PROCEEDING,SEMINARNASIONALKEBUMIANKE-11 ... DAN ANALISA... · tekstur: hipokristalin, fanerik...

Post on 11-Feb-2020

11 views 0 download

Transcript of PROCEEDING,SEMINARNASIONALKEBUMIANKE-11 ... DAN ANALISA... · tekstur: hipokristalin, fanerik...

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

129

Longsor merupakan pergerekan massa batuan atau tanah menuruni lereng karenapengaruh secara langsung dari gaya gravitasi (West, 2010). Lereng yang stabil apabila gayapenahan lebih besar dari gaya penggerak. Tipe longsoran dapat dibedakan menjadi empat(Hoek dan Bray, 1981), yaitu longsoran bidang (planar failure), longsoran baji (wedgefailure) , longsoran busur (circular failure), dan longsoran guling (toppling failure).Longsoran bidang merupakan longsoran yang terjadi jika massa batuan bergerak menurunilereng sepanjang bidang gelincir. Longsoran baji merupakan longsoran yang terjadi apabiladua bidang diskontinuitas berpotongan dan longsoran terjadi di sepanjang bidangdiskontinuitas tersebut. Longsoran guling adalah longsoran yang terjadi jika bidang-bidangdiskontinuitas yang terdapat pada lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengankemirirngan lereng (Irwandy, 2016). Longsoran busur merupakan jenis longsoran yang terjadipada batuan yang berbutir halus atau terlapukkan secara intensif maupun pada batuan denganbidang diskontinuitas yag rapat dengan orientasi tidak teratur.

Tambang Batu Hijau merupakan salah satu tambang emas dan tembaga terbesar diIndonesia yang dikelola oleh PT. Amman Mineral Nusa Tenggara dengan metodepenambangan terbuka. Selama pengoperasian tambang Batu Hijau telah memiliki banyakkasus longsor. Longsoran yang terjadi di tambang Batu Hijau pada umumnya disebabkan olehkondisi massa batuan yang lemah dan berasosiasi dengan struktur geologi yang intensif(adriansyah, 2012). Struktur geologi inilah yang dapat menentukan geometri, arah dan tipelongsoran (Hoek dan Bray, 1981).

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis melakukan penelitian geologi dan analisiskestabilan lereng dinding barat tambang Batu Hijau mengingat pada lereng dinding baratterdiri atas batuan andesit dengan dominasi bidang diskontinuitas yang cukup intensif,sehingga penulis menggunakan analisis kinematik untuk menentukan tipe longsoran danmetode kesetimbangan batas untuk mengetahui nilai faktor keamanan.

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi perencanaan lerengdinding barat, sehingga dapat dilakukan analisis kestabilan lereng serta penanggulangandalam menjaga nilai faktor keamanan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisigeologi, untuk mengidentifikasi potensi longsor pada dinding lereng barat dan untukmengetahui nilai faktor keamanan dari dinding lereng barat.

2. Metode Penelitian

Data yang digunaan dalam penelitian ini diantaranya struktur geologi sepanjang lerenghasil pemetaan geologi dan line mapping, data pemboran geoteknik, sifat keteknikan hasil ujilaboratorium. Analisis longsoran meliputi analisis kinematik menggunakan Dips v.5 dananalisis kesetimbangan batas (limit equilibrium analysis).

2.1.Analisa KinematikAnalisis kinematik merupakan metode yang digunakan pada tahap awal dalam

melakukan analisis kestabilan lereng sebelum melangkah ketahap perhitungan faktorkeamanan. Dengan melakukan analisis ini dapat diketahui orientasi bidang, jenis dan arahlongsoran yang mungkin terjadi (Sugiyanto, 2000). Metode analisis stereografis (stereonet)hanya dipakai untuk batuan yang mempunyai bidang lemah atau bidang diskontinuitas sepertiperlapisan, kekar, sesar, foliasi dan sebagainya. Hasil yang diperoleh berupa dugaan jenislongsoran atau dengan kata lain mengetahui arah gaya–gaya yang bekerja serta arah luncuran,sedangkan besarnya gaya tidak dapat diketahui. Analisis kinematic pada daerah penelitianmenggunakan asumsi semua bidang diskontinuitas mempunyai sudut geser dalam (ɸ) = 30°dan kohesi © = 0 kPa. Pada daerah penelitian dibagi menjadi 10 segmen analisis yangdibedakan berdasarkan sudut kemiringan lereng (Gambar 2). Dalam analisis kinematik

