Post on 01-Jan-2016
Sediaan Otik
Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau
aurikula, yaitu daun kartilogo yang menangkap gelombang bunyi dan menyalurkannya ke kanal
auditori eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2.5 cm merentang dari
aurikula sampai membran timpani. Membran timpani (gendang telinga) adalah pembatas telinga
tengah.
Membran timpani berbentuk kerucut, permukaan eksternalnya dilapisai kulit dan
permuakaan internalnya dilapisi membran mukosa, membran ini memisahkan telinga luar dan
telinga tengah, memiliki tegangan, ukuran dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan
gelombang bunyi secara mekanis. Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian
petrosus tulang temporal. Turba eustachius (auditori) menghubungkan telinga tengah dengan
faring. Turba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau mengunyah.
Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.
Sediaan otik, kadang kadang dinamakans ebagai sediaan telinga ataus ediaan :aural”.
Sediaan telinga biasanya ditempatkan pada kanal telinga untuk menghilangkan serumen (malam
kuping, tahi kuping) atau untuk pengobatan infeksi, inflamasi atau nyeri telinga. Karena telinga
terluar ditutup oleh strukutr kulit dan berperilaku seperti kondisi dermatologi lain seperti halnya
permukaan tubuh, kondisi kulit diobati menggunakan beranek ragam sediaan dermatologi.
dikutip dari: Sediaan Farmasi Steril
Farmasetika_Laporan Guttae Auriculares
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan yang semakin pesat, menuntut farmasis untuk selalu mengembangkan pembuatan obat dan formulasi sediaan obat. Peningkatan kualitas obat dan efisiensi dalam pembuatan merupakan hasil yang ingin dicapai dari pengembangan cara pembuatan dan cara formulasi suatu sediaan obat sehingga dapat lebih diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Dalam pengembangan obat tersebut dibuatlah sedbua sediaan yang ditunjukkan untuk telinga berdasarkan adanya gangguan pada telinga yakni berupa penyumbatan akibat kotoran telinga, infeksi dan lain-lain. Sediaan telinga kadang-kadang dikenal sebagai sediaan otic atau aural. Sediaan-sediaan yang digunakan pada permukaan luar telinga, hidung, rongga mulut termasuk macam-macam dari sediaan farmasi dalam bentuk larutan, suspense dan salep yang semuanya dibuat dalam keadaan steril sehingga disebut dengan sediaan steril. Tujuannya untuk memperlihatkan lebih dekat tipe-tipe bentuk sediaan yang digunakan dengan tempat pemakaiannya dan untuk menentukan dari komponen dalam formulasi (Ansel, 2005).
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari bagian sediaan farmasi yang termaksud ke dalam sediaan steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia. Guttae atau obat tetes sendiri terdiri dari guttae atau obat tetes yang digunakan untuk obat luar dilakukan dengan cara meneteskan obat ke dalam makanan atau minuman. Kemudian guttae oris atau tetes mulut, guttae auriculars atau tetes telinga, guttae opthalmicae atau tetes mata dan guttae nasals yaitu tetes hidung.
Dari semua obat tetes hanyalah obat tetes telinga yang tidak menggunakan air sebagai zat pembawanya. Karena obat tetes telinga harus memperhatikan kekentalan. Agar dapat menempel dengan baik kepada dinding telinga. Guttae auriculars ini sendiri merupakan obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Zat pembawanya biasanya menggunakan gliserol dan propilenglikol. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja bila wadah dibuka pada waktu penggunaan dikatakan bersifat bakteriostatik.
Jika terkena cahaya matahari atau cahaya yang lainnya akan merusak sediaan tetes telinga tersebut. Karena guttae auriculars ini merupakan salah satu sediaan obat dalam bidang farmasi. maka seorang farmasis wajib mengetahui bagaimana cara pembuatannya dan bagaimana pula cara pemakaiannya.
