengalami kekeringan.44 Diceritakan oleh
seorang penduduk Sungai Batang (kabupaten Banjar) bahwa tahun 1969 itu
di kampungnya anak-anak sungai Martapura, handil dan saka semuanya
kering. Perahu-perahu yang biasa dioperasikan untuk segala macam soal
pengangkutan ditelungkupkan di pekarangan-pekarangan rakyat selama
beberapa bulan, sebagian diperbaiki sambil menunggu sampai saat kemarau
berlalu. Begitupun hal serupa diceritakan oleh seorang penduduk desa
Pamangkih-kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan seorang penduduk desa
Muara Uya-kabupaten Tabalong. Di kedua desa ini ikan darat melimpah
karena mudah didapat dan kebanyakan kemudian dioleh menjadi ikan
kering. Hasil ini tidak bisa diangkut ke pasar karena perahu-perahu tidak
bisa digunakan akibat keringanya anak-anak sungai dan saluran perairan
lainnya dari sungai Labuan Amas dan Tabalong yang ada di kedua desa.
Harga ikan (kering) sangat rendah dibeli leh para tengkulak yang dating ke
desa tersebut dan mengangkutnya dengan sarana berupa sepeda.45
Gambaran diatas merupakan sebagian dari keadaan yang dihadapi
oleh masyarakat dalam soal pengangkutan, khususnya di perairan daratan.
43 Ibid., hlm. 181. 44 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982), op.cit., hlm. 6; dan Buku Petunjuk
Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 156-157. 45 Keterangan dari wawancara dengan Padli di Sungai Batang, tanggal 22 Agustus 1983;
dengan Masdar di Barabai, tanggal 6 Agustus 1983; dan Hamsani di Tanjung, tanggal 7 Agustus
1983.
Kemarau panjang biasanya berlangsung selama enam bulan yaitu antara
bulan Juni hingga Nopember. Kemarau seperti ini dengan akibat serupa juga
terjadi pada tahun 1961 dan 1965.46 Mengenai keadaan kemarau ini periksa
kembali pada tabel 1 tentang banyaknya curah hujan pada tahun 1969.
Seiring dengan perkembangan sector transportasi darat semenjak
tahun 1960 ke atas kelak bisa dimengerti bahwa peristiwa kemarau panjang
merupakan yang mempercepat tidak berfungsinya sungai-sungai kecil dan
handil penghubung secara berkelanjutan. Pengaruhnya cukup besar baik
terhadap pertumbuhan sector transportasinya perairan maupun terhadap
tanah pertanian dan penduduk.
Masalah berikutnya adalah pencemaran terhadap perairan yang
ditimbulkan oleh limbah domestic dan gulma air.47 Kedua hal ini tidak
jarang menyebabkan ketidaklancaran, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas
di perairan. Keadaan perairan yang tenang dan dangkal menyebabkan gulma
air mudah tumbuh dan cepat berkembang biak sehingga dapat dengan segera
menutupi permukaan-permukaan sungai, terusan dan danau.
Tumbuhan air seperti purun tikus, ilung (Eichornia crasipes Soms),
berbagai jenis bakung (Crinum asiaticum L), serta nipah (Nypa fruticans
Wurmb) merupakan gulma air yang banyak tumbuh menutupi permukaan-
permukaan perairan di daerah Kalimantan Selatan.48 Gulma air, terutama
ilung, kerapkali pada fase pertumbuhannya yang sangat cepat tidak lagi
dapat dikendalikan oleh masyarakat dan pemerintah. Ilung dalam jumlahnya
yang sangat besar tumbuh terapung misalnya di permukaan-permukaan
sungai dan terusan yang mengakibatkan terhambatnya kelancaran lalu lintas
di perairan itu. gambaran ini tidak saja menyangkut lalu lintas perairan
daratan umumnya, tetapi juga bagi para petani yang akan menuju ke tanah-
tanah pertanian mereka, dan bagi perairan tanah-tanah pertanian itu. Contoh
46 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 4. 47 Pengertian limbah domestic dan gulma air silahkan periksa lebih jauh pada Otto
Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983) hlm. 232. 48 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op,cit., hlm. 178;
“Jadwal Pelayaran Terganggu Enceng Gondok,” harian Kompas, 21 Februari 1983.
gulma air berupa ilung yang menghambat arus lalu lintas transportasi
periksa pada lampiran C1.
Seiring dengan masalah gulma air ialah limbah domestic terhadap
perairan, terutama sungai dan terusan. Limbah domestic ditimbulkan oleh
penduduk sendiri, terutama oleh penduduk yang tinggal pada
perkampungan di sepanjang pinggiran sungai dan terusan. Limbah domestic
umumnya berupa sampah dari rumah tangga yang dengan mudah dibuang
ke sungai dan terusan di sekitar mereka. Sampah yang dibuang oleh
penduduk sebagian besar mengapung dan menjadi satu ke satuan dalam
jumlah yang makin lama bertambah besar. Limbah domestic ini bersama-
sama dengan gulma air seperti ilung dan jenis bakung menjadi satu
membentuk hampangan, menurut istilah masyarakat dalam bahasa Banjar.
Hampangan yang terapung di sungai dan di terusan ikut hilir mudik seirama
dengan arus perairan pasang surut. Hampangan dapat berhenti pada perairan
danau dan terbentuk semakin luas bersama-sama sebagai tempat
bertumbuhnya gulma air. Hampangan-hampangan yang mencapai muara
untuk selanjutnya ke luar mengotori perairan pantai-pantai di Kalimantan
Selatan. Hampangan pada dasarnya merupakan masalah yang secara
langsung dan terus menerus dihadapi oleh sector transportasi perairan di
daerah ini, terutama dari segi kelancaran lalu lintas di perairan.49
Selain limbah domestic ada pula limbah usaha terutama dari usaha-
usaha penggergajian (wantilan) dan produksi sarana-sarana transportasi
perairan milik masyarakat. Limbah usaha ini berupa serbuk-serbuk
gergajian dan potongan-potongan papan atau kayu. Hampir semua usaha
wantilan dan produksi sarana transportasi perairan rakyat di Kalimantan
Selatan berada di sepanjang pinggiran sungai dan sudah berlangsung sejak
lama, akibatnya serbuk-serbuk gergajian dan potongan-potongan papan
yang memang dibuang ke sungai semakin besar jumlahnya. Limbah usaha
49 Ibid.; Bahan Expose : Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di
Propinsi Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Propinsi Kalimantan Selatan/Tengah,
1983), tanpa halaman ; “Musibah Di Sungai Kapuas,” harian Banjarmasin Post, 7 Mei 1983.
ini bersama dengan limbah domestic dan gulma air merupakan unsur-unsur
utama pembentuk hampangan.
Pencemaran perairan semakin besar akibat banyak pula bangkai kapal
dan perahu yang dibiarkan berada di perairan, terutama sungai. Akibat yang
ditimbulkannya ialah terbentuknya gosong-gosong dan mempercepat proses
pendangkalan perairan.50 Gosong-gosong yang terdapat di peraran
Kalimantan Selatan merupakan masalah yang serupa dengan hampangan
bagi kelancaran lalu lintas transportasi di peairan. Gosong-gosong seperti
juga hampangan kerapkali dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas
perairan.
Sekitar tahun 1960-an keadaan yang ditimbulkan oleh masalah-
masalah seperti diatas terhadap perairan sudah semakin parah.
Gangguannya terhadap perairan hampir merata kesemua daerah kabupaten
di Kalimantan Selatan. Keadaan ini sangat menghambat kelancaran arus lalu
lintas transportasi perairan yang sangat diandalkan masyarakat baik untuk
hubungan daerah maupun soal pengangkutan barang dan penumpang.
Kegiatan seperti pertanian, perikanan dan lainnya yang selalu berkaitan
dengan transportasi perairan akibatnya turut pula mengalami hambatan.
Menyadari pentingnya peran perairan bagi masalah transportasi
khususnya, maka pemerintah daerah dibawah pimpinan gubernur Borthami
pada tahun 1963 melaksanakan pengerukan dan pembersihan besar-besaran
terhadap perairan di Kalimantan Selatan. Perairan yang dikerukan
dibersihkan seluruhnya seluas 547, 5 kiloemter persegi dengan perincian
seperti terlihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Usaha Pengerukan dan Pembersihan
Perairan Kalimantan Selatan 1963
No. Kabupaten Luas dalam Meter
1 Banjar 238.500
50 Ibid, ; Bahan Expose (1983) ; “74 Ekor Hewan Korban Untuk Banjarmasin Tenggelam di
Muara Sungai Barito,” harian Banjarmasin post, 16 September 1983; Buku Petunjuk Territorial
Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm. 326 dan 329.
2 Hulu Sungai Selatan 78.000
3 Hulu Sungai Tengah 47.000
4 Hulu Sungai Utara 148.000
5 Barito Kuala 16.000
6 Pulau Laut 20.000
Jumlah 547.500
Usaha serupa kemudian dilaksanakan oleh gubernur H. Abrani
Sulaiman pada tahun 1967 untuk perairan di kabupaten Banjar dan Barito
Kuala. Perairan yang dikeruk dan dibersihkan adalah perairan Cintapuri,
Alalak Padang, Galam Rabah, dan Jajangkit.51
Pada dasarnya pencemaran besar terhadap perairan daratan di
Kalimantan Selatan akibat yang saling berkaitan dari penyebab-penyebab
pencemaran itu. Limbah domestic, limbah usaha, gulma air, hampangan,
gosong-gosong, dan pendangkalan merupakan penyebab-penyebab
pencemaran besar yang satu sama lain saling berkaitan.
Hampangan, gosong-gosong, dan pendangkalan, di samping masalah
kabut dan kemarau panjang, merupakan masalah-masalah yang selalu
dihadapi oleh transportasi perairan daratan di Kalimantan Selatan.
Kesemuanya merupakan masalah yang dapat menimbulkan
ketidaklancaran, kemacetan, dan kecelakaan lalu lintas di perairan daratan.
Ketiga hal yang pertama di atas pada dasarnya ditimbulkan oleh manusia,
sebaliknya membawa akibat bagi manusia itu sendiri, dalam hal ini oleh dan
bagi masyarakat Kalimantan Selatan.
B. Peran Hutan Bagi Kebutuhan Bahan Utama Bangunan Sarana
Transportasi Perairan
Setelah perairan, hutan merupakan factor penting berikutnya bagi bidang
transportasi perairan daratan masyarakat di Kalimantan Selatan. Pada sekitar
awal abad ke 20 Dr. Schinpfer menggolongkan jenis hutan di Kalimantan
51 Ibid., hlm. 180.
Selatan sebagai hutan tropika. Hutan tropika ini kemudian diklasifikasikan
menjadi hutan rimba (primer), hutan belukar (sekunder), hutan payau, dan
hutan alang-alang.52 Meskipun diklasifikasikan, secara umum hutan di
Kalimantan Selatan dikatakan sebagai hutan tropis yang heterogen.
Hutan-hutan di Kalimantan Selatan memiliki berbagai jenis tumbuhan
sehingga besar potensinya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, di
antaranya untuk membuat sarana-sarana transportasi perairan. Tumbuhan
berupa berbagai jenis kayuan besar banyak terdapat di hutan Kalimantan
Selatan. Jenis kayu-kayuan besar ini merupakan salah satu potensi hutan yang
dapat dimanfaatkan masyarakat dijadikan bangunan sarana-sarana transportasi
perairan, khususnya perairan daratan.53
Tidak bisa diketahui persisnya sejak kapan masyarakat di Kalimantan
Selatan memanfaatkan berbagai jenis kayu hutan dan berhasil mengolahnya
menjadi bangunan-bangunan sarana transportasi perairan. Di jaman kerajaan
Banjar (berdiri di sekitar abad ke-16) ribuan jumlah sarana transportasi
perairan telah dibuat oleh rakyat dengan berbagai bentuk yang terbuat dari
bahan kayu hutan.54 Periksa juga lampiran N.
Jenis-jenis kayu hutan yang biasanya digunakan untuk bangunan sarana
transportasi perairan oleh masyarakat Kalimantan Selatan misalnya bangkirai
(Shrea Laevifolia Endert), ulin (Eusiderexyln zwageri T et B)¸ dan bungur
(Lagerstroe mia spec. pers).55 Jenis-jenis kayu ini termasuk jenis-jenis kayu
dan penggunaannya di Kalimantan Selatan yang telah didaftar oleh pemerintah
pada tahun 1941, ketika J.J. Haga sebagai penguasa tertinggi untuk daerah ini.56
52 Ibid., hlm. 6-7; Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 41-42. 53 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op,cit., hlm. 25: Tjilik Riwut (1958), op,cit., hlm.
159. 54 M. Idwar Saleh, Sedjarah Banjarmasin, op, cit., hlm. 61. 55 Tentang daftar jenis kayu dan istilah botaninya periksa Peraturan Konstruksi Kayu
Indonesia NI-5 PKKI 1961 (Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979),
hlm. 35-37. 56 Tentang daftar jenis kayu hutan di Kalimantan Selatan dan yang dapat diolah untuk
bangunan sarana-sarana transportasi perairan tertera pada lampiran I dari Verzameling Residentie
Verordeningen, Zuider en Osterafdeeling van Borneo (Bandjarmasin: Boemi Poetram 1941).
Tentang daftar jenis-jenis kayu hutan penggunaannya di daerah Kalimantan
Selatan ini periksa pada lampiran O.
Daerah yang hutannya banyak menyimpan berbagai jenis kayu untuk
kebutuhan bahan bangunan sarana-sarana transportasi perairan adalah
kabupaten Tanah Laut, Pulau Laut, Banjar, dan daerah-daerah Hulu Sungai.
Dari daerah-daerah ini peran hutan sudah lama sangat penting bagi daerah
Kalimantan Selatan dalam kaitannya dengan bidang transportasi perairan.
Menurut J.M. Castelein, permusuhan turun menurun dari abad ke-17 hingga
ke-19 antara orang Banjar dengan orang Bugis Makassar, diantaranya
disebabkan oleh soal “pencurian” kayu hutan guna pembuatan perahu dan
kapal di Wilayah kerajaan Banjar oleh orang-orang Bugis Makassar.57 Kasus
ini merupakan contoh historis tentang pentingnya hutan Kalimantan Selatan
dengan kayunya untuk keperluan bidang transportasi perairan.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan luas areal hutan
di daerah ini seluruhnya adalah 20.136 kilometer persegi atau sekitar 54% dari
luas wilayah.58 Dari areal hutan ini beberapa jenis kayu dipilih dan ditebang
lalu dihilirkan dalam bentuk batangan atau rakit menuju ke tempat
penggergajian dan pusat-pusat pengolahan sarana transportasi rakyat.
Kebebasan memanfaatkan potensi hutan berupa kayu masih dapat dilakukan
oleh rakyat sampai tahun 1970-an. Keadaan bebas ini tidak lagi dapat
dilakukan ketika Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan berdiri dan
melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan pengelola seluruh hutan di
Kalimantan Selatan yang mempunyai hak dan wewenang sepenuhnya
semenjak tahun 1973. Rakyat tidak dapat lagi bebas memanfaatkan potensi
hutan akibat perlunya izin dan segala urusan harus melalui Dinas Kehutanan
yang tidak terjadi di waktu-waktu sebelumnya.
57 M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op.cit., hlm. 8, dan 70-71. 58 Pekan Kontak Tani-Nelayan TV di Barabai (Martapura: Kantor Departemen Penerangan
Kabupaten Banjar, 1981), hlm. 65.
Berdasarkan Peraturan Konsturksi Kayu Indonesia dapat diketahui kayu-
kayu hutan yang dipilih dan ditebang oleh rakyat Kalimantan Selatan adalah
jenis-jenis kayu yang tergolong ke dalam klas huat I dan II, serta klas awet I
dan II. Kayu yang termasuk klas-klas ini berkualitas baik dan cocok untuk
badan-badan sarana transportasi perairan. Adapun yang dimaksud klas kuat
adalah didasarkan pada kuat lentur, kuat tekan, dan berat jenis kayu. Ketentuan
klas kuat dari Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan (LPPK) dan Lembaga
Penelitian Hasil Hutan (LPHH) dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Ketentuan Klas Kuat Kayu
Klas kuat Berta jenis Kekuatan Lentur Absolut,
kg/cm2
Kekuatan Tekan
Absolut, kg/cm2
I 0,90 1.100 650
II 0,90 – 0,60 1.100 – 725 650 – 425
Sumber; Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961 (Bandung:
Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979), hlm. 64. Di Indonesia
klas kuat kayu dikategorikan sampai klas kuat V. klas kuat III-V tidak
dicantumkan di sini.
Mengenai klas awet kayu yang ditentukan oleh LPKK dan LPHH, yaitu
didasarkan pada daya tahan kayu terhadap pengaruh oleh reyap, serangga, dan
binatang-binatang kecil lainnya, dan daya tahan terhadap pengaruh alami
seperti panas matahari, air, dan sebagainya. Penggolongan dalam klas awet
kayu berdasarkan jumlah tahun ketahunan kayu, berapa lama masih tetap baik.
Ketentuannya adalah klas awet I lebih dari 20 tahun dan klas awet II 5 sampai
20 tahun.59 Selanjutnya dapat disimpulkan mengenai jenis-jenis kayu hutan
yang biasa dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Selatan untuk membuat
59 Mengenai kas awet sama seperti klas kuat terdiri sampai klas awet V. agar lebih jelas
silahkan periksa Peraturan Konsturksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, op. cit., Yogyakarta: Fakultas
Teknik UGM, 1976), hlm. 32.
bangunan sarana-sarana transportasi perairan sebagaimana dapat dilihat pada
tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4 Daftar Jenis Kayu Untuk Bangunan Sarana-sarana Transportasi Perairan
Di Kalimantan Selatan
No. Nama Setempat Nama Botani Klas Kuat Klas Awet
1 Ulin Eusiderexlon
zwageri T et B
I I
2 Rasak Vatica spec II II
3 Bungur Lagerstroemia
spec. pres
II II
4 Klepek Hope spec . div I I
5 Madang Rawali Cinnamomum par
thenoxylon neison
II -
6 Gansiung - - -
7 Bangkirai Shorea laevi folia
Endert
I I
Sumber; Dihimpun dari berbagai sumber di antaranya konsturksi Kayu oleh
Suwarno Wiryomartono; Konstuksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961; Tjilik
Riwut, Kalimantan Membangun; dan Verzameling Residentie Vordeningen zuider
en Oostrafdeeling.
Di samping kayu, komponen lain yang juga penting untuk pembuatan
sarana transportasi perairan adalah perekat yang disebut dampul atau dammar
oleh masyarakat setempat.60 Dampul merupakan perekat yang juga diolah dari
bahan jenis kayu hutan, berguna untuk menutup antara sambungan konstruksi
dan lubang pada badan sarana transportasi perairan. Dampul diolah dalam
bentuk tepung banyak dijual di pasar umum dan warung hamper semua tempat
di Kalimantan Selatan. Dalam usaha pembuatan sarana-sarana transportasi
perairan sambungan-sambungan konstruksi juga umumnya berupa pasak
terbuat dari kayu. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan untuk pasak misalnya
laban (Vitex pubescens Vahl.), rasak, dan bungur.61
60 Dampul dibuat dari beberapa jenis kayu hutan dari family Dipterocarpacae, perekat jenis
ini dalam istilah formalnya (pabrik) seperti Resorcinol Resin dan Phenolic Resin, periksa Peraturan
Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, op. cit., hlm. 41-42 61 Ibid., hlm. 43-44 ; periksa juga H.W. Dick, “Prahu Shipping in Eastern Indonesia”, part I,
Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 1975), hlm. 86 ; Kapal Indonesia
Dapat disimpulkan bahwa hutan dengan potensinya menyediakan
berbagai jenis kayu yang dibutuhkan oleh masyarakat Kalimantan Selatan.
Beberapa jenis kayu yang dibutuhkan di dapat dengan mudah kemudian
melalui perairan yang ada dibawa menuju ke tempat-tempat pengolahan
sarana-sarana transportasi perairan daratan di Kalimantan Selatan.
