Post on 21-Oct-2021
Produksi Bioethanol Dari Cocopeat (Serabut Kelapa) Menggunakan
Bakteri Zymomonas mobilis
Akhmad Alwan Asrorudin
Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
E-mail: akhmadalwan92@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini menyelidiki tentang produksi bioetanol dengan proses fermentasi anaerob
menggunakan bakteri Zymomonas mobilis dari bahan baku cocopeat (serabut kelapa).
Cocopeat (serabut kelapa yang telah dipilih sebagai limbah dan bernilai ekonomis) dapat
diolah menjadi sumber energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan untuk
memproduksi bioetanol. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
delignifikasi, metode SSF (Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak), dan metode destilasi
sederhana. Parameter dalam fermentasi etanol yaitu pengaruh variasi temperatur 32, 35 dan
38oC, dan waktu fermentasi dengan variasi 72, 96, dan 120 jam. Kapang Trichoderma viride
memproduksi enzim selulase dan mengolah selulosa menjadi glukosa, sementara Zymomonas
mobilis mengolah glukosa menjadi produk bioetanol. Analisis kadar bioetanol diuji
menggunakan kromatografi gas. Hasil menunjukan dengan pH awal sekitar 5 mencapai
kondisi maksimal pada temperatur 35oC, lama fermentasi 72 jam (3 hari), dan kadar etanol
0,341%.
Production of Bioethanol from Cocopeat (Coconut Fiber) using Zymomonas mobilis
Bacteria
Abstract
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
This study investigated the production of bioethanol by anaerobic fermentation process using
Zymomonas mobilis bacteria of raw materials cocopeat (coconut fibers). Cocopeat (coconut
fibers which have been selected as a waste product and have economic value) can be
processed to produce bioethanol as a renewable alternative energy sources are
environmentally friendly. The method used in this research are the delignification method,
method of SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation), and a simple distillation
method. The parameters of ethanol fermentation, such as the, temperature variation of 32, 35
and 38oC, and period of fermentation with the variation of 72, 96, and 120 hours. Fungus
Trichoderma viride produced a cellulase enzyme and processed cellulose into glucose, while
Zymomonas mobilis process the glucose into ethanol product. Analysis of ethanol content was
measured by using gas chromatography. The results showed that an initial pH of 5 reached a
maximum condition at temperature of 35oC, fermentation period of 72 hours (3 days), and the
ethanol content of 0.341%.
Keywords: cocopeat, methods, fermentation, ethanol
Latar Belakang
Bioetanol merupakan etanol hasil fermentasi biomassa sebagai bahan bakar terbarukan
mengingat kuantitas minyak bumi saat ini terus menipis [11]. Secara mayoritas biomass
lignoselulosa yang dari sampah pertanian saat ini dianggap sebagai limbah, seperti cocopeat
(serabut kelapa) dan produksi etanol sebagai generasi kedua mempunyai emisi gas rumah
kaca yang lebih rendah dari generasi sebelumnya. Biomassa seperti tebu, jagung, ubi kayu,
dan sebagainya telah banyak diteliti potensinya dalam 20 tahun terakhir, namun jarang
penelitian yang menggunakan bahan baku cocopeat.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.32 Tahun 2008 mengungkapkan bahwa kebutuhan
bioetanol pada tahun 2020 meningkat menjadi 20% untuk transportasi, 15% untuk industri
dan 15% untuk kelistrikan [3]. Terdapat tiga tahapan dalam konversi biomassa menjadi
etanol, meliputi perlakuan awal (pretreatment) lignoselulosa, hidrolisis enzimatik pada
substrat selulosa menjadi gula menggunakan kapang Trichoderma viride, dan fermentasi gula
menjadi etanol menggunakan bakteri Zymomonas mobilis [1].
