Tanya-jawab Seputar Pluralisme Agama & Mazhab

Post on 11-Jun-2015

609 views 9 download

Transcript of Tanya-jawab Seputar Pluralisme Agama & Mazhab

TANYA-JAWAB SEPUTAR PLURALISME AGAMA & MAZHAB

Bersama: Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi

(Pakar fikih, mistik, filsuf dan masalah keislaman kontemporer)

IPLURALISME DAN ASPEK-ASPEKNYA

Tanya: Apakah yang dimaksud dengan pluralisme, dan dalam aspek apa saja hal tersebut bisa diterapkan?

Jawab: Plural berarti beragam oleh karenanya pluralisme bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk menerima keberagaman. Kecenderungan tersebut merupakan lawan dari kecenderungan monois yang hanya menerima hal yang tunggal. Di dalam banyak aspek sosial sering kita dapati ada pekerjaan yang ditangani oleh satu orang saja ataupun satu kelompok, dan ada pula yang ditangani oleh beberapa orang atau beberapa kelompok. Jika kita menerima bahwa suatu pekerjaan bisa dilaksanakan oleh beberapa orang ataupun beberapa kelompok maka hal inipun disebut sebagai pluralisme. Begitu pula sebaliknya, jika kita menerima bahwa suatu pekerjaan hanya bisa dilaksanakan oleh satu orang atau satu kelompok saja maka hal itu disebut dengan monoisme.

Istilah tadi berasal dari Barat dimana saat itu setiap orang yang memiliki beberapa kedudukan disuatu gereja ataupun orang yang meyakini bahwa disatu gereja boleh memiliki beberapa kedudukan maka orang tadi disebut dengan pluralis. Pemikiran tersebut lawan dari keyakinan atas pembatasan yang biasa disebut eksklusifisme atau faham tentang pembatasan kebenaran yang hanya ada pada satu metode atau satu aliran saja dari sekian metode atau aliran yang ada.

Pluralisme dalam berbagai aspek bisa diterapka. Pada beberapa aspek yang ada terkadang pluralisme diartikan sebagai menerima atas keberagaman dan berbagai pandangan yang berbeda dari sisi pengamalan. Dengan kata lain, bisa hidup bersama dengan rukun dan saling menghormati satu dengan yang lain juga memberikan kesempatan bagi yang lain untuk mengungkapkan pandangannya. Hal seperti itu biasa disebut dengan pluralisme praktis (amali). Pluralisme terkadang pula dipakai untuk hal-hal teoritis (nazari) dan praktis sekaligus, dimana dengan munculnya anggapan atas kebenaran semua pendapat yang berbeda-beda dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan agama, ataupun anggapan bahwa semua pendapat yang ada memiliki bagian dari kebenaran sehingga tidak ada kebenaran yang besifat absolut.

1

Pada zaman dahulu dimana masyarakat belum memiliki kemajuan seperti sekarang ini dimana hubungan antar mereka satu dengan yang lain sangat minim sehingga masalah khusus tentang pluralisme belum sempat terlontarkan. Akan tetapi sekarang ini dikarenakan perkembangan dan kemajuan pesat yang telah dapat diraih oleh masyarakat dan adanya hubungan erat satu dengan yang lain, oleh karenanya perlu adanya permasalahan ini dilontarkan terkhusus setelah terjadinya peperangan yang dahsyat antar kelompok dan sekte-sekte yang berakhir dengan kehancuran dan yang menjadikan pemikiran ini menjadi lebih menguat. Dimana setiap sekte-sekte dan keyakinan-keyakinan yang ada harus diakui keberadaannya sehingga terwujud rasa damai diantara mereka karena kesesuian antar mazhab akan membawa manfaat yang besar bagi komunitas manusia.

Asas praktis pluralisme adalah hidup secara rukun dan damai. Oleh karenanya amanat yang selalu didengung-dengungkan adalah adanya kemajmukan yang terdapat dalam masyarakat hendaknya tidak menyebabkan adanya pertikaian, dan seharusnya potensi yang ada sebaiknya dimanfaatkan dan dikonsentrasikan untuk membangun pribadi dan jiwa spiritual sehingga bisa hidup rukun dan damai dengan sesama. Ungkapan semacam ini tidak memiliki konsekwensi bahwa semua kelompok memiliki muatan kebenaran, akan tetapi kita diharuskan menerima kenyataan tentang adanya kemajmukan dan hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan pengakuan setiap kelompok bahwa dirinya dalam kebenaran sedang kelompok lain dianggap dalam kebatilan.

Baik dari sisi praktis maupun teoritis tuntutan pluralisme adalah penekanan atas pelarangan manusia untuk berfikir absolitis dan mempersulit orang lain dengan berlandaskan pada fanatisme terhadap pandangannya dan menganggapnya sebagai kebenaran yang mutlak, dimana pendapat semacam ini pada hakikatnya kembali pada skeptisisme dalam ephistemologi.

II

PENGERTIAN PLURALISME AGAMA

Tanya : Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama?

Jawab : Pluralisme agama, terkadang ditinjau dari sudut pandang teoritis terkadang pula ditinjau dari sudut pandang praktis.

Yang dimaksud dengan pluralisme agama dari sudut pandang praktis yaitu menghormati kayakinan kelompok, madzhab atau agama lain hingga bisa hidup bertetangga dengan rukun dan damai satu dengan yang lain. Oleh karena itu pluralisme adalah keyakinan akan adanya dua pemikiran atau lebih –lepas dari penetapan atau penafiannya dari sisi teoritis- harus hidup

2

teratur dan damai antar sesama dan berusaha untuk tidak mengganggu orang lain. Adapun sebaliknya, jika ada seseorang yang berpendapat bahwa salah satu harus sirna dari suatu komunitas masyarakat dan hanya satu kelompok saja yang berhak eksis ditengah masyarakat maka orang tersebut dianggap sebagai anti pluralisme. Seumpamanya berkaitan dengan sekte katolik ataupun protestan, sebagian orang beranggapan bahwa salah satu dari sekte itu harus menjadi penguasa oleh karena itu harus terjadi peperangan sehingga salah satu akan binasa dan bakal ketahuan siapa yang akan berkuasa. Adapun jika berdasarkan pemikiran pluralisme agama maka kedua sekte tersebut walaupun dari sisi teori saling mengaku benar dan menyalahkan yang lainnya tapi secara praktis mereka harus hidup rukun dan berdampingan satu dengan yang lain. Tetapi pluralisme agama dari sisi teoritis mempunyai arti bahwa dalam beberapa hal semua agama ataupun mazhab memiliki muatan kebenaran. Adapun penjelasannya secara terperinci akan kita kita jelaskan pada jawaban mendatang.

III

PLURALISME AGAMA DARI SUDUT TEORITIS

Tanya: Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama ditinjau dari sisi teoritis, apakah mungkin teori tersebut bisa kita terima?

Jawab: Bisa dijelaskan secara global bahwa yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah pengakuan kebenaran agama–agama yang ada. Adapun penjelasan ucapan diatas bisa dijabarkan melalaui tiga versi penjelasan yang berbeda-beda:

Pertama: Tidak ada satupun agama yang memiliki muatan benar ataupun salah secara mutlak. Akan tetapi, setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang benar sebagaimana memiliki ajaran-ajaran yang salah pula.

