Post on 06-Feb-2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
beserta ridhonya sehingga referat yang berjudul ‘Efusi Pleura’ dapat terselesaikan.
Penulisan referat ini dimaksud untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan
klinikilmu ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi yang dilaksanakan
periode 1 Desember 2014- 7 Februari 2015.
Ucapan terimakasih kepada dr. Taufik, SpP selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan sumber bacaan, bimbingan serta arahan dalam membuat referat ini. Penulis
tentunya mengucapkan terimakasih kepada keluarga, teman-teman dan staf Rumah Sakit
Umum Daerah Bekasi yang telah berpartisipasi dalam pembuatan referat ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun agar menjadi perrbaikan dan
pembelajaran dalam penulisan berikutnya.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembacanya.
Bekasi, Januari 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA 4
B. DEFINISI 5
C. EPIDEMIOLOGI 6
D. PATOFISIOLOGI 7
E. KLASIFIKASI EFUSI PLEURA 8
F. ETIOLOGI DAN PATOLOGI ANATOMI 12
G. KLINIS 14
H. PENATALAKSANAAN 17
BAB III KESIMPULAN 21
DAFTAR PUSTAKA 22
2
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu
penyakit. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi
paru nontuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah ada,
infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di Negara-negara barat, efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri,
sementara di Negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan
oleh infeksi tuberkulosis.
Sebagai general practicioner maka kita perlu mendeteksi secara dini dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik maupun penunjang tentang gejala efusi pleura. Kemudian wajib diwaspadai
pada penderita tuberculosis yang mewabah di Indonesia
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA
Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini
membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis:1
1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan paru.
2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan dinding dada.
Pleura parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan pleura viseralis melapisi
paru-paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan
antara kedua pleura ini yaitu pleura viseralis bagian permukaan luarnya terdiri dari selapis sel
mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 µm). Diantara celah-celah sel ini terdapat
beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit
dan histiosit. Dibawahnya terdapat jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Pada lapisan
terbawah terdapat jaringan intertitial subpleura yang sangat banyak mengandung pembuluh
4
darah kapiler dari A. Pulmonalis dan A. Brankialis serta pembuluh getah bening.
Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini menempel dengan kuat pada jaringan parenkim
paru. Pleura parietalis mempunyai lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel
mesotelial juga dan jaringan ikat yaitu jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Dalam
jaringan ikat, terdapat pembuluh kapiler dari A. Interkostalis dan A. Mammaria interna,
pembuluh getah bening dan banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang peka terhadap rasa
sakit dan perbedaan temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus intercostalis
dinding dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga
mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya. Di antara pleura terdapat ruangan yang
disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan
dan memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi. Cairan tersebut
dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks. Tidak ada ruangan yang
sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis sehingga apa yang
disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan
dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru.
Jumlah normal cairan pleura adalah 10-20 cc.1
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan pleura
viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru yang
dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air. Kedua
kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke
ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Hal ini disebabkan karena
perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar
dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di dalam.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih
perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih
besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter
cairan di dalam rongga pleura.1
B. DEFINISI
Efusi pleura merupakan cairan patologis dalam rongga pleura. Orang normal di dalam
rongga pleura terdapat selalu ada cairan yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura
5
viseralis dan pleura parietalis, sehingga dengan demikian dapat gerakan paru mengembang
dan mengecil dapat berjalan dengan baik. Cairan fisiologis ini disekresikan oleh pleura
parietalis dan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan fisiologis dalam
rongga pleura ini berkisar antara kurang dari1 ml sampai 20 ml. setiap peningkatan volume
cairan tersebut dianggap sebagai efusi pleura
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden yang terjadi di US yang menyebabkan efusi pleura tahun 2007 adalah sebagai
berikut:2
Di Rumah Sakit persahabatan tahun 2012 dilakukan penelitian terdapat 104 pasien
efusi eksudatif dan 15 pasien efusi transudatif. Efusi terbesar disebabkan malignansi (42,8%)
diikuti oleh tuberkulosis (42%). Karakteristik efusi eksudatif adalah unilateral, melibatkan
hemitoraks kanan dan bersifat masif. Karakteristik efusi transudatif adalah bilateral,
melibatkan hemitoraks kanan dan bersifat tidak masif.3
Hasil penelitian ditemukan proporsi pasien di RSUP Adam Malik medan berdasarkan
pada jenis kelamin perempuan adalah 47 orang (34,6%) dan pada Laki-laki 89 orang (65,4%).
Proporsi berdasarkan kelompok umur 45-59 tahun adalah 44 orang (32,4%). Berdasarkan
tempat tinggal di perkotaan 110 orang (80,9%) dan pedesaan 26 orang (19,1%), berdasarkan
lokasi cairan dekstra 68 orang (50%) dan sinistra 59 orang (43,3%), berdasarkan frekuensi
6
pernafasan takipneu 83 orang (61%), berdasarkan etiologi dengan TB Paru 60 orang (44,1%)
dan Tumor Paru 40 orang (29,4%). 4
D. PATOFISIOLOGI
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses
pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu; 5
1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.
Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau
alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.
7
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumothoraks.6
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif.
E. KLASIFIKASI EFUSI PLEURA
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi
Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorbsi oleh pleura lainnya. Sedangkan efusi pleura dengan tipe cairan transudat, dapat
disebabkan oleh:5
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah
perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan
kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura
dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Terapi ditujukan pada perbaikan
payah jantung, bila kelainan jantung teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi
pleura juga biasanya berkurang, torakosentesis dapat dilakukan bila penderita amat sesak.
8
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan
dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.
Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang
ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya
cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa: tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah
tanpa adanya metastasis. Asites timbul sebagai proses kronis karena sekresi cairan yang
banyak oleh tumor, dimana efusi pleura terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi
melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisat.
Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang
permeable abnormal dan berisi protein transudat. Terjadinya perubahan permeabilitas
membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura misalnya: infeksi, infark paru atau
neoplasma. Protein yang terdapat dalam caira pleura kebanyakan berasal dari saluran getah
9
bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura dengan cairan
eksudat, dapat disebabkan oleh:5
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, rickettsia, chlamydia. Cairan efusi
biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan
keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan
efusi.
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi
timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan jarang
yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat
badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena adanya infasi tumor ke
pleura yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler, atau invasi tumor
ke kelenjar limfe paru-paru, jaringan limfe pleura, bronkhopulmonary, hillus atau
mediastinum, yang menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin
menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui
10
pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum
(needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru
atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan
pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa
kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang
diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:
a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir
bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.
Efusi transudat atau eksudat dapat dibedakan menurut perbandingan jumlah
laktat dehidrogenase (LDH) dan protein yang terdapat di dalam cairan pleura dan
serum. Efusi pleura eksudatif memenuhi setidaknya salah satu dari ketiga kriteria
berikut, sementara transudatif tidak sama sekali memenuhi kriteria ini: 6
Perbandingan kadar protein cairan pleura/protein serum > 0,5
Perbandingan kadar LDH cairan pleura/LDH serum > 0.6
Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar normal tertinggi serum (>200)
PARAMETER TRANSUDAT EKSUDATWarna
BJ
Jumlah set
Jenis set
Rivalta
Jernih
< 1,016
Sedikit
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (= GD
Jernih, keruh, berdarah
< 1,016
Banyak (> 500 sel/mm2)
PMN < 50%
11
Glukosa
Protein
Rasio protein T-E/plasma
LDH
Rasio LDH T-E/plasma
plasma)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
Negatif
60 mg/dl (bervariasi)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
F. ETIOLOGI DAN PATOLOGI ANATOMI
Efusi yang mengandung darah disebut dengan efusi hemoragis. Pada keadaan ini
kadar eritrosit di dalam cairan pleural meningkat antara 5.000-10.000 mm3. Keadaan
ini sering dijumpai pada keganasan pneumonia. Terdapat beberapa tipe cairan yang
dapat ditemukan pada efusi pleura, yaitu :7
Pleuritis eksudatif
Pada umumnya kelainan ini didasari oleh adanya suatu proses radang yang dapat akut
maupun kronis, selain itu dapat menjadi salah satu manifestasi kelainan sistemik. Suatu
pneumonia akut yang disebabkan oleh virus dapat pula disertai efusi pleura yang eksudatif
Suatu proses spesifik (TB) pada bagian paru atau iga atau kelenjar getah bening paru
yang dekat dengan pleura akan dapat merangsang pleura tersebut untuk menghasilkan cairan
yang disebut dengan eksudat. Keadaan ini juga dapat diakibatkan bersarangnya
mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami penyebaran secara hematogen atau
limfogen. Kadar proteinnya tinggi sehingga bila diperiksa dengan tes rivalta akan
menghasilkan kekeruhan atau tes Rivalta +. Dengan demikian rivalta ini sangat kental,
warnanya kekuning-kuningan, jernih, serta cukup banyak limfosit dan mononuclear. Dalam
hal ini penyakitnya disebut pleuritis eksudatif. Walaupun etilogi umumnya adalah basil TB,
tetapi penemuan basil TB pada cairan pleura dengan cara konvesional lebih sering negative
daripada positif. Biasanya pleuritis eksudatif karena TB hanya unilateral saja. Puncak
produksi eksudat tercapai dalam minggu ke3 yang dapat melampaui sela iga 4-5. Selama di
Indonesia TB merupakan penyebab tersering pleuritis eksudatif.8
12
SLE (Systemic Lupus Erythematosis) dapat pula menjadi penyebabnya, tetapi dalam
hal ini bersifat bilateral dan hampir selalu disertai dengan pembesaran bayangan jantung
(berkisar dari minimal sampai sedang). Rheumatoid arthritis dapat pula mengakibatkan
pleuritis eksudatif.
