Post on 16-May-2020
IMPLEMENTASI PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGAKEPADA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
LAMPUNG NOMOR 14 TAHUN 2014
(Studi pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2018)
(Tesis)
Oleh
HAFIID HASRANNPM. 1426021016
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG2019
ABSTRAK
IMPLEMENTASI PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGAKEPADA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
LAMPUNG NOMOR 14 TAHUN 2014(Studi pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2018)
OlehHAFIID HASRAN
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah (SP3D) merupakan pemberian daripihak ketiga kepada pemerintah daerah secara suka rela yang tidak mengikatperolehannya baik berupa uang atau yang disamakan dengan uang maupunbarang-barang, baik bergerak maupun tidak bergerak yang perolehannya tidakbertentangan dengan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini adalah untukmenganalisis: (1) implementasi penerimaan SP3D berdasarkan Peraturan DaerahProvinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014 (2) penyebab masih rendahnya SP3D,dan (3) strategi peningkatan SP3D oleh Badan Pendapatan Daerah ProvinsiLampung. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, dengan informandari pihak Tim Penerimaan SP3D dan Perwakilan Perusahaan Pemberi SP3D.Pengumpulan data dilakukan wawancara dan dokumentasi. Analisis dilakukansecara kualitatif dengan tahap reduksi data, penyajian data dan mengambilkesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) implementasi penerimaanSP3D berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014dilaksanakan oleh Tim SP3D dengan kegiatan sosialisasi secara intensif tentangSP3D terhadap perusahaan yang beroperasi di Provinsi Lampung, melaksanakanpenerimaan SP3D dengan memberikan penghargaan (reward) kepada perusahaanyang membayarkan SP3D. (2) penyebab masih rendahnya SP3D adalahkurangnya sosialisasi mengenai SP3D sehingga berdampak pada rendahnyapemahaman pimpinan perusahaan terhadap produk hukum daerah tentang SP3Ddan rendahnya kesadaran pimpinan perusahaan terhadap SP3D yang dianggapmemberatkan perusahaan karena telah dibebani kewajiban membayar pajak danretribusi. Selain itu perusahaan secara internal telah memiliki program sosial yangsecara langsung berhubungan dengan masyarakat. (3) strategi peningkatan SP3Doleh Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung adalah dengan pendekatanlevel top manager¸ yaitu Gubernur atau Wakil Gubernur turut serta membantuTim dengan cara melakukan pertemuan dengan pimpinan-pimpinan perusahaansecara khusus, baik dalam bentuk pertemuan formal maupun informal.
Kata Kunci: Implementasi, Penerimaan SP3D, Peraturan Daerah
ABSTRACT
THE IMPLEMENTATION OF THIRD PARTY’S CONTRIBUTIONRECEPTION TO THE REGIONAL GOVERNMENT BASED
ON THE REGIONAL GOVERNMENT REGULATIONOF LAMPUNG PROVINCE NUMBER 14 IN 2014
(A Study in the Regional Income Office of Lampung Province in 2018)
ByHAFIID HASRAN
The contribution of third parties (SP3D) to regional government is thecontribution given voluntarily by third parties to the regional government wherecontributions are non-binding in forms of money or the similar value or bothmovable and non-movable goods and their acquisitions are not against the law.The objectives of this research were to analyze: (1) implementation of SP3Dreception based on the Regional Government Regulation Number 14 in 2014; (2)the causes of low SP3D reception; and (3) the strategy to improve SP3Dreception by the Regional Income Office of Lampung province. This was aqualitative research. Data were collected from interviews and documentations.Informants were from the team of SP3D reception and representatives ofcompanies donating SP3D. A qualitative analysis was conducted with datareduction, data presentation and conclusion drawing. The results showed that: (1)the implementation of SP3D reception based on the Regional GovernmentRegulation Number 14 in 2014 was done by SP3D team by conductingsocialization intensively concerning SP3D to companies operated in Lampungprovince and giving rewards to companies donating SP3D; (2) lack ofsocialization concerning SP3D caused low understanding of company leadersabout the law product concerning SP3D and low awareness of company leadersmade them thinking that SP3D gave more burden to companies besides theirobligations to pay taxes and retributions. In addition, companies internally hadsocial programs directly related to public; (3) the strategy for SP3D improvementby Regional Income Office of Lampung province used top manager level, whereGovernor or Vice Governor participated to support the SP3D team by arrangingmeetings with company leaders both in formal and non-formal meetings.
Keywords: implementation, SP3D Reception, Regional Government Regulation
i
IMPLEMENTASI PENERIMAAN SUMBANGAN PIHAK KETIGAKEPADA DAERAH BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
LAMPUNG NOMOR 14 TAHUN 2014(Studi pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2018)
Oleh
HAFIID HASRAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarMAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2019
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 29 Desember 1990 sebagai
anak keempat dari empat bersaudara, putra dari pasangan Bapak Drs. Somad Raku
dan Ibu Dra. Sumiarti.
Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Kartika II-5 Persit
Bandar Lampung selesai pada tahun 2003, SMP Negeri 2 Bandar Lampung
selesai pada tahun 2006, SMA Negeri 9 Bandar Lampung selesai pada tahun
2009. Penulis menyelesaikan pendidikan Diploma IV pada Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor Jawa Barat pada tahun 2013. Pada tahun 2014
penulis menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana Magister Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
vi
MOTTO
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan,dan apabila telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
(Q.S. Al Insyirah: 6-7)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati,kupersembahkan Tesis ini kepada:
Kedua orangtuakuBapak Drs. Somad Raku dan Ibu Dra. Sumiarti.
yang telah membesarkan dan mendidikku, dengan kasih sayang, cinta kasih yangtulus, senantiasa ada saat suka maupun duka, selalu setiadisaat kulemah tak berdaya, dan selalu memanjatkan doa
bagi putramu ini dalam setiap sujudnya.
Istriku: Novita Darindra Putri, S.E.atas perhatian, motivasi serta dukungan yang selama ini diberikan.
Semoga ini menjadi langkah awal yang baikdalam memulai sesuatu yang kita harapkan bersama
Kakak-kakakku:Diah Anggraini, S.Pt., M.Si.
Dwi Hasran Tama (alm)Meita Suciyati, S.E., M.M.
Terima kasih atas semua do’a dan dukungan yang selalu memberi masukan,motivasi, nasihat dan semangat agar aku melangkah maju
dan dapat berhasil meraih mimpi dan cita-cita.
Almamaterku Universitas Lampung
viii
SANWACANA
Alhamdulillah, puji dan syukur hanya milik Allah SWT, sebab hanya berkat
rahmat dan kehendak-Nya semata penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul: Implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014 (Studi
pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2018), sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.
Dalam penyusunan hingga selesainya Tesis ini, penulis mendapatkan banyak
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Syarief Makhya, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung
3. Bapak Drs. Hertanto, M.Si., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung,
sekaligus sebagai selaku Pembimbing I, atas semua masukan, saran dan
ix
bimbingan yang diberikan dalam proses penyusunan dan penyelesaian Tesis
ini.
4. Bapak Dr. Nur Efendi, S.Sos., M.Si., selaku Pembimbing II, atas semua
masukan, saran dan bimbingan yang diberikan dalam proses penyusunan dan
penyelesaian Tesis ini.
