Post on 28-Nov-2015
Program Pemberantasan DHF oleh Puskesmas
Dwi Nurani Diningsih
102009069
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
do-dowhy@live.com
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat sampai saat
ini. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dangue
Hemorrhagic Fever (DHF). DHF di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya
dan di Jakarta pada tahun 1968 dan kemudian secara drastis meningkat dan menyebar ke
seluruh Indonesia. Penyakit ini juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit
demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,
sehingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum dapat diatasi
sepenuhnya oleh karena sulitnya memutuskan matarantai penularan serta belum
ditemukannya vaksin pencegahnya. Sekarang DHF telah menjadi penyakit epidemi di lebih
dari 100 negara. Tindakan Pencegahan DBD lebih efektif dilakukan melalui perubahan
perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.1
Tujuan
Berdasarkan latar belakang tersebut tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui upaya manajemen program puskesmas dalam melakukan
pemberantasan DHF melalui tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitative, serta
protektif.
2. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan, sikap, tindakan masyarakat tentang
pemberantasan penyakit DHF.
3. Untuk melatih masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat.
4. Untuk mengetahui status kejadian DHF disuatu wilayah.
II. PEMBAHASAN
Istilah yang tidak diketahui:
DHF (Demam Hemorrhagic Fever/Demam Berdarah Dengue): Merupakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau, DEN-4 (baca: virus
dengan tipe 1-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD
lainnya.2
CFR (Case Fatality Rate/Angka Kematian Kasus): Jumlah kematian penyakit X di
bagi dengan jumlah penderita penyakit X.3
Endemik: penyakit yang asli atau menyebar terbatas pada populasi, masyarakat atau
wilayah tertentu.4
Sporadik: terjadi satu demi satu; tersebar secara luas; bukan merupakan epidemic atau
endemic.5
Revitalisasi: sebuah proses, cara, atau perbuatan menghidupkan dan menggiatkan
kembali.
PENGERTIAN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang dalam istilah asing Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan terutama
menyerang anak- anak dengan ciri- ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi
perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ketinggian lebih dari 1000 meter diatas
permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit
Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit
Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anakanak tetapi dalam dekade terakhir ini
terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarab Dengue pada
orang dewasa. Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue.
Serangan wabah umumnya muncul sekali dalam 4 - 5 tahun. Faktor lingkungan memainkan
peranan bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan
barang-barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi penyakit
tersebut.
EPIDEMIOLOGI
Sebagai model epidemiologi penyebaran penyakit infeksi yang dibuat oleh Jhon Gordon,
penularan penyakit DHF juga dipengaruhi interaksi tiga faktor, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor penjamu (target penyakit, inang), dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular
penyakit DHF.
2. Faktor penyebar (vector) dan penyebab penyakit (agen), dalam hal ini adalah virus DEN
tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes
albopictus berperan sebagai vector penyebar penyakit DHF.
3. Faktor lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak penularan
pennyakit DHF.
Berbagai upaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit DHF dapat ditempuh dengan
cara memodifikasi faktor-faktor yang terlibat di dalamnya. Perbaikan kualitas kebersihan
(sanitasi) lingkungan, menekan jumlah populasi nyamuk Aedes Aegypti selaku vector
penyakit DHF, serta pencegahan penyakit dan pengobatan segera bagi penderita penyakit
DBD adalah beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan ini. Namun, yang
penting sekali diperhatikan adalah peningkatan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perubahan
prilaku masyarakat terhadap penyakit ini, akan sangan mendukung percepatan upaya
memutus mata rantai penularan penyakit DHF. Dan pada akhirnya, mampu menekan laju
penularan penyakit mematikan ini di masyarakat.
Gambar 1. TriEpidemiologi
Sumber publichealth.com
Faktor Pejamu (Target penyakit, Inang)
Meskipun penyakit DHF dapat menyerang segala usia, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak lebih rentan tertular penyakit yang berpotensi mematikan ini. Di daerah
endemic, mayoritas kasus penyakit DHF terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari 15
tahun.
Di Indonesia, penderita penyakit DHF terbanyak berusia 5-11 tahun. Secara keseluruhan,
tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita, tetapi angka kematian lebih banyak pada
anak perempuan dibanding laki-laki. Anak-anak cenderung lebih rentan dibandingkan
kelompok usia lain, salah satunya adalah faktor imunitas yang relative lebih rendah
dibandingkan orang dewasa. Selain itu, pada kasus-kasus berat, yakni DHF derajat 3 dan 4,
komplikasi terberat yang kerap muncul yaitu syok, relative lebih banyak dijumpai pada anak-
anak dan sering kali tidak tertangani dan berakhir dengan kematian penderita.
Faktor Agen
Virus
Karakteristik virus dengue merupakan anggota family Flaviviridae. Keempat tipe virus
dengue menunjukkan banyak persamaam karakteristik dengan flavivirus lain. Hal ini
memungkinkan terjadinya reksi-silang pada pemeriksaan serologis antara virus dengue dan
virus lain dari family flaviviridae. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan bagi dokter
dalam memilih jenis pemeriksaan uji lab, berdasarkan nilai sensitivitas maupun spesifitasnya.
Virus dengue memiliki kode genetic (genom) RNA rantai tunggal, yang dikelilingi oleh
selubung inti (nukleokapsid) ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid (lemak). Genom
flavivirus mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genim lengkap telah
dikenal untuk mengisolasi keempat tipe virus yang masing-masing mengode nukleokapsid
dan protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membrane (M), protein pembungkus (E),
dan tujuh gen protein nonstructural (NS).