Kedua: Realita dan kebenaran merupakan suatu yang tunggal. Sehingga setiap agama merupakan perwujudan dari jalan-jalan yang ada, dimana yang mampu menghantarkan kita kepada kebenaran yang tunggal tadi.

Ketiga: Perkara-perkara yang terdapat dalam agama -seperti masalah-masalah supranatural yang bersifat non inderawi- ada kemungkinan adalah ajaran yang tidak mempunyai arti sama sekali, dan kalaulah memiliki arti ia tidak bisa ditetapkan dengan argumen oleh karena itu setiap agama mempunyai hubungan yang horizontal dan sejajar. Dimana hal tadi berarti setiap orang berhak hidup dengan agama pilihannya.

Penjelasan makna pertama:

3

Pemiliki pendapat ini beranggapan bahwa kebenaran tersusun dari beberapa unsur dan bagian, dimana setiap bagian yang ada dapat kita temukan pada setiap agama. Bukan berarti suatu agama bisa disifati dengan tidak benar ataupun benar secara mutlak, karena tidak ada satu ajaranpun yang memiliki muatan baik dan benar secara mutlak. Sebagaimana tidak ada satu agamapun yang memiliki ajaran yang salah secara mutlak dan begitu pula sebaliknya. Berapa banyak ajaran Kristen yang kita temukan pula didalam ajaran Islam, oleh karena itu tidak bisa kita katakan bahwa Kristen secara mutlak batil. Begitu pula Islam, banyak pula ajarannya yang sesuai dengan ajaran Yahudi oleh karenanya tidak bisa dikatakan bahwa Yahudi ataupun Islam secara mutlak salah.

Sewaktu segala kebaikan dan kebenaran tersebar pada setiap agama maka tidak bisa kita katakan bahwa suatu agama secara mutlak salah dan agama lain secara mutlak benar. Kita harus menghormati setiap agama dan mazhab yang ada secara sama. Atas dasar itulah kitapun bisa mencomot semua ajaran-ajaran dari setiap agama, dengan arti setiap ajaran yang benar yang terdapat pada setiap agama dapat kita ambil dan kita terima. Sebagian kita bisa mengambilnya dari Yahudi sedang sebagian yang lain dari Islam dan lainnya dari agama yang lain pula.

*Menimbang kebenaran pendapat pertama:

Pada prinsipnya, pendapat tentang adanya unsur kebenaran pada setiap agama ataupun madzhab –lepas dari sisi kuantitasnya- bisa diterima karena kebatilan mutlak dialam ini tidak akan bisa kita temukan. Ungkapan semacam ini tidak mungkin bisa diterima oleh siapapun yang berakal sehat.

Dari sisi lain, jika yang dimaksud adalah semua agama yang sekarang ini berada didunia dimana masing-masing memiliki keyakinan dan hukum-hukum yang batil serta tidak ada satu agamapun yang sempurna. Tentu, ungkapan semacam inipun tidak bisa kita terima, karena Islam berpendapat bahwa agama Ilahi dan syariat Muhammad (saww) sudah sempurna kebenarannya dan dengan turunnya Islam maka sempurna sudahlah agama dan tuntaslah nikmat yang ada. Adapun segala apapun yang ada pada agama-agama lain jika sesuai dengan Islam maka bisa dihukumi benar dan jika tidak maka dihukumi batil. Dikarenakan tidak mungkin penyembahan terhadap berhala, hewan dan sebagainya yang semua itu bertentangan dengan ruh ajaran Islam juga agama-agama monoteis yang masih orisinil dan bertentangan juga dengan ‘kejelasan esensial jiwa’ (conscience/wujdan) setiap manusia bijak dan berakal pada individu-individu pengikut agama-agama dan ajaran tersebut.

Disamping itu, Islam adalah agama yang dengan jelas menentang akan adanya keimanan terhadap sebagian ayat dan mengingkari terhadap sebagian yang lain. Islam berpendapat bahwa dengan mencomot-comot

4

ajaran beberapa agama sama halnya dengan mengingkari seluruh ajaran agama tersebut. Ringkasnya, bahwa Islam –sebagaimana yang tercantum dalam hadits Tsaqolain (untuk berpegangan kepada Al-Quran dan Al-Ithrah .pen)- semua ajarannya mengandung kebenaran dan sama sekali tiada kebatilan didalamnya.

Penjelasan makna kedua:

Pendapat ini berdasar pada bahwa agama yang benar ibarat puncak tunggal suatu gunung, dimana semua agama yang ada didunia merupakan berbagai bentuk sarana untuk menuju fokus yang satu. Setiap agama bertujuan untuk menghantarkan kita pada kebenaran yang tunggal tadi dan pada kenyataannya semuanya berhasil sampai juga pada tujuannya. Terkadang dengan melalui jalan yang panjang dan ada juga yang hanya menempuh jalan yang sangat ringkas sekali ataupun ada juga yang sama. Seorang yang berangkat menuju masjid, gereja ataupun tempat-tempat ibadah lainnya mereka bertujuan sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

*Menimbang kebenaran pendapat kedua:

Penjelasan diatas hanya bisa diidekan pada tahapan imajinasi saja. Tetapi jika dihubungkan pada kenyataan agama-agama yang ada tidak akan bisa diterapkan. Sewaktu Islam mengutarakan pendapat awalnya yaitu tentang ke-Esa-an Tuhan dan jalan keberuntungan adalah dengan menerima ajaran tauhid maka bagaimana mungkin hal tersebut disamakan dengan ajaran Kristen yang mengajak pada keyakinan trinitas? Bagaimana mungkin semua kita akan menuju pada titik yang satu? Apakah mungkin dua garis yang berseberangan dan sejajar akan bertemu pada titik yang satu? Dimana Al-Qur’an dalam menyikapi keyakinan trinitas mengatakan:

”karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah

mengambil (mempunyai) anak” (QS Maryam;90-91)

Apakah hal tersebut dari sisi tujuannya lantas bisa disamakan dengan ajaran trinitas? Apakah mungkin bisa disamakan dan menuju jalan yang satu antara agama yang melarang untuk memakan babi dan meminum minuman yang beralkohol dengan agama yang melarangnya?

Penjelasan pandangan ketiga:

Disini sebagian para positivis berpandangan ekstrim (ifrath) terhadap segala proposisi tersebut. Sedang sebagian lagi memberikan kemungkinan akan adanya makna dari hal tersebut, tapi mereka beranggapan hal itu tidak bisa ditetapkan secara argumentatif karena untuk sebagian orang hal tersebut boleh jadi akan menjadi baik dan benar akan tetapi untuk sebagian yang lain

5

hal tadi buruk dan salah, atau pada waktu tertentu baik tetapi diwaktu yang lain menjadi buruk. Kita tidak memiliki pengenalan yang pasti dimana seratus persen sesuai dengan kenyataan. Keyakinan akan kebenaran dengan derajat seratus persen pada suatu proposisi menunjukkan adanya ketidaktelitian akan masalah tersebut, dan masih ada beberapa pendapat lainnya.

Singkat kata, pandangan diatas tidak jauh dari hanya sekedar bermain dengan kata-kata saja dan hanya mengikuti selera sosial dan individual belaka. Hal itu menjadi salah satu akar pemikiran toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul) didunia sekarang ini.

