Post on 27-Nov-2015
description
1
REFERAT
MANAJEMEN PEMBERIAN NUTRISI
PADA PASIEN ENSEFALOPATI HEPATIKUM
Oleh:
Luqman Hakim G99122067
Maria Goretti Novianty G99121071
Qonita Sakinatul J G99122097
Ruben Stevanus G99122104
Pembimbing:
dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2013
2
HALAMAN PENGESAHAN
Referat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Referat ini telah disetujui dan dipresentasikan pada :
Hari :
Tanggal :
Oleh:
Luqman Hakim G99122067
Maria Goretti Novianty G99121071
Qonita Sakinatul J G99122097
Ruben Stevanus G99122104
Mengetahui dan menyetujui
Pembimbing Referat :
dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II NUTRISI PADA PASIEN ENSEFALOPATI HEPATIKUM...................3
A. Penilaian Status Gizi Pasien EH.......................................................................4
B. Pola Diet Pasien EH..........................................................................................7
C. Diet Nitrogen Pada Pasien EH..........................................................................7
D. L-ornitin L-aspartat (LOLA)..........................................................................12
BAB III RINGKASAN..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
4
BAB I
PENDAHULUAN
Ensefalopati hepatikum adalah komplikasi dari penyakit hati yang umum
terjadi pada 20-30% pasien dengan sirosis. Patogenesis ensefalopati hepatikum
belum sepenuhnya dimengerti, tetapi ammonia dipertimbangkan memainkan
peranan penting di dalamnya (Takuma et al., 2010). Ensefalopati hepatik (EH)
merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien sirosis hepar. EH
tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan
prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian
penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas
independen pada pasien dengan acute on chronic liver failure. Pada kasus
yang berat dapat menjadi koma atau meninggal (Fichet et al., 2009). Ensefalopati
hepatikum (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri yang ditandai
oleh kekacauan mental, tremor otot, dan dapat berlanjut hingga kematian akibat
koma (Chung dan Podolsky, 2005).
Ensefalopati hepatikum disebabkan oleh akumulasi neurotoksik di aliran
darah yang seharusnya dieliminasi oleh hati, termasuk ammonia, yang disebabkan
karena gangguan fungsi hepar akibat penyakit hepar kronis atau sirosis hepatis.
Neurotoksik beredar dalam aliran darah sistemik yang konsentrasinya meningkat
dan mencapai otak melalui sawar darah otak dan merusak fungsi otak yang
mendasari penurunan fungsi yang lebih berat dan gangguan kesadaran (Plauth,
2000).
Diagnosis EH dapat ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit
pemeriksaan fisik dan laboratorium (Juneau, 2012). Anamnesis (Cordoba dan
Minguez, 2008) perlu ditanyakan riwayat penyakit hati, riwayat kemungkinan
adanya faktor-faktor pencetus dan adakah kelainan neuropsikiatri. Pada
pemeriksaan fisik perlu dinilai (McPhail et al., 2010) : tingkat kesadaran / tingkat
ensefalopati, adanya kelainan neurologik, kejang, gejala infeksi berat, tanda-tanda
dehidrasi dan adanya pendarahan gastrointestinal. Pada pemeriksaan laboratorium
(Gerber dan Schomerus, 2010) akan ditemukan fosfotase alkali naik, gamma GT
5
naik, serum alfa-feto protein lebih besar dari 15 µg/ml, hiperkolesterolemi,
bilirubin total naik.
Penatalaksanaan dan pencegahan koma hepatikum meliputi upaya-upaya
:mengobati penyakit dasar jika memungkinakan, mengidentifikasi dan
menghilangkan fakto-faktor yang merupakan pencetus, mencegah atau
mengurangi pembentukan atau influx toksin-toksin nitrogen ke dalam otak dan
upaya suportif dengan menjaga kecukupan masukan kalori dan mengobati
komplikasi kegagalan hati seperti hipoglikemi, perdarahan saluran cerna, aturan
keseimbangan elektrolit (Zubir, 2006).
