Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

145

Transcript of Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Page 1: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia
Page 2: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penanggung Jawab: Ir. Halimurrahman, MT Penyelia:

Dr. Lilik Slamet S, M.Si

Dr. Ninong Komala

Dr. Ina Juaeni, M.Si Dr. Nurjanna Joko Trilaksono

Drs. Mahmud

Drs. Arief Suryantoro, M.Si

Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL

Editor: Indah Susanti Sartika Emmanuel Adetya, S.Kom.

Penerbit CV Media Akselerasi Bandung

Page 3: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

ISBN: 978-602-6465-04-7

©2016 Media Akselerasi

Diterbitkan oleh CV. Media Akselerasi

Anggota IKAPI

Penyelia, Dr. Lilik Slamet S, M.Si

Dr. Ninong Komala

Dr. Ina Juaeni, M.Si

Dr. Nurjanna Joko Trilaksono Drs. Mahmud

Drs. Arief Suryantoro, M.Si

Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL

Editing Naskah, Indah Susanti, Sartika, dan Emmanuel Adetya,

S.Kom.

Disain Isi dan Kulit Muka, Emmanuel Adetya, S.Kom.

Dicetak oleh :

CV Media Akselerasi

Jl. Cikutra VI No. 23 Bandung

[email protected]

Cetakan Pertama, 2016

Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Judul/Penyelia: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim

Indonesia

- Dr. Lilik Slamet S., M.Si., Dr. Ninong Komala, Dr. Ina Juaeni, M.Si.,

Dr. Nurjanna Joko Trilaksono, Drs. Mahmud, Drs. Arief Suryantoro,

M.Si., Drs. Waluyo Eko Cahyono, MIL.

- Cetakan pertama - Bandung: CV. Media Akselerasi, 2016.

vii + 136 hal. ; 18 x 25 cm

ISBN: XXX-XXX-XXXX-XX-X

Page 4: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

i

DARI PENERBIT

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) adalah salah satu

pusat penelitian dan pengembangan di bawah Kedeputian Sains

Antariksa dan Sains Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN) yang bertugas melaksanakan penelitian dan

pengembangan sains dan teknologi atmosfer serta pemanfaatannya.

Untuk mencapai misi PSTA yaitu meningkatkan pemanfaatan dan

pemasyarakatan sains atmosfer, dipandang perlu untuk meningkatkan

jumlah publikasi ilmiah, salah satunya adalah terbitan Buku Bunga

Rampai PSTA Tahun 2016 yang mengambil judul dan tema “Sains dan

Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia”.

Buku ini memiliki dua sisi fungsi untuk penulis dan pembaca.

Bagi penulis, semoga Buku ini sebagai arena pembelajaran

kemampuan menyampaikan hasil-hasil penelitian secara tulisan

sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Bagi

pembaca, semoga Buku ini dapat menambah dan memperkaya

wawasan serta pengetahuan keatmosferan Indonesia. Akhirnya,

permohonan maaf Kami sampaikan atas kekurangan yang terdapat

dalam Buku ini.

Penerbit Media Akselerasi

Page 5: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Esa dengan telah dapat diselesaikannya Buku Bunga Rampai Pusat

Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) Tahun 2016 ini. Buku Bunga

Rampai PSTA Tahun 2016 mengambil judul “Sains dan Teknologi

Atmosfer Benua Maritim Indonesia” berisi 11 makalah ilmiah yang

ditulis oleh para peneliti PSTA.

Pembuatan buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim

Indonesia” melalui beberapa tahap seleksi. Tahap seleksi pertama yang

sudah berupa makalah lengkap, masuk ke Dewan Redaksi sebanyak 16

makalah. Hasil seleksi pertama oleh penyelia hanya 13 buah naskah

makalah yang layak masuk ke dalam Buku Bunga Rampai Tahun

2016. Tahap ke dua adalah telaah pertama (review I) yang dikoreksi

oleh reviewer dari PSTA (LAPAN) dan ITB (Institut Teknologi Bandung).

Naskah makalah yang telah dikoreksi oleh reviewer dikembalikan ke

penulis untuk diperbaiki. Pada tahap ini hanya 12 naskah makalah

yang dikembalikan ke Dewan Redaksi, seorang penulis mengundurkan

diri. Pada telaah kedua (review II) hanya 11 naskah makalah yang

diperbaiki sesuai saran dari reviewer.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki bentuk dan letak

geografi khas yang dikelilingi oleh laut yang luas. Laut yang dimiliki

Indonesia adalah reservoir penyimpan energi panas laten yang menjadi

salah satu sumber penggerak dan regulator iklim dunia. Oleh karena

itu Buku Bunga Rampai PSTA Tahun 2016 ini mengambil judul “Sains

dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia” yang sedikit banyak

akan menguak karakteristik atmosfer Indonesia sebagai benua maritim

dan dampaknya.

Buku “Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia”

berisi 11 makalah yang merupakan hasil penelitian dan kajian dari

para peneliti PSTA. Penyusunan makalah dalam Buku ini menurut

urutan alphabet nama penulis pertama atau penulis tunggal.

Makalah pertama ditulis oleh Dadang Subarna dengan judul

“Penentuan Zona Iklim di Pulau Jawa dan Madura”. Pada makalah ini,

penulis mengklasifikasikan Pulau Jawa dan Madura yang terbagi ke

dalam 6 zona iklim. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Iis

Sofiati yang berjudul “Analisa Korelasi Sea Surface Temperature (SST)

dan Kecepatan Angin di Benua Maritim Indonesia serta Kaitannya

Page 6: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

iii

dengan Variabilitas Southern Oscillation Index (SOI)”. Pada makalah ini

penulis menganalisa keterkaitan antara SST dengan kecepatan angin

dan SOI yang dapat mengakibatkan El Nino atau La Nina di benua

maritim Indonesia.

Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Ina Juaeni dengan

judul “Proyeksi dan Anomali Angin Horisontal Tahun 2050

Berdasarkan Conformal Cubic Atmosphere Model (CCAM) di Wilayah

Indonesia Bagian Tengah Selatan”. Melalui makalah ini, penulis

membahas hasil proyeksi arah dan kecepatan angin di tahun 2050

untuk lokasi Jawa dan Nusa Tenggara yang hasilnya baik arah dan

kecepatan angin berubah terhadap rata-rata klimatologisnya. Sebagai

makalah berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Indah Susanti

dkk dengan judul “Variabilitas Profil Temperatur Vertikal dan

Keterkaitan dengan Radiasi di Indonesia”. Makalah ini membahas

tentang variabilitas temporal dan spasial suhu udara serta

hubungannya dengan intensitas radiasi di Indonesia.

Makalah ke lima yang ditulis oleh Lilik S. Supriatin, dkk. dengan

judul “Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara Jarak Jauh di Kota

Bandung”. Makalah ini mengkaji tentang polutan udara di Kota

Bandung yang sumbernya bukan lokal, tetapi dari lokasi negara lain

yaitu Republik Rakyat Tiongkok (China) dan Australia. Selanjutnya

adalah makalah yang ditulis oleh Martono dengan judul “Variasi Angin

Permukaan di Atas Laut Indonesia”. Makalah ini mengkaji variabilitas

angin permukaan di perairan Indonesia baik laut pedalaman, maupun

lautan lepas.

Selanjutnya adalah makalah yang ditulis oleh Rosida dengan

judul “Distribusi Spasial Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia”.

Melalui makalah ini, penulis mengkaji variabilitas spasial dan temporal

dari aerosol jenis black carbon di Indonesia dan pengaruhnya pada inti

kondensasi sebagi penghasil hujan. Berikutnya adalah makalah yang

ditulis oleh Saipul Hamdi dkk tentang “Pergeseran Spektrum Matahari

pada Saat Gerhana Matahari Total 2016”. Pada makalah ini, penulis

mengkaji adanya pergeseran spektrum dari matahari ketika terjadi

gerhana matahari yang lalu.

Selanjutnya makalah yang ditulis oleh Sinta B. Sipayung dkk

dengan judul “Dampak Perubahan Iklim (Khususnya Curah Hujan dan

Temperatur) di DAS Cimanuk (Jawa Barat) Berbasis Hasil Analisis Data

CRU. Makalah ini mengkaji fenomena perubahan iklim di daerah aliran

sungai (DAS) Cimanuk yang menurut penelitian ini diproyeksikan

bahwa lokasi sekitar DAS Cimanuk ke depan tingkat kekeringannya

Page 7: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

iv

malahan menurun. Berikutnya adalah makalah yang ditulis oleh Tiin

Sinatra dkk dengan memberi judul “Variasi Ice Water Content (IWC)

Saat La Nina Berbasis MLS/AURA. Melalui makalah ini penulis

membahas karakteristik penutupan awan-awan penghasil hujan

dengan pendekatan ice water content saat La Nina berlangsung.

Terakhir adalah makalah dengan judul “Metode Statistik Non

Parametrik untuk Studi Karakteristik Polutan di Udara Ambien Wilayah

Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung)” yang ditulis oleh Wiewiek

Setyawati dkk. Makalah ini mengkaji karakteristik polutan udara di

kota Bandung dengan metode analisa dan pengujian secara statistik

non parametrik.

Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada para penulis yang

telah bersusah payah dan tekun mengikuti saran dan petunjuk dari

reviewer untuk mendekati kesempurnaan sebuah makalah. Selain itu

terima kasih, Kami ucapkan kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer LAPAN dan jajarannya yang telah memfasilitasi penerbitan

buku ini. Akhirnya peribahasa “Tiada gading yang tak retak” dan

“kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Kuasa” kami haturkan

dengan adanya kekurangan yang terdapat dalam Buku ini. Semoga

Buku ini bermanfaat untuk menambah dan memperkaya wawasan

serta pengetahuan keatmosferan, terutama kawasan Indonesia.

Selamat membaca.

Bandung, Desember 2016

Dewan Redaksi

Page 8: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

v

DAFTAR ISI

DARI PENERBIT i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

1. PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA

Dadang Subarna 1

2. ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN

ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS

OSILASI SELATAN

Iis Sofiati 12

3. PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL TAHUN 2050

BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL

(CCAM) DI WILAYAH INDONESIA BAGIAN TENGAH SELATAN

Ina Juaeni 24

4. VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN

DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA

Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono, dan Rosida 35

5. ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK

JAUH DI KOTA BANDUNG

Lilik S. Supriatin, Muhayatun Santoso, Diah Dwiana Lestiani. 49

6. KARAKTERISTIK ANGIN PERMUKAAN DI ATAS LAUT

INDONESIA

Martono 62

7. DISTRIBUSI SPASIAL - TEMPORAL AEROSOL BLACK

CARBON DI INDONESIA

Rosida 74

8. PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA

SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016

Page 9: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

vi

Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono 88

9. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN

DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT)

BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL

Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah 99

10. VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS

Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro 114

11. METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI

KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH

PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG)

Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono 125

Page 10: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

1

PENENTUAN ZONA IKLIM DI PULAU JAWA DAN MADURA

Dadang Subarna

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

e-mail: dadang. subarna@lapan. go. id

ABSTRACT

Determination of climate zones is important to support the agriculture, infrastructure design, building design, water resources plan and ecoregion identification of the area. Application of geographic information system to study climate has widely used at GIS (geographic information system) community and Climatologist. The aim of the paper is to explain an application of GIS in determining Climate Moisture Index (CMI) and determination of Java and Madura climate zones. CMI depicts annual average climate moisture index is a method used by Willmott and Feddema that based on the computation using the ratio of annual precipitation (P) to annual Potential Evapotranspiration (PET). Application GIS to count the CMI used to determine mountaineous climate zone (above 800 m msl) and lowland climate zone (below 800 m msl) at certain area was applied in southern Bandung as field test area. It’s compared the altitude pattern of the area and climate moisture index spatially. The result show a strong correlation between altitude and it’s climate moisture

index of the area. The watershed area which under investigation has two climate zones that are the lowland wet climate zone and mountaineous wet climate zone. The same method is carried out to Java and Madura Island that show six climate zones and two climate zones respectively. Keywords : Climate Moisture Index, GIS, Precipitation (P),

Potential Evapotranspiration (PET)

ABSTRAK Penentuan zona-zona iklim sangat penting untuk menunjang

pertanian, perancangan infrastruktur, rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan identifikasi ekoregion suatu daerah. Penerapan sistem informasi geografis untuk kajian iklim telah meluas di komunitas SIG (Sistem Informasi Geografi) dan ahli

klimatologi. Makalah ini bertujuan untuk menerangkan tentang penggunaan SIG dalam menghitung indeks kelembapan iklim dan menentukan zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Indeks kelembapan iklim rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott dan Feddema yaitu dengan menggunakan nisbah curah hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan. Aplikasi perhitungan Indeks Kelembapan Iklim (IKI) dengan SIG digunakan untuk menentukan zona iklim pegunungan (di atas 800 m dpl) dan zona iklim dataran rendah (kurang 800 m dpl) dalam suatu daerah kajian di Bandung Selatan sebagai tempat uji lapangan. Analisis dilakukan melalui perbandingan antara pola ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya.

Page 11: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

2

Hasilnya menunjukkan terdapat korelasi yang kuat antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya. Daerah aliran sungai yang diteliti memiliki dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona iklim basah dataran tinggi. Metode yang sama dilakukan untuk pulau Jawa dan Madura yang menunjukkan terdapat enam zona iklim dan dua zona kedua pulau masing-masing.

Kata kunci : Indeks kelembapan, SIG, Curah Hujan (CH), Evapotranpirasi Potensial (PET)

1 PENDAHULUAN

Iklim secara umum didefinisikan sebagai keadaan rata-rata dari

cuaca pada suatu tempat pada periode tertentu yang menurut konvensi

pertemuan WMO tahun 1937 periode tersebut selama 30 tahun (Larson,

2012). Elemen iklim terdiri dari atmosfer, kreosfer, hidrosfer, biosfer,

dan geosfer. Iklim di suatu tempat sangat ditentukan oleh radiasi

matahari, letak lintang dan bujur di bumi, elevasi dan letaknya dari

laut. Begitu banyak elemen yang menyusun iklim di suatu tempat, maka

para ahli klimatologi mengembangkan suatu indeks yang seoptimum

mungkin memasukan elemen-elemen tersebut untuk menggambarkan

keunikan iklim suatu tempat. Pada tahun 1948, Indeks Kelembapan

Thornthwaite (TMI) diperkenalkan sebagai sistem klasifikasi iklim global

oleh Thornthwaite pada komunitas ilmiah (Philp dan Taylor, 2014).

Sejak kemunculannya, maka penggunaan indeks tersebut berkembang

melebihi klasifikasi iklim untuk sistem pertanian seperti Koppen,

Holdrige, Trewartha dan lain-lain. Sebelumnya, iklim didefinisikan

dengan istilah pengamatan deskriptif umum dan data empiris tidak

dijadikan sebagai dasar. Indeks Kelembapan Thornthwaite

memperkenalkan suatu indeks kelembapan untuk menggambarkan

tipe-tipe iklim yang dapat dihitung dengan menggunakan data yang

sesungguhnya dari daerah yang dikaji (Thornthwaite, 1948). TMI dapat

menggambarkan ariditas dan humiditas tanah serta iklim suatu daerah.

Hal itu disebabkan TMI dihitung dari beberapa elemen secara kolektif

seperti curah hujan, evapotranspirasi, simpanan air di tanah, defisit

kelembapan dan limpasan (Austroads, 2010).

Indeks kelembapan umumnya dirumuskan sebagai fungsi dari

nisbah curah hujan rata-rata terhadap kelembapan rata-rata. Nilainya

bergantung pada kemampuan untuk mencirikan kebasahan atau

kekeringan relatif suatu daerah yang didasarkan pada data iklim.

Kemungkinan konsep kelembapan dapat ditelusuri berasal dari Linsser,

namun Thornthwaite adalah yang pertama menggantikan persyaratan

kelembapan (evaporasi dan temperatur udara) menjadi kelembapan

Page 12: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

3

yang bermakna klimatologi yang disebut evapotranspirasi potensial.

Thornthwaite dan beberapa rekannya telah berhasil mempublikasikan

dan mendiseminasikan indeks kelembapan yang penting.

Iklim suatu daerah dicirikan dengan keadaan panas dan lembab di

permukaan atau dekat pemukaan bumi (Willmott, 1987). Dengan

demikian, perhatian para ahli klimatologi tertuju pada variabilitas

keadaan panas dan kelembapan secara spasial dan temporal.

Kelembapan menjadi perhatian yang sangat besar, sehubungan

perannya yang penting dalam proses-proses biologi (Willmott dan

Feddema, 1992). Ahli klimatologi sering menggunakan indeks-indeks

yang sederhana untuk menggambarkan keadaan kelembapan

permukaan bumi dan salah satu indeks adalah Indeks Kelembapan

Thornthwaite (TMI).

Pada makalah ini ditunjukkan aplikasi sistem informasi geografi

untuk menghitung indeks kelembapan iklim suatu daerah dalam

menentukan zona iklim daerah kajian berdasarkan perumusan Willmott

dan Feddema tahun 1992. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan

zona-zona iklim di Pulau Jawa dan Madura. Penentuan zona iklim

sangat penting untuk menunjang pertanian, perancangan infrastruktur,

rancangan bangunan, perencanaan sumber daya air dan lain-lain.

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem yang terdiri dari

perangkat lunak komputer, perangkat keras dan data, serta dikelola

oleh seseorang yang menguasai metode pengolahan data dengan sistem

komputerisasi. Hal ini dilandasi dengan keterkaitan yang erat pada

lokasi spasialnya. Aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan

seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan zona iklim di suatu

daerah. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi

lainnya. Salah satu kelebihan dari SIG adalah mampu melakukan

analisis spasial sekaligus dengan analisis database.

2 METODE PENELITIAN

Sistem informasi geografis terdiri dari 6 langkah proses, yang

dapat digunakan untuk menghasilkan keluaran data yang memiliki

referensi geografis. Enam langkah proses tersebut terdiri-dari: 1) Proses

pemasukan data tabulasi ke komputer 2) Proses pengumpulan database

di komputer 3) Proses pengaturan data yang disesuaikan dengan

informasi lintang dan bujurnya. 4) Proses pengolahan data, sesuai

dengan tujuan yang ingin dicapai 5) Proses analisis data, seperti proses

modeling dan evaluasi spasial 6) Proses pengeluaran data, yang

merupakan keluaran hasil akhir.

Pengujian metode Willmott dan Feddema dilakukan dua tahap

Page 13: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

4

yaitu:

1) Uji dilakukan di daerah dengan gradien elevasi kontras antara

lembah dan pegunungan yang terletak antara 06o 59’24” – 07o

13’51” LS dan 107o 28’55” – 107o 39’84” BT di Kabupaten Bandung

seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Hal ini dilakukan agar

memudahkan melakukan pengecekan lapangan.

2) Metode perhitungan Willmott dan Feddema akan dilakukan untuk

Pulau Jawa dan Madura. Sistem Informasi Geografi (SIG) akan

digunakan pada perhitungan metode Willmott dan Feddema secara

spasial pada makalah ini.

SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang

digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

geografis (Aronoff, 1989). SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari

perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya

manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan,

menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,

mengintegrasikan, menganalisis dan menampilkan data dalam suatu

informasi berbasis geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk

menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi,

menggabungkannya, menganalisis dan akhirnya memetakan hasilnya.

Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah

data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki

sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya (BTIC, 2010).

IKI rata-rata tahunan adalah metode yang dipakai oleh Willmott

dan Feddema tahun 1992. Metode tersebut menggunakan nisbah curah

hujan tahunan (CH) terhadap evapotranspirasi potensial (PET) tahunan.

Indeks Kelembapan Iklim menurut Willmott dan Feddema

dirumuskan sebagai:

(IKI) = (CH / PET) -1, jika CH < PET (1)

IKI adalah Indeks Kelembapan Iklim

(IKI) = 1- (PET / CH), jika CH = PET (2)

CH adalah curah hujan tahunan (mm/th), PET adalah evapotranspirasi

potensial (mm/th).

Pada penelitian ini IKI metode perhitungan Willmott dan Feddema

akan dilakukan untuk Pulau Jawa dan Madura. Pengujian (validasi) IKI

metode Willmott dan Feddema akan dilakukan di daerah dengan gradien

Page 14: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

5

elevasi kontras antara lembah dan pegunungan. Lokasi untuk validasi

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi uji penentuan zona iklim di Kabupaten Bandung

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

IKI adalah perbedaan antara curah hujan tahunan (CH) dan

evapotranspirasi tahunan (PET) yang secara sederhana menunjukkan

kelembapan tanah (Willmott and Feddema 1992; Hogg, 1997). Iklim

suatu daerah sangat menentukan jenis spesies fauna dan flora yang

hidup di daerah tersebut. Dengan demikian, penentuan IKI juga

merupakan pemetaan kerangka kerja ekologi pada suatu daerah

sehingga menjadikan pembagian suatu negara ke dalam pewilayahan

ekozone, ekoregion atau ekodistrik (Lapp dkk., 2014). Untuk setiap

ekodistrik, dihitung IKI dengan menggunakan beberapa metode seperti

metode Thornthwaite dan metode Penman atau metode Willmott dan

Feddema (Hogg, 1997). Terdapat hubungan antara IKI dan jenis spesies

yang tumbuh di suatu tempat. Dengan menerapkan konsep IKI yang

menggunakan perbedaan curah hujan dan evapotranspirasi potensial,

maka dapat dipetakan distribusi vegetasi di daerah yang dikaji.

Page 15: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

6

Gambar 2. Klasifikasi curah hujan tahunan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG)

Hasil klasifikasi curah hujan tahunan spasial dengan

menggunakan SIG seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Perhitungan

yang sama juga dilakukan untuk mendapatkan evapotranspirasi

potensial tahunan di daerah kajian, hasilnya ditunjukkan pada Gambar

3. Dengan menggunakan persamaan (1) atau persamaan (2) dan

bantuan SIG maka didapat gambar zona pembagian iklim berdasarkan

IKI dari Willmott dan Feddema, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Page 16: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

7

Gambar 3. Pengolahan evapotranspirasi potensial dengan SIG

secara spasial.

Iklim suatu daerah sangat ditentukan oleh ketinggian daerah

tersebut atau letaknya dari garis pantai. Oleh karena itu pengecekan

lapangan harus dilakukan untuk mengetahui zona iklim suatu daerah

dengan ketinggiannya. Pengujian lapangan dilakukan di daerah

Bandung Selatan seperti tertera pada Gambar 1. Daerah tersebut

memiliki batas ketinggian yang kontras antara daerah pegunungan di

atas 800 m dpl (di atas permukaan laut) dan daerah lembahnya di

bawah 800 m dpl. Berdasarkan hasil klasifikasi metode Willmott dan

Feddema, maka daerah kajian memiliki dua zona iklim yaitu lembap

dataran rendah dan lembap dataran tinggi (Gambar 5).

Page 17: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

8

Gambar 4. Pengolahan IKI dengan sistem informasi geografi

sesuai rumus Willmott dan Feddema.

Pada Gambar 5 ditunjukkan perbandingan antara pola topografi

dengan indeks kelembapan iklim hasil perhitungan secara visual.

Hasilnya menunjukkan terdapat kesesuaian pola antara topografi

dengan indeks kelembapan iklim. Daerah kajian yang diteliti memiliki

dua zona iklim yaitu zona iklim basah dataran rendah dan daerah zona

iklim basah dataran tinggi. Hasil perhitungan untuk Pulau Jawa dan

Madura dapat ditunjukkan pada Gambar 6.

Page 18: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

9

Gambar 5. Perbandingan IKI dan ketinggian yang menunjukkan

kesesuaian antara IKI dengan elevasi daerah kajian.

Gambar 6. Zona iklim di Pulau Jawa dan Madura berdasarkan

perumusan Willmott and Feddema.

Gambar 6 menunjukkan pembagian zona iklim berdasarkan

Willmott dan Feddema. Secara teori, IKI metode Willmott dan Feddema

mempunyai interval -1 sampai +1 berdasarkan kondisi sub-tropis.

Disebabkan Indonesia adalah wilayah tropis yang memiliki curah hujan

tinggi terkadang melebihi evapotranspirasinya, maka hasil perhitungan

IKI melebihi harga +1. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa Pulau

Jawa memiliki enam zona IKI yaitu IKI bernilai negatif (-1) beriklim

Page 19: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

10

kering, (0) beriklim lembap, (1) beriklim basah, (2) beriklim lebih basah,

(3) beriklim sangat basah, (4) selalu diselimuti awan. Kriteria tersebut

didasarkan pada kriteria Willmott dan Feddema yang diadopsi untuk

daerah tropis. Karena penulis mengalami kesulitan untuk mendapatkan

rujukan yang terkait dengan pembagian zona iklim berdasarkan nilai IKI

di daerah tropis, maka pembagian IKI melebihi nilai IKI dari kriteria

Willmott dan Feddema di daerah tropis merupakan penemuan baru

dalam penelitian zona iklim untuk daerah tropis. IKI bernilai negatif (-1)

berada pada sebagian besar pantai utara Jawa bagian barat dan sekitar

daerah Citatah (daerah sekitar Padalarang), sebagian kecil Pantai Jawa

Tengah, sebagian besar wilayah Pantai Jawa Timur dan Madura yang

berarti memiliki iklim kering (warna merah pada Gambar 6). Pada

daerah-daerah itu curah hujan selalu lebih kecil daripada

evapotranspirasi potensial sehingga kelembapan iklim bernilai negatif

dan udara memiliki kandungan uap air yang relatif kecil sehingga terasa

lebih kering. Sebagian Pulau Jawa memiliki nilai IKI (0), warna hijau

pada Gambar 6, yang berarti iklim lembap (humid). Pada daerah-daerah

tersebut curah hujan dan evapotranspirasi besarnya hampir sama

setiap tahun. Sebagian besar Jawa bagian barat, Jawa Tengah dan

beberapa daerah Jawa Timur (warna biru) memiliki iklim basah (curah

hujan lebih besar dari evapotranspirasi potensial). Hal ini dikarenakan

daerah-daerah tersebut didominasi pegunungan dengan ketinggian di

atas 1000 m dpl. Terdapat beberapa daerah dengan zona iklim lebih

basah dan sangat basah (warna merah muda dan kuning) yang

merupakan daerah gunung dengan ketinggian lebih dari 2000 m dpl.

Pada daerah tersebut terdapat beberapa puncak yang rata-rata setiap

tahunnya diselimuti awan (warna hitam di Gambar 6).

4 KESIMPULAN

Penentuan zona iklim sangat penting untuk menunjang pertanian,

perancangan infrastruktur, perancangan bangunan, perencanaan

sumberdaya air dan penentuan ekoregion atau ekodistrik. SIG sangat

memudahkan untuk pengolahan dan kajian iklim secara spasial

khususnya penentuan zona iklim berdasarkan curah hujan dan

evapotranspirasi potensial tahunan. Daerah kajian yang diteliti berupa

daerah aliran sungai di Bandung Selatan yang memiliki dua zona iklim

yaitu zona iklim basah dataran rendah dan zona iklim basah dataran

tinggi. Iklim suatu daerah ditentukan juga oleh ketinggian lokasi dari

permukaan laut. Berdasarkan penelitian ini terdapat kesesuaian pola

antara ketinggian suatu daerah dengan indeks kelembapan iklimnya.

Pulau Jawa mempunyai enam zona iklim yang melebihi indeks yang

Page 20: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Penentuan Zona Iklim – Dadang Subarna

11

ditetapkan oleh Willmott dan Feddema. Hal ini disebabkan Pulau Jawa

memiliki daerah pegunungan dan gunung-gunung dengan ketinggian di

atas 1000 m dpl yang sangat tinggi curah hujannya dibandingkan

dengan evapotranspirasi potensialnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada World Clim Global Climate

yang telah menyediakan data sehigga penelitian ini dapat berlangsung.

DAFTAR RUJUKAN

Aronoff, S., 1989: Geographic Information System Management

Perspective WDL Publication, Ottawa-Canada.

Austroads, 2010: Predicting Structural Deterioration of Pavements at a

Network Level – Interim Models APT159/10, Sydney, Austroads

Incorporated.

BTIC [Biotrop Training dan Information Centre], 2010: Pelatihan Aplikasi

Sistem Informasi Geografi Untuk Pengolahan Data Spasial. Aplikasi

Perangkat Lunak (Software) ArcGIS 9. x. BIOTROP.

Hogg, E. H,1997: Temporal Scaling of Moisture andthe Forest-Grassland

Boundary in Western Canada. Agricultural Forest Meteorolology. 84.

115-22.

Lapp. S., D. Sauchyn and E. Wheaton, 2014: Future Climate Change

Scenarios for the South Saskatchewan River Basin.

unit2_final_report.

Larson, J.W, 2012: Visualizing Climate Variability with Time-Dependent

Probability Density Functions, Detecting it with Information Theory.

Procedia Computer Science 00, 1–11.

Philp, M and M. Taylor, 2014. Beyond Agriculture: Exploring the

application of the Thornthwaite Moisture Index to infrastructure and

possibilities for climate change adaptation. ACCARNSI Discussion

Paper X, NCCARF. 2012.

Thornthwaite, C.W., 1948: An approach toward a rational classification

of climate. Geographical Review, 38, 55-94.

Willmote C.J. and J. J. Feddema, 1992:A More Rational Climatic

Moisture Index. The Professional Geographer 44, Issue 1, 84-88,

Willmote, C.J., 1987: Models, Climatic. In The Encyclopedia of

Climatology, eds. J. E. Oliver and R. W. Fairbridge, 584-90. New York:

Van Nostrand Reinhold.

Page 21: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

ANALISIS KORELASI SUHU PERMUKAAN LAUT, KECEPATAN

ANGIN DI BENUA MARITIM INDONESIA DAN INDEKS

OSILASI SELATAN

Iis Sofiati

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN

Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173

E-mail: sofiati07@gmail. com

ABSTRACT

Southern Oscillation Index (SOI) variabilities of is one of the important factors in determining climate conditions in Indonesian Maritime

Continent. SOI is generally associated with Sea Surface temperature (SST) and wind speed. In this study analyzed the spatial distribution, temporal and correlation between SST, wind speed and SOI using statistical methods for the period 2005-2010 in Indonesia Maritime Continent (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. From the results shown that the SST reaches its maximum in April and October and minimum in May to August lower than 28 ºC. SST cooling occurs from May to August, the maximum appears in the eastern Indonesia and the minimum in the western. Seasonal variability of SST and wind speed is different for some regions, and both parameters were negatively correlated. From the regression analysis shows that the variability of SST has a time lag of three months behind wind speed. SST is positively correlated with SOI. SST influenced SOI one month in advance. SOI and wind speed are also negatively correlated as SST, SOI influenced wind speed one month in advance. In this study concluded that the variability of SOI quite an important role to changes in SST and wind speed, while the SST variability is caused by the interaction of southeast monsoon and winds-ocean.

Keywords : SST, wind speed, SOI, correlation analysis.

ABSTRAK Variabilitas Indeks Osilasi Selatan (IOS) merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan perubahan kondisi iklim di Benua Maritim Indonesia. Pada umumnya IOS berhubungan dengan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan kecepatan angin. Pada penelitian ini dianalisa distribusi spasial, temporal dan korelasinya antara SPL, kecepatan angin dan IOS menggunakan metode statistik untuk periode 2005-2010 di Benua Maritim Indonesia (6-12) ºLS; (95-142) ºBT. Berdasarkan hasil terlihat bahwa SPL mencapai maksimum pada bulan April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus dibawah 28ºC. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat. Variabilitas musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan, dan kedua

parameter tersebut berkorelasi negatif. Menurut hasil analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL mempunyai jeda waktu (time-lag) tiga bulan di belakang kecepatan angin. SPL berkorelasi

Page 22: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

13

positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan sebelumnya. IOS dan kecepatan angin berkorelasi negatif sama seperti SPL, IOS mempengaruhi kecepatan angin satu bulan sebelumnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabilitas IOS cukup berperan penting terhadap perubahan SPL dan kecepatan angin, sedangkan variabilitas SPL disebabkan oleh interaksi angin monsun tenggara dengan laut.

Kata kunci : SPL, kecepatan angin, IOS, analisis korelasi.

1 PENDAHULUAN

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia

mempunyai posisi yang strategis sehubungan dengan pola sirkulasi laut

global sifat dinamis dari kepulauan menunjukkan interaksi dengan

Pasifik dan Samudera Hindia dan iklim musiman, dan dapat

menjelaskan keanekaragaman hayati laut secara menyeluruh untuk

sebagian besar daerah. Karena iklim Indonesia berada di bawah

pengaruh sistem monsun Asia-Australia, yang berdampak besar pada

pola sirkulasi skala besar antara laut di intra-kepulauan dan

memainkan peran penting dalam produksi ekosistem pesisir dan laut

(Sachoemar, 2013). Interaksi laut-udara di atas Indonesia dianggap

sebagai salah satu faktor penting dalam menjelaskan fluktuasi dan

intensitas sirkulasi monsun. Perairan Indonesia merupakan wilayah

strategis karena terletak antara Samudera Pasifik di sebelah timur dan

Samudera Hindia di barat, dan bertindak baik sebagai penghalang

gesekan dan hubungan antara dua samudera. Aliran dari Samudera

Pasifik ke Samudera Hindia memberikan efek signifikan pada sirkulasi

laut dan iklim global. Daerah tropis diakui memiliki pengaruh besar

pada atmosfer global, dan daerah tropis sebelah barat Pasifik dan

sebelah timur Samudera Hindia diakui sebagai sumber bagi banyak

peristiwa iklim yang penting seperti periodik monsun, IOS dan

sebagainya.

Potemra (2006) menyatakan bahwa sifat-sifat perairan Pasifik

barat dan Samudera Hindia timur sangat dipengaruhi oleh lintas

Indonesia dan merupakan pembawa panas dari daerah perairan hangat

di Pasifik barat ke Samudera India. Perpindahan panas ini

mempengaruhi tingkat kehangatan perairan di wilayah Pasifik barat.

SPL dapat diperoleh dengan pengukuran langsung (in situ) atau

menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Sensor satelit

penginderan jauh mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipancarkan

oleh permukaan laut untuk melihat fenomena sebaran SPL. Citra

penginderaan jauh dari satelit dapat dimanfaatkan untuk pemantauan

dan kajian SPL karena mempunyai band thermal dan resolusi temporal

Page 23: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

14

yang tinggi, sehingga dinamika perubahan SPL dapat diamati secara

kontinu.

