Post on 09-Nov-2020
i
SKRIPSI
HUBUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO
Oleh :
ARDHIN YUUL HAMIDAH
201403003
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
ii
SKRIPSI
HUBUNGAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO
Diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam mencapai gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh :
ARDHIN YUUL HAMIDAH
201403043
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2018
iii
iv
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
“Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Siapa yang bersabar akan
beruntung. Siapa yang menanam akan menuai”
Karya ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tua saya Bapak Nurhadi, S.Pd I dan Ibu Lasmi sebagai
inspirasi terhebat, yang mengutamakan pendidikan pada anak, motivator
terhebat selama ini.
2. Kakak-kakak ku Poppy, Niyan, Amien yang selalu bercanda tawa ketika aku
pulang.
3. Tiga sahabatku Shely, Zendy, & Resita yang setia menemani dalam situasi
apapun.
4. Teman-temanku team “Gadis Idaman” Anisa, Resita, Fatika, Ulul, Riayana,
Siti Fauziah, Yayuk, Inna, Dania, Elfira yang selalu mengingatkan tentang
kewajiban 5 waktu, mendongkrak semangat demi skripsi ini. Dan juga Arief,
Tri yang selalu menghibur dengan sikap humorisnya.
5. Teman-teman S1 Kesehatan Masyarakat angkatan 2014 yang sudah
memberikan bantuan
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ardhin Yuul Hamidah
Tempat/Tanggal Lahir : Ponorogo, 15 Juli 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jalan Raya Ponorogo-Pacitan No. 73 Desa Nailan
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo
Email : ardhinyuulhamidah@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
1. TK Bhayangkari 62 Ponorogo
2. SDN Nailan
3. SMP Negeri 2 Ponorogo
4. SMA Negeri 3 Ponorogo
viii
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
ABSTRAK
Ardhin Yuul Hamidah
Hubungan antara Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Desa Pulung Merdiko
Ponorogo
114 Halaman + 23 tabel + 3 gambar + 10 lampiran
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab
utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun. Kasus
infeksi saluran pernapasan akut di Desa Pulung Merdiko tahun 2017 adalah 106
balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kesehatan lingkungan
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan (ISPA) pada balita di Desa
Pulung Merdiko Ponorogo.
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control.
Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, dimana 30
balita sebagai kasus dan 30 balita sebagai kontrol dengan total sampel sebanyak
60 responden. Teknik analisis data menggunakan uji statistik chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara : kepadatan hunian
(p=0,002 ) jenis lantai (p= 0,020) jenis dinding (p=0,004) pencahayaan (p=0,010)
langit-langit rumah (p=0,010 ) dan anggota keluarga merokok (p= 0,001) dengan
infeksi saluran pernapasan akut pada balita.
Variabel yang paling berhubungan adalah anggota keluarga merokok.
Maka dari itu, disarankan responden selalu membersihkan lingkungan rumah,
dan tidak merokok didekat balita.
Kata Kunci : Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), Balita, Lingkungan Rumah
Kepustakaan : 43 (2009-2017)
ix
PUBLIC HEALTH PROGRAM
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
ABSTRACT
Ardhin Yuul Hamidah
Relationship between Home Environmental Health with Acute Respiratory
Infection (ARI) Incidence in Toddlers in Pulung Merdiko Village Ponorogo
114 pages + 23 tables + 3 images + 10 enclosure
Background : Acute respiratory infection (ARI) was one of the leaded caused of
death by killed ± 4 million toddlers. Cases of acute respiratory infections (ARI) in
infants in Pulung Merdiko Village in 2017 was 106 toddlers. This study aims to
determined the relationship between home environmental health with the
incidence of acute respiratory infections (ARI) in toddlers in Pulung Merdiko
Village Ponorogo.
The methods of this research : This research type was analytic survey with case
control approach. The sampling technique used simple random sampling, where
30 toddlers as case and 30 toddlers as control with total sample counted 60
responder. The data analysis technique used chi-square statistical test.
The result : The results showed that there was a relationship between: density of
residence (p = 0.002) the type of floor (p = 0.020) the type of wall (p = 0.004)
lighting room (p = 0.010) house ceiling (p = 0.010) and family members smoked
(p = 0.001) with acute respiratory infections in toodlers.
Analysis : The most related variables was family members smoked.
Discus and Conclusion : Therefore, should always cleaned the home
environment, and don’t smoked near toddlers.
Keywords: Acute Respiratory Infection (ARI), Toddler, Home Environment
Literature : 43 (2009-2017)
x
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan
petunjuksehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan
Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut) pada Balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program
Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun.
Dalam hal ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu penulis menyampaikan rasa hormat dan trimakasih atas semua bantuan
dan dukungannya selama pelaksanaan dan penyusunan laporan skripsi ini kepada :
1. Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes (Epid) selaku Ketua STIKES Bhakti Husada
Mulia Madiun dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,
pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes, selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun dan selaku
pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan
dalam penyusunan skripsi ini.
3. Riska Ratnawati, S.KM.,M.Kes Selaku penguji skripsi yang telah memberikan
masukan yang bermanfaat dalam skripsi ini.
4. Dr. Indah Selaku Kepala UPTD Puskesmas Pulung Kabupaten Ponorogo.
xi
5. Slamet Suryani Selaku Kepala Desa Pulung Merdiko beserta perangkat Desa,
bidan desa dan perawat desa yang telah membantu dalam penelitian
6. Serta semua pihak yang penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata saya menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai akhir, semoga Allah
SWT senantiasa maridhoi segala usaha kita, Amin
Wasalamualaikum Wr.Wb
Madiun, 16 Agustus 2018
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Sampul Depan .................................................................................................. i
Sampul Dalam .................................................................................................. ii
Lembar Persetujuan .......................................................................................... iii
Lembar Pengesahan ......................................................................................... iv
Lembar Persembahan ....................................................................................... v
Lembar Pernyataan........................................................................................... vi
Abstrak ............................................................................................................ vii
Kata Pengantar ................................................................................................. x
Daftar Isi........................................................................................................... xii
Daftar Tabel....... .............................................................................................. xiv
Daftar Gambar....... ........................................................................................... xv
Daftar Lampiran....... ........................................................................................ xvi
Daftar Istilah dan Singkatan....... ...................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.5 Keaslian Penelitian............................................................................. 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ........................................... 10
2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ........................... 10
2.1.2 Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut ............................. 10
2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut .......................... 11
2.1.4 Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut .................................. 12
2.1.5 Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut ......................... 14
2.1.6 Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut.......................... 14
2.2 Rumah Sehat ...................................................................................... 15
2.2.1 Persyaratan Rumah Sehat ......................................................... 16
2.2.2 Komponen Fisik Rumah Sehat................................................. 18
2.3 Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut ................................ 21
2.3.1 Faktor Host................................................................................ 21
2.3.2 Faktor Agent ............................................................................. 23
2.3.3 Faktor Lingkungan .................................................................... 24
2.4 Kerangka Teori .................................................................................. 28
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................. 29
3.2 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 30
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ............................................................................... 31
4.2 Populasi dan Sampel .......................................................................... 31
xiii
4.2.1 Populasi .................................................................................... 31
4.2.2 Sampel ...................................................................................... 31
4.2.3 Teknik Sampling ...................................................................... 34
4.3 Kerangka Kerja Penelitian ................................................................. 35
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ..................... 36
4.4.1 Variabel Bebas .......................................................................... 36
4.4.2 Definisi Terikat ......................................................................... 36
4.4.3 Definisi Operasional ................................................................. 36
4.5 Instrumen Penelitian .......................................................................... 38
4.5.1 Observasi................................................................................... 38
4.5.2 Kuesioner .................................................................................. 38
4.5.3 Pengukuran ............................................................................... 39
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 40
4.7 Prosedur Penelitian ............................................................................ 41
4.8 Analisa Data ....................................................................................... 43
4.8.1 Analisa Univariat ...................................................................... 43
4.8.2 Analisa Bivariat ........................................................................ 44
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum ............................................................................... 46
4.2 Karakteristik Responden .................................................................... 48
4.3 Hasil Penelitian .................................................................................. 50
4.4 Pembahasan........................................................................................ 61
4.5 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 82
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 83
5.2 Saran .................................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian .............................................................................. 7
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Ekslusi................................................................. 33
Tabel 4.2 Definisi Operasional ........................................................................... 36
Tabel 4.3 Waktu Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 41
Tabel 4.4 Coding Variabel Penelitian ................................................................. 42
Tabel 5.1 Mata Pencaharian Penduduk ............................................................... 47
Tabel 5.2 Aset Perumahan .................................................................................. 47
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Tingkat Pendidikan.................................... 48
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Pekerjaan ................................................... 49
Tabel 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ..................................... 49
Tabel 5.6 Karakteristik Balita Berdasarkan Umur ............................................. 50
Tabel 5.7 Gambaran ISPA di Desa Pulung Merdiko ......................................... 51
Tabel 5.8 Gambaran Kepadatan Hunian Kamar ................................................ 51
Tabel 5.9 Gambaran Jenis Lantai ....................................................................... 52
Tabel 5.10 Gambaran Jenis Dinding .................................................................. 52
Tabel 5.11 Gambaran Pencahayaan ................................................................... 53
Tabel 5.12 Gambaran Langit-langit Rumah ...................................................... 53
Tabel 5.13 Gambaran Anggota Keluarga Merokok ........................................... 54
Tabel 5.14 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian Ispa . 55
Tabel 5.15 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Ispa ................................. 56
Tabel 5.16 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Ispa .............................. 57
Tabel 5.17 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Ispa ............................... 58
Tabel 5.18 Hubungan Langit-langit Rumah dengan Kejadian Ispa ................... 59
Tabel 5.19 Hubungan Anggota Keluarga Merokok Dengan Kejadian Ispa ...... 60
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori ............................................................................. 28
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 35
Gambar 4.2 Luxmeter ...................................................................................... 40
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ........................................................................... 90
Lampiran 2 Surat Balasan DINKES Ponorogo ..................................................... 91
Lampiran 3 Surat Balasan BANGKESBANGPOL Ponorogo .............................. 92
Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Penelitian .................................................. 93
Lampiran 5 Form Komunikasi .............................................................................. 94
Lampiran 6 Lembar Persetujuan Menjadi Responden .......................................... 95
Lampiran 7 Kuesioner Penelitian .......................................................................... 96
Lampiran 8 Output Distribusi Frekuensi............................................................... 98
Lampiran 9 Output Analisis Bivariat ................................................................. 100
Lampiran 10 Dokumentasi ................................................................................. 114
xvii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
WHO : World Health Organization
OR : Oods Ratio
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
SPSS : Statistic Product and Service Solution
CO2 : Carbon Dioksida
O2 : Oksigen
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMA : Sekolah Menengah Atas
TBC : Tuberculosis
BBLR : Berat bayi lahir rendah
Independen : Bebas
Dependen : Terikat
Editing : Penyuntingan
Coding : Pengkodean
Scoring : Skoring
Inform Consent : Lembar Persetujuan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan
pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan
secara menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional
adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa,
baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna
dan berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya (Depkes RI, 2009)
Penyakit berbasis lingkungan merupakan fenomena penyakit terjadi pada
sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar atau memiliki
kaitan erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan pada sebuah ruang
dimana masyarakat tersebut tinggal atau beraktivitas dalam jangka waktu
tertentu (Achmadi, 2012).
Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit menular berbasis
lingkungan. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung
sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura)
(Depkes, 2012).
Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal
setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara
2
berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian
dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Rudianto, 2013).
Di Indonesia kasus ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab
kematian bayi. Berdasarkan Riskesdas 2013 prevalensi nasional ISPA
adalah 25,0%. Sebanyak lima provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi,
yaitu Nusa Tenggara Timur 41,7%, Papua 31,1%, Aceh 30,0%, Nusa
Tenggara Barat 28,3%, dan Jawa Timur 28,3%. Penduduk dengan ISPA
yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun 25,8%. (Data Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo menunjukkan jumlah kasus
ISPA pada balita tahun 2016 sebanyak 2487 atau 4,45%. ISPA di kabupaten
Ponorogo menjadi tren penyakit setiap tahunnya. Puskesmas yang ada di
wilayah Ponorogo salah satunya adalah Puskesmas Pulung. Dari 30
Puskesmas yang ada di Kabupaten Ponorogo, Puskesmas Pulung dipilih
karena penyakit ISPA selalu masuk 10 besar angka kesakitan selama 2 tahun
berturut-turut (Dinkes Ponorogo, 2016). Berdasarkan data yang diperoleh pada
tahun 2016 kasus ISPA di Puskesmas Pulung sebanyak 1385 penderita.
Sedangkan kasus baru ISPA di tahun 2017 sebanyak 1599 penderita. Kasus
ISPA balita di Puskesmas Pulung tahun 2017 tersebut didominasi oleh balita
sebanyak 324 penderita. Puskesmas Pulung membawahi 11 desa, dari 11 desa
tersebut kasus ISPA balita tertinggi ada di Desa Pulung Merdiko, dengan
jumlah penderita ISPA sebanyak 109 balita (Puskesmas Pulung, 2017).
3
Secara umum faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan fisik,
faktor host/pejamu, faktor agent serta faktor lingkungan sosial. Faktor agent
yaitu bakteri, virus dan jamur. Faktor lingkungan fisik meliputi, pencemaran
udara dalam rumah, kondisi fisik rumah seperti kepadatan hunian, jenis lantai,
jenis dinding, pencahayaan rumah. Sedangkan faktor sosial meliputi pekerjaan
orangtua, pendidikan ibu, serta perilaku merokok anggota keluarga (Depkes
RI, 2010)
Kondisi lingkungan rumah sangat mempengaruhi kesehatan dari
penghuni rumah khususnya pada balita karena sistem kekebalan tubuh balita
sangat rentan terhadap penyakit. Rumah Sehat adalah bangunan rumah tinggal
yang memenuhi syarat kesehatan yang terdiri dari komponen rumah, sarana
sanitasi dan perilaku antara lain yaitu memiliki jamban sehat, tempat
pembuangan sampah, sarana air bersih, sarana pembuangan air limbah,
ventilasi baik, kepadatan hunian rumah sesuai dan lantai rumah tidak dari
tanah (Profil Indonesia, 2016).
