Post on 03-Feb-2018
Struktur Narasi
Perkawinan Dayak
Maanyan
Dr. Rusma Noortyani, M.Pd.
ii
Struktur Narasi Perkawinan Dayak Maanyan © 2016, All rights reserved
Penulis : Dr. Rusma Noortyani, M.Pd Desain Cover & Penata Isi Tim MNC Publishing Cetakan I, Desember 2016 Diterbitkan oleh:
Media Nusa Creative Anggota IKAPI (162/JTI/2015) Bukit Cemara Tidar H5 No. 34, Malang Telp. : 0341 – 563 149 / 08223.2121.888 e-mail : mnc.publishing.malang@gmail.com Website : www.mncpublishing.com
ISBN : 978-602-6397-43-0
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)
iii
KATA PENGANTAR
Eksplorasi Budaya Bangsa, Mengintip Budaya Suku Dayak
Maanyan melalui Proses Ritualnya
Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd.
(Guru Besar Sastra, Universitas Negeri Malang)
Kebudayaan, sebagaimana juga halnya alam, tidak
dapat dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Andai kata
kebudayaan dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka
mereka yang kuat dan kaya akan menjadi makin kuat dan
kaya, sedangkan mereka yang lemah dan miskin akan
semakin lemah dan melarat. Kekuatan dan kelemahan, serta
kekayaan dan kemelaratan dalam hal ini bukan hanya
menyangkut kehidupan jasmani belaka, namum juga,
menyangkut kehidupan rohani. Kebudayaan, Sementara itu,
bukan sekadar masalah kemaslahatan, namun juga masalah
jati diri. Masalah jati diri, sementara itu, tidak lain adalah
masalah nilai-nilai. Karena itu, sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Edi Sedyawati, “bangsa, atau biasa juga
disebut nation, adalah himpunan manusia yang disatukan
oleh nilai-nilai … yang sama.”
Kebudayaan, dengan demikian, mencakup dua
masalah pokok, yaitu masalah kemaslahatan dan masalah jati
diri. Kemaslahatan menyangkut aspek jasmani dan rohani,
sementara jati diri menyangkut nilai-nilai. Strategi
kebudayaan, dengan demikian, ditujukan untuk mencapai
dua titik pokok, yaitu kemaslahatan dan jati diri. Makna
kebudayaan, dengan sendirinya, amat luas. Semua aspek
kehidupan, sebagaimana misalnya tradisi, pola berpikir,
iv
perilaku, estetika, agama, dan sekian banyak aspek
kehidupan lain, pada hakikatnya adalah kebudayaan. Karena
makna kebudayaan amat luas, sebenarnya kebudayaan tidak
bisa dipersempit menjadi kesenian.
Penyempitan makna “kebudayaan” menjadi
“kesenian,” tentunya juga mempunyai alasan sendiri. Ada
dua hal pokok dalam kesenian, yaitu selera estika dan cara
ekspresi estetis. Selera estetika dan ekspresi estetis,
khususnya pada jaman dahulu, berhubungan erat dengan
dengan kepercayaan dan agama. Namun, lepas dari apakah
selera estetika dan ekspresi estetis terkait dengan
kepercayaan dan agama, selera dan ekspresi tersebut tetap
dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Alasannya, tidak
lain, karena selera dan ekspresi tidak lain adalah
pencerminan reaksi masyarakat atau seniman dalam
menanggapi realita.
Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan,
sebagaimana kebudayaan di berbagai daerah yang lain di
Indonesia, bisa menampilkan suatu corak yang khas
(Koentjaraningrat, 1986:263). Pertumbuhan dan perkembangan
kebudayaan yang khas tersebut tidak berarti menolak unsur-
unsur budaya luar daerah dan budaya asing, tetapi dapat
menerimanya terutama berbagai unsur budaya yang dapat
memperkaya khazanah budaya nasional dan mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia (Penjelasan UUD
1945, pasal 32). Penggabungan dua unsur budaya atau lebih
tersebut disebut akulturasi. Proses akulturasi atau kontak
budaya seperti itu wajar terjadi dalam berbagai kehidupan
sosial, karena pada dasarnya kelompok manusia dihadapkan
pada unsur-unsur kebudayaan di luar daerahnya dan unsur
kebudayaan luar itu tanpa menyebabkan kehilangan jati
dirinya (Koentjaranigrat, 1986: 248).
Salah satu dampak akulturasi budaya itu adalah
v
generasi muda, khususnya para remaja, sedikit sekali yang
mengetahui kebudayaannya sendiri. Dalam akulturasi
budaya Jawa, kalau mereka tidak mengetahui bahasa Kawi,
misalnya, hal itu tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi,
apabila mereka tidak mengenal dan mengetahui bahasa Jawa
sebagai bahasa ibu, hal itu merupakan suatu yang
memprihatinkan (Hartoko, 1979:254). Begitu pula generasi
muda di daerah lain yang berbahasa ibu, apakah pernyataan
Hartoko tersebut berlaku juga di Dayak Maanyan? Di
samping itu, berbagai unsur kebudayaan, misalnya, filsafat,
kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, mode pakaian, dan
adat istiadat populer mencerminkan pandangan hidup suatu
masyarakat (Danandjaja, 1988:8). Pandangan hidup Jawa,
misalnya, tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa
yang berpandangan bahwa wong ngalah luhur wekasane 'orang
yang suka mengalah akan memperoleh kebahagiaan kelak'
dan alon-alon waton kelakon 'perlahan tapi pasti'. Sabar,
sungkan ‘merasa enggan’ dan isin ‘malu’ merupakan
pandangan hidup yang harus diugemi ‘dipatuhi’ dan diuri-uri
‘dilestarikan’ sehingga rasa isin dan sungkan tersebut
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sikap dan perilaku
manusia Jawa (Magnis Suseno, 1984). Masalahnya saat ini
adalah mengapa pandangan hidup tersebut mulai luntur,
pudar, kalau tidak boleh dikatakan hilang dari alam pikir
dan alam bermain remaja Timur? Apakah hal ini akibat dari
pendidikan budi pekerti yang kurang mendapat perhatian
dari berbagai pihak, keluarga, lembaga pendidikan, dan
masyarakat?
Berpalingnya generasi muda padahal-hal yang bersifat
modern tidak bisa disalahkan karena globalisasi yang
borderless. Contoh sederhana saja, mode pakaian yang selalu
ingin kelihatan tomboy dan trend, sementara Batik dan
sejenisnya tidak dilirik. Perkembangan informasi yang sangat
vi
pesat pun menjadi latar belakang mengapa generasi muda
berpaling kehal-hal yang modern dan absurd. Meminjam
istilah Sausure bahwa karya sastra merupakan tanda, signifier
atau signifiant, berarti bahwa karya sastra merupakan rekaan
terhadap peristiwa atau tafsir ulang terhadap fenomena yang
berlaku dalam kehidupan manusia. Sebagaimana kemudian
fenomena tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk
karya, baik dalam bentuk prosa, seperti novel, cerpen,
bahkan cerita rakyat. Karena sastra merupakan cermin sosial
masyarakat, maka pernyataan Plato bahwa literature
merupakan peniruan tampaknya bisa dipahami. Seperti
disadari bahwa literature merupakan bagian kecil dari yang
namanya kebudayaan dan setiap masyarakat yang mendiami
suatu lokasi geografis sudah pasti memiliki literature
tersendiri yang berbeda dengan daerah lain. Dari Sabang
sampai Merauke, yang merupakan gugusan pulau dan
berates bahkan beribu daerah dan masing-masing daerah
memiliki keunggulan di bidang budaya.
Berbagai upacara pernikahan dapat ditemui di seluruh
wilayah Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, yang
dilestarikan dan diimplementasikan oleh masyarakat pemilik
budaya tersebut, Suku Dunia ~ Appa’bunting dalam bahasa
Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan.
Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa bugis
disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain.
Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik
antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk
menjalin sebuah kemitraan. Istilah perkawinan dapat juga
disebut siabbineng dari kata bine yang berarti benih padi.
Dalam tata bahasa Bugis, kata bine jika mendapat awalan
“ma” menjadi mabbine berarti menanam benih. Kata bine atau
mabbine ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan
kata baine (istri) atau mabbaine (beristri). Maka dalam konteks
vii
ini, kata siabbineng mengandung makna menanam benih
dalam kehidupan rumah tangga.
Lain halnya dengan keunikan proses pernikahan Suku
Sasak di Lombok, Menurut adat istiadat suku Sasak, cara ini
dianggap lebih kesatria yakni dengan cara mencuri daripada
dengan cara meminta secara hormat kepada orang tua si
gadis yang akan dinikahi tersebut. Tetapi kita tidak bisa
menganggap bahwa cara ini bisa dilakoni dengan mudah
yaitu dengan cara mencuri dan langsung menikah, tetap ada
aturan yang harus dipatuhi. Sebagai contoh, pencurian
tersebut haruslah dilakukan pada malam hari dan sang
pemuda harus membawa teman atau kerabat sebagai
pengecoh dan saksi serta pengiring supaya proses
penculikan tidak terlihat oleh siapapun. Namun, kalau
terlihat maka sang pemuda harus dikenakan denda oleh
pihak keluarga perempuan ataupun desa. Setelah si gadis
berhasil diculik, gadis tersebut tidak boleh dibawa langsung
ke rumah sang pemuda tetapi ke rumah kerabat laki-laki
terlebih dahulu. Setelah beberapa malam, keluarga
kerabatnya tersebut akan mengirimkan utusan untuk
memberitahukan kepada keluarga pihak gadis bahwa anak
gadisnya telah diculik. Proses pemberitahuan ini disebut
‘nyelabar’. Dalam proses ini pun terdapat beberapa
peraturan yang harus dilakukan. Setelah semua proses telah
dilalui maka terjadilah pernikahan.
Di lain adat di Palembang, saat akan memasuki jenjang
pernikahan menurut adat istiadat perkawinan Palembang,
banyak tahap yang mesti dilalui. Ketika mencari calon
mempelai, wakil dari keluarga laki-laki memulainya dengan
melakukan kunjungan 'terselubung' ke rumah si gadis.
Kunjungan tersebut untuk meneliti apakah si gadis pantas
menjadi istri dilihat dari kecantikan, tabiat, ketaatan ibadah
dan kepandaiannya. Utusan yang berkunjung itu haruslah
viii
orang yang berpengalaman dan luwes dalam berkomunikasi.
Karena demikian lues dan piawainya, keluarga yang
dikunjungi tidak mengerti bahwa kunjungan itu sebenarnya
bukan silahturahmi biasa, tapi sedang terjadi suatu
'penyelidikan'. Peristiwa ini disebut madik. Utusan yang telah
melakukan madik, selanjutnya ditugasi mengulang
kunjungan untuk memastikan keadaan si gadis. Apakah
masih kosong atau sudah ada yang melamar. Utusan
menanyakan status si gadis kepada orang tua dan pihak
keluarganya dalam bahasa sindiran : "Seperti buah itu,
apakah ada yang menyenggung atau belum?" Jika sudah ada
yang menyenggung pembicaraan tak dilanjutkan. Tapi jika
belum pembicaraan dilanjutkan kearah yang lebih serius.
Lain halnya jika orang tua si gadis belum siap menikahkan
anak gadisnya karena alasan usia. Berarti harus
mendapatkan informasi dari keluarga lainnya. Semua hasil
pembicaraan harus dilaporkan kepada pengutus.
Masih banyak ragam, rona, dan corak pernikahan
sesuai adat masing-masing suku di Indonesia. Contoh di atas
hanyalah sebagian kecil yang kita ketahui, lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Buku hasil penelitian
tentang adat perkawinan suku Dayak Maanyan di
Kalimantan ini merupakan kajian eksploratif yang bertujuan
untuk melihat secara langsung rona ragam proses
pernikahan suku Dayak Maanyan Kalimantan yang memiliki
keunikan, seperti halnya keunikan suku lain selain Maanyan.
Kajian etopuitika, sastra lisan yang dipentaskan terhadap
upacara pernikahan Dayak Maanyan menginformasikan
seluruh proses pernikahan. Buku hasil penelitian ini akan
menjadi salah satu contoh buku yang berisi hal-hal yang
benar-benar terjadi di masyarakat, yaitu Dayak Maanyan.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................. ix
1. PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................... 1
B. MASALAH ..................................................................... 18
C. TUJUAN .......................................................................... 18
D. METODE ........................................................................ 18
2. NARASI ............................................................................... 21
A. KONSEP DASAR NARASI ........................................ 21
B. CERITA DAN ALUR .................................................... 34
C. STRUKTUR NARASI .................................................. 40
D. AKTOR DAN NARATOR .......................................... 46
3. STRUKTUR NARASI PERKAWINAN DAYAK
MAANYAN ......................................................................... 53
A. STRUKTUR NARASI TAHAP NGANTANE ........... 53
B. STRUKTUR NARASI TAHAP ADU
PAMUPUH ..................................................................... 68
C. STRUKTUR NARASI TAHAP PIADU .................... 76
x
4. AKTOR DAN NARATOR NARASI
PERKAWINAN DAYAK MAANYAN ........................ 107
A. AKTOR DALAM ARUH ADAT
PERKAWINAN MASYARAKAT DAYAK
MAANYAN. ................................................................ 121
B. NARATOR PERKAWINAN DAYAK
MAANYAN ................................................................. 127
DAFTAR RUJUKAN .................................................... 141
1
1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyusunan buku ini didasari hasil penelitian terhadap
narasi aruh adat perkawinan Dayak Maanyan. Dayak adalah
istilah umum yang pertama kali digunakan oleh antropolog
Barat untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak
beragama Islam (King, 1993 dikutip Klinken, 2006:28). Istilah
Dayak dipakai sebagai identitas penduduk yang mendiami
pulau Kalimantan (Ukur, 1971:52). Rahmat dan Sunardi
menyebutkan bahwa Dayak ditujukan untuk penduduk asli
Kalimantan yang belum memeluk agama Islam (Riwut,
2003:57). Sementara itu, Hudson (1967:24-25) memberikan
pernyataan sebagai berikut.
“Dayak is a general term that has been used to
denote all non muslem indigenous people of
Kalimantan.... Thus Dayak, has about the same
specificity of meaning as the term (American)
Indian, and both of these categories can be broken
down into a number of more meaningful units
consisting of tribes, or the Indonesian equivalent,
suku”.
Pernyataan di atas menyebutkan Dayak adalah bentuk
umum yang telah digunakan untuk menunjukkan semua non
muslim yang merupakan orang-orang asli Kalimantan.
Dengan demikian, Dayak memiliki spesifikasi makna yang
2
sama seperti (orang Amerika) Indian. Kedua kategori
tersebut dapat dijabarkan ke dalam sejumlah unit yang lebih
bermakna yang terdiri dari beberapa rumpun atau padanan
orang Indonesia yang disebut etnik.
Dayak Maanyan merupakan salah satu etnik Dayak
yang bermukim di wilayah yang cukup luas, yaitu daerah
antara sungai Barito di sebelah Barat dan pegunungan
Meratus di sebelah timur (Durasid, 1990:46). Dari segi
administrasi pemerintahan wilayah permukiman etnik
Dayak Maanyan berpusat di Kabupaten Barito Timur dan
sebagian lagi di wilayah Kabupaten Barito Selatan. Etnik
Dayak Maanyan juga mendiami bagian utara Kalimantan
Selatan, tepatnya di Kabupaten Tabalong yang disebut
Dayak Maanyan Warukin.
Masyarakat Dayak Maanyan di Warukin memiliki adat
istiadat. Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang
kuat dalam masyarakat (Soekanto, 2012:73). Kekuatan
mengikatnya bergantung pada masyarakat yang mendukung
adat istiadat tersebut, sama halnya seperti adat etnik Dayak
Maanyan. Adat istiadat itu sangat dihormati dan benar-benar
dijunjung tinggi oleh masyarakat pendukungnya. Tiap-tiap
masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan, adat, aturan, dan
pengelompokan. Semuanya terbentuk karena adanya
interaksi setiap individu. Interaksi tersebut terjadi karena
adanya persamaan dan perbedaan, yang kemudian
membentuk kelompok-kelompok kecil sampai kelompok
besar.
Etnik Dayak umumnya tinggal di daerah pedalaman.
Berdasarkan informasi Andreas Buje, beliau termasuk dalam
101 tokoh Dayak, di Kalimantan Selatan mereka yang disebut
Dayak ini sesungguhnya terdiri dari beragam kelompok,
seperti Dayak Meratus, Dayak Maanyan, Dayak Ngaju,
Dayak Bakumpai, dan Dayak Deyah. Meskipun kebudayaan
3
mereka memiliki banyak kemiripan, setiap kelompok
memiliki bahasa yang berbeda dan umumnya tidak
memahami satu sama lain. Etnik Dayak yang terdiri dari
beberapa sub suku yang kemudian menjadi suatu identitas
parsial dan salah satu diantaranya adalah Etnik Dayak
Maanyan.
Kecenderungan orang Dayak untuk tetap menghormati
dan menjunjung tinggi adat istiadatnya didukung oleh
ketentuan hukum adat. Hukum adat lahir sebagai akibat
pengaruh alam dan perkembangan sosial masyarakatnya.
Dengan memahami hukum adat dan adat istiadat dalam
suatu masyarakat berarti telah memiliki alat untuk
mengendalikan perasaan dan kemauannya. Hal ini berarti
hukum adat juga merupakan adat atau kebiasaan yang
mempunyai akibat hukum atau sanksi. Baik secara tertulis
maupun tidak, sampai sekarang hukum adat tetap hidup dan
dipelihara oleh masyarakat Dayak Maanyan. Masyarakat
yang melanggar adat atau norma yang berlaku akan
dikenakan sanksi (harus membayar denda). Besar kecilnya
sanksi adat, ditentukan oleh pelanggaran yang dilakukan
seseorang. Hal ini berlaku bagi semua warga masyarakat
yang melakukan pelanggaran tanpa kecuali, baik pemangku
adat, masyarakat setempat, maupun masyarakat pendatang
yang tinggal di daerah tersebut (Umberan, 1994:135).
Berlandaskan hal yang dilakukan di atas menunjukkan
bahwa masyarakat Dayak masih kuat memegang adat
istiadat dan warisan leluhur, baik yang bersumber dari
ajaran agama yang diyakini maupun hukum adat. Mengingat
fungsi inilah kebudayaan Dayak tetap disajikan sampai
sekarang. Selain itu, budaya lokal Dayak yang potensial
dijadikan kekayaan budaya nasional dan juga ikut menopang
budaya nusantara. Kebudayaan nasional harus berdasar dan
berakar pada puncak-puncak lama dan asli di daerah.
4
Puncak kebudayaan lama dan asli memiliki unsur
kebudayaan yang memenuhi syarat menuju kemajuan adat,
budaya, dan persatuan bangsa. Jika mengingat pentingnya
usaha memajukan dan mengembangkan kebudayaan
nasional, kebudayaan daerah harus dihidupkan dan
dimasyarakatkan. Hubungan budaya lokal dan nasional
tentu bersifat dialektis yang saling mempengaruhi satu sama
lain. Dalam skala nasional, kebudayaan yang berkembang
membawa kekayaan lokal untuk melengkapi dan secara
positif memberi ruang gerak kepada unsur-unsur lokal
mengemuka ke publik. Bahkan tidak menutup kemungkinan
apa yang sebelumnya bersifat lokal berkembang ke arah
nasional.
Sistem kepercayaan atau agama bagi etnik Dayak
hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya
dan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari-hari. Hal
tersebut berarti bahwa kepribadian, tingkah laku, sikap,
perbuatan, dan kegiatan sosial ekonomi etnik Dayak
didukung tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran
agama dan adat istiadat atau hukum adat, tetapi juga dengan
nilai-nilai budaya dan etnisitas. Sekitar tahun 1950-an
sebagian besar masyarakat desa Warukin menganut ajaran
Kaharingan. Namun, sekarang masyarakat di Warukin telah
banyak menganut agama Kristen Katolik dan Kristen
Protestan. Masyarakat yang memeluk agama Islam biasanya
adalah para pendatang dari suku Banjar yang semula datang
sebagai pedagang kemudian menetap dan menyatu dengan
masyarakat Dayak setempat.
Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di desa
Warukin berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang
Banjar. Orang Banjar menggunakan bahasa Banjar,
sedangkan orang Dayak di Warukin menggunakan bahasa
tersendiri, yakni bahasa Dayak Maanyan. Bahasa ini
5
dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari antar mereka, tetapi
apabila mereka berkomunikasi dengan orang Banjar mereka
akan menggunakan bahasa Banjar. Masyarakat di Warukin
sangat menguasai bahasa Banjar (Syarifuddin, 1996:13-14).
Masyarakat Dayak Maanyan di Warukin memiliki
sikap kebersamaan dan merasa terikat dengan anggota
masyarakat lainnya. Artinya, mereka lebih mementingkan
kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Pola
tingkah laku seperti ini tampak dalam kehidupan mereka
dengan cara bergotong royong, baik dari upacara perkawinan
(piadu) maupun upacara kematian (mambuntang). Dalam
upacara tersebut perlu dilibatkan orang banyak dan mereka
dengan tulus memberikan bantuan, baik berupa tenaga,
uang, maupun materi lainnya.
Kelompok etnik Dayak memiliki suatu sistem
kepercayaan yang kompleks berdasarkan tradisi dalam
masyarakatnya yang mengandung dua hal prinsip, yaitu 1)
unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada
pemujaan nenek moyang dan 2) kepercayaan terhadap
Tuhan yang satu dengan kekuasaan tertinggi dari kehidupan
manusia (Florus, 1994:23). Secara religio-kultural masyarakat
Desa Warukin umumnya adalah pemeluk agama Kristen yang
lebih condong menjalankan kepercayaan Kaharingan. Dalam
pelaksanaan upacara aruh adat perkawinan masih
menggunakan kepercayaan Kaharingan.
Keyakinan atau kepercayaan asli suku Dayak adalah
agama Helu atau Kaharingan. Kaharingan berasal dari kata haring
artinya tumbuh (Riwut, 2003:478). Menurut Rafiq (2014: 35)
kaharingan memiliki arti air adalah sumber kehidupan
masyarakat, ada juga memaknai haring sebagai tumbuh.
Definisi kaharingan adalah agama yang tumbuh dari bawah.
Kaharingan telah ada sejak awal Ranying Hatalla menciptakan
manusia. Ranying artinya maha tunggal dan Hatalla artinya
6
Maha Pencipta (Riwut, 2003:478). Dalam kaharingan diyakini
bahwa setiap orang dalam kehidupannya mempunyai tugas
dan misi tertentu. Misi utama Kaharingan adalah mengajak
manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti secara utuh
serta mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan
perbuatan (Riwut, 2003 : 480).
Kaharingan sebenarnya sudah memenuhi beberapa
indikator agama yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini dapat
dilihat dari fakta bahwa kaharingan juga memiliki konsep
tentang Tuhan karena pemeluk agama kaharingan percaya
bahwa di atas segalanya ada Tuhan yang Maha Tinggi (Rafiq,
2014: 35). Selain itu, para pemeluk agama Kaharingan
memiliki wilayah yang terdiri atas tanah adat dan hutan
lindung. Masyarakat sangat menjaga hutan lindung karena
adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat bahwa
apabila ada orang yang merusak hutan, orang tersebut akan
terkena denda yang sangat berat seperti kematian (Rafiq,
2014: 35).
Dalam pendekatan Durkheim (1976) agama kaharingan
dapat dilihat bukan hanya sebagai entitas sosial keagamaan,
melainkan juga sebagai sesuatu yang secara simbolik menyatu
dengan keberadaan masyarakat. Durkheim menyatakan
religious life is the “eminent form” and the “epitome” of group life.
From religion os born everything essential in society and this is
possible only because “the idea of society is the soul of religion
(Durkheim, 1976:419). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa antara Kaharingan dan masyarakat Dayak merupakan
satu kesatuan. Kaharingan adalah sistem keagamaan yang
menyatu padu dengan sistem sosial kemasyarakatan etnik
Dayak. Oleh karena itu, apa yang terjadi pada masyarakat
Dayak secara sosial historis sangat berpengaruh terhadap
Kaharingan dan sebaliknya.
7
Orang Dayak adalah orang yang beragama dan seluruh
pemikiran dan kehidupannya ditentukan oleh agamanya
(Scharer, 1963:161). Orang Dayak mengenal Tuhan, alam,
masyarakat bahkan dirinya sendiri. Studi yang dilakukan
Scharer (1963) memperlihatkan betapa detail, rumit, dan
rincinya agama Dayak sebagai satu sistem kepercayaan dan
sistem keagamaan yang menyatu padu dengan sistem sosial
kemasyarakatan (adat) dalam menata dan mengatur
kehidupan mereka. Di dalam mitos-mitos suci dan nyanyian
ritual para balian itu menurut Scharer (1963:161) terdapat
sistem atau struktur terdalam yang dipakai oleh orang Dayak
untuk menghasilkan rancang bangun budaya aktual
misalnya mitos, aturan kekerabatan atau aturan perkawinan.
Etnik Dayak Maanyan mempunyai bahasa dan
peradatan sendiri. Adat tersebut tercermin dalam kegiatan
kepercayaan yang dianut sebagai komponen utama dalam
pengaturan sistem kehidupan bermasyarakat. Etnik Dayak
juga sangat menghormati leluhurnya. Rasa hormat ini
terungkap dalam segala sikap dan perbuatan mereka sehari-
hari, seperti pantangan melangkahi penyang atau jimat.
Mereka takut tulah atau kualat jika melakukannya. Orang
Dayak selalu akan berusaha untuk hidup bahadat yang
artinya menjalankan hukum adat dan menaati hukum pali
karena apabila tidak hidup beradat, suara hati akan selalu
mengingatkan. Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang
telah terbentuk dan menyatu dalam kehidupan mereka.
Selain itu, etnik ini juga banyak menyimpan kekayaan karya
sastra lisan. Sastra lisan Dayak Maanyan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, terutama
dalam pelaksanaan upacara adat. Tidak jarang sastra lisan
ini, berfungsi sebagai alat pengesahan dalam tata laksana
upacara adat.
8
Upacara dalam masyarakat Dayak Maanyan tidak
hanya memiliki fungsi yang disadari seperti tercermin dari
tujuan formal suatu upacara, misalnya upacara kematian
aruh buntang dan upacara perkawinan wurung jue. Ada fungsi
upacara yang tidak disadari tetapi akibatnya dapat
dirasakan, yaitu berupa penguatan solidaritas dan integrasi
sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Northcott (2005:279-
280) upacara dalam setiap agama pada dasarnya difokuskan
pada cara-cara untuk memperoleh keselamatan, baik melalui
penyembahan, doa maupun meditasi yang memungkinkan
manusia dapat membangun keselarasan dengan dunia trans-
empiris.
Sama halnya dengan etnik-etnik lain yang ada di
Indonesia, etnik Dayak pun mempunyai banyak sekali tata
aturan hidup yang harus dipatuhi, misalnya adat menerima
tamu, adat dalam melakukan suatu upacara, baik yang
berkaitan dengan daur hidup maupun peristiwa alam.
Dalam menerima tamu, disarankan agar para tamu tetap
dalam keadaan tenang dan jangan menunjukkan ketakutan.
Tidak jarang para tamu terkejut dan justru menjadi bingung.
Sesungguhnya orang Dayak datang menyambut tamu yang
sangat mereka hormati dengan luapan kegembiraan serta
puji-pujian dan menimang para tamu yang datang dengan
cara mereka. Doa pun mereka panjatkan agar tamunya
selamat dan sejahtera dalam perjalanan. Begitu juga dengan
upacara adat kelahiran, perkawinan, dan kematian seperti
hasaki/hapalas, manawur, wurung jue, ngamuan gunung perak
dan upacara tiwah.
Berkaitan dengan upacara perkawinan terdapat hukum
adat perkawinan merupakan urusan kerabat, keluarga,
persekutuan, martabat juga bisa merupakan urusan pribadi,
bergantung kepada tata susunan masyarakat yang
bersangkutan. Bagi masyarakat Dayak Maanyan perkawinan
9
para warganya adalah sarana untuk melangsungkan hidup
kelompoknya secara tertib dan teratur. Sarana yang dapat
melahirkan generasi baru untuk melanjutkan garis hidup
kelompoknya. Dalam khazanah budaya perkawinan adat
menjadi sesuatu yang sakral dan mendapatkan penghormatan
tertinggi dari masyarakat setempat (Hamidin, 2012:9).
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal,
santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia
(Ramulyo, 2004:2). Secara umum pertalian keluarga di
masyarakat Dayak Maanyan berwujud, baik keluarga batih
maupun keluarga yang luas dan hidup dalam satu rumah
tangga. Pada masyarakat Dayak Maanyan kesatuan sistem
sosial terbentuk oleh faktor geneologis disebut ipulaksanai yang
berarti sambung usus (Ideham, dkk., 2007:29). Ipulaksanai
bermakna bahwa orang Maanyan bersaudara satu dengan
lainnya (Ideham, dkk., 2007:29). Anak-anak di mata para orang
tua Maanyan merupakan pecahan dari orang tuanya dan setiap
orang Maanyan adalah kepingan dari satu tubuh besar yaitu
nenek moyang (Samulani, 2004:13).
Untuk melakukan suatu perkawinan terdapat berbagai
peraturan dan larangan yang perlu dipenuhi dan ditaati oleh
kedua calon mempelai. Hal ini dimaksudkan jika
menghendaki suatu perkawinan yang tidak tercela dimata
masyarakat. Sama halnya dengan aturan perkawinan yang
ada di masyarakat Dayak Maanyan. Perkawinan menurut
pandangan orang Maanyan, baik yang masih menganut
kepercayaan Kaharingan maupun yang beragama Kristen
merupakan rangkaian peristiwa penting di dalam
kehidupan. Perkawinan di kalangan Dayak bersifat
monogami, apabila ada salah seorang di antara mereka
melakukan pernikahan poligami dianggap tidak normal
10
(Ideham, dkk., 2007:29). Perkawinan juga mempunyai arti
dan makna serta kedudukan yang sama pentingnya dengan
peristiwa kelahiran dan kematian.