Atas dasar pemikiran filsafat tadi sebagian orang akhirnya berpendapat tentang adanya pluralisme dalam agama dengan mengatakan bahwa dalam kamus kita sama sekali tidak ada yang namanya agama yang benar atau agama yang salah karena pemakaian kata benar dan salah dalam permasalahan tersebut sudah merupakan suatu kesalahan. Pemahaman semacam ini ada kemungkinan tidak memiliki arti sama sekali atau tidak bisa dipertimbangkan dari sisi penetapan maupun penafiannya. Dengan kata lain, bahwa dengan sedikit adanya toleransi maka dapat dikatakan bahwa seluruh agama merupakan jalan-jalan menuju satu kebenaran.

Sebagian dari ajaran-ajaran ritual keagamaan aliran-aliran terdahulu berpendapat bahwa segala yang menjelaskan tentang realita ataupun eksistensi sesuatu maka hal itu memiliki arti dan memiliki muatan benar dan salah, seperti proposisi bahwa “Tuhan Esa” hal itu sama sebagaimana masalah keharusan dan pelarangan (dalam pembahasan filsafat etika. Pen) dimana hal tersebut tidak memiliki muatan benar-salah selayaknya ucapan “keadilan harus ditegakkan” dan “dilarang berbuat zalim”.

*Menimbang kebenaran pandangan ketiga:

Pembahasan tentang filsafat positivisme dalam kaitannya dengan pembahasan tentang muatan arti ungkapan-ungkapan (propositions), baik yang berhubungan dengan yang non-inderawi dan pemberian kepercayaan penuh pada indera (sensial) ataupun rasionalitas dalam masalah pengetahuan (knowledge), dimana semua itu tidak ada hubungannya langsung dengan pembahasan ini dan telah dibahas secara terperinci dalam pokok-pokok bahasan filsafat dan ephystemologi (bisa dirujuk dalam buku karya penulis tentang filsafat. pen). Oleh karenanya disini yang hanya bisa kita singgung adalah bahwa segala hal yang berhubungan dengan keilmuan manusia jika seratus persen hanya bertumpu pada hal-hal yang bersifat inderawi (empiric) saja tanpa bersandar pada sisi rasionalitas, maka tentu kita tidak dapat menerimanya. Dikarenakan untuk membuktikan benar-salah suatu permasalahan tidak cukup hanya dengan penginderaan dan eksperimen saja -akan tetapi melalui pendekatan rasiopun kebenaran bisa

6

diketahui – kesalahan suatu proposisi bisa dilihat sebagaimana dalam berbagai pokok bahasan yang berhubungan dengan matematika ataupun filsafat- tentu pendapat diatas tidak bisa kita terima. Selain itu dengan bersandar pada ‘kejelasan esensial jiwa’ (conscience/wujdan) kita bisa dengan jelas membedakan antara proposisi-proposisi seperti “Tuhan ada” , “dilarang berlaku zalim” , “harus sholat” dan “cahaya lampu asam rasanya”. Jika proposisi pertama, kedua dan ketiga tidak memiliki arti sama sekali maka, tentu dengan yang terkandung dalam proposisi keempat dilihat dari sisi artinyapun tidak terdapat perbedaan dengan yang sebelumnya.

Sewaktu ajaran-ajaran agama dikatakan logis dan bisa dipertimbangkan dari sisi pembenaran dan penafiannya maka soalan semulapun kembali bisa dimunculkan yaitu diantara tiga ajaran; “Tuhan tiada” dan “Tuhan Esa” dan “Tuhan tiga (berbilang)”. Bagaimana mungkin semua itu bisa digabung dan ditemukan serta dihukumi benar? Dan apakah benar bahwa sesuai dengan asas-asas pluralisme ketiga proposisi tentang keyakinan tadi semuanya bisa dihukumi benar?

IV

PLURALISME DARI SUDUT PANDANG PRAKTIS

Tanya: Apakah sudut pandang praktis pluralisme agama pernah ada dalam sepanjang sejarah dunia Islam?

Jawab: Tentang pluralisme agama antar dua kelompok dari satu mazhab atau antara dua mazhab dari satu agama ataupun antara dua agama pernah terlontarkan. Umpamanya, hidup berdampingan yang pernah terjadi antara pemeluk Islam dengan Kristen dan Yahudi dalam satu blok ataupun satu wilayah dan satu kota dimana antar pengikut agama-agama tersebut bisa hidup rukun berdampingan tanpa ada pertikaian fisik satu dengan yang lain. Padahal masing-masing pemeluk agama tersebut menilai ajaran diri mereka dalam kebenaran sedang orang lain dianggap dalam kesesatan, malah terkadang terjadi perdebatan antara mereka. Dalam Islam pemandangan semacam itu pernah terjadi. Al-Qur’an, sirah nabi Muhammad (saww) dan para imam suci Ahlul Bait (as) memang sangat menekankan pada setiap kaum muslimin tentang adanya hubungan semacam itu.

Persatuan yang akhir-akhir ini selalu kita dengungkan, dimana antara syiah dan sunni pun telah sepakat tentang hal itu, sebenarnya sudah pernah terlontar semenjak zaman imam Ja’far Shodiq (as). Imam Shodiq (as) selalu menekankan untuk mengikuti sholat dan menghantar (tasyi’) jenazah saudara-saudara kita dari ahli sunnah, menengok para orang sakit dari mereka dan siap membantu dalam setiap pertolongan apapun yang mereka inginkan selama tidak menyulitkan. Lebih dari itu, dizaman awal-awal munculnya Islam hubungan antara kaum muslimin dengan ahli dzimah (non

7

muslim yang hidup dilingkungan negara Islam dan patuh pada segala peraturan yang ada. Pen) sangat erat sekali, dimana satu dengan yang lain saling terjadi hubungan relasi kerja, hutang-piutang dan saling jenguk walaupun pada prinsipnya dari sisi pandangan dan pemikiran, setiap individu dari mereka meyakini kebenaran agama masing-masing. Bagaimanapun juga, topik ini merupakan salah satu dari permasalahan prinsip Islam dimana tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya. Sedang para pemikir Islam baik dari kalangan syiah maupun sunni dalam melihat permasalahan diatas, mereka sama sekali tidak meragukan apalagi memungkiri bahwa pernah ada dizaman itu kehidupan rukun dan damai dengan pengikut agama ahli kitab. Walaupun antara kedua kelompok tadi terdapat perbedaan dari sisi tatacara dan adat istiadatnya, akan tetapi jalan keluar untuk menyelesaikan setiap perbedaan yang ada selalu didapat dari kesamaan-kesamaan dan berbagai pendekatan yang ada. Lantas hubungan semacam itu tidak berkonsekwensi bahwa kita harus mengakui kebenaran jalan yang mereka tempuh. Kita bisa lihat, bagaimana pandangan Islam sewaktu diadakannya perjanjian damai dengan kaum musyrik. Semua itu dikarenakan adanya hukum eksidentil yang menuntut agar kita hidup damai dengan mereka. Hal itu sebagaimana yang pernah terjadi dizaman Rasulullah (saww), dimana beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrik untuk tidak saling mengganggu baik jiwa maupun harta benda kedua belah pihak.