Menurut data Puskesmas Pulung tahun 2016 cakupan rumah sehat masih
dibawah target, dari 8307 rumah yang diperiksa 3895 rumah belum memenuhi
syarat rumah sehat atau baru tercapai 53,11% dari target 100%. Kemudian di
tahun 2017 data rumah sehat masih sama yaitu 53,11%. Berdasarkan data
Puskesmas Pulung pada tahun 2017, di Desa Pulung Merdiko terdapat 26%
rumah yang belum memenuhi syarat, dibandingkan dengan desa lain
persentase tersebut masih tergolong tinggi (Puskesmas Pulung, 2017).
4
Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat Kabupaten
Ponorogo tahun 2016 terdapat 19.919 (57,4%) dari 34,704 yang disurvei, hal
ini masih dibawah target yaitu 100% (Dinkes Ponorogo, 2016). Perilaku
manusia merupakan faktor yang besar pengaruhnya dalam menentukan derajat
kesehatan. Perilaku masyarakat yang buruk dapat menimbulkan berbagai
penyakit, meskipun sarana sanitasi dasar telah tersedia, misalnya terjadinya
penyakit ISPA. Salah satu contohnya yaitu perilaku merokok anggota keluarga
didalam rumah akan meningkatkan terjadinya kasus ISPA pada balita, hal
tersebut sesuai dengan penelitian William (2015) yang menyatakan bahwa
merokok dalam rumah merupakan salah satu faktor yang bermakna dalam
kejadian ISPA termasuk balita.
Dari penelitian Safrizal (2017) tentang hubungan ventilasi, lantai,
dinding, dan atap dengan kejadian ISPA pada balita di Blang Muko
menunjukkan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah (p=0,032), lantai
rumah (p=0,014), dinding rumah (p=0,000), atap rumah (0,022) dengan
kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh William (2015) tentang
hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Manado menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian (p=0,0001) di
dalam rumah, keberadaan hewan peliharaan di dalam rumah (p=0,0001)
dan status merokok (p=0,0001) dengan kejadian ISPA pada anak balita.
5
Maka dari itu penting bagi setiap masyarakat untuk menjaga dan
memelihara sanitasi fisik rumah, menerapkan gaya hidup bersih dan sehat
dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi resiko terkena penyakit yang
berhubungan dengan lingkungan terutama pada balita.
Berdasarkan uraian diatas, kejadian ISPA balita di Desa Pulung Merdiko
tergolong tinggi dan persentase rumah sehat masih dibawah target yang telah
ditentukan. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo.
1.2 Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubunganantara kesehatan lingkungan rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, langit-
langit rumah, pencahayaan, anggota keluarga merokok di Desa Pulung
Merdiko Ponorogo
6
2. Menganalisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
3. Menganalisis hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Pulung Merdiko Ponorogo
4. Menganalisis hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA balita di
Desa Pulung Merdiko Ponorogo
5. Menganalisis langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Pulung Merdiko Ponorogo
6. Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita
di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
7. Menganalisis hubungan anggota keluarga merokok dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang
pentingnya menjaga lingkungan rumah agar tetap nyaman dan sehat, serta
sebagai bahan masukan bagi peningkatan pemberdayaan keluarga,
terutama ibu untuk meningkatkan kesehatan anak agar terhindar dari
faktor-faktor yang dapat menyebabkan ISPA balita.
7
1.4.2 Bagi Instansi Pemerintah dan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan untuk
program P2ISPA dan pemerintah desa agar lebih peduli dengan kesehatan
lingkungan masyarakat.
1.5 Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian penelitian
No Peneliti
(Tahun)
Judul Desain Variabel Bebas dan
Terikat
Hasil
1 Patmawati
Dongky
dan
Kadrianti
(2016)
Faktor Risiko
lingkungan Fisik
Rumah dengan
Kejadian ISPA Balita
di Kelurahan Polewali
Mandar
Cross
sectional
Ventilasi dan Kepadatan
Hunian dengan Kejadian
ISPA pada Balita
Ada
hubungan
antara
kepadatan
hunian
(p=0,017)
dengan
Kejadian
ISPA pada
Balita
2 William,
Jootje dan
Joy
(2015)
Hubungan antara
Kondisi Lingkungan
Rumah dengan
Kejadian Penyakit
ISPA pada Anak Balita
di Wilayah Kerja
Puskesmas Sario
Kecamatan Sario Kota
Manado
Cross
sectional
Keberadaan hewan
peliharaan, Ventilasi
kamar balita, status
merokok, kepadatan
hunian dengan Kejadian
ISPA pada Anak Balita
Ada
hubungan
antara
keberadaan
hewan
(p=0,0001)
ventilasi
(p=0,0001)
status
merokok
(p=0,0001)
kepadatan
hunian
(p=0,0001)
dengan
Kejadian
ISPA pada
Balita
8
3 Safrizal
SA (2017)
Hubungan Ventilasi,
Lantai, Dinding, dan
Atap dengan Kejadian
Ispa Pada Balita Di
Blang Muko
Cross
sectional
Ventilasi, Lantai,
Dinding, dan Atap
dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Ada
hubungan
antara
ventilasi
(p=0,032)
lantai
(p=0,014)
dinding
(p=0,000)
atap
(p=0,022)
dengan
Kejadian
ISPA pada
Balita
4 Tri,
Badar,
dan
Kusuma
(2016)
Faktor Risiko Kejadian
ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja
Puskesmas Sukoharjo
Case
Control
Pengetahuan orangtua,
kebiasaan merokok, luas
ventilasi dengan kejadian
ISPA
Ada
hubungan
antara
pengetahuan
orangtua
(p=0,001),
kebiasaan
merokok
(p=0,006),
luas
ventilasi
(p=0,001)
dengan
kejadian
ISPA
5 Cindi
Astuti
(2017)
Hubungan Perilaku
Keluarga dengan
Kejadian ISPA pada
Balita di Desa Cijati
Kecamatan Cimanggu
Kabupaten Cilacap
Case
Control
Perilaku keluarga
mencegah dan
menanggulangi ISPA
dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Ada
hubungan
antara
perilaku
keluarga
(p=0,0001)
dengan
kejadian
ISPA pada
Balita
9
Beda penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas berupa kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding, langit-
langit rumah, pencahayaan, dan anggota keluarga merokok.
2. Lokasi & Waktu : Desa Pulung Merdiko Kecamatan Pulung
Kabupaten Ponorogo, 2018
3. Desain penelitian : Case Control
4. Populasi : 109 balita kasus ISPA
5. Sampel : 30 balita kasus dan 30 balita kontrol
6. Metode : Survey analitik
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut mengandung dua unsur, yaitu
infeksi dan saluran pernapasan atas. Pengertian infeksi adalah masuknya kuman
atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga
menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi pada
pernapasan bagian atas yang meliputi mulut, hidung, tenggorokan, laring (kotak
suara), dan trakea (batang tenggorokan). Gejala dari penyakit ini antara lain ; sakit
tenggorokan, beringus (rinorea), batuk, pilek, sakit kepala, mata merah, suhu
tubuh meningkat 4-7 hari lamanya (Mumpuni, 2016)
2.1.2 Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri
penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.
Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus.
Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus sp., Candida
albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008)
11
2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2012) adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
Klasifikasi berdasarkan umur (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut:
1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38 ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5oC),
pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat,
sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan
abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia: jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
12
2. Kelompok umur 2 bulan ≤ 5 tahun, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernapas) dan pernapasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernapas) tanpa
pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.
e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit
walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang
adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding
dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.
2.1.4 Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah:
1. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal
pada waktu berbicara atau menangis).
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
13
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba.
2. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu
tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung
jumlah tarikan nafas dalam satu menit.Untuk menghitung dapat digunakan
arloji.
b. Suhu lebih dari 39 oC (diukur dengan termometer).
c. Tenggorokan berwarna merah.
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
a. Bibir atau kulit membiru.
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.
14
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
g. Tenggorokan berwarna merah.
2.1.5 Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Secara umum infeksi saluran pernapasan akut pada balita dapat dicegah
dengan cara sebagai berikut (Ardinasari, 2016) :
a. Melakukan imunisasi sesuai usia anak yang disarankan, sehingga bayi,
balita dan anak memiliki kekebalan terhadap berbagai serangan penyakit
b. Menjaga asupan makanan dan nutrisi
c. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar
d. Menjauhkan bayi, balita dan anak dari asap rokok, tembakau, dan polusi
udara lain
e. Menghindarkan bayi, balita, dan anak dari seseorang yang tengah
menderita ISPA.
2.1.6 Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Pengobatan ISPA pada bayi, balita dan anak secara umum bisa dilakukan
dirumah. Berikut ini beberapa caranya: dengan memberikan obat yang sifatnya
aman dan alami pada balita, sedangkan bayi sebaiknya segera dibawa ke dokter.
Jika demam, bayi yang berusia 2bulan-5tahun dapat diobati dengan paracetamol
juga dikompres, sedangkan untuk bayi dibawah usia 2 bulan segera diperiksakan
ke dokter. Penderita ISPA memerlukan banyak asupan makanan yang
bergizi.balita perlu diberikan makanan sedikit demi sedikit, tetapi rutin dan
berulang, sedangkan untuk bayi yang masih menyusui dibutuhkan ASI ekslusif
15
dari ibu. Agar penderita ISPA tidak kekurangan cairan, berilah air yang lebih
banyak dari biasanya baik air putih maupun sari buah. Asupan minuman yang
banyak akan membantu mencegah dehidrasi dan mengencerkan dahak
(Ardinasari, 2016). Kemudian untuk penanganan ISPA bisa ditentukan
berdasarkan penyebab dari ISPA tersebut antara lain (Khrisna, 2013) :
a. ISPA yang disebabkan oleh alergi: cara yang paling tepat dengan
menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi tersebut. Tablet anti alergi
biasanya diresepkan oleh dokter untuk menghentikan reaksi alergi
tersebut.
b. ISPA disebabkan oleh virus: biasanya ISPA yang disebabkan oleh virus ini
tidak memerlukan pengobatan. Yang diperlukan hanya istirahat, minum
yang banyak dan makan-makanan yang sehat. Dengan istirahat yang
secukupnya, biasanya gejala mulai berkurang setelah 2-3 hari berlalu.
c. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur: ISPA jenis ini memerlukan
antibiotik atau anti jamur untuk membunuh kuman tersebut. Penggunaan
obat-obat tersebut harus menggunakan resep dokter untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dan mengurangi resiko munculnya efek yang tidak
diinginkan.
2.2 Rumah Sehat
Rumah sehat adalah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan baik jasmani
dan rohani bagi anggota keluarga dan rumah sebagai tempat perlindungan
terhadap penularan penyakit (Untari, 2017).
16
Rumah adalah pusat kesehatan keluarga karena rumah merupakan tempat
dimana anggota keluarga berkumpul dan saling berhubungan. Seluruh anggota
keluarga serta kebiasaan hidup sehari-harinya merupakan suatu ketentuan yang
berhubungan erat. Itulah sebabnya kesehatan harus dimulai dari rumah, untuk itu
rumah dan pengaturannya harus memenuhi syarat-syarat kesehatan (Koes Irianto,
2014)
Menurut Notoatmodjo (2011), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
membangun suatu rumah :
1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan sosial.
Maksudnya dalam membangun suatu rumah harus memperhatikan tempat
dimana rumah itu didirikan.
2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya, untuk itu maka bahan-bahan setempat yang murah misal
bambu, kayu atap rumbia dan sebagainya adalah merupakan bahan-bahan
pokok pembuatan rumah. Perlu dicatat bahwa mendirikan rumah adalah
bukan sekedar berdiri pada saat itu saja, namun diperlukan pemeliharaan
seterusnya (Mundiatun, 2015)
2.2.1 Persyaratan Rumah Sehat
Berdasarkan hasil rumusan yang dikeluarkan oleh APHA di Amerika,
rumah sehat adalah rumah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut
(Mubarak, 2009):
17
1) Harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
2) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis
3) Dapat terhindar dari penyakit menular
4) Terhindar dari kecelakaan-kecelakaan
Jika diteliti lebih lanjut, persyaratan yang diuraikan diatas adalah sama
dengan persyaratan seperti yang disebutkan berikut ini :
1) Persyaratan letak rumah
Letak rumah yang baik dapat menghindarkan dari bahaya timbulnya
penyakit menular, kecelakaan, dan kemungkinan gangguan-gangguan
lainnya. Persyaratan letak rumah merupakan persyaratan pertama dari
sebuah rumah sehat.
2) Persyaratan Fisik
Persyaratan fisik meliputi konstruksi dan luas bangunan. Konstruksi
rumah harus baik dan kuat, sehingga dapat mencegah kemungkinan
terjadinya kelembaban dan mudah diperbaiki bila ada kerusakan.
Persyaratan fisik menyangkut konstruksi rumah.
3) Persyaratan Fisiologis
Rumah sehat harus memenuhi kriteria ventilasi yang baik, pencahayaan
yang cukup, terhindar dari kebisingan.
4) Persyaratan Psikologis
Rumah sehat harus memiliki pembagian ruangan yang baik, penataan
perabot yang rapi. Penyebaran penyakit-penyakit menular dirumah yang
padat penghuninya cepat terjadi. Selain itu, didaerah yang seperti ini,
18
kesibukan dan kebisingan akan meningkat, yang akan menimbulkan
gangguan terhadap ketenangan, baik individu, keluarga, maupun
keseluruhan masyarakat disekitarnya.
5) Kelengkapan fasilitas sanitasi untuk menciptakan rumah yang higienis
Sebuah rumah sehat harus memiliki fasilitas-fasilitas sanitasi yang baik
atau memadai, seperti pembuangan kotoran, pembuangan sampah,
penyediaan air keperluan rumah tangga, tempat pengolahan, dan
penyimpanan makanan yang higienis atau bersih.
