Post on 18-Aug-2020
Modul 1
Ruang Lingkup Ilmu Hukum Pajak
Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H.,M.B.A.,M.M., FC.B.Arb.
alaupun pajak mempunyai peranan penting untuk membiayai belanja
negara, tetapi pajak bukan merupakan tujuan semata, hanya sebagai
alat/sarana/instrumen untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia1945:
............ untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial .............
Untuk itulah pungutan pajak diberi kewenangan yang berkekuatan
memaksa guna mencapai tujuan negara tersebut, di mana legitimasinya
dinyatakan dalam konstitusi dasar UUD 1945 sebagai sumber peraturan
perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Dalam perkembangannya, dasar
pengaturan pajak telah terjadi perubahan mendasar. Semula dinyatakan dalam
Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, kemudian setelah amandemen ke-III UUD 1945
dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Pajak dan
pungutan bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-
undang.”
Perubahan paradigma pungutan pajak tersebut ingin menunjukkan bahwa
pajak yang mempunyai daya paksa tersebut implementasinya tidak dilakukan
dengan semena-mena, tetapi harus melalui undang-undang yang
mekanismenya tentu melalui persetujuan dari wakil rakyat di parlemen.
Seandainya dalam pelaksanaannya harus dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi tetap tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang. Hingga diharapkan pelaksanaan pungutan pajak yang
memiliki daya paksa yang kuat ini tetap dilakukan sesuai dengan rasa keadilan.
W
PENDAHULUAN
1.2 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Dalam modul ini dibagi dalam tiga kegiatan belajar, masing-masing
menguraikan mengenai ruang lingkup dan perkembangan hukum pajak,
pengertian pajak, dan fungsi pemungutan pajak.
Selamat mengikuti kegiatan belajar.
HKUM4407/MODUL 1 1.3
Kegiatan Belajar 1
Ruang Lingkup dan Perkembangan Hukum Pajak
egara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, hal ini
tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) tidak
berdasarkan kekuasaan (mahcts staat). Sebagai negara yang berlandaskan
hukum, negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Artinya, segala
tindakan dan kebijakan alat-alat perlengkapan negara harus berdasarkan
hukum. Hukum menjadi landasan pokok untuk mencapai cita-cita masyarakat
yang adil dan makmur secara merata.
Keadilan adalah syarat tercapainya kebahagiaan hidup. Keadilan
merupakan cerminan dari cita-cita rakyat yang tertuang dalam konstitusi
negara. Ukuran keadilan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dari
negara hukum. Untuk mencapai negara hukum yang berkeadilan diperlukan
biaya yang salah satunya diperoleh dari pungutan pajak, yang aturan dasarnya
dicantumkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
Pungutan pajak merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.
Setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan
berlaku mengikat kehidupan bersama maka pada saat itu pula kebijakan publik
menjadi hukum. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu bentuk atau
wujud dari kebijakan publik atau dengan istilah lain, hukum merupakan bagian
dari kebijakan publik. Namun demikian, tidak selamanya bahwa kebijakan
publik merupakan hukum publik, apabila tidak didokumenkan secara formal.
Hukum pajak yang disebut juga hukum fiskal merupakan kebijakan publik
yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal, yaitu dalam konstitusi UUD
negara Republik Indonesia 1945 dan di dalam konstitusi tersebut
mengamanatkan bahwa regulasi pungutan pajak harus ditetapkan dalam
bentuk undang-undang. Oleh karena itu, kebijakan pungutan pajak masuk
bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dan orang-
orang atau badan (hukum) yang mempunyai kewajiban membayar pajak
(selanjutnya disebut wajib pajak). Dengan demikian, kedudukan hukum pajak
ditinjau dari substansinya termasuk dalam kategori hukum publik (hukum
negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan
N
1.4 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
perseorangan (warga negara), bukan hukum privat (hukum sipil), yaitu hukum
yang mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Penggolongan hukum pajak sebagai hukum publik, sebagian besar pakar
berpendapat bahwa pajak adalah merupakan bagian dari hukum administrasi
negara karena permasalahan yang diatur dalam hukum pajak berkaitan dengan
administrasi negara. Sementara itu, penulis berpendapat walaupun hukum
pajak adalah sebagai disiplin ilmu tersendiri yang terlepas dari hukum
administrasi negara, namun tetap kelompok dari hukum publik. Akan tetapi,
merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri dengan alasan sebagai berikut:
1. jangkauan pengaturan hukum pajak sangat luas, meliputi pemerintah
daerah kabupaten/kota (pajak daerah kabupaten/kota), pemerintah daerah
provinsi (pajak daerah provinsi), pemerintah pusat (pajak pusat), pajak
bilateral (tax treaty), dan pajak regional dan pajak internasional;
2. bahkan pengertian pajak dalam postur APBN adalah penerimaan
perpajakan yang meliputi penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan
cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
3. hukum pajak secara langsung dapat digunakan sebagai instrumen politik
perekonomian suatu negara;
4. hukum pajak tidak saja bersifat administrasi, tetapi juga bersifat
pengaturan (regulasi) dan hitung-hitungan (akuntansi);
5. hukum pajak memiliki aturan dan istilah yang khusus;
6. hukum pajak mengatur sanksi lebih luas baik dalam jenis maupun
objeknya.
A. JANGKAUAN PENGATURAN HUKUM PAJAK
Hukum pajak memiliki lingkup jangkauan pengaturan dan kewenangan
yang berbeda, yang meliputi pajak daerah, pajak pusat, pajak bilateral, dan
pajak internasional.
1. Pajak daerah adalah pajak yang pungutannya ditetapkan berdasarkan
Peraturan daerah (Perda), namun jenis, subjek, objek, dan tarifnya tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pajak
daerah dibedakan pajak daerah provinsi, di mana wilayah berlakunya
hanya dalam provinsi yang bersangkutan dan pajak daerah kabupaten/kota
yang wilayah berlakunya hanya sebatas kabupaten/kota yang
HKUM4407/MODUL 1 1.5
bersangkutan saja. Terhadap penerimaan pajak provinsi akan dibagi
hasilkan kepada daerah kabupaten/kota di mana pajak tersebut dipungut.
2. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat guna
membiayai kelangsungan pemerintahan negara Republik Indonesia,
melalui APBN. Berkenaan dengan perubahan sistem tata kelola
pemerintahan di Indonesia menjadi otonomi daerah sejak ditetapkannya
UU Nomor 22 Tahun 1999 maka penerimaan pajak pusat dari Penghasilan
Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25 dan Pasal 29) dan Pajak
Penghasilan Karyawan (PPh Pasal 21) dibagihasilkan kepada daerah.
3. Pajak bilateral adalah dalam pemberlakuan hukum pajak atas dasar
kesepakatan antar dua negara berdasarkan perjanjian bilateral yang
dikenal dengan tax treaty di mana diperjanjikan di antara dua negara
mengenai subjek, objek, tarif pajak maupun hal-hal lain yang disepakati
mengenai pengenaan pajak antarnegara.
4. Pajak regional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan pajak di
antara negara-negara dalam masing-masing regional, misalnya negara-
negara ASEAN, Schengen, dan lain-lain.
5. Pajak internasional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan
pajak atas dasar keputusan internasional.
B. PENGERTIAN PAJAK DALAM POSTUR APBN
Pengertian pajak dalam APBN adalah perpajakan yang mempunyai
makna lebih luas. Secara garis besar dalam postur APBN dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan.
Pendapatan negara, meliputi pendapatan perpajakan, Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP), dan pendapatan hibah. Pendapatan perpajakan, meliputi
penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan cukai. Dengan demikian, dalam
lingkup APBN perpajakan, meliputi segala pungutan negara (pemerintah
pusat) selain Penerimaan Negara Bukan Pajak.
C. SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK PEREKONOMIAN SUATU
NEGARA
Pajak merupakan instrumen politik perekonomian suatu negara karena
penerimaan pajak sangat dominan sebagai penerimaan negara guna membiayai
roda pemerintahan negara Indonesia. Karena itu, hukum pajak mempunyai
1.6 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
daya paksa yang kuat, ketetapannya langsung dapat dilaksanakan walaupun
pembayar pajak sedang mengajukan upaya hukum (ketetapan pajak bersifat
executorial beslag yang mempunyai kekuatan hukum tetap). Dalam rangka
meningkatkan penerimaan dalam pemerintahan, Bapak Presiden Joko Widodo
melakukan pengawasan yang ketat terhadap kewajiban perpajakan sebagai
instrumen politik perekonomian nasional guna mewujudkan cita-cita
kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pajak dapat dijadikan sebagai
instrumen politik perekonomian suatu negara, namun pelaksanaannya harus
berpijak pada undang-undang sebagaimana tercantum konstitusi dasar NKRI
1945 Pasal 23A.
D. TIDAK HANYA BERSIFAT ADMINISTRASI
Keputusan atau ketetapan tentang pajak (dalam Hukum Tata Usaha
Negara lazim disebut dengan beschikking) tidak saja hanya berkaitan dengan
administrasi, tetapi juga meliputi regulasi dan akuntansi (hitung-hitungan).
Bersifat administrasi karena penetapan dan ketetapan pajak sangat berkaitan
dengan kompetensi yang menetapkan berdasarkan jabatan dan wilayah
administrasi. Selain itu, penetapan dan ketetapan pajak ditetapkan harus diatur
dengan undang-undang. Konsekuensinya bahwa untuk regulasi yang mengikat
publik tidak boleh diatur selain dengan peraturan perundang-undangan. Selain
itu, pajak meliputi hitung-hitungan yang bersifat akuntansi, walaupun dalam
hal-hal khusus ketentuan akuntansi tidak dapat sepenuhnya diberlakukan
dalam pengenaan pajak.