Hepar merupakan organ utama dalam proses metabolisme tubub, yaitu
proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting seperti sintesisi protein,
pembentukan glukosa, serta proses katabolisme dengan melakukan detoksifikasi
bahan-bahan seperti ammonia, berbagai jenis hormone, obat-obatan dan
sebagainya. (Zubir, 2006). Kerusakan pada hepar akan mempengaruhi proses
metabolism nutrisi yang malah membuat dampak yang berbahaya pada tubuh.
Kebutuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan hepar diperlukan
pengawasan agar tidak terjadi kelebihan nutrisi tertentu yang menyebebakan
bertambah parahanya patogenesis penyakit. Penangan pasien ensefalopati
hepatikum perlu pengaturuan nutrisi yang ketat dengan mengubah ketersediaan
nutrisi, menggunakan jenis nutrisi yang khusus atau memanipulasi pengaturan
metabolism agar pathogenesis penyakit tidak memburuk (Plauth et al., 2009).
6
BAB II
NUTRISI PADA ENSEFALOPATI HEPATIKUM
Hati berperan penting dalam mempengaruhi status nutrisi terutama melalui
produksi asam empedu dan fungsinya sebagai perantara metabolisme protein,
karbohidrat, lemak dan vitamin sehingga penderita panyakit hati sangat mungkin
terjadi gangguan metabolisme zat makanan dengan segala akibatnya (Setiawan,
2007; Balbino dan Silva, 2012). Malnutrisi pada SH terutama ditandai dengan
penurunan protein viseral (kadar albumin serum yang lebih rendah) maupun
defisiensi protein somatik yang bermanifestasi sebagai contoh penurunan massa
otot dan sel tubuh dan disertai kelemahan otot dan gangguan kualitas hidup.
Sarkopenia atau hilangnya massa otot, penurunan massa lemak dan kurangnya
kedua hal tersebut baik massa otot dan lemak atau kaheksia telah dilaporkan pada
pasien SH. (Dasarathy at al, 2011; Norman dan Pirlich, 2010).
Malnutrisi dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prognosis yang
penting pada SH dan mengingatkan klinisi untuk tanggap sama seperti terhadap
komplikasi SH seperti ensefalopati hepatik dan asites. Kepentingan klinis dari
malnutrisi ini dikarenakan pasien yang malnutrisi memiliki prevalensi morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi dan intervensi dini dalam mengatasi kekurangan
nutrisi bisa memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi komplikasi dan persiapan lebih baik untuk transplantasi hati.
(Tsiaousi et al, 2008; McCullough, 2006).
Metabolisme nitrogen memainkan peran utama dalam pengembangan EH pada
pasien dengan sirosis. Patofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai
sekarang, namun ada beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme
perkembangan penyakit sirosis menjadi EH adalah :
1. Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk
metabolit yang toksik bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan
menjadi produk ammonia yang melalui aliran darah akan menembus sawar
darah otak dan mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di SSP.
7
2. Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor
neurotransmitter yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat
mengalami peningkatan jumlah dalam darah pada pasien dengan sirosis
hati.
3. Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak,
hal ini mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter
(seperti octopamine dan phenylephrine, dan menurunnya produksi
dopamine dan norepinephrine) (Goldman, 2007).
Hubungan ini adalah kunci untuk manajemen HE, tetapi bukan satu-
satunya masalah gizi yang perlu ditangani. Penilaian status gizi pada pasien
dengan sirosis yang bermasalah. Selain itu, ada perbedaan signifikan yang
berhubungan dengan jenis kelamin dalam komposisi tubuh dan karakteristik
kehilangan jaringan, yang membatasi kegunaan teknik berdasarkan ukuran massa
otot dan fungsi pada perempuan. Teknik yang menggabungkan variabel subyektif
dan obyektif memberikan cukup informasi yang akurat dan direkomendasikan.
Energi dan nitrogen yang diperlukan pada pasien dengan HE tidak berbeda secara
substansial dari yang direkomendasikan pada pasien dengan sirosis yaitu 35-45
kkal / g dan protein 1.2-1.5g/kg setiap hari. Selain makronutrisen yang perlu
diawasi pemberiaanya, pengaturan mikronutrien seperti kalium juga diperlukan
karena terjadinya hipokalemia yang menyebabkan ginjal mengeluarkan ammonia
(Hirlan, 2013).