C. Kepentingan Masyarakat Berkenaan Tarnsportasi yang Sesuai dengan
Keadaan Wilayah Tempat Tinggal
Kalimantan Selatan adalah daerah yang khas perairan seperti daerah
lainnya di pulau Kalimantan. Ke-khususan ini ditandai oleh perairan yang
mendasari seluruh peri kehidupan sehari-hari seperti bahasan, transportasi,
ekonomi, pertanian, tempat tinggal dan sebagainya.62 Daearah perairan
Kalimantan Selatan secara berkesinambungan membentang dari daerahnya di
utara mulai pada kabupaten Tabalong dalam bentuk perairan sungai, danau, dan
terusan ke selatan hingga muara sungai Barito yang dilanjutkan dengan bentuk
perairan pantai di tanjung Selatan daerah Kabupaten Tanah Laut. Dari tanjung
Selatan ke timur masih dalam bentuk perairan pantai dengan sungai-sungainya
yang bermuara di situ hingga dengan penyebrangan di daerah kabupten Pulau
Laut. Semua jalur perairan yang membentang dari utara ke selatan dan timur ini
merupakan daerah tempat konsentrasi populasi Kalimantan Selatan. Semua desa
atau kampong sebagai tempat konsentrasi penduduki, mulai di desa pedalaman
di kabupaten Tabalong sampai desa pantai di Kabupaten Pulau Laut, semuanya
terletak di sepanjang jalur perairan tersebut. Perhatikan peta daerah perairan
Kalimantan Selatan pada skripsi ini dan lampiran A.
Jalur-jalur perairan di Kalimantan Selatan merupakan jalan penting untuk
mengembangkan ekonomi dan perdagangan, hasil hutan, agama, pertanian, dan
transportasi umumnya.63 Pada tahun 1950 sudah terdapat banyak kampong
(Djakarta : Direktoral Djendral Produksi dan Djasa Maritim Departemen Perhubungan, 1969), hlm.
153. 62 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), op.cit. hlm. 6.
63 Ibid.
permukiman di sepanjang jalur perairan ini yang ditempati oleh hamper 80%
dari jumlah penduduk di Kalimantan Selatan seluruhnya. Pada tahun 1961
diperkirakan ada 1.178.524 jiwa yang tinggal di daerah-daerah semacam itu,
selanjutnya sekitar 294.631 jiwa tinggal di daerah-daerah seperti Banjarbaru,
Binuang dan di sekitar perbukitan Meratus-Babaris.64
Menurut catatan Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Selatan lebih dari
70% penduduk di Kalimnatan Selatan adalah petani.65 Jika cirri kehidupan tani
ini dijadikan indicator kualifikasi masyarakat, maka tahun 1961, ada sekitar
1.031.209 jiwa sebagai petani. Para petani ini umumnya menempati daerah
sepanjang jalur-jalur perairan di Kalimantan Selatan. Rumah mereka merupakan
kampong-kampung yang padat dan panjang berderat di sepanjang jalur perairan
dalam susunan rumah terdiri dari satu sampai tiga lapis. Di belakang dari
kelompok rumah itu atau kampong terletak sawah-sawah pertanian mereka yang
luas, agar di darat.66
Untuk memudahkan segala urusan pertanian para petani membuat
terusan-terusan berupa handil atau saka bermuara terutama pada sungai, anjir
atau danau. Handil dan saka, karena sifat keadaan alam, selain untuk irigasi
sekaligus berfungsi pula sebagai prasarana transportasi dengan menggunakan
perahu-perahu yang dikayuh atau dengan mesin. Lahan-lahan pertanian
penduduk di Kalimantan Selatan, selain sebagai sawah yang ditanami padi, tidak
jarak yang diseling sebagai kebun. Kebun itu hasilnya untuk pasar, seperti buah-
buahan dan sayuran. Buah-buahan yang biasanya diusahakan adalah sawo,
rambutan, jeruk, ketapi, kedondong, ramania, dan banjai, di samping ada juga
berupa kelapa. Adapun yang berupa sayuran misalnya kacang-kacang, bayam,
katu, waluh, dan timun. Semua hasil dari lahan pertanian ini diangkut dengan
sarana-sarana transportasi perairan melalui saka dan handil sampai di rumah.
64 Ibid., adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan (1982), op.cit., hlm. 8-11. 65 Abdul djebar Hapip, et al., Struktur Bahasa Banjar Kuala (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 11. 66 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), loc. Cit., M. Odwar Saleh, Sejdarah Bandjarmasin,
op. cit, hlm. 41-42.
Hasil-hasil pertanian dari rumah kembali melalui transportasi perairan
diteruskan ke pasar-pasar yang ada atau dijajakan dengan perahu dari rumah ke
rumah di sepanjang perairan yang dapat dilalui.67
Gambaran di atas merupakan indicator yang menunjukkan bahwa
sebagian terbesar masyarakat di daerah Kalimantan Selatan dalam aktivitas
kehidupannya selalu terkait dengan soal transportasi perairan. Aktivitas
kehidupan di bidang transportasi ini akibat keadaan dan yang disesuaikan alam
lingkungan tempat tinggal mereka. Akibat kehidupan dan keadaan alam
lingkungan itu turut pula membentuk tubuh manusianya, di samping
karakteristik kehidupan atau kebudayaannya.
Sampai sekitar awal abad ke 20 di Kalimantan Selatan, terutama
hubungan antar kampung atau desa, hampir tidak ada melalui jalan darat. Jalan-
jalan darat ketika itu tidak begitu ada yang bisa ditemui, kecuali beripa jalan-
jalan setapak melalui semak belukar dan hutan, juga yang terdapat di pinggir
sungai. Hubungan antar temat di sepanjang jalur perairan, terutama sungai selalu
memakai perahu atau jalan-jalan hanya berupa titian yang tidak begitu bebas.
Keadaan demikian ini mengakibatkan anggota tubuh bebas. Keadaan demikian
ini mengakibatkan anggota tubuh terutama kaki lebih banyak untuk duduk di
rumah, lanting, atau perahu, serta tidak banyak terdapat jalan darat untuk
bergerak menyebabkan anggota tubuh bagian bawah tidak berkembang dengan
baik, sehingga nampak kecil dan lemah. Sebaliknya anggota tubuh bagian atas,
dada dan tangan, nampak kekar dan kuat karena selalu berkayuh sepanjang hari,
atau pekerjaan menggali terusan. Gambaran tentang fisik manusia Kalimantan
Selatan ini merupakan laporan Beeckman sekitar dua abad yang lampau.68
Meskipun demikian menurut M. Idwar Saleh keadaannya masih Nampak pada
sebagian masyarakat di daerah Banjarmasin dan Barito Kuala tahun 1950-1960.
67 Periksa juga Amir hasan Kiai Bondan, op. cit., hlm. 97; bandingkan dengan William L. Colleir,
op. cit., hlm. 27-32. 68 M. Idwar Saleh, Bandarmasih, no. 2 (1983), op.cit., hlm. 7; tentang laporan Beeckman
silahkan periksa M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, op. cit., hlm. 48-49, 117-118, dan 125.
Jalan darat pada waktu itu masih tidak begitu baik dan terbatas, sehingga pada
batas daerah tertentu keadaannya tetap serupa dengan sekian abad yang lalu.69
Kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan antara tahun 1950-1970
masih ditandai dengan kesibukan penduduk yang hilir mudik bersama perahu-
perahu mereka dalam berbagai bentuk dan ukuran, yang sudah menggunakan
mesin atau masih dikayuh; perahu-perahu penjaja sayuran, buah-buahan kapur-
sirih, dan ikan; ada juga rombong (perahu penjual makanan dan minuman
beserta kue-kuenya); perahu-perahu nelayan pencari ikan darat dan laut; serta
sekali waktu Nampak rakit bambu dan kayu berusaha menghilir mengikuti arus
air yang sedang menyurut, semuanya kesibukan sehari-hari di perairan dengan
sarana-sarana transportasinya.
Keadaan di perairan pantai memang tak seramai di perairan sungai,
danau dan terusan yang lebih terpusat. Kesibukan di perairan pantai terlihat dari
perahu-perahu nelayan, ada perahu-perahu yang membawa ikan laut segar
melewati muara menuju ke desa-pedalaman untuk dipasarkan, sebaliknya dari
desa pedalaman pedagang kelontong misalnya dengan perahu mereka mencapai
desa-pantai. Pada tahun 1970 daerah perairan pantai Kalimantan Selatan
disibukkan oleh sekitar 3.355 buah perahu nelayan yang kebanyakannya
digerakkan dengan layat, dan sekitar 150 buah perahu bermotor.70 Pendek kata
perairan pantai, sungai, danau, dan terusan merupakan satu kesatuan jalur untuk
kegiatan lalu lintas transportasi perairan oleh masyarakat.
BAB III
UNSUR-UNSUR POKOK YANG BERKAITAN LANGSUNG
DENGAN HAL TRANSPORTASI PERAIRAN
69 Wawancara dengan M. Idwar Saleh, tanggal 31 Agustus 1983. 70 Buku Petunjuk territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op. cit., hlm. 182.
A. Tata Lingkungan Perairan Sebagai Jaringan Lalu Lintas Transportasi
Tata lingkungan perairan di Kalimantan Selatan sangat memungkinkan
perannya sebagai jaringan lalu lintas transportasi masyarakat di daerah.
Melalui jalur-jalur perairan kesulitan komunikasi dan transportasi masyarakat
maupun bagi pemerintah dapat teratasi. Pemerintah setempat menganggap
bahwa jalur-jalur perairan yang ada mampu memecahkan segala masalah
pengangkutan masyarakat di daerah Kalimantan Selatan semenjak tahun 1950
sampai 1970-an.71
Sungai Barito merupakan sungai terpanjang dan terluas, dan tempat
bermuaranya beberapa sungai utama di Kalimantan Selatan. Sungai-sungai
yang bermuara pada sungai Barito itu ialah sungai Martapura, Tabalong,
Batang Alai, Balangan, Amandit, dan Tapin. Sungai-sungai ini merupakan
jaringan prasarana perhubungan dan pengangkutan yang sangat penting karena
masing-masing melalui ibukota-ibukota kabupaten yang ada di Kalimantan
Selatan. Kota-kota seperti Martapura dilalui oleh sungai Martapura; Rantau
dilalui oleh sungai Tapin; Kandangan dilalui oleh sungai Amandit; Barabai
dilalui oleh Batang Alai; Amuntai dilalui oleh sungai Tabalong, Balangan dan
Negara; Tanjung dilalui oleh sungai Tabalong.72
Hulu sungai Barito terletak di pegunungan Schwaner, membujur dari
daerah Kalimantan Tengah di utara hingga bermuara ke laut Jawa sepanjang
kira-kira 1.000 kilometer dengan luas permukaan (lebar) rata-rata 800 meter.
Bagian terpanjang dari sungai ini terletak di daerah Kalimantan Tengah,
sebagian lagi sisanya di Kalimantan Selatan. Muara sungainya seluas hamper
dua kilometer dengan beberapa pulau kecil terdapat didalamnya merupakan
bagian dari wilayah Kalimantan Selatan. Kondisi dan keadaan sungai ini
menyebabkan pengaruh pasang surut air laut tetap terasa kuat jauh sampai
71 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Ass-Terr Laksus
Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, (1971), hlm. 321 : Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil
(Djakarta : Endang, 1958), hlm. 159-162: Amir Fadjar, 1953), hlm. 195. 72 Fudiat Suryadikara, et al., Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu (Jakarta : Pusat pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 7.
didaerah-daerah pedalaman kabupaten Tabalong. Kabupaten ini di Kalimantan
Selatan terletak di daerah bagian utara, berjarak antara 300-400 kilometer dari
ibukota Banjarmasin atau muara Barito. Mengenai daerah sungai Barito ini
periksa pada lampiran A2-A3.
Pengaruh sungai Barito sangat besar terhadap tata lingkungan perairan
lainnya, mulai dari Banjarmasin di selatan hingga daerah Tabalong diutara.
Pengaruh itu berupa kemampuannya memberi keseimbangan terhadap gerak
arus pasang surut pada perairan sungai lainnya, terusan serta danau, dengan
demikian arus air pada tiap perairan yang ada itu tetap terjaga kestabilannya.
Daerah-daerah seperti ini yang kemudian menjadi pusat-pusat permukiman
utama bagi daerah Kalimantan Selatan, dan dibagian lain dilanjutkan dengan
pusat-pusat permukiman didaerah sepanjang pantai.73
Dari Banjarmasin memutar ke kanan melalui sungai Barito sampai di
Marabahan ibukta Barito Kuala, ke kanan lagi bertemu dan menyusuri sungai
Negara, kemudian melewati daerah-daerah kabupaten Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Utara, selanjutnya berbelok ke
kiri memasuki sungai Tabalong hingga akhirnya sampai di Tanjung ibukota
kabupaten Tabalong. Kebalikan dari tute ini bermula dari Banjarmasin
memutar ke kiri melalui Aluh-aluh daerah kabupaten Banjar, ke muara sungai
Barito (muara Mantuil), segera perairan berganti melalui dan menyusuri pantai
melewati tanjung Selatan di kabupaten Tanah Laut, berbelok ke kiri arah ke
timur sampai di Pegatan dan Batu Licin, dari sini kemudian menyeberang
sampai di Tanjung Seloka-pulau Laut, kemudian berakhir di pulau Sabuku,
kabupaten Pulau Laut.74 Semuanya ini merupakan jaringan lalu lintas
transportasi perairan daratan, melalui pusat-pusat permukiman
menghubungkan semua daerah kabupaten di Kalimantan Selatan, membujur
dari utara hingga ke selatan dan berakhir dibagian timur. Dari daerah-daerah
73 Periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op cit, hlm.
181-183. 74 Ibid., hlm. 183.
aliran sungai, danau, dan terusan dipedalaman hingga perairan pantai dan selat-
selat kepulauan di kabupaten Pulau Laut, adalah jaringan lalu lintas transprtasi
perairan itu. Gambaran untuk lebih memperjelas lagi periksa pada peta perairan
Kalimantan Selatan dan lampiran Al-A4.
Mengambil keseluruhan jalur tersebut tadi dengan menggunakan perahu
motor (semacam bis air sekarang ini) misalnya, tidaklah cukup waktu satu atau
dua minggu untuk menempuh jarak ribuan kilometer itu. Kalau memperhatikan
dari lapran hasil perjalanan sepanjang sungai Barito tahun 1947, serta laporan
perjalanan dari Banjarmasin ke Pagatan dan Batu Licin selama bulan
Nopember 1846,75 nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang tepat ditempuh
melalui jalur perairan daratan Kalimantan Selatan sampai tahun 1950-an.
Pada uraian terdahulu disebutkan bahwa perairan di Kalimantan Selatan
sangat besar artinya bagi kehidupan penduduk terutama di bidang komunikasi,
khususnya transportasi. Sungai-sungai utama seperti Barito, Negara,
Martapura, dan Tabalong, kemudian anjir Serapat, Talaran, dan Tamban, serta
perairan pantai dari muara Mantuil sampai selat Laut di kabupaten Pulau Laut,
sejak 1950-1970-an masih terasa penting perannya sebagai jalur lalu lintas
pengangkutan penumpang dan barang. Melalui data pada tabel 5 dapat
diketahui adanya hubungan antara Banjarmasin dengan beberapa daerah
melalui jalur-jalur perairan dan tentang besarnya biaya sekali pengangkutan
untuk penumpang dan barang pada waktu itu.
Tabel 5 Tarif Angkutan Barang dan Penumpang dari Banjarmasin
ke Daerah, 1970
75 Arsip Nasional, Borneo Zuid en Oostkust, tentang Laporan Mengenai Hasil Perjalanan Sepanjang
Sungai Barito 1847, bundel no. 122 ; dan laporan Perjalanan Dari Banjarmasin ke Pagatan 1846,
bundel no. 127.
No. Trayek Ke
Ongkos
Barang Per
Pikul
Ongkos
Penumpang Per
Orang
Keterangan
1 Negara Rp. 75.00 Rp. 100,00 Angkutan
menggunakan
kapal motor
berukuran 1-10
ton.
2 Amuntai Rp. 200,00 Rp. 300,00
3 Tanjung Rp. 300,00 Rp. 400,00
4 Marabahan Rp. 50,00 Rp. 100,00
5 Bati-Bati Rp. 100,00 Rp. 200,00
6 Aluh-Aluh Rp. 75,00 Rp. 100,00
7 Palingkau Rp. 200,00 Rp. 200,00
Sumber; Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan
(Banjarmasin: Ass-Terr Laksus Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971),
hlm. 322.
Ditinjau dari segi perdagangan di sekitar tahun 1960-an perairan di
Kalimantan Selatan merupakan jalur pengangkutan penumpang dan barang ke
pusat-pusat perdagangan seperti ibukota-ibukota kabupaten, dan Banjarmasin.
Begitupun sebaliknya, perairan itu juga merupakan jalur pengedaran barang-
barang import misalnya dari Banjarmasin, atau dari Bandar-bandar pantai
seperti Kota Baru, Pegatan dan Batu Licin ke daerah pedalaman.
Hasil-hasil hutan, pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta barang
kerajinan selalu diangkut melalui jalur perairan daratan, dengan berbagai jenis
dan ukuran sarana angkutan, dari daerah pedalaman ke pusat-pusat keramaian
atau kota Banjarmasin khususnya untuk dipasarkan keluar daerah dan
memenuhi konsumen umumnya. Sarana-sarana angkutan perairan berukuran
antara 10-50 ton, atau lebih besar lagi yang berdaya angkut sampai 200 ton,
dapat mengikuti arus pelayanan didaerah-daerah perairan. Menghilir atau
memudikinya, dan menyusuri pantai atau menyeberangi selat pada dasarnya
dapat dilaksanakan dengan lancar didaerah perairan Kalimantan Selatan.76
76 Laporan Tahunan Inspeksi LLASDP 1975 (Banjarmasin : Kantor Inspeksi II LLASDP Propinsi
Kalimantan Selatan, 1975), hlm. 327-331 ; periksa juga, The Ports Of Makassar, Bandjarmasin And
Hasil-hasil bumi merupakan barang dagangan pokok dari daerah
pedalaman, di samping barang kerajinan tangan (home industry) seperti tikar
purun dan rotan, kajang, serta macam-macam peralatan rumah tangga dari
bahan bakaran tanah maupun logam, yang diangkut dengan sarana-sarana
transportasi perairan masyarakat. Hasil-hasil dari daerah pedalaman ini
terutama diangkut ke Banjarmasin dengan menempuh perjalanan bervariasi
lama waktu tempuhnya. Sebagai gambaran mengenai hasil-hasil daerah
pedalaman yang diangkut ke Banjarmasin melalui jalur perairan selama empat
tahun (1963-1966) dan tahun 1968-1969 sebagaimana terlihat pada tabel 6 dan
7.
Tabel 6
Banjarmasin – Tentang Barang-barang Perdagangan, 1963-1966
Jenis Barang Jumlah Barang dalam Tahun (ton)
1963 1964 1965 1966
Kayu 4.040 1.400 39.070 5.970
Rotan 46.330 179.870 160.000 28.270
Lain-lain (terutama karet) 525.030 273.730 260.000 475.670
Jumlah 576.400 455.000 459.070 509.910
Sumber: The Ports of Makassar, Bandjarmasin and Palembang Republic of
Indonesia (Report by The Port Survey Team Of The United Nations Economic
Commission For Asia And The Far East, 1968), hlm. 36.
Tabel 7
Banjarmasin – Tentang Barang-barang Perdagangan, 1963-1966
No. Jenis Barang Jumlah Barang dalam Tahun
1968 1969
1. Karet 46.546 ton 57.254 ton
2. Kopra 291 ton -
3. Lada Hitam 18 ton -
4. Rotan 4.038 ton 4.417 ton
5. Damar 30 ton 20 ton
6. Tikar Rotan 1.455 kodi -
7. Kulit Reptil 23.405 lembar 26.466 lembar
8. Tikar Purun 10.405 lembar -
Palembang Republik Of Indonesia, (Report by The Port Survey Team Of The United Nations
Economic Commission For Asia And The Far East, 1968), hlm. 34-38.