E. MEMILIKI ATURAN DAN ISTILAH KHUSUS
Pajak memiliki aturan dan istilah khusus yang tidak lazim digunakan
dalam ketentuan lain. Misalnya, pajak dikenakan terhadap penghasilan tanpa
membedakan dari sebab yang dibenarkan maupun bertentangan dengan
undang-undang (dari sebab yang halal maupun yang haram), hal tersebut tentu
saja bertentangan dengan segala ketentuan perundang-undangan dari berbagai
lembaga.
HKUM4407/MODUL 1 1.7
F. SANKSINYA LUAS
Sanksi pajak selain dikenakan terhadap pembayar pajak (wajib pajak) juga
dikenakan kepada aparatur pajak dan pihak ketiga berkaitan dengan kewajiban
dalam bidang perpajakan. Khusus terhadap wajib pajak, terdapat sanksi
administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan serta sanksi pidana. Sanksi
pidana walaupun dinyatakan dengan tegas dalam perundang-undangan, namun
penerapannya merupakan upaya akhir (mutatis mutandis) manakala sanksi
administrasi kurang dapat menimbulkan efek jera.
Undang-Undang Dasar 1945 mensyaratkan bahwa pajak harus diatur
dengan undang-undang. Oleh karena itu, pajak termasuk sebagai hukum
tertulis (statute law = writen law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak mungkin
pajak dikenakan karena adat kebiasaan dari hukum tidak tertulis (unstatute law
= unwriten law), kalau terjadi namanya bukan pajak, tetapi upeti.
Rochmat Soemitro, salah seorang pakar hukum pajak di Indonesia,
menggambarkan kedudukan dan hubungan hukum pajak dengan hukum-
hukum lainnya sebagai berikut:
Gambar 1.1
Kedudukan dan Hubungan Hukum Pajak
dengan Hukum-hukum Lainnya
1.8 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Di Indonesia, pajak merupakan sumber penerimaan utama negara,
penerimaan pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dari tahun ke tahun menunjukkan peranan yang terus meningkat terhadap
seluruh pendapatan negara. Salah satu ciri dari pajak adalah pungutannya
dilakukan negara bersifat memaksa. Agar pungutan pajak tidak mencederai
rasa keadilan masyarakat maka upaya pemaksaan tersebut bersifat legal.
Legalitas dimaksud adalah dengan menyandarkan pungutan pajak melalui
undang-undang. Tanpa undang-undang, pemungutan pajak tidak mengikat
masyarakat dan menjadi tidak sah. Oleh karena itu, walaupun pemungutan
pajak itu digunakan untuk keperluan rakyat, namun pemungutan pajak harus
terlebih dahulu disetujui oleh rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23
UUD 1945 yang mengatur dasar pemungutan pajak di Indonesia. Ketentuan
tersebut merupakan manifestasi dari negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang berfalsafah Pancasila serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban
warga negara.
Seiring dengan perkembangan politik ketatanegaraan dan perekonomian
Indonesia, dasar pungutan pajak dalam UUD telah berubah di mana semula
tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi “Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Setelah amandemen ketiga
UUD NKRI 1945 tanggal 9 November 2001 dinyatakan di dalam Pasal 23A
yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Terdapat perbedaan prinsip perubahan pengaturan pajak dalam UUD
NKRI 1945, yaitu semula “berdasarkan undang-undang” setelah amandemen
ketiga berubah menjadi “diatur dengan undang-undang”. Para pakar hukum
yang menganut aliran hukum positif, secara ekstrim menyatakan bahwa
dengan berubahnya aturan dasar pungutan pajak menjadi “diatur dengan
undang-undang”, sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia maka segala
pengaturan pajak yang mengikat publik tidak boleh diatur selain dengan
undang-undang.
Penulis berpendapat bahwa “diatur dengan undang-undang” harus
dimaknai sebagai diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian
perundang-undangan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1)
UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur mengenai jenis dan hierarki perundang-
undangan, yaitu terdiri atas:
HKUM4407/MODUL 1 1.9
1. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 (UUD 1945);
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR);
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU);
4. Peraturan Pemerintah (PP);
5. Peraturan Presiden (Perpres);
6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi;
7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, konsekuensi dari perubahan aturan dasar pungutan
pajak dalam UUD 1945 tersebut, berakibat bahwa pengaturan pajak yang
mengikat publik tidak dibolehkan diatur selain dengan peraturan perundang-
undangan. Bahkan dengan ditetapkannya hierarki peraturan perundang-
undangan tersebut maka peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sementara itu, pemahaman sesuai bunyi gramatika pasal 23A UUD 1945,
pajak harus diatur dengan undang-undang, apabila dilaksanakan akan
berakibat pengaturan pajak akan out of date ketinggalan dengan perkembangan
dunia usaha yang berkembang begitu cepat dan dinamis. Hal tersebut
disebabkan karena untuk melahirkan sebuah undang-undang akan melalui
proses yang lama, baik dari tata cara mengajukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang melalui proses tata urutan prioritas Prolegnas (Program Legislasi
Nasional), serta pembahasannya RUU di DPR sebagai badan legislatif.
Lingkup pembahasan pajak dalam kajian ini juga memperhatikan
kewenangan pemerintah daerah dalam memungut pajak karena berkaitan
dengan tata kelola pemerintahan Indonesia yang telah berubah menjadi
desentralistik (otonomi daerah). Satu dan lain hal disebabkan karena pajak baik
bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, memiliki peranan yang
dominan terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pentingnya pajak bagi negara (pemerintah pusat maupun daerah) sangat
disadari karena peranan pajak dalam menunjang APBN sebagai penerimaan
negara maupun APBD sebagai penerimaan daerah sangat dominan.
Penerimaan tersebut semata dalam rangka untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD 1945
alinea keempat, yaitu:
1.10 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
“……untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat………dst”
Begitu besarnya peranan dan kewajiban pajak untuk penerimaan negara
hingga ketetapan pajak mempunyai sifat daya paksa setara dengan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Atas dasar alasan tersebut maka pemerintah mengatur pungutan pajak di dalam
Undang-Undang Dasar yang implementasinya harus tertib dan disahkan wakil
rakyat di DPR sebagai undang-undang.
Menurut Teresa Ter-Minassian dalam buku “Fiscal Federalism in Theory
and Practise” menyatakan bahwa untuk menjaga ketertiban dalam
pemungutan pajak, perlu dipenuhi persyaratan administratif sebagai berikut:
1. Jumlah pajak yang dipungut dari masing-masing wajib pajak harus jelas
dan pasti.
2. Wajib pajak harus dimungkinkan untuk menghitung sendiri jumlah pajak
terutang, kapan serta di mana harus membayar, dan melaporkannya
kepada institusi yang berwenang.
3. Pemerintah harus memberikan fasilitas yang sebaik-baiknya supaya wajib
pajak dapat dengan mudah, tanpa tambahan pengorbanan untuk
memenuhi kewajiban perpajakan kepada negara.
4. Biaya administrasi pajak harus diusahakan seminimal mungkin karena
yang diharapkan sebagai dana untuk membiayai pengeluaran negara
adalah dari hasil bersih.
5. Pemerintah harus diberi kekuasaan untuk memungut tunggakan pajak
dengan paksa, apabila diperlukan.
6. Demikian pula wajib pajak harus dijamin haknya untuk mengajukan
upaya hukum apabila dirasakan tidak adil terhadap beban pajak yang
dipikul.
Rochmat Sumitro dalam buku “Asas dan Dasar Perpajakan I” mengutip
pendapat Adam Smith dalam bukunya “Wealth of Nations” yang terkenal di
seluruh dunia yang memberikan pedoman bahwa supaya peraturan pajak itu
adil harus memenuhi empat syarat. Keempat syarat tersebut disebut dengan
“The Four Canons of Adam Smith” sering juga disebut dengan “The Four
Maxims”, yaitu:
HKUM4407/MODUL 1 1.11
1. Equalty and equity
Orang berada dalam keadaan sama harus dikenakan pajak yang sama.
2. Certainty
Dalam membuat undang-undang perpajakan, peraturannya harus jelas,
tegas dan tidak mengandung arti ganda yang memberikan peluang
penafsiran,
3. Convenience of payment
Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu saat wajib pajak
mempunyai uang.
4. Economics of collection
Harus dipertimbangkan bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih kecil
dari uang pajak yang masuk.
Dalam meneliti lebih dalam mengenai hukum pajak, terdapat hal penting
yang menjadi pokok bahasan, yaitu bahwa pungutan pajak harus memenuhi
rasa keadilan baik bagi pemerintah sebagai pemungut pajak, maupun
pembayar pajak (wajib pajak). Keadilan berkenaan dengan pajak (tax justice),
mengandung pemahaman yang luas dan pelik. John Rawls mengemukakan
terdapat dua prinsip keadilan, pertama, yaitu hak perlakuan yang sama yang
dimiliki setiap orang tanpa membedakan status dan jabatan. Kemudian yang
kedua adalah bagaimana mengatur ketimpangan sosial dan ekonomi sehingga
dapat memberikan harapan dan keuntungan bagi semua orang.
