Post on 23-Jun-2015
REFERAT
GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
(NOISE INDUCED HEARING LOSS)
Oleh :
Lalu M. Satrial Iip W.A.P.
( H1A 005 030 )
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
1
2010
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara
dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri
Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong
cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk
dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia
Tenggara.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang dilaksanakan di 8 Provinsi
Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Angka
prevalensi tersebut sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8% dan
ketulian 0,4%. (1)
Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-
mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya. Akibatnya kebisingan makin dirasakan
mengganggu dan dapat memberikan dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung
akibat kebisingan ini sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan,
maka bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan
pendidikan.(2) Sama halnya dengan akibat yang ditimbulkan pada masyarakat yang lokasi tempat
tinggalnya berdekatan dengan sumber bising. Trauma akustik ataupun gangguan pendengaran
lain yang timbul akibat bising, gangguan sistemik yang timbul akibat kebisingan, penurunan
kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah.
3
Industri yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan,
pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat ( pencetakan
besi, proses penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang
kuat (pesawat terbang, truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji
coba mesin-mesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul
setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising,
komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya
tetap tidak diketahui. (3)
Salah satu bising industri yang dianggap perlu untuk diteliti adalah bising pesawat terbang.
Penelitian mengenai pengaruh bising pesawat terbang terhadap kemampuan pendengaran pekerja
telah banyak dilakukan. Diantarannya yaitu penelitian yang dilakukan di London Inggris dimana
peneliti membandingkan antara subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang tinggi
dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang rendah. Hasilnya adalah didapat kejadian
gangguan pendengaran lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang
tinggi. (4) Penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama, dimana pada pekerja bandara laki-
laki di Korea menunjukkan perbedaan yang significant pada kejadian hilangnya pendengaran
(lebih dari 25 dB) antara subjek yang terpapar bising dengan yang tidak terpapar bising pesawat
terbang (p< 0.5). Hampir 60,8 % dari pekerja yang terpapar bising tersebut tercatat sebagai
pengguna HPDs (Hearing Protective Devices). (5)
Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera pendengaran
sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka
diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap masalah kesehatan indera pendengaran
khususnya tuli akibat pemajanan bising (TAB/NIHL).
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Pendengaran
2.1.1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi
kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada
duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. (6)
Gambar 2.1 Anatomi Telinga
5
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga
sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen
stilomastoideus dan berjalam ke lateral menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang
telinga, dan berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis. (8)
2.1.2. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang terbuka melalui tuba
auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring keluar. Tuba biasanya tertutup,
tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua
sisi gendang telinga seimbang. (9)
Gambar 2.2. Membran timpani
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani, batas depan
yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang yaitu
aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis. Batas atas yaitu tegmen timpani (meningen/
otak), dan batas dalam berturut-turut dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal,
6
kanalis facialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promomtorium.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke
dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga saling berhubungan.
Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada
tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. (7)
Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah. (8)
2.1.3. Telinga Dalam
Labirin ( telinga dalam ) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan, terletak pada
pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan labirin bagian membran.
Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea. Labirin bagian
membran terletak didalam labirin bagian tulang, dan terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus,
sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta koklea. (10)
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut.
Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada
lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar
daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia
sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.
7
Gambar 2.3 Vestibulum
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan
saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus
terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing
kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel
rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam
kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia
sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut reseptor.
Gambar 2.4 Anatomi Telinga Dalam
8
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari
spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri
vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis
oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga
bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah
skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner
yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari
duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu
celah yang dkenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi)
dan melebar pada apeks (nada rendah). (8)
Organ corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran membrana basiler. Organ corti terletak pada permukaan serat basilar dan
membrana basilar. Terdapat dua tipe sel rambut yang merupakan reseptor sensorik yang
sebenarnya dalam organ corti yaitu baris tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3500 dan
dengan diameter berukuran sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut eksterna,
berjumlah 12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan samping sel
rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95 persen ujung-
ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam, yang memperkuat peran khusus sel ini untuk
mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini mengarah ke ganglion spiralis corti yang
terletak didalam modiolus (pusat) koklea. (11)
9
2.2. Fisiologi Pendengaran
Gelombang suara yang memasuki telinga melalui kanalis auditorius eksterna
menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran
(maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh "oval
window" dan diteruskan ke rongga koklea serta dikeluarkan lagi melalui "round window".
