Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

download Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

of 12

description

Sebuah analisis putusan MK paling signifikan terhadap sistem Pemilu Indonesia.

Transcript of Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    1/12

    Analisis Putusan MK tentang Pemilu Serentak1

    oleh Randy Pongtiku

    NPM: 1306450115; Hukum Tata Negara Kelas A

    Pendahuluan

    Permohonan pengujian beberapa pasal dari UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang

    Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Effendi Gazali dan

    dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014 akan membawa banyak

    perubahan pada sistem pemilihan umum di Indonesia. Konsekuensi paling jelas dan signifikan

    dari putusan ini adalah bagaimana Pemilu 2019 harus diselenggarakan secara serentak, dengan

    arti utama bahwa tidak ada saling menunggu hasil antara Pemilu Presiden dan Pemilu

    Legislatif. Masyarakat umumnya menyambut positif perubahan ini2. Namun, sebagian

    masyarakat lainnya terutama dari kalangan yang paham hukum, mempertanyakan keabsahan

    putusandan akibat hukum dari putusan ini.

    Masalah hukum terutama dan paling terlihat yang muncul dari putusan ini adalah

    bagimana MK menetapkan suatu peraturan inkonstitusional, namun dengan syarat yang harus

    terpenuhi terlebih dahulu. MK dalam pasal pertama amar putusannya menyatakan ada 4 pasal

    dari UU No. 42 Tahun 2008 yang inkonstitusional. Dalam pasal kedua, MK lalu menyatakan

    bahwa pasal tersebut diatas, yang telah terlebih dahulu dikatakan inkonstitusional, baru dicabut

    pada tahun 2019. Pertanyaan turunan yang kemudian muncul dari permasalahan ini tentu

    adalah bagaimana konstitusionalitas Pemilu Presiden 2014, bahkan pemilu yang selama ini

    terjadi?

    Selain masalah hukum yang berkaitan dengan substansi putusan, masalah hukumlainnya adalah yang berkaitan dengan proses yuridis-formal. Fakta terungkap bahwa ada jeda

    waktu sekitar 10 bulan setelah Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi sampai akhirnya

    perkara ini putusannya dibacakan. Adapun dalam tenggang waktu 10 bulan itu terjadi

    1Untuk tugas makalah Hukum Tata Negara dengan topik pemicu Pemilu dalam Perspektif Konstitusi, yang

    diberikan oleh Makmur Amir, S.H., M.H.2Keabsahan Pemilu Serentak 2014. (2014, Februari). Majalah Konstitusi. Jakarta, DKI Jakarta: Penerbit

    Mahkamah Konstitusi.

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    2/12

    pergantian ketua dan anggota Majelis Hakim. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan ketentuan

    tentang Putusan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika

    ditambahkan dengan bagaimana isi dari putusan ini, jelas ada kesan yang timbul bahwa MK

    memutus dengan mempertimbangkan faktor politik juga3.

    Dalam prospeksi, putusan ini tentu juga akan membawa dampak perubahan secara

    prosedural-teknis pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2019. Salah satu dampak paling

    nyata yang akan terjadi adalah tentangPresidential Treshold. Meski MK menolak pengujian

    terhadap pasal ini dalam UU Pilpres, tentu dapat dipastikan konsep ambang-batas suara

    minimal yang harus diperoleh partai politik untuk dapat mencalonkan Presiden ini akan hilang.

    Disinilah perdebatan yang sesungguhnya terjadi: apakah putusan MK ini sesungguhnya akan

    membawa perubahan positif bagi sistem pemerintahan di Indonesia, sesuai dengan salah satu

    alasan MK mengabulkan permohonan ini yaitu untuk memperkuat sistem presidensial?

    Ataukah sistem Pemilu baru yang nanti akan muncul malah membawa hal-hal negatif seperti

    kurangnya legitimasi Presiden karena banyaknya calon yang mungkin?