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
Penggolongan perlakuan awal fisika, kimia, gabungan fisika-kimia dan biologi merupakan
langkah awal konversi biomassa lignoselulosa ini. Pelarut alkasi (basa) yang paling baik
digunakan untuk mendegradasi lignin adalah NaOH. Kemampuan dalam proses mendegradasi
lignin dengan baik menjadi pertimbangan penting dalam produksi ini. Selain itu juga penting
dalam pencegahan terbentuknya produk samping yang bersifat menghalangi (inhibitor)
selama proses SSF sehingga diharapkan dapat menekan biaya produksi yang ekonomis.
Permasalahan Penelitian
Pada penelitian ini berfokus untuk mengetahui potensi bahan baku cocopeat dalam produksi
bioetanol dengan metode SSF (Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak) dan mengetahui
pengaruh variasi temperatur dan variasi periode fermentasi terhadap kadar etanol yang
didapatkan. Yang menjadi batasan permasalahan penelitian ini adalah cocopeat yang
digunakan berasal dari pedagang kelapa di pasar pal Cimanggis, Depok, enzim tidak
diproduksi terlebih dahulu dan tidak ada penambahan substrat atau komponen lain selama
proses SSF berlangsung. Hasil penambahan konsentrasi NaOH 15% (w/w) diharapkan banyak
lignin yang terdegradasi dari cocopeat (serabut kelapa) dan proses SSF dengan bakteri
Zymomonas mobilis dan kapang Trichoderma viride dapat mempercepat proses dalam
produksi etanol. Analisis kadar etanol yang dihasilkan dibandingkan dengan kadar alkohol
murni sebagai standarnya.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk memanfaatkan limbah cocopeat dalam produksi
etanol yang bernilai ekonomi dalam industri dan farmasi serta mendapatkan produk etanol
maksimal dalam waktu fermentasi yang cepat. Salah satu anfaat penelitian ini adalah untuk
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengolahan limbah cocopeat menjadi
produk baru bioetanol.
Landasan Teori
Cocopeat (serabut kelapa) merupakan salah satu limbah biomassa lignoselulosa yang
mengandung lignin (36,51%), selulosa (33,61%), hemiselulosa (19,27%) dan abu (10,16%)
[4]. Material yang mengandung selulosa dapat diolah menjadi etanol yang dalam prosesnya
dibantu oleh mikroorganisme. Selulosa dapat dikonversi menjadi glukosa dan etanol melalui
hidrolisis selulosa dengan bantuan enzim selulase sebagai biokatalisator atau dengan
hidrolisis secara asam/basa [6] Komposisi serat dan peran penting hemiselulosa, sehingga
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
hemiselulosa ini berfungsi sebagai perekat antar selulosa. Kehilangan hemiselulosa akan
menyebabkan terjadinya lubang diantara fibril dan kurangnya ikatan antar serat [2].
Sedangkan lignin memiliki kandungan karbon dan energi yang relatif tinggi dibandingkan
dengan selulosa dan hemiselulosa, sehingga lignin pada lignoselulosa sulit untuk dihidrolisa
[10].
Berdasarkan penelitian Rajnish dkk [12], yang menjelaskan mengenai pengaruh pH dan suhu
pada pemurnian aktivitas endoglukanase dan stabilitas. Aktivitas pH berada di range 2 hingga
9 dengan optimum pada pH 5-6, sedangkan aktifitas suhu berada dirange 30 hingga 40oC
dengan optimum pada 30-35oC. Dalam penelitiannya Hanifah [7] dengan pH 5, konsentrasi
etanolnya hanya mulai mengalami peningkatan hingga jam ke 48, kemudian menurun sampai
jam ke-72, dan kemudian naik lagi hingga jam ke-96. Derajat keasaman pH merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan yeast. Yeast akan tumbuh optimum pada pH
4-6. Sedangkan, menurut Appiah [5] menjelaskan bahwa fermentasi menggunakan bakteri
Zymomonas mobilis mendapatkan hasil optimum fermentasi selama 3 hari (72 jam).