2.2.2 Komponen Fisik Rumah Sehat
Menurut Notoatmodjo (2011) komponen rumah harus memiliki
persyaratan fisik sebagai berikut:
1. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap sejuk. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah
yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
kelembaban udara dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini merupakan
media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri penyebab penyakit).
Fungsi kedua ventilasi untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
19
bakteri, terutama bakteri patogen. Fungsi lainnya untuk menjaga agar ruangan
rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
2. Jenis lantai
Saat ini, ada berbagai jenis lantai rumah. Lantai rumah dari semen atau
ubin, keramik, atau cukup tanah biasa dipadatkan. Syarat yang penting disini
adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada musim
hujan. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.
3. Jenis dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
daerah tropis khususnya dipedesaan banyak yang berdinding papan, kayu, dan
bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang.
Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan bambu dapat
menyebabkan penyakit pernapasan. Dinding di ruang tidur, ruang keluarga
dilengkapi dengan ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Kemudian
dinding di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan.
4. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media
atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau
20
dan akhirnya dapat merusakkan mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2,
yakni :
1. Cahaya alamiah, yakni cahaya matahari. Cahaya ini sangat penting
karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
luasnya sekurang-kurangnya 15%-20% dari luas lantai yang terdapat
dalam ruangan rumah.
2. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya.
Pencahayaan alami dan atau buatan minimal intensitasnya adalah 60 lux
serta tidak menyilaukan.
5. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Kepadatan hunian yang dimaksud perbandingan antara luas lantai kamar
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per
orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung kualitas bangunan
dan fasilitas yang tersedia, untuk perumahan sederhana, minimum 8 m2 per
orang. Untuk kamar tidur diperlukan miminum 2 orang, kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah
2 tahun.
6. Langit-langit Rumah
Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal
ini dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah
21
dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang berasal dari
atap rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari.
Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Rumah
yang sehat menggunakan langit-langit rumah berupa plafon.
7. Atap
Atap genteng umum dipakai baik di daerah perkotaan maupun di
pedesaan. Atap genteng cocok untuk daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh
masyarakat dan bahkan masyarakat bisa membuatnya sendiri. Atap seng atau
asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, disamping mahal juga
menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
2.3Faktor Resiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang
anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Faktor risiko yang
meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena ISPA antara
lain :
2.3.1Faktor Host
a. Jenis Kelamin
Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibandingkan wanita,
wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat
dibandingkan laki-laki, baik itu daya tahan akan rasa sakit dan daya tahan
terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis
penyakit dan cacat dibandingkan wanita. Selain itu, secara neurologis anak
22
perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa
remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih cepat. Wanita cenderung hidup
lebih lama daripada pria (Chandra, 2009)
b. Status Imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian dari penyakit. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis
penyakit, seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, campak (Notoatmodjo,
2011). Dari hasil penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang bermakna
antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita
yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko lebih besar untuk
menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi
lengkap.
c. Umur
Umur menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti usia
pada anak-anak yang cenderung mudah terserang oleh penyakit (Chandra,
2009). Menurut Dian Fitriawati (2013) kejadian ISPA atas lebih sering
terjadi pada anak berusia 2-5 tahun karena pada usia tersebut anak
sudah banyak terpapar dengan lingkungan luar dan kontak dengan penderita
ISPA lainnya sehingga memudahkan anak untuk menderita ISPA.
d. Status Gizi
Gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap
penyakit-penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2011). Status gizi balita merupakan
hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Parameter yang umum
23
digunakan untuk menentukan status gizi pada balita adalah berat badan, tinggi
badan dan lingkar kepala (Marimbi, 2010). Asupan gizi yang kurang
merupakan resiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran
pernapasan. Berdasarkan penelitian Heryanto (2016) ada hubungan yang
bermakna status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Pemberian ASI Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi
sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin,
dan mineral). ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi
karena mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman
dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi
risiko kematian pada bayi (Depkes RI, 2016). Menurut penelitian Heryanto
(2016) ada hubungan yang bermakna pemberian ASI Eksklusif dengan
kejadian ISPA pada balita
2.3.2 Faktor Agent
Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,
Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza,
Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA
antara lainAspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono,
2008)
24
2.3.3 Faktor Lingkungan
2.3.3.1 Faktor Lingkungan Fisik
a. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian yang dimaksud perbandingan antara luas lantai kamar
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Menurut
keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
persyaratan rumah, untuk kamar tidur diperlukan mininum 2 orang, kamar
tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak
dibawah 2 tahun. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah
penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Kepadatan hunian akan
meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan
yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernafasan tersebut.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan
tubuh penghuninya menurun, kemudian mempercepat timbulnya penyakit
saluran pernapasan seperti ISPA (Ade, 2012). William (2015) menujukkan
bahwa tingkat kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita.
b. Pencahayaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa pencahayaan alami dan/atau buatan langsung
maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal
25
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. Menurut Ronny (2015)
pencahayaan merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian
ISPA pada balita
c. Jenis Lantai
Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak
lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling
tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau
keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011). Dari penelitian
Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan
kejadian ISPA pada balita.
d. Jenis Dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
didaerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu
dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat perekonomiannya kurang. Rumah
yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat
menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena
angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah (Notoatmodjo, 2011).
Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit
dibersihkan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan
sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman. Berdasarkan
penelitian Safrizal (2017) menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis
dinding dengan kejadian ISPA pada balita.
26
e. Langit-langit Rumah
Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal
ini dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah
dalam ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang yang berasal
dari atap rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari.
Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
tentang persyaratan rumah langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak
rawan kecelakaan.
Menurut penelitian Safrizal (2017) rumah yang tidak ada langit-langit
(plafon) ada hubungan yang signifikan dengan kejadian ispa (p=0,002),
sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu
saluran pernafasan pada balita yang ada di desa tersebut.
2.3.3.2 Faktor Lingkungan Sosial
a. Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2010 tentang
larangan merokok, dijelaskan bahwa merokok merupakan kegiatan
membakar rokok salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya
dapat dihirup lewat mulut pada lainnya. Rokok bukan hanya masalah
perokok aktif, tetapi juga masalah bagi perokok pasif. Asap rokok terdiri
dari 4000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons, dan lain-
lain (Kepmenkes RI, 2011). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara
27
Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya
perokok mempunyai resiko lebih besar terkena gangguan saluran
pernapasan dengan gejala sesak napas dan batuk. Dari hasil penelitian
William (2015) status merokok anggota keluarga berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita.
b. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan
utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan
orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan
kesehatan dan gizi anak yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak
menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit
infeksi termasuk ISPA.
c. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko yang
meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat
pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak yang menderita ISPA.Ibu yang berpendidikan tinggi
cenderung lebih mengetahu cara-cara mencegah penyakit (Notoatmodjo,
2012). Menurut penelitian Sulistyowati (2017) ada hubungan antara
pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.
28
2.4 Kerangka Teori
Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Teori Segitiga Epidemiologi (Notoatmodjo, 2011)
Faktor Host
1. Jenis Kelamin
2. Status Imunisasi
3. Umur
4. Status gizi kurang
5. Pemberian asi
ekslusif
Faktor Agent
1. Mikoplasma
2. Bakteri
Streptoccocus,
Staphylococcus,
Haemophilus,
Bordetella,
Corynebacterium
Faktor Lingkungan
Fisik
1. Kepadatan hunian
2. Pencahayaan
3. Jenis lantai
4. Jenis dinding
5. Langit-langit
Faktor Lingkungan
Sosial
1. Pekerjaan orang tua
2. Pendidikan ibu
3. Kebiasaan merokok
keluarga
Kejadian ISPA pada Balita
29
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta
variabel-variabel yang akan diukur (diteliti) (Notoatmodjo, 2012).Kerangka
konsep dalam penelitian ini adalah :
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Kepadatan Hunian
Jenis Lantai
Jenis Dinding
Pencahayaan
Langit-langit Rumah
Anggota Keluarga Merokok
Kejadian ISPA pada Balita
30
3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012).
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ha = Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
2. Ha = Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Pulung Merdiko Ponorogo
3. Ha = Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA balita di Desa
Pulung Merdiko Ponorogo
4. Ha = Ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
5. Ha = Ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan
kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
6. Ha = Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Pulung Merdiko Ponorogo
31
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian survey analitik. Menurut
Notoatmodjo (2012) survei analitik adalah survei atau penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi.
Desain yang akan digunakan adalah metode penelitian analitik dengan
rancangan case control. Desain case control ialah suatu penelitian
menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan retrospective yaitu rancangan bangunan yang melihat ke belakang
dari suatu kejadian yang berhubungan dengan kejadian kesakitan yang di
teliti. Intinya penelitian case control ini adalah diketahui penyakitnya
kemudian ditelusuri penyebabnya (Notoatmodjo, 2012).
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah kelompok subjek yang menjadi sasaran penelitian
(Rosjidi, 2015). Populasi kasus dalam penelitian ini adalah balita sebanyak
109 balita.
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang mewakili suatu populasi
(Saryono, 2011).
32
Berikut rumus untuk menghitung proporsi paparan (Yasril, 2009) :
Selanjutnya untuk menentukan besar sampel dengan desain case
control menggunakan rumus sebagai berikut (Yasril, 2009):
2
2
2
2
2
= 29,16 = 30
Dengan nilai OR=3 yang didapat dari penelitian terdahulu (Hasanah,
2017), taraf kepercayaan sebesar 95% maka besar sampel pada penelitian ini
adalah 30 sampel. Dengan perbandingan 1 : 1 sehingga diperoleh kelompok
kasus sebanyak 30 balita ISPA dan kelompok kontrol sebanyak 30 balita
tidak ISPA (Yasril, 2009).
Keterangan :
P = Proporsi Paparan
OR = Prakiraan Odds Ratio = 3
(Hasanah, 2017)
Keterangan :
n = Besar Sampel
Zα = Kesalahan tipe α = 1,96
Zβ = Kesalahan tipe β = 0,842
33
Supaya hasil penelitian sesuai dengan tujuan, maka penentuan sampel
yang dikehendaki harus sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan.
Kriteria ini berupa kriteria inklusi, merupakan batasan ciri/karakter umum
pada subyek penelitian, dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria
eksklusi. Sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi, harus
dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias, hal ini disebut kriteria
eksklusi (Saryono, 2011).
Tabel 4.1 Kriteria inklusi dan eksklusi
Sampel Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Kasus 1. Balita dan ibu balita yang
tercatat tinggal di Desa
Pulung Merdiko
2. Balita yang didiagnosis
menderita ISPA akut
3. Ibu balita bersedia menjadi
responden
1. Balita
pendatang/yang
pindah rumah
selama < 6 bulan
2. Balita dengan
komplikasi
pernapasan
3. Ibu yang tidak
komunikatif
Kontrol 1. Balita dan ibu balita yang
tinggal di Desa Pulung
Merdiko
2. Balita yang tidak didiagnosis
ISPA dan pernapasan lain
3. Ibu balita memahami bahasa
indonesia sehat jasmani
rohani
4. Ibu balita bersedia menjadi
responden
1. Balita
pendatang/yang
pindah rumah
selama < 6 bulan
2. Ibu yang tidak
komunikatif
34
4.2.3 Teknik Sampling
Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan sampel
yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian (Nursalam,
2008). Pengambilan sampel meliputi pengambilan sampel probabilistik
dan non probabilistik (Rosjidi, 2015). Pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah probabilistik dengan menggunakan teknik Simple
Random Sampling, yaitu pengambilan secara random atau acak. Berikut
ini cara menentukan sampel dengan undian (lottery technique)
(Notoatmodjo, 2012) :
1. Buat daftar urutan seluruh anggota populasi.
2. Buat kertas lintingan seperti arisan.
3. Tuliskan nama/nomor urut anggota populasi dalam satu kertas
lintingan, lalu di linting.
4. Undi sebanyak jumlah sampel yang diperlukan
35
4.3 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja adalah pentahapan (langkah-langkah) dalam aktivitas
ilmiah mulai dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya, yaitu kegiatan
sejak awal penelitian dilaksanakan (Nursalam, 2008).
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Populasi
Balita sebanyak 109 balita
Sampel
60 responden terdiri dari 30 balita ISPA (kasus) dan 30 balita tidak ISPA
(kontrol)
Pengumpulan Data
Pengumpulan data: Pengumpulan data menggunakan kuesioner &
observasi & pengukuran
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis dan Desain Penelitian analitik, desain case control
Pengolahan Data
Editing, Coding, Entry, Cleaning, Tabulating dan Analisis Data Uji Chi
Square
Hasil dan Kesimpulan
36
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel adalah obyek penelitian yang bervariasi. Variabel dibedakan
menjadi 2 yaitu variabel bebas dan variabel terikat (Saryono, 2011).
4.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap
menentukan variabel terikat. Variabel ini dapat merupakan factor resiko,
predictor, kausa/penyebab (Saryono, 2011).
Variabel bebas dalam penelitian ini kepadatan hunian, jenis lantai, jenis
dinding, langit-langit rumah, kebiasaan merokok, pencahayaan.
4.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat disebut juga kejadian, luaran, manfaat, efek atau dampak.
Variabel terikat juga disebut penyakit/outcome (Saryono, 2011).
Variabel terikat dalam penelitian ini kejadian ISPA pada Balita di Desa
Pulung Merdiko Ponorogo.
4.4.3 Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel
akan diukur serta alat ukur apa yang digunakan untuk mengukur (Rosjidi,
2015).
Tabel 4.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala data Skor Kriteria
1 Kepadatan
hunian
kamar tidur
Banyaknya penghuni
kamar dibanding
luas lantai kamar.
