Post on 05-Feb-2018
STULOS 12/1 (April 2013) 145-166
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER: SIKAP DAN
PERAN SERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI
Harapan Simatupang
Abstrak: Pendidikan adalah dasar dari perubahan. Karena secara etimologis,
Pendidikan berasal dari educare, yaitu: melatih. Tidak salah jika
dikatakan bahwa orang yang berpendidikan adalah “agent of
change”. Perubahan dimaksud menyangkut aspek religius, kognitif,
afeksi, dan kebiasaan. Bangsa yang berkarakter harus dilihat seberapa
pentingkah pemerintah dalam menjalankan pendidikan dan juga
peran serta gereja dalam dinamika kependidikan. Urgensi pendidikan
adalah awal dari perubahan. Rendahnya sikap dan peran serta gereja
pada sekolah negeri akan berdampak pada pendidikan anak didik
yang tidak berkualitas manusiawi menunggu kehancuran bangsa ini.
Kata kunci: Pendidikan, Pendidikan Karakter; sikap dan peran serta Gereja,
sekolah negeri.
PENDAHULUAN
Ada kecemasan serta ketakutan yang dirasakan oleh semua pihak
atas keterpurukan moralitas yang melanda semua generasi masa kini.
Rendahnya moral, akhlak, atau karakter adalah salah satu bukti
kemandulan Lembaga Pendidikan, Lembaga Agama-Sosial, dan Lembaga
Keluarga yang dianggap selama ini berperan sebagai pusat terdepan
dalam pembinaan moral-akhlak dan spiritualitas. Setiap kasus kejahatan
yang ditayangkan di layar Televisi maupun Media Cetak, termasuk
kasus-kasus disekitar kita, ditambah lagi pergumulan klasik yang
berkepanjangan, seperti: Korupsi, Tawuran, Nafsa dan Free seks-Sodomi,
Premanisme, Traficking, dll., itu memperlihatkan bahwa nilai-nilai moral
belum disadari, dikedepankan atau dijunjung tinggi. Dimana hasil
146 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan Karakter yang diajarkan di Sekolah, di Gereja, maupun di
Rumah? Dan menurut data yang bisa didapatkan melalui Website Mabes
POLRI, itu sangat mencemaskan kita, bahwa kasus kriminal lebih banyak
terjadi dikalangan Remaja dan Pemuda, dan ada pada tingkat yang sangat
kritis. Para pelakunya memiliki jaringan yang sangat rapih, kuat dan
dikoordinir oleh oknum tertentu, sehingga menyulitkan penegak hukum,
tokoh-tokoh masyarakat serta orangtua untuk mencegahnya. Jika kita
tidak peduli terhadap itu, dengan menjunjung nilai-nilai moral maka
kehancuran generasi muda ini berakibat pada kehancuran bangsa.
Disadari atau tidak, semua proses pendidikan yang seharus dapat
meminimalkan kasus tak bermoral itu, jika prakteknya dilakukan dengan
penuh disiplin, konsisten, dan didukung semua pihak. Tetapi dari
pengalaman masa lalu, justru praktek pendidikan di Indonesia selalu
mengalami perubahan seiring pergantian pemimpin, dan ditambah dengan
kasus-kasus tak terpuji dari pendidik, akibatnya peserta didik menjadi
korban. Maka tak salah mengatakan bahwa, hancurnya pendidikan adalah
hancurnya suatu bangsa.
Selain faktor pendidikan, faktor pluralism agama atau kepercayaan
yang berkembang di masyarakat seharusnya dapat mencegah. Tetapi
penerapan nilai pendidikan religious yang dapat membina karakter belum
mampu menjawab problem tersebut. Disana-sini kita menemukan kasus
tak bermoral yang dilakukan oleh para pemuka agama. Maka kemerosotan
spiritual ini mengakibatkan kemerosotan akhlak atau karakter.
Syukurlah bahwa pemerintah mulai memiliki kesadaran. Kesadaran
itu dikristalisasikan dengan memuat Pendidikan Karakter menjadi
Kurikulum Nasional. Upaya itu adalah sebuah usaha secara sadar untuk
menempatkan Pendidikan Karakter sebagai landasan untuk mewujudkan
visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya. Sehingga, cita-cita bersama sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud
kembali. Namun, di dalam pelaksanaannya Pendidikan Karakter ini belum
JURNAL TEOLOGI STULOS 147
tersosialisasikan dan semua elemen masyarakat belum ada sinergi
mencurahkan perhatian serius untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan
karakter ini. Karena itu, bagaimana sikap dan peran serta Gereja dalam
mendukung upaya pemerintah untuk memerangi krisis karakter yang ada
di depan kita sekarang ini?