9. Kayu Hutan 4.436 m3 29.281 m3
Sumber: Seperti Tabel 5, hlm. 99-100
Hasil-hasil daerah pedalaman seperti di atas pada dasarnya merupakan
komoditi eksport, yang setibanya di Banjarmasin segera disalurkan ke luar
daerah, terutama ke Jawa melalui pelabuhan Banjarmasin di sungai Martapura
dan Trisakti di sungai Barito dengan menggunakan sarana-sarana transportasi
laut.77
Serupa dengan soal pengangkutan hasil bumi, bidang perikanan juga
Nampak hubungannya dengan soal transportasi perairan daratan. Dari daerah
kabupaten Banjar hasil perkanan darat berupa ikan basah dan ikan kering
(asin), diangkut ke Banjarmasin melalui sungai Martapura dari Karang Intan,
Astambul, Sungai Tuan, Sungai Batang, dan Sungai Tabuk. Sedangkan dari
Alalak Padang, Jajangkit, dan Aluh-aluh diangkut melalui muara Barito berupa
ikan darat dan ikan laut. Areal perikanan yang digarap oleh penduduk Banjar,
meliputi perairan seluas 94,26 kilometer persegi, dengan hasil rata-rata 5.000-
10.000 ton per tahun.78
Dari daerah kabupaten Pulau Laut terutama yang dihasilkan adalah ikan
laut. Kabupaten ini merupakan daerah penghasil ikan laut terbesar bagi daerah
Kalimantan Selatan, yaitu rata-rata 25.00 ton per tahun, dan menghasilkan
udang ekspor antara 700-800 ton per tahun. Hasil ikan laut di daerah ini
diangkut ke Pagatan, Batu Licin, dan Kota Baru untuk kemudian di teruskan
ke Banjarmasin melalui Selat Laut dan perairan pantai dengan menggunakan
kapal dan perahu layar.79
Tabel 8 Produksi Ikan Basah, 1966-1969
No. Jenis Perairan Luas Areal
(km2)
Hasil Produksi (ton)
1966 1967 1968 1969
77 Ibid., hlm. 34, 35-38, dan 40 ; Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971),
op cit., hlm. 326-328. 78 Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (Martapura : Bappeda Kabupaten Dati II Banjar
1982), hlm. 24 79 “Produksi Ikan Kabupaten Pulau Laut Untuk Tahun 1983 Akan Mengalami Kemerosotan”, harian
Banjarmasin Post, 14 Juli 1983.
1 Rawa 5.560 29.500 23.846 28.448 22.195
2 Danau 1.950 22.000 27.423 24.979 27.420
3 Sungai 2.600 14.500 20.938 13.950 21.470
4 Pantai 5.500 5.000 4.178 3.854 3.960
5 Genangan 2.000 10.271 7.059 5.885 4.955
Jumlah 17.610 81.271 81.441 77.086 80.000
Sumber; Seperti Tabel 5, hlm. 178.
Tabel 9 Produksi Ikan Kering-Asin, 1956-1967
No. Tahun Jumlah dalam kilogram Keterangan
1 1965 1.006.344 Hanya jumlah hasil produksi
yang diantar pulaukan 2 1966 3.459.449
3 1967 3.811.787
Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 180
Kesibukan lalu lintas transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan
yang paling menonjol adalah Banjarmasin, baik kesibukan didalam kta,
maupun kesibukan antar Banjarmasin dengan daerah lainnya. Kesibukan lalu
lintas transportasi perairan antar Banjarmasin dengan daerah pedalaman dapat
diketahui dari rata-rata jumlah barang yang diangkut per bulan melalui jalur
sungai Barito dan anjir Tamban sampai tahun 1970. Daftar pengangkutan
barang rata-rata per bulan melalui ke dua jalur itu dapat dilihat melalui tabel 10
dan 11 sebagaimana berikut.
Tabel 10 Pengangkutan Barang Melalui Sungai Barito, 1970
Banjarmasin ke Pedalaman Pedalaman ke Banjarmasin
Materi Jumlah dalam
ton/bulan Materi/hasil
Jumlah dalam
ton/bulan
Sandang Pangan 2.655 Hutan 7.780
Bahan Bakar 1.024 Perkebunan 3.890
Bangunan 1.324 Pertanian 3.890
Kelontong 265
Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 321
Tabel 11 Pengangkutan Barang Melalui Anjir Tamban, 1970
Banjarmasin ke daerah Tamban Daerah Tamban ke Banjarmasin
Materi Jumlah dalam
ton/bulan Materi/hasil
Jumlah dalam
ton/bulan
Sandang Pangan 2.500 Hutan 900
Bahan Bakar 90 Perkebunan 1.350
Bangunan 300 Pertanian 4.500
Kelontong 450 Perikanan 2.250
Sumber; Seperti Tabel 5, hlm 321-322
Selain kesibukan lalu lintas pengangkutan barang di jalur sungai Barito
dan Anjir Tamban, dapat pula diketahui kepadatan lalu lintas jumlah sarana
transportasi, penumpang dan barang rata-rata perbulan melalui jalur sungai
Martapura dan anjir Serapat pada tahun 1970. Jumlah kepadatan lalu lintas
pada kedua jalur tersebut tercatat sarana transportasi sebanyak 3.358 buah per
bulan, penumpang yang diangkut sebanyak 20.651 orang per bulan, serta
barang yang diangkut sebanyak 5.490 ton dan 3.206 meter kubik perbulan.80
B. Sarana Transportasi Perairan
1. Tentang Jenis, Bentuk, dan Fungsi Sarana Transportasi Perairan
Di daerah Kalimantan Selatan terdapat bermacam-macam sarana
transportasi perairan yang dipergunakan oleh masyarakat untuk keperluan
sehari-hari. Menurut J.J. Ras, jenis perahu lambu yang terkenal dari daerah ini
adalah sering digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan untuk
mengarungi lautan. Perahu pilang dan gurap, disamping galiung, galiut,
pergata, gali, pilau dan kapal merupakan jenis-jenis sarana angkutan perairan
yang terdapat pula di perairan Kalimantan Selatan.81 Bermacam jenis dan
istilah yang ada ini merupakan sarana-sarana transportasi perairan yang banyak
digunakan disekitar abad ke 17, perahu-perahu tersebut sudah tidak dikenal
lagi oleh masyarakat di Kalimantan Selatan sejak kemerdekaan, atau awal ke
20, sebab tidak ada lagi berita menyebutkan jenis-jenis perahu tadi, begitupun
didalam realitanya sekarang ini.82
80 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op cit., hlm. 323-324 81 J.J. Ras, Hikajat Bandjar, A. Study in Malay Historiography (Den Haag : The Hague, Martinus
Nijhoff, 1968) hlm. 228, 252, dan 292 ; Sarton Kartodirdjo, et al. (ed.), Sejarah Nasional, jilid III
(Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 23. 82 Bandingkan dengan Amir Hasan Kiai Bondan, op cit., hlm. 100.
Pada masa itu atau sekitar tahun 1940 an, jenis perahu yang masih dikenal
adalah pangkuh, bagawis, pancalang, perahan, dan tambangan. Menurut
catatan Amir Hasan Kiai Bondan, pada tahun 1940 harga sebuah tambangan
sekitar 150 gulden dan perahu parahan ukuran sedang 250 gulden, sedangkan
yang lebih besar lagi seharga 500 gulden per buah.83 Berita lebih muda lagi
adalah dari Tjilik Riwut sekitar tahun 1950-1960 an, menyebutkan beberapa
jenis sarana transportasi di daerah Kalimantan Selatan yaitu, rangkan, patai,
gondola, penes, sudur, dan tambangan. Disebutkan pula bahwa pada masa
perkembangannya kemudian perahu-perahu masyarakat didaerah ini
dimodifikasi karena mulai adanya pemasangan mesin (motor) untuk
menjalankan perahu.84 Diantara perahu-perahu ini yang kemudian dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan stempel, kapal, speed, dan klotok.
Melihat bentuk, ukuran, dan fungsinya maka jenis sarana pengangkutan
perairan yang lajim disebut jukung oleh masyarakat di daerah Kalimantan
Selatan adalah yang paling banyak macamnya. Beberapa macam jukung yang
terpenting adalah tambangan, merupakan perahu yang oleh pemiliknya
digunakan untuk mencari nafkah kehidupan dengan memberi jasa angkutan
bagi penumpang. Cara kerjanya serupa mobil taxi atau penarik beca.
Tambangan merupakan sarana transportasi dalam kota atau antar kampung
khusus untuk penumpang.85
Sebuah tambangan yang dioperasikan biasanya dijalankan (dikayuh) oleh
dua orang, seorang diburitan merangkap kemudian seorang lainnya di haluan.
Jukung yang digunakan untuk tambangan mempunyai ukuran rata-rata panjang
4 meter, lebar dan tinggi badan hamper satu meter, berkapasitas sekitar 8 orang
penumpang. Agar penumpang tidak kepanasan dan kehujanan dibuatkan atas
sepanjang yang merupakan tempat para penumpang atau jukung. Badan
tambangan umumnya terbuat dari kayu ulin beratap kajang, sedangkan
83 Ibid. 84 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958), op cit., hlm. 159-160.
85 Lihat juga Artum Artha, Beberapa Masalah Kebudayaan Banjar (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1974), hlm. 107.
lantainya terbuat dari susunan bilah bambau atau papan yang kemudian dilapisi
dengan tikar purun. Contoh dari sedikit tambangan yang masih bisa terlihat
saat ini periksa pada lampiran B2.
Selain tambangan, menurut catatan Tjilik Riwut di sekitar tahun 1950 an,
masyarakat menggunakan jenis jukung yang disebut gondol untuk keperluan
berdagang. Bentuk dan ukuran gondol serupa tambangan, tetapi lebih besar,
beratap dan berkamar yang diisi dengan berbagai barang dagangan, terutama
barang kelontong. Pemilik gondola ketika itu termasuk golongan pedagang
menengah di kalangan masyarakat.86 Pedagang kecil yang biasa disebut
penjaja, cukup menggunakan jukung seukuran tambangan, tanpa atap
pelindung atau hanya sedikit di bagian buritan. Mengenai jukung penjaja ini
periksa misalnya pada lampiran B3, C3, dan C7.
Rangkan, salah satu jenis jukung yang digunakan di daerah riam, pehuluan
sungai. Bentuk dan ukurannya sebagai sarana pengangkutan perairan paling
sederhana, ramping, dan kecil dibandingkan dengan rata-rata jenis jukung
lainnya. Rangkan dijalankan dengan menggunakan galah, berkapasitas muatan
sekitar empat orang. Jenis ini biasa digunakan untuk berburu, mencari emas,
mencari hasil hutan seperti rotan, getah jelatung, dammar dan sebagainya.87
Hampir serupa rangkan adalah sudur, ukuran panjangnya sekitar tiga meter,
dijalankan dengan menggunakan pengayuh. Sudur merupakan sarana
transportasi yang digunakan oleh masyarakat untuk didaerah rawa (danau),
mencari ikan, urusan tani, dan berkebun.
Jenis jukung yang mempunyai tujuan serupa tambangan sebagai sarana
jasa angkutan adalah getek. Ukuran getek tidak sepanjang tambangan, agak
tambun, berfungsi mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai.
Getek banyak terdapat di daerah sungai-sungai yang cukup lebar, didalam kota
86 Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958), loc.cit. 87 “Bagarit Minajangan Tradisional”, majalah tak berkala Bandarmasih, no. 2 (Banjarbaru:
Museum Negeri Lambung Mengkurat, 1983), hlm. 56; Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil (1958),
loc.cit.
atau kampung-kampung di luar kota sepanjang tepian sungai. Sekitar 15-20
tahun yang lalu getek masih sangat penting bagi masyarakat untuk menghemat
tenaga dan waktu, daripada harus berjalan kaki atau bersepeda berkeliling
melalui jembatan. Sekitar tahun 1970 ke atas, getek bersama tambangan
mengalami stagnasi sebagai jenis sarana transportasi perairan untuk jasa
angkutan umum akibat semakin meningkatnya pembangunan dan
perkembangan disektor transportasi darat.
Jukung tiung, singkatnya disebut tiung, merupakan jenis sarana
transportasi perairan yang bentuknya serupa jukung biasa, tetapi ukurannya
relative besar. Tiung umumnya mempunyai panjang 10-15 meter, tinggi serta
lebar lambung kira-kira tiga meter, berkapasitas muatan sekitar 20 ton atau 100
meter kubik barang. Tiung berfungsi sebagai sarana transportasi masyarakat
terutama untuk angkutan bahan bangunan (material) seperti tanah, pasir, krikil,
bata, papan, kajang, batu, dan sirap; hasil hutan seperti kayu, rotan, dan karet.
Tiung dijalankan bervariasi antara dengan galah dan pengayuh. Bentuk
badannya yang besar menyebabkan galah yang dipakai sebagai alat penggerak
cukup panjang terbuat dari bamboo sepanjang kira-kira tujuh meter, demikian
pula pengayuh panjangnya sekitar tiga meter yang diikat bagian tengahnya
pada bibir lambung. Dalam keadaan kosong, atau tidak banyak muatan, sebuah
tiung sedikitnya dijalankan oleh tiga orang, dan bila dalam keadaan sarat
muatan dijalankan oleh sekitar lima orang. Contoh jukung tiung ini silahkan
periksa pada lampiran B3.
Sekali waktu dalam keadaan tertentu, misalnya ketika arus air agak kuat,
tampak pemandangan satu sampai dua buah tiung digerakan oleh sebuah kapal
dengan cara menggandengkannya. Terkadang gandengan ini diikuti pula oleh
beberapa buah jukung, membentuk sebuah rangkaian panjang yang bergerak
secara perlahan berusaha memudiki sungai.88 Mengenai sarana-sarana
88 Bandingkan juga tentang kebiasaan masyarakat didaerah Kalimantan Selatan dalam soal
menggandeng-gendengkan perahunya dengan perahu bermotor pada Artum Artha (1974), loc. cit.
; “Berenteng”, harian Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.
transportasi yang saling menggandeng ini silahkan periksa misalnya pada
lampiran B4, C7 dan C8.
Alat angkutan perairan lainnya yang sering pula terlihat di jalur-jalur
perairan Kalimantan Selatan adalah tongkang. Jenis sarana angkutan ini
mempunyai fungsi serupa tiung, namun ukuran dan kapasitas muatan lebih
besar. Berbeda dari tiung, tongkang seperti juga yang ada di daerah lainnya di
Indonesia, sangat umum hanya dapat dijalankan diatas perairan dengan kapal
sebagai penarik atau penggeraknya.
Umumnya sarana-sarana transportasi perairan tersebut terdahulu
merupakan jenis-jenis yang sudah ada dan digunakan oleh masyarakat sejak
sebelum tahun 1950. Beberapa jenis sarana transportasi perairan di Kalimantan
Selatan yang muncul antara tahun 1950-1970, misalnya klotok. Klotok
diperkirakan mulai muncul pada tahun 1960-an, merupakan jenis sarana
transportasi perairan yang serba guna, karena itu klotok sangat popular bagi
masyarakat di Kalimantan Selatan, menggantikan popularitas tambangan pada
tempo sebelumnya. Jenis ini mempunyai aneka fungsi, sesuai kebutuhan dan
kegiatan yang dikehendaki oleh pemiliknya. Artinya, ada klotok khusus untuk
jasa angkutan penumpang, klotok untuk barang, berdagang, nelayan dan
sebagainya.
Pada awal perkembangannya klotok hamper tidak ada bedanya dengan
bentuk jukung biasa, hanya saja untuk menjalankannya telah menggunakan
motor (diesel) berkekuatan antara 2-10 PK. Jadi kl tok waktu itu hanya
semacam jukung yang ditambah dengan motor untuk menjalankannya.89
Dalam tempo cukup singkat pada perkembangan selanjutnya klotok tidak lagi
dari semacam jukung dengan tambahan papa pada kedua sisi lambungnya dan
menggunakan motor. Hanya dalam beberapa tahun klotok kemudian dibuat
dari sebuah kerangka yang terdiri dari sebatang lunas, linggi, dan beberapa
89 Bandingkan Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 162 ; Wawancara dengan A. Kaderi di Barabai,
tanggal 3 September 1983 ; wawancara dengan Imuk di Kandangan, 3 September 2983 ;
Wawancara dengan M. Anang di Banjarmasin, 10 Agustus 1983
gading, lalu ditutup dengan papan. Klotok pada perkembangan ini sudah
semacam bentuk perahu papan, berbeda dari jukung yang merupakan perahu
lesung.90 Melalui cara ini klotok telah mengalami perubahan (modifikasi) dari
bentuk asal jukung.
Klotok yang masih mempertahankan bentuk lama biasanya digunakan atau
masih terlihat seperti untuk menjajakan minyak tanah, minyak kelapa, beras
dan ikan. Klotok yang digunakan untuk keperluan ini tanpa menggunakan atap,
kecuali sedikit dibagian buritan. Keadaannya masih tidak berubah dan tanpa
badan yang dicat warna warni seperti pada klotok bentuk perahu papan. Jenis
klotok berupa perahu papan yang semakin berkembang menjalang tahun 1970
an ini beratap penuh dan berdinding, dicat dengan aneka warna, dan lajimnya
untuk sarana jasa angkutan penumpang. Gambar-gambar tentang jenis klotok
dapat dilihat misalnya pada lampiran B5, B6, B8 dan C9.
Jenis klotok, terutama yang tersebut terakhir, segera dapat menggantikan
kedudukan jenis sarana transportasi pendahulunya, yaitu yang dinamakan
stempel. Berbeda dari klotok, jenis stempel bentuknya lebih ramping dengan
haluan runcing, dan kedudukan lunasnya membentuk sudut kemiringan sekitar
45 derajat. Stempel menggunakan motor-motor berdaya antara 25-50 PK,
biasanya dari merk Johnson, Yanmar, dan Kubota. Stempel merupakan jenis
sarana transportasi untuk penumpang yang sejak tahun 1950-an sudah dikenal
dan dipergunakan disamping pada jalur perairan sungai, terusan, dan melintasi
danau juga digunakan di daerah perairan pantai terutama di sekitar Pegatan,
Batu Licin dan Kota Baru.
Setiap motor yang digunakan untuk stempel mempunyai stang kemudi,
keadaan ini berbeda dari klotok yang menghubungkan kemudi dengan sebilah
kayu atau bamboo ditempatkan pada sisi sebeleh kanan lambung. Stempel
beratap penuh dan berdinding, dibagian dalam untuk penumpang diberi lantai
dari papan yang tertutup tikar. Sampai tahun 1960-an jenis ini sempat sangat
90 Lihat SArtono Kartiodirdjo, et al., (ed.) , op.cit., hlm. 11.
dominan untuk urusan pengangkutan penumpang terutama untuk jarak antar
kota,91 Meskipun masih mampu bertahan keadaannya saat ini sudah semakin
terdesak, di samping oleh karena kehadiran klotok. Contoh bentuk stempel
yang masih bisa terlihat sekarang ini periksa pada lampiran B8.
Sebenarnya jenis motor dengan stang seperti pada stempel adalah
dirancang untuk jenis speed boat. Masyarakat di daerah Kalimantan Selatan
rupanya telah menggunakan kesempatan adanya motor-motor semacam itu
untuk tujuan komersial dengan membuat jenis lain yang kemudian dikenal
sebagai stempel. Speed boat merupakan salah satu jenis sarana transportasi
perairan yang oleh masyarakat setempat secara singkat disebut speed. Sejak
tahun 1950 sudah terdapat jenis ini diperairan Kalimantan Selatan, namun
ketika itu speed lebih bersifat rekreatif milik dari orang-orang kaya dan
perusahaan, di samping milik instansi-instansi pemerintah maupun swasta
untuk kepentingan dinas. Speed untuk tujuan komersial justeru baru
berkembang sesudah 1970.
Sebelumnya motor-motor speed yang didatangkan ke Banjarmasin.
Misalnya oleh NV Waspada agen motor-motor sarana transportasi air tahun
1950-an di Banjarmasin digunakan oleh masyarakat setempat untuk stempel.
Baru seteleh motor-motor untuk speed model terabru seperti dari merk
Mencury dan Yamaha didatangkan, masyarakat mulai mengembangkan
pembuatan badan-badan speed. Jika speed diawal perkembangannya dan
stempel menggunakan motor ber stang sehingga dapat dikemudikan cukup
oleh satu orang, maka tidak demikian lagi untuk speed jenis baru dan
komersial. Kemudi yang ada serupa pada kemudi mobil dan berada di bagian
depan, itu sebabnya speed yang telah dikembangkan untuk tujuan komersial
ini minimum mempunyai dua awak. Seorang sebagai motoris berada di
buritan, seorang lagi sebagai pengemudi. Motor-motor yang digunakan
bertenaga lebih besar antara 85-125 PK. Speed bentuknya agak melebar
dengan panjang badan sekitar lima meter, dan lebarnya dua meter, Speed ini
91 Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 59
berkapasitas muatan penumpang sama dengan klotok yaitu maksimum untuk
16 orang, lebih kecil dibandingkan muatan stempel yaitu sekitar 20-25 orang.
