Post on 30-Oct-2020
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 1
MENUJU INDEKS BIAYA KONSTRUKSI
RUMAH SEJAHTERA MURAH (IBK-RSM)
Andreas Wibowo1, Arief Sabaruddin
1, Edi Nur
1, Rian Wulan Desriani
1
1Peneliti, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan
Umum, E-mail korespondensi: andreaswibowo1@yahoo.de
ABSTRAK Salah satu isu program pembangunan rumah nasional bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah
menentukan indeks biaya konstruksi (IBK) yang berlaku untuk suatu daerah atau waktu tertentu. Sejauh
ini belum ada IBK yang dipublikasikan, baik oleh instansi Pemerintah atau lembaga lainnya. Tulisan ini
menyajikan diskursus penyusunan IBK spesifik untuk rumah sejahtera murah (IBK-RSM) dan alternatif
metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan regresi. Analisis sensitivitas
memperlihatkan dari sekian banyak komponen biaya konstruksi, enam item biaya mempunyai pengaruh
terbesar terhadap variasi biaya konstruksi secara keseluruhan: semen, besi, kayu kelas II, pasir pasang,
upah pekerja, dan upah tukang. Menggunakan salah satu referensi biaya di lebih dari 20 ibu kota
provinsi, model IBK-RSM ini diaplikasikan sebagai ilustrasi. Beberapa isu terkait dengan upaya
mendefinisikan IBK-RSM, termasuk standarisasi terminologi harga satuan yang berlaku di daerah dan
keterbatasan studi didiskusikan dalam tulisan ini.
Kata kunci: rumah murah, indeks biaya konstruksi, simulasi, sensitivitas, regresi
1. PENDAHULUAN
Salah satu isu pembangunan perumahan di Indonesia adalah backlog yang menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencapai 13,6 juta unit rumah untuk tahun 2012.
Angka ini ditengarai akan terus meningkat setiap tahun bila laju kenaikan permintaan
tidak diimbangi dengan laju pasokan yang signifikan. Di satu sisi kebutuhan perumahan
demikian besar; di sisi lain, masih banyak kelompok masyarakat yang berpenghasilan
rendah (MBR) yang memiliki daya beli terbatas.
Pemerintah telah mengeluarkan program pembangunan rumah (sejahtera) murah
(RSM) bagi MBR. Terlepas dari pro dan kontra program tersebut, isu harga rumah
perlu dieksaminasi lebih lanjut. Kebijakan yang menetapkan harga rumah yang
seragam sangat tidak direkomendasikan mengingat komponen harga rumah berbeda
secara geografis. Kebijakan harga yang tidak tepat dapat berdampak negatif bagi
pasokan dan permintaan rumah sederhana yang pada gilirannya berkonsekuensi pada
kesinambungan program itu sendiri.
Penetapan harga bisa didasarkan pada indeks harga konsumen yang diterbitkan
BPS tiap bulannya. Namun, indeks ini tidak merefleksikan biaya konstruksi sebenarnya
karena merupakan agregasi kelompok barang konsumsi yang sebagian besar tidak
berkaitan dengan proses konstruksi. Untuk itu perlu disusun sebuah indeks biaya yang
lebih spesifik yaitu indeks biaya konstruksi (IBK).
Secara prinsip, IBK seharusnya merefleksikan perbandingan perubahan harga
dari waktu ke waktu suatu produk barang atau jasa yang sifatnya tetap.[1]
Indeks ini
sangat bermanfaat bagi kepentingan penyesuaian atau perkiraan biaya aktivitas
konstruksi di masa mendatang.[2,3]
Tulisan ini mempunyai dua motivasi yaitu
mengusulkan disusunnya suatu IBK spesifik untuk rumah sejahtera murah (IBK-RSM)
yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas seperti zonasi harga atau
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 2
penetapan perubahan harga rumah dari waktu ke waktu dan menawarkan alternatif
metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan regresi yang
menjadi fokus dalam tulisan ini.
2. METODOLOGI
Struktur biaya sebuah proyek konstruksi merupakan suatu hal yang kompleks, bahkan
untuk rumah sederhana sekalipun. Selain biaya tidak langsung, biaya langsung terdiri
dari puluhan atau ratusan item biaya yang berasal dari upah, material, dan peralatan.
Bila seluruh item biaya dimasukkan sebagai komponen IBK-RSM, penyusunan indeks
tentunya menjadi proses yang membutuhkan biaya dan waktu yang besar karena
melibatkan survei harga untuk waktu dan lokasi yang berbeda. Oleh karena itu
diperlukan adanya seleksi item-item biaya yang berpengaruh secara signifikan terhadap
biaya total dan perhatian dapat difokuskan pada item-item biaya ini.
Pada studi ini digunakan satu desain rumah dengan luas 36 m2 dengan asumsi
variasi desain rumah sederhana relatif terbatas untuk perhitungan volume pekerjaan
(Gambar 1). Spesifikasi RSM yang digunakan dalam model adalah fondasi batu kali,
dinding dengan pasangan conblock tanpa plesteran, lantai beton tumbuk, pekerjaan
kusen kayu kelas II, plafon eternit dengan rangka kayu, dan atap asbes gelombang
mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku seperti Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No. 403/KPTS/M/2002 dan
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 25 tahun 2011.
Adapun harga satuan pekerjaan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
tentang tata cara perhitungan harga satuan untuk bangunan gedung dan perumahan
yang relevan seperti SNI 2835:2008, SNI 2836:2008, dan SNI 2837:2008. Dengan
demikian konsep rumah murah dalam tulisan ini tidak merujuk pada desain rumah
dengan kualitas rendah melainkan pada konsep yang tetap mengacu pada standar teknis
tetapi dengan beberapa item finising yang dihilangkan untuk mereduksi biaya.
Pengaruh suatu item biaya ditentukan dari seberapa sensitif biaya total terhadap
variabilitas item biaya tersebut.Untuk mendapatkan sensitivitas semua item biaya
digunakan pendekatan Simulasi Monte Carlo (SMC). Piranti lunak yang digunakan
adalah @Risk versi 5.5.[4]
Pendekatan simulasi dilakukan dengan alasan kepraktisan
semata di mana setiap item biaya yaitu upah dan material dianggap sebagai variabel
acak dan diasumsikan mengikuti distribusi normal dengan skenario koefisien variasi
(coefficient of variation) 10%, 20%, dan 30%.
Biaya tidak langsung diasumsikan persentase biaya langsung sehingga biaya
total merupakan fungsi biaya langsung. Berdasarkan analisis sensitivitas output SMC
dapat diketahui item-item biaya yang paling berpengaruh terhadap biaya total.
Pengaruh ini dinilai dari dua metrik yaitu koefisien korelasi Spearman dan koefisien
regresi standar yang produknya, berdasarkan Metode Pratt, menghasilkan koefisien
determinasi (R2) model.
[5,6]
2
1 1 2 2 n nR r r r (1)
dengan i=koefisien regresi standar item i, ri=koefisien korelasi Spearman item i dan
biaya langsung total. Nilai R2 digunakan untuk menetapkan jumlah item biaya yang
akan menjadi komponen IBK. Sebagai konsiderannya adalah jumlah item diupayakan
minimal namun menghasilkan R2 yang masih dapat diterima. Penggunaan jumlah item
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 3
yang minimal mempunyai dua manfaat. Pertama, jumlah item yang besar akan
meningkatkan time lag antara verifikasi harga dan perhitungan indeks, dan kedua,
indeks dengan jumlah elemen yang lebih lebih sedikit justru lebih sensitif terhadap
perubahan harga ketimbang indeks dengan komponen yang banyak.[7]
RUANG INTI
SKALA 1 : 100
POTONGAN B - B
3.00
POTONGAN A - A
3.00
Pond. BT. Kali
Setempat
Pasir Urug
SKALA 1 : 100
BB
RUANG INTI
SKALA 1 : 100
DENAH
3.00
A
SLOOF BETON
10/20
3.00
HALAMAN
A
KM / WC
1.50
1.20
0.00
+ 2.40
20
- 0.20
- 0.80
+ 4.10
+ 2.40
0.00RUANG INTI
0.00
+2.40
IKATAN ANGIN 5/7GORDING 5/7
KUDA-KUDA KAYU 5/10
3.00
- 0.80
- 0.200.00
+ 2.40
GORDING 5/7
SENG GELOMBANG
KUDA-KUDA KAYU 5/10
+ 4.10
SKALA 1 : 100
TAMPAK SAMPING KIRITAMPAK SAMPING KANAN
SKALA 1 : 100
TAMPAK BELAKANG
SKALA 1 : 100
TAMPAK DEPAN
SKALA 1 : 100
3.00
3.00
3.00
3.00
4.80
A B C D
1
2
3
4
6
5
2 3 4 B C
Pasir UrugPond. BT. Kali
Setempat
TERAS
RUANG INTI
RUANG INTI
3.00
D
1.50
1.50
7.50
Gambar 1: Desain Rumah (Sejahtera) Murah
Setelah terpilih, data output hasil simulasi item-item biaya diregresikan linear
terhadap data output biaya total dengan intersep nol (zero-intercept linear regression).
Pendekatan ini digunakan untuk memaksimumkan kontribusi item biaya terhadap IBK.
Koefisien regresi yang diperoleh menjadi koefisien pengali item biaya dan berdasarkan
koefisien-koefisien ini, biaya langsung dapat dihitung sebagai:
1 1 2 2 m mC b X b X b X (2)
dengan C=biaya langsung RSM, bi=koefisien regresi item terpilih i, Xi=harga item
biaya terpilih i. Untuk menentukan IBK ditentukan lokasi dan tahun basis dengan
indeks pada lokasi dan tahun tersebut=100. Dengan demikian,
, , , , ,
1 1
100m m
k t i i k t i i K T
i i
IBK b X b X
(3)
dengan IBKk,t=IBK pada kota k periode t, Xi,k,t=harga item i pada lokasi k periode t,
Xi,K,T=harga item pada lokasi basis K periode basis T. Secara diagramatis, metodologi
perhitungan IBK diillustrasikan dalam Gambar 2.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 4
Desain Rumah Sederhana
Murah (RSM) Standar Hitung Volume Pekerjaan
Hitung Analisis Harga
Satuan Pekerjaan
Asumsi Distribusi Item
Biaya dan Parameternya
Simulasi Biaya Langsung
Total RSM
Analisis Sensititivitas dan
Tentukan Item Biaya yang
Paling Berpengaruh
Regresi Linear Output Data
Simulasi Item Biaya
Terseleksi terhadap Biaya
Total
Ekstrak Koefisien Regresi Formulasi Indeks Biaya
Konstruksi RSM (IBK-RSM)Susun IBK-RSM
Gambar 2: Metodologi Perhitungan IBK
3. APLIKASI PERHITUNGAN
Lokasi dan tahun dasar dalam studi ini dipilih Jakarta dan 2011. Harga upah dan
material berasal dari data sekunder Jurnal Harga Satuan Bangunan Konstruksi dan
Interior Edisi XXXI tahun 2011-2012. Simulasi dengan asumsi-asumsi yang telah
ditetapkan dilakukan dengan iterasi 1000 kali. Dengan berbagai pertimbangan seperti
simplifikasi perhitungan, dipilih 6 (enam) item biaya yang mampu menjelaskan 67%
variasi biaya langsung RSM. Tidak ada perbedaan berarti terhadap item-item biaya
untuk koefisien variasi yang berbeda. Tabel 1 memberikan contoh statistik lebih detil
untuk keenam item biaya terseleksi saat koefisien variasi=10%.
Tabel 1: Koefisien Regresi dan Korelasi Simulasi, cov=10% Jenis
Biaya Uraian Biaya
Koefisien
Regresi ()
Koefisien
Korelasi (r)
Produk
.r
Kumulatif
.r
Upah Upah tukang/OH 0,547 0,471 0,26 0,26
Upah Upah pekerja/OH 0,519 0,485 0,25 0,51
Material Semen/kg 0,291 0,315 0,09 0,60
Material Kayu kelas II/m3 0,181 0,181 0,03 0,63
Material Besi polos/kg 0,170 0,157 0,03 0,66
Material Pasir pasang/m3 0,103 0,101 0,01 0,67
Tabel 2 memperlihatkan koefisien regresi linear dengan biaya langsung dan
enam item biaya sebagai variabel independen berdasarkan 1000 data iterasi SMC untuk
masing-masing skenario koefisien variasi. Bila setiap koefisien regresi dikalikan
dengan harga satuannya masing-masing diperoleh kontribusi item biaya terhadap IBK-
RSM di lokasi dan tahun basis (Gambar 3). Tidak ada perbedaan substansial, hanya 1
sampai 2%, yang bisa diamati dari koefisien variasi yang berbeda. Dengan hasil ini
disimpulkan IBK-RSM cukup didasarkan pada koefisien regresi dari salah satu
skenario koefisien variasi saja yang dalam kajian ini diambil 10%. Secara proporsi,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 5
komponen penyusun IBK-RSM menurut harga di lokasi dan tahun basis adalah upah
pekerja (26%), besi polos (22%), upah tukang (19%), kayu kelas II (13%), pasir pasang
(10%), dan semen (9%).
Tabel 2: Koefisien Nonstandar Regresi Linear dengan Intersep Nol Item Biaya Koefisien Variasi (%)
10 20 30
Pasir pasang/m3 25,31 26,03 27,38
Semen/kg 5.421,86 5.362,18 5.959,63
Kayu kelas II/m3 2,42 2,34 2,39
Besi polos /kg 1.718,07 1.616,20 1.605,58
Upah tukang/OH 134,35 135,20 124,46
Upah pekerja/OH 206,62 213,73 201,16
Gambar 3: Kontribusi Item Biaya terhadap IBK-RSM di Lokasi dan Tahun Basis
Karena indeks sifatnya rasio, koefisien regresi dapat dibagi dengan bilangan apa
pun tanpa mengubah besaran indeksnya yang dalam hal ini diambil 36 yaitu luas
bangunan RSM. Hasilnya akhirnya, IBK-RSM tersusun dari 0,70m3 pasir pasang;
150,61 kg semen; 0,07m3 kayu kelas II; 47,72 kg besi polos; 3,73 OH tukang (tenaga
kerja terampil); dan 5,74 OH pekerja. Bila dibandingkan dengan construction cost
index (CCI) dan building cost index (BCI) yang dipublikasikan secara periodik oleh
Engineering News Record (ENR) sejak tahun 1908/1915, misal, komponen penyusun
indeks berbeda. Penyusun CCI adalah 200 jam pekerja, 25 cwt (1 cwt=100 pon) baja
profil, 1,128 ton semen, 1.088 board-ft (1 board-ft=0,002360 m3) kayu 24 sementara
penyusun BCI adalah sama kecuali untuk komponen upah yaitu 68,28 jam tukang.[8]
Tabel 3 memperlihatkan beberapa statistik harga item biaya upah/material
penyusun IBK-RSM tahun 2011 berasal dari 22 ibu kota provinsi atau lokasi terdekat,
bila data tidak tersedia. Sebagaimana tersaji, harga sangat beragam antara satu lokasi
dan lokasi lainnya sehingga menjastifikasi perlunya IBK-RSM dibangun.
Menggunakan referensi harga yang tersedia, IBK-RSM dapat dengan mudah dihitung
menggunakan Persamaan (3). Tabel 4 memperlihatkan agregasi IBK-RSM beberapa
wilayah di Indonesia. Gambar 4 menyajikan sebaran IBK-RSM di 22 ibu kota provinsi
9% 9% 10%
9% 9% 10%
13% 13% 13%
23% 22% 22%
20% 20% 19%
26% 27% 26%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
10% 20% 30%
Koefisien Variasi
Upah pekerja
Upah tukang
Besi polos
Kayu kelas II
Semen
Pasir pasang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 6
sampel. Standar deviasi terhitung adalah 11 di mana seluruh nilai indeks tidak
homogen.
Tabel 3: Statistik Harga Item Biaya Upah/Material
Item Biaya
Harga 2011 (Rp.)
Rata-rata Min Max
Pasir pasang/m3 134.444 60.000 225.000
Semen/kg 1.217 1.000 1.507
Kayu kelas II/m3 3.438.323 2.500.000 5.007.000
Besi polos /kg 11.590 19.260 6.356
Upah tukang/OH 63.064 42.500 98.000
Upah pekerja/OH 48.214 32.500 84.000
Sumber: Jurnal Harga Satuan Bangunan Konstruksi dan Interior Edisi XXXI Tahun 2011-2012, data
diolah
Tabel 4: Statistik IBK-RSM Tahun 2011
Wilayah
IBK-RSM Tahun 2011a
Rata-rata Min Max
Jawa 81 68 100
Sumatera 91 76 103
Bali, NTB, NTT 89 74 109
Kalimantanb 95 89 101
Sulawesic 82 77 88
Nasionald 87 68 109
Cat:
a) Data berasal harga upah/material dari ibu kota provinsi
b) Hanya meliputi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
c) Hanya meliputi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah
d) Data sekunder berasal dari survei di 22 ibu kota provinsi
Gambar 4: IBK-RSM 2011 di 22 Ibu Kota Provinsi
Untuk memperoleh laju inflasi harga RSM di suatu lokasi dan tahun tertentu,
Persamaan (3) dengan mudah diadaptasi sebagai berikut:
,
, , 1
, 1
1k t
k t t
k t
IBKf
IBK
(5)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 7
dengan fk,t,t-1=laju inflasi harga RSM di lokasi k dari tahun t – 1 ke tahun t.
Tantangan ke Depan
Penyusunan IBK-RSM memberikan banyak manfaat seperti memberikan informasi
tentang ekskalasi harga RSM di beberapa wilayah di Indonesia sehingga Pemerintah
bisa mengambil kebijakan yang pas untuk akselerasi pembangunan RSM. Namun
demikian ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bila IBK-RSM memang akan
disusun dan dipublikasikan.
Implementasi peraturan tentang spesifikasi teknis RSM dalam praktik yang
masih menjadi isu besar bagi pembangunan RSM di Indonesia. Pada dasarnya
konstruksi RSM harus tetap memenuhi spesifikasi teknis rumah sesuai dengan SNI
guna memberikan jaminan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi
penghuninya. Tantangan terbesarnya tentu terletak pada aspek biaya konstruksi
mengingat RSM disediakan bagi MBR yang memiliki daya beli sangat terbatas. Label
‘murah’ tidak seharusnya berkonotasi dengan kualitas substandar, sebagaimana telah
disinggung sebelummnya. Selain dukungan fasilitas fiskal, upaya reduksi biaya dapat
diupayakan melalui eliminasi sejumlah komponen nonstruktural, sebagaimana
diterapkan dalam kajian ini.
Persoalan kedua menyangkut perbedaan harga. Variasi harga merupakan
sesuatu yang sifatnya alamiah namun perbedaan ini setidaknya mampu merefleksikan
perbedaan spesifikasi atau kompetensi. Sampai saat ini klasifikasi dan terminologi
pekerja terampil dan nonterampil masih kabur sementara kualitas besi tulangan yang
merupakan salah satu komponen penting IBK masih banyak yang nonstandar di
pasaran. Beragamnya spesifikasi dan kompetensi material dan pekerja konstruksi
menyebabkan perhitungan indeks kurang akurat disebabkan komparasi yang tidak
setara. Pada konteks ini, definisi spesifikasi dan kompetensi item biaya yang akan
disurvei yang lebih spesifik sangat dibutuhkan. Pun, hal-hal teknisnya lainnya seperti
metode sampling dan periode survei perlu didesain dengan matang bila data primer
yang digunakan.
Keterbatasan Studi
Studi ini memiliki sejumlah keterbatasan yang membuat hasil kajian ini perlu
digunakan secara berhati-hati. Sejauh ini kajian hanya mengandalkan data sekunder
yang berasal dari satu referensi yang perlu divalidasi, terutama bila dikaitkan dengan
berbagai tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Data primer berdasarkan
metode sampling yang andal sangat direkomendasikan untuk penyusunan indeks yang
lebih akurat.
Koefisien dalam perhitungan indeks didasarkan pada asumsi item biaya
terdistribusi normal dengan tiga skenario koefisien variasi. Meski koefisien variasi
tidak menyebabkan perubahan berarti bagi pemilihan item biaya penyusun IBK-RSM,
asumsi normalitas perlu diverifikasi dalam kajian mendatang.
Keterbatasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi konstruksi yang
digunakan di mana dalam kajian ini masih konvensional berbasis semen. Bila bahan
bangunan lokal dengan perlakuan teknologi tertentu mampu memenuhi persyaratan
minimum dengan biaya yang tentunya diharapkan lebih ekonomis digunakan,
perhitungan IBK-RSM dengan sendirinya perlu disesuaikan.
Metodologi perhitungan IBK-RSM dalam tulisan ini hanya satu dari sekian
banyak alternatif yang bisa dipertimbangkan. Dengan sejumlah keterbatasan yang ada,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 8
tulisan ini meninggalkan sejumlah isu dan tantangan yang menarik untuk dikaji dalam
studi lanjutan.
4. KESIMPULAN
Penyusunan IBK mempunyai peran strategis dalam program pembangunan RSM bagi
MBR. Melalui IBK Pemerintah dapat menetapkan zonasi dan estimasi harga RSM
untuk kurun waktu berbeda secara lebih akurat untuk pengambilan kebijakan. Tulisan
ini menawarkan dua hal. Pertama, diskursus penyusunan IBK-RSM dan, kedua,
alternatif metodologi perhitungan IBK-RSM menggunakan pendekatan simulasi dan
regresi.
Melalui analisis sensitivitas diperoleh enam item biaya penyusun IBK-RSM
yaitu harga pasir pasang, semen, kayu kelas II, besi polos, upah tukang, dan pekerja.
Simulasi memperlihatkan keenam item biaya tersebut mampu menjelaskan 67% variasi
biaya langsung RSM. Menggunakan daftar harga dari satu jurnal referensi, IBK-RSM
dapat dihitung. Hasil perhitungan memperlihatkan sebaran indeks yang luas yang
mengkonfirmasi argumentasi bahwa penetapan harga RSM tidak dapat distandarkan
yang berlaku generik secara nasional.
Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam perhitungan dan
pemberlakuan IBK-RSM, termasuk isu implementasi spesifikasi teknis RSM dan
variasi spesifikasi dan kompetensi komponen penyusun IBK-RSM. Dengan segala
keterbatasan yang ada, kajian yang disampaikan dalam tulisan perlu penelaahan lebih
lanjut untuk bisa diaplikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Williams, T P (1994) Predicting Changes in Construction Cost Indexes using
Neural Networks. Journal of Construction Engineering and Management, 120(2),
306-320.
2. Hwang, S (2009) Dynamic Regression Models for Prediction of Construction
Costs. Journal of Construction Engineering and Management, 135(5), 360-375.
3. Brown, J A and Hajdaj, E (2001) Government Computerized Cost Index. AACE
International Transaction, EST.05.1-EST.05.8.
4. Palisade Corporation (2009) Guide to Using @Risk: Risk Analysis and
Simulation Add-in for Microsoft Excel. N.Y: Palisade Corporation.
5. Bring, J (1996) A Geometry Approach to Compare Variables in a Regression
Model. The American Statistician, 50(1), 57-62.
6. Pratt, J W (1987) Dividing the Indivisible: Using Simple Symmetry to Partition
Variance Explained. Proceeding of the 2nd International Tampere Conference,
245-260.
7. Hassanein, A A G and Khalil, B N L (2006) Building Egypt1- A General
Indicator Cost Index for the Egyptian Construction Industry. Engineering,
Construction, and Architectural Management, 13(5), 463-480.
8. Engineering News Record (2013) Construction Economics
<http://enr.construction.com/economics> (diakses 17 Januari 2013).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 9
KONSEP WHOLESALE INFRASTRUCTURE BERBASIS
MODIFIED SHADOW TOLL UNTUK PEMBANGUNAN
JALAN TOL NASIONAL
Andreas Wibowo1
1Profesor Riset, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, Jalan
Panyawungan Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung, e-mail: andreaswibowo1@yahoo.de
ABSTRAK
Sebagai sebuah infrastruktur ritel, jalan tol mengandung risiko permintaan yang tinggi yang kerap
menjadi kendala masuknya investasi di sektor ini. Tulisan ini menyajikan wacana implementasi konsep
infrastruktur borongan (wholesale infrastructure) yang biasa dikenal dalam proyek air minum dan
kelistrikan untuk pengusahaan jalan tol. Dengan konsep ini badan usaha jalan tol menjual jasanya
kepada penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) berdasarkan usulan desain tarif dan realisasi
volume lalulintas. Desain tarif didasarkan pada model tol bayangan (shadow toll) di mana tarif tidak
ditetapkan rata melainkan bervariasi mengikuti volume lalulintas. User-pays principles tetap
diberlakukan dengan tarif awal dan penyesuaiannya mengikuti tarif yang ditetapkan PJPK. Aplikasi tol
bayangan memungkinkan risiko teralokasi secara lebih seimbang antara PJPK dan badan usaha. Skim
penjaminan Pemerintah dapat diberlakukan tanpa berkonflik dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Aplikasi model tol bayangan yang dimodifikasi (modified shadow toll/MST) ini diharapkan
dapat menjadi salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk membuat sektor jalan tol menjadi
lebih atraktif bagi calon badan usaha. Beberapa isu yang relevan dengan implementasi MST juga
didiskusikan dalam tulisan ini.
Kata kunci: jalan tol, infrastuktur borongan, risiko lalulintas, tol bayangan, penjaminan
1. PENDAHULUAN
Sejak diperkenalkan tahun 1978, panjang total jalan tol nasional sampai akhir tahun
2012 hanya lebih kurang 742 km atau tumbuh sekitar 21 km per tahun.[1]
Laju ini jauh
di bawah kebutuhan pembangunan infrastruktur jalan tol yang demikian besar untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan keterbatasan fiskal yang ada,
Pemerintah terus mendorong badan usaha, khususnya badan usaha milik swasta, untuk
ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengelolaannya. Namun, upaya ini tidak
semudah yang diperkirakan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah investasi
infrastruktur khususnya jalan tol memiliki karakteristik yang spesifik yang salah
satunya adalah risiko investasi yang tinggi.
Selain pembebasan lahan yang masih menjadi masalah klasik, salah satu sumber
risiko adalah ketidakpastian volume lalulintas. Di lain pihak, sumber pendapatan utama
untuk pemulihan biaya termasuk biaya modal berasal dari realisasi volume saat jalan tol
beroperasi. Persoalannya, estimasi untuk jangka pendek sudah demikian sulit, apalagi
untuk jangka panjang karena volume lalulintas dipengaruhi banyak faktor.[2]
Banyak
studi empiris yang mengkonfirmasi adanya bias optimisme (optimism bias) dalam
perkiraan volume lalulintas.[3-5]
Untuk menarik minat calon badan usaha, beberapa pemerintah berupaya
memitigasi risiko bagi badan usaha dengan bersedia menyerap sebagian risiko lalulintas
melalui berbagai inovasi kontrak. Least present value for revenue (LPRV), misal,
merupakan salah satu inovasi kontrak pengadaan badan usaha yang dilatarbelakangi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 10
faktor tingginya ketidakpastian volume lalulintas.[2]
Penjaminan pendapatan minimum
(minimum revenue guarantee) untuk memberikan proteksi bagi badan usaha atas risiko
rendahnya volume dari yang dijanjikan sudah jamak diaplikasikan di banyak jalan
tol.[6,7]
Saat ini jalan tol nasional masih bersifat infrastruktur ritel (retail infrastructure)
yang menyediakan jasa dan layanan langsung kepada penggunanya.[8]
Tulisan ini
menawarkan wacana infrastruktur jalan tol sebagai infrastruktur borongan (wholesale
infrastructure) sebagaimana dipraktikkan untuk sektor air minum dan kelistrikan.[9]
Model ini dikombinasikan dengan konsep tol bayangan (shadow toll) untuk pembagian
risiko yang lebih efisien antara Pemerintah dan badan usaha. Beberapa isu dan kendala
terkait dengan implementasi wacana ini juga dibahas secara detil dalam tulisan. Tujuan
dari tulisan ini adalah memberikan alternatif model pengusahaan jalan tol untuk
meningkatkan minat calon badan usaha berinvestasi di sektor jalan tol.
2. INFRASTRUKTUR BORONGAN VERSUS RITEL
Beberapa sektor infrastruktur mempunyai karakteristik infrastruktur borongan di mana
ada satu pembeli tunggal (sole offtaker) dari layanan atau jasa yang dihasilkan. Pada
sektor listrik, misal, independent power producers (IPPs) menjual listriknya kepada
Perusahaan Listrik Negara (PLN) selalu penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK)
melalui perjanjian jual beli (offtake agreement) yang di dalamnya mengatur, inter alia,
kuantitas output yang diperjualbelikan, struktur tarif, dan skedul pembayarannya.
Secara prinsip hal yang sama berlaku pula untuk sektor air minum dengan perusahaan
daerah air minum (PDAM) bertindak sebagai PJPK.
Dengan adanya perjanjian jual beli, risiko permintaan bertransformasi menjadi
risiko wanprestasi oleh PJPK. Gambar 1 memperlihatkan hubungan kontraktual yang
terjadi antarpemangku kepentingan dalam sebuah proyek investasi infrastruktur
borongan. Ada satu pembeli tunggal (offtaker)–dalam konteks ini adalah PJPK–output
yang dihasilkan oleh badan-badan usaha dalam kontrak terpisah yang nantinya akan
didistribusikan oleh PJPK kepada konsumen (lihat Gambar 2).
Berbeda dengan infrastruktur borongan, pada infrastruktur ritel badan usaha
menjual langsung outputnya kepada pengguna sementara antara PJPK dan badan usaha
tetap diikat oleh perjanjian kerjasama (lihat Gambar 3). Struktur inilah yang terjadi
untuk sektor jalan tol nasional sampai saat ini. Karakteristik yang demikian
mengekspos badan usaha langsung ke risiko permintaan; artinya, lebih rendah atau
tingginya permintaan dibandingkan ekspektasi sepenuhnya menjadi risiko badan usaha.
Tol Bayangan (Shadow Toll)
Model tol bayangan sebagai alternatif user-pays principle dikembangkan di Inggris
sekitar tahun 1990-an. Model ini diikuti oleh banyak negara, salah satunya Portugal
yang secara masif mengaplikasikannya.[10]
Dalam model ini tarif tidak dikenakan
langsung kepada penggunanya melainkan dibayar oleh pemerintah kepada badan usaha.
Tarif tidak diset rata (flat) tetapi bervariasi tergantung pada realisasi permintaan dengan
laju kenaikan yang biasanya menurun.
Volume lalulintas dibagi menjadi beberapa ban (band), biasanya didesain
sampai empat kategori. Pada kategori tertinggi di mana volume lalulintas melebihi
ambang tertinggi yang diijinkan umumnya tidak ada pembayaran oleh pemerintah
kepada badan usaha dengan tujuan untuk tidak memberikan keuntungan berlebihan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 11
bagi badan usaha (lihat Gambar 4). Secara matematis, pendapatan yang diterima badan
usaha dengan sistem tol bayangan ini pada suatu periode tertentu adalah:
1 1 1
1 1 2
2 2 3
3 3 4
untuk 0
untuk
untuk
untuk
A A
B A A B
C B B C
D C C
R V T V V
R R T V V V VR
R R T V V V V
R R T V V V
(1)
dengan R=pendapatan, RA=pendapatan bila volume lalulintas berada dalam ban
A,VA=volume lalulintas realisasi berada dalam ban A, T=selisih volume lalulintas
antardua ban, V=selisih volume lalulintas antardua ban.
Ditilik dari hubungan antara otoritas dan badan usaha, jalan tol berbasis tol
bayangan dapat dikategorikan sebagai infrastruktur borongan karena tidak terjadi
transaksi langsung antara badan usaha dan pengguna. Dengan mengasosiasikan tarif
dengan volume lalulintas realisasi, model tol bayangan sebenarnya mengandung
elemen penjaminan atas risiko lalulintas.[11]
Elemen ini menarik untuk dikaji lebih
lanjut mengingat penjaminan langsung atas risiko permintaan sulit diimplementasikan
bila merujuk pada peraturan perundangan yang berlaku.
Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama
Badan Usaha
Pengguna
Kontraktor
KonstruksiKonsultan Perencana
Pemasok
KreditorSponsor Proyek
Kontraktor Operasi
dan Pemeliharaan
(O&M)
Kontr
ak K
redit
Kontrak
Konstruksi
Kontrak O
M
Kontrak
Perencanaan
Kontr
ak P
asoka
n
Ko
ntr
ak
Ju
al B
eli
Gambar 1: Struktur Infrastuktur Borongan Tipikal
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 12
Badan Usaha
Badan Usaha
Badan Usaha
Badan Usaha
PJPK (Offtaker)
Pengguna
Pengguna
Pengguna
Produsen Jasa/Layanan Distributor Konsumen
Gambar 2: Model Single-Buyer
(diadaptasi dari Workshop on Economic Cooperation in Central Asia
and Asian Development Bank [8]
)
Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama
Badan Usaha
Pengguna
Kontraktor
KonstruksiKonsultan Perencana
Pemasok
KreditorSponsor Proyek
Kontraktor Operasi
dan Pemeliharaan
(O&M)
Kontr
ak K
redit
Kontrak
Konstruksi
Kontrak O
M
Kontrak
Perencanaan
Kontr
ak P
asoka
n
Ko
ntr
ak
Ke
rja
sa
ma
Gambar 3: Struktur Infrastuktur Ritel Tipikal
Volume Lalulintas Realisasi (V)
Le
ve
l T
ari
f (T
)
V1=V2 – V1
Band A Band B Band C Band D
V2 V3
T1 T2 – T1
V2=V3 – V2
T1
T2
T3
T4
V3=V4 – V3
V4
T2 T3 – T2
T3 T4 – T3
Pe
nd
ap
ata
n
Pendapatan
Tarif
V1
Gambar 4: Struktur Tarif Model Tol Bayangan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 13
3. MODIFIED SHADOW TOLL
Rezim tarif yang berlaku saat ini yaitu price-cap, sesuai Peraturan Pemerintah No. 15
tahun 2005 (PP 15/2005) tentang Jalan Tol, tidak mengaitkan penyesuaian tarif dengan
tinggi rendahnya volume realisasi, kecuali dengan laju inflasi. Di tengah tingginya
risiko dan ketidakpastian volume lalulintas, keberadaan penjaminan pendapatan
minimum diperlukan dalam banyak kasus. Namun Peraturan Presiden No. 78 tahun
2010 (Perpres 78/2010) secara tegas menyatakan Pemerintah hanya bersedia menjamin
risiko yang bersumber dari PJPK dan/atau instansi Pemerintah. Dengan kata lain, skim
penjaminan lebih bersifat memproteksi badan usaha hanya dari risiko politis atau
kuasikomersial. Penulis berargumentasi bahwa dengan batasan ini, penjaminan
pendapatan minimum secara umum sulit diberikan.
Karakteristik tol bayangan sebagai infrastruktur borongan untuk memitigasi
risiko permintaan dapat dimanfaatkan. Modifikasi diperlukan karena model tol
bayangan tidak dikenal di sektor jalan tol nasional. Beberapa perubahan dari model
aslinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Badan usaha dan PJPK melakukan perjanjian kerjasama di mana badan usaha
mempunyai kewajiban untuk merencanakan, membangun, membiayai, dan
mengoperasikan jalan tol selama masa konsesi. Kontrak standar Build, Operate,
Transfer (BOT) dapat digunakan. Badan usaha dianggap sebagai penyedia layanan
yang menjual jasanya kepada PJPK dalam bentuk borongan (wholesale) dengan
tarif dan volume yang diatur dalam kontrak.
b. Tarif yang dikenakan kepada pengguna berbeda dengan tarif yang diberikan
kepada badan usaha. Tarif pengguna berdasarkan tarif awal yang ditetapkan
sebelumnya oleh PJPK dengan penyesuaian tarif tetap mengikuti PP 15/2005.
Sementara itu tarif yang berlaku bagi badan usaha adalah tarif berdasarkan
penawaran yang diajukan badan usaha mengikuti model tol bayangan (lihat
Persamaan 1). Dalam konteks ini badan usaha diberi kebebasan menentukan empat
ban volume lalulintas dan tarif yang berlaku untuk masing-masing ban. Tentunya
dalam menetapkan batas bawah-atas tiap ban dan tarifnya, calon badan usaha
mempertimbangkan tarif awal PJPK.
c. Badan usaha bertransaksi dengan pengguna atas nama PJPK menggunakan tarif
yang ditetapkan PJPK. Hasil pendapatan dapat dimasukkan dalam suatu rekening
khusus (escrow account) yang akan digunakan PJPK membayar badan usaha
sesuai dengan tarif dan volume realisasi yang telah disepakati dalam perjanjian
kerjasama. Di sini PJPK bertindak sebagai kuasi pembeli tunggal (quasi-offtaker)
atas layanan yang diberikan badan usaha.
d. PJPK dapat mengajukan usulan penjaminan kepada PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (PII) selaku satu-satunya badan usaha penjaminan infrastruktur (BUPI).
Penjaminan dibutuhkan untuk memberikan proteksi dari risiko wanprestasi
pembayaran oleh PJPK. Risiko ini dapat dijamin karena bersumber dari janji PJPK
untuk bisa memenuhi kewajiban kontraktualnya, sesuai kriteria Perpres 78/2010.
Selanjutnya, Perpres 78/2010 memberikan hak bagi BUPI untuk menagih PJPK
atas pembayaran kepada badan usaha bila penjaminan aktif (called). Hak ini
dikenal dengan hak regres yang gunanya mencegah aji mumpung (moral hazard)
PJPK saat mengajukan usulan penjaminan. Gambar 5 memperlihatkan secara
skematik hubungan kontraktual dalam kontrak MST yang diusulkan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 14
Badan Usaha
Pengguna
Kontraktor
KonstruksiKonsultan Perencana
Pemasok
PT Penjaminan
Infrastruktur
Indonesia (PII)
Sponsor Proyek
Kontraktor Operasi
dan Pemeliharaan
(O&M)
Kontr
ak
Pen
jam
inan
Kontrak
Konstruksi
Kontrak O
M
Kontrak
Perencanaan
Kontr
ak P
asoka
n
Ko
ntr
ak
Ke
rja
sa
ma
Penanggung Jawab
Proyek Kerjasama
Kontrak
Regres
Kreditor
Ko
ntra
k K
red
it
Gambar 5: Struktur Infrastruktur Modified Shadow Toll
Ada beberapa keunggulan yang dapat diidentifikasi dengan mengaplikasikan MST ini.
Pertama, badan usaha tetap mempunyai insentif untuk mengoperasikan jalan tol secara
efisien dan berusaha meningkatkan realisasi volume lalulintas karena hal tersebut akan
meningkatkan pendapatan. Kedua, ketidakpastian risiko yang dihadapi badan usaha
tereduksi dengan diberlakukannya tol bayangan. Di satu sisi, badan usaha terproteksi
dari rendahnya realisasi lalulintas dari prediksi secara substansial; di sisi lain, badan
usaha juga dicegah menikmati pendapatan berlebihan saat realisasi lalulintas jauh di
atas prediksi. Ketiga, usulan model memungkinkan skim penjaminan sebagaimana
diatur Perpres 78/2010 diberlakukan. Dengan fitur keunggulan ini, investasi jalan tol
diyakini akan menjadi lebih atraktif bagi calon badan usaha.
4. ISU YANG RELEVAN
Untuk MST bisa diaplikasikan ada sejumlah isu yang perlu diperhatikan. Dari
perspektif institusional, PJPK akan mengelola portofolio jalan tol yang diselenggarakan
menggunakan model ini dan berbagi risiko volume lalulintas dengan badan-badan
usaha. Saat ini, PJPK di sektor jalan tol adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT),
sebuah badan pengatur yang dibentuk sesuai dengan amanat PP 15/2005. Bila ditilik
dari tugas dan fungsi yang dibebankan Pemerintah, pengelolaan risiko bukan menjadi
domain BPJT sehingga perlu dicari institusi spesifik yang lebih pas.
Salah satu kandidat ideal adalah Badan Layanan Umum (BLU) Bidang
Pendanaan Sekretariat BPJT karena pada dasarnya BLU adalah semibadan usaha.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 406/KMK.05/2009, Bidang
Pendanaan Sekretariat BPJT ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan
pengelolaan keuangan BLU. Instansi ini bertanggung jawab langsung kepada Menteri
Pekerjaan Umum.
Disebut ideal karena BLU tidak dibentuk untuk mengutamakan keuntungan
tetapi tetap dituntut menjalankan praktik bisnis yang sehat. Meski demikian fungsi
BLU Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT perlu diperluas dari kondisi eksisting. Saat
ini di samping mengelola dana bergulir pembebasan lahan untuk pembangunan jalan
tol, BLU hanya mengelola hasil pengusahaan jalan tol penugasan Pemerintah.
Perluasan fungsi BLU tentunya harus dibarengi dengan peningkatan infrastruktur
pendukung BLU, terutama dari sumber daya manusianya. Persoalan lain yang perlu
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 15
dikaji adalah hubungan antara Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT dan BPJT sendiri
selaku regulator jalan tol nasional.
Isu kedua adalah pengadaan badan usaha menggunakan model tol bayangan.
Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan ada tiga metode pengusahaan jalan tol,
biasa disebut metode A, metode B, dan metode C. Pada metode A, parameter lelang
adalah tarif terendah, metode B besaran dukungan terendah yang diminta, dan metode
C nilai skor berdasarkan kewajaran biaya, rencana konstruksi, tarif awal golongan I,
dan masa konsesi. Lelang menggunakan tol bayangan di mana calon badan usaha
mengusulkan proposal baik untuk tarif maupun ban volume lalulintas tidak termasuk
tiga metode yang disebutkan.
Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan – mengingat calon badan usaha
diberikan opsi menentukan ban dan tarif untuk masing-masing ban – adalah
menggunakan nilai sekarang (present value/PV) pendapatan terendah sebagai
parameter lelang. Dalam banyak hal model ini mirip dengan LPRV meski ada sejumlah
perbedaan. Berbeda dengan tol bayangan yang memberikan alokasi risiko yang relatif
seimbang (balanced), LPRV tidak memberikan proteksi atas risiko pendapatan rendah
sementara membatasi pendapatan yang diterima badan usaha yang menyebabkan
pendekatan ini tidak banyak diminati oleh badan usaha.[12]
PJPK perlu mengumumkan dari awal tingkat diskonto (discount rate) yang akan
digunakan untuk mengevaluasi proposal yang diusulkan calon badan usaha.
Masalahnya adalah menentukan tingkat diskonto yang tepat untuk mendapatkan nilai
PV pendapatan sementara tingkat diskonto sendiri berkaitan dengan risiko. Semakin
rendah tingkat diskonto, semakin tinggi risiko yang harus ditanggung.[12]
Hal lain
adalah struktur pembayaran tol bayangan. Bila badan usaha memberi bobot lebih besar
untuk ban bawah yang lebih konservatif, risiko yang ditanggung PJPK lebih besar
dibandingkan bila badan usaha membagi relatif rata bobot untuk semua ban.[13]
Untuk
isu-isu tersebut perlu kajian yang lebih mendalam sebelum MST diaplikasikan.
5. KESIMPULAN
Tulisan ini menawarkan sebuah alternatif pengusahaan jalan tol menggunakan konsep
infrastrukur borongan untuk jalan tol yang sebenarnya berkarakter sebagai infrastruktur
ritel. Pada model yang diusulkan, badan usaha jalan tol memperoleh pendapatan
dengan menjual layanannya ke PJPK menggunakan desain tarif dan realisasi volume
lalulintas. Desain tarif diusulkan memanfaatkan model tol bayangan di mana tarif tidak
diset rata melainkan mengikuti volume lalulintas. Model ini memungkinkan alokasi
risiko yang lebih seimbang antara PJPK dan badan usaha. Skim penjaminan pemerintah
juga bisa diaplikasikan untuk memberikan proteksi badan usaha atas risiko wanprestasi
pembayaran oleh PJPK. Tulisan ini juga mendiskusikan tiga isu tentang perluasan tugas
dan fungsi BLU Bidang Pendanaan Sekretariat BPJT, struktur pembayaran tol
bayangan, dan penentuan tingkat diskonto untuk mengevaluasi proposal calon badan
usaha untuk MST bisa diaplikasikan di sektor jalan tol nasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pengatur Jalan Tol (2013) Progres Pembangunan <www.bpjt.net>
(diakses 25 Januari 2013)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 16
2. Engel E, Fischer R, and Galetovic A (2001) Least Present Value of Revenue
Auctions and Highway Franchising. Journal of Political Economy, 109(5), 993-
1020.
3. Flyvbjerg B, Holm M K S and Buhl S L (2005) How (In)accurate Are Demand
Forecasts in Public Work Projects? Journal of the American Planning Association,
71(2), 131-146.
4. Flyvbjerg B, Holm M K S and Buhl S L (2006) Inacccuracy in Traffic Forecasts.
Transport Reviews, 26(1), 1-24.
5. Bain R (2009) Error and Optimism Bias. Transportation, 36, 469-482.
6. Kerf M et al. (1998) Concessions for Infrastructure: A Guide to Their Design and
Award. Washington, D.C.: World Bank.
7. Estache A, Juan E and Trujillo L (2007) Public-Private Partnerships in Transport.
Washington, D.C.: World Bank.
8. Workshop on Economic Cooperation in Central Asia and Asian Development
Bank (1999) Challenges and Opportunities in Transportation. Manila: Asian
Development Bank.
9. Lovei L (2000) The Single-Buyer Model. Public Policy for the Private Sector
<www.worldbank.org/html/fpd/notes> (diakses 24 Januari 2013).
10. Yescombe E R (2007) Public-Private Partnerships: Principles of Policy and
Finance, Oxford: Butterworth-Heinemann.
11. Charoenpornpattana A, Minato T and Nakahama S (2003) Government Supports as
Bundle of Real Options in Built-Operate-Transfer
<http://www.realoptions.org/papers2003/CharoenMinatoNakahama.pdf.> (diakses
24 Januari 2013).
12. Vassallo J M (2010) The Role of Discount Rate in Tendering Highway
Concessions under the LPRV Approach. Transportation Research Part A: Policy
and Practice, 44, 806-814.
13. Reddel P (2004) Payment Mechanisms Issue Paper
<wwwhttp://www.ppiaf.org/sites/ppiaf.org/files/documents/toolkits/highwaystoolk
it/6/bibliography/pdf/payment_mechanisms.pdf> (diakses 25 Januari 2013).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 17
ANALISIS RISIKO PADA PELAKSANAAN
PROYEK FLY-OVER PASAR KEMBANG SURABAYA
Cahyono Bintang Nurcahyoi, M. Arif Rohman
2 dan Bernadus Bayu Baskoro
3
1,2,3
Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp
031-5939925, email: cbintangn@yahoo.com
ABSTRAK
Proyek konstruksi merupakan proyek yang memiliki banyak ketidakpastian dan risiko. Diperlukan
sebuah pendekatan manajemen risiko untuk mengetahui dan mengendalikan risiko yang mungkin akan
terjadi. Salah satu tahap terpenting dari manajemen risiko ialah analisis risiko yang bertujuan untuk
mengetahui risiko-risiko yang signifikan terhadap proyek tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan
analisis risiko pada Proyek Pembangunan Fly-Over Pasar Kembang Surabaya. Tahapan penelitan ini
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu identifikasi risiko, analisis risiko dan respon risiko. Identifikasi
adalah tahap mencari variabel-variabel risiko yang relevan pada proyek. Analisis risiko adalah proses
mencari beberapa risiko yang signifikan pada aspek waktu maupun aspek biaya. Metode yang digunakan
dalam analisis risiko adalah Severity Index dan Matriks Probabilitas-Dampak. Tahap terakhir adalah
menentukan respon risiko terhadap risiko yang signifikan. Respon risiko diperoleh dengan melakukan
wawancara terstruktur dengan para responden yaitu personel kontraktor yang menangani proyek
pembangunan Fly-Over Pasar Kembang Surabaya ini. Berdasarkan hasil analisis risiko didapatkan 5
macam variabel risiko yang signifikan terhadap aspek waktu, yaitu kerusakan peralatan, kemacetan pada
lalu lintas, kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kendala saat pengeboran, dan kebisingan saat
pemancangan. Sedangkan 6 variabel risiko yang signifikan terhadap aspek biaya, yaitu kerusakan
lingkungan sekitar akibat proyek, kerusakan peralatan, keterlambatan pengiriman material, kerusakan
material hotmix saat pengiriman, kerusakan material saat pengiriman dan kendala saat pengeboran.
Secara umum, kontraktor cenderung mengambil respon mengurangi dan mengalihkan risiko yang
signifikan, baik terhadap aspek waktu ataupun aspek biaya.
Kata kunci: analisis risiko, Fly-Over Pasar Kembang, severity index, matriks probabilitas-dampak.
1. PENDAHULUAN
Risiko merupakan suatu sebab dan akibat yang mengiringi perjalanan baik buruknya
suatu pekerjaan proyek. Dalam setiap detail pekerjaan proyek pembangunan maka akan
ada risiko baik besar maupun kecil yang terdapat didalamnya. Hal ini harus
diperhatikan dan diperhitungkan oleh tim manajemen risiko terlebih dahulu untuk
menghindari membengkaknya biaya pelaksanaan proyek dan kerugian yang didapat.
Proyek Pembangunan Fly-Over Pasar Kembang merupakan proyek skala menengah
yang tidak luput dari berbagai risiko. Kesalahan dalam penanganan risiko akan
menyebabkan kerugian cukup besar. Pembangunan proyek Fly-Over Pasar Kembang
Surabaya ini bernilai Rp. 122.990.000.000,00 (Seratus Dua Puluh Dua Miliar Sembilan
Ratus Sembilan Puluh Juta Rupiah) termasuk PPN 10%. Proyek ini dikerjakan oleh tiga
kontraktor dengan menggunakan sistem joint operation atau kerjasama operasi, yaitu
PT. Pembangunan Perumahan, PT. Gorip Nanda Putra dan PT Bangkit Lestari Jaya.
Dalam penerapan joint operation, maka ketiga kontraktor tersebut menjadi satu
organisasi dalam pelaksanaan proyek. Pada bulan September 2012 pelaksanaan proyek
telah mencapai sekitar 20%, yaitu mencapai pekerjaan pondasi pier head. Beberapa
kendala sudah terjadi sampai tahap ini diantaranya terhentinya proyek akibat sengketa
penggunaan lahan dengan PT KAI. Kemacetan di lokasi proyek juga turut menghambat
hampir semua tahap pelaksanaan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 18
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan manajemen risiko untuk
mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi. Salah satu proses terpenting dari
manajemen risiko adalah identifikasi risiko. Proses ini merupakan proses menentukan
risiko-risiko mana yang mungkin akan memberikan efek terhadap proyek serta
mendokumentasikan risiko-risiko yang telah teridentifikasi tersebut [1]. Proses ini
dikatakan penting karena pada bagian proses inilah semua risiko yang berpotensi terjadi
akan dapat diketahui untuk selanjutnya dilakukan tindakan lebih lanjut. Pada proses ini
semua risiko yang mungkin terjadi harus terdata dan tidak boleh ada yang tertinggal,
karena jika ini terjadi tidak ada yang bisa memastikan bahwa nantinya risiko yang
belum terdata tadi dapat terjadi dan belum ada kesiapan penanganannya. Dan dilakukan
analisis untuk mengetahui seberapa potensial risiko-risiko tersebut dalam
mempengaruhi tercapainya sasaran kegiatan dan selanjutnya dilakukan respon pada
risiko tersebut.
2. METODOLOGI
Tahapan awal adalah identifikasi variabel risiko. Variabel risiko diperoleh dari studi
pustaka, yang kemudian digunakan pada survei pendahuluan kepada para responden
terpilih, untuk mengetahui relevansi dari risiko. Selain itu, survei pendahuluan juga
bertujuan untuk menambahkan risiko lain yang sesuai kondisi lapangan, yang belum
muncul dari studi pustaka.
Hasil dari survei pendahuluan akan digunakan pada survei utama. Pada survei utama,
responden diberi pertanyaan melalui kuesioner mengenai tingkat probabilitas dan
dampak yang terjadi pada suatu risiko menurut pandangan responden.
Langkah selanjutnya adalah menganalisis data hasil dari survei utama untuk
mengetahui tingkat probabilitas dan dampak terjadinya risiko terhadap kelangsungan
proyek. Hasil analisis diatas akan dipetakan ke dalam matriks probabilitas-dampak
untuk mengetahui tingkat risiko, terhadap aspek waktu maupun aspek biaya.
Untuk mengetahui bagaimana respon yang ditentukan pada suatu risiko dilakukan
wawancara terhadap beberapa responden yang telah dipilih sebelumya. Adapun cara-
cara penanganan risiko terdiri dari beberapa cara, yaitu risk retention (menerima
risiko), risk avoidance (menghindari risiko), risk mitigation (mengurangi risiko) dan
risk transfer (mengalihkan risiko). [2]
3. ANALISIS
A. Identifikasi Risiko
Hasil identifikasi risiko yang didapat dari beberapa literatur, dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1: Identifikasi Risiko Awal
Variabel Risiko Sumber literatur
1 2 3 4 5 6 7
A. Risiko Alam
- Pekerjaan terhambat kondisi cuaca hujan - Terjadi genangan air di sekitar lokasi ptoyek
B. Risiko Tenaga Kerja
- Kurangnya tenaga kerja terampil - -
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 19
- Produktivitas tenaga kerja kurang - C. Risiko Kecelakaan Kerja
- Pekerja terjatuh dari ketinggian - - Pekerja tertimpa material - - Pekerja terbentur alat berat -
D. Risiko Material dan Peralatan
- Kesulitan mendatangkan peralatan - - - Kerusakan peralatan - - - - Pencurian alat dan material - - Kualitas material tidak sesuai spesifikasi - - - - Kerusakan material saat penyimpanan - - - Kerusakan material saat pengiriman - - - Keterlambatan pengiriman material - - - Kerusakan material hotmix saat pengiriman - -
E. Risiko Teknis
- Pekerjaan tidak memenuhi spesifikasi - - Kesalahan saat pemasangan pracetak U-Ditch - - - - Ketidaksempurnaan hasil pekerjaan karena tidak
sesuai JMF (Job Mixing Formula)
- -
- Terjadi penurunan permukaan karena lapis pondasi
agregat tidak memenuhi spesifikasi
-
- Terjadi keruntuhan pada struktur - - - Keterlambatan pelaksanaan pemancangan - - - Kendala saat pengeboran - - - -
F. Risiko Sosial dan Lingkungan
- Demo protes dari warga - - - - Kemacetan lalu lintas - - - - -
- Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek - - -
- Kebisingan saat pemancangan - - - - -
Keterangan :
1 = Kartam and Kartam, 2001 [3] ; 2 = Han and Diekmann, 2001 [4] ; 3 = Mulholland and Christian,
1999 [5] ; 4 = Kangari, 1995 [6] ; 5 = Charoenngam and Yeh, 1999 [7] ; 6 = Zhi,1995 [8] ; 7 = Hastak &
Shaked, 2000 [9]
B. Responden Penelitian
Pemilihan responden dalam penelitian ini didasarkan atas kompetensi responden pada
bidangnya. Responden dari penelitian ini adalah Project Manager, Site Engineer
Manager, Site Operations Manager, Quality Control, Logistik, Quantity Survey, Cost
Control dan Pelaksana.
Informasi profil responden berupa jenjang pendidikan dan pengalaman responden
dalam menangani proyek konstruksi, dapat dibaca pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 : Jenjang pendidikan responden Jenjang Pendidikan Jumlah %
S1 3 30
D3 4 40
SMA / Sederajat 3 30
Tabel 3 : Pengalaman responden Jumlah Proyek Yang Pernah Dikerjakan Jumlah %
< 5 proyek 2 20
6 - 10 proyek 3 30
11 -15 proyek 3 30
16 - 20 proyek 1 10
>20 proyek 1 10
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 20
C. Relevansi Variabel Risiko
Penentuan relevansi variabel risiko dilakukan melalui analisis sederhana. Apabila
terdapat satu responden saja yang menyatakan risiko tersebut relevan, maka risiko
tersebut dinyatakan relevan. Dalam penelitian ini, semua risiko yang telah diidentifikasi
dinyatakan relevan.
D. Analisis Variabel Risiko
Survei utama dilakukan melalui instrumen kuesioner kepada responden. Survei tersebut
menggunakan variabel-variabel yang relevan dari hasil survei pendahuluan, yang
diterapkan pada setiap tahapan pelaksanaan proyek.
Analisis variabel risiko dilakukan untuk menganalisis survey utama. Analisis dilakukan
terhadap penilaian probabilitas risiko dan dampak risiko terhadap aspek waktu maupun
aspek biaya. Analisis menggunakan metode Severity Index (SI) menggunakan
Persamaan 1 berikut. [10]
%100
44
0
4
0
ii
iii
x
xa
SI
...………………………………………...……………………………(1)
dimana, ai = konstanta penilaian ; xi = probabilitas responden ; i = 0, 1, 2, 3, 4, ..., n ; x0, x1, x2, x3, x4,
adalah respon probabilitas responden ; a0 = 0, a1 = 1, a2 = 2, a3= 3, a4 = 4 ; x0 = probabilitas responden
‘sangat rendah’ dari survei ; x1= probabilitas responden ‘rendah’ dari survei ; x2 = probabilitas responden
‘cukup’ dari survei ; x3 = probabilitas responden ‘tinggi/besar’ dari survei ; x4 = probabilitas responden
‘sangat tinggi’ dari survei
Untuk keterangan skala penilaian probabilitas, skala dampak pada aspek waktu dan
aspek biaya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 : Skala Penilaian Probabilitas, Dampak Terhadap Waktu dan Biaya
Skala
Probabilitas (%)
Dampak
tambahan waktu
(dalam hari)
tambahan biaya
(dalam Rp)
Sangat Rendah (SR) ≤ 20 ≤ 1 ≤ 10 juta
Rendah (R) > 20 – 40 > 1 – 7 > 10 - 25 juta
Cukup (C) > 40 – 60 > 7 – 14 > 25 - 50 juta
Tinggi (T) > 60 – 80 > 14 – 21 > 50 - 100 juta
Sangat Tinggi (ST) > 80 – 100 > 21 – 28 > 100 juta
Dari kuesioner utama didapat penilaian responden terhadap probabilitas terjadinya
variabel risiko pekerjaan terhambat kondisi cuaca hujan pada tahap mobilitas utilitas
jaringan, kabel Telkom, kabel PLN, traffic light, PDAM pipa gas, CCTV. 2 responden
menyatakan bahwa probabilitas terjadinya sangat rendah, 4 responden menyatakan
bahwa probabilitas terjadinya rendah, 3 responden menyatakan bahwa probabilitas
terjadinya cukup atau sedang, dan 1 responden menyatakan bahwa probabilitas
terjadinya risiko tersebut tinggi. Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:
%5,32%100)10(4
))04()13()32()41()20((
x
xxxxxSI
Dari perhitungan menggunakan rumus, didapatkan nilai SI bernilai 32,5%. Adapun,
klasifikasi dari skala penilaian pada probabilitas dan dampak pada perhitungan severity
index adalah: [11]
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 21
1. Sangat Rendah / Kecil (SR/SK) 0.00 ≤ SI < 12.5
2. Rendah / Kecil (R/K) 12.5 ≤ SI < 37.5
3. Cukup/ Sedang (C) 37.5 ≤ SI < 62.5
4. Tinggi / Besar (T/B) 62.5 ≤ SI < 87.5
5. Sangat Tinggi / Besar (ST/SB) 87.5 ≤ SI < 100
E. Perhitungan Tingkat Risiko
Sebelum melakukan analisis nilai risiko, kategori risiko (probabilitas dan dampak) yang
telah didapat sebelumnya, dapat dikonversikan dalam bentuk angka, sebagai berikut:
Sangat Rendah / Very Low SR / VL = 1
Rendah / Low R / L = 2
Cukup / Medium C / M = 3
Tinggi / High T / H = 4
Sangat Tinggi / Very High ST / VH = 5
Setelah mendapatkan kategori probabilitas dan dampak, maka dapat dilakukan analisis
nilai risiko dengan melakukan pemetaan pada tiga matriks probabilitas-dampak, seperti
terlihat pada gambar 1.
Matriks I Matriks II Matriks III
PMBOK Guide by PMI Risk Assessment and
Allocation
for Highway Construction
Management
JISC
Gambar 1: Matriks probabilitas-dampak
Penggunaan tiga skenario matriks probabilitas-dampak tersebut, selain bertujuan untuk
mendapatkan hasil tingkat risiko yang bervariasi, juga untuk memilih yang lebih sesuai
dengan kondisi di lapangan.
F. Risiko Yang Berdampak Signifikan
Dari hasil analisis, diambil variabel-variabel risiko yang memiliki kategori tinggi pada
aspek waktu dan aspek biaya. Terdapat tiga macam skenario yang didapat dari tiga
hasil pemetaan dimana risiko dominan tersebut akan dikonsultasikan kepada responden
dari pihak kontraktor. Selanjutnya responden akan memilih salah satu skenario tingkat
risiko yang paling sesuai dengan kondisi lapangan. Dalam penelitian ini responden
menentukan bahwa hasil pemetaan pada matriks III adalah yang paling mendekati
kondisi riil di lapangan.
Risiko signifikan terhadap aspek waktu pada tiap tahap pelaksanaan, dapat dilihat pada
tabel 5. Sedangkan risiko signifikan terhadap aspek biaya pada tiap tahap pelaksanaan,
dijelaskan pada tabel 6.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 22
Tabel 5 : Risiko signifikan terhadap aspek waktu pada tiap tahap pelaksanaan Kode Variabel Risiko P I R (P,I)
A. Mobilisasi Utilitas Jaringan, Kabel Telkom, Kabel PLN, Traffic Light, PDAM, Pipa Gas, dll
9 Kerusakan peralatan 3 3 T
12 Kemacetan lalu lintas 4 3 T
13 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T
B. Pekerjaan Saluran Drainase Pracetak U-Ditch
19 Kerusakan peralatan 3 3 T
27 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T
28 Kemacetan lalu lintas 3 3 T
C. Pekerjaan Pengaspalan
36 Kerusakan peralatan 3 3 T
42 Kemacetan lalu lintas 3 3 T
D. Pekerjaan Pemancangan dan Pengeboran Pondasi
52 Kerusakan peralatan 3 3 T
59 Kendala saat pengeboran 3 3 T
61 Kebisingan saat pemancangan 3 3 T
E. Pekerjaan Struktur
70 Kerusakan peralatan 3 3 T
78 Kemacetan lalu linat 3 3 T
Tabel 6 : Risiko signifikan terhadap aspek biaya pada tiap tahap pelaksanaan Kode Variabel Risiko P I R (P,I)
A. Mobilisasi Utilitas Jaringan, Kabel Telkom, Kabel PLN, Traffic Light, PDAM, Pipa Gas, dll
9 Kerusakan peralatan 3 3 T
13 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T
B. Pekerjaan Saluran Drainase Pracetak U-Ditch
19 Kerusakan peralatan 3 3 T
23 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T
27 Kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek 3 3 T
C. Pekerjaan Pengaspalan
36 Kerusakan peralatan 3 3 T
38 Kerusakan material hotmix saat pengiriman 2 4 T
39 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T
D. Pekerjaan Pemancangan dan Pengeboran Pondasi
52 Kerusakan peralatan 3 3 T
55 Kerusakan material saat pengiriman 2 4 T
56 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T
59 Kendala saat pengeboran 3 3 T
E. Pekerjaan Struktur
70 Kerusakan peralatan 3 3 T
74 Keterlambatan pengiriman material 3 3 T
G. Respon Terhadap Risiko Yang Signifikan
Pada penelitian ini, respon risiko hanya dilakukan pada risiko yang berkategori tinggi.
Respon risiko tersebut diperoleh melalui survei ketiga berupa wawancara dengan
responden. Tabel 7 menjelaskan respon risiko terhadap aspek waktu, sedangkan tabel 8
memperlihatkan respon risiko terhadap aspek waktu.
Tabel 7 : Respon risiko terhadap aspek waktu No Variabel Risiko Respon Risiko
1 Kerusakan peralatan - Melakukan pemeriksaan awal terhadap alat berat
- Berkoordinasi dengan vendor penyedia alat berat
2 Kemacetan lalu lintas - Berkoordinasi dengan pihak terkait
- Melakukan manajemen lalu lintas
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 23
3 Kerusakan lingkungan sekitar akibat
proyek
- Melakukan sosialisasi kepada warga dan pengguna jalan
- Menerapkan S.H.E Management
4 Kendala saat pengeboran - Memastikan alat dalam kondisi baik
- Opsi alat pengganti yang lebih baik
5 Kebisingan saat pemancangan Melakukan penjadwalan yang lebih baik
Tabel 8 : Respon risiko terhadap aspek biaya No Variabel Risiko Respon Risiko
1 Kerusakan peralatan - Melakukan pemeriksaan awal terhadap alat berat
- Berkoordinasi dengan vendor penyedia alat berat
2 Kerusakan lingkungan sekitar akibat
proyek
- Melakukan sosialisasi kepada warga dan pengguna jalan
- Menerapkan S.H.E Management
3 Keterlambatan pengiriman material - Mengatur ulang jadwal pengiriman
- Menambah vendor material
4 Kerusakan material hotmix saat
pengiriman
- Melengkapi truk pengangkut dengan penutup
- Mengatur ulang jadwal pengiriman
5 Kerusakan material saat pengiriman Memastikan kontrak bahwa kualitas material adalah
tanggung jawab vendor
6 Kendala saat pengeboran - Memastikan alat dalam kondisi baik
- Opsi alat pengganti yang lebih baik
4. KESIMPULAN
Risiko yang signifikan terhadap aspek waktu adalah kerusakan peralatan, kemacetan
pada lalu lintas, kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kendala saat pengeboran,
dan kebisingan saat pemancangan. Sedangkan risiko-risiko yang signifikan terhadap
aspek biaya adalah kerusakan lingkungan sekitar akibat proyek, kerusakan peralatan,
keterlambatan pengiriman material, kerusakan material hotmix saat pengiriman,
kerusakan material saat pengiriman dan kendala saat pengeboran
Ada beberapa variasi respon kontraktor terhadap risiko. Secara umum, kontraktor
cenderung mengambil respon mengurangi dan mengalihkan risiko yang signifikan, baik
terhadap aspek waktu ataupun aspek biaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. PMI (2008) A Guide to the Project Management Of Body Knowledge (PMBOK
Guide) 4th
edition. USA : Project Management Institute.
2. Kezner, Harold (2001) Project Management 7th
edition. New York : John Wiley &
Sons, Inc.
3. Kartam, N A and Kartam, S A (2001) Risk and Its Management in The Kuwaiti
Construction Industry : A contractors' perspective. International Journal of Project
Management, 19(6), 325-335.
4. Han, S H and Diekmann, J E (2001) Making A Risk-based Bid Decision for
Overseas Construction Projects. Construction Management and Economics, 19(8),
765-776.
5. Mulholland, B and Christian, J (1999) Risk Assessment in Construction Schedules.
Journal of Construction Engineering and Management, 125(1), 8-15.
6. Kangari, R (1995) Risk Management Perceptions and Trends of US Construction.
Journal of Construction Engineering and Management-Asce, 121(4), 422-429.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 24
7. Charoenngam, C and Yeh, C-Y (1999) Contractual Risk and Liability Sharing in
Hydropower Construction. International Journal of Project Management, 17(1), 29-
37.
8. Zhi, H (1995) Risk Management for Overseas Construction Projects. International
Journal of Project Management, 13(4), 231-237.
9. Hastak, M and Shaked, A (2000) Icram-1: Model for International Construction
Risk Assessment. Journal of Management in Engineering, 16(1), 59-69.
10. Al Hammad, A.M. (2000) Common Interface Problems among Various
Construction Parties. Journal Performance Construction Facilities.
11. Abd.Majid, M.Z. and McCaffer, R. (1997) Assessment of Work Performance of
Maintenance Contractors in Saudi Arabia. Journal of Management in Engineering.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 25
PENENTUAN HARGA PRODUK PERUMAHAN
(WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO)
Lila Ayu Ratna Winanda
1, Ripkianto
2 dan Ekky Cahya Ramadhan
3
1Dosen Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Malang
email: lilawinanda@gmail.com 2Dosen Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Malang
email: ripki_luthor42@yahoo.co.id 3Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional Malang
email: eqi_5168@yahoo.com
ABSTRAK
Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu kabupaten yang perkembangan penduduknya begitu
pesat, sangat berpengaruh pada kondisi ekonomi dan pendapatan masyarakatnya. Hal ini sangat
berdampak terhadap permintaan masyarakat akan hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman
berupa perumahan. Tingginya permintaan masyarakat Sidoarjo terhadap hunian atau sebagai tempat
kegiatan yang nyaman, menuntut masyarakat untuk menentukan harga, lokasi dan tipe rumah yang sesuai
dengan jenis pekerjaan dan daya beli masyarakat.
Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara dan kuisioner terhadap masyarakat
sidoarjo dan sebelum dilakukan analisa deskriptif terhadap data perlu adanya validitas terhadap data
primer. Data sekunder adalah berupa harga satuan upah dan bahan untuk wilayah Kabupaten Sidoarjo,
Perda izin mendirikan bangunan dan hasil penelitian terdahulu. Metode analisa kelayakan investasi
perumahan baru wilayah Kabupaten Sidoarjo ini adalah Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of
Return (IRR).
Hasil analisa data yang didapatkan menurut minat konsumen adalah produk perumahan baru di
Kecamatan Krian dengan daya beli masyarakat untuk rumah tipe 36 dengan harga 150 juta dan angsuran
sebesar 1,5 – 2 juta. Dari analisa kelayakan investasi untuk perumahan baru yang akan dibangun
menggunakan metode Net Present Value (NPV) didapat nilai NPV = Rp. 35,879,305.27 dan bernilai
positif, maka pembangunan perumahan layak untuk dilaksanakan. Dari metode Internal Rate of Return
(IRR) didapatkan nilai IRR = 15,01793 % yang artinya pembangunan perumahan tersebut bernilai > 12
% ( tingkat suku bunga ), maka pembangunan perumahan layak untuk dilaksanakan. Harga untuk produk
perumahan adalah Rp. 224,920,660.26 dan dari perhitungan Capital Recovery untuk menghitung
didapatkan nilai angsuran sebesar Rp. 1,481,986.55 untuk masa angsuran selama 15 tahun.
Kata kunci: produk perumahan, harga produk, sidoarjo
1. LATAR BELAKANG
Kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat luas semakin hari semakin
meningkat sehingga berbagai upaya dan inovasi dilakukan oleh pemerintah maupun
oleh pengembang dalam upaya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat yang
terjangkau. Dewasa ini masyarakat membutuhkan perumahan yang dapat dijangkau
dengan tingkat pendapatan dan juga pemenuhan kebutuhan yang lain sehingga apabila
disediakan banyak perumahan tidak selamanya mampu memenuhi kebutuhan karena
harga yang cukup tinggi sehingga masyakarat sulit untuk membelinya.
Kota Sidoarjo merupakan kota dengan sektor industry yang berkembang cukup
pesat dikarenakan lokasinya berdekatan dengan pusat bisnis yaitu Surabaya. Kota
Sidoarjo sebagai salah satu kota kabupaten yang perkembangannya penduduknya
begitu pesat berpengaruh pada kondisi ekonomi atau pendapatan dari tahun ke tahun
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 26
yang semakin meningkat sehingga berpengaruh terhadap permintaan masyarakat
terhadap hunian atau sebagai tempat kegiatan yang nyaman berupa perumahan. Dengan
tingginya permintaan masyarakat sidoarjo terhadap hunian atau sebagai tempat
kegiatan yang nyaman berupa perumahan, menuntut masyarakat menentukan harga,
lokasi, dan tipe rumah yang sesuai dengan, jenis pekerjaan, kemampuan beli
masyarakat maupun, tingkat kenyamanan serta, akses jalan sehingga kebutuhan
masyarakat akan hunian yang nyaman dapat diwujudkan atau direncanakan. Selain
untuk memenuhi permintaan masyarakat sidoarjo, perumahan yang direncanakan
diharapkan juga dapat memenuhi kriteria kelayakan bagi pengembangnya.
2. KAJIAN PUSTAKA
Perumahan
Sesuai dengan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
Republik Indonesia No 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan
Rumah Sehat terdapat beberapa pengertian yang terkait dengan perumahan, yaitu:
a. Rumah
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. Rumah sebagai tempat membina keluarga, tempat berlindung dari iklim
dan tempat menjaga kesehatan keluarga.
b. Perumahan
Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
c. Standar dan Ketentuan Perumahan :
Sebagai wadah kehidupan manusia, rumah dituntut untuk dapat memberikan
sebuah lingkungan binaan yang aman, sehat dan nyaman. Untuk itulah Pemerintah
dengan wewenang yang dimilikinya memberikan arahan, standar peraturan dan
ketentuan yang harus diwujudkan oleh pihak pengembang.Pembangunan perumahan
dapat dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Sesuai dengan UU No 4
Tahun 1992, selain membangun unit rumah, pengembang juga diwajibkan untuk :
a. Membangun jaringan prasarana lingkungan rumah mendahului pembangunan
rumah, memelihara dan mengelolanya sampai pengesahan dan penyerahan
kepada Pemerintah Daerah.
b. Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum.
c. Melakukan penghijauan lingkungan.
d. Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan.
Harga Jual Produk
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa harga adalah jumlah
uang atau alat tukar lain yang senilai, yang harus dibayarkan untuk produk atau jasa
pada waktu tertentu dan di pasar tertentu. Harga adalah satu-satunya unsur dalam
bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan penjualan. Pada perusahaan-
perusahaan besar, penetapan harga biasanya ditangani oleh manajer divisi atau lini
produk, akan tetapi pihak manajemen teras tetap menentukan tujuan dan kebijakan
umum mengenai harga jual, dan sering juga menyetujui usulan harga yang diajukan
oleh para manajernya (Philip Kotler 1998 : 120). Terdapat enam langkah pokok dalam
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 27
penetapan harga jual suatu produk yang dapat dilakukan oleh produsen (Philip Kotler
1998 : 162), yaitu dengan :
1. Penetapan tujuan pemasaran. Seperti misalnya bertahan hidup, maksimalisasi
keuntungan jangka pendek, unggul dalam pangsa pasar, atau unggul dalam
kualitas produk.
2. Penentuan kurva permintaan yang akan memperlihatkan jumlah produk yang
akan dibeli di pasar dalam waktu tertentu, pada berbagai tingkat harga. Makin
inelastis permintaan, makin mampu perusahaan menaik - turunkan harganya.
3. Perusahaan memperkirakan perilaku biaya pada berbagai tingkat produksi dan
perilaku biaya dalam kurva pengalamannya.
4. Perusahaan menguji dan mengambil harga - harga pesaing sebagai dasar
penetapan harga jualnya sendiri.
5. Perusahaan memilih salah satu dari berbagai metode harga, yaitu : cost plus,
analysis break even dan target profit, perceived value, going rate dan sealedbid
pricing.
Pemilihan Lokasi
Menurut Sudharto P.Hadi (2005:104) tahapan dalam pengembangan
permukiman secara garis besar dibagi ke dalam tahap perencanaan awal dan pada tahap
operasional (ketika permukiman telah mulai dihuni). Dilihat dari sisi lingkungan,
setidaknya ada dua persoalan yang muncul ketika letak pembangunan permukiman
telah diputuskan. Pertama, apakah daerah tersebut layak secara ekologis. Karena
banyak permukiman yang dibangun di daerah yang seharusnya menjadi daerah
konservasi seperti di daerah perbukitan atau daerah resapan air. Sehingga menimbulkan
banjir dan berkurangnya cadangan air tanah. Kedua, permukiman yang dibangun oleh
suatu badan usaha (real estate) hampir seluruhnya menempati daerah pinggiran kota.
Menurut Leaf (1995) kondisi ini dianggap memperburuk dampak lingkungan di
perkotaan. Karena menciptakan penghuni kota yang bergantung pada alat transportasi
kendaraan bermotor, terutama mobil. UU No 4 Tahun 1992 dan PP No 29 Tahun 1986
tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan merupakan salah satu sarana untuk
melakukan pencegahan terhadap suatu rencana kegiatan, misalnya proyek yang
mungkin dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Untuk mencapai maksud tersebut
diusahakan dengan cara sebagai berikut (Soeharto, Iman, 1996 : 371) :
a. Memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan lokasi proyek dan alam
di sekitarnya.
b. Mengelola penggunaan sumber daya secara bijaksana dengan merencanakan,
memantau, dan mengendalikan secara bijaksana.
c. Memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif.Dua
halpenting yang perlu diperhatikan sebagai dasar pertimbangan lokasi
(Surowiyono, Tutu TW, 2007:13) adalah kondisi lingkungan secara geografis
dan kondisi lingkungan menurut kebutuhan strategis.
Aliran Kas Proyek
Aliran kas proyek dikelompokkan menjadi tiga,yaitu aliran kas awal, aliran kas
periode operasi, dan aliran kas terminal.
- Aliran kas awal ( initial cash flow).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 28
Aliran kas awal adalah pengeluaran untuk merealisasi gagasan sampai menjadi
kenyataan fisik. Termasuk dalam initial cash flow adalah pengeluaran. Pengeluaran
kas untuk investasi pada awal periode.Misalnya pembayaran untuk tanah,
pembangunan gedung pabrik, pembelian peralatan, dan juga termasuk biaya –
biaya pendahuluan dan sebelum operasional termasuk penyiapan modal kerja.Initial
cash flow ini mungkin dapat terjadi tidak hanya pada awal investasi tapi dapat juga
terjadi beberapa kali sepanjang usia investasi.
- Aliran kas operasi (operasional cash flow).
Yaitu aliran kas yang timbul selama operasi proyek investasi yang bersangkutan.
Pada periode ini jumlah pendapatan dari hasil penjualan produk telah
melampaui pengeluaran biaya operasi dan produksi.
- Aliran kas terminal.
Yaitu aliran kas yang terjadi pada saat investasi berakhir. Aliran kas terminal
terdiri atas nilai sisa (salvage value ) dari asset dan pengembalian (recovery)
modal kerja.
- Kriteria Penilaian Investasi.
Telah diutarakan sebelumnya, bahwa sebelum menyetujui usulan suatu proyek
(investasi), perlu dikaji klayakannya dari segala macam aspek. Langkah berikutnya
adalah menganalisis aliran kas tersebut dengan memakai metode dan criteria yang
telah dipakai secara luas untuk memilah – memilah mana yang dapat diterima dan
harus ditolak. Kriteria tersebut banyak berhubungan dengan disiplin ilmu
engineering diantaranya adalah konsep ekuivalen yaitu pengaruh waktu terhadap
nilai mata uang. Nilai waktu terhadap uang dari arus kas pada investasi yang
mencakup waktu yang lama dan bertahun-tahun, ini dirimuskan sebagai bunga (
interest ) atau tingkat/ arus pengembalian (rate of return ).
3. METODOLOGI PENELITIAN
Data dan Pengumpulan Data
Penentuan harga produk perumahan meninjau wilayah kabupaten Sidoarjo
dengan terlebih dahulu mengetahui minat, daya beli dan lokasi masyarakat terhadap
produk baru perumahan. Variabel penelitian ini ternagi dalam variabel terikat dan
bebas. Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang menjadi
perhatian utama dalam sebuah pengamatan. Pengamat akan dapat memprediksi ataupun
menerangkan variabel dalam variabel terikat beserta perubahannya yang terjadi
kemudian. Variabel terikat beserta perubahannya yang terjadi kemudian. Variabel
terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keputusan pembelian. Sedangkan
variabel bebas (independent variable) adalah variabel dapat mempengaruhi perubahan
dalam variabel terikat dan mempunyai hubungan bagi variabel terikat nantinya.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah minat, daya beli dan lokasi.
Metode yang digunakan dalam penentuan harga produk perumahan ini adalah
pengolahan data primer dari hasil kuisioner dan wawancara serta data sekunder yang
merupakan sumber data pendukung penelitian yang membahas tentang variabel yang
mempengaruhi pemilihan terhadap hunian berupa perumahan yang nyaman menurut
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 29
masyarakat kabupaten sidoarjo yang nantinya juga akan dilakukan analisis investasi
terhadap bangunan yang akan dibangun.
Analisa Data Pendahuluan
Langkah awal yang dilakukan dalam dalam penelitian ini adalah menentukan
minat konsumen terhadap pembelian perumahan di wilayah Sidoarjo. Dalam analisis
data statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram,
persentase, frekuensi, perhitungan mean, median atau modus. Analisa disini dilakukan
dengan mendeskripsikan minat konsumen dengan melakukan perhitungan mean
terhadap data minat konsumen yang telah diperoleh dari pengumpulan data dari sampel
dan disajikan melalui tabel, grafik, prosentase dan diagram.
Analisa Daya Beli Konsumen disini dilakukan untuk menganalisa daya beli
masyarakat Sidoarjo terhadap tipe sebuah produk perumahan, harga produk, serta
kemampuan cicilan masyarakat terhadap tipe produk perumahan yang telah dipillih.
Analisa yang dilakukan adalah analisa deskriptif dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul dan didapatkan dari sampel dengan
disajikan melalui tabel, dan prosentase dengan melakukan perhitungan mean atau rata –
rata dari data terlebih dahulu.
Analisa Kelayakan Investasi
Sebelum menyetujui usulan suatu proyek ( investasi ), perlu dikaji
kelayakannya dari beberapa aspek. Langkah awal adalah dengan menganalisa aliran kas
proyek yang direncanakan dengan memakai metode yang telah dipakai secara luas
untuk memilah – milah mana yang dapat diterima atau ditolak, yang nantinya dapat
dipakai sebagai acuan dalam melakukananalisa kelayakan investasi. Analisa kelayakan
investasi dalam aspek kelayakan financial dipandang sebagai salah satu langkah awal
yang mengharuskan obyektifitas perhitungan – perhitungan yang dimaterialkan berupa
uang. Agar didapatkan akurasi tepat maka setiap perumusan maupun dasar perhitungan
harus dilakukan secara teoritis. Agar didapatkan akurasi yang tepat maka setiap
perumusan maupun dasar perhitungan harus dilakukan secara teoritis. Hal ini dilakukan
agar tergali teori – teori yang konsisten dengan perhitungan teknis terhadap
pengambilan keputusan investasi. Metode analisa kelayakan investasi yang digunakan
dalam perspektif perhitungan ekonomi teknik disini adalah Metode Net Present Value
(NPV) dan Internal Rate of Return ( IRR ).
Harga Produk Perumahan
Harga Produk Perumahan disini adalah hasil yang ingin dicapai dan diketahui
setelah dilakukannya analisa terhadap aliran kas proyek yang direncanakan, dan analisa
kelayakan investasi terhadap proyek perumahan yang telah direncanakan. Dari
beberapa aspek analisa yang telah disebut dan dilakukan, kita dapat mengetahui berapa
harga sebuah produk perumahan, dan apakah harga sebuah produk perumahan yang
telah ditentukan sesuai dengan minat dan daya beli masyarakat kabupaten Sidoarjo.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 30
4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Analisa Deskriptif Untuk Minat Konsumen
Dari hasil kuisioner yang telah dilakukan terhadap warga perumahan Sidoarjo
dengan diambil sampel secara acak dari populasi masyarakat wilayah sidoarjo yaitu 50
responden, maka didapatkan data sebagai berikut :
a. Lokasi
Berdasarkan wawancara dan survey yang telah dilakukan, didapatkan beberapa
informasi mengenai kondisi dari beberapa Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang
merupakan lokasi survey untuk penentuan lokasi perumahan, antara lain:
1. Kecamatan Sedati
- Masih terdapat lahan kosong untuk pengembangan perumahan.
- Akses jalan masuk di beberapa perumahan di sekitar lokasi kurang mudah.
- Termasuk daerah tambak terluas di Sidoarjo.
- Kondisi lalu lintas jalan raya di sekitar lokasi padat.
- Kondisi air di daerah ini mulai payau.
2. Kecamatan Krian
- Daerah sekitar lokasi masih bersih.
- Lahan untuk pengembangan perumahan masih luas.
- Jauh dari lokasi lumpur lapindo.
- Kondisi air bersih.
- Lokasi dekat dan akses lebih mudah menuju Kota Surabaya.
- Harga rumah relatif lebih murah dibandingkan daerah lain dengan bentuk,
desain dan ukuran bangunan yang tidak jauh berbeda dengan perumahan di
lokasi lain.
- Prioritas warga yang bekerja di Kota Surabaya memilih rumah di Kecamatan
Krian daripada di Kota Surabaya disebabkan oleh perbedaan harga yang tinggi.
3. Kecamatan Kahuripan
- Lokasi di tengah kota, dekat dengan jalan TOL.
- Posisi jauh dari lokasi Lumpur Lapindo.
- Lahan untuk pengembangan perumahan sedikit.
- Kondisi sosial lokasi yang kurang begitu baik.
4. Kecamatan Gedangan
- Lokasi jauh dengan Lumpur Lapindo.
- Salah satu daerah industry di Sidoarjo.
- Dekat dengan pusat kota.
- Lahan untuk pengembangan perumahan masih luas.
- Kondisi lalu lintas pada sangat padat.
- Kondisi air mulai kurang bersih.
5. Kecamatan Buduran
- Sangat dekat dengan pusat kota.
- Kondisi lalu lintas atau akses jalan padat.
- Kondisi air tanah kurang bersih.
- Lahan untuk pengambangan perumahan masih tersedia.
