Post on 30-Nov-2020
i
APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH KELUARGA
PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN
JANDA CERAI DITUNJAU DARI HUKUM ISLAM (Study Kasus Di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab.Temanggung)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
ARI SUSANTI
NIM 21110006
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : PengajuanNaskahSkripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Ari Susanti
Nim : 21110006
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul : APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH
KELUARGA PASCAPERCERAIAN:
KOMPARASI JANDA MATI DENGAN
JANDA CERAI DITINJAU DARI HUKUM
ISLAM (Studi Kasus Di Desa Margolelo Kec.
Kandangan Kab.Temanggung)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian
dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 24 Februari 2015
Pembimbing
Dra.Siti Zumrotun, M.Ag
NIP. 19670115 199803 2 002
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722
http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@iainsalatiga.ac.id
PENGESAHAN
APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH KELUARGA
PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI JANDA MATI DENGAN JANDA
CERAI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Study Kasus di Desa Margolelo Kec. Kandangan Kab. Temanggung)
OLEH
ARI SUSANTI
NIM :21110006
Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri(IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 25 Maret
2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Penguji : Badwan, M. Ag ______________
Sekretaris Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag ______________
Penguji I : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag ______________
Penguji II : Dr. Adang Kuswaya, M. Ag ______________
Salatiga, 02 April 2015
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP. 19670115 199803 2 002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertandatangan dibawah ini;
Nama : Ari Susanti
Nim : 21110006
Jurusan : Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi :APLIKASI TANGGUNG JAWAB NAFKAH
KELUARGA PASCAPERCERAIAN: KOMPARASI
JANDA MATI DENGAN JANDA CERAI DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Margolelo
Kec. Kandangan Kab.Temanggung)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah
Salatiga, 25 Maret 2015
Yang menyatakan
Ari Susanti
v
MOTO
Introspeksi
Adalah
Caraku berdamai dengan
Nurani
“Tak adil menilai seseorang hanya dari satu sisi saja, karena
pada hakekatnya semua manusia itu sama dan Hanya Allah
Aza Wajalla yang berhak Menilainya”
vi
PERSEMBAHAN
Penulismempersembahkanskripsiinikepada:
1. Kepada Ibu Dra.Siti Zumrotun, M.Ag yang dengan sabar
dan tak pernah lelah membimbing, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini
2. Keluargabesar, terutamaibu Munarsihdan bapak Muhri
yang takhenti-
hentinyamemberikandukungansertaDo’anya.
3. Calon imamku Puput Wido Purnomo yang selalu memberi
semangat
4. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi
seperti Leni, Rita, Vya, Ita, Ulin, Ulya, Palupi, Dek Roro,
dan Rissa
5. Dan segenap pembaca
vii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah
mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan
tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan
skripsi ini bisa terselesaikan
Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis
menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi
merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan
dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih
yang tiadataranya kepada:
1. Bapak Dr. RahmatHariyadi, M.PdSelakuRektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga sekaligus pembimbing yang telah
mencurahkan bantuan dan dengan sabar membimbing sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah.
viii
4. Bapak Illya Muhsin,S.H, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang
telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar
penulismenjadipribadi yang lebihbaik.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian
administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi.
6. Bapak Muhri dan Ibu Munarsih tercinta, terimakasih atas segala doa dan
yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putra-putrinya.
7. Calon imamku Puput Wido Purnomo yang selalu memberi semangat dan
dukungan.
8. Keluarga besar dari Bapak Sahid di Temanggung dan Keluarga dari Mb.
Sum di Salatiga, terimakasih atas Do‟a dan dukungannya.
9. Kak Mercy yang selalu menemani penulis menyelesaikan tulisan ini
10. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Leni, Rita,
Vya, Ita, terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini.
11. Sahabat-sahabatku seangkatan 2010 yang dari Temanggung, Fatul,
Khorifah, Chotim, Ndunk, Hanan, Mizin.
12. Sahabat-sahabatku KKN terutama Upiel dan Dek Roro yang selalu
memotifasi dan mendukung
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah
memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi
ini.
Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis
atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang
ix
tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.
Salatiga, 25 Maret 2015
Penulis
Ari Susanti
Nim 21110006
x
ABSTRAK
Susanti, Ari. 2015. Aplikasi Tanggung Jawab Nafkah Keluarga Pasca
Perceraian: Komparasi Janda Mati dan Janda Cerai Ditinjau Dari
Hukum Islam(Studi Kasus di Desa Margolelo Kecamatan Kandangan
Kabupaten Temanggung). Skripsi.FakultasSyari‟ah. JurusanAhwal AL-
Syakhshiyyah. Institut Agama Islam NegeriSalatiga. PembimbingDra.
SitiZumrotun, M. Ag
Kata Kunci :TanggungJawabNafkahKomparasiJandamatidanJandaCerai
Penelitian dilakukan dengan dasarmengetahui bagaimana pemberian
nafkah yang dilakukan oleh janda terhadap keluarganya yang berada di Desa
Margolelo,Kec. Kandangan, Kab. Temanggung. Rumusan masalah yang akan
penulis jawab adalah (1) Bagaimana cara pemberian nafkah yang diberikan oleh
janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya (2) bagaimana perbedaan
tanggung jawab antara janda mati dan janda cerai dalam pemberian nafkah
terhadap keluarganya (3) Untuk menjawab pertanyaan tersebut pengumpulan data
dilakukan melaluiobservasi dan wawancara terhadap informan yaitu satu orang
janda mati dan satu orang janda cerai, dan dengan membaca buku-buku yang
mendukung penelitian ini
Berdasarkan penelitian ini diperoleh bahwa objek yang di teliti bahwa
tanggung jawab yang harus ditanggung oleh janda mati dan janda cerai terahap
keluarganya tidak hanya merawat dan mendidik anak-anaknya, namun, di sini
seorang janda harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama anak-anaknya
dan keluarganya. Hal itu di sebabkan karena, bagi janda mati walaupun ia
memperoleh warisan dari suaminya, namun belum bisa mencukupi kebutuhan
sehingga ia harus mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi
kebutuhannnya bersama anak-anaknya. Sedangkan dengan janda ceari ia sebagai
tulang punggung keluarga karena mantan suaminya taupun keluarganya tidak
memberi antuan kepadanya dalam pemeliharaan anaknya.
Dapat disimpulkan bahwa kehidupan janda mati dan janda cerai terhadap
keluarganya yang terjadi di Margolelo dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:
Sesuai hukum islam, kehidupan seorang janda mati sudah sesuai dengan hukm
islam karena ia bekerja sebagai buruh pembuat emping melinjodan sebagai petani.
Begitu puladengan bu Desi karena yang pada mulanya ia bekerja sebagai TKW di
Malaysia seanjutnya ia bekerja sebagi peayan restoran di Semarang.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
ABSTRAK ......................................................................................................... x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................ 4
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 5
E. Telaah Pustaka .................................................................................. 6
F. Penegasan Istilah ............................................................................... 9
G. Metode Penelitian.............................................................................. 9
H. Metode Analisis Data ...................................................................... 12
I. Sistematika Penulisan...................................................................... 12
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Nafkah ................................................................................ 14
1. Pengertian Nafkah Dalam Fiqh ................................................. 14
a. Dasar Hukum Nafkah .......................................................... 14
b. Syarat-syarat Wajib Nafkah ................................................ 15
c. Nafkah Menurut Para Mazhab ............................................ 18
d. Nafkah Mantan Istri Dalam Fiqh ........................................ 20
e. Nafkah Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 .......... 26
f. Nafkah Menurut KHI .......................................................... 27
xii
B. Bagian Janda ................................................................................... 29
1. Pengertian dan Dasar Hukum Janda ......................................... 29
2. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Cerai ................................ 30
3. Nafkah Bagi Janda .................................................................... 33
4. Nafkah Bagi Janda Cerai ........................................................... 41
5. Nafkah Bagi Janda Mati ............................................................ 45
C. Pemeliharaan Anak ......................................................................... 49
D. Saksi-sanksi ..................................................................................... 52
BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Margolelo ................................................. 54
1. Kondisi Geografis ..................................................................... 54
2. Demografi ................................................................................. 55
3. Keadaan Sosial .......................................................................... 56
4. Keadaan Ekonomi ..................................................................... 63
B. Profil Janda...................................................................................... 65
1. Hasil Wawancara Dengan Janda Mati ...................................... 65
2. Hasil Wawancara Dengan Janda Cerai ..................................... 70
BAB IV: PEMBAHASAN
A. Pencarian dan Pemberian Nafkah Janda Terhadap Keluarganya di Desa
Margolelo ........................................................................................ 76
1. Khulu‟ ....................................................................................... 77
2. Cerai Mati.................................................................................. 77
B. Pencarian Nafkah oleh Janda di Desa Margolelelo akibat Cerai Mati
dan Cerai hidup ............................................................................... 78
1. Buruh ......................................................................................... 79
xiii
2. Petani ......................................................................................... 79
3. TKW .......................................................................................... 80
C. Cara Pemberian Nafkah Oleh Janda Terhadap Keluarganya .......... 80
1. Langsung ................................................................................... 81
2. Tidak Langsung ......................................................................... 81
D. Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam ............. 82
1. Hak Mantan Istri Menurut KHI dan UU no 1 Tahun 1974 ....... 87
a. Janda Mati ........................................................................... 89
b. Janda Cerai .......................................................................... 89
1) Sesuai Hukum Islam ..................................................... 90
2) Tidak Sesuai Hukum Islam ........................................... 91
BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk membentuk keluarga yang yang sakinah, mawadah,warohmah.
Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1
disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” .
Dengan demikian semua orang seharusnya mempunyai tujuan yang
sama dalam pernikahan, tapi tidak semua pernikan berakhir bahagia dan
bisa kekal. Karna di samping hal di atas ada hal yang tidak bisa dihindari
yaitu kematian, yang merupakan takdir dari Allah SWT. Selain kematian
ada satu hal lagi yang merupakan tidak kekalnya suatu pernikahan, yaitu
perceraian. Walaupun perceraian pada hakekatnya adalah salah satu hal
yang paling dibenci oleh Allah, tapi manusia tidak bisa menolak takdir jika
orang yang dinikahi memang belum baik bagi dirinya dan keluarganya.
Adapun akibat dari putusnya perkawinan diatas adalah putus juga
tanggung jawab diantara keduanya, termasuk dalam hal nafkah. Keberadaan
nafkah sebagai konsekuensi hubungan keluarga. Nafkah tidak sekadar dan
sesederhana bagaimana menghadirkan sesuap nasi, tetapi bagaimana
2
memberi nafkah sandang, pangan, papan dan kebutuahan lainnya terhadap
keluarga mereka. Yang pada umumnya semua kebutuhan di atas adalah
kewajiban seorang kepala rumah tangga yaitu suami. Seperti yang
diungkapkan oleh Sabig (1981:80) “ Agama mewajibkan suami
membelanjai istrinya, oleh karena adanya ikatan perkawinan yang sah itu
seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada suaminya, dan tertahan
sebagai miliknya, karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri
wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengatur rumah tangganya,
memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami ia
berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi belanja kepadanya,
selama ikatan suami masih berjalan, dan istri tidak durhaka atau karena ada
hal-hal yang menghalangi penerimaan belanja. Tapi jika dalam keluarga
tersebut sudah tidak ada suami, di mana suami sudah tidak berperan lagi
sebagai kepala rumah tangga dan sudah berpisah dengan istrinya, karna
sebab meninggal dunia ataupun karena perceraian. Maka sebuah keluarga
tersebut harus dipimpin oleh perempuan. Sehingga ia harus memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan jerih payahnya sendiri.
Ash-shabuni(1995:49)Adapun seorang istri yang ditinggal mati
suaminya, seharusnya ia mendapat bagian ¼ dari harta peninggalan
suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila suami tidak mempunyai
anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari rahim
istri lain. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
3
“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu miiki jika kamu tidak
mempunyai anak...”(An-Nisa:12)
Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang maupun
lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan suaminya, bila
suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya
atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh seperdelapan
dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau(dan) sesudah dibayar utang-utangnmu...”(An-Nisa:12)
Adapun yang diungkapkan oleh (Wasman, Wardah, 2011:270) bagi
wanita yang dicerai suaminya, biaya pengasuhan anak dibebankan pada
ayah si anak. Segala sesuatu yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah
untuk mencukupinya. Apa bila ibu yang mengasuh tidak punya tempat
tinggal, maka ayah harus menyediakannya, agar ibu dapat mengasuh anak
dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk keperluan asuhan yang baik
diperlukan pembantu rumah tangga. Jika anak masih dalam menyusu, dan
untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan makanan yang
sehat, obat-obat vitamin dan sebagainya, maka semua menjadi beban ayah.
4
Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah, maka biaya pendidikan itu
menjadi tanggung jawab ayah juga. Tapi bagaimana jika sosok ayah dalam
suatu keluarga sudah meninggal ataupun sudah tidak serumah lagi dengan
anak atau keluarganya. Apakah sosok ayah di sini masih tetap berperan
dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan jika suami meniggal
siapakah yang akan menanggung semua beban tersebut. Apakah semua
tanggungjawab itu diserahkan kepada Istri (ibu). Permasalahan yang
menarik diteliti apakah ada perbedaan bentuk aplikasi tanggungjawab antara
janda mati dengan janda cerai. Maka dari itu penulis akan mengkaji lebih
lanjut tentang hal tersebut.
B. Fokus Peneitian
Dalam peneitian ini penulis akan berusaha ntuk mencari, meneliti dan
mengkaji tentang perbedaan tanggng jawab antara janda mati dan janda
cerai dalam pemberian nafkah terhadap keluarganya, baik dalam kenyataan
dan menurut hukum Islam yang berlaku.
Ingin mengetahui bagaimana seorang janda menghidupi keluarganya,
apakah dengan bekerja sendiri ataupun menggunakan harta warisan bagi
janda yang ditinggal mati suaminya. Dan janda yang dicerai apakah ia
mencukupi kebutuhan keluarganya termasuk anaknya dengan jerih
payahnya sendiri atau tetap mendapat bantuan dari manntan suaminya.
C. Rumusan Masalah
Untuk itu, tulisan ini akan menjawab beberapa rumusan masalah,
sebagai berikut:
5
1. Bagaimana cara pemberian nafkah yang
diakulakukan oleh janda mati dan janda cerai
terhadap keluarganya di Desa Margolelo?
2. Bagaimana perbedaan tanggung jawab yang
dilakukan oleh janda mati dan janda cerai dalam
pemberian nafkah terhadap keluarganya?
3. Apakah cara pemberian nafkah yang dilakukan oleh
janda mati dan janda cerai terhadap keluarganya
sudah sesuai dengan hukum Islam?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui cara pemberian nafkah yang
diberikan oleh janda mati dan janda cerai
terhadap keluarganya di Desa Margolelo
b. Mengetahui perbedaan tanggung jawab antara
janda mati dan janda cerai dalam pemberian
nafkah terhadap keluarganya
c. Mengetahui cara pemberian nafkah yang
dilakukan oleh janda mati dan janda cerai
terhadap keluarganya sudah sesuai dengan
hukum Islam atau belum.
2. Sedangkan kegunaanya antara lain :
6
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai tambahan dan kontribusi
kepada peneliti khususnya dalam ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan
tanggungjawab janda mati maupun janda cerai
terhadap nafkah keluarganya.
b. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
meraih gelar Sarjana Strata 1 (S-1) dalam
bidang hukum Islam (syari‟ah)
c. Sebagai wacana bagi para pembaca.
