Post on 15-Oct-2015
description
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
1/12
Analisis Putusan MK tentang Pemilu Serentak1
oleh Randy Pongtiku
NPM: 1306450115; Hukum Tata Negara Kelas A
Pendahuluan
Permohonan pengujian beberapa pasal dari UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Effendi Gazali dan
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014 akan membawa banyak
perubahan pada sistem pemilihan umum di Indonesia. Konsekuensi paling jelas dan signifikan
dari putusan ini adalah bagaimana Pemilu 2019 harus diselenggarakan secara serentak, dengan
arti utama bahwa tidak ada saling menunggu hasil antara Pemilu Presiden dan Pemilu
Legislatif. Masyarakat umumnya menyambut positif perubahan ini2. Namun, sebagian
masyarakat lainnya terutama dari kalangan yang paham hukum, mempertanyakan keabsahan
putusandan akibat hukum dari putusan ini.
Masalah hukum terutama dan paling terlihat yang muncul dari putusan ini adalah
bagimana MK menetapkan suatu peraturan inkonstitusional, namun dengan syarat yang harus
terpenuhi terlebih dahulu. MK dalam pasal pertama amar putusannya menyatakan ada 4 pasal
dari UU No. 42 Tahun 2008 yang inkonstitusional. Dalam pasal kedua, MK lalu menyatakan
bahwa pasal tersebut diatas, yang telah terlebih dahulu dikatakan inkonstitusional, baru dicabut
pada tahun 2019. Pertanyaan turunan yang kemudian muncul dari permasalahan ini tentu
adalah bagaimana konstitusionalitas Pemilu Presiden 2014, bahkan pemilu yang selama ini
terjadi?
Selain masalah hukum yang berkaitan dengan substansi putusan, masalah hukumlainnya adalah yang berkaitan dengan proses yuridis-formal. Fakta terungkap bahwa ada jeda
waktu sekitar 10 bulan setelah Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi sampai akhirnya
perkara ini putusannya dibacakan. Adapun dalam tenggang waktu 10 bulan itu terjadi
1Untuk tugas makalah Hukum Tata Negara dengan topik pemicu Pemilu dalam Perspektif Konstitusi, yang
diberikan oleh Makmur Amir, S.H., M.H.2Keabsahan Pemilu Serentak 2014. (2014, Februari). Majalah Konstitusi. Jakarta, DKI Jakarta: Penerbit
Mahkamah Konstitusi.
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
2/12
pergantian ketua dan anggota Majelis Hakim. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan ketentuan
tentang Putusan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika
ditambahkan dengan bagaimana isi dari putusan ini, jelas ada kesan yang timbul bahwa MK
memutus dengan mempertimbangkan faktor politik juga3.
Dalam prospeksi, putusan ini tentu juga akan membawa dampak perubahan secara
prosedural-teknis pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2019. Salah satu dampak paling
nyata yang akan terjadi adalah tentangPresidential Treshold. Meski MK menolak pengujian
terhadap pasal ini dalam UU Pilpres, tentu dapat dipastikan konsep ambang-batas suara
minimal yang harus diperoleh partai politik untuk dapat mencalonkan Presiden ini akan hilang.
Disinilah perdebatan yang sesungguhnya terjadi: apakah putusan MK ini sesungguhnya akan
membawa perubahan positif bagi sistem pemerintahan di Indonesia, sesuai dengan salah satu
alasan MK mengabulkan permohonan ini yaitu untuk memperkuat sistem presidensial?
Ataukah sistem Pemilu baru yang nanti akan muncul malah membawa hal-hal negatif seperti
kurangnya legitimasi Presiden karena banyaknya calon yang mungkin?
Dalam konteks permasalahan ini, kita tentu tetap melihat Mahkamah Konstitusi sebagai
the guardian of constitution, the sole interpreter of the constitution(meski tidak terlihat dalam
Putusan atas permohonan uji materil oleh Yusril4). Hal yang lebih penting lagi untuk diafirmasi
dan ditegaskan adalah kita tetap melihat putusan MK sebagai suatu putusan yang final and
binding.Namun tentu sebagai akademisi adalah kewajiban juga bagi penulis untuk mencoba
menelaah dan menganalisis lebih lanjut tentang putusan yang menurut penulis adalah putusan
MK yang paling signifikan dampaknya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia di tahun
2014, bahkan sejak MK berdiri.
