Post on 04-Dec-2020
PUSAT PENELITIAN INFRASTRUKTUR DAN KEWILAYAHANI NS T I T U T T E KNO L O G I B AND U N G
Wilmar Salim S.T., M.Reg.Dev., Ph.D.
9 Oktober 2020
Biodata Singkat Wilmar Salim
Pekerjaan: Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi
Bandung sejak 1998
Bidang keahlian: kepranataan pengembangan wilayah
Jabatan: Kepala Pusat Penelitian Infrastruktur dan Kewilayahan
Jabatan sebelumnya: Ketua Program Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah
dan Kota (2012-2016); Visiting Associate Professor di Hiroshima University (2016)
Publikasi terakhir: Local Governance and Access to Urban Services: Political and
Social Inclusion in Indonesia, bab dalam Governance for Urban Services oleh
Shabbir Cheema (Editor).
2
Kerangka Pemaparan
Profil PPIK
Hasil-hasil Riset PPIK 2018 dan 2019
Usulan Riset Dampak Pandemi COVID-19
Kajian Pengembangan Kawasan Industri Jawa Barat
Kajian Ketahanan Daerah Menghadapi Dampak Pandemi COVID-19
3
Profil PPIK
4
VISI dan MISI PPIK
Visi
Menjadi lembaga riset unggulan nasional yg memproduksi dan
mendesiminasi pengetahuan serta turut serta dalam memandu arah
perkembangan wilayah dan pengelolaan infrastrukur yang terpadu dan
berkelanjutan.
Misi
1. Menyelenggarakan seluruh proses penelitian tentang infrastruktur dan
kewilayahan serta mengomunikasikannya pada berbagai pihak yang
berkepentingan
2. Menjawab persoalan nasional dan daerah yang terkait dengan
pengembangan wilayah dan infrastruktur berbasis hasil riset
3. Memperkuat kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam
merencanakan pengembangan wilayah dan infrastruktur.
5
PPIK mensinergikan beberapa
kelompok keahlian untuk
menghasilkan penelitian yang
inovatif dan integratif dengan
memperhatikan berbagai
aspek dalam pengembangan
infrastruktur dan kewilayahan
Keahlian
Perencanaan dan
Perancangan Kota
Keahlian Sistem
Infrastruktur Wilayah
dan Kota
Keahlian Teknik
Sumber Daya Air
Keahlian Teknologi
Pengelolaan
Lingkungan
Keahlian Perumahan
dan Permukiman
PPIK
Keahlian Pengelolaan
Pembangunan dan
Pengembangan
Kebijakan
Keahlian
Perencanaan Wilayah
dan Perdesaan
Keunikan dan Keunggulan PPIK6
7
Program dan Manfaat PPIK
INNOVATIVE AND SYNERGIC RESEARCH
INFORMATIVE REFERENCE DATA AND INFORMATION
COMMUNITY SERVICES
TRAINING FOR PRACTITIONERS, LOCAL GOVERNMENT, AND SOCIETY
Berkontribusi dalam penelitian yang sinergis dengan tema-tema inovatif
Memberikan data dan informasi terkait infrastruktur dan pengembangan
wilayah secara menarik, terintegrasi dan up to date
Berkontribusi dalam formulasi kebijakan infrastruktur dan pengembangan
wilayah, baik untuk Pemerintah maupun Pemerintah Daerah
Memberikan pelatihan peningkatan kapasitas baik kepada pemerintah,
maupun praktisi di bidang peraturan zonasi, pengembangan
metropolitan, serta perencanaan berbasis lingkungan
FOKUS PENELITIAN
A. Penataan ruang di kawasan
DAS Citarum
B. Kelembagaan pengelolaan
DAS Citarum
PENGELOLAAN MEGA URBAN
DAN INFRASTRUKTUR
PERKOTAAN
PENGEMBANGAN KAWASAN
PERDESAAN DAN PESISIR
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
A. Mega-urbanisasi dan
pembangunan infrastruktur
wilayah IndonesiaA. Pengembangan perdesaan dan
pesisir berbasis kelompok kreatif
B. Pengembangan perdesaan
berbasis reforma agraria
C.Penguatan kelompok nelayan dan
peningkatan produktivitas nelayan
D. Peningkatan pelayanan dasar
daerah perbatasan
B. Sistem pengelolaan transportasi perkotaan
terpadu di Jabodetabek, Bandung Raya,
dan Cirebon Raya
C.Sistem Kelembagaan Pengelolaan
Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya,
dan Cirebon Raya
D. Pengembangan pusat – pusat aktivitas
baru (kota kecil menengah) di Jawa Barat
8
PETA JALAN PENELITIAN 9
HASIL RISET UNGGULAN PPIK2019
10
Publikasi Jurnal 11
1. Nurdini, Allis; Isnandya, Adhitya Rizky; Hadianto, Nur Fitra; Ulvianti, Fitri. Forthcoming. Morphology of Undeveloped Settlement Area in the South-West of Java Island: Space
Syntax Analysis. Paper will be submitted to Journal of Architecture and Urbanism (Q2).
2. Faoziyah, Uly; Salim, Wilmar. Forthcoming. Seeking Prosperity Through Village Proliferation: An Evidence of the Implementation of Village Funds (Dana Desa) in
Indonesia. Journal of City and Regional Planning.
3. Maryati, Sri; Humaira, An Nisaa’ Siti; Febriani, Yovita Tisarda. Forthcoming. Benefit Distribution of Community Based Infrastructure: Agriculture Road in Garut Regency.
Sustainability
4. Sudradjat, Arief; Nastiti, Anindrya; Ramadhani, Radiyah. Forthcoming. The Effect of Underdeveloped Regions on Downstream Water Quality. Paper will be submitted to
Resources Planning and Management.
12Journal of Regional and City Planning
vol. 31, no. 2, page. 97-121, August 2020
DOI: 10.5614/jpwk.2020.31.2.1
ISSN 2502-6429 online © 2020 ITB Institute for Research and Community Services
Seeking Prosperity Through Village
Proliferation: An Evidence of the
Implementation of Village Funds (Dana Desa) in
Indonesia
Uly Faoziyah1 and Wilmar Salim2
[Received: 16 January 2020; accepted in final version: 11 June 2020]
Abstract. Through Law No. 6 of 2014 concerning Villages, the government of Indonesia carries
out a significant evolution by giving higher authority to the lowest level of regional government,
namely the village level. This law also serves as a legal basis for the government of Indonesia to
allocate village funds (dana desa) sourced from the Indonesian national budget (APBN) that are
intended for villages to finance governance, development, community development, and village
community empowerment. After almost five years of implementing this policy, the great
euphoria over the high amount of village funds provided (approximately 1 billion rupiahs per
village) caused a harsh polemic about the increasing rate of village proliferation in Indonesia.
This proliferation at the micro-level not only increases the burden on the central government
but also its shows that the welfare of many communities at the regional level is still
questionable. Therefore, using spatial analysis and descriptive statistics, this study aimed to
identify patterns of village proliferation in Indonesia from the perspective of the number of
villages, the amount of village funding, poverty levels, and village development, and their
impact on regional development. The results showed that 60.56% of regions that experienced
village proliferation were able to reduce poverty levels in their area, but not all of these regions
were able to reduce the percentage of underdeveloped villages and increase development at the
village level. Then, related to village funding, 25.35% of regions that experienced proliferation
got a significant rise in village funding, but were still unable to reduce poverty rates.
