Post on 15-Dec-2015
description
GANGGUAN STRESS PASCATRAUMA
Definisi
Stress adalah ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan
merugikan, fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu
fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar.
Trauma adalah suatu respon psikologis dalam diri seseorang atas kejadian yang
menimpa dirinya, kejadian ini biasanya membawa seseorang kepada suatu belenggu
kehidupan, selalu teringat pada kejadian masa lalunya, yang berdampak pada pandangannya
di masa mendatang.
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul
setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan
atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan
murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat
dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
Stress-Traumatik dapat dilihat sebagai bagian dari respon manusia normal terhadap
pengalaman yang mengguncang jiwa. Pada sebagian orang, gejala berkurang atau bahkan
menghilang selama beberapa bulan pertama, terutama dengan bantuan dari anggota keluarga
dan kepedulian teman-temannya. Dalam keadaan lain, seperti kurangnya kepedulian orang
sekitar, gejala tampaknya tidak berkurang dengan cepat dan bahkan dalam beberapa kasus
dapat terus menimbulkan masalah bagi sisa hidup ke depan. Kadang kala gejala tidak dimulai
sampai berbulan-bulan atau bahkan tahunan setelah peristiwa traumatik terjadi.
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma diperkirakan 8 persen populasi
umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15 persen mungkin mengalami bentuk gangguan
yang subklinis. Di antara kelompok resiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami
peristiwa traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang antara 5 sampai 75 persen.
Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15% dari veteran
tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak kepulangan mereka (Centers
Disease Control, 1988), sementara penelitian lain menyebutkan bahwa reaksi stres terhadap
horor perang juga ditemukan pada Perang Dunia I yang disebut dengan shell shock sindrom
dan combat fatigue pada Perang Dunia II.
Walaupun dapat tampak pada segala usia, gangguan stress pasca trauma paling
menonjol pada dewasa muda. Trauma untuk laki – laki biasanya pengalaman peperangan,
sedangkan pada wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan.
Pada survei yang dilakukan antara Februari 2001 dan April 2003 di Amerika,
dilakukan wawancara pada 9,282 warga negara amerika yang dianggap representatif yang
berusia 18 tahun keatas. Gangguan stress pasca trauma dinilai pada 5,692 orang dengan
menggunakan kriteria DSM-IV. Prevalensi gangguan stress pasca trauma pada pria adalah
3,6% dan pada wanita 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih
tinggi (2,6:1) untuk menderita gangguan stress pasca trauma.
Di Indonesia telah terjadi berbagai macam kejadian yang dapat menimbulkan
gangguan stress pasca trauma. Salah satu dari kejadian tersebut adalah tsunami yang terjadi di
Aceh. Pada penelitian yang dilakukan pada 482 anak yang berusia antara 11 sampai 19 tahun
yang mengalami tsunami, 54 anak (11,2%), 124 anak (25,7%), 196 anak (40,7%), 103 anak
(21,4%), dan 5 anak (1%) secara berturut – turut menunjukkan none, mild, moderate, severe,
dan very severe symptoms dari gangguan stress pasca trauma. Hasil dari studi ini
penyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keparahan gejala gangguan stress pasca
trauma adalah jenis kelamin, kehilangan orangtua, dukungan sosial yang rendah, dan respons
somatik berat. Perempuan menunjukkan gejala gangguan stress pasca trauma yang lebih
menonjol dibanding dengan laki – laki. Studi ini juga menyimpulkan bahwa usia dan tingkat
pendidikan tidak mempengaruhi gejala gangguan stress pasca trauma.
III. ETIOLOGI
Penyebab utama gangguan stress pasca trauma adalah stressor yang berupa peristiwa
traumatik yang extreme.1 Walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga faktor biologis individual
yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah
trauma. Penelitian terakhir pada gangguan stress pasca trauma telah sangat menekankan pada
respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stressor itu sendiri.