A. Penilaian Status Gizi Pasien EH
Penilaian status nutrisi berguna untuk mengidentifikasi pasien beresiko
kekurangan gizi dan untuk mengevaluasi kebutuhan, dan intervensi gizi.
Salah satu penilaian status nutrisi pada pasien sirosis adalah Royal Free
Hospital global Assessment (RFH - GA). (Morgan et al., 2006) (Gambar 1).
Dalam skema ini, pengukuran BMI, dihitung menggunakan perkiraan berat
badan kering, dan mid arm muscle circumference (MAMC) yang digunakan,
bersama dengan rincian dari asupan makanan dalam membangun algoritmik
terstruktur.
8
MAMC = AC - (0.314 x TSF)
MAMC = Lingkar otot lengan (cm)
AC = Lingkar Lengan Atas (cm)
TSF = Ketebalan otot tricep (cm)
Pengukuran triceps skinfold diukur dengan cubitan dengan ibu jari dan
jari telunjuk tangan kiri pada sisi posterior mid acromiale-radiale line.
Cubitan dilakukan pada permukaan paling posterior dari lengan atas pada
daerah m. triceps brachii pada penampakan dari samping. Saat pengukuran
lengan dalam keadaan relaksasi dengan sendi bahu sedikit eksorotasi dan
sendi siku ekstensi di samping badan (Morgan, 2006)
Namun, staf ahli diperlukan untuk melaksanakan penilaian, yang bisa
memakan waktu hingga 1 jam untuk menyelesaikan . Oleh karena itu, teknik
yang lebih sederhana dan tidak memakan waktu lama dibutuhkan untuk
skrining gizi rutin, tetapi harus divalidasi dan cocok untuk tujuan. The Royal
Free Hospital-Nutritional Prioritizing Tool (RFH-NPT) baru-baru ini
mengembangkan penilaian status nutrisi tersebut (Gambar 2 ) . Skema ini
memakan waktu kurang dari 3 menit dan dapat digunakan oleh staf
9
nonspesialis. Skema ini juga telah divalidasi dalam multicenter trial Inggris.
(Arora et al., 2012)
10
B. Pola Diet Pasien EH
Waktu konsumsi kalori penting dalam mempengaruhi perubahan substrat
dan karenanya menghindari pemanfaatan yang tidak semestinya dari
glukoneogenesis untuk mempertahankan produksi glukosa. Hal ini sangat
penting pada pasien dengan HE karena pemanfaatan asam amino untuk
produksi glukosa menghabiskannya protein jaringan dan menghasilkan
ammonia (Kabadi, 1997). Pasien harus menghindari puasa lebih lama dari 3-6
jam pada siang hari, sering makan merata sepanjang hari. Bukti
menunjukkan bahwa isi kalori harus mengandung setidaknya 50 g
karbohidrat kompleks (Tsien et al., 2012). Kepatuhan mungkin menjadi
masalah (Plank et al, 2008), tapi pasien tetap harus didorong untuk mengikuti
pola diet tersebut.
C. Diet Nitrogen Pasien EH
Jenis protein tertelan mungkin penting karena pasien dengan sirosis
menunjukkan variasi dalam toleransi terhadap protein diet, tergantung pada
sumbernya. Penelitian menunjukkan bahwa protein susu lebih baik ditoleransi
daripada protein dari berbagai sumber dan bahwa protein nabati lebih baik
ditoleransi daripada protein daging (Greenberger et al, 1977). Diet protein
nabati lebih mengandung serat makanan daripada protein daging, serat
memiliki sifat prebiotik yang mengurangi pH intralumina, dan meningkatkan
eksresi amonia (Vester et al, 2011). Mengkonsumsi serat nabati juga dapat
mengakibatkan perubahan menguntungkan di microbiota (MacFarlane, 2011).