6. Kecamatan Tulangan
- Lahan untuk pengembangan perumahan masih sangat luas.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 31
- Lokasi cukup dekat dengan Lumpur Lapindo.
- Untuk pengembangan perumahan kurang begitu bagus dikarenakan jalan.
- Akses masuk ke Kecamatan tersebut kurang mudah.
7. Kecamatan Waru
- Akses jalan mudah dan sangat dekat dengan kota Surabaya.
- Jauh dari pusat kota Sidoarjo.
- Perbedaan harga yang tinggi untuk sebuah produk perumahan di lokasi ini
dibandingkan kecamatan lain.
8. Kecamatan Tarik
- Lokasi jauh dari Lumpur Lapindo.
- Akses jalan menuju lokasi Kecamatan Tarik kurang mudah.
- Jauh dari pusat kota.
- Daerah ini dirasa kurang maju dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten
Sidoarjo.
b. Alasan Pemilihan Lokasi
Untuk minat konsumen terhadap alasan pemilihan lokasi rata - rata adalah karena
kedekatan dengan pusat kota, tempat kerja dan beraktifitas dengan prosentase 66%
dengan responden sebanyak 33 orang.
Fasilitas tambahan disini juga diberikan untuk melengkapi perumahan yang
direncanakan, sesuai data dari kuisioner fasilitas tambahan yang diinginkan oleh
responden untuk sebuah perumahan adalah taman/taman bermain dengan prosentase
38% dengan responden sebanyak 19 orang yang memilih.
B. Analisa Daya Beli Konsumen
a. Tipe dan Harga Produk Perumahan
Untuk tipe dan harga produk perumahan, rata – rata daya beli warga Kabupaten
Sidoarjo terhadap produk perumahan dengan prosentase responden 68% dengan jumlah
responden 34 orang adalah pada Tipe rumah 36 dengan harga 150 juta.Untuk desain
rumah juga sebelumnya warga terlebih dahulu mengevaluasi sebelum menentukan
untuk memilih rumah, dan desain rumah yang rata – rata diminati untuk perumahan di
wilayah kabupaten sidoarjo adalah desain rumah yang dilengkapi carport, 2 kamar tidur
dan tinggi plafond 4 meter.
b. Cicilan Perbulan
Untuk cicilan perbulan yang warga Kabupaten Sidoarjo sanggupi atau inginkan
sesuai dengan jenis pekerjaan adalah cicilan 1,5–2 juta perbulan untuk sebuah peroduk
perumahan menengah. Sesuai data dari kuisioner didapatkan rata – rata 88% atau 44
orang dari jumlah responden memilih cicilan perbulan 1,5–2 juta karena menyesuaikan
dengan pendapatan dan kemampuan mereka untuk cicilan perbulannya.
Pemilihan cicilan untuk sebuah produk perumahan yang responden pilih disini
sangat dipengaruhi oleh kesesuaian dengan pendapatan warga atau sumber dari
pendapatan lain.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 32
C. Analisa Biaya
a. Modal Investasi dan Pembiayaan
Dalam proyek pembangunan perumahan ini dialokasikan untuk pembangunan rumah
sederhana sebanyak 30 unit dengan satu tipe pembangunan rumah yaitu tipe 36/90.
Struktur biaya modal investasi, maka modal pembiayaan pekerjaan adalah sebagai
berikut :
1. Pengeluaran biaya untuk pengadaan tanah dan perencanaan diasumsikan keluar
pada bulan ke-0 dengan anggapan bahwa proyek sudah mulai dikerjakan.
2. Perencanaan pelaksanaan pematangan tanah yang mencakup :
a. Pembuatan sarana dan prasarana yaitu jalan dan pembuatan saluran drainase
sudah dikerjakan mulai bulan ke-0 dengan anggapan bahwa proyek sudah mulai
dikerjakan.
b. Penyambungan listrik perumahan sudah dikerjakan mulai bulan ke-0 dengan
anggapan bahwa proyek sudah dikerjakan dan penyambungan PLN
direncanakan untuk 30 Rumah sesuai yang direncanakan.
c. Pembangunan rumah dilakukan setiap 2 bulan sekali, mulai bulan ke dua dan
setelah pembangunan rumah selesai dilakukan
3. instalasi listrik terhadap rumah yang telah dibangun.
4. Selain dana untuk pengadaan tanah, perencanaan, pematangan tanah serta biaya
pembangunan rumah masih ada dana yang dialokasikan untuk pengurusan IMB.
b. Analisa Arus Kas
Bila tingkat bunga efektif tahunan untuk pinjaman modal sebesar i = 12%.
Sehingga bunga pinjaman yang harus dibayar pada bank sebesar 12,68 % /12 yaitu
1,057% per bulan.
Menghitung biaya modal (Cost of Capital) dilakukan dengan
mempertimbangkan struktur pendanaan dari sisi pengembang, baik biaya pribadi
maupun biaya hutang. Total biaya investasinya sebesar Rp. 6,230,669,637.15.
Alternatif pendanaannya adalah sebagai berikut:
1. Alternatif I, 100% modal Investasi
2. Alternatif II, 20% modal sendiri dan 80% pinjaman bank
Dengan tingkat bunga 12% dan bunga efektif pemajemukan pertahun sebesar
12,68% maka tingkat bunga efektif pemajemukan per bulan sebesar 1,057% sehingga
alternatif nilai angsurannya adalah Rp. 444,122,131.74
Analisa Harga
Pendapatan pengembang diperoleh dari nilai penjualan 30 unit rumah. Sebelum
memprediksi pendapatan penjualan rumah setiap per bulannya, perlu dilakukan analisa
terhadap rumah untuk menentukan harga rumah yang akan dijual beserta angsuran per
bulannya selama 15 tahun. Berdasarkan analisa diperoleh keuntungan perusahaan yaitu
10% dari harga rumah Rp. 204,473,327.51 yaitu sebesar Rp. 20,447,332.75 untuk
setiap penjualan per unit rumah dan untuk uang muka (down payment) digunakan uang
muka sebesar 30% dari harga jual rumah yaitu 30% dari Rp. 224,920,660.26,
didapatkan uang muka sebesar Rp. 67,476,198.08.
Analisa perhitungan untuk mengetahui nilai angsuran perbulandilakukan
berdasarkan nilai jumlah uang (present) untuk harga jual rumah yang didapatkan dari
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 33
analisa harga rumah yang didapatkan untuk setiap penjualan rumah per unitnya maka
dapat nilai angsuran perbulan dapat diketahui dengan menggunakan rumus pemasukan
kembali modal (capital recovery). Untuk rumus yang digunakan sebagai berikut:
A = 1)1(
)1(
n
n
i
iPi
Nilai tahunan (Annual) dihitung berdasarkan data nilai sekarang dengan tingkat
bunga tertentu serta periode waktu tertentu. Dapat dikatakan juga sebagai suatu
angka (Annual) yang dikumpulkan sebagai suatu pengembalian modal (Capital
Recovery Factor).
Untuk perhitungan angsuran perbulan pada masa angsuran 15 tahun Rumah Tipe
36/90 m2, Tabel 4.6 :
A = 1)1(
)1(
n
n
i
iPi
A = 1)0065,01(
)0065,01(0065,0 x 0.26224,920,66180
180
= Rp. 1,481,986.55
Harga Jual Rumah :
= Harga rumah tipe 36/90 m2 + Keuntungan 10% dari harga rumah
= Rp. 204,473,327.51+ Rp. 20,447,332.75
= Rp. 224,920,660.26
Analisa Pendapatan
Langkah selanjutnya adalah memprediksikan penjualan rumah dalam 1 tahun
beserta total pendapatan dari penjualan 30 unit rumah. Untuk harga rumah pada
penjualan di setiap bulannya selalu berbeda sesuai prinsip time value of money. Sebagai
contoh untuk perhitungan harga jual rumah pada bulan ke-4 atau tepatnya 2 bulan
setelah penjualan pertama pada bulan ke-2 sebagai berikut:
P = nr
F)1(
1
= 224,920,660.26 x2)0065,01(
1
= Rp. 222,043,339.02
Penilaian Kelayakan Investasi
Net Present Value ( NPV )
Tingkat bunga untuk menentukan nilai NPV yaitu 12%. Hasil analisa NPV
menunjukan nilai positif maka proyek perumahan tersebut dinilai layak dan dapat
dipertimbangkan karena NPV > 0. Dari perhitungan NPV dianggap layak diterima
karena sesuai dengan hasil olah kuisioner yaitu terhadap cicilan perumahan, sesuai
yang diinginkan. Hasil NPV yang didapatkan terhadap tingkat bunga 12% adalah
sebesar Rp. 35,879,305.27 karena penerimaanya mampu menutupi semua biaya
pengeluaran dan hasil untuk cicilan/angsuran memenuhi sesuai permintaan yaitu
didapatkan nilai angsuran perbulan Rp. 1,481,986.55 masa angsuran selama 15 tahun.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 34
Internal Rate of Return (IRR)
Untuk mendapatkan nilai IRR dilakukan dengan mencari besarnya NPV dengan
memberikan nilai i variable (berubah-ubah) sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu
nilai i saat NPV mendekati nol yaitu NPV+ dan NPV- dengan cara coba-coba (trial and
error), selanjutnya dilakukan interpolasi untuk mendapatkan IRR sebesar 15, 01793%
sehingga melebihi tingkat bunga 12% sehingga dapat dikatakan bahwa proyek
perumahan yang akan dilaksanakan layak.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Minat masyarakat Sidoarjo terhadap lokasi perumahan yang terpilih adalah Krian
dengan alasan dekat pusat kota, tempat kerja dan sebagian berdasarkan pemenuhan
fasilitas taman. Daya beli masyarakat Sidoarjo terhadap produk perumahan adalah
rumah tipe 36 dengan harga 150 juta, sedangkan untuk cicilan perbulan yang dipilih
adalah sebesar 1,5 - 2 juta.
2. Hasil analisa kelayakan dengan perhitungan Net Present Value (NPV)= Rp.
35,879,305.27 dan Internal Rate of Return (IRR) = 15,01793 % sehingga memenuhi
syarat kelayakan investasi.
3. Berdasarkan analisa, harga produk perumahan sebesar Rp. 224,920,660.26 dengan
nilai angsuran sebesar Rp. 1,481,986.55 untuk tipe rumah 36/90 selama 15 tahun
angsuran.
Saran
1. Kajian serupa hendaknya dapat dikembangkan pada produk-produk bangunan
komersial yang lain sehingga mencakup segala aspek (seperti pembangunan
rusun dan rusunawa).
2. Wilayah studi dapat diperluas pada penelitian selanjutnya sehingga diperoleh
generelisasi hasil yang lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariadi, M.Wahyu Tri. (2010). Studi Kelayakan Investasi Dengan Analisa
Ekonomi Teknik Pada Perumahan Permata Regency. ITN-Malang.
2. Kodoatie, Robert J. (1995). Analisis Ekonomi Teknik. Penerbit Andi Yogyakarta
3. Soeharto, I. 1999. Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional),
Jilid I, Erlangga, Jakarta.
4. Djamin, Z. 1984. Perencanaan & Analisa Proyek, Edisi Satu,Universitas
Indonesia, Jakarta.
5. Kuswadi, 2007. Analisis Keekonomian Proyek. Penerbit Andi Yogyakarta
6. Pujawan, I Nyoman. 1995. Ekonomi Teknik, Edisi 1, Penerbit PT. GunaWidya
Indonesia, Jakarta.
7. Aliludin, Arson. 2007. Ekonomi Teknik. Penerbit PT Raja Grafindo Persada
Indonesia, Jakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 35
KETAHANAN TENAGA KERJA PROYEK KONSTRUKSI
DENGAN MENGGUNAKAN SURVIVAL ANALYSIS
Feri Harianto
1 dan Andik Widiyanto
2
1 Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP,ITATS, Telp. 031-5945043, e-mail:gokbio@yahoo.com 2 Alumni Jurusan Teknik Sipil, FTSP, ITATS, Telp. 031-5945043, e-mail:andik_92@yahoo.co.id
ABSTRAK Tenaga kerja mempunyai batas kejenuhan dalam bekerja di suatu proyek, tingginya tingkat turnover
tenaga kerja dapat diprediksi dari seberapa besar keinginan untuk berpindah yang dimiliki oleh anggota
suatu organisasi(perusahaan).Turnover tenaga kerja yang tinggi menyita perhatian perusahaan karena
mengganggu pelaksanaan proyek dan menelan biaya yang tinggi, oleh karena itu perusahaan perlu
menguranginya sampai pada batas yang dapat diterima.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh usia,kepemimpinan,lingkungan kerja,kepuasan kerja terhadap tingkat lamanya
bekerja(ketahanan)tenaga kerja di Proyek Pembangunan Rusunawa PT.Sier dan Proyek Hunian di
Komplek Darmo Hill. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan
kuesioner, analisis yang digunakan adalah survival analysis.Responden penelitian ini yaitu tukang dan
pekerja.Hasil penelitian ini adalah ketahanan tertinggi tenaga kerja berdasarkan usia adalah kelompok
21-30 tahun dengan rata – rata bertahan 2,3 bulan,tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor kurang
baik dapat bertahan lebih dari 3 bulan,tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang baik dapat bertahan
rata-rata 2,19 bulan,tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang baik dapat bertahan rata-rata 2,35 bulan.
Sedangkan faktor usia,kepuasan kerja,kepemimpinan,lingkungan kerja tidak berpengaruh
signifikan(α>5%) terhadap tingkat lamanya bekerja tenaga kerja.
Kata kunci: survival, ketahanan, turnover intention
1. PENDAHULUAN
Para pengusaha sulit mengikat tenaga kerja konstruksi dalam kontrak(karyawan
tetap) karena tidak ada jaminan selalu ada proyek,selain itu tenaga kerja konstruksi
juga ingin bekerja freelance dan ada pekerjaan lainnya guna menambah pendapatan
mereka[18].Dinamika yang tinggi di pekerjaan konstruksi membuat para pekerja
mudah mengalami kejenuhan sehingga para pekerja mudah pindah dari proyek yang
satu ke proyek yang lainnya.Turnover para pekerja yang tinggi menjadi perhatian
perusahaan karena mengganggu pelaksanaan proyek konstruksi dan menelan biaya
yang tinggi.Oleh karena itu perusahaan perlu mengurangi turnover tersebut sampai
pada batas yang diterima.Menurut Rubianto faktor-faktor yang mempengaruhi
turnover intention adalah usia,gaji,kepemimpinan,lingkungan kerja,dan kepuasan
kerja[12].Menurut Sunjoto dan Harsono yang mempengaruhi turnover intention adalah
kepuasan kepuasan kerja[15].Menurut Rita Andini kepuasan gaji,kepuasan kerja dan
komitmen organisasi berpengaruh terhadap turnover intention[9].Sedangkan menurut
Kusmono yang mempengaruhi turnover intention adalah matangnya efektifitas
kepemimpinan dan hasil kerja maksimal[3].Menurut Maier pekerja muda mempunyai
tingkat turnover yang lebih tinggi dari pada pekerja yang lebih tua[5].Pada
kenyataannya besarnya gaji(upah) tenaga kerja di konstruksi relatif sama antar proyek
yang satu dengan yang lain.Untuk itu pada penelitian ini ingin mengetahui pengaruh
usia,kepemimpinan,lingkungan kerja dan kepuasan kerja terhadap tingkat lamanya
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 36
bekerja(ketahanan) pada proyek pembangunan rusunawa PT.Sier dan proyek hunian di
kompleks Darmo Hill di Surabaya.
2. DASAR TEORI
2.1 Turnover Intention
Turnover intention diartikan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi
dan mencari alternatif pekerjaan lain[16].Menurut Lum et.al[4] menyatakan turnover
intentions adalah keinginan seseorang untuk keluar dari organisasi,yaitu evaluasi
mengenai posisi seseorang saat ini berkenan dengan ketidakpuasan dapat memicu
keinginan seseorang untu keluar dan mencari pekerjaan lain.Pendapat tersebut juga
relatif sama dengan pendapat yang telah diungkapkan sebelumnya,bahwa turnover
intentions pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan (keluar) dari
perusahaan.
2.2 Pengaruh Usia
Usia merupakan salah satu faktor demografi yang mempengaruhi diferensiasi
tenaga kerja dalam sikap dan perilaku [14]. Hubungan antara usia dengan kinerja
menjadi isu penting yang semakin meningkat selama dekade yang akan datang
[11].Maier [5] mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih
tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua.Penelitian-penelitian terdahulu
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan turnover intention
dengan arah hubungan negatif,artinya semakin tinggi usia seseorang,semakin rendah
turnover intentionnya[7].Hal ini disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-
pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga,mobilitas
yang menurun,tidak mau repot pindah kerja,dan lebih lagi karena senioritas yang belum
tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar.
2.3 Pengaruh Kepemimpinan
Pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat agar apa yang
diharapkan dapat diwujudkan secara bersama dengan stafnya dan bukan menyebabkan
stress kerja bagi bawahannya.Menurut Ivancevich dan Matteson Kepemimpinan
merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
organisasi[19].Pada hakekatnya kepemimpinan merupakan hubungan dimana diri
seseorang atau seorang pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain untuk mau bekerja
sama secara sukarela,sehubungan dengan tugasnya untuk mencapai yang diinginkan
pemimpin.Mengingat setiap orang pemimpin mempunyai cara tersendiri dalam
menjalankan kepemimpinannya maka dalam mencapai tujuan organisasi akan
menggunakan seefektif mungkin kekuasaannya agar orang lain dapat diarahkan
perilakunya dalam berbagai kondisi.
2.4 Pengaruh Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan dapat
mempengaruhi dalam bekerja meliputi pengaturan penerangan, pengontrolan suara
gaduh, pengaturan kebersihan tempat kerja dan pengaturan keamanan tempat kerja.
Perusahaan harus dapat memperhatikan kondisi yang ada dalam peusahaan baik di
dalam maupun di luar ruangan tempat kerja, sehingga karyawan dapat bekerja dengan
lancar dan merasa aman.Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 37
untuk diperhatikan manajemen.Kemajuan perusahaan dipengaruhi oleh kondisi
internal dan eksternal,sejauh mana tujuan perusahaan tercapai dapat dilihat dari
seberapa besar perusahaan memenuhi tunutan lingkungannya[13].
2.5 Pengaruh Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah sebagai konsep praktis yang sangat penting, karena
merupakan dampak dari keefektifan kinerja dan kesuksesan dalam bekerja, sementara
kepuasan yang rendah pada organisasi adalah sebagai rangkaian penurunan moral
organisasi dan meningkatnya absensi.Davis dan Newton [1] menyatakan bahwa
kepuasan kerja sebagai seperangkat peraturan yang menyangkut tentang perasaan
menyenangkan dan tidak menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Pegawai yang bergabung dalam suatu organisasi akan membawa keinginan,
kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja sehingga
kepuasan kerja menunjukan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul
berkaitan dengan pekerjaan yang disediakan sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan
kerja yang bersifat dinamik[17].Turnover tenaga kerja berhubungan dengan
ketidakpuasan kerja[6].Faktor-faktor yang mendorong kepuasan kerja adalah kerja
yang secara mental menantang,kondisi kerja yang mendukung,rekan sekerja yang
mendukung,kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan[11].
3. METODOLOGI
Penelitian dilakukan di Proyek Pembangunan Rusunawa PT. Sier dan Proyek
Hunian di Kompleks Darmo Hill Surabaya.Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survei dengan menggunakan kuesioner.Reponden pada penelitian ini adalah
tukang dan pekerja(kuli) dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang.Skala pengukuran
yang digunakan pada kuesioner untuk mengukur variabel kepemimpinan,lingkungan
kerja,dan kepuasan kerja dengan pemberian skor,yaitu :
Untuk jawaban baik, diberi skor 3.
Untuk jawaban cukup, diberi skor 2.
Untuk jawaban kurang, diberi skor 1.
Sedangkan variabel usia dari responden pemberian skornya,yaitu:
Untuk jawaban ≤20tahun, diberi skor 1.
Untuk jawaban 20-30tahun, diberi skor 2.
Untuk jawaban ≥30tahun, diberi skor 3.
Sedangkan variabel lama bekerja dari responden pemberian skornya,yaitu:
Untuk jawaban <1 bulan, diberi skor 1.
Untuk jawaban 1-3 bulan, diberi skor 2.
Untuk jawaban >3 bulan, diberi skor 3.
Indikator-indikator yang digunakan untuk membuat kuesioner dalam penelitian
ini seperti pada tabel 1.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 38
Tabel 1. Indikator-Indikator Penelitian Indikator
Kepemimpinan
Kalimat dalam menyapaikan pesan
Bahasa dalam menyapaikan informasi
Sikap dalam memberi perintah kerja
Memberikan contoh yang baik pada bawahannya
Kecepatan analisis
Melibatkan bawahan
Bersikap adil bijaksana
Mendiskusikan masalah pekerjaan
Mengarahkan tugas-tugas bawahan
Mengorganisir aktivitas lapangan
Memberikan pekerjaansesuai kemampuan
Kelebihan dan kekurangan bawahan
Semangat kerja keras
Memberikan pengahargaan
Mendengar ide bawahan
Menerima kritikan bawahan
Lingkungan Kerja
Mendapatkan bonus
Promosi kenaikan posisi
Ingin lebih baik dari yang lain
Saling membantu dengan yang lain
Dorongan moral dari teman
Cakap dalam kerja tim
Informasi bersifat umum untuk semua
Bersedia tukar sift bila ada keperluan mendesak
Teman yang sportif
Atasan yang bijaksana
Job diskripsi yang jelas
Peraturan kerja yang jelas
Jam kerja jelas
Fasilitas tempat kerja yang memadai
Kepuasan Kerja
Adanya kebebasan berpendapat dalam pekerjaan
Tak ada kekangan dalam berinovasi
Promosi kenaikan posisi
Kesempatan yang sama tiap individu
Adanya pujian dari atasan
Pujian untuk kerja tim yang bagus
Sebelum kuesioner disebarkan dilakukan uji validitas dan reliabilitas.Uji ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah kuesioner sudah tepat dan handal untuk
mengukur variabel penelitian.Pengujian reliabilitas menggunakan formula cronbach
alpha (koefisien alfa cronbach), dimana secara umum yang dianggap reliabel (andal)
apabila nilai alfa cronbachnya > 0,6.Sedangkan pengujian validitas menggunakan
metode korelasi product moment pearson.Suatu alat ukur dikatakan valid jika
corrected item total correlation lebih besar atau sama dengan nilai r tabel (N=50) yaitu
0,279 atau nilai signifikansi < 0,05 (α = 5%).Analisis penelitian ini menggunakan
metode survival analysis dan regresi Cox (nonparamatrik) dimana tidak perlu lagi
mencari distribusi yang cocok untuk data life time yang digunakan.Fungsi-fungsi yang
dianalisis dalam metode nonparametrik yaitu fungsi ketahanan dan fungsi
hazard,rumus umum fungsi ketahanan dan fungsi hazard seperti pada persamaan 1 dan
2[2;8].
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 39
Gambar 1. Fungsi Ketahanan Lama
Bekerja Berdasarkan Variabel Usia
Gambar 2. Fungsi Hazard Lama
Bekerja Berdasarkan Variabel Usia
St = S0(t)e^y
............................(1)
Ht = H0(t)e^y
............................(2)
Dimana : Ht : hazard pada waktu tertentu. H0 : baseline hazard pada waktu tertentu.
St : survival pada waktu terntu. S0 : baseline survival pada waktu tertentu.
e : bilangan natural=2,714. y=b1x1+b2x2+b3x3+.......+bnxn.
4. HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan variabel usia ketahanan lama bekerja(gambar 1) kelompok tenaga
kerja yang berusia 21-30 tahun dan di atas 31 tahun secara umum memiliki ketahanan
kerja lebih tinggi dibandingkan kelompok tenaga kerja yang berusia di bawah 20 tahun.
Sedangkan pada gambar 2 menjelaskan bahwa kelompok tenaga kerja usia di bawah 20
tahun memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok
tenaga kerja lainnya. Berdasarkan hasil analisis lifetime keplan-Meier kelompok tenaga
kerja usia di bawah 20 tahun rata-rata dapat bertahan di proyek selama 1,63
bulan,sedangkan kelompok usia 21-30 tahun rata-rata bertahan selama 2,3 bulan, dan
kelompok usia di atas 30 tahun dapat bertahan selama 2,25 bulan.
Berdasarkan variabel kepemimpinan(gambar 3) kelompok tenaga kerja dengan
kepemimpinan mandor yang kurang baik memiliki ketahanan kerja lebih tinggi
dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang baik maupun
yang cukup baik. Pada gambar 4 kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor
yang baik dan cukup baik memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat
dibandingkan kelompok tenaga kerja lainnya.Sedangkan hasil analisis lifetime Keplan-
Meier kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor baik dapat bertahan di
proyek rata-rata 2,26 bulan,sedangkan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan
mandor yang cukup baik rata-rata dapat bertahan selama 2,08 bulan,dan kelompok
tenaga kerja dengan kepemimpinan mandor yang kurang baik dapat bertahan selama
lebih dari 3 bulan.
3.02.52.01.51.00.50.0
100
80
60
40
20
0
LAMA BEKERJA
Pe
rce
nt 1.62500 1 1
2.30769 2 1
2.25000 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
USIA
Survival Plot for LAMA
Complete Data
Kaplan-Meier Method
3.02.52.01.51.00.50.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
LAMA BEKERJA
Ra
te
1.62500 1 1
2.30769 2 1
2.25000 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
USIA
Hazard Plot for LAMA
Complete Data
Empirical Hazard Function
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 40
Gambar 3. Fungsi Ketahanan Lama
Bekerja Berdasarkan Variabel
Kepemimpinan
Gambar 4. Fungsi Hazard Lama Bekerja
Berdasarkan Variabel Kepemimpinan
Gambar 5. Fungsi Ketahanan Lama
Bekerja Berdasarkan Variabel
Lingkungan Kerja
Gambar 6. Fungsi Hazard Lama Bekerja
Berdasarkan Variabel Lingkungan Kerja
3.02.52.01.51.00.50.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
LAMA BEKERJA
Ra
te
3.00000 3 0
2.07692 2 1
2.26087 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
PEMIMPIN
Hazard Plot for LAMA
Complete Data
Empirical Hazard Function
3.02.52.01.51.00.50.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
LAMA BEKERJA
Ra
te
2.12500 2 0
2.19048 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
2
3
LINGKUNGAN
Hazard Plot for LAMA
Complete Data
Empirical Hazard Function
Berdasarkan variabel lingkungan kerja(gambar 5) kelompok tenaga kerja dengan
lingkungan kerja yang baik secara umum memiliki ketahanan kerja lebih tinggi
dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang cukup baik.Pada
gambar 6 menjelaskan bahwa kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang
cukup baik memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok
tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang baik.Hasil analisis lifetime Keplan-Meier
untuk kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja baik dapat bertahan di proyek
rata-rata 2,19 bulan,sedangkan kelompok tenaga kerja dengan lingkungan kerja yang
cukup baik rata-rata dapat bertahan selama 2,13 bulan.Pada variabel ini tidak
ditemukan tenaga kerja yang menyatakan bahwa lingkungan kerja di tempatnya bekerja
itu kurang baik.
Berdasarkan Variabel kepuasan kerja(gambar 7) kelompok tenaga kerja dengan
kepuasan kerja yang baik secara umum memiliki ketahanan kerja lebih tinggi
dibandingkan kelompok tenaga kerja dengan ketahanan lama bekerja kelompok tenaga
kerja yang lain.Pada gambar 8 kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang
kurang memiliki peluang kegagalan kerja yang lebih cepat dibandingkan kelompok
tenaga kerja lainnya.Hasil analisis lifetime Keplan-Meier kelompok tenaga kerja
dengan kepuasan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,35 bulan, sedangkan
kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang cukup baik rata-rata dapat bertahan
3.02.52.01.51.00.50.0
100
80
60
40
20
0
LAMA BEKERJA
Pe
rce
nt 3.00000 3 0
2.07692 2 1
2.26087 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
PEMIMPIN
Survival Plot for LAMA
Complete Data
Kaplan-Meier Method
3.02.52.01.51.00.50.0
100
80
60
40
20
0
LAMA BEKERJA
Pe
rce
nt
2.12500 2 0
2.19048 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
2
3
LINGKUNGAN
Survival Plot for LAMA
Complete Data
Kaplan-Meier Method
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 41
Gambar 7. Fungsi Ketahanan Lama
Bekerja Berdasarkan Variabel Kepuasan
Kerja
selama 2,08 bulan,dan untuk kelompok tenaga kerja dengan kepuasan kerja yang
kurang baik rata-rata dapat bertahan selama 2 bulan.
Dari tabel 2 berdasarkan uji wald bahwa variabel usia(1) dan usia(2) tingkat
signifikansinya 0.276 dan 0.803. Koefisien regresi untuk variabel usia(1) dan usia(2)
tersebut tidak signifikan(p-value>5%).Hasil perhitungan tersebut diinterpretasikan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok tenaga kerja
dengan usia di atas 30 tahun dengan kelompok tenaga kerja usia 20-30 tahun, maupun
antara kelompok tenaga kerja usia di atas 20-30 tahun dengan kelompok tenaga kerja
usia dibawah 20 tahun.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Mobley[7] bahwa
semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah turnover intentionnya.
Untuk variabel pemimpin(1) dan pemimpin(2) berdasarkan uji wald tingkat
signifikansinya 0.630 dan 0.941(tabel 1). Koefisien regresi untuk variabel pemimpin(1)
dan pemimpin(2) tersebut tidak signifikan(p-value>5%),hal ini berarti bahwa tidak ada
perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok pekerja kepemimpinan baik
dengan kelompok pekerja kepemimpinan cukup baik, maupun antara kelompok pekerja
kepemimpinan cukup baik dengan kelompok pekerja kepemimpinan kurang baik.Hasil
tersebut berseberangan dengan pendapat Koesmono[3] bahwa matangnya efektifitas
kepemimpinan dan hasil kerja maiksimal serta tuntutan kerja yang menyenangkan
dapat mendorong dan mengembangkan komitmen organisasi.
Untuk variabel lingkungan kerja berdasarkan uji wald tingkat signifikansinya
0.749(tabel 1). Koefisien regresi untuk variabel lingkungan kerja tersebut tidak
signifikan(p-value>5%),ini berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya
bekerja antara kelompok tenaga kerja pada lingkungan kerja yang baik dengan
kelompok tenaga kerja pada lingkungan cukup baik.Hasil tersebut berseberangan
dengan pendapat Rivai[13] bahwa kemajuan perusahaan di pengaruhi oleh faktor-
faktor lingkungan yang bersifat intenal dan eksternal.
Untuk variabel kepuasan(1) dan kepuasan(2) tersebut baru signifikan pada
tingkat signifikansi 0.637 dan 0.533 berdasarkan uji wald.Koefisien regresi untuk
variabel kepuasan(1) dan kepuasan(2) tersebut tidak signifikan(p-value>5%),hal ini
berarti bahwa tidak ada perbedaan signifikan lamanya bekerja antara kelompok pekerja
dengan kepuasan baik,kelompok pekerja dengan kepuasan cukup baik,kelompok
pekerja dengan kepuasan cukup baik dan kelompok pekerja dengan kepuasan kurang
baik.Hasil tersebut berseberangan dengan pendapat Mathis dan Jackson[6] bahwa
masuk-keluar(turnover) tenaga kerja berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
3.02.52.01.51.00.50.0
100
80
60
40
20
0
LAMA BEKERJA
Pe
rce
nt 2.00000 1 2
2.07692 2 1
2.35000 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
KEPUASAN
Survival Plot for LAMA
Complete Data
Kaplan-Meier Method
3.02.52.01.51.00.50.0
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
LAMA BEKERJA
Ra
te
2.00000 1 2
2.07692 2 1
2.35000 2 1
Mean Median IQ R
Table of Statistics
1
2
3
KEPUASAN
Hazard Plot for LAMA
Complete Data
Empirical Hazard Function
Gambar 8. Fungsi Hazard Lama Bekerja
Berdasarkan Variabel Kepuasan Kerja
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 42
Berdasarkan tabel 2 dibentuk persamaan fungsi regresi cox seperti persamaan 5 :
H(t/X) = exp (0.493 usia(1) – 0.092 usia(2) – 0.512 pemimpin(1) + 0.022 pemimpin(2)
+ 0.145 lingkungan kerja + 0.275 kepuasan(1) + 0.192 kepuasan(2) ..........(5)
Tabel 2.Variabel Persamaan Regresi Cox
Variabel B SE Wald df Sig. Exp(B)
Usia
1,738 2 0,419
Usia(1) 0,493 0,453 1,185 1 0,276 1,637
Usia(2) -0,092 0,368 0,062 1 0,803 0,912
Pemimpin
0,252 2 0,882
Pemimpin(1) -0,512 1,063 0,232 1 0,630 0,599
Pemimpin(2) 0,022 0,300 0,005 1 0,941 1,022
Lingkungan kerja 0,145 0,452 0,102 1 0,749 1,156
Kepuasan
0.499 2 0,779
Kepuasan(1) 0,275 0,584 0,223 1 0,637 1,317
Kepuasan(2) 0,192 0,309 0,388 1 0,533 1,212
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Berdasarkan variabel usia kelompok tenaga kerja usia 21-30 tahun dan di atas 30
tahun cenderung lebih lama bertahan selama lebih dari 2,25 bulan di proyek.
2. Berdasarkan variabel kepemimpinan kelompok tenaga kerja dengan kepemimpinan
mandor yang kurang baik dapat bertahan selama lebih dari 3 bulan.
3. Berdasarkan variabel lingkungan kerja diketahui bahwa kelompok tenaga kerja
dengan lingkungan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,19 bulan,tidak
ditemukan lingkungan kerja yang kurang baik.
4. Berdasarkan variabel kepuasan kerja diketahui bahwa kelompok tenaga kerja
dengan kepuasan kerja baik dapat bertahan di proyek rata-rata 2,35 bulan.
5. Berdasarkan regresi cox variabel usia, kepemimpinan, lingkungan kerja, dan
kepuasan kerja tidak ada yang berpengaruh terhadap lamanya bekerja para tenaga
kerja.
Model yang ditulis dalam penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan
penambahan variabel lainnya yang berpengaruh terhadap lamanya ketahanan tenaga
kerja di proyek konstruksi,juga perlunya suasana yang tepat dalam mengisi kuesioner
sehingga responden mengisi dengan konsentrasi.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Davis, Keith and W. Newstrom.(1999). Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh.
Terjemahan.Jakarta:Erlangga.
2. Hardius Usman,Nurdin Sobari.(2009).Teknik Analisis Data Life Time Dalam Riset
Marketing.Jakarta:Salemba Empat.
3. Koesmono, Teman. (2007).Pengaruh Kepemimpinan dan Tuntutan Tugas Terhadap
Komitmen Organisasi Dengan Variabel Moderasi Motivasi Perawat Rumah Sakit
Swasta Surabaya, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.9, No.1, Maret 2007.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 43
4. Lum, Lille,John Kervin,Kathleen Clark,Frank Reid & Wendy Sola.(1998).
Explaining Nursing Turnover Intent:Job Satisfaction, Pay Satisfaction, or
Organizational Commitment.Journal of Organizational Behavior.
5. Maier, N, R, F.(1971). Psychology in Industry. Cambridge: The Riverside Press.
6. Mathis, Robert.L, & John Jackson.(2001).Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta:PT. Salemba Empat.
7. Mobley,W.H.(1986).Pergantian Karyawan: Sebab, Akibat dan Pengendaliannya.
Terjemahan Jakarta:PT Pustaka Binaman Pressindo.
8. M.Sopiyudin Dahlan.(2009).Analisis Survival.Jakarta:Sagung Seto.
9. Rita Andini.(2006).Analisa Pengaruh Peran kepemimpinan dan pengembangan
karir terhadap komitmen organisasi dalam meningkatkan kinerja karyawan,Tesis
tidak di terbitkan Universitas Diponegoro semarang.
10. Robbins,Stephen,(2001).Perilaku Organisasi (Organizatonal Behaviour).
Jakarta:PT.Prehalindo.
11. Robbins, Stephen P.(1996).Organizational Behaviour Concept, Controversiest,
Applications, Prentice Hall. Inc,Englewoods Cliffs
12. Rubiyanto.(2011).Analisis Ketahanan Tenaga Kerja Proyek Konstruksi Dengan
Menggunakan Life Time Analysis,Skripsi sarjana tak diterbitkan, Institut Teknologi
Adhi Tama Surabaya.
13. Rivai, Harif, A.(2001).Pengaruh Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, dan Komitmen
Organisasional Terhadap Intensi Keluar.Tesis,Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
14. Rhodes, S.R.(1983).Age-related differences in work attitudes and behavior: a
revies and conceptual analysi psychological bulletin,Maret 1983
15. Sunjoyo, dan Harsono.(2003).Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komintmen
Organisasional Terhadap Turnover Intention, Sosiohumanika,16A(1),Januari 2003.
16. Suwandi, dan Nur Indriantoro.(1999).Pengujian Model Turnover Pasewark dan
Strawser: Studi Empiris pada Lingkungan Akuntansi Publik, Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia,
17. Tett, R.T and Meyer J.P.(1993), Job Satisfaction, Organizational Commitment,
Turnover intention and Turnover. Personnel Psychology. 46: 259-293
18. Thomas Mola.(2013), SDM Konstruksi : Peningkatan Ketrampilan Dinilai Urgen,
http://www.bisnis.com/articles/sdm-konstruksi-peningkatan-keterampilan-dinilai-
urgen,diunduh 19 Januari 2013.
19. Wahyuningsih, T.(2001). Dampak Pergantian Pimpinan Pada Kinerja Organisasi,
Jurnal Administrasi dan Bisnis, Vol 1, No. 2 Hal. 29-42.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 44
PENGARUH PORSI IDR DAN USD
TERHADAP ESKALASI HARGA
KONTRAK KONSTRUKSI
Suhariyanto1
1Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Malang, Jalan Soekarno-Hatta No. 9 Malang,
Telp 0341-404424, email : suhariyanto.polinema@gmail.com
ABSTRAK
Dalam rangka program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) di sektor Pekerjaan Umum (2011-2025) dibutuhkan dana sebesar Rp. 481,18 triliun. Sekitar
73% atau senilai Rp356,80 triliun kebutuhan dana tersebut akan didanai dari badan usaha atau investor
swasta nasional maupun asing. Pendanaan melalui investor asing biasanya akan menggunakan mata uang
asing, misalnya USD dan dana pendamping mata uang IDR.
Dalam kontrak kontruksi di Indonesia, pemerintah menghimbau agar semaksimal mungkin menggunakan
kandungan lokal, yang dalam direpresentasikan dengan penggunaan mata uang IDR. Dalam studi ini
dilakukan kajian pengaruh porsi IDR dan USD terhadap besaran eskalasi kontrak konstruksi.
Kajian dilakukan dengan melakukan simulasi eskalasi dengan menggunakan variasi porsi IDR dan USD
pada pada proyek XYZ, salah satu proyek di Indonesia dengan standar kontrak internasional dan didanai
oleh Loan Asing.
Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin besar porsi IDR maka eskalasi yang terjadi akan semakin
besar. Untuk mengurangi besar eskalasi maka porsi IDR dalam kontrak seharusnya dibuat seminimal
mungkin, hal ini kontradiktif dengan himbauan pemerintah agar semaksimal mungkin menggunakan
IDR. Kata kunci: porsi, eskalasi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) di sektor Pekerjaan Umum (2011-2025) dibutuhkan dana sebesar
Rp. 481,18 triliun. Sekitar 73% atau senilai Rp356,80 triliun kebutuhan dana tersebut
akan didanai dari badan usaha atau investor swasta nasional maupun asing. Pendanaan
melalui investor asing biasanya akan menggunakan mata uang asing, misalnya USD
dan dana pendamping mata uang IDR.
Dalam kontrak kontruksi di Indonesia, pemerintah menghimbau agar semaksimal
mungkin menggunakan kandungan lokal, yang direpresentasikan dengan penggunaan
mata uang IDR. Dalam studi ini dilakukan kajian pengaruh porsi IDR dan USD
terhadap besaran eskalasi kontrak konstruksi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai
berikut:
”Bagaimana pengaruh porsi IDR dan USD terhadap eskalasi harga kontrak konstruksi’?
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 45
1.3 Batasan Masalah
Kajian dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut:
a) Definisi “content” dalam Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan luar
negeri direpresentasikan dalam porsi currency IDR dan USD.
b) Simulasi eskalasi dilakukan dengan variasi porsi IDR 100%, 50% , 25% dan 0%.
2. METODE KAJIAN
Kajian dilakukan dengan melakukan simulasi eskalasi dengan menggunakan variasi
porsi IDR dan USD pada proyek XYZ, salah satu proyek di Indonesia dengan standar
kontrak internasional dan didanai oleh Loan Asing.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Proyek
Proyek yang dijadikan obyek kajian adalah proyek XYZ yang merupakan salah satu
proyek di Indonesia yang menggunakan standart kontrak FIDIC dan didanai oleh loan
asing dan dana pendamping dari APBN. Komposisi pendanaan adalah 90% Loan dan
10% dana pendamping. Untuk Loan menggunakan mata uang USD, sedangkan untuk
dana pendamping menggunakan mata uang IDR. Perbandingan Tingkat Komponen
Dalam Negeri (TKDN) dan luar negeri diperkirakan 25% komponen dalam negeri dan
75% komponen luar negeri.
Proyek merupakan proyek multiyear dengan nilai kontrak USD 178 juta dan durasi
penyelesaian tiga tahun.
Perhitungan eskalasi (price adjustment) dihitung menggunakan formula sesuai yang
tercantum dalam dokumen kontrak FIDIC klausul 70.1 dan FIDIC, Part II Condition of
Particular Application sebagai berikut:
Increase and Decrease of Cost will be calculated as follows :- (i) Local Currency
portion by reference to the Wholesale Price Indices of Construction Materials by Type
of Construction published by the Badan Pusat Statistik, Jakarta, Table 1.15 item 3
Public Works on Roads, Bridges and Ports and (ii) Foreign Currency portion by
reference to a single suitable index [to be specified by the Contractor] published in the
country from which goods will be imported into Indonesia. The value of work executed
each month in each currency, less not applicable amounts which are items for
mobilisation, demobilisation, Contractor’s temporary works, Provisional Sums,
Dayworks and Engineer and Other Forms of Technical Studies, will be adjusted by
applying a non adjustable factor of 20% and then using the formula “current index
minus base index divided by base index”.
Value of price adjustment = ((V – N) x 80%) x ((C – B) ÷ B)
V = value of work executed in a particular month
N = value of not applicable work items executed in a particular month
(mobilization, demobilization, Contractor’s temporary works, Provisional
Sums, Daywork and Engineer and Other Forms of Technical Studies)
C = Current index (the index applicable for the month in which the work was
executed)
B = Base index (the index applicable at a date 28 days before the submission of the
tender)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 46
Perhitungan indek masing-masing currency pada perhitungan price adjustment adalah
sebagai berikut:
(i) Local Currency portion by reference to the Wholesale Price Indices of Construction
Materials by Type of Construction published by the Badan Pusat Statistik, Jakarta,
Table 1.15 item 3 Public Works on Roads, Bridges and Ports and
(ii) Foreign Currency portion by reference to a single suitable index [to be specified by
the Contractor] published in the country from which goods will be imported into
Indonesia
Price adjustment dihitung setiap bulan sesuai realisasi pelaksanaan pekerjaan di
lapangan dan adjustment factor yang berlaku saat itu.
Local dan Foreign Content
Dalam perhitungan price adjustment, pengertian Tingkat Komponen Dalam Negeri
(TKDN) atau Local Content dan Tingkat Komponen Luar Negeri (TKLN) atau Foreign
Content belum dipahami secara sama antara penyedia jasa, pengguna jasa dan auditor.
Tingkat komponen dalam negeri untuk barang adalah perbandingan antara harga barang
jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, sedangkan
tingkat komponen dalam negeri untuk jasa adalah perbandingan antara harga jasa yang
diperlukan dikurangi harga komponen jasa luar negeri terhadap harga seluruh jasa yang
diperlukan.
Meskipun secara definisi “content” tidaklah sama dengan “currency”, maka dalam
prakteknya “currency” dianggap merupakan representasi dari “content”. Meskipun
anggapan ini tidak sepenuhnya benar tetapi dalam perhitungan price adjustment
digunakan “content” karena lebih aplikatif .
Simulasi Eskalasi
Berdasarkan simulasi variasi besarnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (local
currency) dan (foreign currency) maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Simulasi Variasi Besarnya Local dan Foreign Currency
Simulasi
Tingkat
Komponen Estimasi Eskalasi
Local Foreign Local (IDR) Foreign (USD) Total (IDR
Equivalent)
Keadaan 1 100% 0% 1,067,441,982,458.90 - 1,067,441,982,458.90
Keadaan 2 50% 50% 533,720,991,229.45 16,670,528.02 683,172,274,901.74
Keadaan 3 25% 75% 266,860,495,614.73 25,005,792.03 491,037,421,123.16
Keadaan 4 0% 100% - 33,341,056.03 298,902,567,344.58
Catatan : USD 1 ~ IDR 8.965,00
Pembahasan
Hasil kajian menunjukkan bahwa semakin besar porsi IDR maka eskalasi yang terjadi
akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena faktor penyesuaian harga (adjustment
factor = ((C – B) ÷ B)) untuk local currency (IDR) lebih besar dibandingkan dengan
foreign currency (USD)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 47
Perbandingan trend faktor penyesuaian harga (adjustment factor) untuk local currency
(IDR) dan foreign currency (USD) dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Gambar 1. Trend Adjustment Factor
Berdasarkan Gambar 1, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
Slope adjustment factor untuk local currency factor lebih curam dibandingkan
dengan foreign currency factor.
Adjustment factor untuk porsi foreign currency relatif stabil dibandingkan untuk
porsi local currency.
Adjustment factor untuk local currency antara 30 s/d 70% sedangkan untuk foreign
currency antara 5 s/d 20%
Kondisi politik dan perekonomian Indonesia sangat mempengaruhi adjustment
factor porsi local currency, sebagai contoh jika terdapat kebijakan kenaikan BBM
oleh pemerintah maka secara signifikan adjustment factor untuk local currency akan
mengalami kenaikan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasakan kajian yang dilakukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Semakin besar porsi IDR maka nilai eskalasi akan semakin besar. Hal ini
disebabkan karena faktor penyesuaian harga (adjustment factor) untuk local
currency (IDR) lebih besar dibandingkan dengan foreign currency (USD)
2. Adjustment factor untuk porsi foreign currency relatif stabil dibandingkan untuk
porsi local currency
4.2 Saran
Untuk kontrak multiyear yang didanai oleh loan, maka perlu dilakukan kajian yang
mendalam berkaitan dengan besarnya Tingkat Komponen Dalam Negeri karena akan
mempengaruhi besarnya eskalasi.
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Federation Internationale Des Ingenieurs Conseils , 1992, Condition of Contract for
Works of Civil Engineering Construction, Fourth Edition 1987, Reprinted 1992
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 48
with further amendments, FIDIC, Part I General Conditions With Forms of Tender
and Agreement.
2. Federation Internationale Des Ingenieurs Conseils , 1992, Condition of Contract for
Works of Civil Engineering Construction, Fourth Edition 1987, Reprinted 1992
with further amendments, FIDIC, Part II Condition of Particular Application with
Guidelines for Preparation of Part II Clauses
3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 49
ANALISA PENETAPAN TARIF SEWA ASRAMA BALAI
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEKERJAAN UMUM
(STUDI KASUS PADA BALAI DIKLAT PU WILAYAH
VIII BANJARMASIN)
Kristo Putranto1, Tri Joko Wahyu Adi
2, dan Retno Indryani
2
1Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS
Sukolilo Surabaya. E-Mail: kristo_putranto@yahoo.com 2Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya
ABSTRAK
Balai Diklat Pekerjaan Umum (PU) sebagai Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan
Umum yang bertugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan pegawai bidang pekerjaan umum
dilengkapi dengan sarana asrama yang ditujukan untuk keperluan akomodasi. Namun dalam
perkembangannya, asrama ini juga ditujukan sebagai salah satu sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP). Besarnya tarif sewa untuk kamar asrama Balai Diklat PU ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 38 Tahun 2012 tetapi panduan perhitungan untuk
mendapatkan tarif tersebut tidak diuraikan.
Penelitian ini bertujuan untuk merancang usulan panduan perhitungan tarif sewa untuk asrama
di lingkungan Balai Diklat PU dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Nomor 18 Tahun 2007 serta memberikan contoh aplikasi panduan perhitungan tarif tersebut pada
Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin.Penelitian ini dimulai dengan identifikasi
pendapatan dan biaya-biaya yang terjadi dalam kegiatan operasional Asrama Balai Diklat PU secara
umum. Selanjutnya dikaji cara pengestimasian besaran dari tiap-tiap biaya untuk merumuskan komponen
perhitungan tarifnya. Terakhir, komponen perhitungan tarif tersebut diaplikasikan pada Asrama Balai
Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin.
Hasil dari penelitian ini berupa komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU
yaitu pendapatan, biaya investasi, biaya operasional tetap, biaya operasional variabel, biaya
pemeliharaan, dan biaya perawatan. Hasil aplikasi komponen perhitungan tarif pada objek penelitian
menghasilkan besaran tarif sewa sebesar Rp 192.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 50%, Rp
154.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 75%, dan Rp 143.000,-/kamar/hari pada tingkat hunian 90%.
Kata Kunci: Operasional dan Pemeliharaan Aset, Penetapan Tarif Sewa, Asrama Balai Diklat PU.
1. PENDAHULUAN
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan sumber penerimaan pajak negara
selain dari penerimaan pajak. PNBP memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi
penerimaan negara. Balai Pendidikan dan Pelatihan Pekerjaan Umum (Balai Diklat PU)
merupakan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum yang melaksanakan
pendidikan dan pelatihan pegawai bidang pekerjaan umum.. Salah satu fungsi Balai
Diklat PU sebagaimana disebutkan pada pasal 18 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
nomor 21/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Laksana Unit Pelaksana Teknis
Kementerian Pekerjaan Umum adalah pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) bagi Balai Diklat yang sudah berstatus PNBP.Jenis PNBP yang
diselenggarakan dan dikelola oleh Balai Diklat PU salah satunya merupakan PNBP
yang bersumber dari Jasa Penggunaan Prasarana/Sarana Kamar Asrama.Tujuan dari
pembangunan Asrama Balai Diklat PU ini adalah untuk menunjang pelaksanaan tugas
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 50
pokoknya. Namun dalam perkembangannya, Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII
Banjarmasin juga ditujukan sebagai salah satu sumber PNBP.
Besarnya tarif sewa untuk kamar asrama Balai Diklat PU ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 38 Tahun 2012, tetapi panduan
perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan tarif tersebut tidak dicantumkan.
Sebagai pembanding, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, melalui Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18/PERMEN/M/2007 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rumah Susun Sederhana yang Dibiayai APBN
dan APBD, telah memberikan panduan perhitungan tarif sewa Rumah Susun Sederhana
Sewa (Rusunawa) bagi masyarakat menengah bawah khususnya masyarakat
berpenghasilan rendah. Ruang lingkup peraturan tersebut meliputi kebijakan penetapan
tarif, dasar perhitungan, komponen, serta struktur perhitungan tarif. Hal semacam ini
belum dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2012. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kajian terhadapperhitungan dan penetapan tarif sewa kamar
Asrama Balai Diklat PU berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2012.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji komponen perhitungan besaran tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU
untuk merumuskan konsep panduan perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai
Diklat PU
2. Mengaplikasikan komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU dalam
penentuan besaran tarif sewa per hari per kamar untuk Asrama Balai Diklat PU
Wilayah VIII Banjarmasin.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Agar dapat mencapai tujuan penelitian di atas, penelitian ini akan menggunakan metode
deskriptif dan perhitungan, dengan data yang dikumpulkan melalui:
1. Kajian pustaka pada literatur, peraturan terkait, dan penelitian terdahulu.
2. Observasi ke lokasi objek penelitian serta wawancara dengan pihak terkait.
Tahapan penelitian dan metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Identifikasi Komponen Perhitungan Tarif Sewa
Tahap ini dimulai dengan studi literatur mengenai biaya-biaya yang harus
dipertimbangkan dalam pengelolaan suatu hotel atau penginapan dan cara
pengestimasian nilainya, pendapatan-pendapatan yang mungkin terjadi, serta tingkat
hunian. Komponen-komponen ini yang akan mempengaruhi perhitungan tarif sewa
untuk Asrama Balai Diklat PU dan selanjutnya akan berujung sebagai konsep panduan
perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU. Langkah selanjutnya yaitu
menentukan cara untuk mengestimasi masing-masing komponen.
Konsep panduan perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU pada penelitian ini
akan mengacu pada pedoman perhitungan tarif sewa pada Permenpera Nomor 18
Tahun 2007, dengan melakukan penyesuaian pada pengklasifikasian biayanya sesuai
kondisi di lingkungan Balai Diklat PU.
Perhitungan tarif sewa ini akan menggunakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa
jumlah pendapatan minimal harus sama dengan jumlah pengeluaran.
2. Penentuan Besaran Tarif Sewa
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 51
Tahap ini dimulai dengan pengidentifikasian dan pengestimasian nilai dari seluruh
biaya yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan Balai Diklat PU Wilayah VIII
Banjarmasin, termasuk juga pendapatan serta tingkat huniannya. Karena asrama ini
belum dioperasionakan maka akan digunakan tiga asumsi tingkat hunian dalam
penelitian ini, yaitu tingkat hunian sebesar 50%, 75%, dan 90%. Seluruh kamar pada
asrama ini memiliki luas dan fasilitas yang serupa.
Hasil identifikasi komponen-komponen tersebut selanjutnya dimasukkan dalam
perhitungan berdasarkan konsep panduan perhitungan tarif sewa untuk Asrama Balai
Diklat PU untuk mendapatkan besaran tarif sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII
Banjarmasin per kamar per hari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komponen Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU
Wiyasha (2007: 10) mengadaptasi struktur pendapatan dan biaya pada industri
perhotelan dari Laventhol & Howardsebagaimana disajikan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Struktur Pendapatan dan Biaya Hotel menurut Wiyasha
Sumber Pendapatan Proporsi (%) Kamar 59,9 Makanan 24,3 Minuman 9,0 Lain-lain 6,8
Sumber Biaya Proporsi (%) Biaya operasional departemen hotel 10,4 Gaji dan upah 37,0 Biaya bunga 7,2 Biaya depresiasi 6,7 Harga Pokok Makanan 7,5 Harga Pokok Minuman 1,9 Adiministrasi dan Umum 4,7 Pemasaran 4,3 Energi dan Daya 5,2 Pemeliharaan Sarana Fisik 3,4 Fee Manajemen 2,6 Lain-lain 6,9 Laba 2,2
Hasil observasi pada Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin menunjukkan
bahwa pendapatan yang terjadi hanya berasal dari penyewaan kamar. Sedangkan biaya-
biaya yang terjadi antara lain biaya investasi, pemakaian listrik fasilitas bersama dan
listrik kamar, pencetakan leaflet untuk keperluan promosi, pemakaian air, pemeliharaan
rutin gedung, penggantian komponen gedung, pemakaian internet, laundry, dan
penyediaan bahan habis pakai. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa komponen
biaya untuk perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU adalah:
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 52
Tabel 2. Komponen Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU
No Komponen Rincian Komponen Keterangan \K
Keterangan
1 Pendapatan Tarif sewa
Tingkat hunian
2 Biaya Investasi
Biaya pra konstruksi
Biaya konstruksi
Biaya pengawasan
Tingkat bunga
Periode investasi
Dikeluarkan pada awal investasi, dihitung dalam nilai tahunan
3 Biaya Operasional Tetap
Biaya Pemasaran
Biaya Listrik Fasum
Biaya Internet
Harga satuan
Dikeluarkan per tahun
4 Biaya Operasional Variabel
Biaya Operasional Departemen
Biaya Listrik Ruangan
Biaya Air
Harga satuan
Dikeluarkan per tahun
5 Biaya Pemeliharaan
Jenis dan besaran komponen yang rutin dipelihara
Harga satuan
Dikeluarkan per tahun
6 Biaya Perawatan
Jenis dan besaran komponen yang rusak/habis umur ekonomisnya
Harga satuan
Dikeluarkan sesuai usia perawatan komponen
3.2. Perhitungan Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin
3.2.1. Perhitungan Biaya Investasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya investasi Asrama
Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin tanpa memasukkan nilai wajar tanahnya
adalah:
Tabel 3. Rekapitulasi Biaya Investasi Asrama
Tahun Besaran Biaya (Rp) 2011 1.307.081.000 2012 996.404.000
3.2.2. Perhitungan Biaya Operasional Tetap
3.2.2.1. Perhitungan Biaya Pemasaran
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya pemasaran Asrama
Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 53
Tabel 4. RekapitulasiBiaya Pemasaran Asrama
Uraian Jumlah (lbr) Harga per Lembar (Rp) Total (Rp) Cetak Leaflet 300 10.000 3.000.000
3.2.2.2. Perhitungan Biaya Listrik Fasilitas Umum
Kebutuhan listrik fasilitas umum yang dihitung meliputi kebutuhan listrik untuk
penerangan luar, penerangan ruangan bersama, dan pengoperasian pompa air. Tiap
komponen memiliki daya dan waktu pemakaian yang berbeda. Perhitungan kebutuhan
biaya listrik dilakukan dengan mengalikan antara tarif listrik yang berlaku dengan besar
daya yang dibutuhkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2010
tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan PT
Perusahaan Listrik Negara, besarnya persentase batas hemat terhadap jam nyala rata-
rata nasional x daya tersambung (kVA) atau H1 untuk Kota Banjarmasin ditetapkan
sebesar 1391,5 kWhsehingga pemakaian sampai dengan 1391,5 kWh dihitung dengan
tarif Rp 885,-/kWh dan selebihnya dihitung dengan tarif Rp 1.380,-/kWh
Tabel 5. Rekapitulasi Biaya Total Listrik Fasilitas Umum
No Rincian Biaya Total Biaya per Tahun 1 Penerangan Luar Rp 833.676,- 2 Penerangan Ruangan Rp 37.722.900,- 3 Listrik Pompa Rp 2.384.640,-
Total Rp 40.941.216,-
3.2.2.3. Perhitungan Biaya Internet
Rekapitulasi biaya penggunaan internet Asrama adalah:
Tabel 6. Rekapitulasi Biaya Internet Asrama
Rincian Jumlah (unit)
Biaya per Bulan (Rp)
Total per Bulan (Rp)
Total per Tahun (Rp)
Akses Internet 1 1.100.500 1.100.500 13.206.000
3.2.3. Perhitungan Biaya Operasional Variabel
3.2.3.1. Perhitungan Biaya Operasional Departemen
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya operasional
departemen Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut:
Tabel 7. RekapitulasiBiaya Operasional Departemen
Rincian Biaya per Kamar per Bulan (Rp) Laundry 219.500
Bahan Habis Pakai 740.000 Total per Kamar per Bulan 959.500
3.2.3.2. Perhitungan Biaya Listrik Ruangan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 54
Dengan cara perhitungan yang sama dengan biaya listrik fasilitas umum, rekapitulasi
biaya listrik ruangan Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah:
Tabel 8. Rekapitulasi Biaya Total Listrik Ruangan
No Rincian Daya
(kWh/hari)
Tarif (Rp/kWh) Total (a) (b) (c=ab)
1 Pemakaian
Listrik
591,72 1380 Rp 816,573,6 Total Biaya/kamar/bulan Rp 816,573,6
3.2.3.3. Perhitungan Biaya Air
Masih menggunakan cara perhitungan yang sama dengan perhitungan biaya listrik
fasilitas umum, rekapitulasi biaya air Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII
Banjarmasin adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Rekapitulasi Biaya Air Asrama
Pemakaian Air (m3) Tarif (Rp/m3) Sub Total (Rp) Total (Rp) 6 7.280 43.680 43.680
Total per Kamar per Bulan 43.680
Selanjutnya untuk mengetahui nilai biaya operasional variabel total tahunan pada
tingkat hunian tertentu, nilai masing-masing biaya per kamar per bulan di atas dikalikan
dengan jumlah bulan tersewa sesuai asumsi tingkat hunian yang dikehendaki. Sebagai
contoh, jika asumsi tingkat hunian yang digunakan adalah 50% atau seluruh kamar
tersewa selama 6 bulan, maka perhitungan biaya operasional variabel tahunannya yaitu:
Tabel 10. Besaran Biaya Operasional Variabel pada Tingkat Hunian 50%
Jenis Biaya Biaya per Kamar per Bulan (Rp)
Jumlah Kamar
Tersewa (unit)
Jumlah Bulan Tersewa (Bulan)
Total Biaya Tahun 2011
(Rp)
a B c d e = bcd
Biaya Listrik 816.573,6 17 6 83.290.507
Biaya Air 43.680 17 6 4.455.360
Biaya BHP 219.500 17 6 22.389.000
Biaya Laundry 740.000 17 6 75.480.000
3.2.4. Perhitungan Biaya Pemeliharaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, rekapitulasi biaya pemeliharaan rutin
Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Perhitungan Estimasi Biaya Pemeliharaan Asrama
Uraian Kegiatan
Waktu Satuan
Volume Harga Satuan
(Rp) Total Biaya (Rp)
AC Split Per 3 bulan unit 20 210.000 4.200.000 Total Biaya per Tahun (12 Bulan) 16.800.000
3.2.5. Perhitungan Biaya Perawatan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 55
Rekapitulasi biaya perawatan Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin adalah:
Tabel 12. Perhitungan Biaya Penggantian Komponen
No Jenis
Penggantian
Satu-an
Vol Usia
Komponen
Harga Satuan
(Rp)
% Peng-
gantian
Total Biaya (Rp)
1 Pompa Air unit 1 15 1.500.000
100 3.000.000 2 TV LCD 22’ unit 17 4 3.500.00
0 100 59.500.000
3 TV LCD 32’ unit 2 4 5.365.000
100 10.730.000 4 Dispenser unit 2 4 2.000.00
0 100 4.000.000
5 AC unit 20 8 3.500.000
100 70.000.000 6 Lemari unit 17 8 2.812.50
0 100 47.812.500
7 Pengecatan dinding, kolom, balok
m2 1230 7 35.000 100% 43.050.000
8 Pengecatan daun pintu
m2 87,5 7 35.000 100% 3.062.500
9 Pengecatan plafon
m2 306 7 35.000 100% 10.710.000
10 Pengurasan septic tank
unit 1 3 300.000 100% 300.000
11 Plester m2 821,3
5 45.000 10% 36.958.500
3.2.6. Estimasi Kenaikan Biaya
Setelah diketahui besaran dari masing-masing biaya, selanjutnya dihitung estimasi
kebutuhan biaya untuk periode perhitungan selama 20 tahun mendatang terhitung mulai
tahun 2011 sampai dengan 2030. Estimasi kebutuhan biaya dilakukan untuk masing-
masing komponen dengan asumsi kenaikan berdasarkan tingkat inflasi atau hasil
perhitungan rata-rata kenaikan komponen yang bersangkutan dari tahun ke tahun.
Tingkat inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,66% berdasarkan
tingkat inflasi rata-rata pada Kota Banjarmasin dari tahun 2006 sampai dengan 2011
sesuai data BPS Wilayah Kalimantan Selatan.
3.2.7. Perhitungan Tarif Sewa
Perhitungan dari masing-masing komponen biaya pada saat ini telah dilakukan pada
sub bab sebelumnya. Selanjutnya akan diestimasi kebutuhan biaya total tiap tahun
selama periode pengamatan yaitu 20 tahun dengan mempertimbangkan Present Value
(PV) dan Annual Value (AV). Perhitungan dilakukan dengan BI Rate (i) yang
digunakan sebesar 7,5% tiap tahun berdasarkan rata-rata BI Rate selama 5 tahun
terakhir, yaitu mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Metode yang digunakan
dalam perhitungan tarif sewa adalah Analisis Titik Impas. Tarif didapatkan berdasarkan
kondisi impas antara pendapatan dan pengeluaran pada tingkat hunian tertentu.
Tabel 13. Rekapitulasi Total Biaya Asrama pada Tingkat Hunian 50%
Tahun Biaya
Investasi Biaya Op.
Tetap Biaya Op. Variabel
Biaya Pemeliharan
Biaya Perawatan
Total Nilai pada
Tahun 2011
2011 1,307,081,000 57,147,216 185,614,867 16,800,000 1,566,643,083 1,566,643,083
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 56
2012 996,404,000 67,402,320 207,528,965 16,910,880 1,288,246,165 1,198,368,526
2013 67,422,251 208,669,253 17,022,492 293,113,996 253,641,100
2014 67,442,313 209,862,842 17,134,840 305,979 294,745,974 237,258,887
2015 67,462,508 211,114,660 17,247,930 74,155,833 369,980,931 277,041,917
2016 67,482,835 212,430,127 17,361,767 38,194,336 335,469,065 233,673,873
2017 67,503,298 213,815,201 17,476,354 312,078 299,106,931 193,809,781
2018 67,523,895 215,276,436 17,591,698 59,500,254 359,892,283 216,926,837
2019 67,544,628 216,821,034 17,707,803 152,880,004 454,953,469 255,093,426
2020 67,565,498 218,456,919 17,824,675 318,298 304,165,390 158,647,640
2021 67,586,505 220,192,803 17,942,318 39,471,497 345,193,123 167,485,607
2022 80,401,782 248,066,548 18,060,737 346,529,067 156,403,534
2023 80,423,067 250,032,123 18,179,938 78,487,553 427,122,681 179,329,221
2024 80,444,494 252,129,398 18,299,925 350,873,817 137,037,973
2025 80,466,062 254,371,114 18,420,705 62,304,198 415,562,079 150,979,301
2026 80,487,772 256,771,285 18,542,282 44,433,598 400,234,937 135,265,808
2027 80,509,625 259,345,323 18,664,661 161,141,015 519,660,624 163,374,542
2028 80,531,623 262,110,178 18,787,847 361,429,648 105,701,191
2029 80,553,766 265,084,492 18,911,847 337,712 364,887,817 99,267,482
2030 80,576,055 268,288,768 19,036,665 367,901,488 93,104,511
Total 5,979,054,243
Total Biaya per Tahun A = P(A/P, 7,5%, 20) 586,498,534.57
Tabel 14. Perhitungan Tarif Sewa pada Tingkat Hunian 50%
Tingkat Hunian
Unit Kamar
Tersewa
Hari Tersewa
Unit kamar x hari
tersewa
Total Biaya Tahunan
(Rp)
Tarif Sewa (Rp)
a b c d = bc e f = e/d 50% 17 180 3060 586.498.53
5 191.666
Kedua langkah di atas diulang untuk tingkat hunian 75% dan 90% dengan
menggunakan data biaya operasional variabel dan hari tersewa yang sesuai.
Rekapitulasi hasil perhitungan tarif sewa pada tingkat hunian 50%, 75%, dan 90% akan
disajikan dalam tabel 15 berikut:
Tabel 15. Rekapitulasi Tarif Sewa Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin
pada berbagai Tingkat Hunian
Tingkat Hunian Tarif Sewa per Kamar per Hari (Rp) 50% 192.000 75% 154.000 90% 143.000
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penyempurnaan bagi PP Nomor 38
Tahun 2012 berupa penyertaan komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat
PU agar tarif yang dihasilkan mampu menutup biaya-biaya yang terjadi atau bahkan
dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara serta dapat digunakan selama
umur ekonomis aset.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 57
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, kesimpulan
yang didapat antara lain:
1. Komponen perhitungan tarif sewa Asrama Balai Diklat PU meliputi:
a. Pendapatan
b. Biaya Investasi
c. Biaya Operasional Tetap, meliputi:
Biaya Pemasaran
Biaya Energi dan Daya (Biaya Listrik Fasilitas Umum dan internet)
d. Biaya Operasional Variabel, meliputi: Biaya Operasional Departemen (housekeeping)
Biaya Energi dan Daya (biaya listrik ruangan dan biaya air)
e. Biaya Pemeliharaan
f. Biaya Perawatan
2. Tarif sewa untuk Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin yang
dihitung berdasarkan komponen perhitungan tarif sewa di atas adalah:
a. Pada tingkat hunian sebesar 50%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah
Rp 192.000,-/kamar/hari
b. Pada tingkat hunian sebesar 75%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah
Rp 154.000,-/kamar/hari
c. Pada tingkat hunian sebesar 90%, besaran tarif sewa yang dapat dikenakan adalah
Rp 143.000,-/kamar/hari
4.2. Saran
Penelitian ini baru memperhitungkan tarif sewa asrama yang mempertimbangkan
pengembalian investasi dan tanpa memasukkan nilai wajar tanahnya. Berdasarkan
struktur taruf sewa pada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 18
Tahun 2007, tarif ini dikategorikan sebagai tarif sewa komersial. Tarif sewa komersial
ini mengindikasikan bahwa Asrama Balai Diklat PU harus bersaing dengan hotel atau
penginapan sejenis di sekitarnya. Sementara, dalam kenyataannya Asrama Balai Diklat
PU umumnya juga menerapkan tarif yang lebih rendah bagi penyewa dari kalangan
instansi pemerintah. Tarif yang lebih rendah ini didapatkan dengan perhitungan tanpa
mempertimbangkan biaya investasi. Tarif semacam ini dikategorikan dalam struktur
tarif sewa dasar. Penelitian ini belum memperhitungkan tarif sewa dasar yang dapat
dikenakan bagi Asrama Balai Diklat PU Wilayah VIII Banjarmasin.
Penelitian selanjutnya dapat menyempurnakan hasil penelitian ini dengan
memperhitungkan tarif sewa komersial dengan memperhitungkan nilai wajar tanah,
memperhitungkan tarif sewa dasar yang dapat dikenakan, dan sekaligus merumuskan
struktur tarif sewa yang sesuai bagi Asrama Balai Diklat PU.
5. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim (2007) Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rumah Susun
Sederhana yang Dibiayai APBN dan APBD. Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor 18/PERMEN/M/2007.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 58
2. Anonim (2008) Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008.
3. Anonim (2010) Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2010.
4. Isramaulana, Aulia (2011) Analisis Penetapan Harga Sewa Rumah Susun
Sederhana Sewa Mahasiswa Unlam Banjarmasin). Tesis Magister, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
5. Waldiyono (2008) Ekonomi Teknik: Konsepsi, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
6. Widayati, Farida (2005) Analisis Penetapan Tarif Klas VVIP dan VIP Ruang
Paviliun Wijaya Kusuma: Studi Kasus BPRSUD Salatiga. Tesis Magister,
Universitas Diponegoro.
7. Wiyasha, IBM (2007) Akuntansi Manajemen untuk Hotel dan Restoran.
Yogyakarta: Andi.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 59
METODE SISTEM PENGUKURAN DAN PENILAIAN
KINERJA INDUSTRI KONSTRUKSI
Elizar
Dosen Jurusan Teknik Sipil FT, Universitas Islam Riau, Kampus UIR Jl.Kaharuddin Nst Km.13
No.113,Pekanbaru, Riau , email: elizar_uir@yahoo.co.id
ABSTRAK Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah
awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia
pada tahun 2025. Tantangan dari suatu negara besar adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung
aktivitas ekonomi.
Untuk mendukung pelaksanaan proyek MP3EI, industri konstruksi mempunyai peranan strategis dalam
pembangunan nasional sehingga dituntut memiliki potensi dan kehandalan kinerja yang baik untuk
menghadapi tantangan dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.
Pengukuran dan penilaian kinerja merupakan suatu proses pengamatan dalam berbagai sistem
pencapaian sasaran, tujuan, misi dan visi melalui hasil-hasil produksi, jasa maupun proses pelaksanaan
dalam suatu kegiatan.
Paper ini membahas tentang berbagai metode yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran dan
penilaian kinerja industri konstruksi berdasarkan referensi penelitian sebelumnya maupun literatur yang
berkaitan dengan metode sistem pengukuran dan penilaian kinerja. Metode yang dibahas dalam paper ini
untuk mengukur kinerja proyek konstruksi antara lain : Performance Prism, Project Performance
Monitoring System (PPMS), Integrated Performance Measurement System (IPMS), Key Performance
Indicators (KPI), Balanced Scorecard dan Diversity Scorecard.
Berdasarkan hasil tinjauan terhadap berbagai metode pengukuran dan penilaian diusulkan menggunakan
metode Performance Prism yang memberikan pengukuran dan penilaian kinerja secara komprehensif
untuk industri konstruksi.
Kata kunci: pengukuran, penilaian, kinerja, industri konstruksi.
1. PENDAHULUAN
Konstruksi Indonesia adalah sarana informasi dan komunikasi dunia konstruksi
nasional untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan kebanggaan masyarakat
terhadap kemampuan pelaku konstruksi dalam menghasilkan produk-produk
insfrastruktur dan upaya meningkatkan kompetensi serta profesionalisme pelaku
industri konstruksi.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan
termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025. Tantangan dari suatu
negara besar adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi.
Untuk mendukung pelaksanaan proyek MP3EI, industri konstruksi mempunyai
peranan strategis dalam pembangunan nasional sehingga dituntut memiliki potensi dan
kehandalan kinerja yang baik untuk menghadapi tantangan dalam pembangunan
infrastruktur Indonesia.
Kinerja merupakan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan suatu organisasi khususnya
pekerjaan konstruksi dengan sumber daya yang terbatas sesuai sasaran dan tujuan
perencanaan dalam pembangunan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 60
Pengukuran dan penilaian kinerja menjadi suatu proses yang sangat penting dalam
pengamatan berbagai sistem sehingga pencapaian sasaran, tujuan, misi dan visi melalui
hasil-hasil produksi, jasa maupun proses pelaksanaan dalam suatu kegiatan dapat
diketahui tingkat keberhasilannya. Penilaian kinerja dapat menganalisis kemungkinan
terjadi penyimpangan dan melakukan tindakan koreksi agar sumber daya dapat
digunakan secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian suatu sasaran dan tujuan
proyek konstruksi.
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian review terhadap beberapa metode yang
dapat digunakan sebagai instrumen pengukuran dan penilaian kinerja industri
konstruksi. Metode yang diambil berdasarkan beberapa referensi penelitian terdahulu
yaitu : Performance Prism, Project Performance Monitoring System (PPMS),
Integrated Performance Measurement System (IPMS), Key Performance Indicators
(KPI), Balanced Scorecard dan Diversity Scorecard.
2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran dan Penilaian Kinerja
Kinerja adalah hasil yang dapat dicapai oleh sekelompok atau individu pada suatu
organisasi dengan kemampuan dan ketersediaan sumberdaya terbatas sesuai dengan
spesifikasi, biaya, waktu yang telah ditetapkan
Kinerja merupakan penilaian secara individu, kelompok, departemen atau organisasi
yang mencakup dua kelompok pengukuran yaitu efisiensi (produktivitas) dan
efektivitas. Efisiensi berfokus terhadap rasio operasional (volume pekerjaan/orang
jam). Efektivitas meliputi pengukuran yang berfokus pada seberapa dekat tujuan jangka
panjang terpenuhi, termasuk trend peningkatan terakhir. Jumlah pekerjaan ulang,
jumlah kecelakaan, kepuasan pemilik terhadap proyek yang talah selesai [2].
Untuk melakukan penilaian dan pengukuran kinerja perlu diidentifikasikan indikator-
indikator standar yang sesuai dengan sasaran dan tujuan perusahaan.
Indikator-indikator tujuan akhir pencapaian proyek haruslah ditampilkan dan dijadikan
pegangan selama pelaksanaan proyek. Indikator-indikator yang biasanya menjadi
sasaran pencapaian tujuan akhir proyek adalah sebagai barikut: [5]
a. Indikator kinerja biaya, untuk memantau keuangan proyek diperlukan indikator arus
kas proyek rencana dan penggunaan biaya dalam periode waktu proyek.
b. Indikator kinerja waktu, dalam monitor dan evaluasi proyek menggunakan kurva S,
yaitu plotting dan kumulatif persentase bobot pekerjaan yang mempresentasikan
kemajuan dari awal hingga akhir proyek.
c. Indikator kinerja mutu, menggunakan kurva S dengan 2 indikator yaitu Produk
Sesuai Mutu (PSM) atau Produk Tidak Sesuai Mutu (PTSM)
d. Indikator Kinerja K3, kurva S dapat dijadikan indikator yang menunjukkan biaya
kumulatif dari Kondisi Tanpa Kecelakaan (KTK) dan Kondisi Dengan Kecelakaan
(KDK)
2.2. Metode Performance Prism
Performance Prism merupakan pengembangan dari teknik pengukuran kinerja sebagai
suatu kerangka kerja (framework) yaitu bantuan pemikiran yang berusaha
mengintegrasikan lima perspektif dan struktur untuk memikirkan jawaban atas lima
pertanyaan mendasar [7] :
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 61
1. Stakeholder Satisfaction, siapa yang menjadi stakeholder dan apa yang mereka
inginkan serta apa yang mereka perlukan?
2. Stakeholder Contribution, kontribusi apa yang kita inginkan dan perlukan dari
stakeholder?
3. Strategies, strategi apa yang telah diterapkan untuk memenuhi apa yang diinginkan
dan diperlukan stakeholder?
4. Processes, proses apa yang diperlukan untuk menjalankan strategi yang sudah
ditetapkan?
5. Capabilities, kemampuan apa saja yang diperlukan untuk mengoperasikan proses
lebih efektif dan efisien?
Gambar 1. Ruang Lingkup Performance Prism [7]
Filosofi performance prism berasal dari sebuah bangun prisma yang memiliki lima segi
yaitu untuk atas dan bawah adalah satisfaction dari stakeholder dan kontribusi
stakeholder. Sedangkan untuk ketiga sisi berikutnya adalah strategy, process dan
capability. Prisma juga dapat membelokkan cahaya yang datang dari salah satu bidang
ke bidang yang lainnya.
2.3. Metode Performance Monitoring System (PPMS)
Performance Monitoring System (PPMS) merupakan aliran pengumpulan data dan
penyebarluasan data. PPMS dapat membantu manajer proyek dan staff menilai kinerja
proyek pada waktu yang tepat. Kategori pengukuran kinerja proyek dapat ditambah dan
dikurangi sesuai dengan tujuan proyek. Penggunaan PPMS memungkinkan manajer
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 62
proyek membandingkan dan menyajikan data dengan mudah dalam bentuk grafik dan
kurva. Sistem menyediakan sarana identifikasi daerah-daearh mana saja yang dinilai
berkinerja rendah untuk segera ditangani. Banyaknya parameter kinerja yang digunakan
tergantung pada tingkat kecanggihan proyek dan sejauh mana upaya monitoring dicari.
Data proyek yang berhubungan dengan parameter di simpan dalam database untuk
dianalisa dan dibuat laporan [3].
Gambar 2. Pengembangan Framework PPMS [3]
Kategori penilaian kinerja proyek terdiri dari 8 (delapan) kategori penting yaitu people,
cost, time, quality, safety and health, environment, customer satisfaction dan
communication. Penerapan indikator lingkungan dan masyarakat merupakan tanggapan
terhadap keprihatinan terhadap masalah lingkungan dengan pendekatan sistem kontrak.
2.4. Integrated Performance Measurement System (IPMS)
Integrated Performance Measurement System (IPMS) merupakan sistem pengukuran
kinerja yang dibuat di Centre of Strategic Manufacturing, University of Strathclyde,
Glasglow [9], dengan tujuan mendeskripsikan arti yang tepat bentuk integrasi, efektif
dan efisien Sistem Pengukuran Kinerja (SPK), untuk mencapai tujuan tersebut maka
dideskripsikan sebagai berikut [10] :
Corrective Action
To improve
Performance
PPMS
Computing
Framework
AC
TIO
N
AC
TIO
N
REP
OR
TIN
G
DA
TAB
ASE
D
ATA
EN
TRY
Contractor Client Consultans
Database
Reporting
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 63
1.Komponen pokok dari sistem pengukuran kinerja.
2.Membuat garis arahan pengukuran kinerja terbaik yang sebaiknya digunakan.
Model IPMS membagi level bisnis suatu organisasi menjadi 4 (empat) level yaitu :
Business (Corporate-Bisnis Induk), Business Unit, Business Process dan Activity.
Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja dengan Model IPMS harus mengikuti
tahapan-tahapan identifikasi stakeholder dan requirement, melakukan eksternal monitor
(benchmarking), menetapkan objectives bisnis, mendefinisikan indikator, melakukan
validasi dan spesifikasi indikator kinerja.
Gambar 3. Konsep Framework IPMS [8]
Gambar 3 menunjukkan bagaimana kegiatan operasional selaras dan terintegrasi
dengan tujuan strategi objektif organisasi melalui pemilihan indikator kinerja yang
tepat. Kerangka kerja terdiri dari serangkaian 4 (empat) bidang tindakan yang seimbang
berdasarkan visi dan strategi organisasi yaitu sebagai berikut [8] :
1. Customer, bagaimana memenuhi keinginan pelanggan?
2. Learning and Growth, bagaimana mendukung inovasi, perubahan, perbaikan
berkelanjutan?
3. Financial, bagaimana tindakan memenuhi strategi tujuan keuangan?
4. Internal Business Processes, seberapa jauh kinerja proses internal bisnis?
2.5. Key Performance Indicator (KPI)
Key Performance Indicator merupakan suatu pengukuran secara kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan untuk meninjau kemajuan organisasi terhadap tujuannya.
Indikator diuraikan dan ditetapkan sebagai faktor pencapaian target pada suatu
kelompok maupun individu. Pencapaian target ditinjau dan dilakukan secara berkala.
Karakteristik KPI telah diidentifikasikan dari beberapa literatur, KPI tidak harus
memenuhi semua karakteristik yang berguna untuk penilaian suatu lembaga. Pada
umumnya perspektif KPI mencakup sebagai barikut [1] :
1. Financial, mengukur dampak ekonomi terhadap pertumbuhan, keuntungan dan
resiko dari perspektif pemegang saham (net income, ROI, ROA, cash flow)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 64
2. Customer, mengukur kemampuan organisasi untuk memberikan kualitas barang dan
jasa yang memenuhi harapan pelanggan (customer retention, provitability,
satisfaction and loyality)
3. Internal Business Processes, mengukur proses bisnis internal yang menciptakan
kepuasan pelanggan dan pemegang saham (project management and total quality
management)
4. Learning and Growth, mengukur lingkungan organisasi yang mendorong terjadinya
perubahan, inovasi, pertukaran informasi dan perkembangan (moral staff, pelatihan
dan pertukaran pengetahuan)
Gambar 4. Perspektif KPI [1]
Strategi pengelolaan dokumen harus berbentuk level-level dimana Key Performance
Incators strategi untuk pencatatan seluruh bagian perusahaan. Untuk pencapaian proses
tersebu maka strategi pengelolaan dokumen harus searah dengan strategi perusahaan.
2.6. Balanced Scorecard (BSC)
Balanced Scorecard dikembangkan oleh Robert Kaplan seorang akutansi, Professor di
Havard University dan David Norton konsultan di daerah Boston. Pada Tahun 1990
Kaplan dan Norton memimpin sebuah penelitian pada beberapa perusahaan untuk
menerapkan metode pengukuran kinerja. Kriteria pertimbangan Balanced Scorecard
terdiri atas sebagai berikut [6]:
1. Customer, organisasi harus menjawab tiga pertanyaan secara kritis : Siapa pelanggan
yang menjadi target pencapaian tujuan?, apa saja proposisi nilai layanan pelanggan?,
apa saja yang diharapkan dan kebutuhan pelanggan?
2. Internal Processes, untuk memenuhi keinginan pelanggan, harus
mengidentifikasikan proses internal sebagai perbaikan kegiatan yang ada.
3. Employee Learning and Growth, untuk mencapai hasil proses internal, pelanggan
dan pemegang saham maka diperlukan pengukuran perspsektif pembelajaran dan
pertumbuhan karyawan terhadap skill karyawan, kepuasan karyawan, ketersediaan
informasi dan kesesuaian tempat.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 65
4. Financial, pengukuran financial merupakan komponen penting dari Balanced
Scorecard terutama dalam mencari keuntungan.
5.
Gambar 5. Framework Balanced Scorecard [6]
Gambar 5 menunjukkan kerangka kerja Balanced Scorecard. BSC menetapkan
pengukuran financial sebagai ukuran hasil utama dari keberhasilan suatu perusahaan
dengan tambahan pengukuran tiga perspektif Costomer, Internal Business process,
Learning and Growth.
2.7. Diversity Scorecard
Diversity Scorecard digambarkan sebagai keragamanan scorecard yang seimbang,
tujuan dipilih secara teliti dan pengukuran berdasarkan dari strategi organisasi yang
memiliki hubungan dengan keragamanan strategi. Pengukuran dipilih untuk
merepresentasikan alat Diversity Scorecard bagi keragaman pemimpin yang digunakan
dalam berkomunikasi dengan eksekutif, manajer, karyawan dan stakeholder eksternal
untuk mencapai keragaman misi dan keragaman strategi tujuan. Tujuan dasar dan
ukuran Diversity Scorecard umumnya melihat kinerja keragaman organisasi
berdasarkan 6 (enam) sudut pandang yaitu sebagai berikut [4] :
1. Financial impact, untuk sukses finacial, bagaimana seharusnya diketahui oleh
pemegang saham?
2. Diverse customer/community partnership, untuk mencapai visi, bagaimana kita
memberikan produk dan melayani masyarakat pelanggan yang beragam?