BAB IIFORMULA
II.1 Master FormulaTiap 10 mL mengandungR/ Kloramfenikol 1 gramPropylenglikol ad 10 mL
II.2 Kelengkapan ResepDr.ReskyPratamaSIP. 08/056/2010Jl. Telp No.05 Tanggal 19 November 2012R/ Khloramphenicol 1 gPropilenglikol ad 10 mL da 60 mL
Pro : MawarUmur : 20Tahun
Menurut Formularium Nasional Edisi II hal. 64.CHLORAMPHENICOLI GUTTAE AURICULARES
( tetes telinga kloramfenikol )
Komposisi : Tiap 10 mL mengandung : Chloramfenicol 1 g Propilenglicol ad 10 mL Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Catatan : 1. Pada etiket harus tertera daluwarsa 2. Sediaan berkekuatan lain 500 mg
II.3 Alasan Penggunaan BahanII.3.1 Penggunaan Bahan AktifKloramfenikol merupakan zat aktif yang digunakan pada pembuatan obat.Dalam sediaan tetes telinga yakni berkhasiat sebagai antibiotik (zat-zat yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme) tetapi dalam pembuatannya zat ini tidak boleh terlalu banyak karena efeknya sangat fatal yakni terjadi iritasi. Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas. Kloramfenikol berhubungan dengan gangguan darah yang serius sebagai efek yang tidak diinginkan sehingga harus disimpan untuk pengobatan infeksi berat, terutama yang disebabkan hemofilus influenza dan demam tifoid.
II.3.2 Penggunaan Bahan TambahanPropylenglikol merupakan zat tambahan yang berguna sebagai pelarut dari kloramfenikol, selain sebagai pelarut yang umum dalam pembuatan sediaan tetes telinga. Propylenglikol juga digunakan karena kloramfenikol sukar larut dalam air sehingga digunakan propylenglikol sebagai pelarut.
BAB IIITINJAUAN PUSTAKA
III.1 Landasan teori
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, larutan tetes telinga atau larutan otic adalah larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk penggunaan pada telinga luar misalnya larutan otic benzokain dan antipirin, larutan otic neomisin dan polimiskin sulfat dan larutan otic hidrokortison.Menurut Farmakope Indonesia Edisi III Guttae auriculars atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat mudah menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok. Keasaman-kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5,0–6,0 penyimpanan, kecuali dinyatakan lain dalam wadah tertutup rapat.Cara penggunaan dari tetes telinga, yaitu : Cuci tangan Berdiri atau duduk depan cermin Buka tutup botol Periksa ujung penetes dan pastikan tidak pecah atau patah Jangan menyentuh ujung penetes dengan apapun usahakan tetap bersih Posisikan kepala miring dan pegang daun telinga agar memudahkan memasukkan sediaan tetes telinga. Pegang obat tetes telinga dengan ujung penetes di bawah sedekat mungkin dengan lubang telinga tetapi tidak menyentuhnya Perlahan-lahan tekan botol tetes telinga sehingga jumlah tetesan yang diinginkan dapat menetes dengan benar pada lubang telinga. Diamkan selama 2-3 menit Bersihkan kelebihan cairan dengan tisu Tutup kembali obat tetes telinga, jangan mengusap atau mencuci ujung penutupnya. Komposisi pada sediaan steril tetes telinga yakni sebagai berikut (Syamsuni, 2006). Zat aktif, misalnya neomisin, klorampenikol, gentamycin sulfat dan lain-lain. Zat tambahn bukan air, misalnya : Pelarut : gliserin, propileglikol, etanol, minyak nabati, dan heksilenglikol
Antioksidan : alfa tokoferol, asam ascorbat, Na-Disulfida, Na-Bisulfit Pengawet : Klorbutanol (10,5 %) dan kombinasi paraben Pensuspensi : Span dan TweenZat aktif yang digunakan untuk sediaan tetes telinga biasanya adalah sebagai berikut (Ansel, 1989) Untuk melunakkan kotoran telinga, misalnya : minyak mineral encer, minyak nabati, asam peroksida. Sebagai antiinfeksi, misalnya : kloramfenikol, neomisin, kolistin fosfat, polimiksin B sulfat, gentamicyn Sebagai aniseptik dan anestesi, misalnya : fenol, AgNO3, lidokain HCl, dan benzokain. Sebagai antiradang, misalnya : hidrokortison dan deksametazone, natrium fosfat Untuk membersihkan telinga, misalnya : spiritus Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan steril tetes telinga adalah : Uji organoleptis : bau, warna dan rasa Uji kejernihan Uji pH : pH standar untuk tetes telinga adalah 5,5-6,5
III.2 Uraian Bahan
Kloramfenikol (FI edisi III Hal 143)
Nama resmi : CHLORAMPHENICOLUMSinonim : KloramfenikolRumus molekul : C11H12Cl2N2O5Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng, memanjang, putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan, tisak berbau, rasa sangat pahit.Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol (95%) p dan dalam 7 bagian propilenglikol p, sukar larut dalam kloroform p dan dalam eter p.Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahayaPenggunaan : Antibiotikum yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkhasiat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau secara spesifik berguna sebagai bakteriostatik atau bakteiosid.
