ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM …digilib.unila.ac.id/26851/3/SKRIPSI TANPA BAB...

72
ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM PERKARATINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk) (Skripsi) Oleh WANDA RARA FAREZHA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

Transcript of ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM …digilib.unila.ac.id/26851/3/SKRIPSI TANPA BAB...

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM

PERKARATINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)

(Skripsi)

Oleh

WANDA RARA FAREZHA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)

Oleh

Wanda Rara Farezha

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus

tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka. Putusan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk atas nama Tersangka Mohammad Reza Pahlevi diduga

melakukan Tindak Pidana Korupsi proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa

kurang mampu SD/MI/SMP/MTS. Hakim mengabulkan putusan praperadilan

tentang tidak sahnya penetapan sebagai tersangka serta mengabaikan alat bukti

surat yang diajukan penuntut umum yang hanya salinan fotokopi. Hal ini menjadi

permasalahan karena alat bukti surat tersebut terdapat legalitas tanda tangan dan

cap stempel basah. Maka peneliti melakukan penelitian tentang pertimbangan

putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan

Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjkdan akibat hukum dari Putusan

PraperadilanNomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah

dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis

empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, mentelaah

dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas

hukum melalui penelusuran kepustakaan terkait secara langsung maupun tidak

langsung dengan penulisan skripsi ini. Penelusuran bahan-bahan kepustakaan

dilakukan dengan mempelajari asas-asas, teori-teori, konsep-konsep serta

peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Hasil pembahasan dari Putusan PraperadilanNomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk

adalah dilaksanakannya penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan alat

bukti berupa keterangan saksi dan alat bukti surat hasil Audit BPKP serta alat

bukti petunjuk. Hakim menolak alat bukti petunjuk sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 183 ayat (3) KUHAP.Dalam pengadilan, Hakim telah mempertimbangkan

bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah berdasarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan praperadilan

harusnya berdasarkan pembuktian administratif, tidak boleh masuk ke dalam

pokok perkara.

Wanda Rara Farezha

Dengan demikian, maka upaya hukum lain dapat dilakukan dengan mengajukan

Peninjauan Kembali berdasarkanpengecualian yang dimaksud dari Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014.

Berdasarkan uraian di atas, maka praperadilan harus melakukan pengaturan yang

lebih sistematis, rinci dan lebih jelas lagi dalam revisi Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai upaya hukum serta dapat dijadikan

upaya kontrol dalam peradilan. Menurut peneliti, proses Praperadilan akan lebih

baik jika berdasarkan RUU KUHAP, karena pada prakteknya diharapkan Sistem

Hakim Komisaris menjadi lembaga pengawasan aparat penegak hukum yang

terbuka dan akuntabilitas serta mampu melakukan pengawasansecara baik.

Kata Kunci : Praperadilan, Putusan Hakim, Korupsi

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PRAPERADILAN DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)

Oleh

WANDA RARA FAREZHA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Jaya pada tanggal 10

Februari 1995. Penulis merupakan anak pertama dari 3

(tiga) bersaudara. Penulis merupakan anak dari pasangan

Abdullah Ridwan dan Ibu Sundari serta dibesarkan oleh

Ibu Amita, S.E., M.M.

Penulis mengawali pendidikan formal pertama kali pada Taman Kanak-Kanak

Bandar Harapan diselesaikan pada tahun 2001, lalu melanjutkan Sekolah Dasar

Negeri 1 Bandar Jaya diselesaikan pada tahun 2007, lalu melanjutkan Sekolah

Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2010,

dan dilanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan

pada tahun 2013.Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung pada tahun 2013melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, Penulis mengikuti

seminar daerah maupun nasional dan organisasi yaitu KMB BEM UNILA tahun

2013, UKM-F MAHKAMAH FH Unila sebagai Anggota Bidang Kajian dan

Penelitian pada tahun 2014-2015, Seketaris Umum UKM-F priode 2015-2016,

PLT Ketua Umum UKM-F MAHKAMAH priode 2015-2016, anggota Komisi II

DPM UNILA pada tahun 2015, Juara 1 debat Internal UKM-F MAHKAMAH

pada tahun 2014.

Selanjutnya pada tahun 2016 penulis mengikuti program pengabdian kepada

masyarakat, yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Giham Sukamaju,

Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat selama 60 hari. Selama menjadi

mahasiswa penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Himpunan

Mahasiswa Hukum Pidana (HIMAPIDANA), dan mengikuti Pelatihan Karya

Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Bandar Lampung dengan tema “Memperkuat Gerakan Pengabdian Bantuan

Hukum Struktural sebagai Penjaga Moral dan Keadilan”.

vii

MOTO

“Hidup adalah perubahan yang nyata, karena pilihan adalah sebuah

rencana dari suatu kehidupan”

(Wanda Rara Farezha)

“Tidak ada jalan yang terlalu panjang bagi orang yang melangkah tanpa

tergesah-gesah dan tidak ada penghargaan yang tidak dapat diraih bagi

orang yang mempersiapkan diri untuk mendapatkannya dengan

kesabaran”

(Bruyere)

“Lakukan apa yang kamu yakini, maka KEYAKINAN akan meyakinkanmu”

(Wanda Rara Farezha)

viii

PERSEMBAHAN

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati

kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Orang Tuaku

Kepada Papaku Tersayang Abdullah Riduan yang selama ini telah membesarkan

aku dengan penuh cinta, kasih sayang, perhatian, kebahagiaan, doa, motivasi,

semangat serta pengorbanannya selama ini. Terimakasih atas bimbingan dan

berbagai makna tentang kehidupan yang telah papah ajarkan kepada uan sedari

uan kecil hingga tumbuh dewasa. Papa adalah idola inspirasi dan panutan yang

sanggat uan sayangi dan banggakan.

