Suku Toraja
-
Upload
okybimasaputra -
Category
Documents
-
view
790 -
download
6
Transcript of Suku Toraja
Suku TorajaToraja
Identitas etnis650.000Kawasan de
Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan
ngan jumlah penduduk yang signifikanSulawesi Bara
t, Sulawesi SelatanBahasaToraja-Sa'dan, Kalumpang
, Mamasa, Ta'e, Talondo' dan Toala'.AgamaProtesta
n: 65.15%, Katolik: 16.97%, Islam: 5.99% dan Aluk
To Dolo: 5.99%.Kelompok etnis terdekatBugis, Mak
assarSuku Toraja adalah suku yang menetap di pegu
nungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, de
ngan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupa
ten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk ag
ama Kristen, sementara sebagian menganut Islam da
n kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk
To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepe
rcayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharm
a.
uku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas me
ngenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebel
um abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pen
gkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah datara
n tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritua
l-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada
banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan b
erbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulaw
esi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti or
ang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan
sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk pendudu
k dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" leb
ih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang l
uar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghun
i sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada d
engan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misiona
ris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesad
aran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identi
tas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki emp
at kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, me
liputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedag
ang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), d
an suku Toraja (petani di dataran tinggi).
Sejarah
Letak Toraja (hijau) diantara Makassar (kuning) dan Bugi
s (merah).
eluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara
dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku T
oraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Mel
ayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akh
irnya pindah ke dataran tinggi.
ejak abad ke-17, Bela
nda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politi
k di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagn
ie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah
dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tin
ggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit
lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda m
ulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Su
lawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bu
gis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animism
e sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pa
da tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.
Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan p
erbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis di
gambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana T
oraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari ke
rajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahu
n 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentsc
hap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten
pada tahun 1957.
isionaris Belanda yang baru dat
ang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena p
enghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja
. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran r
endah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatu
r. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan t
ujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat
. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tida
k merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraj
a yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hany
a 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen
.
ada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara p
enduduk Muslim di dataran rendah dengan orang Toraja.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi d
engan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapa
tkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk ge
rakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makass
ar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 set
elah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami
kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul
Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara
Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung sel
ama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
ada tahun 1
965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh pendu
duk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agam
a yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hind
u dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak dia
kui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang d
ekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum
, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu aga
ma resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan seb
agai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
Keluar
ga
Sebuah perkampungan suku Toraja
eluarga adal
ah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja
. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tong
konan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa.
Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan de
ngan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adala
h praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Su
ku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sam
pai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, unt
uk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan ber
langsung secara timbal balik, dalam artian bahwa kelua
rga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dal
am ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
etia
p orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu
dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga
. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan bias
anya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah menin
ggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebu
t atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
ebelum ada
nya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana
Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya s
endiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga T
oraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beb
erapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubun
gan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawi
nan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara pra
ktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ri
tual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubung
an politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menem
patkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siap
a yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat da
n menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh at
au tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan
atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperb
olehkan untuk masing-masing orang.
Kelas sosial
alam
masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian de
kat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosi
al: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan diha
puskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda)
. Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbole
hkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih re
ndah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari ke
las yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan
status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan d
ari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahank
an hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
a
um bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari su
rga. tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tin
ggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang
disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang diba
ngun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jela
ta boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan bia
sanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjag
a kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dila
rang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan
pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beber
apa gerak sosial yang dapat mempengaruhi status seseor
ang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan
. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dim
iliki.
udak dalam masyarakat Toraja merupakan propert
i milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi b
udak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara
menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan per
dagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebe
basan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi s
tatus budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perungg
u atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan m
ereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merde
ka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman ma
dalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut al
uk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"
). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dar
i surga dengan menggunakan tangga yang kemudian diguna
kan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan P
uang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk,
dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi
), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menik
ah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian m
uncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilamb
angkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang di
batasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan a
tap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah P
ong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (d
ewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
ekuasaa
n di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegan
g baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara
pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Al
uk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupak
an gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk me
ngatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan
ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara
satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum ad
alah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan har
us dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kemati
an akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya diga
bung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sa
ma pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda
, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri
atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan me
lakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian ma
sih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual ke
hidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Ke
budayaan
Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
ongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri
di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwa
rna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal
dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
ongkonan merup
akan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang b
erhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam ke
hidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua an
ggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Men
urut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun
di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraj
a turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggel
ar upacara yang besar.
embangunan tongkonan adalah pe
kerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tong
konan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang di
gunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamb
eran adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewen
ang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan an
ggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklu
sifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkuran
g seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaa
n yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Sete
lah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu memba
ngun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
Jumlah populasi
pa'tedong(kerbau)
pa'barre allo(matahari)
pa're'po' sanguba(menari)
ne'limbongan(perancang legendaris)
Sumber.
Upacara pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian
perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.
Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
By : http://www.wikipedia.com/