    Dalam konteks permasalahan ini, kita tentu tetap melihat Mahkamah Konstitusi sebagai

    the guardian of constitution, the sole interpreter of the constitution(meski tidak terlihat dalam

    Putusan atas permohonan uji materil oleh Yusril4). Hal yang lebih penting lagi untuk diafirmasi

    dan ditegaskan adalah kita tetap melihat putusan MK sebagai suatu putusan yang final and

    binding.Namun tentu sebagai akademisi adalah kewajiban juga bagi penulis untuk mencoba

    menelaah dan menganalisis lebih lanjut tentang putusan yang menurut penulis adalah putusan

    MK yang paling signifikan dampaknya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia di tahun

    2014, bahkan sejak MK berdiri.

    Garis Besar Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

    Perkara konstitusi yang diadili oleh MK sehingga melahirkan putusan ini adalah

    perkara pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

    Presiden. Permohonan ini diajukan oleh Effendi Gazali (selanjutnya akan disebut Pemohon).

    3Pakar HTN UGM, Zaenal Arifin Muchtar, dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 20144Soal Putusan MK, Yusril: Saya Ketawa-Ketawa. (2014, Maret 20). Dari Republika Online:

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawa,diakses 22 Mei 2014

    http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawahttp://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/20/n2qg96-soal-putusan-mk-yusril-saya-ketawaketawa
  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    3/12

    Secara garis besar, argumentasi pemohon, dengan dilabeli faktor-faktor secara

    signifikan mengambat kemajuan negara Indonesia adalah sebagai berikut:

    1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis, dimana pemohon bahkanmenginventarisasi akan dapat terjadi 4-5x politik transaksional ini dalam Pemilu,

    yaitu5:

    - Pada saatmengajukan calon anggota legislatif- Pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena ketentuan

    Presidential Treshold

    - Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden (jika harus terjadi 2xpemilu)

    - Pada saat pembentukan kabinet- Pada saat membentuk koalisi di DPR

    2. Biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, dimana klaimpemohon adalah mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri

    Gamawan Fauzi, yaitu 1 Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa

    Timur.

    3. Politik uang yang meruyak, sebagai salah satu unsur dari politik transaksionaltersebut diatas

    4. Korupsi Politik5. Tidak ditegakkannya sistem Presidensial atau diperkuatnya yang sebenarnya

    Tentang Politik Transaksional

    Selain hal-hal statistik-matematis yang tidak perlu untuk diverifikasi mengingat tujuan

    penulisan ini adalah untuk penelitian hukum, pendapat dan argumentasi pemohon yangdisampaikan tersebut diatas dapat dikatakan valid. Kesadaran masyarakat akan sifat Pemilu

    yang transaksional sebenarnya sudah ada dan terus berkembang. Pemberitaan di media akan

    adanya kunjungan informal atau lobby antara petinggi politik sebenarnya sudah jelas

    menunjukkan adanya negosiasi politik disitu. Namun kemudian, Pemohon memang tidak

    membuktikan pendapat mereka ini dengan apapun juga, hanya sekedar apa yang mereka sebut

    dengan action-research. Meskipun terasa jelas terlihat dan dialami sehari-hari, namun kami

    5Hal. 6 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    4/12

    melihat poin tentang politik transaksional dari sudut pandang akademik tidak berhasil

    dibuktikan oleh pemohon, dan memang akan sangat sulit untuk dibuktikan.

    Adapun daftar jumlah politik transaksional yang terjadi, lagi-lagi menurut kami adalah

    sangat asumtif, mengingat tidak didasarkan pada fakta empiris baik dalam bentuk hasil riset

    maupun penelitian literatur manapun. Hal ini, jika ditambahkan dengan tuduhan telah

    terjadinya politik transaksional seperti yang dikemukakan pada pasal sebelumnya, dengan jelas

    menimbulkan pertanyaan tentang fakta-fakta yang dibawa dihadapan Mahkamah Konstitusi.

    Bagaimana kemudian pertanggungjawaban bagi seorang pemohon yang menyampaikan suatu

    tuduhan yang tidak berdasar ilmiah didepan MK?

    Tentang Original Intent Pasal 22E ayat 1 UUD 1945

    Setelah itu, Pemohon kemudian berargumen dari segi original intentPasal 22E ayat 1

    UUD 1945, yang menurutnya adalah mengkehendaki Pemilu serentak.