V

KEBENARAN SEMUA AGAMA DAN MADZHAB

Tanya: Apakah mungkin kita meyakini kebenaran semua agama dan mazhab?

Jawab: Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan yang lalu, pluralisme memiliki sisi praktis dimana Islampun selalu menyerukan hidup berdampingan secara rukun dan damai pada setiap pemeluk agama dan mazhab yang ada. Kalaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memprakarsai pemikiran tersebut, paling tidak Islam adalah agama yang sangat menekankan akan penjagaan hak-hak pemeluk berbagai agama ataupun mazhab minoritas. Oleh karena itu, kita cukup bersandar pada ucapan imam Ali (as) ketika beliau mendengar bahwa pengikut Muawiyah mengambil secara paksa gelang kaki seorang anak perempuan Yahudi dengan ucapan: “jika seorang muslim mati dalam keadaan semacam ini, maka ia pasti mendapat balasannya”.

Adapun pembicaraan berkenaan dengan fenomena kemajmukan yang terdapat dalam agama dan mazhab, maka akan timbul pertanyaan seperti; Apakah bisa semua agama dan mazhab tadi dinilai benar? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus terlebih dahulu menilik kandungan ajaran yang terdapat dalam agama Islam dan Kristen, sehingga kita bisa menilai

8

kebenaran pada keduanya ataukah menerima kebenaran salah satu dari keduanya saja dan mengingkari yang lain.

Masalah utama yang ada pada agama Islam adalah masalah tauhid yang membicarakan akan ke-Esa-an Tuhan, penafian dzat-Nya dari ketersusunan dan bilangan, tidak beranak dan dianakkan. Adapun masalah prinsip dalam agama Kristen adalah masalah trinitas.

Pada zaman dahulu, beberapa sekte minoritas kristen baik dari Katolik, Protestan maupun Ortodox meyakini akan trinitas –bapak, anak dan ruh kudus- dimana mereka berpandangan dengan meyakini hal tersebutlah yang akan menyelamatkan manusia dari siksa. Lantas banyak sekali bermunculan karya-karya dalam rangka menafsirkan tiga prinsip tersebut sehingga tinggal hanya beberapa sekte saja yang menganggap trinitas sebagai pemikiran yang telah menyimpang dari ajaran Kristen, sementara sekte-sekte lain pada akhirnya menerima ketuhanan Isa Al-Masih atau mengakui beliau sebagai anak Tuhan dan menganggap hal itu sebagai salah satu ajaran kristen.

Al-Qur’an dalam menghadapi ajaran dan keyakinan semacam ini menyatakan:

”karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah

mengambil (mempunyai) anak” (QS Maryam;90-91)

sedang diayat lain disebutkan:

“Wahai ahli kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar,

sesungguhnya Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah……maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,

dan janganlah kamu mengatakan “Tuhan itu tiga” berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan

Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak….” (QS An-Nisaa’;171).

Atau dengan firman yang lain:

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”,padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa….” (QS Al-Maa’idah;73)

Adakah akal manusia –apalagi akal manusia muslim- menerima bahwa antara tauhid dan trinitas keduanya dalam kebenaran? Satu berpendapat bahwa selama anda belum menjadi monoteis dan meyakini ke-Esa-an Tuhan maka anda belum dikategorikan seorang muslim. Hal itu dikarenakan syarat

9

utama orang menjadi muslim dan masuk wilayah kebenaran adalah bertauhid, sedang yang lain beranggapan bahwa selama anda belum menerima trinitas anda belum menjadi seorang pengikut agama Nasrani dan tidak akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Cobalah anda perhatikan betapa jarak yang membedakan kedua pendapat diatas, apalagi kalau kita bandingkan dengan agama Budha yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah ada bahkan tidak akan pernah ada. Dari situ maka menjadi suatu hal yang mustahil dalam penggabungan antar ajaran-ajaran tadi. Jelas antara “Tuhan ada” dan “Tuhan tiada” merupakan perkara paradox. Sebagaimana “Tuhan ada tiga” dan “Tuhan tiada” begitu pula hukumnya. Kalaulah ada yang berusaha menyatukan hal itu, maka perbuatan mereka lebih pantas dibilang suatu bentuk bualan dan gurauan belaka dari pada keseriusan.

Begitu pula jika kita tengok hukum syariat Islam serta kita bandingkan dengan yang ada pada agama Kristen niscaya kita lebih akan mengakui bahwa tidak akan mungkin untuk membenarkan keduanya. Islam mengajarkan bahwa memakan daging Babi haram hukumnya, sementara ajaran kristen membolehkannya. Dalam ajaran Islam –sesuai dengan ucapan imam Ali (as)- diajarkan bahwa;

“jika setetes arak jatuh ke sumur kemudian dari air sumur tersebut tumbuh rerumputan yang kemudian dimakan oleh seekor kambing niscaya aku tidak akan memakan daging kambing tersebut”.

Adapun dalam ajaran Kristen jika seorang pendeta meletakkan roti pada arak kemudian memasukkannya ke mulut pengikutnya, maka roti dan arak yang telah mereka masukkan kemulut tadi diyakini akan berubah menjadi darah Isa Al-Masih (lihat injil matius;26).

Dari masalah tadi dan dengan melihat masalah-masalah lain yang sejenis, maka apakah mungkin seorang yang berakal dapat menghukumi bahwa Islam adalah jalan lurus yang menghantarkan pada kebenaran, kesempurnaan dan ketenangan abadi, begitu pula dengan Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu….dst.

VI

SEMUA JALAN MENUJU KEBENARAN

Tanya: Apakah mungkin kita berpendapat bahwa dalam tubuh Islam sendiri bisa diterapkan ungkapan banyak jalan menuju kebenaran?

Jawab: Keyakinan tentang adanya banyak jalan menuju kebenaran jika disesuaikan dengan penafsiran pluralisme adalah bahwa dalam satu masalah kebenaran bisa berbilang dan berbeda-beda. Sebagaimana yang telah kita

10

singgung pada jawaban yang lalu dimana hal itu sama sekali tidak bisa diterima.

Akan tetapi jika kita sesuaikan dengan penafsiran pluralisme lain yang menganggap bahwa hakikat itu satu akan tetapi manusia belum bisa menjangkaunya, hal ini secara umum masih belum bisa diterima dan hanya dalam cakupan yang sangat partikular sekali yang mungkin masih bisa kita terima. Sebagaimana disebutkan oleh para mufassir dalam karya-karya mereka bahwa hal tadi sering disebut dengan “subul” (jamak dari sabil=jalan. Pen) dan bukan “shuruth” (jamak dari shirath.pen) yang berarti jalan besar dan utama yang hanya satu wujudnya. Hanya dengan bersandar pada yaqiniyat (premis certains) saja kita sudah mampu menghukuminya.

Sehubungan dengan jalan-jalan simpangan -yang bukan jalan utama- dimana mungkin saja terdapat penyimpangan-penyimpangan disana-sini, akan tetapi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi jalan utama (prinsip agama) tadi. Pengakuan atas berbilangnya jalan-jalan simpangan tadi bukan berarti harus dibarengi dengan menerima atas ide adanya beberapa jalan utama, karena hanya satu jalan utama (shirat al-mustaqim). Oleh karena itu, Allah dalam Al-Qu’an dalam penggunaan kata “shirath” dengan tunggal sementara kata “subul” dengan jamak.

“dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang

lain….” (QS Al-ma’idah;153).

Jelas bahwa disamping kata “shirat al-mustaqim” (jalan yang lurus) juga terdapat kata “subul” (jalan-jalan) yang menunjukkan adanya bilangan. Hal tersebut seperti yang difirmankan dalam ayat lain yang berbunyi:

“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami….” (QS

Al-Ankabut;69)

adapun “subul” dalam ayat ini adalah jalan-jalan yang diridhai -berbeda dengan ayat sebelumnya- yang bisa diperumpamakan seperti garis-garis yang terdapat dalam jalan utama “shirat al-mustaqim”.

VII

TUJUAN PELONTARAN MASALAH PLURALISME

DITENGAH MASYARAKAT

Tanya: Apakah tujuan dilontarkannya permasalahan pluralisme agama pada masyarakat kita?

11

Jawab: Dalam media massa ataupun ceramah-ceramah yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tak dikenal, beberapa kali kita dengar mereka melontarkan pemikiran pluralisme agama dan mereka juga tekankan bahwa Islam, Kristen maupun agama-agama lain memiliki kebaikan oleh karenanya harus ada saling menghormati dan toleransi antar pengikut keyakinan-keyakinan yang ada. Sebagaimana kita menyukai jika keyakinan kita dihormati orang lain dan kita diberi kebebasan mengamalkan segala ajaran yang kita miliki maka merekapun harus kita beri hak untuk menganggap diri mereka dalam kebenaran dan memberi kebebasan untuk mengamalkan segala ajaran mereka, juga menghormati dan menganggap akan keberadaan dan kebenaran akidah mereka.

Tujuan dilontarkannya pemikiran-pemikiran semacam ini pada masyarakat kita adalah mencakup hal-hal sbb:

- Menjaga agar tidak merebaknya kebudayaan Islam dan budaya revolusioner: Sewaktu pembicaraan tentang kebenaran semua agama dan keyakinan-keyakinan yang ada sudah bisa diterima maka tidak perlu lagi mengajak orang lain untuk menuju Islam. Sewaktu ucapan seorang Kristen pun dianggap sebagai suatu kebenaran, lantas untuk apa kita seru dia kepada Islam agar menjadi seorang muslim? sewaktu ucapan orang-orang materialis dianggap benar dan prilaku merekapun sesuai dengan tuntutan mereka, lantas tidak perlu lagi orang-orang monoteis mengajak mereka untuk meyakini Tuhan. Lantas kenapa para monoteis selalu mengajak orang-orang musyrik untuk bertauhid? kenapa dan kenapa….kesimpulan dari hal tadi adalah untuk membatasi luang lingkup penyebaran pemikiran revolusioner dan budaya Islam sehingga pemerataannyapun tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan leluasa yang kemudian berakhir pada kemandulan.

- Menyusupkan pemikiran, budaya juga norma-norma materialisme dan barat pada masyarakat kita: sewaktu agama, budaya maupun norma-norma kita telah sirna dan kita sudah meyakini bahwa bukan hanya Islam saja sebagai agama yang benar maka otomatis jalan buat agama dan keyakinan yang lainpun telah terbuka. Sewaktu semua agama dan sekte memiliki muatan kebenaran maka kenapa kita tidak mengikuti prilaku, posisi dan norma-norma kelompok lain selain Islam?

Kesimpulan dari dua poin diatas adalah, untuk menghilangkan fanatisme dan jiwa beragama. Sewaktu kecemburuan dan rasa tanggungjawab keberagamaan -yang menjadi penghalang munculnya pemikiran-pemikiran menyimpang- telah sirna, sedang jiwa toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul) terus terpupuk hingga tumbuh dengan subur dan menjadi kokoh pada setiap jiwa manusia sehingga seakan sudah tidak ada lagi perbedaan antar keyakinan, sakralitas maupun norma-norma pada setiap pribadi muda-mudi dan person-person masyarakat. Hal itu berarti bahwa

12

musuh-musuh Islam telah berhasil dalam mencapai tujuannya. Karena pengaruh dan serangan norma-norma materialis dan barat telah berhasil membuka jalan-jalan yang ada sehingga kemungkinan berkuasanya kembali kekufuran menjadi semakin besar.

VIII

ARGUMEN PEMIKIRAN PLURALISME

Tanya: Argumen apakah yang digunakan oleh pendukung pemikiran pluralisme dalam menetapkan pendapat mereka?

Jawab: Pertama harus kita ketahui bahwa para pemrakarsa pemikiran pluralisme memberikan banyak sekali argumen mulai argumen rasional, historis, sastra, Al-Qur’an,….dst. Tentu, kita tidak bisa sebut satu persatu dalam kesempatan yang terbatas ini, cuma hanya beberapa saja yang akan kita sebutkan.

Para pendukung pluralisme mereka sering menggunakan tiga sarana dibawah ini sebagai alat bantu untuk menguatkan pendapat mereka, tiga hal tadi adalah:

A – Pluralisme dalam masalah politik, sosial dan ekonomi.

B – Relativitas semua norma-norma yang ada.

C – Relativitas ilmu pengetahuan (knowledge).

Pada kesempatan ini akan kita perjelas satu persatu dari tiga hal diatas secara ringkas:

(a) – Pluralisme politik dan sosial: Sekarang ini, dimana adanya berbagai macam negara-negara didunia dan dengan berbagai macam pula bentuk pemerintahannya mulai dari kerajaan, republik, parlementer…dst. Setiap bentuk pemerintahan memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengatur jalannya roda pemerintahan.

Dalam pembahasan filsafat politik, sewaktu kita dihadapkan pada pertanyaan; manakah bentuk pemerintahan yang ideal? Tentu, jawaban yang pas tidak akan pernah kita dapati, karena setiap bentuk tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Sebagaimana sekarang ini demokrasi merupakan perkara yang bisa diterima oleh banyak kalangan, dan disebutkan bahwa masyarakat bisa turut serta berpartisipasi aktif dalam mengatur jalannya pemerintahan hanya dengan melalui partai-partai yang ada. Jika sebuah partai mendapat suara terbanyak

13

lantas ia terus-menerus dapat memegang kendali pemerintahan maka, tentu hal semacam itu tidak bisa diterima. Akan tetapi partai tersebut harus terlebih dahulu menghadapi pertarungan suara dan adu pendapat sehingga setiap partai bisa berkuasa pada waktu tertentu. Oleh karenanya pluralisme dalam partaipun sekarang ini juga diakui.

- Pluralisme ekonomi: Menilik dari sisi ekonomi, dengan adanya beberapa kutub yang berbeda-beda akan mengakibatkan hilangnya kesewenang-wenangan dari beberapa kelompok tertentu. Sedang dari sisi perkembangan dan perluasan ekonomi harus tetap ada pada beberapa kelompok kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat.