E. Telaah Pustaka
Untuk mendukung betapa pentingnya penelitian yang akan dilakukan,
penulis memaparkan sedikit tentang penelitian yang perna dilakukan oleh,
yang pertama yaitu:
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Risal Muhammad yang
berjudul peniadaan nafkah dalam iddah dalam perkara cerai gugat. Yang
pada intinya penelitian tersebut berisi bahwa dalam Fiqhdan perundang-
undangan dijelaskan bahwa isrti yang telah dicerai suaminya berhak
mendapatkan nafkah iddah, selama istri tersebut tidak Nuzyuz. Namun
dalam perkara ba‟in, para ulama berbeda pendapat tentang hak nafkah
iddah bagi istri yang telah dicerai. Imam Syafi‟i, Maliki dan Hambali
berpendapat bahwa dalam talak ba‟in, istri yang telah dicerai tidak
7
mempunyai hak atas nafkah iddah. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat
bahwa istri yang telah dicerai ba‟in tetap mendapat nafkah iddah.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Faris Ahmad Jundhi yang
berjudul Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat (Studi Putusan PA
Pati No.1925/pdt.G/2010/PA.PT). Yang pada intinya tersebut berdasarkan
Mazhab Imam Hanafi yang menyimpulkan bahwa wanita yang dicerai
suaminya berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama kecuali jika
wanita tersebut beriddah karena perpisahan disebabkan pelanggara istri,
seperti murtad setelah bercampur, atau tindakan istri menodai kehormatan
mertua atau saudara-saudaranya. Istri tidak berhak tempat tinggal, hanya
berhak nafkah.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Khurul Aini yang berjudul
Kewajiban Nafkah Iddah Suami Kepada Istri Yang Telah Dicerai(Studi
Putusan PA Salatiga No.394/pdt.G/2005/PA.SAL.yang pada intinya
memuat konsep iddah dalam islam dan menurut perundang-undangan.
Adapun menurut Hukum Islam adalah dalam QS.At-Thalak ayat 7, antara
lain:
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
8
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.(Qs.At-Thalak:7)
Dan menurut Undang-undang adalah termuat dalam UUPernikahan
pasal 34 antara lain,
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Semua penelitian diatas pada intinya adalah nafkah iddah bagi istri yang
telah dicerai. Yaitu istri yang telah dicerai masih tetap mendapatkan nafkah
selama masa iddah dalam hal selama istri tidak nuzyuz dan tidak murtad.
Sedangkan penelitian yang akan saya teliti adalah ingin mengetahui
bagaimana tanggungjawab janda yang telah dicerai apakah masih ada
bantuan dari mantan suaminya uuntuk menghidupi anak-anaknya atau tidak.
Dan bagi janda yang ditinggala mati suaminya apakah ia mendapat kan
warisan dari suaminya atau tiak.
F. Penegasan Istilah
1. Tanggung Jawab
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia tanggung jawab adalah 1)
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb): pemogokan itu menjadi --
9
pemimpin serikat buruh; 2) Huk fungsi menerima pembebanan, sbg akibat
sikap pihak sendiri atau pihak lain;
Sedangkan yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah bagaimana
tangggung jawab seorang janda dam pemberian nafkah terhadap
keluarganya.
2. Janda
Definisi janda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Chulsum dan
Novia (2006) memberikan pengertian janda yaitu seorang wanita yang
diceraikan atau ditinggal mati suaminya. Masa menjanda ini merupakan
masa yang umumnya dialami oleh wanita.
Dan saya akan jelaskan yang macam-macam janda. Yang pertama
adalah janda mati, yaitu janda yang ditinggal suaminya meniggal dunia.
Yang kedua adalah janda cerai, yang mana bisa dibagi dalam dua golongan
yaitu cerai talak yang berarti pihak yang mengajukan kepengadilan adalah
dari pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang mana pihak istri
yang mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan.
3. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua hajat dan keperluan yang
berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan
kebutuhan lainnya.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
10
Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan yang yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll.(Moleong,
2009: 6)
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini pengambil lokasi di Desa Margolelo Kec. Kandangan
Kab. Temanggung. Adapun alasan pemilihan tempat adalah berkaitan
dengan upaya peningatan dan pemahaman pengetahuan mengenai Hukum
Islam khususnya mengenai tanggungjawab janda mati dan janda cerai
terhadap keluarganya.
3. Sumber data
Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti.
Menurut Lofland (1984:47) dalam Moeleong, (2007:157) sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen( sumber data tertulis, foto-foto dll)
a. Data primer
Data primer adalah data atu informasi yang diperoleh langsung dari
orang-orang yang terlibat atu mengetahui seluk beluk persoalan. Perolehan
data ini penulis berusaha memperoleh data melalui janda yang dicerai dan
ditingggal mati oleh suaminya yang tinggal di Desa Margolelo. Sedangkan
pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, foto dan
rekaman.
11
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain dari
data primer. Diantanya Al-Qur‟an, buku-buku literatur, internet, jurnal
ilmiah, dan dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Data-data tersebut
dsebut referensi. Menurut Mestika Zed (2004:10) buku referensi adalah
koleksi buku yang memuat iinformasi yang spesisifik, paling umum, serta
paling banyak dirujuk untu keperluan cepat.
4. Subjek penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, maka
berikut penulis mengemukakan terlebih dahulu tentang penelitian yang
menyangkut:
a. Responden / Informan
Sumber informasinya yaitu dari subjek dari penelilian tersebut, yaitu
para ibu yang sudah tidak hidup dengan suami, yaitu janda. Baik janda mati
maupun janda cerai yang bertempat tinggal di Desa Margolelo Kecamatan
Kandangan Kabupaten Temanggung
b. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian ini, maka
penulis menggunakan beberapa metode antara lain:
1) Wawancara/Interview
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percaapan itu
dilakukan oleh dua piha yaitu pewawancara (interviewer)yang mengajukan
12
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberian jawaban atas
pertanyaan itu.(Moleong, 2009:186)
2) Observasi
Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan
pengamtan dan pencatatan secara langsung dan sistematis terhadap
fenomena-fenomena yang akan diteliti. Sedangkan teknik observasi yang
digunakan peneliti adalah terjun langsung ke lapangan yang hendak diteliti.
3) Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara
membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan. Dalam
pelaksanaan metode ini,peneliti meneliti benda-benda tertulis seperti buku
dll(Arikunto, 1989:131)
4) Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu membaca buku-buku literature danmengkajinya
sesuai dengan pembahasan yang ada hubungan denganpembahasan yang
dibahas.
H. Metode Analisis Data
Setelah seluruh data-data terkumpul maka barulah langkahselanjutnya
penyusun menentukan bentuk pengolahan terhadap data-datatersebut yaitu
menggunakan metode komparatif yaitu membangun suatu pendapat atau
data lain dan diambil kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
13
Untuk dapat memudahkan pemahaman dan pengertian penelitian , maka
penulis membagi kedalam sistematika penulisan. Diantaranya:
Pada bab I Pendahuluan, ini dimuat tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Kajian Pustaka : berisi tentang: Konsep Nafkah, Bagian janda,
Nafkah bagi janda, pemeliharaan anak, Sanksi-sanksi
Bab III Gambaran umum Desa Margolelo, profil janda mati dan janda cerai.
Bab IV berisi tentang analisis penelitian, Pemenuhan Nafkah Keluarga
Janda di Desa Margolelo, Kategori Pemberian Nafkah janda Terhadap
Keluarganya, Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam,
Bab V berisi tentang kesimpulan dan saran
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Nafkah
1. Pengertian Nafkah dalam fiqh
Kata nafkah berasal dari kata (انفق), dalam bahasa arab secara
etimologi mengandung arti : ( نقص و قل) yang berarti
“berkurang”(Syaifuddin, 2007:165).Yang diungkapkan oleh Sabiq,
(1981:77) bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah terpenuhinya
kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan
istri, jika ia kaya.
Nafkah adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh
seseorang untuk keperluan hidup dirinya sendiri ataupun orang lain.
Nafkah di sini juga berupa memberi makan, sandang dan papan serta
kebutuhan rumah tangga lainnya. Salah satunya yang mengakibatkan
adanya tanggungjawab nafkah adalah adanya hubungan perkawinan.
a. Dasar Hukum Nafkah
Dalam hubungan ini QS Al-Baqarah:233 mengajarkan bahwa
ayah (suami yang telah menjadi ayah) berkewajiban men memberi
nafah kepada ibu anak-anak (istri yang telah menjadi ibu) dengan cara
yang makruf. Seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut
15
kadar kemampuannya. Seorang ibu jangan sampai menderita
kesengsaraan karena ankanya. Demikian pula seorang ayah jangan
sampai menderita kesengsaraan karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian.(Basyir, 2000:108)Firman Allah:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya”(Al-Baqarah:233)
Firman Allah
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka;dan jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalak) itu perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”(At-Thalak:6)
b. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Basyir (2000:109) mengungkapkan bahwa nafkah keluarga
menjadi wajib apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
16
1) Adanya hubungan kerabat yang mewajibkan adanya hubunngan
waris-mewaris antara kerabat antara kerabat yang membutuhan
dan kerabat yang mampu.
2) Adanya kerabat yang menuntut nafkah. Apabila kerabat yang
bersangkutan tidak membutuhkan nafkah dari kerabat lain, tidal
berhak nafkah, meskipun masih kanak-kanak. Dengan adanya
syarat ini, anak kecil mempunyai harta sendiri dicukupkan
keperluan hidupnya dengan hartanya sendiri. Apabila tidak
mempunyai harta sendiri, baru diwajibkan kepada ayahnya;
apabila ayah tidak mampu maka kemudian diwajibkan kepada
erabat lainnya.
3) Kerabat yang tidak mampu berusaha sendiri. Dengan demikian,
apabila kerabat bersangkutan mampu bekerja dan memang
mendapatkan pekerjaan, tidak berhak nafkah, kecuali nafkah anak
untuk orang tua. Kewajiban nafkah bagi orang tua tidak
memerlukan syarat ini sebab anak berkewajiban berbuat
kebajikan kepada orang tua yang antara lain berupa mencukupkan
nafkah hidupnya, meskipun orang tua mampu bekerja, tetapi
hasilnya tidak mencukupi kebutuhan.
4) Orang yang dibebani kewajiban nafkah cukup mampu, kecuali
kewajiban nafkah untuk anak atau orang tua. Wajib nafah untu
ank atau orang tua hanya disyaratkan mampu bekerja, tida harus
mampu harta. Dengan demikian, ayah yang mampu bekerja untuk
17
memenuhi kewajiban nafkah bagi anak-anaknya. Apabila
kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak-anaknya
dicukupkan oleh kerabat lain, nafkah itu dapat diperhitungkan
sebagai utang ayah kepada kerabat yang bersangkutan, yang pada
saat mampu dapat ditagih. Demikian pula halnya kewajiban anak
untuk memberi nafkah kepada orang tuanya; anak yang mampu
bekerja wajib bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah untuk
orang tua. Apabila kewajiban ini dipenuhi kerabat lain, dapat
diperhitungkan sebagai utang yang dapat ditagihkan kepada anak
pada saat beremampuan.
5) Bersamaan agama, kecuali nafkah anak dan orang tua.
Penunjukan Alquran bahwa orang yang mempunyai hubungan
waris yang antara lain diperlukan adanya syarat bersamaan
agama. Syarat ini tidak diperlukan dalam kewajiban memberi
nafkah dar orang tua kepada anak, demikian pula dari anak
kepada orang tua.
Salah satunya sebab wajibnya nafkah dalah hubungan
perkawinan. Sebagaimana uyang diungkapkan oleh (Sabiq, 1981:80)
Agama mewajibkan suami memberi nafkah istrinya, karena adanya
ikatan perkawinan yang sah seorang istri mnjadi terikat semata-mata
keapada suaminya. istri wajib taat kepada suami, tinggal di
ruamahnya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya
bagi suami ia berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi
18
nafkah kepadanya, selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri
tidak durhaka atau karena hal-hal yang menyebabkan terhalanginya
penerimaan nafkah. Diungkapkannya pula bahwa perempuan yang
berhak menerima nafkah dari suami adalah sebagai berikut:
a) Ikatan perkawinan yang sah.
b) Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
c) Suaminya dapat menikmati dirinya.
d) Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang
dikehendaki suaminya.
e) Kedua-duanya saling menikmati
Dan jika seorang isrti bisa memenuhi 5 (lima) hal diatas, tidak
patuh lagi terhadap suaminya, maka dalam hal seperti ini ia tidak
wajib diberi nafkah. Karena seorang istri diibaratkan sebagai barang
dan ia harus menyerahkan semuanya kepada suami. Tapi seorang
istri bisa menolak ajakan suami jika suami tersebut kafir dan murtad.
c. Nafkah menurut para Mazhab
Sabiq, 1981:84 mengatakan bahwa, golongan Dhahiri
berpendapat bahwa adanya ikatan suami istri sendirilah yang menjadi
sebab diperolehnya hak nafkah. Pendapat ini berdasarkan kepada hak
nafkah bagi istri yang masih di bawah umur atau istri yan berbuat
“nusyuz”tanpa melihat syarat-syarat sebagaimana dikatakan oleh
Mazhab-mazhab lain. Hampir sama seperti yang dikatakan ibn Hazm
19
bahwa suami berhak menafkahi istrinya sejak terjalinnya akad nikah,
baik suami mrmgajaknya hidup serumah maupun tidak, baik istri
masih dalam buaian atau berbuat “nusyuz” atau tidak. Kaya atau fakir,
masih mempunya orang tua atau sudah yatim, gadis atau janda,
merdeka atau budak, semuanya itu disesuaikan dengan keadaan suami.
Jumlah nafkah yang harus dipenuhi menurut golongan hanfi
adalah meliputi makanan dan segala kebutuhan yang diperlukan
sehari-hari dan sesuai dengan keadaan umum, dan sesuai dengan
kemapuan suami. Seperti dalam firman Allah:
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.(Qs. At-Thalak:7)
Sedangkan menurut golongan Syafi‟i jumlah nafkah bukan
diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi berdasarkan Syara‟. Dan
golongan ini lebih dikhususkan lagi yaitu bagi suami yang kaya ia
ditetapkan kewajiban nafkah setiap hari dua mud(6 ons
gandum/beras). Sedangkan bagi yang miskin satu mud sehari dan
yang sedang satu setengah mud.
20
d. Nafkah Mantan Istri Menurut Fiqh
Perbekalan maximum telah diberikan al-Qur‟an bagi mantan isteri
yang diceraikan sehingga mereka tidak menderita sedapat mungkin,
secaraemosional berusaha dikurangi dan menganjurkan laki-laki agar
melepaskan mereka dengan cara yang baik. Sangat disayangkan ada
kesenjangan yang jauh antara ajaran idealnya dan prakteknya yang terjadi.
Yang diperlukan adalah menanamkan pendidikan al-Qur‟an dengan skala
yang jauh lebih luas bagi perempuan muslim. Sehingga mereka menjadi
sadar atas hak-hak yang diberikan al-Qur‟an dan berjuang untuk
mencapainya, bukanlah sebuah pekerjaan gampang, walaupun sesuatu
yang sangat berguna.
Komitmen Asghar terhadap penegakan kesetaraan gender dan
perjuangannya untuk menciptakan relasi gender yang berkeadilan, bisa
dilihat dari responnya terhadap kasus Shah Bano pada tahun 1985 di India,
kasus ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Agung yang
membenarkan keputusan Pengadilan Tinggi personal muslim yang
mewajibkan kepada Mohammad Ahmad Khan (mantan suami Shah Bano)
untuk memberikan nafkah kepadaShah Bano, keputusan ini berdasarkan
Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125:“Seseorang yang kekayaannya
cukup mengabaikan atau berkeberatan untuk memelihara istrinya yang
tidak mampu untuk memelihara dirinya sendiri, dapat dimintakan oleh
pengadilan untuk membayar suatu pemeliharaan bulanan kepadanya pada
suatu tingkat tarif tidakmelebihi 500 mata uang India….”
