Post on 30-Jan-2017
Penanggung Jawab: Ir. Halimurrahman, MT Penyelia:
Dr. Lilik Slamet S, M.Si
Dr. Ninong Komala
Dr. Ina Juaeni, M.Si Dr. Nurjanna Joko Trilaksono
Drs. Mahmud
Drs. Arief Suryantoro, M.Si
Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL
Editor: Indah Susanti Sartika Emmanuel Adetya, S.Kom.
Penerbit CV Media Akselerasi Bandung
Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia
ISBN: 978-602-6465-04-7
©2016 Media Akselerasi
Diterbitkan oleh CV. Media Akselerasi
Anggota IKAPI
Penyelia, Dr. Lilik Slamet S, M.Si
Dr. Ninong Komala
Dr. Ina Juaeni, M.Si
Dr. Nurjanna Joko Trilaksono Drs. Mahmud
Drs. Arief Suryantoro, M.Si
Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL
Editing Naskah, Indah Susanti, Sartika, dan Emmanuel Adetya,
S.Kom.
Disain Isi dan Kulit Muka, Emmanuel Adetya, S.Kom.
Dicetak oleh :
CV Media Akselerasi
Jl. Cikutra VI No. 23 Bandung
mediaakselerasi@gmail.com
Cetakan Pertama, 2016
Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Judul/Penyelia: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim
Indonesia
- Dr. Lilik Slamet S., M.Si., Dr. Ninong Komala, Dr. Ina Juaeni, M.Si.,
Dr. Nurjanna Joko Trilaksono, Drs. Mahmud, Drs. Arief Suryantoro,
M.Si., Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL.
- Cetakan pertama - Bandung: CV. Media Akselerasi, 2016.
vii + 136 hal. ; 18 x 25 cm
ISBN: XXX-XXX-XXXX-XX-X
i
DARI PENERBIT
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) adalah salah satu
pusat penelitian dan pengembangan di bawah Kedeputian Sains
Antariksa dan Sains Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) yang bertugas melaksanakan penelitian dan
pengembangan sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya.
Untuk mencapai misi PSTA yaitu meningkatkan pemanfaatan dan
pemasyarakatan sains atmosfer, dipandang perlu untuk meningkatkan
jumlah publikasi ilmiah, salah satunya adalah terbitan Buku Bunga
Rampai PSTA Tahun 2016 yang mengambil judul dan tema “Sains dan
Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia”.
Buku ini memiliki dua sisi fungsi untuk penulis dan pembaca.
Bagi penulis, semoga Buku ini sebagai arena pembelajaran
kemampuan menyampaikan hasil-hasil penelitian secara tulisan
sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Bagi
pembaca, semoga Buku ini dapat menambah dan memperkaya
wawasan serta pengetahuan keatmosferan Indonesia. Akhirnya,
permohonan maaf Kami sampaikan atas kekurangan yang terdapat
dalam Buku ini.
Penerbit Media Akselerasi
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa dengan telah dapat diselesaikannya Buku Bunga Rampai Pusat
Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) Tahun 2016 ini. Buku Bunga
Rampai PSTA Tahun 2016 mengambil judul “Sains dan Teknologi
Atmosfer Benua Maritim Indonesia” berisi 11 makalah ilmiah yang
ditulis oleh para peneliti PSTA.
Pembuatan buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim
Indonesia” melalui beberapa tahap seleksi. Tahap seleksi pertama yang
sudah berupa makalah lengkap, masuk ke Dewan Redaksi sebanyak 16
makalah. Hasil seleksi pertama oleh penyelia hanya 13 buah naskah
makalah yang layak masuk ke dalam Buku Bunga Rampai Tahun
2016. Tahap ke dua adalah telaah pertama (review I) yang dikoreksi
oleh reviewer dari PSTA (LAPAN) dan ITB (Institut Teknologi Bandung).
Naskah makalah yang telah dikoreksi oleh reviewer dikembalikan ke
penulis untuk diperbaiki. Pada tahap ini hanya 12 naskah makalah
yang dikembalikan ke Dewan Redaksi, seorang penulis mengundurkan
diri. Pada telaah kedua (review II) hanya 11 naskah makalah yang
diperbaiki sesuai saran dari reviewer.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki bentuk dan letak
geografi khas yang dikelilingi oleh laut yang luas. Laut yang dimiliki
Indonesia adalah reservoir penyimpan energi panas laten yang menjadi
salah satu sumber penggerak dan regulator iklim dunia. Oleh karena
itu Buku Bunga Rampai PSTA Tahun 2016 ini mengambil judul “Sains
dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” yang sedikit banyak
akan menguak karakteristik atmosfer Indonesia sebagai benua maritim
dan dampaknya.
Buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia”
berisi 11 makalah yang merupakan hasil penelitian dan kajian dari
para peneliti PSTA. Penyusunan makalah dalam Buku ini menurut
urutan alphabet nama penulis pertama atau penulis tunggal.
Makalah pertama ditulis oleh Dadang Subarna dengan judul
“Penentuan Zona Iklim di Pulau Jawa dan Madura”. Pada makalah ini,
penulis mengklasifikasikan Pulau Jawa dan Madura yang terbagi ke
dalam 6 zona iklim. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Iis
Sofiati yang berjudul “Analisa Korelasi Sea Surface Temperature (SST)
dan Kecepatan Angin di Benua Maritim Indonesia serta Kaitannya
iii
dengan Variabilitas Southern Oscillation Index (SOI)”. Pada makalah ini
penulis menganalisa keterkaitan antara SST dengan kecepatan angin
dan SOI yang dapat mengakibatkan El Nino atau La Nina di benua
maritim Indonesia.
Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Ina Juaeni dengan
judul “Proyeksi dan Anomali Angin Horisontal Tahun 2050
Berdasarkan Conformal Cubic Atmosphere Model (CCAM) di Wilayah
Indonesia Bagian Tengah Selatan”. Melalui makalah ini, penulis
membahas hasil proyeksi arah dan kecepatan angin di tahun 2050
untuk lokasi Jawa dan Nusa Tenggara yang hasilnya baik arah dan
kecepatan angin berubah terhadap rata-rata klimatologisnya. Sebagai
makalah berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Indah Susanti
dkk dengan judul “Variabilitas Profil Temperatur Vertikal dan
Keterkaitan dengan Radiasi di Indonesia”. Makalah ini membahas
tentang variabilitas temporal dan spasial suhu udara serta
hubungannya dengan intensitas radiasi di Indonesia.
Makalah ke lima yang ditulis oleh Lilik S. Supriatin, dkk. dengan
judul “Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara Jarak Jauh di Kota
Bandung”. Makalah ini mengkaji tentang polutan udara di Kota
Bandung yang sumbernya bukan lokal, tetapi dari lokasi negara lain
yaitu Republik Rakyat Tiongkok (China) dan Australia. Selanjutnya
adalah makalah yang ditulis oleh Martono dengan judul “Variasi Angin
Permukaan di Atas Laut Indonesia”. Makalah ini mengkaji variabilitas
angin permukaan di perairan Indonesia baik laut pedalaman, maupun
lautan lepas.
Selanjutnya adalah makalah yang ditulis oleh Rosida dengan
judul “Distribusi Spasial Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia”.
Melalui makalah ini, penulis mengkaji variabilitas spasial dan temporal
dari aerosol jenis black carbon di Indonesia dan pengaruhnya pada inti
kondensasi sebagi penghasil hujan. Berikutnya adalah makalah yang
ditulis oleh Saipul Hamdi dkk tentang “Pergeseran Spektrum Matahari
pada Saat Gerhana Matahari Total 2016”. Pada makalah ini, penulis
mengkaji adanya pergeseran spektrum dari matahari ketika terjadi
gerhana matahari yang lalu.
Selanjutnya makalah yang ditulis oleh Sinta B. Sipayung dkk
dengan judul “Dampak Perubahan Iklim (Khususnya Curah Hujan dan
Temperatur) di DAS Cimanuk (Jawa Barat) Berbasis Hasil Analisis Data
CRU. Makalah ini mengkaji fenomena perubahan iklim di daerah aliran
sungai (DAS) Cimanuk yang menurut penelitian ini diproyeksikan
bahwa lokasi sekitar DAS Cimanuk ke depan tingkat kekeringannya
iv
malahan menurun. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Tiin
Sinatra dkk dengan memberi judul “Variasi Ice Water Content (IWC)
Saat La Nina Berbasis MLS/AURA. Melalui makalah ini penulis
membahas karakteristik penutupan awan-awan penghasil hujan
dengan pendekatan ice water content saat La Nina berlangsung.
Terakhir adalah makalah dengan judul “Metode Statistik Non
Parametrik untuk Studi Karakteristik Polutan di Udara Ambien Wilayah
Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung)” yang ditulis oleh Wiewiek
Setyawati dkk. Makalah ini mengkaji karakteristik polutan udara di
kota Bandung dengan metode analisa dan pengujian secara statistik
non parametrik.
Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada para penulis yang
telah bersusah payah dan tekun mengikuti saran dan petunjuk dari
reviewer untuk mendekati kesempurnaan sebuah makalah. Selain itu
terima kasih, Kami ucapkan kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer LAPAN dan jajarannya yang telah memfasilitasi penerbitan
buku ini. Akhirnya peribahasa “Tiada gading yang tak retak” dan
“kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Kuasa” kami haturkan
dengan adanya kekurangan yang terdapat dalam Buku ini. Semoga
Buku ini bermanfaat untuk menambah dan memperkaya wawasan
serta pengetahuan keatmosferan, terutama kawasan Indonesia.
Selamat membaca.
Bandung, Desember 2016
Dewan Redaksi
v
DAFTAR ISI
DARI PENERBIT i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI v
1. PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA
Dadang Subarna 1
2. ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN
ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS
OSILASI SELATAN
Iis Sofiati 12
3. PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL TAHUN 2050
BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL
(CCAM) DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TENGAH SELATAN
Ina Juaeni 24
4. VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN
DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA
Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono, dan Rosida 35
5. ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK
JAUH DI KOTA BANDUNG
Lilik S. Supriatin, Muhayatun Santoso, Diah Dwiana Lestiani. 49
6. KARAKTERISTIK ANGIN PERMUKAAN DI ATAS LAUT
INDONESIA
Martono 62
7. DISTRIBUSI SPASIAL - TEMPORAL AEROSOL BLACK
CARBON DI INDONESIA
Rosida 74
8. PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA
SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016
vi
Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono 88
9. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN
DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT)
BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL
Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah 99
10. VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS
Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro 114
11. METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI
KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH
PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG)
Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono 125
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
1
PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA
Dadang Subarna
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
e-mail: dadang. subarna@lapan. go. id
ABSTRACT
Determination of climate zones is important to support the agriculture, infrastructure design, building design, water resources plan and ecoregion identification of the area. Application of geographic information system to study climate has widely used at GIS (geographic information system) community and Climatologist. The aim of the paper is to explain an application of GIS in determining Climate Moisture Index (CMI) and determination of Java and Madura climate zones. CMI depicts annual average climate moisture index is a method used by Willmott and Feddema that based on the computation using the ratio of annual precipitation (P) to annual Potential Evapotranspiration (PET). Application GIS to count the CMI used to determine mountaineous climate zone (above 800 m msl) and lowland climate zone (below 800 m msl) at certain area was applied in southern Bandung as field test area. It’s compared the altitude pattern of the area and climate moisture index spatially. The result show a strong correlation between altitude and it’s climate moisture
index of the area. The watershed area which under investigation has two climate zones that are the lowland wet climate zone and mountaineous wet climate zone. The same method is carried out to Java and Madura Island that show six climate zones and two climate zones respectively. Keywords : Climate Moisture Index, GIS, Precipitation (P),
Potential Evapotranspiration (PET)
ABSTRAK Penentuan zona-zona iklim sangat penting untuk menunjang
pertanian, perancangan infrastruktur, rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan identifikasi ekoregion suatu daerah. Penerapan sistem informasi geografis untuk kajian iklim telah meluas di komunitas SIG (Sistem Informasi Geografi) dan ahli
klimatologi. Makalah ini bertujuan untuk menerangkan tentang penggunaan SIG dalam menghitung indeks kelembapan iklim dan menentukan zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Indeks kelembapan iklim rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott dan Feddema yaitu dengan menggunakan nisbah curah hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan. Aplikasi perhitungan Indeks Kelembapan Iklim (IKI) dengan SIG digunakan untuk menentukan zona iklim pegunungan (di atas 800 m dpl) dan zona iklim dataran rendah (kurang 800 m dpl) dalam suatu daerah kajian di Bandung Selatan sebagai tempat uji lapangan. Analisis dilakukan melalui perbandingan antara pola ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya.
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
2
Hasilnya menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya. Daerah aliran sungai yang diteliti memiliki dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona iklim basah dataran tinggi. Metode yang sama dilakukan untuk pulau Jawa dan Madura yang menunjukkan terdapat enam zona iklim dan dua zona kedua pulau masing-masing.
Kata kunci : Indeks kelembapan, SIG, Curah Hujan (CH), Evapotranpirasi Potensial (PET)
1 PENDAHULUAN
Iklim secara umum didefinisikan sebagai keadaan rata-rata dari
cuaca pada suatu tempat pada periode tertentu yang menurut konvensi
pertemuan WMO tahun 1937 periode tersebut selama 30 tahun (Larson,
2012). Elemen iklim terdiri dari atmosfer, kreosfer, hidrosfer, biosfer,
dan geosfer. Iklim di suatu tempat sangat ditentukan oleh radiasi
matahari, letak lintang dan bujur di bumi, elevasi dan letaknya dari
laut. Begitu banyak elemen yang menyusun iklim di suatu tempat, maka
para ahli klimatologi mengembangkan suatu indeks yang seoptimum
mungkin memasukan elemen-elemen tersebut untuk menggambarkan
keunikan iklim suatu tempat. Pada tahun 1948, Indeks Kelembapan
Thornthwaite (TMI) diperkenalkan sebagai sistem klasifikasi iklim global
oleh Thornthwaite pada komunitas ilmiah (Philp dan Taylor, 2014).
Sejak kemunculannya, maka penggunaan indeks tersebut berkembang
melebihi klasifikasi iklim untuk sistem pertanian seperti Koppen,
Holdrige, Trewartha dan lain-lain. Sebelumnya, iklim didefinisikan
dengan istilah pengamatan deskriptif umum dan data empiris tidak
dijadikan sebagai dasar. Indeks Kelembapan Thornthwaite
memperkenalkan suatu indeks kelembapan untuk menggambarkan
tipe-tipe iklim yang dapat dihitung dengan menggunakan data yang
sesungguhnya dari daerah yang dikaji (Thornthwaite, 1948). TMI dapat
menggambarkan ariditas dan humiditas tanah serta iklim suatu daerah.
Hal itu disebabkan TMI dihitung dari beberapa elemen secara kolektif
seperti curah hujan, evapotranspirasi, simpanan air di tanah, defisit
kelembapan dan limpasan (Austroads, 2010).
Indeks kelembapan umumnya dirumuskan sebagai fungsi dari
nisbah curah hujan rata-rata terhadap kelembapan rata-rata. Nilainya
bergantung pada kemampuan untuk mencirikan kebasahan atau
kekeringan relatif suatu daerah yang didasarkan pada data iklim.
Kemungkinan konsep kelembapan dapat ditelusuri berasal dari Linsser,
namun Thornthwaite adalah yang pertama menggantikan persyaratan
kelembapan (evaporasi dan temperatur udara) menjadi kelembapan
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
3
yang bermakna klimatologi yang disebut evapotranspirasi potensial.
Thornthwaite dan beberapa rekannya telah berhasil mempublikasikan
dan mendiseminasikan indeks kelembapan yang penting.
Iklim suatu daerah dicirikan dengan keadaan panas dan lembab di
permukaan atau dekat pemukaan bumi (Willmott, 1987). Dengan
demikian, perhatian para ahli klimatologi tertuju pada variabilitas
keadaan panas dan kelembapan secara spasial dan temporal.
Kelembapan menjadi perhatian yang sangat besar, sehubungan
perannya yang penting dalam proses-proses biologi (Willmott dan
Feddema, 1992). Ahli klimatologi sering menggunakan indeks-indeks
yang sederhana untuk menggambarkan keadaan kelembapan
permukaan bumi dan salah satu indeks adalah Indeks Kelembapan
Thornthwaite (TMI).
Pada makalah ini ditunjukkan aplikasi sistem informasi geografi
untuk menghitung indeks kelembapan iklim suatu daerah dalam
menentukan zona iklim daerah kajian berdasarkan perumusan Willmott
dan Feddema tahun 1992. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan
zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Penentuan zona iklim
sangat penting untuk menunjang pertanian, perancangan infrastruktur,
rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan lain-lain.
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem yang terdiri dari
perangkat lunak komputer, perangkat keras dan data, serta dikelola
oleh seseorang yang menguasai metode pengolahan data dengan sistem
komputerisasi. Hal ini dilandasi dengan keterkaitan yang erat pada
lokasi spasialnya. Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan
seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan zona iklim di suatu
daerah. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi
lainnya. Salah satu kelebihan dari SIG adalah mampu melakukan
analisis spasial sekaligus dengan analisis database.
2 METODE PENELITIAN
Sistem informasi geografis terdiri dari 6 langkah proses, yang
dapat digunakan untuk menghasilkan keluaran data yang memiliki
referensi geografis. Enam langkah proses tersebut terdiri-dari: 1) Proses
pemasukan data tabulasi ke komputer 2) Proses pengumpulan database
di komputer 3) Proses pengaturan data yang disesuaikan dengan
informasi lintang dan bujurnya. 4) Proses pengolahan data, sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai 5) Proses analisis data, seperti proses
modeling dan evaluasi spasial 6) Proses pengeluaran data, yang
merupakan keluaran hasil akhir.
Pengujian metode Willmott dan Feddema dilakukan dua tahap
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
4
yaitu:
1) Uji dilakukan di daerah dengan gradien elevasi kontras antara
lembah dan pegunungan yang terletak antara 06o 59’24” – 07o
13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT di Kabupaten Bandung
seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Hal ini dilakukan agar
memudahkan melakukan pengecekan lapangan.
2) Metode perhitungan Willmott dan Feddema akan dilakukan untuk
Pulau Jawa dan Madura. Sistem Informasi Geografi (SIG) akan
digunakan pada perhitungan metode Willmott dan Feddema secara
spasial pada makalah ini.
SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi
geografis (Aronoff, 1989). SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya
manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan,
menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi,
menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya.
Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah
data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki
sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya (BTIC, 2010).
IKI rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott
dan Feddema tahun 1992. Metode tersebut menggunakan nisbah curah
hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan.
Indeks Kelembapan Iklim menurut Willmott dan Feddema
dirumuskan sebagai:
(IKI) = (CH / PET) -1, jika CH < PET (1)
IKI adalah Indeks Kelembapan Iklim
(IKI) = 1- (PET / CH), jika CH = PET (2)
CH adalah curah hujan tahunan (mm/th), PET adalah evapotranspirasi
potensial (mm/th).
Pada penelitian ini IKI metode perhitungan Willmott dan Feddema
akan dilakukan untuk Pulau Jawa dan Madura. Pengujian (validasi) IKI
metode Willmott dan Feddema akan dilakukan di daerah dengan gradien
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
5
elevasi kontras antara lembah dan pegunungan. Lokasi untuk validasi
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi uji penentuan zona iklim di Kabupaten Bandung
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
IKI adalah perbedaan antara curah hujan tahunan (CH) dan
evapotranspirasi tahunan (PET) yang secara sederhana menunjukkan
kelembapan tanah (Willmott and Feddema 1992; Hogg, 1997). Iklim
suatu daerah sangat menentukan jenis spesies fauna dan flora yang
hidup di daerah tersebut. Dengan demikian, penentuan IKI juga
merupakan pemetaan kerangka kerja ekologi pada suatu daerah
sehingga menjadikan pembagian suatu negara ke dalam pewilayahan
ekozone, ekoregion atau ekodistrik (Lapp dkk., 2014). Untuk setiap
ekodistrik, dihitung IKI dengan menggunakan beberapa metode seperti
metode Thornthwaite dan metode Penman atau metode Willmott dan
Feddema (Hogg, 1997). Terdapat hubungan antara IKI dan jenis spesies
yang tumbuh di suatu tempat. Dengan menerapkan konsep IKI yang
menggunakan perbedaan curah hujan dan evapotranspirasi potensial,
maka dapat dipetakan distribusi vegetasi di daerah yang dikaji.
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
6
Gambar 2. Klasifikasi curah hujan tahunan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG)
Hasil klasifikasi curah hujan tahunan spasial dengan
menggunakan SIG seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Perhitungan
yang sama juga dilakukan untuk mendapatkan evapotranspirasi
potensial tahunan di daerah kajian, hasilnya ditunjukkan pada Gambar
3. Dengan menggunakan persamaan (1) atau persamaan (2) dan
bantuan SIG maka didapat gambar zona pembagian iklim berdasarkan
IKI dari Willmott dan Feddema, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
7
Gambar 3. Pengolahan evapotranspirasi potensial dengan SIG
secara spasial.
Iklim suatu daerah sangat ditentukan oleh ketinggian daerah
tersebut atau letaknya dari garis pantai. Oleh karena itu pengecekan
lapangan harus dilakukan untuk mengetahui zona iklim suatu daerah
dengan ketinggiannya. Pengujian lapangan dilakukan di daerah
Bandung Selatan seperti tertera pada Gambar 1. Daerah tersebut
memiliki batas ketinggian yang kontras antara daerah pegunungan di
atas 800 m dpl (di atas permukaan laut) dan daerah lembahnya di
bawah 800 m dpl. Berdasarkan hasil klasifikasi metode Willmott dan
Feddema, maka daerah kajian memiliki dua zona iklim yaitu lembap
dataran rendah dan lembap dataran tinggi (Gambar 5).
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
8
Gambar 4. Pengolahan IKI dengan sistem informasi geografi
sesuai rumus Willmott dan Feddema.
Pada Gambar 5 ditunjukkan perbandingan antara pola topografi
dengan indeks kelembapan iklim hasil perhitungan secara visual.
Hasilnya menunjukkan terdapat kesesuaian pola antara topografi
dengan indeks kelembapan iklim. Daerah kajian yang diteliti memiliki
dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona
iklim basah dataran tinggi. Hasil perhitungan untuk Pulau Jawa dan
Madura dapat ditunjukkan pada Gambar 6.
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
9
Gambar 5. Perbandingan IKI dan ketinggian yang menunjukkan
kesesuaian antara IKI dengan elevasi daerah kajian.
Gambar 6. Zona iklim di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan
perumusan Willmott and Feddema.
Gambar 6 menunjukkan pembagian zona iklim berdasarkan
Willmott dan Feddema. Secara teori, IKI metode Willmott dan Feddema
mempunyai interval -1 sampai +1 berdasarkan kondisi sub-tropis.
Disebabkan Indonesia adalah wilayah tropis yang memiliki curah hujan
tinggi terkadang melebihi evapotranspirasinya, maka hasil perhitungan
IKI melebihi harga +1. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa Pulau
Jawa memiliki enam zona IKI yaitu IKI bernilai negatif (-1) beriklim
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
10
kering, (0) beriklim lembap, (1) beriklim basah, (2) beriklim lebih basah,
(3) beriklim sangat basah, (4) selalu diselimuti awan. Kriteria tersebut
didasarkan pada kriteria Willmott dan Feddema yang diadopsi untuk
daerah tropis. Karena penulis mengalami kesulitan untuk mendapatkan
rujukan yang terkait dengan pembagian zona iklim berdasarkan nilai IKI
di daerah tropis, maka pembagian IKI melebihi nilai IKI dari kriteria
Willmott dan Feddema di daerah tropis merupakan penemuan baru
dalam penelitian zona iklim untuk daerah tropis. IKI bernilai negatif (-1)
berada pada sebagian besar pantai utara Jawa bagian barat dan sekitar
daerah Citatah (daerah sekitar Padalarang), sebagian kecil Pantai Jawa
Tengah, sebagian besar wilayah Pantai Jawa Timur dan Madura yang
berarti memiliki iklim kering (warna merah pada Gambar 6). Pada
daerah-daerah itu curah hujan selalu lebih kecil daripada
evapotranspirasi potensial sehingga kelembapan iklim bernilai negatif
dan udara memiliki kandungan uap air yang relatif kecil sehingga terasa
lebih kering. Sebagian Pulau Jawa memiliki nilai IKI (0), warna hijau
pada Gambar 6, yang berarti iklim lembap (humid). Pada daerah-daerah
tersebut curah hujan dan evapotranspirasi besarnya hampir sama
setiap tahun. Sebagian besar Jawa bagian barat, Jawa Tengah dan
beberapa daerah Jawa Timur (warna biru) memiliki iklim basah (curah
hujan lebih besar dari evapotranspirasi potensial). Hal ini dikarenakan
daerah-daerah tersebut didominasi pegunungan dengan ketinggian di
atas 1000 m dpl. Terdapat beberapa daerah dengan zona iklim lebih
basah dan sangat basah (warna merah muda dan kuning) yang
merupakan daerah gunung dengan ketinggian lebih dari 2000 m dpl.
Pada daerah tersebut terdapat beberapa puncak yang rata-rata setiap
tahunnya diselimuti awan (warna hitam di Gambar 6).
4 KESIMPULAN
Penentuan zona iklim sangat penting untuk menunjang pertanian,
perancangan infrastruktur, perancangan bangunan, perencanaan
sumberdaya air dan penentuan ekoregion atau ekodistrik. SIG sangat
memudahkan untuk pengolahan dan kajian iklim secara spasial
khususnya penentuan zona iklim berdasarkan curah hujan dan
evapotranspirasi potensial tahunan. Daerah kajian yang diteliti berupa
daerah aliran sungai di Bandung Selatan yang memiliki dua zona iklim
yaitu zona iklim basah dataran rendah dan zona iklim basah dataran
tinggi. Iklim suatu daerah ditentukan juga oleh ketinggian lokasi dari
permukaan laut. Berdasarkan penelitian ini terdapat kesesuaian pola
antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya.
Pulau Jawa mempunyai enam zona iklim yang melebihi indeks yang
Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna
11
ditetapkan oleh Willmott dan Feddema. Hal ini disebabkan Pulau Jawa
memiliki daerah pegunungan dan gunung-gunung dengan ketinggian di
atas 1000 m dpl yang sangat tinggi curah hujannya dibandingkan
dengan evapotranspirasi potensialnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada World Clim Global Climate
yang telah menyediakan data sehigga penelitian ini dapat berlangsung.
DAFTAR RUJUKAN
Aronoff, S., 1989: Geographic Information System Management
Perspective WDL Publication, Ottawa-Canada.
Austroads, 2010: Predicting Structural Deterioration of Pavements at a
Network Level – Interim Models APT159/10, Sydney, Austroads
Incorporated.
BTIC [Biotrop Training dan Information Centre], 2010: Pelatihan Aplikasi
Sistem Informasi Geografi Untuk Pengolahan Data Spasial. Aplikasi
Perangkat Lunak (Software) ArcGIS 9. x. BIOTROP.
Hogg, E. H,1997: Temporal Scaling of Moisture andthe Forest-Grassland
Boundary in Western Canada. Agricultural Forest Meteorolology. 84.
115-22.
Lapp. S., D. Sauchyn and E. Wheaton, 2014: Future Climate Change
Scenarios for the South Saskatchewan River Basin.
unit2_final_report.
Larson, J.W, 2012: Visualizing Climate Variability with Time-Dependent
Probability Density Functions, Detecting it with Information Theory.
Procedia Computer Science 00, 1–11.
Philp, M and M. Taylor, 2014. Beyond Agriculture: Exploring the
application of the Thornthwaite Moisture Index to infrastructure and
possibilities for climate change adaptation. ACCARNSI Discussion
Paper X, NCCARF. 2012.
Thornthwaite, C.W., 1948: An approach toward a rational classification
of climate. Geographical Review, 38, 55-94.
Willmote C.J. and J. J. Feddema, 1992:A More Rational Climatic
Moisture Index. The Professional Geographer 44, Issue 1, 84-88,
Willmote, C.J., 1987: Models, Climatic. In The Encyclopedia of
Climatology, eds. J. E. Oliver and R. W. Fairbridge, 584-90. New York:
Van Nostrand Reinhold.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN
ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS
OSILASI SELATAN
Iis Sofiati
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173
E-mail: sofiati07@gmail. com
ABSTRACT
Southern Oscillation Index (SOI) variabilities of is one of the important factors in determining climate conditions in Indonesian Maritime
Continent. SOI is generally associated with Sea Surface temperature (SST) and wind speed. In this study analyzed the spatial distribution, temporal and correlation between SST, wind speed and SOI using statistical methods for the period 2005-2010 in Indonesia Maritime Continent (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. From the results shown that the SST reaches its maximum in April and October and minimum in May to August lower than 28 ºC. SST cooling occurs from May to August, the maximum appears in the eastern Indonesia and the minimum in the western. Seasonal variability of SST and wind speed is different for some regions, and both parameters were negatively correlated. From the regression analysis shows that the variability of SST has a time lag of three months behind wind speed. SST is positively correlated with SOI. SST influenced SOI one month in advance. SOI and wind speed are also negatively correlated as SST, SOI influenced wind speed one month in advance. In this study concluded that the variability of SOI quite an important role to changes in SST and wind speed, while the SST variability is caused by the interaction of southeast monsoon and winds-ocean.
Keywords : SST, wind speed, SOI, correlation analysis.
ABSTRAK Variabilitas Indeks Osilasi Selatan (IOS) merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan perubahan kondisi iklim di Benua Maritim Indonesia. Pada umumnya IOS berhubungan dengan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan kecepatan angin. Pada penelitian ini dianalisa distribusi spasial, temporal dan korelasinya antara SPL, kecepatan angin dan IOS menggunakan metode statistik untuk periode 2005-2010 di Benua Maritim Indonesia (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. Berdasarkan hasil terlihat bahwa SPL mencapai maksimum pada bulan April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus dibawah 28ºC. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat. Variabilitas musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan, dan kedua
parameter tersebut berkorelasi negatif. Menurut hasil analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL mempunyai jeda waktu (time-lag) tiga bulan di belakang kecepatan angin. SPL berkorelasi
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
13
positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan sebelumnya. IOS dan kecepatan angin berkorelasi negatif sama seperti SPL, IOS mempengaruhi kecepatan angin satu bulan sebelumnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabilitas IOS cukup berperan penting terhadap perubahan SPL dan kecepatan angin, sedangkan variabilitas SPL disebabkan oleh interaksi angin monsun tenggara dengan laut.
Kata kunci : SPL, kecepatan angin, IOS, analisis korelasi.
1 PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
mempunyai posisi yang strategis sehubungan dengan pola sirkulasi laut
global sifat dinamis dari kepulauan menunjukkan interaksi dengan
Pasifik dan Samudera Hindia dan iklim musiman, dan dapat
menjelaskan keanekaragaman hayati laut secara menyeluruh untuk
sebagian besar daerah. Karena iklim Indonesia berada di bawah
pengaruh sistem monsun Asia-Australia, yang berdampak besar pada
pola sirkulasi skala besar antara laut di intra-kepulauan dan
memainkan peran penting dalam produksi ekosistem pesisir dan laut
(Sachoemar, 2013). Interaksi laut-udara di atas Indonesia dianggap
sebagai salah satu faktor penting dalam menjelaskan fluktuasi dan
intensitas sirkulasi monsun. Perairan Indonesia merupakan wilayah
strategis karena terletak antara Samudera Pasifik di sebelah timur dan
Samudera Hindia di barat, dan bertindak baik sebagai penghalang
gesekan dan hubungan antara dua samudera. Aliran dari Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia memberikan efek signifikan pada sirkulasi
laut dan iklim global. Daerah tropis diakui memiliki pengaruh besar
pada atmosfer global, dan daerah tropis sebelah barat Pasifik dan
sebelah timur Samudera Hindia diakui sebagai sumber bagi banyak
peristiwa iklim yang penting seperti periodik monsun, IOS dan
sebagainya.
Potemra (2006) menyatakan bahwa sifat-sifat perairan Pasifik
barat dan Samudera Hindia timur sangat dipengaruhi oleh lintas
Indonesia dan merupakan pembawa panas dari daerah perairan hangat
di Pasifik barat ke Samudera India. Perpindahan panas ini
mempengaruhi tingkat kehangatan perairan di wilayah Pasifik barat.
SPL dapat diperoleh dengan pengukuran langsung (in situ) atau
menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Sensor satelit
penginderan jauh mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipancarkan
oleh permukaan laut untuk melihat fenomena sebaran SPL. Citra
penginderaan jauh dari satelit dapat dimanfaatkan untuk pemantauan
dan kajian SPL karena mempunyai band thermal dan resolusi temporal
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
14
yang tinggi, sehingga dinamika perubahan SPL dapat diamati secara
kontinu.