Kepada Mamaku Tersayang Sundari yang telah melahirkanku,membimbingku

secara lembut dan sabar terimakasih untuk semangat yang tiada hentinya mama

berikan kepda uan , Doa, Kasih Sayang dan Semua Rasa Kepercayaan Sehingga

Membuat uan Menjadi Orang yang Berani, Jujur dan belajar bertanggung jawab

dalam segala yang mama ajarkan kepada uan selama ini.

Kepada Bundaku Tersayang Amita S.E., MM yang telah membesarkanku,

menjaga, mendukung, memberikan kasih sayang serta semangat untuk terus

berjuang sampai saat ini terimakasih untuk bunda yang telah selalu memberikan

kasih sayangnya dengan tulus kepada uan. Papa,mama,dan bunda adalah sumber

motivasi uan untuk berhasil menyelesaikan Pendidikan ini.

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah

SWT, Tuhan semesta alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh isinya, dan

apa yang ada diantara keduanya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak.

Sebab, hanya dengan kehendak dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Putusan Hakim Praperadilan dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung di bawah bimbingan dari dosen

pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga

senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh

keluarga dan sahabatnya yang Syafaatnya sangat kita nantikan di hari akhir kelak.

Penulis Menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan

untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini. Penyelesaian penelitian ini tidak

lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Armen Yasir, S. H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

2. Bapak Eko Rahardjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan dukungan dan

motivasi selama di Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Bapak Dr Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H., selaku pembimbing pertama yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta selalu memberi semangat

dan dukungan untuk tidak pernah putus asa. Terimakasih atas bimbingan, arahan,

saran serta masukan yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini;

5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku pembimbing kedua yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta selalu memberi semangat

dan dukungan untuk tidak pernah putus asa. Terimakasih atas bimbingan, arahan,

saran serta masukan yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini;

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku pembahas pertama yang telah

memberikan kritik, saran dan masukan yang sangat membantu penulis dalam

memperbaiki skripsi ini;

7. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H., selaku pembahas kedua yang telah

memberikan kritik, saran dan masukan yang sangat membantu penulis dalam

memperbaiki skripsi ini;

8. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., L.L.M., selaku pembimbing akademik yang

telah meluangkan waktu, membimbing dan membantu penulis dalam proses

perkuliahan;

9. Seluruh dosen, Staff dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta

segala bantuan secara teknis maupun administratif yang diberikan kepada penulis

selama menyelesaikan studi;

10. Bapak Novian Saputra, S.H., M.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung

Karang, ibu Elza Oriza selaku Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung dan Bapak Dr.

Maroni, S.H., M.H., selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung yang bersedia meluangkan sedikit waktunya pada saat

melakukan penelitian.

11. Orang tuaku tersayang, Ayahanda Abdullah Riduan, Mamahanda Sundari dan

Ibunda Amita, S.E., M.M., yang telah menjadi penyemangat terbesar penulis,

tidak dapat terukur betapa bangganya aku mempunyai orang tua hebat seperti

kalian. Terimakasih telah melahirkan, membesarkan dan memberikan kasih

sayang serta pengorbanan yang begitu besar kepadaku sehingga aku menjadi

pribadi yang penuh semangat dan ceria. Semoga kita sekeluarga dapat

dipertemukan lagi di surga, aamiin;

12. Adik-adiku tersayang, Robi Mahendra, Zhulia Tanjung, Radid Maisan Akbar,

Zetisya Kirana Tanjung, dan Zoelva Kharisma Tanjung yang telah memberikan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat

membahagiakan kedua orang tua kita;

13. Keluarga besarku, Andung Asroh Umar, mangci Ari, mama Ayu, Abi Yadhi,

mami Irma, uncu Risna, paksu Ari, tante Mia, pakcit Davit, alem , ina, yang tidak

dapat aku sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

14. Andriyansyah, S.H yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan.

Semoga kebaikan beliau menjadi amal ibadahnya;

15. For my lovely ”Someone”, thank you so much for love, advice, motivation and

support your bring to me. Untuk kamu yang telah sabar menemaniku, tetap sabar

menungguku baik dalam susah maupun senang, dalam suka maupun duka yang

terus mendewasakan kita, untuk terus semangat mengejar cita-cita yang kita

impikan selama ini. Terimakasih atas perhatiannya, doanya, dan kasih sayangnya

yang selalu menjadi penyejuk di saat aku mulai berfikir untuk menyerah, makasih

telah menjadi partner aku dalam setiap cobaan yang aku hadapi selama ini.