Keywords. Prosperity, village funds (dana desa), proliferation.
[Diterima: 16 Januari 2020; disetujui dalam bentuk akhir: 11 Juni 2020]
Abstrak. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Indonesia
melakukan evolusi yang signifikan dengan memberikan otoritas yang lebih tinggi ke tingkat
terendah pemerintah daerah, yaitu di tingkat desa. Undang-undang ini juga berfungsi sebagai
dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia untuk mengalokasikan dana desa (dana desa) yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dimaksudkan bagi
desa untuk membiayai pemerintahan, pembangunan, pengembangan masyarakat, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Setelah hampir lima tahun menerapkan kebijakan ini, euforia
besar dari jumlah dana desa yang disediakan mencapai sekitar 1 miliar rupiah per desa,
menyebabkan polemik yang keras tentang peningkatan laju pemekaran desa di Indonesia.
1 School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha
10 Bandung, Indonesia, E-mail: uly.faoziyah@gmail.com. 2 School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha
10 Bandung, Indonesia, E-mail: wsalim@pl.itb.ac.id.
106 Uly Faoziyah and Wilmar Salim
division occurring due to regional specificity. By the central government, as stated by the
Ministry of Finance (2017), nagari is considered a designation for village in West Sumatra
Province (Vel & Bedner, 2015). However, the results of interviews conducted with government
officials in West Sumatra Province showed that a nagari is not a village, but rather a collection
of villages that are in a government-level position between a subdistrict and a village (jorong).
If village funds are given at the nagari government level, this becomes a weakness in West
Sumatra Province due to the small number of funds allocated. This encourages districts in West
Sumatra Province to conduct or facilitate proliferation at the village level.
Figure 2. Map of the increase of the number of villages in city districts in Indonesia in the
2015-2018 period. Source: Analysis results, 2019.
Village Fund
The first year of implementing the village fund policy in Indonesia was 2014. In that year, the
government issued a budget of 20.76 trillion rupiahs with an increase of 184% in 2018 to 60
trillion rupiahs. The allocation was concentrated in Java at 6.50 trillion (34.02%) and this
percentage increased until 2018. Sumatra, also in western Indonesia, had the lowest increase in
village funds, at 167%. Hence, the portion of funds villages experienced a decline to 26.48% of
the total allocation. Furthermore, eastern Indonesia, which had a high level of regional
expansion, as was the case in Papua, the overall contribution of village funds declined by
0.01%. This also happened in Kalimantan, which experienced a contribution decrease of 0.04%.
However, this did not occur on the island of Sulawesi, where the growth of village funds
increased rapidly compared to other islands in eastern Indonesia.
Table 2. Development of village funds 2015-2018.
No Island
Total Amount of Village Fund
(Billion Rp) Percentage (%) Growth
(%) 2015 2018 2015 2018
1 Java 6,499.78 19,228.00 34,02 35,62 196
2 Sumatra 6,257.05 16,712.35 28,22 26,48 167
3 Bali-Nusa
Tenggara
1,300.10 3,873.43 6,06 6,33 198
4 Kalimantan 1,811.95 5,132.80 8,18 8,14 183
5 Sulawesi 2,376.26 6,838.89 10,86 11,01 188
6 Maluku 625.08 1,750.31 2,80 2,75 180
7 Papua 1,968.96 5,614.56 9,68 9,67 185
Total 20,766.20 60,000.00 100 100 184
Source: Analysis results, 2019
108 Uly Faoziyah and Wilmar Salim
Figure 3. Village fund map per village in regencies/cities in Indonesia 2018 (above) and
percentage of increase in village funds (below). Source: Analysis results, 2019.
Figure 4. Average increased percentage of village funds per village.
Source: Analysis results, 2019.
13
Seeking Prosperity Through Village Proliferation: An Evidence of the
Implementation of Village Funds (Dana Desa) in Indonesia
109
Village Proliferation And Development In Indonesia
Figure 5 shows that development disparities occur in Indonesia, where regions with high
poverty rates are in eastern Indonesia, particularly in Papua and the Nusa Tenggara islands.
Where South Tangerang City had a poverty rate of only 1.69%, the poverty rate in Deiyai
Regency, Papua, was 43.49%. Almost all regencies/cities in Papua had poverty rates of more
than 29% in 2018. Not only faced with high poverty levels, these regions also experienced
difficulties in reducing poverty levels, even seeing an increase in poverty in the period 2015-
2018. For example, Deiyai Regency, Papua experienced a significant increase in poverty by
4.55%, from 38.16% to 42.71%. Thus, it is a huge challenge for such regions to conduct
regional expansion to narrow the area of public services.
Furthermore, it can be seen that at the districts/cities experiencing territorial reform at the
village level there has been an increase in poverty by 0.478%. This was particularly the case on
the islands of Sulawesi, Bali, and Nusa Tenggara, where village-level expansion increased
poverty by 5.43% and 2.23%. In Papua, proliferation reduced poverty by 1.42%, which means
that the spread in this region was positively correlated with an increasing reach of public
services so that poverty could decrease. Furthermore, in areas that did not experience regional
integration at the village level, in general, poverty rates declined in all regions in Indonesia.
Interestingly, in regions that did not experience proliferation Papua experienced a significant
increase in poverty.
Figure 5. Regional expansion and poverty rates in Indonesia. Source: Analysis results, 2019.
Table 4. Percentage of decreasing/increasing poverty rates associated with regional expansion.
No Island
Percentage of Decrease/ Increase of Poverty Rate (%)
Increase
(Village Proliferation) Not Change Decrease
1 Java -2.81 -1.46 -1.02
2 Sumatra -0.08 -0.39 -0.38
3 Bali-Nusa Tenggara 2.23 0.39 -
4 Kalimantan -0.22 -0.12 -1.04
5 Sulawesi 5.43 0.34 -0.76
6 Maluku -0.25 0.26 -0.82
7 Papua -1.42 3.98 -1.80
Source: Analysis results, 2019
114 Uly Faoziyah and Wilmar Salim
as growth center in influencing development in villages. The percentage of regencies/cities
included in this category was 46.48%.
The second and third patterns showed an increase in village funds that was not high but could
reduce poverty and village development, albeit insufficiently. What distinguishes both types is
that in the second pattern proliferation was followed by a decrease in the percentage of
disadvantaged villages, while in the third pattern there was an increase in the percentage of
disadvantaged communities. The percentage of regencies/cities included in this category was
9.82% and 4.22% respectively.
As many as 25.35% of districts that experienced division at the village level comprise the fourth
pattern. This pattern illustrates that although the village funds obtained were high and reduced
the percentage of disadvantaged villages and encouraged development at the village level, the
poverty level increased. This pattern occurred in some islands of Nusa Tenggara and regions of
Kalimantan and Papua with vast areas.
