Post on 22-Oct-2015
description
1
BAB I
PENDAHULUAN
Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang
terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi vesikular herpes zoster.
Dari data yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan
mengalami neuralgia paskaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut
dan beberapa diantaranya ada yang mengalami gejala ini dalam 1 tahun bahkan
sepanjang hidupnya. Kronik neuralgia paskahepertik ini terjadi pada sekitar 10-
15% dari semua pasien dengan herpes zoster. Dari suatu penelitian, diperkirakan
sekitar 20% pasien dengan herpes zoster menjadi neuralgia pascaherpetik (NPH).
Faktor risiko yang diketemukan berperan yaitu faktor usia, yang mana komplikasi
ini terjadi 15 kali lebih tinggi pada mereka yang berusia > 50 tahun.1-3
Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung terus-menerus selama
bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup, antara lain
mengganggu tidur dan kegiatan sehari-hari sehingga mengganggu produktivitas
pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia paskaherpetika dapat
diprediksi, sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat diminimalkan atau tidak
terjadi.3,4
Beberapa faktor seperti replikasi virus rendah yang persisten atau
perubahan yang permanen karena inflamasi yang berat yang disebabkan oleh
infeksi herpes akut menyebabkan terjadinya kelainan pada sistem saraf. Terdapat
2
beberapa faktor yang menentukan mengapa hanya pada beberapa pasien yang
mengalami neuralgia post herpetic. Berikut pada makalah ini akan dibahas
mengenai patofisiologi, penanganan serta pencegahan neuralgia post herpetik.2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Herpes zoster
Seseorang mengalami herpes zoster karena reaktivasi virus Varicella
zoster yang dorman di ganglion posterior medula spinalis atau saraf kranialis yang
biasanya disebabkan oleh penurunan sistem imun. Lesi kulit timbul berupa vesikel
yang bergerombol dengan dasar eritema, biasanya berlokasi sesuai dermatom
persarafan tempat virus tersebut teraktivasi dan unilateral. Ini juga disebut dengan
nama shingles. Virus dapat pula menyerang ganglion anterior sehingga gejalanya
berupa gangguan motorik. Masa aktif penyakitnya berlangsung selama 2-3
minggu pada orang muda, dan dapat mencapai 6 minggu pada orang tua atau
pasien dengan penurunan sistem imun.3,5
Beberapa hari sebelum lesi kulit timbul, pasien biasanya merasa nyeri di
lokasi yang terkena. Lesi kulit dapat juga muncul tanpa didahului rasa nyeri, atau
bahkan tidak disertai rasa nyeri. Pada keadaan tertentu dapat juga terjadi nyeri
tanpa lesi kulit di tempat tersebut.3
Pada awalnya erupsi berupa papul dan plak eritem yang dalam beberapa
jam akan menjadi vesikel. Vesikel-vesikel baru terus terbentuk selama beberapa
hari, biasanya 1-5 hari, dipengaruhi usia pasien, beratnya penyakit, dan imunitas
pasien. Vesikel baru menandakan aktivitas replikasi virus. Vesikel selanjutnya
dapat berubah menjadi bula, vesikel hemoragik, pustul, krusta, lalu menyembuh.3
4
2.2. Definisi
Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang
terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi vesicular herpes zoster.2,3
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster.