Selain jenis-jenis itu sebelumnya masyarakat di Kalimantan Selatan
mengenal pula jenis sarana transportasi perairan menggunakan motor yang
disebut kapal atau kapal banyu. Dilihat dari segi bentuk, ukuran dan motor
yang digunakan pada jenis yang disebut kapal oleh masyarakat setempat adalah
relative lebih besar dibandingkan misalnya dengan klotok dan stempel. Kapal
yang banyak dioperasikan sebagai sarana transportasi perairan daratan oleh
masyarakat, berukuran umumnya panjang badan minimal 20 meter, lebar
sekitar 4 meter, dan tinggi badan (lambung) sekitar 3 meter.
Kapasitas muatan untuk penumpang bisa lebih dari 100 orang, atau
mengangkut barang antara 20-25 ton. Mesin yang biasa digunakan sejak tahun
1950 berupa diesel, berkekuatan antara 85-150 PK dengan merk seperti
Yanmar, Deuzt, dan Carterpillar. Kapal merupakan sarana transportasi antar
kota dan daerah di Kalimantan Selatan serta sampai ke daerah Kalimantan
Tengah. Kegiatan kapal ada yang khusus mengangkut penumpang, barang atau
keduanya, serta nelayan pantai. Contoh jenis kapal silahkan periksa misalnya
pada lampiran B1, C1 dan C3.
Melengkapi masalah kegiatan dan sarana transportasi perairan yang
terdapat di daerah Kalimantan Selatan adalah jenis rakit. Jenis rakit sampai
tahun 1970 masih sering terlihat menyibukan diri dalam arus lalu lintas
diperairan Kalimantan Selatan. Jenis rakit di daerah ini ada dua macam.
Pertama, terbuat dari batang-batang bambu, terutama berasal dari desa-desa
terpencil dihulu sungai. Sebuah rakit berukuran sedang panjang sekitar 15
meter dan lebar 3-4 meter, mampu mengangkut 5-10 pikul barang. Rakit
bambu biasanya untuk membawa barang-barang berupa hasil hutan seperti
rotan dan damar, perkebunan berupa buah-buahan, serta kerajinan tangan dari
bambu, rotan, dan tanah.
Rakit dating dari daerah-daerah hulu sungai dengan tanpa menggunakan
alat penggerak, kecuali sangat bergantung untuk mengikuti arus air menghilir
menuju ke daerah-daerah pusat keramaian seperti Banjarmasin dan ibukota-
ibukota kabupaten. Setibanya ditempat tujuan rakit beserta barang bawaan
semua dijual. Perjalanan sebuah rakit misalnya dari desa Loksado ke
Kandangan ibukota kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berjarak sekitar 30
kilometer ditempuh selama dua hari.92 Contoh rakit bambu sangat sederhana
dapat dilihat pada lampiran C1.
Jenis kedua dalah rakit dari kayu gelondongan, berasal dari daerah
pedalaman Hulu Sungai dan Kalimantan Tengah. Rakit kayu pada dasarnya
mengutamakan tujuan menjual kayu gelondongan yang dijadikan rakit itu.
Kayu-kayu yang dijual untuk memenuhi kebutuhan wantilan, industri sarana
transportasi perairan, dan lanting (rumah terapung). Tidak jarang rakit juga
memuat barang-barang untuk kebutuhan pasar seperti yang dilakukan pada
rakit bambu. Rakit kayu tersusun melebar 3-4 batang kayu yang masing-
masing berdiameter minimal satu meter, panjang 5-10 meter. Sebuah rakit bisa
terdiri dari 10 batang kayu.
2. Tentang Industri Sarana Transportasi Perairan yang Tradisional
Sejak tahun 1951 diselenggarakan pekerjaan industry sarana transportasi
secara modern di Indonesia, terutama oleh perusahaan-perusahaan Belanda.
Pada tahun 1957 seluruh perusahaan Belanda dinasionalisir, demikian juga
semua industry sarana transportasi kemudian sepenuhnya dikuasai dan
dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.93 Di Indonesia sejak jaman bahari
sebenarnya sudah terdapat industry sarana transportasi perairan, dan masih
berlangsung hingga sekarang yang kemudian dikenal sebagai pertukangan
perahu rakyat atau industry sarana transportasi perairan tradisional. Jadi sejak
tahun 1950-an itu hingga saat ini di Indonesia terdapat dualism tentang
92 Bandingkan dengan “Tukang Rakit Jual Jasa Jual Sarana,” harian Kompas, 13 Mei 1983. 93Kapal Indonesia (Djakarta : Direktorat Djenderal Produksi dan Djasa Maritim Departemen
Perhubungan, 1969), hlm. 10-12.
industry sarana transportasi perairan, yaitu yang menyangkut industry sarana
transportasi perairan tradisional dan industry sarana transportasi perairan
modern.94
Sejalan dengan pengertian diatas maka yang dimaksud industry sarana
transprtasi perairan disini adalah usaha-usaha produksi yang diselenggarakan
oleh masyarakat di Kalimantan Selatan, khususnya untuk memenuhi
kebutuhan transportasi perairan. Jadi dalam hubungan ini adalah industry
masyarakat yang menghasilkan berbagai jenis sarana transportasi perairan dan
dikerjakan secara teknologi tradisional.95 Industri sarana transportasi perairan
oleh masyarakat di Kalimantan Selatan ini umumnya bukan merupakan suatu
perusahaan yang berbentuk badan hukum. Biasanya hanya bentuk usaha yang
terdiri atas kelompok-kelompok kepala tukang yang memproduksi sarana-
sarana transportasi perairan, disuatu tempat seperti ditepi-tepi dan muara-
muara sungai.96 Industri rakyat ini pada hakekatnya bergerak di bidang
pembuatan badan-badan sarana transportasi perairan secara tradisional, turun
temurun kurang pada perubahan. Sampai tahun 1970, berbagai jenis sarana
transportasi perairan masih dibuat dari kayu sebagai bahan utamanya serta
ukuran kapasitas muata umumnya relative kecil dibandingkan sarana-sarana
transportasi laut (antar-pula).
Pada tahun 1969 di Kalimantan Selatan terdapat sekitar 200 buah usaha
penggergajian kayu ulin dan ratusan lagi usaha penggergajian beraneka jenis
kayu.97 Meskipun wantilan, sebutan masyarakat setempat untuk usaha
penggergajian kayu, sebagian besar hasilnya untuk memenuhi kebutuhan
material bangunan seperti gedung-gedung dan rumah-rumah, namun sebagian
lagi dapat dipastikan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan sarana-sarana
94 Ibid., hlm. 11 95 Bandingkan H.W. Dick, “Prahu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin of
Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 86 Tentang industry sarana transportasi perairan
disini belum dapat menggambarkannya secara kuantitatif, akibat sampai sejauh ini belum berhasil
mendapatkan data yang memungkinkan untuk itu. 96 Bandingkan dengan Kapal Indonesia (1969), op cit., hlm. 13 dan 153. 97 Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit, hlm. 196.
transportasi perairan. Sebabnya ialah sebagian besar jenis sarana transportasi
perairan, kecuali jukung dibuat oleh masyarakat (pengusaha) dalam bentuk
perahu papan. Usaha-usaha pembuatan perahu papan biasanya sukup
menerima bahan yang sudah berujud papan dari usaha-usaha wantilan. Dalam
hubungan ini karena tidak sembarang papan yang digunakan untuk
pembuatan sarana-sarana transportasi perairan maka tentunya jenis kayu
menjadi patokan. Singkatnya ratusan usaha wantilan yang ada didaerah ini
merupakan penunjang bagi industry sarana-sarana transportasi perairan
masyarakat.98
Melalui data yang bisa diketahui, sampai tahun 1969 di Kalimantan Selatan
terdapat 9 buah usaha (industry) rakyat yang memproduksi sarana-sarana
transportasi perairan berupa kapal. Seluruhnya berkapasitas rata-rata per
tahun yang bisa dihasilkan 32 buah kapal. Tidak tercatat disini berapa jumlah
usaha pembuatan jenis seperti jukung, tiung, klotok, stempel, atau speed. Pada
tahun yang sama hanya diketahui di Kalimantan Selatan terdapat 9 buah usaha
perbengkelan sarana transportasi perairan daratan untuk jenis kapal dan
tongkang.99
Industri rakyat yang bergerak di bidang produksi sarana transportasi
perairan di Kalimantan Selatan pada dasarnya tidak lepas dari adanya ikatan
kekerabatan seperti klan. Sebagai satu kesatuan kelompok biasanya
memegang dalam suatu pertukangan serta pemasaran hasil produksinya.100
Sebagaimana usaha-usaha pencari intan dan pengolahan batu-batu permata
merupakan usaha-usaha kelompok keluarga yang kemudian berkembang pada
suatu masyarakat dari daerah Martapura. Usaha-usaha pengolahan kulit dan
98 Lihat juga H.W. Dick, Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), op.cit., hlm.
39 99 Mengenai data ini periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan
(1971), op.cit., hlm. 198. Dalam jangka waktu sekitar 10 tahun kemudian terdapat kapal pada
tahun 1979. Data ini silahkan periksa Pekan Kontak Tani Nelayan IV di Barabai (Martapura : Kantor
Departemen Penerangan Kabupaten Banjar, 1978), hlm. 58. 100 Bandingkan Sartono Kartodirdj, (ed.), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial
(Jakarta : Bharatara Karya Aksara, 1977), hlm.2.
pertukangan sepatu yang dikuasai oleh keluarga-keluarga masyarakat dari
daerah Amuntai, maka begitu pula dengan usaha pembuatan sarana-sarana
transportasi perairan daratan di daerah Kalimantan Selatan.
Beberapa penulis tentang daerah Kalimantan Selatan seperti Amir Hasan
Kiai Bondan, Idwar Saleh, Tjilik Riwut, dan Artum Artha selalu menyebutkan
tentang kelompok-kelompok keluarga berasal dari masyarakat daerah Negara
adalah yang ahli dan menguasai usaha-usaha pembuatan sarana-sarana
transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Sebuah usaha pembuatan
sarana-sarana transposrtasi perairan biasanya milik suatu keluarga atau
seorang kepala tukang bekerja sama dengan beberapa tukang lainnya berasal
dari kaum kerabatnya sendiri. Mereka yang bekerja sama dalam suatu usaha
ini kebiasaannya relative sebagai ahli pertukangan yang mampu membuat
sarana transportasi perairan.101 Keahlian pertukangan di bidang ini selalu
diwariskan turun temurun, oleh karena itu hanya dimiliki dan dikuasai oleh
keluarga-keluarga tertentu saja, bahkan berkembang dalam suatu masyarakat
dan daerah tertentu. Diantara daerah dan masyarakatnya terkenal dalam usaha
industry sarana transportasi perairan adalah Negara, Kuwin, Maragasai,
Basirih, dan Alalak. Kecuali Alalak, usaha-usaha pada daerah-daerah tersebut
terdahulu kebanyakan berasal dari keluarga-keluarga masyarakat Negara.
Keluarga-keluarga pada masyarakat di Kuwin dan Besirih kebanyakan
yang diproduksi adalah jenis badan-badan speed menjelang tahun 1970-an.
Beberapa waktu sebelumnya di Kuwin terdapat keluarga-keluarga yang
bergerak memproduksi bangunan-bangunan kapal, bahkan untuk kapal laut.
Sebaliknya di Besirih di sekitar tahun 1970-an itu tumbuh industry rakyat
yang membuat kapal, hal ini lebih dimungkinkan oleh keadaan lokasinya yang
terbuka antara pertemuan sungai Martapura dan muara Barito, sedangkan di
Kuwin populasi semakin padat, serta tidak lagi merupakan daerah pinggiran
101 LIhat dan bandingkan dengan H.W. Dick, Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2
(1975), op. cit., hlm. 86 ; Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 153.
kota Banjarmasin seperti pada waktu-waktu sebelumnya. Selain itu di Besirih
juga terdapat usaha yang memproduksi jenis tongkang, dan stempel.
Daerah tang banyak memproduksi sarana-sarana transportasi perairan yang
tradisional adalah Negara dan Margasari. Kedua daerah ini merupakan
produsen utama yang menghasilkan berbagai jenis jukung, untuk kawasan
Kalimantan Selatan, di samping jenis klotok. Daerah lain yang terdapat
keluarga-keluarga pembuat jukung adalah Alalak, terutama dalam usaha
memproduksi jenis tiung daerah ini sebagai penghasil utama. Pembuatan jenis
jukung untuk nelayan terdapat pula usaha-usaha pembuatannya di daerah
Jorong, Tabanio, Pegatan dan Batu Licin, terutama dibuat dari bahan kayu
ulin. Kebanyakan hasil sarana transportasi perairan yang dibuat dari daerah
dipasarkan ke Banjarmasin dan Marabahan, sebagian lagi untuk daerah-
daerah ibukota kabupaten.
Melihat sarana-sarana transportasi perairan yang dihasilkan oleh industry
rakyat di Kalimantan Selatan maka dapat dibedakan: 1) Industri yang
menghasilkan bentuk-bentuk berupa perahu lesung, dan 2) industry yang
menghasilkan bentuk-bentuk perahu papan.102 Yang pertama menghasilkan
sarana-sarana transportasi perairan terbuat dari sekatang kayu yang dikeruk
bagian dalamnya seperti lesung dalam bentuk memanjang. Industry rakyat
yang membuat adalah yang menghasilkan berbagai jenis jukung, merupakan
industry yang semata-mata bersandar pada modal sumber daya alam berupa
hutan, serta tenaga. Usaha pembuatan jukung oleh masyarakat di Kalimantan
Selatan tersebar di berbagai tempat di kabupaten-kabupaten.
Pembuatan berupa perahu papan berasal dari sebuah kerangka yang terdiri
dari lunas, linggi, dan gading-gading yang kemudian ditutup dengan papan.103
Industri rakyat yang menghasilkan perahu papan mempunyai berbagai variasi
102 Lihat dan bandingkan Sartono Kartodirdjo, et al., (ed.), Sejarah Nasional, jilid III (1975),
op, cit., hlm. 23; Tjilik Riwut (1958), op.cit., hlm. 159. 103 Periksa juga Asetya Jaka Munantha, “Membuat Sampan Kayu,” majalah Mutiara, no. 334,
Nopember-Desember 1984
berupa kapal, klotok, stempel, dan speed. Usaha pengolahan sarana-sarana
transportasi perairan untuk membuat ukuran dengan kapasitas muatan yang
lebih besar tidaklah terbatas, seperti pada perahu lesung. Kerangka perahu
papan biasanya dibuat dari sebatang lunas kayu yang kemudian dihubungkan
dengan sebatang linggi haluan berkedudukan mencuat ke atas membentuk
sudut antara 45-60 derajat, demikian pula untuk linggi buritan, yang demikian
ini umumnya untuk membuat tiung. Sedangkan untuk membuat jenis kapal,
klotok, stempel maupun speed, dibagian buritan biasanya dihubungkan
dengan dua buah linggi, atau hanya berupa kelanjutan dari gading-gading
bagian terakhir yang ditutup dengan papan.
Baik perahu lesung maupun perahu papan yang diproduksi oleh industry-
industri masyarakat daerah Kalimantan Selatan, dikerjakan secara tradisional,
artinya dibuat pada dasarnya tanpa ukuran dan gambar-gambar rencana yang
pasti.104 Hasil-hasilnya telah dikerjakan secara sangat sederhana dengan
menggunakan peralatan yang sederhana pula, tidak ada perubahan dari yang
digunakan sejak sebelum tahun 1950, yaitu berupa palu, pahat, gergaji,
cangkul kayu, bor tangan, dan ketam. Perubahan peralatan inipun kebanyak
merupakan hasil produksi dari masyarakat di daerah Negara.105 Meskipun
nampaknya dikerjakan secara naluriah, namun hasilnya sebagai sarana
transportasi untuk daerah perairan di Kalimantan Selatan terbukti sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Sarana-sarana transportasi yang dihasilkan
mampu dioperasikan dan untuk mengangkut barang, penumpang, dan
berbagai kegiatan lainnya.
Kecuali tiung, bentuk perahu papan lainnya antara tahun 1950-1970,
merupakan sarana transportasi perairan dengan menggunakan motor sebagai
tenaga penggeraknya. Pemasangan motor pada sarana-sarana transportasi
yang dihasilkan oleh masyarakat itu bukan halangan dan hal yang sukar,
104 Bandingkan dengan Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 10-12 dan 153; H.W. Dick,
Bulletin Of Indonesia Economic Studies, no. 2 (1975), loc.cit. 105 Amir Hasan Kiai Bondan (1953), op. cit., hlm. 99-105; Tjilik Riwut (1958), op. cit., hlm. 60
meskipun pembuatannya berteknologi tradisional. Kenyataan ini terbukti
dengan telah banyaknya sarana-sarana transportasi perairan yang telah dibuat
dan dioperasikan hilir mudik di perairan-perairan Kalimantan Selatan dengan
menggunakan motor.
Melihat kenyataan bahwa antara tahun 1950-1970 sudah digunakan motor,
maka sebenarnya kurang tepat untuk mengatakan hasil-hasil produksi rakyat
itu sebagai sarana transportasi perairan tradisional semata-mata. Istilah
tradisional dikenakan karena pembuatan seperti tanpa mempergunakan
peralatan mekanik, dan bahan-bahan sarana transportasi perairan itu dari
bahan kayu.106
Membuat sarana transportasi berupa jukung rata-rata dapat diselesaikan
selama setengah bulan perbuah, dikerjakan sedikitnya oleh tiga orang tukang.
Jenis sarana transportasi seperti tiung, klotok, stempel, dan speed dibutuhkan
lama waktu pembuatannya sekitar satu bulan, dikerjakan oleh sekitar lima
orang tukang. Pada prinsipnya cara pembuatan masing-masing jenis ini tidak
jauh berbeda, hanya saja untuk bentuk klotok, stempel, dan speed perlu
ditambahkan mesin yang kedudukannya ditempatkan dibagian buritan.
Pembuatan sebuah kapal sampai waktu menurunkan ke air memerlukan
waktu sekitar empat bulan, dikerjakan oleh sekitar sepuluh tukang. Sebuah
kapal berukuran sedang dengan panjang 40 meter, lebar 4 meter serta tinggi
lambung 3 meter, membutuhkan sekitar 200 meter kubik kayu untuk
membuatnya.107 Di samping kapal, jenis perahu papan lainnya pada dasarnya
tidak dapat dibuat secara massa produksi lalu dijual ke pasaran, sebab industry
sarana transportasi perairan yang menghasilkan jenis ini biasanya atas dasar
pesanan (requirement) karena itu mempunyai sifat berbeda dari usaha
produksi lainnya.108 Mengenai sebagian daerah penghasil sarana transportasi
106 Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 153 ; H.W. Dick, loc. cit. 107 “Tiga Orang Petugas LLASDP Kapuas Dimintai Keterangannya Sebagai Saksi Ahli”, harian
Banjarmasin Post, 1 September 1983; “Pembuatan Perahu Merusak Kelestarian Hutan Setempat”,
harian Kompas, 1 Maret 1983. 108 Kapal Indonesia (1969), op.cit., hlm. 10
perairan rakyat di Kalimantan Selatan ini periksa pada lampiran A3, B3, B5
dan B7.
C. Efektivitas dan Efisiensi Transportasi Perairan Bagi Kehidupan
Masyarakat
Faktor alam sangat besar pengaruhnya terhadap masalah transportasi
perairan di Kalimantan Selatan. Perairan di daerah ini mengakibatkan daratan
menjadi tersekat-sekat, tetapi disisi lain perairan justeru sangat efektif dalam
menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya dengan menggunakan
sarana-sarana transportasi perairan. Kebanyakan kampung, desa, dan kota
terletak di sepanjang jalur-jalur perairan. Sarana-sarana transportasinya dengan
berbagai jenis dan fungsinya dibuat sendiri oleh masyarakat, maka tidak ada
lagi tempat-tempat yang terisolir di daerah Kalimantan Selatan. Sekitar tahun
1958, Tjilik Riwut mengemukakan bahwa perairan di daerah ini merupakan
karunia alam yang besar artinya dan telah tersedia, dimaksudkan nya lebih
jauh, bahwa dengan telah tersedianya jalur-jalur perairan seperti di Kalimantan
Selatan, maka masalah perhubungan dan pengangkutan telah terpenuhi.
Pemanfaatan jalur-jalur perairan lebih efisien daripada membangun jalur-jalur
darat. Banyak jembatan harus dibangun, yang tidak mudah melaksanakannya
dengan keadaan daerah seperti Kalimantan Selatan. Demikian pula akibatnya
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.109
Sarana-sarana transportasi untuk perairan dapat dibuat sendiri dari kayu-
kayu hutan yang tersedia lebih dari cukup, demikian juga jalur-jalur perairan.