5. Bapak Dr. Bambang Utoyo S., M.Si., selaku Penguji Utama atas masukan dan
saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
7. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Lampung
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan balasan
kebaikan yang lebih besar dari sisi Allah SWT dan akhirnya penulis berharap
bahwa Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung, April 2019
Penulis
Hafiid Hasran
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 11.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 141.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 141.4 Kegunaan Penelitian ......................................................................... 15
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 16
2.1 Tinjauan Tentang Keuangan Daerah................................................. 162.2 Pemerintah Daerah ............................................................................ 272.3 Peraturan Daerah ............................................................................... 332.4 Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah ........................................ 382.5 Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle ......................... 402.6 Kerangka Pikir................................................................................... 41
III METODE PENELITIAN ................................................................... 43
3.1 Tipe Penelitian .................................................................................. 433.2 Fokus Penelitian ............................................................................... 443.3 Informan Penelitian .......................................................................... 453.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 453.5 Teknik Analisa Data ......................................................................... 463.6 Teknik Kesimpulan ........................................................................... 473.7 Teknik Keabsahan Data .................................................................... 47
4.1 Gambaran Umum Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung ... 484.2 Implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi LampungNomor 14 Tahun 2014 ...................................................................... 52
4.3 Faktor Penyebab Masih Rendahnya Sumbangan Pihak KetigaKepada Daerah .................................................................................. 64
4.4 Strategi Peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada DaerahOleh Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung ........................ 71
4.5 Analisis Model Kebijakan Grindle.................................................... 74
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 48
V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 91
5.1 Simpulan .......................................................................................... 915.2 Saran.................................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang
Pemerintahan Daerah) berimplikasi bahwa pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan
sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing-masing. Pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada perubahan
pola pertanggungjawaban daerah atas pengalokasian dana yang telah dimiliki.
Penyelenggaraan otonomi daerah diimbangi dengan kebebasan untuk
mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan daerah masing-masing.
Dalam konteks otonomi daerah, tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh
Pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah semakin besar. Oleh
karena itu Pemerintah daerah harus mampu melaksanakan pembiayaan bagi
daerahnya secara mandiri. Kaitan yang sangat erat dengan masalah ini adalah
darimana dan bagaimana pemerintah daerah harus mampu menyediakan dana
guna pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tersebut
(Halim, 2006: 37).
2
Pemerintahan daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang
dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Perangkat pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dan
pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan
strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar
pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat berjalan
secara efisien dan efektif.
Otonomi daerah membawa implikasi bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), di sisi lain pembiayaan pembangunan secara bertahap
akan menjadi beban pemerintah daerah. Sementara itu bantuan pusat dalam
pembiayaan pembangunan hanya akan diberikan untuk menunjang pengeluaran
pemerintah, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program
pembangunan yang hendak dicapai (Rayanto Sofian, 2001: 65).
Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya. Ketergantungan daerah kepada pusat tidak lagi dapat diandalkan,
sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah
sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Kemampuan pemerintah daerah dalam memaksimalkan PAD ini merupakan salah
satu indikator atau kriteria untuk mengukur kemampuan keuangan suatu daerah.
3
Semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan semakin besar
kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan di daerah sendiri dan semakin
kecil ketergantungan daerah pada pemerintah pusat.
PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan
modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total
pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap
merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.
Menurut Pasal 157 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sumber PAD terdiri
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi
kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan
keuangan daerah sesuai dengan kondisi daerah, PAD dapat dipandang sebagai
salah satu indikator atau kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah
kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar PAD kepada APBD akan
menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat.
Salah satu pendapatan daerah Provinsi Lampung adalah Sumbangan Pihak Ketiga
Kepada Daerah. Menurut Pasal 1 Angka (10) Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah, yang dimaksud dengan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah adalah
pemberian dari pihak ketiga kepada Pemerintah Daerah secara suka rela yang
tidak mengikat perolehannya baik berupa uang atau yang disamakan dengan uang
4
maupun barang-barang, baik bergerak maupun tidak bergerak yang perolehannya
tidak bertentangan dengan Perundang-undangan yang berlaku.Sumbangan Pihak
Ketiga Kepada Daerah dapat berupa pemberian, hadiah, donasi, wakaf, hibah atau
lain-lain sumbangan yang serupa dengan itu. Sumbangan tersebut tidak
menggurangi kewajiban-kewajiban Pihak Ketiga yang bersangkutan kepada
negara maupun kepada daerah seperti pembayaran pajak dan kewajiban-
kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hasil prariset yang penulis lakukan pada Badan Pendapatan Daerah
Provinsi Lampung, diketahui bahwa besarnya Sumbangan Pihak Ketiga pada
APBD Provinsi Lampung selama lima tahun terakhir adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Sumbangan Pihak Ketiga di Provinsi Lampung Tahun 2013-2017
Tahun Realisasi (Rp) Target (Rp) Capaian(%)
PAD % SP3Dterhadap
PAD2013 2.420.086.125 5.500.000.000 44,00 3.672.187.445.218
0,072014 2.699.275.000 6.000.000.000 44,99 4.521.218.877.187
0,062015 3.220.232.275 6.500.000.000 49,54 4.987.226.142.595
0,062016 3.576.472.325 7.000.000.000 51,09 5.825.907.142.161
0,062017 4.384.995.100 8.000.000.000 54,81 7.706.477.987.282
0,06Rata-Rata Capaian (%) 48.89 0,06
Sumber: Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Tahun 2018
Berdasarkan data pada tabel di atas maka diketahui bahwa penerimaan
Sumbangan Pihak Ketiga Provinsi Lampung Tahun 2013-2017 mengalami
perkembangan persentase yang fluktuatif, dan secara keseluruhan peresentase
rata-rata capaian 48.89%, sedangkan target capaian yang ditetapkan per tahun
adalah 90%. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga
Provinsi Lampung selama lima tahun terakhir masih belum optimal, dalam arti
5
belum memenuhi target yang telah ditetapkan. Selain itu persentase Sumbangan
Pihak Ketiga terhadap PAD Provinsi Lampung Tahun 2013-2017 juga masih
rendah dengan rata-rata hanya 0,06% setiap tahunnya, padahal target yang
ditetapkan setiap tahunnya adalah 2.5%.
Beberapa penyebab masih rendahnyanya penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga di
Provinsi Lampung dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran Pimpinan Perusahaan (Pihak Ketiga) mengenai hakikat
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah sebagai wujud partisipasi Pihak
Ketiga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang ditujukan pada
kesejahteraan rakyat. Hal ini mengingat Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah sebagai sumbangan yang bersifat ikhlas dan tidak mengikat,
menyebabkan realisasi penerimaan sumbangan ini tidak dapat dipaksakan
apabila perusahaan tidak membayarkannya.
2. Adanya anggapan Pimpinan Perusahaan bahwa Sumbangan Pihak Ketiga
memberatkan karena mereka telah dibebani kewajiban membayar pajak dan
retribusi kepada Pemerintah Daerah. Selain itu perusahaan melalui program
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibilty/CSR)
secara internal telah membiayai program sosial yang secara langsung
berhubungan dengan masyarakat dan telah menganggarkan dana untuk
pelaksanaan Program CSR tersebut.
3. Tidak adanya sanksi terhadap perusahaan yang tidak membayarkan
Sumbangan Pihak Ketiga kepada Pemerintah Daerah, mengingat sumbangan
ini bersifat suka rela dan tidak mengikat, sehingga tidak adanya konsekuensi
6
hukum bagi perusahaan yang tidak membayarkan Sumbangan Pihak Ketiga
kepada Pemerintah Daerah.