HAKEKAT PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS
NASIONALITAS
Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah dasar dari perubahan. Karena secara etimologis,
Pendidikan berasal dari “educare” (Latin), yaitu: melatih. Istilah
“enducare” dalam dunia Pertanian, diartikan sebagai “menyuburkan”
(mengolah tanah agar menjadi subur dan menumbuhkan tanaman yang
baik). Jika istilah tersebut dipakai ke dalam dunia Pendidikan, maka
enducare adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan Pendidik (Guru),
dan pihak-pihak terkait untuk membantu menumbuhkan, menata,
mengembangkan, mendewasakan, serta mengarahkan peserta didik
kepada suatu perubahan. Dalam UUSPN1
Nomor 20 Tahun 2003, pasal 1,
ayat 1, menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara. Maka tak salah dikatakan bahwa orang yang
berpendidikan adalah ‘agent of change’. Perubahan itu menyangkut aspek
religious, kognitif, afeksi, skill, dan habit. Disinilah kita mengerti bahwa
keseriusan dalam megurgensikan pendidikan adalah sebagai awal dari
perubahan. Karena, segala bentuk pendidikan yang dilaksanakan prosesnya
1Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Th.1989) Dan
Peraturan Pelaksanaannya. (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 1.
148 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan karakter, baik peserta
didik maupun tenaga pendidik.
Istilah “karakter” memiliki kesamaan arti dengan tabiat; watak; dan,
kepribadian. Karena berkaitan dengan sifat-sifat di dalam diri manusia
yang membentuknya. Dalam English Language Dictionary, kata character
berarti: 1) consists of all the qualities have that combine to form
personality; 2) knowing how they usually react to things.2 Gabungan
kualitas di dalam diri manusia itulah disebut sebagai karakter. Dan ini
tampak ketika seseorang bereaksi terhadap sesuatu di luar dirinya. Tentu,
adanya karakter sebagai kualitas hidup, maka seseorang dapat
membedakan dirinya dengan orang lain. Itulah yang menjadi identitas
seseorang, untuk menunjukkan orang macam bagaimana dia.
Karakter adalah sesuatu yang dipahatkan pada loh hati manusia sejak
anak-anak yang dapat terus bertumbuh, sehingga menjadi tanda yang
khas. Ini bukan merupakan gejala sesaat, melainkan tindakan yang
konsisten, muncul baik secara batiniah dan rohaniah. Karakter seorang
individu dapat terbentuk sejak dia masih kecil karena pengaruh genetik
(keturunan) dan lingkungan sekitar. Perilaku seorang anak seringkali
tidak jauh dari perilaku orangtuanya. Karakter juga dipengaruhi oleh
lingkungan. Anak yang berada dilingkungan yang baik, cenderung akan
berkarakter baik, demikian juga sebaliknya. Karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations),
dan ketrampilan (skills).3 Proses pembentukan karakter, baik disadari
maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang
diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya
sehari-hari.4 Kita mengakui bahwa kualitas karakter seseorang tidak
2John Sinclair ed., Collins Cobuild English Language Dictionary (London: Collins
Publisher, 1989), 227. 3Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), 10. 4Wanda Chrisiana, Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi
Kasus di Jurusan Teknik Industri Uk Petra). Jurnal Teknik Industri Vol.7, No.1, (Juni 2005): 83-90.
JURNAL TEOLOGI STULOS 149
dapat dinilai, jika tidak memiliki relasi dengan kehidupan sehari-hari.
Diantaranya, Keluarga, budaya-sosial, pendidikan, agama, dan pengalaman
adalah relasi yang dapat membentuk kepribadian seseorang untuk berpikir
dan berbuat sesuatu.
Karakter selalu mengacu pada kebaikan yang terdiri dari tiga bagian
yaitu mengetahui yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan
yang baik. Ketiga kebiasaan ini didasarkan pada kebiasaan pikiran,
hati dan kehendak. Karakter sebagai sesuatu yang melekat pada personal,
yaitu totalitas ide, aspirasi, sikap yang terdapat pada individu dan telah
mengkristal di dalam pikiran dan tindakan. Manusia hanya dapat
mengamati karakter secara eksternal dan parsial, dari kebiasan, pola pikir,
pola sikap, pola tindak atau pola merespon secara emosional dan pola
dalam bertingkah laku. Namun, kita harus mengakui keterbatasan bahwa
manusia bisa salah dalam memberikan penilain terhadap karakter
seseorang karena ada faktor lain yang mempengaruhinya. Hanya Tuhan
dan individu itu sendiri yang mengetahui siapa jati dirinya.
Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar), untuk membantu
manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika
inti.5
Lebih tegas Muchlas Samani mengatakan bahwa Pendidikan
Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter pada peserta
didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi Insan Kamil.6
Pentingnya Pendidikan Karakter
Setiap hari kita berhadapan dengan hal-hal yang dapat berpengaruh
langsung pada pikiran dan perilaku kita. Dampak dari pengaruh itu bisa
5Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter., 15. 6Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter. (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 2011), 44.
150 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
mengarah kepada perilaku destruktif atau konstruktif. Jika mengarah
kepada dorong untuk semakin berperilaku konstruktif, berarti kita belajar
mencapai manusia yang sempurna. Tetapi jika sebaliknya, maka kita
perlu mencegahnya. Disinilah karakter yang kuat perlu sebagai filter
untuk menyaring dan menolak. Sehingga hanya air yang jernih kita
masukkan ke dalam hidup, sebaliknya segala yang kotor kita singkirkan.