Kurang dari seperempat pasien masih merasakan nyeri 6 bulan setelah lesi herpes
zoster muncul, bahkan ada yang masih merasakan nyeri setelah 1 tahun. Pasien
mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus dengan
atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya dapat muncul
spontan dan dapat diperberat hanya dengan sentuhan ringan seperti kontak kulit
dengan pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin. Aktivitas fi sik,
perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas hidup pasien
dapat sangat terpengaruh sampai mengalami depresi.3
Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu
dorsalis medula spinalis ipsilateral sebagian karena hilangnya myelin, sedangkan
pada pasien pernah menderita herpes zoster yang tidak mengalami neuralgia
pascaherpetika tidak didapatkan atrofi tersebut. Pada biopsi kulit, di tempat yang
mengalami neuralgia pascaherpetika terdapat penurunan densitas persarafan
sensorium epidermal dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak
mengalami neuralgia pascaherpetika.3,6
5
2.3. Epidemiologi
NPH pada umumnya tidak terjadi pada setiap pasien dengan herpes zoster,
walaupun insidensinya meningkat seiring dengan meningkatnya usia, khususnya
pada usia 60 tahunan ke atas dan lebih. Insidensi NPH sekitar 5% pada pasien
dengan herpes zoster diusianya yang ke 60’an, dan mencapai 10% pada mereka
yangberusia 80’an.7
2.4. Faktor risiko
Faktor-faktor vyang diketemukan berperan dalam terjadinya NPH ini
yaitu:2
• Faktor usia, dimana usia > 50 tahun memiliki risiko menderita PNH > 15
kali, yang mana ini dipengaruhi oleh daya imunitas tubuh
• Zoster oftalmik
• Riwayat nyeri prodormal sebelum munculnya lesi kulit
• Status immunokompromise seperti pada infeksi HIV dan kondisi-kondisi
tertentu seperti malignansi, pengggunakan kortikosteroid kronik,
kemoterapi, dan terapi radiasi
Selain itu faktor-faktor lainnya yang mmepengaruhi/menentukan
seseorang berkembang menjadi NPH dari herpes zoozter yaitu:2,8
1. Lokasi ruam pada wajah khususnya disertai dengan keterlibatan mata
2. Gangguan sensorik yang permanen pada area yang terpengaruhi
3. Lesi kulit yang berat
4. Peningkatan yang besar untuk titer antibodi virus varisella zoster
6
5. Intensitas nyeri herpes akut yang berat
6. Meningkatnya usia
7. Faktor psikologis, seperti gangguan kepribadian dan depresi
Herpes zoster dan NPH terjadi akibat reaktivasi virus varisella zoster dari
cabang ganglia dorsalis dan ini bertanggung jawab pada ruam dan nyeri
dermatomal yang klasik. Rasa terbakar yang khas pada ruam dalam beberapa hari
dan dapat bertahan hingga beberapa bulan setelah rash ini hilang.2
2.5. Patofisiologi
Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam
reseptor saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal.
Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh
serabut saraf Aδ dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal
yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf Aδ dan C
merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer.
Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara
lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri
tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf Aδ bermyelin tipis dan mengalirkan
stimulus dengan cepat. Serabut saraf Aδ merespons sentuhan ringan, suhu,
tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai
dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.3
7
Tabel tipe serabut saraf pada sistem saraf mamalia3
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri
neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf
pusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang
menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus.3
Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada
setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia
pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis
menyebabkan respon infl amasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan
kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal
sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf
perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis
(mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan
sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.3
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C
yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris
terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti
8
terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak
sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan
normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya
sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-
tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di
lapisan superfi sial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan
hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut
saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.3
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang
menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa
alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari
serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah
glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat
diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan
istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-hidroksi-5-
metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik
glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat
glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang
berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran
yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion
9
magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan
depolarisasi membran makin progresif.3
Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi,
yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun
kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya
remodelingdan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung
dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada
yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan
membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,
terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor
baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan
ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri
spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.3
10
Gambar patofisiologi nyeri pada NPH dan alur target terapi9
2.6. Manifestasi klinik
Sebagian besar pasien dengan NPH terdapat dalam 3 tipe gejala yaitu :2
1. Rasa terbakar spontan yang dalam dan berdenyut dan nyeri yang sakit
2. Nyeri yang tajam intermitten, seperti ditusuk-tusuk
3. Nyeri disestetik yang dicetuskan dengan stimulus taktil yang ringan
(allodynia) yang biasanya hilang setelah durasi rangsangan berakhir.