Anomali SPL dapat memberikan efek besar terhadap klimatologi,
sehingga penelitian yang berkaitan dengan SPL serta parameter iklim
lainnya sangat penting dilakukan. Penelitian tentang SPL di perairan
Indonesia, terutama berfokus pada sirkulasi laut seperti lintas Indonesia
telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik dari dalam maupun luar
negeri (Potemra, 2006; Tomascik, dkk., 1997; Gordon, 2006; Wytki,
1987; Wytki, 2006; Qu, dkk., 2005; Sprintal and Liu, 2006; Annas,
2009; Ayu dkk., 2012). Berbeda dengan penelitian sebelumnya,
penelitian ini menganalisa korelasi SPL dan kecepatan angin di Benua
Maritim Indonesia dan kaitannya dengan variabilitas IOS, dan
diharapkan penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya.
2 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SPL harian
yang diperoleh dari NOAA OI SPL V2 High Resolution Dataset dengan
resolusi 0.25º x 0.25º dengan global grid (1440x720). Data diunduh dari
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.noaa.oiSPL.v2.highrs.
html. Data kecepatan angin yang digunakan diolah dari data angin zonal
dan meridional level permukaan 1000 mb, dengan resolusi spasial 1ºx1º
yang merupakan data reanalisis. Data diunduh dari
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded.reanalysis.surface.html.
Data IOS yang digunakan merupakan data IOS harian dengan
basis data 1993-1992 yang didapatkan dari
https://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/southern
oscillationindex/soidatafiles/index.php. Ketiga jenis data merupakan
data rata-rata harian untuk periode 2005-2010, kemudian di rata-
ratakan untuk pentad (5) harian, dan bulanan untuk wilayah Indonesia
(6-12)ºLS, (95-142)ºBT. Selanjutnya dilakukan uji-F dan uji-T untuk
analisis regresi, korelasi dan time-lag dalam menentukan korelasi antara
SPL, kecepatan angin dan IOS dengan menggunakan software EViews.
Time-lag yang dimaksud adalah jeda waktu antara kejadian SST,
kecepatan angin dan IOS mencapai maksimum.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Distribusi dan korelasi SPL dan kecepatan angin
SPL mempunyai peranan penting dalam mengontrol kadar panas
lautan dan mengatur iklim (Qu, dkk., 2012). Gambar 1 (a) menunjukkan
distribusi pentad SPL, dan dari hasil terlihat bahwa puncak panas SPL
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
15
terjadi dua kali yaitu pada pentad ke-23 atau bergeser sampai pentad
ke-30, dan pentad ke-59 atau bergeser sampai pentad ke-63.
Gambar 1. Distribusi spasial SPL dan angin (arah dan kecepatan)
rata-rata tahun 2005-2010 untuk bulan Juni (kiri) dan November (kanan)
Pada umumnya di Indonesia SPL mencapai maksimum pada bulan
April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus
dengan suhu dibawah 28ºC. SPL rata-rata tertinggi terjadi pada tahun
2010, dan terendah pada tahun 2006 seperti yang terlihat pada Gambar
1. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum
di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat
seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hasil dari penelitian ini
mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa siklus
musiman SPL di perairan Indonesia ditandai dengan “pendinginan”
selama musim panas. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa angin
monsun dari arah tenggara berperan penting dalam fenomena
pendinginan di perairan Indonesia. Pendinginan pertama kali muncul di
bulan Mei dan mencapai maksimum di bulan Agustus. Pendinginan
tersebut disebabkan oleh pengaruh angin monsun yang sangat kuat di
bulan Juli (Setiawan, 2010).
Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi pada
pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-Juli-Agustus
(JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan pentad 67
atau pada bulan Maret dan bulan November seperti yang terlihat pada
Gambar 2 (b). Kecepatan angin rata-rata tertinggi terjadi pada tahun
2006, dan terendah pada tahun 2010.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
16
Gambar 2. Distribusi SPL pentad (a) dan kecepatan angin (b) dari
tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa korelasi antara SPL dan
kecepatan angin berkorelasi negatif, dengan nilai koefisien korelasi rata-
rata r = 0,63; RMSE = 0,85 dan tertinggi mencapai r = 0,71 dengan
RMSE = 0,79 yang terjadi pada tahun 2007 seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3. Nilai koefisien korelasi selengkapnya ada pada Tabel 1.
Hubungan antara SPL dengan kecepatan angin telah dipelajari selama
beberapa dekade. Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa SPL
dan kecepatan angin berkorelasi negatif (Bjerknes,1964: Hurrell, 1995;
Shukla and Misra, 1997; Huang and Qiao, 2009; O’Neill dkk., 2010; Yu
dkk., 2015).
Gambar 3. Distribusi korelasi antara SPL dan kecepatan angin
dari tahun 2005 sampai 2010 (kiri) dan tahun 2007 (kanan) di wilayah Indonesia
Hal ini terjadi karena fakta bahwa peningkatan kecepatan angin
akan menurunkan suhu permukaan dengan memecah stratifikasi
permukaan air, hal tersebut terjadi karena air bawah permukaan akan
dibawa ke permukaan yang mempunyai suhu lebih dingin. Ng dkk.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
17
(2009) menemukan bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface
Emissivity) berubah terhadap kecepatan angin, sementara SSE
mempengaruhi SPL.
Tabel 1. Korelasi antara SPL, kecepatan angin, dan IOS
Oleh karena itu, kecepatan angin mempengaruhi keadaan SPL.
Selain itu, Ng dkk. (2009) menemukan bahwa hanya kecepatan angin
yang tinggi atau lebih dari 15 m/detik memiliki dampak yang signifikan
terhadap SPL. Wang dkk. (1999) dan Wang (2004) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa peningkatan kecepatan angin permukaan akan
menghasilkan lebih banyak penguapan dan pendinginan SPL, yang
mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dari kecepatan angin
permukaan, dan sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Xie
(2004) menyatakan bahwa SPL dan kecepatan angin berkorelasi positif
dalam wilayah skala kecil, dan angin permukaan secara lokal lebih
tinggi di atas perairan hangat dan lebih rendah di atas perairan dingin.
Gambar 4. Distribusi SPL rata-rata pentad dan kecepatan angin
tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
TAHUN SPL-IOS Ws-IOS Ws-SPL
R2 r R2 r R2 r
2005 0,005 0,068 0,016 0,125 0,43 0,65
2006 0,079 0,282 0,108 0,329 0,50 0,71
2007 0,002 0,039 0,002 0,040 0,53 0,73
2008 0,001 0,039 0,031 0,175 0,45 0,67
2009 0,010 0,102 0,0009 0,032 0,36 0,60
2010 0,005 0,069 0,012 0,110 0,22 0,46
SPL- IOS 0,08 0,28
Ws-IOS 0,03 0,16
Ws-SPL 0,43 0,63
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
18
Gambar 4 menunjukkan distribusi SPL rata-rata pentad dan
kecepatan angin. SPL meningkat dari musim hujan ke musim transisi
atau pentad ke-24, tetapi menurun kembali dan mencapai puncak
dingin pada pentad ke-47 atau pada bulan Juli, dan meningkat kembali
suhunya dan mencapai puncak panas pada pentad ke-67 atau pada
bulan November.
Sementara kecepatan angin awalnya berkurang dari pentad ke-1
sampai ke-7 atau musim hujan ke pentad ke-22 atau musim transisi.
Kemudian meningkat pada akhir musim panas dan mencapai
puncaknya pada bulan Juli atau pentad ke-44. Korelasi negatif antara
SPL dan kecepatan angin menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan
angin akan mengakibatkan penurunan SPL (Qu, 2012). Distribusi SPL
dan kecepatan angin bulanan yang ditunjukkan oleh Gambar 5 juga
memperlihatkan hasil yang jelas, bahwa antara kedua parameter
tersebut berkorelasi yang negatif. Selama periode pengamatan, terlihat
bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL
tertinggi (29,8ºC) dan kecepatan angin terendah (2,7 m/det), sedangkan
tahun 2006 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL terendah
dengan kecepatan angin tertinggi (4,2 m/det). SPL dengan nilai tertinggi
rata-rata terjadi pada bulan November dan Mei dan akan menyebabkan
kecepatan angin mencapai nilai terendah pada bulan Maret tahun
berikutnya.
Gambar 5. Distribusi bulanan SPL dan kecepatan angin tahun
2005 sampai 2008 di wilayah Indonesia
Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia, SPL diduga
memiliki efek pada kecepatan angin beberapa minggu sampai beberapa
bulan di depan.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
19
Tabel 2. Jeda waktu (time-lag) maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010
Tabel 2 menunjukkan puncak jeda (waktu antara puncak ke
puncak) waktu maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun
2005 sampai 2010. Ketika puncak SPL didepan kecepatan angin, maka
puncak jeda-waktu bertanda positif. Jika sebaliknya, maka bertanda
negatif. Hasil lain menunjukkan bahwa di wilayah selatan, kecepatan
angin dipengaruhi SPL ditunjukkan dengan lebih banyak nilai negatif
dari jeda waktu maksimum) dibandingkan dengan di wilayah utara (Qu,
2012). Selanjutnya dari analisa regresi dengan menggunakan E-views
menunjukkan bahwa korelasi rata-rata SPL dengan kecepatan angin
dari tahun 2005 sampai 2010 adalah:
T = 29,809 - 0,424 V (1)
dimana T adalah SPL, dan V adalah kecepatan angin, dan koefisien
korelasi (r) = 0,63. Untuk analisa jeda-waktu antara SPL dan kecepatan
angin diperoleh persamaan:
T = 26,253 - 0,432 V - 0,671 V1 - 0,732 V2 - 0,507 V3 (2)
dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari
terjadinya SPL, dan korelasi koefisien (r) = 0,71. Persamaan (2)
menunjukkan bahwa SPL diduga memiliki efek pada kecepatan angin
tiga bulan ke depan.
3.2 Distribusi dan korelasi SPL, kecepatan angin, dan IOS
Gambar 6 menunjukkan korelasi antara SPL, kecepatan angin,
dan IOS. Berdasarkan hasil terlihat bahwa korelasi antara SPL dengan
IOS berkorelasi positif, dengan koefisien korelasi (r) rata-rata = 0,09.
Sedangkan korelasi antara kecepatan angin dengan IOS rata-rata
berkorelasi negatif dengan koefisien korelasi (r) = 0,08. Berdasarkan
hasil terlihat adanya jeda-waktu dari variasi SPL dengan IOS maupun
antara kecepatan angin dengan IOS. Analisis yang sama seperti yang
dilakukan terhadap SPL dengan kecepatan angin, diperoleh hasil bahwa
Tahun
Puncak jeda- waktu (bulan)
Tahun Puncak jeda-waktu (bulan)
2005 3 2008 2
2006 3 2009 2
2007 3 2010 3
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
20
jeda-waktu antara SPL memiliki efek pada IOS diduga satu bulan di
depan, dan persamaan yang didapat adalah:
T = 29,795-0,420 V1 -0,642 V2 -0,517 V3 +0,001 I1 (3)
dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari
terjadinya SPL, dan I adalah indeks IOS satu bulan di depan dari
terjadinya SPL.
Gambar 6. Distribusi korelasi SPL dengan IOS (kiri) dan dengan
kecepatan angin (kanan) tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia
Berdasarkan analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL
diduga memiliki efek pada kecepatan angin tiga bulan di depan. SPL
berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan
sebelumnya. Kejadian tersebut berhubungan dengan adanya anomali
angin baratan di atas lautan Hindia Tropis yang menurunkan suhu
muka laut, utamanya melalui proses umpan balik evaporasi-angin.
Pendinginan ini akan membantu perkembangan kejadian monsun lemah
musim panas Asia Selatan jika keadaan suhu muka laut yang dingin ini
mampu terus bertahan untuk selang waktu sekitar satu tahun ke
depan. Anomali suhu muka laut di lautan Pasifik Tropis bagian barat
tetap hangat sampai periode musim peralihan (September, Oktober,
November), yang akhirnya mendorong terjadinya monsun Australia yang
lebih kuat pada periode musim basah (Desember, Januari, Februari,
sekaligus sebagai awal pengaturan perkembangan kejadian monsun
basah (Suryantoro, 2008). Penelitian lain mengenai korelasi antara SPL
dan kecepatan angin di lintang menengah dilakukan oleh Qu (2012)
yang menyatakan bahwa SPL berkorelasi negatif dengan kecepatan
angin dengan jeda-waktu yang berbeda untuk setiap lintang yang
berbeda. Hasil penelitian ini malahan menunjukkan SPL berpengaruh
siknifikan pada kecepatan angin yang mendukung penelitian
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
21
sebelumnya yang dikerjakan oleh Ng dkk. (2009) yang menemukan
bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface Emissivity) berubah
terhadap kecepatan angin, sementara SSE mempengaruhi SPL.
4 KESIMPULAN
Pendinginan SPL terjadi dari bulan Mei sampai Agustus,
maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan
Indonesia Barat. Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi
pada pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-Juli-
Agustus (JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan
pentad 67 atau pada bulan Maret dan bulan November. Variabilitas
musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan,
dan kedua parameter tersebut berkorelasi negatif. Berdasarkan regresi
dapat dilihat bahwa maksimum SPL mempunyai jeda waktu (time-lag)
tiga bulan di belakang kecepatan angin, artinya nilai kecepatan angin
maksimum terjadi tiga bulan setelah nilai maksimum SPL. SPL
berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan
sebelumnya. Hasil lain menunjukkan bahwa hanya kecepatan angin
tinggi memiliki dampak yang signifikan terhadap SPL.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Rachmawati
Syahdiza S.Si., alumni Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Jurusan
Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya.
DAFTAR RUJUKAN
Annas, R., 2009: Pemanfaatan Data Satelit MODIS untuk Menentukan
Suhu Permukaan Laut. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Ayu, D., M.S. Bangun, dan M.J. Lalu, (2012): Studi Perubahan Suhu
Permukaan Laut. Program Studi teknik Geomatika ITS.
Bjerknes, J. 1964: Atlantic air-sea interaction. Advances in Geophysics,
10, 1-82. [doi:10.1016/S0065-2687(08)60005-9].
Gordon, A., 2006: Oceanography of the Indonesian Seas and Their
Throughflow. The Official Magazine of the Oceanographic Society.Vol
18.No. 4.14-27.
Huang C. and F. Qiao, 2009: The relationship between sea surface
temperature anomaly and wind energy input in the Pacific Ocean.
Natural Science. Vol 19 (2009) 1409–1412.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
22
Natural Science. Vol 19 (2009) 1409–1412.
doi:10.1016/j.pnsc.2009.03.004.
Hurrell, J.W., 1995: Decadal trends in the North Atlantic Oscillation:
Regional temperatures and precipitation. Science, 269 (5224), 676-
679. [doi:10.1126/science.269.5224.676]
O’Neill LW, B. Dudley, DB. Chelton, S.K. Esbensen, 2010: The Effects of
Sea Surface Temperature-Induced Surface Wind Speed and Direction
Gradients on Midlatitude Surface Vorticity and Divergence. American
Meteorological Society, 2010. Vol 23, 255-281.
Ng, H.G., M.Z. MatJafri, K. Abdulah, and C.J. Wong, 2009: The effect of
wind speed on Sea Surface Temperature retrival. Proceedings of
Aerospace Conference, 2009 IEEE.
Potemra, J.T. 2006: Indonesian Throughflow Transport Variability
Estimated from Satellite Altimetry. The Official Magazine of the
Oceanographic Society.Vol 18. No. 4. 98-107.
Qu, T., Y. Du, L. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface
Temperature and its Variability in the Indonesian Region.
Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.
Qu Bo, A.J. Gabric, Z. Jing-nan, L. Dao-rong, Q. Feng, Z. Min, 2012:
Correlation between sea surface temperature and wind speed in
Greenland Sea and their relationships with NAO variability. Water
Science and Engineering, 2012, 5 (3): 304-315.
doi:10.3882/j.issn.1674-2370.2012.03.006.
Sachoemar S.I., and T. Yanagi, 2013: Temporal and Spatial Variability of
Sea Surface Temperature within Indonesian Regions Revealed by
Satellite Data, Reports of Research Institute for Applied Mechanics.
Kyushu University No.145 (37-41) September 2013.
Shukla, J., and B.M. Misra, 1977: Relationships between sea surface
temperature and wind speed over the central Arabian Sea, and
monsoon rainfall over India. Monthly Weather Review, 105, 998-1002.
Sprintal, J and Liu, 2006: Ekman Mass and Heat Transport in the
Indonesian Seas. The Official Magazine of the Oceanographic
Society.Vol 18.No. 4.88-97 pp.
Suryantoro A., 2008: Analisi Korelasi Suhu Udara Permukaan dan
Curah Hujan di Jakarta dan Pontianak dengan Anomali Suhu Muka
Laut Samudera India dan Pasifik Tropis dalam Kerangka Osilasi Dua
Tahunan Troposfer (TBO), Jurnal Sains Dirgantara Vol 6 No. 1, 2008,
pp 1-21.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997: The Ecology
of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series.
Vol. VIL Periplus Editions (HK) Ltd.
Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati
23
Walpole, R.E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 22-27.
Wang C., R.H. Weisberg, and H. Yang, 1999: Effects of the wind speed-
evaporation-Sea Surface Temperature feedback on the El Niño-
Southern Oscillation. Journal of Atmospheric Sciences, 56(10), 1391-
1403.
Wang, W., B.T. Anderson, R.K. Kaufmann, and R.B. Myneni, 2004: The
relation between the North Atlantic Oscillation and Sea Surface
Temperatures in the North Atlantic Basin. Journal of Climate, 17(24),
4752-4759. [doi:10.1175/ JCLI-3186.1]
Wytki. K., 1987: Indonesian Throughflow and the associated pressure
gradient. Journal of Geophysical Research 92: 12. 941-12, 946.
-------. 2006: Discovering the Indonesian Throughflow. The Official
Magazine of the Oceanographic Society. Vol 18.No. 4.28-29 pp.
Setiawan R Y., and A. Habibi, 2010: Sea Surface Temperature Cooling in
the Indonesian Seas, Ilmu Kelautan. Maret 2010. vol. 15 (1) 42-46.
ISSN 0853-7291.
Xie, S.P., 2004: Satellite observations of cool ocean-atmosphere
interaction. Bulletin of the American Meteorological Society, 85(2),
195-208. [doi:10.1175/BAMS-85-2-195].
Yu L, S. Zhong, X. Bian and W.E. Heilman, 2015: Temporal and Spatial
Variability of Wind Resources in the United States as Derived from the
Climate Forecast System Reanalysis. Journal of Climate. Vol. 28,
1166-1183. DOI: 10.1175/JCLI-D-14-00322.1
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
24
PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL
TAHUN 2050 BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) DI WILAYAH INDONESIA
BAGIAN TENGAH SELATAN
Ina Juaeni
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
inajuaeni@yahoo. com
ABSTRACT This paper describing research result based on CCAM models for long term monthly wind speed and direction simulation and projection. The study area is restricted to the southern central part of Indonesia. Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) as a dynamic model is
used in 0. 5o of horizontal resolution that run for monthly output from
January 1971 to December 2000, and for monthly projection on 2050. The monthly output from January 1971 to December 2000 averaged to obtain monthly rainfall climatology. The model run using A2
scenario, that temperature increase by 1,5oon 2050 within related to
greenhouse gases increasing. The results of CCAM projections with two different host models indicate a change in wind direction and speed against climatology average. Positive anomalies for zonal wind occur in the northern area, while negative anomalies for the zonal wind tend to occur in the south, positive and negative anomalies for meridional wind occur in a random area. Reduction of zonal wind speed reach to 6 m/ sec while the maximum positive anomaly is 1. 5 m/sec, for meridional component the maximum negative anomaly as same as maximum positive anomaly reach to 2. 5 m / s. Keywords : simulation, projection, wind, positive anomaly,
negative anomaly
ABSTRAK
Makalah ini berupa penelitian yang memanfaatkan model CCAM untuk simulasi serta proyeksi arah dan kecepatan angin bulanan jangka panjang. Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian tengah selatan. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM) dengan resolusi
0,5o yang dijalankan untuk output bulanan dari Januari 1971
sampai dengan Desember 2000, serta proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971 sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan dengan menggunakan skenario A2, yaitu pada tahun 2050 akan terjadi
kenaikan suhu sebesar 1,5o seiring peningkatan gas rumah kaca.
Berdasarkan model CCAM dengan host model GFDLCM 20 dan GFDLCM21 hasil proyeksi menunjukkan terjadi perubahan arah
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
25
dan kecepatan angin terhadap rata-rata klimatologisnya. Anomali angin zonal positif terjadi di sebelah utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di sebelah selatan, sedangkan anomali positif dan negatif angin meridional terjadi dalam wilayah yang acak. Anomali angin zonal negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen meridional anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif maksimumnya, yaitu sebesar 2,5 m/det
Kata kunci : simulasi, proyeksi, angin, anomali positif, anomali negatif
1 PENDAHULUAN
Proyeksi iklim adalah pernyataan tentang kemungkinan yang akan
terjadi beberapa puluh sampai ratusan tahun yang akan datang. Beda
dengan prediksi, pada proyeksi perubahan iklim perubahan yang
dipandang penting disertakan dalam kondisi batas, misalnya kenaikan
gas rumah kaca. Untuk proyeksi kondisi masa yang akan datang,
dikembangkan skenario tentang apa yang mungkin terjadi yang
dijadikan asumsi dan dugaan. Penelitian proyeksi penting untuk
melakukan langkah-langkah antisipasi dampak buruk perubahan
parameter atmosfer terhadap manusia. Sebagai contoh jika peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca akan menimbulkan peningkatan suhu
permukaan bumi yang berdampak buruk bagi manusia seperti
menurunnya hasil pertanian.
Proyeksi iklim memerlukan data dengan periode panjang (puluhan
tahun sampai dengan ratusan tahun). Data in situ untuk wilayah
Indonesia sangat sulit diperoleh dengan periode panjang seperti itu.
Data output model dapat menjadi pengganti data in situ. Penelitian
dengan menggunakan output model sesuai dengan sasaran kegiatan
LAPAN bahwa output model menjadi alat pembelajaran untuk lebih
memahami fenomena atmosfer. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
menentukan proyeksi dan anomali angin horizontal pada tahun 2050
berdasarkan model. Model yang digunakan adalah Cubic Conformal
Atmospheric Model (CCAM). Model ini telah diketahui kinerjanya dalam
menyimulasikan curah hujan berdasarkan penelitian sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan Juaeni (2010), Juaeni dan Sofiati (2013)
serta Juaeni dkk. (2014) menunjukkan kinerja CCAM dalam
mensimulasikan curah hujan di Indonesia dalam skala waktu harian
dan bulanan. Untuk skala bulanan, CCAM dengan input SST dari model
global GFDLCM20, GFDLCM21 dan UKMO-HADCM3 atau disingkat
dengan CCAM+GFDLCM20, CCAM+GFDLCM21 dan CCAM+
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
26
UKMOHADCM3 mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan
CCAM+MK3. 5, CCAM+MIROC3 dan CCAM+MPI-ECHAM5 dalam
menyimulasikan pola spasial dan temporal curah hujan, meskipun
semua model tersebut mensimulasikan nilai curah hujan lebih rendah
dibandingkan observasi. Hal ini ditunjukkan melalui tahapan
perbandingan. Pada perbandingan pola, kuantitas dan spektrum curah
hujan, CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan kinerja
yang sangat baik di wilayah Indonesia bagian barat daya dan tengah
selatan. Dengan kata lain model mempunyai kinerja yang baik dalam
menyimulasikan curah hujan dengan variasi yang kecil atau curah
hujan dengan pola monsunal. Dari penelitian tersebut juga ditunjukkan
bahwa CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 mempunyai kinerja
yang lebih baik dibandingkan model DARLAM+GCM-CSIRO9.
Perbandingan keluaran model dengan observasi harian menunjukkan
bahwa penggunaan model untuk aplikasi, simulasi ataupun prediksi
parameter atmosfer harian khususnya curah hujan perlu langkah
peningkatan akurasi terlebih dahulu (Juaeni dan Sofiati, 2013).
Sebelumnya, CCAM sendiri sudah diaplikasikan untuk wilayah lain
(lintang menengah) dan memberikan hasil yang baik (Nguyen and Mc
Gregor, 2009 serta Nguyen, Katzfey, and McGregor, 2011). Hasil
penelitian di atas dapat dijadikan acuan untuk menggunakan CCAM
dan host model dalam mensimulasi dan memproyeksikan angin, karena
angin mempunyai koefisien variasi yang lebih rendah dibandingkan
curah hujan (Juaeni, 2016).
2 METODE PENELITIAN
Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian
tengah selatan. Batasan wilayah penelitian diperlihatkan pada Gambar
1. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric
Model (CCAM) dengan resolusi 0,5o
yang dijalankan untuk output
bulanan dari Januari 1971 sampai dengan Desember 2000, serta
proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971
sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk
memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan
dengan menggunakan skenario A2, yaitu terjadi kenaikan suhu sebesar
1,5oC pada tahun 2050 seiring peningkatan gas rumah kaca seperti
tercantum dalam AR4 (IPCC, 2014) (Gambar 2). Untuk memperoleh
anomali angin perbulan, proyeksi angin perbulan tahun 2050 dikurangi
angin perbulan klimatologis. Input SST berasal dari host model
GFDLCM20, GFDLCM21. Ini merupakan pemanfaatan hasil uji kinerja
Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni
27
model sebelumnya yang menyatakan input SST yang berasal dari host
model GFDLCM20, GFDLCM21 memberikan hasil simulasi yang cukup
baik. Meskipun uji dilakukan untuk parameter curah hujan tetapi
karena variasi curah hujan lebih tinggi dibandingkan variasi arah dan
kecepatan angin, maka model tersebut akan memberikan hasil yang
sama atau lebih baik untuk angin. Spesifikasi seperti diperlihatkan pada
Tabel 1.
Gambar 1 Lokasi penelitian meliputi latitude: -9,5o - 0 dan
longitude: 108o – 125
o
Gambar 2 Skenario A2 untuk proyeksi tahun 2050 (lingkaran
kuning) (Sumber: IPCC, 2014)
Tabel 1 Resolusi dan batasan area model global
No Model CCAM
dengan input
dari
Longitude 1 Longitude 2 Latitude 1 Latitude 2
1 GFDLCM20 70 180 -30 40
2 GFDLCM21 70 180 -30 40
28
Spesifikasi fisik dan dinamik dari dua model global ini sesuai
dengan yang digunakan IPCC (2007), sementara CCAM adalah model
atmosfer dengan spesifikasi dinamis seperti yang diuraikan dalam
Thatcher dkk. (2009).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Proyeksi dan anomali temperatur
Pada bab ini akan dibahas proyeksi angin tahun 2050 dan
anomalinya. Karena skenario A2 mensyaratkan adanya perubahan
temperatur, maka perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah temperatur
memang meningkat. Hal ini akan diuraikan melalui hasil proyeksi suhu
tahun 2050. Hasil simulasi klimatologis menunjukkan bahwa tempe-
ratur daratan dan lautan berkisar antara 24,5oC sampai 29,0
oC.
Berdasarkan hasil proyeksi temperatur tahun 2050 oleh CCAM
dengan host model GFDLCM20 dan GFDLCM 21, dapat ditunjukkan
bahwa peningkatan temperatur lebih dari 1,5 oC terjadi di lautan Jawa
dan sedikit wilayah darat di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat,
Laut Sulawesi, lautan Pasifik Barat, Laut Banda, Laut Arafura, lautan
Hindia, sebagian daratan Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Anomali temperatur pada bulan Juli dari model CCAM+GFDLCM20 dan
anomali temperatur bulan Januari dari model CCAM+GFDLCM21 pada
Gambar 3 mewakili gambaran anomali temperatur selama tahun 2050
di wilayah Indonesia bagian tengah selatan (Juaeni dkk., 2014).
Gambar 3 Anomali temperatur tahun 2050, kiri: CCAM dengan
host model GFDLCM20 resolusi 55,5 kmbulan Juli, kanan: CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km bulan Januari (Juaeni dkk., 2014)
29
3.2 Angin klimatologis
Hasil proyeksi dan anomali temperatur menunjukkan untuk
wilayah penelitian terjadi kenaikan suhu yang besarnya bervariasi.
Kenaikan suhu yang disyaratkan oleh skenario A2 yaitu 1,5o terjadi di
beberapa lokasi, bahkan di wilayah tertentu terjadi kenaikan suhu
mencapai 4o. Sebaliknya, ditemukan wilayah-wilayah yang tidak
mengalami kenaikan temperatur permukaan. Hal ini bisa terjadi karena
respon peningkatan gas rumah kaca berbeda-beda untuk setiap tempat
dan juga bisa terjadi feedback positif dan negatif secara bersamaan
(Juaeni, 2014). Selanjutnya akan dibahas proyeksi arah dan kecepatan
angin beserta anomalinya. Kondisi klimatologis angin berdasarkan
model CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan bahwa
pada bulan Januari dan Februari didominasi angin barat dengan
kecepatan paling tinggi 1 m/det di daratan, 4 sampai 6 m/det di laut
dan di lautan. Pada bulan Maret terjadi pelemahan angin di seluruh
wilayah penelitian.
Pada bulan April arah angin berubah menjadi angin timur.
Kondisi seperti ini terjadi sampai bulan November dengan kecepatan
angin antara 3 sampai 10 m/det di laut dan di lautan, kurang dari 1
sampai 1 m/det di daratan. Pada bulan Desember arah angin berubah
lagi menjadi angin barat dengan kecepatan maksimum 3 m/det di
laut/lautan. Angin klimatologis bulan Januari dan Desember dari host
model GFDLCM20 diperlihatkan pada Gambar 4 atas. Angin
klimatologis bulan Januari dan Desember dari host model GFDLCM21
diperlihatkan pada Gambar 4 bawah.
3.3 Proyeksi dan anomali angin tahun 2050
Proyeksi angin tahun 2050 dengan host model GFDLCM20 pada
Januari 2050 mengidentifikasi adanya pembalikan arah angin, barat
menjadi timur di bagian barat Indonesia dan angin timur menjadi angin
barat di timur Indonesia disertai penurunan kecepatannya. Pada
Februari 2050 terjadi penurunan kecepatan angin di Laut Maluku.
Pada Maret dan April 2050 kondisi angin permukaan sama dengan
kondisi pada Januari 2050. Pada Mei sampai November 2050
diidentifikasi sebagai angin timur di seluruh lautan atau tidak ada
perubahan berarti dibandingkan rata-rata 30 tahun. Pada Desember
2050 angin barat di Selat Makassar berubah menjadi angin utara.
Dengan GFDLCM21, pada Januari 2050 terjadi pengurangan kecepatan
di Laut Jawa dan perubahan arah dari utara menjadi barat laut di Laut
30
Maluku. Pada Februari 2050, angin timur di Laut Maluku berubah
menjadi timur laut. Terjadi perubahan arah di Selat Makassar timur
pada Maret 2050. Pada April 2050,terjadi angin timur dengan sedikit
pengurangan kecepatan di Laut Maluku di bandingkan rata-ratanya.
Pada bulan Mei sampai November, arah dan kecepatan angin relatif
tidak berubah dari rata-ratanya. Pada Desember 2050 berhembus
angin barat, sama dengan kondisi rata-ratanya.
Gambar 4 atas: Angin permukaan CCAM dengan host model
GFDLCM20 resolusi 55,5 km rata-rata 30 tahun, bawah: Angin permukaan CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km rata-rata 30 tahun, untuk bulan Januari dan Desember
Untuk anomali kecepatan angin dipisahkan antara komponen
zonal dan komponen meridional. Untuk komponen zonal, anomali
kecepatan angin arah zonal (barat-timur) untuk model
CCAM+GFDLCM20 menunjukkan terjadi penurunan dan peningkatan
kecepatan angin. Pengurangan kecepatan dimulai sejak Januari 2050
yang berangsur-angsur pengurangannya semakin kecil sampai
November. Bulan Desember anomali negatif meningkat lagi.
Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan sementara
31
peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara area
penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi anomal
positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi kuantitasnya
lebih kecil, ada pemisahan dominasi antara utara dan selatan tetapi
tidak dominan, anomali positif dan negatif terletak berurutan terhadap
meridian atau terhadap lintang. Gambar 5 atas menunjukkan anomali
angin zonal pada Januari dan November 2050. Gambar 5 bawah
menunjukkan anomali angin meridional pada Januari dan Desember
2050.
Gambar 5 atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen
zonal CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan November,
bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Desember
32
Untuk komponen zonal, anomali kecepatan angin arah zonal
(barat-timur) untuk model CCAM+GFDLCM21 menunjukkan hasil yang
sangat mirip dengan hasil yang diperoleh model CCAM=GFDLCM20.
