Post on 25-Jun-2015
SENI PATUNG DI KOTA SEMARANG
DI antara berbagai karya seni rupa, agaknya seni patung termasuk salah satu yang jarang mendapat publikasi secara meluas di media massa. Sebabnya boleh jadi karena jarangnya seniman patung dan jarangnya mereka mengadakan pameran, dan tentu juga berkaitan dengan apresiasi masyarakat secara menyeluruh terhadap seni patung. Kondisi ini tampak bukan hanya ada di Kota Semarang, tetapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Gaung seni patung kalah keras oleh gaung seni lukis. Namun dalam jarangnya publikasi dan karya seni patung itu, ada dua peristiwa baru-baru ini yang perlu mendapat catatan dalam khasanah seni patung di Kota Semarang. Yang pertama adalah peristiwa "menggembirakan'' digusurnya patung teh botol, yang menggambarkan seorang pejuang revolusi fisik memegang bambu runcing, di bundaran Banjir Kanal Barat dan disusul didirikannya patung "Adipura''. Peristiwa ini dipandang menggembirakan karena patung lama yang mengganggu citra estetik Kota Semarang sudah dirubuhkan dan diganti oleh karya seni patung yang lebih layak sebagai patung ruang publik yang seharusnya menjadi kebanggaan warga kota. Peristiwa yang kedua adalah dibangunnya patung "Pemuda'' di halaman gedung Sekretariat dan Pusat Kegiatan Pemuda "Manunggal Jati'' Kotamadya Semarang di Jl Majapahit arah timur Semarang. Patung "Pemuda'' terwujud dalam bentuk sepasang pemuda (muda-mudi) yang berdiri di atas bongkahan batu, mengangkat bendera pusaka, memegang buku, dan melangkah tegap menyongsong masa depan. Patung ini dibuat oleh Dewa Made Karthadinata, dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Semarang. Patung terbuat dari bahan perunggu dengan ketinggian proporsi yang realistis. Naratif Kedua patung itu menambah jajaran patung naratif yang lain yang sudah ada sebelumnya, seperti antara lain patung "Pangeran Diponegoro'' di halaman Kodam Diponegoro, Watugong, patung "Raden Saleh'' di halaman Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), patung "Pangeran Diponegoro'' di Jl Imam Barjo menuju kampus lama Undip, dan patung "KB'' di taman Menteri Soepeno. Seperti halnya dalam sajian patung naratif, patung-patung tersebut bercerita mengenai sesuatu hal sebagai pesan pokoknya. Bentuk patung dalam hal ini mengabdi pada isi, atau pesan, yang ingin disampaikan. Untuk bisa menyampaikan isi cerita dengan cukup mudah maka bentuk visual yang dipilih umumnya mengarah ke realisme optik; yaitu bentuk seperti apa adanya mata memandang. Hal seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pemesan atau pematung untuk menyampaikan pesan-pesan di balik karyanya. Patung-patung naratif dengan pesan-pesan tertentu terutama muncul pada awal-awal zaman kemerdekaan. Masa-masa inilah yang sering
dipandang sebagai titik awal pertumbuhan seni patung, khususnya di ruang publik, di Indonesia dengan nafas khas Indonesia. Dalam keragaman tema dan isi yang ingin disampaikannya dan dalam berbagai keragaman nilai ekspresi dan estetiknya, telah berdiri beberapa patung naratif di kota-kota besar di Indonesia. Khususnya di Jakarta dengan Bung Karno sebagai arsitek estetiknya pada waktu itu, telah didirikan patung-patung naratif yang bermuatan politis. Salah satu di antaranya adalah patung "Pembebasan Irian Barat''. Kekuatan ekspresi yang mencuat dari patung itu mampu berbicara banyak tentang bagaimana kerasnya perjuangan yang ditempuh untuk membebaskan Irian. Dalam kekuatan eskpresi yang berbeda kekuatan itu ada pula di tubuh patung "Adipura'' dan patung "Pemuda''. Patung-patung tersebut terkesan lebih tenang, tidak bergelora seperti "Pembebasan Irian barat''. Perbedaan visi pemesan dan pembuat patung yang dilandasi oleh bobot apresiasinya yang berbeda, memunculkan karya yang lebih lemah lembut dan tenang. Ini agaknya berkaitan juga dengan suasana politik yang menandai masa yang berbeda. Gelora dan semangat yang menggebu-gebu tampaknya tidak lagi menjadi acuan utama. Latar Belakang Ada beberapa catatan implisit mengenai kedua patung tersebut, umumnya seni patung di Semarang. Yang pertama seperti yang telah dikemukakan bahwa apresiasi masyarakat menjadi latar penciptaan karya seni. Tampaknya apresiasi dan kreasi seni patung di Semarang masih tetap terikat kuat pada bentuk realisme optik yang juga tampak kuat menjadi ciri khas dalam seni lukis kota ini. Yang kedua, baik dari segi bobot, jumlah, dan jenis pengungkapan seni patung Semarang masih tetap perlu ditingkatkan. Tampaknya kota ini cukup pelit untuk membangun patung monumental. Demikian pula, belum pernah terjadi adanya pameran patung baik kelompok maupun tunggal yang diselenggarakan oleh para pematung Semarang. Ini tentu berkaitan dengan sedikitnya jumlah perupa yang khusus menekuni seni patung, terutama yang berkarya lepas tidak mengandalkan pesanan. Salah satu di antaranya, Win, seorang perupa di Semarang yang lebih menekuni seni patung mungkin dapat diharapkan untuk berpameran. Karya-karya Win sangat imajinatif dan lebih lepas bergerak mengikuti alur bahan yang sebagian besar dari bahan kayu. Yang terakhir tentu juga menjadi tantangan untuk menumbuhkan keragaman bentuk dalam seni patung di Semarang. Kita nantikan bentuk-bentuk patung yang sejajar dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu juga tidak kalah pentingnya, menampilkan ekspresi pribadi senimannya, dan tidak menjadi karya umum yang kehilangan identitas pribadi pembuatnya. (Tjetjep Rohendi Rohidi, pengamat seni rupa tinggal di Semarang-36)