Keadilan adalah kebajikan utama dalam pemerintahan dan institusi sosial,
apalagi pungutan pajak yang mempunyai daya paksa, walaupun
penerimaannya akan digunakan untuk pembangunan negara, akan tetapi harus
dirasakan adil bagi masyarakat yang dipungut sebagai pembayar pajak. Untuk
itulah, UUD 1945 sebagai konstitusi dasar negara Republik Indonesia
mewajibkan bahwa segala pungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-
undang. Undang-undang merupakan manifestasi keadilan karena mekanisme
pembuatan undang-undang adalah melalui proses yang harus diwakili
perwakilan rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Berkaitan dengan kebijakan fiskal dalam jangka menengah Pemerintah
Republik Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2004-2010 diarahkan untuk menjaga
ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) melalui optimalisasi
sumber-sumber pendapatan negara, peningkatan efisensi dan efektifitas
1.12 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
belanja negara, serta pengelolaan pembiayaan secara berhati-hati. Dengan
kebijakan tersebut, defisit anggaran dapat terjaga dan terkelola sehingga rasio
utang pemerintah terhadap PDB terus menurun. Di tahun 2014, kebijakan
fiskal diarahkan untuk (1) menyediakan stimulasi fiskal secara terukur dengan
tetap menjaga kesinambungan fiskal; (2) memperkuat kapasitas fiskal (fiscal
capasity); (3) memperlebar ruang fiskal (fiscal space); (4) meningkatkan
kualitas belanja (quality spending); (5) memperkuat pengelolaan keuangan
daerah dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan (6) memantapkan
pengelolaan pembiayaan anggaran.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara, utamanya dalam
mendukung penerimaan perpajakan, sepanjang tahun 2004-2013, pemerintah
telah melakukan berbagai kebijakan di bidang perpajakan. Secara garis besar
dapat digolongkan menjadi: (1) kebijakan yang bersifat umum; (2) kebijakan
di bidang PPh; dan (3) kebijakan di bidang PPN.
Kebijakan umum perpajakan yang dilakukan, meliputi (1) perluasan basis
pengenaan pajak (tax base); (2) optimalisasi teknologi informasi dalam rangka
penggalian potensi dan pengawasan Wajib Pajak (WP) melalui pemanfaatan
aplikasi profil berbasis web (Approweb) dan aplikasi dashboard penerimaan
pajak; (3) Sensus Pajak Nasional (SPN); dan (4) penguatan infrastruktur
penerimaan pajak dengan memanfaatkan sinkronisasi Sistem Kliring Nasional
(SKN) antara Bank Indonesia dan Modul Penerimaan Negara (MPN).
Sementara itu, kebijakan di bidang PPh yang telah dilakukan antara lain: (1)
pembenahan kebijakan pengenaan PPh final; dan (2) kebijakan penyesuaian
batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk memberikan stimulus
fiskal bagi perekonomian. Untuk bidang PPN, kebijakan difokuskan pada
pembenahan administrasi dalam sistem PPN untuk mengurangi
penyalahgunaan faktur pajak bermasalah melalui: (1) penyederhanaan
pengenaan PPN melalui mekanisme Ideemed Tax; (2) pemberlakuan sistem E-
invoice; dan (3) pemberlakuan sistem barcode sebagai identitas transaksi
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dari sisi belanja, dalam upaya meningkatkan kualitas belanja negara,
kebijakan lebih ditekankan pada pentingnya langkah efisiensi dan efektivitas
dalam mendorong produktivitas pada setiap jenis belanja untuk menciptakan
efisiensi ekonomi dan peningkatan daya saing perekonomian domestik.
Dari sisi pembiayaan, untuk dapat mengimbangi perkiraan defisit besar,
pemerintah berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan berbagai faktor, di
HKUM4407/MODUL 1 1.13
antaranya biaya dan risiko utang, perkembangan kondisi pasar keuangan,
kapasitas daya serap pasar Surat Berharga Negara (SBN), country ceilling/
single county limit masing-masing lender, dan kebutuhan kas negara.
Pembiayaan defisit anggaran diprioritaskan melalui optimalisasi sumber-
sumber pembayaran utang dari dalam negeri yang dilaksanakan bersamaan
dengan upaya untuk mengoptimalkan peran serta dari masyarakat (financial
inclusion), mengembangkan pasar keuangan domestik (financial deepening),
dan meningkatkan pengaruh pengganda (multipier effect) perekonomian
nasional. Sementara itu, pembiayaan yang bersumber dari luar negeri selalu
diupayakan dengan menjaga negatif net flow untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa pungutan pajak harus ada
ketentuan undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu, seperti halnya
jenis-jenis pajak pusat diatur dengan undang-undang. Namun, untuk pajak
daerah seiring dengan otonomi daerah yang memberikan kewenangan
pungutan pajak dan retribusi kepada daerah, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah melimpahkan kewenangannya
pengaturan pemungutannya kepada daerah dengan Peraturan daerah (Perda),
tetapi tetap harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang atau bertentangan
dengan UU (UU Nomor 28 Tahun 2009). Karena, berdasarkan hierarki
peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 dari UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan daerah
adalah kedudukannya di bawah undang-undang. Sesuai asas dan teori hukum
murni yang juga dianut dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya.” Tegasnya, peraturan daerah tentang pajak daerah tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang.
Sementara itu, untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
kewenangan pemungutannya dibedakan antara PDRD provinsi dan PDRD
kabupaten/kota di mana jenis dan peruntukannya berbeda yang akan dibahas
kemudian.
1.14 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
1) Mengapa pajak termasuk dalam hukum publik?
2) Mengapa pajak termasuk dalam disiplin ilmu hukum tersendiri?
3) Jelaskan kedudukan hukum pajak dengan hukum lainnya!
4) Jelaskan penerimaan negara berdasarkan postur APBN!
5) Mengapa pengaturan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang?
6) Bagaimana perkembangan pengaturan dasar tentang pajak dalam UUD
1945?
7) Apakah makna pajak diatur dengan undang-undang?
8) Bagaimana pungutan pajak agar dirasakan adil bagi pembayar pajak?
9) Jelaskan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia!
10) Apa yang Saudara ketahui tentang Teori “The Four Maxims“!
Petunjuk Jawaban Latihan
1) Pajak termasuk lingkup hukum publik karena mengatur hubungan antara
negara dan orang-orang atau badan (hukum) yang mempunyai kewajiban
membayar pajak.
2) Pajak termasuk disiplin ilmu tersendiri karena selain berkaitan dengan tata
kelola negara, administrasi juga mengatur secara khusus tentang tindak
pidana bagi yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan.
3) Kedudukan hukum pajak dengan hukum lainnya bahwa hukum pajak
merupakan lex specialis di bidang pungutan pajak terhadap undang-
undang lainnya.
4) Penerimaan negara di dalam postur APBN terdiri dari penerimaan
perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah.
5) Pengaturan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang, hal tersebut
disebabkan bahwa walaupun pajak mempunyai kekuatan bersifat
memaksa untuk kepentingan negara, tetapi pajak bukan merupakan tujuan
dari negara namun keberadaannya adalah sebagai sarana atau instrumen
guna mencapai tujuan negara.
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
HKUM4407/MODUL 1 1.15
6) Pengaturan perkembangan dasar tentang pajak dalam UUD 1945 telah
berubah, semula dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 kemudian
setelah amandemen ke-III UUD 1945 diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.
7) Makna pajak diatur dengan undang-undang sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 23A UUD 1945 adalah bahwa “Pajak tidak boleh diatur selain
dengan peraturan perundang-undangan.”
8) Pungutan pajak agar dirasakan adil bagi pembayar pajak maka ketentuan
pajak harus diatur dengan undang-undang.
9) Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam Pasal
7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu:
a) UUD 1945;
b) Ketetapan MPR;
c) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU);
d) Peraturan Pemerintah (PP);
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi;
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
10) Teori “The Four Maxims” dari Adam Smith menegaskan terdapat 4
(empat) syarat dalam melaksanakan pungutan pajak, yaitu:
a) equalty dan equity;
b) certainty;
c) convenience of payment;
d) economics of collection.
Pajak merupakan penerimaan negara yang dominan untuk
melaksanakan pembangunan di negeri ini, baik dilihat dari peranannya
terhadap APBN maupun besarannya yang dari tahun ke tahun
menunjukkan kenaikan. Seiring dengan otonomi daerah yang merupakan
tata kelola pemerintahan yang dimulai sejak awal tahun 1984, yaitu sejak
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, peranan pajak diharapkan menjadi tulang
punggung bagi penerimaan APBN dan APBD.
RANGKUMAN
1.16 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Begitu strategisnya penerimaan pajak hingga Undang-Undang Dasar
1945 sebagai konstitusi negara RI menempatkan pungutan pajak dalam
Pasal 23A amandemen ketiga UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan
pungutan yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan
undang-undang.”
Pengertian diatur dengan undang-undang dimaknai sebagai peraturan
perundang-undangan, di mana jenis dan hierarkinya dinyatakan dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: “Pungutan pajak
merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.” Setiap kebijakan
publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku
mengikat kehidupan bersama maka kebijakan publik tersebut adalah
menjadi hukum. Karena hukum pajak di Indonesia didokumenkan dalam
konstitusi dasar UUD negara Republik Indonesia 1945 maka hukum pajak
adalah dikategorikan sebagai hukum publik yang mengatur mengenai
hubungan hak dan kewajiban individu (orang maupun badan) kepada
negara.
Terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan pajak, apakah
termasuk dalam hukum administrasi negara atau hukum tersendiri?
1) Alasan hukum pajak merupakan hukum publik adalah ....
A. karena pajak penting buat pembangunan negara
B. karena pajak merupakan kebijakan publik yang ditetapkan dalam
dokumen formal
C. karena pajak bersifat memaksa
D. karena diatur dalam undang-undang
2) Perbedaan pajak dan perpajakan adalah ....
A. keduanya sama saja
B. perpajakan lebih luas, yaitu merupakan pungutan negara yang
meliputi pajak pusat, pajak daerah, serta bea dan cukai
C. perpajakan meliputi pajak pusat dan pajak daerah
D. perpajakan meliputi penerimaan perpajakan, penerimaan negara
bukan pajak dan penerimaan hibah
TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
HKUM4407/MODUL 1 1.17
3) Sanksi perpajakan, meliputi ....