Garis Besar Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
Perkara konstitusi yang diadili oleh MK sehingga melahirkan putusan ini adalah
perkara pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Permohonan ini diajukan oleh Effendi Gazali (selanjutnya akan disebut Pemohon).
3Pakar HTN UGM, Zaenal Arifin Muchtar, dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 20144Soal Putusan MK, Yusril: Saya Ketawa-Ketawa. (2014, Maret 20). Dari Republika Online:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawa,diakses 22 Mei 2014
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawa5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
3/12
Secara garis besar, argumentasi pemohon, dengan dilabeli faktor-faktor secara
signifikan mengambat kemajuan negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis, dimana pemohon bahkanmenginventarisasi akan dapat terjadi 4-5x politik transaksional ini dalam Pemilu,
yaitu5:
- Pada saatmengajukan calon anggota legislatif- Pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena ketentuan
Presidential Treshold
- Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden (jika harus terjadi 2xpemilu)
- Pada saat pembentukan kabinet- Pada saat membentuk koalisi di DPR
2. Biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, dimana klaimpemohon adalah mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi, yaitu 1 Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa
Timur.
3. Politik uang yang meruyak, sebagai salah satu unsur dari politik transaksionaltersebut diatas
4. Korupsi Politik5. Tidak ditegakkannya sistem Presidensial atau diperkuatnya yang sebenarnya
Tentang Politik Transaksional
Selain hal-hal statistik-matematis yang tidak perlu untuk diverifikasi mengingat tujuan
penulisan ini adalah untuk penelitian hukum, pendapat dan argumentasi pemohon yangdisampaikan tersebut diatas dapat dikatakan valid. Kesadaran masyarakat akan sifat Pemilu
yang transaksional sebenarnya sudah ada dan terus berkembang. Pemberitaan di media akan
adanya kunjungan informal atau lobby antara petinggi politik sebenarnya sudah jelas
menunjukkan adanya negosiasi politik disitu. Namun kemudian, Pemohon memang tidak
membuktikan pendapat mereka ini dengan apapun juga, hanya sekedar apa yang mereka sebut
dengan action-research. Meskipun terasa jelas terlihat dan dialami sehari-hari, namun kami
5Hal. 6 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
4/12
melihat poin tentang politik transaksional dari sudut pandang akademik tidak berhasil
dibuktikan oleh pemohon, dan memang akan sangat sulit untuk dibuktikan.
Adapun daftar jumlah politik transaksional yang terjadi, lagi-lagi menurut kami adalah
sangat asumtif, mengingat tidak didasarkan pada fakta empiris baik dalam bentuk hasil riset
maupun penelitian literatur manapun. Hal ini, jika ditambahkan dengan tuduhan telah
terjadinya politik transaksional seperti yang dikemukakan pada pasal sebelumnya, dengan jelas
menimbulkan pertanyaan tentang fakta-fakta yang dibawa dihadapan Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana kemudian pertanggungjawaban bagi seorang pemohon yang menyampaikan suatu
tuduhan yang tidak berdasar ilmiah didepan MK?
Tentang Original Intent Pasal 22E ayat 1 UUD 1945
Setelah itu, Pemohon kemudian berargumen dari segi original intentPasal 22E ayat 1
UUD 1945, yang menurutnya adalah mengkehendaki Pemilu serentak.
Bahwa ORIGINAL INTENT Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat kita
temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945 pada tahun 2001,
dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum memang dimaksudkan untuk
diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR,
DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang
Panitia Ad Hoc 1 dengan jelas muncul kata-kata Pemilu bareng-bareng, Pemilu
serentak serta istilah yang lebih spesifik Pemilu lima kotak. Memang dalam sidang-
sidang Panitia Ad Hoc 1 tersebut serta berbagai tingkat sidang selanjutnya terdapat
juga perbedaan pendapat atau perdebatan, namun semua sepakat untuk menyusun
Kesimpulan seperti tertera pada Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahunsekali dan Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adalah
merupakan fakta empirik pula bahwa tidak ada satu Kesimpulan atau Ayat Alternatif
apa pun yang diminta oleh anggota Panitia Ad Hoc 1 ataupun peserta Sidang-Sidang
selanjutnya untuk ditampilkan bersama dengan rumusan yang sekarang dikenal
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
5/12
sebagai Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (untuk kemudian dilakukan
pemilihan atau voting terhadapnya)6
Dari kutipan putusan tersebut, kita dapat melihat adanya penelitian historis cukup
dalam yang dilakukan oleh Pemohon. Bahkan jika kutipan dilanjutkan, kita dapat melihat
transkrip diskusi antara anggota MPR ketika mereka menentukan pemilu dilaksanakan
serentak. Sebenarnyapun, pendalaman literatur sederhana yang didukung dengan pendapat ahli
sudah cukup untuk membuktikan apa yang hendak disampaikan oleh Pemohon. Prof. Harun
Al-Rasyid pernah menyampaikan tentang hal tersebut, yaitu bahwa pengaturan Pemilu yang
dilakukan secara terpisah adalah cacat hukum, karena pembuat UUD menyebut kesemuanya
dalam satu napas dan tidak ada perintah untuk memisah-misahkan (Azed, (Azed & Amir,
2005): 2005). Hal itu menurutnya adalah karena tidak ada delegasi kewenangan dari pembuat
UUD kepada pembuat UU untuk mengatur soal Pemilihan Presiden dalam undang-undang
tersendiri.