    Bahwa ORIGINAL INTENT Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat kita

    temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945 pada tahun 2001,

    dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum memang dimaksudkan untuk

    diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR,

    DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang

    Panitia Ad Hoc 1 dengan jelas muncul kata-kata Pemilu bareng-bareng, Pemilu

    serentak serta istilah yang lebih spesifik Pemilu lima kotak. Memang dalam sidang-

    sidang Panitia Ad Hoc 1 tersebut serta berbagai tingkat sidang selanjutnya terdapat

    juga perbedaan pendapat atau perdebatan, namun semua sepakat untuk menyusun

    Kesimpulan seperti tertera pada Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, Pemilihan umum

    dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahunsekali dan Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi, Pemilihan umum diselenggarakan

    untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

    Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adalah

    merupakan fakta empirik pula bahwa tidak ada satu Kesimpulan atau Ayat Alternatif

    apa pun yang diminta oleh anggota Panitia Ad Hoc 1 ataupun peserta Sidang-Sidang

    selanjutnya untuk ditampilkan bersama dengan rumusan yang sekarang dikenal

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    5/12

    sebagai Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (untuk kemudian dilakukan

    pemilihan atau voting terhadapnya)6

    Dari kutipan putusan tersebut, kita dapat melihat adanya penelitian historis cukup

    dalam yang dilakukan oleh Pemohon. Bahkan jika kutipan dilanjutkan, kita dapat melihat

    transkrip diskusi antara anggota MPR ketika mereka menentukan pemilu dilaksanakan

    serentak. Sebenarnyapun, pendalaman literatur sederhana yang didukung dengan pendapat ahli

    sudah cukup untuk membuktikan apa yang hendak disampaikan oleh Pemohon. Prof. Harun

    Al-Rasyid pernah menyampaikan tentang hal tersebut, yaitu bahwa pengaturan Pemilu yang

    dilakukan secara terpisah adalah cacat hukum, karena pembuat UUD menyebut kesemuanya

    dalam satu napas dan tidak ada perintah untuk memisah-misahkan (Azed, (Azed & Amir,

    2005): 2005). Hal itu menurutnya adalah karena tidak ada delegasi kewenangan dari pembuat

    UUD kepada pembuat UU untuk mengatur soal Pemilihan Presiden dalam undang-undang

    tersendiri.

    Akhirnya, argumen pamungkas dari Pemohon Effendi Gazali adalah suatu argumen

    yang berdasar ilmiah dan sangat sulit untuk dibantah, yaitu efisiensi yang akan timbul jika

    Pemilu Eksekutif dan Legislatif dilaksanakan serentak. Dengan mengutarakan perhitungan-

    perhitungan akan kerugian yang mungkin terselamatkan, dan didukung oleh legal standing

    Pemohon sebagai seseorang yang telah dan akan dirugikan hak konstitusionalnya untuk

    mendapat pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur yang baik sebagai wajib pajak,

    argumentasi inilah yang terkuat dari segi akademis menurut kami.

    Argumen-argumen ahli dari Pemohon juga tampak sangat kuat. Argumentasi yang

    berhasil dibangun para ahli terutama yang berkaitan dengan penguatan sistem presidensial.

    Pendekatan dari ilmu psikologi dengan kajian voting-behavior7disampaikan oleh Prof. Hamdi

    Muluk dengan basis beberapa literatur psikologi.