16. Sahabat-sahabatku yang ku temukan di masa perkuliahan Riduan Saleh, Vizay

Guntoro, Tia Nurhawa, Hendi Gusta Rianda, Prian Apandi, Wahyu Ardinata, Adit

Akbar, yang tidak bisa aku sebut satu-persatu, terima kasih atas setiap canda tawa,

nasihat serta ilmu-ilmu yang telah kalian bagi kepada ku. Semoga persahabatan

kita akan tetap terjalin sampai akhir hayat;

17. Teman-teman seperjuangan di UKM-F MAHKAMAH, Annisa Dwi Laksana,

Namuri Jaya Negara, Astrid Fauzia Zahra, Anggyka Nur Hidayana, Hardimasyah,

Anugrah Prima Utama, Risa Mahdewi dan Hendi Gusta Rianda, yang tidak bisa

aku sebut satu-persatu terima kasih atas setiap canda tawa, nasihat dan ilmu yang

telah kalian bagi kepada ku dalam berorganisasi. Semoga kita dapat dipertemukan

kembali dengan kesuksesan di tangan kita;

18. Kakak-kakakku yang ku temukan di masa perkuliahan, Julia Silviana, S.H.,

Kresna S.H., Kodri Ubaidillah, S.H., Imam Mukhlasin, S.H. dan Herra Destriana,

S.H., yang tidak bisa aku sebut satu-persatu yang telah memberi dukungan dan

bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

19. Adik-adikku yang ku temukan di masa perkuliahan,Alief, Ghozi, Ika, Popy,

Hilyana, Andrea, Aul, Bowo, Masum, Iqbal, Agung, Loli, Aci, Ajeng, Weni,

Merza, Destria, Lala, Riri, Dita, Ida, Egi, Firdi, Chan, Saptori, Rio, Hari, Egi,

Firdi, Thalia, Keke yang tidak bisa aku sebut satu-persatu yang telah memberikan

canda tawa;

20. Kanda, yunda, dan adik-adik di UKM-F MAHKAMAH yang telah menjadi

keluarga kedua ku, terimak kasih atas semua pengalaman, kebersamaan dan ilmu

yang diberikan. Semoga apa yang kita cita-citakan tercapai;

21. Teman-teman terbaikku selama menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dwitya

Pradipta, Bobby K Barasa, Azizah Aulia Fahmi, Imroatul Azizah, Devi Utami,

Citra wsd, Lusita, Ayuni Aria Pratiwi, Nadia, Ruzmalyda dan Bunga terima kasih

atas setiap kenangan yang sangat menyenangkan dan tidak akan terlupakan

selama 2 bulan KKN;

22. Sahabat-sahabat SMA, Muhammad Rendi Aulia Yudha,(mukhlas) Ade Nopandi

Putra(mail),Qomarudin Edy Saputra (Mupeng),M. Bima Putra(musang),Namuri

Jaya Negara, Novan Akbar(hantu),Deny Junizar(oom),Denrio Wirlando(0noy),

Han Hardiyansah (mens), semoga kita tetap terus berjalan didalam keberhasilan,

kesuksesan dan saling mengingatkan didalam jalan kebaikan serta kebenaran

Semoga persahabatan ini akan terus terjalin;

23. Sahabat yang dari SMP M. Irfan Kurniawan dan Annisa Mardhiyah Semoga kita

menjadi anak yang dapat membanggakan orang tua;

24. Teman seperjuangan skripsi, Dimas Abimayu, Meita Dwi Solviana, Wahyu Olan

Saputra yang telah membantu penulis dalam menulis skripsi ini.

Akhir kata, Penulis menyadari akan keterbatasan penulis dalam menulis Skripsi ini.

Akan tetapi, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang

membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan

ilmu pengetahuan.

Bandar lampung, April 2017

Penulis

Wanda Rara Farezha

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup .................................................. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .......................................................... 8

E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Umum Hukum Acara Pidana ..................................................... 16

B. Tinjauan Umum tentang Praperadilan ................................................... 19

C. Tindak Pidana Korupsi ........................................................................... 25

D. Dasar Pertimbangan Hakim dan Metode Penafsiran Hakim dalam

Menjatuhkan Putusan Pidana .................................................................. 28

E. Praperadilan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 21/PUU-XII/2014 ...................................................................... 39

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ................................................................................ 42

B. Sumber dan Jenis Data ............................................................................ 43

C. Penentuan Narasumber ........................................................................... 45

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ............................... 45

E. Analisis Data ........................................................................................... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Putusan Hakim yang Mengabulkan Permohonan

Praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk .......................................................................... 48

B. Akibat Hukum dari Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk ......................................................................... 76

V. PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................. 80

B. Saran ....................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atau

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah

atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; serta permintaan ganti kerugian

atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya

yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Praperadilan merupakan salah

satu lembaga hukum baru yang diciptakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Perdata (KUHAP).Secara tidak langsung, Praperadilan melakukan

pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam rangka penyidikan

maupun penuntutan, mengingat tindakan penyidik pada dasarnya melekat pada

instansi yang bersangkuatan dengan adanya pengawasan antara Kepolisian dan

Kejaksaan sebagai penyidik dalam hal penghentian penyidikan dan penuntutan.

Ruang lingkup praperadilan hanya mencakup penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikkan atau penghentian penuntutan, serta permasalahan

penggantian kerugian atau rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 77 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

2

(KUHAP).Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (sebelum dikeluarkannya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014), Pasal 1 butir 10 KUHAP

menyatakan:“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa

dan memutus menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang, tentang:

1. Sah atau tidaknya penangakapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke

pengadilan.”1

Mahkamah Konstitusi (MK) April 2015 lalutelah mengabulkan sebagian

pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu

mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Mahkamah Konstitusi menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek

praperadilan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHAP. Pasal 77 huruf (a)

KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk

penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu, Mahkamah

konstitusi juga menyatakan bahwa Pasal 77 KUHAP ini tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya

penetapan tersangka, penggeledahan danpenyitaan.2Dengan kata lain, penetapan

tersangka setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sah

1 HMA. Kufal, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum,Malang,UMM Pres, 2010 hlm. 251.

2http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/21_PUU-XII_2014 (diakses hari Kamis 3 November

2016, pukul 10.30 WIB)

3

atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan;penggeledahan,

penyitaan dan pemeriksaan surat, setelah putusan Mahkamah Konstitusimasuk

kedalam ruang lingkup praperadilan.

