Post on 03-Mar-2019
PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DAN IMPLIKASINYA
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014
(Studi Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH :
FARRAH
NIM : 1111043200024
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DAN IMPLIKASINYA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-X1112014
(Studi Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukurn
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
FARRAH
NIM: 1111043200024
Di bawah bimbingan:
mbing II
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUD! PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 11/2016 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Sknpsi mi beijudul "PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DAN IMPLIKASINYA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21IPUU-X1I/2014 (Studi Putusan No.04IPid.Prap/2015IPNJkt.SeI)", telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah clan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2016, Skripsi mi telah diterima sebagai salah satu. syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukurn.
Jakarta, 29 Juni 2016 - Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ase4iin Jah4r, MA .S Nip. 1969161996O310b1
PANITIA UJIAN
Ketua Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Nip. 19741213203121002
Sekretaris Hi. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA Nip. 197402162008012013
Pembimbing I Dr. H. Ahmad Mukri Au, MA N.p. 195703121985031003
Pembimbing 11: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH
Penguji I : Dr. Alfitra, SH., MH Nip. 197202032007011034
Penguji 11 : Nur Habibi, SH.1., MH Nip. 197608172009121005
ff
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau dicantumkan dalam daftar
pustaka sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya saya, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2016
Farrah
v
ABSTRAK
FARRAH. NIM 1111043200024. “Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan
Implikasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (Studi
Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)”. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum,
Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.
Skripsi ini menjelaskan tentang penetapan status seseorang menjadi tersangka yang tidak
masuk kedalam ranah praperadilan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah Pasal 77
KUHAP dapat diperluas sehingga mencakup penetapan tersangka serta bagaimana konsekuensi
yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka sebelum dan sesudah putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode
penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer
yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014, serta bahan hukum sekunder dan tersier.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa objek Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP dapat
diperluas sehingga mencakup penetapan tersangka. Penetapan status seseorang menjadi
tersangka merupakan proses dari penyidikan yang di dalamnya terdapat kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, sehingga menyebabkan terjadinya perampasan
hak dari seorang tersangka/terdakwa.
Kata Kunci : Praperadilan, Penetapan Tersangka, Mahkamah Konsitusi.
Pembimbing : Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA. dan Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d Tahun 2012.
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji dan syukur yang tak terhingga terpanjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya yang telah memberikan begitu banyak jalan terang dan
kemudahan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang insya Allah
memberi manfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amiin.
Shalawat serta salam semoga senantiasa kita sampaikan kepada junjungan alam, Nabi
besar Muhammad SAW, yang dengan wasilah ilmu-ilmunya lewat para pengikutnya, kemudian
sampai kepada penulis, memberi peranan penting bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tiada untaian kata yang pantas disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga
yang menunjukan betapa Allah telah memberikan rasa kasih dan sayang-Nya kepada penulis
dengan memberikan kesehatan fisik dan psikis serta memberikan ilmu pengetahuan untuk dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Dan
Implikasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (Studi
Putusan No.04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel)”. Berbagai hambatan, rintangan, ujian dan tantangan
telah dilewati penulis selama proses penyelesaian studi. Memang tidak mudah menjalaninya,
namun berkat support atau dorongan semangat dan doa yang terus mengalir tiada henti-hentinya
dari berbagai pihak yang turut membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu
sebagai bentuk apresiasi tinggi, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga menjadi pimpinan yang memberikan teladan dan
integritas yang baik.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum
yang telah memberikan pelayanan kepada penulis. Ibu Siti Hana, MA Sekretaris Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum yang sudah membantu memberikan penilaian
terhadap penulis dari awal hingga akhir.
vii
3. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA. selaku Dosen Pembimbing I dan Muhammad Ainul
Syamsu, SH. MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu
untuk membimbing penulis dalam memberikan saran dan kritik yang membangun serta
memberikan nasihat kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
4. Ibunda tercinta, terkasih dan tersayang Hj. Soviawati yang tidak pernah berhenti berdoa,
yang tidak pernah berhenti menyemangati, serta yang selalu sabar menghadapi segala
keterbatasan ananda selama ini, semoga ananda dapat menjadi anak yang selalu berbakti
kepada orang tua sampai akhir hayat nanti, aamiin. Ayahanda tercinta H. Ahmad
Zarkasih yang selalu mengingatkan penulis untuk tidak pernah berhenti mengejar mimpi
dan cita, senantiasa memberikan semangat dan nasihat-nasihatnya yang berharga serta
memberikan saran dan doa hingga di akhir perjuangan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Pimpinan besar seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan-bantuan dan pelayanan dalam upaya memenuhi kebutuhan yang
berkenaan dengan literatur untuk penyusunan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat tercinta dari Ponpes Modern Ummul Quro Al-Islami Bogor Nurur
Rizkiyah, Luthfiyah Rafhasany, Syarifah Rafhasany, Rivnida Rahayu, Restu Eka Saputra,
dan Ibnu Kholdun Nawaji yang terus memberikan semangat, keceriaan, pertemanan dan
persaudaraan yang begitu luar biasa dari awal masuk Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah hingga akhirnya masuk perkuliahan. Semoga persahabatan terus terjalin dan kita
semua menjadi orang-orang yang sukses. Aamiin.
7. Rekan-rekan dari FA Advocat and Legal Consultant Rizky Hakim Hasibuan, Siti
Masyitoh, Hasmar, Phutut yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun
terhadap penulis.
8. Seluruh rekan-rekan seperjuangan penulis selama di bangku perkuliahan Program Studi
Perbandingan Hukum 2011: Susy Purnamasari, Helmi Arisandi, Akip Bustomi, Adnan
Chaidar, Zainul Muhtarom, Bayu Baskoro, Siti Nuraviva, Hikmiyyah, Ratu Sholihat, Titi
Nurindah Sari, Lia Herawati, Melani Sagita, Afrita Rizky Nurul Afthi, Sri Ulvah
Handayani dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
viii
9. Rekan-rekan mahasiswa di kelompok KKN ADHESI: Rizky Permatasari, Maria Qibtya,
Lisa Latifah, Iyan Al-Iqbal, Ihsan, Budi Saputra dan lain-lain. Terima kasih atas
kerjasama dan kebersamaannya dalam menyukseskan program-program KKN kita.
10. Seluruh pihak dan segenap elemen masyarakat (yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu) yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung selama proses
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Aamiin.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ..................................................... 8
F. Metode Penelitian ................................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II TINJAUAN TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN DALAM
HUKUM ACARA PIDANA
A. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP ...................................... 16
B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Islam .............................. 21
C. Proses dan Prosedur .............................................................................. 23
1. Proses .............................................................................................. 23
2. Prosedur .......................................................................................... 25
BAB III PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA
A. Pengertian dan Objek Praperadilan ....................................................... 37
x
1. Pengertian Praperadilan .................................................................. 37
2. Objek Praperadilan.......................................................................... 42
B. Praperadilan Sebagai Hak Tersangka ................................................... 46
C. Praperadilan Sebagai Kewajiban Penegak Hukum ............................... 50
BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN
TERSANGKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014
A. Konsekuensi Yuridis Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka
dalam Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel ................................................... 55
1. Kronologi Perkara ........................................................................... 55
2. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel ................................. 59
3. Analisis Penulis ............................................................................... 62
B. Konsekuensi Yuridis Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 ................... 66
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon ............................. 66
2. Alasan-alasan Permohonan ............................................................. 78
3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 ............................................................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 77
B. Saran ..................................................................................................... 79
xi
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 81
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yaitu Negara yang
menegakkan kekuasaan hukum tertinggi untuk menegakkan kebenaran, keadilan
dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan.1 Sebagai Negara
hukum, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia
setiap warga negaranya, yang diwujudkan dengan adanya pengaturan tentang
hukum secara tertulis.
Hak-hak asasi manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik dan sipil
seperti kebebasan berbicara dan kebebasan dari penyiksaan hak-hak tertentu
meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seperti hak-hak untuk mendapatkan
pendidikan dan kesehatan tetapi juga hak pembangunan (the right to
development). Beberapa hak juga berlaku untuk individual (perorangan) seperti
hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil. Agar hak asasi manusia berlaku
secara efektif, maka hak itu harus dapat dipertahankan dan dilindungi. Sebagai
konsekuensi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka usaha untuk
1 Pasal 1 ayat (3) Undang-UD Negara Republik Indonesia 1945.
2
mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia itu adalah menjadikan HAM
tersebut sebagai bagian dari hukum nasional.2
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada
penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang
dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada
hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka,
2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap
tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan
kebebasan serta pembatasan terhadap hak-hak asasi tersangka.3
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia salah satu bentuk perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia diwujudkan dengan adanya Praperadilan.
Praperadilan adalah sebuah jalur hukum yang diperuntukkan sebagai pengontrol
atas tindakan penguasa dalam bentuk upaya paksa yang didelegasikan kepada
penegak hukum dalam hal penanganan sebuah tindak pidana. Ketentuan tentang
2 Handoyono Cipto Hestu, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia
(Yogyakarta: Grafika, cet. Kelima 2003), hlm. 203. 3 M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Jakarta: Sinar Grafika, cet.
Kesepuluh 2009), hlm. 3.
3
praperadilan ini diatur pada Pasal 1 Angka 10 Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada dasarnya, praperadilan ini ditujukan
untuk perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka terutama dalam hal
penangkapan dan penahanan yang tidak sah.
Praperadilan secara tidak langsung melakukan pengawasan pelaksanaan
upaya paksa yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan maupun
penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi
bersangkutan. Melalui lembaga ini, maka dimungkinkan adanya pengawasan
antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penghentian penyidikan dan
penuntutan.
Tujuan utama lembaga Praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHAP) adalah untuk melakukan
pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap
tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar
benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
undang-undang.4 Dalam Pasal 1 angka (10) KUHAP menegaskan bahwa:
“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus:5
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
4 M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, hlm. 4. 5 Lihat Pasal 1 angka 10 KUHAP.
4
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (10) KUHAP, dipertegas
dalam Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan: “Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang:6
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan,
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Salah satu kasus praperadilan yang terbaru adalah kasus penetapan status
tersangka Komisaris Jenderal Polisi (untuk selanjutnya disebut Komjenpol) Budi
Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (untuk selanjutnya disebut KPK)
dalam kasus tindak pidana gratifikasi.7 Kasus ini menjadi kasus yang banyak
dibicarakan oleh masyarakat Indonesia dan menjadi isu hangat dalam dunia
hukum. Hal ini dikarenakan dalam kasus praperadilan tersebut Komjen Budi
Gunawan selaku pemohon praperadilan melawan pihak termohon KPK,
mengajukan permohonan gugatan praperadilan yang pokok permohonannya
adalah penetapan status tersangka Komjen Budi Gunawan dalam kasus suap yang
dianggap tidak sah.
6 Lihat Pasal 77 KUHAP.
7 Menurut Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001, Gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
5
Disini terlihat ada yang janggal, karena pihak Komjen Budi Gunawan
mengajukan gugatan praperadilan yang pokok permohonannya adalah perihal
penetapan status tersangka. Sedangkan di dalam ruang lingkup praperadilan,
penetapan tersangka bukanlah wewenang praperadilan. Hal ini menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Apakah penetapan tersangka masuk
ke dalam wewenang praperadilan? Apakah hakim wajib memeriksa praperadilan
terhadap penetapan tersangka? Dan bagaimana konsekuensi yuridis praperadilan
terhadap penetapan tersangka sebelum dan sesudah putusan Mahkamah
Konstitusi No 21/PUU-XII/2014?
Berkaitan dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
masalah tersebut dan menuliskannya dalam penulisan proposal skripsi yang diberi
judul “PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DAN
IMPLIKASINYA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 21/PUU-XII/2014 (Studi Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, sudah
diuraikan bahwa dalam Pasal 1 angka (10) KUHAP jo Pasal 77 KUHAP tidak
disebutkan penetapan tersangka adalah objek dari praperadilan. Sedangkan
Komjen Budi Gunawan mengajukan gugatan praperadilan yang pokok
permohonannya adalah perihal penetapan tersangka. Hal ini menimbulkan
6
berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa masalah
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apakah penetapan tersangka masuk ke dalam wewenang praperadilan?
2. Apakah praperadilan terhadap penetapan tersangka merupakan hak seorang
tersangka?