Masyarakat Dayak Maanyan berpandangan hidup
bersama antara dua manusia yang berlainan jenis kelamin
tanpa melalui upacara pernikahan secara adat merupakan
suatu pelanggaran berat. Khususnya pada masyarakat Dayak
Maanyan, perkawinan yang dianggap ideal dan amat
diingini oleh umum, yaitu perkawinan di antara dua orang
bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara
sekandung (Soekanto, 2012:221). Karena perkawinan itu
adalah sesuatu yang sangat penting, adat leluhur Dayak
Maanyan terlebih dahulu harus melakukan beberapa
rangkaian upacara. Ritual upacara perkawinan merupakan
salah satu ritual keagamaan sekaligus dianggap adat yang
mencirikan keberadaan etnik Dayak Maanyan sebagai suatu
kelompok masyarakat adat. Sejak masuknya agama Kristen
yang datang bersamaan dengan penjajahan Belanda, banyak
warga Dayak Maanyan yang awalnya beragama Kaharingan
dibaptis menjadi pemeluk agama Kristen.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat Dayak
Maanyan. Perkawinan tersebut bukan hanya suatu peristiwa
yang berkaitan dengan kedua mempelai saja, melainkan juga
orang tuanya, saudaranya, dan keluarganya. Selain itu,
banyaknya aturan-aturan yang berhubungan dengan adat
istiadat yang harus dijalankan pada saat perkawinan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Wignjodipoero (1995:122)
mengatakan:
Dalam hukum adat perkawinan itu tidak hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih
hidup saja, tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat
berarti bagi mereka yang telah mati yakni arwah-arwah
11
para leluhur kedua belah pihak serta juga mendapat
perhatian dari seluruh keluarganya dengan mengharapkan
agar mempelai berdua mendapat restu, sehingga mereka ini
setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia
sebagai suami istri.
Prosesi perkawinan bagi masyarakat Dayak Maanyan
Propinsi Kalimantan Selatan merupakan peristiwa yang
agung, luhur, sakral, dan memiliki keunikan tersendiri.
Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa
menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur
oleh agama. Perkawinan adat Dayak Maanyan di Warukin
tidak dapat dilaksanakan sembarangan. Hal ini disebabkan
masyarakat Dayak Maanyan masih berpegang pada hukum
yang mengatur perkawinan.
Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan
perkawinan bukan hanya menyalurkan kebutuhan biologis,
melainkan juga menyambung keturunan dalam naungan
rumah tangga yang penuh kedamaian dan cinta kasih.
Menurut pandangan adat Dayak Maanyan, perkawinan
dapat menjadikan kedua insan yang berkasihan itu menjadi
sebuah keluarga baru yang damai sejahtera dalam lindungan
kasih dan ampunan Tuhan. Berdasarkan wawancara dengan
Rudy Lucky, penghulu adat, masyarakat Dayak Maanyan
memandang bahwa perkawinan itu luhur dan suci. Oleh
karena itu, dapat dilaksanakan dengan meriah dan
memenuhi segala ketentuan yang berlaku. Perkawinan
tersebut harus mempunyai syarat-syarat perkawinan
menurut adat atau yang lebih dikenal dengan istilah
pemenuhan hukum adat.
Upacara adat merupakan rangkaian tindakan atau
perbuatan yang terikat pada aturan menurut kebiasaan suatu
masyarakat yang dijunjung dan dihargai oleh
masyarakatnya. Upacara adat merupakan ritual yang
12
dilaksanakan oleh etnik Dayak Maanyan dalam memelihara
budayanya. Ritual tersebut identik dengan kepercayaan. Ini
dapat dikatakan bahwa ritual merupakan rangkaian perilaku
yang relatif tetap sebagai akibatnya ritual tidak bersifat
individual. Jika ritual dipandang sebagai alat komunikasi,
mereka mempergunakan rangkaian bahasa yang relatif tetap
seperti mantra dan nyanyian balian. Upacara ritual
menunjukkan bagaimana masyarakat melihat masa berpikir
dan bertindak mengenai dunia berdasarkan nilai-nilai yang
dianut bersama dalam suatu masyarakat atau komunitas
tersebut. Menurut Beattie (dalam Skorupski, 1976:55), banyak
ritual dan upacara keagamaan menerjemahkan kekuatan
alam yang tidak terkontrol ke dalam entitas simbolik.
Upacara atau ritual keagamaan dalam model penjelasan
Leach (1970:82) merupakan jembatan yang menghubungkan
dunia empirik yang dihadapi manusia dengan dunia
supranatural yang tidak dapat dijangkau akal budi manusia.
Pada dasarnya perkawinan menurut pandangan etnik
Dayak Maanyan adalah suatu kewajiban yang sedapat
mungkin harus dilaksanakan guna menjamin kelangsungan
hidup. Dengan perkawinan ini diharapkan mereka dapat
menjalankan tugas dan kewajiban serta tanggung jawab
dalam memelihara keseimbangan dan keserasian manusia.
Upacara tersebut dilaksanakan sebagai upaya masyarakat
Dayak Maanyan untuk mengajarkan nilai-nilai budi pekerti
yang dapat dipakai sebagai pedoman hidup, sehingga
tercipta harmoni sosial dan harmoni dalam hubungannya
dengan Tuhan. Upacara adat masyarakat Dayak Maanyan
mencerminkan perencanaan, tindakan, dan perbuatan yang
telah diatur oleh tata nilai luhur. Tujuan perkawinan
menurut adat Dayak Maanyan adalah untuk mengatur hidup
dan perilaku beradat, mengatur hubungan manusia
berlainan jenis kelamin guna terpeliharanya ketertiban di
13
masyarakat, dan menata kehidupan berumah tangga yang
baik. Tata nilai tersebut merupakan manifestasi dalam
pekerjaan agar mendapatkan keselamatan lahir dan batin.
Semua itu bertujuan menjaga keharmonisan hubungan
manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Upacara adat merupakan tindakan dan kelakuan
manusia yang bersifat religius (Hartono, dkk., 2003:1).
Lebih dari itu, upacara adat bukan hanya merupakan
bentuk permohonan dan ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan, melainkan didalamnya juga sarat dengan ajaran
moral dan tata kelakuan yang diharapkan menjadi pedoman
masyarakat Dayak Maanyan, sehingga pada akhirnya dapat
menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis. Harapannya
agar masyarakat mempunyai sikap dan tata kelakuan sesuai
dengan kaidah norma-norma. Berkaitan dengan konteks
pendidikan, upacara adat ini mengonseptualisasikan praktik
untuk memelihara hubungan sosial. Praktik sosial ini
dikombinasikan dengan sistem pendidikan yang berfungsi
untuk mendukung anggota masyarakat Dayak Maanyan
sebagai pewaris alami dari modal budaya. Semua itu
dimaksudkan agar proses budaya tetap terjaga dan
terpelihara. Duranti (1997:30) berpendapat bahwa
pandangan yang umum tentang kebudayaan adalah sesuatu
yang dipelajari, yang ditransmisikan, yang diturunkan dari
suatu generasi kepada generasi selanjutnya melalui tindakan-
tindakan atau perilaku manusia, sering dalam bentuk
interaksi tatap muka dan tentunya melalui komunikasi
linguistik. Pandangan kebudayaan semacam ini berarti untuk
menjelaskan mengapa ada anak manusia tanpa memandang
warisan genetik akan tumbuh mengikuti pola-pola
kebudayaan orang yang menumbuhkannya atau orang yang
mengasuhnya. Seluruh prosesi upacara perkawinan Dayak
14
Maanyan akan membangun struktur sistem hubungan sosial
sesuai fungsinya.
Diman (2005:59-63) membagi tiga golongan besar
perkawinan dalam etnik Dayak berdasarkan cara terjadinya,
yaitu (1) perkawinan biasa, (2) perkawinan luar biasa, dan (3)
perkawinan darurat. Upacara adat perkawinan yang diteliti
adalah perkawinan biasa yang disebut dengan perkawinan upu
ngantane wawei (perkawinan laki-laki meminang perempuan).
Perkawinan yang dilakukan berdasarkan peminangan. Pihak
laki-laki datang ke rumah pihak perempuan dengan maksud
meminang dan memberikan barang pinangannya. Perkawinan
ini umum dilaksanakan masyarakat Dayak Maanyan di
Kalimantan Selatan.
Pada dasarnya kebudayaan masyarakat Dayak
Maanyan berkisar pada siklus kehidupan yang pragmatis
seperti upacara adat. Dalam rangka representasi ini, hal yang
disebutkan tadi diasumsi sebagai topik kebudayaan yang
paling vital dalam formasi identitas kepribadian masyarakat
Dayak Maanyan dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu,
adat merupakan pedoman sakral bagi kehidupan mereka.
Adat istiadat dipegang teguh dan diwariskan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi sehingga terjadi integrasi
yang kuat antara adat istiadat dan pola perilaku masyarakat.
Prosesi perkawinan pada etnik Dayak Maanyan secara
umum dilakukan melalui tiga tahap. Setiap tahapan terdapat
beberapa perisiwa yang dilakukan secara berurutan sesuai
pola yang telah diwariskan oleh para leluhur. Apabila
seorang laki-laki berniat mempersunting seorang gadis,
pihak keluarga laki-laki berusaha untuk mencari tahu lebih
banyak tentang asal usul, sejarah keluarga, situasi dan
kondisi si gadis. Diteliti pula apakah si gadis idaman masih
sendiri atau sudah ada yang punya. Biasanya pihak keluarga
laki-laki mengutus wakilnya untuk menemui pihak keluarga
15
perempuan untuk mendapatkan kepastian. Setelah jawaban
meyakinkan diperoleh dari pihak keluarga perempuan
dilanjutkan dengan mengadakan pembicaraan serius pihak
orang tua dan keluarga calon pengantin dengan sesepuh
kampung atau orang yang dituakan.
Sejalan dengan hal di atas, banyak tradisi dalam religi
asli masyarakat Dayak mengalami perubahan dan
pergeseran karena diresapi pengaruh ajaran Kristen.
Pengaruh migrasi penduduk, perkawinan silang, pergaulan
lintas budaya dan masuknya beberapa agama besar lainnya
seperti Hindu dan Islam masuk juga mempengaruhi.
Namun, tidak semua ajaran agama asli dapat terpengaruh
oleh kedatangan agama-agama baru tersebut.
Perkawinan Dayak Maanyan dilakukan secara adat dan
secara agama. Secara adat, dalam upaya mengawinkan anak
memiliki adat istiadat yang unik. Keunikan dari adat istiadat
masyarakat ini dapat dilihat dari serangkaian kegiatan yang
menyertai upacara adat perkawinan tersebut. Serangkaian
kegiatan itu ada yang disebut tahap ngantane (lamaran),
tahap adu pamupuh (pertunangan), dan tahap piadu
(perkawinan). Tata cara upacara perkawinan sebagai salah
satu penuntun moral dan pedoman etika bagi masyarakat
etnik Dayak Maanyan. Selain cenderung mengalami
penyusutan fungsi dan maknanya dalam realitas sosial
budaya masyarakat Dayak, juga tidak menutup
kemungkinan menuju ambang kepunahan. Oleh karena itu,
berbagai upaya pelestarian perlu dilakukan secara sistematis
dan terstruktur.
Upacara adat bagi masyarakat Dayak Maanyan yang
masih menganut kepercayaan Kaharingan beranggapan
bahwa alam sekitar manusia ini penuh dengan makhluk-
makhluk halus atau roh-roh. Makhluk tersebut berdiam di
sekitar rumah penduduk, di pohon-pohon besar, di sungai,
16
dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka mengadakan
upacara, baik upacara mengenai peristiwa penting yang
terjadi dalam hidup maupun upacara keagamaan. Tujuan
diadakannya upacara ini sebagai bentuk menghormati para
arwah nenek moyang dan makhluk halus lainnya, supaya
mereka tidak mengganggu kehidupan orang yang ada di
dunia. Dalam pelaksanaan upacara adat atau disebut upacara
adat perkawinan Dayak Maanyan tentu saja menggunakan
bahasa daerah. Dengan memelihara bahasa daerah berarti
menjaga kekayaan budaya nasional. Dengan kata lain,
keleluasaan penggunaan dan pengembangan bahasa daerah
dalam banyak hal juga tidak boleh melanggar norma sosial
dan norma perundang-undangan yang ada.
Bahasa daerah diberi batasan sebagai bahasa yang
digunakan secara turun-temurun oleh warga negara
Indonesia di daerah dalam NKRI. Bahasa daerah memegang
fungsi pendukung bagi bahasa Indonesia. Bahasa daerah
sebagai pendukung dapat digunakan apabila fungsi bahasa
Indonesia tidak dapat berjalan secara efektif. Bahasa daerah
dipergunakan sebagai latar komunikasi intrasuku bangsa
yang dipergunakan untuk menunjukkan keakraban dan
solidaritas suku bangsa. Dalam perkembangan bahasa
Indonesia, bahasa-bahasa daerah tertentu memberikan
sumbangan yang tidak sedikit dalam hal pengayaan kosakata
umum, istilah, dan ungkapan. Jika dihubungkan dengan
fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa
daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional dan
alat pengembang serta pendukung kebudayaan daerah.
Dalam hubungan ini bahasa Dayak Maanyan termasuk salah
satu bahasa daerah yang dapat memberikan sumbangan
tersebut. Berikut ini kutipan penggunaan bahasa daerah saat
penghulu adat memberi nasihat pada kedua mempelai.
17
Masih ada ang ware laku du’a. Naun masih tuu
tiap baunru basuntup basama. Iri titah erang
uma na pitah daya yaru ekat jatang umak naun
ngia iri ilalawit. Mak wasi ngukur iri hanye tane
uruk. Tuu aru ekat lengan taat tetei kami
magunung tulus naun. Tuntung tulus amau
lenganku lanyar.
Artinya:
Berdoalah selalu bersama setiap hari. Ini
adalah perintah untuk dijalani bersama.
Karena itu adalah pedang bekal kalian
menjalani hidup yang panjang. Hanya ini
pesan kami lewat lagu agar kalian selalu
bersama sampai akhir dalam mengarungi
rumah tangga.
Nasihat tersebut disampaikan secara sakral yang
bermakna kedua mempelai akan menjalani proses hidup
baru, baik dalam suka maupun duka. Dalam hal ini
masyarakat Dayak Maanyan memiliki berbagai budaya dan
adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhur secara
turun-temurun. Salah satu budaya dan adat istiadat yang
masih tetap hidup sampai saat ini adalah prosesi upacara
adat perkawinan yang pada hakikatnya merepresentasikan
realita peristiwa sejarah para leluhur. Banyak nilai budaya
yang terkandung dalam prosesi ini. Nilai-nilai tersebut
belum terungkap secara menyeluruh dan mendalam melalui
kegiatan penelitian. Buku ini sebagai upaya untuk
mengungkapkan pembendaharaan pikiran dan cita-cita yang
dahulu kala menjadi pedoman utama kehidupan mereka.
Masyarakat selama ini hanya melaksanakan prosesi secara
merakyat, namun apa, bagaimana, dan untuk apa acara
tersebut belum secara mendalam diteliti. Hal ini berkaitan
dengan pewarisan dan pengaruh perkembangan masyarakat
18
dari segi kepercayaan yang sebagian besar sudah memeluk
agama baru, seperti Kristen dan Islam. Realitas semacam ini
sejalan dengan pendapat Finnegan (1978:77-78) bahwa
keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan terhadap hal-
hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan, dan
agama serta aspek kebudayaan lainnya.
B. MASALAH
Masalah penelitian struktur narasi perkawinan Dayak
Maanyan secara garis besar meliputi struktur narasi, aktor
dan narator. Dengan demikian, secara rinci masalah
berkaitan dengan (1) struktur narasi perkawinan Dayak
Maanyan dalam (a) tahap ngantane, (b) tahap adu pamupuh,
dan (c) tahap piadu. (2) Aktor dan narator dalam narasi
perkawinan Dayak Maanyan berhubungan dengan (a) tugas
dan posisinya dan (b) tindakannya.
C. TUJUAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan struktur narasi perkawinan Dayak
Maanyan. Tujuan umum tersebut selanjutnya dijabarkan
menjadi tujuan khusus berikut ini.
(1) Mendeskripsikan struktur narasi perkawinan Dayak
Maanyan dalam (a) tahap ngantane, (b) tahap adu
pamupuh, dan (c) tahap piadu.
(2) Mendeskripsikan aktor dan narator dalam narasi
perkawinan Dayak Maanyan berhubungan dengan (a)
tugas dan posisinya dan (b) tindakannya.
D. METODE
Penelitian struktur narasi perkawinan Dayak Maanyan
ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian
19
kualitatif. Penelitian kualitatif ini sesuai dengan ciri-ciri yang
dikemukakan Bogdan dan Biklen (1998:27:30). Berikut alasan
menggunakan penelitian kualitatif. Pertama, upacara
perkawinan dipandang bersifat alamiah sebab peneliti tidak
melakukan rekayasa terhadap pelaksanaan tahap-tahap
dalam perkawinan Dayak Maanyan. Kedua, upacara
perkawinan dipandang sebagai sumber data langsung dan
peneliti sebagai human instrument yang secara hermeneutis
dapat memahami struktur narasi perkawinan Dayak
Maanyan. Ketiga, pemaparan dan pembahasan hasil analisis
data bersifat deskriptif-eksplanatif. Keempat, penelitian ini
lebih mengutamakan proses tanpa mengabaikan hasil.
Kelima, analisis data dilakukan secara induktif. Keenam,
struktur narasi, aktor dan narator menjadi perhatian utama.
Ketujuh, hasil akhir penelitian diklarifikasikan dengan pakar
dan narasumber yang relevan. Semua hal tersebut dilengkapi
dengan informasi atau keterangan dari para informan
berkaitan dengan latar belakang sosial budaya masyarakat
Dayak Maanyan sebagai pemilik adat Dayak Maanyan.
Sejalan dengan ciri-ciri penelitian kualitatif, penelitian ini
bersifat holistik yakni memandang berbagai permasalahan
yang ada tidak terlepas sendiri-sendiri, tetapi keterkaitan
dalam keseluruhan konteksnya.
20
21
2. NARASI
A. KONSEP DASAR NARASI
Narasi sebagai salah satu bentuk wacana yang terikat
oleh unsur peristiwa dan waktu. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Keraf (1994:135) narasi merupakan suatu bentuk
wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau
peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau
mengalami sendiri peristiwa itu. Narasi sering disamakan
dengan cerita. Forster (1970:35) mengartikan cerita sebagai
sebuah narasi yakni kejadian yang sengaja disusun
berdasarkan urutan waktu. Contohnya (kejadian) mengantuk
kemudian tertidur, begitu melihat perempuan cantik
langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, marah-marah
karena disinggung perasaannya. Cerita itu dapat
diperpanjang seperti begitu melihat perempuan cantik, ia
langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, ia pun
berusaha untuk mencari siapa perempuan itu dan
seterusnya. Senada dengan Forster, Abrams (1999:173)
memberi pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian
yang sederhana dalam urutan waktu dan Baldick (2001:244)
mengemukakan cerita adalah pengisahan urutan peristiwa.
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif (Chatman,
1980:23). Abbott (2002:16) menjelaskan perbedaan antara
narasi, cerita, dan wacana narasi. Narasi adalah gambaran
peristiwa. Dalam narasi terdapat cerita (bagian internal) dan
wacana narasi (bagian eksternal). Cerita adalah peristiwa
22
atau bagian dari peristiwa (aksi). Wacana narasi adalah
bagaimana cerita itu digambarkan. Abbott (2002:14)
mengutip pendapat Chatman mengenai the chronologic of
narrative:
What makes narrative unique among text-types
is its chrono-logic, its daubly temporal logic.
Narrative entails movement through time not
only “externally” (the duration of the
presentation of the novel, film, play) but also
“internally” (the duration of the sequence of
events that constitute the plot). The first operates
in that dimension of narrative called discourse...,
the second in that called story....
Kutipan di atas menjelaskan tentang naratif sebagai
sesuatu yang unik di antara tipe-tipe teks lainnya. Hal
tersebut karena naratif mengandung “kronologi”. Narasi
bergerak melalui waktu yang tidak hanya dari luar (durasi
dari presentasi novel, film, sandiwara) tetapi juga dari dalam
(durasi rangkaian even-even yang merupakan bagian dari
plot). Hal pertama dalam dimensi naratif dinamakan wacana
dan yang kedua dinamakan cerita. Narasi adalah gambaran
dari suatu peristiwa atau sebuah rangkaian dari berbagai
peristiwa (Abbott, 2002:12). Pada dasarnya peristiwa adalah
inti dari narasi karena tanpa adanya peristiwa hal tersebut
hanya akan memperoleh sebuah deskripsi, argumentasi, atau
eksposisi. Barthes, Rimmon Kenan (Abbott, 2002:12)
menjelaskan sedikitnya diperlukan dua peristiwa untuk
membentuk narasi. Bal, Bordwell, dan Richardson (Abbott,
2002:12) menambahkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
juga memiliki hubungan kausal.
Narasi berasal dari kata Latin narre yang artinya
membuat tahu. Narasi berkaitan dengan upaya untuk
memberitahukan sesuatu atau peristiwa. Herman dan
23
Vervaeck (2001:1) berpendapat bahwa “No single period or
society can do without narratives” tidak ada satu periode
masyarakat pun yang hidup tanpa narasi. Pernyataan di atas
didasari bahwa sebuah masyarakat selalu menggunakan
media narasi sebagai alat komunikasi dan ekspresi simbolik
yang dikemas dalam bentuk karya seni. Dalam artian
tertentu, narasi adalah bentuk seni verbal yang paling besar
peranannya karena merupakan dasar dari bentuk-bentuk
seni lainnya, bahkan seni yang paling abstrak sekalipun.
Berdasarkan narasi seseorang bisa membuat generalisasi atau
kesimpulan abstrak tertentu. Demikian juga, pepatah-
pepatah bijak, spekulasi filsafat dan ritual religius juga
dilandasi oleh ingatan tentang pengalaman manusia yang
terjadi sepanjang waktu sehingga bisa diperlakukan sebagai
narasi. Sejalan dengan pendapat Herman dan Vervaeck,
Fludernik (2006:1) menyatakan bahwa narasi ada di
sekeliling kita, tidak hanya di novel atau di dalam teks-teks
bersejarah. Narasi diasosiasikan sebagai aksi seseorang yang
menceritakan sesuatu, di manapun ia berada. Cara yang
paling mendasar untuk mengolah pengalaman manusia
secara verbal adalah dengan menceritakannya dan
menguraikan bagaimana pengalaman itu terjadi di sepanjang
rentangan waktu. Pengembangan alur kisah merupakan cara
untuk menangani aliran waktu ini.
Sebelumnya pembahasan narasi selalu berfokus pada
representasi, hubungan antara fiksi dan realitas, gaya atau
tema kisah. Lebih dari empat puluh tahun telah berlalu sejak
Genette mempelajari bermacam narasi, seperti narasi Proust
kemudian muncul dengan teori narasi sistematis (Lamari,
2010:3). Perkembangan baru pada pembahasan narasi
dimulai pada bidang antropologi oleh Vladimir Propp (1968).
Propp (1968) mempelopori pembahasan narasi secara
struktural. Hal itu menginspirasi berbagai teori analisis cerita
24
seperti dicetuskan oleh Barthes (1966), Greimas (1983), dan
Todorov (1977). Pengaruh ini juga menjadi stimulus untuk
Labov (1999) yang memfokuskan pembahasan struktur
narasi yang biasa digunakan ketika menceritakan sesuatu
pada percakapan sehari-hari (van Dijk, 1980:113).
Narasi mewakili orang, benda, peristiwa, negara, dan
proses nyata atau membayangkan bahwa sesuatu atau
seseorang pergi untuk membuat cerita mereka sendiri
(Currie, 2010:31). Selanjutnya Currie (2010:31) telah
mengatakan, tentang apa yang membedakan cerita dari isi
representasional lainnya dalam bentuk: teori, kronologis,
daftar, maka perenungan interpretatif penulis telah
menemukan dalam tulisannya. Bentuk-bentuk representasi
lain dapat memberitahukan tentang orang, benda, peristiwa,
negara, dan proses, tanpa bercerita tentang mereka. Narasi
yang khas berfokus kepada sesuatu yang khusus, dan
kekhususan interaksi terjadi dari waktu ke waktu. Interaksi
menunjukkan penyebab dan gagasan yang telah diklaim
menjadi pusat dari konten narasi. Kesatuan narasi beberapa
derajat yang dibutuhkan jika kita memiliki narasi dan
sebagian merupakan masalah kesatuan kausal. Dengan
sebuah narasi dapat ditemukan hubungan kausal antara
peristiwa dan subjek tunggal. Peristiwa subjek merupakan
karakter sentral beberapa narasi. Narasi menceritakan urutan
kausal dan studi karakter yang khusus untuk
menggambarkan ciri-ciri umum dalam kehidupan (Currie,
2010:33).
Currie (2010:185) dapat menggambarkan karakter
pelaku dalam cerita. Namun, ini tidak membuat sebuah
karakter novel atau drama atau sejarah menjadi jelas. Untuk
itu terlebih dahulu perlu mengetahui tentang gambaran
karakter yang akan direpresentasikan sebagai kausal yang
terlibat dalam tindakan dan peristiwa dalam cerita. Kadang-
25
kadang karakter bisa berupa hal yang bisa disimpulkan
sendiri dan bisa juga berdasarkan dari apa yang
digambarkan serta tindakan karakter itu sendiri di dalam
acara. Dalam hal ini, kisah-kisah karakter mengharuskan
untuk lebih fokus dalam mengamati antara perilaku, niat,
dan karakter.
Currie (2010:21) mengatakan bahwa narasi harus
menjadi artefak, seperti palu dan mobil. Palu dapat dibuat
dan batu dapat dimodifikasi menggunakan palu. Hal ini
mungkin terjadi berdasarkan sebuah konsep bahwa kita
dapat menemukan sesuatu yang ada di sekitar kita seperti
mobil dan menggunakan benda tersebut meskipun bukan
sebagai tujuan. Namun, jika kita berpikir sebuah narasi
seperti palu atau mobil akan membuat kita bingung. Karena
narasi pada dasarnya artefaktual dengan sumber yang tidak
perlu artefaktual. Currie (2010:31) juga mengatakan bahwa
pembuatan narasi tidak perlu melibatkan kegiatan menulis
atau berbicara karena ada media lain. Memang, pembuat
narasi tidak perlu membuat hal fisik, tetapi cukup bagi
detektif untuk menunjuk sesuatu yang bermakna dan
beraturan untuk berkomunikasi mengenai sebuah narasi
kepada asistennya. Currie (2010:25) telah menegaskan bahwa
narasi dapat dipahami dengan membuat kesimpulan. Teori
narasi memiliki sejarah hidup dan sering dibingkai dalam
implikasi penulis. Itu adalah kegiatan yang umum yang
dapat dilakukan dan dirancang untuk menghasilkan sesuatu
yang baik. Keteraturan yang digunakan bersama-sama
dengan tingkat yang wajar serta keberhasilan dalam
memfasilitasi komunikasi memungkinkan kita untuk
mendefinisikan makna. Ini kadang-kadang disebut makna
dicapai. Makna dicapai adalah apa yang pendengar
perhatikan dan diharapkan dapat memahami atas dasar apa
yang didengar. Dapat dikatakan sebagai bahasa komunikatif
26
yang berhasil diungkapkan oleh pembicara. Gagasan seorang
penulis yang tersirat dapat dijelaskan dalam pendekatan
pragmatis. Ini berarti yang tersirat dipikiran seorang penulis
narasi adalah mungkin tidak ada angka yang bermakna
untuk mencapai arti narasi itu. Narasi sebagai satu bentuk
representasi dengan fitur-fitur khusus dan peran khusus
dalam kehidupan individu dan kelompok. Pemikiran dan
komunikasi itu mungkin sama dengan bahasa. Narasi juga
sebagai representasi artefaktual yang menekankan
keterkaitan kausal dan temporal tertentu terhadap berbagai
hal, terutama agen. Niat komunikasi adalah isi representasi
yang bergantung pada apa yang berhasil mereka sampaikan
tentang niat tersebut.
Narasi memiliki aspek ekspresif yang tidak perlu,
meskipun kadang-kadang tidak tergantung pada niat. Kasus
berbagai konflik dari perspektif individu dalam cerita dapat
meningkatkan pemahaman mereka. Sementara itu, perawi
memiliki banyak cara untuk membingkai tanggapan kita
terhadap cerita-cerita mereka. Banyak dari apa yang mereka
lakukan, dikelola melalui kepura-puraan atau imitasi. Hal
lain yang signifikan dalam narator adalah penyediaan khas
karakter yang mungkin tidak realistis khusus untuk orang-
orang dari plot. Perawi dikaruniai prinsip dan tindakan yang
kuat dalam membantu untuk mencapai pengertian dari
cerita. Currie (2010:185) menilai perilaku berasal dari jenis
tertentu, sedangkan niat adalah ekspresi dari suatu sifat
karakter tertentu. Banyak yang bergantung pada koherensi
gambar secara keseluruhan. Sesuatu bisa masuk akal jika
orang bertindak berdasarkan niat karakter mereka. Mereka
memiliki karakter sifat tersebut sesuai dengan niat untuk
menjelaskan perilaku sebuah karakter. Harman dalam Currie
(2010:209) mengatakan bahwa ciri-ciri karakter disposisi
yang relatif mempunyai jangka panjang stabil untuk
27
bertindak dalam cara yang berbeda. Kita harus menemukan
akun disposisional yang sangat kuat dan kemudian
mengidentifikasi karakter bukan hanya dengan sekadar
tindakan keteraturan. Ini akan menjadi alasan yang tidak
benar dan tidak sesuai dengan gagasan mengenai karakter
dari perdebatan atas hukum kausal. Semua ini sering
tercermin dalam karakter narasi yang merupakan bagian dari
apa yang biasa kita ambil dari karakter untuk menjadi
sesuatu.
Berikutnya Currie mengatakan narasi membantu kita
untuk membaca karakter orang, sehingga karakter itu sendiri
dapat menambah koherensi narasi dan memperkaya
hubungan antara kejadian-kejadiannya (2010:190). Narasi
sangat berfokus pada suatu kekhususan dan keunikan dari
peristiwa. Sementara kekuatan pemersatu karakter terletak
dalam kapasitasnya untuk membedakan pola perilaku yang
berbeda di seluruh isinya. Karakter membantu menciptakan
harapan dan membuat sesuatu apa yang mungkin terjadi.
Karakter dapat digunakan dalam berbagai cara untuk
membentuk harapan. Dengan narasi, kita memiliki blok
cerita yang didominasi dan bersatu dengan menekankan
karakter dan ciri yang diberikan individu. Sebuah koalisi
beberapa karakter berinteraksi memberikan kesatuan yang
lebih sistematis untuk narasi. Currie juga menjelaskan narasi
itu harus mempertahankan kepentingan dengan mengajukan
pertanyaan dan menghasilkan jawabannya agar menjadi jelas
(2010:211).