Gambar 2. Flavivirus
Sumber www.stanford.edu
Virus dengue bersifat labil terhadap panas (termolabil). Sifat ini mesti diperhatikan ketika
hendak melakukan isolasi ataupun mengultur virus. Ada empat tipe virus penyebab DHF,
yaitu; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Masing-masing dari virus ini dapat dibedakan
melalui isolasi virus di lab. Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas
yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya
memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya.
Vektor
Morfologi nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh bewarna hitam kecoklatan.
Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4cm, dengan mengabaikan panjang
kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis putih keperakan. Dibagian
punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertical dibagian kiri dan kanan yang
menjadi cirri dari nyamuk spesies ini. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan
nyata dalam hal ukuran. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil daripada betina,
dan terdapat rambut-rambut tebal pada antenna nyamuk jantan. Kedua cirri ini dapat diamati
dengan mata telanjang.
Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk ini meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari
nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips
bewarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari
menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar.
Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah
mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman
(tidak aktif, tidur).
Gambar 3. Siklus hidup Aedes aegypti
Sumber medicastore.com
Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa.
Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan
hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung. Telur Aedes aegypti
tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa bertahan hingga satu bulan dalam keadaan
kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat
membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat
memengaruhi kondisi nyamuk deawa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang
melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
rakus dalam menghisap darah.
Pola Aktivitas Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan
penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah.
Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein, antara lain prostaglandin, yang
diperlukan untuk bertelur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh
sumber energy dan nectar bunga ataupun tumbuhan.
Nyamuk Aedes aegypti menyukai area yang gelap dan benda-benda bewarna hitam atau
merah. Penyakit DHF/DBD kerap menyerang anak-anak. Hal ini disebabkan karena anak-
anak cenderung duduk di dalam ruang kelas selama pagi hingga siang haari dan kaki mereka
yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.
Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah
pada peningkatan kompetensi vector, yaitu kemampuan untuk menyebarkan virus. Infeksi
virus dengue dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam menghisap darah, berkali-
kali menusukkan alat penusuk dan pengisap darahnya (prosboscis), tetapi tidak berhasil
menghisap darah, sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya,
resiko penularan penyakit DHF menjadi semakin besar.
Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan
penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah
akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak
diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-
kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan
kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuhnyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus
dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena
setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur
melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur
inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.
Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan perumahan,
tempat terdapat banyak penampungan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan yang
menjadi sarang berkembangbiaknya.
Selain itu, di dalam rumah juga banyak terdapat baju yang tergantung atau lipatan gorden, di
tempat-tempat inilah biasanya nyamuk Aedes aegypti betina dewasa bersembunyi.
Distribusi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropics yang banyak
ditemukan antara garis lintang 350U dan 350S. distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian,
biasanya tidak dapat dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000m, meski
pernah ditemukan pada ketinggian 2.121m di India dan 2.200m di Kolombia.
Nyamuk Aedes aegypti betina merupakan vector penyakit DHF yang paling efektif dan
utama. Hal ini karena sifatnya yang sangat senang tinggal berdekatan dengan manusia dan
lebih senang menghisap darah manusia, bukan darah hewan (antropofilik). Selain Aedes
aegypti, ada pula nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan Aedes scutellaris yang
dapat berperan sebagai vector DHF, tetapi kurang efektif.
Penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di daerah perkotaan lebih intensif dari pada
di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi didaerah
perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan sehingga
memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) menyebarkan
virus dengue dari satu orang keorang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk
Aedes aegypti biasanyatidak lebih dari 100 meter). Selain itu mobilitas penduduk dikota pada
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Jumlah Dati II yang terjangkit
penyakit Demam Berdarah Dengue dari tahun ke tahun meningkat. Dalam tahun 1992 hanya
ada 187 Dati II terjangkit, dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 211 Dati ll. Masih terus
meningkatnya jumlah Dati II yang terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue salah satu
penyebabnya karena masih kurangnya upaya penggerakkan masyarakat dalam
Pemberantasan Sarang nyamuk penular penyakit Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), di
berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya rata-rata Angka Bebas Jentik
(ABJ) Hasil Pemantauan Jentik Berkala (pm) di seluruh Propinsi dalam 6 tahun terakhir
(1991-1996) berkisar 78,6-83,69. Angka ini masih jauh lebih rendah dari 95% yaitu angka
yang diharapkan untuk dapat membatasi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue.
ABJ yang dicapai di beberapa daerah, sifatnya sangat dinamis, selalu berubah-ubah dari
waktu ke waktu tergantung dari upaya penggerakkan masyarakat dalam pemberantasan
sarang nyamuknya (PSN DBD). Hal ini tampak dari data lampiran 2, dimana ratarata ABJ
meningkat dari tahun 1991 s/d 1994, namun kemudian menurun kembali mulai tahun 1995
dan 1996.
Faktor Lingkungan
Nyamuk Aedes aegypti sangat suka tinggal dan berkembang biak di genangan air bersih yang
tidak berkontak langsung dengan tanah. Vector penyakit DHF ini diketahui banyak bertelur
di genangan air yang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan air, bak
mandi, ban bekas, dan sebagainya.
Jumlah penderita DHF umumnya meningkat pada awal musim hujan, yaitu antara September
hingga Februari, di mana banyak terdapat genangan air bersih di dalam sisa-sisa kaleng
bekas, ban bekas, maupun benda-benda lain yang mampu menampung sisa air hujan. Di
daerah urban penduduk padat, puncak penderita penyakit DHF adalah bulan Juni atau Juli,
bertepatan dengan awal musim kemarau.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk membersihkan lingkungan, mengubur sisa-sisa
barang bekas serta menutup tempat-tempat penampungan air bersih, menjadi salah satu upaya
efektif dalam menekan laju penularan penyakit DHF.