Allodynia juga dapat dirangsang dengan suhu dingin
2.7. Prediksi dan pencegahan
Kemungkinan menderita neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi dari
beberapa faktor risiko pasien tersebut. Faktor risiko utama untuk terjadinya
11
neuralgia paskaherpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang
berat, dan nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang
lebih 20% pasien berusia lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan
sejak awitan ruam kulit walaupun telah mendapatkan terapi antiviral. Pada
orangtua terjadi polineuropati subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah virus
yang lebih sedikit untuk menyebabkan neuralgia pascaherpetika dibandingkan
pada pasien muda.3
Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi
agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.
Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut.Terapi
antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika
dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat
menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan
menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan
adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan
mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia
pascaherpetika.3,10
Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster dan NPH
melalui profilaksis vaksinasi yang direkomendasikan oleh Centers for Disease
Control and Prevention(CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih.
Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau
lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia
12
pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6
tahun atau bahkan lebih.3,11
Berikut di bawah ini algoritma untuk pencegahan dan pengobatan NPH.12
2.8. Penatalaksanaan
Agen antiviral oral mulai diberikan untuk mencegah NPH. Banyak
penelitian mengevaluasi mengenai issue ini, tetapi hasilnya sangat bervariasi.
Berdasarkan temuan dari berbagai penelitian, terapi asiklovir menghasilkan
reduksi moderat pada perkembangan NPH. Valacyclovir, suatu produk sebelum
acyclovir, diberikan 3 kali perhari. Dibandingkan dengan acyclovir, valacyclovir
lebih menurunkan beratnya nyeri yang dihubungkan dengan herpes zoster,
sebsgaimana durasi NPH. Valacyclovir juga memiliki bioavailabilitas yang lebih
baik dibandingkan dengan acyclovir, dan pemberian peroral di dalam darah setara
13
dengan acyclovir secara intravena. Terapi NPH sampai sekarang ini masih
merupakan tantangan oleh para klinisi dan banyak pendekatan multifaktorial
yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pada NPH ini.2
1. Tindakan umum
Gunakan pakaian yang tidak ngepress (loose-fitting) dari cotton, ini yang
terbaik digunakan untuk mengurangi iritasi yang mengenai area yang terkena.
Nyeri dapat lebih terasa ringan dengan mendinginkan area yang terkena
dengan es batu yang dibungkus dengan kantong plastik atau dengan anduk
dingin. Lapisan filem digunakan untuk melapisi sisi yang digunakan sebagai
barrier antara kulit dengan kain. Ini memungkinkan pakaian menyentuh kulit
tanpa menimbulkan iritasi.2
2. Terapi topikal
Capsaicin merupakan material aktif pada hot chilli peppers. Substansi P,
suatu neuropeptida yang dilepaskan dari serabut saraf nyeri sebagai respon
dari trauma juga dilepaskkan ketika capsaicin diaplikasikan pada kulit dan
menimbulkan sensasi rasa terbakar. Analgetik terjadi ketika substansi P tidak