3. Apakah objek praperadilan dapat diperluas sehingga mencakup penetapan
tersangka?
4. Bagaimana hakim memeriksa praperadilan terhadap penetapan tersangka
yang belum diatur dalam KUHAP?
5. Apakah hakim wajib memeriksa praperadilan terhadap penetapan tersangka?
6. Bagaimana konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka
sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, penulis menganggap
perlu adanya pembatasan masalah, karena begitu luasnya cakupan yang
terkandung dalam perkara praperadilan. Maka permasalahan penelitian ini
akan dibatasi pada aspek praperadilan terhadap penetapan tersangka, serta
konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka sebelum dan
sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
7
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan
yang akan dibahas pada penelitian ini dapat dirumuskan menjadi sebagai
berikut:
a. Apakah objek praperadilan dapat diperluas sehingga mencakup penetapan
tersangka?
b. Bagaimana konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan
tersangka sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui objek praperadilan dapat diperluas sehingga mencakup
penetapan tersangka.
b. Untuk menjelaskan konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan
tersangka sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat-manfaat dan
kegunaan dalam kajian teori ini, yaitu:
8
a. Secara Akademik
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
kontribusi pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum
khususnya mengenai praperadilan terhadap penetapan tersangka. Serta
dapat membantu pengembangan teori tentang praperadilan.
b. Secara Praktis
Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang perkembangan
Hukum Acara Pidana terutama dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban hakim dalam memeriksa praperadilan terhadap penetapan
tersangka.
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa studi yang
membahas penelitian terkait tema praperadilan. Skripsi yang dimaksud yaitu
1. Tinjauan Hukum Permohonan Praperadilan Terhadap Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).8
2. Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah atau Tidaknya
Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana
Korupsi (Studi Putusan No.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB.).9
8 M Andika Hariz Hamdallah, “ Tinjauan Hukum Permohonan Praperadilan Terhadap Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).
9
3. Praperadilan Sah Tidaknya Penangkapan dan Penahanan” (Tinjauan Yuridis
Putusan Pra No. 01/pid/2009/PN Pwt).10
4. Analisis Praktek Pemeriksaan Perkara Praperadilan dan Kaitannya Dengan
Perlindungan Hak-Hak Tersangka (Studi Perkara
No.02/Pid.Pra/2012/PN.TK).11
5. Analisis Yuridis Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Tentang
Permohonan Praperadilan Diluar Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77
KUHAP.”12
Dari kelima penelitian tersebut yang terdiri dari skripsi dan jurnal,
terdapat satu jurnal yang relevan dengan penelitian yang akan penulis bahas,
jurnal tersebut ada persamaan dan juga perbedaannya. Jurnal yang dimaksud
adalah jurnal yang ditulis oleh Bayunugroho Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya 2015 yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Tentang Permohonan Praperadilan Diluar
Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP”. Jurnal ini juga membahas
9 Dian Novita Sari, “Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah atau
Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi” (Studi
Putusan No.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB.)”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,
2012). 10
Dewi Retnowati, “Praperadilan Sah Tidaknya Penangkapan dan Penahanan” (Tinjauan
Yuridis Putusan Pra No. 01/pid/2009/PN Pwt), (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Jendral
Soedirman, 2011). 11
Rymni Chyntia, “Analisis Praktek Pemeriksaan Perkara Praperadilan dan Kaitannya
Dengan Perlindungan Hak-Hak Tersangka” (Studi Perkara No.02/Pid.Pra/2012/PN.TK), (Skripsi S1
Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2013) 12
Bayunugraha, “Analisis Yuridis Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Tentang
Permohonan Praperadilan Diluar Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP”, (Jurnal S1
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2015)
10
mengenai praperadilan, akan tetapi penelitian ini hanya difokuskan kepada
permohonan praperadilan yang tidak sesuai dan diluar ketentuan KUHAP.
Sedangkan judul penelitian penulis adalah Praperadilan Terhadap
Penetapan Tersangka dan Implikasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 (Studi Putusan No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel).
Penelitian ini berfokus pada apakah Pasal 77 KUHAP dapat diperluas sehingga
mencakup penetapan tersangka. Tidak hanya itu, penulis juga akan meneliti
bagaimana konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka
sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
“pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat
dipakai untuk menjawab pertanyaan dan ketidaktahuan tertentu.13
Pada sub bab ini, ada beberapa hal metode yang harus disinggung pada
sub bagian ini:
1. Jenis Penelitian
13
Bambang Sunggono, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.
Pertama 1997), hlm. 27.
11
Jenis penelitian hukum yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.14
Sistem norma
yang dimaksud adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan.
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya dengan yuridis normatif, akan digunakan beberapa
pendekatan, yaitu:15
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan
mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan
Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-
Undang yang lain.
b. Pendekatan Kasus (case approach)
14
Fahmi M Ahmadi, Jaenal Arifin, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet. Pertama 2010), hlm. 31. 15
Johnny Ibrahim, “Teori, Metode, dan Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia
Publising, cet. Kedua 2007), hlm. 300.
12
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Pendekatan jenis ini lazimnya digunakan terhadap
kasus-kasus yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
3. Sumber Data Penelitian
Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan
hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun
bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu:
(1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
(4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang
bahan hukum primer seperti: peraturan pemerintah, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku. Bahan hukum yang
sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum
yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
13
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan teknik studi pustaka atau bahan
tertulis dengan mengadakan kajian, menelaah dan menyelusuri literatur yang
berkenaan dengan masalah yaitu peraturan perundang-undangan, buku,
artikel, dan lain-lain.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun langkah-langkah mengumpulkan data melalui teknik studi
dokumen tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menelaah bahan-bahan
pustaka, baik yang primer, sekunder, tersier yang berkaitan dengan judul
penelitian. Kedua, menyusun intisari dari makna dan informasi-informasi
dalam bahan pustaka tersebut. Ketiga, merekontruksi intisari makna tersebut
dalam format tulisan yang sesuai dengan kerangka pembahasan.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi kualitatif, yaitu menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi
serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif
(usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil
sebuah kesimpulan), serta memberikan gambaran terhadap permasalahan yang
ada dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.
14
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri dari
beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian singkat secara global terkait
dengan hal-hal pokok yang dibahas, guna memperoleh dalam memahami dan
melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada setiap bab
adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, pada bab ini berisikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Membahas tentang tinjauan tentang hak dan kewajiban dalam hukum
acara pidana, seperti asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP dan
Hukum Islam, proses serta prosedur dalam hukum acara pidana.
BAB III Pada bab ketiga akan dijelaskan tentang pengertian dan objek
praperadilan, praperadilan sebagai hak tersangka serta praperadilan
sebagai kewajiban penegak hukum.
BAB IV Pada bab keempat penulis ingin menganalisis tentang konsekuensi
yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka sebelum dan
sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
15
BAB V Pada bab ini akan ada kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penelitian. Dilengkapi dengan saran-saran yang dapat membantu
dan memberikan masukan terhadap penulis mengenai praperadilan
terhadap penetapan tersangka.
16
BAB II
TINJAUAN TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
A. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam KUHAP
Asas “praduga tak bersalah” atau presumption of innocent dijumpai dalam
penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Dengan dicantumkan praduga tak
bersalah dalam penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan, pembuat undang-undang
telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan
penegakan hukum (law enforcement).
Mengenai asas praduga tidak bersalah, dalam deklarasi European
Convention on Human Right mengatakan bahwa: “Setiap orang yang dituduh
melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah, sampai terbukti bersalah
menurut hukum”. Artinya asas praduga tidak bersalah memberikan petunjuk
untuk memperlakukan tersangka/terdakwa sebelum dan selama persidangan,
dengan menghormati mereka dengan cara menganggap mereka tidak bersalah
sebelum ada putusan hukum tetap yang menganggap mereka bersalah.16
Setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya
dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur di depan umum. Hak
16
Andrew Ashworth, “Human Rights, Serious Crime and Criminal Procedure”, (The Hamlyn
Trust, 2002), hlm. 26.
17
asasi inilah yang menjadi salah satu prinsip dalam penegakan hukum yang
diamanatkan KUHAP yakni:17
1. Presumption of innocence atau praduga tak bersalah;
2. Kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang
berimbang atau fair trial dan tidak memihak (impartiality);
3. Persidangan harus terbuka untuk umum;
4. Persidangan harus dilaksanakan tanpa campur tangan dari pemerintah atau
kekuasaan sosial politik manapun. Terdakwa harus diadili dalam suatu
peradilan yang mengemban independent judicial power encroachments by
government or political parties.
Asas praduga tak bersalah juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuasaan hukum tetap”.
Ketika membicarakan praduga tidak bersalah maka tidak bisa dipungkiri
akan berkaitan dengan praduga bersalah. Banyak presepsi yang keliru mengenai
dua hal tersebut. Menurut Herbert L Packer, terjadi kesalahan ketika kita berpikir
bahwa praduga bersalah merupakan kebalikan dari praduga tidak bersalah.
Sebenarnya praduga tidak bersalah tidak berlawanan dan tidak relevan dengan
praduga bersalah, karena keduanya merupakan dua konsep yang berbeda.
17
O.C. Kaligis, “Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana
(Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia)”, (Bandung: Alumni, cet. Ketiga 2006), hlm. 371.
18
Perbedaan itu bisa dilihat dari contoh, ketika ada kasus pembunuhan, dimana si
pembunuh telah melakukan penembakan dan disaksikan beberapa saksi mata dan
saksi mata mengatakan bahwa dialah seorang pembunuh, maka itu merupakan
praduga bersalah. Sedangkan praduga tidak bersalah berlaku pada setiap tahap
pemeriksaan yang diwujudkan dalam perlindungan hak. Artinya sebelum sampai
terjadi putusan bersalah oleh pengadilan, tersangka harus diberlakukan
berdasarkan asas praduga tidak bersalah untuk alasan apapun.18
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak
hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan
mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap
tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative. Sedangkan
praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang
ada tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Akan tetapi dalam konteks
hukum acara pidana di Indonesia, secara universal asas praduga tidak bersalah
diakui dan sangat dijunjung tinggi berkaitan dengan hak-hak tersangka/terdakwa.
Friedmann mengemukakan, bahwa pengadilanlah tempat memisahkan
orang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. Artinya sebelum pengadilan
menyatakan bersalah, tidak boleh menganggap seseorang bersalah, kecuali telah
dibuktikan sebaliknya. Menurut Friedmann, asas praduga tidak bersalah yang
18
Herbert L Packer, “The Limits of Criminal Sanction”, (California: Stanford University
Press), hlm. 161.
19
menjadi bagian dari due process of law sudah melembaga dalam proses peradilan
dan kini telah melembaga pula dalam kehidupan sosial.19
Dalam peradilan pidana dikenal akan adanya 2 sistem pemeriksaan, yaitu
sistem akusatur (accusatorial system) dan sistem inkuisitur (inquisitorial system).
Kedua sistem ini berlandaskan pada asas praduga tidak bersalah.
Dalam pemeriksaan dengan sistem akusatur, tersangka atau terdakwa
diakui sebagai subyek pemeriksaan dan diberikan kebebasan kebebasan seluas-
luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan
yang ditujukan atas dirinya. Pemeriksaan akusatur dilakukan dengan pintu
terbuka, artinya semua orang dapat dan bebas melihat jalannya pemeriksaan itu.
Pemeriksaan akusatur diterapkan dalam memeriksa terdakwa di depan sidang
pengadilan.
Sedangkan dalam pemeriksaan dengan sistem inkuisitur adalah suatu
pemeriksaan di mana tersangka atau terdakwa dianggap sebagai obyek
pemeriksaan. Tersangka atau terdakwa dalam sistem ini tidak mempunyai hak
untuk membela diri. Pemeriksaan inkuisitur ini dilakukan dengan pintu tertutup,
artinya tidak semua orang dapat dan bebas melihat jalannya pemeriksaan itu.
Pemeriksaan inkuisitur digunakan dalam memeriksa tersangka pada tingkat
penyidikan. Pemeriksaan jenis ini biasanya dilakukan terhadap tindak pidana
19
Chairul Huda,. “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pemakaiannya dalam Praktek
Pers”, (Jurnal Dewan Pers Edisi No 2, 2010), hlm. 34.