Lembaga praperadialan sejak semula dimasukkan sebagai sarana hukum yang

dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan oleh tersangka, korban, penyidik,

penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan terhadap pelaksanaan

kewenangan penegak hukum. Dengan adanya lembaga praperadilan ini, maka

setiap tindakan sewenang-wenang terhadap hak asasi manusia yang dilakukan

oleh penegak hukum dalam melakukan upaya paksa dapat dikontrol. Namun

dalam perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan

yang ada dalam proses pra-ajudikasi, karena fungsi pengawasan pranata

praperadilan hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal

yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektifnya tidak dapat

diawasi pengadilan.

Pengajuan praperadilan yang seharusnya memiliki arti penting dalam rangka

penegakan hukum, melindungi pihak-pihak (tersangka, keluarga atau kuasanya)

yang menjadi korban ketidaksewenang-wenangnya aparat penegak hukum baik

dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga penetapan sebagai tersangka.

Namun seringkali hakim praperadilan melakukan kekeliruan nyata, dimana judul

perkaranya praperadilan akan tetapi substansinya telah memasuki pokok

perkara,karena materi pokok perkara bukan dalam jangkauan lembaga

praperadilan yang semestinya menjadi pertimbangan hukum dan putusannya

bersifat pembuktian administratif.

4

Hakim harus memperhatikan segala aspek dalam membuat putusannya, yaitu

mulai dari kehati-hatian serta dihindari sedikitmungkin ketidakcermatan yang

bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan terknik dalam

membuatnya.3Anwar Usman salaku Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat

bahwa dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata

praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana

memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan

kedudukan yang sama di hadapan hukum.4Jika hal-hal negatif tersebut dapat

dihindari, tentu saja diharapkan terdapat dalam diri hakim adanya sikap atau sifat

kepuasan moral. Penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan

dalam Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, padahal penetapan

tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan

terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam

perampasan hak asasi seseorang.

Salah satu perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dengan Tersangka Mohammad Reza Pahlevi yang diduga

telah melakukan Tindak Pidana Korupsi Proyek PengadaanPerlengkapan Sekolah

Siswa Kurang Mampu SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas

Pendidikan Provinsi Lampung, sehingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar

Rp.1.453.365.189,- (satu miliar empat ratus lima puluh tiga juta tiga ratus enam

puluh lima ribu seratus delapan puluh sembilan rupiah).

3Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan

dan Permasalahannya,Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155. 4http://mahkamahkonstitusi.go.id/BeritaSidang/MK:PenetapanTersangkaMasukLingkupPraperadi

lan, April 2015, (diakses hari Kamis 3 November 2016, pukul 08.30 WIB)

5

Jaksa Penuntut Umum menetapkan Mohammad Reza Pahlevi sebagai

Tersangkaberdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: 25/N.8/Fd.1/08/2016

dan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung

Nomor: Print-27/N.8/Fd.1/08/2016 tanggal 29 Agustus 2016 untuk melaksanakan

penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi proyek pengadaanperlengkapan

sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas

Pendidikan Provinsi Lampung. Menurut Jaksa Penuntut Umum, penetapan

tersangka tersebut telah memenuhi minimal dua alat bukti sebagaimana termuat

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adapun penemuan alat bukti yang dimaksud

oleh pihak Penyidik, yaitu:

a. Keterangan Saksi, yaitu telah dilakukan pemeriksaan terhadap 2 (dua) orang

saksi (M. Irsan danJonisdar Ali).

b. Surat, yaitu berupa Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan

Negara atas Laporan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam

pengadaaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu SD/MI/SMP/MTs

Pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2012 yang

dikeluarkan oleh BPKP Nomor: SR-1001/D.6/01/2015 tanggal 23 Desember

2015.

c. Petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena terdapat

persesuaian antara keterangan saksi dan surat baik antara satu dengan yang lain

maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak

pidana korupsi dan permohonan sebagai tersangka yang telah melakukannya.

Berdasarkan dari uraian di atas, telah menjadi dasar hukum dan alat bukti bagi

Jaksa Penuntut Umum menetapkan Mohammad Reza Pahlevi sebagai tersangka.

Namun pada tahap pemeriksaan di pengadilan, alat bukti yang digunakan oleh

Jaksa Penuntut Umum tidak mememuhi syarat minimal 2 (dua) alat bukti

sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP, dimana Jaksa Penuntut Umum

hanya berhasil membuktikan satu alat bukti saja yaitu keterangan Saksi. Alat bukti

surat yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan alat bukti,

6

karena hakim praperadilan telah memeriksa dan menelitibahwa lampiran surat

tersebut hanya berupa potokopi tanpa menunjukan aslinya dari instansi penerbit

surat tersebut dalam persidangan, sebagaimana yang termuat dalam Pasal

1888KUHAP. Selain itu, alat bukti petunjuk yang digunakan oleh Jaksa Penuntut

Umum berupa alat bukti petunjuk, sebagaimana termuat dalam pasal 183 ayat 3

KUHAP.Alat bukti petunjuk adalah alat bukti yang hanya dapat digunakan oleh

Hakim, bukti petunjuk tersebut dibangun atas pengamatan Hakim dan

mempergunakannya sebagai upaya pembuktian sesuai dengan hati

nuraninya,bukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan pengembangan hukum yang dilakukan oleh pihak Penyidik sekaligus