A. sanksi bunga, kenaikan, dan denda
B. sanksi administrasi dan sandera
C. sanksi administrasi dan pidana
D. sanksi denda dan pidana
4) Peraturan yang menyatakan bahwa pajak seharusnya diatur dengan
undang-undang terdapat dalam ....
A. Ketetapan MPR
B. Pasal 23A UUD 1945
C. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
D. kebiasaan hukum tidak tertulis
5) Alasan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) diatur dengan
peraturan daerah adalah ....
A. karena otonomi daerah
B. karena merupakan tanggung jawab daerah
C. karena diberikan kewenangan oleh undang-undang
D. karena pajak sangat penting bagi daerah
6) Tujuan dari pajak adalah ....
A. untuk kesejahteraan rakyat
B. untuk pembangunan
C. bentuk kepatuhan masyarakat kepada negara
D. semuanya benar
7) Apakah mungkin pajak dipungut berdasarkan perintah presiden?
A. mungkin dalam keadaan emergency
B. sangat mungkin karena presiden adalah kepala pemerintahan
C. mungkin karena presiden dipilih langsung oleh rakyat
D. tidak mungkin karena bertentangan dengan konstitusi dasar UUD
1945
8) Filosofi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah ....
A. peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
B. agar peraturan perundang-undangan tidak tumpang tindih satu dengan
yang lain
C. membatasi kebijakan agar selalu dengan peraturan perundang-
undangan
D. semuanya benar
1.18 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
9) Pungutan pajak agar dirasakan adil bagi masyarakat pembayar pajak
harus ....
A. digunakan untuk kesejahteraan masyarakat
B. ditetapkan dengan undang-undang
C. memenuhi rasa keadilan
D. semuanya benar
10) Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, hierarki
peraturan perundang-undangan, sebagai berikut ....
A. Tap MPR, UUD 1945, Undang-undang/Perppu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota
B. UUD 1945, Undang-undang/Perppu, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota
C. UUD 1945, Tap MPR, Undang-undang/Perppu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota
D. UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Peraturan Menteri,
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang
terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap
materi Kegiatan Belajar 1.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar
100%Jumlah Soal
HKUM4407/MODUL 1 1.19
Kegiatan Belajar 2
Pengertian Pajak
otivasi utama pemajakan di negara berkembang adalah pengumpulan
dana pembiayaan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik.
Motivasi lainnya adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian
kekurangsempurnaan mekanisme pasar. Walaupun suatu tingkat pemajakan
diperlukan untuk mencapai motivasi tersebut, pemajakan selalu mempunyai
pengorbanan, baik karena beban langsung berupa biaya administrasi, maupun
beban tidak langsung dalam upaya memperoleh penerimaan pajak.
Pola pemajakan di berbagai negara berbeda-beda seiring dengan keadaan
ekonomi, budaya dan sejarah. Rasio penerimaan pajak di negara berkembang
sekitar 10-15-20% dari Pendapatan Domestik Bruto (GDP), sedangkan di
negara maju lebih dari 30%. Berbeda dengan negara maju, negara berkembang
mengandalkan penerimaan pajaknya pada pajak tidak langsung (barang dan
jasa), sedangkan negara berkembang dari pajak penghasilan. Pajak
Penghasilan Orang Pribadi umumnya sulit dipungut dalam masyarakat yang
didominasi oleh ekonomi pedesaan yang merupakan masyarakat tunai (cash
society) dengan sebagian terbesar kegiatan ekonominya merupakan sektor
informal (underground economy).
Sementara itu, peranan penerimaan pajak di Indonesia guna membiayai
pembangunan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2012
sejumlah Rp1.016,237 triliun, sedangkan pada tahun 2013 sejumlah
Rp1.192,994 triliun, meningkat sejumlah Rp176,757 triliun.
Begitu pentingnya pajak untuk membiayai pembangunan dan pelayanan
pemerintahan di suatu negara, Gunadi menafsir pajak sebagai penerimaan bagi
negara berarti juga merupakan pengeluaran dari sisi masyarakat, artinya
penerimaan negara itu adalah beban bagi seluruh masyarakat. Beban dimaksud
ditanggung masyarakat dengan mengalihkan sebagian dari penghasilan yang
diperolehnya, kemudian membayarkannya kepada negara untuk sesuatu yang
mereka dapatkan. Agar tercipta keadilan maka kewajiban masyarakat untuk
membayar pajak dituangkan dalam undang-undang yang mengikat semua
warga negara. Karena dalam bentuk undang-undang itu pulalah masyarakat
seharusnya mengerti, memahami, dan sadar akan kewajiban perpajakannya
dan dapat melaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Apabila kewajiban-
kewajiban perpajakan tersebut tidak dijalankan dengan benar sebagaimana
M
1.20 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
mestinya maka sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang layak untuk
ditetapkan.
Begitu besarnya peranan penerimaan pajak untuk membiayai roda peme-
rintahan suatu negara, karena itu kita sangatlah penting kita mengetahui
pengertian pajak. Para ilmuwan dan pakar perpajakan mengemukakan
pengertian tentang pajak adalah sebagai berikut.
1. Prof. Edwin R. A. Seligman
Dalam bukunya “Essays In Taxation” (New York, 1925) memberi definisi
yang berbunyi: “Tax is a compulsery contribution from the person, to the
government to defray the expenses incurred in the common interest of all,
without reference to special benefit conferred.” Banyak terdengar keberatan
atas kalimat without reference karena bagaimanapun juga uang-uang pajak
tersebut digunakan untuk produksi barang dan jasa. Jadi, benefit diberikan
kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apalagi secara
perseorangan.
2. Philip E. Taylor
Dalam bukunya “The Economist of Public Finance” (1948) mengganti
without reference menjadi with little reference.
3. Mr.Dr.N.J. Feldmann
Dalam bukunya “De Overheidsmiddelen van Indonesia (Leyden, 1949)
menyatakan bahwa “Belastingen zijn aan de Overheid (volgens algemene,
door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestaties,
waargeen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van
publieke uitgaven.” Artinya, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak
oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Feldmann (seperti
juga halnya Seligman) berpendapat bahwa “Terhadap pembayaran pajak, tidak
ada kontraprestasi dari negara.” Dalam mengemukakan kritik-kritiknya
terhadap definisi dari sarjana-sarjana lain ternyata bahwa Feldmann tidak
berhasil pula mendefinisikan untuk memberikan gambaran tentang pengertian
pajak.
HKUM4407/MODUL 1 1.21
4. Prof. Dr. M. J. H. Smeets
Dalam bukunya “De Ecnomische betekenis der Belastingen” (1951)
menyatakan bahwa “Belastingen zijn aan de overheid (volgens normen)
verschuldigde, afdwingbare prestaties, zonder dat hiertegenover, in het
individuele geval, aanwijsbare tegen-prestaties staan; zij strekken tot dekking
van publieke uitgaven.” Artinya, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa
adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam bukunya
ini, Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter
saja; baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.
5. Dr. Soeparman Soemohamidjojo
Dalam disertasinya yang berjudul “Pajak berdasarkan Asas Gotong
Royong” (Universitas Padjajaran Bandung, 1964) mendefinisikan pajak
sebagai iuran wajib, berupa uang dan barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya
ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan wajib
pajak sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Lebih-lebih
(demikian pula menurut sarjana lainnya) bilamana suatu kewajiban harus
dilaksanakan berdasarkan undang-undang, dalam hal kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan maka undang-undang menunjukkan cara pelaksanaan yang lain,
hal ini tidak mengenai pajak (saja dan cara ini biasanya adalah untuk
memaksa). Selanjutnya, (menurut pendapatnya) berkelebihanlah kiranya,
kalau khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan
tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Ia sudah
menganggapnya cukup dengan menyatakan bahwa pajak adalah “iuran wajib”
(tidak usah diberi tambahan “yang dapat dipaksakan”). Adapun mengenai
kontraprestasi, Dr. Soeparman berpendirian bahwa justru untuk
menyelenggarakan kotraprestasi itulah perlu dipungut pajak.
6. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
Dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944”,
Rochmat Soemitro mendefinisikan pajak sebagai suatu iuran rakyat kepada kas
negara (pengalihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah)
1.22 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal balik (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan
untuk membiayai keperluan umum (publike uitgiven).
7. Prof. S. I. Djojoniningrat
Pajak menurut S.I. Djojoniningrat adalah sebagai suatu kewajiban
menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan suatu
keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi
bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara
secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum.
8. P. J. A. Adriani
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang ada
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
9. Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M.
“Pajak adalah hak dan kewajiban kepada negara yang dapat dilaksanakan,
diatur dengan undang-undang, digunakan untuk keperluan negara dengan
memperoleh kontraprestasi pada sektor pajak yang bersangkutan.”
Dari definisi tersebut di atas, baik pengertian secara ekonomis (pajak
sebagai perpindahan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau
secara yuridis (pajak sebagai iuran wajib) dapat diambil suatu kesimpulan
tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak sebagai berikut:
a. pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah didasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya;
b. pemungutan pajak menghendaki adanya alih dana (sumber) dari sektor
swasta (wajib pajak pembayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak,
administrator pajak);
c. terdapat perkembangan bahwa pajak seyogianya ada kontraprestasi atau
imbalan yang diberikan oleh negara (Pemerintah Pusat/Pemerintah
Daerah) kepada sektor pajak yang bersangkutan, bukan kepada pembayar
pajak. Karena apabila tidak demikian, penerimaan pajak akan
HKUM4407/MODUL 1 1.23
diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh
alinea keempat pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan dari negara
Indonesia;
d. pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahannya, baik rutin
maupun pembangunan.
e. pemungutan pajak dihubungkan dengan adanya suatu keadaan, kejadian,
dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang,
misalnya keadaan kekayaan seseorang, terjadinya perolehan pendapatan
dan perbuatan pemindahan barang.