    Perilaku memilih dalam sudut pandang psikologi lebih banyak ditelaah dari segi

    kognisi, afeksi (perasaan), dan motivasi dari invididu. Namun kognisi, afeksi dan

    motivasi pemilih tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang melingkupi para pemilih

    tersebut Studi Donaiterd Granberg dan Soren Holmberg (2010) dalam bukunya; The

    Political System Matters: Social Psychology and Voting Behavior in Sweden and the

    6

    Hal. 14 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/20137Adalah kajian psikologi mendalam tentang perilaku pemilih dan perilaku seputar organ-organ suatu pemilu

    lainnya

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    6/12

    United States (European Monographs in Social Psychology, memperlihatkan bahwa

    disain sistem sangat mempengaruhi para pemilih. Pada intinya dalam bukunya

    tersebut mereka memperlihatkan bahwa pemilih harus dipermudah oleh disain sistem

    untuk memberikan suara. Salah satu faktor yang penting juga adalah soal memperjelas

    kedekatan antara posisi ideologis partai dan kandidat dengan pemilih. Disain sistem

    pemilihan yang terlalu banyak dengan polarisasi partai, isu dan waktu yang tercerai-

    berai akan membingungkan pemilih dana menentukan pilihan, yang nanti pada

    ujungnya akan mengakibatkan rendahnya motivasi orang untuk datang ke bilik suara

    (tercermin dari tingkat voter turnout yang rendah). Belakangan hipotesis tentang

    perlunya mempersempit jarak ini dikemukan oleh Heather Stoll (2011) dalam tesis

    tentang jarak waktu pemilihan (temporal proximity). Dalam studinya ini Soil (2011)

    berhasil membuat perhitungan bahwa jarak antar pemilu ke pemilu paling efektif kalau

    diiakukan mendekati format keserentakan (concurrent) daripada pemilu yang berjarak

    panjang (misal: berjarak tahun, bulan atau minggu). Dalam konteks pemilihan

    presiden (presidential election) dan pemilihan angggota legislatif (legislative election)

    yang serentak ternyata coattail effect (pemilih memilih presiden dan legislator dari

    partai yang sama) kadang terjadi, kadang juga tidak terjadi. Maka isu penyerentakan

    pemilu tidak lagi didasarkan untuk mengurangi efek kibaran jas, namun lebih

    didasarkan argumen efisiensi waktu, biaya dan beban kognitif para pemilih dan usaha

    memperkuat sistem checks and balances dari dua institusi ini (presiden dan

    parlemen).8

    Lalu selanjutnya dari segi penguatan sistem presidensial, semua ahli lainnya berhasil

    menjelaskan dari sudut ilmunya masing-masing. Misalnya Didit Supriyanto yang seperti

    membuat makalah tentang kaitan antara pemilu serentak dengan efektivitas pemerintahan. Hal

    yang cukup banyak sama juga dilakukan Saldi Isra dan Slamet Effendy Yusuf. Namun yang

    menarik sebenarnya adalah apa yang dikemukakan oleh Irman Putra Sidin, yang mencoba

    menjawab pertanyaan apakah Pemilu yang selama ini dilaksanakan inkonstitusional?

    8Hal. 38 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    7/12

    Pendapat Ahli Irman Putra Sidin: Pintu Masuk Ke Permasalahan Substansi Putusan

    MK

    Jawabannya, tentu tidak dengan mudah dijawab dengan teori sebab akibat, karena

    sesungguhnya konstitusi itu sendiri punya daur hidupnya. Hari ini konsep

    konstitusionalnya adalah pemilu tak serentak maka bisa jadi besok muncul konsep

    baru yaitu pemilu serentak dan memaksa sebuah negara untuk meninggalkan konsep

    lama. Hal ini bisa jadi diakibatkan, proses pilihan model pemilu itu ternyata lahir

    dengan desain kebutuhan konstitusional yang tak jelas atau kemudian ternyata

    tak terbukti setelah melewati masa atau kurun waktu terentu guna layak uji. Pada

    prinsipnya prinsip konstitusional open legal policy bukanlah kertas kosong yang bisa

    ditulis apa saja pembentuk undang undang. Harus ada dasarnya, motifnya, tujuan atau

    terdapat kebutuhan konstitusional9

    Dalam putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, setidaknya pilihan bahwa

    Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu

    DPR, DPRD dan DPD dibenarkan karena sebuah teori kebiasaan atau konvensi

    ketatanegaraan. Pertanyaannya apakah kemudian konstitusi harus terus bertahan

    dengan konstruksi karena sudah kebiasaan selanjutnya di kemudian hari bahwa

    kebiasaan ketatanegaraan itu secara nyata mulai dirasakan merugikan hak

    konstitusional warga atau perlahan mendestruksi konstitusi, maka kebiasaan

    tersebut terus saja dianggap kebiasaaan yang tetap konstitusional?