21
Inti dari ketentuan di atas adalah mewajibkan kepada para suami
untuk memberikan nafkah kepada para isteri yang diceraikan oleh mereka
tidak memiliki nafkah hingga mereka kawin lagi atau sampai
mati.Keputusan ini diambil setelah berkonsultasi dengan hukum personal
muslim (the muslem personal law) dan teks kitab suci al-Qur‟an. Akan
tetapi, majelis hukum personal muslim keberatan dengan penilaian
Mahkamah Agung dan menganggapnya sebagai bentuk intervensi terhadap
mereka.
Menurut majelis hukum personal muslim, Mahkamah Agung tidak
mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur‟an. Keputusan Mahkamah
Agung di atas juga menimbulkan reaksi yang sangat keras, tidak hanya
dari majelis hukum personal muslim akan tetapi juga dari beberapa
pemimpin muslim. Mereka mengumandangkan agitasi melawan
pengadilan dan menuntut Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125 tidak
diberlakukan kepada umat Islam.
Menurut Engineer beberapa pemimpin Islam ini menganggap ini
bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa dirubah. Para pemimpin ini
mempropagandakan bahwa dalam Islam isteri yang diceraikan itu hanya
dapat jatah nafkah pada periode iddah (3 bulan menunggu sebelum dia
dapat menikah). Bahkan ada beberapa di antara pemimpin ini ada yang
berpandangan bahwa memberikan nafkah di luar masa tersebut adalah
dosa.
Para pemimpin konservatif ini mengajak umat Islam untuk melawan
Mahkamah Agung. Hasilnya, ribuan umat Islam baik laki-laki maupun
22
perempuan berpartisipasi dalam demonstrasi memprotes keputusan
Mahkamah Agung tersebut. Akhirnya pemerintah Rajiv Gandhi
membatalkan keputusan Mahkamah Agung dengan memperkenalkan
sebuah rancangan Undang-undang di Parlemen untuk mengecualikan umat
Islam dari peraturan Code of Criminal Prosedure (Cr. Pc)125. Dalam hal
ini Engineer mengkritikpedas para pemimpin konservatif yang melakukan
propaganda untuk melawan Mahkamah Agung. Menurutnya, adalah jauh
dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua
atau kerabatnya setelah periode iddah,seperti yang diklaim oleh kalangan
konservatif sebagai hukum islam. Menurut Engineer, al-Quran tidak
menyatakan baik secara implisit ataueksplisit bahwa isteri yang diceraikan
harus dirawat oleh orang tua atau keluarganya. Sebaliknya, adalah
kewajiban para suami untuk merawat isteri-isteri mereka.
Landasan yang dijadikan pegangan Asghar dalam menanggapi
masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri adalah bahwa surat al-
Baqarah ayat 241. Jika dilihat secara cermat, tidak ada yang membatasi
masalah pemberian nafkah bagi mantan isteri. Ayat tersebut tidak
menetapkan periode tertentu dan tidak juga menegaskan jumlah tertentu.
Penafsiran diserahkan kepada pemahaman manusia dan tuntutan
zaman yang senantiasa berubah,dan semuanya diserahkan kepada hukum
untuk memutuskan sesudah segalanya dipertimbangkan. Asghar juga
beranggapan ada dua kata kunci dalam surat al-Baqarah ayat 241, yang
berkenan dengan pemberian nafkah, mata‟ah dan ma‟ruf. Al-Qur‟an
mengatakan bahwa mereka tidak hanya harus dilepaskan dengan cara yang
23
baik (ma‟ruf) akan tetapi perbekalan (mata‟ah) juga disediakan dengan
cara yang baik pula. Dan juga belum ada ketetapan dalam hukum
mengenai pemberian nafkah melebih masa iddah. Namun dengan adanya
perubahan kondisi sosial, maka penerapan hukum dapat berubah juga,Al-
Qur‟an sendiri tidak menyatakan bahwa secara implisit maupun eksplisit
bahwa isteri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tuanya atau
kerabatnya, sebaiknya adalah kewajiban para suami untuk merawat isteri-
isteri mereka. Asghar mengutip pendapat „Allamah Yusuf Ali beliau
menerjemahkan surat al-Baqarah ayat 241, mata‟ah sebagai nafkah
sedangkan ma‟ruf sebagai kadar yang layak.
Asghar juga mengutip pendapatnya Maulana Muhammad Ali, dalam
menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan; “Ingatlah bahwa perbekalan ini
(mata‟ah) adalah tambahan atas mas kawin) yang harus diberikan kepada
mereka. Sebagaimana pada surat al-Baqarah ayat 240, ayat sebelumnya
mengenai janda cerai mati yang diberi keuntungan tambahan bagai
perempuan yang dicerai suami.Setelah suami meninggal, isteri tidak boleh
dikeluarkan dari rumahnya, dia harus diperbolehkan menetap di sana
paling tidak selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 240; “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal)
meninggalkan mereka berbuat yang ma‟ruf terhadap diri mereka.
24
Seseorang laki-laki dapat berbicara dengan janda cerai mati pada masa
iddahnya tentang maksudnya untuk mengawininya.
Hal ini menunjukkan bahwa janda tersebut dilamar pada masa
iddahnya. Dengan demikian, sangatlah mungkin bahwa kerabat suaminya
setelah iddahnya habis dan mencerai suami yang baru. Inilah sebab al-
Qur‟an mendesak seorang suami untuk membuat wasiat khusus sebelum
meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya
paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya dan segala
keuntungan lainnya (sebagai tambahan atas hak warisnya yang biasa bagi
isteri dari harta suaminya, seperdelapan). Dengan demikian, jika ayat ini
dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan
terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak
perempuan (al-Baqarah: 240).
Asghar lebih lanjut juga mengutip pendapat „Allamah Yusuf Ali,
bahwa perempuan yang dicerai berhak atas nafkah yang layak dan
pemberian tersebut diwajibkan bagi suami yang menceraikannya. (Khusus
banding Shah Bano untuk mendapatkan nafkah dari suaminya, dan
akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi India). Sebagian ulama masa
awal Islam juga berpendapat bahwa mata‟ah tidak mengisyaratkan waktu
tertentu.
Asghar mengutip pendapatnya Hasan al-Basri. Seorang tabi‟in yang
juga ulama besar, berpendapat bahwa tidak ada pembatasan waktu
mengenai pemberian nafkah, ini harus diberikan menurut kemampuan
seseorang, demikian juga dalam lisan al-Arab, leksikon Arab klasik dan
25
diakui secara luas, mengatakan, “Ia (mata‟ah) tidak mempunyai batas
waktu. Karena Allah tidak menetapkan batas waktu pemberian nafkah,
hanya saja menyuruh memberikan nafkah.Asghar juga mengutip pendapat
seorang ulama Pakistan Prof. Rafi‟ullah Syihab, mengatakan dalam
artikelnya yang dipublikasikan oleh Pakistan Times bahwa menurut prinsip
yang ditetapkan fuqaha Hanafi, “Jika seorang suami tidak memberikan
nafkah kepada istrinya dengan cara yang benar. Isteri bisa mendapatkan
pemberian nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan, pemberian
tersebut tidak hanya diberikan sewaktu menjadi istrinya akan tetapi juga
setelah ia diceraikan.
Hal senada juga diungkapkan Imam Ibn Rujaim, “dia berpandangan
bahwa argumen yang mengatakan berhentinya kewajiban pemberian
nafkah selayaknya oleh suami dapat mengetuk pintu pengadilan dan
mendapatkan nafkah yang besarnya ditetapkan pengadilan tersebut. Suami
harus membayar dan memberikan nafkah yang sudah ditetapkan itu kepada
istrinya, dia tentu akan melakukan yang demikian. Tetapi hukum Islam
tidak membolehkannya berlaku demikian, dia tetap harus memberikan
nafkah tersebut setelah menceraikannya.
Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa kriteria-kriteria bagi
seorang wanita yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan isterinya
adalah; a)seorang wanita yang telah dicerai dan tidak mampu untuk
memelihara dirinya sendiri (miskin), b) seorang wanita yang sudah sangat
tua usianya, dan c) wanita tersebut sudah tidak mempunyai sanak famili.
26
Seorang wanita itu berhak mendapatkan nafkah sampai dia menikah
lagi atau sampai mati, karena jauh dari rasa keadilan jika seorang wanita
yang telah diceraikan kembali kepada orang tuanya atau kepada
kerabatnya.
Menurut Asghar Ali Engineer ada dua kata kunci surat al-Baqarah
ayat 241 yang berkenaan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri;
mata‟ah dan ma‟ruf. Al-Qur‟an mengatakan bahwa mereka tidak hanya
harus dilepaskan dengan cara yang baik (ma‟ruf) akan tetapi
perbekalan(mata‟ah) juga disediakan dengan cara yang baik pula.
pemikiran Asghar Ali Engineer tersebut memiliki relevansi dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 41 c. Hal ini tentunya juga
berimplikasi terhadap KHI yang hanya memberikan nafkah bagi mantan
isteri hanya sampai masa iddah, yang mana hal itu memerlukan peninjauan
kembali.http://wordskripsi.blogspot.com, akses Februari 2010.
e. Nafkah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang ini nafkah termuat dalam hak dalam
kewajiban suami istri yang termuat dalam :
Dalam Pasal 32 disebutkan bahwa
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
27
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Menurut hukum positif yang berlaku di Pengadilan termuat
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan pasal
41 c, yang berbunyi: Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan
sesuatu kewajiban kepada mantan isteri. Berdasarkan undang-undang
tersebut pengadilan dapat menentukan suatu kewajiban kepada mantan
suami yang yang harus dilakukannya setelah perceraian
f. Nafkah dalam KHI
Kompilasi hukum islam merupakan himpunan ketentuan hukum
islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. Kompilasi hukum islam
bukan merupakan peraturan perundang-undangan, bukan hukum tertulis
meskipun dituliskan, dan bukan undanng-undang. Kompilasi hukum
28
islam merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Namun Kompilasi hukum islam dijadikan
pedoman bagi seluruh warga negara yang beragama islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam nafkah termuat dalam Kewajiban
Suami, antara lain:
Pasal 80
1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetap mengenai hal-halurusan rumah tangga yang penting-
penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya
3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
c) biaya pendididkan bagi anak.
5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulaiberlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya.
29
6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
isteri nusyuz.
B. Bagian Janda
1. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Mati
Menurut Saleh, (2008:330) Janda mati adalah janda yang
ditinggal mati suaminya. Dengan meninggalnya suami, maka
perkawinan antara keduanya terputus dengan sendirinya. Bagi yang
ditinggalkan, ia bebas untuk menikah lagi dengan ketentuan
sebagai berikut: istri yang ditinggal mati suaminya boleh menikah
lagi dengan pria lain setelah mengalami masa „iddah selama
empata bulam sepuluh hari. Dengan dasar hukum QS Al-
Baqarah:234, tetapi jika ia dalam keadaan hamil, ia harus
menunggu („iddah), hingga melahirkan yang tercantum dalam QS
At-Thalaq:4
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi(monopous) diantara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu(tentang masa iddahnya) maka
iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula)perempuan-
30
perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya”(At-Thalak:4)
Sedangkan menurut Basyir, (1995:63) kematian suami
mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadi kematian. Apabila
tidak terdapat halangan-halangan syara‟, istri yang ditinggal mati
berhak waris atas harta peninggalan simati. Yang dimaksud harta
peninggalan ailah sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan
keperluan penyelenggaraan jenazah, sejak dari memandikan sampai
memakamkan, kemudian ia melunasi hutang-hutangnya. Kemudian
untuk melaksanakan wasiatnya, dalam batas sebanyak-banyaknya
sepertiga dari sisa harta setelah diambil untuk biaya
penyelnggaraan jenazah dan melunasi hutang-hutangnya.
2. Pengertian dan Dasar Hukum Janda Cerai
Janda cerai adalah janda yang terjadi karena masalah yang
tidak dapat didamaikan atau karena suami atau istri murtad
(keluar dari agama Islam).
Dalam Saleh (2008:321) cerai hidup ini ada beberapa
macam dilihat dari beberapa keadaan. Pertama, dilihat dari sah
tidaknya suatu perceraian, terbagi kepada thalaq sunni dan thalaq
bid‟i. Kedua, dilihat dari kemungkinan boleh tidaknya suami
31
kembali (rujuk) kepada istrinya, terbagi kepada thalaq raj‟i dan
thalaq ba‟in.
a. Dilihat dari Sah Tidaknya Suatu perceraian
1) Thalaq sunni, yaitu talak yang dinyataka suami ketika istri
tidak dalam keadaan haid. Talak ini sah, dibenarkan, dan
tidak melanggar sunnah Nabi, karena tidak berpengaruh
pada perhitungan masa „iddah, melainkan langsung
memasuku masa „iddah.
2) Thalaq bid‟i, yaitu talak yang dinyatakan suami ketika istri
dalam keadaan haid. Talak ini bertentangn dengan sunnah
Nabi dan haram. Dengan cara ini, hitungan masa „iddah
memanjang, karena setelah jatuh talak tidak langsung dapat
dihitung masa „iddahnya.
b. Dilihat dari boleh tidanya suami kembali (rujuk) pada istrinya.
1) Thalaq raj‟i ialah talak yang memberi peluang kepada
suami untuk kemabali (rujuk) kepada istrinya, selama istri
masih dalam masa „iddah, tanpa melalui pernikahan baru.
Thalak raj‟i adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului
tebusan („iwadh) dari pihak istri.
2) Thalaq Bainialah talak yang tidak memberi peluang kepada
suami untuk kembali (ruju‟) lagi kepada istrinya, karena ia
telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, sehingga jika
ia ingin kembali kepada istrinya ia harus melalui pernikahan
32
baru. Rujuk hanyalah melanjutkan perkawainan yang telah
terputus dan bukan melalui perkawinan baru.
c. Khulu‟
Bentuk perceraian lain adalah khul‟, yaitu perceraian yang
dikehendaki istri karena ia melihat suami melakukan suatu
perbuatan yang tidak diridhai Allah, sedangkan suami sendiri
merasa tidak perlu menceraikan istrinya, oleh karenanya istri
dapat meminta cerai kepada suaminya dengan kompensasi
ganti rugi. Jika suami menyetujuinya, maka putuslah
perkawinan antara keduanya.
d. Fasakh
Fasakh berarti pembatalan perkawinan. Hal itu terjadi
akibat pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin
didamaikan lagi. Fasakh ini bisa terjad ketika: (a) akad nikah
diketahui bahwa diantara calon suami istri punya hubungan
nafkah atau sepersusuan, atau (b) ketika merka nikah,
keduanya masih kecil, dan (c) walaupun kad nikah
berlangsung wajar, tetapi pada suatu saat diketahui adanya
penipuan, baik dari segi maskawin maupun dari pihak yang
melangsungkan perkawinan. Dan setelah nikah terjadi hal-hal
berikut: (a) salah satu pihak murtad dan tidak mau kembali
kepada islam, (b) salah satu pihak mengalami cacat fisik, yang
tidak mungkin untuk melakukan hubungan suami istri, atau (c)
33
kehidupan ekonomi keluarga krisis, sedangkan istri tidak sabar
menunggu pulihnya kembali. Demikianlah, fasakh pada
dasarnya merupakan bentuk perceraian yang dilakukan oleh
Hakim atas permintaan suami atau istri. Namun, ada juga
fasakh yang terjadi secara otomatis, yaitu jika kemudian
diketahui di antara suami istri itu punya hubungan nasab atau
sepersusuan.