ada pada serabut saraf. Untuk mencapai respon ini, cream Capsaicin mesti
diaplikasikan pada area yang terkena 3-5 kali perhari. Pasien mesti
diberitahukan mengenai penggunakan cream Capsaicin ini secara teratur
untuk mendapatkan manfaatnya. Mereka juga perlu diberitahukan bahwa
nyeri akan meningkat selama beberapa hari pertama penggunaaan hingga satu
minggu setelah penggunaan cream Capsaicicn ini dimulai. Pasien mesti
mencuci tangan setelah mengaplikasikan krem ini untuk mencegah kontak
14
dengan area lain yang tidak terkena. Sekaran Capsaicin terbaru dengan
kandungan Capsaicin 8% (Qutenza ®) yang memberikan rasa lega yang
bermakna sekitar 50% pada pasien yang menggunakannya. Hal terbaik
mengenai terapi ini adalah ini merupakan terapi tunggal yang dapat
digunakan dalam jangka panjang. Patch Qutenza diaplikasikan selama 1 jam
dan memberikan efek anestesi dalam 1 jam kemudian. Selama penempatan
patch ini pasien akan merasakan nyeri yang sangat hebat yang dapat
dikurangi dengan mendinginkan area tersebut.2
Kontraindikasi Qutenza adalah pada kulit yang retak atau pecah-pecah yang
dapat menyebabkan reaksi lokal dan transient. Pada pasien hipertensi,
terdapat risiko peningkatan tekanan darah karena nyeri yang sangat berat
pada aplikasi local.2
Patch yang mengandung lidokain 5% lidokain ini memiliki aktivitas
blocking channel natrium yang dipercaya memiliki mekanisme mengurangi
intensitas nyeri ketika diaplikasikan secara topikal. Suatu penelitian
menemukan dibandingkan dengan tanpa terapi, patch lidokain mengurangi
intensitas nyeri, dengan absorbpsi sistemik yang minimal. Walaupun lidokain
ini mujarab dalam menghilangkan nyeri, efeknya hanya sementara saja,
bertahan sekitar 4-12 jam dengan masing-masing aplikasi. Lidokain patch5%
yang efeknya dapat terlihat mulai 2-3 minggu setelah pemakaian dimulai.
Tiga buah patch dapat digunakan dalam satu waktu pemberian. Caranya
adalah 12 jam digunakan, kemudian dilepaskan selama 12 jam. Lidokain
topikal yang dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif
15
daripada pemberian 2 agen tersebut secara terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan
0.075% dapat digunakan 3-4 kali sehari, namun harus diberitahu kepada
pasien bahwa akan terasa sensasi terbakar pada awal pemakaian.2,3
Aplikasi topikal yang juga digunakan yaitu dengan medikasi aspirin dan
inflamasi yang dicampur dalam kloroform, dietil ether dan bahan lainnya.
Ketika cairan pelarut mengalami evaporasi, obat aktif yang tertinggal akan
melakukan penetrasi ke akhiran saraf kutanenus. Namun ini kurang ampuh
dibandingkan dengan terapi konvensional.2
3. Terapi sistemik
• Antidepresan
TCA (trisiklik antidepresan) merupakan terapi sistemik pilihan pertama
untuk NPH, walaupun ada kekurangannya. Karena kemampuannya dalam
memblok reuptake noreepinefrin dan serotonin, obat-obatan ini dapat
mengatasi nyeri dengan meningkatkan inhibisi pada neuron-neuron spinal
yang terlibat dalam persepsi nyeri. Obat yang umum digunakan antara lain
amitriptilin, nortiptilin, imipramin dan despiramin. Direkomendasikan
memulai obat ini dengan dosis yang rendah saat jam tidur dan berkala
ditingkatkan hingga dosis optimal dimana nyeri sangat berkurang teratasi
tanpa adanya intoleransi atau efek samping yang dialami. Dosis
ditingkatkan setiap 2 hingga 4 minggu untuk mencapai dosis efektif. Semua
obat ini memiliki efek samping yang umum yang diantara berupa sedasi,
mulut kering, hipotensi postural, penglihatan yang kabur dan retensi urin.