Czarniawska menjelaskan narasi dapat dibawa dari
bahasa dan dapat diartikulasikan lisan atau tertulis, gambar
tetap atau bergerak, gerak tubuh, dan campuran dari semua
hal tersebut (2004:1). Lebih lanjut Czarniawska menjelaskan
bahwa kehidupan sosial adalah sebuah cerita (2004:2). Hal ini
biasanya diasumsikan bahwa kehidupan sosial terdiri dari
28
tindakan dan peristiwa. Perbedaan antara keduanya adalah
seperti yang diasumsikan atau menambah arti tindakan
(Czarniawska 2004:3). Dalam banyak teks ilmu sosial, istilah
'tindakan' telah digantikan atau digunakan sebagai alternatif
untuk 'perilaku'. Selanjutnya Czarniawska (2004:6) juga
menjelaskan narasi berkembang pada kontras antara biasa
apa yang 'normal', biasa apa yang diharapkan, serta biasa
apa yang tidak normal, tidak biasa, dan tidak terduga.
Fungsi dari cerita ini adalah untuk menemukan sebuah
cerita yang disengaja atau setidaknya membuat sebuah
jawaban dari penyimpangan pola budaya. Hal ini
dimungkinkan karena kekuatan ceritanya tidak tergantung
pada hubungannya dengan dunia di luar cerita, tetapi dalam
keterbukaan untuk negosiasi makna. Ini adalah kisah nyata
dan ini tidak pernah terjadi. Narasi menjelaskan
penyimpangan sensitif secara sosial. Suatu bentuk cerita
yang kekuasaannya tidak berada dalam perbedaan antara
fakta dan fiksi.
Czarniawska mengatakan narasi sebagai modus umum
sebuah komunikasi (2004:10). Narator bercerita untuk
menghibur, untuk mengajar dan belajar, untuk meminta
interpretasi dan memberikan sesuatu. Ini berarti tidak hanya
ada pengalaman bersama kedua lawan bicara, tetapi juga
membuat lebih mudah bagi pewawancara untuk
memvisualisasikan tahap peristiwa yang sedang berlangsung.
Hal tersebut bertujuan agar dapat meningkatkan pemahaman.
Dalam sebuah wawancara, yang diwawancarai mungkin
menceritakan kembali kisah yang beredar di situs tertentu,
atau wawancara itu sendiri dapat menjadi sebuah situs untuk
memproduksi sebuah narasi. Hal tersebut berarti
menunjukkan bahwa yang diwawancarai kadang-kadang
merespon pewawancara melalui penggunaan narasi
konstruksi yang akrab, bukan dengan memberikan wawasan
29
ke pandangan subjektif mereka. Hal tersebut dimaksudkan
wawasan ke dalam pandangan subjektif hanya dapat
dinyatakan dengan konstruksi narasi yang akrab. Narator
menggunakan plot yang mereka pelajari dari film-film dan
serial televisi untuk memplot narasi mereka sendiri. Sebuah
wawancara dengan demikian dapat menjadi tempat
produksi mikro atau hanya sebuah situs distribusi dan
diperbolehkan untuk ikut serta dalam narasi yang telah
diproduksi sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa wawancara
penelitian selalu membangkitkan narasi. Hal ini kemudian
menjadi tugas pewawancara untuk mengaktifkan produksi
narasi.
Czarniawska menyatakan ada dua hal yang bisa
dilakukan dengan narasi untuk menimbulkan permasalahan
dalam wawancara (2004:55). Pertama, seorang peneliti harus
sendiri untuk menyusun narasi, yaitu untuk menulis atau
menulis ulang atau untuk menafsirkannya. Ini adalah
sinonim bagi setiap tindakan membaca interpretatif untuk
menulis cerita baru. Cara ini dapat diperlakukan dalam
narasi yang berasal dari wawancara dan tidak berbeda dari
narasi lainnya seperti: catatan lapangan, dokumen, sejarah
resmi. Kedua, seorang peneliti harus didukung oleh
narasumber untuk menganalisis narasi dari teks. Analisis
percakapan menawarkan cara teknis dalam berurusan
dengan teks-teks tersebut ketika diambil untuk sebuah
interaksi sosial.
Narasi adalah sarana seseorang untuk
mengkomunikasikan cerita kepada orang lain, yang
mewakili kisah mereka kemudian mereka lakukan dengan
karakteristik cara berkomunikasi (Currie, 2010:1). Narasi
merupakan artefak komunikatif yang bekerja dengan
mewujudkan niat komunikatif pembuat mereka. Isi
representasional narasi adalah cerita yang harus diketahui,
30
sehingga dapat memberikan gagasan konten
representasional yang cocok dengan narasi, baik fiksi
maupun non fiksi. Richardson (1953:20-27) menyatakan
narasi adalah variasi pertama dan utama dari genre luar
biasa. Mereka didistribusikan di antara zat yang berbeda,
seolah-olah bahan yang cocok untuk menerima cerita
manusia. Mampu dibawa oleh bahasa yang diartikulasikan,
lisan atau tertulis, gambar tetap atau bergerak, gerak tubuh,
dan campuran dari semua ini, narasi hadir dalam mitos,
legenda, fabel, dongeng, novel, epik, sejarah, tragedi, drama,
komedi, pantomim, lukisan, jendela kaca patri, bioskop,
komik, berita, dan pembicaraan. Di bawah keanekaragaman
yang hampir tak terbatas bentuknya, narasi hadir di setiap
zaman, di setiap tempat, masyarakat, dan dimulai dengan
sejarah umat manusia dan ada tempat yang juga telah
menjadi orang tanpa narasi. Semua kelas atau semua
kelompok manusia memiliki narasi mereka sendiri. Hal yang
membedakan isi narasi dengan isi yang lain adalah teori,
daftar, sejarah, percakapan, komentar, dan instruksi manual.
Arti narasi bagi kebudayaan manusia menurut Fludernik
(2006:1-2) dapat dilihat dari kenyataan bahwa mitos-mitos
yang ada pada mereka selalu membicarakan tentang asal-
usul mereka, kemudian memberi gambaran tentang
masyarakat mereka kedepannya.
Van Dijk (dalam Bal, 2007:34) merancang beberapa
narasi, antara lain proposal yang disajikan sebagai dasar
mekanisme generatif-transformasional dan sebagai ciri khas
menempatkan bersama-sama unit narasi dengan unit yang
lebih tinggi dari cerita, seperti moral atau evaluasi. Berikut
ini adalah pohon khas yang dihasilkan oleh narasi ini..
31
Complication Resolution followed by
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan narasi
merupakan cabang dari strukturalisme yang mempelajari
struktur naratif dan bagaimana struktur tersebut
mempengaruhi persepsi pembaca. Kajian narasi dapat
digunakan untuk mengkaji karya sastra, seperti novel,
roman, cerita pendek, puisi naratif, dongeng, biografi,
lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Narasi
berasumsi bahwa cerita adalah tulang punggung karya
sastra. Di sisi lain, cerita juga berfungsi untuk
mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus
mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Masih berkaitan tentang narasi Herman dan Vervaeck
(2001: 59) memberi rumusan, yakni:
Narrative constitutes the second level of structuralist
narratology. This level no longer concerns the
abstract logic of sequences but rather the concrete
way in which events are presented to the reader. The
analysis of narrative consists of three main parts:
time, characterization, and focalization.
Narasi dalam kriterianya termasuk pada level kedua
dari naratologi strukturalis. Level tersebut berkenaan dengan
logika abstrak sebuah kondisi atau lebih khususnya lagi
terhadap kejadian yang ingin disampaikan kepada pembaca
32
atau penonton. Analisis terhadap narasi dibagi menjadi tiga
bagian yaitu; waktu, karakterisasi, dan fokalisasi. Waktu
dalam hal ini berkenaan dengan durasi, tujuan dan frekuensi
cerita. Karakterisasi terdiri dari karakterisasi langsung, tidak
langsung, dan analogi. Fokalisasi terdiri atas tipe dan
properti fokalisasi.
Di kalangan para ahli terdapat beberapa perbedaan
mengenai definisi narasi (Herman, 2007:22-35). Narasi
menurut Herman dan Vervaek (2001:80) adalah
terkonsentrasi pada keseluruhan cara sebuah cerita
diceritakan. It is concerned with formulation - the entire set of
ways in which a story is actually told. While the story is not visible
in the text, narration involves the concrete sentences and words
offered to the reader. Gannette menjelaskan narasi sebagai
representation of events or of a sequence of events (1980:127).
Prince (2003:58) menyatakan the representation of one or more
real or fictive event communicated by one, two, or saveral narator
to one, two, or several narratees. Sama halnya Abbott (2007:16)
mengungkapkan representation of events, consisting of story and
narrative discourse, story is an events or sequense of event (the
action) and narrative discourse is those events as represented.
Pendapat-pendapat tersebut mengungkapkan representasi
dari sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa
nyata atau fiktif yang dikomunikasikan oleh satu, dua atau
beberapa narator untuk satu, dua, atau beberapa naratee.
Dari berbagai definisi narasi yang dikemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa narasi adalah representasi dari
peristiwa-peristiwa atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa.
Narasi memiliki beberapa ciri. Ciri pertama, ada rangkaian
peristiwa, sebuah narasi terdiri dari minimal dua peristiwa
yang dirangkai (Herman dan Vervaeck, 2001:11). Ciri kedua,
rangkaian (sekuensial) peristiwa tersebut tidaklah random
(acak), tetapi mengikuti logika tertentu, urutan atau sebab
33
akibat tertentu sehingga dua peristiwa berkaitan secara logis
(Gillespie, 2006:82). Pola umum mengikuti urutan waktu
seperti A, B, C, D, E, tetapi tidak selalu berurutan bisa saja C,
D, A, B, E. Namun, urutan peristiwa itu mengikuti logika,
sistematika, atau jalan pikiran tertentu. Rangkaian peristiwa
tersebut tidak sembarangan, tetapi peristiwa satu dirangkai
dengan peristiwa lain sehingga mempunyai makna tertentu.
Ciri ketiga, narasi bukanlah memindahkan peristiwa ke dalam
sebuah teks cerita. Dalam narasi selalu terdapat proses
pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa
(Gillespie, 2006:82). Ketiga ciri tersebut (rangkaian peristiwa,
mengikuti logika tertentu, dan pemilihan peristiwa) adalah
tiga syarat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Elemen-elemen dalam narasi (Martin, 1986:124)
disebutkan bahwa:
1) Adegan, pertunjukkan, mimesis: presentasi langsung dari
kata-kata dan tindakan karakter atau disebut “dramatis".
Kutipan dari pikiran/monolog interior yang ada dalam
adegan ini.
2) Ringkasan, menceritakan, diegetik: narator menjelaskan
apa yang terjadi dengan kata-katanya sendiri (atau
menceritakan apa yang karakter pikirkan dan rasakan).
3) Sudut pandang: sebuah istilah umum yang mengacu pada
semua aspek hubungan narrator cerita. Ini mencakup
jarak perspektif atau fokus (melihat dari sudut
penglihatan) dan hal yang dikatakan (identitas, posisi
narator).
Berkaitan dengan elemen, narasi temporalitas meliputi:
kronologi, waktu narasi, waktu membaca (Martin, 1986:124).
1) Durasi: Dalam adegan cerita, jangka waktu akan lebih
singkat dibandingkan dengan cerita kronologis. Artinya,
beberapa waktu dapat ditinggalkan (elipsis). Panjang
34
periode dapat diceritakan dalam segmen narasi disebut
amplitudo.
2) Order: Narator/karakter dapat menggambarkan masa
lalu (flashback, analepsis) atau peristiwa di masa depan
(karakter dapat menebak tentang firasat mereka atau
narator mungkin tahu tentang masa depan mereka. Acara
merupakan menit atau tahun dari narasi "sekarang".
Cerita terletak dalam jangka waktu narasi utama
(internal) atau di luar itu (eksternal), seperti ketika
narator menceritakan sesuatu yang terjadi sebelum awal
cerita. Cerita bisa tidak menjadi bagian dari alur cerita
utama dan dapat mengisi alur cerita yang telah
ditinggalkan sebelumnya.
3) Frekuensi: Sebuah peristiwa dapat dijelaskan satu kali
atau beberapa kali (narasi berulang). Terjadinya
pengulangan peristiwa yang sama dapat dijelaskan
hanya sekali walaupun pencerita melihatnya setiap hari.
Jika peristiwa yang terjadi sama, akan menjadi elemen
dan identitas.
B. CERITA DAN ALUR
Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan
didefinisikan sebagai representasi dari dua peristiwa faktual
atau fiksional dalam urutan waktu. Narasi mempunyai
struktur. Jika sebuah narasi berita dipilah, narasi tersebut
terdiri atas berbagai struktur dan substruktur. Narasi
merupakan rangkaian peristiwa yang disusun melalui
hubungan sebab akibat dalam ruang waktu tertentu
(Brodwell dan Thompson, 2000:83). Narasi pada dasarnya
adalah penggabungan berbagai peristiwa menjadi satu
jalinan cerita. Karena itu, titik sentral dalam analisis naratif
adalah mengetahui bagaimana peristiwa disusun dan jalinan
antara satu peristiwa dan peristiwa lain, misalnya mengapa
35
peristiwa satu ditampilkan di awal sementara peristiwa lain
di tengah atau di akhir, bagaimana peristiwa satu dan
peristiwa lain dirangkai menjadi satu kesatuan. Tekanan
cerita adalah adanya unsur kronologi, urutan waktu dalam
peristiwa demi peristiwa (Nurgiyantoro, 2013:143).
Bagian penting dalam analisis naratif adalah cerita dan
alur cerita. Kedua aspek ini penting dalam memahami suatu
narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian mana dari suatu
peristiwa yang ditampilkan dalam narasi dan bagian mana
yang tidak ditampilkan. Cerita dan alur berkaitan sehingga
keduanya tidak mungkin dipisahkan. Objek pembicaraan
cerita dan alur boleh dikatakan sama yakni peristiwa
(Nurgiyantoro, 2013:146). Cerita dan alur sama-sama
mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa. Sebenarnya
dapat dikatakan bahwa dasar pembicaraan cerita adalah plot
dan dasar pembicaraan plot adalah cerita (Nurgiyantoro,
2013:146). Peristiwa apa yang terjadi menyusul peristiwa
sebelumnya yang sekadar mempersoalkan kelanjutan peristiwa
merupakan cerita. Sebaliknya, mengapa justru peristiwa itu
yang ditampilkan menyusul peristiwa sebelumnya, mengapa
bukan peristiwa yang lain atau bagaimanakah hubungan
kausalitas antarberbagai peristiwa yang diceritakan itu
adalah masalah alur.
Cerita mempertanyakan apa atau bagaimana
kelanjutan peristiwa, sedangkan alur lebih menekankan
permasalahannya pada hubungan kausalitas, kelogisan
hubungan antarperistiwa yang dikisahkan pada naratif.
Konsep analisis naratif membedakan ke dalam unsur cerita
(fabula) dan alur (szujet). Fabula merupakan aspek material
(dasar) cerita, keseluruhan peristiwa yang diungkapkan
dalam naratif. Szujet sebagai alur adalah urutan peristiwa
yang mungkin berupa urutan kronologis-normal (urutan dari
awal sampai akhir, a-b-c) atau mungkin bersifat in medias res
36
(mulai dari peristiwa-konflik yang telah menegang, b-a-c).
Forster dalam Herman dan Vervaeck (2001:11) memberikan
contoh cerita: “Raja meninggal dan kemudian ratu
meninggal”. Urutan ini menjadi alur dalam kalimat berikut:
“Raja meninggal dan kemudian ratu meninggal dalam
kesedihan”. Berdasarkan contoh kalimat di atas menurut
Forster dalam Herman dan Vervaeck (2001:11) cerita adalah
urutan kronologis dari kejadian, sedangkan alur mengacu
pada hubungan sebab akibat antara peristiwa-peristiwa.
Chatman (1980:45-46) mengungkapkan pernyataan pertama
dan kedua hampir sama. Artinya dari peristiwa tersebut
dapat dirasakan adanya hubungan antara kejadian raja
meninggal dan ratu meninggal kemudian. Hal tersebut
berupa hubungan kelogisan tepatnya hubungan kausalitas
Nurgiyantoro (2013:147). Hubungan kausalitas pada
pernyataan pertama hanya dikemukakan secara implisit,
sedangkan pernyataan kedua secara eksplisit. Dengan kata
lain kedua pernyataan tersebut hanya berbeda struktur lahir
saja, sedangkan struktur batin keduanya sama.
Eriyanto (2013:16) menyatakan cerita dan alur berbeda.
Alur adalah apa yang ditampilkan secara eksplisit. Cerita
adalah urutan kronologis dari suatu peristiwa, peristiwa
tersebut bisa ditampilkan bisa juga tidak. Sebuah narasi pada
dasarnya mengangkat suatu peristiwa tertentu. Peristiwa
yang utuh (dari awal hingga akhir) disebut dengan cerita.
Peristiwa utuh bisa ditampilkan bisa juga tidak ditampilkan.
Alur adalah peristiwa yang eksplisit ditampilkan.
Ada dua perbedaan mendasar antara cerita dan alur.
Pertama, berdasarkan keutuhan dari suatu peristiwa. Cerita
adalah peristiwa yang utuh yang sesungguhnya dari awal
hingga akhir. Alur adalah peristiwa yang secara eksplisit
ditampilkan. Kedua, perbedaan berdasar urutan peristiwa.
Cerita menampilkan peristiwa secara berurutan, kronologis
37
dari awal hingga akhir. Alur urutan peristiwa bisa dibolak-
balik (Abbott, 2007:43). Narasi bentuk fakta (upacara adat)
umumnya menampilkan peristiwa dalam bentuk alur.
Pembuat cerita berkepentingan untuk membuat narasi yang
disajikan menarik. Karena itu, urutan peristiwa yang
disajikan tidak selalu mengikuti urutan kronologi waktu,
tetapi diatur peristiwa mana yang menarik terlebih dahulu,
baru disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak
menarik. Pembuat cerita juga ingin khayalak bisa menikmati
narasi karena itu urutan waktu diatur agar bisa
menimbulkan ketegangan bagi pembaca narasi. Dengan
memahami perbedaan cerita dengan alur kita bisa
menggambarkan apakah sebuah narasi menampilkan
peristiwa secara utuh, apakah peristiwa disajikan
berdasarkan urutan kronologis tertentu. Jika urutan
peristiwa tidak disajikan secara kronologis, bagaimana
urutan peristiwa tersebut ditampilkan. Cerita adalah apa
yang terjadi dalam kehidupan nyata, sementara alur adalah
apa yang ditampilkan oleh pembuat cerita. Menurut
Thwaites et al. (2002:121) alur adalah apa yang terlihat. Cerita
adalah urutan kronologis, urutan abstrak yang membuat
khalayak mengerti kaitan antara satu peristiwa dan peristiwa
lain.
Plot is the narratives as it is read, seen or heard from
the first to the last word or image. That is, like a
signifier, it is what the reader perceives. Story is the
narrative in chronological order, the abstract order of
events as they follow each other. That is, like a
signified, story is what the reader conceives or
understands (Thwaites et al., 2002:121).
Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa alur
merupakan bagian narasi yang dibaca, dilihat atau didengar
dari kata pertama sampai kata terakhir. Namun, bisa juga
38
berupa gambar. Artinya, seperti penanda yakni apa yang
menjadi persepsi pembaca. Cerita merupakan narasi dalam
urutan kronologis, urutan abstrak peristiwa yang mengikuti
satu sama lain. Artinya, seperti menunjukkan sebuah cerita
berupa konsep atau pemahaman pembaca. Dalam cerita dan
alur terdapat waktu dan ruang.
a. Waktu
Sebuah narasi termasuk upacara adat tidak mungkin
memindahkan waktu yang sesungguhnya (dalam realitas
dunia nyata) ke dalam tulisan. Ada tiga aspek penting
untuk dilihat dalam analisis mengenai waktu, yakni
durasi, urutan peristiwa, dan frekuensi peristiwa
ditampilkan. Setiap aspek tersebut mempunyai perbedaan,
baik cerita maupun alur yang disajikan kepada khalayak.
Durasi adalah waktu dari suatu peristiwa. Pertama,
durasi cerita. Ini merujuk kepada keseluruhan waktu dari
suatu peristiwa dari awal hingga akhir. Durasi dari cerita
ini bisa bulan, tahun, bahkan ratusan tahun bergantung
dari peristiwa. Kedua, durasi alur. Ini merujuk kepada
waktu keseluruhan dari alur suatu narasi. Durasi alur
umumnya lebih pendek dibandingkan dengan durasi
cerita. Hal ini karena pembuat cerita kerap mengambil
bagian waktu tertentu dari suatu cerita untuk ditonjolkan
kepada khalayak. Ketiga, durasi teks. Ini merujuk kepada
waktu dari suatu teks.
Urutan adalah rangkaian peristiwa satu dengan
peristiwa yang lain, sehingga terbentuk narasi. Pertama,
urutan cerita. Dalam cerita urutan bersifat kronologis.
Cerita adalah peristiwa sesungguhnya, sehingga pasti
bersifat kronologis. Kedua, urutan alur. Dalam alur,
rangkaian peristiwa bisa bersifat kronologis, bisa juga
tidak kronologis. Penulis cerita bisa masuk ke peristiwa
saat ini dan kemudian peristiwa sebelumnya disajikan
39
dalam bentuk kilas balik. Ketiga, urutan teks. Sama seperti
urutan alur, dalam teks urutan adegan bisa berupa
kronologis bisa juga tidak.
Frekuensi mengacu kepada berapa kali suatu
peristiwa yang sama ditampilkan (Herman dan Varvaeck,
2001:66). Dalam cerita, kategori frekuensi pasti tidak ada.
Karena peristiwa dalam kondisi nyata, pasti hanya terjadi
satu kali dan tidak mungkin diulang. Tetapi dalam alur
atau teks mungkin saja peristiwa dihadirkan beberapa
kali. Pertama, frekuensi alur. Ini merujuk kepada berapa
kali suatu peristiwa ditampilkan dalam alur. Suatu
peristiwa ditampilkan berulang-ulang untuk menekankan
makna tertentu dalam narasi. Kedua, frekuensi teks. Ini
merujuk kepada berapa kali suatu peristiwa ditampilkan
dalam keseluruhan narasi.
b. Ruang
Selain waktu, aspek penting lain dari sebuah narasi
adalah ruang. Sama halnya dengan waktu, dalam ruang
ada tiga perbedaan yakni ruang cerita, ruang alur, dan
ruang teks (Gillespie, 2006:96). Adapun yang dimaksud
dengan ruang alur adalah ruang yang disajikan secara
eksplisit dalam sebuah narasi. Tempat-tempat yang diacu
dalam narasi disajikan dan diceritakan secara eksplisit
dalam narasi. Ruang teks adalah ruang atau tempat yang
bukan hanya disajikan secara eksplisit, melainkan juga
ditampilkan keasliannya dalam narasi. Ruang cerita
adalah ruang atau tempat yang tidak disajikan secara
eksplisit dalam narasi, tetapi khalayak bisa
membayangkan tempat tersebut melalui hubungan sebab
akibat atau kaitan antara satu tokoh dan tokoh lain dalam
narasi.
40
C. STRUKTUR NARASI
Semenjak munculnya terjemahan buku Vladimir Propp
(1968) ke dalam bahasa Inggris menjadi bagian penting dari
munculnya penelitian mengenai struktur narasi. Analisis
Propp (1968) menunjukkan bahwa dongeng memiliki motif
dan topik dan ada konsistensi struktur yang mendasari
seluruh keragaman tersebut. Di bidang sosiolinguistik,
penelitian Labov dan Weletzky (1967) menjadi dasar
pengertian struktur narasi. Keduanya meneliti pola
penceritaan pengalaman personal secara lisan. Penelitian
tersebut dimulai dengan pertanyaan hal yang paling
menegangkan seperti apa yang pernah Anda alami. Tujuan
penelitiannya untuk mencari hubungan antara kondisi sosial
seseorang dan struktur narasi. Sebuah narasi mempunyai
struktur. Jika sebuah narasi dipotong-potong, narasi
mempunyai beberapa bagian (sub) setiap bagian saling
terhubung. Dalam narasi, peristiwa dilihat tidak datar (flat),
sebaliknya terdiri dari berbagai bagian. Narasi tidak identik
dengan peristiwa aktual yang sebenarnya karena pembuat
narasi bukan hanya memilih peristiwa yang dipandang
penting, melainkan menyusun peristiwa tersebut ke dalam
tahapan tertentu. Peristiwa dilihat mempunyai tahapan,
mempunyai awal dan akhir.
Struktur naratif, elemen sastra, umumnya digambarkan
sebagai kerangka struktural yang mendasari tatanan dan cara
sebuah narasi disajikan kepada pembaca, pendengar, atau
pemirsa. Struktur teks naratif adalah plot dan pengaturan.
Umumnya, struktur naratif dari pekerjaan, baik itu film,
bermain, atau novel mengandung plot, tema, dan resolusi.
Hal ini juga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yang bersama-
sama disebut sebagai struktur tiga babak: setup, konflik, dan
resolusi. Setup adalah semua karakter utama dan situasi
dasar mereka diperkenalkan dan berisi tingkat dasar
41
karakterisasi (mengeksplorasi latar belakang karakter dan
kepribadian). Masalah ini juga diperkenalkan yakni apa yang
mendorong cerita ke depan. Babak kedua konflik adalah
sebagian besar cerita dan mulai saat kejadian menghasut
(atau katalis) menetapkan hal-hal menjadi gerak. Ini adalah
bagian dari cerita tentang karakter mengalami perubahan
besar dalam hidup mereka sebagai akibat dari apa yang
terjadi. Dengan kata lain dapat disebut sebagai busur
karakter atau pengembangan karakter.
Tindakan ketiga resolusi adalah ketika masalah dalam
cerita di atas memaksa karakter untuk menghadapi itu yang
memungkinkan semua elemen dari cerita untuk datang
bersama-sama dan pasti mengarah ke ending. Contohnya
adalah 1973 Film The Exorcist. Tindakan pertama film ini
adalah ketika karakter utama diperkenalkan dan kehidupan
mereka dieksplorasi; Pastor Karras (Jason Miller)
diperkenalkan sebagai seorang imam Katolik yang
kehilangan imannya. Dalam tindakan dua, seorang gadis
bernama Regan (Linda Blair) menjadi dimiliki oleh entitas
setan (masalah), dan karakter busur Karras 'dipaksa untuk
menerima bahwa tidak ada penjelasan rasional atau ilmiah
untuk fenomena kecuali bahwa dia benar-benar dimiliki oleh
setan yang mengikat secara langsung dengan tema dia
kehilangan imannya. Tindakan ketiga film ini adalah
eksorsisme sebenarnya adalah apa yang menjadi penyebab
dalam seluruh cerita.
Teoretikus menggambarkan struktur narasi teks
merujuk pada elemen struktural seperti pengenalan. Pendiri
karakter cerita dan keadaan dijelaskan seperti paduan suara
yang menggunakan suara dari penonton untuk
menggambarkan kejadian atau menunjukkan respons
emosional yang tepat untuk menjadi bahagia atau sedih
dengan apa yang baru saja terjadi; atau coda yang jatuh pada
42
akhir narasi dan membuat kesimpulan. Pertama kali
dijelaskan pada zaman kuno oleh filsuf Yunani (seperti
Aristoteles dan Plato), gagasan struktur naratif lihat baru
popularitas sebagai konsep penting dalam abad pertengahan
ke-akhir-20, ketika ahli teori sastra strukturalis termasuk
Roland Barthes, Vladimir Propp, Joseph Campbell, dan
Northrop Frye berusaha untuk berpendapat bahwa semua
narasi manusia memiliki universal, elemen struktur dalam
tertentu yang sama. Argumen ini jatuh keluar dari mode
ketika pendukung pascastrukturalisme seperti Michel
Foucault dan Jacques Derrida menegaskan bahwa universal
bersama, struktur dalam seperti itu logis tidak mungkin.
Sebuah narasi non-linear adalah salah satu yang terdiri
dengan struktur percabangan sebagai titik awal tunggal
dapat menyebabkan beberapa perkembangan dan hasil. Ini
adalah pendekatan narasi khas dari sebagian besar video
game modern dan mendengarkan kembali ke genre kecil,
"buku di mana Anda berada pahlawan", kadang-kadang
disebut sebagai "gamebooks". Prinsip semua game tersebut
adalah bahwa pada setiap langkah dari cerita, pengguna
membuat pilihan yang memajukan cerita yang mengarah ke
seri baru pilihan. Authoring narasi non-linear atau dialog
dengan demikian berarti membayangkan jumlah yang tak
terbatas cerita paralel. Dalam buku non-linear, pembaca
diminta untuk beralih ke halaman tertentu sesuai dengan
pilihan mereka ingin membuat untuk melanjutkan cerita.
Biasanya, pilihan akan menjadi tindakan daripada dialog.
Sebagai contoh, pahlawan mendengar suara di ruangan lain
dan harus memutuskan untuk membuka pintu dan
menyelidiki, lari, atau meminta bantuan. Semacam ini
pengalaman interaktif dari cerita mungkin dengan video
game dan buku (pembaca bebas untuk mengubah halaman)
tetapi kurang disesuaikan dengan bentuk hiburan lainnya.
43
Teater improvisasi juga sama terbuka, tetapi tentu saja tidak
bisa dikatakan menulis. Bioskop hanya dapat memberikan
ilusi melalui rusak narasi, contoh terkenal ini menjadi 1.994
Film Pulp Fiction. Film ini seolah-olah tiga cerita pendek
yang setelah diamati lebih dekat, sebenarnya tiga bagian dari
satu cerita dengan kronologi; Quentin Tarantino membangun
narasi tanpa menggunakan klasik "flashback" teknik. Film
Flashback sering bingung dengan narasi non-linear benar
tetapi konsep dasarnya linear. Meskipun mereka muncul
untuk membuka (sangat singkat) dengan ending, film kilas
balik segera melompat kembali ke awal cerita untuk
melanjutkan linear dari sana, dan biasanya dilanjutkan
melewati seharusnya "berakhir" yang ditampilkan di awal
film.
Bahkan lebih ambisius upaya membangun sebuah film
berdasarkan narasi non-linear adalah Alain Resnais 1993 film
Perancis merokok/tidak merokok. Plot berisi perkembangan
paralel, bermain pada gagasan tentang apa yang mungkin
terjadi seandainya karakter membuat pilihan yang berbeda.
Namun, karena pengalaman pengguna adalah bahwa seorang
penonton di bioskop, masyarakat tidak memiliki kontrol dari
arah narasi. Baru-baru ini alat untuk non-linear authoring
telah muncul, seperti Adobe Captivate, alat authoring
elearning populer untuk presentasi, kuis, dan simulasi yang
memungkinkan penulis elearning untuk membangun
hubungan antara slide dalam dokumen PowerPoint gaya
untuk menghasilkan urutan non-linear. Zebra Zapps adalah
sistem elearning authoring canggih yang dikembangkan oleh
Allen Interaksi yang baru-baru ini menambahkan
kemungkinan menghubungkan objek untuk membangun
adegan non-linear.