Dasar pemungutan pajak adalah undang-undang pajak (untuk setiap jenis
pajak) yang bersumber kepada konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Sehubungan dengan kegiatan bisnis yang berkembang pesat, di mana tidak
mungkin hanya diatur dengan undang-undang, dalam memudahkan
pelaksanaan pemungutan pajak, kewenangan tersebut dapat dilimpahkan
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal tersebut sesuai dengan teori
stufenbouw theory mengenai hukum murni dari Hans Kelsen. Oleh karena itu,
pemungutan pajak melalui Peraturan daerah (Perda) dapat dibenarkan karena
Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Sebagaimana
telah diuraikan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdahulu.
Dengan demikian, sebagaimana disertasi penulis pada tahun 2005 yang
memperoleh apresiasi tertinggi dari Universitas Indonesia mengenai pajak
seharusnya terdapat kontraprestasi atau imbalan kepada sektor pajak,
kemudian telah diakomodir khususnya oleh undang-undang pajak daerah yang
baru (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Selama ini paradigma pajak
selalu diidentikkan dengan pungutan memaksa berdasarkan undang-undang
dengan tanpa imbalan atau kontraprestasi adalah tidak sejalan dengan tujuan
negara Indonesia dan makna otonomi daerah, yaitu untuk lebih mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat lokal melalui Pemerintah Daerah.
Apabila pembayaran pajak harus tanpa imbalan dari pemerintah (dalam
hal ini juga Pemerintah Daerah) maka hal tersebut menjadi kontraproduktif.
Semestinya pajak harus jelas peruntukannya yang dalam hukum fiskal lazim
disebut dengan earmarking tax. Karena itu, pembayaran pajak daerah harus
terdapat imbalan atau kontraprestasi bagi sektor pajak yang bersangkutan.
1.24 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Berbeda dengan retribusi imbalan atau kontraprestasinya hanya untuk
pembayar retribusi saja.
Contohnya, apabila kita membayar pajak daerah, pajak kendaraan
bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor diharapkan pemerintah
daerah akan memberikan pelayanan terhadap kenyamanan berkaitan dengan
pembayaran pajak tersebut bagi pengendara bermotor, misalnya jalanan mulus,
rambu-rambu jalan, dan lampu stopan lalu lintas berfungsi dengan baik, dst.
Berdasarkan penelitian penulis, sebagian besar Pemerintah Daerah sudah
melaksanakan peruntukan prioritas penggunaan penerimaan pajak daerah yang
dituangkan dalam peraturan daerahnya. Misalnya, Provinsi Sumatera Utara
telah mencantumkan dalam peraturan daerah tentang bagi hasil penerimaan
pajak kendaraan bermotor kepada daerah kabupaten/kota agar diprioritaskan
untuk perbaikan jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Di kabupaten/kota di Bali,
dalam menunjang pariwisata penerimaan dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
digunakan untuk pembiayaan penerangan jalan. Diharapkan juga penerimaan
jenis pajak daerah kabupaten/kota, yaitu pajak mineral bukan logam dan
batuan (pajak hasil tambang golongan c), diprioritaskan untuk reklamasi,
perbaikan ekosistem dan kerusakan alam akibat kegiatan penambangan
tersebut.
Demikian pula untuk pajak-pajak pusat kontraprestasinya dilakukan
pemerintah dalam bentuk meningkatkan pelayanan informasi. Selain itu,
dalam UU ditetapkan penerimaan perpajakan pusat, yaitu penerimaan PPh
Perseorangan (PPh Pasal 25 dan 29), PPh Karyawan (PPh Pasal 21) dan
penerimaan cukai dibagihasilkan kepada pemerintah daerah. Alasan bagi hasil
tersebut adalah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, di mana pungutan
pajak perseorangan, pajak karyawan maupun cukai obyeknya berada di daerah.
Berkaitan dengan penerapan pungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Ronald John Hy dan William L Waugh, JR menyatakan bahwa “Untuk
meningkatkan pendapatan daerah adalah lebih rational bila dilakukan melalui
pungutan retribusi dari pada mengenakan pajak.” Artinya bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah lebih baik kualitasnya,
apabila penerimaan retribusinya lebih tinggi dari pada pajak daerah.
“State are always looking for ways to acquire additional revenues without
raising taxes. Fees and user charges are commonly used. Closing tax
loopholes for sales and income taxes also is frequently employed. Whatever
the form of revenue enchancement, it seems obvious that for now broad-based
tax increases are not on the horizon.”
HKUM4407/MODUL 1 1.25
Demikian juga Mikesell menyatakan bahwa retribusi dirasakan lebih adil
dan efisien diterapkan dari pada pajak di suatu state/negara bagian/pemerintah
daerah.
Berkenaan dengan persyaratan bahwa penerimaan pajak untuk digunakan
dalam pembiayaan umum dimaksudkan agar pembiayaan umum pemerintah
harus terukur dan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang
bagi APBN, dan untuk pengeluaran APBD harus terlebih dahulu ditetapkan
melalui peraturan daerah. Mekanisme tersebut diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, administrasi pajak mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menentukan efektivitas suatu sistem pajak. Menurut Richard M
Bird, di negara-negara berkembang para analis kebijakan pajak meyakini
bahwa perubahan kebijakan tanpa diikuti oleh perubahan administrasi tidak
akan menghasilkan apa-apa. Dengan demikian, sangatlah penting untuk
memastikan agar setiap perubahan kebijakan pajak harus sesuai dengan
kapasitas administrasi. Besarnya penerimaan bukanlah indikator mutlak
berhasilnya suatu sistem administrasi pajak. Pemerintah juga wajib
mempertimbangkan bagaimana penerimaan tersebut didapat bagaimana
dampak pengenaan pajak terhadap keadilan, politik pemerintahan, dan tingkat
kesejahteraan sosial.
Selain pajak, pungutan lain untuk Pemerintah Pusat diperoleh dari bea dan
cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan pungutan
untuk pemerintah daerah selain dari pajak daerah adalah retribusi daerah.
Namun demikian, potensi dalam menunjang perolehan APBN maupun APBD
tetap saja didominasi dari penerimaan pajak.
Begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi Pemerintah Pusat
maupun daerah, hingga di lapangan sering terjadi tumpang tindih dalam
pengenaan terhadap suatu obyek pajak. Oleh karena itu, undang-undang pajak
daerah yang baru (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009) menetapkan
bahwa jenis pajak daerah adalah limitatif. Daerah tidak boleh lagi menambah
jenis pajak daerah selain yang ditetapkan oleh undang-undang (closed list).
1) Mengapa perlu dilakukan perubahan definisi pajak?
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
1.26 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
2) Bagaimana pendapat Saudara mengenai pendapat yang menyatakan
bahwa dalam rangka otonomi daerah seharusnya penerimaan retribusi
daerah lebih besar daripada pajak daerah?
3) Sebutkan ciri-ciri pungutan pajak menurut Saudara!
4) Jelaskan pajak merupakan earmark system!
5) Apa yang dimaksud dengan closed list dalam jenis pajak daerah?
Petunjuk Jawaban Latihan
1) Perlunya dilakukan perubahan definisi pajak agar sesuai dengan
perubahan paradigma pungutan pajak sebagaimana telah terjadi
perubahan dasar pungutan pajak menurut UUD 1945.
2) Dalam tata kelola otonomi daerah memang seharusnya penerimaan
retribusi daerah lebih besar dari pajak daerah dimaksudkan bahwa tujuan
otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal
melalui pemerintah daerah dapat terealisasi.
3) Ciri pungutan pajak adalah bersifat memaksa dan dilakukan atas dasar
undang-undang.
4) Pajak merupakan earmark system artinya bahwa penerimaan pajak itu
utamanya diperuntukkan untuk pelayanan di sektor pajak yang
bersangkutan.
5) Jenis pajak daerah bersifat closed list artinya bahwa daerah tidak boleh
menambah jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang
(plus).
Pajak sangat diperlukan bagi APBN maupun APBD di mana dari
tahun ke tahun baik besaran jumlahnya maupun peranannya menunjukkan
kenaikan. Definisi pajak selama ini tidak memberikan peluang
kontraprestasi atau imbalan. Hal ini menjadi kontraproduktif karena tidak
sejalan dengan tujuan negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang seharusnya pajak
diperuntukkan untuk semata kesejahteraan rakyat. Di lain hal, berkaitan
dengan otonomi daerah di mana makna otonomi daerah adalah guna
mendekatkan pelayanan Pemerintah Daerah kepada masyarakat lokal
tidak mungkin tercapai apabila tidak ditekankan bahwa penerimaan pajak
RANGKUMAN
HKUM4407/MODUL 1 1.27
seharusnya ada kontraprestasi atau imbalan kepada sektor yang
bersangkutan. Oleh karena itu, definisi pajak yang selama ini ada harus
diubah dengan mencantumkan adanya kontraprestasi.
Secara tidak langsung earmarking system bagi pajak telah
dilaksanakan baik untuk pajak pusat maupun pajak daerah.
Untuk pajak pusat undang-undang telah menetapkan bagi hasil
kepada daerah di samping meningkatkan pelayanan kepada seluruh
pembayar pajak. Sedangkan untuk pajak daerah dalam undang-undang
pajak daerah telah menetapkan persentase tertentu untuk keperluan sektor
pajak yang bersangkutan dan hal tersebut harus ditetapkan dalam
peraturan daerah.
1) Menurut Saudara, apakah pajak diperlukan adanya kontraprestasi?
A. tidak perlu
B. perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada pembayar pajak
C. perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada sektor pajak yang
bersangkutan
D. ketiganya salah
2) Menurut Saudara, apakah alasan bahwa retribusi daerah seyogianya lebih
besar dari pajak daerah?
