Post on 07-Feb-2016
BAB 1
PENDAHULUAN
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan akut yang sudah diketahui adanya sejak
tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis dan merupakan satu-satunya
penyebab pertusis epidemik adalah bakteri gram negatif Bordetella pertussis.1
Dahulu pertusis adalah penyebab utama kematian pada bayi sebelum
adanya vaksinasi untuk pertusis. Meskipun pertusis relatif terkendali dengan baik
saat ini dengan program vaksinasi yang luas, terbukti bahwa peredaran Bordetella
pertussis di seluruh dunia terus berlanjut.9 Saat ini, masih terdapat 60 juta kasus
pertusis tiap tahunnya di seluruh dunia, dengan sekitar 300.000 angka kematian.
Memang, sebagian besar angka kematian berasal dari anak-anak pada negara-
negara berkembang yang tidak divaksinasi. Namun, insidensi dan mortalitas juga
masih dilaporkan di negara-negara maju meskipun negara-negara ini memiliki
cakupan vaksinasi yang tinggi sejak tahun 1990-an.5 Peningkatan insidensi kasus
pertusis terutama terjadi pada remaja dan orang dewasa, sehingga menjadi
sumber penular terhadap bayi kecil.8
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pertusis merupakan suatu infeksi akut saluran respiratorik yang sangat
menular, disebabkan oleh Bordetella pertussis. Bordetella pertussis adalah bakteri
batang yang bersifat gram negatif. Organisme ini ditularkan dari orang ke orang
melalui udara.1,9,5,4
Pertusis juga disebut sebagai tussis quinta, whooping cough, violent
cough, batuk rejan, batuk 100 hari, ditandai oleh batuk spasmodik yang panjang,
berakhir dengan batuk disertai suara keras (‘whoop’) dan muntah.3
2.2 Epidemiologi
Pertusis sangat menular, dengan angka serangan setinggi 100% pada
individu yang rentan terpajan melalui droplet-droplet di udara dalam jangkauan
jarak yang dekat.1,5 Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan
lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948,
pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di
bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.1 Insiden pertusis di Amerika dilaporkan
meningkat 2 dekade terakhir terutama pada remaja dan orang dewasa.4 Beberapa
penelitian menyebutkan hal ini disebabkan karena efek vaksin berkurang setelah
10-15 tahun sehingga remaja dan orang dewasa akan rentan terhadap pertusis dan
menjadi reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan bagi bayi.3,4
Kecenderungan ini terjadi mungkin juga karena adanya peningkatan dalam
teknik diagnosis dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini.4
2
(Sandora, 2008)
Gambar 2.1Insiden Pertusis di Amerika Berdasarkan Umur
Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO) pada tahun 2008 diperkirakan terdapat sekitar 227.345 kasus pertusis,
dengan prevalensi 62.186 kasus terjadi pada anak di bawah usia 14 tahun,
145.439 kasus pada rentang usia 14-59 tahun, dan 19.720 kasus pada usia di atas
60 tahun. Didapatkan angka kematian sekitar 0,3 % hanya dari populasi dibawah
usia 14 tahun.11
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.1
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.4,6,9
Dilaporkan sebagian besar kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober.
Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-
5 tahun.1
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya host dan
penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet pasien. Antibodi
dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi
3
baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan
dari ibu dengan gejala pertussis ringan.3
2.3 Etiologi
Kuman penyebab pertusis pertama kali diisolasi pada tahun 1900 oleh
Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat
dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu
Bordetella pertusis, Bordetella parapertusis, Bordetella bronchiseptica, dan
Bordetella avium. Bordetella pertusis dan Bordetella parapertusis merupakan
patogen pada manusia. Bordetella bronchiseptica merupakan patogen pada kucing
dan hewan pengerat, sedangkan Bordetella avium merupakan patogen pada
burung. Batuk yang lama juga dapat disebabkan oleh mycoplasma, virus
parainfluenza atau influenza, enterovirus, virus sinsitial respiratorik atau
adenovirus.3
(Todar, 2014)Gambar 2.2
Bordetella pertussis dengan pewarnaan Gram
Bordetella pertussis berukuran 0,5 – 1 um, diameter 0,2 – 0,3 um,
cocobacillus, gram negatif, aerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.