Propilenglikol (FI edisi III Hal 534)
Nama resmi : PROPYLENGLYCOLUMSinonim : PropilenglikolPemerian : Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopikKelarutan : Dapat campur dengan air, denganb etanol (95%) p dan dengan kloroform p, larut dalam 6 bagian eter p, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah p dan dengan minyak lemakPenyimpanan : Dalam wadah tertutup baikPenggunaan : Zat tambahan, pelarut dari kloramphenikol.
BAB IVMETODE KERJA
IV.1. Alat dan BahanIV.1.1 Alat yang digunakan Batang Pengaduk Cawan porselin Gelas kimia 50 mL Gelas Ukur 25 mL Kaca arloji Timbangan Digital Sendok Tanduk Wadah Tetes Telinga 10 mLIV.1.2 Bahan yang digunakan Kertas perkamen Kloramphenikol 2 gram Propilenglikol ad 10 mL
IV.2 Perhitungan / Penimbangan Bahan
Kloramfenikol = 1 gramDi lebihkan 5 % = 5/100 x 1 gram = 0.05 gramJadi yang ditimbang = 1 gram + 0.05 gram = 1,05 gram
Untuk 60 mL (6 botol) = (1,05 gram)/(10 mL) x 60 mL = 6,3 gram
Propylenglikol = 10 mLDi lebihkan 5 % = 5/100 x 10 mL = 0.5 mLJadi yang ditimbang = 10 mL + 0.5 mL = 10,5 gramUntuk 60 mL (6 botol) = (10,5 mL)/(10 mL) x 60 mL = 63 mL = 63 -6.3 mL = 56.7 mL
IV.3 Cara Kerja Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Sterilisasi alat yang akan digunakan di autoklaf 121oC selama 15 menit. Digerus kloramfenikol lalu diayak dan di timbang sebanyak 6,3 gram di gelas kimia lalu dibungkus dengan perkamen, kemudian disterilisasi di oven selama 1 jam pada suhu 1150 C. kemudian di timbang sebanyak 10,5 gram Ukur Propilenglikol 10,5 mL menggunakan spoit Kemudian masukkan kloramfenikol di cawan porselin, lalu campur dengan Propilenglikol sedikit demi sedikit sampai homogen. Setelah itu masukkan dalam wadah dengan menggunakan spoit, setelah disterilisasi dengan sterilisasi C, dengan menggunakan Filtrasi atau Filter dari diameter zat ke dalam botol/wadah tetes telinga. Beri etiket, brosur dan kemasan
BAB VPEMBAHASAN
Pada praktikum ini, kami melakukan percobaan yaitu membuat guttae auriculares atau obat tetes telinga. Sebagaimana telah diketahui definisi guttae auriculares adalah obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Obat tetes telinga ini dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air tetapi menggunakan propilenglikol. Dalam praktikum ini pembawa yang digunakan
adalah propilenglikol, karena pemeriannya yang kental lebih memungkinkan kontak yang lama antara obat dengan jaringan telinga. Dan juga sebagai zat tambahan karena sifat higroskopiknya memungkinkan menarik kelembaban dari jaringan telinga sehingga mengurangi peradangan dan membuang lembab yang tersedia untuk proses kehidupan mikroorganisme yang ada. Bahan pembuatan tetes telinga harus mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak sengaja saat wadah dibuka pada waktu penggunaan atau dikatakan bersifat bakteriostatik. Dalam hal ini kloramfenikol yang menjadi zat aktif yang berfungsi sebagai antibiotik spektrum luas. Sebelum melakukan praktikum terlebih dahulu dilakukan sterilisasi pada semua alat dan bahan yang akan digunakan, tujuannya agar alat dan bahan yang kita gunakan dalam keadaan steril dan bebas dari mikroba yang bersifat patogen. Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, gelas kimia, dan botol (wadah) untuk sediaan. Alat-alat tersebut disterilkan dengan cara sterilisasi A yakni dengan menggunakan uap air bertekanan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan. Sterilisasi cara A ini dilakukan di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C atau pada suhu 1150C selama 30 menit. Sedangkan bahan yang disterilkan adalah kloramfenikol dengan teknik sterilisasi cara D yakni sterilisasi panas kering atau menggunakan oven dan kloramfenikol ini disterilkan pada suhu 1150C selama 1 jam. Sebaiknya sebelum dilakukan sterilisasi kloramfenikol ini di gerus lalu diayak agar partikel-partikelnya menjadi lebih kecil dan pada saat dicampurkan dengan