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Toman Nababan (2006)
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan Yang
Berjudul: Strategi Peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga Terhadap PAD di
Provinsi Sumatera Utara Sesuai sengan Kewenangan Otonomi Daerah. Rumusan
masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah strategi peningkatan Sumbangan
Pihak Ketiga Terhadap PAD di Provinsi Sumatera Utara Sesuai sengan
Kewenangan Otonomi Daerah?”
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep mengenai otonomi
daerah yang merupakan peluang dan tantangan bagi pemerintah daerah dalam
memberikan pelayanan publik dan melaksanakan pembangunan. Konsep
mengenai Pendapatan Daerah sebagai sumber-sumber penerimaan daerah yang
berguna dalam menunjang pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Konsep manajemen strategis adalah suatu cara untuk mengendalikan
organisasi secara efektif dan efisien sampai implementasi garis terdepan,
sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan
teknik analisis SWOT, guna mengidentifikasi lingkungan eksternal dan internal.
Berdasarkan hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan
analisis SWOT terhadap kondisi lingkungan internal dan eksternal, didapatkan
7
strategi yang dapat diterapkan oleh Dinas Pendapatan Sumatera Utara di era
otonomi ini yaitu : (1) Meningkatkan penerimaan PAD dengan memanfaatkan
potensi sumber penerimaan dari pihak ketiga melalui upaya sosialisasi perda
secara rutin. (2) PAD harus ditingkatkan dengan memanfaatkan potensi sumber
penerimaan dari sumbangan pihak ketiga. Dengan demikian Pihak eksekutif dan
legislatif Provinsi Sumatera Utara harus proaktif mendorong lahirnya peraturan
yang memperbolehkan semua badan usaha yang bergerak di Provinsi agar
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan di daerah melalui
pemberian sumbangan pihak ketiga.(3) Dalam menetapkan target disesuaikan
dengan potensi yang ada dengan memaksimalkan pendataan dan pemungutan
dapat dilakukan dengan sistem jemput bola dalam hal ini aparatur Dinas
pendapatan daerah mendatangi para penyumbang pihak ketiga. (4) Mengadakan
kerjasama dengan pihak lain misalnya dengan desa atau kelurahan di mana lokasi
usaha yang termasuk penyumbang pihak ketiga.(5) perlu dipikirkan upaya-upaya
untuk lebih meningkatkan kesejahteraan petugas lapangan sebagai ujung tombak
pemungutan (Sumber: http://repository.usu.ac.id)
Persamaan penelitian Toman Nababan dengan penelitian ini adalah sama-sama
mengkaji mengenai penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah yang
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Selain itu sama-sama membahas
mengenai berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan Sumbangan Pihak
Ketiga Kepada Daerah. Perbedaannya adalah pada metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian Toman Nababan digunakan metode deskriptif
kualitatif dengan teknik analisis SWOT, guna mengidentifikasi lingkungan
eksternal dan internal, sementara itu penelitian ini menggunakan tipe penelitian
8
kualitatif yang fokus penelitiannya menitik beratkan pada implementasi
Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah Berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014.
2. Masniadi (2016)
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Terbuka Jakarta yang berjudul:
Implementasi Kebijakan Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga dari Sektor
Perkebunan Kelapa Sawit (Kajian Perda Nomor 33 Tahun 2001 Tentang
Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Kabupaten Nunukan
Provinsi Kalimantan Utara). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah implementasi kebijakan penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga dari
Sektor Perkebunan Kelapa Sawit berdasarkan Perda Nomor 33 Tahun 2001
tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Utara.
Teori implementasi kebijakan penunjang penelitian ini mengacu pada teori
Edward III dalam Fadillah (2001: 14-15), yang menyatakan bahwa dalam
implementasi terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi tersebut. Faktor-faktor tersebut bekerja secara simultan dan
berinteraksi antara satu dan yang lainnya, untuk membantu bahkan menghambat
implementasi kebijakan. Keempat faktor tersebut yang dimaksud adalah:
komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sumber informasi dan
pemilihan informan yang menjadi obyek penelitian adalah Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Kabupaten Nunukan, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang
9
berusaha di Kabupaten Nunukan dan Perwakilan masyarakat yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa target penerimaan sumbangan pihak
ketiga selama 3 (tahun) terakhir tercapai bahkan melebihi target yang diberikan
yaitu pada tahun 2014 (117,93%) dan 2015 (117,24%). Namun dilihat dari jumlah
pendapatan yang diterima dari tahun 2013 sampai dengan 2015 mengalami
penunman dan jumlah perusahaan Kelapa Sawit yang memberikan sumbangan
dibandingkan dengan jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
bernperasi di Kabupaten Nunukan sangat sedikit yang memberikan sumbangan
pihak ketiga kepada Daerah (sumber: http:// repository.ut.ac.id/6997/1/42922.pdf)
Persamaan penelitian Masniadi dengan penelitian ini adalah sama-sama
menggunakan penelitian kualitatif dan mengkaji mengenai penerimaan
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah berdasarkan Peraturan Daerah
Perbedaannya adalah pemilihan informan yaitu penelitian Masniadi mengambil
informan dari pihak DPRD sebagai tambahan informasi sedangkan informan
penelitian ini terdiri dari Perwakilan Tim Penerimaan SP3D pada Badan
Pendapatan Daerah Provinsi Lampung, perwakilan perusahaan dan Perwakilan
Masyarakat penerima manfaat SP3D di Provinsi Lampung.
3. Franco Benony Limba (2012)
Jurnal penelitian pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga berjudul:
Analisis Pendapatan Daerah dari Sumbangan Pihak Ketiga pada Kabupaten
Jayawijaya. Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Pendapatan
Daerah dari Sumbangan Pihak Ketiga pada Kabupaten Jayawijaya?”
10
Teori dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan yang dikembangkan
oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A Model of the Policy
Implementation Process atau model proses implementasi kebijaksanaan (Wahab,
2005:78). Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu
argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan
dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka
menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu
kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang
mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja atau performance.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan informan penelitian yaitu
dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jayawijaya. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pembayaran Sumbangan Pihak Ketiga merupakan kontribusi
kongkrit perusahaan dalam pembangunan. Hal ini menunjukkan pimpinan
perusahaan kurang memahami hakikat Sumbangan Pihak Ketiga. Pimpinan
perusahaan beranggapan bahwa Sumbangan Pihak Ketiga hanya direalisasikan
dalam bentuk uang. Hal ini menunjukkan pimpinan perusahaan kurang memahami
bahwa Sumbangan Pihak Ketiga dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk
berupa uang atau yang disamakan dengan uang maupun barang-barang baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Kendala ini memerlukan solusi yaitu perlu
ditingkatkan sosialisasi Perda secara lebih intensif kepada perusahaan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap Sumbangan Pihak Ketiga (Sumber:
http://repository.uksw.edu/bitstream)
11
Persamaan penelitian Franco Benony Limba dengan penelitian ini adalah sama-
sama menggunakan penelitian kualitatif dan mengkaji mengenai penerimaan
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah. Perbedaannya adalah pemilihan
informan yaitu penelitian Franco Benony Limba hanya mengambil informan dari
Dinas Pendapatan Derah sedangkan informan penelitian ini terdiri dari Perwakilan
Tim Penerimaan SP3D pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung,
perwakilan perusahaan dan Perwakilan Masyarakat penerima manfaat SP3D di
Provinsi Lampung.
4. Made Setyawan (2009)
Jurnal penelitian pada Universitas Udayana Bali berjudul: Kontribusi Swasta
dalam Pembangunan Daerah melalui Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah.
Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Kontribusi Swasta dalam
Pembangunan Daerah melalui Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah?”
Teori dalam penelitian ini adalah Good governance adalah sebagai
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta
efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di
antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada
tataran ini, good governance berorientasi pada dua hal pokok, yakni: Pertama,
orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada
tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy,
accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan
assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal
12
yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional.
Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur
serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan informan penelitian yaitu
dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa pihak swasta memiliki kontribusi dalam pembangunan daerah melalui
pembayaran Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah. Peningkatan jumlah
perusahaan yang beroperasi disertai dengan peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga
Kepada Daerah sebagai PAD untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah (Sumber: https://repositori.unud.ac.id)
Persamaan penelitian Made Setyawan dengan penelitian ini adalah sama-sama
menggunakan penelitian kualitatif dan mengkaji mengenai penerimaan
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah. Perbedaannya adalah pemilihan
informan yaitu penelitian Made Setyawan hanya mengambil informan dari Dinas
Pendapatan Derah sedangkan sedangkan informan penelitian ini terdiri dari
Perwakilan Tim Penerimaan SP3D pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi
Lampung, perwakilan perusahaan dan Perwakilan Masyarakat penerima manfaat
SP3D di Provinsi Lampung.
5. Ahmad Hermawan (2011)
Jurnal penelitian pada Universitas Diponegoro Semarang berjudul: Tinjauan
Yuridis terhadap Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah. Rumusan masalah
penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Tinjauan Yuridis terhadap Sumbangan
Pihak Ketiga kepada Daerah?”
13
Teori dalam penelitian ini teori sistem hukum Lawrence Friedman, bahwa unsur-
unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi
hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Penelitian ini
menggunakan penelitian yuridis normatif yaitu menganalisis suatu permasalahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitiannya menunjukkan
Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah memiliki landasan hukum yang pasti
dalam bentuk produk hukum daerah, sehingga menjadi payung hukuym bagi
pelaksananya untuk mengotimalkan penerimaan sumbangan. (Sumber:
digilib.undip.ac.id/v2/repository)
Persamaan penelitian Made Setyawan dengan penelitian ini adalah sama-sama
mengkaji mengenai penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah.
Perbedaannya adalah tipe penelitian yang digunakan, di mana Ahmad Hermawan
menggunakan pendekatan hukum normatif dengan kajian berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan penelitian ini menggunakan tipe penelitian
kualitatif dengan berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan.
Pentingnya kajian mengenai Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah didasarkan pada alasan bahwa seiring dengan semangat otonomi daerah,
Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat menempuh langkah-langkah strategis
dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan
rakyat. Upaya tersebut tentunya didukung oleh sumber dana yang memadai,
sehingga Pemerintah Provinsi Lampung melalui harus mampu melaksanakan
peranan dalam memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah dari berbagai sumber,
termasuk di antaranya adalah Sumbangan Pihak Ketiga.
14
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis akan melakukan penelitian
yang berjudul: “Implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014
(Studi pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung)”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang maka
permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun
2014?
2. Mengapa Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah masih rendah?
3. Bagaimana strategi peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah
oleh Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung?
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga
Kepada Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14
Tahun 2014
2. Untuk menganalisis penyebab masih rendahnya Sumbangan Pihak Ketiga
Kepada Daerah
3. Untuk menganalisis strategi peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah oleh Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung
1.3 Tujuan Penelitian
15
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis
sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan berguna dalam pengembangan
keilmuan Manajemen Pemerintahan Daerah, khususnya yang mengkaji
masalah kebijakan pemerintah daerah.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang berwenang dalam
kebijakan mengoptimalkan penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga kepada
Daerah. Selain itu sebagai salah satu rujukan bagi pihak-pihak yang berminat
untuk mengkaji lebih lanjut terhadap kebijakan pemerintah daerah
16
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Keuangan Daerah
2.1.1 Arti Penting Keuangan Daerah
Pemerintahan daerah dapat terselenggara karena adanya dukungan berbagai faktor
sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya roda organisasi pemerintahan
dalam rangka pencapaian tujuan. Faktor keuangan merupakan faktor utama
sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda pemerintahan
daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan
dan kebijakan penganggaran yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran
tahun yang lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak,
sumbangan dan bantuan serta penerimaan pembangunan.
Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran
pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha
bersama atas azas kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan
kemakmuran rakyat yang merata. Pesatnya pembangunan daerah menuntut
tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut
perkembangan kegiatan fiskal, yaitu: alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-
sumber pembiayaan yang semakin besar.
17
Ciri utama yang menunjukkan daerah otonom mampu berotonomi terletak pada
kemampuan keuangan daerahnya. Artinya, daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. (Koswara, 2000: 50).
Dalam bidang keuangan daerah, fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian
besar pemerintah daerah di Indonesia adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang
berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil
pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD. (Tambunan, 2000: 2).
Sumber Pendapatan Daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Pembangunan, Pinjaman Daerah dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Dikaitkan dengan otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber
pendapatan yang penting untuk dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah. PAD bahkan dapat memberi warna terhadap tingkat
otonomi suatu daerah, karena jenis pendapatan ini dapat digunakan secara bebas
oleh daerah (Asrori, 2000: 45).
Artinya disini bahwa penggunaan dana yang bersumber dari PAD dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya sehingga secara prinsip Pemerintah
Pusat atau Pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya tidak berwenang untuk
mengatur/menentukan penggunaan sumber pendapatan daerah tersebut.Walaupun
demikian, kemampuan otonomi tidak hanya dilihat dari tingginya Pendapatan Asli
18
Daerah (PAD) karena bukan hanya PAD saja yang memberikan keleluasaan
kepada daerah otonomi dalam pengalokasian dana sehingga tidak perlu
dipersoalkan mengenai dari mana sumber dana tersebut.
Menurut Mardiasmo (2003:8), potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang
ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk
melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang
perkembangan beberapa variabel-variabel yang dapat dikendalikan (yaitu
variabel-variabel ekonomi), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel-
variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber
penerimaan daerah.
Beberapa cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui peningkatan
penerimaan semua sumber Pendapatan Asli Daerah agar mendekati atau bahkan
sama dengan penerimaan potensialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa secara
umum ada dua cara untuk mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah
sehingga maksimal yaitu dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut
diuraikan bahwa salah satu wujud nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk
retribusi yaitu menghitung potensi seakurat mungkin, target penerimaan bisa
mendekati potensinya. Cara ekstensifikasi dilakukan dengan mengadakan
penggalian sumber-sumber objek retribusi atau pajak ataupun dengan menjaring
wajib pajak baru.
Menurut Halim (2001: 31), salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara
nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah
kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan kata lain faktor
19
keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah
dalam melaksanakan otonominya. Secara realistis, praktek penyelenggaraan
pemerintah daerah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari program kerja yang ada
dalam keuangan daerah cenderung merupakan arahan dari pemerintah pusat
sehingga besarnya alokasi dana rutin dan pembangunan daerah belum didasarkan
pada standard analisa belanja tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar
menawar inkremental atau incremental bargaining approach.