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

130

menggunakan Schmidt net dengan proyeksi bidang menjadi titik (pole plot) maupun garislengkung (plane). Analisis longsoran baji menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadi garislengkung sedangkan analisis longsoran bidang menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadititik. Data yang digunakan antara lain data line mapping dan data pemboran geoteknik. Padadata kekar perlu dilakukan contouring untuk mengetahui arah orientasi utama selanjutnya arahorientasi utama tersebut digunakan dalam analisis kinematik maupun analisis kesetimbanganbatas. Berdasarkan hasil analisis kinematik, dengan masukan data orientasi bidangdiskontinuitas yang berupa struktur geologi (sesar dan kekar), maka dapat diketahui tipelongsoran dan probabilitas dari longsoran tersebut.

2.2. Analisis Kesetimbangan BatasAnalisis kesetimbangan batas merupakan metode analisis kesetimbangan dari massa

yang berpotensi bergerak menuruni lereng dengan membandingkan gaya penggerak dan gayapenahan sepanjang bidang gelincir longsoran. Tujuan dari analisis ini adalah untukmenentukan faktor keamanan dari bidang longsor yang berpotensial. Nilai faktor keamananakan mengekspresikan tingkat kestabilan suatu lereng. Untuk klasifikasi nilai faktorkeamanan menggunakan klasifikasi menurut Bowles (1984) dimana faktor kemanan ditinjaudari intensitas kelongsorannya. Dimana FK < 1,07 termasuk kelas labil, FK 1,07 – 1,25termasuk kelas kritis dan FK > 1,25 termasuk kelas stabil.

Analisis kesetimbangan batas pada penelitian ini dilakukan pada 10 segmen. Analisiskesetimbangan batas dilakukan dengan metode General Limit Equilibrium (GLE)menggunakan Mohr- Coulomb Criterion untuk memodelkan sifat-sifat kekuatan materialpengisi struktur yang relative homogen dan anisotropic strength function untuk memodelkansifat-sifat kekuatan massa batuan. Metode GLE berdasarkan pada dua persamaan faktorkeamanan lereng yaitu faktor keamanan terhadap kesetimbangan gaya dan faktor keamananterhadap kesetimbangan momen. Dalam analisis menggunakan anisotropic strength functiondiperlukan data orientasi utama bidang diskontinuitas pada masing-masing sayatan. Dataparameter kekuatan batuan yang digunakan adalah data hasil uji laboratorium berupa sudutgeser dalam 30°, kohesi 0 kPa, dan berat jenis dari andesit berupa 26 kN/m3 (DepartemenGeoteknik, PT AMNT, 2018).

3. Data3.1.Stratigrafi

Stratigrafi daerah penelitian berupa andesit, diorit dan tonalit (Gambar 3).- Satuan Andesit Batu Hijau memiliki warna abu-abu kehijauan, struktur terkekarkan,

tekstur: hipokristalin, fanerik sedang – afanitik, komposisi terdiri dari mineral-mineralmafik dan felsik berukuran halus dan plagioklas dengan jenis andesine berdasarkanAnalisa petrografi. Batuan ini telah mengalami ubahan dengan intensitas sedang.Karakteristik litologi ini ditemukan pada alterasi kuarsa + serisit (filik) dan alterasi klorit +epidot (propilitik) dengan kehadiran mineral berupa klorit, epidot, serta pirit. Selain duazona ubahan tersebut, terdapat alterasi klorit + kaolinit dimana mineral-mineral kaolinitmenggantikan mineral plagioklas (Gambar 4).