3. Workforce profile, untuk memotivasi tenaga kerja, bagaimana kita mendukung
produktivitas, iklim kerja yang inklusif?
4. Workplace climate/culture, untuk mengetahui keinginan pelanggan, bagaimana
menerapkan tenaga kerja?, bagaimana mempertahankan mereka?
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 66
5. Diversity leadership commitment, untuk mencapai visi, bagaimana kita mendukung
akuntabilitas kepemimpinan yang beragam.
6. Learning and growth, untuk mencapai visi, bagaimana kita mendukung kemampuan
untuk perubahan dan perbaikan?
7.
Gambar 6. Framework Diversity Scorecard [4]
Gambar 8 menggambarkan penjabaran strategi organisasi dan menghubungkan ke
strategi keanekaragaman. Diversity Scorecard berakar dari visi dan strategi organisasi
serta didukung kepemimpinan.
3. METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa review berdasarkan
pada beberapa referensi dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan.
Berdasarkan dari berbagai referensi tersebut dilakukan identifikasi terhadap berbagai
metode pengukuran dan penilaian kinerja yang dapat diterapkan pada industri
konstruksi. Selanjutnya dianalisa tingkatan masing-masing kelebihan dan sistem analisa
dari metode-metode tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kajian dari beberapa referensi mengenai metode pengukuran dan
penilaian kinerja industri konstruksi maka dapat dirangkum dalam bentuk matrik
sebagai berikut ini.
Tabel 1. Hasil Perbandingan Perspektif Metode Pengukuran dan Penilaian Kinerja
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 67
Keterangan:
PP: Performance Prism, PPMS: Project Performance Monitoring System, IPMS:
Integrated Performance Measurement System, KPI: Key Performance Indicators, BSc:
Balanced Scorecard dan DSc: Diversity Scorecard
5. KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa Integrated Performance
Measurement System (IPMS), Key Performance Indicators (KPI), Balanced Scorecard
(BSc) dan Diversity Scorecard (DSc) memiliki perspektif kinerja yang sama hanya
pada masing-masing metode memiliki fokus pengukuran yang berbeda. Pada Project
Performance Monitoring System (PPMS) lebih berfokus terhadap pengukuran kinerja
internal sedangkan pada metode Performance Prism berfokus pada kepuasan
stakeholder baik pemerintah maupun swasta dengan kontribusi stakeholder secara
terintegrasi memungkinkan dapat menentukan strategi untuk mencapai keinginan dan
kebutuhan stakeholder dengan maksimal.
Berdasarkan kesimpulan tersebut metode pengukuran dan penilaian diusulkan
menggunakan metode Performance Prism yang memberikan pengukuran dan penilaian
kinerja secara komprehensif untuk industri konstruksi. Metode Performance Prism
akan lebih komprehensif jika berkolaborasi dengan metode Diversity Scorecard.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Bauer, Kent, (2004), Key Performance Indicators: The Multiple Dimensions,
Information Management and Source Media Inc., Brookfield USA.
www.information-management.com
2. Bernold L.E and Abourizk S.M (2010), Managing Performance in Construction,
Jhon Wiley and Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Perspektif Kinerja PP PPMS IPMS KPI BSc DSc
Stakeholder Satisfaction
Stakeholder Contribution
Strategies
Processes
Capabilities
People
Cost / Financial
Time
Quality
Safety and Health
Environment
Customer Satisfaction
Communication
Learning and Growth
Internal Business Processes
Workforce profile
Workplace climate/culture
leadership commitment
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 68
3. Cheung,SO; Suen,HCH and Cheung KKW (2004), PPMS: a Wab-base
Construction Project Performance Monitoring System, Elsevier, Automation in
Construction 13, 361-376.
4. Hubbard, Edward E (2004), The Diversity Scorecard: Evaluating The Impact of
Diversity on Organizational Performance, Elsevier Butterworth-Heinemann.
5. Husen, Abrar (2011), Manajemen Proyek: Perencanaan, Penjadwalan dan
Pengendalian Proyek, Andi Offset, Yogyakarta.
6. Kaplan, RS (2010), Conceptual Foundation of the Balanced Scorecard, Harvard
Business School, Harvard University.
7. Nelly, A; Adams, C and Crowe, P (2001), The Performance Prism In Practise,
Measuring Busness Excellence 5, 22001, pp . 6 - 1 2, MCB University Press,
1368 – 3047.
8. Powell,D and Netland, T (2010), Towards an Integrated Performance
Measurement System for Cellular Manufacturing: Insights from the Case of
Volvo Aero Norway, POMS 21st Annual Conference, Vancouver.
9. Suartika,I Made; Suwignjo, Patdono dan Syairuddin, Bambang (2007),
Perancangan dan Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Dengan Metode
Integrated Performance Measurement Systems, Jurnal Teknik Industri, Vol 9
No.2, 131-143.
10. Suwignjo, P., 2000, “Sistem Pengukuran Kinerja: Sejarah Perkembangan dan
Agenda Penelitian ke Depan”, Proceeding Seminar Nasional Performance
Management, Bagian C, Hotel Wisata, Jakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 69
KAJIAN KERANGKA LEGISLATIF PENERAPAN GREEN
CONSTRUCTION DALAM PROYEK BANGUNAN
GEDUNG DI INDONESIA
Wulfram I. Ervianto1, Biemo W. Soemardi
2, Muhamad Abduh
3 dan Surjamanto
4
1Kandidat Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
email: ervianto@mail.uajy.ac.id 2Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: b_soemardi@si.itb.ac.id 3Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: abduh@si.itb.ac.id 4Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, email:
titus@ar.itb.ac.id
ABSTRAK
Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di Bumi diyakini oleh para
peneliti disebabkan salah satunya adalah pembangunan. Sebuah gagasan yang dianggap berpotensi dapat
mengurangi pemanasan global adalah dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep
ini mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu terjemahan konsep pembangunan
berkelanjutan di tingkat praktis dikenal dengan green construction dimana implementasinya mulai
mendapat perhatian dari berbagai pihak. Kajian tentang green construction ditinjau dari aspek teknis
telah banyak dilakukan untuk meyakinkan dapat diterapkannya di Indonesia. Selain kajian aspek teknis
tentu dibutuhkan kepastian apakah kerangka legislatif yang telah ada di Indonesia dapat mengakomodasi
secara komprehensif bila green construction diterapkan. Sampai dengan saat ini belum ada informasi
yang lengkap tentang pemetaan kerangka legislatif yang mendukung penerapan green construction.
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap berbagai peraturan yang telah mengakomodasi
konsep green construction dalam bentuk mapping kerangka legislatif untuk mendukung penerapan green
construction untuk bangunan gedung baru di Indonesia. Data dan informasi diperoleh melalui dokumen
dalam bentuk undang-undang, peraturan menteri, peraturan daerah dan peraturan lain yang terkait dengan
bangunan ramah lingkungan, yaitu Undang-Undang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002, Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010, Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen)
Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau. Peraturan Daerah (Perda) berupa Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012. Hasil kajian menyatakan bahwa dalam tahap perencanaan
terdapat 42 Pasal/ayat yang mengatur tentang perencanaan bangunan hijau, 53 pasal/ayat pada tahap
pelaksanaan, dan 26 pasal/ayat pada tahap operasional bangunan.
Kata kunci: Landasan Legislatif; Green Construction, Bangunan gedung.
1. PENDAHULUAN Fenomena global warming yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca menjadi topik
yang banyak dibahas dalam berbagai forum ilmiah. Salah satu indikator bahwa bumi
tengah mengalami perubahan adalah tingginya konsentrasi karbondioksida (CO2) di
udara yang bersifat menghalangi pelepasan panas dari bumi. Konsumsi energi yang
besar dengan pertumbuhan 2% per tahun sampai tahun 2020 akan menghasilkan emisi
global CO2 dan gas rumah kaca lainnya naik menjadi dua kali lipat dari tahun 1965-
1998 yang berdampak pada perubahan iklim dunia [11]. Bila cara-cara pembangunan
tetap dilakukan seperti biasanya tanpa perubahan, maka pada tahun 2050 diperkirakan
konsentrasi CO2 akan mencapai 500 part per million (ppm) atau menjadi dua kali lipat
konsentrasinya bila dibandingkan sebelum revolusi industri [13]. Secara global,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 70
Indonesia berada di urutan ke lima dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca atau
sekitar 4,63% [14].
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007, Indonesia
sepakat untuk menurunkan konsentrasi CO2 di udara sebesar 26% sampai dengan 41%
di akhir tahun 2020 dan disepakati tentang “peta jalur hijau” dengan pola pembangunan
abad ke-21 yang berkadar rendah karbon. Salah satu agenda yang diusulkan adalah
melakukan promosi sustainable construction untuk penghematan bahan dan
pengurangan limbah (bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca
konstruksi [12]. Kedua hal tersebut diatas terkait erat dengan daya dukung lingkungan
yang dapat dikelompokan menjadi dua komponen, yaitu: kapasitas penyediaan
(supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Tujuan sustainable construction adalah menciptakan bangunan berdasarkan disain yang
memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam secara efisien dan ramah
lingkungan selama operasional bangunan [6]. Bagian dari sustainable construction
adalah green construction yang merupakan proses holistik yang bertujuan untuk
mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara lingkungan alami dan buatan [7].
Green construction didefinisikan suatu perencanaan dan pelaksanaan proses konstruksi
untuk meminimalkan dampak negatif proses konstruksi terhadap lingkungan agar
terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia
untuk generasi sekarang dan mendatang [8].
Green construction mencakup aspek, faktor, dan indikator. Faktor green construction
di Indonesia dapat disintesakan menjadi 16 faktor [9]. Dalam setiap faktor green
construction terdapat sejumlah indikator green construction. Indikator green
construction untuk bangunan gedung di Indonesia adalah 142 indikator, yang terdiri
dari 77 indikator prioritas I dan 65 indikator prioritas II. Secara rinci indikator prioritas
I terbagi menjadi 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori minimum waste, dan
49,33% kategori maksimum value. Sedangkan dalam prioritas II terbagi menjadi
27,69% kategori perilaku, 12,31% kategori minimum waste, dan 60% kategori
maksimum value. Komposisi indikator green construction secara keseluruhan adalah
21,43% dalam kategori perilaku, 24,29% dalam kategori minimum waste, dan 54,29%
dalam kategori maksimum value. [8].
Dengan terdefinisikannya faktor dan indikator green construction tersebut diatas
tentunya semakin besar posibilitas diterapkannya green construction dalam proses
pembangunan di tingkat praktis. Namun demikian masih perlu dikaji lebih mendalam
dalam hal-hal sebagai berikut: peraturan legislatif, risiko yang akan ditanggung oleh
pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan, kesiapan kontraktor, kesiapan konsultan
pengawas, kesiapan pemasok material bangunan pabrikasi maupun bukan pabrikasi,
kesiapan pekerja konstruksi secara keseluruhan. Tentu saja semua hal tersebut tidak
dapat ditunggu kesiapannya secara simultan, akan tetapi harus direncanakan dan
dikelola secara strategis agar green construction secara perlahan dapat diterapkan di
Indonesia. Dari berbagai hal tersebut diatas aspek yang berkekuatan untuk mendorong
penerapan green construction di Indonesia adalah peraturan yang berkekuatan hukum
yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah sebagai regulator.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 71
2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan kesepakatan Indonesia dalam Konferensi di Bali pada bulan Desember
2007 tentang “peta jalur hijau” dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar
rendah karbon. Merujuk pada agenda dalam Konstruksi Indonesia untuk melakukan
promosi sustainable construction melalui penghematan bahan dan pengurangan limbah
(bahan sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi. Dimulainya era
green dengan terdefinisikannya konsep green secara komprehensif dalam berbagai
infrastruktur seperti green building dan green construction, maka diperlukan berbagai
peraturan yang berkekuatan hukum sebagai dasar dalam implementasinya di tingkat
praktis.
3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dalam penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap kerangka legislatif yang
telah ada untuk mendukung dalam penerapan green construction pada bangunan
gedung di Indonesia.
4. KAJIAN PUSTAKA Definisi “kerangka” adalah garis besar atau rancangan [10], sedangkan legislatif berasal
dari kata legislate yang berarti lembaga yang bertugas membuat undang-undang [10].
Lembaga legislatif berwenang untuk menentukan kebijakan dan membuat undang
undang disertai dengan hak-hak tertentu yang dimilikinya. Keanggotaan lembaga
legislatif dianggap sebagai perwakilan rakyat, karena itulah lembaga legislatif sering
dinamakan sebagai badan atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut [4]: (a) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945; (b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan
Daerah.
Terkait dengan green construction, aspek legislatif yang telah ada saat ini adalah
Undang-Undang Bangunan Gedung Nomor 28 tahun 2002. Sedangkan peraturan yang
mengatur secara spesifik tentang bangunan ramah lingkungan adalah Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010. Di tingkat Peraturan Daerah (Perda)
yang mengatur tentang Bangunan Gedung Hijau adalah Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 38 Tahun 2012. Peraturan setingkat menteri yang sedang dipersiapkan
adalah Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis
Bangunan Hijau.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan
Gedung terdiri dari 10 Bab dan 49 Pasal, bertujuan untuk mewujudkan bangunan
gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan
selaras dengan lingkungannya. Pasal-pasal yang terkait dengan aspek lingkungan
adalah pasal 11; pasal 14, terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang ruang
terbuka hijau yang seimbang; pasal 15, tentang persyaratan pengendalian dampak
lingkungan; pasal 22, tentang sirkulasi dan pertukaran udara; pasal 23, tentang
keharusan mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami; pasal 24, tentang sistem
pembuangan air kotor/kotoran/sampah dan penyaluran air hujan; pasal 25 ayat 1,
tentang penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan; pasal 26 ayat 4,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 72
tentang kenyamanan kondisi udara dalam ruang, pasal 26 ayat 6, kenyamanan tingkat
getaran; pasal 39 tentang dekonstruksi bangunan.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010. Dalam peraturan
ini mencakup tiga hal, yaitu: (a) Kriteria bangunan ramah lingkungan; (b) Sertifikasi
bangunan ramah lingkungan; (c) Registrasi lembaga sertifikasi bangunan ramah
lingkungan. Bagian yang terkait langsung dengan bangunan ramah lingkungan adalah
Bab II tentang Kriteria Bangunan Ramah Lingkungan yang diatur dalam pasal 4.
Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis
Bangunan Hijau. Tujuan adanya rapermen ini adalah terselenggaranya fungsi bangunan
gedung yang telah memenuhi persyaratan keandalan teknis dan mengutamakan aspek
bangunan hijau yang meliputi: (a) efisiensi dalam penggunaan energi; (b) efisiensi
dalam penggunaan air; (c) mutu udara dalam bangunan gedung; (d) pengelolaan
limbah; (e) manajemen penyelenggaraan bangunan gedung. Kriteria bangunan hijau
dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, kriteria pembangunan yang mencakup aspek
perencanaan dan pelaksanaan. Lebih spesifik kriteria yang memuat tahap pelaksanaan
adalah: (a) manajemen efisiensi energi; (b) manajemen efisiensi air; (c) manajemen
penggunaan material; (d) manajemen pelaksanaan konstruksi. Kedua, kriteria
pemanfaatan yang mencakup aspek pemeliharaan, aspek perawatan, dan aspek
pemeriksaan berkala.
Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan
Hijau. Peraturan ini mulai diberlakukan sejak bulan April 2012. Dalam peraturan ini
dibedakan menjadi dua, yaitu bangunan baru (new building) dan bangunan lama
(eksisting). Aspek yang perhatikan dalam bangunan baru adalah disain yang menjadi
standar teknis bangunan yang memiliki lima kriteria, yaitu: (a) pengelolaan bangunan
masa konstruksi; (b) pengelolaan lahan dan limbah; (c) efisiensi energi; (d) efisiensi air;
(e) kualitas udara dan kenyamanan termal. Sedangkan aspek yang diperhatikan dalam
bangunan lama adalah konsumsi energi yang memiliki empat kriteria, yaitu: (a)
pengelolaan bangunan masa operasional; (b) konservasi dan efisensi energi; (c)
konservasi dan efisiensi air (d) serta kualitas udara dan kenyamanan termal. Peraturan
ini bersifat wajib atau mandatori, oleh karenanya bagi pihak-pihak yang tidak
melaksanakan aturan tersebut akan dikenakan sanksi berupa tidak akan mendapat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) bagi bangunan baru (new building) dan tidak akan
mendapat Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan untuk bangunan lama (existing
building).
5. DATA DAN ANALISIS
Untuk mendapatkan kerangka legislatif yang mendukung penerapan green construction
pada bangunan gedung di Indonesia didahului dengan melakukan pendataan terkait
dengan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Sejumlah peraturan
tersebut selanjutnya diinterpretasikan secara detil untuk menentukan bagian-bagian
yang terkait dengan penerapan green construction pada bangunan gedung. Mengingat
konsep ini masih relatif baru di Indonesia, saat ini belum banyak regulasi yang
mengatur penerapannya di Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa yang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 73
mengatur dalam pembangunan gedung terkait dengan aspek lingkungan dan merupakan
bagian dari konsep green construction.
Analisis data yang digunakan secara deskriptif mengingat karakter data berupa paparan
dalam berbagai regulasi. Untuk mengidentifikasi pasal dan ayat dalam peraturan yang
terkait dengan tahapan dalam proyek konstruksi akan dibedakan menjadi dua, yaitu
langsung (L) dan tidak langsung (TL). Langsung didefinisikan jika aktivitas tersebut
diciptakan pada tahapan proyek tersebut, sedangkan Tidak Langsung jika aktivitas
terjadi sebagai akibat dari aktivitas tahapan proyek lainnya.
Tabel 1 : Pasal dan ayat dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun
2002 tentang bangunan gedung yang terkait dengan lingkungan.
Deskripsi Pr. Pl. Op.
Pasal 14, terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang ruang terbuka hijau yang seimbang.
L - -
Pasal 15, persyaratan pengendalian dampak lingkungan. L - -
Pasal 22, sirkulasi dan pertukaran udara. L - TL
Pasal 23, keharusan mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami. L - TL
Pasal 24, sistem pembuangan air kotor/kotoran/sampah dan penyaluran air hujan.
L L TL
Pasal 25 ayat 1, Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan.
L L /TL TL
Pasal 26 ayat 4, Kenyamanan kondisi udara dalam ruang. L - TL
Pasal 26 ayat 6, Kenyamanan tingkat getaran. L L TL
Pasal 39, Dekonstruksi bangunan. L L /TL - Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 2 : Pasal dan ayat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 08
tahun 2010 yang terkait dengan aspek lingkungan
Deskripsi Pr. Pl. Op.
Pasal 4 – a, Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan.
Material bangunan yang bersertifikat eco-label. L TL TL
Material bangunan lokal. L L -
Pasal 4 – b, Terdapat fasilitas, sarana, dan rasarana untuk konservasi sumber daya Air dalam bangunan gedung
Mempunyai sistem pemanfaatan air yang dapat dikuantifikasi.
L L TL
Menggunakan sumber air yang memperhatikan konservasi sumber daya air.
L L -
Mempunyai sistem pemanfaatan air hujan. L L TL
Pasal 4 – c, Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana konservasi dan diversifikasi Energi
Menggunakan sumber energi alternatif terbarukan yang rendah emisi gas rumah kaca.
L L TL
Menggunakan sistem pencahayaan dan pengkondisian udara buatan yang hemat energi.
L L TL
Pasal 4 – d, Menggunakan bahan yang bukan bahan perusak ozon dalam bangunan Gedung
Refrigeran untuk pendingin udara yang bukan bahan perusak ozon.
L L TL
Melengkapi bangunan gedung dengan peralatan pemadam kebakaran yang bukan bahan perusak ozon.
L L TL
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 74
Deskripsi Pr. Pl. Op.
Pasal 4 – e, Terdapat fasilitas,sarana, dan prasarana pengelolaan air limbah domestik Pada bangunan gedung
Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pengolahan air limbah domestik pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus.
L L TL
Melengkapi bangunan gedung dengan sistem pemanfaatan kembali air limbah domestik hasil pengolahan pada bangunan gedung fungsi usaha dan fungsi khusus.
L L TL
Pasal 4 – f, Terdapat fasilitas pemilahan sampah
- L L -
Pasal 4 – g, Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
Melakukan pengelolaan sistem sirkulasi udara bersih.
L L TL
Memaksimalkan penggunaan sinar matahari. L L TL
Pasal 4 – g, Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana pengelolaan tapak berkelanjutan
Melengkapi bangunan gedung dengan ruang terbuka hijau sebagai taman dan konservasi hayati, resapan air hujan dan lahan parkir.
L - TL
Mempertimbangkan variabilitas iklim mikro dan perubahan iklim.
L - TL
Mempunyai perencanaan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan tata ruang.
L - -
Menjalankan pengelolaan bangunan gedung sesuai dengan perencanaan.
L - TL
Terdapat fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Mempunyai sistem peringatan dini terhadap bencana dan bencana yang terkait dengan perubahan iklim.
L - TL
Menggunakan material bangunan yang tahan terhadap iklim atau cuaca ekstrim intensitas hujan yang tinggi, kekeringan dan temperatur yang meningkat.
L L -
Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 3 : Pedoman teknis pelaksanaan dalam Rancangan Peraturan Menteri
(Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau.
Item Deskripsi Pr. Pl. Op.
II.2.2, Manajemen efisiensi energi
Memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya listrik yang tersedia dan/atau menyediakan sumber catu daya mandiri (generator power supply).
- L -
Menggunakan alat transportasi vertikal/lif konstruksi (material/passenger hoist) yang hemat energi.
- L -
Menggunakan seoptimal mungkin pencahayaan alami.
- L -
Memasang alat ukur beban listrik atau kWh meter terpisah untuk masing-masing kelompok beban >100 kVa sehingga memudahkan untuk
- L -
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 75
Item Deskripsi Pr. Pl. Op.
memantau penggunaan daya listrik masing-masing kelompok.
Mendorong penggunaan sumber daya non-fosil dalam kegiatan pelaksanaan.
- L -
II.2.3, Manajemen efisiensi air
Menyediakan penampungan air hujan dengan kapasitas semaksimal mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber air bersih proyek.
- L -
Melakukan manajemen air dewatering - L -
Sumur resapan dan/atau kolam penampungan air hujan digunakan untuk menjaga keseimbangan air tanah, mengurangi aliran permukaan dan/atau untuk alternatif sumber air bersih
- L -
Manajemen penggunaan air dengan memisahkan kegiatan yang memerlukan air untuk kebersihan dengan kegiatan yang membutuhkan air dengan kualitas lebih rendah
- L -
II.2.4, Manajemen penggunaan material
Menggunakan material secara efisien dan cermat untuk mengurangi sisa bahan tak terpakai (zero waste, zero defect, dan sistem pracetak)
- L -
Menggunakan material yang bahan baku dan proses produksinya ramah lingkungan.
- L -
Menyiapkan area pemilahan dan menyelenggarakan manajemen sampah untuk tempat material sisa pelaksanaan proyek sebelum digunakan kembali dan/atau didaur ulang.
- L -
Mengutamakan penggunaan material lokal hasil olahan yang mudah diperoleh di sekitar kawasan proyek.
- L -
Menggunakan pemasok bahan konstruksi yang bersedia membawa/mengambil kembali kemasan pembungkus, pallets, dan material yang tidak terpakai atau material sisa yang ditimbulkan oleh produk yang disediakannya.
- L -
Melakukan penjadwalan pengadaan material secara akurat untuk mengurangi penyimpanan.
- L -
Mendorong penggunaan kembali material untuk kantor proyek, bedeng pekerja konstruksi, dan gudang.
- L -
Mendorong penggunaan kembali alat bantu konstruksi seperti cetakan beton, perancah, dan alat bantu lainnya.
- L -
II.2.5, Manajemen pelaksanaan konstruksi bangunan gedung
Manajemen Kebisingan, Getaran, dan Debu 1. Manajemen kebisingan dan getaran dari
kegiatan pelaksanaan konstruksi yang - L -
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 76
Item Deskripsi Pr. Pl. Op.
dirasakan di luar area konstruksi. 2. Manajemen debu konstruksi yang dirasakan
di luar area konstruksi.
Testing – Commissioning 1. Testing Commissioning dilakukan oleh pihak
ketiga independen. 2. Aktifitas testing commissioning dimulai sejak
proses desain hingga penyusunan bahan training untuk manajemen gedung.
3. Pelaksanaan testing commissioning harus mengacu kepada pedoman tertentu.
- L -
Catatan: Pr: Perencanaan; Pl: Pelaksanaan; Op: Operasional; L: Langsung; TL: Tidak Langsung.
Tabel 4 : Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun
2012 tentang Bangunan Hijau.
Kriteria Deskripsi Pr. Pl. Op.
Efisiensi energi
Pasal 6, Ayat 1, 2, 3. Sistem selubung bangunan. L - -
Pasal 7, Ayat 1-3. Sistem ventilasi. L - -
Pasal 8, Ayat 1-3; Pasal 9, Ayat 1-9. Sistem pengkondisian udara.
L - -
Pasal 10, Ayat 1, 2; Pasal 11, Ayat 1-6. Sistem pencahayaan.
L - -
Pasal 12, Ayat 1-3. Sistem transportasi dalam gedung. L - -
Pasal 13, Ayat 1-6. Sistem kelistrikan. L - -
Kriteria efisiensi air
Pasal 15, Ayat 1, 2. Perencanaan peralatan saniter hemat air.
L - -
Pasal 16, Ayat 1, 2; Pasal 17, Ayat 1-3. Perencanaan pemakaian air.
L - -
- - L
Kualitas udara dalam ruang
Pasal 18, Ayat 1-5. Kualitas udara dalam ruang. L - -
Pengelolaan Lahan dan Limbah
Pasal 20; Pasal 21, Ayat 1-6; Pasal 22, Ayat 1-4; Pasal 23, Ayat 1, 2, 3. Persyaratan tata ruang.
L - -
Pasal 26, Ayat 1,2; Fasilitas pendukung.
L -
Pasal 26, Ayat 3,4. - - L
Pasal 8, Ayat 1-3. Pengelolaan limbah padat dan limbah cair.
L - -
Pasal 9, Ayat 1-9. L - -
Pelaksanaan Kegiatan Konstruksi
Pasal 28, Ayat 1, 2; Pasal 29, Ayat 1-3. Keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan.
- L -
Pasal 30, Ayat 1, 2. Konservasi air pada saat pelaksanaan kegiatan konstruksi.
- L -
Pasal 31, Ayat 1, 2, 3. Pengelolaan limbah B3 kegiatan konstruksi .
- L -
Keselamatan, kesehatan kerja Dan lingkungan
Pasal 29, Ayat 1. Pelaksana konstruksi wajib menyediakan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK)dan bedeng pekerja.
- L -
Pasal 29, Ayat 2. Pelaksana konstruksi harus membuat sumur resapan sementara untuk air limbah kegiatan
- L -
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 77
Kriteria Deskripsi Pr. Pl. Op.
konstruksi dan menyediakan kolam pengendapan (sump pit) untuk penampungan limbah bentonite, lumpur dan sisa beton.
Pasal 29, Ayat 3. Penggunaan jaring pengaman di sekeliling bangunan (full safety net) untuk mengendalikan sebaran debu dan puing
- L -
Konservasi air pada saat kegiatan konstruksi
Pasal 30, Ayat 1. Air bersih untuk kebutuhan pelaksanaan kegiatan konstruksi harus menggunakan tempat penampungan air (water reservoir).
- L -
Pasal 30, Ayat 2. Melaksanaan kegiatan konstruksi yang melakukan pemompaan air (dewatering)
- L -
Pengelolaan b3 kegiatan konstruksi
Pasal 31, Ayat 1. Apabila pelaksana konstruksi menggunakan B3 harus menyediakan absorban untuk penyimpanannya
- L -
Pasal 31, Ayat 2. Pelaksana konstruksi juga harus melakukan pemilahan sampah berdasarkan sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3 dan menyediakan tempat sampah sementara serta mengatur posisi/letak penempatannya sehingga tidak mengganggu lingkungan
- L -
Pasal 31, Ayat 3. Pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- L -
Tabel 5 : Rekapitulasi pasal/ayat yang mengatur tentang bangunan hijau dibedakan
berdasarkan perencanaan, pelaksanaan, dan operasional.
No. Nama Peraturan Perencanaan Pelaksanaan Operasional
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
9 pasal/ayat 6 pasal/ayat 6 pasal/ayat
2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 yang Terkait Dengan Aspek Lingkungan.
20 pasal/ayat 15
pasal/ayat 15
pasal/ayat
3. Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau.
- 18
pasal/ayat -
4. Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau.
13 pasal/ayat 11
pasal/ayat 2 pasal/ayat
Jumlah 42 pasal/ayat 50
pasal/ayat 23
pasal/ayat
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 78
Gambar 1: Rekapitulasi komposisi peraturan yang mengakomodasi green construction
pada tahap perencanaan, pelakasanaan, dan operasional.
6. KESIMPULAN Berdasarkan kajian dari masing-masing peraturan tentang bangunan hijau yang ada di
Indonesia (tabel 1-4), dapat dinyatakan bahwa terdapat 42 Pasal/ayat yang mengatur
tentang perencanaan bangunan hijau di Indonesia, sedangkan banyaknya pasal/ayat
yang mengatur pada tahap pelaksanaan adalah 53 dan pada tahap operasional bangunan
sebanyak 26 pasal/ayat.
Dari empat peraturan tersebut diatas yang mengakomodasi tentang green construction
terbanyak berturut-turut adalah: (1) Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen)
Pekerjaan Umum Tentang Pedoman Teknis Bangunan Hijau; (2) Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 tentang Kriteria Dan Sertifikasi
Bangunan Ramah Lingkungan; (3) Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Hijau; (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. …….., Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang
Bangunan Hijau.
2. ……., Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010
Tentang Kriteria Dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan.
9
20
0
13
42
9
15 18
11
53
9
15
0 2
26
Undang-UndangRepublik Indonesia
Nomor 28 Tahun2002
Peraturan MenteriNegara Lingkungan
Hidup Nomor 08Tahun 2010
RapermenPekerjaan UmumTentang PedomanTeknis Bangunan
Hijau
Pergub DKI JakartaNomor 38 Tahun
2012
Total
Peraturan Tentang Bangunan Hijau di Indonesia
Perencanaan
Pelaksanaan
Operasional
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 79
3. ……., Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) Pekerjaan Umum Tentang
Pedoman Teknis Bangunan Hijau.
4. ……., Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
5. ……., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung.
6. Conseil International Du Batiment (1994).
7. Plessis, D., Chrisna, Edit (2002) : Agenda 21 for Sustainable Construction in
Developing Countries’ Pretoria: Capture Press.
8. Ervianto, W.I. (2012), Laporan Penelitian “Identifikasi Faktor Green
Construction Pada Bangunan Gedung di Indonesia”, ITB-JICA.
9. Ervianto, W.I. (2012), Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit
ANDI, Yogyakarta.
10. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
11. Kwanda T. (2003), Pembangunan permukiman yang berkelanjutan untuk
mengurangi polusi udara , Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 31, no.1, hh. 20-27.
12. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (2007), Konstruksi Indonesia
2030 Untuk Kenyamanan Lingkungan Terbangun, Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nasional, Jakarta.
13. Salim, E. (2010), Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Gramedia, Jakarta.
14. World Resources Institute (2005).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 80
KAJIAN POTENSI PENERAPAN ASURANSI GEMPA
BUMI UNTUK RUMAH TINGGAL DI INDONESIA
Vetivera Kumala Dewi1
1Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Institut
Teknologi Bandung, email: avetivera@yahoo.com.
ABSTRAK
Indonesia terletak di jalur cincin api pasifik , dimana lempeng Australia dan lempeng Pasifik terhujam di
bawah lempeng Eurasia menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap letusan gunung berapi dan
gempa bumi. Peristiwa gempa bumi di Indonesia menduduki peringkat kesembilan di dunia dalam
jumlah korban selama abad ke 20. Berdasarkan studi dan simulasi yang dilakukan oleh World Bank,
potensi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh gempa bumi di Indonesia dapat mencapai 30 milyar
dolar amerika atau tiga persen dari nilai Pendapatan Domestik Bruto indonesia, dimana kerugian terbesar
disumbangkan oleh keperluan untuk merekonstruksi rumah tinggal. Berdasarkan fakta tersebut diatas
mungkinkah risiko akibat gempa bumi dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga, dengan harapan seluruh
masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dapat memperoleh kembali infrastrukturnya. Dalam hal ini
peran pemerintah menjadi penting sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, salah satu
opsi yang dapat dilakukan adalah membentuk kerjasama dengan pihak swasta melalui mekanisme
tertentu. Studi terhadap penerapan pengalihan risiko melalui mekanisme asuransi dilakukan pada negara
Turki yang juga rentan terhadap bencana gempa bumi untuk melihat potensi penerapannya di Indonesia.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa di Indonesia telah ada regulasi yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk memulai kerjasama pemerintah dengan swasta, diantaranya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dalam pasal 4. Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana dalam pasal 4 dan 5.
Perusahaan asuransi di Indonesia yang berfungsi sebagai pool asuransi gempa bumi telah dibentuk dan
diberi nama Maskapai Asuransi Indonesia Pengelola Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK).
Kata kunci: bencana alam; pengalihan risiko; kerjasama pemerintah swasta
1. PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia terletak dalam wilayah yang berpotensi terjadinya bencana
yang diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi.
Banyaknya gunung aktif serta bentuk negara yang berupa kepulauan adalah sebagian
faktor yang mempengaruhi seringnya terjadi bencana di Indonesia. Beberapa catatan
tentang gempa yang terjadi beberapa tahun terakhir adalah: (a) pada tahun 2005 di
pulau Nias dan sekitarnya menelan korban sekitar 1000 jiwa; (b) gempa yang terjadi
pada akhir tahun 2006 yang yang terjadi di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah yang
menelan korban 6.234 jiwa. Kejadian gempa di Indonesia secara rinci dapat dilihat
dalam tabel 1. Terjadinya gempa tersebut diatas dikarenakan posisi Indonesia yang
dikelilingi oleh tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia
dan Lempeng Pasifik. Apabila lempeng-lempeng tersebut bertemu akan menghasilan
energi yang cukup besar. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pacific Ring of Fire
yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat
meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Dampak yang terjadi adalah rusaknya
berbagai jenis infrastruktur salah satunya adalah rumah tinggal. Menurut data dari
World Bank, kehilangan/kerugian terbesar akibat gempa bumi terjadi pada rumah
tinggal. Selain itu, tingginya arus urbanisasi menambah kerentanan masyarat di
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 81
perkotaan terhadap bahaya gempa bumi apabila pembangunan rumah tinggal tidak
mengikuti standar pedoman bangunan tahan gempa di Indonesia.
Tabel 1. Bencana Gempa Bumi di Indonesia
No. Tanggal Lokasi Kekuatan
(SR)
Jumlah
korban
1 26 November 2007 Raba, Sumbawa 6,7 +3
2 12 September 2007 Lepas pantai Bengkulu 7,9 9+
3 6 Maret 2007 Padang 6,4 >60
4 11 Agustus 2006 Pulau Simeuleu, Sibolga 6,0 *
5 17 Juli 2006 Selatan Tasikmalaya 7,7 >400
6 27 Mei 2006 Imogiri, Bantul 5,9 6234
7 28 Maret 2005 Sibolga 8,5 – 8,7 *
8 26 Desember 2004 Sebelah Barat Laut Banda Aceh 9,3 230.000
9 4 Juni 2000 Bengkulu (Laut Hindia) 7,3 >100
10 12 Desember 1992 Pulau Flores 7,6 >2.100
11 1938 Laut Banda 8,5 *
12 24 November 1833 Sumatera 8,7 * Sumber: Pengelolaan Resiko Bencana Gempa Bumi melalui penataan ruang
catatan: * tidak ada data
2. TUJUAN KAJIAN
Berdasarkan aspek lokasi wilayah Indonesia yang berada dalam daerah rawan bencana
gempa bumi yang berpotensi menimbulkan kerugian finansial dalam jumlah relatif
besar maka perlu adanya kajian mengenai potensi penerapan asuransi gempa bumi
melalui kerjasama pemerintah swasta.
3. KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan studi dan simulasi yang dilakukan oleh world bank, potensi kerugian
akibat gempa bumi dengan periode ulang 250 tahun diperkirakan mencapai 30 milyar
dolar amerika, atau tiga persen dari Gross Domestic Product (GDP). Kerusakan dan
kerugian secara konsisten disumbangkan paling besar dari keperluan untuk rekonstruksi
rumah tinggal, yang disusul oleh infrastruktur publik misalnya: jalan, sekolah, dan
fasilitas kesehatan.
Belajar pada kejadian gempa Yogyakarta dengan korban ± 6.234 orang, gempa selatan
Tasikmalaya dengan korban lebih dari 400 orang, serta gempa di sebelah selatan laut
Banda Aceh dengan korban ± 230.000 orang maka ketiga lokasi tersebut pantas untuk
diteliti jenis kerusakan terhadap bangunan infrastruktur lebih spesifik tempat tinggal.
Jenis kerusakan pada bangunan rumah tinggal satu lantai dan bangunan bertingkat
bangunan akibat gempa di Yogyakarta dapat dilihat dalam tabel 2 [8].
Tabel 2. Jenis Kerusakan Bangunan Akibat Gempa Yogyakarta
No. Jenis kerusakan
Bangunan bertingkat > 2 lantai Rumah tinggal
1. Dinding retak (NS) Dinding miring (NS)
2. Gunungan miring (NS) Dinding pecah pada sudut-sudut bangunan (NS)
3. Tangga retak (S) Plesteran retak-retak (NS)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 82
No. Jenis kerusakan
Bangunan bertingkat > 2 lantai Rumah tinggal
4. Plat lantai retak (S) Retakan/patahan di lantai (NS)
5. Tulangan kolom patah (S) Dinding diatas pintu patah (NS)
6. Kolom lantai bergeser (S) Plafon rusak, runtuh (NS)
7. Balok diatas pintu terpuntir (S) Dinding roboh (NS)
8. Pertemuan balok dan kolom retak (S) Gunungan retak horisontal (NS)
9. Retak Dinding (NS) Kolom (pasangan bata) pecah (S)
10. - Ikatan angin lepas (S) Sumber: laporan kerusakan gempa UAJY, 2006.
Catatan. S : kerusakan struktural, NS : kerusakan non struktural.
Jenis kerusakan bangunan akibat gempa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1)
kerusakan ringan, (2) kerusakan sedang, (3) kerusakan berat. Jenis kerusakan yang
dapat dikategorikan dalam rusak ringan adalah suatu bangunan yang tidak diperlukan
perbaikan dan masih aman untuk dihuni, misalnya retak rambut pada dinding. Jenis
kerusakan yang dapat dikategorikan dalam rusak sedang adalah sebuah bangunan yang
perlu perbaikan ringan. Jenis kerusakan yang dapat dikategorikan dalam rusak berat
adalah bangunan yang perlu perbaikan berat agar bangunan aman untuk dihuni.
Secara umum kerangka pikir dalam kajian ini melibatkan tiga aspek yaitu aspek
finansial, aspek regulasi dan aspek teknis seperti dalam gambar 1.
Pemerintah
Rumah sederhana Rumah menengah Rumah mewah
Asuransi
KPS
Aspek finansial
Aspek teknis
Aspek regulasi
Gambar 1. Kerangka Pikir Dalam Kajian Kerjasama Pemerintah Swasta
Aspek Finansial
Instrumen anggaran utama pemerintah Indonesia untuk membiayai pengeluaran pasca
bencana melalui pendanaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Rekonstruksi pasca
bencana sebagian besar dibiayai melalui dana cadangan di Bendahara Umum Negara,
yang pencairannya memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada tahun 2010 dan 2011, alokasi dana untuk rekonstruksi adalah 450 juta dolar
amerika (≈Rp. 4 triliun) per tahun, Berdasarkan pengalaman sebelumnya untuk
penarikan dana ini membutuhkan beberapa bulan, dan berakibat pada keterlambatan
dalam pemulihan pasca bencana, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
program ganti rugi rumah. Angka ini cukup besar dan untuk memperoleh manfaat yang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 83
optimum perlu dipikirkan mekanisme pengelolaan dana. Dalam kajian ini
diprioritaskan pada rumah tinggal sederhana dengan pertimbangan bahwa masyarakat
dalam klas bawah ini akan terkendala dalam mengembalikan infrastruktur yang
mengalami kerusakan.
Aspek Teknis
Secara teknis telah banyak dipublikasikan persyaratan bangunan tahan gempa, salah
satunya oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Maksud dari bangunan
tahan gempa adalah meminimalkan resiko kerugian penghuni dan sekitarnya (yakni
keselamatan nyawa serta harta benda) akibat bencana gempa. Tujuan utama persyaratan
konstruksinya adalah: bahwa bangunan tidak rusak dalam bencana gempa ringan,
bangunan rusak sebagian namun tidak roboh pada waktu bencana gempa sedang, dan
bila roboh pada gempa dasyat, bangunan dapat diperbaiki lagi. Persyaratan bangunan
tahan gempa adalah: (1) Bangunan harus terletak di atas tanah yang stabil, (2) Denah
bangunan sebaiknya sederhana, simetris atau seragam, (3) Pondasi harus diikat kaku
dengan balok pondasi (sloof), (4) Pada setiap luasan dinding 12 m2, harus dipasang
kolom, dapat menggunakan bahan kayu, beton bertulang, baja, pilaster ataupun bambu,
kolom diikat kaku dengan sloof, (5) Harus dipasang balok keliling yang diikat kaku
dengan kolom, (6) Keseluruhan kerangka bangunan harus terikat secara kokoh dan
kaku, (7) Gunakan kayu kering sebagai konstruksi kuda-kuda, pilih bahan atap yang
seringan mungkin, dan ikat kaku dengan konstruksi kuda-kuda, (8) Bahan dinding pilih
yang seringan mungkin, papan, papan berserat, papan lapis, bilik, ikat bahan dinding
dengan kolom, (9) Bila bahan dinding menggunakan pasangan bata/batako, perhatikan
mutu bahan bata/batako, bahan tidak patah, dan berbunyi nyaring ketika diadukan. Pada
setiap jarak vertikal 30 cm, pasangan diberi anker yang dijangkarkan ke kolom, panjang
anker 50 cm, diameter 6 mm, (10) Perhatikan bahan spesi/adukan, setiap jenis tras,
pasir atau semen mempunyai sifat khusus, sebaiknya perbandingan campuran
mengikuti standar yang ada, (11) Demikian pula pemilihan perbandingan campuran
bahan beton, ikutilah standar yang ditentukan (12) Terakhir, pelaksanaan konstruksi,
hendaknya dilakukan oleh orang yang cukup mempunyai keahlian dan berpengalaman
[7].
Aspek Regulasi
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, definisi bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tujuan penanggulangan bencana antara lain
adalah: butir a, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
butir c, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh; butir e, membangun partisipasi dan kemitraan publik
serta swasta.
Secara eksplisit dalam undang-undang tersebut diatas dapat dimaknai bahwa
pemerintah akan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana,
salah satunya adalah kehilangan infrastruktur berupa tempat tinggal. Dalam butir lain
disebutkan adanya posibilitas pemerintah untuk menjalin kerjasama dengan pihak
swasta melalui skema kemitraan. Terkait dengan hal ini, infrastruktur vital bagi
masyarakat pasca bencana gempa adalah tidak berfungsinya atau rusaknya tempat
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 84
tinggal. Bagi masyarakat kurang mampu, hal ini tentu menjadi beban berat untuk
memulihkan kembali tempat tinggal mereka.
Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. Dalam pasal 3 disebutkan
bahwa Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat
tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam pasal 4 butir b disebutkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan pra bencana dapat dilakukan bila dalam sistuasi
terdapat potensi terjadinya bencana. Berdasarkan pernyataan tersebut jelas bahwa
wilayah Indonesia berada pada situasi potensi bencana.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008tentangPendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana, pasal 4menyatakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Dana
penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan
pemerintah daerah; (2) Dana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berasal dari: (a) Anggaran Pendapatan Belanja Negara; (b). Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah; dan/atau (c) masyarakat. Sedangkan dalam pasal 5, dalam
anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyediakan pula:
(a) dana kontinjensi bencana, yaitu dana yang dicadangkan untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya bencana tertentu; (b) dana siap pakai, yaitu dana yang selalu
tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat
bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir; dan(c) dana bantuan
sosial berpola hibah, adalah dana yang disediakan pemerintah kepada pemerintah
daerah sebagai bantuan penanganan pascabencana. Mekanisme untuk memperoleh
bantuan dari pemerintah dapat dilihat dalam gambar 2.
Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional
Dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana bertujuan untuk
mendukung penguatan upaya penanggulangan bencana, pengurangan ancaman dan
risiko bencana, pengurangan penderitaan korban bencana, serta mempercepat
pemulihan kehidupan masyarakat. Dalam peraturan ini lebih cenderung keterlibatan
lembaga internasional setelah terjadinya gempa.
Permohonan tertulis pemerintah daerah kepada BNPB
BNPB melakukan evaluasi, verifikasi, dan koordinasi dengan instansi terkait
Penetapan oleh Kepala BNPB, disampaikan kepada Menteri Keuangan
Dewan Perwakilan Rakyat Menyetujui untuk mendapatkan dana bantuan sosial berpola hibah
Gambar 2. Mekanisme Pengajuan Bantuan Sosial Berpola Hibah
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 85
Terkait dengan aspek legislatif tentang perusahaan asuransi dan reasuransi diatur
dalam:
Peraturan Pemerintah no 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
dalam Pasal 12 ayat (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus
memiliki dan menerapkan Retensi Sendiri, yang besarnya didasarkan pada kemampuan
keuangan dan tingkat risiko yang dihadapi. Pasal 12 ayat (2) Perusahaan Asuransi
Kerugian dan Perusahaan Reasuransi harus menjaga perimbangan yang sehatantara
jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto, dan perimbangan antara jumlah premi
neto dengan modal sendiri. Pasal 20, Premi harus ditetapkan pada tingkat yang
mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif.Pasal 21,
Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis risiko
yang sehat.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 422 tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam Pasal
13 ayat (1) Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari polis asuransi dengan
mata uang asing dilakukan dengan mata uang rupiah, pembayaran tersebut harus
menggunakan kurs yang ekuivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat
pembayaran.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 481 tahun 1999 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Pasal 21 ayat
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki retensi sendiri
untuk setiap penutupan risiko. (2) Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada
profil risiko yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Besarnya retensi
sendiri untuk setiap risiko didasarkan pada Modal Sendiri. (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai besarnya retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian. Pasal 16A, Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dapat
melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko khusus
Penerapan Asuransi Gempa di Negara Lain.
Beberapa negara yang lebih dahulu menerapkan asuransi gempa antara lain adalah
Turki, China, dan Jepang. Di negara Turki, pihak yang bertanggung jawab untuk
memantau program dan melakukan audit terhadap operasional Turkish Catastrophe
Insurance Pool (TCIP) adalah sebuah reasuransi yaitu Milli Re. TCIP ini dibebaskan
dari semua pajak, retribusi, dan biaya dan akumulasi dana ini akan disimpan dalam
rekening yang terpisah Sedangkan untuk melakukan audit rekening setiap tahun
dilakukan oleh perusahaan audit independen agar dihasilkan hasil audit yang dapat
dipercaya publik. Bagi pembeli infrastruktur tempat tinggal wajib mematuhi segala
peraturan yang berlaku serta dapat menunjukan polis asuransi pada saat
pembelian.Salah satu syarat yang diwajibkan bagi penduduk Turki dalam membuka
rekening gas, air, listrik, dan telepon adalah kepesertaan dalam asuransi yang
dibuktikan dengan polis asuransi. Hal ini juga merupakan syarat bagi penduduk Turki
dalam hal pengajukan kredit perumahan serta menjamin bahwa infrastruktur yang akan
dibangun memenuhi spesifikasi bangunan tahan gempa sesuai dengan undang-undang
yang berlaku di negara tersebut.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 86
4. DISKUSI
Beberapa poin penting dalam aspek regulasi yang berpotensi digunakan sebagai
landasan dalam membentuk mekanisme kerjasama pemerintah swasta dalam
rekonstruksi infrastruktur pasca bencana. Secara detil mekanisme yang akan digunakan
perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam.
Tabel 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.
No. Pasal Deskripsi
1 pasal 4
butir a Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
butir c Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
butir e Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
Tabel4.Peraturan Pemerintah Nomor21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
No. Pasal Deskripsi
1 Pasal 3 - Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.
2 Pasal 4 butir b Penyelenggaraan penanggulangan pra bencana dapat dilakukan
bila dalam sistuasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Tabel 5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan
Pengelolaan Bantuan Bencana.
No. Pasal Deskripsi Sumber dana
1 Pasal 4
Dana penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah
1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
2. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan/atau
3. Masyarakat
2 Pasal 5
Pemerintah menyediakan pula: 1. Dana kontinjensi bencana, 2. Dana siap pakai, 3. Dana bantuan sosial berpola
hibah
-
Secara jelas dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana (tabel 3), Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (tabel 4), dan Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 2008Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana (tabel 5)
mengakomodasi potensi untuk melakukan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga
dan pengalokasian dana untuk rekonstruksi seteleah bencana.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 87
Beberapa hal yang perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam adalah mengenai
besarnya premi yang ditetapkan oleh asuransi jika dibandingkan dengan serapan dana
yang digunakan untuk kegiatan rekonstruksi bagi masyarakat. Perlu dilakukan
perhitungan dalam jangka waktu tertentu untuk mendapatkan informasi secara detil
mengenai manfaat antara keduanya. Selain itu perlu kajian terhadap prosedur pencairan
dana/klaim jika terjadi bencana dalam hal aspek waktu.
Asuransi Gempa Bumi di Indonesia
Salah satu cara untuk mengelola risiko dalam berbagai kasus adalah dengan
menyertakan pihak ketiga yang berperan sebagai pihak yang mengambil risiko, dalam
hal ini adalah perusahaan asuransi. Secara detil definisi asuransi adalah cakupan dalam
kontrak dimana satu pihak menyanggupi untuk mengganti kerugian atau menjamin
kemungkinan terjadinya risiko atau bahaya tertentu. Selain asuransi juga dikenal juga
reasuransi yang didefinisikan sebagai transaksi asuransi antara perusahaan asuransi
yang mengalihkan sebagian atau semua risiko dengan perusahaan asuransi lain yang
menerima pengalihan risiko itu yang diatur dengan kontrak.Terkait dengan posisi
Indonesia yang berada dalam wilayah bencana seperti telah disampaikan diatas, perlu
kiranya pemerintah meningkatkan kepedulian terhadap kemungkinan timbulnya
kerugian akibat gempa bumi pada propinsi yang mempunyai posisi strategis dalam hal
perekonomian dan aktivitas industri. Kepedulian tersebut dapat dinyatakan dalam
bentuk kerja sama dengan pihak asuransi.
Kepedulian pemerintah terhadap kemampuan pihak asuransi akibat gempa bumi
dengan cara mewajibkan semua perusahaan asuransi umum yang beroperasi di
Indonesia untuk bekerja sama mengasuransikan risiko-risiko khusus melalui suatu
usaha bersama yang disebut dengan Pool Reasuransi Gempa Bumi di Indonesia
(PRGBI). Keikutsertaan perusahaan asuransi dan reasuransi umum pada pool gempa
bumi ini bersifat wajib. PRGBI mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2003 dan tarif
wajib untuk gempa bumi diperkenalkan dan disahkan oleh pemerintah. Pada tanggal 1
Januari 2004, PRGBI bertransformasi menjadi PT. Asuransi Maskapai Asuransi
Indonesia dan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus (MAIPARK) Indonesia. Asuransi
ini didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bagi industri asuransi Indonesia
dalam hal pengetahuan dan statistik mengenai risiko bencana. Obyek pertanggungan
yang dapat ditanggung sama seperti pada asuransi kebakaran, berupa bangunan,
pondasi, penggalian, persediaan barang, dll.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam kajian ini adalah:
1. Dalam hal aspek regulasi telah ada beberapa poin yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk memulai merancang skema kerjasama pemerintah dengan swasta,
namun masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dalam aspek waktu,
prosedur pencairan/klaim, besarnya premi, serta manfaat lain yang belum dapat
terlihat secara jelas dalam kajian ini.
2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai segmentasi masyarakat yang berhak
mendapatkan asuransi yang dibiayai pemerintah, serta bagaimana mekanisme untuk
mendapatkan fasilitas tersebut
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 88
6. DAFTAR PUSTAKA
1. ……., Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Dan
Pengelolaan Bantuan Bencana
2. …….,Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
3. ……., Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga
Internasional Dan Lembaga Asing Nonpemerintah
4. ……., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana
5. Asuransi Maskapai Asuransi Indonesia dan Perusahaan Asuransi Risiko Khusus
(MAIPARK) Indonesia, 2011, Statistik Asuransi Gempa Bumi Indonesia.
6. Gurenko, E., Lester, R., Mahul, O., Gonulal, S. O., 2006., Earthquake insurance un
Turkey, The World Bank.
7. http://puskim.pu.go.id, diunduh 14 Januari 2013
8. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2006, Laporan Kerusakan Gempa Yogyakarta.
9. www.gfdrr.org/drfi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 89
TINJAUAN PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO PADA
INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA
Tampanatu P. F. Sompie1 , Syanne Pangemanan
2 dan Geertje E. Kandiyoh
3
1 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431-
8125288, email: tpf_sompie @yahoo.com 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431-
815288, email: upe_sp2000 @yahoo.com 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Manado, Kampus Politeknik Manado, Telp 0431-
815288, email: geertje.kandiyoh@yahoo.com
ABSTRAK
Industri konstruksi seringkali dianggap sebagai suatu industri yang tingkat resikonya tinggi.
Resiko yang dihadapi pada suatu proyek konstruksi sudah ada sejak awal proyek, selama proyek berjalan
sampai proyek berakhir, bahkan tahapan awal sebelum dimulainya proyek sudah berhadapan dengan
resiko. Manajemen resiko merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur
semua resiko pada proyek yang dilaksanakan sehingga suatu keputusan yang diambil dapat diterima
untuk mengelola resiko. Cara menyeimbangkan ketidak-tentuan resiko dengan kontrak, kebutuhan
keuangan, persyaratan operasional dan organisatoris harus diketahui. Dalam rangka untuk mencapai
keseimbangan ini, identifikasi resiko dan analisis risiko yang sesuai diperlukan.
Kalangan industri dan jasa konstruksi di Indonesia pada umumnya telah menerapkan sistem
manajemen resiko pada setiap proyek konstruksi yang mereka kerjakan. Keadaan yang ideal dari suatu
proyek konstruksi pada kenyataannya sering tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Resiko-
resiko yang menjadi bahan pertimbangan dalam tulisan ini berupa Perubahan dalam pekerjaan;
Perubahan dalam peraturan pemerintah; Biaya untuk proses yang legal; Desain yang tidak sesuai;
Material yang tidak sesuai; Bahaya pada lingkungan proyek; Ketersediaan pekerja, alat dan material; Ijin
dan peraturan; Kualitas pekerjaan; Keselamatan pekerjaan; dan Keselamatan kerja. Kesemua aspek
resiko ini akan dilihat terhadap pengaruh resiko yang terjadi seperti Biaya akhir; Waktu rencana; Kualitas
konstruksi; Keselamatan konstruksi; dan Lingkungan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa survey terhadap 30 perusahaan yang
bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi, dengan menggunakan penyebaran kuisioner, kemudian
ditabulasikan menggunakan Microsoft Excel. Hasil yang diperoleh berupa resiko pada Perubahan yang
terjadi dalam Pekerjaan dan Peraturan Pemerintah serta Biaya Proses yang Legal sangat berpengaruh
pada Biaya Akhir. Kualitas Konstruksi sangat besar dipengaruhi oleh Desain serta Material yang tidak
sesuai. Sedangkan Lingkungan akan sangat besar terpengaruh oleh Bahaya pada Lingkungan Proyek
serta Keselamatan Kerja. Ketersediaan Pekerja, Alat dan Material beserta Ijin dan Peraturannya sangat
berpengaruh pada Waktu Rencana. Sementara Kualitas Konstruksi sangat dipengaruhi oleh Kualitas
Pekerjaan.
Kata kunci: manajemen resiko, industri jasa konstruksi
LATAR BELAKANG
Perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi semakin pesat dewasa ini. Hal ini
ditandai dengan banyaknya produk serta adanya berbagai inovasi-inovasi baru yang
muncul di berbagai bidang kehidupan manusia. Peralatan serta produk lainnya yang
berteknologi canggih banyak bermunculan, dimana kesemuanya itu diharapkan untuk
mempermudah manusia dalam melakukan sesuatu. Dampak dari perkembangan
teknologi ini juga dirasakan pada bidang industri dan jasa konstruksi dunia. Industri
konstruksi merupakan salah satu industri terbesar di dunia. Peralatan baru yang muncul
yang disertai hadirnya berbagai software komputer yang canggih semakin
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 90
mempermudah pekerjaan dalam bidang konstruksi. Saat ini berbagai teknik baru
muncul yang diharapkan dapat mempercepat pekerjaan suatu proyek yang sedang
dilakukan, serta mempermudah dalam mengevaluasi suatu pekerjaan.
Akan tetapi, dengan segala kemajuan yang ada saat ini, bukan berarti industri
jasa kontruksi tidak akan diperhadapkan pada suatu resiko kegagalan. Industri
konstruksi juga merupakan suatu bisnis yang sangat kompetitif dengan tingkatan yang
tinggi kemungkinannya untuk bangkrut apabila tidak dikelola dengan baik. Pemahaman
akan aspek-aspek teknis dari konstruksi sangatlah diperlukan, disisi lain orang-orang
yang bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi juga haruslah mempunyai
pemahaman yang baik akan aspek-aspek profesi bisnis dan manajemen. Banyak faktor
yang berpengaruh pada keberhasilan maupun kegagalan suatu proyek konstruksi yang
dilakukan. Faktor ini bukan melulu dikarenakan oleh faktor teknis pada bidang
konstruksi saja, melainkan juga melibatkan berbagai faktor lainnya diluar bidang
keteknikan.
Masih jelas dalam ingatan bagaimana industri dan jasa konstruksi di Indonesia
mengalami pukulan yang berat di penghujung akhir tahun 90an. Dimulai dengan krisis
ekonomi yang melanda kawasan Asia yang menyebar dengan cepat menghantam
perekonomian Indonesia. Akibat dari resesi ekonomi ini menjadikan industri konstruksi
Indonesia merupakan pihak yang paling merasakan dampak ini, yang ditandai dengan
terhentinya banyak proyek konstruksi yang berakibat pada ambruknya banyak
perusahaan di bidang konstruksi serta terjadi pengangguran besar-besaran dari para
pekerja dan para profesional yang terlibat di dalamnya.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kegagalan dalam suatu proyek
konstruksi diperlukan suatu pengelolaan yang baik dan terpadu. Pendekatan secara
keseluruhan kepada manajemen suatu resiko adalah untuk mengantisipasi apa yang bisa
terjadi, kemudian menganalisanya, dan khususnya menentukan besarannya dan menilai
kemungkinan akan timbulnya resiko tersebut dalam jangka waktu proyek.
Fungsi utama dari manajemen resiko adalah untuk mengurangi resiko.
Mengurangi resiko berarti meminimalkan resiko sampai resiko itu mencapai suatu
tingkatan yang dapat diterima oleh pengambil resiko dalam suatu proyek konstruksi.
Manajemen resiko dapat didefiniskan sebagai mengidentifikasi, menganalisa,
mengendalikan, dan meminimalkan kerugian yang berhubungan dengan suatu kejadian.
PEMBATASAN MASALAH
Berpangkal pada kenyataan bahwa setiap proyek konstruksi yang dikerjakan
berpeluang untuk mengalami kegagalan, maka diperlukan upaya untuk menurunkan
ancaman-ancaman yang memberi dampak pada keberlangsungan proyek. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka permasalahan yang hendak ditinjau dalam makalah ini
adalah penerapan manajemen resiko dalam suatu pekerjaan konstruksi yang dibatasi
pada pengaruh resiko pada industri dan jasa konstruksi di Indonesia yang dilihat dari
aspek biaya akhir yang dikeluarkan; waktu rencana proyek; mutu dari konstruksi yang
dikerjakan; keselamatan dalam pengerjaan konstruksi; serta lingkungan dari proyek
konstruksi tersebut.
Banyak proses-proses dan rumusan-rumusan yang dirancang untuk membantu
memberikan beberapa kepastian dari berbagai macam aspek yang ditinjau. Namun
perlu disadari bahwa tidak semua kemungkinan dapat dipertimbangkan dikarenakan
dengan berbagai keterbatasan serta tujuan yang hendak dicapai.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 91
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah resiko mengacu pada kemungkinan terjadinya kerugian atau kesempatan
untuk terjadinya suatu kerugian. Para pengambil resiko sering dengan sepenuh hati
beresiko untuk memperoleh beberapa keuntungan yang mungkin, terutama ketika pada
evaluasi pribadi mereka, keuntungan yang mungkin diperoleh lebih besar dibandingkan
dengan kerugian yang mungkin terjadi. Pengambilan resiko yang sukses adalah:
penghematan waktu, memperoleh status, mendapatkan sensasi, menyingkirkan bahaya,
mengambil suatu tantangan, dan menerima suatu penghargaan moneter.
Derajat pengetahuan tentang bahaya dan resiko dapat diklasifikasikan menjadi 4
golongan:
1. Resiko sepenuhnya diketahui oleh pengambil resiko;
2. Resiko tersembunyi dari pengambil resiko;
3. Informasi tentang resiko tersedia dengan mudah, tetapi para pengambil resiko tidak
memberikan perhatian untuk menggunakan atau untuk mendapatkan informasi ini;
4. Resiko merupakan hal yang tidak pasti dan tergambarkan pada semua hal; tidak ada
informasi ada tersedia.
Setiap jenis pengaturan kontrak akan melibatkan suatu resiko yang merata
resiko secara berbeda. Analisis resiko yang jelas menjadi semakin penting sebagai
suatu aspek dari konstruksi untuk diselidiki pada segala tahapan proyek. Dengan
pendekatan baru dan pandangan berbeda yang tersedia, analisis risiko akan menjadi,
jika hal itu belum ada, suatu aspek standard yang bisa diterima dari pekerjaan
manajemen proyek.
Hal yang mendasar dari berbagai proyek, dengan ketiadaan pengalaman
terdahulu yang tepat menandakan ada suatu kemungkinan yang besar, bahwa hasil yang
diharapkan tidak akan terjadi secara tepat. Dengan kata lain, ada suatu resiko yang
berkaitannya dengan capaian dari produk jadi atau biayanya, atau target waktu,
mungkin juga ada suatu penyimpangan (deviasi) dari rencana tersebut.
Langkah utama dari proses kontrak konstruksi meliputi permohonan penawaran,
persiapan penawaran, pemasukan penawaran, penerimaan kontrak, dan administrasi
kontrak. Sebelum proses penawaran dapat berlangsung, pemilik harus menentukan
kebutuhan untuk proyek dan mempunyai rencana yang diperlukan, spesifikasi, dan
dokumen lainnya yang sudah dipersiapkan. Aktivitas ini menyusun tahapan
pengembangan proyek konstruksi. Untuk proyek yang besar, langkah-langkah di dalam
proses pengembangan proyek meliputi:
- Mengenali kebutuhan proyek;
- Determinasi dari kelayakan teknis dan keuangan proyek;
- Persiapan dari rencana terperinci, spesifikasi, dan perkiraan biaya proyek;
- Persetujuan oleh badan regulasi. Hal ini meliputi memenuhi peraturan penetapan
wilayah, peraturan di bidang bangunan, lingkungan dan peraturan lainnya.
Manajemen resiko bukanlah hal yang baru, hal ini merupakan suatu sistem yang
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur semua resiko untuk yang mana proyek
atau bisnis diarahkan sehingga suatu keputusan yang diambil dengan sadar dapat
diterima pada bagaimana cara untuk mengelola resiko.
Suatu sistem manajemen resiko haruslah praktis, realistis dan harus hemat
biaya. Manajemen resiko perlu untuk tidak terlalu rumit maupun memerlukan koleksi
tentang sejumlah data yang luas. Aspek-aspek seperti akal sehat, analisa, keputusan,
intuisi, pengalaman, dan suatu kesediaan untuk mengoperasikan suatu pendekatan yang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 92
disiplin kepada salah satu dari banyak ciri yang paling kritis tentang segala bisnis atau
proyek di mana resiko dihasilkan.
Proses manajemen resiko dipilah ke dalam sistem manajemen resiko yang
menunjukkan urutannya yang berhubungan dengan resiko. Secara alamiah sistem
manajemen resiko harus diaplikasikan kepada setiap pilihan dengan pertimbangan.
Umumnya, langkah-langkahnya adalah:
- Identifikasi resiko : mengidentifikasi sumber dan jenis resiko;
- Klasifikasi resiko : mempertimbangkan jenis resiko dan efek-nya baik pada
orang maupun organisasi;
- Analisis risiko : mengevaluasi segala konsekuensi yang berhubungan
dengan jenis resiko, atau kombinasi resiko, dengan menggunakan teknik analitis.
Menilai dampak resiko dengan menggunakan berbagai teknik pengukuran resiko;
- Sikap resiko : keputusan apapun tentang resiko akan dipengaruhi oleh
sikap dari orang atau organisasi yang membuat keputusan;
- Respon resiko : mempertimbangkan bagaimana resiko harus diatur oleh
baik yang mengalihkannya kepada pihak lain atau yang menahannya /
mengerjakannya.
Gambar 1: The Risk Management Framework (Sumber: Roger Flanagan & George Norman p. 46)
Sistem Manajemen Resiko adalah:
- Resiko harus diidentifikasi, diklasifikasikan dan dianalisa sebelum sesuatu tindakan
dibuat;
- Suatu resiko yang sudah teridentifikasi bukanlah suatu resiko, hal itu merupakan
suatu masalah manajemen;
- Waspada dalam menggunakan pendekatan intuitif yang semata-mata hanya untuk
mengelola resiko;
- Manajemen resiko perlu untuk berkelanjutan mulai dari awal proyek sampai proyek
tersebut berakhir;
- Suatu kelemahan dalam mendefinisikan resiko struktur akan menghasilkan resiko
yang lebih besar;
Risk Identification
Risk Classification
Risk Analysis
Risk Response
Risk Attitude
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 93
- Gunakan lensa yang bersudut pandang luas dan suatu lensa zoom untuk visi dari apa
yang dapat terjadi di masa datang,
- Gunakan semua gagasan yang muncul baik gagasan yang kreatif maupun yang
negatif;
- Selalu mempunyai suatu rencana darurat untuk mengatasi kejadian yang terburuk
yang mungkin terjadi;
- Sistem Manajemen Resiko jangan terlalu rumit atau membebani, sistem ini perlu
untuk diintegrasikan ke dalam kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.
Resiko dan ketidak-pastian tidak hanya terjadi pada proyek-proyek besar. Selagi
ukuran adalah merupakan suatu pertimbangan yang penting, faktor-faktor lainnya
seperti lokasi, kompleksitas, kemampuan membangun, dan jenis bangunan semuanya
dapat berkontribusi pada terjadinya resiko. Lagipula, merupakan hal yang jarang terjadi
pada dua proyek konstruksi untuk menjadi sama satu dengan yang lain. Secara alamiah,
proyek-proyek tersebut sudah berbeda, yang mana berarti bahwa pengaturan pada
setiap proyek haruslah selalu dipertimbangkan ulang. Untungnya, suatu sistem
manajemen resiko yang efektif memuat satu set teknik yang dapat diaplikasikan pada
setiap proyek.
Bukan hanya saat pelaksanaan konstruksi, kesalahan desain memberikan
kontribusi terhadap kegagalan bangunan. Bangunan yang mengalami gagal fungsi
sebelum akhir umur pemakaiannya yang direncanakan termasuk dalam kegagalan
bangunan. Bangunan yang berefek jelek terhadap lingkungan sekitarnyanya bisa karena
kesalahan dalam konsep desain, walaupun pelaksanaannya benar, itu pun termasuk
dalam kegagalan bangunan juga.
Kegagalan bangunan adalah resiko yang tidak berdiri sendiri, selalu ada sebab
akibat yang menyertainya, tanggung jawab harusnya dipikul bersama-sama. Bisa jadi
permasalahan timbul karena hal non-teknis yang mengakibatkan kegagalan teknis.
Proses perizinan dan tender sering tidak profesional. Peraturan terkadang tidak
kompatibel dengan peraturan lainnya karena dibuat sendiri-sendiri. Dari sisi pihak yang
terkait langsung dengan pekerjaan konstruksi perlu sekali penegakkan kode etik secara
benar.
METODE PENDEKATAN / PENELITIAN
Metode yang dilakukan untuk mendapatkan hasil dan pembahasan pada tulisan
ini adalah dengan melakukan survey manajemen resiko terhadap sekitar 30 perusahaan
yang bergerak di bidang industri dan jasa konstruksi. Survey yang dilakukan
menggunakan metode penyebaran kuisioner. Hasil yang diperoleh dari kuisioner ini
kemudian diolah dan ditabulasikan dengan menggunakan Microsoft Excel. Tabel yang
tersaji kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari faktor-
faktor Resiko yang ada terhadap Pengaruh Resiko dari berbagai aspek yang ditinjau.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 94
ANALISA / PEMBAHASAN
Tabel 1: Resiko yang ditinjau NO RESIKO KONDISI IDEAL KONDISI DI LAPANGAN
P=1 KR=2KT=3 L=4 P=1 KR=2 KT=3 L=4
1 PERUBAHAN DALAM PEKERJAAN 19 1 4 6 6 9 5 10
2 PERUBAHAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH 17 0 1 12 6 9 3 12
3 BIAYA UNTUK PROSES YANG LEGAL 14 0 1 15 9 5 2 14
4 DESAIN YANG TIDAK SESUAI 1 2 22 5 2 8 17 3
5 MATERIAL YANG TIDAK SESUAI 0 22 6 2 1 26 1 2
6 BAHAYA PADA LINGKUNGAN PROYEK 8 2 3 17 3 15 3 9
7 KETERSEDIAAN PEKERJA, ALAT DAN MATERIAL 0 22 1 7 0 23 2 5
8 IJIN DAN PERATURAN 16 2 1 11 5 8 2 15
9 KUALITAS PEKERJAAN 1 14 2 13 0 17 3 10
10 KESELAMATAN KERJA 1 17 0 12 0 19 1 10
KET:
P : PEMILIK
KR : KONTRAKTOR
KT : KONSULTAN
L : PIHAK LAIN YANG TERLIBAT
Resiko berupa Perubahan yang terjadi dalam pekerjaan; Perubahan dalam
peraturan pemerintah; Biaya legal proses; Bahaya pada lingkungan proyek; Ijin dan
peraturan pada kondisi ideal berpengaruh terutama pada pemilik, akan tetapi kondisi di
lapangan paling dirasakan oleh kontraktor dan pihak lain yang terlibat. Sementara
untuk Desain yang tidak sesuai idealnya merupakan tanggung jawab dari konsultan
perencana akan tetapi pada kenyataannya selain dirasakan oleh konsultan, akan
berpengaruh juga pada kontraktor pelaksana. Resiko dari pemanfaatan material yang
tidak sesuai dan Ketersediaan dari para pekerja, peralatan yang digunakan serta
material yang dipakai pada idealnya dan pada kenyataannya akan berpengaruh pada
kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut. Pada kondisi ideal, Kualitas pekerjaan
dan Keselamatan kerja dikerjakan oleh kontraktor, sementara kondisi di lapangan
kedua faktor resiko tersebut dialami oleh kontraktor.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 95
P E N G A R U H R E S I K O
NO RESIKO BA WR QK KK L
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 PERUBAHAN DLM PEKERJAAN 0 3 2 8 17 2 0 6 12 10 2 3 17 6 2 2 22 2 3 1 23 3 2 0 2
2 PERUBAHAN DLM PERATURAN 3 1 2 7 17 0 3 11 9 7 2 4 12 8 4 6 19 0 3 2 21 4 2 1 2
3 BIAYA PROSES YG LEGAL 0 4 3 9 14 5 1 3 10 11 6 1 16 5 2 5 18 2 4 1 21 6 0 1 2
4 DESAIN YG TIDAK SESUAI 0 3 9 9 9 0 5 12 9 4 3 1 3 3 20 3 14 2 7 4 19 4 1 2 4
5 MATERIAL YG TIDAK SESUAI 0 8 6 8 8 0 3 13 9 5 2 0 2 2 24 3 11 5 7 4 20 3 1 3 3
6 BAHAYA PADA LINGK. PROYEK 3 8 11 5 3 6 8 4 9 3 8 6 8 3 5 7 7 5 7 4 3 3 1 5 18
7 TERSEDIA PEKERJA,ALAT&MATERIAL 0 4 12 8 6 2 1 3 4 20 0 3 8 11 8 0 18 3 4 5 20 3 2 1 4
8 IJIN DAN PERATURAN 3 1 7 12 7 3 2 4 3 18 1 11 12 5 1 6 12 4 8 0 16 6 1 4 3
9 KUALITAS PEKERJAAN 1 7 6 11 5 2 0 15 9 4 2 1 3 1 23 3 14 6 3 4 18 5 1 3 3
10 KESELAMATAN KERJA 4 10 10 5 1 2 7 12 7 2 2 7 2 15 4 2 1 1 0 # 15 3 4 3 4 Catatan: BA : Biaya Akhir; KK : Keselamatan Konstruksi
WR : Waktu Rencana; L : Lingkungan
QK : Kualitas Konstruksi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 96
Berdasarkan tabulasi di atas dapat dilihat bahwa:
- Perubahan Dalam Pekerjaan paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir, besar
pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi,
sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama
sekali pada Lingkungan.
- Perubahan Dalam Peraturan Pemerintah: sangat besar pengaruhnya pada Biaya
Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana dan Kualitas Konstruksi, sedikit
berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak ada pengaruhnya pada
Lingkungan.
- Biaya Proses yang Legal paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir dan Waktu
Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada
Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan.
- Desain yang Tidak Sesuai paling besar berpengaruh pada Biaya Akhir, rata-rata
pengaruhnya pada Waktu Rencana, paling besar pengaruhnya pada Kualitas
Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak
berpengaruh sama sekali pada Lingkungan.
- Material yang Tidak Sesuai tidak secara signifikan memberikan pengaruh pada
Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada Waktu Rencana, paling besar berpengaruh
pada Kualitas Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan
tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan.
- Bahaya pada Lingkungan Proyek rata-rata berpengaruh pada Biaya Akhir, besar
pengaruhnya pada Waktu Rencana, tidak secara signifikan berpengaruh pada
Kualitas Konstruksi dan Keselamatan Konstruksi, dan paling besar berpengaruh
pada Lingkungan.
- Ketersediaan Alat, Pekerja dan Material rata-rata berpengaruh pada Biaya Akhir,
paling besar pengaruhnya pada Waktu Rencana, pengaruhnya besar pada Kualitas
Konstruksi, sedikit berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak
berpengaruh sama sekali pada Lingkungan.
- Ijin dan Peraturan berpengaruh besar pada Biaya Akhir, paling besar pengaruhnya
pada Waktu Rencana, pengaruhnya rata-rata pada Kualitas Konstruksi, sedikit
berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada
Lingkungan.
- Kualitas Pekerjaan besar berpengaruh pada Biaya Akhir, rata-rata pengaruhnya pada
Waktu Rencana, pengaruhnya paling besar pada Kualitas Konstruksi, sedikit
berpengaruh pada Keselamatan Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada
Lingkungan.
- Keselamatan Kerja berpengaruh rata-rata pada Biaya Akhir dan Waktu Rencana,
pengaruhnya besar pada Kualitas Konstruksi, paling berpengaruh pada Keselamatan
Konstruksi, dan tidak berpengaruh sama sekali pada Lingkungan.
KESIMPULAN
Dari berbagai aspek resiko yang ditinjau hasil yang diperoleh berupa resiko pada
Perubahan yang terjadi dalam Pekerjaan dan Peraturan Pemerintah serta Biaya Proses
yang Legal sangat berpengaruh pada Biaya Akhir. Kualitas Konstruksi sangat besar
dipengaruhi oleh Desain serta Material yang tidak sesuai. Sedangkan Lingkungan akan
sangat besar terpengaruh oleh Bahaya pada Lingkungan Proyek serta Keselamatan
Kerja. Ketersediaan Pekerja, Alat dan Material beserta Ijin dan Peraturannya sangat
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 97
berpengaruh pada Waktu Rencana. Hasil pada Kualitas Konstruksi sangat dipengaruhi
oleh Kualitas Pekerjaan.
Belajar dari pengalaman terdahulu, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
industri dan jasa konstruksi di Indonesia pada umumnya telah menerapkan manajemen
resiko dalam pelaksanaan proyek konstruksi mereka. Pengawasan serta konsistensi
dalam implementasi dari manajemen resiko yang telah diterapkan oleh kalangan
perusahaan jasa konstruksi harus dijalankan dalam setiap tahapan pelaksanaan proyek.
DAFTAR PUSTAKA
1. Flanagan, R & Norman, G (1993) Risk Management and Construction. Blackwell
Science, UK
2. Nunnally, S. W (1998) Construction Methods and Management, Fourth Edition.
Prentice-Hall, Inc, USA
3. Pilcher, R (1992) Principle of Construction Management, Third Edition. McGraw-
Hill International (UK) Limited, UK
4. Pilcher, R (1994) Project Cost Control in Construction, Second Edition.
Blackwell Scientific Publication, UK
5. Thygerson, A. L (1992) Safety, Second Edition. Jones and Bartlett Publisgers, Inc,
Boston
6. Woodward, J. F (1997) Construction Project Management, Getting It Right First
Time. Thomas Telford Publishing, London
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 98
ISU-ISU UTAMA YANG MENJADI
KONTRAK PSIKOLOGIS DI INDUSTRI KONSTRUKSI
Anton Soekiman1
1Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit No. 94
Bandung 40141, Tlp: 022 2033691, ext. 443, Fax: 022 2033692, Email: soekiman@unpar.ac.id
ABSTRAK
Dalam industri konstruksi kita mengenal ada dua bentuk ikatan hubungan kerja, yakni: kontrak individual
(tingkat white-collar) dan kontrak kolektif (tingkat blue-collar). Keduanya dapat berbentuk kontrak
formal maupun informal yang dikenal sebagai kontrak psikologis.
Kontrak informal atau kontrak psikologis dapat dipandang sebagai arah baru dalam melihat hubungan
antara pekerja dan pemberi kerja di industri konstruksi, di luar aspek formal dari hubungan yang ada. Kita
juga dapat melihatnya sebagai aspek subyektif untuk memahami hubungan kerja, yang memungkinkan
melihat perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah.
Menarik untuk dikaji apakah ada inkompatibilitas antara harapan pekerja dan harapan pemberi kerja di
industri konstruksi, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan kepastian kerja jangka panjang. Hal
ini perlu diketahui karena gap ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja yang dapat berakibat pada
turunnya motivasi kerja, buruknya kinerja, bahkan putusnya kontrak.
Makalah ini menggambarkan apa saja yang menjadi ekspektasi sekaligus kontrak psikologis dari
perusahaan penyedia jasa konstruksi, staf proyek serta pekerja lapangan secara deskriptif dengan data-
data yang diperoleh melalui survei dan wawancara pada beberapa penyedia jasa konstruksi di beberapa
kota di Indonesia.
Kata kunci: Hubungan kerja, Kontrak psikologis, Harapan, Kepuasan kerja, Motivasi kerja
1. PENDAHULUAN
Dalam industri konstruksi kita mengenal ada dua bentuk ikatan hubungan kerja, yakni:
kontrak individual (tingkat white-collar) dan kontrak kolektif (tingkat blue-collar).
Keduanya dapat berbentuk kontrak formal maupun informal yang dikenal sebagai
kontrak psikologis.
Kontrak informal atau kontrak psikologis dapat dipandang sebagai arah baru dalam
melihat hubungan antara pekerja dan pemberi kerja di industri konstruksi, di luar aspek
formal dari hubungan yang ada seperti definisi dari Herriot (1998):
……….Informal beliefs of each of parties as their mutual obligations within the
employment relationship.
Kontrak psikologis juga dapat kita lihat sebagai aspek subyektif untuk memahami
hubungan kerja, yang memungkinkan melihat perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah
dan bukan hanya sesuatu yang ditetapkan oleh majikan (Herriot dan Pemberton, 1997).
Menarik untuk dikaji apakah ada inkompatibilitas antara harapan pekerja dan harapan
pemberi kerja di industri konstruksi, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan
kepastian kerja jangka panjang. Hal ini perlu diketahui karena gap ini dapat
menyebabkan ketidakpuasan kerja yang dapat berakibat pada turunnya motivasi kerja,
buruknya kinerja, bahkan putusnya kontrak.
Makalah ini mencoba menggambarkan apa saja yang menjadi ekspektasi sekaligus
kontrak psikologis dari perusahaan penyedia jasa konstruksi, staf proyek serta pekerja
lapangan secara deskriptif dengan data-data yang diperoleh melalui survei dan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 99
wawancara pada beberapa perusahaan penyedia jasa konstruksi di beberapa kota di
Indonesia.
2. MANAJEMEN SDM DAN HUBUNGAN KERJA
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) diantaranya meliputi perencanaan
kebutuhan tenaga kerja sesuai tujuan organisasi, pengadaan, integrasi, pengembangan
dan pemeliharaan SDM. Implementasi dari fungsi ini mengarah kepada hubungan antar
pemberi kerja dengan pekerja juga antar sesama pekerja pada berbagai level, yang
dikenal sebagai hubungan kerja (lihat Gambar 1).
Gambar 1: Model hubungan kerja antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan tim proyek (diadop dari Loosemore et al, 2003)
Pengadaan SDM merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan organisasi akan tenaga
kerja yang sesuai dengan strategi jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan dalam
industri konstruksi sering kali juga merupakan pemenuhan kebutuhan segera. Proses
pengadaan SDM ini meliputi perencanaan pengadaan, seleksi dan rekrutmen.
Perencanaan pengadaan terdiri dari analisa kebutuhan, evaluasi situasi yang ada, analisa
dan perencanaan pekerjaan, analisa kapasitas yang ada, analisa turn-over tenaga kerja,
mempersiapkan spesifikasi dan job descriptions. Pemenuhan kebutuhan tersebut
dipenuhi melalui seleksi yang dilakukan melalui berbagai cara seperti:
1. Wawancara, yang dapat dilakukan secara terstruktur ataupun tidak, baik
individual maupun panel.
2. Tes/ujian, yang dapat meliputi: General ability, Aptitude, Cognitive ability,
Personality, dan Integrity.
3. Metode lain, seperti: Self assessment, Peer assessment, Graphology, Bio data,
Astrology, Assessment centres (outsourcing selection process).
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan yang dapat menutupi “gap” antara
kebutuhan organisasi dan kapasitas serta interes dari kandidat diperlukan pemahaman
dan pengenalan yang cukup dari calon tenaga kerja yang dapat diperoleh melalui
kombinasi antara wawancara dengan metode-metode lain.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 100
Sementara itu rekrutmen merupakan proses penempatan SDM pada posisi yang
dibutuhkan, yang dicapai melalui proses eksternal dan internal. Proses eksternal dapat
berupa iklan lowongan kerja, agen penyedia tenaga kerja, berita dari mulut ke mulut,
ataupun melalui pendekatan secara langsung pada para kandidat. Sedangkan proses
internal dapat berupa job posting secara konvensional ataupun memanfaatkan teknologi
informasi yang dikenal sebagai human resource information systems (HRISs based).
Proses pengadaan ini kemudian akan dilanjutkan dengan proses integrasi, di mana SDM
yang baru direkrut/bergabung dengan suatu organisasi diperkenalkan dengan situasi,
budaya, dan suasana kerja dari organisasi tersebut. Proses ini penting agar SDM yang
baru bisa membaur dan saling memahami dengan organisasinya sehingga tercipta irama
kerja yang diharapkan akan memberikan kinerja yang baik untuk menunjang pencapaian
tujuan organisasi.
Proses selanjutnya adalah pengembangan SDM yang dilakukan melalui program
pengembangan dan latihan secara berkelanjutan. Pengembangan SDM ini bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan pekerja dalam kerangka tujuan organisasi.
Pembelajarannya sendiri dapat dilakukan secara internal melalui proses pembelajaran di
dalam organisasi (Keep dan Rainbird, 2000), yang meliputi: pembelajaran individu
maupun pembelajaran organisasi. Pembelajaran secara internal ini dikenal sebagai On-
the-job training, misalnya: menemukan dan memecahkan masalah-masalah dalam
operasional sehari-hari, transfer dan rotasi kerja, bimbingan dan diskusi secara intern.
Pembelajaran dapat juga dilakukan secara eksternal melalui program-program pelatihan
yang dikenal sebagai off-the-job training, misalnya: kuliah/grup diskusi oleh
perusahaan/institusi pelatihan, program belajar jarak jauh, eksternal
mentoring/coaching, kursus-kursus, akreditasi, dan sebagainya.
Semua proses manajemen SDM dari perencanaan kebutuhan tenaga kerja hingga
pengembangannya bertujuan untuk mendukung kinerja organisasi, yang diwujudkan
dalam bentuk manajemen kinerja meliputi:
Perencanaan tujuan, sasaran dan standar keberhasilan
Pengawasan pelaksanaan secara kontinu
Memberikan/menyediakan dukungan dan fasilitas yang diperlukan
Membentuk kesepakatan mengenai kinerja antara pimpinan dan bawahannya
Memanfaatkan umpan balik dari lingkup internal dari level bawah sampai atas
dan pihak-pihak eksternal.