Menurut Baswir (2002: 44), dalam perspektif desentralisasi, pemerintah daerah
sebaiknya memainkan peran dalam penyusunan anggaran sebagai berikut:
a. Menetapkan prioritas anggaran berdasarkan kebutuhan penduduknya, bukan
berdasarkan perintah penyeragaman dari pemerintah nasional;
b. Mengatur keuangan daerah termasuk pengaturan tingkat dan level pajak dan
pengeluaran yang memenuhi standard kebutuhan publik di wilayahnya;
c. Menyediakan pelayanan dan servis pajak sebagaimana yang diinginkan oleh
publik dan kepentingan daerah masing-masing;
d. Mempertimbangkan dengan seksama keuntungan sosial dari setiap program
dan rencana pembangunan, bukan hanya kepentingan konstituen tertentu;
e. Menggunakan daya dan kekuatan secara independen dalam mewujudkan dan
menstimulasikan konsep pembangunan ekonomi;
f. Memfokuskan agenda dan penetapan program ekonomi dalam anggaran yang
mendukung kestabilan pertumbuhan dan penyediaan lapangan kerja di daerah;
g. Menentukan batas kenormalan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan daerah;
20
h. Mencari dan menciptakan sumber-sumber pendapatan daerah sehingga
mengurangi ketergantungan pada subsidi nasional
2.1.2 Fungsi Keuangan Daerah
Menurut Baswir (2002: 45-46), perspektif perubahan yang diinginkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan
pemerintah daerah adalah:
a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian
anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya
partisipasi masyarakat dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan keuangan daerah;
b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya;
c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang
terkait dalam pengelolaan anggaran seperti DPRD, kepala daerah, sekretaris
daerah dan perangkat daerah lainnya;
d. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan
keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money,
transparansi dan akuntabilitas;
e. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah dan pegawai
negeri sipil daerah baik rasio maupun dasar pertimbangannya;
f. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan
anggaran multi tahunan;
21
g. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional;
h. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran
akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja
anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;
i. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran
asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme
aparat pemerintah daerah;
j. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah
daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan,
pengendalian dan mendapatkan informasi
Menurut Mardiasmo (2003: 54), fungsi anggaran daerah dalam proses
pembangunan di daerah adalah:
a. Instrumen politik. Anggaran daerah adalah salah satu instrument formal yang
menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang
diwakili oleh legislatif daerah.
b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan besar
alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberi
fasilitas dan mengkoordinasi kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat
pertumbuhan ekonomi daerah.
c. Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah disebutkan
tujuan yang ingin dicapai, biaya dan hasil yang diharapkan dari setiap kegiatan
di masing-masing unit kerja.
22
d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana
penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini dilakukan
agar unit kerja tidak mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.
Selanjutnya menurut Mardiasmo (2003: 56), secara umum anggaran pemerintah
harus mencerminkan empat fungsi yaitu :
a. Anggaran digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan pembangunan
melalui pemberian alokasi dana pada prioritas tersebut
b. Anggaran mencerminkan rencana detail dari pendapatan dan pengeluaran di
mana satuan kerja dapat malaksanakannya secara baik
c. Anggaran digunakan untuk stabilisasi sosio-ekonomi dan merangsang
pertumbuhan ekonomi
d. Anggaran menetapkan tujuan, biaya dan kinerja hasil yang diharapkan dari
setiap pegeluaran pemerintah
Menurut Baswir (2002: 45-48), fungsi anggaran secara umum paling tidak
mencerminkan lima hal yaitu:
a. Anggaran daerah mencerminkan rencana secara detail mengenai pendapatan
dan pengeluaran daerah
b. Anggaran daerah menetapkan tujuan, biaya dan kinerja hasil yang diharapkan
c. Anggaran daerah digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan
pembangunan. Dengan adanya skala prioritas anggaran dapat mengubah
besarnya alokasi dana untuk melakukan kebutuhan yang mendesak
d. Anggaran daerah sebagai stabilitas ekonomi ddan merangsang pertumbuhan
ekonomi
23
e. Anggaran daerah sebagai alat komunikasi kepada publik. Hal ini
mencerminkan adanya transparansi dan akuntabilitas kepada publik
Anggaran sangat penting sebagai alat pengendalian manajemen yang harus
mampu menjamin bahwa pemerintah mempunyai cukup uang untuk melakukan
kewajibannya pada masyarakat. Anggaran menyediakan informasi dan
memungkinkan legslatif meyakini bahwa rencana kerja pemerintah dilaksanakan
secara efisien, terhindar dari pemborosan dan penyelewengan.
2.1.3 Norma dan Prinsip Keuangan Daerah
Menurut Baswir (2002: 51), anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran berikut ini.
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab. Setiap
dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan.
b. Disiplin Anggaran
APBD disusun dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus
meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu,
anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat
guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan.
c. Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu, pemerintah
24
wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat
efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam perencanaan perlu ditetapkan secara
jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
e. Format Anggaran
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau
defisit (surplus deficit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadi surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus,
daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi defisit dapat
ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan
obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Menurut Baswir (2005: 15), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Selanjutnya sumber-sumber PAD sebagaimana telah dikemukakan
pada bab terdahulu, terdiri dari beberapa unsur yaitu pajak daerah, retribusi
daerah, perusahaan daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.
25
1. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dapat
digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.
2. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3. Perusahaan daerah adalah badan usaha milik daerah yang didirikan oleh
Pemerintah Daerah dengan tujuan untuk menambah pendapatan daerah dan
mampu memberikan rangsangan berkembangnya perekonomian daerah
tersebut. Hasil perusahaan daerah sebagai salah satu sumber PAD meskipun
memiliki potensi yang cukup besar tetapi dengan pengelolaan perusahaan
yang tidak/kurang profesional dan terlebih lagi dengan adanya intervensi dari
Pemerintah Daerah sendiri, kontribusi PAD dari sumber ini masih kurang
memadai.
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain dari hasil
penjualan asset daerah dan jasa giro, penerimaan dari pihak ketiga yang bukan
perusahaan daerah, deviden BPD, ganti biaya dokumen lelang, dan lain-lain.
Untuk menentukan corak otonomi daerah, salah satu variabel pokok yang
digunakan adalah kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya kemampuan
keuangan daerah dapat dilihat dari rasio PAD terhadap APBD. Dengan demikian
maka besarnya PAD menjadi unsur yang sangat penting dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah.
26
Peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah masih rendah.
Kendatipun perolehan PAD setiap tahunnya relatif meningkat namun masih
kurang mampu memaksimalkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk
beberapa daerah yang relatif minus dengan kecilnya peran PAD dalam APBD,
upaya satu-satunya adalah menarik investasi swasta domestik ke daerah minus.
Pendekatan ini tidaklah mudah dilakukan sebab swasta lebih berorientasi kepada
daerah yang relatif menguntungkan secara ekonomi (Mardiasmo, 2003: 65).
Melihat kenyataan yang ada bahwa PAD yang diperoleh pada umumnya masih
relatif rendah, tidak sedikit Pemerintah Daerah yang merasa khawatir
melaksanakan otonomi daerah. Kekhawatiran yang berlebihan bagi daerah,
terlebih bagi daerah miskin dalam menghadapi otonomi daerah mestinya tidak
perlu terjadi. Pertimbangan pemberian otonomi daerah tidaklah mesti dilihat dari
pertimbangan keuangan semata, sekiranya pertimbangan ini masih tetap
mendominasi pemberian otonomi ini tidak akan terlaksana. Sebenarnya apabila
diberikan mekanisme kewenangan yang lebih luas dalam bidang keuangan,
Pemerintah Daerah dapat menggali dan mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Otonomi daerah diharapkan lebih menekankan kepada mekanisme
yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang keuangan,
karena dengan kewenangan tersebut uang akan dapat dicari semaksimal mungkin
tentu saja dengan memperhatikan potensi daerah serta kemampuan aparat
pemerintah untuk mengambil inisiatif guna menemukan sumber-sumber keuangan
yang baru. Kewenangan yang luas bagi daerah akan dapat menentukan mana
sumber dana yang dapat digali dan mana yang secara potensial dapat
dikembangkan.
