Referat Ptsd Intan
-
Upload
arimuhammad -
Category
Documents
-
view
59 -
download
1
description
Transcript of Referat Ptsd Intan
BAB I
PENDAHULUAN
Kejadian traumatik merupakan peristiwa kehidupan yang dapat mengenai
setiap orang. Dalam setiap kejadian traumatik yang terjadi, selalu ada implikasi
kesehatan jiwa , baik dalam kasus akibat bencana alam, misalnya gempa bumi,
tsunami, angin ribut, atau pada bencana yang diakibatkan oleh manusia, misalnya
perang, serangan teroris, kekerasan interpersonal, dan lain-lain. Dampak dari
kejadian traumatik yang dialami oleh setiap orang tidaklah sama. Anak-anak lebih
rentan dan sensitif terhadap dampak dari kejadian trauma yang dialaminya.
Pada beberapa orang, pengalaman di atas sangat ekstrem sehingga mereka
tidak dapat menerima kenyataan yang dialaminya. Pengalaman traumatis ini
dipersepsikan sebagai suatu kondisi yang tidak menyenangkan bagi korban.
Pengalaman traumatis itu bisa menimbulkan perasaan cemas jika bencana itu
terjadi kembali. Selain itu juga akan menimbulkan perasaan tidak terima dengan
kondisi yang ada saat ini dimana para korban telah kehilangan keluarga, tempat
tinggal, pekerjaan, serta harta kekayaannya. Pengalaman traumatis ini bisa
terbawa dalam ingatan korban selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Kejadian traumatik yang dialami bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat
menimbulkan suatu kumpulan gejala yang berkaitan dengan kecemasan,
kompleksitas gangguan kecemasan ini dikenal sebagai gangguan stres pasca
trauma (Posttraumatic Stress Disorder/ PTSD).
Diperkirakan 70 persen orang dewasa mendapatkan pengalaman traumatis
sekali dalam hidupnya dan lebih dari 20 persen dari mereka akan berkembang
menjadi PTSD. Setiap orang dapat menderita PTSD, laki-laki, perempuan, anak-
anak, tua dan muda. Korban trauma yang berhubungan dengan serangan fisik dan
seksual menghadapi resiko yang besar untuk berkembang menjadi PTSD. Wanita
dua kali lebih besar mengalami PTSD dari pada laki-laki. Hal ini mungkin
disebabkan karena fakta bahwa wanita lebih mungkin mengalami kekerasan
interpersonal, seperti perkosaan atau pelecehan fisik dan seksual, terutama pada
1
masa kecil. Wanita juga mengalami trauma yang berulang, sebagaimana pada
kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat
terpapar dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya
mengalami gangguan stress pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005),
semakin muda usia anak yang mengalami trauma semakin besar kemungkinan
berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma. Di Amerika Serikat
sebanyak 39% periode anak awal yang mengalami trauma berkembang menjadi
gangguan stress pasca trauma, 33% pada periode anak akhir, dan 27% pada
periode remaja.
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari
klinik psikiatri RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional
untuk pengobatan psikis bagi korban bencana melihat makin tingginya angka
kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air belakangan ini. Kondisi itu membuat
prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma meningkat.4 Salah satu
bencana alam yang terbesar yakni, tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26
Desember 2004 dan mengakibatkan sekitar 165.708 korban jiwa meninggal.5
Kejadian ini menyisakan duka yang mendalam akibat ditinggalkan keluarga yang
dicintainya terutama pada anak-anak, mereka masih sangat membutuhkan orang
tuanya dalam menjalani kehidupan dan hal ini dapat menyebabkan gangguan
kejiwaannya dalam masa perkembangannya. Berdasarkan survei dari Universitas
Indonesia (UI) yang dibiayai WHO terhadap anak-anak di Aceh pasca tsunami
menunjukkan bahwa sebanyak 20%-25% di antaranya mengalami ganguan stress
pasca trauma dan membutuhkan pertolongan dari tenaga ahli psikiater.