Selanjutnya organisasi perlu melakukan langkah-langkah untuk menjaga dan
memelihara aset SDM-nya melalui manajemen karier dan manajemen penghargaan bagi
SDM-nya. Manajemen karier ini meliputi:
Perencanaan struktur dan jalur karier (structure and career path)
Sistem penilaian kinerja (performance appraisal system), meliputi: kriteria
kinerja terhadap siapa, kapan, dan bagaimana, serta frekuensinya serta penilaian
kinerjanya (assessment)
Manajemen penghargaan bertujuan untuk memberikan penghargaan pada prestasi,
loyalitas, dan komitmen kerja yang merupakan respons terhadap kebutuhan dan harapan
SDM, sekaligus untuk mempertahankan komitmen, kepuasan kerja, motivasi, dan
loyalitasnya pada organisasi (lihat Gambar 2). Bentuk penghargaan dapat berupa:
1. Penghargaan yang bersifat ekstrinsik (tangible hygiene factors), seperti: gaji,
bonus, komisi, suasana kerja, kendaraan dinas, pensiun.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 101
2. Penghargaan yang bersifat intrinsik (intangible hygiene factors), seperti : gaya
hidup, kenyamanan, kebanggaan, status, tantangan.
Gambar 2: Daur strategi manajemen SDM (diadop dari Loosemore et al, 2003)
Sebagai hasil dari pengelolaan berbagai faktor SDM tersebut di atas muncullah
hubungan kerja yang dapat ditinjau melalui 2 pendekatan, sebagai berikut:
1. Pendekatan tradisional yang bersifat reaktif, mengandalkan penanganan dampak
dari SDM yang buruk dan hanya menangani hubungan antara perwakilan
employee/employer
2. Pendekatan modern yang bersifat proaktif
Pendekatan tradisional fokus pada menghubungkan aturan dan prosedur yang berlaku
berkaitan dengan ketenagakerjaan, seperti: hak, kewenangan, legitimasi, dan kewajiban.
Pendekatan ini dianggap gagal memperhatikan aspek peran individu dalam hubungan
kerja, sementara serikat pekerja yang muncul hanya berfungsi melindungi kepentingan
pekerja (collective bargaining).
Pendekatan kontemporer memperhatikan aspek motivasi, ideologi, perspektif
organisasi, perspektif pekerja, di mana psychological contract menjadi penting, pekerja
dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
3. BENTUK-BENTUK HUBUNGAN KERJA DI INDUSTRI
KONSTRUKSI
Hubungan ketenagakerjaan menggambarkan hubungan antara pekerja/operatives dan
manajer serta sistem yang mengendalikan hubungan tersebut. Wujud dari hubungan
kerja tersebut bisa berbentuk formal maupun informal melalui :
1. Kontrak/perjanjian kerja formal, berdasar pasal2 dan syarat pekerjaan mengenai
apa yang diharapkan dari pekerja dan apa yang diberikan majikan sebagai
imbalannya
2. Kontrak psikologis, berdasarkan pemahaman atas ekspektasi pekerja dan
majikan (employee/employer)
Sementara itu dalam industri konstruksi kita mengenal dua jenis kontrak, yakni:
1. Kontrak individual (tingkat white-collar) pada level manajer dan tenaga
profesional
2. Kontrak kolektif (tingkat blue-collar) pada level pekerja/buruh lapangan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 102
Kontrak Rahasia
Pekerja sebagai manusia memiliki kebutuhan dan keperluan yang mungkin berbeda
dengan kebutuhan/keperluan pemberi kerja, untuk itu perlu dipahami apa saja yang
menjadi kebutuhan/keperluan mereka. Oleh sebab itu hubungan dengan orang lain tidak
bisa dipisahkan dengan pemahaman isi kontrak tak tertulis yang menciptakan pengaruh
riil. Kontrak tak tertulis atau kontrak rahasia inilah yang sering diistilah dengan Kontrak
psikologis (Rees dan McBain, 2004).
Menjaga hubungan tidak cukup dengan mengatakan semua yang anda tahu tentang
seseorang atau mengatakan semua yang anda tidak tahu atau hanya tahu setengah-
setengah. Dan juga tidak cukup dengan memberi reaksi terhadap aksi orang lain atau
mengabaikan semua aksi. Oleh karena itu pahamilah ‘written rule of relationship’ untuk
ditaati tetapi jangan lupa memahami ‘the unwritten rule’ dalam bentuk pengecualian
atau isyarat seperti dinyatakan oleh Suryanto (2007):
..............kemampuan dalam menjalin hubungan, dibangun di atas pemahaman bahwa
semua orang mengajukan Kontrak Tak Tertulis yang isinya sama: “tolong pahami
saya”. Supaya tidak terjadi bongkar pasang atau bertentangan dengan keinginan
anda, maka yang dituntut adalah keberanian berkorban lebih dulu untuk memahami
orang lain tanpa syarat. Sebab fakta alamiah menunjukkan kalau anda lebih dulu
memahami tidak berarti anda yang merugi tetapi justru menjadi jalan untuk dipahami
orang lain.
Kontrak psikologis Merupakan aspek subyektif untuk memahami hubungan kerja, memungkinkan melihat
perjanjian kerja sebagai pertukaran 2 arah (bukan hanya sesuatu yang ditetapkan oleh
majikan (Herriot dan Pemberton, 1997). Kontrak psikologis ini dapat dipandang sebagai
arah baru dalam melihat hubungan pekerja-majikan, di luar aspek formal dari hubungan
yang ada. Kontrak psikologis juga dapat ditinjau sebagai suatu Continuum Contract
antara Relational Contract dan transactional Contract (Rousseau, 1995), di mana
Relational Contract berorientasi pada jangka panjang (open-ended within unitary
organizations, exchange of loyalty, kepercayaan dan dukungan), sementara itu
Transactional Contract berorientasi pada jangka pendek (in pluralistic organizational
context, mutual self interest).
Isu ini perlu diperhatikan melihat kemungkinan adanya inkompatibilitas antara harapan
pekerja dan harapan majikan, khususnya dalam situasi resesif dengan ketiadaan
kepastian kerja jangka panjang. Jurang perbedaan ekspektasi antara pekerja dan majikan
ini perlu dihindari karena memberikan dampak buruk berupa penurunan motivasi kerja
yang akan berakibat pada penurunan kinerja bahkan dapat menimbulkan pelanggaran
kontrak dan putusnya kesepakatan kerja. Perbedaan ekspektasi ini dapat terjadi karena
berbagai faktor (Maslach dan Leiter, 1997), misalnya:
Work Overload (ketidaksesuaian antara beban kerja dan kapasitas pekerja)
Lack of control
Insufficient reward (intrinsic)
Breakdown of community (fragmented personal relationships)
Absence of fairness
Conflicting values
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 103
4. KONTRAK PSIKOLOGIS DI INDUSTRI KONSTRUKSI
Para stakeholder di industri konstruksi yang memilik karakteristik tersendiri
dibandingkan dengan bidang lain, sehingga sangat mungkin memiliki kontrak
psikologis yang khas pula. Karena itu menarik untuk dilihat apa saja ekspektasi dari
perusahaan penyedia jasa konstruksi yang dalam hal ini diwakili oleh para manajer
lapangan terhadap para pekerja di level bawahnya, dan demikian juga sebaliknya apa
saja ekspektasi dari para mandor dan pekerja lapangan terhadap manajer
proyeknya/perusahaan penyedia jasa konstruksi dimana dia bekerja.
Karena variabel yang hendak dicari sangat terbuka yakni ekspektasi perusahaan/manajer
proyek terhadap mandor dan pekerjanya, dan demikian juga sebaliknya maka metode
pengumpulan data yang dipilih adalah melalui wawancara. Metode ini dipilih agar kita
dapat memperoleh gambaran dari faktor-faktor yang muncul secara bebas dan variatif.
Metoda pengumpulan data dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1. Menentukan perusahaan yang akan diwawancara
2. Wawancara, yang dalam hal ini dilakukan secara langsung maupun melalui
berbagai alat komunikasi seperti telepon, dan email.
3. Mengelompokkan hasil wawancara ke dalam isu-isu utama, seperti:
Kesejahteraan, hubungan kerja, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), reward
dan penghargaan, pengembangan karir, dan sebagainya.
Dari isu-isu dan faktor-faktor yang diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk
mendapatkan gambaran umum mengenai ekspektasi dari perusahaan penyedia jasa
konstruksi, para staf, maupun pekerja lapangan.
Dalam penelitian ini ada tujuh perusahaan yang berlokasi di Bandung dan sekitarnya
yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui
wawancara, dimana setiap perusahaan diwakili oleh seorang pekerja lapangan dan
seorang staf pada level engineer atau manajer tekniknya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan faktor-faktor yang menjadi ekspektasi
atau harapan dari pekerja lapangan, staf pekerja/engineer, serta pihak perusahaan
penyedia jasa konstruksi.
Isu-isu ekspektasi pekerja lapangan (mandor) yang menonjol:
Kesejahteraan : Isu ini dianggap penting dan secara umum meliputi upah,
tempat tinggal, pinjaman darurat, bantuan pengobatan. Dan
yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum
cukup sampai puas
Hubungan Kerja : Isu ini kurang mendapat perhatian, tetapi secara umum
hubungan kerja yang ada sudah dianggap baik.
Kelangsungan Kerja : Isu ini dianggap paling penting dan sangat diharapkan,
sementara kondisi yang ada berada dalam kontinum sedang
sampai puas
K3 : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja
yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum
cukup sampai puas
Reward & Penghargaan : Isu ini sangat variatif dari tidak terpikirkan sampai sangat
mengharapkan.
Pegembangan Karir : Isu ini dianggap tidak penting dan secara umum memang tidak
ada program pengembangannya
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 104
Isu-isu ekspektasi staf pekerja/engineer yang menonjol:
Kesejahteraan : Isu ini dianggap penting dan secara umum meliputi upah,
tempat tinggal, kesehatan. Dan yang ada sudah dianggap baik
dan berada dalam kontinum cukup sampai puas
Hubungan Kerja : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja
yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum
cukup sampai puas
Kelangsungan Kerja : Isu ini sangat variatif dari hanya mengganggap sebagai batu
loncatan saja sampai sangat mengharapkan kelangsungan kerja
K3 : Isu ini dianggap penting dan secara umum hubungan kerja
yang ada sudah dianggap baik dan berada dalam kontinum
cukup sampai puas
Reward & Penghargaan : Isu ini dianggap penting dan secara umum yang ada dianggap
cukup
Pegembangan Karir : Isu ini sangat variatif dari tidak terpikirkan sampai
mengharapkan dan secara umum yang ada dianggap cukup
Isu-isu ekspektasi perusahaan yang menonjol:
Kinerja karyawan : Isu ini dianggap paling penting dan secara umum
perusahaan menganggap apa yang ada sekarang sudah
cukup baik tapi mengharapkan adanya peningkatan.
Hubungan Kerja : Umumnya perusahaan menganggap Isu ini penting dan
secara umum hubungan kerja yang ada sudah dianggap
baik dan berada dalam kontinum cukup sampai puas
Analisis
Untuk pegawai lapangan, faktor utama yang menjadi harapannya adalah masalah
kelangsungan kerja, diikuti kesejahteraan terutama besarnya upah/harga borongan yang
disepakati. Kemudian masalah K3 sedangkan hubungan kerja, reward, penghargaan dan
masalah pengembangan karir tidak menjadi ekspektasi utama.
Untuk pegawai pada level staf/manager, faktor utama yang menjadi harapannya adalah
masalah reward, penghargaan, dan hubungan kerja, diikuti kesejahteraan terutama
besarnya upah dan fasilitas-fasilitas lain. Kemudian masalah K3 dan masalah
pengembangan karir sedangkan kelangsungan kerja tidak menjadi ekspektasi utama
karena mereka umumnya memiliki rencana jangka panjang untuk karirnya sendiri,
seperti pindah kerja ataupun menjadi wiraswasta.
Kalau hasil ini dibandingkan dengan hierarki kebutuhan Maslow, maka nampak bahwa
pegawai lapangan/mandor lebih berorientasi kepada kebutuhan dasar (pada level 1
hierarki Maslow, sementara untuk staf/manager orientasinya ada pada level yang lebih
tinggi.
Untuk perusahaan, faktor utama yang menjadi harapannya adalah masalah kinerja
karyawan, di mana walaupun mereka umumnya cukup puas dengan kondisi sekarang
tapi mereka mengharapkan adanya peningkatan. Untuk memelihara sekaligus
meningkatkan motivasi karyawan pada level staf lapangan perusahaan menyediakan
reward dan penghargaan yang umumnya berupa bonus dan fasilitas-fasilitas lain selain
upah, sementara untuk level buruh lapangan umumnya tidak ada program reward dan
penghargaan. Hubungan kerja juga mendapat perhatian dari perusahaan karena
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 105
dianggap dapat mempengaruhi suasana kerja dan kinerja karyawan dan hubungan kerja
yang ada sekarang umumnya sudah dianggap cukup memuaskan. Kemudian masalah
K3 umumnya perusahaan sudah menyediakan perlengkapannya dan berharap ini akan
meningkatkan motivasi karyawannya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Isu utama yang menjadi ekspektasi dari para manajer proyek, mandor dan pekerja
lapangan serta perusahaan yang dihasilkan dari sampel penelitian ini menunjukkan
perbedaan. Ekspektasi dari para manajer proyek lebih mengarah pada pengembangan
karier, sedangkan ekspektasi dari para mandor dan pekerja lapangan lebih mengarah
pada kebutuhan dasar. Sementara ekspektasi dari perusahaan lebih mengarah pada
kinerja.
Isu-isu utama yang menjadi ekspektasi dari ketiga kelompok responden selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Isu-isu utama yang menjadi ekspektasi para manajer proyek lebih mengarah
kepada hal-hal sebagai berikut: (1) reward, penghargaan dan hubungan kerja, (2)
kesejahteraan, (3) masalah K3, dan (4) masalah pengembangan karir. Sementara
itu kelangsungan kerja tidak menjadi ekspektasi utama bagi para manajer
proyek.
Isu utama yang menjadi ekspektasi para mandor dan pekerja lapangan lebih
mengarah kepada hal yang merupakan kebutuhan dasar sebagai berikut: (1)
kelangsungan kerja, (2) besarnya upah/harga yang diterima, dan (3) masalah K3.
Sementara hubungan kerja, reward, penghargaan dan masalah pengembangan
karir tidak menjadi ekspektasi utama bagi para mandor dan pekerja lapangan.
Sedangkan Isu utama yang menjadi ekspektasi perusahaan adalah masalah
kinerja, sementara masalah-masalah lain lebih diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kinerja karyawannya.
Hasil penelitian ini diperoleh melalui wawancara yang dilakukan secara terbatas, untuk
itu dapat ditindak lanjuti dengan penelitian lanjutan pada berbagai subjek pelaku
konstruksi yang lebih rinci. Untuk itu sampel penelitian dapat diperluas agar mewakili
subjek penelitian yang hendak dicari. Misalnya dengan membagi varian sample point
berdasarkan tipe perusahaan (besar, menengah, dan kecil), atau berdasarkan jenis
perusahaan (kontraktor, konsultan, dan suplier), juga perlu dicari figur yang tepat untuk
diwawancara. Budaya organisasi dan karakter pribadi dari responden juga perlu diteliti,
karena sangat mungkin mempengaruhi pola pikir dan respon dari responden.
DAFTAR PUSTAKA
1. Herriot, P. (1998) The role of the HR function in building a new proposition for
staff. In: P. Sparrow and M. Marchington (eds.) Human Resource Management:
The New Agenda. Pitman, London.
2. Herriot, P. and Pemberton, C. (1997) Facilitating new deals. Human Resource
Management Journal, Vol. 7(1), pp. 45-56.
3. Keep, E. and Rainbird, H. (2000) Towards the learning organization? In: S. Bach
and K. Sisson (eds.) Personnel Management: A Comprehensive Guide to Theory
and Practice. Blackwell, Oxford.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 106
4. Loosemore, M., Dainty, A. and Lingard, H. (2003) Human Resource Management
in Construction Projects. Spon Press, London.
5. Maslach, C. and Leiter, M.P. (1997) The Truth about Burnout. San Francisco:
Jossey Bass.
6. Rees, D. and McBain, R. (2004) People Management: Challenges and
Opportunities. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
7. Rousseau, D.M. (1995) Psychological Contracts in Organisations: Understanding
the Written and Unwritten Agreements. Sage, London.
8. Suryanto, D. (2007) Transformational Leadership. (www.pemimpin-unggul.com).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 107
STUDI JEJAK KARBON PADA RANTAI PASOK
DI PROYEK KONSTRUKSI
Hermawan1, Puti Farida Marzuki
2, Muhamad Abduh
2, R. Driejana
3
1 Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi,
Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10
Bandung, email: hermawan.tjan@yahoo.com 2 Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL), Kelompok Keahlian Manajemen dan
Rekayasa Konstruksi, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10 Bandung 3 Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Fakultas Teknk Sipil dan Lingkungan (FTSL)
Kelompok Keahlian Pengelolaan Limbah dan Udara, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No.
10 Bandung
ABSTRAK
Konstruksi merupakan sektor yang mengkonsumsi material yang bervariasi termasuk asal material yang
dapat diperoleh langsung dari alam dan dapat pula dipabrikasi. Metode pengerjaannya pun dapat
dikerjakan di lapangan (on site) dan di luar lapangan (off site). Kegiatan yang dimulai dari ekstrasi
material, metode pengerjaannya dan pengiriman membutuhkan energi dan sekaligus menghasilkan emisi
CO2. Besarnya energi dan emisi CO2 dapat ditelusuri dengan menggunakan jejak karbon. Jejak karbon
pada masing-masing material ini bervariasi. Material yang memiliki jejak karbon CO2 yang cukup besar
adalah semen dan baja. selain menghasilkan emisi CO2, kedua material tersebut juga membutuhkan
energi yang besar. Hal ini bukan berarti bahwa material selain baja baja tulangan tidak membutuhkan
energi dan tidak menghasilkan CO2, namun energi yang dibutuhkan dan emisi CO2 yang dihasilkan tidak
sebesar baja tulangan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi deskriptif terhadap kajian
jejak karbon pada rantai pasok material konstruksi. Tujuan dari tulisan ini untuk melakukan gap analysis
pada jejak karbon rantai pasok di proyek konstruksi.
Kata kunci: jejak karbon, rantai pasok, proyek konstruksi
1. PENDAHULUAN
Konstruksi merupakan sektor yang mengkonsumsi material yang jenisnya sangat
bervariasi dan berasal dari berbagai sumber. Ada material yang langsung diperoleh dari
alam seperti pasir, kayu, dan air tetapi ada juga yang harus diproduksi melalui industri.
Material yang melalui proses industri seperti semen, baja, batu bata, dan kaca memiliki
kontribusi yang dominan pada proses konstruksi. Metode pengerjaan komponen yang
digunakan dalam proses konstruksi dapat dibagi menjadi dua yaitu on site dan off site.
Penggunaan material dalam konstruksi baik menurut jenis, asal material, dan metode
pengerjaan, membutuhkan energi dan sekaligus menghasilkan emisi, salah satunya CO2.
Kegiatan yang dimulai dari penambangan bahan mentah, proses produksi, pengiriman
ke proyek konstruksi sampai instalasi material membutuhkan energi dan menghasilkan
emisi CO2. Menurut Gumaste (2006) meskipun terdapat kebutuhan energi dan emisi
CO2 sebagai hasil rangkaian kegiatan tersebut, tidak semua memiliki jumlah keperluan
dan emisi yang sama. Semen dan baja khususnya baja tulangan merupakan dua material
yang ada dalam konstruksi yang memerlukan energi yang besar dan merupakan sebagai
penghasil emisi CO2 yang besar. Hal ini bukan berarti bahwa material selain semen dan
baja khususnya baja tulangan tidak memerlukan energi dan tidak menghasilkan CO2,
namun energi yang dibutuhkan dan emisi CO2 yang dihasilkan tidak sebesar semen dan
baja tulangan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 108
Meningkatnya jumlah keperluan semen dapat disebabkan karena pertumbuhan negara
berkembang termasuk Indonesia yang melibatkan penyediaan infrastruktur. Penyediaan
infrastruktur yang layak menjadi salah satu pilar untuk dapat bersaing dengan negara
lain (Scwab, 2011). Pemakaian semen dalam jumlah yang besar bukan hanya di negara
berkembang, tetapi pada beberapa negara lain juga mencapai jumlah yang sangat besar,
sebagai contoh konsumsi semen pada tahun 2006 di Uni Eropa mencapai 237 juta ton
apabila dijumlahkan di seluruh dunia jumlah pemakaian semen mencapai 2.6 miliar ton
(Glavind, 2012). Berdasarkan kondisi di atas ada sutau prediksi yang memberikan
analisis bahwa kebutuhan semen sampai tahun 2030 akan mencapai lima kali lipat dari
tahun 1990, dengan nilai yang berjumlah lima milliar di seluruh dunia atau akan
meningkat 85%. (Müller, dan Harnisch, 2012; Glavind, 2012). Pertumbuhan sektor
konstruksi di Indonesia pun menunjukkan tren yang terus meningkat. Dalam satu
dekade yang dimulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Pertumbuhan sektor
kontruksi mengalami kenaikan. Tahun 2001, sektor konstruksi tumbuh 3.6%, tahun
2002 sebesar 4.5% sampai pada tahun 2007 tumbuh 6.3%. Akan tetapi pada tahun 2008
dampak krisis finansial secara global menghambat pertumbuhan sehingga pada tahun
2009 pertumbuhannya menjadi 4.6% apabila dibandingkan tahun 2008 yang bertumbuh
sebesar 6% (Pengembangan Satelite Account Sektor Konstruksi Tahun 2011).
Berdasarkan data pertumbuhan sektor konstruksi di atas secara tidak langsung
kebutuhan material semen dalam dekade tersebut berjumlah besar. Apabila dipetakan
ke dalam jenis proyek konstruksi yang terdiri atas proyek konstruksi infrastruktur dan
noninfrastruktur, porsi kebutuhan semen di Indonesia 25%-30% digunakan pada proyek
infrastruktur dan 70%-75% digunakan oleh proyek non infrastruktur (Goeritno, 2012).
Dengan tren sektor konstruksi yang terus meningkat, konsumsi semen tentunya akan
meningkat seiring dengan arah tren sektor konstruksi. Kapasitas produksi semen yang
mampu disediakan produsen semen dari tahun 2010 sampai sekarang 53.5 juta
ton/tahun, sedangkan konsumsi semen nasional pada tahun 2010 sebesar 42.09 juta ton
dan tahun 2011 sebesar 43.57 juta ton. Dengan demikian, estimasi kebutuhan semen
nasional sampai pada tahun 2025 sebesar 70.82 juta ton (Natsir, 2011). Dengan
demikian, baik secara global atau pada skala Indonesia, kebutuhan semen memiliki
kecenderungan terus meningkat sejalan dengan penyediaan infrastruktur yang layak
yang menjadi pilar untuk berkompetisi. Sehingga industri semen menjadi komoditas
utama dan industri yang strategis bagi perekonomian suatu negara (US, EPA, 2012; Mc.
Leod, 2005). Sebagai bahan yang proses pembuatannya melalui pabrikasi yang
membutuhkan energi, industri semen pun membutuhkan energi dan juga menghasilkan
CO2. Semen dipabrikasi dari berbagai macam mineral yaitu kalsium 60% yang
diperoleh dari batu kapur sebagi bahan utamanya, silikon 20%, alumunium 10%, zat
besi 10% serta unsur lain yang dibutuhkan kemudian dipanaskan pada suhu 1.500C-
2.700C dalam klinker. CO2 yang dihasilkan dari pabrikasi semen berasal dari
pemakaian bahan bakar untuk pemanasan, mencampur semua mineral yang dibutuhkan,
dan proses kalsinasi ketika kalsium karbonat dipanaskan akan hancur menjadi kalsium
oksida dengan melepas sejumlah CO2. Sementara semen dihasilkan dari proses kalsinasi
hampir 92%-95%. Proses inilah yang menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Emisi
CO2 yang dihasilkan pada proses ini antara 50%-60% (NRMCA, 2010). Oleh karena
itu, pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memberikan hasil bahwa
meskipun semen sebagai material yang penting untuk proyek konstruksi, proses yang
ada pada hulu memberikan dampak signifikan terhadap pemanasan global, yaitu CO2
yang dihasilkan selama proses pabrikasinya. Bahkan industri semen merupakan salah
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 109
satu industri mayor sebagai penghasil CO2 (Rehan dan Nehdi 2005). Total besarnya
CO2 yang dihasilkan oleh industri semen berkisar 6%, sedangkan setiap satu kilogram
semen dari proses yang terjadi di klinker mengemisi hampir 0.8-1 kg CO2 ke atmposfer
atau setiap 1 ton semen akan menghasilkan 1 ton CO2 juga yang artinya bahwa setiap
berat semen yang dihasilkan akan memiliki perbandingan 1:1 (Mc. Caffrey,2001; Rehan
dan Nehdi, 2005; Worrel 2001; Nielsen, 2008). Sebagai bahan yang proses
pembuatannya melalui pabrikasi yang membutuhkan energi, industri semen pun
membutuhkan energi dan juga menghasilkan CO2. Semen dipabrikasi dari berbagai
macam mineral yaitu kalsium 60% yang diperoleh dari batu kapur sebagi bahan
utamanya, silikon 20%, alumunium 10%, zat besi 10% serta unsur lain yang dibutuhkan
kemudian dipanaskan pada suhu 1.500C-2.700C dalam klinker. CO2 yang dihasilkan
dari pabrikasi semen berasal dari pemakaian bahan bakar untuk pemanasan, mencampur
semua mineral yang dibutuhkan, dan proses kalsinasi ketika kalsium karbonat
dipanaskan akan hancur menjadi kalsium oksida dengan melepas sejumlah CO2.
Sementara semen dihasilkan dari proses kalsinasi hampir 92%-95%. Proses inilah yang
menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Emisi CO2 yang dihasilkan pada proses ini
antara 50%-60% (NRMCA, 2010). Oleh karena itu, pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya memberikan hasil bahwa meskipun semen sebagai material yang
penting untuk proyek konstruksi, proses yang ada pada hulu memberikan dampak
signifikan terhadap pemanasan global, yaitu CO2 yang dihasilkan selama proses
pabrikasinya. Bahkan industri semen merupakan salah satu industri mayor sebagai
penghasil CO2 (Rehan dan Nehdi 2005). Total besarnya CO2 yang dihasilkan oleh
industri semen berkisar 6%, sedangkan setiap satu kilogram semen dari proses yang
terjadi di klinker mengemisi hampir 0.8-1 kg CO2 ke atmposfer atau setiap 1 ton semen
akan menghasilkan 1 ton CO2 juga yang artinya bahwa setiap berat semen yang
dihasilkan akan memiliki perbandingan 1:1 (Mc. Caffrey,2001; Rehan dan Nehdi, 2005;
Worrel 2001; Nielsen, 2008). Material lain yang menjadi komplemen semen selain air
dan agregat adalah baja. Baja merupakan material mayor setelah semen yang juga
hampir digunakan di proyek infrastruktur dan noninfrastruktur di seluruh dunia. Bahkan
baja juga merupakan salah satu material yang dapat meningkatkan kesejahteraan
ekonomi bagi suatu negara (OECD, 2011). Secara global, produksi baja juga
memberikan indikasi yang terus meningkat. Total produksi baja kasar pada tahun 2007,
1.3435 miliar ton, sedangkan pada tahun 2008 total produksi baja kasar mengalami
kenaikan sebesar 5.6%. Sebaran distribusi produksi baja kasar terdiri atas Cina 34%,
Jepang 9.3%, Asia 10.5%, Uni Eropa 15.9%, non-Uni Eropa 2.9%, NAFTA (Argentina,
Brasil, Venezuela, dan Amerika Latin) 10.5%, CIS (Canada, Mexico dan US) 9.6%,
lain-lain 7.2%. (Kundak, 2009). Pertumbuhan produksi baja dari tahun 1950 sampai
dengan tahun 2010 dapat dlihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1: Pertumbuhan Baja Dunia Tahun 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2011
Jumlah baja
(mega ton)
595 644 717 719 770 752 849 1.144 1414 1.527
Sumber: Global economic outlook and steel demand trends Eldar Askerov, 23-24 April 2012
Penggunaan baja pada konstruksi menjadi alternatif dan memiliki tren yang meningkat
setelah adanya isu pemanasan global yang salah satunya diakibatkan oleh penebangan
hutan untuk mendapatkan kayu yang digunakan pada konstruksi. Seperti yang telah
disebutkan di atas, bahwa komoditas baja dapat menjadi pilar bagi suatu negara untuk
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 110
berkompetisi di pasar global. Begitu pula dengan sektor konstruksi di Indonesia,
pertumbuhan pemakaian baja sebagai material konstruuksi di Indonesia pada tahun
2004-2008 rata-rata 8.25% (Natsir, 2011). Bahkan estimasi potensi kebutuhan baja
nasional menurut RPJM 2012-2014 akan terus meningkat, pada tahun 2013
diestimasikan kebutuhan baja akan mencapai 13.900.000 ton dan pada tahun 2014
sebesar 16.000.000 ton (pusbinsdi.net). Dengan demikian, pemakaian baja di Indonesia
pun memiliki tren potensi yang positif. Sebagai material yang dihasilkan dari proses
pabrikasi maka material baja memiliki potensi menghasilkan CO2. CO2 yang dihasilkan
dari industri baja berkisar antara 4%-5% (OECD, 2011; Kundak, 2009). Bahkan 90%
CO2 yang dihasilkan dari pembuatan baja berasal dari 9 negara seperti Cina, Brasil, Uni
Eropa, India, Jepang, Korea, Rusia, Ukraina, dan Amerika (Kundak, 2009). Menurut
Environmental Product Declaration/EPD, (2012) pembuatan baja menghasilkan 430 kg
CO2 eq/.ton. Berkaitan dengan kedua material tersebut yaitu semen dan baja, sektor
yang mempunyai persentase yang signifikan terhadap penggunaan material tersebut
adalah sektor konstruksi. Sementara sektor konstruksi dianalisis sebagai sektor yang
turut memberikan kontribusi CO2 yang menyebabkan meningkatnya efek gas rumah
kaca. Isu efek gas rumah kaca menjadi penting karena menjadi dasar untuk mencapai
sustainable.
2. TUJUAN
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melakukan identifikasi gap analysis jejak karbon
pada rantai pasok di proyek konstruksi.
3. KAJIAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Supply chain atau rantai pasok merupakan suatu konsep yang relatif baru di dunia
konstruksi, yang awal perkembangannya berasal dari industri manufaktur. Konsep
supply chain berhubungan erat dengan lahirnya konsep lean production yang berakar
pada pemikiran lean thinking yang telah mengubah paradigma produksi dalam industri
manufaktur. Tuntutan terhadap efisiensi memaksa perusahaan untuk membentuk
struktur organisasi yang lebih sederhana, mendorong perusahaan untuk lebih fokus pada
bisnis intinya, dan menyerahkan aktifitas pendukungnya pada pihak lain. Perkembangan
ini mengakibatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu bisnis, bukan lagi
merupakan output dari satu organisasi secara individu, namun merupakan output dari
suatu rangkaian organisasi, yang disebut supply chain (Maylor, 2003). Dalam konteks
konstruksi, kompleksitas supply chain konstruksi digambarkan oleh Vaidyanathan
(2001) seperti tertera pada Gambar 1, secara makro, pihak-pihak yang terlibat dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu: penyedia jasa yang terdiri atas penyandang
dana, penyedia jasa struktur, mekanikal, elektrikal, dan arsitektur dan kelompok kedua
yaitu penyedia barang/material yang terdiri atas pemasok material/produk bangunan dan
subkontraktor.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 111
Gambar 1 Rantai pasok konstruksi
Sumber: Vaidyanathan (2001)
Kedua kelompok besar ini akan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsi dari
masing-masing anggota kelompok tersebut terhadap kontraktor sebagai bagian yang
akan mewujudkan keinginan owner sehingga kontraktor secara kontinu dan langsung
akan mempunyai hubungan garis komando terhadap owner. Hubungan antara arsitek
dengan owner hanya garis koordinasi, sementara hubungan owner dengan subkontraktor
sebatas hanya untuk mengetahui aliran informasi dan aliran material. Sejalan dengan
pengertian supply chain dalam konteks manufaktur, dalam konteks konstruksi, supply
chain dapat didefinisikan sebagai suatu proses dari sekumpulan aktivitas perubahan
material alam hingga menjadi produk akhir (misalnya jalan, bangunan, dan jasa
perencanaan), untuk digunakan oleh pengguna jasa dengan mengabaikan batas-batas
organisasi yang ada. Tambahan dalam definisi Tommelein dkk (2003) menyatakan
bahwa dalam jaringan yang terstruktur tersebut selain dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan owner, juga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota supply chain
tersebut. Dalam konteks pola tradisional, pembentukan supply chain konstruksi yang
terlibat dalam suatu proses produksi, dimulai pada tahap penawaran, ketika suatu
jaringan supply chain konstruksi suatu kontraktor akan memiliki daya saing tertentu
terhadap jaringan supply chain konstruksi dari kontraktor lainnya dalam memenangkan
tender. Dalam tahap ini, hal itu menunjukkan bahwa persaingan yang terjadi bukan lagi
persaingan antarperusahaan konstruksi secara individu, melainkan merupakan
persaingan antarjaringan supply chain konstruksi antar jaringan perusahaan yang
tergabung dalam suatu hubungan proses produksi konstruksi yang ditawarkan dalam
penawaran. Dalam tahap pelaksanaan, ketika terjadi proses pengadaan yang dilakukan
oleh kontraktor dalam penyusunan jaringan supply chain-nya, akan menentukan
seberapa besar tingkat efisiensi yang terjadi dalam proses produksinya. Hal ini
menghasilkan produk dan jasa yang sesuai dengan value dari owner. Apa yang terjadi
dalam konstruksi tersebut membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa keunggulan
persaingan yang menjadi aturan main sekarang ini adalah keunggulan persaingan
antarjaringan supply chain (Christopher, 1998). Di tengah kompetisi usaha yang
semakin ketat, kontraktor dituntut untuk melakukan efisiensi dalam proses
konstruksinya. Pola supply chain yang memiliki daya saing pada tahap pengadaan,
selanjutnya akan memberikan kinerjanya pada tahap produksi (pelaksanaan). Hal itu
menunjukkan bahwa desain suatu jaringan supply chain berperan sangat penting. Suatu
Structural
Engineer
Mechanical
Engineer
Electrical
Engineer
ArsitekPenyandang
dana
General
Contractor
(Construction
Manager at risk)
Produk
Bangunan
Manufaktur I
Produk
Bangunan
Manufaktur II
Produk
Bangunan
Manufaktur n
Sub Kontraktor ISub Kontraktor
II
Pekerja
langsung
Pekerja tidak
langsung
Pekerja
langsung
Owner
Aliran m
ateria
l
Aliran in
form
asi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 112
studi menunjukkan bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk
meningkatkan biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 2002). Hal ini menunjukkkan
bahwa pola supply chain konstruksi akan memberikan kontribusi terhadap efisiensi
suatu pelaksanaan proyek, sehingga pola suatu supply chain konstruksi memiliki potensi
untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan
dalam industri konstruksi. Dalam konteks konstruksi ketika fragmentasi sudah menjadi
bagian dari karakteristik industri ini, peningkatan yang dapat dilakukan adalah melalui
manajemen hubungan terhadap organisasi yang terlibat dalam suatu susunan jaringan
supply chain yang menghasilkan produk konstruksi tertentu. Konsep supply chain
management merupakan konsep yang relatif baru. Konsep ini merupakan perluasan dari
konsep logistik yang lingkupnya adalah optimasi aliran (optimizing flows) di dalam
lingkup suatu organisasi tertentu (Christopher, 1998). Konsep supply chain management
memperlihatkan bahwa konsep logistik belum mencukupi dalam usaha untuk mencapai
optimalisasi aliran yang terjadi sehingga perlu diperluas hingga keluar batas organisasi
tersebut ke hulu dengan supplier-nya dan ke hilir dengan customernya (Christopher,
1998). Dengan demikian, hal yang paling mendasar dari manajemen hubungan dalam
suatu supply chain menyangkut hubungan antar organisasi yang berbeda dalam suatu
proses produksi. Dalam konteks persaingan bisnis yang semakin ketat, melalui
penerapan konsep ini diharapkan daya saing yang berkelanjutan dapat tercapai
(Christopher, 1998). Hal inilah yang menunjukkan pentingnya penerapan supply chain
manajemen dalam praktik bisnis saat ini, termasuk dalam industri konstruksi.
Fragmentasi yang sudah menjadi karakteristik industri konstruksi, yang disebabkan
tingginya tingkat kebutuhan spesialisasi dalam industri ini, telah menyebabkan
terpecah-pecahnya suatu proses (aktivitas) menjadi paket-paket yang lebih kecil, yang
masing-masing melibatkan pihak tertentu. Akhirnya dalam suatu proyek konstruksi
bangunan, yang melibatkan item pekerjaan yang sangat banyak, yang menuntut keahlian
tertentu di dalam produksinya, telah membentuk jaringan supply chain yang kompleks.
Hal di atas menujukkan bahwa karakteristik dalam industri konstruksi pun telah
menuntut suatu konsep manajemen yang dapat mengatur hubungan antarmata rantai
yang menghasilkan output produk konstruksi sehingga peran konsep dalam industri
konstruksi menjadi penting.
Jejak karbon pada konstruksi
Analisa daur hidup/life cycle analysis merupakan kerangka utama yang digunakan
dalam beberapa penelitian jejak karbon. Dalam perkembangannya analisis daur hidup
dimodifikasi ke dalam beberapa bentuk seperti analisa daur hidup input output dan
analisis daur hidup hybrid. Analisa daur hidup dapat mempunyai batasan-batasan
sampai sejauh mana estimasi jejak karbon dalam proses konstruksi. Batasan-batasan
yang terdapat pada analisa daur hidup terdiri dari gate to gate, cradle to gate dan cradle
to cradle. Berikut ini merupakan penelitian jejak karbon dengan menggunakan kerangka
utama analisa daur hidup. Penelitian jejak karbon yang telah dilakukan pada ruang
lingkup konstruksi meliputi beberapa bagian yaitu pada objek material, industri
konstruksi, ataupun pada proyek konstruksi. Objek penelitian yang dilakukan juga
bervariasi seperti pada bangunan komersial, perumahan, perkerasan jalan atau pada
komponen bangunan seperti dinding, tangga. Penelitian jejak karbon untuk material
konstruksi yang dilakukan dalam bentuk studi perbandingan antarmaterial konstruksi
yang digunakan pada bangunan seperti kayu (Buchanan dan Levine, 1999; Pullen,
2000), material on site dan off site (Barret dan Wiedmann, 2007), kebutuhan energi dan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 113
emisi CO2 pada aliran material yang digunakan ready mix (Low, 2005); pada perkerasan
kaku dan fleksibel (Zapata dan Gambatese, 2005; Amlan dan Cassi, 2011) serta pada
rumah dan apartemen (Hammond and Jones 2008; Tatari dan Kucukvar, 2012). Jejak
karbon pada penggunaan beton pracetak juga dilakukan oleh Peng dan Pheng (2011)
untuk elemen kolom pada gedung dan (Wong dan Tang, 2012) pada komponen dinding,
anak tangga, dan plat lantai. Penelitian jejak karbon dilakukan berkaitan dengan
konstruksi khususnya pada industri semen (Worrel, 2001) termasuk juga emisi yang
ditimbulkan oleh transportasi yang digunakan oleh ready mix (Palaniappa, 2009).
Penelitian jejak karbon yang langsung terkait pada proyek konstruksi dengan objek
perumahan (Seol dan Hwang, 2001; Baouendi, 2005), infrastruktur dan noninfrastruktur
Hendrickson dan Horvath (2000), estimasi untuk pembangunan perumahan baru
(Hodgson, 2008) Kasozi dan Tutesigensi (2007) mengembangkan model penilaian jejak
karbon pada proyek konstruksi yang dapat diakses oleh para pengelola proyek
konstruksi. Sharrard (2008); dan Inui (2011) melakukan estimasi jejak karbon pada fase
konstruksi. Lingkup penelitian jejak karbon juga ada yang dilakukan pada level negara
dan kota khususnya yang erat hubungannya dengan kegiatan transportasi, rumah tangga,
limbah, atau bangunan industri (Kenny dan Gray 2009; Brown 2009; Brown, 2012;
Baron, 2011). Hasil dari penelitian jejak karbon juga dapat digunakan sebagai estimasi
untuk pembangunan konstruksi yang setipe sehingga optimal energi dan emisi CO2
optimal (Qi dan Chang, 20112). Khusus pada proyek konstruksi untuk memetakan
sumber emisi CO2 secara langsung dan tidak langsung juga memperhitungkan faktor
biaya dengan metode Particle Swarm Optimatization (PSO) yang dilakukan oleh Liu
(2012). Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi gap analysis jejak karbon pada
rantai pasok di proyek konstruksi dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel 2: Pemetaan penelitian jejak karbon pada konstruksi
No Tahun Studi Kasus Lingkup Jejak Karbon Pada Konstruksi
Obyek
Metode
LCA LCA-
IO LCA-EIO
Lain-lain
1 2001 CO2 Emission The Global Cement Industry (Worrel, E., et.al, 2001)
Industri Semen - - - Literature review (Gate to Gate)
2 2009 Carbon Emissions based on Ready-mix Concrete Transportation: A Production Home Building Case Study in the Greater Phoenix Arizona Area (Palaniappan , S, et. al., 2009)
Industri Beton Pracetak
Cr to Gate
- - -
3 2011 Calculation of the corporate carbon footprint of the cement industry by the application of MC3 methodology (Cajio, J., et. al., 2011)
Industri Semen - - - Literature review (Gate to Gate)
4 1999 Wood Based Building Materials and Atmospheric Carbon Emissions (Buchanan, A.H. & Honey, B.G., 1994)
Material Hostel, Kantor, Rumah & Industri
- - - Literature review (Gate to Gate)
5 2000 Estimating The Embodied Energy Of Timber Building Products (Pullen, S, 2000)
Material Gedung - - - Input Output Analysis (Cr to Gate)
6 2005 Material Flow Analysis in US (Low, Shi-Man, 2005)
Material Beton Cr to Cr - - -
7 2005 Energy Consumption of Asphalt and Reinforced Concrete Pavement Materials and Construction (Zapata,
Material Perkeras-an kaku dan
Cr to Cr - - -
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 114
P., dan Gambatese, J.A, 2005) fleksibel
8 2007 A Comparative Carbon Footprint Analysis of On-Site Construction and an Off-Site Manufactured House (Barret, J. dan Wiedmann, T, 2007)
Material - - - - Literature review (Gate to Gate)
9 2008 Embodied energy and carbon in construction materials (G. P., Hammond,. and C. I., Jones, 2008)
Material LCI + literature review (Cr to Site)
10 2011 Managing the Embodied Carbon (Peng, W., Pheng, Low S.,2011)
Material Beton Pracetak
Gate to Gate
- - -
11 2012 Comparative Embodied Carbon Analysis of the Prefabrication Elements compared with In-Situ Elements in Residential Building Development of Hongkong (Wong, F., Tang, YT., 2012)
Material Beton Pracetak
Cr to Site
- - -
12 2000 Resource Use and Environmental Emissions of U.S. Construction Sectors Construction Sectors (Hendrickson, S., Horvath, A., 2000)
Proyek Konstruksi
Highway bridge; fasilitas industri & bangunan komersial; residentialinfra- struktur
- - Gate to
Gate
-
13 2001 Estimation of CO2 Emissions In Life Cycle of Residential Buildings (Seol, S., Hwang, Y., 2001)
Proyek Konstruksi
Resi densial
Cr to Gate
- - -
14 2005 Energy and Emission Estimator A Prototype Tool for Designing Canadian Houses (Baouendi, R. et. al. 2005)
Proyek Konstruksi
Resi densial
Gate to Gate
- - -
15 2007 A Framework for Apprasing Construction Projects Using Carbon Footprint (Kasozi, P. dan Tutesigensi, A., 2007)
Proyek Konstruksi
- Gate to Gate
- - -
16 2007 Estimating Construction Project Environmental Effects Using an Input-Output-Based Hybrid Life-Cycle Assessment Model (Sharrard, Aurora L.et. al., 2008)
Proyek Konstruksi
- - - Gate to
Gate
-
17 2008 Carbon Footprint of Single-Family Residential New Construction (Hodgson, J., etl al., 2008)
Proyek Konstruksi
Resi densial
Gate to Gate
- - -
18 2009 Comparative performance of six carbon footprint models for use in Ireland (Kenny T dan Gray, N.F., 2009)
Proyek Konstruksi
Rumah & transpor tasi
- - Literature review (Gate to Gate)
19 2009 The geography of metropolitan carbon footprints (Brown, M.,A.,2009)
Proyek Konstruksi
Resi – densial & dan tranpor- tasi
- - Gate to
Gate
-
20 2010 Forecasting the carbonfootprint of road freight transport in 2020 (Piecyk, M., McKinnon, A.C., 2010)
Proyek Konstruksi
Gate to Gate
- - -
21 2010 Twelve metropolitan carbon footprints: A preliminary comparative global assessment (Sovacool, Benyamin K., Brown, M.A, 2010)
Proyek Konstruksi
Transpor tasi, bangunan, industri,
- - - Literature review (Gate to Gate)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 115
pertanian & limbah
22 2011 Carbon Footprint For HMA (Hot Mix Asphalt) And PCC (Portland Cement Concrete) Pavements (Mukherjee, 2011)
Proyek Konstruksi
Rekayasa Konstruk-si, Transpor-tasi
Gate to Gate
- - -
23 2011 Carbon Footprint of High Speed Rail (Baron, T., et. al. 2011)
Proyek Konstruksi
Rekayasa Konstruk-si, Transpor-tasi
Cr to Gate
- - -
24 2011 Embodied Energy and Gas Emissions of Retaining Wall Structures (Inui, T., et. al., 2011)
Proyek Konstruksi
Struktur Gate to Gate
- - -
25 2012 Integrated carbon footprint and cost evaluation of a drinking water infrastructure system for screening expansion alternatives (Qi, Cheng dan Chang, Ni-Bin, 20112)
Proyek Konstruksi
Infra-struktur air minum
- - - Studi banding (Gate to Gate)
26 2012 Optimizing cost and CO2 emission for construction projects using particle swarm optimization (Liu, Sha. et.al., 2012)
Proyek Konstruksi
- - - - Particle Swamp Optimization (PSO) -
Gate to Gate
27 2012 Sustainability Assessment of U.S. Construction Sectors: Ecosystems Perspective (Tatari, O., dan Kucukvar, M, 2012)
Proyek Konstruksi
Resi- densial
- - Gate to
Gate
-
28 2012 Pemodelan Jejak Karbon pada Rantai Pasok Material Konstruksi di Indonesia
Industri Konstruksi (baja dan semen) dan Proyek Konstruksi
Material semen dan baja
- - - Cr to installation
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal
yang meliputi: (1) penelitian jejak karbon yang telah dilakukan memiliki kesamaan
yaitu menggunakan analisa daur hidup sebagai dasar estimasi jejak karbon, (2) ruang
lingkup dari masing-masing penelitian memiliki beberapa variasi yaitu dari cradle to
cradle, gate to gate, cradle to gate, sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki
ruang lingkup cradle to installation, (3) objek dari penelitian jejak karbon yang telah
dilakukan memiliki variasi yaitu penggunaan material konstruksi yang digunakan di
proyek konstruksi seperti semen dan beton pracetak; estimasi energi dan CO2 dari
proses pelaksanaan konstruksi pada gedung, perumahan dan transportasi; sedangkan
penelitian yang akan dilakukan berawal dari hulu yaitu ekstrasi material semen dan
baja, kemudian delivery material sampai ke hilir yaitu proses instalasi kedua material
tersebut pada proyek infratruktur dan non infrastruktur.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 116
DAFTAR PUSTAKA
1. Amlan Mukherjee1 dan Cassi, D., 2011, Carbon Footprint For HMA and PCC
Pavements, Research Report and Best Practices, Michigan Department of
Transportation.
2. Baouendi, R. et. al. 2005, Energy and Emission Estimator: A Prototype Tool for
Designing Canadian Houses, Journal of Architectural Engineering.
3. Baron, T., et. al. 2011, Carbon Footprint of High Speed Rail, Research Report of
International Union of Railways.
4. Brown, M.,A.,2009, et. al., The geography of metropolitan carbon footprints, Policy
and Society 27, 285–304.
5. Barret, J. dan Wiedmann, T., A Comparative Carbon Footprint Analysis of On-Site
Construction and an Off-Site Manufactured House, Research Report, Stockholm
Environment Institute, University of York, YO10 5DD, UK, November 2007.
6. Bertelsen, Sven (2002), Complexity Construction in A New Perspective revised
paper of a report originally prepared as a contribution for an IGLC championship,
http://www.bertelsen.org/strategisk_r%E5dgivning_aps/pdf/Complexity%20
%20Construction%20in%20a%20New%20Perspective.pdf (8/20/2004 DATA 25)
7. Buchanan, A.H., Honey, B.G., 1994, Energy and carbon dioxide implications of
building construction, Journal of Energy and Building, 20, p:205-217.
8. Cass, D dan Mukherjee, A., 2011, Calculation of greenhouse gas emissions for
highway construction operations by using a hybrid life-cycle assessment approach:
case study for pavement operations, the dissertation at University of Pittsburgh.
9. Christopher, M. ( 1998), Logistics and Supply Chain Management, Second Edition,
Prentice Hall
10. EPA, 2009, Potential for Reducin Greenhouse Gas Emissions in the Construction
Sector.
11. EPD, Steel Reinforcement Products For Concrete, Celsa Steel Service A/S, 2012
12. Glavind, M., 2012, Sustainability of cement, concrete and cement replacement
materials in construction, Danish Technological Institute, Denmark.
13. Global economic outlook and steel demand trends Eldar Askerov, 23-24 April 2012
14. Goeritno, B., 2012, Supply Demand Material dan Peralatan Konstruksi Dalam
Rangka Mendukung Investasi Infrastruktur Nasional, Seminar Nasional Peluang
Pasar Material dan Peralatan Konstruksi Untuk Mendukung Penyelenggaraan
Infrastruktur Nasional, Jakarta 4 Mei 2012.
15. Gumaste, K.S., 2006, Embodied Energy Computations in Buildings, Advances in
Energy Research.
16. G. P., Hammond,. and C. I., Jones, 2008, Embodied energy and carbon in
construction materials, Proceedings of the Institution of Civil Engineers - Energy,
161 (2), pp. 87-98
17. Hendrickson, S., Horvath, A., 2000, Resource Use And Environmental Emissions of
U.S. Construction Sectors, Journal of Construction Engineering and Management,
January/February.
18. Hertwich, Edgar E and Peters, Glen P., (2009), Carbon Footprint of Nations: A
Global, Trade-Linked Analysis, Environmental Science & Technology Vol. 43 No.
16, 2009, American Chemical Society Published on Web 06/15/2009.
19. Hodgson, J., etl al., 2008, Carbon Footprint of Single-Family Residential New
Construction, California Building Industry Association
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 117
20. Inui, T., et. al., 2011, Embodied Energy and Gas Emissions of Retaining Wall
Structures, Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering , October
2011
21. Kasozi, P. dan Tutesigensi, A., 2007, A Framework for Appraising Construction
Projects Using Carbon Footprint. Procs 23rd Annual ARCOM Conference, 3-5
September 2007, Belfast, UK,, Belfast UK.
22. Kenny T dan Gray, N.F., 2009, Comparative performance of six carbon footprint
models for use in Ireland, Environmental Impact Assessment Review 29; 1-6.
23. Kundak M., et. al., 2009, CO2 Emissions in The Steel Industry, Metalurgija 48 (2009)
3, 193-197.
24. Liu, Sha. et.al., 2012, Optimizing cost and CO2 emission for construction projects
using particle swarm optimation, Journal of Habitat International, p:1-8.
25. Low, Shi-Man, Material Flow Analysis of Concrete in the United States, Thesis of
Master of Science in Building Technology at the Massachusetts Institutute of
Technology, June 2005.
26. Maylor, H., 2003, Project Management, third edition, Prentice-Hall.
27. Mc. Caffrey, R. 2001, Climate change and the cement industry, Envriromental
Overview Climate Change, GCL Magazine.
28. Mc. Leod, R.S., Ordinary Portland Cement with extraordinarily high CO2
emissions. What can be done to reduce them? BFF Autumn, 2005.
29. Monahan, J, Powell, J.C., 2011, An embodied carbon and energy analysis of modern
methods of construction in housing: a case study using a lifecyle assessment
framework, Journal of Energy and Buildings, 43 p:179-188.
30. Müller, N dan Harnisch, J., 2012, A Blueprint for a climate friendly cement industry,
WWF International
31. National Ready Mixed Concrete Association (NRMCA), Concrete CO2 Fact Sheet,
February, 2012.
32. Natsir, M., 2011, Sistem Rantai Pasok Material Dan Peralatan Konstruksi Untuk
Mendukung Investasi Infrastruktur, Konstruksi Indonesia 2011, Penyelenggaraan
Infrastruktur Berkelanjutan Inovasi Investasi dan Dukungan Sektor Konstruksi
Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum.
33. Nielsen, C.V., 2008, Carbon Footprint of Concrete Buildings seen in the Life Cycle
Perspective, Proceedings NRMCA 2008 Concrete Technology Forum, June 2008,
Denver
34. OECD, 2011, Making Steel More Green: Challenges and opportunities, Workshop
on green growth in shipbuilging, Paris, 7-8 July 2011.
35. O’Brien W.J., et.al., 2009, Construction Supply Chain Management Handbook, CRC
Press Taylor & Francis Group.
36. Palaniappan , S, et. al., 2009, Carbon Emissions based on Ready-mix Concrete
Transportation: A Production Home Building Case Study in the Greater Phoenix
Arizona Area, download 15 Mei 2012.
37. Pengembangan Satelite Account Sektor Konstruksi Tahun 2011, Kerjasama
Kementerian Pekerjaan Umum Badan Pusat Statistik, Jakarta 2011.
38. Peng, W., Pheng, Low S., 2011, Managing the embodied carbon of precast concrete
coloumns, Journal of Materials in Civil Engineering, August 2011.
39. Piratla, Kaylan R., et.al., 2012, Estimation of CO2 emissions from the life cycle of a
potable water pipeline project, Journal of Management in Engineering, ASCE,
January 2012.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 118
40. Pullen, S., Estimating The Embodied Energy Of Timber Building Products, Journal
of the Institute of Wood Science, Vol. 15 No. 3 (Issue 87) Summer 2000.
41. pusbinsdi.net
42. Qi, Cheng dan Chang, Ni-Bin, 20112, Integrated carbon footprint and cost
evaluation of a drinking water infrastructure system for screening expansion
alternatives, Journal of Cleaner Production 27 (2012) 51-63
43. Rehan, R., dan Nehdi, M., Carbon Dioxide Emissions and Climate Change: Policy
Implications for The Cement Industry, Environmental Science & Policy 8 (2005),
105-114.
44. Scwab, K., 2011, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic
Forum, Geneva Switzerland
45. Seol, S., Hwang, Y., 2001, Estimation of CO2 Emissions In Life Cycle of Residential
Buildings, Journal of Construction Engineering and Management,
September/October.
46. Sharrard, Aurora L.et. al., 2008, Estimating Construction Project Environmental
Effects Using an Input-Output-Based Hybrid Life-Cycle Assessment Model, Journal
of Infrastructure System. 47. Tatari, O., dan Kucukvar, M, 2012, Sustainability Assessment of US Construction Sectors:
Ecosystems Perspective, Journal of Construction Engineering and Management, August
2012.
48. Tommelein, I.D.; Walsh, K.D.; Hershauer, J.C. (2003). Improving Capital Projects Supply
Chain Performance. Research Report PT172-11. Texas: Construction Industry Institute. 241
p.
49. US, EPA., CO2 Emissions Profile of U.S. Cement Industry?, 2012.
50. Vaidyanathan, K. ( 2001), Value of Visibility Planning in An Enginerr-to-Order
Environment, <http://strobos.cee.vt.edu/IGLC11/> 7 Desember 2004.
51. Wong, F., Tang, YT., 2012, Comparative Embodied Carbon Analysis of the Prefabrication
Elements compared with In-situ Elements in Residential Building Development, World
Academy of Science, Engineering and Technology 62.
52. Worrel, E., et.al, 2001, Carbon Dioxide Emissions From The Global Cement Industry, Rev.
Energy Environment, Vol. 26., 303-329
53. Zapata, P., dan Gambatese, J.A., Energy Consumption of Asphalt and Reinforced Concrete
Pavement Materials and Construction, Journal of Infrastructure Systems, March 2005.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 119
PERKEMBANGAN JOINT OPERATION
PADA PROYEK INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
Arman Jayady1, Krishna S. Pribadi
2, Muhamad Abduh
3, Senator Nur Bahagia
4
1Mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Sipil ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 0852-
83641889, email: ajayady@yahoo.co.id 2Dosen Program Studi Teknik Sipil FTSL, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935,
email: ksppribadi@bdg.centrin.net.id, 3Dosen Program Studi Teknik Sipil FTSL, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935,
email: abduh@si.itb.ac.id 4Dosen Program Studi Teknik Industri FTI, ITB, Kampus ITB Jl. Ganesha Bandung, Telp 022-2500935,
email: senatornurb@yahoo.co.id
ABSTRAK
Joint Operation (JO) diperkenalkan di Indonesia sejak 1991 sebagai bentuk kemitraan antara badan usaha
jasa konstruksi asing (BUJKA) dengan badan usaha jasa konstruksi nasional (BUJKN). JO sering
diimplementasi pada proyek infrastruktur berskala besar yang memiliki karakteristik kompleks, beresiko
besar dan berteknologi tinggi. Saat krisis moneter 1997 seiring dengan ambruknya perekonomian nasional
implementasi JO pada proyek infrastruktur juga mengalami penurunan dengan drastis, namun seiring
dengan economy recovery, maka implementasi JO pada proyek infrastruktur mulai marak. Beberapa data
yang telah dihimpun dari lembaga terkait menunjukkan trend peningkatan yang signifikan sehubungan
dengan kehadiran BUJKA serta pertumbuhan nilai proyek yang diimplementasi dengan JO. Keterlibatan
BUJKA melalui implementasi JO disatu sisi memberikan manfaat terhadap BUJKN dalam hal transfer of
knowledge namun disisi lain dapat mengganggu pertumbuhan kelangsungan BUJKN pada khususnya
serta perekonomian nasional pada umumnya. Sehubungan dengan hal tersebut pengkajian tentang faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan JO menjadi sesuatu yang penting. Kajian ini merupakan
bagian dari penelitian utama penulis dengan topik Efektifitas Joint Operation dalam Transfer of
Knowledge pada Proyek Infrastruktur di Indonesia. Studi literatur, diskusi terbatas dengan para praktisi,
birokrat, serta akademisi, dilakukan dalam pengkajian ini yang bertujuan untuk menemukan faktor-faktor
yang dominan yang mempengaruhi perkembangan JO di Indonesia. Hasil sementara kajian menunjukkan
bahwa lemahnya pendanaan pemerintah untuk infrastruktur, lemahnya daya saing BUJKN, liberalisasi
pasar konstruksi, serta perilaku strategis bisnis perusahaan jasa konstruksi menjadi faktor dominan yang
melatarbelakangi trend perkembangan implementasi JO di Indonesia.
Key Words : Joint Operation, Infrastruktur, BUJKA, BUJKN, Trend
1. Latar Belakang Joint Operation (JO) merupakan bentuk kemitraan pada sektor jasa konstruksi yang
fonomenal pada dua dekade terakhir. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya
infrastruktur yang dikerjakan dengan formasi JO antara perusahaan jasa konstruksi
asing dan perusahaan jasa konstruksi lokal, terlebih pada infrastruktur yang
berkarakteristik kompleks, beresiko berat, serta berteknologi tinggi. JO telah
diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1991 melalui regulasi Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 50/PRT/1991, dan perubahan terakhir dari regulasi tersebut
adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2011.
Dalam regulasi tersebut JO didefinisikan sebagai bentuk kerjasama operasi antara satu
atau lebih Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) dengan satu atau lebih Badan
Usaha Jasa Konstruksi Nasional (BUJKN) yang bersifat sementara dan bukan
merupakan bentuk badan hukum baru. Regulasi tersebut sebenarnya mengatur
persyaratan pemberian izin perwakilan kontraktor asing di Indonesia. Tujuan diterbitkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 120
regulasi tersebut seperti dinyatakan dalam konsiderannya adalah untuk mendorong
peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional dan perekonomian nasional.
Sehingga dalam mencapai tujuan dari regulasi tersebut maka setiap BUJKA yang akan
melaksanakan aktifitas proyeknya di Indonesia diwajibkan bermitra dengan BUJKN
serta wajib melakukan transfer of knowledge kepada partner lokalnya.
Meski kini JO juga diaplikasi oleh sesama perusahaan jasa konstruksi nasional, namun
JO antara BUJKA dan BUJKN juga semakin marak terlebih beberapa tahun semenjak
Indonesia melakukan upaya pemulihan perekonomian pasca krisis moneter 1997.
Indikasi perkembangan JO di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan
trend kehadiran BUJKA di Indonesia dan Gambar 2 menunjukkan trend nilai proyek
yang diselenggarakan dengan mekanisme JO pada Kementerian Pekerjaan Umum untuk
lima tahun terakhir.
Gambar 1: Jumlah BUJKA dalam tahun di Indonesia.
(Kementerian PU, 2012)
Gambar 2: Nilai Proyek JO (Asing – Lokal) dalam milyar rupiah
(Kementerian PU, 2012)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 121
Dari grafik pada kedua gambar diatas menunjukkan adanya asosiasi yang positif antara
trend pertumbuhan kehadiran BUJKA dengan nilai proyek yang diimplementasi dengan
JO antara BUJKA dan BUJKN di Indonesia pada lima tahun terakhir.
Tabel 1: Indikasi Perkembangan JO di Indonesia
Tabel 1 secara rinci menunjukkan adanya pertumbuhan kehadiran BUJKA yang
signifikan pada tahun 2011 sebesar 22.22% dari tahun sebelumnya, dan secara perlahan
tetap menunjukkan trend kenaikan sebesar 4.35% pada tahun 2012 dari tahun
sebelumnya. Sedangkan nilai proyek yang diselenggarakan dengan formasi JO antara
BUJKA dan BUJKN mengalami kenaikan drastis pada tahun 2009 sebesar 398.46%
dari tahun sebelumnya, dan secara berturut turut menunjukkan trend peningkatan
sebesar 205.56%, 170.91%, 58.69% yang dihitung berdasarkan tahun sebelumnya.
Analisa diatas merupakan fakta yang kuat terhadap trend peningkatan perkembangan
implementasi JO di Indonesia.
2. Permasalahan
Meningkatnya kehadiran BUJKA di Indonesia secara langsung dapat mengancam
perolehan pasar konstruksi infrastruktur domestik oleh BUJKN, yang berimplikasi pada
terganggunya pertumbuhan industri konstruksi di Indonesia, walaupun pada sisi lain
merupakan tantangan bagi BUJKN dalam meningkatkan kapasitas internalnya dalam
menghadapi persaingan pada tingkat domestik maupun global. Meningkatnya perolehan
pasar domestik oleh BUJKA dari sisi finansial secara langsung juga dapat mengganggu
perekonomian nasional, return finansial yang diharapkan kembali ke negara dari suatu
kegiatan pembangunan infrastruktur menjadi berkurang karena adanya aliran dana ke
luar negeri oleh pemilik BUJKA. Hal tersebut bila dibiarkan terus menerus dapat
mengganggu perekonomian nasional baik pada level mikro maupun makro, sehubungan
dengan hal tersebut maka kajian tentang faktor-faktor penyebab perkembangan
implementasi JO di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Hasil kajian
diharapakan dapat dijadikan dasar untuk mencari solusi lanjutan dalam menyiapkan
strategi jangka panjang dalam meningkatkan daya saing industri jasa konstruksi
nasional yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi maksimal bagi
perekonomian nasional pada umumnya.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 122
3. Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menguraikan hasil kajian sementara
sehubungan dengan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi trend perkembangan
implementasi JO di Indonesia. Hasil kajian diharapkan dapat dijadikan acuan dalam
penelitian lanjutan dalam mendisain konsep JO yang tepat sehingga dapat memberikan
manfaat maksimal bagi perkembangan industri jasa konstruksi di Indonesia baik dari
sisi kuantitas maupun kualitas sehingga pada akhirnya mampu berkontribusi secara
maksimal bagi perekonomian nasional.
Penelitian ini merupakan bagian integral dari penelitian utama penulis tentang
Efektifitas Joint Operation dalam Transfer of Knowledge pada Proyek Infrastruktur di
Indonesia. Hasil dari kajian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam hal
memperkuat argumen sehubungan dengan penelitian utama penulis.
4. Tinjauan Literatur
4.1 Joint Venture (JV)
Perkembangan terkini dalam hal bisnis pada konteks global terdapat kecenderungan dari
para pebisnis dalam merubah strategi bisnis mereka dari paradigma lama yang bersifat
individual dan kompetitif menjadi kolektif dan kooperatif. Hal tersebut nampak dari
tumbuhnya sistem kerjasama antara pebisnis baik pada lingkup domestik dalam suatu
negara maupun antar negara (cross border).
Joint Venture (JV) menjadi sesuatu hal yang populer saat ini dikarenakan manfaatnya,
khususnya sebagai konsep alternatif strategis bisnis dalam kompetisi pada tingkat global
(Ozorhon dkk, 2010). Dalam skala luas JV terjadi pada berbagai sektor baik pada
industri manufaktur maupun jasa, menurut Wallace (2004) JV adalah bertemunya dua
atau lebih pebisnis independen yang memiliki tujuan bersama dalam mencapai outcome
tertentu yang mana tidak dapat dicapai bila dijalankan secara sendiri. Selanjutnya
Wallace (2004) membagi JV dalam tiga varian berdasarkan tingkat kohesivitasnya yaitu
:
a. Loosely coupled JV. Pada tipe ini memiliki karakteristik bersifat sementara,
implementasi pada bisnis yang sederhana, kohesivitas rendah, berbasiskan
agreement.
b. Moderately coupled JV. Pada tipe ini memiliki karakteristik bersifat sementara,
implementasi pada bisnis menengah keatas, lebih formal, memiliki variabel-variable
penting yang kritis dalam pelaksanaan, seperti : waktu, kedalaman dan keluasan
kerjasama, serta kemauan dalam membuka diri (perusahaan) terhadap partner. Serta
berbasiskan agreement, bersifat sementara.
c. Tightly coupled JV. Merupakan pengembangan dari Moderately coupled JV dan
memiliki tingkat kohesivitas tinggi diwujudkan dalam interaksi yang lebih ekstensif
serta keterbukaan antara pihak yang terlibat. Kolektivitas merupakan penekanan
utama pada JV tipe ini, juga melibatkan integrasi formal dari sumber daya, proses,
infrastruktur, serta pelayanan dari pihak yang terlibat. Biasanya membentuk badan
hukum baru dan bersifat jangka panjang.
4.2 Joint Operation (JO)
Seperti halnya yang terjadi pada beberapa negara didunia, JV juga terjadi di Indonesia
pada berbagai sektor bisnis, baik pada sektor bisnis manufaktur maupun jasa. Khusus
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 123
pada sektor jasa konstruksi, di Indonesia JV diaplikasi antar perusahaan yang
membentuk entitas legal baru (Perseroan Terbatas) yang juga merupakan bentuk JV
permanen. Di Indonesia JV permanen diatur melalui Undang-Undang No. 25 Tahun
2007. Sedangkan untuk JV pada sektor konstruksi yang bersifat sementara diaplikasi
dengan istilah yang populer disebut dengan JO. Dalam perspektif global, JO dapat
disebut sebagai JV temporer pada sektor konstruksi, hal tersebut dikarenakan adanya
kesamaan karakteristik dengan JV loosely coupled atau JV moderately coupled yang
berlaku di luar negeri khususnya pada sektor konstruksi.
5. Pembahasan
Dengan menggunakan ishikawa diagram dapat ditunjukkan pada Gambar 3 tentang hasil
kajian sementara tentang faktor-faktor dominan penyebab perkembangan implementasi
JO di Indonesia. Faktor dominan penyebab perkembangan implementasi JO di
Indonesia adalah :
1. Lemahnya pendanaan infrastruktur oleh pemerintah (masuknya pendanaan
asing);
2. Lemahnya daya saing BUJKN;
3. Liberalisasi pasar konstruksi (globalisasi pasar)
4. Perilaku strategis bisnis perusahaan jasa konstruksi
Gambar 3: Ishikawa Diagram- Perkembangan JO
pada Proyek Infrastruktur di Indonesia
5.1 Faktor Lemahnya Pendanaan Pemerintah (Masuknya Pendanaan Asing)
Pembangunan infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dalam memacu
pembangunan secara keseluruhan sebuah negara, khususnya sektor perekonomian.
World Bank Report (1994) mengibaratkan infrastruktur sebagai sebuah payung yang
menaungi aktifitas, serta memegang peran penting dalam industri perekonomian secara
keseluruhan. Infrastruktur juga dapat diartikan sebagai jasa serta fasilitas penting dalam
menunjang fungsi-fungsi ekonomi (Sullivan dan Sheffrin, 2003). World Bank (dikutip
dari Kartiwan dkk, 2010) menyatakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
sebesar enam persen pertahun maka Indonesia perlu menganggarkan pembiayaan
infrastruktur sebesar lima persen pertahun dari total PDB.
Perkembangan JO
Di Indonesia
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 124
Untuk menganggarkan infrastruktur sebesar lima persen pertahun dari total PDB bukan
merupakan hal yang mudah bagi Indonesia, hal tersebut dikarenakan sangat terbatasnya
pembiayaan pemerintah melalui APBN, terlebih setelah pemerintah mencanangkan
program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) sejak bulan Mei tahun 2011, sehingga diprediksi kebutuhan infrastruktur di
Indonesia terus membengkak pada tahun-tahun mendatang. Gambar 4 menunjukkan
pertumbuhan PDB Indonesia, serta Gambar 5 menunjukkan pembiayaan infrastruktur
APBN, Gambar 6 menunjukkan prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2011 – 2025
dalam menunjang MP3EI serta skema pembiayaannya.
Dari Gambar 6 diatas nampak bahwa kebutuhan akan pendanaan diluar pemerintah
sangat mendesak dalam menunjang pembangunan infrastruktur yang sekaligus akan
menunjang perekonomian nasional. Masuknya dana asing baik dalam bentuk pinjaman
luar negeri dan dalam wujud kemitraan pemerintah dan swasta (PPP) disatu sisi sangat
membantu pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur yang terus mendesak, namun
disisi lain terkandang menjadi beban tersendiri bagi pemerintah dalam mengakomodir
persyaratan yang diberikan oleh lembaga atau negara pemilik modal (privilege), salah
satunya adalah tuntutan akan kehadiran jasa konstruksi asing dari pemilik modal, yang
berakibat meningkatnya kehadiran BUJKA serta meningkatnya nilai proyek yang
diselenggarakan dengan formasi JO di Indonesia.
Gambar 4: Pertumbuhan PDB
Indonesia (BPS, 2013)
Gambar 6: Prediksi kebutuhan infrasrtruktur (2011-2025)
dalam menunjang MP3EI (Sumber: Kemenkoekuin, 2011)
Gambar 5: Perkembangan Anggaran
Infrastruktur
2008 – 2013 dalam triliun rupiah (RAPBN,
2013)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 125
5.2 Faktor Lemahnya Daya Saing Perusahaan
Menurut Porter (1998) sebuah negara dikatakan memperoleh keunggulan daya saing
bila perusahaan (pada negara tersebut) kompetitif. Lebih lanjut Porter juga menjelaskan
bahwa daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri dalam melakukan
inovasi dalam kemampuan.
Sehubungan dengan daya saing pada perusahaan industri, Ambastha dan Komaya
(2004) mendifinisikan daya saing pada level perusahaan adalah kemampuan perusahaan
untuk merancang, memproduksi produk pasar yang unggul dalam hal harga dan non-
harga dibanding yang ditawarkan oleh pesaing.
WEF (World Economic Forum) dalam menyusun rangking daya saing sebuah negara
berdasarkan 12 pilar daya saing dalam sebuah negara, salah satu pilar tersebut adalah
infrastruktur. Menurut WEF (2011) daya saing infrastruktur pada sebuah negara adalah
cerminan dari kualitas infrastruktur negara tersebut meliputi infrastruktur: jalan, jalan
kereta, pelabuhan, transportasi udara, kelistrikan, serta komunikasi.
Gambar 7: Rangking Daya Saing Infrastruktur
(World Economic Forum, 2011)
Fakta menunjukkan bahwa Indonesia menempati rangking 44 dari 139 negara pada
tahun 2011, dan khusus untuk daya saing infrastruktur Indonesia menempati peringkat
82, tertinggal jauh dibanding Singapura dan Malaysia yang masing-masing berada pada
urutan 5 dan 30 (Gambar 7). Fakta tersebut menunjukkan rendahnya daya saing
infrastruktur kita yang merupakan cerminan dari rendahnya daya saing perusahaan jasa
konstruksi kita pada tingkat global.
Rendahnya daya saing BUJKN dalam menghadapi pasar domestik merupakan salah satu
faktor penyebab meningkatnya keterlibatan BUJKA dalam proyek infrastruktur di
Indonesia terlebih pada proyek yang berkarakteristik kompleks, beresiko besar dan
berteknologi tinggi.
5.3 Faktor Liberalisasi Pasar
World Trade Organization (WTO) adalah satu-satunya lembaga multilateral di dunia
yang mengatur tentang tata perekonomian dunia. WTO dideklarasikan di Marakesh,
Maroko pada tanggal 15 April 1994. Pendeklarasian WTO saat itu dihadiri oleh 124
negara dan salah satunya adalah Indonesia. Isi deklarasi WTO sebenarnya merupakan
hasil kesepakatan dari delapan kali perundingan beberapa negara yang dilakukan di
Uruguay atau yang biasa disebut dengan Putaran Urugay. Isi kesepakatan tersebut tediri
atas 15 subyek yang menyangkut masalah Tariff, Non-Tariff Measures, Tropical Products,
Natural Resource-Based Products, Textiles and Clothing, Agriculture, GATT Articles, MTN
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 126
Agreements and Arrangements, Subsidies and Countervailing Measures, Dispute
Settlement, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) including trade in
counterfeit goods, Trade Related Investment Measures (TRIMs), Functioning of the GATT
system (FOGs), Safeguard, dan Trade in Services.
Pada subyek yang terakhir yaitu masalah Trade in Services berisi tentang kesepakatan
tentang aturan perdagangan jasa atau yang dikenal dengan General Agreement Trade and
Services (GATS), dimana jasa konstruksi adalah termasuk dalam bagian subyek tersebut.
Dengan kesepakatan tersebut maka seluruh anggota WTO harus berkomitmen untuk
mengurangi atau menghapus hambatan tarif maupun non-tarif melalui upaya:
1. Memperluas akses pasar barang dan jasa;
2. Menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan;
3. Memperluas cakupan dari ketentuan dan disiplin GATT;
4. Memperkuat kelembagaan/institusi perdagangan multilateral.
Setelah masuknya Indonesia dalam wadah WTO sebagai wujud komitmen, maka
pemerintah Indonesia menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan meratifikasi
Undang-Undang No. 7 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organizaton (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) pada tanggal 2
November 1994.
Keterlibatan Indonesia didalam WTO bermakna secara langsung Indonesia telah masuk
dalam pusaran globalisasi yang berefek pada kesediaan untuk tunduk dalam proses
liberalisasi pasar dunia termasuk pada sektor konstruksi. Pendanaan swasata asing baik
melalui modus kemitraan pemerintah swasta (PPP) serta modus lainnya yang memberi
impact pada kehadiran BUJKA tidak dapat dibendung lagi, indikator tersebut nampak
dari Gambar 1 dan 2 yang diperlihatkan sebelumnya dan juga pada Gambar 8 dibawah
yang menunjukkan meningkatnya trend penanaman modal asing di Indonesia (PMA).
Dari grafik nampak bahwa sejak tahun 1995, satu tahun setelah ratifikasi persetujuan
WTO oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, hingga tahun 2012
secara konsisten arus PMA terus meningkat dan secara signifikan meningkat dengan
tajam pada tahun 2009 hingga 2011, dan pada Desember 2012 tercatat nilai arus masuk
PMA telah mencapai USD 24.56 billion (BKPM, 2013). Hal tersebut berasosiasi positif
dengan peningkatan kehadiran BUJKA di Indonesia serta peningkatan proyek yang
diselenggarakan dengan formasi JO di Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan WTO yang memberi efek terhadap liberalisasi pasar
khususnya pada sektor konstruksi turut memberi andil yang cukup besar terhadap
meningkatnya kehadiran BUJKA dan nilai proyek yang diselenggarakan dengan
formasi JO pada sektor infrastruktur di Indonesia.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 127
Gambar 8: Grafik Penanaman Modal Asing di Indonesia
(Sumber : Web-BKPM, 2013)
5.4 Faktor Perilaku Strategis Bisnis Perusahaan
Karakteristik industri konstruksi memiliki perbedaan signifikan dengan industri
manufaktur dalam hal produk. Pada industri manufaktur produk yang dihasilkan
cenderung sama atau replicable sehingga dalam proses produksi, metode, skill, bahan,
serta waktu yang dibutuhkan juga cenderung berulang (repeatable). Namun pada
industri konstruksi, produk yang dihasilkan cenderung unik, immobility, serta bervariasi
(Zang, 2007), dan sophisticated yang terkadang sulit ditebak baik dalam hal bentuk
serta spesifikasi yang dibutuhkan owner dimasa mendatang.
Dalam kondisi demikian setiap perusahaan jasa konstruksi berpotensi dalam terjadinya
lack terhadap sumber daya (asset/ resources) yang dimiliki dalam menghadapi
tantangan baru terhadap sebuah jenis proyek yang akan dikerjakan. Aset dalam sebuah
perusahaan dapat berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible). Dalam
perspektif aset, aset tangible tidak dapat bermanfaat atau bernilai dengan maksimal bila
tidak didukung dengan aset intangible, dalam hal ini adalah knowledge.
Davenport dan Prusak (1998) menyatakan bahwa knowledge adalah sesuatu yang
critical dalam proses bisnis, juga merupakan aset yang memimpin dalam sebuah
organisasi bisnis. Lebih lanjut Davenport dan Prusak mengatakan bahwa knowledge
dapat memberikan keuntungan yang berkelanjutan (sustainable advantage) bagi sebuah
perusahaan.
Dengan karakteristik produk konstruksi yang telah disebutkan diatas sehubungan
dengan tantangan yang terus berubah pada setiap saat, maka tidaklah berlebihan bila
sebuah perusahaan jasa konstruksi menjadikan joint operation (joint venture) sebagai
perilaku strategis dalam menjalankan bisnisnya dalam memperoleh manfaat sebesar-
besarnya baik dalam hal aset tangible maupun intangible.
6. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan kehadiran BUJKA di
Indonesia berasosiasi dengan pertumbuhan nilai proyek yang dikerjakan dengan formasi
JO di Indonesia khususnya pada proyek yang diselenggarakan pada kementerian
pekerjaan umum di Indonesia. Terjadinya peningkatan kehadiran BUJKA di Indonesia
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 128
serta meningkatnya nilai proyek yang diimplementasi dengan JO merupakan indikasi
perkembangan implementasi JO di Indonesia. Dengan melakukan diskusi terbatas
dengan para praktisi, birokrat, akademisi, dan dengan didukung data sekunder dari
sumber terkait, serta dibantu dengan metode ishikawa diagram, dapat ditarik kesimpulan
faktor utama dari meningkatnya perkembangan implementasi JO disebabkan karena
empat faktor yang dominan. Faktor tersebut adalah lemahnya pendanaan pemerintah
dalam hal infrastruktur, yang berakibat masuknya dana asing. Faktor kedua adalah
lemahnya daya saing BUJKN, baik dalam hal tangible asset maupun dalam hal
intangible asset, faktor ketiga adalah liberalisasi pasar konstruksi, hal tersebut ditandai
dengan bergabungnya Indonesia dalam wadah WTO sehingga arus kehadiran
perusahaan jasa konstruksi manca negara ke Indonesia tidak dapat dibendung, faktor
yang terakhir adalah, perilaku strategis dari sebuah perusahaan jasa konstruksi dalam
upaya meningkatkan kapasitas internalnya khususnya dalam hal knowledge dalam
rangka mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan proyek yang akan datang.
Referensi :
Ambastha, Adjitabah., Momaya, K. (2004): Competitiveness of Firms: Review of
theory
frameworks and models, Singapore Management Review, vol. 26
Davenport, Thomas H., Prusak, Laurence. (1998) : Working Knowledge, Harvard
Business School Press, Boston, Massachusetts.
Kartiawan Irwan., Al Katuuk, Kamajaya., Soenardji, Hendra N. (2010) : Wajah Jasa
Konstruksi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, p 15.
Kementerian Pekerjaan Umum. (1991). Tentang perizinan perwakilan perusahaan jasa
konstruksi asing. No. 50/PRT/1991.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2006). Tentang perizinan perwakilan badan usaha jasa
konstruksi asing. No. 28/PRT/M/2006.
Kementerian Pekerjaan Umum. (2011). Pedoman persyaratan pemberian izin
perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing. No. 05/PRT/M/2011.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2011). Tinjauan ekonomi dan
keuangan-sinergi pembangunan imfrastruktur. Edisi 02 Februari 2011.
Kementerian Perdagangan. (2012) : WTO Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam
Mewujudkan
Liberalisasi Perdagangan Dunia, diunduh dari :
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/files/content/4/wto200410301128
36.pdf
Nash, David J. (2009). Sustainable critical infrastructure systems: a framework for
meeting 21st century. National academic press. P. Vii, 5-7.
Senaratne, S., Priyadarshi, G.M. (2008): Knowledge /Technology Transfer Mechanisms
ini Sri Lankan Construction Organization, General Mangement
Organizational, p 189.
Ozorhon, Beliz., Arditi, David., Dikmen, Irem., Birgonul, M Talat. (2010) :
Performance of Joint Ventures in Construction, Journal of Management in
Engineering, Vol. 26, pp. 209-222.
Presiden Republik Indonesia. (1994). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7
tahun 1994 tentang pengesahan agreement establishing the world trade
Organization.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 129
Presiden Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 25
tahun 2007 tentang penanaman modal.
Porter, Michael E. (1998) : On Competition, Havard Business Review
Sullivan, arthur; Sheffrin, Steven M. (2003). Economics: Principles in action. Upper
Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. pp. 474. ISBN 0-13-
063085-3
World Development report. (1994). Infrastructure for Development. World
Development Indicators. The World Bank, Washington D.C. Wallace, Robert. (2004) : Strategic Partnerships : An Entrepreneur's Guide to Joint Ventures
and Alliances, Chicago, IL, USA: Dearborn Trade, A Kaplan Professional Company,
p 24.
Zhang, Shuangtian. (2007) : Risk Sharing in Joint Venture Projects, JAIRO Japanese Institional
Repository Online.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 130
PERANCANGAN ARSITEKTUR PERANGKAT LUNAK
UNTUK PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA
(RAB) PEMBANGUNAN GEDUNG DENGAN
METODE UML
Kamaludin
Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasiona-Bandung, Jl. PHH. Mustofa 23 Bandung
Email: kamal@itenas.ac.id atau kmldn@yahoo.com
ABSTRAK
Salah satu bagian dari kehidupan pada masa kini yang terus mengalami perkembangan guna menjadi
sebuah alat untuk membantu penggunanya dalam melakukan pekerjaannya sehingga tercapai hasil yang
maksimal dengan efektif dan efisien adalah Perangkat lunak atau software. Banyak pendekatan untuk
pengembangan dan perancangan pada perangkat lunak. Salah satu pendekatan dalam merancang arsitektur
perangkat lunak pada bidang teknik sipil yaitu Object Oriented Development berbasis United Modelling
Language (UML). Penulis membuat arsitektur perangkat lunak dengan tujuan memperkenalkan suatu
metoda perancangan dan pengembangan suatu sistem software dibidang teknik sipil. Beberapa diagram
yang berbasis UML yang digunakan dalam perancangan arsitektur perangkat lunak ini diantaranya
diagram use case, diagram activity, diagram class, diagram sequence dan diagram collaboration yang
digunakan untuk model perancangan sistem. Diagram Use case digunakan untuk merancang sistem yaitu
user kepada komputer. Activity digunakan untuk menggambarkan proses penginputan dan perhitungan
yang terjadi. Hubungan antar tabel barang dan jenis pekerjaan, serta paramter lainnya digambarkan
dengan memakai Class diagram. Sequence diagram diperlukan untuk menggambarkan scenario yang
terjadi antar user dan komputer serta memodelkan user menginput data pada komputer menggunakan
Collaboration. Setelah hasil perancangan tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam bahasa pemograman
untuk menggambarkan bagaimana sistem ini dapat terapkan. Hasil implementasi menggunakan metode
UML (United Modelling Language) ini dapat dipelajari bagaimana merancang perangkat lunak dibidang
teknik sipil dengan metode UML, serta hasil yang diperoleh dengan adanya perancangan arsitektur akan
mempermudah dalam perancangan dan pengembangan perangkat lunak yang berkelanjutan.