Nortrptilin dan amitriptilin memiliki efikasi yang sama; namun nortriptilin
16
cenderung memberikan efek antikolinergik yang lebih sedikit dan ini lebih
baik ditoleransi. Terapi dengan TCA kadang-kadang dapat menyebabkan
abnormalitas konduksi jantung atau toksisitas liver. Masalah ini mesti
dipertimbangkan pada mereka yang lanjut usia dan pada pasien dengan
penyakit jantung atau liver. karena dapat menyebabkan takiaritmia dan
perpanjangan interval QT, sehingga harus dilakukan pemeriksaan
gelombang EKG dasar sebelum pengobatan. Obat-obatan ini tidak bereaksi
secara cepat, dan dari klinikal trial ditemukan paling tidak hingga 3 bulan
obat ini baru dapat mencapai respon pada pasien. Onset
hilang/berkurangnya nyeri dengan penggunaan TCA dapat meningkat dari
terapi awal pada perjalanan penyakit herpes zoster yang diberikan
bersamaan dengan terapi antiviral.2,3,13
Dosisnya dapat dimulai dengan 10-20 mg pada malam hari dititrasi sampai
75-100 mg/ hari, sekali sehari. Selain amitriptilin, obat golongan
antidepresan trisiklik lain yang dapat digunakan antara lain desipramin dan
nortriptilin. 3
• Antikonvulsan
Obat-obatan ini diketemuan sangatlah berguna pada pasien dengan nyeri
neuropatik dengan memblok pintu channel natrium dan menekan perubahan
spontan neuronal. Penitoin, karbamazepin dan gabapntin merupakan agen
yang umum digunakan. Semua obat-obatan ini biasnya digunakan dengan
dosis anti kejang maksimal. Karena efek sampingnya berupa gangguan
kognitif dan menimbulkan efek sedasi, sehingga penting sekali secara hati-
17
hati dalam memperhitungkan dosis penggunaannya. Sekarang ini, ini telah
ditemukan bahwa pregabilin dengan regimen dosis yang fleksibel secara
klinik signifikan mengurangi nyeri postherpetik dan juga memperbaiki
status kesehatan pasien. Gabapentin mencegah sensistisasi neuronal dari
kejadiannya walaupun mekanismenya masih belum diketahui secarqa pasti.
Ini dimulai dengan dosis 300 mg perhari dan maksimal 1200 mg atau yang
dapat ditoleransi pasien . Obat yang sering digunakan adalah antikonvulsan
gabapentin dan pregabalin. gabapentin dan pregabalin bekerja di subunit
α2δ yang terdapat pada kanal kalsium untuk menurunkan influks kalsium,
sehingga menginhibisi keluarnya neurotransmiter eksitatorik termasuk
glutamat yang merupakan neurotransmiter utama yang memelihara
sensitisasi sentral. Dosis awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x
300 mg pada hari ke dua, 3 x 300 mg pada hari ke tiga. Titrasi lalu
diperlambat sampai mencapai 3 x 600 mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus
dibagi 3-4 kali sehari karena waktu paruhnya pendek. Dosis pregabalin 150-
600 mg perhari, dibagi 2 dosis. Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi
nyeri sehingga akan memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup.
Pregabalin sendiri memiliki efek antiansietas. Kedua obat ini memiliki
insiden efek samping yang rendah, dan biasanya bersifat ringan sehingga
sering disarankan sebagai obat lini pertama. Efek samping yang dapat
dialami pasien antara lain somnolen, pusing, edema perifer, dan gangguan
keseimbangan.2,3
18
Saat ini US FDA telah menyetujui penggunaan gabapentin tablet satu kali
sehari untuk pengobatan PHN. Persetujuan ini didasari pada data dua uji
klinis fase 3 yang melibatkan 359 pasien yang diobati dengan gabapentin
dan 364 pasien yang diberi plasebo. Keamanan dievaluasi pada seluruh 723
pasien dan penilaian efikasi di- dasarkan pada uji klinis fase 3 yang kedua,
yaitu suatu uji klinis acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo pada 452
pasien dengan PHN.14
Pada uji klinis ini, gabapentin 1800 mg menghasilkan penurunan yang
statistik bermakna pada rerata skor nyeri harian dibandingkan plasebo.