Selain itu, protein nabati rendah asam amino sulfat, metionin dan sistein,
yang merupakan prekursor dari merkaptan dan senyawa indole / oxindole,
yang terlibat dalam asal-usul HE (Zieve et al, 1994). Sebaliknya, mereka
tinggi di ornithine dan arginin, yang dapat mempermudah pembuangan
amonia melalui urea cycle. Pasien dengan HE berulang atau persisten HE
harus mengambil diet kaya dalam sayuran dan protein susu daripada protein
daging dan ikan. Namun, tolerabilitas diet kaya protein nabati sangat
bervariasi, tergantung pada isi serat makanan dari makanan pokok. Secara
11
umum, pasien harus didorong untuk mengambil persentase dari protein nabati
sebanyak mereka bisa, dan dengan ketentuan bahwa mereka juga tidak
dibatasi garam, yang membuat diet enak, sehingga setiap hari asupan 30-40 g
protein nabati biasanya dapat dicapai. Sayuran protein diet juga bermanfaat
dalam pasien kelebihan berat badan dengan sirosis yang mencoba untuk
menurunkan berat badan. The branched-chain amino acids (BCAA), valin,
leusin, dan isoleusin, adalah asam amino esensial, yang tidak seperti yang
lain, tidak dimetabolisme oleh hati, tetapi dengan otot rangka. Konsentrasi
BCAA Plasma berkurang pada pasien dengan sirosis, sedangkan konsentrasi
dari salah satu atau kedua asam amino aromatik, fenilalanin dan tirosin
meningkat, bersama-sama dengan metionin (Morgan et al., 1998). Perubahan
ini hasil dari kombinasi dari gangguan fungsi hati, Portal-sistemik shunting,
hiperinsulinemia, hyperglucagonemia, dan hiperamonemia. Diduga bahwa
suplemen BCAA akan bermanfaat bagi pasien dengan HE karena akan (1)
memfasilitasi detoksifikasi amonia dengan mendukung sintesis glutamine
dalam otot rangka dan otak dan (2) menurunkan masuknya kelebihan asam
amino aromatik pada otak, yang bersaing dengan BCAA untuk bagian di
seluruh blood-brain barrier (Fischer et al, 2001). Namun ada sedikit
meyakinkan bukti, saat ini, bahwa asumsi suplementasi BCAA benar atau
yang memiliki efek signfikan menguntungkan pada EH (Les et al, 2011).
Penggunaan suplemen BCAA, dosis harian terbagi, dapat memfasilitasi
penyediaan asupan nitrogen yang memadai pada pasien yang benar-benar
intoleransi protein (Dam et al, 2013) Ada bukti terkumpul bahwa jangka
panjang suplementasi BCAA mungkin memberi manfaat nutrisi, dan
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan cirrhosis (Nakaya et
al, 2007). Penyesuaian yang berkaitan dengan waktu pemberian dan sumber
makanan nitrogen mungkin bermanfaat pada pasien dengan sirosis dan HE
dan karena itu direkomendasikan pada table (Nielsen et al, 2005).
12
Diet dengan pembatasan asupan protein disarankan pada ESPEN (The
European Society for Parenteral and Enteral Nutrition) guideline 1997 untuk
mencegah terjadinya ensefalopati hepatikum karena dengan demikian dapat
mengurangi masuknya nitrogen ke dalam usus, sehingga mengurangi
produksi dan absorbsi NH4. Pasien dengan ensefalopati hepatikum grade 1-2
mendapat diet protein diinisiasi mulai dengan 0.5-0.6 gr/kgBB/hari dan bisa
ditambahkan 0.25-0.50 dr/kgBB/hari sampai dicapai target level untuk
kebutuhan proteinnya terpenuhi atau terjadi progresi dari ensefalopati
hepatikum grade 2. Dosis target 1.0-1.5 gr/kgBB/hari diberikan pada pasien
yang hiperkatabolik. Pada pasien dengan ensefalopati hepatikum grade 3-4,
lebih disarankan untuk memodifikasi jenis protein yang diberikan, daripada
harus membatasi protein lagi, sehingga dosis untuk proteinnya sama dengan
pasien ensefalopati hepatikum grade 1-2 (Mizock BA, 1999).