Memenuhi syarat,
jika luas ≥8m2 untuk
2 orang
Observasi
Rollmeter
Nominal 0 = Tidak
1= Ya
0 = Tidak memenuhi
syarat, jika luas
<8m2
untuk 2 orang
1 = Memenuhi
syarat, jika luas
>8m2
untuk 2 orang
37
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
2 Jenis lantai Bagian alas bawah
(alas, dasar) suatu
ruangan atau
bangunan. Lantai
terbuat dari
ubin/mester/keramik
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
Observasi Nominal 0= Tidak
1= Ya
0 = Tidak memenuhi
syarat, jika
sebagian/seluruh
lantai terbuat dari
tanah
1 = Memenuhi
syarat, jika lantai
terbuat dari
ubin/mester/keramik
3 Jenis
dinding
Salah satu elemen
vertikal/tegak
bangunan dan
berfungsi sebagai
penutup atau
pembatas ruangan.
Dinding terbuat dari
batubata/batako
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
Observasi Nominal 0= Tidak
1= Ya
0 = Tidak memenuhi
syarat, jika terbuat
dari kayu
1 = Memenuhi
syarat, jika dari
batubata/batako
4 Langit-langit
rumah
Merupakan
pembatas antara atap
dengan ruangan.
Langit-langit rumah
menggunakan plafon
(Kepmenkes No.
829 tahun 1999)
Observasi Nominal 0= Tidak
1= Ya
0 = Tidak memenuhi
syarat, jika tidak ada
plafon
1 = Memenuhi
syarat, dipasang
plafon
5 Pencahayaan Hasil pengukuran
pencahayaan rumah
dengan luxmeter.
Pencahayaan
memenuhi syarat
jika = 60 lux
(Permenkes No.
1077 th 2011)
Observasi
Luxmeter
Nominal 0= Tidak
1= Ya
0 = Tidak memenuhi
syarat, jika <60lux
atau >60lux
1 = Memenuhi
syarat, jika = 60lux
6 Kebiasaan
merokok
Merokok merupakan
kegiatan membakar
rokok salah satu
ujungnya dan
dibiarkan membara
agar asapnya dapat
dihirup lewat mulut
pada lainnya
(Hasanah, 2017)
Kuesioner Nominal 0= Merokok
1= Tidak
merokok
0 = Merokok, jika
salah satu anggota
keluarga merokok
1 = Tidak Merokok,
jika tidak ada
anggota keluarga
merokok/ telah
berhenti >= 6 bulan
38
7 ISPA balita Infeksi yang terjadi
pada pernapasan
bagian atas. Gejala
dari penyakit ini
antara lain: sakit
tenggorokan, batuk,
pilek, sakit kepala,
mata merah, suhu
tubuh meningkat 4-7
hari lamanya
Kuesioner
& data
rekam
medis
Nominal 0= Kasus
1= Kontrol
0= Kasus, Balita
yang tercatat sebagai
penderita ISPA
1= Kontrol, Balita
yang tidak tercatat
sebagai penderita
ISPA
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono,
2011). Adapun instrumen dalam penelitian ini ini adalah observasi, kuesioner dan
pengukuran.
4.5.1 Observasi (Pengamatan)
Pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian (Sujarweni, 2014). pengamatan dalam
penelitian ini dilakukan pada kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding,
langit-langit rumah.
4.5.2 Kuesioner
Pentingnya kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah untuk
memperoleh suatu data yang sesuia dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh
karena itu, isi kuesioner adalah sesuai dengan hipotesis penelitian tersebut
(Notoadmodjo, 2012).
39
4.5.3 Pengukuran
4.5.3.1 Pengukuran Kepadatan Hunian Kamar
Menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah, kepadatan hunian
kamar diukur dengan membandingkan banyaknya penghuni kamar dengan
luas lantai kamar. Pengukuran menggunakan rollmeter. Berikut cara
menghitung kepadatan hunian kamar :
1. Hitung berapa penghuni kamar
2. Hitung luas lantai kamar dengan cara rentangkan rollmeter, ukur panjang
dan lebar kamar kemudian kalikan.
3. Bandingkan antara jumlah penghuni kamar dengan luas lantai kamar, jika
luas kamar ≥8m2 untuk 2 orang maka memenuhi syarat.
4.5.3.2 Pengukuran Pencahayaan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011
tentang pedoman penyehatan udara dalam ruang rumah menunjukkan kriteria
pencahayaan yang memenuhi syarat adalah jika besarnya 60 lux dan tidak
menyilaukan. Alat yang digunakan untuk pengukuran pencahayaan adalah
luxmeter. Sesuai dengan SNI 16-7062-2004 mengenai pengukuran intensitas
penerangan dalam ruang, penentuan titik pengukurannya yaitu titik potong
garis horizontal panjang dan lebar pada setiap jarak tertentu setinggi 1m dari
lantai. Jarak tersebut dibedakan berdasarkan luas ruangan antara lain sebagai
berikut :
40
1. Luas ruangan <10 m2; titik potong garis horizontal panjang dan lebar
ruangan adalah pada jarak setiap 1m
2. Luas ruangan antara 10m2
– 100m2; titik potong garis horizontal panjang
dan lebar ruangan adalah pada jarak 3m
3. Luas ruangan >100m2; titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan
pada jarak 6m
Selanjutnya untuk cara kerja luxmeter adalah sebagai berikut :
Gambar 4.2 Luxmeter (Cahyono, 2017)
1. Geser tombol “Off/on” kearah On.
2. Pilih kisaran Range yang akan diukur (2.000lux, 20.000 lux, atau
50.000lux) pada tombol Range.
3. Arahkan sensor cahaya dengan menggunakan tangan pada
permukaan daerah yang akan diukur kuat penerangannya.
4. Lihat hasil pengukuran pada layar panel.
4.6 Lokasi dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pulung Merdiko Kecamatan Pulung
Kabupaten Ponorogo.
41
Tabel 4.3 Waktu pelaksanaan penelitian
No Kegiatan Waktu
1 Pengajuan judul (ACC) 22 Februari 2018
2 Penyusunan dan konsultasi
proposal skripsi
8 Maret 2018 - 18 Mei 2018
3 Seminar proposal skripsi 21 Mei 2018
4 Revisi ujian seminar proposal 28 Mei 2018
5 Pengambilan data primer 20 Juli 2018 – 28 Juli 2018
6 Pengolahan Data 29 Juli 2018 - 31 Juli 2018
7 Penyusunan dan konsultasi skripsi 3 Agustus 2018 – 16 Agustus 2018
8 Sidang skripsi 21 Agustus 2018
9 Revisi skripsi 22 Agustus 2018 – 28 September
2018
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pengumpulan Data
1. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang secara langsung diambil dari obyek/obyek
penelitian oleh peneliti perorangan maupun organisasi (Liawati, 2015). Data
primer diperoleh langsung dari hasil kuesioner dan observasi serta
pengukuran. Kuesioner dilakukan kepada salah satu orang tua balita di Desa
Pulung Merdiko. Pengukuran yang dilakukan yaitu kepadatan hunian dan
pencahayaan. Serta observasi yang dilakukan mengenai lingkungan rumah
antara lain langit-langit rumah, kebiasaan merokok, jenis lantai, jenis
dinding.
42
b. Data Sekunder
Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data
yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek penelitiannya (Saryono, 2011). Data sekunder penyakit ISPA
diperoleh dari Dinas Kesehatan Ponorogo dan Puskesmas Pulung, data
jumlah balita diperoleh dari Polindes Pulung Merdiko.
2.Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi oleh
peneliti secara langsung kepada ibu balita mengenai kondisi lingkungan
rumah antara lain langit-langit rumah, kebiasaan merokok, jenis lantai, jenis
dinding. Serta dilakukan pengukuran mengenai kepadatan hunian dan
pengukuran pencahayaan.
4.7.2 Pengolahan Data
Kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry,
cleaning, dan tabulating (Notoadmodjo, 2012).
1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban,
konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.
2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses
pengolahan data.
Tabel 4.4 Coding Variabel Penelitian
No Variabel Kategori Kode
1 Kepadatan hunian
kamar
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
0
1
2 Jenis lantai Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
0
1
43
3 Jenis dinding Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
0
1
4 Langit-langit rumah Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
0
1
5 Pencahayaan Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
0
1
6 Anggota keluarga
merokok
Tidak merokok
Merokok
0
1
3. Entry, memasukkan data untuk diolah menggunakan computer. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan program Microsoft Excel dan
program aplikasi pengolah data dan statistik SPSS 16.0.
4. Cleaning, mengecek kembali data yang sudah dimasukkan untuk
melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,
kelengkapan, dan sebagainya kemudian dilakukan pembetulan atau
koreksi.
5. Tabulating, yang mengelompokkan data sesuai variabel yang akan
diteliti guna memudahkan analisis data.
4.8 Analisa Data
4.8.1 Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung
datanya (Notoatmodjo, 2012). Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah
menggambarkan masing-masing variabel, baik variabel bebas berupa kepadatan
44
hunian kamar, jenis dinding, jenis lantai, langit-langit rumah, pencahayaan,
kebiasaan merokok serta karakteristik responden.
4.8.2 Analisa Bivariat
Data yang diperoleh akan dianalisis secara analitik untuk mengetahui
hubungan antar variabel dengan menggunakan uji statistik. Analisa bivariat
dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi
(Notoatmodjo, 2012)
Analisa bivariat dalam mengetahui atau mengidentifikasi hubungan
kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita dianalisa
menggunakan uji statistic chi-square dan besarnya resiko dengan Ood Ratio (OR).
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kepadatan hunian, jenis lantai, jenis
dinding, langi-langit rumah, pencahayaan dan anggota keluarga merokok dengan
variabel terikat kejadian ISPA pada balita. taraf signifikan yang digunakan 95%
dengan nilai kemaknaan 5%. Apabila sig p> 0,05 maka H0 diterima, sehingga
antara kedua variabel tidak ada hubungan yang bermakna jadi Ha ditolak. Apabila
sig p≤ 0,05 maka H0 ditolak, sehingga antara kedua variabel ada hubungan yang
bermakna jadi Ha diterima.
Syarat pembacaan OR dalam SPSS sebagai berikut :
1. OR < 1, artinya ada hubungan namun variabel tersebut tidak
merupakan faktor risiko.
2. OR >1, artinya ada hubungan dan variabel tersebut merupakan faktor
risiko.
3. OR = 1, artinya variabel bebas tersebut merupakan faktor protektif.
46
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum
Secara geografis Desa Pulung Merdiko terletak pada posisi 7°31'0” Lintang
Selatan dan 111°54'0” Bujur Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa
daratan sedang yaitu sekitar 416 m di atas permukaan air laut. Berdasarkan data
BPS kabupaten Ponorogo tahun 2016, selama tahun 2016 curah hujan di Desa
Pulung Merdiko rata-rata mencapai 2000-3000 mm. Curah hujan terbanyak terjadi
pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm. Secara administratif, Desa
Pulung Merdiko terletak di wilayah Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo
dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Batas wilayah desa
Pulung Merdiko antara lain sebagai berikut :
a. Sebelah utara : Desa Pulung
b. Sebelah selatan : Desa Pulung
c. Sebelah barat : Perhutani
d. Sebelah timur : Desa Pulung
Jarak tempuh Desa Pulung Merdiko ke ibu kota kecamatan (Kec. Pulung)
adalah 1 km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit dengan
kendaraan bermontor. Sedangkan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten adalah 18
km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit.
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2017, jumlah
penduduk Desa Pulung Merdiko adalah terdiri dari 621 KK, dengan jumlah total
47
penduduk 2.109 jiwa, dengan rincian 1.053 laki-laki dan 1.056 perempuan.
Dari catatan yang ada dan menurut cerita sesepuh desa yang mengerti tentang
cikal bakal desa Pulung Merdiko yang dapat diingat sampai saat ini, bahwa desa
Pulung Merdiko telah mengalami pergantian 9 kali kepala Desa. Desa Pulung
Merdiko pembagunannya masih relatif tertinggal dibanding desa-desa lain maka
perlu lebih diperhatikan dari pemerintah. Berikut data mengenai mata pencaharian
penduduk Desa Pulung Merdiko disajikan dalam tabel :
Tabel 5.1 Mata Pencaharian Penduduk
No Sektor Mata
Pencaharian
Jumlah Pemilik
Usaha
(Orang)
Jumlah Pemilik
Usaha perorangan
Jumlah
Buruh/Karyawan
1 Pertanian 137 315 461
2 Perkebunan - - -
3 Peternakan - - -
4 Perikanan - - -
5 Kehutanan - - -
6 Pertambangan - - -
7 Perdagangan - - -
8 Montir 8 - -
9 Tukang batu 20 - -
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa dan Kelurahan 2016
Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa sebagian besar penduduk
bermatapencaharian sebagai petani. Rata-rata jumlah pendapatan keluarga adalah
Rp 750.000,00.
Berikut ini tabel mengenai aset perumahan di Desa Pulung Merdiko :
Tabel 5.2 Aset Perumahan
No Jenis Rumah Jumlah
Rumah Menurut Dinding
1 Tembok 233
2 Kayu 76
3 Bambu 220
48
4 Tanah liat -
5 Pelepah kelapa/lontar/gebang -
6 Dedaunan -
Rumah Menurut Lantai
1 Keramik 52
2 Semen 231
3 Kayu -
4 Tanah 284
Sumber: Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa dan Kelurahan 2016
5.2 Karakteristik Responden
Hasil analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik
responden. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Pulung
Merdiko
Adapun karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut :
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan Responden Frekuensi Persentase (%)
SD 18 30.0
SMP/Sederajat 21 35.0
SMA/Sederajat 17 28.3
Perguruan Tinggi 4 6.7
Total 60 100.0
Sumber : Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa bahwa tingkat
pendidikan responden paling banyak adalah tamat SMP sebanyak 27 orang
(35,0%). Sedangkan paling sedikit responden adalah tamat perguruan tinggi
sejumlah 4 orang (6,7%).