Tujuan kedua meliputi penilaian mutu tidur, penilaian nyeri serta kualitas
hidup.Pada uji klinis ini, 9,7% pasien yang diterapi gabapentin dan 6,9%
pasien yang diberi plasebo menghentikan penelitian karena adanya efek
samping. Pada kelompok gabapentin, alasan penghentian keikutsertaan
dalam penelitian yang paling sering adalah karena pusing. Efek samping
terkait penggunaan gabapentin sebagian besar masih berskala ringan hingga
sedang; paling sering adalah pusing (10,9% vs 2,2% untuk plasebo),
somnolen (4,5% vs 2,7% untuk plasebo) dan nyeri kepala (4,2% vs 4,1%
untuk plasebo). 14
• opioid
Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat, sebagai
terapi lini ke dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan nyeri
spontan. Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi, mual,
muntah, sedasi, ketergantungan, serta risiko penyalahgunaan obat dan dapat
19
terjadi toleransi. Sediaan yang dapat diberikan antara lain oksikodon, morfin
(rata-rata 91 mg/hari) atau metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada penggunaan
opioid jangka panjang, diperlukan pemantauan supresi imunitas serta
hipogonadisme yang mungkin terjadi.3
Rekomendasi penggunaan opioid adalah sebagai berikut. Berikan dosis
efektif sekecil mungkin, dimulai dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10
mg oksikodon atau 10-15 mg morfi n setiap 4 jam. Jika pasien telah
menunjukkan toleransi terhadap terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid
kerja panjang. Jika tidak memuaskan, terapi opioid harus dikurangi secara
bertahap sampai akhirnya berhenti sama sekali untuk menghindari
terjadinya withdrawal symptoms.3
Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek agonis pada reseptor µ dan
menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol
diberikan dengan dosis 50-100 mg tiap 4 jam, tidak lebih dari 400 mg per
hari. Dosis harus dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Efek sampingnya antara lain mual, muntah,
konstipasi, retensi urin, somnolen, nyeri kepala, dan pusing.3,14
4. Terapi psikologis
Ini merupakan bagian integral dari pendekatan terapi multidisiplin untuk
manajemen nyeri. Tujuan umum yaitu mempengaruhi strategi terapi perilaku
dengan merekonsep keyakinan pasien mengenai nyeri dengan gejala yang tidak
terkontrol walaupun dengan medikasi dan menyakinkan bahwa nyeri tersebut
20
berada dibawah kontrol pasien. Ini dapat dicapai dengan beberapa teknik yaitu
sebagai berikut:2
• Guided imagery ( pembayangan). Pada kasus ini pasien difokuskan untuk
membayangkan latar multisensorik. Jelasnya, gambar ditimbulkan dari
pasien dan arahan psikologist melalui pembanangnya, mngubah sensasi
seperti hangat atau nyeri yang mati rasa.
• Pada relaksasi otot yang progresif, pasien diajarkan untuk mengatasi
ketegangan tersebut dan merelaksiasi otot diseluruh badan yang
memungkinkan mereka untuk mengenali dan membedakan perasaan
tegangan dan relaksasi.
• Biofeedback, merupakan suatu modalitas yang efektif untuk mengajarkan
nyeri kronik pada pasien untuk relaksasi dan mengatur sendiri proses
psikologis.
• Hipnotis, merupakan suatu teknik yang efektif, yang mengajarkan pasien
untuk relaksasi dan dapat merasakan suatu interpretasi analgetik pada nyeri
mereka dan merasakan mati rasa ketimbang rasa nyeri.
5. Terapi fisikal
Akupuntur merupakan suatu terapi tambahan pada pasien dengan nyeri yang
kronik. Ini menstimulasi pelepasan opioid endogen.2
Stimulus elektrik
a) TENS transcutaneus electrical nerve stimulation, yang mengaktifkan
serabut saraf Aβ, yang selanjutnya memodulasi serabut saraf nosiseptip
Aδ dan C pada tingkat horn spinal dorsal dan menghasilkan efek inhibisi
21
sentral. TENS secara luas digunakan karena risiko yang rendah dari efek
sampingnya. Dari suatu review, penggunaan kombinasi terapi amitriptilin,
capsaicin topikal dan TENS direkomendasikan untuk penanganan NPH
dibandingkan dengan terapi antiviral.2,16
Terapi intervensi2
Block blok berulang saraf paravertebral berulang dengan menggunakan
teknik kateter dengan agen anestesi lokal seperti bupivakain merupakan
pendekatan terbaru pada penanganan NPH
Infiltrasi lokal dengan ketamin dan steroid bebas intratekal, seperti
metilprednisolon digunakan dengan lidokain dan diketemukan efektif dalam
mengongtrol allodynia secara sentral pada pasien yang sensitif.