Akan tetapi, peningkatan katabolisme protein pada pasien dengan
penyakit liver mungkin membutuhkan intake yang lebih tinggi. Pasien
sirosis membutuhkan rata-rata 0.8-1.4 g protein/kgBB/hari untuk menjaga
keseimbangan nitrogen dibandingkan dengan orang sehat yang hanya
membutuhkan 0.6 g protein/kgBB/hari untuk tujuan ini (Kondrup et al,
13
1997). Cordoba et al (2004) telah melakukan penelitian RCT pada 20 pasien
ensefalopati hepatikum dengan diet protein terbatas dan diet protein normal,
hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
tersebut pada penyakitnya, akan tetapi pemecahan protein ditemukan lebih
tinggi pada kelompok dengan diet protein yang dibatasi. Peneliti mengambil
kesimpulan bahwa tidak ada manfaat dari pembatasan protein. Di samping
itu, justru pembatasan protein memiliki dampak yang signifikan pada status
nutrisi pasien, sedangkan pada pasien sirosis, status nutrisi yang buruk
merupakan faktor risiko mayor terjadinya mortalitas (6). Ketika kebutuhan
protein tidak memenuhi kebutuhan karena pembatasan protein, maka terjadi
peningkatan pemecahan protein otot sehingga mengeluarkan nitrogen yang
mengandung asam amino yang berkontribusi dalam pembentukan amonia
yang dapat memperburuk terjadinya ensefalopati. Karena alasan terseut,
pembatasan protein tidak lagi direkomendasikan dalam tatalaksana
ensefalopati hepatikum. Pasien diberi diet protein dalam jumlah normal dan
ditatalaksana dengan terapi medis yang sesuai untuk ensefalopati hepatikum.
ESPEN Consensus Group merekomendasikan pemberian protein 1-1.5
g/kgBB pada pasien sirosis untuk mencegah terjadinya malnutisi, sedangkan
untuk ensefalopati hepatikum bila terjadi intoleransi protein, ESPEN
merekomendasikan mengurangi protein hewani dan menggunaan protein
nabati maupun BCAA sebagai sumber proteinnya, di samping juga harus
memaksimalkan pengobatan (Plauth et al, 2006). Efek dari BCAA tidak
berhubungan dengan dosis atau durasi dari pemberian BCAA, penggunaan
isonitrogen atau kontrol nonnitrogen, atau jumlah dari infus
glukosa/dekstrosa (Als Nielson dkk, 2009). Lebih jelasnya, dapat dilihat
pada gambar 2.
:
14
Dari guidelines tersebut menunjukkan bahwa ensefalopati hepatikum
minimal harus diobati dengan diet tanpa pembatasan protein. Pada pasien
dengan ensefalopati hepatikum berat, penatalaksanaan difokuskan pada
manajemen medis dan ESPEN tetap tidak merekomendasikan untuk
pembatasan protein, tetapi mengganti sumber alternatif protein. Pembatasan
protein temporer mungkin baru perlu dilakukan pada pasien dengan
ensefalopati hepatikum yang refrakter meski telah mendapatkan pengobatan
yang cukup (Chadalavada et al, 2010). Di samping itu, perlu untuk
dipertimbangkan jalur pemberian nutrisi pada ensefalopati hepatikum
apakah secara enteral atau parenteral. Plauth et al (2000) menunjukkan
bahwa pemberian protein parenteral dapat mengurangi risiko terjadinya
ensefalopati hepatikum. Protein akan diubah menjadi amonia oleh bakteri
usus, sehingga pemberian protein parenteral tentu tidak mningkatkan
pembentukan amonia di usus.
15
D. L-ornitin L-aspartat (LOLA)
Salah satu fungsi utama hati adalah detoksifikasi zat-zat toksik dan
metabolisme obat. Amonia merupakan salah satu zat toksik yang berperan
pada ensefalopati hepatik. Amonia diproduksi dari mukosa usus oleh bakteri
sebagai degradasi dari amin, asam amino, purin, dan urea. Dalam keadaan
normal amonia ditranspor ke dalam hati melalui sistem vena porta dan
didetoksifikasi di hati dengan cara diubah menjadi urea melalui siklus urea.