Rongga koklea terbagi oleh dua sera menjadi tiga ruangan, yaitu skala vestibuli, skala tympani
dan skala perilimfe dan endolimfe. Antara skala tympani dan skala medial terdapat membran
basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen dan efferen nervus cochlearis. Getaran suara tadi
akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada
rendah diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka akan menggerakkan
sel-sel rambut sensitif di dalam organ corti. (12)
Organ corti kemudian merubah getaran mekanis di dalam telinga dalam menjadi impuls
saraf. Impuls ini kemudian dihantar melalui akson atau cabang saraf sel-sel ganglion pada
ganglion spiralis telinga dalam. Akson dari ganglion spiralis menyatu, membentuk nervus
auditorius atau koklearis yang membawa impuls dari sel-sel di dalam organ corti telinga dalam
ke otak untuk diinterpretasi. (13)
2.2.1. Pola Getaran Membran Basiler Untuk Frekuensi Suara Yang Berbeda
10
Gambar 2.5 Pola Getaran Membran Basiler Untuk Frekuensi Suara Yang Berbeda
Terdapat perbedaan pola tranmisi untuk gelombang suara dengan frekuensi suara yang
berbeda. Setiap gelombang relatif lemah pada permulaan tetapi menjadi kuat ketika mencapai
bagian membran basilar yang mempunyai keseimbangan resonansi frekuensi alami terhadap
masing-masing frekuensi suara. Pada titik ini, membran basilar dapat bergetar ke belakang dan
ke depan dengan mudahnya sehingga energi dalam gelombang dihamburkan. Akibatnya,
gelombang berhenti pada titik ini dan gagal berjalan sepanjang membran basilar yang tersisa.
Jadi gelombang suara frekuensi tinggi hanya berjalan singkat sepanjang membran basilar
sebelum gelombang mencapai titik resonansinya dan menghilang. Gelombang suara frekuensi
sedang berjalan sekitar setengah perjalanan dan kemudian menghilang. Dan akhirnya,
gelombang suara frekuensi sangat rendah menjalani seluruh jarak sepanjang membran basilar. (11)
2.3. Mekanisme Pendengaran Sentral
11
2.3.1. Jalur Pendengaran
Gambar 2.5 menggambarkan jaras pendengaran utama. Jaras ini menunjukkan bahwa
serabut dari ganglion spiralis corti memasuki nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang
terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini, semua sinaps serabut dan neuron berjalan
terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior.
Beberapa serat juga berjalan secara ipsilateral ke nukleus olivarius superior, jaras pendengaran
kemudian berjalan ke atas melalui lemniskus lateral. Beberapa serat berakhir di nukleus
lemniskus lateralis. Banyak yang memintas nukleus ini dan berjalan ke kolikulus inferior, tempat
semua atau hampir semua serat ini berakhir. Dari sini, jaras berjalan ke nukleus medial thalamus,
tempat semua serabut bersinaps. Dan akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke
korteks auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis.(11)
2.3.2 Aspek Klinis Jalur Pendengaran
Kerusakan pada duktus koklearis atau nervus koklearis dapat mengakibatkan menurunya
kemampuan atau hilangnya pendengaran pada telinga pada sisi yang sama. Suatu lesi yang
mengenai satu lemniskus lateralis dapat menimbulkan penurunan kemampuan pendengaran (tuli
parsial) secara bilateral, yang lebih berat akibatnya pada telinga kontralateral. (14)
12
Gambar 2.6 Jalur Pendengaran
13
2.4. Bising
2.4.1. Definisi
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi
terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang
menghalangi gaya hidup. (15) Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan (16) atau semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. (17)
2.4.2. Baku Tingkat Kebisingan
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat
kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini. (16) :
Peruntukan kawasan / lingkungan kegiatan Tingkat kebisingan (dB)
Peruntukan Kawasan1. Perumahan dan pemukiman 552. Perdagangan dan jasa 703. Perkantoran dan perdagangan 654. Ruang terbuka hijau 505. Industri 706. Pemerintahan dan fasilitas umum 607. Rekreasi 708. Khusus :- Bandar udara- Stasiun Kereta Api - Pelabuhan Laut- Cagar Budaya 70
Lingkungan Kegiatan1. Rumah Sakit atau sejenisnya 552. Sekolah dan sejenisnya 553. Tempat ibadah dan sejenisnya 55
14
2.5. Tuli Akibat Bising
2.5.1. Definisi
Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli sensorineural yang terjadi akibat terpapar oleh bising
yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. (18)
2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas kebisingan,
frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan individu, jenis kelamin, usia
dan kelainan di telinga tengah. (10, 18) Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti
arsen dan quinine) dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea. (12)
2.5.3. Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah
yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang
meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar
menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel
rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel
rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel
rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran
pada batang otak. (10)
15
Tabel 2.1 Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan
2.5.4. Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech
discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan
dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi
menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral.
Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu
ketajaman pendengaran dan konsentrasi. (5, 10)
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss )
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss ). (10, 19)
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang
dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan
akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan
fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar
sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising
dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam.
Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan
keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan
intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada
berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan
lainnya.(7,8)
16
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan, tidak
dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-mula
terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada
frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000
dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi. (10)
2.5.5. Diagnosis
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya
mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan
berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang
berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika
orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung
perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu
informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak
keluarga. (2, 5, 10)
Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang
telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan
seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan
pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga
karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk
17
menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran.