Chatting Mapper diciptakan oleh Ben McIntosh,
pendiri Urban Brain Studios jelas merupakan sistem
44
authoring paling dekat terfokus [netralitas diperdebatkan]
pada penciptaan dan manajemen logika non-linear untuk
dialog dan narasi. Awalnya dimaksudkan sebagai alat untuk
memungkinkan terciptanya dialog dalam video game,
Obrolan Mapper memberikan penulis berbagai fitur
pemrograman yang memungkinkan untuk mengelola acara,
aset, dan karakter mereka menyusun narasi percabangan dan
dialog dari video game. Chatting Mapper menyebabkan
penciptaan produk derivatif yang dirancang untuk aplikasi
pelatihan berbasis video authoring, Game Scaper, diciptakan
oleh tim yang dipimpin oleh Peter Skill Scaper Isackson.
Game Scaper memungkinkan dialog non-linear dan narasi
dengan menghubungkan peristiwa tertentu atau teks lisan
yang dapat mengambil bentuk video atau animasi dengan
node saling bergantung dibuat dan dikelola secara visual. Skill
Scaper juga telah menciptakan sebuah sistem authoring yang
sangat sederhana untuk guru dan pelatih, Chat Scaper, yang
memungkinkan untuk penulis dialog atau narasi yang dapat
segera dilihat dan dimainkan kembali sebagai video game.
Dialog atau narasi diaktifkan berkat teknologi text-to-speech
dan pengguna dapat memilih avatar dan ekspresi tertentu
untuk setiap adegan, memungkinkan penciptaan langsung
dari narasi non-linear atau dialog. Dirancang khusus untuk
"belajar dengan menciptakan", Chat Scaper memungkinkan
guru dan peserta didik untuk bekerja sama menciptakan
konten pembelajaran dari setiap mata pelajaran yang
melibatkan aktivitas manusia atau komunikasi. Hal ini juga
digunakan oleh penulis skenario percobaan sebagai sarana
mengeksplorasi beberapa kemungkinan karakter dan alur
mengarah dalam adegan tertentu.
Tahapan atau struktur narasi tersebut adalah cara
pembuat narasi dalam menghadirkan peristiwa kepada
khalayak. Narasi mempunyai struktur dari awal hingga
45
akhir. Ada beberapa macam pendekatan dalam menganalisis
struktur. Untuk penelitian ini penulis akan menggunakan
struktur narasi yang terdapat dalam Gillespie (2006).
Struktur narasi menurut Gillespie (2006:97-98) terdiri
atas lima bagian sebagai berikut.
1) Eksposisi, kondisi awal. Narasi umumnya diawali dari
situasi normal, misal ketertiban dan keseimbangan dalam
narasi tentang kondisi yang damai dan makmur,
2) Gangguan, kekacauan. Struktur kedua dari narasi adalah
adanya gangguan. Ini bisa berupa tindakan atau adanya
tokoh yang merusak keharmonisan, keseimbangan atau
keteraturan. Kehidupan yang normal dan tertib setelah
adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi
tidak teratur. Gangguan ini juga bisa berupa tindakan
tertentu dari aktor yang dapat mengubah ketertiban.
Dalam hal ini tindakan yang bisa mengubah hubungan
yang baik menjadi buruk.
3) Komplikasi, kekacauan makin besar. Pada tahap ketiga,
gangguan makin besar dan dampaknya makin dirasakan.
Pada tahap ini, gangguan umumnya mencapai titik
puncak (klimaks) atau dengan kata lain kekacauan
mengalami titik puncak
4) Klimaks, konflik memuncak. Pada tahap ini, narasi
biasanya berisi tentang hadirnya sosok pahlawan yang
berupaya untuk memperbaiki kondisi. Pada tahap ini
sudah ada upaya untuk menciptakan keteraturan
kembali, meskipun upaya itu digambarkan mengalami
kegagalan.
5) Penyelesaian dan akhir. Tahap ini adalah babak terakhir
dari suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada babak
dua, berhasil diselesaikan sehingga keteraturan bisa
dipulihkan kembali.
46
D. AKTOR DAN NARATOR
Aktor merupakan pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita. Seorang aktor yang memiliki peranan penting
dalam suatu cerita disebut aktor inti atau utama, sedangkan
aktor yang memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung
aktor utama disebut aktor tambahan.
Aktor digunakan untuk menyebut pemain laki-laki,
sedangkan perempuan disebut aktris. Aktor dan aktris
adalah seniman seniwati profesional yang memiliki
pengetahuan dan menguasai seni akting. Konsep aktor
dalam penelitian ini peraga. Peraga adalah orang yang
berperan dalam peristiwa. Dalam kaitannya dengan
keseluruhan cerita, peranan setiap aktor tidak sama. Ada
yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita yang
disebut aktor utama. Sebaliknya ada aktor tambahan yang
hanya muncul beberapa kali dalam cerita. Pemeran dalam
cerita dapat dibagi menjadi tiga (Maryaeni, 1991), yakni:
1) Pemeran utama yaitu pemain yang memainkan atau
manjalankan peran pokok yang menjadi pusat
perlakonan.
2) Pemeran pembantu adalah pemain yang memainkan
peran bukan pokok yang erat kaitannya dengan peran
pokok.
3) Pemeran tambahan/figuran yaitu pemain yang
memainkan peran tambahan yang longgar kaitannya
dengan peran pokok lainnya hanya melengkapi bumbu
adegan saja.
Narator bisa pengarang suatu narasi, tetapi bisa juga
pengarang menggunakan tokoh di dalam narasi sebagai
narator. Narator dapat memodulasi gaya narasi untuk
47
memperhitungkan titik pandang beberapa karakter lain.
Sebuah narasi berbicara kepada khalayak melalui narator
orang atau tokoh yang menceritakan sebuah peristiwa seperti
upacara adat. Narator adalah bagian penting dari suatu
narasi. Dengan melalui narator, peristiwa atau kisah
disajikan kepada khalayak. Kerap kali terjadi, perspektif dari
suatu peristiwa disajikan lewat narator. Dalam upacara
perkawinan, narator adalah pembuat cerita. Tetapi seperti
halnya dalam narasi fiksi, tokoh adat bisa menghadirkan
dirinya sebagai narator dalam berbagai cara. Tokoh adat bisa
menempatkan dirinya sebagai orang pertama (kata ganti
aku), orang yang melihat suatu peristiwa dan melaporkannya
kepada khalayak. Tetapi bisa jadi narator menempatkan
dirinya sebagai orang ketiga, memberikan kesempatan
kepada narasumber yang lain untuk melaporkan peristiwa.
Pembagian narator (Eriyanto, 2013:113-124) meliputi:
1) Berdasarkan peranannya narator narator dramatis
(dramatized narrator) dan narator tidak dramatis
(dramatized narrator). Perbedaan antara kedua jenis
tersebut terletak pada pengarang mempunyai keterkaitan
langsung dengan cerita dan pengarang bertindak sebagai
narator. Narator tidak dramatis yakni pengarang tidak
mempunyai keterkaitan dengan cerita. Pembuat narasi
adalah orang luar dan ia menjadi narator atas suatu
cerita. Hal tersebut mirip dengan seorang pendongeng.
Seorang pendongeng menceritakan suatu cerita yang sama
sekali tidak berkaitan dengan kehidupannya. Narasi
tersebut menceritakan suatu peristiwa dan pengarang
berada di luar peristiwa tersebut. Pengarang bertindak
sebagai pencerita yang mengisahkan suatu cerita kepada
khalayak. Narator dramatis adalah narator secara
sengaja masuk ke dalam peristiwa yang diceritakan,
sehingga khalayak kemudian melihat narator menjadi
48
bagian atas peristiwa yang diceritakan. Dalam narator
dramatis pengarang adalah bagian dari cerita yang
diceritakan. Pengarang dapat mengambil dua bentuk
penceritaan, dapat menjadi narator atau bisa narator
diposisikan pada karakter lain yang ada di dalam narasi.
Pertama, pengarang menjadi narator. Pada jenis narasi ini,
pengarang menjadi narator atas kisahnya sendiri.
Misalnya buku memoar Habibie dan Ainun (Habibie,
2012). Buku ini mengisahkan Habibie dan Ainun adalah
dua raga tetapi hanya satu jiwa. Habibie kehilangan
Ainun yakni seseorang yang selama 48 tahun 10 hari
kebersamaan dalam berbagi deriita dan bahagia. Dalam
buku ini Habibie adalah narator dan sebagai narator
beliau menceritakan pengalaman hidupnya. Kedua,
pengarang mengisahkan kehidupannya dalam narasi,
tetapi tidak secara langsung menjadi narator. Artinya
menggunakan narator orang lain atau karakter lain dalam
narasi tersebut. Pembuat cerita ingin mengisahkan
pengalaman hidupnya dalam sebuah narasi dan ia tidak
ingin menempatkan dirinya secara langsung sebagai
narator. Pengarang menggunakan karakter-karakter lain
yang ada dalam cerita tersebut. Misalnya novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata (Hirata, 2005). Novel ini
bercerita mengenai kehidupan 10 anak dari keluarga
miskin yang bersekolah di SD Muhammadiyah di Belitung
dengan penuh keterbatasan. Novel ini mengisahkan
kehidupan masa kecil pengarang (Andrea Hirata). Dalam
berbagai kesempatan, Andrea mengungkapkan bahwa
novel itu dibuat sebagai persembahan dan ucapan terima
kasih untuk Guru Muslimah, guru yang benar-benar
mendidik anak yang penuh dengan keterbatasan tanpa
memedulikan imbalan. Di dalam novel, Andrea tidak
menjadi narator. Andrea menggunakan tokoh Ikal. Ikal
49
inilah yang menjadi narator dan menceritakan bagaimana
anak-anak tersebut terus semangat belajar dan mengatasi
keterbatasan agar berhasil. Berikut gambar narator
dramatis dan narator tidak dramatis.
Gambar 2.1 Narator Dramatis
Gambar 2.2 Narator Tidak Dramatis
2) Berdasarkan caranya berkisah narator memosisikan diri
sebagai pihak yang menyimpulkan peristiwa dan kaitan
antar peristiwa atau narator hanya memperkenalkan dan
memperlihatkan peristiwa tanpa membuat kesimpulan
Narator
Peristiwa
Narator
Peristiwa
50
atas suatu peristiwa. Berkaitan dengan hal tersebut,
narator dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, menceritakan
(telling) yakni narator memosisikan dirinya sebagai orang
yang menyimpulkan peristiwa atau karakter tertentu.
Khalayak langsung diberikan kesimpulan atas suatu
peristiwa atau karakter tertentu yang ada dalam narasi.
Narator misalnya menyimpulkan apa yang terjadi dan
penyebab suatu peristiwa. Kedua, memperlihatkan
(showing), yakni narator di sini memosisikan dirinya
sebagai orang yang memperkenalkan atau memperlihatkan
suatu peristiwa tanpa menyimpulkan isi dari peristiwa.
3) Berdasarkan penempatannya dibagi menjadi narator
subjektif dan narator objektif. Narator subjektif adalah
narator yang menempatkan khalayak agar terlibat,
sebaliknya narator objektif menempatkan khalayak
sebagai orang yang mengamati sebuah kisah. Pada narasi
subjektif khalayak diajak untuk turut serta menjadi
bagian dari suatu cerita. Narator adalah salah satu
karakter dalam cerita. Peristiwa karenanya diceritakan
melalui sudut pandang dari karakter yang berposisi
sebagai narator. Khalayak diajak turut serta terlibat
dalam narasi itu melalui narator. Sebuah narasi
diceritakan secara berbeda tergantung kepada karakter
mana dalam narasi tersebut yang berposisi sebagai
narator. Dalam narasi objektif, khalayak ditempatkan
berjarak dengan peristiwa dalam narasi. Peristiwa
digambarkan berada di luar diri khalayak hanya sebagai
penngamat atas peristiwa dan adegan dalam narasi.
Narasi objektif menggunakan teknik penceritaan yang
mengurangi intensitas keterlibatan khalayak. Narator
bukanlah karakter yang ada dalam narasi, tetapi orang
lain yang menceritakan sebuah narasi. Narator seperti
pencerita yang mengisahkan sebuah peristiwa, Narator
51
bukan bagian dari peristiwa, bukan salah satu karakter
dalam peristiwa. Berikut gambar narator subjektif dan
narator objektif.
Gambar 2.3 Narator Subjektif
Gambar 2.4 Narator Objektif
Narator
Peristiwa
Narator
Peristiwa
52
53
3. STRUKTUR NARASI
PERKAWINAN DAYAK
MAANYAN
Sesuai dengan tahapan yang ada dalam upacara
perkawinan tersebut, struktur narasi perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan ini dipaparkan dalam tiga tahap, yaitu (1)
ngantane (lamaran), (2) adu pamupuh (pertunangan), dan (3)
piadu (perkawinan). Struktur narasi yang digunakan untuk
menganalisis dalam penelitian ini adalah struktur narasi
menurut Gillespie (2006). Dalam teorinya Gillespie
mengungkapkan 5 tahapan dalam struktur narasi, yaitu:
eksposisi, gangguan (rising action), komplikasi, klimaks, dan
resolusi. Secara umum, kelima tahapan tersebut dapat
digunakan untuk menganalisis semua jenis cerita, baik cerita
tradisional maupun modern. Untuk kepentingan analisis
penelitian ini kelima tahapan struktur tersebut tidak
seluruhnya dimanfaatkan karena tahap gangguan disatukan
dengan komplikasi dengan alasan bahwa kedua tahapan
pada dasarnya adalah sama dalam peristiwa atau jalan cerita
sebuah fiksi atau pertunjukan.
A. Struktur Narasi Tahap Ngantane
Upacara perkawinan Dayak Maanyan pada tahap
ngantane memiliki struktur narasi berikut, yakni: eksposisi,
komplikasi, klimaks, resolusi.
54
3.1.1 Eksposisi
Eksposisi pada upacara perkawinan Dayak Maanyan
tahap ngantane adalah pertemuan keluarga calon mempelai
laki-laki dan perempuan terdiri atas (1) menyapa keluarga
pihak calon mempelai perempuan; (2) memohon maaf; (3)
memohon izin untuk memulai pembicaraan; dan (4)
menjelaskan identitas usbah.
3.1.1 Menyapa Keluarga Pihak Calon Mempelai Perempuan
Kegiatan menyapa keluarga pihak calon mempelai
perempuan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sapaan
tersebut di antaranya dapat disimak pada data berikut.
1) Salamat penah andrau
Kami hawi ma ina na tugas
kan daya Pak Kalunteng
hawi ma lewu ina
Maksud dan tujuan
kadatangan kami ma ina
naan niat ma`eh.
Selamat siang
Kami ditugaskan oleh
Pak Kalunteng untuk
datang ke rumah ini
Maksud dan tujuan
kami datang ke mari
memiliki niat baik
(NAA-STN/A.1)
2) Salamat penah andrau
Jari kalina, kabahum kami
hawi ma ina maeh
Eh, kaya pada aweng kuwen
sa maeh ma kaluarga hang
yena.
Selamat siang
Jadi begini, Pak, maksud
dan tujuan kami datang
kemari memiliki niat
yang baik terhadap
keluarga Bapak.
(NAA-STN/A.2)
3) Selamat kariwe
Mudah-mudahan hatala
memberkati kami asbah hawi
ma lewu bapak na utus daya
Selamat sore
Mudah-mudahan Tuhan
memberkati
Kami usbah datang ke
55
abahnya Sululungan.
Kami hawi ma ina berniat
dan gantra kude puang sa
gantra biasa.
rumah bapak. diutus
oleh ayahnya
Sululungan.
Kami datang berniat
untuk berkunjung, tetapi
bukan berkunjung biasa.
(NAA-STN/A.3)
4) Selamat ka andrau
Puji tuhan
Kami pulak sanai hante
Fransiscus ekat hamen
menyampaikan niat maeh
kami ma pulak sana`i bapak
Selamat siang
Puji Tuhan
Kami keluarga besar
dari anaknda Fransiscus
hanya ingin
menyampaikan niat baik
terhadap keluarga bapak
(NAA-STN/A.4)
Ucapan selamat ka andrau, penah andrau, dan kariwe
disampaikan oleh keluarga calon mempelai laki-laki.
Keluarga calon mempelai laki-laki menyampaikan maksud
kedatangannya. Maksud kedatangan ini diawali dengan
menyebut nama Tuhan. Selain itu, keluarga calon mempelai
laki-laki juga menegaskan bahwa mereka berniat baik, yaitu
melamar calon mempelai perempuan.
Setelah itu, usbah sebagai wakil keluarga mempelai
perempuan juga menginformasikan bahwa dirinya hanyalah
perwakilan dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Usbah
merupakan perpanjangan lidah dari orang tua. Usbahlah yang
berperan penting menyampaikan maksud dan tujuan
rombongan. Usbah biasanya membuka percakapan dengan
mengucapkan salam. Kepercayaan Dayak Maanyan
meyakini bahwa ucapan salam tersebut bukan hanya sekadar
menyapa keluarga, melainkan juga merupakan pujian
56
terhadap sang pencipta. Hal ini terlihat pada data (4) puji
Tuhan.
Dilihat dari kedudukannya, para usbah memiliki
peranan penting. Usbah dari pihak calon mempelai laki-laki
berperan sebagai perantara sedangkan usbah dari pihak calon
mempelai perempuan bertugas untuk mendengar, menelaah,
dan memutuskan diterima atau tidak lamaran tersebut.
Keduanya terlibat dalam interaksi komunikatif yang
kondusif yakni saling sapa yang direalisasikan dengan
ucapan Salamat ka andrau, Salamat penah andrau, atau Selamat
kariwe. Selain itu, keduanya juga mengekpresikan dan
merepresentasikan ideologi masing-masing berdasarkan
profesi. Menurut van Dijk (1995:7) ideologi ini disebut
ideologi profesional. Ucapan salam juga merepresentasikan
ideologi budaya, karena selain menyapa keluarga pihak calon
mempelai perempuan, salam juga menjalin keakraban dan
sebagai penanda identitas komunitasnya.
3.1.2 Memohon Maaf
Ucapan memohon maaf yang dilakukan oleh usbah
pihak laki-laki kepada usbah pihak perempuan sebelum
melakukan kesalahan. Kegiatan memohon maaf tampak
pada data berikut.
1) Kami mohon maap ma
pulak sana`i bapak.
Sekiranya naan kesalahan
huang penyampaian maeh
sa puang disengaja
maupun na sengaja
Kami mohon maaf
kepada keluarga bapak.
Sekiranya ada kesalahan
dalam penyampaian baik
yang tidak disengaja
maupun yang disengaja
(NAA-STN/A.5)
2) Sehuan ni kami mohon
maaf amun naan
Sebelumnya kami
memohon maaf jika
57
penyampaian die naan sa
puang berkenan
dalam penyampaian
nanti ada yang tidak
berkenan
(NAA-STN/A.6)
Sebelum acara lebih jauh, usbah dari calon mempelai
laki-laki biasanya memohon maaf kepada pihak calon
mempelai perempuan. Permohonan maaf ini merupakan
kerendahan hati atas segala kekurangan dalam hal
penyampaian, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Permohonan maaf pada data di atas disampaikan oleh
usbah pihak calon mempelai laki-laki dengan tujuan agar
pihak calon mempelai perempuan tidak tersinggung.
Tindakan ini dilakukan untuk mengawali kegiatan adat agar
pembicaraan dapat berlanjut sesuai keinginan kedua belah
pihak. Kata mohon maaf ini merepresentasikan ideologi
budaya, yakni: 1) masyarakat Dayak Maanyan memiliki
sikap merendahkan diri dan 2) berbesar hati dengan sesegera
mungkin meminta maaf jika dalam penyampaian ada
sesuatu yang tidak berkenan, baik disengaja maupun tidak
disengaja.
3.1.3 Memohon Izin untuk Memulai Pembicaraan
Aktivitas memohon izin untuk memulai pembicaraan
dilakukan oleh usbah dari pihak calon mempelai laki-laki.
Tuturan memohon izin tampak pada data berikut.
1) Seperti sa haut nasampaikan
tadi. aku usbah laku ijin
untuk menyerahkan tanda
jari sebagaimana adat takam.
Seperti yang sudah
disampaikan tadi. Saya
usbah memohon izin
untuk menyerahkan tanda
jadi sebagaimana adat kita
(NAA-STN/A.7)
58
2) Hiyai bapak sekalian, aku
laku ijin hamen
menyampaikan niat serius
malamar sa die ni akan na
lanjutkan usbah hingka
pulak sanai kami jua.
Iya Bapak sekalian saya
minta izin ingin
menyampaikan niat serius
melamar yang nantinya
akan dilanjutkan usbah
dari keluarga kami juga
(NAA-STN/A.8)
3) Sehuaan ni aku mohon ijin
bapander terlebih dahulu
sehuaan usbah sa lain
Sebelumnya saya mohon
izin berbicara terlebih
dahulu sebelum usbah
yang lain
(NAA-STN/A.9)
Ucapan mohon izin dilakukan oleh para usbah, baik
dari usbah mempelai laki-laki maupun usbah mempelai
perempuan. Permohonan izin bertujuan memperoleh izin
berbicara untuk menyampaikan niat melamar dan untuk
memperoleh izin menyerahkan tanda jadi. Selain itu,
permohonan izin juga dilakukan para usbah guna
menghormati giliran bicara usbah lainnya.
Aktivitas pada tuturan di atas menunjukkan
representasi ideologi budaya masyarakat Dayak Maanyan
yang memiliki etika untuk memohon izin sebelum
menyampaikan sesuatu. Selain itu, usbah mempelai laki-laki
juga menghormati usbah yang lain, baik dari pihak mempelai
laki-laki maupun mempelai perempuan. Hal ini ditunjukkan
dengan cara memohon izin terlebih dahulu sebelum
berbicara. Dalam hal ini, tergambar ideologi kebersamaan
dan penghormatan terhadap usbah yang lain yang dibuktikan
dengan cara memohon izin agar apa yang akan dilakukan
sesuai dengan harapan.
59
3.1.4 Menjelaskan Identitas Usbah
Aktivitas menjelaskan identitas usbah bertujuan untuk
memperkenalkan usbah yang mewakili pihak laki-laki pada
saat tahap ngantane. Tuturan dapat dilihat pada data berikut.
1) Kami mawakili usbah pihak
upu-upu katuluhni a`ni
hingka ibu.
Kami mewakili usbah
pihak laki-laki semuanya
adik dari ibu Obby.
(NAA-STN/A.10)
2) Sameh leh,kami usbah
hingka pihak wawey
mawakili mama na Enja
Sama saja, kami juga
usbah dari pihak
perempuan mewakili
pamannya Enja
(NAA-STN/A.11)
3) pama hijau iru usbah teka
lawit hingka Kalteng
Baju hijau itu usbah jauh
datang dari Kalteng
(NAA-STN/A.12)
Pengenalan identitas para usbah disampaikan oleh kedua
belah pihak keluarga mempelai. Pihak keluarga mempelai laki-
laki memperkenalkan identitas usbah sebagai adik dari ibu
mempelai laki-laki, sedangkan pihak keluarga mempelai
perempuan para usbah diperkenalkan identitasnya sebagai
perwakilan paman mempelai perempuan. Selain itu,
pengenalan identitas usbah juga dilakukan dengan menunjuk
warna pakaian yang sedang dikenakan usbah yang ditunjuk.
Usbah juga menjelaskan posisi dirinya pada tahap
ngantane, dan merepresentasikan ideologi budaya masyarakat
Dayak Maanyan dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu
sebelum berbicara. Hal tersebut dilakukan agar antar usbah bisa
saling mengenal.
60
3.2 Komplikasi
Komplikasi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap ngantane adalah penyampaian
lamaran oleh keluarga calon mempelai laki-laki terdiri atas
(1) menanyakan identitas dan status calon mempelai
perempuan; dan (2) melamar calon mempelai perempuan.
3.2.1 Menanyakan Identitas dan Status Calon Mempelai
Perempuan
Kegiatan mencari informasi tentang identitas dan
status calon mempelai perempuan oleh usbah dapat dilihat
pada tuturan berikut.
1) Hi Rasesia haut luput
kuliah ni.
Kude huan naan sa dekat
kan
Si Rasesia sudah selesai
kuliah.
Tapi belum ada yang
dekatkan
(NAA-STN/A.13)
2) Sabujur ni kami hawi ma
ina hamen nunti Lissa haut
naan sa ampun ni kah?
Sebenarnya kami datang
ke sini mau menanyakan
Lissa sudah ada yang
punyakah?
(NAA-STN/A.14)
Ucapan berbentuk pernyataan dan pertanyaan di atas
merupakan bagian dari proses mengumpulkan informasi.
Ucapan berbentuk pernyataan disampaikan oleh pihak
keluarga perempuan dengan tujuan memberikan informasi
status calon mempelai perempuan. Ucapan berbentuk
pertanyaan disampaikan oleh pihak keluarga mempelai laki-
laki, dengan harapan mendapatkan informasi yang lebih jelas
tentang identitas dan status calon mempelai perempuan.
61
Data di atas menggambarkan ideologi masyarakat
Dayak Maanyan. Masyarakat Dayak Maanyan sangat
berhati-hati dalam memilih pasangan untuk keluarganya.
Hal tersebut bertujuan agar tidak ada penyesalan dikemudian
hari. Usbah calon mempelai laki-laki memastikan bahwa
perempuan yang akan dilamar masih sendiri. Pesan
ideologinya adalah (1) sebelum memilih pasangan hidup,
pastikan terlebih dahulu keadaan calon mempelai
perempuan, serta (2) memiliki pasangan hidup secara baik,
tanpa ada unsur paksaan.
3.2.2 Melamar Calon Mempelai Perempuan
Aktivitas melamar calon mempelai perempuan
dilakukan oleh usbah calon mempelai laki-laki. Aktivitas
tersebut dilakukan setelah terjadi dialog antara kedua belah
pihak. Berikut tuturannya.
1) Eh, kaya pada aweng kuwen
sa maeh ma kaluarga hang
yena. Sameh sa takam haut
karasa kawan iya yena haut
lawah pangasini. Jari daya
kabahum anak kami Agus
sini ngantane iya wawei
naun.
Seperti yang kita ketahui
bahwa anak-anak kita ini
sudah lumayan lama
menjalin hubungan
sepasang kekasih. Jadi,
atas permintaan anak saya
Agus ini ingin melamar
putri Bapak dan Ibu.
(NAA-STN/A.15)
2) Kami hawi ma lewu bapak
ngaheng malamar anak bapa
Kami datang ke rumah
bapak berniat ingin
melamar anak bapak
(NAA-STN/A.16)
3) Kami teka usbah hingka
Dipta mewakili hamen
Kami selaku usbah dari
keluarga Dipta mewakili
62
malamar anak bapak. ingin melamar anak
bapak.
(NAA-STN/A.17)
Ucapan melamar disampaikan oleh pihak keluarga
mempelai laki-laki, dengan terlebih dahulu menyampaikan
sebab lamaran dilakukan. Kemudian, dilanjutkan dengan
penyampaian lamaran secara langsung kepada pihak
keluarga mempelai perempuan.
Data di atas merepresentasikan ideologi budaya
masyarakat Dayak Maanyan bahwa usbah pihak calon
mempelai laki-laki memiliki niat baik untuk melamar calon
mempelai perempuan. Pesan ideologi yang disampaikan
adalah sebagai pelamar hendaklah bersikap hormat dam
santun kepada keluarga yang dilamar.
3.3 Klimaks
Klimaks pada aruh adat perkawinan masyarakat Dayak
Maanyan tahap ngantane adalah penyerahan tanda jadi terdiri
atas (1) menyerahkan tanda jadi dan (2) menerima tanda jadi.
3.3.1 Menyerahkan Tanda Jadi
Kegiatan menyerahkan tanda jadi dari pihak usbah
calon mempelai laki-laki kepada usbah calon mempelai
perempuan dilaksanakan sebagai bukti keseriusan. Tanda
jadi berupa bahalai dan uang yang diserahkan sesuai dengan
hasil kesepakatan. Tuturannya dapat dilihat pada data
berikut.
1) Jari, umat pambakas ni sameh adat takam, suku Dayak kami sakawarga ngenei bahalai kaya duit Rp 50.000 (dimempulu ribu
Jadi, sebagai tanda jadi sebagaimana adat kita sebagai suku Dayak, maka kami sekeluarga sudah mempersiapkan
63
rupiah). Ina bana ni silakan na tarime.
bahalai dan uang Rp 50.000,-. Ini mohon diterima.
(NAA-STN/A.18) 2) Jari, taati aku usbah pihak
upu-upu nyarah daduk bahalai andri duit tunai Rp.100.000 sebagai tanda jari. Mohon na tarime.
Jadi, sekarang saya usbah pihak laki-laki menyerahkan tapih bahalai dan uang Rp 100.000 sebagai tanda jadi Mohon diterima.
(NAA-STN/A.19) 3) Tanda jari bahalai andri
duit Rp 200.00 mudah-mudahan tau na tarime pulak sana`i bapak.
Tanda jadi bahalai dan uang Rp 200.000 mudah-mudahan dapat diterima keluarga bapak.
(NAA-STN/A.20) 4) Hunien haut na sepakati
usbah hang ina maka kami manyarah bahalai andri duit na sebagai tanda jari mohon na tarime
Tadi sudah disepakati usbah di sini maka kami menyerahkan bahalai dan uang tanda jadi Mohon dapat diterima
(NAA-STN/A.21) 5) Daya asbah hingka
mempelai wawei haut narime lamaran kami Kami haut menyiapkan bahalai adnri duit sebagai tanda jari ma pulaksana`i hang ina
Karena usbah dari calon mempelai perempuan sudah menerima lamaran kami Kami sudah menyiapkan bahalai dan uang sebagai tanda jadi kepada keluarga di sini
(NAA-STN/A.22)
64
Ucapan tanda jari (tanda jadi) merupakan ungkapan telah terjalinnya kesepakatan antar pihak keluarga kedua mempelai. Tanda jari yang menandai kesepakatan penerimaan lamaran ini berupa uang dan bahalai. Data di atas menunjukkan bahwa pernyerahan tanda jadi berarti calon mempelai laki-laki siap memberi.
3.3.2 Menerima Tanda Jadi
Kegiatan menerima tanda jadi oleh pihak usbah calon mempelai perempuan dilaksanakan sebagai bukti menerima lamaran dari pihak mempelai laki-laki. Tanda jadi berupa bahalai dan uang diterima sesuai dengan hasil kesepakatan. Tuturannya dapat dilihat pada data berikut.
1) Ha iyu eh mun kaliru. Pambakas yena kami narime.
Baiklah, tanda jadi ini saya terima.
(NAA-STN/A.23) 2) Hayu leh,tanda jari na kami
tarime. Baiklah, tanda jadi ini kami terima.