3. Nafkah Bagi Janda
Sebelum membahas tentang nafkah bagi janda, maka harus
diketahui akaibat putusnya perkawinan dengan suaminya karena cerai
talak, cerai gugat, atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai
akibat hukum yaitu melaksanakan iddah. Keharusan menjalankan iddah
merupakan perintah Allah yang dibebankan oleh bekas istri yang telah
dicerai. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai iddah, maka
akan di paparkan sebagai berikut:
a. Pengertian Iddah.
1. Secara Etimologi
Jika dikaji secara etimologi, kata iddah berasal dari kata
kerja „adda-ya‟uddu yang artinya menghitung sesuatu ( ihsha‟u
asy-syay‟i). Adapun kata iddah memiliki arti seperti kata al-
„adad yaitu ukuran sesuatu yang dihitung atau jumlahnya. Jika
kata iddah tersebut dihubungkan dengan kata al-mar‟ah
(perempuan) maka artinya hari-hari haid/ sucinya, atau hari-hari
34
ihdadnya terhadap pasangannya atau hari-hari menahan diri dari
memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid/ suci, atau
melahirkan.
Wahbah Zuhaili mengemukakan :
وىي لغة: ال حصا ء, ماخوذ ة من ا لعدد ل شتما لا علي عد ق راءاوالشهرغالبادال
Artinya: “ iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata
Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟
dan beberapa bulan menurut kebiasaan.
Sayyid sabiq (1987: 150) memaparkan
من ه وت عد وذةمن العددالحصاء:اي ماتصيو المراة خ اة: م العد ام وال ق راء ي ال
Artinya: “ iddah terambil dari kata Addad, artinya menghitung,
maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya”.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqih
tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa
berasal dari kata „adda yang artinya bilangan, menghitung, dan
menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya setelah cerai dari suaminya.
2. Secara Terminologi
Dari sisi terminologi, para ahli fiqh telah merumuskan definisi
iddah dengan berbagai ungkapan.Meskipun dalam redaksinya yang
berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara
35
garis besarnya. Menurut al-Jaziri, „iddah secara Syar‟i memiliki
makna yang lebih luas daripada makna bahasa, yaitu masa tunggu
perempuan yang tidak hanya didasarkan pada bulan atau ditandai
dengan melahirkan, dan selama masa tersebut seorang perempuan
dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain ( Wahyudi, 2009: 74).
Sabiq mendefinisikan tentang iddah yakni sebagai berikut:
ة ا ل ت ت نتظر فها ا لمراةوتمتنع عن الت زويج ب عدو فاة ىي اسم العد زوجهااوفراق لا
Artinya: “ iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang
perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dari
melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai oleh
suaminya.
Sabiq menjelaskan bahwaiddah merupakan sebuah nama bagi
masa lamanya perempuan (istri) menunggu tidak boleh kawin setelah
kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya( Sabiq,
1987: 150).
Ismail al- Shan‟ani menjelaskan pengertian iddah adalah مد ة
yang dilalui oleh seorang (masa tunggu)تتر بص فيها المر اة
perempuan. Definisi ini masih perlu penjelasan mengenai apa yang
ditunggu, dan untuk apa menungu. Adapun definisi Ismail al-Sha‟ani
yang menjawab apa yang ditunggu dan kenapa menunggu sebagai
berikut:
ة ت ت رب ص باالمراةعن الزويج ب عدوفاةزوجهاوف راقو لااسم لعد
36
Artinya: nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu
dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya
suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian iddah
menurut istilah yaitu:
لمعرفة براءةرحهااوللت عبد ت ت ر ب ص في هاالمراة مد ة Artinya: masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan
untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk
beribadah (syarifudin, 2006: 304).
Definisi di atas lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun
tujuan ini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim seorang
perempuan, untuk melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan
rasa duka bagi seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya.
Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata iddah dapat dilihat dari
dua sudut pandang:
Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan
yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istri. Dengan demikian, kata
iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti
tenggang waktu sesudah jatuah talak, dalam waktu mana pihak suami
dapat rujuk kepada istrinya.
Kedua, masa iddah itu adalah suatu tenggang waktu dalam
waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan
pihak laki-laki lain (Nurudin, 2004: 241).
37
Menurut ulama Hanafiah, iddah diwajibkan karena putusnya
suatu perkawinan secara sah atau subhat dengan syarat telah terjadi
hubungan suami istri (dukhul).
Dari beberapa definisi iddah yang dipaparkan oleh para ulama
tersebut dapat disimpulkan bahwa iddah menurut syariat Islam ialah
masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut
dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena
ada sebab, yaitu istri yang ditalak oleh suaminya dan telah digauli atau
istri yang ditinggal mati suaminya.
3. Dasar hukum Iddah
Kewajiban menjalankan Iddah bagi seorang perempuan setelah
berpisah dengan suaminya baik karena talak ataupun kematian
suaminya, didasarkan pada Al-Quran, hadis, maupun ijma‟.
Ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar hukum Iddah adalah sebagai
berikut:
a) iddah perempuan karena talak
QS. Al- baqoroh (2): 228
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (
menunggu) tiga kali quru‟.(Qs. Al-Baqarah:228)
b) iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
Para ulama mazhab sepakat bahwaiddah wanita yang
ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil,iddah nya
38
empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut sudah dewasa
maupun masih anak-anak, dalam usia menopaus atau tidak.
Didasarkan atas firman Allah (QS. Al-baqoroh (2): 234).
“ Orang –orang yang yang meninggal dunia di antaramu yang
meninggalka istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (ber iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian jika habis
iddahnya tiada dosa bgimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patutAllah mengetahui
apa yang kamu perbuat.(Qs. Al-Baqarah:234)
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri
yang ditinggal mati suaminya atau cerai karena mati wajib
menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.
c) Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya.
Bila suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tidak
memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban ber iddah. Dasar
hukum iddah, perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya
QS. Al- Ahzab (33): 49
39
“ Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali
kali tidak wajib bagi mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan
lepaskan mereka itu dengan cara sebaik –baiknya”.(Qs. Al-
Ahzab:49)
d) Iddah wanita hamil
Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan bayinya,
sekalipun hanya beberapa saat sesudah ditinggal mati oleh
suaminya itu, dimana wanita tersebut sudah boleh kawin lagi
sesudah melahirkan. Berdasarkan firman Allah (QS. at-
Talaq:4)
Artinya: dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Qs. At-
Thalak:4)
e) Iddah wanita khulu‟
Dalam sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita ter-khulu‟
adalah satu kali haidh. Dalam kisah Tsabit bahwa Nabi
bersabda kepadanya “ ambilah sesuatu yang ada bagi wanita
atasmu dan lepaskan jalannya.” Ia menjawab: “ ya.”
Kemudian Rasulullah perintahkan kepadanya untuk ber iddah
40
sekali haidh dan kembali kepada ahlinya ( HR. An-nasa‟I
dengan isnad yang shahih). (Azzam dan Aziz, 2009: 314).
Ibnu umar berkata: “ Ustman telah memilihkan dan
memberitahu kepada kita”. Dan dinukil dari Abi Ja‟far An-
nuhas dalam kitab An-Nasikh wa Al-Mansukh bahwa ini adalah
Ijma dari sahabat. Sedangkan iddahi wanita khulu‟ masa
iddahnya adalah tiga kali haidh jika ia masih haidh.
Adapun diantara hadis Nabi Muhammad Saw. Yang menjadi
dasar hukum iddah adalah sebai berikut:
ت ف وق ثل على مي تد أن لخر,اوالي وم ة ت ؤ منبالله أ لمر يل ل عليو , هاى زوج عل ال أي ام ,ة ث اشر ع ار ب عة اشهر و فإن هاتد
Artinya: “ Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga
hari, kecuali atas kematian suaminya, masa berkabungnya selama
empat bulan sepuluh hari”.(HR. Hafsah. Ra)
Hadist lain yang berkaitan dengan iddah ini dapat dilihat dalam
sabda Nabi Muhammad SAW yang suaminya mauquf, yaitu:
عن عمرف امراةالمفقودت رب ص اربع سني ث ت عتدارب عةاشهروعشرا
Artinya: dari umar ra berkat: bagi perempuan yang kehilangan
suaminya dan tidak mengetahui dimana suaminya berada,
sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian
hendaklah ia beridah empat bulan sepuluh hari. (HR. Malik)
41
Hadist diatas mengisahkan seorang istri yang kehilangan
suaminya. Dalam kisah tersebut dinyatakan bahwa suamiya hilang
disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah siistri mengetahui
suamiya hilang, dia pergi menghadap Umar bin Khattab dan Umar
menyuruh perempuan itu menunggu selama empat tahun, sesudah
berlalu empat tahun, umar memanggil wali si suami dan
memerintahkan untuk menceraikan perempuan itu sebagai wali dari
suaminya. Kepada perempuan itu Umar memerintahkan agar ber-
iddah empat bulan sepuluh hari.
Para fuqoha sepakat bahwa perempuan muslim yang bercerai
dengan suaminya baik cerai mati maupun cerai talak wajib
menjalankan iddah. Dengan landasan hukum dari Firman Allah dan
dari Hadis Nabi Muhammad SAW. Kewajiban iddah ini tidak berlaku
bagi laki-laki berdasarkan makna iddah menurut istilah, sehingga
dibolehkan bagi laki laki untuk menikah secar langsung dengan
perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan syara‟(
wahyudi, 2009: 81).
4. Nafkah Bagi Janda Cerai
Sabiq, (1980:172) mengemukakan bahwa, perempuan yang
telah dicerai oleh suaminya tetap mendapatkan haknya. Para ahli fiqih
sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj‟i masih berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Seperti dalam firman Allah:
42
“tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuan mu”.(Qs. At-Thalak:6)
Dan Allah berfirman mengenai nafkah perempuan hamil yang
telah di cerai:
“dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka;dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu
perempuan yang sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka melahirkan”(Qs. At-Thalak:6)
Sedangkan bagi istri yang telah ditalak tiga oleh suaminya,
Sabiq, (1980:172) mengatakan bahwa ada beberapa pendapat para
imam yaitu sebagai berikut:
Menurut imam Abu Hanifah bahwa perempuan yang ber‟iddah
karean talak tiga mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal. Karena ia
wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan
imam Ahmad berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Lain lagi dengan pendapat
imam Syafi‟i dan imam Malik, mereka berpendapat bahwa perempuan
yang ditalak tiga oleh suaminya maka ia masih mendapatkan tempat
tinggal tapi tidak mendapatkan nafkah.
43
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 149, jika perkawinan
putus kareana suami yang mencerai talak istrinya maka ia wajib:
a. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad dukhul;
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian)
kepada bekas isteri selama masa „iddah, kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila
qabla ad dukhul
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Dan jika putusnya perkawinan karena Cerai Gugat, KHI
mengatur dalam Pasal 156 Sebagai berikut:
a. Anak yang belum mumayyis berhak mendapatkan hadanah dari
ibunya, kecuali jikaib telah meninggal dunia, maka kedudukannya
diganti oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2) Ayah
3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutn
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping ayah
44
b. Anak yang sudah mumayyis berhak memilih untuk mendapatkan
hadanah dari ayah atu ibunya.
c. Apabila pemegang hadanah tidak mampu mememegang
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada
kerabat lain yang mempunya hak hadanah pula.
d. Semua biaya hadaanah dan nafkah menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. Bila terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d)
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut kepadanya.
Sedangkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 akibat
putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam :
Pasal 41
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;
45
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
5. Nafkah Bagi Janda Mati
Janda adalah seorang istri yang suaminya meninggaldunia.
Hubungan kewarisa terjadi jika perkawinan masih utuh ketiak suami
meninggal dunia. Jika hubungan perkawian sudah putus, maka
hubungan kewarisan tersebut juga hilang. (Budiono, 1998:56)
Waris adalah harta peninggalan dari orang yang sudah
meniggal kepada orang yang masih hidup yang masih ada hubungan
nasab. Waris berasal dari kata Al-miirats, dalam bahasa arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dar kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah “berpindahnya suatu dari seseorang
kepada orang lain”, atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal
yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan
46
nonharta benda. Ayat-ayat Al-Qur‟an banyak menegaskan hal ini,
demikian pula sabda Rosulullah saw.. Diantaranya Allah berfirman:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.....(an-Naml:16)
Ash-shabuni(1995:49)Adapun seorang istri yang ditinggal mati
suaminya, seharusnya ia mendapat bagian ¼ dari harta peninggalan
suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila suami tidak mempunyai
anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun lahir dari
rahim istri lain. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
“...Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak....”(an-Nisa:12)
Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang
maupun lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan
suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman
Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh
seperdelapan dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar utang-
utangnmu...”(an-Nisa:12)
47
Pendapat Soekanto (1985 : 117) mengenai kedudukan janda .
Beliau menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik
penghasilan dari harta tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk
nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta
peninggalan suaminya. Untuk nafkah ini terutama disediakan
barang gono-gini. Jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah,
maka waris dapat menuntut supaya barang-barang asal dari
peninggal harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono gini
tidak mencukupi untuk nafkah, maka asal dari suami dapat dipakai
untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh dibagi-bagi adal saja
janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat
pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau nafkah dijamin
oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia keluar dari rumah
tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru,
dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi
anatara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami yang telah
meninggal dunia.
Menurut Ter Haar dalam (R. Soepomo, 1996 : 95)
menyatakan bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa isteri
sebagai “orang luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan
tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta
peninggalan, selama ia memerlukannya. Di Minangkabau
48
misalnya, yang sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu
(moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan nafkah dari harta
peninggalan suaminya.
Dari kedua pendapat tersebut di atas jika ditarik garis
hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya menyatakan
bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga
dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari
barang gono gini mapun dari hasil barang asal suami, jangan
sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia;
b) Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk
menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika
mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah
asuhan yang tidak dibagi-bagi ;
c) Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan
sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh
diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;
d) Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian
anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan
anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk
modal berusaha dan sebagainya. (Bushar Muhammad dalam
Soerjono, Yusuf Usman, 1985 : 21).
49
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam:
Pasal 96
a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebihlama,.
b. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri
yang isteri atau suaminya hutangharus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukumatas dasar putusan Pengadilan Agama.
Dan disebutkan pula dalam pasal 180 bahwa bagi istri yang
ditinggal mati suamiya, jika pewaris tidak meninggalkan anak maka
mendapatkan seperempat jika meninggalkan anak maka bagiaannya
seperdelapan.
C. Pemeliharaan Anak (Hadanah)
Hubungan perkawinan pengakibatkan terlahirnya seorang anak,
di mana mengasuh anak ini hukumnya wajib karena anak yang masih
kecil belum bisa menjaga daririnya sendiri dari bahaya. Dan hubungan
antara orang tua dngan anak tidak akan pernah putus walaupun sudah
tidak ada hubungan perkawinan antara kedua orang tua si anak.