Blok saraf simpatetik blok selektif saraf simpatetik dengan agen anestesi
lokal biasa digunakan untuk terapi herpes zoster akut, namun tindakan ini
hanya bersifat sementara dalam menghilangkan rasa nyeri dengan jangka
waktu yang pendek.
Stimulasi saraf perifer dan stimulasi lahan saraf perifer in tampaknya
termasuk dalam stimulus dengan elektrode secara tidak langsung maupun
secara langsung pada nervus tertentu dengan visualisasi bedah atau dengan
penempatan perkutaneus dengan stimulus elektroda pada bagian yang
terdekat dengan nervus perifer tertentu. Pada kedua kasus ini, stimulus
electrode dilakukan secara perifer untu memberikan efek parestesia pada area
nyeri sehingga hilangnya nyeri tersebut.
22
7. Vaksin herpes zoster
Ini sekarang tersedia dan berbeda dari vaksin chickenpox. Ini merupakan
vaksin hidup, yang dapat diberikan secara profilaksis pada pasien dengan usia
> 50 tahun. Pemberian tunggal dapat mengurangi risiko hingga separuhnya dan
juga mencegah NPH, neuralgia lainnya dan herpes oftalmik. Kontraindikasi
yang penting yaitu karena vaksin ini hidup ini tidak dpaat diberikan pada
mereka dengan sistem imun yang rendah.2
8. Iontophoresis vincristine
Ini menginduksi atrofi degeneratif transganglion pada terminal sentral dari
neuron sensorik primer dan ini bebas dari efek samping.2
Gambar iontophoresis untuk NPH7
9. Stimulasi medulla spinalis
Ini merupakan terapi intervensi pilihan untuk nyeri yang berlangsung
(refraktori) hingga 72 jam setelah terapi konvensional farmakoterapi.
23
Mekanismenya diduga menstimulus serabut saraf besar bermyelin Aδ dari
perifer, supresi jalur simpatik yang berlebihan dan menginhibisi proses
nosiseptip melalui transimisi GABA.2
10. terapi ablasi
Ablasi radiofrekuensi yang dpaat berupa termal dan nontermal digunakan
untuk merusakn koneksi saraf yang menyimpang dan kemudian pada NPH.2
Berikut di bawah ini dapat dilihat resume untuk berbagai modalitas terapi
pada NPH.7
Tabel resume modalitas terapi untuk neuralgia postherpetik7
24
-======
25
Dari berbagai moddalitas terapi, berikut di bawah ini dapat dilihat
evidence untuk modalitas terapi pada NPH.8
Tabel farmakologi terapi untuk NPH (dosis untuk dewasa) dan evidence penggunaannya8
26
BAB III
PENUTUP
Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster yang
disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster, paling sering pada pasien usia
lanjut. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer sistem saraf. Mekanisme
terjadinya kerusakan saraf ini dapat melalui proses sensitisasi saraf perifer, saraf
sentral ataupun proses deaferenisasi serabut saraf. Kerusakan saraf yang terjadi
akan menyebabkan pasien mengalami hiperalgesia, alodinia, atau nyeri spontan
yang konstan. Neuralgia pascaherpetika mungkin dapat dicegah dengan terapi
optimal fase akut herpes zoster dengan antiviral dan analgetik dari berbagai
golongan obat, atau dengan mencegah terjadinya herpes zoster melalui vaksinasi.
Jika neuralgia pascaherpetika telah terjadi, terapi dapat berupa obat oral dari
golongan antikonvulsan, antidepresan trisiklik, sampai golongan opioid. Dapat
juga diberi terapi topikal, atau bahkan terapi invasive seperti blok saraf, TENS,
ionthoporesis.