Post on 14-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuntutan jaman dan perkembangan globalisasi yang harus dihadapi
terutama persaingan ekonomi yang semakin ketat dan tuntutan dunia kerja yang
juga berkembang semakin tinggi, maka tidak ada jalan lain selain meningkatkan
mutu pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan
kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat perkembangan. Perubahan atau
perkembangan pendidikan adalah hal yang memang harus terjadi sejalan dengan
perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antipasi kepentingan masa
depan. Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau
perbaikan pendidikan untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan
yang terus menerus dilakukan. Mutu pendidikan sangat erat kaitannya dengan
proses pelaksanaan pembelajaran yang dipengaruhi banyak faktor antara lain:
kurikulum, tenaga kependidikan, proses pembelajaran, sarana prasarana, media
pembelajaran, manajemen sekolah, dan lingkungan (iklim) kerja.
Perkembangan dan perubahan dunia pendidikan pada sekolah menengah
kejuruan (SMK), yang memang tamatannya harus dipersiapkan masuk dunia kerja
maka selain komponen di atas ditambah dengan kerjasama industri. Dengan
begitu perkembangan dan perubahannya harus diselaraskan dengan perkembangan
kebutuhan dunia industri dan dunia usaha, perkembangan dunia kerja, serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan meningkatkan mutu
pendidikan maka kualitas sumber daya manusia tamatan sekolah menengah
kejuruan (SMK) yang akan masuk dunia kerja akan meningkat pula.
Untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional, diperlukan sebuah
kurikulum sebagai perangkat guna mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu Doll
(dalam Sukamto, 1988) menjelaskan kurikulum adalah isi dan proses formal dan
informal dimana anak didik memperoleh pengetahuan dan pemahaman,
mengembangkan keterampilan, mengubah sikap, apresiasi dan nilai-nilai di bawah
tanggung jawab sekolah. Beane (1986) menyatakan: (1) kurikulum sebagai
1
produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai belajar yang
direncanakan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman anak didik.
Bahwa kurikulum adalah sejumlah kegiatan dan pengalaman belajar yang
telah didesain untuk diberikan kepada anak didik dalam rangka memperoleh
pengetahuan, pemahaman, pengembangan keterampilan, mengubah sikap,
apresiasi dan nilai-nilai sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut di bawah
tanggung jawab sekolah. Selanjutnya kegiatan dan pengalaman belajar yang
didesain ini harus relevan dengan kebutuhan, sehingga dapat bermanfaat bagi
siswa apabila ia sudah lulus dan bekerja nanti. Sejalan dengan pendapat Larson
(1982), tujuan kurikulum harus memberi kepada siswa sesuatu pengalaman
belajar yang relevan, artinya kegiatan-kegiatan yang terorganisir di dalam
kurikulum akan membentuk pengalaman belajar yang relefan dengan tugas-tugas
jabatan siswa di dunia kerja.
Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Teknik Mekanik
Otomotif, yang mencetak tenaga mekanik tingkat menengah, mekanik dalam
bahasa Inggris disebut ”mechanic” berarti montir, sedangkan montir adalah
tukang yang memasang atau memperbaiki motor atau mesin (Poerwadarminta,
1976). Tugas mekanik meliputi memeriksa, membongkar, memasang kembali dan
mengganti suku cadang atau bagian-bagian yang rusak, menyetel mesin, rem,
kemudi dan bagian lain dari kendaraan bermotor (Depnaker, 1987). Artinya
penggunaan istilah montir mekanik maknanya akan sama karena subtansi
pekerjaan yang dilakukan meliputi kegiatan perawatan, penyetelan, diagnosa dan
perbaikan kerusakan pada bidang otomotif. Sebagai mekanik otomotif dalam
memeriksa kendaraan untuk memastikan sifat, besar kecilnya lokasi kerusakan,
merencanakan pekerjaan, menggunakan manual atau pedoman-pedoman teknis
membongkar mesin, bagian-bagian yang memerlukan perhatian, memperbaiki
atau mengganti bagian-bagian seperti piston, transmisi, gasket dan perlengkapan
seperti busi dan menyetel rem, dan melakukan perbaikan lainnya, menyetel motor
dengan menyesuaikan pembakaran karburator katup-katup dan mengetes
kendaraan yang telah diperbaiki di bengkel atau di jalanan (Depnaker, 1987).
Maka seorang mekanik otomotif diartikan sebagai seseorang yang mampu
melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk memperbaiki dan menservis kendaraan
2
mobil bensin dan diesel baik motor dua langkah atau empat langkah. Kualifikasi
mekanik dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan menyangkut mobil, sepeda motor, dalam
menganalisa kerusakan, memperbaiki komponen yang rusak dan menyetel/servis.
Terkait dengan pekerjaan otomotif, maka mekanik dapat dikualifikasikan
menjadi empat tingkat, yaitu: (1) tukang, seseorang yang dapat mengerjakan
pekerjaan dengan mengikuti instruksi lisan/bimbingan, dengan bantuan chart atau
manual tulis, (2) teknisi terampil, adalah seseorang yang dapat mengerjakan
sendiri pekerjaan dengan berpedoman kepada hanya bantuan chart atau manual
servis, (3) teknisi ahli, yaitu seseorang yang mendiagnosis pekerjaan dan mampu
memperbaiki sendiri kerusakannya, dan (4) profesional, yaitu seseorang yang
mampu mengembangkan usahanya dalam bidang otomotif lebih profesional,
yaitu dapat menghitung untung ruginya sesuatu pekerjaan bila dilakukannya,
misalnya apakah kerusakan diperbaiki atau lebih baik peralatan yang rusak saja
diganti. Perhitungan yang dilakukan meliputi kesulitan pekerjaan, waktu yang
digunakan, harga dan kegunaannya.
Kurikulum Program Keahlian Tenik Mekanik Otomotif SMK tahun 2004
terdiri 3 kelompok yaitu: (1) program normatif, (2) program adaptif, dan (3)
program produktif. Dalam program produktif dikelompokkan dalam kompetensi
mesin (engine), kelistrikan (electrical), casis (chasis), dan pemindah tenaga
(power train). Pada kelompok kompetensi kelistrikan (electrical) dibagi menjadi
kompetensi-kompetensi yang salah satunya terdapat mata diklat pemasangan,
pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring dengan kode OPKR 50-
007 B.
Angkatan kerja dari lulusan SMK jumlahnya mencapai 7,12 juta orang,
namun masih 60 persen yang terserap lapangan kerja (rri@rri-online.com), hal ini
disebabkan bahwa lulusan sekolah menengah kejuruan dipandang kurang mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan maupun perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sulit untuk bisa dilatih kembali, dan kurang bisa mengembangkan
diri. Temuan tersebut tampaknya mengindikasikan bahwa pembelajaran di SMK
belum banyak menyentuh atau mengembangkan kemampuan adaptasi peserta
didik. Dari data tersebut diperoleh gambaran bahwa sebagian lulusan SMK tidak
3
bisa diserap di lapangan kerja, karena kompetensi yang mereka miliki belum
sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Pada proses belajar mengajar di sekolah bahwa hasil belajar seseorang
ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang
ada di luar individu untuk tersedianya media pembelajaran yang memberi
kemudahan bagi individu untuk mempelajarinya, sehingga menghasilkan belajar
yang lebih baik. Dari beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa media
belajar mempengaruhi kompetensi siswa, hasil penelitian-penelitian tersebut
antara lain adalah: (1) Endang Prihatiningsih (1998:28) hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara sarana belajar dengan
prestasi siswa, (2) Jamaludin (2002:41) hasil penelitiannya menyatakan adanya
korelasi positif antara belajar dan fasilitas belajar siswa dengan mutu lulusan, dan
(3) Eko Cahyono (2005:13) adanya perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa
didasarkan pada penggunaan media yang berbeda dalam pembelajaran.