Disamping yang alami dibuat pula jalur-jalur yang berupa terusan, semuanya
untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut Amir Hasan Kiai
Bondan bahwa antara tahun 1924-1927 telah dibuat ratusan handil (terusan)
oleh masyarakat yang panjangnya masing-masing sampai puluhan kilometer
seperti di daerah Kalayan, Pamurus, dan Aluh-aluh. Mengenai keadaan
109 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, 1979), hlm. 26-30
; Periksa juga Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op. cit., hlm. 321.
beberapa sungai dan anjir utama di Kalimantan Selatan dapat diketahui melalui
tabel 12 dan 13 berikut ini.
Tabel 12 Keadaan Sungai Di Kalimantan Selatan (1980)
Sungai
Panjang (km) Lebar
(m)
Kedalaman
(m) Seluruhnya Dapat
dilayari
Barito 950 780 650 8
Martapura 80 45 150 4
Negara 127 125 150 5
Kusan 80 40 40 4
Batu Licin 70 45 90 3
Satui 49 35 50 4
Tabalong 60 42 45 3
Balangan 50 40 40 3
1.416 1.147
Catatan; Seluruh angka diperhitungkan rata-rata/dibulatkan
Sumber; Data Kalimantan Selatan: Pelita I s/d III (Banjarmasin: Bappeda
Propinsi Daerah Tingkat I Kal-Sel, 1982), hlm. 328
Tabel 13 Keadaan Anjir di Kalimantan Selatan (1980)
Anjir Panjang
(km)
Lebar
(m)
Kedalaman
(m)
Tahun
Pembuatan
Serapat 28 35 3 1890
Tamban 35 25 3 1935
Talaran 20 20 2 1958
83
Catatan; Seluruh angka diperhitungkan rata-rata/dibulatkan
Sumber; Seperti tabel 12, hlm. 330
Sekitar tahun 1950 jalur-jalur darat-darat belum begitu banyak terdapat di
daerah Kalimantan Selatan. Kalaupun ada sampai tahun 1960 ke atas
keadaannya masih sangat terbatas dan buruk, akibatnya sarana-sarana
transportasi perairan tetap terasa sangat efektif dan efisien untuk mengatasi
masalah pengangkutan baik penumpang maupun barang. Sarana transportasi
seperti klotok dan jukung cukup banyak jumlahnya, dan memegang peranan
penting untuk menghubungkan antar kampung maupun untuk mengatasi
kesibukan pengangkutan didalam kota.110
Sebagai contoh desa-desa yang masyarakatnya menggunakan dan memiliki
sarana transportasi berupa jukung dan klotok cukup banyak yaitu desa-desa
yang terdapat didaerah Riam Kanan Atas, tempat terdapatnya waduk Riam
Kanan (Aranio) yang dibangun tahun 1961. Daerah ini terletak sekitar 90
Kilometer di sebelah timur Banjarmasin. Di daerah Riam Kanan Atas ini
terdapat beberapa desa dan sedikitnya dilalui oleh tujuh buah sungai yang
kesemuanya bermuara dan membentuk waduk seluas lebih kurang 92 kilometer
persegi. Pada tahun 1961 daerah ini keseluruhannya berpenduduk 4.109 jiwa
atau 1.137 kepala keluarga.
Tahun 1976 desa-desa yang terletak di sekitar waduk Aranio ini seluruhnya
berpenduduk 5.548 jiwa, atau 1.280 kepala keluarga. Kehidupan mereka disini
sehari-hari ditunjang oleh sekitar 617 buah sarana transportasi perairan.
Diantaranya terdapat 10 buah klotok milik pemerintah, 56 buah klotok milik
rakyat, dan ada 551 buah jukung. Dibandingkan dengan jumlah kepala
keluarga, maka terdapat gambaran sekitar 47,42% keluarga yang memiliki
jukung atau klotok. Di daerah Riam Kanan Atas ini terdapat sebelas desa, dari
jumlah ini hanya terdapat dua desa yang memiliki jalan darat, karena itu
masalah transportasi mereka sangat tergantung pada jalur dan sarana
transportasi perairan. Untuk memasarkan hasil perkebunan, terutama berupa
buah-buahan, semuanya diangkut dengan jukung atau klotok ke pasar
Tiwingan di Aranio dan Tuhin di desa Bunglai. Karena perairan di daerah ini
terisolir dari jalur perairan umum, maka dari kedua pasar itulah hasil
perkebunan rakyat ini diangkut melalui jalan darat ke Martapura dan
Banjarbaru. Dari Martapura hasil-hasil tersebut sebagian lagi diangkut ke
110 Bandingkan dengan “Pengusaha Taksi dan Penumpang Sama-sama Mengeluh”, harian
Kompas, 24 September 1984.
Banjarmasin melalui jalur darat atau jalur sungai Martapura.111 Tentang
gambaran waduk Riam Kanan Periksa juga lampiran A6.
Contoh lain yaitu di sekitar tahun 1975 adalah desa Samuda Kecil, terletak
sekitar 80 kilometer di sebelah barat Banjarmasin. Didesa ini seluruhnya
terdapat sekitar 356 keluarga, memiliki 32 buah klotok dan 150 buah jukung,
dengan demikian terdapat sekitar 51% keluarga yang memiliki sarana
transportasi perairan berupa jukung atau klotok.112 Didalam kedua conth tadi
itu kebutuhan terhadap sarana transportasi perairan sangat vital, sebab-
terutama di Riam Kanan Atas-Jalur darat dapat dikatakan hampir tidak ada
yang dapat dilalui oleh kendaraan darat untuk menghubungkan satu desa
dengan desa lainnya. Satu-satunya jalan yang paling efektif dan efisien bagi
masyarakat di desa-desa tersebut adalah transportasi perairan.
Karena wilayah Kalimantan Selatan memiliki cukup luas daerah perairan
dan rawa, maka untuk membuka dan membangun jalur-jalur darat adalah
pekerjaan sangat berat dan memerlukan biaya besar. Kenyataan ini dibuktikan
oleh keadaan jalur-jalur darat yang berusaha digalakan pembangunannya sejak
tahun 1960-an. Sejak itu sampai 1970-an di Kalimantan Selatan telah terdapat
panjang jalan seluruhnya sekitar 1-719 kilometer. Jarak sepanjang ini ternyata
sekitar 1.234 kilometer keadaanna hanya dapat ditempuh oleh kendaraan
dengan kecepatan antara 5-15 kilometer perjam, atau sekitar 72,32%
keadaannya rusak dan tidak layak untuk lalu lintas pengangkutan.113 Melihat
kenyataan ini tentu pembangunan daerah pada umumnya sangat terhambat,
oleh karena itu sarana transportasi perairan memang yang paling menunjang
waktu itu.
111 Silahkan periksa Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk Di Riam Kanan Atas
Kabupaten Dati II Banjar (Martapura : Team Pelaksana Proyek Resettlement Penduduk Dati I
Kalimantan Selatan, 1976), hlm. 5-13 ; Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar (1982),
op.cit., hlm. 15. 112 William L. Collier, “Lima puluh Tahun Transmigrasi Spontan dan Transmigrasi Pemerintah DI
Tanah Berawa Kalimantan”, majalah Prisma, no. 5 (Jakarta : LP3ES, 1980). Hlm. 26-27. 113 Silahkan periksa Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan (1971), op.cit., hlm.
303-307
Bukti lain yang menunjukkan bahwa jalur perairan masih tetap efisien ialah
pengalaman pemerintah daerah Hulu Sungai Selatan. Pada tahun 1960
pemerintah daerah ini telah membuka jalur darat sepanjang 18 kilometer untuk
menghubungkan Kandangan dengan Negara. Sebelumnya masalah transportasi
antar keduanya ditunjang oleh sebuah anjir yang disebut Tatah Bahalayung.
Sejak jalur darat dibuka dan berfungsi, Tatah Bahalayung berangsur-angsur
tidak lagi dimanfaatkan sebagai jalur transportasi oleh masyarakat, akibatnya
terjadi proses pendangkalan dan perairanpun kemudian tertutup oleh berbagai
gulma air. Sementara itu jalur darat dalam tempo relative singkat mengalami
kerusakan yang selanjutnya semakin parah, karena kondisi tanah yang kurang
memadai sebagai fondasi jalan. Sekitar tahun 1970, antar kedua kota itu
mengalami kesukaran masalah transportasi, baik penumpang, barang, maupun
hubungan biasa sehari-hari, akibat kedua jalur tidak berfungsi sempurna.
Menyadari bahwa jalur darat yang mempunyai kondisi tanah kurang baik
seperti di Kalimantan umumnya, memerlukan perawatan dan dana yang besar
sepanjang tahun, maka pemerintah daerah Hulu Sungai Selatan kini sedang
berusaha menghidupkan kembali Tatah Bahalyung sebagai jalur transportasi
perairan.114 Demikian pula hal serupa yang terjadi di daerah kabupaten Barito
Kuala antara pembukaan jalur darat dengan tetap pentingnya peran anjir
Talaran untuk urusan transportasi.
Dari segi lain efektivitas dan efisiensi transportasi perairan dapat dilihat
dari keadaan sarana-sarana transportasinya. Keuntungan yang besar memang
tidaklah dapat diharapkan dari industri sarana transportasi perairan sebab pada
umumnya bukan bersifat produksi massa. Sementara itu sarana-sarana
transportasi yang berupa jukung tidak sedikit masyarakat yang mampu
membuatnya sendiri untuk keperluan sehari-hari. Di samping itu sarana
transportasi perairan tidak cepat rusak dan dapat dipakai terus-menerus antara
5-20 tahun lebih namun masih tetap baik untuk dipergunakan. Jadi sebenarnya
114 Bandingkan, “Perbaikan Jalan Kandangan-Negara Tambal Sulam dan Terus Tertunda”, harian
Kompas, 2 Januari 1985 ; juga bandingkan, “Anjir Talaran Tidak Jadi DIkeruk Akibatnya Para Petani
Pergi”, harian Kompas, 23 Maret 1985.
pemilikan terhadap sarana transportasi perairan lebih menguntungkan, karena
dapat digunakan untuk berbagai kegiatan seperti jasa angkutan, berdagang,
tani, nelayan dan sebagainya yang produktif di samping konsumtif.
Bagi masyarakat di Kalimantan Selatan, sarana transportasi dan jalur-jalur
(prasarana) transportasi perairan sudah terwujud. Efisiensinya merupakan
penghematan tenaga dan biaya dengan kapasitas angkut besar, sarana cukup
tahan lama, bahan untuk membuat sarana tersedia cukup, barang-barang mudah
diangkut baik dari atau ke pedalaman dan kota, dan demikian pula dengan
penumpang, karena pusat permukiman selalu terkonsentrasi pada tepi-tepi jalur
perairan. Sementara jalan-jalan darat dan sarana-sarana angkutan masih belum
memadai dan sangat terbatas, sehingga bagi masyarakat selama tahun 1950-
1970 sarana-sarana transportasi perairan yang dapat diandalkan untuk
menunjang kehidupan sehari-hari, atau lebih lunas lagi menunjang
pembangunan daerah.
Kegiatan yang termasuk utama ini dalam kehidupan masyarakat di
Kalimantan Selatan, tergambar pula dari jumlah kepadatan sarana transportasi
perairan pada tahun 1970, yaitu mencapai rata-rata 3,298 buah per bulan atau
110 buah per harinya. Demikianpun misalnya tentang arus lalu lintas
penumpang dan barang, cukup memberikan gambaran adanya kegiatan
transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Tabel 14 berikut ini menunjukkan
jumlah kepadatan arus lalu lintas sarana transportasi, penumpang, dan barang
diperairan Kalimantan Selatan sekitar tahun 1970.
Tabel 14 Kepadatan Arus Lalu Lintas Transportasi
Perairan Di Kalimantan Selatan, 1970
a. Sarana Transportasi
Jenis Sarana Kapal Stempel Tongkang Tiung Jumlah
Per bulan 2,249 275 117 657 3,298
Per hari 75 9 4 22 110
b. Penumpang dan Barang
Rata-rata Penumpang/orang Barang (ton Barang (m3)
Per bulan 20.651 5.489,889 3.205,803
Per hari 888 128,996 106,860
Catatan : Hanya merupakan data yang tercatat pada Kantor Wilayah I
LLASDP Banjarmasin, Stasiun II LLASDP Ujung Panti, dan
Stasiun II LASDP Anjir Muara Kota.
Sumber; Seperti tabel 5, hlm. 323-324.
Data kepadatan lalu lintas perairan di atas merupakan gambaran kasar yang
didalam realitanya dapat lebih besar lagi, mengingat belum termasuk data
tentang jenis sarana lain terutama jukung yang banyak sekali jumlahnya.
BAB IV
BEBERAPA HAL YANG BERKAITAN DENGAN
DINAMIKA TRANSPORTASI PERAIRAN
A. Modernisasi Dan Motorisasi Di Bidang Transportasi Perairan
Untuk menjelaskan sifat dan proses modernisasi lajimnya orang membuat
suatu pembagian dalam dua bagian (dichotomy) yang tegas yaitu antara pengertian
tradisional dengan modern. Yang pertama diartikan sebagai terkebelakang, statis
dan serba terbatas sedangkan yang modern sebagai sesuatu yang terus bergerak,
terbuka dan selalu berubah. Dalam kenyataannya antara tradisional dan modern ini
berlangsung di dalam masyarakat secara kontinyu, sambung-menyambung dan
tidak ada perbedaan yang tajam, berjalan bersama secara terpadu. Bahkan menurut
Sartono Kartodirdjo bahwa modernisasi itu sendiri merupakan sintese antara yang
lama dengan yang baru. Jadi sesungguhnya tidak ada hal yang dipertentangkan
antara tradisional dan modern sebab tidak ada hal yang sungguh-sungguh baru
karena semua tumbuh dari suatu kontinuitas dalam pembaruan itu.115
Mengingat hal di atas maka demikian pula yang terjadi sebenarnya di sektor
transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Meskipun dilihat dari segi hasil yang
berupa sarana-sarana transportasi perairan dan cara pengolahannya dikatakan
tradisional, namun di sini tidaklah berarti terdapat dua hal yang saling bertentangan,
yaitu antara yang dimaksud tradisional dengan modernisasi. Di sektor transportasi
perairan di Kalimantan Selatan masyarakat mengolah dan mewujudkan sarana-
sarana transportasinya secara tradisional, secara tetap tanpa perubahan yang
berarti,116 sekalipun motor sudah digunakan untuk menjalankan sarana-sarana
transportasi itu. Di sini berarti sudah ada usaha masyarakat mengadoptir produk
dari industry modern.
Motorisasi terhadap sarana transportasi perairan sangat terasa di daerah
Kalimantan Selatan sejak tahun 1950-an.117 Menurut sumber lain motorisasi terjadi
lebih awal, sebab menurut H. W. Dick usaha motorisasi terhadap perahu-perahu
rakyat secara regional telah dirintis oleh Belanda pada tahun 1930-an, meskipun
baru mencapai jumlah sangat terbatas sampai tahun 1942.118 Motorisasi oleh
115 Lebih jauh silahkan periksa Sartono Kartodirdjo, “Modernisasi dalam Perspektif Sejarah”,
Bacaan Sejarah, no. 1 (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM, 1978), hlm.
1-9; Nasikoen, Modernisasi Versus Tradisionalme (Yogyakarta: Fak. Sosial dan Politik UGM. 1979),
hlm. 1-9.
116 Bandingkan ibid., hlm. 4 117 Periksa Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun (Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset, 1979),
hlm. 27; Kapal Indonesia (Djakarta: Direktorat Produksi dan Djasa Maritim Departemen
Perhubungan, 1969), hlm. 10-14. 118 H. W. Dick, “Perahu Shipping in Eastern Indonesia”, part II, Bulletin of Indonesia Economic
Studies, no. 3 (1975), hlm. 94-96.
Belanda ini semula ditujukan untuk perahu-perahu layar berukuran maksimum 35
ton dengan motor bertenaga 35 PK. Di dalam prakteknya usaha motorisasi
berukuran kecil ini tidak ekonomis untuk pelayaran di perairan laut.119 Pada fase
perkembangan selanjutnya terjadi perubahan arah yang dilakukan oleh masyarakat
setempat, yaitu memanfaatkan kesempatan motorisasi itu dengan mengalihkannya
untuk perahu-perahu yang dapat dioperasikan di daerah perairan Kalimantan
Selatan. Dari sini muncul kemudian berbagai macam sarana transportasi perairan
dengan motor yang terus berkembang dan justru Nampak lebih berhasil dari tujuan
motorisasi perairan laut semula.120
Melihat kenyataan di atas jelaslah bahwa ada hubungan positif antara unsur
modern dengan unsur tradisional di sektor transportasi perairan daerah Kalimantan
Selatan. Bagi pembangunan di sektor ini terjadi perpaduan (harmoni) antara unsur
tradisional dengan unsur modern bukanlah hal yang tidak dapat dilakukan.
Modernisasi dapat dilaksanakan tanpa harus meninggalkan unsur tradisional yang
ada di sektor transportasi perairan masyarakat daerah Kalimantan Selatan.121
Mengenai usaha modernisasi ini periksa juga lampiran E.
Bagi masyarakat setempat motorisasi diartikan sebagai memperlengkapi sarana
transportasi perairan yang tradisional dengan motor sebagai sumber tenaga
utamanya.122 Hal ini berlaku terhadap sarana-sarana transportasi perairan
masyarakat di Kalimantan Selatan dan sudah berlangsung di sekitar tahun 1950-an.
Motorisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan di daerah ini berarti
memperlancar lalu lintas pengangkutan dan perhubungan, pembangunan, dan
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Pemanfaatan hasil teknologi modern dapat dilihat dari berbagai jenis sarana
transportasi perairan seperti kapal, stempel, klotok, dan speed, yang telah dihasilkan
119 Ibid.
120 Bandingkan ibid., hlm. 94-100. 121 Bahan Expose: Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di Propinsi
Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983),
tanpa halaman. 122 Periksa dan bandingkan H. W. Dick, op. cit., hlm. 95.
dan menggunakan motor. Dapat pula diketahui bahwa sampai tahun 1968 terdapat
banyak sarana transportasi perairan dari jenis itu menggunakan motor dari berbagai
merk seperti Deutz, Yanmar, Johnson, Carterpillar, dan Kubota.123 Sesudah waktu
itu mulai pula masuk motor-motor merk Yamaha dan Mercury, terutama untuk
memenuhi kebutuhan tenaga penggerak jenis speed. Motor-motor bertenaga besar
yang digunakan oleh speed (85-125 PK), menyebabkan jenis ini mampu meluncur
dengan kecepatan tinggi di atas air. Gerak yang cepat ini memperlancar dan
mempercepat hubungan transportasi dari satu daerah ke daerah lain, terutama
daerah yang sangat mengandalkan jalur-jalur perairan untuk hubungannya, seperti
Banjarmasin-Marabahan dan Batu Licin-Pegatan-Kota Baru.
Meskipun antara tahun 1950-1970-an sudah digunakan motor sehingga
mempermudah dan mempercepat perjalanan, namun aktivitas transportasi perairan
di Kalimantan Selatan selama waktu itu pada dasarnya belum sampai pada
kemajuan optimal. Lebih tepat kalau dikatakan sektor ini tumbuh dengan
sendirinya, tanpa banyak campur tangan atau perhatian pihak pemerintah.124 Sejak
tahun 1860 daerah Kalimantan Selatan sepenuhnya menjadi daerah di bawah
kekuasaan pemerintah Belanda. Selama masa pemerintahan Belanda itu pada
dasarnya transportasi perairan rakyat di daerah ini telah diisolir dari kemajuan dunia
teknik, sekalipun sekitar tahun 1930-an Belanda melakukan motorisasi di sektor
transportasi perairan. Usaha Belanda ini tidak berhasil sepenuhnya, karena semua
yang dilaksanakan semata-mata demi kepentingan dan tujuan dari penjajah.
Keadaan semacam ini tidak berbeda di masa kekuasaan Jepang di Kalimantan
Selatan. Meskipun pada waktu itu rakyat setempat dipaksa untuk membuat kapal-
kapal kayu dan lebih diperkenalkan lagi dengan teknologi modern, berupa mesin-
mesin untuk dipergunakan, tetapi semuanya ini hanya untuk kepentingan perang
Jepang belaka.125 Lalu apakah setelah Indonesia mencapai kemerdekaan aktivitas
transportasi perairan rakyat di daerah Kalimantan Selatan mencapai kemajuan?