49
5.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Desa Pulung Merdiko
Adapun karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada
tabel 5.4 berikut :
Tabel 5.4 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan Responden Frekuensi Persentase (%)
Petani 21 35.0
Wiraswasta/Swasta 6 10.0
Ibu Rumah Tangga 29 48.3
PNS 4 6.7
Total 60 100
Sumber : Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa pekerjaan responden
paling banyak adalah ibu rumah tangga sebanyak 29 orang (48,3%) dan
paling sedikit adalah PNS sejumlah 4 orang (6,7%).
5.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Pulung Merdiko
Adapun karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel
5.5 berikut :
Tabel 5.5 Karakteristik responden berdasarkan umur
Umur Responden Frekuensi Persentase (%)
20-30 tahun 37 61.7
31-40 tahun 23 38.3
Total 60 100
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.5 diatas menunjukkan bahwa responden sebagian
besar berumur antara 20-30 tahun sebanyak 37 orang (61,7%).
50
5.2.4 Karakteristik Umur Balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
Adapun karakteristik berdasarkan umur balita dapat dilihat pada tabel 5.6
berikut ini :
Tabel 5.6 Karakteristik balita berdasarkan umur
Umur Balita Frekuensi Persentase (%)
0-12 bulan 20 33.3
13-23 bulan 17 28.3
24-60 bulan 23 38.3
Total 60 100
Sumber: Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 5.6 diatas menunjukkan bahwa umur balita terbanyak
yaitu antara 24-60 bulan sejumlah 23 balita (38.3%) dan umur balita paling
sedikit yaitu antara 13-23 bulan sejumlah 17 balita (28.3%).
5.3 Hasil Penelitian
Analisis dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis univariat untuk mengetahui
distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel
terikat. Kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari
bvariabel atau besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti.
a. Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Gambaran kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita di
Desa Pulung Merdiko didapatkan dari data rekam medis polindes dan
51
hasil kuesioner terhadap responden. Adapun hasil yang diperoleh
mengenai ISPA tersebut dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini :
Tabel 5.7 Gambaran ISPA di Desa Pulung Merdiko
ISPA Frekuensi Persentase (%)
ISPA 30 50.0
Tidak ISPA 30 50.0
Total 60 100.0
Sumber: Data Sekunder & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.7 diatas menunjukkan sebanyak 30 balita (50,0%)
mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan yang tidak
mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga sebanyak 30
balita (50,0%).
b. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Hasil penelitian mengenai kepadatan hunian di Desa Pulung Merdiko
diperoleh dari pengukuran luas tiap kamar lalu dibandingkan dengan
jumlah penghuni kamar. Adapun hasil yang diperoleh mengenai
kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini :
Tabel 5.8 Gambaran Kepadatan Hunian Kamar Tidur di Desa Pulung
Merdiko
Kepadatan Hunian Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 31 51.7
Memenuhi syarat 29 48.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar
kepadatan hunian kamar 31 responden (51,7%) tidak memenuhi syarat.
52
c. Jenis Lantai
Gambaran jenis lantai di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari hasil
observasi. Adapun hasil yang diperoleh mengenai jenis lantai dapat
dilihat pada tabel 5.9 sebagai berikut :
Tabel 5.9 Gambaran Jenis Lantai di Desa Pulung Merdiko
Jenis Lantai Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 32 53.3
Memenuhi Syarat 28 46.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.9 diatas menunjukkan bahwa jenis lantai rumah
responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 32 rumah (53.3%).
d. Jenis Dinding
Gambaran jenis dinding di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari hasil
observasi. Adapun hasil yang diperoleh mengenai jenis dinding dapat
dilihat pada tabel 5.10 sebagai berikut :
Tabel 5.10 Gambaran Jenis Dinding di Desa Pulung Merdiko
Jenis Dinding Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 34 56.7
Memenuhi Syarat 26 43.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.10 diatas menunjukkan bahwa jenis dinding
rumah responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 34 rumah
(56,7%).
53
e. Pencahayaan
Gambaran pencahayaan rumah di Desa Pulung Merdiko diperoleh dari
hasil pengukuran menggunakan luxmeter. Adapun hasil yang diperoleh
mengenai pencahayaan dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut ini :
Tabel 5.11 Gambaran Pencahayaan Rumah di Desa Pulung Merdiko
Pencahayaan Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 29 48.3
Memenuhi Syarat 31 51.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.11 diatas menunjukkan bahwa pencahayaan
rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 29 rumah (48,3%).
f. Langit-langit Rumah
Gambaran langit-langit rumah yang ada di Desa Pulung Merdiko
diperoleh dari observasi atau pengamatan. Adapun hasil yang diperoleh
mengenai langit-langit rumah dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut ini :
Tabel 5.12 Gambaran Langit-langit Rumah di Desa Pulung Merdiko
Langit-langit Rumah Frekuensi Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat 31 51.7
Memenuhi syarat 29 48.3
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.12 diatas menunjukkan bahwa langit-langit rumah
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 31 rumah (51,7%).
54
g. Anggota Keluarga Merokok
Gambaran anggota keluarga merokok di Desa Pulung Merdiko
diperoleh dari jawaban kuesioner. Adapun hasil mengenai anggota
keluarga merokok dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut ini :
Tabel 5.13 Gambaran Anggota Keluarga Merokok di Desa Pulung
Merdiko
Anggota Keluarga
Merokok
Frekuensi Persentase (%)
Merokok 32 53.3
Tidak Merokok 28 46.7
Total 60 100.0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.13 menunjukkan bahwa anggota keluarga
responden yang merokok sebanyak 32 orang (53,3%).
2. Analisa Bivariat
Analisi bivariat merupakan lanjutan dari analisis univariat. Hasil penelitian
dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat dan besarnya nilai odd ratio faktor risiko, dengan uji satatistik yang
disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan Chi-Square
dan penentuan Odds Ratio (OR) dengan taraf kepercayaan (CI) 95 % dan tingkat
kemaknaan 0,05. Berikut adalah hasil analisis bivariat dibawah ini:
a. Hubungan antara Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Desa Pulung Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :
55
Tabel 5.14 Hubungan kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian ispa
Kepadatan
hunian kamar
Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
memenuhi
syarat
22 73,3 9 30,0 0,002 6,417
(2,084-19,755)
Memenuhi
syarat
8 26,7 21 70,0
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.14 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok
kontrol, yang memiliki kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 22 responden (73,3%), sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 9 responden (30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square
yang sudah dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-
Value 0,002 yang artinya ada hubungan antara kepadatan hunian kamar
tidur dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan
nilai OR sebesar 6,417 > 1 yang artinya balita yang tinggal di kepadatan
hunian kamar pada kelompok kasus lebih berisiko 6,417 kali
dibandingkan dengan balita yang tinggal di kepadatan hunian kamar pada
kelompok kontrol.
b. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pulung
Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara jenis lantai dengan
kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :
56
Tabel 5.15 Hubungan jenis lantai dengan kejadian ispa
Jenis Lantai Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
memenuhi
syarat
21 70,0 11 36,7 0,020 4,030
(1,372-11,839)
Memenuhi
syarat
9 30,0 19 63,3
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.15 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kontrol, yang
memiliki jenis lantai tidak memenuhi syarat sebanyak 21 responden
(70,0%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 11 responden (36,7%).
Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang sudah dilakukan dilihat koreksi
(continuity correction) dengan P-Value 0,020 yang artinya ada hubungan
antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pulung
Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 4,030 > 1 yang artinya balita yang
tinggal dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat lebih berisiko 4,030
kali dibandingkan dengan balita yang tinggal pada jenis lantai rumah
yang memenuhi syarat.
c. Hubungan antara Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Desa Pulung Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara jenis dinding dengan
kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :
57
Tabel 5.16 Hubungan jenis dinding dengan kejadian ispa
Jenis Dinding Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
memenuhi
syarat
23 76,7 11 36,7 0,004 5,675
(1,841-17,494)
Memenuhi
syarat
7 23,3 19 63,3
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.16 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok
kontrol, yang memiliki jenis dinding tidak memenuhi syarat sebanyak 23
responden (76,7%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 11
responden (36,7%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah
dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-Value 0,004
yang artinya ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 5,675 > 1
yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan jenis dinding tidak
memenuhi syarat lebih berisiko 5,675 kali dibandingkan dengan balita
yang tinggal dirumah dengan jenis dinding memenuhi syarat.
d. Hubungan antara Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa
Pulung Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara pencahayaan dengan
kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai berikut :
58
Tabel 5.17 Hubungan pencahayaan dengan kejadian ispa
Pencahayaan Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
memenuhi
syarat
20 66,7 9 30,0 0,010 4,667
(1,571-13,866)
Memenuhi
syarat
10 33,3 21 70,0
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.17 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus daripada kelompok
kontrol, yang memiliki pencahayaan tidak memenuhi syarat sebanyak 20
responden (66,7%), sedangkan pada kelompok kontrol hanya 9
responden (30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah
dilakukan dilihat koreksi (continuity correction) dengan P-Value 0,010
yang artinya ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA
pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar 4,667 > 1
yang artinya balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat lebih berisiko 4,667 kali dibandingkan dengan balita
yang tinggal di rumah dengan pencahayaan rumah memenuhi syarat.
e. Hubungan antara Langit-langit Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Desa Pulung Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara langit-langit rumah
dengan kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai
berikut:
59
Tabel 5.18 Hubungan langit-langit rumah dengan kejadian ispa
Langit-langit
Rumah
Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Tidak
memenuhi
syarat
21 70,0 10 33,3 0,010 4,667
(1,571-13,866)
Memenuhi
syarat
9 30,0 20 66,7
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.18 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus dibanding kelompok
kontrol, langit-langit rumah tidak memenuhi syarat sebanyak 21
responden (70,0%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya 10
responden (33,3%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah
dilakukan dilihat koreksi continuity correction) dengan P-Value 0,010
yang artinya ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Pulung Merdiko. Dengan nilai OR sebesar
4,667 > 1 yang artinya balita yang tinggal dengan langit-langit rumah
tidak memenuhi syarat berisiko 4,667 kali dibandingkan balita yang
tinggal dengan langit-langit rumah yang memenuhi syarat.
f. Hubungan antara Anggota Keluarga Merokok dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Desa Pulung Merdiko
Hasil penelitian mengenai hubungan antara anggota keluarga merokok
dengan kejadian ispa pada balita di Desa Pulung Merdiko sebagai
berikut:
60
Tabel 5.19 Hubungan anggota keluarga merokok dengan kejadian ispa
Anggota
Keluarga
Merokok
Kejadian ISPA pada Balita P-Value OR (95%CI)
Kasus Kontrol
N % N %
Merokok 23 76,7 9 30,0 0,0001 7,667
(2,424-24,245)
Tidak
Merokok
7 23,3 21 70,0
Total 30 100,0 30 100,0
Sumber: Data Primer & Hasil Penelitian Bulan Juli
Berdasarkan tabel 5.19 menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok kasus dibanding kelompok
kontrol, anggota keluarga responden yang merokok sebanyak 23
responden (76,7%) sedangkan pada kelompok kontrol hanya 9 responden
(30,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang telah dilakukan dilihat
(continuity correction) dengan P-Value 0,001 yang artinya ada hubungan
antara anggota keluarga merokok dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Pulung merdiko. Dengan nilai OR sebesar 7,667 > 1 yang artinya
balita yang tinggal dengan anggota keluarga merokok berisiko 7,667 kali
dibandingkan dengan balita yang tinggal dengan anggota keluarga tidak
meokok.
61
5.4 Pembahasan
5.4.1 Kejadian ISPA
Berdasarkan data yang diberikan oleh Puskesmas Pulung jumlah penderita
ISPA balita di Desa Pulung Merdiko sebanyak 109 balita. Kemudian diambil 30
balita kasus secara acak dan 30 balita kontrol yang artinya sampel berjumlah 60
responden. Dari hasil penelitan yang dilakukan pada 60 responden, diperoleh
bahwa pekerjaan orang tua balita paling banyak 48,3% adalah ibu rumah tangga.
Kemudian sebagian besar dari mereka 61,7% berusia antara 20-30 tahun. Balita
yang pernah menderita ISPA paling banyak 38,3% berumur antara 24-60 bulan.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang terjadi pada
pernapasan bagian atas yang meliputi mulut, hidung, tenggorokan, laring (kotak
suara), dan trakea (batang tenggorokan). Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus,
jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,
Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus,
dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain
Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada balita masih
cukup banyak. Keadaan tersebut dikarenakan kondisi lingkungan rumah yang
sebagian besar tidak memenuhi syarat. Seperti kondisi kepadatan hunian yang
51,7% tidak memenuhi syarat, jenis lantai sebanyak 53,3% tidak memenuhi
syarat. Kemudian jenis dinding sebagian besar 56,7% tidak memenuhi syarat,
Namun pencahayaan hanya sebagian kecil yang tidak memenuhi syarat, selain itu
62
beberapa rumah tidak dipasangi plafon serta sebagian besar anggota keluarga
balita tersebut merokok. Sehingga akibat dari kondisi lingkungan rumah yang
buruk tersebut, kejadian ISPA pada balita yang terjadi di desa Pulung Merdiko
tinggi.
5.4.2 Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan bahwa sebanyak 51,7%
kepadatan hunian kamar tidur tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan
balita pernah mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hasil ini
didapatkan melalui pengukuran luas tiap kamar dibandingkan dengan jumlah
penghuni kamar. Sebagian besar kamar dihuni satu keluarga, dan terdapat 2-3
balita. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat menular
melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah yang
lainnya bahkan hingga ke anak-anak yang masih di bawah umur. Rata-rata luas
kamar yang dimiliki setiap keluarga yaitu 6m2.
Menurut peraturan Kepmenkes No. 829 tahun 1999 untuk kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah 2
tahun. Luas kamar yang semestinya yaitu ≥8m2
untuk 2 orang. Apabila kepadatan
hunian terlalu tinggi maka akan menyebaban kurangnya konsumsi oksigen
sehingga ruangan dapat menjadi media hidup agent infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA).