The fifth to seventh patterns illustrate that the village funds obtained per village were generally
low in the regions while the poverty level increased. In the fifth pattern, which occurred in
mountainous areas in Papua, although the number of underdeveloped villages decreased, the
development in communities, especially related to infrastructure and accessibility, was still not
proper due to the extent of the area and the location of isolated regions. The sixth pattern
occurred in island, which is a new autonomous region. The number of underdeveloped villages
in this region experienced an increase, which means that the division was done to decrease
poverty that occurred between the parent region and the autonomous region. The last pattern,
which occurred in middle mountainous areas in Papua, division was not able to reduce poverty
or decrease the number of disadvantaged villages, while village development was still limited.
Table 6. Village proliferation patterns in Indonesia.
Category
Number of
Districts/
Cities
Village
Fund Per
Village
Poverty
Under-
developed
Village
Village
Development Location
Category 1 66 (46.48%) High Decrease Decrease Good Java Island
Category 2 14
(9.86%)
Low Decrease Decrease Not good Mostly in
Northern Papua
Category 3 6
(4.22%)
Low Decrease Increase Not good West Sumatra,
South Sumatra
Category 4 36
(25.35%)
High Increase Decrease Good Mostly in Nusa
Tenggara,
Kalimantan,
Papua (large
district)
Category 5 6
(4.22%)
Low Increase Decrease Not good Middle
mountains in
Papua
Category 6 6
(4.22%)
Low Increase Increase Good Island (a new
autonomous
district)
Category 7 8
(5.63%)
Low Increase Increase Not good Middle
mountains in
Papua
Source: Analysis results, 2019
Seeking Prosperity Through Village Proliferation: An Evidence of the
Implementation of Village Funds (Dana Desa) in Indonesia
115
Figure 10. Patterns of village expansion in Indonesia.
Source: Analysis results, 2019.
The patterns of village proliferation in Indonesia that were found show that, although village
funds per village obtained by each community increased significantly, this does not mean that
the increase in development that occurred in the region was a direct result of proliferation.
Instead, other factors drove this development. For example, in the first pattern in Java, a
significant decrease in the number of disadvantaged villages was more owed to the given
conditions in Java, which has far better resources than other regions in Indonesia. This influence
is more likely if the area is located close to a growth center.
Despite having raised village funds and being able to reduce poverty levels, the development
level in these villages did not improve. This was caused by the diverse characteristics of
Indonesia’s territory, such as extensive administrative areas, isolated areas, and archipelago
regions. This makes the village funds insufficient to finance inter-regional accessibility. For this
reason, the village funds must be integrated with funding schemes from the district, provincial,
or national governments.
Discussion: Its Impact on Regional Development
Nijkamp and Abreu (2009) describe regional development as a multidimensional concept with
dynamic variations in socioeconomic conditions, including policy factors that are implemented
in an area. Decentralization policies in various countries have significantly changed the
landscape of regional development. Although the practice of this policy is not easy (Imron,
2011; Balaguer-Coll et al., 2010b; Firman, 2009; Colfer & Capistrano, 2005; BInte, 2004), the
granting of power to lower levels of government means greater trust given to locals to
contribute actively in the decision-making processes in their region. The participation of agents
who understand the conditions in the field is expected to provide output in the form of
policies/programs/activities that adequately represent regional needs. Furthermore, this will
encourage community welfare.
The dynamics in this policy are wide-ranging. One is proliferation as a form of territorial
reform. At the beginning of regional autonomy implemented in Indonesia, division occurred at
the provincial and district/city levels. Initially, this expansion was based on efforts to increase
the reach of public services. The motives that then emerged were not only related to gaining
power, but also to being able to manage regional allocation funds. This condition triggered
dishonest practices from candidates/regional heads (Bardhan & Mookherjee, 2006; Firman,
2009, 2013). The impact of proliferation on economic growth and improvement in welfare has
not yet been widely proven (Faoziyah & Salim, 2016). Considering many problems with
98 Uly Faoziyah and Wilmar Salim
Pemekaran di tingkat mikro ini tidak hanya meningkatkan beban pemerintah pusat tetapi juga
pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah masih dipertanyakan. Oleh
karena itu, dengan menggunakan analisis spasial dan statistik deskriptif, penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi pola-pola pemekaran desa di Indonesia dari perspektif jumlah
desa, jumlah dana desa, tingkat kemiskinan, dan pembangunan desa, dan dampaknya terhadap
pembangunan daerah. Hasilnya adalah 60,56% daerah yang mengalami pemekaran desa
mampu mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah mereka, tetapi tidak semua daerah ini
mampu mengurangi persentase desa tertinggal dan mampu meningkatkan pembangunan di
tingkat desa. Kemudian, terkait dengan dana desa, 25,35% daerah yang mengalami proliferasi
mendapatkan kenaikan yang signifikan dalam dana desa, tetapi mereka masih melumpuhkan
untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Kata kunci. Kemakmuran, dana desa, pemekaran.
Introduction
Decentralization is seen as a prescription to expand the range of responsibilities of a central
government by providing resource management to external organizations (local governments)
(Faguet, 2014; Balaguer-Coll et al., 2010; Asante & Ayee, 2008; Bardhan, 2002), so the
provision of public goods will be more in line with heterogeneous community preferences and
needs (Oates, 2008). Significant changes in the governance system in Indonesia have been made
through decentralization, which is implemented on a legal basis in the form of law No. 22 of
1999 on Regional Government. More authority is given to districts/cities, which are considered
to have a better understanding of the problem.
After fifteen years of implementation of this decentralization policy in Indonesia, amidst high-
complexity problems related to the implementation of Law No. 6 of 2014 on Villages as
described by Lewis (2015), Firman (2009), Fitrani et al. (2005), and Hadiz (2004), the
government of Indonesia has decided to extend decentralization to the village level. The village
government has the authority to determine the development in its region and can empower local
communities in their villages. This is intended to increase the closeness of service providers to
the community and improve the performance of the delivery of public services. This law is a
symbol of the central government’s attention to villages, which is home to 60% of the
Indonesian population (Hehamahua, 2015) and strengthens the village’s position as subject of
development. Additionally, it is in line with the regional autonomy goals that seek to create
local self-reliance and development of local potentials (Rakhman, 2019).
One form of granting this authority is realized through the provision of village funds at 1 billion
rupiahs per village per year to be managed by the village government. Even taking into account
the regional budget for communities as 10% of the total regional budget, Puspasari (2015)
estimated that each village in Indonesia has the opportunity to receive 1.4 billion rupiahs
annually. The euphoria about the high amount of funds for local communities was followed by
serious polemics at both the central and regional levels. This was due to the increasing desire for
local proliferation at the village level, which is supported by Law No. 6 of 2014, which
facilitates the formation of villages. This desire for proliferation increases the burden on the
central government in allocating village funds. On the other hand, its effectiveness in improving
community welfare on a regional scale remains a big question, so it is not yet known whether
the territorial reform at the village scale can improve well-being or will only be an opportunity
to obtain funds from the central government.
INSTITUT
TEKNOLOGI
BANDUNG
RESEARCH
CENTER FOR
INFRASTRUCTURE
AND REGIONAL
DEVELOPMENT
(PUSAT
PENELITIAN
INFRASTRUKTUR
DAN
KEWILAYAHAN)-DR. SRI MARYATI,
ST., MIP.