Jaksa Penuntut Umum yang telah menetapkan saudara Mohammad Reza Pahlevi

sebagai tersangka atas dugaan Tindak Pidana Korupsi, Majelis Hakim akhirnya

menjatuhkan putusan praperadilan terhadap Penetapan Pemohon sebagai

Tersangka oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor: 25/N.8/Fd.1/08/2016

tanggal 29 Agustus 2016 atas nama tersangka Mohammad Reza Pahlevi dan Surat

Perintah Penyelidikan yang dikeluarkan oleh Termohon Nomor: Print-

27/N.8/Fd.1/08/2016, tanggal 29 Agustus 2016 dalam perkara dugaan Tindak

Pidana Korupsi proyek pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu

SD/MI/SMP/MTS Tahun Anggaran 2012 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung

adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat.Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan melakukan kajian dan

penelitian tentang“Analisis Putusan Hakim Praperadilan Dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi (Studi Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk)”.

7

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Apa dasar dari pertimbangan hukum putusan pengadilan yang mengabulkan

permohonan Praperadilan dalam Putusan PraperadilanNomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk?

b. Apa akibat hukum dari Putusan PraperadilanNomor: 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana dengan kajian mengenai

Dasar Pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang

mengabulkan permohonan Praperadilandalam Putusan Nomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dan akibat hukum dari putusan PraperadilanNomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum putusan pengadilan yang

mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan PraperadilanNomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

b. Untuk mengetahuiakibat hukum dari putusan PraperadilanNomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

8

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis

maupun masyarakat pada umumnya. Adapun kegunaan penelitian ini dibedakan

ke dalam dua bentuk, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis, diharapkan dapatmemberikan sumbangan terhadap

pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

pertimbangan hakim praperadilan dalam tindak pidana korupsi sebagai bahan

pertimbangan dalam penyempurnaan kaidah-kaidah hukum yang akan datang

untuk mengkaji ilmu hukum pidana, khususnya kajian tentang dasar putusan

hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi;

b. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran,

memberi informasi, bermanfaat bagi masyarakat dan aparat penegak hukum

dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum

pidana serta sebagai sumber informasi bagi pembaca terkait dengan

pertimbangan hakim praperadilan dalam memutus perkara penetapan tersangka

Tindak Pidana Korupsi melalui studi Putusan Praperadilan Nomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau

dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum.5Dalam penelitian ini,

kerangka teoritis yang digunakan adalah :

5Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta,Rineka Cipta, 1986, hlm. 103

9

a. Konsep Harbeas Corpus Art

Menurut Curtis R. Reitz pengertian habeas corpus dalam tulisannya yang berjudul

”Principle of Habeas Corpus”menerangkan bahwa habeas corpus merupakan

perintah hakim yang berasal dari abad pertengahan, yang memerintahkan orang

yang menguasai tahanan untuk menyimpulkan sosok tahanan dihadapan seorang

hakim. Fungsi yang sangat dikenal yaitu, bahwa perintah itu mengizinkan hakim

untuk memutus apakah diberikan wewenang oleh hukum untuk melakukan

penahanan terhadap seseorang. Apabila hakim berpendapat bahwa penahanan itu

melanggar Undang-Undang, maka tahanan itu harus dilepaskan segera. Dengan

demikian, setiap penahanan yang dianggap tidak legal dapat dimintakan

pemeriksaannya melalui perintah habeas corpus dari hakim.

Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas

Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan

fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas

Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah

pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi

ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar

hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan

kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah

memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak

asasi manusia.

10

Prinsip dasar Habeas Corpus inilah yang memberikan inspirasi untuk

menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada

seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya

untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan dari

tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-

surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula

kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas Corpus memunculkan gagasan

lembaga praperadilan yang memberikan perlindungan kepada terdakwa atau

tersangka terhadap upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum. Sistem

peradilan menganut asas praduga tidak bersalah, namun tetap pada kenyataan

dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga

melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung

saja menggunakan upaya paksa tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama

syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan.

Menurut doktrin habeas corpus, suatu penetapan atau putusan pengadilan yang

memerintahkan penahanan seorang tersangka atau terdakwa dapat dibatalkan

berdasarkan upaya hukum habeas corpus, antara lain jika terjadi hal-hal sebagai

berikut:

1. Jika terjadi kesalahan fatal dalam penetapan atau putusan pengadilan

tersebut;

2. Jika penetapan atau putusan pengadilan tersebut tidak memberikan

pejelasan yang jelas dan seimbang kepada tersangka;

3. Jika penetapan atau putusan pengadilan tersebut tidak sampai memeriksa

pokok perkara;

4. Jika ada ketidaklayakan dalam hal pencarian fakta oleh pengadilan;

5. Jika pengadilan tidak memiliki kewenangan mengadili yang absolut;

6. Jika tersangka tidak didampingi oleh pembela;

11

7. Jika pengadilan tidak memberikan hak-hak tersangka secara layak;

8. Jika penetapan atau putusan pengadilan tersebut tidak didukung oleh

pencatatan (record) sidang secara layak;6

Lembaga Praperadilan muncul didalam KUHAP pada Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77