27
2.2 Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Undang-Undang Pemerintahan Daerah) menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan Pemerintah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan
urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan
pemerintahan atau konkuren.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat (1) dan (2) bahwa
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya daerah,
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembagian.
28
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 14 Ayat (1), urusan
pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagai
berikut:
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum
5) Penanganan bidang kesehatan
6) Penyelenggaraan pendidikan
7) Penanggulangan masalah sosial
8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
10) Pengendalian lingkungan hidup
11) Pelayanan pertanahan
12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14) Pelayanan administrasi penanaman modal
15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan
yang dikenal dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian
jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi
daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi,
29
berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih
oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang
Pemerintah Daerah, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom,
memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah
otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, akan sulit
untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Menurut Affan Gaffar (2005: 54), prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah
adalah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah
yang terbatas
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga
tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
30
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung
jawabkan kepada yang menugaskannya.
Menurut Rumajar Jefferson (2006: 32), asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan
otonomi daerah oleh pemerintah daerah meliputi:
a) Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan
desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan
daya guna penyelenggaraaan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan masyarakat serta melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri
31
Negara kesatuan adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi
dipusatkan pada satu badan legislatif nasional/pusat kekuasaan terletak pada
pemerintah pusat dan tidak pada Pemerintah Daerah. Pemerintah pusat
berwenang menyerahkan sebagian kekuasaan pada daerah otonom atau negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi
Urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka
pelaksanaan asas desentralisasi, menjadi wewenang dan tanggung jawab
daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan maupun yang
menyangkut segi-segi pembiayaannya. Bidang kewenangan yang mewarnai
fenomena desentralisasi adalah bidang kepegawaian, budget kepegawaian dan
penyesuaian berbagai rupa kebijaksanaan umum. Hal ini tertuang dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Pemerintahan Daerah
menyatakan:
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana pada Ayat (1), Pemerintah Daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisia, moneter dan fiskal serta agama.
32
b) Asas Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau pada instansi
vertikal di wilayah tertentu. Perbedaannya terletak pada titik laju menjauhi
titik pusat. Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan yang
diberikan kepada pemerintah di bawahnya yang selanjutnya urusan yang
diberikan akan menjadi urusan rumah tangga daerah, jadi bukan pada
perorangan seperti dalam asas dekonsentrasi (Sesuai dengan Pasal 1 Angka 8
Undang-Undang Pemerintahan Daerah).
c) Asas Tugas Perbantuan
Apabila semua urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan sendiri oleh
pemerintah pusat, ditinjau dari segi daya dan hasil guna kurang dapat
dipertanggung jawabkan karena memerlukan tenaga dan biaya yang sangat
besar. Asas tugas perbantuan yaitu penugasan dari pemerintah pusat kepada
Pemerintah Daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi pada pemerintah
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalam hal penyelenggaraan asas tugas perbantuan tidak beralih menjadi
urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuannya. Selanjutnya tugas
perbantuan bukanlah sebagai asas pengganti dari asas desentralisasi dari
urusan pemerintah pusat yang ditugaskan pada Pemerintah Daerah. Daerah
yang mendapatkan tugas pembantuan wajib melaporkan dan mempertanggung
33
jawabkan pada pemerintah pusat sesudah tugas dilaksanakan (Sesuai dengan
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah).
2.3.1 Pengertian Peraturan Daerah
Menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Gubernur.
Menurut Mahfud MD (1999: 32) peraturan daerah adalah bentuk keputusan yang
disusun oleh pemerintah daerah yang sifatnya tertulis yang berbentuk peraturan.
Suatu produk yang merupakan hasil karya pemerintah daerah, dalam hal ini
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rahyat Daerah (DPRD),
supaya secara formal berbentuk peraturan daerah harus memenuhi syarat, yaitu
tata cara pembentukannya harus memenuhi tata cara yang telah ditentukan, ialah
sejak mempersiapkan rancangan peraturan daerah (Raperda), pembahasan
Raperda di DPRD, serta penandatanganan atau pengesahan peraturan daerah,
dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan dan diundangkan dalam bentuk
dan menurut tata cara yang telah ditentukan untuk itu (dalam lembaran daerah).
Menurut Chairijah (2008: 12), rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.
Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD
2.3. Peraturan Daerah
34
menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, yang dibahas adalah
rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang
disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan
persandingan. Ada berbagai jenis Perda yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Tata Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah;
f. Perangkat Daerah;
g. Pemerintahan Desa;
h. Pengaturan umum lainnya.
2.3.2 Fungsi dan Asas Peraturan Daerah
Menurut Mahfud MD (1999: 34), Peraturan Daerah memiliki beberapa fungsi
sebagai berikut:
a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan sebagaimana diamantkan dalam Undang-Undang Dasar 1945dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b. Sebagai Peraturan Pelaksana dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam fungsi ini peraturan daerah mengikuti hierarki peraturan
perudang-undangan dengan kata lain peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di atasnya
35
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi
masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945
d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.
Menurut Mahfud MD (1999: 35), Pembentukan Perda harus mengacu pada asas
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu sebagai berikut:
a. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi
hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang
undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan
tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasil gunaan, yaitu setiap peraturan perundang undangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau
36
terminologi, bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Menurut Mahfud MD (1999: 36), Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyebutkan bahwa materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai
berikut:
a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan
37
Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila.
f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan
Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan
Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara
k. Asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan. Selain asas dan materi
muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus
mempertimbangkan keunggulan daerah, sehingga mempunyai daya saing
dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat tiga landasan yang harus dipenuhi dalam
Pembentukan Peraturan Daerah adalah:
38
1) Landasan Filosofis, yakni landasan yang berkaitan dengan dasar atau idiologi
negara
2) Landasan Sosiologis, yakni landasan yang berkaitan dengan kondisi atau
kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat
3) Landasan Yuridis, yakni landasan yang berkaitan dengan kewenangan untuk
membentuk kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara atau prosedur
tertentu,dan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
2.4 Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah
Dasar Hukum Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah adalah Peraturan Daerah
Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak
Ketiga Kepada Daerah. Menurut Pasal 1 Angka (10) yang dimaksud dengan
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah adalah pemberian dari pihak ketiga
kepada Pemerintah daerah secara suka rela yang tidak mengikat perolehannya baik
berupa uang atau yang disamakan dengan uang maupun barang-barang, baik
bergerak maupun tidak bergerak yang perolehannya tidak bertentangan dengan
Perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah tersebut tidak menggurangi
kewajiban-kewajiban Pihak Ketiga yang bersangkutan kepada negara maupun
kepada daerah seperti pembayaran pajak dan kewajiban-kewajiban lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
39
Menurut Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014
tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah, objek Sumbangan
Pihak Ketiga Kepada Daerah terdiri dari:
1) Objek bersifat umum, meliputi:
a) Sumbangan untuk mendukung upaya Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
b) Sumbangan untuk mendukung upaya Pemerintah Daerah dalam
peningkatan/penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana serta pengamanan
yang berkenaan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat.
c) Sumbangan atas pemberian kemudahan perizinan tertentu
d) Sumbangan dari assosiasi, distributor/penyalur hasil industri, perkebunan,
pertanian, pertambangan dan lain sebagainya.