(3)
2.5.6. Prognosis
Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan
tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan. (6) Penggunaan alat bantu dengar hanya
sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut hanya memberikan rangsangan vibrotaktil
dan bukannya perbaikan diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien
dianjurkan pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan
tuli sensorineural. (7)
2.5.7. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala
(helmet).
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan ABD
secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota
badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien
mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat
18
mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami
tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).(7)
2.6. Sound Level Meter ( SLM )
SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan, yang terdiri
dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur
kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz. SLM dibuat berdasarkan
standar ANSI ( American National Standard Institute ) tahun 1977 dan dilengkapi dengan alat
pengukur 3 macam frekwensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekwensi bising
tersebut.
Jaringan frekwensi A mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah
yang kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga
untuk batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan jaringan frekwensi C berhubungan dengan reaksi
telinga untuk batas diatas 85 dB. (10)
2.7. Audiometri
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman
pendengaran seseorang dapat dinilai. (20)
Alat yang dikenal sebagai audiometer, dikembangkan pada awal 1920-an, mencontoh
rangkaian oktaf dari skala C seperti pada garputala. Intensitas nada dapat dipertahankan pada
tingkat tertentu, tidak seperti garputala dimana intensitas nada segera berkurang setelah
dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada
interval tertentu dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung.
19
Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi decibel dan kontunuitas intensitas,
dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni. (8)
Simbol audiometer
Normal
Tuli konduksi Tuli akibat bising
Gambar 2.7 Audiogram
20
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus
nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
pendengaran yang normal grafik berada di atas. Grafiknya terdiri atas skala desibel. Suara
dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (Bone conduction). Bila
terjadi air bone gap maka diindikasikan adanya CHL (Conduction hearing Loss). Turunnya nilai
ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Sensorineural Hearing
Loss). (21)
Pada pemeriksaan audiometri, pasien menggunakan headphone sesuai dengan telinga
yang diperiksa (warna merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga kiri). Pemeriksaan
dimulai pada frekwensi 1000 Hz, selanjutnya 2000 Hz, 4000 Hz & 8000 Hz. Kemudian
dilanjutkan pemeriksaan pada 1000Hz dan menurun (500 Hz, 250 Hz, 125 Hz). Pada masing-
masing frekuensi pemeriksaan ambang dengar dimulai dengan intensitas diatas perkiraan
ambang dengarnya, selanjutnya diturunkan sampai pasien tidak mendengar stimulus bunyinya
(tidak menunjuk jari). Ambang dengar pasien adalah intensitas terkecil yang dapat didengar oleh
pasien. (22) Pemeriksaan audiometri dilakukan pada ruangan kedap suara atau jika tidak ada dapat
digunakan ruangan yang sunyi. (23)
21
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di Asia
Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
2. Novianto. Ronny. 2007. Audiometri di JIH. Available from:
http://www.rs-jih.com/jatel/index.php?
option=com_content&task=view&id=94&Itemid=85.
3. Sari. Halinda. 2002. Program Perlindungan Pendengaran Pekerja Terhadap Kebisingan.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Universitas Sumatera Utara.
4. Smith, Andrew. Stansfeld, Stephen. 1986. Aircraft Noise Exposure, Noise Sensitivity, and
Everyday Errors. Available from: sagejournalsonline.
5. Hong OS , Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among male airport
workers in Korea. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?
ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed
_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfr
om=pubmed.
6. Soetirto, I.,Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher Edisi VI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
22
7. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor
Soepardi, E, et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
8. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
9. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi 10. Jakarta:
EGC
10. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
11. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
12. Japardi Iskandar. 2003. Nervus Vestibulocochlearis . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Umum Universitas Sumatera Utara.
13. Eroschenko. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta: EGC
14. Sukardi. Elias. 1985. Neuroanatomi Medika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
15. Susanto, Arif. 2006. Kebisingan Serta Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan .
Available from: http://hseclubindonesia.wordpress.com/2006/10/13/kebisingan-serta-
pengaruhnya-terhadap-kesehatan-dan-lingkungan/.
16. KepMenLH No.48 Tahun 1996
17. KepMenNaker No.51 Tahun 1999
18. Soetjipto Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising /GPAB. Available from:
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Hear-Loss-Noise-000110/Hear-Loss-Noise.htm.
19. Harger MR, Barbosa-Branco A. 2004. Effects on hearing due to the occupational noise
exposure of marble industry workers in the Federal District, Brazil. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez.
23
20. Arifiani, Novi. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja.
Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
21. Henny Kartika. 2007. Audiometri Dasar. Available from:
http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/11/audiometri-dasar/.
22. Sub. Dep.THT Komunitas. 2008. Cara Pengukuran dengan Audiometri. Available from:
http://www.thtkomunitas.org.
23. Priyo. Dwi. Dkk. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Bagian THT Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro/RS. Dr. Kariadi, Semarang.
24