Anomali SPL dapat memberikan efek besar terhadap klimatologi,

sehingga penelitian yang berkaitan dengan SPL serta parameter iklim

lainnya sangat penting dilakukan. Penelitian tentang SPL di perairan

Indonesia, terutama berfokus pada sirkulasi laut seperti lintas Indonesia

telah dilakukan oleh beberapa peneliti baik dari dalam maupun luar

negeri (Potemra, 2006; Tomascik, dkk., 1997; Gordon, 2006; Wytki,

1987; Wytki, 2006; Qu, dkk., 2005; Sprintal and Liu, 2006; Annas,

2009; Ayu dkk., 2012). Berbeda dengan penelitian sebelumnya,

penelitian ini menganalisa korelasi SPL dan kecepatan angin di Benua

Maritim Indonesia dan kaitannya dengan variabilitas IOS, dan

diharapkan penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya.

2 METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data SPL harian

yang diperoleh dari NOAA OI SPL V2 High Resolution Dataset dengan

resolusi 0.25º x 0.25º dengan global grid (1440x720). Data diunduh dari

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.noaa.oiSPL.v2.highrs.

html. Data kecepatan angin yang digunakan diolah dari data angin zonal

dan meridional level permukaan 1000 mb, dengan resolusi spasial 1ºx1º

yang merupakan data reanalisis. Data diunduh dari

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded.reanalysis.surface.html.

Data IOS yang digunakan merupakan data IOS harian dengan

basis data 1993-1992 yang didapatkan dari

https://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/southern

oscillationindex/soidatafiles/index.php. Ketiga jenis data merupakan

data rata-rata harian untuk periode 2005-2010, kemudian di rata-

ratakan untuk pentad (5) harian, dan bulanan untuk wilayah Indonesia

(6-12)ºLS, (95-142)ºBT. Selanjutnya dilakukan uji-F dan uji-T untuk

analisis regresi, korelasi dan time-lag dalam menentukan korelasi antara

SPL, kecepatan angin dan IOS dengan menggunakan software EViews.

Time-lag yang dimaksud adalah jeda waktu antara kejadian SST,

kecepatan angin dan IOS mencapai maksimum.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Distribusi dan korelasi SPL dan kecepatan angin

SPL mempunyai peranan penting dalam mengontrol kadar panas

lautan dan mengatur iklim (Qu, dkk., 2012). Gambar 1 (a) menunjukkan

distribusi pentad SPL, dan dari hasil terlihat bahwa puncak panas SPL

Page 24: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

15

terjadi dua kali yaitu pada pentad ke-23 atau bergeser sampai pentad

ke-30, dan pentad ke-59 atau bergeser sampai pentad ke-63.

Gambar 1. Distribusi spasial SPL dan angin (arah dan kecepatan)

rata-rata tahun 2005-2010 untuk bulan Juni (kiri) dan November (kanan)

Pada umumnya di Indonesia SPL mencapai maksimum pada bulan

April dan Oktober dan minimum pada bulan Mei sampai Agustus

dengan suhu dibawah 28ºC. SPL rata-rata tertinggi terjadi pada tahun

2010, dan terendah pada tahun 2006 seperti yang terlihat pada Gambar

1. Pendinginan SPL terjadi dari bulan Juni sampai Oktober, maksimum

di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan Indonesia Barat

seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hasil dari penelitian ini

mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa siklus

musiman SPL di perairan Indonesia ditandai dengan “pendinginan”

selama musim panas. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa angin

monsun dari arah tenggara berperan penting dalam fenomena

pendinginan di perairan Indonesia. Pendinginan pertama kali muncul di

bulan Mei dan mencapai maksimum di bulan Agustus. Pendinginan

tersebut disebabkan oleh pengaruh angin monsun yang sangat kuat di

bulan Juli (Setiawan, 2010).

Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi pada

pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-Juli-Agustus

(JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan pentad 67

atau pada bulan Maret dan bulan November seperti yang terlihat pada

Gambar 2 (b). Kecepatan angin rata-rata tertinggi terjadi pada tahun

2006, dan terendah pada tahun 2010.

Page 25: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

16

Gambar 2. Distribusi SPL pentad (a) dan kecepatan angin (b) dari

tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia

Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa korelasi antara SPL dan

kecepatan angin berkorelasi negatif, dengan nilai koefisien korelasi rata-

rata r = 0,63; RMSE = 0,85 dan tertinggi mencapai r = 0,71 dengan

RMSE = 0,79 yang terjadi pada tahun 2007 seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 3. Nilai koefisien korelasi selengkapnya ada pada Tabel 1.

Hubungan antara SPL dengan kecepatan angin telah dipelajari selama

beberapa dekade. Umumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa SPL

dan kecepatan angin berkorelasi negatif (Bjerknes,1964: Hurrell, 1995;

Shukla and Misra, 1997; Huang and Qiao, 2009; O’Neill dkk., 2010; Yu

dkk., 2015).

Gambar 3. Distribusi korelasi antara SPL dan kecepatan angin

dari tahun 2005 sampai 2010 (kiri) dan tahun 2007 (kanan) di wilayah Indonesia

Hal ini terjadi karena fakta bahwa peningkatan kecepatan angin

akan menurunkan suhu permukaan dengan memecah stratifikasi

permukaan air, hal tersebut terjadi karena air bawah permukaan akan

dibawa ke permukaan yang mempunyai suhu lebih dingin. Ng dkk.

Page 26: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

17

(2009) menemukan bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface

Emissivity) berubah terhadap kecepatan angin, sementara SSE

mempengaruhi SPL.

Tabel 1. Korelasi antara SPL, kecepatan angin, dan IOS

Oleh karena itu, kecepatan angin mempengaruhi keadaan SPL.

Selain itu, Ng dkk. (2009) menemukan bahwa hanya kecepatan angin

yang tinggi atau lebih dari 15 m/detik memiliki dampak yang signifikan

terhadap SPL. Wang dkk. (1999) dan Wang (2004) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa peningkatan kecepatan angin permukaan akan

menghasilkan lebih banyak penguapan dan pendinginan SPL, yang

mengakibatkan peningkatan lebih lanjut dari kecepatan angin

permukaan, dan sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Xie

(2004) menyatakan bahwa SPL dan kecepatan angin berkorelasi positif

dalam wilayah skala kecil, dan angin permukaan secara lokal lebih

tinggi di atas perairan hangat dan lebih rendah di atas perairan dingin.

Gambar 4. Distribusi SPL rata-rata pentad dan kecepatan angin

tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia

TAHUN SPL-IOS Ws-IOS Ws-SPL

R2 r R2 r R2 r

2005 0,005 0,068 0,016 0,125 0,43 0,65

2006 0,079 0,282 0,108 0,329 0,50 0,71

2007 0,002 0,039 0,002 0,040 0,53 0,73

2008 0,001 0,039 0,031 0,175 0,45 0,67

2009 0,010 0,102 0,0009 0,032 0,36 0,60

2010 0,005 0,069 0,012 0,110 0,22 0,46

SPL- IOS 0,08 0,28

Ws-IOS 0,03 0,16

Ws-SPL 0,43 0,63

Page 27: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

18

Gambar 4 menunjukkan distribusi SPL rata-rata pentad dan

kecepatan angin. SPL meningkat dari musim hujan ke musim transisi

atau pentad ke-24, tetapi menurun kembali dan mencapai puncak

dingin pada pentad ke-47 atau pada bulan Juli, dan meningkat kembali

suhunya dan mencapai puncak panas pada pentad ke-67 atau pada

bulan November.

Sementara kecepatan angin awalnya berkurang dari pentad ke-1

sampai ke-7 atau musim hujan ke pentad ke-22 atau musim transisi.

Kemudian meningkat pada akhir musim panas dan mencapai

puncaknya pada bulan Juli atau pentad ke-44. Korelasi negatif antara

SPL dan kecepatan angin menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan

angin akan mengakibatkan penurunan SPL (Qu, 2012). Distribusi SPL

dan kecepatan angin bulanan yang ditunjukkan oleh Gambar 5 juga

memperlihatkan hasil yang jelas, bahwa antara kedua parameter

tersebut berkorelasi yang negatif. Selama periode pengamatan, terlihat

bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL

tertinggi (29,8ºC) dan kecepatan angin terendah (2,7 m/det), sedangkan

tahun 2006 merupakan tahun yang mempunyai nilai SPL terendah

dengan kecepatan angin tertinggi (4,2 m/det). SPL dengan nilai tertinggi

rata-rata terjadi pada bulan November dan Mei dan akan menyebabkan

kecepatan angin mencapai nilai terendah pada bulan Maret tahun

berikutnya.

Gambar 5. Distribusi bulanan SPL dan kecepatan angin tahun

2005 sampai 2008 di wilayah Indonesia

Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia, SPL diduga

memiliki efek pada kecepatan angin beberapa minggu sampai beberapa

bulan di depan.

Page 28: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

19

Tabel 2. Jeda waktu (time-lag) maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun 2005 sampai 2010

Tabel 2 menunjukkan puncak jeda (waktu antara puncak ke

puncak) waktu maksimum antara SPL dan kecepatan angin dari tahun

2005 sampai 2010. Ketika puncak SPL didepan kecepatan angin, maka

puncak jeda-waktu bertanda positif. Jika sebaliknya, maka bertanda

negatif. Hasil lain menunjukkan bahwa di wilayah selatan, kecepatan

angin dipengaruhi SPL ditunjukkan dengan lebih banyak nilai negatif

dari jeda waktu maksimum) dibandingkan dengan di wilayah utara (Qu,

2012). Selanjutnya dari analisa regresi dengan menggunakan E-views

menunjukkan bahwa korelasi rata-rata SPL dengan kecepatan angin

dari tahun 2005 sampai 2010 adalah:

T = 29,809 - 0,424 V (1)

dimana T adalah SPL, dan V adalah kecepatan angin, dan koefisien

korelasi (r) = 0,63. Untuk analisa jeda-waktu antara SPL dan kecepatan

angin diperoleh persamaan:

T = 26,253 - 0,432 V - 0,671 V1 - 0,732 V2 - 0,507 V3 (2)

dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari

terjadinya SPL, dan korelasi koefisien (r) = 0,71. Persamaan (2)

menunjukkan bahwa SPL diduga memiliki efek pada kecepatan angin

tiga bulan ke depan.

3.2 Distribusi dan korelasi SPL, kecepatan angin, dan IOS

Gambar 6 menunjukkan korelasi antara SPL, kecepatan angin,

dan IOS. Berdasarkan hasil terlihat bahwa korelasi antara SPL dengan

IOS berkorelasi positif, dengan koefisien korelasi (r) rata-rata = 0,09.

Sedangkan korelasi antara kecepatan angin dengan IOS rata-rata

berkorelasi negatif dengan koefisien korelasi (r) = 0,08. Berdasarkan

hasil terlihat adanya jeda-waktu dari variasi SPL dengan IOS maupun

antara kecepatan angin dengan IOS. Analisis yang sama seperti yang

dilakukan terhadap SPL dengan kecepatan angin, diperoleh hasil bahwa

Tahun

Puncak jeda- waktu (bulan)

Tahun Puncak jeda-waktu (bulan)

2005 3 2008 2

2006 3 2009 2

2007 3 2010 3

Page 29: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

20

jeda-waktu antara SPL memiliki efek pada IOS diduga satu bulan di

depan, dan persamaan yang didapat adalah:

T = 29,795-0,420 V1 -0,642 V2 -0,517 V3 +0,001 I1 (3)

dimana Vi (i =1, 2, 3) adalah kecepatan angin pada bulan i di depan dari

terjadinya SPL, dan I adalah indeks IOS satu bulan di depan dari

terjadinya SPL.

Gambar 6. Distribusi korelasi SPL dengan IOS (kiri) dan dengan

kecepatan angin (kanan) tahun 2005 sampai 2010 di wilayah Indonesia

Berdasarkan analisa regresi dapat dilihat bahwa variabilitas SPL

diduga memiliki efek pada kecepatan angin tiga bulan di depan. SPL

berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan

sebelumnya. Kejadian tersebut berhubungan dengan adanya anomali

angin baratan di atas lautan Hindia Tropis yang menurunkan suhu

muka laut, utamanya melalui proses umpan balik evaporasi-angin.

Pendinginan ini akan membantu perkembangan kejadian monsun lemah

musim panas Asia Selatan jika keadaan suhu muka laut yang dingin ini

mampu terus bertahan untuk selang waktu sekitar satu tahun ke

depan. Anomali suhu muka laut di lautan Pasifik Tropis bagian barat

tetap hangat sampai periode musim peralihan (September, Oktober,

November), yang akhirnya mendorong terjadinya monsun Australia yang

lebih kuat pada periode musim basah (Desember, Januari, Februari,

sekaligus sebagai awal pengaturan perkembangan kejadian monsun

basah (Suryantoro, 2008). Penelitian lain mengenai korelasi antara SPL

dan kecepatan angin di lintang menengah dilakukan oleh Qu (2012)

yang menyatakan bahwa SPL berkorelasi negatif dengan kecepatan

angin dengan jeda-waktu yang berbeda untuk setiap lintang yang

berbeda. Hasil penelitian ini malahan menunjukkan SPL berpengaruh

siknifikan pada kecepatan angin yang mendukung penelitian

Page 30: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

21

sebelumnya yang dikerjakan oleh Ng dkk. (2009) yang menemukan

bahwa emisivitas permukaan laut (Sea Surface Emissivity) berubah

terhadap kecepatan angin, sementara SSE mempengaruhi SPL.

4 KESIMPULAN

Pendinginan SPL terjadi dari bulan Mei sampai Agustus,

maksimum di perairan Indonesia Timur dan minimum di perairan

Indonesia Barat. Kecepatan angin mencapai maksimum rata-rata terjadi

pada pentad ke-36 sampai pentad ke-46 atau pada bulan Juni-Juli-

Agustus (JJA), dan minimum terjadi rata-rata pada pentad ke-19 dan

pentad 67 atau pada bulan Maret dan bulan November. Variabilitas

musiman SPL dan kecepatan angin berbeda untuk beberapa kawasan,

dan kedua parameter tersebut berkorelasi negatif. Berdasarkan regresi

dapat dilihat bahwa maksimum SPL mempunyai jeda waktu (time-lag)

tiga bulan di belakang kecepatan angin, artinya nilai kecepatan angin

maksimum terjadi tiga bulan setelah nilai maksimum SPL. SPL

berkorelasi positif dengan IOS dan SPL dipengaruhi IOS satu bulan

sebelumnya. Hasil lain menunjukkan bahwa hanya kecepatan angin

tinggi memiliki dampak yang signifikan terhadap SPL.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Rachmawati

Syahdiza S.Si., alumni Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Jurusan

Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya.

DAFTAR RUJUKAN

Annas, R., 2009: Pemanfaatan Data Satelit MODIS untuk Menentukan

Suhu Permukaan Laut. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Ayu, D., M.S. Bangun, dan M.J. Lalu, (2012): Studi Perubahan Suhu

Permukaan Laut. Program Studi teknik Geomatika ITS.

Bjerknes, J. 1964: Atlantic air-sea interaction. Advances in Geophysics,

10, 1-82. [doi:10.1016/S0065-2687(08)60005-9].

Gordon, A., 2006: Oceanography of the Indonesian Seas and Their

Throughflow. The Official Magazine of the Oceanographic Society.Vol

18.No. 4.14-27.

Huang C. and F. Qiao, 2009: The relationship between sea surface

temperature anomaly and wind energy input in the Pacific Ocean.

Natural Science. Vol 19 (2009) 1409–1412.

Page 31: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

22

Natural Science. Vol 19 (2009) 1409–1412.

doi:10.1016/j.pnsc.2009.03.004.

Hurrell, J.W., 1995: Decadal trends in the North Atlantic Oscillation:

Regional temperatures and precipitation. Science, 269 (5224), 676-

679. [doi:10.1126/science.269.5224.676]

O’Neill LW, B. Dudley, DB. Chelton, S.K. Esbensen, 2010: The Effects of

Sea Surface Temperature-Induced Surface Wind Speed and Direction

Gradients on Midlatitude Surface Vorticity and Divergence. American

Meteorological Society, 2010. Vol 23, 255-281.

Ng, H.G., M.Z. MatJafri, K. Abdulah, and C.J. Wong, 2009: The effect of

wind speed on Sea Surface Temperature retrival. Proceedings of

Aerospace Conference, 2009 IEEE.

Potemra, J.T. 2006: Indonesian Throughflow Transport Variability

Estimated from Satellite Altimetry. The Official Magazine of the

Oceanographic Society.Vol 18. No. 4. 98-107.

Qu, T., Y. Du, L. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface

Temperature and its Variability in the Indonesian Region.

Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.

Qu Bo, A.J. Gabric, Z. Jing-nan, L. Dao-rong, Q. Feng, Z. Min, 2012:

Correlation between sea surface temperature and wind speed in

Greenland Sea and their relationships with NAO variability. Water

Science and Engineering, 2012, 5 (3): 304-315.

doi:10.3882/j.issn.1674-2370.2012.03.006.

Sachoemar S.I., and T. Yanagi, 2013: Temporal and Spatial Variability of

Sea Surface Temperature within Indonesian Regions Revealed by

Satellite Data, Reports of Research Institute for Applied Mechanics.

Kyushu University No.145 (37-41) September 2013.

Shukla, J., and B.M. Misra, 1977: Relationships between sea surface

temperature and wind speed over the central Arabian Sea, and

monsoon rainfall over India. Monthly Weather Review, 105, 998-1002.

Sprintal, J and Liu, 2006: Ekman Mass and Heat Transport in the

Indonesian Seas. The Official Magazine of the Oceanographic

Society.Vol 18.No. 4.88-97 pp.

Suryantoro A., 2008: Analisi Korelasi Suhu Udara Permukaan dan

Curah Hujan di Jakarta dan Pontianak dengan Anomali Suhu Muka

Laut Samudera India dan Pasifik Tropis dalam Kerangka Osilasi Dua

Tahunan Troposfer (TBO), Jurnal Sains Dirgantara Vol 6 No. 1, 2008,

pp 1-21.

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997: The Ecology

of the Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series.

Vol. VIL Periplus Editions (HK) Ltd.

Page 32: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Analisis Korelasi Suhu Permukaan Laut – Iis Sofiati

23

Walpole, R.E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 22-27.

Wang C., R.H. Weisberg, and H. Yang, 1999: Effects of the wind speed-

evaporation-Sea Surface Temperature feedback on the El Niño-

Southern Oscillation. Journal of Atmospheric Sciences, 56(10), 1391-

1403.

Wang, W., B.T. Anderson, R.K. Kaufmann, and R.B. Myneni, 2004: The

relation between the North Atlantic Oscillation and Sea Surface

Temperatures in the North Atlantic Basin. Journal of Climate, 17(24),

4752-4759. [doi:10.1175/ JCLI-3186.1]

Wytki. K., 1987: Indonesian Throughflow and the associated pressure

gradient. Journal of Geophysical Research 92: 12. 941-12, 946.

-------. 2006: Discovering the Indonesian Throughflow. The Official

Magazine of the Oceanographic Society. Vol 18.No. 4.28-29 pp.

Setiawan R Y., and A. Habibi, 2010: Sea Surface Temperature Cooling in

the Indonesian Seas, Ilmu Kelautan. Maret 2010. vol. 15 (1) 42-46.

ISSN 0853-7291.

Xie, S.P., 2004: Satellite observations of cool ocean-atmosphere

interaction. Bulletin of the American Meteorological Society, 85(2),

195-208. [doi:10.1175/BAMS-85-2-195].

Yu L, S. Zhong, X. Bian and W.E. Heilman, 2015: Temporal and Spatial

Variability of Wind Resources in the United States as Derived from the

Climate Forecast System Reanalysis. Journal of Climate. Vol. 28,

1166-1183. DOI: 10.1175/JCLI-D-14-00322.1

Page 33: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni

24

PROYEKSI DAN ANOMALI ANGIN HORISONTAL

TAHUN 2050 BERDASARKAN CONFORMAL CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) DI WILAYAH INDONESIA

BAGIAN TENGAH SELATAN

Ina Juaeni

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN

inajuaeni@yahoo. com

ABSTRACT This paper describing research result based on CCAM models for long term monthly wind speed and direction simulation and projection. The study area is restricted to the southern central part of Indonesia. Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) as a dynamic model is

used in 0. 5o of horizontal resolution that run for monthly output from

January 1971 to December 2000, and for monthly projection on 2050. The monthly output from January 1971 to December 2000 averaged to obtain monthly rainfall climatology. The model run using A2

scenario, that temperature increase by 1,5oon 2050 within related to

greenhouse gases increasing. The results of CCAM projections with two different host models indicate a change in wind direction and speed against climatology average. Positive anomalies for zonal wind occur in the northern area, while negative anomalies for the zonal wind tend to occur in the south, positive and negative anomalies for meridional wind occur in a random area. Reduction of zonal wind speed reach to 6 m/ sec while the maximum positive anomaly is 1. 5 m/sec, for meridional component the maximum negative anomaly as same as maximum positive anomaly reach to 2. 5 m / s. Keywords : simulation, projection, wind, positive anomaly,

negative anomaly

ABSTRAK

Makalah ini berupa penelitian yang memanfaatkan model CCAM untuk simulasi serta proyeksi arah dan kecepatan angin bulanan jangka panjang. Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian tengah selatan. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM) dengan resolusi

0,5o yang dijalankan untuk output bulanan dari Januari 1971

sampai dengan Desember 2000, serta proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971 sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan dengan menggunakan skenario A2, yaitu pada tahun 2050 akan terjadi

kenaikan suhu sebesar 1,5o seiring peningkatan gas rumah kaca.

Berdasarkan model CCAM dengan host model GFDLCM 20 dan GFDLCM21 hasil proyeksi menunjukkan terjadi perubahan arah

Page 34: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni

25

dan kecepatan angin terhadap rata-rata klimatologisnya. Anomali angin zonal positif terjadi di sebelah utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di sebelah selatan, sedangkan anomali positif dan negatif angin meridional terjadi dalam wilayah yang acak. Anomali angin zonal negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen meridional anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif maksimumnya, yaitu sebesar 2,5 m/det

Kata kunci : simulasi, proyeksi, angin, anomali positif, anomali negatif

1 PENDAHULUAN

Proyeksi iklim adalah pernyataan tentang kemungkinan yang akan

terjadi beberapa puluh sampai ratusan tahun yang akan datang. Beda

dengan prediksi, pada proyeksi perubahan iklim perubahan yang

dipandang penting disertakan dalam kondisi batas, misalnya kenaikan

gas rumah kaca. Untuk proyeksi kondisi masa yang akan datang,

dikembangkan skenario tentang apa yang mungkin terjadi yang

dijadikan asumsi dan dugaan. Penelitian proyeksi penting untuk

melakukan langkah-langkah antisipasi dampak buruk perubahan

parameter atmosfer terhadap manusia. Sebagai contoh jika peningkatan

konsentrasi gas rumah kaca akan menimbulkan peningkatan suhu

permukaan bumi yang berdampak buruk bagi manusia seperti

menurunnya hasil pertanian.

Proyeksi iklim memerlukan data dengan periode panjang (puluhan

tahun sampai dengan ratusan tahun). Data in situ untuk wilayah

Indonesia sangat sulit diperoleh dengan periode panjang seperti itu.

Data output model dapat menjadi pengganti data in situ. Penelitian

dengan menggunakan output model sesuai dengan sasaran kegiatan

LAPAN bahwa output model menjadi alat pembelajaran untuk lebih

memahami fenomena atmosfer. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

menentukan proyeksi dan anomali angin horizontal pada tahun 2050

berdasarkan model. Model yang digunakan adalah Cubic Conformal

Atmospheric Model (CCAM). Model ini telah diketahui kinerjanya dalam

menyimulasikan curah hujan berdasarkan penelitian sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan Juaeni (2010), Juaeni dan Sofiati (2013)

serta Juaeni dkk. (2014) menunjukkan kinerja CCAM dalam

mensimulasikan curah hujan di Indonesia dalam skala waktu harian

dan bulanan. Untuk skala bulanan, CCAM dengan input SST dari model

global GFDLCM20, GFDLCM21 dan UKMO-HADCM3 atau disingkat

dengan CCAM+GFDLCM20, CCAM+GFDLCM21 dan CCAM+

Page 35: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni

26

UKMOHADCM3 mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan

CCAM+MK3. 5, CCAM+MIROC3 dan CCAM+MPI-ECHAM5 dalam

menyimulasikan pola spasial dan temporal curah hujan, meskipun

semua model tersebut mensimulasikan nilai curah hujan lebih rendah

dibandingkan observasi. Hal ini ditunjukkan melalui tahapan

perbandingan. Pada perbandingan pola, kuantitas dan spektrum curah

hujan, CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan kinerja

yang sangat baik di wilayah Indonesia bagian barat daya dan tengah

selatan. Dengan kata lain model mempunyai kinerja yang baik dalam

menyimulasikan curah hujan dengan variasi yang kecil atau curah

hujan dengan pola monsunal. Dari penelitian tersebut juga ditunjukkan

bahwa CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 mempunyai kinerja

yang lebih baik dibandingkan model DARLAM+GCM-CSIRO9.

Perbandingan keluaran model dengan observasi harian menunjukkan

bahwa penggunaan model untuk aplikasi, simulasi ataupun prediksi

parameter atmosfer harian khususnya curah hujan perlu langkah

peningkatan akurasi terlebih dahulu (Juaeni dan Sofiati, 2013).

Sebelumnya, CCAM sendiri sudah diaplikasikan untuk wilayah lain

(lintang menengah) dan memberikan hasil yang baik (Nguyen and Mc

Gregor, 2009 serta Nguyen, Katzfey, and McGregor, 2011). Hasil

penelitian di atas dapat dijadikan acuan untuk menggunakan CCAM

dan host model dalam mensimulasi dan memproyeksikan angin, karena

angin mempunyai koefisien variasi yang lebih rendah dibandingkan

curah hujan (Juaeni, 2016).

2 METODE PENELITIAN

Wilayah penelitian dibatasi hanya untuk wilayah Indonesia bagian

tengah selatan. Batasan wilayah penelitian diperlihatkan pada Gambar

1. Model dinamik yang digunakan adalah Cubic Conformal Atmospheric

Model (CCAM) dengan resolusi 0,5o

yang dijalankan untuk output

bulanan dari Januari 1971 sampai dengan Desember 2000, serta

proyeksi perbulan tahun 2050. Output bulanan dari Januari 1971

sampai Desember 2000 dirata-ratakan pada bulan yang sama untuk

memperoleh curah hujan perbulan klimatologis. Model dijalankan

dengan menggunakan skenario A2, yaitu terjadi kenaikan suhu sebesar

1,5oC pada tahun 2050 seiring peningkatan gas rumah kaca seperti

tercantum dalam AR4 (IPCC, 2014) (Gambar 2). Untuk memperoleh

anomali angin perbulan, proyeksi angin perbulan tahun 2050 dikurangi

angin perbulan klimatologis. Input SST berasal dari host model

GFDLCM20, GFDLCM21. Ini merupakan pemanfaatan hasil uji kinerja

Page 36: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Proyeksi dan Anomali Angin Horizontal – Ina Juaeni

27

model sebelumnya yang menyatakan input SST yang berasal dari host

model GFDLCM20, GFDLCM21 memberikan hasil simulasi yang cukup

baik. Meskipun uji dilakukan untuk parameter curah hujan tetapi

karena variasi curah hujan lebih tinggi dibandingkan variasi arah dan

kecepatan angin, maka model tersebut akan memberikan hasil yang

sama atau lebih baik untuk angin. Spesifikasi seperti diperlihatkan pada

Tabel 1.

Gambar 1 Lokasi penelitian meliputi latitude: -9,5o - 0 dan

longitude: 108o – 125

o

Gambar 2 Skenario A2 untuk proyeksi tahun 2050 (lingkaran

kuning) (Sumber: IPCC, 2014)

Tabel 1 Resolusi dan batasan area model global

No Model CCAM

dengan input

dari

Longitude 1 Longitude 2 Latitude 1 Latitude 2

1 GFDLCM20 70 180 -30 40

2 GFDLCM21 70 180 -30 40

Page 37: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

28

Spesifikasi fisik dan dinamik dari dua model global ini sesuai

dengan yang digunakan IPCC (2007), sementara CCAM adalah model

atmosfer dengan spesifikasi dinamis seperti yang diuraikan dalam

Thatcher dkk. (2009).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Proyeksi dan anomali temperatur

Pada bab ini akan dibahas proyeksi angin tahun 2050 dan

anomalinya. Karena skenario A2 mensyaratkan adanya perubahan

temperatur, maka perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah temperatur

memang meningkat. Hal ini akan diuraikan melalui hasil proyeksi suhu

tahun 2050. Hasil simulasi klimatologis menunjukkan bahwa tempe-

ratur daratan dan lautan berkisar antara 24,5oC sampai 29,0

oC.

Berdasarkan hasil proyeksi temperatur tahun 2050 oleh CCAM

dengan host model GFDLCM20 dan GFDLCM 21, dapat ditunjukkan

bahwa peningkatan temperatur lebih dari 1,5 oC terjadi di lautan Jawa

dan sedikit wilayah darat di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat,

Laut Sulawesi, lautan Pasifik Barat, Laut Banda, Laut Arafura, lautan

Hindia, sebagian daratan Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Anomali temperatur pada bulan Juli dari model CCAM+GFDLCM20 dan

anomali temperatur bulan Januari dari model CCAM+GFDLCM21 pada

Gambar 3 mewakili gambaran anomali temperatur selama tahun 2050

di wilayah Indonesia bagian tengah selatan (Juaeni dkk., 2014).

Gambar 3 Anomali temperatur tahun 2050, kiri: CCAM dengan

host model GFDLCM20 resolusi 55,5 kmbulan Juli, kanan: CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km bulan Januari (Juaeni dkk., 2014)

Page 38: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

29

3.2 Angin klimatologis

Hasil proyeksi dan anomali temperatur menunjukkan untuk

wilayah penelitian terjadi kenaikan suhu yang besarnya bervariasi.

Kenaikan suhu yang disyaratkan oleh skenario A2 yaitu 1,5o terjadi di

beberapa lokasi, bahkan di wilayah tertentu terjadi kenaikan suhu

mencapai 4o. Sebaliknya, ditemukan wilayah-wilayah yang tidak

mengalami kenaikan temperatur permukaan. Hal ini bisa terjadi karena

respon peningkatan gas rumah kaca berbeda-beda untuk setiap tempat

dan juga bisa terjadi feedback positif dan negatif secara bersamaan

(Juaeni, 2014). Selanjutnya akan dibahas proyeksi arah dan kecepatan

angin beserta anomalinya. Kondisi klimatologis angin berdasarkan

model CCAM+GFDLCM20 dan CCAM+GFDLCM21 menunjukkan bahwa

pada bulan Januari dan Februari didominasi angin barat dengan

kecepatan paling tinggi 1 m/det di daratan, 4 sampai 6 m/det di laut

dan di lautan. Pada bulan Maret terjadi pelemahan angin di seluruh

wilayah penelitian.

Pada bulan April arah angin berubah menjadi angin timur.

Kondisi seperti ini terjadi sampai bulan November dengan kecepatan

angin antara 3 sampai 10 m/det di laut dan di lautan, kurang dari 1

sampai 1 m/det di daratan. Pada bulan Desember arah angin berubah

lagi menjadi angin barat dengan kecepatan maksimum 3 m/det di

laut/lautan. Angin klimatologis bulan Januari dan Desember dari host

model GFDLCM20 diperlihatkan pada Gambar 4 atas. Angin

klimatologis bulan Januari dan Desember dari host model GFDLCM21

diperlihatkan pada Gambar 4 bawah.

3.3 Proyeksi dan anomali angin tahun 2050

Proyeksi angin tahun 2050 dengan host model GFDLCM20 pada

Januari 2050 mengidentifikasi adanya pembalikan arah angin, barat

menjadi timur di bagian barat Indonesia dan angin timur menjadi angin

barat di timur Indonesia disertai penurunan kecepatannya. Pada

Februari 2050 terjadi penurunan kecepatan angin di Laut Maluku.

Pada Maret dan April 2050 kondisi angin permukaan sama dengan

kondisi pada Januari 2050. Pada Mei sampai November 2050

diidentifikasi sebagai angin timur di seluruh lautan atau tidak ada

perubahan berarti dibandingkan rata-rata 30 tahun. Pada Desember

2050 angin barat di Selat Makassar berubah menjadi angin utara.

Dengan GFDLCM21, pada Januari 2050 terjadi pengurangan kecepatan

di Laut Jawa dan perubahan arah dari utara menjadi barat laut di Laut

Page 39: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

30

Maluku. Pada Februari 2050, angin timur di Laut Maluku berubah

menjadi timur laut. Terjadi perubahan arah di Selat Makassar timur

pada Maret 2050. Pada April 2050,terjadi angin timur dengan sedikit

pengurangan kecepatan di Laut Maluku di bandingkan rata-ratanya.

Pada bulan Mei sampai November, arah dan kecepatan angin relatif

tidak berubah dari rata-ratanya. Pada Desember 2050 berhembus

angin barat, sama dengan kondisi rata-ratanya.

Gambar 4 atas: Angin permukaan CCAM dengan host model

GFDLCM20 resolusi 55,5 km rata-rata 30 tahun, bawah: Angin permukaan CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km rata-rata 30 tahun, untuk bulan Januari dan Desember

Untuk anomali kecepatan angin dipisahkan antara komponen

zonal dan komponen meridional. Untuk komponen zonal, anomali

kecepatan angin arah zonal (barat-timur) untuk model

CCAM+GFDLCM20 menunjukkan terjadi penurunan dan peningkatan

kecepatan angin. Pengurangan kecepatan dimulai sejak Januari 2050

yang berangsur-angsur pengurangannya semakin kecil sampai

November. Bulan Desember anomali negatif meningkat lagi.

Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan sementara

Page 40: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

31

peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara area

penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi anomal

positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi kuantitasnya

lebih kecil, ada pemisahan dominasi antara utara dan selatan tetapi

tidak dominan, anomali positif dan negatif terletak berurutan terhadap

meridian atau terhadap lintang. Gambar 5 atas menunjukkan anomali

angin zonal pada Januari dan November 2050. Gambar 5 bawah

menunjukkan anomali angin meridional pada Januari dan Desember

2050.

Gambar 5 atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen

zonal CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan November,

bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model GFDLCM20 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Desember

Page 41: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

32

Untuk komponen zonal, anomali kecepatan angin arah zonal

(barat-timur) untuk model CCAM+GFDLCM21 menunjukkan hasil yang

sangat mirip dengan hasil yang diperoleh model CCAM=GFDLCM20.