MANAJEMEN PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT DBD
Setiap puskesmas dengan penuh tanggung jawab harus melaksanakan pencatatan pelaporan
sesuai dengan system yang berlaku dengan bimbingan petugas tingkat kabupaten,
melaksanakan tindakan sesuai dengan arahan yang diberikan dalam alternative tindakan
berdasarkan hasil pemantauan. (Depkes RI, 1998).
Dalam penanggulangan DBD, menurut WHO, suatu panitia
pengorganisasian atau pengkoordinasian harus dibuat dan harus terdiri
atas administrator, ahli epidemiologi, praktisi, ahli entomologi, dan
pekerja dari laboratorium virus. Tanggung jawab dari panitia yang dibuat
ini biasanya ditetapkan surat keputusan menteri kesehatan. Panitia
tersebut harus:
Menyusun dan mendistribusikan protokol untuk diagnosis klinis dan
pengobatan DBD/DSS.
Menyiapkan dan menyebarkan DBD/DSS untuk petugas perawatan
kesehatan, masyarakat, dan media massa.
Merencanakan dan menerapkan program pelatihan untuk petugas
perawatan kesehatan dan pembantunya (misalnya staf rumah sakit,
peserta didik kedokteran, perawat, teknisi laboratorium).
Mengkaji kebutuhan terhadap cairan intravena, obat-obatan, produk
darah, peralatan perawatan intensif, materi penyuluhan dan
peralatan untuk memindahkan pasien.
Mengawasi penggunaan suplai dan hasil program perawatan klinis
(setiap hari bila perlu).
Mengkoordinasikan penelitian klinis tentang DBD/DSS selama
wabah.
Hasil dari penerapan tindakan diatas, maka suatu program
pemberantasan dan penanggulangan dapat dibuat untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh organisasi kesehatan yang berurusan langsung dengan
masyarakat, di Indonesia dikenal sebagai PUSKESMAS.
Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok (Depkes RI, 1991). Dengan kata lain puskesmas mempunyai
wewenang dan tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat
dalam wilayah kerjanya. Menurut Kepmenkes RI No.
128/Menkes/SK/II/2004 puskesmas merupakan Unit Pelayanan Teknis
Dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Manajemen puskesmas dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian
kegiatan yang bekerja secara senergik, sehingga menghasilkan keluaran
yang efisien dan efektif. Manajemen puskesmas tersebut terdiri dari
perencanaan (untuk mencapai tujuan dan sasaran), pelaksanaan,
pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh
kegiatan diatas merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan
berkesinambungan (Depkes RI, 2006).
Bentuk manajemen program oleh PUSKESMAS dalam menanggulangi
Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:
1. Tujuan :
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD.
b. Mencegah dan menanggulangi KLB.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam
pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
2. Sasaran :
Sasaran nasional (2000)
a. Morbiditas di kecamatan endemik DBD < 2 per 10.000
penduduk.
b. CFR <2,5%
3. Pelaksanaan :
Menjalankan delapan pokok program yaitu :
Surveilans epidemiologi
Pemberantasan vektor dan penanggulangan Kejadian Luar
Biasa
Tatalaksana klinis
Penyuluhan
Kemitraan
Peran serta masyarakat
Pelatihan
Penelitian dan pengembangan
4. Monitoring dan evaluasi :
a. Indikator pemerataan
Penyelidikan epidemiologis (PE) =
jumlah penderitadengan PEjumlah penderita yang dilaporkan
Fogging focus =
jumlah foggingjumlah penderita
×100 %
b. Indikator efektivitas perlindungan
cakupanrumah dengan FF / AS/ PSNjumlahrumah yang seharusnya tercakupdalamFF / AS /PSN
×100 %
c. Indikator efisiensi program
Angka kepadatan jentik (HI) =
jumlahrumah yang positif terdapat jentikjumlahrumah yangdiperiksa
×100 %
Angka kesakitan DBD =
jumlah kesakitan DBDjumlah penduduk
× 100 %
Angka kematian DBD =
jumlah kematian DBDjumlah penderita
×100 %
PROMOTIF
Promosi kesehatan penyakit DBD tidak sekedar membuat leaflet atau poster saja melainkan
suatu komunikasi perubahan Perilaku dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui pesan
pokok “3M PLUS”, merupakan suatu kegiatan yang terencana sejak dari tahap analisa situasi,
perencanaan kegiatan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Saat ini kegiatan diintensifkan
menjadi sub program Peran Serta Masyarakat dalam PSN dan telah diterbitkan buku
panduan untuk ini. Diharapkan setiap wilayah memilih daerah uji coba untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam PSN DBD. Contoh salah satu kota yang telah berhasil dalam
penggerakkan peran serta masyarakat bekerja sama dengan PKK dan LSM Rotary adalah
Purwokerto. Pelaksana kegiatan tidak hanya sektor kesehatan tapi melibatkan semua pihak
yang terkait anak sekolah, pramuka Saka Bhakti Husada, mahasiswa, kader-kader, tokoh
masyarakat, petugas sektoral, pemilik bangunan/ pertokoan dll.
Penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk PSN (pemberantasan sarang nyamuk).
Penyuluhan/informasi tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui jalur-
jalur informasi yang ada:
1. Penyuluhan kelompok: PKK, organisasi sosial masyarakat lain, kelompok agama, guru,
murid sekolah, pengelola tempat umum/instansi, dll.
2. Penyuluhan perorangan:
(1) Kepada ibu-ibu pengunjung Posyandu
(2) Kepada penderita/keluarganya di Puskesmas
(3) Kunjungan rumah oleh Kader/petugas Puskesmas
3. Penyuluhan melalui media massa: TV, radio, dll (oleh Dinas Kesehatan Tk. II, I dan pusat).
Menggerakkan masyarakat untuk PSN penting terutama sebelum musim penularan (musim
hujan) yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala Wilayah setempat. Kegiatan PSN
oleh masyarakat ini seyogyanya diintegrasikan ke dalam kegiatan di wilayah dalam rangka
program Kebersihan dan Keindahan Kota. Di tingkat Puskesmas, usaha/kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) demam berdarah ini seyogyanya diintegrasikan dalam
program Sanitasi Lingkungan.