-AN NISAA’ SITI
HUMAIRA, ST.
-YOVITA TISARDA
FEBRIANI, ST.
Corresponding
Author:
smaryati@pl.itb.ac.id
Inhibiting Factors in Achieving the Goal of Farm Road
Infrastructure Provision in Increasing Rural Economy
Results from Garut District Case Study
INTRODUCTION
METHODS
INHIBITING FACTORS
IMPACTS GENERATED
FROM FARM ROAD
DEVELOPMENT
Authors would like to thank to ITB
who have supported this research
through the scheme of Riset
Unggulan ITB
ACKNOWLEDGMEN
T
Time-
saving in
transporting
the crops
and
equipment
2-3xConnect
ing
isolated
villagesInput Process Output Outcome• The
availibility of
the land
while the
land is
privately-
owned.
• Limited
funds for
development
and
maintenance
.
• The construction
was carried out in
stages due to
inadequate
funding
compared to the
length of the road
built.
• Road
maintenance is
carried out with
community-based
scheme.
• The road network
was built long
time ago and
• Length and
quality of the
farm road
adjusts to the
grant.
• The network
is damaged
caused by
inadequate
maintenance
and has no
status
improvement.
The road
pavement is
stony.
• Agricultu
ral land
conversi
on. RECOMMENDATIONS
• There is a need for
obtaining various sources
of funding for building and
maintaining farm roads
• Institutional management
of community-based farm
roads needs to be
intensified
Reduction
in
production
cost
(transport
cost)
25-
40%Increase in
land value
Up to
3x
higher
15
Publikasi Prosiding 16
1. Sudradjat, Arief; Burhanudin, Muhammad; Nurohman, Fajar. 2019. Contrasting Climate Induced Variability of the Upper Citarum River Baseflow and Eventflow during Early 20th Century and Recent Decades. Proceeding in 6th Environmental Management and Technology Conference (ETMC 2019)
2. Maryati, Sri; Humaira, An Nisaa’ Siti; Febriani, Yovita Tisarda. 2019. The Impact of Farm Roads on Economic and Physical Aspects of Rural Areas, Case Study: Padaawas Village, Garut Regency. Paper presented in Endinamosis 2019: The 3rd International Conference on Rural Development and Community Empowerment 1. Bandung, Indonesia November 2-3, 2019 held by Center for Rural Areas Empowerment – ITB
3. Faoziyah, Uly; Salim, Wilmar. 2019. Seeking Prosperity Through Village Proliferation: An Evidence of the Implementation of Village Funds (Dana Desa) in Indonesia. Paper presented in Endinamosis2019: The 3rd International Conference on Rural Development and Community Empowerment 1. Bandung, Indonesia November 2-3, 2019 held by Center for Rural Areas Empowerment – ITB
4. Maryati, Sri; Humaira, An Nisaa’ Siti; Febriani, Yovita Tisarda. 2019. Exploration of the Impact of Infrastructure Development: the Case of Construction of Farm and Production Road. Paper presented in International Conference on Science, Infrastructure Technology and Regional Development (ICoSITeR) 2019, Lampung Selatan, 23-25 Oktober 2019, held by ITERA (Institut
Teknologi Sumatera)
HASIL RISET UNGGULAN PPIK2018
17
1.Maninggar, N., Hudalah, D., Sutriadi, R & Firman, T. (accepted). Low-tech industry, regional innovation system, and inter-actor collaboration in Indonesia: The case of Pekalongan batik industry. Asia Pacific Viewpoint
2.Hudalah, D., Nurrahma, V., Sofhani, T.F., & Salim, W.A. (2019). Connecting Fragmented Enclaves through Network? Managing Industrial Parks in Jakarta-Bandung Urban Coridor. Cities 88, 1-9. doi: 10.1016/j.cities.2019.01.005
3.Hudalah, Delik. 2017. Governing Industrial Estates on Jakarta’s Peri-urban Fringe: From Shadow Government to Network Governance. Singapore Journal of Tropical Geography
4.Riawan, Edi., Kardhana, Hadi., Wahyu Hadi, Tri., Kurniadi Mihardja,Dadang., Sapiie, Benyamin. 2017. Hydrological Simulation on the Role of Diurnal and semidiurnal Characteristics of Rainfall against Peak Discharge in the CiliwungWatershed. The Third International Conference on Sustainable Infrastructure and Built Environment, September 2017
5.Wibowo, S.S. The Development of Walking Environment Measures for Indonesia Cities. Journal of Technology and Social Science J. Tech. Soc. Sci., Vol.1, No.1, ISSN pp. 2432-5686, Japan.
6.Mardiati, R., Trilaksono, B.R., Gondokaryono, Y.S., Wibowo, S.S. Motorcycle’s trajectory tracking model based on polynomial least-squares approximation. Advanced Science Letters Vol. 23 (Issue No. 5): pp 4537-4541, May
7.Suyono, R.S., Tamin, O.Z., Wibowo, S.S., Purboyo, H. Application of Modified Rapid Impact Assessment Matrix (Riam) for Multi Actor-Sustainability Appraisal of Public Transport (Case: Jabodetabek Area, Indonesia). International Journal of Applied Engineering Research ISSN 0973-4562 Volume 11, Number 3 (2016) pp 1960-1973, Research India Publications.
8.Suyono, R.S., Tamin, O.Z., Wibowo, S.S., Purboyo, H. Challenging for Strategic Sustainability Appraisal Implementation for Transport Policy Evaluation in Developing Countries. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences, ISSN 1819-6608.
9.Agustien, M., Sjafruddin, A., Lubis, H.A.S., Wibowo, S.S. An Analysis of out of Home Non Work Activity Timing and Mode Behavior Based on Traffic Congestion Condition. Procedia Engineering Vol.125 ( 2015 ) 504 – 511, Elsevier.
JURNAL INTERNASIONAL (PUBLISHED/ ACCEPTED)
1.Juliana, Imroatul C., M, Cahyono., Kardana, Hadi., M, Widjaja. submitted. Sensitivity Analysis of Roof Catchment Area and Storage Tank Capacity to The Rainwater Harvesting System Performance. MATEC Web of Conference.
2.Nurdini, Allis. Kampong Community and Resilience Capacity: Implication for Riverside Redevelopment Programs in Indonesia. Under Review Journal Housing Studies
3.Hudalah, Delik. (resubmitted). The rescaling of urban environment in Java: The emergence of a megacorridor and the politics of large-scale infrastructure development. Geoforum
4.Salim, Wilmar and Faoziyah, Uly. Forthcoming. The Effect of Large-scale Infrastructure on Land Use Change: The case of Toll Road and High-Speed Railway Development in West Java. Paper submitted to Global Environmental Change.
5.Salim, W and Faoziyah, U. The Impact of Land Use Changes on Food Security Assessments: Case Study of the Citarum Watershed in Indonesia. Under review in Journal Food Security
6.Sudradjat, A. et al. Flood and Drought Resilience Measurement at Andir Urban Village, Indonesia. Under Review in Journal of Water Resources Planning and Management
7.Submitted to Journal of Engineering and Technological Sciences entitled “The Diurnal and Semidiurnal Patterns of Rainfall and its Correlation to the Streamflow Characteristics in the Ciliwung Watershed, West Java, Indonesia.”