KUHAP. Bagi seorang tersangka atau terdakwa mengetahui dengan jelas hak-hak

mereka dan batas-batas wewenang aparat penegak hukum dalam melaksanakan

upaya paksa yang dapat mengurangi hak asasinya. Ada beberapa perbedaan

mendasar antara habeas corpus dengan lembaga praperadilan, yaitu:

1. Pada praperadilan, hakim yang mengadili perkara praperadilan memeriksa

sebelum sidang biasa di pengadilan, sedangkan habeas corpus, hakim yang

memeriksa adalah hakim di pengadilan dalam sidang biasa;

2. Praperadilan, kewenangannya terbatas pada menguji keabsahan suatu

penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa

dalam hukum acara pidana, sedangkan habeas corpus, lebih luas dalam arti

permohonan dikeluarkannya surat perintah habeas corpus ditujukan kepada

instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali, menjelaskan bahwa Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang

praperadilan adalah hakim tunggal.7 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2)

KUHAP, yang berbunyi:“Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang

ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.

6http://www.kompasiana.com/www.hitori.com/hak-habeas-corpus-untuk

praperadilan_54f35f88745513982b6c736e (diakses tanggal 11 Februari Pukul 13.01 WIB) 7 M Yahya Harahap, Pembahasan Pemersalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta,Sinar Grafika, 2010, hlm. 13

12

Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU/XII/2014,

Mahkmah Konstitusi telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu mengenai

sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah

Konstitusi menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan

yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHAP. Selain itu, Mahkamah Konstitusi

juga menyatakan bahwa Pasal 77 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan

tersangka, penggeledahan danpenyitaan. Selanjudnya akan diuraikan dalam bab

berikutnya dalam proposal skripsi ini.

b. Metode Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk

mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya

untuk melaksanakan ketentuan yang kongkret dan bukan untuk kepentingan

metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh8.

Urecht berpendapat setidaknya terdapat lima jenis metode penafsiran, yaitu:

1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretatie); hakim

wajib mencari arti kata Undang-Undang atau meminta keterangan ahli bahasa;

2. Penafsiran historis (historische interpretatie); setidaknya dilakukan dengan dua

cara, yaitu: (a) menafsirkan menurut istilah hukum (rechtshistorische

interpretatie),dan (b) menafsirkan menurut sejarah penetapan suatu ketentuan

(wetshistorische interpretatie);

3. Penafsiran sistematis; penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan

hukum itu sendiri (systematische interpretatie). Dalam hal ini dilakukan

8 S. Mertokusumo,Mengenal hukum, Yogyakarta, Liberti, 1991, hlm 144

13

dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam naskah hukum yang

bersangkutan;

4. Penafsiran sosiologis; penafsiran undang-undang harus diakhiri dengan

penafsiran sosiologis agar keputusan hakim dibuat secara sungguh-sungguh

sesuai dengan keadaaan yang ada dalam masyarakat;

5. Penafsiran autentik atau resmi (authentieke atau offciele interpretatie);

penafsiran yang sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat Undang-

Undang dalam Undang-Undang itu sendiri.9

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian.10

Konseptual dalam penelitian ini adalah :

1. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan

prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima

sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah.11

2. Dasar Pertimbangan Hakim adalah pertimbangan yang dilakukan oleh hakim

yang mengadili suatu perkara didasarkan alat bukti yang ada dan didukung

oleh keyakinan Hakim yang berdasar pada hati nurani dan kebijaksanaan untuk

memutus suatu perkara pidana.12

3. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

9 Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta,Rajawali Pers, 2009, hlm. 244-

226 10

Soerjono Soekanto, Op Cit. 11

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta,Rineka Cipta, 2005, hlm. 54 12

http://digilib.unila.ac.id/5337/8/BAB%20II.pdf. Diakses pada 14 November 2016. Pukul 13.00

14

(Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UUPTPK).

4. Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok

perkarannya disidangkan, dalam hal menguji proses tata penyelidikan dan

penuntutan sebelum masuk ke peradilan.13

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Berisi Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan yaitu

tinjauan umum hukum acara pidana, praperadilan, tindak pidana korupsi dan dasar

pertimbangan hakim dan metode penafsiran hakim dalam menjatuhkan putusan

pidana.

III. METODE PENELITIAN

Berisi Pendekatan Masalah, Sumber Data,Penentuan Narasumber, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

13

Hartono, Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan Hukum Progesif),

Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 7

15

Berisi deskripsi dan analisis dasar pertimbangan putusan pengadilan yang

mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan Nomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dan akibat hukum dari putusan Praperadilan Nomor:

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk.

V. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan

penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada

pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana sebagai dasar penyelenggaraan paradilan pidana yang adil

dan manusiawi.Dalam Negara hukum, perlu mengatur perangkat perundang-

undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum pidana sesuai dengan

fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak hukum kearah tegaknya

hukum, keadilan serta perlindungan harkat martabat manusia, ketertiban dan

kepastian hukum. Praperadilan merupakan lembaga baru yang dikenalkan

KUHAP dengan tujuan dasarnya adalah suatu cerminan dari asas praduga tak

bersalah (presumption of innocence) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai

tersangka telah melalui proses awal yang wajar serta menepatkan perlindungan

harkat dan martabatnya sebagai manusia walaupun statusnya sebagai tersangka

atau terdakwa. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah

menepatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan

aturan yang berlaku dalam suatu negara.