Proses belajar mengajar pada Program Keahlian Mekanik Otomotif
sebagian besar sudah menggunakan bagian-bagian komponen mobil sebenarnya
seperti contoh sistem starter, sistem pengisian, transmisi, mesin, differential dan
lain yang sekiranya bagian komponen tersebut benar-benar mewakili komponen
mobil. Sehingga jika siswa menghadapi mobil sebenarnya sudah tidak asing lagi
dan pernah melakukan pembongkaran, pengujian dan perbaikan komponen serta
sistem yang sama pada saat latihan atau praktik di bengkel.
Akan tetapi lain halnya dengan proses belajar mengajar kompetensi
pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring (kode
OPKR 50-007B) terutama kompetensi troubleshooting, selama ini sepanjang
pengamatan dan pengalaman pada SMK yang mempunyai Program Keahlian
Mekanik Otomotif terutama pada kompetensi troubleshooting sistem penerangan
hanya menggunakan trainer/simulator/alat peraga sistem penerangan dan wiring,
jarang sekali yang menggunakan media pembelajaran mobil training maupun
mobil real.
Tujuan digunakannya simulator tersebut adalah dalam pembelajaran
praktek agar siswa mampu menganalisa memperbaiki dan menguji sistem
penerangan dan wiring mudah dilakukan. Demikian pula dengan sistem evaluasi
4
yang dilakukan pada kompetensi sistem kelistrikan penerangan dan wiring serta
kompetensi troubleshooting sistem penerangan tidak dilakukan pada mobil
training maupun mobil real melainkan tetap pada simulator/alat peraga sistem
penerangan dan wiring, sehingga kemampuan troubleshooting sistem penerangan
siswa pada mobil sebenarnya tidak terukur dengan baik. Kondisi yang demikian
juga terjadi pada siswa Program Keahlian Mekanik Otomotif di SMK Negeri 5
Surabaya , SMK negeri dan swasta Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotif
lainnya di kota Surabaya.
Sebagai salah satu materi diklat yang masuk kelompok produktif, yaitu
kompetensi pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring.
Hal ini merupakan materi diklat yang sangat membutuhkan media dalam proses
pembelajaran. Pemanfaatan media pembelajaran terkait dengan pembelajaran
kompetensi pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring,
baik yang diperoleh dari pemerintah (melalui proyek), maupun dibeli dan dibuat
sendiri oleh sekolah. Demikian pula pada SMKN 5 Surabaya sebagai sekolah
negeri yang baru berdiri penggunaan media untuk pembelajaran praktek sistem
penerangan, menggunakan trainer sistem penerangan. Penggunaan media trainer
sistem penerangan dengan tujuan untuk memudahkan proses pemelajaran, bentuk
yang sederhana juga memudahkan proses merangkai wiring.
Bentuk dari trainer pada bagian letak komponen, model wiring/rangkaian
yang tidak standar dan konstruksi komponen yang kurang sesuai atau tidak sesuai
dengan keadaan pada mobil real, merupakan kendala tersendiri ketika siswa harus
dapat menganalisa (troubleshooting) dan perbaikan kerusakan sistem penerangan
mobil. Setelah melakukan praktek menggunakan trainer sistem penerangan,
siswa seharusnya diarahkan untuk mengaplikasikan kemampuan pemahaman
kelistrikan dan kompetensi troubleshooting sistem penerangan pada media mobil
training, sebab media mobil training memiliki wiring, letak dan konstruksi
komponen yang sama dengan mobil sebenarnya. Dengan wiring, letak dan
konstruksi komponen yang mendekati atau sama dengan mobil sebenarnya
diharapkan kemampuan troubleshooting sistem penerangan dapat dikuasi dan
ditingkatkan, sebab kemampuan ini merupakan tujuan dari proses pemelajaran
5
sistem penerangan sebelum melakukan perbaikan maupun pengantian komponen
dan wiring.
Pembelajaran troubleshooting sistem penerangan yang diterapkan pada
praktek siswa menggunakan trainer kelistrikan body dan tidak dilakukan pada
mobil training. Hal ini akan menyebabkan siswa akan mendapatkan kendala-
kendala dalam menentukan troubleshooting sistem penerangan dari kerusakan
yang ada, disebabkan adanya perbedaan antara media trainer kelistrikan body
dengan sistem penerangan mobil training untuk nantinya menghadapai mobil
real.
Dengan demikian penggunaan media pembelajaran untuk kompetensi
pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring tidak hanya
menggunakan trainer sistem penerangan akan tetapi harus diaplikasikan
penggunaan mobil training yang memiliki konstruksi, model wiring dan bentuk
komponen yang standar. Dengan tujuan meningkatkan kompetensi dan
kemampuan troubleshooting sistem penerangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kompetensi troubleshooting sistem penerangan siswa
SMKN 5 Surabaya yang diajarkan dengan media trainner?
2. Bagaimanakah kompetensi troubleshooting sistem penerangan siswa SMKN 5
Surabya yang diajarkan dengan media real?
3. Adakah perbedaan yang signifikan kompetensi troubleshooting sistem
penerangan antara kelompok siswa yang diajar dengan media trainner dan
kelompok siswa yang diajar dengan media real ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kompetensi troubleshooting sistem penerangan siswa
SMKN 5 Surabaya yang diajarkan dengan media trainner.
6
2. Untuk mengetahui kompetensi troubleshooting sistem penerangan siswa
SMKN 5 Surabaya yang diajarkan dengan media real.
3. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kompetensi troubleshooting
sistem penerangan antara kelompok siswa yang diajar dengan media trainner
dan kelompok siswa yang diajar dengan media real.
D. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan yang signifikan kompetensi dalam troubleshooting sistem
penerangan antara kelompok siswa yang diajar dengan media trainner dan
kelompok siswa yang diajar media real.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil kegiatan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alternatif pendekatan pembelajaran
yang dapat digunakan oleh guru.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan peneliti lainnya sebagai bahan referensi
atau acuan dalam melakukan penelitian yang sama atau berbeda.
3. Bagi Dunia Akademis
Dapat dijadikan sebagai bahan pustaka yang dapat memberikan informasi bagi
pihak yang berkepentingan.
4. Bagi Sekolah
Dapat dijadikan bahan masukan untuk membantu guru dalam memberikan
kelengkapan fasilitas praktik di bengkel sekolah terutama pentingnya dalam
pengadaan alat sesuai dengan pembelajaran troubleshooting sistem
penerangan.
5. Bagi Peneliti
Sebagai saran untuk menambah wawasan peneliti dalam memecahkan
masalah terutama yang berkaitan dengan bidang kajian yang diketahui dalam
7
perkuliahan dan dapat dijadikan pengalaman yang nantinya bisa digunakan
pada saat mengajar.
F. Asumsi Penelitian
Kajian permasalahan dalam penelitian ini didasarkan asumsi bahwa:
1. Proses belajar mengajar kompetensi pemasangan, pengujian dan perbaikan
sistem penerangan dan wiring menggunakan trainer kelistrikan bodi telah
dilaksanakan.
2. Kemampuan siswa dalam menguasai kompetensi dasar sistem penerangan
adalah sama.
3. Kemampuan siswa dalam menguasai trainer kelistrikan bodi diasumsikan
kompeten sesuai level kompetensi yang ditetapkan.
4. Rangkaian/wiring pada media trainner dan media real diasumsikan sama.
G. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian hanya terbatas pada kompetensi pemasangan, pengujian, dan
perbaikan sistem penerangan dan wiring.
2. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian quasi experimen yang dilakukan
dalam lingkungan kelas XI semester 3 Program Keahlian Teknik Mekanik
Otomotif SMKN 5 Surabaya. Kelas yang digunakan adalah kelas yang sudah
ada, tanpa dilakukan randomisasi terhadap siswa.
H. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan tafsir terhadap pengertian dari beberapa
variabel penelitian dan untuk memudahkan dalam pengukurannya, maka dibuat
definisi operasional sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Media trainner adalah media pembelajaran yang berbentuk mobil yang terdiri
dari rangka (frame), chasis (chasis), pemindah tenaga (power train), mesin
(engine), dan sistem kelistrikan (electrical) dengan spesifikasi tipe Toyota
Kijang KF10 RDRKF.
2. Media real adalah mobil yang memiliki kreteria: (a) tidak dilakukan
modifikasi sesuai dengan bentuk aslinya (standar), (b) dapat dioperasionalkan
8
di jalan raya, dan (c) jenis mobil kijang dengan spesifikasi tipe KF10 RDRKF
pick-up. Adapun kerusakan untuk troubleshooting yang terjadi pada mobil
adalah hasil rekayasa peneliti.
3. Kompetensi troubleshooting sistem penerangan adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran kelistrikan sistem
penerangan untuk menganalisa dan menentukan kerusakan/kesalahan pada
komponen dan wiring sistem penerangan.
4. Kompetensi praktik pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan
dan wiring pada trainer. Penguasaan kompetensi praktik pemasangan,
pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring pada trainer adalah
suatu kemampuan siswa dalam mata diklat pemasangan, pengujian, dan
perbaikan sistem penerangan dan wiring pada trainer dan dibuktikan dengan
tindakan maupun berfikir dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yaitu dengan
tes unjuk kerja, yang akan dinilai oleh guru mata diklat.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan permasalahan yang akan di teliti, berikut ini akan dibahas
secara teoritis mengenai: kompetensi, kompetensi praktik sistem penerangan dan
wiring, kompetensi troubleshooting sistem penerangan pada mobil training,
Standar Operasional Prosedur (SOP) troubleshooting sistem penerangan, dan
media pembelajaran praktek media mobil training dan mobil real.
A. Kompetensi
1. Pengertian Kompetensi
Ada beberapa penafsiran tentang kompetensi dan itu sangat beragam.
Kompetensi merupakan kemampuan yang mutlak dimiliki oleh para pencari kerja
atau alumni SMK agar dapat mencari kerja yang sesuai dan dapat melaksanakan
tugasnya sebagai pekerja dengan baik sesuai bidang keahliannya. Agar memiliki
pemahaman yang jelas tentang kompetensi perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu
kompetensi, sebelum melangkah pada uraian lainnya.
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris, yakni “competence” yang berarti
kecakapan, kemampuan. Menurut kamus besar bahas Indonesia, kompetensi
adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. Kalau
kompetensi berarti kemampuan atau kecakapan, maka hal ini berarti erat
kaitannya dengan pemilikan pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan
seseorang untu melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian, tidaklah berbeda
dengan pengertian kompetensi yang dikemukakan oleh W. Robert Houston seperti
dikutip Abdul Kadir Munsyir yang mengatakan bahwa “competence” ordinarily is
defined as “adequacy for a task” or as “possession of require knowledge, skill
and abilities”. Di sini dapat diartikan, bahwa kompetensi sebagai suatu tugas
yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang
dituntut oleh jabatan sesorang. Berdasarkan pada definisi bahwa kompetensi
merupakan pemilikan nilai dan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (Sudrajat, H. 2004:25).
10
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (Nurhadi, 2004:15).
Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus
memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Menurut Finch &
Crunkilton (dalam Nurhadi, 2004:17), kompetensi sebagai penguasaan terhadap
suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan.
Berdasar pada arti estimologi standar kompetensi terbentuk dari dua kosa
kata, yaitu: standar dan kompetensi. Standar diartikan sebagai ukuran atau
patokan yang disepakati sedangkan kompetensi diartikan sebagai kemampuan
yang dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yang dilandasi
oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Sehingga dapatlah dirumuskan
bahwa kompetesi diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi
mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan sesuatu
pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performan yang ditetapkan (SKN,
2004:2).
11
Uraian kompetensi yang telah diberikan di atas dapat ditarik suatu
pengertian tentang kompetensi bahwa kompetensi berkenaan dengan kemampuan
siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; kompetensi menjelaskan
pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; kompetensi
merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran. Sehingga siswa yang
kompeten memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar untuk melakukan
sesuatu.
2. Standar Kompetensi Tamatan
Kompetensi-kompetensi yang diperlukan dan yang akan diberikan kepada
peserta didik itu harus ada standarnya. Standar kompetensi lulusan digunakan
sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok
mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. Standar kompetensi
lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai
dengan kejuruannya (PP 19, 2005:11).
Maka tujuan pendidikan dapat dinyatakan sebagai pemberdayaan potensi
peserta didik menjadi kompetensi, dalam arti memiliki nilai dan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan untuk menyelasaikan suatu tugas dalam kehidupan
sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Ada beberapa batasan mengenai standar kompetensi. Standar kompetensi
adalah pernyataan tentang keterampilan dan pengetahuan serta sikap yang harus
dimiliki oleh seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau tugas sesuai
dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan (Dikmenjur, 2000:6).
Standar kompetensi adalah ukuran, batasan, atau spesifikasi kemampuan
yang dibakukan, disusun berdasarkan kesepakatan semua pihak terkait dengan
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan dunia
kerja di pasar domestik, regional dan internasional (Direktorat Penmas, Dirjen
PLS dan Pemuda Depdiknas, 2003:3).
12
Jadi Standar kompetensi adalah suatu standar yang menggambarkan
pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang disyaratkan dalam pekerjaan di
industri, yang dibuat oleh industri, merupakan pedoman dasar pelatihan, untuk
menentukan kualifikasi maupun penilaian, serta merupakan pedoman bagi pelatih
maupun evaluator terhadap penyelenggaraan dan penilaian pelatihan.
Ruang lingkup keahlian dalam standar kompetensi meliputi:
(1) keterampilan melaksanakan pekerjaan (taskskill), (2) keterampilan mengelola
pekerjaan (task management skill), keterampilan mengantisipasi kemungkinan
(contingency management skill), (3) keterampilan mengelola lingkungan kerja
(job/role environment skill), dan (4) keterampilan beradaptasi (transfer skills).
Program produktif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi
membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Dalam hal SKKNI belum ada,
maka digunakan standar kompetensi yang disepakati oleh forum yang dianggap
mewakili dunia usaha/industri atau asosiasi profesi. Program produktif bersifat
melayani permintaan pasar kerja, karena itu lebih banyak ditentukan oleh dunia
usaha/industri atau asosiasi profesi. Program produktif diajarkan secara spesifik
sesuai dengan kebutuhan tiap program keahlian. Dengan mempertimbangkan
keluasan dan jumlah kompetensi yang harus dipelajari, jika SKKNI menuntut
masa pendidikan lebih dari tiga tahun, maka masa pendidikan dapat diperpanjang
paling banyak 2 (dua) semester atau sampai dengan 4 (empat) tahun.
Dengan adanya standar kompetensi pada setiap bidang profesi dan level
kualifikasi, maka pengembangan kurikulum dan materi pembelajaran di setiap
jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan akan lebih mudah disusun dan jelas
arahnya. Hal ini akan menjadikan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan lebih
efektif dan effisien sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Pada prinsipnya penetapan kompetensi tamatan SMK mengacu kepada
standar kompetensi yang dituntut dunia usaha dan industri sesuai dengan bidang
keahlian masing-masing. Penetapan program pembelajaran yang harus ditempuh
oleh peserta diklat atau siswa, ditetapkan berdasarkan kompetensi-kompetensi
tersebut.