Beberapa faktor predisposisi bagi seseorang individu untuk mengalami gangguan
stress pasca trauma adalah:
Adanya gangguan psikiatrik sebelumnya baik pada individu maupun keluarganya
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
menyesuaikan diri
Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna
Terpapar oleh kejadian kejadian yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun
ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu
kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma dapat dikategorikan menjadi ;
1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa,
baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia3. Trauma berulang dan bersifat kronik
Berdasarkan DSM IV , ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan meningkatkan gaangguan stress pasca trauma, yaitu ;
1. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan)2. Penculikan3. Penyanderaan4. Serangan militer5. Serangan teroris6. Penyiksaan7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia9. Kecelakaan mobil yang berat10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti :
Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.
Angka komorbiditas tinggi pada pasien dengan PTSD, sekitar duapertiga memiliki sedikitnya dua gangguan lain. Keadaan komorbid yang lazim mencakup gangguan depresif, gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain dan gangguan bipolar. Gangguan komorbid membuat orang lebih rentan untuk mengalami PTSD.
BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA
IV. PATOMEKANISME
Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari
beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang.
Faktor Biologik
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons
takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang
dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala
merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala mengaktivasi beberapa
neurotransmitter serta bahan – bahan neurokimiawi di otak sebagai respons tubuh terhadap
trauma. Hal ini akan menimbulkan stimulus berupa tanda darurat kepada:
1. Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis akan membuat tubuh menjadi “siaga” dengan meningkatkan
denyut jantung dan tekanan darah, sehingga seseorang mampu untuk menghadapi
trauma tersebut.
2. Sistem Saraf Parasimpatis
Sistem saraf parasimpatis bereaksi dengan membatasi reaksi sistem saraf simpatis
pada beberapa jaringan tubuh.
3. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-kelenjar Adrenal (HPA)
Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico – Releasing Factor (CRF) dan beberapa
neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mengeluarkan adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi
pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Hormon kortisol berfungsi untuk
menghentikan respons tubuh yang bersifat defensif terhadap stress.
Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma, dihipotesis terjadi
hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi di atas sehingga seseorang menjadi
mudah untuk mengalami gejala – gejala tersebut.
Faktor Psikodinamik
Di hipotesis bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik
psikologik yang belum terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik
yang dialami, maka konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan
tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi
masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal – hal yang berkaitan dengan aspek
psikodinamik gangguan stress pasca trauma adalah:
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik – konflik psikologis
pada peristiwa trauma di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam somatisasi
atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defensif yang sering digunakan pada individu dengan gangguan
stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, proyeksi, disosiasi, dan rasa
bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah proyeksi dan introyeksi dari berbagai
peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten.
II.4. Manifestasi Klinis
Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut yang berat atau trauma berkelanjutan. Stres yang terjadi atau keadaan yang tidak nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini tidak akan terjadi.
Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk. Individu juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa traumatik tersebut.11
Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak dengan gejala-gejala tersebut , mereka umumnya datang dengan gejala depresi , ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya (misalnya nyeri kronik, irritable bowel syndrome). Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali lebih banyak mengunjungi praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer jika dibandingkan dengan kunjungan ke professional kesehatan mental lainnya.
Gangguan-gangguan ini dianggap sebagai respon maladaptif terhadap stress berat atau
stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga
menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya. Gangguan ini terjadi berminggu-minggu atau
berbulan-bulan setelah kejadian, awitan biasanya dalam 6 bulan.
3 kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan)
1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)
a. Ansietas yang menetap
b. Kewaspadaan yang berlebihan
c. Konsentrasi buruk
d. Insomnia
2. Intrusions (pengacauan)
a. Kilasan balik
b. Mimpi buruk
c. Ingatan yang hidup
3. Avoidance (penghindaran)
a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan
b. Ketidakmampuan mengingat beberapa dari kejadian
c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari
VI. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik menurut DSM IV:
1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa ;a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan suatu
kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respons individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi.
2. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di bawah ini ;a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, kondisi ini diekspresikan melalui pola permainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya.
b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi individu. Pada anak, kondisi ini sering kali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.
c. Berprilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi dan episode disosiatif yang bersifat flashback)
d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secaara internal maupun eksternal.