- Satuan Diorit Batu Hijau memiliki warna abu-abu gelap, struktur primer yang dijumpaimassif, hipokristalin, fanerik kasar – afanitik, memiliki komposisi mineral hornblende,kuarsa, plagioklas, dan k-feldspar. Batuan ini telah terubah sebagian dengan alterasi kuarsa+serisit serta dijumpai adanya pirit (filik) (Gambar 5).

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

131

- Satuan Tonalit Batu Hijau memiliki warna putih susu, dengan struktur terdapat vein,ukuran mineral 1mm-30mm. Batuan ini telah teralterasi magnetit + biotit (potasik) danmembewa mineralisasi berupa kovelit-bornit-kalkopirit (Gambar 6).

3.2. StrukturStruktur geologi di Tambang Batu Hijau pada umumnya dikontrol oleh sesar dan

kekar sebagai produk dari fase tektonik dan akibat intrusi magma namun tidak dijumpai bukti-bukti saat pemetaan. Arah umum struktur yang berkembang di daerah penelitian umumnyaberarah baratlaut - tenggara dan timurlaut-barat daya (Garwin, 2000). Sesar yang dijumpai didaerah penelitian yaitu sesar A (Thrust Slip Fault) (Gambar 7), sesar B (Right Slip Fault)(Gambar 8) dan sesar C (Right Slip Fault) (Gambar 9) serta kekar (Gambar 10).

3.3. AlterasiAlterasi hidrotermal di Tambang Batu Hijau didapatkan empat zona tipe mineral, yaitu:

3.3.1. Zona Ubahan Magnetit + Biotit (Potasik)Pada zona alterasi ini ditandai dengan munculnya himpunan mineral magnetit, biotit,

k-feldspar. Sebaran alterasi ini menempati 15% dari luasan daerah penelitian dan umumdijumpai pada sistem porfiri. Alterasi Magnetit + Biotit (potasik) yang ditemukan di daerahpenelitian telah mengalami intensitas ubahan sedang dengan tipe selective pervasive atauterubah sebagian dengan ukuran mineral sedang (0,05-0,25mm) dengan litologi batuan asalberupa tonalit, dimana munculnya mineral sekunder berupa biotit merubah hornblende dan k-feldspar menggantikan mineral-mineral plagioklas dan munculnya mineral magnetit. Alterasipotasik terbentuk pada daerah dengan kondisi temperature yang tinggi >300°C dengansalinitas yang tinggi terbentuk pada kondisi pH mendekati netral (Corbett dan Leach, 1997).(Gambar 111)

3.3.2. Zona Ubahan Kuarsa + Serisit (Filik)Tipe filik ditandai dengan munculnya himpunan mineral serisit, kuarsa, pirit. Sebaran

menempati 25% dari luasan daerah penelitian dan umum dijumpai pada sistem porfiri.Alterasi filik yang ditemukan di daerah penelitian telah mengalami intensitas ubahan sedangdengan pola ubahan selective pervasive dan dijumpai pada litologi andesit dan diorit.Munculnya mineral serisit, pirit dan kehadiran kuarsa juga sangat umum terbentuk padaalterasi filik. Alterasi filik terbentuk pada PH asam hingga mendekati netral pada temperatureberkisar 200°C-400°C dengan kondisi batuan yang permeabel dan salinitas yang beragam(Corbett dan Leach, 1997). (Gambar 112)

3.3.3. Zona Ubahan Klorit + Epidot (Propilitik)Tipe propilitik ditandai dengan munculnya himpunan mineral berwarna hijau seperti

klorit, epidot, serta pirit. Sebaran menempati 50% dari luasan daerah penelitian dan umumdijumpai pada sistem porfiri. Alterasi propilitik yang ditemukan di daerah penelitian telahmengalami intensitas ubahan sedang dengan pola ubahan selective pervasive dan dijumpaipada litologi andesit dan diorit. Munculnya mineral epidot, serisit dan mineral klorit yangmerupakan mineral utama alterasi propilitik. Alterasi filik terbentuk pada PH mendekati netralpada temperatur berkisar 200°C-300°C dengan salinitas yang beragam dan mempunyaipermeabilitas rendah (Corbett dan Leach, 1997). (Gambar 13)

3.3.4. Zona Ubahan Kaolinit + Klorit (Argilik)Tipe ubahan argilik ditandai dengan munculnya himpunan mineral kaolinit, klorit.

