Post on 16-Apr-2017
REVISI UU ITE: MEMERDEKAKAN
ATAU MEMBELENGGU? Oleh: DR. Evita Nursanty, MSc
Anggota Komisi I DPR RI/ Fraksi PDI Perjuangan
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
2008 2009 2010 2012 2016
UU No.11/2008
tentang ITE
Disahkan
UU ini sebagai UU yang
pertama di bidang
teknologi informasi dan
transaksi di Indonesia
(pionir)
Kasus Prita Mulyasari
muncul di tahun ini meski
e u ak di 2009 . Selain kasus Prita juga
muncul kasus Iwan
Piliang, dan Erick J.
Adriansjah
Judicial Review diajukan
oleh Narliswandi Piliang
alias Iwan Piliang.
Dengan putusan MK
No.50/PUU-VI/2008
Kasus Prita Mulyasari
dan Judicial Review di
MK II
Ramai dukungan publik,
u ul Koi u tuk Prita
Kasus siswa Nur Arafah
Judicial Review di MK
diajukan oleh Edy
Cahyono, PBHI, AJI dll
dengan putusan
No.2PUU-VII/2009
Kasus Lain dan Judicial
Review di MK III
Kasus mahasiswa
Muhammad Wahyu
Muharam, dan kasus
dokter Ira Simatupang
Judicial Review di MK
dilakukan oleh Anggara,
S.H dkk dengan putusan
MK No5/PUU-VIII/2010
Rencana Revisi
Pemerintah SBY
berencana untuk
melakukan revisi UU ITE
namun belum terwujud
dengan menyampaikan
ke DPR.
Kasus penyanyi Bondan
Prakosa, Sandy Hartono,
guru Herrybertus Johan
Julius Calame (2011),
kasus Alexander Aan,
Musni Umar, Yenike
Venta Resti, Mustika
Tahir, Benny Handoko
(2012), dan kasus lain
(2013-2015)
Revisi Terealisasi
Presiden Jokowi pada Selasa
(22/12/2015), melalui surat
bernomor R-79/Pres/12/2015
tertanggal 21 Desember 2015
resmi mengajukan revisi UU ITE
ke DPR.
Judicial Review ke MK oleh Setya
Novanto, menghasilkan putusan
MK No.20/PUU-XIV/2016
Komisi I membentuk Panja dan
masuk Rapat Paripurna
DPR/Pengambilan Keputusan
Tingkat II, tanggal 27 Oktober
2016, menjadi undang-undang
UU ITE resmi berlaku 28
November 2016.
Kronologii
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Sekitar 170 Kasus sejak 2008*)
Jumlah Kasus
Hampir seluruhnya mengenai Pasal 27 ayat
(3)
Pasal
•Facebook : 95 kasus
•Twitter : 21 kasus
•Media Online, Blog: 22 Kasus
•SMS : 7 kasus
•Email: 4 Kasus
•Youtube : 4 kasus
•BBM : 2 kasus
•Path : 2 kasus
•Whatsapp : 2 kasus
Media
Pendalaman Kasus-kasus yang Terjadii
*) Sumber: id.safenetvoice.org/
Setiap Orang dengan sengaja, dan
tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Alasan Revisi UU ITE
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Kasus Prita Mulyasari
(2008-2009)
•Prita ditangkap atas kasus pencemaran nama baik setelah menulis email terkait pelayanan di RS Omni International, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 thn dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.
•Publik membuat kampanye Koi u tuk Prita da e u tut
UU ITE direvisi.
Kasus Lain dan Uji Materi di MK (2008-2016)
• Judicial Review diajukan oleh Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang. Dengan putusan MK No.50/PUU-VI/2008
• Judicial Review di MK diajukan oleh Edy Cahyono, PBHI, AJI dll dengan putusan No.2PUU-VII/2009
• Judicial Review di MK dilakukan oleh Anggara, S.H dkk dengan putusan MK No5/PUU-VIII/2010
• Judicial Review ke MK oleh Setya Novanto, menghasilkan putusan MK No.20/PUU-XIV/2016
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Perkembangan Teknologi
Informasi dan Komunikasi
(TIK) dan Penggunaannya
• Survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet
• Rata-rata pengakses internet di Indonesia: 67,2 juta orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan komputer; 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari smartphone; 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer.