Sebagaimana yang telah disinggung seperti dalam masalah-masalah diatas, para pendukung pluralisme berusaha menyamakan permasalahan agama dengan perkara-perkara politik, ekonomi dan partai. Sehingga dari situ mereka berkesimpulan bahwa dalam segala aspek sosial diperlukan pluralitas, oleh karenanya hal itu harus dimunculkan dan dikembangkan. Sebagaimana yang telah kita singgung dalam tanya-jawab sebelumnya bahwa analogy semacam itu merupakan suatu kesalahan.

(b) Relativitas norma-norma yang ada: Banyak sekali kita dapati beberapa permasalahan dan ilmu pengetahuan dimana dalam sisi penerapannya tidak mungkin bisa berbilang. Tidak mungkin adanya beberapa pandangan yang bisa kita yakini kebenarannya secara bersamaan. Pembahasan kimia, biologi, matematika dan arsitektur adalah termasuk bagian dari hal tadi. Melihat kenyataan semacam itu maka kita akan bertanya kepada pembela pluralisme; kenapa anda menyamakan antara permasalahan agama dengan ekonomi ataupun politik? Kenapa anda tidak menyamakan antara permasalahan agama dengan permasalahan-permasalahan biologi atau matematika dimana tidak ada jawaban yang benar kecuali satu? Sebagaimana hukum yang dihasilkan dari ungkapan semisal; Apakah sudut bisa menerima cahaya atau tidak, sisinya sama atau tidak, dua kali dua apakah empat atau bukan? Sebagaimana semua pertanyaan itu bisa kita dapati pula dalam kaitannya dengan agama; Apakah Tuhan ada atau tiada? Tentu, hanya satu jawaban yang benar dan tentu tidak bisa kita terima jawaban benar yang plural. Disini para pluralis menjawab dengan poin lain yaitu dengan melontarkan permasalahan berkisar tentang manusia, norma dan budaya dimana masalah agama masuk dalam kategori tersebut yang lebih bersifat abstrak dan tidak memiliki realita dikarenakan tergantung pada kecenderungan manusia itu sendiri. Contoh dari hal tersebut adalah sebagaimana kita tidak bisa menilai bahwa warna hijau atau kuning adalah warna terbaik diantara warna-warna yang ada, atau bau tertentu lebih baik, atau makanan tertentu, fulan lebih menarik dari orang lain, cuaca tertentu lebih bagus ataupun adat istiadat masyarakat Cina atau Jepang lebih bagus dibanding dengan adat istiadat masyarakat negara-negara Afrika umpamanya. Perkara yang menyangkut

14

masalah agama juga memiliki hukum yang sama pula, umpamanya; tidak bisa dikatakan secara pasti apakah sholat menghadap ke Makkah lebih bagus atau menghadap Baitulmaqdis, Islam lebih baik atau Kristen, tauhid dan agama Tuhan lebih bagus atau trinitas ataupun materialis. Semua permasalahan tadi dari ribuan permasalahan lain semacam ini tergantung pada kecenderungan dan kebiasaan masyarakat, dimana realitanya hanya tergantung pada hasrat dan keinginan manusia yang bersangkutan saja oleh karenanya ada kemungkinan berubah. Boleh jadi pada waktu tertentu warna hijau menjadi warna favoritnya, sedang diwaktu lain warna kuning dan kesempatan lain warna merah muda. Pada masyarakat tertentu duduk menjadi bukti penghormatan tapi dikomunitas lain justru berdiri menjadi bukti penghormatan sedang dinegara lain memiliki adat lain pula.

(c) RelatiVitas pengetahuan (knowledge): Asas ketiga yang dijadikan sandaran kaum pluralis adalah masalah relativitas pengetahuan. Dua asas yang telah disinggung diatas tadi bertumpu pada asas ini pula. Oleh karenanya, asas ini dianggap sebagai asas terpenting dari sekian asas-asas yang ada. Mereka berpendapat bahwa bukan hanya pengetahuan tentang norma-norma saja yang relatif, akan tetapi mencakup semua pengetahuan. Dengan bahasa yang lebih gamblang tidak ada pengetahuan tanpa relativitas. Walaupun dalam beberapa permasalahan tampak jelas sekali tapi dalam permasalahan lain masih tampak agak samar. Relativitas bisa ditemui dalam segala pengetahuan yang bersifat obyektif maupun semua yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, juga segala ilmu pengetahuan kita yang terdapat hubungan dan saling berkaitan satu dengan yang lain. sebagaimana perubahanpun bisa terjadi pada segala susunan pengetahuan manusia yang berkaitan dengan cabang-cabang semua disiplin ilmu.

Bisa ditambahkan bahwa yang terjadi ditengah masyarakat kita sekarang ini selain yang telah kita sebutkan tadi ada beberapa oknum yang zahirnya nampak sebagai seorang muslim dan berjiwa agamis mereka berusaha untuk menetapkan keyakinan ini dengan menggunakan pemahaman-pemahaman agama dan teks-teks suci keagamaan. Dalam banyak kesempatan merekapun menggunakan dalil-dalil sastra maupun syair-syair seperti karya Maulawi (Jalaluddin Rumi .pen) atau Atthar Naisaburi yang digunakan untuk berdalil pada setiap pandangan mereka. Sedang disitu terdapat poin-poin yang mereka lalaikan dengan tanpa mereka disadari. Padahal jika diteliti lebih lanjut, niscaya banyak sekali peluang-peluang untuk bisa menkritisi pemikiran mereka. Dimana dalam buku inipun ada beberapa poin yang sempat kita singgung.

IX

TUJUAN PEMIKIRAN PLURALISME

15

Tanya: Secara global tujuan apakah yang ingin dicapai sehingga pemikiran tentang pluralisme tersebut sengaja dilontarkan?

Jawab: Ada dua tujuan rasional yang menyebabkan munculnya kecenderungan untuk berpikir sesui konsep pluralisme:

- Tujuan yang menjurus langsung pada perasaan manusia: Sebagian orang berpendapat bahwa jika kita hanya mengakui satu agama atau satu sekte saja yang benar maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi, karena setiap individu pada setiap bangsa sejak kecil memiliki kecenderungan masing-masing sehingga memiliki tampilan dan gaya tersendiri. Mereka meyakini bahwa keyakinan dan jalan yang selama ini mereka tempuh merupakan satu kebenaran, dimana selain hal tersebut mereka anggap suatu kesesatan. Pemikiran seperti ini tidak hanya dapat kita jumpai dikomunitas muslim ataupun syiah imamiah saja akan tetapi dibanyak kelompokpun kita akan menjumpai hal semacam itu. Sebagaimana kita menganggap bahwa selain golongan kita mereka dalam kesesatan merekapun melihat dengan kaca mata mereka bahwa kita juga dalam kesesatan. Jika kita terlahir dari bangsa dan agama selain yang kita peluk sekarang ini ataupun terlahir dari ibu-bapak lain selain ibu-bapak kita niscaya kita akan memiliki penilaian yang lain pula. Begitu pula jika seorang Masihi ataupun Yahudi berkebangsaan Eropa ataupun Amerika, jika ia terlahir di Tehran ataupun di Qom niscaya ia akan memiliki keyakinan yang lain. Sebagaimana mereka harus memberikan kemungkinan-kemungkinan akan kebenaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad (saww), mereka juga diharuskan meneliti terlebih dahulu sebelum menghukuminya. Maka kitapun juga sebaliknya harus memberikan segala kemungkinan yang menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh orang lain memuat suatu kebenaran dan kita harus menelitinya terlebih dahulu. Sehingga dari sini muncul pertanyaan; Kenapa hanya dikarenakan kita terlahir secara terpaksa dari ibu-bapak dan dibelahan bumi tertentu sehingga hal itu menyebabkan dari satu sisi kita harus mengakui kebenaran apa yang kita yakini dan disisi lain kita harus mengatakan kesesatan kelompok lain?