Dikaitkan dengan permasalahan energi alternatif dan pemanasan global, komponen selulosa
dan hemiselulosa dalam biomassa ini masih dapat didayagunakan sebagai bahan baku untuk
produksi bioetanol, karena komponen selulosa dan hemiselulosa ini merupakan rantai polimer
dari senyawa gula yang dapat difermentasikan menjadi bioetanol. Mikroorganisme dengan
sistem enzimatis yang dimilikinya dapat menentukan proses penguraian biomassa tanaman
menjadi komponen lignin, selulosa dan hemiselulosa maupun pada proses fermentasi selulosa
menjadi etanol [1].
Berdasarkan informasi dari Emma Hermawati [9] bahwa Pemisahan didasarkan pada
perbedaan distribusi dari masing-masing komponen di dalam fasa diam dan fasa gerak. Gas
kromatografi merupakan salah satu teknik spektroskopi yang menggunakan prinsip
pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen
penyusunnya. Dalam kromatografi dikenal istilah yaitu waktu retensi (TR), waktu komponen
sampel ditahan oleh kolom. Waktu retensi setiap komponen dalam sampel berbeda-beda
(spesifik).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai November 2016, bertempat di
Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika dan Laboratorium Kimia organik, Departemen
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
Kimia, FMIPA UI dan Laboratorium Bioproses, Depertemen Teknik Kimia, FT UI.
Laboratorium penunjang antara lain Laboratorium Fisika Kimia dan Laboratorium
Parangtopo, Universitas Indonesia. Bahan-bahan yang digunakan berupa cocopeat (serabut
kelapa) yang sudah digiling, bakteri Zymomonas mobilis, kapang Trichodema viride, larutan
buffer pH 5, serta media kultur bakteri dan kapang. Peralatan utama yang digunakan selama
fermentasi SSF adalah penangas air (shaker waterbath) dan oven. Sedangkan untuk analisis
kadar etanol menggunakan alat GC (Gas Chromatography). Prosedur penelitian meliputi
1. Persiapan Peralatan
Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran, bakteri dan jamur lain pada
alat/wadah sehingga saat digunakan dalam kondisi bersih dan aman.
2. Persiapan Sampel
Dalam tahap ini, serabut kelapa dijemur selama 3 hari, kemudian digiling menggunakan
mesin Disc Mill agar terpisah antara cocopeat dengan bagian lainnya dan memotongnya
menjadi ukuran kecil-kecil dengan menggunakan gunting, serta disimpan ditempat yang
kering (toples).
3. Delignifikasi
Pada tahap ini cocopeat didelignifikasi larutan basa NaOH dengan komposisi 15% dari
berat sampel selama 3 jam dengan temperatur 150oC menggunakan oven yang bertujuan
untuk merusak struktur lignin dari cocopeat. Selanjutnya, dilakukan perendaman 20-24
jam dengan air dan membilasnya hingga bersih, serta mengeringkan sampel yang telah
didelignifikasi (kurang lebih 3-4 hari) dan menimbangnya sebanyak 10 gram untuk
setiap sampel uji.
4. Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SSF)
KapangTrichodema viride dan bakteri Zymomonas mobilis diambil masing-masing
sebanyak 1 Ose untuk setiap erlenmeyer sampel uji. Hidrolisis dilakukan secara
enzimatis, dimana enzim diperoleh dari fungi Tricoderma viride. Enzim yang dihasilkan
oleh fungi Tricoderma viride adalah enzim selulase. Enzim inilah yang akan mengubah
selulosa menjadi gula berupa glukosa, fruktosa maupun sukrosa yang kemudian diubah
menjadi etanol oleh bakteri Zymomonas mobilis (fermentasi). Kapang dan bakteri yang
diambil sebanyak 1 Ose untuk setiap erlenmeyer sampel uji.
Pada tahap fermentasi terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan
melibatkan enzim dan bakteri. Fermentasi dilakukan pada temperatur 32, 35 dan 38 oC.