Spesimen bisa didapatkan melalui hapusan nasofaring pasien pertusis, selanjutnya
4
ditanam pada agar media Bordet-Gengou. Bordetella pertussis menghasilkan
beberapa antigen, antara lain: Lymphocyte Promoting factors (Pertussis Toxin),
Filamentous hemagluntinine (FHA), Pertactine 69-kDa OMP, Aglutinogen
fimbriae, Adenylate cyclase, Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide), Tracheal
cytotoxin, Tracheal colonization factor, Dermonecrotic toxin / heat labil toxin,
serum resistance factor dan type III secretion.3
2.4 Patogenesis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.1,7
(Tozzi et al, 2005)Gambar 2.3
Perlekatan Bordetella pertussis di Silia Sel Epitel Saluran Napas
5
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis
kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas.3
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub
unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan
subunit A yang akan mengaktifkan enzim pada membrane sel.3
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membran sitoplasma, mengakibatkan terjadinya perubahan
fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, menghambat reseptor beta
adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.3
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru.3
Serangan batuk yang beruntun dan hebat akan menyebabkan gangguan
pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi sehingga menimbulkan hipoksemia dan
sianosis. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat
6
yang terjadi pada pertusis, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah
sekunder sebagai akibat hipoksia. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.3
2.5 Manifestasi klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi mukosa nasofaring, trakea,
bronkus, dan bronkiolus sehingga pembentukan lendir semakin banyak.3
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan.1,3
1. Fase Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari, makin lama
makin berat, kemudian terjadi sepanjang hari)
Demam
Bersin-bersin
Nafsu makan berkurang
Pada stadium ini, pasien sangat menular dan kuman penyebab pertusis
paling mudah untuk diisolasi3
2. Fase Spasmodik / Paroksismal
Lamanya 1-4 minggu, batuk makin bertambah berat dan terjadi
paroksismal berupa batuk beruntun, lebih dari 10 kali sehari. Penderita
berkeringat, tampak pelebaran pembuluh darah di bagian leher dan
7
wajah. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah
dengan muka merah dan sianotik. Terjadi serangan batuk panjang, tanpa
inspirasi diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang
dan berbunyi melengking).3
Sering disertai muntah bercampur lendir yang kental. Pada bayi, lendir
yang sangat kental menyebabkan obstruksi jalan nafas, bayi terlihat sesak
napas, sering apnea, tampak sakit berat dan iritabel. Pada batuk yang
berat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis akibat adanya
tekanan pada waktu batuk. Serangan apnea sangat mungkin terjadi pada
bayi berusia dibawah 6 bulan akibat ketidaksesuaian antara ventilasi dan
perfusi oksigen. “Whoop” bisa tidak terdengar pada kasus pertusis
atipikal, pada bayi muda, anak yang telah diimunisasi dan pada pertusis
yang disertai pneumonia.3
3. Fase Konvalesen
Lamanya kira-kira 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu ke 4-6
serangan batuk berkurang, juga muntah berkurang, nafsu makan mulai
membaik. Rhonki difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai
menghilang. Lama pertusis tanpa komplikasi bervariasi dari 6 minggu
hingga 20 minggu. Pertusis dapat mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva dan epistaksis. Komplikasi yang lebih berat dapat berupa
apnea pada neonatus, pneumonia, atelektasis, emfisema, bronkiektasis,
pneumothoraks, hipertensi pulmonal, hernia dan prolaps rekti.