13
Acuan penyusunan program pembelajaran bukan hanya tuntutan
kompetensi satu industri atau perusahaan, tetapi mempertimbangkan sejumlah
DU/DI dalam bidang keahlian sejenis dengan berbagai karakteristik dan kondisi
yang sangat beragam (Dikmenjur, 2001:34). Untuk itu perlu ditetapkan suatu
standar kompetensi yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Dalam hal ini
diperlukan suatu standar kompetensi yang berlaku secara umum dan mewakili
tuntutan utama berbagai DU/DI dengan karakteristik dan kategori variasinya,
yang kemudian menjadi Standar Kompetensi Nasional (SKN).
Standar kompetensi sangat dibutuhkan oleh pihak pendidikan formal atau
sekolah dan pihak dunia usaha atau industri yang keduanya berperan dalam
penilaian uji kompetensi. Dengan kata lain bahwa standar kompetensi dapat kita
artikan sebagai kemampuan seseorang yang menurut Standar Kompetensi
Nasional (SKN) tentang:
1) Bagaimana mengerjakan sesuatu,
2) Bagaimana mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan,
3) Apa yang dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan
rencana semula,
4) Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan
masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.
Isi SKN adalah seluruh kompetensi lengkap yang dituntut untuk suatu
bidang pekerjaan, mulai dari tingkat yang paling bawah/dasar sampai tingkat
paling tinggi. Tamatan SMK disiapkan untuk menjadi tenaga kerja pada keahlian
dan level pekerjaan tertentu. Tuntutan kompetensi tenaga kerja pada umumnya
tidak hanya menuntuk kemampuan melaksanakan kemampuan teknis bekerja
semata seperti yang tertuang dalam SKN, tetapi masih dituntut kemampuan lain
yang bersifat non teknis yang merupakan persyaratan kepribadian (personality).
Kemampuan non teknis itu mencakup dua hal yaitu kemampuan berprilaku
normatif sebagai mahluk pribadi dan sosial maupun sebagai mahluk Tuhan.
Kedua, kemampuan pengembangan diri dalam peningkatan prestasi kerja
dilingkungannya.
14
B. Kompetensi Praktik Sistem Penerangan dan Wiring
Menurut Bloom (1979) klasifikasi tujuan pengajaran ranah kognitif
(cognitive domain) adalah mantra yang mencakup tujuan-tujuan pengajaran yang
meliputi kemampuan atau tugas-tugas intelektual. Selanjutnya ranah kognitif
dibagi dalam enam kategori. Ke enam kategori disusun dalam hirarkhi dari
sederhana menuju kompleks yaitu (a) knowledge, (b) comprehension,
(c) aplication, (d) analysis, (e) synthesis dan (f) evaluation.
Pengetahuan ialah mengingat kembali bagian-bagian informasi khusus dan
umum, serta informasi tentang metode-metode. Secara khusus pengetahuan
menurut Bloom (1979) menyatakan ”knowledge of the ways of organizing,
studying, judging, and criticzing ideals and phenomena. Sedangkan pemahaman
adalah pengenalan bagian informasi bagian informasi untuk membangun ikatan
informasi dengan pengertian lengkap. Selanjutnya aplikasi ialah penerapan prinsip
informasi atau pengetahuan terapan dalam situasi yang berbeda. Analisis
memecahkan atau membagi unit informasi kedalam elemen-elemen yang lebih
kecil dengan maksud untuk lebih memperjelas maknanya, sedangkan sintesis ialah
menyatukan atau memadukan elemen-elemen informasi ke dalam unit-unit
informasi yang berkaitan sehingga mengandung arti lebih jelas. Evaluasi adalah
melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan tentang nilai informasi,
bahan-bahan dan metode-metode.
Kemampuan penguasan teori otomotif adalah bagian dari ranah kognitif.
Oleh karena itu, untuk mendalami kaidah-kaidah dasar serta azas-azas otomotif
pada sistem penerangan dan wiring diperlukan kemampuan pengetahuan teori-
teori dasar sistem penerangan dan wiring mulai dari peringkat sederhana sampai
kepada yang kompleks. Kemampuan seseorang dalam menguasai teori tertentu
akan mempengaruhi orang tersebut dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Setiap pekerjaan pada dasarnya menuntut penguasaan teori yang bersifat dasar
dan spesifik. Teori dasar merupakan konsep-konsep yang diperlukan untuk dapat
menguasai teori yang lebih spesifik. Sementara teori spesifik itu sendiri dapat
dijadikan sebagai teori terapan dalam memecahkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan bidangnya atau dengan kata lain teori spesifik berhubungan
langsung dunia empirik atau berhubungan dengan praktik kerja/keterampilan
15
dilapangan. Dalam terapannya, teori spesifik akan membantu secara cepat
mengkaitkan fungsi komponen satu dengan komponen yang lainnya sehingga
menjadi fungsi dari suatu sistem.
Definisi praktik atau keterampilan disebutkan dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989) diistilahkan sebagai suatu kemampuan menggunakan
pengetahuan seseorang secara efektif, dalam pekerjaan. Istilah lain tentang
keterampilan menurut Terry dan Marshall (1985) mengatakan bahwa
keterampilan merupakan pola mental sistematis dan terkoordinasi dan aktivitis
fisik, biasanya memperlihatkan perasaan dan otot. Winkel (1987) menyebutkan
bahwa orang yang memiliki suatu keterampilan motorik, mampu melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan
koordinasi antara gerak-gerik barbagai anggota bahan secara terpadu.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan
adalah adanya koordinasi yang serasi antara perasaan dan otot dalam
melaksanakan suatu kegiatan. Dengan kata lain, bahwa keterampilan adalah
kemampuan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas secara tepat sehingga
dapat tercapai tujuan yang diharapkan. Kemampuan praktik atau keterampilan
praktik termasuk ke dalam ranah psikomotor (psychomotor domine). Dalam istilah
psikologi kata motor diartikan keadaan, kegiatan yang melibatkan otot-otot
beserta gerakan-gerakannya. Di sisi lain ranah psikomotor adalah suatu
kemampuan atau keterampilan untuk melakukan perbuatan dengan tangan, mata,
kaki, dan sebagainya.
Simpson (dalam Harrow, 1972: 27) membagi ranah psikomotor dalam
tujuh kategori yakni: (1) perception (interpreting), (2) sel (preparing), (3) guide
response (learning),(4) mechanism (habitating), (5) complex ove rt response
(performing), (6) adaptation (modifying), dan (7) origination (creating).
Di samping itu, Bloom (1979) membagi kawasan psikomotor atas lima tingkatan
yaitu: (1) meniru, (2) manipulasi, (3) kecermatan berbuat, (4) nilai-nilai, dan
(5) kewajaran perbuatan. Keterampilan melalui kecermatan berbuat hanya akan
dapat diperoleh melalui latihan yang didukung oleh kemampuan meniru atau
memanipulasi. Hal tersebut yang lebih spesifik dikemukakan oleh Nolker dan
Schoenfeldt (1983) yang menyatakan keterampilan psikomotor menekankan pada
16
gerakan otot serta koordinasi dalam mengoperasikan mesin dan peralatan yang
menyertainya.