Dari sisi lain apakah mungkin kita akan menerima bahwa dari jumlah seluruh penghuni bumi yang mencapai 6 milyar jiwa tersebut hanya 100 sampai dengan 200 juta jiwa saja –itupun hanya bagi orang yang konsekwen menjaga halal-haram dalam sari’at dan yang tidak menutup pintu sorga buat dirinya- yang ada dalam kebenaran dan termasuk calon penghuni sorga. Sedang selain penganut agama Islam –yang mencakup Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Hindu, Budha…dst- ataupun selain pengikut Syiah –semua kelompok ahlussunnah- atau lebih khusus lagi selain Syiah imamiah itsna asyariah –selain ahlussunnah juga mencakup sekte-sekte syiah yang lain- mereka adalah dalam kebatilan dan akan menjadi penghuni neraka?!

16

Analisa semacam ini memiliki tujuan yang titik beratnya pada sisi kejiwaan saja, sehingga walaupun keberadaan agama dan sekte dengan jumlah yang berbilang dan yang muncul tapi semua itu diyakini tetap dalam kebenaran. Sebagaimana kita dalam kebenaran maka merekapun termasuk orang-orang yang selamat dan bakal menjadi penghuni sorga. Mereka menganggap kelompok lain dalam kebenaran dengan dalih bahwa berapa banyak dari mereka yang lebih baik, bersih dan konsisten terhadap agamanya.

- Tujuan yang bersifat sosial: Ada poin lain yang menyebabkan kecenderungan banyak orang menjadi pengikut pandangan ini yaitu adanya pertikaian, peperangan dan kecamuk yang sering terjadi sepanjang sejarah manusia yang hingga kini terus berlangsung. Berapa banyak jiwa yang mati, perusakan, penghancuran dan pertumpahan darah diakibatkan dari penentuan sekte manakah yang ada dalam kebenaran. Munculnya fanatisme dan bersikerasnya sebagian oknum dalam menerapkan keyakinan khusus yang tedapat pada sektenya.

Peristiwa-peristiwa seperti perang salib perang antara Islam dan Kristen, perang antar madzhab antara sunni dan syiah, perang antar sekte antara katolik dan protestan, dan banyak lagi contoh-contoh semacam itu. Dimana akar dari semua kejadian itu adalah fanatisme dan bersikeras atas pandangan pribadi.

Untuk menyelesaikan segala kecamuk semacam itu harus diadakan suatu teori yang memuat pemberian toleransi dan penyederhanaan masalah (tasahul). Jika itu disepakati dan dilaksanakan oleh semua kelompok dimana jika masing-masing mereka serentak meneriakkan; “kita dalam kebenaran sebagaimana kalianpun juga dalam kebenaran”. Sebagaimana Islam dalam kebenaran begitu pula Kristen kristen dalam kebenaran, sebagaimana syiah dalam kebenaran begitu pula sunni, sebagaimana katolik dalam kebenaran begitu pula ortodoks ataupun protestan…. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akar permusuhan yang berakhir pada terwujudnya perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.

Dari sini kita telah membicarakan tentang dua tujuan dan alasan dimunculkannya teori pluralisme. Adapun apakah kita sekarang akan menerima dua alasan tadi? Kalaupun kita menerimanya adakah cara lain sebagai jalan keluar selain konsep pluralisme atau tidak? Kalaupun ada jalan lain yang bisa ditempuh jalan manakah yang logis dan benar?

Untuk menjawab alasan kejiwaan yang telah disebutkan tadi ada beberapa premis yang harus disinggung terlebih dahulu:

1- Mustadh’af (lemah / oppressed) dalam istilah kita ada dua pengertian:

17

a- Lemah dari sisi sosial dan ekonomi yang bisa dikategorikan sebagai golongan minus.

b- Lemah dari sisi intelektual yang dalam pembahasan theology (ilmu kalam) sering dipredikatkan buat individu yang tidak mampu berfikir dan berargumen dengan baik sehingga tidak bisa menentukan kebenaran yang ada seperti; sulit memahami tentang argumen eksistensi Tuhan atau kebenaran Islam ataupun dikarenakan ia tidak pernah mendapati pemasalahan-permasalahan semacan itu. Dan kalaupun pernah ia dapati dan ia dengar hal-hal semacam itu, ia tidak mampu memberikan kemungkinan akan kebenarannya sama sekali. Dengan kata lain ia tidak menindaklanjutinya, perkara semacam ini bisa diakibatkan dari lingkungan keluarga, sosial atau tidak adanya propaganda ataupun karena adanya propaganda yang bertentangan. Walhasil…ia telah menempuh arah lain.

2- Ada dua istilah yang sering dipakai untuk kebodohan (jahl):

a- Jahil muqoshir yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk mendapat suatu ilmu ataupun orang yang memberikan kemungkinan salah pada akidah yang dimilikinya tapi ia tidak berusaha untuk mencari jalan yang benar. Orang semacam ini tentu dari kaca mata sosial maupun syariat sangat tercela.

b- Jahil qoshir yaitu orang yang ada kemungkinan dia lalai ataupun yang tidak memberikan kemungkinan salah atas prilakunya. Dan kalaupun ia memberikan kemungkinan salah pada prilakunya maka ia bersedia mendengarkan ucapan orang lain, tapi sayangnya ia tidak punya sarana yang cukup untuk menggapai kebenaran yang ada. Orang semacam ini baik sosial maupun syariat tidak mungkin bisa untuk disalahkan ataupun mencelanya.

Setelah kita mengetahui dua poin diatas maka dapat kita sebutkan bahwa orang yang lemah dari sisi pemikiran (mustadhaf fikri) dan jahil qoshir yaitu bagi orang yang belum sampai kepadanya kebenaran islam dan ajaran Ahlul-Bait (tasyayyu’) maka ia tidak bisa dihukumi salah (ma’dzur) sehingga kalaupun ia terjerumus pada kesalahan dalam berkeyakinan –hal itu dikarenakan tidak adanya dualisme dalam kebenaran seperti apakah Tuhan ada atau tiada? Muhammad (saww) sebagai nabi Allah dan nabi terakhir atau bukan? Maka mustahil bertemunya dua hal tersebut yang saling paradox- tetapi kita tidak bisa menghukuminya sebagai penghuni neraka karena kesalahan yang ia lakukan. Sementara kita tahu bahwa mayoritas penduduk dunia tergolong dari kelompok tersebut. Akan tetapi jika ia menganggap remeh kebenaran ataupun ia telah melihat kebenaran tapi dengan terang-terangan ia menentangnya tentu disaat itu baik syariat maupun logika akan menghukumi orang semacam itu karena hukuman disesuikan dengan pelanggaran yang diperbuat oleh suatu oknum. Hal tersebut sesuai dengan

18

potongan dari doa’ kumail, doa’ yang diajarkan Ali bin abi tholib (as) kepada sahabat beliau Kumail bin ziad (ra):

“…wahai Tuhan, Engkau telah berjanji bahwa neraka akan dipenuhi dengan orang-orang kafir baik dari golongan jin maupun manusia, dan akan Kau kekalkan bagi mereka yang menentang (kebenaran)…”

maka bagi setiap orang kafir yang ia tidak meniti jalan yang benar maka ia akan dimasukkan neraka sesuai dengan kesalahan yang ia perbuat. Adapun jika ia menentang kebenaran yang telah ada dihadapannya maka ia akan dikekalkan dalam siksaan neraka. Singkat kata bahwa dizaman kita sekarang ini yang termasuk kategori orang-orang yang selamat tidak hanya terbatas pada seratus juta jiwa atau hanya pengikut imamiah saja.