Akhirnya, argumen pamungkas dari Pemohon Effendi Gazali adalah suatu argumen
yang berdasar ilmiah dan sangat sulit untuk dibantah, yaitu efisiensi yang akan timbul jika
Pemilu Eksekutif dan Legislatif dilaksanakan serentak. Dengan mengutarakan perhitungan-
perhitungan akan kerugian yang mungkin terselamatkan, dan didukung oleh legal standing
Pemohon sebagai seseorang yang telah dan akan dirugikan hak konstitusionalnya untuk
mendapat pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur yang baik sebagai wajib pajak,
argumentasi inilah yang terkuat dari segi akademis menurut kami.
Argumen-argumen ahli dari Pemohon juga tampak sangat kuat. Argumentasi yang
berhasil dibangun para ahli terutama yang berkaitan dengan penguatan sistem presidensial.
Pendekatan dari ilmu psikologi dengan kajian voting-behavior7disampaikan oleh Prof. Hamdi
Muluk dengan basis beberapa literatur psikologi.
Perilaku memilih dalam sudut pandang psikologi lebih banyak ditelaah dari segi
kognisi, afeksi (perasaan), dan motivasi dari invididu. Namun kognisi, afeksi dan
motivasi pemilih tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang melingkupi para pemilih
tersebut Studi Donaiterd Granberg dan Soren Holmberg (2010) dalam bukunya; The
Political System Matters: Social Psychology and Voting Behavior in Sweden and the
6
Hal. 14 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/20137Adalah kajian psikologi mendalam tentang perilaku pemilih dan perilaku seputar organ-organ suatu pemilu
lainnya
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
6/12
United States (European Monographs in Social Psychology, memperlihatkan bahwa
disain sistem sangat mempengaruhi para pemilih. Pada intinya dalam bukunya
tersebut mereka memperlihatkan bahwa pemilih harus dipermudah oleh disain sistem
untuk memberikan suara. Salah satu faktor yang penting juga adalah soal memperjelas
kedekatan antara posisi ideologis partai dan kandidat dengan pemilih. Disain sistem
pemilihan yang terlalu banyak dengan polarisasi partai, isu dan waktu yang tercerai-
berai akan membingungkan pemilih dana menentukan pilihan, yang nanti pada
ujungnya akan mengakibatkan rendahnya motivasi orang untuk datang ke bilik suara
(tercermin dari tingkat voter turnout yang rendah). Belakangan hipotesis tentang
perlunya mempersempit jarak ini dikemukan oleh Heather Stoll (2011) dalam tesis
tentang jarak waktu pemilihan (temporal proximity). Dalam studinya ini Soil (2011)
berhasil membuat perhitungan bahwa jarak antar pemilu ke pemilu paling efektif kalau
diiakukan mendekati format keserentakan (concurrent) daripada pemilu yang berjarak
panjang (misal: berjarak tahun, bulan atau minggu). Dalam konteks pemilihan
presiden (presidential election) dan pemilihan angggota legislatif (legislative election)
yang serentak ternyata coattail effect (pemilih memilih presiden dan legislator dari
partai yang sama) kadang terjadi, kadang juga tidak terjadi. Maka isu penyerentakan
pemilu tidak lagi didasarkan untuk mengurangi efek kibaran jas, namun lebih
didasarkan argumen efisiensi waktu, biaya dan beban kognitif para pemilih dan usaha
memperkuat sistem checks and balances dari dua institusi ini (presiden dan
parlemen).8
Lalu selanjutnya dari segi penguatan sistem presidensial, semua ahli lainnya berhasil
menjelaskan dari sudut ilmunya masing-masing. Misalnya Didit Supriyanto yang seperti
membuat makalah tentang kaitan antara pemilu serentak dengan efektivitas pemerintahan. Hal
yang cukup banyak sama juga dilakukan Saldi Isra dan Slamet Effendy Yusuf. Namun yang
menarik sebenarnya adalah apa yang dikemukakan oleh Irman Putra Sidin, yang mencoba
menjawab pertanyaan apakah Pemilu yang selama ini dilaksanakan inkonstitusional?