Moss (dalam Evans dan David, 1971) menyatakan bahwa "technical skill",
yaitu keterampilan yang menggambarkan kemampuan kognitif dan psikomotor
seseorang untuk melakukan pekerjaan dalam mencapai suatu tujuan. Technical
skills are provide them with the ability to apply specialized knowledge or
expertise (Hunsaker, 2001). Keterampilan dapat juga diartikan sebagai "keahlian
menggunakan pengetahuan dan keahlian melakukan pekerjaan (Nolker dan
Schoenfeldt, 1983: 82). Menurut Legge (1970) keterampilan adalah kemampuan
seseorang melakukan kerja tukang yang melibatkan pengetahuan, pendapatan,
ketelitian, kecepatan manual yang diperoleh dari latihan. Keterampilan pada
prinsipnya mempunyai sifat yaitu: (1) keterampilan pada dasarnya terdiri atas
aktivitas yang terkoordinasi dan berhubungan dengan obyek (situasi) yang
melibatkan semua indra, (2) keterampilan dipelajari sedemikian rupa sehingga
pengertian suatu obyek dan bentuk perbuatan dibangun sedikit demi sedikit di
dalam suatu program latihan yang berulang-ulang yang mengakibatkan seseorang
dapat terampil, dan (3) keterampilan adalah suatu rangkaian di mana pada seluruh
pola keterampilan terdapat banyak proses atau perbuatan tersusun dan terkoordinir
dalam suatu urutan waktu latihan yang didukung oleh kemampuan meniru atau
memanipulasi.
Beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterampilan
adalah kecakapan seseorang melakukan kerja dengan melibatkan indra, yang
dilatih secara, berulang-ulang dalam bentuk perbuatan yang tersusun dan
terkoordinir menurut urutan waktu. Kegiatan praktikum/praktik troubleshooting
sistem penerangan dan wiring adalah kegiatan keterampilan meliputi keterampilan
memeriksa, mendiagnosa, menyetel, mengukur dan merakit terhadap komponen-
komponen kelistrikan bodi seperti pada sistem penerangan dan wiring. Usaha
pembentukan keterampilan psikomotor ditandai dengan adanya kegiatan praktik
di lab/ bengkel. Oleh karena itu, guru dalam mengajarkan praktik, keterampilan
selain mengajarkan fungsi komponen, cara menyetel memeriksa dan mengukur
tapi juga mengajarkan kemampuan berpikir kritis dengan memadukan konsep dan
operasional.
17
Berpikir kritis adalah "critical thinking is generally agreed to include the
evaluation of the worth accuracy, or authenticity of various propositions, leading
to a supportable decision or direction for action" (Jones, 1996:4). Dari aktivitas
praktik ini, siswa akan mampu melakukan servis sistem penerangan dan wiring,
merangkai kelistrikan mobil dan keterampilan lainnya sebagai hasil dari prestasi
praktiknya. Melalui proses dan latihan keterampilan praktik yang cukup dan
prosedur yang berulang-ulang akan diperoleh kemampuan prestasi keterampilan
(Gagne, 1977).
Pelaksanaan kegiatan praktik harus mengacu kepada pencapaian
kompetensi dengan bantuan lembar kerja siswa akan tahu bagaimana langkah-
langkah membongkar dan merakit komponen tersebut dengan benar dan hasil dari
belajar praktik merupakan cerminan keterampilan yang telah dikuasai saat praktik
dilaksanakan. Dapat disimpulkan bahwa praktik sistem penerangan dan wiring
khususnya praktik sistem penerangan dan wiring siswa di lab/bengkel dalam
menggunakan trainer kelistrikan adalah keterampilan simulasi (simulation skill)
akan membantu siswa melakukan praktik keterampilan sebenarnya (real skill)
pada mobil real di lain waktu dan dapat diukur dengan tes unjuk kerja.
Gronlund (1982) lebih lanjut menyatakan tes unjuk kerja dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu: unjuk kerja ”kertas dan pensil” (paper
and pencil), tes identifikasi (identification test), unjuk kerja simulasi (simulated
performance) dan sampel kerja (work sample). Tes unjuk kerja ”kertas dan pensil”
menekankan pada pemakaian pengetahuan dan keterampilan dalam kondisi
simulasi. Sebagai contoh, dalam tes ini peserta peserta didik diminta membuat
suatu diagram kelistrikan atau rancangan melakukan eksperimen.
Tes identifikasi mencakup berbagai situasi tes yang menunjukkan berbagai
tingkatan. Dalam beberapa kasus, peserta didik diminta untuk mengidentifikasi
suatu peralatan dan menyebutkan fungsi-fungsinya. Tes identifikasi yang lebih
kompleks mengarah kepada mengidentifikasi peralatan dan prosedur untuk
melaksanakan perbaikan. Tes identifikasi terkadang digunakan alat ukur tidak
langsung untuk mengetahui unjuk kerja (performance). Unjuk kerja simulasi
menekankan pada prosedur, peserta didik diharapkan dapat mengerjakan suatu
tugas/pekerjaan tetapi dalam kondisi simulasi. Di dalam pendidikan kejuruan,
18
tugas-tugas di bengkel sekolah sering dirancang untuk mensimulasikan unjuk
kerja pada pekerjaan sebenarnya (real job). Selanjutnya tes unjuk kerja
merupakan tes unjuk kerja dimana peserta didik diminta mengerjakan tugas-tugas
nyata yang merupakan perwujudan dari unjuk kerja yang hendak diukur.
Kriteria unjuk kerja oleh Popham (dalam Djemari Mardapi, 2000) ada
tujuh kriteria yang dapat digunakan untuk menilai tugas tes unjuk kerja, yaitu:
(1) generalizability, sejauh mana unjuk kerja peserta didik pada tugas sejenisnya,
(2) authenticity, yaitu apakah tugas yang dikerjakan peserta didik sama atau
sepadan dengan tugas yang ada didunia dikerjakan berlaku untuk tugas sejenisnya,
(3) multiple foct, yaitu apakah tugas yang diberikan mengukur hasil pembelajaran
yang banyak, (4) teachability, yaitu apakah potensi atau keterampilan peserta
didik meningkat sebagai akibat dari usaha guru/instruktur dalam melaksanakan
proses pembelajaran, (5) fairness, yaitu apakah tugas yang diberikan kepada
semua peserta didik cukup adil, tidak bias gender, etnik, status sosial ekonomi, (6)
feasibility, yaitu apakah tugas yang dikerjakan peserta didik realistik ditinjau dari
waktu , ruang, dan peralatan yang ada, dan (7) scorability, yaitu apakah tugas
yang diberikan akan memberikan hasil yang handal dan akurat. Oleh sebab itu
dalam mengukur unjuk kerja atau kinerja perlu ditetapkan kriteria keberhasilan
penilaian.
Jo Anne Wangsatorntanakhun (dalam Zainul, 2001) mengatakan dalam
mengukur kerja siswa saat praktik hal yang perlu diperhatikan adalah:
(1) assesmen kinerja didasarkan pada partisipasi aktif siswa, (2) tugas-tugas yang
diberikan atau yang dikerjakan siswa yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, (3) assesmen tidak hanya untuk
mengetahui posisi siswa pada suatu saat dalam proses pembelajaran, tetapi lebih
dari itu, assesmen juga dimaksud untuk memperbaiki proses pembelajaran itu
sendiri, dan (4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan digunakan
untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajaran, maka siswa akan
secara terbuka pengukuran akan diperoleh gambaran nyata mengenai materi yang
telah dikuasai atau belum.
Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan beberapa
indikator yang digunakan dalam penelitian ini yakni: (1) tahapan persiapan, yaitu
19
keterampilan ini menggunakan alat dan bahan dalam praktik, (2) proses atau
langkah kerja yang meliputi memeriksa, mengukur, menyetel, dan merakit, dan
(3) produk/jasa yang meliputi kesesuaian dengan hasil pekerjaan alokasi waktu,
kerapian, keteraturan, dan keselamatan kerja.