8.“Development of Treatment Technology Feasibility Assessment use Log Reduction Value (LRV) in Water Treatment based on Water Source Condition (Case Study: Bandung City).”
JURNAL INTERNASIONAL (SUBMITTED)
• Supply 80% air permukaan ke Jakarta dan
memberikan pengairan sawah sebesar 5%
dari total sawah di Indonesia
• Sumber air lebih dari 2000 industry
• Sumber air minum 9 juta penduduk
• 3 Waduk besar (Waduk Sagulung, Cirata,
dan Jatiluhur)
• Penyedia pangan tidak hanya bagi
wilayahnya, tapi juga Prov. Jawa Barat,
Jawa Tengah, Banten, dan DKI Jakarta
• Sungai paling tercemar di dunia
(Blacksmith Institute, 2013; Royal Haskoning
DHV, 2012)
• Supply air bersih Metropolitan Bandung
Raya 3.800 l/s, jauh lebih rendah daripada
permintaan 5000 l/s (ADB 2017)
Sungai Citarum memiliki
peran strategis di tingkat nasional, tapi
menghadapi isu-isu
lingkungan yang krusial
Dampak Perubahan Guna Lahan terhadap Ketahanan Pangan di DAS Citarum
PENDAHULUAN
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan & World Food Programme (2015)
Beberapa kabupaten menunjukkan kerentanan pangan yang rawan(Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur)
• Hanya mempertimbangkan 3 pilar ketahanan pangan
• Belum spesifik fokus pada isu-isu pertanian(hanya produksi pangan yang spesifik)
PETA KETAHANAN PANGAN PULAU
JAWA 2013
Diperlukan indikator yang lebih mampu menggambarkankompleksitas ketahanan pangan di DAS Citarum• Alih fungsi lahan pertanian tinggi (118,71 km2 lahan
pertanian beralih fungsi pada periode 2008-2015)• Perkembangan kawasan yang pesat (2 kawasan
metropolitan terbesar di Indonesia serta rencanapembangunan infrastruktur skala besar)
• Kesejahteraan petani lokal• Akses merata terhadap sumber pangan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
pengaruh indikator lain yang dianggap lebih
mewakili ketahanan pangan di DAS Indonesia untuk memberikan masukan bagi perumusan
kebijakan yang meningkatkan ketahanan
pangan Indonesia.
DAS Citarum menghasilkan 40,95% daritotal beras Prov. Jawa Barat, tapiluasan sawahnya mengalamipenurunan. Pada periode 2008-2015, 118,71 km2 lahan pertanian telahmengalami konversi. Kab. Bogor misalnya, tiap tahun lahan pertanianmenurun 2,26%
Sumber: Pengolahan Data BPS 2018
Prosentase petani gurem menurun2,17% pada periode 2003-2013, tapi di tingkat kabupaten prosentasenyamasih sangat tinggi. Bahkan pada Kabupaten Cianjur, hampir 1 dari 2 petani tidak memiliki lahan.
Sumber: Pengolahan Data Sensus Pertanian 2018
Gambaran umum
Sumber: Pengolahan Data Sensus Pertanian 2018
Rumah tangga petani di DAS Citarum memilikilahan pertanian yang relatif lebih luas, tapimasih banyak lahan pertanian yang dikuasaioleh masyarakat dari luar kabupaten tersebut. Pendapatan petani di DAS Citarum sedikitlebih tinggi sebesar 0,62 juta rupiah daripadapetani di kab/kota lain di Jawa Barat, tapi 30% lebih rendah daripada upah minimum regional pada kabupaten di DAS Citarum.
Peningkatan pendapatan di Provinsi JawaBarat jauh lebih rendah daripadapeningkatan harga pangan. Pada tahun 2013, peningkatan pendapatan di bawah 3% per tahun, sementara peningkatan harga panganmencapai 5,86%. Di DAS Citarum, ketidakseimbanganpeningkatan harga pangan paling tinggi di Kab. Bogor dan Bekasi yang berada di sekitarMetropolitan Jabodetabek
Sumber: Pengolahan Data Sensus Pertanian 2018
Rasio Pertumbuhan Pendapatan terhadap
Harga Beras 2013
Kondisi Pertanian
Temuan Studi: Ketahanan Pangan Daerah
Ketahanan pangan di DAS Citarum saat ini masih rendah yang mana hal ini terkait denganlokasi kabupaten. Semakin dekat wilayah tersebut dengan wilayah metropolitan, makaketahanan pangannya semakin rendah akibat semakin tingginya konversi lahan pertanian
Tiga indikator yang berpengaruh dalam model ketahanan pangan, yaitu laju perubahanguna lahan pertanian, prosentase lahan pertanian yang dikuasai oleh petani, serta rasiopeningkatan harga pangan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
Isu alih fungsi lahan dalam penurunan ketahanan pangan di DAS Citarum sangatsignifikan. Hal ini terkait dengan banyaknya pusat pertumbuhan maupun infrastrukturstrategis yang direncanakan di wilayah DAS Citarum yang keseluruhannya melintasi atauberada di sekitar lahan pertanian produktif. Pengendalian perubahan penggunaan lahanpertanian melalui mekanisme penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) belum efektif untuk mengurangi laju penurunan lahan pertanian.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat mengambil peran dengan berupaya untukmenyusun kebijakan yang mengintegrasikan kepentingan seluruh stakeholder, tidakhanya mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai konsumen produk pertanianyang berhak mendapatkan produk pangan layak dan bernutrisi, tapi juga harusmempertimbangkan kepentingan produsen lokal, dalam hal ini petani lokal.
Kesimpulan dan Rekomendasi
PROPOSAL RISET UNGGULAN PPIK 2020PANDEMI COVID-19 DARI PERSPEKTIF PENGEMBANGAN
WILAYAH, INFRASTRUKTUR, DAN LINGKUNGAN
26
GAMBARAN UMUM RU PPIK 2020
Latar Belakang
1. Dampak Pandemi COVID-19 yang begitu besar bagi hampir seluruh negara di
dunia pada tahun 2020 seluruh negara.
2. Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah kasus konfirmasi COVID-19
tertinggi di Asia Tenggara.
3. Pandemi COVID-19 memberikan dampak tidak langsung berbagai sektor
seperti ekonomi, sosial, infrastruktur, dan lingkungan.
4. Perlunya mengkaji besaran, jangka waktu, dan sikap masyarakat terhadap
dampak langsung dan tidak langsung di berbagai sektor dan wilayah.
27
GAMBARAN UMUM RU PPIK 2020
Tujuan
Mengidentifikasi dampak COVID-19 terhadap pengembangan perkotaan dan
perdesaan di Indonesia dan respon terhadap dampak tersebut.
Sasaran
1. Teridentifikasinya hubungan antara dinamika penyebaran COVID-19 dengan
interaksi antar wilayah yang ditunjukkan oleh pergerakan manusia.