Para ahli fiqh mendefinisikan “Hadhanah” ialah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyis, menyediakan
kebutuhannya, menjaga dan mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu hidup mandiri(Sabiq, 1980:173)
50
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, Hadanah ini
dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-undang
perkawinan sebagai berikut:
Pasal 41 UUP
b. Baik ibu atau yah tetapa berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana
adaperselisihan mengenai penguasaaan anak-anak pengadilan
memberi keputusannya;
c. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan ank itu;bila mana dalam kenyatan bapak
tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberika
biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
istri.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum iSlam dijelaskan dalam
pasal 105
a. Pemeliharaan anak sebelum mumayyis atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaan;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
51
Tapi jika orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung jawab,
baik dalam merawat atau mengembangkan harta anaknya. Orang tua
tersebut dapat dicabut dan dialihkan kekuasaanya jika ada alasan-
alasan yang disebutkan dalam Undang-undang perkawinan pasal 49
sebagai berikut:
a. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas
permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejbat yang
berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
b. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
c. Ia berkelakuan buruk sekali
d. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
D. Sanksi-sanksi
Telah banyak disebutkan dia atas bahwa seorang ayah wajib
memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknnya. Karena ia adalah
pemimpin dan dalam rumah tangganya, maka ia bertanggung jawab
atas semua kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Seperti yang diungkapkan dalam Undang-undang No 1 Tahun
1974 pasal 34 ayat 1”Suami wajib melindungi istrinya dan
52
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya”.
Disebutkan pula dalam KHI pasal 80 bahwa sesuai dengan
penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan yempat tinggal bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak
c. Biaya pendidikan bagi anak
Dan menurut Undang-undang perlindungan Anak Pasal 26
menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban:
a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
b. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
c. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.
d. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dan jika seorang ayah meninggalkan kewajiban-kewajiban
dalam pasal-pasal diatas, maka ia dapat dijerat dengan UU No. 23
53
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa”Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, parawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut”. Orang yang melanggar pasal
Pasal di atas di jerat oleh pasal 49 yaitu diipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2).
54
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Margolelo
1. Kondisi Geografis
Desa Margolelo merupakan salah satu desa di wilayah
Kecamatan Kandangan dengan batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Desa Kedungboto Kecamatan Limbangan
Kabupaten Kendal
b. Sebelah Timur : Desa Kedawung
c. Sebelah Selatan : Desa Ngemplak
d. Sebelah Barat : Desa Blimbing
Luas Wilayah Desa Margolelo berdasarkan data yang
diperoleh dari peta adalah 520 Ha dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1
Penggunaan Tanah
No Penggunaan Luas Ha
1 Pemukiman 49
2 Sawah 39
3 Perkebunan 196,85
4 Tegalan 200
5 Perkantoran 0,15
6 Kuburan 4
7 Lain-lain 32
Jumlah 520
Sumber: data monografi desa margolelo tahun 2014
55
Desa Margolelo berada pada ketinggian 600 meter dari
permukaan laut.Secara administrasi Desa Margolelo terbagi menjadi
5 (lima) Dusun yang terbagi menjadi 4 (empat) Rukun Warga (RW)
dan 15 (lima belas) Rukun Tangga (RT), pemabagian wilayah
Administrasi Desa Margolelo berdasarkan data yang ditempel di
depan kelurahan adalah seperti dalam tabel berikut:
Tabel 2
Pembagian Wilayah Administratif
sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
2. Demografi
Jumlah penduduk Desa Margolelo 2013 sebanyak 1590 jiwa,
yang terdiri dari:
a. Penduduk laki – laki sebanyak 790 jiwa
b. Penduduk perempuan sebanyak 800 jiwa
Sedangkan Kepala Keluarga sebanyak 505 KK.
Adapun jumlah penduduk di Desa Margolelo berdasarkan
sumber dari data kependudukan menurut usia dapat dilihat pada tabel
3 berikut:
No Nama Dusun Nama RW Jumlah RT
1 Sumenggoh RW 01 2 RT
2 Bleder RW 04 2RT
3 Sabrang RW 02 2RT
4 Margolelo RW 02 2RT
5 Rowo RW 03 7RT
Jumlah 04 15
56
Tabel 3
Jumlah Penduduk Menurut Usia
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo tahun 2014
Dari jumlah penduduk desa Margolelo menurut usia seperti
tersebut diatas yang paling produktif antara usia 26 -65 tahun sebagai
pendukung kegiatan pembangunan di desa Margolelo.
3. Keadaan Sosial
Kondisi sosial masyarakat Desa Margolelo ditunjukkan masih
rendahnya kualitas dari sebagian besar SDM masyarakat serta
No Umur (Tahun) Jumlah Jiwa
1 0-5 101
2 6-10 101
3 11-15 120
4 16-20 125
5 21-25 132
6 26-30 130
7 31-35 137
8 36-40 115
9 41-45 153
10 46-50 105
11 51-55 136
12 56-60 54
13 61-65 62
14 66-70 32
15 71-75 40
16 75 47
Jumlah 1590
57
cenderung masih kuatnya budaya paternalistik. Meskipun demikian
pola budaya seperti ini dapat dikembangkan sebagai kekuatan dalam
pembangunan yang bersifat mobilitas masa . Disamping itu
masyarakat Desa Margolelo yang cenderung memiliki sifat ekspresif,
agamis dan terbuka dapat dimanfaatkan sebagai pendorong budaya
transparansi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Munculnya masalah kemiskinan, ketenagakerjaan dan
perburuhan menyangkut pendapatan, status pemanfaatan lahan pada
fasilitas umum menunjukkan masih adanya kelemahan pemahaman
masyarakat terhadap hukum yang ada saat ini . Hal tersebut sebagai
akibat dari tidak meratanya tingkat pendidikan yang diperoleh
masyarakat.
Adapun tingkat pendidikan masyarakat Desa Margolelo dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa)
1 Belum Sekolah 110
2 Tidak Tamat SD 581
3 Belum Tamat SD 162
4 Tamat SD 521
5 Tamat SMP 154
6 Tamat SLTA 54
7 Tamat D I/II 4
8 Diploma III 1
9 S I 2
Jumlah 1590
Sumber:Data Monografi Desa Margolelo tahun 2014
58
Dari tabel tingkat pendidikan Penduduk di desa Margolelo yang
paling banyak adalah penduduk berpendidikan tamat SD/Sederajad.
Sedangkan Sarana pendidikan formal cukup memadai dalam
rangka meningkatkan kualitas peserta didik, Pemerintah Desa beserta
warga masyarakat sedang melakukan peningkatan sarana pendidikan
berupa rehabilitasi sarana pendidikan seperti terlihat dalam tabel 5
berikut:
Tabel 5
Jumlah Sarana Pendidikan
No Sarana Pendidikan Jumlah (Buah)
1 Taman Kanak-Kanak 1
2 SD 1
Jumlah 2
Sumber:Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Dilihat dari tingkat ketagwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan sarana tempat ibadah, masyarakat Desa Margolelo sangat
majemuk seperti terlihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6
Jumlah Penduduk Menurut Agama
No Agama Jumlah jiwa
1 Islam 1588
2 Katolik 2
Jumlah 1590
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
59
Dari Data pemeluk agama di Desa Margolelo yang paling
banyak adalah beragama Islam dengan jumlah Sarana Peribadahan
terdiri dari:
1. Masjid : 5 unit
2. Mushola : 3 unit
Sedangkan Pemeluk agama Katolik sejumlah 2 jiwa dengan
sarana peribadahan di Gereja Katholik Rawaseneng.
Disamping itu Pemerintah Desa Margolelo berupaya
menyediakan sarana kesehatan agar kesejahteraan masyarakat
terjamin. Adapun sarana kesehatan dan tingkat kesejahteraan dapat
dilihat pada tabel 7 dan 8 berikut:
Tabel 7
Sarana Kesehatan
No Sarana Kesehatan Jumlah (Buah)
1 Poliklinik Desa 1
2 Posyandu 5
Sumber: Data
Monografi Desa Margolelo tahun 2014
Dari tabel kesehatan tersebut diatas di desa Margolelo dengan
tenaga medis Bidan Desa I (satu) orang yang di tempatkan di Polindes
di dekat Kelurahan Desa Margolelo yang tempatnya strategis dan
berada di tangah antar dusun-dusun yang bersebelahan.
Adapun tingkat kesejahteraan di desa Margolelo dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini:
60
Tabel 8
Jumlah Pendidikan Menurut Tingkat Kesejahteraan
No Tingkat Kesejahteraan Jumlah (KK)
1 Prasejahtera 120
2 Sejahtera 1 150
3 Sejahtera 2 63
4 Sejahtera 3 0
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Organisasi Pemuda, Olah Raga, dan Kesenian juga banyak
terdapat di Desa Margolelo. Adapun jenis dan jumlahnya dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 9
Organisasi Pemuda danOlah Raga
No Nama Organisasi Jumlah (Kel/Unit)
1 Karang Taruna 5
2 Remaja Masjid 5
3 Bola Voly 4
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Selain karang taruna, di Desa Margolelo juga mempunyai
kelompok kesenian yang dimiliki oleh setiap dusun yang setiap
dusunnya tidak hanya mempunyai satu kesenian saja. Macam kesenian
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
61
Tabel 10
Data Keseniandan Adat Istiadat Desa
No Nama Kesenian Jumlah Keterangan
1 Ayun-ayun 1
2 Rebana 4
3 Kuda Lumping 3
4 Wayang Kulit 1
5 Sadranan 5
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Di masyarakat Margolelo juga masih sangat erat dalam kegiatan
kerja bakti dan gotong royong. Kerja bakti dilakukan sertiap seminggu
dua kali dengan pembagian antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
diadakan setiap hari minggu dan perempuan dilakukan di hari jum‟at
yang biasanya disebut dengan jum‟at bersih. Gotong royong dalam
pembangunan rumah, kegiatan ini berjalantan pa diperintah, pada
setiap warga yang sedang membangun, maka warga lain bisa
dikatakan wajib membantu dari mulai hingga selesai walaupun tidak
setiap hari, tapi kegiatan tersebut masih berlaku hingga sekarang.
Ronda adalah kegiata kampung yang diadakan disetiap malam
guna keamanan. Di mana ronda ini wajib bagi masyarakat Margolelo
bagi yang sedang mendapat tugas, yang setiap malamnya ada 3
sampai 6 orang dan jika tidak berangkat, maka wajib di kenakakan
denda sebesar Rp.25.000,-. Selain menjaga keamanan kampung
petugas ronda juga wajib membangunkan warga ketika bulan
Ramadhan.
62
Walaupun sebagian besar masyarakat Margolelo pemeluk agama
islam, namun budaya-budaya jawa masih dilestarikan dengan baik dan
masih sangat berjalan dengan lancar. Kegiatan tersebut antara lain
adalah Nyadran, genduren, dan peringatan hari kematian.
Nyadran diadakan setahun sekali yang diperingati di bulan
Ruwah dan tepatnya pada hari jum‟at kliwon. Di mana semua warga
masyarakat Desa Margolelo berkumpul di pelataran Balai desa yang
kebetulan dekat dengan makam dengan membawa bekal makanan,
lauk pauk beserta minuman. Yang acaranya tersebut diawali dengan
sambutan-sambutan dari pimpinan desa, dilanjutkan dengan berdo‟a
membaca tahlil dan yang terakhir adalah makan bersama.
Genduren adalah salah satu budaya masyarakat yang bisa
dikatakan paling sering dan tidak ada batasan waktu, karena disetiap
ada sesuatu yang penting pasti diadakan genduren. Diantaranya adalah
pada kelahiran bayi, orang yang keluar dari rumah sakit, jika membeli
kendaraan atau membeli hewan peliharaan seperti sapi, dan ketika
pembangunan rumah. Maka semua itu harus diadakan genduren.
Peringatan hari kematian, budaya ini juga masih sangat kental
dilakukan oleh Masyarakat Margolelo, mulai dari hari pertama
kematian hingga 7 hari maka semua bapak-bapak di seluruh dusun
harus mengikuti tahlilan di rumah orang yang meniggal. Selain itu
63
peringatan juga dilakukan ketika 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun
dan yang terakhir adalah 3 tahun setelah kematian.
4. Keadaan Ekonomi
Perekonomian Desa Margolelo secara umum didominasi pada
sektor pertanian yang sistem pengelolaannya masih sangat tradisional
(pengolahan lahan, pola tanam maupun pemilihan komoditas produk
pertaniannya). Lahan pertanian yang ada di Desa Margolelo sebagian
besar lahan perkebunan dan tegalan sedangkan untuk lahan basah
sawah berpengairan irigasi sederhana dan sawah tadah hujan. Cara
bertanam masih monoton pada unggulan tanaman padi dan sedikit
tanaman jagung, hortikultura, palawija, serta tanaman tahunan
(sengon, kopi dan empon-empon). Disamping itu warga masyarakat
ada yang menekuni sektor peternakan dan Home industry .
Tabel 11
Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Jumlah(Jiwa)
1 Belum dan Tidak Bekerja 346
2 Petani dan Buruh Tani 898
3 Pegawai Negeri Sipil 3
4 Guru Swasta 3
5 Karyawan Swasta 31
6 Pedagang dan Wiraswasta 52
7 Buruh Harian Lepas 28
8 Pelajar dan Mahasiwa 200
9 Kepala Desa 1
10 Perangkat Desa 10
Jumlah 1590
Sumber: Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
64
Dari tabel tersebut diatas penduduk Desa Margolelo yang belum
/tidak bekerja sejumlah 364 yang terdiri dari Balita 101 jiwa dan
sisanya usia jompo dan bekerja musiman.
Lembaga Perekonomian yang terdapat di Desa Margolelo dapat
dilihat pada table berikut
Tabel 12
Lembaga Perekonomian
No Jenis Jumlah (Kel/Unit)
1 Simpan Pinjam 8
2 Kelompok Tani 12
3 Gapoktan 1
4 LKM PUAP 1
Sumber:Data Monografi Desa Margolelo Tahun 2014
Disamping lembaga perekonomian tersebut di Desa Margolelo
juga ada industry makanan ringan sejumlah 5 kelompok, dan industry
gula aren sejumlah 39 unit.
Sebagai daerah yang penduduknya sebagian besar petani, Desa
Margolelo memiliki berbagai potensi di sektor pertanian yaitu Padi,
Jagung, Kopi dan petani hortikultura,peternakan sapi perah,sapi
potong,domba dan Kambing PE Dari potensi tersebut masih dalam
berbagai keterbatasan, maka perlu perhatian, pemberdayaan dan
peningkatan kesejahteraan para petani. Disamping itu peningkatan
peran serta tanggung jawabnya perlu perhatian khusus agar para petani
65
dapat menambah ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan serta kerja
keras dalam memperjuangkan kepentingan sendiri dan secara mandiri.
B. Profil janda
Dalam sub bab ini peneliti hanya akan mendiskripsikan satu
keluarga janda mati dan satu keluarga janda cerai.