C. Kompetensi Troubleshooting Sistem Penerangan pada Mobil Training
Masalah menurut Mills (1973) merupakan situasi saat seseorang
termotivasi untuk mencapai tujuan tetapi perolehan tujuan tersebut dihalangi oleh
suatu atau beberapa hambatan. Pemecahan masalah menurut Stewart (dalam
Hermawan, 1993) adalah menemukan penyebab dari suatu situasi, sehingga
pengalaman ini dapat digunakan untuk memutuskan bagaimana cara
mengatasinya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat
menemukan jawaban atas masalah tersebut, yaitu menemukan cara untuk
mengatasi hambatan. Misalnya, kegiatan bengkel mobil adalah kegiatan
menangani perawatan dan perbaikan mobil.
Kegiatan yang dilakukan oleh mekanik adalah proses menemukan
sumber/letak gangguan dan kerusakan. Kompetensi troubleshooting atau
kompetensi menganalisa kerusakan adalah hal yang berkaitan dengan bagaimana
cara mendiagnosis gangguan dan menentukan bagian yang nanti harus dilakukan
pengantian atau perbaikan. Menurut Leighbody dan kidd (1996) menyatakan
dalam mendiagnosis gangguan dengan efektif, seorang mekanik tidak hanya
sekedar mengandalkan pengalamannya, tetapi juga harus pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut. Siswa sebagai calon juru teknisi otomotif
harus memiliki kemampuan pemecahan masalah secara sistematis sehingga dan
menemukan sumber atau letak kerusakan atau gangguan dan punya kapabilitas
bagaimana cara mendiagnosis gangguan serta apa yang harus dilakukan untuk
mengatasinya. Proses melakukan pemecahan masalah akan efektif dan efisiensi
dalam menganalisa gangguan (troubleshooting) jika didukung oleh adanya proses
mengingat kembali proses bagaimana menerapkan pengetahuan, pengalaman,
serta aturan-aturan yang pernah diperoleh. Menurut Shymansky (1983), ranah
kognitif dalam Bloom seperti analisis, sintesis dan evaluasi dan dikelompokkan
20
secara kolektif sebagai kemampuan paling tinggi dalam melakukan kemampuan
menganalisa masalah.
Beberapa langkah atau tahapan dalam proses pemecahan masalah supaya
tujuan dapat tercapai, diantaranya dengan mengubah bentuk situasi yang ada
kedalam situasi baru yang diinginkan dengan mengikuti aturan-aturan tertentu.
Proses kegiatan tersebut melibatkan struktur kognitif. Pemecahan masalah
menurut Ausubel, Novak, dan Hanesian (1978) menjelaskan bahwa jawaban-
jawaban dari masalah yang timbul akan melibatkan pengorganisasian kembali
pengetahuan-pengetahuan/pengalaman-pengalaman lalu yang sesuai dengan
masalah yang dipecahkan. Serangkaian pengetahuan dan pengalaman akan
memberikan makna pada suatu konsep yang dapat membantu dalam
mengklasifikasikan, menerapkan, menghubungkan, dan menganalisa masalah
yang akan dipecahkan. Dalam pemecahan suatu masalah adalah penemuan dalam
tingkat yang lebih tinggi (Gagne, 1997).
D. Standar Operasional Prosedur (SOP) Troubleshooting Sistem Penerangan
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah standar prosedur dalam
menganalisa gangguan (troubleshooting) pada sistem penerangan sesuai
aturan/standar dari industri atau bengkel resmi. Setiap pekerjaan perawatan,
perbaikan, dan troubleshooting pada semua bagian mobil memiliki SOP. Berikut
Standar Operasional Prosedur (SOP) troubleshooting sistem penerangan (Toyota
Astra, 1998):
Standar Operasional Prosedur (SOP) Troubleshooring Sistem Penerangan
Gangguan Kemungkinan Sebab Cara Mengatasi
Hanya satu
lampu
tidak menyala
(lampu luar)
Bola lampu putus,
soket, rangkaian kabel atau masa
rusak.
Ganti bola lampu
Perbaikan seperlunya
Lampu besar
Tidak menyala
Sekring ”HEAD” putus
Relay kontrol lampu besar rusak,
Swit kontrol lampu besar rusak,
Ganti sekring dan periksa
hubungan singkat.
Periksa relay
21
Rangkaian kabel atau masa rusak. Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu besar
jauh atau kilatan
lampu besar
tidak menyala
Swit kontrol lampu rusak,
Rangkaian kabel atau masa rusak.
Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu belakang
lampu parkir dan
lampu plat
nomor
tidak menyala
Sekring ”TAIL” putus,
Relay kontrol lampu kecil rusak,
Swit kontrol lampu rusak,
Rangkaian kabel atau masa rusak.
Ganti sekring dan periksa
hubungan singkat
Periksa relay
Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu rem tidak
Menyala
Sekring ”STOP” putus,
Swit lampu rem rusak,
Rangkaian kabel atau masa rusak.
Ganti sekering dan periksa
hubungan singkat
Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu rem tetap
Menyala
Swit lampu rem rusak Setel atau ganti swit
Lampu
instrumen
tidak menyala
(lampu belakang
menyala)
Rangkaian kabel atau masa rusak Perbaiki seperlunya
Salah satu arah
lampu tanda
belok
tidak berkedip
Swit lampu tanda belok rusak,
Rangkaian kabel atau masa putus
Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu tanda
belok
Tidak bekerja
Sekring ”ENGINE” putus,
Flasher rusak,
Swit lampu tanda belok rusak,
Rangkaian kabel atau masa rusak
Ganti sekering dan periksa
hubungan singkat
Periksa flasher
Periksa swit
Perbaiki seperlunya
Lampu
peringatan
darurat tidak
bekerja
Sekring ”HAZARD” putus,
Swit lampu peringatan darurat rusak,
Flasher rusak,
Rangkaian kabel atau masa rusak
Ganti sekring dan periksa
hubungan singkat
Periksa swit
Periksa flasher
Perbaiki sperlunya
22
Standar Operasional Prosedur (SOP) digunakan seoarang mekanik sebagai
acuan dalam menganalisa gangguan (troubleshooting) pada saat melakukan
perbaikan bagian-bagian mobil, termasuk sistem penerangan.
E. Media Pembelajaran Praktek Mobil Taining dan Mobil Real
Media pendidikan adalah segala alat dan bahan selain buku teks, yang
dapat dipakai untuk menyampaikan informasi dalam suatu situasi belajar-
mengajar (Wilkinson, 1984). Media mengajar segala macam bentuk perangsang
dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas
menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk
perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai
bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti
pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan komputer (Nana
Syaodih, 1997:108).
Rowntree (1974: 104-133) dalam Nana Syaodih (1997), mengelompokkan
media mengajar menjadi lima macam dan disebut modes, yaitu salah satunya
realita. Realia/realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orangan,
binatang, benda-benda, peristiwa, dan sebagainya yang diamati siswa. Dalam
interaksi insani siswa berkomunikasi dengan orang-orang, sedangkan dalam
realita orang-orang tersebut hanya menjadi objek pengamatan, objek studi siswa.
Media benda asli atau alat peraga langsung yang bentuk media
pembelajaran yang termasuk dalam kategori tiga dimensi adalah benda-benda asli,
atau wujud kenyataan kondisi yang sebenarnya, menurut Punaji dan Sihkabuden
(2005). Dari segi efektifitas pengajaran, penngunaan benda sebenarnya sebagai
media pembelajaran dapat memberikan urunan yang cukup berarti, terutama dari
perolehan pengalaman yang bersifat langsung dan kongkrit.