pembawa, kloramfenikol ini bisa larut dengan sempurna sehingga bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga. Lalu kemudian di timbang sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, barulah dilakukan sterilisasi. Setelah dilakukan sterilisasi, bahan ditimbang sebanyak 1,05 gram lalu dimasukkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkam dengan propilenglikol sambil diaduk hingga klomfenikol larut. Setelah itu dimasukkan dalam wadah botol yang berwarna gelap agar terlindung dari cahaya. Sebelum wadah botol tetes telinga diberi etiket, brosur dan dikemas, terlebih dahulu kita lakukan uji pemeriksaan hasil sediaan atau evaluasi. Pertama yang kita lakukan yaitu uji pH, dimana pH tetes telinga harus sesuai dengan Farmakope yaitu 5,5–6,5 dengan menggunakan pH meter. Kedua yaitu uji kejernihan, uji ini bertujuan agar obat tetes telinga yang kita buat dapat jernih dan bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel kasar yang dapat menyebabkan infeksi pada telinga pada saat pemakaian tetes telinga.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad. 2000. ILMU MERACIK OBAT TEORI DAN PRAKTEK. Yogyakarta : Gajah Mada University PressAnsel, Howard. 1989. PENGANTAR BENTUK SEDIAAN FARMASI. Jakarta : UI Press Annonim. 1978. FORMULARIUM NASIONAL EDIS II. Jakarta : Depkes RIAnonim. 1979. FARMAKOPE INDONESIA EDISI III. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 1997. FARMAKOPE INDONESIA EDISI IV. Jakarta : Depkes RI
Syamsuni. 2006. ILMU RESEP. Jakarta : EGC<br /></div>
Diposkan oleh unnack' iffah di 05.52
PEMBUATAN SEDIAAT TETES TELINGA
I. TUJUAN
A. Mahasiswa mampu membuat sediaan tetes telinga Lidokain HCl.
B. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi terhadap sediaan tetes telinga Lidocaine
HCl.
C. Mahasiswa mampu membuat kemasan sekunder, brosur, dan etiket.
II. FORMULASI
A. Formula Standart
PHENOLI GUTTAE AURICURALES
Tetes Telinga Fenol
Komposisi, Tiap 10 g mengandung:
Phenolum liquidum 800 mg
Glycerolum hingga 10 g
Penyimpanan, dalam wadah tertutup rapat (1)
B. Formula Modifikasi
Lidocain Hcl 1%
Metil paraben 1%
Gliserin ad 10 mL
III. TANGGUNG JAWAB
A. Nurul Fatimah selaku praktikan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
prosedur tetap ini.
B. Octariana S, selaku supervisor dalam pelaksanaan prosedur tetap ini.
IV. DEFINISI
Guttae Auriculares atau tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan
untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Kecuali dinyatakan
lain, tets telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan
pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar obat
menempel pada dinding telinga, umumnya digunakan gliserol dan propilenglikol,
dapat juga digunakan etanol, heksilenglikol, dan minyak nabati. Zat pensuspensi
dapat digunakan sorbitan, polisorbat, atau surfaktan lain yang cocok(2).
Tetes telinga merupakan larutan zat aktif dalam air atau dalam pembawa lain yang
digunakan dengan meneteskan ke dalam lubang telinga. Penggunaan obat tetes telinga untuk
antibiotik (chlorampheicol), melunakan malam (hidrogen peroksida, natrium bikarbonat),
membersihkan telinga setelah pengobatan (spiritus), mengeringkan permukaan dalam telinga
yang berair (astringen, alumunium asetat), dan antiseptik serta anestesi (fenol)(3).
A. Lidokain HCl
Sinonim : Lidocaini Hyrochloridum, Lignokain Hidroklorida(4).
Rumus molekul : C14H12N2O.HCl.H2O BM 288,82
Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit (4).
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol, larut dalam
kloroform, tidak larut dalam eter(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungi : Sebagai zat aktif, yaitu berkhasiat sebagai antiseptik dan anastetik
lokal.
B. Metil paraben
Sinonim : Metil p-hidroksibenzoat(4).
Rumus molekul : C8H8O3(4)
Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak berbau atau berbau
khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar(4).