Memberikan pemahaman dan mencari interfensi sangatlah penting untuk
dapat menangani gejala-gejala yang berlebihan dan menetap, dan dapat menolong
seseorang untuk mendapatkan kembali hidup mereka.
Pada referat ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
faktor risiko, tanda dan gejala, diagnosis, terapi , serta pencegahan gangguan
stress pasca trauma. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan
pemahaman tentang pentingnya mengenali secara dini dan memberikan terapi
2
yang tepat pada pasien yang mengalami trauma agar tidak mengalami gangguan
stress pasca trauma yang berkepanjangan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas
otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah
stres fisik maupun emosi ynag melampaui batas ketahanan orang biasa. Selain
itu, gangguan stress pascatrauma atau post traumatic stress disorder (PTSD)
dapat pula didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental
secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau
mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya.
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan
stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau
fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam
yang menimpa manusia, kecelakaan ataupun perang. Dalam Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan
sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman
kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri
seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan ynag ekstrem, horror,
atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI)
gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian
yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang
bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi
seseorang.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca
trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik
yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian,
cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya
4
hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak
ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi
gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.
Menurut Kaplan dan sadock (1997) dalam bukunya synopsis psikiatri,
pasien yang diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres pasca trauma,
mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar yang menyebabkan
traumatik bagi hampir setiap orang.
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia meskipun belum terdapat data yang pasti berapa jumlah yang
mengalami PTSD akibat kejadian trauma bencana alam akan tetapi dapat
dikatakan jumlah pasien yang mengalami PTSD meningkat seiring dengan angka
kejadian bencana alam yang makin tinggi belakangan ini. Di Indonesia sendiri,
tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat.
Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, dan
hal ini berdampak terhadap peningkatan prevalensi PTSD di Indonesia.
Diperkirakan 70 persen orang dewasa mendapatkan pengalaman traumatis
sekali dalam hidupnya dan lebih dari 20 persen dari mereka akan berkembang
menjadi PTSD. Wanita dua kali lebih besar mengalami PTSD dari pada laki-laki.
Hal ini mungkin disebabkan karena fakta bahwa wanita lebih mungkin mengalami
kekerasan interpersonal, seperti perkosaan atau pelecehan fisik dan seksual,
terutama pada masa kecil. Wanita juga mengalami trauma yang berulang,
sebagaimana pada kasus kekerasan dalam rumah tangga.
2.3 Etiologi
Seseorang mengembangkan PTSD adalah akibat respon terhadap suatu
trauma yang ekstrem – sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami,
saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang
menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang
merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya.
5
Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan bahwa gangguan stress paska
traumatik dapat tampak pada setiap usia, namun paling menonjol pada dewasa
muda, karena sifat situasi yang mencetuskannya. Untuk wanita, paling sering
adalah penyerangan dan pemerkosaan. Jumlah perempuan yang mengalami
trauma adalah dua kali dibandingkan dengan kaum pria. Gangguan kemungkinan
terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami gangguan
ekonomi, atau menarik diri secara sosial.
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam
perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut
dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight. Dalam reaksi ini
tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka
tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan
pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup
untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan
efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD
seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan
pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan
bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik.3 Stresor dapat
berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun
akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam antara lain: menjadi korban yang
selamat dari tsunami, gempa bumi, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia
antara lain: menjadi korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat
pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya di mana ia tinggal. Kejadian
trauma juga dapat terjadi akibat kecelakaan baik, yang menyebabkan cidera fisik
maupun yang tidak. Pada pasien yang menerima hasil diagnosis penyakit yang
mematikan baik terhadap dirinya ataupun orang terdekatnya dapat menjadi
stresor. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca
trauma setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun
6
stresor tidaklah cukup untuk menyebabkan gangguan. Terdapat beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan antara lain :
Faktor biologis
Pada seseorang yang memiliki gangguan cemas memiliki risiko
lebih tinggi berkembang menjadi PTSD setelah mengalami trauma.
Hal ini berhubungan dengan faktor predisposisi genetik di mana,
seseorang yang memiliki riwayat gangguan depresi dan gangguan
cemas di keluarganya menjadi faktor predisposisi PTSD setelah
terpapar dengan kejadian traumatik.