Cara MelakukanPenyuluhan Kelompok
a. Penyuluhan kelompok dapat dilaksanakan di kelompok Dasawisma, pertemuan arisan
atau pada pertemuan Warga RT/RW, pertemuan dalam kegiatan keagamaan atau
pengajian, dan sebagainya.
b. Langkah-langkah dalam melakukan penyuluhan kelompok:
- Usahakan agar setiap peserta pertemuan dapat duduk dalam posisi saling bertatap
muka satu sama lain. Misalnya berbentuk huruf U, O atau setengah lingkaran.
- Mulailah dengan memperkenakan diri dan perkenalan semua peserta
- Kemudian disampaikan pentingnya membicarakan demam berdarah dengue, antara
lain bahayanya, dapat menyerang sewaktu-waktu pada semua umur terutama anak-
anak.
- Jelaskan materi yang telah disiapkan sebelumnya secara singkat dengan
menggunakan gambar-gambar atau alat peraga misalnya lembar balik (flipchart)
atau leaflet/poster
- Setelah itu beri kesempatan kepada peserta untuk berbicara atau mengajukan
pertanyaan tentang materi yang dibahas
Gambar 4. Pamflet penyuluhan DBD
Sumber pedulidbd.com
Pada akhir penyuluhan, ajukan beberapa pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana materi
yang disampaikan telah dipahami.
Pelaporan penderita dan pelaporan kegiatan
a) Sesuai dengan ketentuan/sistim pelaporan yang berlaku, pelaporan penderita
demam berdarah dengue menggunakan formulir :
(1) W1/laporan KLB (wabah)
(2) W2/laporan mingguan wabah
(3) SP2TP: LB 1/laporan bulanan data kesakitan, LB 2/laporan bulanan data kematian.
Sedangkan untuk pelaporan kegiatan menggunakan formulir LB3/laporan bulanan
kegiatan Puskesmas (SP2TP).
b) Penderita demam berdarah/suspect demam berdarah perlu diambil specimen darahnya
(akut dan konvalesens) untuk pemeriksaan serologis. Specimen dikirim bersama-sama ke
Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) melalui Dinas Kesehatan Dati II setempat.
Informasi Penanggulangan Demam Berdarah
Mengingat demam berdarah merupakan penyakit yang tergolong baru dan berbahaya maka
menjadi salah satu masalah kesehatan yang harus ditangani di Indonesia. Apalagi hal itu
dihubungkan dengan adanya kenyataan, sampai dewasa ini belum diketemukan vaksin untuk
mengatasi virus demam berdarah. Thomas Suroso dalam Sumarno et al mengatakan bahwa
penyakit ini mengakibatkan banyak kematian terutama pada anak-anak, selain
penyebarannyapun luas.
Untuk itu, berbagai usaha dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini. Salah satu upaya
yang dilakukan ialah dengan memberikan informasi penanggulangan demam berdarah
kepada masyarakat luas. Sebagai perbandingan misalnya, di Singapura telah dilaksanakan
suatu sistem tepadu untuk menanggulangi demam berdarah. Hal ini, dilakukan dengan
melaksanakan sistem terpadu penyuluhan, peraturan pemerintah dan pengamatan dalam
kontrol spesies aides (Sudarmo, 1980 : 60).
Penanggulangan demam berdarah ini harus dilakukan oleh semua lapisan masyarakat secara
terpadu. Karena itu secara umum informasi penanggulangan demam berdarah ialah informasi
yang berhubungan dengan gejala dan tanda penyakit, ciri nyamuk pembawa virus, cara
pemberantasan nyamuk, upaya pencegahan panyakit, pertolongan dini serta tindakan
penanggulangan terhadap penderita demam berdarah.
Selain itu, masyarakat perlu tahu bagaimana tanda-tanda dan gejala kasus demam berdarah
antara lain : demam tinggi, perdarahan (terutama perdarahan kulit), hepatomegali dan
kegagalan peredaran darah (Sudarmo, 1988 :35). Hal ini harus diketahui sejak awal, terutama
sejak anak demam tinggi, nyeri kepala dan berbagai bagian tubuh, rasa menggigil, anoreksi
dan malaise. Jika tanda-tanda tersebut ada, anak harus segera dibawa ke rumah sakit untuk
memperoleh pengobatan dan perawatan.
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Pemberantasan penyakit demam berdarah seperti juga pada penyakit menular lainnya
didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Komponen penularan penyakit demam berdarah
terdiri dari virus didalam darah penderita saat viremia, vektor penyakit yaitu larva dan
nyamuk Aedes aegypti, dan manusia. Sebagaimana prinsip pemberantasan penyakit menular
menurut Suroso (1968), ada lima tempat pemutusan rantai penularan dan cara
pemberantasan/penanggulangan penyakit demam berdarah, yaitu :
1. Memberantas virus dengan cara mengobati penderita dengan obat anti virus pada saat
viremia. Cara ini tidak dapat dilaksanakan oleh karena obat virus yang efektif dan
murah belum ada, dan jika telah ada sulit dilakukan karena pada saat viremia terjadi
penderita belumn mengalami gangguan klinis yang berarti, seprti demam atau gejala
ringan lainnya.