Upaya pelaksanaan Pendidikan Karakter saat ini, dilatar belakangi
oleh beberapa keadaan berikut:
1. Suatu Kesadaran. Adanya kesadaran pemerintah untuk
mengembalikan hakikat pendidikan kepada tujuan Pendidikan
Nasional sesuai dengan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 4,
yaitu: “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.” Juga dituangkan ke dalam PP7
Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, terutama
pada bab II pasal 4 yang berbunyi: “Standar Nasional Pendidikan
bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat.” Selanjutnya, Permendiknas8
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, terutama termaktub dalam
pendahuluan: “Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi
mengembangkan kemampuan dan mengembangkan watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
7PP (Peraturan Pemerintah) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 8Permendiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) No.22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
JURNAL TEOLOGI STULOS 151
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dan
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan. Dalam rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit
pada semua jenjang pendidikan memuat substansi nilai atau karakter.
Demikian Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014,
bahwa pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari upaya pencapaian Visi pembangunan Nasional.9
2. Faktor globalisasi yang terus mengalami perubahan. Perubahan
yang kita rasakan dalam masa ini seringkali membingungkan baik bagi
orangtua maupun anak-anak. Salah satu perubahan yang melanda dunia
adalah Dehumanisasi. Di dalamnya kita dapat temukan usaha pemudaran
Kebenaran. Usaha ini nampak dalam kesimpulan pemikiran para pemikir
postmodern bahwa kebenaran hanyalah apa yang kita buat, baik sebagai
individu maupun sebagai komunitas dan tidak lebih dari itu. Akibat dari
pemudaran kebenaran ini, tampak melemahnya penegakan disiplin dan
peraturan, sehingga apa yang benar dan apa yang salah tidak jelas.
Batas-batas moral menjadi kabur, menyebabkan memilih sesuatu yang
benar dan tepat menjadi jauh lebih sukar dan akibatnya jatuh pada
perilaku buruk jauh lebih serius. Individualisme, Hedonisme, Liberalisme,
dan lain-lain adalah tantangan berat bagi penerapan pendidikan Karakter.
Dalam konteks Indonesia, banyak di antara manusia Indonesia yang
perilakunya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, yang berakibat pada
penghancuran keutuhan bangsa.
3. Meningkatnya Kasus-kasus Kriminal. Meningkatnya kasus kriminal
di Negara kita, memiliki relasi dengan negara-negara lain. Para pelakunya
memiliki jaringan yang sangat rapih, kuat dan dikoordinir oleh oknum
tertentu, sehingga menyulitkan penegak hukum, tokoh-tokoh
masyarakat serta orangtua untuk mencegahnya. Tentu kita setuju, bahwa
9Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Kejuruan.
(Jakarta: 2010)
152 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
kejahatan ini dapat menghambat proses pendidikan serta mengancam
hidup generasi muda yang berdampak langsung pada kehancuran bangsa.
4. Masalah Mal-Praktik Pendidikan. Mal-praktek tidak hanya
terjadi di dunia Kedokteran (Medis), tetapi di semua sektor. Kasus
mal-praktek dalam dunia Pendidikan, antara lain: 1) persoalan orientasi
taksonomik. Berpuluh-puluh tahun praktik pendidikan kita telah berkiblat
pada taksonomi Bloom yang memilah-milah ranah pendidikan menjadi
kognitif, afektif, dan psikomotor; 2) masalah kurang adanya
keseimbangan antara aspek “pikir” dengan “hati” dalam praktik
pendidikan; 3) kurang adanya keseimbangan pengembangan antara
Programmed Curriculum dengan Hidden Curriculum; 4) masalah
penghadiran dan internalisasi nilai-nilai melalui berbagai mata pelajaran;
5) masalah kurang optimalnya praktik pendidikan dan pembelajaran
untuk pengembangan kepribadian, dan lain-lain.
5. Perubahan Perilaku Pada Peserta Didik. Apa yang kita lihat di
media Televisi, sering terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru
terhadap murid, murid terhadap guru, dan murid dengan murid.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan, bahwa banyak siswa kurang
menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Jika seorang guru bertindak
tegas untuk mendisiplin anak yang tidak berperilaku baik, tidak mendapat
dukungan positif baik dari orangtua, maupun masyarakat, malah
sebaliknya banyak orangtua dan masyarakat menilai itu sebagai
pelanggaran HAM. Tidak jelasnya batasan-batasan bagi seorang guru
mengambil tindakan pendisiplinan, siswa dengan mudahnya melaporkan
guru ke pihak berwajib. Rasa ketakutan itulah yang dirasakan guru saat
ini. Tidak pernah murid dilapor melanggar HAM, tetapi tiap saat banyak
guru dipanggil pihak berwajib karena melanggar HAM. Jelas ini salah
satu faktor, membuat perubahan mental peserta didik. Jika guru takut
mendisiplin siswa, maka pendidikan karakter gagal. Selain itu, banyaknya
Mall, Warnet atau tempat hiburan lainnya disekitar lingkungan sekolah,
menjadi daya tarik bagi siswa untuk bolos jam pelajaran. Begitu juga,
JURNAL TEOLOGI STULOS 153
sifat kasar, egois, meremehkan, bersikap kurang ajar, menentang dan
balas dendam, serta tidak tangguh dalam menghadapi tekanan hidup pada
siswa tertentu yang ada dilingkungan sekolah, itu dapat mempengaruhi
siswa lainnya. Karena itu, tidak salah bahwa semua kasus-kasus di
lingkungan sekolah membuktikan adanya pergeresan nilai-nilai moral di
kalangan pelajar.