20
khusus seperti tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan manusia dan
lain sebagainya.
Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut,
selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat dikatergorikan
bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan
pidana tersebut harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-
undang.20
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang tersangka, atau
terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka atau
terdakwa telah dilanggar atau dihormati. Hak-hak tersangka/terdakwa diatur
didalam KUHAP. Pelanggaran terhadap hak ini merupakan pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia, dalam hal ini Tersangka/Terdakwa. Adapun hak-hak
Tersangka/Terdakwa itu adalah hak untuk mendapat pemeriksaan dengan segera21
(Pasal 50 ayat 1), hak agar perkara segera dilanjutkan ke pengadilan22
, hak untuk
segera diadili oleh Pengadilan23
, hak untuk diberitahukan tentang apa yang
20
Lilik Mulyadi, “Hukum Acara Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, cet. Pertama 2007),
hlm. 16. 21
Lihat Pasal 50 ayat (1) KUHAP. 22
Lihat Pasal 50 ayat (2) KUHAP. 23
Lihat Pasal 50 ayat (3) KUHAP.
21
disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai24
, hak diberitahukan
tentang dakwaan atas dirinya25
, hak memberikan keterangan secara bebas26
, hak
mendapatkan bantuan juru Bahasa27
, hak mendapatkan bantuan dalam hal bisu
tuli28
, hak untuk mendapatkan bantuan hukum29
, hak untuk ditunjuk Penasihat
Hukumnya30
, hak untuk menghubungi Penasihat Hukum31
dan hak-hak yang lain
sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP.
Asas praduga tidak bersalah harus diwujudkan dengan perlindungan hak.
Sekalipun tersangka/terdakwa itu tertangkap tangan, tersangka/terdakwa harus
tetap dianggap tidak bersalah sampai ia dibuktikan bersalah. Asas ini mendasari
dua prinsip dasar dalam hukum acara pidana, yaitu proses dan prosedur.
B. Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, asas praduga tidak bersalah merupakan konsekuensi
yang tidak dapat dihindari dari asas legalitas. Menurut asas praduga tidak
bersalah, semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali
dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap
tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada
suatu kejahatan tanpa ada keraguan, jika suatu keraguan yang beralasan muncul,
24
Lihat Pasal 51 huruf a KUHAP. 25
Lihat Pasal 51 huruf b KUHAP. 26
Lihat Pasal 52 KUHAP. 27
Lihat Pasal 53 ayat (1) KUHAP. 28
Lihat Pasal 53 ayat (2) KUHAP. 29
Lihat Pasal 54 KUHAP. 30
Lihat Pasal 56 ayat (2) KUHAP. 31
Lihat Pasal 57 ayat (1) KUHAP.
22
seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep terhadap asas praduga tidak bersalah
telah diletakkan dalam hukum Islam jauh sebelum dikenal dalam hukum-hukum
pidana positif.32
Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW bersabda:33
ال رسىل اهلل صل اهلل عليو وسلن :: ق وعي عائشة رضي اهلل عنها قالت
ادرؤوالحذود عي الوسلويي هااستطعتن. فاى كاى لو هخزج فخلىا سبيلو,
( يفاى الإهام اى يخطئ ف العفى خيز هي أى يخطئ ف العقىبة )رواه التزهذ
Dan dari Aisyah ra, ia berkata Rasulullah bersabda, “Tolaklah hukuman
terhadap kaum muslimin selama kamu bisa. Maka jika ada jalan keluar,
lepaskanlah dia, sebab seorang imam itu jika keliru dalam memberikan
ampunan adalah lebih baik daripada keliru memberikan hukuman.” (HR.
Tirmidzi).
Berkaitan erat dengan asas praduga tidak bersalah adalah batalnya hukum
karena adanya keraguan. Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa, “Hindarkan
hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah
dalam menghukum.”34
Contoh sederhana yang begitu nampak dari pelaksanaan asas praduga
tidak bersalah adalah dalam perkara tuduhan zina. Seseorang yang dituduh zina
oleh orang lain tidak dianggap ia telah berzina, kecuali apabila penuduh
membuktikannya dengan bukti yang meyakinkan. Bukti yang harus dihadirkan
adalah berupa kesaksian empat orang, tidak kurang. Bilamana penuduh tidak bisa
32
Topo Santoso, “Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Moderenitas”, (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet. Keempat 2001), hlm. 120. 33
Mu‟ammal Hamidy, Imron Am, Umar Fanany, “Nailul Authar Jilid 6: Himpunan Hadist-
hadist Hukum”, (Surabaya: PT Bina Ilmu, cet. Kedua 2005), hlm. 2600. 34
Topo Santoso, “Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Moderenitas”, (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet. Keempat 2001), hlm. 121.
23
membuktikannya, maka ia akan diberikan sanksi karena telah menuduh orang lain
melakukan perbuatan zina, sedangkan ia tidak bisa membuktikannya.35
Allah berfirman dalam surat An-Nuur ayat 4:
والذيه يزمىن المحصىبث ثم لم يؤتىا بؤربعت شهداء فبجلدوهم ثمبويه جلدة(2: 42/)الىىر ولب تقبلىا لهم شهبدة أبدا وأولئك هم الفبسقىن
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
(Q.S. An-Nuur 24: 4)
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam meletakkan asas praduga
tidak bersalah sebagai landasan dari aturan-aturan pidana substantif dan
prosedural. Sebagai konsekuensi yang tidak terpisah, keraguan yang belum dapat
dihilangkan harus menjadi keuntungan terdakwa, bukan merugikannya. Dengan
demikian keraguan itu dapat menjadi dasar bagi putusan bebas dan tidak dapat
menjadi dasar bagi terbuktinya kejahatan, karena penghukuman harus didasarkan
pada ketegasan dan keyakinan.36
C. Proses dan Prosedur
1. Proses
Proses adalah suatu tindakan penegak hukum yang merampas hak,
seperti kejadian-kejadian di mana kebebasan individual menjadi hilang.
35
Asadullah Al Faruq, “Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, cet. Pertama 2009), hlm. 9. 36
Topo Santoso, “Menggasa Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks
Moderenitas”, (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet. Keempat 2001), hlm. 129.
24
Dalam proses terdapat fungsi-fungsi dan faktor-faktor yang bertendensi untuk
tidak memberi kebebasan kepada tersangka.37
Terdapat beberapa proses
dalam hukum acara pidana yaitu penangkapan, penahanan, penyidikan dan
penyelidikan, penggeledahan, penyitaan dan lain sebagainya.
Pada umumnya, proses adalah sesuatu yang disesuaikan dengan
kerangka yang bersifat ketundukan yang satu terhadap yang lain atau
ketergantungan yang satu kepada yang lain. Juga adanya kesewenang-
wenangan disamping tidak mungkinnya berbeda pendapat dan
mempertahankan pendapat. Begitu pula adanya paksaan sepihak. Dan
biasanya ciri-ciri itu terlihat jelas serta dikonsentrasikan pula.38
Agar tersangka ataupun terdakwa tidak diperlakukan sewenang-
wenang oleh penegak hukum. Maka pemerintah kemudian memberikan hak-
hak bagi tersangka dan terdakwa sebagaiman diatur dalam Bab VI KUHAP
mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. KUHAP telah menempatkan
tersangka sebagai manusia yang utuh, yang memiliki harkat, martabat dan
harga diri serta hak asasi yang tidak dapat dirampas darinya. Hak-hak yang
diberikan oleh KUHAP kepada tersangka yaitu hak untuk segera mendapat
pemeriksaan, hak untuk untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai, hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada
37 Mr. Roeslan Saleh, “Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika,
cet. Kedua 2007), hlm. 149. 38
Mr. Roeslan Saleh, “Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana”, hlm. 150.
25
penyidik, hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan, hak
untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dan lain
sebagainya.
Dalam hal ini selama proses perampasan hak itu dilakukan, maka pada
saat yang bersamaan timbul hak bagi tersangka/terdakwa. Seperti ketika
tersangka/terdakwa mengalami sakit, maka penegak hukum wajib
memberinya obat walaupun hal itu tidak terdapat dalam undang-undang.
Ketika hak tersangka/terdakwa itu muncul, maka pada sisi yang lain penegak
hukum wajib untuk memenuhinya. Permintaan hak ini akhirnya akan
menimbulkan kewenangan yang dapat diperluas.
Kewenangan penegak hukum dapat diperluas jika berkaitan dengan
hak-hak yang diminta oleh tersangka/terdakwa. Jadi dalam hal ini, hak-hak
yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa bukan hanya sebatas yang diatur oleh
KUHAP. Contohnya, seperti dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 memutuskan bahwa penetapan tersangka termasuk salah
satu objek yang dapat diperiksa keabsahannya dalam praperadilan. Sedangkan
di dalam KUHAP penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan. Hal itu
dikarenakan terdapat hak-hak yang dirampas dari tersangka/terdakwa yang
dapat menimbulkan kewenangan yang diperluas.
2. Prosedur
Prosedur adalah suatu tindakan yang mencegah perampasan hak.
Prosedur merupakan serangkaian aturan yang diatur di dalam KUHAP seperti
26
penangkapan, penahanan, penyelidikan dan penyidikan, penggeledahan,
penyitaan, dan lain sebagainya. Prosedur dibuat agar perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh para penegak hukum tidak menyalahi undang-undang
yang ada.
Berkaitan dengan prosedur yang diatur di dalam KUHAP, terdapat
kewenangan penegak hukum. Akan tetapi kewenangan itu tidak dapat
diperluas karena berkaitan dengan kewajiban penegak hukum. Seperti ketika
penegak hukum akan melakukan penyitaan terhadap tersangka/terdakwa.
Ketika penyidik ingin melakukan penyitaan, maka syaratnya harus ada surat
izin dari ketua pengadilan setempat. Jika tidak ada surat izin dari ketua
pengadilan setempat, maka tidak boleh diadakan penyitaan terhadap
tersangka/terdakwa tersebut.
Dalam Pasal 3 KUHAP dikatakan bahwa: “Peradilan dilakukan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Artinya kewenangan
penegak hukum hanya terbatas pada apa yang diatur oleh KUHAP. Semua
tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-
undang, serta menempatkan kepentingan hukum dan undang-undang diatas
segala-galanya. Hal ini disebut asas legalitas dalam fungsi negatif. Dengan
asas legalitas yang berlandaskan the rule of law, aparat penegak hukum tidak
dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum dan bertindak sewenang-
wenang. Oleh karena itu, selain dari cara yang diatur di dalam KUHAP, maka
27
cara itu adalah dilarang atau keluar dari aturan undang-undang. Di sini terlihat
bahwa kewenangan penegak hukum tidak dapat diperluas jika berkaitan
dengan proses yang merampas kebebasan.
Adapun prosedur yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana adalah:
a. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.39
Penyelidikan merupakan tindakan
tahap pertama permulaan penyidikan.
Pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat
polisi negara Republik Indonesia yang diberi tugas oleh undang-undang
untuk melaksanakan penyelidikan.
Wewenang dari penyelidik diantaranya adalah:40
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
(2) Mencari keterangan dan barang bukti;
(3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
(4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selain itu atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan
berupa:41
39
Lihat Pasal 1 butir 5 KUHAP. 40
Lihat Pasal 7 KUHAP.
28
(1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan;
(2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
(3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
(4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
b. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.42
Pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Wewenang yang diberikan kepada penyidik diantaranya adalah:43
(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
(2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
(3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
(4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
(6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
(7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
(8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
(9) Mengadakan penghentian penyidikan;
(10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
41
Lihat Pasal 7 KUHAP. 42
Lihat Pasal 1 butir 2 KUHAP. 43
Lihat Pasal 7 KUHAP.
29
Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat
bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat.
Sementara itu, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim
setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti
berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam
persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan
Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Apabila di dalam suatu proses penyidikan terdapat laporan polisi dan
dua alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai
tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa
keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan
jika „keterangan saksi‟ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak
terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas
unus testis nullus testis.
Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi
satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang
sah lainnya. Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang
telah ada, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat
(6) KUHAP, sebab tindakan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti
yang sah tersebut sebagai bukti bagi hakim untuk memeriksa dan
mengadili suatu tindak pidana.