Komplikasi pada sistem saraf pusat dapat berupa kejang, penurunan
kesadaran, edema serebri, perdarahan otak. Batuk hebat berkepanjangan
8
dapat berpengaruh pada asupan nutrisi sehingga pasien mengalami
malnutrisi. Komplikasi dan kematian pada pertusis umumnya terjadi
pada bayi berumur dibawah 6 bulan3
(Hong, 2010)Gambar 2.2
Manifestasi dan Komplikasi Pertusis
2.6 Diagnosis
Diagnosis pertusis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya
riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal
dan bunyi whoop yang jelas. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.3
9
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/μL
dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring pada media khusus Bordet-
Gengou dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium
kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun
sampai 20% untuk waktu berikutnya.3 Radiografi dada normal pada kebanyakan
kasus, namun sebagian besar bayi yang dirawat inap mungkin ditemukan infiltrat
perihilus, edema, dan atelektasis. 1,3
WHO menetapkan definisi pertusis secara klinis untuk pasien di negara
dengan tingkat cakupan imunisasi pertusis yang rendah, meliputi batuk sedikitnya
21 hari dan hasil laboratorium yang menunjang pertusis, atau kontak dengan kasus
yang terbukti pertusis. Definisi ini tidak termasuk temuan laboratorium pertusis
pada kasus dengan periode batuk yang lebih singkat. Centers for Disease Control
(CDC) menetapkan definisi pertusis untuk negara-negara dengan program
imunisasi rutin, terdiri dari 2 pendekatan yang berbeda :3
a. Diagnosis klinis yang positif, yang didefinisikan sebagai batuk yang
berlangsung lebih dari 14 hari, dengan episode batuk paroksismal,
inspirasi “whoop” atau muntah pada akhir batuk tanpa alasan jelas
lainnya.
b. Diagnosis laboratorium positif, yang didefinisikan sebagai hasil
positif dari kultur Bordetella pertussis atau tes PCR yang diperoleh
melalui spesimen nasofaring.
Sesuai dengan definisi ini, kasus “proven” pertusis adalah kasus dengan
diagnosis laboratorium positif ATAU kasus yang sesuai dengan diagnosis klinis
10
dan tes laboratorium positif ATAU memiliki kontak epidemiologi dengan kasus
terbukti pertusis yang telah dikonfirmasi oleh hasil laboratorium. Kasus
“probable” pertusis bila sesuai dengan definisi klinis tetapi tes laboratorium tidak
mendukung dan juga tidak ditemukan kontak dengan pasien pertusis. Karena
diagnosis pertusis klasik berdasarkan kriteria klinis, meningkatnya manifestasi
pertusis atipikal pada kalangan anak-anak, remaja dan dewasa merupakan
tantangan terhadap pengembangan cara diagnosis pertusis.3
Pemeriksaan laboratorium yang dipakai sebagai uji diagnostik pertusis
adalah kultur, PCR dan tes serologi.3
1. Kultur
Diagnosis pasti pertusis adalah hasil positif kultur hapusan nasofaring.
Bakteri penyebab pertusis ini bisa diperoleh dari pasien hanya selama 3-4
minggu pertama sakit. Sensitivitas kultur ini sangat dipengaruhi oleh sifat
kuman Bordetella pertussis. Hasil kultur dapat negatif pada pasien yang
telah sakit dalam waktu lama, telah mendapat antibiotik sebelumnya dan
pada anak-anak yang telah mendapat vaksinasi
2. PCR
Tes PCR lebih sensitif dibanding kultur untuk mendeteksi B.