(NAA-STN/A.24)
Tanda jadi yang diterima oleh keluarga calon mempelai
perempuan berarti lamaran sudah diterima dan pihak yang
menerima harus menjaga kesepakatan yang telah diambil.
Data di atas menunjukkan bahwa penerimaan tanda jadi
menyatakan bahwa mempelai perempuan telah menerima
lamaran dan menghargai pemberian.
3.4 Resolusi
Resolusi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap ngantane adalah pembicaraan tahap
selanjutnya terdiri atas (1) memperjelas kembali kesepakatan
awal, (2) menentukan hari dan tanggal adu pamupuh, dan (3)
berjabat tangan.
65
3.4.1 Memperjelas Kembali Kesepakatan Awal
Aktivitas memperjelas kembali kesepakatan awal
antara usbah kedua calon mempelai tampak pada tuturan
berikut.
1) Kami sakawarga ngantuh tarime kasih haut na tarime. Jari die kami hawi lagi paner masalah tanggal paadu kawan iya takam yena baya sa laen.
Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih karena sudah diterima Maka nanti kami akan kembali ke sini lagi untuk membicarakan tanggal pernikahan anak-anak kita dan hal-hal lainnya juga yang perlu kita bicarakan nanti.
(NAA-STN/A.25) 2) Hantek awe tau napastikan
adu pamupuh die? Kapan bisa dipastikan adu pamupuh nanti?
Diye kami bapaner lagi udi barunding
Nanti dibicarakan kembali setelah kami juga berunding
(NAA-STN/A.26) 3) Sebelum nie kami ngaheng
karasa syarat mun lagi sa harus kami sediakan
Sebelumnya kami ingin tahu syarat apalagi yang harus kami siapkan
Die kami siapkan perjanjian pernikahan saat adu pamupuh nasapakati
Nanti kami siapkan surat perjanjian pernikahan. Waktu adu pamupuh kita sepakati
(NAA-STN/A.27) 4) Salanjut ni tunangan die
na sesuaikan leh Andri adat takam
Selanjutnya tunangan nanti disesuaikan saja dengan adat kita
(NAA-STN/A.28)
66
5) Berhubung taati haut natarime tana jari iti, maka kami hamen mulek lagi mamaner adu pamupuh
Berhubung sekarang sudah diterima tanda jadi ini, maka kami akan kembali lagi untuk membicarakan adu pamupuh
(NAA-STN/A.29)
Ucapan penjelas diungkapkan setelah diterima tanda
jadi. Penjelas ditegaskan dengan ucapan yang menyampaikan
janji bahwa nanti akan ada pertemuan kembali untuk
membicarakan tahap selanjutnya. Ucapan penjelas ini
memastikan bahwa pertemuan tidak berakhir hanya sampai
di sini.
Data di atas merepresentasikan ideologi masyarakat
Dayak Maanyan akan pentingnya menegaskan kembali
pelaksanaan hukum adat selanjutnya. Kepastian tentang
ketentuan hukum adat, baik waktu maupun tata cara
pelaksanaannya nanti dianggap penting. Usaha untuk
mempertegas kembali bertujuan agar jangan sampai ada
perubahan dan kesepakatan itu didengar oleh semua usbah.
3.4.2 Menentukan Hari dan Tanggal Adu Pamupuh
Aktivitas menentukan hari dan tanggal adu pamupuh
ini dapat dilihat pada data berikut.
1) Hantek awe tau napastikan
adu pamupuh die?
Kapan bisa dipastikan adu
pamupuh nanti?
(NAA-STN/A.30)
2) Amun tau tetapkan andrau
leh adu pamupuh ni
nampan kami tau nahampe
andri ulun matueh Dipta
Kalau bisa tetapkan
sekarang saja adu
pamupuhnya, supaya
kami bisa menyampaikan
dengan orang tua Dipta
(NAA-STN/A.31)
67
Data di atas merepresentasikan keinginan pihak calon
mempelai laki-laki untuk mempersiapkan adu pamupuh agar
dalam pelaksanaannya nanti tidak ada kekurangan. Ucapan
penentuan dilakukan kedua belah pihak ketika menentukan
hari dan tanggal adu pamupuh. Ucapan penentuan ini bisa
disampaikan dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan.
Penentuan ini bertujuan mendapatkan kepastian pelaksanaan
adu pamupuh, sehingga persiapan dapat segera dimulai.
3.4.3 Berjabat Tangan
Aktivitas berjabat tangan dilakukan oleh kedua usbah
setelah seluruh tahap ngantane selesai. Aktivitas ini
dilakukan sebagai tanda berakhirnya prosesi, mempererat
kekeluargaan, dan memperkuat apa yang telah disepakati.
Aktivitas berjabat tangan dapat dilihat pada data berikut.
1) Pamanderan haut di
sepakati
Berjabat tangan dulu
Pembicaraan sudah
disepakati.
Berjabat tangan dulu
(NAA-STN/A.32)
2) Amun haut sapakat
macam iti berjabat tangan
takam
Kalau sudah sepakat seperti
ini
Jabat tangan kita
(NAA-STN/A.33)
3) Galis haut sa napaner
salam tangan dahulu tana
sapakat
Selesai sudah yang
dibicarakan
Jabat tangan dulu tanda
sepakat
(NAA-STN/A.34)
68
Ucapan keinginan untuk berjabat tangan disampaikan
oleh kedua pihak setelah terjadi kesepakatan. Jabat tangan
sebagai tindakan simbolis yang menunjukkan adanya
perjanjian yang harus ditepati satu sama lain.
Data di atas menunjukkan bahwa kedua usbah berjabat
tangan seperti orang yang bersumpah. Keduanya berjabat
tangan sambil mengucapkan harapan agar hasil kesepakatan
tidak diingkari. Jabat tangan yang dilakukan kedua usbah ini
merepresentasikan ideologi masyarakat Dayak Maanyan
yang menjunjung tinggi musyawarah dalam menepati dan
menjalankan apa yang sudah disepakati bersama. Pesan
ideologinya adalah berjabat tangan sebelum mengakhiri
pembicaraan dan setelah membuat perjanjian.
B. Struktur Narasi Tahap Adu Pamupuh
Pada tahap adu pamupuh pihak calon mempelai laki-laki
yang diwakili oleh usbah datang ke rumah calon mempelai
perempuan. Tujuannya adalah menyepakati surat perjanjian
pertunangan. Aruh adat perkawinan masyarakat Dayak
Maanyan pada tahap adu pamupuh memiliki struktur narasi
berikut, yakni: eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi.
3.1 Eksposisi
Eksposisi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap adu pamupuh adalah pertemuan
keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan terdiri
atas (1) membawa masuk hantaran ke rumah mempelai
perempuan, (2) menyambung pembicaraan sebelumnya.
69
3.1.1 Membawa Masuk Hantaran (Bana) ke Rumah
Mempelai Perempuan
Hantaran (bana) dibawa masuk oleh usbah calon
mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan. Hal ini
tampak pada data berikut.
Palus leh pa! Masuk saja pa!
Kami palus na
Palus ai pa. Kami haut
ngandrei
Kami masuk ya
Silakan masuk pa. Kami
sudah menunggu.
(NAA-STA/T.35)
Data di atas merepresentasikan saling sapa antara usbah,
baik usbah mempelai laki-laki maupun perempuan. Ini
menunjukkan etika, sebelum masuk ke rumah orang lain harus
meminta izin dahulu. Pesan ideologi yang ingin disampaikan
adalah hargai dan sambutlah tamu secara ramah. Ucapan palus
adalah ungkapan mempersilakan masuk yang disampaikan
oleh pihak mempelai perempuan. Dengan adanya persilaan,
pihak mempelai laki-laki tidak lagi sungkan membawa bana
masuk ke rumah mempelai perempuan.
3.1.2 Menyambung pembicaraan sebelumnya
Pembicaraan sebelumnya pada tahap ngantane
dilanjutkan tahap adu pamupuh. Hal ini tampak pada data
berikut.
1) Kami hawi lagi maina
umak nang palus
papaneren taam yare.
Kami datang kembali ke
sini untuk menyambung
pembicaraan yang lalu.
(NAA- STA/T.36)
2) Kami maina sindi
nampalus papaneran
Kami ke sini ingin
melanjutkan pembicaraan
70
pangantanean. ngantane.
(NAA- STA/T.37)
3) Nampalus papaneran
takam saat katika ngantane
yari.
Menyambung
pembicaraan kita pada
saat ngantane.
(NAA- STA/T.38)
4) Kami mayati nampulus
papaneran ngantane yari.
Kami ke sini menyambung
pembicaraan ngantane
yang dulu.
(NAA- STA/T.39)
Data di atas merepresentasikan bahwa ada pembicaraan
sebelumnya yang harus dilanjutkan. Ucapan papaneran
ngantane yari pertanda pembicaraan sebelumnya sangat
penting untuk menuju ke pembicaraan yang akan datang.
3.2 Komplikasi
Komplikasi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap adu pamupuh adalah menyiapkan
surat perjanjian pertunangan.
3.2.1 Menyiapkan Surat Perjanjian Pertunangan
Menyiapkan surat perjanjian pertunangan ini
dilakukan oleh usbah dari pihak perempuan dihadapan
penghulu adat. Hal ini tampak pada data berikut.
Hiyai. Kami pada haut
manyiapkan surat perjanjian
pertunangan
Iya. Kami juga sudah
menyiapkan surat perjanjian
pertunangan
(NAA- STA/T.40)
71
Data di atas merepresentasikan bahwa ada surat
perjanjian pertunangan yang harus disiapkan. Ucapan Kami
pada haut manyiapkan surat perjanjian pertunangan pertanda
bahwa ketersediaan surat perjanjian ini penting untuk siap diisi.
3.3 Klimaks
Klimaks pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap adu pamupuh adalah usbah kedua
mempelai berunding mengisi surat perjanjian pertunangan
terdiri atas mengisi surat perjanjian pertunangan.
3.3.1 Mengisi Surat Perjanjian Pertunangan
Pengisian surat perjanjian pertunangan dilakukan
melalui musyawarah antara kedua belah pihak. Hal ini ini
dapat dilihat dari data berikut.
1) Umak pambakas takam
ngulah surat parjanjian na
laku na isi. Hang yena kami
nulisakan bukti pamupuh
1. (isa) Duit Rp 100.000,-
(jatuh ribu)
2. (rueh) Kain amaw/
bahalai erang kalamar
3. (telo) saparangkat amak
kacantikan
4. (epat) saparangkat baju
wawei
Sebagai tanda jadi kita
buat surat perjanjian
pertunangan. Tolong
surat ini diisi. Di sini
kami juga tuliskan bukti
pertunangan yaitu:
1. Uang tunai Rp 100.000,-
2. Kain panjang/ bahalai 1
lembar
3. Seperangkat alat
kecantikan
4. Seperangkat pakaian
wanita
(NAA- STA/T 41)
2) Hiyai
Kami pada haut manyiapkan
Iya.
Kami juga sudah
72
surat perjanjian pertunangan menyiapkan surat
perjanjian pertunangan
Mulai taati taam bapaner Mulai sekarang kita
bicarakan
Hiyai
Duit Rp 200.000,-
bahalai erang kalamar
saparangkat umak kacantikan
saparangkat baju wawei
Baik.
Uang tunai Rp 200.000,-
Kain bahalai selembar
Seperangkat alat
kecantikan
Seperangkat pakaian
wanita
(NAA- STA/T.42)
3) Yalah adat takam harus naam
bahalai sasuai hari
pamanuhan hukum adat Duit
Rp 200.000.
Sesuai adat kita. Harus
selalu ada kain bahalai
seperti pemenuhan
hukum adat Uang tunai
Rp 200.000.
(NAA- STA/T.43)
4) Kala adat takam harus
napakat hanguwang surat
perjanjian pertunangan
Sesuai adat kita harus
disepakati dalam surat
perjanjian pertunangan
Duit Rp 100.000,-
Andri bahalai isa
Inun sa kami enei iti na tulis
dahulu hang surat perjanjian
pertunangan.
Uang sejumlah Rp
100.000,-
Kain bahalai satu lembar
Apa yang kami bawa ini
ditulis dulu di surat
perjanjian pertunangan.
(NAA- STA/T.44)
5) Takam hue dulu surat
perjanjian tunangan ina
Kita isi dulu surat
perjanjian pertunangan
73
sesuai adat ini sesuai adat
(NAA- STA/T.45)
Data di atas merepresentasikan kesepakatan dalam
pengisian surat perjanjian. Surat perjanjian tersebut telah
dipersiapkan oleh usbah calon mempelai perempuan. Surat
tersebut berisi (1) bukti peminangan, (2) biaya pernikahan,
(3) waktu dan tempat pelaksanaan, dan (4) sanksi atau denda
jika membatalkan pernikahan. Pesan ideologi yang
disampaikan adalah (1) adanya mufakat untuk mengisi surat
perjanjian pertunangan, (2) siap menerima resiko jika
dikemudian hari tidak memenuhi perjanjian yang telah
disepakati. Ucapan Takam hue dulu surat perjanjian tunangan
ina sesuai adat disampaikan ketika mengisi surat perjanjian
pertunangan. Surat perjanjian menjelaskan hal-hal yang telah
disepakati sebagai bukti pertunangan. Tujuan
disampaikannya anjuran pengisian surat perjanjian ini
adalah agar tidak ada kesalahpahaman atau pengingkaran di
masa mendatang.
3.4 Resolusi
Resolusi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap adu pamupuh adalah penandatangan
surat perjanjian pertunangan dan penyerahan hantaran
terdiri atas (1) menandatangani surat perjanjian pertunangan,
(2) memohon izin menyerahkan hantaran (bana), dan (3)
menyerahkan dan menerima bana.
3.4.1 Menandatangani Surat Perjanjian Pertunangan
Penandatangan surat perjanjian adalah bentuk
kesepakatan setelah surat perjanjian pertunangan terisi. Hal
ini tampak pada data berikut.
74
1) Sasuai kasapakatan teken
saksi-saksi.
Sesuai kesepatakan. Tanda
tangan saksi-saksi.
(NAA- STA/T.46)
2) Saksi silakan teken Saksi silakan tanda tangan
Usbah teken Usbah tanda tangan
(NAA- STA/T.47)
3) Teken saksi-saksi Tanda tangan saksi-saksi
(NAA- STA/T.48)
Data tersebut merepresentasikan persetujuan kedua
belah pihak, baik usbah mempelai laki-laki maupun usbah
mempelai perempuan. Pesan ideologi yang disampaikan
adalah (1) surat perjanjian sah jika sudah ditandatangani dan
(2) semua yang bertanda tangan bertanggung jawab terhadap
isi surat perjanjian. Ucapan teken saksi-saksi diucapkan ketika
penandatanganan surat perjanjian dilakukan. Dengan adanya
teken atau tanda tangan yang disertai para saksi, perjanjian
yang dilakukan akan terjaga keabsahannya.
3.4.2 Memohon Izin Menyerahkan Hantaran (Bana)
Aktivitas memohon izin menyerahkan bana dilakukan
oleh usbah mempelai laki-laki. Aktivitas tampak pada data
berikut.
1) Iti sasarahan haut kami eney.
Kami laku ijin usbah awe sa
manariama.
Ini seserahan sudah kami
bawa.
Kami minta izin usbah
mana yang menerima.
(NAA- STA/T.49)
2) Andrau ina kami mohon ijin
pakai manyarah bana
Hari ini kami mohon izin
untuk menyerahkan bana
(NAA- STA/T.50)
75
Data di atas merepresentasikan pihak mempelai laki-
laki memohon izin menyerahkan bana sebagai tanda
pemenuhan hukum adat pada tahap adu pamupuh. Pesan
ideologi yang disampaikan adalah sebelum menyerahkan
sesuatu hendaklah izin sebagai etika agar pihak yang
menerima bisa mempersiapkan diri. Ucapan permohonan
izin menyerahkan bana dilakukan usbah mempelai laki-laki.
Hal ini dilakukan dalam upaya pemenuhan hukum adat.
Hukum adat mengharuskan pihak mempelai laki-laki
menyerahkan bana kepada pihak mempelai perempuan.
Penyerahan bana dengan izin terlebih dahulu, merupakan
bukti adanya sikap sopan dan santun.
3.4.3 Menyerahkan dan Menerima Hantaran (Bana)
Kegiatan menyerahkan dan menerima bana dapat
dilihat pada data berikut.
1) Usbah isa awe sa narime Usbah mana yang menerima
(NAA- STA/T.51)
2) Kami sarah bana ina sesuai
andri kesepakatan huang
surat perjanjian tunangan
Kami serahkan bana ini
sesuai dengan kesepakatan
dalam surat perjanjian
pertunangan
Bahalai, duit, seperangkat
pama haut natarime
sebagai pemenuhan hukum
adat
Bahalai, uang tunai,
seperangkat pakaian sudah
diterima sebagai tanda
pemenuhan hukum adat
(NAA- STA/T.52)
Data di atas menunjukkan bahwa penyerahan bana
sesuai kesepakatan yang tertuang dalam surat perjanjian
pertunangan. Bana diserahkan oleh usbah mempelai laki-laki
76
kepada mempelai perempuan sebagai wujud tanggung
jawab suami terhadap pemenuhan keperluan isteri dan
keluarganya kelak. Seorang isteri berhak memiliki segala
harta benda yang ada dan berhak mendapatkan penghasilan
dari suaminya (Dodge, 2004:240). Ucapan kami sarah bana
disampaikan ketika kedua usbah melakukan serah terima
bana (hantaran). Bana adalah hak pihak mempelai perempuan.
Penyerahan bana merupakan pemenuhan hukum adat yang
harus dilakukan.
Bana berisi bahalai, uang tunai, seperangkat kecantikan,
dan seperangkat pakaian. Berdasarkan wawancara peneliti
dengan beberapa informan, bana atau hantaran ini mengandung
ideologi budaya. Bahalai merupakan pemberian atau
pembayaran adat kepada orang tua mempelai perempuan.
Seperangkat kecantikan merupakan pembayaran adat kepada
pihak mempelai perempuan, yang kemudian dibagi-bagikan
kepada saudara perempuan. Hal tersebut mengandung
ideologi budaya, bahwa mempelai laki-laki tidak hanya terbatas
memperhatikan isterinya saja, tetapi juga harus memperhatikan
keluarga dari isterinya. Uang adalah pembayaran adat yang
menjadi milik mempelai perempuan. Hal ini menjadi tolak
ukur sah tidaknya perkawinan (Dodge, 2004:235). Jumlah uang
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam
surat perjanjian pertunangan.
C. Struktur Narasi Tahap Piadu
Tahap piadu merupakan aktivitas pengantin laki-laki
dengan diantar atau diarak oleh keluarga berangkat menuju
ke rumah pengantin perempuan. Aruh adat perkawinan
masyarakat Dayak Maanyan pada tahap piadu memiliki
struktur narasi berikut, yakni: eksposisi, komplikasi, klimaks,
resolusi.
77
3.1 Eksposisi
Eksposisi pada aruh adat perkawinan masyarakat Dayak
Maanyan tahap piadu adalah upacara natas banyangterdiri atas
(1) menuntun mempelai laki-laki menuju lawang skiping (pintu
gerbang), (2) berhenti di depan lawang skiping (pintu gerbang),
(3) memohon izin melewati lawang skiping (pintu gerbang), (4)
menuntun mempelai laki-laki memasuki rumah mempelai
perempuan, dan (5) menuntun mempelai laki-laki ke pelaminan
(kursi adat).
3.1.1 Menuntun Mempelai Laki-Laki Menuju Lawang
Skiping (Pintu Gerbang)
Mempelai laki-laki dituntun menuju lawang skiping
dengan diikuti rombongan keluarga dan balian bawo (balian
laki-laki). Dengan iringan alunan bunyi dan nyanyian balian
rombongan berjalan menuju lawang skiping. Nyanyian balian
dapat dilihat dari data berikut.
1) Tuu siang lengan
Aku nawu iri santabeen
Tau tatui leut
Suai wuhur lagi
sumangaten
Luan santabeen
Ima naun padarumung
rama
Lagi sumangaten ni ma itai
iri kawai wahai
Lagi santabeen ima datu iri
telang tuha
Lagi sumangaten ni ma
lamungayan kesai lawi
Luan papat barat kami
Dengan lantunan suara
Aku ucapkan salam
hormat
Bisa mengalunkan lagu
Bernyanyi juga bernyanyi
Maka salam hormat
diucapkan
Pada semua orang
banyak yang tumpah
ruah
Juga bernyanyi untuk
semua orang pada
umumnya
Juga salam hormat pada
orang yang lanjut usia
78
ngundrei iri santabeen
Lagi piduraya kami
ngundrei iri sumangaten
Hampe isumaden kami
luang luwung
Hampe sumadia kami
nguntet iwuleleu tuan
Puang daya uhu kami iri
ipapayung tingi
Ila ngahung panyang kami
ngali iri buhan laya
Ila daya kami iri uras anak
kasanian
Ila kami rata elah anak
gintur seni tari
Luan siang lengan
Kami batarutu unsung
Luan tatui leut
Dawi watu Ineh Manaw
Lehat.
Dan bernyanyi pada
orang tua yang sudah
ubanan
Maka kami menguraikan
salam hormat
Juga menguraikannya
dengan nyanyian
Sampai yang hadir dalam
acara ini masuk ke rumah
Dan kami siap sedia
mengantar untuk
berkumpul
Bukan karena hebat kami
ini berpayung tinggi
Kami menjemput orang
banyak di teras rumah
Karena kami semua anak
kesenian
Maka dengan alunan
suara
Kami menjelaskan tujuan
Dengan menyanyikan
lagu
Demi batu Ibu Manaw
Lehat
(NAA-STP/R.53)
Data di atas memperlihatkan bahwa mempelai laki-laki
diperlakukan bagaikan raja sehari. Mempelai laki-laki
tersebut diantarkan rombongan menuju lawang skiping
sebagai perlambang pintu menuju istana dan disambut oleh
balian dadas (balian perempuan). Hal ini merupakan
gambaran seorang suami dalam menjalankan aktivitasnya
79
selalu berdoa. Pada kata Dawi watu Ineh Manaw Lehat
‘Demi batu Ibu Manaw Lehat’. Ini menunjukkan hubungan
yang erat antara manusia dan para ilah tidak pernah
terputus. Di samping itu, pada saat memasuki lawang skiping
mempelai laki-laki diiringi tarian dari balian. Ini
melambangkan bahwa dalam menjalankan tugasnya nanti
seorang pemimpin tidak sendirian. Ia akan didampingi,
dibantu, dan diawasi oleh orang di sekitarnya. Aktivitas
melangkah perlahan mempelai laki-laki menggambarkan
kehati-hatian dan kesabaran dalam melakukan segala
sesuatu. Ideologi yang tertuang adalah: 1) raja dalam
menjalankan tugasnya perlu pengawalan dan penjagaan
ketat agar terhindar dari berbagai ancaman, rintangan, dan
gangguan dari pihak luar; dan 2) menggambarkan bahwa
mempelai laki-laki berasal dari status sosial dan ekonomi
menengah ke atas. Ucapan Aku nawu iri santabeen yang
berarti aku ucapkan salam hormat disampaikan oleh balian
ketika bernyanyi. Iringan nyanyian juga dilakukan sambil
menuntun mempelai laki-laki melewati pintu gerbang.
Nyanyian balian dilantunkan sebagai ungkapan suka cita
penuh penghormatan kepada semua pihak yang turut hadir
dalam acara kedua mempelai.
3.1.2 Berhenti di Depan Lawang Skiping (Pintu Gerbang)
Aktivitas berhenti di depan lawang skiping (pintu
gerbang) dilakukan oleh mempelai laki-laki. Kedatangan
calon mempelai laki-laki disambut dengan pantan yang
terbuat dari tali dan harus diputuskan. Setelah tali mampu
diputuskan, berarti penghalang telah tiada. Tuturan saat
berhenti di depan lawang skiping tampak pada data berikut.
1) Hee, luwan naan siang lengan aku
anak nanyu isa tutui leut bunsu
lungai erai
Hee, maka ada lantunan
suara sendirian
nyanyian lagu si bungsu
80
siang lengan erang kapungitup
matu
tutui leut rueh kapunarang raun
here datu hawi lepuh ia ilalayang
munrik wua munai maitunti
miharaja jaki ia
ilalayang muban
wua munai batarutuh
nunti layu teka umbu parung
muwa lelai teka lean dalam
ngenei amas pamukayan
uweng mirah panganruten
luwan saragapan kanrung hi
Bintang
andi wawei
sanra hayan babat tumpa huli
dayang
sendirian
lantunan lagu hanya
sekejap mata
nyanyian lagu dua
kedipan
mereka datu datang
bertanya
sesepuh datang
menanyakan
ingin meminang gadis
di atas mahligai
menanyakan putri dari
ruang pingitan
membawa emas dan
pakaian
maka bersiaplah
berpakaian
adik gadis manis
(NAA-STP/R.54)
Data di atas merepresentasikan seorang suami siap
berkorban apa saja untuk isteri tercinta. Dengan segala
rintangan yang ada di hadapan harus mampu diselesaikan
agar mendapatkan kebahagiaan yang dicita-citakan. Ideologi
yang tergambar adalah (1) rela berkorban demi kebaikan
bersama dan (2) siap menghadapi cobaan yang datang.
Ucapan here datu hawi lepuh ia ilalayangmunrikwua munai
maitunti miharaja jaki iailalayang muban ‘sesepuh datang
menanyakan ingin meminang gadis di atas mahligai’
bertujuan untuk memberitahukan kedatangan rombongan
mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan.
Pemberitahuan dilakukan sebelum memasuki pintu gerbang
dengan kesiapan melalui apapun rintangan yang
menghadang. Hal ini bertujuan agar pihak mempelai
81
perempuan bersiap-siap menyambut kedatangan pihak
mempelai laki-laki yang telah bersungguh-sungguh datang.
3.1.3 Memohon Izin Melewati Lawang Skiping (Pintu
Gerbang)
Aktivitas memohon izin melewati lawang skiping
dilakukan oleh balian bawo (balian laki-laki) yang merupakan
perwakilan dari pihak mempelai laki-laki. Hal ini harus
dilakukan sebelum memasuki rumah mempelai perempuan.
Tuturan tampak pada data berikut.
hee luwan lagi naan ina
herau
kawahai ina wuwa
pakai ngapaat paradu unru
ijar iraraya wulan
here hiang umbu langit
here unai hila anrau
tumbang kawi kawan lalan
here nanyu kuta lihe
anru nganyan ruang
rampan
taraun nikamisi
tumbas para nitabala
nerau diwata teka pusuk
sandi
sanranum teka pakun
dangka
tawua ansiwau
simangerang bungai
tanggui
nerau here datun kariau
miharaja lulang undui
tawua rijumakaa
hee maka lagi ada yang
dipanggil
banyak lagi yang diundang
untuk meneguhkan hari
perkawinan
mematri bulan pernikahan
mereka hiang penghuni
langit
mereka unai penguasa di hari
siang
tumbang pohon rumbia
lumbang kiri kanan jalan
mereka nanyu kutalihe
yang menghuni ruang rampan
ambil daun kamisi
penuh alas peti mati
memanggil diwata dari
puncak candi
penguasa dari daerah
dangkal
petik buah rambutan
penuh di tanggui
82
tumbas tutup tapinangaan
nerau kapupadu rasasa
luluhan niramengan
memanggil para datu kariau
maharaja hutan belantara
petik buah jumaka
penuh di tutup panginangan
memanggil kawanan jin
rombongan raksasa
(NAA-STP/R.55)
Ucapan memohon izin disampaikan oleh balian laki-
laki. Dengan menyebutkan beberapa penghuni alam semesta
yang mereka yakini, balian memohon izin untuk melewati
pintu gerbang. Permohonan izin ini bertujuan sebagai
ungkapan adanya sopan santun sebelum memasuki rumah
mempelai perempuan.
Data di atas menunjukkan etika sebelum memasuki
rumah mempelai perempuan. Izin kepada tuan rumah
dilakukan sebagai ucapan permisi dan penghormatan karena
sudah di sambut. Ideologi yang disampaikan adalah bahwa
tidak boleh sembarangan ketika ingin bertamu, tetapi harus
ada izin dari pemiliknya. Jika tamu itu datang dengan
memohon izin, berarti datang dengan tujuan yang baik,
bersikap secara baik, dan melaksanakan ketentuan yang
berlaku di tempat di mana ia bertamu. Dengan demikian
dapat dipastikan tamu tersebut akan diperlakukan secara
baik. Meskipun rombongan mempelai laki-laki sebagai tamu
kehormatan, mereka bukan bebas dari pengawasan dan
pengamatan. Sebelum masuk mereka harus tetap melewati
berbagai persyaratan adat yang berlaku. Rombongan
disambut dengan pantan yang terbuat dari tali dan harus
diputuskan. Setelah tali mampu diputuskan, berarti
penghalang telah tiada. Selain itu, keluarga calon mempelai
perempuan menaburkan beras kuning ke segala arah dengan
maksud agar Ranying Hatalla turut serta menyaksikan
83
upacara yang sedang berlangsung. Pesan ideologi yang
terkandung pada data adalah 1) tamu (mempelai laki-laki
beserta rombongan) akan diperlakukan secara wajar jika
memenuhi segala ketentuan adat yang berlaku dan 2)
penerima tamu (keluarga mempelai perempuan menaburkan
beras kuning melambangkan bahwa mereka menerima para
tamu dengan senang hati. Mereka memperhatikan tamu
secara saksama, menyapanya secara ramah,
memperlakukannya dengan sopan santun.
3.1.4 Menuntun Mempelai Laki-Laki Memasuki Rumah
Mempelai Perempuan
Aktivitas menuntun mempelai laki-laki memasuki
rumah mempelai perempuan dilakukan dengan berjalan
secara perlahan diiringi balian yang sedang menari dan
rombongan keluarga. Aktivitas tersebut tampak pada data
berikut.
hee luwan samaden here padu
mamantiran
samudia umbu kandang haji
samaden witu ruang luwu
samudia iwu lelun tuah
sipumpun kawan rumbung
rama
samuadia ipah bawai wahai
hawi jawa nyarang runggu
gurun jaku mutar haji
isa here inaherau ruan jatuh
here hawi
rueh here wuah wuwa
balah riwu naun jaku
hawi salagi manyanrengei
jaku lungai manyansilik
hee maka hadir para mantir
siap sedia para penghulu
siap sedia di dalam rumah
hadir dalam ruangan
berkumpul orang banyak
masyarakat yang tumpah
ruah
datang menyerang sesepuh
desa
musuh datang menghalau
tokoh masyarakat
satu yang dipanggil seratus
yang datang
dua yang diundang
berduyun-duyun yang
84
ia ilalayang muban
wua munai batarutuh
kawan tuntung pinukia
sinruk hayung inulanen
datang
datang untuk
mendengarkan
datang laki-laki
menyaksikan
anak mengajukan
pertanyaan
buah bunai mohon
penjelasan
apa kabar tujuan perjalanan
maksud datang
mengayunkan kaki
(NAA-STP/R.56)
Ucapan samaden here padu mamantiran samudia umbu
kandang haji samaden witu ruang luwu samudia iwu lelun tuah
‘hadir para mantir siap sedia para penghulu siap sedia di dalam
rumah hadir dalam ruangan berkumpul orang banyak'
disampaikan oleh balian dengan tujuan memberitahukan
keadaan yang riuh menyambut kedatangan mempelai laki-
laki. Banyaknya orang yang menyambut merupakan suatu
penghormatan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki.