Sebaran menempati 10% dari luasan daerah penelitian dan umum dijumpai pada sistem porfiri.Alterasi argilik yang ditemukan di daerah penelitian telah mengalami intensitas ubahan kuatdengan pola ubahan pervasive dan dijumpai pada litologi andesit. Munculnya mineral kaolinit

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

132

dan klorit merupakan mineral yang umum terbentuk pada alterasi argilik. Alterasi argilikterbentuk pada pH asam hingga netral pada temperatur berkisar 100°C-300°C (Pirajno, 1992)dengan salinitas yang rendah (Corbett dan Leach, 1997). (Gambar 14)

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Stratigrafi

- Satuan Andesit Batu Hijau tersingkap hampir pada seluruh bagian daerah penelitian denganpresentase 55% dari luasan. Satuan ini memiliki elevasi relative tinggi dan agak curam yangmenyebar di selatan hingga baratlaut. Berdasarkan pertimbangan peneliti terdahulu (Garwin,2000), proses terbentuknya batuan andesit ini berlangsung pada Kala Miosen Akhir.Hubungan antar Satuan Andesit Batu Hijau dengan Satuan Diorit Batu Hijau adalah crosscutting relationship, dimana Satuan Andesit Batu Hijau diterobos oleh Satuan Diorit padaPliosen Awal. Namun, penulis tidak menemukan kontak yang jelas dan pasti saat dilapangan,sehingga hubungan antar satuan penulis mengacu pada peneliti terdahulu (Garwin, 2000).

- Satuan Diorit Batu Hijau tersingkap di timurlaut daerah penelitian dengan presentase 30%dari luasan. Satuan ini menyebar pada bagian timurlaut - utara dari daerah penelitian. Prosesterbentuknya intrusi diorite ini berlangsung pada kala Pliosen Awal 5,9 Ma – 3,6berdasarkan peneliti terdahulu (Garwin, 2000). Intrusi diorit menerobos batuan andesit yangtelah ada sebelumnya sehingga membentuk kesetimbangan baru juga proses alterasi yangbaru. Akibat terbentuknya intrusi diorit ini diindikasikan adanya pembentukan alterasi filik.Hubungan antar Satuan Diorit Batu Hijau dengan Satuan Andeit Batu Hijau adalah crosscutting relationship, dimana Satuan Andesit Batu Hijau diterobos oleh Satuan Diorit BatuHijau pada Pliosen Awal yaitu 5,9 Ma-3,8 Ma. Namun, penulis tidak menemukan kontakyang jelas dan pasti saat dilapangan, sehingga hubungan antar satuan penulis mengacu padapeneliti terdahulu (Garwin, 2000).

- Satuan Tonalit Batu Hijau merupakan intrusi batuan yang tersingkap di bagian tengahdaerah penelitian dengan presentase 30% dari luasan. Proses terbentuknya intrusi tonalit iniberlangsung pada kala Pliosen Awal 3.76 Ma-3,74 Ma berdasarkan peneliti terdahulu(Garwin, 2000). Intrusi tonalit menerobos batuan diorit dan andesit yang telah adasebelumnya sehingga membentuk kesetimbangan baru juga proses alterasi yang baru berupaalterasi potasik. Intrusi tonalit ini membawa mineralisasi berupa mineral asosiasi Cu-Auyaitu kovelit-bornit-kalkopirit yang menjadikan intrusi ini bernilai ekonomis. Hubunganantar Satuan Tonalit Batu Hijau dengan Satuan Diorit Batu HIjau adalah cross cuttingrelationship, dimana Satuan Diorit diterobos oleh Satuan Tonalit Batu Hijau pada PliosenAwal yaitu 3.76 Ma-3,74 Ma (Garwin, 2000). Namun, penulis tidak menemukan kontakyang jelas dan pasti saat dilapangan, sehingga hubungan antar satuan penulis mengacu padapeneliti terdahulu.