Amonia di dalam tubuh terutama dihasilkan oleh flora usus. Hepar
yang normal mampu melakukan metabolisme 90% amonia, dan
mengubahnya dalam bentuk urea yang selanjutnya di keluarkan melalui
urin. Pada kondisi sirosis hepatis, kegagalan metabolisme amonia dapat
menyebabkan hiperamonemia (Shawcross dan Jalan, 2005). Amonia yang
tinggi dapat menyebabkan perubahan fungsi otak terutama terkait dengan
kegagalan energi serebral dan perubahan neurotransmisi melalui beberapa
16
mekanisme termasuk efek agonis transmisi GABA-ergik sehingga
menyebabkan inhibisi neurotransmisi (Sonnewald et al, 2006). Pada
penderita gagal hati akut diketahui bahwa amonia dapat menyebabkan
peningkatan glutamin otak dan cairan otak sehingga meningkatkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya meningkatkan tekanan intra kranial.
Peranan amonia terhadap kejadian EH telah diteliti sejak 100 tahun lalu dan
lebih dari 1200 paper dipublikasikan yang mendukung fenomena ini
(Shawcross & Jalan, 2005).
Amonia dalam cairan biologis berada dalam dua bentuk yaitu bentuk
ion (NH4+) dan dalam bentuk non ion atau gas (NH3). Pada kondisi
fisiologis yaitu pada pH 7,4, 98% amonia berbentuk ion amonia dan 2 %
sisanya berbentuk gas. Pada membrana biologis, amonia yang bebentuk
gas dapat secara bebas menembus sawar darah otak (Kraemer dan
Ratamess, 2000). Tekanan parsial amonia (pNH3) yang berbentuk gas ini
dapat diukur dengan rumus berdasarkan amonia total dan meningkat
bersamaan dengan perubahan pHnya. Tekanan parsial amonia (pNH3)
memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar total
amonia darah.
Meskipun amonia bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya EH,
namun penanganan penderita EH lebih banyak mendasarkan pada
patologenesis amonia. Di samping itu juga perlu menangani sebab-sebab
lain yang turut memperberat derajat EH seperti infeksi, gangguan elektrolit
dan asam basa (Shwacross dan Jalan, 2005). Berdasarkan teori amonia,
pengobatan EH ditujukan terutama untuk menurunkan kadar amonia.
Menurunkan amonia dapat dilakukan antara lain dengan pemberian
antibiotika non absorable, laktulosa, dan pembatasan diet protein. Hal ini
berdasarkan pada patologenesis di mana sumber amonia adalah flora usus
dan asupan protein.
Saat ini diketahui bahwa amonia darah dapat diturunkan dengan
pemberian asam amino L-ornitin L-aspartat (LOLA). L-ornitin L-
aspartat berperan sebagai substrat perantara metabolisme amonia
17
menjadi glutamin dalam otot, di mana dalam metabolisme tersebut
dibutuhkan substrat glutamat yang berasal dari asam amino LOLA,
yang terdapat dalam bentuk sediaan oral dan injeksi intravena (Stauch et
al., 1998) Pemberian LOLA akan meningkatkan kadar glutamin dalam
darah perifer namun tidak demikian halnya didalam otak. Sebaliknya
glutamin yang terbentuk dalam otak hanya sedikit dan oleh karena itu
hanya sedikit pula amonia yang dapat mencapai astrocyte, yang selanjutnya
akan memperbaiki sindrom EH.
Stauch et al. (1998), dalam suatu penelitian randomized controlled
trial (RCT) telah membuktikan bahwa pemberian LOLA intravena 20
gram per hari selama 7 hari berturut turut mampu menurunkan amonia
sebesar 30% dibandingkan pada kelompok plasebo yaitu sebesar 9%.