2. Mengisolasi penderita agar tidak digigit nyamuk dan menjadi penular penyakit kepada
orang sehat. Cara ini juga sulit dan tidak mungkin dilakukan karena tidak mudah
untuk mengisolasi penderita yang tidak jelas terasa sakitnya sedangkan viremia sudah
ada sebelum penderita mengalami gangguan klinis yang berarti.
3. Mencegah gigitan nyamuk sebagai perlindungan terhadap orang sehat. Cara
pencegahan ini walaupun mudah dilakukan tetapi belum dapat dijalankan karena
dianggap kurang praktis. Dengan cara ini hanya sebagian kecil saja masalah yang
dapat dikurangi.
4. Mengadakan imujnisasi sebagai pencegahan bagi orang sehat. Cara ini masih belum
dapat diharapkan akan terlaksana dalam waktu yang dekat ini, karena penggunaan
vaksin untuk pencegahan penyakit demam berdarah masih dalam penelitian,
sedangkan kasus yang ditemui makin meningkat terus.
5. Memberantas/membasmi vektor agar penularan virus kepada orang lain dapat
dicegah.
Cara inilah yang masih mungkin dan masih mudah dijalankan mengingat tempat perindukan
yang terbatas disekitar rumah dan jarak terbangnya yang relatif pendek yaitu sekita 100
merter. Karena hal-hal tadi maka pemberantasan terhadap Aedes aegypti sebagai vektor
lebih diutamakan, baru kemudian ditujukan pada penanggulangan penderita.
Metode pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah yang telah dilakukan di
Indonesia antara lain adalah :
1. Upaya pengurangan habitat jentik dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pemberantasan nyamuk dewasa dengan menggunakan insektisida yang antara lain
dengan menggunakan malation.
3. Pemberantasan jentik dengan menggunakan larvasida di tempat-tempat perindukan
dengan pemberian temefos 1% (Suroso, 1984).
Penyakit DBD belum dapat dicegah dengan imunisasi. Satu-satunya cara mencegah demam
berdarah hanya dengan membasmi nyamuk kebun, nyamuk pembawa virus demam berdarah,
karena membunuh virusnya kita belum bisa.
a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan/
pengabutan = fogging) dengan insektisida. Insektisida yang dapat digunakan antara lain
insektisida golongan:
1. Organophospate, misalnya: malathion
2. Pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, cypermetrin, alfamethrin
3. Carbamat
Alat yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin fogging atau mesin ULV dan
penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu. Untuk membatasi
penularan virus dengue penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada
penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk
infektif) dan naymuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-
nyamuk baru diantaranya akan mengisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat
menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan
siklus kedua. Penyemprotan yang kedua dilakukan satu minggu sesudah penyemprotan yang
pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan
pada orang lain (Depkes RI, 2005: 13).
b. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah (PSN DBD).
1. Fisik
Menurut Erik Tapan (2004: 92), untuk mencegah dan membatasi penyebaran penyakit
Demam Berdarah, setiap keluarga perlu melakukan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
(PSN-DBD) dengan cara “3M” yaitu:
1. Menguras dengan menyikat dinding tempat penampungan air (tempayan,drum, bak
mandi, dan lain-lain) atau menaburkan bubuk abate/altosid bila tempat-tempat
tersebut tidak bisa dikuras
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapatmasuk dan
berkembang biak di dalamnya
3. Mengubur/membuang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan
misalnya ban bekas, kaleng bekas, tempat minuman mineral dan lain-lain.
Gerakan 3 M Plus adalah kegiatan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat untuk
memutuskan rantai kehidupan (daur hidup) nyamuk Aedes aegypti penular penyakit. Daur
hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari telur, jentik, kepompong hidup dalam air yang tidak
beralaskan tanah dan akan mati bilaairnya dibuang. Agar telur, jentik dan kepompong
tersebut tidak menjadi naymuk,maka perlu dilakukan 3M Plus” secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali dengan gerakan “3M Plus”. Yang dimaksud Plus yaitu:
Mengganti air vas bunga,tempat minum burung, atau tempat tempat lainnyasejenis
seminggu sekali
Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
Menutup lubang lubang pada potongan bambu / pohon dan lain lain (dengantana san
lain lain)
Menaburkan bubuk larvasida , misalnya ditempat tempat yang sulit dikurasatau
didaerah yang sulit air
Memelihara ikan pemakan jentik di kolam / bak bak penampungan air
Memasang kawat kasa
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
Menggunakan kelambu
Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
2. Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik
(larvasida) ini antara lain dikenal istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara
lain adalah bubuk abate (temephos). Formulasi temephos yangdigunakan adalah granules
(sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10gram (± 1 sendok makan rata) untuk
setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu
dapat pula digunakan golongan insect growth regulator. Teknik penggunaan temefos:
a. aplikasi I dilakukan 2 bulan sebelum musim penularan di suatu daerah atau
pada daerah yang belum pernah terjangkit DBD.
b. aplikasi II dilakukan 2-21/2 bulan berikutnya (pada masa penularan/populasi
Aedes yang tertinggi)
c. aplikasi III dapat dilakukan 2-21/2 bulan setelah aplikasi II.
Menggunakan Altosid 1,3 G (bahan aktif: Metopren 1,3%) – Takaran penggunaan Altosid
1,3 G adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan 2,5 gram bubuk Altosid 1,3 G
atau 5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran khusus yang sudah tersedia dalam setiap
kantong Altosid 1,3 G. Bila tidak ada - alat penakar, gunakan sendok teh, satu sendok teh
peres (yang diratakan atasnya) berisi 5 gram Altosid 1,3 G. Selanjutnya tinggal membagikan
atau menambahkannya sesuai dengan banyaknya air. Takaran tidak perlu tepat betul.