Untuk itu perlu diperhatikan ketika luas kamar tidak memenuhi syarat, dan
ada salah satu anggota keluarga yang sakit ISPA lebih baik untuk tidak tidur
dalam satu kamar, demi mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
63
Kondisi kamar yang sempit dan terlalu banyak penghuni bahkan terisi oleh 2-3
balita akan mempercepat penularan ISPA, sehingga balita satu dan lainnya harus
dipisah.
5.4.3 Jenis Lantai
Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 53,3% jenis lantai rumah
responden tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan balita pernah menderita
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kondisi yang ada jenis lantai berupa
tanah, sebagian sudah ada yang diplester namun banyak yang rusak. Untuk lantai
yang dikeramik masih sedikit, karena kondisi perekonomian di desa tersebut
masih kurang.
Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab.
Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu
diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011). Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu
pada musim kemarau dan tidak becek pada musim hujan. Lantai yang basah dan
berdebu merupakan sarang penyakit.
Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa lantai rumah
responden yang bertempat tinggal di Desa Pulung Merdiko yaitu rata-rata berupa
lantai dari tanah dan dari plester yang sudah rusak. Lantai yang terbuat dari semen
rata-rata sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan
lembab. Kondisi lantai tersebut tidak kedap air sehingga memudahkan agent ISPA
untuk hidup. Maka dari itu responden harus selalu menjaga kebersihan lantai
64
tersebut, untuk meminimalisir keberadaan virus atau bakteri ISPA yang mudah
menyerang balita.
5.4.4 Jenis Dinding
Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 56,7% jenis dinding
rumah responden tidak memenuhi syarat sehingga menyebabkan balita pernah
mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Masih banyak ditemukan
dinding yang terbuat dari kayu. Kondisi ini karena banyaknya responden yang
memiliki pendapatan rendah sehingga tidak memungkinkan jika menggunakan
jenis dinding berupa batubata atau batako.
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
didaerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
bambu. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat
menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin
malam yang langsung masuk ke dalam rumah (Notoatmodjo, 2011).
Berdasarkan hasil tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa dinding rumah
responden yang bertempat tinggal di Desa Pulung Merdiko yaitu rata-rata berupa
dinding kayu. Jenis dinding ini mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding
yang menyebabkan penumpukan debu, sehingga harus sering dibersihkan.
5.4.5 Pencahayaan
Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan 48,3% tidak memenuhi
syarat sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada
balita. Hasil ini didapatkan melalui pengukuran dengan menggunakan luxmeter..
Pencahayaan rumah tersebut jika tidak memenuhi syarat intensitas bisa
65
menjadikan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-
bibit penyakit.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa pencahayaan alami dan/atau buatan langsung maupun
tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan
tidak menyilaukan. Kualitas pencahayaan alami siang hari antara lain ditentukan
oleh lubang cahaya minimum sepersepuluh luas lantai ruangan dan sinar matahari
langsung dapat masuk ruangan minimum satu jam sehari.
Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa pencahayaan rumah
responden tidak memenuhi syarat atau tidak sesuai intensitas, disebabkan karena
karena tidak adanya atau tidak dipasangi genteng kaca dan ventilasi yang selalu
tertutup. Disarankan responden untuk membuka ventilasi agar pencahayaan alami
dapat masuk ke dalam rumah.
5.4.6 Langit-langit Rumah
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa langit-langit rumah 51,7%
tidak memenuh syarat yang menyebabkan balita pernah mengalami infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA). Sebagian besar rumah tidak dipasangi plafon, hal
ini disebabkan karena tingkat perekonomian masyarakat desa yang masih kurang
dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Kondisi rumah yang tidak
dipasangi plafon ini terlihat banyak sekali kotoran seperti sarang laba-laba dan
gumpalan-gumpalan debu. Hal tersebut bisa menjadi tempat berkembangbiaknya
bibit penyakit.
66
Menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal ini
dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah dalam
ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang berasal dari atap rumah
pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Langit-langit harus
mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan. Rumah yang sehat menggunakan
langit-langit rumah berupa plafon.
Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa rumah yang ada di
Desa Pulung Merdiko sebagian besar tidak dipasangi plafon. Padahal langit-langit
rumah (plafon) ini dapat menahan panas yang berasal dari atap rumah pada siang
hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Untuk meminimalisir tempat
berkembangbianyaknya penyakit maka perlu dipasang plafon sederhana misalnya
dari triplek. Dan selalu menjaga kebersihan dari langit-langit rumah itu sendiri.
5.4.7 Anggota Keluarga Merokok
Berdasarkan hasil penelitian univariat menunjukkan sebagian besar 53,3%
responden anggota keluarganya merokok, sehingga menyebabkan balita pernah
mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Banyak ditemukan ayah dan
kakek balita yang merokok didalam rumah ketika diwawancarai. Sebenarnya
mereka menyadari bahaya mengenai rokok tetapi tetap merokok karena mereka
berpendapat lebih baik tidak makan daripada tidak merokok, dan mereka
berpendapat bahwa bukan lelaki namanya jika tidak merokok. Selain itu merokok
juga sering dilakukan di dekat balita.
67
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya perokok mempunyai
resiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas
dan batuk. Asap rokok yang ada diruangan akan tetap ada selama hampir 5 jam
meski tak kasat mata. Asap tersebut akan menempel di furniture, karpet, pakaian
dan perlengkapan lain yang ada didalam rumah. Secara tidak langsung hal inilah
yang membuat balita terpapar asap rokok. Balita dikategorikan lebih berisiko
terkena dampak buruk asap rokok bila dibandingkan engan orang dewasa, karena
saluran pernafasan balita yang masih kecil dan sistem imun yang masih belum
sempurna.
Berdasarkan hasil tersebut peneliti berpendapat bahwa sebagian besar
anggota keluarga responden di Desa Pulung Merdiko merokok. Setiap selesai
makan anggota keluarga tersebut selalu merokok, dan satu hari bisa
menghabiskan 3-5 batang rokok. Hal tersebut tentunya berbahaya bagi kesehatan
dirinya sendiri dan khususnya bagi balita, apalagi merokok dapat menyebabkan
balita pernah mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sehingga
keluarga perlu penerapan perilaku hidup bersih dan sehat khususnya tidak
merokok didalam rumah apalagi didekat balita.
5.4.8 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa kepadatan hunian kamar tidur
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
68
akut (ISPA) pada balita (p=0,002), dimana sebagian besar balita (73,3%) pernah
mengalami infeksi saluran pernapasan akut. Besarnya resiko ISPA dapat dilihat
dari nilai OR = 6,4 artinya balita yang tidur di kamar dengan kepadatan hunian
yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko terkena ISPA sebesar 6,4 kali lebih
besar dibandingkan balita yang tidur di kamar dengan kepadatan hunian yang
memenuhi syarat.
Kepadatan hunian yang dimaksud adalah perbandingan antara luas kamar
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu kamar. Menurut keputusan menteri
kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah untuk
kamar tidur diperlukan mininum 2 orang, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2
orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah 2 tahun. Ruangan yang sempit
akan membuat nafas sesak dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga
lain. Kepadatan hunian akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh
pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari
pernafasan tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai jumlah penghuninya
akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan
tubuh penghuninya menurun, kemudian mempercepat timbulnya penyakit saluran
pernapasan seperti ISPA (Ade, 2012). Kepadatan hunian dapat mempengaruhi
kualitas udara kamar, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan
semakin cepat udara dalam kamar mengalami pencemaran, oleh karena CO2
dalam kamar akan meningkat dan akan menurunkan kadar O2 di ruangan, dan
kepadatan hunian sangat berhubungan terhadap jumlah agent penyebab penyakit
menular.
69
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Patmawati Dongky (2016)
mengenai hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar. Kondisi kepadatan hunian
dilokasi penelitian sebagian besar masih dihuni 3-5 kepala keluarga masing-
masing terdiri 4-5 orang anggota keluarga, menempati ruang tidur yang sama
kurang dari 9m2. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian William
(2015) mengenai hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sario Kota Manado. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita. Luas bangunan rumah yang sempit dengan jumlah
anggota keluarga yang banyak dapat menyebabkan rasio penghuni dengan luas
rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri maupun
virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu dengan
yang lainnya bahkan hingga ke balita.
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi dan pengukuran
terhadap kamar responden. Sebagian kecil responden kepadatan hunian kamar
memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus
sebanyak 8 responden (26,7%) kepadatan hunian kamar memenuhi syarat, dan
pada kelompok kontrol sebanyak 9 responden (30,0%) kepadatan hunian kamar
tidak memenuhi syarat.
Hasil penelitian menunjukkan kepadatan hunian kamar sebanyak 8 responden
(26,7%) memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA disebabkan karena
kondisi kamar yang kurang dirawat, tidak dibersihkan setiap hari, sehingga kamar
70
terlihat berantakan dan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya agent penyakit
ISPA. Kurangnya kepedulian orangtua untuk memelihara lingkungan rumah
khususnya kamar dapat menyebabkan timbulnya virus atau bakteri yang dapat
dengan mudah menyerang balita.
Kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat sebanyak 9 responden
(30,0%) namun tidak pernah mengalami ISPA dikarenakan dari keluarga tersebut
apabila salah satu keluarga menderita sakit ISPA memilih untuk tidak tidur dalam
satu kamar apalagi dengan balita. Karena sistem imun yang dimiliki balita masih
lemah. Sehingga lebih memilih untuk tidur menjauh dari balita.
Dari hasil penelitan sebagian besar luas kamar yang diukur hanya seluas 6m2.
Kamar tersebut rata-rata di huni orangtua dengan 2-3 balita. Apabila dalam satu
keluarga terdapat penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), maka
kemungkinan tertular itu sangat besar. Dengan demikian untuk meminimalisir
kejadian tersebut, jika salah satu keluarga menderita penyakit ISPA, sebaiknya
balita tidak di tidurkan dalam 1 kamar atau dipisah.
5.4.9 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa jenis lantai mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita (p=0,020). Besarnya risiko menderita infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) dapat dilihat dari nilai OR = 4,0 yang artinya balita yang tinggal dirumah
dengan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko menderita infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) sebesar 4,0 kali lebih besar dibanding balita yang
tinggal dirumah dengan jenis lantai yang memenuhi syarat.
71
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai
yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah
lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Lantai rumah yang tidak
memenuhi syarat adalah lantai rumah yang terbuat dari tanah, semen atau belum
berubin. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak
lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang
mudah dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011).
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017) mengenai
hubungan ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian ISPA pada balita
digampong Bang Muko. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita. Rata-rata berupa lantai
semen yang tidak di plaster dan lantai dari tanah, sehingga pada saat musim
kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat dari semen rata-rata sudah
rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai menjadi berdebu dan lembab.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marten (2017) mengenai
hubungan antara kondisi hubungan antara kondisi fisik rumah dan tingkat
pendapatan keluarga dengan kejadian ispa pada balita. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan ada hubungan signifikan antara jenis lantai dengan kejadian ispa
pada balita di Desa Marinsow dan Pulisan. Sebagian besar masyarakat desa
Marinsow dan Pulisan masih memiliki rumah dengan jenis lantai tidak
permanen (tanah dan semen) jenis lantai ini akan mempermudah timbul dan
berkembangnya penyakit terutama penyakit pernapasan.
72
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi jenis lantai di
Desa Pulung Merdiko. Dari hasil observasi sebagian kecil jenis lantai rumah
responden memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok
kasus sebanyak 9 responden (30,0%) jenis lantai rumah memenuhi syarat, dan
pada kelompok kontrol sebanyak 11 responden (36,7%) jenis lantai rumah tidak
memenuhi syarat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 9 responden (30,0%) jenis
lantai rumah memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA disebabkan karena
tidak dilakukannya pembersihan lantai setiap pagi dan sore, jarang mengepel
lantai, sehingga lantai terlihat kotor berdebu apalagi desa tersebut berada disekitar
pegunungan. Kondisi lantai yang kotor menjadi tempat berkembangbiaknya
bakteri penyebab penyakit.
Jenis lantai rumah sebanyak 11 responden (36,7%) tidak memenuhi syarat
tetapi balita tidak pernah menderita ISPA dikarenakan orang tua balita yang sudah
memiliki kebiasaan untuk membersihkan rumah, khususnya lantai yang selalu
disapu setiap pagi dan sore. Selain itu untuk lantai yang dari tanah biasanya
disiram agar ketika angin tidak terlalu berdebu. Sehingga dapat meminimalisir
agent penyakit yang dapat menyerang balita.
Sebagian besar jenis lantai rumah responden banyak yang tidak memenuhi
syarat dikarenakan masih terbuat dari tanah dan semen. Lantai dari semen tersebut
tidak diplester dan sudah banyak yang rusak. Sebagian besar dari responden juga
tidak memeperhatikan kondisi kebersihan lantai rumah. Maka dari itu responden
perlu membiasakan diri untuk menjaga kebersihan rumah khususnya lantai.
73
Dengan menyapu lantai namun disarankan tidak sambil menggendong balita.
Responden juga dapat menggunakan masker untuk meminimalisir debu terhirup.
5.4.10 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa kondisi dinding rumah
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) pada balita (p=0,004). Besarnya risiko menderita infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dapat dilihat dari nilai OR= 5,6 yang artinya balita yang
tinggal dirumah dengan kondisi dinding rumah tidak memenuhi syarat memiliki
risiko terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5,6 kali lebih besar
dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah dengan kondisi dinding rumah
yang memenuhi syarat.
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah daerah
tropis khususnya dipedesaan banyak yang berdinding papan, kayu, dan bambu.
Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. Rumah yang
berdinding tidak rapat seperti papan, kayu, dan bambu dapat menyebabkan
penyakit pernapasan. Dinding di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan
ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Beberapa ketentuan konstruksi
dinding diantaranya bahan bangunan tidak boleh terbuat dari bahan yang mudah
melepas, zat -zat yang dapat membahayakan kesehatan serta tidak terbuat dari
bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh kembangnya mikroorganisme pathogen
seperti ISPA (Notoatmodjo, 2011)
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Safrizal (2017) mengenai hubungan
ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil
74
penelitian ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian
ISPA pada balita. Dinding rumah di Gampong Blang Muko masih banyak
yang berdinding bambu, papan atau kayu, selain itu juga pada saat peneliti
melihat langsung kelapangan, bahwa dinding rumah responden setengah terbuat
dari semen dan setengahnya lagi terbuat dari papan, Hal ini disebabkan karena
penghasilan keluarga yang kurang, sebagian dari responden yaitu IRT dan juga
sebagai dari orang tua laki-laki/ayah orang tua bekerja sebagai petani/tukang
bangunan. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Nasihatun (2016)
mengenai hubungan kondisi fisik rumah dan praktik merokok orangtua dengan
kejadian ISPA pada anak balita. Hasil uji penelitian menunjukkan ada hubungan
signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ispa pada balita.
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi di rumah
responden mengenai jenis dinding. Sebagian kecil jenis dinding yang memenuhi
syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus sebanyak 7
responden (23,3%) jenis dinding memenuhi syarat, dan pada kelompok kontrol 11
responden (36,7%) jenis dinding rumah tidak memenuhi syarat.
Hasil penelitian menunjukkan 7 responden (23,3%) jenis dinding rumah
memenuhi syarat namun pernah menderita ISPA ini dikarenakan beberapa rumah
responden sudah terbuat dari tembok batubata namun terlihat kotor berdebu
seperti tidak pernah dibersihkan. Kondisi dinding yang kotor dan berdebu tersebut
dapat meningkatkan bibit penyakit berkembang biak. Sehingga dapat
menyebabkan kesehatan balita menurun akibat terserang penyakit.
75
Jenis dinding rumah sebanyak 11 responden (36,7%) tidak memenuhi syarat
tetapi tidak pernah menderita ISPA dikarenakan beberapa keluarga tersebut
meskipun jenis dinding hanya terbuat dari kayu tetapi dirawat. Dinding rumah
dicat dengan warna terang sehingga debu yang menempel bisa terlihat dan dapat
segera dibersihkan.
Dari hasil penelitian sebagian besar jenis dinding tidak memenuhi syarat. Hal
ini dikarenakan masih banyak terbuat dari kayu daripada batubata atau batako.
Maka dari itu untuk meminimalisir dinding agar tidak menjadi media penyakit,
responden diharapkan memelihara dinding agar tidak cepat rusak. Dinding harus
selalu dibersihkan minimal 1 minggu sekali. Dengan membersihkan dinding dapat
meminimalisir agent penyakit. Sehingga balita dapat terhindar dari penyakit
ISPA.
5.4.11 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan antara
pencahayaan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita
(p=0,010). Besarnya risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dilihat
dari nilai OR = 4,6 artinya balita yang tinggal dirumah dengan pencahayaa tidak
memenuhi syarat memiliki risiko terkena infeksi saulran pernapasan sebesar 4,6
kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah dan
pencahayaannya memenuhi syarat.
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat
76
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu
banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakkan mata (Notoatmodjo, 2011). Pencahayaan alami penting untuk
mengurangi kelembaban udara dan membunuh mikroorganisme patogen.
Secara umum, bakteri dan mikroorganisme lainnya termaksud penyebab ISPA
dapat hidup dengan baik pada paparan cahaya normal. Pencahayaan alami
dan atau buatan minimal intensitasnya adalah 60 lux serta tidak menyilaukan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ronny (2016) tentang suhu,
kelembaban, dan pencahayaan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada balita.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian
ISPA pada balita. Pencahayaan yang kurang dapat memperpanjang masa hidup
kuman dalam droplet nuklei di udara. Penelitian lain yang mendukung adalah
penelitian Julia (2017) mengenai hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dan
kebiasaan orangtua dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil menunjukkan ada
hubungan signifikan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita. Salah
satu penyebab kurangnya pencahayaan alami yang masuk ke dalam rumah
terutama kamar balita adalah daerah pemukimannya yang termasuk padat
penduduk sehingga jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain
sangat sempit sehingga memperkecil cahaya matahari masuk ke dalam
rumah.
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan pengukuran pencahayaan
menggunakan luxmeter. Hasil pengukuran sebagian kecil pencahayaan rumah
memenuhi syarat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis dari kelompok kasus
77
sebanyak 10 responden (33,3%) pencahayaan rumah memenuhi syarat dan pada
kelompok kontrol 9 responden (30,0%) pencahayaan rumah tidak memenuhi
syarat.
Hasil penelitian menunjukkan pencahayaan rumah 10 responden (33,3%)
memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA dikarenakan pencahayaan
bukan satu-satunya faktor risiko dari penyakit tersebut. Pencahayaan yang baik
memang bisa membunuh bakteri atau agent penyakit, tetapi meskipun
pencahayaan baik jika faktor lingkungan fisik rumah yang kurang dijaga bisa saja
masih ada beberapa bibit penyakit yang bisa timbul. Selain itu bisa juga karena
faktor host atau dari keluarga itu sendiri.
Pencahayaan rumah sebanyak 9 responden (30,0%) yang tidak memenuhi
syarat namun tidak pernah mengalami ISPA dikarenakan keluarga balita yang
selalu menjaga kondisi lingkungan rumah dengan baik. Meskipun pencahayaan
rumah kurang baik, namun keluarga selalu mengutamakan kebersihan rumah.
Sehingga dengan menjaga kondisi lingkungan agent penyakit akan berkurang dan
tidak menyebabkan balita terserang ISPA.
Dari hasil penelitian sebagian besar pencahayaan rumah kurang baik. Kurang
dari intensitas yaitu 60 lux. Maka dari itu diharapkan responden untuk selalu
membuka ventilasi agar cahaya dapat masuk melalui ventilasi, atau membuka
pintu dan menambahkan genteng kaca agar cahaya alami yang masuk bisa sesuai
intensitas.
78
5.4.12 Hubungan Langit-langit Rumah dengan ISPA pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa langit-langit rumah
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) pada balita (p=0,010). Besarnya risiko infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) dapat dilihat dari nilai OR = 4,6 artinya balita yang tinggal dengan
kondisi langit-langit rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) 4,6 kali lebih besar dibandingkan dengan balita
yang tinggal dengan kondisi langit-langit rumah sudah memenuhi syarat.
Langit-langit sangat mempengaruhi kenyamanan udara dalam ruang. Hal ini
dikarenakan langit-langit dapat menahan rembesan air dari atap rumah dalam
ruangan. Langit-langit juga dapat menahan panas yang yang berasal dari atap
rumah pada siang hari dan udara dingin yang ada pada malam hari. Menurut
keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
persyaratan rumah langit-langit harus mudah dibersihkan. Rumah yang sehat
menggunakan langit-langit rumah berupa plafon. Rumah yang tidak terdapat
plafon bisa menimbulkan agent ISPA lebih mudah menjangkit balita.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017) tentang
hubungan ventilasi, lantai, dinding, dan atap dengan kejadian ISPA pada balita.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara langit-langit rumah dengan
kejadian ISPA pada balita. Ada sebagian dari rumah responden yang terbuat dari
dari seng, yang tidak ada plapon, hal ini dapat menyebabkan masuknya debu ke
dalam rumah, selain itu sebagian atap rumah juga ada yang bocor, dan
dapat mempengaruhi terjadinya kejadian penyakit ISPA, serta dapat
79
memperburuk kondisi tempat tinggal responden, jika ada dari anak
responden yang mengalami ISPA. Rata-rata atap kondisinya tidak terdapat
langit-langit rumah, sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah
mengganggu saluran pernafasan pada balita yang ada di desa tersebut.
Hal tersebut didukung ketika peneliti melakukan observasi terhadap langit-
langit rumah. Sebagian kecil langit-langit rumah yang memenuhi syarat. Hal ini
dapat dilihat dari hasil analisis kelompok kasus sebanyak 9 responden (30,0%)
memenuhi syarat dan pada kelompok kontrol sebanyak 10 responden (33,3%)
tidak memenuhi syarat.
Hasil penelitian menunjukkan langit-langit rumah 9 responden (30,0%)
memenuhi syarat namun pernah mengalami ISPA hal ini disebabkan karena faktor
lain, seperti kondisi lingkungan. Secara daerah tersebut merupakan daerah
pegunungan sehingga cuaca yang tidak menentu dapat memengaruhi timbulnya
agent ISPA, meskipun rumah sudah terdapat langit-langit rumah (plafon).
Langit-langit rumah 10 responden (33,3%) tidak memenuhi syarat namun
tidak pernah menderita ISPA dikarenakan orangtua balita terbiasa membersihkan
bagian bawah genteng. Biasanya rumah yang tidak terdapat langit-langit rumah
bagian bawah genteng akan dihuni oleh hewan seperti laba-laba yang membuat
sarang sehingga terlihat kotor. Namun jika sarang tersebut segera dibersihkan
maka dapat meminimalisir berkembangnya bibit penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar langit-langit rumah tidak
memenuhi syarat. Maka diharapkan responden memasang plafon sederhana dari
bahan triplek untuk mencegah debu/kotoran/agent yang terdapat pada genteng
80
jatuh kedalam rumah. Serta anggota keluarga harus rajin membersihkan bagian
bawah genteng agar tidak menjadi sarang hewan-hewan tertentu.
5.4.13 Hubungan Riwayat Anggota Keluarga Merokok dengan Kejadian
ISPA pada Balita
Hasil uji statistik diperoleh bahwa anggota keluarga merokok mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita (p=0,001). Besarnya risiko ISPA dapat dilihat dari nilai OR = 7,6 yang
artinya balita yang tinggal dengan anggota keluarga yang merokok memiliki
risiko 7,6 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dirumah dengan
anggota keluarga tidak merokok.
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif, tetapi juga masalah bagi perokok
pasif. Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan
racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons,
dan lain-lain (Kepmenkes RI, 2011). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah menetapkan bahwa bayi dan anak yang orang tuanya perokok
mempunyai resiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sofia (2017) tentang faktor risiko
lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Ingin
jaya Aceh Besar. Hasil penelitian ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian ISPA pada balita. Banyaknya jumlah perokok akan sebanding dengan
banyaknya penderita gangguan kesehatan. Asap rokok tersebut akan
meningkatkan risiko pada balita untuk mendapat serangan ISPA. Asap rokok
81
bukan hanya menjadi penyebab langsung kejadian ISPA pada balita, tetapi
menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat melemahkan daya
tahan tubuh balita. Penelitian lain yang mendukung adalah William (2015)
mengenai hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian
penyakit ispa pada balita. Hasil penelitian ada hubungan signifikan antara
keluarga merokok dengan kejadian ISPA pada balita. asap rokok dari perokok
aktif memang bukan menjadi penyebab langsung kejadian penyakit ISPA pada
anak balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat
menimbulkan penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh
balita.
Hal tersebut didukung ketika peneliti menyebar kuesioner kepada responden
mengenai anggota keluarga yang merokok. Sebagian kecil anggota keluarga yang
tidak merokok. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis pada kelompok kasus
sebanyak 7 responden (23,3%) tidak merokok dan pada kelompok kontrol
sebanyak 9 responden (30,0%) yang merokok.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 7 responden (23,3%) tidak merokok
namun pernah mengalami ISPA dikarenakan anggota keluarga yang masih belum
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Meskipun keluarga tersebut tidak
merokok tetapi kondisi hygiene dan sanitasi rumah masih kurang baik. Sehingga
dapat menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit. Lingkungan rumah
yang kotor akan mendukung agent penyakit untuk hidup.
Anggota keluarga balita sebanyak 9 (30,0%) merokok namun tidak pernah
menderita ISPA hal tersebut dikarenakan anggota keluarga biasanya merokok
82
diluar rumah. Dengan merokok diluar rumah dan menjauh dari balita akan
mengurangi balita terserang ISPA.
Dari hasil penelitian sebagian besar anggota keluarga responden di Desa
Pulung Merdiko merokok. Sehingga banyak penderita ISPA balita. Maka dari itu,
diharapkan kepada responden untuk tidak merokok didalam rumah dan tidak
merokok disekitar balita.
5.5 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian untuk menggunakan kuesioner merokok kemungkinan terjadi
bias informasi karena jawaban responden tidak jujur. Namun peneliti
mengatasi bias dengan melakukan crosscek dengan tetangga responden.
83
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 60 responden di desa Pulung
Merdiko diketahui bahwa :
1. Kepadatan hunian kamar sebagian besar 51.7% tidak memenuhi syarat. Jenis
lantai 53.3% tidak memenuhi syarat. Jenis dinding 56.7% tidak memenuhi
syarat. Pencahayaan sebagian kecil 48.3% tidak memenuhi syarat. Langit-
langit rumah sebagian besar 51.7% tidak memenuhi syarat. Serta anggota
keluarga merokok sebanyak 53.3% merokok.
2. Ada hubungan antara kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko
Ponorogo (p=0,002 ; OR = 6,41 ; CI95% = 2,08 – 19,7).
3. Ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo (p= 0,020 ; OR =
4,03 ; CI95% = 1,37 – 11,83)
4. Ada hubungan antara jenis dinding dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
(p=0,004 ; OR = 5,6 ; CI95% = 1,84 – 17,49)
5. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
(p=0,010 ; OR = 4,6 ; CI95% = 1,57 – 13,86)
84
6. Ada hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko Ponorogo
(p=0,010 ; OR = 4,6 ; CI95% = 1,57 – 13,86)
7. Ada hubungan antara anggota keluarga merokok dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Desa Pulung Merdiko
Ponorogo (p= 0,001 ; OR = 7,6 ; 95%CI = 2,42 – 24,24)
6.2 Saran
1. Bagi Responden / Masyarakat
Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada
balita hal-hal berikut ini dapat dilakukan :
a. Balita satu dengan balita lain dipisahkan antar kamar
b. Selalu memelihara, membersihkan dinding dan lantai
c. Menambahkan genting kaca dan selalu membuka ventilasi
d. Tidak merokok didalam rumah dan didekat balita
2. Bagi Instansi Pemerintah dan Kesehatan
Melakukan penyuluhan kesehatan dengan mengikutsertakan kader, bagian
kesehatan lingkungan, kader posyandu, perangkat desa, dll sebagai tujuan
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat di dibidang kesehatan
lingkungan. Khususnya tentang penyehatan lingkungan pemukiman/
perumahan/ sanitasi rumah, terutama pencegahan infeksi saluran pernapasan
(ISPA) pada balita.