Kelarutan : Sukar larut dalam air,dalam benzena, dan dalam karbon tetraklorida. Mudah
larut dalam etanol dan dalam eter(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik(4).
Fungsi : Sebagai pengawet sediaan tetes telinga yang dibuat.
C. Gliserin
Rumus molekul : C3H8O3(4).
Sinonim : Glycerolum(4).
Pemerian : Cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya
boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik, netral
terhadap lakmus(4).
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut
dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak
menguap(4).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat(4).
Fungsi : Sebagai pembawa/pelarut untuk Lidokain HCl.
V. PELAKSANAAN
A. Metode Sterilisasi
Sterilisasi akhir menggunakan metode sterilisasi A, yaitu pemanasan
dalam otoklaf. Sediaan yang akan disterilkan diisikan ke dalam wadah yang
cocok, kemudian ditutup kedap. Jika volume dalam tiap wadah tidak lebih dari
1000 ml, sterilisasi dilakukan dengan uap air jenuh pada suhu 115° sampai
116° selama 30 menit(1).
B. Alat dan Bahan
Alat: Cawan porselen
Corong
Gelas beker
Mortir
Pengaduk
Pipet tetes
Sendok
Stamper
Bahan: Lidocain HCl
Gliserin
Timerosal
C. Prosedur Kerja
1. Sterilisasi Alat
Alat Sterilisasi
Cawan porselen
Corong
Gelas beker
Mortir
Pengaduk
Pipet tetes
Sendok
Stamper
Oven
Oven
Autoklaf
Autoklas
Oven
Oven
UV
Autoklaf
2. Perhitungan dan PenimbanganLidocain HCl = 1 %
= 1 g/100 mL
= 100 mg/10 mL
Penimbangan = 100 mg
Metil paraben = 1 %
= 1 g/100 mL
= 100 mg/10 mL
Penimbangan = 100 mg
Gliserin ad 10 mL = 10 g – (0,1 + 0,1) g
= 9,8 g
= 9,8 mL
Penimbangan = 9,8 g
3. Cara Kerja
Black area: semua alat yang akan disterilkan dibungkus dengan kertas perkamen
untuk autoklaf dan dengan almunium foil untuk oven
Alat dimasukkan ke grey area melalui pass box
Dalam ruang antara memakai jas lab, tutup kepala, dan sarung kaki
Grey area: Masing-masing alat disterilkan. Gelas beker, mortir, stamper, spatula,
karet penutup vial, dan karet pipet tetes disterilisai di autoklaf pada suhu121oC
selama 15 menit. Corong, pengaduk, pipet tetes, dan cawan porselen disterilisasi
menggunakan oven pada suhu 170oC selama 30 menit.
Grey area: menimbang bahan yang digunakan
White area: melarutkan Lidokain HCl dengan air panas secukupnya, diaduk hingga
homogen
Menambahkan metil paraben, diaduk hingga homogen
Menambahkan gliserin hingga 10 ml, diaduk hingga homogen
Dimasukan ke dalam botol
Evaluasi (kejernihan, pH, kebocoran, volume, dan organoleptis)
Sterilisasi akhir dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit
Dimasukkan ke dalam kemasan sekunder, diberi etiket dan brosur
VI. EVALUASIA. Uji Penetapan PH
Ujung kertas pH dicelupkan kedalam larutan
Ditunggu beberapa saat
Mencocokkan warna yang muncul dengan indikator pH
B. Uji KejernihanSediaan yang diuji dilihan dengan latar berwrna hitam
Melihat ada tidaknya partikel yang tidak larut
C. Uji OrganoleptisSediaan tetes telinga yang sudah jadi, diamati secara visual
Dilihat warna dan bau sediaan
D. Uji Kebocoransediaan dalam kemasan diletakkan terbalik dengan ujung dibawah ketika disterilisasi akhir
Apabila wadah bocor maka isi dari wadah akan keluar
VII. LAMPIRAN
A. Brosur
B. Kemasan
C. Etiket
VIII. DAFTAR PUSTAKA(1) Anonim, 1978, Formularium Nasional, edisi kedua, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 238, 323.(2) Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi ketiga, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 10, 347-348.(3) Lukas, S. 2006, Formulais Steril, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 114-117.(4) Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, DepKes RI, Jakarta, 413-414,
497, 551.