Pegaturan suhu pada shaker waterbath Laboratorium Bioproses 32oC untuk periode 3
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
dan 4 hari (2 erlenmeyer), suhu 35oC pada shaker waterbath Laboratorium Kimia
Organik untuk 3 dan 4 hari (2 erlenmeyer), dan suhu 38oC pada Oven Laboratorium
Kimia Organik untuk 3 dan 5 hari (2 erlenmeyer).
5. Distilasi
Titik didih etanol (78 – 80oC) lebih rendah dibanding titik didih air sehingga ketika
mencapai 78oC etanol akan keluar (menguap) terlebih dahulu. Hasil fermentasi dalam
erlenmeyer dialirkan melalui kondensor. Hal ini bertujuan untuk mengembunkan etanol.
Proses ini memerlukan waktu sekitar 1 jam.
6. Penentuan Kadar Etanol dengan GC
Hasil destilat etanol di uji menggunakan alat GC untuk mengukur larutan 1 µL destilat
masing-masing sampel dengan kadar etanol yang didapat. Kadar etanol yang dihasilkan
dilihat dari waktu retensi dan luas kromatogrannya serta membandingkannya dengan
kurva standar senyawa murni.
Hasil Penelitian
1. Hasil Delignifikasi
(a) (b)
Gambar 1. (a) Sebelum Delignifikasi, (b) Setelah Delignifikasi
2. Hasil Selama Fermentasi
Tabel 1. Volume Larutan (ml) Sebelum dan Setelah Proses SSF
Sebelum SSF
(ml)
Setelah SSF
(ml)
100 70
100 75
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
120 105
120 108
120 78
120 68
Tabel 2. Perbandingan Periode Fermentasi dan Temperatur Terhadap Kadar
Etanol
Periode Fermentasi
(jam)
Temperatur
(oC)
Kadar (%)
72 32 0,054
72 35 0,341
72 38 0,122
96 32 0,004
96 35 0,04
120 38 0,298
3. Proses Fermentasi Metode SSF
Gambar 2. Skema Kondisi Selama Proses SSF
4. Hasil Distilasi
Tabel 3. Hasil Proses Distilasi Volume Larutan (ml)
Awal Pasca SSF Destilat Etanol Bocor
100 70 0,75 Ada
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
100 75 3,5 Ada
120 105 3,5 Ada
120 108 3 Ada
120 78 2,5 Ada
120 68 13 Ada
5. Data Pengukuran Secara Keseluruhan
Tabel 4. Data Pengukuran GC Semua Sampel Uji
Periode Fermentasi
(jam)
Temperatur
(oC)
Destilat (ml) Luas Area TR (s)
72 32 0,75 276972 2,678
72 35 3,5 1762069 2,674
72 38 2,5 631248 2,673
96 32 3,5 20683 2,623
96 35 3 252497 2,667
120 38 13 1537468 2,675
Tabel 5. Hasil Pengukuran Alkohol Standar dengan Alat GC
ETANOL STD (%) Luas Area TR
0,1 561562 2,677
1 4482983 2,679
3 15451971 2,681
10 51676129 2,669
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
Gambar 3. Grafik Linearitas Pengukuran Alkohol Standar
Pembahasan
Dalam proses delignifikasi, penggunaan NaOH 15% (w/w) bersamaan pemanasan dengan
oven (temperatur 150oC) selama 3 jam didapatkan hasil yaitu perubahan fisik penampang
cocopeat pada Gambar 1. Perubahan tersebut dikarenakan adanya transfer panas dari oven ke
cocopeat melalui sirkulasi udara yang terlalu tinggi dan adanya pengelupasan atau kerusakan
pada permukaan cocopeat selama pemanasan selain ligninnya juga mungkin sebagian
selulosanya.
Berdasarkan penelitian Hendri [8] menjelaskan bahwa terdapat perbedaan perkembangbiakan
bakteri Zymomonas mobilis dan kapang Trichoderma viride terhadap medium tumbuhnya.