Terjadi penurunan dan peningkatan kecepatan angin. Pengurangan

kecepatan dimulai sejak Januari 2050 yang berangsur-angsur

pengurangannya semakin kecil. Pada bulan Mei anomali positif

diseluruh wilayah penelitian dan kemudian anomali menjadi negatif

lagi pada bulan Juni 2050 sampai September. Bulan Oktober anomali

positif disemua wilayah. Bulan November dan Desember anomali

negatif berangsur-angsur meningkat lagi.

Gambar 6 atas: Anomali kecepatan angin permukaankomponen

zonal CCAM dengan host model GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Mei,

bawah: Anomali kecepatan angin permukaan komponen meridional CCAM dengan host model

GFDLCM21 resolusi 55,5 km proyeksi tahun 2050 untuk bulan Januari dan Juni

Page 42: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

33

Pengurangan kecepatan cenderung terjadi di sebelah selatan

sementara peningkatan kecepatan angin dominan terjadi sebelah utara

area penelitian. Untuk komponen meridional (utara-selatan), terjadi

anomal positif dan negatif seperti pada komponen zonal tetapi

kuantitasnya lebih kecil, Pada bulan Januari dan Maret anomali positif

di semua wilayah. Kemudian anomali negatif berangsur meningkat.

Anomali negatif tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Oktober.

Anomali positif pada komponen zonal banyak terjadi sebelah

utara area penelitian diduga berkaitan dengan posisinya yang lebih

dekat ke ekuator, karena anomali positif nilainya kecil dibandingkan

anomali negatif. Wilayah ekuatorial adalah wilayah yang tidak

dipengaruhi oleh gaya semu Coriolis sehingga dinamika di wilayah itu

cenderung statis. Maka perubahan yang terjadi tidak terlalu besar.

Sementara wilayah yang jauh dari garis ekuator semakin dipengaruhi

oleh gaya Coriolis. Dinamika atmosfer semakin aktif pada lokasi yang

menjauhi ekuator. Berapapun nilai mutlak perubahan arah angin dan

pelemahan kecepatan angin pada bulan Januari sampai April 2050,

dari barat menjadi timur perlu diwaspadai karena perubahan ini

mengandung potensi akan berkurangnya curah hujan, terutama di

wilayah sebelah selatan. Pelemahan kecepatan angin bisa menjadi

indikator akan terjadinya El Niño.

4 KESIMPULAN

Hasil proyeksi model CCAM dengan dua host model yang berbeda

menunjukkan terjadi perubahan arah dan kecepatan angin terhadap

rata-rata klimatologisnya. Anomali positif dominan terjadi di sebelah

utara area penelitian, sedangkan anomali negatif cenderung terjadi di

sebelah selatan untuk angin zonal, sedangkan untuk angin meridional

tidak ada karakter wilayah yang tegas membedakan anomali positif dan

negatif. Anomali negatif maksimum mencapai 6 m/det sedangkan

anomali positif maksimum adalah 1,5 m/det, untuk komponen

meridonal anomali negatif maksimum sama seperti anomali positif

maksimum mencapai 2,5 m/det.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada CSIRO untuk hasil

simulasi yang telah diberikan dan kepada LAPAN atas segala dukungan

fasilitas penelitian.

Page 43: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

34

DAFTAR RUJUKAN

IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007: Climate

Change, IPCC Fourth Report, WMO – UNEP.

IPCC/Intergovernmental Panel on Climate Change, 2014: Mitigation of

climate change, WMO – UNEP.

Juaeni, I. ; 2010: Simulasi Curah Hujan Berbasis Model Dinamis Cubic

Conformal Atmospheric Model (CCAM), Prosiding Seminar Nasional

Penerbangan dan Antariksa, Sub-seminar Sains Atmosfer dan Iklim-

LAPAN, 15 November 2010, Bandung-Jawa Barat.

Juaeni, I. dan Iis Sofiati, 2013:Perbandingan Pola dan Intensitas Curah

Hujan Observasi dengan Curah Hujan Simulasi Harian di Jawa

Timur, Prosiding Simposium Fisika Nasional XXVI, 10-11 Oktober

2013, Malang-Jawa Timur.

Juaeni, I. ; Bambang Siswanto, Nurzaman Adikusumah, dan Iis Sofiati,

2014:Perbandingan Simulasi Curah Hujan Conformal-Cubic

Atmospheric Model (CCAM) Dengan tiga Host Model Di Wilayah

Indonesia Bagian Tengah Selatan, Prosiding Simposium Fisika

Nasional XXVII, 16-17 Oktober, Denpasar-Bali.

Juaeni, I. ; 2014 :Feedback Peningkatan Temperatur Permukaan Pada

Curah hujan di Wilayah Indonesia Bagian Tengah Selatan

BerbasisConformal Cubic Atmospheric Model (CCAM),Prosiding

Seminar Nasional Sains Atmosfer-LAPAN, 24 Juni 2014, Bandung-

Jawa Barat.

Juaeni, I. ; 2016:Perbedaan karakter Atmosfer Permukaan Padang dan

Selaparang Berbasis Selisih Nilai dan Variansi, dalam proses

publikasibentuk Jurnal Akreditasi Nasional.

Nguyen, K. C. and J. L. McGregor, 2009:Dynamical downscaling of the

MK3. 0 simulation of the A2 scenario over the Australian region using

CCAM, National Library of Cataloguing, ISBN 9781921605093, The

Australian Government Department of Environment.

Nguyen, K. C. ,Jack J. Katzfey, John L. McGregor, 2011: Global 60 km

simulations with CCAM: evaluation over the tropics, Climate

Dynamics, 39,Issue 3-4, 637-654.

Thatcher, M. and J.L. McGregor; 2009: Using a Scale-Selective Filter for

Dynamical Downscaling with the Conformal Cubic Atmospheric

Model. Monthly Weather Review, 137.

Page 44: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

35

VARIABILITAS PROFIL SUHU VERTIKAL DAN KETERKAITAN

DENGAN EFEK RUMAH KACA DI INDONESIA

Indah Susanti, Waluyo Eko Cahyono, dan Rosida

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN Bandung

indah. susanti@lapan. go. id

ABSTRACT Temperature variations profile have analyzed using data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) from January 2003 - December 2015 for 24 altitude. By using a regression equation to temperature in all altitude of atmosphere by time, showed a warming atmosphere at 70 mb - 30 mb. Meanwhile, at others shows cooling. In this case, the energy balance determined the rate of temperature changes. La Ninã occurred in 2010, causing an abundance of moisture, and when the rains fall contributed to temperatures increasedand caused 3 ˚C of temperature anomaly. In addition, changes in radiation energy, also showed strong linkages with temperature changes around the surface, as shown by high correlation (0,7) between the temperature near the surface with the value of the greenhouse effect. Keywords : temperature, radiation, greenhouse effect,

atmosphere.

ABSTRAK

Telah dianalisis variasi profil suhu dengan menggunakan data Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) dari Januari 2003 – Desember

2015 untuk 24 ketinggian atmosfer. Penggunaan persamaan regresi terhadap suhu di 24 ketinggian atmosfer berdasarkan waktu, hasilnya menunjukkan adanya pemanasan di ketinggian

atmosfer 70 mb – 30 mb. Lain halnya di ketinggian lainnya menunjukkan pendinginan. Hal ini disebabkan neraca energi turut menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun 2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan memberikan kontribusi pada peningkatan suhu dan menyebabkan adanya anomali sebesar 3 ˚C di ketinggian 500 – 150 mb. Selain itu, perubahan energi radiasi, juga menunjukkan keterkaitan yang cukup kuat dengan perubahan suhu di sekitar permukaan, yang ditunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,7 antara suhu di dekat permukaan dengan nilai efek rumah kaca.

Kata kunci : suhu, radiasi, efek rumah kaca, atmosfer.

Page 45: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

36

1 PENDAHULUAN

Perubahan iklim sampai saat ini masih menjadi isu yang disoroti

oleh banyak ilmuwan, terutama yang terkait dengan mekanisme dan

faktor-faktor yang berkontribusi pada perubahan iklim. Suhu

merupakan parameter penting dalam perubahan iklim, dan perubahan

suhu tersebut tidak hanya terjadi di permukaan bumi. Prediksi

berdasarkan General Circulation Model (GCM) menyatakan bahwa pada

abad ke-21 terdapat peningkatan pemanasan maksimum di troposfer,

di sekitar 200 hPa (International Panel in Climate Change/IPCC, 2007).

Kondisi ini memiliki implikasi penting terhadap sensitivitas iklim

karena dampaknya pada umpan balik uap air, lapse rate, dan awan

(Hartmann and Larson, 2002), serta terhadap perubahan sirkulasi

atmosfer (Butler dkk., 2010). Bagaimana dengan troposfer atas di

daerah tropis?. Untuk menjawabnya diperlukan pengujian terhadap

validitas prediksi terkait pemanasan maksimum di troposfer atas di

daerah tropis. Beberapa studi, seperti yang dilakukan Santer (Santer

dkk., 2008), menunjukkan bukti-bukti bahwa perubahan suhu

troposfer atas di daerah tropis lebih dari yang terjadi di permukaan

dalam skala waktu multi-dekadal, meskipun beberapa analisis masih

menunjukkan sebaliknya, seperti yang dilakukan oleh Christy tahun

2007.

Di atmosfer, distribusi kelembapan dan tekanan udara di

ketinggian yang bersifat progresif, menghasilkan penurunan suhu

sampai ketinggian tropopause, dengan tingkat penurunan yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis dan kondisi cuaca. Tropopause

menandai puncak troposfer, yaitu dengan ketinggian 8 sampai 16 km

dari permukaan dan bervariasi berdasarkan lintang dan bujur. Di atas

ketinggian ini, sifat fisik dari udara menghasilkan pemanasan yang

mengikuti ketinggian stratosfer yang membentang dari tropopause

sampai ketinggian kurang lebih ~ 50 km (Fu dkk., 2011).

Profil suhu vertikal atmosfer mencerminkan keseimbangan antara

radiasi, konveksi dan dinamika pemanasan/pendinginan dari sistem

permukaan bumi-atmosfer. Kombinasi antara sifat fisik dan proses

dinamis dari atmosfer, pencampuran panas secara vertikal dan

horizontal, akan menghasilkan suhu tertinggi, rata-rata, dengan variasi

musiman dan spasial tertentu (Forster dkk., 2007). Kecenderungan

suhu permukaan berbeda dari kecenderungan suhu di atmosfer yang

lebih tinggi. Hal ini karena adanya perbedaan tipe permukaan,

perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer atau kecenderungan

Page 46: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

37

variabilitas atmosfer, dan faktor-faktor pendorong (forcing factors). Tipe

permukaan seperti laut, salju, es, dan tutupan vegetasi, akan

membedakan secara signifikan karakteristik fisisnya (Forster dkk.,

2007). Faktor-faktor pendorong (forcing factors), baik alami (seperti

letusan gunung dan sinar matahari) atau antropogenik (seperti gas

rumah kaca, aerosol, ozon, dan tataguna lahan) untuk menghasilkan

kecenderungan profil suhu yang berbeda, dan variasi vertikal ini dapat

berubah sepanjang waktu. Hal ini dapat muncul karena perubahan

spasial dan temporal konsentrasi atau karakteristik forcing agents

(Soden and Held, 2006).

Banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan suhu

menyebabkan tingginya tingkat kemungkinan bahwa suhu

menunjukkan variabilitas yang tinggi secara horizontal, vertikal, dan

spasial. Perkembangan teknologi satelit pada saat ini memungkinkan

untuk memperoleh parameter yang terkait dengan perubahan kondisi

suhu vertikal dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Studi ini

bertujuan untuk mengetahui efek perubahan suhu secara horizontal

dan vertikal (profil), serta temporal dalam mengungkap keterkaitan

perubahan suhu dengan perubahan neraca energi. Melalui studi ini

diharapkan memberi gambaran untuk wilayah Indonesia, dimana

terjadi perubahan suhu, baik secara vertikal dan horizontal, serta

dapat memperoleh gambaran awal keterkaitannya dengan neraca

energi radiasi, terutama radiasi inframerah yang berasal dari

permukaan bumi yang menimbulkan efek rumah kaca. Hal ini

dikarenakan di troposfer, gas-gas penyusun atmosfer kurang efisien

dalam menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap

energi inframerah yang diemisikan oleh bumi (Gettelman and Forster,

2002).

2 METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada studi ini adalah suhu pada 24

ketinggian berdasarkan tekanan atmosfer dari Atmospheric Infrared

Sounder (AIRS) versi 6. Seluruh data yang digunakan dapat diunduh di

ftp:/data/s4pa/Aqua_AIRS_Level3/AIRX3STM/006. Format data yang

diperoleh dalam bentuk hdf dengan resolusi vertikal 1 km, resolusi

horizontal 1 derajat, dan resolusi temporal bulanan dari Januari 2003

sampai Desember 2015. Ketinggian yang dapat digunakan untuk

menganalisis suhu berdasarkan data AIRS mencakup 24 level, yaitu

1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, 150, 100, 70, 50,

30, 20, 15, 10, 7, 5, 3, 2, 1,5 dan 1 mb. Parameter yang digunakan

Page 47: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

38

terdiri dari profil suhu pada 24 level ketinggian, suhu permukaan, dan

Outgoing Longwave Radiation (OLR). Cakupan wilayah yang dianalisis

adalah 80 – 150˚BT dan 20˚LS – 20˚LU (meliputi 4 kota yaitu Jakarta,

Medan, Makasar, dan Biak).

Metode yang digunakan adalah perbandingan suhu pada 24

ketinggian atmosfer secara spasial. Metode ini digunakan untuk dapat

mengidentifikasi dan menganalisis perubahan suhu secara relatif di

beberapa lapisan troposfer. Kemudian dilakukan perbandingan

temporal dengan menggunakan analisis deret waktu dan menghitung

tingkat perubahan suhu selama periode yang dianalisis untuk semua

level ketinggian. Untuk dapat mengidentifikasi keterkaitannya dengan

perubahan neraca radiasi gelombang pendek atau inframerah yang

dipancarkan bumi akan dibuat perbandingan antara kenaikan suhu

dengan efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan indikator yang

menggambarkan berapa besar energi inframerah yang terjebak di

atmosfer.

Efek rumah kaca merupakan gambaran besarnya energi yang

terjebak atau terserap di atmosfer, maka efek rumah kaca dihitung

sebagai selisih antara energi inframerah yang dipancarkan oleh

permukaan bumi dengan energi inframerah yang keluar atmosfer bumi

(outgoing longwave radiation). Adapun emisi inframerah diestimasi

berdasarkan suhu permukaan. Dalam hal ini bumi diasumsikan

sebagai benda hitam, sehingga energi yang diemisikannya adalah 𝜎𝑇𝑠4.

𝑇𝑠 adalah suhu permukaan, dan 𝜎 adalah konstanta Steffan Boltzman

(5,67 x 10-8 Wm-2K-4) (Ramanathan and Inamdar, 2006)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengolahan data AIRS dapat diketahui bahwa

profil suhu di Indonesia masih mengikuti pola umum, yaitu mengalami

penurunan suhu sampai tropopause dan mengalami peningkatan di

stratosfer. Gambar 1a menunjukkan profil suhu rata-rata untuk

seluruh wilayah kajian dari Januari 2003 – Desember 2015 secara

jelas. Hal ini sesuai dengan banyak hasil penelitian lainnya,

diantaranya yang dilakukan Hermawan (2009) dengan menggunakan

data FORMOSAT-3 dan radiosonde, serta sesuai dengan yang

dilakukan oleh Fu dkk. (2011). Di atmosfer pada ketinggian sekitar 17

km atau pada tekanan udara sekitar 100 mb, suhu mulai

menunjukkan peningkatan. Nilai minimal profil suhu di Indonesia

mencapai -81 ˚C. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-

Page 48: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

39

rata suhu Indonesia di permukaan yang bernilai 27,8 ºC.

Dengan adanya perubahan komposisi atmosfer, memungkinkan

adanya perubahan kondisi suhu atmosfer (Forster dkk., 2007) dengan

tingkat perubahan yang berbeda untuk setiap level ketinggian. Gambar

1b menggambarkan tingkat perubahan suhu untuk 24 level ketinggian

di beberapa kota. Terdapat dua hal yang dapat dicermati dari gambar

tersebut. Pertama, secara vertikal, semua kasus kota yang diamati

menunjukkan bahwa perubahan suhu tertinggi terjadi di ketinggian 70

mb, yang berarti berbeda dari yang ditunjukkan dalam laporan IPCC

2007 bahwa peningkatan suhu berdasarkan GCM terjadi di ketinggian

atmosfer 200 mb. Berdasarkan data AIRS, suhu pada ketinggian 70 mb

di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,01 ºC per bulan dalam

periode Januari 2003 – Desember 2015, yang berarti dalam 1 tahun

menghasilkan kenaikan suhu sebesar 0,12 ºC. Kedua, semua kasus

kota yang diamati menunjukkan besaran perubahan suhu yang hampir

sama di semua ketinggian atmosfer, kecuali di dekat permukaan dan di

stratosfer, terutama untuk 10 – 1 mb. Karena kondisi suhu erat

kaitannya dengan keseimbangan energi dan sirkulasi (Forster dkk.,

2007), maka variasi suhu yang besar di permukaan dan di stratosfer

menunjukkan adanya variasi perubahan neraca energi yang besar

kemungkinannya dipengaruhi perubahan komposisi atmosfer dan

sirkulasi atmosfer (Grewe dkk., 2001). Perubahan komposisi atmosfer

pada umumnya sangat tergantung pada kondisi lokal, yaitu tingkat

emisi gas-gas dan partikel tertentu dari suatu daerah (Grewe dkk.,

2001). Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab adanya

perbedaan tingkat perubahan suhu permukaan antar daerah seperti

yang ditunjukkan oleh Gambar 1b.

Besarnya tingkat perubahan suhu pada ketinggian atmosfer 70

mb, terjadi hampir di semua wilayah kajian. Gambar 1c menunjukkan

tingkat perubahan suhu rata-rata longitudinal, dimana peningkatan

kuat di ketinggian 70 mb sampai 30 mb, lebih cenderung terjadi di

belahan bumi selatan dari wilayah kajian. Mengingat lautan di selatan

wilayah kajian lebih banyak dibandingkan utara, maka terdapat

kemungkinan bahwa lautan memberi kontribusi pada peningkatan

suhu di ketinggian 70 mb-30 mb. Adanya peningkatan suhu yang lebih

besar pada ketinggian tersebut menunjukkan adanya peningkatan

kapasitas atmosfer dalam menampung uap air pada level tersebut,

mengingat prinsip dasar atmosfer bahwa atmosfer yang lebih hangat

dapat menampung uap air yang lebih banyak (Pierrehumbert, dkk.,

2007). Dalam hal ini, perlu adanya penelitian lebih lanjut yang

Page 49: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

40

menyebabkan peningkatan pada level tersebut. Di stratosfer yang lebih

tinggi dari level tersebut menunjukkan pendinginan yang lebih besar

dibandingkan dengan level lainnya. Hal ini sesuai dengan apa

diungkapkan oleh Ramaswamy (2001) dan Shine (2003) bahwa di

stratosfer terjadi pendinginan yang dikendalikan oleh faktor

antropogenik melalui emisi gas rumah kaca dan ozone-depleting yang

menimbulkan efek radiatif.

Menurut peneliti tingkat perubahan suhu yang dihitung

berdasarkan nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu,

menunjukkan kecenderungan umum yang terjadi dalam skala waktu

panjang (dekade atau multi dekade). Perubahan suhu yang terjadi,

lebih disebabkan oleh faktor-faktor forcing secara gradual dalam jangka

waktu panjang.

Profil suhu rata-

rata (K)

Tingkat perubahan suhu (K) Tingkat perubahan suhu zonal

rata-rata (K/bulan)

Gambar 1. Profil suhu rata-rata di Indonesia berdasarkan data AIRS (a) dan tingkat perubahan suhu rata-rata per bulan untuk periode Januari 2003 – Desember 2015 di 24 level ketinggian untuk beberapa kota di

Indonesia(b), dan tingkat perubahan suhu zonal rata-rata untuk sampai tekanan atmosfer 1 mb (Sumber : Hasil olahan, 2016).

1

10

100

1000

-100 0

1

10

100

1000

-0.01 -0.005 0 0.005 0.01biak jakartamakassar medan

Page 50: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

41

Jika perubahan gradual dalam jangka panjang ditunjukkan oleh

nilai slope dari persamaan regresi suhu terhadap waktu, maka

perubahan yang bersifat temporer dapat ditunjukkan oleh nilai

anomalinya. Gambar 2 berikut, merupakan ilustrasi anomali profil

suhu di beberapa kota di Indonesia (Medan, Makassar, Jakarta, Biak)

untuk ketinggian atmosfer 1000 mb – 1 mb selama periode Januari

2003 – Desember 2015.

Gambar 2. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Medan, Makassar, Jakarta dan Biak, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 1 mb (dalam Kelvin) (Sumber : Hasil olahan, 2016).

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa anomali profil

suhu menunjukkan adanya siklus,terutama di ketinggian atmosfer 100

mb – 1 mb. Di beberapa periode, di sekitar ketinggian 100 mb,

menunjukkan anomali suhu negatif, namun ketinggian di atasnya

menunjukkan anomali positif. Sebaliknya, di periode yang lain, di

ketinggian 100 mb menunjukkan anomali positif, dan di ketinggian di

atasnya menunjukkan anomali negatif. Pola siklus suhu stratosfer ini,

Page 51: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

42

merupakan hal yang harus digali lebih lanjut. Thompson dkk. (2012)

menyatakan bahwa kecenderungan tersebut sampai saat ini masih

merupakan hal yang dipertanyakan. Dengan menggunakan data NOAA,

Met Office, RSS, dan UAH (data observasi) serta data CCM dan CMIP5,

Thompson, dkk. (2012) menunjukkan bahwa di stratosfer terjadi

penurunan suhu, dimana data observasi menunjukkan penurunan

nilai yang lebih besar dibandingkan dengan data model. Dalam hal ini,

data AIRS menunjukkan pola penurunan yang sama di stratosfer.

Di sekitar permukaan, anomali di keempat kota menunjukkan

variasi yang cukup besar. Hanya Biak yang menunjukkan siklus suhu

cukup jelas. Kemungkinan hal ini dikarenakan kontribusi faktor

antropogenik di Biak lebih kecil dibanding 3 (tiga) kota lainnya,

sehingga faktor penyinaran matahari menjadi lebih dominan. Secara

umum, keempat kota menunjukkan pola yang hampir sama. Apabila

mencermati profil suhu troposfer dalam gambar yang lebih detail dari

salah satu kota tersebut (Makassar), terdapat fenomena tersendiri pada

tahun 2008 dan 2010. Pada tahun 2008 terjadi anomali negatif yang

cukup besar di ketinggian atmosfer 500 – 150 mb (Gambar 3).

Sebaliknya, di tahun 2010 terjadi anomali positif yang besar di hampir

semua ketinggian troposfer, karena pada tahun 1998 dan 2010

Indonesia mengalami kejadian La Ninã (LAPAN, et. al. , 2016). Untuk

fenomena yang terjadi tahun 2010 dapat dijelaskan melalui peristiwa

La Ninã, dimana di troposfer terdapat muatan uap air yang cukup

banyak dan terjadi pelepasan panas laten pada saat terbentuk hujan

dan memberi kontribusi pada peningkatan suhu atmosfer dan

menyebabkan adanya anomali sampai 3˚C.

Uap air di troposfer berperan sebagai faktor kunci dalam

pengaturan dinamika troposfer dan merupakan gas rumah kaca yang

sangat kuat. (Scheneider, dkk., 1999 dalam Ambarsari, 2010). Namun,

untuk 2008, tidak terjadi fenomena ENSO yang dapat menjelaskan

penurunan suhu tersebut. Dalam hal, perlu ada kajian yang lebih

mendalam mengenai hal tersebut. Pada saat ini telah diakui bahwa

untuk dapat menganalisis kecenderungan suhu yang terobservasi

membutuhkan pemahaman dalam hal perubahan neraca air dan energi

global, serta perubahan sirkulasi atmosfer umum. Realisasi ini

merupakan hal yang krusial untuk dapat menginterpretasi perubahan-

perubahan profil suhu atmosfer. Hal tersebut disebabkan oleh

perubahan-perubahan sirkulasi atmosfer dan konsekuensi dari

perubahan-perubahan uap air, awan, prisipitasi, fluks radiatif, dan

sebagainya. Perubahan neraca energi yang berakibat pada penurunan

Page 52: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

43

suhu tahun 2008, dapat berasal dari perubahan sirkulasi atmosfer

global, atau berasal dari adanya kejadian erupsi Gunung Merapi tahun

2007 yang melepaskan aerosol ke stratosfer dan mengurangi masuknya

radiasi matahari ke troposfer dalam jangka waktu yang relatif panjang.

Hal ini membutuhkan dukungan data yang cukup akurat untuk dapat

menjelaskan fenomena tersebut.

a. b.

Gambar 3. Anomali profil suhu dari data AIRS periode Januari 2003 – Desember 2015 di Makassar, dari ketinggian atmosfer 1000 mb sampai 150 mb (a), dan 150 mb – 1 mb (b) (Sumber : Hasil olahan, 2016).

Peningkatan suhu tahun 2010, terjadi sampai tropopause. Di

stratosfer menengah terjadi penurunan suhu, yang akan

mempengaruhi kapasitas udara dalam menampung uap air. Penurunan

suhu di stratosfer tersebut, diikuti oleh peningkatan pada periode

berikutnya (Gambar 3.b.). Pola ini menunjukkan adanya kemungkinan

pengaruh sirkulasi global yang mendominasi pada neraca energi dan

mempengaruhi suhu stratosfer.

Kondisi troposfer memberi pengaruh pada kondisi stratosfer,

demikian pula sebaliknya, kondisi stratosfer memberi pengaruh pada

troposfer. Thorne (2005) mengungkapkan bahwa efek ke atas, dari

troposfer ke stratosfer, telah banyak dipahami, namun efek ke bawah,

dari stratosfer ke troposfer, sangat kurang dipahami. Meskipun

demikian, kemungkinan pengaruh-pengaruh radiatif dan dinamis dari

stratosfer terhadap troposfer mulai diungkapkan. Efek radiatifnya

mencakup depletasi ozon stratosfer dan perubahan tropospheric forcing

karena radiasi UV atau gelombang panjang (multidekade), tropospheric

longwave forcing dari peningkatan gas rumah kaca di stratosfer dalam

skala multi dekade, dan dari perubahan uap air stratosfer, tropospheric

Page 53: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

44

forcing dari perubahan iradiansi sinar matahari yang disebabkan

perubahan ozon dan UV (periodik dan dekadal), serta pengaruh gas-gas

dan uap air vulkanik di stratosfer bawah melalui efek radiatif dan

pengaruh pada awan sirus (Thorne, 2005).

Gambar 4. Diagram pencar antara efek rumah kaca (Ga) dan suhu rata-rata Januari 2003-Desember 2015 untuk seluruh wilayah kajian pada beberapa level ketinggian atmosfer dengan menggunakan data AIRS

Page 54: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

45

Di troposfer, gas-gas penyusunnya kurang efisien dalam

menyerap cahaya matahari, namun efisien dalam menyerap energi

inframerah yang diemisikan oleh bumi. Dua gas yang paling efektif

sebagai penyerap radiasi inframerah adalah uap air dan karbon

dioksida (Gettelman and Forster, 2002). Jadi, troposfer bumi lebih

cenderung dipanaskan oleh permukaan bumi, tidak oleh sinar

matahari secara langsung. Molekul uap air dan karbon dioksida

menyerap inframerah yang diemisikan oleh bumi, dan membagi energi

tersebut dengan molekul lainnya di troposfer. Istilah efek rumah kaca

sering digunakan untuk menggambarkan proses ini, yang mana energi

matahari memanaskan bumi, bumi mengemisikan inframerah yang

kemudian diserap untuk memanaskan troposfer (Garfinkel, 2013). Efek

rumah kaca adalah salah satu isu lingkungan yang paling banyak

mendapat perdebatan.

Untuk melihat pengaruh efek rumah kaca pada profil suhu,

digunakan analisis diagram pencar antara suhu pada ketinggian

tertentu dengan besar efek rumah kaca terhitung. Hasilnya

menunjukkan bahwa efek rumah kaca lebih berpengaruh pada suhu

dekat dengan permukaan. Gambar 4 menunjukkan diagram pencar

antara suhu dan besaran efek rumah kaca terhitung sebagai indikasi

berapa besar radiasi gelombang panjang yang terjebak di atmosfer.

Korelasi antara suhu dan efek rumah kaca lebih cenderung kuat di

sekitar permukaan, dengan nilai korelasi positif sebesar 0. 7. Hal ini

berarti bahwa penyerapan radiasi inframerah lebih banyak terjadi di

permukaan. Kemungkinan hal ini terjadi karena sifat mampat dari

atmosfer, dimana densitas atmosfer lebih tinggi di sekitar permukaan.

Dengan mengingat posisi gas rumah kaca dan mekanismenya ada

di atmosfer atas, sedangkan efek rumah kaca lebih berkaitan dengan

suhu di permukaan, maka hal ini memunculkan pertanyaan, apakah

gas rumah kaca lebih bersifat menyerap radiasi atau memantulkan?

Jika lebih banyak memantulkan atau memencarkan, maka hal ini

‘kurang’ sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Gettelman and

Forster (2002) bahwa gas rumah kaca cenderung menyerap radiasi

inframerah. Atau mungkin pernyataan tersebut pada dasarnya hanya

ditujukan untuk perbandingan mana yang lebih besar peranan gas

rumah kaca dalam penyerapan radiasi inframerah/gelombang panjang

atau penyerapan gelombang pendek. Konteks uraian Gettelman and

Forster (2002) lebih menunjukkan bahwa pemanasan di atmosfer

adalah karena radiasi gelombang panjang, bukan karena pemanasan

dari sinar matahari langsung. Selain itu juga perlu dikaji dari sisi

Page 55: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

46

perbedaan data yang digunakan.

Berdasarkan nilai slope antara suhu dan efek rumah kaca, di

permukaan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, yang berarti bahwa di

sekitar permukaan, suhunya lebih sensitif terhadap perubahan efek

rumah kaca, atau terhadap perubahan neraca radiasi gelombang

panjang.

4 KESIMPULAN

Peningkatan suhu berkaitan dengan neraca radiasi dan neraca

air serta sirkulasi atmosfer. Oleh karena itu, penyerapan radiasi akan

memberikan kontribusi pada suhu. Berbagai proses yang terjadi di

atmosfer, menyebabkan adanya perbedaan perubahan profil suhu. Dari

hasil analisis data AIRS, menunjukkan adanya pemanasan di

ketinggian atmosfer 70 mb – 30 mb. Sedangkan di ketinggian lainnya

menunjukkan pendinginan. Dalam hal ini, neraca energi akan

menentukan tingkat perubahan suhu. La Ninã yang terjadi pada tahun

2010, menyebabkan melimpahnya uap air, dan ketika terjadi hujan

memberikan kontribusi pada peningkatan suhu melalui pelepasan

panas laten di atmosfer. Selain itu, perubahan energi radiasi juga

menunjukkan korelasi yang cukup kuat dengan perubahan suhu di

sekitar permukaan sebagai efek rumah kaca.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sri Kaloka

yang telah memberi bimbingan dalam penelitian yang terkait dengan

persoalan gas rumah kaca sebagai bagian dalam penelitiannya.

DAFTAR RUJUKAN

Butler, A. H. , D. W. J. Thompson, and R. Heikes, 2010: The steady‐

state atmospheric circulation response to climate change‐like

thermal forcings in a simple general circulation model. Journal of

Climate, 23, 3474–3496, doi:10. 1175/2010JCLI3228. 1.

Forster, P. , V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D. W.

Fahey, J. Haywood, J. Lean, D. C. Lowe, G. Myhre, J. Nganga, R.

Prinn, G. Raga, M. Schulz and R. Van Dorland, 2007: Changes in

Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing, In: Climate

Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working

Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental

Panel on Climate Change.

Page 56: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

47

Fu, Q. , S. Manabe, and C. M. Johanson, 2011: On the warming in the

tropical upper troposphere: Models versus observations, Geophys.

Res. Lett. , 38, L15704, doi: 10. 1029/2011GL048101.

Garfinkel, C. I. , D. W. Waugh, L. D. Oman, L. Wang, and M. M.

Hurwitz, 2013: Temperature trends in the tropical upper troposphere

and lower stratosphere: Connections with sea surface temperatures

and implications for water vapor and ozone, J. Geophys. Res. Atmos.

, 118, 9658–9672, doi:10. 1002/ jgrd. 50772.

Gettelman, A. and Forster, P. M. F. , 2002: A Climatology of the Tropical

Tropopause Layer, J. Met. Soc. Jpn. , 80, 911–924.

Grewe, V. , M. Dameris, R. Hein, R. Sausen and B. Steil, 2001: Future

changes of the atmospheric composition and the impact of climate

change, Tellus (2001), 53B, 103–121, ISSN 0280–6509

Hartmann, D. L. , and K. Larson, 2002: An important constraint on

tropical cloud‐climate feedback, Geophys. Res. Lett. , 29(20), 1951,

doi:10. 1029/2002GL015835.

Hermawan, E. , 2009: Profil vertikal suhu atmosfer di atas Indonesia

berbasis hasil analisis data satelit Formosat-3/COSMIC, Jurnal

Sains Dirgantara Vol. 7 No. 1 Desember 2009: 176-200.

IPCC, Climate Change 2007: The Physical Basis. Contribution of

Working Group I to the Fourth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change, Solomon, S. , Qin, D. ,

Manning, M. , Chen, Z. , Marquis, M. , Averyt, K. B. , Tignor, M. ,

and Miller H. L. (Eds. ), Cambridge Univ. Press, Cambridge, U. K.

and New York, U. S. A. , pp 996.

LAPAN, WFP, Kementerian Pertanian, FAO, BPS, BNPB dan BMKG,

2016: Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan di Indonesia Fokus

Utama: La Nina, Volume 3 Agustus.

Novita, A., 2010: Kajian Pengaruh Uap Air Terhadap Perubahan Iklim,

Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September:93-98.

Pierrehumbert, H. Brogniez, and R. Roca, 2007: On the relative of the

atmosphere. The Global Circulation of the Atmosphere, T. Schneider

and A. H. Sobel, Eds. , Princeton University Press, 143-185.

Ramanathan, V. and A. Inamdar, 2006: The radiative forcing due to

clouds and water vapor, Frontiers of Climate Modeling, Published by

Cambridge University Press.