Dari beberapa uraian media mobil training adalah termasuk media
sebenarnya yang memiliki konstruksi dan bentuk yang sebenarnya. Dengan
bentuk dan konstruksi yang sebenarnya dapat memberikan perolehan pengalaman
belajar yang bersifat langsung dan kongkrit. Karena segala peristiwa yang
terungkap di dalam jalinan interaksi dengan media sebenarnya tersebut, cukuplah
untuk mendapatkan pengalaman laangsung, lengkap dan kesan yang mendalam
23
dari apa yang dipelajari, sehingga kompetensi troubleshooting sistem penerangan
harus dilakukan pada media mobil training untuk mendapatkan pengalaman yang
bersifat langsung dan kongkrit. Penggunaan media mobil training apabila
diperhatikan dari konstruksinya sudah mewakili dari mobil real, dengan demikian
pembelajaran traubleshooting sistem penerangan dapat dilakukan pada media
mobil training, karena akan lebih memudahkan siswa dalam memperoleh
pengalaman belajar yang kongkrit.
Efektifitas penggunaan media pembelajaran sangat tergantung pada derajat
kesesuainya dengan materi yang diajarkan. Disamping itu tergantung juga pada
keahlian guru dalam menggunakan media tersebut. Dalam hal ini Dick & Carey
(dalam Lamudji, 2005) menyatakan bahwa salah satu keputusan untuk
penyampian pesan-pesan pembelajaran.
Menurut Miarso (1984) media yang dirancang dengan baik dalam batas
tertentu dapat merangsang timbulnya ”dialog internal” dalam diri siswa yang
belajar. Dengan perkataan lain terjadi komunikasi antara siswa dengan media atau
secara tidak langsung antara siswa dengan sumber pesan atau guru. Media
berhasil membawakan pesan belajar bila kemudian terjadi perubahan kualitas
dalam diri siswa.
Proses pembelajaran merupakan aktifitas yang terdiri atas komponen-
komponen yang bersifat sistemis. Artinya komponen-komponen dalam proses
pembelajaran itu satu dengan yang lain selalu berkaitan secara fungsional dan
secara bersama-sama menentukan optimalisasi proses dan hasil pembelajaran.
Komponen-komponen pembelajaran tersebut menurut Mudhofir (1999), adalah
terdiri dari tujuan pembelajaran, kondisi awal, prosedur didaktik, pengelompokan
siswa, materi, media, dan penilaian.
Mutu pendidikan yang tinggi, baru dapat dicapai jika proses pembelajaran
yang diselenggarakan di kelas benar-benar efektif dan fungsional bagi pencapaian
kompetensi yang dimaksud. Oleh karena itu pencapaian mutu pendidikan
dilakukan melalui usaha memperbaiki proses pembelajaran dan ketepatan dalam
pemilihan media pembelajaran praktik.
Dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran agar benar-benar efektif
dan fungsional, maka fungsi media pembelajaran sangat penting. Pemakaian
24
media dalam proses pembelajaran dimaksudkan untuk mempertinggi daya cerna
siswa terhadap informasi atau materi pembelajaran yang diberikan, terutama pada
pembelajaran praktik yang membutuhkan pengalaman yang kongkrit dan sesuai
dengan pekerjaan-pekerjaan di DU/DI ataupun berwirausaha.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini hendak dikaji perbedaan kompetensi
troubleshooting sistem penerangan antara media trainner dan media real.
Penelitian ini akan dilakukan di SMKN 5 Surabaya pada kelas XI semester 3
untuk Program Keahlian Teknik Kendaraan Ringan..
Untuk mempermudah dapat digambarkan kerangka berfikir sebagai
berikut:
25
Prates KelompokEksperimen
Pembelajaran pada Media
Training/Real
UjiUnjuk Kerja
Troubleshooting
HasilUji Unjuk KerjaTroubleshooting
X1
HasilUji Unjuk KerjaTroubleshooting
X2
X1 : X2
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, karena itu perlu
mempertimbangkan penentuan subyek secara random kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Namun dalam penelitian pendidikan tidak dapat dilakukan
sebab siswa yang berada didalam satu kelas tidak mungkin dikenai perlakuan
yang berbeda. Maka dalam penelitian ini menggunakan disain penelitian ”quasi
experimental design” sebagai berikut:
Kelompok Pra-tes Perlakuan Pasca-tes K. Media Trainner O X. Media Trainner OK. Medil Real O X. Media Real O
Subyek penelitian dibagi atas kelompok media media trainner dan
kelompok media real. Dilakukan pra-tes dalam bentuk uji unjuk kerja untuk
kelompok meria tranner pada media trainner, sedangkan pra-tes pada kelompok
mmedia real juga dilakukuan pada media real. Setelah melakukan pra-tes pada
kelompok media real dan mobil trainner adalah memberikan perlakuan
pembelajaran kompetensi troubleshooting sistem penerangan dengan media
trainner pada kelompok media trainner, untuk kelompok media real
pembelajaran kompetensi troubleshooting pada media media real. Tahapan
berikutnya adalah melakukan uji unjuk kerja (pos-tes) troubleshooting sistem
penerangan dengan menggunakan media trainner pada kelompok media trainer
dan kelompok media real pada media real. Dari hasil uji unjuk kerja (pasca-tes)
tersebut mendapatkan nilai hasil uji unjuk kerja (pasca-tes) kompetensi
troubleshooting sistem penerangan, untuk menganalisa hasil tersebut
menggunakan analisis uji-t.
B. Subyek Penelitian
26
Prates KelompokKontrol
Pembelajaran pada Media
Real/Training
Populasi sekaligus sampel penelitian adalah siswa kelas XI pada semester
3 Program Keahlian Teknik Kendaraan Ringan di SMKN 5 Surabaya kelas XI T
TKR 3 yang berjumlah 32 siswa. Mengingat jumlah populasi sangat terbatas,
maka semua anggota populasi dijadikan subyek penelitian. Dengan demikian,
penelitian ini termasuk penelitian populasi.
C. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah:
(1) variabel bebas yaitu media pembelajaran mobil training dan mobil real;
(2) variabel terikat yaitu kompetensi troubleshooting; dan (3) variabel kontrol,
yang diduga ikut memberi pengaruh terhadap variabel terikat tetapi diupayakan
konstan, dan tidak ikut dianalisa. Variabel-variabel lain yang tidak dimanipulasi
tetapi diduga ikut mempengaruhi kesahihan internal eksperimen ini diusahakan
tetap (konstan).
Variabel kontrol yang teridentifikasi dalam kelompok ini adalah:
(a) kemampuan dasar kompetensi sistem penerangan dikontrol dengan
menggunakan pra-tes, sehingga dapat diketahui kemampuan dasar dari subyek
penelitian, (b) media trainner dan media real yang digunakan sama tipe dan
konstruksinya baik yang digunakan antara kelompok Media trainner dan
kelompok media real, dan (c) kondisi pelaksanaan perlakuan, pengajar yang
melaksanakan pembelajaran kompetensi troubleshooting, waktu perlakuan,
tempat perlakuan, dan keadaan kelas diperlakukan sama untuk tiap-tiap kelompok.
D. Instrumen Penelitian
1. Jenis Instrumen Penelitian
Jenis instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2000).
Berdasarkan variebel-variabel yang ada, maka instrumen yang digunakan sebagai
berikut:
a) Pra-tes; bentuk tes unjuk kerja kompetensi troubleshooting digunakan untuk
mengetahui kemampuan dasar sistem penerangan.
27
b) Tes unjuk kerja; digunakan mengukur kompetensi troubleshooting sistem
penerangan pada media trainner dan media real.