Terjadi penurunan dan peningkatan kecepatan angin. Pengurangan
kecepatan dimulai sejak Januari 2050 yang berangsur-angsur
pengurangannya semakin kecil. Pada bulan Mei anomali positif
diseluruh wilayah penelitian dan kemudian anomali menjadi negatif
lagi pada bulan Juni 2050 sampai September. Bulan Oktober anomali
positif disemua wilayah. Bulan November dan Desember anomali
negatif berangsur-angsur meningkat lagi.
Gambar 6 atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen
zonal CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Mei,
bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model
GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Juni
33
Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan
sementara peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara
area penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi
anomal positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi
kuantitasnya lebih kecil, Pada bulan Januari dan Maret anomali positif
di semua wilayah. Kemudian anomali negatif berangsur meningkat.
Anomali negatif tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Oktober.
Anomali positif pada komponen zonal banyak terjadi sebelah
utara area penelitian diduga berkaitan dengan posisinya yang lebih
dekat ke ekuator, karena anomali positif nilainya kecil dibandingkan
anomali negatif. Wilayah ekuatorial adalah wilayah yang tidak
dipengaruhi oleh gaya semu Coriolis sehingga dinamika di wilayah itu
cenderung statis. Maka perubahan yang terjadi tidak terlalu besar.
Sementara wilayah yang jauh dari garis ekuator semakin dipengaruhi
oleh gaya Coriolis. Dinamika atmosfer semakin aktif pada lokasi yang
menjauhi ekuator. Berapapun nilai mutlak perubahan arah angin dan
pelemahan kecepatan angin pada bulan Januari sampai April 2050,
dari barat menjadi timur perlu diwaspadai karena perubahan ini
mengandung potensi akan berkurangnya curah hujan, terutama di
wilayah sebelah selatan. Pelemahan kecepatan angin bisa menjadi
indikator akan terjadinya El Niño.
4 KESIMPULAN
Hasil proyeksi model CCAM dengan dua host model yang berbeda
menunjukkan terjadi perubahan arah dan kecepatan angin terhadap
rata-rata klimatologisnya. Anomali positif dominan terjadi di sebelah
utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di
sebelah selatan untuk angin zonal, sedangkan untuk angin meridional
tidak ada karakter wilayah yang tegas membedakan anomali positif dan
negatif. Anomali negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan
anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen
meridonal anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif
maksimum mencapai 2,5 m/det.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada CSIRO untuk hasil
simulasi yang telah diberikan dan kepada LAPAN atas segala dukungan
fasilitas penelitian.
34
DAFTAR RUJUKAN
IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007: Climate
Change, IPCC Fourth Report, WMO – UNEP.
IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014: Mitigation of
climate change, WMO – UNEP.
Juaeni, I. ; 2010: Simulasi Curah Hujan Berbasis Model Dinamis Cubic
Conformal Atmospheric Model (CCAM), Prosiding Seminar Nasional
Penerbangan dan Antariksa, Sub-seminar Sains Atmosfer dan Iklim-
LAPAN, 15 November 2010, Bandung-Jawa Barat.
Juaeni, I. dan Iis Sofiati, 2013:Perbandingan Pola dan Intensitas Curah
Hujan Observasi dengan Curah Hujan Simulasi Harian di Jawa
Timur, Prosiding Simposium Fisika Nasional XXVI, 10-11 Oktober
2013, Malang-Jawa Timur.
Juaeni, I. ; Bambang Siswanto, Nurzaman Adikusumah, dan Iis Sofiati,
2014:Perbandingan Simulasi Curah Hujan Conformal-Cubic
Atmospheric Model (CCAM) Dengan tiga Host Model Di Wilayah
Indonesia Bagian Tengah Selatan, Prosiding Simposium Fisika
Nasional XXVII, 16-17 Oktober, Denpasar-Bali.
Juaeni, I. ; 2014 :Feedback Peningkatan Temperatur Permukaan Pada
Curah hujan di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Selatan
BerbasisConformal Cubic Atmospheric Model (CCAM),Prosiding
Seminar Nasional Sains Atmosfer-LAPAN, 24 Juni 2014, Bandung-
Jawa Barat.
Juaeni, I. ; 2016:Perbedaan karakter Atmosfer Permukaan Padang dan
Selaparang Berbasis Selisih Nilai dan Variansi, dalam proses
publikasibentuk Jurnal Akreditasi Nasional.
Nguyen, K. C. and J. L. McGregor, 2009:Dynamical downscaling of the
MK3. 0 simulation of the A2 scenario over the Australian region using
CCAM, National Library of Cataloguing, ISBN 9781921605093, The
Australian Government Department of Environment.
Nguyen, K. C. ,Jack J. Katzfey, John L. McGregor, 2011: Global 60 km
simulations with CCAM: evaluation over the tropics, Climate
Dynamics, 39,Issue 3-4, 637-654.
Thatcher, M. and J.L. McGregor; 2009: Using a Scale-Selective Filter for
Dynamical Downscaling with the Conformal Cubic Atmospheric
Model. Monthly Weather Review, 137.
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
35
VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN
DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA
Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono, dan Rosida
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Bandung
indah. susanti@lapan. go. id
ABSTRACT Temperature variations profile have analyzed using data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) from January 2003 - December 2015 for 24 altitude. By using a regression equation to temperature in all altitude of atmosphere by time, showed a warming atmosphere at 70 mb - 30 mb. Meanwhile, at others shows cooling. In this case, the energy balance determined the rate of temperature changes. La Ninã occurred in 2010, causing an abundance of moisture, and when the rains fall contributed to temperatures increasedand caused 3 ˚C of temperature anomaly. In addition, changes in radiation energy, also showed strong linkages with temperature changes around the surface, as shown by high correlation (0,7) between the temperature near the surface with the value of the greenhouse effect. Keywords : temperature, radiation, greenhouse effect,
atmosphere.
ABSTRAK
Telah dianalisis variasi profil suhu dengan menggunakan data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) dari Januari 2003 – Desember
2015 untuk 24 ketinggian atmosfer. Penggunaan persamaan regresi terhadap suhu di 24 ketinggian atmosfer berdasarkan waktu, hasilnya menunjukkan adanya pemanasan di ketinggian
atmosfer 70 mb – 30 mb. Lain halnya di ketinggian lainnya menunjukkan pendinginan. Hal ini disebabkan neraca energi turut menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun 2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan memberikan kontribusi pada peningkatan suhu dan menyebabkan adanya anomali sebesar 3 ˚C di ketinggian 500 – 150 mb. Selain itu, perubahan energi radiasi, juga menunjukkan keterkaitan yang cukup kuat dengan perubahan suhu di sekitar permukaan, yang ditunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,7 antara suhu di dekat permukaan dengan nilai efek rumah kaca.
Kata kunci : suhu, radiasi, efek rumah kaca, atmosfer.
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
36
1 PENDAHULUAN
Perubahan iklim sampai saat ini masih menjadi isu yang disoroti
oleh banyak ilmuwan, terutama yang terkait dengan mekanisme dan
faktor-faktor yang berkontribusi pada perubahan iklim. Suhu
merupakan parameter penting dalam perubahan iklim, dan perubahan
suhu tersebut tidak hanya terjadi di permukaan bumi. Prediksi
berdasarkan General Circulation Model (GCM) menyatakan bahwa pada
abad ke-21 terdapat peningkatan pemanasan maksimum di troposfer,
di sekitar 200 hPa (International Panel in Climate Change/IPCC, 2007).
Kondisi ini memiliki implikasi penting terhadap sensitivitas iklim
karena dampaknya pada umpan balik uap air, lapse rate, dan awan
(Hartmann and Larson, 2002), serta terhadap perubahan sirkulasi
atmosfer (Butler dkk., 2010). Bagaimana dengan troposfer atas di
daerah tropis?. Untuk menjawabnya diperlukan pengujian terhadap
validitas prediksi terkait pemanasan maksimum di troposfer atas di
daerah tropis. Beberapa studi, seperti yang dilakukan Santer (Santer
dkk., 2008), menunjukkan bukti-bukti bahwa perubahan suhu
troposfer atas di daerah tropis lebih dari yang terjadi di permukaan
dalam skala waktu multi-dekadal, meskipun beberapa analisis masih
menunjukkan sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh Christy tahun
2007.
Di atmosfer, distribusi kelembapan dan tekanan udara di
ketinggian yang bersifat progresif, menghasilkan penurunan suhu
sampai ketinggian tropopause, dengan tingkat penurunan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis dan kondisi cuaca. Tropopause
menandai puncak troposfer, yaitu dengan ketinggian 8 sampai 16 km
dari permukaan dan bervariasi berdasarkan lintang dan bujur. Di atas
ketinggian ini, sifat fisik dari udara menghasilkan pemanasan yang
mengikuti ketinggian stratosfer yang membentang dari tropopause
sampai ketinggian kurang lebih ~ 50 km (Fu dkk., 2011).
Profil suhu vertikal atmosfer mencerminkan keseimbangan antara
radiasi, konveksi dan dinamika pemanasan/pendinginan dari sistem
permukaan bumi-atmosfer. Kombinasi antara sifat fisik dan proses
dinamis dari atmosfer, pencampuran panas secara vertikal dan
horizontal, akan menghasilkan suhu tertinggi, rata-rata, dengan variasi
musiman dan spasial tertentu (Forster dkk., 2007). Kecenderungan
suhu permukaan berbeda dari kecenderungan suhu di atmosfer yang
lebih tinggi. Hal ini karena adanya perbedaan tipe permukaan,
perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer atau kecenderungan
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
37
variabilitas atmosfer, dan faktor-faktor pendorong (forcing factors). Tipe
permukaan seperti laut, salju, es, dan tutupan vegetasi, akan
membedakan secara signifikan karakteristik fisisnya (Forster dkk.,
2007). Faktor-faktor pendorong (forcing factors), baik alami (seperti
letusan gunung dan sinar matahari) atau antropogenik (seperti gas
rumah kaca, aerosol, ozon, dan tataguna lahan) untuk menghasilkan
kecenderungan profil suhu yang berbeda, dan variasi vertikal ini dapat
berubah sepanjang waktu. Hal ini dapat muncul karena perubahan
spasial dan temporal konsentrasi atau karakteristik forcing agents
(Soden and Held, 2006).
Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan suhu
menyebabkan tingginya tingkat kemungkinan bahwa suhu
menunjukkan variabilitas yang tinggi secara horizontal, vertikal, dan
spasial. Perkembangan teknologi satelit pada saat ini memungkinkan
untuk memperoleh parameter yang terkait dengan perubahan kondisi
suhu vertikal dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Studi ini
bertujuan untuk mengetahui efek perubahan suhu secara horizontal
dan vertikal (profil), serta temporal dalam mengungkap keterkaitan
perubahan suhu dengan perubahan neraca energi. Melalui studi ini
diharapkan memberi gambaran untuk wilayah Indonesia, dimana
terjadi perubahan suhu, baik secara vertikal dan horizontal, serta
dapat memperoleh gambaran awal keterkaitannya dengan neraca
energi radiasi, terutama radiasi inframerah yang berasal dari
permukaan bumi yang menimbulkan efek rumah kaca. Hal ini
dikarenakan di troposfer, gas-gas penyusun atmosfer kurang efisien
dalam menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap
energi inframerah yang diemisikan oleh bumi (Gettelman and Forster,
2002).
2 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan pada studi ini adalah suhu pada 24
ketinggian berdasarkan tekanan atmosfer dari Atmospheric Infrared
Sounder (AIRS) versi 6. Seluruh data yang digunakan dapat diunduh di
ftp:/data/s4pa/Aqua_AIRS_Level3/AIRX3STM/006. Format data yang
diperoleh dalam bentuk hdf dengan resolusi vertikal 1 km, resolusi
horizontal 1 derajat, dan resolusi temporal bulanan dari Januari 2003
sampai Desember 2015. Ketinggian yang dapat digunakan untuk
menganalisis suhu berdasarkan data AIRS mencakup 24 level, yaitu
1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, 150, 100, 70, 50,
30, 20, 15, 10, 7, 5, 3, 2, 1,5 dan 1 mb. Parameter yang digunakan
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
38
terdiri dari profil suhu pada 24 level ketinggian, suhu permukaan, dan
Outgoing Longwave Radiation (OLR). Cakupan wilayah yang dianalisis
adalah 80 – 150˚BT dan 20˚LS – 20˚LU (meliputi 4 kota yaitu Jakarta,
Medan, Makasar, dan Biak).
Metode yang digunakan adalah perbandingan suhu pada 24
ketinggian atmosfer secara spasial. Metode ini digunakan untuk dapat
mengidentifikasi dan menganalisis perubahan suhu secara relatif di
beberapa lapisan troposfer. Kemudian dilakukan perbandingan
temporal dengan menggunakan analisis deret waktu dan menghitung
tingkat perubahan suhu selama periode yang dianalisis untuk semua
level ketinggian. Untuk dapat mengidentifikasi keterkaitannya dengan
perubahan neraca radiasi gelombang pendek atau inframerah yang
dipancarkan bumi akan dibuat perbandingan antara kenaikan suhu
dengan efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan indikator yang
menggambarkan berapa besar energi inframerah yang terjebak di
atmosfer.
Efek rumah kaca merupakan gambaran besarnya energi yang
terjebak atau terserap di atmosfer, maka efek rumah kaca dihitung
sebagai selisih antara energi inframerah yang dipancarkan oleh
permukaan bumi dengan energi inframerah yang keluar atmosfer bumi
(outgoing longwave radiation). Adapun emisi inframerah diestimasi
berdasarkan suhu permukaan. Dalam hal ini bumi diasumsikan
sebagai benda hitam, sehingga energi yang diemisikannya adalah 𝜎𝑇𝑠4.
𝑇𝑠 adalah suhu permukaan, dan 𝜎 adalah konstanta Steffan Boltzman
(5,67 x 10-8 Wm-2K-4) (Ramanathan and Inamdar, 2006)
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengolahan data AIRS dapat diketahui bahwa
profil suhu di Indonesia masih mengikuti pola umum, yaitu mengalami
penurunan suhu sampai tropopause dan mengalami peningkatan di
stratosfer. Gambar 1a menunjukkan profil suhu rata-rata untuk
seluruh wilayah kajian dari Januari 2003 – Desember 2015 secara
jelas. Hal ini sesuai dengan banyak hasil penelitian lainnya,
diantaranya yang dilakukan Hermawan (2009) dengan menggunakan
data FORMOSAT-3 dan radiosonde, serta sesuai dengan yang
dilakukan oleh Fu dkk. (2011). Di atmosfer pada ketinggian sekitar 17
km atau pada tekanan udara sekitar 100 mb, suhu mulai
menunjukkan peningkatan. Nilai minimal profil suhu di Indonesia
mencapai -81 ˚C. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
39
rata suhu Indonesia di permukaan yang bernilai 27,8 ºC.
Dengan adanya perubahan komposisi atmosfer, memungkinkan
adanya perubahan kondisi suhu atmosfer (Forster dkk., 2007) dengan
tingkat perubahan yang berbeda untuk setiap level ketinggian. Gambar
1b menggambarkan tingkat perubahan suhu untuk 24 level ketinggian
di beberapa kota. Terdapat dua hal yang dapat dicermati dari gambar
tersebut. Pertama, secara vertikal, semua kasus kota yang diamati
menunjukkan bahwa perubahan suhu tertinggi terjadi di ketinggian 70
mb, yang berarti berbeda dari yang ditunjukkan dalam laporan IPCC
2007 bahwa peningkatan suhu berdasarkan GCM terjadi di ketinggian
atmosfer 200 mb. Berdasarkan data AIRS, suhu pada ketinggian 70 mb
di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,01 ºC per bulan dalam
periode Januari 2003 – Desember 2015, yang berarti dalam 1 tahun
menghasilkan kenaikan suhu sebesar 0,12 ºC. Kedua, semua kasus
kota yang diamati menunjukkan besaran perubahan suhu yang hampir
sama di semua ketinggian atmosfer, kecuali di dekat permukaan dan di
stratosfer, terutama untuk 10 – 1 mb. Karena kondisi suhu erat
kaitannya dengan keseimbangan energi dan sirkulasi (Forster dkk.,
2007), maka variasi suhu yang besar di permukaan dan di stratosfer
menunjukkan adanya variasi perubahan neraca energi yang besar
kemungkinannya dipengaruhi perubahan komposisi atmosfer dan
sirkulasi atmosfer (Grewe dkk., 2001). Perubahan komposisi atmosfer
pada umumnya sangat tergantung pada kondisi lokal, yaitu tingkat
emisi gas-gas dan partikel tertentu dari suatu daerah (Grewe dkk.,
2001). Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab adanya
perbedaan tingkat perubahan suhu permukaan antar daerah seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 1b.
Besarnya tingkat perubahan suhu pada ketinggian atmosfer 70
mb, terjadi hampir di semua wilayah kajian. Gambar 1c menunjukkan
tingkat perubahan suhu rata-rata longitudinal, dimana peningkatan
kuat di ketinggian 70 mb sampai 30 mb, lebih cenderung terjadi di
belahan bumi selatan dari wilayah kajian. Mengingat lautan di selatan
wilayah kajian lebih banyak dibandingkan utara, maka terdapat
kemungkinan bahwa lautan memberi kontribusi pada peningkatan
suhu di ketinggian 70 mb-30 mb. Adanya peningkatan suhu yang lebih
besar pada ketinggian tersebut menunjukkan adanya peningkatan
kapasitas atmosfer dalam menampung uap air pada level tersebut,
mengingat prinsip dasar atmosfer bahwa atmosfer yang lebih hangat
dapat menampung uap air yang lebih banyak (Pierrehumbert, dkk.,
2007). Dalam hal ini, perlu adanya penelitian lebih lanjut yang
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
40
menyebabkan peningkatan pada level tersebut. Di stratosfer yang lebih
tinggi dari level tersebut menunjukkan pendinginan yang lebih besar
dibandingkan dengan level lainnya. Hal ini sesuai dengan apa
diungkapkan oleh Ramaswamy (2001) dan Shine (2003) bahwa di
stratosfer terjadi pendinginan yang dikendalikan oleh faktor
antropogenik melalui emisi gas rumah kaca dan ozone-depleting yang
menimbulkan efek radiatif.
Menurut peneliti tingkat perubahan suhu yang dihitung
berdasarkan nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu,
menunjukkan kecenderungan umum yang terjadi dalam skala waktu
panjang (dekade atau multi dekade). Perubahan suhu yang terjadi,
lebih disebabkan oleh faktor-faktor forcing secara gradual dalam jangka
waktu panjang.
Profil suhu rata-
rata (K)
Tingkat perubahan suhu (K) Tingkat perubahan suhu zonal
rata-rata (K/bulan)
Gambar 1. Profil suhu rata-rata di Indonesia berdasarkan data AIRS (a) dan tingkat perubahan suhu rata-rata per bulan untuk periode Januari 2003 – Desember 2015 di 24 level ketinggian untuk beberapa kota di
Indonesia(b), dan tingkat perubahan suhu zonal rata-rata untuk sampai tekanan atmosfer 1 mb (Sumber : Hasil olahan, 2016).
1
10
100
1000
-100 0
1
10
100
1000
-0.01 -0.005 0 0.005 0.01biak jakartamakassar medan
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
41
Jika perubahan gradual dalam jangka panjang ditunjukkan oleh
nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu, maka
perubahan yang bersifat temporer dapat ditunjukkan oleh nilai
anomalinya. Gambar 2 berikut, merupakan ilustrasi anomali profil
suhu di beberapa kota di Indonesia (Medan, Makassar, Jakarta, Biak)
untuk ketinggian atmosfer 1000 mb – 1 mb selama periode Januari
2003 – Desember 2015.
Gambar 2. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Medan, Makassar, Jakarta dan Biak, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 1 mb (dalam Kelvin) (Sumber : Hasil olahan, 2016).
Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa anomali profil
suhu menunjukkan adanya siklus,terutama di ketinggian atmosfer 100
mb – 1 mb. Di beberapa periode, di sekitar ketinggian 100 mb,
menunjukkan anomali suhu negatif, namun ketinggian di atasnya
menunjukkan anomali positif. Sebaliknya, di periode yang lain, di
ketinggian 100 mb menunjukkan anomali positif, dan di ketinggian di
atasnya menunjukkan anomali negatif. Pola siklus suhu stratosfer ini,
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
42
merupakan hal yang harus digali lebih lanjut. Thompson dkk. (2012)
menyatakan bahwa kecenderungan tersebut sampai saat ini masih
merupakan hal yang dipertanyakan. Dengan menggunakan data NOAA,
Met Office, RSS, dan UAH (data observasi) serta data CCM dan CMIP5,
Thompson, dkk. (2012) menunjukkan bahwa di stratosfer terjadi
penurunan suhu, dimana data observasi menunjukkan penurunan
nilai yang lebih besar dibandingkan dengan data model. Dalam hal ini,
data AIRS menunjukkan pola penurunan yang sama di stratosfer.
Di sekitar permukaan, anomali di keempat kota menunjukkan
variasi yang cukup besar. Hanya Biak yang menunjukkan siklus suhu
cukup jelas. Kemungkinan hal ini dikarenakan kontribusi faktor
antropogenik di Biak lebih kecil dibanding 3 (tiga) kota lainnya,
sehingga faktor penyinaran matahari menjadi lebih dominan. Secara
umum, keempat kota menunjukkan pola yang hampir sama. Apabila
mencermati profil suhu troposfer dalam gambar yang lebih detail dari
salah satu kota tersebut (Makassar), terdapat fenomena tersendiri pada
tahun 2008 dan 2010. Pada tahun 2008 terjadi anomali negatif yang
cukup besar di ketinggian atmosfer 500 – 150 mb (Gambar 3).
Sebaliknya, di tahun 2010 terjadi anomali positif yang besar di hampir
semua ketinggian troposfer, karena pada tahun 1998 dan 2010
Indonesia mengalami kejadian La Ninã (LAPAN, et. al. , 2016). Untuk
fenomena yang terjadi tahun 2010 dapat dijelaskan melalui peristiwa
La Ninã, dimana di troposfer terdapat muatan uap air yang cukup
banyak dan terjadi pelepasan panas laten pada saat terbentuk hujan
dan memberi kontribusi pada peningkatan suhu atmosfer dan
menyebabkan adanya anomali sampai 3˚C.
Uap air di troposfer berperan sebagai faktor kunci dalam
pengaturan dinamika troposfer dan merupakan gas rumah kaca yang
sangat kuat. (Scheneider, dkk., 1999 dalam Ambarsari, 2010). Namun,
untuk 2008, tidak terjadi fenomena ENSO yang dapat menjelaskan
penurunan suhu tersebut. Dalam hal, perlu ada kajian yang lebih
mendalam mengenai hal tersebut. Pada saat ini telah diakui bahwa
untuk dapat menganalisis kecenderungan suhu yang terobservasi
membutuhkan pemahaman dalam hal perubahan neraca air dan energi
global, serta perubahan sirkulasi atmosfer umum. Realisasi ini
merupakan hal yang krusial untuk dapat menginterpretasi perubahan-
perubahan profil suhu atmosfer. Hal tersebut disebabkan oleh
perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer dan konsekuensi dari
perubahan-perubahan uap air, awan, prisipitasi, fluks radiatif, dan
sebagainya. Perubahan neraca energi yang berakibat pada penurunan
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
43
suhu tahun 2008, dapat berasal dari perubahan sirkulasi atmosfer
global, atau berasal dari adanya kejadian erupsi Gunung Merapi tahun
2007 yang melepaskan aerosol ke stratosfer dan mengurangi masuknya
radiasi matahari ke troposfer dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Hal ini membutuhkan dukungan data yang cukup akurat untuk dapat
menjelaskan fenomena tersebut.
a. b.
Gambar 3. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Makassar, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 150 mb (a), dan 150 mb – 1 mb (b) (Sumber : Hasil olahan, 2016).
Peningkatan suhu tahun 2010, terjadi sampai tropopause. Di
stratosfer menengah terjadi penurunan suhu, yang akan
mempengaruhi kapasitas udara dalam menampung uap air. Penurunan
suhu di stratosfer tersebut, diikuti oleh peningkatan pada periode
berikutnya (Gambar 3.b.). Pola ini menunjukkan adanya kemungkinan
pengaruh sirkulasi global yang mendominasi pada neraca energi dan
mempengaruhi suhu stratosfer.
Kondisi troposfer memberi pengaruh pada kondisi stratosfer,
demikian pula sebaliknya, kondisi stratosfer memberi pengaruh pada
troposfer. Thorne (2005) mengungkapkan bahwa efek ke atas, dari
troposfer ke stratosfer, telah banyak dipahami, namun efek ke bawah,
dari stratosfer ke troposfer, sangat kurang dipahami. Meskipun
demikian, kemungkinan pengaruh-pengaruh radiatif dan dinamis dari
stratosfer terhadap troposfer mulai diungkapkan. Efek radiatifnya
mencakup depletasi ozon stratosfer dan perubahan tropospheric forcing
karena radiasi UV atau gelombang panjang (multidekade), tropospheric
longwave forcing dari peningkatan gas rumah kaca di stratosfer dalam
skala multi dekade, dan dari perubahan uap air stratosfer, tropospheric
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
44
forcing dari perubahan iradiansi sinar matahari yang disebabkan
perubahan ozon dan UV (periodik dan dekadal), serta pengaruh gas-gas
dan uap air vulkanik di stratosfer bawah melalui efek radiatif dan
pengaruh pada awan sirus (Thorne, 2005).
Gambar 4. Diagram pencar antara efek rumah kaca (Ga) dan suhu rata-rata Januari 2003-Desember 2015 untuk seluruh wilayah kajian pada beberapa level ketinggian atmosfer dengan menggunakan data AIRS
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
45
Di troposfer, gas-gas penyusunnya kurang efisien dalam
menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap energi
inframerah yang diemisikan oleh bumi. Dua gas yang paling efektif
sebagai penyerap radiasi inframerah adalah uap air dan karbon
dioksida (Gettelman and Forster, 2002). Jadi, troposfer bumi lebih
cenderung dipanaskan oleh permukaan bumi, tidak oleh sinar
matahari secara langsung. Molekul uap air dan karbon dioksida
menyerap inframerah yang diemisikan oleh bumi, dan membagi energi
tersebut dengan molekul lainnya di troposfer. Istilah efek rumah kaca
sering digunakan untuk menggambarkan proses ini, yang mana energi
matahari memanaskan bumi, bumi mengemisikan inframerah yang
kemudian diserap untuk memanaskan troposfer (Garfinkel, 2013). Efek
rumah kaca adalah salah satu isu lingkungan yang paling banyak
mendapat perdebatan.
Untuk melihat pengaruh efek rumah kaca pada profil suhu,
digunakan analisis diagram pencar antara suhu pada ketinggian
tertentu dengan besar efek rumah kaca terhitung. Hasilnya
menunjukkan bahwa efek rumah kaca lebih berpengaruh pada suhu
dekat dengan permukaan. Gambar 4 menunjukkan diagram pencar
antara suhu dan besaran efek rumah kaca terhitung sebagai indikasi
berapa besar radiasi gelombang panjang yang terjebak di atmosfer.
Korelasi antara suhu dan efek rumah kaca lebih cenderung kuat di
sekitar permukaan, dengan nilai korelasi positif sebesar 0. 7. Hal ini
berarti bahwa penyerapan radiasi inframerah lebih banyak terjadi di
permukaan. Kemungkinan hal ini terjadi karena sifat mampat dari
atmosfer, dimana densitas atmosfer lebih tinggi di sekitar permukaan.
Dengan mengingat posisi gas rumah kaca dan mekanismenya ada
di atmosfer atas, sedangkan efek rumah kaca lebih berkaitan dengan
suhu di permukaan, maka hal ini memunculkan pertanyaan, apakah
gas rumah kaca lebih bersifat menyerap radiasi atau memantulkan?
Jika lebih banyak memantulkan atau memencarkan, maka hal ini
‘kurang’ sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Gettelman and
Forster (2002) bahwa gas rumah kaca cenderung menyerap radiasi
inframerah. Atau mungkin pernyataan tersebut pada dasarnya hanya
ditujukan untuk perbandingan mana yang lebih besar peranan gas
rumah kaca dalam penyerapan radiasi inframerah/gelombang panjang
atau penyerapan gelombang pendek. Konteks uraian Gettelman and
Forster (2002) lebih menunjukkan bahwa pemanasan di atmosfer
adalah karena radiasi gelombang panjang, bukan karena pemanasan
dari sinar matahari langsung. Selain itu juga perlu dikaji dari sisi
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
46
perbedaan data yang digunakan.
Berdasarkan nilai slope antara suhu dan efek rumah kaca, di
permukaan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, yang berarti bahwa di
sekitar permukaan, suhunya lebih sensitif terhadap perubahan efek
rumah kaca, atau terhadap perubahan neraca radiasi gelombang
panjang.
4 KESIMPULAN
Peningkatan suhu berkaitan dengan neraca radiasi dan neraca
air serta sirkulasi atmosfer. Oleh karena itu, penyerapan radiasi akan
memberikan kontribusi pada suhu. Berbagai proses yang terjadi di
atmosfer, menyebabkan adanya perbedaan perubahan profil suhu. Dari
hasil analisis data AIRS, menunjukkan adanya pemanasan di
ketinggian atmosfer 70 mb – 30 mb. Sedangkan di ketinggian lainnya
menunjukkan pendinginan. Dalam hal ini, neraca energi akan
menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun
2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan
memberikan kontribusi pada peningkatan suhu melalui pelepasan
panas laten di atmosfer. Selain itu, perubahan energi radiasi juga
menunjukkan korelasi yang cukup kuat dengan perubahan suhu di
sekitar permukaan sebagai efek rumah kaca.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sri Kaloka
yang telah memberi bimbingan dalam penelitian yang terkait dengan
persoalan gas rumah kaca sebagai bagian dalam penelitiannya.
DAFTAR RUJUKAN
Butler, A. H. , D. W. J. Thompson, and R. Heikes, 2010: The steady‐
state atmospheric circulation response to climate change‐like
thermal forcings in a simple general circulation model. Journal of
Climate, 23, 3474–3496, doi:10. 1175/2010JCLI3228. 1.
Forster, P. , V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D. W.
Fahey, J. Haywood, J. Lean, D. C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R.
Prinn, G. Raga, M. Schulz and R. Van Dorland, 2007: Changes in
Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing, In: Climate
Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change.
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
47
Fu, Q. , S. Manabe, and C. M. Johanson, 2011: On the warming in the
tropical upper troposphere: Models versus observations, Geophys.
Res. Lett. , 38, L15704, doi: 10. 1029/2011GL048101.
Garfinkel, C. I. , D. W. Waugh, L. D. Oman, L. Wang, and M. M.
Hurwitz, 2013: Temperature trends in the tropical upper troposphere
and lower stratosphere: Connections with sea surface temperatures
and implications for water vapor and ozone, J. Geophys. Res. Atmos.
, 118, 9658–9672, doi:10. 1002/ jgrd. 50772.
Gettelman, A. and Forster, P. M. F. , 2002: A Climatology of the Tropical
Tropopause Layer, J. Met. Soc. Jpn. , 80, 911–924.
Grewe, V. , M. Dameris, R. Hein, R. Sausen and B. Steil, 2001: Future
changes of the atmospheric composition and the impact of climate
change, Tellus (2001), 53B, 103–121, ISSN 0280–6509
Hartmann, D. L. , and K. Larson, 2002: An important constraint on
tropical cloud‐climate feedback, Geophys. Res. Lett. , 29(20), 1951,
doi:10. 1029/2002GL015835.
Hermawan, E. , 2009: Profil vertikal suhu atmosfer di atas Indonesia
berbasis hasil analisis data satelit Formosat-3/COSMIC, Jurnal
Sains Dirgantara Vol. 7 No. 1 Desember 2009: 176-200.
IPCC, Climate Change 2007: The Physical Basis. Contribution of
Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change, Solomon, S. , Qin, D. ,
Manning, M. , Chen, Z. , Marquis, M. , Averyt, K. B. , Tignor, M. ,
and Miller H. L. (Eds. ), Cambridge Univ. Press, Cambridge, U. K.
and New York, U. S. A. , pp 996.
LAPAN, WFP, Kementerian Pertanian, FAO, BPS, BNPB dan BMKG,
2016: Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan di Indonesia Fokus
Utama: La Nina, Volume 3 Agustus.
Novita, A., 2010: Kajian Pengaruh Uap Air Terhadap Perubahan Iklim,
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September:93-98.
Pierrehumbert, H. Brogniez, and R. Roca, 2007: On the relative of the
atmosphere. The Global Circulation of the Atmosphere, T. Schneider
and A. H. Sobel, Eds. , Princeton University Press, 143-185.
Ramanathan, V. and A. Inamdar, 2006: The radiative forcing due to
clouds and water vapor, Frontiers of Climate Modeling, Published by
Cambridge University Press.
Ramaswamy, V. , M. L. Chanin, J. Angell, J. Barnett, D. Gaffen, M.
Gelman, P. Keckhut, Y. Koshelkov, K. Labitzke, J. J. R. Lin, A.