Proses Pendidikan Karakter
Bagan Proses Pendidikan Karakter
Dari bagan diatas, Pendidikan Karakter dilihat dari dua sisi, yaitu: output
dan input. Kedua sisi ini menjelaskan apa yang diterima dari luar dirinya
sebagai input, demikian dia akan berperilaku sebagai output. Proses
pembentukan karakter dapat terjadi di dalam: keluarga, sekolah,
lingkungan, dan saling mempengaruhi. Hasilnya, seseorang dapat
menjadi trustworthiness, jika dia melihat sosok atau figur orang yang
berintegritas, jujur dan loyal. Dia bisa tidak memanfaatkan orang lain
(fairness), jika dirinya tidak dijadikan objek (korban). Dia bisa bersikap
peduli dan perhatian (caring) terhadap orang lain maupun kondisi
lingkungannya, jika dirinya mendapat perhatian yang baik dari orang lain
maupun lingkungannya. Dia bisa sadar hukum (citizenship), jika
hukum memberi perlindungan/kenyamanan padanya. Selanjutnya, dia
bisa bertanggung jawab, disiplin, melakukan sesuatu dengan baik
(responsibility), jika dirinya mendapat perlakuan dan hak-hak hidupnya
154 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
terpenuhi. Dengan demikian, seseorang dapat berkarakter kuat/baik
apabila ada keseimbangan antara input dan output; atau, output dan input.
Tri Pusat Pendidikan Karakter
Di dalam proses tumbuh kembangnya karakter seorang anak, ada tiga
pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Ketiga pusat pendidikan
tersebut, yaitu: 1) Keluarga; 2) Sekolah; dan, 3) Lingkungan Masyarakat.
1. Keluarga. Keluarga merupakan pusat pendidikan karakter yang
pertama dan terpenting. Keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan
bagi setiap manusia. Keluarga menyiapkan sarana pertumbuhan dan
pembentukan kepribadian anak sejak dini. Dengan kata lain, kepribadian
anak tergantung pada pemikiran dan perlakuan kedua orangtua. Disini
orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan
kepribadian anak. Keteladanan orangtua adalah modal penting bagi
pembangunan kepribadian anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan
perilaku orang tua dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat
dalam terhadap pemikiran dan perilaku anak. Maka tidak salah jika krisis
karakter yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan gagalnya
pendidikan di keluarga.
2. Sekolah. Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam
membentuk manusia yang berkarakter. Pendidikan adalah salah satu hal
terpenting dalam kehidupan setiap manusia. Karena tugasnya yang sangat
penting membangun kehidupan, maka gagalnya pendidikan merupakan
kegagalan kehidupan dan masa depan. Plato berkata, tugas pendidikan
adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu
ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Demikian juga Aristoteles melihat
serupa, bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari
pembentukan Negara – juga yang harus sama pula dengan sasaran utama
pembuatan dan penyusunan hukum, dimana tujuan utama dari semua itu,
yaitu terciptanya kehidupan yang baik dan bahagia (eudaimonia). Dengan
demikian, Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of
JURNAL TEOLOGI STULOS 155
knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel,10
sekolah tidaklah
semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui
berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang
mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada
nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John
Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam
dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena
ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
3. Lingkungan Masyarakat. Secara umum kita mengakui bahwa
sosial dan budaya dimana kita berada turut membentuk kepribadian atau
identitas kita. Ada hubungan timbal-balik antara sosial-budaya dengan
tabiat seseorang. Dari sudut pandang Antropologi, tidak hanya tingkah
laku manusia itu saja yang dapat dipelajari, tetapi juga menyangkut apa
yang ada dalam pikiran manusia itu. Dan tingkah laku ini tergantung pada
proses pembelajaran. Apa yang dilakukan oleh seseorang, itu merupakan
hasil dari proses belajar (melibatkan rasio) yang dilakukan sepanjang
hidupnya. Seseorang mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan
cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari
lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Perkembangan
moral dan perilaku itu ditentukan oleh lingkungan seumur hidupnya yang
menurut Koentjaraningrat serba berpranata, serba bersistem atau
mengandung norma-norma sosial yang terorganisir dan mengatur setiap
perilaku warga masyarakat. Norma-norma dan nilai-nilai masyarakat,
disadari atau tidak telah meresap ke dalam kita. Alkitab sendiri pun
mengakui pengaruh sosial-budaya bagi pembentukan kepribadian
seseorang. Dalam Kitab Imamat 18:3, berkata: “Janganlah kamu berbuat
seperti yang diperbuat orang di tanah Mesir, di mana kamu diam dahulu;
juga janganlah kamu berbuat seperti yang diperbuat orang di tanah
Kanaan, ke mana Aku membawa kamu; janganlah kamu hidup menurut
10 Fraenkel, Jack R. How to Teach about Values: An Analytical Approach.
(Englewood, NJ: Prentice Hall, 1977), 1-2.