Selain itu, banyaknya orang yang datang tidak lain karena
ingin menyaksikan acara perkawinan. Balian juga
mengucapkan pertanyaan yang menanyakan tujuan
kedatangan mempelai laki-laki.
Data di atas merepresentasikan kebanggaan karena
diantar dan disambut secara adat. Bersamaan dengan
pertunjukkan tarian calon mempelai laki-laki diantar
beberapa balian bawo (balian laki-laki) dan dijemput oleh
beberapa balian dadas (balian perempuan). Pada saat berjalan
perlahan semua tamu memandang dan menyambut
kehadiran sang raja. Ideologi yang disampaikan adalah 1)
85
penuh kehati-hatian dalam melangkah dan 2) tamu harus
diperlakukan secara hormat.
3.1.5 Menuntun Mempelai Laki-Laki ke Pelaminan (Kursi
Adat)
Pada tahap ini mempelai laki-laki dituntun ke pelaminan
oleh usbah, orang tua, dan beberapa balian bawo (balian laki-laki)
serta beberapa balian dadas (balian perempuan). Aktivitas
tersebut dapat dilihat pada data berikut.
hee luwan samaden here padu mamantiran samudia umbu kandang haji samaden witu ruang luwu samudia iwu lelun tuah sipumpun kawan rumbung rama samuadia ipah bawai wahai hawi jawa nyarang runggu gurun jaku mutar haji isa here inaherau ruan jatuh here hawi rueh here wuah wuwa balah riwu naun jaku hawi salagi manyanrengei jaku lungai manyansilik ia ilalayang muban wua munai batarutuh kawan tuntung pinukia sinruk hayung inulanen hee luwan guruk siung luau nguka wua tawuluh tuku erang nanyung takam mna sigara pulau nyaing uyat binuleku luwan samaden witu ruang luwu
hee maka berbondong burung tiung dari rawa-rawa memakan buah tabulus (kalangkala) mengayun kaki ke kepulauan mengayun otot dan melangkah maka hadir di ruang rumah siap sedia dalam ruangan ada jajaran gunung bagai langit mendung menyongsong batu bagai hari gelap menjulang gunung bagai gumpalan awan menghadapi batu bagai hujan yang lebat menjulang bagaikan gunung menjulang bagai bukit berbaris bertumpuk bagai bibit padi bertumpuk bagai bibit
86
samudia iwu lelun tuah naan gituk gunung kala langit lungen nunsung watu nimbang unru dudup aminggut kala gunung kulun amirun nimbang watu inden aminggut kala pulau wini amirun nimbang halun pangkan aminggut here padu mamantiran amirun ambun kandang haji kawan lawi lula tau nimbang utang taruk lengai pandai ngati baris lawi lula tau mamureteh taruk langai pandai nawu lengan kawan nanyu bataatumpang pasur lungai basaruban andak
unggul berbondong-bondong para mantir berjejer para penghulu segala ujung lidah bisa menimbang hutang tidak pandai memutuskan sesepuh berpakaian kain pusaka mengenakan lawung
(NAA-STP/R.57)
Ucapan ketika menuntun mempelai laki-laki ke
pelaminan disampaikan oleh balian. Ucapan sipumpun kawan
rumbung rama samuadia ipah bawai wahai ‘mengayun kaki ke
kepulauanmengayun otot dan melangkah’ diisi dengan
ungkapan yang menyampaikan usaha langkah demi langkah
kaki mempelai laki-laki menuju pelaminan. Ungkapan
tersebut disampaikan dengan perumpamaan yang penuh
makna.
Data di atas merepresentasikan seorang raja
menggunakan lawung yang siap duduk di kursi kerajaan
yang disebut pelaminan. Pelaminan berhias indah diletakkan
di dalam dan di luar rumah mempelai perempuan. Mempelai
laki-laki duduk lebih tinggi daripada tamu lainnya. Ia
87
bagaikan pemimpin pada saat itu yang harus diagungkan
dan dihormati para tamu. Ideologi yang diungkapkan adalah
(1) memberikan kesempatan istirahat sebentar untuk
mempelai laki-laki karena telah melakukan perjalanan jauh
dan (2) menyaksikan dan mendengarkan secara saksama dari
atas pembicaraan para usbah dan penghulu adat.
3.2 Komplikasi
Komplikasi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap piadu adalah persiapan pemenuhan
hukum adat yakni mempersiapkan surat perjanjian perkawinan.
3.2.1 Menyiapkan Surat Perjanjian Kawin
Menyiapkan surat perjanjian kawin ini dilakukan oleh
usbah dari pihak perempuan dihadapan penghulu adat. Hal
ini tampak pada data berikut.
iri kawan mangkok haut na
sediakan tapi tuu ni mahi isa
pun sa ngalap, munkin naan
pihak sa kebaratan. Bulu ina
naan tuak panakeh hayo
naun, naun sa here wali
usbah! Kami pada haut
manyiapkan surat perjanjian
piadu
banyak mangkok sudah
disediakan,tetapi ternyata
tidak satu pun yang
mengambil.Mungkin ada
pihak yang keberatan lalu ini
ada tuak panakeh.Ayo
kaliansebagai usbah!Kami
sudah menyiapkan surat
perjanjian perkawinan
(NAA-STP/R.58)
Data di atas merepresentasikan bahwa ada surat
perjanjian perkawinan yang harus disiapkan. Ucapan Kami
pada haut manyiapkan surat perjanjian piadu pertanda bahwa
ketersediaan surat perjanjian ini penting untuk siap diisi.
88
3.3 Klimaks
Klimaks pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap piadu adalah upacara pemenuhan
hukum adat terdiri atas (1) memohon izin memulai acara
pemenuhan hukum adat; (2) mengisi surat perjanjian kawin;
(3) menandatangani surat perjanjian kawin.
3.3.1 Memohon Izin Memulai Acara Pemenuhan Hukum
Adat
Permohonan izin untuk memulai acara pemenuhan
hukum adat ini dilakukan oleh para usbah yang ditandai
dengan meminum tuak yang sudah disediakan keluarga
pihak mempelai perempuan. Aktivitas tersebut dapat dilihat
pada data berikut.
1) Ari ih! takam haut naayak
daya anak panukuan ru ni
nguut jari inun. Arti ni
nguut iru takam pembukaan
paner secara hukum adat.
Ayo! kita sudah diminta
dari pihak laki-laki untuk
meminum tuak. Arti dari
minum tuak ini sebagai
pembuka pembicaraan
hukum adat.
(NAA-STP/R.59)
Ucapan Ari ih! takam haut naayak daya anak panukuan ru
ni nguut jari inun ‘Ayo! kita sudah diminta dari pihak laki-
laki untuk meminum tuak’iniberbentuk ajakan untuk
meminum tuak sebagai simbol memohon izin memulai acara
pemenuhan hukum adat yang dilakukan oleh para usbah.
Para usbah mengajak meminum tuak yang telah disediakan
pihak keluarga mempelai perempuan dengan tujuan agar
mendapatkan izin memulai acara hukum adat.
Data di atas merepresentasikan cara usbah untuk
membuka pembicaraan pemenuhan hukum adat. Semua
89
yang hadir di ruangan rumah mempelai perempuan juga
disuguhkan minuman. Ideologi yang disampaikan adalah (1)
saling menghormati, yaitu keluarga pihak mempelai
perempuan menyiapkan hidangan untuk keluarga pihak
mempelai laki-laki dan (2) segala sesuatu dimulai bersama
agar terjadi kesepakatan nantinya.
3.3.2 Mengisi Surat Perjanjian Kawin
Aktivitas mengisi surat perjanjian kawin merupakan
lanjutan dari pengisian surat perjanjian pertunangan pada saat
adu pamupuh. Aktivitas ini memerlukan waktu beberapa jam
sehingga mendapatkan kesepakatan kedua belah pihak.
Tuturan pada saat itu dapat dilihat pada data berikut.
1) Yari hindra lagi kami laku
turus tuan pamatang usbah
mambai nangkah takam
mutus nye pamayaran
hukum adat isa iru hukum
pinta takam iru ma rueh ina
haut ha iru haut na pakat ni
jari bulu iru huni nasarah
ma jajaran hukum sampilan
adat ari iru ma mutus jari
amun ka ina hayo mamai ma
amau lewu nadap manyaksi
ni ru iti pupuh pinta
manurut hukum adat jari
laku pinta andri, mantir,
panghulu, pambakal, wali
usbah dan kedua belah pihak.
Makin maeh ni amun sa lain
ni uma mamai. Jari hindra
lagi mohon hormat kami ,
tarutama hang ina, mantir,
panghulu, wali usbah, ada
Pemenuhan hukum adat ini
dilaksanakan agar kita bisa
melihat apa yang sudah di
setujui. Apabila itu sudah
diserahkan ke jajaran
hukum adat, kita
memutuskan bila seperti ini
ayo ke dalam rumah
menghadap dan
menyaksikan siapa yang
meminta. Menurut adat jadi
kita meminta dari mantir,
penghulu, pambakal, wali
usbah, dan kedua belah
pihak. Alangkah lebih baik
apabila yang lain ikut
menyaksikannya. Sekali
lagi mohon hormat kami
meminta yang terutama
mantir, kepala adat, kepala
desa, dan usbah meminta
90
hampe puang uweng nadap
jari kairu hingka kami. jangan sampai tidak
menyaksikan.
(NAA-STP/R.60)
Ucapan yang disampaikan dalam rangka pengisian
surat perjanjian kawin ini untuk menegaskan kembali
kesepakatan yang telah disetujui. Dalam ucapan tersebut
disampaikan permintaan sekaligus pengingat kepada
beberapa pihak seperti mantir, penghulu adat, pambakal,
usbah, dan kepala desa. Semua pihak tersebut merupakan
pihak-pihak yang memiliki kepentingan utama untuk
menyaksikan pengisian surat perjanjian kawin ini.
Data di atas merepresentasikan seluruh keluarga hadir
menyaksikan pengisian surat perjanjian pertunangan. Semua
yang hadir antara lain: usbah, mantir, penghulu adat,
pambakal, dan orang tua kedua belah pihak. Ideologi yang
disampaikan adalah segala sesuatu harus dibicarakan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal
tersebut menggambarkan bahwa suami isteri nantinya jika
ada masalah harus diselesaikan bersama dengan cara duduk
bersama.
Gambar 3.1 Surat Perjanjian Kawin
91
3.3.3 Menandatangani Surat Perjanjian Kawin
Proses penandatanganan surat perjanjian kawin
dilakukan oleh kedua mempelai, dengan dihadiri saksi dari
kedua belah pihak, ahli waris, dan diketahui oleh Majelis
GKE Warukin, Kepala Desa Warukin, dan Lembaga Adat
Dayak Maanyan. Aktivitas tersebut dapat dilihat pada data
berikut.
Saksi silakan teken
Usbah teken
Saksi silakan tanda tangan
Usbah tanda tangan
(NAA-STP/R.61)
Ucapan teken dimaknai sebagai tanda tangan yang
harus dibubuhkan oleh beberapa pihak yang bersangkutan.
Pembubuhan tanda tangan ini menunjukkan telah
disepakatinya perjanjian antara kedua belah pihak secara sah.
Data di atas merepresentasikan kesepakatan dari kedua
belah pihak, yang berarti disahkannya isi dari surat perjanjian
kawin. Inti surat tersebut bertujuan untuk menguatkan dan
meneguhkan perjanjian kawin, keikutsertaan pihak I dan pihak
II beserta ahli waris dan saksi yang masing-masing akan
membubuhkan tanda tangan di hadapan Majelis Jemaat GKE
Warukin, Kepada Desa Warukin, dan Lembaga Adat Dayak
Maanyan Warukin. Ideologi yang disampaikan adalah
tanggung jawab bersama demi kebahagiaan kedua
mempelai.
3.4 Resolusi
Resolusi pada aruh adat perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan tahap piadu adalah upacara wurung jue
terdiri atas (1) mencari mempelai perempuan; (2) menuntun
mempelai perempuan keluar dari kamar; (3)
mempertemukan mempelai perempuan dengan mempelai
92
laki-laki; (4) mempelai laki-laki dan mempelai perempuan
bersanding (duduk) di pelaminan (kursi adat); (5)
menyerahkan uang (turus tajak); dan (6) makan bersama
(miwit pangantin).
3.4.1 Mencari Mempelai Perempuan
Aktivitas mencari mempelai perempuan termasuk
dalam acara wurung jue. Aktivitas ini dilakukan oleh balian
atas kesepakatan dengan keluarga pihak mempelai
perempuan. Balian ditugaskan untuk mencari berjumlah 3
atau 5 perempuan untuk dijadikan pasangan mempelai laki-
laki. Aktivitas tersebut tampak pada data berikut.
1) hee luwan here wadian ingar
balandut nampuk gambung
hi ingar wulan welum
nampuk gambung wahat jari
hi ingar parimata
nampuk gambung batu
lanang
wadian tekar
balandut gansa walung
lengan kala ngurak papan
bujanga
uyu rasa nguke limar
barimana
wadian sigantara
bujang tingka raan langit
wadian inrawanan
bujang landu kahiangan
wadian limbak limaku
teka dengku murung tahik
wadian teka itik watu
balandut teka hansa lili
hee maka ada para wadian
ingar
penari yang bersunting
rambut
si ingar wulan welum
yang bersunting di hari
cerah
si ingar berhias permata
bersunting manik akik
wadian tekar penari gelang
perunggu
suara bagai menebar papan
uyu rasa nguke
limar barimana
wadian siagantara
putera dari cabang langit
wadian inrawanan
pria lemah lembut
memohon doa
wadian limbak limaku
93
wadian teka patukangan
balandut teka sungai haji
ngenei ranu wukang wukeh
wayuh rirung merek mendu
muja unru garinsingan
ngantu wulan handak lala
(NAA-STP/R.62)
dari tanjung tepi samudera
wadian dari puncak gunung
batu
penari dari angsa bukit
wadian dari patukangan
penari dari sungai haji
yang membawa air suci
air bersih tapung tawar
memuja siang indah
gemerincing menyembah
bulan terang benderang
2) Kulik nu dulu mapulak
artini insing kami sapertama
iru neen kajut halus ang ne,
amun na eney ma pasar
Tanjung kira ku waway
penah pasar. Tapi ina lagi
insing ku, ka awe amun sa
siri senyum dulu ha ari
hanye sa puang wawey
hang pulak na jue sa
naantara nu malem ina.
Coba kamu lihat dulu ke
sebelah tadi yang kami
bawa pertama tadi terlalu
kecil. Mungkin apabila
dibawa ke pasar Tanjung
bisa hilang di tengah pasar.
Tetapi sekarang ini aku
membawakan wanita yang
lain. Apa mungkin ini
orang yang sebenarnya
kamu cari, kalau bukan
saya akan bertanya dengan
wanita ini dulu dan
ternyata bukan juga
orangnya yang kamu mau.
(NAA-STP/R.63)
Ucapan Tapi ina lagi insing ku, ka awe amun sa siri
senyum dulu ha ari hanye sa puang wawey ’Tetapi sekarang ini
aku membawakan wanita yang lain’ merupakan usaha
pencarian mempelai perempuan yang dilakukan oleh balian
94
dengan memilih beberapa perempuan dari berbagai usia.
Balian melalui ucapannya memastikan kebenaran hasil
pencariannya dengan memberikan pertanyaan kepada
mempelai laki-laki dan perempuan yang didapatkannya.
Data di atas merepresentasikan sulitnya mencari
pasangan hidup. Balian bawo dan balian dadas membawa
perempuan ke hadapan mempelai laki-laki. Ada 3 atau 5
sesuai kesepakatan dengan keluarga mempelai perempuan.
Jika 2 orang perempuan didekatkan kepada mempelai laki-
laki kemudian jawaban dari mempelai laki-laki adalah lain
‘salah’, maka balian dadas akan mencari 1 orang mempelai
perempuan yang sebenarnya di dalam kamar. Ideologi yang
disampaikan adalah 1) setia dengan pasangan walaupun
banyak perempuan yang memiliki kelebihan daripada
pasangan kita dan 2) angka ganjil, yaitu 3 atau 5 merupakan
sifat manusia yang tidak pernah sempurna, karena menurut
kayakinan masyarakat Dayak Maanyan yang menggenapkan
(yang sempurna) hanya Tuhan.
3.4.2 Menuntun Mempelai Perempuan Keluar dari Kamar
Aktivitas menuntun mempelai perempuan keluar dari
kamar dilakukan oleh balian dadas dan balian bawo. Diiringi
dengan nyanyian balian, mempelai perempuan berjalan
perlahan mulai dari dalam kamar sampai keluar rumah
menuju mempelai laki-laki. Aktivitas tersebut tampak pada
data berikut.
1) Sagar uneng pangantin maharung Wadian ngenei mangkuk junyung Naan weah, sumu, saramin Wadian nanya nginsai Ngenei wunrung pakai
Untuk tempat bersanding pengantin Balian membawa mangkuk dan lilin Ada beras, lilin, cermin Balian menari Sambi1 membawa janur
95
nampaleng Wadian balit ngantaraa sa na tampaaleng Isa upu anri wawei ngenei ma amau agung Wadian nelang nginsai dan numet
untuk menjerat Balian mencari-cari yang akan dijerat Satu pria dan satu perempuan
(NAA-STP/R.64)
2) ita itik nanang erung ruang luwu hansa nete iwu lelun tuah nyihalu anak wurung siung nyingkahung bunsu wurung jue kilang antah liung ngadungan kinte tenung iwu lelun tuah Isa upu anri wawei enei wadian maharung hang agung Sangai ulun balalu eauni (NAA-STP/R.65)
Mencari-cari di dalam rumah Bejalan-jalan di dalam balai Ingin mencari anak burung tiung Untuk menemui anak burung merak Menenung dalam rumah. Satu pria dan satu wanita dibawa Balian duduk di atas gong Sahut orang banyak
3) huan nanturungan ilai hadunganan manik ngahu nanumukan angkuh inu haruntaian dintung-didit huan nanturungan riang nate peteh ngahu nanumukan sangkar intem luwan laku uka pasung teka watang tenga bingkang kilit teka pakun munuk ware kilang antah liung pigadungan kinte tenung iwu tane uwur
Belum rata kelihatannya Untaian manik Tidak tepat rupanya Manik di dalam jelujuran Rotan merah tak rata Rotan hitam belum tepat Meminta dilepas pasungan dari badan Buka lilitan dari diri Baik bertenung di dalam rumah Berkeliling lagi para balian
96
wulu Kaliling lagi kawan wadian
(NAA-STP/R.66)
4) Tuu bahara bana huan lemah iring sakati wuntah ware titik pinyan lagi ma kami nimai jala lawe hampi mepai lunta rui gere upah upi sakahuang ume kadintungan maka limpau kaput hampi awe pilawuan wusi weah hampi human pigguran wungan taun Balalu nampaleng lagi lsa upu anri wawei, enei ma amau agung Sangai ulun lagi (NAA-STP/R.67)
Benar-benar belum sampai dipojokan susah sekali memastikan Kami melunta dengan jala unak Menebar yang berduri Mudah-mudahan kelatau memenuhi lanjung Anak ikan mengisi bakul Kemana lagi menabur beras Kemana lagi jatuhnya Lalu menjerat lagi Satu laki-laki dengan satu perempuan Di bawa di atas gong Di sahut orang lagi
5) Tuu lagi junyang jawe halau hala pamunuan Huan piris wila ramu agung nulus Kikis gantang wente pinuka najam Huan nanturungan ilai jungak anri jauh Huan nanumukan angkuh banyar anri kuin Itawue teung? Tumas para niansiding? Ngakali wurung siung, tarajama suyat maling? Laku tanang tiling nariungan Tarika iwu ile lapeh
Benar-benar lunta masih genjung jurai Rumbai belum dipotong rata Takaran gantang belum kikis rata Belum sejajar Banjar dan Kuin tidak bertentangan Mencari buah terong dalam tangguk Mencari tiung, kena sungat Minta cari keliling Periksa kiri dan kanan Lagi minta lepaskan jerat di badan
97
Lagi uka pasung teka watang tenga Malan ka ayuh jakat here mi amuan tumak Kuminang basikunrung wali Nampan madinei nyiang watang tenga Masinsing natui pakun munuk Madinei teka ape parei Madinei teka hampa lule Masinsih teka hampa lule Dinei pinping nyiang watang tenga Sinsin kapas natui pakun munuk Balulau ngantara asli paangantin Wadian nanrik nanya telu kali kakaliling Balalu nampaaleng pangantin upu anri wawei Riak! Eso silu sinuleneu, pepai bayu binuyangaan Ngelu anak wurung tiung teneng Anak wurung jue Hanriak
Supaya berdiri tegak bagaikan tombak Supaya ringan bangkit berdiri Ringan dari kulit dedak Ringan laksana gabus Ringan seperti lepas membangkit dada Mencari mempelai yang sebenarnya Balian berkeliling dan menari tiga kali Lalu menjerat mempelai laki-laki dan wanita Lagi menyorot dengan sinar lilin Mencari anak burung tiung Anak tiung dan anak merak Dengan suara nyaring
(NAA-STP/R.68)
Ucapan Balulau ngantara asli paangantin‘Mencari
mempelai yang sebenarnya’ Wadian nanrik nanya telu kali
kakaliling ‘Balian berkeliling dan menari tiga kali’ merupakan
usaha penjemputan mempelai perempuan yang dilakukan
oleh balian. Tampak balian dalam proses penjemputan
mempelai perempuan melalui beberapa tahapan yang harus
dilakukan dengan sistematis. Dengan proses penjemputan
yang sudah dilakukan, balian dapat menuntun mempelai
98
perempuan keluar dari kamar untuk melaksanakan proses
selanjutnya.
Data di atas merepresentasikan penjemputan seorang
ratu dari kamar pengantin. Mempelai perempuan tidak akan
keluar dari kamar jika tidak dijemput oleh balian perempuan.
Hal tersebut berarti pemenuhan hukum adat telah disepakati
kedua belah pihak. Mempelai perempuan keluar dari kamar
dan melangkah ke luar ruangan bersama pendampingnya.
Tampak dalam hal ini mempelai perempuan benar-benar
diperlakukan sebagai ratu. Segala gerak-geriknya dituntun
dan didampingi. Pesan yang disampaikan bahwa seorang
isteri dalam menjalankan tugasnya nanti ia tidak bisa berbuat
sewenang-wenang. Ia tidak lepas dari pengawasan
suaminya. Ideologi yang terkandung adalah: 1) setiap
kegiatan yang dilakukan harus sesuai tahapan; dan 2) hindari
melakukan sesuatu tanpa restu dari yang berwenang.
3.4.3 Mempertemukan Mempelai Perempuan dengan
Mempelai Laki-Laki
Aktivitas mempertemukan mempelai perempuan
dengan mempelai laki-laki dilakukan oleh penghulu adat,
orang tua mempelai, dan balian. Aktivitas tersebut tampak
pada data berikut.
hee luwan pakai ngapat
pirandu unru
mijar iraraya wulan
ngapat galung kasituri
mijar kambang wunge
punrak
nampan pampang kala rapat
banung
tabing alang pijar pilu
nampan pampang kala rapat
hee maka dipergunakan
untuk mempersatukan
mematri bulan purnama
raya rapat bagai kembang
kasturi bersatu laksana
bunga pudak supaya tabing
rapat papan perahu
tepi perahu rapat bagaikan
kapal layar
99
galang
tabing alang pijar hura
nampan langgar gansa
ulung kadunungan
batung minggar tane
bumbang suang
susur sanggar surumbayan
panti
langgar gansa batung
minggar
nampan kala luput ayu anri
gagang wunrung
getek tangkai jawu nilu
kala luput ayu anri gagang
mayang
getek tangkai munda lai
kala luput ayu anri gagang
wunge
getek tangkai pangiluwu
nampan buntar kala batang
heiang ranu
luyung ulir ngagang
wunrung
nampan lawi niui kala guris
uri
pusuk pinang alang sudah
getek
lawi niui kala inahiri
pusuk pinang alang miang
ata
supaya rapat bagaikan
patrian gelang
yang dilebur menjadi satu
supaya sejajar hulu anak
sungai
laksana betung minggar
sejajar, serasi
bagai disambung perunggu
dan betung
seperti diukir dengan
tangkai janur
ujungnya rata bagai
potongan sapu lidi
seperti diukir dengan
tangkai mayang
seperti diukur tangkai
bunga
bagaikan dahan kembang
supaya serupa dan serasi
laksana
batang helang ranu
supaya daun nyiur
bagaikan tiang tegak
pucuk pinang seperti
pancang tenggak
pucuk nyiur seperti diukur
pucuk pinang dipotong rata
pucuk nyiur seperti sudah
diayak
pucuk pinang bagai beras
disiang antahnya
(NAA-STP/R.69)
100
Ucapan pakai ngapat pirandu unru mijar iraraya wulan
‘dipergunakan untuk mempersatukan mematri bulan
purnama raya rapat’ merupakan ungkapan-ungkapan
pertemuan ditujukan untuk mempertemukan kedua
mempelai yang dilakukan oleh penghulu adat, orang tua
mempelai, dan balian. Dengan menggunakan beragam
perumpamaan, ketiga pihak yang berhak mempertemukan
ini melantunkan ungkapan yang sarat petuah bermakna
sebagai bekal mengarungi kehidupan berumah tangga.
Data tersebut merepresentasikan pertemuan seorang
raja yang sudah lama menunggu di pelaminan dengan ratu
yang juga telah lama menunggu di kamar. Ideologi yang
disampaikan adalah sesuatu tidak akan sia-sia jika didasari
keseriusan.
3.4.4 Mempelai Laki-Laki dan Perempuan Bersanding di
Pelaminan
Aktivitas mempelai laki-laki dan mempelai perempuan
bersanding di pelaminan merupakan puncak acara piadu.
Aktivitas tersebut tampak pada data berikut.
1) hee luwan iri naan ilau
manrapeten
minyak munai pamijaran
ma luwu jatuh gantang
jari kelam riwu pasu
pakai harapat papan ajung
ranggang
hanharep widai pilu rangat
baya tanelei kawat
taiwung gansa walang
taneei riti
taiwung amas bansir
tanelei janggut unru
hee maka ada minyak
untuk mempersatukan
minyak embun pematri
penuh seratus gantang
untuk merapatkan papan yang
renggang menutup segala yang
retak dengan simpul kawat
lilitan perunggu
lilitan emas imitasi
simpul janggut matahari
lilitan pancaran bulan
101
taiwung jamping wulan
(NAA-STP/R.70)
2) Tuu erang wila sunah
nyumanyiangan lengan
Rueh makis kuai rueh
manutuyan leut
Lagi supan ware aku na
manyumanyiangan lengan
sidap saru
Iri kuai rueh manutuyan leut
Daya siang lengan
Aku yati tuu budu rintung ale
tatui leut
Kuai didi ila dinung ngate
Daya sa puang uhu aku lagi
bagagurung ala mahi naan
Iri kuki bagagawi nyampat
Taati daya mulut tuntur here
puyar kawan hengaw
laminaku
Manaruh wahai kula kawan
Bansa dime kinking iri luai
manutuyan leut
Tuu luan kawan puang itung
aku ngurai santabeen
Ingat-ingat kuki lupa tuu
nyumangaten
Mamunyangan yaru kesai
lawi
Tatap mundrai iri santabeen
Ku ma dara here lubuk lawai
lanyumangaten
Iri ku iru hanye gunur tuntu
Sungguh hanya sekejap
melantunkan suara
Kedua kalinya
menyanyikan lagu
Lebih baik daripada aku
tidak melantunkan suara
Karena aku ini kurang bisa
menyanyikan lagu
Tetapi kali ini akau akan
melantunkannya
Walaupun ada yang
paling pandai namun
tidak ada di sini
Akau menyempatkan diri
bekerja sebelum datang ke
sini
Karena ingin
mengabulkan kehendak
kawan semua
Kira-kira lima jari aku
melantunkan lagu
Sejari kapas aku
menyanyikan lagu
Sungguh aku lupa
menyampaikan salam
hormat
Aku lupa karena asyik
bernyanyi
Dengan bernyanyi
kuhaturkan salam hormat
102
Masih ikule nyantabeen
Ku ma naun pangunraun
jatuh laingat nyumangaten
Uma ngampet malem balah
riwut
Daya kajayaen hanye haut
ngudiyalang langit lalakatuhi
Hanye ngami lipat ma anrau
Tatap nyantabeen
Ku ma suling here iwu hiyang
lanyumangaten
Uma riak yaru rayu rumang
Daya gunung Sumadiwi umu
aku tuu liwat panyang
Daya puang gantang
langsung
Aku tamun iri tundra nakar
inang pansubilu
Buat tumet tuu lanjaga ngiki
Tuu aku nyiang lengan
Daya ngundrei tuu wunge
pesen tatui leut
Kuki daya narung iri kamang
tarung
Tuu ngundrei wunge pesenku
ma anak naun kukalelo
Hang amang tarung
Ku ma bunsu kukakasan
Tuu ada ang maeh-maeh naun
mamai iri gunung rumung
lapiu-piu
Iri nungkeh watu kajujagat
langit
Tuu laku tape naun kawan
kepada orang banyak
Dengan bernyanyi juga
kuucapkan salam hormat
pada orang yang lebih tua
Tetap dengan bernyanyi
aku menguraikan salam
hormat kepada orang
banyak (makhluk halus)
Ikut sampai malam dalam
acara ini
Karena kejayaan dia sudah
menjelajahi langit
Tetap dengan bernyanyi
aku menyampaikan salam
hormat pada mereka
penghuni rumah
Ikut bersenang-senang
dalam acara ini
Karena gunung Sumadiwi
terlalu panjang
melindungi aku
Dan karena tidak
bertandang langsung
maka dalam mengarungi
rumah tangga janganlah
sampai goyah dan rejeki
itu pasti ada
Sungguh aku
melantunkan suara
Karena menguraikan
bunga pesan dengan lagu
Sungguh aku
menguraikan bunga pesan
103
Injil
Iru buku nyanyi awat
kalumpen
Kawan kidung hanye Kitab
Suci
Daya hang yaru sukup
sumaden
Iri kawan iwasaan Tuhan
Hang yanai tuu sumadia
Iri kawan ituturan Nabi
Ada ang laku du’a naun
magun iri tiap baunru
basuntup basama
Irititah erang uma na pitah
Daya neu ngarairing iri sinta
Hanye lelu Tuhan
La ngarariung iri wahai kasih
Nabi
Masih ada ang ware laku du’a
Naun masih tuu tiap baunru
basuntup basama
Iri titah erang uma na pitah
Daya yaru ekat jatang umak
naun ngia iri ilalawit
Mak wasi ngukur iri erang
hanye tane uruk
Tuu aru ekat lengan taat tetei
kami ma gunung tulus naun
tuntung tulus
Amau lenganku lanyar
Iri ma watu iri upu panyang
Tuu ekat maeh-maeh naun
anak iri kukalelu lapiu-piu
Iri bunsu hanyu kukakasan
pada anak kalian yang
tersayang pada
pembicaraan ini
Jangan tidak baik-baik
kalian mendaki gunung
dan melangkah pada batu
dunia
Minta kalian memangku
Injil dan buku nyanyi
Kidung dan Kitab Suci
Karena di sana sudah
cukup apa yang menjadi
kekuasaan Tuhan
Yang sudah dituturkan
oleh para nabi
Berdoalah selalu bersama
setiap hari
Ini adalah perintah untuk
kalian jalani
Karena cinta kasih dari
Tuhan selalu mengiringi
dan melindungi kalian
Berdoalah selalu bersama
setiap hari
Ini adalah perintah untuk
dijalani bersama
Karena itu adalah senjata
untuk bekal kalian
menjalani hidup yang
panjang
Hanya ini pesan kami
lewat lagu agar kalian
tuntung tulus dalam
104
Tuu ekat eyau siang lengan
aku nayu hingkat
Sa nekayuman anai lengan
tatui leut
Kuki lungai hingka kupang
sangar
Aru ekat eyaw siang lengan
aku amah tuu ramu tulu
Amai tatui leut
Kuki papang hanye tumet
mengarungi rumah tangga
Sungguh banyak yang
kusampaikan
Hanya baik-baik kalian
anakku yang tersayang
Hanya sampai di sini kau
bisa melantunkan suara
Akau ayah yang berani
menyanyikan lagu
Inilah ujung dari lagu ini
(NAA-STP/R.71)
Nyanyian balian diucapkan ketika mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan bersanding di pelaminan saat acara
puncak piadu. Ucapan Ada ang laku du’a naun magun iri tiap
baunru basuntup basama. Irititah erang uma na pitah. Daya neu
ngarairing iri sinta. Hanye lelu TuhanLa ngarariung iri wahai
kasih Nabi. ‘Berdoalah selalu bersama setiap hari merupakan
sebuah perintah untuk dijalani. Karena cinta kasih dari
Tuhan selalu mengiringi dan melindungi kalian’. Masih ada
ang ware laku du’a. Naun masih tuu tiap baunru basuntup
basama. Iri titah erang uma na pitah. Daya yaru ekat jatang umak
naun ngia iri ilalawit ‘Berdoalah selalu bersama setiap hari. Ini
adalah perintah untuk dijalani bersama. Karena itu adalah
senjata untuk bekal kalian menjalani hidup yang panjang’
Melalui nyanyian ini terdapat beberapa nasihat yang ditujukan,
baik kepada kedua mempelai maupun kepada pemuda pemudi
yang belum menikah.