O’Neill, J. Nash, W. Randel, R. Rood, K. Shine, M. Shiotani, and R.
Swinbank, 2001: Stratospheric temperature trends: observations
Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.
48
and model simulations. Rev. Geophys. 39, 71–122.
Santer, B. D. , P. W. Thorne, L. Haimberger, K. E. Taylor, T. M. L.
Wigley, J. R. Lanzante, S. Solomon, M. Free, P. J. Gleckler, P. D.
Jones, T. R. Karl, S. A. Klein, C. Mears, D. Nychka, G. A. Schmidt, S.
C. Sherwood, and F. J. Wentz, 2008: Consistency of modeled and
observed temperature trends in the tropical troposphere, Int. J.
Climatol. , 28, 1703–1722, doi:10. 1002/joc. 1756
Shine, K. P. , M. S. Bourqui, P. M. de F. Forster, S. H. E. Hare, U.
Langematz, P. Braesicke, V. Grewe, M. Ponater, C. Schnadt, C. A.
Smith, J. D. Haigh, J. Autin, N. Butchart, D. T. Shindell, W. J.
Randel, T. Nagashima, R. W. Portmann, S. Solomon, D. J. Seidel, J.
Lanzante, S. Klein, V. Ramaswamy and M. D. Schwarzkopf, 2003: A
comparison of model-simulated trends in stratospheric
temperatures. Q. J. R. Meteorol. Soc. 129, 1565–1588.
Soden B. F. and I. M. Held, 2006: An Assessment of Climate Feedbacks
in Coupled Ocean-Atmosphere Models. J. Climate, 19: 3354-3360.
Thompson, D. W. J. , D. J. Seidel, W. J. Randel, C. Zou, Amy H. Butler,
C. Mears, A. Osso, C. Long & R. Lin, 2012: The mystery of recent
stratospheric temperature trends, Nature Vol. 491, Macmillan
Publishers Limited, doi:10. 1038/nature11579, pp 692-697.
Thorne, P. W. , 2005: Vertical profile of temperature trends. American
Meteorological Society, DOI:10. 1175/BAMS-86-10-1471.
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
49
ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK
JAUH DI KOTA BANDUNG
Lilik S. Supriatin1, Muhayatun Santoso2, Diah Dwiana Lestiani2
1) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN, Jl. dr.Djundjunan 133 Bandung 2) Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan, BATAN, Jl. Taman sari 71 Bandung
40132. e-mail: lilik_lapan@yahoo. com
ABSTRACT Remote dust pollutant in size of less than 2. 5 microns are harmful to the visibility of atmosphere and health. Topography of Bandung as basin makes coming air pollutant difficult to move out and stagnant, so the accumulation of these kind of pollutants are high enough. The object of this study was to analyze the type of long-distance air pollutant and the location of the origin of the sources of pollution. The
method used in this study is a measurement of central tendency and running Hysplitt models. The results showed that in Bandung indeed has got air pollutants distance away from the South China Sea in the form of particles containing elements of chloride (Cl) of 310 ng / cm2 (9 times greater than local effects), mainland China in the form of particles containing calcium (269. 87 ng/cm2) or 5 times than the effect of local and magnesium (88. 19 ng/cm2) or 2 times of local influence, and the Australian continent in the form of particles containing sulfur by 3108 ng/cm2 (2 times than local effect). Keywords : Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron
ABSTRAK
Polutan udara jarak jauh berupa debu yang berukuran kurang dari 2,5 mikron berbahaya bagi visibilitas atmosfer dan kesehatan. Untuk Bandung sendiri karena terletak pada cekungan topografi, polutan udara yang masuk akan sulit untuk bergerak dan berdiam
(stagnan) sehingga terjadi akumulasi polutan yang cukup tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis polutan udara jarak jauh dan lokasi asal sumber pencemar. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah ukuran pemusatan dan
running model Hysplitt. Hasil menunjukkan bahwa di Kota Bandung memang telah mendapat pencemar udara jarak jauh yang berasal dari Laut Cina Selatan berupa partikel yang mengandung unsur klorida (Cl) sebesar 310 ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm2) atau 5 kali daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm2) atau 2 kali dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung belerang sebesar 3108 ng/cm2 (2 kali daripada pengaruh lokal). Kata-kunci: Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
50
1 PENDAHULUAN
Banyak orang beranggapan bahwa polutan udara hanya dapat
melintasi negara-negara yang berbatasan darat langsung. Kasus
pencemaran SO2 dan hujan asam diantara negara-negara di benua
Eropa adalah contoh penyebaran polutan udara dalam skala regional
yang melintasi batas darat antar negara (Sliggers dan Kakebeeke,
2004). Bukti lain yang menunjukkan bahwa penyebaran polutan udara
tidak mengenal batas administrasi suatu negara adalah pencemaran
asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan
yang sampai juga ke negara jiran (negara tetangga) Singapura yang
tidak berbatas daratan langsung dengan Indonesia.
Pada makalah ini yang akan dikaji adalah kebalikan dari kejadian
asap kebakaran lahan dan hutan dari Indonesia yang menyeberang
sampai ke Singapura dan Malaysia, tetapi kejadian pencemaran udara
yang sumbernya terjadi di luar negara Indonesia tetapi polutan
udaranya sampai ke Kota Bandung. Dampak polutan udara terutama
polutan udara yang bersumber dari pencemar jarak jauh (long range
transboundary air pollution) adalah berbahaya bagi kesehatan dan
visibilitas atmosfer. Hal ini disebabkan ukuran partikel pencemar jarak
jauh berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer (micron)(Santoso, 2015).
Ditambahkan oleh Santoso (2015) bahwa partikel PM10 dan PM2,5 dapat
melayang sampai jarak horizontal 100-1000 km tergantung dari
kecepatan angin dan kondisi parameter cuaca yang lain.
Partikulat atau debu juga merupakan sumber utama haze (kabut
asap) yang dapat menurunkan visibilitas atmosfer. Soedomo (2001)
menyatakan bahwa dampak debu pada visibilitas atmosfer mulai
timbul jika konsentrasinya dalam atmosfer sudah mencapai 26
mikrogram/m3.
Bappenas (2006) menyatakan bahwa partikel berukuran diameter
lebih kecil dari 10 µm di atmosfer pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat
menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada
konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penyakit bronchitis.
Fenomena penyebaran polutan udara lokal dan regional
berpengaruh sangat besar dalam menentukan akumulasi konsentrasi
pencemar udara di suatu tempat. Santoso (2007) menyatakan
konsentrasi partikel dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5
mikron (PM2,5) selama periode tahun 2000-2006 mengalami kenaikan
sebesar 65% di Bandung. Apakah kenaikan konsentrasi PM2,5 ini
berhubungan dengan long range transboundary air pollution?,dari mana
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
51
saja sumber polutan udara jarak jauh yang terdapat di Kota Bandung?,
dan jenis pencemar udara apa saja yang sampai di Kota Bandung?
Ketiga pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian ini.
Secara kuantitas atau fisik PM2,5 adalah debu yang berukuran
kurang dari 2,5 mikron, tetapi secara kualitas atau kimiawi di dalam
PM2,5 juga terkandung unsur kimia. Amonium nitrat (NH4NO3),
ammonium sulphat ((NH4)2SO4), natrium nitrat (NaNO3) dan karbon
organik sekunder sebagian besar berukuran kurang dari 2,5 µm.
Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu belum
diidentifikasinya daerah asal (lokasi) sumber pencemar udara di Kota
Bandung terutama yang berasal dari sumber yang sangat jauh
(melintasi kawasan regional) dan dari kegiatan alami atau
antropogenik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan
menganalisis daerah sumber polutan udara di Kota Bandung terutama
yang berasal dari sumber pencemar sangat jauh. Manfaat dari
penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan
bahwa penyebaran pencemar udara dapat melintasi darat dan laut.
Keterbaruan dari penelitian ini adalah digunakannya analisis statistika
berupa ukuran pemusatan (mean, median, dan modus) untuk
menentukan bila terjadi pencemaran udara yang bersumber dari lokasi
yang sangat jauh (melintasi darat dan laut) yang tidak digunakan pada
penelitian sebelumnya.
2 METODE PENELITIAN
Data sekunder elemen kimia yang digunakan memiliki periode
dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Data bersumber
dari Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN. Lokasi
pengambilan sampel udara adalah di Jl. Taman Sari Kota Bandung.
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel udara adalah Gent
Sampler. Gent sampler ditempatkan pada ketinggian 7 m dari
permukaan tanah. Sampel udara lalu dianalisis unsur kimianya di
laboratorium.
Metode analisis data yang dilakukan adalah pertama dengan
membuat data time series dari unsur kimia. Lalu membuat ukuran
pemusatan (mean, median, modus) dari data time series tersebut untuk
menentukan uji normalitas data. Data time series yang memiliki
sebaran normal akan memiliki mean, modus, dan median dengan
selisih antara ke tiga jenis ukuran pemusatan tersebut adalah tidak
terlalu besar atau sama. Walpole (1993) menyatakan sekumpulan data
memiliki sebaran normal jika nilai mean, median, dan modus adalah
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
52
relatif sama.
Jika data memiliki sebaran normal, maka semua data time series
tersebut dapat digunakan (tidak ada kucilan data). Jika data tidak
memiliki sebaran normal, maka data tidak dapat digunakan untuk
menentukan bila terjadi pencemaran udara jarak jauh.
Setelah mengetahui bahwa data time series elemen kimia memiliki
sebaran normal, maka langkah selanjutnya adalah mengetahui waktu
terjadinya long range transboundary air pollution (transpor polutan
udara jarak jauh). Tanggal (waktu) yang memiliki nilai data elemen
kimia paling tinggi (puncak maksimum) disimpulkan pada waktu
tersebut telah terjadi pencemaran udara yang berasal dari lokasi yang
sumbernya sangat jauh (Anonim, 2005b; Santoso, 2015).
Untuk mengetahui asal lokasi sumber pencemar jarak jauh
digunakan software HYSPLIT (Hybrid Single Particle Langrangian
Integrated Trajectory) dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration). Input data untuk menjalankan software HYSPLIT
adalah letak astronomis lokasi yang terkena dampak pencemaran
udara yaitu Kota Bandung yang terletak pada 6055’ LS dan 1070 BT,
tanggal kejadian yang memiliki nilai polutan udara yang sangat
ekstrem (data maksimum), lamanya waktu penyebaran polutan udara
dari sumber ke lokasi terkena dampak (dalam satuan jam), serta
konversi perbedaan waktu antara GMT (Grenwich Mean Time) dengan
lokasi terkena dampak (Bandung). Setelah running dengan memilih
mode forward, HYSPLIT akan mengeluarkan trayektori asal lokasi
pencemaran udara jarak jauh tersebut ke lokasi terkena dampak.
Mekanisme transpor polutan udara jarak jauh ini adalah karena
terjadinya badai debu dan pasir (dust storm and sand) di wilayah
sumber pencemar (negara-negara yang memiliki gurun pasir yang
luas). Topografi negara yang memiliki gurun pasir yang luas dan
terletak di iklim sub tropis seperti China, Rusia, India, Australia, dan
Amerika Serikat pada saat musim panas memiliki kecepatan angin
yang relatif kuat. Ditambah dengan kondisi topografi yang berbentuk
gurun pasir dan terbuka mengakibatkan medan angin bergerak bebas
sehingga jika terjadi badai debu dan pasir, angin akan banyak
membawa debu dan pasir melintasi negara lain. Badai debu dan pasir
adalah fenomena alami yang telah terjadi ribuan tahun. Selama 50
tahun terakhir, frekuensi badai debu dan pasir meningkat, intensitas
kerusakan meningkat, dan wilayah yang terkena dampak juga meluas
dan melebar. Menurut data statistik di China pada tahun 1950-an
telah terjadi rata-rata 5 kali badai debu dan pasir setiap tahun, 8 kali
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
53
di tahun 1960-an, 14 kali di tahun 1970an, dan 23 kali di tahun 1990-
an. Badai debu dan pasir pada 2002 yang terjadi di China, partikel
debunya sampai ke Korea, Jepang, dan Mongolia. Konsentrasi partikel
debunya 10 sampai ratusan kali lebih besar melebihi baku mutu
nasional negara yang terkena dampak (Anonim, 2005a). Hal ini
menunjukkan bahwa partikel polutan berupa debu dapat melintasi
laut. Di dalam partikel debu tersebut terkandung unsur kimia.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menyajikan data time series (Januari 2006- Desember
2009) konsentrasi elemen kimia (Na dan Cl) yang terkandung dalam
partikulat PM2,5 dan diamati di Kota Bandung.
Gambar 1. Time series konsentrasi natrium (Na) dan klorida (Cl) (Sumber: BATAN)
Berdasarkan Gambar 1. dapat dianalisis ukuran pemusatan
(mean, median, modus) untuk Na dan Cl. Tabel 1. menyajikan ukuran
pemusatan untuk Na dan Cl.
Tabel 1. Ukuran pemusatan elemen klorida (Cl) dan natrium (Na)
No Ukuran pemusatan Klorida (ng/cm2) Natrium (ng/cm2)
1. Mean 35,37 144,84 2. Modus 31 30
3. Median 32 103
Berdasarkan Tabel 1. nilai mean, median, dan modus konsentrasi
Cl hampir mendekati/relatif sama (berkisar antara 31-35) atau dapat
dikatakan nilai mean Cl = nilai modus Cl = nilai median Cl. Hal ini
0200400600800
10001200
02-Jan-06 02-Jan-07 02-Jan-08 02-Jan-09Ko
nse
ntr
asi e
lem
en
ki
mia
(n
g/cm
2)
Tanggal pengambilan sampel udara
Na
Cl
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
54
berarti data time series konsentrasi Cl memiliki sebaran data normal
dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar udara jarak
jauh.
Sementara mean, median, dan modus dari konsentrasi Na (Tabel
1) besarnya tidak relatif sama sehingga dapat disebut sebaran data
konsentrasi Na adalah tidak memiliki sebaran normal. Data
konsentrasi Na tidak dapat digunakan untuk estimasi sumber
pencemar udara lintas batas administrasi suatu negara
(transboundary).
Hasil analisis Gambar 1. menunjukkan nilai konsentrasi Cl paling
tinggi adalah pada sampel udara tanggal 15 Februari 2007 yaitu
sebesar 310 ng/cm2 (nanogram/cm2). Berdasarkan ini, maka dapat
diketahui bahwa konsentrasi klorida (Cl) yang berasal dari dampak
sumber pencemar udara jarak jauh adalah pada tanggal 15 Februari
2007 (ditunjukkan oleh tanda panah).
Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh
konsentrasi Cl hanya 35,37 ng/cm2. Tambahan konsentrasi Cl sebesar
274,63 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika
diprosentasekan tambahan pengaruh transpor polutan udara dari
sumber yang sangat jauh adalah sekitar 900% (9 kali lebih besar
daripada pengaruh lokal). Hasil running HYSPLIT untuk kejadian
tanggal 15 Februari 2007 disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Trayektori transpor polutan udara elemen klorida
Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang
ditunjukkan oleh Gambar 2. dapat diketahui bahwa Cl yang terukur di
Bandung pada 15 Februari 2007 berasal dari garam-garam laut di Laut
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
55
Cina Selatan yang terbawa angin muson barat pada musim penghujan
di Indonesia. Klorida dan natrium adalah indikator sumber
pencemaran udara yang berasal dari maritim (laut) yaitu dari arus dan
gelombang laut. Ukuran partikel Cl yang kurang dari 2,5 µm berasal
dari percikan air laut yang karena sangat ringan sehingga terbawa
angin muson barat yang berhembus dari Laut Cina Selatan (di belahan
bumi utara) ke Bandung (di belahan bumi selatan). Meszaros (1981)
menyatakan bahwa komposisi kimia aerosol dari sumber laut
pedalaman (laut terpencil) terdiri dari 75-95% adalah NaCl (natrium
klorida), (NH4)2SO4 (ammonium sulfat), H2SO4 (asam sulfat), dan
campuran sea salt (antara NaCl dengan (NH4)2SO4). Menurut Pasquill
(1983) yang menyatakan fenomena transport polutan udara jarak jauh
dapat saja terjadi.
Partikel yang berukuran kurang dari 2,5 µm adalah termasuk
golongan aerosol. Aerosol sendiri adalah partikulat padat yang
berukuran 0,001 – 10 µm yang berasal dari pecahan benda-benda
padat di bumi dan disebarkan (terdispersi) oleh angin (aero berarti
udara, sol berarti padatan) (Soedomo, 2001). Sumber aerosol dan
komposisinya secara global adalah debu sebagai hasil dari hembusan
angin sebesar 20%, garam dari air laut yang terpercik bersamaan
gelombang laut sebanyak 40%, abu sebagai hasil dari kebakaran hutan
sebanyak 10%, dan sisanya berasal dari partikulat asap sebagai hasil
dari kegiatan industri sebanyak 5% (Rozari, 1991). Komposisi dan
sumber aerosol tersebut menunjukkan bahwa laut sebagai kontributor
aerosol terbesar terutama Cl.
Gambar 3. Time series konsentrasi Ca dan Mg (Sumber: BATAN)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
02-Jan-06 02-Jan-07 02-Jan-08 02-Jan-09
Ko
nse
ntr
asi e
lem
en
kim
ia
(ng/
cm2
)
Tanggal pengambilan sampel udara
Ca
Mg
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
56
Berdasarkan Gambar 3 dapat dianalisis ukuran pemusatan.
Tabel 2. Menunjukkan analisis ukuran pemusatan untuk kedua
elemen (Mg dan Ca).
Tabel 2. Ukuran pemusatan elemen Ca dan Mg
No Ukuran pemusatan Kalsium (ng/cm2) Magnesium (ng/cm2)
1. Mean 65,13 43,81 2. Modus 66 40 3. Median 57 41,5
Berdasarkan Tabel 2 nilai mean, median, dan modus untuk
masing-masing konsentrasi Ca dan Mg hampir mendekati (relatif sama)
atau dapat dikatakan nilai mean = nilai modus = nilai median. Hal ini
berarti data time series konsentrasi Ca dan Mg memiliki sebaran data
yang normal dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar
udara jarak jauh.
Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui kedua elemen Ca dan Mg
memiliki puncak (nilai maksimum) pada tanggal yang sama (30 Januari
2007). Nilai konsentrasi Ca dan Mg paling tinggi adalah pada sampel
udara tanggal 30 Januari 2007 yaitu sebesar 335 ng/cm2 untuk Ca
dan Mg sebesar 132 ng/cm2.
Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh
konsentrasi Ca rata-rata hanya 65,13 ng/cm2 dan Mg hanya 43,81
ng/cm2. Tambahan konsentrasi Ca sebesar 269,87 ng/cm2 dan Mg
sebesar 88,19 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh
atau jika dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari
sumber yang sangat jauh untuk Ca adalah sekitar 500% (5 kali lebih
besar daripada pengaruh lokal). Untuk elemen Mg tambahan pengaruh
polutan udara dari sumber yang sangat jauh sekitar 200% (2 kali lebih
besar jika dibandingkan dengan polutan udara dari pengaruh lokal).
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
57
Gambar 4. Trayektori transpor polutan udara (Ca dan Mg)
Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang
ditunjukkan oleh Gambar 4. dapat diketahui bahwa elemen Ca dan Mg
pada tanggal 30 Januari 2007 berasal dari transpor polutan udara
jarak jauh yang bersumber dari daratan China dan sekitarnya. Ukuran
partikel Ca dan Mg yang lebih kecil dari 2,5 µm dapat diterbangkan dan
disebarkan oleh angin. Kalsium dan magnesium adalah indikator
polutan udara yang berasal dari kegiatan konstruksi, pengolahan
batuan kapur, dan pabrik semen. Menurut Pasquill (1983) fenomena
penyebaran pencemaran jarak jauh dapat saja terjadi. Pasquill
menambahkan dan membagi skala penyebaran pencemaran udara
menjadi 3 yaitu skala mikro, meso, dan makro. Pencemaran jarak jauh
ini termasuk dalam skala makro dengan jangkauan penyebaran
polutan udara lebih dari ribuan kilometer dalam skala waktu yang
lebih lama dari satu hari. Skala makro ini disebut dengan skala
kontinen.
Hasil pemantauan Satelit Aqua juga membenarkan bahwa
sebelumnya yaitu pada tanggal 20 Desember 2006 telah terjadi haze di
bagian timur China. Haze ini terjadi karena penggunaan batubara pada
musim dingin untuk perapian dan menghangatkan. Kondisi di China
sendiri sudah termasuk dalam katagori sangat tercemar. Pembakaran
batubara yang di dalamnya terkandung unsur kalsium dan magnesium
yang hebat menghasilkan haze (asap). Gambar 5 menyajikan hasil citra
Satelit Aqua pada 20 Desember 2006.
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
58
Gambar 5. Hasil pantauan Satelit Aqua pada kejadian
pembakaran batu bara di bagian timur China (20 Desember 2006) (Sumber: NOAA)
Gambar 6. Time series konsentrasi belerang (S) (Sumber: BATAN)
Berdasarkan Gambar 6 dapat dianalisis ukuran pemusatan.
Tabel 3. menyajikan ukuran pemusatan elemen sulfur.
Tabel 3. Ukuran pemusatan elemen belerang (S)
No Ukuran pemusatan Belerang (ng/cm2)
1. Mean 928 2. Modus 1200 3. Median 891
Berdasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa nilai mean, modus,
dan median data time series elemen belerang adalah relatif sama. Hal
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
kon
sen
tras
i ele
me
n k
imia
(n
g/cm
2)
Tanggal pengambilan sampel udara
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
59
ini menunjukkan bahwa data time series belerang adalah menyebar
normal sehingga dapat digunakan untuk estimasi transpor polutan
udara jarak jauh.
Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tanggal 27
November 2006 telah terjadi transpor polutan udara jarak jauh dengan
nilai puncak konsentrasi belerang adalah 3108 ng/cm2. Pada saat tidak
terjadi transpor polutan udara jarak jauh konsentrasi S rata-rata
hanya 928,11 ng/cm2. Tambahan konsentrasi S sebesar 2179,89
ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika
dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari sumber yang
sangat jauh untuk S adalah sekitar 300% (3 kali lebih besar daripada
pengaruh lokal).
Gambar 7. Trayektori transpor polutan udara elemen S
Berdasarkan analisis luaran model HYSPLIT yang disajikan pada
Gambar 7. dapat diketahui bahwa tambahan konsentrasi belerang
sebesar 2179,89 ng/cm2 berasal dari kebakaran lahan yang terjadi di
negara bagian New South Wales di Australia. Pada bulan November
seperti biasa Australia memang mengalami musim panas. Kondisi
bagian tengah Australia yang merupakan gurun pasir pada musim
panas memicu terjadinya kebakaran hebat secara alami.
Hasil pemantauan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
60
Resolution Imaging Spectroradiometer) menunjukkan pada tanggal 17
November 2006 telah terjadi kebakaran hebat di Australia. Satelit Aqua
ini melintasi Australia dua kali sehari. Gambar 8. menunjukkan hasil
observasi Satelit Aqua terhadap kebakaran di Australia. Tanda panah
menunjukkan haze (asap) yang berwarna abu-abu yang dihasilkan dari
kebakaran dan banyak mengandung sulfur.
Gambar 8. Hasil pemantauan Satelit Aqua (Sumber: NOAA)
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data sampel udara di Kota Bandung
telah mendapat polutan udara yang lokasi asal pencemarnya sangat
jauh (transboundary) berupa partikel yang berukuran kurang dari 2,5
mikron. Lokasi pencemar yang sangat jauh tersebut yaitu dari Laut
Cina Selatan berupa partikel dengan kandungan klorida sebesar 310
ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China
berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm2) atau 5 kali
daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm2) atau 2 kali
dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung
belerang sebesar 3108 ng/cm2 (3 kali daripada pengaruh lokal).
Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.
61
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan pada Pusat Sains dan Teknologi
Nuklir Terapan BATAN atas Bimtek model Hysplitt dan data yang
diberikan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2005a: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in
Northeast Asia, vol. 1, Asian Development Bank, Philippines.
Anonim, 2005b: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in
Northeast Asia, vol. 2, Asian Development Bank, Philippines.
Bappenas, 2006: Strategi Dan Rencana Aksi Nasional Untuk
Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan, Jakarta.
Draxler, R. R. and Rolph, G. D. HYSPLIT (HYbrid Single-Particle
Lagrangian Integrated Trajectory) Model access via NOAA ARL
READY. NOAA Air Resources Laboratory, College Park, MD.
Meszaros, E, 1981: Atmospheric Chemistry Fundamental Aspects,
Elsevier Scientific Publishing Company, 119-120.
Pasquill, 1983: Atmospheric Diffusion, John Wiley and Sons,
Chichester, New York, pp 437.
Rozari, M. B. , 1991: Klimatologi Dasar, Jurusan Geomet, FMIPA, IPB.
Tidak dipublikasikan.
Santoso, M, 2007: Konsentrasi PM2,5 dan PM10 Udara Ambien di
bandung dan Lembang Tahun 2000-2006. Proseding Seminar
Nasional Sains Dan Teknologi Nuklir, BATAN, Bandung.
Santoso, M, 2015: Aplikasi Teknik Analisa Nuklir Source Appoirtment
dan Long Range Transport Air Polution, bahan diklat, Batan,
Bandung.
Sliggers, J dan Kakebeeke, W, 2004: Clearing The Air 25 years of the
Convention On Long range Transboundary Air Pollution, United
Nations, Geneva.
Soedomo, M, 2001: Pencemaran Udara, Penerbit ITB Press, Bandung.
Walpole, R. E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 22-27.
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
62
KARAKTERISTIK ANGIN PERMUKAAN
DI ATAS LAUT INDONESIA
Martono
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
e-mail: mar_lapan@yahoo.com
ABSTRACT
Surface wind has an important role in the air-sea interaction. This research was conducted to investigate characteristics of surface
wind over the Indonesian seas. Data used was pentad surface wind from 1988-2011. Method used in this research was descritiption analysis. The results showed that duration, direction and velocity of surface wind over the Indonesian waters vary. This difference is affected by interaction between the monsoon and the trade wind. Duration of the easterly wind over the Java sea, Flores sea, Banda sea, Arafura sea and southern waters of Java reached 8 months, but the westerly wind only reached 4 months. Velocity of the easterly wind over the Java sea, Flores sea and Banda sea reached 4.5 m/s, and over the southern waters of Java and Arafura sea reached 6,2 m/s. Vice versa, velocity of the westerly wind reached 3.9 m/s over the Java sea, Flores sea and Banda sea, and reahed 3.2 m/s over the southern waters of Java and Arafura sea. The southerly wind and notherly wind over the Sulawesi sea and Karimata strait have the same time duration is 6 months. Velocity of the southerly wind over the Karimata strait, Makassar strait and Sulawesi Sea reached 4 m/s, 3.5 m/s and 1,9 m/s, but the northerly wind reached 3.4 m/s, 2 m/s and 2.2 m/s. Keywords : characteristics, surface wind, direction, duration
ABSTRAK
Angin permukaan mempunyai peranan penting dalam interaksi
antara laut dan atmosfer. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui karakteristik angin permukaan di atas perairan Indonesia. Data yang digunakan adalah angin permukaan pentad dari tahun 1988-2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi, arah dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan Indonesia berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh interaksi antara monsun dan angin pasat. Durasi angin timur di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa mencapai 8 bulan, tetapi angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan angin timur di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda mencapai 4,5 m/dt, dan di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya kecepatan angin barat mencapai 3,9 m/dt di di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dan 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura. Angin selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
63
Selat Karimata mempunyai durasi waktu yang sama yaitu 6 bulan. Kecepatan angin selatan di atas selat Karimata, selat Makassar dan laut Sulawesi mencapai 4 m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt.
Kata kunci : karakteristik, angin permukaan, arah, durasi
1 PENDAHULUAN
Angin permukaan merupakan salah satu unsur iklim yang
mempunyai penting dalam dinamika laut maupun proses interaksi
antara laut dan atmosfer. Transfer energi angin permukaan ke laut
akan menyebabkan terjadinya arus dan gelombang laut (Arief, 1994;
Dahuri dkk., 1996). Informasi arus dan gelombang laut sangat
dibutuhkan dalam kegiatan operasional pelayaran. Sirkulasi angin
permukaan selama musim tenggara menjadi faktor utama penyebab
terjadinya proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar
(Atmadipoera dan Widyastuti, 2014), di sepanjang pantai selatan Jawa
hingga Nusa Tenggara (Ningsih dkk., 2013; Wardani dkk., 2013;
Susanto and Marra, 2005). Lokasi upwelling merupakan daerah yang
memiliki potensi ikan yang tinggi.
Pertukaran momentum, panas, air dan gas dalam interaksi
antara laut dan atmosfer dipengaruhi oleh angin permukaan (Deser
dkk., 2010). Proses penguapan dan aliran panas turbulen permukaan
oleh angin permukaan mempengaruhi variabilitas suhu permukaan
laut (Han dkk., 2006; Han dkk., 2007; Duan dkk., 2008). Variabilitas
kedalaman lapisan termoklin dan suhu permukaan laut di perairan
Indonesia dipengaruhi oleh kondisi angin di Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia (Qu dkk., 2005). Perubahan CO2 antara laut dan
atmosfer dipengaruhi oleh kecepatan angin dan koefisien gesekan
kecepatan angin (Ekayanti dkk., 2009).
Mengingat peranan penting angin permukaan dalam dinamika
laut dan interaksi antara laut dan atmosfer, maka penelitian mengenai
angin permukaan di atas wilayah perairan laut Indonesia perlu
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan
waktu perubahan arah angin permukaan di atas perairan laut
Indonesia.
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
64
2 METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah perairan Indonesia yang meliputi Laut
Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Sulawesi, Selat
Makassar, Selat Karimata dan perairan selatan Pulau Jawa. Data yang
digunakan adalah angin permukaan dari tahun 1988-2011. Data ini
hasil estimasi dari berbagai sensor satelit dan mempunyai resolusi
waktu lima harian (pentad) dan resolusi spasial 0,25º x 0,25º. Data ini
diperoleh dari Physical Oceanography Distributed Active Center -
National Aeronautics and Space Administration (PODAAC NASA dengan
alamat https://podaac.jpl.nasa.gov/OceanWind.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Pengolahan data menggunakan metode statistik. Data angin
permukaan terdiri dari komponen zonal dan meridional. Langkah
pertama yang dilakukan adalah menghitung resultan angin sehingga
diperoleh arah dan besar. Kedua, dilakukan perata-rataan data pentad
menjadi data bulanan. Data bulanan ini kemudian dirata-ratakan
dalam rentang waktu 24 tahun sehingga diperoleh rata-rata tahunan.
Ketiga adalah menghitung resultan angin dari data rata-rata bulanan.
Analisis variasi bulanan dan waktu perubahan arah angin
permukaan dilakukan di atas tiap-tiap wilayah perairan laut Indonesia.
Analisis variasi bulanan angin permukaan meliputi durasi waktu arah
angin, arah dan intensitas kecepatan berdasarkan vektor angin rata-
rata bulanan. Analisis waktu perubahan arah angin ditentukan
berdasarkan komponen utama arah angin permukaan dalam skala
waktu pentad.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola angin permukaan rata-rata bulanan di atas wilayah perairan
Indonesia diperlihatkan pada Gambar 1. Pola angin permukaan bulan
Desember-Maret mempunyai pola yang sama. Di atas Laut Jawa, Laut
Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup
angin barat. Periode Desember-April di atas Laut Sulawesi, Selat
Karimata dan Selat Makassar bertiup angin utara.
Pada bulan April, angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut
Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup
angin timur. Pola ini berlangsung hingga bulan November. Perubahan
arah angin permukaan ke arah utara di atas Selat Karimata, Selat
Makassar dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan Mei.
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
65
Gambar 1. Pola angin permukaan rata-rata bulanan
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
66
Di atas Selat Karimata dan Laut Sulawesi pola ini berlangsung
hingga bulan Oktober tetapi di Selat Makassar masih berlangsung
hingga bulan November. Pada bulan Desember, angin permukaan di
atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan
selatan Jawa kembali bertiup angin barat. Perubahan arah angin ke
selatan di Selat Karimata dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan
November, sedangkan di Selat Makassar terjadi pada bulan Desember.
Secara umum perubahan arah angin permukaan di atas wilayah
Indonesia terjadi pada bulan April dan Mei.
Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores
dan laut Banda diperlihatkan pada Gambar 2. Di atas ketiga laut
tersebut arah angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan
durasi waktu 8 bulan dari April-November dan ke arah timur selama 4
bulan dari Desember-Maret. Kecepatan rata-rata angin timur lebih
besar daripada angin barat. Kecepatan angin permukaan lebih besar
dari 5,5 m/dt terjadi antara bulan Juni-Agustus.
Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Arafura dan
perairan selatan Jawa diperlihatkan pada Gambar 3. Di atas kedua laut
tersebut angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan durasi
waktu selama 8 bulan dari April- November dan ke timur selama 4
bulan dari Desember-Maret. Secara umum kecepatan angin timur lebih
besar daripada angin barat. Kecepatan angin lebih besar dari 6,5 m/dt
terjadi antara Mei-September.
Gambar 2. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa,
Laut Flores dan Laut Banda
-12
-7
-2
3
8
Kec
epat
an (
m/d
t)
Laut Jawa Laut Flores Laut Banda
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
67
Gambar 3. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut
Arafura dan perairan selatan Jawa
Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Sulawesi, Selat
Makassar dan Selat Karimata diperlihatkan pada Gambar 4. Angin
selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan Selat Karimata
mempunyai durasi waktu 6 bulan dari Mei-Oktober ke utara dan
November-April ke selatan. Di Selat Makassar arah tiupan angin
permukaan dominan ke utara dengan durasi waktu 7 bulan dari Maret-
November dan ke selatan 5 bulan dari Desember-April. Kecepatan
angin selatan di atas Selat Karimata dan Selat Makassar lebih besar
daripada angin utara, tetapi di Laut Sulawesi terjadi sebaliknya.
Kecepatan angin lebih besar dari 5 m/dt terjadi di Selat Karimata
antara bulan Januari-Februari dan bulan Juli-Agustus.
Perubahan arah gerakan angin permukaan di atas beberapa
wilayah laut Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pada
dasarnya waktu perubahan arah angin permukaan di atas masing-
masing wilayah laut Indonesia berubah-ubah. Namun secara umum
perubahan arah gerakan angin terjadi antara akhir bulan Maret sampai
akhir bulan April dan antara pertengahan bulan November sampai
awal bulan Desember.
-10
-5
0
5
10
Kec
epat
an (
m/d
t)
Laut Arafura Selatan Jawa
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
68
Gambar 4. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut
Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata
Tabel 1. Waktu perubahan arah angin permukaan (barat-timur)
Wilayah Angin Timur Angin Barat
Laut Jawa Ke-3 April Ke-4 November
Laut Flores Ke-2 April Ke-4 November
Laut Banda Ke-2 April Ke-5 November
Laut Arafura Ke-6 Maret Ke-5 November
Selatan Jawa Ke-4 Maret Ke-1 Desember
Tabel 2. Waktu perubahan arah angin permukaan (utara-selatan)
Wilayah Angin Selatan Angin Utara
Laut Sulawesi Ke-6 April Ke-3 November
Selat Makassar Ke-5 April Ke-6 November
Selat Karimata Ke-3 April Ke-3 November
Perubahan angin barat di bagian tengah wilayah laut Indonesia
dimulai dari Laut Jawa menuju Laut Flores dan Laut Banda,
sebaliknya perubahan angin timur dimulai dari Laut Banda menuju
Laut Flores dan Laut Jawa. Di bagian selatan wilayah perairan
Indonesia menunjukkan pola yang berbeda yaitu angin timur dimulai
dari perairan selatan Jawa menuju Samudera Hindia tengah dan angin
barat dimulai dari Laut Arafura menuju Samudera Pasifik bagian
selatan. Perubahan arah angin permukaan di Selat Karimata, Selat
-10
-5
0
5
10
Kec
epat
an (
m/d
t)
Laut Sulawesi Selat Makasar Selat Karimata
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
69
Makassar dan Laut Sulawesi secara umum terjadi sebelum dan
sesudah perubahan arah angin di atas Laut Jawa dan Laut Flores.
Hasil analisis menunjukkan bahwa durasi waktu, arah dan
kecepatan angin permukaan di atas masing-masing wilayah perairan
Indonesia berbeda-beda. Perbedaan pola ini disebabkan oleh wilayah
Indonesia yang berupa kepulauan, posisi geografis terletak di daerah
ekuator dan diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan Australia dan
dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik.
Wilayah kepulauan Indonesia dikenal dengan nama Benua
Maritim Indonesia (BMI). Dampak berupa wilayah kepulauan akan
mempengaruhi intensitas kecepatan angin permukaan. Intensitas
kecepatan angin permukaan di atas wilayah perairan yang di kelilingi
kepulauan lebih kecil dibandingkan dengan wilayah perairan terbuka.
Pengaruh ini berhubungan dengan adanya gesekan antara angin
permukaan dengan topografi daratan.
Wilayah Indonesia terdapat di daerah tropis antara 6O LU – 12O
LS. Sepanjang tahun di atas wilayah ekuator antara 30O LU – 30O LS
terbentuk angin pasat timur laut di utara ekuator dan angin pasat
tenggara di selatan ekuator (Barry and Choerly, 2003). Angin pasat ini
terbentuk akibat perbedaan tekanan udara antara daerah ekuator
dengan subtropis. Sepanjang tahun daerah ekuator menerima panas
lebih besar daripada daerah subtropis. Hal ini menyebabkan tekanan
udara di daerah ekuator lebih rendah, sehingga terjadi pergerakan
angin permukaan dari daerah subtropis ke daerah ekuator. Arah
gerakan angin ini dipengaruhi gaya Coriolis, sehingga angin pasat
timur laut bergerak ke arah barat daya dan angin pasat tenggara
bergerak ke arah barat laut.
Perubahan posisi matahari ke utara-selatan ekuator ini
menyebabkan adanya perbedaan tekanan udara tinggi dan rendah di
atas benua Australia dan benua Asia. Perbedaan tekanan udara ini
menyebabkan terbentuknya angin musim atau monsun. Pada saat
posisi matahari berada di selatan ekuator terbentuk monsun Asia yang
bergerak dari benua Asia menuju benua Australia. Pada saat posisi
matahari di berada utara ekuator terbentuk monsun Australia yang
bergerak dari benua Australia menuju benua Asia. Gerakan monsun ini
melewati wilayah Indonesia.
Pada bulan April posisi matahari berada di utara ekuator,
sehingga berkembang monsun Australia. Di atas laut Indonesia bagian
selatan ekuator, monsun Australia dan angin pasat tenggara searah
sehingga saling memperkuat. Kondisi tersebut menyebabkan intensitas
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
70
kecepatan angin permukaan di atas laut tersebut semakin menguat.
Ketika posisi matahari semakin menjauh ke utara ekuator, maka
intensitas kecepatan angin permukaan ke arah barat semakin kuat.
Posisi matahari di utara ekuator sampai akhir bulan September.
Pada bulan Oktober posisi matahari berada di selatan ekuator,
sehingga monsun Asia mulai berkembang. Di atas laut Indonesia
bagian utara ekuator, monsun Asia dan angin pasat timur laut searah
sehingga saling memperkuat. Meskipun monsun Asia telah
berkembang, namun arah angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut
Flores, Laut Banda masih bergerak ke arah barat, bahkan di atas
perairan selatan Jawa dan Laut Arafura sampai bulan November
masih bergerak ke barat.
Hal ini menunjukkan bahwa di atas perairan tersebut pengaruh
angin pasat tenggara masih kuat. Kondisi ini disebabkan karena letak
wilayah laut tersebut lebih dekat dengan sumber angin pasat tenggara,
sehingga pengaruh angin pasat tenggara lebih kuat. Kondisi ini yang
menyebabkan gerakan arah angin permukaan ke barat di atas Laut
Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa
mempunyai durasi waktu lebih lama daripada ke arah timur.
Pada bulan November di atas Laut China Selatan bertiup
monsun Asia dan angin pasat timur laut menuju Laut Jawa. Pada
waktu yang bersamaan di atas Laut Flores, Laut Banda dan Laut
Arafura masih bertiup angin pasat tenggara ke arah barat. Di atas Laut
Jawa gerakan monsun Asia mendapat tekanan yang kuat dari angin
pasat tenggara. Kondisi ini menyebabkan gerakan monsun Asia pada
bulan ini hanya sampai di Selat Karimata.
Sebaliknya, pada bulan April monsun Australia di atas Laut
Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Laut Arafura diperkuat oleh angin
pasat tenggara. Pada waktu yang bersamaan, di atas Laut China
Selatan dan Laut Sulawesi masih berkembang angin pasat timur laut.
Kondisi tersebut menyebabkan gerakan monsun Australia dan angin
pasat tenggara di atas Selat Karimata dan Selat Makassar mendapat
tekanan yang kuat dari angin pasat timur laut. Mekanisme tersebut
yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan di atas
Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda tidak sama. Gerakan angin
permukaan ke timur dimulai dari barat, sedangkan perubahan ke arah
barat dimulai dari timur.
Sebelah selatan perairan selatan Jawa merupakan perairan
terbuka, sedangkan di sebelah selatan Laut Arafura adalah benua
Australia. Ini menyebabkan pengaruh angin pasat tenggara di atas
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
71
perairan selatan Jawa lebih kuat daripada di Laut Arafura. Pada awal
bulan Maret pengaruh monsun Asia di atas perairan selatan Jawa
mulai melemah dan mulai berkembang monsun Australia. Sebaliknya,
di atas Laut Arafura pengaruh monsun Asia masih kuat yang
bersumber dari aliran angin permukaan di atas Laut Flores dan Laut
Banda.
Meskipun sudah berkembang monsun Asia, tetapi sampai pada
pertengahan bulan November pengaruh angin pasat tenggara di atas
perairan selatan Jawa masih kuat. Sebaliknya pengaruh angin pasat
tenggara di atas Laut Arafura mulai melemah karena mendapat
tekanan angin permukaan dari Laut Flores dan Laut Banda. Proses
tersebut yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan
di atas Laut Arafura dan perairan selatan Jawa berbeda. Gerakan angin
permukaan ke timur dimulai dari timur dan ke arah barat dimulai dari
barat.
Kecepatan angin permukaan maksimum terjadi pada saat musim
timur. Hasil yang sama dinyatakan bahwa pada bulan Juli angin
permukaan di atas Samudera Hindia bergerak ke arah barat dengan
kecepatan mencapai 25 knot, sedangkan pada bulan Januari di atas
Pulau Jawa dan sekitarnya angin permukaan bergerak ke arah timur
dengan kecepatan antara 5-15 knot (Siswanto dan Suratno, 2008).
Hasil yang sama juga dinyatakan bahwa kecepatan angin permukaan
di atas perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur antara
bulan Mei-Agustus lebih besar dari 5 m/dt (Syafik dkk., 2013).
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa durasi, arah
dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan
Indonesa menunjukkan pola yang berbeda-beda. Perbedaan ini
disebabkan oleh interaksi yang kuat antara monsun dengan angin
pasat. Pengaruh angin pasat tenggara di atas laut Indonesia bagian
selatan ekuator sangat kuat. Durasi timur mencapai 8 bulan,
sedangkan angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan rata-rata angin timur
di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda 4,5 m/dt dan di perairan
selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya angin
barat mencapai 3,9 m/dt di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda
dan hanya 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura.
Gerakan arah angin permukaan ke arah utara-selatan di atas
Selat Karimata dan Laut Sulawesi mempunyai durasi waktu sama yaitu
6 bulan. Pada saat musim timur kecepatan angin permukaan ke arah
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
72
utara mencapai 2,4 m/dt, 4,1 m/dt dan 5,1 m/dt, sedangkan pada
saat musim barat kecepatan angin permukaan ke arah selatan
mencapai 2,3 m/dt, 2,8 m/dt dan 5,1 m/dt masing-masing di Laut
Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata. Kecepatan angin selatan
di atas Selat Karimata, Selat Makassar dan Laut Sulawesi mencapai 4
m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara
mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt.
Perubahan arah gerakan angin permukaan ke timur di atas Laut
Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dimulai dari barat yaitu dari laut
Jawa pada pentad ke-4 November, sedangkan ke barat dimulai dari
timur yaitu dari Laut Banda pada pentad ke-2 April. Sedangkan di atas
perairan selatan Jawa dan Laut Arafura angin timur dimulai dari barat
pada pentad ke-4 Maret dan angin barat dimulai dari timur pada
pentad ke-5 November.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurzaman
Adikusumah, M.Si yang telah memberikan masukan dan kepada
Physical Oceanography Distributed Active Center - National Aeronautics
and Space Administration yang telah memberikan akses data sehingga
penelitian ini dapat dilaksanakan.
DAFTAR RUJUKAN
Arief, D., 1994: Sirkulasi Arus Laut. Jakarta, LON-LIPI, 15 pp.
Atmadipoera, A.S dan P. Widyastuti, 2014: A Numerical Modeling Study
On Upwelling Mechanism In Southern Makassar Strait. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 355-371.
Barry, R.G., and R.J. Chorley, 2003: Atmosphere, Weather and Climate.
London: Routledge.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 1996: Pengeloaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Deser, C., M. A. Alexander, S.P. Xie, and A.S. Philllips, 2010: Sea
Surface Temperature Variability:Patterns and Mechanisms, Annu.
Rev. Mar. Sci, (2), 115-143.Ibrayev, R.A., E. Ozsoy, C. Schrum, and
H.I. Sur, 2010: Seasonal Variability of the Caspia Sea Three-
Dimensional Circulation, Sea Level and Air-Sea Interaction. Ocean
Sci, 6, 311-329.
Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono
73
Duan, A., C. Sui, and G. Wu, 2008: Simulation of Local Air-Sea
Interaction in the Great Warm Pool and Its Influence on Asia
Monsoon, Journal of Geophysics Research, 113(D22105), 1-14.
Ekayanti, N.W., T. Osawa, I.K. Kasa, dan A.R. As-syakur, 2009: Study
of Air-Sea Interaction and CO2 Exchange Process Between The
Atmosphere and Ocean Using ALOS/PALSAR. Jurnal Bumi Lestari,
9(2), 151-158.
Han, W., W.T. Liu, and J. Lin, 2006: Impact of Atmospheric
Submonthly Oscullations on Sea Surface Temperature of The
Tropical Indian Ocean. Geophysical Research Letters, 33(L03609), 1-
4.
Han, W., D. Yuan, W.T. Liu, and D.J. Halkides, 2007: Intraseasonal
Variability of Indian Ocean Sea Surface Temperature During Boreal
Winter: Madden-Julian Oscillation versus Submonthly Forcing and
Processes. Journal of Geophysical Research, 112(C04001), 1-20.Liu,
W.T., W. Tang, and X. Xie, 2008: Wind Power Distribution Over The
Ocean. Geophysical Research Letters, 35(L13808), 1-6.
Ningsih, N.S., N. Rakhmaputeri, and A.B. Harto, 2013: Upwelling
Variability along the Southern Coast of Bali and in Nusa Tenggara
Waters. Ocean Sci. J, 48(I), 49-57.
Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface
Temperature and Its Variability in the Indonesian Region.
Oceanography, 18(4), 50-61.
Siswanto., and Suratno, 2008: Seasonal Pattern of Wind Induced
Upwelling Over Java-Bali Sea Waters and Surrounding Area.
International J. of Remote Sensing and Earth Sciences, 5, 46-56.
Susanto, D., and J. Marra, 2005: Effect of the 1997/98 El Niño on
Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and
Sumatra. Oceanography. 18(4), 124-127.
Syafik, A., Kunarso, dan Hariadi, 2013: Pengaruh Sebaran dan
Gesekan Angin Terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut Di
Samudera Hindia (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia 573). Jurnal Oseanografi, 2(3), 318-328.
Wardani, R., W.S. Pranowo, dan E. Indrayanti, 2013: Struktur vertikal
upwelling – downwelling di Samudera Hindia Selatan Jawa hingga
Selatan Bali berdasarkan salinitas musiman periode 2004–2010.
Depik, 2(3), 191-199.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
74
DISTRIBUSI SPASIAL - TEMPORAL AEROSOL BLACK CARBON DI INDONESIA
Rosida
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
e-mail: rosida@lapan. go. id
ABSTRACT Black Carbon is a primary aerosol that is emitted directly from the source and is the result of incomplete combustion process. Black carbon aerosol plays an important role in influencing climate change because of its ability is very strong in absorbing sunlight in a broad spectral range. In this study we analyzed the spatial and temporal distribution of the density of BC [BC] using data reanalysis Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), from 2001 to 2015 in the Indonesian region (150S -150U; 900-1500E). In addition, the analysis was also performed in some urban
locations to explore the contribution of forest fires to [BC] in urban areas. The analysis showed a significant effect of forest fires on the distribution pattern BC. Trend of high distribution of BC in Indonesian territory on average occured in September and October. The highest density was found in 2015 by 37,83x10-7kg/m2. The result of urban analysis showed the largest contribution of forest fires to the [BC] occur in Palangkaraya. Keywords : Black carbon, MERRA, reanalysis, forest fires,
Indonesia.
ABSTRAK Black Carbon adalah aerosol primer yang diemisikan secara
langsung dari sumbernya dan merupakan hasil dari proses pembakaran tidak sempurna. Aerosol black carbon berperan sangat penting dalam mempengaruhi perubahan iklim karena kemampuannya yang sangat kuat dalam mengabsorpsi cahaya matahari dalam rentang spektral yang luas. Dalam penelitian ini telah dilakukan analisis secara spasial dan temporal distribusi densitas BC dengan menggunakan data reanalisis Modern Era-
Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), periode 2001 sampai 2015 dengan lokasi wilayah Indonesia (150 LS-150LU; 900-1500BT). Selain itu, dilakukan juga analisis pada beberapa lokasi perkotaan untuk melihat kontribusi kebakaran hutan terhadap [BC] di perkotaan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh kebakaran hutan cukup signifikan terhadap pola distribusi BC. Tren distribusi BC yang tinggi di wilayah Indonesia rata-rata terjadi pada bulan September dan Oktober. Densitas tertinggi ditemukan pada tahun 2015 sebesar 37,83x10-7kg/m2.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
75
Hasil analisis perkotaan menunjukkan kontribusi kebakaran hutan terbesar terhadap [BC] terjadi di Palangkaraya. Kata-kunci: Black Carbon, MERRA, reanalisis, kebakaran hutan, Indonesia
1 PENDAHULUAN
Black Carbon [BC] merupakan komponen penting dari aerosol
atmosfer yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna
hidrokarbon yang mengandung bahan-bahan termasuk diantaranya
bahan bakar fosil, bahan bakar-bio dan biomassa. Densitas BC aerosol
di atmosfer yang berasal dari penggunaan batubara, minyak dan bahan
bakar fosil lainnya, pembakaran lahan pertanian serta emisi gas buang
kendaraan telah meningkat dengan pesat sejak revolusi industri
(Zhang, 2011). Masalah BC saat ini harus sudah mendapat perhatian
yang lebih bukan hanya karena pertimbangan sebagai kontributor
kedua terbesar terhadap pemanasan global, tapi juga karena
dampaknya yang sangat serius terhadap kesehatan manusia, karena
ukurannya yang sangat halus dalam ukuran sub-micron yang sangat
mudah terendapkan dalam sistem pernafasan. Berkaitan dengan hal
tersebut, telah dilakukan pengamatan-pengamatan aerosol BC secara
global termasuk Asia Selatan (Steiner (2009); Beegum dkk. (2009);
Corrigan dkk. (2007); Husain dkk. (2007).
BC adalah unsur kimia inert dengan ukuran yang sangat halus
dan mekanisme penghilangannya di atmosfer dapat dilakukan dengan
3 cara yaitu deposisi kering, deposisi basah dan deposisi gravitasi. Tapi
dari ketiga cara tersebut maka proses deposisi basah adalah cara yang
paling signifikan (Babu and Moorthy, 2001). Waktu tinggal (lifetime)
partikel BC kira-kira lebih dari 1 minggu lamanya yang memungkinkan
partikel BC ini bertransport ke jarak yang cukup jauh. Hansen dkk.
(2000); Jacobson (2001); Chung dan Seinfeld (2005); dan Ramanathan
and Carmichael (2008), menjelaskan bahwa lamanya waktu tinggal
yang ditambah dengan kemampuan yang sangat kuat dari BC untuk
mengabsorpsi cahaya matahari pada rentang spektral yang luas (wide
spectral range), mulai dari panjang gelombang visible sampai infra-
merah, menjadikan BC sebagai kontributor yang sangat potensial
dalam pemanasan global. Selain itu BC juga dapat mempengaruhi
albedo awan dengan mengubah sifat higroskopis awan dalam perannya
sebagai inti kondensasi awan, yang kemudian mengkontribusi pada
forcing iklim secara tidak langsung (Lohmann dkk., 2000; Ackerman
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
76
dkk., 2000). Oleh karena itu, walaupun dalam proporsi yang sangat
kecil, kira-kira <10% dari total aerosols di atmosfer, namun dampaknya
terhadap iklim dan lingkungan atmosfer tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan hasil analisis perhitungan secara detail yang
dilakukan Bond dkk (2004) dan berdasarkan laporan yang dirilis IPCC
(2007) diperkirakan emisinya telah mencapai 8,0 Tg C per tahun.
Sumber emisi terbesar yang terjadi sebelum 1950 diperkirakan berasal
dari Amerika Utara dan Eropa Barat, tapi saat ini sumber emisi
tersebut berasal dari daerah tropis dan negara-negara berkembang di
Asia Timur (Bond dkk., 2007). Di China, banyak sekali konsumen
batubara, pembakaran batubara menjadi sumber utama dari emisi
aerosol BC. Sumber lain dari aerosol BC di China adalah dari
pembakaran jerami di daerah pedesaan. Cao dkk. (2007) mengestimasi
bahwa China mengemisikan sekitar 1,5 Tg BC pada sekitar tahun 2000
dengan emisi terbesar terjadi di bagian timur China.
Saat ini sudah semakin banyak dikenal dan diakui bahwa
penelitian tentang BC penting untuk dilakukan. Terutama yang
berkaitan dengan masalah sumber emisi, distribusi temporal dan
spasialnya, serta pengaruh aerosol BC terhadap lingkungan dan
perubahan iklim. Bahkan penelitian ini sudah termasuk dalam subjek
utama riset lingkungan atmosfer dan perubahan iklim.
Hampir setiap tahun Indonesia dihadapkan dengan masalah
kebakaran lahan gambut, terutama yang seringkali terjadi di
Kalimantan dan Sumatera. Berdasarkan laporan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan tercatat bahwa sejak tahun 2000 sampai
dengan saat ini telah terjadi kebakaran lahan hutan gambut di
Kalimantan dan Sumatera telah banyak menimbulkan dampak seperti
asap yang selain mencemari lingkungan juga sangat mengganggu
kesehatan (KLH, 2006; Sofiati dan Sinatra, 2012; Susanto, 2015). Dari
informasi titik panas (hotspot) yang diperoleh dari LAPAN menunjukkan
total titik panas pada bulan September 2015 sebanyak 37444 titik
panas, dan sebanyak 34041 total titik panas terjadi pada bulan
Oktober 2015 dengan tingkat kepercayaan data >80%. Titik-titik panas
tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan.
(LAPAN, 2016). Untuk mengetahui kondisi wilayah Indonesia terutama
dari pengaruh BC aerosol pada saat kejadian kebakaran hutan, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara
spasial dan temporal distribusi massa aerosol BC di wilayah Indonesia.
Penelitian ini menggunakan 15 tahun data reanalisis dari MERRA
dengan resolusi temporal rata-rata bulan.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
77
2 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data aerosol
black carbon (BC) rata-rata bulan yang diunduh dari NASA-Giovanni
(NASA, 2016). Data ini adalah data reanalisis yang diperoleh dari
MERRA (Modern-Era Retrospective analysis for Research and
Applications) dengan resolusi spasial data 0,625 longitud dan 0,5
latitud. Resolusi temporal data 15 tahun dari Januari 2001 sampai
dengan Desember 2015 dengan format hdf.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah wilayah Indonesia, dan
sebagai studi kasus, penelitian difokuskan pada wilayah yang sering
mengalami kebakaran hutan yaitu Kalimantan dan Sumatera.
Pengolahan data dikerjakan dengan menggunakan GrADS versi 2.
Pengolahan data diawali dengan menentukan nilai rata-rata bulan
untuk mengidentifikasi dan menganalisi tren variabilitas distribusi
temporal dan spasialnya. Kontribusi kebakaran hutan gambut juga
dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap densitas massa
aerosol BC dalam skala urban (perkotaan). Kemungkinan adanya
fenomena ekstrim dilakukan dengan menganalisis anomalinya
terhadap data klimatologisnya.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Variasi bulanan densitas massa black carbon (BC).
Untuk mengetahui tren perubahan secara temporal dan spasial
distribusi BC dalam skala waktu panjang, dianalisis data rata-rata
bulan selama 15 tahun data, yaitu dari Januari 2001 sampai dengan
Desember 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa tren distribusi BC
untuk rata-rata di wilayah Indonesia cukup berfluktuasi. Rentang
terendah dari distribusinya berfluktuasi diantara nilai lebih besar dari
2x10-7kg/m2 sampai kira-kira kurang dari 10x10-7kg/m2 (Gambar 1).
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
78
Gambar 1 Tren distribusi bulanan aerosol black carbon (BC) dari
Januari 2001 sampai Desember 2015 di wilayah Indonesia.
Pada umumnya, distribusi yang tinggi rata-rata terjadi pada
musim peralihan ke penghujan yaitu antara bulan September dan
Oktober. Dari hasil olahan data, ditemukan nilai [BC] yang tinggi yaitu
pada bulan Oktober 2002 dengan densitas tertinggi yang dicapai
sebesar 23,40x10-7 kg/m2. [BC] mengalami sedikit penurunan pada
bulan Oktober 2004 sampai dengan 19,73x10-7 kg/m2. Pada tahun
2003 dan 2005 tidak terlihat adanya pelonjakan dan nilai densitasnya
hanya berfluktuasi pada nilai 2x10-7kg/m2 sampai <10x10-7kg/m2.
Peningkatan mulai terlihat lagi pada bulan Agustus 2006 dengan nilai
yang diperkirakan sudah lebih dari 10x10-7kg/m2. Nilai tersebut terus
meningkat sampai terjadi pelonjakkan yang sangat dramatis yang
mencapai nilai densitas yang tinggi sekali yaitu sebesar 36,91x10-
7kg/m2, dan peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 2006. Peristiwa ini
berulang terjadi pada tahun 2015 dengan nilai puncak tertinggi yang
dicapai pada Oktober 2015 dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang terjadi pada Oktober 2006 yaitu 37,83x10-7kg/m2.
Berdasarkan informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup (2014)
bahwa efek dari fenomena iklim El Nino dapat memperluas kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) dengan kenaikan jumlah titik panas karena
terjadi kekeringan yang panjang dan peningkatan suhu udara. Pada
tahun 2015 Indonesia dipengaruhi oleh El Nino level moderat yang
kekuatannya lebih dibandingkan dengan fenomena iklim El Nino yang
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
79
terjadi pada tahun 2006 (KLH, 2014). Dampak kekeringan yang
ditimbulkannya mengakibatkan kejadian kebakaran hutan pada tahun
2015 tersebut menjadi sangat tidak terkendali dan mengakibatkan
akumulasi asap yang sangat tebal di Kalimantan dan Sumatera antara
Agustus dan Oktober 2015 (BNPB, 2015). Oleh karena itu, penulis
memperkirakan bahwa tingginya densitas BC pada tahun 2015 adalah
akibat adanya pengaruh El Nino level moderat yang pengaruhnya lebih
kuat dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2006.
Secara spasial dapat diidentifikasi perubahan nilai densitas BC
dari munculnya warna merah yang mengindikasikan tingginya nilai
densitas BC dengan nilai lebih besar dari 21x10-7kg/m2. Pola spasial
pada Gambar 2 adalah pola spasial rata-rata klimatologis.
Gambar 2 Pola spasial klimatologis densitas massa aerosol black
carbon (BC) dari 2001 – 2015.
Kemunculan BC pada bulan Agustus di atas Sumatera dan
Kalimantan dipresentasikan oleh munculnya warna merah dengan
luasan yang cukup besar. Sebarannya mencapai puncak dan hampir
menutupi sebagian besar wilayah Kalimantan, Sumatera dan Pulau
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
80
Jawa pada Oktober 2015. Berdasarkan pola spasial rata-rata bulan,
juga menunjukkan variasi perubahan rata-rata bulan yang hampir
sama, perbedaanya adalah bahwa [BC] yang densitasnya kurang dari
10x10-7kg/m2 tidak selalu terjadi pada bulan Oktober. Distribusi
spasial rata-rata bulanan, menunjukkan pola distribusi spasial yang
sangat fluktuatif. Hal ini diperkirakan karena sumber emisi dan
komposisi partikel BC yang bervariasi dan sangat tergantung pada jenis
bahan yang terbakar. Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa
BC terbentuk dari proses pembakaran bahan bakar fosil yang tidak
sempurna. Menurut Bond (2007), yang termasuk dalam kategori
sumber utama proses pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan
partikel BC adalah mesin diesel yang digunakan untuk transportasi
atau industri, bahan bakar rumah tangga seperti kayu atau arang, dan
proses-proses industri. Hal lain yang diperkirakan mempengaruhi
distribusi BC adalah ratio BC yang menurut AMAP (2011) relatif lebih
tinggi pada pembakaran bahan bakar fosil dibandingkan dengan ratio
BC pada pembakaran bahan bakar biomasa.
3.2 Kontribusi kebakaran hutan pada [BC] di perkotaan.
Aktivitas pembakaran hutan gambut terutama yang sudah
seringkali terjadi di Sumatera dan Kalimantan, saat ini sudah menjadi
masalah substansial yang sangat sulit untuk diselesaikan. Aerosol BC,
memang bukan komponen utama yang dihasilkan dari pembakaran
hutan gambut dan dari jumlah hasil pembakarannya pun relatif sangat
kecil dibandingkan dengan total aerosolnya. Namun seperti yang
dijelaskan dalam pendahuluan, keberadaan aerosol BC di atmosfer
tidak dapat diabaikan karena karakteristiknya yang sangat kuat dalam
mengabsorpsi sinar matahari dan dapat menjadikannya sebagai
kontributor terhadap pemanasan global. Selain itu ukurannya yang
sangat halus dapat mempengaruhi kesehatan manusia bila terhirup
pernafasan.
Tren distribusi [BC] untuk beberapa kota di Indonesia sangat
bervariasi. Hasil pengolahan data dari Januari 2001 sampai dengan
Desember 2015 menunjukkan bahwa hampir di setiap tahun terjadi
distribusi [BC] dengan densitas massanya yang sangat bervariasi.
Dalam penelitian ini dianalisis beberapa kota di wilayah Indonesia
seperti Jakarta, Pekanbaru, Medan, Palangkaraya, Pangkalpinang,
Surabaya, Ambon, Makassar dan Biak, untuk melihat kontribusi
kebakaran hutan pada [BC] pada kota-kota tersebut.
Titik panas merupakan salah satu indikator dari kejadian
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
81
kebakaran hutan. Berdasarkan data titik panas (hotspots) dari sumber
data Kementrian Kehutanan menunjukkan jumlah titik panas yang
cukup besar dan rata-rata terkonsentrasi di Riau, Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Gambar 3).
Gambar 3. Sebaran titik panas (hotspots) di wilayah Indonesia
dari tahun 2000 sampai 2012. (Sumber data dari Kementrian Kehutanan, 2012 ).
Namun sayangnya data sebaran titik panas tersebut adalah
jumlah total titik panas rata-rata provinsi tahunan dan uraiannya tidak
secara detail sampai ke perkotaan. Berkaitan dengan kontribusi
kebakaran hutan terhadap densitas BC di perkotaan, penulis
memperkirakan bahwa kejadian kebakaran hutan yang
dipresentasikan oleh jumlah sebaran titik panas baik yang terjadi di
Sumatera ataupun di Kalimantan berkontribusi pada peningkatan
densitas BC di perkotaan.
Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002, menunjukkan
jumlah total titik panas yang tertinggi pada saat itu terjadi di
Kalimantan Tengah sebanyak 20504 titik panas dan di Kalimantan
Barat sebanyak 10892 titik panas (Gambar 3). Berdasarkan analisis
perkotaan (Gambar 4), densitas BC di Palangkaraya mencapai puncak
tertinggi terjadi pada bulan September 2002 sebesar 5. 44x10-5kg/m2,
nilai tersebut merupakan nilai tertinggi yang terjadi selama perioda
2001-2015. Pada bulan berikutnya (Oktober 2002), [BC] kemudian
turun nilainya sampai kira-kira setengahnya dari nilai pada bulan
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
82
sebelumnya yaitu 3,08x10-5kg/m2.
Gambar 4. Tren distribusi [BC] di perkotaan dari Januari 2001
sampai Desember 2015.
Peningkatan [BC] yang terjadi diduga merupakan kontribusi dari
peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu. Sebaran emisi
BC pada bulan September 2002 tersebut juga terpantau sampai ke
beberapa kota lain seperti Pekanbaru, Pangkalpinang, Medan dan
bahkan sampai ke Jakarta dengan densitas yang sangat rendah yang
rata-rata nilainya kurang dari 1. 0x10-5kg/m2.
Kemudian pada tahun 2006, terjadi sebaran titik panas di
Kalimantan Tengah yang jumlah totalnya mencapai 40897 titik panas.