156 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
kebiasaan mereka. Selanjutnya, 1 Korintus 15:33 berkata: “Janganlah
kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.”
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER NASIONAL
1. Dasar dan Tujuan Pendidikan Karakter
(Sumber: Kemendiknas 2010)
Dari gambar diatas, bahwa sumber-sumber dasar nilai karakter
berasal dari agama, Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai kearifan lokal.
Sumber-sumber nilai karakter tersebut diinternalisasikan pada para siswa
melalui berbagai kegiatan di sekolah, yaitu selama berlangsungnya Proses
Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Hasil yang diharapkan adalah agar
para generasi muda ini dapat berkarakter innovatif, kreatif, disiplin,
simpati, empati, jujur, percaya diri, kompetitif, kooperatif, leadership,
imaginatif, bersih, sehat, peduli, adaptif, toleransi, dan suka menolong,
dan lain-lain.
Sedikitnya ada tiga tujuan utama ditetapkan Pendidikan Karakter
sebagai Kurikulum Nasional adalah:
1. Pendidikan karakter adalah upaya fasilitasi yang dilakukan oleh
(pendidik, tenaga kependidikan, dan komunitas) di sekolah dasar untuk
menjadikan peserta didik berkarakter baik.
JURNAL TEOLOGI STULOS 157
2. Pendidikan karakter yang dibangun dalam pendidikan dapat
mengacu pada Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003, bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
3. Pendidikan karakter sebagai filter terhadap globalisasi yang dapat
menghilangkan peradaban budaya suatu bangsa dalam kontek Indonesia
sesuai UUD Tahun 1945 dan falsafah Pancasila, dan radikalisme yang
mengancam keutuhan bangsa NKRI.
Upaya Pemerintah di Bidang Pendidikan
1. GDN (Gerakan Disiplin Nasional). Kita pernah mengetahui
GDN untuk menertibkan para pelajar yang mangkal dipinggir jalan.
Gerakan ini pernah mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tetapi
entah kenapa, GDN ini sudah tidak terdengar lagi.
2. Sertifikasi Guru. Program Sertifikasi ini diberlakukan untuk
meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Banyak Guru yang perlu di
upgrade karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Disisi lain, sertifikasi ini sebagai pendisiplinan terhadap kinerja guru.
Karena kinerja guru mempengaruhi karakter siswanya.
3. BOS (Bantuan Operasional Siswa). Salah satu tujuan BOS ini
adalah untuk menekan jumlah anak-anak Indonesia yang putus sekolah
karena tidak ada biaya. Kita bisa bayangkan perilaku anak yang duduk di
bangku sekolah yang setiap hari mendengar nasihat, atau pendidikan pun
ada yang berperilaku tak bermoral. Bagaimana dengan anak-anak yang
putus sekolah yang tidak mendapat pendidikan di Sekolah?
158 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
PERAN SERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI
Telaah Kritis pada sikap gereja selama ini
Dalam perspektif Kristen, Pendidikan11
adalah suatu implikasi
dalam interpretasi Allah. Memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
mendedikasikan alam semesta kepada Penciptanya, dan menjadi wakil
dari Raja segala sesuatu; inilah tugas manusia. Secara prinsip, Pendidikan
Karakter dalam konteks Kristen berbeda dengan Pendidikan Karakter
Nasional. Perbedaan yang sangat fundamental sekali yaitu bahwa Alkitab
adalah sumber mutlak pendidikan karakter. UUD Tahun 1945 dan
Falsafah Pancasila tidak dapat mengubah karakter seseorang, tetapi hanya
Tuhan dan melalui firman-Nya. Karena fungsi Alkitab dalam 2 Timotius
3:16 berbunyi: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian
tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan
baik.” Dari sini kita tahu bahwa berbicara karakter bukan sesuai dengan
maunya manusia, maunya raja atau pemerintah, maunya guru, dan
maunya orangtua, tetapi maunya Tuhan. Sebab, hanya Tuhan yang tahu
standar karakter sesungguhnya yang harus dipenuhi oleh manusia
ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Tuhan memberikan firman-Nya agar siapa
saja yang bertemu dengan-Nya diajar, ditegur, diperbaiki, dan dididik
dalam kebenaran.
Dilihat dari presuposisi Van Til, bahwa pendidikan harus bermula
dari apa yang dipikirkan Allah. Bagaimana dengan pendidikan karakter di
luar kekristenan? Dalam penjelasannya tentang Antitesis dalam Filsafat
Pendidikan, Van Til tidak menolak atau melupakan doktrin anugerah
umum. Anugerah umum tidak mengabaikan perbedaan-perbedaan ultimat,
tetapi jika dipahami dengan tertentu anugerah umum berbicara tentang
perbedaan-perbedaan ultimat tersebut. Dia berfungsi untuk menunjukkan
11Cornelius Van Til, Dasar Pendidikan Kristen, terj., (Surabaya: Momentum, 2004), 65.