1. Hasil Wawancara dengan Janda Mati
Ibu Sari dan pak Sardi menikah pada tahun 1988. Pak Sardi
berusia 28 tahun dan bu Sari 18 tahun. Menurut tradisi orang jawa
mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Di awal
pernikahn mereka tinggal satu rumah dengan keluarga pak Sardi, yang
saat itu pak sardi berprofesi sebagai petani. Sedangkan bu Sari sendiri
murni sebai ibu rumah tangga. Karena mereka masih hidup bersama
orang tua pak Sardi dan masih ada dua kakak pak Sardi yang belum
menikah dan tinggal bersama mereka. Orang tua pak Sardipun masih
bertani seperti pak sardi. Dan mereka mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan hasil panennya. Mereka punya sekitar 30m2 kebun yang
ditanami kopi yang dipanen setiap tahun sekali yang kurang lebih tiap
tahunnya menghasilkan 50kg kopi beras diwaktu itu harga kopi hanya
Rp.5000/kg dan 20m2 lagi ditanami jagung, singkong dan ada juga
pisang, jagung panen setiap 4bulan sekali jika musim normal dan hasil
panen jagungpun tidak pasti karena kadang diserang babi hutan,
kadang diserang tikus juga, tapi minimal hasil panen jagung ini bisa
digunakan dalam satu bulan. Sedangkan singkong bisa dipanen setelah
66
3x panen jagung, dan singkong hanya digunakan sebagai makanan
tambahan bagi keluarga ini. Pak Sardi dan bu Sari dikaruniai anak
yang bernama Ayu pada tahun 1990. Selama masih bersama orang tua
dari pak sardi penhasilan stiap tahunnya diperkirakan sekitar
10rbuX50kg= 500.000. Satu kali panen jagung hanya bisa mencukupi
kebutuhan selama satu bulan,jadi hasil panen setahun hanya bisa
mencukupi kebutuhan selama 3bulan saja. Sedangkan singkong, setiap
panennya menghasilkan 50kg dan digunakan sebagai makanan
tambahan. Sehingga semua hasil panen selama satu tahun tidak bisa
mencukupi kebutuhan pak sardi dan keluarganya. Sehingga pak sardi
harus mencari tambahan lain dengan cara buruh kepada tetangga yang
membutuhkan tenaganya, yang diperkirakan pada waktu itu
penghasilan pak sardi Rp.5000/hari dan itupun tidak tiap hari. Selain
kebutuhan makanan, masih banyak kebutuhan lain yang harus
ditanggung seperti,kondangan, memberi uang saku jika ada orang yang
sunatan, menjenguk orang sakit, dan masih bayak lagi kebutuhan yang
harus dicukupi. Begitulah awal mula gambaran dari keluarga bu Sari.
Pada tahun 1990 pak sardi dan bu Sari memiliki putri yang bernama
Ayu, karena masih di desa dan belum ada bidan, kelahiran Ayu
dibantu oleh dukun, dan kebutuhan pak sardi makin lama makin
bertambah. Dan kehidupan pak sardi dan keluarganya berjalan seperti
itu selama bertahun-tahun. Tahun 1997 Ayu sudah waktunya
bersekolah Dasar. Waktupun berlalu, dan pada tahun 2000 pak Sardi
67
berkenginan untuk punya rumah sendiri bersama istrinya bu Sari yang
jaraknya sangat dekat dengan ruamah orang tua pak sardi. Bu Sari
mendapat bagian warisan dari orang tuanya yaitu tanah yang luasnya
9x7m dan didirikan sebuah rumah sederhana. Dan setelah punya
rumah sendiri pak sardi juga menapat bagian tanah dari orang tuanya
seluas 20m2 yang ditanami kopi, dan 10m2 yang di tanami jagung dan
juga singkong. Karena kopinya sudah dirawat dan dipupuk dengan
baik maka setiap tahunnya mencapai 70kg yang perkilonya Rp.15.000
maka penghasilan kopi pak Sardi dan bu Sari setiap tahunnya adalah
Rp.1.050.000,- dan penghasilan jagung 30kg/panen dan hanya bisa
mencukupi kebutuhan selama 1bulan saja. Pak sardipun masih mencari
penghasilan tambahan seperti dulu dan kini upahnya sudah
Rp.7000/hari. Tahun 2001 pak sardi dan bu Sari dikaruniai seorang
anak perempuan lagi yang bernama Endah. Namun sejak awal 2002
pak Sardi mulai sakit-sakitan dan bu Sari harus membantu mencari
nafkah ntuk memenuhi kebutuhan Rumah tangganya. Setiap sepulang
sekolah Ayu harus menunggu adiknya dan bu Sari bekerja dengan cara
buruh membuat emping melinjo yang perkilonya dihargai Rp.2000,-
dan setiap harinya bu sari hanya mampu mengerjakan 3kg/hari. Tapi
itu hanya berjalan beberapa bulan saja, karena keadaan pak Sardi
semakin melemah, karena ternyata pak Sardi mengidap penyakit
komplikasi dan keluar masuk Rumah sakit berkali-kali dan sehingga
menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan diwaktu itu pak sardi
68
dibawa kerumah orang tuanya bersama istri dan anak-anaknya lagi.
Tapi semua barang-barang tetap dirumahnya, hanya saja bu Sari ikut
merawat suaminya di rumah mertuanya. Dan pada akhir tahun 2002
pak Sardi di panggil oleh Sang Maha Kuasa. Semua keluarga pak Sardi
sangat merasa kehilangan, apalagi istri dana anak-anaknya, sedangkan
Endah baru berumur satu tahun, ia belum mengenal sosok ayahnya.
Sepeninggal pak Sardi, bu Sari dan anak-anaknya kembali menghuni
rumah mereka, keluarga pak sardipun merelakan semua tanah bagian
pak sardi diberikan pada istrinya bu Sari untuk memenuhi kebutuhan
bu sari dan anak-ankanya. Bu Sari mencukupi kebutuhan sehari-
harinya bersama kedua putrinya denga hasil panen kopi Rp.1.050.000,-
dan panen jagung 20kg/panen karena pearawatan tidak maksimal, dan
bu sari menanggung semuanya sendiri. Bahkan kadang dibantu oleh
kedua kakak iaparnya untuk merawat kopi dan kebunnya. Karena
Endah masih kecil, dan bu sari bisa bekerja ketika sepulang sekolah
ayu dan ketika ayu libur saja. Ia masih berprofesi sebagia pembuat
emping melinjo yang per kgnya dihargai Rp.2500,- dan bu Sari mampu
menyelesaikan sekitar 3kg/harinya, walaupun tidak setiap hari dan
hanya pada musim melinjo saja, jika tidak musim maka bu sari hanya
pergi ke kebun saja. Dan semua itu berjalan bertahun-tahun. hingga
akhirnya ayu selesai menempuh pendidikan Dasarnya, ia berkeinginan
melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama, namun bu Sari
tak mampu membiayai sekolah Ayu dan keluarga pak sardipun tidak
69
mampu membantu mewujudkan keinginan Ayu, sehingga ayu akhirnya
di Rumah saja membantu ibunya bekerja dan mengurus adeknya
Endah. Setelah setahun Ayu tidak sekolah, kebetulan ada kerabat yang
mengajaknya untuk bekerja di jogja sebagai pembantu Rumah tangga
dan ayupun pergi karena ia kasian dengan ibunya dan ingin sekali
membantu ibunya karena sudah saatnya Endah bersekolah di Taman
Kanak-kanak, dan Sebulan Ayu mendapat upah sebesar
Rp.400.000/bulannya, ia pulang setiap tiga bulan sekali dan membawa
gaji bersihnya Rp.900.000,-/3bulannnya. Namun bu sari hanya bisa
mengerjakan emping 1kg saja setiap harinya karena ia harus
mengantar dan menunggui Endah sekolah di Taman Kanak-kanak.
Dan sepulang dari sekolah bu Sari menitipkan Endah di tempat saudara
iparnya sehingga bu sari bisa pergi ke kebun untuk merawat tanaman-
tanamannya sekaligus mencari kayu bakar yang digunakan untuk
memasak dan untuk membuat emping melinjo. Tapi setelah beberapa
bulan ternyata ayu merasa tidah betah bekerja di jogja, ia lebih
memilih di rumah dan membantu membuat emping melinjo dari pada
bekerja sebagia pembantu rumah tangga di jogja tersebut. Karna Ayu
di rumah lagi, bu sari mampu menghasilka 3-4kg/harinya karena ia
bisa fokus bekerja dan merawat kebun-kebunnya walaupun tidak
maksimal. Ayu bertugas mengantar dan menunggui selama endah
bersekolah di Taman Kanak-kanak. Dan pada tahun 2007 Endah sudah
selesai di taman kanak-kanak dan melanjutkan ke pendidikan dasar.
70
Karena Ayu sudah mahir dalam membuat emping melinjo, maka ia
bersedia menggatikan ibunya sebagai buruh pembuat emping melinjo,
walaupun ayu hanya bisa menghasilkan 3kg/harinya namun setidaknya
ia mampu mengurangi beban bu Sari. Sementara bu Sari fokus dengan
tanaman-tanamnnya di kebun serta mencari kayu bakar. Itupun
berlangsung selama beberapa tahun, hingga pada tahun 2012 Ayu
dipaksa menikah oleh keluarga dari bu Sari, yang pada awal Ayu tidak
mau menikah dengan orang pilihan keluarganya karena ia sudah punya
pilihan hatinya. Namun karena keluarganya memaksa dengan alasan
agar bisa mengurangi beban bu sari, maka akhirnya Ayu mau menikah
dengan didik orang yang lebih 10 tahun lebih tua dari ayu, dan karena
didik orang berpunya maka keluarga bu sari langsung menerima
pinangan dari didik tanpa sepengetahuan Ayu. Ayu akhirnya menikah
dengan Didik pada awal tahun 2013 dan mereka tinggal serumah
dengan bu Sari. Walaupun Ayu menikah dengan orang kaya, namun
bu sari tetap bekerja sendiri karena masih punya beban yaitu
menyekolahkan Endah, dan kebutuhan sehari-hari masih ditanggung
oleh bu Sari dengan bekerja masih sebagi buruh pembuat emping
melinjo yang sekarang dihargai Rp.6.000/kg, dan mampu mengerjakan
3-4kg/hari.
2. Wawancara Dengan Janda Cerai
Bu Desi menikah di usia 19 tahun sedangkan pak Ahmad 28
tahun. Mereka menikah pada tahun 1999 dengan cara dijodohkan oleh
71
orang tua pak Ahmad, karena pada waktu itu bu Desi masih berada
dalam pendidikan di suatu pondok Pesantren dan Ayah dari pak
Ahmad merupakan salah satu pengurus dari pon Pesantren tersebut.
Sehingga pak Kyai dan Orang tua pak Ahmad sepakat menjodohkan
anaknya dengan bu Desi. Dan keluarga bu Desi tidak berani menolak
atas permintaan pak Kyai dan Ayah dari pak Ahmad. Akhirnya
pernikahanpun berlangsung dengan bahagia, dan setelah menikah
mereka tinggal di bersama orang tua bu Desi. Padawaktu itu pak
Ahmad berprofesi sebagai penjual berbagai peralatan Rumah Tangga
dan usahanya dibilang sukses karena tiap minggunya bisa mendapatka
hasil sekitar Rp.250.000 dan bu Desi berfrofesi sebagai buruh pembuat
emping melinjo yang tiap harinya kika-kira mendapatkan upah sebesar
Rp.10.000,-. Penghasilan merekapun sangat mencukupi kebutuhan
Rumah tangga mereka, kareana selain itu orang tua dari bu Desi masih
bisa mendapatkan penghasilan juga dari hasil kebun mereka
diantaranya adalah kopi yang setiap tahunnya mencapai
Rp.1.000.000,-, jagung 50kg/panen dan padi 100kg/panen. Dan pada
tahun 2000 mereka dikaruniai anak perempuan yang bernama Ratna
dan ia kini hanya bertugas menjaga anaknya tersebut. Kebahagiaan
mereka hanya berlangsung selama 3 tahun. pada tahun ke 4 usia
pernikahan mereka, pak Ahmad mengalami kebangkrutan karean
mempunyai hutang dimana-mana, sehingga sawah dan kebun mereka
dijual nntuk melunasi semua hutang-hutang pak Ahmad. Kemudian
72
keluarga mereka jadi berantakan dan pak Ahad pulang kepada orang
tuanya, dan pada pertengahan 2014 bu Desi memutuskan untuk
menjadi TKW di Malaysia dan menitipkan anaknya kepada Orang tua
bu Desi dengan tujuan mencukupi kebutuhan Rumah tangganya, tapi
ia tidak langsung mendapat pekerjaan tapi malah dijual orang selama
kurang lebih satu tahun dan tidak menghasilkan apa-apa. Pada
akhirnya bu Desi kembali ke penampungan, setelah kurang lebih 2
bulan ia mendapat pekerjaan yaitu sebagai pengasuh orang jompo di
Malaysia yang berasal dari India. Sebulan kemudian ia mendapat gaji
dan langsung memberitahu orangtua dan anaknya di kampung bahwa
ia sudah menpat pekerjaan dan menceritakan semua yang yang
dialaminya selama setahun kepergiannya. Setiap bulan ia selalu
mengirim surat dan gajinya untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan
anaknya. Dan sebagian yang lain bu Desi tabung. Setahun kemudian
uang tabungannnya sudah terkumpul dan akhirnya ia pulang untuk
membangun rumahnya. Kepulangannya juga bermaksud untuk
meminta kejelasan dari pak Ahmad dan keluarganya karena selama bu
Desi di Malaysia pak Ahmad jarang menengok Ratna, dan ternyata pak
Ahmad menghilang dan orang tuanyapun tidak mengetahui
keberadaanya. Sehingga bu Desi memutuskan untuk menggugat cerai
karena pak Ahmad Ghoib. Setelah proses perceraiannya selesai, bu
Desi berkeinginan kembali ke Malaysia untuk mencari uang lagi guna
menyempurnakan pembangunan rumahnya. Dan seperti sebelumnya,
73
bu Desi selalu mengirimkan sebagian gajinya untuk orang tua dan
anaknya dan sisanya ia tabung. Setelah 3 tahun di Malaysia ia
memutuskan untuk pulang dan tiak ingin kebali ke Malaysia lagi.
Sepulang dari malaysia bu Desi memtuskan untuk bekerja di
rumah yaitu sebagia buruh pembuat emping lagi seperti dahulu, tapi
hasinya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sehingga ia
bekerja di semarang sbagia juru masak para pekerja bangunan yang
gajinya Rp.500.000,-/bulan. Setelah beberapa bulan ia bekerja ia di
suai oleh salah satu buruh bangunan tersebut, yang bernama Bowo dan
berstatus duda tapi umurnya 3 tahun lebih muda dari bu Desi. Tidak
lama kemudian mereka melansungkan pernikahan. Namun pernikahan
mereka tidak berlangsung lama karena sering terjadi percekcoakan
antara keluarga bu Desi denga pak Bowo,walaupun sebenarnya bu
Desi masi mencintai pak Bowo, namun bu Desi tidak tahan dengan
keluarganya yang selalu menyalahkan pak Bowo, demikian juga pak
Bowo yang sangat mencintai bu Desi. Karena bu Desi sudah
mngandung anak Bowo. Namun pak bowo di usir oleh keluarga bu
Desi lalu ia kembali ke rumah orang tuanya. Setelah 7 bulan kehamilan
bu Desi, pak Bowo ingin bertangungjawab untuk memberi nafkah
kepada bu Desi dan calon anaknya, namun di tolak oleh keluarga bu
Desi. Dua bulan kemudian bu Desi melahirkan seorang putra yang
bernama Bayu dan pak Bowopun ingin membantu biaya persalinan bu
Desi namun tetap saja di tolak oeh keluarga bu Desi. Dan setelah Bayu
74
berumur satu tahun, pak Bowo membelika beberapa pakaia untuk
anaknya, tapi maih saja di tolak oleh keluarga bu Desi. Sikap keluarga
bu Desi tersebut sudah sangat membuat pak Bowo dan keluaranya
sakit hati. Kemidian pak Bowo meminta kejelasan hubunganya dengan
bu Desi dan mengajaknya rujuk, namun keluarga bu Desi masih tidak
mengijinkan mereka bersatu, sehingga pak bowo akhirnya menalak bu
Desi. Akhirya bu Desi menjanda lagi dan memulai kehidupannya dari
nol. Semua kebutuhan sehari-harinya dicukupi oleh orang tua bu desi
yang bekerja sebagai buruh tani yang mendapat upah Rp.15.000,-
/harinya. Dan hasil dari orang tuanya tidak cukup untuk mencukupi
kebutuhan rumah tanggannya, sehingga bu desi juga harus mencari
nafkah tambahan yaitu sebagai buruh pembuat emping melinjo lagi
yang mendapat upah Rp. 10.000,-/harinya. Walaupun mereka tidak
setiap hari bekerja, karena tidak setiap hari juga ada orang yang
meminta tenaga orang tua bu Desi. Setelah bayu berumur 2 tahun dan
orang tua bu Desipun semakin tua, bu Desi memutuskan bekerja di
Semarang sebagai juru masak di sebuah Rumah makan yang bulan
pertamnya ia mendapatkan gaji Rp.700.000,-/bulannya. Ia kini sebagai
tulang punggung keluarga, ia harus menangung semua biaya hidup dari
kedua anak-anaknya, sementara Ratna sudah kelas 3smp dan Bayu
sudah besekolah di Play Group dan masih bayak lagi beban yang harus
ditanggung bu Desi, untuk pndidikan kedua anaknya dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari, karena kedua mantan suaminya tidak pernah
75
memberi biaya apapun untuk anaknya. Yang teryata bapak Ratna
sudah meninggal di Kalimantan dan sudah mempunyai istri dan anak
di sana. Begitupun dengan ayah Bayu ia sudah punya istri yang
sekarang sedang hamil tua. Dan hingga kini bu Desi masih bekerja di
Semarang dan gajinya sekarang sudah naik menjadi Rp.900.000,-
/bulannya. Namun bagi bu Desi gajinya tersebut masih pas-pasan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Karena di Semarang ia
juga mempunyai teman yang kadang ada yang sakit, menikah, dan
kebutuhan sehari-harinya di Semarang dan juga kebutuhan sehari-
harinya termasuk biaya sekolah kedua anaknya.