pertussis, terutama setelah 3-4 minggu dan sesudah penggunaan
antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai
sensitivitas yang tinggi. Tes PCR bisa digunakan untuk mengidentifikasi
beberapa strain Bordetella. Meskipun hasil positif palsu dari PCR
menimbulkan masalah tersendiri, CDC masih merekomendasikan PCR
sebagai tes yang penting untuk diagnosis pertusis
11
3. Serologi
Tes serologi ialah pengukuran antibodi serum terhadap antigen
tertentu dari kuman pertusis. Tes serologi dengan metode Elisa
dinyatakan positif apabila terdapat peningkatan titer antibodi antara fase
akut yang diperoleh dalam minggu pertama timbulnya gejala dan fase
konvalesen yang diperoleh 4-6 minggu kemudian. Titer antibodi serum
tunggal yang tinggi yang diperoleh minimal 3 minggu setelah mulai sakit
juga dapat mengkonfirmasi diagnosis. Keuntungan tes serologi adalah
lebih mudah dilakukan dan karena itu paling umum digunakan untuk
membantu diagnosis pertusis. Kelemahan tes serologi adalah kurang
sensitif pada bayi kecil dan kurang spesifik (positif palsu pasca
vaksinasi). Sensitivitas dan spesifisitas tes serologi lebih rendah
dibandingkan PCR dan kultur.
2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana pertusis meliputi terapi suportif, eradikasi bakteri dan
berbagai upaya pencegahan. Terapi suportif terdiri dari pemberian cairan dan
nutrisi yang adekuat, oksigenasi, pereda batuk apabila batuk sangat mengganggu,
dan penghisapan lendir. Sedangkan eradikasi bakteri dengan pemberian
antibiotika. Antibiotika akan menurunkan transmisi penyakit sehingga
mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Antibiotika yang
direkomendasikan ialah eritromisin, azitromisin, klaritromisin dan trimethoprim
sulfamethoxsazole.3
12
Tabel 2.1 Dosis antibiotik yang direkomendasikan untuk pengobatan pertusis
Sumber : Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
Antibiotika profilaksis direkomendasikan pada individu yang kontak aktif
dengan penderita pertusis 3 minggu sejak onset penyakit. Pedoman pemberian
antibiotika profilaksis bervariasi pada berbagai negara, diutamakan pada individu
yang mempunyai resiko tinggi seperti bayi yang belum mendapatkan imunisasi
dasar 3 kali, pada wanita hamil bulan terakhir, pada anak berusia dibawah 7 tahun
dengan vaksinasi terakhir telah melampaui 3 tahun.3
2.8 Pencegahan
Upaya pencegahan pertusis dilakukan dengan cara isolasi, imunisasi aktif
dan imunisasi pasif. Isolasi diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai
pasien setidaknya mendapatkan antibiotika sekurang-kurangnya hari, atau 3
minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan
13
antibiotika. Pencegahan juga dapat dilakukan melalui pemberian imunisasi aktif
dan pasif. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka
kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Imunisasi pasif
dengan cara memberikan kuman hyperimmune globulin, namun hingga saat ini
ada belum ada kesepakatan mengenai pemberian imunoglobulin pada pertusis.3
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan infeksi. Vaksin terdiri
dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai antigen.
Semua anak berusia kurang dari 7 tahun harus mendapatkan imunisasi pertusis.
Imunisasi tidak dapat mencegah pertusis secara keseluruhan., namun terbukti
dapat memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis. Global Inisiative
Pertussis pada tahun 2001 merekomendasikan strategi imunisasi terhadap pertusis,
yaitu :3
a. Imunisasi universal pada kelompok dewasa
b. Imunisasi selektif pada ibu baru, keluarga dan orang yang kontak erat
dengan bayi baru lahir
c. Imunisasi selektif pada petugas kesehatan dan perawatan anak
d. Imunisasi universal pada remaja
e. Strategi untuk memperkuat dan / atau meningkatkan imunisasi pada bayi
dan balita
Proteksi dengan imunisasi aktif sangat penting pada bayi karena bayi
sangat rentan terhadap komplikasi berat pertusis dan juga karena tingginya angka
kematian pada usia bayi. Vaksin yang digunakan biasanya merupakan kombinasi
toksoid difteri, tetanus dan vaksin pertusis. Dikenal dua jenis vaksin pertusis,
yaitu vaksin whole cell (wP) yang telah digunakan selama lebih dari 60 tahun.