A. sejalan dengan makna otonomi daerah yang tidak ingin
membebankan masyarakat dengan membayar pajak
B. sesuai dengan UUD 1945
C. guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
D. ketiganya benar
3) Mengapa pajak harus diatur dengan undang-undang?
A. sesuai dengan amanat konstitusi dasar UUD 1945
B. sesuai dengan makna otonomi daerah
C. agar ada kepastian hukum
D. agar tercapai rasa keadilan
4) Di manakah penerimaan pajak dialokasikan?
A. di Kementerian Keuangan
B. di Bank Indonesia
TES FORMATIF 2
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1.28 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
C. dalam APBN/APBD
D. ketiganya benar
5) Mengapa pajak pusat dibagihasilkan kepada daerah?
A. dalam rangka otonomi daerah
B. dalam rangka pemerataan pembangunan
C. dalam rangka menjaga keutuhan NKRI
D. ketiganya benar
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang
terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap
materi Kegiatan Belajar 2.
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar
100%Jumlah Soal
HKUM4407/MODUL 1 1.29
Kegiatan Belajar 3
Fungsi dan Syarat Pemungutan Pajak
etelah memahami pengertian tentang ruang lingkup pajak dan definisi
tentang pajak, selanjutnya kita akan membahas fungsi pajak dan syarat
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat.
A. FUNGSI PAJAK
Fungsi pajak menurut pendapat modern dari Richard A Musgrave sebagai
berikut.
1. Fungsi Budgetair
Fungsi ini merupakan fungsi utama pajak atau fungsi fiskal, yaitu fungsi
pajak semata sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas
negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Sebagai konsekuensinya pengenaan pajak tidak membedakan dari sebab
yang dilarang atau tidak dilarang dalam undang-undang.
Contoh:
Besarnya tarif PPh dari penghasilan judi dan koruptor adalah sama besarnya
dengan penghasilan yang diperoleh dari gaji guru atau ustadz.
Fungsi budgetair dari pajak berarti bahwa pungutan pajak oleh negara
dilakukan untuk menutup pembiayaan atau belanja penyelenggaraan
pemerintahan, meliputi: (1) belanja barang, (2) belanja modal, (3) pembayaran
bunga utang, (4) subsidi, (5) belanja hibah, (6) bantuan sosial, serta (7) belanja
lain-lain dari kementerian dan lembaga. Besarnya budgetair tersebut
ditetapkan dengan undang-undang setiap tahun yang diusulkan oleh
pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dari tabel di bawah ini, tampak penerimaan perpajakan menunjukkan
kenaikan dari tahun ke tahun daripada penerimaan negara bukan pajak dan
hibah sebagai berikut:
S
1.30 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri 2008 – 2013
(Triliun Rupiah)
Uraian 2011 2012 2013 2014 2015
I. Penerimaan Perpajakan 873,9 980,5 1.148,3 1.146,9 1.240,4
a. Pajak Dalam Negeri 819,8 930,8 1.099,9 1.103,2 1.205,5
i. Pajak Penghasilan 43 1,1 465,0 538,7 546,2 602,3
1) Migas 73,1 76,6 83,5 87,4 49,7
2) Non migas 358,0 422,4 455,2 458,7 552,6
ii. Pajak Pertambahan Nilai 277,8 337,5 423,7 409,2 423,7
iii. Pajak Bumi dan Bangunan 29,9 28,9 27,3 23,5 29,3
iv. BPHTB 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
v. Cukai 77,0 95,0 104,7 118,1 144,6
vi. Pajak lainnya 3,9 4,2 5,4 6,3 5,6
b. Pajak Perdagangan Internasional
54,1 49,6, 48,4 43,6 34,9
i. Bea Masuk 25,3 28,4 30,8 32,3 31,2
ii. Pajak Ekspor 28,9 21,2 17,6 11,3 3,7
II. Penerimaan Negara Bukan Pajak
331,5 351,8 349,2 398,7 253,7
a. Penerimaan SDA 2 13,8 225,8 203,7 242,9 102,3
i. Migas 193,5 201,6 18 3,3 216,9 78,4
ii. Non Migas 20,3 24,2 20,4 26,0 24,0
b. Bagian Laba BUMN 28,2 30,8 36,5 40,3 37,6
c. PNBP lainnya 69,4 73,5 85,4 85,8 78,5
d. Pendapatan Badan Layanan Umum
20,1 21,7 23,5 29,6 35,2
III. Penerimaan Hibah 5,3 5,8 4,5 5,1 10,4
TOTAL 1.210,6 1.338,1 1.502,0 1.550,6 1.504,5 Sumber: Kemenkeu
2. Fungsi Regulerend
Fungsi ini merupakan fungsi tambahan karena hasil penerimaan dari pajak
harus digunakan untuk mengatur pemerintahan secara adil. Pajak yang
memiliki pengaruh dalam politik anggaran dan keuangan tentunya dapat
berperan sebagai instrumen untuk ikut serta mengatur agar pungutan pajak
dapat dipatuhi karena dirasakan adil bagi masyarakat. Fungsi mengatur dari
pajak dimaksudkan bahwa pajak itu dapat dipergunakan sebagai alat untuk
mengatur pelaksanaan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.
Fungsi tersebut dapat diwujudkan dalam suatu bentuk paket kebijakan
perpajakan (fiscal policy) secara khusus misalnya insentif pajak terhadap para
HKUM4407/MODUL 1 1.31
investor, tidak mengenakan suatu pajak tertentu di daerah kawasan berikat,
mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap penjualan minuman beralkohol,
dll.
3. Fungsi Distribution of Income
Pajak yang dipungut pemerintah didistribusikan kembali kepada
masyarakat sehingga pendapatan nasional melalui pajak dapat dikontribusikan
merata di seluruh lapisan masyarakat. Dalam teori hukum pajak lazim disebut
dengan earmarking tax, yaitu bahwa penerimaan pajak harus diperuntukkan
kembali kepada masyarakat. Dengan adanya fungsi ini memberikan stimulus
agar masyarakat patuh membayar pajak, ikut juga mengawasi penggunaan dari
penerimaan pajak.
4. Fungsi Harmonization of Political Wants and Economy
Kepentingan pemerintah dalam memungut pajak harus jelas sesuai dengan
peraturan perpajakan, namun tetap memperhatikan keserasian keadaan politik
dan ekonomi negara. Misalnya, pungutan pajak harus menghormati dan
memberlakukan perjanjian pajak yang dilakukan secara bilateral antarnegara
(tax treaty), dan pajak internasional berikut ini.
a. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B / Tax Treaty) adalah
perjanjian antar dua negara berisikan kesepakatan perlakuan perpajakan
terhadap subjek, objek, tarif pajak dan hal-hal lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dari dua negara.
b. Regulasi pajak secara internasional, hendaknya dijadikan rujukan dalam
rangka menghormati dan memperhatikan keserasian politik antarnegara.
5. Fungsi Stabilization of Economy
Pajak merupakan alat untuk menstabilkan perekonomian karena dengan
pajak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada
lapangan kerja, stabilitas harga, inflasi neraca perdagangan, dst. Oleh karena
itu, regulasi pajak kebijakan pajak diupayakan agar:
a. jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;
b. tidak menghalangi usaha rakyat untuk mencapai kemakmuran;
c. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
d. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan rakyat;
e. memperhitungkan potensi penerimaan;
f. tidak merugikan kepentingan umum.
1.32 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Misalnya, penerimaan pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara
dalam APBN, karena kisaran 80% pendapatan negara diperoleh dari
penerimaan perpajakan yang setiap tahun APBN tersebut dibahas bersama
pemerintah dengan DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam
menetapkan UU tersebut, tentunya di dalamnya telah mempertimbangkan
politik anggaran dan perekonomian yang meliputi stabilitas harga, neraca
perdagangan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dll.
Untuk mendukung tercapainya sasaran fungsi penerimaan pajak,
ditempuh berbagai kebijakan yang meliputi upaya:
a. intensifikasi pemungutan pajak;
b. ekstensifikasi subjek atau objek pajak;
c. kerja sama dengan instansi pemerintah dalam rangka pengumpulan data;
d. mengoptimalkan bank data secara elektronik;
e. peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.
Kebijakan tersebut diaplikasikan terhadap wajib pajak dan jenis pajak
terkait, tentunya melalui pemeriksaan dan selanjutnya apabila wajib pajak
kurang atau tidak melaporkannya kegiatan usahanya dengan benar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) maka akan diterbitkan ketetapan pajak, baik
berupa Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) maupun SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan).
Selain fungsi tersebut, pajak berfungsi sebagai sarana partisipasi
masyarakat terhadap pembangunan negara karena pajak tidak sekedar
kewajiban, tetapi lebih dari itu adalah merupakan hak warga negara untuk ikut
berpartisipasi dalam membangun negara. Oleh karena itu, adalah tepat slogan
pajak saat sekarang ini, yaitu ”lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya.”
Berkaitan dengan fungsi partisipasi tersebut maka seyogianya institusi
pajak harus terbuka khususnya kepada wajib pajak mengenai kewajiban dan
haknya. Kewajiban adalah keharusan membayar pajak sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku, sedangkan hak wajib pajak adalah hak
untuk memperoleh pelayanan informasi berkaitan dengan kewajiban
membayar pajak. Selain itu, wajib pajak mempunyai hak untuk memperoleh
pengembalian kelebihan bayar yang telah dituangkan dalam SPT apabila
setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan yang dituntut adalah benar.
HKUM4407/MODUL 1 1.33
B. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Pajak haruslah dipungut berdasarkan suatu keadilan. Keadilan tersebut
harus dituangkan baik dalam undang-undang yang rancangannya diajukan oleh
pemerintah untuk memperoleh persetujuan dari DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Pemungutan pajak dapat disebut adil apabila dipungut
secara umum dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, jelasnya pajak harus
mengabdi kepada keadilan, dan keadilan inilah yang merupakan asas
pemungutan pajak menurut falsafah hukum.