Kata kunci: Rencana Anggaran Bangunan (RAB), Perangkat Lunak, Unified Modeling Language (UML),
use case, activity diagran, class diagram.
1. PENDAHULUAN
Salah satu bagian dari kehidupan pada masa kini yang terus mengalami perkembangan
guna menjadi sebuah alat untuk membantu penggunanya dalam melakukan
pekerjaannya sehingga tercapai hasil yang maksimal dengan efektif dan efisien adalah
Perangkat lunak atau software. Banyak penemuan teknologi yang membantu kehidupan
manusia sehingga berbagai jenis objek pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat,
teratur, dan sistematis. Kemajuan teknologi komputer dan informasi memegang peranan
yang sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut, mulai dari perindustrian, bisnis,
jasa, serta multimedia. Tak terkecuali perkembangan rekayasa perangkat lunak terutama
bidang teknik sipil. pekerjaan dalam perencanaan teknik sipil dengan menggunakan
perhitungan manual membutuhkan waktu lama serta ketelitian yang cukup besar. Oleh
karena itu, diperlukan suatu alat bantu yang dapat mempermudah pekerjaan dalam
menyelesaikan perhitungan tersebut, sehingga dapat menciptakan suatu efisiensi dalam
pekerjaan serta keakuratan yang cukup baik jika digunakan dalam perhitungan struktur.
Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membuat suatu disain perangkat
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 131
lunak/aplikasi teknik sipil dengan objeknya adalah Rencana Anggaran Bangunan (RAB).
Pembuatan aplikasi ini selain RAB sebagai objeknya, dapat juga digunakan struktur
beton maupun struktur kayu sebagai objek.
Membangun sistem software yang kompleks memerlukan perancangan model yang
sistematis dalam mengerjakan pekerjaan analisis dan desainnya. Pada perancangan
aplikasi ini digunakan pemodelan berorientasi objek dengan UML (United Modelling
Language). Demi membangun sebuah sistem yang lebih komplek, pengembangan
sistem tersebut dibuat dan ditampilkan dari sudut pandang yang berbeda terhadap suatu
sistem yang dihadapi. Sistem tersebut digambarkan dengan beberapa diagram UML
(United Modelling Language) diantaranya diagram use case, diagram activity, diagram
class, diagram sequence dan diagram deployment. Perancangan dengan membangun
model menggunakan notasi-notasi yang tepat, melakukan verifikasi bahwa model
yang dibuat memenuhi syarat sistem, dan menambahkan detail menjadi
implementasi.
Pemrogaman berorientasi objek merupakan suatu pendekatan pemrograman yang
menggunakan object dan class. Saat ini konsep pemrogaman berorientasi objek sudah
semakin berkembang. Pemrogaman berorientasi objek bukanlah sekedar cara penulisan
sintaks progam yang berbeda. N amun lebih dari itu, pemrogaman berorientasi objek
merupakan cara pandang dalam menganalisa sistem dan permasalahan pemrograman.
Dalam pemrogaman berorientasi objek, setiap bagian dari progam adalah object.
Sebuah object mewakili suatu bagian progam yang akan diselesaikan.
2. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk memperkenalkan cara merancang perangkat lunak
b. Untuk mendapatkan dokumentasi perancang perangkat lunak dengan metode UML.
c. Untuk mempermudah implementasi dalam pengembangan perangkat lunak.
3. METODE PENELITIAN
Dalam pengembangan perangkat lunak, penulis menggunakan teknologi berorientasi
objek dengan metoda UML (United Modelling Language), dimana tahapan
pengembangnya sebagai berikut:
a. Kebutuhan sistem, dengan mempelajari buku-buku serta referensi-referensi yang
berkaitan dengan pembuatan perangkat lunak disain struktur baja dengan metoda
UML.
b. Analisis, data-data yang telah diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui
kebutuhan sistem dan menentukan objek-objek yang diperlukan.
c. Perancangan, tahapan ini dimulai dari perancangan arsitektur sistem, proses antar
muka, dan interaksi sistem dengan pengguna.
d. Implementasi, hasil rancangan yang telah dibuat kemudian direalisasikan kedalam
kode program yang siap digunakan.
Verifikasi, setelah selesai maka dilakukan serangkain tes untuk menjamin bahwa sistem
dapat berjalan dengan baik.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 132
4. METODE UML
UML adalah bahasa pemodelan untuk sistem atau perangkat lunak yang berparadigma
berorientasi objek. Pemodelan sesungguhnya digunakan untuk penyederhanaan
permasalahan-permasalahan yang kompleks sedemikian rupa sehingga lebih mudah
dipelajari dan dipahami. Adapun tujuan pemodelan yaitu sebagai sarana analisis,
pemahaman, visualisasi, dan komunikasi antar anggota tim pengembang, serta sebagai
sarana dokumentasi.
Tabel 4.1 Notasi pada Uses Diagram No. Simbol Nama Deskripsi
1.
Case
Menggambarkan proses / kegiatan
yang dapat diakukan oleh aktor
2.
Actor
Menggambarkan entitas / subyek
yang dapat melakukan suatu
proses
3.
Relation
Relasi antara case dengan actor
ataupun case dengan case lain.
Tabel 4.2 Simbol Activity Diagram
Use case
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 133
Tabel 2.4 Simbol Class Diagram
Tabel 2.5 Simbol Sequnce Diagram
5. MODEL WATER FALL
Model siklus hidup (life cycle model) adalah model utama dan dasar dari banyak model.
Salah satu model yang cukup dikenal dalam dunia rekayasa perangkat lunak adalah The
Waterfall Model. Disebut waterfall (berarti air terjun) karena memang diagram tahapan
prosesnya mirip dengan air terjun yang bertingkat. Model ini adalah model klasik yang
bersifat sistematis, berurutan dalam membangun software.
Gambar 2.5 Ilustrasi model waterfall
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 134
Tahapan-tahapan dalam The Waterfall Model secara ringkas adalah sebagai berikut:
a. Tahap investigasi dilakukan untuk menentukan apakah terjadi suatu masalah atau
adakah peluang suatu sistem informasi dikembangkan
b. Tahap analisis bertujuan untuk mencari kebutuhan pengguna dan organisasi serta
menganalisa kondisi yang ada.
c. Tahap disain bertujuan menentukan spesifikasi detil dari komponen-komponen
sistem informasi (manusia, hardware, software, network dan data) dan produk-
produk informasi yang sesuai dengan hasil tahap analisis.
d. Tahap implementasi merupakan tahapan untuk mendapatkan atau mengembangkan
hardware dan software (pengkodean program), melakukan pengujian, pelatihan dan
perpindahan ke sistem baru.
e. Tahapan perawatan (maintenance) dilakukan ketika sistem informasi sudah
dioperasikan. Pada tahapan ini dilakukan monitoring terhadap pengembangan yang
akan dilakukan.
6. ANALISIS PERANCANGAN
6.1 Analisa program berjalan
Analisa software perhitungan RAB yang sedang berjalan ini berdasarkan pada software
RAB yang tersedia di buku terbitan Kawan Pustaka yang berjudul “Panduan Praktis
Menghitung Biaya Membangun Rumah”. Proses yang terjadi yaitu user menghitung
volume setiap pekerjaan secara manual, lalu user menginput setiap hasil perhitungan
volume ke sistem, setelah semua volume selesai diinput user melihat hasil kalkulasi
total biaya, kemudian user mencetak laporan perhitungan RAB.
Gambar 2.6 Sistem yang sedang berjalan pada Sistem RAB yang ada
6.2 Use Case
Skenario use case digunakan untuk menjelaskan bagaimana pengguna berinteraksi
dengan sistem pada setiap use case yang telah dibuat sebelumnya. Jumlah scenario
sama dengan jumlah use case yang ada dan di dalam setiap skenario dicantumkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 135
skenario normal dan scenario alternatif. Skenario normal adalah aksi-reaksi yang terjadi
antara user dan sistem pada kondisi normal, sedangkanskenario alternatif adalah aksi-
reaksi yang terjadi ketika user melakukan hal lain pada setiap use case nya.
6.3 Class Diagram Conceptual
Diagram ini menggambarkan struktur sistem dari segi penamaan objek dan jalannya
sistem. Pada class diagram conceptual, dipaparkan class-class yang digunakan untuk
perancangan class diagram nantinya dan dipastikan akan digunakan, karena jika tidak
nantinya pendefinisian class tersebut sulit dipertanggungjawabkan kegunaannya.
Hubungan antar class konsep ini merupakan hubungan memakai dan dipakai dimana
dua buah objek/class akan dihubungkan oleh link jika ada objek yang dipakai oleh objek
lainnya.
Gambar 2.7 Class Concept Diagram Sistem RAB untuk Pembangunan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 136
6.4 Sequence Diagram
Sequence diagram menggambarkan kelakuan objek pada use case dengan
mendeskrpsikan waktu hidup objek dan message yang dikirimkan diterima antarobjek.
Oleh karena itu untuk menggambar diagram sekuen harus diketahui dahulu objek-objek
yang terlibat dalam sebuah use case beserta metode-metode yang dimiliki kelas yang
diinstantiasi menjadi objek itu. Sequence diagram dibuat sebanyak use case yang sudah
ada.
Gambar 2.8 Sequence Diagram untuk Use Case Buat Proyek Baru
7. KESIMPULAN
a. Perancangan dengan metode UML bermanfaat dalam perancangan perangkat
lunak di bidang teknik sipil.
b. Mendapatkan dokumen lengkap untuk implementasi pembuatan perangkat lunak
yang siap diimplementasikan
c. Metode UML ini mempermudah dalam merancang suatu sistem informasi
perangkat lunak dalam hal ini dengan studi kasus struktur baja.
d. Adanya perancangan arsitektur akan mempermudah dalam perancangan dan
pengembangan perangkat lunak yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.S, Rosa., M. Shalahuddin. 2011. Modul Pembelajaran Rekayasa Perangkat Lunak
(Terstruktur Dan Berorientasi Objek). Bandung : Modula
2. Bahrami, Ali.1999.Object Oriented Systems Development.McGraw – Hill
Singapore.
3. Bastos, R. M. dan Duncan Dubugras A. Ruiz. 2002. Extending UML Activity
Diagram for Workflow Modeling in Production Systems. Brazil.
4. Cipta Karya 2011. Daftar Harga Satuan Pekerjaan. Dinas Tata Ruang dan Cipta
Karya,Bandung.
5. Irawan, Yanto., Monica Ranala., Ariani N.S. 2010. Panduan Praktis Menghitung
Biaya Membangun
6. Rumah. Jakarta : Kawan Pustaka.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 137
7. Nugroho, Adi. 2010. Rekayasa Perangkat Lunak Berorientasi Objek dengan Metode
USDP. Yogyakarta : Penerbit Andi.
8. Segui, W.T. 2003. LRFD Steel Design, 3rd
ed. Brooks/Cole Publishing Company,
Pacific Grove.
9. Setiawan, Agus. 2008. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
10. Shalahuddin, M. dan Rosa A. S. 2010. Modul Pembelajaran Pemrograman
Berorientasi Objek dengan Bahasa Pemrograman C++, PHP, dan Java. Bandung :
Penerbit Modula.
11. Sumarta, T., B. Siswoyo, dan N. Juhana. 2004. Perancangan Model Berorientasi
Objek Menggunakan UML Studi Kasus Sistem Pengolahan Parkir Pada PT.
TRIKARYA ABADI. Bandung : Universitas Komputer Indonesia.
12. Windarti, Ira. dan Lintang Yuniar Banowosari. 2006. Sistem Informasi Bidang
Kemahasiswaan dengan Metode Berorientasi Objek Menggunakan UML. Depok :
Universitas Gunadarma.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 138
ANALISA KOMPETENSI KERJA MANDOR DAN
TUKANG BERDASARKAN PERSYARATAN JABATAN
KERJA DALAM STANDAR KOMPETENSI KERJA
NASIONAL INDONESIA
Irika Widiasanti2 , Rizal Z Tamin
2, dan Deni Haryanto
3
1Mahasiswa Program Doktor Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas
Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
email:irika@ymail.com 2Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
email: rztamin@si.itb.ac.id 3Almuni Jurusan Teknik Sipil, Universitas Negeri Jakarta ,
email: deniharyanto89@gmail.com
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang pada
pekerjaan struktur . Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang berupa survei terhadap
tenaga kerja mandor dan tukang yang dimaksud. dengan melakukan pengamatan langsung menggunakan
pedoman pengamatan kepada responden yang diambil secara acak berstrata dengan teknik pengambilan
sampel stratified random sampling. Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
observasi dan wawancara guna mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai kompetensi tenaga
kerja mandor dan tukang berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Berdasarkan hasil penelitian kompetensi mandor dan tukang yang mengacu pada SKKNI, didapat
kompetensi mandor pembesian sebesar 57,45 % dan mandor tukang batu sebesar 50,00 %. Untuk jabatan
tukang, rata-rata kompetensi tukang besi beton sebesar 41,79 %, rata-rata kompetensi tukang batu sebesar
62,20 %, dan rata-rata kompetensi tukang bekisting sebesar 56,10 %. Tingkat kompetensi yang rendah
tersebut disebabkan oleh sebagian kriteria unjuk kerja (KUK) yang ada dalam SKKNI yang menjadi
tanggung jawab mandor dan tukang dilakukan jabatan lainnya.
Kata kunci : tenaga kerja trampil, kompetensi kerja
PENDAHULUAN
Undang-undang No.18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, BAB III Pasal 9,
menyebutkan bahwa tenaga kerja yang melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan, pekerjaan keteknikan konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan
atau keahlian kerja.. Kondisi tersebut mencerminkan adanya tuntutan kualitas tenaga
kerja yang professional dan memerlukan langkah nyata dalam mempersiapkan
perangkat yang dibutuhkan untuk mengukur kualitas tenaga kerja konstruksi.
Upaya pemerintah dalam menjalankan amanat UU tersebut adalah dengan
adanya sistem sertifikasi kerja. Sertifikasi kerja yang dimaksudkan untuk menjamin
bahwa suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh tenaga kerja yang berkompeten di
bidangnya. Standar kompetensi kerja yang digunakan pada sistem sertifikasi tersebut
adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 139
SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas
dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan[8].. Untuk tenaga kerja jasa kontruksi, SKKNI disusun berdasarkan analisis
kompetensi setiap jabatan kerja yang melibatkan para pelaku pelaksana langsung di
lapangan dan ahlinya dari jabatan kerja yang bersangkutan. Diharapkan SKKNI ini
dapat meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia dan hasil pekerjaannya..
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik dari Survei Angkatan Kerja Nasional
(SAKERNAS) tentang data penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan
pekerjaan utama, jumlah pekerja bangunan di Indonesia pada Agustus tahun 2010
tercatat sekitar 5.592.897 orang. Dalam struktur jasa konstruksi, tenaga kerja langsung
yang terlibat dikelompokkan menjadi tenaga ahli, tenaga terampil, dan buruh kasar.
Distribusinya adalah kelompok tenaga ahli sekitar 10%, kelompok tenaga terampil 30%,
dan kelompok buruh kasar adalah sisanya (60%)[10]. Dua kelompok pertama wajib
memiliki sertifikat[14]. Artinya, dari 5.592.897 tenaga kerja konstruksi, sebanyak 2,24
juta tenaga kerja wajib memiliki sertifikat.
Berdasarkan data Statistik Profesi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi,
jumlah tenaga kerja ahli yang bersertifikat baru mencapai sekitar 114.395 orang (20,45
% dari 559.290 tenaga ahli), dan jumlah tenaga kerja terampil yang bersertifikat baru
mencapai sekitar 299.690 orang (17,84 % dari 1,68 juta tenaga kerja terampil). Dari
data-data tersebut menunjukkan bahwa penerapan proses sertifikasi tenaga kerja masih
jauh dari harapan dan amanat Undang Undang No.18 Tahun 1999..
Tenaga kerja bidang konstruksi yang ada terkadang kurang dibekali oleh
kemampuan teknik yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan finansial maupun pendidikan yang mampu dicapai oleh masyarakat pada
umumnya. Kebanyakkan tenaga terampil jasa kontruksi, dalam hal ini mandor, tukang,
maupun buruh mendapatkan kemampuan di bidang konstruksi tersebut secara turun
temurun, atau otodidak. Tenaga kerja yang memiliki latar belakang pendidikan yang
relatif rendah merupakan jumlah tenaga kerja yang cukup dominan yang bekerja di
sektor jasa konstruksi, umumnya mereka berperan sebagai tenaga mandor dan
tukang[9]. Sehingga timbul pertanyaan, apakah tenaga kerja dengan keterbatasan
pendidikan keteknikan, serta belum memiliki sertifikat keterampilan kerja, sudah
memenuhi kompetensi kerja sesuai persyaratan jabatan kerja dan unit kompetensi dalam
SKKNI.
KAJIAN TEORI
Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.[16] Tukang adalah pekerja terampil yang bertugas membuat bahan dan
produk atau fasilitas sesuai spesifikasi desain[14]. Tukang biasanya mendapatkan
keterampilan langsung di lapangan. Di bidang konstruksi,[16] tenaga kerja tukang
merupakan tenaga kerja terampil yang digunakan dalam proyek konstruksi sebagai
tenaga penggerak dan pelaksana implementasi desain di lapangan. Tenaga kerja tukang
bekerja berdasarkan perintah dan koordinasi dari mandor yang merupakan perpanjangan
tangan dari kontraktor pelaksana.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 140
Mandor adalah orang yang mengepalai beberapa tukang dan bertugas untuk
mengawasi pekerjaan mereka[12]. Mandor biasanya ditugaskan oleh pemborong atau
kontraktor, tetapi ada juga yang mengurus pekerjaan pemeliharaan rumah dan
sebagainya sendiri, dalam hal ini mereka bertindak sebagai pemborong kecil. Mandor
juga merupakan pekerja di lapangan yang memiliki wewenang atas pekerja
konstruksi/tukang di bawahnya dan harus dapat mengurusi tukang-tukangnya yang
dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.
Gambar berikut ini, dapat dilihat contoh sebuah struktur organisasi proyek
beserta kualifikasi keahlian atau keterampilannya. Dari bagan struktur tersebut terlihat
kedudukan mandor maupun tukang dalam pelaksanaan suatu proyek.
Gambar 1 : Tipikal Organisasi Pelaksana Proyek[7]
Kompetensi
Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas
kinerja individu dalam pekerjaanya atau karakteristik individu yang memiliki hubungan
kausal atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau
berkinerja prima atau superior di tempat kerja atau pada situasi tertentu[13]. Pendapat
lain tentang kompetensi [15], adalah kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa
membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam
suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan.
Berdasarkan uraian tentang hakikat kompetensi diatas, dapat disimpulkan bahwa
kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu aktivitas.
Kemampuan itu merujuk pada beberapa karakteristik, baik yang bersifat dasar, perilaku,
keterampilan, maupun pengetahuan dengan tingkat kemampuan yang dapat berubah-
ubah. Perubahan tersebut bergantung pada sejauh keterampilan, perilaku, dan
pengetahuan tersebut diasah. Apabila seseorang yang sudah menguasai standar
kompetensi dengan tingkatan yang tinggi secara terus-menerus, ia sudah masuk ke
dalam kategori orang yang berkompetensi di bidang tugas tersebut.
Standard Kompetensi
Berdasar pada arti bahasa, standar kompetensi terbentuk atas kata standar dan
kompetensi. Menurut KBBI, kata standar dapat diartikan sebagai ukuran tertentu yang
dipakai sebagai patokan, sedangkan kata kompetensi telah didefinisikan sebagai
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 141
kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu aktivitas pekerjaan atau tugas yang
dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Standar
kompetensi menjelaskan tentang kompetensi yang dibutuhkan untuk kinerja yang
efektif dan berperan sebagai patokan pengujian[13]. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa standar kompetensi merupakan ukuran tertentu yang dipakai
sebagai patokan atau yang telah disepakati tentang kompetensi yang diperlukan pada
suatu bidang pekerjaan oleh seluruh “stake holder” di bidangnya. Dengan pernyataan
lain yang dimaksud dengan Standar Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan
yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang
didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan kriteria unjuk
kerja (KUK) yang dipersyaratkan.
Standar Kompetensi Kerja
Dalam rangka menyiapkan tenaga kerja profesional di bidang jasa konstruksi pada suatu
jabatan kerja tertentu, baik untuk pemenuhan kebutuhan nasional di dalam negeri
maupun untuk kepentingan penempatan ke luar negeri, diperlukan adanya perangkat
standar yang dapat mengukur dan menyaring tenaga kerja yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan kompetensinya[7]. Standar kompetensi kerja yang akan menjadi tolak
ukur pada penelitian ini mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI) yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui Badan
Pembinaan Konstruksi Dan Sumber Daya Manusia, Pusat Pembinaan Kompetensi dan
Pelatihan Konstruksi (BPKSDM–KPK).
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia ( SKKNI ) dibutuhkan sebagai tolak ukur
untuk menentukan kompetensi tenaga kerja sesuai dengan jabatan kerja yang
dimilikinya[6]. SKKNI disusun berdasarkan analisis kompetensi setiap jabatan kerja
yang melibatkan para pelaku atau pelaksana langsung di lapangan dan dengan mengacu
pada format dan ahlinya dari jabatan kerja yang bersangkutan. Selanjutnya finalisasi
konsep konsep SKKNI tersebut dilaksanakan dalam suatu Konvensi Nasional yang
melibat para Pakar dan Nara Sumber yang berkaitan dengan Jabatan Kerja tersebut.
Diharapkan dengan adanya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia ( SKKNI )
tersebut dapat meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia dan hasil pekerjaan di
lapangan.
Pembahasan Penelitian Yang Relevan
Penelitian mengenai pemberlakuan standar sertifikasi keterampilan bagi tenaga kerja
mandor dan tukang telah dilakukan oleh Nur Yekti Merryardani dan Leo Willyanto
dalam Tugas Akhir yang berjudul “Kajian Relevansi Pemberlakuan Standar Sertifikasi
Keterampilan Mandor danTukang pada Proyek Konstruksi Indonesia“ (2008).
Penelitian tersebut lebih menekankan pada perlu tidaknya sertifikasi tukang diterapkan
dan seberapa jauh pengetahuan yang diperoleh dalam proses sertifikasi benar-benar
memperkaya pengetahuan mandor dan tukang yang bersangkutan.Hasil dari analisis
penelitian tersebut adalah tingkat pemahaman mandor maupun tukang atas syarat
kompetensi ketrampilannya belum memenuhi serta kompetensi mandor dan tukang
yang dipersyaratkan dalam SKKNI belum tercapai. Namun, penelitian tersebut masih
kurang memberikan gambaran pasti tentang bagaimana tingkat kompetensi kerja
mandor dan tukang pada proyek yang bernilai cukup besar (diatas 10 Milyar Rupiah).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 142
Karena tingkat kompetensi mandor dan tukang pada kondisi tersebut tidak diketahui
jelas. Dengan demikian, untuk menambah gambaran nyata atau acuan dilapangan dalam
upaya meningkatkan kompetensi tenaga kerja, perlu adanya pengamatan langung
tentang kompetensi kerja mandor dan tukang secara lebih mendalam pada satu proyek
(studi kasus), sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat kompetensi kerja mandor dan
tukang pada proyek yang bersangkutan
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Berpikir
Masalah yang diangkat untuk diteliti adalah tentang kompetensi tenaga kerja mandor
dan tukang pada proyek konstruksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengamatan
kepada tenaga kerja mandor dan tukang untuk mengetahui bagaimana tingkat
kompetensinya. Tingkat kompetensi dimaksudkan untuk dapat dianalisis, apakah tenaga
kerja tersebut telah memenuhi seluruh kompetensi yang ada dalam standar kompetensi
kerja atau tidak. Sehingga dapat menjadi gambaran nyata, informasi, serta sebagai
evaluasi bagi kontraktor tentang kompetensi kerja mandor dan tukang yang bekerja
pada proyek konstruksinya.
Penelitian dimulai dengan melakukan studi pustaka dan observasi pendahuluan
yang mendukung permasalahan yang dibahas. Kemudian ditentukan metode penelitian
dan pengumpulan data yang tepat untuk memperoleh data. Berdasarkan hasil
pengumpulan studi pustaka dan data lapangan, kemudian data hasil pengamatan diolah
sesuai dengan tujuan, indikator instrumen, dan memperhatikan batasan yang telah
ditentukan. Pengamatan kompetensi kerja mandor dan tukang yang dilakukan ini
mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk masing-
masing jabatan yang telah dibuat oleh pemerintah.Pada bagian akhir penelitian ini akan
disajikan kesimpulan dari tujuan permasalahan yang dibahas, yaitu tingkat kompetensi
dari tenaga kerja yang ada pada proyek tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang memfokuskan
pada studi kasus kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan struktur di
proyek d’Green Pramuka Residences. Dalam penelitian ini populasi tenaga kerja
mandor dan tukang konstruksi dibatasi pada mandor pembesian, mandor tukang batu,
tukang besi beton, tukang batu, dan tukang bekisting dan perancah pada tower
Chrisyant. Instrument penelitian yang dibuat berdasarkan persyaratan kompetensi dari
SKKNI dan referensi lain yang relevan. Data yang diperoleh dari survey akan dianalisa
untuk mengetahui kompetensi kerja dari tenaga kerja.
Pengumpulan Data
Untuk menentukan jumlah sampel dari populasi yang berstrata, maka metode yang
digunakan dalam pengambilan sampel penelitian ini adalah dengan tekniksampel acak
berstrata (Stratified Random Sampling). Karena jumlah populasi dari tiap strata
berbeda-beda
Tabel Error! No text of specified style in document.-1: Data populasi dan sampel
mandor dan tukang proyek d’Green Pramuka Residences
Jabatan Kerja Populasi Sampel
Mandor Pembesian 1 1
Mandor Tukang Batu 1 1
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 143
Jabatan Kerja Populasi Sampel
Tukang Besi Beton 37 6
Tukang Batu 33 3
Tukang Bekisting dan Perancah 30 3
Jumlah 102 14
Pada penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan diantaranya : metode
observasi dan metode wawancara (interview). Metode observasi menggunakan jenis
instrument panduan pengamatan check list dengan jenis observasi sistematis untuk
pengamatan kompetensi kerja mandor dan tukang. Metode wawancara menggunakan
jenis instrument pedoman wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan
kepada pelaksana engineering dari kontraktor KMY untuk mendapatkan pendapat dan
gambaran tentang proses pelaksanaan standar kerja serta kompetensi mandor dan tukang
pekerjaan struktur yang bekerja pada proyek d’Green Pramuka Residences.
Mengenai kisi-kisi instrumen untuk panduan pengamatan check list mengacu
pada syarat jabatan kerja dan unit kompetensi yang ada dalam SKKNI dari masing-
masing jabatan kerja. Kisi-kisi instrumen terbagi menjadi 5 kelompok sesuai dengan 5
jabatan kerja yang diamati.
Metode Analisis
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menjabarkan/ mendeskripsikan
hasil penelitian kompetensi tenaga kerja mandor dan tukang dalam bentuk persentase.
Keuntungan menggunakan persentase sebagai alat untuk menyajikan informasi adalah
bahwa dengan persentase tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat kompetensi
dari masing-masing jabatan kerja yang menjadi fokus pengamatan. Penelitian yang
menggunakan data kualitatif ini diperoleh dari hasil pengamatan terhadap mandor dan
tukang berupa Lembar Hasil Pengamatan yang mengacu pada Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dari masing-masing jabatan kerja.
Setelah melakukan wawancara, diskusi, serta pengamatan kompetensi kerja
terhadap mandor dan tukang, selanjutnya data yang diperoleh tersebut dihitung
berdasarkan tingkat kesesuaiannya dengan kompetensi yang ada dalam instrumen
masing-masing jabatan serta memperhatikan batasan yang telah ditentukan. Pada bagian
akhir penelitian, persentase dari tingkat kompetensi mandor dan tukang lalu
diinterpretasikan sesuai dengan hasil analisis dan fakta yang ada di lapangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Responden dalam penelitian ini adalah tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan
struktur pada tower Chrisyant proyek d’Green Pramuka Residences, yang berjumlah 14
orang. Berikut profil seluruh responden penelitian.
Tabel Error! No text of specified style in document.-2 Profil responden
No. Nama Responden Usia (Tahun) Jabatan Kerja Pendidikan
terakhir
Pengalaman
Kerja (Tahun)
1 Sunarto 48 Mandor Pembesian SD 27 2 Gono 37 Mandor Batu/Cor dan
Mandor Pekerjaan
Galian
SD 5 3 Tarno
(1)*
27 Tukang Besi (Pabrikasi) SMP 12
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 144
No. Nama Responden Usia (Tahun) Jabatan Kerja Pendidikan
terakhir
Pengalaman
Kerja (Tahun)
4 Nasin (2) 32 Tukang Besi (Pabrikasi) SMP 15 5 Sutrisno (3) 52 Tukang Besi (Perakitan) STN 33 6 Sunarto (4) 30 Tukang Besi (Perakitan) SMP 12 7 Indra (5) 30 Tukang Besi (Lapangan) SMP 15 8 Amin (6) 35 Tukang Besi (Lapangan) SMP 8 9 Kasmain (1) 60 Tukang Batu/cor SD 40 10 Rusdi (2) 24 Tukang Batu/cor SMP 8 11 Sarkadi (3) 51 Tukang Batu/cor SD 35 12 Tekno (1) 35 Tukang Bekisting
(Vertikal)
SMP 4 13 Ahmad (2) 23 Tukang Bekisting
(Vertikal)
SMP 1 14 Rusmanto (3) 29 Tukang Bekisting
(Vertikal)
SMP 5
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jabatan kerja tukang besi beton pada tower
Chrisyant dibagi menjadi 3 bagian, yakni pabrikasi, perakitan, dan lapangan. Menurut
Sunarto, Mandor Pembesian, pembagian kerja tersebut dimaksudkan untuk
memaksimalkan hasil pekerjaan sehingga tukang dapat fokus dan lebih bertanggung
jawab atas hasil pekerjaannya tanpa memerlukan pengawasan yang ekstra. Dipilihnya 2
orang dari setiap kelompok bertujuan sebagai perbandingan kompetensi tukang besi
dalam kelompok kerjanya.
Untuk jabatan kerja tukang batu/cor juga terdapat pembagian kerja, yaitu bagian
pekerjaan batu dan pengecoran. Pekerjaan batu yang diamati adalah pekerjaan pasangan
batako untuk bekisting pile cap, tie beam, dan lantai kerja. Sementara untuk pekerjaan
bekisting, pelaksanaannya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pekerjaan bekisting
vertikal dan bekisting horizontal. Dalam penelitian ini yang diamati adalah pekerjaan
bekisting vertikal, yaitu pekerjaan kolom pada lantai basement 2 dan retaining wall.
Kompetensi Mandor Pembesian
Berdasarkan hasil pengamatan, maka dapat dihitung persentase kompetensi kerja
mandor pembesian proyek d’Green Pramuka Residences menurut SKKNI, yaitu dengan
cara menghitung kriteria unjuk kerja yang dipenuhi oleh mandor tersebut. Adapun hasil
persentase kompetensi kerja mandor pembesian disajikan pada tabel berikut.
Tabel Error! No text of specified style in document.-3 Persentase kompetensi kerja
mandor pembesian menurut SKKNI Unit
Kompetensi
(UK)
No.
KUK
Jumlah KUK
Tiap Unit
Kompetensi
Jumlah KUK
yang Sesuai
Persentase Maks.
Tiap Unit
Kompetensi
Persentase
Kompetensi Mandor
Pembesian*
1 4-10 7 3 16.67 7.14
2 11-17 7 6 16.67 14.29
3 18-22 5 2 16.67 6.67
4 23-28 6 3 16.67 8.33
5 29-38 10 8 16.67 13.33
6 39-51 13 6 16.67 7.69
Total 48 28 100 % 57,45 %
*Persentase Kompetensi : UK 1= Persentase Maks.Tiap UK x
= 16.67 x
= 7.14 %
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kompetensi mandor baru mencapai 57,45 % .
Sehingga dapat dikatakan bahwa Mandor Pembesian / Penulangan Beton pada proyek
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 145
ini, belum memenuhi kompetensi yang disyaratkan pada Jabatan Kerja mandor
pembesian menurut SKKNI.
Kompetensi Mandor Tukang Batu
Tabel Error! No text of specified style in document.-4 Persentase kompetensi kerja
mandor tukang batu menurut SKKNI Unit
Kompetensi
(UK)
No
KUK
Jumlah KUK
Tiap Unit
Kompetensi
Jumlah KUK
yang Sesuai
Persentase maks.
Tiap Unit
Kompetensi
Persentase
Kompetensi Mandor
Tukang Batu
1 4-10 7 1 16.67 2,38
2 11-17 7 6 16.67 14,29
3 18-22 5 2 16.67 6,67
4 23-28 6 3 16.67 8,33
5 29-38 10 6 16.67 10,00
6 39-46 8 4 16.67 8,33
Total 43 22 100 % 50,00 %
Kompetensi Tukang Besi Beton
Tabel Error! No text of specified style in document.-5 Persentase kompetensi kerja
tukang besi beton menurut SKKNI
Unit
Kompetensi
(UK)
No.
Item
KUK
Jumla
h
KUK
Jumlah KUK yang
sesuai Persentase
Maks
Tiap Unit
Persentase Kompetensi
Tukang Besi Beton Tukang ke-
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
1 4-9 6 6 6 6 6 6 6 11.11 11.11 11.11 11.11 11.11 11.11 11.11
2 10-16 7 6 6 6 4 6 4 11.11 9.52 9.52 9.52 6.35 9.52 6.35
3 17-22 6 3 3 3 3 3 3 11.11 5.56 5.56 5.56 5.56 5.56 5.56
4 23-26 4 0 0 0 0 0 0 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
5 27-30 4 3 4 0 0 0 0 11.11 8.33 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00
6 31-33 3 1 2 0 0 0 0 11.11 3.70 7.41 0.00 0.00 0.00 0.00
7 34-37 4 0 0 1 1 3 2 11.11 0.00 0.00 2.78 2.78 8.33 5.56
8 38 1 0 0 0 0 0 0 11.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
9 39,40 2 2 1 2 2 1 1 11.11 11.11 5.56 11.11 11.11 5.56 5.56
TOTAL 37 21 22 18 16 19 16 100 % 49.33 50.26 40.08 36.90 40.08 34.12
Kompetensi Tukang Batu
Tabel Error! No text of specified style in document.-6 Persentase kompetensi kerja
tukang batu menurut SKKNI Unit
Kompetens
i
(UK)
No.
KUK
Jumlah
KUK
Jumlah KUK yang
Sesuai Persentase
Maks. Tiap
Unit
Persentase Kompetensi Tukang
Batu Tukang ke-
1 2 3 1 2 3
1 4-9 6 6 6 6 10.00 % 10.00 10.00 10.00
2 10-15 6 4 4 4 10.00 % 6.67 6.67 6.67
3 16-21 6 3 3 3 10.00 % 5.00 5.00 5.00
4 22-24 3 3 3 3 10.00 % 10.00 10.00 10.00
5 25-27 3 3 2 3 10.00 % 10.00 6.67 10.00
6 28-30 3 1 1 1 10.00 % 3.33 3.33 3.33
7 31-33 3 1 3 1 10.00 % 3.33 10.00 3.33
8 34-36 3 3 1 3 10.00 % 10.00 3.33 10.00
9 37,38 2 0 0 0 10.00 % 0.00 0.00 0.00
10 39,40 2 1 1 1 10.00 % 5.00 5.00 5.00
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 146
Unit
Kompetens
i
(UK)
No.
KUK
Jumlah
KUK
Jumlah KUK yang
Sesuai Persentase
Maks. Tiap
Unit
Persentase Kompetensi Tukang
Batu Tukang ke-
1 2 3 1 2 3
TOTAL 37 25 24 25 100 % 63.33 60.00 63.33
Kompetensi Tukang Bekisting
Tabel Error! No text of specified style in document.-7 Persentase kompetensi kerja
tukang bekisting menurut SKKNI
Unit
Kompetensi
(UK)
No. KUK Jumlah
KUK
Jumlah KUK yang
Sesuai Persentase
Maks. Tiap Unit
Persentase Kompetensi
Tukang Bekisting Tukang ke-
1 2 3 1 2 3
1 4-10 7 5 5 5 20.00 % 14.29 14.29 14.29
2 11-20 10 5 4 4 20.00 % 10.00 8.00 8.00
3 21-27 7 2 1 2 20.00 % 5.71 2.86 5.71
4 28-32 5 3 3 4 20.00 % 12.00 12.00 16.00
5 33-35 4 3 3 3 20.00 % 15.00 15.00 15.00
TOTAL 33 18 16 18 100 % 57.00 52.15 59.00
Pembahasan Hasil Penelitian Kompetensi Kerja
Dari hasil penelitian , tingkat kompetensi tenaga kerja bidang struktur di proyek ini
yang meliputi jabatan kerja mandor pembesian , mandor tukang batu , tukang besi
beton, tukang batu , dan tukang bekisting berkisar 50 – 60 %. Selintas terlintas bahwa
tenaga kerja tersebut kurang kompeten pada jabatan kerjanya masing-masing. Namun
pengamatan selanjutnya, menghasilkan bahwa sebagian KUK tersebut menjadi
tanggung jawab jabatan kerja lainnya.. Secara garis besar, jumlah kriteria unjuk kerja
(KUK) yang menjadi tanggung jawab jabatan kerja lain pada masing-masing jabatan
disajikan pada tabel berikut.
Tabel Error! No text of specified style in document.-8 Kriteria unjuk kerja mandor dan
tukang yang menjadi tugas jabatan lain
Jabatan kerja Jumlah
kriteria
Jumlah
kriteria
yang
dipenuhi
Jumlah kriteria
yang tidak
dipenuhi secara
keseluruhan
Jumlah kriteria
yang menjadi
tanggung
jawab orang
lain
Jabatan kerja yang
mengerjakan
sebagian kriteria
Mandor Pembesian 48 28 20 18 K3, Pelaksana,
Mandor Tukang Batu 43 22 21 17 K3, Pelaksana,
Logistik
Tukang Besi Beton 37 14 23 17 K3, Pelaksana,
Logistik
Tukang Batu 37 22 15 8 Logistik,
Kenek tukang batu
Tukang Bekisting 33 16 17 14 K3, Pelaksana,
mandor
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian kompetensi mandor dan tukang yang mengacu pada SKKNI,
didapat kompetensi mandor pembesian sebesar 57,45 % dan mandor tukang batu
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 147
sebesar 50,00 %. Untuk jabatan tukang, rata-rata kompetensi tukang besi beton sebesar
41,79 %, tukang batu sebesar 62,20 %, dan tukang bekisting sebesar 56,10 %. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja mandor dan tukang pekerjaan struktur pada
proyek d’Green Pramuka Residences tidak memenuhi kompetensi kerja yang ada dalam
SKKNI. Hal ini dikarenakan sejumlah kriteria unjuk kerja yang ada dalam SKKNI
masing-masing jabatan tersebut menjadi tanggung jawab jabatan lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. …….., (1999), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
Tentang Jasa Konstruksi
2. …….., (2003), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
3. …….., (2006), SKKNI : Mandor Pembesian / Penulangan Beton. Departemen
Pekerjaan Umum.
4. …….., (2006), SKKNI : Mandor Tukang Batu / Bata. Departemen Pekerjaan
Umum
5. …….., (2006), SKKNI : Tukang Batu / Bata. Departemen Pekerjaan Umum
6. …….., (2006), SKKNI: Tukang Bekisting dan Perancah. Departemen Pekerjaan
Umum.
7. …….., (2006), SKKNI: Tukang Besi Beton. Departemen Pekerjaan Umum.
8. …….., (2007), Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :
PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional.
9. Achmad A, Cakra Nagara. (2005), . Menyikapi Era Persaingan Global di
Bidang Jasa Konstruksi dari Aspek Sumber Daya Manusia Nasional. Bulletin
BPKSDM 3:6.
10. Arifin, Doedoeng Zenal. (2010), . Evaluasi Kebijakan Sertifikasi Tenaga Ahli
Konstruksi Di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) [disertasi].
Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta.
11. Dipohusodo, Istimawan. (2007). Manajemen Proyek & Konstruksi. Yogyakarta:
Kanisius.
12. Frick, Heinz & Puja L. Setiawan. (2007). Seri Konstruksi Arsitektur 4: Ilmu
Konstruksi Struktur Bangunan. Yogyakarta: Kanisius
13. Fuad, Noor & Gofur Ahmad. (2009). Integrated Human Resources
Development. Jakarta : PT. Grasindo
14. H. Wright, Paul. (dialih bahasa oleh Harinaldi) (2005). Pengantar Engineering.
Jakarta : Erlangga
15. Hutapea P, Nurianna Thoha, (2008). Kompetensi Plus. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
16. Nur Yekti & Leo Willyanto (2008) , Kajian Relevansi Pemberlakuan Standar
Sertifikasi Keterampilan Mandor danTukang pada Proyek Konstruksi
Indonesia., Thesis, Institut Teknologi Bandung
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 148
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 149
KAJIAN KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG
TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN DI KOTA
SURAKARTA
Widi Hartono
1) Agus P Saido
1)
1)
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta Email :
wieds_ts@yahoo.com
Abstrak
Kota Surakarta merupakan kota yang memiliki perkembangan infrastruktur yang begitu pesat. Bangunan-
bangunan infrastruktur tumbuh pesat seiring dengan perkembangan kota. Hampir di setiap penjuru kota
dapat ditemui bangunan seperti mall, pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel, pasar, apartemen/rumah
susun, rumah sakit, perguruan tinggi atau sekolah. Potensi infrastruktur yang besar tersebut akan
meningkatkan potensi terjadinya kebakaran. Untuk itu perlu dilakukan kajian dalam rangka
mengantisipasi bahaya kebakaran atau menangani kejadian kebakaran. Dalam penelitian ini digunakan
dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data observasi lapangan dan
wawancara kepada pihak pengelola gedung. Sedangkan data sekunder berupa data cetak biru dari
bangunan, standar sistem proteksi kebakaran bangunan, hasil studi pustaka yang berbentuk jurnal, dan
buku-buku yang membahas mengenai kebakaran gedung, keandalan bangunan gedung terhadap bahaya
kebakaran. Dari hasil kajian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa nilai rata-rata
keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran pada empat bangunan pemerintah di kota Surakarta
sebesar 86.04 termasuk kategori baik. Dari keempat bangunan yang diamati terdapat satu bangunan yang
memiliki skor cukup yaitu bangunan PT Pos Indonesia.
Kata Kunci: Keandalan, Kebakaran, Proteksi, Bangunan Gedung, Kota Surakarta,
1. PENDAHULUAN
Kota Surakarta merupakan kota dengan perkembangan yang cukup pesat. Banyak
bangunan infrastruktur berdiri di kota Surakarta mulai dari mall, department store,
perkantoran, hotel, condotel, ruko, dan perumahan. Bangunan-bangunan gedung
tersebut semakin meramaikan pertumbuhan ekonomi di kota Bengawan.
Peningkatan jumlah bangunan gedung akan semakin meningkatkan risiko terjadinya
kebakaran di kota Surakarta. Pada tahun 2011 terjadi 47 kejadian kebakaran yang
didominasi rumah menjadi obyek yang banyak terbakar. Selama lima tahun terakhir
tahun 2011 merupakan tahun dimana rumah yang terbakar memiliki jumlah yang
terbesar.
Dilihat dari penyebab kebakaran yaitu listrik, kompor gas, kompor minyak dan lainnya,
listrik merupakan penyebab kebakaran paling banyak tiap tahunnya. Penyebab listrik ini
kebanyakan diakibatkan karena korsleting listrik. Hal ini disebabkan karena instalasi
listrik yang ada tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Penggunaan steker yang
bertumpuk-tumpuk sering ditemui, hal ini akan menjadikan instalasi tersebut sangat
riskan terjadi korsleting. Begitu pula adanya instalasi kabel tambahan yang asal-asalan,
kabel terbuat dari material yang tidak baik, ukuran kabel yang terlalu kecil kemudian
karet pelapis kabel yang mudah sobek akan menjadikan kabel mudah panas dan
terbakar.
Kerugian yang diderita akaibat kebakaran tidak bisa dibilang sedikit. Korban jiwa dan
luka merupakan kerugian yang tidak bisa diganti dengan uang. Selama tiga tahun
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 150
terakhir hampir tiap tahun terdapat korban jiwa karena kebakaran. Bahkan pada tahun
2009 terdapat korban jiwa sebanyak lima orang.
Secara material kerugian akibat kebakaran di Kota Surakarta dapat dilihat pada Tabel 3.
Tahun 2008 merupakan tahun yang memiliki kerugian terbesar akibat kebakaran yaitu
sebesar Rp. 4.782.100.000. Kerugian materi disebabkan karena kerusakan obyek yang
terbakar sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi dan hancurnya bangunan gedung.
Tabel 1. Jenis Bangunan Yang Terbakar
Tahun Banyaknya
Kebakaran
Jenis Yang Terbakar
Rumah Kantor Industri Pasar Lainnya
2011 47 22 1 3
24
2010 30 11 1
18
2009 44 12 1
31
2008 52 10 1 1 1 39
2007 40 9
1
30 Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
Tabel 2. Penyebab Terjadinya Kebakaran
Tahun Banyaknya
Kebakaran
Penyebab Kebakaran
Listrik Kompor Gas Kompor Minyak Lainnya
2011 47 22 13
12
2010 30 19 3
8
2009 44 16 2 2 24
2008 52 31 1 4 23
2007 40 13
4 23 Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
Tabel 3. Korban Jiwa dan Kerugian
Tahun Banyaknya
Kebakaran
Korban Taksiran Kerugian
Mati Luka-luka
2011 47
1 1.515.500.000
2010 30
2 771.500.000
2009 44 5 3 655.975.000
2008 52
4.782.100.000
2007 40
477.950.000 Sumber: Surakarta dalam Angka 2011
2. KAJIAN PUSTAKA
Hasil kajian yang dilakukan Slamet [8] menunjukkan bahwa pos pelayanan pemadam
kebakaran pada tiap kecamatan di Kota Surakarta masih kurang. Perlengkapan untuk
pemadaman kebakaran belum memadai dan personil pemadam kebakaran masih perlu
ditingkatkan.
Pada beberapa gedung di sebuah universitas ditemukan masih rendahnya fasilitas alat
bantu evakuasi dan penyediaan sarana pemadam kebakaran (Sufianto [9])..
Menurut Lasino dkk. [5] dalam penelitiannya menunjukkan bahwa gedung perhotelan
relatif lebih baik dalam penerapan Fire Sasfety Management (FSM) dibandingkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 151
bangunan perkantoran atau rumah sakit. Hal ini disebabkan salah satunya adalah
ketidaktahuan pihak manajemen bangunan tentang FSM.
Menurut Hasofer dkk. [4] tingkat cidera dan kematian pada kebakaran gedung cukup
tinggi dan penyebab kebakaran gedung apartemen tergantung dari sumber api dan
penghuni apartemen. Zang dkk [10] menemukan minimnya peralatan untuk
penanggulangan kebakaran pada rumah sewa swata dibandingkan rumah sewa
pemerintah.
Pengguna atau pemakai bangunan memiliki pemahaman yang rendah terhadap
keselamatan bahaya kebakaran terutama pada gedung-gedung pemerintahan di
Malaysia. Persepsi pengelola terhadap keselamatan kebakaran mempengaruhi kesadaran
pengguna gedung terhadap bahaya kebakaran (Nawal [6]).
Terdapat dual hal yang perlu diperhatikan dalam meminimalisasi risiko kebakaran
gedung tinggi perkantoran di DKI Jakarta yaitu pemahaman terhadap desain sistem
hidran dan proteksi terhadap resiko kebakaran (Adventus dkk., [1]). Chow, W. K. [2],
mengkaji penggunaan A Fire Safety Ranking System EB-FSRS untuk menilai
keselamatan kebakaran pada gedung high-rise di Hongkong.
Ruegg, R. T., dkk [7] mengkaji penggunanaan sprinklers lebih efektif digunakan pada
protektsi kebakaran gedung dengan manfaat lainnya berupa deteksi asap sebagai
peringatan dini kebakaran.
3. METODE
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri dari data observasi lapangan dan wawancara kepada pihak pengelola
gedung. Sedangkan data sekunder berupa data cetak biru dari bangunan, standar sistem
proteksi kebakaran bangunan, hasil studi pustaka yang berbentuk jurnal, dan buku-buku
yang membahas mengenai kebakaran gedung dan keandalan gedung terhadap bahaya
kebakaran.
Obyek penelitian yang dikaji adalah bangunan publik yang dimiliki oleh pemerintah
baik yang berbentuk BUMN atau perusda yang terletak di Kota Surakarta. Adapun
bangunan gedung yang dijadikan obyek penelitian adalah gedung PT Pos Indonesia
cabang Surakarta, PT Telkom Indonesia Cabang Surakarta, RS Dr Moewardi Surakarta
dan RS Jiwa Daerah Surakarta.
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data primer dan data sekunder.
2. Mengelompokkan data berdasarkan kegunaannya, sehingga memudahkan pada saat
dilakukan analisis.
3. Analisis Data. Menganalisis data secara deskriptif, melakukan penilaian terhadap
komponen bangunan dan menganalisis keandalan bangunan terhadap bahaya
kebakaran.
4. Pembahasan. Melakukan pembahasan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya
kebakaran
5. Kesimpulan. Kesimpulan yang didapat dari hasil analisa menjelaskan rumusan
masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 152
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. PT Pos Indonesia Cabang Surakarta
Dari data yang diperoleh ditemukan bahwa sistem APAR (Alat Pemadam Api Ringan)
masih belum sesuai dengan aturan yang ada. Hal tersebut dapat dilihat bahwa tidak
semua APAR terlihat mencolok dan tampak jelas, ada beberapa yang terletak di pojok
ruangan yang tidak semua orang dapat melihatnya. Selain itu APAR tidak pernah
dilakukan pemeriksaan, tidak ada kartu atau label yang menunjukkan waktu
pemeliharaan.
Penerapan Hydrant sudah sesuai dengan aturan yang ada, hanya saja tidak ada personil
yang terlatih untuk mengatasi kebakaran di dalam bangunan kantor PT Pos Indonesia.
Hidran halaman tidak ditemui disekitar bangunan. Di kantor PT Pos Indonesia tidak
ditemui satupun sprinkler yang terpasang.
Sarana jalan keluar di kantor PT Pos Indonesia cabang Surakarta sudah baik, hanya saja
pada bangunan ini tidak ditemui indikator arah dan tanda eksit pada saran jalan keluar.
Dari segi aksesibiltas kendaraan pemadam kebakaran dapat ditemui lebar jalan yang
sesuai yaitu 4 meter. Tidak ditemukan tanda akses untuk akses kendaraan pemadam
kebakaran.
Hasil pengkajian keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran terhadap bangunan
PT Pos Indonesia cabang Surakarta memiliki skor 75.88 atau termasuk dalam kategori
cukup baik.
Tabel 3. NKSKB PT Pos Surakarta No KSKB/SUB KSKB Hasil Penilaian Standar Penilaian Bobot Nilai Kondisi Jumlah Nilai
Penilaian Komponen Kelengkapan Tapak
I. Kelengkapan Tapak 24
1 Sumber Air 60 C 25 3,6
2 Jalan Lingkungan 100 B 27 6,48
3 Jarak Antar Bangunan 80 C 25 4,8
4 Hidran Halaman 70 C 23 3,864
Jumlah 18,744
Penilaian Komponen Sarana Penyelamatan
II. Sarana Penyelamatan 25
1 Jalan Keluar 90 B 38 8,55
2 Konstruksi Jalan Keluar 100 B 35 8,75
3 Landasan Helikopter 100 B 27 6,75
Jumlah 24,05
Penilaian Komponen Proteksi Aktif
III. Proteksi Aktif 25
1 Deteksi dan Alarm 50 K 8 1
2 Siames Connection 50 K 8 1
3 Pemadam Api Ringan 80 C 8 1,6
4 Hidran Gedung 90 B 8 1,8
5 Sprinkler 0 K 8 0
6 Sistem Pemadam Luapan 40 K 7 0,7
7 Pengendali Asap 50 K 8 1
8 Deteksi Asap 50 K 8 1
9 Pembuangan Asap 50 K 7 0,875
10 Lift Kebakaran 100 B 7 1,75
11 Cahaya Darurat 100 B 8 2
12 Listrik Darurat 80 C 8 1,6
13 Ruang Pengendali Operasi 50 K 7 0,875
Jumlah 15,2
Penilaian Komponen Proteksi Pasif
III. Proteksi Pasif 26
1 Ketahanan Api Struktur Bangunan 80 C 36 7,488
2 Kompartemenisasi Ruang 50 K 32 4,16
3 Perlindungan Bukaan 75 C 32 6,24
Jumlah 17,89
Total 75,88
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 153
b. PT Telkom Indonesia Cabang Surakarta
Penerapan APAR pada bangunan PT Telkom dinilai sudah baik. Ditemukan pada kartu
pemeliharaan tidak mencantumkan nama petugas yang melakukan pengecekan berkala.
Kondisi hidran yang terdapat pada kantor ini kondisinya sudah sangat baik, baik dari
segi jumlah dan penempatannya.
Pada bangunan PT Telkom tidak memiliki sistem sprinkler. Hal ini disebabkan karena
bangunan ini sebagian besar menggunakan peralatan elektronik yang rentan terhadap
air. Oleh karena itu untuk mengganti fungsi sprinkler, maka digunakan sistem Bonpet.
Bonpet fungsinya sama seperti sprinkler yaitu mengantisipasi penjalaran api pada suatu
ruangan. Perbedaannya adalah kalau sprinkler memakai air tetapi kalau Bonpet
memakai gas yang digunakan untuk memadamkan api.
Penerapan jalan keluar pada bangunan PT Telkom baik dari fasilitas fisik dan tanda
penunjuknya dalam keadaan sangat baik. Akses kendaraan pemadam kebakaran sudah
memenuhi standar yang, tetapi masih belum ada tanda akses bagi kendaraan pemadam
kebakaran. Hidran halaman dan siamese connection juga terdapat pada bangunan ini.
Keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran pada bangunan PT Telkom
Indonesia Cabang Surakarta secara umum sudah baik, yang ditunjukkan dengan skor
keandalan sebesar 96.93.
c. Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta
Di Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta sprinkler hanya terdapat di dapur yang masuk
dalam ruang Instalasi Gizi. Untuk ruang perawatan pasien dan ruang lainnya
menggunakan sistem proteksi kebakaran jenis lain seperti APAR dan hidran. Sistem
detektor tidak ditemui pada rumah sakit ini, sedangkan alarm masih menggunakan
alarm manual.
Penerapan untuk hidran di dalam bangunan sudah terpenuhi dan sesuai dengan
peraturan, meskipun untuk perawatan masih kurang. Untuk hidran halaman telah
tersedia dengan baik, penempatan hidran dan jumlahnya.
Penerapan APAR yang sudah terpenuhi diantaranya APAR mudah dijangkau dan
mencolok, dipasang kokoh pada dinding, tersedia sarana penunjuk APAR, perletakan
APAR di setiap bangsal dan pemeliharaan APAR yang dilakukan setahun sekali.
Penerapan APAR yang tidak terpenuhi adalah tidak ada kartu atau label pemeliharaan
APAR dan identifikasi petugas, serta masih terdapat penghalang di bawah perletakan
APAR misalnya pot bunga dan kursi penunggu pasien.
Jalur untuk eksit telah ditetapkan dan didukung adanya tanda penunjuk arah sepanjang
jalur eksit. Seluruh jalur eksit menuju pada satu titik berkumpul yaitu di basement
bawah masjid.
Penerapan tangga darurat yang telah terpenuhi diantaranya penempatan penandaan,
pemasangan dan ukuran huruf. Penerapan yang tidak terpenuhi adalah tangga dalam
gedung tidak tertutup, tidak ada penandaan tingkat teratas dan terbawah, penandaan
tidak adanya akses atap. Tangga darurat di gedung ini adalah tangga yang digunakan
untuk naik-turun lantai RS dan bukan tangga khusus evakuasi. Perlu diberi penandaan
sehingga pengguna RS di tingkat teratas dapat menuju tangga turun yang terdekat dan
tidak menuju atap.
Penerapan akses pemadam kebakaran yang telah sesuai diantaranya lapis perkerasan
terbuat dari paving blok, panjang lapis perkerasan sepanjang jalur masuk mobil
pemadam sampai bagian belakang rumah sakit, dan akses masuk petugas pemadam.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 154
Sedangkan penerapan yang tidak sesuai peraturan adalah jalur masuk mobil lewat pintu
utama dan pintu samping hanya 3 m, lebar minimum perkerasan, adanya mobil yang
diparkir sepanjang jalur akses melalui pintu utama, tidak adanya penandaan jalur masuk
pemadam kebakaran.
Hasil penilaian keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran di Rumah Sakit
Dr Moewardi Surakarta memiliki skor 88.881 yang termasuk pada kategori baik.
d. Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta
Penerapan sprinkler tidak ditemukan di Rumah Sakit Jiwa ini dikarenakan bentuk
bangunan RS yang sebagian besar berlantai satu dan berbentuk blok-blok bangunan
yang terpisah satu dengan lainnya sehingga apabila terjadi kebakaran penjalaran api
relatif kecil dan lama karena bangunan terpisah cukup jauh.
Tidak ditemukan sistem deteksi kebakaran dan alarm yang digunakan masih.
Penempatan alarm kebakaran ini berada di pos satpam dan IGD dan berbentuk sirine.
Penerapan mengenai hidran yang telah dipenuhi diantaranya tersedia hidran halaman,
jalur mobil pemadam terletak radius 50 m dari hidran halaman. Di RSJ terdapat 2 hidran
halaman yang letaknya di dekat ruang laundry dan di dekat kantin.
Penerapan APAR tidak dapat dipenuhi semuanya, penerapan APAR yang sudah
memenuhi syarat diantaranya APAR mudah dijangkau dan mencolok, dipasang kokoh
pada dinding, perletakan APAR di setiap bangsal perawatan pasien dan setiap lantai di
gedung administrasi maupun auditorium, dan pemeliharaan APAR yang dilakukan 6
bulan sekali. Ditemukan tidak ada kartu atau label pemeliharaan APAR dan identitas
petugas, serta tidak adanya sarana penunjuk lokasi APAR.
Penempatan APAR di RS Jiwa telah sesuai dengan peraturan yaitu memiliki jarak antar
APAR 25 m, tiap bangsal perawatan pasien berada dalam bangunan yang terpisah dan
masing-masing memiliki satu APAR, sedangkan untuk bangunan administrasi yang
bertingkat tiap lantai memiliki satu APAR.
Penerapan akses pemadam kebakaran yang telah sesuai peraturan diantaranya lebar
jalan masuk, lebar minimum perkerasan dan panjang minimum, jalur masuk regu
pemadam dapat melewati jalan dari timur ke dalam sampai bagian belakang rumah
sakit. Jalan di RSJ memutar sehingga memudahkan petugas pemadam memasuki area
yang terbakar. Lapis perkerasan terbuat dari perkerasan aspal. Penerapan yang tidak
sesuai peraturan adalah tidak adanya penandaan jalur masuk pemadam kebakaran dan
tidak ada pintu akses khusus masuk petugas pemadam ke dalam gedung.
Nilai keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran pada gedung Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta memiliki skor 82.54 termasuk dalam kategori baik.
Tabel 4. Rekapitulasi NKSKB No KSKB PT Pos PT Telkom RS Dr Moewardi RS Jiwa
1 Kelengkapan Tapak 18,74 23,45 22,70 18,78
2 Sarana Penyelamat 24,05 25,00 25,00 25,00
3 Proteksi Aktif 15,20 24,25 16,88 13,70
4 Proteksi Pasif 17,89 24,23 24,23 25,06
NKSKB 75,88 96,93 88,81 82,54
5. KESIMPULAN
Dari hasil kajian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa nilai rata-rata
keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran pada empat bangunan pemerintah di
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 155
kota Surakarta sebesar 86.04 termasuk kategori baik. Dari keempat bangunan yang
diamati terdapat satu bangunan yang memiliki skor cukup yaitu bangunan PT Pos
Indonesia.
REFERENSI
1. Adventus, M. R., Soepandji, B. S., Abidin, I. S., dan Trigunarsyah, B (2006),
Studi Treatment Factors Terhadap Risiko Kebakaran Pada Bangunan Tinggi
Perkantoran Di DKI Jakarta, Seminar Nasional “Kegagalan Bangunan, Solusi
dan Pencegahan”, Kampus UPH, Lippo Karawaci
2. Chow, W. K., (2002), Proposed Fire Safety Ranking System EB-FSRS for Existing
High-Rise Nonresidential Buildings in Hong Kong, Journal Of Architectural
Engineering
3. Hartono, W., Saido, A. P., Winanto, A. S., (2010). Pemetaan Kebakaran Di Kota
Surakarta. Seminar Nasional Pengelolaan Infrastruktur dalam Menyikapi Bencana
Alam. Jurusan Teknik Sipil UNS
4. Hasofer, A.M., dan Thomas, I., (2006), Analysis of fatalities and injuries in
building fire statistics, Fire Safety Journal
5. Lasino, dan Suhedi F. (2005). Kajian Penerapan Manajemen Keselamatan
Kebakaran (Fire Safety Management) pada Bangunan Gedung Tinggi Di
Indonesia. Kolokium Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Bidang Permukiman
melalui Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Desember.
6. Nawal BT. HJ M. K. (2007), Sikap Dan Tindakbalas Penghuni Bangunan Dalam
Menghadapi Situasi Kebakaran Kajian Kes: Menara Ansar, Johor Bahru, Tesis,
Fakulti Kejuruteraan Sains Dan Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia
7. Ruegg, R. T., dan Fuller, Sk. K., (1985), The Economics of Fire Protection: Fas-
Response Residential Sprinklers, Construction Management and Economics
8. Slamet (2003), Kualitas Pelayanan Kantor Pemadam Kebakaran Kota Surakarta
Dalam Pemadaman Kebakaran, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret
9. Sufianto, H. (2000), Kajian Arsitektur: Sistim Keamanan Terhadap Bahaya
Kebakaran Kampus Universitas Brawijaya, Jurnal Teknik, Edisi April 2000,
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
10. Zhang, G., Lee, A. H., Lee, H. C., dan Clinton, M., (2006), Fire safety among the
elderly in Western Australia, Fire Safety Journal
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 156
IDENTIFIKASI RISIKO BENCANA PADA JARINGAN
JALAN DI INDONESIA
Mona Foralisa1 dan Krishna S. Pribadi
2
1Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil ITB, Jl. Ganeca no 10 Bandung, Telp 0813-67659974, email:
mforalisa@yahoo.com 2Dosen Program Studi Magister Teknik Sipil Pengutamaan Manajemen & Rekayasa Konstruksi FTSL,
ITB, Jl Ganeca no 10 Bandung, Telp 022-2502272, email: ksuryanto@si.itb.ac.id
ABSTRAK Kerugian dan kerusakan pada jaringan jalan yang diakibatkan oleh bencana sangat besar. Bencana
gempa bumi dan tsunami Aceh (2004), Yogyakarta (2006), Sumatera Barat (2009) merupakan beberapa
bencana yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Mengingat jaringan jalan merupakan akses
yang dapat membantu keberlangsungan kehidupan masyarakat, dan akses utama maka jaringan jalan
harus dipersiapkan dengan baik dalam menghadapi bencana. Jaringan jalan yang terkena bencana akan
menyebabkan gangguan pergerakan dari masyarakat, bahkan dapat membuat daerah terkena bencana
menjadi daerah yang tidak dapat diakses, baik untuk pemberian bantuan maupun untuk jalur evakuasi.
Keterbatasan akses tersebut akan membuat tindakan untuk daerah yang terkena bencana tersebut akan
terganggu atau terhambat.
Untuk itu perlu dilakukan Manajemen Risiko Bencana Alam pada jaringan jalan. Tahap awal dalam
manajemen risiko bencana adalah melakukan identifikasi risiko terhadap bahaya alam pada jaringan
jalan.
Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi risiko bencana pada jaringan jalan bukan tol. Bahaya alam
yang difokuskan adalah bahaya gempa. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi factor risiko yaitu
karakteristik hazard gempa, kerentanan jaringan jalan ditinjau dari karakteristik dan kondisi eksisting
jaringan jalan. Hasil penelitian ini adalah mendapatkan faktor-faktor risiko yang memengaruhi tingkat
risiko pada jaringan jalan.
Kata kunci: bahaya alam, bencana, risiko, gempa, jalan
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di atas lempeng benua, lempeng
Indo Australia dan lempeng Pasifik tak hanya menjadikan kaya sumber daya alam,
namun juga rawan akan bencana geologi. lempeng Indo Australia terus bergerak ke arah
utara sedang lempeng Pasifik bergerak ke arah barat. Hal ini antara lain yang
menyebabkan posisi Indonesia tidak stabil dan rawan bencana geologi. Sebagai akibat
gerakan lempeng-lempeng itulah yang menimbulkan bencana geologi berupa letusan
gunung berapi (vulkanologi), gempa bumi, gempa bumi dan gerakan tanah.
Diungkapkan dari 129 gunung api sekitar 13 % berada di Indonesia dan saat ini
kondisinya sangat aktif. Selain itu ada tiga gunung api di dasar laut. Potensi gempa
bumi di berbagai lokasi, potensi gempa bumi serta gerakan tanah juga di berbagai
lokasi. Secara umum pada daerah yang pernah terjadi bencana ada peluang akan terjadi
lagi (http://www.esdm.go.id).
Gempa adalah fenomena geologi berupa getaran di permukaan akibat tumbukan
lempeng-lempeng tektonik, atau berupa letusan gunungapi yang menimbulkan erupsi
material gunungapi atau leleran magma. Gempa-gempa ini dikenal sebagai gempa
tektonik dan gempa volkanik. Kedua gempa ini sering menimbulkan kerugian kepada
manusia, baik itu berupa korban harta ataupun korban nyawa. Maka gempa ini menjadi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 157
bencana bagi manusia. Masalah terbesar dari gempa adalah bahwa manusia dengan ilmu
pengetahuan dan teknologinya sampai saat ini belum bisa menduga kapan gempa akan
terjadi. Sejumlah parameter gempa bisa diukur dan diteliti, kemudian dari data-data
gempa yang terekam akan dapat dianalisis periode ulang dari gempa (Natawidjaja,
2005; Asrurifak, dkk., 2010). Periode ulang ini adalah biasanya dalam kelipatan 50
tahun. Akan tetapi perhitungan ini adalah khususnya untuk gempa besar, seperti yang
terjadi di Aceh pada tahun 2004. Untuk gempa kecil hampir setiap hari terjadi. Di
Indonesia tercatat 7000 kali gempa setiap tahunnya, di antaranya 50-60 kali gempa yang
dapat langsung dirasakan oleh manusia (Puja, 2005). Kenyataan tersebut di atas
memberikan gambaran tentang sebuah potensi bencana.
Gempa bumi adalah salah satu dari banyak bahaya alam yang paling merusak, gempa-
gempa tersebut bisa terjadi setiap saat di sepanjang tahun, dengan dampak yang tiba-
tiba dan hanya memberikan peringatan sedikit waktu saja. Gempa dapat menghancurkan
bangunan-bangunan dalam waktu yang sebentar saja, membunuh atau melukai
penduduk. Gempa tidak hanya merusak kota-kota secara menyeluruh tetapi juga bisa
mengacaukan pemerintahan, ekonomi dan struktur sosial dari satu negara (UNDP, 1995
: 17). Gempa juga dapat mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur pada daerah yang
terkena bencana gempa. Salah satu infrastruktur yang dapat mengalami kerusakan
adalah jaringan jalan. Kerusakan jalan dan jembatan yang terjadi pada saat bencana
dapat berakibat sangat fatal, karena dapat mengakibatkan terputusnya jalur evakuasi
yang akan berujung pada tertundanya bantuan kemanusiaan. Dampak lanjutan akibat
kerusakan ataupun terputusnya jalan dan jembatan adalah terhambatnya kegiatan
distribusi barang dan jasa yang menyebabkan menurunnya atau terhentinya
pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan dampak bencana tersebut, maka perlu dan
penting untuk dilakukan analisis risiko bencana pada jaringan jalan.
Untuk itu, langkah-langkah untuk pengelolaan penanggulangan bencana menjadi sangat
penting untuk dilakukan, baik sebelum, sesudah maupun saat terjadinya bencana. Sesuai
dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian
yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya
bencana, yaitu terutama kegiatan pengurangan dampak. Kegiatan lainnya yang diambil
pada saat sebelum terjadinya bencana adalah kegiatan pencegahan (prevention) dan
kesiapsiagaan. Kegiatan pencegahan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
bencana, dan dititikberatkan pada upaya penyebarluasan berbagai peraturan
perundangundangan yang berdampak dalam meniadakan atau mengurangi risiko
bencana. Kegiatan kesiapsiagaan ditujukan untuk menyiapkan respon masyarakat bila
terjadi bencana, yang dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi masyarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana, serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah.
Sedangkan kegiatan pengurangan risiko/dampak dilakukan untuk memperkecil,
mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana atau dikenal dengan
istilah Mitigasi (Akbar, 2006 : 2-3).
Bahaya bencana banjir, gempa, dan gerakan tanah merupakan bahaya yang paling
banyak mengancam jaringan jalan di Indonesia. Banjir merupakan bencana paling
sering mengancam. Di Indonesia bencana banjir hampir terjadi setiap tahun, akan tetapi
walaupun lebih sering terjadi, dampak (kerusakan dan kerugian) akibat banjir tidak
terlalu besar dibandingkan bila terjadi bencana gempa. Bencana gempa bukan bencana
yang terjadi secara periodic seperti banjir. Kejadian gempa jarang terjadi, tetapi bila
terjadi, kerugian akan jauh lebih besar dibandingkan dengan bencana banjir. Dari data
yang diolah dari Kementerian Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi beberapa daerah
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 158
yang terkena bencana selama tahun 2004 – 2011, tercatat bahwa kerugian pada bidang
jalan dan jembatan akibat gempa 10 kali lipat dibandingkan dengan kerugian akibat
bencana banjir.
Tujuan
Mengidentifikasi faktor-faktor risiko bencana gempa pada jaringan jalan sebagai tahap
awal untuk melakukan penilaian risiko terhadap jaringan jalan.
2. STUDI PUSTAKA
Gempabumi secara umum dapat didefinisikan sebagai gerakan tiba-tiba yang terjadi di
dalam kerak atau mantel bumi bagian atas. Gerakan tiba-tiba ini disebabkan oleh adanya
pelepasan energi yang menyebabkan deformasi pada suatu lokasi di dalam bumi.
Bencana akibat gempabumi umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
bencana primer dan bencana sekunder (Day, 2002). Bencana primer adalah efek
langsung dari proses gempanya, yaitu (a) efek dari perekahan dan pergerakan pada
sesar, (b) efek goncangan atau getaran dari gelombang seismik yang menjalar dari
sumber gempa ke sekitarnya, (c) tsunami apabila pusat gempa terjadi di bawah laut.
Bencana sekunder adalah bencana ikutan atau bencana geologi yang dipicu oleh getaran
gempabumi, yaitu kerusakan akibat gerakan tanah dan terjadinya banjir bandang.
Karakteristik Bahaya Gempabumi
Klasifikasi gempabumi berdasarkan peristiwa yang menyebabkannya, digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Gempabumi tektonik, adalah gempa yang terjadi karena pelepasan tenaga yang
dirambatkan kepermukaan bumi, akibat gesekan antara lempeng samudera dan
lempeng benua yang menghasilkan sesar atau kekenyalan elastik. Gempa tektonik
merupakan jenis gempa yang sering terjadi di Indonesia. Umumnya daerah
tumbukan dan retakan lempeng merupakan pusat gempa (hiposentrum) di dalam
bumi, selanjutnya menimbulkan getaran di permukaan bumi (episentrum).
2. Gempabumi vulkanik adalah akibat aktivitas gunungapi, yaitu gerakan magma dari
dalam bumi naik ke atas. Gerakan magma ini menimbulkan getaran-getaran gempa
yang dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar gunungapi sebelum gunung tersebut
meletus.
3. Gempabumi runtuhan (terban), adalah gempabumi yang disebabkan oleh runtuhnya
lubang-lubang interior bumi, misalnya runtuhnya lorong tambang dan lorong sebuah
goa. Gempabumi ini paling kecil getarannya
Sesar aktif adalah sesar atau patahan yang mempunyai sejarah atau indikasi pergerakan
dalam kurun 11.000 tahun terakhir (California Geological Survey, 2007). Apabila ada
indikasi pergerakan pada waktu yang lebih tua sampai dengan sekitar 1.6 juta tahun lalu
(Zaman Kuarter), maka sesar tersebut diklasifikasikan sebagai sesar yang berpotensi
aktif. Hasil pemetaan rekahan sesar pasca gempabumi ini akan sangat berguna untuk:
1. Evaluasi kerusakan yang diakibat oleh gempa tersebut,
2. Merevisi peta ancaman dan risiko bencana gempabumi untuk usaha mitigasi
bencana ke depan, dan
3. Merencanakan rehabilitasi dan rekonstruksi dari wilayah bencana.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 159
Bencana yang disebabkan oleh gempabumi dapat berupa:
1. Rekahan/patahan di permukaan bumi (ground rupture): deformasi kerakbumi dapat
mengakibatkan permukaan daratan rekah dan terpatahkan hingga mencapai areal
yang sangat luas. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat
berdampak pada bangunan-bangunan, dan infrastruktur yang ada di daerah tersebut.
2. Getaran atau guncangan permukaan tanah (ground shaking): secara langsung
berdampak sangat serius adalah runtuhnya bangunan- bangunan. Pada umumnya
bangunan-bangunan yang berada diatas lapisan batuan yang padat (firm)
dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang
berada diatas batuan sedimen jenuh.
3. Longsoran tanah (mass movement): hampir semua longsoran tanah dapat terjadi
pada radius 40 km dari pusat gempa (epicenter) dan untuk gempa yang sangat besar
dapat mencapai radius 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat sebagai
pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah.
4. Kebakaran: pada umumnya gempa menginduksi api yang berasal dari putusnya
saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang sedang beroperasi.
5. Perubahan pengaliran (drainage modifications or changes): dapat terbentuknya
danau yang cukup luas akibat amblesnya (subsidence) permukaan daratan seperti
dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang diakibatkan oleh gempabumi.
6. Perubahan air bawah tanah (ground water modifications): regim air bawah tanah
dapat mengalami perubahan oleh perpindahan yang disebabkan oleh sesar atau oleh
goncangan.
7. Tsunami: gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan
impulsif dari dasar laut.
Proses terjadinya bencana
Secara skematis, hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan, risiko dan kejadian
bencana dapat digambarkan pada skema berikut:
Gambar 1. Hubungan Bahaya, Kerentanan, Risiko dan Kejadian Bencana
(Sumber : BNPB, 2007) Berdasarkan Gambar 1 di atas risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentana daerah
dengan ancaman bahaya yang ada. Ancaman bahaya khususnya bahaya alam umumnya bersifat
tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman bumi
baik dari tenaga internal maupun eksternal. Sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat
dikurangi, sehingga kemampuan atau kapasitas dalam menghadapai ancaman tersebut semakin
meningkat (Nurjanah et al, 2012).
Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 160
R = f( Bahaya x
) ………………………………. (1)
Keterangan :
R = risiko
f = fungsi
Kerentanan
Menurut BNPB (2011), kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan
oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya
(hazard). Dengan kata lain, kerentanan adalah kombinasi derajat mudahnya masyarakat
terpengaruh terhadap risiko bencana (susceptibility) dan daya bertahan atau kemampuan
masyarakat bertahan terhadap kehilangan atau bencana (resilience).
Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang
mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Kerentanan dapat ditinjau dari interaksi antara kerentanan fisik (infrastruktur), sosial
kependudukan, dan ekonomi:
1. Kerentanan fisik (infrastruktur):
Menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor
bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indicator,
yaitu persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan
konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi,
dan jaringan PDAM.
2. Kerentanan sosial:
Menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya
(hazards). Pada kondisi sosial yang rentan dapat menimbulkan dampak kerugian
yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain kepadatan
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan
penduduk wanita.
3. Kerentanan ekonomi: Menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi
ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah
persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan
terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
Menurut Benson dan Twigg (2007), analisis kerentanan merupakan komponen dari
analisis risiko bencana yang bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi kelompok rentan dalam suatu wilayah.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat mereka tergolong sebagai kelompok
rentan, serta menganalisis bagaimana mekanisme pengaruh dari faktor-faktor
tersebut terhadap kerentanan suatu kelompok.
3. Menilai kebutuhan dan kapasitas kelompok tersebut.
4. Meyakinkan bahwa kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk
menurunkan kerentanan tersebut, diantaranya melalui intervensi kepada kelompok
sasaran atau mitigasi dan mencegah kebijakan-program yang berpotensi berdampak
merugikan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 161
Ketahanan
Kemampuan bertahan masyarakat terhadap bencana gempabumi berdasarkan ketahanan
alami, yaitu:
1. Kelandaian topografi pada daerah dataran atau dataran bergelombang.
2. Tinggal pada daerah berbatuan dasar, bukan di atas endapan alluvial.
3. Pada daerah yang stabil dan bukan pada daerah yang tersesarkan atau zona sesar
aktif.
Kemampuan Masyarakat Bertahan Terhadap Bencana Berdasarkan Ketahanan
Buatan
Kemampuan masyarakat bertahan berdasarkan ketahanan buatan diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Terdapat jalur evakuasi dan sarana jalan bila tiba-tiba terjadi bencana untuk
memudahkan masyarakat melakukan evakuasi dan penanganan kesehatan.
2. Tersedianya fasilitas kesehatan yang diperlukan untuk tanggap darurat, yaitu
rumah sakit, puskesmas, dan jumlah tenaga kesehatan.
3. Banyaknya jumlah penduduk yang berpendidikan.
4. Keberadaan alat peringatan dini, tersedianya jalur alternatif, dan akses alat berat
ke lokasi bencana, serta dekatnya jarak keberadaan alat ke lokasi bencana.
5. Rekayasa teknik sipil, yaitu membangun bangunan evakuasi dan sarana jalan
penghubung dari pemukiman ke bangunan evakuasi atau bukit, sehingga
penyelamatan dapat dijangkau kurang dari 10 menit.
6. Keberadaan konstruksi pelindung seperti tembok penahan tanah, krib, bronjong,
susunan batuan bertulang, atau tanggul penahan gelombang laut yang
dikembangkan untuk meredam gempabumi, tsunami, letusan gunungapi, abrasi,
banjir, dan gerakan tanah serta tujuan evakuasi awal.
7. Tersedianya saluran tepi yang ditembok, bersistem undakan dengan dilengkapi
bak kontrol, serta kondisi saluran tepi yang selalu bersih untuk meredam banjir
dan gerakan tanah.
8. Terbangunnya desa yang punya kebijakan penanggulangan bencana atau desa
yang pernah mendapat pelatihan penanggulangan bencana, serta keberadaan
organisasi penanggulangan bencana di masyarakat.
9. Terbangunnya kesiagaan dan kesadaran masyarakat akan adanya bencana agar
semakin meningkatkan partisipasi dan ketenangan secara psikologis masyarakat
di daerah rawan bencana.
3. METODOLOGI
Metoda pendekatan yang dilakukan dalam studi ini adalah studi literatur dari berbagai
penelitian terdahulu dan data sekunder dari berbagai instansi pemerintah. Dari hasil
studi literatur maka dihasilkan perumusan faktor dan sub faktor yang memengaruhi
tingkat risiko bencana gempa bumi. Faktor dan sub faktor ini ditentukan berdasarkan
penelitian literatur. Dari beberapa literatur yang dikaji dapat disimpulkan ada 3 (tiga)
faktor yang berpengaruh terhadap bencana gempa bumi beserta sub faktornya, yaitu
sebagai berikut :
a. Faktor bahaya (hazard), dengan sub faktor : goncangan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 162
b. Faktor kerentanan (vulnerability), dengan sub faktor : kerentanan
fisik/infrastruktur, kerentanan sosial kependudukan dan kerentanan ekonomi.
c. Faktor ketahanan/kapasitas (capacity), dengan sub faktor : sumberdaya alami,
sumberdaya buatan dan mobilitas/ aksesibilitas penduduk.
Untuk menentukan faktor risiko bencana maka digunakan peta-peta tematik. Peta-peta
tematik yang berpengaruh terhadap bencana gempa pada jaringan jalan adalah Peta
kelerengan, Peta bentuklahan, Peta geologi, Peta magnitude gempa, Peta kedalaman
gempa, Peta penggunaan lahan, Peta kepadatan penduduk.
4. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan tahap awal dari penilaian risiko pada jaringan jalan di
Indonesia. Penelitian ini dibatasi pada tahap melakukan identifikasi risiko pada jaringan
jalan.
Parameter-parameter di dalam penentuan skor dan kriteria terhadap bencana
gempabumi (Tabel 1):
1. Zona sesar (mengacu klasifikasi sesar yang dipersiapkan untuk di lingkungan
Kementerian Pekerjaan Umum):
a. Terdiri atas zona sesar tidak aktif, zona sesar aktif tidak pasti, zona sesar aktif
potensial, dan zona sesar aktif.
b. Pembagiannya berdasarkan pada umur dan litologi yang tersesarkan (lebih
tua dari Kuarter, Kuarter, Holosen), juga kondisi tektonik (daerah bertektonik
stabil, bergempabumi, gempabumi berfokus dangkal).
2. Magnitudo gempa (berdasarkan besaran gempabumi yang menimbulkan tsunami
serta kerusakan yang ditimbulkan): Semakin besar magnitudo gempa, maka semakin
rentan terhadap terjadinya bencana gempabumi. Tsunami dapat terjadi pada 6,5 SR.
3. Kedalaman pusat gempa
a. Semakin dangkal suatu pusat gempa, maka daerah yang berada di atasnya
akan semakin rentan.
b. Pembagiannya berdasarkan bahwa bagian zona subduksi dari palung sampai
kedalaman 40-50 km-an, umumnya bersifat regas (elastik) dan dibanyak
bagian bidang kontaknya terekat/terkunci erat.
4. Jarak dari pantai ke jalan/jembatan : Semakin dekat jarak dari pantai ke
jalan/jembatan, maka semakin rentan karena semakin dangkal atau dekat dengan
pusat gempa.
5. Litologi penyusun:
a. Semakin resisten, mantap, dan stabil suatu batuan, maka resistensi terhadap
bencana gempa adalah semakin rendah.
b. Litologi penyusun terdiri atas batuan intrusi, metamorf, sedimen, sedimen
volkanik, dan endapan alluvial.
6. Kelerengan dibagi berdasarkan pengalaman kestabilan lereng di lapangan:
a. Semakin besar lereng, maka semakin rentan untuk terjadi longsor bila terjadi
gempa. Umumnya pada lereng >45%, longsoran sudah terjadi.
b. Bentuklahan secara umum berupa dataran, dataran bergelombang,
perbukitan bergelombang sedang, perbukitan bergelombang kuat, dan
perbukitan bergelombang curam.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 163
7. Kepadatan penduduk, pembagiannya lebih ketat karena multi hazard:
Untuk lebih jelas, skor dan kriteria dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Skor Dan Kriteria Terhadap Bencana Gempabumi
Skor Kelas Keterangan
1 Rendah
Zona sesar tidak aktif: terdapat pada daerah pra-Kuarter yang bertektonik stabil.
Magnitudo gempa, <5 SR: daerah gempa kecil
Kedalaman pusat gempa: agak dalam >60 km
Jarak ke jalan/jembatan >50 km: keberadaan dan posisi jalan/ jembatan jauh dari zona sesar.
Litologi disusun oleh intrusi dan metamorf: granodiorit, diorit, dasit, sekis, filit, dan marmer.
Kelerengan 0-15%: dataran, dataran bergelombang.
Kepadatan penduduk <100 jiwa/km2: tidak ada aktivitas manusia
2 Menengah
Zona sesar aktif tidak pasti: jika terdapat dalam batuan yang lebih tua dari Kuarter dan tidak ada keterangan lain mengenai pergerakan sesar.
Magnitudo gempa, 5-7 SR: daerah lipatan dan retakan, ditan-dai oleh dinding retak-retak, banyak pohon tumbang.
Kedalaman pusat gempa: agak dangkal >50-60 km
Jarak ke jalan/jembatan 30-50 km: keberadaan dan posisi jalan/jembatan agak jauh dari zona sesar.
Litologi disusun oleh vulkanik: breksi vulkanik berkomponen andesit dan basal, tuff, dan lapili.
Kelerengan 15-45%: perbukitan bergelombang sedang.
Kepadatan penduduk 100-500 jiwa/km² (sepi): hanya terdiri dari suatu kumpulan permukiman.
3 Tinggi
Zona sesar aktif potensial: pergeseran terhadap batuan berumur Kuarter atau sesar di daerah bergempabumi.
Magnitudo gempa, 7-8 SR: daerah aktif, semua orang panik, bangunan yang tidak kuat akan rusak parah, jembatan roboh
Kedalaman pusat gempa: dangkal >40-50 km
Jarak ke jalan/jembatan 10-30 km: keberadaan dan posisi jalan/jembatan dekat dengan zona sesar.