123 Lihat Kapal Indonesia (1969), op. cit., hlm. 94-131. 124 Bandingkan H. W. Dick, “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin of
Indonesia Economic Studies, no. 2, hlm. 86. 125 Kapal Indonesia (1969), op. cit., hlm. 10-14.
Sejak kemerdekaan tahun 1945-1965 keadaan Negara ditandai oleh berbagai
gejolak politik dan pergolakan, baik secara nasional maupun daerah, akibatnya
dapat dikatakan selama waktu itu bangsa Indonesia masih belum memperoleh
kesempatan melaksanakan pembangunan, termasuk di sektor transportasi perairan
dengan sesungguhnya.126 Waktu sejak tahun 1950-an terdapat industri kapal
modern di Indonesia, namun tidak jelas hasilnya bagi kemajuan transportasi
perairan seperti di daerah Kalimantan Selatan. Begitupun sampai tahun 1970,
tidaklah dapat diperhitungkan kemajuan yang dicapai melalui Pelita I yang baru
dimulai tahun 1969, yang merupakan langkah real dari pembangunan nasional dan
Orde Baru. Dilihat dari keadaan demi keadaan tadi, bisa difahami gerak
pertumbuhan transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Sudah tentu tidak
dapat diramalkan apakah tanpa factor tersebut, aktivitas transportasi perairan di
daerah ini akan lebih maju dari kenyataan yang sudah ada pada waktu itu.
Tindakan praktis untuk membuat bahan-bahan materiil atau kecakapan
membuat barang-barang khususnya sarana-sarana transportasi perairan oleh
masyarakat di Kalimantan Selatan, merupakan kemampuan teknik yang sudah
mencapai tingkat cukup tinggi dari dahulu.127 Perkembangan selanjutnya dari
peradaban mereka adalah kemampuan memanfaatkan motor untuk keperluan
pengangkutan di atas air. Usaha mereka memadukan unsur tradisional dengan
modern melalui motorisasi dapat mewujudkan sarana-sarana transportasi perairan
yang representatif sesuai dengan kemajuan jaman.128
B. Dampak Modernisasi Dan Motorisasi Terhadap Transportasi Perairan
Teori dialektika mengatakan bahwa penyelesaian persoalan menimbulkan bibit
persoalan baru. Setiap perkembangan atau kemajuan di dalamnya senantiasa
terkandung unsur-unsur yang dapat menimbulkan kemunduran atau kerugian
126 H. W. Dick, part II (1975), op. cit., hlm. 81-82; Ali Murtopo, Era Pembangunan 25 Tahun
(Bandung: CV. Sumadjaja, 1973, hlm. 4-13; B. N. Marbun, Proses Pembangunan Desa,
menyongsong Tahun 200 (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 20-23.
127 Bandingkan Basit Wahit, Efek Positif dan Negatif dari Pembangunan Teknologi Modern.
(Yogyakarta: UII, 1976), hlm. 3-5. 128 Bahan Expose (1983); bandingkan Nasikoen, loc. cit.
baru.129 Demikian juga halnya di bidang transportasi perairan dengan dunia modern
yang sebagian besar dibentuk oleh teknologi. Modernisasi di bidang transportasi
bagi masyarakat di Kalimantan Selatan ini, semenjak tahun 1950 kiranya terbatas
hanya pada motorisasi, artinya hanya terbatas pada kesempatan untuk
memanfaatkan motor-motor sebagai sumber tenaga sarana-sarana transportasi
perairan mereka.130 Motorisasi atau proses pemotoran sarana-sarana transportasi
perairan sangat sederhana dan cepat. Hanya dengan sedikit modifikasi pada bagian
buritan untuk mendudukan motor, muncul bentuk-bentuk baru seperti stempel,
klotok, dan speed, begitupun kapal. Proses penerimaan yang cepat dan perubahan
terhadap sarana-sarana, menyebabkan begitu banyak jenis dan istilah bagi sarana
transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan, hilang jenis tertentu kemudian
muncul jenis baru.131 Sebagai tambahan perlu diketahui bahwa pada tahun 1970 ke
atas mulai populer jenis baru sarana transportasi masyarakat Kalimantan Selatan,
di samping speed jenis baru (komersial/ jasa angkutan), dikenal pula jenis yang
disebut dengan bis air dan truk air.132
Motorisasi bertujuan untuk mencapai kemajuan di bidang transportasi
perairan, praktis, serba cepat dan penghematan tenaga manusia. Tingkat efisiensi
yang dicapai memang cukup menonjol akibat otomatisasi sarana-sarana
transportasi masyarakat yang ditimbulkan oleh motor. Dampak negatif yang mula-
mula dapat dirasakan adalah hilangnya beberapa jenis sarana transportasi perairan
seperti pangkuh, bagawis dan sebagainya, begitupun berikutnya getek, tambangan,
rakit, dan tiung sudah semakin terdesak kedudukannya menjelang tahun 1970-an.
Keadaan ini jelas akibat telah diterimanya sarana-sarana transportasi dengan motor
(otomatisasi) oleh masyarakat. Sebegitu jauh pemotoran memang lebih efektif dari
129 Periksa juga E. F. Schumacher, Small is Beautiful: a Study of Economics as if People
Mattered (London: Sphere Books, 1975), hlm. 122-123. 130 Periksa Bahan Expose (1983).
131 Silahkan periksa mengenai jenis-jenis dan istilah sarana-sarana transportasi perairan
jaman dahulu pada J. J. Ras, Hikayat Bandjar, a Study in Malay Historiography (Den Haag: The
Hague, Martinus Nijhoff, 1968), hlm. 228-252; juga Sartono Kartodirdjo, et al., (ed.), Sejarah
Nasional Indonesia, jilid III (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 22-24. 132 Periksa Bahan Expose (1983)
berbagai segi dibandingkan dari beberapa jenis sarana sebelumnya tanpa motor.
Otomatisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan telah memberi jaminan
yang serba praktis, mudah dan cepat, tidak saja semata-mata untuk urusan
komunikasi dan transportasi, tetapi juga dapat sebagai dasar bagi segi-segi
kehidupan yang lain untuk berkembang.133
Sebenarnya perkembangan yang terjadi di sektor transportasi perairan diterima
oleh masyarakat daerah Kalimantan Selatan dengan sangat bersahaja. Hal ini
disebabkan adanya ketidakmampuan untuk menyadari bahwa hasil teknologi
modern dapat juga menimbulkan kemunduran dan kerugian, di samping
keuntungan yang sudah pasti hasilnya. Masyarakat di daerah ini rupanya terpaku
hanya pada soal pemanfaatan hasil teknologi modern berupa motor secara langsung,
tanpa mampu melihat kemungkinan lain yang dapat ditimbulkannya kemudian.
Keadaan ini dapat dimengerti, karena semenjak mulai digunakannya motor pada
tahun 1950-an sampai beberapa waktu kemudian, tidak menimbulkan ketegangan
secara mendadak bagi kehidupan masyarakat. Lebih penting lagi karena tidak ada
perhatian pemerintah dan para ilmuan di sektor transportasi perairan ini.
Selanjutnya dapat dilihat, terutama tahun 1970 ke atas sudah semakin nampak
bahwa jenis-jenis jukung semakin kurang diminati masyarakat. Untuk
menggunakan jukung orang harus berkayuh selama berjam-jam atau sampai
seharia, misalnya untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke rumah. Pekerjaan
seperti ini tidak mesti dapat sekali selesai memakan tenaga dan waktu, sehingga
bagi mereka adalah lebih baik memanfaatkan jasa klotok yang jauh lebih besar
kapasitas muatnya, dan waktu tempuh yang lebih singkat-cepat. Kebiasaan lama
akhirnya mulai ditinggalkan para petani, terutama petani yang tinggalnya di kota.
Masyarakat umumnya sudah tidak suka lagi terhadap jukung sebagai sarana
pengangkutan dan menggantinya dengan klotok atau mengandalkan jasa angkutan
para pemilik klotok.
133 Bandingkan dengan Basit Wahit, op. cit., hlm. 2-3.
Berubahnya kebiasaan dengan berkurangnya minat terhadap pemilikan
jukung, membawa akibat lanjutan terhadap industri rakyat yang memproduksi jenis
ini. Industri jukung berangsur-angsur terdesak dan mulai ditinggalkan, karena tidak
dapat berproduksi lagi akibat tidak ada pemesan atau pembelinya. Keadaan seperti
ini dapat terjadi ketika klotok semakin berkenan di masyarakat dan diproduksi
secara meluas menjelang tahun 1970, demikianpun harganya relatif murah sehingga
dapat terjangkau oleh masyarakat luas.
Otomatisasi terhadap sarana-sarana transportasi perairan telah memperbaiki
pekerjaan dan menghemat tenaga manusia, dengan demikian anak-anak punya
kesempatan bersekolah dengan baik, para wanita (isteri) dapat mencari pekerjaan
di bidang lain, atau berkonsentrasi sebagai ibu rumah tangga. Mereka ini tidak perlu
lagi harus membantu para bapak/ suami untuk mengayuh perahu sebagaimana
kebiasaan sebelumnya, karena dengan otomatisasi tidak diperlukan lagi banyak
tenaga manusia.134
Dampak lain dari motorisasi adalah tuntutan terhadap tingkat dan ketrampilan
tertentu yang lebih baik. Sedikit berbeda dari klotok, ialah jenis kapal, stempel dan
speed. Pada ketiga jenis terakhir, sedikitnya diperlukan dua orang untuk
mengoperasikan, di samping pengemudi (nakhoda) diperlukan pula ahli mesin
(motoris). Bagi mereka ini perlu tuntutan kursus untuk memperoleh sertifikat atau
penghargaan berupa surat keterangan yang memperkenankan mereka melakukan
pekerjaannya. Mereka ini baru sah melaksanakan pekerjaannya bila mendapatkan
Surat Tanda Kecakapan (STK) nakhoda, motoris, atau sekaligus STK nakhoda dan
motoris.135 Tentang STK ini periksa juga pada lampiran H1 dan H2.
Masih banyak lagi dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya motorisasi
terhadap sarana-sarana transportasi perairan menjelang tahun 1970 sudah mulai
134 Bandingkan ibid., juga dengan Iskandar Alisjahbana, “Teknologi”, majalah Prisma, no. 1
(Jakarta: LP3ES, 1979), hlm. 49.
135 Laporan Pengeluaran: Surat Tanda Kecakapan Tahun 1983 (Banjarmasin: Kantor Wilayah
XI Bidang LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1996); juga bandingkan H. W. Dick, part II
(1975), op.cit. hlm. 98; Bahan Expose (1983)
terasa gejala perpindahan penduduk tepi sungai dari rumah-rumah terapung
(lanting), di sepanjang tepi sungai Martapura, dan anak-anak sungainya di kawasan
Banjarmasin dan Martapura, daerah Marabahan, Negara, dan lain-lainnya ke daerah
permukiman baru terutama di tepi-tepi jalur darat/ jalan raya. Posisi penduduk
dengan lanting-lantingnya di sepanjang jalur-jalur transportasi perairan sudah tidak
begitu aman lagi akibat gerak air yang ditimbulkan oleh sarana-sarana transportasi
dengan motor, yang seolah-olah tanpa henti. Di samping itu tidak jarang lanting
mengalami kecelakaan lalu lintas perairan akibat benturan keras tertabrak speed
atau kapal yang lepas kendali.136.
Gerak air yang ditimbulkan tidak saja mengancam kehidupan dan ketenangan
para penghuni lanting, tetapi juga tidak jarang menyebabkan karamnya sarana-
sarana transportasi jenis jukung beserta muatannya. Di samping itu menyebabkan
tepi-tepi sungai dan anjir terus-menerus mengalami erosi (rumbih) cukup berat.
Untuk mengatasi tanah rumbih pemerintah dan masyarakat setempat terpaksa
mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit, yaitu dengan membuat siring di
sepanjang tepi jalur-jalur perairan itu. Pekerjaan semacam ini bukan saja tidak
mudah dilakukan, tetapi juga siring umumnya tidak dapat bertahan lama, sehingga
benar-benar merupakan beban berat yang harus ditanggung oleh masyarakat.137
Dampak berikutnya dari motorisasi yang juga harus diterima ialah timbulnya
pencemaran atau polusi terhadap perairan akibat proses pembakaran motor dan
sisa-sisa bahan bakar yang terbuang ke dalam air. Sudah tentu dampak negatif dari
sistem modern melalui motorisasi tidak diinginkan, tetapi akibat kurang
perhitungan maka resiko dengan sendirinya dialami, baik berupa pencemaran
136 Periksa juga “Berakit-berakit di dalam Rumah”, majalah Tempo, 5 September 1981, hlm.
77-79; “Akibat Gelombang Speed, 10 Pelajar SD Tercebur ke Sungai”, harian Banjarmasin Post, 26
Agustus 1983.
137 Ibid,; Periksa juga “Enam Orang di Bawah Umur 7 Tahun Nyaris Lemas di Sungai Barito”,
harian Banjarmasin Post, 28 Agustus 1983. “Siring adalah alat/ benda penahan agar tanah tidak
rumbih (tanah longsor, runtuh), lebih jelasnya silahkan periksa Pekan Kontak Tani-Nelayan IV di
Barabai (Martapura: Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Banjar, 1981), hlm. 78.
terhadap perairan dan lingkungan maupun kerugian-kerugian yang harus
ditanggung oleh masyarakat.
C. Gejala Kemerosotan Aktivitas Transportasi Perairan
Teknologi lahir dari akal manusia untuk menguasai dan memanfaatkan
lingkungannya. Di samping membawa kemajuan, ia juga menciptakan gangguan,
kadang-kadang kerusakan yang dapat diartikan sebagai kemunduran. Sebagian
kemerosotan aktivitas transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan, baik
dilihat dari segi frekuensi lalu lintas maupun kuantitas, disebabkan oleh motorisasi
sebagai hasil teknologi modern itu sendiri. Secara kuantitatif dapat dikatakan sektor
transportasi perairan di daerah ini mengalami kemerosotan yang ditandai dengan
menghilangnya beberapa jenis jukung, semakin terdesaknya jenis tiung, tongkang,
dan bahkan stempel. Beberapa jenis jukung seperti sudur, getek, dan tambangan,
termasuk rakit yang sudah biasa dipergunakan oleh masyarakat keadaannya sudah
semakin jarang terlihat di jalur-jalur perairan daerah Kalimantan Selatan menjelang
dan terutama sesudah tahun 1970. Secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai
menandai merosotnya minat masyarakat terhadap sektor transportasi perairan.
Sekitar tahun 1970 frekuensi lalu lintas sarana transportasi perairan melalui
jumlah rata-ratanya per bulan adalah 3.297 buah kendaraan. Sepuluh tahun
kemudian (1980) jumlah angka kepadatan sarana transportasi perairan ini per
bulannya adalah sekitar 2.666 buah138 dan tahun berikutnya (1981) sekitar 2.310
buah.139 Perbandingan ini secara umum menunjukkan menurunnya frekuensi lalu
lintas sarana transportasi perairan di Kalimantan Selatan. Mengenai data lengkap
kepadatan lalu lintas pada tahun 1980 dan 1981 ini periksa pada lampiran K1-K3.
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya gejala kurang menggembirakan
bagi perkembangan transportasi perairan. Meski begitu sebenarnya tidak dapat
dikatan dengan mutlak sektor transportasi perairan mengalami kemerosotan,
138 Kalimantan Selatan Dalam Angka 1980 (Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan
Selatan, 1980), hlm. 283. 139 Kalimantan Selatan Dalam Angka 1981 (Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan
Selatan, 1981), hlm. 384.
kecuali oleh karena kurangnya pembinaan dan pengarahan dari pihak pemerintah
daerah ketika itu. Gejala kemerosotan transportasi perairan terlukis dari
perkembangan yang tidak seimbang, terutama akibat kemajuan yang cepat dicapai
oleh sektor transportasi darat. Perkembangan itu baik berupa sarana, prasarana
maupun unsur ikutannya dari sektor transportasi darat, perpindahan penduduk dari
daerah tepi-tepi sungai, tumbuh dan dibukanya daerah pemukiman-pemukiman
baru di dataran jauh dair sungai adalah faktor-faktor ekstern yang merupakan gejala
bagi kemerosotan transportasi perairan, di samping faktor intern akibat motorisasi.
Pertumbuhan sektor transportasi darat dan unsur-unsur ikutannya,
menimbulkan persaingan secara regional terhadap sektor transportasi perairan di
Kalimantan Selatan. Sejak tahun 1969 pertambahan jumlah sarana transportasi
darat rata-rata 21% setahun, jauh lebih tinggi dibanding di sektor transportasi
perairan yang hanya kurang dari 10%. Tahun 1969/1970 frekuensi lalu lintas
transportasi darat tercatat rata-rata 1.414 buah per hari. Jumlah kendaraan/ sarana
transportasi darat yang ada pada tahun itu sekitar 2.790 bua. Tahun 1972 jumlah
kendaraan darat tercatat 4.083 buah, sedangkan jumlah kendaraan perairan tercatat
sekitar 1.812 buah.140 Sebagai gambaran perbandingan tingkat pertumbuhan antara
sektor transportasi perairan dengan jalan raya periksa lampiran L1 dan L2.
Sedangkan perincian jumlah kendaraan dari masing-masing sektor pada tahun 1972
dapat dilihat perbandingannya pada tabel 15 di bawah ini.
Tabel 15: Perincian Jumlah Sarana Transportasi
Kalimantan Selatan, 1972
Kendaraan Perairan Jumlah Kendaraan Darat Jumlah
Kapal
Speed
Klotok
Stempel
Tongkang
50
20
1.042
650
50
Mobil Penumpang
Mobil Beban/ Truk
Bis
2.522
1.464
97
1.812 4.083
140 Data Kalimantan Selatan Pelita I s/d III (Banjarmasin: Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan,
1982), hlm. 301-302 dan 316-326.
Sumber; Data Kalimantan Selatan Pelita I sampai dengan III (Banjarmasin:
Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan, 1982), hlm. 301-302 dan 316-317.
Di samping faktor persaingan dari segi jumlah sarana, pertumbuhan
transportasi darat diikuti pula oleh pembukaan jalur-jalurnya. Usaha terus-menerus
membuka dan membangun jalur darat terutama sejak tahun 1960-an, baik berupa
jalan-jalan antar kota dan daerah merupakan faktor yang mempengaruhi
perkembangan transportasi perairan di daerah Kalimantan Selatan. Tahun 1959-
1962 di bangun jalan-jalan di dalam kota Banjarmasin seperti Jalan Kalimantan,
Kuwin, Pangambangan, dan lain-lain.141 Kemudian berturut-turut tahun 1963
dibuka jalan Kintap-Pleihari (65 kilometer); tahun 1965 jalan Tanjung-Kuaro (124
kilometer); dan tahun 1968-1970 dibuka lagi seperti jalan Barabai-Batu Licin (153
kilometer), Marabahan Binuang (50 kilometer), serta Banjarmasin Marabahan (61
kilometer), semuanya merupakan jalan-jalan darat antar kota yang lebih dahulu satu
sama lain dihubungkan oleh jalur-jalur perairan. Pada tanggal 20 Nopember 1967,
dikeluarkan oleh Gubernur surat keputusan, bernomor BE 53/11-26-1967 mengenai
trayek jalur darat dari Banjarmasin ke Martapura, Rantau, Kandangan, Barabai,
Tanjung, dan Pleihari. Hal ini berarti ada enam jalur darat antar Banjarmasin dengan
ibukota-ibukota kabupaten di Kalimantan Selatan ketika itu,142 di samping jalur-
jalur perairan yang sudah ada sebelumnya.
Perkembangan jalur darat di Kalimantan Selatan berupa jalan padat-keras,
berarti harus diiringi pula oleh pembangunan banyak jembatan. Jumlah jembatan di
Kalimantan Selatan pada tahun 1970-an adalah 2.515 buah, terdiri dari 140 buah
jembatan Negara; 392 buah jembatan propinsi; dan 1.983 buah jembatan kabupaten,
yang kalau disatukan keseluruhan panjangnya hampir 10 kilometer.143 Sampai
tahun 1950 baru ada sebuah jembatan utama bernama jembatan Coen yang
melintasi sungai Martapura di tengah kota Banjarmasin. Pada sungai yang sama
kurang dari satu kilometer dari jembatan Coen, di sebelah utara di bangun jembatan
141 Artum Artha, Sedjarah Kota Bandjarmasin (Banjarmasin: Museum Banjar Lambung
Mangkurat, 1970), hlm. 17-23. 142 Periksa Bahan Expose (1983). 143 Laporan Tahunan Inspeksi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, 1978 (Banjarmasin: Kantor
Inspeksi LLAJR Prop. Kalimantan Selatan, 1978), hlm. 63.