Bakteri Zymomonas mobilis tumbuh optimum pada jam ke-96 dan kapang Trichoderma viride
tumbuh optimum pada jam ke-72. Hasil perbandingan inilah yang menjadi parameter
pendukung penelitian ini. Tabel 1 merupakan data pengukuran parameter fermentasi terhadap
kadar etanol yang dihasilkan selama proses fermentasi SSF. Parameter SSF antara lain
periode fermentasi (dalam jam) dan temperatur fermentasi (oC).
Secara umum proses fermentasi dengan metode SSF terlihat pada gambar 2. Kapang
Trichoderma viride memproduksi enzim dan glukosa dari substrat selulosa dan bakteri
Zymomonas mobilis memproduksi etanol dari sebagian selulosa cocopeat.
y=5160043.11xR²=1.00
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
0 2 4 6 8 10 12
LuasArea
Konsentrasi(%)
GrafikSTDETANOL
Series1
Linear(Series1)
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
Pengaruh periode fermentasi terhadap produksi etanol yaitu semakin lama fermentasi maka
jumlah mikroba juga makin banyak, namun etanol yang dihasilkan bukan disebabkan oleh
banyaknya mikroba saja tetapi juga oleh banyaknya glukosa yang dihasilkan dari enzim dan
substratnya. Berdasarkan gambar 2 di atas, walaupun jumlah mikrobanya banyak dan sintesa
glukosa rendah maka hasil etanolnya juga rendah. Sedangkan, kenaikan temperatur
mempengaruhi kecepatan reaksi/katalis enzim selulase didalamnya menjadi lebih cepat
dimana enzim selulase yang terproduksi akan digunakan oleh sebagian kapang Trichoderma
viride untuk mengolah selulosa sebagai substratnya menjadi glukosa, kemudian glukosa
tersebut digunakan oleh bakteri Zymomonas mobilis untuk memproduksi etanol.
Dalam penelitian Hendri [8] pada suhu ruang menunjukkan perkembangbiakan bakteri
Zymomonas mobilis dan kapang Trichoderma viride pada jam ke-120 menurun, sedangkan
pada penelitian ini justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan bakteri bakteri tersebut
berkembangbiak dengan baik mencapai 96 jam dan kapang tersebut berkembangbiak dengan
baik mencapai 72 jam, sehingga hasilnya akan menurun pada waktu 120 jam.
Pada sampel uji dengan temperatur 32oC didapatkan hasil etanol yaitu 0,054% pada jam ke-72
fermentasi dan 0,004% pada jam ke-96. Pada temperatur 32oC, mikroba masih
berkembangbiak dan kerja enzim belum mencapai optimum, sehingga kadar etanol yang
dihasilkan paling rendah jika dibandingkan pada temperatur lainnya. Ketika temperatur
dinaikan dari 32oC menjadi 35oC, kadar etanol yang didapatkan juga lebih tinggi dari
sebelumnya. Kadar etanol yang dihasilkan pada temperatur 35oC yaitu 0,341% pada jam ke-
72 dan 0,04% pada jam ke-96. Hal ini disebabkan karena ketika temperatur dinaikkan maka
aktivasi enzim juga meningkat, mikroba juga berkembangbiak dan pada kondisi ini hasil yang
didapatkan mencapai optimumnya. Sampel uji dengan temperatur 32oC dan 35oC
menggunakan alat penangas air (shaker waterbath) yang berfungsi untuk menginkubasi dan
menshaker agar temperaturnya tetap konstan dan terjadi homogenitas sesuai parameter yang
telah ditentukan, ditunjukkan oleh Tabel 2.