14
Dan vaksin acelullar (aP) yang dikembangkan sekitar tahun 1980. Vaksin whole
cell dikemas bersama vaksin difteri dan tetanus, memberikan efikasi 70-90%
setelah pemberian 3 dosis dasar dan 2 kali boster. Vaksin DTwP terkait dengan
beberapa efek samping lokal (eritema, bengkak, nyeri di tempat suntikan), demam
dan gangguan sistemik lain (gelisah, anoreksia). Walaupun sangat jarang pernah
dilaporkan kejang dan ensefalopati akut sebagai efek samping imunisasi. Vaksin
pertusis acelullar jarang menimbulkan efek samping lokal maupun sistemik,
memberikan efikasi antara 59-89%. Vaksin acelullar mengandung endotoksin
substansial kurang dibandingkan dengan vaksin whole cell. Perlindungan vaksin
whole cell pertusis 6-8 tahun setelah vaksinasi terakhir sedangkan vaksin acelullar
efikasi menurun 4-6 tahun setelah imunisasi terakhir. Berdasarkan hal tersebut
perlu dilaksanakan pemberian imunisasi ulangan pada anak diatas usia 7 tahun,
remaja, ibu hamil, ibu pasca melahirkan, dewasa dan orang tua sehingga secara
tidak langsung akan memberikan proteksi pertusis pada bayi baru lahir.
Cocooning strategy dilaksanakan dengan cara memberikan imunisasi pertusis
kepada anggota keluarga (orang tua, saudara, kakek nenek, anggota keluarga
serumah, pengasuh) dan semua staf / petugas medis yang menangani bayi baru
lahir.3
Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan imunisasi pertusis
sebagai berikut :3
1. Anak berusia dibawah 7 tahun : mendapatkan imunisasi DTP saat
berusia 2, 4, 6 bulan, ulangan pada usia 12-18 bulan dan 4-6 tahun.
2. Anak / individu berusia diatas 7 tahun : mendapatkan imunisasi
ulangan (DT atau Td atau Tdap)
15
3. Wanita hamil : diberikan Tdap pada kehamilan akhir trimester 2 atau
pada trimester 3 (kehamilan > 20 minggu). Bila selama hamil belum
mendapatkan imunisasi, maka setelah persalinan ibu dianjurkan
menerima imunisasi Tdap untuk menghindarkan bayinya dari pertusis.
Dari data penelitian diketahui bahwa 76-83% bayi baru lahir
mendapatkan transmisi pertusis dari anggota keluarga atau individu
sekitarnya.
2.9 Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.1
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada anak-anak dengan
pertusis, sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia,
S.auris, S.piogenes).1,3
3. Gejala emfisema dan atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena
ada sumbatan lendir yang kental.3
4. Sering terjadi otitis media.1
5. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, epistaksis, perdarahan pada
sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks, emfisema, hernia
umbikalis, hernia inguinalis, dan prolaps rekti.1
6. Apnea atau bradikardi atau keduanya dapat terjadi karena
laringospasme atau rangsangan vagus tepat sebelum batuk, dari
obstruksi saat batuk, atau dari hipoksemia setelah batuk.1
7. Dapat pula terjadi konvulsi, akibat hipoksemia.1
16
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : An. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 3 bulan
Anak ke : 1
Alamat : Ngadisimo
Agama : Islam
Suku : Jawa
MRS : 8 – 11 – 2014
Nama Ayah : Tn. W
Usia : 23 th
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Nama Ibu : Ny. S
Usia : 21 th
Pekerjaan : IRT
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Batuk
17
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Batuk (+) sejak ± 2 bulan yang lalu, batuk terutama pada malam hari. Tiga
hari ini batuk lebih ngikil dan grok-grok. Batuk diakhiri dengan seperti mau
muntah. Demam (-), pilek (-), kejang (-), BAK/BAB biasa. Minum ASI (+)
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Saat umur 1 bulan pasien mulai batuk, dibawa ke PKM. Batuk sempat
berhenti seminggu, namun setelah itu kambuh lagi dan sampai sekarang tidak
berhenti.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah punya asma, namun sudah lama tidak kambuh, terakhir kambuh
umur 6 tahun. Di rumah & tetangga tidak ada yang batuk
3.2.5 Riwayat Ekonomi dan Sosial
Orang tua px mengaku rumahnya lembab, cahaya yang masuk kurang, dan
berdebu.