Penguatan Kewenangan Pemerintah
• Pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk memutus akses informasi elektronik yang dianggap melanggar hukum, yang diatur oleh UU
• Penguatan ini dalam kerangka TIK sehat dan penguatan kebangsaan
Penghormatan Hak Individu
• Perlunya penguatan UU terkait penyadapan dalam konteks hak asasi manusia
• Mencegah multitafsir pasal-pasal dalam UU
• Perlunya pengaturan hak untuk dilupakan (right to be forgotten)
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Tujuan Pemanfaatan TIK
Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa
Memajukan kesejahteraan
umum
Rasa aman
Kepastian Hukum
Keadilan (Penghormatan Hak dan Kebebasan Orang Lain)
Teknologi Informasi
dan Komunikasi
(TIK)
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Perkembangan Judicial Review di MK
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
NOMOR PUTUSAN PENDAPAT/ AMAR PUTUSAN MK
Putusan MK No.50/PUU-IV/2008
Tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam
bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan
semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai
delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar
selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Putusan MK No.2/PUU-VII/2009
Putusan MK No.5/PUU-VIII/2010 • Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
• Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat
Pasal 31 ayat (4) berbunyi: Kete tua le ih la jut e ge ai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
de ga Peratura Pe eri tah .
Menurut MK, penyadapan merupakan pelanggaran HAM
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
sehingga sangat wajar dan sudah sepatutnya negara ingin
menyimpangi hak privasi warga dalam bentuk undang-undang
dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
NOMOR PUTUSAN PENDAPAT/ AMAR PUTUSAN MK
Putusan MK No. 20/PUU-
XIV/2016
MK berpandapat bahwa untuk mencegah terjadinya
perbedaan penafsiaran terhadap pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) UU ITE, Mahkamah harus menegaskan bahwa
setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih
lagi dalam rangka penegakan hukum. MK dalam amar
putusannya menambahkan kata atau frasa
khusus ya terhadap frasa I for asi Elektro ik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai bukti perlu
dipertegas dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE
Pasal 5 ayat (1) dan (2) berbunyi: (1) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang
sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Tiga Alternatif yang Muncul untuk
Pasal 27 ayat (3)
Tetap
• Keinginan untuk tegas. Bahkan ada kalangan publik dan fraksi yang lebih ekstrim meminta untuk diperberat sanksi pidananya
Dihapus
• Keinginan kalangan aktivis LSM
• Tidak mungkin bisa dilakukan karena akan menjadi kontraproduktif dan liar terhadap tujuan TIK itu sendiri
Direvisi
• Pengurangan hukuman
• Delik aduan
• Revisi di bagian penjelasan, menambahkan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Bagaimana dengan Pasal 28? • Pasal 28 ayat (2): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA).
• Pasal 45 ayat (2): Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
• Pasal ini tidak masuk dalam substansi yang direvisi sejak awal, dan tidak ada yang
menggugat pasal tersebut sejauh ini. Indonesia sebagai negara yang memiliki
keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan memang memiliki potensi gejolak
jika rasa kebencian dan pemusuhan berdasarkan SARA dibiarkan. Fraksi-fraksi di DPR
tidak ada yang mempersoalkannya atau mengusulkan revisi.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Dinamika Pembahasan di DPR (1) • Pemerintah sejak awal membawa konsep pembatasan pasal yang
akan direvisi hanya terbatas, PDI Perjuangan mendukung hal ini.
• Poin Usulan Pemerintah Sejak Awal adalah:
1. Menghapus tata cara intersepsi melalui peraturan pemerintah karena Putusan MK menyebutkan harus diatur dalam Undang-Undang,". Dia menjelaskan, Pasal 31 ayat 4 UU ITE menyebutkan tata cara intersepsi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah namun Putusan MK menyebutkan harus diatur melalui UU.
2. Menurunkan hukuman tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Penurunan hukuman paling lama enam tahun penjara atau denda paling banyak Rp1 miliar, diubah menjadi empat tahun penjara atau denda senilai Rp700 juta.
3. Penjelasan dalam Pasal 27 UU ITE harus mengacu pada pasal 310 dan 311 KUHP, sehingga kategori pencemaran nama baik terukur.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
4. Pemerintah mengusulkan tindak pidana penghinaan melalui ITE adalah delik aduan sehingga sebuah kasus hanya bisa diadukan oleh korban yang bersangkutan.
5. Mengubah ketentuan penggeledahan sesuai dengan hukum acara pidana.
6. Mengubah ketentuan penangkapan dan penahanan sesuai hukum acara pidana. Poin kelima dan keenam bisa mengefisiensi prosesnya.
7. Pemerintah menginginkan adanya tambahan kewenangan penyidik Pegawai Negeri Sipil bisa meminta para penyelenggara konten elektronik sehingga hak masyarakat terlindungi.