Pada penelitian tersebut pemberian LOLA telah menunjukkan perbedaan
kadar amonia yang bermakna dibanding dengan plasebo yang diukur
pada pada hari ke-2 dan ke-4 setelah pemberian LOLA. Sementara itu pada
penelitian Chen et al.(2005) didapatkan bahwa pemberian LOLA dapat
memberikan perbaikan kesadaran dalam waktu 7 sampai 24 jam,
dengan rata-rata 15,2 jam pada kelompok terapai dan perbaikan
kesadaran pada kelompok palsebo dalam waktu 24-120 jam dengan rata-
rata 56 jam yang berbeda secara (p<0.05).
18
BAB III
RINGKASAN
Ensefalopati hepatikum adalah komplikasi berat dari penyakit hepar kronis
yang didefinisikan sebagai perubahan status mental dan fungsi kognitif yang
terjadi karena adanya kegagalan fungsi hepar. Hepar merupakan organ utama
dalam proses metabolisme tubub, yaitu proses anabolisme atau sintesis bahan-
bahan yang penting seperti sintesisi protein, pembentukan glukosa, serta proses
katabolisme dengan melakukan detoksifikasi bahan-bahan seperti ammonia,
berbagai jenis hormone, obat-obatan dan sebagainya sehingga adanya kerusakan
pada hepar akan mempengaruhi proses metabolism nutrisi. Manajemen nutrisi
pada pasien ensefalopati hepatikum didasari pada patofisiologi perjalanan
penyakit yang disebabkan adanya penumpukan metabolit amonia yang berbahaya.
Diet makronutrien yang paling perlu diperhatikan adalah protein. ESPEN
Consensus Group merekomendasikan pemberian protein 1-1.5 g/kgBB pada
pasien sirosis untuk mencegah terjadinya malnutisi, sedangkan untuk ensefalopati
hepatikum bila terjadi intoleransi protein, ESPEN merekomendasikan mengurangi
protein hewani dan menggunaan protein nabati maupun BCAA sebagai sumber
proteinnya, di samping juga harus memaksimalkan pengobatan. Pembatasan
protein temporer mungkin baru perlu dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
hepatikum yang refrakter meski telah mendapatkan pengobatan yang cukup.
Selain makronutrisen yang perlu diawasi pemberiaanya, pengaturan mikronutrien
seperti kalium juga diperlukan karena terjadinya hipokalemia yang menyebabkan
ginjal mengeluarkan ammonia. Suplementasi LOLA juga diperlukan pada pasien
ensefalopati hepatikum karena pemberian LOLA akan meningkatkan kadar
glutamin dalam darah perifer namun glutamin yang terbentuk dalam otak
hanya sedikit dan oleh karena itu hanya sedikit pula amonia yang dapat mencapai
astrocyte, yang selanjutnya akan memperbaiki EH.
19
DAFTAR PUSTAKA
Takuma Y, Nuoso K, Makino Y, Hayashi M, Takahashi H. Clinical trial: oral, zinc in hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther 2010: 32: 1080-1090
Fichet J, Mercier E, Genee O. 2009. Prognosis and 1-year mortality of intensive care unit patients with severe hepatic encephalopathy. Journal of Critical Care. 24(3):364-370
Editor Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on Encephalopaties-A Second Look. Europe: InTech. 2010
(Goldman L, Ausiello D, eds Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elseviaer, 2007:chap 181)
Morgan MY, Madden AM, Soulsby CT, Morris RW. Derivation andvalidation of a new global method for assessing nutritional status inpatients with cirrhosis. HEPATOLOGY 2006;44:823-835.
Arora S, Mattina C, McAnenny C, O’Sullivan N, McGeeney L, Calder N, et al. The development and validation of a nutritional prioritizing tool for use in patients with chronic liver disease. J Hepatol2012;56(Suppl 2):S241.
Muller MJ, Bottcher J, Selberg O, Weselmann S, Boker KH, von zur Muhlen A, et al. Hypermetabolism in clinically stable patients withliver cirrhosis. Am J Clin Nutr 1999;69:1194-1201.
McCullough AJ, Raguso C. Effect of cirrhosis on energy expenditure.Am J Clin Nutr 1999;69:1066-1068.
Petrides AS, Groop LC, Riely CA, DeFronzo RA. Effect of physiologichyperinsulinemia on glucose and lipid metabolism in cirrhosis. J ClinInvest 1991;88:561-570.