    Apa yang disampaikan oleh ahli dalam kutipan yang pertama adalah sangat menarik,

    namun cenderung kurang tepat. Hal tersebut berbenturan langsung dengan apa yang

    disampaikan Prof. Mahfud MD yaitu MK ketika hendak memutus perkara harus berpijak danmengembalikan putusan kepada original intent (yang dengan sangat baik mereka lakukan

    dalam putusan ini), sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah

    disepakati oleh lembaga pembuatnya (Mahfud: 2010). Yang disampaikan oleh ahli Imran Putra

    Sidin mensinyalir bahwa ia menghendaki MK memutus dengan sangat progresif. Konsekuensi

    logis dari hal tersebut adalah uji materil dapat dilakukan berulang kali dengan menerobos asas

    9Hal. 32 Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    8/12

    ne bis in idem, dengan alasan bahwa telah terjadi perkembangan zaman setelah pengujian

    yang pertama kali. Tentu hal ini tidak diperkenankan.

    Ironisnya, hal seperti yang diimplikasikan oleh ahli Imran Putra Sidin inilah persis yang

    terjadi dengan MK dalam kaitannya dengan putusan uji materil UU Pilpres oleh Effendi Gazali,

    jika dibandingkan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Dalam putusan-putusan

    yang disebut terakhir MK intinya berpendapat bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

    setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD, dan DPD adalah diperkenankan karena merupakan

    suatu konvensi ketatanegaraan. Tentu mengherankan jika 6 tahun kemudian MK memutus

    hal yang 180 derajat berbeda dengan hal ini. Disinilah pendapat ahli Hukum Tata Negara UGM

    Zainal Arifin Muchtar10, bahwa putusan MK juga terpengaruh oleh keadaan politik, mungkin

    dapat dikatakan benar.

    Kesan lain yang muncul dari pernyataan ahli tersebut seolah mengafirmasi dan

    mengingatkan kembali akan apa yang ada dibenak penulis selama ini. Kami selalu berpikir

    bahwa prinsip ne bis in idemtidak benar-benar diterapkan oleh MK. Untuk suatu tujuan yang

    sama, seorang pemohon hanya secara formalitas saja menambahkan beberapa pasal yang

    hendak diujikan maupun yang menjadi batu uji, agar permohonannya tidak ne bis in idem

    dengan permohonan sebelumnya.

    Pertimbangan MK dalam Putusan

    Inti dari pertimbangan MK dalam putusan ini adalah bahwa MK juga melihat bahwa

    Pasal 22 E ayat (1) memang seharusnya dibaca dalam satu tarikan nafas, yang akan

    mengakibatkan maknanya memang adalah Pemilu dilaksanakan secara serentak. MK juga

    berpendapat bahwa dengan alasan penguatan sistem Presidensial, melihat original intent dari

    pembentuk UUD, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara

    untuk memilih secara cerdas, maka memang sudah benar permohonan pemohon untuk

    mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan praktik Pemilu terpisah yang terjadi saat ini.

    10dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 2014

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    9/12

    Permasalahan yang timbul dari Putusan

    Putusan MK ini tentu akan membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem

    Pemilu di Indonesia. Namun, tentu sebelum menerima putusan MK ini, sebagai akademisi

    perlu kita pertanyakan keabsahan MK memutus sesuatu inkonstitusional, namun tidak segera

    berlaku: apakah sebenarnya MK dapat melakukan hal tersebut?