2) Objek bersifat khusus, meliputi:
a) Sumbangan yang berkaitan dengan pemberian keringanan atas
pembayaran denda Pajak Kendaraan Bermotor yang diberikan Pemerintah
Kepada wajib pajak.
b) Sumbangan dari setiap transaksi pembelian atas kendaraan bermotor
baru/bekas (kendaraan bermotor roda dua atau lebih, termasuk kendaraan
bermotor berupa alat berat atau sejenisnya)
c) Sumbangan yang diperoleh dari pemberian Pengganti Surat Ketetapan
Pajak Daerah atau notes pajak kendaraan bermotor
40
2.5 Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) sebagaimana dikutip
Winarno (2008: 87) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content
of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel
tersebut mencakup: sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target group
termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group,
sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah
program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya
dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Model Grindle menurut Winarno (2008: 88) ditentukan oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya
ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan
tersebut mencakup hal-hal berikut:
a. Kepentingan kelompok sasaran/tipe manfaat
b. Derajat perubahan yang diinginkan
c. Letak pengambilan keputusan
d. Pelaksanaan program
e. Sumber daya yang dilibatkan
Sementara itu, konteks implementasinya adalah:
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat
b. Karakteristik lembaga dan penguasa
c. Kepatuhan dan daya tanggap
41
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan
konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor
implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
2.6 Kerangka Pikir
Salah satu PAD Provinsi Lampung adalah Sumbangan Pihak Ketiga Kepada
Daerah, yaitu pemberian Pihak Ketiga kepada Daerah secara ikhlas, tidak
mengikat, perolehannya oleh pihak ketiga tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik yang berupa uang atau yang disamakan
dengan uang maupun barang-barang baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Sumbangan tersebut dapat berupa pemberian, hadiah, donasi, wakaf,
hibah atau lain-lain sumbangan yang serupa dengan itu. Sumbangan tersebut tidak
mengurangi kewajiban-kewajiban Pihak Ketiga yang bersangkutan kepada negara
maupun kepada daerah seperti pembayaran pajak dan kewajiban-kewajiban
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui menganalisis Penerimaan Sumbangan
Pihak Ketiga Kepada Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 14 Tahun 2014 yang didasarkan pada model kebijakan Grindle,
sebagaimana disajikan pada bagan sebagai berikut:
42
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian
Tujuan KebijakanMeningkatkanPenerimaan SP3D
Proses TransformasiPeraturan DaerahProvinsi LampungNomor 14 Tahun 2014
Isi Kebijakan(content of policy)
a. Kepentingan kelompoksasaran/tipe manfaat
b. Derajat perubahan yang diinginkanc. Letak pengambilan keputusand. Pelaksanaan programe. Sumber daya yang dilibatkan
Lingkungan Implementasi(context of implementation)
a. Kekuasaan, kepentingan, danstrategi aktor yang terlibat
b. Karakteristik lembaga danpenguasa
c. Kepatuhan dan daya tanggap
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
43
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005:6).
Penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti objek dengan cara menuturkan,
menafsirkan data yang ada, ada pelaksanaanya melalui pengumpulan,
penyusunan, analisa dan interpretasi data yang diteliti pada masa sekarang. Tipe
penelitian ini dianggap sangat relevan untuk dipakai karena menggambarkan
keadaan objek yang ada pada masa sekarang secara kualitatif berdasarkan data
yang diperoleh dari penelitian. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di
dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan
melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu
yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat
tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata
tersebut (Moleong, 2005:7).
44
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian
dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena suatu penelitian kualitatif tidak dimulai
dari sesuatu yang kosong atau tanpa adanya masalah, baik masalah-maslah yang
bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah (Moleong,
2005 : 62). Pada prinsipnya fokus penelitian dimaksudkan untuk dapat membantu
penulis agar dapat melakukan penelitiannya sehingga hanya akan ada beberapa
hal atau beberapan aspek yang dapat diarahkan penulis sesuai dengan tema yang
telah ditentukan sebelumnya. Fokus penelitian adalah implementasi Penerimaan
Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi
Lampung Nomor 14 Tahun 2014 berdasarkan model kebijakan Grindle, yang
terdiri dari:
1. Isi Kebijakan (content of policy)
a. Kepentingan kelompok sasaran/tipe manfaat dari pemberlakuan kebijakan
SP3D
b. Derajat perubahan yang diinginkan dari dari pemberlakuan kebijakan
SP3D
c. Letak pengambilan keputusan dalam kebijakan SP3D
d. Pelaksanaan program SP3D
e. Sumber daya yang dilibatkan dalam kebijakan SP3D
2. Lingkungan Implementasi (context of implementation)
a. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat dalam
pemberlakuan kebijakan SP3D
45
b. Karakteristik lembaga dan penguasa dalam pemberlakuan kebijakan SP3D
c. Kepatuhan dan daya tanggap sasaran kebijakan SP3D
3.3 Informan Penelitian
Menurut Moleong (2005: 6), penelitian kualitatif pada umumnya mengambil
jumlah informan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk penelitian lainnya.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu atau perorangan. Untuk
memperoleh informasi yang diharapkan, peneliti terlebih dahulu menentukan
informan yang akan dimintai informasi. Pada penelitian kualitatif tidak ada
informan acak tetapi bertujuan (purposive). Informan penelitian ini adalah:
1. Kepala Bidang Pembinaan dan Pengendalian Penerimaan Non Pajak pada
Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung
2. Kepala Sub Bidang Pengembangan Pendapatan pada Badan Pendapatan
Daerah Provinsi Lampung
3. Staf Humas PT Jasa Raharja Persero
4. Staf Humas PTPN VII Bandar Lampung
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Moleong (2005: 83), teknik pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif terdiri dari:
1. Wawancara, yaitu teknik yang digunakan untuk memperoleh data melalui
percakapan langsung dengan para informan dengan menggunakan pedoman
wawancara. Pihak yang diwawancarai terdiri dari Perwakilan Tim Penerimaan
SP3D pada Badan Pendapatan Daerah Provinsi Lampung dan perwakilan
Perusahaan Pemberi SP3D di Provinsi Lampung.
46
2. Dokumentasi, yaitu teknik untuk mendapatkan data dengan cara mencari
informasi dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian,
seperti data mengenai gambaran umum Badan Pendapatan Daerah Provinsi
Lampung, data penerimaan SP3D di Provinsi Lampung dan data perusahaan
yang memberikan SP3D di Provinsi Lampung.
3.5 Teknik Analisa Data
Analisis data kualitatif menurut Moleong (2005:248) adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan dengan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Proses analisis data
dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan dituangkan ke dalam bentuk laporan
selanjutnya direduksi, dirangkum, difokuskan pada hal-hal penting. Dicari
tema dan polanya disusun secara sistematis. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap reduksi data adalah memilih dan merangkum data dari hasil wawancara
dan dokumentasi yang sesuai dengan fokus penelitian ini.
2. Penyajian Data (Display Data)
Untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari
penelitian harus diusahakan membuat bermacam matriks, grafik, jaringan, dan
bagian atau bisa pula dalam bentuk naratif saja. Kegiatan dilakukan pada
47
tahap display data adalah menyajikan data secara naratif, yaitu menceritakan
hasil wawancara ke dalam bentuk kalimat dan disajikan pada pembahasan.