JURNAL TEOLOGI STULOS 159
bahwa hal-hal yang sama tidak selalu berarti sama. Karena itu, dalam
konteks Pendidikan Karakter Nasional yang berlandas dari berbagai
sumber, yaitu pluralism agama, UUD Tahun 1945 dan Ideologi Pancasila,
walaupun ada kesamaan tetapi tidak sama. Karena bisa saja manusia
tanpa Tuhan memiliki nilai karakter sebagaimana yang diupayakan dalam
pendidikan nasional.
Jika secara presuposisi ada perbedaan-perbedaan ultimat dalam
pendidikan karakter, apakah gereja bersikap membiarkan atau tidak
peduli? Dalam sejarah Gereja, dua tokoh teolog yang hidup di zaman
Reformasi, yaitu Martin Luther dan John Calvin, memberi warna khas
kepada Gereja masa kini. Ada gereja anti Negara yang diwakili oleh
Martin Luther, dipihak lain ada gereja yang menganggap bahwa Negara
berguna bagi agama dan agama bagi Negara yang diwakili oleh John
Calvin. Bagi Luther, gereja hanya mengurusi urusan-urusan rohani.
Tetapi apa yang kita lihat dalam konteks masa kini, justru Negara yang
lebih berperan mengurusi karakter manusia. Berbeda dengan Calvin,
yang mengakui bahwa pemerintahan sipil merupakan sesuatu yang
dibutuhkan karena dosa masih merajalela. Pemerintah menerima
wewenang dari Allah, maka dia beralaskan pada kesusilaan. Karena
alasan dosa12
…tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang
berkuasa, akan sungguh-sungguh menjadi neraka di bumi, atau setidaknya
merupakan suatu pengulangan dari apa yang pernah ada di bumi ketika
Allah menenggelamkannya dalam air bah, ras pertama manusia yang
bobrok. Karena itu, Pemerintah bersama Agama bertanggung jawab
untuk menjaga kesusilaan di dalam porsi masing-masing.
Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Alkitabiah
Dibawah ini penulis mengklasifikasikan hasil pendidikan karakter sebagaimana
dituangkan di dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, sebagai berikut:
12Abraham Kuyper, Lecturer on Calvinism, terj. (Surabaya: Momentum, 2005),
90-91.
160 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
PERANSERTA GEREJA PADA SEKOLAH NEGERI
UUSPN Nomor 23 Tahun 2005, Pasal 47 ayat 1, berbunyi: “Masyarakat
sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.” Selanjutnya,
pada pasal 48 ayat 1, berbunyi: “Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan
kebijaksanaan Menteri berkenan dengan sistem pendidikan nasional
diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan
saran, nasihat, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan.”
Gereja adalah bagian dari masyarakat. Maka sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia, gereja harus ikut berperan aktif untuk mendukung
pembangunan bangsa melalui pengupayaan pendidikan karakter. Gereja
sebagai sumber rasa dan cahaya bagi masyarakat, berarti gereja tidak
hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena, apabila di sekeliling gereja
sejahtera, gereja pun akan ikut merasakannya.
Sedikitnya, ada empat peran serta Gereja dalam bidang Pendidikan,
yaitu:
1. Sebagai Garam dan Terang ditengah Masyarakat Persekolahan
Garam memberi rasa terhadap yang tawar. Terang memberi cahaya
kepada kegelapan. Sumber rasa dan cahaya bagi dunia adalah gereja,
Empat Pilar Karakter Perlu Diperkuat Di Kalangan Pelajar Masa Kini
Dalam Menghadapi Arus Negatif Globalisasi
1. BERIMAN
2. BERILMU
3. BERBUDAYA
4. BERADAB
KNOWLEDGE OF GOD
KNOWLEGDE SOCIETY
CULTURED SOCIETY
CIVILIZED SOCIETY
TA
NT
AN
GA
N
GL
OB
AL
ISA
SI
JURNAL TEOLOGI STULOS 161
selanjutnya Allah sendiri sebagai sumber hidup bagi gereja. Garam dan
Terang adalah berbicara, pengaruh. Pengaruh dalam konteks pendidikan,
yaitu: 1) gereja terus memerangi perilaku tak bermoral yang masih
merebak di lingkungan gereja, keluarga, instansi, dan masyarakat dengan
menunjukkan jalan menuju kemuliaan kekal; 2) gereja terus menunjukkan
pelayanan kasih, yang di dalam nama Tuhan.13
Dalam konteks ini, gereja
dapat menyediakan dana bagi siswa-siswa yang tak mampu dan bukan
sebagai pengikat untuk berjemaat. Karena, pemberian untuk mengikat
seperti itu berarti tidak ikhlas, dan bertentangan dengan hakikat kasih
sejati. Bukan saatnya lagi gereja hanya memikirkan dirinya sendiri. Selain
itu, gereja sesuai kemampuannya, juga dapat membantu menyediakan
sarana fisik dan sarana pendidikan lainnya bagi sekolah-sekolah baik
negeri maupun swasta yang memprihatinkan. Dalam pengamatan penulis,
banyak sekolah-sekolah negeri jumlah siswa Kristennya banyak, tetapi
pihak sekolah tidak mau menerima kehadiran Guru Agama Kristen, dan
ada yang diterima, tetapi kalau mau belajar Agama, sulit mendapat ruang
kelas. Mengapa terjadi seperti itu? Karena gereja tidak peduli pada dunia
Pendidikan. Mengapa gereja tidak mau peduli? Tidak adanya kepedulian
gereja terhadap pendidikan, membuat kehadiran gereja di masyarakat
sulit diterima, ditambah lagi banyak gedung gereja berdiri megah,
sementara disekitarnya ada sekolah yang mau roboh.