30
c. Penangkapan
Penangkapan adalah suatu tindakan dari Penyidik, berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa,
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan, dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.44
Orang-orang yang berwenang melakukan
penangkapan ialah penyidik, penyidik pembantu, dan penyelidik atas
perintah penyidik.
Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.45
Bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar
untuk menduga adanya tindak pidana. Perintah penangkapan tidak dapat
dilakukan secara sewenang-wenang, agar tidak terjadi pelanggaran hak-
hak asasi manusia dan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam
melaksanakan tugasnya oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan
itu. Oleh karena itu perintah penangkapan harus betul-betul ditujukan
kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Pada waktu melaksanakan penangkapan, petugas wajib:46
(1) Menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang
memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama),
alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian
44
Lihat Pasal 1 butir 20 KUHAP. 45
Lihat Pasal 17 KUHAP. 46
Lihat Pasal 18 KUHAP.
31
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka
diperiksa;
(2) Menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga
tersangka.
Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa
Surat Perintah Penangkapan. Akan tetapi orang yang menangkapnya wajib
segera menyerahkan tersangka dan barang bukti yang ada kepada
Penyidik atau Penyidik Pembantu terdekat. Penangkapan hanya dapat
dilakukan paling lama untuk satu hari (24 jam).
Bagi tersangka yang melakukan pelanggaran tidak diadakan
penangkapan, kecuali apabila ia telah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut dan tidak mengindahkannya, tanpa alasan yang sah.47
Sedangkan untuk tindak pidana khusus seperti Tindak Pidana Korupsi,
Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana
Narkotika, dan lain-lain, penangkapan dapat dilakukan oleh Jaksa selaku
penyidik untuk paling lama satu tahun.
d. Penahanan
Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat
tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang
ini.48
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP itu, maka yang
47
Lihat Pasal 19 KUHAP. 48
Lihat Pasal 1 butir 21 KUHAP.
32
berwenang melakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa adalah
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.
Alasan untuk melakukan penahanan terhadap Tersangka atau
Terdakwa menurut Pasal 21 ayat (2) KUHAP, adalah:
(1) Tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;
(2) Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan merusak/menghilangkan
barang bukti; dan
(3) Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak
pidana;
Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan
Polisi ditambah (2) alat bukti lainnya, seperti:49
(1) Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/Saksi;
(2) Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian peristiwa;
(3) Atau barang bukti yang ada.
Alat-alat bukti harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Untuk melaksanakan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa, maka
petugas harus dilengkapi dengan:
(1) Surat perintah penahanan dari Penyidik;
(2) Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum; atau
(3) Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Surat Perintah Penahanan itu, sewaktu melaksanakan penahanan harus
diserahkan kepada Tersangka/Terdakwa dan kepada keluarganya setelah
49
Lihat Pasal 184 KUHAP.
33
penahanan dilaksanakan. Surat Perintah/Penetapan Penahanan dari Hakim
berisikan:50
(1) Identitas dari Tersangka/Terdakwa;
(2) Alasan penahanan;
(3) Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan, dan
(4) Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan.
Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau
Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka atau
Terdakwa.51
e. Penggeledahan
Adakalanya untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan
suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau
badan seseorang. Hal inilah yang dimaksud dengan penggeledahan.
Penggeledahan dapat dibagi atas dua, yaitu:
(1) Penggeledahan rumah; dan
(2) Penggeledahan badan.
Penggeledahan rumah adalah suatu tindakan dari Penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
50
Lihat Pasal 21 ayat (2) KUHAP. 51
Lihat Pasal 21 ayat (3) KUHAP.
34
undang ini.52
Dan penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka, untuk
mencari benda yang diduga keras pada badannya atau dibawanya serta,
untuk disita.53
Pejabat yang berwenang menggeledah hanya diberikan kepada
penyidik. Penuntut umum tidak diberikan wewenang menggeledah.
Demikian juga hakim pada semua tingkat peradilan, tidak mempunyai
wewenang untuk itu. Penggeledahan benar-benar ditempatkan pada
pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan, tidak terdapat pada tingkat
pemeriksaan selanjutnya baik dalam taraf penuntutan dan pemeriksaan
peradilan. Pemberian fungsi itu sesuai dan sejalan dengan tujuan dan
pengertian penggeledahan, bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan
fakta dan bukti serta dimaksudkan untuk mendapatkan orang yang diduga
keras sebagai tersangka pelaku tindak pidana.
Dalam melaksanakan wewenang penggeledahan, penyidik diawasi dan
dikaitkan dengan “Ketua Pengadilan Negeri” dalam melakukan setiap
penggeledahan. Pada setiap tindakan penggeledahan, penyidik wajib
memerlukan bantuan dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. Bantuan
itu berupa keharusan:54
52
Lihat Pasal 1 butir 17 KUHAP. 53
Lihat Pasal 1 butir 18 KUHAP. 54
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan”, (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Kesebelas 2009), hlm. 249.
35
(1) Dalam keadaan penggeledahan normal, penggeledahan baru dapat
dilakukan penyidik, setelah lebih dulu meminta izin dari Ketua
Pengadilan Negeri. Atas permintaan izin tersebut, Ketua Pengadilan
Negeri memberikan surat izin penggeledahan;55
(2) Dalam keadaan penggeledahan mendesak, penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa lebih dulu mendapat surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan, penyidik
wajib meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.56
f. Penyitaan
Penyitaan berasal dari kata “Sita”, yang dalam perkara pidana berarti
penyitaan yang dilakukan terhadap barang bergerak/tidak bergerak milik
seseorang, untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana.
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari
Ketua Pengadilan Negeri setempat.57
Dalam keadaan yang sangat perlu
dan mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda
bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat, guna memperoleh persetujuan.58
Adapun benda-benda yang dapat disita adalah:59
(1) Benda atau tagihan tersangka/terdakwa, yang seluruhnya atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau hasil tindak pidana;
55
Lihat Pasal 33 KUHAP. 56
Lihat Pasal 34 KUHAP. 57
Lihat Pasal 38 ayat (1) KUHAP. 58
Lihat Pasal 38 ayat (2) KUHAP. 59
Lihat Pasal 39 KUHAP.
36
(2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
(3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan;
(4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
(5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Menurut Pasal 39 ayat (2) KUHAP, benda yang berada dalam sitaan
karena perkara atau karena pailit, juga dapat disita untuk kepetingan
penyidikan, penuntutan dan pengadilan perkara pidana.
37
BAB III
PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA
A. Pengertian dan Objek Praperadilan
1. Pengertian Praperadilan
Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini tentang:60
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya
hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
Dengan demikian praperadilan merupakan bagian dari pengadilan
negeri. Di Negeri Belanda Rechter Commissaris timbul dari perkembangan
zaman yang menghendaki hakim mempunyai peran aktif dalam peradilan
pidana. Sedangkan praperadilan di Indonesia diciptakan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa.
Untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
dalam peradilan pidana diperlukan adanya suatu pengawasan yang
dilaksanakan oleh hakim. Hal ini sejalan dengan tuntutan zaman yang
60
Lihat Pasal 1 butir 10 KUHAP.
38
menghendaki hakim mempunyai peran aktif dalam peradilan pidana. Demi
tegaknya hukum dan keadilan diharapkan hakim dapat menjalankan tugas
seadil-adilnya dan tidak memihak serta memberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang tersangkut dalam peradilan
pidana.61
Maksud dari pengawasan disini adalah pengawasan bagaimana alat
negara penegak hukum menjalankan tugasnya, sampai sejauh mana tindakan
mereka dalam menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang dan
bagi pihak yang menjadi korban akibat tindakan penegak hukum yang tidak
berdasarkan undang-undang yang berlaku itu, berhak untuk mendapatkan
ganti rugi atau rehabilitasi.62
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan pasal 80
KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah
untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan
horizontal.” Esensi dari praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan
upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka, supaya tindakan penegak hukum itu benar-benar dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan undang-undang, benar-benar proporsional dengan
61
Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, (Jakarta: Akapress, cet.
Ketujuh 1986), hlm. 75. 62
Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, hlm. 76.
39
ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan
hukum.
Tujuan atau maksud dari praperadilan adalah meletakan hak dan
kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa.
Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas
akusatur dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan
kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak
yang dimiliki melalui praperadilan.
Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya
hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan
jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan. Habeas
Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat
perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan
penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau
pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa itu
benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
maupun jaminan HAM.63
Dalam Rancangan Undang-undang (revisi) KUHAP yang diajukan
oleh Departemen Kehakiman, lembaga praperadilan sudah dihilangkan dan
63
Loebby Loqman, “Pra-peradilan di Indonesia”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. Keenam
1990), hlm. 54.
40
perannya digantikan oleh Hakim Komisaris.64
Meskipun hampir semua
wewenang lembaga praperadilan dialihkan kepada Hakim Komisaris,
putusannya hanya merupakan penetapan (tidak punya kekuatan eksekutorial).
Pada masa Herziene Inlandsch Reglement, pengawasan dan penilaian
terhadap proses penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Dalam
masa itu yang ada hanya pengawasan oleh hakim, dalam hal perpanjangan
waktu penahanan sementara yang harus disetujui oleh hakim (vide Pasal 83 C
ayat (4) HIR). Namun dalam kenyataannya kontrol hakim ini kurang
dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat urusan perpanjangan
penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan
birokrasi.
Dengan demikian kehadiran lembaga praperadilan menjadi titik balik
dan memberika semangat baru, khususnya mengenai jaminan hak-hak
tersangka, karena bersifat transparan (tranparancy) dan akuntabilitas publik
(public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung HAM.
Harus dilihat juga bahwa dalam KUHAP, Praperadilan merupakan
lembaga baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, sehingga dalam
praktik terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain:65
64
Lihat draft RUU (revisi) KUHAP, Pasal 75-79 mengenai kewenangan dan fungsi Hakim
Komisaris.
41
a. Tidak semua unsur paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan
dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga Praperadilan, misalnya
tindakan penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan
surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP;
b. Praperadilan tidak berwenang untuk menguji atau menilai suatu tindakan
tanpa permintaan dari tersangka, keluarganya atau penasihat hukum,
sehingga seringkali sekalipun suatu tindakan polisi/jaksa sudah jelas
sewenang-wenang, tetapi tidak dapat dilakukan Praperadilan.
c. Parahnya, dalam sidang Praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan
segi formal semata-mata, daripada menguji syarat materielnya. Padahal
seringkali syarat materiel itulah yang menentukan apakah seseorang
dikenakan upaya penangkapan atau penahanan.
d. Putusan praperadilan hanya berupa penetapan sehingga seringkali
diabaikan oleh penegak hukum, khususnya jaksa dalam perkara-perkara
dimana jaksalah yang melakukan penyidikan.
Terkadang hakim Praperadilan langsung menghentikan pemeriksaan di
saat pemohon asli (dalam tahanan) menarik kuasanya; padahal si penerima
kuasa menjalankan tugas profesinya dengan baik.66
65
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan versus Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran
Mengenai Keberadaan Keduanya, makalah diajukan dalam seminar sosialisasi RUU KUHAP yang
diadakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 27 November 2001, hlm. 6-8. 66
O.C Kaligis, “Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana;
Dalam Sistem Peradilan PIdana Indonesia”, (P.T. Alumni: Bandung, cet. Ketiga 2006), hlm. 369.
42
2. Objek Praperadilan
Menurut Pasal 77 KUHAP, Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang:67
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Selain berwenang memeriksa dan memutus ganti kerugian dan
rehabilitasi sebagaimana tersebut dalam Pasal 77 huruf b KUHAP,
Praperadilan pun berwenang memeriksa dan memutus permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan 97
KUHAP.68
Wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada
Praperadilan adalah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan
dan penahanan. Berarti seorang tersangka yang dikenakan tindakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta
kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang
dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan
kepada Praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat
penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, atau penahanan
67
Lihat Pasal 77 KUHAP. 68
Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, (Jakarta: Akapress, cet.
Ketujuh 1986), hlm. 80.
43
yang sudah dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24
KUHAP.69
Praperadilan juga berwenang memeriksa sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan pejabat
penyidik dan penuntut umum. Hal ini bertujuan agar tindakan itu tidak
bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk
mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Untuk
itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan
pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga
yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya
penghentian penuntutan kepada Praperadilan.70
Pasal 95 mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan
tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada Praperadilan.
Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan:71
karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
69
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Jakarta: Sinar Grafika, cet.
Kesepuluh 2009), hlm. 4. 70
Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”, hlm 5. 71
Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, (Jakarta: Akapress, cet.
Ketujuh 1986), hlm. 85.
44
atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang,
karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan atau diperiksa.
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan
rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya
atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan
undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum
yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.72
Kewenangan penegak hukum ada dua, yaitu kewenangan yang
berkaitan dengan proses dan kewenangan yang berkaitan dengan perlindungan
hak. Kewenangan yang berkaitan dengan proses tidak dapat diperluas dan
sangat dibatasi oleh undang-undang. Karena, kewenangan yang berkaitan
dengan proses menyebabkan perampasan kebebasan dan pelanggaran hak
terhadap tersangka/terdakwa. Meskipun pelanggaran hak itu dibenarkan oleh
undang-undang, akan tetapi hal itu tetap harus di minimalisir atau dibatasi
agar hak asasi tersangka/terdakwa tersebut tidak hilang akibat dari penegakan
hukum. Pada prinsipnya Hukum Acara Pidana mengatur tentang pembatasan
kewenangan terhadap aparat penegak hukum berdasarkan asas legalitas dalam
fungsi negatif. Dalam Pasal 3 KUHAP dikatakan bahwa: “Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”73
Hal ini
72
Ratna Nurul Afiah, “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, hlm. 85. 73
Lihat Pasal 3 KUHAP.
45
membuktikan bahwa kewenangan penegak hukum hanya terbatas pada apa
yang diatur oleh KUHAP. Kewenangan ini dibatasi agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang (abuse of authority) oleh aparat penegak hukum.
Contohnya tentang pelaksanaan penangkapan yang dapat dilakukan
untuk paling lama satu hari (24 jam).74
Sebelum dilakukan suatu penangkapan
oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang
harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah
adanya suatu bukti yang menyatakan bahwa terdapat suatu tindak pidana.
Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah
penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam,
tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan
penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Sedangkan kewenangan yang berkaitan dengan perlindungan hak
dapat diperluas sesuai dengan permintaan hak dari tersangka/terdakwa.
Karena ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka pada saat itu pula
timbul hak-hak dari tersangka/terdakwa. Ketika tersangka/terdakwa meminta
perlindungan haknya kepada aparat penegak hukum, maka penegak hukum
wajib untuk memenuhinya sekalipun hal tersebut tidak diatur dalam undang-
undang. Permintaan perlindungan hak ini yang akhirnya menimbulkan
kewenangan yang diperluas. Hak-hak yang tertulis di dalam undang-undang
74
Lihat Pasal 19 ayat (1) KUHAP.
46
hanya mewakili sebagian hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa. Banyak
hak yang tidak tertulis dan juga harus dilindungi oleh penegak hukum.
Contohnya ketika tersangka/terdakwa mengalami sakit, maka penegak hukum
wajib memberinya obat walaupun hal tersebut tidak diatur dalam undang-
undang.
B. Praperadilan Sebagai Hak Tersangka
Menurut pendapat J.C.T Simorangkir, dkk dalam bukunya Kamus Hukum
mengemukakan bahwa : tersangka adalah seorang yang disangka melakukan
tindak pidana dan ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk
dipertimbangkan, apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa
di persidangan. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi
tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga
tidak bersalah. Asas tersebut terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c
KUHAP. Dengan dicantumkan praduga tidak bersalah dalam KUHAP, dapat
disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum
yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum.75
Asas praduga tidak bersalah
mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
75
Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan”, (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Kesebelas 2009), hlm. 40.
47
dan atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketika membicarakan asas praduga tidak bersalah untuk menjamin hak
tersangka, maka akan berkaitan erat dengan sistem pembuktian dalam kasus
kejahatan. Prinsip umum tentang pembuktian dinyatakan dalam hukum Inggris
dan diadopsi dalam hukum Hak Asasi Manusia Eropa: “Penuntut umum harus
menanggung beban pembuktian bahwa terdakwa bersalah dan pembuktian
kesalahan dengan standar tanpa keraguan.” Artinya terdakwa memiliki hak untuk
meletakan beban pembuktian pada penuntut umum.76
Bersumber pada asas praduga tak bersalah, maka jelas dan sewajarnya
bahwa khususnya tersangka dalam proses peradilan pidana wajib mendapatkan
hak-haknya. Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia
mendapatkan hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam
fase penyidikan.77
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan
terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di
dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya
hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan.
76
Andrew Ashworth, “Human Right, Serious Crime and Criminal Procedure”, (The Hamlyn
Trust, 2002), hlm. 27. 77
Abdul Hakim G. Nusantara, “KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan”, (Jakarta:
Bhineka Surya Pratama, cet. Pertama 2008), hlm. 215.
48
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada
tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum
acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan
terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dasar
terwujudnya praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP sebagai
berikut: “Mengingat bahwa demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan
adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namum
bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-
undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
asasi tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan
praperadilan”.78
Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai praperadilan terhadap
penetapan tersangka yang diajukan oleh Komjenpol Budi Gunawan. Apabila kita
melihat Pasal 77 jo Pasal 1 angka 10 KUHAP tidak ada satupun kalimat yang
menyebutkan kewenangan praperadilan dalam memutus sah atau tidaknya
penetapan tersangka. Namun apabila kita merujuk pada berbagai putusan lembaga
praperadilan yang memutuskan penetapan tersangka sebagai kewenangannya,
merupakan bentuk penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim. Hal itu
dikarenakan ada hak yang diminta dari seorang tersangka/terdakwa sehingga
menimbulkan kewajiban penegak hukum untuk melindungi hak tersebut. Oleh
78
Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Cetakan ke 2 telah
diperbaiki (Departemen Kehakiman Republik Indonesia: 1982), hlm. 129.
49
karena itu, objek praperadilan diperluas sehingga mencakup penetapan tersangka.
Penetapan status tersangka jelas menciderai hak seseorang. Dalam beberapa
kasus, status tersangka bisa menyebabkan seseorang kehilangan jabatan.
Contohnya Bambang Widjojanto yang diberhentikan sementara dari jabatannya
sebagai komisioner KPK. Sekalipun belum ditahan, pemeriksaan sebagai
tersangka juga jelas akan memakan waktu tersangka.
Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di
dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Kewenangan penegak hukum
dapat diperluas jika berkaitan dengan hak-hak yang diminta oleh tersangka. Jadi
dalam hal ini, hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa bukan hanya
sebatas yang diatur oleh KUHAP. Ketika seorang tersangka/terdakwa meminta
haknya untuk dilindungi, maka penegak hukum wajib untuk memenuhinya.
Seperti halnya Komjenpol Budi Gunawan yang mengajukan Praperadilan
terhadap penetapan tersangka atas dirinya, sekalipun hal itu tidak diatur dalam
Pasal 77 KUHAP. Permintaan itu harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum
mengingat penetapan status tersangka terhadap Komjenpol Budi Gunawan
membuat berkurangnya hak asasi manusia yang dimilikinya.
C. Praperadilan Sebagai Kewajiban Penegak Hukum
Keberadaan lembaga praperadilan yang lahir bersamaan dengan KUHAP
sebenarnya mempunyai maksud memberikan perlindungan terhadap hak-hak
50
asasi atau harkat dan martabat manusia terutama bagi pencari keadilan. Dengan
adanya praperadilan ini diharapkan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penuntutan dan
sebagainya tidak bisa dilakukan semena-mena. Semua itu dilaksanakan untuk
mewujudkan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi manusia agar tidak
terjadi perampasan hak.
KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/privasi setiap
orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak
dibenarkan karena perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap,
mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap
tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan
dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan
pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka tindakan
itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang
51
benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
undang-undang merupakan perampasan terhadap hak asasi tersangka.79
Adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam peraturan
hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting. Sebagian besar dalam
rangkaian proses dari hukum acara pidana menjurus kepada pembatasan-
pembatasan hak-hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan penghukuman yang pada hakekatnya adalah pembatasan hak-
hak asasi manusia.80
Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada aparat penegak
hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya merupakan
pengurangan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa sebagai manusia. Aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya wajib menghormati,
melindungi hak asasi manusia, baik sebagai seorang korban, saksi,
tersangka/terdakwa ataupun terpidana. Hal ini berkaitan dengan hak yang dimiliki
oleh tersangka. Meskipun seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, seorang
tersangka tersebut tetap memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan tidak boleh
dilanggar oleh aparat penegak hukum.
Hak-hak tersangka/terdakwa telah diatur secara tegas di dalam KUHAP.
Ketika hak-hak tersangka/terdakwa diatur di dalam undang-undang, maka pada
79
Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali”,(Jakarta: Sinar Grafika, cet.
Kesepuluh 2009), hlm. 3. 80
Purnomo, “Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981”, (Yogyakarta: Liberty, cet. Kedelapan 1993), hlm. 34.
52
saat yang sama timbul kewajiban dari penegak hukum untuk memenuhinya.
Contohnya dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa:
“seorang tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak
mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, maka penegak hukum
wajib menunjuk penasihat hukum untuk tersangka/terdakwa tersebut.”81
Karena hal tersebut sudah diatur dalam undang, maka setuju atau tidak,
seorang tersangka tetap harus mendapatkan penasihat hukumnya dan memastikan
bahwa penasihat hukum itu mendampingi tersangka/terdakwa pada saat sidang.
Karena sudah menjadi kewajiban bagi penegak hukum untuk menyediakan
penasihat hukum tersebut.
Sedangkan terhadap hak-hak yang tidak diatur di dalam KUHAP,
kewajiban itu baru muncul ketika hak-hak itu diminta oleh tersangka/terdakwa.
Ketika seorang tersangka ingin meminta perlindungan haknya, maka hal itu dapat
diupayakan dalam praperadilan. Praperadilan adalah upaya seorang
tersangka/terdakwa untuk meminta perlindungan hak. Contohnya seperti
Praperadilan yang diajukan oleh Komjenpol Budi Gunawan. Walaupun penetapan
tersangka tidak termasuk dalam objek praperadilan, namun hal itu dapat
diupayakan dalam praperadilan sepanjang hal tersebut berkaitan dengan
perlindungan hak.
Bersumber pada asas praduga tidak bersalah, maka timbul hak-hak yang
diminta oleh tersangka. Setiap orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka
81
Lihat Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
53
maka terdapat hak yang telah dirampas oleh aparat penegak hukum. Kewenangan
penegak hukum dalam hal ini sangat dibatasi. Seperti yang tertuang dalam Pasal 3
KUHAP yaitu: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.” Artinya kewenangan penegak hukum hanya terbatas pada apa yang
diatur oleh KUHAP.
Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law
yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan
hukum dan undang-undang, serta menempatkan kepentingan hukum dan
perundang-undangan di atas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan
masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras
dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa indonesia.
Hal ini disebut asas legalitas dalam fungsi negatif.
Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di
bawah ketentuan undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum
masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut the rule of law, bahkan mungkin
berupa penindasan.82
Komjenpol Budi Gunawan mengajukan Praperadilan terhadap penetapan
tersangka atas dirinya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Penetapan tersangka merupakan bentuk dari
pengurangan hak seseorang. Ada hak yang dilanggar ketika terjadi penetapan
82
Lihat Pasal 3 KUHAP.
54
tersangka terhadap seseorang. Chairul Huda, seorang Pakar Hukum Pidana
berpendapat bahwa penetapan tersangka termasuk dari bentuk tindakan lain yang
diatur dalam KUHAP. Sebenarnya KUHAP memberi peluang untuk mengisi
(tindakan lain), walaupun memang di penjelasan disebutkan diantaranya
penggeledahan, penyitaan, memasuki rumah atau penahanan. Namun itu bukan
norma yang membatasi tindakan lain yang disebut dalam KUHAP.83
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan
bagian dari penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia
dan sudah seharusnya dilindungi oleh pranata hukum. Hal tersebut semata-mata
untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang
kemungkinan besar terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, yang
dalam prosesnya terdapat kemungkinan ada kekeliruan, maka tidak ada pranata
lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.84
Berdasarkan hal tersebut maka praperadilan merupakan alat kontrol bagi
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sekalipun
lembaga praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum khususnya
penyidik dan penuntut umum. Tetapi dalam praktek dialami bahwa putusan
hakim dalam perkara praperadilan adalah putusan yang bersifat deklaratoir, yang
menyatakan bahwa penghentian penuntutan oleh kejaksaan atau penuntut umum
adalah tidak sah dan memerintahkan kejaksaan untuk meneruskan penuntutan.85
83
www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 6 Maret 2016. 84
Lihat pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan No 21/PUU-XII/2014. 85
Otto Kornelis Kaligis, “Korupsi Sebagai Tindakan Kriminal yang Harus diberantas
Karakter dan Praktek Hukum Indonesia”, (Jurnal Equality, 2006), hlm. 157.