Pada seseorang yang mengalami PTSD ditemukan beberapa
abnormalitas psikobiologikal antara lain: perubahan kompleks dalam
fungsi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, terjadinya peningkatan
ekskresi metabolit adrenergik dan dopaminergik, volume intrakranial
dan area korpus kolusum yang lebih kecil, defisit memori, dan IQ yang
rendah.
Faktor psikologi
Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada
perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal
menimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian
dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis
(fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat
seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat
terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak
disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada
anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbul
respon berupa ketakutan, berkeringat, takkardi setiap kali dia melewati
tempat kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil
dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga
didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi.
Misalnya, pada seseorang yang mengalami kecelakaan mobil maka ia
akan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil.
7
Modelling merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut
berperan dalam perkembangan gejala PTSD.
Faktor sosial
Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan
meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah mengalami kejadian
traumatik.
2.4 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko
seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain :
Seberapa berat dan dekatnya trauma yang dialaminya. Semakin berat
trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian
semakin meningkatkan risiko PTSD
Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang
mengalami kejadian trauma semakin berisiko berkembang menjadi
PTSD ( misalnya: kekerasan di rumah)
Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko
menjadi PTSD
Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan
korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya
sendiri) semakin berisiko menjadi PTSD
Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti, perkosaan
Jenis kelamin: anak dan remaja perempuan lebih berisiko
dibandingkan laki-laki
Kondisi sosialekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih
tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia
tinggal.
Usia : PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak
dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan
mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan
khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, teruama karena
8
masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan
intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman
hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti: depresi,
fobia sosial, gangguan kecemasan.
Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis seperti, kanker
Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi akan tetapi
memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi
Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan
dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang
mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran,
petugas paramedik)
Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/
konflik di daerahnya)
Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan
2.5 Tanda dan Gejala
Pada umumnya para penderita PTSD mengalami beberapa gejala yang
sangat mengganggu para penderita gangguan tersebut. Beberapa gejala yang
di alami para penderita PTSD antara lain :
1. Ingatan atau bayangan mencengkeram tentang
trauma, atau merasa seperti kejadian terjadi kembali ("Flashbacks")
2. Respon-respon fisik seperti dada berdebar,
munculnya keringat dingin, lemas tubuh atau sesak nafas saat teringat
atau berada dalam situasi yang mengingatkan pada kejadian
3. Kewaspadaan berlebih, kebutuhan besar untuk
menjaga dan melindungi diri
4. Mudah terbangkitkan ingatannya bila ada stimulus
atau rangsang yang berasosiasi dengan trauma (lokasi, kemiripan fisik
atau suasana, suara dan bau, dan sebagainya).
9
Diagnosis baru bisa ditegakkan apabila gangguan stres pasca trauma
ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat. Gejala
yang harus muncul sebagai bukti tambahan selain trauma bahwa seseorang
telah mengalami gangguan ini adalah :
1. Individu tersebut mengalami mimpi-mimpi atau bayang-bayang
dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kemabali
(flashback)
2. Muncul gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah
laku, gejala ini mungkin saja mewarnai hasil diagnosis akan tetapi
sifatnya tidak khas.
Gejala-gejala PTSD dikelompokkan dalam tiga kategori utama.
Diagnosis dapat ditegakkan bila gejala-gejala dalam kategori berlangsung
selama lebih dari satu bulan. Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada
PTSD adalah pertama, mengalami kembali kejadian traumatik. Seseorang
kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal
itu. Gejala flashback (merasa seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali),
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih),
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan
peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran stimulus yang
diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas.
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpkir tentang trauma
atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut,
dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnyaa ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak
mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan
adanya menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan
yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap
semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga,
gejala ketegangan. Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya,
10
sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan,
termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis.