3. Mengambil Kesimpulan atau Verifikasi Data.
Peneliti berusahan mencari arti, pola, tema, yang penjelasan alur sebab akibat,
dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian
berlangsung, dalam hal ini dengan cara penambahan data baru. Kegiatan yang
penulis lakukan pada tahap verifikasi data adalah membuat kesimpulan
berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian (Moleong, 2005:249).
3.6 Teknik Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan teknik induktif,
yaitu memaparkan hal-hal yang bersifat umum dan kemudian mengambil
kesimpulan yang bersifat khusus.
3.7 Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
data. Menurut Moleong (2005: 287), triangulasi berupaya untuk mengecek
kebenaran data dan membandingkan dengan data yang diperoleh dengan sumber
lain pada saat penelitian lapangan. Triangulasi data dalam penelitian ini
dilaksanakan dengan cara menggali informasi dari kelompok informan yang
berbeda, sehingga data yang diperoleh bersifat objektif. Pelaksanaannya adalah
menggali keterangan mengenai implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak
Ketiga Kepada Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor
14 Tahun 2014 dari berbagai informan yaitu dari Badan Pendapatan Daerah
Provinsi Lampung, PT Jasa Raharja Persero dan PTPN VII Bandar Lampung.
91
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Implementasi Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah
berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014
dilaksanakan oleh Tim SP3D dengan kegiatan sosialisasi secara intensif
tentang Sumbangan Pihak Ketiga terhadap perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di Provinsi Lampung, melaksanakan penerimaan Sumbangan Pihak
Ketiga, dilakukan dengan memberikan penghargaan (reward) kepada
perusahaan yang membayarkan Sumbangan Pihak Ketiga.
2. Penyebab masih rendahnya SP3D adalah kurangnya sosialisasi mengenai
SP3D sehingga berdampak pada kurangnya pemahaman pimpinan perusahaan
terhadap produk hukum daerah tentang Sumbangan Pihak Ketiga dan
rendahnya kesadaran pimpinan perusahaan terhadap Sumbangan Pihak Ketiga
yang dianggap memberatkan perusahaan telah dibebani kewajiban membayar
pajak dan retribusi kepada Pemerintah Daerah. Selain itu perusahaan secara
internal telah membiayai program sosial yang secara langsung berhubungan
dengan masyarakat dan telah menganggarkan dana untuk pelaksanaan
program sosial kemasyarakatan tersebut.
92
3. Strategi peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah oleh Badan
Pendapatan Daerah Provinsi Lampung adalah dengan pendekatan level top
manager¸ yaitu Gubernur atau Wakil Gubernur turut serta membantu Tim
dengan cara melakukan pertemuan dengan pimpinan-pimpinan perusahaan
secara khusus, baik dalam bentuk pertemuan formal maupun informal.
5.2 Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sosialisasi Produk Hukum Terkait dengan SP3D kepada para perusahaan-
perusahaan di seluruh provinsi Lampung agar dilakukan secara lebih intensif
dan massif melalui Asosiasi-Asosiasi Perusahaan maupun dengan
menggunakan media massa, baik media massa cetak maupun elektronik. Hal
ini dilakukan untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran para pimpinan
perusahaan dalam merealisasikan pembayaran SP3D.
2. Kinerja Satuan Kerja sebagai mitra perusahaan agar dioptimalkan dengan
berbagai terobosan guna membangun kesadaran perusahaan membayar SP3D,
yaitu menindak lanjuti realisasi pembayaran sesuai Memorandum Of
Understanding (MOU), melakukan konfirmasi, mendatangi perusahaan,
menampung aspirasi atau keluhan perusahaan atas berbagai kendala
keterlambatan pembayaran serta merumuskan bersama pemecahan masalah.
3. Pendekatan level top manager agar dilakukan secara lebih maksimal oleh
Gubernur dan Wakil Gubernur dengan para pimpinan perusahaan dengan
menggunakan upaya persuasif dan negosiasif, baik secara formal maupun
informal dalam rangka mengoptimalkan pembayaran SP3D dari perusahaan
kepada Provinsi Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Azwar, Azrul. 1999. Pengantar Administrasi, BinaAksara, Jakarta.
Abidin, Irianto. 2004. Kebijakan Publik, Teori dan Praktek. Penerbit Andi.Yogyakarta.
Agustino, Ferdinand. 2008. Pengantar Kebijakan Negara. Bina Cipta. Jakarta.
Asrori, Suyono. 2000., Strategi Kebijakan Daerah, Candra Press, Pati.
Baswir, R, 2002. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalamPelaksanaan Otonomi Daerah. MEP-UGM, Yogyakarta.
Chairijah, Peran Prolegnas dalam Pembentukan dan Pembangunan HukumNasional, Makalah dalam Pelatihan Penyusun dan Perancang PeraturanPerundang-Undangan Depkumham RI, Jakarta 5 Mei 2008
Depkum HAM dan UNDP, 2008. Panduan Memahami Perancangan PeraturanDaerah, Jakarta
Gaffar, Affan. 2006. Paradigma Baru Otonomi Daerah dan Implikasinya, CitraAditya Bakti, Jakarta.
Hadjon, Philipus M. 2005. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah di EraOtonomi. Rajawali Press. Jakarta.
Hariyoso,Soewarno. 2005. Dasar-Dasar Manajemen dan Administrasi, PenerbitErlangga, Jakarta.
Hasibuan, Malayu S.P. 2004. Organisasi dan Manajemen. Rajawali Press
Halim, Abdul, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah,UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Jefferson, Rumajar. 2006. Otonomi Daerah: Sketsa. Gagasan dan Pengalaman,Media Pustaka, Manado.
Mahfud, MD, 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gema Media,Yogyakarta.
Mardiasmo, 2003. Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya Bandung.
Rayanto Sofian. 2001. Pembangunan Daerah di Era Otonomi. Yayasan Obor.Jakarta.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung
Tambunan, RJ. 2000. Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Daerah. Rineka Cipta.Jakarta.
Widiati, Ninik. 2004. Revitalisasi Keuangan Daerah dalam Konteks OtonomiDaerah. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Wibawa, Samodra, dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. RajaGrafindo Persada.Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 1997, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi KeImplementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Winarno, Budi. 2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. PT Buku Kita. Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan
Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2014 tentang PenerimaanSumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah
Sumber Lain
Hermawan, Ahmad. 2011. Tinjauan Yuridis terhadap Sumbangan Pihak Ketigakepada Daerah. Jurnal pada Universitas Diponegoro. Semarang.digilib.undip.ac.id/v2/repository
Limba, Franco Benony. 2012. Analisis Pendapatan Daerah dari SumbanganPihak Ketiga pada Kabupaten Jayawijaya. Jurnal penelitian UniversitasKristen Satya Wacana Salatiga.http://repository.uksw.edu/bitstream.
Masniadi, 2016. Implementasi Kebijakan Penerimaan Sumbangan Pihak Ketigadari Sektor Perkebunan Kelapa Sawit (Kajian Perda Nomor 33 Tahun2001 Tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada PemerintahKabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara). Tesis ProgramPascasarjana Universitas Terbuka Jakarta. http:// repository.ut.ac.id/6997/1/42922.pdf
Nababan, Toman. 2006. Strategi Peningkatan Sumbangan Pihak Ketiga TerhadapPAD di Provinsi Sumatera Utara Sesuai sengan Kewenangan OtonomiDaerah.Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.http://repository.usu.ac.id
Setyawan, Made. 2009. Kontribusi Swasta dalam Pembangunan Daerah melaluiSumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah. Jurnal penelitian padaUniversitas Udayana Bali. https://repositori.unud.ac.id