8Hal. 38 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
7/12
Pendapat Ahli Irman Putra Sidin: Pintu Masuk Ke Permasalahan Substansi Putusan
MK
Jawabannya, tentu tidak dengan mudah dijawab dengan teori sebab akibat, karena
sesungguhnya konstitusi itu sendiri punya daur hidupnya. Hari ini konsep
konstitusionalnya adalah pemilu tak serentak maka bisa jadi besok muncul konsep
baru yaitu pemilu serentak dan memaksa sebuah negara untuk meninggalkan konsep
lama. Hal ini bisa jadi diakibatkan, proses pilihan model pemilu itu ternyata lahir
dengan desain kebutuhan konstitusional yang tak jelas atau kemudian ternyata
tak terbukti setelah melewati masa atau kurun waktu terentu guna layak uji. Pada
prinsipnya prinsip konstitusional open legal policy bukanlah kertas kosong yang bisa
ditulis apa saja pembentuk undang undang. Harus ada dasarnya, motifnya, tujuan atau
terdapat kebutuhan konstitusional9
Dalam putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, setidaknya pilihan bahwa
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu
DPR, DPRD dan DPD dibenarkan karena sebuah teori kebiasaan atau konvensi
ketatanegaraan. Pertanyaannya apakah kemudian konstitusi harus terus bertahan
dengan konstruksi karena sudah kebiasaan selanjutnya di kemudian hari bahwa
kebiasaan ketatanegaraan itu secara nyata mulai dirasakan merugikan hak
konstitusional warga atau perlahan mendestruksi konstitusi, maka kebiasaan
tersebut terus saja dianggap kebiasaaan yang tetap konstitusional?
Apa yang disampaikan oleh ahli dalam kutipan yang pertama adalah sangat menarik,
namun cenderung kurang tepat. Hal tersebut berbenturan langsung dengan apa yang
disampaikan Prof. Mahfud MD yaitu MK ketika hendak memutus perkara harus berpijak danmengembalikan putusan kepada original intent (yang dengan sangat baik mereka lakukan
dalam putusan ini), sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah
disepakati oleh lembaga pembuatnya (Mahfud: 2010). Yang disampaikan oleh ahli Imran Putra
Sidin mensinyalir bahwa ia menghendaki MK memutus dengan sangat progresif. Konsekuensi
logis dari hal tersebut adalah uji materil dapat dilakukan berulang kali dengan menerobos asas
9Hal. 32 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
8/12
ne bis in idem, dengan alasan bahwa telah terjadi perkembangan zaman setelah pengujian
yang pertama kali. Tentu hal ini tidak diperkenankan.
Ironisnya, hal seperti yang diimplikasikan oleh ahli Imran Putra Sidin inilah persis yang
terjadi dengan MK dalam kaitannya dengan putusan uji materil UU Pilpres oleh Effendi Gazali,
jika dibandingkan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Dalam putusan-putusan
yang disebut terakhir MK intinya berpendapat bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD, dan DPD adalah diperkenankan karena merupakan
suatu konvensi ketatanegaraan. Tentu mengherankan jika 6 tahun kemudian MK memutus
hal yang 180 derajat berbeda dengan hal ini. Disinilah pendapat ahli Hukum Tata Negara UGM
Zainal Arifin Muchtar10, bahwa putusan MK juga terpengaruh oleh keadaan politik, mungkin
dapat dikatakan benar.
Kesan lain yang muncul dari pernyataan ahli tersebut seolah mengafirmasi dan
mengingatkan kembali akan apa yang ada dibenak penulis selama ini. Kami selalu berpikir
bahwa prinsip ne bis in idemtidak benar-benar diterapkan oleh MK. Untuk suatu tujuan yang
sama, seorang pemohon hanya secara formalitas saja menambahkan beberapa pasal yang
hendak diujikan maupun yang menjadi batu uji, agar permohonannya tidak ne bis in idem
dengan permohonan sebelumnya.