Ramaswamy, V. , M. L. Chanin, J. Angell, J. Barnett, D. Gaffen, M.

Gelman, P. Keckhut, Y. Koshelkov, K. Labitzke, J. J. R. Lin, A.

O’Neill, J. Nash, W. Randel, R. Rood, K. Shine, M. Shiotani, and R.

Swinbank, 2001: Stratospheric temperature trends: observations

Page 57: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variabilitas Profil Suhu Vertikal – Indah Susanti dkk.

48

and model simulations. Rev. Geophys. 39, 71–122.

Santer, B. D. , P. W. Thorne, L. Haimberger, K. E. Taylor, T. M. L.

Wigley, J. R. Lanzante, S. Solomon, M. Free, P. J. Gleckler, P. D.

Jones, T. R. Karl, S. A. Klein, C. Mears, D. Nychka, G. A. Schmidt, S.

C. Sherwood, and F. J. Wentz, 2008: Consistency of modeled and

observed temperature trends in the tropical troposphere, Int. J.

Climatol. , 28, 1703–1722, doi:10. 1002/joc. 1756

Shine, K. P. , M. S. Bourqui, P. M. de F. Forster, S. H. E. Hare, U.

Langematz, P. Braesicke, V. Grewe, M. Ponater, C. Schnadt, C. A.

Smith, J. D. Haigh, J. Autin, N. Butchart, D. T. Shindell, W. J.

Randel, T. Nagashima, R. W. Portmann, S. Solomon, D. J. Seidel, J.

Lanzante, S. Klein, V. Ramaswamy and M. D. Schwarzkopf, 2003: A

comparison of model-simulated trends in stratospheric

temperatures. Q. J. R. Meteorol. Soc. 129, 1565–1588.

Soden B. F. and I. M. Held, 2006: An Assessment of Climate Feedbacks

in Coupled Ocean-Atmosphere Models. J. Climate, 19: 3354-3360.

Thompson, D. W. J. , D. J. Seidel, W. J. Randel, C. Zou, Amy H. Butler,

C. Mears, A. Osso, C. Long & R. Lin, 2012: The mystery of recent

stratospheric temperature trends, Nature Vol. 491, Macmillan

Publishers Limited, doi:10. 1038/nature11579, pp 692-697.

Thorne, P. W. , 2005: Vertical profile of temperature trends. American

Meteorological Society, DOI:10. 1175/BAMS-86-10-1471.

Page 58: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

49

ESTIMASI LOKASI SUMBER PENCEMAR UDARA JARAK

JAUH DI KOTA BANDUNG

Lilik S. Supriatin1, Muhayatun Santoso2, Diah Dwiana Lestiani2

1) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN, Jl. dr.Djundjunan 133 Bandung 2) Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan, BATAN, Jl. Taman sari 71 Bandung

40132. e-mail: lilik_lapan@yahoo. com

ABSTRACT Remote dust pollutant in size of less than 2. 5 microns are harmful to the visibility of atmosphere and health. Topography of Bandung as basin makes coming air pollutant difficult to move out and stagnant, so the accumulation of these kind of pollutants are high enough. The object of this study was to analyze the type of long-distance air pollutant and the location of the origin of the sources of pollution. The

method used in this study is a measurement of central tendency and running Hysplitt models. The results showed that in Bandung indeed has got air pollutants distance away from the South China Sea in the form of particles containing elements of chloride (Cl) of 310 ng / cm2 (9 times greater than local effects), mainland China in the form of particles containing calcium (269. 87 ng/cm2) or 5 times than the effect of local and magnesium (88. 19 ng/cm2) or 2 times of local influence, and the Australian continent in the form of particles containing sulfur by 3108 ng/cm2 (2 times than local effect). Keywords : Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron

ABSTRAK

Polutan udara jarak jauh berupa debu yang berukuran kurang dari 2,5 mikron berbahaya bagi visibilitas atmosfer dan kesehatan. Untuk Bandung sendiri karena terletak pada cekungan topografi, polutan udara yang masuk akan sulit untuk bergerak dan berdiam

(stagnan) sehingga terjadi akumulasi polutan yang cukup tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis polutan udara jarak jauh dan lokasi asal sumber pencemar. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah ukuran pemusatan dan

running model Hysplitt. Hasil menunjukkan bahwa di Kota Bandung memang telah mendapat pencemar udara jarak jauh yang berasal dari Laut Cina Selatan berupa partikel yang mengandung unsur klorida (Cl) sebesar 310 ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm2) atau 5 kali daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm2) atau 2 kali dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung belerang sebesar 3108 ng/cm2 (2 kali daripada pengaruh lokal). Kata-kunci: Hysplitt, transboundary, Bandung, 2,5 mikron

Page 59: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

50

1 PENDAHULUAN

Banyak orang beranggapan bahwa polutan udara hanya dapat

melintasi negara-negara yang berbatasan darat langsung. Kasus

pencemaran SO2 dan hujan asam diantara negara-negara di benua

Eropa adalah contoh penyebaran polutan udara dalam skala regional

yang melintasi batas darat antar negara (Sliggers dan Kakebeeke,

2004). Bukti lain yang menunjukkan bahwa penyebaran polutan udara

tidak mengenal batas administrasi suatu negara adalah pencemaran

asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan

yang sampai juga ke negara jiran (negara tetangga) Singapura yang

tidak berbatas daratan langsung dengan Indonesia.

Pada makalah ini yang akan dikaji adalah kebalikan dari kejadian

asap kebakaran lahan dan hutan dari Indonesia yang menyeberang

sampai ke Singapura dan Malaysia, tetapi kejadian pencemaran udara

yang sumbernya terjadi di luar negara Indonesia tetapi polutan

udaranya sampai ke Kota Bandung. Dampak polutan udara terutama

polutan udara yang bersumber dari pencemar jarak jauh (long range

transboundary air pollution) adalah berbahaya bagi kesehatan dan

visibilitas atmosfer. Hal ini disebabkan ukuran partikel pencemar jarak

jauh berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer (micron)(Santoso, 2015).

Ditambahkan oleh Santoso (2015) bahwa partikel PM10 dan PM2,5 dapat

melayang sampai jarak horizontal 100-1000 km tergantung dari

kecepatan angin dan kondisi parameter cuaca yang lain.

Partikulat atau debu juga merupakan sumber utama haze (kabut

asap) yang dapat menurunkan visibilitas atmosfer. Soedomo (2001)

menyatakan bahwa dampak debu pada visibilitas atmosfer mulai

timbul jika konsentrasinya dalam atmosfer sudah mencapai 26

mikrogram/m3.

Bappenas (2006) menyatakan bahwa partikel berukuran diameter

lebih kecil dari 10 µm di atmosfer pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat

menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada

konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penyakit bronchitis.

Fenomena penyebaran polutan udara lokal dan regional

berpengaruh sangat besar dalam menentukan akumulasi konsentrasi

pencemar udara di suatu tempat. Santoso (2007) menyatakan

konsentrasi partikel dengan diameter aerodinamis kurang dari 2,5

mikron (PM2,5) selama periode tahun 2000-2006 mengalami kenaikan

sebesar 65% di Bandung. Apakah kenaikan konsentrasi PM2,5 ini

berhubungan dengan long range transboundary air pollution?,dari mana

Page 60: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

51

saja sumber polutan udara jarak jauh yang terdapat di Kota Bandung?,

dan jenis pencemar udara apa saja yang sampai di Kota Bandung?

Ketiga pertanyaan ini akan dijawab melalui penelitian ini.

Secara kuantitas atau fisik PM2,5 adalah debu yang berukuran

kurang dari 2,5 mikron, tetapi secara kualitas atau kimiawi di dalam

PM2,5 juga terkandung unsur kimia. Amonium nitrat (NH4NO3),

ammonium sulphat ((NH4)2SO4), natrium nitrat (NaNO3) dan karbon

organik sekunder sebagian besar berukuran kurang dari 2,5 µm.

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu belum

diidentifikasinya daerah asal (lokasi) sumber pencemar udara di Kota

Bandung terutama yang berasal dari sumber yang sangat jauh

(melintasi kawasan regional) dan dari kegiatan alami atau

antropogenik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan

menganalisis daerah sumber polutan udara di Kota Bandung terutama

yang berasal dari sumber pencemar sangat jauh. Manfaat dari

penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan

bahwa penyebaran pencemar udara dapat melintasi darat dan laut.

Keterbaruan dari penelitian ini adalah digunakannya analisis statistika

berupa ukuran pemusatan (mean, median, dan modus) untuk

menentukan bila terjadi pencemaran udara yang bersumber dari lokasi

yang sangat jauh (melintasi darat dan laut) yang tidak digunakan pada

penelitian sebelumnya.

2 METODE PENELITIAN

Data sekunder elemen kimia yang digunakan memiliki periode

dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Data bersumber

dari Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN. Lokasi

pengambilan sampel udara adalah di Jl. Taman Sari Kota Bandung.

Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel udara adalah Gent

Sampler. Gent sampler ditempatkan pada ketinggian 7 m dari

permukaan tanah. Sampel udara lalu dianalisis unsur kimianya di

laboratorium.

Metode analisis data yang dilakukan adalah pertama dengan

membuat data time series dari unsur kimia. Lalu membuat ukuran

pemusatan (mean, median, modus) dari data time series tersebut untuk

menentukan uji normalitas data. Data time series yang memiliki

sebaran normal akan memiliki mean, modus, dan median dengan

selisih antara ke tiga jenis ukuran pemusatan tersebut adalah tidak

terlalu besar atau sama. Walpole (1993) menyatakan sekumpulan data

memiliki sebaran normal jika nilai mean, median, dan modus adalah

Page 61: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

52

relatif sama.

Jika data memiliki sebaran normal, maka semua data time series

tersebut dapat digunakan (tidak ada kucilan data). Jika data tidak

memiliki sebaran normal, maka data tidak dapat digunakan untuk

menentukan bila terjadi pencemaran udara jarak jauh.

Setelah mengetahui bahwa data time series elemen kimia memiliki

sebaran normal, maka langkah selanjutnya adalah mengetahui waktu

terjadinya long range transboundary air pollution (transpor polutan

udara jarak jauh). Tanggal (waktu) yang memiliki nilai data elemen

kimia paling tinggi (puncak maksimum) disimpulkan pada waktu

tersebut telah terjadi pencemaran udara yang berasal dari lokasi yang

sumbernya sangat jauh (Anonim, 2005b; Santoso, 2015).

Untuk mengetahui asal lokasi sumber pencemar jarak jauh

digunakan software HYSPLIT (Hybrid Single Particle Langrangian

Integrated Trajectory) dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration). Input data untuk menjalankan software HYSPLIT

adalah letak astronomis lokasi yang terkena dampak pencemaran

udara yaitu Kota Bandung yang terletak pada 6055’ LS dan 1070 BT,

tanggal kejadian yang memiliki nilai polutan udara yang sangat

ekstrem (data maksimum), lamanya waktu penyebaran polutan udara

dari sumber ke lokasi terkena dampak (dalam satuan jam), serta

konversi perbedaan waktu antara GMT (Grenwich Mean Time) dengan

lokasi terkena dampak (Bandung). Setelah running dengan memilih

mode forward, HYSPLIT akan mengeluarkan trayektori asal lokasi

pencemaran udara jarak jauh tersebut ke lokasi terkena dampak.

Mekanisme transpor polutan udara jarak jauh ini adalah karena

terjadinya badai debu dan pasir (dust storm and sand) di wilayah

sumber pencemar (negara-negara yang memiliki gurun pasir yang

luas). Topografi negara yang memiliki gurun pasir yang luas dan

terletak di iklim sub tropis seperti China, Rusia, India, Australia, dan

Amerika Serikat pada saat musim panas memiliki kecepatan angin

yang relatif kuat. Ditambah dengan kondisi topografi yang berbentuk

gurun pasir dan terbuka mengakibatkan medan angin bergerak bebas

sehingga jika terjadi badai debu dan pasir, angin akan banyak

membawa debu dan pasir melintasi negara lain. Badai debu dan pasir

adalah fenomena alami yang telah terjadi ribuan tahun. Selama 50

tahun terakhir, frekuensi badai debu dan pasir meningkat, intensitas

kerusakan meningkat, dan wilayah yang terkena dampak juga meluas

dan melebar. Menurut data statistik di China pada tahun 1950-an

telah terjadi rata-rata 5 kali badai debu dan pasir setiap tahun, 8 kali

Page 62: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

53

di tahun 1960-an, 14 kali di tahun 1970an, dan 23 kali di tahun 1990-

an. Badai debu dan pasir pada 2002 yang terjadi di China, partikel

debunya sampai ke Korea, Jepang, dan Mongolia. Konsentrasi partikel

debunya 10 sampai ratusan kali lebih besar melebihi baku mutu

nasional negara yang terkena dampak (Anonim, 2005a). Hal ini

menunjukkan bahwa partikel polutan berupa debu dapat melintasi

laut. Di dalam partikel debu tersebut terkandung unsur kimia.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menyajikan data time series (Januari 2006- Desember

2009) konsentrasi elemen kimia (Na dan Cl) yang terkandung dalam

partikulat PM2,5 dan diamati di Kota Bandung.

Gambar 1. Time series konsentrasi natrium (Na) dan klorida (Cl) (Sumber: BATAN)

Berdasarkan Gambar 1. dapat dianalisis ukuran pemusatan

(mean, median, modus) untuk Na dan Cl. Tabel 1. menyajikan ukuran

pemusatan untuk Na dan Cl.

Tabel 1. Ukuran pemusatan elemen klorida (Cl) dan natrium (Na)

No Ukuran pemusatan Klorida (ng/cm2) Natrium (ng/cm2)

1. Mean 35,37 144,84 2. Modus 31 30

3. Median 32 103

Berdasarkan Tabel 1. nilai mean, median, dan modus konsentrasi

Cl hampir mendekati/relatif sama (berkisar antara 31-35) atau dapat

dikatakan nilai mean Cl = nilai modus Cl = nilai median Cl. Hal ini

0200400600800

10001200

02-Jan-06 02-Jan-07 02-Jan-08 02-Jan-09Ko

nse

ntr

asi e

lem

en

ki

mia

(n

g/cm

2)

Tanggal pengambilan sampel udara

Na

Cl

Page 63: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

54

berarti data time series konsentrasi Cl memiliki sebaran data normal

dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar udara jarak

jauh.

Sementara mean, median, dan modus dari konsentrasi Na (Tabel

1) besarnya tidak relatif sama sehingga dapat disebut sebaran data

konsentrasi Na adalah tidak memiliki sebaran normal. Data

konsentrasi Na tidak dapat digunakan untuk estimasi sumber

pencemar udara lintas batas administrasi suatu negara

(transboundary).

Hasil analisis Gambar 1. menunjukkan nilai konsentrasi Cl paling

tinggi adalah pada sampel udara tanggal 15 Februari 2007 yaitu

sebesar 310 ng/cm2 (nanogram/cm2). Berdasarkan ini, maka dapat

diketahui bahwa konsentrasi klorida (Cl) yang berasal dari dampak

sumber pencemar udara jarak jauh adalah pada tanggal 15 Februari

2007 (ditunjukkan oleh tanda panah).

Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh

konsentrasi Cl hanya 35,37 ng/cm2. Tambahan konsentrasi Cl sebesar

274,63 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika

diprosentasekan tambahan pengaruh transpor polutan udara dari

sumber yang sangat jauh adalah sekitar 900% (9 kali lebih besar

daripada pengaruh lokal). Hasil running HYSPLIT untuk kejadian

tanggal 15 Februari 2007 disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Trayektori transpor polutan udara elemen klorida

Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang

ditunjukkan oleh Gambar 2. dapat diketahui bahwa Cl yang terukur di

Bandung pada 15 Februari 2007 berasal dari garam-garam laut di Laut

Page 64: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

55

Cina Selatan yang terbawa angin muson barat pada musim penghujan

di Indonesia. Klorida dan natrium adalah indikator sumber

pencemaran udara yang berasal dari maritim (laut) yaitu dari arus dan

gelombang laut. Ukuran partikel Cl yang kurang dari 2,5 µm berasal

dari percikan air laut yang karena sangat ringan sehingga terbawa

angin muson barat yang berhembus dari Laut Cina Selatan (di belahan

bumi utara) ke Bandung (di belahan bumi selatan). Meszaros (1981)

menyatakan bahwa komposisi kimia aerosol dari sumber laut

pedalaman (laut terpencil) terdiri dari 75-95% adalah NaCl (natrium

klorida), (NH4)2SO4 (ammonium sulfat), H2SO4 (asam sulfat), dan

campuran sea salt (antara NaCl dengan (NH4)2SO4). Menurut Pasquill

(1983) yang menyatakan fenomena transport polutan udara jarak jauh

dapat saja terjadi.

Partikel yang berukuran kurang dari 2,5 µm adalah termasuk

golongan aerosol. Aerosol sendiri adalah partikulat padat yang

berukuran 0,001 – 10 µm yang berasal dari pecahan benda-benda

padat di bumi dan disebarkan (terdispersi) oleh angin (aero berarti

udara, sol berarti padatan) (Soedomo, 2001). Sumber aerosol dan

komposisinya secara global adalah debu sebagai hasil dari hembusan

angin sebesar 20%, garam dari air laut yang terpercik bersamaan

gelombang laut sebanyak 40%, abu sebagai hasil dari kebakaran hutan

sebanyak 10%, dan sisanya berasal dari partikulat asap sebagai hasil

dari kegiatan industri sebanyak 5% (Rozari, 1991). Komposisi dan

sumber aerosol tersebut menunjukkan bahwa laut sebagai kontributor

aerosol terbesar terutama Cl.

Gambar 3. Time series konsentrasi Ca dan Mg (Sumber: BATAN)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

02-Jan-06 02-Jan-07 02-Jan-08 02-Jan-09

Ko

nse

ntr

asi e

lem

en

kim

ia

(ng/

cm2

)

Tanggal pengambilan sampel udara

Ca

Mg

Page 65: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

56

Berdasarkan Gambar 3 dapat dianalisis ukuran pemusatan.

Tabel 2. Menunjukkan analisis ukuran pemusatan untuk kedua

elemen (Mg dan Ca).

Tabel 2. Ukuran pemusatan elemen Ca dan Mg

No Ukuran pemusatan Kalsium (ng/cm2) Magnesium (ng/cm2)

1. Mean 65,13 43,81 2. Modus 66 40 3. Median 57 41,5

Berdasarkan Tabel 2 nilai mean, median, dan modus untuk

masing-masing konsentrasi Ca dan Mg hampir mendekati (relatif sama)

atau dapat dikatakan nilai mean = nilai modus = nilai median. Hal ini

berarti data time series konsentrasi Ca dan Mg memiliki sebaran data

yang normal dan dapat digunakan untuk estimasi sumber pencemar

udara jarak jauh.

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui kedua elemen Ca dan Mg

memiliki puncak (nilai maksimum) pada tanggal yang sama (30 Januari

2007). Nilai konsentrasi Ca dan Mg paling tinggi adalah pada sampel

udara tanggal 30 Januari 2007 yaitu sebesar 335 ng/cm2 untuk Ca

dan Mg sebesar 132 ng/cm2.

Pada saat tidak terjadi transpor polutan udara jarak jauh

konsentrasi Ca rata-rata hanya 65,13 ng/cm2 dan Mg hanya 43,81

ng/cm2. Tambahan konsentrasi Ca sebesar 269,87 ng/cm2 dan Mg

sebesar 88,19 ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh

atau jika dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari

sumber yang sangat jauh untuk Ca adalah sekitar 500% (5 kali lebih

besar daripada pengaruh lokal). Untuk elemen Mg tambahan pengaruh

polutan udara dari sumber yang sangat jauh sekitar 200% (2 kali lebih

besar jika dibandingkan dengan polutan udara dari pengaruh lokal).

Page 66: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

57

Gambar 4. Trayektori transpor polutan udara (Ca dan Mg)

Berdasarkan hasil analisis luaran model HYSPLIT yang

ditunjukkan oleh Gambar 4. dapat diketahui bahwa elemen Ca dan Mg

pada tanggal 30 Januari 2007 berasal dari transpor polutan udara

jarak jauh yang bersumber dari daratan China dan sekitarnya. Ukuran

partikel Ca dan Mg yang lebih kecil dari 2,5 µm dapat diterbangkan dan

disebarkan oleh angin. Kalsium dan magnesium adalah indikator

polutan udara yang berasal dari kegiatan konstruksi, pengolahan

batuan kapur, dan pabrik semen. Menurut Pasquill (1983) fenomena

penyebaran pencemaran jarak jauh dapat saja terjadi. Pasquill

menambahkan dan membagi skala penyebaran pencemaran udara

menjadi 3 yaitu skala mikro, meso, dan makro. Pencemaran jarak jauh

ini termasuk dalam skala makro dengan jangkauan penyebaran

polutan udara lebih dari ribuan kilometer dalam skala waktu yang

lebih lama dari satu hari. Skala makro ini disebut dengan skala

kontinen.

Hasil pemantauan Satelit Aqua juga membenarkan bahwa

sebelumnya yaitu pada tanggal 20 Desember 2006 telah terjadi haze di

bagian timur China. Haze ini terjadi karena penggunaan batubara pada

musim dingin untuk perapian dan menghangatkan. Kondisi di China

sendiri sudah termasuk dalam katagori sangat tercemar. Pembakaran

batubara yang di dalamnya terkandung unsur kalsium dan magnesium

yang hebat menghasilkan haze (asap). Gambar 5 menyajikan hasil citra

Satelit Aqua pada 20 Desember 2006.

Page 67: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

58

Gambar 5. Hasil pantauan Satelit Aqua pada kejadian

pembakaran batu bara di bagian timur China (20 Desember 2006) (Sumber: NOAA)

Gambar 6. Time series konsentrasi belerang (S) (Sumber: BATAN)

Berdasarkan Gambar 6 dapat dianalisis ukuran pemusatan.

Tabel 3. menyajikan ukuran pemusatan elemen sulfur.

Tabel 3. Ukuran pemusatan elemen belerang (S)

No Ukuran pemusatan Belerang (ng/cm2)

1. Mean 928 2. Modus 1200 3. Median 891

Berdasarkan Tabel 3. dapat diketahui bahwa nilai mean, modus,

dan median data time series elemen belerang adalah relatif sama. Hal

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

kon

sen

tras

i ele

me

n k

imia

(n

g/cm

2)

Tanggal pengambilan sampel udara

Page 68: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

59

ini menunjukkan bahwa data time series belerang adalah menyebar

normal sehingga dapat digunakan untuk estimasi transpor polutan

udara jarak jauh.

Berdasarkan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada tanggal 27

November 2006 telah terjadi transpor polutan udara jarak jauh dengan

nilai puncak konsentrasi belerang adalah 3108 ng/cm2. Pada saat tidak

terjadi transpor polutan udara jarak jauh konsentrasi S rata-rata

hanya 928,11 ng/cm2. Tambahan konsentrasi S sebesar 2179,89

ng/cm2 berasal dari transpor polutan udara jarak jauh atau jika

dipersentasekan tambahan pengaruh polutan udara dari sumber yang

sangat jauh untuk S adalah sekitar 300% (3 kali lebih besar daripada

pengaruh lokal).

Gambar 7. Trayektori transpor polutan udara elemen S

Berdasarkan analisis luaran model HYSPLIT yang disajikan pada

Gambar 7. dapat diketahui bahwa tambahan konsentrasi belerang

sebesar 2179,89 ng/cm2 berasal dari kebakaran lahan yang terjadi di

negara bagian New South Wales di Australia. Pada bulan November

seperti biasa Australia memang mengalami musim panas. Kondisi

bagian tengah Australia yang merupakan gurun pasir pada musim

panas memicu terjadinya kebakaran hebat secara alami.

Hasil pemantauan Satelit Aqua dengan sensor MODIS (Moderate

Page 69: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

60

Resolution Imaging Spectroradiometer) menunjukkan pada tanggal 17

November 2006 telah terjadi kebakaran hebat di Australia. Satelit Aqua

ini melintasi Australia dua kali sehari. Gambar 8. menunjukkan hasil

observasi Satelit Aqua terhadap kebakaran di Australia. Tanda panah

menunjukkan haze (asap) yang berwarna abu-abu yang dihasilkan dari

kebakaran dan banyak mengandung sulfur.

Gambar 8. Hasil pemantauan Satelit Aqua (Sumber: NOAA)

4 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data sampel udara di Kota Bandung

telah mendapat polutan udara yang lokasi asal pencemarnya sangat

jauh (transboundary) berupa partikel yang berukuran kurang dari 2,5

mikron. Lokasi pencemar yang sangat jauh tersebut yaitu dari Laut

Cina Selatan berupa partikel dengan kandungan klorida sebesar 310

ng/cm2 (9 kali lebih besar daripada pengaruh lokal), daratan China

berupa partikel yang mengandung kalsium (269,87 ng/cm2) atau 5 kali

daripada pengaruh lokal dan magnesium (88,19 ng/cm2) atau 2 kali

dari pengaruh lokal, dan benua Australia berupa partikel mengandung

belerang sebesar 3108 ng/cm2 (3 kali daripada pengaruh lokal).

Page 70: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Estimasi Lokasi Sumber Pencemar Udara – Lilik S. Supriatin, dkk.

61

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan pada Pusat Sains dan Teknologi

Nuklir Terapan BATAN atas Bimtek model Hysplitt dan data yang

diberikan.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim, 2005a: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in

Northeast Asia, vol. 1, Asian Development Bank, Philippines.

Anonim, 2005b: Prevention and Control of Dust and Sandstorm in

Northeast Asia, vol. 2, Asian Development Bank, Philippines.

Bappenas, 2006: Strategi Dan Rencana Aksi Nasional Untuk

Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan, Jakarta.

Draxler, R. R. and Rolph, G. D. HYSPLIT (HYbrid Single-Particle

Lagrangian Integrated Trajectory) Model access via NOAA ARL

READY. NOAA Air Resources Laboratory, College Park, MD.

Meszaros, E, 1981: Atmospheric Chemistry Fundamental Aspects,

Elsevier Scientific Publishing Company, 119-120.

Pasquill, 1983: Atmospheric Diffusion, John Wiley and Sons,

Chichester, New York, pp 437.

Rozari, M. B. , 1991: Klimatologi Dasar, Jurusan Geomet, FMIPA, IPB.

Tidak dipublikasikan.

Santoso, M, 2007: Konsentrasi PM2,5 dan PM10 Udara Ambien di

bandung dan Lembang Tahun 2000-2006. Proseding Seminar

Nasional Sains Dan Teknologi Nuklir, BATAN, Bandung.

Santoso, M, 2015: Aplikasi Teknik Analisa Nuklir Source Appoirtment

dan Long Range Transport Air Polution, bahan diklat, Batan,

Bandung.

Sliggers, J dan Kakebeeke, W, 2004: Clearing The Air 25 years of the

Convention On Long range Transboundary Air Pollution, United

Nations, Geneva.

Soedomo, M, 2001: Pencemaran Udara, Penerbit ITB Press, Bandung.

Walpole, R. E, 1993: Pengantar Statistika, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 22-27.

Page 71: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

62

KARAKTERISTIK ANGIN PERMUKAAN

DI ATAS LAUT INDONESIA

Martono

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Surface wind has an important role in the air-sea interaction. This research was conducted to investigate characteristics of surface

wind over the Indonesian seas. Data used was pentad surface wind from 1988-2011. Method used in this research was descritiption analysis. The results showed that duration, direction and velocity of surface wind over the Indonesian waters vary. This difference is affected by interaction between the monsoon and the trade wind. Duration of the easterly wind over the Java sea, Flores sea, Banda sea, Arafura sea and southern waters of Java reached 8 months, but the westerly wind only reached 4 months. Velocity of the easterly wind over the Java sea, Flores sea and Banda sea reached 4.5 m/s, and over the southern waters of Java and Arafura sea reached 6,2 m/s. Vice versa, velocity of the westerly wind reached 3.9 m/s over the Java sea, Flores sea and Banda sea, and reahed 3.2 m/s over the southern waters of Java and Arafura sea. The southerly wind and notherly wind over the Sulawesi sea and Karimata strait have the same time duration is 6 months. Velocity of the southerly wind over the Karimata strait, Makassar strait and Sulawesi Sea reached 4 m/s, 3.5 m/s and 1,9 m/s, but the northerly wind reached 3.4 m/s, 2 m/s and 2.2 m/s. Keywords : characteristics, surface wind, direction, duration

ABSTRAK

Angin permukaan mempunyai peranan penting dalam interaksi

antara laut dan atmosfer. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui karakteristik angin permukaan di atas perairan Indonesia. Data yang digunakan adalah angin permukaan pentad dari tahun 1988-2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi, arah dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan Indonesia berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh interaksi antara monsun dan angin pasat. Durasi angin timur di atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa mencapai 8 bulan, tetapi angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan angin timur di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda mencapai 4,5 m/dt, dan di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya kecepatan angin barat mencapai 3,9 m/dt di di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dan 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura. Angin selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan

Page 72: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

63

Selat Karimata mempunyai durasi waktu yang sama yaitu 6 bulan. Kecepatan angin selatan di atas selat Karimata, selat Makassar dan laut Sulawesi mencapai 4 m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt.

Kata kunci : karakteristik, angin permukaan, arah, durasi

1 PENDAHULUAN

Angin permukaan merupakan salah satu unsur iklim yang

mempunyai penting dalam dinamika laut maupun proses interaksi

antara laut dan atmosfer. Transfer energi angin permukaan ke laut

akan menyebabkan terjadinya arus dan gelombang laut (Arief, 1994;

Dahuri dkk., 1996). Informasi arus dan gelombang laut sangat

dibutuhkan dalam kegiatan operasional pelayaran. Sirkulasi angin

permukaan selama musim tenggara menjadi faktor utama penyebab

terjadinya proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar

(Atmadipoera dan Widyastuti, 2014), di sepanjang pantai selatan Jawa

hingga Nusa Tenggara (Ningsih dkk., 2013; Wardani dkk., 2013;

Susanto and Marra, 2005). Lokasi upwelling merupakan daerah yang

memiliki potensi ikan yang tinggi.

Pertukaran momentum, panas, air dan gas dalam interaksi

antara laut dan atmosfer dipengaruhi oleh angin permukaan (Deser

dkk., 2010). Proses penguapan dan aliran panas turbulen permukaan

oleh angin permukaan mempengaruhi variabilitas suhu permukaan

laut (Han dkk., 2006; Han dkk., 2007; Duan dkk., 2008). Variabilitas

kedalaman lapisan termoklin dan suhu permukaan laut di perairan

Indonesia dipengaruhi oleh kondisi angin di Samudera Pasifik dan

Samudera Hindia (Qu dkk., 2005). Perubahan CO2 antara laut dan

atmosfer dipengaruhi oleh kecepatan angin dan koefisien gesekan

kecepatan angin (Ekayanti dkk., 2009).

Mengingat peranan penting angin permukaan dalam dinamika

laut dan interaksi antara laut dan atmosfer, maka penelitian mengenai

angin permukaan di atas wilayah perairan laut Indonesia perlu

dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi dan

waktu perubahan arah angin permukaan di atas perairan laut

Indonesia.

Page 73: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

64

2 METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah perairan Indonesia yang meliputi Laut

Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Sulawesi, Selat

Makassar, Selat Karimata dan perairan selatan Pulau Jawa. Data yang

digunakan adalah angin permukaan dari tahun 1988-2011. Data ini

hasil estimasi dari berbagai sensor satelit dan mempunyai resolusi

waktu lima harian (pentad) dan resolusi spasial 0,25º x 0,25º. Data ini

diperoleh dari Physical Oceanography Distributed Active Center -

National Aeronautics and Space Administration (PODAAC NASA dengan

alamat https://podaac.jpl.nasa.gov/OceanWind.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif. Pengolahan data menggunakan metode statistik. Data angin

permukaan terdiri dari komponen zonal dan meridional. Langkah

pertama yang dilakukan adalah menghitung resultan angin sehingga

diperoleh arah dan besar. Kedua, dilakukan perata-rataan data pentad

menjadi data bulanan. Data bulanan ini kemudian dirata-ratakan

dalam rentang waktu 24 tahun sehingga diperoleh rata-rata tahunan.

Ketiga adalah menghitung resultan angin dari data rata-rata bulanan.

Analisis variasi bulanan dan waktu perubahan arah angin

permukaan dilakukan di atas tiap-tiap wilayah perairan laut Indonesia.

Analisis variasi bulanan angin permukaan meliputi durasi waktu arah

angin, arah dan intensitas kecepatan berdasarkan vektor angin rata-

rata bulanan. Analisis waktu perubahan arah angin ditentukan

berdasarkan komponen utama arah angin permukaan dalam skala

waktu pentad.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola angin permukaan rata-rata bulanan di atas wilayah perairan

Indonesia diperlihatkan pada Gambar 1. Pola angin permukaan bulan

Desember-Maret mempunyai pola yang sama. Di atas Laut Jawa, Laut

Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup

angin barat. Periode Desember-April di atas Laut Sulawesi, Selat

Karimata dan Selat Makassar bertiup angin utara.

Pada bulan April, angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut

Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa bertiup

angin timur. Pola ini berlangsung hingga bulan November. Perubahan

arah angin permukaan ke arah utara di atas Selat Karimata, Selat

Makassar dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan Mei.

Page 74: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

65

Gambar 1. Pola angin permukaan rata-rata bulanan

Page 75: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

66

Di atas Selat Karimata dan Laut Sulawesi pola ini berlangsung

hingga bulan Oktober tetapi di Selat Makassar masih berlangsung

hingga bulan November. Pada bulan Desember, angin permukaan di

atas Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan

selatan Jawa kembali bertiup angin barat. Perubahan arah angin ke

selatan di Selat Karimata dan Laut Sulawesi terjadi pada bulan

November, sedangkan di Selat Makassar terjadi pada bulan Desember.

Secara umum perubahan arah angin permukaan di atas wilayah

Indonesia terjadi pada bulan April dan Mei.

Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut Flores

dan laut Banda diperlihatkan pada Gambar 2. Di atas ketiga laut

tersebut arah angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan

durasi waktu 8 bulan dari April-November dan ke arah timur selama 4

bulan dari Desember-Maret. Kecepatan rata-rata angin timur lebih

besar daripada angin barat. Kecepatan angin permukaan lebih besar

dari 5,5 m/dt terjadi antara bulan Juni-Agustus.

Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Arafura dan

perairan selatan Jawa diperlihatkan pada Gambar 3. Di atas kedua laut

tersebut angin permukaan dominan bertiup ke barat dengan durasi

waktu selama 8 bulan dari April- November dan ke timur selama 4

bulan dari Desember-Maret. Secara umum kecepatan angin timur lebih

besar daripada angin barat. Kecepatan angin lebih besar dari 6,5 m/dt

terjadi antara Mei-September.