4.2. Hasil Analisis Kinematik

Contoh hasil analisis kinematik yaitu pada analisis segmen (A1) (Gambar 15) dapatdilihat pada Gambar 16. Hasil analisis kinematik menunjukkan bahwa segmen A1 berpotensimengalami longsoran tipe bidang dan longsoran tipe baji. Namun, longsoran tipe bajimemiliki kemungkinan lebih kecil dibanding longsoran tipe bidang diakibatkan mayoritasarah kemiringan struktur (dip direction) searah dengan arah kemiringan lereng yaitu N017°Edan N014°E dengan probabilitas kelongsoran sebesar 9,09% untuk tipe longsoran bidang dan4,88% untuk tipe longsoran baji (Tabel 1)

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

133

Berdasarkan hasil analisis kinematik yang telah dilakukan dapat diketahui tipelongsoran yang mendominasi pada tiap segmen pada Tabel 2.

4.3. Hasil Analisa Kesetimbangan Batas

Pada sayatan A menunjukkan bahwa lereng memiliki Fs A1 = 1.81 (Gambar 17), FsA2 = 1.29 (Gambar 18) dan Fs A3 = 1.506 (Gambar 19). Parameter kekuatan batuan berasaldari pembobotan massa batuan menurut klasifikasi Bieniawski, 1989. Hasil perhitungankesetimbangan batas dapat dilihat di Tabel 3. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan dari 10segmen yang dilakukan analisis, ada empat diantaranya yang memiliki nilai Fs kritis atau Fs1,07-1,25 yaitu segmen B1, B2, dan B4. Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwalereng dala kondisi stabil. Hal ini kemungkinan karena pengambilan data kekra tidakdilakukan secara mendetail yang hanya melakukan pengukuran dengan kekar – kekar mayorsaja. Lebih lanjut, perpotongan kekar selit dilakukan sulit untuk dilakukan permodelan lebihlanjut karena posisi dan kemenerusan kekar yang tidak diketahui secara pasti.

5. KesimpulanAnalisis kestabilan lereng yang telah dilakukan baik secara kinematika dan metode

kesetimbangan batas menghasilkan kesimpulan berkaitan kondisi kestabilan lerengnya. Untukmemperoleh hasil analisis kestabilan lereng yang ‘acceptable’ dan dapat diimplementasikandengan aman serta ramah lingkungan, maka analisis kestabilan lereng di Tambang Batu Hijau– PT AMNT dilakukan secara terintegrasi berdasarkan hasil analisis kinematika dankesetimbangan batas yang disesuaikan dengan karakteristik longsoran yang terjadi diTambang Batu Hijau. Ringkasan hasil analisis kestabilan lereng dapat dilihat pada Tabel 3.

Kesimpulan stabil atau tidak stabil untuk hasil analisis kinematika adalah berdasarkankondisi bidang diskontinuitas yang berpotensi menghasilkan longsoran dengn probabilitasyang besar, sedangkan untuk analisis kesetimbangan batas, kesimpulan mengenai kondisikestabilan lereng adalah berdasarkan nilai FS yang dihasilkan dari perhitungan. Penjelasanuntuk masing-masing segmen adalah sebagai berikut:

1. Segmen A1. Segmen ini menunjukkan nilai probabilitas longsoran bidang lebihtinggi di banding longsoran baji. Namun, berdasarkan analisis kestimbangan batasmemiliki nilai Fs > 1,25 atau kondisi stabil.