Tanda dan gejala PTSD pada anak dapat dibedakan berdasarkan
penggolongan umur:3
Young children ( usia 1-6 tahun)
o Pasif, kurang responsif
o Takut terhadap banyak hal (tidak spesifik)
o Arousal yang tinggi
o Merasa kebingungan
o Sulit berbicara terhadap suatu peristiwa
o Sulit mengenali perasaan baik terhadap dirinya maupun orang
lain
o Mengalami gangguan tidur, mimpi buruk
o Melekat terus pada pengasuhnya (takut terpisah/ sendirian)
o Timbul gejala regresif (mengalami kemunduran perkembangan
yang sudah dikuasai anak misalnya, menjadi tidak mau bicara,
mengompol)
o Tidak mampu memahami dan cemas akan kematian
o Timbul gejala somatik (sakit perut, sakit kepala)
o Tidak mau bergerak (freezing)
o Rewel melebihi anak normal (menangis tanpa sebab)
School age children ( usia 6-11 tahun):
o Merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian
traumatik yang dialaminya
o Gangguan tidur, mimpi buruk
o Disorientasi urutan terjadinya peristiwa traumatik
o Tingkah laku yang agresif, mudah marah dan meledak-ledak
o Posttraumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis
permainan yang berkaitan dengan peristiwa ttraumatik)
o Waspada berlebihan, gelisah
11
o Perasaan ketakutan
o Menghindari sekolah
o Terlalu mencemaskan orang lain
o Terjadi perubahan tingkah laku, mood, kepribadian
o Gejala somatik ( mengeluhkan badannya terasa sakit)
o Mudah cemas
o Mengalami kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain
o Takut terpisah (tidak berani sendirian)
o Kehilangan minat dalam melakukan aktivitaas
o Sulit konsentrasi di sekolah sehingga terjadi penurunan prestasi
di sekolah
o Memberikan penjelasan yang berkaitan dengan hal gaib
Preadolescents dan adolescents ( uisa 12-18 tahun):
o Memiliki sifat memberontak baik di rumah maupun sekolah
o Menolak bersekolah
o Kebingungan, seringkali menjadi iritabel
o Berlaku kasar dan tidak sopan dalam berhubungan dengan
orang lain
o Melakukan berbagai tindakan yang dapat membahayakan diri
sendiri
o Depresi, menarik diri dari pergaulan sosial
o Mengalami kemunduran prestasi di sekolah
o Gangguan makan dan tidur
o Hanya berfokus terhadap dirinya sendiri tanpa memperdulikan
sekitarnya
o Memiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa yang
dialaminya
o Sikap yang kaku, canggung dalam pergaulan
o Melakukan aktivitas yang berlebihan sendirian
12
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for
Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu:
A. Kejadian traumatik
1. Satu atau banyak pristiwa yang membuat seseorang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa
ancaman kematian, cidera yang serius atau ancaman terhadap
integritas fisik dirinya sendiri atau orang lain.
2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan,
kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat.
B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:
1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya
dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)
2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya
(yang mencemaskan)
3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang
dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,
haluinasinya)
4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang
mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa
trauma)
C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma
masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang
berhubungan dengan kejadian trauma
2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat
membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya
3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang
dialaminya
13
4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting
berkurang
5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya
6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta)
7. Perasaan bahwa masa depannya suram
D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih
gejala di bawah ini:
1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya
2. Sulit berkonsentrasi
3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan)
5. Reaksi kaget yang berlebihan
E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan
F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan
fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya
Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai:
(1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan (2) kronis, bila
gejala berlangsung lebih dari tiga buan (3) Awal gejala / onset yang
tertunda bila gejala dimula sedikitnya enam bulan setelah kejadian
traumatik/stresor
Selanjutnya, menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-10)
kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:19
A. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang
menimbulkan stress (sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau
sangat mengancam sehingga mungkin akan menyebabkan stres pada
hampir semua orang
B. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stress dalam
bentuk kilas balik yang mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau
mimpi yang berulang, atau mengalami keemasan ketika menghadapi
keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres
14
C. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan
yang mirip atau berhubugan dengan penyebab stress yang tidak ada
sebelumnya
D. Salah satu dari hal berikut harus terjadi:
a.tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa
aspek penting selama masa terpapar pada penyebab stres
b. gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan
psikologis dan sensasi (tidak ada sebelum terpapar dengan
penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini: (1) sulit
untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marah
atau amarah yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi, (4)
kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5) reaksi kaget yag
berlebihan
E. Kriteria B, C, dan D semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan
setelah peristiwa traumatik terjadi
Pedoman diagnostik gangguan stress pasca trauma menurut PPDGJ III
(F 43.1) yaitu:
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun
waktu enam bulan setelah kejadiian traumatik berat (masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai
melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan
apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas
dan tidak didapat alternatif kategori ganngguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashbacks)
Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
15
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa).
Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya
semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memilki
keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam
bereaksi terhadap stress. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak
memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak
tersebut memilki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada dewasa.
Biasanaya anak seringkali tidak memilki tiga tanda dari numbing (mematikan
perasaannya) dan withdrawl (menarik diri) seperti pada orang dewasa karena
kemampuan verbal untuk mengekspresikan perasaannya masih kurang. Anak-
anak mungkin mungkin mengalami perubahan anatara hiperarousal dan numbing/
withdrawl.
Scheeringa et al (1995) merekomendasikan perubahan kriteria PTSD bagi
young children. Perubahan kriteria ini tidak mengharuskan anak dapat melaporkan
ketakutannya sebagai respon terhadap trauma. Kriteria diagnosis yang digunakan
bagi young child yaitu:
a) Anak tersebut setidaknya harus mengalami kembali salah satu tipe
pengulangan ingatan kejadian traumatik di bawah ini:
Menunjukkan perilaku yang mencontoh trauma yang terjadi seperti,
bermain tembak-tembakan atau mengulang adegan kekerasan sendiri
atau bersama teman. Perilaku ini diulang-ulang tanpa variasi yang
berarti
Teringat kembali akan peristiwa trauma ( bisa secara tiba-tiba)
Mengalami mimpi buruk/ mengerikan tanpa dapat mendeskripsikan isi
mimpi tersebut
Mengalami stres saat terpapar dengan kejadian yang mengingatkan
akan trauma yang dialami
16
b) Perubahan kriteria ini juga hanya memerlukan satu dari gejala mati rasa
secara emosional dan perilaku menghindar di bawah ini (dewasa perlu
tiga):
Menarik diri dari pergaulan sosial
Jarang mau bermain
Mengalami kemunduran perkembangan terutama perkembangan
bahasa dan toilet training
Rentang afek yang terbatas (perasaan dan pikiran jadi datar, tumpul)
c) Memerlukan satu dari gejala hiperarousal di bawah ini:
Sulit memulai tidur (tidak berhubungan dengan takut mimpi buruk
ataupun kegelapan)
Terbangun waktu tidur malam hari (bukan karena mimpi buruk)
Penurunan konsentrasi
Respon terkejut yang berlebihan
Sangat sensitif dan memiliki reaksi intens terhadap rangsangan yang
mengingatkannya pada peristiwa traumatik
d) Ditandai oleh salah satu dari gejala ketakutan dan sikap bermusuhan di
bawah ini:
Takut gelap
Takut pergi ke toilet sendirian
Takut terhadap suatu hal baru yang tidak secara jelas berkaitan dengan
trauma
Takut terpisah dan takut ditinggal sendirian
2.7 Terapi
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, sebaiknya
dilakukan evaluasi psikologis pada terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami
kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya.
Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan
dan menemukan kekuatan dari klien. Jika terapi diisyaratkan sebagai proses yang
harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi dengan terapis yang benar-benar
berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan dewasa). Hal ini harus sangat
17
diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat
berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada
dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu,
dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih
efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang
holistik dan komprehensif.