2. Teridentifikasinya dampak COVID-19 terhadap pembangunan wilayah
perkotaan dan perdesaan.
3. Teridentifikasi respon masyarakat dan pemerintah terhadap pandemi COVID-19
di wilayah perkotaan dan perdesaan.
28
GAMBARAN UMUM RU PPIK 2020
Ruang lingkup materi
1. Dimensi sosial dan ekonomi masyarakat
Dampak pandemic COVID-19 terhadap kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat
2. Dimensi infrastruktur dan lingkungan
Pengelolaan infrastruktur sanitasi (MCK) yang adaptif terhadap pengembangan
wilayah perkotaan di masa panca pandemic COVID-19 dan kondisi lingkungan
khususnya wilayah sungai sebelum dan selama pandemi COVID-19 berlangsung.
29
GAMBARAN UMUM RU PPIK 2020
Ruang lingkup wilayah
1. Lingkup makro - skala nasional
Mengidentifikasi dinamika penyebaran COVID-19 yang berbeda-beda pada tiap
kota/kabupaten di Indonesia
2. Lingkup meso - wilayah perkotaan dan daerah penyangganya
Melihat dampak COVID-19 terhadap wilayah perkotaan yang terhubung secara
ekonomi dan sosial dengan wilayah sekitarnya baik berupa kota/desa.
3. Lingkup mikro - wilayah permukiman di kota /desa
Dampak COVID-19 terhadap pembangunan wilayah secara lebih spesifik di masing-
masing lokasinya.
30
BEBERAPA JUDUL DALAM PENELITIAN RU PPIK 2020
Model Infrastruktur Komunal di Permukiman Informal-Padat
Penduduk untuk Mitigasi Dampak Pandemi COVID-19
Contingent Workers dan Ketangguhan Lokal dalam Perspektif
Perencanaan Kota
Hilirisasi Produk Inovasi dalam rangka Penanggulangan Kasus Covid-
19
Analisis Hubungan Aktivitas Manusia dan Kualitas Air Sungai di
Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan Pendekatan Deep
Learning dan Remote Sensing
Regional Impacts of COVID-19
31
Model Infrastruktur Komunal di Permukiman
Informal-Padat Penduduk untuk Mitigasi
Dampak Pandemi COVID-19
TujuanMembuat model tata kelola spasial sarana prasarana yang dapat:
1. Mengantisipasi kemungkinan penyebaran wabah COVID-19
2. Memitigasi dampak penyebaran wabah COVID-19
3. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Di kawasan permukiman informal padat penduduk yang merupakan kawasan yang sangatrentan dan cenderung terabaikan dalam penanganan COVID-19 saat ini
Wilayah StudiKawasan Lebak Siliwangi, Kota Bandung
32
Contingent Workers dan Ketangguhan Lokal
dalam Perspektif Perencanaan Kota
TujuanMengetahui karakteristik pergerakan dan karakteristik penggunaan teknologi informasi dan komunikasipekerja contingent untuk kemudian dibandingkan dengan kelompok pekerja non contingent
Sasaran1. Mengidentifikasi kemunculan pekerja contingent dan non-contingent beserta atributnya, seperti
jarak dan lama perjalanan, serta ongkos perjalanan yang dikeluarkan untuk bekerja, lokasi bekerja, dan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan.
2. Mengidentifikasi karakteristik penggunaan teknologi informasi dan komunikasi kedua kelompokpekerja dan preferensi kedua kelompok pekerja terhadap penggunaan teknologi informasi dankomunikasi untuk bekerja.
3. Mengidentifikasi muncul atau tidaknya pergeseran organisasi bekerja di tempat bekerja pendudukpekerja karena kemunculan kelompok pekerja contingent dan perkembangan teknologi informasidan komunikasi
Wilayah StudiKota Garut
33
Hilirisasi Produk Inovasi dalam
rangka Penanggulangan Kasus Covid-19
TujuanMengembangkan aplikasi terkait model spasial kerentanan kawasan di wilayah metropolitan Jabodetabekyang dibangun dari data-data sosio-demografi, ekonomi, aksesibilitas dan lingkungan terbangun.
PendekatanMembuat model matematis dan spasial dari kombinasi metode Ordinary Least Square, Weighted Overlay Analysis, dan Geographically Weighted Regression
Output1. Hasil analisis yang berguna bagi pemerintah dan masyarakat terkait penentuan zona dan indeks
kerentanan terhadap Covid-19, jalur logistik bantuan Covid-19, lokasi test Covid-19 yang amandan mudah diakses, manajemen transportasi publik dalam menunjang kegiatan perkotaan.
2. Hasil analisis penentuan jalur logistik barang produksi, operasionalisasi bisnis berbasis zona kerentanan, identifikasi konsumen baru (market shifting) dari perspektif spasial
Wilayah StudiJabodetabek
34
Analisis Hubungan Aktivitas Manusia dan Kualitas Air Sungai di Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan Pendekatan Deep Learning dan Remote Sensing
TujuanMengidentifikasi hubungan antara aktivitas manusia dengan kualitas air di DAS Cikakembang pada khususnya, dan DAS Citarum pada umumnya
Pendekatan1. Memodelkan kualitas air sungai Cikakembang yang dikalibrasi terhadap data kualitas air
pengamatan primer dan sekunder serta data debit aliran air baik observasi maupun debit sintetis.
2. Mengaitkan hasil model dengan model kegiatan manusia dengan data yang bersumber dari pengindraan jauh (remote sensing) dengan pengolahan data menggunakan metode berbasis deep learning
Wilayah StudiKecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung
35
Regional Impacts of COVID-19
TujuanMengidentifikasi dampak langsung dan tidak langsung pandemi COVID-19 terhadap
pergerakan masyarakat dan produktivitas ekonomi wilayah.
PendekatanMelihat korelasi antara jumlah kasus, kebijakan pembatasan pergerakan, dan
produktivitas ekonomi wilayah (PDRB).
Wilayah Studi34 provinsi di Indonesia
36
37
Kajian Forum KomunikasiPengembangan Kawasan IndustriJawa Barat2019
38
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
SEKTOR INDUSTRIUNGGULAN
KELEMBAGAAN
LALU LINTAS
SUMBER DAYA AIR
ENERGI
BISNIS
MAKRO
MIKRO
PENGEMBANGAN
KORIDOR INDUSTRI
JAWA BARATLOKASI
SOSIAL EKONOMI
SEKTOR UNGGULAN
Penilaian dilakukan
dengan
mempertimbangkan:
1. Dukungan Sumber
Daya Alam
2. Dukungan Sumber
Daya Manusia
3. Dukungan
Infrastruktur
4. Dukungan Industri
Lainnya
5. Peluang Pasar
Komoditas
6. Pesaing Memenuhi
Pasar
7. Dukungan
Kebijakan• Pengembangan industri pengolahan logam
• Peningkatan sumber daya manusia industri elektronik
• Pengefektifan moda transportasi lain selain jalan raya
• Mengembangkan jaringan serta modal untuk pengusaha-
pengusaha lokal
• Pengembangan kapasitas produksi industri skala besar.
• Aglomerasi berbagai rantai produk konten kreatif (hulu ke hilir).