Poin lain dalam pembahasan pluralisme yang harus diperhatikan adalah kita tidak perlu mengungkit-ungkit tentang di kota atau di negara mana atau dari orang tua yang mana kita terlahir, atau didaerah mana kita tumbuh dan berkembang. Akan tetapi yang perlu kita angkat adalah dari sekian banyak pendapat ataupun statemen yang ada dari sisi ephystemologi maupun realitanya tidak mungkin ada dualisme kebenara. Adapun perbuatan apapun yang akan diperbuat oleh orang yang menentangnya itu permasalahan lain yang sudah pernah kita singgung dalam pembahasan yang lalu.

Adapun tentang tujuan sosial yang pernah disinggung seperti untuk menghindari peperangan dan pertumpahan darah, bisa kita katakan bahwa pendapat semacam itu bukan lantas menjadikan kita lantas membenarkan dakwahan pendapat tentang adanya dualisme kebenaran, karena kategori kebenaran ataupun kesalahan dalam pemikiran berbeda dengan kategori tentang dua hal tersebut dalam hal prilaku dan diantara keduanya tidak ada media penghubung sehingga untuk menghindari berbagai peperangan maupun pertumpahan darah yang tidak dikehendaki ada jalan alternatif yang benar dimana Islam telah melampaui jalan-jalan itu dengan bai. Bisa kita perjelas semisal ada beberapa kelompok yang bukan pengikut imamiah itsna asyariah dimana diantara mereka sendiri terdapat perbedaan dari sisi hukum sehingga terbagi pada beberapa kelompok

Beberapa madzhab yang ada baik dari kelompok syiah maupun sunni kecuali kelompok minoritas saja –dari para nashibi yaitu kelompok yang menentang dan mencela para manusia suci dari ahlul-bait (as)- mereke sama-sama memiliki kesamaan dengan imamiah baik dari sisi ketuhanan, agama, kitab suci dan kejelasan-kejelasan agama lainnya dimana semua mazhab-mazhab itu sama-sama dibawah naungan pemerintahan Islam sebagai manusia muslim yang memiliki hak masing-masing dan dimana antara mazhab tersebut meyakini bahwa agama tidak mengajarkan terjadinya peperangan diantara mereka.

19

Bagi non muslim atau setiap individu pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun Zoroaster yang biasa disebut dengan ahli kitab, jika mereka hidup dibawah naungan pemerintah Islam dan taat atas setiap undang-undang yang diberlakukan, maka merekapun mendapat perlindungan yang sama seperti anggota masyarakat yang lain. Dimana jiwa, harta dan kepemilikan mereka aman dan terjaga, sebagaimana orang-orang Islam diharuskan membayar khumus, zakat dan pajak maka merekapun berkewajiban membayar semisal pajak yang biasa disebut jizyah sebagai tanda ketaatan. Oleh karena itu Islam tidak akan memerintahkan untuk menyerang terlebih dahulu buat pengikut agama-agama semacam ini.

Bagi pengikut agama non samawi yang telah mengadakan perjanjian dengan sebuah pemerintahan Islam, orang tersebut berdasarkan perjanjian itu pula ia dapat hidup bertetangga dengan kaum muslimin dan didalam wilayah teritorial negara Islam. Dimana keduabelah pihak harus berprilaku sesuai dengan perjanjian yang ada –yang boleh jadi berbeda-beda buat tiap person- dan sesuai dengan perjanjian bahwa sehubungan dengan kelompok tersebut maka hak dan kebebasan dalam berseteru antar dua kelompok yang ada ditiadakan.

Setiap individu yang sama sekali tidak terikat dengan perjanjian apapun ataupun yang memiliki perjanjian tapi ia mengingkari perjanjian yang ada, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang sewenang-wenang dan orang semacam ini tidak akan bisa diterima oleh jenis pemerintahan manapun. Sehingga dalam berinteraksi dengan merekapun harus dengan ketegasan atau kalau perlu dengan peperangan sampai mereka menyerah atau menjadi tawanan. Aturan semacam ini ada pada pemerintahan manapun didunia, dimana tiada satu pemerintahan yang sehat manapun yang memberi izin seseorang untuk mencuri ataupun melanggar hak-hak orang lain. Tentu, pemerintahan semacam itu akan berbenturan dengan kelompok semacam itu.

Dari segala yang telah kita bahas dapat kita ketahui bahwa agama yang logis dan rasional adalah agama Islam. Dimana ia selalu menyerukan dialog kepada selainnya dan selalu menyerukan bahwa ia adalah agama dialog dan menjunjung tinggi hal tersebut. Sehingga Islam berpendapat jika anda dapat memuaskan kita dengan menunjukkan dan menetapkan kebenaran jalan yang telah anda tempuh niscaya kita akan mengikutinya, akan tetapi jika terbukti bahwa kita dalam kebenaran maka kita akan menyerukan hal itu pada anda agar andapun mengikuti kami. Ada prinsip lain yang lebih tinggi lagi yaitu jika anda tidak mau menyerah atas logika dan kebenaran yang kami bawa maka mari kita adakan perjanjian sehingga kita bisa hidup bersama-sama dan sehingga pertumpahan darah diantara kita bisa dihindari, walaupun anda boleh tidak mau menerima ucapan kita. Alakullihal…jika seseorang tidak mau menerima ucapan logis dan kebenaran kita juga tidak mau mengadakan perjanjian agar bisa hidup berdampingan secara rukun

20

dan damai, melihat hal seperti ini maka setiap pengamat yang berjiwa bijak pasti tidak akan bisa menerima hal tersebut dan akan berpendapat bahwa tiada jalan lain yang layak ditempuh kecuali harus diadakan tindakan keras atas mereka. Untuk menghentikan pertikaian dan tindakan keras jelas tidak cukup dengan larangan yang ditujukan pada salah satu pihak saja untuk menghentikan pertikaian, akan tetapi harus kedua belah pihak harus memiliki perhatian atas perdamaian diantara mereka. Maka jalan yang benar untuk ditempuh bukan berarti lantas mengatakan kedua-duanya dalam kebenaran, tetapi bisa saja dengan mengatakan bahwa salah satu benar dan realitasnya memang hanya satu yang benar. Akan tetapi bisa saja disarankan agar segala macam jenis pertikaian dengan pihak lain selayaknya dihindari.

(Alih Bahasa: Muchtar Luthfi)

21