Sembilan Nopember pada tahun 1960, dan di sebelah selatan dibangun jembatan
Sudimampir tahun 1965. Bersama jembatan Sudimampir dibangun pula jembatan
Belitung dan Sungai Bilu, masing-masing melintasi anak sungai Kuwin dan sungai
Bilu di Banjarmasin.144
Banyak jembatan di bangun datar melintasi sungai-sungai dan terusan-terusan
sangat mempersulit sarana-sarana transportasi perairan untuk melintasi kolong-
kolong jembatan, apalagi bila perairan sedang pasang. Kebanyakan jembatan yang
dibangun itu justru terletak pada sungai-sungai kecil dan terusan-terusan yang
menuju ke kampung-kampung yang ada di dalam maupun di luar kota. Tidak sedikit
jalur perairan tidak berfungsi untuk seterusnya setelah dibangun jembatan-jembatan
semacam itu.
Setiap peristiwa kemarau panjang misalnya seja tahun 1961, 1965, dan 1969
yang diikuti dengan dibukanya terus jalur darat-padat, mengakibatkan banyak jalur-
jalur sungai dan handil yang untuk seterusnya tidak berfungsi. Tidak berfungsinya
lagi beberapa sungai kecil dan handil mengakibatkan banyak jalur perairan yang
kemudian disebut sungai mati oleh masyarakat di Kalimantan Selatan. Matinya
jalur sungai dan handil mengakibatkan matinya juga saka yang berlanjut bagi petani
untuk meninggalkan tanah pertaniannya. Mereka mencari daerah baru atau tinggal
di daerah-daerah yang sudah dilalui oleh jalur-jalur darat, jalan raya.
Tidak berfungsinya lagi sebagian jalur-jalur perairan di daerah Kalimantan
Selatan merupakan indikator kemerosotan, dan berkurangnya pendukung di sektor
transportasi perairan. Tentu masih ada gejala lainnya yang tidak teramati, namun
apa yang telah dikemukakan di sini merupakan inti yang melandasi masalah-
masalah yang menyangkut bidang transportasi perairan di daerah Kalimantan
Selatan.
144 Artum Artha (1970), op. cit., hlm. 16.
BAB V
SIMPULAN
Tulisan ini merupakan studi pendahuluan mengenai masalah transportasi
perairan, khususnya di wilayah Kalimantan Selatan. Maksud dari penulisan ini
tidak lain mencoba melukiskan suasana transportasi perairan di Kalimantan Selatan
selama waktu 1950-1970-an. Sektor transportasi perairan tetap dirasakan dan diakui
pentingnya oleh masyarakat dan pemerintah di daerah Kalimantan Selatan. Jalur-
jalur perairan dimulai di hulu sungai Tabalong, dan berlanjut melalui selat Laut
sampai pantai Salaman nantinya perbatasan dengan daerah Kalimantan Timur,
merupakan jalur lalu lintas transportasi perairan yang berkesinambungan di daerah
Kalimantan Selatan. Di jalur-jalur itu diselenggarakan oleh masyarakat setempat
berupa kegiatan transportasi. Ribuan jumlah sarana transportasi yang digunakan
untuk melayari dan mengisi jalur-jalur perairan yang sedikitnya meliputi panjang
2.060 kilometer. Jalur sepanjang ini membentang dari utara ke selatan dan timur
dalam bentuk perairan sungai, terusan, dan pantai, yang merupakan wadah kegiatan
transportasi perairan rakyat. Perairan ini masih ditambah lagi dengan danau, maka
lengkaplah perairan Kalimantan Selatan yang dalam hubungannya sebagai wadah
kegiatan transportasi dikatagorikan dalam satu kesatuan bidang yang pengawasan
dan pembinaannya di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melalui
DLLASDP daerah Kalimantan Selatan.
Alangkah sangat wajar bila pemerintah dan para ilmuwan mengamati dan
meneliti lebih jauh tentang bidang transportasi perairan seperti yang ada di daerah
Kalimantan Selatan ini. Contoh yang ada merupakan bahan masukan dan
perbandingan supaya dapat menyempurnakan pengertian perairan lebih jauh dalam
hubungannya dengan transportasi. Misalnya, untuk menyempurnakan pembedaan
dan pengertian bentuk-bentuk perairan yang menjadi tempat terselenggaranya
kegiatan transportasi. Pada prinsipnya bidang transportasi yang diselenggarakan di
atas perairan meliputi dua bagian. 1) Transportasi yang diselenggarakan di perairan
laut, dalam hal ini pengawasan dan pembinaannya ditangani oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut. 2) Transportasi yang diselenggarakan di perairan yang
meliputi perairan sungai, terusan, danau, pantai dan penyeberangan yang dalam hal
ini ditangani oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Bidang Transportasi perairan seperti pada hal yang kedua di daerah
Kalimantan Selatan mempunyai jangkauan yang luas terhadap kehidupan
masyarakat sehari-hari. Sekitar dua juta penduduk di Kalimantan Selatan secara
langsung atau tidak langsung melibatkan diri dengan kehidupan di bidang
transportasi perairan setempat. Keadaan semacam ini tentu terdapat pula pada
daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini di Indonesia ada daerah yang hanya
memiliki sungai saja untuk jalur transportasi perairan, atau hanya penyeberangan
seperti dari Ketapang ke Gilimanuk datau dari Merak ke Bakauhuni, dan kegiatan
transportasi lainnya yang diselenggarakan di perairan danau atau pantai. Dari hal
ini berarti di Indonesia terdapat cukup banyak manusia yang merasakan keterlibatan
dengan bidang transportasi perairan semacam di Kalimantan Selatan, karena itu
perlu menjadi perhatian semua pihak. Sekarang sudah saatnya untuk mulai
mencurahkan perhatian ke bidang transportasi perairan semacam ini, yaitu bidang
yang di Indonesia ini sudah berlangsung sejak puluhan abad yang lampau dan
melibatkan jutaan manusia. Sebagaimana bidang-bidang seperti pertanian, maritim,
pedesaan, transmigrasi dan sebagainya yang sudah mendapat perhatian para
ilmuwan, khususnya sejarawan, maka bidang transportasi perairan seperti ini belum
mendapat perhatian sepenuhnya. Kurangnya perhatian di bidang ini sangat kita
rasakan, meskipun sebenarnya bidang ini cukup penting di dalam kehidupan
masyarakat dan realitanya masih terus berlangsung hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU DAN KARANGAN
Abdul Djebar Hapip, et al. Struktur Bahasa Banjar Kuala. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaab, 1981.
Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1982.
Ali Murtopo, Era Pembangunan 25 Tahun. Bandung; CV. Sumadja, 1973.
Alderson, P. M. Sea Transport, Operation and Economics. London: Thomas Reed
Publications Ltd., 1973.
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar,
1953.
Amral Muslimin, Ikhtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, Djakarta:
Djambatan, 1960.
A. Muhit Mukift, Beberapa Aspek Pemerintahan di Daerah, Banjarmasin: Panitia
Penyelenggara Kursus Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 1983.
Artum Artha, Beberapa Masalah Kebudayaan Banjar, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1973.
. Sedjarah Kota Bandjarmasin, Bandjarmasin: Museum Bandjar
Lambung Mangkurat, 1970.
Babler, Ales, Pantulan Djaman Bahari, Djakarta: Djambatan, 1963.
Baharuddin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan, Bandung: Alumni,
1982.
Basit Wahid, Efek Positif dan Negatif dari Pembangunan Teknologi Modern,
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1976.
B. N. Marbun, Proses Pembangunan Desa, Menyongsong Tahun 2000. Jakarta:
Erlangga, 1980.
Bowood, Richard, The Story of Ship, terj. H. Nazar. Loughborough: Ladybird
Books Ltd., t.t.
Buku Proyek Kanalisasi, 3 jilid, Djakarta: Kementrian Pekerjaan Umum, 1965.
Canse, A. A, De Kroniek van Bandjarmasin, Proefschrift MCMXXVIII, Uitgeverij,
C. A. Mess, Sanpoort (NH): 1928.
Casparis, J. G., de, Perkembangan Pengetahuan Sedjarah Indonesia Lama,
Bandung: Terate, 1961.
Dove, Michael, R. Masalah Ekologi-Mikro dan Pembangunan-Makro: Suatu Kasus
di Kalimantan Selatan, Yogyakarta: Tim Riset UGM, 1980.
Edwar Depari dan Colin Mac Andrew, eds, Peran Komunikasi Massa dalam
Pembangunan: suatu Kumpulan Karangan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1978.
Filipovitch, C.N, Sedjarah Hubungan Internasional, terj. Sjaukat Djajadiningrat,
Djakarta: PT. Pustaka Rakyat, 1955.
Fischer, H.T., Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Santoso
Poedjosoebroto, t.t.
Fudiat Suryadikara, et al. Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1981.
Goldstein, Sidney, Sirkulasi dalam Konteks Mobilitas Total di Asia Tenggara,
Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah
Mada, 1980.
Gottschalk, Louis, ed, Genralization In The Writing Of History, Chicago: The
University Of Chicago Press, 1980.
. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: Yayasan
Penerbit Universitas Indonesia, 1975.
Hassan Bassry, Kisah Gerila Kalimantan, Bandjarmasin: Jajasan Lejtur Lambung
Mangkurat, 1961.
Irwin, Graham, Nienteenth-Century Borneo, Study is Diplomatic Rivaly, Singapore:
Donald More Books, 1967.
Jansen, Clifford, Beberapa Aspek Sosiologis dari Migrasi, Yogyakarta: Pusat
Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 1980.
J. U. Lontaan, Sejarah-Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta:
Bumi Restu, 1975.
Kapal Indonesia, Djakarta: Direktorat Djenderal Produksi dan Djasa Maritim
Departemen Perhubungan, 1969.
Koentjaraningrat, ed, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT.
Gramedia, 1981.
Kuntowijoyo, Kegunaan Sejarah Lisan dalam penulisan Sejarah Nasional,
Seminar Sejarah Indonesia ke III, 1981.
La Side, Peranan Kerajaan Gowa Sebagai Negara Maritim Abad 16 dan 17,
Seminar Seharah Indonesia ke II, 1970.
Lawalata, Herman, A. C. Masalah Pokok Eksploitasi Pelayaran Niaga, Jakarta:
Pustaka Maritim Indonesia, 1980.
Mayur, Gt. Perang Banjar, Banjarmasin: CV. Rapi, 1974.
M. Idwar Saleh, Sedjarah Bandjarmasin, Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru,
t.t.
Moh. Ali, R. Peran Bangsa Indonesia dalam Sedjarah Asia Tenggara, Djakarta:
Bhratara, 1963.
M. Pardi, Pelajaran Stabilitet, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1965.
Muchtar Luffti, et al., eds, Sejarah Riau, Pekanbaru: Riau, 1977.
Nasikoen, Modernisasi Versus Tradisionalisme, Yogyakarta: Fakultas Sosial dan
Politik UGM, 1979.
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Djambatan, 1983.
Pekan Kontak Tani-Nelayan IV di Barabai, Martapura: Kantor Departemen
Penerangan Kabupaten Banjar, 1981.
Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI 1961, Bandung: Yayasan
Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1979.
Radiks Purba, Angkutan Laut, jilid II, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.
. Carter Kapal, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1981.
Ras, J. J. Hikajat Bandjar: A Study In Malay Historiography, Deen Haag: The
Hague, Martinus Nijhoff, 1968.
Sartono Kartodirdjo, ed, Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial,
Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977.
. et al., ed. Sejarah Nasional Indonesia, jilid I dan II, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
. Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam
Perkembangan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Studi
Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, 1978.
Sartono Kartodirdjo, “Modernisasi Dalam Perspektif Sejarah”, Bacaan Sejarah, no.
1. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM, 1978.
. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu
Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
. Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme, Jakarta:
Departemen Hankam Pusat Sejarah ABRI, 1973.
Schumacher, E. F. Small is Beautiful: A Study of Economics As if People Mattered.
London: Sphere Books, 1975.
Shields, E.E. An Analysis of Vessel Utilization Problems Exsistent Within The Gield
of Sea Communications of The Republic of Indonesia, Djakarta: United State
Operations Missions To Indonesia Industry And Transportation Division,
1960.
Slamet Mulyono, Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-
negara Islam di Nusantara, Djakarta: Bhratara, 1968.
Soedjono Kramadibrata, Perencanaan Pelabuhan, Bandung: Ganesa Exact, 1985.
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1982.
S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara Dengan Perkembangannya, Yogyakarta:
Liberty, 1984.
Suwarno Wiryomartono, Konstruksi Kayu, jilid I, Yogyakarta: Fakultas Teknik
UGM, 1976.
Taufik Abdullah, Beberapa Aspek Penelitian Sejarah Lokal, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.
. ed. Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1979.
T. Ibrahim Alfian, “Teori Dalam Sejarah”, Bacaan Sejarah, no. 10, Yogyakarta:
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, 1980.
Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakarta: Endang, 1958.
. Kalimantan Membangun. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset,
1979.
Vetter, C. Richard, ed. Oceanography, the Last Frontier, Washington, DC: United
State Information Agency, 1974.
Vredenbregt, J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia,
1981.
Wiwoho Soedjono, Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya Dengan Wawasan
Nusantara, Jakarta: Bina Aksara, 1983.
II. ARSIP DAN DOKUMENTASI
Arsip Nasional, Borneo Zuid En Oostkust, bundel no. 122 tentang “Laporan
Mengenai Hasil Perjalanan Sepanjang Sungai Barito, 1847”.
Arsip Nasional, Borneo Zuid En Oostkust, bundel no. 122 tentang “Laporan
Perjalanan Dari Banjarmasin ke Pegatan, 1846”.
Bahan Expose: Permasalahan dan Pemecahan Masalah LLAJR dan LLASDP di
Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Kantor Wilayah XI Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983.
Berita Resmi Propinsi Kalimantan, Lembaran Propinsi Kalimantan, no. 2 (10
Februari 1955), no. 3 (10 Maret 1955), no. 8 (20 Juni 1955), no. 9 (30 Juni
1955), nso. 10 (10 Juli 1955) dan no. 11 (20 Juli 1955), Banjarmasin: Kantor
Propinsi Kalimantan Selatan, 1955.
Biro Klasifikasi Indonesia: Buku Pengantar, Djakarta: Departemen Perhubungan
Laut, 1965.
Buku Petunjuk Territorial Untuk Daerah Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Ass-
Terr Laksus Kopkamtib Daerah Kalimantan Selatan, 1971.
Data Kalimantan Selatan Pelita I s/d III, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi
Kalimantan Selatan, 1982.
Kalimantan Selatan Dalam Angka 1980, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi
Kalimantan Selatan, 1982.
Kalimantan Selatan Dalam Angka 1981, Banjarmasin: Kantor Statistik Propinsi
Kalimantan Selatan, 1982.
Laporan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan Pada Upacara
Penerimaan Proyek-proyek Pembangunan di Kalimantan Selatan,
Banjarmasin: Kantor Penerangan Propinsi Kalimantan Selatan, 27 April
1977.
Laporan Pengeluaran: Surat Tanda Kecakapan Tahun 1983, Banjarmasin: Kantor
Wilayah XI Bidang LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan/ Tengah, 1983.
Laporan Tahunan Inspeksi LLAJR 1978, Banjarmasin: Kantor Inspeksi LLAJR
Propinsi Dati I Kalimantan Selatan, 1978.
Laporan Tahunan Inspeksi LLASDP 1975-1981, Banjarmasin: Kantor Inspeksi II
LLASDP Propinsi Kalimantan Selatan, 1981.
Laporan tahunan Inspeksi LLAJR 1975-1981, Banjarmasin: Kantor Inspeksi
LLAJR Propinsi Kalimantan Selatan, 1981.
Monografi Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar, Martapura: Bappeda Kabupaten
Dati II Banjar, 1982.
Pelayaran Nasional dan Pengaturan Wilayah, Jakarta: Direktorat Publikasi
Departemen Perhubungan RI, 1974.
Pendapatan Regional Propinsi Kalimantan Selatan 1975-1981, 2 jilid.
Banjarmasin: Kantor Statistik dan Bappeda Propinsi Kalimantan Selatan,
1983.
Peratoeran Karana Orang-orang Militair Menoempang Kapal-kapal Asap Hindia.
Kompani Kapal Asap Tambangan Keradjaan, 1891.
Peraturan Tentang Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut, Djakarta: Biro
Klasifikasi Indonesia, 1968.
Petunjuk Pelaksanaan Tarif Jasa-jasa Pelabuhan di Lingkungan Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut Sebagai Pelaksanaan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor: KM. 49/PR-302/PHB-83 Tanggal 19 Januari 1983.
Jakarta: Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,
26 Januari 1983.
Pokok-pokok Hasil Survey Resettlement Penduduk di Riam Kanan Atas. Martapura:
Team Pelaksana Proyek Resettlement Penduduk Dati I Kalimantan Selatan,
1976.
Prasarana Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Seminar
Pelita III Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, 16-20 Oktober 1978.
Salinan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan
Nomor: 13/ IX-2-2-1975. Menetapkan Peraturan Daerah Tanggal 9 Januari
1974 No. 1 Tahun 1974 Tentang Perusahaan Daerah Pelayaran Nusantara
“PD. Pustaka” Banjarmasin. Banjarbaru, 22 Februari 1975.
The Port Of Makassar, Banjarmasin And Palembang Republic Of Indonesia,
Report By The Port Survey Team Of The United State Nations Economis
Communication For Asia And The Far East, 1968.
Verzameling Residentie Verordeningen, Zuider En Oosterafdeeling Van Borneo,
Banjarmasin: Boemi Poetra, 1941.
III. MAJALAH DAN SURAT KHABAR
a. Majalah
A. Baiquni, “Masalah Pengendalian Efek Samping Teknologi”, Prisma, no. 6,
Jakarta: LP3ES, Juni 1979, hlm. 49-52.
Alfian Muthalib, “Masalah Penggelaran SBBN-Trident di Samudera Hindia”,
terbitan berkala Analisa, no. 12, Jakarta: CSIS, 1982, hlm. 1118-1127.
A. R. Sutopo, “Suatu Pendekatan Barat Terhadap Samudera Hindia”, terbitan
berkala Analisa, no. 8, Jakarta: CSIS, 1980, hlm. 399-415.
Asetya Jaka Munantha, “Membuat Perahu Kayu”, Mutiara, no. 334. Nopember-
Desember 1984.
Asnani Usman, “Masalah Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif 200 Mil
Indonesia”, Analisa, no. 8. Jakarta: CSIS, 1981, hlm 712-731.
“Bagarit Minjangan Tradisional”, majalah tak berkala Bandarmasih, no. 2.
Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1983, hlm. 54-72.
“Berakit-rakit di Dalam Rumah”, Tempo, 5 September 1981, hlm. 77-79.
B. Wiroguno, “Samudera Hindia Fokus Konfrontasi Super Power”, Analisa, no. 5,
Jakarta: CSIS, 1980, hlm. 391-398.
Dick, H. W. “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part I, Bulletin Of Indonesia
Economic Studies, no. 2 (1975), hlm. 69-106.
. “Prabu Shipping In Eastern Indonesia”, part II, Bulletin Of
Indonesia Economic Studies, no. 3 (1975), hlm. 81-103.
Endi Rukmo, “Rezim Baru Dalam Hukum Laut dan Implikasinya Terhadap
Kekuatan Laut di Asia Tenggara”, Analisa, no. 8. Jakarta: CSIS, 1981, hlm.
733-741.
Iskandar Alisjahbana, “Teknologi”, Prisma, no. 1, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 48-
50.
M. Idwar Saleh, “Bandarmasih”, Bandarmasih, no. 1. Banjarbaru: Museum Negeri
Lambung Mangkurat, 1983, hlm. 4-7.
. “Sekelimut Mengenai Rumah-rumah Tradisional Banjar”,
Bandarmasih, no. 2. Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat,
1983, hlm. 1-32.
Ronald Nangoi, “Arti Samudera Hindia Bagi Australia”, Analisa, no. Jakarta: CSIS,
1980, hlm. 134-147.
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan:
Mengembangkan Teknologi Berwajah Manusiawi”, Prisma, no. 6. Jakarta:
LP3ES, 1979, hlm. 3-11.
Shamsher Ali, “Inter-Island Shipping”, Bulletin Of Indonesia Economic Studies,
no. 3 (1969). hlm. 27-49.