55
BAB IV
KONSEKUENSI YURIDIS PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN
TERSANGKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014
A. Konsekuensi Yuridis Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka
dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
1. Kronologi Perkara
Tertanggal 26 Januari 2015 Pemohon yang bernama Drs. Budi
Gunawan, SH. MSi, Phd, telah mengajukan permohonan Praperadilan
secara tertulis dengan suratnya yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 26 Januari 2015 di bawah
Register Perkara Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.86
Pemohon adalah anggota Kepolisian Republik Indonesia
(Selanjutnya disebut sebagai Polri). Mengawali karirnya di institusi Polri
sejak lulus dari Akademi Kepolisian pada tahun 1983, hingga sampai
tahun 2015, Pemohon telah menjadi perwira tinggi Polri dengan pangkat
Komisaris Jenderal Polisi, serta menjabat sebagai Kepala Lembaga
Pendidikan Kepolisian RI (Kalemdikpol Polri).87
Dalam hal ini yang menjadi Termohon adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (Selanjutnya disebut KPK). Pemohon ditetapkan
86
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 3. 87
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 15.
56
sebagai tersangka oleh termohon atas dugaan Tindak Pidana Korupsi pada
saat Pemohon menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir
(Selanjutnya disebut Karo Binkar) sebagaimana ditetapkan berdasarkan
Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-30/01/01/2015 tanggal 12
Januari 2015. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa dugaan tindak pidana
korupsi dilakukan dalam rentang waktu tahun 2003 sampai dengan tahun
2006, sejak diangkatnya Pemohon berdasarkan Surat Keputusan Kapolri
No. Pol. : Skep/217/IV/2003, tanggal 24 April 2003 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri a.n
Drs. Budi Gunawan, SH. MSi, Phd, Pangkat Kombes Pol. Nrp. 59120980,
dari jabatan lama Pamen Mabes Polri (Ajudan Presiden R.I.) ke jabatan
baru Karo Binkar Desumdaman Polri terhitung mulai tanggal 24-04-
2003.88
Pemohon mengajukan gugatan Praperadilan kepada Termohon
dengan beberapa alasan. Terutama mengenai penetapan tersangka atas diri
Pemohon yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, akan
menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak dan harkat martabat
Pemohon. Berikut akan penulis uraikan alasan-alasan permohonan
Praperadilan yang dikemukan oleh Pemohon.
Pada tanggal 13 Januari 2015 Termohon mengumumkan kepada
khalayak ramai dalam press conference (jumpa pers/pemberian
88
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 236.
57
keterangan di depan media massa) bahwa Termohon telah menetapkan
Pemohon sebagai tersangka Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12
B Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dimana dikatakan oleh
Termohon bahwa hal itu sehubungan dengan dugaan terjadinya transaksi
mencurigakan/ tidak wajar dan/atau dugaan penerimaan hadiah atau
janji.89
Dalam hal ini, Termohon tidak pernah memberikan pemberitahuan
atau surat apapun kepada Pemohon yang berhubungan dengan keterangan
mengenai persangkaan pasal-pasal dan peristiwa pidana yang
mengakibatkan Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka.
Dikatakan juga di media massa bahwa penyelidikan perkara
tersebut telah dilakukan sejak bulan Juli tahun 2014, namun baru pada hari
Senin 12 Januari 2015 diyakini oleh Termohon bahwa ada tindak pidana
dimaksud yang dilakukan oleh Pemohon pada periode Tahun 2004-2006
saat Pemohon menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier SDM
Mabes Polri.90
Pemohon sama sekali tidak tahu peristiwa seperti apa yang
disangkakan kepada Pemohon oleh Termohon. Hal ini dikarenakan
Pemohon sama sekali tidak pernah diundang ataupun dipanggil oleh
89
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 16. 90
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 17.
58
Termohon untuk dimintai keterangannya terkait proses penanganan
perkara yang berhubungan dengan dugaan/tuduhan/sangkaan bahwa
Pemohon diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik dalam tingkat
penyelidikan mau penyidikan oleh Termohon.91
Pemohon juga berpendapat bahwa Pemohon telah terlebih dahulu
ditetapkan sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu dilakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dengan demikian, makna dari penyidikan harus terlebih dahulu
mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi, dari bukti-bukti tersebut baru kemudian ditetapkan
tersangkanya. Akan tetapi, pada kenyataannya terhadap Pemohon telah
ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka baru kemudian Termohon
mencari bukti-bukti dengan memanggil para saksi dan melakukan
91
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 18.
59
penyitaan terhadap rekening-rekening yang berhubungan dengan
Pemohon.
2. Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Pertimbangan hakim adalah upaya penting dalam menemukan sisi
keadilan. Ronald Dworkin mengungkapkan, membaca UUD itu tidak
sama dengan membaca peraturan biasa. Kita perlu membaca lebih
sungguh-sungguh (talking law seriously) dan membaca UUD sebagai
pesan moral (the moral reading of the constitution).92
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel memutuskan untuk mengabulkan
permohonan praperadilan Komjenpol Budi Gunawan (sebagai pemohon)
untuk sebagian, menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-
30/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (sebagai
termohon) adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, menyatakan
penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon adalah
tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, menyatakan penetapan tersangka
atas diri Pemohon adalah tidak sah, serta menyatakan tidak sah segala
92
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks”, (Jakarta: Rajawali Press, cet.
Pertama 2011), hlm. 164.
60
keputusan dan penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon
yang berkaitan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon.93
Dalam memutuskan perkara ini, hakim mempertimbangkan
beberapa hal. Pertama, menurut pertimbangan hakim, Pemohon bukanlah
subjek hukum pelaku Tindak Pidana Korupsi yang menjadi kewenangan
Termohon untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-
undang KPK yang berbunyi:
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara.”
Sepanjang pemeriksaan perkara ini, Termohon tidak pernah
mengajukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pemohon saat
menjabat sebagai Karo Binkar adalah sebagai aparat penegak hukum atau
penyeleggara negara, sehingga Pengadilan Negeri berkesimpulan bahwa
Termohon tidak dapat membuktikan hal tersebut.
Kedua, perbuatan menerima hadiah atau janji yang disangkakan
kepada Pemohon oleh Termohon dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak dikaitkan dengan
timbulnya kerugian negara, karena perbuatan tersebut berhubungan
93
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. hlm. 242.
61
dengan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan, sehingga dengan
demikian apa yang diduga dilakukan oleh Pemohon tidaklah
menyebabkan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77
KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa “sah tidaknya penetapan
tersangka” tidak termasuk objek praperadilan, karena hal ini tidak diatur.
Lantas, apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan
pertimbangan bahwa “hukum tidak mengatur” atau “hukum tidak ada”.
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim untuk
menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dengan adanya aturan ini, tentunya melahirkan kewenangan yang
diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula
hukumnya tidak ada menjadi ada atau yang semula hukumnya kurang
jelas menjadi jelas.
Oleh karena itu, terkait permohonan pemohon, karena hukum
positif tidak mengatur lembaga mana yang akan menguji keabsahan
62
penetapan tersangka atas diri Pemohon, maka hakim harus menetapkan
hukumnya bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan
segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum
diatur dalam Pasal 77 KUHAP ditetapkan menjadi objek Praperadilan dan
lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan
penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum
dalam proses penuntutan adalah Lembaga Praperadilan. Hakim
berpendapat bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian
tindakan penyidik dalam proses penyidikan.
3. Analisis Penulis
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa
penetapan tersangka merupakan pengurangan hak serta kebebasan
seseorang dan merupakan tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum. Oleh karena dengan ditetapkannya seseorang
sebagai tersangka, maka nama baik dan kebebasan seseorang telah
dibatasi.
Tindakan yang dilakukan oleh KPK (Termohon) terhadap
Komjenpol Budi Gunawan (Pemohon) yaitu menetapkannya sebagai
tersangka merupakan tindakan yang melanggar asas praduga tidak
bersalah. Termohon mengungkapkan kepada publik status Pemohon
63
sebagai tersangka yang sama sekali tuduhan tersebut tidak pernah
dikonfirmasi kepada Pemohon.
Asas praduga tidak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.94
Tindakan Termohon dalam hal ini tidak dapat dibenarkan. Apabila
Pemohon sendiri belum dibuktikan kesalahannya, lalu bagaimana
Termohon dapat mengumumkan penetapan status tersangka terhadap diri
Pemohon di depan khalayak ramai. Tindakan yang dilakukan Termohon
sudah jelas akan merusak nama baik dan merampas hak kebebasan
Pemohon. Bahkan penetapan status tersangka bisa menyebabkan
seseorang kehilangan jabatannya.
Dalam hal ini prinsip asas praduga tidak bersalah sangatlah
penting. Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini berdasarkan Al-Qur‟an Surah Al-
Hujuraat ayat 12:
94
Lihat Penjelasan Umum butir 3 huruf c KUHAP.
64
ه الظه إن بعض الظه إثم ولآ يب أيهب الذيه آمىىا اجتىبىا كثيزا م (24: 24/ )الحجزاث ...تجسسىا ولآ يغتب بعضكم بعضب
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain..” (Q.S. Al-Hujuraat 49:12)
Berkaitan erat dengan asas praduga tidak bersalah adalah batalnya
hukum karena adanya keraguan. Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa,
“Hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah dalam menghukum.”95
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum Islam meletakkan asas
praduga tidak bersalah sebagai landasan dari aturan-aturan pidana
substantif dan prosedural. Sebagai konsekuensi yang tidak terpisah,
keraguan yang belum dapat dihilangkan harus menjadi keuntungan
terdakwa, bukan merugikannya. Dengan demikian keraguan itu dapat
menjadi dasar bagi putusan bebas dan tidak dapat menjadi dasar bagi
terbuktinya kejahatan, karena penghukuman harus didasarkan pada
ketegasan dan keyakinan.96
Penetapan status seseorang menjadi tersangka merupakan proses
dari penyidikan yang didalamnya terdapat kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari aparat penegak hukum. Apabila tindakan
95
Topo Santoso, “Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Moderenitas”, (Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, cet. Keempat 2001), hlm. 121. 96
Topo Santoso, “Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Moderenitas”, hlm. 129.
65
penetapan tersangka itu dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang
benar, maka dimana seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka
meminta perlindungan haknya dan mengajukan permohonan untuk
keabsahan penetapan tersangka itu.
Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ketika seseorang
yang sudah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa ingin meminta
perlindungan haknya, maka pada saat yang sama timbul kewajiban dari
penegak hukum untuk melindungi hak tersebut. Hal ini dikarenakan
adanya hak-hak yang dirampas ketika seseorang ditetapkan sebagai
tersangka.
Menurut penulis, dalam hal ini Pasal 77 KUHAP dapat diperluas
sehingga mencakup penetapan tersangka sepanjang permintaan tersebut
berkaitan dengan perlindungan hak. Lembaga praperadilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 77 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk
menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan
tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat
atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah
tidaknya tindakan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan
penyidikan dan penuntutan.
66
Luhut M. Pangaribuan mengemukakan bahwa lembaga
praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-
trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas
Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam
masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak
kemerdekaan seseorang. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa praperadilan merupakan hak dari tersangka/terdakwa yang menjadi
kewajiban aparat penegak hukum untuk memenuhinya.
B. Konsekuensi Yuridis Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Untuk dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu
Undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan pengujian, harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:97
a. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
97
Republik Indonesia, Pasal 51 ayat (1), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
67
d. Lembaga negara.
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK;
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian.