Gambar 2. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Jawa,

Laut Flores dan Laut Banda

-12

-7

-2

3

8

Kec

epat

an (

m/d

t)

Laut Jawa Laut Flores Laut Banda

Page 76: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

67

Gambar 3. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut

Arafura dan perairan selatan Jawa

Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut Sulawesi, Selat

Makassar dan Selat Karimata diperlihatkan pada Gambar 4. Angin

selatan dan angin utara di atas Laut Sulawesi dan Selat Karimata

mempunyai durasi waktu 6 bulan dari Mei-Oktober ke utara dan

November-April ke selatan. Di Selat Makassar arah tiupan angin

permukaan dominan ke utara dengan durasi waktu 7 bulan dari Maret-

November dan ke selatan 5 bulan dari Desember-April. Kecepatan

angin selatan di atas Selat Karimata dan Selat Makassar lebih besar

daripada angin utara, tetapi di Laut Sulawesi terjadi sebaliknya.

Kecepatan angin lebih besar dari 5 m/dt terjadi di Selat Karimata

antara bulan Januari-Februari dan bulan Juli-Agustus.

Perubahan arah gerakan angin permukaan di atas beberapa

wilayah laut Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pada

dasarnya waktu perubahan arah angin permukaan di atas masing-

masing wilayah laut Indonesia berubah-ubah. Namun secara umum

perubahan arah gerakan angin terjadi antara akhir bulan Maret sampai

akhir bulan April dan antara pertengahan bulan November sampai

awal bulan Desember.

-10

-5

0

5

10

Kec

epat

an (

m/d

t)

Laut Arafura Selatan Jawa

Page 77: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

68

Gambar 4. Variasi bulanan angin permukaan di atas Laut

Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata

Tabel 1. Waktu perubahan arah angin permukaan (barat-timur)

Wilayah Angin Timur Angin Barat

Laut Jawa Ke-3 April Ke-4 November

Laut Flores Ke-2 April Ke-4 November

Laut Banda Ke-2 April Ke-5 November

Laut Arafura Ke-6 Maret Ke-5 November

Selatan Jawa Ke-4 Maret Ke-1 Desember

Tabel 2. Waktu perubahan arah angin permukaan (utara-selatan)

Wilayah Angin Selatan Angin Utara

Laut Sulawesi Ke-6 April Ke-3 November

Selat Makassar Ke-5 April Ke-6 November

Selat Karimata Ke-3 April Ke-3 November

Perubahan angin barat di bagian tengah wilayah laut Indonesia

dimulai dari Laut Jawa menuju Laut Flores dan Laut Banda,

sebaliknya perubahan angin timur dimulai dari Laut Banda menuju

Laut Flores dan Laut Jawa. Di bagian selatan wilayah perairan

Indonesia menunjukkan pola yang berbeda yaitu angin timur dimulai

dari perairan selatan Jawa menuju Samudera Hindia tengah dan angin

barat dimulai dari Laut Arafura menuju Samudera Pasifik bagian

selatan. Perubahan arah angin permukaan di Selat Karimata, Selat

-10

-5

0

5

10

Kec

epat

an (

m/d

t)

Laut Sulawesi Selat Makasar Selat Karimata

Page 78: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

69

Makassar dan Laut Sulawesi secara umum terjadi sebelum dan

sesudah perubahan arah angin di atas Laut Jawa dan Laut Flores.

Hasil analisis menunjukkan bahwa durasi waktu, arah dan

kecepatan angin permukaan di atas masing-masing wilayah perairan

Indonesia berbeda-beda. Perbedaan pola ini disebabkan oleh wilayah

Indonesia yang berupa kepulauan, posisi geografis terletak di daerah

ekuator dan diapit oleh dua benua yaitu benua Asia dan Australia dan

dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik.

Wilayah kepulauan Indonesia dikenal dengan nama Benua

Maritim Indonesia (BMI). Dampak berupa wilayah kepulauan akan

mempengaruhi intensitas kecepatan angin permukaan. Intensitas

kecepatan angin permukaan di atas wilayah perairan yang di kelilingi

kepulauan lebih kecil dibandingkan dengan wilayah perairan terbuka.

Pengaruh ini berhubungan dengan adanya gesekan antara angin

permukaan dengan topografi daratan.

Wilayah Indonesia terdapat di daerah tropis antara 6O LU – 12O

LS. Sepanjang tahun di atas wilayah ekuator antara 30O LU – 30O LS

terbentuk angin pasat timur laut di utara ekuator dan angin pasat

tenggara di selatan ekuator (Barry and Choerly, 2003). Angin pasat ini

terbentuk akibat perbedaan tekanan udara antara daerah ekuator

dengan subtropis. Sepanjang tahun daerah ekuator menerima panas

lebih besar daripada daerah subtropis. Hal ini menyebabkan tekanan

udara di daerah ekuator lebih rendah, sehingga terjadi pergerakan

angin permukaan dari daerah subtropis ke daerah ekuator. Arah

gerakan angin ini dipengaruhi gaya Coriolis, sehingga angin pasat

timur laut bergerak ke arah barat daya dan angin pasat tenggara

bergerak ke arah barat laut.

Perubahan posisi matahari ke utara-selatan ekuator ini

menyebabkan adanya perbedaan tekanan udara tinggi dan rendah di

atas benua Australia dan benua Asia. Perbedaan tekanan udara ini

menyebabkan terbentuknya angin musim atau monsun. Pada saat

posisi matahari berada di selatan ekuator terbentuk monsun Asia yang

bergerak dari benua Asia menuju benua Australia. Pada saat posisi

matahari di berada utara ekuator terbentuk monsun Australia yang

bergerak dari benua Australia menuju benua Asia. Gerakan monsun ini

melewati wilayah Indonesia.

Pada bulan April posisi matahari berada di utara ekuator,

sehingga berkembang monsun Australia. Di atas laut Indonesia bagian

selatan ekuator, monsun Australia dan angin pasat tenggara searah

sehingga saling memperkuat. Kondisi tersebut menyebabkan intensitas

Page 79: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

70

kecepatan angin permukaan di atas laut tersebut semakin menguat.

Ketika posisi matahari semakin menjauh ke utara ekuator, maka

intensitas kecepatan angin permukaan ke arah barat semakin kuat.

Posisi matahari di utara ekuator sampai akhir bulan September.

Pada bulan Oktober posisi matahari berada di selatan ekuator,

sehingga monsun Asia mulai berkembang. Di atas laut Indonesia

bagian utara ekuator, monsun Asia dan angin pasat timur laut searah

sehingga saling memperkuat. Meskipun monsun Asia telah

berkembang, namun arah angin permukaan di atas Laut Jawa, Laut

Flores, Laut Banda masih bergerak ke arah barat, bahkan di atas

perairan selatan Jawa dan Laut Arafura sampai bulan November

masih bergerak ke barat.

Hal ini menunjukkan bahwa di atas perairan tersebut pengaruh

angin pasat tenggara masih kuat. Kondisi ini disebabkan karena letak

wilayah laut tersebut lebih dekat dengan sumber angin pasat tenggara,

sehingga pengaruh angin pasat tenggara lebih kuat. Kondisi ini yang

menyebabkan gerakan arah angin permukaan ke barat di atas Laut

Jawa, Laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura dan perairan selatan Jawa

mempunyai durasi waktu lebih lama daripada ke arah timur.

Pada bulan November di atas Laut China Selatan bertiup

monsun Asia dan angin pasat timur laut menuju Laut Jawa. Pada

waktu yang bersamaan di atas Laut Flores, Laut Banda dan Laut

Arafura masih bertiup angin pasat tenggara ke arah barat. Di atas Laut

Jawa gerakan monsun Asia mendapat tekanan yang kuat dari angin

pasat tenggara. Kondisi ini menyebabkan gerakan monsun Asia pada

bulan ini hanya sampai di Selat Karimata.

Sebaliknya, pada bulan April monsun Australia di atas Laut

Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Laut Arafura diperkuat oleh angin

pasat tenggara. Pada waktu yang bersamaan, di atas Laut China

Selatan dan Laut Sulawesi masih berkembang angin pasat timur laut.

Kondisi tersebut menyebabkan gerakan monsun Australia dan angin

pasat tenggara di atas Selat Karimata dan Selat Makassar mendapat

tekanan yang kuat dari angin pasat timur laut. Mekanisme tersebut

yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan di atas

Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda tidak sama. Gerakan angin

permukaan ke timur dimulai dari barat, sedangkan perubahan ke arah

barat dimulai dari timur.

Sebelah selatan perairan selatan Jawa merupakan perairan

terbuka, sedangkan di sebelah selatan Laut Arafura adalah benua

Australia. Ini menyebabkan pengaruh angin pasat tenggara di atas

Page 80: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

71

perairan selatan Jawa lebih kuat daripada di Laut Arafura. Pada awal

bulan Maret pengaruh monsun Asia di atas perairan selatan Jawa

mulai melemah dan mulai berkembang monsun Australia. Sebaliknya,

di atas Laut Arafura pengaruh monsun Asia masih kuat yang

bersumber dari aliran angin permukaan di atas Laut Flores dan Laut

Banda.

Meskipun sudah berkembang monsun Asia, tetapi sampai pada

pertengahan bulan November pengaruh angin pasat tenggara di atas

perairan selatan Jawa masih kuat. Sebaliknya pengaruh angin pasat

tenggara di atas Laut Arafura mulai melemah karena mendapat

tekanan angin permukaan dari Laut Flores dan Laut Banda. Proses

tersebut yang menyebabkan waktu perubahan arah angin permukaan

di atas Laut Arafura dan perairan selatan Jawa berbeda. Gerakan angin

permukaan ke timur dimulai dari timur dan ke arah barat dimulai dari

barat.

Kecepatan angin permukaan maksimum terjadi pada saat musim

timur. Hasil yang sama dinyatakan bahwa pada bulan Juli angin

permukaan di atas Samudera Hindia bergerak ke arah barat dengan

kecepatan mencapai 25 knot, sedangkan pada bulan Januari di atas

Pulau Jawa dan sekitarnya angin permukaan bergerak ke arah timur

dengan kecepatan antara 5-15 knot (Siswanto dan Suratno, 2008).

Hasil yang sama juga dinyatakan bahwa kecepatan angin permukaan

di atas perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur antara

bulan Mei-Agustus lebih besar dari 5 m/dt (Syafik dkk., 2013).

4 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa durasi, arah

dan kecepatan angin permukaan di atas beberapa wilayah perairan

Indonesa menunjukkan pola yang berbeda-beda. Perbedaan ini

disebabkan oleh interaksi yang kuat antara monsun dengan angin

pasat. Pengaruh angin pasat tenggara di atas laut Indonesia bagian

selatan ekuator sangat kuat. Durasi timur mencapai 8 bulan,

sedangkan angin barat hanya 4 bulan. Kecepatan rata-rata angin timur

di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda 4,5 m/dt dan di perairan

selatan Jawa dan Laut Arafura mencapai 6,2 m/dt. Sebaliknya angin

barat mencapai 3,9 m/dt di Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda

dan hanya 3,2 m/dt di perairan selatan Jawa dan Laut Arafura.

Gerakan arah angin permukaan ke arah utara-selatan di atas

Selat Karimata dan Laut Sulawesi mempunyai durasi waktu sama yaitu

6 bulan. Pada saat musim timur kecepatan angin permukaan ke arah

Page 81: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

72

utara mencapai 2,4 m/dt, 4,1 m/dt dan 5,1 m/dt, sedangkan pada

saat musim barat kecepatan angin permukaan ke arah selatan

mencapai 2,3 m/dt, 2,8 m/dt dan 5,1 m/dt masing-masing di Laut

Sulawesi, Selat Makassar dan Selat Karimata. Kecepatan angin selatan

di atas Selat Karimata, Selat Makassar dan Laut Sulawesi mencapai 4

m/dt, 3,5 m/dt dan 1,9 m/dt, sebaliknya kecepatan angin utara

mencapai 3,4 m/dt, 2 m/dt dan 2,2 m/dt.

Perubahan arah gerakan angin permukaan ke timur di atas Laut

Jawa, Laut Flores dan Laut Banda dimulai dari barat yaitu dari laut

Jawa pada pentad ke-4 November, sedangkan ke barat dimulai dari

timur yaitu dari Laut Banda pada pentad ke-2 April. Sedangkan di atas

perairan selatan Jawa dan Laut Arafura angin timur dimulai dari barat

pada pentad ke-4 Maret dan angin barat dimulai dari timur pada

pentad ke-5 November.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurzaman

Adikusumah, M.Si yang telah memberikan masukan dan kepada

Physical Oceanography Distributed Active Center - National Aeronautics

and Space Administration yang telah memberikan akses data sehingga

penelitian ini dapat dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Arief, D., 1994: Sirkulasi Arus Laut. Jakarta, LON-LIPI, 15 pp.

Atmadipoera, A.S dan P. Widyastuti, 2014: A Numerical Modeling Study

On Upwelling Mechanism In Southern Makassar Strait. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 355-371.

Barry, R.G., and R.J. Chorley, 2003: Atmosphere, Weather and Climate.

London: Routledge.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 1996: Pengeloaan

Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta:

Pradnya Paramita.

Deser, C., M. A. Alexander, S.P. Xie, and A.S. Philllips, 2010: Sea

Surface Temperature Variability:Patterns and Mechanisms, Annu.

Rev. Mar. Sci, (2), 115-143.Ibrayev, R.A., E. Ozsoy, C. Schrum, and

H.I. Sur, 2010: Seasonal Variability of the Caspia Sea Three-

Dimensional Circulation, Sea Level and Air-Sea Interaction. Ocean

Sci, 6, 311-329.

Page 82: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Karakteristik Angin Permukaan di Atas Laut Indonesia - Martono

73

Duan, A., C. Sui, and G. Wu, 2008: Simulation of Local Air-Sea

Interaction in the Great Warm Pool and Its Influence on Asia

Monsoon, Journal of Geophysics Research, 113(D22105), 1-14.

Ekayanti, N.W., T. Osawa, I.K. Kasa, dan A.R. As-syakur, 2009: Study

of Air-Sea Interaction and CO2 Exchange Process Between The

Atmosphere and Ocean Using ALOS/PALSAR. Jurnal Bumi Lestari,

9(2), 151-158.

Han, W., W.T. Liu, and J. Lin, 2006: Impact of Atmospheric

Submonthly Oscullations on Sea Surface Temperature of The

Tropical Indian Ocean. Geophysical Research Letters, 33(L03609), 1-

4.

Han, W., D. Yuan, W.T. Liu, and D.J. Halkides, 2007: Intraseasonal

Variability of Indian Ocean Sea Surface Temperature During Boreal

Winter: Madden-Julian Oscillation versus Submonthly Forcing and

Processes. Journal of Geophysical Research, 112(C04001), 1-20.Liu,

W.T., W. Tang, and X. Xie, 2008: Wind Power Distribution Over The

Ocean. Geophysical Research Letters, 35(L13808), 1-6.

Ningsih, N.S., N. Rakhmaputeri, and A.B. Harto, 2013: Upwelling

Variability along the Southern Coast of Bali and in Nusa Tenggara

Waters. Ocean Sci. J, 48(I), 49-57.

Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers, and J. Slingo, 2005: Sea Surface

Temperature and Its Variability in the Indonesian Region.

Oceanography, 18(4), 50-61.

Siswanto., and Suratno, 2008: Seasonal Pattern of Wind Induced

Upwelling Over Java-Bali Sea Waters and Surrounding Area.

International J. of Remote Sensing and Earth Sciences, 5, 46-56.

Susanto, D., and J. Marra, 2005: Effect of the 1997/98 El Niño on

Chlorophyll a Variability Along the Southern Coasts of Java and

Sumatra. Oceanography. 18(4), 124-127.

Syafik, A., Kunarso, dan Hariadi, 2013: Pengaruh Sebaran dan

Gesekan Angin Terhadap Sebaran Suhu Permukaan Laut Di

Samudera Hindia (Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik

Indonesia 573). Jurnal Oseanografi, 2(3), 318-328.

Wardani, R., W.S. Pranowo, dan E. Indrayanti, 2013: Struktur vertikal

upwelling – downwelling di Samudera Hindia Selatan Jawa hingga

Selatan Bali berdasarkan salinitas musiman periode 2004–2010.

Depik, 2(3), 191-199.

Page 83: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

74

DISTRIBUSI SPASIAL - TEMPORAL AEROSOL BLACK CARBON DI INDONESIA

Rosida

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

e-mail: rosida@lapan. go. id

ABSTRACT Black Carbon is a primary aerosol that is emitted directly from the source and is the result of incomplete combustion process. Black carbon aerosol plays an important role in influencing climate change because of its ability is very strong in absorbing sunlight in a broad spectral range. In this study we analyzed the spatial and temporal distribution of the density of BC [BC] using data reanalysis Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), from 2001 to 2015 in the Indonesian region (150S -150U; 900-1500E). In addition, the analysis was also performed in some urban

locations to explore the contribution of forest fires to [BC] in urban areas. The analysis showed a significant effect of forest fires on the distribution pattern BC. Trend of high distribution of BC in Indonesian territory on average occured in September and October. The highest density was found in 2015 by 37,83x10-7kg/m2. The result of urban analysis showed the largest contribution of forest fires to the [BC] occur in Palangkaraya. Keywords : Black carbon, MERRA, reanalysis, forest fires,

Indonesia.

ABSTRAK Black Carbon adalah aerosol primer yang diemisikan secara

langsung dari sumbernya dan merupakan hasil dari proses pembakaran tidak sempurna. Aerosol black carbon berperan sangat penting dalam mempengaruhi perubahan iklim karena kemampuannya yang sangat kuat dalam mengabsorpsi cahaya matahari dalam rentang spektral yang luas. Dalam penelitian ini telah dilakukan analisis secara spasial dan temporal distribusi densitas BC dengan menggunakan data reanalisis Modern Era-

Restrospective Analysis for Research and Application (MERRA), periode 2001 sampai 2015 dengan lokasi wilayah Indonesia (150 LS-150LU; 900-1500BT). Selain itu, dilakukan juga analisis pada beberapa lokasi perkotaan untuk melihat kontribusi kebakaran hutan terhadap [BC] di perkotaan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh kebakaran hutan cukup signifikan terhadap pola distribusi BC. Tren distribusi BC yang tinggi di wilayah Indonesia rata-rata terjadi pada bulan September dan Oktober. Densitas tertinggi ditemukan pada tahun 2015 sebesar 37,83x10-7kg/m2.

Page 84: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

75

Hasil analisis perkotaan menunjukkan kontribusi kebakaran hutan terbesar terhadap [BC] terjadi di Palangkaraya. Kata-kunci: Black Carbon, MERRA, reanalisis, kebakaran hutan, Indonesia

1 PENDAHULUAN

Black Carbon [BC] merupakan komponen penting dari aerosol

atmosfer yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna

hidrokarbon yang mengandung bahan-bahan termasuk diantaranya

bahan bakar fosil, bahan bakar-bio dan biomassa. Densitas BC aerosol

di atmosfer yang berasal dari penggunaan batubara, minyak dan bahan

bakar fosil lainnya, pembakaran lahan pertanian serta emisi gas buang

kendaraan telah meningkat dengan pesat sejak revolusi industri

(Zhang, 2011). Masalah BC saat ini harus sudah mendapat perhatian

yang lebih bukan hanya karena pertimbangan sebagai kontributor

kedua terbesar terhadap pemanasan global, tapi juga karena

dampaknya yang sangat serius terhadap kesehatan manusia, karena

ukurannya yang sangat halus dalam ukuran sub-micron yang sangat

mudah terendapkan dalam sistem pernafasan. Berkaitan dengan hal

tersebut, telah dilakukan pengamatan-pengamatan aerosol BC secara

global termasuk Asia Selatan (Steiner (2009); Beegum dkk. (2009);

Corrigan dkk. (2007); Husain dkk. (2007).

BC adalah unsur kimia inert dengan ukuran yang sangat halus

dan mekanisme penghilangannya di atmosfer dapat dilakukan dengan

3 cara yaitu deposisi kering, deposisi basah dan deposisi gravitasi. Tapi

dari ketiga cara tersebut maka proses deposisi basah adalah cara yang

paling signifikan (Babu and Moorthy, 2001). Waktu tinggal (lifetime)

partikel BC kira-kira lebih dari 1 minggu lamanya yang memungkinkan

partikel BC ini bertransport ke jarak yang cukup jauh. Hansen dkk.

(2000); Jacobson (2001); Chung dan Seinfeld (2005); dan Ramanathan

and Carmichael (2008), menjelaskan bahwa lamanya waktu tinggal

yang ditambah dengan kemampuan yang sangat kuat dari BC untuk

mengabsorpsi cahaya matahari pada rentang spektral yang luas (wide

spectral range), mulai dari panjang gelombang visible sampai infra-

merah, menjadikan BC sebagai kontributor yang sangat potensial

dalam pemanasan global. Selain itu BC juga dapat mempengaruhi

albedo awan dengan mengubah sifat higroskopis awan dalam perannya

sebagai inti kondensasi awan, yang kemudian mengkontribusi pada

forcing iklim secara tidak langsung (Lohmann dkk., 2000; Ackerman

Page 85: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

76

dkk., 2000). Oleh karena itu, walaupun dalam proporsi yang sangat

kecil, kira-kira <10% dari total aerosols di atmosfer, namun dampaknya

terhadap iklim dan lingkungan atmosfer tidak dapat diabaikan.

Berdasarkan hasil analisis perhitungan secara detail yang

dilakukan Bond dkk (2004) dan berdasarkan laporan yang dirilis IPCC

(2007) diperkirakan emisinya telah mencapai 8,0 Tg C per tahun.

Sumber emisi terbesar yang terjadi sebelum 1950 diperkirakan berasal

dari Amerika Utara dan Eropa Barat, tapi saat ini sumber emisi

tersebut berasal dari daerah tropis dan negara-negara berkembang di

Asia Timur (Bond dkk., 2007). Di China, banyak sekali konsumen

batubara, pembakaran batubara menjadi sumber utama dari emisi

aerosol BC. Sumber lain dari aerosol BC di China adalah dari

pembakaran jerami di daerah pedesaan. Cao dkk. (2007) mengestimasi

bahwa China mengemisikan sekitar 1,5 Tg BC pada sekitar tahun 2000

dengan emisi terbesar terjadi di bagian timur China.

Saat ini sudah semakin banyak dikenal dan diakui bahwa

penelitian tentang BC penting untuk dilakukan. Terutama yang

berkaitan dengan masalah sumber emisi, distribusi temporal dan

spasialnya, serta pengaruh aerosol BC terhadap lingkungan dan

perubahan iklim. Bahkan penelitian ini sudah termasuk dalam subjek

utama riset lingkungan atmosfer dan perubahan iklim.

Hampir setiap tahun Indonesia dihadapkan dengan masalah

kebakaran lahan gambut, terutama yang seringkali terjadi di

Kalimantan dan Sumatera. Berdasarkan laporan pengendalian

kebakaran hutan dan lahan tercatat bahwa sejak tahun 2000 sampai

dengan saat ini telah terjadi kebakaran lahan hutan gambut di

Kalimantan dan Sumatera telah banyak menimbulkan dampak seperti

asap yang selain mencemari lingkungan juga sangat mengganggu

kesehatan (KLH, 2006; Sofiati dan Sinatra, 2012; Susanto, 2015). Dari

informasi titik panas (hotspot) yang diperoleh dari LAPAN menunjukkan

total titik panas pada bulan September 2015 sebanyak 37444 titik

panas, dan sebanyak 34041 total titik panas terjadi pada bulan

Oktober 2015 dengan tingkat kepercayaan data >80%. Titik-titik panas

tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan.

(LAPAN, 2016). Untuk mengetahui kondisi wilayah Indonesia terutama

dari pengaruh BC aerosol pada saat kejadian kebakaran hutan, maka

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara

spasial dan temporal distribusi massa aerosol BC di wilayah Indonesia.

Penelitian ini menggunakan 15 tahun data reanalisis dari MERRA

dengan resolusi temporal rata-rata bulan.

Page 86: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

77

2 METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data aerosol

black carbon (BC) rata-rata bulan yang diunduh dari NASA-Giovanni

(NASA, 2016). Data ini adalah data reanalisis yang diperoleh dari

MERRA (Modern-Era Retrospective analysis for Research and

Applications) dengan resolusi spasial data 0,625 longitud dan 0,5

latitud. Resolusi temporal data 15 tahun dari Januari 2001 sampai

dengan Desember 2015 dengan format hdf.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah wilayah Indonesia, dan

sebagai studi kasus, penelitian difokuskan pada wilayah yang sering

mengalami kebakaran hutan yaitu Kalimantan dan Sumatera.

Pengolahan data dikerjakan dengan menggunakan GrADS versi 2.

Pengolahan data diawali dengan menentukan nilai rata-rata bulan

untuk mengidentifikasi dan menganalisi tren variabilitas distribusi

temporal dan spasialnya. Kontribusi kebakaran hutan gambut juga

dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap densitas massa

aerosol BC dalam skala urban (perkotaan). Kemungkinan adanya

fenomena ekstrim dilakukan dengan menganalisis anomalinya

terhadap data klimatologisnya.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Variasi bulanan densitas massa black carbon (BC).

Untuk mengetahui tren perubahan secara temporal dan spasial

distribusi BC dalam skala waktu panjang, dianalisis data rata-rata

bulan selama 15 tahun data, yaitu dari Januari 2001 sampai dengan

Desember 2015. Hasil analisis menunjukkan bahwa tren distribusi BC

untuk rata-rata di wilayah Indonesia cukup berfluktuasi. Rentang

terendah dari distribusinya berfluktuasi diantara nilai lebih besar dari

2x10-7kg/m2 sampai kira-kira kurang dari 10x10-7kg/m2 (Gambar 1).

Page 87: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

78

Gambar 1 Tren distribusi bulanan aerosol black carbon (BC) dari

Januari 2001 sampai Desember 2015 di wilayah Indonesia.

Pada umumnya, distribusi yang tinggi rata-rata terjadi pada

musim peralihan ke penghujan yaitu antara bulan September dan

Oktober. Dari hasil olahan data, ditemukan nilai [BC] yang tinggi yaitu

pada bulan Oktober 2002 dengan densitas tertinggi yang dicapai

sebesar 23,40x10-7 kg/m2. [BC] mengalami sedikit penurunan pada

bulan Oktober 2004 sampai dengan 19,73x10-7 kg/m2. Pada tahun

2003 dan 2005 tidak terlihat adanya pelonjakan dan nilai densitasnya

hanya berfluktuasi pada nilai 2x10-7kg/m2 sampai <10x10-7kg/m2.

Peningkatan mulai terlihat lagi pada bulan Agustus 2006 dengan nilai

yang diperkirakan sudah lebih dari 10x10-7kg/m2. Nilai tersebut terus

meningkat sampai terjadi pelonjakkan yang sangat dramatis yang

mencapai nilai densitas yang tinggi sekali yaitu sebesar 36,91x10-

7kg/m2, dan peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 2006. Peristiwa ini

berulang terjadi pada tahun 2015 dengan nilai puncak tertinggi yang

dicapai pada Oktober 2015 dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan

dengan yang terjadi pada Oktober 2006 yaitu 37,83x10-7kg/m2.

Berdasarkan informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup (2014)

bahwa efek dari fenomena iklim El Nino dapat memperluas kebakaran

hutan dan lahan (karhutla) dengan kenaikan jumlah titik panas karena

terjadi kekeringan yang panjang dan peningkatan suhu udara. Pada

tahun 2015 Indonesia dipengaruhi oleh El Nino level moderat yang

kekuatannya lebih dibandingkan dengan fenomena iklim El Nino yang

Page 88: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

79

terjadi pada tahun 2006 (KLH, 2014). Dampak kekeringan yang

ditimbulkannya mengakibatkan kejadian kebakaran hutan pada tahun

2015 tersebut menjadi sangat tidak terkendali dan mengakibatkan

akumulasi asap yang sangat tebal di Kalimantan dan Sumatera antara

Agustus dan Oktober 2015 (BNPB, 2015). Oleh karena itu, penulis

memperkirakan bahwa tingginya densitas BC pada tahun 2015 adalah

akibat adanya pengaruh El Nino level moderat yang pengaruhnya lebih

kuat dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 2006.

Secara spasial dapat diidentifikasi perubahan nilai densitas BC

dari munculnya warna merah yang mengindikasikan tingginya nilai

densitas BC dengan nilai lebih besar dari 21x10-7kg/m2. Pola spasial

pada Gambar 2 adalah pola spasial rata-rata klimatologis.

Gambar 2 Pola spasial klimatologis densitas massa aerosol black

carbon (BC) dari 2001 – 2015.

Kemunculan BC pada bulan Agustus di atas Sumatera dan

Kalimantan dipresentasikan oleh munculnya warna merah dengan

luasan yang cukup besar. Sebarannya mencapai puncak dan hampir

menutupi sebagian besar wilayah Kalimantan, Sumatera dan Pulau

Page 89: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

80

Jawa pada Oktober 2015. Berdasarkan pola spasial rata-rata bulan,

juga menunjukkan variasi perubahan rata-rata bulan yang hampir

sama, perbedaanya adalah bahwa [BC] yang densitasnya kurang dari

10x10-7kg/m2 tidak selalu terjadi pada bulan Oktober. Distribusi

spasial rata-rata bulanan, menunjukkan pola distribusi spasial yang

sangat fluktuatif. Hal ini diperkirakan karena sumber emisi dan

komposisi partikel BC yang bervariasi dan sangat tergantung pada jenis

bahan yang terbakar. Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa

BC terbentuk dari proses pembakaran bahan bakar fosil yang tidak

sempurna. Menurut Bond (2007), yang termasuk dalam kategori

sumber utama proses pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan

partikel BC adalah mesin diesel yang digunakan untuk transportasi

atau industri, bahan bakar rumah tangga seperti kayu atau arang, dan

proses-proses industri. Hal lain yang diperkirakan mempengaruhi

distribusi BC adalah ratio BC yang menurut AMAP (2011) relatif lebih

tinggi pada pembakaran bahan bakar fosil dibandingkan dengan ratio

BC pada pembakaran bahan bakar biomasa.

3.2 Kontribusi kebakaran hutan pada [BC] di perkotaan.

Aktivitas pembakaran hutan gambut terutama yang sudah

seringkali terjadi di Sumatera dan Kalimantan, saat ini sudah menjadi

masalah substansial yang sangat sulit untuk diselesaikan. Aerosol BC,

memang bukan komponen utama yang dihasilkan dari pembakaran

hutan gambut dan dari jumlah hasil pembakarannya pun relatif sangat

kecil dibandingkan dengan total aerosolnya. Namun seperti yang

dijelaskan dalam pendahuluan, keberadaan aerosol BC di atmosfer

tidak dapat diabaikan karena karakteristiknya yang sangat kuat dalam

mengabsorpsi sinar matahari dan dapat menjadikannya sebagai

kontributor terhadap pemanasan global. Selain itu ukurannya yang

sangat halus dapat mempengaruhi kesehatan manusia bila terhirup

pernafasan.

Tren distribusi [BC] untuk beberapa kota di Indonesia sangat

bervariasi. Hasil pengolahan data dari Januari 2001 sampai dengan

Desember 2015 menunjukkan bahwa hampir di setiap tahun terjadi

distribusi [BC] dengan densitas massanya yang sangat bervariasi.

Dalam penelitian ini dianalisis beberapa kota di wilayah Indonesia

seperti Jakarta, Pekanbaru, Medan, Palangkaraya, Pangkalpinang,

Surabaya, Ambon, Makassar dan Biak, untuk melihat kontribusi

kebakaran hutan pada [BC] pada kota-kota tersebut.

Titik panas merupakan salah satu indikator dari kejadian

Page 90: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

81

kebakaran hutan. Berdasarkan data titik panas (hotspots) dari sumber

data Kementrian Kehutanan menunjukkan jumlah titik panas yang

cukup besar dan rata-rata terkonsentrasi di Riau, Sumatera Selatan,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Gambar 3).

Gambar 3. Sebaran titik panas (hotspots) di wilayah Indonesia

dari tahun 2000 sampai 2012. (Sumber data dari Kementrian Kehutanan, 2012 ).

Namun sayangnya data sebaran titik panas tersebut adalah

jumlah total titik panas rata-rata provinsi tahunan dan uraiannya tidak

secara detail sampai ke perkotaan. Berkaitan dengan kontribusi

kebakaran hutan terhadap densitas BC di perkotaan, penulis

memperkirakan bahwa kejadian kebakaran hutan yang

dipresentasikan oleh jumlah sebaran titik panas baik yang terjadi di

Sumatera ataupun di Kalimantan berkontribusi pada peningkatan

densitas BC di perkotaan.

Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002, menunjukkan

jumlah total titik panas yang tertinggi pada saat itu terjadi di

Kalimantan Tengah sebanyak 20504 titik panas dan di Kalimantan

Barat sebanyak 10892 titik panas (Gambar 3). Berdasarkan analisis

perkotaan (Gambar 4), densitas BC di Palangkaraya mencapai puncak

tertinggi terjadi pada bulan September 2002 sebesar 5. 44x10-5kg/m2,

nilai tersebut merupakan nilai tertinggi yang terjadi selama perioda

2001-2015. Pada bulan berikutnya (Oktober 2002), [BC] kemudian

turun nilainya sampai kira-kira setengahnya dari nilai pada bulan

Page 91: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

82

sebelumnya yaitu 3,08x10-5kg/m2.

Gambar 4. Tren distribusi [BC] di perkotaan dari Januari 2001

sampai Desember 2015.

Peningkatan [BC] yang terjadi diduga merupakan kontribusi dari

peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada saat itu. Sebaran emisi

BC pada bulan September 2002 tersebut juga terpantau sampai ke

beberapa kota lain seperti Pekanbaru, Pangkalpinang, Medan dan

bahkan sampai ke Jakarta dengan densitas yang sangat rendah yang

rata-rata nilainya kurang dari 1. 0x10-5kg/m2.

Kemudian pada tahun 2006, terjadi sebaran titik panas di

Kalimantan Tengah yang jumlah totalnya mencapai 40897 titik panas.