Keadilan dalam perpajakan meliputi dua sisi, yaitu:
1. keadilan sejajar atau horizontal, dan
2. keadilan tegak lurus atau vertikal.
Keadilan sejajar (horizontal equity) maksudnya adalah kesamaan dalam
besaran kewajiban membayar pajak terhadap orang yang mempunyai
kemampuan ekonomis yang sama. Misalnya, Tuan A dan Tuan B yang
masing-masing mempunyai penghasilan yang sama Rp10.000.000,00 harus
membayar jumlah pajak yang besarnya sama.
Keadilan tegak lurus (vertical equity) maksudnya ialah ketidaksamaan
dalam membayar pajak walaupun mempunyai kemampuan ekonomis sama,
tetapi kondisinya berbeda. Misalnya, Tuan A berpenghasilan lebih besar dari
Tuan B maka Tuan A harus membayar pajak yang lebih besar dari Tuan B,
atau walaupun Tuan A dan Tuan B berpenghasilan sama sebesar
Rp10.000.000,00, tetapi Tuan A statusnya bujangan, sedangkan Tuan B sudah
beristri dan memiliki 3 maka perbedaan keadaan pribadi tersebut
menyebabkan jumlah pajak yang dibayar menjadi berbeda
R. Santosa Brotodihardjo, SH dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Hukum
Pajak” menguraikan beberapa teori untuk memberikan dasar menyatakan
keadilan tersebut, sebagai berikut:
1. Teori Asuransi
Menurut Teori Asuransi dinyatakan bahwa “Pembayaran pajak yang
dilakukan oleh warga negara (masyarakat) dipersamakan dengan pembayaran
premi asuransi kepada negara karena negara dalam tugasnya telah melindungi
orang dan segala kepentingannya, (dianggap seolah-olah sebagai asuransi).”
1.34 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Namun pokok pikiran tersebut secara luas kurang dapat diterima dengan
alasan:
a. negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi karena apa
bila terjadi kerugian yang diderita masyarakat, negara tidak mengganti;
b. tidak adanya hubungan langsung yang dapat ditunjuk antara jasa-jasa yang
diterima dengan jumlah pembayar pajak.
2. Teori Kepentingan
Menurut Teori Kepentingan, “Pembayaran pajak yang dilakukan oleh
masyarakat kepada negara merupakan perwujudan dari peran serta masyarakat
terhadap biaya kenegaraan dalam rangka menjaga dan melindungi kepentingan
masyarakat. Kepentingan tersebut termasuk perlindungan atas jiwa dan harta
bendanya.” Sesuai dengan prinsip teori tersebut, seharusnya semakin banyak
kepentingan seseorang harus semakin banyak pula membayar pajak. Namun,
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sulit terlaksana karena misalnya,
orang yang miskin tentunya punya kepentingan yang banyak (antara lain
perlindungan jaminan sosial dan sebagainya), tetapi mereka justru tidak
membayar pajak. Karena tidak adanya hubungan langsung antara jumlah pajak
yang dibayarkan dengan kepentingan seseorang terhadap jasa pemerintah
maka teori ini pun kurang dapat diterima.
3. Teori Gaya Pikul
Menurut Teori Gaya Pikul, “Pembayaran pajak oleh masyarakat kepada
negara agar memenuhi rasa keadilan, haruslah disesuaikan dengan gaya pikul
masing-masing orang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan. Semakin
besar gaya pikul seseorang berarti semakin besar pula jumlah beban pajak yang
akan dipikulkan kepadanya dan sebaliknya.” Gaya pikul seseorang dapat
diukur misalnya dengan indikator penghasilan, kekayaan, pengeluaran
(belanja) atau tanggungan keluarga dan sebagainya.
4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Menurut Teori Kewajiban, “Pajak mutlak atau teori bakti, pembayaran
pajak oleh masyarakat kepada negara dipandang sebagai suatu bentuk
pembuktian rasa baktinya kepada negara. Kebaktian tersebut dilakukan
sehubungan dengan terlaksananya penyelenggaraan kepentingan umum.”
Dalam teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat
HKUM4407/MODUL 1 1.35
dengan negara karena hakikat negara itulah maka timbul hak negara untuk
memungut pajak.
5. Teori Asas Daya Beli
Menurut teori asas daya beli, “Pembayaran pajak oleh masyarakat
merupakan transfer daya beli dari sektor swasta ke sektor pemerintah, dan
ditransfer kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara
kehidupan masyarakat dan membawanya ke arah tertentu. Dasar keadilan dari
pemungutan pajak terletak pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat,
bukannya kepentingan individu dan negara.”
Dalam pemungutan pajak syarat keadilan (asas falsafah hukum) harus
diwujudkan baik dalam prinsip perundang-undangan maupun dalam
pelaksanaan sehari-hari.
Keadilan tersebut umumnya dituangkan dalam hak dan kewajiban wajib
pajak secara tegas sehingga betul-betul memberikan jaminan dan kepastian
hukum.
Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam pembuatan undang-
undang pajak di samping harus memenuhi asas keadilan juga harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut.
a. Syarat Yuridis
Syarat yuridis menghendaki agar hukum pajak harus dapat memberikan
jaminan dan kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang
tegas baik bagi negara (pemungut pajak) maupun untuk masyarakat (pembayar
pajak, wajib pajak). Di Indonesia sebagai negara hukum, dasar pemungutan
pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ketiga
Pasal 23A yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dengan per-
setujuan Dewan Perwakilan Rakyat disusunlah undang-undang pajak, untuk
setiap jenis pajak yang dipungut. Dalam menyusun undang-undang pajak
tersebut, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) hak-hak pemungut pajak yang telah diamanatkan oleh undang-undang
harus dijamin dapat dilaksanakan dengan baik;
2) para wajib pajak harus mendapat jaminan kepastian hukum, agar tidak
diperlakukan kurang adil oleh pemungut pajak;
3) adanya jaminan tentang kerahasiaan data wajib pajak.
1.36 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
b. Syarat Ekonomis
Syarat ekonomis menghendaki agar pemungutan pajak tidak menghalangi
atau menghambat atau bukan menjadi kendala terhadap keseimbangan dalam
kehidupan perekonomian, bahkan sebaliknya justru pajak harus menjadi
pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, hal tersebut sesuai dengan fungsi
mengatur yang melekat pada pajak. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan
perpajakan harus diusahakan agar pemungutan pajak tidak menghambat
lancarnya produksi dan perdagangan serta merugikan kepentingan umum atau
menghalangi usaha masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Syarat
ekonomis ini dapat dipakai untuk mendorong atau menunjang kebijaksanaan
ekonomi pemerintah, misalnya untuk mendorong pemerataan penghasilan
diberlakukan tarif progresif untuk pajak penghasilan dan sebagainya.
c. Syarat Finansial
Syarat finansial menghendaki agar jumlah penerimaan pajak sedapat
mungkin cukup untuk menutup belanja pemerintah (fungsi budgetair).
Di samping itu, biaya pemungutan pajak hendaknya tidak terlalu besar, dan
tetap memperhatikan unsur efisiensi.
1) Jelaskan mengenai fungsi pajak!
2) Mengapa fungsi budgetair lebih diutamakan daripada fungsi pajak
lainnya?
3) Tindakan apa yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan
penerimaan pajak?
4) Apa yang Saudara ketahui mengenai fungsi mengatur dari pajak?
5) Mengapa pungutan pajak harus diatur dengan undang-undang?
Petunjuk Jawaban Latihan
1) Fungsi pajak bersifat budgetair, regulerend, distribution of income,
harmonization of political wants and economy dan stabilization of
economy.
LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,
kerjakanlah latihan berikut!
HKUM4407/MODUL 1 1.37
2) Fungsi budgetair lebih diutamakan karena utamanya fungsi pajak adalah
untuk kepentingan penerimaan negara.
3) Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dilakukan melalui:
a. intensifikasi pemungutan pajak;
b. ekstensifikasi subjek atau objek pajak;
c. kerja sama dengan instansi pemerintah dalam rangka pengumpulan
data;
d. mengoptimalkan bank data secara elektronik;
e. peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.
4) Fungsi mengatur pajak adalah bersifat untuk kepastian bagi pemerintah
sebagai pemungut pajak maupun wajib pajak.
5) Pungutan pajak harus diatur dengan undang-undang agar terdapat rasa adil
dalam pungutan pajak.
Terdapat tiga fungsi pajak dalam membiayai tata kelola
pemerintahan, yaitu fungsi budgetair, regulerend, dan partisipatif. Akan
tetapi, fungsi budgedtair lebih menonjol daripada fungsi lainnya
dikarenakan peranan pajak sangat dominan dan diperlukan dalam
membiayai roda pemerintahan.
Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan pajak, utamanya
dilakukan dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi
adalah optimalisasi di dalam pemungutan pajak terhadap subjek pajak,
objek pajak, dan tarif pajak. Sedangkan, ekstensifikasi adalah upaya untuk
memperbesar jumlah subjek pajak. Kegiatan tersebut tentunya harus
didukung dengan data dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah (c.q).
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ada peningkatan pelayanan
kepada wajib pajak agar wajib pajak dapat mengisi laporannya (SPT)
dengan benar. Apabila tidak, akan dikenakan surat ketetapan pajak.
1) Apakah fungsi pajak menurut Saudara?
A. budgetair, regulerend, dan partisipatif
B. untuk membiayai APBN
RANGKUMAN
TES FORMATIF 3
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1.38 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
C. untuk membiayai otonomi daerah
D. untuk pemerataan dan rasa keadilan
2) Apakah yang dimaksud dengan fungsi regulerend?