Krahenbuhl L, Lang C, Ludes S, Seiler C, Schafer M, Zimmermann A,et al. Reduced hepatic glycogen stores in patients with liver cirrhosis.Liver Int 2003;23:101-109.
Owen OE, Reichle FA, Mozzoli MA, Kreulen T, Patel MS, ElfenbeinIB, et al. Hepatic, gut, and renal substrate flux rates in patients withhepatic cirrhosis. J Clin Invest 1981;68:240-252.
20
Owen OE, Trapp VE, Reichard GA, Jr., Mozzoli MA, Moctezuma J,Paul P, et al. Nature and quantity of fuels consumed in patients withalcoholic cirrhosis. J Clin Invest 1983;72:1821-1832.
Plauth M, Cabr_e E, Riggio O, Assis-Camilo M, Pirlich M, Kondrup J,et al. ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: Liver disease. Clin Nutr2006;25:285-294.
McCullough AJ, Tavill AS. Disordered energy and protein metabolismin liver disease. Semin Liver Dis 1991;11:265-277.
Kabadi UM. The association of hepatic glycogen depletion with hyperammonemia in cirrhosis. HEPATOLOGY 1997;7:821-824.
Marchesini G, Moscatiello S, Di DS, Forlani G. Obesity-associatedliver disease. J Clin Endocrinol Metab 2008;93(11 Suppl 1):S74-S80.
Nielsen K, Kondrup J, Martinsen L, D_ssing H, Larsson B, Stilling B,et al. Long-term oral refeeding of patients with cirrhosis of the liver. Br J Nutr 2005;74:557-567.
Tsien CD, Arthur J McCullough AJ, Dasarathy S. Late evening snack:exploiting a period of anabolic opportunity in cirrhosis. J GastroenterolHepatol 2012;27:430-441.
Plank LD, Gane EJ, Peng S, Muthu C, Mathur S, Gillanders L, et al.Nocturnal nutritional supplementation improves total body protein statusof patients with liver cirrhosis: a randomized 12-month trial. HEPATOLOGY2008;48:557-566.
Greenberger NJ, Carley J, Schenker S, Bettinger I, Stamnes C, Beyer P.Effect of vegetable and animal protein diets in chronic hepatic encephalopathy.Am J Dig Dis 1977;22:845-855.
Vester Boler BM, Rossoni Serao MC, Bauer LL, Staeger MA, BoileauTW, Swanson KS, et al. Digestive physiological outcomes related topolydextrose and soluble maize fibre consumption by healthy adultmen. Br J Nutr 2011;31:1-8.
MacFarlane GT, MacFarlane S. Fermentation in the human large intestine:its physiologic consequences and the potential contribution of prebiotics.J Clin Gastroenterol 2011;45(Suppl):S120-S127.
Zieve L, Doizaki WM, Zieve J. Synergism between mercaptans andammonia or fatty acids in the production of coma: a possible role formercaptans in the pathogenesis of hepatic coma. J Lab Clin Med 1994;83:16-28.
21
Morgan MY, Milsom JP, Sherlock S. Plasma ratio of valine, leucineand isoleucine to phenylalanine and tyrosine in liver disease. Gut 1998;19:1068-1073.
Fischer JE, Baldessarini RJ. False neurotransmitters and hepatic failure. Lancet 2001;2:75-80.
Les I, Doval E, Garc_ıa-Mart_ınez R, Planas M, C_ardenas G, G_omez P,et al. Effects of branched-chain amino acids supplementation inpatients with cirrhosis and a previous episode of hepatic encephalopathy:a randomized study. Am J Gastroenterol 2011;106:1081-1088.
Dam G, Ott P, Aagaard NK, Vilstrup H. Branched-chain amino acidsand muscle ammonia detoxification in cirrhosis. Metab Brain Dis 2013Jan 15. doi: 10.1007/s11011-013-9377-3.
Nakaya Y, Okita K, Suzuki K, Moriwaki H, Kato A, Miwa Y, et al.BCAA-enriched snack improves nutritional state of cirrhosis. Nutrition2007;23:113-120.