Hidrothorak
Pada keadaan hipoproteinemi berat (sindroma nefrotik, ankilostomiasis berat,
kekurangan kalori protein berat, dll) bisa timbul transudat. Dalam hal ini penyakitnya disebub
hidrothorak dan biasanya bilateral. Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung
kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebagai salah satu trias dari sindroma Meig (fibroma
ovarii, acites, dan hidrothoraks)
Hematotoraks
Bila karena suatu trauma thoraks timbul perdarahan dalam rongga pleura, keadaan ini
disebut hematothoraks. Trauma ini bisa karena ledakan dasyat di dekat penderita (blast
injury) atau trauma tajam maupun trauma tumpul.7
Piothoraks atau empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis ini berubah
menjadi pus, maka keadaan ini disebut piothoraksatau empiema.setiap kasus pneumoni perlu
diingat kemungkinan timbulnya piothoraks
Chylothoraks
Bila karena suatu proses keganasan dalam mediastinum terjadi erosi dari duktus
thoracicus disertai fistula ke dalam rongga pleura, maka timbul chylothoraks, dimana
cairanya adalah limfa (putih kekuning-kuningan seperti susu) keadaan ini juga timbul pada
trauma thoraks yang berat. Kelainan ini memang jarang ditemukan. Kelainan ini dapat
dijumpai pada penderita sirosis hepatis, dengan chylous acites, dimana cairan asites ini akan
menembus diagfragma dan masuk ke dalam rongga pleura.
Hidropneumothoraks dan piopneumothoraks
13
Bila pada suatu piopneumothoraks didapat juga udara diatas pus, maka disebut
piopneumothotaks. Bila cairan masih belum berupa pus makan disebut hidropneumothoraks.
Cairan pleura Hematosanguinis
Bila cairan patologis ini dihasilkan proses maligna pada pleura, baik primer maupun
sekunder maka cairan akan berwarna kemerah-merahan sampai coklat (hematosanguinis).
Suatu abses hati karena amoeba yang menembus cairan diagfragma akan pula menimbulkan
efusi pleura kanan dengan cairan hematosanguinis.
G. KLINIK
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamasi atau jika mekanika paru terganggu.
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau
dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau
nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis , panas tinggi , subfebril , banyak keringat, batuk, banyak riak.
Berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan.7
a. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil
pada sisi yang sakit
Perkusi. Pekak pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada
pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi
bisa menjalar ke daerah lain :9
14
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.
15
2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian
bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:9
a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-
santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru,
keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan agak
purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena
amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel :
3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
16
4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.
5. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor
pada dinding dada.
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga
dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai
berikut:10
a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam
posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara
sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.
17
d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas
kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.. Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli
udara, dan laserasi pleura viseralis.
4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.
Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis.
18
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa
dan plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke dalam rongga pleura.
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan
selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika
19
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru
dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam
faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan
larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain
2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan
11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang
toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin
merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak
keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan
biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.
20
BAB III
KESIMPULAN
Efusi pleura merupakan manifestasi klinis dari adanya suatu penyakit. Oleh karena
itu, sebagai general practitioner kita harus mengetahui diagnosis, serta tindakan awal agar
tidak memperburuk prognosis yang dialami pasien.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang perlu dilakukan secara
cermat guna mengetahui diagnosis dini yang baik serta penatalaksanaan yang baik. Efusi
pleura di Indonesia cukup banyak apalagi di Indonesia daerah endemic TB yang merupakan
salah satu causa dari efusi pleura.Penyuluhan langsung pada masyakrakat secara umum
dalam arti luas mengenai penyakit paru terutama efusi pleura perlu dilakukan untuk masukan
masyarakat tentang deteksi dini.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 9th ed. In: Setiawan, I., Tengadi,
KA, Santoso A. Jakarta: EGC: 2006.p.150-67.
2. Robert WK. Pleura diaseas.
http://thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/chapter-14-pleural-
disease.pdf accesed on 20 january 2015
3. Khairani R, Syahhrudin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di Rumah
Sakit PersahabatanJ Respir Indo. 2012; 32:155-60
4. Tobing EMS, Wirahardjo. Karakteristik Penderita Efusi Pleura di RSUP Adam Malik
Medan tahun 2011. E jurnal FK USU volume 1 no 2 tahun 2013
5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th
edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York. 2008; 108-23
6. Halim H, Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007.
Balai Penerbit FK UI Jakarta.
7. Danususantoso H, Penyakit-penyakit pleura.. In: Danususantoso H. Buku Saku Ilmu
Penyakit Paru. 2nded. Jakarta:Hipokrates 2005.p261-75.
8. Jasaputra DK, Widjaya JT, Wargasetya T, Makangiras I. Deteksi Mycobacterium
tuberculosis dengan Teknik PCR pada Cairan Efusi Pleura Penderita Tuberkulosis
Paru .JKM. Vol.7 No.1 Juli 2007: 01-14
9. Jeremy, et al. Efusi Pleura In: Jeremy. At a Glance Medicine 2nd. EMS. Jakarta :
2008.p.108-34
10. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. In: jeremy At a Glance Sistem respirasi 2nd. EMS.
Jakarta : 2008.p.211-43
22