Data di atas merepresentasikan seorang raja dan ratu
telah resmi bersatu karena pemenuhan hukum adat telah
selesai dilaksanakan. Ideologi yang terkandung adalah (1)
seorang isteri dalam melakukan sesuatu harus didampingi
suami; dan (2) seorang yang masih bujang belum
105
diperbolehkan berdekatan sebelum resmi menjadi pasangan
suami isteri.
3.4.5 Menyerahkan Uang (Turus Tajak)
Aktivitas menyerahkan uang dalam upacara turus tajak
dilakukan oleh usbah dari pihak mempelai laki-laki dan
disaksikan oleh penghulu adat, mantir,usbah mempelai
perempuan, dan orang tua kedua mempelai. Aktivitas
tersebut tampak pada data berikut.
Ina kami sarahkan duit sajumlah
Rp 3.500.000,- pakae naun ba
rueh sabagai modal awal
barumah tangga.
Kami serahkan uang sejumlah
Rp 3.500.000,- untuk kalian
berdua sebagai modal awal
berumah tangga.
(NAA-STP/R.72)
Ucapan sarahkan dilakukan oleh pihak keluarga
mempelai laki-laki. Dengan menyebutkan nominal uang
yang diserahkan, pihak keluarga laki-laki menyampaikan
bahwa uang tersebut adalah modal awal kedua mempelai
dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Data di atas merepresentasikan pemberian uang dari
masyarakat dan dihitung oleh orang tua mempelai laki-laki.
Semua uang ini nantinya diharapkan menjadi bekal bagi
kedua mempelai sebagai modal awal untuk berumah tangga.
Ideologi yang disampaikan adalah bahwa masyarakat turut
membantu kedua mempelai dengan memberikan doa dan
uang.
3.4.6 Makan Bersama (Miwit Pangantin)
Aktivitas makan bersama merupakan akhir acara piadu
setelah turus tajak. Aktivitas ini tampak pada data berikut.
Silahkan na kuta. Haut na Silakan dimakan. Sudah
106
sadia? Hayo na kuta hidangan siapkah? Ayo dimakan
hidangannya!
(NAA-STP/R.73)
Data di atas merepresentasikan menikmati hidangan
yang disediakan yakni nasi yang banyak dalam satu piring
dan ayam satu ekor. Acara makan bersama ini disebut miwit
pangantin. Dalam acara tersebut, orang tua laki-laki memberi
makan kepada mempelai perempuan dan sebaliknya orang
tua perempuan memberi makan kepada mempelai laki-laki.
Ideologi yang disampaikan bahwa menantu sudah dianggap
seperti anak sendiri sehingga tidak ada perbedaan dalam
perlakukannya.Ucapan silakan na kuta ‘silakan dimakan’
merupakan ucapan pembuka untuk memulai makan
bersama. Prosesi makan bersama dilakukan oleh kedua
keluarga mempelai. Ucapan mempersilakan ini diucapkan
sebagai ungkapan kesiapan acara makan bersama sudah siap
dimulai.
107
4. AKTOR DAN NARATOR
NARASI PERKAWINAN
DAYAK MAANYAN
Aktor dan narator dalam narasi perkawinan Dayak
Maanyan dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) aktor
perkawinan Dayak Maanyan dan (2) narator perkawinan
Dayak Maanyan.
A. Aktor dalam Aruh Adat Perkawinan Masyarakat Dayak
Maanyan
Pemeran sering disebut sebagai aktor (pria) atau aktris
(wanita) adalah orang yang memainkan peran tertentu dalam
suatu aksi panggung. Dalam dunia teater pemeran terbagi
menjadi tiga, yaitu pemeran utama, pemeran pembantu, dan
pemeran tambahan/figuran. Semua pemeran dalam teater,
modern atau tradisional, memiliki tugas yang sama berat.
Tidak ada keistimewaan pada masing-masing peran sebab
keberhasilan pertunjukan bergantung pada ketiga jenis
peran. Di samping itu unsur-unsur seni pertunjukan yang
lain juga sangat penting, misalnya sutradara, musik,
penyinaran dan lain-lain.
108
4.1 Aktor yang Berhubungan dengan Tugas dan Posisinya
Berdasarkan pengamatan melalui catatan lapangan dan
perekaman disertai wawancara ditemukan aktor
berhubungan dengan tugas dan posisinya. Aktor dalam aruh
adat perkawinan meliputi 7 peran, yakni kedua mempelai,
penghulu adat, orang tua kedua mempelai, usbah, mantir,
balian, dan audiens. Berikut paparan aktor berhubungan
dengan tugas dan posisinya.
4.1.1 Pemeran Utama
Pemeran utama dalam perkawinan masyarakat Dayak
Maanyan adalah (a) kedua mempelai dan (b) penghulu
adat.Pertama, kedua mempelai pada tahapan upacara untuk
kedua mempelai dihadirkan mulai dari mempelai laki-laki dari
rumahnya sampai bersanding di pelaminan.Di satu sisi, kedua
mempelai merupakan aktor diaan dan disisi lain sebagai aktor
akuan. Aktor diaan tampak pada tahap adu pamupuh dan
ngantane. Keduanya tidak dihadirkan tetapi menjadi sasaran
atau objek pembicaraan. Aktor akuan tampak pada tahap piadu,
yaitu ketika mempelai laki-laki dan mempelai perempuan
dipertemukan dalam upacara Wurung Jue, Turus Tajak, dan
Miwit Pangantin. Posisi tampak pada aktivitas mempelai laki-
laki dipersilakan oleh balian untuk turun, keluar, masuk,
berjalan, naik, dan duduk serta ketika diminta oleh balian untuk
menentukan pasangan hidupnya. Posisi berikutnya tampak
pada ketika mempelai harus dituntun dalam segala aktivitas
mereka. Keduanya diperlakukan layaknya raja dan ratu. Dalam
konteks ini terdapat ideologi budaya bahwa (1) setiap rumah
tangga, keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, negara, agama,
dan kelompok komunitas lainnya ada pemimpin, (2) pemimpin
dalam menjalankan segala aktivitasnya tidak luput dari
penjagaan, pengawalan, dan pengawasan, (3) pemimpin
109
dihormati, disanjung, diagungkan, dan dimuliakan secara
spontanitas dan tulus dari pendampingnya dan rakyatnya.
Kedua mempelai menjadi sasaran utama (objek) dalam
pelaksanaan aruh adat. Sasaran yang dimaksud berupa sasaran
pembicaraan, sasaran nasihat, dan sasaran aktivitas. Sasaran
pembicaraan terjadi pada tahap ngantane dan adu pamupuh.
Sasaran nasihat terjadi pada tahap piadu. Sasaran aktivitas pada
tahap piadu. Kedua mempelai beserta keluarganya bisa
diasumsikan sebagai orang-orang yang melestarikan tradisi
setempat. Sejalan dengan istilah Sutarto dengan nama pewaris
aktif tradisi (2012). Selama ini muncul anggapan bahwa
tergusurnya produk-produk tradisi dari masyarakatnya
berakar dari derasnya produk-produk budaya global dan
rendahnya apresiasi masyarakat terhadap eksistensinya. Kedua
anggapan tersebut barangkali ada benarnya, tetapi
kenyataannya terdapat komponen yang paling bertanggung
jawab terhadap maju-mundurnya suatu tradisi. Komponen
yang dimaksud adalah pewaris aktif dan pewaris pasif. Pewaris
aktif suatu tradisi adalah mereka yang menjadi pelaku tradisi,
menjaganya, menyebarkannya, memanfaatkannya, dan
menyelamatkannya dari gelombang perubahan; sedangkan
para pewaris pasif suatu tradisi adalah mereka yang
mengetahui, menikmati, tetapi tidak berkehendak untuk
menyebarkannya (Danandjaja, 1991:28). Upaya-upaya yang
dilakukan oleh para pewaris aktif dan pewaris pasif tradisi
perkawinan Dayak Maanyan, termasuk tradisi lisannya, dapat
dijadikan model pengembangan dan pembinaan bagi suatu
tradisi di tempat lain. Di Komunitas Dayak Maanyan peran
pewaris aktif dan pewaris pasif tradisi bagi keberlangsungan
tradisi yang diwarisi dari nenek moyangnya telah memberi
sumbangan yang berarti bagi keberlangsungan hidup suatu
bentuk tradisi. Di sana para pewaris aktif mengembangkan
tradisinya secara kreatif dan inovatif. Tradisi bukan hanya sebuah
110
kebanggaan lokal yang menguatkan identitas lokal Dayak
Maanyan, melainkan juga instrumen untuk mencari makan
(mata pencaharian) dan membangun kohesi sosial (aruh,
kerukunan, persatuan, dan kebersamaan).
Kedua, penghulu adat biasanya menggunakan lawung di
kepalanya. Beliau membuka acara pemenuhan hukum adat di
dalam rumah mempelai perempuan. Selain itu, penghulu adat
juga bertugas mengawasi pemenuhan hukum adat. Penghulu
adat bertugas membantu, memberi petunjuk,dan memberi
pertimbangan dalam upacara adat. Penghulu adat bertanggung
jawab di bidang adat artinya melaksanakan dan mengatur agar
tidak salah menurut kebiasaan adat. Dalam pelaksanaannya
selalu melalui musyawarah termasuk harus disaksikan
pembakal. Berikut data penghulu adat membuka acara
pemenuhan hukum adat.
Ari ih! takam haut naayak
daya anak panukuan ru ni
nguut jari inun arti ni nguut
iru takam pembukaan paner
secara hukum adat
Ayo! kita sudah diminta
dari pihak laki-laki untuk
meminum tuak. Arti dari
minum tuak ini sebagai
pembuka pembicaraan
hukum adat.
(NAA-PTP/R.1)
Selain itu, penghulu adat juga memalas kedua mempelai
sebagai bentuk penyucian diri agar dibebaskan dari
pengaruh-pengaruh jahat, baik lahir maupun batin.
Pandangan yang dianut masyarakat Dayak Maanyan bahwa
manusia harus selalu bersih. Jika dalam keadaan bersih,
manusia menjadi lebih peka dan mampu menerima karunia
dan anugerah Tuhan. Palas yang dilakukan mulai dari
tempat duduk sampai ubun-ubun mempelai.
111
4.1.2 Pemeran Pembantu
Pemeran pembantu dalam perkawinan masyarakat
Dayak Maanyan adalah (a) usbah, (b) orang tua kedua
mempelai, (c) mantir, dan (d) balian. Pertama, usbah dalam
konteks prosesi adat perkawinan Dayak Maanyan kedua
usbah bertindak sebagai pemeran utama dalam prosesi adat
perkawinan mulai dari tahap ngantane, adu pamupuh sampai
dengan piadu. Kedua usbah diutus oleh orang tua kedua
mempelai. Berikut dialog bahwa usbah adalah utusan dari
orang tua mempelai.
Kami hawi ma ina na tugas
kan daya Pak Kalunteng hawi
ma lewu ina
Maksud dan tujuan
kadatangan kami ma ina naan
niat ma`eh.
Kami ditugaskan oleh Pak
Kalunteng untuk datang ke
rumah ini
Maksud dan tujuan kami
datang kemari memiliki
niat baik.
(NAA-PTN/A.2)
Terlihat dalam data, usbah menceritakan bahwa dia
hanya ditugaskan oleh pihak keluarga mempelai laki-laki.
Pihak keluarga mempelai laki-laki yang disebutkan tidak
hadir dalam prosesi itu.Hal itu yang disebutkan oleh Labov
(1999:219) sebagai elemen komplikasi. Peristiwa yang
terdapat dalam elemen ini bukan peristiwa yang biasa saja,
melainkan peristiwa yang menarik dan spektakuler. Ini
terdapat dalam penentuan keputusan pada saat tahap
ngantane. Ketika usbah mempelai laki-laki bertanya tentang
diterima atau tidaknya lamaran kepada usbah mempelai
perempuan. Berikut ini dipaparkan data pertanyaan dan
jawaban dari usbah.
1) Kami hawi ma lewu bapak
ngaheng malamar anak bapa
Kami datang ke rumah
bapak berniat ingin
112
melamar anak bapak
(NAA-PTN/A.3)
2) Kami haut berunding pada
danunti mahi enja bahwa
kami narime lamaran ina
Kami sudah berunding juga
dan menanyakan ke Enja.
Kami menerima lamaran ini
(NAA-PTN/A.4)
Data tersebut menunjukkan bahwa usbah diperintah
atau ditugaskan oleh orang tua calon mempelai untuk
melaksanakan tugas atau perintah. Tugas tersebut adalah
menyambungkan hubungan antara keluarga calon mempelai
laki-laki dan keluarga calon mempelai perempuan pada tahap
ngantane. Interaksi yang dibangun oleh yang mendominasi
dan yang mendominasi adalah interaksi atas bawah yang
terbatas. Interaksi antara keduanya adalah interaksi sosial
dan interaksi profesional. Kedua orang tua calon mempelai
menggunakan interaksi sosial untuk mendominasi usbah,
sedangkan interaksi yang dibangun oleh usbah dari pihak
laki-laki maupun pihak perempuan adalah interaksi profesi
untuk menjalankan tugas atau perintah dari orang tua kedua
calon mempelai.
Dilihat dari posisinya, kedua usbah merepresentasikan
ideologi pengakuan dan ideologi penghargaan dari orang tua
kedua mempelai. Dengan demikian, usbah laki-laki sebagai
pelamar, sedangkan usbah pihak perempuan sebagai penentu
kebijakan. Keduanya terlibat dalam interaksi kompetitif dan
kooperatif. Hal ini dapat disimak pada kesejajaran tuturan
keduanya. Setiap memulai pembicaraan keduanya memulai
dengan salam. Perbedaannya adalah tuturan usbah pihak laki-
laki bertujuan untuk memohon, sedangkan tuturan usbah
pihak perempuan bertugas untuk menanggapi atau
menjawab pernyataan atau pertanyaan dari usbah pihak laki-
113
laki sebagaimana tampak pada paparan sebelumnya. Akan
tetapi, pada peristiwa tertentu kedua usbah ada yang
didominasi dan ada pula yang mendominasi. Dalam konteks
ini usbah dari pihak perempuan didominasi harus menjawab
pertanyaan atau menanggapi pernyataan yang dituturkan
usbah dari pihak laki-laki. Dominasi yang terjadi di antara
usbah ini adalah demokrasi dan kebersamaan. Hal tersebut
terjadi dalam tahap adu pamupuh.Kedua usbah menyepakati
isi perjanjian pertunangan yang diakhiri dengan tandatangan
persetujuan. Kemudian tahap piadu para usbah pun
berunding untuk mengisi surat perjanjian kawin. Aktivitas
seperti ini merupkan representasi ideologi kebersamaan, oleh
van Dijk (1995:7) disebut dengan ideologi profesional yang
sifatnya kooperatif.
Kedua, orang tua kedua mempelai dan keluarganya
merupakan aktor nyata (hadir bersama-sama). Aktor tersebut
merupakan individu atas nama keluarga berada pada posisi
yang mengutus atau memerintah. Orang tua mempelai
termasuk aktor yang terlibat secara tidak langsung, tetapi
sangat berperan dalam aruh adat perkawinan Dayak
Maanyan. Keterlibatan orang tua mempelai diwakilkan
kepada para usbah sebagai juru bicara. Orang tua mempelai
bisa hadir dalam tahap ngantane, adu pamupuh, dan piadu.
Namun, perundingan untuk pemenuhan hukum adat
dilakukan oleh usbah sebagai perpanjangan tangan mereka.
Ketiga, mantir dalam adat perkawinan Dayak Maanyan
dipilih berdasarkan musyawarah. Untuk penamaan mantir
berkaitan dengan tempat tugas dan posisinya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Labov (1999:219) elemen yang terdapat
dalam narasi adalah orientasi tempat, yaitu detail tempat di
mana peristiwa itu terjadi. Berikut penamaan mantir
berkaitan dengan tugas dan posisi mantir yang terlibat pada
aruh adat perkawinan.
114
1) Mantir ruang menurut Patramahu Wu’i, Kepala Desa
Warukin, mantir ruang bertugas mengatur susunan acara,
memberi salam, dan mempersilakan siapa yang akan
berbicara. Mantir tersebut berada dalam ruangan (rumah
mempelai perempuan).
2) Mantir hatat bertugas sebagai penerima tamu. Mantir ini
dipilih berdasarkan orang yang kenal dengan tamu,
mengatur tamu, keamanan berada di halaman,
memegang ketertiban dalam upacara adat. Selain itu,
mantir tersebut juga bertugas sebagai kepala keamanan
secara keseluruhan dalam aruh adat perkawinan.
3) Mantir pamadangan bertugas sebagai koordinator
konsumsi yang mengatur dapur, mempersiapkan
makanan dan minuman, menghidangkan makanan dan
minuman kepada para tamu, menyuguhkan simbol, dan
mengembalikan perlengkapan minuman ke tempat
semula. Arti pamadangan berkaitan dengan dapur.
4) Mantir balai ini hadir jika perkawinan diadakan di balai
Dayak Maanyan. Arti balai sebagai ruang pertemuan.
Keempat, balian menjadi pelaksana dalam ritual aruh
adat perkawinan Dayak Maanyan pada tahap piadu yang
berhubungan dengan keilahian. Pada saat keilahian itu hadir
dan langsung bertindak dan berhubungan dengan manusia
melalui diri balian (Ukur, 1971:75). Hal yang pertama
dipelajari oleh calon balian adalah nyanyian balian. Setelah itu
pelbagai susunan sesaji dan memahami segala hal ikhwal
yang berhubungan dengan alam serta makhluk-makhluk
gaib. Apabila segala pengetahuan telah dikuasainya dalam
kurun waktu dua sampai tiga tahun barulah dapat menjadi
balian penuh. Proses terjadinya seorang balian dalam
masyarakat Dayak Maanyan terjadi karena garis keturunan,
hasil didikan, diberi tanda, karena mendapat ilham
115
(Kertodipoero, 1963). Garis keturunan maksudnya
kemampuan dan keahlian seorang balian diwariskan secara
turun temurun. Hasil didikan biasanya sudah sejak kecil
dididik oleh balian sampai mereka memahami seluruh ritus,
nyanyian ritual, dan segala hukum. Orang yang menjadi
balian karena diberi tanda maksudnya adalah yang
mengalami gangguan suatu penyakit yang tak kunjung
sembuh. Setelah disembuhkan oleh seorang balian, ia
diyakini ditunjuk oleh keilahian sebagai seorang balian.
Orang yang menjadi balian karena mendapat ilham misalnya
sewaktu masih anak-anak selalu bernyanyi. Bakat ini harus
disalurkan yaitu dididik menjadi seorang balian. Jika tidak
disalurkan, ia akan jatuh sakit.
Balian juga memainkan peran sebagai sumber hiburan
bagi masyarakat Dayak Maanyan, baik melalui nyanyian
balian maupun tarian. Balian berkedudukan sebagai seniman
(Diman, 2005:52). Riwut (1993:61) menyebut balian menari
dengan mengucapkan mantra yang merupakan doa kepada
Dewata dan arwah nenek moyang. Hal ini didasari
ketertaitan balian memerankan peranannya dalam kegiatan
seni namun juga memimpin upacara ketika upacara
berlangsung.
4.1.3 Pemeran Tambahan/Figuran
Pemeran tambahan/figuran dalam perkawinan Dayak
Maanyan adalah audiens. Audiens pada tahap ngantane, adu
pamupuh, dan piadu berperan (1) mendengar dan
menyaksikan penuturan yang dilakukan oleh usbah dan
balian, (2) memberikan reaksi, (3) memahami penuturan usbah
dan balian, dan (4) menikmati penampilan balian. Dalam hal
ini audiens tidak ikut terlibat dalam penuturan nyanyian
balian. Akan tetapi, ia hanya memberi reaksi, seperti tertawa,
gembira, senang, tersenyum, dan diam. Audiens merupakan
116
aktor sertaan Aktor ini berada pada posisi pendengar.
Mereka hadir dalam piadu pada upacara wurung jue. Dalam
penelitian ini ditemukan 7 peran seperti tertera pada tabel 4.6
berikut.
Tabel 4.1 Analisis Peran dalam Narasi Perkawinan Dayak
Maanyan
Aktor Peran dalam Upacara Perkawinan
Usbah Berasal dari kedua belah pihak dan
menyepakati perundingan pada saat
ngantane, adu pamupuh, dan piadu
Balian Balian laki-laki dan balian perempuan,
mengantarkan acara adat, yakni natas
banyang, wurung jue, dan turus tajak
Kedua mempelai Mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, mengikuti seluruh
ketentuan adat perkawinan
Orang tua kedua
mempelai
Berasal dari kedua belah pihak dan
melaksanakan pemenuhan hukum adat
yang disepakati
Penghulu Adat Pembuka acara pemenuhan hukum adat
dan memutuskan ketetapan pengisian
surat perjanjian kawin
Mantir Pelaksana aruh adat mulai dari
penerimaan tamu, penyusun acara,
penyedia konsumsi, keamanan.
Audiens Warga yang menyimak dan
menyaksikan aruh adat perkawinan di
Warukin
Paparan tentang aktor meliputi posisi dan tugasnya
dalam upacara perkawinan Dayak Maanyan menunjukkan
bahwa setiap orang mempunyai tugas dan tanggung jawab
117
masing-masing. Namun, dalam pelaksanaannya berlandaskan
musyawarah mufakat, persaudaraan dan kebersamaan, serta
saling membantu satu sama lain. Kelancaran dan kesuksesan
tugas dari salah satu aktor tidak terlepas dari bantuan dan
kerjasama dari aktor lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah
satu aktor merupakan kegagalan semua aktor yang terlibat di
dalam aruh adat perkawinan.
4.2 Aktor yang Berhubungan dengan Tindakannya
Paparan mengenai aktor dalam upacara perkawinan
masyarakat Dayak Maanyan yang berhubungan dengan
tindakannya ini dibagi berdasarkan tahap-tahap perkawinan,
yaitu tahap ngantane, tahap adu pamupuh, dan tahap piadu.
Berikut ini dipaparkan aktor yang berhubungan dengan
tindakannya pada tahap-tahap tersebut.
4.2.1 Tindakan pada Tahap Ngantane
Aktor yang terlibat langsung dalam perkawinan
masyarakat Dayak Maanyan pada tahap ngantane ini
senantiasa melakukan tindakan tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu. Tindakan ini menurut van Dijk dan Kintsch
(1983) adalah (1) tindakan sesuai aturan, (2) tindakan taktik,
(3) tindakan move, dan (4) tindakan heuristik.Berikut ini
dipaparkan tindakan sesuai aturan, tindakan taktik, tindakan
move, dan tindakan heuristik pada tahap ngantane.
Pertama, tindakan sesuai aturan merupakan seluruh
aktivitas yang dilakukan pada seluruh episode pada tahap
ngantane. Tindakan tersebut antara lain (1) memberi
penghormatan; (2) mengagungkan Tuhan; (3) menyapa
audiens; (4) memulai izin untuk memulai pembicaraan; (5)
memohon maaf; (6) mengecek kehadiran audiens; (7)
memperjelas identitas usbah; (8) serah terima tanda jadi; (9)
118
mencari informasi tentang identitas dan status calon
mempelai perempuan; (10) melamar; (11) memperjelas
kembali kesepakatan sebelumnya; dan (12) berjabat tangan.
Tindakan tersebut sesuai dengan ketentuan agama dan
ketentuan hukum adat. Data untuk tindakan sesuai aturan
sudah dijelaskan pada paparan sebelumnya.
Kedua, tindakan taktik merupakan suatu strategi
dengan tujuan tertentu (van Dijk dan Kintsch, 1983:66).
Tindakan ini bertujuan untuk mencari dukungan,
persetujuan, dan atau untuk menghentikan suatu tindakan
yang tidak diinginkan. Tindakan taktik yang dilakukan oleh
para aktor pada tahap ngantane antara lain: (1) menoleh dan
(2) tersenyum. Tindakan sebagai taktik direpresentasikan
oleh para aktor dapat dilihat pada data berikut.
1) Tindakan menoleh dilakukan oleh aktor pada beberapa
peristiwa. Pertama, usbah pihak laki-laki menoleh kepada
salah seorang yang hadir dengan bertanya, "Satuju sa?"
Selanjutnya memandang ke semua arah. Tindakan usbah
dilihat dari segi maknanya merupakan reaksi untuk
mendapatkan dukungan, sedangkan tindakan audiens
yang dipandang merupakan reaksi persetujuan. Kedua, usbah
pihak perempuan menggangguk pada saat usbah pihak
laki-laki berkata, "Kami mewakili kaluarga Dipta sindi kataru
andri kaluarga hanggiti." Berikut data tindakan menoleh.
Satuju sa? Setujukah?
Kami mewakili kaluarga Dipta
sindi kataru andri kaluarga
hanggiti.
Kami mewakili keluarga
Dipta ingin lebih
mengenal keluarga di sini
(NAA-PTN/A.5)
Anggukan dan kata-kata usbah merupakan tindakan
taktis yang berfungsi sebagai permintaan dukungan atau
persetujuan terhadap pernyataan yang dikemukakan
119
usbah yang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Wainwright (2006:231), bahwa secara umum bahasa
tubuh seperti anggukan kepala dapat digunakan untuk
mendukung dan memberikan tekanan terhadap apa yang
dikatakan. Gerakan mengangguk lebih mampu
mengungkapkan sesuatu yang rumit dan halus dalam
ekspresi daripada yang diperkirakan.
2) Tersenyum sebagai reaksi yang dinyatakan dengan tanpa
suara. Tindakan tersebut dilakukan oleh para aktor
termasuk usbah dan audiens karena sesuatu hal. Pada saat
mendengar ucapan usbah.
umat pambakas ni sameh
adat takam, suku Dayak kami
sakawarga ngenei bahalai
kaya duit Rp 50.000
(dimempulu ribu rupiah).
sebagai tanda jadi
sebagaimana adat kita
sebagai suku Dayak,
maka kami sekeluarga
sudah mempersiapkan
bahalai dan uang Rp
50.000,-.
(NAA-PTN/A.6)
taati aku usbah pihak upu-
upu nyarah daduk bahalai
andri duit tunai Rp.100.000
sebagai tanda jari.
sekarang saya usbah
pihak laki-laki
menyerahkan tapih
bahalai dan uang Rp
100.000 sebagai tanda
jadi
(NAA-PTN/A.7)
Inun sa hamen kami serahkan
ma bapak.
Ini yang akan kami
serahkan kepada bapak.
(NAA-PTN/A.8)
120
Tindakan taktis menoleh dan tersenyum terjadi karena
pemakaian kata-kata atau ungkapan tertentu. Dilihat dari
maknanya, tindakan tersenyum seperti ini merupakan reaksi
senang dan gembira. Tindakan usbah dan audiens tersebut
merupakan tindakan taktis untuk menciptakan keakraban.
Hal ini menunjukkan adanya perhatian dan keseriusan
terhadap apa yang dituturkan oleh usbah.
Ketiga, tindakan move pada tahap ngantane merupakan
segala aksi atau tindakan yang dilakukan dari awal sampai
akhir acara. Tindakan move pada tahap ini dapat disimak
pada aktivitas (1) menyapa audiens, (2) mengecek kehadiran
audiens, (3) memperjelas identitas usbah, (4) mencari
informasi tentang identitas dan status mempelai perempuan.