Dinamika Pembahasan di DPR (2)
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
4. Dalam perkembangan di Panja Revisi UU ITE, fraksi-fraksi pun memiliki pandangan masing-masing dan bahkan memberikan usulan-usulan baru, seperti hak untuk dilupakan (right to be forgotten). Beberapa isu yang dibahas antara lain: hukum proteksi data private, kedaulatan data/digital dalam bentuk root server dan single gateway, kewenangan
e lokir atau e uka lokir, i tersepsi da urge si kata peja at dala pe yidik peja at , ko siste si jari ga ka el da jari ga
irka el ya g di ilai e atasi tek ologi, pe ggu aa istilah i for asi elektro ik atau tek ologi i for asi, istilah i tegritas data
dan lainnya, kaitan dengan KUHP, kaitan dengan UU No.8 Tahun 1981 terkait penetapan ketua pengadilan negeri dalam tata cara penggeledahan, dan lain-lain.
5. Berdasarkan hasil Pembahasan di tingkat Rapat Kerja, Panitia Kerja, dan Timus/Timsin disepakati perubahan terhadap 8 Pasal dan penambahan 2 Pasal.
6. Pasal-pasal yang berubah adalah Pasal 1, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 40, Pasal 43, Pasal 45, serta Penjelasan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 27.
Dinamika Pembahasan di DPR (3)
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan terkait istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses".
b.Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Hasil Akhir Pembahasan
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan,
yakni:
a. Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Sementara penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
b. Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan, dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
dua ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula
mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau
penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi
dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi
Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat
bukti hukum yang sah.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
• Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang terbagi atas dua hal, yakni:
a. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus konten informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a.Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b.Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Ringkasan Pasal yang Berubah Pasal Keterangan
Pasal 1 Penambahan 1 angka, yaitu definisi mengenai Penyelenggara Sistem
Elektronik
Pasal 26 Penambahan 3 ayat, yaitu adanya kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik
dan ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik diatur dalam peraturan pemerintah (hak untuk
dilupakan).
Pasal 31 Perubahan pada ayat (2) dan ayat (3) terkait intersepsi dan penyadapan
Pasal 40 Penambahan 2 ayat, perubahan pada ayat (6), dan Penjelasan ayat (1) terkait
kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencegahan penyebarluasan dan
penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses
Pasal 43 Perubahan pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta
penambahan satu ayat. Pasal ini mengenai kewenangan Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), serta pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Ringkasan Pasal yang Berubah Pasal Keterangan
Pasal 45 Perubahan, terkait dengan ketentuan pidana terhadap pelanggaran dalam
Pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, dan
penegasan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik
merupakan delik aduan.
Pasal 45A dan
Pasal 45B
Penambahan 2 Pasal, yaitu Pasal 45A dan Pasal 45B. Penambahan pasal-
pasal ini terkait teknis penulisan dalam UU
Penjelasan
Pasal 5
Perubahan dalam Penjelasan sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Penjelasan
Pasal 27
Perubahan dalam Penjelasan yang memasukkan definisi dari kata/frasa
mendistribusikan , mentransmisikan , dan frasa membuat dapat
diakses , serta menegaskan bahwa ketentuan mengenai pencemaran
nama baik dan/atau fitnah, serta pemerasan dan/atau pengancaman
mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Te ta g Right to be Forgotte • Pasal baru dalam UU ITE: Pasal 26 ayat (3) mengatur hak setiap
Orang untuk meminta Penyelenggara Sistem Elektronik menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan berdasarkan penetapan pengadilan
• Hak ini dikenal sebagai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan menghapus konten Informasi Elektronik yang tidak benar, berdasarkan penetapan pengadilan.
• Ketentuan ini nanti masih perlu diatur dalam ketentuan perundangan dan peraturan pemerintah, sehingga terbuka opsi untuk lebih mempertajam.
• Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan ketentuan right to be forgotten. Namun, ketentuan tersebut sudah diterapkan di negara-negara Eropa sejak tahun 2014.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Te ta g Right to be Forgotte Pasal Ayat
Pasal 26 (3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah
kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan
berdasarkan penetapan pengadilan.
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
menyediakan mekanisme penghapusan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah
tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam
peraturan pemerintah.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Analisis Hukum Right to e Forgotte • UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menjamin hak
kebebasan berekspresi seseorang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3). Jaminan konstitusional ini dielaborasi lebih jauh dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• HAM terbagi menjadi dua bagian, yakni HAM yang dapat dibatasi (derogable rights) dan HAM yang tidak dapat dibatasi (nonderogable rights). Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu, maksud dari istilah non derogable rights adalah hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara.