Pertimbangan MK dalam Putusan
Inti dari pertimbangan MK dalam putusan ini adalah bahwa MK juga melihat bahwa
Pasal 22 E ayat (1) memang seharusnya dibaca dalam satu tarikan nafas, yang akan
mengakibatkan maknanya memang adalah Pemilu dilaksanakan secara serentak. MK juga
berpendapat bahwa dengan alasan penguatan sistem Presidensial, melihat original intent dari
pembentuk UUD, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara
untuk memilih secara cerdas, maka memang sudah benar permohonan pemohon untuk
mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan praktik Pemilu terpisah yang terjadi saat ini.
10dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 2014
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
9/12
Permasalahan yang timbul dari Putusan
Putusan MK ini tentu akan membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem
Pemilu di Indonesia. Namun, tentu sebelum menerima putusan MK ini, sebagai akademisi
perlu kita pertanyakan keabsahan MK memutus sesuatu inkonstitusional, namun tidak segera
berlaku: apakah sebenarnya MK dapat melakukan hal tersebut?
Berbagai dasar hukum dapat ditemukan untuk kemudian mengatakan bahwa putusan
MK ini adalah sesuatu yang tidak benar. Salah satunya adalah Pasal 58 UU No. 8 Tahun 2011
tentang MK, yang berbunyi:
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bunyi undang-undang diatas melalui penafsiran sederhana (mungkin dapat dikatakan secara a
contrario) mensinyalir bahwa berarti undang-undang yang diuji oleh MK tidak berlakusetelah
ada putusan yang menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD. Tidak dikatakan
dalam UU yang dikutip tersebut diatas bahwa UU yang diuji tersebut dapat ditunda
keberlakuannya setelah dikatakan inkonstitusional. Namun ternyata dalam praktik sudah
beberapa kali MK melakukan ini, dengan dalih untuk memberikan waktu persiapan bagi
lembaga negara lain yang terdampak putusan MK tersebut. Misalnya pada tahun 2006, MK
menangguhkan daya tidak mengikatnya antara dualisme Pengadilan Tipikor dalam jangka
waktu paling lama tiga tahun. Selain itu, putusan pada tahun 2008 tentang APBN-P 2008 kala
itu yang hanya 15,8% dimana yang ditetapkan adalah 20% sesuai konstitusi, MK juga
menyatakan hal tersebut inkonstitusional, namun tetap dinyatakan berlaku sampai UU APBN-
P 2009 diundangkan.
Pendapat Prof. Maria Farida dalam dissenting opinion-nya dalam putusan ini
mengamini apa yang diyakini oleh penulis. Prof. Maria dalam bagian terakhir pendapatnya
menyatakan diri tetap konsisten akan posisi MK pada putusan MK pada tahun 2008 tersebut
diatas.
Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam
Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 yang
menyatakan, Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin
untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
10/12
merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy
oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang
dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal
Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab
yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal
policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang
intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan
sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan
pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta
tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian
tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.11
Atas pendapat seperti ini, MK pun sudah mempersiapkan argumentasinya.
Apabila teks konstitusi baik yang secara tegas (expresis verbis) maupun yang secara
implisit sangat jelas, maka praktik ketatanegaraan tidak dapat menjadi norma
konstitusional untuk menentukan konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-
Undang. Kekuatan mengikat dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan
secara moral12
Dapat kita lihat disparitas luar biasa antara pendapat terdahulu MK dengan pendapatnya saat
ini. Melihat pernyataan tersebut diatas siapa saja dapat kemudian mengatakan lalu mengapa
MK memutus berdasarkan konvensi ketatanegaraan pada kesempatan sebelumnya? Bukankah
teks UUD 1945 kala itu dan sekarang sama saja sudah ada, sehingga dapat dijadikan dasar
dalam pengambilan keputusannya?