Tindakan (1) menyapa audiens dengan ucapan salam
bertujuan agar kita selalu menghormati orang lain. Tindakan
(2) mengecek kehadiran audiens seperti sudah dipaparkan
sebelumnya yang bertujuan untuk memulai acara ngantane.
Tindakan (3) memperjelas identitas usbah pada data yang
dipaparkan sebelumnya bertujuan agar dalam setiap
pembicaraan hanya seorang yang berbicara, yaitu juru bicara
khusus yang dipercayakan untuk mewakili yang lain.
Tindakan (4) mencari informasi tentang identitas dan status
mempelai perempuan pada dataseperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya bertujuan melamar perempuan
sebagai pasangan hidup agar pihak laki-laki tidak ragu,
sedangkan pihak perempuan menerima lamaran tersebut.
Keempat, tindakan heuristik pada tahap ngantane antara
lain (1) mohon izin memulai pembicaraan; (2) serah terima
tanda jadi; (3) mencari informasi tentang identitas dan status
calon mempelai perempuan; (4) melamar calon mempelai
perempuan; (5) memperjelas kesepakatan sebelumnya; dan
(6) berjabat tangan. Tindakan mohon izin memulai pembicaraan
bertujuan acara sudah dapat dimulai dan penanda kesiapan
121
untuk memulai pembicaraan. Tindakan serah terima tanda jadi
bertujuan mengetahui apakah keluarga pihak mempelai
perempuan menerima tanda jadi sebagai syarat pemenuhan
hukum adat. Tindakan menanyakan identitas dan status calon
mempelai perempuan bertujuan mengetahui apakah
perempuan yang dilamar belum ada yang punya. Tindakan
melamar calon mempelai perempuan bertujuan mengetahui
apakah keluarga pihak mempelai perempuan bersedia untuk
dilamar oleh calon mempelai laki-laki. Tindakan memperjelas
kesepakatan sebelumnya bertujuan mengetahui apakah
pembicaraan untuk tahap adu pamupuh dapat dilaksanakan.
Sementara itu, tindakan berjabat tangan bertujuan mengetahui
apakah kedua belah pihak bersungguh-sungguh atau tidak
memegang janji dan akan melaksanakan janji tersebut.
4.2.2 Tindakan pada Tahap Adu Pamupuh
Aktor yang terlibat langsung dalam perkawinan Dayak
Maanyan pada tahap adu pamupuh ini senantiasa melakukan
tindakan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan
ini menurut van Dijk dan Kintsch (1983) adalah (1) tindakan
sesuai aturan, (2) tindakan taktik, (3) tindakan move, dan (4)
tindakan heuristik. Berikut ini dipaparkan tindakan sesuai
aturan, tindakan taktik, tindakan move, dan tindakan
heuristik pada tahap adu pamupuh.
Pertama, tindakan sesuai aturan yang dilakukan oleh
para aktor pada tahap adu pamupuh adalah seluruh tindakan
yang dilakukan oleh para aktor selama proses aruh adat
perkawinan masyarakat Dayak Maanyan berlangsung pada
tahap adu pamupuh, meliputi (1) mempersiapkan hantaran;
(2) membawa hantaran; (3) menghidangkan hantaran; (4)
memperlihatkan hantaran; (5) mengisi surat perjanjian; (6)
memohon izin menyerahkan hantaran; (7) serah terima
hantaran; (8) berjabat tangan; dan (9) menyerahkan tanda
122
jadi kepada mempelai perempuan.Kesembilan tindakan ini
sudah dipaparkan sebelumnya dan merupakan tindakan
sesuai dengan ketentuan pemenuhan hukum adat dan agama
dengan adanya persetujuan dari saksi para usbah, Kepala
Desa Warukin, dan Majelis Jemaat GKE Warukin.
Kedua, tindakan taktik yang dilakukan oleh para aktor
pada tahap adu pamupuh adalah seluruh tindakan yang
dilakukan oleh para aktor selama proses aruh adat
perkawinan masyarakat Dayak Maanyan berlangsung pada
tahap adu pamupuh, meliputi (1) menoleh dan menatap, (2)
tersenyum dan mengangguk. Tindakan menoleh dan
menatap adalah aksi atau gerakan yang dilakukan oleh aktor
seperti usbah untuk menoleh dan menatap ke suatu arah
dengan tujuan dan sasaran tertentu. Tindakan ini dilakukan
oleh usbah dengan cara memandang ke usbah yang lain dan
audiens yang sedang duduk. Tindakan usbah tersebut adalah
tindakan taktis. Hal ini dimaksudkan untuk meminta
audiens memperhatikan ucapan usbah. Tatapan mata
mengandung ideologi bergantung pada konteks tertentu.
Selain itu, pada saat tanda jadi diserahkan oleh usbah seperti
terlihat pada data berikut ini.
1) Umak pambakas takam
ngulah surat parjanjian na
laku na isi. Hang yena kami
nulisakan bukti pamupuh
(isa) Duit Rp 100.000,- (jatuh
ribu)
(rueh) Kain amaw/ bahalai
erang kalamar
(telo) saparangkat amak
kacantikan
(epat) saparangkat baju
wawei
Sebagai tanda jadi kita
buat surat perjanjian
pertunangan. Tolong surat
ini diisi. Di sini kami juga
tuliskan bukti
pertunangan yaitu:
Uang tunai Rp 100.000,-
Kain panjang/ bahalai 1
lembar
Seperangkat alat
kecantikan
Seperangkat pakaian
123
wanita
(NAA-PTA/T.9)
2) Hiyai
Duit Rp 200.000,-
bahalai erang kalamar
saparangkat umak kacantikan
saparangkat baju wawei
Baik.
Uang tunai Rp 200.000,-
Kain bahalai selembar
Seperangkat alat
kecantikan
Seperangkat pakaian
wanita
(NAA-PTA/T.10)
3) Yalah adat takam harus naam
bahalai sasuai hari
pamanuhan hukum adat Duit
Rp 200.000,-
Sesuai adat kita. Harus
selalu ada kain bahalai
seperti pemenuhan hukum
adat Uang tunai Rp
200.000,-
(NAA-PTN/A.11)
4) Duit Rp 100.000,-
andri bahalai isa
Inun sa kami enei iti na tulis
dahulu hang surat perjanjian
pertunangan
Uang sejumlah Rp
100.000,-
Kain bahalai satu lembar
Apa yang kami bawa ini
ditulis dulu di surat
perjanjian pertunangan
(NAA-PTA/T.12)
5) Bahalai, duit, seperangkat
pama haut natarime sebagai
pemenuhan hukum adat
Bahalai, uang tunai,
seperangkat pakaian
sudah diterima sebagai
tanda pemenuhan hukum
adat
(NAA-PTN/A.13)
124
Tindakan taktik ini juga direpresentasikan dalam
bentuk tindak tersenyum dan mengangguk. Tindakan
tersenyum dan mengangguk dilakukan oleh kepala desa dan
audiens setelah mendengar kata-kata dariusbah. Tindakan
usbah merupakan tindakan taktis. Hal ini dimaksudkan
untuk menjelaskan kepada pihak mempelai perempuan
bahwa kesepakatan sudah tercapai. Tindakan tersebut
bermakna. Hal ini tampak pada aktivitas audiens berikut ini.
1) Syukur eh amun kaliru
mudah-mudahan kawan
rencana takam bajalan
lancar katuluh
Ya syukurlah kalau
memang begitu, mudah-
mudahan semuanya
berjalan lancar pernikahan
anak-anak kita ya pak
(NAA-PTN/A.14)
2) Sasuai kasapakatan teken
saksi-saksi
Sesuai kesepatakan tanda
tangan saksi-saksi
(NAA-PTA/T.15)
3) Takam menyepakati itati ai
umak ngisi surat perjanjian
pertunangan
Kita sepakati sekarang saja
untuk mengisi surat
perjanjian pertunangan
(NAA-PTA/T.16)
Ketiga, tindakan move yang dilakukan oleh para aktor
pada tahap adu pamupuh adalah membuka dan
memperlihatkan hantaran dan serah terima hantaran.
Tindakan ini dilakukan oleh usbah pada data sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya. Tindakan itu secara tidak
langsung bermaksud memohon kepada usbah pihak
perempuan menerima. Bana (hantaran) ini mengingatkan
kepada mempelai laki-laki bahwa bukan hanya
125
memperhatikan keperluan istrinya saja, tetapi juga
berkewajiban memenuhi keperluan lahiriah keluarga istrinya
nanti. Selain itu, tindakan ini bertujuan agar kita memberikan
sesuatu kepada yang berhak menerima sesuai dengan
ketentuan hukum adat.
Keempat, tindakan heuristik yang dilakukan oleh para
aktor pada tahap adu pamupuh antara lain: (1) membawa
masuk hantaran; (2) memperlihatkan hantaran; dan (3)
memohon izin untuk menyerahkan syarat pemenuhan
hukum adat.Tindakan (1) membawa masuk hantaran
bertujuan ingin mengetahui kesiapan pihak calon mempelai
perempuan menerima hantaran dibawa masuk ke rumah
mempelai perempuan. Tindakan (2) memperlihatkan hantaran
bertujuan ingin mengetahui masih adakah kekurangan
hantaran yang diperlihatkan oleh mempelai laki-laki.
Tindakan (3) memohon izin untuk menyerahkan syarat
pemenuhan hukum adat bertujuan ingin mengetahui
kesiapan pihak mempelai perempuan menerima hantaran
yang akan diserahkan mempelai laki-laki.
4.2.3 Tindakan pada Tahap Piadu
Aktor yang terlibat langsung dalam perkawinan Dayak
Maanyan pada tahap piadu ini senantiasa melakukan
tindakan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan
ini menurut van Dijk dan Knitch (1983) adalah (1) tindakan
sesuai aturan, (2) tindakan taktik, (3) tindakan move, dan (4)
tindakan heuristik.Berikut ini dipaparkan tindakan sesuai
aturan, tindakan taktik, tindakan move, dan tindakan
heuristik pada tahap piadu.
Pertama, tindakan sesuai aturan yang dilakukan oleh para
aktor pada tahap piadu adalah seluruh aksi atau gerakan pada
tahapan piadu. Tindakan tersebut meliputi (1) menuntun
mempelai berdiri, (2) menuntun mempelai melangkah ke pintu
126
rumah, (3) menuntun mempelai keluar rumah, (4) menuntun
mempelai memasuki lawang skiping, (5) menuntun mempelai
memasuki halaman rumah, (6) menuntun mempelai memasuki
rumah, (7) menuntun mempelai duduk di pelaminan, (8)
melangsungkan acara wurung jue, dan (9) melaksanakan acara
turus tajak. Tindakan di atas merupakan aksi atau tindakan
sesuai ketentuan adat yang dilandasi agama kepercayaan
Dayak Maanyan.
Kedua, tindakan taktik pada tahap piadu yang dilakukan
para aktor adalah tindakan tersenyum, tertawa, menunduk,
menoleh, dan menatap ke depan. Tindakan tersenyum, tertawa,
menunduk dilakukan oleh mempelai laki-laki. Tindakan
tersebut dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa bahagia, rasa
malu, dan rasa gugup. Tindakan menunduk merupakan
strategi untuk menghindari kontak mata dengan
pendampingnya atau penonton yang ada di sepanjang jalan
yang ia lewati. Tindakan tersebut merupakan isyarat rasa malu
dengan cara menghindari kontak mata (Weinwrigt, 2006:27).
Tindakan menatap ke depan dilakukan oleh mempelai laki-laki
pada saat menuju lawang skiping rumah mempelai perempuan.
Dalam perjalanan tersebut ia dituntun dengan tarian dan
nyanyian balian. Tindakan tersebut dapat dimaknai bahwa
mempelai laki-laki siap melayari bahtera kehidupan rumah
tangga mereka kelak.
Ketiga, tindakan move yang dilakukan oleh para aktor
pada tahap piadu, yaitu: (1) menuntun mempelai laki-laki ke
pelaminan yang ada di halaman rumah mempelai perempuan;
(2) membawa perempuan lain sebagai jue (pasangan hidup)
yang bukan pasangan sebenarnya; (3) menuntun mempelai
perempuan keluar kamar untuk dipertemukan dengan
mempelai laki-laki; dan (4) menyandingkan kedua mempelai
di pelaminan dalam acara turus tajak. Tindakan tersebut
sudah dipaparkan pada data sebelumnya. Tujuan tindakan
127
tersebut mempersatukan kedua insan yang berbeda. Selain
itu, sebagai pertanda pengambilalihan wewenang serta
tanggung jawab dari orang tua mempelai perempuan kepada
mempelai laki-laki untuk memelihara, menjaga, dan
mengayomi mempelai perempuan.
Keempat, tindakan heuristik yang dilakukan oleh para
aktor pada tahap piadu antara lain (1) memohon izin
memasuki rumah mempelai; dan (2) memohon izin
menjemput mempelai perempuan. Tindakan (1) bertujuan
ingin mengetahui mempelai laki-laki bisa datang ke rumah
mempelai perempuan. Tindakan (2) bertujuan ingin
mengetahui mempelai perempuan sudah bisa dipertemukan
dengan mempelai laki-laki.
B. Narator Perkawinan Dayak Maanyan
Untuk menganalisis narator dalam upacara
perkawinan Dayak Maanyan digunakan teori analisis naratif
Eriyanto (2013:113-124). Narator dalam penelitian ini
meliputi narator dramatis, narator memperlihatkan, dan
narator subjektif. Berikut paparan narator dalam aruh adat
perkawinan masyarakat Dayak Maanyan.
4.1 Narator Dramatis
Berdasarkan peranannya narator dalam upacara
perkawinan termasuk narator dramatis (dramatized narrator),
yakni narator secara sengaja masuk ke dalam peristiwa yang
diceritakan, sehingga khalayak kemudian melihat narator
menjadi bagian atas peristiwa yang diceritakan. Narator
dramatis ini pada perawinan adalah apa yang dilakukan oleh
balian pada tahap piadu (perkawinan). Balian bertahan di
rumah mempelai perempuan mulai awal upacara natas
banyang sampai upacara wurung jue. Artinya balian secara
128
langsung ada di tempat cerita. Audiens secara langsung
melihat nyanyian balian dan tarian.
Gambar 4.1 Narator Dramatis dalam Upacara Perkawinan
4.2 Narator Memperlihatkan
Berdasarkan caranya berkisah narator dalam
perkawinan termasuk memperlihatkan (showing), yakni
narator di sini memosisikan dirinya sebagai orang yang
memperkenalkan atau memperlihatkan suatu peristiwa
tanpa menyimpulkan isi dari peristiwa. Narator dalam hal
ini balian menceritakan bahwa hari ini ada aruh adat
perkawinan upacara wurung jue. Pada saat upacara nanti
diharapkan kesediaannya ada audiens yang dibawa ke depan
untuk dijadikan pasangan. Seiring dengan terjadinya cerita,
audiens dapat menyimpulkan sendiri akhir cerita. Berikut
kalimat yang menandai memperlihatkan (showing) pada
tahap piadu.
Pertama-tama kami
ngantuh selamat kamalem,
selamat panalu, selamat
ikumpul andri ani-tata,
pulaksana’i katuluh isa
naan hang waruken iti. Na
hang iti acara puncak
pamenuhan hukum adat
Pertama-tama saya
ucapkan selamat malam,
selamat bertemu, selamat
berkumpul bersama adik
kakak, keluarga semuanya
yang ada di Warukin ini.
Ini adalah acara puncak
Peristiwa
Piadu
129
adalah wurung jue dan
haut hampe saat ni takam
masuk acara wurung jue.
Na huang na iti kami
mohon bila wadian haut
nampaleng haut ngeney ma
riet mampelai sa upu ri
diye kami mengharap ada
hampe manolak daya ina
takam sameh-sameh
malihara adat takam dayak
maanyan .jari iru leh na-
naharap daya kami tarime
kasih. Sa jue sapalsu die
naan ba epat bagi kawan
wawey ni jari iru leh
sanalatu daya kami terima
kasih.
(NAA-NTP/R.17)
pemenuhan hukum adat
adalah Wurung Jue dan
kita sudah memasuki
acara Jue. Apabila dalam
hal ini kami mohon bila
balian sudah berpaling
dan sudah membawa
mempelai wanita
kesamping mempelai laki-
laki ini saya harap jangan
menolak karena kita
bersama-sama
melestarikan adat Dayak
Maanyan. Jadi itu saja
yang dapat saya
sampaikan terima kasih.
Karena ada pasangan (jue)
yang palsu nanti ada
berempat untuk
wanitanya. Itu saja yang
dapat kami beritahukan
terima kasih.
Data di atas tampak balian memperlihatkan peristiwa
wurung jue. Hal ini terlihat dalam kalimat: sa jue sapalsu die
naan ba epat bagi kawan wawey ni ‘karena ada pasangan (jue)
yang palsu nanti ada berempat untuk wanitanya’. Pada
akhirnya audiens dapat menyimpulkan sendiri pasangan
yang sebenarnya dari tiga atau lima orang perempuan yang
dipasangkan dengan mempelai laki-laki.
130
4.3 Narator Subjektif
Berdasarkan penempatannya narator dalam perkawinan
termasuk narator subjektif, yakni khalayak diajak turut serta
menjadi bagian dari suatu cerita. Narasi subjektif ditandai
dengan penggunaan teknik-teknik penceritaan berupa
adegan dari perspektif narator. Khalayak seolah menjadi
narator dan melihat narasi tahap ngantane dari sisi narator.
Berikut kalimat yang menandai posisi narator secara
subjektif pada tahap ngantane.
Jari, umat pambakas ni
sameh adat takam, suku
Dayak kami sakawarga
ngenei bahalai kaya duit
Rp 50.000 (dimempulu
ribu rupiah).
(NAA-NTN/A.18)
Jadi, sebagai tanda jadi
sebagaimana adat kita
sebagai suku Dayak, maka
kami sekeluarga sudah
mempersiapkan bahalai
dan uang Rp 50.000,-.
Jari,taati aku usbah pihak
upu-upu nyarah daduk
bahalai andri duit tunai
Rp.100.000 sebagai tanda
jari.
Mohon na tarime.
(NAA-NTN/A.19)
Jadi, sekarang saya usbah
pihak laki - laki
menyerahkan tapih
bahalai dan uang Rp
100.000 sebagai tanda jadi
Mohon diterima
Usbah dari pihak calon mempelai laki-laki
menyerahkan tanda jadi kepada usbah dari pihak calon
mempelai perempuan yang berarti sebagai penanda
keikutsertaan narator dalam tahap ini.
Narator mengajak khalayak ikut serta menjadi bagian
dari tahap adu pamupuh ini. Berikut kalimat yang menandai
posisi narator secara subjektif pada tahap adu pamupuh.
131
Satuju sa? Sepakatkah?
Sasuai kasapakatan teken
saksi-saksi
Sesuai kesepatakan.
Tanda tangan saksi-saksi
(NAA-NTA/T.20)
Takam menyepakati itati ai
umak ngisi surat perjanjian
pertunangan
Kita sepakati sekarang
saja untuk mengisi
surat perjanjian
pertunangan
(NAA-NTA/T.21)
Usbah dari kedua belah pihak terlibat mulai dari proses
pengisian surat perjanjian pertunangan sampai dengan ditandai
tanda tangan pada surat perjanjian tersebut. Narator subjektif
juga tampak pada saat memulai upacara natas banyang
sampai wurung jue. Narator tersebut adalah balian. Suasana
pelaksanaan yang humor, hikmat, dan sakral. Pada saat
wurung jue merupakan puncak acara perkawinan yang
sangat sakral. Nantinya berkaitan erat dengan proses hidup
yang akan dijalankan oleh pengantin serta doa-doa dari
balian melalui untaian nyanyian. Balian harus mampu
membawa suasana yang bahagia dengan tawa dan senyum
kebahagiaan kedua mempelai, keluarga, dan audiens. Balian
mengajak audiens ikut terlibat dalam peristiwa. Saat
pencarian pasangan wanita balian perempuan mencari 2 atau
4 perempuan yang bukan pasangan sebenarnya. Jumlah itu
akan menjadi ganjil ketika mempelai perempuan
sesungguhnya dapat dihadirkan oleh balian. Berikut data
balian menyapa audiens.
Pertama-tama kami
ngantuh selamat kamalem,
selamat panalu, selamat
ikumpul andri ani-tata,
Pertama-tama saya
ucapkan selamat malam,
selamat bertemu, selamat
berkumpul bersama adik
132
pulaksana’i katuluh isa
naan hang waruken iti.
Na hang iti acara puncak
pamenuhan hukum adat
adalah wurung jue dan
haut hampe saat ni takam
masuk acara wurung jue.
Na huang na iti kami
mohon bila wadian haut
nampaleng haut ngeney
ma riet mampelai sa upu
ri diye kami mengharap
ada hampe manolak daya
ina takam sameh-sameh
malihara adat takam
Dayak Maanyan. Jari iru
leh na-naharap daya kami
tarime kasih.sa jue sapalsu
die naan ba epat bagi
kawan wawey ni jari iru
leh sanalatu daya kami
terima kasih.
(NAA-NTP/R.22)
kakak, keluarga
semuanya yang ada di
Warukin ini. Ini adalah
acara puncak pemenuhan
hukum adat adalah
Wurung Jue dan kita
sudah memasuki acara
Jue. Apabila dalam hal
ini kami mohon bila
balian sudah berpaling
dan sudah membawa
mempelai wanita ke
samping mempelai laki-
laki ini saya harap jangan
menolak karena kita
bersama-sama
melestarikan adat Dayak
Maanyan. Jadi itu saja
yang dapat saya
sampaikan terima kasih.
Karena ada pasangan
(jue) yang palsu nanti ada
berempat untuk
wanitanya. Itu saja yang
dapat kami beritahukan
terima kasih.
Dalam dialog tersebut tampak terlihat ajakan dari
balian agar audiens terlibat dalam peristiwa dengan
mengikuti perintah yang dikatakan balian. Kalimat ajakan
terlihat pada: Na huang na iti kami mohon bila wadian haut
nampaleng haut ngeney ma riet mampelai sa upu ri diye kami
mengharap ada hampe manolak daya ina takam sameh-sameh
133
malihara adat takam Dayak Maanyan ‘Apabila dalam hal ini
kami mohon bila balian sudah berpaling dan sudah
membawa mempelai wanita ke samping mempelai laki-laki
ini saya harap jangan menolak karena kita bersama-sama
melestarikan adat Dayak Maanyan’. Balian sebagai narator
menempatkan audiens sebagai bagian dari peristiwa.
Gambar 4.2 Narator Subjektif dalam Upacara Perkawinan
Balian
Upacara
Perkawinan
134
Gambar 1
Tanda Jadi Berupa Uang dan Bahalai
Gambar 2
Mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan
135
Gambar 3 Lawang Skiping
136
Gambar 4
Mempelai laki-laki melewati lawang skiping (pintu gerbang)
Gambar 5
Penari laki-laki dan penari perempuan suka cita menerima
kedatangan pengantin laki-laki
137
Gambar 6
Pemain music
Gambar 7
Upacara Wurung Jue
138
Gambar 8
Pertemuan pengantin laki-laki dan pengantin perempuan
Gambar 9 Sasanggan
139
Gambar 10
Penyerahan Bana
Gambar 11 Turus Tajak
140
Gambar 12
Miwit Pengantin
141
DAFTAR RUJUKAN
Abbott, Porter. 2002. The Cambridge Introduction to Narrative.
Chicago: University of Chicago Press.
Abbott, Porter. 2007. Story, Plot and Narration dalam David
Herman (Ed). The Cambridge Companion to Narrative.
New York: Cambridge University Press.
Abrams, M. H. 1999. A Glossary of Literary Terms.
Massachusetts: Heinle and Heinle.
Bal, Mieke (Ed). 2007. Narrative Theory: Critical Concepts in
Literary and Cultural Studies. New York: Routledge.
Baldick, Chris. 2001. The Concise Oxford Dictionery of Literary
Term. Oxford: Oxford Paperback Reference.
Barthes, Roland. 1966. Introduction to the Structural Analysis of
Narratives. Mieke Bal (Ed). Narrative Theory: Critical
Concepts in Literary and Cultural Studies. London: Sage
Publication.
Bogdan, Robert C & Sari Knopp Biklen. 1998. Qualitative
Research for Education: An Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Brodwell, David & Kristin Thompson. 2000. Film Art: An
Introduction, Fourth Edition. New York: Mcgraw-Hill.
142
Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative
Structure in Fiction and Film. Ithaca: Cornell University
Press.
Currie, Gregory. 2010. Narratives & Narrators: A Philosophy of
Stories. New York: Oxford University Press.
Czarniawska, Barbara. 2004. Narratives in Social Science
Research. California: Sage Publication.
Diman, Paul. 2005. Analisis Nyanyian Balian untuk Upacara
Perkawinan secara Adat Dayak Maanyan Paju Sapuluh
dengan Pendekatan Sosiologi Sastra. Tesis tidak
diterbitkan. Banjarmasin: Universitas Lambung
Mangkurat.
Dodge, Chritine Huda. 2004. Memahami Segalanya tentang
Islam. Batam: Karisma Publising Group.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York:
Cambridge University Press.
Durasid, Durdje. 1990. Rekonstruksi Protobahasa Barito. Disertasi
tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Durkheim, Emile. 1976. The Elementry Forms of Religious Life,
translated by Joseph Word Swaim. Stanford: Stanford
University Press.
Eriyanto. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya
dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana.
143
Finnegan, Ruth. 1978. Oral Literature In Africa Nairobi.
London: Oxford University Press.
Florus, Paulus. 1994. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan
Transformasi. Jakarta: Gramedia.
Fludernik, Monika. 2006. An Introduction to Narratology.
Routledge 2 Park Square,Milton Park, Abingdon,
OX144RN.
Forster, E.M. 1970. Aspect of the Novel. Harmodswort: Penguin
Book.
Gillespie, Marie. 2006. Narrative Analysis. Marie Gillespie and
Jason Toynbee (Ed). Analysing Media Texs. New
York: Open University.
Greimas, Algirdas J. 1983. Structural Semantics. An Attempt at
a Methods. Lincoln: University of Negraska Press.
Habibie, Bacharuddin Jusuf. 2012. Habibie dan Ainun. Jakarta:
PT THC Mandiri.
Hamidin, Aep S. 2012. Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara.
Jogjakarta: Diva Press.
Hartono dkk. 2003. Upacara Adat Masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Herman, David (Ed). 2007. The Cambridge to Narrative. New
York: Cambridge Univercity Press.
144
Herman, Luc & Bart Vervaeck. 2001. Handbook of Narrative
Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska
Press.
Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang
Pustaka.
Hudson, A B. 1967. The Paju Epat Maanyan Dayak in Historical
Perspective dalam Indonesia. Cornell University: Ithaca.
Ideham, M. Suriansyah dkk (Ed.). 2007. Urang Banjar dan
Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan
dan Pustaka Banua.
Keraf, Gorys. 1994. Argumentasi dan Narasi. Jakarta:
Gramedia.
Kertodipoero, Sarwoto. 1963. Kaharingan: Religi dan Penghidupan
di Pehuluan Kalimantan. Bandung: Pb. Sumur Bandung.
Klinken, Gerry van. 2006. Colonizing Borneo. State Building and
Ethnicity in Central Kalimantan. Indonesia. No 81.
Labov, William & Joshua Waletzky. 1967. Narrative Analysis: Oral
Versions of Personal Experience. Dalam J. Helm (Ed). Essays
on the Verbal and Visual Arts. Proceedings of the 1966.
Annual Spring Meeting of the American Ethnological Society,
(hlm. 12-44), Seattle: University of Washington Press.
Labov, William. 1999. The Transformation of Experience in Narrative:
The Cicourse Reader. London: Routladge.
145
Lamari, Anna A. 2010. Narrative, Intertext, and Space in
Euripides' Phoenissae. Germany : Hubert & Co. GmbH
& Co. KG.
Leach, Edmund. 1970. Fontana Modern Masters: Levi-Strauss.
London: Fontana Press.
Martin, Wallace. 1986. Recent Theories of Narative. Ithaca and
London: Cornell University Press.
Maryaeni. 1991. Apresiasi Drama Teater. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: UGM Press.
Prince, Gerald. 2003. A Dictionary of Narratology (Second
Edition). Lincoln: University of Nabtaska Press.
Propp, Vladimir. 1968. Morphology of the Folktale, Second
Edition, Revised an Edited with Preface by Louis A.
Wagner Intoduction by Alan Dundes. Texas: Texas
University Press.
Rafiq, Ahmad. 2014. Agama Kaharingan di Masyarakat Adat
Dayak Meratus. Makalah disajikan dalam diskusi
Agama dan budaya Lokal, LABEL-UIN Sunan
Kalijaga dan AIFIS, Malang 2 Desember 2014.
Ramulyo, M. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam: Studi Analisis
dari UU No 1/ 1974. Kompilasi Hukum Islam.
146
Richardson, Brian (Ed). 1953. Narratives Beginnings: Theories
and Practices. Lincoln and London: University of
Nebraska Press.
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan
Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami
Kekayaan Leluhur. Palangkaraya: Pusakalima.
Samulani, 2004. Pergeseran Nilai-Nilai dan Makna Upacara
Miempu di Kalangan Dayak Maanyan di Desa Jaar
Kecamatan Dusun Timur Kabupaten Tamiang Layang
Kalimantan Tengah 1900-2002. Banjarmasin: FKIP
Unlam.
Scharer, Hans. 1963. Ngaju Religion: The Conception of God
Among A South Borneo People. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Skorupski, Jhon. 1976. Symbol and Theory: A Philosophycal
Study of Theories of Religion in Social Antropology.
Cambridge: Cambridge University Press.
Soekanto, Soerjono. 2012. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syarifuddin, dkk. 1996. Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak
Kebudayaan Lama dan Asli bagi Pendukungnya Bagi
Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
147
Thwaites, Tony et al. 2002. Introduction Cultural and Media
Studies: A Semiotics Approach. Australia: Palgrave.
Todorov, Tzvaten. 1977. The Poetics of Prose. Translated by
Richard Howar. Ithaca: Cornell University Press.
Ukur, Fridolin. 1971. Tantang-Djawab Suku Dajak. Jakarta:
Gunung Mulia.
Umberan, Musni. 1994. Sejarah Kebudayaan Kalimantan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Direktorat
Kebudayaan Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
van Dijk, Teun Adrianus. 1980. Discourse Studies and Education.
(Online) (http://www.daneprairie.com) diakses 24
Januari 2014.
van Dijk, Teun Adrianus dan Kintsch Walter. 1983. Strategies of
Discourse Comprehension. New York: Academic
Press, Inc.
van Dijk, Teun Adianus. 1995. Discourse Semantics and
Ideology. (Online) (http:www.discourse.org) diakses 12
Desember 2013.
Wainwright, Gordon. 2006. Speed Reading Better Recalling.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat. Jakarta: Gunung Agung.
148