Psikoterapi
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Menurut penelitian Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan
pendekatan yang paling efektif untuk PTSD. Dalam Cognitive Behavioral
Therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan
penderita PTSD misalnya, pada seorang korban kejahatan mungkin akan
menyalahkan diri sendiri karena ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip
behavioral therapy digunakan untuk modifikasi perilaku dan proses re-
learning. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang
tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang
lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model
pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai
landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena
jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku
kita. Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori
yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan fisik yang
merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak (dalam konteks
EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra
pengelihatan/pendengaran/perabaan
Playtherapy
18
Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati
PTSD pada anak periode awal / young children. Pada terapi ini bertujuan
untuk memahami trauma anak dan memberikan medium untuk berekspresi
dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami. Bermain peran,
menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda figural dapat
dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi kesempatan pada
terapis untuk melakukan re-exposure yaitu, membahas peristiwa
traumatiknya dalam situasi yang mendukung.
Para ahli juga menyarankan perlunya psikoedukasi pada anak dan
keluarganya. Psikoedukasi dimaksudkan memberi pendidikan mengenai gejala-
gejala yang ditunjukkan anak dan cara- cara untuk mengatasinya terutama untuk
membantu anak mengatasi kecemasannya. Psikoedukasi untuk anggota keluarga
terutama orangtua dan pengasuh (termasuk guru) penting karena mereka yang
setiap saat berada di dekat anak tersebut. Pengetahuan mereka mengenai reaksi
psikotraumatik dan gejala-gejala perilakunya akan mebantu mereka untuk
berfungsi efektif dalam menghadapi anak yang sedang bermasalah tanpa
memperparah kondisi anak tersebut.
Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan.
Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan
kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi
simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan
PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar
tercapai hasil yang optimal dalam menangani kasus PTSD.
Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi,
perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake
serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam
mengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine (Prozac).
19
Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal
10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20
mg/hari dan diberikan secara peroral.
Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat i ni
dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg
BB/hari
Mood stabilizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan
gejala impulsif.
Dosis Carbamazepine (Tegretol):
6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga
100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari
>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis
initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
2.8 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang mungkin bisa diupayakan yaitu senantiasa ingat
kepada Tuhan karena segala sesuatu itu datangnya dari Tuhan. Selain itu, agar
trauma yang dialami para korban tidak berlanjut, ada baiknya dari pihak keluarga
terdekat segera memberikan pertolongan secara tepat sehingga kemungkinan
trauma dampak dari trauma yang dialami oleh korban dapat dikendalikan.
Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan
dan akan mencegah berkembangnya stres pasca trauma menjadi gangguan stres
pasca trauma, sehingga intervensi sejak dini untuk mengatasinya sangat penting,
terutama bagi perkembangan emosional. Intervensi tersebut dapat berupa
dukungan dari orangtua, guru, teman dan lingkungan sekitarnya2.
BAB III
20
KESIMPULAN
Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang
diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh
seseorang baik ancaman kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan
ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak mengganggu
kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat
berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang
kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami
trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen
yang penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian
traumatik dan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain:
faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat
meningkatkan risiko terjadi gangguan ini. Tanda dan gejala penderita PTSD
secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni: mengalami kembali kejadian
trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada anak dan remaja
gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur. Ada dua macam
terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan
menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif
jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik
dan komprehensif
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Kaplan dan Saddock. 2002. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku
Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta.
2. Kathleen KT. Clinical Management of Posttraumatic Stress Disorder.
2003.http://www.granitescientific.com/granitescientific%20home
%20page_files/ClinicalTreatmentofPTSD.pdf
3. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa , Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Jakarta: PT.Nuh Jaya.
4. Paige SR. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). 2005. Diambil dari
http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/
article_em.htm
5. Post Traumatic Stress Disorder Research Fact Sheet. 2007. Diambil dari
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-
disorder-research-fact-sheet/index.shtml
6. Post traumatic Stress Disorder DSM-IVTM Diagnosis and Criteria..
Diambil dari http://www.mental-health-today.com/ptsd/dsm.htm
7. Roxanne. 2007. Posttraumatic Stress Disorder. Diambil dari
http://www.medicinenet.com/posttraumatic_stress_disorder/article.htm
8. Schnurr, Paula. Treatment for PTSD: Understanding the Evidence. 2008.
Diambil dari http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research-
quarterly/V19N3.pdf
9. http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF
22