Litologi disusun oleh sedimen dan sedimen vulkanik: breksi/ konglomerat vulkanik, massa dasar batupasir, batulempung.
Kelerengan 45-70%: perbukitan bergelombang kuat.
Kepadatan penduduk 500-1000 jiwa/km² (agak ramai): terdapat pusat keramaian seperti pasar, obyek pariwisata
4 Sangat tinggi
Zona sesar aktif: waktu Holosen, gempabumi berfokus dangkal, bangunan dan jalan bergeser, pergeseran aluvial sungai.
Magnitudo gempa, >8 SR: daerah sangat aktif, kehancuran total, seluruh bangunan hancur dan porak-poranda.
Kedalaman pusat gempa: dangkal <40 km (posisinya di bawah garis pantai Pulau Sumatera)
Jarak dari tepi pantai ke arah darat <10 km: posisi jalan pada zona sesar, dekat dengan pantai, pada zona dangkal.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 164
Skor Kelas Keterangan
Litologi disusun oleh sedimen dan endapan aluvial: pelapukan kuat, bersifat lepas, dan kemiringan lapisan searah kelerengan.
Kelerengan >70%: perbukitan bergelombang curam.
Kepadatan penduduk >1000 jiwa/km² (ramai): pusat keramaian pasar, obyek pariwisata, perkantoran
5. KESIMPULAN
Dari hasil studi literatur dan penggunaan peta tematik, maka dapat didapatkan bahwa
risiko dari jaringan jalan dapat diidentifikasi dengan mengidentifikasi hazard,
kerentanan dan ketahanan atau kapasitas dari jaringan jalan tersebut. Faktor penting
yang diidentifikasi pada tahap ini adalah sumber gempa, magnitude dan kedalaman
gempa, jarak dari tepi pantai, litologi penyusun, kelerengan, kepadatan penduduk, dan
kepadatan bangunan. Pada tahap selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan
melakukan penilaian terhadap risiko pada jaringan jalan. Penilaian risiko dapat
dilakukan dengan melakukan pembobotan pada masing-masing faktor untuk
mendapatkan tingkat risiko pada jaringan jalan. Pada tahap selanjutnya juga dapat
diteliti bagaimana jarak dari bangunan dari jalan yang akan memengaruhi risiko bila
terjadi bencana. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya runtuhan bangunan yang
mengakibatkan kerusakan pada jalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akbar, Roos (2006) Pentingnya Pertimbangan Kebencanaan Dalam Penataan Ruang.
Materi Seminar Nasional : Mitigasi Bencana Alam di Indonesia: Solusi Professional
dari Kacamata Geologi Lingkungan, Local Genious, Teknologi dan Planning, Malang.
2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2007) Pengenalan Karakteristik Bencana
dan Upaya Mitigasinya di Indonesia
3. Benson dan Twigg (2007) Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Risiko
Bencana. Diakses dari www.preventionweb.net tanggal 18 Januari 2012
4. Day, RW (2002) Geotechnical Earthquake Engineering Handbook. New York :
McGraw Hill.
5. Duwaldi, Sheila Rimal. Hazard Mitigation R & D Series : Article 1 : Taking a Key Role
in Reducing Disaster Risks. Public Roads, FHWA Publication. May/June 2010. Vol 73
No 6. Diakses dari www.fhwa.gov/publication/publicroads
6. Natawidjaja, D. H. (2005) “Gempabumi dan tsunami Aceh-Sumut, 26 Desember 2004:
Memahami proses alam, mengatasi dampak, dan mengantisipasi bencana alam di masa
depan.” Seminar Nasional Gempabumi dan Tsunami (Potensi dan Mitigasi), IAGI,
Mataram, 19 Februari 2005.
7. Nurjanah et al. (2012) Manajemen Bencana. Bandung: Penerbit Alfabeta. 8. Puja, I. P. (2005) “Informasi monitoring gempabumi dan tsunami.” Seminar Nasional
Gempabumi dan Tsunami (Potensi dan Mitigasi), IAGI, Mataram, 19 Februari 2005
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 165
IDENTIFIKASI INDIKATOR GREEN CONSTRUCTION
PADA PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG DI
INDONESIA
Wulfram I. Ervianto1, Biemo W. Soemardi
2, Muhamad Abduh
3 dan Surjamanto
4
1Kandidat Doktor Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email:
ervianto@mail.uajy.ac.id 2Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: b_soemardi@si.itb.ac.id 3Staf Pengajar Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, email: abduh@si.itb.ac.id 4Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Institut Teknologi Bandung, email:
titus@ar.itb.ac.id
ABSTRAK
Fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca di Bumi diyakini oleh para
peneliti disebabkan salah satunya adalah pembangunan. Sebuah gagasan yang dianggap berpotensi dapat
mengurangi pemanasan global adalah dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep
ini mengandung tiga pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu terjemahan konsep pembangunan
berkelanjutan di tingkat praktis dikenal dengan green construction dimana implementasinya mulai
mendapat perhatian dari berbagai pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan indikator green
construction khususnya untuk bangunan gedung. Untuk mendapatkan data digunakan instrumen kuisioner
dan sebagai respondennya adalah kepala proyek, bagian riset dan pengembangan pada perusahaan
kontraktor dalam kualifikasi besar dan menengah yang berdomisili di kota besar sebagai representasi
nasional Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah: (a) jumlah indikator green construction yang dihasilkan
adalah 142 indikator yang terdiri dari 77 indikator Prioritas I dan 65 indikator Prioritas II; (b) indikator
green construction Prioritas I terdiri dari 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori minimum waste, dan
49,33% kategori maksimum value; (c) indikator green construction Prioritas II terdiri dari 27,69%
kategori Perilaku, 12,31% kategori Minimum Waste, dan 60% kategori Maksimum Value.
Kata Kunci: Indikator; Green Construction; Bangunan Gedung; Indonesia
1. PENDAHULUAN
Kepedulian dunia terhadap keberlanjutan Bumi telah dimulai sejak tahun 1992 dengan
dipublikasikannya konsep pembangunan berkelanjutan yang mencakup tiga pilar utama
yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan
sosial dan pelestarian lingkungan hidup dalam KTT Bumi tahun 1992. Dalam
pertemuan tersebut disepakati pola pembangunan baru yang diterapkan secara global
yang disebut dengan Environmentally Sound and Sustainable Development (ESSD).
Sebagai respon terhadap gerakan tersebut, di lingkup nasional, Indonesia telah
menyepakati untuk menurunkan konsentrasi CO2 di udara sebesar 26%-41% di akhir
tahun 2020 dalam konferensi Bali yang diselenggarakan pada tahun 2007. Dalam
dokumen Konstruksi Indonesia 2030, salah satu agenda yang diusulkan adalah
melakukan promosi sustainable construction untuk penghematan bahan dan
pengurangan limbah/bahan sisa serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca
konstruksi [6]. Tujuan sustainable construction adalah menciptakan bangunan
berdasarkan disain yang memperhatikan ekologi, menggunakan sumberdaya alam
secara efisien, dan ramah lingkungan selama operasional bangunan [1]. Salah satu
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 166
bagian dari sustainable construction adalah green construction yang merupakan proses
holistik yang bertujuan untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan antara
lingkungan alami dan buatan [8].
2. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan kesepakatan Indonesia dalam Konferensi Bali tahun 2007 tentang “peta
jalur hijau” dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon.
Merujuk pada agenda dalam Konstruksi Indonesia untuk melakukan promosi
sustainable construction melalui penghematan bahan dan pengurangan limbah (bahan
sisa) serta kemudahan pemeliharaan bangunan pasca konstruksi. Maka untuk mencapai
green construction diperlukan kajian tentang alat/instrumen untuk mengukur proses
konstruksi yang dapat dinyatakan green. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka
tujuan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi indikator green construction dalam
proses konstruksi pada bangunan gedung di Indonesia.
3. KAJIAN LITERATUR
Definisi green construction adalah suatu perencanaan dan pelaksanaan proses
konstruksi untuk meminimalkan dampak negatif proses konstruksi terhadap lingkungan
agar terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia
untuk generasi sekarang dan mendatang [2]. Daya dukung lingkungan hidup dapat
dikelompokan menjadi dua komponen, yaitu: kapasitas penyediaan (supportive
capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Dalam lingkup international konsep green construction mencakup hal-hal sebagai
berikut: perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi, konservasi material, tepat
guna lahan, manajemen limbah konstruksi, penyimpanan dan perlindungan material,
kesehatan lingkungan kerja, menciptakan lingkungan kerja yang ramah lingkungan,
pemilihan dan operasional peralatan konstruksi, dokumentasi [3]. Sedangkan Kibert
menyatakan bahwa konsep green construction mencakup hal-hal sebagai berikut:
rencana perlindungan lokasi pekerjaan, program kesehatan dan keselamatan kerja,
pengelolaan limbah pembangunan atau bongkaran, pelatihan bagi subkontraktor,
reduksi jejak ekologis proses konstruksi, penanganan dan instalasi material, kualitas
udara [5].
Dalam lingkup nasional upaya penerapan green construction sudah dilakukan, antara
lain oleh kontraktor nasional P.T. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. Instrumen
yang digunakan untuk menilai green construction disebut dengan Green Contractor
Assessment Sheet yang mencakup hal-hal sebagai berikut: tepat guna lahan, efisiensi
dan konservasi energi, konservasi air, manajemen lingkungan proyek konstruksi,
sumber dan siklus material, kesehatan dan kenyamanan di dalam lokasi proyek
konstruksi [7]. Sedangkan di tingkat nasional, perangkat penilaian bangunan hijau di
Indonesia untuk gedung baru dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia
(GBCI) yang disebut dengan Sistem Rating GREENSHIP Versi 1.0. [4].
Berdasarkan pustaka tersebut diatas maka faktor green construction dapat disintesakan
menjadi 16 faktor, yaitu: Perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi; Sumber dan
siklus material; Rencana perlindungan lokasi pekerjaan;Manajemen limbah konstruksi;
Penyimpanan dan perlindungan material; Kesehatan lingkungan kerja tahap konstruksi;
Program kesehatan dan keselamatan kerja; Pemilihan dan operasional peralatan
konstruksi; Dokumentasi; Pelatihan bagi subkontraktor; Pengurangan jejak ekologis
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 167
tahap konstruksi; Kualitas udara tahap konstruksi; Konservasi air; Tepat guna lahan;
Efisiensi dan konservasi energi; Manajemen lingkungan proyek konstruksi. Berdasarkan
16 faktor green construction tersebut diatas selanjutnya dikembangkan indikator green
construction dari setiap faktor. Jumlah indikator green construction secara keseluruhan
adalah 144 indikator
4. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian untuk mendapatkan indikator green construction melalui
beberapa tahap (gambar 2). Metoda reskoring digunakan untuk mendapatkan indikator
green construction yang “penting” dan “operasional”.
Reskoring
Berdasarkan tingkat kepentingan
Mulai
Data
Berdasarkan tingkat
kepentingan
Selesai
Pemilihan indikator penting dan operasional
dalam setiap faktor
Data
Berdasarkan tingkat
operasional
Reskoring
Berdasarkan tingkat operasional
Indikator penting dan operasional
Urutan indikator green construction
tiap faktor dalam kategori prioritas I
Urutan indikator green construction
tiap faktor dalam kategori prioritas II
Gambar 2. Metodologi Penelitian
5. DATA DAN ANALISIS DATA
Data diperoleh melalui survey ke beberapa kota di Indonesia yang difokuskan pada nilai
konstruksi yang diselesaikan relatif tinggi (nilai pekerjaan yang telah diselesaikan oleh
pihak pemborong menurut realisasi proyek yang telah diselesaikan dalam jangka waktu
tertentu, berdasarkan nilai kontrak antara pemilik dengan kontraktor) yaitu di Pulau
Jawa dan Sumatera. Namun demikian, dalam penelitian ini menambahkan responden
yang ada di Pulau Bali dengan pertimbangan adanya kecenderungan peningkatan
proyek yang menerapkan konsep green.
Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepala proyek dan bagian
riset/pengembangan dalam perusahaan kontraktor yang termasuk dalam kualifikasi
menengah dan besar (grade 5, 6 dan 7), dengan pertimbangan: (1) kemampuan
manajemen perusahaan, (2) kesiapan teknologi dalam menerapkan green construction,
(3) tanggap terhadap hal-hal baru (green construction). Jumlah kontributor responden
adalah 71 responden yang berasal dari 11 kota di Indonesia. Data di Pulau Jawa
terwakili oleh Surabaya, Semarang, Magelang, Yogyakarta, Bandung, Jakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 168
Keterwakilan data di Pulau Sumatera ditunjukan oleh responden yang berdomisili di
Medan, Pekanbaru, Riau. Untuk Pulau Bali diwakili oleh responden yang berdomisili di
Denpasar, sedangkan satu responden berasal dari Tarakan Kalimantan (gambar 3-8).
Gambar 3. Domisili Responden
Gambar 4. Kualifikasi Kontraktor Gambar 5. Kepemilikan Perusahaan
Gambar 6. Jabatan Responden
14.08
2.82
1.41
29.58
4.23
5.63
2.82
9.86
18.31
9.86
1.41
- 10 20 30 40
Medan
Riau
Pekan Baru
Jakarta
Bandung
Yogyakarta
Magelang
Semarang
Surabaya
Denpasar
Tarakan
Komposisi Responden Berdasarkan
Domisili Perusahaan (dalam %)
84.51
4.23
11.27
- 20 40 60 80 100
Kepala Proyek
Engineer
Riset dan Pengembangan
Jabatan Responden
(dalam %)
24.24
13.64
62.12
Menengah-…
Besar-Grade 6
Besar-Grade 7
Kualifikasi Kontraktor
(dalam %)
41
5
Swasta
BUMN
Kepemilikan Perusahaan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 169
Gambar 7. Pengalaman Kerja Responden
Gambar 8. Pegalaman Melaksanakan Proyek Green
Pengelompokan Indikator Green Construction Berdasarkan Prioritas
Pemilihan indikator green construction yang akan digunakan dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu: kelompok prioritas pertama dan kelompok prioritas kedua. Indikator
yang masuk dalam kelompok prioritas pertama jika indikator tersebut penting dan
operasional, penting dan sangat operasional, sangat penting dan operasional, sangat
penting dan sangat operasional. Sedangkan yang kedua jika indikator tersebut sangat
penting dan cukup operasional, penting dan cukup operasional, cukup penting dan
cukup operasional, cukup penting dan operasional, cukup penting dan sangat
operasional. Hasil pengelompokan data dapat dilihat dalam gambar 9.
21.13
25.35
18.31
21.13
14.08
0 - < 5 tahun
5 - < 10 tahun
10 - < 15 tahun
15 - < 20 tahun
> 20 tahun
Pengalaman Kerja Responden
(dalam %)
50.70
49.30
49 49 50 50 51 51
Pernah
Tidak Pernah
Pengalaman Melaksanakan Proyek Green
(dalam %)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 170
Gambar 9. Indikator Green Construction
Pengelompokan Indikator Green Construction dalam Perilaku, Minimum
Waste dan Maksimum Value.
Indikator green construction yang telah dikelompokan berdasarkan prioritas I dan
prioritas II dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (a) Kategori pertama adalah
indikator yang termasuk dalam perilaku (behaviour), yang didefinisikan sebagai
tanggapan/reaksi individu terhadap rangsangan/lingkungan. (b) Kategori kedua adalah
indikator yang termasuk dalam minimum waste, yang didefinisikan sebagai aktivitas
5
6
9
7
2
12
2
2
5
1
1
1
3
2
9
10
0
4
3
5
3
5
1
3
3
3
5
5
7
2
11
5
Perencanaan dan Penjadwalan Proyek
Konstruksi
Sumber dan Siklus Material
Perencanaan dan Perlindungan Lokasi
Pekerjaan
Manajemen Limbah Konstruksi
Penyimpanan dan Perlindungan Material
Kesehatan Lingkungan Kerja Tahap
Konstruksi
Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Pemilihan dan Operasional Peralatan
Konstruksi
Dokumentasi
Pelatihan Bagi Subkontraktor
Pengurangan Jejak Ekologis Tahap
Konstruksi
Kualitas Udara Tahap Konstruksi
Konservasi Air
Tepat Guna Lahan
Konservasi Energi
Manajemen Lingkungan Proyek
Jumlah Indikator Green Construction
Prioritas II Prioritas I
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 171
yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya limbah sehingga beban di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) dapat berkurang serta mendorong gerakan pemilahan sampah
secara sederhana sehingga mempermudah untuk proses daur ulang. (c) Kategori ketiga
adalah indikator yang termasuk dalam kategori maksimum value, yang didefinisikan
sebagai aktivitas yang bertujuan untuk mencapai nilai tertentu. Pengertian “nilai” adalah
hal-hal yg penting atau berguna bagi kemanusiaan (KBBI). Isu penting pada saat ini
adalah keberlanjutan kehidupan manusia yang memuat isu lingkungan (energi, air,
udara, tanah, kesehatan dan keselamatan).
Berdasarkan definisi seperti tersebut diatas, maka indikator green construction dalam
Prioritas I dapat dikelompokan kedalam tiga kategori, yaitu: perilaku, minimum waste,
dan maksimum value dengan persentase berturut-turut 16%, 34,67%, dan 49,33%
(gambar 10). Sedangkan indikator green construction dalam Prioritas II dengan
persentase berturut-turut 27,69%, 12,31%, dan 60% (Gambar 11). Secara keseluruhan
persentase indikator green construction jika dikelompokan dalam tiga kategori adalah
sebagai berikut: 21,43% dalam kategori perilaku, 24,29% dalam kategori minimum
waste, dan 54,29% dalam kategori maksimum value (Gambar 12).
Gambar 10. Pengelompokan Indikator Green Construction Prioritas I Dalam Kategori
Perilaku (Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
Gambar 11. Pengelompokan Indikator Green Construction Prioritas II Dalam Kategori
Perilaku (Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
16.00
34.67
49.33
Perilaku
Minimum waste
Maksimum value
Persentase Indikator Green Construction
Prioritas I
27.69
12.31
60.00
Perilaku
Minimum waste
Maksimum value
Persentase Indikator Green Construction
Prioritas II
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 172
Gambar 12. Pengelompokan Indikator Green Construction Dalam Kategori Perilaku
(Behaviour), Minimum Waste, Maksimum Value.
6. KESIMPULAN
Jumlah indikator green construction yang dihasilkan secara keseluruhan adalah 142
indikator yang terdiri dari 77 indikator Prioritas I dan 65 indikator Prioritas II.
Secara rinci indikator Prioritas I terdiri dari 16% kategori perilaku, 34,67%, kategori
minimum waste, dan 49,33% kategori maksimum value. Sedangkan dalam Prioritas
II terdiri dari 27,69% kategori Perilaku, 12,31% kategori Minimum Waste, dan 60%
kategori Maksimum Value.
Komposisi indikator green construction secara keseluruhan terdiri dari 21,43%
dalam kategori Perilaku, 24,29% dalam kategori Minimum Waste, dan 54,29%
dalam kategori Maksimum Value.
DAFTAR PUSTAKA
1. Conseil International Du Batiment, 1994.
2. Ervianto W.I., 2012, Selamatkan Bumi Melalui Konstruksi Hijau, Penerbit ANDI,
Yogyakarta
3. Glavinich, T. E., 2008, Contractor's Guide to Green Building Construction, John
Wiley.
4. Green Building Council Indonesia, 2010, GREENSHIP Versi 1.0, Jakarta.
5. Kibert, C., 2008, Sustainable Construction, John Wiley & Sons, Canada.
6. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional 2007, Konstruksi Indonesia
2030 Untuk Kenyamanan Lingkungan Terbangun, Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nasional, Jakarta.
7. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., 2008, Green Construction Assessment
Sheet, Jakarta.
8. Plessis D., Chrisna, Edit., 2002: Agenda 21 for Sustainable Construction in
Developing Countries’ Pretoria: Capture Press.
21.43
24.29
54.29
Perilaku
Minimum waste
Maksimum value
Persentase Indikator Green Construction
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 173
ANALISA PENETAPAN HARGA JUAL UNIT RUMAH
(PADA PERUMAHAN GRAND MERIDIAN, MANADO)
Alland Adrian Josep ii dan Retno Indryani
2
1Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo
Surabaya, Telp 031-5946094, email: alland_josep24@yahoo.com 2Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email:
retno_i@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Harga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli
produk. Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan menurun, namun jika harga terlalu
rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh. Makalah ini memaparkan penetapan harga
jual unit rumah. Studi kasus yang digunakan adalah unit rumah pada perumahan Grand Meridian
Manado. Penetapan harga jual dilakukan dengan metode analisa titik impas yang mempertemukan kurva
biaya dan kurva pendapatan. Kurva pendapatan diperoleh dari kurva permintaan berdasarkan survey ke
masyarakat. Kurva biaya diperoleh dari perhitungan biaya tetap dan biaya variabel yang dibutuhkan.
Berdasarkan analisa tersebut didapat harga jual Rp 466.300.000 untuk tipe 90 dengan jumlah unit
optimum 72 unit, Rp 630.600.000 untuk tipe 120 dengan jumlah unit optimum 54 unit, dan Rp
895.130.000 untuk tipe 180 dengan jumlah unit optimum 54 unit.
Kata kunci: Analisa Titik Impas, Harga, Kurva Biaya, Kurva Permintaan,
1. PENDAHULUAN
Menurut Kotler dan Armstrong (2001)[1] harga adalah sejumlah uang yang dibebankan
atas suatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-
manfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut. Harga memiliki
peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam
membeli produk, sehingga sangat menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk.
Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan menurun, namun jika
harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh.
Perumahan Grand Meridian yang dikembangkan oleh PT. Jaya Perkasa Propertindo
merupakan perumahan baru di kota Manado. Perumahan yang dibangun di wilayah
Ring Road Kecamatan Sario ini, memiliki konsep modern dengan wilayah berkontur
yang mempunyai pemandangan indah ke segala arah yaitu pantai, kota, dan gunung.
Perumahan Grand Meridian menawarkan produk berupa rumah tinggal tipe 90, tipe 120,
dan tipe 180. Di sekitar wilayah Kecamatan Sario juga dibangun beberapa perumahan
seperti Citraland Manado, Grand Kawanua, dan Tamansari Wika. Beberapa perumahan
tersebut akan menjadi kompetitor bagi Grand Meridian dalam hal penjualan rumah.
Banyaknya pilihan bagi pembeli dapat menimbulkan persaingan yang ketat antar
perumahan. Oleh sebab itu harga jual adalah faktor utama yang wajib diperhatikan
pihak pengembang. Harga jual rumah merupakan acuan pertimbangan pemilihan rumah
oleh pembeli, disamping berbagai fasilitas yang ditawarkan. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka perlu dilakukan analisa penetapan harga jual rumah pada proyek
perumahan Grand Meridian.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 174
2. METODOLOGI
2.1 Langkah Penelitian
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
2.2 Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang akan digunakan, dua jenis data
tersebut yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui sumber-sumber asli, sumber asli
disini diartikan sebagai sumber pertama dari mana data tersebut diperoleh. Pada
penelitian ini data primer diperoleh melalui survei terhadap masyarakat.
2. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari data-data mengenai biaya pembangunan Perumahan
Grand Meridian.
2.3 Kurva Biaya
Untuk membuat kurva biaya, perlu dilakukan identifikasi biaya-biaya yang diperlukan
dalam proyek pembangunan perumahan Grand Meridian, setelah itu dapat dibuat
sebuah kurva biaya seperti pada Gambar 2.
Analisa Titik Impas dan Analisa
Marginalitas (Mc = Mr)
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Rumusan Masalah
Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Data Primer:
Kuesioner
Data Sekunder:
Biaya tetap
Biaya variabel
Menetapkan
kurva permintaan
Menetapkan
kurva biaya
Latar Belakang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 175
VC
TC=FC+VC
biaya
FC
volume
2.4 Kurva Permintaan
Kurva permintaan diperoleh dengan survei menggunakan kuesioner, untuk mengetahui
seberapa besar permintaan masyarakat terhadap unit rumah di perumahan Grand
Meridian.
2.5 Analisa Titik Impas dan Analisa Marginalitas
Dalam menetapkan harga, digunakan metode analisa titik impas dan analisa
marginalitas, yang menggunakan persamaan MC=MR untuk mencari volume optimum
(Q). MR (marginal revenue) adalah perubahan pendapatan untuk perubahan satu unit
yang terjual, merupakan turunan dari TR. Sedangkan TR merupakan perkalian P (harga
jual) x Q. MC (marginal cost) adalah perubahan biaya yang disebabkan perubahan satu
unit rumah yang terjual (Gaspersz, 2001)[3].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kurva Biaya
Kurva biaya dibentuk dari 2 komponen kurva yaitu kurva biaya tetap dan kurva biaya
variabel. Yang termasuk biaya variabel adalah biaya tanah untuk kavling rumah dan
biaya konstruksi rumah, sedangkan yang termasuk biaya tetap adalah :
1. Biaya tanah untuk fasilitas umum
2. Biaya perizinan
3. Biaya sertifikasi tanah
4. Biaya konstruksi jalan
5. Biaya konstruksi Daerah Hijau (Taman)
6. Biaya penerangan jalan umum
7. Biaya pemasaran
Berdasarkan analisa dan perhitungan, persamaan biaya total per tipe rumah dapat dilihat
pada Tabel 1, sedangkan kurva biaya total per tipe rumah dapat dilihat pada Gambar 3
s/d Gambar 5.
Tipe Variabel Biaya Variabel Biaya Tetap Persamaan
Unit (Rp) (Rp) Biaya Total
90 Q1 332759272 9348125278,29 9348125278,29 +
332759272 Q1
120 Q2 440237456 7350662611,99 7350662611,99 + 440237456 Q2
180 Q3 569689912 2996193999,45 2996193999,45 +
569689912 Q3
Gambar 2. Kurva Biaya (Pujawan,2009)[2]
Tabel 1. Persamaan Biaya Total
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 176
3.2 Kurva Permintaan
Untuk mengetahui kesediaan para responden dalam membeli rumah pada proyek
perumahan Grand Meridian dalam tingkatan harga tertentu, maka dilakukan survei.
Hasil survei dapat dilihat pada Tabel 2 s/d Tabel 4.
0.00
20,000,000,000.00
40,000,000,000.00
60,000,000,000.00
80,000,000,000.00
0 50 100 150 200
Bia
ya (
Rp
)
Jumlah Unit Rumah (Q1)
Kurva Biaya Total Tipe 90
Kurva Biaya VariabelTipe 90
Kurva Biaya Tetap Tipe90
Kurva Biaya Total Tipe90
0.00
20,000,000,000.00
40,000,000,000.00
60,000,000,000.00
0 20 40 60 80 100
Bia
ya (
Rp
)
Jumlah Unit Rumah (Q2)
Kurva Biaya Total Tipe 120
Kurva Biaya VariabelTipe 120
Kurva Biaya Tetap Tipe120
Kurva Biaya Total Tipe120
0.00
5,000,000,000.00
10,000,000,000.00
15,000,000,000.00
20,000,000,000.00
0 10 20 30
Bia
ya (
Rp
)
Jumlah Unit (Q3)
Kurva Biaya Total Tipe 180
Kurva Biaya VariabelTipe 180
Kurva Biaya Tetap Tipe180
Kurva Biaya Total Tipe180
Gambar 3. Kurva Biaya Total Tipe 90
Gambar 4. Kurva Biaya Total Tipe 120
Gambar 5. Kurva Biaya Total Tipe 180
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 177
Tabel 2 Hasil Kuesioner Tipe 90
Agar dapat dijadikan kurva permintaan yang menggambarkan hubungan harga yang
ditetapkan pada berbagai tingkatan dan tingkat permintaan, hasil survei perlu diolah
kembali. Pengolahan data hasil survei dilakukan dengan cara pembobotan. Pembobotan
dilakukan untuk mendapatkan jumlah permintaan menurut tingkat harga. Pembobotan
merupakan proses perkalian antara jumlah kesediaan responden pada masing-masing
tingkat permintaan dengan nilai probabilitasnya. Nilai probabilitas untuk masing tingkat
permintaan yaitu : Pasti membeli (1), Ingin membeli (0,75), Mungkin membeli (0,5),
Tidak ingin membeli (0,25), Pasti tidak membeli (0). Berdasarkan perhitungan, maka
jumlah permintaan per tipe rumah dapat dilihat pada Tabel 5 s/d Tabel 7.
Tabel 3 Hasil Kuesioner Tipe 120
Tabel 5 Jumlah Permintaan Tipe 90
Tabel 4 Hasil Kuesioner Tipe 180
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 178
Hubungan antara tingkat harga dan jumlah permintaan menghasilkan kurva seperti
Gambar 6 s/d Gambar 8
y = -1,869,951.72x + 600,935,066.11 R² = 0.99
520000000
540000000
560000000
580000000
600000000
0 10 20 30 40
Kurva Permintaan Rumah Tipe 90
Kurva PermintaanRumah Tipe 90
Linear (KurvaPermintaan RumahTipe 90)
y = -3,556,634.30x + 822,656,957.93
R² = 1.00 700000000
720000000
740000000
760000000
780000000
800000000
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00
Bia
ya (
Rp
)
Jumlah Unit Rumah
Kurva Permintaan Rumah Tipe 120
Kurva PermintaanRumah Tipe 120
Linear (KurvaPermintaan RumahTipe 120)
Gambar 6. Kurva Permintaan Rumah Tipe 90
Tabel 6 Jumlah Permintaan Tipe 120
Tabel 7 Jumlah Permintaan Tipe 180
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 179
Dari kurva permintaan dapat diperoleh persamaan harga jual dari setiap rumah yang ada
pada proyek perumahan Grand Meridian, yaitu:
1. Tipe 90: P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11
2. Tipe 120: P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93
3. Tipe 180: P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82
3.3 Penetapan Harga
Dalam menetapkan harga, penelitian ini menggunakan metode analisa titik impas, yang
mempertemukan antara kurva permintaan dan kurva biaya. Persamaan MR=MC
digunakan untuk mencari volume atau Q untuk mendapatkan keuntungan maksimum.
(Gaspersz,2001)[3}.
MR atau Marginal Revenue adalah perubahan pendapatan untuk perubahan satu unit
yang terjual, merupakan turunan dari TR. TR atau Total Revenue adalah total
pendapatan yang diperoleh dari hasil perkalian antara harga jual dan volume.
MC atau Marginal Cost adalah perubahan biaya yang disebabkan oleh perubahan satu
unit rumah yang terjual, merupakan turunan dari TC. TC atau Total Cost adalah biaya
total yang dibutuhkan untuk membuat seluruh unit rumah.
1. Penetapan Harga Tipe 90
Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual
untuk tipe 90 adalah:
P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11
Dimana P adalah Harga Jual, dan Q1 adalah jumlah unit terjual untuk rumah tipe 90.
Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut:
TR = P x Q1
= (-1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11) x Q1
= -1.869.951,72Q12 + 600.935.066,11Q1
Keuntungan maksimum tercapai apabila:
MR = MC
MR adalah turunan dari persamaan pendapatan total (TR) terhadap jumlah unit terjual,
sehingga MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MR = TR/ Q1
MR = -3.739.903,44Q1 + 600.935.066,11
y = -6,118,251.93x + 1,225,514,138.82
R² = 0.99 1050000000
1100000000
1150000000
1200000000
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00
Bia
ya (
Rp
)
Jumlah Unit Rumah
Kurva Permintaan Rumah Tipe 180
Kurva PermintaanRumah Tipe 180
Linear (KurvaPermintaan RumahTipe 180)
Gambar 8. Kurva Permintaan Rumah Tipe 180
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 180
MC adalah turunan dari persamaan biaya total (TC) terhadap jumlah unit terjual,
sehingga MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MC = TC/ Q1
Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4
adalah:
TC = 9.348.125.278,29 + 332.759.272Q1
Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut:
MC = TC/ Q1
MC = 332.759.272
Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah:
MR = MC
-3.739.903,44Q1 + 600.935.066,11 = 332.759.272
Q1 = 72 unit
Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat
dihitung harga jual sebagai berikut:
P = -1.869.951,72Q1 + 600.935.066,11
P = -1.869.951,72 (72) + 600.935.066,11
P = Rp 466.298.542,27
Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 90 berdasarkan analisa titik impas untuk
mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 466.298.542,27 (dibulatkan Rp
466.300.000) per unit dengan Q optimum 72 unit.
2. Penetapan Harga Tipe 120
Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual
untuk tipe 120 adalah:
P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93
Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut:
TR = P x Q2
= (-3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93) x Q2
= -3.556.634,30Q22 + 822.656.957,93Q2
MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MR = TR/ Q2
MR = -7.113.268,6Q2 + 822.656.957,93
MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MC = TC/ Q2
Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4
adalah:
TC = 7.350.662.611,99 + 440.237.456Q2
Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut:
MC = TC/ Q2
MC = 440.237.456
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 181
Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah:
MR = MC
-7.113.268,6Q2 + 822.656.957,93 = 440.237.456
Q2 = 54 unit
Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat
dihitung harga jual sebagai berikut:
P = -3.556.634,30Q2 + 822.656.957,93
P = -3.556.634,30 (54) + 822.656.957,93
P = Rp 630.598.705,73
Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 120 berdasarkan analisa titik impas untuk
mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 630.598.705,73 (dibulatkan Rp
630.600.000) per unit dengan Q optimum 54 unit.
3. Penetapan Harga Tipe 180
Dari perhitungan kurva permintaan pada subbab 3.B, diperoleh persamaan harga jual
untuk tipe 180 adalah:
P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82
Dengan demikian dapat ditentukan persamaan pendapatan total (TR) sebagai berikut:
TR = P x Q3
= (-6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82) x Q3
= -6.118.251,93Q32 + 1.225.514.138,82Q3
MR dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MR = TR/ Q3
MR = -12.236.503,86Q3 + 1.225.514.138,82
MC dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut:
MC = TC/ Q3
Persamaan biaya total (TC) sesuai dengan perhitungan yang terdapat pada Tabel 4
adalah:
TC = 2.996.193.999,45 + 569.689.912Q3
Sehingga MC dapat dihitung sebagai berikut:
MC = TC/ Q3
MC = 569.689.912
Volume untuk mencapai keuntungan maksimum adalah:
MR = MC
-12.236.503,86Q3 + 1.225.514.138,82 = 569.689.912
Q3 = 54 unit
Berdasarkan jumlah unit untuk mencapai keuntungan maksimum tersebut, dapat
dihitung harga jual sebagai berikut:
P = -6.118.251,93Q3 + 1.225.514.138,82
P = -6.118.251,93 (54) + 1.225.514.138,82
P = Rp 895.128.534,60
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 182
Dengan demikian harga jual unit rumah tipe 180 berdasarkan analisa titik impas untuk
mendapat keuntungan maksimum adalah Rp 895.128.534,60 (dibulatkan
Rp 895.130.000) per unit dengan Q optimum 54 unit.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dapat disimpulkan bahwa harga jual unit rumah yang sesuai
dengan analisa biaya dan analisa permintaan pasar yaitu :
1. Harga Jual Tipe 90 adalah Rp 466.300.000 untuk jumlah unit optimum 72 unit.
2. Harga Jual Tipe 120 adalah Rp 630.600.000 untuk jumlah unit optimum 54 unit.
3. Harga Jual Tipe 180 adalah Rp 895.130.000 untuk jumlah unit optimum 54 unit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kotler, P. & Armstrong, G. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
2. Pujawan, I Nyoman. 2009. Ekonomi Teknik. Surabaya: Guna Widya.
3. Gaspersz, V. 2001. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama.
4. Josep, Alland Adrian. 2013. Analisa Penetapan Harga Jual Unit Rumah Pada
Proyek Perumahan Grand Meridian, Manado. Jurusan Teknik Sipil Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 183
KAJIAN KELAYAKAN FINANSIAL INVESTASI
GEDUNG PARKIR BERTINGKAT PADA
PUSAT PERBELANJAAN DI KOTA MALANG
Ripkianto3, Tiong Iskandar
2 dan Hamim Mufijar
3
1Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp:
0341-561431 ex.230, email: ripki_luthor42@yahoo.co.id 2Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp:
0341-561431 ex.230 3Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Institut Teknologi Nasional Malang, Kampus ITN Malang, Telp:
0341-561431 ex.230, email: hamim_scortle@yahoo.co.id
ABSTRAK
Kota Malang memiliki beberapa pusat perbelanjaan yang mengalami masalah parkir dan
kemacetan, salah satunya adalah Mall Olympic Garden (MOG). Banyaknya aktivitas kegiatan masyarakat
yang berpusat di kawasan MOG mengakibatkan banyaknya kendaraan parkir pada badan jalan dan
menimbulkan kemacetan, sehingga diperlukan areal parkir tambahan. Perlu dilakukan kajian/ analisa
ulang terhadap kelayakan areal parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan tersebut ditinjau dari segi
kapasitas ruang parkir kendaraan. Pemerintah Kota Malang melalui dinas terkait dapat membuat
kebijakan untuk menghilangkan areal parkir di badan jalan dan merencanakan gedung parkir bertingkat di
belakang pusat perbelanjaan tersebut guna mengatasi masalah kemacetan yang terjadi. Data primer dalam penelitian ini berupa data volume kendaraan parkir yang diperoleh melalui
survey di lokasi penelitian. Data sekunder berupa data kapasitas parkir, tarif parkir, penelitian terdahulu,
peraturan daerah tentang pengelolaan parkir dan daftar harga satuan pekerjaan konstruksi. Alternatif
gedung parkir bertingkat yang direncanakan terdiri dari dua alternatif, yaitu konstruksi beton bertulang
dan baja profil WF. Metode yang digunakan dalam analisa kelayakan finansial ini adalah Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Break Event Point (BEP).
Dari hasil analisa menunjukkan bahwa kebutuhan parkir di MOG sangat tinggi dan melebihi
kapasitas parkir yang ada dengan pertumbuhan kendaraan parkir 2,4 % per tahun, untuk itu perlu
direncanakan gedung parkir bertingkat sebagai areal parkir tambahan. Dari perhitungan NPV didapat nilai
NPV = Rp.3.261.862.492,38 untuk gedung alternatif A (beton bertulang) dan nilai NPV =
Rp.130.870.974,89 untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Keduanya bernilai positif, maka
pembangunan gedung parkir layak untuk dilaksanakan. Dari perhitungan IRR didapat nilai IRR =
20,607% untuk gedung alternatif A dan IRR = 12,268% untuk gedung alternatif B. Nilai IRR kedua
alternatif gedung parkir tersebut bernilai > 12% (tingkat suku bunga), maka pembangunan gedung parkir
bertingkat layak untuk dilaksanakan. Dari analisa BEP diperoleh waktu pencapaian BEP gedung alternatif
A pada tahun ke-6,5 (6 tahun 6 bulan) dan gedung parkir B pada tahun ke-9,83 (9 tahun 10 bulan).
Kata kunci : kelayakan finansial, gedung parkir, pusat perbelanjaan
1. LATAR BELAKANG
Masalah parkir dan kemacetan saat ini merupakan masalah yang biasa terjadi di
Kota Malang, terutama di pusat-pusat perbelanjaan. Titik kemacetan sering terjadi pada
jalan di sekitar Mall Olympic Garden (MOG). Areal parkir yang disediakan oleh pusat
perbelanjaan tersebut tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang parkir,
terutama pada saat jam-jam sibuk. Akibatnya, badan jalan di sekitar Mall Olympic
Garden dijadikan areal parkir tambahan, sehingga sering terjadi kemacetan.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 184
Dengan kondisi pertumbuhan jumlah kendaraan di Kota Malang yang cukup tinggi,
maka perlu dilakukan kajian/ analisa ulang terhadap kelayakan areal parkir yang
disediakan oleh pusat perbelanjaan tersebut ditinjau dari segi kapasitas ruang parkir
kendaraan. Perencanaan gedung parkir bertingkat tersebut harus memperhitungkan
jumlah kebutuhan untuk kendaraan yang parkir di sekitar pusat perbelanjaan di masa
sekarang dan prediksi di masa yang akan datang. Dengan demikian Pemerintah Kota
Malang melalui dinas terkait dapat membuat kebijakan untuk menghilangkan areal
parkir di badan jalan sekitar pusat perbelanjaan dan merencanakan gedung parkir
bertingkat di belakang pusat perbelanjaan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kebutuhan masyarakat
akan areal parkir di Mall Olympic Garden (MOG) jika ditinjau dari segi kapasitas ruang
parkir kendaraan dan mengetahui layak atau tidaknya pembangunan gedung parkir
bertingkat untuk dilaksanakan di Mall Olympic Garden (MOG).
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Analisa Kelayakan Rencana Investasi
Investasi berasal dari kata investment yang mempunyai arti menanamkan uang atau
modal dalam bidang industri atau bidang lainnya. Pada dasarnya investasi merupakan
usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik proyek
baru ataupun perluasan proyek yang telah ada.
Analisa kelayakan rencana investasi pada suatu proyek dilakukan dalam 2 tahap
yaitu evaluasi pendahuluan dan studi kelayakan proyek. Evaluasi pendahuluan bertujuan
untuk mengetahui apakah ada faktor yang dapat menghambat jalannya pembangunan
suatu proyek yang kemungkinan besar tidak dapat diatasi, sedangkan studi kelayakan
bertujuan untuk menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang disajikan pada akhir
studi yang merupakan dasar pertimbangan (secara komersial, teknis, ekonomis dan
sosial) untuk memutuskan apakah investasi itu menguntungkan dan layak untuk
dilaksanakan.
B. Konsep Dasar Ekonomi Teknik
a. Pengertian Ekonomi Teknik
Ekonomi teknik adalah suatu subyek yang mempunyai inti suatu pengambilan
keputusan yang didasarkan pada perbandingan ekuivalensi nilai-nilai uang dari
beberapa alternatif rangkaian kegiatan sehubungan dengan keperluan pembiayaan.
b. Metode Net Present Value (NPV)
Net Present Value atau nilai bersih sekarang adalah nilai yang menunjukkan
ekuivalensinya pada saat ini, yaitu semua uang yang akan diterima ataupun yang akan
dikeluarkan selama umur ekonomis dihitung dalam nilai yang sama. Net Present Value
(NPV) dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (present value) dari selisih antara
hasil proyek dengan modal yang ditanam pada discount rate tertentu. NPV
menunjukkan kelebihan manfaat dibanding biaya.
c. Metode Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) atau laju pengembalian investasi internal adalah suatu
parameter yang digunakan sebagai tolok ukur suatu investasi untuk menentukan
kelayakan dari segi ekonomi. Internal Rate of Return merupakan nilai suku bunga yang
diperoleh jika BCR sama dengan 1 (BCR = 1), atau suku bunga jika NPV bernilai sama
dengan nol (NPV = 0). IRR dihitung atas dasar penerimaan kas bersih dan total nilai
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 185
pinjaman untuk keperluan investasi. Nilai IRR sangat penting diketahui sejauh mana
kemampuan proyek ini dapat dibiayai dengan melihat suku bunga pinjaman yang
berlaku.
d. Metode Break Event Point (BEP)
Break Event Point (BEP) atau analisa titik impas adalah suatu metode yang
digunakan untuk mengetahui seberapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai titik
impas dimana besarnya biaya yang dikeluarkan sama dengan besarnya penerimaan yang
diperoleh.
C. Konsep Dasar Gedung Parkir
a. Pengertian Parkir
Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara. Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian
kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun
waktu, misalnya untuk kegiatan belanja, bekerja, sekolah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
b. Penempatan Fasilitas Parkir
Kegiatan parkir dapat dilakukan pada badan jalan dan di area parkir khusus di luar
badan jalan. Fasilitas parkir pada badan jalan (on-street parking) adalah fasilitas parkir
yang menggunakan tepi jalan. Fasilitas parkir di luar badan jalan (off-street parking)
adalah fasilitas parkir kendaraan di luar tepi jalan umum yang dibuat khusus atau
penunjang kegiatan yang dapat berupa tempat parkir dan/ gedung parkir.
c. Pengertian Gedung Parkir
Menurut Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Tempat Parkir, gedung parkir adalah fasilitas parkir off-street dengan tipe
lahan parkir yang tertutup berupa bangunan, dapat berupa basement atau bertingkat
yang mana tiap lantainya dibuat sedemikian rupa agar dapat dipergunakan untuk parkir
kendaraan.
d. Rancangan Gedung Parkir
1. Kebutuhan Lahan Parkir, sangat dipengaruhi oleh jenis-jenis kegiatan yang
ada pada suatu pusat kegiatan. Semakin banyak orang dan kegiatan yang
dilakukan, semakin banyak juga lahan parkir yang diperlukan.
2. Sistem Perpindahan Antar Lantai, [1] Secara mekanis, dengan menggunakan
lift atau elevator. Sistem ini hanya efektif digunakan bila keterbatasan ruang
adalah tinggi dan lamanya parkir adalah cukup panjang. [2] Dengan
menggunakan ramp atau lantai dengan kemiringan (sloping floor), dapat berupa
jalur belokan memutar yang mendaki (helical ramp) atau jalur lurus yang
mendaki (straight ramp). Tinggi minimal ruang bebas pada lantai gedung parkir
adalah 2,50 meter.
3. Penentuan Satuan Ruang Parkir (SRP), yang dimaksud satuan ruang parkir
adalah tempat parkir untuk satu kendaraan. Penentuan atas satuan ruang parkir
didasarkan pada dimensi kendaraan standar, lebar bukaan pintu kendaraan dan
ruang bebas kendaraan parkir.
4. Penentuan Gang Parkir (Driveway), yang dimaksud dengan gang parkir
adalah jalan yang menghubungkan antara ruang parkir dan ramp, selain itu gang
parkir mempunyai fungsi untuk sirkulasi kendaraan dalam bangunan parkir.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 186
3. METODE PENELITIAN
Garis besar prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data volume kendaraan parkir yang diperoleh melalui survey di lokasi penelitian.
Data sekunder berupa data kapasitas parkir, tarif parkir, penelitian terdahulu, peraturan
daerah tentang pengelolaan parkir dan daftar harga satuan pekerjaan konstruksi. Dari
data tersebut kemudian dilakukan analisa meliputi estimasi kebutuhan parkir,
perencanaan gedung parkir, penghitungan biaya dan evaluasi kelayakan rencana
investasi.
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
A. Perhitungan Estimasi Kebutuhan Parkir
a. Kebutuhan Parkir Saat Ini
Survey kendaraan parkir dilakukan pada satu hari kerja dan satu hari libur sesuai
dengan jam operasi pusat perbelanjaan yaitu mulai pukul 10.00-22.00 WIB pada areal
parkir yang disediakan oleh pusat perbelanjaan dan areal parkir pada badan jalan di
sekitar pusat perbelanjaan. Kebutuhan parkir dihitung dengan cara menjumlahkan
kendaraan parkir maksimum pada saat jam puncak di areal parkir pusat perbelanjaan
dan pada badan jalan. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan parkir mobil saat ini
= 627 + 182 = 809 Satuan Ruang Parkir (SRP).
2. Kebutuhan parkir sepeda motor saat ini
= 358 + 143 = 501 SRP.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 187
b. Prediksi Kebutuhan Parkir Selama 10 Tahun
Pertumbuhan kendaraan parkir di areal parkir MOG bulan dalam 6 bulan terakhir
(Januari-Juni 2012) mencapai 1,2 % (Building Management MOG : 2012). Dari data
tersebut diasumsikan bahwa terdapat penambahan jumlah kendaraan parkir sebesar 2,4
% per tahun atau 24 % per 10 tahun (sesuai umur rencana gedung parkir) dari
kebutuhan parkir saat ini. Kebutuhan parkir selama 10 tahun diperoleh dengan
mengalikan kebutuhan parkir saat ini dengan 124 %. Hasil perhitungannya adalah
sebagai berikut :
1. Kebutuhan parkir mobil selama 10 tahun
= 809 x 124 % = 1003,16 ≈ 1004 SRP.
2. Kebutuhan parkir sepeda motor selama 10 tahun
= 501 x 124 % = 621,24 ≈ 622 SRP.
B. Perencanaan Gedung Parkir
a. Perencanaan Kapasitas Gedung Parkir
Gedung parkir akan dibangun pada areal parkir mobil yang terletak di belakang
Mall Olympic Garden dengan luas efektif 40 m x 75 m dengan umur rencana 10 tahun.
Pembangunan gedung parkir ini akan menghilangkan 162 areal parkir mobil di lokasi
rencana pembangunan gedung parkir tersebut.
Untuk kebutuhan parkir sepeda motor, Mall Olympic Garden saat ini telah memiliki
kapasitas parkir sebanyak 770 SRP, sedangkan kebutuhan parkir sepeda motor selama
10 tahun adalah 622 SRP, dengan demikian kapasitas parkir sepeda motor sudah
mencukupi dan tidak perlu dilakukan penambahan areal parkir sepeda motor.
Untuk kebutuhan parkir mobil, Mall Olympic Garden saat ini telah memiliki
kapasitas parkir mobil sebanyak 630 SRP, namun 162 areal parkir di belakang pusat
perbelanjaan dihilangkan untuk pembangunan gedung parkir, maka kapasitas parkir
yang ada sebanyak 630 – 162 = 468 SRP. Kebutuhan parkir mobil selama 10 tahun
adalah 1004 SRP, dengan demikian kapasitas parkir mobil tidak mencukupi dan perlu
melakukan penambahan areal parkir mobil sebanyak 1004 – 468 = 536 SRP.
b. Perencanaan Desain Gedung Parkir
Direncanakan gedung parkir 6 lantai dengan panjang 72 m dan lebar 33 m (luas
gedung parkir per lantai = 2376 m2). Lantai 1 memiliki kapasitas parkir sebesar 86 SRP,
sedangkan lantai 2 sampai dengan lantai 6 masing-masing lantai memiliki kapasitas
parkir sebesar 90 SRP. Gedung parkir keseluruhan memiliki kapasitas total sebesar 536
SRP.
Berdasarkan tata letaknya, gedung parkir rencana merupakan gedung parkir dengan
jenis lantai terpisah, artinya tiap lantainya memiliki 2 bagian yang memiliki beda tinggi
1,7 m. Sistem perpindahan antar lantai menggunakan straight ramp dengan lebar 4 m
dan panjang 10 m dengan kemiringan 9,65º. Besarnya 1 ruang parkir adalah 2,6 m x 5,0
m dengan gang parkir selebar 6,5 m. Kendaraan direncanakan parkir dengan sudut 90º
terhadap gang parkir. Karena mempunyai kapasitas parkir yang besar, maka dibuat 1
buah pos karcis masuk dan 1 buah pos karcis keluar.
Berdasarkan jenis konstruksinya, direncanakan dua buah alternatif gedung parkir
yaitu konstruksi beton bertulang (alternatif A) dan baja profil WF (alternatif B). Pondasi
yang digunakan untuk kedua alternatif tersebut adalah pondasi bored pile. Perhitungan
analisa struktur gedung parkir menggunakan program bantu STAAD Pro V8i.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 188
C. Perhitungan Estimasi Biaya Gedung Parkir
a. Biaya Pendahuluan
Biaya pendahuluan terdiri dari biaya mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
dan biaya studi, perencanaan (DED) dan pengawasan gedung parkir. Hasil perhitungan
biaya pendahuluan untuk gedung parkir alternatif A (beton bertulang) adalah sebesar
Rp.318.496.000,00 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) adalah sebesar
Rp.422.586.000,00.
b. Biaya Investasi Tetap
1. Biaya Konstruksi
Dari hasil perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan
gedung parkir alternatif A (beton bertulang) diperoleh biaya konstruksi sebesar
Rp.6.656.000.000,00 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) sebesar
Rp.9.630.000.000,00.
2. Biaya Investasi Alat Penunjang
Biaya investasi alat penunjang terdiri dari pos jaga karcis, komputer +
printer, alat bantu parkir, penerangan gedung parkir dan sistem pencegah
kebakaran. Dari hasil perhitungan biaya investasi alat penunjang diperoleh biaya
investasi alat penunjang sebesar Rp.95.000.000,00.
3. Biaya Operasional dan Perawatan
Total biaya operasional adalah sebesar Rp.479.040.000,00 per tahun dan
akan bertambah sebesar 10 % dari biaya operasional tersebut seiring dengan
pertumbuhan jumlah kendaraan yang parkir dan kenaikan upah minimum
pegawai parkir per tahun.
Biaya perawatan rutin per tahun yang terdiri dari perawatan alat-alat
penerangan dan pemadam kebakaran sebesar Rp.9.500.000,00 per tahun. Biaya
perawatan berkala setiap 5 tahun untuk perbaikan struktur adalah sebesar
Rp.133.120.000,00 per 5 tahun untuk konstruksi beton bertulang dan sebesar
Rp.192.600.000,00 per 5 tahun untuk konstruksi baja profil WF.
Dari perhitungan biaya pendahuluan, biaya investasi tetap dan biaya operasional
dan perawatan diperoleh rekapitulasi biaya gedung parkir alternatif A (beton bertulang)
sebesar Rp.16.388.952.356,03 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) sebesar
Rp.19.586.002.356,03. Hasil perhitungan rekapitulasi biaya gedung parkir tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Rekapitulasi Biaya Gedung Parkir per Tahun
NO. TAHUNTAHUN
TINJAUANURAIAN BIAYA
GEDUNG PARKIR
ALTERNATIF A (BETON
BERTULANG)
GEDUNG PARKIR
ALTERNATIF B (BAJA
PROFIL WF)
BIAYA PENDAHULUAN Rp318.496.000,00 Rp422.586.000,00
BIAYA KONSTRUKSI Rp6.656.000.000,00 Rp9.630.000.000,00
BIAYA INVESTASI ALAT PENUNJANG Rp95.000.000,00 Rp95.000.000,00
BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp488.540.000,00 Rp488.540.000,00
2 2013 1 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp537.394.000,00 Rp537.394.000,00
3 2014 2 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp591.133.400,00 Rp591.133.400,00
4 2015 3 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp650.246.740,00 Rp650.246.740,00
5 2016 4 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp715.271.414,00 Rp715.271.414,00
BIAYA PERAWATAN BERKALA UNTUK STRUKTUR Rp133.120.000,00 Rp192.600.000,00
BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp786.798.555,40 Rp786.798.555,40
7 2018 6 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp865.478.410,94 Rp865.478.410,94
8 2019 7 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp952.026.252,03 Rp952.026.252,03
9 2020 8 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.047.228.877,24 Rp1.047.228.877,24
10 2021 9 BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.151.951.764,96 Rp1.151.951.764,96
BIAYA PERAWATAN BERKALA UNTUK STRUKTUR Rp133.120.000,00 Rp192.600.000,00
BIAYA OPERASIONAL DAN PERAWATAN ALAT PENUNJANG Rp1.267.146.941,46 Rp1.267.146.941,46
Rp16.388.952.356,03 Rp19.586.002.356,03
1 02012
JUMLAH BIAYA
520176
10202211
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 189
D. Pendapatan Gedung Parkir
Pendapatan gedung parkir diperoleh dari tarif parkir yang dikenakan kepada
pengguna jasa parkir dikurangi dengan pajak pendapatan parkir sebesar 25 % yang
dibayarkan kepada Pemerintah Kota Malang. Tarif parkir saat ini sebesar Rp.3.500,00
dan akan mengalami kenaikan tarif sebesar Rp.500,00 per 2 tahun, sedangkan
pertumbuhan kendaraan sebesar 2,4 % per tahun. Hasil perhitungan estimasi pendapatan
gedung parkir selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 : Estimasi Pendapatan Gedung Parkir
E. Evaluasi Kelayakan Rencana Investasi
a. Metode Net Present Value (NPV)
Dari hasil perhitungan analisa kelayakan dengan menggunakan metode NPV untuk
gedung parkir alternatif A (beton bertulang) mendapatkan nilai NPV sebesar
Rp.3.261.862.492,38 dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) mendapatkan nilai
NPV sebesar Rp.130.870.974,89. Hasil perhitungan analisa kelayakan dengan metode
NPV untuk masing-masing alternatif gedung parkir dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Nilai NPV dari kedua alternatif gedung parkir tersebut bernilai positif, maka
keduanya dinyatakan layak untuk dilaksanakan. Gedung parkir dengan alternatif A
(beton bertulang) memiliki nilai NPV yang lebih besar daripada gedung parkir alternatif
B (baja profil WF), dengan demikian investasi gedung parkir menggunakan konstruksi
beton bertulang memiliki keuntungan investasi yang lebih besar daripada menggunakan
jenis konstruksi baja profil WF.
Tabel 3 : Net Present Value Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang)
No. Tahun Tarif ParkirPrediksi Jumlah
Kendaraan Per Hari
Jumlah Hari per
Tahun
Pendapatan Parkir
Sebelum Pajak
Pendapatan Parkir
Setelah Pajak
0 2012 Rp3.500,00 2057 - -
1 2013 Rp3.500,00 2106,37 365 Rp2.690.885.120,00 Rp2.018.163.840,00
2 2014 Rp3.500,00 2156,92 365 Rp2.755.466.362,88 Rp2.066.599.772,16
3 2015 Rp4.000,00 2208,69 365 Rp3.224.682.920,67 Rp2.418.512.190,50
4 2016 Rp4.000,00 2261,70 365 Rp3.302.075.310,77 Rp2.476.556.483,08
5 2017 Rp4.500,00 2315,98 365 Rp3.803.990.758,01 Rp2.852.993.068,50
6 2018 Rp4.500,00 2371,56 365 Rp3.895.286.536,20 Rp2.921.464.902,15
7 2019 Rp5.000,00 2428,48 365 Rp4.431.970.458,96 Rp3.323.977.844,22
8 2020 Rp5.000,00 2486,76 365 Rp4.538.337.749,98 Rp3.403.753.312,48
9 2021 Rp5.500,00 2546,44 365 Rp5.111.983.641,58 Rp3.833.987.731,18
10 2022 Rp5.500,00 2607,56 365 Rp5.234.671.248,97 Rp3.926.003.436,73
Rp38.989.350.108,02 Rp29.242.012.581,02
Keterangan :
Tarif Saat Ini Rp3.500,00
Kenaikan Tarif Rp500,00 per 2tahun
Pertumbuhan
Kendaraan2,40% per tahun
Pajak
Pendapatan
Parkir
25,00% per tahun
JUMLAH PENDAPATAN SELAMA UMUR RENCANA
2012 0 12 1,0000 - - Rp7.558.036.000,00 Rp7.558.036.000,00
2013 1 12 0,8929 Rp2.018.163.840,00 Rp1.801.932.000,00 Rp537.394.000,00 Rp479.816.071,43
2014 2 12 0,7972 Rp2.066.599.772,16 Rp1.647.480.685,71 Rp591.133.400,00 Rp471.247.927,30
2015 3 12 0,7118 Rp2.418.512.190,50 Rp1.721.449.206,30 Rp650.246.740,00 Rp462.832.785,74
2016 4 12 0,6355 Rp2.476.556.483,08 Rp1.573.896.417,19 Rp715.271.414,00 Rp454.567.914,56
2017 5 12 0,5674 Rp2.852.993.068,50 Rp1.618.864.886,25 Rp919.918.555,40 Rp521.986.493,41
2018 6 12 0,5066 Rp2.921.464.902,15 Rp1.480.105.038,86 Rp865.478.410,94 Rp438.478.297,69
2019 7 12 0,4523 Rp3.323.977.844,22 Rp1.503.598.769,63 Rp952.026.252,03 Rp430.648.328,09
2020 8 12 0,4039 Rp3.403.753.312,48 Rp1.374.718.875,09 Rp1.047.228.877,24 Rp422.958.179,37
2021 9 12 0,3606 Rp3.833.987.731,18 Rp1.382.574.411,52 Rp1.151.951.764,96 Rp415.405.354,74
2022 10 12 0,3220 Rp3.926.003.436,73 Rp1.264.068.033,39 Rp1.400.266.941,46 Rp450.848.479,23
Rp29.242.012.581,02 Rp15.368.688.323,94 Rp16.388.952.356,03 Rp12.106.825.831,55
NPV (A) = PRESENT WORTH BENEFIT — PRESENT WORTH COST
= Rp3.261.862.492,38
TOTAL
PRESENT WORTH
BENEFIT
BIAYA INVESTASI
(COST)
PRESENT WORTH
COSTTAHUN n
DISC RATE
(%)P/F FACT
KEUNTUNGAN
(BENEFIT)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 190
Tabel 4 : Net Present Value Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF)
b. Metode Internal Rate of Return (IRR)
Dari hasil perhitungan analisa kelayakan dengan menggunakan metode IRR,
gedung parkir harus mempunyai nilai IRR diatas tingkat suku bunga (IRR > 12%) untuk
dapat dikatakan layak. Gedung parkir alternatif A (beton bertulang) mendapatkan nilai
IRR = 20,6065422 % dan gedung parkir alternatif B (baja profil WF) mempunyai nilai
IRR = 12,2676785 %, maka kedua gedung parkir tersebut layak untuk dilaksanakan.
Hasil perhitungan analisa kelayakan dengan metode IRR untuk masing-masing
alternatif gedung parkir dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5 : Internal Rate of Return Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang)
Tabel 6 : Internal Rate of Return Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF)
2012 0 12 1,0000 - - Rp10.636.126.000,00 Rp10.636.126.000,00
2013 1 12 0,8929 Rp2.018.163.840,00 Rp1.801.932.000,00 Rp537.394.000,00 Rp479.816.071,43
2014 2 12 0,7972 Rp2.066.599.772,16 Rp1.647.480.685,71 Rp591.133.400,00 Rp471.247.927,30
2015 3 12 0,7118 Rp2.418.512.190,50 Rp1.721.449.206,30 Rp650.246.740,00 Rp462.832.785,74
2016 4 12 0,6355 Rp2.476.556.483,08 Rp1.573.896.417,19 Rp715.271.414,00 Rp454.567.914,56
2017 5 12 0,5674 Rp2.852.993.068,50 Rp1.618.864.886,25 Rp979.398.555,40 Rp555.737.042,79
2018 6 12 0,5066 Rp2.921.464.902,15 Rp1.480.105.038,86 Rp865.478.410,94 Rp438.478.297,69
2019 7 12 0,4523 Rp3.323.977.844,22 Rp1.503.598.769,63 Rp952.026.252,03 Rp430.648.328,09
2020 8 12 0,4039 Rp3.403.753.312,48 Rp1.374.718.875,09 Rp1.047.228.877,24 Rp422.958.179,37
2021 9 12 0,3606 Rp3.833.987.731,18 Rp1.382.574.411,52 Rp1.151.951.764,96 Rp415.405.354,74
2022 10 12 0,3220 Rp3.926.003.436,73 Rp1.264.068.033,39 Rp1.459.746.941,46 Rp469.999.447,34
Rp29.242.012.581,02 Rp15.368.688.323,94 Rp19.586.002.356,03 Rp15.237.817.349,04
NPV (B) = PRESENT WORTH BENEFIT — PRESENT WORTH COST
=
PRESENT WORTH
COST
PRESENT WORTH
BENEFIT
BIAYA INVESTASI
(COST)
Rp130.870.974,89
Tahun nDISC RATE
(%)P/F FACT
KEUNTUNGAN
(BENEFIT)
TOTAL
2012 0 20,6065422 1,0000 - - Rp7.558.036.000,00 Rp7.558.036.000,00
2013 1 20,6065422 0,8291 Rp2.018.163.840,00 Rp1.673.345.245,78 Rp537.394.000,00 Rp445.576.160,46
2014 2 20,6065422 0,6875 Rp2.066.599.772,16 Rp1.420.740.119,42 Rp591.133.400,00 Rp406.390.704,49
2015 3 20,6065422 0,5700 Rp2.418.512.190,50 Rp1.378.591.770,51 Rp650.246.740,00 Rp370.651.348,41
2016 4 20,6065422 0,4726 Rp2.476.556.483,08 Rp1.170.482.087,66 Rp715.271.414,00 Rp338.055.030,70
2017 5 20,6065422 0,3919 Rp2.852.993.068,50 Rp1.118.011.793,05 Rp919.918.555,40 Rp360.491.515,01
2018 6 20,6065422 0,3249 Rp2.921.464.902,15 Rp949.238.785,23 Rp865.478.410,94 Rp281.210.181,52
2019 7 20,6065422 0,2694 Rp3.323.977.844,22 Rp895.492.712,03 Rp952.026.252,03 Rp256.479.618,79
2020 8 20,6065422 0,2234 Rp3.403.753.312,48 Rp760.310.776,18 Rp1.047.228.877,24 Rp233.923.944,36
2021 9 20,6065422 0,1852 Rp3.833.987.731,18 Rp710.089.222,91 Rp1.151.951.764,96 Rp213.351.891,29
2022 10 20,6065422 0,1536 Rp3.926.003.436,73 Rp602.895.457,41 Rp1.400.266.941,46 Rp215.031.543,34
Rp29.242.012.581,02 Rp10.679.198.000,00 Rp16.388.952.356,03 Rp10.679.198.000,00
NPV Rp0,00
JUMLAH
Tahun nDISC RATE
(%)P/F FACT
KEUNTUNGAN
(BENEFIT)
PRESENT WORTH
(BENEFIT)BIAYA INVESTASI(Rp)
PRESENT WORTH
(COST)
2012 0 12,2676785 1,0000 - - Rp10.636.126.000,00 Rp10.636.126.000,00
2013 1 12,2676785 0,8907 Rp2.018.163.840,00 Rp1.797.635.674,81 Rp537.394.000,00 Rp478.672.051,64
2014 2 12,2676785 0,7934 Rp2.066.599.772,16 Rp1.639.633.913,88 Rp591.133.400,00 Rp469.003.424,52
2015 3 12,2676785 0,7067 Rp2.418.512.190,50 Rp1.709.165.248,37 Rp650.246.740,00 Rp459.530.092,61
2016 4 12,2676785 0,6295 Rp2.476.556.483,08 Rp1.558.939.525,35 Rp715.271.414,00 Rp450.248.111,14
2017 5 12,2676785 0,5607 Rp2.852.993.068,50 Rp1.599.657.494,65 Rp979.398.555,40 Rp549.143.373,92
2018 6 12,2676785 0,4994 Rp2.921.464.902,15 Rp1.459.056.868,74 Rp865.478.410,94 Rp432.242.817,40
2019 7 12,2676785 0,4449 Rp3.323.977.844,22 Rp1.478.682.470,27 Rp952.026.252,03 Rp423.512.007,63
2020 8 12,2676785 0,3962 Rp3.403.753.312,48 Rp1.348.714.848,11 Rp1.047.228.877,24 Rp414.957.550,22
2021 9 12,2676785 0,3529 Rp3.833.987.731,18 Rp1.353.187.689,65 Rp1.151.951.764,96 Rp406.575.883,05
2022 10 12,2676785 0,3144 Rp3.926.003.436,73 Rp1.234.250.331,63 Rp1.459.746.941,46 Rp458.912.778,76
Rp29.242.012.581,02 Rp15.178.924.100,00 Rp19.586.002.356,03 Rp15.178.924.100,00
NPV Rp0,00
JUMLAH
BIAYA INVESTASI(Rp)PRESENT WORTH
(COST)Tahun n
DISC RATE
(%)P/F FACT
KEUNTUNGAN
(BENEFIT)
PRESENT WORTH
(BENEFIT)
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 191
c. Metode Break Event Point (BEP)
Dari hasil analisa kelayakan dengan menggunakan metode BEP, waktu pencapaian
BEP untuk gedung parkir alternatif A (beton bertulang) adalah pada tahun ke-6,5 (6
tahun 6 bulan) dan untuk gedung parkir alternatif B (baja profil WF) adalah pada tahun
ke-9,83 (9 tahun 10 bulan). Hasil analisa metode BEP dapat dilihat pada Gambar 2 dan
3.
Gambar 2. Break Event Point Gedung Parkir Alternatif A (Beton Bertulang)
Gambar 3. Break Event Point Gedung Parkir Alternatif B (Baja Profil WF)
5. KESIMPULAN
1. Kebutuhan lahan parkir di Mall Olympic Garden saat ini sangat tinggi dan melebihi
kapasitas parkir yang ada. Pertumbuhan kendaraan parkir di Mall Olympic Garden
mencapai 2,4 % per tahun. Untuk itu, perlu dilakukan penambahan areal parkir.
2. Dari analisa menggunakan metode Net Present Value (NPV) didapat nilai NPV =
Rp.3.261.862.492,38 untuk gedung alternatif A (beton bertulang) dan nilai NPV =
Rp.130.870.974,89 untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Dari hasil
perhitungan NPV kedua alternatif gedung parkir diatas memiliki nilai yang positif,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 192
maka pembangunan gedung parkir bertingkat di Mall Olympic Garden (MOG)
layak untuk dilaksanakan. Dari analisa menggunakan metode Internal Rate of
Return (IRR) didapat nilai IRR = 20,607 % untuk gedung alternatif A (beton
bertulang) dan IRR = 12,268 % untuk gedung alternatif B (baja profil WF). Nilai
pembangunan kedua alternatif gedung parkir tersebut bernilai > dari tingkat suku
bunga (12 %), maka pembangunan gedung parkir bertingkat di Mall Olympic
Garden (MOG) layak untuk dilaksanakan. Dari analisa menggunakan metode Break
Event Point (BEP), gedung parkir alternatif A (beton bertulang) memiliki waktu
pencapaian BEP pada tahun ke-6,5 (6 tahun 6 bulan) dan gedung parkir alternatif B
(baja profil WF) memiliki waktu pencapaian BEP pada tahun ke-9,83 (9 tahun 10
bulan).
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Abubakar, I (1998) Pedoman perencanaan dan pengoperasian fasilitas parkir.
Jakarta: Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat.
2. Giatman, M (2006) Ekonomi teknik. Jakarta: Rajawali Press.
3. Kasuma, I.G. Narendra (2011) Analisis kelayakan finansial rencana pembangunan
gedung parkir bertingkat di pasar Lokitasari, Tesis Program Pascasarjana, Program
Studi Teknik Sipil, Universitas Udayana Denpasar.
4. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : 272/ HK.105/ DRJD/ 96
Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir.
5. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Tempat
Parkir.
6. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Retribusi Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB).
7. Pujawan, I Nyoman (1995) Ekonomi teknik. Jakarta: Guna Widya.
8. Setiawan, Rudy (2005) Studi kelayakan pembangunan gedung parkir dan analisis
‘willingness to pay’ : studi kasus Universitas Kristen Petra, Jurnal Teknik Sipil,
Universitas Kristen Petra Surabaya.
9. Supriyatna, Yatna (2011) Estimasi biaya pemeliharaan bangunan gedung, Majalah
Ilmiah, Universitas Komputer Indonesia Bandung.
10. Sutojo, Siswanto (1996) Studi kelayakan proyek : teori & praktek.
Jakarta: PT. Pustaka Binaman Presindo.
11. Valentino, Wendra (2003) Studi kelayakan bangunan parkir bertingkat
untuk kampus dalam kota, Skripsi, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik
Parahyangan Bandung.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 193
INDEKS PENGARUH PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM
KEBERHASILAN PROYEK APARTEMEN DI SURABAYA
Herry Pintardi Chandraiii
dan I Putu Artama Wiguna2
1Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-
5946094, Jurusan Teknik Sipil UK. Petra Surabaya, email: herpin@peter.petra.ac.id 2Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email:
artama@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Pemangku kepentingan mempunyai dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi yang dapat
mempengaruhi keluaran proyek. Dominasi pemangku kepentingan ini disebabkan oleh adanya kekuasaan,
legitimasi, urgensi, kedekatan, dan pengetahuan pemangku kepentingan. Sikap pemangku kepentingan
dapat dibedakan dari aktif beroposisi hingga aktif mendukung tujuan proyek. Besarnya pengaruh yang
disebabkan oleh dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi pemangku kepentingan ini dapat dinyatakan
dalam suatu Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
besarnya Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan pada proyek apartemen di Surabaya. Data
dikumpulkan dari jawaban kuesioner terhadap 9 proyek apartemen di Surabaya dengan total responden
sebanyak 18 orang yang terdiri dari 9 orang mewakili pemilik apartemen, dan 9 orang mewakili
kontraktor apartemen. Teknik analisis yang dilakukan adalah menghitung besarnya Stakeholder Impact I,
Stakeholder Vested Interest-Impact Index , dan Stakeholder Influence Index . Makin besar angka
Stakeholder Influence Index makin besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proyek.Menurut pemilik
apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari pemilik, disusul
kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat dengan angka indeks masing-masing
sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07. Kontraktor berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh
Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan terkecil
berasal dari pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23.
Kata kunci: indeks pengaruh, pemangku kepentingan, apartemen.
1. Pendahuluan
Pembangunan apartemen di Surabaya dalam beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan kemajuan yang pesat. Keberhasilan pelaksanaan proyek apartemen
senantiasa dipengaruhi oleh pemangku kepentingan terkait. Pemangku kepentingan
merupakan individu atau organisasi yang aktif terlibat dalam proyek, berkepentingan
terhadap proyek yang bisa memberikan pengaruh positif atau negatif dalam eksekusi,
penyelesaian atau keluaran proyek. Pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi [1], memberikan masukan dan manfaat dalam
membuat keputusan [2], dan mempunyai kepentingan pribadi terhadap keberhasilan
proyek [3]. Dilain pihak, pemangku kepentingan mempunyai legitimasi terhadap klaim
dari aspek substansi proyek [4]. Pemangku kepentingan berfungsi sebagai pengontrol,
pelaksana, penghambat, dan penasehat [5]. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
keberhasilan proyek merupakan keberhasilan dalam mengelola perbedaan demi
perbedaan dari pemangku kepentingan yang ada dalam proyek [6]. Hal senada juga
menjelaskan bahwa pemangku kepentingan mempunyai perbedaan kepentingan pribadi
dan seringkali persepsi keberhasilan proyek tidak sejalan dengan berbagai kepentingan
pemangku kepentingan [7]. Perbedaan kepentingan dan harapan pemangku kepentingan
ini akan mempengaruhi sikap pemangku kepentingan terhadap tujuan organisasi. Sikap
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 194
pemangku kepentingan dapat dibedakan dari aktif beroposisi hingga aktif mendukung
tujuan proyek. Pemangku kepentingan adalah sumber utama ketidakpastian dalam
proyek. Ward dan Chapman [8] memperkenalkan konsep yang berkaitan dengan bentuk,
manfaat, dan ketidakpastian pemangku kepentingan. Pendekatan yang dipakai untuk
mengklasifikasi pemangku kepentingan adalah kekuasaan, legitimasi, dan urgensi [9],
posisi terhadap proyek [3], indeks dampak- kepentingan pribadi [10], dan indeks
dampak pemangku kepentingan eksternal [11].
Bertolak dari uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa pemangku kepentingan
mempunyai dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi
keluaran proyek. Untuk memperhitungkan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh
pemangku kepentingan selama pembangunan proyek apartemen tersebut, maka perlu
mengetahui sejauh mana pengaruh pemangku kepentingan terkait. Oleh karena itu
diperlukan suatu indeks yang dapat memberikan gambaran yang terkait dengan
dominasi, sikap, dan kepentingan pribadi dari pemangku kepentingan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya indeks pengaruh pemangku
kepentingan yang dapat mempengaruhi keberhasilan proyek.
Dominasi Pemangku Kepentingan
Dominasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Impact I) adalah penguasaan
yang ditimbulkan oleh individu atau organisasi yang terlibat dalam proyek atau yang
kepentingannya dapat mempengaruhi keberhasilan proyek. Dominasi yang ditimbulkan
oleh pemangku kepentingan terhadap suksesnya proyek disebabkan oleh Kekuasaan
(Power P), Legitimasi (Legitimate L), Urgensi (Urgency U), Kedekatan (Proximity D),
dan Pengetahuan (Knowledge K) [12]. Bourne dan Walker [10] menyampaikan
hubungan antara kepentingan-dominasi dan konsep yang diturunkan dari penilaian
risiko dengan menganalisis probabilitas-dominasi.
Kekuasaan merupakan kemampuan individu yang dapat mempengaruhi individu
lainnya sehingga dapat menanggapi perintah yang diberikannya [13]. Kekuasaan ini
akan meningkat jika kemampuannya untuk memobilisasi dan menarik kembali terhadap
masa dan kekuatan politik yang dimiliki sama besarnya [14]. Legitimasi merupakan
syarat mutlak untuk suksesnya transaksi dengan pemangku kepentingan [1], yang
timbul karena adanya posisi, kewenangan resmi, budaya masyarakat, kontraktual, legal,
dan kebenaran moral [12]. Urgensi merupakan tingkat dimana tuntutan atau klaim dari
pemangku kepentingan meminta perhatian dengan segera, sensitif terhadap waktu, dan
bersifat kritis [9]. Kedekatan pemangku kepentingan berkaitan dengan keberadaan dan
hubungannya dengan proyek [12]. Pengetahuan merupakan sesuatu yang melekat pada
pemikiran, dialektika, dan hirarkhi yang dibedakan atas priori knowledge dan posteriori
knowledge [15].
Sikap Pemangku Kepentingan
Sikap (Attitude ) adalah kecenderungan untuk bereaksi pada situasi, orang,
atau konsep dengan respon utama yang bisa bersifat positif atau negatif [13]. Ada 5
tingkatan sikap dari pemangku kepentingan, yaitu aktif beroposisi, pasif beroposisi,
tidak berkomitmen, pasif mendukung, dan aktif mendukung terhadap keberhasilan
proyek [3]. Sikap pemangku kepentingan didasarkan dari kepercayaan dan nilai yang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 195
dipegangnya, dan mempengaruhi perilakunya dalam bentuk tindakan dan pertimbangan
terhadap pelaksanaan proyek itu.
Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan
Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest V}
merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan proyek [16]. Perbedaan klaim, hak,
dan harapan pemangku kepentingan dapat mempengaruhi proses organisasi dan dalam
kasus yang ekstrim dapat menampakkan ancaman bagi proyek [1]. Pemangku
kepentingan biasanya melihat kepentingan pribadi dalam isu strategis. Cleland dan
Ireland [4] mengidentifikasi kepentingan pribadi pemangku kepentingan berdasarkan
variabel Misi yang Relevan (Mission Relevancy MR) , Kepentingan Ekonomi
(Economic Interest EI), Hak Hukum (Legal Right LR), Dukungan Politik (Political
Support PS), Kesehatan dan Keselamatan ( Health and Safety HS), Gaya Hidup
(Lifestyle LS), Tantangan (Opportunism O ), dan Kelangsungan Hidup (Survival S).
Stakeholder Influence Index Nguyen et al. [12] merekomendasikan formula Indeks Dominasi-Kepentingan
Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest-Impact Index ) yang
merupakan gabungan dari variabel Dampak Pemangku Kepentingan (Stakeholder
Impact I) dan Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest
V). Untuk menggabungkan Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku
Kepentingan ( ) dengan Sikap Pemangku Kepentingan ( ) dipakai Indeks
Pengaruh Pemangku Kepentingan (Stakeholder Influence Index . Makin besar
angka Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan, makin besar pengaruh pemangku
kepentingan tersebut dalam keberhasilan proyek.
2. Metode
Sampel dari penelitian ini adalah 9 proyek apartemen di Surabaya dengan total
responden sebanyak 18 orang yang terdiri dari 9 orang mewakili pemilik apartemen,
dan 9 orang mewakili kontraktor apartemen. Penelitian dilakukan pada saat pelaksanaan
proyek apartemen berlangsung. Data [17] di analisis dengan menggunakan formula
Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan (Stakeholder Influence Index ) [12].
Tahapan analisis yang dilakukan adalah: (1) menghitung dominasi pemangku
kepentingan (Stakeholder Impact I ), (2) menghitung Indeks Dominasi-Kepentingan
Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Vested Interest-Impact Index ), dan (3)
menghitung Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan ( Stakeholder Influence
Index ). Untuk lengkapnya dapat dilihat formula berikut:
Stakeholder Impact I = P+L+U+D+K ...........................................................................(1)
Stakeholder Vested Interest-Impact Index √
........................................................(2)
Stakeholder Influence Index = * ..................................................................(3)
Angka indeks mencerminkan besarnya pengaruh pemangku kepentingan dalam
keberhasilan proyek, makin tinggi angka indeks makin besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan proyek.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 196
3. Hasil dan Pembahasan
1. Dominasi Pemangku Kepentingan (I)
Analisis Dominasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Impact I) merupakan
analisis jumlah dari dominasi pemangku kepentingan yang disebabkan adanya Power
(P), Legitimate (L), Urgency (U), Proximity (D), dan Knowledge (K). Skala pengukuran
Power (P) adalah 1,00 = sangat rendah; 2,00 = rendah; 3,00 = tinggi; 4,00 = sangat
tinggi. Skala pengukuran Legitimate (L) adalah 0 = tidak berhubungan langsung dengan
proyek hingga 3,00 = berhubungan dalam bentuk kontraktual dengan proyek. Skala
pengukuran Urgency (U) adalah 0 = tidak membutuhkan tindakan segera hingga 3,00 =
membutuhkan tindakan segera. Skala pengukuran Proximity (D) adalah 0 = tidak
terlibat langsung dalam proyek hingga 3,00 = terlibat penuh dalam proyek. Skala
pengukuran Knowledge (K) adalah 0 = tidak mau mengetahui hingga 3,00 = mengetahui
penuh.
Tabel 1 menunjukkan hasil Dominasi Pemangku Kepentingan (I) versi pemilik.
Menurut pemilik apartemen, dominasi terbesar dari pemangku kepentingan berasal dari
pemilik bangunan itu sendiri yang disebabkan oleh kekuasaan yang dimiliki dalam
mempengaruhi keluaran proyek. Sebaliknya, dominasi pemangku kepentingan terkecil
berasal dari konsumen yang disebabkan oleh rendahnya legitimasi yang dimilikinya.
Legitimasi konsumen paling rendah jika dibandingkan dengan kekuasaan, urgensi,
kedekatan, dan pengetahuan konsumen tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap
dominasi pemangku kepentingan.
Tabel 1. Dominasi Pemangku Kepentingan (I) Versi Pemilik No Pemangku.
Kepentingan Power
(P) Legitimate
(L) Urgency
(U) Proximity
(D) Knowledge
(K) Impact (I) I = P+L+U+D+K
1 Pemilik 4,00 3,00 2,89 2,44 3,78 16,11 2 Kontraktor 2,78 2,44 2,33 3,00 4,78 15,33 3 Subkontaktor 1,33 0,89 1,00 1,89 2,78 7,89 4 Perencana 2,11 1,56 1,33 1,33 3,22 9,55 5 Pengawas 3,11 2,22 2,11 2,89 4,11 14,44 6 Konsumen 1,78 0,44 0,78 0,56 0,67 4,23 7 Pemerintah 1,67 1,00 1,33 1,00 1,89 6,89 8 Masyarakat 0,78 0,22 1,67 1,11 0,89 4,67 Sumber:Olahan peneliti
Kontraktor mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemilik apartemen dalam
menilai dominasi pemangku kepentingan. Menurut kontraktor, dominasi pemangku
kepentingan terbesar berasal dari kontraktor yang mengerjakan apartemen itu yang
disebabkan karena pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, dominasi pemangku
kepentingan terkecil berasal dari masyarakat yang disebabkan oleh rendahnya legitimasi
yang dimilikinya. Tabel 2 menunjukkan besarnya Dominasi Pemangku Kepentingan
versi kontraktor.
Tabel 2. Dominasi Pemangku Kepentingan (I) Versi Kontraktor No Pemangku.
Kepentingan Power
(P) Legitimate
(L) Urgency
(U) Proximity
(D) Knowledge
(K) Impact (I) I = P+L+U+D+K
1 Pemilik 4,00 3,00 2,89 2,00 3,33 15,22 2 Kontraktor 3,00 2,33 2,44 3,00 4,78 15,55 3 Subkontraktor 1,78 1,67 1,56 2,22 2,89 10,12 4 Perencana 2,56 2,22 1,78 1,78 3,56 11,90 5 Pengawas 2,78 2,33 2,33 2,67 4,00 14,11 6 Konsumen 2,00 1,33 1,67 1,22 1,89 8,11 7 Pemerintah 2,22 1,33 1,56 0,78 2,00 7,89
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 197
8 Masyarakat 1,22 0,56 1,67 0,78 1,33 5,56 Sumber:Olahan peneliti
2. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (V)
Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat pengaruh
kepentingan pribadi setiap pemangku kepentingan adalah 1,00 = sangat tidak
berpengaruh; 2,00 = tidak berpengaruh; 3,00 = netral; 4,00 = berpengaruh; dan 5,00 =
sangat berpengaruh. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan besarnya tingkat pengaruh
kepentingan pribadi dari setiap pemangku kepentingan berdasarkan versi pemilik dan
versi kontraktor.
Tabel 3. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (I) Versi Pemilik No Pemangku
Kepentingan MR EI LR PS H S LS O S Rata-
rata V
1 Pemilik 5,00 5,00 4,89 4,00 3,44 4,11 4,67 4,78 4,49 2 Kontraktor 4,00 4,56 4,00 3,56 4,56 2,78 4,67 3,67 3,98 3 Subkontraktor 2,89 3,56 2,67 2,33 3,44 1,89 3,22 2,33 2,79 4 Perencana 3,44 3,56 3,33 2,56 2,44 3,44 3,56 3,33 3,21 5 Pengawas 3,56 3,67 3,44 3,33 3,44 2,00 4,22 3,00 3,33 6 Konsumen 3,11 3,67 2,56 2,22 2,22 3,67 2,33 2,78 2,82 7 Pemerintah 2,11 2,56 3,78 3,44 3,22 2,11 3,11 2,67 2,92 8 Masyarakat 1,67 2,22 1,89 2,44 2,78 1,67 2,22 1,67 2,07 Sumber:Olahan peneliti
Keterangan: MR = Mission Relevancy; EI = Economic Interest; LR = Legal Right; PS = Poltical Support; HS = Health and Safety; LS = Lifestyle; O = Opportunism; S = Survial;
V = (MR+EI+LR+PS+HS+LS+O+S ):6 .