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal maaupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini ;a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan
yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminyab. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-orang yang
bangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang dialaminya.c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik yang dialaminya.
d. Penurunan yang jelas akan keterkaitan atau pastisipasi dalam aktivitas-aktivitas.e. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang disekitarnya.f. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan
perasaan dicintai.g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak mempunyai
keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya.
4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di bawah ini;a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidurb. Irritabilitas atau mudah mengalami ledakan amarahc. Kesulitan berkonsentrasid. Hypervigilancee. Respons yang kacau dan tidak terkendali
5. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1 (satu) bulan6. Gejala-gejala di atas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Spesifikasi : Akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan Kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih Dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6
bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.
Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ III (F 43.1):
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan,asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang- bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan
kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan
organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi,
gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang
sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai
gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien yang menderita gangguan
nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan
mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan
melalui sifat gejala sekarang ini.
Gejala gangguan stress pasca trauma dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan
panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan
kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk membedakan gangguan stress pasca
trauma adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan
trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi
bersamaan dengan gangguan stress pasca trauma. Hal ini perlu dicatat karena akan
mempengaruhi terapi gangguan stress pasca trauma.3
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau berpura-
pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan
dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau
bahkan saling berhubungan sebab akibat. Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat
perilaku menghindar, kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh
pasien gangguan stres pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima
gangguan stres pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura – pura.
Penatalaksanaan
Saat klinisi dihadapkan dengan pasien yang telah mengalami trauma berat,
pendekatan yang dianjurkan adalah dukungan, memberikan semangat untuk mendiskusikan
kejadian tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme – mekanisme penenangan diri.
Penggunaan sedatif dan hipnotik biasanya membantu. Pada pasien yang telah mengalami
peristiwa traumatik di masa lalu dan sekarang memiliki gangguan stress pasca trauma,
penatalaksaan harus lebih ditekankan pada edukasi mengenai kelainan dan pengobatannya,
baik farmakologis maupun psikologis.
Psikoterapi
Psikoterapi yang bersifat psikodinamik biasanya memberikan hasil baik pada pasien
gangguan stress pasca trauma. Pada beberapa kasus, terapi rekonstruksi kejadian dengan
pelepasan dan pembersihan dapat memberikan hasil yang baik, tapi psikoterapi harus
diindividualisasikan karena mengalami kembali kejadian traumatik kadang – kadang
menakutkan pasien. Psikoterapi pada pasien dengan gangguan stress pasca trauma terdiri dari
terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis.
Adapun berbagai macam teknik psikoterapi pada gangguan stress pasca trauma, yaitu
sebagai berikut :
1. Manajemen ansietas, yaitu mengajarkan berbagai kemampuan kepada pasien untuk
mengurangi stress yakni dengan cara latihan relaksasi ( latihan untuk mengurangi
ketegangan berbagai otot), latihan pernapasan ( latihan untuk melakukan
hiperventilasi), berpikir positif, dan melatih untuk berhenti memikirkan segala hal
yang dapat menyebabkan kecemasan.
2. Terapi kognitif, digunakan untuk mengurangi berbagai pikiran dan kepercayaan yang
tidak realistik yang dapat mengganggu fungsi dan emosi pasien. Misalnya pada pasien
korban bencana alam, sebaiknya diberikan terapi kognitif dengan memberikan
berbagai penjelasan yang realistik sehingga dapat membantu untuk mengurangi
gangguan stress pada pasien.
3. Exposure Theraphy, membantu pasien dengan mengkonfrontasikan berbagai situasi
yang dialami sebelumnya, baik itu orang, objek, ingatan, atau emosi yang
berhubungan dengan stressor pasien.
4. Play Theraphy, diugunakan pada anak-anak berupa permainan yang dapat
memberikan dan mengarahkan anak pada stressor dengan cara perlahan-lahan,
sehingga tidak memperburuk stress yang dialami.
5. Psikoedukasi, yaitu dengan mengedukasikan kepada pasien dan keluarga pasien
tentang gejala-gejala dan berbagai pengobatan pada gangguan stress pasca trauma.