3.2.6 Riwayat Persalinan
Lahir spontan normal, aterm, BBL 2500 g, lahir di bidan.
3.2.7 Riwayat Imunisasi:
BCG +
DPT I/II/III -/-/-
Polio I/II/III +/-/-
Campak -
Hepatitis I/II/III +/-/-
18
3.2.8 Riwayat Tumbuh kembang
Z score :
BB/U : 5,3 kg/ 3 bulan = -2 SD s/d 0 SD = Normal
BB/PB : 5,3/ 60 cm = -2 SD s/d +2 SD = Normal
PB/U : 60 cm/ 3 bulan = -2 SD SD = Normal
LK/U : 38,5/ 3 bulan = -2 SD s/d 0 SD = Normal
Motorik Kasar:
Mengangkat kepala
Tengkurap
Duduk dengan bantuan
Motorik Halus : Memegang benda
Verbal : Mengoceh spontan
Sosial : Tertawa saat diajak bermain
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : Nadi : 140 x/menit
Suhu : 36,8 C⁰
RR : 65 x/menit
TB: 60 cm, BB: 5,3 Kg
19
Kepala/Leher : a/i/c/d: -/-/-/+, perdarahan subkonjungtiva(-) napas cuping
hidung (-), pembesaran KGB (-), retraksi suprasternal (+)
Pulmo Inspeksi: Bentuk dada normal, simetris, retraksi intercostal
(+)
Palpasi : ekspansi paru N/N, fremitus N/N
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, Crackles +/+
Jantung Pembesaran : normal
Auskultasi : S1S2 tunggal, bising (-)
Abdomen Inspeksi : chest indrawing (+), flat
Palpasi : Soepel, turgor normal,
Hepar : Tidak teraba,
Lien : Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Bising usus : BU normal
Ekstremitas Akral hangat, kering, merah.
edem (-), CRT < 2 detik
Genitalia Tidak tampak kelainan
3.4 Laboratorium
a. Darah Lengkap
Parameter Nilai Nilai Rujukan
WBC (leukosit) 22,3 X 10³/ ul 4,8 – 10,8
RBC (eritrosit) 4,00 x 106 /ul 4,2 – 6,1
HB (Hemoglobin) 10,4 gr/dl 12 – 18
20
HCT (Hematokrit) 31,4% 37 – 52
PLT (Platelet) 639 x 10³ / ul 150 – 450
MCV 78,5 fL 79,0 – 99,0
MCH 26 pg 27,0 – 31,0
MCHC 33,1 gr/dl 33,0 – 37,0
RDW 13,9 fl 11,5 – 14,5
PDW 9,2 fL 9,0 – 17,0
MPV 9,2 fL 9,0 – 13,0
LYM% 64,5 25 – 40
NEUT% 25 50 – 70
MONO% 8,7 25 – 30
LYM# 14,38 0,8 – 4
NEUT# 5,57 2 – 7,7
MONO# 1,95 2 – 7,7
b. Urin Lengkap
Parameter Nilai Parameter Nilai
WBC 0 cell/ul PH 6,0
KET 0 mmol/ul VC 0 mmol/L
NIT - LEUCO 0 – 1
BIL 0 umol/L ERY -
PRO 0 gr/L CYL -
GLU 0 mmol/ L EPTH 0 – 1
SG 1,010 KRIST Amorph (+)
21
c. Feses Lengkap
Warna
Konsistensi
Blood
Slym
Erytrosit
Lekosit
Amoeba
Kista
Worm
coklat
lembek
(-)
(-)
(-)
3-4
(-)
(-)
(-)
3.5 Radiologi
Hasil Pemeriksaan Radiologi:
Cor : tidak membesar
Pulmo :
- Tampak patchy infiltrat di supra parahiler & paracardial dextra-
sinistra.