• Selain dari limitasi hak dalam nonderogable rights, maka hak-hak lain yang melekat pada manusia merupakan hak yang bersifat derogable atau dapat diderogasi atau dapat dikesampingkan karena adanya kepentingan hukum, kepentingan umum, atau bahkan karena pelaksanaan hak lainnya atau campuran dari ketiganya. Dalam hal ini, HAM tidak mutlak sepenuhnya harus ditegakkan, derogable rights dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Setiap Orang yang memberikan Informasi Elektronik yang tidak benar dapat dianggap fitnah. Dalam UU ITE dan KUHP, tindakan fitnah merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik yang dianggap sebagai tindak pidana, dan diancam dengan sanksi pidana. Oleh karena itu, ketentuan right to be forgotten merupakan perlindungan bagi korban fitnah, diberikan hak untuk meminta penghapusan akses terhadap Informasi Elektronik yang dianggap tidak benar, sesuai putusan pengadilan.
• Penghapusan konten dilakukan untuk semua data yang tidak benar di internet setelah dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk membersihkan nama baik seseorang, yang terbukti tidak bersalah di pengadilan. Orang tersebut berhak mengajukan ke pengadilan agar konten-konten itu tidak dapat diakses, dikeluarkan dari sistem yang terbuka atau konten-konten itu dihapus. Oleh karena itu, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan.
• Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 memberikan syarat mutlak bagi adanya pembatasan hak dan kebebasan pribadi seseorang, harus ditetapkan dengan undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan right to be forgotten sebagaimana diatur dalam UU ITE, secara yuridis formal tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Pertanyaan: Apakah Right to e Forgotten aka e persulit pers?
• Pasal 2 UU No40/1999 tentang Pers e yatataka : “Kemerdekaan pers adalah
salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
• Pasal 3 ayat (1). Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
• Pasal 5 ayat (2): Pers wajib melayani Hak Jawab.
• Pasal 6 Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : (c). mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
• Ketentuan ini memuat kewajiban pers terkait prinsip
keadilan, supremasi hukum, dan pemberitaan yang tepat,
akurat, benar sebagai kewajiban yang melekat.
• Bahwa pers bisa keliru merupakan suatu hal yang logis dan
manusiawi sehingga pers juga punya tanggung jawab yang
sama untuk memberikan keadilan bagi publik yang
diberitakan tidak tepat, tidak akurat dan tidak benar
khususnya yang beredar elektronik.
• Hal ini sejalan dengan pemberian hak untuk dilupakan.
Arti ya right to e forgotte justru e doro g penguatan pers sebagai pers yang sehat sesuai tugas dan
fungsinya sebagaimana diatur dalam UU Pers.
• Dalam arti hak ini sebaiknya jangan dilihat mempersulit,
tapi bagian dari pelayanan publik. Ini juga akan menjadi
standard baru bahwa selain hak jawab, publik juga punya
hak dilupakan.
Contoh Kasus: Pemberitaan media terkait Komandan Sekolah Staf Komando (Sesko) TNI Letjen TNI
Djadja Suparman yang dikait-kaitkan sejumlah media terkait dengan teror Bom Bali di Kuta pada 12
Oktober 2002. Djadja dituduh, sehingga merasa keberatan dan sangat dirugikan, khususnya bagi istri dan
anak-anaknya. Kasus ini murni kesalahan media, dan sejumlah media sudah menyampaikan permintaan
maaf. Untuk melindungi Djaja, media sebaiknya mencabut semua berita terkait berita tidak benar itu di
media elektronik, berdasarkan penetapan pengadilan.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Pertanyaan Terakhir: Apakah Revisi UU
ITE Ini Memerdekakan atau Malah
Membelenggu? • Dengan penjelasan tadi, revisi ini justru positif dalam membangun informasi dan
komunikasi yang sehat bagi publik. Keliru menyebut revisi ini membelenggu, sebab
motivasi awalnya adalah justru untuk memperlonggar.
• Aparat tidak lagi dengan mudah menangkap dalam kasus dugaan pencemaran nama
baik.
• Mengakomodir putusan MK tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama
baik dalam bidang ITE bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan
sebagai delik aduan. Penegasan delik aduan ini agar selaras dengan asas kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
• Memberikan perlindungan bagi public yang dirugikan karena transaksi elektronik
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen.
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
• Bijaklah memanfaatkan informasi dan
transaksi elektronik di era digitalisasi ini!
DR. EVITA NURSANTY, MSC | ANGGOTA KOMISI I DPR RI
Terima Kasih