2. Menyokong Guru-guru Agama Kristen
Dalam konteks dunia Pendidikan, gereja berperan dalam melengkapi
guru-guru Kristen. Secara fakta, banyak guru-guru Kristen kurang
berkualitas, baik secara moral dan pengetahuan, akibatnya guru tersebut
selalu bermasalah. Seharusnya, Guru14
lebih unggul dari anak-anak yang
dipercayakan kepadanya, baik dalam hal pembimbingan karakter moral,
dalam hal pengetahuan dari mata pelajaran yang diajarkan, dalam hal
13Abraham Kuyper, Ibid., 45. 14Louis Berkhof, Ibid., 167.
162 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
ketrampilan praktis yang ditunjukkan melalui penggunaan sarana yang
baik untuk mencapai tujuan, dan dalam hal kebijaksanaan yang diperlukan
untuk menuntun kehidupan orang muda.
Itulah anggapan umum bahwa guru setidaknya telah dilengkapi
dengan otoritas moral, dan harus menggunakannya untuk mengarahkan
hidup dan aktivitas murid-muridnya. Adalah sikap yang kurang bijaksana
jika ada pihak sekolah memecat guru tanpa diberi pelatihan yang cukup.
Seharusnya mereka terus dilatih agar cakap mengajar. Kasus pemecatan
guru-guru adalah salah satu indikasi adanya perubahan orientasi atau
tujuan didirikannya sekolah tersebut. Salah satu dugaan kuat, bahwa
keuntungan materi menjadi orientasi utamanya. Sehingga banyak guru
menjadi “sapi perah” dari pemilik sekolah, mereka dipaksa harus
professional tanpa dibarengi dengan pemenuhan hak hidupnya. Ini yang
membuat banyak Guru Kristen jadi asal-asalan mengajar dan tidak
bertanggung jawab.
Bagaimana sikap gereja terhadap kasus ini, padahal guru-guru itu
adalah anggota jemaatnya? Disini Gereja dapat menampung atau
membentuk kelompok khusus berprofesi guru, agar di dalam kelompok
tersebut mereka ditopang, diperlengkapi, diperhatikan, dimotivasi
sehingga secara profesi mereka bertanggung jawab kepada Tuhan dan
anak-anak didik, serta dapat mengatasi konflik yang dihadapinya.
3. Sebagai Gembala (1 Petrus 5:1-5)
Gereja harus menggembalakan warga jemaatnya dengan baik. Kata
‘gembala’ berarti menjaga, mengawasi, menuntun, melatih warga jemaat.
Gereja harus mendorong suami-isteri untuk aktif mendidik anak-anaknya
di rumah. Banyak anak-anak yang nakal karena hidup di dalam keluarga
yang hancur. Keluarga sebagai wadah awal benih. Keluarga kristiani
perlu memiliki spiritual yaitu pengalaman berjumpa dan hidup dalam
pergaulan dengan Allah. Pengalaman perjumpaannya dengan Allah
menyebabkan terjadinya perubahan hidup secara total dan radikal.
JURNAL TEOLOGI STULOS 163
Keluarga merupakan agen dan lingkungan sosialisasi bagi setiap individu.
Di dalam keluargalah, kita belajar bagaimana cara menjadi anggota
masyarakat dan mengenal siapa diri kita sendiri. Keluarga mewariskan
kepada anak-anaknya beberapa hal penting15
: 1) Pola-pola komunikasi; 2)
Konsep diri (pengenalan dan penerimaan diri); 3) Disiplin diri (pribadi,
sosial dan rohani); 4) Tata nilai (benda, moral, sosial dan kerohanian); 5)
Cara mengatasi krisis kehidupan. Karena itu, Gereja berfungsi sebagai
gembala harus dapat mengaplikasikan pengajarannya sampai kepada
keluarga warga jemaat.
Tanggung-jawab gereja dalam menjadikan umat (anak-anak, pemuda,
dll) harus fokus juga terhadap pendidikan di keluarga. Pendidikan
keluarga itu dilakukan oleh orang tua. Meminjam pemikiran Martin
Luther, orangtua adalah pengajar ke dua setelah Allah. Orangtua sebagai
pengajar yang handal dalam membina, mendidik, serta mengarahkan
anak itu takut akan TUHAN. Seperti teks Ulangan di atas, orangtua
jangan jemu-jemu dalam mengarahkan anak itu kepada kehendak Allah.
Dari dalam keluarga anak itu mendapatkan didikan sesungguhnya.