Termasuk perangkat keras yang diperlukan dalam produksi
konten kreatif.
• Pengembangan pasar industri konten kreatif
• Kerjasama antar pemangku kepentingan
INDUSTRI
KONTEN KREATIF
INDUSTRI
APLIKASI DAN
GAMES
INDUSTRI
TRANSPORTASI
INDUSTRI
TEKNOLOGI
INFORMASI DAN
KOMUNIKASI
INDUSTRI
ELEKTRONIK
SEM
AK
IN
UN
GG
UL
• Pengembangan perangkat lunak yang mendukung
pengembangan sektor industri lainnya khususnya sektor
industri unggulan di Indonesia
• Pengolahan barang-barang mentah secara lokal
• Pengembangan pengolahan barang-barang non tambang yang
dibutuhkan dalam industri transportasi
• Peningkatan keterkaitan sekolah vokasi dengan kebutuhan
tenaga kerja, Meningkatkan kualifikasi standar produksi barang
lokal, serta pengembangan transportasi murah ramah
lingkungan
• Pengaktivan moda transportasi selain jalan raya• Peningkatan keterkaitan antar produk dan pengembangan
kebijakan terkait penggunaan informasi teknologi dan
komunikasi
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
KATAGORI
INDUSTRI
JENIS INDUSTRI
INDUSTRI
RAMAH
LINGKUNGAN
(Seluruh wilayah)
Industri konten kreatif
INDUSTRI
RAMAH
LINGKUNGAN
BERSYARAT
RINGAN
(Seluruh wilayah)
Industri alat ukur, industri
bermotor roda empat atau lebih,
industri karoseri, industri pesawat
terbang dan perlengkapannya,
industri kendaraan, senjata atau
amunisi perang, industri
percetakan, industri produksi film,
video dan program televisi
INDUSTRI
RAMAH
LINGKUNGAN
BERSYARAT
BERAT
(Wilayah
Tertentu)
Industri komponen, industri
transportasi kapal, industri alat
optik, industri peralatan fotografi,
industri alat uji, industri alat
radiasi, serta industri peralatan
komunikasi
Penilaian pengembangan industri ramah
lingkungan memperhatikan 1) material, 2) air,
3) peluang eco product, 4) peluang
reprocessing
Kebutuhan Kelembagaan• Kelembagaan pengelolaan lingkungan terintegrasi dalam mengelola antar kawasan
industri -> Kebutuhan pengembangan tim koordinasi lingkungan yang dipimpin oleh DLH
Prov. Jabar dan memiliki anggota OPD provinsi dan kab/kota bidang LH dan industri,
komunitas masyarakat, pengelola KI
• Mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengelolaan lingkungan terintegrasi dan
berkelanjutan
41,25% berada di
sawah
25,96% berada di
kebun/perkebunan
NILAI JASA LINGKUNGAN
US$ 861,25
JUTA
JASA LINGKUNGAN sebagai proxy untuk menilai
valuasi terhadap lingkungan yang akan
memudahkan untuk melakukan manajemen terhadap
lingkungan yang efektif. Perubahan tutupan lahan di
sekitar industri berkorelasi erat dengan
penurunan signifikan pada hampir semua katagori
jasa lingkungan, khususnya kemampuan dalam
penyediaan regulasi dan supply air (>65%),
kemampuan kontrol erosi (63,97%), serta jasa kontrol
biologi, habitat, siklus nutrient (60%).
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
MAKRO-> ANTAR KAWASAN
INDUSTRI DAN WIL SEKITAR
Dematerialisation dan
decarbonizing
MIKRO -> TIAP
PERUSAHAAN
INDUSTRI
Re-design dalam
proses produksi
MESO -> KAWASAN
INDUSTRI
Fasilitas komunal dalam KI
KONSEP INDUSTRIAL
ECOSYSTEMPola hubungan antar tahapan
pengembangan industri, secara
terintegrasi dan mempertimbangkan
unsur lingkungan, sehingga terwujud
ekosistem industri yang berkelanjutan
LEVEL
KEBIJAKAN
BIDANG
Peraturan
Pemerintah
Pengembangan WPPI
Peraturan
Menteri
Perindustrian
Arahan
Pengembangan WPPI
di Provinsi Jawa Barat
Peraturan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Instrumen Lingkungan
Hidup (Aturan
pendetailan dari PP
No. 46 Tahun 2017
tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan
Hidup)
Arahan Kelembagaan
Lingkungan Hidup
Peraturan
Daerah
Tingkat
Provinsi
Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
Kelembagaan
Lingkungan Hidup di
tingkat provinsi
Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup di
tingkat provinsi
Peraturan
Daerah
Tingkat
Kabupaten/
Kota
Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
di tingkat kab/kota
Mekanisme
Pengaduan
Lingkungan Hidup
KEBUTUHAN
KEBIJAKAN
Pengembangan forum
komunikasi dan
bekerjasama dg Badan
Pengelola Dana Lingkungan
Hidup.
Penerapan kompensasi dan
reward untuk jasa
ekosistem
KELEMBAGAAN
• Belum adanya pelaku usaha yang akan mengisi Kawasan industri yang
akan dikembangkan
• Kurangnya partisipasi masyarakat dalam koordinasi pengembangan
industri Masyarakat sekitar perlu disesuaikan dengan kebutuhan industri
yang dikembangkan sehingga dapat menyerap tenaga kerja dengan baik dan
dilibatkan dalam forum koordinasi dan koordinasi dengan Disnakertrans.
• Belum adanya calon pengelola utama Kawasan Perlu dipastikan pihak
yang akan mengelola Kawasan industri yang akan dikembangkan (apakah
pemilik lahan atau pihak lain)
• Belum adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam pengembangan
industri antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten
ISU KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN REBANA
• Kelembagaan dalam pengembangan Kawasan industri Rebana didominasi
oleh peran dari pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten.
• Proses koordinasi didominasi oleh arahan top-down dari Gubernur Jawa Barat
kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat.
• PT. RNI memiliki koordinasi dengan Bappeda dalam proses revisi RTRW
Kabupaten Subang guna penetapan Kawasan peruntukan industri yang baru.
• Dalam pengembangan Kawasan industri lintas kabupaten, koordinasi yang
terbentuk antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih minim
terutama dalam pembagian wewenang dalam penataan ruang dan pekerjaan
umum.