Tertanggal 17 Februari 2014 pemohon yang bernama Bachtiar
Abdul Fatah yang memiliki status pekerjaan sebagai Karyawan di PT
Chevron Pasific Indonesia, mengajukan permohonan untuk pengujian
Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77
huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Permohonan yang diterima di kepaniteraan MK
pada tanggal 17 Februari 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Pemohonan Nomor 56/PAN.MK/2014, dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 26 Februari 2014 dengan
68
Nomor 21/PUU-XII/2014, yang telah diperbaiki dan diterima di
kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 April 2014.98
Kedudukan hukum (legal standing) pemohon adalah sebagai
perorangan warga negara Indonesia berdasarkan Kartu Tanda Penduduk.
Dalam hal ini pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan karena sebagai warga negara Indonesia
pemohon memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Pemohon memiliki syarat
kualifikasi sebagai pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal
standing), sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan pengujian
terhadap Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1),
Pasal 77 huruf a dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana yang dianggap telah merugikan hak
konstitusional pemohon sebagaimana yang telah dijaminkan oleh UUD RI
1945.
2. Alasan-alasan Permohonan
Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
melakukan pengujian undang-undang (judicial review) pada Pasal 1 angka
2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan
98
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hlm 2.
69
Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam hal ini, penulis hanya akan membahas pengujian undang-
undang pada Pasal 77 huruf a KUHAP terkait penulisan skripsi yang
penulis tulis. Isi dari Pasal 77 huruf (a) adalah:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.”
Konsep praperadilan yang berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP
yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, jelas tidak sepenuhnya dapat memberikan perlindungan yang
cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran hak asasi manusia yang
dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Menurut keterangan dari pemohon bahwa dalam ketentuan Pasal
77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup sah
atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat.99
99
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hlm 21.
70
Pemohon berpendapat bahwa rumusan dari Pasal 77 huruf a
KUHAP sangat sempit dan limitatif sehingga tidak mencakup seluruh
upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik. Rumusan yang bersifat
terbatas dan limitatif tersebut jelas bertentangan dengan proses due
process of law karena sejumlah upaya paksa yang tidak disebutkan dalam
Pasal 77 huruf a KUHAP menjadi tidak dapat diuji keabsahannya melalui
Praperadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”, Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.”, dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang
berbunyi: “Untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.”100
Dengan adanya pemberlakuan Pasal 77 huruf a KUHAP, Pemohon
merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon telah
diberlakukan proses pidana yaitu penetapan diri Pemohon sebagai
tersangka oleh aparat penegak hukum. Pemohon mengajukan praperadilan
terhadap penetapan tersangka atas dirinya pada Pengadilan Negeri Jakarta
100
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hlm 21.
71
Selatan. Pemohon berharap agar permohonannya dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 77 huruf a KUHAP yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup
penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.
3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.101
Putusan hukum lazimnya disebut vonis melahirkan norma hukum baru,
yang sebelumnya tidak ada. Dengan putusan hakim, subjek hukum baik
orang maupun badan hukum yang sebelumnya tidak berhak menjadi
memiliki hak, demikian juga sebaliknya, yang tadinya memiliki hak
menjadi tidak memiliki hak.102
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, maka berakibat langsung terhadap pasal yang diujikan. Salah
satunya adalah Pasal 77 huruf a KUHAP. Kewenangan Pasal 77 huruf a
KUHAP menjadi diperluas yaitu mencakup penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan.
101
Republik Indonesia, Pasal 47, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. 102
Taufiqurrahman Syahuri, “Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum”, (Jakarta: Kencana,
cet. Kedua 2011), hlm. 212.
72
Kemudian seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan
merasa bahwa penetapan tersebut dilakukan tanpa prosedur hukum yang
jelas dapat meminta perlindungan haknya melalui pranata praperadilan.
Demi mewujudkan hak yang dijaminkan oleh UUD RI 1945 terhadap hak
konstitusional seseorang yang merasa dirugikan dengan adanya undang-
undang tertentu dan dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945.
Setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip
kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat
dimintakan perlindungan haknya kepada pranata praperadilan, meskipun
hal tersebut dibatas secara limitatif oleh ketentuan Pasal 77 huruf a
KUHAP. Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang
di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari
penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
Sementara itu, penyidikan itu sendiri menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP
adalah:
“serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.”
Apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP itu telah dilakukan secara ideal
dan benar, maka permohonan praperadilan tidak perlu dilakukan. Namun
apabila sebaliknya, jika Pasal 1 angka 2 KUHAP itu tidak dilakukan
secara benar, lalu dimana seseorang yang sudah ditetapkan sebagai
73
tersangka memperjuangkan haknya bahwa ada yang salah dalam
menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal dalam UUD 1945
dikatakan bahwa setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Oleh karena penetapan tersangka merupakan proses dari
penyidikan yang merupakan perampasan hak asasi seseorang maka
seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang
dapat dimintakan perlindungan haknya melalui pranata praperadilan. Jika
dalam proses penyidikan ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata
lain selain pranata praperadilan yang dapat memutusnya.
Dengan keluarnya putusan MK ini akan menjadi landasan para
hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan bahwa penetapan
tersangka masuk dalam objek Praperadilan dan perselisihan pendapat yang
kadang terjadi mengenai Praperadilan tentang penetapan tersangka bisa
diakhiri. Kini putusan MK ini menjadi berita baik bagi para tersangka
yang tidak puas atas keputusan penyidik yang memberikan keputusan
penetapan tersangka kepada dirinya, sehingga bisa menempuh upaya
Praperadilan untuk mendapatkan keadilan.
Peradilan Konstitusi melalui putusannya juga dapat meminta
Parlemen dalam hal ini DPR untuk melakukan perbaikan terhadap
74
undang-undang (legislative revision) yang dianggap bermasalah,103
artinya
bahwa efek langsung dari putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah DPR
mempunyai kewajiban yang dibebankan karena putusan tersebut yaitu
merevisi pasal yang telah disengketakan agar adanya kejelasan hukum dan
kekuatan hukum.
103
Ahmad Syahrizal, “Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif)”, (Jakarta: Pradnya Paramita, cet. Kesembilan
2006), hlm. 268.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis dapat memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Objek Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP dapat diperluas sehingga
mencakup penetapan tersangka. Penetapan status seseorang menjadi
tersangka merupakan proses dari penyidikan yang di dalamnya terdapat
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum,
sehingga menyebabkan terjadinya perampasan hak dari seorang
tersangka/terdakwa. Sepanjang itu berkaitan dengan hak, maka Pasal 77
KUHAP dapat diperluas, karena jika dilihat dari rumusan pengertian Pasal
77 jo Pasal 1 angka 10 KUHAP bersifat limitatif atau sangat terbatas.
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis telah menjelaskan sebelumnya,
bahwa kewenangan penegak hukum ada dua. Kewenangan yang pertama
adalah kewenangan yang berkaitan dengan proses.104
Kewenangan ini
dibatasi oleh asas legalitas dalam Pasal 3 KUHAP yang berbunyi
“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Hal ini membuktikan kewenangan penegak hukum tidak dapat diperluas
dan sangat dibatasi oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan yang
104
Lihat penjelasan pada BAB III, hlm. 44.
76
kedua adalah kewenangan yang berkaitan dengan perlindungan hak.
Kewenangan penengak hukum dapat diperluas sesuai dengan permintaan
perlindungan hak dari tersangka/terdakwa. Alasannya adalah ketika
seseorang meminta perlindungan haknya, maka pada saat yang bersamaan
timbul kewajiban penegak hukum untuk melindungi hak seseorang
tersebut.
2. Konsekuensi yuridis praperadilan terhadap penetapan tersangka sebelum
dan sesudah Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014:
a. Sebelum adanya Putusan MK:
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 tentang penetapan tersangka, hakim yang diminta
untuk mengadili hal tersebut melakukan penemuan hukum. Karena
walaupun penetapan tersangka tidak termasuk dalam ranah
praperadilan, hakim tidak boleh menolak perkara tersebut hanya
karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Berdasarkan Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
menggalinya.”
Alasan kedua penyebab hakim melakukan penemuan hukum adalah
karena ada hak yang diminta dari seorang tersangka/terdakwa
77
sehingga menimbulkan kewajiban penegak hukum untuk melindungi
hak tersebut. Oleh karena itu, objek praperadilan diperluas sehingga
mencakup penetapan tersangka.
b. Setelah adanya Putusan MK:
Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014, maka objek praperadilan yang mencakup
penetapan tersangka menjadi jelas dan berkepastian hukum mengikat.
Mahkamah berpendapat bahwa konsep praperadilan yang berdasarkan
Pasal 77 KUHAP yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap
sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan dan penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya
memberikan perlindungan yang cukup bagi seorang
tersangka/terdakwa. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 mencerminkan bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum yang menjamin setiap hak yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
B. Saran
Secara substansi hukum, ketika suatu aturan diundangkan, maka
seharusnya undang-undang tersebut menyesuaikan dengan dinamika yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat, agar undang-undang tidak bersifat kaku
dan mutlak. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
78
XII/2014, penulis menyarankan agar menyegerakan pengesahan RUU
KUHAP dengan dimuatnya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan,
hal tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia
dalam proses Hukum Acara Pidana.
Selain itu, mengenai tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum haruslah diperketat pengawasannya. Hal ini diupayakan agar tidak ada
tindakan aparat penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) dan diharapkan tindakan Penyidik dilakukan sesuai dengan
prosedur hukum yang jelas. Artinya, jika penegak hukum melakukan
kewenangannya dengan baik, maka hak-hak dari para tersangka/terdakwa pun
menjadi terjamin dan mendapatkan keadilan.
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al-Qur‟anul Karim.
Abdurrahman, “Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia”
Bandung: Alumni, 1980.
Ahmadi, Fahmi M dan Jaenal Arifin. “Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Ashworth, Andrew. “Human Rights, Serious Crime and Criminal Procedure”, The
Hamlyn Trust, 2002.
Al Faruq, Asadullah. “Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam”, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009.
Afiah, Ratna Nurul. “Praperadilan dan Ruang Lingkupnya”, Jakarta: Akapress, 1986.
Cipto Hestu, Handoyono. “Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia” Yogyakarta: Grafika, 2003.
Harahap, M Yahya. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali” Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan)”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hamzah, Andi. “Hukum Acara Pidana Indonesia”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ibrahim, Johnny. “Teori, Metode, dan Penelitian Hukum Normatif”, Malang:
Bayumedia Publising, 2007.
Kaligis, Otto Cornelis. “Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa
dan Terpidana (Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia)”, Bandung:
Alumni, 2006.
80
Loqman, Loebby. “Pra-peradilan di Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Merpaung, Leden. “Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan
Penyidikan)”, Jakarta : Sinar Grafika, 2011.
Mulyadi, Lilik. “Hukum Acara Pidana”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Mu‟ammal Hamidy, Imron Am, Umar Fanany. “Terjemahan Najlul Authar Jilid 6:
Himpunan Hadist-hadist Hukum”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2005.
Nusantara, Abdul Hakim. “KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan”, Jakarta:
Bhineka Surya Pratama. 2008.
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM). Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat:
2012.
Pangaribuan, Luhut M. P. ”Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan
oleh Advokat: Praperadilan, eksepsi, pledoi, duplik, memori banding, kasasi,
peninjauan kembali”, Jakarta: Djambatan, 2006.
Packer, Herbert. “The Limits of Criminal Sanction”, California: Stanford University
Press.
Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Departemen
Kehakiman Republik Indonesia: 1982.
Purnomo, “Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981”, Yogyakarta: Liberty, 1993.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks”, Jakarta: Rajawali Press,
2011.
Soekanto, Soerjono dan Srimamudji. “Penelitian Hukum Normatif”, Cet. V, Jakarta:
Indo-Hill-Co, 2001.
Soekanto, Soerjono dan Srimamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu tinjauan
singkat)”. Cet. IV, Jakarta: Pt. Grafindo Persada, 1995.
81
Sunggono, Bambang. “Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.
Santoso, Topo. “Menggasa Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Moderenitas”, Bandung: Asy Syamamil dan Grafika, 2001.
Saleh, Roeslan. “Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana”, Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Syahuri, Taufiqurrahman. “Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum”, Jakarta:
Kencana, 2011.
Syahrizal, Ahmad. “Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif)”,
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
B. Jurnal/Artikel
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan versus Hakim Komisaris: Beberapa
Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, makalah diajukan dalam seminar
sosialisasi RUU KUHAP yang diadakan oleh Departemen Kehakiman dan
HAM, Jakarta, 27 November 2001.