Membuat anak lebih rohani. Begitu indahnya penanaman pengalaman
hidup Kristen di dalam keluarga yang begitu saleh, menjadi dasar
kehidupan seseorang sepanjang hidupnya kemudian.16
Berbagai pedoman
tentang pendidikan anak menekankan agar orang tua dapat menjadi
pendengar dan komunikator yang baik, mampu menjadi teladan,
menciptakan lingkungan belajar dirumah, tidak mengembangkan
pemikiran yang sempit dan dangkal pada anak, serta dapat menanamkan
kejujuran. Oleh karena itu disini yang utama adalah kualitas interaksi
antara anggota keluarga, bukan kuantitasnya.17
Karena begitu vitalnya
peran keluarga dalam pendidikan karakter, maka gereja harus memantau
15Membangun Keluarga Kristen. (Departemen Agama Kanwil Provinsi Jawa Barat,
2007), 5. 16Nicholas Wolterstoff, Educating For Life. (Grand Rapids, Michigan: Baker Book
House, 2002), 10-11. 17Go Setiawan, M. Menerobos Dunia Anak. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2000), 17.
164 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
apakah pendidikan seperti dikatakan dalam kitab Ulangan 6:7 sudah
dilakukan atau belum. Gereja harus fokus pada persekutuan keluarga,
sebagai wujud dan peran gereja atas kepeduliannya kepada pendidikan.
PENUTUP
Perilaku tak bermoral adalah musuh kita bersama. Setidaknya semua
masyarakat dapat membedakan antara perilaku baik maupun buruk,
karena secara umum kriteria itu ada dan sudah dipelajari baik di sekolah,
keluarga, dan sosial-agama. Semua lapisan masyarakat harus berperan
aktif untuk memberantasnya, tentu dengan cara-cara yang bijaksana.
Pendidikan Karakter Nasional sekarang ini adalah salah satu cara terbaik
untuk mendidik baik siswa, mahasiswa, kaum dewasa, dan orangtua,
untuk berkarakter kuat sehingga dapat mengatasi gerakan Dehumanisasi
saat ini. Belajar karakter bukan berarti seseorang tak berkarakter baik.
Tetapi pendidikan karakter memiliki multiguna.
Langkah yang sangat bijak, jika pemerintah dengan semua lapisan
masyarakat sama-sama sadar serta bertindak karena melihat coretan hitam
di lembaga pendidikan, pemerintahan, maupun sosial akibat perilaku tak
bermoral yang sudah sekian lama menjadi sahabatnya. Berangkat dari
kesadaran itulah, pemerintah berupaya memuat Pendidikan Karakter
sebagai kurikulum nasional dengan tujuan tertentu sebagaimana diatur
dalam Undang-undang dan peraturan terkait. Gerakan pemerintah ini
seharusnya mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat. Masihkah
kita berdiam atau sibuk dengan diri sendiri melihat kejahatan yang
merajalela saat ini?
Gereja adalah bagian dari masyarakat. Maka sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia, gereja harus ikut berperan aktif untuk mendukung
pembangunan bangsa melalui pengupayaan pendidikan karakter. Karena,
Gereja sebagai sumber rasa dan cahaya bagi masyarakat, itu berarti gereja
tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri. Suara Tuhan kepada
JURNAL TEOLOGI STULOS 165
Yeremia masih relevan bagi Gereja-gereja Indonesia, yaitu: “Usahakanlah
kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota
itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”
(Yeremia 29:7). Ini berarti, doa dan tindakan aktif sebagai bentuk
kepedulian gereja terhadap Pendidikan. Gereja harus tetap mewartakan
kebenaran sebagai standar moral, ia juga harus melengkapi orang-orang
kudus (Guru-guru atau Tenaga Relawan; Keluarga) dengan pendidikan
yang mereka butuhkan, sehingga mereka menjadi orang-orang yang
bertanggung-jawab kepada Tuhan dan anak didiknya. Masih banyak
bentuk-bentuk nyata yang dapat dilakukan Gereja terhadap Pendidikan.
Sebab itu, setiap gereja diharapkan dapat menyumbangkan dukungannya,
agar kehadirannya bukan sebagai pendatang atau tamu asing di Republik
ini, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
Indonesia lainnya. Sebagai motivasi, biarlah firman Tuhan yang
disuarakan Rasul Paulus menjadi pedoman bagi Gereja-gereja Indonesia
dalam melaksanakan panggilannya; “Janganlah kita jemu-jemu berbuat
baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita
tidak menjadi lemah” (Galatia 6:9).
166 REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
DAFTAR PUATAKA
Berkhof, Louis., dan Van Til, Cornelius. Dasar Pendidikan Kristen. Terj.
Surabaya: Momentum, 2004.
Jack R, Fraenkel. How to Teach about Values: An Analytical Approach.
Englewood, NJ: Prentice Hall, 1977.
Kuyper, Abraham. Lecturer on Calvinism. Terjemahan. Surabaya:
Momentum, 2005.
Kuyper, Abraham. Iman Kristen Dan Problema Sosial. Terjemahan.
Surabaya: Momentum, 2004.
Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th.
1989) Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL).
Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Kejuruan. Jakarta: Kemendiknas, 2010.
Samani, Muchlas., dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan
Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011.
Wolterstoff, Nicholas. Educating For Life. Grand Rapids: Grand Rapids:
Baker Book House, 2002.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2011.