Jumlah sebaran titik panas tersebut merupakan jumlah terbesar yang

terjadi selama perioda 2000–2012. Namun dari analisis perkotaan,

densitas BC di Palangkaraya pada Oktober 2006 hanya mencapai

3,39x10-5kg/m2, kira-kira setengah dari nilai densitas BC yang terjadi

pada tahun 2002. Sebaran emisi aerosol BC tersebut juga menyebar ke

Pekanbaru, dan Pangkalpinang dengan desitas BC yang nilainya lebih

besar dari 1. 0x10-5kg/m2, kira-kira 2x lipat dari yang terjadi pada

tahun 2002.

Berdasarkan data titik panas yang diperoleh dari LAPAN,

kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015, menunjukkan jumlah

total titik panas (hotspot) tertinggi yang terpantau LAPAN untuk

wilayah Indonesia dengan tingkat kepercayaan >80% pada bulan

September dan Oktober 2015 adalah > 30000 titik panas. Titik-titik

panas tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan yang

terbesar terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan.

Page 92: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

83

Gambar 5. Sebaran titik panas (hotspots) rata-rata bulanan di

wilayah Indonesia tahun 2015. (Sumber data LAPAN, 2016 ).

Berdasarkan analisis perkotaan (Gambar 4), dipresentasikan

Palangkaraya merupakan kota yang sangat terpolusi oleh [BC] karena

densitasnya yang relatif selalu tinggi terutama pada saat kejadian

kebakaran hutan. Penulis menduga bahwa kebakaran hutan gambut di

Kalimantan dan Sumatera telah menyumbang pada peningkatan [BC]

di perkotaan. Dari hasil analisis rata-rata bulanan pada bulan

September dan Oktober 2015 terjadi peningkatan jumlah sebaran titik

panas di Kalimantan Tengah masing-masing 12327 dan 11252 titik

panas, dan pada saat yang sama data [BC] di Palangkaraya juga

mengalami peningkatan sampai sekitar 1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2.

Analisis secara spasial menunjukkan bahwa (Gambar 6), luasan

spasial yang berwarna merah pada tahun 2002 tidak seluas yang

terjadi pada bulan Oktober 2015, tetapi densitas BC yang terpantau

pada tahun 2015 di Palangkaraya hanya mencapai kira-kira setengah

bagian dari yang terjadi pada tahun 2002. Kebakaran hutan yang

terjadi saat itu mengemisikan aerosol BC dari Palangkaraya sampai ke

Pangkalpinang, Pekanbaru dan jika dianalisis secara mendetail

kemungkinan sampai ke Medan, Makassar dan Jakarta.

Pada Gambar 4 ditunjukkan densitas BC tertinggi ditemukan di

Palangkaraya sebesar 2,01x10-5 kg/m2, berikutnya densitas BC di

Pekanbaru, Pangkalpinang dan Medan nilainya diantara 1,7x10-5

kg/m2 dan 1x10-5 kg/m2. Densitas BC di beberapa kota lain yang

posisinya jauh dari Sumatera dan Kalimantan seperti Jakarta,

Surabaya, Makassar, Ambon dan Biak menunjukkan nilai yang cukup

Page 93: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

84

kecil yaitu antara 8x10-6 dan 2x10-6.

Gambar 6. Pola spasial anomali densitas BC rata-rata Oktober

pada tahun 2002, 2006 dan 2015.

Seperti yang dijelaskan Babu and Moorthy (2001), dan juga

penjelasan Hansen dkk. (2000) bahwa walaupun BC hanya mempunyai

waktu tinggal antara 3 – 7 hari saja, tapi karena BC ini termasuk

partikel yang sangat ringan (fine particle), maka BC mampu melakukan

transport ke jarak yang jauh. Berdasarkan pendapat tersebut, maka

penulis menduga bahwa BC yang terdeteksi di beberapa kota yang

jaraknya relatif jauh dari sumber kebakaran , adalah berasal dari

kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Secara

spasial dapat dilihat pola spasial anomali dari sebaran densitas BC

pada bulan Oktober 2002 dan 2006 yang menyebar hampir menutupi

seluruh wilayah Indonesia, bahkan pada tahun 2015 menutupi seluruh

wilayah Indonesia.

4 KESIMPULAN

Untuk wilayah Indonesia densitas BC berfluktuasi dari nilai

terendah ~ 2x10-7 kg/m2 sampai nilai BC ~ 38x10-7 kg/m2. Dari tren

Page 94: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

85

distribusi bulanan untuk rata-rata wilayah Indonesia pada umumnya

ditemukan nilai BC yang tinggi rata-rata terjadi pada bulan September

dan Oktober yang diperkirakan berkaitan dengan peristiwa kebakaran

hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Pada peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2002,

2006 dan 2015 diperkirakan memberikan kontribusi BC tertinggi

dengan densitas masing-masing sebesar 23,4x10-7 kg/m2, 36,91x107

kg/m2 dan 37,83x10-7 kg/m2. BC pada tahun 2015 adalah BC tertinggi

yang ditemukan selama perioda data 2001-2015.

Kebakaran hutan gambut di Kalimantan dan Sumatera juga telah

mengkontribusi pada peningkatan BC di perkotaan. Dari hasil analisis

rata-rata bulanan pada bulan September dan Oktober 2015 terjadi

peningkatan jumlah sebaran titik panas di Kalimantan Tengah masing-

masing 12327 dan 11252 titik panas, dan pada saat yang sama data

BC di Palangkaraya juga mengalami peningkatan sampai sekitar

1,35x10-5 – 2,01x10-5 kg/m2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima penulis ditujukan kepada rekan-rekan terutama

kepada Indah Susanti, yang telah banyak menyumbangkan pemikiran

yang sangat bermanfaat sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kementrian

Kehutanan yang telah memberikan ijin penggunaan data hotspots (titik

panas) dalam tulisan ini.

DAFTAR RUJUKAN

Ackerman, A. S., O. B. Toon, D. E. Stevens, A. J Heymsfield, V.

Ramanathan, E.J. Welton, 2000: Reduction of tropical cloudiness by

soot. Science 288, 1042–1047.

AMAP, 2011. The Impact of Black Carbon on Arctic Climate. By: P. K.

Quinn, A. Stohl, A. Arneth, T. Berntsen, J. F. Burkhart, J.

Christensen, M. Flanner, K. Kupiainen, H. Lihavainen, M. Shepherd,

V. Shevchenko, H. Skov, and V. Vestreng. Arctic Monitoring and

Assessment Programme (AMAP), Oslo, 72 pp.

Babu, S. S., K. K. Moorthy, 2001: Anthropogenic impact on aerosol

black carbon mass concentration at a tropical coastal station: a case

study. Current Science 81, 1208 –1214.

Beegum, S.N., K. Krishna Moorthy, S.S. Babu, S.K. Satheesh, V. Vinoj,

K.V.S. Badarinath, P.D. Safai, P.C.S. Devara, S. Singh, Vinod, U. C.

Page 95: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

86

Dumka, P. Pant, 2009: Spatial distribution of aerosol black carbon

over Indis during pre-monsoon season, Atmospheric Environment

43, 1071-1078, doi:10. 1016/j. atmosenv. 2008. 11. 042

BNPB, 2015. Dampak EL-Nino Tahun 2015 terhadap Kekeringan di

Indonesia, http://www. bnpb. go. id/berita/2554/dampak-el-nino-

tahun-2015-terhadap-kekeringan-di-indonesia

Bond, T. C. , D. G. Streets, K. F. Yarber, 2004: A technology-based

global inventory of black and organic carbon emissions from

combustion. J. Geophys. Res. , 109(14203), doi: 10.

1029/2003JD003697.

Bond, T. C. , E. Bhardwaj, and R. Dong, 2007: Historical emissions of

black and organic carbon aerosol from energy-related combustion,

1850-2000. Global Biogeochem. Cycles, 21, doi: 10.

1029/2006GB002840.

Bond, T., 2007: ‘Testimony for the Hearing on Black Carbon and

Climate Change’, Testimony to the House Committee on Oversight

and Government Reform, 16 pp .

Cao, G., X. Zhang, and Y. Wang, 2006: Inventory of black carbon

emission from China. Adv. Clim. Change Res. (in Chinese), 2(6), 259-

264.

Chung, S.H., J. H. Seinfeld, 2005: Climate response of direct radiative

forcing of anthropogenic black carbon. Journal of Geophysical

Research 110, D11102. doi: 10. 1029/2004JD005441.

Corrigan, C. E., G.C. Roberts, M.V. Ramana, D. Kim, V. Ramanathan,

2007: Capturing vertical profiles of aerosols and black carbon over

the Indian Ocean using autonomous unmanned aerial vehicles.

Atmospheric Chemistry and Physics Discussions 7, 11429–11463.

Hansen, J., M. Sato, R. Ruedy, A. Lacis, V. Oinas, 2000: Global

warming in the twenty-first century: An alternative scenario,

Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), NASA, vol.

97, no. 18, 9875–9880 pp, DOI: 10. 1073/pnas. 170278997.

Husain, L. , Dutkiewics, V. A. , Khan, A. J. , Ghauri, B. M. , 2007:

Characterization of carbonaceous aerosols in urban air. Atmospheric

Environment 41, 6872–6883.

IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis.

Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of

the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S. dkk.,

Eds. , Cambridge University press, 996pp.

Jacobson, M. Z. , 2001: Strong radiative heating due to the mixing state

of black carbon in atmospheric aerosols. Nature 409, 695–697.

Page 96: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Distribusi Spasial – Temporal Aerosol Black Carbon di Indonesia - Rosida

87

Kementerian Lingkungan Hidup, Republik Indonesia (KLH), 2006: Press

Release Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Kementrian

Lingkungan Hidup, 1 September 2006, http://www. menlh. go.

id/press-release-pengendalian-kebakaran hutan-dan-lahan

kementerian-lingkungan-hidup/

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), 2014: Pengaruh El Nino Pada

Kebakaran Hutah Dan Lahan, Deputi Bidang Pengendalian

Kerusakan Dan Perubahan Iklim, Kementrian Linglungan Hidup,

http://www. menlh. go. id/

LAPAN, 2016: Hotspots Information, as Forest/Land Fire’s Alert,

http://modis-catalog. lapan. go. id/monitoring/

Lohmann, U. , Feichter, J. , Penner, J. E. , Leaitch, W. R. , 2000:

Indirect effect of sulfate and carbonaceous aerosols: a mechanistic

treatment. Journal of Geophysical Research 105, 12193–12206.

NASA, 2016: Black Carbon Column Massa Density, Giovanni,

http://giovanni. sci. gsfc. nasa.

gov/giovanni/#service=TmAvMp&starttime=&endtime=&bbox=-180,-

90,180,90&data=M2TMNXAER_5_12_4_BCCMASS&variableFacets=d

ataFieldDiscipline%3AAerosols%3BdataFieldMeasurement%3ABlack

%20Carbon%3B

Ramanathan, V., and G. Carmichael, 2008: Global and regional climate

changes due to black carbon. Nature, 1, 221-227.

Steiner, A. , 2009: A Major Scientific Study on Black Carbon

Intercomparison. Black Carbon e-Bulletin, The United Nations

Environment Programme (UNEP) in collaboration with the Science

Team of Atmospheric Brown Cloud (ABC), Volume 1, Number 2.

Sofiati, I., Sinatra, T. , 2012: Analisis polutan saat kebakaran hutan

serta kaitannya dengan fenomena ElNino di Palangkaraya-

Kalimantan Tengah, Lingkungan Tropis, Vol 6, No. 1, 41-50.

Susanto A., 2015. Apa yang paling banyak menyebabkan kebakaran

hutan di Indonesia?, http://www. rappler. com/indonesia/104764-

kebakaran-hutan-indonesia-cifor

Zhang, H. , and Z. Wang, 2011: Advances in the Study of Black Carbon

Effects on Climate. Advances in Climate Change Research 2(1), 23-

30. DOI: 10. 3724/SP. J. 1248. 2011. 00023.

Page 97: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

88

PERGESERAN POLA INTENSITAS RADIASI MATAHARI PADA

SAAT GERHANA MATAHARI TOTAL 2016

Saipul Hamdi, Sumaryati, Waluyo Eko Cahyono

Peneliti Ilmu Lingkungan Atmosfer

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN

e-mail: saipulh@yahoo. com

ABSTRACT Solar eclipse is occured when moon cover solar disk, and blocks solar radiation toward the earth. Shifting of solar irradiation pattern caused by solar eclipse has been studied in Bandung and Pasuruan. Incoming solar radiation of ultraviolet A, B, and global are measured for this purpose. The shifting of solar irradiation pattern has been observed in Pasuruan, whereas in Bandung is not observed. The shifting is shown by increasing of rasio of UV-A/Global intensity as well 4. 5% on full eclipse. On March 9th Solar Eclipse, decreasing of global solar radiation in Bandung and Pasuruan is 425. 19 kJ/m2 and 863. 28 kJ/m2 respectively. Also, it has been observed delay of increasing surface temperature related to average surface temperature in 8 days (before and after) at solar eclipse. Keywords : solar spectrum, solar eclipse, incoming solar

radiation

ABSTRAK

Gerhana matahari terjadi ketika bayangan bulan menutupi

piringan matahari dan menyebabkan terhalangnya sinar matahari yang menuju bumi. Pengaruh gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016 terhadap pergeseran pola intensitas radiasi matahari diamati

di Bandung dan Pasuruan melalui pengukuran insolasi ultraviolet A, ultraviolet B, dan insolasi global matahari. Diperoleh hasil bahwa di Pasuruan teramati pergeseran pola intensitas radiasi matahari sedangkan di Bandung tidak teramati. Pergeseran ini ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Diperoleh juga penurunan intensitas radiasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar 425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret 2016. Teramati pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana). Kata-kunci: spektrum matahari, gerhana matahari, insolasi

Page 98: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

89

1 PENDAHULUAN

Gerhana matahari merupakan peristiwa alam biasa, yang tidak

ada gejalanya tetapi kejadiannya dapat diperhitungkan dengan tepat

dan memiliki dampak pada bumi. Berbeda dengan gempa dan gunung

meletus yang ada gejala awalnya, tetapi kejadiannya tidak dapat

diprediksi. Gerhana matahari terjadi saat posisi bulan terletak di

antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh

cahaya matahari (Dermawan dkk., 2015). Jika bulan menutupi

sebagian cahaya matahari maka disebut sebagai gerhana matahari

sebagian, dan gerhana matahari total terjadi ketika seluruh cahaya

matahari tertutup oleh bulan. Pada peristiwa gerhana matahari, sinar

matahari di puncak atmosfer mengalami pelemahan, bahkan mencapai

nol untuk daerah yang dilintasi bayangan umbra.

Gambar 1. Spektrum radiasi matahari dari spektrum ultraviolet

hingga infra merah jauh dan gelombang elektromagnetik lainnya (https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing. png).

Pancaran energi radiasi matahari mengikuti kaidah black body

radiation, distribusi Planck, serta hukum pergeseran Wien (Planck,

1901). Spektrum radiasi matahari terdiri dari sinar dengan panjang

gelombang kurang dari 1 nm sampai gelombang radio dengan panjang

gelombang sampai ratusan kilometer, dan puncak maksimum

intensitas terjadi pada panjang gelombang (400 -700) nm, bersesuaian

dengan temperatur matahari sekitar 6000 K. Semua panjang

gelombang tersebut tidak sampai ke permukaan bumi hanya sinar

Page 99: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

90

tampak dan gelombang radio yang mampu menembus atmosfer bumi,

sedangkan sinar tidak mampu menembus atmosfer bumi.

Intensitas radiasi yang sampai ke terrestrial bumi dipengaruhi

oleh jarak matahari-bumi yang mengalami siklus dalam satu tahun,

dan aktivitas matahari memiliki siklus 11 tahun. Radiasi matahari

yang diterima di puncak atmosfer bumi adalah sebesar 1360 W/m2 dan

rata-rata setengah dari nilai tersebut diterima di permukaan bumi

setelah mengalami proses pemantulan dan penyerapan oleh awan

(Handoko, 1993). Radiasi yang diterima di permukaan bumi nilainya

bervariasi terhadap letak lintang, keadaan atmosfer di tempat tersebut,

faktor ketinggian tempat, serta sudut zenith matahari (sudut yang

dibentuk antara garis vertikal pada lokasi tersebut dan arah datangnya

sinar matahari) (Hanggoro, 2011).

Pengaruh utama dari gerhana matahari adalah pada radiasi

matahari, yang selanjutnya berpengaruh terhadap parameter

meteorologi lain, diantaranya adalah suhu, tekanan udara, kelembapan

relatif, dan angin (Anderson dkk., 1972; Gonzales, 1997; Aculinin and

Smicov, 2006). Terhalangnya radiasi matahari selama berlangsungnya

proses gerhana matahari memberikan dampak pada perubahan

struktur dan dinamika atmosfer pada daerah yang dilintasi gerhana

(Sartika, dkk., 2015).

Ketika terjadi gerhana matahari total ataupun mendekati total,

maka penampang matahari dari inti sampai kromosfer tertutup oleh

bulan, tetapi tidak sampai menutup bagian korona. Bagian korona

memiliki temperatur yang lebih tinggi dari kromosfer, bahkan

temperatur kromosfer dapat mencapai 10. 000 K. Radiasi yang

dipancarkan oleh seluruh sistem matahari dengan temperatur rata-rata

mendekati 6. 000 K memiliki intensitas spektrum dengan intensitas

maksimum pada daerah cahaya tampak sebagaimana digambarkan

pada Gambar 1. Oleh karena itu ada kemungkinan jika hanya bagian

korona dengan temperatur sampai 10. 000 K yang radiasinya sampai

ke permukaan bumi, maka pola intensitas radiasi maksimum yang

sampai ke permukaan bumi bergeser dari cahaya tampak ke arah

radiasi ultraviolet. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya

pergeseran pola intensitas radiasi matahari dan pengurangan

intensitas radiasi matahari pada saat terjadinya gerhana matahari

2016, serta dampaknya pada perubahan temperatur di Bandung dan

Pasuruan.

Page 100: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

91

2 METODE PENELITIAN

Data yang digunakan adalah radiasi UV-A (300-400) nm, UV-B

(280 – 315) nm, dan radiasi global (semua panjang gelombang). Lokasi

pengamatan di Bandung (6°53'40"LS; 107°35'12"BT) dan Pasuruan

(7°34'0"LS ; 112°40'37"BT). Waktu dan durasi gerhana di kedua

tempat tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Waktu gerhana matahari

Bandung Pasuruan

Awal gerhana 6:19:55 WIB 6:21:20 WIB Puncak gerhana 7:21:45 WIB 7:25:45 WIB Akhir gerhana 8:32:06 WIB 8:39:12 WIB

Maksimum gerhana 86 % 82 %

Sumber: http://eclipse. gsfc. nasa. gov/SEgoogle/SEgoogle2001/ SE2016Mar09Tgoogle. html

Pendekatan persamaan untuk menghitung sudut zenith () yang

menentukan besarnya intensitas radiasi matahari sampai ke

permukaan bumi, dituliskan pada persamaan (1).

)cos()cos()cos()sin()sin()(cos (1)

Dengan adalah derajat lintang posisi Bandung (6°53'40"LS = -6,89°)

dan Pasuruan (7°34'0"LS = -7,67°) , adalah sudut jam matahari

nilainya setiap 15° setara dengan satu jam dan dengan acuan 0 pada

jam 12. 00 waktu matahari, dan adalah sudut deklinasi matahari

dirumuskan sebagai berikut, dengan N adalah Julian day:

𝛿 = 23,45 𝑠𝑖𝑛 (284+𝑛

365) (2)

Korelasi antara waktu matahari (Tsol) dan waktu setempat (Tloc =

WIB) adalah ditunjukkan pada persamaan (3).

menitEoTTT stdloclocsol 4 (3)

Dengan :

Tsol : waktu matahari,

Tloc : waktu setempat (WIB)

EoT : equation of time

Page 101: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

92

loc : bujur setempat (104,73 BT)

std : bujur standar waktu (105 BT)

Equation of time menurut Lunde dalam Naima dan Majeeb (2011)

dirumuskan dengan persamaan (4):

𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−1

28,648) − 5, 1 < 𝑛 < 100 (4a)

𝐸𝑜𝑇(𝑛) = −9. 00 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−1

28,648) − 5, 1 < 𝑛 < 100 (4b)

𝐸𝑜𝑇(𝑛) = 18,6 𝑠𝑖𝑛 (𝑛−242

39,248) − 2, 243 ≤ 𝑛 ≤ 366 (4c)

Untuk mengetahui adanya pergeseran pola intensitas radiasi

matahari, digunakan perbandingan intensitas radiasi UV-A terhadap

radiasi global (UV-A/Global). Jika pada saat gerhana tidak ada

perubahan nilai perbandingan (rasio), maka diartikan tidak ada

pergeseran pola intensitas radiasi matahari. Sebaliknya, jika terjadi

perubahan nilai perbandingan antara radiasi UV-A terhadap radiasi

global maka terjadi pergeseran pola intensitas radiasi matahari.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sudut zenith dan hasil perhitungan sudut zenith menggunakan

persamaan (1) – (4) di Bandung dan Pasuruan selama persitiwa

gerhana matahari ditunjukkan pada Gambar 2. Pada jam yang

bersamaan, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar

dibandingkan dengan di Pasuruan. Hal ini karena posisi geografis

(meredian) Pasuruan lebih Timur dibandingkan dengan posisi

Bandung. Semakin tinggi elevasi matahari maka semakin kecil sudut

zenith yang terbentuk, dan sudut zenith mencapai nol derajat saat

matahari berada pada kulminasinya. Untuk mencapai sudut zenith

yang sama maka terjadi penundaan waktu kira-kira satu jam untuk

Kota Bandung.

Page 102: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

93

Gambar 2. Besarnya sudut zenith matahari selama terjadi gerhana matahari di Bandung dan Pasuruan.

Perubahan insolasi pada spektrum UV-A, UV-B, dan radiasi

global pada saat terjadi gerhana matahari tanggal 9 Maret di Pasuruan

dan Bandung ditunjukkan pada Gambar 3. Insolasi rata-rata dihitung

pada 8 hari sebelum dan 8 hari setelah gerhana matahari, dan di

dalam rentang waktu ini sudut zenith matahari dianggap tidak berubah

secara signifikan pada jam yang sama. Analisa dilakukan pada rentang

waktu pukul 05:00 hingga 10:00 yaitu saat terjadinya gerhana

matahari seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Radiasi matahari yang diterima oleh bumi disebut sebagai

insolasi (insolation = incoming solar radiation) yang tersebar pada pita

panjang gelombang yang disebut spektrum matahari. Meskipun

spektrum matahari sangat lebar namun puncak energi dan sebagian

besar energi radiasi total terletak pada batas cahaya tampak yang

sangat sempit (Tjasyono, 2008). Insolasi yang sampai ke permukaan

bumi berbanding terbalik dengan sudut zenith matahari. Semakin kecil

sudut zenith matahari maka semakin besar insolasi. Ketika terjadi

gerhana matahari, sudut zenith matahari di Bandung lebih besar

daripada di Pasuruan, maka insolasi rata-rata pada jam yang

bertepatan dengan gerhana matahari di Pasuruan lebih besar daripada

di Bandung sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Hal ini berdampak

juga pada pelemahan energi radiasi akibat gerhana matahari di

Pasuruan lebih besar daripada di Bandung, meskipun maksimum

gerhana di Pasuruan lebih kecil daripada di Bandung. Perhitungan

pada Tabel 2 tidak mempertimbangkan penutupan awan di kedua

tempat tersebut.

Page 103: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

94

Pasuruan Bandung

UV

-A

UV

-B

Radia

si G

lobal

Gambar 3. Perubahan insolasi di Pasuruan dan Bandung

pada saat gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016.

Tabel 2. Pelemahan energi radiasi matahari akibat gerhana.

Bandung Pasuruan

Radiasi UV-A (kJ/m2) 27,55 53,14 Radiasi UV-B (kJ/m2) 0,32 1,41 Radiasi global (kJ/m2) 425,19 863,28

Perbandingan insolasi UV-A terhadap insolasi global (UV-

A/Global), dan insolasi UV-B terhadap insolasi global (UV-B/Global)

pada saat gerhana dan rata-ratanya dalam 8 hari (sebelum dan

sesudah gerhana) ditunjukkan pada Gambar 4. Daerah yang dibatasi

oleh persegi empat berwarna gelap adalah saat terjadinya gerhana

matahari. Pembahasan pergeseran pola intensitas radiasi matahari

dilakukan pada daerah berwarna gelap ini.

Page 104: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

95

Pasuruan Bandung U

V-A

/G

lobal

UV

-B/G

lobal

Gambar 4. Perbandingan antara insolasi UV-A dan UV-B

terhadap insolasi global di Pasuruan dan Bandung.

Insolasi UV-A yang sampai ke permukaan bumi sebanding

dengan insolasi global. Hal ini ditunjukkan oleh nilai perbandingan

antara insolasi UV-A dan insolasi global yang bernilai hampir konstan.

Gambar 4 juga menunjukkan bahwa dalam satu hari perbandingan

UV-A/global memiliki variabilitas yang tinggi. Hal ini disebabkan

adanya penyerapan UV-A untuk reaksi fotokimia di atmosfer. Selain

itu, disebabkan juga oleh adanya dinamika aktivitas matahari. Pada

saat terjadinya penutupan matahari oleh bulan, di Pasuruan teramati

adanya pergeseran pola intensitas radiasi matahari ke arah pita UV-A.

Hal ini ditunjukkan oleh rasio UV-A/Global pada saat gerhana

matahari meningkat sekitar 4,5 %. Pada waktu puncak gerhana

matahari, rasio UV-A/Global juga meningkat tinggi. Kejadian seperti di

Pasuruan tidak terjadi di Bandung. Pada saat gerhana matahari justru

rasio UV-A/Global menurun sekitar 2,1 %. Pergeseran pola intensitas

ke arah pita ultraviolet tidak teramati di Bandung. Kondisi ini diduga

karena reaksi fotokimia yang tinggi dari polutan-polutan reaktif di

troposfer. Intensitas UV-B yang sampai ke permukaan bumi akan

menjadi semakin besar jika radiasi total yang sampai ke permukaan

bumi juga besar, yang berarti kemampuan lapisan ozon menyerap UV-

B tidak sebanding dengan intensitas radiasi UV-B yang menembus

Page 105: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

96

stratosfer, tetapi memiliki kapasitas tertentu dalam penyerapannya.

Dilihat dari melemahnya insolasi UV-A, UV-B, dan global di

Bandung dan Pasuruan (Tabel 2), perbandingan pelemahan insolasi

UV-A dan insolasi global di kedua tempat pengamatan memiliki

perbandingan yang hampir sama, yaitu di Bandung sekitar 2 kalinya di

Pasuruan, sementara untuk insolasi UV-B di Pasuruan sekitar empat

kalinya di Bandung. Hal ini menunjukkan adanya reaksi penyerapan

UV-B yang kompleks di atmosfer, khususnya dalam reaksi fotolisis

ozon stratosfer.

Gambar 5. Penurunan suhu permukaan saat terjadinya gerhana

matahari (9 Maret) dibandingkan dengan rata-rata 8 hari sebelum dan sesudah kejadian gerhana.

Selain mengamati terjadinya penurunan intensitas insolasi,

diamati juga penundaan kenaikan suhu pada saat terjadinya gerhana

matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata dalam 8 hari (sebelum

dan sesudah gerhana). Gambar 5 menunjukkan penundaan kenaikan

suhu. Penundaan kenaikan suhu pada pagi hari disebabkan gagalnya

matahari memanasi atmosfer bumi karena terhalang oleh bayangan

bulan. Di Bandung, penundaan kenaikan suhu mulai terlihat sejak

pukul 6:30 ketika bulan mulai menutupi piringan matahari, dan tidak

terjadi kenaikan suhu yang signifikan hingga pukul 7:30. Setelah

puncak gerhana yang dibarengi dengan semakin berkurangnya sudut

zenith matahari, hal yang berbeda terjadi di Pasuruan yang daerahnya

hanya dilintasi oleh penumbra. Penurunan suhu mulai terjadi pada

pukul 07:20 dan mulai meningkat lagi secara normal pada pukul

08:00. Penundaan yang sangat singkat ini disebabkan karena

Pasuruan hanya dilalui oleh bayangan penumbra yang menyisakan

sedikit insolasi untuk memanasi atmosfer bumi. Selain itu, dengan

posisinya yang lebih ke timur menyebabkan sudut zenith matahari

sudah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Bandung.

15

20

25

30

35

5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00

tem

pera

tur

(°C

) Bandung

rata-rata9-Mar

Waktu (WIB)

15

20

25

30

35

5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00

tem

pera

tur

(°C

) Pasuruan

rata-rata

9-Mar

Waktu (WIB)

Page 106: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

97

4 KESIMPULAN

Pergeseran pola intensitas radiasi matahari teramati di Pasuruan

selama gerhana matahari tanggal 9 Maret 2016. Pergeseran ini

ditunjukkan oleh meningkatnya rasio insolasi ultraviolet A terhadap

global sebesar 4,5% pada saat puncak gerhana. Sebaliknya, pergeseran

spektrum matahari tidak teramati di Bandung, bahkan terjadi

penurunan rasio sebesar 2,1%. Selain itu, diperoleh juga penurunan

insolasi global di Bandung dan Pasuruan masing-masing sebesar

425,19 kJ/m2 dan 863,28 kJ/m2 selama gerhana matahari 9 Maret

2016. Diketahui pula penundaan kenaikan suhu permukaan pada saat

terjadinya gerhana matahari dibandingkan dengan suhu rata-rata

dalam 8 hari (sebelum dan sesudah gerhana).

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat Sains dan

Teknologi Atmosfer Bandung dan Balai Pengamatan Atmosfer dan

Antariksa Pasuruan yang telah menyediakan data pengamatan untuk

digunakan di dalam tulisan ini, rekan-rekan peneliti di Subpoklit

Lingkungan Atmosfer atas diskusinya, serta para reviewer yang telah

banyak menyumbang pemikiran, membantu dalam pengolahan data,

diskusi dan konsultasi, serta saran.

DAFTAR RUJUKAN

Aculinin, V. Smicov, 2006: Ground-Based Observation of Shortwave

Solar Radiation During Solar Eclipse on October 3, 2005 in

Chicinau, Moldova. Moldovian Journal of The Ohysical Science, 5.

Anderson, R. C. , Keefer, D. R. , Myers, O. E. , 1972: Atmospheric

Pressure and Temperature Changes during The 7 March 1970 Solar

Eclipse. Atmospheric Science, 29, 583-587.

Dermawan, A. , E. S. Mumpuni, R. Priyatikanto, J. Murjaya, 2015:

Gerhana Matahari Total 2016: Informasi dari Bidang Ilmiah

mengenai Persiapan dan Pelaksanaan Pengamatan, Media

Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169.

Gonzales, G. , 1997: Ground Level Humidity, Pressure and Temperature

Measurement during The October 24, 1995 Total Solar Eclipse.

Kodaikanal Obs. Bull. ,113, 151-154.

Handoko, 1993: Klimatologi Dasar. Bogor. Jurusan Geofisika dan

Meteorologi IPB.

Hanggoro, W. , 2011: Pengaruh Intensitas Radiasi Saat Gerhana

Page 107: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Pergeseran Pola Intensitas Radiasi Matahari – Saipul Hamdi, dkk.

98

Matahari Cincin Terhadap Beberapa Parameter Cuaca, Jurnal

Meteorologi dan Geofisika, Vol 12 Nomor 2, 137-144.

Naima, F. , Majeed, B. A. , 2011: Spline-Based Formula for the

Determination of Equation of Time and Declination Angle, ISRN

Renewable Energy, Vol. 2011. Article ID 217484, DOI:10.

5402/2011/217484.

Planck, M. , 1901: Distribution of Energy in The Spectrum. Annalen der

Physik, vol 4. , 553-563.

Sartika, F. Mumtahana, 2015: Gerhana Matahari dan Dampaknya pada

Atmosfer Bumi, Media Dirgantara, Vol. 10 no 3, ISSN 1907-6169.

Tjasyono, B. , Meteorologi Indonesia Volume I Karakteristik dan Sirkulasi

Atmosfer, Badan Meteorologi dan Geofisika, pp. 100.

http://eclipse. gsfc. nasa.

gov/SEgoogle/SEgoogle2001/SE2016Mar09Tgoogle. html

https://geosciencebigpicture. files. wordpress. com/2014/01/drawing.

png (diunduh tanggal 30 September 2016).

Page 108: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

99

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (KHUSUSNYA CURAH HUJAN

DAN TEMPERATUR) DI DAS CIMANUK (JAWA BARAT)

BERBASIS HASIL ANALISIS DATA CRU DAN MODEL

Sinta Berliana Sipayung, Fanny A. Putri dan Amalia Nurlatifah

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

e-mail: s_berlianasipayung@yahoo. com

ABSTRACT This paper emphasizes the importance of the analysis of climate change impact that occurred in the Cimanuk Watershed, West Java. It is related to the needed of fast and reliable information of past, present, and future rain fall based on Climate Research Unit (CRU) and Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) monthly data analysis for 104 years (1901-2014). The analysis is focused on drought frequency in that region using Standard Index Precipitation (SPI) methods. SPI is one of drought indicator in a region. Analyses were conducted per each 30 years observation, namely 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, and 1991-2014 takes 24 years for Pamegatan and Cimanuk stations. The result show that there has been a drought for both of them, but relatively stable in 60-65 event since 1901-1990. Significant changes occured from 1991 to 2014, where the drought decreased until 56 events. This indicates that dry season in Cimanuk Watershed is decrease or rain season is increase. Meanwhile, SPI analysis show that only 3-month period SPI is most suitable for describing the highest of dry and rain

seasons in Cimanuk Watershed. Keywords : Climate Change, SPI, and Cimanuk Watershed

ABSTRAK

Makalah ini menekankan pentingnya analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Hal ini terkait dengan adanya satu kebutuhan informasi yang cepat dan tepat tentang kondisi curah hujan di masa lalu, kini dan mendatang. Berbasis hasil analisis data Climate Research Unit (CRU) dan Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) selama 104 tahun pengamatan (1901-2014) rata-rata bulanan data in-situ dan data luaran model. Analisis difokuskan pada frekuensi kejadian kekeringan di kawasan tersebut menggunakan teknik/metode Standard Precipitation Index (SPI) yang merupakan salah satu indikator terjadinya kekeringan di suatu wilayah. Analisis

dilakukan setiap 30 tahun pengamatan yang dibagi menjadi 3 periode, yakni periode 1901-1930, 1931-1960, 1961-1990, dan satu periode lagi yang lamanya hanya 24 tahun (1991-2014) masing-masing untuk Stasiun Pamegatan dan Cimanuk. Hasilnya menunjukkan bahwa memang telah terjadi kekeringan di dua

Page 109: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

100

stasiun tersebut, tetapi relatif stabil yakni berkisar 60-65 kali sejak 1901-1990. Perubahan signifikan terjadi sejak 1991 hingga 2014, dimana terjadinya penurunan kekeringan hingga mencapai sekitar 56 kejadian kekeringan. Ini mengindikasikan jika di DAS Cimanuk tren musim kemaraunya berkurang atau kecenderungan terjadinya musim penghujan bertambah. Sementara dari SPI diperoleh hanya SPI periode 3 bulanan saja yang relatif paling sesuai menggambarkan musim kemarau dan basah paling tinggi yang terjadi di kawasan tersebut.