- Penebalan hilus dextra
Sinus costophrenicus dextra sinistra tajam
Kesan: Bronkopneumonia
Penebalan hilus dextra DD vesikuler, retensi sekret, lymphadenopathy
22
3.6 Problem List
1. Dyspnea (takipnea, retraksi (+))
2. Batuk paroksismal
3. Whoop
4. Riwayat imunisasi DPT (-)
5. Riwayat keluarga asma
6. Wheezing
7. Leukositosis dengan limfositosis absolut
3.7 Initial Diagnosis
Pertusis
Asma bronkiale
3.8 Differential Diagnosis
Bronkopneumonia
Bronkiolitis
Croup
3.9 Planning
3.9.1 Diagnosis
– Kultur
– PCR
3.9.2 Terapi
– Infus N4 500 cc / 24 jam
– O2 kanul 2-3 lpm
23
– Eritromisin syrup 4 x ¼ cth (212 - 265 mg/hari dibagi dalam 4 dosis)
selama 14 hari
– Nebulisasi Salbutamol 2,5 mg/kali tiap 4 jam
3.9.3 Monitoring
– Monitoring keluhan pasien (batuk, sesak)
– Vital Sign (TD, N, RR, suhu)
3.9.4 Edukasi
– Menjelaskan penyakit yang diderita pasien
– Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan
– Menjelaskan penatalaksaan yang akan dilakukan, cara penggunaan obat,
tujuan dan manfaat, serta efek samping obat
3.10 Follow up
8/11/14 9/11/14 10/11/14 11/11/14 12/11/14
Suhu 36,8 36,7 36 36,5 36,5
Nadi (x/mnt) 140 120 110 106 100
RR (x/mnt) 65 50 43 30 30
Retraksi suprasternal
+ + + - -
Retraksi
intercostae +|+ +|+ +|+ - | - - | -
Crakles - -+ ++ +
- -+ ++ +
- -+ ++ +
- -+ ++ +
- -+ ++ +
Wheezing -/- +/+ +/- +/- -/-
Sesak +++ +++ ++ - -
Batuk ++ ++ ++ ++ ++
24
Pilek - - - - -
Terapi Infus N4 14 tpm
Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl
Inj meixam 3 x 7 mg
Inj Amoxilin 3 x 150 mg
Nebuli zer : pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari
Infus N4 14 tpm
Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl
Inj meixam 3 x 7 mg
Inj Amoxilin 3 x 150mg
Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari
Infus N4 14 tpm
Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl
Inj meixam 3 x 75 mg
Inj Amoxilin 3 x 150mg
Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari
Infus N4 14 tpm
Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl
Inj meixam 3 x 75 mg
Inj Amoxilin 3 x 150mg
Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari
Infus N4 14 tpm
Inj. Dexame thasone 3 x 1/3 ampl
Inj meixam 3 x 75 mg
Inj Amoxilin 3 x 150mg
Nebuli zer pulmi cort ¼ + ventolin¼ + PZ 2x1/hari
25
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus ini seorang bayi laki-laki berusia 3 bulan datang ke IGD
RSUD Gambiran Kediri. Berdasarkan aloanamnesis dengan orang tua pasien
didapatkan keluhan batuk sudah ± 2 bulan, namun 3 hari ini batuk terlihat lebih
parah, sekalinya batuk terus-menerus sampai sesak dan diakhiri dengan seperti
mau muntah, baru setelah itu batuk berhenti. Selain itu dari aloanamnesis
diketahui bahwa anak belum mendapatkan imunisasi DPT. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, didapatkan dyspnea yang ditandai dengan meningkatnya
frekuensi napas serta terlihat adanya retraksi suprasternal dan retraksi intercostae,
Didapatkan juga crakcles saat auskultasi. Batuknya terlihat paroksismal saat
ekspirasi dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan berbunyi
melengking) walaupun tidak sampai muntah. Pada pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan darah lengkap, didapatkan leukositosis dengan limfositosis absolut.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang didapatkan pada
pasien ini, diagnosis mengarah kepada pertusis. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa pertusis adalah suatu infeksi akut saluran respiratorik yang
ditandai oleh batuk spasmodik yang panjang dan berakhir dengan batuk disertai
suara keras (‘whoop’) dan muntah. Selain itu juga didapatkan leukositosis dan
limfositosis absolut pada pemeriksaan darah lengkap. Namun saat follow-up
didapatkan adanya wheezing saat auskultasi. Bila disesuaikan dengan riwayat
keluarga dengan asma, besar kemungkinan pasien juga menderita asma bronkiale.