William, L. Collier, “Lima-puluh Tahun Transmigrasi Spontan Dan Transmigrasi
Pemerintah di Tanah Berawa Kalimantan”, Prisma, no. 5. Jakarta: LP3ES,
1980, hlm. 12-35.
b. Surat Khabar
“Akibat Di hantam Gelombang, Sebuah Klotok Tenggelam dan Dua
Penumpangnya Hilang”, Banjarmasin Post, 22 September 1983.
“Akibat Gelombang Speed, 10 Pelajar SD Tercebur ke Sungai” Banjarmasin Post,
26 Agustus 1983.
“Akibat Membawa Penumpang Melebihi Ketentuan: Pengusaha KM Nurlita Akan
Diproses Menurut Hukum Yang Berlaku”, Banjarmasin Post, 4 Oktober
1983.
“Anjir Talaran Tak Jadi Dikeruk Akhirnya Para Petani Pergi”, Kompas, 23 Maret
1985.
Berantakan, Dermaga Bis Air di Banjarmasin”, Kompas, 20 Mei 1983.
“Berenteng”, Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.
“Bis Air Sarat Penumpang Tenggelam di S. Kapuas: 32 Tewas, 115 Selamat,
Jumlah Penumpang Belum Diketahui”, Kompas, 6 Mei 1983.
“Bus Air Karya Express Tenggelam di Tumbang Nusa”, Banjarmasin Post, 6
Oktober 1983.
“Bus Air KM Setia Budi Tenggelam di Sungai Kapuas: Empat Anak Meninggal,
30 Orang Lainnya Terkurung”, Pelita, 6 Mei 1983.
“Citra ‘Kota Air’ Banjarmasin Akan Dihidupakan Lagi”, Kompas, 14 Juni 1985.
“Delapan Buah Rakit Kayu Bulat Ditahan Petugas di Jenamas Karena Kubikasinya
Tidak sesuai Dengan Dokumen”, Banjarmasin Post, 23 September 1983.
“Diduga Korban Kecelakaan PLM Sumber Maju: 26 Mayat Ditemukan Terapung
di Perairan Tanjung Selatan Kal-Sel”, Banjarmasin Post, 21 Agustus 1983.
Enceng Gondok Di Sungai Negara: Jadwal Pelayaran Terganggu Enceng Gondok”,
Kompas, 21 Februari 1983.
Iskandar Alisjahbana, “Indonesia Dan Revolusi Industri II”, Kompas, 25 September
1982.
. “Revolusi Industri Kedua: Benarkah Dampaknya Mulai Terasa”,
bag. I, Kompas, 23 Agustus 1982.
. “Revolusi Industri Kedua: Benarkah Dampaknya Mulai Terasa”,
bag. II, Kompas, 24 Agustus 1982.
“Ka Kanwil Hubda Kalsel: Tenggelamnya KM Setia Budi Karena Kesalahan
Nahkoda”, Sinar Harapan, 9 Mei 1983.
“Kapal Alat Transportasi Yang Tepat Untuk Kalteng”, Banjarmasin Post, 26
September 1983.
“Kapal-kapal TNI AL Bantu Selamatkan Penumpang Dan ABK KM Krakatau dan
Sumber Maju”, Banjarmasin Post, 10 Agustus 1983.
“Kapal Layar Bermotor Jaya Murni Bawa penumpang Selundupan”, Banjarmasin
Post, 1 Agustus 1983.
“Karena Jukung Terbalik Ditabrak Tugboat: Enam Orang di Bawah umur 7 Tahun
Nyaris Lemas Di Sungai Barito”, Banjarmasin Post, 28 Agustus 1983.
“Kasus Tabrakan KM Sinar Harapan Denagan KM Belatuk Disidangkan”,
Banjarmasin Post, 12 September 1983.
“Kasus Tenggelamnya KM Setia Budi Disidangkan”, Banjarmasin Post, 22 Juli
1983.
“Kasus Tenggelamnya KM Setia Budi Mulai Diperiksa Pengadilan”, Banjarmasin
Post, 28 Juli 1983.
“Kasus Tenggelamnya ‘Setia Budi’: Kapal Tampung Penumpang Tiga Bisa Air
Lainnya”, Kompas, 9 Mei 1983.
“Kisah Dibalik Tenggelamnya PLM Sumber Maju: Hampir Sebagian Penumpang
Kena Tupu”, Banjarmasin Post, 8 Agustus 1983.
“KM Budi Setia Tenggelam, 4 Anak Tewas, 30 Masih Dalam Pencarian”,
Banjarmasin Post, 6 Mei 1983.
“KM Nurlita 7 Yang Bocor di P. Sambit Akibat Kelebihan Penumpang”,
Banjarmasin Post, 3 Oktober 1983.
“Korban Bis Air Bertambah Seorang: Masih Banyak Mayat Terkurung Dalam
Kapal”, Kompas, 7 Mei 1983.
“Korban Yang Tewas Bertambah Menjadi 33 Orang: KM Setia Budi Yang
Tenggelam Tidak Memiliki Surat Ijin Berlayar”, Sinar Tenggelam, 7 Mei
1983.
“Lanjutan Sidang Kasus Bus Air KM Setia Budi: Penumpang Bertambah Sesak
Setelah Singgah di Pulang Pisau”, Banjarmasin Post, 3 Agustus 1983.
“Lanjutan Sidang Tenggelamnya Bus Air KM setia Budi: Juragan Dan Pembantu
Juragan KM Setia Budi Di tuntut Hukuman 9 Tahun Penjagra”,
Banjarmasin Post, 1 Oktober 1983.
“53 Mayat Korban PLM Sumber Maju Dimakamkan Di Batakan”, Banjarmasin
Post, 1 September 1983.
“L. C. M. Jackyline Milik PT. Sarpatim Tenggelam Di Ambang Barito”,
Banjarmasin Post, 24 September 1983.
Loekman Soetrisno, “Sosiologi Industrialisasi Di Negara Sedang Berkembang”,
Kompas, 4 Oktober 1982.
Maruli Tobing dan Ibrahimsyah Rahman, “Proses Sosial-Ekonomi Nelayan di
Kaltim: ‘Ponggawa’ Simpul Kemelaratan Nelayan”, Kompas, 15 Nopember
1982.
“Musibah Di Sungai Kapuas”, Banjarmasin Post, 7 Mei 1983.
Noor Satega Ali, “Dahulu Kendari Perkampungan Sekelompok Kecil Nelayan”,
Kompas, 24 Nopember 1982.
Notosutardjo, “Mengikuti Perjalanan Bung Karno Ke Kalimantan Tanggal 14-20
Juli 1957”, Pemuda, 30 Juli-4 Agustus 1957.
Pande Radja Silalahi, Industrialisasi Di Indonesia Dan Revolusi Industri Kedua”,
Kompas, 3 September 1982.
“Pembuatan Perahu Merusak Kelestarian Hutan Setempat”, Kompas, 1 Maret 1983.
“Pengangkutan Barang Ekspor Ke Surabaya Terganggu Karena KM Bengawan
Bocor”, Banjarmasin Post, 19 Juli 1983.
“Pengusaha Taksi dan Penumpanga Sama-sama Mengeluh”, Kompas, 24
September 1984.
“Perahu Jenis Lampi Akan Diproduksi Galangan Kapal Koperasi”, Kompas, 19
Februari 1983.
“Perbaikan Jalan Kandangan-Negara Tambal Sulam dan Terus Tertunda”, Kompas,
2 Januari 1985.
“Perlu Ditinjau Kembali SK Menhub Tentang Biaya Penyeberangan: Tidak Ada
Kebijaksanaan Di Penyeberangan LLASDP Samarinda”, Banjarmasin Post,
23 Agustus 1983.
“Photo Udara Untuk Pengaliran Sungai Negara”, Banjarmasin Post, 28 September
1983.
“PLM Sumber Wangi Yang Berpenumpang 200 orang Lebih Tenggelam Di
Tanjung Selatan”, Banjarmasin Post, 6 Agustus 1983.
“Pos Liar Jasa Raharja Di Muara Sungai Antasari Kuwin”, Banjarmasin Post, 15
Juli 1983.
“Produksi Ikan Kabupatenn Pulau Laut Untuk Tahun 1983 Akan Mengalami
Kemerosotan”, Banjarmasin Post, 28 Juli 1983.
Schophuys, H. J. “Polder, Pembukaan Persawahan Pasang Surut Gaja Lama dan
Gaja Baru”, Kompas, 7 Nopember 1969.
“Sekitar Tenggelamnya KM Setia Budi: Korban Meningkat Jadi 36 Orang,
Pencaharisan Terus Dilakukan, Banjarmasin Post, 8 Mei 1983.
“Sekitar Tenggelamnya KM Setia Budi: 119 Penumpang Selamat, 32 Ditemukan
Jadi Mayat, Diperkirakan Masih Banyak Mayat Terkurung Dalam Kapal”,
Banjarmasin Post, 6 Mei 1983.
“Sidang Lanjutan KM Setia Budi: Menurut Saksi Yang Memerintahkan Juragan
Jalan Marabahan Adalah Cincu”, Banjarmasin Post, 10 September 1983.
Soemarkotjo Soediro, “Ajo Bung, Ke Kalimantan Babat Alas Mertani: ‘Angkatan
Mertani’ Dan Masalahnya”, Kompas, 1 Oktober 1969.
. “Issue Dan Mesiu Sepanjang Andjir”, Kompas, 4 Oktober
1969.
. “Mungkinkah Mertani Gotong Royong”, Kompas, 2 Oktober
1969.
. “Tiga ‘Djagoan’: Schophuys, P. Noor Soenarjo”, Kompas, 3
Oktober 1969.
“Sudah 30 Korban Tewas Ditemukan Di Perairan Barito: KM Setia Budi Yang
Tenggelam Diduga Memuat Penumpang Lebih”, Sinar Harapan, 6 Mei
1983.
Terus Jadi Masalah Angkutan Kayu Dengan Tongkang”, Kompas, 1 Maret 1983.
“Tiga Orang Petugas LLASDP Kapuas Dimintai Keterangan Sebagai Saksi Ahli”
Banjarmasin Post, 1 September 1983.
“Tukang Rakit Jual Jasa Sarana”, Kompas, 15 Mei 1983.
“74 Ekor Hewan Korban Untuk Banjarmasin Tenggelam Di Muara Sungai Barito”,
Banjarmasin Post, 16 September 1983.
“Usaha Penyelundupan Barang-barang Ex Luar Negeri Melalui Pelabuhan Trisakti
Dapat Digagalkan”, Banjarmasin Post, 23 Agustus 1983.
IV. NARA SUMBER
1. Abdurrakhman, 70 tahun, Takisung-Tanah Laut
2. Kaderi, 69 Tahun, Barabai
3. Syamsi, 72 tahun, Banua Anyar-Banjar
4. Asyari, 45 tahun, Banjarmasin
5. Basuki, 50 tahun, Kandangan
6. Hamsani, 56 tahun, Tanjung
7. Hapsyah, 56 tahun, Martapura
8. H. Darmawi, 60 tahun, Banjarmasin
9. H. Gani, 62 tahun, Pangambangan-Banjarmasin
10. Imuk, 60 tahun, Kandangan
11. Masdar, 59 tahun, Barabai
12. M. Idwar Saleh, 55 tahun, Banjarmasin
13. Mugeni, 71 tahun, Kuwin-Banjarmasin
14. Murah, 66 tahun, Aluh-aluh-Banjar
15. M. Anang, 61 tahun, Banjarmasin
16. Padli, 68 tahun, Sungai Batang-Banjar
17. Padliansyah, 57 tahun, Plehari
18. Rodiyah, 68 tahun, Martapura
DAFTAR SINGKATAN
Ass-Terr : Assisten-Territorial
Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
cm2 : centimeter persegi
cm3 : centimeter kubik
Dit. Jen : Direktorat Jenderal
DLLAJR : Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya
DLLASDP : Dinas Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan
ed. : editor
et al. : et alibi
hlm. : halaman
I bid. : I bidem
Kal-Sel/ Teng : Kalimantan Selatan/ Tengah
kg : kilogram
km. : kilometer
Kopkamtib : Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
KPLP : Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai
Laksus : Pelaksana Khusus
LLAJR : Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya
LLASDP : Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
loc. cit. : loco citato
LPHH : Lembaga Penelitian Hasil Hutan
LPPK : Lembaga Pusat Penyelidikan Kehutanan
LP3ES : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial
m : meter
No., no. : Nomor, nomor
op. cit : opera citato
Pelita : Pembangunan Lima Tahun
Perhubda : Perhubungan Darat
PK : Paardekracht
PP : Peraturan Pemerintah
PUT : Pekerjaan Umum dan Tenaga
Satpolair : Satuan Tugas Polisi Perairan
s/d : sampai dengan
STK : Surat Tanda Kecakapan
terj. : terjemahan
t.t : tanpa tahun
UU : undang-undang
Profil Penulis
Bambang Subiyakto, lahir di Ciamis pada 09 Februari 1956,
Menyelesaikan jenjang pendidikan S1 dan S2 pada jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Jenjang S3
pada jurusan Pendidikan IPS (Social Studies Education) SPs
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pernah duduk sebagai
Kepala Perpustakaan Univ. Lambung Mangkurat 2007-2009 dan
sebagai Dewan Redaksi Jurnal Kebudayaan “Kandil”. Sampai saat ini
sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Pendidikan Islam Pangeran
Antasari Martapura. Pernah aktif pada berbagai organisasi porfesi
maupun kemasyarakatan seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia
Kalsel (Ketua), SOKSI Kab. Banjar (Sekretaris), PPM Kab. Banjar
(Sekretaris), FKPPI Kab. Banjar (Wakil Ketua), dan AMPI Kab. Banjar (Wakil Ketua). Pendidikan
SD sampai dengan SMA di diselesaikan Banjarmasin. Kontributor tulisan untuk beberapa buku di
antaranya “Infrastruktur Pelayaran Sungai: Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970” dalam Freek
Colombijn dkk (eds.), Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di Indonesia (2005); “Anjir,
Bubuhan dan Kayuh Baimbai, Sumber Daya Budaya Masyarakat Banjar” dalam Heddy Shri
Ahimsa-Putra (ed.), Arkeologi Dan Sumber Daya Budaya Di Kalimantan, Masalah dan Apresiasi
(2011); Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Upaya dan Ajaran Nilai-Nilai Karakter Dalam
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (Disertasi, 2015). “Strategi Guru Dalam Menanamkan
Nasionalisme Kepada Peserta Didik” dalam Developing Education: Based On Nationalism Values
(2016); dan “Nasionalisme Indonesia (Analisis Teoritik Fenomena Historis Pergerakan Nasional
Indonesia” dalam Pendidikan Sejarah, Patriotisme & Karakter Bangsa Malaysia – Indonesia (2017).
Adapun beberapa karya terbaru sebagai berikut; 1) The Government Reform on Healthcare Facilities
From The Standpoint of Service Quality Performance, International Journal of Economics and Finance
Studies, Volume 12, Nomor 1, Tahun 2019; 2) Social Capital In Social Studies Through Zoning School
System, International Journal Pedagogy of Social Studies, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2019; 3) Loksado
Tourism as the Development of the People's Economy in Historical Perspective (Proceedings of the 5th
International Conference on Advances in Education and Social Sciences, 2019); dan 4) Pangeran
Hidayatullah: Perjuangan Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin, Buku Referensi, terbitan Arti Bumi
Antaran dan Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, 2020. Email: bambangsb@ulm.ac.id; Telepon:
0853-1574-8169.
Profil Editor
Ersis Warmansyah Abbas, lahir di Solok, pada 07 Juni 1956.
Pendidikan S1 diselesaikan pada Program Studi Pendidikan
Sejarah IKIP Yogyakarta pada tahun 1981. Pendidikan S2
diselesaikan pada Program Studi Pengembangan Kurikulum
IKIP Bandung pada tahun 1995. Pendidikan S3 diselesaikan
pada Program Studi Pendidikan IPS Universitas Pendidikan
Indonesia Bandung pada tahun 2013. Merupakan guru besar
pada bidang pendidikan IPS dan sebagai koordinator Program
Studi S1 Pendidikan IPS, FKIP Universitas Lambung
Mangkurat. Untuk mendukung dan mengembangkan
keprofesionalannya, juga aktif sebagai Presiden Lembaga
Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan dan
Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia DPW ADI
Kalimantan Selatan. Tulisannya banyak dimuat pada beberapa
jurnal nasional maupun internasional diantaranya The
Prospective Innovator In Public University by Scrutinizing Particular Personality Traits (2019),
The Impact of Selected Quality Management Attributes on The Profitability of Top Hotels in the
Visegrad Group countries (2019). Menulis Ala Ersis Writing Theory (2018), Penguatan Pendidikan
IPS Di Tengah Isu-Isu Global (2018), Prophetic Education of Guru Sekumpul for Social Studies
Education (2017), A New Creative Model Of Da'wah As A Medium Of Economic Development In
Indonesia (2017). Kecintaannya terhadap kegiatan menulis dan memotivasi berbagai kalangan untuk
menulis maka dituangkan ke dalam karya berupa buku tentang “menulis”, diantaranya Suer, Menulis
Itu Mudah, Menulis Membangun Mindset, Menulis Menyenangkan, Indonesia Menulis (Perjalanan
Spritual), Menulis Enjoy-Enjoy Sajalah, Menulis Membangun Peradaban, Menulis Mudah
Memudahkan Menulis, Menulis Menyenangkan, Indonesia Menulis, Menulis Gembira, Menulis
Berbunga-Bunga. Email: ersiswa@ulm.ac.id; Telepon: 0878-1608-5545.
Syaharuddin, Lahir di Santan Ilir (Kutai Kartanegara), 1 Maret
1974. Menempuh pendidikan SD hingga SLTA di Kota Bontang.
S1 Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat
(lulus 2008), S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gajah Mada, dan menyelesaikan jenjang S3 pada jurusan
Pendidikan IPS (Social Studies Education) SPs Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung. Adapun beberapa karya tulis
yang dipublikasi antara lain; “Transformasi Nilai-Nilai
Kejuangan Masyarakat Banjar pada Periode Revolusi Fisik
(1945-1950): Studi Etnopedagogi dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan IPS”, (Disertasi, 2015), “Orang Banjar
Menjadi Indonesia:Dinamika Organisasi Islam Di Borneo
Selatan 1912-1942 (2009), Pemetaan Sarana dan Prasarana
Pendidikan Kab. Banjar (Tim Penulis, 2010), Metodologi
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial: Konsep dan Implementasi (Tim
Editor, 2013), Ethnopedagogy: The Proceeding of International Seminar on Ethnopedagogy (Tim
Editor, 2015), Strategi Pembelajaran IPS; Konsep dan Aplikasi (Penulis buku, 2020), aktif menulis
artikel nasional dan internasional, serta pertemuan ilmiah lainnya. Email: syahar@ulm.ac.id;
Telepon: 0878-5684-3446.
Mutiani, lahir di Banjarmasin 07 September 1989 merupakan
dosen pada Program Studi Pendidikan IPS FKIP Universitas
Lambung Mangkurat. Pada jenjang pendidikan Strata 1
diselesaikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Lambung Mangkurat tahun 2012. Jenjang Strata 2
diselesaikan pada Program Studi Pendidikan IPS Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2015.
Selain rutinitas aktivitas akademik, penulis aktif berpartisipasi
menulis dalam beberapa seminar nasional, internasional, dan
jurnal-jurnal. Adapun beberapa karya tulis yang telah
dipublikasikan; “Pemanfaatan Puisi Sebagai Sumber Belajar
IPS untuk Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan Peserta
Didik Di SMP Negeri 6 Banjarmasin” (Tesis, 2015), “IPS dan
Pendidikan Lingkungan: Urgensi Pengembangan Sikap
Kesadaran Lingkungan Peserta Didik” (Jurnal, 2017),
“Education and Multiculturalism: The Road Ahead Harmony In Globalization” (Prosiding
Internasional, 2017), “Literasi Budaya Lokal Sebagai Wahana Edukasi Di Era Milenial (Prosiding
Nasional, 2018)”, “SOCIAL CAPITAL DAN TANTANGAN ABAD 21: Kontribusi Pendidikan IPS
dan Eksplorasi Nilai Sosial melalui Biografi KH Zainal Ilmi (Jurnal, 2019)”, Strategi Pembelajaran
IPS; Konsep dan Aplikasi (Penulis buku, 2020), serta beberapa artikel ilmiah lainnya. Email:
mutiani@ulm.ac.id; Telepon: 0812-5181-7222.