2. Segmen A2. Segmen ini menunjukkan nilai probabilitas longsoran bidang lebihtinggi di banding longsoran baji. Namun, berdasarkan analisis kestimbangan batasmemiliki nilai Fs > 1,25 atau kondisi stabil.

3. Segmen A3. Segmen ini menunjukkan nilai probabilitas longsoran baji lebih tinggidi banding longsoran bidang. Namun, berdasarkan analisis kestimbangan batasmemiliki nilai Fs > 1,25 atau kondisi stabil.

4. Segmen B1. Berdasarkan analisis kesetimbangan batas dan analisis kinematik,segmen ini memiliki kondisi kritis terhadap longsoran baji disbanding longsoranbidang.

5. Segmen B2. Berdasarkan analisis kesetimbangan batas dan analisis kinematik,segmen ini memiliki kondisi kritis terhadap longsoran bidang dibanding longsoranbaji.

6. Segmen B3. Berdasarkan analisis kinematik memiliki probabilitas longsoran bajilebih tinggi dibanding longsoran baji sedangkan hasil analisis kesetimbangan batasmemiliki kondisi stabil dengan Fs >1,25

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

134

7. Segmen B4. Berdasarkan analisis kesetimbangan batas dna analisis kinematik,segmen ini memiliki kondisi kritis terhadap longsoran bidang disbandinglongsoran baji.

8. Segmen C1. Berdasarkan analisis kinematik memiliki probabilitas longsroan bajilebih tinggi dibanding longsoran bidang sedangkan hasil analisis kesetimbanganbatas memiliki kondisi stabil dengan Fs >1,25

9. Segmen C2. Berdasarkan analisis kinematik memiliki probabilitas longsoran bajilebih tinggi dibanding longsoran bidang sedangkan hasil analisis kesetimbanganbatas memiliki kondisi stabil dengan Fs >1,25.

10. Segmen C3. Berdasarkan analisis kinematik memiliki probabilitas longsroanbidang lebih tinggi dibanding longsoran baji sedangkan hasil analisiskesetimbangan batas memiliki kondisi stabil dengan Fs >1,25.

AcknowledgementsPenulis pertama mengucapkan terima kasih kepada PT. Amman Mineral Nusa Tenggara

(Departemen Geoteknik dan Hidrogeologi, PT Amman Mineral Nusa Tenggara) ataskesempatan untuk melakukan penelitian di Tambang Batu Hijau

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

135

Daftar PustakaAdriansyah, Y. (2013). Prediksi Longsor Berdasarkan Data Hasil Pemantauan Pergerakan

Lereng di Tambang Batu Hijau – PT. Newmont Nusa Tenggara (Studi Kasus dariBeberapa Longsoran). Seminar Nasional Geomekanika II, Peran Geomekanika dalamPembangunan Sektor Pertambangan, Perminyakan dan Infrastruktur, Aston PrimeraPasteur, Bandung, Indonesia.

Aprilia, Faridha dkk. (2014). Analisis Tipe Longsor Kestabilan Lereng Berdasarkan OrientasiStruktur Geologi di Dinding Utara Tambang Batu Hijau, Sumbawa Barat. Yogyakarta.Seminar Nasional Kebumian Ke-7 dan Simposium Pendidikan Geologi Nasional.Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

Arief, S. (2007). Dasar-Dasar Analisis Kestabilan Lereng. PT INCO. Sorowako

Bieniawski, Z.T. (1989). Engineering Rock Mass Classification. John Wiley & Sons, Newyork, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore, 257h.

Bowles J.E. (1991). Sifat – Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). Edisi Kedua,

Erlangga, Jakarta

Departemen Geoteknik, PT NNT. (2013). Laporan Intern Departemen Geoteknik danHidrogeologi PT. Newmont Nusa Tenggara, Sumbawa Barat (Tidak diterbitkan).

Garwin. (2005). The geologica Setting of Intrusion-Related Hydrotermal System near theBatu Hijau Porphyry Zopper Gold Deposit, Sumbawa, Indonesia. Society ofeconomic Geologist Special Publication 9, 2002, p. 333-366.