Jumlah sebaran titik panas tersebut merupakan jumlah terbesar yang
terjadi selama perioda 2000–2012. Namun dari analisis perkotaan,
densitas BC di Palangkaraya pada Oktober 2006 hanya mencapai
3,39x10-5kg/m2, kira-kira setengah dari nilai densitas BC yang terjadi
pada tahun 2002. Sebaran emisi aerosol BC tersebut juga menyebar ke
Pekanbaru, dan Pangkalpinang dengan desitas BC yang nilainya lebih
besar dari 1. 0x10-5kg/m2, kira-kira 2x lipat dari yang terjadi pada
tahun 2002.
Berdasarkan data titik panas yang diperoleh dari LAPAN,
kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015, menunjukkan jumlah
total titik panas (hotspot) tertinggi yang terpantau LAPAN untuk
wilayah Indonesia dengan tingkat kepercayaan >80% pada bulan
September dan Oktober 2015 adalah > 30000 titik panas. Titik-titik
panas tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan yang
terbesar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
83
Gambar 5. Sebaran titik panas (hotspots) rata-rata bulanan di
wilayah Indonesia tahun 2015. (Sumber data LAPAN, 2016 ).
Berdasarkan analisis perkotaan (Gambar 4), dipresentasikan
Palangkaraya merupakan kota yang sangat terpolusi oleh [BC] karena
densitasnya yang relatif selalu tinggi terutama pada saat kejadian
kebakaran hutan. Penulis menduga bahwa kebakaran hutan gambut di
Kalimantan dan Sumatera telah menyumbang pada peningkatan [BC]
di perkotaan. Dari hasil analisis rata-rata bulanan pada bulan
September dan Oktober 2015 terjadi peningkatan jumlah sebaran titik
panas di Kalimantan Tengah masing-masing 12327 dan 11252 titik
panas, dan pada saat yang sama data [BC] di Palangkaraya juga
mengalami peningkatan sampai sekitar 1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2.
Analisis secara spasial menunjukkan bahwa (Gambar 6), luasan
spasial yang berwarna merah pada tahun 2002 tidak seluas yang
terjadi pada bulan Oktober 2015, tetapi densitas BC yang terpantau
pada tahun 2015 di Palangkaraya hanya mencapai kira-kira setengah
bagian dari yang terjadi pada tahun 2002. Kebakaran hutan yang
terjadi saat itu mengemisikan aerosol BC dari Palangkaraya sampai ke
Pangkalpinang, Pekanbaru dan jika dianalisis secara mendetail
kemungkinan sampai ke Medan, Makassar dan Jakarta.
Pada Gambar 4 ditunjukkan densitas BC tertinggi ditemukan di
Palangkaraya sebesar 2,01x10-5 kg/m2, berikutnya densitas BC di
Pekanbaru, Pangkalpinang dan Medan nilainya diantara 1,7x10-5
kg/m2 dan 1x10-5 kg/m2. Densitas BC di beberapa kota lain yang
posisinya jauh dari Sumatera dan Kalimantan seperti Jakarta,
Surabaya, Makassar, Ambon dan Biak menunjukkan nilai yang cukup
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
84
kecil yaitu antara 8x10-6 dan 2x10-6.
Gambar 6. Pola spasial anomali densitas BC rata-rata Oktober
pada tahun 2002, 2006 dan 2015.
Seperti yang dijelaskan Babu and Moorthy (2001), dan juga
penjelasan Hansen dkk. (2000) bahwa walaupun BC hanya mempunyai
waktu tinggal antara 3 – 7 hari saja, tapi karena BC ini termasuk
partikel yang sangat ringan (fine particle), maka BC mampu melakukan
transport ke jarak yang jauh. Berdasarkan pendapat tersebut, maka
penulis menduga bahwa BC yang terdeteksi di beberapa kota yang
jaraknya relatif jauh dari sumber kebakaran , adalah berasal dari
kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Secara
spasial dapat dilihat pola spasial anomali dari sebaran densitas BC
pada bulan Oktober 2002 dan 2006 yang menyebar hampir menutupi
seluruh wilayah Indonesia, bahkan pada tahun 2015 menutupi seluruh
wilayah Indonesia.
4 KESIMPULAN
Untuk wilayah Indonesia densitas BC berfluktuasi dari nilai
terendah ~ 2x10-7 kg/m2 sampai nilai BC ~ 38x10-7 kg/m2. Dari tren
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
85
distribusi bulanan untuk rata-rata wilayah Indonesia pada umumnya
ditemukan nilai BC yang tinggi rata-rata terjadi pada bulan September
dan Oktober yang diperkirakan berkaitan dengan peristiwa kebakaran
hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Pada peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002,
2006 dan 2015 diperkirakan memberikan kontribusi BC tertinggi
dengan densitas masing-masing sebesar 23,4x10-7 kg/m2, 36,91x107
kg/m2 dan 37,83x10-7 kg/m2. BC pada tahun 2015 adalah BC tertinggi
yang ditemukan selama perioda data 2001-2015.
Kebakaran hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera juga telah
mengkontribusi pada peningkatan BC di perkotaan. Dari hasil analisis
rata-rata bulanan pada bulan September dan Oktober 2015 terjadi
peningkatan jumlah sebaran titik panas di Kalimantan Tengah masing-
masing 12327 dan 11252 titik panas, dan pada saat yang sama data
BC di Palangkaraya juga mengalami peningkatan sampai sekitar
1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima penulis ditujukan kepada rekan-rekan terutama
kepada Indah Susanti, yang telah banyak menyumbangkan pemikiran
yang sangat bermanfaat sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kementrian
Kehutanan yang telah memberikan ijin penggunaan data hotspots (titik
panas) dalam tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Ackerman, A. S., O. B. Toon, D. E. Stevens, A. J Heymsfield, V.
Ramanathan, E.J. Welton, 2000: Reduction of tropical cloudiness by
soot. Science 288, 1042–1047.
AMAP, 2011. The Impact of Black Carbon on Arctic Climate. By: P. K.
Quinn, A. Stohl, A. Arneth, T. Berntsen, J. F. Burkhart, J.
Christensen, M. Flanner, K. Kupiainen, H. Lihavainen, M. Shepherd,
V. Shevchenko, H. Skov, and V. Vestreng. Arctic Monitoring and
Assessment Programme (AMAP), Oslo, 72 pp.
Babu, S. S., K. K. Moorthy, 2001: Anthropogenic impact on aerosol
black carbon mass concentration at a tropical coastal station: a case
study. Current Science 81, 1208 –1214.
Beegum, S.N., K. Krishna Moorthy, S.S. Babu, S.K. Satheesh, V. Vinoj,
K.V.S. Badarinath, P.D. Safai, P.C.S. Devara, S. Singh, Vinod, U. C.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
86
Dumka, P. Pant, 2009: Spatial distribution of aerosol black carbon
over Indis during pre-monsoon season, Atmospheric Environment
43, 1071-1078, doi:10. 1016/j. atmosenv. 2008. 11. 042
BNPB, 2015. Dampak EL-Nino Tahun 2015 terhadap Kekeringan di
Indonesia, http://www. bnpb. go. id/berita/2554/dampak-el-nino-
tahun-2015-terhadap-kekeringan-di-indonesia
Bond, T. C. , D. G. Streets, K. F. Yarber, 2004: A technology-based
global inventory of black and organic carbon emissions from
combustion. J. Geophys. Res. , 109(14203), doi: 10.
1029/2003JD003697.
Bond, T. C. , E. Bhardwaj, and R. Dong, 2007: Historical emissions of
black and organic carbon aerosol from energy-related combustion,
1850-2000. Global Biogeochem. Cycles, 21, doi: 10.
1029/2006GB002840.
Bond, T., 2007: ‘Testimony for the Hearing on Black Carbon and
Climate Change’, Testimony to the House Committee on Oversight
and Government Reform, 16 pp .
Cao, G., X. Zhang, and Y. Wang, 2006: Inventory of black carbon
emission from China. Adv. Clim. Change Res. (in Chinese), 2(6), 259-
264.
Chung, S.H., J. H. Seinfeld, 2005: Climate response of direct radiative
forcing of anthropogenic black carbon. Journal of Geophysical
Research 110, D11102. doi: 10. 1029/2004JD005441.
Corrigan, C. E., G.C. Roberts, M.V. Ramana, D. Kim, V. Ramanathan,
2007: Capturing vertical profiles of aerosols and black carbon over
the Indian Ocean using autonomous unmanned aerial vehicles.
Atmospheric Chemistry and Physics Discussions 7, 11429–11463.
Hansen, J., M. Sato, R. Ruedy, A. Lacis, V. Oinas, 2000: Global
warming in the twenty-first century: An alternative scenario,
Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), NASA, vol.
97, no. 18, 9875–9880 pp, DOI: 10. 1073/pnas. 170278997.
Husain, L. , Dutkiewics, V. A. , Khan, A. J. , Ghauri, B. M. , 2007:
Characterization of carbonaceous aerosols in urban air. Atmospheric
Environment 41, 6872–6883.
IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S. dkk.,
Eds. , Cambridge University press, 996pp.
Jacobson, M. Z. , 2001: Strong radiative heating due to the mixing state
of black carbon in atmospheric aerosols. Nature 409, 695–697.
Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida
87
Kementerian Lingkungan Hidup, Republik Indonesia (KLH), 2006: Press
Release Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Kementrian
Lingkungan Hidup, 1 September 2006, http://www. menlh. go.
id/press-release-pengendalian-kebakaran hutan-dan-lahan
kementerian-lingkungan-hidup/
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), 2014: Pengaruh El Nino Pada
Kebakaran Hutah Dan Lahan, Deputi Bidang Pengendalian
Kerusakan Dan Perubahan Iklim, Kementrian Linglungan Hidup,
http://www. menlh. go. id/
LAPAN, 2016: Hotspots Information, as Forest/Land Fire’s Alert,
http://modis-catalog. lapan. go. id/monitoring/
Lohmann, U. , Feichter, J. , Penner, J. E. , Leaitch, W. R. , 2000:
Indirect effect of sulfate and carbonaceous aerosols: a mechanistic
treatment. Journal of Geophysical Research 105, 12193–12206.
NASA, 2016: Black Carbon Column Massa Density, Giovanni,
http://giovanni. sci. gsfc. nasa.
gov/giovanni/#service=TmAvMp&starttime=&endtime=&bbox=-180,-
90,180,90&data=M2TMNXAER_5_12_4_BCCMASS&variableFacets=d
ataFieldDiscipline%3AAerosols%3BdataFieldMeasurement%3ABlack
%20Carbon%3B
Ramanathan, V., and G. Carmichael, 2008: Global and regional climate
changes due to black carbon. Nature, 1, 221-227.
Steiner, A. , 2009: A Major Scientific Study on Black Carbon
Intercomparison. Black Carbon e-Bulletin, The United Nations
Environment Programme (UNEP) in collaboration with the Science
Team of Atmospheric Brown Cloud (ABC), Volume 1, Number 2.
Sofiati, I., Sinatra, T. , 2012: Analisis polutan saat kebakaran hutan
serta kaitannya dengan fenomena ElNino di Palangkaraya-
Kalimantan Tengah, Lingkungan Tropis, Vol 6, No. 1, 41-50.
Susanto A., 2015. Apa yang paling banyak menyebabkan kebakaran
hutan di Indonesia?, http://www. rappler. com/indonesia/104764-
kebakaran-hutan-indonesia-cifor
Zhang, H. , and Z. Wang, 2011: Advances in the Study of Black Carbon
Effects on Climate. Advances in Climate Change Research 2(1), 23-
30. DOI: 10. 3724/SP. J. 1248. 2011. 00023.
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
88
PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA
SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016
Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono
Peneliti Ilmu Lingkungan Atmosfer
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
e-mail: saipulh@yahoo. com
ABSTRACT Solar eclipse is occured when moon cover solar disk, and blocks solar radiation toward the earth. Shifting of solar irradiation pattern caused by solar eclipse has been studied in Bandung and Pasuruan. Incoming solar radiation of ultraviolet A, B, and global are measured for this purpose. The shifting of solar irradiation pattern has been observed in Pasuruan, whereas in Bandung is not observed. The shifting is shown by increasing of rasio of UV-A/Global intensity as well 4. 5% on full eclipse. On March 9th Solar Eclipse, decreasing of global solar radiation in Bandung and Pasuruan is 425. 19 kJ/m2 and 863. 28 kJ/m2 respectively. Also, it has been observed delay of increasing surface temperature related to average surface temperature in 8 days (before and after) at solar eclipse. Keywords : solar spectrum, solar eclipse, incoming solar
radiation
ABSTRAK
Gerhana matahari terjadi ketika bayangan bulan menutupi
piringan matahari dan menyebabkan terhalangnya sinar matahari yang menuju bumi. Pengaruh gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016 terhadap pergeseran pola intensitas radiasi matahari diamati
di Bandung dan Pasuruan melalui pengukuran insolasi ultraviolet A, ultraviolet B, dan insolasi global matahari. Diperoleh hasil bahwa di Pasuruan teramati pergeseran pola intensitas radiasi matahari sedangkan di Bandung tidak teramati. Pergeseran ini ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Diperoleh juga penurunan intensitas radiasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar 425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret 2016. Teramati pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana). Kata-kunci: spektrum matahari, gerhana matahari, insolasi
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
89
1 PENDAHULUAN
Gerhana matahari merupakan peristiwa alam biasa, yang tidak
ada gejalanya tetapi kejadiannya dapat diperhitungkan dengan tepat
dan memiliki dampak pada bumi. Berbeda dengan gempa dan gunung
meletus yang ada gejala awalnya, tetapi kejadiannya tidak dapat
diprediksi. Gerhana matahari terjadi saat posisi bulan terletak di
antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh
cahaya matahari (Dermawan dkk., 2015). Jika bulan menutupi
sebagian cahaya matahari maka disebut sebagai gerhana matahari
sebagian, dan gerhana matahari total terjadi ketika seluruh cahaya
matahari tertutup oleh bulan. Pada peristiwa gerhana matahari, sinar
matahari di puncak atmosfer mengalami pelemahan, bahkan mencapai
nol untuk daerah yang dilintasi bayangan umbra.
Gambar 1. Spektrum radiasi matahari dari spektrum ultraviolet
hingga infra merah jauh dan gelombang elektromagnetik lainnya (https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing. png).
Pancaran energi radiasi matahari mengikuti kaidah black body
radiation, distribusi Planck, serta hukum pergeseran Wien (Planck,
1901). Spektrum radiasi matahari terdiri dari sinar dengan panjang
gelombang kurang dari 1 nm sampai gelombang radio dengan panjang
gelombang sampai ratusan kilometer, dan puncak maksimum
intensitas terjadi pada panjang gelombang (400 -700) nm, bersesuaian
dengan temperatur matahari sekitar 6000 K. Semua panjang
gelombang tersebut tidak sampai ke permukaan bumi hanya sinar
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
90
tampak dan gelombang radio yang mampu menembus atmosfer bumi,
sedangkan sinar tidak mampu menembus atmosfer bumi.
Intensitas radiasi yang sampai ke terrestrial bumi dipengaruhi
oleh jarak matahari-bumi yang mengalami siklus dalam satu tahun,
dan aktivitas matahari memiliki siklus 11 tahun. Radiasi matahari
yang diterima di puncak atmosfer bumi adalah sebesar 1360 W/m2 dan
rata-rata setengah dari nilai tersebut diterima di permukaan bumi
setelah mengalami proses pemantulan dan penyerapan oleh awan
(Handoko, 1993). Radiasi yang diterima di permukaan bumi nilainya
bervariasi terhadap letak lintang, keadaan atmosfer di tempat tersebut,
faktor ketinggian tempat, serta sudut zenith matahari (sudut yang
dibentuk antara garis vertikal pada lokasi tersebut dan arah datangnya
sinar matahari) (Hanggoro, 2011).
Pengaruh utama dari gerhana matahari adalah pada radiasi
matahari, yang selanjutnya berpengaruh terhadap parameter
meteorologi lain, diantaranya adalah suhu, tekanan udara, kelembapan
relatif, dan angin (Anderson dkk., 1972; Gonzales, 1997; Aculinin and
Smicov, 2006). Terhalangnya radiasi matahari selama berlangsungnya
proses gerhana matahari memberikan dampak pada perubahan
struktur dan dinamika atmosfer pada daerah yang dilintasi gerhana
(Sartika, dkk., 2015).
Ketika terjadi gerhana matahari total ataupun mendekati total,
maka penampang matahari dari inti sampai kromosfer tertutup oleh
bulan, tetapi tidak sampai menutup bagian korona. Bagian korona
memiliki temperatur yang lebih tinggi dari kromosfer, bahkan
temperatur kromosfer dapat mencapai 10. 000 K. Radiasi yang
dipancarkan oleh seluruh sistem matahari dengan temperatur rata-rata
mendekati 6. 000 K memiliki intensitas spektrum dengan intensitas
maksimum pada daerah cahaya tampak sebagaimana digambarkan
pada Gambar 1. Oleh karena itu ada kemungkinan jika hanya bagian
korona dengan temperatur sampai 10. 000 K yang radiasinya sampai
ke permukaan bumi, maka pola intensitas radiasi maksimum yang
sampai ke permukaan bumi bergeser dari cahaya tampak ke arah
radiasi ultraviolet. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya
pergeseran pola intensitas radiasi matahari dan pengurangan
intensitas radiasi matahari pada saat terjadinya gerhana matahari
2016, serta dampaknya pada perubahan temperatur di Bandung dan
Pasuruan.
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
91
2 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan adalah radiasi UV-A (300-400) nm, UV-B
(280 – 315) nm, dan radiasi global (semua panjang gelombang). Lokasi
pengamatan di Bandung (6°53'40"LS; 107°35'12"BT) dan Pasuruan
(7°34'0"LS ; 112°40'37"BT). Waktu dan durasi gerhana di kedua
tempat tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Waktu gerhana matahari
Bandung Pasuruan
Awal gerhana 6:19:55 WIB 6:21:20 WIB Puncak gerhana 7:21:45 WIB 7:25:45 WIB Akhir gerhana 8:32:06 WIB 8:39:12 WIB
Maksimum gerhana 86 % 82 %
Sumber: http://eclipse. gsfc. nasa. gov/SEgoogle/SEgoogle2001/ SE2016Mar09Tgoogle. html
Pendekatan persamaan untuk menghitung sudut zenith () yang
menentukan besarnya intensitas radiasi matahari sampai ke
permukaan bumi, dituliskan pada persamaan (1).
)cos()cos()cos()sin()sin()(cos (1)
Dengan adalah derajat lintang posisi Bandung (6°53'40"LS = -6,89°)
dan Pasuruan (7°34'0"LS = -7,67°) , adalah sudut jam matahari
nilainya setiap 15° setara dengan satu jam dan dengan acuan 0 pada
jam 12. 00 waktu matahari, dan adalah sudut deklinasi matahari
dirumuskan sebagai berikut, dengan N adalah Julian day:
𝛿 = 23,45 𝑠𝑖𝑛 (284+𝑛
365) (2)
Korelasi antara waktu matahari (Tsol) dan waktu setempat (Tloc =
WIB) adalah ditunjukkan pada persamaan (3).
menitEoTTT stdloclocsol 4 (3)
Dengan :
Tsol : waktu matahari,
Tloc : waktu setempat (WIB)
EoT : equation of time
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
92
loc : bujur setempat (104,73 BT)
std : bujur standar waktu (105 BT)
Equation of time menurut Lunde dalam Naima dan Majeeb (2011)
dirumuskan dengan persamaan (4):
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−1
28,648) − 5, 1 < 𝑛 < 100 (4a)
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−1
28,648) − 5, 1 < 𝑛 < 100 (4b)
𝐸𝑜𝑇(𝑛) = 18,6 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−242
39,248) − 2, 243 ≤ 𝑛 ≤ 366 (4c)
Untuk mengetahui adanya pergeseran pola intensitas radiasi
matahari, digunakan perbandingan intensitas radiasi UV-A terhadap
radiasi global (UV-A/Global). Jika pada saat gerhana tidak ada
perubahan nilai perbandingan (rasio), maka diartikan tidak ada
pergeseran pola intensitas radiasi matahari. Sebaliknya, jika terjadi
perubahan nilai perbandingan antara radiasi UV-A terhadap radiasi
global maka terjadi pergeseran pola intensitas radiasi matahari.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sudut zenith dan hasil perhitungan sudut zenith menggunakan
persamaan (1) – (4) di Bandung dan Pasuruan selama persitiwa
gerhana matahari ditunjukkan pada Gambar 2. Pada jam yang
bersamaan, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar
dibandingkan dengan di Pasuruan. Hal ini karena posisi geografis
(meredian) Pasuruan lebih Timur dibandingkan dengan posisi
Bandung. Semakin tinggi elevasi matahari maka semakin kecil sudut
zenith yang terbentuk, dan sudut zenith mencapai nol derajat saat
matahari berada pada kulminasinya. Untuk mencapai sudut zenith
yang sama maka terjadi penundaan waktu kira-kira satu jam untuk
Kota Bandung.
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
93
Gambar 2. Besarnya sudut zenith matahari selama terjadi gerhana matahari di Bandung dan Pasuruan.
Perubahan insolasi pada spektrum UV-A, UV-B, dan radiasi
global pada saat terjadi gerhana matahari tanggal 9 Maret di Pasuruan
dan Bandung ditunjukkan pada Gambar 3. Insolasi rata-rata dihitung
pada 8 hari sebelum dan 8 hari setelah gerhana matahari, dan di
dalam rentang waktu ini sudut zenith matahari dianggap tidak berubah
secara signifikan pada jam yang sama. Analisa dilakukan pada rentang
waktu pukul 05:00 hingga 10:00 yaitu saat terjadinya gerhana
matahari seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Radiasi matahari yang diterima oleh bumi disebut sebagai
insolasi (insolation = incoming solar radiation) yang tersebar pada pita
panjang gelombang yang disebut spektrum matahari. Meskipun
spektrum matahari sangat lebar namun puncak energi dan sebagian
besar energi radiasi total terletak pada batas cahaya tampak yang
sangat sempit (Tjasyono, 2008). Insolasi yang sampai ke permukaan
bumi berbanding terbalik dengan sudut zenith matahari. Semakin kecil
sudut zenith matahari maka semakin besar insolasi. Ketika terjadi
gerhana matahari, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar
daripada di Pasuruan, maka insolasi rata-rata pada jam yang
bertepatan dengan gerhana matahari di Pasuruan lebih besar daripada
di Bandung sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini berdampak
juga pada pelemahan energi radiasi akibat gerhana matahari di
Pasuruan lebih besar daripada di Bandung, meskipun maksimum
gerhana di Pasuruan lebih kecil daripada di Bandung. Perhitungan
pada Tabel 2 tidak mempertimbangkan penutupan awan di kedua
tempat tersebut.
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
94
Pasuruan Bandung
UV
-A
UV
-B
Radia
si G
lobal
Gambar 3. Perubahan insolasi di Pasuruan dan Bandung
pada saat gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016.
Tabel 2. Pelemahan energi radiasi matahari akibat gerhana.
Bandung Pasuruan
Radiasi UV-A (kJ/m2) 27,55 53,14 Radiasi UV-B (kJ/m2) 0,32 1,41 Radiasi global (kJ/m2) 425,19 863,28
Perbandingan insolasi UV-A terhadap insolasi global (UV-
A/Global), dan insolasi UV-B terhadap insolasi global (UV-B/Global)
pada saat gerhana dan rata-ratanya dalam 8 hari (sebelum dan
sesudah gerhana) ditunjukkan pada Gambar 4. Daerah yang dibatasi
oleh persegi empat berwarna gelap adalah saat terjadinya gerhana
matahari. Pembahasan pergeseran pola intensitas radiasi matahari
dilakukan pada daerah berwarna gelap ini.
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
95
Pasuruan Bandung U
V-A
/G
lobal
UV
-B/G
lobal
Gambar 4. Perbandingan antara insolasi UV-A dan UV-B
terhadap insolasi global di Pasuruan dan Bandung.
Insolasi UV-A yang sampai ke permukaan bumi sebanding
dengan insolasi global. Hal ini ditunjukkan oleh nilai perbandingan
antara insolasi UV-A dan insolasi global yang bernilai hampir konstan.
Gambar 4 juga menunjukkan bahwa dalam satu hari perbandingan
UV-A/global memiliki variabilitas yang tinggi. Hal ini disebabkan
adanya penyerapan UV-A untuk reaksi fotokimia di atmosfer. Selain
itu, disebabkan juga oleh adanya dinamika aktivitas matahari. Pada
saat terjadinya penutupan matahari oleh bulan, di Pasuruan teramati
adanya pergeseran pola intensitas radiasi matahari ke arah pita UV-A.
Hal ini ditunjukkan oleh rasio UV-A/Global pada saat gerhana
matahari meningkat sekitar 4,5 %. Pada waktu puncak gerhana
matahari, rasio UV-A/Global juga meningkat tinggi. Kejadian seperti di
Pasuruan tidak terjadi di Bandung. Pada saat gerhana matahari justru
rasio UV-A/Global menurun sekitar 2,1 %. Pergeseran pola intensitas
ke arah pita ultraviolet tidak teramati di Bandung. Kondisi ini diduga
karena reaksi fotokimia yang tinggi dari polutan-polutan reaktif di
troposfer. Intensitas UV-B yang sampai ke permukaan bumi akan
menjadi semakin besar jika radiasi total yang sampai ke permukaan
bumi juga besar, yang berarti kemampuan lapisan ozon menyerap UV-
B tidak sebanding dengan intensitas radiasi UV-B yang menembus
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
96
stratosfer, tetapi memiliki kapasitas tertentu dalam penyerapannya.
Dilihat dari melemahnya insolasi UV-A, UV-B, dan global di
Bandung dan Pasuruan (Tabel 2), perbandingan pelemahan insolasi
UV-A dan insolasi global di kedua tempat pengamatan memiliki
perbandingan yang hampir sama, yaitu di Bandung sekitar 2 kalinya di
Pasuruan, sementara untuk insolasi UV-B di Pasuruan sekitar empat
kalinya di Bandung. Hal ini menunjukkan adanya reaksi penyerapan
UV-B yang kompleks di atmosfer, khususnya dalam reaksi fotolisis
ozon stratosfer.
Gambar 5. Penurunan suhu permukaan saat terjadinya gerhana
matahari (9 Maret) dibandingkan dengan rata-rata 8 hari sebelum dan sesudah kejadian gerhana.
Selain mengamati terjadinya penurunan intensitas insolasi,
diamati juga penundaan kenaikan suhu pada saat terjadinya gerhana
matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum
dan sesudah gerhana). Gambar 5 menunjukkan penundaan kenaikan
suhu. Penundaan kenaikan suhu pada pagi hari disebabkan gagalnya
matahari memanasi atmosfer bumi karena terhalang oleh bayangan
bulan. Di Bandung, penundaan kenaikan suhu mulai terlihat sejak
pukul 6:30 ketika bulan mulai menutupi piringan matahari, dan tidak
terjadi kenaikan suhu yang signifikan hingga pukul 7:30. Setelah
puncak gerhana yang dibarengi dengan semakin berkurangnya sudut
zenith matahari, hal yang berbeda terjadi di Pasuruan yang daerahnya
hanya dilintasi oleh penumbra. Penurunan suhu mulai terjadi pada
pukul 07:20 dan mulai meningkat lagi secara normal pada pukul
08:00. Penundaan yang sangat singkat ini disebabkan karena
Pasuruan hanya dilalui oleh bayangan penumbra yang menyisakan
sedikit insolasi untuk memanasi atmosfer bumi. Selain itu, dengan
posisinya yang lebih ke timur menyebabkan sudut zenith matahari
sudah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Bandung.
15
20
25
30
35
5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00
tem
pera
tur
(°C
) Bandung
rata-rata9-Mar
Waktu (WIB)
15
20
25
30
35
5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00
tem
pera
tur
(°C
) Pasuruan
rata-rata
9-Mar
Waktu (WIB)
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
97
4 KESIMPULAN
Pergeseran pola intensitas radiasi matahari teramati di Pasuruan
selama gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016. Pergeseran ini
ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap
global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Sebaliknya, pergeseran
spektrum matahari tidak teramati di Bandung, bahkan terjadi
penurunan rasio sebesar 2,1%. Selain itu, diperoleh juga penurunan
insolasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar
425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret
2016. Diketahui pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat
terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata
dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat Sains dan
Teknologi Atmosfer Bandung dan Balai Pengamatan Atmosfer dan
Antariksa Pasuruan yang telah menyediakan data pengamatan untuk
digunakan di dalam tulisan ini, rekan-rekan peneliti di Subpoklit
Lingkungan Atmosfer atas diskusinya, serta para reviewer yang telah
banyak menyumbang pemikiran, membantu dalam pengolahan data,
diskusi dan konsultasi, serta saran.
DAFTAR RUJUKAN
Aculinin, V. Smicov, 2006: Ground-Based Observation of Shortwave
Solar Radiation During Solar Eclipse on October 3, 2005 in
Chicinau, Moldova. Moldovian Journal of The Ohysical Science, 5.
Anderson, R. C. , Keefer, D. R. , Myers, O. E. , 1972: Atmospheric
Pressure and Temperature Changes during The 7 March 1970 Solar
Eclipse. Atmospheric Science, 29, 583-587.
Dermawan, A. , E. S. Mumpuni, R. Priyatikanto, J. Murjaya, 2015:
Gerhana Matahari Total 2016: Informasi dari Bidang Ilmiah
mengenai Persiapan dan Pelaksanaan Pengamatan, Media
Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169.
Gonzales, G. , 1997: Ground Level Humidity, Pressure and Temperature
Measurement during The October 24, 1995 Total Solar Eclipse.
Kodaikanal Obs. Bull. ,113, 151-154.
Handoko, 1993: Klimatologi Dasar. Bogor. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi IPB.
Hanggoro, W. , 2011: Pengaruh Intensitas Radiasi Saat Gerhana
Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.
98
Matahari Cincin Terhadap Beberapa Parameter Cuaca, Jurnal
Meteorologi dan Geofisika, Vol 12 Nomor 2, 137-144.
Naima, F. , Majeed, B. A. , 2011: Spline-Based Formula for the
Determination of Equation of Time and Declination Angle, ISRN
Renewable Energy, Vol. 2011. Article ID 217484, DOI:10.
5402/2011/217484.
Planck, M. , 1901: Distribution of Energy in The Spectrum. Annalen der
Physik, vol 4. , 553-563.
Sartika, F. Mumtahana, 2015: Gerhana Matahari dan Dampaknya pada
Atmosfer Bumi, Media Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169.
Tjasyono, B. , Meteorologi Indonesia Volume I Karakteristik dan Sirkulasi
Atmosfer, Badan Meteorologi dan Geofisika, pp. 100.
http://eclipse. gsfc. nasa.
gov/SEgoogle/SEgoogle2001/SE2016Mar09Tgoogle. html
https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing.
png (diunduh tanggal 30 September 2016).
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
99
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN
DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT)
BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL
Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
e-mail: s_berlianasipayung@yahoo. com
ABSTRACT This paper emphasizes the importance of the analysis of climate change impact that occurred in the Cimanuk Watershed, West Java. It is related to the needed of fast and reliable information of past, present, and future rain fall based on Climate Research Unit (CRU) and Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) monthly data analysis for 104 years (1901-2014). The analysis is focused on drought frequency in that region using Standard Index Precipitation (SPI) methods. SPI is one of drought indicator in a region. Analyses were conducted per each 30 years observation, namely 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, and 1991-2014 takes 24 years for Pamegatan and Cimanuk stations. The result show that there has been a drought for both of them, but relatively stable in 60-65 event since 1901-1990. Significant changes occured from 1991 to 2014, where the drought decreased until 56 events. This indicates that dry season in Cimanuk Watershed is decrease or rain season is increase. Meanwhile, SPI analysis show that only 3-month period SPI is most suitable for describing the highest of dry and rain
seasons in Cimanuk Watershed. Keywords : Climate Change, SPI, and Cimanuk Watershed
ABSTRAK
Makalah ini menekankan pentingnya analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Hal ini terkait dengan adanya satu kebutuhan informasi yang cepat dan tepat tentang kondisi curah hujan di masa lalu, kini dan mendatang. Berbasis hasil analisis data Climate Research Unit (CRU) dan Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) selama 104 tahun pengamatan (1901-2014) rata-rata bulanan data in-situ dan data luaran model. Analisis difokuskan pada frekuensi kejadian kekeringan di kawasan tersebut menggunakan teknik/metode Standard Precipitation Index (SPI) yang merupakan salah satu indikator terjadinya kekeringan di suatu wilayah. Analisis
dilakukan setiap 30 tahun pengamatan yang dibagi menjadi 3 periode, yakni periode 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, dan satu periode lagi yang lamanya hanya 24 tahun (1991-2014) masing-masing untuk Stasiun Pamegatan dan Cimanuk. Hasilnya menunjukkan bahwa memang telah terjadi kekeringan di dua
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
100
stasiun tersebut, tetapi relatif stabil yakni berkisar 60-65 kali sejak 1901-1990. Perubahan signifikan terjadi sejak 1991 hingga 2014, dimana terjadinya penurunan kekeringan hingga mencapai sekitar 56 kejadian kekeringan. Ini mengindikasikan jika di DAS Cimanuk tren musim kemaraunya berkurang atau kecenderungan terjadinya musim penghujan bertambah. Sementara dari SPI diperoleh hanya SPI periode 3 bulanan saja yang relatif paling sesuai menggambarkan musim kemarau dan basah paling tinggi yang terjadi di kawasan tersebut.