Pada sampel uji dengan temperatur 38oC yang menggunakan alat oven sebagai pembanding
alat penangas air didapatkan hasil kadar etanol sebesar 0,122% pada jam ke-72 dan 0,298%
pada jam ke-120. Pada temperatur 35oC hasil etanol yang dihasilkan lebih tinggi. Sedangkan
pada temperatur 38oC, hasil etanolnya menurun. Hal ini disebabkan karena pada kondisi ini
aktivasi enzim menurun dan mikroba tetap berkembangbiak. Ketika kerja enzim menurun,
maka glukosa dan etanol yang dihasilkan juga sedikit. Hasil etanol pada jam ke-120 dengan
temperatur 38oC justru naik dibandingkan dengan hasil etanol pada temperatur 32oC dan 35oC
selama 96 jam fermentasi, ditunjukkan oleh Tabel 2. Hal yang memungkinkan hasil ini
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
berbeda adalah penggunaan alat oven selama proses fermentasi SSF ini. Penggunaan alat ini
tanpa usaha homogenitas dan shaker.
Destilat etanol yang diperoleh berkisar 0,75 ml hingga 13 ml. Banyak sedikitnya destilat
etanol ini tidak mempengaruhi besar kecilnya kadar etanol (kemurnian etanol), seperti pada
Tabel 3. Kebocoran uap etanol pada semuua sampel uji selama proses destilasi sederhana
yang ditunjukkan oleh merembesnya uap melalui persambungan kondensor dengan leher
erlenmeyer yang mengakibatkan destilat yang dihasilkan lebih sedikit dan ada kemungkinan
mempengaruhi kadar etanol yang lebih rendah. Salah satu produk samping dari fermentasi
SSF selain bioetanol adalah karbon dioksida. Karbon dioksida dalam larutan fermentasi ketika
dipanaskan akan mengeluarkan buih. Ketika dipanaskan maka gelembung-gelembung dalam
buih berubah menjadi besar dan merambat keatas. Hal ini yang menyebabkan persambungan
kondensor dengan erlenmeyer menjadi basah dan terdapat kebocoran (merembes) uap etanol
sehingga destilat etanol menjadi berkurang.
Hasil uji GC pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan interaksi antara sampel dengan fasa diamnya di
dalam alat GC menentukan berapa lama (waktu retensi, TR) komponen sampel akan ditahan
dan keluar kolom yang akan keluar yang ditunjukan oleh peak kromatogram pada monitor.
Pada larutan alkohol standar (0,1%, 1%, 3%, dan 10%) didapatkan kurva linearitas kalibrasi
antara kadar (%) terhadap luas kromatogram untuk larutan standar dengan persamaan berikut.
y = 5160043,11x
Nilai y menunjukkan luas kromatogram masing-masing sampel, sedangkan nilai x
menunjukan kadar etanol (dalam %) sampel, ditunjukkan pada Gambar 3.
Berdasarkan perhitungan pada lampiran didapatkan kadar etanol secara berurutan yaitu
0,054%, 0,341%, 0,122%, 0,004%, 0,04%, dan 0,298%. Kadar etanol tertinggi ditunjukan
pada sampel kedua yaitu sampel dengan hasil SSF 72 jam (3 hari) dan temperatur 35oC
sebesar 0,341% menggunakan shaker waterbath dan hasil yang tertinggi kedua yaitu sampel
dengan hasil SSF 120 jam (5 hari) dan temperatur 38oC sebesar 0,298%.
Berdasarkan hasil etanol yang didapatkan secara keseluruhan masing-masing sampel masih
dibawah 1% kadar etanolnya. Hal ini terjadi karena adanya faktor yang mungkin dapat
menyebabkan hasil ini rendah, yaitu kandungan lignin pada cocopeat belum terdegradasi
sempuna sehingga selulosa dihasilkan masih sedikit. Jika selulosa dalam jumlah sedikit maka
enzim selulase yang terproduksi dalam jumlah sedikit dan etanol yang dihasilkan juga sedikit.