KELEMBAGAAN
DALAM INDUSTRI
LEMBAGA YANG TERLIBAT
Internal
Stakeholders
(Individual Actor)
Pelaku Usaha/Pengusaha; Masyarakat
sekitar Kawasan Industri (Kabupaten
Subang)
Internal
Stakeholders
(Collective Actor)
Perusahaan/Tenant; Dinas Perindustrian
Provinsi Jawa Barat; Dinas UMKM,
Koperasi, Perindustrian Kabupaten Subang;
Bappeda Provinsi Jawa Barat; Bappeda
Kabupaten Subang
External
Stakeholders
Kementerian Perindustrian; Badan
Koordinasi Penanaman Modal; Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Provinsi Jawa Barat;
KELEMBAGAAN
• Bappeda Provinsi Jawa Barat• DPMPTSP Provinsi Jawa Barat• Bupati Kabupaten Subang• Bupati Kabupaten Cirebon• Bupati Kabupaten Majalengka• Bappeda Kabupaten Subang• Bappeda Kabupaten Cirebon• Bappeda Kabupaten Majalengka• Dinas Bina Marga & Penataan Ruang
Prov. Jabar• Dinas Perumahan dan Pemukiman
Pemerintah Daerah Prov. Jabar• Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pemerintah Daerah Prov. Jabar• PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)• PT. Perkebunan Nusantara VIII
• Dinas Lingkungan Hidup PemerintahDaerah Prov. Jabar
• Dinas Sumber Daya Air (PSDA) Pemerintah Daerah Prov. Jabar
• Dinas Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) Pemerintah Daerah Prov. Jabar
• Dinas Perhubungan Pemerintah Daerah Prov. Jabar
• Dinas Koperasi UMKM, Perdagangandan Perindustrian Kabupaten Subang
• Dinas Perindustrian dan PerdaganganKabupaten Cirebon
• Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kabupaten Majalengka
• Himpunan Kawasan Industri• Perusahaan dan/atau dinas terkait
lainnya
KETUAGUBERNUR JAWA BARAT
KOORDINATORDINAS PERINDUSTRIAN
JAWA BARATSEKRETARIS
SEKRETARIS DAERAH JAWA BARAT
ANGGOTA
WAKIL KETUAWAKIL GUBERNUR JAWA
BARAT
Bentuk koordinasi Lembaga
yang sesuai dalam
pengembangan WPPI adalah
FORUM KOORDINASI
melalui penandatanganan
MOU. Forum koordinasi
dikoordinasi oleh Dinas
Perindustrian Jawa Barat
LEVEL KEBIJAKAN BIDANG
Peraturan Pemerintah Pengembangan WPPI
Peraturan Menteri
Perindustrian
Arahan Pengembangan WPPI di Provinsi Jawa
Barat
Peraturan Daerah tingkat
Provinsi
Pedoman koordinasi Kelembagaan dalam
Pengembangan Kawasan Industri Rebana
Surat Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Forum koordinasi Lembaga dalam pengembangan
Kawasan Industri Rebana
KEBUTUHAN KEBIJAKAN
MEKANISME PENJAMINAN KEBERLANJUTAN FORUM
Kajian Ketahahan Daerah MenghadapiDampak Pandemi COVID-19DIKLAT PENJENJANGAN FUNGSIONAL PERENCANA (JFP) MUDA 2020
45
Meningkat
nya
jumlah
terkonfirm
asi Covid
Menurunnya Daya Beli
Terhambatnya distribusibarang/jasa
PHK
Menurunnyapendapatan masyarakat
Menurunnya kunjnganwisata
Menurunnya transportasiangkutan yang beroperasi
Meningkatnya konsumsilistrik, gas
Menurunnya konsumsiakomodasi dan makan/minum
Terhambatnya supply bahan baku
Menurunnya konsumsi/ permintaan
produk pertanian dan perikanan
Deflasi barang/jasa
Menurunnya investasi
Meningkatnya TPT
Menurunnya Pendapatan Asli Daerah
Perdagangan
Industri Pengolahan
Akomodasi
Transportasi
Pariwisata
Meningkatnya konsumsi internet
dan jaringan komunikasi
Informasi danKomunikasi
Menurunnya omsetUMKM
Melambatnyapertumbuhan ekonomi
Menurunnya kemampuanmasyarakat membayar pajak
PSBB
Terhambatnya proses produksi
Ekonomi Makro
Optimalisasi layananinformasi dankomunikasi
SUB SEKTOR TERDAMPAK
DAMPAK TIDAK
LANGSUNGDAMPAK LANGSUNG
GUNCANG
ANSTIMULI
E
K
O
N
O
M
I
Rantai Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Sub Sektor pada Sektor Ekonomi
SEKTOR TERDAM
PAK
Refokusing APBD
Tertundanya pemb. infrastruktur
Infrastruktur
Rantai Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap
Ketahanan Sosial Masyarakat
Meningkatnya KasusCOVID-19 dan belum
ditemukan vaksin
COVID-19Pelayanan kesehatan
terhambat
Proses belajar-mengajar terhambat
Angka kematian ibu, bayi
dan balita meningkat
Peningkatan Angka kesakitan
(morbiditas)
Berkurangnya pendapatanrumah sakit
Angka harapan hidup berpotensi menurun
Belum semua daerah tercakupjaringan internet cepat
Tingkat stress anaksekolah bertambah
Banyak anak putus sekolah
Tidak semua mempunyai laptop/ handphone untuk melaksanakan PJJ
Biaya Kuota Internet Bertambah
47
BAHAYA DAN DAMPAK PADA ASPEK LINGKUNGAN
Peningkatanpenggunaan air bersih
Polusi udara
Penurunan muka air tanah
Peningkatanpenggunaan sabundan detergen
Peningkatanproduksi sampahrumah tangga
Peningkatanpencemaran air sungai
Peningkatantimbulan sampah
Penurunan pencemaran udara
Sumber DayaAir
Pelayanan Persampahan
Kesehatan
DAMPAK LANGSUNG
SEKTOR TERDAMPAK
DAMPAK TIDAK LANGSUNG
PenerapanPSBB, WFH, dan protokolkesehatan
GANGGUAN
Peningkatankasus Covid19
STIMULI
Dampak Covid19 Sarana PrasaranaC
ovid
-19
Lonjakan jumlah
pasien
Peningkatan
Komsumsi
Rumah Tangga
Perubahan
Aktivitas
Pendidikan
Meningkat Rs rujukan
Meningkat Penularan
tenaga medis
Meningkat konsumsi listrik
Meningkat konsumsi
internet
Bertambah alat
pendukung
belajar(laptop,
smartphone)
Dampak Dampak Turunan Sarana PrasaranaTerdampak
(Jumlah/Kapasitas)
Menurun penguna
transportasi
Menurun aktifitas sosial
(ibadah, pesta, arisan)
Perubahan
Aktivitas Solsial
Ekonomi lainnya
Menurun pengunjung
pasar, mall
Ruang rawat, Lab, Alkes,
Pembankitan &
Penyaluran Tenagalistrik
Jalan
BTS/penyaluran jaringan
Telekomunikasi
Mesjid, gedung
pertemuan, pasar,
kendaraan
Issue
Pemenuhan
Sarana
terdampak
covid19
Meningkat konsumsi Air PDAM & Penyaluran
Tenagalistrik,
Issu terdampakBerdasarkan
Keresahan Masyarakat
Penyedia Jasa
Kesehatan (Rumah
Sakit)
Penyedia Jasa Listrik
(PLN Persero)
Penyedia Jasa Air
(PDAM)
Penyedia Jasa
Telekomunikasi
(Telkom/Telkomsel/ind
osat/XL dll)
*Keresahan masyarakat sumbermedia* Masing-masing orang
menganalisis beda-beda Isue
yang menjadi keresahan di
daerah masing-masing
HATUR NUHUN
50
Kontak
Gedung PAU, Lt. 4
Jl. Ganesha 10, Bandung, Indonesia
E-mail: susi@staff.itb.ac.id