Kata kunci : Perubahan iklim, SPI dan DAS Cimanuk
1 PENDAHULUAN
Ada satu kebutuhan nasional yang sangat dinantikan oleh Pusat
Air (PUSAIR), yakni analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di
beberapa waduk yang terdapat di Jawa Barat. Hal ini penting
dilakukan, karena informasi yang cepat, tepat dan akurat terkait
dengan ketersediaan air di beberapa waduk yang terdapat di Jawa
Barat, baik masa kini ataupun mendatang penting untuk menjaga
stabilitas produksi tanaman pangan, khususnya padi yang ditanam di
Jawa Barat.
Sebagaimana diketahui, perubahan iklim didefinisikan sebagai
indikasi atau tanda-tanda meningkatnya suhu rata-rata di permukaan
bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur iklim
lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di
udara, yang pada akhirnya dapat mengubah pola curah hujan di suatu
wilayah (IPCC, 2007). Perubahan iklim dapat terjadi karena proses
alam internal maupun aktivitas manusia yang terus-menerus (IPCC,
2007). Perubahan tata guna lahan dan industrialisasi adalah salah
satu pemicu penyebab perubahan iklim. Perubahan tata guna lahan
memicu berubahnya komposisi atmosfer, salah satunya adalah
konsentrasi karbon dioksida (CO2). Peningkatan konsentrasi CO2
sebanyak dua kali lipat diperkirakan akan meningkatkan suhu bumi
sebesar 1,4-5,8°C (IPCC, 2001).
Analisis perubahan iklim membutuhkan data dengan rentang
waktu yang panjang. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran
(in-situ), satelit, maupun proyeksi luaran model iklim. Sebagai contoh,
data observasi dengan periode 1906–2005 menunjukkan rata-rata suhu
permukaan global meningkat dengan laju 0,74°C ± 0,18° telah
mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat, termasuk di
Indonesia (IPCC, 2007). Data satelit juga dapat digunakan untuk kajian
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
101
perubahan iklim. Analisis data satelit Tropical Rainfall Measuring
Mission (TRMM) dalam Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap
(ICCSR) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan
peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di
wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan)
(Bappenas, 2010).
Suhu permukaan udara di keseluruhan Asia telah meningkat
sekitar 1-3°C selama satu abad terakhir (Cruz dkk., 2007). Hulme dan
Sheard (1999), menemukan bahwa Indonesia lebih hangat sejak tahun
1900 dan suhu rata-rata tahunannya telah meningkat sekitar 0,3°C.
Kenaikan suhu sebesar 0,2-0,3 °C per dekade juga disampaikan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH, 2012).
Perubahan iklim juga mempengaruhi curah hujan. Kenaikan
curah hujan untuk periode Desember–Januari–Februari (DJF) terjadi di
hampir seluruh Pulau Jawa dan Indonesia bagian tengah seperti Bali,
NTB, dan NTT. Berdasarkan data historis perubahan per tahun
menunjukkan peningkatan suhu di Jakarta dan Bogor (Hidayati, 1990),
sedangkan sebagian besar wilayah Indonesia suhu mengalami
penurunan (Hidayati dkk., 2009).
Indikator perubahan iklim lainnya adalah keterlambatan musim
hujan tahunan 30-hari, dengan kategori 10% kenaikan curah hujan di
musim tanam (April-Juni), dan 75% penurunan curah hujan di musim
kemarau (Juli-September) (Hulme and Sheard, 1999; Boer and Faqih,
2004; Naylor dkk., 2007).
Hasil proyeksi dengan menggunakan data luaran model skenario
diketahui bahwa telah terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia
kecuali di Indonesia bagian selatan (Hulme and Sheard, 1999). Boer
and Faqih (2004); Naylor. dkk. (2007). Hasil proyeksi ke depan juga
menyebutkan kenaikan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-
pulau, kecuali di Indonesia bagian selatan, yang menurun hingga 15%.
Perubahan musiman curah hujan di sebagian Sumatera dan
Kalimantan sekitar 10-30% lebih basah di tahun 2080 selama periode
Desember-Februari, sedangkan Jakarta diproyeksikan lebih kering
sekitar 5 sampai 15% selama Juni-Agustus (KLH, 2012). Indonesia
yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi (banjir,
kekeringan, tanah longsor, dan angin puting beliung) yang disebabkan
oleh perubahan iklim harus tanggap untuk melakukan langkah-
langkah mitigasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dampak
peningkatan suhu 2°C di atas tingkat pra-industri (WWF, 2007).
Untuk pertama kalinya pada tahun 2016 air Waduk Jatigede
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
102
yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk mulai digunakan
untuk mengairi areal pesawahan di daerah pantai utara (pantura),
seperti Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Waduk Jatigede
(Sumedang) dianggap mampu menyuplai air ke daerah pantura dalam
beberapa tahun ke depan dan mampu mengairi Daerah Irigasi seluas
90. 000 ha, yang mencakup Kab. Indramayu, Cirebon, Majalengka dan
sekitarnya. Waduk Jatigede nantinya juga akan difungsikan untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas terpasang
(install capacity) sebesar 110 MW. PLTA akan dikelola oleh Perusahaan
Litrik Negara (PLN) (http://sumedangonline. com/).
DAS Cimanuk merupakan salah satu penopang utama sumber
daya air di Jawa Barat yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu sub-DAS
Cimanuk Hulu, sub-DAS Cimanuk Tengah dan sub-DAS Cimanuk
Hilir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak
perubahan iklim, khususnya curah hujan dan temperatur yang terjadi
di DAS Cimanuk, Jawa Barat berbasis hasil analisis data CRU dan
model dengan menggunakan metode Standard Precipitation Index (SPI).
2 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan adalah data curah hujan dan temperatur
dari tahun 1901 hingga 2014 (diwakili lokasi Pamegatan dan Cimanuk)
yang diperoleh dari Climate Research Unit (CRU). Sebagai data koreksi
digunakan data satelit dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM),
data luaran model dari Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) dan
data in-situ (dari stasiun klimatologi). Data CRU dan luaran model
bulanan digunakan untuk melihat pola perubahan iklim dan indeks
kekeringan berdasarkan nilai ambang batas (threshold ± 1). Periode
data CRU sudah lebih dari 30 tahun sehingga cukup representative
digunakan untuk analisis perubahan iklim. Lokasi penelitian adalah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk (Jawa Barat) yang terletak pada
koordinat (6,20 LS – 7,450 LS dan 107,60 BT -108,80 BT). Gambar 1
menyajikan lokasi penelitian dan peta penggunaan lahan di DAS
Cimanuk yang didominasi oleh sawah tadah hujan, sawah irigasi dan
tegalan.
Metode yang digunakan mengacu pada analisis perubahan iklim
konsep dari Naylor (2007). Selain itu juga menggunakan metode
Standard Precipitation Index (McKee dkk., 1993). Metode SPI digunakan
untuk mengetahui suatu daerah mengalami kekeringan atau tidak. SPI
merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menghitung indeks
presipitasi yang menjelaskan kondisi anomali basah dan anomali kering
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
103
dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah dengan
memperhitungkan input presipitasi sebagai data utamanya dan tidak
memperhitungkan parameter lain dan telah digunakan di lebih dari 60
negara (Svoboda, 2009).
Gambar 1. Kondisi lokasi penelitian dan penggunaan lahan di
DAS Cimanuk
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan salah satu dari
beberapa DAS yang terdapat di Jawa Barat. DAS Cimanuk memiliki
luas 347. 697 ha yang mencakup wilayah administrasi Kabupaten
Garut, Sumedang, Majalengka dan Indramayu. DAS Cimanuk memiliki
curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Berdasarkan analisis data curah
hujan stasiun klimatologi yang terletak di DAS Cimanuk selama
periode 1901-2014 menghasilkan, bahwa DAS Cimanuk mempunyai
pola curah hujan tahunan tipe monsunal. Gambar anomali curah
hujan, wavelet, spektrum daya wavelet dan variansi curah hujan
bulanan DAS Cimanuk diwakili dua stasiun yaitu stasiun Cimanuk
(atas) dan Pamegatan (bawah) disajikan dalam grafik time series pada
Gambar 2a, 2b, 2c dan 2d.
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
104
Gambar 2. Anomali (a), wavelet power spectrum (b), spektrum
daya wavelet (c), dan variansi rata-rata fenomena 2-8
tahunan (d), curah hujan bulanan
Gambar 2. a Cimanuk, merupakan anomali yang berbentuk
gelombang memiliki karakteristik durasi waktu terbatas dan rata-
ratanya nol (0) dengan garis vertikal antara positip lima dan minus lima
menggunakan dekomposisi waktu frekuensi. Gambar 2. b dan c
Cimanuk merupakan transformasi wavelet yang dapat digunakan
untuk menganalisis mode variabilitas dominan dan variansinya
terhadap waktu dengan mendekomposisi deret waktu ke dalam domain
waktu frekuensi (Torrence dan Compo, 1998). Kejadian yang
mendominasi besarnya curah hujan di Cimanuk berdasarkan data CRU
pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh fenomena 3 tahunan
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
105
(interannual) yang kemungkinan adalah fenomena IOD atau ENSO (Saji
and Yamagata, 1999) di Pamegatan dan Cimanuk. Berdasarkan hasil
plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8 tahunan mencapai
variansi yang tinggi tahun 1916, 1948, 1978, 1982, dan 1992 (Gambar
2.d, Cimanuk).
Kejadian yang mendominasi besarnya curah hujan di Pamegatan
berdasarkan data CRU pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh
fenomena 3 tahunan (interannual) (Gambar 2.b, Pamegatan), fenomena
kejadian sama dengan di Cimanuk (Gambar 2.c Pamegatan).
Berdasarkan hasil plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8
tahunan mencapai variansi yang tinggi tahun 1913, 1925, dan 1992
(Gambar 2.d, Pamegatan). Hal ini terlihat bahwa pola curah hujan dari
analisis power spectrum daya (PSD) wavelet, memberikan hasil yang
sama pada fenomena dan konsisten dalam melihat periode osilasinya
dari masing-masing kedua stasiun.
Tabel 1 merupakan koefisien korelasi antara curah hujan
bulanan antara data stasiun, CRU dan model yang diwakili di stasiun
Cimanuk dan Pamegatan. Hasil analisis koefisien korelasi (r)
menunjukkan besarnya r antara 0,5 – 0,87. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara keempat (4) data terdapat korelasi yang baik.
Tabel 1. Koefisien Korelasi Antara Berbagai Data Curah Hujan
Bulanan di DAS Cimanuk
Korelasi Curah Hujan Bulanan di DAS Cimanuk
Stasiun Cimanuk Stasiun Pamegatan
Sta vs CRU
Sta vs TRMM
CRU vs TRMM
Sta vs CCAM
Sta vs CRU
Sta vs TRMM
CRU vs TRMM
Sta vs CCAM
0. 55 0. 68 0. 87 0. 58 0. 68 0. 79 0. 87 0. 72
Berdasarkan data dari CRU TS3. 23 selama periode 1901-2014,
menunjukkan rata-rata kenaikan dan penurunan curah hujan di
Indonesia yang lebih rincinya dapat dilihat per periode 30 tahunan
1901-1930, 1931-1960, 1961-1990 dan periode 1991-2014. Selama
periode 30 tahunan, curah hujan menunjukkan bervariasi. Curah
hujan mengalami peningkatan dan penurunan selama 30 tahunan
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.a dan 3.b di stasiun Cimanuk dan
Pamegatan. Berdasarkan kedua gambar, pada periode pertama (1901-
1930) terjadi penurunan curah hujan sebesar 4,46 mm, sebaliknya
pada periode kedua (1931-1960) terjadi peningkatan sebesar 9,80 mm
sedangkan periode ketiga (1961-1990) dan keempat (1991-2014)
sebesar -3,9 (menurun) dan 2,79 mm (meningkat).
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
106
Gambar 3. Tren curah hujan rata-rata per 30 tahunan wilayah
daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Menurut IPCC (2007), bahwa suhu global berdasarkan data
historis mengalami kenaikan hingga mencapai antara 0,74 ± 0,18
derajat Celsius. Hasil analisis dilakukan terhadap data suhu
observasi global yang disusun oleh Climate Research Unit dari
University of East Anglia (CRU, 2008) diterapkan untuk stasiun
Cimanuk dan Pamegatan seperti yang tercantum pada Gambar 4.a
dan 4.b. Berdasarkan analisa data dari CRU, ke dua lokasi
(Cimanuk dan Pamegatan) menunjukkan peningkatan suhu yang
tidak jauh beda. Hal ini menunjukkan bahwa data CRU TS3. 23
mempunyai resolusi rendah.
a
b
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
107
Gambar 4. Tren temperatur rata-rata per 30 tahunan untuk
wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Gambar 5 menyajikan frekuensi curah hujan untuk 4 periode di
Cimanuk hulu. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa grafik
frekuensi curah hujan pada kategori 100-500mm (warna merah) terjadi
penurunan. Selain itu periode data pada tahun 1991-2014 terdiri dari
24 tahun namun terdapat perubahan signifikan (warna hijau) yaitu
frekuensi tertinggi yaitu diatas >500mm, artinya telah terjadi
perubahan iklim dan berdampak pada peningkatan curah hujan.
Gambar 5. Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu
0
200
400
1901-1930 1931-1960 1961-1990 1991-2014
Fre
kue
nsi
Perioda
Grafik Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu
<100 100-500 >500
a
b
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
108
Perubahan curah hujan dan temperatur spasial DAS Cimanuk
berbasis model CCAM dapat ditunjukkan pada Gambar 6a, b dan c dan
7a, b dan c yaitu anomali curah hujan dan temperatur rata-rata 2040-
2069 terhadap rata-rata baseline tahun 1971 -2000. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa dari anomali curah hujan dan temperatur
pada Gambar 6c dan 7c terjadi perubahan iklim ditinjau dari rata-rata
baseline tahun 1971-2000 seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan
akan berdampak terhadap kekeringan di DAS Cimanuk itu sendiri.
Anomali curah hujan dan temperatur dari tahun 1971 hingga 2000
dibandingkan dengan 2040-2069 mempunyai pola yang sama di
Cimanuk Hulu yaitu terjadi peningkatan.
Gambar 6. Perubahan curah hujan spasial dan anomali rata-rata
2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971-2000 DAS Cimanuk
Gambar 7. Perubahan temperatur spasial dan anomali rata-rata
2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971 -2000 DAS Cimanuk
a b c
a c b
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
109
Tabel. 2. Perubahan curah hujan dan temperatur DAS Cimanuk yang diwakili stasiun Cimanuk dan Pamegatan
No Nama
stasiun Curah Hujan Temperatur
Perubahan
%
Perubahan Perubahan
%
Perubahan
1. Cimanuk -3. 8 9. 46% 2. 54 10. 80% 2. Pamegatan -3. 83 10. 97% 2. 68 11. 44%
Standard Precipitation Index (SPI) dirancang untuk dapat
mengkuantifikasi kondisi presipitasi dan menghitung kondisi kering
dan basah. Berdasarkan skala waktu presipitasi, SPI digolongkan ke
SPI-1 yang mengkuantifikasi kondisi presipitasi satu bulanan, SPI-3
untuk tiga bulan, SPI-6 untuk 6 bulan, SPI-12 untuk 12 bulan, dan
SPI-24 untuk 24 bulan. Pada kajian ini yang digunakan adalah SPI-3
dalam periode 30 tahunan yaitu untuk mengidentifikasi jumlah
kejadian bulan kering di wilayah Cimanuk dan Pamegatan. Hal ini
berkaitan dengan wilayah Indonesia yang beriklim tropis dan rata-rata
cuacanya berubah selama 3 bulan sekali seperti yang tercantum pada
Gambar 8.
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
110
Gambar 8. Gambar SPI curah hujan per 30 tahunan untuk
wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.
Perubahan iklim itu sendiri dipercaya dapat mempengaruhi
jumlah kejadian cuaca ekstrem di suatu wilayah dalam kurun waktu
tertentu. Gambar 9 menunjukkan bahwa baik di daerah Cimanuk dan
Pamegatan, frekuensi kejadian kekeringan meningkat dalam kurun
waktu 30 tahun. Pada kurun waktu 1901-1930, jumlah frekuensi
kejadian kekeringan di Cimanuk maupun di Pamegatan berkisar 58
kejadian. Pada tahun 1931-1960, frekuensi kejadian kekeringan
meningkat.
Gambar 9. Grafik frekuensi kejadian kekeringan menurut SPI-3
di Cimanuk dan Pamegatan
0
20
40
60
80
1901-1930 1931-1960 1961-1990 1991-2014
Frekuensi Kejadian Kekeringan Menurut SPI di Cimanuk dan Pamegatan
Pamegatan Cimanuk
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
111
Di daerah Cimanuk, jumlah frekuensi kejadian kekeringan
meningkat sebanyak 64 kejadian, di Pamegatan sekitar 62 kejadian.
Pada kurun waktu 1961-1990, jumlah kejadian kekeringan di dua
lokasi sama-sama meningkat menjadi 65 kejadian. Sedangkan pada 24
tahun terakhir, jumlah kejadian kekeringan yang sejauh ini terekam
adalah 46 kejadian di Pamegatan dan 48 kejadian di Cimanuk.
Pada Tabel 3, terdapat frekuensi kejadian bulan kering dan bulan
basah di Pamegatan dan Cimanuk, yang lebih spesifik adalah pada SPI
3 bulanan yaitu pada atribut yang berwarna merah. Berdasarkan Tabel
3 menunjukkan bahwa untuk menganalisis kondisi iklim kering dan
basah di lokasi Pamegatan dan Cimanuk adalah iklim tiga bulanan. Hal
ini disebabkan pada periode bulan tersebut terdapat kejadian kering
dan basah yang paling tinggi.
Tabel 3. Frekuensi kejadian bulan kering dan bulan basah di
Pamegatan dan Cimanuk
Pamegatan Cimanuk
Kering Basah Tahun Kering Basah
1 3 6 12 1 3 6 12 1 3 6 12 1 3 6 12
56 59 54 63 60 62 63 63 1901-1930
55 58 54 58 64 65 59 46
59 59 59 57 55 56 64 60 1931-
1960
60 62 60 48 53 64 53 47
61 65 61 67 60 58 46 57 1961-
1990
48 65 64 63 59 59 56 57
41 46 40 47 55 52 44 47 1991-
2014
40 48 42 37 41 42 38 47
4 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
memang telah terjadi dampak perubahan iklim di DAS Cimanuk yang
diwakili oleh Stasiun Cimanuk dan Pamegatan berupa kejadian musim
kering yang relatif konstan (stabil) antara 56-65 kejadian di sepanjang
periode 1901-1990. Kemudian mengalami degradasi (penurunan)
kejadian musim kering di dua stasiun tersebut mulai 1991-2014. Ini
mengindikasikan jika ada kecenderungan menaiknya musim basah
(hujan) sejak 1991-2014 dan perubahannya signifikan. Terjadinya
penurunan musim kemarau, diduga terkait erat dengan menaiknya
temperatur permukaan di kedua Stasiun tersebut sejak 1991-2014.
Hasil analisis berbasis SPI (Standard Precipitation Index) sebagai
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
112
indikator terjadinya kekeringan di kedua stasiun tersebut
menunjukkan ternyata hanya SPI 3 bulanan saja yang dianggap paling
sesuai menggambarkan terjadinya musim kemarau dan musim hujan
ekstrem selama periode tersebut (1901-2014).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sains
dan Teknologi Atmosfer atas fasilitas yang mendanai program tahun
anggaran 2016 dan Bapak Drs. Bambang Siswanto, MSi atas
diskusinya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan.
DAFTAR RUJUKAN
Bappenas 2010: Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap- ICCSR:
Basis Sintifik: Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Laut dan Cuaca
Ekstrim, edited by Bappenas, Republik Indonesia.
Boer, R. and A. Faqih. 2004: Current and Future Rainfall Variability in
Indonesia. In An Integrated Assessment of Climate Change Impacts,
Adaptation and Vulnerability in Watershed Areas and Communities
in Southeast Asia, Report from AIACC Project No. AS21 (Annex C,
95-126). International START Secretariat, Washington, District of
Columbia. http://sedac. ciesin. org/aiacc/ progress/ Final
Rept_AIACC_AS21. pdf.
Cruz, R. V. , H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y.
Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, 2007: Asia. Climate
Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of
Working Group II to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change, M. L. Parry, O. F.
Canziani, J. P. Palutikof, P. J. van der Linden and C. E. Hanson,
Eds. , Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.
CRU, 2008: Climate Research UnitTimes Series (TS) high resolution
gridded datasets, [Internet]. NCAS British Atmospheric Data Centre,
edited by I. H. (Phil Jones).
Hidayati, Rini, 1990: Kajian Iklim kota Jakarta, Perubahan dan
Perbedaan dengan daerah sekitarnya. Thesis Program Studi
Agroklimatologi. Institut Pertanian Bogor.
Hidayati, R. , A. Buono, A. Rakhman, Fitriyani, R. Boer. 2009: Health
Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation
Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National
Communication. Ministry of Environment and United Nations
Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.
113
Development Programme, Jakarta
Hulme and Sheard 1999: Climate Change Scenarios for Indonesia.
Climatic Research Unit, Norwich, UK, 6pp.
IPCC, 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for
Policymakers and Technical Summary of the Working Group II
Report. WMO-UNDP.
IPCC, 2007: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007:
Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [B. Metz, O. R. Davidson, P. R. Bosch, R. Dave, L. A. Meyer
(eds)], Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA.
KLH, 2012: Grand Design Penyelamatan Ekosistem Danau Indonesia,
Kementerian Lingkungan Hidup.
McKee, T. , Noland Doesken, dan John Kleist, 1993: The relationship of
drought frequency and duration to time scales. 8th Conference on
Applied Climatology, 17-22 January, Anaheim, CA, pp 179-184.
Naylor, R. L., D. S. Battisti, D.J.Vimont, W. P. Falcon, and M. S. Burke.
2007: Assessing risks of climate variability and climate change for
Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America 104(19):7752-7757.
Saji, H. Yamagata, T. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean.
Svoboda. 2009: Applying the Standardized Precipitation Index as a
Drought Indicator.
Torrence and Compo. 1998: A Practical Guide to Wavelet Analysis.
WWF (World Wide Fund For Nature). 2007: Climate Change: Why we
need to take action now. Available at http:// assets. panda.
org/ownloads/2_vs_3_degree_impacts_1oct06. pdf [Accessed 25
October 2007].
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
114
VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS
Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
tiin. sinatra@lapan. go. id
ABSTRACT The theme of this research is to study variation of upper tropospheric Ice Water Content (IWC) and water vapour (H2O) based on the Aura Microwave Limb Sounder (MLS) measurement. We also see the variation of IWC and H2O when La Niña was active identified by Sea surface temperature (SST) from AQUA/MODIS, southern oscillation index (SOI) and Niño 3.4 SST. We found that H2O and IWC increased significantly especially above Java Island during La Niña 2010 compared to 10-years climatological mean in dry season and
transition. Keywords : cloud, ice water content, water vapor, Southern
Oscillation Index, upper troposphere.
ABSTRAK
Makalah ini membahas mengenai variasi Ice Water Content (IWC) dan uap air (H2O) di troposfer atas berdasarkan hasil pengukuran Aura Microwave Limb Sounder (MLS). Sebagai studi kasus, dipilih waktu kejadiaan saat La Niña yang teridentifikasi melalui temperatur muka laut (Sea Surface Temperature, SST), Southern Oscillation Index (SOI) dan Niño 3.4. Hasil studi menunjukkan adanya peningkatan H2O dan IWC yang cukup tinggi terutama di atas Pulau Jawa saat kejadian La Niña tahun 2010 dibandingkan
dengan rata-rata 10 tahun, yaitu pada musim kemarau dan transisi.
Kata kunci : awan, ice water content, uap air, Southern Oscillation Index, troposfer atas.
1 PENDAHULUAN
Awan memiliki peran yang penting dalam mengatur iklim di bumi
karena mempengaruhi neraca energi di bumi melalui hamburan,
absorpsi, dan emisi. Keberadaannya di atmosfer tersebar secara
stokastik dalam ruang dan waktu sehingga jenis awan pun dapat
terbagi berdasarkan tinggi dasar awan. Salah satunya adalah awan
tinggi yang mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km di
daerah tropis.
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
115
Ice Water Content (IWC) merupakan salah satu besaran yang
penting untuk memahami awan. IWC yang tinggi menandakan adanya
konveksi yang kuat (Jiang, dkk., 2010). IWC didefinisikan sebagai
massa es awan dalam satuan volume udara atmosfer. Awan es di
troposfer memiliki pengaruh yang kritis terhadap kesetimbangan energi
dan radiasi atmosfer. Sebagai contoh, kesalahan 1 mg/m3 IWC setara
dengan kesalahan sebanyak 10 ppmv uap air troposfer dimana jumlah
tersebut sangat berpengaruh secara signifikan terhadap efek gas
rumah kaca pada model iklim (Wu dkk., 2009). H2O juga memiliki
peran yang penting dalam regulasi iklim di bumi dan sistem cuaca
melalui perubahan wujudnya antara gas dan fase kondensasinya di
troposfer. Hal-hal tersebut bersifat kompleks yang masih terus
dipelajari.
Indonesia merupakan benua maritim yang terletak di daerah
beriklim tropis yang rentan terhadap perubahan iklim (Aldrian, 2014).
Hal ini terjadi karena Indonesia terletak di antara benua Asia dan
Australia serta di antara dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan
Hindia. Posisi Indonesia mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu
pusat kendali sistem iklim dunia (Robertson dkk., 2011). Interaksi
antara atmosfer dan laut dapat mempengaruhi curah hujan di
Indonesia, salah satunya adalah fenomena el niño–southern oscillation
(ENSO). Kolam hangat di bagian barat Pasifik diduga menyebabkan
peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia pada saat La Niña
(Gutman, dkk., 2000). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa La Niña terjadi pada bulan April sampai November (musim
kemarau dan transisi) dengan puncak pengaruh di Indonesia terjadi
pada bulan Agustus dan September (As-syakur, 2010). Gambar 1
menunjukkan ilustrasi secara skematik proses fisika yang
mempengaruhi variabilitas interannual awan dan uap air di troposfer
atas. Pemicu utama yang menyebabkan terjadinya dipole mode IWC
dan H2O di atas Samudra Hindia adalah SST Samudra Hindia. Selain
faktor SST lokal, kondisi troposfer atas di Samudra Hindia juga
dipengaruhi oleh SST di Samudra Pasifik, yaitu ENSO ( Zhong, dkk.,
2005).
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
116
Gambar 1. Diagram skematik memperlihatkan efek skala luas
terkait dengan perubahan IWC dan dan H2O di atas Samudra Hindia. WIO: Western Indian Ocean. EIO: Eastern Indian Ocean. (Sumber: Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su. 2011: Variation of upper tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos. Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011.)
Gambar 1 menunjukkan bahwa ENSO dapat mempengaruhi
kondisi di troposfer atas sebagai konsekuensi dari aktivitas konvektif
yang kuat. Terdapat beberapa indeks ENSO untuk mengidentifikasi
karakteristik ENSO. Salah satu indeks ENSO yang digunakan untuk
mengkaji hubungan antara curah hujan di Indonesia dan ENSO adalah
the Southern Oscillation Index-SOI (Nicholls, 1981; Aldrian, dkk., 2007)
serta anomali SST Niño 3.4 (Estiningtyas, dkk., 2007; Anisa dan
Sutikno, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di
troposfer atas dilihat dari variabel IWC dan H2O di atas Samudra
Pasifik dan di wilayah Indonesia.
2 METODE PENELITIAN
Wilayah yang diamati dalam penelitian adalah Pulau Jawa dan
sebagian Samudera Pasifik (15°LU-15°LS dan 60°BT-260°BT). Periode
pengamatan yaitu Januari 2005 hingga Desember 2014. Variabel yang
diamati dalah IWC, H2O, dan SST. Variasi IWC diamati dengan metode
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
117
kualitatif yaitu analisis terhadap perbandingan kondisi variabel yang
diamati pada lokasi dan waktu yang sama.
Data IWC dan H2O diperoleh dari hasil pengukuran Satelit AURA
sensor MLS level 2 versi 4.2. Data IWC yang dapat digunakan berada
pada ketinggian 215-83 hPa, sedangkan H2O dapat digunakan dalam
rentang 316-0,002 hPa. Adapun data yang digunakan pada makalah ini
adalah data pada ketinggian 215-100 hPa. Resolusi horizontal adalah
300 km dan resolusi vertikal sebesar 3 km. Data IWC dan H2O berupa
data swath yang selanjutnya dirata-ratakan (gridding) dalam grid
3°x1,485°. Nilai anomali IWC dan H2O dihitung dalam skala bulanan
dan musiman terhadap rata-rata tahun 2005-2014. Data serta
dokumen mengenai kualitas data diperoleh dari http://mls.jpl.nasa.
gov/products/iwc_product.php.
Nilai SST diperoleh dari http://neo.sci.gsfc.nasa.gov/view.
php?datasetId=MYD28M. Data SST adalah nilai temperatur pada
ketinggian beberapa millimeter dari permukaan laut. Adapun produk
SST yang digunakan adalah produk level 3 dengan resolusi 1°×1°. Data
Southern Oscillation Index (SOI) bulanan yang diperoleh dari
http://www.bom.gov.au/climate/ current/soi2.shtml serta data SST
nino 3.4 yang diperoleh dari http://www.cpc.ncep.noaa
.gov/data/indices/ untuk mengidentifikasi kondisi La Niña.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi IWC musiman selama 10 tahun menunjukkan nilai IWC
tertinggi di atas wilayah Indonesia terlihat pada saat musim hujan
(DJF) dan IWC terendah pada musim kemarau (JJA). Gambar 2
menunjukkan kondisi anomali musiman Juni-Agustus (JJA) untuk
SST, IWC dan H2O pada ketinggian 215 hPa. Kondisi SST pada Gambar
2 menunjukkan adanya penurunan SST di bagian timur Samudra
Pasifik saat JJA pada tahun 2007, 2010 dan 2013, tetapi tahun 2010
terlihat penurunan SST yang memanjang dari timur hingga tengah
Samudra Pasifik kejadian La Niña. Gambar 3 menunjukkan seperti
Gambar 2, tetapi untuk periode SON. Gambar 2 dan 3 secara umum
menunjukkan bahwa selama periode pengamatan (JJA dan SON 2005-
2014) saat suhu muka laut meningkat, terdapat peningkatan IWC dan
H2O. Peningkatan IWC paling terlihat pada JJA 2010 dan SON 2010 di
Indonesia, terutama di atas Pulau Jawa. Begitu pula dengan H2O yang
meningkat cukup tinggi pada JJA dan SON 2010. Peningkatan tersebut
ditunjukkan oleh anomali positif terbesar terjadi pada 2010 terhadap
kondisi klimatologisnya.
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
118
SST IWC H2O
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
119
2014
Gambar 2. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk JJA tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.
SST IWC H2O
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
120
2012
2013
2014
Gambar 3. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk SON tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.
Pola IWC dan H2O saat JJA dan pola H2O saat SON 2010 terlihat
mengikuti pola SST. Konsentrasi IWC dan H2O menurun di sebagian
besar Samudra Pasifik dan terjadi peningkatan konsentrasi H2O di
Indonesia terutama di bagian selatan Indonesia. IWC saat SON 2010
memiliki pola yang berbeda di atas Pasifik, dimana meskipun terjadi
penurunan suhu muka laut dan penurunan konsentrasi H2O di
sebagian besar Pasifik, tetapi terlihat ada sedikit peningkatan IWC di
Pasifik timur.
Selain itu kedua gambar juga memperlihatkan bahwa Pulau Jawa
adalah wilayah yang sensitif terhadap La Niña. Hal ini ditunjukkan
dengan terjadinya peningkatan SST yang cukup tinggi di Samudra
Hindia saat La Niña. Konsentrasi IWC dan H2O cukup tinggi di atas
Pulau Jawa pada JJA dan SON saat La Niña berlangsung. Terdapat
kesesuaian dari studi-studi sebelumnya (Gutman, dkk., 2000; Hendon,
2003; Aldrian, 2003) yang menyebutkan bahwa La Niña menyebabkan
peningkatan curah hujan di Indonesia. Hal ini menunjukkan aktivitas
konvektif yang tinggi meningkatkan konsentrasi IWC di troposfer atas.