Garwin, S. (2000). Distric-scale Expression of Intrusion-related Hydrothermal Systems Nearthe Batu Hijau Porphyry Copper-Gold Deposit, Sumbawa, Indonesia. Proceedings ofBanda and Eastern Sunda Arcs 2012 MGEI Annual Convention, Malang, Jawa Timur.Hoek, E. dan Bray, J.W., 1981, Rock Slope Engineering, 3rd Ed, The Institution ofMining and Metallurgy, London, 356h.

Priest, S.D. dan Brown, E.T. (1983). Probabilistic stability analysis of variable rock slopes,Transactions of Institution of Mining and Metallurgy. (Section A: Mining Industry),pp A1 - A12.

Read, J. dan Stacey, P. (2009). Guidelines for Open Pit Slope Design. CSIRO Publishing,Collingwood VIC 3066, Australia, 485.

Rickard, M. J. (1972). Fault Classification Discussion: Geological Society of AmericaBulletin. Vol. 83, hal 2545-2546.

Sudradjat, A., Mangga, S.A. dan Suwarna, N. (1980). Peta Geologi Lembar Sumbawa, NusaTenggara Barat, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,Bandung.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

136

Gambar 1. Tektonik lempeng Indonesia (Garwin, 2002)

Gambar 2 Daerah analisis kestabilan lereng dan sayatan penampang

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

137

Gambar 3. Stratigrafi daerah penelitian

Gambar 4. (A) Foto kenampakan singkapan batuan andesit (B) Kenampakan litologi daribatuan andesit yang mengalami ubahan filik dengan intensitas sedang. (C)Kenmapakn litologi batuan andesit yang mengalami ubahan propilitik denganubahan sedang.

Gambar 5. (A) Foto kenampakan singkapan batuan diorit (B) Kenampakan litologi dari diorityang mengalami ubahan filik dengan intensitas sedang (C) Kenampakan litologibatuan diorit yang mengalami ubahan propilitik dengan ubahan sedang.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

138

Gambar 6. (A) Foto kenampakan singkapan batuan tonalit. (B) Kenampakan litologi daritonalit yang mengalami ubahan potasik dengan intensitas sedang. (C)Kenampakan litologi batuan tonalit

Gambar 7. Hasil Analisa Sesar Naik A

Gambar 8. Hasil Analisa Sesar Mendatar B

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

139

Gambar 9. Hasil Analisa Sesar Mendatar C

Gambar 10. Hasil Analisa Kekar

Gambar 11. (A) Kenampakan singkapan alterasi potasik. (B) handspecimen alterasi potasikdengan kehadiran mineral magnetit, biotit, k-feldspar. (C) kenampakan litologitonalit

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

140

Gambar 12. (A) Kenampakan singkapan alterasi filik (B) handspecimen alterasi filik dengankehadiran mineral serisit, kuarsa, pirit. (C) kenampakan litologi andesit

Gambar 13. (A) Kenampakan singkapan alterasi propilitik (B) handspecimen alterasipropilitik dengan kehadiran mineral klorit, epidot. (C) kenampakan litologiandesit

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

141

Gambar 14. (A) Kenampakan singkapan alterasi argilik. (B) handspecimen alterasi argilikdengan kehadiran mineral klorit, kaolinit. (C) kenampakan litologi andesit.

Gambar 15 Kenampakan dinding barat lereng A1

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

142

Gambar 16 Hasil analisis kinematik segmen A1 longsoran bidang (kiri) dan longsoran baji(kanan)