    Berbagai dasar hukum dapat ditemukan untuk kemudian mengatakan bahwa putusan

    MK ini adalah sesuatu yang tidak benar. Salah satunya adalah Pasal 58 UU No. 8 Tahun 2011

    tentang MK, yang berbunyi:

    Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada

    putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan

    Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Bunyi undang-undang diatas melalui penafsiran sederhana (mungkin dapat dikatakan secara a

    contrario) mensinyalir bahwa berarti undang-undang yang diuji oleh MK tidak berlakusetelah

    ada putusan yang menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD. Tidak dikatakan

    dalam UU yang dikutip tersebut diatas bahwa UU yang diuji tersebut dapat ditunda

    keberlakuannya setelah dikatakan inkonstitusional. Namun ternyata dalam praktik sudah

    beberapa kali MK melakukan ini, dengan dalih untuk memberikan waktu persiapan bagi

    lembaga negara lain yang terdampak putusan MK tersebut. Misalnya pada tahun 2006, MK

    menangguhkan daya tidak mengikatnya antara dualisme Pengadilan Tipikor dalam jangka

    waktu paling lama tiga tahun. Selain itu, putusan pada tahun 2008 tentang APBN-P 2008 kala

    itu yang hanya 15,8% dimana yang ditetapkan adalah 20% sesuai konstitusi, MK juga

    menyatakan hal tersebut inkonstitusional, namun tetap dinyatakan berlaku sampai UU APBN-

    P 2009 diundangkan.

    Pendapat Prof. Maria Farida dalam dissenting opinion-nya dalam putusan ini

    mengamini apa yang diyakini oleh penulis. Prof. Maria dalam bagian terakhir pendapatnya

    menyatakan diri tetap konsisten akan posisi MK pada putusan MK pada tahun 2008 tersebut

    diatas.

    Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam

    Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 yang

    menyatakan, Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin

    untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    10/12

    merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy

    oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang

    dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal

    Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab

    yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal

    policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang

    intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan

    sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan

    pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta

    tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian

    tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.11

    Atas pendapat seperti ini, MK pun sudah mempersiapkan argumentasinya.

    Apabila teks konstitusi baik yang secara tegas (expresis verbis) maupun yang secara

    implisit sangat jelas, maka praktik ketatanegaraan tidak dapat menjadi norma

    konstitusional untuk menentukan konstitusionalitas norma dalam pengujian Undang-

    Undang. Kekuatan mengikat dari praktik ketatanegaraan tidak lebih dari keterikatan

    secara moral12

    Dapat kita lihat disparitas luar biasa antara pendapat terdahulu MK dengan pendapatnya saat

    ini. Melihat pernyataan tersebut diatas siapa saja dapat kemudian mengatakan lalu mengapa

    MK memutus berdasarkan konvensi ketatanegaraan pada kesempatan sebelumnya? Bukankah

    teks UUD 1945 kala itu dan sekarang sama saja sudah ada, sehingga dapat dijadikan dasar

    dalam pengambilan keputusannya?

    Lalu tentang formal putusan MK, perlu dicatat bahwa MK punya kewenangan yangsangat besar yang termanifestasikan dalam sifat putusannya yang final and binding. Namun

    disini kita melihat bahwa hal-hal formal-prosedural yang tidak sesuai dengan UU MK sebagi

    acuannya dalam membuat putusan terjadi dalam putusan ini. Menurut Effendi Gazali13, ia

    awalnya memasukkan permohonan ini sudah mempertimbangkan bahwa akan ada perubahan

    besar yang dapat terjadi dalam sistem Pemilu dengan misalnya dikabulkannya putusan ini,

    11

    Hal. 92, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/201312Hal. 77, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/201313dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 2014

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    11/12

    sehingga diajukan sejak jauh-jauh hari dan dilabeli prioritas. Permohonan ia masukkan pada

    10 Januari 2013, mulai disidangkan pada 6 Februari 2013, pada 14 Maret 2013 sidang sudah

    selesai, 19 Maret 2013 semua pihak diminta untuk menyerahkan kesimpulan, dan dalam

    kesimpulan tersebut pemohon secara eksplist memohonkan MK untuk dapat mengeluarkan

    putusannya sebelum 9 April 2013, sehingga memang sudah dipikirkan matang-matang bahwa

    paling singkat ada jarak 1 tahun persiapan setelah putusan ini dikeluarkan. Fakta tersebut pada

    dasarnya didukung dengan keterangan Prof. Mahfud MD dalam beberapa media massa

    beberapa waktu yang lalu.