Adapun teknik-teknik psikoterapi tersebut digunakan sesuai dengan gejala-gejala yang
timbul pada pasien, yang tampak pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Teknik Psikoterapi berdasarkan gejala target
Adapun teknik psikoterapi berdasarkan umur adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Teknik psikoterapi terbaik yang digunakan berdasarkan umur
Dari berbagai macam psikoterapi untuk gangguan stress pasca trauma, yang paling
diterima adalah psikoterapi kognitif – perilaku. Teknik spesifik pada terapi ini adalah dengan
pengeksposan dan restrukturisasi kongnitif. Terapi pengeksposan berfungsi untuk membantu
pasien menghadapi dan mengontrol terhadap ketakutan dan kesakitan yang sangat pada
trauma, dan harus dilakukan dengan sangat hati – hati, jangan sampai membuat pasien
menjadi semakin trauma. Pada sebagian kasus, seluruh trauma dapat dihadapi bersamaan
(“flooding”), sedangkan pada sebagian kasus pasien lebih memilih untuk menghadapi trauma
satu per satu dari trauma terkecil sehingga yang terparah dengan teknik relaksasi
(“desensitization”). Termasuk dalam restrukturisasi kognitif adalah mengidentifikasi cara
berpikir, merasakan, dan sikap yang tidak rasional (tapi dapat dimengerti) yang muncul
setelah kejadian traumatik. Psikoterapi kognitif – perilaku tambahan adalah dengan
mempelajari teknik untuk menghadapi kecemasan.
Selain dari psikoterapi kognitif – perilaku, teknik psikoterapi lainnya adalah
psikoterapi berkelompok. Teknik ini baik digunakan pada pasien gangguan stress pasca
trauma dengan trauma perang seperti para veteran Vietnam. 10 Psikoterapi lainnya yang
bersifat kontroversial adalah eye movement desensitization and reprocessing (EMDR)
dimana pasien memfokuskan pada pergerakan ke lateral jari klinisi sambil mempertahankan
gambaran mental mengenai traumanya. Masyarakat umum mempercayai bahwa gejala dapat
dihilangkan bila pasien melewati peristiwa traumatik tersebut dengan relaksasi dalam. Pasien
– pasien yang telah melakukan terapi ini mengatakan bahwa terapi ini sangat efektif dan
mereka lebih memilih terapi ini untuk penyembuhan mereka.
Farmakoterapi
Bukti efikasi obat tertentu untuk gangguan stress pasca trauma masih terbatas,
meskipun kondisi komorbiditas harus diobati dengan intervensi spesifik.
Selective Serotinin Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap sebagai lini pertama yang
dapat menghilangkan gejala – gejala gangguan stress pasca trauma.
Trisiklik belum terbukti memberikan hasil yang baik untuk penanganan gangguan
stress pasca trauma, walaupun begitu, pasien yang memberi hasil positif terhadap obat
ini sebaiknya mengkonsumsi obat ini selama satu tahun sebelum dilakukan usaha
untuk menarik obat.
Benzodiazepin dan Monoamine Oxidase Inhibitor (MAOI) belum terbukti
memberikan hasil yang baik untuk terapi gangguan stress pasca trauma.
Antipsikotik hanya digunakan sebagai kontrol jangka pendek untuk sikap agresif yang
berat dan agitasi. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik
pada penderita gangguan stress pasca trauma.
Pada terapi farmakologi, adapun terapi yang digunakan berdasarkan keefektifan dan
keamanan penderita adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Terapi farmakologi berdasarkan keektifan dan keamanannya
Adapun berbagai obat yang digunakan pada gangguan stress pada pasca trauma
berdasarkan gejala klinis yang menonjol pada pasien.
Tabel 4. Terapi farmakologi berdasarkan gejala yang menonjol pada pasien
Adapun dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi :
- pemberian medikasi :
anti depressan , seperti fluoxentin 10-60 mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari- Psikoterapi :
Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy.
- Edukasi, - Dukungan psikososial- Meredakan kecemasan , seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta
mengontrol pikiran-pikiran.- Modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya.