76
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pencarian dan Pemberian Nafkah janda Terhadap Keluarganya di
Desa Margolelo
Keluarga adalah Unit terkecil dari suatu Masyarakat. Keluarga pada
umumnya terdiri dari Ayah (suami), Ibu (istri), dan anak-anak. Atau
dengan kata lain keluarga terdiri dari Orang tua dan anak. Di mana
seorang suami (ayah) lah yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ada juga keluarga yang terdiri
dari satu orang tua (single parent). Salah satunya adalah kehidupan
keluarga seorang duda (lelaki yang ditinggal mati/digugat cerai oleh
istrinya, dan janda (perempuan yang ditinggal mati/dicerai oleh suaminya).
Sebagai orang tua tunggal yang harus memenuhi kebutuhan
keluarganya sendiri, dan yang akan penulis bahas adalah janda, baik janda
yang ditinggal meninggal ataupun janda karena akibat perceraian. Maka di
sinilah seorang istri (ibu) berperan mencari nafkah dan menaggung semua
kebutuhan yang diperlukan pleh keluarga dan anak-anaknya.
Banyak alasan yang membuat seseorang istri dicerai ataupun
menceraikan suaminya, entah karena suaminya tidak tanggung jawab,
karena suaminya meninggalkan istri dan anak-anaknya, dan masih banyak
lagi penyebab terjadinya perceraian.
77
Jika ditinjau dari jenis perceraian para janda di Desa Margolelo
dogolongkan menjadi beberapa jenis percerain yang disebabkan karena:
1. Khulu‟
Khulu‟ adalah perceraian yang dikekendaki oleh istri.
Khulu‟ ini terjadi pada Bu Desi, ia berpisah dengan suaminya
yang pertama dengan alasan suaminya tidak menafkahinya
dirinya dan anaknya. Bahkan menurut kedua orang tua bu Desi,
pak Ahmad suaminya jarang bahkan nyaris tidak pernah
menjenguk Ratna anaknya selama kepergian bu Desi menjadi
TKW di Malaysia. Bahkan orang tua dari pak Ahmadpun tidak
mengetahui keberadaan pak Ahmad waktu itu di mana. Sehingga
bu Desi akhirnya menggugat cerai pak Ahmad.
Sedangkan dengan percearian yang ke dua bu Desi dicerai
talak oleh pak Bowo karena pak bowo tidak tahan dengan sikap
orang tua bu Desi yang bahkan telah mengusirnya dari rumah bu
Desi.
2. Cerai Mati
Cerai mati adalah jika seseorang ditinggal mati oleh
suami/istrinya. Ini terjadi pada bu Sari, ditinggal mati suaminya
karena suaminya yang bernama pak Sardi karena menderita
penyakit komplikasi yang akhirnya meninggal. Sehingga bu Sari
harus menafkahi dan bertanggung jawab untuk memenuhi
kehidupan hidupnya sendiri bersama kedua orang putrinya.
78
B. Pencarian Nafkah oleh Janda di Desa Margolelelo akibat Cerai Mati
dan Cerai hidup
Seorang janda harus memimpin dan bertanggung jawab atas semua
yang diperlukan oleh keluarga terutama oleh anak-anaknya. Selain sebagai
sosok ibu, seorang jandayang ditinggal mati suaminya harus mampu
menjadi ayah juga untuk anak-anaknya. Ia juga harus bisa memenuhi
semua kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anaknya dan keluarganya.
Sehingga ia harus bekerja membanting tulang karena ia menjadi tulang
punggung bagi anak-anak dan keluarganya.Bagi janda cerai, hal ini
disebabkan karena sang ayah dari anak-anak atau mantan suami tidak
bertanggungjawab memberikan nafkah terhadap anak-anaknya tersebut,
bahkan keluarga dari merekapun sudah tidak mau tau keadaan anak-anak
dari bu Desi tersebut. sedangkan dari keluarga bu Sari, ia menjadi tulang
punggung keluarga karena hasil panen dari tanh warisan suaminya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan bu Sari bersama anak-anaknya,
keluarga dari Almarhum suaminyapun keadaannya pas-pasan sehingga
mereka tidak mampu membantu bu Sari. Tapi paling tidak kakak ipar dari
bu Sari yang kadang bisa membantu merawat kebunnya ataupun
membantu merawat Endah waktu Endah masih kecil.
Peneliti menemukan 3 kategori pencarian nafkah bagi janda
terhadap keluarganya. Diantaranya;
1. Buruh
79
Buruh adalah seseorang yang bekerja pada pengusaha
atau individu yang mampu mempekekerjakan seseorang dengan
memberi upah padanya.
Bu Sari bekerja sebagai buruh pembuat emping melinjo
jika musim melinjo tiba. Dengan upah yang awal mulanya
Rp.2000,-/kg hingga sekarang naik menjadi Rp.6000,-/kgnya.
Yang pendapatan setiap harinya tidak menentu bisa 3kg, bisa
4kg/harinya, karena tergantung dari kekuatan dan kefokusan bu
Sari dalam bekerja.
2. Bertani
Bertani adalah kegiatan menanam, merawat serta
memanen hasil tanaman yang sudah ia tanam dan ia rawat
hingga membuahkan hasil.
Selain sebagai buruh, bu Sari juga berprofesi sebagai
petani. Ia bertani di kebun tinggalan suaminya, yang luas
kebunnya antara lain adalah 20m2 kebun kopi dan 10m2 kebun
yang ditanami jagung dan singkong. Yang setiap tahunnya
hasilnyapun tidak menentu tergantung perawatan dan
pemupukan yang dilakukan oleh bu Sari, karna perawatan
kebun tersebut tidak maksimal maka, rata-rata setiap tahunnya
kebun kopinya menghasilkan sekitar Rp.1.050.000,-/tahunnya
dan hasil panen jagung sekitar 20kg/panennya.
80
3. TKW
TKW adalah tenaga kerja Wanita yang berasal dari
Indonesia dan bekerja di Luar Negeri baik dengan alasan untuk
mencukupi kebutuhan kelarganya ataupun dengan alasan lain.
Seperti bu Desi, ia menjadi TKW di Malaysia yang
sehari-harinya di Malaysia bu Desi bertugas merawat orang
jompo asal india. Ia bekerja di Luar Negeri demi tercukupinya
kebutuhan Rumah tangganya yang berada di kampung, karena
ia harus menghidupi anaknya dan kedua orang tuanya.
C. Cara Pemberian Nafkah Oleh Janda Terhadap Keluarganya
Janda yang mempunyai anak seharusnya masih mendapatkan biaya
Hadhanah untuk anak-anaknya. Namun jika mantan suami tidak
bertanggung jawab Seorang janda harus mampu memenuhi kebutuhan
dirinya, anak-anaknya, bahkan keluarganya. Seorang janda disini harus
mampu menggantikan ayah bagi anak-anaknya, mampu menjadi pemimpin
dalam keluarganya. Ini bisa terjadi jika ibu atau janda tersebut bekerja di
rumah atau berada dekat dekat dengan keluarganya, tapi jika seorang janda
bekerja jauh dari rumah ataupu Luar Negeri, maka Orang lain pula yang
harus menggantikan posisinya sebagaipemimpin dan sebagai ayah dalam
keluarganya tersebut. maka dari itu, penulis menemukan 2 jenis cara
pemberian nafkah oleh janda terhadap keluarganta, antara lain:
81
1. Langsung
Pemberian nafkah langsung terjadi pada keluarga bu Sari, bu
Sari memberi nafkah pada kedua anaknya secara langsung karena ia
tinggal serumah bersama anak-anaknya, karena bu Sari juga bekerja di
rumah dan di kebun yang dekat rumah saja. Selain itu karena pada
awal mula bu Sari ditinggal mati suaminya Endah putri ke duanya
masi berusia satu tahun sehingga masih sangat membutuhkan kasih
sayang dan perhatian dari ibunya.
Dan sepeninggal suaminya ia harus menanggung semua
kebutuhan yang dibutuhkan oleh dirinya dan kedua putrinya. Yaitu ia
harus menyediakan tempat tinggal yang layak untuk mereka, dan
harus menyediakan makanan setiap harinya, dan juga menyediakan
pakaian. Selain ketiga kebutuhan primer tersebut, ada kebutuhan lain
yang harus ditanggung oleh bu Sari yaitu harus menanggung biaya
sekolah untuk kedua putrinya dan juga kebutuhan-kebutuhan lain yang
harus ditanggung pula oleh bu Sari.
2. Tidak Langsung
Pemberian Nafkah tidak langsung terjadi pada keluarga bu Desi,
karena bu Desi bekerja menjadi TKW di Malaysia, sehingga ia
menitipkan anaknya kepada kedua orang tuanya. Yang setiap bagian
gajinya untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan kedua orang tuanya
di kampung. Ia mengirimkan uangnya lawat Kantor Pos Kecamatan
Kandangan. Dan setiap bulan pula ibu dari bu Desi mengambil uang
82
kiriman dari bu Desi di Kantor pos dengan jalan kaki 5km dan naik
angkot sekitar 7km untuk mencapai kantor pos tersebut. Dan orang tua
bu Desilah yang sepenuhnya merawat dan mengurus Ratna anaknya,
terutama ibunya. Selain merawat dan mengurus Ratna ibu dari bu Desi
ini juga bertuga mengelola semua kebutuhan cucu dan suaminya,
mulai dari membelanjakan uang kiriman, memasak, dan mencuci
semua pakaian dan alat-alat dapur serta perabotan rumahnya sendiri,
sedangkan suaminya bertugas membersihkan dan merapikan
rumahnya.
D. Pemberian Nafkah Janda Dalam Perspektif Hukum Islam
Pada dasarnya menafkahi adalah kewajiban suami sebagai
pemimpin dalam rumah tangga, sementara istri bertugas mengurus
rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tapi jika seorang suami sudah
berpisah dengan alasan karena cerai mati ataupun cerai hidup, maka
seorang istri harus mampu memimpin bahkan harus bisa memenuhi
kebutuhan rumah tangganya sendiri.
Allah SWT Berfirman:
“Dan kewajiban ayah ayah adalah memberi makanan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang makruf”(QS.2:233)
Para mazhab sepakat tentang wajibnya pemberian nafkah
kepada istri dengan syarat-syarat yang akan dikemukakan. Maliki dan
83
Syafi‟i berpendapat bahwa, wanita yang ditinggal mati suaminya
berhak memperoleh nafkah berupa tempat tinggal semata. Selanjutnya
Syafi‟i mengatakan bahwa, apa bila seorang wanita ditalak ba‟in,
sedang ia dalam keadaaan hamil, kemudian suaminya meniggal
dunia(ketika si istri masih dalam keadaan „iddah), maka nafkah si istri
tidak terputus. Hanafi mengatakan: bahwa wanita yang ber-„iddah
tersebut dalam keadaan talak raj‟i dan suami yang menceraikan itu
meninggal dunia ketika dia menjalani „iddahnya, maka „iddahnya
beralih ke „iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi putus,
kecuali jika si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai
hutang (atas suami)yang betul-betul dilaksanakannya.(Muhgniyah,
:118)
Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, Ash-
shabuni(1995:49) menyatakan bahwa seharusnya ia mendapat bagian
¼ dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apa bila
suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya ataupun lahir dari rahim istri lain. Ketentuan ini berdasarkan
firman Allah berikut:
“...Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak....”(an-Nisa:12)
84
Tapi istri juga bisa memperoleh bagian 1/8. Istri, baik seorang
maupun lebih, tetap mendapatkan seperdelapan dari harta peniggalan
suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri lain. Dalilnya adalah firman
Allah SWT:
“...Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperileh
seperdelapan dari harta yang kamu tingalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau(dan) sesudah dibayar utang-
utangnmu...”(an-Nisa:12)
Walaupun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
mantan istri masih berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya,
apalagi jika masih meninggalkan anak, maka anak tersebut masih
dalam tanggungan ayahnya/mantan suaminya tersebut.
Seperti dalam firman Allah SWT
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan
oleh suaminya)mut'ah menurut yang mampu sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yangtaqwa. (QS. Al-Baqarah:
241).
Dapat disimpulkan dalam penggalan ayat tersebut bahwa
sesungguhnya mantan suami masih berkewajiban untuk menafkahi
istrinya. Bahkan berdasarkan Skripsi yang ditulis oleh (Hasanah,
2008) menurut Asghar, mantan suami berkewajiban menafkahi
85
mantan istrinya hingga ia menikah lagi atau dia meninggal, yang
pendapat tersebut bertujuan pemberian nafkah sendiri dimaksudkan
untuk memberikanbantuan dan penghormatan kepada isteri serta
menghindarkan dari kekejamantalak yang diberikan oleh suaminya.
Dapat dipahami juga bahwa tujuanpemberian nafkah dalam rangkaian
menghindarkan kemungkinankemadlaratan setelah terjadinya
perceraian, dan diharapkan dengan adanyapemberian nafkah bagi
mantan isteri maka akan menimbulkan kemaslahatanbagi mantan
isteri tersebut jika tidak dapat mencari nafkah sendiri dan
jugamendapatkan kemudahan kepada mantan isteri tersebut, terkadang
seorangisteri yang ditalak itu miskin dan tidak ada seorangpun yang
menanggungnya,maka dari itu suami yang menceraikan wajib untuk
memberikan nafkahselama masa iddah serta persiapannya untuk
kawin dengan suami yang lain.
Walaupun seperti itu, seorang janda dibolehkan untuk bekerja
dan memiliki penghasilan sendiri, walaupun pada hakekatnya ibu
tidak diwajibkan untuk membiayai kebutuhan anak-anaknya sendiri,
namun bila sebagai ibu ia memberikan nafkah dan mampu memenuhi
kebutuhan anak-anaknya maka ia mendapatkan pahala sunnah. Seperti
dalam hadist dibawah ini.
اعطاك اللو خي رامنو ء ك لن تد ع شيئاات قاان اللو عز وجل ال
86
“Sungguh kamu tidak meninggalkan karena taqwamu kepada Allah
azza wajalla, melainkan Allah pasti akan memberimu ganti tang lebih
baik darinya”(HR.Ahmad, dan di-shahihkan oleh albani)
Seorang wanita atau istri hendaknya hanya bertugas mengurus
rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak-anaknya di rumah.