Menurut versi pemilik apartemen dan kontraktor, kepentingan pribadi pemilik
mempunyai nilai rata-rata tingkat pengaruh terbesar jika dibandingkan dengan
pemangku kepentingan lainnya. Pemilik apartemen berpendapat bahwa kontribusi
terbesar dalam memberikan tingkat pengaruh kepentingan pribadi pemilik berdasarkan
misi yang relevan dan kepentingan ekonomi dengan nilai mean masing-masing sebesar
5,00 (sangat berpengaruh). Kontraktor berpendapat sama dengan pemilik apartemen
yang mengisyaratkan bahwa nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi
pemilik disebabkan oleh misi yang relevan dan kepentingan ekonomi dari pemilik
tersebut dengan nilai mean masing-masing sebesar 4,89.
Pemilik apartemen dan kontraktor berpandangan sama yang menunjukkan
bahwa nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi masyarakat paling kecil
dibandingkan dengan tingkat pengaruh kepentingan pribadi pemangku kepentingan
lainnya. Besarnya nilai rata-rata tingkat pengaruh kepentingan pribadi masyarakat
menurut pemilik apartemen adalah 2,07 dan menurut kontraktor adalah 1,93. Ini berarti
bahwa kepentingan pribadi masyarakat tidak berpengaruh terhadap keluaran proyek.
Tabel 4. Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (I) Versi Kontraktor No Pemangku
Kepentingan MR EI LR PS H S LS O S Rata-
rata V
1 Pemilik 4,89 4,89 4,44 3,78 3,67 3,67 3,78 4,44 4,20 2 Kontraktor 4,22 4,33 4,22 3,56 4,89 3,00 4,56 4,11 4,11 3 Subkontraktor 2,56 3,33 3,11 2,56 3,44 2,22 3,78 3,00 3,00 4 Perencana 3,33 2,89 3,67 2,78 2,44 2,89 3,44 3,00 3,06 5 Pengawas 3,00 3,00 3,78 3,56 3,78 2,67 3,44 2,78 3,25 6 Konsumen 2,89 3,11 2,44 2,67 3,11 3,78 2,22 2,67 2,86 7 Pemerintah 2,22 2,44 3,00 2,89 2,67 2,11 2,22 1,89 2,43 8 Masyarakat 1,56 1,78 2,00 2,00 2,44 1,89 2,11 1,67 1,93 Sumber:Olahan peneliti
MR = Mission Relevancy; EI = Economic Interest; LR = Legal Right; PS = Poltical Support; HS = Health and Safety; LS =
Lifestyle; O = Opportunism; S = Survial; V = (MR+EI+LR+PS+HS+LS+O+S):6.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 198
3. Sikap Pemangku Kepentingan ( Analisis Sikap Pemangku Kepentingan ( Stakeholder Attitude ) ditinjau
berdasarkan sikap pemangku kepentingan yang mempengaruhi keluaran proyek. Skala
pengukuran untuk menentukan sikap pemangku kepentingan yang digunakan adalah -
1,00 = aktif beroposisi; - 0,50 = pasif beroposisi; 0 = tidak berkomitmen; 0,5 = pasif
mendukung; dan 1,00 = aktif mendukung. Hasil selengkapnya dari analisis Sikap
Pemangku Kepentingan dapat dilihat pada Tabel 5.
Pemilik apartemen dan kontraktor mempunyai pandangan yang sama terhadap
sikap pemangku kepentingan yang mempengaruhi keluaran proyek. Keduanya
berpendapat bahwa pemilik dan kontraktor aktif mendukung tujuan proyek (nilai mean
sebesar 1,00), dan menganggap sikap masyarakat tidak berkomitmen terhadap tujuan
proyek (nilai mean menurut pemilik sebesar - 0,11 dan menurut kontraktor sebesar -
0,33) . Namun demikian, menurut pemilik apartemen dan kontraktor sikap masyarakat
tersebut tidak sampai menimbulkan kecenderungan beroposisi. Menurut pandangan
pemilik, sikap pengawas (nilai mean 0,83) lebih mendukung keberhasilan proyek jika
dibandingkan dengan subkontraktor (nilai mean 0,56). Sebaliknya dibenak kontraktor,
sikap subkontraktor (nilai mean 0,61) lebih mendukung keberhasilan proyek jika
dibandingkan dengan sikap pengawas (nilai mean – 0,17)
Tabel 5. Sikap Pemangku Kepentingan No Pemangku Kepentingan Mean
Pemilik Kontraktor
1 Pemilik 1,00 0,78 2 Kontraktor 0,94 1,00 3 Subkontaktor 0,56 0,61 4 Perencana 0,56 0,22 5 Pengawas 0,83 -0,17 6 Konsumen 0,11 0,17 7 Pemerintah 0,06 - 0,06 8 Masyarakat -0,11 -0,33 Sumber:Olahan peneliti
4. Stakeholder Vested Interest-Impact Index
Indeks Dominasi-Kepentingan Pribadi Pemangku Kepentingan (Stakeholder
Vested Interest-Impact Index ) sangat dipengaruhi oleh pemilik dan kontraktor.
Menurut pemilik apartemen, pemilik sangat besar dominasi dan kepentingan pribadinya
dalam mencapai tujuan proyek yang ditunjukkan oleh nilai sebesar 1,70.
Tabel 6. Stakeholder Vested Interest-Impact Index No Pemangku
Kepentingan Vested Interest = V Impact = I
√
Pemilik Kontraktor Pemilik Kontraktor Pemilik Kontraktor
1 Pemilik 4,49 4,20 16,11 15,22 1,70 1,60 2 Kontraktor 3,98 4,11 15,33 15,55 1,56 1,60 3 Subkontraktor 2,79 3,00 7,89 10,12 0,94 1,10 4 Perencana 3,21 3,06 9,55 11,90 1,11 1,21 5 Pengawas 3,33 3,25 14,44 14,11 1,39 1,35 6 Konsumen 2,82 2,86 4,23 8,11 0,69 0,96 7 Pemerintah 2,92 2,43 6,89 7,89 0,90 0,88 8 Masyarakat 2,07 1,93 4,67 5,56 0,62 0,66 Sumber:Olahan peneliti
Pendapat yang sama diberikan oleh kontraktor dimana kedua pelaku ini menduduki
peringkat teratas dengan nilai sebesar 1,60. Hasil selengkapnya analisis Stakeholder
Vested Interest-Impact Index dapat dilihat dalam Tabel 6.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 199
5. Analisis Stakeholder Influence Index
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proyek konstruksi apartemen
berlangsung, pengaruh terbesar ditunjukkan oleh pemilik dan kontraktor. Menurut
pemilik apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal
dari pemilik, disusul kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat
dengan angka indeks masing-masing sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07.
Kontraktor berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku
Kepentingan terbesar berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan
terkecil berasal dari pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23.
Ini berarti bahwa pengawas seringkali mempunyai sikap yang bersebrangan dengan
sikap kontraktor dalam melaksanakan proyek. Hal ini bisa dimengerti karena tugas
pengawas adalah mengawasi kinerja kontraktor terhadap kemungkinan penyimpangan
yang bisa terjadi di lapangan. Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan yang berasal
dari masyarakat sebesar – 0,22 dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengawas
yang besarnya – 0,23. Ini berarti bahwa besarnya pengaruh masyarakat yang disebabkan
dominasi, kepentingan pribadi, dan sikap masyarakat lebih tidak bersebrangan
dibandingkan pengawas.
Tabel 7. Stakeholder Influence Index No Pemangku
Kepentingan = * Peringkat
Pemilik Kontrak tor
Pemilik Kontrak tor
Pemilik Kontrak tor
Pemilik Kontrak tor
1 Pemilik 1,70 1,60 1,00 0,78 1,70 1,25 1 2 2 Kontraktor 1,56 1,60 0,94 1,00 1,47 1,60 2 1 3 Subkontraktor 0,94 1,10 0,56 0,61 0,53 0,67 5 3 4 Perencana 1,11 1,21 0,56 0,22 0,62 0,27 4 4 5 Pengawas 1,39 1,35 0,83 -0,17 1,15 -0,23 3 8 6 Konsumen 0,69 0,96 0,11 0,17 0,08 0,16 6 5 7 Pemerintah 0,90 0,88 0,06 -0,06 0,05 -0,05 7 6 8 Masyarakat 0,62 0,66 -0,11 -0,33 -0,07 -0,22 8 7 Sumber:Olahan peneliti
Pembahasan Ada perbedaan pandangan terhadap besarnya Indeks Pengaruh Pemangku
Kepentingan ini dilihat dari sudut pandang pemilik apartemen dan kontraktor pelaksana
apartemen itu. Perbedaan pandangan ini lebih disebabkan karena posisi dan kepentingan
pribadi yang dimiliki oleh pemilik dan kontraktor. Pemilik apartemen menganggap
bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar dari pemilik itu
sendiri, disusul kontraktor dan pengawas. Demikian juga kontraktor mempunyai
pandangan bahwa dirinya merupakan pemangku kepentingan yang memberikan
pengaruh terbesar dalam pelaksanaan proyek, disusul pemilik dan subkontraktor.
Walker et al. [18] melakukan penelitian terhadap pengaruh, pemetaan, dan visualisasi
pemangku kepentingan. Posisi pemangku kepentingan dilihat dari perspektif politik,
maksud dan tujuan, nilai pertimbangan, tingkat campur tangan, dan penguatan
pengikatan pemangku kepentingan. Posisi ini akan memberikan pandangan yang
berbeda terhadap pengaruh pemangku kepentingan.
Sebuah model empiris [19] tentang pengaruh kondisi pemangku kepentingan
dalam keberhasilan proyek menunjukkan besarnya peranan dominasi pemangku
kepentingan terhadap keluaran proyek. Dominasi pemangku kepentingan ini
mempunyai variabel indikator terpenting yang berkaitan dengan kedekatan pemangku
kepentingan [19]. Model tersebut mendukung dominasi pemangku kepentingan sebagai
bagian dari penentuan Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan. Makin dekat dengan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 200
proyek, makin besar pengaruh pemangku kepentingan itu terhadap keberhasilan proyek
[16,19]. Untuk meningkatkan kedekatan pemangku kepentingan dapat dilakukan
dengan meningkatkan keterlibatannya dalam proyek, dan meningkatkan komunikasi
intim dengan pemangku kepentingan [19]. Dalam penelitian ini, pemilik apartemen dan
kontraktor beranggapan bahwa dominasi pemangku kepentingan yang terkait dengan
kedekatan pemangku kepentingan lebih banyak disebabkan oleh kontraktor dan
pengawas dibandingan dengan pemangku kepentingan lainnya.
4. Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa ada perbedaan pandangan
terhadap besarnya Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan ini dilihat dari sudut
pandang pemilik apartemen dan kontraktor pelaksana apartemen itu. Menurut pemilik
apartemen, peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar berasal dari
pemilik, disusul kontraktor dan pengawas, dan terkecil berasal dari masyarakat dengan
angka indeks masing-masing sebesar 1,70; 1,47; 1,15; dan – 0,07. Kontraktor
berpandangan bahwa peringkat Indeks Pengaruh Pemangku Kepentingan terbesar
berasal dari kontraktor, disusul pemilik dan subkontraktor, dan terkecil berasal dari
pengawas dengan angka indeks sebesar 1,60; 1,25; 0,67; dan – 0,23.
Limitasi dari penelitian ini adalah terbatasnya jumlah responden dan jenis
responden dari pemangku kepentingan diluar pemilik dan kontraktor. Oleh karena itu
disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk memperhatikan pandangan dari pemangku
kepentingan lainnya.
Daftar Pustaka 1. Freeman, R.E. (1984), Strategic Management; A Stakeholder Approach, Pitman
Publishing Inc., Marshfield, MA.
2. Phillips, R. (2003), Stakeholder Theory and Organizational Ethics, Berrett-
Koehler Publisher, Inc., San Francisco, CA.
3. McElroy, B. and Mills, C. (2000), Managing Stakeholder in Turner, J.R. and
Simister, .J.S.(eds). Gower Handbook of Project Management, Third Edition,
Gower Publishing Limited, Hampshire, hal.757-775.
4. Cleland, D.I. and Ireland, L.R. (2007), Project Management: Strategic Design
and Implementation, 5 th.Edition, Mc Graw-Hill, New York.
5. Callan, K., Sieimieniuch, C., Sinclair, M. (2006), A Case Study of Example of
the Role Matrix Technique, International Journal Project Management, Vol. 24,
hal.506-515.
6. Toor, S.R., and Ogunlana, S.O. (2010), Beyond the’ Iron Triangle’: Stakeholder
Perception of Key Performance Indicators (KPIs) for Large –Scale Public Sector
Development Projects, International Journal of Project Management ,Vol.28,
hal.228-236.
7. Bryde, D.J., Brown, D. (2005). The Influence of a Project Performance
Measurement System on the Success of a Contract for Maintaining Motorways
and Trunk Roads, Project Management Journal, Vol. 35 (4), hal. 57-65.
8. Ward, S., and Chapman, C. (2008), Stakeholders and Uncertainty Management in
Projects, .Journal of Construction Management and Economics, Vol. 26, hal.563-
577.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 201
9. Mitchell, R.K., Agle, B.R., and Wood, D.J. (1997), Toward a Theory of
Stakeholder Identification and Salience : Defining the Principle of Who & What
Really Counts, Academy of Management Review, Vol. 22 (4), hal.853-886.
10. Bourne, L. and Walker, D. (2005), Visualising and Mapping Stakeholder
Influence, Management Decision, Vol.43 (5/6), hal.649-660.
11. Olander, S. (2007), Stakeholder Impact Analysis in Construction Project
Management, Construction Management and Economics, Vol.25 (3), hal.277-
287.
12. Nguyen, N.H., Skitmore, M. and Wong, J.K.W. (2009), Stakeholder Impact
Analysis of Infrasrtucture Project Management in Developing Countries: A Study
of Perception of Project Managers in State-Owned Engineering Firm in Vietnam,
Construction Management and Economics, Vol.27, hal.1129-1140.
13. Certo, S.C. (1997), Modern Management, Seventh Edition, Prentice Hall, New
Jersey 07458.
14. Post, J.E., Preston, I.E., and Sachs, S. (2002), Redefining the Corporation:
Stakeholder Management and Organizational Wealth, Stanford University Press,
Stanford, USA.
15. Stanford Encyclopedia of Philosophy, (2008), Aristotle. <http://plato. stanford.
edu/entries/aristotle/>
16. Bourne, L. (2005), Project Relationship Management and the Stakeholder
, Thesis, RMIT University, Melbourne.
17. Hartono, R., dan Tedjo, E.S. (2010), Analisis Stakeholder pada Proyek
Konstruksi, Skripsi No.21011725/SIP/2010, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Universitas Kristen Petra, Surabaya.
18. Walker, D.H.T., Bourne, L.M., and Shelley, A. (2008), Influence, Stakeholder
Mapping and Visualitation, .Journal of Construction Management and
Economics, Vol.26, hal. 645-658.
19. Chandra, H.P., Indarto, Wiguna, I.P.A., dan Kaming, P. (2011), Model
Pemangku Kepentingan dalam Keberhasilan Proyek, Jurnal Teknik Industri.
Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik Industri, Vol.13, No.1, Juni, hal.51-58.
.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 202
PENGARUH SISTEM PEMBERIAN UPAH TERHADAP
PRODUKTIVITAS BURUH KONSTRUKSI PADA
PERUSAHAAN KONTRAKTOR DI SURABAYA
Thahiril Lazib 1, Retno Indryani
2, Yusronia Eka Putri
3
Mahasiswa Program Magister, Bidang Keahlian Manajemen Proyek Konstruksi Jurusan Teknik Sipil,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia, email: lazibarchitect@gmail.com 1
Dosen Jurusan Teknik Sipil , Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 2
Dosen Jurusan Teknik Sipil , Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 3
Abstrak
SDM merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proyek kontraktor, salah satu tolak ukur
kesuksesan adalah produktivitasnya. Pemberian upah dilakukan kontraktor untuk meningkatkan
produktivitas buruh. Kontraktor selalu berusaha memberikan upah minimal, namun berusaha
mendapatkan kinerja yang maksimal, untuk itu sistem pemberian upah yang tepat sangat diperlukan agar
hubungan perusahaan dengan buruh bejalan baik.
Penelitian ini sebagai penelitian survei dengan sampel 37 mandor dan 13 pengawas lapangan.
Variabel penelitian terdiri dari variabel sistem prosentase pekerjaan (termin), pekerjaan selesai baru
dibayar (100%), harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, insentif, tidak ada insentif, borongan, jumlah
hari
dan variabel produktivitas buruh konstruksi dengan indikator kedisiplinan, presensi, semangat kerja,
kuantitas pekerjaan, dan kualitas pekerjaan, dengan metode chisquare maka diketahui masing-masing
sistem yang mempunyai hubungan terhadap produktivitas, dan dengan menggunakan average indeks
maka diketahui sistem yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap produktivitas.
Ada hubungan sistem pemberian upah dengan produktivitas buruh konstruksi, dan pengaruh
terbesar terhadap produktivitas adalah sistem termin dengan indeks rata-rata 87.45 %, disusul sistem
borongan 77.63%, sedangkan sistem dengan pengaruh paling kecil adalah sistem harian dengan 18%.
Kata kunci: Sistem pemberian upah, produktivitas buruh konstruksi, pengaruh terbesar.
1. Pendahuluan
Persaingan bisnis antar perusahaan jasa pelaksana konstruksi (kontraktor) semakin
ketat baik di pasar domestik maupun internasional. Untuk memenuhi kepuasan
pelanggan, produktivitas sangat penting bagi perusahaan untuk dikelola dengan baik.
Menurut Handoko (2001), kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor
penentu keberhasilan suatu proyek. Untuk mendapatkan kualitas sumber daya manusia
yang baik diperlukan proses pengelolaan sejak seseorang direkrut hingga menempati
posisi jabatan tertentu. Suatu perusahaan tanpa didukung tenaga kerja yang sesuai baik
dari segi kuantitas maupun kualitas, strategi, operasional, dan fungsional maka
perusahaan itu tidak akan mampu mempertahankan keberadaan, mengembangkan dan
memajukannya dimasa mendatang.
Tolak ukur kesuksesan perusahaan khususnya perusahaan jasa pelaksana konstruksi
dapat dilihat dari produktivitas perusahaan yang dihasilkannya. Semakin tinggi
produktivitas perusahaan tersebut maka akan semakin sukses juga perusahaannya.
Seperti yang dijelaskan oleh Alvan (1987) indikator perusahaan dapat dikatakan sukses
dilihat dari kemampuan perusahaan tersebut untuk mendapatkan laba (profitability),
kemampuannya untuk terus tumbuh dan berkembang (growth), kemampuannya untuk
mendapatkan proyek yang berkelanjutan (sustainability), serta yang tidak kalah penting
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 203
adalah kemampuan perusahaan tersebut untuk bersaing (competitiveness) dengan
perusahaan lain baik dari dalam maupun luar negeri.
Soepriyono (1999: 368) menulis “Pemberian balas jasa kepada karyawan berupa
uang (upah) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan pada
akhirnya untuk meningkatkan produktivitas karyawan”. Hal ini sejalan dengan pendapat
Anoraga (1998) yang menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang bekerja
mengharapkan imbalan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya. Karena adanya upah
yang sesuai, maka akan timbul rasa gairah kerja yang semakin baik. Pekerja dapat
memenuhi kebutuhan hidup bagi diri maupun keluarganya, merasa dibutuhkan
perusahaan dan pekerja membutuhkan pekerjaan tersebut sehingga terjadi hubungan
timbal balik yang selaras sehingga akan timbul kepuasan dan semangat kerja, karyawan
yang dapat meningkatkan produktivitasnya juga.
Kontraktor saat ini banyak menerapkan sistem kerja outsorcing kepada buruh
konstruksi, sehingga dalam pemberian upah membutuhkan sistem dan perlakuan yang
berbeda. Dalam pemberian upah kepada karyawan semua perusahaan jasa pelaksana
konstruksi menginginkan memberikan upah yang seminimal mungkin, namun berusaha
mendapatkan kinerja yang semaksimal mungkin, sementara sistem tersebut tidak
banyak mendapat perhatian dari manajer perusahaan kontraktor, padahal hal tersebut
adalah faktor yang sangat penting.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian bagaimana pengaruh masing-masing sistem
pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi di Surabaya dan sistem
pemberian upah yang mana yang memberikan pengaruh paling besar terhadap
produktivitas.
2. Dasar Teori
2.1 Sistem pemberian upah
Handoko (2001) menjelaskan pengertian upah sebagai segala sesuatu yang diterima
para karyawan sebagai balas jasa dari kerja karyawan pada perusahaan. Pemberian upah
merupakan suatu masalah yang kompleks dan paling berarti bagi karyawan maupun
organisasi (perusahaan). Pendapat lain dikemukakan oleh Rivai (2004) yang juga
menjelaskan mengenai pemberian upah merupakan salah satu pelaksanaan fungsi
manajemen sumber daya manusia yang berhubungan dengan semua jenis pemberian
penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas. “Upah merupakan
balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan atas jasanya pada perusahaan”,
(Umar, 2003:16). Sedangkan menurut Sukamti (2001), upah merupakan uang dan
jaminan yang diberikan kepada pegawai sebagai penukar dari kerja mereka.
Flippo (1980) menjelaskan bahwa upah merupakan harga untuk jasa yang diterima
atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau Badan Hukum.
Sedangkan menurut Dessler (1998) menyatakan upah adalah setiap bentuk pembayaran
atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari dipekerjakannya
karyawan itu. Menurut undang-undang kecelakaan tahun 1974 No. 33 pasal 7 upah
adalah tiap pembayaran berupa uang, makan, serta pakaian dan perumahan yang di
terima oleh buruh sebagai ganti bekerja. Upah dapat dibayarkan melalui satuan waktu,
per jam, perhari, dsb.
Ada beberapa pendapat mengenai sistem upah, Rivai (2004) menyebutkan ada 4
sistem pengupahan, yaitu sistem pengupahan menurut produksi (upah yang berdasarkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 204
jumlah produksi pekerjaan yang dihasilkan karyawan), sistem pengupahan menurut
senioritas dan lamanya kerja (besarnya upah yang diberikan kepada berdasarkan
lamanya karyawan bekerja pada perusahaan), dan sistem yang terakhir yaitu sistem
pengupahan menurut kebutuhan (besarnya upah yang diberikan berdasarkan tingkat
kebutuhan dari masing-masing karyawan, seperti karyawan yang sudah menikah, dan
mempunyai 2 anak nilai upah akan berbeda dengan karyawan yang masih lajang).
Pendapat lain sistem pengupahan oleh Dessler (1998) yang menjelaskan sistem
pengupahan, yaitu sistem pengupahan berdasarkan waktu yaitu karyawan diberi upah
atas dasar waktu pelaksanaan pekerjaannya, contohnya kerja harian, mingguan atau
bulanan. Sistem pengupahan yang kedua yaitu sistem borongan, yaitu berkaitan dengan
kompensansi secara lansung dengan jumlah produksi yang dihasilkan karyawan, dan
sistem yang terakhir adalah sistem insentif, yaitu sistem pemberian upah dengan adanya
tambahan insentif atau bonusan jika karyawan berprestasi. Seperti yang dijelaskan oleh
Baker, Gibbs, dan Holmström (1994) bahwa sebagian ekonom mempunyai pendapat
akan pentingya pemberian insentif pada suatu perusahaan. Pemberian insentif harus
melalui pengukuran akan kinerja dan tingkat pekerjaan pada masing-masing pekerja.
Ketiga sistem tersebut dengan pembayaran dapat dilakukan secara langsung (direct
financial payment). Di dalam undang-undang kecelakaan tahun 1974 No. 33 pasal 7
juga dijelaskan bahwa upah dapat dibayarkan melalui satuan waktu, per jam, perhari,
dsb.
2.2 Produktivitas
Menurut Siagian (2002), produktivitas kerja adalah “kemampuan memperoleh
manfaat sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan
output yang optimal, kalau mungkin yang maksimal”. Seperti halnya devinisi di atas
Syarif (1991) juga mengatakan bahwa produktivitas secara sederhana merupakan
hubungan antara kualitas yang dihasilkan dengan jumlah kerja yang dilakukan untuk
mencapai hasil itu, sedangkan secara umum adalah bahwa produktivitas merupakan
ratio antara kepuasan atas kebutuhan dan pengorbanan yang dilakukan. Pendapat lain
mengenai produktivitas adalah seperti yang dikemukakan oleh Swastha dan Sukotjo
(1995) produktivitas merupakan sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara
hasil (jumlah barang dan jasa) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah,
energi, dan sebagainya) yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut.
Syarif (1991) mengkutip dari Sabourin, menjelaskan pengertian mengenai
produktivitas yang merupakan “ratio dari apa yang dihasilkan terhadap saluran apa yang
digunakan untuk memperoleh hasil tersebut”. Seperti yang dikemukakan oleh
Komarudin (1992), produktivitas pada hakekatnya meliputi sikap yang senantiasa
mempunyai pandangan bahwa metode kerja hari ini harus lebih baik dari metode kerja
kemarin dan hasil yang dapat diraih esok harus lebih banyak atau lebih bermutu
daripada hasil yang diraih hari ini. Sedangkan menurut Woekirno (1979) produktivitas
merupakan kesadaran untuk menghasilkan sesuatu yang lebih banyak daripada yang
telah atau sedang berada dalam usahanya. Kusriyanto (1993) juga memberikan
pendapatnya bahwa produktivitas merupakan nisbah atau ratio antara hasil kegiatan
(output) dan segala pengorbanan (biaya) untuk mewujudkan hasil tersebut (input).
Nawawi dan Handari (1990) menjelaskan konsep lain dari produktivitas kerja
yang merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh dengan jumlah kerja
yang dikeluarkan. Produktivitas kerja dikatakan tinggi jika hasil ynag diperoleh lebih
besar dari pada sumber tenaga kerja yang dipergunakan dan sebaliknya.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 205
Dalam pengukuran produktivitas kerja pada dasarnya digunakan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat efektivitas dan efisiensi kerja karyawan dalam
menghasilkan suatu hasil. Seperti yang dikemukakan oleh Syarif (1991), tingkat
produktivitas kerja dapat diukur dengan berdasarkan waktu yang meliputi kecepatan
kerja, kedisiplinan waktu kerja, dan tingkat absensi. Pengukuran lain dilakukan melalui
output yaitu hasil produksi karyawan yang diperoleh sesuai produk yang diinginkan
perusahaan.
Sedikit berbeda dengan Syarif (1991), Ravianto (1986) menggunakan alat
pengukuran produktivitas karyawan perusahaan berdasarkan physical productivity,
pengukuran, produktivitas secara kuantitatif seperti ukuran (Size) panjang, berat,
banyaknya unit, waktu dan banyaknya tenaga kerja. Alat ukur yang kedua yaitu Value
productivity, yaitu dengan menggunakan nilai uang, sedangkan menurut Hasibuan
(2000) pengukuran produktivitas dapat berupa 6 indikator. Indikator pertama yaitu
prestasi, penilaian hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas pekerjaan. Indikator kedua
kedisiplinan yaitu penilaian kepatuhan dalam mematuhi peraturan yang ada. Indikator
yang ketiga adalah kreatifitas, penilaian kemampuan karyawan dalam mengembangkan
kreatifitas untuk menyelesaikan pekerjaannya. Indikator keempat adalah bekerja sama,
penilaian kesediaan karyawan berpartipasi dan bekerja sama baik dengan karyawan lain
maupun atasan. Indikator yang lain adalah kecakapan dalam bekerja, dan indikator
terakhir adalah tanggung jawab terhadap pekerjaan.
Berbeda dengan pendapatnya Hasibuan (2000), dikutip oleh Khoiriyah (2009),
Simamora dan Heryanto (2004) menilai indikator produktivitas kerja melalui 3 hal yaitu
loyalitas yaitu kesetiaan pegawai terhadap organisasi (perusahaan) dan semangat
berkorban demi tercapainya tujuan organisasi, tanggung Jawab, rasa memiliki
organisasi dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dilakukan dan ditekuni serta berani
menghadapi segala konsekuensi dan resiko dari pekerjaan tersebut, dan penilaian
terakhir adalah ketrampilan, kemampuan pegawai untuk melaksanakan tugas serta
menyelesaikan pekerjaan. Pengukuran produktifitas lain seperti yang dikutip oleh
Laitila (2005) yaitu: Kualitas output (Drucker, 1999), efisiensi dan kontrol waktu,
pengetahuan dan kompetensi karyawan (Sipilä, 1996), dan intensitas kerjasama dengan
pelanggan (Sipilä, 1996).
Umar (2003) menjelaskan bahwa “produktivitas memiliki dua dimensi, yakni:
efektivitas yang mengarah pada pencapaian unjuk kerja yang maksimal, yaitu
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu. Dimensi yang
kedua adalah efisiensi yang berkaitan dengan upaya yang membandingkan masukan
dengan realisasi penggunaan atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan”. Umar
(2003) juga mengkutip dari Timpe (1989) yang menjelaskan ciri-ciri pegawai yang
produktif adalah: Cerdas dan dapat belajar dengan cepat, kompeten secara profesional,
kreatif dan inovatif, memahami pekerjaan, cerdik, tidak mudah menyerah, selalu
mencari perbaikan, prestasi yang baik, dan selalu meningkatkan kualitas diri.
2.3 Buruh Konstruksi
Rivai (2004) menulis tentang pengertian buruh konstruksi yaitu “orang yang
bekerja di bawah perintah orang lain sebagain pekerja pekerjaan konstruksi dan orang
tersebut menerima upah sebagai imbalan atas pekerjaan yang mereka”. Sedangkan
definisi dari kata buruh itu sendiri menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
adalah “Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di (baik diperusahaan/luar perusahaan ) dan
menerima upah atau imbalan adalah buruh”. Pada pelaksanaan sekarang buruh
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 206
konstruksi dipekerjakan secara outsourcing. Wikipedia menjelaskan mengenai buruh
merupakan kelas sosial yang terdiri dari orang-orang yang melakukan kerja manual atau
bekerja untuk mendapatkan upah, pada dasarnya ada kekurangan tenaga terampil di
bidang ini.
Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan
pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR:
PER. 06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas (PHL). Pada tahun
2003 pemerintah juga menetapkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh.
2.4 Penelitian Sebelumnya
Pada penelitian yang dilakukan oleh Arlina (2006) tentang pengaruh upah dan
lingkungan kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Polysindo Eka
Perkasa Kaliwungu-Kendal, yang menyimpulkan bahwa upah dan lingkungan kerja
berbanding lurus terhadap produktivitas, semakin besar upah, dan semakin baik pula
lingkungan kerja maka produktivitas akan naik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Damayanti (2005) mengenai pengaruh motivasi kerja karyawan terhadap
produktivitas kerja karyawan di industri furniture di semarang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja
karyawan.
Dari penelitian Adrew dan Hyginus (1994) yang meneliti mengenai produktivitas
dan gaji di negara yang sedang berkembang, dengan studi kasus di Barbados. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa efisiensi dari pengupahan, mempunyai dampak yang
positif secara langsung terhadap produktifitas pekerja. Pendapat di atas diperkuat oleh
penelitian Bhatti and Qureshi (2007), yang meneliti tentang dampak partisipasi
karyawan terhadap kepuasan kerja, komitmen dan produktivitas karyawan. Dengan
meningkatkan partisipasi dari karyawan, maka akan mempunyai efek positif terhadap
kepuasan, komitmen, dan produktifitas karyawan. Pendapat tersebut sedikit ada
perbedaan dengan penelitian Özmucur (1997) tentang perbedaan penggajian dan
produktivitas pada industri manufaktur swasta dan pemerintah, dengan studi kasus di
Turki. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat dekat antara
gaji dan produktifitas perusahaan manufaktur swasta, tapi tidak ada hubungan yang erat
antara gaji yang diberikan terhadap produktifitas pada pegawai pemerintah.
Penelitian lain mengenai produktivitas diantaranya oleh Thwala dan Monese
(2007) tentang motivasi merupakan salah satu alat untuk meningkatkan produktivitas
pada industri konstruksi. Paper tersebut menyebutkan bahwa produktivitas adalah salah
satu faktor yang paling utama yang mempengaruhi pencapaian organisasi. Salah satu
faktor untuk meningkatkan produktifitas adalah dengan memberikan motivasi kepada
pekerja. Pendapat di atas sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoon
(2009), yaitu meneliti mengenai apakah produktivitas berhubungan dengan upah,
dengan studi kasus di Malaysia menyebutkan bahwa untuk jangka pendek pengupahan
mempunyai hubungan positif terhadap produktivitas, sedangkan untuk jangkah panjang
berbeda. Peningkatan upah melebihi peningkatan produktivitas justru menyebabkan
peningkatan biaya.
Pletter (2004) meneliti mengenai keadilan dan kelayakan dalam sistem
pengupahan, bahwa salah satu tugas yang cukup sulit bagi bagian personalia adalah
menentukan upah yang dapat diterima oleh karyawan maupun perusahaan, hal ini terjadi
karena dalam upah melekat dua kepentingan yang saling bertentangan. Bagi karyawan
upah adalah sumber penghasilan, maka ada kecenderungan menuntut upah yang tinggi,
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 207
sedangkan bagi perusahaan sebaliknya ada kecenderungan untuk menentukan upah
yang seminimal mungkin.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Konsep
Penelitian ini adalah penelitian survei untuk mengetahui pengaruh sistem
pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi pada perusahaan jasa
pelaksana konstruksi (kontraktor) berdasarkan persepsi dari mandor atau pengawas
lapangan pada perusahaan kontraktor di Surabaya.
3.2 Model
Model dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh masing-masing
sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh konstruksi berdasarkan persepsi
dari responden yaitu mandor atau pengawas lapangan, seperti pada gambar 3.1 berikut
Gambar 3.1. Macam-macam sistem pemberian upah kepada buruh konstruksi di
Surabaya
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Deskripsi Variabel Penelitian
4.1.1.Gambaran obyek dan responden penelitian
Berbagai macam proyek yang dikerjakan oleh sampel perusahaan konstruksi ini
antara lain proyek infrastruktur diantaranya jalan, jembatan, pelabuhan, dan lain-lain.
Sedangkan proyek bangunan terdiri dari pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan
bangunan hotel, perkantoran, ruko, pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit,
puskesmas, perpustakaan dan sekolah, bangunan komersial, perumahan, dan lain-lain.
4.1.2.Jumlah, posisi dan jabatan responden
Sampel dalam penelitian ini adalah 37 orang mandor (pimpinan buruh kontruksi
pada proyek tertentu) dan 13 pengawas proyek (pegawai perusahaan kontraktor yang
ditunjuk untuk mengawasi proyek yang sedang dikerjakan) pada perusahaan kontraktor
Surabaya, penelitian dilakukan di berbagai proyek yang sedang di kerjakan dengan
Sistem Prosentase pekerjaan
Sistem pekerjaan selesai baru dibayar
Sistem harian
Sistem Mingguan
Sistem 2 Mingguan
Sistem bulanan
Sistem Pemberian bonus
Sistem tidak ada bonus
Sistem borongan
Sistem jumlah hari kerja
Produktivitas
Buruh
Kedisiplinan
Presensi
Semangat
kerja
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 208
lokasinya di Surabaya, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Bojonegoro, seperti pada tabel
4.1 yang menunjukkan jumlah sampel penelitian.
Tabel 4.1 jumlah sampel penelitian Posisi (jabatan) Jumlah Prosentase
Pengawas proyek 13 orang 26%
Mandor 37 orang 74%
Dari 50 kuisioner diketahui bahwa beberapa sistem yang digunakan oleh
kontraktor Surabaya adalah terdapat pada tabel 4.2 sebagai berikut:
Tabel 4.2 sistem dan jumlah responden yang pernah menggunakanya No Sistem pemberian upah Jumlah responden yang menggunakan
1 Sistem prosentase pekerjaan (termin) 50 orang
2 Sistem pekerjaan selesai baru dibayar (100%) 32 orang
3 Sistem harian (dibayarkan setiap hari) 9 orang
4 Sistem mingguan 37 orang
5 Sistem 2 mingguan 32 orang
6 Sistem bulanan 14 orang
7 Sistem Intensif (ada bonus) 37 orang
8 Sistem tidak ada bonus 50 orang
9 Sistem borongan 50 orang
10 Sistem jumlsh hsri kerja 50 orang
4.2. Hubungan sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh kontruksi
4.2.1 Uji Independensi
Uji independensi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau
keterkaitan antara variabel sistem upah (variabel sistem yang terdiri atas 10 buah
atribut) dan variabel produktivitas (faktor disiplin, kehadiran, semangat, kuantitas, dan
kualitas). Pengujian dilakukan dengan menggunakan nilai Pearson Chi Square. Dari
hasil uji chisquare didapatkan
Tabel 4.3 Chi-Square hitung antara sistem upah dan produktivitas Value Table Value P-Value Keputusan
Pearson Chi-Square Disiplin 298,236 50,9985 0,000 Tolak H0
Pearson Chi-Square Kehadiran 263,632 50,9985 0,000 Tolak H0
Pearson Chi-Square Semangat 600,357 50,9985 0,000 Tolak H0
Pearson Chi-Square Kualitas 535,146 50,9985 0,000 Tolak H0
Pearson Chi-Square Kuantitas 451,511 50,9985 0,000 Tolak H0
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kelima variabel produktivitas (disiplin,
kehadiran, semangat, kualitas, kuantitas) mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan
variabel sistem upah dilihat dari semua nilai Pearson Chi-Square yang didapatkan dari
hasil perhitungan lebih besar dari nilai Pearson Chi-Square tabel serta bisa dilihat dari
semua nilai P yang kurang dari . Karena semua variabel X saling dependen dengan
variabel Y, maka kelima variabel X dapat digunakan untuk langkah selanjutnya.
4.3. Sistem pemberian upah yang memberikan pengaruh produktivitas paling
besar
Suprianto (2000) menjelaskan untuk menganalisa sistem pemberian upah yang
memberikan pengaruh paling besar terhadap produktivitas buruh dapat digunakan
analisa hasil indeks rata-rata dari masing masing sistem. Dari prosentase terbesar indeks
rata-rata tersebut maka akan didapatkan produktivitas buruh konstruksi terbesar. Dari
rekapitulasi hasil kuisioner, maka didapatkan hasil tabel 4.4
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 209
Tabel 4.4 penjumlahan dari rekapitulasi hasil kuisioner
Sistem Upah
PRODUKTIVITAS Total
Sangat
setuju Setuju Ragu
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
Sistem
Pemperian
upah (gaji)
Termin 18 137 80 15 0 250
100% 37 89 21 8 5 160
per hari 4 22 14 4 1 45
per minggu 4 100 59 21 1 185
per dua minggu 2 64 84 10 0 160
per bulan 2 19 28 20 1 70
bonus 52 93 37 4 0 186
tidak ada bonus 5 95 73 70 7 250
borongan 152 25 20 23 30 250
jumlah hari 85 43 64 35 23 250
Total 361 687 480 210 68 1806
Tabel 4.5 Tabel rata-rata Persepsi responden tentang produktivitas buruh konstruksi
untuk masing-masing sistem pemberian upah.
Produktivitas (Bi)
Sangat
setuju Setuju Ragu
Tidak
setuju
Sangat
tidak
setuju
Sistem
Pemperian upah
(gaji)
Termin 0.050 0.199 0.167 0.071 0.000
100% 0.102 0.130 0.044 0.038 0.074
Per hari 0.011 0.032 0.029 0.019 0.015
Per minggu 0.011 0.146 0.123 0.100 0.015
Per dua minggu 0.006 0.093 0.175 0.048 0.000
Per bulan 0.006 0.028 0.058 0.095 0.015
Bonus 0.144 0.135 0.077 0.019 0.000
Tidak ada bonus 0.014 0.138 0.152 0.333 0.103
Borongan 0.421 0.036 0.042 0.110 0.441
Jumlah hari 0.235 0.063 0.133 0.167 0.338
Indeks rata-rata tersebut dihitung untuk setiap sistem pemberian upah. Persamaan yang
digunakan adalah:
Di mana :
xB : rata-rata tertimbang
Bi : beban ke-I (persepsi responden tentang produktivitas pada masing-masing
sistem)
xi : data ke-I (persepsi responden tentang produktivitas pada masing-masing sistem)
n : banyak data
i : Persepsi responden tentang produktivitas buruh konstruksi untuk masing-masing
sistem pemberian upah.
Bx Termin = ((18x0.050)+(137x0.199)+(80x0.167)+(15x0.017)+(0x0.000)) x 100% = 87.453%
(0.050+0.199+0.167+0.017+0)
%100
1
1 x
B
xB
xn
i
i
n
i
ii
B
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 210
Bx 100% = ((37x0.102)+(89x0.130)+(21x0.044)+(8x0.038)+(5x0.074)) x 100% = 43.657%
(0.102+0.130+0.044+0.038+074)
Bx harian = ((4x0.011)+(22x0.032)+(14x0.029)+(4x0.019)+(1x0.015)) x 100% = 11.772%
(0.011+0.032+0.029+0.019+015)
Bx mingguan= ((4x0.011)+(100x0.146)+(59x0.123)+(21x0.100)+(1x0.015)) x 100% = 60.789%
(0.011+0.146+0.123+0.100+0.015)
Bx 2mingguan = ((2x0.006)+(64x0.093)+(84x0.175)+(10x0.048)+(0x0.000)) x 100% = 65.821%
(0.006+0.093+0.175+0.048+0)
Bx bulanan = ((2x0.006)+(19x0.028)+(28x0.058)+(20x0.095)+(1x0.015)) x 100% = 20.297%
(0.006+0.028+0.058+0.095+0.015)
Bx bonus = ((52x0.144)+(93x0.135)+(37x0.077)+(4x0.019)+(0x0.000)) x 100% = 61.266%
(0.144+0.135+0.077+0.019+0)
Bx tidakbonus = ((5x0.014)+(95x0.138)+(73x0.152)+(70x0.333)+(7x0.103)) x 100% = 65.311%
(0.014+0.138+0.152+0.333+0.103)
Bx borongan = ((152x0.421)+(25x0.036)+(20x0.042)+(23x0.110)+(30x0.441))x100% = 77.631%
(0.421+0.036+0.042+0.110+0.441)
Bx jumlah hari= ((85x0.235)+(43x0.063)+(64x0.133)+(35x0.167)+(23x0.338)) x100% = 47.904%
(0.235+0.063+0.133+0.167+0.338)
Dari hasil perhitungan, maka dihasilkan tabel 4.6
Tabel 4.6 Hasil average indeks No Sistem pemberian upah Indeks rata rata (%)
1 Termin 87.45
2 100% 43.65
3 Per hari 11.77
4 Per minggu 60.79
5 Per dua minggu 65.82
6 Per bulan 20.29
7 Bonus 61.27
8 Tidak ada bonus 65.31
9 Borongan 77.63
10 Jumlah hari kerja 47.90
Dari hasil average indeks di atas diketahui bahwa sistem termin adalah sistem yang
paling besar pengaruhnya terhadap produktivitas buruh kontruksi di Surabaya.
5. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan sebagai berikut :
1. Beberapa sistem pemberian upah digunakan oleh kontraktor di Surabaya,
diantaranya sistem prosentase pekerjaan (termin), sistem pekerjaan selesai baru
dibayar (100%), sistem harian, (dibayarkan setiap hari), sistem mingguan, sistem 2
mingguan, dan sistem bulanan, sistem insentif (ada bonus), sistem tidak ada bonus,
sistem borongan, dan sistem jumlah hari kerja.
2. Ada hubungan antara sistem pemberian upah terhadap produktivitas buruh kontruksi
3. Sistem termin adalah sistem yang memberikan pengaruh paling besar terhadap
produktivitas buruh konstruksi di Surabaya jika dibandingkan dengan sistem yang
lainya.
Pustaka
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 211
Adrew. S. dan Hyginus L. (1994). “The Wage-Productivity Hypothesis in A Small
Developing Country: The Case of Barbados”, Journal of Social and Economic
Studies, 43: 4 ISSN: 0037-7651.
Alvan, J.(1987). Industri Jasa Kostruksi di Indonesia, Aksara, Jakarta.
Anoraga, A. (1998). Membina Hubungan Karyawan dan Manajemen. Cipta Ilmu,
Bandung.
Arlina, B. (2006). “Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Produktivitas
Kerja Karyawan Pada PT. Polysindo Eka Perkasa Kaliwungu-Kendal”,
Administrasi Bisnis FISIP, Universitas Diponegoro.
Baker, G., Gibbs, M., and Holmstrom, B. (1994). “The Internal Economics of The Firm:
Evidence From Personnel Data”, Quarterly Journal of Economics, Vol. 109, pp.
881-919.
Bhatti, K. K., and Qureshi T. M. (2007). “Impact of Employee Participation on Job
Satisfaction, Employee Commitment And Employee Productivity”, International
Review of Business Research Papers, Vol.3 No.2 June 2007, Pp. 54-68.
Damayanti, R. (2005). “Pengaruh Motivasi Kerja Karyawan Terhadap Produktivitas
Kerja Karyawan Di Industri Furniture Di Semarang”, Skripsi, Fakultas ilmu
sosial, Universitas Negeri Semarang.
Dessler, G. (1998). Human Resources Development, Cipta media, Jakarta.
Drucker, P. F. (1999) Knowledge-Worker Productivity: The Biggest Challenge.
California Management Review, Vol. 41, No. 2, pp. 79-94.
Flippo, L. B. (1980). Prinsiple of Personal Management, Mc Graw-Hill, Koga Kusha,
Tokyo.
Handoko, H. (2001). Manajemen Personalian Dan Sumber Daya Manusia, BPFE,
Yogyakarta.
Hasibuan, Y. (2000). Tugas Manajer Perusahaan, Graha Ilmu, Jakarta.
Khoon, G. S. (2009). “Is Productivity Linked to Wages? An Empirical Investigation in
Malaysia”. CenPRIS Working Paper, No. 102/09 June.
Kusriyanto, B. (1993). Meningkatkan Produktivitas Karyawan, Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta.
Laitila, J. (2005) “Designing Performance measures for Research Activities”, Master’s
thesis, Tampere University of Technology, Department of Industrial Management,
12.7.2005.
Khoiriyah, L. (2009). Pengaruh Upah dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan pada CV. Aji Bali Jayawijaya. Skripsi Program Studi Pendidikan
Akuntansi.Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nawawi, H., dan Handari K. (1990). Administrasi Personel Untuk Peningkatan
Produktivitas Kerja, Haji Masagung, Jakarta.
Özmucur, S. (1997). “Wage and productivity differentials in private and public
manufacturing: the case of Turkey”. Department of Economics, University of
Pennsylvania, , 3718 Locust Walk, Philadelphia, PA 19104-6297.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang perlindungan
pekerja harian lepas (PHL).
Ravianto, J. (1986). Pengukuran Produktivitas, Kanisius, Yogyakarta.
Rivai, V. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Siagian, P. (2002). Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 212
Soepriyono, A. (1999). Pemberian Upah Karyawan Untuk Peningkatan Perusahaan,
Persada Ilmu, Jakarta.
Sipilä, J. (1996) The Expert and the Client-How to Handle these Two Roles? 2nd
Edition. Porvoo, WSOY.
Syarif, R. (1991). Produktivitas, Depdikbud, Jakarta.
Swastha, B. dan Sukotjo, I. (1995). Pengantar Bisnis Modern, 3d Edition, Liberty,
Yogyakarta.
Thwala, W. D., and Monese, L. N. (2007). “Motivation as a tool to improve
productivity on the construction site”, Paper of Department of Quantity Surveying
and Construction Management, University of Johannesburg.
Umar, H. (2003). Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Umar, H. (2003). Metode Riset Perilaku Organisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Woekirno, S. (1979). Faktor-Faktor Produktivitas Karyawan, Gramedia, Jakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 213
PENGUKURAN TINGKAT KEPUASAN OWNER
TERHADAP PENERAPAN MANAJEMEN PROYEK
OLEH BUJK ASING DI INDONESIA
Tri Joko Wahyu Adi 4
1Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, email:
trijoko_w@yahoo.com
ABSTRAK
Tantangan globalisasi meningkatkan kompetisi dan lingkungan persaingan yang semakin dinamis. Oleh
karena itu, indutri konstruksi, khususnya Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) berupaya meningkatkan
kinerjanya guna memberikan kepuasan kepada pemilik proyek (owner). Dilain sisi, penerapan
manajemen proyek konstruksi merupakan jaminan bahwa proyek konstruksi dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan bersama. BUJK (kontraktor) asing yang masuk ke Indonesia selama ini dikenal tertib
dan rapi dalam menerapkan manajemen proyek. Namun, benarkah owner sudah merasa puas dengan
hasil yang diberikan? Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana owner puas
terhadap penerapan manajemen proyek konstruksi oleh kontraktor asing yang ada di Indonesia. Populasi
penelitian ini adalah owner yang telah menggunakan jasa kontraktor asing di Indonesia. Responden
penelitian adalah para pimpinan proyek dan staf teknis yang terlibat langsung dalam proyek. Area
penelitian meliputi Riau dan Surabaya (mewakili Indonesia bagian barat), Balikpapan (mewakili
Indonesia bagian tengah) dan makassar, NTB serta Papua (mewakili Indonesia bagian timur). Kuisioner
digunakan sebagai alat pengumpulan data, dan hasilnya dioleh mengunakan Important-Performance
Analysis (IPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar kontraktor asing sudah
menerapkan prinsip manajemen proyek namun belum semua owner merasa puas terhadap hasil kerja
mereka. Selain itu juga ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki, khususnya terkait kecepatan
penanganan masalah/ gangguan lingkungan, komunikasi yang terintegrasi dengan partner lokal, serta
mekanisme alih pengetahuan dan teknologi yang belum jelas.
Kata kunci: Kepuasan owner, Penerapan manajemen proyek, kontraktor asing
5. PENDAHULUAN
Kepuasan pelanggan telah menjadi sesuatu yang penting dalam semua bidang
produksi seiring dengan semakin meningkatnya kompetensi dan lingkungan persaingan
yang semakin ketat membuat setiap perusahaan harus terus meningkatkan dan
memperbaiki kinerja untuk dapat memuaskan pelanggannya. Perusahaan menggunakan
pengukuran kepuasan pelanggan dalam pengembangan, memonitor, dan mengevaluasi
penawaran produk dan layanan serta memotivasi dan untuk kompensasi karyawan
(Anderson et al. 1994). Mengukur kepuasan pelanggan juga bermanfaat bagi organisasi,
misalnya, meningkatkan komunikasi antar pihak, memungkinkan kesepakatan bersama,
mengevaluasi progress menuju tujuan, dan memonitoring hasil yang telah dicapai dan
perubahan-perubahan yang ada (Burns and Bush, 2006; Naumann, 1995). Dalam
persaingan dunia usaha, kepuasan pelanggan menjadi target utama para pelaku usaha.
Untuk keberlangsungan perusahaan tersebut, kepuasan pelanggan menjadi hal yang vital
dalam menentukan profit perusahaan.
Demikian juga pada industri konstruksi, pentingnya kepuasan pelanggan dan
orientasi kepada pelanggan telah tumbuh dikarenakan ketatnya kompetisi. Sebagai
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 214
penyedia jasa, dalam hal ini kontraktor dan konsultan harus bekerja semaksimal
mungkin untuk memuaskan pemilik proyek yang bertindak sebagai pelanggan. Sejak
dulu, kinerja dalam bidang konstruksi telah diukur melalui faktor biaya, waktu, dan
kualitas atau bisa juga disebut sebagai tiga kendala (triple constraint). Dari “triple
constraint” itu, sebuah proyek dianggap sukses jika bangunan tersebut disampaikan atau
diselesaikan pada waktu yang tepat dengan harga yang tepat dan berkualitas (Atkinsson,
1999).
Menurut Karna (2009), Konstruksi dapat dikategorikan sebagai proyek industri yang
lebih spesifik dengan fitur khusus mengenai produksinya, seperti temporalitas, lokasi
terbatas, dan bisa disebut sebagai produk yang “one-way ticket”. Karena sifat kompleks
dari konstruksi dan karakteristik khusus dari proses produksi proyek, konstruksi telah
memiliki beberapa masalah dalam menghasilkan kualitas yang berorientasi pada
pelanggan. Meskipun hal tersebut telah diketahui cukup lama, orientasi pelanggan pada
konstruksi telah tertinggal dan mengakibatkan pelanggan tidak puas. Hal ini juga
dikarenakan pengukuran kinerja proyek secara tradisional atau triple constraint sudah
terlalu sederhana untuk diterapkan didalam lingkungan proyek (Dainty et al, 2003).
Oleh karena itu perlu adanya sebuah pengembangan yang lebih mendetail mengenai
konsep tradisional itu agar lebih bermanfaat bagi sebuah proyek konstruksi.
Penerapan manajemen proyek konstruksi akan memerlukan pengetahuan tentang
berbagai aspek seperti integrasi, lingkup, mutu, biaya, waktu, resiko, komunikasi, SDM,
pengadaan, lingkungan, keselamatan, keuangan dan klaim (PMBOK & CMBOK, 2009).
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah badan usaha jasa konstruksi baik nasional
maupun asing menerapkan prinsip dan fungsi manajemen proyek konstruksi sehingga
pelanggan menjadi puas.
Tjiptono & Gregorius (2005) menyebutkan dalam bukunya bahwa kepuasan
pelanggan telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis dan manajemen.
Organisasi bisnis dan non-bisnis pun berlomba-lomba mencanangkan kepuasan
pelanggan sebagai salah satu tujuan strategiknya. Survei yang dilakukan terhadap
perusahaan-perusahan yang masuk dalam fortune 500 menunjukkan bahwa 71%
diantaranya berkeyakinan bahwa kepuasan pelanggan merupakan salah satu tantangan
terbesar dalam tahun-tahun selanjutnya, namun hanya 18% perusahaan yang memiliki
program mapan untuk memantau kepuasan pelanggan (Business Review Weekly, 31
March 1997). Lovelock, Patterson & Walker (2004) mengamati bahwa terjadi tren
serupa di kawasan Asia, Australia, dan Selandia Baru. Susetyo (2002) menyebutkan
bahwa kontraktor asing yang masuk ke Indonesia dapat dianggap sebagai pendatang
baru yang potensial. Pada era globalisasi pasar bebas yang sudah tidak dapat dicegah,
proteksi tidak mungkin dilakukan karena sudah ada perjanjian bebas diantara negara-
negara yang mempunyai kepentingan sama. Oleh sebab itu harus dicari strategi lain agar
supaya proyek konstruksi nasional tidak dikuasai oleh kontraktor asing.
Penelitian ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana pelanggan puas
terhadap manajemen proyek konstruksi yang diterapkan oleh badan usaha jasa
konstruksi. Disamping itu, kegiatan ini juga penting untuk memahami sejauh mana
sesungguhnya badan usaha jasa konstruksi menerapkan sistem manajemen untuk
mencapai keberhasilan suatu proyek baik dipandang dalam perspektif perusahaan
maupun pelanggan. Kajian ini akan juga memberikan pemahaman bagaimana kinerja
manajemen proyek konstruksi oleh badan usaha jasa konstruksi nasional dengan
kualifikasi kecil, menengah dan besar serta asing atau multinasional di Indonesia.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 215
6. DASAR TEORI
2.1. Identifikasi variabel kepuasan konstruksi terhadap penerapan manajemen
proyek konstruksi
Sebagai dasar dalam menentukan variabel kepuasan pelanggan konstruksi,
penelitian ini mengacu pada penelitian yang ditulis oleh Idrus & Sodangi (2011)
mengenai evaluasi kinerja kualitas dari kontraktor di Nigeria. Disebutkan bahwa kinerja
kualitas dari sebuah proyek konstruksi terbagi menjadi 2 dimensi yaitu kualitas fasilitas/
product yang dibangun serta kualitas dari layanannya/ service. Dimensi produk disini
maksudnya adalah hasil dari gedung atau bangunan konstruksi yang telah dibangun oleh
para penyedia jasa, sedangkan dimensi servis maksudnya adalah pelayanan yang
diberikan oleh penyedia jasa kepada owner selama masa proyek berlangsung dari awal
rencana hingga produk/ bangunan selesai dikerjakan. Kombinasi dari kedua kualitas
tersebut akan sangat berperan dalam pencapaian tingkat kinerja kualitas. Tabel 9 di
bawah berisi beberapa dimensi kualitas produk dan layanan (Idrus & Sodangi, 2011)
yang diambil dari beberapa literatur seperti Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985),
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988), Gronroos (1988), Garvin (1988), dan Evans
dan Lindsay (2005).
Tabel 9. Dimensi kepuasan pada level proyek
No Dimensi Deskripsi A Product 1 Performance Fungsi dasar dari fasilitas yang memenuhi
kebutuhan pengguna dan tujuan akhirnya. 2 Features Karakteristik yang melengkapi fungsi dasar
fasilitas. 3 Reliability Tingkat kepercayaan dimana pengguna akhir
dapat menggunakan fasilitas sampai akhir umur rencana, tanpa kegagalan.
4 Conformance Tingkat dimana operasional konstruksi memenuhi standar desain dan spesifikasi.
5 Durability Jumlah penggunaan dari pengguna terakhir dapatkan dari fasilitas sebelum adanya penggantian untuk perbaikan.
6 Serviceability Kecepatan, kesopanan, dan kompetensi dengan pemeliharaan pada fasilitas dapat dilakukan.
7 Aesthetics Tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman pengguna akhir terhadap tampilan fasilitas, merasa, suara, rasa, atau bau.
8 Perceived quality Tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman pengguna akhir terhadap image fasilitas dan publisitas.
B. Service 1 Time Durasi kontrak, termasuk waktu tunggu untuk
mobilisasi di lapangan. 2 Timeliness Penyelesaian kontrak pada tanggal yang
dijadwalkan/direncanakan. 3 Completeness Jumlah item pada daftar yang terealisasi pada
saat penyelesaian proyek. 4 Courtesy Tingkat rasa hormat, kesopanan, keramahan,
dan kebaikan di lapangan dan karyawan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 216
lainnya. 5 Consistency Kemampuan untuk tetap stabil memberikan
tingkat pelayanan yang sama untuk semua klien.
6 Accessability & Convinience Kemudahan setelah kontrak pelayanan telah diperoleh.
7 Accuracy Kemampuan untuk menyediakan layanan yang tepat pada saat pertama dengan jumlah pekerjaan ulang minimal.
8 Responsiveness Kemampuan untuk bereaksi terhadap masalah yang tak terduga selama kontrak. Kesediaan dan kesiapan untuk memberikan layanan yang cepat.
9 Reliability Kemampuan untuk menjanjikan melakukan layanan yang handal dan akurat
10 Communication Menjaga pelanggan terus mendapatkan informasi dalam bahasa yang dapat mereka mengerti dan mendengarkan pelanggan ketika diperlukan.
11 Credibility Kejujuran dan kepercayaan. 12 Security Fisik, keuangan dan kerahasiaan. 13 Competence Memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan pada semua karyawan. 14 Tangibles Fisik fasilitas dan peralatan, dan penampilan
karyawan. 15 Understanding Kemampuan untuk memahami kebutuhan
dan persyaratan klien. 16 Assurance Pengetahuan dan kesopanan dari karyawan
dan kemampuan mereka untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan.
17 Empathy Tingkat kepedulian, perhatian individual perusahaan kepada pelanggan.
18 Recovery Kemampuan untuk mendapatkan momentum dan peningkatan dari setiap proyek.
Untuk memfusikan konsep kepuasan kualitas konstruksi dengan penerapan manajemen
proyek, maka konsep idrus dan sondagi (2010) perlu digabung dengan konsep project
management body of knowledge (PMBOK). Gambar 1 menjelaskan penggabungan tiga
konsep, yaitu kepuasan, konstruksi dan manajemen proyek.
2.2. penelitian terdahulu dan posisi penelitian
Penelitian terdahulu yang membahas ketiga bidang kelimuan tersebut atau
yang membahas kepuasan pelanggan terhadap penerapan manajemen proyek konstruksi
diantaranya yaitu Ezekiel, Paul and Pauline (1998) yang meneliti mengenai kepuasan
pelanggan di negara UK yang didapat dari survey pada 42 bangunan untuk
mendapatkan kriteria-kriteria atau aspek-aspek yang menjadi keinginan dari klien
terhadap bangunan-bangunan yang ada di UK. Kemudian setelah survey dilakukan
didapatkan 3 urutan teratas hal-hal yang diinginkan oleh klien yaitu kebutuhan akan
fungsi bangunan, waktu penyelesaian proyek, dan keefektifan penggunaan dana atau
nilai uang. Kemudian Karna (2004) mencoba meneliti mengenai kepuasan pelanggan
dan kualitas bagi pihak owner dari pemerintah dan juga swasta, analisis empiris
dilakukan untuk meninjau kepuasan pelanggan di konstruksi dari sudut pandang
pelanggan publik dan swasta. Hasil penelitian menemukan bahwa pelanggan publik
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 217
lebih tidak terpuaskan dengan performa kontraktor dibandingkan pelanggan swasta.
Penelitian selanjutnya oleh Mehmedali dan Abulrezak (2006) mengenai kebutuhan,
keinginan, dan harapan klien dari kontraktor dengan klien dari pihak swasta berdasarkan
masukan dari pasar konstruksi yang ada di Northern Cyprus. Penelitian menghasilkan
beberapa temuan diantaranya klien swasta di tempat tersebut lebih mementingkan harga
yang ditawarkan oleh pihak kontraktor, lama kontraktor ada di konstruksi, dan image
kontraktor di pasar konstruksi. Menurut Idrus & Sodangi, (2011) Kepuasan konstruksi
pada level proyek terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu: dimensi produk dan dimensi
pelayanan (service). Kemudian kuisioner disebarkan kepada klien yang dibagi menjadi
3 kelompok yaitu pemerintah, semi-pemerintah, dan swasta. Didapatkan hasil bahwa
ketiga kelompok klien memiliki persepsi yang sama mengenai kinerja para kontraktor.
Penelitian ini mengambil daerah penelitian di Indonesia. Dengan adanya
perbedaan budaya dan demografis tertentu, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan di Indonesia kemungkinan akan berbeda dengan di negara/ tempat
lain. Sedangkan persamaan dari kelima penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini
yaitu semua dilatar belakangi oleh kurangnya perusahaan konstruksi memperhatikan
kepuasan pelanggannya yang berakibat tidak baik bagi kelangsungan perusahaan dan
persaingan dengan perusahaan lain yang lebih mengerti pada keinginan pelanggan.
Gambar 1. Variabel kepuasan konstruksi terhadap penerapan manajemen proyek
7. METODE PENELITIAN
3.1. Variabel penelitian
Secara umum penelitian ini adalah merupakan jenis penelitian eksploratif yang
dilakukan dengan metode survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari populasi
dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data primer atau data pokok.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepuasan pemilik proyek (baik
pemerintah maupun swasta) yang pernah menggunakan jasa badan usaha konstruksi
(kontraktor) asing.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 218
Konsep variabel kepuasan konstruksi atas penerapan manajemen proyek diturunkan dari
penggabungan konsep kepuasan, konstruksi dan manajemen proyek. Konsep ini
diwujudkan dalam bentuk matriks (seperti pada tabel 2) dan kemudian diturunkan
menjadi 27 variabel penelitian (pertanyaan di kuisioner).
Tabel 2. Matriks kombinasi 3 konsep.
3.2. Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian ini adalah badan usaha jasa konstruksi asing yang pernah
mengerjakan proyek milik pemerintah di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di
beberapa kota besar di Indonesia, seperti: Riau dan Surabaya (mewakili Indonesia
bagian barat), Balikpapan (mewakili Indonesia bagian tengah) dan makassar, NTB dan
Papua (mewakili Indonesia bagian timur). Sampel/ responden penelitian ini adalah para
pemilik proyek (pemerintah maupun swasta) yang pernah menggunakan jasa kontraktor
asing maupun multinasional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Non probabilistic sampling ( purposive Sampling). Alasan
pemilihan metoda purposive adalah: 1) Frame populasi tidak dapat diprediksi 2)
Terbatasnya responden yang pernah menggunakan BUJK asing maupun multinasional
di Indonesia.
3.3. Analisis data
Data yang terkumpul dari kuisioner, akan dianalisis untuk menyimpulkan hasil
pengukuran kepuasan pelanggan terhadap kinerja manajemen proyek konstruksi di
Indonesia. Dari hasil kuisioner, selain akan dicari indikator yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan, juga akan dicari kesenjangan (gap) antara harapan dan kenyataan
dilapangan. Untuk menganalisis indikator yang paling dominan mempengaruhi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 219
kepuasan pelanggan akan digunakan “mean rank analysis”, sedangkan untuk
mengetahui kesenjangan antara harapan dan kenyataan digunakan analisa kuadran atau
“Importance-Performance Analysis”.
8. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Dari 50 kuisioner yang disebarkan, terkumpul 31 kuisioner (62%). Gambar
berikut ini menunjukkan deskripsi profil responden dan informasi proyek yang
disurvey. Terlihat bahwa 43% responden telah berpengalaman lebih dari 10 tahun
dengan 87% proyek bernilai antara US$ 1 juta sampai dengan US$ 500 juta. Negara
asal kontraktor asingpun bervariasi diantaranya berasal dari Asia, Eropa Australia dan
Amerika.
Gambar 2. Deskripsi profil responden dan informasi proyek
Hasil analisa Important Performance Analysis (IPA) menunjukkan bahwa ada
beberapa variabel yang perlu mendapatkan prioritas perhatian yaitu: ketepatan waktu
pelaksanaan (terkait dengan schedule yang realistis), penanganan masalah/ gangguan
(lingkungan), ketepatan pemilihan partner lokal yang berdampak pada kelancaran
komunikasi dan penyediaan SDM berkualitas (lihat Gambar 3).
Gambar 3. IPA diagram
Kuadran:
Prioritas
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 220
Ketidaktepatan waktu penyelesaian lebih disebabkan oleh rentang waktu proyek
pemerintah yang tidak realistis akibat dana yang ‘biasanya’ turun mendekati akhir
tahun. Sedangkan masalah penanganan masalah (lingkungan), kontraktor asing
cenderung tergantung pada partner lokal untuk menyelesaikan. Masalah SDM dan
komunikasi yang kurang terintegrasi kebanyakan disebabkan karena problem perbedaan
kultur (misal, partner lokal yang perlu beradaptasi pada Standard Operating Procedure
(SOP) dan system management yang dibuat oleh kontraktor asing, serta kebiasaan
bekerja aman (K3) dan prosedural) dan kekurangmampuan partner lokal berkomunikasi
menggunakan bahasa asing. Hal ini terjadi terutama pada pekerja level teknis (med-low
level).
Uji t-test yang dilakukan menunjukkan bahwa masih ada perbedaan yang signifikan
antara tingkat kepentingan dan kepuasan owner terhadap penerapan manajemen proyek
oleh kontraktor asing di Indonesia, seperti terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji t test.
Ho: Tidak ada perbedaan antara tingkat kepentingan dan kepuasan
H1: Ada perbedaan antara tingkat kepentingan dan kepuasan
Terlihat bahwa P value (sig.) 0,001< 5%, sehingga H1 diterima pada tingkat
signifikansi 5%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa “Ada perbedaan antara
tingkat Kepentingan dan tingkat Kepuasan”. Dalam penelitian ini juga ditemukan
beberapa kendala pelaksanaan partnering kontraktor lokal dan asing di Indonesia,
seperti:
1. Perbedaan budaya dan etos kerja: seperti Cultural shock, perbedaan standar hidup,
nilai budaya dan sistem sosial; seperti masih terlihat adanya perbedaan fasilitas
maupun gaji yang menyolok antara engineer asing dan lokal sehingga timbul
kecemburuan sosial.
2. Pemilihan parter lokal: kekurangseimbangan kapasitas dan kapabilitas baik teknis
maupun manajemen, termasuk keseimbangan modal kerja. Kecenderungan ‘sekedar’
mencari partner lokal untuk mendapatkan pekerjaan masih terlihat, serta
kekurangmampuan berbahasa asing bagi partner lokal, khususnya pada level teknis
(mid-low level managment) menjadi kendala dalam bekerja.
3. Mekanisme alih teknologi: Sesuai dengan salah satu tujuan pemerintah bahwa
partnering BUJK asing dan lokal dimaksudkan untuk transfer pengetahuan dan
teknologi. Namun pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme ini
masih belum terlihat dengan jelas. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk
membuat kebijakan terkait mekanisme alih pengetahuan dan teknologi.
4. Transfer budaya: Pengalaman tukar budaya juga menjadi salah satu point penting
bagi BUJK lokal, mengingat, kedepan, BUJK nasionalpun akan mencari/
melaksanakan proyek di luar negeri. AFTA dan kesepakatan baru terkait
perdagangan bebas di asia, memungkinkan BUJK lokal masuk dan mendapatkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 221
proyek di negara negara di kawasan Asia. Proses adaptasi budaya, model komunikasi
dan penanganan masalah dilapangan akan menjadi modal bagi BUJK lokal untuk
bisa beradaptasi di luar negeri.
9. KESIMPULAN
1. Terdapat 27 variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan klien
dalam penerapan manajemen proyek oleh badan usaha jasa konstruksi di Indonesia.
Variabel tersebut diderivasi dari 3 konsep, yaitu : konsep kepuasan pelanggan,
konsep deliverable proyek konstruksi dan konsep manajemen proyek yang diadopt
dari PMBOK.
2. Hasil pengukuran tingkat kepentingan dan kepuasan klien (owner) terhadap kinerja
BUJK asing dalam menerapkan manajemen proyek (yang direpresentasikan dalam
diagram Kepentingan dan kepuasan) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
kepentingan = 4.53, dan rata-rata tingkat kepuasan= 3.59. sehingga tingkat
kesesuaian antara kepentingan (ekspektasi) dan kepuasan adalah 85%. Namun dari
hasil uji statistik (t test) menunjukkan masih ada perbedaan yang cukup signifikan
antara tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan. Ada hal hal yang masih perlu
diperbaiki dan ditingkatkan penerapannya, seperti penjadwalan yang realistis,
penanganan masalah terkait lingkungan dan sosial, serta komunikasi yang
terintegrasi antar stakeholders.
3. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan kerjasama antara BUJK asing
dan partner lokal, masih menyisakan permasalahan keseimbangan kapasitas/
kapabilitas partner, serta masih belum terimplementasikannya transfer pengetahuan
dan teknologi dari BUJK asing kepada BUJK lokal.
10. APRESIASI (ACKNOWLEDGEMENT)
Peneliti mengucapkan apresiasi yang setinggi tingginya kepada BP konstruksi
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) karena penelitian ini merupakan salah satu topik
penelitian peningkatan kapasitas industri konstruksi Indonesia yang didanai oleh BP
Konstruksi kementerian PU tahun anggaran 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Daniwiyah, Dede. 2011. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Bauran Pemasaran
Terhadap Kepuasan Pelanggan (Studi Kasus Bus MGI AC Jurusan Sukabumi-
Depok). Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Gunadarma. Depok.
Ezekiel, Paul, and Pauline. 1998. An evaluation of the project needs of UK building
clients. International Journal of Project Management Vol. 16 No. 6 pp. 385-391.
Elsevier Science Ltd and IPMA. Great Britain.
Karna, S., 2004. Analysing Customer Satisfaction and Quality in Construction - the
Case of public and Private customers. Nordic Journal of Surveying and Real
Estate Research, Special Series, Vol 2. Finland.
Hapsari, Yan. 2008. Analisis yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan pada PT.
Graha Sarana Duta Semarang, Telkom Group. Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.
Husen, Abrar. 2009. Manajemen Proyek. Andi offset. Yogyakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 222
Idrus and Sodangi. 2011. Framework for Evaluating Quality Performance of
Contractors in Nigeria. International Journal of Civil and Environmental
Engineering IJCEE-IJENS Vol 10, No 01 pp. 34-39. Malaysia.
Karna, Sami. 2009. Concept and Attributes of Customer Satisfaction in Construction.
TKK structural Engineering and Building Technology Dissertations. Helsinki
University of Technology. Finland.
Kotler, P and Donald H., Irving R. 1998. Marketing Places : Attracting Investment,
Industry and Tourism to Cities, State and nations. The Free Press Admission Of
macmillan inc. New York.
Kuncoro, M. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Bagaimana Meneliti
dan Menulis Tesis? Jakarta: Erlangga.
Mehmedali and Abdulrezak. 2006. Clients needs, wants and expectations from
contractors and approach to the concept of repetitive works in the Northern
Cyprus construction market. Building and Evirontment Vol. 41 pp. 602-614.
Elsevier Science. Turkey.
Munns and Bjeirmi. 1996. The Role of Project Management in Achieving Project
Success. International Journal of Project Management Vol. 14 No. 2 pp. 81-87.
Elsevier Science Ltd and IPMA. Great Britain.
Parasuraman, Zeithaml, and Berry. 1988. A Multiple-Item Scale for Measuring
Consumer Perceptions of Service Quality. Servqual, Journal of Retailing Vol 64
No. 1 pp. 23-40. Texas.
Project Management Body of Knowledge (PMBOK guid) Fourth Edition. 2008. Project
Management Institute, Inc.
Soeharto, Iman. 1999. Manajemen Proyek, Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Sekaran, U. 2009. Research Method for Business: Metodologi Penelitian Bisnis.
Salemba Empat. Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta,
Bandung.
Tjiptono F.,dan Gregorius Chandra. 2005. Service, Quality & Satisfaction. Andi offset.
Jogjakarta.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 223
PENGARUH IKLIM ORGANISASI DAN KEPUASAN
KERJA TERHADAP NIAT BERHENTI STAF PROYEK
PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI DI SURABAYA
Krisna Adi Utamaiv
dan Putu Artama W.2
1Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,Kampus ITS
Sukolilo Surabaya, Telp 031-5946094, email: tekniksipil_its@yahoo.com, krisnaadiutama@yahoo.com 2Dosen Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya,
Telp 031-5946094, email: tekniksipil_its@yahoo.com
ABSTRAK
Staf proyek adalah salah satu aset perusahaan yang sangat penting mengingat peranannya
sebagai pelaku utama produksi, khususnya pada perusahaan konstruksi. Oleh karenanya dibutuhkan unsur
pemeliharaan dari manajemen sumber daya manusia untuk mengelola kebijakan dan langkah strategis
untuk mempertahankan karyawannya. Perubahan pada personil proyek yang sifatnya pengunduran diri
(voluntary turnover) akan berdampak langsung pada tim proyek, performa proyek, bahkan pada akhirnya
berimbas pada organisasi. Efektifitas strategi retensi akan ditinjau pada elemen penting motivasi, yakni
kepuasan kerja. Disisi lain, secara makro, manajemen perusahaan juga akan memberikan dampak pada
persepsi bersama karyawan terhadap perusahaannya, dan mempengaruhi prilaku karyawan itu sendiri.
Tolok ukur keberhasilan usaha pemeliharaan yang dilakukan perusahaan mesti dianalisa dalam dimensi
yang kompleks, yakni melibatkan loyalitas serta tingkat stress (burnout) karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepuasan kerja dan iklim organisasi
terhadap niat berhenti seseorang, melalui loyalitas dan burnout sebagai variabel interviening (perantara).
Penelitian ini menggunakan metode survey terhadap staf perusahaan konstruksi di Surabaya yang terlibat
langsung dalam penanganan proyek, kemudian dianalisis dengan Structural Equation Modelling (SEM).
Dari hasil analisa didapatkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap loyalitas dan
berpengaruh negatif pada niat berhenti. Iklim organisasi juga ditemukan dapat berpengaruh positif
terhadap loyalitas dan berpengaruh negatif terhadap tingkat depresi/burnout karyawan. Ditambahkan juga
bahwa iklim organisasi memberikan pengaruh tidak langsung terhadap niat berhenti melalui tingkat
depresi/burnout karyawan.
Kata kunci: Niat berhenti, kepuasan kerja, iklim organisasi, loyalitas, burnout.
1. PENDAHULUAN
Manusia sebagai modal perusahaan adalah komponen yang paling utama dari
banyak organisasi, bagaimanapun perusahaan perlu untuk menggunakan modal manusia
sebagai jalan untuk menampilkan efisiensi kerja dengan menggunakan keahlian dasar
mereka (Atif Anis dkk. 2011)[1]. Mempertahankan karyawan yang memiliki kualitas
performa yang tinggi, sebagai aset yang sangat bernilai dari banyak perusahaan, adalah
salah satu isu dari nilai kompetitif organisasi saat ini (Liew C.H. dan Sharan Kaur,
2008)[2]. Retensi pekerja adalah kemampuan untuk menahan pekerja yang di kehendaki
bertahan lebih lama, dari perginya ke pesaing (Jhonson, 2000 dalam Shoaib M., dkk
(2009)[3]. Retensi sangat erat hubungannya dengan pengunduran diri karyawan
(employee turnover. Retensi karyawan berkembang menjadi dimensi yang lebih luas
mengenai usaha pemeliharaan organisasi terhadap sumber daya manusianya. Tidak
hanya sekedar menjaga karyawan agar tetap bertahan, namun juga mengendalikan
tingkat stress yang diakibatkan pekerjaan serta mempertahankan loyalitas mereka.
Pengunduran diri menjadi masalah yang krusial mengingat dampak yang
ditimbulkan pada organisasi. Ahlrichs (2000) dan Roodt dan Bothma (1997) dalam
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 224
penelitian Kotze, K dan Roodt, G (2005)[4] menampilkan besarnya pengeluaran atau
biaya yang dihasilkan selain hilangnya tenaga kerja, hilangnya pengetahuan dan
pengalaman dari organisasi yang akan menghambat performa dari organisasi (Ramlall,
2004) [5]..
Niat untuk berhenti diartikan sebagai kecenderungan karyawan untuk keluar
(mengundurkan diri) dari perusahaan tempat bekerja Mak, B. L. dan Sockel, H.
(2001)[6]. Adanya turnover intent di dalam perusahaan merupakan bom waktu, yang
suatu saat nanti akan meledak, dan sejumlah karyawan akan keluar (eksodus) dari
perusahaan di saat perusahaan sedang membutuhkan. Ketika pekerja dengan niat
berhenti yang rendah adalah dampak dari persepsi kepuasan kerja dan keamanan kerja
(job security), pekerja yang telah memiliki niat berhenti yang tinggi akan menjadi
frustasi dan tidak berkosentrasi pada pekerjaannya.
Kondisi perusahaan konstruksi di Surabaya pun mengalami perubahan personil
tim proyek, berupa karyawan yang mengundurkan diri cukuplah besar. Hal ini biasanya
kerap terjadi pada perusahaan di skala kecil dan menengah. Meski belum dapat
dipastikan niat seseorang untuk berhenti selalu berakhir dengan pengunduran diri,
namun keinginan dan macam motif obsesi seseorang untuk berhenti, menunjukkan
rendahnya motivasi kerja, kondisi perusahaan yang gagal menarik karyawan untuk tetap
loyal di dalam organisasi.
Penelitian ini mencoba mengembangkan model dengan menambahkan variabel
loyalitas dan burnout sebagai variabel intervening (perantara) terhadap niat berhenti.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan faktor faktor dan bagaimana pengaruh
yang bisa diberikan iklim organisasi dan kepuasan kerja terhadap niat berhenti.
2. DASAR TEORI
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja dalam model tradisional memiliki fokus utama pada apa yang
dirasakan individu mengenai pekerjaan atau perasaan senang terhadap pekerjaannya
(Al-Hussami, 2008; Crossman and Abou- Zaki, 2003 dalam Atif Anis 2011)[1].
Kepuasan kerja tidak hanya bergantung pada sisi alami pekerjaan, namun juga
bergantung pada harapan/espektasi pada apa yang bisa diberikan pekerjaan pada pekerja
(Al-Hussami, 2008) [7]. Secara umum, jika pekerja puas dengan supervisi, rekan kerja,
kebijakan pembayaran dan promosi ke depan, mereka akan menunjukkan komitmen
terhadap organisasi dan puas dengan pekerjaannya (Reed, Kratchman and Strawser,
(1994) dalam atif Anis dkk. (2011)[1].
Kepuasan kerja berhubungan untuk menjaga performa kerja, nilai kerja yang
positif, tingginya tingkat motivasi, dan mengurangi keabsenan, pengunduran diri dan
“burnout” (Chiu, 2000; Tharenou, 1993 dalam Edi Suhanto 2009) [8].
Seorang karyawan yang merasa puas dalam pekerjaannya, akan menunjukkan
sikap yang baik secara keseluruhan di tempat kerja dan menyebabkan meningkatnya
komitmen terhadap organisasi yang akhirnya akan menyebabkan rendahnya niat untuk
keluar dari perusahaan (intention to quit) (Raabe dan Beehr,2003; Ramaswami dan
Singh, 2003 dalam Edi Suhanto 2009) [8].
Iklim organisasi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 225
Al Shammari dalam Edi Suhanto, (2009) [8] mendefinisikan iklim organisasi
sebagai suatu set dari sifat-sifat terukur (measurable properties) dari lingkungan kerja
yang dirasakan atau dilihat secara langsung atau tidak langsung oleh orang hidup yang
bekerja di lingkungan tersebut dan diasumsikan mempengaruhi motivasi dan prilaku
mereka. Persepsi bersama yang muncul dari kebijakan, praktek, dan prosedur organisasi
secara informal dan formal (Reichers dan Scheneider dalam Edi Suhanto, 2009) [8].
Ketidakpastian dalam lingkungan kerja mempengaruhi tingkat stres di kalangan
para karyawan dalam suatu organisasi. Lebih lanjut Robbins (2003) dalam Edi Suhanto
(2009)[7] berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam
organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang
berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak
pada karyawan merupakan potensi sumber stress.
Lok dan Crawford (1999) dalam Kotze dan Roodt (2005)[4] menemukan
hubungan signifikan yang positif antara komitmen dan tingkat kontrol lingkungan kerja,
kontrol dalam konteks ini adalah kebebasan pekerja atau kemampuan untuk
mempengaruhi atau merekayasa lingkungan kerja.
Penelitian oleh Liew C.H. dan Sharan Kaur (2008)[2] menyatakan bahwa
dukungan mengacu pada perhatian/bantuan yang diberikan manajer dan rekan kerja
lainnya dalam kelompok dalam bentuk saling mendukung satu sama lain dalam satu
organisasi. Iklim dengan dukungan yang baik diyakini dapat mengurangi konflik antar
personal. Selanjutnya hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa organisasi dapat
menurunkan tingkat pengunduran diri karyawan melalui peingkatan iklim organisasi
dengan jalan menghilangkan prosedur atau aturan yang tidak efektif atau memberatkan.
Retensi
Zhang, Y dan Wallace, M (2008) [9] menuliskan pendapat Frey dan Stechstor
(2007) yang menyatakan bahwa staff retention berhubungan dengan keberlanjutan
kontrak kerja antara pekerja dengan organisasi dan meliputi aktivitas yang akan diambil
oleh organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja. Berdasarkan hasil penelitian
Muhammad (1990), Mak dan Sockel (2001)[6] menyatakan bahwa retention dapat
termanifestasi ke dalam tiga cara. Pekerja mungkin dapat mengembangkan perasaan
loyal dan komitmen organisasi, menjadi sangat tertekan (depresi) dimana menjadi
‘burn-out’ mode, mungkin akan memutuskan apakah dia membutuhkan keberadaan
dalam organisasi, merencanakan, dan berniat untuk meninggalkan perusahaan atau
merubah jalur karirnya.
Loyalitas Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001)[6] menyatakan bahwa loyalitas diartikan
sebagai segala sesuatu yang mendukung perasaan setia karyawan pada perusahaan
tempatnya bekerja. Loyalitas karyawan mempunyai peranan penting dalam kemajuan
perusahaan. Itulah sebabnya perusahaan harus dapat membuat karyawan loyal.
Komitmen organisasi adalah kestabilan psikologi atau dukungan yang diberikan
individu terhadap organisasi (Carrie re dan Bourque, 2009 dalam Atif Anis et al.
2011)[1]. Pekerja yang memiliki tingkat komitmen organisasi yang tinggi mempunyai
merasa memiliki dan menjadi bagian di dalamnya, serta akan berhasrat untuk mencapai
target organisasi (Meyer and Allen, 1991 dalam Atif Anis et al. 2011)[1]. Lebih jauh,
komitmen individu terhadap organisasi akan menjaga dari absensi dan turnover (Golden
and Veiga, 2008 dalam Atif Anis et al. 2011)[1].
Burnout
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 226
Faktor ke dua yang memungkinkan karyawan yang masih bertahan bekerja di
perusahaan yaitu terpaksa bekerja dengan beban emosi karena tidak ada pilihan lain (job
burnout) Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001) [6]. Pendapat Moore (2000) dalam
Kusumawardhani (2005)[11], “Burnout adalah tekanan emosi secara konstan atau
berulang-ulang yang diakibatkan karena keterlibatan orang banyak dalam jangka waktu
yang lama”. Ditambahan oleh Mak, B. L. dan Sockel, H. (2001)[6], bahwa burnout
berhubungan dengan niat untuk berhenti dan akan menyebabkan komitmen karyawan
pada lingkungan perusahaan terhenti atau berlangsung lama. Ketika mengalami burnout
dalam profesinya, dan merasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan dengan baik, mereka
akan merasa lebih memilih untuk berhenti (Jackson, Schwab, & Schuler 1986 dalam
Jiménez B.M, dkk 2012)[10].