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
121
Gambar 4. Deret waktu anomali IWC di atas Pulau Jawa di 215
hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 2005-2014.
Deret waktu kondisi IWC di atas Pulau Jawa dengan Niño 3.4 dan
SOI ditunjukkan oleh Gambar 4. Panel atas memperlihatkan variasi
temporal anomali IWC dengan Niño 3.4 dan panel bawah menunjukkan
deret waktu anomali IWC dengan SOI dari Januari 2005-Desember
2014. Fase positif dari SOI menunjukkan periode La Niña, sebaliknya
fase negatif dari SST Niño 3.4 yang menunjukkan La Niña. Dari kedua
indeks tampak bahwa La Niña tahun 2010 lebih kuat dibandingkan
dengan La Niña tahun 2007. Terjadi peningkatan IWC dan H2O
(anomali positif) saat terjadi peningkatan SOI (penurunan Niño 3.4).
Dari Gambar 4 terlihat bahwa nilai IWC tertinggi selama periode
pengamatan (anomali positif terbesar) di atas Pulau Jawa adalah pada
bulan Juli dan November 2010.
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
122
Gambar 5. Deret waktu anomali H2O di atas Pulau Jawa di 215
hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 2005-
2014.
Gambar 5 menunjukkan deret waktu kondisi H2O selama 10
tahun. Kondisi H2O tertinggi (anomali positif terbesar) terjadi pada
bulan Mei dan September 2010. Terdapat jeda 2 bulan antara puncak
H2O dengan IWC. SOI tinggi pada bulan Juli dan September,
sedangkan Niño 3.4 terendah terjadi pada bulan September di mana
mulai terjadi penurunan SST sejak bulan Mei. Hal ini mengindikasikan
bahwa jumlah H2O di troposfer atas sensitif terhadap perubahan SST.
4 KESIMPULAN
Studi ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun pengamatan
kondisi IWC dan H2O tertinggi terjadi pada musim hujan (DJF) dan
rendah pada musim kemarau. Terdapat peningkatan IWC dan H2O
yang cukup tinggi di atas Pulau Jawa pada bulan Mei dan September
2010. Hal ini terjadi bersamaan dengan kejadian La Niña dengan
moderate-strong. Anomali positif terbesar IWC di atas Pulau Jawa
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
123
adalah pada bulan Mei 2010 (8,421 mg/m3) dan September 2010
(9,726 mg/m3), sementara untuk H2O terjadi pada bulan Mei 2010
(36,92 ppmv) dan September 2010 (29,2 ppmv).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada National Aeronautics
and Space Administration (NASA) yang telah menyediakan data IWC dan
H2O, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) atas data
Niño 3.4, dan Bureau of Meteorology (BOM), Australia's national
weather, climate and water agency untuk data indeks SOI. Penulis
berterima kasih kepada PSTA LAPAN yang telah memfasilitasi sehingga
penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian, E. dan R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant
rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface
temperature. Int. J. of Climat., 23 (12), 1435-1452.
Aldrian, E., L.D. Gates, dan Widodo, F.H., 2007: Seasonal variability of
Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses:
The role of ENSO. Theor. Appl. Climatol., 87, 41–59.
Aldrian, E., 2014: Pemahaman Dinamika Iklim Di Negara Kepulauan
Indonesia Sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa.
(http://dataweb.bmkg.go.id/PDF/Artikel/Orasi_Prof_Edvin_Aldrian_
2014.pdf, diakses September 2016)
Anisa, K.N. dan Sutikno, 2015: Analisis hubungan curah hujan dan
indicator El- Niño Southern Oscillation di sentra produksi padi Jawa
Timur dengan pendekatan Copula. J. Sains dan Seni ITS, 4(1), 2337-
3520.
As-syakur, A.R., 2010: Pola spasial pengaruh kejadian la nina terhadap
curah hujan di Indonesia tahun 1998/1999; observasi
menggunakan data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA)
3B43. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII dan Kongres
V Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), 9 Agustus
2010, Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor-Indonesia. pp. 230-234.
Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su., 2011: Variation of upper
tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos.
Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011.
Estiningtyas, W., F. Ramadhani, dan E. Aldrian, 2007: Analisis korelasi
curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah Indonesia, serta
Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.
124
implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus Kabupaten
Cilacap). J. Agromet Indonesia., 21(2), 46-60.
Gutman, G., I. Csiszar, P. Romanov, 2000: Using NOAA/AVHRR
products to monitor El Niño impacts: Focus on Indonesia in 1997–
98. Bull. Am. Meteorol. Soc. 81, 1189–1205.
Hendon, H. H., 2003: Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO
and local air–sea interaction. J. Climate, 16, 1775–1790.
Jiang, J.H., H. Su., S. Pawson, H-C. Liu, W. Read, J.W. Waters, M.
Santee, D.L. Wu, M. Schartz, A. Lambert, R. Fuller, J.N. Lee, dan N.
Livesey, 2010: Five-year climatology of upper tropospheric water
vapour and cloud ice from Aura MLS and GEOS5. J. Geophys. Res.
115, DOI:10.1029/2009JD013256
Nicholls, N., 1981: Air–sea interaction and the possibility of long-range
weather prediction in the Indonesian archipelago. Month. Weather
Rev.,109, 2435–2443.
Robertson, A., V. Moron, J. Qian, C.P. Chang, F. Tangang, E. Aldrian,
T.Y. Koh, dan L. Juneng, 2011: The Maritime Continent Monsoon, in
The Global Monsoon System: Research and Forecast, 2nd Ed. Eds.
CP Chang, Y Ding, NC Lau, RH Johnson, B Wang and T Yasunari,
World Scientific Series on Asia-Pacific Weather and Climate, Vol. 5,
World Scientific Publication Company, 608 pp.
Wu, D.L., R.T. Austin, M. Deng, S.L. Durden, A.J. Heymsfield, J.H.
Jiang, A. Lambert, J-L. Li, N.J. Livesey, G.M. McFarquhar, J.V.
Pittman, G.L. Stephens, S. Tanelli, D.G. Vane, dan D.E. Waliser,
2009: Comparisons of global cloud ice from MLS, CloudSat, and
correlative data sets.J. of Geophysical Research, 114, D00A24.
Zhong, A., H.H. Hendon, dan O. Alves, 2005: Indian Ocean variability
and its association with ENSO in a Global coupled model. J. Climate.
18, 3634-3649.
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
125
METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI
KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH
PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG)
Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN
e-mail: wiwieksetyawati21@gmail. com
ABSTRACT Aim of the paper is to study characteristic of pollutants in urban ambient, Bandung city. Air pollution data for variables of THC (CH4 + NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 were result of monitoring using Air Quality Monitoring System (AQMS) in LAPAN office, Bandung from 2010-2011. Based on one-sample Kolmogorov-Smirnov test it was found that distribution of air quality variables was not normal and homogen, therefore non-parametric statistical Kendall’s tau method was applied to understand correlations and influences between each air pollution variables to THC concentration. Significant correlation was found between different carbon compounds (p < 0,01). Weak and positive correlations (0,00 – 0,399) were shown between THC vs CO, NO and SO2 indicating
different emission sources between those compounds with THC. Four variables CO, NO, NO2, NOx dan SO2had significant influences to THC’s sink direct or indirectly (p<0,01). Based on Mann-Kendalls ‘s time series and Sen’s slope method applied during period June 1st, 2010-May 31st, 2011 decreasing trends of daily average of THC, NMHC and COconcentrationswere observed. On the contrary, increasing trend was observed for daily average of CH4concentrations. Keywords : THC, CH4, NMHC, CO, Bandung city
ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik polutan-polutan di udara ambien di wilayah Kota Bandung. Data kualitas udara untuk variabel THC (CH4+ NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 merupakan hasil monitoring menggunakan Air Quality Monitoring System (AQMS) di kantor LAPAN Bandung tahun 2010 - 2011. Berdasarkan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov ditemukan
bahwa distribusi dari variabel-variabel kualitas udara adalah tidak normal dan tidak homogen, oleh sebab itu maka digunakan metode non- parametrik Kendall’s tau untuk melihat korelasi dan pengaruh masing-masing variabel kualitas udara tersebut terhadap konsentrasi THC. Korelasi yang signifikan ditemukan antar senyawa karbon (p<0,01). Korelasi linear yang lemah (0,00 – 0,399) dan positif (p<0,01) juga ditemukan antara THC dengan CO, NO dan SO2 yang mengindikasikan perbedaan sumber emisi
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
126
antara ketiganya dengan THC. Kelima variabel yaitu CO, NO, NO2, NOx dan SO2 diketahui memiliki pengaruh yang signifikan (p < 0,01) baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rosot dari THC. Berdasarkan metode Mann-kendall’s time series dan Sen’s slope selama periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 diketahui bahwa terjadi penurunan tren rata-rata harian konsentrasi THC, NMHC dan CO berturut-turut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari, namun sebaliknya rata-rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari.
Kata-kunci: THC, CH4, NMHC, CO, Kota Bandung
1 PENDAHULUAN
Hidrokarbon merupakan molekul organik yang terdiri atas atom-
atom hidrogen yang terikat pada rantai ikatan karbon dan seringkali
juga dengan oksigen, nitrogen dan halogen (Ahmed dkk., 2015). Total
hidrokarbon (THC) di udara terdiri atas metan (CH4) dan Non-metan
hidrokarbon (NMHC). Keduanya dapat berperan sebagai gas rumah
kaca baik secara langsung maupun tidak langsung (Backstrand, dkk.,
2008; Chen, dkk., 2014). Metan merupakan gas rumah kaca terpenting
kedua yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Sejak tahun 1700-an
konsentrasi global CH4 terus meningkat 2 hingga 3 kali lipat (Wuebles
dan Katharine., 2002). Emisi metan dihasilkan dari aktifitas bakteri
methanogenic selama proses dekomposisi bahan organik secara
anaerobik dan merupakan komponen utama fluks THC dari tanah
organik dan gambut (Ahmed dkk., 2015). Namun demikian aktifitas
manusia seperti kegiatan pertanian dan peternakan, penggunaan
bahan bakar fosil dan penanganan limbah juga mengemisikan CH4
dalam jumlah besar (Wuebles dan Katharine, 2002).
NMHC adalah senyawa hidrokarbon rantai pendek yang terdiri
atas 2 – 12 atom karbon yang merupakan kelompok senyawa polutan
udara di atmosfer yang penting karena sebagian besar memiliki sifat
beracun dan karsinogen (Borbon dkk., 2006 dalam Ahmed dkk., 2015).
Oksidasi fotokimia dari NMHC dapat menyebabkan pembentukan ozon
dan pada akhirnya mempengaruhi waktu tinggal dari spesies gas
telusur lainnya di troposfer (Platt dkk., 2013; Poisson dkk., 2000).
Oksidasi metan di troposfer oleh radikal hidroksil (OH) dengan
adanya oksida nitrogen (NOx) dalam konsentrasi yang cukup akan
menghasilkan formaldehida (CH2O), karbon monoksida (CO) dan ozon
(O3) (Wuebles dan Katharine. , 2002). CO merupakan salah satu produk
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
127
senyawa karbon dan polutan utama yang dihasilkan dari pembakaran
yang tidak sempurna (Ahmed dkk., 2015). Keberadaan CO di udara
ambien dalam konsentrasi tertentu dapat mengganggu kesehatan
manusia. Hal ini dikarenakan hemoglobin memiliki daya ikat yang lebih
tinggi terhadap CO daripada dengan oksigen (O2). Selain itu CO juga
berperan penting dalam proses fotokimia smog di atmosfer yaitu
sebagai prekursor pembentukan ozon (Badr dan Probert. , 1994).
Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 Kota Bandung
memiliki kepadatan penduduk tertinggi se-Provinsi Jawa Barat yaitu
sebesar 14. 491 orang/km2 (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015).
Pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa dari tahun 1980 –
2010 yaitu sebesar ±40% (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015)
mengakibatkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar
di Kota Bandung yang sangat pesat yaitu 4,63% selama tahun 2010-
2011 (BPS, 2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Kota
Bandung juga merupakan kota wisata yang banyak menarik wisatawan
baik mancanegara maupun domestik dengan peningkatan jumlah
kunjungan yang luar biasa tahun 2010-2011 sebesar 113,41% (BPS,
2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Secara topografi
Bandung berada pada wilayah cekungan yang dikelilingi oleh
pegunungan sehingga memberikan kondisi iklim yang lembab dan
sejuk. Kombinasi antara jumlah penduduk, jumlah kendaraan
bermotor dan kondisi iklimnya yang unik membuat Kota Bandung
menjadi sangat rentan mengalami penurunan kualitas udara.
Pengukuran konsentrasi hidrokarbon dan CO telah dilakukan di
kota-kota besar di Amerika, Timur Tengah dan Asia dengan tujuan
untuk melakukan pemantauan kualitas udara di wilayah tersebut
(Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001; Abdul-Wahab dan Al-
Alawi, 2002; Barletta dkk., 2002; Chan dkk., 2006; Sahu dan Lal,
2006; Guo dkk., 2007; Baker dkk., 2008; Von Schneidemesser dkk.,
2010; Kim dkk., 2013; Ahmed dkk., 2015). Beberapa hasil pengukuran
tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 1990-an konsentrasi CH4 di
Kota Meksiko (Meksiko) dan Santiago (Chili) telah berada diatas 2 ppmv
(Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001). Konsentrasi CH4 di
Karachi (Pakistan) malah telah berada diatas 6 ppmv (Barletta dkk.,
2002).
Lain halnya dengan rata-rata konsentrasi CO di Kota Khaldiya,
Kuwait telah mencapai nilai di atas 2,5 ppmv (Abdul-Wahab dan Al-
Alawi, 2002). Mengingat pentingnya peran dari hidrokarbon dan CO
terhadap kualitas udara dan pemanasan global maka LAPAN sejak
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
128
bulan Februari 2010 – Desember 2011 melakukan pengukuran
konsentrasi THC, CH4 dan NMHC di udara ambien secara kontinyu.
Namun pada tahun 2012 pengukuran terpaksa dihentikan karena
kerusakan pada instrumen dan kesulitan mencari spare part dan
tenaga ahli yang dapat memperbaikinya. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari perilaku dari polutan-polutan di wilayah Bandung dan
pengaruhnya terhadap konsentrasi THC di udara ambien dengan
menggunakan metode statistik non-parametrik.
2 METODE PENELITIAN
Lokasi pengukuran berada di Kota Bandung (6,50 LS; 107,250 BT)
yang terletak pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut
(Gambar 1). Instrumen pengukuran diletakkan di atas gedung LAPAN
Bandung pada ketinggian ± 15 m dari atas permukaan tanah dan
berjarak ± 100 m arah Barat Daya jalan raya Pasteur yang padat
dengan kendaraan.
Gambar 1. Lokasi pengukuran di kota Bandung
Data yang digunakan dalam analisis adalah data konsentrasi
ambien THC, CO, NO, NO2 dan SO2 per-30 menit dalam satuan ppm
(by volume) periode tahun 2010 – 2011. THC diukur menggunakan
instrumen hydrocarbon analyser (Model APHA 370, Japan) berdasarkan
metode cross flow modulated selective combustion type yang
dikombinasi dengan metode hydrogen ion detection. Konsentrasi THC
merupakan total dari konsentrasi CH4 dan NMHC. Konsentrasi CO
diukur menggunakan metode non-dispersive cross modulation infra-red
analysis (Model APMA 370, Japan). Konsentrasi NO dan NO2 diukur
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
129
menggunakan metode a cross-flow modulated semi decompression
chemiluminescence (merek Horiba, model APNA 370, Jepang).
Konsentrasi SO2 diukur menggunakan metode UV fluorescence (merek
Horiba, model APSA 370, Jepang).
Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software IBM
SPSS Statistics v.21. Uji one-sample Kolmogorov-Smirnov terhadap
residual digunakan untuk menguji distribusi normal dan homogenitas
dari data rata-rata harian konsentrasi THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2,
NOx dan SO2 periode tahun 2010-2011. Data dikatakan terdistribusi
normal dan homogen jika nilai signifikansi dari Kolmogorov-Smirnov Z
adalah lebih besar dari 0,05 dan sebaliknya. Metode non-parametrik
Kendall’s tau digunakan untuk mempelajari korelasi bivariate antara
rata-rata harian konsentrasi THC terhadap CH4, NMHC, CO, NO, NO2,
NOx dan SO2. Jika nilai koefisien korelasi mendekati 1 atau -1 maka
hubungan semakin erat atau kuat, namun jika mendekati 0 maka
hubungan semakin lemah seperti disajikan pada Tabel 1. Freeware
Make Sens versi 1.0 (Finish Meteorological Institute, 2002) yang
dikembangkan oleh Institut Meteorologi Finlandia digunakan untuk
analisa non parametrik Mann-Kendall time series dan Sen’s slope
untuk rata-rata mingguan konsentrasi THC dan CO.
Tabel 1. Rentang nilai koefisien korelasi dan interpretasinya
Rentang nilai koefisien korelasi Interpretasi
0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat 0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Sugiyono, 2007 dalam Priyatno, 2012.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi rata-rata tahunan THC, CO, NO, NO2 dan SO2 pada
tahun 2010 dan 2011 disajikan pada Tabel 2. Data yang digunakan
untuk perhitungan rata-rata tahunan merupakan data rata-rata
konsentrasi harian dari masing-masing variabel. Rata-rata tahunan
konsentrasi THC dan CO mengalami peningkatan dari tahun 2010
hingga 2011 masing-masing sebesar 4,03% dan 69,57%. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota
Bandung yaitu sebesar 106. 271 unit/tahun (BPS, 2007; BPS, 2015).
Sedangkan rata-rata tahunan konsentrasi NO, NO2 dan SO2 mengalami
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
130
penurunan masing-masing sebesar 90,9%, 20,0% dan 85,0%. NO
merupakan produk dari pembakaran pada temperatur tinggi,
sedangkan NO2 merupakan produk oksidasi lanjutan dari NO dan O2
dengan reaksi sebagai berikut:
1
2N2 +
1
2O2 ⇄ NO (1)
𝑁𝑂 +1
2𝑂2 ⇄ 𝑁𝑂2 (2)
SO2 merupakan produk dari pembakaran bahan bakar fosil yang
banyak mengandung sulfur seperti solar. Komposisi solar 48 produksi
Pertamina diketahui mengandung sulfur maksimum 0,35% m/m
(ESDM, 2006a), sedangkan bensin 88 mengandung sulfur maksimum
0,05% m/m (ESDM, 2006b). Penurunan yang signifikan dari
konsentrasi rata-rata tahunan ketiganya kemungkinan disebabkan oleh
penurunan konsumsi bahan bakar jenis bensin dan solar di Kota
Bandung yaitu masing-masing sebesar 15% dan 44% (BPS, 2007; BPS,
2015).
Tabel 2. Statistik deskriptif rata-rata tahunan Kota Bandung
Parameter Tahun
2010 2011
THC (ppmv)
2,48a±0,15b
2,11c – 2,88d 240e
2,58a±0,32b
2,05c – 5,31d 312e
CH4 (ppmv) 1,08a±0,35b 0,21c-2,22d
240e
0,83a±0,48b 0,10c-3,39d
312e
NMHC (ppmv) 1,42a ±0,21b 0,69c-2,02d
240e
1,81a±0,44b 0,84c-3,50d
313e
CO (ppmv) 0,23a±0,29b 0,06c – 4,85d
287e
0,39a±0,39b 0,007c – 5,78d
283e
NO (ppmv)
0,11a±0,13b
0,004c – 0,40d
68e
0,01a ±0,01b
0,001c – 0,18d
216e
NO2 (ppmv) 0,05a±0,05b 0,04c – 0,40d
43e
0,04a ±0,03b 0,001c – 0,06d
203e
NOx (pmv) 0,06a±0,01b 0,04c-0,08d
42e
0,044a±0,027b 0,005c-0,124d
211e
SO2 (ppmv) 0,02a±0,06b 0,00c – 0,20d
276e
0,003a±0,001b 0,002c – 0,01d
321e
Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
131
Perbandingan antara hasil pengukuran rata-rata tahunan
konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di udara ambien di Kota Seoul
(Korea Selatan) tahun 2010-2011 dengan Kota Bandung (Indonesia)
disajikan pada Tabel 3. Rata-rata tahunan konsentrasi CH4 di Kota
Bandung tahun 2010-2011 adalah 0,94 ± 0,44 ppmv atau lebih rendah
dibandingkan Kota Seoul. Hal ini mengindikasikan bahwa Global
Warming Potential (GWP) untuk parameter CH4 di Kota Bandung adalah
lebih rendah dibanding Kota Seoul. Selain itu rata-rata tahunan
konsentrasi CO di Kota Bandung sebesar 0,31 ± 0,35 ppmv adalah juga
lebih rendah dibandingkan Kota Seoul, namun demikian untuk rata-
rata tahunan konsentrasi NMHC dan THC di Kota Bandung yaitu
berturut-turut sebesar 1,64 ± 0,41 ppmv dan 2,53 ± 0,26 ppmv adalah
lebih tinggi jika dibandingkan Kota Seoul. Hal ini perlu diwaspadai
karena dampak buruk senyawa THC dan NMHC terhadap kesehatan
manusia.
Tabel 3. Perbandingan konsentrasi hidrokarbon dan CO tahun 2010-2011 di Kota Bandung dan kota lainnya di Korea Selatan
Lokasi studi THC (ppmv) CH4(ppmv) NMHC
(ppmv) CO (ppmv)
Guro, Seoul, Korea Selatan10
2,44a ± 0,29b
1,98c – 3,79d 722e
2,14a ± 0,17b
1,82c – 2,99d 722e
0,30a ± 0,17b
0,03c – 1,32d 722e
0,61a ± 0,23b
0,24c – 2,09d 723e
Nowon, Seoul, Korea Selatan10
2,50a ± 0,25b 1,89c – 3,45d
699d
2,18a ± 0,22b 1,50c – 2,91d
699e
0,32a ± 0,07b 0,18c – 0,71d
699e
0,47a ±
0,25b 0,11c – 2,33d 723e
Kota Bandung, Indonesia
2,53a±0,26b 2,05c – 5,31d
552e
0,94a±0,44b 0,10c-3,39d
552e
1,64a±0,41b 0,69c- 3,5d
553e
0,31a± 0,35b
0,01c – 5,78d
570e
Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel
(Sumber: Kim dkk. (2013))
Tabel 4 menyajikan hasil uji normalitas terhadap data
pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011
untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2
menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan Tabel
4 dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas untuk nilai kepercayaan
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
132
95% memberikan hasil nilai signifikansi (p) = 0,000 untuk semua
polutan, kecuali untuk CH4. Hasil pengujian normalitas memberikan
nilai p ≤ 0,05, kecuali untuk CH4, maka dapat disimpulkan bahwa
distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung tahun
2010-2011 adalah tidak normal, kecuali untuk CH4 yang memiliki
sebaran normal.
Tabel 4. Hasil uji normalitas menggunakan uji one-sample
Kolmogorov-Smirnov
Parameter Kolmogorov-Smirnov Z p
THC (ppmv) 2,495 0,000 CH4 (ppmv) 0,877 0,425
NMHC (ppmv) 2,985 0,000 CO (ppmv) 5,339 0,000 NO (ppmv) 7,129 0,000 NO2 (ppmv) 3,767 0,000
NOx (ppmv) 3,568 0,000 SO2 (ppmv) 12,213 0,000
Tabel 5 menyajikan hasil uji homogenitas terhadap data
pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011
untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2
menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji
homogenitas untuk nilai kepercayaan 95% semuanya memberikan
hasil nilai signifikansi (p)=0,000. Dikarenakan semua hasil pengujian
homogenitas memberikan nilai p ≤ 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung
tahun 2010-2011 adalah tidak homogen.
Tabel 5. Hasil uji homogenitas menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov
Parameter Kolmogorov-Smirnov Z p
THC (ppmv) 15,653 0,000
CH4 (ppmv) 11,614 0,000 NMHC (ppmv) 8,834 0,000
CO (ppmv) 20,602 0,000 NO (ppmv) 13,805 0,000
NO2 (ppmv) 13,221 0,000 NOx (ppmv) 5,917 0,000 SO2 (ppmv) 22,311 0,000
Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas diketahui
bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung
tahun 2010-2011 adalah tidak normal dan tidak homogen oleh sebab
itu maka digunakan analisis non-parametrik untuk korelasi bivariate
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
133
antar variabel yaitu korelasi Kendall’s tau. Analisis non-parametrik
atau disebut juga metode distribution-free tidak membutuhkan
pengetahuan mengenai distribusi dari populasi kecuali data harus
kontinyu (Walpole dkk., 2012).
Tabel 6. Nilai koefisien korelasi bivariate Kendall’s tau (satuan konsentrasi dalam ppmv)
THC CH4 NMHC CO NO NO2 NOx SO2
THC 1,000 0,462** -0,219** 0,253** 0,118** 0,457** 0,515** 0,211**
CH4 1,000 -0,745** 0,060* 0,409** -0,164** 0,008 0,079** NMHC 1,000 0,051 -0,332** 0,328** 0,171** 0,040
CO 1,000 -0,077 0,043 0,024 0,255** NO 1,000 -0,060 0,212** 0,239**
NO2 1,000 0,705** -0,058 NOx 1,000 -0,041 SO2 1,000
**Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-arah) *Korelasi siginfikan pada level 0,05 (2-arah)
Korelasi Kendall’s tau digunakan untuk melakukan analisa
korelasi bivariate untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Berdasarkan hasil korelasi pada Tabel 6 diketahui bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara THC dengan CH4, NMHC, CO, NO, NO2,
NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan
karakteristik sumber emisi senyawa-senyawa tersebut dan adanya
pengaruh yang signifikan terhadap rosot dari THC baik secara langsung
maupun tidak langsung. Baik THC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2
kesemuanya memiliki peran dalam pembentukan polutan sekunder
yaitu ozon di atmosfer.
Analisa non parametrik Mann-Kendall’s time series dan Sen’s
slope digunakan untuk mengetahui tren linear dari rata-rata harian
konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di Kota Bandung dari tanggal 1
Juni 2010 – 31 Mei 2011 menggunakan MakeSens versi 1,0. Gambar 2
menunjukkan grafik dari tren linear untuk senyawa karbon.
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata harian
konsentrasi THC, NMHC dan CO mengalami tren penurunan berturut-
turut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari selama
periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011. Sebaliknya rata-rata harian
konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari.
Hal ini perlu diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global
Warming Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada
CO2.
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
134
Gambar 2. Tren rata-rata harian senyawa karbon di Kota Bandung beserta
nilai Sen’s slopenya (Q)
4 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil korelasi Kendall’s tau diketahui bahwa
terdapat korelasi yang signifikan antar senyawa karbon THC dengan
CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini
menunjukkan adanya kesamaan karakteristik sumber emisi senyawa-
senyawa tersebut dan adanya pengaruh yang signifikan terhadap rosot
dari THC baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan
hasil analisa time series menggunakan metode statistik non-parametrik
Mann-Kendall’s time series dan Sen’s slope diketahui bahwa selama
periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 rata-rata harian konsentrasi THC,
NMHC dan CO mengalami tren penurunan dan sebaliknya untuk rata-
rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan. Hal ini perlu
diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global Warming
Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada CO2.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih saya tujukan kepada Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer – LAPAN yang telah memberikan ijin penggunaan data AQMS
guna penulisan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul-Wahab, S. A. , S. M. Al-Alawi, 2002: Assessment and prediction
of tropospheric ozone concentration levels using artificial neural
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
135
networks. Environ. Model Softw. 17, 219–22 pp.
Ahmed, E., K. Ki-Hyun, J. Eui-Chan, J. C. B. Richard, 2015: Long term
trends of methane, non methane hydrocarbon and carbon monoxide
in urban atmosphere. Science of the Total Environment. 516 – 519:
595 – 604
Bäckstrand, K., P. M. Crill, M. Mastepanov, T. R. Christensen, D.
Bastviken, 2008: Total hydrocarbon flux dynamics at a subarctic
mire in northern Sweden. J. Geophys. Res. Biogeosci. 2005–2012,
113.
Badr, O dan Probert, S. D. , 1994: Carbon-Monoxide Concentration in
the Earth’s Atmosphere. Applied Energy. 49: 99 – 143 pp
Baker, A. K., A. J. Beyersdorf, L. A. Doezema, A. Katzenstein, S.
Meinardi, I. J. Simpson, D.R. Blake, F.S. Rowland, 2008:
Measurements of nonmethane hydrocarbons in 28 United States
cities. Atmos. Environ. 42, 170–182 pp.
Barletta, B., S. Meinardi, I. J. Simpson, H. A. Khwaja, D. R. Blake, F. S.
Rowland, 2002: Mixingratios of volatile organic compounds (VOCs) in
the atmosphere of Karachi, Pakistan. Atmos. Environ. 36, 3429–3443
pp.
Blake, D. R. and F. S. Rowland, 1995: Urban Leackage of liquified
Petroleum Gas and Its Impact on Mexico City air Quality. Science,
269, 953-956 pp
BPS, 2007: Bandung dalam Angka 2007. BPS
BPS, 2015: Kota Bandung dalam Angka 2015. BPS
Chan, L. Y. , K. W. Chu, S. C. Zou, C. Y. Chan, X. M. Wang, B. Barletta,
D. R. Blake, H. Guo, W.Y. Tsai, 2006: Characteristics of nonmethane
hydrocarbons (NMHCs) in industrial, industrial‐urban, and
industrial‐suburban atmospheres of the Pearl River Delta (PRD)
region of south China. J. Geophys. Res. Atmos. 1984–2012, 111.
Chen, T. Y. , I. J Simpson, D. R. Blake, F. S. Rowland, 2001: Impact of
the leakage of liquefied petroleum gas (LPG) on Santiago air quality.
Geophys. Res. Lett. 28, 2193–2196 pp.
Chen, S. -P. , W. -C. Liao, C. -C. Chang, Y. -C. Su, Y. -H. Tong, J. S.
Chang, J. -L. Wang, 2014: Network monitoring of speciated vs. total
non-methane hydrocarbon measurements. Atmos. Environ. 90, 33–
42.
ESDM, 2006a: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Solar 48.
Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No.
3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006.
ESDM, 2006b: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Bensin 88.
Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.
136
Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No.
3674 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006.
Finish Meteorological Institute, 2002: MakeSens versi 1,0. www.
ilmanlaatu. fi, diunduh pada bulan Juni 2016
Guo, H. , So, K. , I. Simpson, B. Barletta, S. Meinardi, D. Blake, 2007:
C1–C8 volatile organic compounds in the atmosphere of Hong Kong:
overview of atmospheric processing and source apportionment.
Atmos. Environ. 41, 1456–1472 pp.
Kim, K. -H. , H. -O. Yoon, R. J. Brown, E. -C. Jeon, J. -R. Sohn, K.
Jung, C. -G. Park, I. -S. Kim, 2013: Simultaneous monitoring of total
gaseous mercury at four urban monitoring stations in Seoul, Korea.
Atmos. Res. 132, 199–208 pp.
Platt, S., I. E. Haddad, A. Zardini, M. Clairotte, C. Astorga, R. Wolf, J.
Slowik, B. Temime-Roussel, N. Marchand, I. Ježek, 2013: Secondary
organic aerosol formation from gasoline vehicle emissions in a new
mobile environmental reaction chamber. Atmos. Chem. Phys. 13,
9141–9158.
Poisson, N., M. Kanakidou, P.J. Crutzen, 2000: Impact of non-methane
hydrocarbons on tropospheric chemistry and the oxidizing power of
the global troposphere: 3- dimensional modelling results. J. Atmos.
Chem. 36, 157–230.
Priyatno, D., 2012: Belajar Praktis Analisis Parametrik dan Non
Parametrik dengan SPSS. Gava Media, Yogyakarta
Sahu, L., S. Lal, 2006: Distributions of C2–C5 NMHCs and related trace
gases at a tropical urban site in India. Atmos. Environ. 40, 880–
891pp.
Setyawati, W., S. Hamdi, Mulyono, Suparno, 2015: Variabilitas
Temporal Total Hidrokarbon dan Karbon Monoksida di Udara
Ambien Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung), Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Atmosfer.
Von Schneidemesser, E., P. S. Monks, C. Plass-Duelmer, 2010: Global
comparison of VOCand CO observations in urban areas. Atmos.
Environ. 44, 5053–5064 pp.
Walpole, R. E., R. H. Myers, S. L. Myers, K. Ye, 2012: Probability and
Statistics for Engineers and Scientists. Pearson Education Inc. , 655
pp.
Wuebles, D. J dan H. Katharine, 2002: Atmospheric Methane and
Global Change. Earth-Science Reviews. 57 : 177 – 210 pp.