Menggunakan Sumilarv 0,5 G (DBD) (bahan aktif:piriproksifen 0,5%) – Takaran
penggunaan Sumilarv 0,5 G (DBD) adalah sebagai berikut: Untuk 100 liter air cukup dengan
0,25 gram bubuk Sumilarv 0,5 G (DBD) atau 0.5 gram untuk 200 liter air. Gunakan takaran
khusus yang tersedia (sendok kecil ukuran kurang lebih 0,5 gram). Takaran tidak perlu tepat
betul.
3. Biologi
Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi,ikan cupang/tempalo
dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringensisvar, Israeliensis (Bti) (Depkes RI,
2005: 14).
TINDAKAN KURATIF
WHO 1989 membagi DBD memjadi 4 derajat. Derajat 1, terdapat demam dan uji tourniqet
positif. Derajat 2, demam diiringi dengan perdarahan spontan. Derajat 3, kondisi pasien
seperti pada DBD derajat 2 disertai hepatomegali, syok, tekanan nadi < 20 mmHg, hipotensi,
ekstremitas dingin dan gelisah. Dan derajat 4, kondisi paling parah karena terjadi renjatan
hebat yang terlihat dari nadi yang tak teraba dan tensi yang tak terukur.
Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:
1. Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
2. Manifestasi perdaraham dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari
petekie (+) sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah
darah, atau berak darah-hitam.
3. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal :150.000-300.000
µL), hematokrit meningkat (normal: pria < 45, wanita < 40).
4. Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).
Tanda yang khas pada demam berdarah adalah adanya petekie (manifestasi perdarahan
subcutan dalam bentuk bercak merah di kulit). Namun seringkali petekie dan perdarahan
lainnya baru muncul jika trombosit pada level < 18.000. Jika belum ada tanda-tanda
perdarahan, sebaiknya segera periksa rumpel leede. Rumpel leede positif menunjukkan
adanya gangguan pada tingkat vaskular dan trombosit. Artinya kerusakan endotel pembuluh
darah karena infeksi dengue telah terjadi. Pada dasarnya jumlah trombosit pada pasien
demam berdarah normal, namun karena trombosit ditempeli dengan kompleks imun,
sehingga trombosit tersebut tidak dapat berfungsi dengan normal. Jika diperiksa PCV, ada
dua kemungkinan. Jika PCV naik diiringi dengan peningkatan kadar Hb/Hct yang terjadi
adalah perpindahan plasma saja. Namun bisa saja terjadi PCV turun yang menunjukkan
adanya perdarahan spontan yang masif. Inilah yang membedakan terapi infus yang akan
diberikan.
Pada DBD tanpa syok (grade 1dan 2), terapi cukup dengan pengobatan simtomatis dan
antipiretik parasetamol (jangan aspirin). Jika terjadi ensepalopati diberikan antibiotik dan
kortikosteroid, kecuali jika ada perdarahan saluran cerna. Cairan intravena diberikan bila
penderita muntah, tidak mau minum, demam tinggi dan dehidrasi.
Sementara, DBD dengan komplikasi DSS (derajat 3 dan 4), penggantian volume plasma yang
hilang harus segera dilakukan. Pertama, dengan memberikan cairan kristalloid (ringer laktat)
15 ml/kg BB/jam. Jika terdapat gangguan hati, sebaiknya diberikan cairan ringer asetat.
Karena dengan ringer laktat, hepar akan bekerja lebih keras untuk mengubah laktat menjadi
bikarbonat. Setelah 15 menit, kemudian dievaluasi. Jika tensi tidak meningkat, dosis
ditingkatkan menjadi 20 ml/kg BB/jam. Dalam waktu 20 menit, apabila syok belum teratasi,
ringer laktat tetap diberikan dengan ditambah koloid (albumin dan hydroethylstarch/koloid
sintetis) 20-30 ml/kg BB/jam, maksimal 1500 m/hari.
Mengapa penting untuk memberi cairan koloid? Karena setelah 24 jam, cairan koloid yang
tersisa di rongga pembuluh darah masih sekitar 40% dari seluruh jumlah pemberian.
Sedangkan cairan kristalloid hanya menyisakan 25%-nya saja. Cairan koloid bermolekul
besar sehingga lebih sedikit yang mengalami ekstravasasi karena peningkatan permeabilitas
vaskular, sehingga mampu menahan jumlah volume cairan intravaskular. Koloid dan
kristalloid berbeda dalam hal jumlah molekul. Kristalloid memiliki berat molekul sekitar 8
Kda (Kilo Dalton). Pemberian koloid pun harus tepat. Koloid dengan BM yang terlalu tinggi
(>800 KDa) tentunya akan memberikan efek hipertonis dalam cairan darah. Konsentrasi salah
satu jenis koloid, Dekstran (550 Kda) juga masih terlalu tinggi untuk infus pasien DBD. Yang
ideal adalah cairan yang isotonis dan isoosmotik dengan cairan tubuh, yakni konsentrasi
sekitar 100-300 KDa. Perlu hati-hati pula dengan pemberian koloid yang terlalu banyak.
Karena bisa menyebabkan volume vaskular overload sehingga beban jantung meningkat yang
berakibat decompensatio cordis (payah jantung).
Setelah 24 jam pasca syok cairan tetap diberikan sebanyak 10 ml/kg bb. Bila tanda vital baik,
volume cairan dapat diturunkan menjadi 7 ml/kg bb, selanjutnya 5 ml, dan 3 ml. Jumlah urine
> dari 2 ml kg bb/ jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi telah membaik. Jika syok belum
teratasi juga, oksigen layak untuk diberikan. Analisis gas darah diperlukan untuk koreksi
kedaan asidosis metabolik dan elektrolit. Bila terdapat gangguan koagulopati (Disseminated
Intravascular Coagulation) perlu diberikan terapi plasma segar beku dan suspensi trombosit
untuk mencegah perdarahan lebih hebat lagi.