85
3. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan peneliti selanjutnya untuk menambahkan variabel seperti
ventilasi, kelembaban, suhu, penggunaan kayu bakar, penggunaan obat
nyamuk bakar. Kemudian menggunakan analisis multivariat dengan metode
penelitian case control atau cohort.
86
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi.UF 2012.Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali
Pers
Ardianasari, Eiyta. 2016. Buku Pintar Mencegah dan Mengobati Penyakit Bayi &
Anak.Jakarta: Bestari
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Cahyono, Tri. 2017. Penyehatan Udara. Yogyakarta: ANDI
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteraan Pencegahan dan Imunitas. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Cindi Astuti. 2017. Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Desa Cijati Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
Departemen Kesehatan RI. 1999. Kepmenkes RI No.829 Tahun 1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta
Moh, Toyib. 2016. Daftar Isian Tingkat Perkembang Desa Pulung Merdiko dan
Kelurahan. Desa Pulung Merdiko
Fitriawati D. 2013. Hubungan antara tingkat keparahan ISPA pada balita usia
0-5 tahun dengan persepsi orang tua terhadap kerentanan anak (prental
perception of child vulnerability) di Puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo
(skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Gunawan. 2010. Pencegahan dan Penanggulangannya. Semarang: Dinkes
Provinsi Jawa Tengah
Heryanto Eko. 2016. Hubungan Status Imunisasi, Status Gizi, Dan Asi Eksklusif
dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita Di Balai Pengobatan Uptd Puskesmas
Sekar Jaya Kabupaten Ogan Kom Ering Ulu. Stikes Al-Ma’arif Baturaja
Irianto, Koes. 2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Alfabeta
Julia, dkk. 2017. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kebiasaan Orang Tua
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Traji
Kabupaten Temanggung. Universitas Pekalongan
87
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Ponorogo Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Rumah
Khrisna, A. 2013.Mengenali Keluhan Anda. Jakarta: Informasi Medika
Liawati, Eulis. 2015. Modul Kuliah Statistik Deskriptif. Stikes Bhakti Husada
Mulia Madiun
Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi & Imunisasi Dasar pada
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika
Marten dkk. 2017. Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dan Tingkat
Pendapatan Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Marinsouw
dan Pulisan Kabupaten Minahasa Utara. Universitas Sam Ratulangi
Mubarak, Wahit Iqbal, Chayatin, Nurul. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat :
Teori dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Medika
Mundiatun dan Daryanto. 2018. Sanitasi Lingkungan (Pendidikan Lingkungan
Hidup). Yogyakarta: Gava Media
Mumpuni, Yekti. 2016. 45 Penyakit yang Sering Hinggap pada Anak.
Yogyakarta: Rapha Publishing
Nasihatun, Ika. 2016. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Praktek Merokok
Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita. Universitas
Muhammadiyah Semarang
Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan MasyarakatIlmu dan Seni.Jakarta:
Rineka Cipta
88
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Patmawati D dan Kadrianti.2016. Faktor Risiko lingkungan Fisik Rumah dengan
Kejadian ISPA Balita di Kelurahan Polewali Mandar. Universitas Al Asyariah
Mandar
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo. Profil Puskesmas Pulung 2017. Ponorogo:
Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo
Rosjidi, CH. 2015. Panduan Penyusunan Proposal dan laporan Penelitian untuk
Mahasiswa Kesehatan
.
Ronny dan Dedi MS. 2015.Suhu,Kelembaban dan Pencahayaan sebagai Faktor
Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan Balaesang
Kabupaten Donggala. Politeknik Kesehatan Palu
Rudianto. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari
Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013. Skripsi.FKIK Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Safrizal, SA. 2017. Hubungan ventilasi, dinding, dan atap dengan kejadian ISPA
pada balita di Blang Muko. Universitas Teuku Umar
Saryono. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia
Sofia. 2017. Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Politeknik
Kesehatan Kemenkes Aceh
Standar Nasional Indonesia. Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja
SNI 16-7062-2004. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional (BSN)
Tri, Badar, dan Kusuma. 2016. Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untari, Ida. 2017. 7 Pilar Utama Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:
Thema Publising
89
Yasril dan Heru.2009. Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan.Yogyakarta:
Graha Ilmu
Wantania JM, Naning R, Wahani A. 2012. Infeksi respiratori akut. Dalam:
Buku ajar respirologi anak IDAI. Jakarta: EGC
Widjaja, Anton. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Jakarta: Kedokteran EGC
William Winardi. 2015. Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah
Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi
Wahyono.2008. Pola Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Anak Usia
Dibawah Lima Tahun (Balita) Rawat Jalan di Puskesmas Purwareja Klampok
Kabupaten Banjarnegara. Majalah Farmasi Indonesia
90
LAMPIRAN 1 IJIN PENELITIAN
91
LAMPIRAN 2 BALASAN DINAS KESEHATAN PONOROGO
92
LAMPIRAN 3 BALASAN KESBANGPOL PONOROGO
93
LAMPIRAN 4 KETERANGAN SELESAI PENELITIAN
94
LAMPIRAN 5 FORM KOMUNIKASI
95
LAMPIRAN 6 INFORMED CONSENT
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
(Informed Consent)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Setelah mendapat kejelasan serta mengetahui manfaat penelitian dengan
judul “Hubungan antara kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di desa Pulung Merdiko Ponorogo”.
Saya menyatakan setuju diikutsertakan dalam penelitian ini dengan catatan bila
sewaktu-waktu dirugikan dalam bentuk apapunberhak membatalkan persetujuan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan pihak
manapun.
Ponorogo, 2018
Responden
96
LAMPIRAN 7 KUESIONER
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN
KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI DESA PULUNG MERDIKO PONOROGO
No. Responden :
Status : Kasus Kontrol
Identitas Anak :
1. Umur balita : Bulan
2. Jenis Kelamin : L/P
Identitas Responden :
1. Umur : Tahun
2. Pendidikan :
a. SD
b. SMP/Sederajat
c. SMA/Sederajat
d. Perguruan tinggi
3. Pekerjaan :
Petunjuk : Isilah pertanyaan dibawah ini dengan tanda silang (x) sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya!
I. Kejadian ISPA
1. Apakah anak ibu pernah sakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)?
a. Ya
b. Tidak
II. Anggota Keluarga Merokok
1. Apakah ada anggota keluarga ibu yang merokok?
97
a. Ya
b. Tidak
2. Jika ya, sudah berapa lama anda merokok?.............. Bulan
3. Berapa batang rokok yang dikonsumsi setiap hari? ............Batang
LEMBAR OBSERVASI
I. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Variabel Kriteria
1. Ukuran kamar ................m2
2. Jumlah penghuni .........orang
≥ 8 m2
untuk 2 orang
<8 m2
untuk 2 orang
II. Jenis Lantai
Tanah Keramik Ubin Plester
III. Jenis Dinding
Kayu Batubata Batako
IV. Pencahayaan
Hasil pengukuran pencahayaan = ................ lux
V. Langit-Langit Rumah (Plafon)
Ada Tidak
98
LAMPIRAN 8 OUTPUT DISTRIBUSI FREKUENSI
kejadian_ispa
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kasus 30 50.0 50.0 50.0
Kontrol 30 50.0 50.0 100.0
Total 60 100.0 100.0
kepadatan_hunian_kamar
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 31 51.7 51.7 51.7
memenuhi syarat 29 48.3 48.3 100.0
Total 60 100.0 100.0
jenis_lantai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 32 53.3 53.3 53.3
memenuhi syarat 28 46.7 46.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
jenis_dinding
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 34 56.7 56.7 56.7
memenuhi syarat 26 43.3 43.3 100.0
Total 60 100.0 100.0
99
Pencahayaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 29 48.3 48.3 48.3
memenuhi syarat 31 51.7 51.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
langit_langit_rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 31 51.7 51.7 51.7
memenuhi syarat 29 48.3 48.3 100.0
Total 60 100.0 100.0
kebiasaan_merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid merokok 32 53.3 53.3 53.3
tidak merokok 28 46.7 46.7 100.0
Total 60 100.0 100.0
100
LAMPIRAN 9 ANALISIS BIVARIAT
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kepadatan_hunian_kamar *
kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
kepadatan_hunian_kamar * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
kepadatan_hunian_kama
r
tidak memenuhi syarat Count 22 9 31
Expected Count 15.5 15.5 31.0
% within
kejadian_ispa 73.3% 30.0% 51.7%
memenuhi syarat Count 8 21 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
% within
kejadian_ispa 26.7% 70.0% 48.3%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within
kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
101
Pearson Chi-Square 11.279
a 1 .001
Continuity Correctionb
9.611 1 .002
Likelihood Ratio 11.664 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear Association
11.091 1 .001
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .398 .001
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
kepadatan_hunian_kamar
(tidak memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
6.417 2.084 19.755
102
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.573 1.368 4.836
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .401 .221 .726
N of Valid Cases 60
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis_lantai * kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
jenis_lantai * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
jenis_lantai tidak memenuhi syarat Count 21 11 32
Expected Count 16.0 16.0 32.0
% within kejadian_ispa 70.0% 36.7% 53.3%
memenuhi syarat Count 9 19 28
Expected Count 14.0 14.0 28.0
% within kejadian_ispa 30.0% 63.3% 46.7%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
103
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.696
a 1 .010
Continuity Correctionb
5.424 1 .020
Likelihood Ratio 6.829 1 .009
Fisher's Exact Test .019 .010
Linear-by-Linear Association 6.585 1 .010
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .317 .010
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jenis_lantai
(tidak memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
4.030 1.372 11.839
104
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.042 1.128 3.697
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .507 .295 .871
N of Valid Cases 60
105
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis_lantai * kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
jenis_lantai * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
jenis_lantai tidak memenuhi syarat Count 21 11 32
Expected Count 16.0 16.0 32.0
% within kejadian_ispa 70.0% 36.7% 53.3%
memenuhi syarat Count 9 19 28
Expected Count 14.0 14.0 28.0
% within kejadian_ispa 30.0% 63.3% 46.7%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.696
a 1 .010
Continuity Correctionb
5.424 1 .020
Likelihood Ratio 6.829 1 .009
106
Fisher's Exact Test .019 .010
Linear-by-Linear Association 6.585 1 .010
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .317 .010
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jenis_lantai
(tidak memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
4.030 1.372 11.839
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.042 1.128 3.697
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .507 .295 .871
N of Valid Cases 60
107
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pencahayaan *
kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
pencahayaan * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
pencahayaan tidak memenuhi syarat Count 20 9 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
% within kejadian_ispa 66.7% 30.0% 48.3%
memenuhi syarat Count 10 21 31
Expected Count 15.5 15.5 31.0
% within kejadian_ispa 33.3% 70.0% 51.7%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.076
a 1 .004
Continuity Correctionb
6.674 1 .010
108
Likelihood Ratio 8.268 1 .004
Fisher's Exact Test .009 .005
Linear-by-Linear Association 7.941 1 .005
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .344 .004
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pencahayaan
(tidak memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
4.667 1.571 13.866
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.138 1.214 3.764
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .458 .253 .830
N of Valid Cases 60
109
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
langit_langit_rumah *
kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
langit_langit_rumah * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
langit_langit_rumah tidak memenuhi syarat Count 21 10 31
Expected Count 15.5 15.5 31.0
% within kejadian_ispa 70.0% 33.3% 51.7%
memenuhi syarat Count 9 20 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
% within kejadian_ispa 30.0% 66.7% 48.3%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.076
a 1 .004
Continuity Correctionb
6.674 1 .010
110
Likelihood Ratio 8.268 1 .004
Fisher's Exact Test .009 .005
Linear-by-Linear Association 7.941 1 .005
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .344 .004
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
langit_langit_rumah (tidak
memenuhi syarat /
memenuhi syarat)
4.667 1.571 13.866
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.183 1.205 3.955
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .468 .266 .823
N of Valid Cases 60
111
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kebiasaan_merokok *
kejadian_ispa 60 100.0% 0 .0% 60 100.0%
kebiasaan_merokok * kejadian_ispa Crosstabulation
kejadian_ispa
Total
kasus kontrol
kebiasaan_merokok merokok Count 23 9 32
Expected Count 16.0 16.0 32.0
% within kejadian_ispa 76.7% 30.0% 53.3%
tidak merokok Count 7 21 28
Expected Count 14.0 14.0 28.0
% within kejadian_ispa 23.3% 70.0% 46.7%
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
% within kejadian_ispa 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 13.125
a 1 .000
112
Continuity Correctionb
11.317 1 .001
Likelihood Ratio 13.663 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear Association 12.906 1 .000
N of Valid Casesb
60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .424 .000
N of Valid Cases 60
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
kebiasaan_merokok
(merokok / tidak merokok)
7.667 2.424 24.245
For cohort kejadian_ispa =
kasus 2.875 1.461 5.659
For cohort kejadian_ispa =
kontrol .375 .207 .679
N of Valid Cases 60
113
LAMPIRAN 10. DOKUMENTASI
Gambar 1. Pengisian kuesioner oleh responden
Gambar 2. Pengisian kuesioner oleh peneliti
114
Gambar 3. Pengukuran pencahayaan
Gambar 4. Salah satu hasil pengukuran pencahayaan
115
Gambar 5. Pengukuran luas kamar
Gambar 6. Kondisi jenis lantai rumah
116
Gambar 7. Kondisi jenis dinding
Gambar 8. Kondisi langit-langit rumah
117