Niat untuk berhenti (Turnover Intent) Niat untuk berhenti diartikan sebagai kecenderungan karyawan untuk keluar
(mengundurkan diri) dari perusahaan tempat bekerja (Mak, B. L. dan Sockel, H.
2001)[6] . Adanya turnover intent di dalam perusahaan merupakan bom waktu, yang
suatu saat nanti akan meledak, dan sejumlah karyawan akan keluar (eksodus) dari
perusahaan di saat perusahaan sedang membutuhkan. Ketika pekerja dengan niat
berhenti yang rendah adalah dampak dari persepsi kepuasan kerja dan keamanan kerja
(job security), pekerja yang telah memiliki niat berhenti yang tinggi akan menjadi
frustasi dan tidak berkosentrasi pada pekerjaannya. Niat berhenti dari pekerja yang
rendah mengindikasikan bagusnya retensi pekerja.
3. METODOLOGI
Berdasarkan kajian pustaka maka hipotesa penelitian dikembangkan sebagai
berikut dan model penelitian yang ditunjukkan pada gambar 1:
H1 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap Loyalitas
H2 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap Burnout
H3 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti
H4 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap Loyalitas
H5 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Burnout
H6 : Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti
H7 : Loyalitas mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti
H8 : Burnout mempunyai pengaruh negatif terhadap Niat untuk berhenti
Gambar 1: Model kerangka penelitian
Populasi, Sampel dan Instrumen Penelitian
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 227
Populasi target yang ditetapkan adalah staf proyek konstruksi yang bekerja pada
perusahaan konstruksi dengan grade menengah (grade 5 dan 6) yang berdomisili di
wilayah Kota Surabaya Propinsi Jawa Timur dan terdaftar dalam asosiasi-asosiasi
kontraktor seperti, Gapensi, Gapesindo, dll. Sedangkan kriteria dari staf proyek adalah
karyawan tetap perusahaan yang terlibat langsung dalam pengendalian dan pelaksanaan
proyek.Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
model probability sampling. Rancangan sampling menggunakan sampling sistematik.
Jumlah sampel minimal yang diambil dalam penelitian ini adalah 5 dikalikan 30
(parameter penelitian) yaitu 150 sampel.
Instrumen penelitian dikumpulkan dari kajian teori dan penelitian terdahulu,
yakni 5 item kuisioner kepuasan kerja Veldsman, T.H, 8 item kuisioner iklim
organisasi Veldsman, T.H, 4 item kuisioner komitmen organisasi Porter’s, 10 item
kuisioner burnout Pines dan Aronson, serta 4 item kuisioner niat berhenti dari Igbaria
dan Larson. Masing masing indikator akan diukur dengan menggunakan skala likert
yang akan diberi nilai 1 sampai 5.
4. HASIL DAN DISKUSI
Analisa desriptif responden ditunjukkan pada tabel 1 dimana sebagian besar
responden adalah laki-laki, telah berumah tangga, dan pendidikan mayoritas responden
adalah Strata. 57% responden telah bekerja selama 3-10 tahun. Posisi bekerja dari
responden pun relatif berimbang dari beberapa posisi penanganan proyek.
Tabel 1: Deskriptif Responden
N %
Jenis Kelamin
Pria 123 84
Wanita 27 16
Status Pernikahan
Menikah 110 74
Belum menikah 29 19
Tanpa keterangan 11 7
Pendidikan Terakhir
SLTA 31 22
D3 18 11
S1-S2 101 67
Pengalaman Kerja
1-2 tahun 28 19
3-10 tahun 86 57
10 tahun+ 36 24
Jabatan /posisi kerja
Manajer Proyek 17 11
Site Manager 23 15
Pelaksana 31 21
Engineer 17 11
Logistik 10 7
Keuangan 46 31
Analisis faktor konfirmatori ini merupakan tahap pengukuran terhadap
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 228
indikator-indikator yang membentuk variabel laten dalam model penelitian. Analisis
Konfirmatori dilakukan antar variabel eksogen dan antar variabel endogen. Pada model
konfirmatori eksogen terdapat dua variabel eksogen yaitu kepuasan kerja dan iklim
organisasi. Sedangkan model model konfirmatori terdapat tiga variabel endogen yaitu
loyalitas, burnout, dan niat berhenti. Setelah melalui analisis konfirmatori 2 model yang
telah memenuhi kriteria goodness fit akan digabungkan dalam satu model persamaan
struktural untuk dianalisa. Model ditampilkan dalam gambar 2, dan hasil penilaian
goodness of fit nya ditampilkan pada tabel 4.
Gambar 2: Model persamaan struktural
Tabel 2 : Penilaian Goodness Fit Model Persamaan Struktural GOODNESS of FIT INDEX CUTOFF VALUE NILAI PENILAIAN
Significance Probability ≥ 0,05 0.022 Fit
CMIN/DF ≤ 2,00 1.343 Fit
GFI ≥ 0,90 0.887 Marginal
AGFI ≥ 0,90 0.833 Marginal
CFI ≥ 0,95 0.972 Fit
TLI ≥ 0,95 0.964 Fit
RMSEA ≤ 0,08 0.056 Fit
Hasil uji Chi-square menunjukkan model telah fit yaitu dengan nilai Chi-squares
108.752 dengan probabilitas p= 0.022. Begitu juga dengan kriteria fit lainnya yakni
CFI, TLI, CMIN/DF , dan RMSEA semua juga telah memenuhi syarat yang
direkomendasikan. Hanya nilai GFI dan AGFI yang masih berada pada batas yang
masih bisa diterima (marginal).
Uji Normalitas Data, Reliabilitas dan Varians Entrance
Evaluasi normalitas dilakukan dengan menggunakan criteria critical ratio
skewness value sebesar ±2.58 pada tingkat signifikansi 0.01. Pada hasil output pada
software AMOS 19.0 dari nilai critical ratio skewness value, semua indikator
menunjukkan distribusi normal karena nilainya dibawah 2.58. Sedangkan uji normalitas
multivariate memberikan nilai cr 2.276, jadi data telah berdistribusi normal.
Reliabilitas adalah ukuran konsistensi internal dari indikator-indikator sebuah
variabel bentukan yang menunjukkan derajat sampai dimana masing masing indikator
itu mengindikasikan sebuah variabel bentukan yang umum. Pada tabel 3, nilai
reliabilitas untuk masing-masing konstruk memiliki nilainya diatas cut-off value 0.70.
Variance Extracted memperlihatkan jumlah varians dari indikator yang
diekstraksi oleh variabel bentukan yang dikembangkan. Nilai variance extracted yang
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 229
tinggi menunjukkan bahwa indikator-indikator itu telah mewakili secara baik variabel
bentukan yang dikembangkan. Pada tabel 3, nilai variance extracted untuk masing-
masing konstruk memiliki nilai diatas cut-off value 0.50
Tabel 3: Reliabilitas dan Variance entrance
Reliability Variance
extrance
Kepuasan kerja 0.880 0.595
Iklim organisasi 0.840 0.637
Loyalitas
Burnout
Niat berhenti
0.757
0.847
0.943
0.609
0.649
0.892
Pengujian Hipotesis
Pengujian 8 hipotesis penelitian ini dilakukan berdasarkan nilai ratio Critio Ratio
(CR) dari suatu hubungan kausalitas dari hasil pengolahan SEM sebagaimana pada tabel
4. Nilai CR yang lebih besar dari ±1.96 dan probabilitas yang lebih kecil dari 0,05;
menunjukkan bahwa hipotesa yang diajukan dapat diterima.
Tabel 4: Nilai Regresi C.R P
Loyalitas --- Kepuasan kerja 3.945 ***
Burnout --- Kepuasan kerja -0.715 0.475
Niat berhenti --- Kepuasan kerja -3.013 0.003
Loyalitas --- Iklim organisasi 2.598 0.009
Burnout --- Iklim organisasi -2.459 0.014
Niat berhenti --- Iklim organisasi 1.512 0.131
Niat berhenti --- Loyalitas -0.182 0.855
Niat berhenti --- Burnout 4.915 ***
Dengan melihat tabel 4, maka lima dari delapan hipotesa dapat diterima, antara
lain kepuasan memberi pengaruh positif terhadap loyalitas (C.R. 3.945; p= p=dibawah
0.001), dan berpengaruh negatif terhadap niat berhenti dengan (C.R. -3.013; p= 0.003).
Iklim memberi pengaruh positif terhadap loyalitas (C.R. 2.598; p= 0.009), dan
berpengaruh negatif terhadap burnout (C.R. -2.459; p= 0.014). Burnout juga
menunjukkan pengaruh negatif terhadap niat berhenti dengan critical ratio 4.915 dan
signifikasi pada 0.1.
Gambar 3: Model variabel yang berpengaruh dan nilai loading faktor
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 230
Gambar 3 menunjukkan model akhir yang terbentuk , menampilkan variabel penelitian
yang memiliki pengaruh signifikan serta nilai loading faktor dari indikator yang
mendukung model pada masing masing variabel.
Tabel 5 : Nilai efek tidak langsung
Iklim
Organisasi
Kepuasan
Kerja Burnout Loyalitas
Standardized Indirect Effects
Burnout 0 0 0 0
Loyalitas 0 0 0 0
Niat Berhenti -0.219 -0.08 0 0
Hasil tabel 5, menunjukkan bahwa variabel burnout memberikan nilai efek tidak
langsung paling besar sebagai variabel interviening, yakni ketika menghubungkan Iklim
Organisasi ke Niat berhenti, yakni sebesar -0.205.
Hubungan pengaruh model secara keseluruhan sangat terkait dengan sejumlah
faktor yang berhasil direduksi dan terlibat secara menyeluruh terhadap model penelitian
yang dikembangkan. Model yang dipilih sebagai hasil penelitian adalah model terbaik
yang diyakini bisa mendekati keadaan sesungguhnya, dari beberapa model yang bisa
dihasilkan. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa kepuasan kerja
mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas. Penelitian ini memperkuat pendapat
Reed, Kratchman and Strawser (1994) dalam Atif Anis dkk. (2011)[1]. Lebih jauh
penelitian ini menunjukkan bahwa evaluasi performa, kepemimpinan dan kompensasi
merupakan faktor kepuasan kerja terkait dengan pengaruhnya terhadap loyalitas.
Kepuasan kerja tidak mempunyai pengaruh terhadap depresi/burnout.
Mengingat pemicu burnout bisa muncul dari tiga hal, yakni penyebab stres (stressor),
yakni organizational stressor, life events yang didominasi dari peristiwa kehidupan
individu serta individual stressor (Singer,1990; Robbins, 1996,p.224, Cook, 1988,p.18
dalam Edi Suhanto 2009) [8]. Dalam hal ini stress bisa muncul sebagai implikasi dari
pemaparan diatas, yakni lebih dipengaruhi dari peristiwa kehidupan individu dan
karakteristiknya dalam memandang lingkungannya.
Kepuasan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap niat berhenti, dengan
demikian semakin tinggi kepuasan kerja maka akan semakin menurun niat untuk
berhenti (turnover intent). Hasil penelitian ini mempertegas dan memperkuat penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Raabe dan Beehr,2003; Ramaswami dan Singh, (2003)
dalam Edi Suhanto (2009) [8].
Penelitian ini juga memperkuat pendapat Lok dan Crawford (1999) dalam Kotze
dan Roodt (2005) [4] yang menunjukkan semakin baik kondisi iklim organisasi maka
semakin meningkat loyalitas pegawainya. Dukungan Organisasi memiliki loading faktor
tertinggi yakni 0.838, diikuti indikator Komunikasi (0.763); Kejelasan Organisasional
(0.761); Perencanaan (0,750), serta Kordinasi dan Kontrol (0.742). Tentunya dengan
iklim organisasi yang dibentuk melalui sistem manajerial yang baik akan memberikan
kenyamanan dalam bekerja, menciptakan inspirasi untuk berkembang.
Iklim organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap depresi/burnout.
Penelitian ini memperkuat pendapat Robbins (2003) dalam Edi Suhanto (2009) [8]
berpendapat bahwa struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam
organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan dimana keputusan diambil. Aturan yang
berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak
pada karyawan merupakan potensi sumber stres.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 231
Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa iklim organisasi tidak
mempunyai pengaruh terhadap niat untuk berhenti/turnover. Dalam pengujian analisis
jalur pada tabel 5, dinyatakan bahwa iklim organisasi tidak memberikan pengaruh yang
signifikan secara langsung terhadap niatan berhenti dari staff proyek, ataupun secara
tidak langsung melalui variabel loyalitas. Namun demikian nilai total efek tidak
langsung dari Iklim Organisasi ke Niat Berhenti adalah -0.219, yang jauh lebih besar
daripada nilai total efek tidak langsung dari Kepuasan Kerja ke Niat Berhenti, yakni -
0,08. Nilai efek tidak langsung ini didapatkan dari jalur tidak langsung melalui variabel
burnout (-0.205). Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi sistem manajerial tidak akan
menghalangi niat berhenti seseorang, namun iklim yang baik akan menjaga kadar stres
karyawan yang merupakan alasan seseorang untuk meninggalkan organisasinya.
Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa depresi/burnout
mempunyai pengaruh positif terhadap niat untuk berhenti/turnover. Penelitian ini
memperkuat pendapat Jackson, Schwab, & Schuler (1986) dalam Jiménez B.M, dkk
(2012) [10] yang menyatakan bahwa ketika mengalami burnout dalam profesinya, dan
merasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan dengan baik, mereka akan merasa lebih
memilih untuk berhenti.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka usaha pemeliharaan karyawan yang
dilakukan oleh perusahaan konstruksi mesti menitik beratkan dalam hal pemenuhan
kepuasan kerja karyawannya serta menciptakan iklim organisasi yang kondusif.
Kepuasan kerja meliputi kepuasan terhadap evaluasi performa, kepemimpinan dan
kompensasi akan meningkatkan partisipasi aktif karyawan dalam bentuk loyalitas
(komitmen organisasi) dan menjaga karyawan agar tetap bertahan dalam organisasinya.
Begitu juga dukungan organisasi, komunikasi, kejelasan organisasional perencanaan,
serta koordinasi dan kontrol yang baik akan menciptakan kenyamanan bekerja, menjaga
motivasi karyawan tetap pada level yang tinggi, serta melemahkan tingkat depresi
(burnout) karyawan.
Niat berhenti staf proyek pada perusahaan konstruksi grade menengah di kota
Surabaya sebagai objek penelitian lebih mengarah pada obsesi mereka untuk
mendapatkan penerimaan dan jabatan yang lebih tinggi. Mengingat pengunduran diri
karyawan yang performanya baik merupakan kerugian besar, maka hal ini perlu
diantisipasi dengan menciptakan peluang karir, penghargaan berdasarkan kinerja, serta
daya saing dan perkembangan perusahaan konstruksi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atif Anis et al., Kashif-ur-Rehman, Ijaz-Ur-Rehman,Muhammad Asif Khan and
Asad Afzal Humayoun (2011), Impact of organizational commitment on job
satisfaction and employee retention in pharmaceutical industry, African Journal
of Business Management vol.5 (17), pp. 7316-7324.
2. Liew Chai Hong dan Sharan Kaur., (2008), A Relationship between
Organizational Climate, Employee Personality and Intention to leave,
International Review of Business Research Paper. Vol.4 No. 3. June 2008 p.1-10
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 232
3. Shoaib M., Noor A., Tirmizi S. R., Bashir S (2009). Determinants of Employee
Retention in Telecom Sector of Pakistan. 1 Proceedings 2nd
CBRC, Lahore,
Pakistan November 14, 2009.
4. Kotse K. & Roodt G. (2005), Factor that Affect the Retention of Managerial and
Specialist Staff, SA Journal of Human Resource Management, 3(2),48-55.
5. Ramlall, S. (2004), A Review of employee motivation, employee retention within
organization, J. Am. Acad. Bus. Cambridge, 5(1/2): 52.
6. Mak, Brenda. L. dan Sockel, Hy, (2001), A Confirmatory Factor Analysis of IS
employee motivation and retention, Information & Management 38; 265-276
7. AL-Hussami M. (2008), A Study of nurses' job satisfaction: The relationship to
organizational commitment, perceived organizational support, transactional
leadership, transformational leadership, and level of education, Eur. J. Sci.
Res., 22(2): 286-295.
8. Edi Suhanto. (2009), Pengaruh Stres Kerja dan Iklim Organisasi terhadap
Turnover Intention dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening (Studi
di Bank Indonesia). Tesis Magister Manajemen UNDIP Semarang.
9. Zhang,Y and Wallace,M (2008), Retaining Key Staff in SOEs in The
Construction Industry in China, Graduete College of Management Papers,
ePublication@SCU.
10. Jiménez B.M, Herrer M.G, Carvajal R.R and Vergel A.I.S (2012) A study of
physicians’ intention to quit: The role of burnout, commitment and diffi cult
doctor-patient interactions. Psicothema 2012. Vol. 24, nº 2, pp. 263-270 ISSN
0214 - 9915 CODEN PSOTEG www.psicothema.com Copyright © 2012
Psicothema.
11. Kusumawardhani, R. (2005), On road to turnover: an examination of work
exhaustion in technology professionals, MIS Quarterly, Vol. 24. 24:1-3.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 233
MODEL ‘DEMAND’ PENGGUNA ‘SHELTER' EVAKUASI
PADA ZONA RAWAN TSUNAMI DI KOTA PADANG
Purnawan1 dan Widya Retno A
2
1Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas, Padang, purnawan@gmail.com
2 Asisten Lab Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas, Padang, widya.retno@gmail.com
ABSTRAK
Kota Padang merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang selalu mengalami bencana
akibat gempa tektonik dan vulkanik. Para ahli memprediksi bahwa kota Padang
berkemungkinan besar akan terkena bencana tsunami jika gempa tektonik besar terjadi. Setelah
kejadian tsunami melanda wilayah Aceh dan Mentawai, setiap terjadi gempa besar warga di
kota Padang yang tinggal di zona rawan tsunami mengungsi ke wilayah yang aman terhadap
bencana tsunami. Berdasarkan kondisi demikian, maka pemerintah kota Padang membuat jalur
evakuasi dan menetapkan 21 bangunan yang dapat digunakan sebagai shelter. Jumlah shelter
yang dibutuhkan saat ini tidak dapat diestimasi dengan pasti karena tidak ada metode untuk
menetapkan jumlah kebutuhan shelter pada saat terjadi evakuasi sesuai dengan kondisi kota
Padang. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model untuk mengestimasi kebutuhan
shelter untuk menampung pengungsi pada saat proses evakuasi. Model ini terdiri dari model
bangkitan pengungsi pada saat terjadi bencana dan model pemilihan jenis fasilitas untuk
evakuasi. Model bangkitan evakuasi dibuat berdasarkan metode regresi linier, sedang model
pemilihan jenis fasilitas evakuasi dibuat dengan metode logit biner selisih. Dengan
menggunakan 2 model ini, jumlah kebutuhan shelter untuk evakuasi dapat diprediksi dan
simulasikan.
Kata kunci : model ‘demand’, pengungsi, evakuasi, shelter
1. PENDAHULUAN
Kota Padang merupakan salah satu kota di Sumatra Barat yang selalu mengalami gempa
setiap saat, kejadian ini disebabkan karena wilayah Sumatra Barat berada diantara
pertemuan dua lempeng benua besar, yaitu lempeng India-Australia dan lempeng
Eurasia. Selain itu Sumatra Barat juga berada pada wilayah patahan besar Sumatera
yang sering disebut dengan sesar Semangko. Pergerakan lempeng-lempeng ini
berpotensi menimbulkan gempa, ditambah adanya aktifitas gunung berapi Merapi,
Tandikat dan Talang maka potensi intensitas gempa yang tinggi semakin besar. Sejak
terjadinya gempa besar pada bulan Desember 2004 di Aceh dan menyebabkan
terjadinya tsunami yang menyebabkan kematian ribuan penduduk, serta adanya prediksi
oleh para ahli luar negeri dan Tim 9 Indonesia kemungkinan terjadinya gempa
‘Megathrust’ yang berpotensi tsunami di wilayah pantai Sumatra Barat, maka setiap
terjadi gempa yang cukup besar, penduduk yang bertempat tinggal di tepi pantai dan
sekitarnya umumnya mengungsi ke wilayah yang relatif lebih tinggi. Penduduk
melakukan demikian karena merasa takut akan terjadinya tsunami paska gempa terjadi.
Kodisi ini diperkuat lagi dengan adanya tsunami yang terjadi di pulau Mentawai paska
gempa 7.2 SR bulan Oktober 2010 yang menewaskan ratusan penduduk (Latief, 2005).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 234
Untuk mempersiapkan dan mengatasi kemungkinan masalah yang mungkin terjadi pada
saat penduduk mengungsi, maka pemerintah daerah kota Padang telah membuat jalur
evakuasi dan menetapkan 21 bangunan fasilitas umum sebagai shelter jika terjadi
tsunami (Ridwan, 2012). Jumlah shelter yang disediakan oleh pemerintah saat ini masih
jauh untuk mencukupi kebutuhan evakuasi. Pada saat ini metode penetapan jumlah
shelter yang diperlukan untuk evakuasi belum ada, kondisi demikian menyebabkan
kesulitan Pemda kota Padang untuk menetapkan kebutuhan shelter yang sesuai dengan
kondisi yang dibutuhkan. Penelitian ini dilakukan untuk membuat model demand
pengguna shelter yang dapat digunakan untuk mengestimasi kebutuhan jumlah dan
kapasitas shelter yang harus disediakan oleh Pemerintah kota Padang.
2. TSUNAMI DAN FASILITAS EVAKUASI
Gempa Bumi dan Tsunami
Delfebriadi (2010) menyatakan bahwa Indonesia merupakan kepulauan yang terletak di
antara pertemuan Lempeng Eurasia dan Australia yang selalu bergerak. Oleh karena itu
Kepulauan Indonesia sangat rawan terhadap bencana gempa bumi, tsunami dan letusan
gunung api. Daerah yang berada di pesisir barat Sumatera merupakan sebagian dari
daerah pesisir Indonesia yang berada relatif dekat dengan subduction zone. Pada
subduction zone terjadi pertemuan lempeng benua dan lempeng samudra (lempeng
Indo-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di utara dan lempeng Pasifik di
timur) yang bersifat menghujam dan potensial menimbulkan tsunami besar setiap
periode tertentu. Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada periode tertentu
saling bertabrakan. Proses alami ini menghasilkan gempa tektonik.
Menurut BMKG (2010), tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu
menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh
gempa bumi, akibat tanah longsor di dasar laut, letusan gunung api yang terjadi di dasar
laut. Gelombang besar tersebut akan naik ke daratan dan menyapu berbagai benda yang
dilaluinya. Tsunami dapat terjadi bila sumber gempa terletak di laut pada kedalaman
sangat dangkal. Kota Padang memiliki potensi episentrum gempa yang berkekuatan
tinggi (> 8 MMI). Bila episentrum gempa ini berada di bawah dasar laut kemungkinan
besar akan berpotensi menimbulkan gelombang tsunami yang dapat melanda kota
Padang. Walaupun waktu terjadinya gempa bumi belum bisa diprediksikan secara
akurat, keadaan ini membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dan persiapan yang baik
seperti membuat pemodelan untuk memprediksi demand pengguna shelter di lokasi
bencana.
Bangunan Penyelamatan Darurat (Shelter)
Berdasarkan Pedoman Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Evakuasi dalam
Rangka Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Padang yang disusun Departemen Pekerjaan
Umum (2010), untuk mengurangi korban jiwa dan dampak kerusakan dari gejala alam
ini diperlukan sebuah kajian tata ruang sebagai bagian tambahan dari rencana tata ruang
wilayah yang sudah ada. Instrumen rencana ini berupa mitigasi bencana yang
diwujudkan ke dalam pemetaan rawan bencana, rencana penetapan bangunan
penyelamatan (escape building), rencana jalur penyelamatan/evakuasi (escape road),
dan rencana lokasi penyelamatan darurat (shelter). Dengan demikian diharapkan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 235
dampak dari bencana tersebut paling tidak dapat diminimalisir sedini mungkin, baik
pada saat kejadian maupun pada saat pasca kejadian. Bangunan penyelamatan untuk
evakuasi mempunyai beberapa kriteria. Kriteria tersebut adalah bangunan umum yang
tidak memiliki tingkat kerahasiaan tinggi, terletak tidak lebih dari 1 km dari konsentrasi
penduduk yang harus diselamatkan, terletak pada daerah yang diperkirakan hanya akan
rusak ringan, bila berada di daerah yang diperkirakan akan rusak berat, maka bangunan
tersebut harus diperkuat konstruksinya, terletak pada jaringan jalan yang
aksesibel/mudah dicapai dari semua arah dengan berlari/berjalan kaki, bangunan harus
mempunyai minimal 2 atau 3 lantai dan diperkirakan setiap orang akan membutuhkan
ruang minimum 2 m2.
Model Bangkitan Perjalanan (Trip Generation)
Bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah pergerakan yang
dibangkitkan oleh suatu zona per satuan waktu, dari pengertian tersebut maka bangkitan
perjalanan dimaksudkan untuk memperkirakan dan meramalkan jumlah perjalanan yang
keluar dari suatu zona dan jumlah perjalanan yang tertarik menuju suatu zona pada
masa yang akan datang (tahun rencana) per satuan waktu. Banyaknya perjalanan pada
tahun rencana, akan ditentukan oleh karakteristik tata guna lahan serta karakteristik
sosial ekonomi tiap-tiap kawasan. Tamin (2000) menyatakan bahwa ada beberapa
metode analisis yang dipakai dalam tahap bangkitan perjalanan, tetapi pada penelitian
ini metode yang digunakan untuk meramalkan bangkitan pengungsi adalah metode
analisa regresi. Metode ini merupakan alat analisis statistik yang menganalisis faktor-
faktor penentu yang menimbulkan suatu kejadian atau kondisi tertentu yang diamati,
sekaligus menguji sejauh manakah kekuatan faktor-faktor penentu yang dimaksud
berhubungan dengan kondisi yang ditimbulkan.
Model Pemilihan Moda/Pemilihan Jenis Evakuasi
Tamin (2000) menyatakan bahwa pemilihan moda merupakan metode memprediksi
pelaku perjalanan dalam memilih moda untuk pergerakannya. Model pemilihan moda
dapat digunakan untuk mengetahui probabilitas pergerakan orang atau kendaraan. Pada
saat terjadinya gempa yang berpotensi tsunami, sejumlah orang akan keluar untuk
melakukan tindakan evakuasi baik evakuasi vertikal (naik ke bangunan shelter) atau
evakuasi horizontal (menggunakan jalur evakuasi). Untuk menentukan
peluang/probabilitas pengungsi menggunakan shelter dan jalur evakuasi digunakan
salah satu metode pemilihan moda yaitu metode logit biner selisih dengan teknik analisa
regresi. Metode ini merupakan metode untuk menentukan probabilitas antara beberapa
pilihan dengan meregresi utilitas acak dan terikat.
3. PENGUMPULAN DATA DAN PEMBUATAN MODEL
Pengumpulan data
Pada pemodelan bangkitan perjalanan dan pemilihan jenis fasilitas pengungsian,
berbagai variabel yang akan digunakan ditetapkan lebih dahulu. Variabel tersebut
dipilih berdasarkan perilaku masyarakat dan dapat diperoleh datanya di lapangan. Untuk
memperoleh data perilaku pengungsi pada saat melakukan pengungsian maka
digunakan teknik stated preference (Pearmain dan Swanson, 1991). Sebelum dilakukan
pengumpulan data pada wilayah target maka dilakukan survai pendahuluan, pada survai
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 236
ini kuesioner terlebih dahulu diujicobakan kepada 10 responden untuk melihat sejauh
mana pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik oleh responden dan sudah
mengakomodasi semua kondisi yang diperlukan untuk penelitian. Setelah
penyempurnaan terhadap formulir survai dilakukan, maka dilakukan survai wawancara
pada wilayah zona rawan tsunami di kota Padang. Untuk menentukan jumlah sampel
yang akan dijadikan objek penelitian dihitung dengan teknik random sampling metode
estimasi proporsi. Jumlah total sampel yang telah diambil dari zona rawan tsunami
adalah 500 responden, tiap zona diambil sampel sebanyak 100 responden.
Pembuatan Model
Pemodelan dilakukan dalam dua tahap, yang pertama adalah memodelkan bangkitan
perjalanan evakuasi dari wilayah zona rawan tsunami dengan metode analisa regresi.
Variabel independen yang digunakan dalam model ini adalah jumlah pengungsi, sedang
dependen adalah jumlah penduduk. Pada tahap kedua dilakukan pemodelan pemilihan
fasilitas evakuasi dengan metode logit biner selisih, variabel dari model ini adalah
waktu perjalanan menuju fasilitas evakuasi. Data untuk pemodelan diperoleh dari survai
dengan metode state preference. Hasil kedua pemodelan ini dapat digunakan untuk
mengestimasi jumlah pengungsi yang menggunakan jenis fasilitas evakuasi yang
dipilih.
Prediksi Demand dan Luas Kebutuhan Shelter
Dengan menggunakan input data tahun 2012 dilakukan prediksi jumlah pengguna
shelter pada zona rawan bencana tsunami di kota Padang. Hasil dari prediksi tersebut
digunakan untuk menentukan jumlah luas kebutuhan shelter.
4. HASIL ANALISA DAN PEMODELAN
Hasil analisa dari data survai dari 500 responden di 5 zona rawan tsunami ditunjukkan
pada Gambar 1 s/d 7.
Jenis Kelamin
Dari hasil survei, diperoleh data responden laki-laki berjumlah 220 orang atau 44% dan
responden perempuan berjumlah 56 orang atau 56%, distribusi data dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1 : Jenis kelamin responden
44% 56%
Laki-laki Perempuan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 237
Usia
Usia responden didominasi oleh usia dewasa yang berada di antara 31-45 tahun, usia ini
merupakan usia produktif. Distribusi data usia responden dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 : Usia responden
Jumlah Anggota Keluarga
Distribusi jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 3, terlihat bahwa yang
dominan adalah jumlah anggota keluarga responden berjumlah antara 5-9 orang.
Gambar 3 : Jumlah anggota keluarga responden
Jenis Kepemilikan Kenderaan
Distribusi kepemilikan kendaraan dari responden dapat dilihat pada Gambar 4,
kepemilikan kendaraan terbesar adalah sepeda motor, yaitu sebanyak 74 %.
Gambar 4 : Jenis kendaraan yang dimiliki responden
6%
28%
35%
24%
7% Kurang dari 16
tahun
16-30 tahun
31-45 tahun
46-60 tahun
Lebih dari 60 tahun
10%
39% 44%
7% bujang/single
2-4 orang
5-9 orang
74%
20%
6%
Sepeda motor
Mobil
Tidak ada
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 238
Jenis Evakuasi
Dari hasil survai ditunjukkan bahwa mayoritas responden memilih jenis evakuasi
horisontal (jalur evakuasi), jumlah ini sebesar 62 %. Distribusi data survai dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5 : Jenis evakuasi yang dipilih responden
Alasan Pemilihan Jalur Evakuasi
Dari survai ditunjukkan bahwa sebagian besar (44%) responden memilih jalur evakuasi
disebabkan jalur evakuasi lebih aman daripada naik ke atas gedung. Distribusi data
survai dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 : Alasan pemilihan jalur evakuasi
Alasan Pemilihan Shelter
Pemilihan bangunan shelter oleh mayoritas responden (36%) sebagai bangunan
penyelamat adalah didasarkan alasan pemilihan bahwa bangunan shelter mudah
dijangkau. Distribusi alasan pemilihan shelter ditunjukkan pada Gambar 7.
38%
62%
Vertikal
Horizontal
44%
16%
21%
18%
Lebih aman daripada naik
ke atas gedung
Kapasitas jalan cukup
besar
Tidak adanya shelter
Mengetahui jalur evakuasi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 239
Gambar 7 : Alasan pemilihan shelter untuk evakuasi
Model Demand Pengguna Shelter
Pemodelan demand pengguna shelter dilakukan dengan metode analisa regresi.
Beberapa parameter model dipilih untuk mendapatkan model yang terbaik. Dari hasil uji
statistik t-test, F-test dan koefisien determinasi, maka diperoleh persamaan model yang
terbaik dengan persamaan model Y = 0,715.X+ 2334,517 dengan Y merupakan jumlah
pengungsi saat terjadinya bencana gempa yang berpotensi tsunami per zona dan X
merupakan jumlah penduduk tiap zona.
Model Pemilihan Jenis Fasilitas Mengungsi
Untuk menentukan probabilitas pengguna bangunan shelter dan jalur evakuasi, maka
dilakukan analisa terhadap data stated preference dengan membuat model utilitas
dengan analisa regresi. Pilihan di-rating berdasarkan skala probabilitas dan
ditransformasi menjadi skala numeris, kemudian data stated preference dengan
perubahan waktu tempuh diregresi untuk setiap zona. Hasil model probabilitas
pemilihan fasilitas evakuasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1: Model probabilitas pemilihan fasilitas evakuasi ditiap zona
Zona
Persamaan Model Probabilitas Probabilitas
Pemilihan Fasilitas Evakuasi Pemilihan Shelter Pemilihan Jalur
Evakuasi
1 )201,0080,0(exp1
1
x
Ps 55% 45%
2 )025,0122,0(exp1
1
x
Ps 51% 49%
3 )042,0095,0(exp1
1
x
Ps 49% 51%
4 )111,0122,0(exp1
1
x
Ps 47% 53%
5 )217,0105,0(exp1
1
x
Ps 45% 55%
19%
31% 36%
14%
Bangunan aman
Lebih cepat dari jalur
evakuasi
Bangunan shelter mudah
dijangkau
Bangunan cukup tinggi
perlindungan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 240
Hasil Prediksi Kebutuhan Luas Bangunan Shelter
Hasil penelitian ini merupakan pedoman luas kebutuhan bangunan shelter di zona
rawan tsunami. Tabel 2 menunjukkan data hasil prediksi model yang diperlukan untuk
memprediksi luas dan jumlah kebutuhan bangunan shelter.
Tabel 2 : Hasil prediksi kebutuhan bangunan Shelter kota Padang dengan data tahun
2012
ZONA
1 2 3 4 5
Jumlah penduduk
(jiwa) 24.382 26.294
44.826
36.797
55.969
Prediksi jumlah pengungsi
bangunan shelter
(orang)
10.874 13.195 16.832 16.832 18.888
Luas kebutuhan bangunan
shelter saat terjadi tsunami
(m2)
10.874 13.195 16.832 13.528 18.888
Luas kebutuhan bangunan
shelter setelah terjadinya
tsunami (m2)
21.748 26.390 33.663 27.056 37.775
Kebutuhan jumlah
bangunan shelter dengan
asumsi dua (2) lantai dan
luas bangunan 2000 m2 per
lantai (gedung)
6 7 9 7 10
Kebutuhan jumlah
bangunan shelter dengan
asumsi tiga (3) lantai dan
luas bangunan 2000 m2 per
lantai (gedung)
4 5 6 5 7
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pemodelan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
Jenis kelamin responden yang berada di zona merah paling banyak adalah
perempuan, sedang jumlah anggota keluarga responden paling banyak
mempunyai jumlah anggota keluarga dalam rentang 5-9 orang. Berdasarkan
klasifikasi usia, responden paling banyak berusia dewasa (11-65 tahun),
sebagian besar responden memiliki sepeda motor.
Berdasarkan jenis evakuasi yang pernah menjadi pilihan responden saat terjadi
gempa yang berpotensi tsunami, responden cenderung memilih evakuasi
horizontal atau jalur evakuasi, alasan pemilihan ini bahwa jalur evakuasi lebih
aman dibandingkan naik ke atas gedung. Sedang alasan responden yang memilih
bangunan gedung (shelter) sebagai fasilitas evakuasi, hal ini disebabkan shelter
lebih mudah dijangkau.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 241
Dari hasil prediksi demand pengguna shelter, diperoleh hasil bahwa luas total
yang dibutuhan untuk membuat shelter sebesar 153.242 m2. Jika digunakan
gedung 2 lantai dengan luas tiap lantai sebesar 2000 m2, maka dibutuhkan 39
buah gedung shelter. Sedang jika digunakan gedung 3 lantai dengan luas tiap
lantai 2000 m2, maka dibutuhkan 27 buah gedung shelter.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. (2010). Gempa Bumi.
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/ Geofisika/gempabumi.bmkg (diakses 23
September 2011)
2. Delfebriadi. (2010). Rekayasa Gempa. Universitas Andalas.
3. Departemen Pekerjaan Umum. (2010). Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Evakuasi dalam Rangka Mitigasi Bencana Tsunami di Kota Padang.
4. Latief, H. (2005). Potensi Tsunami di Sumatera. Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia-Sumbar. Hotel Bumi Minang. Padang, 1
Februari 2005.
5. Pearmain and J. Swanson. (1991). Stated Preference Techniques: A Guide to
Practice. London: Steer Davies Gleave and Haque Consulting Group.
6. Ridwan, F. (2012). Studi Evaluasi Efektifitas Penggunaan Jalur Evakuasi Pada
Zona Berpotensial Terkena Bencana Tsunami di Kota Padang. Tesis S-2, Padang:
Universitas Andalas.
7. Tamin, O,Z. (2010). Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Edisi Kedua.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 242
PENGGUNAAN SKALA KONDISI UNTUK INSPEKSI
KEANDALAN STRUKTUR GEDUNG BETON
BERTULANG
Wahyu Wuryantiiv
1Peneliti Madya Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Balitbang, Kementerian
Pekerjaan Umum, email: wuryantiwahyu@gmail.com
ABSTRAK
Akhir-akhir ini inspeksi keandalan struktur bangunan gedung yang telah berdiri semakin
banyak diperlukan. Pelaksanaan inspeksi keandalan dapat terjadi karena berbagai alasan, antara
lain faktor usia, rencana perubahan fungsi gedung, penambahan beban, atau pasca bencana.
Hasil inspeksi digunakan untuk mengevaluasi kekuatan sisa pada struktur bangunan yang telah
mengalami deteriorisasi kekuatan. Tulisan ini menyajikan penggunaan skala kondisi untuk
inspeksi dan evaluai pengukuran tingkat keandalan struktur beton bertulang. Data yang
digunakan merupakan bagian dari laporan inspeksi gedung Puslitbang Permukiman,
Kementerian Pekerjaan Umum. Metoda kajian menggunakan skala kondisi yang
membandingkan kondisi deteriorisasi eksiting terhadap nilai acuan. Dari studi kasus gedung
yang dikaji menunjukan skala kondisi (CR) sebesar 15% atau zona III menunjukan kondisi
deteriorasi medium yang berarti perlu dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dekat.
Kata kunci: skala kondisi, keandalan struktur, gedung, beton bertulang
1. PENDAHULUAN
Penurunan kinerja struktur bangunan dapat terjadi karena berbagai faktor. Terjadinya
proses alami karena umur bangunan menyebabkan korosi dan fatig pada komponen
bangunan, atau penambahan beban karena perubahan fungsi gedung, atau kerusakan
karena pasca bencana gempa atau kebakaran. Semuanya dapat menjadikan alasan
dilakukannya inspeksi keandalan struktur bangunan. Tujuannya adalah untuk
mengetahui tingkat keandalan kondisi struktur eksisting dalam memikul beban saat ini
dan beban rencana seusai dengan fungsi gedung dan sisa umur rencana bangunan.
Tingkat keandalan struktur umumnya diukur dari kinerja struktur bangunan dalam
memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kemampulayanan (serviceability).
Menurut American Society of Civil Engineers (ASCE) 11-99 inspeksi struktur
bangunan adalah kegiatan memeriksa, mengukur, menguji dengan menggunakan
prosedur tertentu untuk mengetahui kualitas, mendeteksi kesalahan atau kerusakan atau
penurunan meterial dan komponen struktur. Secara menyeluruh pelaksanaan inspeksi
menjadi bagian dari tahap asesmen yaitu mengumpulkan informasi, menganalisis,
mengevaluasi dan memberikan rekomendasi keandalan struktur bangunan gedung
eksisting.
Secara garis besar tahap inspeksi dikelompokkan menjadi dua tahap yaitu inspeksi
visual sebagai tahap awal dan inspeksi detail yang memerlukan pengujian. Pada
bangunan yang mengalami deteriorasi struktur bangunan, hasil inspeksi dilanjutkan
dengan langkah evaluasi untuk mengetahui kekuatan sisa struktur gedung. Proses ini
dikenal dengan asesmen keandalan struktur. Di dalam tahap evaluasi diperlukan nilai
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 243
acuan sebagai skala perbandingan kondisi. Oleh sebab itu perlu nilai penerimaan
(acceptable value) keandalan struktur bangunan (Presiser dan Vischer, 2005). Nilai
penerimaan ini dapat ditentukan dari target tingkat keandalan (target reliability level)
yang direncanakan (Rucker, Ille, and Rohman, 2006). Kemudian dilakukan
perbandingan antara tahanan (resistance) dari komponen bangunan eksiting dengan
tegangan (stress) yang terjadi akibat beban muatan eksiting atau rencana.
Saat ini di Indonesia belum ada petunjuk teknis dan standar inspeksi atau asesmen
gedung yang telah berdiri. Standar yang ada lebih banyak digunakan untuk perencanaan
bangunan baru. Tim Inspeksi Puslitbang Permukiman, kerapkali sulit mencari rujukan i
dalam melakukan asesmen. Upaya inspeksi melalui beberapa pengujian terus
dikembangkan untuk mengurangi metoda inspeksi yang deskriptif dan subjektif. Hal ini
tentu memerlukan waktu dan biaya, sehingga setiap melakukan inspeksi satu bangunan
gedung membutuhkan waktu lama.
Dalam tulisan ini menyapaikan kajian praktik pelaksanaan inspeksi keandalan
struktur dan menilai tingkat kondisi struktur berdasarkan derajat deteriorisasi bangunan
sesuai dengan skala kondisi. Tujuannya adalah memberikan rekomendasi tindak lanjut
terhadap jenis penanganan kerusakan struktur secara kuantitatif dan objektif. Keputusan
ini lebih dapat terukur dengan jelas sehingga mampu meminimalisasi keputusan
berdasarkan opini.
2. METODA PENELITIAN
Metoda dalam studi ini menggunakan 2 (dua) tahap, yaitu
(1) Inspeksi awal dilakukan secara visual di lapangan terhadap kondisi struktur
bangunan. Tujuannya adalah untuk memahami jalur beban setiap komponen
struktural dan mengidentifikasi kerusakan atau bagian-bagian kritis. Pengukuran
geometri struktur gedung dan dimensi komponen struktur dilakukan untuk
memverifikasi keakuratan kondisi eksisting dengan gambar teknis terbangun (as
built drawing). Tahap ini mengacu pada hasil laporan advis teknis terdahulu
kegiatan Puslitbang Permukiman tahun 2011.
(2) Berdasarkan data hasil inspeksi visual dianalisis dengan menggunakan skala
kondisi (Condition Rating). Tujuannya adalah menentukan tingkat dan tipe
deteriorisasi bangunan. Penilaian awal dilakukan pada analisis untuk setiap
komponen struktur. Penjumlahan kondisi komponen merupakan tingkat kondisi satu
bangunan. Untuk menganalisis dengan skala kondisi perlu ditentukan bobot fungsi
komponen terhadap sistem struktur bangunan.
Dalam studi ini lingkup studi dibatasi untuk bangunan gedung struktur beton bertulang.
Keputusan ini beralasan struktur beton bertulangan adalah tipe konstruksi yang paling
banyak ditangani oleh Puslitbang Permukiman dalam memberikan pelayanan advis
teknis pemeriksaan gedung.
3. INSPEKSI KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG
Keandalan bangunan gedung telah ditetapkan dalam Undang-undang Bangunan Gedung
No. 28 tahun 2002 meliputi 4 (empat) aspek penilaian yaitu keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan. Aspek keselamatan merupakan persyaratan wajib
dipenuhi pada setiap bangunan gedung. Hal yang tercakup di dalam aspek keselamatan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 244
terdiri dari keselamatan bangunan (1) dalam mendukung beban muatan, (2) terhadap
bahaya kebakaran, dan (3) terhadap bahaya kelistrikan dan petir. Persyaratan
keselamatan butir (1) merupakan kegiatan ranah struktur bangunan sehingga seringkali
disebut keandalan struktur.
Pada praktik inspeksi oleh Puslitbang Permukiman sejak tahun 2008 telah
menangani lebih dari 40 kasus bangunan gedung (Wuryanti, 2011). Dari data tersebut
tercatat 6 (enam) alasan dilakukan inspeksi keandalan struktur. Hal ini disajikan dalam
Gambar 1. Dari keenam alasan tersebut terbesar karena pasca gempa sebanyak 43%,
disusul sebanyak 16% karena terjadi kerusakan struktur. Kondisi ini menunjukkan
bahwa permohonan inspeksi karena secara visual kondisi struktur bangunan atau bagian
struktur bangunan telah terjadi defisiensi.
0
10
20
30
40
5043
11 1114
16
5
Ala
san
dila
ku
ka
n i
nsp
eksi
(da
lam
%)
Gambar 1. Alasan inspeksi keandalan struktur
4. SKALA KONDISI PADA STRUKTUR GEDUNG
Metoda skala kondisi (condition rating) awalnya digunakan untuk mengeidentifikasi
deteriorisasi konstruksi jembatan pada kegiatan pemeliharaan konstruksi. Metoda ini
kemudian yang dikembangkan CEB (1998) di dalam menilai bangunan di Italia untuk
konstruksi rangka beton bertulang (Coronelli, 2007).
Metoda skala kondisi adalah membandingkan indeks kerusakan eksisting terhadap
nilai referensi. Oleh sebab itu perlu dihitung tingkat kerusakan dari setiap elemen
struktur menggunakan persamaan (1)
iiiiiDi KKKKBVF 4321 ............................................................... (1)
Dengan demikian skala kondisi kerusakan sitem struktur satu bangunan merupakan
penjumlahan N tipe kerusakan komponen-komponen struktur.
Penjelasan setiap varibel di dalam Persamaan (1) sebagai berikut
VDi adalah nilai total untuk tipe kerusakan ke-i. Nilai ini tergantung pada jenis
kerusakan, intensitas, efek kerusakan, dan bobot fungsi komponen terhadap sistem
struktur bangunan.
Bi adalah nilai dasar tipe kerusakan ke-i. Faktor ini merupakan ekspresi potensi efek
kerusakan terhadap keselamatan dan durabilitas komponen struktur, dicantumkan
dalam Tabel 1.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 245
K1i adalah faktor elemen struktural yang ditentukan dari bobot elemen terhadap
keselamatan sistem struktur. Nilai ini menggunakan Tabel 2.
K2i adalah faktor intensitas kerusakan ke-i. Faktor ini merupakan nilai kualitatif dari
inspeksi visual dan pengukuran. Ketentuannya menggunakan Tabel 1 dan 3.
K3i adalah faktor penyebaran kerusakan ke-i pada elemen yang terkait. Gunakan
Tabel 4 untuk analisisnya
K4i adalah faktor urgensi intervensi kerusakan ke-i. Faktor ini ditentukan
berdasarkan tipe deteriorasi pada keselamatan struktur dan pengguna, dan waktu
penanganannya. Ketentuannya menggunakan Tabel 5.
Tabel 1. Tipe kerusakan, nilai dasar Bi dan kriteria untuk evaluasi Item Tipe kerusakan Bi
1. Penurunan dan deformasi struktur
1.1 Struktur bawah
1.11 Differential settlement 3
1.2 Struktur atas
1.21 Defleksi vertikal 2
2. Beton
2.1 Kualitas kerja buruk: terkelupas, stratifikasi, sarang tawon, rongga 1
2.2 Susut palstik dan retak settlement palstik 1
2.3 Kekuatan lebih rendah dari yang disyaratkan 2
2.4 Tebal selimut lebih rendah dari yang disyaratkan 2
2.5 Karbonasi permukaan (pH<10) dengan acuan level tulangan 2
2.6 Penetrasi klorida (pH<10) dengan acuan level tulangan 3
2.7 Retak karena pembebanan, ditunjukan dengan deformasi dan regangan 3
2.8 Rusak mekanis; erosi, benturan 1
2.9 Membengkak, popout 1
2.10 Rembesan melalui beton 2
2.11 Rembesan pada retakan, sambungan, bagian dalam 2
2.12 Permukaan basah 1
2.13 Selimut beton rusak karena korosi 2
2.14 Spalling karena tulangan korosi 3
2.15 Renggang pada sambungan antar segmen 2
3. tulangan
3.1 Korosi pada sengkang 1
3.2 Korosi pada tulangan utama, pengurangan luasan tulangan 3
Sumber: Coronelli, 2007 (yang dicantumkan sebagian)
Tabel 2. Faktor K1i bobot fungsi tiap komponen struktur Komponen Tipe komponen K1i
kolom eksternal 0,35 - 0,45(*)
internal 0,2 - 0,3(*)
Balok bentang pendek 0,25 (**
) – 0,3
bentang panjang 0,35 (**
) – 0,4
Lantai lantai 0,3 * dari level atas ke level bawah nilainya meningkat
** balok di lantai atap
Tabel 3. Faktor K2i –kriteria umum untuk derajat intensitas setiap tipe kerusakan Derajat kriteria K2i
Rendah-awal Ukuran kerusakan kecil, biasanya muncul pada lokasi tunggal 0,5
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 246
Medium - menyebar Ukuran kerusakan medium, kecil mengelompok atau kerusakan
kecil di beberapa bagian (25%) 1,0
Tinggi - aktif Kurusakan berukuran besar, muncul di beberapa tempat atau
pada area lebih luas ( 25 sd 75%) 1,5
Sangat tinggi - kritis Kerusakan berukuran sangat besar muncul di sebagian besar
komponen (>50%) 2,0
Tabel 4. Faktor K3i – kriteria umum luasan tiap tipe kerusakan Kriteria K3i
Kerusakan mengelompok pada satu unit pada elemen dengan tipe sama 0,5
Kerusakan muncul pada beberapa unit (lebih kecil dari ¼) pada elemen dengan tipe sama 1,0
Kerusakan mucul pada sebagian besar unit (1/4 sampai ¾) pada elemen dengan tipe
sama 1,5
Kerusakan muncul pada mayoritas bagian (lebih dari ¾) pada elemen dengan tipe sama 2,0
Tabel 5. Faktor K4i – urgensi intervensi penanganan kerusakan Kriteria K3i
Intervensi tidak penting, karena kerusakan tidak mengganggu keselamatan dan
durabilitas struktur 1
Kerusakan harus diperbaiki dalam perioda waktu tidak lama dari 5 tahun untuk menjaga
perlemahan yang mengubah keselamatan dan durabilitas dari serangan agresif 2-3
Perlu perbaikan segera karena kerusakan telah terjadi dan membahayakan keselamatan
dan durabilitas struktur 3-5
Ditopang sementara dan perlu pembatasan beban 5
Skala kondisi (CR) dihitung dengan persamaan (2) dan diklasifikasikan menjadi 6
(enam) kelompok menggunakan Tabel 6. Urgensi setiap jenis kerusakan tergantung
pada nilai numerik CR.
atau 100100,1
1
,
mrefmm
mmm
mrefm
mm
MK
MKCR
F
FCR .............................................. (2)
Dengan
iiiiimrefiiiiim KKKBMKKKBM 432,432 , ............................... (3)
Tabel 6. Kelas deteriorisasi struktur bangunan Kelas Deskripsi kondisi, tingkat kebutuhan intervensi, contoh skala R
I Tidak rusak, hanya terjadi defisiensi konstruksi
Tindakan: tidak perlu perbaikan hanya perlu pemeliharaan
Contoh: geometrik tidak beraturan, estetika tidak sempurna, warna suram
0 - 5 0,3
II Deteriorasi rendah, jika tidak diperbaiki, dalam waktu lama dapat
menurunkan kemampulayanan atau durabilitas komponen struktur
Tindakan: lokasi yang mengalami deteriorasi diperbaiki dan pemeliharaan
rutin
Contoh: retak lokal, defisiensi kecil sebagai akaibat buruknya pelaksanaan,
selimut beton terlalu tipis
3 -10 0,4
III Deteriorasi medium, dapat mengurangi kemampulayanan atau durabilitas
komponen struktur tetapi tidak perlu pembatasan penggunaan struktur
Tindakan:perlu perbaikan dalam waktu dekat
Contoh: keretakan, defisiensi lebih besar akibat pelaksanaan beton buruk,
selimut beton terlalu tipis dan kebanyakan permukaan basah, rusak lapisan
kedap air
7 - 15 0,5
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 247
IV Deteriorisasi tinggi, penurunan kemampulayanan dan durabilitas struktur
tetapi masih tidak perlu pembatasan penggunaan
Tindakan: perbaikan segara untuk melindungi kemampulayanan dan
durabilitas struktur
Contoh: korosi pada tulangan utama
5 -25 0,6
V Deteriorasi sangat tinggi, perlu pembatasan penggunaan, penyanggaan
komponen kritis atau perlindungan lain
Tindakan: perlu perbaikan dan perkuatan segera pada komponen struktur
atau kapasitas daya dukung struktur harus dikurangi
Contoh: korosi berat pada tulangan utama, retak lebar akibat pembebanan
22 - 35 0,7
VI Deteriorisasi kritis, perlu penyangga segera dan pembatasan penggunaan
secara ketat atau ditutup
Tindakan: pekerjaan rehabilitasi segera dilakukan, namun kemampulayanan
rencana dan penggunaan struktur, serta penerimaan kekuatan sisa tidak
dapat lagi dicapai tidak ekonomis
Contoh: seperti kelas V dan keamanan rendah
30 0,8
Prosedur perhitungan adalah sebagai berikut:
a) kelompokkan setiap komponen struktur sesuai lokasi dan fungsinya. Misalnya
sistem struktur dikelompokkan menjadi kolom, balok, dan pelat. Kolom dibedakan
interior dan eksterior, untuk kolom interior memikul beban lebih berat maka
digunakan bobot fungsi kolom interior lebih besar.
b) Lakukan inspeksi visual dan pengunkuran eksiting pada setiap komponen struktural
c) Identifikasikan jenis kerusakan, potensi dampak kerusakan dari setiap kondisi
deteriorisasi pada kompoen struktur yang diamati.
d) Lakukan perhitungan dengan Pers. (1), Pers. (2) dan Pers. (3) untuk setiap
komponen untuk mendapatkan skala kondisi lokal.
e) Jumlahkan skala kondisi lokal untuk seluruh komponen tiap level untuk
mendapatkan skala kondisi global dari satu sistem struktur gedung.
5. PEMBAHASAN: STUDI KASUS
Gedung yang digunakan sebagai studi kasus merupakan bangunan berlantai dua yang
dibangun tahun 2007 dan terbelakang selama lebih dari 3 tahun karena pelaksanaannya
dihentikan. Pada tahun 2011 dilakukan inspeksi oleh Puslitbang Permukiman, yang
mana penulis menjadi koordinator Tim Inspeksi. Tujuan inspeksi adalah untuk menilai
kondisi keandalan struktur karena konstruksi bangunan akan dilanjutkan
pelaksanaannya dan digunakan sesuai yang rencana rancangan semula.
Inspeksi visual dan Pengukuran material eksisting
Struktur bangunan merupakan konstruksi beton bertulang dengan perletakan struktur
pada permukaan tanah tidak rata sehingga elevasi lantai dasar bervariasi seperti
digambarkan dalam Gambar 3. Sebagian bangunan berdiri di atas tanah langsung dan
sebagian lagi merupakan konstruksi panggung. Bangunan akan difungsikan sebagai
gedung serba guna untuk gedung pertunjukan kesenian. Luas bangunan pada level
basemen 1 seluas 1080 m2, ruang hall 1080 m
2, panggung 180 m
2 dan tribun 414 m
2.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 248
1 2 3
4 5 6 7 8 9
10 11 12
Dak atap
Tribun atas (±11,40)
Tribun bawah (±10,40)
Lobby (±7,40)
Hall (±6,40)
Basemen 1 (±3,60)
Basemen 2 (±0,00)
Panggung (±7,40)
Atap panggung (±12,40)
Gambar 2. Elevasi dan nama level struktur gedung
Dari hasil inspeksi visual ditemui beberapa kerusakan antara lain terjadi korosi
tulangan, retak lentur pada balok dan pelat, permukaan basah. Kondisi ini dapat dilihat
pada gambar 3. Hasil pengukuran kualitas beton disajikan dalam Tabel 4.
(a) Retak lentur (b) Korosi tulangan (c) Kualitas kerja rendah Sumber: Puslitbang Permukiman, 2011
Gambar 3. Hasil inspeksi visual
Selain dilakukan inspeksi visual dilakukan pengukuran kualitas material meliputi:
Pengujian palu beton untuk mengukur kuat tekan
Beton inti dengan core drilled dan uji kuat tekan
Pengujian gelombang ultrosonik untuk mengetahui homogenitas beton
Identifikasi letak dan ukuran tulangan dengan rebar-locator dan pembobokan
Pengukuran kedalaman karbonasi
Tabel 7. Uji kualitas beton
Komponen Kuat tekan, f’c beton rata-rata Homogenitas beton
kondisi kurang palu beton beton inti
Kolom 18,17 MPa 4,46 MPa 71 %
Balok 14,91 MPa 3,52 MPa 92 %
Pelat 14,36 MPa 4,97 MPa 83 % Sumber: Puslitbang Permukiman, 2011
Level Luas lantai (m2)
Basemen 1 1080
Hall 1080
Panggung 180
Tribun bawah 414
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 249
Analisis skala kondisi
Struktur bangunan terdiri dari balok 152 batang, kolom 268 batang dan pelat 81
segmen. Inspeksi dan pengukuran hanya dilakukan pada sebagian komponen karena
alasan teknis maupun non-teknis. Dengan demikian analisis dengan metoda skala
kondisi hanya untuk komponen representatif. Jumlah komponen yang dianalisis terdiri
dari kolom sebanyak 21 batang, balok 15 batang, dan pelat 15 segmen.
Nilai Mm dan Mm,ref dihitung untuk setiap komponen, sebagai contoh untuk analisis
balok, kolom, dan pelat di elevasi lantai Hall. Hasilnya disajikan alam Tabel 8. Dengan
cara yang sama dilakukan penilaian pada komponen lainnya.
Tabel 8. Evaluasi kerusakan dan perhitungan Mm satu unit komponen komponen B K2i K3i K4i VD/K1i Mm= VD/K1i
Balok lokasi As 7,8 - E
0,4 2.3 Kekuatan 2 2 2 1 8 23
2.4 Tebal selimut 2 1 0,5 1 1
2.5 Karbonasi 2 1 0,5 1 1
2.7 Retak 3 1 0,5 1 1,5
2.10 Rembesan 2 0,5 0,5 1 0,5
2.12 Permukaan basah 1 1,5 1 1 1,5
2.13 Rusak selimut karena korosi 2 0,5 0,5 1 0,5
3.1 Korosi pada sengkang 1 2 1,5 1 3
3.2 Korosi pada tulangan utama 3 2 1 1 6
Pelat, lokasi As 7,8 - E,F
0,3 2.3 Kekuatan 2 2 2 1 8 33
2.4 Tebal selimut 2 0,5 0,5 1 0,5
2.5 Karbonasi 2 1,5 1,5 1 4,5
2.7 Retak 3 1 1 1 3
2.10 Rembesan 2 2 1 1 4
2.12 Permukaan basah 1 2 2 1 4
2.13 Rusak selimut karena korosi 2 0 0 1 0
3.1 Korosi pada sengkang 1 2 1,5 1 3
3.2 Korosi pada tulangan utama 3 2 1 1 6
Kolom internal, lokasi As 7-B
0,4 2.3 Kekuatan 2 2 2 1 8 20,75
2.4 Tebal selimut 2 0,5 0,5 1 0,5
2.5 Karbonasi 2 1 0,5 1 1
2.7 Retak 3 0,5 0,5 1 0,75
2.10 Rembesan 2 0,5 0,5 1 0,5
2.12 Permukaan basah 1 1 0,5 1 0,5
2.13 Rusak selimut karena korosi 2 0,5 0,5 1 0,5
3.1 Korosi pada sengkang 1 2 1,5 1 3
3.2 Korosi pada tulangan utama 3 2 1 1 6 Sumber: Hasil analisis
Setelah tiap unit komponen dianalisis akan diperoleh kondisi lokal. Penjumlahan tiap
unit komponen yang sama untuk tiap lantai, akan menggambarkan kondisi kerusakan
tiap lantai. Dengan demikian kondisi kerusakan pada bangunan diperoleh dari
penjumlahan kondisi kerusakan tiap lantai. Contoh perhitungan dalam Tabel 9 adalah
untuk evaluasi level Hall elv. +3,4. Dengan cara yang sama dilakukan untuk analisis
level-level lainnya. Penilaian kondisi tiap lantai dicantumkan dalam Tabel 10.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 250
Tabel 9. Hasil analisis kondisi global pada level Hall Komponen Lokasi K1i Mm K1mxMm Mmref K1mxMm,ref
Kolom 10 - C 0,3 13,25 3,975 128 39,6
10 - F 0,3 13,25 3,975 128 39,6
11 - E 0,3 13,75 4,125 128 39,6
9 - H 0,4 20,25 8,1 128 52,8
5 - H 0,4 13,25 5,3 128 52,8
7 - B 0,4 20,75 8,3 128 52,8
9 - B 0,4 20,75 8,3 128 52,8
4 - D 0,3 13,5 4,05 128 39,6
3 - C 0,4 7,5 3 128 52,8
3 - F 0,4 20,25 8,1 128 52,8
Balok 7 - EF 0,4 17 6,8 128 51,2
7,8 - E 0,4 23 9,2 128 51,2
5,6 - D 0,4 22 8,8 128 51,2
6 - D,E 0,4 14,5 5,8 128 51,2
Pelat 5,6 - D,E 0,3 26 7,8 116 34,8
7,8 - E,F 0,3 33 9,9 116 34,8
7,8 - C,D 0,3 33 9,9 116 34,8
5,6 - F,G 0,3 26 7,8 116 34,8
3,4 - B,C 0,3 27 8,1 116 34,8 Sumber: Hasil analisis
Tabel 10. Skala kondisi global Nama Level K1mxMm K1mxMm,ref CR (%) CR rata-rata (%)
Basemen 1 35,6625 415,8 9 11
Hall 131,325 854 15
Panggung 104,9 897,6 12
Tribun bawah 14,55 142,8 10 Sumber: Hasil analisis
Berdasarkan penjumlahan kondisi lokal setiap komponen pada tiap level lantai
menunjukkan bahwa deteriorisasi struktur terbesar pada level Hall dengan CR= 15%.
Sementara bila dirata-ratakan untuk satu bangunan diperoleh CR= 11%. Namun karena
luas tiap lantai berbeda dan luas terbesar terjadi pada lantai level Hall dan Basemen 1.
Lantai level Basemen 1 sebagian berdiri langsung pada permukaan tanah, sehingga luas
lantai yang signifikan adalah pada level Hall. Dengan demikian penilaian kondisi
struktur bangunan menggunakan perhitungan kondisi deteriorasi pada level Hall, yakni
CR=15%. Pada kondisi ini, sesuai dengan ketentuan pada Tabel 6, maka derajat
deteriorisasi gedung adalah medium. Apabila kondisi ini dibiarkan akan menurunkan
kemampulayanan dan durabilitas komponen strukutr. Tindakan penangan untuk kondisi
ini adalah perbaikan struktural dalam waktu dekat.
6. KESIMPULAN
Inspeksi struktur bangunan gedung yang telah berdiri bertjuan unutuk mengetahui
tingkat keandalan keandalan struktur dalam memikul beban pada sisa umur bangunan.
Analisis hasil inspeksi dapat dilakukan dengan metoda skala kondisi. Dengan metoda
ini dilakukan perbandingan kondisi dereriorisasi dengan kondisi acuan. Faktor-faktor
pengaruh dalam analisis terdiri dari nilai dasar (Bi), bobot fungsi komponen struktur
(K1i), derajat intensitas kerusakan (K2i), luasan kerusakan (K3i) dan urgensi intervensi
(K4i).
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 251
Skala kondisi satu bangunan gedung dihitung berdasarkan penjumlahan kondisi
lokal dari tiap komponen struktur. Oleh sebab itu perlu proses inspeksi lapangan perlu
mendetailkan kondisi seluruh komponen struktur. Hal ini sulit dilakukan karena jumlah
komponen dalam satu sistem struktur gedung jumlahnya banyak. Meski demikian,
dalam tulisan ini metoda skala kondisi digunakan untuk menilai kondisi global satu
bangunan berdasarkan kondisi lokal komponen representatif.
Meski penilaian subjektif tidak dapat dihindari namun hal itu harus tetap
berdasarkan analisis logis. Melalui penggunaan skala kondisi memberikan prosedur
praktis di dalam penilaian keandalan struktur. Pemberian rekomendasi tindak lanjut
menjadi lebih terukur dan objektif sehingga meminimalisasi penilaian deskriptif
berdasarkan opini yang dapat dipengaruhi berbagai kepentingan.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. ASCE 11. (1999) Structural Engineering Institute American Society Of Civil
Engineers, Guideline For Structural Condition Assessment Of Existing Buildings.
Structural Engineering Institute American Society of Civil Engineers
2. Coronelli, D (2007) Condition Rating of RC structure: A case study in Journal of
Building Appraisal, Vol. 3 No 1, 29-51.
3. Puslitbang Permukiman (2011) Laporan Pemeriksaaan Gedung Serba Guna, Pusat
Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, Bandung.
4. Wuryanti, W (2009) Laporan Pemeriksaan Gedung Serba Guna, Puslitbang
Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 252
Analisa Perbandingan Biaya dan Waktu
Bekisting Metode Konvensional dengan Sistem PERI
(Studi Kasus Proyek Puncak Kertajaya Apartemen)
Farida Rahmawati1, Yusronia Eka Putri
1 dan Aditya Febrian
2
1 Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS
2 Alumni Program S1 Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS, Lab Manajemen Konstruksi Jurusan
Teknik Sipil FTSP-ITS Email: farida_rahma@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi konstruksi, penggunaan metode bekisting sistem PERI
menjadi alternatif menguntungkan dari segi biaya dan waktu jika penggunaan bekisting dalam kuantitas
besar dan penggunaan yang berulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunaan
metode bekisting yang berbeda yaitu metode sistem PERI dengan metode konvensional ditinjau dari dua
aspek biaya dan waktu. Analisa perbandingan meliputi perhitungan pada perkuatan bekisting, metode
pelaksanaan, perhitungan kebutuhan material, analisa produktivitas dan durasi dan analisa perhitungan
biaya. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui untuk pengerjaan bekisting balok dan kolom pada
Apartemen Puncak Kertajaya, bekisting PERI memerlukan biaya Rp5.156.103.120,97 dan waktu 127
hari. Sedangkan bekisting konvensional memerlukan biaya Rp4.514.736.868,00 dan waktu 223 hari.
Kata Kunci : bekisting sistem PERI, proyek Apartemen
1. LATAR BELAKANG
Pembangunan konstruksi gedung bertingkat tinggi (high rise building) tentu tidak
lepas dengan keberadaan material bekisting, dalam hal ini material kayu dengan jumlah
yang besar. Hal tersebut berpengaruh cukup dominan dalam hal pembiayaan, terutama
pada biaya langsung. Pemilihan metode pelaksanaan yang tepat akan berdampak
terhadap kecepatan pelaksanaan dan biaya yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak
beredar bekisting sistem dengan bahan material yang berbeda dan mempunyai
keunggulan masing - masing seperti Paschal, KHK, MESA dan PERI.
Salah satu inovasi untuk material bekisting adalah penggunaan bekisting sistem
PERI. Penelitian ini akan membandingkan penggunaan bekisting sistem PERI dengan
metode konvensional dari aspek biaya, dan waktu. Perbandingan metode ini diterapkan
pada Proyek Puncak Kertajaya Apartemen Tower A dan Tower B Lt. 2 – Lt. 23
(masing-masing 18 lantai tipikal) yang berlokasi di kawasan elite perumahan Kertajaya
Indah Regency, Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya. Oleh karena itu selanjutnya akan
dibahas mengenai penggunaan metode system peri dengan untuk pekerjaan bekisting
pelat dan balok ditinjau dari aspek biaya dan waktu dengan perbandingan metode
konvensional pada Proyek Puncak Kertajaya Apartemen, Surabaya. Analisa biaya hanya
pada penggunaan material dan pembeyaran upah pekerjaan bekisting, tidak termasuk
biaya tower crane untuk pemasangan bekisting.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 253
2. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Bekisting
Bekisting adalah cetakan beton atau sarana pembantu struktur beton untuk mencetak
beton sesuai dengan ukuran, bentuk, rupa maupun posisi serta alinemen yang
dikehendaki. Untuk itu bekisting harus berfungsi sebagai struktur sementara yang kuat
memikul beban sendiri, berat beton basah, beban hidup dan beban peralatan kerja
selama proses pengecoran (Wigbout F, 1992). Untuk penelitian ini, yang dibandingkan
hanya metode tradisional/konvensional dengan sistem PERI (full sistem), sehingga
penjelasan lebih lanjut pada dua metode tersebut.
Bekisting Sistem PERI
Pengertian dari bekisting sistem PERI disini adalah bekisting kontak terdiri dari
girder utama dan girder sekunder. Bekisting sistem PERI adalah bekisting yang
dirancang untuk suatu proyek yang ukurannya disesuaikan dengan bentuk beton yang
diinginkan. .
Penggunaan dari bekisting ini disebabkan karena adanya kemungkinan untuk
digunakan secara berulang-ulang. Setelah proses pengecoran selesai, komponen-
komponen ini dapat disusun kembali menjadi sebuah bekisting sistem untuk obyek
yang lain.
Gambar 1. Sketsa Potongan Melintang Bekisting Sistem PERI
(sumber : pengamatan lapangan)
C. Bekisting Konvensional
Pengertian dari bekisting konvensional adalah bekisting kontak terdiri dari kayu papan
dengan perkuatan kayu kaso. Bekisting konvensional adalah bekisting yang terdiri dari
papan dan kayu balok yang dikerjakan di tempat. Bekisting jenis ini adalah bekisting
yang setiap kali setelah dilepas dan dibongkar menjadi bagian-bagian dasar, dapat
disusun kembali menjadi sebuah bentuk lain. Penggunaan material pada sistem ini
hanya beberapa kali pengulangan dan untuk konstruksi yang rumit harus banyak
diadakan penggergajian sehingga pelaksanaan jenis bekisting ini akan memakan waktu,
bahan, dan ongkos kerja.
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 254
Gambar 2. Sketsa Potongan Melintang Bekisting Konvensional
(sumber : pengamatan lapangan)
3. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data Proyek
Data-data sekunder untuk penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Proyek
Data Sumber Jenis Data
Gambar struktur proyek Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Sekunder
Spesifikasi bekisting Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Sekunder
Metode kerja bekisting Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Sekunder
Harga material komponen
bekisting
Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Sekunder
Upah pekerjaan bekisting Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Sekunder
Urutan kerja dan siklus bekisting PT Wijaya Karya Gedung Observasi dan
wawancara (Primer)
Produktivitas kegiatan Proyek Puncak Kertajaya
Apartemen
Observasi dan
wawancara (Primer)
Spesifikasi mutu PT Wijaya Karya Gedung Observasi dan
sekunder
2. Identifikasi Komponen Bekisting
Dari data-data yang ada, dilakukan identifikasi komponen bekisting seperti komponen
penguat, pengaku dan support yang kemudian digunakan sebagai acuan perhitungan
selanjutnya.
3. Perhitungan Perkuatan Bekisting
Perhitungaan perkuatan bekisting meliputi perhitungan perkuatan pada masing-masing
metode bekisting yaitu perhitungan perkuatan gelagar pada metode bekisting sistem
PERI (besi plywood dan scaffolding) dan perhitungan perkuatan kayu kaso (kayu kaso
5/7, multiplek 15mm, balok suri 6/12 dam balok gelagar 6/12) pada metode bekisting
konvensional.
4. Metode Pelaksanaan Pekerjaan Bekisting
Dalam satu tower akan dibagi enam sektor per lantai. Tiap lantai konstruksi akan
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 255
dilengkapi setiap minggunya meliputi pemasangan dan pembongkaran bekisting. Para
pekerja harus melengkapi kebutuhan bekisting untuk sektor 1 lantai 1 sampai selesai.
Setelah itu akan memulai pemasangan bekisting pada sektor 2 lantai 1 sampai sektor 6
lantai 1. Kemudian dilanjutkan pada sektor 1 lantai 2 dan seterusnya. Untuk
pemindahan material bekisting dilakukan dengan cara pembuatan terminal sebagai
tempat meletakkan material pada lantai yang telah dicor dan akan dicor serta diangkat
dengan menggunakan tower crane.
Gambar 3. Siklus Bekisting
[4]
(sumber : PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung, 2011)
5. Perhitungan Kebutuhan Material
Perhitungan kebutuhan material pada masing-masing komponen bekisting.
Metode Bekisting Sistem PERI: Perhitungan volume meliputi perhitungan seluruh
komponen bekisting sistem PERI dengan cara mencari kebutuhan material per modul
lalu dikalikan dengan jumlah modul kemudian dikalikan dengan jumlah lantai.
Metode Bekisting Konvensional: Perhitungan volume meliputi perhitungan seluruh
komponen bekisting konvensional dengan cara mencari kebutuhan material per
modul lalu dikalikan dengan jumlah modul kemudian dikalikan dengan jumlah
lantai.
6. Analisa Produktivitas dan Durasi
Analisa produktivitas dan durasi berdasarkan wawancara serta pengamatan lapangan
pekerjaan bekisting pada kedua metode.
Metode Bekisting Sistem PERI: waktu pekerjaan bekisting sistem PERI ditentukan
berdasarkan pengamatan lapangan mengenai produktivitas pekerjaan bekisting.
Metode Bekisting Konvensional: waktu pekerjaan bekisting konvensional ditentukan
berdasarkan data historis proyek mengenai produktivitas pekerjaan bekisting.
7. Analisa Biaya
Perhitungan estimasi biaya pekerjaan bekisting pada kedua metode.
Metode Bekisting Sistem PERI: Biaya pekerjaan bekisting dihitung berdasarkan
kebutuhan material pekerjaan bekisting sistem PERI dan upah pelaksanaan pekerjaan
bekisting sistem PERI per m2. Selanjutnya dijumlahkan untuk mendapatkan estimasi
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 256
biaya pekerjaan.
Metode Bekisting Konvensional: Biaya pekerjaan bekisting dihitung berdasarkan
kebutuhan material pekerjaan bekisting konvensional dan upah pelaksanaan
pekerjaan bekisting konvensional per m2. Selanjutnya dijumlahkan untuk
mendapatkan estimasi biaya pekerjaan.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Sebelum dilaksanakan pekerjaan bekisting terlebih dahulu dilakukan beberapa
analisa yang dapat menunjang kelancaran pekerjaan tersebut. Analisa yang dilakukan
adalah analisa perkuatan bekisting, metode pelaksanaan, analisa kebutuhan material,
analisa produktivitas dan durasi, serta analisa biaya bekisting. Analisa perkuatan
bekisting meliputi perhitungan sebagai berikut:
a. Perhitungan perkuatan bekisting balok sistem PERI
Tabel 2. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Balok Sistem PERI Material Tegangan
Lentur
Lendutan
Plywood 21mm OK OK
b. Perhitungan perkuatan bekisting balok konvensional
Tabel 3. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Balok Konvensional Material Tegangan
Lentur
Lendutan
Multiplek 15mm OK OK
Kaso 5/7 OK OK
Balok suri 6/12 OK OK
Balok gelagar
6/12
OK OK
c. Perhitungan perkuatan bekisting pelat sistem PERI
Tabel 4. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Pelat Sistem PERI Material Tegangan
Lentur
Lendutan
Plywood 21mm OK OK
d. Perhitungan perkuatan bekisting pelat konvensional
Tabel 5. Hasil Perhitungan Perkuatan Bekisting Pelat Konvensional Material Tegangan
Lentur
Lendutan
Multiplek 15mm OK OK
Balok suri 6/12 OK OK
Balok gelagar
6/12
OK OK
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 257
e. Analisa Kebutuhan Material
Tabel 6. Hasil Perhitungan Kebutuhan Material Bekisting Balok dan pelat Sistem
PERI dan Konvensional untuk Satu Lantai
f. Analisa Produktivitas dan Durasi
Produktivitas pekerjaan bekisting balok dan pelat per hari adalah luas total 1 lantai
dibagi dengan total hari 1 lantai.
Produktivitas = luas : hari = 1770 m2 : 6 hari = 295 m
2 (± 1 sektor)
g. Analisa Biaya
Analisa biaya pekerjaan bekisting dilakukan dengan mengikuti metode perhitungan
kontraktor. Dalam analisa ini lebih ditekankan pada perhitungan material per unit dan
upah pekerjaan secara borongan dari data proyek. Terdapat beberapa material yang
tidak bisa dipakai terus-menerus dalam pekerjaan bekisting karena memiliki masa
pakai tertentu seperti dibawah ini.
Tabel 7. Masa Pakai Material Bekisting Balok Sistem PERI Material Masa Pakai
Plywood 21mm 5 kali pakai
Balok GT 24 selamanya
Kayu 6/12 tereduksi 7,5% tiap lantai
Balok VT 24 Selamanya
Tss screw 5 kali pakai
PERI Konvensional
342 buah
1470 buah
2088 buah
1726 buah
735 buah
Mainframe 1106 buah
Croos head 2212 buah
cross brace 1019 buah
base jack 2212 buah
29 19,79 m³
486 lembar
1487 buah
334 lembar
19,79 m3
1144 m4
2508 buah
3264 buah
5016 buah
5016 buah
155,9014419 kg
876 buah
besi siku
perancah
cross brace
u-head
base jack
paku
support
Jumlah
Beam Bracket
Scaffolding
Balok 6x12
Plywood
Tss Torx Screw
Satuan
multiplek 15mm
kaso 5/7
Jenis Material
Girder GT 24 (210 cm)
Girder GT 24 (180 cm)
Girder GT 24 (150 cm)
Girder VT 24 (180 cm)
Jumlah Satuan
159,00 buah
312,00 buah
1.290,00 buah
Mainframe 1.350,00 buah
Croos head 2.700,00 buah
cross brace 1.350,00 buah
base jack 900,00 buah
475,30 m³
2.358,13 buah
Jenis Material
Girder GT 24 (210 cm)
Girder GT 24 (180 cm)
Girder GT 24 (150 cm)
Scaffolding
plywood 21mm
Tss Torx Screw
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 258
Sebelum menghitung biaya, telah diketahui bahwa investasi bekisting proyek adalah 1,5
lantai yang merupakan acuan untuk pembelian dan pergantian material. Pada intinya
investasi 1,5 lantai adalah untuk membuat siklus pekerjaan struktur tetap berjalan
sehingga tidak terjadi posisi idle (tidak ada kegiatan) dimana untuk pekerjaan struktur di
lantai berikutnya tidak harus menunggu pembongkaran bekisting yang disebabkan oleh
pengaruh umur beton. Jumlah lantai Tower A dan B adalah sama yaitu terdiri dari
masing-masing 18 lantai typikal, sehingga total lantai 2 tower adalah 36 lantai.
Mengacu pada investasi 1,5 lantai maka 36 lantai dibagi dengan 1,5 lantai yaitu 24
lantai hitungan, maka pembelian dan pergantian material menurut lantai hitungan
tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah contoh perhitungan material multiplek.
Multiplek 15mm
Luas multiplek (1 lembar) = 1,22m × 2,44m = 2,97 m2
Volume multiplek 1 lantai = 928,28 m2
Kebutuhan material 1,5 lantai = 311,83 lembar × 1,5 = 467,75 lembar = 468
lembar
Biaya = kebutuhan material × harga material
= 468 lembar × Rp. 115.000,00 = Rp. 53.820.000,00
Upah
Volume 1,5 lantai = volume 1 lantai × 1,5 = 928,28 m2 × 1,5 = 1392,42 m
2
Upah 1,5 lantai = volume 1,5 lantai × upah per m2
= 1392,42 m2 × Rp.
22.266,00
= Rp. 29.240.865,00
Total biaya lantai 1 hitungan
Total = biaya material + total upah = Rp. 1.957.321.386,6 + Rp. 29.240.865,00
= Rp. 1.988.326.386,66
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 259
Tabel 8. Perbandingan Total Biaya Bekisting Balok Pelat
h. Analisa Waktu
Untuk waktu, telah disebutkan di subbab sebelumnya bahwa terdapat perbedaan
masa pakai material dari bekisting sistem PERI dan konvensional yaitu masa pakai
kayu kaso yang hanya 3 kali pakai saja dengan masa pakai Girder GT24 yang bisa
dipakai terus-menerus (sampai proyek berikutnya). Sehingga terdapat perbedaan
setiap tiga lantai hitungan yaitu fabrikasi ulang untuk bekisting konvensional
sedangkan untuk bekisting sistem PERI bisa langsung mengerjakan lantai berikutnya
tanpa fabrikasi ulang.
Tabel 9. Perbandingan waktu kedua metode
Sistem PERI Konvensional
0 – 1,5 Rp2.955.655.087,39 1.226.011.307,00
1,5 – 3 Rp67.582.080,00 1.313.582.114,00
3 – 4,5 Rp67.582.080,00 1.401.152.921,00
4,5 – 6 Rp67.582.080,00 1.549.136.728,00
6 – 7,5 Rp67.582.080,00 1.636.707.535,00
7,5 – 9 Rp181.977.167,39 1.724.278.342,00
9 – 10,5 Rp67.582.080,00 1.872.262.149,00
10,5 – 12 Rp67.582.080,00 1.959.832.956,00
12 – 13,5 Rp67.582.080,00 2.473.256.763,00
13,5 – 15 Rp67.582.080,00 2.621.240.570,00
15 – 16,5 Rp181.977.167,39 2.708.811.377,00
16,5 – 18 Rp67.582.080,00 2.796.382.184,00
0 – 1,5 Rp67.582.080,00 2.944.365.991,00
1,5 – 3 Rp67.582.080,00 3.031.936.798,00
3 – 4,5 Rp67.582.080,00 3.119.507.605,00
4,5 – 6 Rp181.977.167,39 3.267.491.412,00
6 – 7,5 Rp67.582.080,00 3.780.915.219,00
7,5 – 9 Rp67.582.080,00 3.868.486.026,00
9 – 10,5 Rp67.582.080,00 4.016.469.833,00
10,5 – 12 Rp67.582.080,00 4.104.040.640,00
12 – 13,5 Rp181.977.167,39 4.191.611.447,00
13,5 – 15 Rp67.582.080,00 4.339.595.254,00
15 – 16,5 Rp67.582.080,00 4.427.166.061,00
16,5 – 18 Rp67.582.080,00 4.514.736.868,00
lantai
Tower A
Tower B
0 – 1,5 12 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 10 hari
0 – 1,5 5 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 9 hari
127 hari 223 hariTotal
Lantai Sistem PERI Konvensional
TO
WE
R A
TO
WE
R B
0 – 1,5 12 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 10 hari
0 – 1,5 5 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 9 hari
127 hari 223 hariTotal
Lantai Sistem PERI Konvensional
TO
WE
R A
TO
WE
R B
0 – 1,5 12 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 10 hari
0 – 1,5 5 hari 9 hari
1,5 – 3 5 hari 9 hari
3 – 4,5 5 hari 10 hari
4,5 – 6 5 hari 9 hari
6 – 7,5 5 hari 9 hari
7,5 – 9 5 hari 10 hari
9 – 10,5 5 hari 9 hari
10,5 – 12 5 hari 9 hari
12 – 13,5 5 hari 10 hari
13,5 – 15 5 hari 9 hari
15 – 16,5 5 hari 9 hari
16,5 – 18 5 hari 9 hari
127 hari 223 hariTotal
Lantai Sistem PERI Konvensional
TO
WE
R A
TO
WE
R B
Seminar Nasional IX - 2013Teknik Sipil ITS Surabaya
Peran Industri Konstruksi dalam Menunjang MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X I - 260
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui untuk pengerjaan bekisting balok dan
kolom pada apartemen puncak kertajaya, untuk bekisting PERI memerlukan biaya
Rp5.156.103.120,97 dan waktu 127 hari. Sedangkan bekisting konvensional
memerlukan biaya Rp4.514.736.868,00 dan waktu 223 hari.
5. KESIMPULAN
Perbandingan antara 2 metode tersebut adalah dari segi biaya, bekisting konvensional
lebih murah Rp. 641.366.252,97 (12,43%) dibandingkan dengan bekisting PERI.
Namun untuk pemakaian yang lebih banyak (gedung berlantai banyak atau bertower
banyak), bekisting PERI akan lebih efektif dan murah. Sedangkan dari segi waktu
pengerjaan bekisting PERI lebih cepat 96 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wigbout, F. Ing. 1992. Bekisting (Kotak Cetak). Jakarta : Penerbit Erlangga.
2. PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung. 2011. Siklus Bekisting Puncak Kertajaya
Apartemens. PT. Wijaya Karya Bangunan Gedung
3. Handbook PERI formwork 2002
4. PERI formwork component catalogue 2002