Kata kunci : Perubahan iklim, SPI dan DAS Cimanuk

1 PENDAHULUAN

Ada satu kebutuhan nasional yang sangat dinantikan oleh Pusat

Air (PUSAIR), yakni analisis dampak perubahan iklim yang terjadi di

beberapa waduk yang terdapat di Jawa Barat. Hal ini penting

dilakukan, karena informasi yang cepat, tepat dan akurat terkait

dengan ketersediaan air di beberapa waduk yang terdapat di Jawa

Barat, baik masa kini ataupun mendatang penting untuk menjaga

stabilitas produksi tanaman pangan, khususnya padi yang ditanam di

Jawa Barat.

Sebagaimana diketahui, perubahan iklim didefinisikan sebagai

indikasi atau tanda-tanda meningkatnya suhu rata-rata di permukaan

bumi yang menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur iklim

lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di

udara, yang pada akhirnya dapat mengubah pola curah hujan di suatu

wilayah (IPCC, 2007). Perubahan iklim dapat terjadi karena proses

alam internal maupun aktivitas manusia yang terus-menerus (IPCC,

2007). Perubahan tata guna lahan dan industrialisasi adalah salah

satu pemicu penyebab perubahan iklim. Perubahan tata guna lahan

memicu berubahnya komposisi atmosfer, salah satunya adalah

konsentrasi karbon dioksida (CO2). Peningkatan konsentrasi CO2

sebanyak dua kali lipat diperkirakan akan meningkatkan suhu bumi

sebesar 1,4-5,8°C (IPCC, 2001).

Analisis perubahan iklim membutuhkan data dengan rentang

waktu yang panjang. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran

(in-situ), satelit, maupun proyeksi luaran model iklim. Sebagai contoh,

data observasi dengan periode 1906–2005 menunjukkan rata-rata suhu

permukaan global meningkat dengan laju 0,74°C ± 0,18° telah

mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat, termasuk di

Indonesia (IPCC, 2007). Data satelit juga dapat digunakan untuk kajian

Page 110: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

101

perubahan iklim. Analisis data satelit Tropical Rainfall Measuring

Mission (TRMM) dalam Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap

(ICCSR) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan

peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrem, terutama di

wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan)

(Bappenas, 2010).

Suhu permukaan udara di keseluruhan Asia telah meningkat

sekitar 1-3°C selama satu abad terakhir (Cruz dkk., 2007). Hulme dan

Sheard (1999), menemukan bahwa Indonesia lebih hangat sejak tahun

1900 dan suhu rata-rata tahunannya telah meningkat sekitar 0,3°C.

Kenaikan suhu sebesar 0,2-0,3 °C per dekade juga disampaikan oleh

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH, 2012).

Perubahan iklim juga mempengaruhi curah hujan. Kenaikan

curah hujan untuk periode Desember–Januari–Februari (DJF) terjadi di

hampir seluruh Pulau Jawa dan Indonesia bagian tengah seperti Bali,

NTB, dan NTT. Berdasarkan data historis perubahan per tahun

menunjukkan peningkatan suhu di Jakarta dan Bogor (Hidayati, 1990),

sedangkan sebagian besar wilayah Indonesia suhu mengalami

penurunan (Hidayati dkk., 2009).

Indikator perubahan iklim lainnya adalah keterlambatan musim

hujan tahunan 30-hari, dengan kategori 10% kenaikan curah hujan di

musim tanam (April-Juni), dan 75% penurunan curah hujan di musim

kemarau (Juli-September) (Hulme and Sheard, 1999; Boer and Faqih,

2004; Naylor dkk., 2007).

Hasil proyeksi dengan menggunakan data luaran model skenario

diketahui bahwa telah terjadi peningkatan curah hujan di Indonesia

kecuali di Indonesia bagian selatan (Hulme and Sheard, 1999). Boer

and Faqih (2004); Naylor. dkk. (2007). Hasil proyeksi ke depan juga

menyebutkan kenaikan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-

pulau, kecuali di Indonesia bagian selatan, yang menurun hingga 15%.

Perubahan musiman curah hujan di sebagian Sumatera dan

Kalimantan sekitar 10-30% lebih basah di tahun 2080 selama periode

Desember-Februari, sedangkan Jakarta diproyeksikan lebih kering

sekitar 5 sampai 15% selama Juni-Agustus (KLH, 2012). Indonesia

yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi (banjir,

kekeringan, tanah longsor, dan angin puting beliung) yang disebabkan

oleh perubahan iklim harus tanggap untuk melakukan langkah-

langkah mitigasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dampak

peningkatan suhu 2°C di atas tingkat pra-industri (WWF, 2007).

Untuk pertama kalinya pada tahun 2016 air Waduk Jatigede

Page 111: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

102

yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk mulai digunakan

untuk mengairi areal pesawahan di daerah pantai utara (pantura),

seperti Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Waduk Jatigede

(Sumedang) dianggap mampu menyuplai air ke daerah pantura dalam

beberapa tahun ke depan dan mampu mengairi Daerah Irigasi seluas

90. 000 ha, yang mencakup Kab. Indramayu, Cirebon, Majalengka dan

sekitarnya. Waduk Jatigede nantinya juga akan difungsikan untuk

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas terpasang

(install capacity) sebesar 110 MW. PLTA akan dikelola oleh Perusahaan

Litrik Negara (PLN) (http://sumedangonline. com/).

DAS Cimanuk merupakan salah satu penopang utama sumber

daya air di Jawa Barat yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu sub-DAS

Cimanuk Hulu, sub-DAS Cimanuk Tengah dan sub-DAS Cimanuk

Hilir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak

perubahan iklim, khususnya curah hujan dan temperatur yang terjadi

di DAS Cimanuk, Jawa Barat berbasis hasil analisis data CRU dan

model dengan menggunakan metode Standard Precipitation Index (SPI).

2 METODE PENELITIAN

Data yang digunakan adalah data curah hujan dan temperatur

dari tahun 1901 hingga 2014 (diwakili lokasi Pamegatan dan Cimanuk)

yang diperoleh dari Climate Research Unit (CRU). Sebagai data koreksi

digunakan data satelit dari Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM),

data luaran model dari Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) dan

data in-situ (dari stasiun klimatologi). Data CRU dan luaran model

bulanan digunakan untuk melihat pola perubahan iklim dan indeks

kekeringan berdasarkan nilai ambang batas (threshold ± 1). Periode

data CRU sudah lebih dari 30 tahun sehingga cukup representative

digunakan untuk analisis perubahan iklim. Lokasi penelitian adalah

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk (Jawa Barat) yang terletak pada

koordinat (6,20 LS – 7,450 LS dan 107,60 BT -108,80 BT). Gambar 1

menyajikan lokasi penelitian dan peta penggunaan lahan di DAS

Cimanuk yang didominasi oleh sawah tadah hujan, sawah irigasi dan

tegalan.

Metode yang digunakan mengacu pada analisis perubahan iklim

konsep dari Naylor (2007). Selain itu juga menggunakan metode

Standard Precipitation Index (McKee dkk., 1993). Metode SPI digunakan

untuk mengetahui suatu daerah mengalami kekeringan atau tidak. SPI

merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menghitung indeks

presipitasi yang menjelaskan kondisi anomali basah dan anomali kering

Page 112: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

103

dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah dengan

memperhitungkan input presipitasi sebagai data utamanya dan tidak

memperhitungkan parameter lain dan telah digunakan di lebih dari 60

negara (Svoboda, 2009).

Gambar 1. Kondisi lokasi penelitian dan penggunaan lahan di

DAS Cimanuk

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk merupakan salah satu dari

beberapa DAS yang terdapat di Jawa Barat. DAS Cimanuk memiliki

luas 347. 697 ha yang mencakup wilayah administrasi Kabupaten

Garut, Sumedang, Majalengka dan Indramayu. DAS Cimanuk memiliki

curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Berdasarkan analisis data curah

hujan stasiun klimatologi yang terletak di DAS Cimanuk selama

periode 1901-2014 menghasilkan, bahwa DAS Cimanuk mempunyai

pola curah hujan tahunan tipe monsunal. Gambar anomali curah

hujan, wavelet, spektrum daya wavelet dan variansi curah hujan

bulanan DAS Cimanuk diwakili dua stasiun yaitu stasiun Cimanuk

(atas) dan Pamegatan (bawah) disajikan dalam grafik time series pada

Gambar 2a, 2b, 2c dan 2d.

Page 113: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

104

Gambar 2. Anomali (a), wavelet power spectrum (b), spektrum

daya wavelet (c), dan variansi rata-rata fenomena 2-8

tahunan (d), curah hujan bulanan

Gambar 2. a Cimanuk, merupakan anomali yang berbentuk

gelombang memiliki karakteristik durasi waktu terbatas dan rata-

ratanya nol (0) dengan garis vertikal antara positip lima dan minus lima

menggunakan dekomposisi waktu frekuensi. Gambar 2. b dan c

Cimanuk merupakan transformasi wavelet yang dapat digunakan

untuk menganalisis mode variabilitas dominan dan variansinya

terhadap waktu dengan mendekomposisi deret waktu ke dalam domain

waktu frekuensi (Torrence dan Compo, 1998). Kejadian yang

mendominasi besarnya curah hujan di Cimanuk berdasarkan data CRU

pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh fenomena 3 tahunan

Page 114: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

105

(interannual) yang kemungkinan adalah fenomena IOD atau ENSO (Saji

and Yamagata, 1999) di Pamegatan dan Cimanuk. Berdasarkan hasil

plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8 tahunan mencapai

variansi yang tinggi tahun 1916, 1948, 1978, 1982, dan 1992 (Gambar

2.d, Cimanuk).

Kejadian yang mendominasi besarnya curah hujan di Pamegatan

berdasarkan data CRU pada tahun 1901 hingga 2014 dipengaruhi oleh

fenomena 3 tahunan (interannual) (Gambar 2.b, Pamegatan), fenomena

kejadian sama dengan di Cimanuk (Gambar 2.c Pamegatan).

Berdasarkan hasil plot variansi rata-rata spektrum, fenomena 2-8

tahunan mencapai variansi yang tinggi tahun 1913, 1925, dan 1992

(Gambar 2.d, Pamegatan). Hal ini terlihat bahwa pola curah hujan dari

analisis power spectrum daya (PSD) wavelet, memberikan hasil yang

sama pada fenomena dan konsisten dalam melihat periode osilasinya

dari masing-masing kedua stasiun.

Tabel 1 merupakan koefisien korelasi antara curah hujan

bulanan antara data stasiun, CRU dan model yang diwakili di stasiun

Cimanuk dan Pamegatan. Hasil analisis koefisien korelasi (r)

menunjukkan besarnya r antara 0,5 – 0,87. Hal ini menunjukkan

bahwa hubungan antara keempat (4) data terdapat korelasi yang baik.

Tabel 1. Koefisien Korelasi Antara Berbagai Data Curah Hujan

Bulanan di DAS Cimanuk

Korelasi Curah Hujan Bulanan di DAS Cimanuk

Stasiun Cimanuk Stasiun Pamegatan

Sta vs CRU

Sta vs TRMM

CRU vs TRMM

Sta vs CCAM

Sta vs CRU

Sta vs TRMM

CRU vs TRMM

Sta vs CCAM

0. 55 0. 68 0. 87 0. 58 0. 68 0. 79 0. 87 0. 72

Berdasarkan data dari CRU TS3. 23 selama periode 1901-2014,

menunjukkan rata-rata kenaikan dan penurunan curah hujan di

Indonesia yang lebih rincinya dapat dilihat per periode 30 tahunan

1901-1930, 1931-1960, 1961-1990 dan periode 1991-2014. Selama

periode 30 tahunan, curah hujan menunjukkan bervariasi. Curah

hujan mengalami peningkatan dan penurunan selama 30 tahunan

seperti ditunjukkan pada Gambar 3.a dan 3.b di stasiun Cimanuk dan

Pamegatan. Berdasarkan kedua gambar, pada periode pertama (1901-

1930) terjadi penurunan curah hujan sebesar 4,46 mm, sebaliknya

pada periode kedua (1931-1960) terjadi peningkatan sebesar 9,80 mm

sedangkan periode ketiga (1961-1990) dan keempat (1991-2014)

sebesar -3,9 (menurun) dan 2,79 mm (meningkat).

Page 115: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

106

Gambar 3. Tren curah hujan rata-rata per 30 tahunan wilayah

daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.

Menurut IPCC (2007), bahwa suhu global berdasarkan data

historis mengalami kenaikan hingga mencapai antara 0,74 ± 0,18

derajat Celsius. Hasil analisis dilakukan terhadap data suhu

observasi global yang disusun oleh Climate Research Unit dari

University of East Anglia (CRU, 2008) diterapkan untuk stasiun

Cimanuk dan Pamegatan seperti yang tercantum pada Gambar 4.a

dan 4.b. Berdasarkan analisa data dari CRU, ke dua lokasi

(Cimanuk dan Pamegatan) menunjukkan peningkatan suhu yang

tidak jauh beda. Hal ini menunjukkan bahwa data CRU TS3. 23

mempunyai resolusi rendah.

a

b

Page 116: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

107

Gambar 4. Tren temperatur rata-rata per 30 tahunan untuk

wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.

Gambar 5 menyajikan frekuensi curah hujan untuk 4 periode di

Cimanuk hulu. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa grafik

frekuensi curah hujan pada kategori 100-500mm (warna merah) terjadi

penurunan. Selain itu periode data pada tahun 1991-2014 terdiri dari

24 tahun namun terdapat perubahan signifikan (warna hijau) yaitu

frekuensi tertinggi yaitu diatas >500mm, artinya telah terjadi

perubahan iklim dan berdampak pada peningkatan curah hujan.

Gambar 5. Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu

0

200

400

1901-1930 1931-1960 1961-1990 1991-2014

Fre

kue

nsi

Perioda

Grafik Frekuensi Curah Hujan di Cimanuk Hulu

<100 100-500 >500

a

b

Page 117: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

108

Perubahan curah hujan dan temperatur spasial DAS Cimanuk

berbasis model CCAM dapat ditunjukkan pada Gambar 6a, b dan c dan

7a, b dan c yaitu anomali curah hujan dan temperatur rata-rata 2040-

2069 terhadap rata-rata baseline tahun 1971 -2000. Hal yang perlu

diperhatikan adalah bahwa dari anomali curah hujan dan temperatur

pada Gambar 6c dan 7c terjadi perubahan iklim ditinjau dari rata-rata

baseline tahun 1971-2000 seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan

akan berdampak terhadap kekeringan di DAS Cimanuk itu sendiri.

Anomali curah hujan dan temperatur dari tahun 1971 hingga 2000

dibandingkan dengan 2040-2069 mempunyai pola yang sama di

Cimanuk Hulu yaitu terjadi peningkatan.

Gambar 6. Perubahan curah hujan spasial dan anomali rata-rata

2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971-2000 DAS Cimanuk

Gambar 7. Perubahan temperatur spasial dan anomali rata-rata

2040-2069 terhadap rata-rata baseline 1971 -2000 DAS Cimanuk

a b c

a c b

Page 118: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

109

Tabel. 2. Perubahan curah hujan dan temperatur DAS Cimanuk yang diwakili stasiun Cimanuk dan Pamegatan

No Nama

stasiun Curah Hujan Temperatur

Perubahan

%

Perubahan Perubahan

%

Perubahan

1. Cimanuk -3. 8 9. 46% 2. 54 10. 80% 2. Pamegatan -3. 83 10. 97% 2. 68 11. 44%

Standard Precipitation Index (SPI) dirancang untuk dapat

mengkuantifikasi kondisi presipitasi dan menghitung kondisi kering

dan basah. Berdasarkan skala waktu presipitasi, SPI digolongkan ke

SPI-1 yang mengkuantifikasi kondisi presipitasi satu bulanan, SPI-3

untuk tiga bulan, SPI-6 untuk 6 bulan, SPI-12 untuk 12 bulan, dan

SPI-24 untuk 24 bulan. Pada kajian ini yang digunakan adalah SPI-3

dalam periode 30 tahunan yaitu untuk mengidentifikasi jumlah

kejadian bulan kering di wilayah Cimanuk dan Pamegatan. Hal ini

berkaitan dengan wilayah Indonesia yang beriklim tropis dan rata-rata

cuacanya berubah selama 3 bulan sekali seperti yang tercantum pada

Gambar 8.

Page 119: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

110

Gambar 8. Gambar SPI curah hujan per 30 tahunan untuk

wilayah daratan di Cimanuk dan Pamegatan berdasarkan data dari CRU TS3. 23.

Perubahan iklim itu sendiri dipercaya dapat mempengaruhi

jumlah kejadian cuaca ekstrem di suatu wilayah dalam kurun waktu

tertentu. Gambar 9 menunjukkan bahwa baik di daerah Cimanuk dan

Pamegatan, frekuensi kejadian kekeringan meningkat dalam kurun

waktu 30 tahun. Pada kurun waktu 1901-1930, jumlah frekuensi

kejadian kekeringan di Cimanuk maupun di Pamegatan berkisar 58

kejadian. Pada tahun 1931-1960, frekuensi kejadian kekeringan

meningkat.

Gambar 9. Grafik frekuensi kejadian kekeringan menurut SPI-3

di Cimanuk dan Pamegatan

0

20

40

60

80

1901-1930 1931-1960 1961-1990 1991-2014

Frekuensi Kejadian Kekeringan Menurut SPI di Cimanuk dan Pamegatan

Pamegatan Cimanuk

Page 120: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

111

Di daerah Cimanuk, jumlah frekuensi kejadian kekeringan

meningkat sebanyak 64 kejadian, di Pamegatan sekitar 62 kejadian.

Pada kurun waktu 1961-1990, jumlah kejadian kekeringan di dua

lokasi sama-sama meningkat menjadi 65 kejadian. Sedangkan pada 24

tahun terakhir, jumlah kejadian kekeringan yang sejauh ini terekam

adalah 46 kejadian di Pamegatan dan 48 kejadian di Cimanuk.

Pada Tabel 3, terdapat frekuensi kejadian bulan kering dan bulan

basah di Pamegatan dan Cimanuk, yang lebih spesifik adalah pada SPI

3 bulanan yaitu pada atribut yang berwarna merah. Berdasarkan Tabel

3 menunjukkan bahwa untuk menganalisis kondisi iklim kering dan

basah di lokasi Pamegatan dan Cimanuk adalah iklim tiga bulanan. Hal

ini disebabkan pada periode bulan tersebut terdapat kejadian kering

dan basah yang paling tinggi.

Tabel 3. Frekuensi kejadian bulan kering dan bulan basah di

Pamegatan dan Cimanuk

Pamegatan Cimanuk

Kering Basah Tahun Kering Basah

1 3 6 12 1 3 6 12 1 3 6 12 1 3 6 12

56 59 54 63 60 62 63 63 1901-1930

55 58 54 58 64 65 59 46

59 59 59 57 55 56 64 60 1931-

1960

60 62 60 48 53 64 53 47

61 65 61 67 60 58 46 57 1961-

1990

48 65 64 63 59 59 56 57

41 46 40 47 55 52 44 47 1991-

2014

40 48 42 37 41 42 38 47

4 KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

memang telah terjadi dampak perubahan iklim di DAS Cimanuk yang

diwakili oleh Stasiun Cimanuk dan Pamegatan berupa kejadian musim

kering yang relatif konstan (stabil) antara 56-65 kejadian di sepanjang

periode 1901-1990. Kemudian mengalami degradasi (penurunan)

kejadian musim kering di dua stasiun tersebut mulai 1991-2014. Ini

mengindikasikan jika ada kecenderungan menaiknya musim basah

(hujan) sejak 1991-2014 dan perubahannya signifikan. Terjadinya

penurunan musim kemarau, diduga terkait erat dengan menaiknya

temperatur permukaan di kedua Stasiun tersebut sejak 1991-2014.

Hasil analisis berbasis SPI (Standard Precipitation Index) sebagai

Page 121: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

112

indikator terjadinya kekeringan di kedua stasiun tersebut

menunjukkan ternyata hanya SPI 3 bulanan saja yang dianggap paling

sesuai menggambarkan terjadinya musim kemarau dan musim hujan

ekstrem selama periode tersebut (1901-2014).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sains

dan Teknologi Atmosfer atas fasilitas yang mendanai program tahun

anggaran 2016 dan Bapak Drs. Bambang Siswanto, MSi atas

diskusinya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan.

DAFTAR RUJUKAN

Bappenas 2010: Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap- ICCSR:

Basis Sintifik: Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Laut dan Cuaca

Ekstrim, edited by Bappenas, Republik Indonesia.

Boer, R. and A. Faqih. 2004: Current and Future Rainfall Variability in

Indonesia. In An Integrated Assessment of Climate Change Impacts,

Adaptation and Vulnerability in Watershed Areas and Communities

in Southeast Asia, Report from AIACC Project No. AS21 (Annex C,

95-126). International START Secretariat, Washington, District of

Columbia. http://sedac. ciesin. org/aiacc/ progress/ Final

Rept_AIACC_AS21. pdf.

Cruz, R. V. , H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y.

Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, 2007: Asia. Climate

Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of

Working Group II to the Fourth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change, M. L. Parry, O. F.

Canziani, J. P. Palutikof, P. J. van der Linden and C. E. Hanson,

Eds. , Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.

CRU, 2008: Climate Research UnitTimes Series (TS) high resolution

gridded datasets, [Internet]. NCAS British Atmospheric Data Centre,

edited by I. H. (Phil Jones).

Hidayati, Rini, 1990: Kajian Iklim kota Jakarta, Perubahan dan

Perbedaan dengan daerah sekitarnya. Thesis Program Studi

Agroklimatologi. Institut Pertanian Bogor.

Hidayati, R. , A. Buono, A. Rakhman, Fitriyani, R. Boer. 2009: Health

Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation

Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National

Communication. Ministry of Environment and United Nations

Page 122: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Dampak Perubahan Iklim di DAS Cimanuk – Sinta Berliana Sipayung, dkk.

113

Development Programme, Jakarta

Hulme and Sheard 1999: Climate Change Scenarios for Indonesia.

Climatic Research Unit, Norwich, UK, 6pp.

IPCC, 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for

Policymakers and Technical Summary of the Working Group II

Report. WMO-UNDP.

IPCC, 2007: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007:

Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth

Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change [B. Metz, O. R. Davidson, P. R. Bosch, R. Dave, L. A. Meyer

(eds)], Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and

New York, NY, USA.

KLH, 2012: Grand Design Penyelamatan Ekosistem Danau Indonesia,

Kementerian Lingkungan Hidup.

McKee, T. , Noland Doesken, dan John Kleist, 1993: The relationship of

drought frequency and duration to time scales. 8th Conference on

Applied Climatology, 17-22 January, Anaheim, CA, pp 179-184.

Naylor, R. L., D. S. Battisti, D.J.Vimont, W. P. Falcon, and M. S. Burke.

2007: Assessing risks of climate variability and climate change for

Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National Academy of

Sciences of the United States of America 104(19):7752-7757.

Saji, H. Yamagata, T. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean.

Svoboda. 2009: Applying the Standardized Precipitation Index as a

Drought Indicator.

Torrence and Compo. 1998: A Practical Guide to Wavelet Analysis.

WWF (World Wide Fund For Nature). 2007: Climate Change: Why we

need to take action now. Available at http:// assets. panda.

org/ownloads/2_vs_3_degree_impacts_1oct06. pdf [Accessed 25

October 2007].

Page 123: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

114

VARIASI ICE WATER CONTENT (IWC) BERBASIS AURA/MLS

Tiin Sinatra, Nani Cholianawati, dan Arief Suryantoro

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN

tiin. sinatra@lapan. go. id

ABSTRACT The theme of this research is to study variation of upper tropospheric Ice Water Content (IWC) and water vapour (H2O) based on the Aura Microwave Limb Sounder (MLS) measurement. We also see the variation of IWC and H2O when La Niña was active identified by Sea surface temperature (SST) from AQUA/MODIS, southern oscillation index (SOI) and Niño 3.4 SST. We found that H2O and IWC increased significantly especially above Java Island during La Niña 2010 compared to 10-years climatological mean in dry season and

transition. Keywords : cloud, ice water content, water vapor, Southern

Oscillation Index, upper troposphere.

ABSTRAK

Makalah ini membahas mengenai variasi Ice Water Content (IWC) dan uap air (H2O) di troposfer atas berdasarkan hasil pengukuran Aura Microwave Limb Sounder (MLS). Sebagai studi kasus, dipilih waktu kejadiaan saat La Niña yang teridentifikasi melalui temperatur muka laut (Sea Surface Temperature, SST), Southern Oscillation Index (SOI) dan Niño 3.4. Hasil studi menunjukkan adanya peningkatan H2O dan IWC yang cukup tinggi terutama di atas Pulau Jawa saat kejadian La Niña tahun 2010 dibandingkan

dengan rata-rata 10 tahun, yaitu pada musim kemarau dan transisi.

Kata kunci : awan, ice water content, uap air, Southern Oscillation Index, troposfer atas.

1 PENDAHULUAN

Awan memiliki peran yang penting dalam mengatur iklim di bumi

karena mempengaruhi neraca energi di bumi melalui hamburan,

absorpsi, dan emisi. Keberadaannya di atmosfer tersebar secara

stokastik dalam ruang dan waktu sehingga jenis awan pun dapat

terbagi berdasarkan tinggi dasar awan. Salah satunya adalah awan

tinggi yang mempunyai ketinggian dasar awan lebih dari 6 km di

daerah tropis.

Page 124: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

115

Ice Water Content (IWC) merupakan salah satu besaran yang

penting untuk memahami awan. IWC yang tinggi menandakan adanya

konveksi yang kuat (Jiang, dkk., 2010). IWC didefinisikan sebagai

massa es awan dalam satuan volume udara atmosfer. Awan es di

troposfer memiliki pengaruh yang kritis terhadap kesetimbangan energi

dan radiasi atmosfer. Sebagai contoh, kesalahan 1 mg/m3 IWC setara

dengan kesalahan sebanyak 10 ppmv uap air troposfer dimana jumlah

tersebut sangat berpengaruh secara signifikan terhadap efek gas

rumah kaca pada model iklim (Wu dkk., 2009). H2O juga memiliki

peran yang penting dalam regulasi iklim di bumi dan sistem cuaca

melalui perubahan wujudnya antara gas dan fase kondensasinya di

troposfer. Hal-hal tersebut bersifat kompleks yang masih terus

dipelajari.

Indonesia merupakan benua maritim yang terletak di daerah

beriklim tropis yang rentan terhadap perubahan iklim (Aldrian, 2014).

Hal ini terjadi karena Indonesia terletak di antara benua Asia dan

Australia serta di antara dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan

Hindia. Posisi Indonesia mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu

pusat kendali sistem iklim dunia (Robertson dkk., 2011). Interaksi

antara atmosfer dan laut dapat mempengaruhi curah hujan di

Indonesia, salah satunya adalah fenomena el niño–southern oscillation

(ENSO). Kolam hangat di bagian barat Pasifik diduga menyebabkan

peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia pada saat La Niña

(Gutman, dkk., 2000). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa La Niña terjadi pada bulan April sampai November (musim

kemarau dan transisi) dengan puncak pengaruh di Indonesia terjadi

pada bulan Agustus dan September (As-syakur, 2010). Gambar 1

menunjukkan ilustrasi secara skematik proses fisika yang

mempengaruhi variabilitas interannual awan dan uap air di troposfer

atas. Pemicu utama yang menyebabkan terjadinya dipole mode IWC

dan H2O di atas Samudra Hindia adalah SST Samudra Hindia. Selain

faktor SST lokal, kondisi troposfer atas di Samudra Hindia juga

dipengaruhi oleh SST di Samudra Pasifik, yaitu ENSO ( Zhong, dkk.,

2005).

Page 125: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

116

Gambar 1. Diagram skematik memperlihatkan efek skala luas

terkait dengan perubahan IWC dan dan H2O di atas Samudra Hindia. WIO: Western Indian Ocean. EIO: Eastern Indian Ocean. (Sumber: Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su. 2011: Variation of upper tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos. Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011.)

Gambar 1 menunjukkan bahwa ENSO dapat mempengaruhi

kondisi di troposfer atas sebagai konsekuensi dari aktivitas konvektif

yang kuat. Terdapat beberapa indeks ENSO untuk mengidentifikasi

karakteristik ENSO. Salah satu indeks ENSO yang digunakan untuk

mengkaji hubungan antara curah hujan di Indonesia dan ENSO adalah

the Southern Oscillation Index-SOI (Nicholls, 1981; Aldrian, dkk., 2007)

serta anomali SST Niño 3.4 (Estiningtyas, dkk., 2007; Anisa dan

Sutikno, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di

troposfer atas dilihat dari variabel IWC dan H2O di atas Samudra

Pasifik dan di wilayah Indonesia.

2 METODE PENELITIAN

Wilayah yang diamati dalam penelitian adalah Pulau Jawa dan

sebagian Samudera Pasifik (15°LU-15°LS dan 60°BT-260°BT). Periode

pengamatan yaitu Januari 2005 hingga Desember 2014. Variabel yang

diamati dalah IWC, H2O, dan SST. Variasi IWC diamati dengan metode

Page 126: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

117

kualitatif yaitu analisis terhadap perbandingan kondisi variabel yang

diamati pada lokasi dan waktu yang sama.

Data IWC dan H2O diperoleh dari hasil pengukuran Satelit AURA

sensor MLS level 2 versi 4.2. Data IWC yang dapat digunakan berada

pada ketinggian 215-83 hPa, sedangkan H2O dapat digunakan dalam

rentang 316-0,002 hPa. Adapun data yang digunakan pada makalah ini

adalah data pada ketinggian 215-100 hPa. Resolusi horizontal adalah

300 km dan resolusi vertikal sebesar 3 km. Data IWC dan H2O berupa

data swath yang selanjutnya dirata-ratakan (gridding) dalam grid

3°x1,485°. Nilai anomali IWC dan H2O dihitung dalam skala bulanan

dan musiman terhadap rata-rata tahun 2005-2014. Data serta

dokumen mengenai kualitas data diperoleh dari http://mls.jpl.nasa.

gov/products/iwc_product.php.

Nilai SST diperoleh dari http://neo.sci.gsfc.nasa.gov/view.

php?datasetId=MYD28M. Data SST adalah nilai temperatur pada

ketinggian beberapa millimeter dari permukaan laut. Adapun produk

SST yang digunakan adalah produk level 3 dengan resolusi 1°×1°. Data

Southern Oscillation Index (SOI) bulanan yang diperoleh dari

http://www.bom.gov.au/climate/ current/soi2.shtml serta data SST

nino 3.4 yang diperoleh dari http://www.cpc.ncep.noaa

.gov/data/indices/ untuk mengidentifikasi kondisi La Niña.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi IWC musiman selama 10 tahun menunjukkan nilai IWC

tertinggi di atas wilayah Indonesia terlihat pada saat musim hujan

(DJF) dan IWC terendah pada musim kemarau (JJA). Gambar 2

menunjukkan kondisi anomali musiman Juni-Agustus (JJA) untuk

SST, IWC dan H2O pada ketinggian 215 hPa. Kondisi SST pada Gambar

2 menunjukkan adanya penurunan SST di bagian timur Samudra

Pasifik saat JJA pada tahun 2007, 2010 dan 2013, tetapi tahun 2010

terlihat penurunan SST yang memanjang dari timur hingga tengah

Samudra Pasifik kejadian La Niña. Gambar 3 menunjukkan seperti

Gambar 2, tetapi untuk periode SON. Gambar 2 dan 3 secara umum

menunjukkan bahwa selama periode pengamatan (JJA dan SON 2005-

2014) saat suhu muka laut meningkat, terdapat peningkatan IWC dan

H2O. Peningkatan IWC paling terlihat pada JJA 2010 dan SON 2010 di

Indonesia, terutama di atas Pulau Jawa. Begitu pula dengan H2O yang

meningkat cukup tinggi pada JJA dan SON 2010. Peningkatan tersebut

ditunjukkan oleh anomali positif terbesar terjadi pada 2010 terhadap

kondisi klimatologisnya.

Page 127: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

118

SST IWC H2O

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Page 128: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

119

2014

Gambar 2. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk JJA tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.

SST IWC H2O

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Page 129: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

120

2012

2013

2014

Gambar 3. Kondisi anomali SST, IWC, H2O untuk SON tahun 2005-2014 pada ketinggian 215 hPa.

Pola IWC dan H2O saat JJA dan pola H2O saat SON 2010 terlihat

mengikuti pola SST. Konsentrasi IWC dan H2O menurun di sebagian

besar Samudra Pasifik dan terjadi peningkatan konsentrasi H2O di

Indonesia terutama di bagian selatan Indonesia. IWC saat SON 2010

memiliki pola yang berbeda di atas Pasifik, dimana meskipun terjadi

penurunan suhu muka laut dan penurunan konsentrasi H2O di

sebagian besar Pasifik, tetapi terlihat ada sedikit peningkatan IWC di

Pasifik timur.

Selain itu kedua gambar juga memperlihatkan bahwa Pulau Jawa

adalah wilayah yang sensitif terhadap La Niña. Hal ini ditunjukkan

dengan terjadinya peningkatan SST yang cukup tinggi di Samudra

Hindia saat La Niña. Konsentrasi IWC dan H2O cukup tinggi di atas

Pulau Jawa pada JJA dan SON saat La Niña berlangsung. Terdapat

kesesuaian dari studi-studi sebelumnya (Gutman, dkk., 2000; Hendon,

2003; Aldrian, 2003) yang menyebutkan bahwa La Niña menyebabkan

peningkatan curah hujan di Indonesia. Hal ini menunjukkan aktivitas

konvektif yang tinggi meningkatkan konsentrasi IWC di troposfer atas.

Page 130: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

121

Gambar 4. Deret waktu anomali IWC di atas Pulau Jawa di 215

hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 2005-2014.