Setelah hemodinanik stabil, pasien diterapi rumatan (maintenance) dengan infus kristalloid
dosis rumatan (3 ml/kg/jam). Setelah itu lanjutkan dengan dekstrosa agar tidak terjadi ketosis.
Pemberian nutrisi anti radikal bebas yang biasa kita sebut antioksidan dirasa sangat perlu.
Bisa terdiri dari makanan yang mengandung vitamin C, vitamin E, β-Karoten dan Selenium.
Penderita penyakit DBD yang baru sembuh, memerlukan langkah rehabilitatif berupa
pemulihan kondisi fisik melalui makanan bergizi, vitamin dan istirahat cukup untuk mencapai
kembali kebugaran jasmani.
TINDAKAN PROTEKTIF
Penyakit DBD sampai saat ini belum ada obat dan vaksinnya, untuk itu yang bisa dilakukan
adalah melakukan tindakan protektif dengan mencegah dan membatasi penyebarap penyakit
DBD melalui upaya memutuskan rantai penularan. Tindakan protektif dipengaruhi oleh
prilaku dan kebiasaan masyarakat.
1. Prilaku Masyarakat
Adalah reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Atau dapat pula
diartikan suatu tindakan yang dilatarbelajangi oleh pengetahuan, sikap dan praktek.
a. Pengetahuan
Merupakan hasil daru tahu, kemudian meningkat menjadi memahami, mengaplikasi,
menganalisis, dan mensistesis serta mengevaluasi dari obyek yang diterima oleh panca
indera. Indicator untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan
dapat dikelompokkan menjadi:
pengetahuan tentang sakit (penyebab, gejala, cara pengobatan, cara penularan,
cara pencegahan DBD)
pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan
pengetahuan tentang kesehatan lingkungan (cara pembuangan sampah yang
sehat)
Salah satu pengetahuan adalah tentang penanaman tanaman antinyamuk seperti cayuputih,
sereh,jahe, lengkuas, kemangi, kencur, jeruk purut, lavender. Pengetahuan mengenai
pemeliharaan ikan cupang, cere kepala timah dapat pula dilakukan untuk pemberantasan
biologic.
b. Sikap
Merupakan penilaian dari reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau obyek. Indicator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan
kesadaran seperti diatas:
sikap tentang sakit (penyebab, gejala, cara pengobatan, cara penularan, cara
pencegahan DBD)
sikap tentang cara pemeliharaan kesehatan
sikap tentang kesehatan lingkungan (cara pembuangan sampah yang sehat)
c. Praktik./Tindakan
Merupakan proses lanjutan yang diharapkan akan melaksanakan atau mempraktikan apa yang
diketahui atau disikapi. Indikato praktik kesehatan ini mencakup:
praktik/tindakan sehubungan dengan penyakit mencakup pencegahan dan
pengobatan penyakit DBD
praktik/tindakan sehubungan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
mencakup mengkonsumsi makanan dan gizi seimbang
praktik/ tindakan sehubungan kesehatan lingkungan mencakup pembuangan
sampah pada tempatnya.
2. Kebiasaan Masyarakat
Berhubungan dengan penyakit DBD adalah kebiasaan tidur siang san menggantung baju. Hal
ini berhubungan dengan kebiasaan menggigit vector penyakit DBD yang aktif pada pagi dan
siang hari serta kesenangan vector untuk beristirahat dan bersarang didalam rumah pada
baju/barang yang tergantung. Untuk mengubah kebiasaan masyarakat mungkin kesulitan
tetapi yang bisa dilakukan adalah memberi pemahaman tindakan protektif seperti memakai
obat nyamuk bakar/elektrik/spray/repellen atau memakai kelambu saat tidur siang serta
melipat baju yang bergantungan.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau
kekuatan (strength) kepada masyarakat, peningkatan kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengendalikan kelembagaan masyarakat
secara bertanggung gugat demi perbaikan kehidupannya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa peran serta masyarakat sangat penting dalam
menanggulangi DBD. Salah satu bentuk langsung peran serta masyarakat adalah kegiatan
Pemantauan Jentik Berkala (PJB) yang dilakukan oleh masyarakat melalui Juru Pemantau
jentik (Jumantik). Kegiatan Jumantik sangat perlu dilakukan untuk mendorong masyarakat
agar dapat secara mandiri dan sadar untuk selalu peduli dan membersihkan sarang nyamuk
dan membasmi jentik nyamuk Aedes Aegypti. Tujuan Umum rekrutmen Jumantik adalah
menurunkan kepadatan (populasi) nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes Aegypti)
dan jentiknya dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), melalui penyuluhan yang dilakukan secara
terus menerus. Tugas pokok seorang Jumantik adalah melakukan pemantauan jentik,
penyuluhan kesehatan, menggerakkan pemberantasan sarang nyamuk secara serentak dan
periodik serta melaporkan hasil kegiatan tersebut kepada Supervisor dan Petugas Puskesmas
sehingga akan dapat dihasilkan sistem pemantauan jentik berkala yang berjalan dengan baik.
Untuk itu peran Jumantik akan dapat maksimal apabila masyarakat dapat membantu
kelangsungan kegiatan dengan kesadaran untuk memberikan kesempatan kepada Jumantik
memantau jentik dan sarang nyamuk di rumahnya.