Tapi jika seorang suami belum mampu memenuhi kebutuhan rumah
tangganya, maka seorang istri dibolehkan untuk membantu suaminya
memperoleh penghasilan denga cara yang baik. Apalagi seorang janda
yang sudah tidak ada sudah tidak ada suami dalam rumah tangganya,
ia harus menggantikan posisinya sebagai kepala ruamh tangga atau
pemimpin, maka ia dibolehkan unruk bekerja. Seperti dalam firman
Allah SWT Qs. At-Taubah:105 adalah sebagai berikut:
“Katakanlah(wahai Muhammad), bekerjalah kalian! Maka Allah dan
Rosul-Nya dan orang-orang mukmin”(QS.At-Taubah:105)
Ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada para lelaki tapi
ditujukan pula pada para wanita atau istri yang dibolehkan untuk
bekerja, Allah juga mensyari‟atkan bagi pria dan wanita disyari‟atkan
untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja.(Mustofa:1987, 26) Seperti
dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling
memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan
tetapi hendaklah kalian saling berdagang atas dasar saling rela
diantara kalian.”(QS.An-Nisa:29)
87
Dari uraian di atas pencarian nafkah yang dilakukan oleh bu Sari
dan bu Desi tidak melanggar hukum islam, bahkan mereka mampu
menghidupi anak-anaknya bahkan orang tuaya dengan jerih payahnya
sendiri tanpa menyalahi hukum yang sudah berlaku, dan mereka
memperoleh penghasilan dengan cara yang diperbolehkan dalam
Islam, karena pekerjaan mereka tidak dilarang dalam Islam. Yang
diantaranya adalah sebagai buruh, petani dan TKW di Malaysia.
Bu Sari memanfaatkan tanah peninggalan Almarhum suaminya
dengan cara bercocok tanam, namun hasil dari bercocok tanampun
belum bisa memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung oleh bu Sari
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya bersama anak-anaknya,
sehingga bu Sari juga harus mencari pnghasilan tambahan yaitu
dengan uruh membuat emping melinjo pada saat musim melinjo tiba.
Dan terjadi kepada bu Desi karena kedua mantan suaminya ataupun
keluarganya tidak memberinya nafkah untuknya dan anak-anaknya,
sehingga bu Desi harus bekerja menjadi TKW di Malaysia demi
tercukupi kebutuhannya bersama anak-anaknya dak kedua orang
tuanya.
1. Hak Mantan Istri Menurut KHI dan UU no 1 Tahun 1974
Berkaitan dengan hak-hak mantan isteri, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan
karena talak, maka suaminya wajib:
88
a. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut Qabla ad
dukhul;
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah
(pakaian) kepada bekas isteri selama masa „iddah, kecuali bekas
isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih tehutang seluruhnya, atau separo bila
qabla ad dukhul
d. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Sedangkan dalam Pasal 180 dijelaskan bahwa bagi istri yang
ditinggal mati suamiya, jika pewaris tidak meninggalkan anak maka
mendapatkan seperempat dari harta peninggalan suaminya jika
meninggalkan anak maka bagiaannya seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya.
Sedangkan dalam UU N0 1 Tahun 1974 dalam pasal 41 c
dijelaskan”Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk
memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi mantan istrinya”. Dari uraian diatas mengenai hak mantan istri,
penulis menyimpulkan bahwa:
89
a. Janda Mati
Jika ditinjau dari KHI dan UU no 1 Tahun 1974 maka
kehidupan bu Sari sudah sesuai apa yang telah di tetapkan dalam
peraturan tersebut, ia sudah mendapatkan haknya, ia mendapatkan
sebuah rumah yang ditinggali bu Sari beserta anak-anaknya, dan
mendapatkan kebun dari Almarhum suaminya yang digunakan
untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan dirinya dan
anak-anaknya, walaupun belum bisa mencukupi kehidupa mereka
tapi setidaknya penghasilan dari hasil bercocok tanam tersebut bisa
mengurangi beban yang harus ditanggung bu Desi sebagai
pemimpin yang bertanggung jawab atas semua kebutuhan
keluarganya.
b. Janda cerai
Sedangkan dari kehidupan bu Desi, dari mantan suamiya
yang pertama ia tidak sama sekali mendapatkan nafkah baik
sebelum ataupun sesudah dalam masa iddah karena sebelum resmi
berceraipun bu Desi dan anaknya sudah tidak dinafkahi oleh pak
Ahmad karena pak Ahmad pergi dari rumah dan tidak diketahui
keberadaanya sehingga bu Desi menggugat cerai pak Ahmad. Yang
pada akhirnya terdengar bahwa pak Ahmad telah meninggal dunia.
Sedangkan dari mantan suaminya yang kedua ini bu Desi
juga tidak mendapatkan nafkah sebelum ataupun setelah masa
iddah karena pada awalnya bu Desi takut terhadap keluarganya jika
90
menerima uang pemberian dari pak Bowo semasa masih dalam
ikatan pernikahan, maka hinga sekarangpun pak Bowo ataupun
keluarganya sudah tidak memberikan nafkah lagi untuk bu Desi
dan bayu anaknya. Selain itu karena pak Bowo kini sudah menikah
lagi.
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
pemberian nafkah terhadap keluarganya oleh janda mati dan janda
cerai di Desa Margolelo jika ditinjau dari Hukum Islam, antara
lain:
1) Sesuai Dengan Hukum Islam
Dalam Hukum Islam seorang janda yang ditinggal mati oleh
suaminya mendapatkan ¼ harta yang dimiliki suaminya jika ia
tidak mempunyai anak, dan mendapatkan 1/8 jika janda tersebut
mempunyai anak.
Di sini bu Sari mendapatkan sebuah rumah yang ditinggali
bersama anak-anaknya dan sepetak tanah yang merupakan
warisan dari orang tua pak Sardi yang kini diserahkan
sepenuhnya oleh keluarga pak Sardi kepada bu Sari untuk bekal
hidupnya bersama kedua anaknya. Karena kedua anaknya belum
mampu mengolah atau memanfaatkan tanah tersebut, sehingga
bu Sari menggunakan tanah peninggalan almarhum suaminya
untuk bercocok tanam yang hasilnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhannya dan kedua anaknya.
91
Meskipun ia mendapatkan seluruh harta yang dimiliki
suaminya, namun hasil bercocok tanam tersebut belum bisa
mencukupi kebutuhan sehari-harinya bersama kedua anaknya.
Sehingga bu Sari harus mencari penghasilan tambahan yaitu
sebagai buruh pembuat emping melinjo, buruh ini dilaksanakan
di rumah bu Sari sendiri, dan para pemanen melinjo
mengantarkan melinjonya dan mengambilnya ketika sudah
menjadi emping.
2) Tidak Sesuai Dengan Hukum Islam
Menurut Hukum Islam yang ditulis dalam Skripsi
(Hasanah:2008) Asghar mengungkapkan bahwa kewajiban
mantan suami menafkahi mantan istrinya sampai ia menikah
lagi adan jika ia tidak mnikah maka sampai mantan istrinya
tersebut meninggal dunia. Dan menurut KHI istri masih
mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah dari mantan suaminya
selama masa Iddah, dan dalam UU no 1 Tahun 1974 Pasal 41
huruf c menerangkan bahwa”Pengadilan dapat mewajibkan
kepada mantan suami untukmemberikan penghidupan atau
menentukan suatu kewajiban bagi mantan istrinya”.
Sedangkan mengenai pemeliharaan anak, dalam KHI
seorang ayah wajib memberikan nafkah bagi anaknya
sampaiusianya 21 tahun, dan dalam hukum Islam pemeliharaan
anak ialah selama anak tersebut belum Mumayyis.
92
Dalam kehidupan yang dialami oleh bu Desi , ia sama
sekali tidak mendapatkan nafkah, dari mantan suaminya yang
pertama sebelum ataupun sesudah masa iddah telah habis.
Karena sebelum mereka berceraipun pak Ahmad mantan
suaminya yang pertama sudah tidak memberiakan nafkah
terhadap bu Desi dan anaknya Ratna, dikarenakan pak Ahmad
tidak diketahui keberadaanya sehingga bu Desi menggugat cerai
pak Ahmad.
Begitu juga pernikahan yang ke dua, bu Desi tidak
mendapatkan nafkah dari mantan suaminya, karena sejak masih
dalam status perkawinannya bu Desi sudah tidak berani
menerima nafkah dari suaminya karena dilarang oleh
kelurganya. Sehingga sampai sekarangpun pak Bowo sudah
tidak lagi memberikan nafkah terhadap bu Desi dan anaknya
bayu.
Mengenai biaya hadanah yang seharusnya adalah
kewajiban ayah. Tapi ini tidak berlaku dalam kehidupan bu Desi
anak-anaknya. Karena kedua mantan suaminya ataupun
keluarganya tidak memberikan nafkah terhadapnya. Sehingga bu
Desi harus menanggungnya sendiri. Bahkan ia rela bekerja
menjadi TKW demi tercukupinya kehidupanya bersama
keluarganya.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Simpulan dalam penelitian ini, minimal akan menjawab semua pertanyaan
yang ada pada rumusan masalah. Adapun simpulan yang dimaksud, adalah
sebagai berikut :
1. Cara pemberian nafkah oleh janda mati dan janda cerai terhadap
kelurganya yaitu dilakukan secara langsung dan tidak
langsung.Langsung karena janda mati tersebut tinggal serumah bersama
anak-anaknya, dan juga bekerja di rumah dan di kebun yang dekat
rumah saja. Selain itu karena pada awal mula janda tersebut ketika
ditinggal mati suaminya, anak keduannya masih berusia satu tahun
sehingga masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari
ibunya. Tidak langsung terjadi karenajanda cerai tersebutpada awalnya
bekerja menjadi TKW di Malaysia dan sekarang bekerja sebagai
pelayan Restoran di Semarang, sehingga ia menitipkan anaknya kepada
kedua orang tuanya.
2. Perbedaan tanggung jawab antara janda mati dan janda cerai dalam
pemberian nafkah terhadap keluarganya antara janda mati dengan janda
cerai. Di sini janda mati bekerja sebagai petani dengan mengolah dan
memanfaatkan tanah peninggalan suaminya tersebut untukemenuhi
kebutuhannnya dengan kedua anaknya. Selain itu janda mati ini bekerja
94
sebagai buruh pembuat emping melinjo untuk memenuhi kebutuhannya
bersama kedua anaknya.Sedangkan janda cerai, ia harus bekerja
mencari nafkah sendirian untuk memenuhi kebutuhan dirinya, anak-
anaknya dan kedua orang tuanya. Pada mulanya Ia bekerja sebagai
TKW di Malaysia selama 5 tahun dan pada akhirya ia bekerja di
Semarang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya
tersebut.
3. Cara pemberian nafkah yang dilakukan oleh janda mati dan janda cerai
terhadap keluarganya sudah sesuai dengan hukum Islam karena di sini
janda mati dalam menafkahi keluarganya bekerja sebagai buruh dan
sebagai petani dan sebagai buruh pembuat emping melinjo. Sedangkan
dengan janda cerai yang pada mulanya sebagai TKW di Malaysia dan
sekarang sebagai pelayan di sebuah Restoran di Semarang.Namun jika
dipandang dari segi tanggung jawab ayah kepada anaknya yang dialami
oleh janda cerai, ini tidak sesuai dengan hukum Islam karena janda
cerai tidak mendapatkan biaya hadanah dan ia menjadi tulang punggung
keluarganya, membesarkan anak-anaknya sendiri tanpa mendapatkan
bantuan dari mantan suaminya maupun keluarga dari suaminya
tersebut.
B. Saran
Berbagai masalah akan timbul dari akibat dari terjadinya perceraian
yang dialami oleh janda mati dan janda cerai yang terjadi di Desa
Margolelo. Maka penulis mencoba memberikan saran kepada semua pihak
95
yang terkait dengan Tanggung jawab janda mati dan janda cerai terhadap
keluarganya, antara lain:
2. Agar dapat tercapai tujuan hukum, yaitu adanya kepastian, ketertiban
dan manfaat di dalam masyarakat, maka hendaknya Lembaga Agama
Islam(KUA) seharusnya memberikan pengarahan kepada para pihak
yang akan melangsungkan pernikahan tentang tangggungjawab setelah
terjadinya pernikahan, perceraian dan akibat yang terjadi setelah
perceraian dan akibatnta jika peraturan atau Undang-Undang yang
mengatur mengenai hal tersebut tidak dipatuhi.
3. Kepada para Bapak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap anak-
anaknya, sekalipun ia telah berpisah dengan ibunya. Tapi anak tetaplah
anak.
4. Para ibu (janda) yang berperan sebagai tulang punggung keluarganya,
dan menafkahi anaknya tanpa bantuan mantan suaminya ataupun
keluarganya, tetap semangat demi masa depan anak-ankya.
5. Dan harapan saya, Fakultas Syari‟ah memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian khususnya
berkenaan dengan JurusanAl-ahwal al-syaksiyyah, baik berupa sarana
dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo
Aini, Khurul.2007. Kewajiban Nafkah Iddah Suami Kepada Istri Yang Telah
Dicerai(Studi Putusan PA Salatiga No.394/pdt.G/2005/PA.SAL
Ali Ash-Shabuni. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani
Ash-shiddieqi, Hasbi.1970. Hukum-hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Arikunto, Suharsini.1998. Prosedur Penelitian. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Basyir, Azhar ahmad.2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:UII Pers
Budiono, Rachmad. 1998. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia.
Bandung : Citra Aditya
Hasanah, Uswatun.2008. Nafkah Untuk Mantan Istri (Studi Analisis Pandangan
Asghar Ali Engineer). Skripsi tidak di terbitkan. Semarang: Jurusan
Syariah IAIN Walisongo Semarang
Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Sunnah,
Tintamas, Jakarta.
Jundhi, Faris Ahmad.2013. Pemberian Nafkah Iddah Pada Gugat(Studi Putusan
PA Pati No.1925/pdt.G/2010/PA.SAL
Mohammad Daud Ali, 1996, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Moleong, Lexi j.2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mughniyah, Muhammad jawad.Fiqh Lima Mazhab. tth, tp, tkp
Muhammad, Risal.2008.Peniadaan Nafkah Iddah Dalam Perkara Cerai
Gugat(Studi Komparasi Antara Putusan PA
No.286/pdt.G/1998/PA.SAL Dengan Ptusan MA No.241
K/AG/2000).Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah
STAIN Salatiga.
Ningrat,Koencoro 1994.Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta, W.J.S.2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
R. Soepomo, 1994, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta
Saleh, H.E Hasan.2008. Kajian FIQH Nabawi dan FIQH Kontemporer. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih sunnah 7. Jakarta: PT Al- Ma‟arif
Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih sunnah 8. Jakarta: PT Al- Ma‟arif
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di indonesia (Antara Fikih
Munakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana
Soerjono Soekanto, Yusuf Usman, 1985, Kedudukan Janda Menurut Hukum
Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Sudarsono, 1990, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta, Jakarta.
Suryabrata,Sumardi1987. Metodologi Penelitian. Jakarta:CV Rajawali.
Thalib, Sajuti. 1981. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika
Yunus, As‟ad. 1992. Pokok-Pokok Kewarisan Islam. Jakarta: Qushwa
Zed, Mestika.2004. Metode Penelitian Pustakaan. Jakarta: Rineka Cipta
http://wordskripsi.blogspot.com/2010/02/pemberian-nafkah-mantan-isteri-
menurut.html
http://nurzavikran.blogspot.com/2011/05/kedudukan-janda-dalam-hukum-waris-
adat.html