Kesimpulan
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cocopeat dapat diolah menjadi produk
baru yaitu bioetanol. Metode fermentasi SSF (Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak)
menggunakan bakteri Zymomonas mobilis merupakan metode yang sangat cocok untuk
fermentasi lignoselulosa dengan waktu yang cepat dan efisien. Parameter optimum dalam
produksi bioetanol yaitu pH medium 5, temperatur 35oC, dan periode fermentasi selama 72
jam (3 hari), sedangkan untuk maksimum kadar etanol dalam penelitian ini adalah 0,341%
untuk inkubasi menggunakan shaker waterbath. Kadar etanol yang dihasilkan secara
keseluruhan belum mencapai 1%, karena degradasi lignin belum terproses dengan sempurna.
Saran
Adapun saran untuk penelitian selanjutnya bahwa penelitian ini memang telah menghasilkan
etanol dalam waktu yang cepat namun masih belum maksimal untuk mendapatkan kadar
etanol yang lebih tinggi, sehingga perlu adanya inovasi dan kontrol parameter, diperlukan
untuk menganalisa/mengukur kandungan selulosa dan lignin dengan metode Datta (Chesson)
yang terkandung dalam cocopeat, serta untuk mengurangi kebocoran uap etanol dalam tahap
destilasi karena tekanan uap yang besar, sebaiknya persambungan kondensor dengan
erlenmeyer diikatkan menggunakan kawat.
Daftar Referensi
[1] Agustini, Luciasih., Irianto, Ragil S.B., Turjaman, Maman., & Santoso, Erdy. 2011.
“Isolat dan Karakteristik Enzimatis Mikroba Lignoselulolitik di Tiga Tipe Ekosistem
Taman Nasional”. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi
[2] Anindyawati, Trisanti. 2010. “Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa
Limbah Pertanian untuk Pupuk Organik”. [Berita Selulosa. Vol. 45. No. 2 : 70-77].
[3] Anonim. 2013. “Analisis Peningkatan Penggunaan Biodiesel Sebagai Upaya Mengatasi
Defisit Neraca Perdagangan Migas”. Jakarta : Badan Pengkajian Dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI
[4] Anshari, Dedi. 2009. Impregnasi Asap Cair Tempurung Kelapa Poliester Tak jenuh.
Jurnal Kimia Pangan
[5] Appiah, Charles Ofosu. 2013. “Evaluation of Ethanol Production from Pito Mash using
Zymomonas mobilis and Saccharomyces cerevisieae”. Ghana : Kwame Nkrumah
University of Science and Thechnology
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016
[6] Ariestaningtyas, Y. 1991. Pemanfaatan Tongkol Jagung untuk Produksi Enzim Selulase
oleh Trichoderma viride. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor
[7] Hanifah, Fani Siti. 2007. “Produksi bioetanol dari bagas dengan enzim selulase dan
enzim selobiase = Bioetanol production from bagasse by cellulase enzyme and cellobiase
enzyme”. Depok : Universitas Indonesia [Skripsi UI No. S49835]
[8] Hendri. 2016. “Kecepatan Potensi Fermentasi Zymomonas mobilis untuk Sampah Daun
Kering dan Cocopeat Dalam Produksi Alkohol “. Depok : Universitas Indonesia
[9] Hermawati, Emma. 2014. “Modul Praktikum Kromatografi Gas Departemen Kimia
FMIPA UI”. Depok : Universitas Indonesia
[10] Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002. “Optimizing acid-hydrlysis: a critical
step for production of ethanol from mixed wood chips”. [Biomass and Bioenergy, 22: 401
– 404]
[11] Izzati N., R. Yusnidar, & H.R. Amrullah. 2010. “Optimasi Pembuatan Bioetanol dari
Ubi Jalar Putih (Ipomea batatas L.) Sebagai Sumber Alternatif Bahan Bakar yang
Terbarukan”. Malang : Universitas Negeri Malang.
[12] Keshwani, D.R. 2009. “Microwave Pretreatment of Switchgrass for Bioethanol
Production”. Raleigh : North Carolina State University [Dissertation]
menggunakan bakteri ..., Akhmad Alwan Asroruddin, FMIPA UI, 2016