Suku Toraja

Post on 24-Jun-2015

790 views 6 download

Transcript of Suku Toraja

Suku TorajaToraja

Identitas etnis650.000Kawasan de

Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan

ngan jumlah penduduk yang signifikanSulawesi Bara

, Mamasa, Ta'e, Talondo' dan Toala'.AgamaProtesta

assarSuku Toraja adalah suku yang menetap di pegu

Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, de

ten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk ag

n kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk

To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepe

a.

uku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas me

ngenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebel

um abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pen

gkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah datara

n tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak

beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritua

l-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada

banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan b

erbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulaw

esi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti or

ang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan

sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk pendudu

k dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" leb

ih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang l

i sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada d

engan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misiona

ris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesad

aran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identi

tas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di

Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki emp

at kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, me

liputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedag

ang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), d

Letak Toraja (hijau) diantara Makassar (kuning) dan Bugi

dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku T

oraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Mel

ayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran

tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akh

irnya pindah ke dataran tinggi.

ejak abad ke-17, Bela

nda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politi

ie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah

dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tin

ggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit

lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda m

ulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Su

lawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bu

gis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animism

e sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pa

da tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai

dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.

Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan p

erbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis di

gambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana T

oraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari ke

rajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahu

n 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentsc

hap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten

pada tahun 1957.

isionaris Belanda yang baru dat

ang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena p

enghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja

. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran r

endah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatu

r. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan t

ujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat

. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tida

k merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraj

a yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hany

a 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen

.

ada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara p

enduduk Muslim di dataran rendah dengan orang Toraja.

Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi d

engan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapa

tkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk ge

rakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makass

ar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 set

elah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami

kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul

Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara

Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung sel

ama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak

orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

ada tahun 1

965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh pendu

duk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agam

kui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang d

ekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum

, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu aga

ma resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan seb

agai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Masyarakat

Keluar

ga

Sebuah perkampungan suku Toraja

eluarga adal

ah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja

. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tong

konan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa.

Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan de

ngan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adala

ku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sam

pai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, unt

uk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan ber

langsung secara timbal balik, dalam artian bahwa kelua

rga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dal

am ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

etia

p orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.

Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu

dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga

. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan bias

anya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah menin

ggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebu

t atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

ebelum ada

nya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana

Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya s

endiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga T

oraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beb

erapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,

bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubun

gan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawi

nan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara pra

ktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ri

tual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubung

an politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menem

patkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siap

a yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat da

n menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh at

au tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan

atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperb

olehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial

alam

masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian de

kat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosi

puskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda)

. Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbole

hkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih re

ndah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari ke

las yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan

status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan d

ari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahank

an hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

a

um bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari su

rga. tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tin

ggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang

disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang diba

ngun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jela

ta boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan bia

sanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjag

a kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dila

rang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan

pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beber

apa gerak sosial yang dapat mempengaruhi status seseor

ang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan

. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dim

iliki.

udak dalam masyarakat Toraja merupakan propert

i milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi b

udak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara

menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan per

dagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebe

basan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi s

tatus budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perungg

u atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan m

ereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merde

ka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman ma

ti.

Agama

istem kepercayaan tradisional suku Toraja a

uk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"

). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dar

i surga dengan menggunakan tangga yang kemudian diguna

kan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan P

uang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk,

dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi

), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menik

ah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian m

uncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilamb

angkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang di

batasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat

manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan a

tap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah P

ong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (d

ewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'

Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

ekuasaa

n di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegan

g baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara

pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Al

uk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupak

an gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk me

ngatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan

ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara

satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum ad

alah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan har

us dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kemati

an akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya diga

bung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sa

atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan me

lakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian ma

sih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual ke

hidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Ke

budayaan

Tongkonan

Tiga tongkonan di desa Toraja.

ongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri

di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwa

rna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal

dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

ongkonan merup

akan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang b

erhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam ke

hidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua an

ggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan

melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Men

urut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun

di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraj

a turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggel

ar upacara yang besar.

embangunan tongkonan adalah pe

kerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan

bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tong

konan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang di

gunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamb

eran adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewen

ang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan an

ggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklu

sifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkuran

g seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaa

n yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Sete

lah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu memba

ngun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu

Jumlah populasi

pa'tedong(kerbau)

pa'barre allo(matahari)

pa're'po' sanguba(menari)

ne'limbongan(perancang legendaris)

Sumber.

Upacara pemakaman

Tempat penguburan Toraja yang diukir.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Sebuah makam.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian

perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.

Komersialisasi

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.

Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

By : http://www.wikipedia.com/