Gambar 17 Nilai Faktor Keamanan Segmen A1

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

143

Gambar 18. Nilai Faktor Keamanan Segmen A2

Gambar 19. Nilai Faktor Keamanan Segmen A3

Tabel 1 Nilai Probabilitas Kelongsoran A1

Segmen Tipe Data

Sudut

kemiringan

lereng

Arah

kemiringan

lereng

Sudut

geser

dalam

Probabilitas Kelongsoran pada Segmen A1

A1

Line

Mapping

& Drilling

40 14 30 100%

Tipe Longsoran

Bidang9,09%

Tipe Longsoran

Baji4,88%

Tidak terjadi

longsoran86,03%

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

144

Tabel 2. Hasil analisis kinematik

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

145

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

146

KESTABILAN LERENG SANDARAN KANAN BENDUNGAN GONDANG,KARANGAYAR, JAWA TENGAH

Muhammad Satya Himawan Danuartha1*

I Gde Budi Indrawan2

Arif Gunawan3

1Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta.2Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta.

3Ditjen SDA, Kementrian PUPR*corresponding author: igbindrawan@ugm.ac.id

ABSTRAK

Analisis kestabilan lereng-lereng di sandaran kanan dan genangan air Bendungan Gondang dilakukandalam penelitian ini. Parameter-parameter input dalam analisis kestabilan lereng, berupa geometrilereng, urut-urutan dan sifat-sifat keteknikan material-material penyusun lereng, dan kedalaman mukaairtanah diperoleh melalui pengamatan lapangan, uji laboratorium, dan analisis data sekunder. Analisiskestabilan lereng dilakukan menggunakan pendekatan kesetimbangan batas pada perangkat lunakSlide (Rocscience, Inc.). Hasil penelitian menunjukkan lereng-lereng di sekitar sandaran kananBendungan Gondang dan sekitarnya memiliki kemiringan hingga 55°. Daerah penelitian terdiri darilapisan tanah berjenis pasir lanauan dan batuan breksi andesit dan breksi andesit tufan dengan kualitasmassa batuan sangat buruk hingga baik. Muka airtanah berada pada kedalaman antara 5 hingga 10 m.Lereng-lereng tebing utara spillway Bendungan Gondang berada dalam kondisi kritis, sedangkanlereng pada daerah sekitar sandaran kanan berada dalam kondisi stabil. Lereng-lereng di daerahgenangan air berada dalam kondisi tidak stabil. Secara umum, hasil analisis kestabilan menunjukkankesesuaian dengan kondisi lapangan.Kata Kunci : bendungan gondang, faktor keamanan, kestabilan lereng, kekuatan tanah dan batuan.

1. Pendahuluan

Bendungan Gondang secara administrasi terletak di Desa Ganten dan Gempolan,Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). BendunganGondang membendung Sungai Garuda, anak sungai Bengawan Solo, yang terletak padalereng barat laut Gunung Lawu. Berdasarkan Peta Geologi lembar Ponorogo berskala 1:100.000 (Sampurno dan Samodra, 1997) (Gambar 2), lokasi Bendungan Gondang tersusunoleh Formasi Batuan Gunung Api Lawu yang terbentuk pada Zaman Kuarter. Hasil pemetaangeologi teknik permukaan menunjukkan daerah lokasi Bendungan Gondang terdiri dari breksivulkanik. Selain berumur relatif muda, tingginya tingkat pelapukan kemungkinan menjadipenyebab utama relatif rendahnya kekuatan massa batuan penyusun lereng daerah ini.Mengacu pada Peta Kerentanan Gerakan Tanah Kabupaten Karanganyar berskala 1: 50.000(Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, 2009), lokasi pembangunan Bendungan Gondangberada pada zona kerentanan gerakan tanah tinggi (Gambar 3). Pada saat proses konstruksi,beberapa lereng pada bagian hulu daerah genangan mengalami keruntuhan. Analisiskestabilan lereng di bagian sandaran dan genangan air Bendungan Gondang perlu dilakukanuntuk mengantisipasi keruntuhan material penyusun lereng yang dapat menyebabkanterganggunya kestabilan tubuh bendungan akibat peningkatan drastis tekanan air padabendungan.

Makalah ini menampilkan hasil awal penyelidikan geologi teknik di daerah BendunganGondang. Hasil analisis kestabilan lereng di daerah sandaran kanan dan genangan air ini