Lalu tentang formal putusan MK, perlu dicatat bahwa MK punya kewenangan yangsangat besar yang termanifestasikan dalam sifat putusannya yang final and binding. Namun
disini kita melihat bahwa hal-hal formal-prosedural yang tidak sesuai dengan UU MK sebagi
acuannya dalam membuat putusan terjadi dalam putusan ini. Menurut Effendi Gazali13, ia
awalnya memasukkan permohonan ini sudah mempertimbangkan bahwa akan ada perubahan
besar yang dapat terjadi dalam sistem Pemilu dengan misalnya dikabulkannya putusan ini,
11
Hal. 92, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/201312Hal. 77, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/201313dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 2014
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
11/12
sehingga diajukan sejak jauh-jauh hari dan dilabeli prioritas. Permohonan ia masukkan pada
10 Januari 2013, mulai disidangkan pada 6 Februari 2013, pada 14 Maret 2013 sidang sudah
selesai, 19 Maret 2013 semua pihak diminta untuk menyerahkan kesimpulan, dan dalam
kesimpulan tersebut pemohon secara eksplist memohonkan MK untuk dapat mengeluarkan
putusannya sebelum 9 April 2013, sehingga memang sudah dipikirkan matang-matang bahwa
paling singkat ada jarak 1 tahun persiapan setelah putusan ini dikeluarkan. Fakta tersebut pada
dasarnya didukung dengan keterangan Prof. Mahfud MD dalam beberapa media massa
beberapa waktu yang lalu.
Bagian yang sangat dapat diverifikasi adalah yang termuat pada putusan MK itu sendiri,
halaman 88, dimana dikatakan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim telah selesai
dilaksanakan pada 26 Maret 2013, dan plenonya baru pada 23 Januari 2014. Tentu adalah agak
aneh untuk memutus sesuatu hampir 1 tahun setelah dimusyawarahkan. Hal ini diamini oleh
Mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga14.
Kesimpulan dan Prospeksi Putusan
Dengan mengesampingkan segala perdebatan yang terjadi tentang formalitas maupun
substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan kewenangan MK yang telah dieksploitasi dalam
tulisan ini, seperti yang sudah diawal tulisan ini kita harus menerima putusan MK sebagaifinal
and bindingdan menerima MK sebagai the sole interpreter of the constitution. Bertolak dari
hal ini kita kemudian dapat melangkah untuk melihat apa prospeksi dari putusan ini dalam
kaitannya dengan pelaksaanaan Pemilu yang akan datang.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie15dengan mekanisme pemilihan pimpinan eksekutif
dan anggota lembaga legislatif secara serentak ini, akan banyak manfaat yang dapat diperoleh
dalam memperkuat sistem pemerintahan. Beberapa manfaat strategisnya adalah (i) sistem
pemerintah diperkuat melalui political separation (decoupled) antara fungsi eksekutif dan
legislatif yang memang sudah seharusnya saling imbang mengimbangi. Para pejabat di kedua
cabang kekuasaan ini dibentuk secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan, sehingga
tidak terjadi konflik kepentingan ataupun potensi sandera menyandera yang menyuburkan
politik transaksional; (ii) Salah satu kelemahan sistem decoupling ini potensi terjadinya gejala
14dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 201415Makalah Penguatan Sistem Pemerintahan dan Pemilu Serentak, Prof. Jimly Asshiddiqie, 2014.
5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi
12/12
divided government atau split-government sebagai akibat kepala pemerintahan tidak
menguasai dukungan suara mayoritas di parlemen. Namun hal ini haruslah diterima sebagai
kenyataan yang tentunya harus diimbangi dengan penerapan prinsip tidak dapat saling
menjatuhkan antara parlemen dan pemerintah; (iii) Sistem impeachment hanya dapat
diterapkan dengan persyaratan ketat, yaitu adanya alasan tindak pidana, bukan alasan politik;
(iv) untuk menjaga iklim dan dinamika public policy debate di parlemen. Harus
dimungkinkan anggota partai politik berbeda pendapat dengan partainya dalam
memperjuangkan kepentingan rakyat, dan kebijakan party recall harus ditiadakan dan diganti
dengan kebijakan constituent recall.
Iapun berpendapat bahwa putusan ini jadi dijadikan titik tolak momentum untuk
penguatan sistem pemerintahan, dan penulis sangat setuju akan hal tersebut. Terlepas dari
segala hal yang berkaitan dengan prosedural terbentuknya putusan, ini harus dijadikan agenda
utama pascaterbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2014, yaitu periode 2014-2019
dimanfaatkan untuk konsolidasi demokrasi yang lebih produktif dan efisien serta penguatan
sistem presidensial.
Sumber
Azed, A. B., & Amir, M. (2005). Pemilu dan Partai Politik di Indonesia(p. 72). Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Asshiddiqie, J. (2014). Penguatan Sistem Pemerintahan dan Pemilu Serentak. Makalah, Tanpa
Penerbit.
Mahfud MD, M. (2010). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu(pp. 265-281). Jakarta: Rajawali
Press.
Syahrizal, A. (2006). Peradilan Konstitusi (pp. 259-268). Jakarta: Pradnya Paramita.