    Bagian yang sangat dapat diverifikasi adalah yang termuat pada putusan MK itu sendiri,

    halaman 88, dimana dikatakan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim telah selesai

    dilaksanakan pada 26 Maret 2013, dan plenonya baru pada 23 Januari 2014. Tentu adalah agak

    aneh untuk memutus sesuatu hampir 1 tahun setelah dimusyawarahkan. Hal ini diamini oleh

    Mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga14.

    Kesimpulan dan Prospeksi Putusan

    Dengan mengesampingkan segala perdebatan yang terjadi tentang formalitas maupun

    substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan kewenangan MK yang telah dieksploitasi dalam

    tulisan ini, seperti yang sudah diawal tulisan ini kita harus menerima putusan MK sebagaifinal

    and bindingdan menerima MK sebagai the sole interpreter of the constitution. Bertolak dari

    hal ini kita kemudian dapat melangkah untuk melihat apa prospeksi dari putusan ini dalam

    kaitannya dengan pelaksaanaan Pemilu yang akan datang.

    Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie15dengan mekanisme pemilihan pimpinan eksekutif

    dan anggota lembaga legislatif secara serentak ini, akan banyak manfaat yang dapat diperoleh

    dalam memperkuat sistem pemerintahan. Beberapa manfaat strategisnya adalah (i) sistem

    pemerintah diperkuat melalui political separation (decoupled) antara fungsi eksekutif dan

    legislatif yang memang sudah seharusnya saling imbang mengimbangi. Para pejabat di kedua

    cabang kekuasaan ini dibentuk secara sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan, sehingga

    tidak terjadi konflik kepentingan ataupun potensi sandera menyandera yang menyuburkan

    politik transaksional; (ii) Salah satu kelemahan sistem decoupling ini potensi terjadinya gejala

    14dalam Program Diskusi Indonesia Lawyers Club28 Januari 201415Makalah Penguatan Sistem Pemerintahan dan Pemilu Serentak, Prof. Jimly Asshiddiqie, 2014.

  • 5/25/2018 Putusan MK Tentang Pemilu Serentak: Analisis, Permasalahan, dan Prospeksi

    12/12

    divided government atau split-government sebagai akibat kepala pemerintahan tidak

    menguasai dukungan suara mayoritas di parlemen. Namun hal ini haruslah diterima sebagai

    kenyataan yang tentunya harus diimbangi dengan penerapan prinsip tidak dapat saling

    menjatuhkan antara parlemen dan pemerintah; (iii) Sistem impeachment hanya dapat

    diterapkan dengan persyaratan ketat, yaitu adanya alasan tindak pidana, bukan alasan politik;

    (iv) untuk menjaga iklim dan dinamika public policy debate di parlemen. Harus

    dimungkinkan anggota partai politik berbeda pendapat dengan partainya dalam

    memperjuangkan kepentingan rakyat, dan kebijakan party recall harus ditiadakan dan diganti

    dengan kebijakan constituent recall.

    Iapun berpendapat bahwa putusan ini jadi dijadikan titik tolak momentum untuk

    penguatan sistem pemerintahan, dan penulis sangat setuju akan hal tersebut. Terlepas dari

    segala hal yang berkaitan dengan prosedural terbentuknya putusan, ini harus dijadikan agenda

    utama pascaterbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2014, yaitu periode 2014-2019

    dimanfaatkan untuk konsolidasi demokrasi yang lebih produktif dan efisien serta penguatan

    sistem presidensial.

    Sumber

    Azed, A. B., & Amir, M. (2005). Pemilu dan Partai Politik di Indonesia(p. 72). Jakarta: Pusat Studi

    Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

    Asshiddiqie, J. (2014). Penguatan Sistem Pemerintahan dan Pemilu Serentak. Makalah, Tanpa

    Penerbit.

    Mahfud MD, M. (2010). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu(pp. 265-281). Jakarta: Rajawali

    Press.

    Syahrizal, A. (2006). Peradilan Konstitusi (pp. 259-268). Jakarta: Pradnya Paramita.