2. Penyusunan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian sebagai alat penggali data yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini. Instrumen penelitian ini sangat penting
untuk memperoleh informasi dengan tepat dan hasil yang relevan, maka
dikembangkan alat ukur yaitu; instrumen pra-tes kemampuan dasar sistem
penerangan dan instrumen uji unjuk kerja troubleshooting sistem penerangan pada
media trainner dan media real.
Proses penyusunan instrumen uji unjuk kerja untuk pra-tes dan pos-tes
tidak hanya mengacu pada kualitas kemampuan praktik siswa tetapi juga pada
pengetahuan dan sikap, namun dalam instrumen kompetensi troubleshooting
sistem penerangan indikatornya ditekankan pada: (1) kemampuan diagnosa
kerusakan meliputi a) kerusakan komponen, b) kerusakan wiring, c) sumber dan
letak kerusakan, (2) pemeriksaan (a) kemampuan mengukur, dan (b) memeriksa
komponen dan wiring. Tahapan berikutnya adalah: (1) pembuatan kisi-kisi, (2)
pembuatan butir-butir soal, dan (3) kreteria penilaian uji unjuk kerja
troubleshooting sistem penerangan.
3. Uji Coba Instrumen Penelitian
Tujuan uji coba instrumen penelitian adalah untuk mengetahui kesahihan
dan keterandalan penelitian. Pada tahap uji coba instrumen dari siswa SMKN 5
Surabaya dengan karakteristik sama dengan subyek penelitian karena
menggunakan kurikulum dan fasilitas yang digunakan sama.
a. Validitas Instrumen
Validitas instrumen dimaksudkan untuk mengetahui apakah instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur (Sugiyono,
2002). Suharsimi (1991) membagi 2 mengenai validitas yaitu, (1) validitas logis
yang meliputi validitas isi dan konstrak, (2) validitas empiris yang meliputi
validitas yang ada sekarang dan validitas prediksi. Uji validitas instrumen
penelitian ini dilakukan dengan validitas isi. Validitas isi suatu instrumen adalah
28
untuk mendapatkan penilaian butir-butir secara tepat menggambarkan indikator-
indikator variabel yang dimaksud.
Pengesahan kesahihan berdasarkan pertimbangan rasional dari ahli atau
expert judgment Furchan (dalam Azwar, 2001). kesahihan butir tes tulis motivasi
belajar dan tes unjuk kerja praktik sistem penerangan pada mobil sebenarnya
sebagai aspek kognitif ditentukan berdasarkan (a) indeks kesukaran butir, (b)
indeks daya beda, dan (c) indeks kesahihan butir. Setelah ditabulasikan maka
pengujian validitas dilakukan dengan rumus korelasi product moment.
b. Reliabilitas Instrumen
Instrumen harus teruji maka pengumpulan data memerlukan alat yang
reliabel. Gay (1981) menjelaskan bahwa instrumen memiliki reliabilitas sempurna
apabila nilai koefisiennya mendekati 1. Dengan kata lain, semakin tingi
koefisiennya reliabilitasnya maka semakin tinggi reliabilitas. Guna mengetahui
tingkat koefisien reliabilitas instrumen uji unjuk kerja kompetensi troubelshooting
sistem penerangan pada mobil training dan mobil real dihitung dengan
mengunakan rumus koefisien alpha dari Cronbach (Fernandes, 1984). Pengujian
reliabilitas dengan teknik Alfa Cronbach dilakukan untuk jenis data interval/essay.
Hal yang sama dilakukan juga terhadap reliabilitas instrumen uji unjuk
kerja kompetensi troubleshooting sistem penerangan menggunakan teknik
keterandalan antar penilai (inter rater reliabity), karena masing-masing penilai
memiliki unsur subyektifitas terhadap obyek yang dinilai. Formula yang
digunakan untuk menghitung keterandalan uji antar penilai ini adalah statistik
korelasi Ebel (Azwar, 1986).
c. Analisis Butir Instrumen
Tingkat kesukaran butir (P) dari tes unjuk kerja dapat dipandang dari
kesanggupan atau kemampuan siswa dalam menjawab terkait penentuan proporsi
dan kreteria soal yang termasuk mudah, sedang, dan sukar dicari dengan rumus
yang dikembangkan Gronlund (1976:258), Gay (1985:252), Hopkin dan Stanley
(1981:271) dan Subino (1987:96) dalam pengorganisasian isi pembelajaran tipe
prosedural (Mukhadis, 2003:72) sebagai berikut:
29
Keterangan:
P: tingkat kesulitan butir instrumen
R: jumlah sampel yang menjawab benar dari kelompok mobil training dan
kelompok mobil real
T: jumlah sampel kelompok mobil training dan kelompok mobil real
Kreteria tingkat kesukaran butir tes untuk tes unjuk kerja ditetapkan
berdasarkan acuan yang dibuat Arikunto (1986:200) sebagai berikut:
P ≤ 0,19 = sangat sukar
0,20 - 0,30 = sukar
0,31 - 0,70 = sedang
P > 0,70 = mudah
E. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan empat tahapan dan masing-masing
tahapan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda. Tahapan pertama
adalah melakukan dokumentasi nilai meliputi penilaian: (a) persiapan kerja,
(b) proses dan hasil kerja, dan (c) sikap kerja dan waktu penyelesaian untuk mata
diklat pemasangan, pengujian, dan perbaikan sistem penerangan dan wiring
dengan kode OPKR 50-007B, yang dilakukan pada media trainer kelistrikan.
Tahapan ke dua melakukan pra-tes yaitu tes uji unjuk kerja kompetensi
troubleshooting sistem penerangan pada media mobil training dan mobil real
untuk mengetahui kemampuan dasar dari subyek penelitian, sebelum subyek
penelitian diberi perlakuan dan pos-tes yaitu tes uji unjuk kerja kompetensi
troubleshooting sistem penerangan pada media mobil training dan mobil real.
Data yang diperoleh dari pra-tes dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan
strategi pembelajaran kompetensi troubleshooting sistem penerangan pada media
mobil training dan mobil real.
Tahapan ketiga adalah pemberian perlakuan pada kelompok eksperimen
dan kontrol dengan pembelajaran kompetensi troubleshooting sistem penerangan
30
pada media trainner dan media real sesuai dengan Standar Operasional Prosedur
(SOP), menggunakan metode teori dan praktik dengan 2 kali pertemuan masing-
masing 45 menit. Dan tahapan yang keempat adalah uji unjuk kerja
troubleshooting sistem penerangan pada mobil training dan mobil real pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan melakukan pengambilan nilai
dengan lembar penilaian meliputi: (a) persiapan kerja, (b) proses dan hasil kerja,
dan (c) sikap kerja dan waktu penyelesaian, sehingga mendapatkan data primer.
F. Teknik Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran penyebaran
data penelitian masing-masing variabel. Data mentah yang telah dikumpulkan
perlu diolah dan diringkas agar dapat dideskripsikan dan mudah dipahami.
Sehingga perlu adanya penyajian data dalam bentuk tabel biasa, tabel distribusi
frekuensi, grafik, diagram dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, pendeskripsian data tentang variabel-variabel
menggunakan norma absolut, yaitu norma yang ditetapkan secara mutlak oleh
pembuat instrumen masing-masing item serta prosentase pilihan yang disyaratkan
(Nurkancana dan Sumartana, 1996). Dengan demikian skor standar yang
diperoleh responden yang didasarkan atas konversi norma absolut akan
mencerminkan kategori variabel.
2. Analisis Data
Untuk menguji hipotesis, digunakan teknik analisis uji-t, dengan asumsi
distribusi variabel dalam populasi adalah normal, dan memiliki varian yang sama.
Sebab tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan, maka menggunakan
analisis uji-t, dengan taraf signifikansi = 0,05. Untuk memudahkan analisis data
dilakukan dengan program SPSS 12 for windows.
31