Obat Tetes dan Sediaan Cair Topikal
A. Obat tetes mata
obat tetes mata adalah sediaan tetes yang digunakan untuk mengobati gangguan pada indra penglihatan. ada yang digunakan untuk menyembuhkan mata merah karena iritasi ringan, maupun mengandungantibiotik untuk menyembuhkan infeksi, serta mengandung antibiotik+steroid untuk mengurangi glukosa (tekanan pada mata).pengawet untuk tetes mata seperti fenilraksa (II) nitrat, fenilraksa (II) asetat 0,002% b/v, benzalkonium klorida 0,01% b/v. pemilihan pengawet berdasarkan tingkat kesesuaian kelarutan pengawet dan zat aktif. benzalkonium k. tidak cocok pada tetes mata yang mengandung anestetikum lokal/pembius. obat tetes mata harus jernih, bebas partikel asing, serat, dan benang.Pada pembuatan tetes mata harus memperhatikan : sterilitas
kejernihan
pengawet
tonisitas dan stabilitas
B. Obat tetes telingaObat tetes telinga adalah sediaan yang ditujukan untuk pengobatan telinga, dengan meneteskan kedalam telinga, pembawanya buka air, ditujukan untuk membersihkan telinga, mengobati radang atau rasa sakit.
C. Obat tetes hidungObat tetes hidung adalah obat tetes yang digunaka dengan cara meneteskan pada rongga hidung. biasanya mengandung zat adrenergik untuk mengatasi kemampatan pada hidung.
D. Obat kumurObat kumur adalah sediaan yang ditujukan untuk kesehatan mulut. Beberapa zat yang umumnya digunakan untuk sediaan obat kumur :- paraklorofenol : sebagai antiinfeksi, membersihkan saluran akar gigi- larutan karbamid peroksida : anti infeksi, membunuh/mengikis kuman- eugenol : analgesik untuk gigi
E. Obat cuci mulutObat cuci mulut adalah sediaan larutan pekat dalam air yang mengandung bahan deodorant, antiseptik, analgetik dan astringen, biasanya untuk membersihkan dan menghilangkan bau mulut.
F. Obat gosok (linimentum)obat gosok adalah sediaan cair atau kental mengandung analgetikum dan zat yang mempunyai sifat rubefasien, melemaskan otot, atau menghangatkan.
G. LotioLotio adalah sediaan berupa suspensi atau sistem dispersi yang digunakan sebagai obat luar (topikal), biasanya dikenal dengan sebutan lotion atau losion.
H. EnemaEnema atau lavement atau clysma adalah cairan untuk membersihkan atau menghasilkan efek terapi setempat atau sistemik. enema untuk terapi seperti sedatif, antelmintik, antiradang, ataupun nutrien. Macam-macam enema :- enema retensi : enema/larutan yang diberikan melalui rektum- enema untuk pengosongan : enema diberikan melalui rektum untuk membersihkan usus.- enema dengan efek terapeutik : enema untuk efek karminatif, sebagai astringen, dsb
Sumber : Farmasetika Dasar
Aspek Biofarmasetik Produk Obat
BAB I
PENDAHULUAN
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat
terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang
mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa
ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik
dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha
mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik
tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat,
maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat,
kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FAKTOR-FAKTOR DALAM BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses
tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3)
absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan
dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat
dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu
kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju
pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek
penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai
kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat
membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Pelepasan dengan cara penghancuran
Obat dalam tubuh
Absorpsi
Obat dalam larutan
Pelarutan
Partikel obat padat
Obat dalam produk obat
Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat
Faktor-Faktor Fisiologik yang Berkaitan dengan Absorpsi Obat
PERJALANAN OBAT LEWAT MEMBRAN SEL. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan
atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Banyak obat mengandung substituen
lipofilik dan hidrofilik. Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel
daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.
WAKTU TRANSIT OBAT DALAM SALURAN CERNA. Usus halus, dan terutama mukosa duodenum,
mempunyai luas permukaan yang besar untuk absorpsi obat. Untuk memastikan absorpsi cepat suatu
obat setelah pemberian oral, maka obat harus mencapai duodenum secara cepat.
Suatu penundaan pengosongan obat dari lambung ke dalam duodenum akan memperlambat
absorpsi obat dan dengan demikian menunda awal dari efek terapetik. Sejumlah faktor telah
menunjukkan pengaruh terhadap waktu pengosongan lambung. Beberapa faktor yang cenderung
menghambat pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan dengan lemak tinggi, minuman dingin,
dan obat-obat antikolinergik. Sebagai tambahan, obat-obat yang tidak stabil pada pH asam, seperti
penisilin dapat terurai jika pengosongan lambung tertunda.