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan :
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang
dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
IX. PROGNOSIS
Sampai 50% kasus akan pulih pada tahun pertama, namun sampai 30% perjalanan
penyakitnya akan kronis. Tampaknya hasilnya bergantung pada keparahan gejala awal.
Pemulihan akan dibantu dengan: dukungan sosial yang baik, tidak ada tanggapan negatif dari
orang lain, tidak ada mekanisme coping yang maladaptif, serta tidak adanya peristiwa
traumatik berikutnya, termasuk kesehatan fisik, disabilitas, kecacatan, relasi yang terputus,
masalah keuangan dan proses hukum.
Kebanyakan individu yang menjalani terapi medik dan psikiatrik yang sesuai dan
sembuh sempurna (atau hampir sempurna). Walaupun begitu, ada individu yang mengalami
gejala yang semakin parah dan bunuh diri bahkan dengan terapi yang intensif. Pada pasien
gangguan stress pasca trauma yang menjalani pengobatan, gejala bertahan rata – rata dalam
36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan pada pasien yang tidak mendapat terapi. Walaupun
begitu, lebih dari sepertiga pasien yang menderita gangguan stress pasca trauma tidak pernah
sembuh sempurna.
KESIMPULAN
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul
setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan
atau kejadian yang mengancam kehidupannya.
Gejala – gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari
beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. 7
Pada pasien yang mengalami gangguan stress pasca trauma terdapat gangguan faktor
biologis, dimana dihipotesis terjadi hipersensitivitas dari ketiga sistem yang teraktivasi
(sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan aksis HPA) sehingga seseorang menjadi mudah
untuk mengalami gejala – gejala tersebut. Pada gangguan faktor psikologik, dihipotesis
bahwa pada gangguan stress pasca trauma, terjadi reaktivasi konflik psikologik yang belum
terselesaikan di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami, maka
konflik – konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali.
Manifestasi klinis utama gangguan stress pasca trauma adalah mengalami kembali
secara involunter peristiwa traumatik dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusif,
yang menerobos masuk ke dalam kesadaran secara tiba –tiba (kilas balik atau flashback . Hal
ini sering dipicu oleh hal – hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatik yang
pernah dialami.1 , selain itu juga bermanifestasi terhadap penghindaran terhadap trauma serta
kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan kesadaran
yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan. Bagi pasien yang gejalanya
ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis yang tepat adalah gangguan stress akut. Kriteria
diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik memungkinkan klinisi
menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala berlangsung kurang dari tiga bulan)
atau kronis (lebih dari tiga bulan).
Obat yang berguna dalam pengobatan gangguan stress pascatraumatik adalah
Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), trisiklik (imipramin, mitriptilin), Mono-Amine
Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin dan Propanol
dianjurkan.
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi :
- Pemberian medikasi :anti depressan, seperti fluoxentin 10-60 mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari
- Psikoterapi :Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy.
- Edukasi, - Dukungan psikososial- Meredakan kecemasan , seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta
mengontrol pikiran-pikiran.- Modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W. F.; Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed 2;
Surabaya: Airlangga University Press.
2. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Ed. 29. Jakarta: ECG.
3. Kaplan, H. I., dkk. 2007. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. Ed 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington, 1994.
5. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003.
6. Jaimie L. Gradus, DSc, MPH. 2007. Epidemiology of PTSD.Available from:
http://www.ptsd.va.gov/professional/pages/epidemiological-facts-ptsd.asp
7. Elvira, S. D., dkk. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI.
8. Maslim, Rusdi. 2003.Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: PT Nuh Jaya.
9. Frances, A., M. D., Pincus, H. A., M. D., dkk. 1994. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders. Ed 4. Washington DC: American Psychiatric
Association.
10. Cohen, H., Ph. D., 2008. Psychotherapy Treatment for PTSD. [cited 4 April 2012].
Available from: http://psychcentral.com/lib/2006/treatment-of-ptsd/
11. Edna Foa, Jonathan Davidson, Allen Frances. The Expert Consensus Guideline
Series, Treatment of Posttraumatic Stress Disorder. The Journal of Clinical Psikiatry,
Volume 60. 1999.