A. suatu keadaan yang luar biasa
B. pajak berfungsi mengatur
C. fungsi pajak untuk membiayai keperluan negara
D. semuanya benar
3) Jenis penerimaan negara bukan pajak terdiri atas apa saja?
A. semua pungutan selain pajak
B. hibah
C. pungutan yang tidak diatur dalam undang-undang
D. terdiri dari penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN, PNBP
lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum
4) Apa yang dimaksud dengan intensifikasi pajak?
A. dikenakan pajak yang besar untuk membiayai negara
B. perluasan subjek pajak
C. mengoptimalkan pungutan pajak sesuai dengan undang-undang
D. semuanya benar
5) Apa yang dimaksud dengan ekstensifikasi pajak?
A. meningkatkan jumlah wajib pajak sesuai dengan undang-undang
B. memberikan insentif pajak kepada wajib pajak sesuai undang-undang
C. memberikan sanksi kepada wajib pajak yang tidak patuh atas
kewajiban perpajakannya
D. pengaturan pajak harus sesuai dengan undang-undang
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang
terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,
gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap
materi Kegiatan Belajar 3.
Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar
100%Jumlah Soal
HKUM4407/MODUL 1 1.39
Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat
meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang
belum dikuasai.
1.40 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Kunci Jawaban Tes Formatif
Tes Formatif 1
1) B. Karena pajak merupakan kebijakan publik yang ditetapkan dalam
dokumen formal.
Sejalan dengan pengaturan pajak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tertinggi, yaitu konstitusi dasar 1945, Pasal
23A.
2) B. Perpajakan lebih luas, yaitu merupakan pungutan negara yang
meliputi pajak pusat, pajak daerah, serta bea dan cukai. Pengertian ini
dianut dalam undang-undang APBN.
3) C. Sanksi administrasi dan pidana.
Sesuai dengan undang-undang formal perpajakan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, sanksi perpajakan
meliputi sanksi administrasi, yaitu berupa bunga, kenaikan, dan
denda, serta sanksi pidana.
4) B. Pasal 23A UUD 1945
Pasal ini merupakan amandemen ke-III UUD 1945 yang sebelumnya
diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945.
5) C. Karena diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Pada dasarnya, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan oleh
undang-undang, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Akan tetapi, UU tersebut memberikan
kewenangan kepada daerah untuk memberlakukan pajak daerah dan
retribusi daerah dengan peraturan daerah.
6) D. Semuanya benar.
Tujuan pajak adalah sesuai dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD
1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia,
berdasarkan….. dst. Pada hakikatnya adalah untuk kesejahteraan
rakyat, demi pembangunan, dan sebagai partisipasi kepatuhan
masyarakat kepada negara.
7) D. Tidak mungkin karena bertentangan dengan konstitusi dasar UUD
1945.
HKUM4407/MODUL 1 1.41
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang, hal tersebut
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar negara Republik
Indonesia UUD 1945 Pasal 23A.
8) A. Peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Hal tersebut menegaskan bahwa hierarki perundangan tetap dijaga
agar sejalan dengan undang-undang yang merupakan produk
kebijakan pemerintah yang disetujui oleh wakil rakyat melalui Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
9) D. Semuanya benar.
Bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang guna memenuhi rasa
keadilan untuk kesejahteraan masyarakat.
10) C. UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/Perppu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda
Kabupaten/Kota. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut
sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tes Formatif 2
1) C. Perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada sektor pajak yang
bersangkutan.
Telah terjadi paradigma perubahan definisi pajak bahwa pajak harus
ada kontraprestasi atau imbalan yang diberikan bukan kepada
pembayar pajak, tetapi kepada sektor pajak yang bersangkutan.
2) A. Sejalan dengan makna otonomi daerah yang tidak ingin
membebankan masyarakat dengan membayar pajak retribusi daerah
adalah imbalan yang diberikan kepada pembayar retribusi karena
memperoleh jasa atau layanan dari Pemerintah Daerah. Berbeda
dengan pajak yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, lebih tepat
menurut para pakar sebagai pendapatan asli daerah, retribusi daerah
lebih besar dari pajak daerah.
3) A. Sesuai dengan amanat konstitusi dasar UUD 1945. Hal tersebut diatur
dengan tegas dalam amandemen ke-III UUD 1945 pada Pasal 23A.
4) C. Dalam APBN/APBD
Penerimaan pajak merupakan penerimaan negara/daerah yang
dialokasikan dalam APBN/APBD, demikian juga penggunaannya
sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN/APBD.
1.42 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
5) D. Ketiganya benar.
Pajak pusat PPh Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25 dan Pasal
29), dan PPh Karyawan (PPh Pasal 21) dibagihasilkan kepada daerah
dalam rangka otonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan
menjaga keutuhan NKRI karena objek PPh tersebut berada di daerah.
Tes Formatif 3
1) A. Budgedtair, regulerend, distribution of income, harmonization of
political wants, and economy, dan stabilization of economy.
Fungsi pajak utama adalah untuk penerimaan negara, namun selain
itu adalah bersifat mengatur, menyesuaikan dengan perkembangan
negara lain guna stabilisasi ekonomi dalam negeri.
2) B. Pajak berfungsi mengatur.
Fungsi regurelend adalah bersifat mengatur merupakan fungsi selain
fungsi pajak sebagai penerimaan negara.
3) D. Terdiri dari penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN,
PNBP lainnya, dan Pendapatan Badan Layanan Umum.
Penerimaan negara bukan pajak dimaksud sebagaimana diatur dalam
UU APBN.
4) C. Mengoptimalkan pungutan pajak sesuai dengan undang-undang.
Intensifikasi pajak adalah upaya meningkatkan penerimaan pajak,
berdasarkan undang-undang karena pada dasarnya wajib pajak
diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan
melapor sendiri pajak terutang yang dikenal dengan sistem self
assesment.
5) A. Meningkatkan jumlah wajib pajak sesuai dengan undang-undang.
Dalam melaksanakan self assesment banyak terjadi bahwa orang atau
badan yang seharusnya melakukan kewajiban pajaknya sebagai wajib
pajak ternyata tidak mendaftar sebagai wajib pajak. Untuk itu,
pemerintah melaksanakan ekstensifikasi agar orang atau badan
menjadi wajib pajak.
HKUM4407/MODUL 1 1.43
Glosarium
Beschikking : keputusan atau ketetapan tata usaha negara yang
bersifat individual, final dan konkret.
Budgetair : fungsi utama dari pungutan pajak. Menurut
fungsi ini pungutan pajak dimaksudkan sebagai
alat untuk mengisi kas atau anggaran negara.
Closed list : daerah tidak boleh menambah jenis pajak
daerah selain yang ditetapkan oleh undang-
undang.
Earmarking tax : peruntukan pajak, yaitu pungutan pajak harus
dinyatakan peruntukannya, misalnya Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan bea balik nama
kendaraan bermotor, dalam peraturan daerahnya
harus menyatakan diprioritaskan untuk
kenyamanan orang berkendaraan bermotor.
Ekstensifikasi : upaya untuk memperbesar jumlah subjek pajak
orang atau badan.
Intensifikasi : optimalisasi di dalam pemungutan pajak
terhadap subjek pajak, objek pajak, dan tarif
pajak.
Inkracht van Gewijs : putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti.
Limitatif : ketentuan jumlah jenis pajak yang boleh
dikenakan berdasarkan undang-undang.
Official Assessment : kewenangan pemerintah atau pejabat yang
dilakukan dalam menetapkan pajak.
Regulerend : fungsi pajak yang bersifat mengatur.
Self Assessment : kewenangan wajib pajak dalam menghitung,
membayar, dan melapor pajak terutang
berdasarkan kepercayaan penuh yang diberikan
oleh pemerintah.
Stufenbouw Theory : teori hukum murni dari Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh
1.44 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya.
Tax base : dasar pengenaan pajak.
Tax treaty : diperjanjikan antara dua negara mengenai
subjek, objek, dan tarif pajak maupun hal-hal
lain yang disepakati mengenai pengenaan pajak
antar dua negara.
HKUM4407/MODUL 1 1.45
Daftar Pustaka
Brotodihardjo, Santoso. 1998. Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama.
Charles O John. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Polic). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Buku Panduan Hak & Kewajiban Wajib
Pajak. Jakarta.
Djafar, Saidi Muhammad. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ilyas, B Wirawan B. 2015. Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Ismail, Tjip. 2009. “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Buku Materi Pokok
Paja 3345/2sks/ Tjip Ismail – Cet.1; Ed.3. Jakarta: Universitas Terbuka.
_________. 2009. Hukum Pajak. Edisi Pertama, Cetakan ke-2. Jakarta: Citra
Kreasindo Mandiri.
Kusumaatmadja, Muchtar. 1976. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan
Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta.
Manan, Bagir. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi
Hukum (PSH). Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
Nick Devas, dkk. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta:
UI Press.
Richar M Bird & Francois Vaillancourt. 2000. Fiscal Decentralizaion in
Developing Countries (Desentralisasi Fiskal di Negara-negara
Berkembang). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sarundayang. 2011. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Kata
Hasta Pustaka.
1.46 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan
Singh, Verinderjet. 2005. Tax Thoughts on today’s Taxing Times. Digibook
Sdn Bhd, www.dbook.com.my. Malaysia: Selangor.
Soriaatmadja, Arifin P. 1986. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan
Negara, Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Gramedia.
W. Riawan Tjandra. 2013. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Gramedia.
Zuraida, Ida. 2011. Penagihan Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.6
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun
2009.
Undang-undang tentang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah No.8 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.
Undang-undang tentang Kepabeanan, UU No. 10 Tahun 1995 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006.
Undang-undang tentang Cukai UU No. 11 Tahun 1995 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007.
Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah No.28 Tahun
2009.
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986, sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009.