ALIRAN (PERFUSI) DARAH DARI SALURAN CERNA. Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal yang
penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik dan kemudian ke tempat kerja. Daerah usus diperfusi
oleh pembuluh-pembuluh darah mesenterika. Obat dilepaskan ke dalam hati melalui vena porta hepatik
dan kemudian ke sirkulasi umum atau sirkulasi sistemik. Berbagai penurunan aliran darah mesenterika,
seperti pada kegagalan jantung kongestif, akan menurunkan laju pemindahan obat dari saluran usus dan
oleh karena itu menurunkan laju bioavaibilitas obat.
Faktor-Faktor Farmasetik yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak
berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan (1) jenis produk obat (misal: larutan,
suspensi, supositoria); (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri.
Seperti dikatakan sebelumnya, bioavailabilitas obat aktif dalam suatu bentuk sediaan pada
bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi (1) disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel
obat aktif; (2) pelarutan obat; dan (3) absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel.
DISINTEGRASI. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke
dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. Proses disintegrasi tidak menggambarkan pelarutan
sempurna tablet atau obat. Disintegrasi yang sempurna ditakrifkan oleh USP XX sebagai “keadaan di
mana berbagai residu tabet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan
alat penguji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti yang teraba”. Uji disintegrasi
dipakai sebagai suatu komponen dari keseluruhan pengendalian kualitas fabrikasi tablet.
PELARUTAN. Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan
padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik
obat. Hal-hal yang mempengaruhi pelarutan obat adalah sifat fisikokimia obat, faktor formulasi dan uji
pelarutan in vitro.
METODE UJI PELARUTAN (USP XXI/NF XVI)
a. Metode “Rotating Basket” (Alat 1)
Metode “rotating basket” terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang
menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu
tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°C.
b. Metode “Paddle” (Alat 2)
Metode “paddle” atau alat ke 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor
yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu
pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan.
Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode “rotating basket”
dipertahankan pada suhu 37°C.
c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi (Alat 3)
Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan.
KORELASI KELARUTAN IN VITRO-IN VIVO
Berbagai metode pelarutan memberi kemudahan cara pengujian dari suatu produk obat. Bila suatu
metode pelarutan yang tepat dipilih, maka laju pelarutan produk obat dapat dikorelasikan dengan laju
absorpsi obat dalam tubuh. Ada beberapa cara untuk memeriksa korelasi in vitro-in vivo.
a. Laju pelarutan vs. Laju Absorpsi
Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih cepat dapat
mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat, sehingga memungkinkan untuk
menetapkan korelasi antara laju pelarutan dan laju absorpsi obat.
b. Prosen Obat Terlarut vs. Prosen Obat Terabsorpsi
Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan membandingkan prosen
obat terabsorpsi terhadap prosen obat terlarut dapat diperoleh suatu korelasi linear.
c. Konsentrasi Plasma Maksimum vs. Prosen Obat Terlarut In Vitro
Bila formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasi secara tidak baik,
tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma
yang lebih rendah. Prosen obat yang dilepas pada berbagai jarak waktu untuk produk obat yang lebih
berada dalam sistemik akan menjadi lebih besar.
d. Konsentrasi Obat dalam Serum vs. Prosen Obat Terlarut
Pada studi absorpsi aspirin, kadar aspirin dalam serum dikorelasikan dengan prosen obat terlarut yang
menggunakan suatu metode pelarutan in vitro. Media pelarutan merupakan simulasi cairan lambung.
Karena aspirin diabsorpsi cepat dari lambung, maka pelarutan obat merupakan tahap penentu dan
berbagai formulasi dengan laju pelarutan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi
aspirin dalam serum dari menit ke menit.
e. Kegagalan Korelasi Pelarutan In Vitro ke Absorpsi In Vivo
Meskipun ada sejumlah contoh publikasi obat dengan data pelarutan yang mempunyai korelasi baik
dengan absorpsi obat dalam tubuh, ada juga beberapa contoh yang menunjukkan adanya korelasi yang
jelek dari pelarutan terhadap absorpsi obat. Juga ada contoh suatu obat gagal dalam uji pelarutan,
tetapi ternyata diabsorpsi dengan baik. Masalah tidak adanya korelasi antara bioavaibiltas dan pelarutan
mungkin disebabkan oleh kekompleksan absorpsi obat dan kelemahan rancangan pelarutan.