Chairul Huda, 2010. “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pemakaiannya
dalam Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi No 2.
Kaligis, Otto Cornelis. “Korupsi Sebagai Tindakan Kriminal yang Harus diberantas
Karakter dan Praktek Hukum Indonesia”, Jurnal Equality, 2006.
C. Undang-Undang
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
D. Website
www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 6 Maret 2016.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang memeriksa dan mengadili
perkara Praperadilan pada peradilan tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan
sebagai berikut dalam perkara antara :
Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH., Msi., beralamat di Jalan
Duren Tiga Barat VI No. 21, Pancoran, Jakarta Selatan, dalam hal
ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang bernama DR. Agung
Makbul, Drs., SH., MH., Ricky HP. Sihotang, SH., Anwar Efendi,
SIK, SH., MH., Deddy Sudarwandi, SH., MBA, Fidian Suprihati,
SH., MH., Sis Mulyono, SH., MH., Adri Efendi, SH., MH., Binsan
Simarangkir, SH., Syahril, SH., Bambang Wahyu Broto, SH., Tonika
Alfatawira, SH., Partoyo SH., MHum., DR. Maqdir Ismail, SH.,
LL.M, Ignatius Supriyadi, SH., Marselinus K. Rajasa, SH., LL.M,
Banuara Manurung, SH,, MH., Dr. R.M. Panggabean, SH., MH.,
Hertanto, SH., Sayed Muhammad Muliady, SH., Yanuar P.
Wasesa, SH., M.Si, MH., Joel Baner Toendan, SH., MH., Meike
Wirdiati, SH., MH., Yulius Irawansyah, SH., MH., Dr. Fredrich
Yunadi, SH., LL.M, Dr. Rico Pandeirot, SH., LL.M, Aryanto Sutadi,
SH., MH., berdasarkan Surat Perintah Kapolri Nomor: B/120/I/2015
tanggal 19 Januari 2015, Surat Tugas Kapolri Nomor: B/4/I/2015
tanggal 16 Januari 2015, dan Surat Kuasa Khusus tanggal 23
Januari 2015 yang dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor
Hal. 1 dari 221 Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Divisi Hukum Polri Jalan Trunojoyo Nomor 3 Kebayoran Jakarta
Selatan, selanjutnya disebut sebagai ….………........... PEMOHON ;
TERHADAP:
Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK cq. Pimpinan KPK, beralamat di Jl. HR
Rasuna Said Kav C-1, Setiabudi, Jakarta Selatan (12920), dalam
hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang bernama Chatarina M.
Girsang, SH., SE., MH., Nur Chusniah, SH., MHum., Rasamala
Aritonang, SH., MH., Rini Afriyanti, SH., MKn, Indah Oktianti
Sutomo, SH., MHum., Juliandi Tigor Simanjuntak, SH., MH., Mr.
(Droit) Anatomi Muliawan, SH., Indra Mantong Batti, SH., LL.M,
Suryawulan, SH., MH., R. Natalia Kristianto, SH., Mia Suryani
Siregar, SH., masing-masing selaku pegawai KPK berkedudukan di
Jakarta, beralamat di Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-1, Jakarta
Selatan 12920, berdasarkan Surat Kuasa Nomor
SKS-05/01-55/01/2015 tanggal 29 Januari 2015, selanjutnya
disebut sebagai …………………………………………..
………………... TERMOHON ;
PENGADILAN NEGERI tersebut ;
• Telah membaca surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
tanggal 26 Januari 2015 No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., tentang penunjukan
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini ;
• Telah membaca surat penetapan Hakim tertanggal 26 Januari 2015 No. 04/
Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. tentang penentuan hari sidang pertama ;
• Telah membaca surat gugatan dan surat-surat lainnya yang berkaitan ;
• Telah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ;
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan Permohonan Praperadilan
secara tertulis dengan suratnya tertanggal 26 Januari 2015 yang telah didaftarkan
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 26 Januari 2015
di bawah Register Perkara Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN.
1. Perlu dipahami dan diketahui bahwa terlahirnya lembaga Praperadilan
adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya
hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan
jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak
kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui
suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan
hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau
tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin
bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.
2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab
X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP Jo. Bab VIII
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUKPK), secara jelas dan tegas
dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk
Hal 3 dari 244 Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Dengan demikian mengacu kepada ruh atau asas fundamental KUHAP
(perlindungan hak asasi manusia) Jo. ketentuan Pasal 17 UU HAM Jo. Pasal 2
angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN
INTERNASIONAL, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang
Aparatur Negara dalam melaksanakan KUHAP melalui lembaga Praperadilan
telah secara sah mengalami perluasan sistematis (de systematische
interpretatie) termasuk meliputi penggunaan wewenang Penyidik yang bersifat
mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan
seseorang sebagai tersangka secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum,
sehingga tidak hanya terbatas pada pengujian wewenang yang ditentukan
dalam Pasal 77 KUHAP yaitu (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.
A. FAKTA-FAKTA.
1. Bahwa Pemohon adalah anggota Kepolisian Republik Indonesia
(selanjutnya disebut sebagai “Polri”). Mengawali kariernya di institusi
Polri sejak lulus dari Akademi Kepolisian pada Tahun 1983, hingga
sampai Tahun 2015 ini, Pemohon telah menjadi perwira tinggi Polri
dengan pangkat Komisaris Jenderal Polisi, serta menjabat sebagai
Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI (Kalemdikpol Polri).
2. Bahwa Pemohon sebagai Anggota Polri selalu siap diserahi tugas,
jabatan, maupun tanggung jawab apapun sesuai ketentuan Undang-
Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Hal 15 dari 244 Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
(selanjutnya disebut “UU Polri”) dan perundang-undangan terkait
lainnya.
3. Bahwa sebagaimana diberitakan secara luas di media massa, Presiden
Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Presiden Republik
Indonesia Nomor : R-01/Pres/01/2015 tertanggal 9 Januari 2015, perihal
Pemberhentian dan Pengangkatan Kapolri (selanjutnya disebut sebagai
“Surat Presiden RI”), yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (“DPR RI”). Pada pokoknya Surat Presiden
RI tersebut berisi permintaan persetujuan kepada DPR RI untuk
mengangkat Pemohon sebagai Pejabat Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “Kapolri”) menggantikan Bapak
Jendral Polisi Sutarman. Berkaitan dengan hal itu, Pemohon sama
sekali tidak mencampurinya, mengingat hal tersebut adalah wewenang
mutlak Presiden Republik Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Bahwa Pemohon pada tanggal 14 Januari 2015, telah memenuhi
undangan/ panggilan dari DPR RI untuk menjalani fit & proper test (in
casu, Uji Kelayakan & Kepatutan) sebelum DPR RI mengambil
keputusan untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Surat Presiden RI a quo.
5. Bahwa namun demikian, sebagaimana diberitakan secara luas di media
massa, pada tanggal 13 Januari 2015 Termohon mengumumkan pada
khalayak ramai dalam press conference (jumpa pers/pemberian
keterangan di depan media massa) bahwa Termohon telah menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka tindak pidana korupsi sebagaimana
16
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dimaksud Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B
UU Tipikor, dimana dikatakan oleh Termohon bahwa hal itu sehubungan
dengan dugaan terjadinya transaksi mencurigakan/ tidak wajar dan/atau
dugaan penerimaan hadiah atau janji.
Dalam hal ini, Termohon tidak pernah memberikan pemberitahuan atau surat
apapun kepada Pemohon yang berhubungan dengan keterangan mengenai
persangkaan pasal-pasal dan peristiwa pidana yang mengakibatkan Pemohon
ditetapkan sebagai Tersangka.
6. Bahwa juga dalam keterangannya di media massa, dikatakan oleh
Termohon bahwa penyelidikan perkara tersebut telah dilakukan sejak
bulan Juli Tahun 2014, namun baru pada hari Senin tanggal 12 Januari
2015 diyakini oleh Termohon bahwa ada tindak pidana dimaksud yang
dilakukan oleh Pemohon pada periode Tahun 2004 – 2006 saat
Pemohon menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier SDM Mabes
Polri. Namun di sisi lain juga dikatakan oleh Termohon bahwa telah
pernah dilakukan expose perkara dimaksud pada Tahun 2013.
7. Bahwa Pemohon sama sekali tidak tahu-menahu peristiwa yang
disangkakan kepada Pemohon oleh Termohon terkait peristiwa tertentu
yang mana? Seperti apa kejadiannya? Di mana dan kapan? Jika terkait
dengan rekening Pemohon, rekening yang mana? Tanggal berapa?
Pada transaksi spesifik yang mana dalam rekening Pemohon dan
jumlahnya berapa? Siapa yang memberi hadiah atau menyuap
Pemohon? Hal ini terjadi karena memang sejatinya Pemohon sama
sekali tidak pernah dimintai keterangan oleh Termohon, sejak kurun
waktu 2004-2006, 2010, 2013 dan 2014.
Hal 17 dari 244 Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
8. Bahwa Pemohon tidak pernah sama sekali diundang maupun dipanggil
oleh Termohon untuk dimintai keterangannya terkait proses penanganan
perkara yang berhubungan dengan dugaan/tuduhan/sangkaan bahwa
Pemohon diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, baik dalam tingkat penyelidikan maupun penyidikan oleh
Termohon. Sekali lagi, sama sekali tidak pernah.
9. Bahwa lebih lanjut, penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh
Termohon tersebut ditindaklanjuti dengan upaya pencegahan terhadap
diri Pemohon oleh Termohon. Tidak berhenti sampai di situ, Termohon
juga melakukan upaya pencegahan terhadap anak dari Pemohon.
Pemohon tidak pernah mengetahui secara jelas dan pasti perihal
peristiwa yang dituduhkan kepadanya itu sebenarnya seperti apa, kapan
dan bagaimana (bukankah Pemohon sama sekali tidak pernah dipanggil
apalagi dimintai keterangan oleh Termohon terkait perkara yang sedang
dilakukan penyelidikan/penyidikannya oleh Termohon untuk selanjutnya
digunakan sebagai dasar untuk menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka ?!?).
10.Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka tanpa terlebih
dahulu dilakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
18
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Binkar (Kepala Biro Pembinaan Karir) sebagaimana ditetapkan berdasarkan Surat
Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 (vide
bukti T-9), dan dalam bukti T-9 tersebut dikatakan bahwa dugaan tindak pidana
korupsi tersebut dilakukan dalam rentang waktu tahun 2003 sampai dengan tahun
2006, sejak diangkatnya Pemohon berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. :
Skep/217/IV/2003, tanggal 24 April 2003 tentang Pemberhentian dan
Pengangkatan Dalam Jabatan di Lingkungan Polri a.n. Drs. BUDI GUNAWAN, SH.
MSi, Phd, Pangkat Kombes Pol. Nrp. 59120980, dari Jabatan Lama Pamen Mabes
Polri (Ajudan Presiden R.I.) ke Jabatan Baru Karo Binkar Desumdaman Polri
terhitung mulai tanggal 24-04-2003 (vide bukti P-12) ;
Menimbang, bahwa selanjutnya timbul pertanyaan, apakah Pemohon
termasuk orang-orang sebagai subjek hukum pelaku Tindak Pidana Korupsi yang
menjadi kewenangan KPK (Termohon) untuk melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi ?
Menimbang, bahwa yang pertama kali perlu dibuktikan adalah mengenai
jabatan Pemohon sebagai Karo Binkar (Kepala Biro Pembinaan Karir), apakah
jabatan tersebut dalam organisasi Polri termasuk aparat penegak hukum dan atau
penyelenggara negara? ;
Menimbang, bahwa dalam Lampiran D Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/53/
X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan
Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Organisasi dan Tata Kerja Staf Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (Sde
SDM Polri), disebutkan bahwa Karo Binkar berupakan salah satu unsur pelaksana
dari Sde SDM dan menurut pasal 4 Keppres Nomor 70 tahun 2002 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Deputi Kapolri
236
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 236
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian ;
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015
tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka
oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak
berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak
mempunyai kekuatan mengikat ;
3. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa
pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5
ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya
Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ;
4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh
Termohon adalah tidak sah ;
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan
lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka
terhadap diri Pemohon oleh Termohon ;
6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil ;
242
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 242