26
Penanganan pada kasus ini adalah perlu dilakukan MRS sehingga dapat
dilakukan pemberian O2 kanul 2-3 lpm pada distres pernapasan akut. Secara
medikamentosa diberikan terapi antibiotik untuk eradikasi bakteri penyebab
pertusis. Antibiotik yang dianjurkan salah satunya adalah eritromisin yang untuk
bayi berumur 1-5 bulan dapat diberikan 40–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
dosis selama 14 hari. Diberikan juga bronkodilator kerja cepat dengan nebulisasi
salbutamol 2,5 mg/kali tiap 4 jam untuk mengatasi asma pada pasien.
27
BAB 5
PENUTUP
Telah dilaporkan kasus pertusis yang diderita oleh seorang bayi laki-laki
berumur 3 bulan dengan berat badan 5,3 kg dan panjang badan 60 cm yang datang
ke IGD RSUD Gambiran Kediri dengan keluhan utama batuk. Diagnosis pertusis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pasien 3 hari ini
batuknya terlihat lebih parah, belum mendapat imunisasi DPT, didapatkan
dyspnea yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi napas serta terlihat adanya
retraksi suprasternal dan retraksi intercostae, Didapatkan juga crakcles saat
auskultasi. Batuknya terlihat paroksismal saat ekspirasi dan diakhiri dengan
whoop (tarikan nafas panjang dan berbunyi melengking) walaupun tidak sampai
muntah. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis dan
limfositosis absolut. Saat follow-up, didapatkan adanya wheezing pada auskultasi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin, 2000, Pertusis, Dalam: Wahab A, et al, Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol 2 ed 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal 960-65
2. Cherry JD, 2005, The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2014 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.
3. Iskandar D., Setyaningrum R. A., Ugrasena, et al, 2013, Cough and Respiratory Problem in Children, IDAI Cabang Jawa Timur Perwakilan Jatim IV, Kediri : hal 73-84
4. Sandora. T.J, 2008, Pertussis Vaccination for Health Care Workers, Clinical Microbiology Review, USA, p. 426–434
5. Hong. J.Y, 2010, Update on pertussis and pertussis immunization, Department of Pediatrics, School of Medicine, Jeju National, University hospital, Korea.
6. Black S, 1997, Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 30 Desember 2014 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
7. Todar, Kenneth, 2014, Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
8. Deasyanti. R., 2011, seroproteksi Antibodi Anti Pertusis Pada Anak Usia 6-7 tahun dengan Riwayat Vaksinasi DTP dasar Lengkap dan Ulangan di sekolah Dasar di Jakarta, Jurnal Sari Pediatri, Vol. 13, No. 1., Jakarta.
9. Mattoo .S, Cherry .J.D, 2005, Molecular pathogenesis, epidemiology, and clinical manifestations of respiratory infections due to Bordetella pertussis and other Bordetella subspecies. Clin Microbiol Rev., USA, p 326–382.
10. Tejpratap Tiwari, 2005, Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis, CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
11. World Health Organization (WHO), 2011, Global Burden Disease Death Estimates 2008, WHO Press, Switzerland.
12. Tozzi, A.E., Celentano L.P., et al, 2005, Diagnosis and management of pertussis, JAMC, Italy.
29