PERTIMBANGAN DALAM RANCANGAN BENTUK SEDIAAN
Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-
bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat harus dilepas secara
efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus
tidak menambah efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan
produk obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita dan biaya produksi.
Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat fisika, kimia dan biologik obat.
Pertimbangan Penderita
Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit dipakai sebagai tablet
atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul hendaknya cukup kecil sehingga mudah
ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga minimum.
Pertimbangan Dosis
Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat mempunyai perbedaan
dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis
yang sesuai dapat dipakai dari bentuk sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat
didasarkan atas luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat
dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali.
Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis
Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga konsentrasi terapetik
obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek, pertimbangan sering diberikan untuk
memperpanjang lama kerja obat. Resiko kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk
penurunan bioavailabilitas obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi
untuk mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang.
Pertimbangan Terapetik
Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk formulator. Suatu obat yang
digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut
mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang
dapat mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya
diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat, sedangkan suatu obat yang
dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan
dari obat berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang.
Efek Samping Pada Saluran Cerna
Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat menyebabkan mual
dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi
lambung, dalam beberapa hal makanan atau antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara
lain, untuk menurunkan iritasi lambung obat dapat disalut enterik.
Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping pada saluran cerna,
obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak. Jika obat diformulasi dalam kapsul
gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan
meninggalkan sedikit residu obat dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi.
Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan memperkecil iritasi
lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat merupakan hal yang penting dan harus
ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat
memperbaiki kelarutan obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat
mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi.
PERTIMBANGAN RUTE PEMBERIAN
Produk-Produk Parenteral
Pada umumnya, pemakaian intravena memberi mula kerja yang paling cepat. Obat-obat yang
diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke
seluruh bagian tubuh. Suatu obat dapat diinjeksikan secara intramuscular melibatkan penundaan
absorpsi, karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah.
Tablet Bukal
Suatu tablet yang mengalami difusi dan penetrasi secara cepat dapat diberikan dan diabsorpsi dalam
rongga mulut. Suatu tablet yang dirancang untuk absorpsi obat dalam rongga mulut disebut tablet
bukal. Sebagai contoh tablet sublingual nitrogliserin terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi melalui
mukosa mulut. Tablet-tablet bukal pada umumnya mengandung suatu bahan tambahan yang cepat
melarut seperti laktosa, sehingga obat dilepaskan secara cepat.
Aerosol
Obat-obat yang diberikan ke dalam sistem pernafasan, seperti anti asmatik, dapat diformulasi dalam
suatu aerosol atau larutan inhalasi. Suatu sediaan aerosol dengan “propellan” yang sesuai dapat
memberikan obat secara cepat sampai ke daerah bronchial.
Sediaan Transdermal
Pemberian transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit. Contoh dari suatu obat
yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V. Untuk mabuk perjalanan Transderma-V
melepaskan skopolamin melalui kulit telinga. Rute pemberian ini dapat melepaskan obat selama
beberapa jam tanpa efek samping saluran cerna yang tidak menyenangkan. Obat yang diberikan secara
transdermal tidak dipengaruhi oleh “first pass effects”.
Sediaan Oral
Keuntungan yang utama dari sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan menghilangkan
ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama dari sediaan oral adalah persoalan
yang potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan
oleh absorpsi tidak sempurna atau interaksi obat. Rasa mual atau ketidakenakan lambung dapat terjadi
pada beberapa obat yang menyebabkan iritasi saluran cerna lokal. Bioavailabilitas yang jelek atau
penurunan absorpsi mungkin disebabkan oleh antasid atau interaksi makanan.
Sediaan Rektal
Sediaan rektal dapat diberikan dalam bentuk padat atau cair. Pemberian rektal lebih disukai untuk obat-
obat yang menyebabkan rasa mual atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan memberi obat secara
oral. Absorpsi obat melalui rektal dapat menghindari “first pass-effects” yang disebabkan oleh enzim
dan hati. Pada umumnya, obat yang diabsorpsi melalui daerah rektal bagian atas melewati vena porta
hepatik dan dapat diinaktivasi oleh hati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik
agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Semua produk obat di pantau dan
di formulasikan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan efek terapi yang optimal dan meminimalkan
efek samping dari obat tersebut. Obat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan sifat-sifat kimia maupun
fisika dari zat aktif, agar dalam pembuatan atau penggunaannya tidak menimbulkan kerugian baik bagi
produsen maupun konsumen.
Literatur:
Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Airlangga University Press.