Jumantik adalah petugas yang berasal dari masyarakat setempat atau petugas yang ditunjuk
oleh unit kerja (pemerintah atau swasta) yang secara sukarela mau bertanggung jawab
melakukan pemantauan jentik secara rutim, maksimal seminggu sekali di wilayah kerja serta
melaporkan hasil kegiatan secara berkesinambungan ke kelurahan setempat. Jumantik tidak
hanya terdiri dari petugas pusat kesehatan masyarakat tetapi juga dari masyarakat sekitar dan
anak-anak sekolah. Memantau jentik tidaklah terlalu sulit jika kita sudah mengenal cirri-ciri
jentik nyamuk Aedes aegypti. Jentik nyamuk ini memiliki cirri yang khas yaitu selalu
bergerak aktif di dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air
untuk bernafas, kemudian turun kembali ke bawah untuk mencari makanan dan seterusnya.
Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada
disekitar dinding tempat penampungan air. Setelah 6-8 hari jentik itu akan
berkembang/berubah menjadi kepompong. Bentuk kepompong adalah seperti koma,
gerakannya lamban dan sering berada di permukaan air. Setelah 1-2 hari akan menjadi
nyamuk baru.
Pemeriksaan jentik dilakukan dengan memeriksa tempat penampungan air di sekitar rumah.
Jika tidak ditemukan jentik di permukaan, tunggu selama kurang lebih 1 menit karena untuk
bernafas jentik akan muncul ke permukaan. ocokkan ciri jentik dengan ciri-ciri jentik aedes
aegypti. Jika sudah dipastikan jentik tersebut adalah jentik aedes aegypti, maka dilakukan
abatisasi dan pencatatan.
Abatisasi yaitu memberikan abate pada tempat penampungan air di mana jentik ditemukan
untuk membunuh jentik yang ada. Sedangkan pencatatan yang dilakukan meliputi tanggal
pemeriksaan, kelurahan tempat dilakukan pemantauan jentik, nama dan alamat keluarga,
jumlah semua penampungan air yang diperiksa, serta jumlah container yang di temukan
jentik. Data tersebut akan digunakan untuk menghitung angka bebas jentik. Hasil pencatatan
ini dilaporkan ke Puskesmas setempat dan kemudian diserahkan ke Dinas Kesehatan.
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Merupakan salah satu indicator keberhasilan program pemberantasan vector penularDBD.
Angka Bubas Jentik kubagai tolak ukur upaya pemberantasan vector melalui gerakanPSN-
3M menunjukan tingkat partisipaki masyarakat dalam mencegah DBD. Apabila angka bebas
jentik suatu daerah rendah, maka kemungkinan penduduk daerah tersebut untuk terkena
demam berdarah adalah lebih besar dibanding daerah lain yang angka bebas jentiknya lebih
besar. ABJ yang diharapkan adalah >95%. Cara menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ):
ABJ= Jumlah bangunan diperiksa tidak ada jentikJumlah seluru h bangunan yangdiperiksa
×100 %
KEJADIAN LUAR BIASA DHF DI INDONESIA
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah kondisi yang ditandai dengan meningkatnya kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis di suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus untuk terjadinya wabah. Sementara,
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu
dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan,
mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah
wabah.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah menyebar luas ke seluruh wilayah propinsi.
Penyakit ini sering muncul sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian relatif tinggi.
Angka insiden DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya pola
epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun kurun waktu lima belas tahun terakhir
mengalami perubahan dengan periode 2-5 tahunan sedangkan angka kematian cenderung
menurun.
Pada tahun 2004 terjadi KLB DBD di Indonesia. Pemerintah melalui Departemen Kesehatan
dalam press release tanggal 16 Februari 2004, menetapkan bahwa telah terjadi KLB di
Indonesia dan ditetapkan 12 propinsi sebagai propinsi KLB, sementara itu Kalimantan
Tengah dan 8 delapan propinsi lainnya ditetapkan sebagai propinsi dengan peningkatan
kasus.
Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi.
Demikian juga dengan jumlah provinsi dan kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari
tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan 2004 jumlah kab/kota
melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104 kab/kota dan 75 kab/kota. Pada tahun
tersebut juga dilaporkan jumlah kasus DBD mengalami peningkatan. Tahun 1998 kasus KLB
menyumbang 58% (41.843/72.133) dari total laporan kasus DBD, sedangkan tahun 2004
kasus KLB hanya menyumbang 9,5% (7.588/79.462) dari kasus DBD. Setelah tahun 2004 AI
dan kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota
yang melaporkan KLB terus menurun. Hal ini apakah karena adanya keengganan melaporkan
terjadinya KLB DBD oleh pemerintah daerah atau karena lemahnya sistem pelaporan KLB,
untuk mengetahuinya perlu diteliti lebih lanjut.
Gambar 5. Grafik kejadian KLB DBD
Sumber www.depkes.go.id
Untuk menentukan KLB, kita harus mengetahui terlebih dahulu mengenai klasifikasi daerah
(kelurahan) endemis DBD :
- Desa rawan I (endemis) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD
- Desa rawan II (sporadic) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD
- Desa rawan III (potensial) yaitu dalam 3 tahun tidak ada kasus, tetapi berpenduduk
padat, transportasi rawan, dan ditemukan jentik >5%
- Desa bebas yaitu desa yang tidak pernah ada kasus
Untuk diingat, kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa), sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.1501/Menkes/Per/X/2010, disebutkan bahwa
timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah. Jumlah
kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan, kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan dengan
angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.
Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue:
1. Timbulnya penyakit demam berdarah dengue yang sebelumnya tidak ada di suatu
daerah tingkat II
2. Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD dua kali atau lebih dibandingkan jumlah
kesakitan yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya.
Dalam keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/MENKES/SK/VIII/202 tentang Indikator
Indonesia Sehat 2010 dirumuskan indikator KLB DBD yaitu:
“Angka kesakitan (morbiditas) DBD adalah jumlah kasus DBD di suatu wilayah tertentu
selama satu tahun dibagi jumlah penduduk di wilayah dan kurun waktu yang sama, dikalikan
100.000” (DEPKES 2003).