Deret waktu kondisi IWC di atas Pulau Jawa dengan Niño 3.4 dan

SOI ditunjukkan oleh Gambar 4. Panel atas memperlihatkan variasi

temporal anomali IWC dengan Niño 3.4 dan panel bawah menunjukkan

deret waktu anomali IWC dengan SOI dari Januari 2005-Desember

2014. Fase positif dari SOI menunjukkan periode La Niña, sebaliknya

fase negatif dari SST Niño 3.4 yang menunjukkan La Niña. Dari kedua

indeks tampak bahwa La Niña tahun 2010 lebih kuat dibandingkan

dengan La Niña tahun 2007. Terjadi peningkatan IWC dan H2O

(anomali positif) saat terjadi peningkatan SOI (penurunan Niño 3.4).

Dari Gambar 4 terlihat bahwa nilai IWC tertinggi selama periode

pengamatan (anomali positif terbesar) di atas Pulau Jawa adalah pada

bulan Juli dan November 2010.

Page 131: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

122

Gambar 5. Deret waktu anomali H2O di atas Pulau Jawa di 215

hPa dengan (a) Niño 3.4 dan (b) SOI tahun 2005-

2014.

Gambar 5 menunjukkan deret waktu kondisi H2O selama 10

tahun. Kondisi H2O tertinggi (anomali positif terbesar) terjadi pada

bulan Mei dan September 2010. Terdapat jeda 2 bulan antara puncak

H2O dengan IWC. SOI tinggi pada bulan Juli dan September,

sedangkan Niño 3.4 terendah terjadi pada bulan September di mana

mulai terjadi penurunan SST sejak bulan Mei. Hal ini mengindikasikan

bahwa jumlah H2O di troposfer atas sensitif terhadap perubahan SST.

4 KESIMPULAN

Studi ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun pengamatan

kondisi IWC dan H2O tertinggi terjadi pada musim hujan (DJF) dan

rendah pada musim kemarau. Terdapat peningkatan IWC dan H2O

yang cukup tinggi di atas Pulau Jawa pada bulan Mei dan September

2010. Hal ini terjadi bersamaan dengan kejadian La Niña dengan

moderate-strong. Anomali positif terbesar IWC di atas Pulau Jawa

Page 132: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

123

adalah pada bulan Mei 2010 (8,421 mg/m3) dan September 2010

(9,726 mg/m3), sementara untuk H2O terjadi pada bulan Mei 2010

(36,92 ppmv) dan September 2010 (29,2 ppmv).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada National Aeronautics

and Space Administration (NASA) yang telah menyediakan data IWC dan

H2O, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) atas data

Niño 3.4, dan Bureau of Meteorology (BOM), Australia's national

weather, climate and water agency untuk data indeks SOI. Penulis

berterima kasih kepada PSTA LAPAN yang telah memfasilitasi sehingga

penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR RUJUKAN

Aldrian, E. dan R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant

rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface

temperature. Int. J. of Climat., 23 (12), 1435-1452.

Aldrian, E., L.D. Gates, dan Widodo, F.H., 2007: Seasonal variability of

Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses:

The role of ENSO. Theor. Appl. Climatol., 87, 41–59.

Aldrian, E., 2014: Pemahaman Dinamika Iklim Di Negara Kepulauan

Indonesia Sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa.

(http://dataweb.bmkg.go.id/PDF/Artikel/Orasi_Prof_Edvin_Aldrian_

2014.pdf, diakses September 2016)

Anisa, K.N. dan Sutikno, 2015: Analisis hubungan curah hujan dan

indicator El- Niño Southern Oscillation di sentra produksi padi Jawa

Timur dengan pendekatan Copula. J. Sains dan Seni ITS, 4(1), 2337-

3520.

As-syakur, A.R., 2010: Pola spasial pengaruh kejadian la nina terhadap

curah hujan di Indonesia tahun 1998/1999; observasi

menggunakan data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA)

3B43. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII dan Kongres

V Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), 9 Agustus

2010, Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor-Indonesia. pp. 230-234.

Bhawar, R. L., J. H. Jiang, dan H. Su., 2011: Variation of upper

tropospheric clouds and water vapour over the Indian ocean. Atmos.

Chem. Phys. 11, 21769-21787. DOI: 10.5194/acpd-11-21769-2011.

Estiningtyas, W., F. Ramadhani, dan E. Aldrian, 2007: Analisis korelasi

curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah Indonesia, serta

Page 133: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Variasi IWC – Tiin Sinatra, dkk.

124

implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus Kabupaten

Cilacap). J. Agromet Indonesia., 21(2), 46-60.

Gutman, G., I. Csiszar, P. Romanov, 2000: Using NOAA/AVHRR

products to monitor El Niño impacts: Focus on Indonesia in 1997–

98. Bull. Am. Meteorol. Soc. 81, 1189–1205.

Hendon, H. H., 2003: Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO

and local air–sea interaction. J. Climate, 16, 1775–1790.

Jiang, J.H., H. Su., S. Pawson, H-C. Liu, W. Read, J.W. Waters, M.

Santee, D.L. Wu, M. Schartz, A. Lambert, R. Fuller, J.N. Lee, dan N.

Livesey, 2010: Five-year climatology of upper tropospheric water

vapour and cloud ice from Aura MLS and GEOS5. J. Geophys. Res.

115, DOI:10.1029/2009JD013256

Nicholls, N., 1981: Air–sea interaction and the possibility of long-range

weather prediction in the Indonesian archipelago. Month. Weather

Rev.,109, 2435–2443.

Robertson, A., V. Moron, J. Qian, C.P. Chang, F. Tangang, E. Aldrian,

T.Y. Koh, dan L. Juneng, 2011: The Maritime Continent Monsoon, in

The Global Monsoon System: Research and Forecast, 2nd Ed. Eds.

CP Chang, Y Ding, NC Lau, RH Johnson, B Wang and T Yasunari,

World Scientific Series on Asia-Pacific Weather and Climate, Vol. 5,

World Scientific Publication Company, 608 pp.

Wu, D.L., R.T. Austin, M. Deng, S.L. Durden, A.J. Heymsfield, J.H.

Jiang, A. Lambert, J-L. Li, N.J. Livesey, G.M. McFarquhar, J.V.

Pittman, G.L. Stephens, S. Tanelli, D.G. Vane, dan D.E. Waliser,

2009: Comparisons of global cloud ice from MLS, CloudSat, and

correlative data sets.J. of Geophysical Research, 114, D00A24.

Zhong, A., H.H. Hendon, dan O. Alves, 2005: Indian Ocean variability

and its association with ENSO in a Global coupled model. J. Climate.

18, 3634-3649.

Page 134: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

125

METODE STATISTIK NON-PARAMETRIK UNTUK STUDI

KARAKTERISTIK POLUTAN PADA UDARA AMBIEN WILAYAH

PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG)

Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Suparno, dan Mulyono

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN

e-mail: wiwieksetyawati21@gmail. com

ABSTRACT Aim of the paper is to study characteristic of pollutants in urban ambient, Bandung city. Air pollution data for variables of THC (CH4 + NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 were result of monitoring using Air Quality Monitoring System (AQMS) in LAPAN office, Bandung from 2010-2011. Based on one-sample Kolmogorov-Smirnov test it was found that distribution of air quality variables was not normal and homogen, therefore non-parametric statistical Kendall’s tau method was applied to understand correlations and influences between each air pollution variables to THC concentration. Significant correlation was found between different carbon compounds (p < 0,01). Weak and positive correlations (0,00 – 0,399) were shown between THC vs CO, NO and SO2 indicating

different emission sources between those compounds with THC. Four variables CO, NO, NO2, NOx dan SO2had significant influences to THC’s sink direct or indirectly (p<0,01). Based on Mann-Kendalls ‘s time series and Sen’s slope method applied during period June 1st, 2010-May 31st, 2011 decreasing trends of daily average of THC, NMHC and COconcentrationswere observed. On the contrary, increasing trend was observed for daily average of CH4concentrations. Keywords : THC, CH4, NMHC, CO, Bandung city

ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik polutan-polutan di udara ambien di wilayah Kota Bandung. Data kualitas udara untuk variabel THC (CH4+ NMHC), CO, NOx (NO + NO2) dan SO2 merupakan hasil monitoring menggunakan Air Quality Monitoring System (AQMS) di kantor LAPAN Bandung tahun 2010 - 2011. Berdasarkan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov ditemukan

bahwa distribusi dari variabel-variabel kualitas udara adalah tidak normal dan tidak homogen, oleh sebab itu maka digunakan metode non- parametrik Kendall’s tau untuk melihat korelasi dan pengaruh masing-masing variabel kualitas udara tersebut terhadap konsentrasi THC. Korelasi yang signifikan ditemukan antar senyawa karbon (p<0,01). Korelasi linear yang lemah (0,00 – 0,399) dan positif (p<0,01) juga ditemukan antara THC dengan CO, NO dan SO2 yang mengindikasikan perbedaan sumber emisi

Page 135: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

126

antara ketiganya dengan THC. Kelima variabel yaitu CO, NO, NO2, NOx dan SO2 diketahui memiliki pengaruh yang signifikan (p < 0,01) baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rosot dari THC. Berdasarkan metode Mann-kendall’s time series dan Sen’s slope selama periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 diketahui bahwa terjadi penurunan tren rata-rata harian konsentrasi THC, NMHC dan CO berturut-turut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari, namun sebaliknya rata-rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari.

Kata-kunci: THC, CH4, NMHC, CO, Kota Bandung

1 PENDAHULUAN

Hidrokarbon merupakan molekul organik yang terdiri atas atom-

atom hidrogen yang terikat pada rantai ikatan karbon dan seringkali

juga dengan oksigen, nitrogen dan halogen (Ahmed dkk., 2015). Total

hidrokarbon (THC) di udara terdiri atas metan (CH4) dan Non-metan

hidrokarbon (NMHC). Keduanya dapat berperan sebagai gas rumah

kaca baik secara langsung maupun tidak langsung (Backstrand, dkk.,

2008; Chen, dkk., 2014). Metan merupakan gas rumah kaca terpenting

kedua yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Sejak tahun 1700-an

konsentrasi global CH4 terus meningkat 2 hingga 3 kali lipat (Wuebles

dan Katharine., 2002). Emisi metan dihasilkan dari aktifitas bakteri

methanogenic selama proses dekomposisi bahan organik secara

anaerobik dan merupakan komponen utama fluks THC dari tanah

organik dan gambut (Ahmed dkk., 2015). Namun demikian aktifitas

manusia seperti kegiatan pertanian dan peternakan, penggunaan

bahan bakar fosil dan penanganan limbah juga mengemisikan CH4

dalam jumlah besar (Wuebles dan Katharine, 2002).

NMHC adalah senyawa hidrokarbon rantai pendek yang terdiri

atas 2 – 12 atom karbon yang merupakan kelompok senyawa polutan

udara di atmosfer yang penting karena sebagian besar memiliki sifat

beracun dan karsinogen (Borbon dkk., 2006 dalam Ahmed dkk., 2015).

Oksidasi fotokimia dari NMHC dapat menyebabkan pembentukan ozon

dan pada akhirnya mempengaruhi waktu tinggal dari spesies gas

telusur lainnya di troposfer (Platt dkk., 2013; Poisson dkk., 2000).

Oksidasi metan di troposfer oleh radikal hidroksil (OH) dengan

adanya oksida nitrogen (NOx) dalam konsentrasi yang cukup akan

menghasilkan formaldehida (CH2O), karbon monoksida (CO) dan ozon

(O3) (Wuebles dan Katharine. , 2002). CO merupakan salah satu produk

Page 136: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

127

senyawa karbon dan polutan utama yang dihasilkan dari pembakaran

yang tidak sempurna (Ahmed dkk., 2015). Keberadaan CO di udara

ambien dalam konsentrasi tertentu dapat mengganggu kesehatan

manusia. Hal ini dikarenakan hemoglobin memiliki daya ikat yang lebih

tinggi terhadap CO daripada dengan oksigen (O2). Selain itu CO juga

berperan penting dalam proses fotokimia smog di atmosfer yaitu

sebagai prekursor pembentukan ozon (Badr dan Probert. , 1994).

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 Kota Bandung

memiliki kepadatan penduduk tertinggi se-Provinsi Jawa Barat yaitu

sebesar 14. 491 orang/km2 (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015).

Pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa dari tahun 1980 –

2010 yaitu sebesar ±40% (BPS, 2011 dalam Setyawati dkk., 2015)

mengakibatkan peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar

di Kota Bandung yang sangat pesat yaitu 4,63% selama tahun 2010-

2011 (BPS, 2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Kota

Bandung juga merupakan kota wisata yang banyak menarik wisatawan

baik mancanegara maupun domestik dengan peningkatan jumlah

kunjungan yang luar biasa tahun 2010-2011 sebesar 113,41% (BPS,

2011 dan BPS, 2012 dalam Setyawati dkk., 2015). Secara topografi

Bandung berada pada wilayah cekungan yang dikelilingi oleh

pegunungan sehingga memberikan kondisi iklim yang lembab dan

sejuk. Kombinasi antara jumlah penduduk, jumlah kendaraan

bermotor dan kondisi iklimnya yang unik membuat Kota Bandung

menjadi sangat rentan mengalami penurunan kualitas udara.

Pengukuran konsentrasi hidrokarbon dan CO telah dilakukan di

kota-kota besar di Amerika, Timur Tengah dan Asia dengan tujuan

untuk melakukan pemantauan kualitas udara di wilayah tersebut

(Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001; Abdul-Wahab dan Al-

Alawi, 2002; Barletta dkk., 2002; Chan dkk., 2006; Sahu dan Lal,

2006; Guo dkk., 2007; Baker dkk., 2008; Von Schneidemesser dkk.,

2010; Kim dkk., 2013; Ahmed dkk., 2015). Beberapa hasil pengukuran

tersebut menunjukkan bahwa sejak tahun 1990-an konsentrasi CH4 di

Kota Meksiko (Meksiko) dan Santiago (Chili) telah berada diatas 2 ppmv

(Blake dan Rowland, 1995; Chen dkk., 2001). Konsentrasi CH4 di

Karachi (Pakistan) malah telah berada diatas 6 ppmv (Barletta dkk.,

2002).

Lain halnya dengan rata-rata konsentrasi CO di Kota Khaldiya,

Kuwait telah mencapai nilai di atas 2,5 ppmv (Abdul-Wahab dan Al-

Alawi, 2002). Mengingat pentingnya peran dari hidrokarbon dan CO

terhadap kualitas udara dan pemanasan global maka LAPAN sejak

Page 137: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

128

bulan Februari 2010 – Desember 2011 melakukan pengukuran

konsentrasi THC, CH4 dan NMHC di udara ambien secara kontinyu.

Namun pada tahun 2012 pengukuran terpaksa dihentikan karena

kerusakan pada instrumen dan kesulitan mencari spare part dan

tenaga ahli yang dapat memperbaikinya. Penelitian ini bertujuan untuk

mempelajari perilaku dari polutan-polutan di wilayah Bandung dan

pengaruhnya terhadap konsentrasi THC di udara ambien dengan

menggunakan metode statistik non-parametrik.

2 METODE PENELITIAN

Lokasi pengukuran berada di Kota Bandung (6,50 LS; 107,250 BT)

yang terletak pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut

(Gambar 1). Instrumen pengukuran diletakkan di atas gedung LAPAN

Bandung pada ketinggian ± 15 m dari atas permukaan tanah dan

berjarak ± 100 m arah Barat Daya jalan raya Pasteur yang padat

dengan kendaraan.

Gambar 1. Lokasi pengukuran di kota Bandung

Data yang digunakan dalam analisis adalah data konsentrasi

ambien THC, CO, NO, NO2 dan SO2 per-30 menit dalam satuan ppm

(by volume) periode tahun 2010 – 2011. THC diukur menggunakan

instrumen hydrocarbon analyser (Model APHA 370, Japan) berdasarkan

metode cross flow modulated selective combustion type yang

dikombinasi dengan metode hydrogen ion detection. Konsentrasi THC

merupakan total dari konsentrasi CH4 dan NMHC. Konsentrasi CO

diukur menggunakan metode non-dispersive cross modulation infra-red

analysis (Model APMA 370, Japan). Konsentrasi NO dan NO2 diukur

Page 138: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

129

menggunakan metode a cross-flow modulated semi decompression

chemiluminescence (merek Horiba, model APNA 370, Jepang).

Konsentrasi SO2 diukur menggunakan metode UV fluorescence (merek

Horiba, model APSA 370, Jepang).

Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan software IBM

SPSS Statistics v.21. Uji one-sample Kolmogorov-Smirnov terhadap

residual digunakan untuk menguji distribusi normal dan homogenitas

dari data rata-rata harian konsentrasi THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2,

NOx dan SO2 periode tahun 2010-2011. Data dikatakan terdistribusi

normal dan homogen jika nilai signifikansi dari Kolmogorov-Smirnov Z

adalah lebih besar dari 0,05 dan sebaliknya. Metode non-parametrik

Kendall’s tau digunakan untuk mempelajari korelasi bivariate antara

rata-rata harian konsentrasi THC terhadap CH4, NMHC, CO, NO, NO2,

NOx dan SO2. Jika nilai koefisien korelasi mendekati 1 atau -1 maka

hubungan semakin erat atau kuat, namun jika mendekati 0 maka

hubungan semakin lemah seperti disajikan pada Tabel 1. Freeware

Make Sens versi 1.0 (Finish Meteorological Institute, 2002) yang

dikembangkan oleh Institut Meteorologi Finlandia digunakan untuk

analisa non parametrik Mann-Kendall time series dan Sen’s slope

untuk rata-rata mingguan konsentrasi THC dan CO.

Tabel 1. Rentang nilai koefisien korelasi dan interpretasinya

Rentang nilai koefisien korelasi Interpretasi

0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat 0,80 – 1,000 Sangat kuat

Sumber: Sugiyono, 2007 dalam Priyatno, 2012.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi rata-rata tahunan THC, CO, NO, NO2 dan SO2 pada

tahun 2010 dan 2011 disajikan pada Tabel 2. Data yang digunakan

untuk perhitungan rata-rata tahunan merupakan data rata-rata

konsentrasi harian dari masing-masing variabel. Rata-rata tahunan

konsentrasi THC dan CO mengalami peningkatan dari tahun 2010

hingga 2011 masing-masing sebesar 4,03% dan 69,57%. Hal ini

berkaitan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota

Bandung yaitu sebesar 106. 271 unit/tahun (BPS, 2007; BPS, 2015).

Sedangkan rata-rata tahunan konsentrasi NO, NO2 dan SO2 mengalami

Page 139: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

130

penurunan masing-masing sebesar 90,9%, 20,0% dan 85,0%. NO

merupakan produk dari pembakaran pada temperatur tinggi,

sedangkan NO2 merupakan produk oksidasi lanjutan dari NO dan O2

dengan reaksi sebagai berikut:

1

2N2 +

1

2O2 ⇄ NO (1)

𝑁𝑂 +1

2𝑂2 ⇄ 𝑁𝑂2 (2)

SO2 merupakan produk dari pembakaran bahan bakar fosil yang

banyak mengandung sulfur seperti solar. Komposisi solar 48 produksi

Pertamina diketahui mengandung sulfur maksimum 0,35% m/m

(ESDM, 2006a), sedangkan bensin 88 mengandung sulfur maksimum

0,05% m/m (ESDM, 2006b). Penurunan yang signifikan dari

konsentrasi rata-rata tahunan ketiganya kemungkinan disebabkan oleh

penurunan konsumsi bahan bakar jenis bensin dan solar di Kota

Bandung yaitu masing-masing sebesar 15% dan 44% (BPS, 2007; BPS,

2015).

Tabel 2. Statistik deskriptif rata-rata tahunan Kota Bandung

Parameter Tahun

2010 2011

THC (ppmv)

2,48a±0,15b

2,11c – 2,88d 240e

2,58a±0,32b

2,05c – 5,31d 312e

CH4 (ppmv) 1,08a±0,35b 0,21c-2,22d

240e

0,83a±0,48b 0,10c-3,39d

312e

NMHC (ppmv) 1,42a ±0,21b 0,69c-2,02d

240e

1,81a±0,44b 0,84c-3,50d

313e

CO (ppmv) 0,23a±0,29b 0,06c – 4,85d

287e

0,39a±0,39b 0,007c – 5,78d

283e

NO (ppmv)

0,11a±0,13b

0,004c – 0,40d

68e

0,01a ±0,01b

0,001c – 0,18d

216e

NO2 (ppmv) 0,05a±0,05b 0,04c – 0,40d

43e

0,04a ±0,03b 0,001c – 0,06d

203e

NOx (pmv) 0,06a±0,01b 0,04c-0,08d

42e

0,044a±0,027b 0,005c-0,124d

211e

SO2 (ppmv) 0,02a±0,06b 0,00c – 0,20d

276e

0,003a±0,001b 0,002c – 0,01d

321e

Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel

Page 140: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

131

Perbandingan antara hasil pengukuran rata-rata tahunan

konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di udara ambien di Kota Seoul

(Korea Selatan) tahun 2010-2011 dengan Kota Bandung (Indonesia)

disajikan pada Tabel 3. Rata-rata tahunan konsentrasi CH4 di Kota

Bandung tahun 2010-2011 adalah 0,94 ± 0,44 ppmv atau lebih rendah

dibandingkan Kota Seoul. Hal ini mengindikasikan bahwa Global

Warming Potential (GWP) untuk parameter CH4 di Kota Bandung adalah

lebih rendah dibanding Kota Seoul. Selain itu rata-rata tahunan

konsentrasi CO di Kota Bandung sebesar 0,31 ± 0,35 ppmv adalah juga

lebih rendah dibandingkan Kota Seoul, namun demikian untuk rata-

rata tahunan konsentrasi NMHC dan THC di Kota Bandung yaitu

berturut-turut sebesar 1,64 ± 0,41 ppmv dan 2,53 ± 0,26 ppmv adalah

lebih tinggi jika dibandingkan Kota Seoul. Hal ini perlu diwaspadai

karena dampak buruk senyawa THC dan NMHC terhadap kesehatan

manusia.

Tabel 3. Perbandingan konsentrasi hidrokarbon dan CO tahun 2010-2011 di Kota Bandung dan kota lainnya di Korea Selatan

Lokasi studi THC (ppmv) CH4(ppmv) NMHC

(ppmv) CO (ppmv)

Guro, Seoul, Korea Selatan10

2,44a ± 0,29b

1,98c – 3,79d 722e

2,14a ± 0,17b

1,82c – 2,99d 722e

0,30a ± 0,17b

0,03c – 1,32d 722e

0,61a ± 0,23b

0,24c – 2,09d 723e

Nowon, Seoul, Korea Selatan10

2,50a ± 0,25b 1,89c – 3,45d

699d

2,18a ± 0,22b 1,50c – 2,91d

699e

0,32a ± 0,07b 0,18c – 0,71d

699e

0,47a ±

0,25b 0,11c – 2,33d 723e

Kota Bandung, Indonesia

2,53a±0,26b 2,05c – 5,31d

552e

0,94a±0,44b 0,10c-3,39d

552e

1,64a±0,41b 0,69c- 3,5d

553e

0,31a± 0,35b

0,01c – 5,78d

570e

Keterangan: superskrip a = rata-rata, b = simpangan baku, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah sampel

(Sumber: Kim dkk. (2013))

Tabel 4 menyajikan hasil uji normalitas terhadap data

pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011

untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2

menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan Tabel

4 dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas untuk nilai kepercayaan

Page 141: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

132

95% memberikan hasil nilai signifikansi (p) = 0,000 untuk semua

polutan, kecuali untuk CH4. Hasil pengujian normalitas memberikan

nilai p ≤ 0,05, kecuali untuk CH4, maka dapat disimpulkan bahwa

distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung tahun

2010-2011 adalah tidak normal, kecuali untuk CH4 yang memiliki

sebaran normal.

Tabel 4. Hasil uji normalitas menggunakan uji one-sample

Kolmogorov-Smirnov

Parameter Kolmogorov-Smirnov Z p

THC (ppmv) 2,495 0,000 CH4 (ppmv) 0,877 0,425

NMHC (ppmv) 2,985 0,000 CO (ppmv) 5,339 0,000 NO (ppmv) 7,129 0,000 NO2 (ppmv) 3,767 0,000

NOx (ppmv) 3,568 0,000 SO2 (ppmv) 12,213 0,000

Tabel 5 menyajikan hasil uji homogenitas terhadap data

pengukuran rata-rata harian bulan Januari 2010 – Desember 2011

untuk variabel THC, CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2

menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji

homogenitas untuk nilai kepercayaan 95% semuanya memberikan

hasil nilai signifikansi (p)=0,000. Dikarenakan semua hasil pengujian

homogenitas memberikan nilai p ≤ 0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung

tahun 2010-2011 adalah tidak homogen.

Tabel 5. Hasil uji homogenitas menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov

Parameter Kolmogorov-Smirnov Z p

THC (ppmv) 15,653 0,000

CH4 (ppmv) 11,614 0,000 NMHC (ppmv) 8,834 0,000

CO (ppmv) 20,602 0,000 NO (ppmv) 13,805 0,000

NO2 (ppmv) 13,221 0,000 NOx (ppmv) 5,917 0,000 SO2 (ppmv) 22,311 0,000

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas diketahui

bahwa distribusi data rata-rata harian polusi udara di Kota Bandung

tahun 2010-2011 adalah tidak normal dan tidak homogen oleh sebab

itu maka digunakan analisis non-parametrik untuk korelasi bivariate

Page 142: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

133

antar variabel yaitu korelasi Kendall’s tau. Analisis non-parametrik

atau disebut juga metode distribution-free tidak membutuhkan

pengetahuan mengenai distribusi dari populasi kecuali data harus

kontinyu (Walpole dkk., 2012).

Tabel 6. Nilai koefisien korelasi bivariate Kendall’s tau (satuan konsentrasi dalam ppmv)

THC CH4 NMHC CO NO NO2 NOx SO2

THC 1,000 0,462** -0,219** 0,253** 0,118** 0,457** 0,515** 0,211**

CH4 1,000 -0,745** 0,060* 0,409** -0,164** 0,008 0,079** NMHC 1,000 0,051 -0,332** 0,328** 0,171** 0,040

CO 1,000 -0,077 0,043 0,024 0,255** NO 1,000 -0,060 0,212** 0,239**

NO2 1,000 0,705** -0,058 NOx 1,000 -0,041 SO2 1,000

**Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-arah) *Korelasi siginfikan pada level 0,05 (2-arah)

Korelasi Kendall’s tau digunakan untuk melakukan analisa

korelasi bivariate untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Berdasarkan hasil korelasi pada Tabel 6 diketahui bahwa terdapat

korelasi yang signifikan antara THC dengan CH4, NMHC, CO, NO, NO2,

NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan

karakteristik sumber emisi senyawa-senyawa tersebut dan adanya

pengaruh yang signifikan terhadap rosot dari THC baik secara langsung

maupun tidak langsung. Baik THC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2

kesemuanya memiliki peran dalam pembentukan polutan sekunder

yaitu ozon di atmosfer.

Analisa non parametrik Mann-Kendall’s time series dan Sen’s

slope digunakan untuk mengetahui tren linear dari rata-rata harian

konsentrasi THC, CH4, NMHC dan CO di Kota Bandung dari tanggal 1

Juni 2010 – 31 Mei 2011 menggunakan MakeSens versi 1,0. Gambar 2

menunjukkan grafik dari tren linear untuk senyawa karbon.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata harian

konsentrasi THC, NMHC dan CO mengalami tren penurunan berturut-

turut sebesar 0,00003; 0,00036 dan 0,00057 ppmv/hari selama

periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011. Sebaliknya rata-rata harian

konsentrasi CH4 mengalami peningkatan sebesar 0,00028 ppmv/hari.

Hal ini perlu diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global

Warming Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada

CO2.

Page 143: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

134

Gambar 2. Tren rata-rata harian senyawa karbon di Kota Bandung beserta

nilai Sen’s slopenya (Q)

4 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil korelasi Kendall’s tau diketahui bahwa

terdapat korelasi yang signifikan antar senyawa karbon THC dengan

CH4, NMHC, CO, NO, NO2, NOx dan SO2 (p < 0,01). Hal ini

menunjukkan adanya kesamaan karakteristik sumber emisi senyawa-

senyawa tersebut dan adanya pengaruh yang signifikan terhadap rosot

dari THC baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan

hasil analisa time series menggunakan metode statistik non-parametrik

Mann-Kendall’s time series dan Sen’s slope diketahui bahwa selama

periode 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011 rata-rata harian konsentrasi THC,

NMHC dan CO mengalami tren penurunan dan sebaliknya untuk rata-

rata harian konsentrasi CH4 mengalami peningkatan. Hal ini perlu

diwaspadai mengingat potensi pemanasan global (Global Warming

Potential, GWP) dari CH4 yaitu 24 kali lebih besar daripada CO2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih saya tujukan kepada Pusat Sains dan Teknologi

Atmosfer – LAPAN yang telah memberikan ijin penggunaan data AQMS

guna penulisan makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Abdul-Wahab, S. A. , S. M. Al-Alawi, 2002: Assessment and prediction

of tropospheric ozone concentration levels using artificial neural

Page 144: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

135

networks. Environ. Model Softw. 17, 219–22 pp.

Ahmed, E., K. Ki-Hyun, J. Eui-Chan, J. C. B. Richard, 2015: Long term

trends of methane, non methane hydrocarbon and carbon monoxide

in urban atmosphere. Science of the Total Environment. 516 – 519:

595 – 604

Bäckstrand, K., P. M. Crill, M. Mastepanov, T. R. Christensen, D.

Bastviken, 2008: Total hydrocarbon flux dynamics at a subarctic

mire in northern Sweden. J. Geophys. Res. Biogeosci. 2005–2012,

113.

Badr, O dan Probert, S. D. , 1994: Carbon-Monoxide Concentration in

the Earth’s Atmosphere. Applied Energy. 49: 99 – 143 pp

Baker, A. K., A. J. Beyersdorf, L. A. Doezema, A. Katzenstein, S.

Meinardi, I. J. Simpson, D.R. Blake, F.S. Rowland, 2008:

Measurements of nonmethane hydrocarbons in 28 United States

cities. Atmos. Environ. 42, 170–182 pp.

Barletta, B., S. Meinardi, I. J. Simpson, H. A. Khwaja, D. R. Blake, F. S.

Rowland, 2002: Mixingratios of volatile organic compounds (VOCs) in

the atmosphere of Karachi, Pakistan. Atmos. Environ. 36, 3429–3443

pp.

Blake, D. R. and F. S. Rowland, 1995: Urban Leackage of liquified

Petroleum Gas and Its Impact on Mexico City air Quality. Science,

269, 953-956 pp

BPS, 2007: Bandung dalam Angka 2007. BPS

BPS, 2015: Kota Bandung dalam Angka 2015. BPS

Chan, L. Y. , K. W. Chu, S. C. Zou, C. Y. Chan, X. M. Wang, B. Barletta,

D. R. Blake, H. Guo, W.Y. Tsai, 2006: Characteristics of nonmethane

hydrocarbons (NMHCs) in industrial, industrial‐urban, and

industrial‐suburban atmospheres of the Pearl River Delta (PRD)

region of south China. J. Geophys. Res. Atmos. 1984–2012, 111.

Chen, T. Y. , I. J Simpson, D. R. Blake, F. S. Rowland, 2001: Impact of

the leakage of liquefied petroleum gas (LPG) on Santiago air quality.

Geophys. Res. Lett. 28, 2193–2196 pp.

Chen, S. -P. , W. -C. Liao, C. -C. Chang, Y. -C. Su, Y. -H. Tong, J. S.

Chang, J. -L. Wang, 2014: Network monitoring of speciated vs. total

non-methane hydrocarbon measurements. Atmos. Environ. 90, 33–

42.

ESDM, 2006a: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Solar 48.

Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No.

3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006.

ESDM, 2006b: Spesifikasi Bahan Bakar Minyak jenis Bensin 88.

Page 145: Sains dan Teknologi Atmosfer Benua Maritim Indonesia

Metode Statistik Non-parametrik untuk Studi Polutan – Wiwiek Setyawati, dkk.

136

Lampiran Keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi No.

3674 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006.

Finish Meteorological Institute, 2002: MakeSens versi 1,0. www.

ilmanlaatu. fi, diunduh pada bulan Juni 2016

Guo, H. , So, K. , I. Simpson, B. Barletta, S. Meinardi, D. Blake, 2007:

C1–C8 volatile organic compounds in the atmosphere of Hong Kong:

overview of atmospheric processing and source apportionment.

Atmos. Environ. 41, 1456–1472 pp.

Kim, K. -H. , H. -O. Yoon, R. J. Brown, E. -C. Jeon, J. -R. Sohn, K.

Jung, C. -G. Park, I. -S. Kim, 2013: Simultaneous monitoring of total

gaseous mercury at four urban monitoring stations in Seoul, Korea.

Atmos. Res. 132, 199–208 pp.

Platt, S., I. E. Haddad, A. Zardini, M. Clairotte, C. Astorga, R. Wolf, J.

Slowik, B. Temime-Roussel, N. Marchand, I. Ježek, 2013: Secondary

organic aerosol formation from gasoline vehicle emissions in a new

mobile environmental reaction chamber. Atmos. Chem. Phys. 13,

9141–9158.

Poisson, N., M. Kanakidou, P.J. Crutzen, 2000: Impact of non-methane

hydrocarbons on tropospheric chemistry and the oxidizing power of

the global troposphere: 3- dimensional modelling results. J. Atmos.

Chem. 36, 157–230.

Priyatno, D., 2012: Belajar Praktis Analisis Parametrik dan Non

Parametrik dengan SPSS. Gava Media, Yogyakarta

Sahu, L., S. Lal, 2006: Distributions of C2–C5 NMHCs and related trace

gases at a tropical urban site in India. Atmos. Environ. 40, 880–

891pp.

Setyawati, W., S. Hamdi, Mulyono, Suparno, 2015: Variabilitas

Temporal Total Hidrokarbon dan Karbon Monoksida di Udara

Ambien Perkotaan (Studi Kasus: Kota Bandung), Prosiding Seminar

Nasional Sains dan Atmosfer.

Von Schneidemesser, E., P. S. Monks, C. Plass-Duelmer, 2010: Global

comparison of VOCand CO observations in urban areas. Atmos.

Environ. 44, 5053–5064 pp.

Walpole, R. E., R. H. Myers, S. L. Myers, K. Ye, 2012: Probability and

Statistics for Engineers and Scientists. Pearson Education Inc. , 655

pp.

Wuebles, D. J dan H. Katharine, 2002: Atmospheric Methane and

Global Change. Earth-Science Reviews. 57 : 177 – 210 pp.