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana. Oleh

karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang

memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan

17

mengadakan hukum pidana.14

Menurut Moeljatno, tindak pidana memiliki

pengertian sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut15

.

Berdasarkan pendapat di atas, pengertian dari tindak pidana yang dimaksud

adalah perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan

yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang

dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan

tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi

pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan

kejadian tersebut. Dengan demikian, maka terhadap setiap orang yang melanggar

aturan-aturan hukum yang berlaku dapat dikatakan terhadap orang tersebut

sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Selanjutnya Bambang

Poernomo berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa

yang melanggar larangan tersebut16

. Beberapa pendapatahli mengenai hukum

acara pidana, diantaranya adalah :

a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, jika suatu perbuatan dari seorang tertentu

menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam

dengan hukuman pidana. Jadi, jika ternyata ada hak badan pemerintah yang

bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapat hukuman pidana,

maka timbullah cara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakanuntuk

mendapatkan suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman

pidana harus dijalankan. Hal ini harus diatur dan peraturan inilah yang

dinamakan Hukum Acara Pidana17

.

14

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.

2-3 15

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2009, hlm. 59

16 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1992, hlm. 130

17Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1974,

hlm.15

18

b. Menurut S.M. Amin, kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan

memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan, bila

terjadi perkosaan atas sesuatu ketentuan hukum dalam hukum material,

berarti memberikan kepada Hukum Acara ini dan merupakan suatu

hubungan yang mengabdi terhadap Hukum Material.18

Maka berdasarkan

pendapat doktrin di atas, pada asasnya Hukum Acara Pidana itu adalah :

1) Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan

mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana material guna

mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran material atau yang

sesungguhnya. Tugas untuk mewujudkan dan menemukan kebenaran

material ini merupakan konsekuensi logis dari bagian Hukum Publik

yang mengatur kepentingan umum juga sedapat mungkin memberi

perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2) Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan

putusan oleh hakim. Mengenai aspek ini dimulai melalui tahap

pemeriksan di persidangan yakni mulai tahap pemeriksaan identitas

terdakwa, pembacaan catatan atau dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum,

kemudian diberikan kesempatan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya

untuk mengajukan keberatan (eksepsi), dilanjutkan acara pembuktian,

acara tuntutan, pembelaan, replik dan duplik serta pemeriksan dianggap

selesai dan dilanjutkan musyawarah dalam mengambil putusan oleh

hakim (majelis) serta penjatuhan putusan dalam sidang yang terbuka

untuk umum.

2. Tujuan Hukum Acara Pidana

Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan atau

setidaknyamendekati kebenaran material ialah kebenaran yang selengkap-

lengkapnyadari suatu perkata pidana dengan menerapkan ketentuan HukumAcara

Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelakuyang

dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan

selanjutnyamemintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna

menemukan apakahterbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan

apakah orang yangdidakwa itu dapat dipersalahkan.19

18

S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnja Paramita, 1971, hlm. 15 19

Pedoman Pelaksanaan KUHAP

19

B. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

1. Pengertian Praperadilan

Praperadilan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutus tentang keabsahan penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan memutus permintaan ganti

kerugian serta rehabilitasi yang perkara pidanannya tidak dilanjutkan ke muka

sidang pengadilan negeri atas permintaan tersangka atau terdakwa atau pelapor

atau keluarganya dan atau penasehat hukumnya.20

Praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada Pengadilan

Negeri serta diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus permasalahan

atau kasus yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan

oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Dalam perkara praperadilan biasanya adadua

pihak, yaitu pihak Pemohon dan pihak Termohon. Pihak pemohon adalah

tersangka, keluarga maupun kuasa hukumnya. Sedangkan pihak termohonadalah

penyidik atau jaksa penuntut umum. Pihak pemohon merasa ada aturan ataupun

haknya merasa dirugikan oleh Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum, kemudian

pemohon mengajukan hal ini ke lembaga praperadilan dalam penyelesaian perkara

pidananya yang merasa haknya dirugikan oleh termohon.

Menurut Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan Praperadilan adalah wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

20

Mochamad Anwar,Praperadilan, Jakarta, Ind-Hil-Co, 1989, hlm. 25

20

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Praperadilan tidak diatur di dalam ketentuan HIR(Herziene Inlands

Reglement).21

2. Acara Prapradilan

Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu

penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu

penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang

ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP)

ditentukan beberapa hal berikut:

a. Tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan

hari sidang;

b. Memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan

atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti

kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada

benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar

keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;

c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh

hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

21

R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP,

Bandung, Mandar Maju , 2003, hlm. 6

21

d. Perkara yang sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan

pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka

permintaan tersebut gugur;

e. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan

untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan

oleh Penuntut Umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang

tersebut pada butir 1 sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1)

KUHAP);

f. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut

harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP);

g. Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim ini memuat pula

diantaranya:

1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan

tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan

masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau

penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib

dilanjutkan;

3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan

tidak sah maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak

termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda

tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu

disita.

3. Tujuan dan Wewenang Lembaga Praperadilan

1. Tujuan Lembaga Praperadilan

Setiap hal yang baru, tentunya mempunyai suatu maksud dan tujuan atau

motivasitertentu. Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu

yang ingindiciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula

22

halnya denganpelembagaan praperadilan. Maksud dan tujuan yang hendak

ditegakkan dandilindungi,22

yaitu :

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang terlibat dalam

perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan dan penuntutan;

b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap

penyalahgunaan wewenang olehnya.

Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum

merupakanpengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka,

tindakan ituharus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum

dan Undang-Undangyang berlaku (due process of law). Prinsip yang terkandung

padapraperadilan bermaksud dan tujuan guna melakukan tindakan

pengawasanhorizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang

berlawanan dengan Undang-Undang.

1) Wewenang Lembaga Praperadilan

Berdasarkan dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga

pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan

yang mempunyai wewenang dalam memberi putusan akhir atas suatu kasus

peristiwapidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan

eksistensinya sebagai berikut:

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan

sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan

Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri;

b. Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan

Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,

administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan

Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan

pembinaan Ketua Pengadilan Negeri;

22

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, 2010, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 3

23

c. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial

Pengadilan Negeri itu sendiri.23

KUHAP tidak bertitik tolak pada orientasi kekuasaan. Fungsi wewenang

dankekuasaan yang diberikan KUHAP kepada masing-masing jajaran aparat

penegakhukum, diseimbangkan dengan pemberian hak yang sah dan legal kepada

setiaptersangka atau terdakwa. Ini harus benar-benar diresapi oleh semua jajaran

aparatpenegak hukum. Bahwa dominannya asas keseimbangan sebagai titik

sentral dalam KUHAP merupakan keinginan dan tujuan pembuat undang-undang

untukmembatasi penumpukan kekuasaan.24

Pengadilan melalui lembaga praperadilan ikut memainkan peranan

dalammembatasi kecenderungan penyalahgunaan dan kecongkakan kekuasaan

yangdilakukan aparat penyidik atau penuntut umum. Wewenang pertama yang

telahdiberikan oleh KUHAP yang memeriksa dan memutus sah tidaknya

suatupenangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam

halpenangkapan, seseorang dapat mengajukan pemeriksaan kepada

praperadilantentang ketidakabsahan penangkapan yang dilakukan terhadap

dirinya.M. Yahya Harahap menjelaskan kriteria suatu penangkapan dianggap

tidak sah, yaitu:

a. Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik tidak

menyertakan surat tugas dan surat perintah penangkapan untuk

diperlihatkan kepada tersangka, selain itu jika tembusan surat penangkapan

tidak diberikan kepada pihak keluarganya;

b. Apabila batas waktu penangkapan lewat satu hari maka dapat dimintakan

pemeriksaan kepada praperadilan.25

23

M.Yahya Harahap,Op.Cit, hlm. 1 24

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm.8 25

Ibid., hlm 160

24

Pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP mengatur hal mengenai yang berwenang

mengajukan praperadilan, yaitu menjelaskan:

Pasal 79 KUHAP:“Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu

penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarganya atau

kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Pasal 80 KUHAP:“Pemeriksaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu

penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau

penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan

negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan yang berhak mengajukan

praperadilan:

a. Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya;

b. Penyidik atau penuntut umum;

c. Pihak ketiga yang berkepentingan.26

Demi tegaknya the rule of law, maka siapapun yang bersalah harus

dihukum.Demikian juga apabila penyidik ataupun penuntut umum salah dalam

menjalankan tugas penyidikan ataupun penuntutan akan dapat dituntut oleh

mereka yangdirugikan (baik tersangka maupun pihak ketiga) selama penyidikan

ataupunpenuntutan itu berlangsung.27

26

Tri Andrisman, Hukum Acara Pidana, Bandar Lampung: Buku Ajar, 2010, hlm.48 27

Anang Priyanto, Hukum Acara Pidana Indonesia, Yogyakarta, Ombak, 2012, hlm.55

25

C. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio–corruptus, dalam bahasa Belanda

disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa

Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti

harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur

yang disangkutpautkan dengan keuangan.28

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTKP) tidak disebutkan pengertian

korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:“Setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling

sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, dapat

disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3

menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan

28

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1996, hlm. 115

26

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara; dan memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya tersebut.

Korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan

kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan/atau

kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada 3(tiga) fenomena yang

tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),

dan nepotisme (nepotism).29

Kejahatan korupsi pada hakikatnya termasuk ke

dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan

ekonomi sebagai berikut:

1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan;

2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban;

3. Penyembunyian pelanggaran.30

Pidana khusus ini memuat ketentutan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum

yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan

dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat

dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai

dapat dituntutnya perbuatan. Pidana khusus menunjuk kepada diferinisasi hukum

pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan

29

Syed Husein Alatas,Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Dara

Kontemporer,Jakarta,LP3ES, 1983, hlm. 12 30

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1992,

hlm.56

27

ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri,

akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya “tiada pidana tanpa kesalahan”

harus dihormati.

Pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan

hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana

umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale).

Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum dan

hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian

khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari umum dari hukum pidana

menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum, sedang bagian khususnya

memuat perumusan tindak pidana.

2. Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi

Menurut Pasal 1 butir (14) KUHAP, “Tersangka adalah seorang yang karena

perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana”. Tersangka dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu

sebagai berikut:31

1) Tersangka yang kesalahannya sudah definitif atau dapat dipastikan untuk

tersangka tipe I ini, maka pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh

pengakuan tersangka serta pembuktian yang menunjukkan kesalahan

tersangka selengkap-lengkapnya diperoleh dari fakta dan data yang

dikemukakan di depan sidang pengadilan;

2) Tersangka yang kesalahannya belum pasti untuk tersangka tipe II ini, maka

pemeriksaan dilakukan secara hati-hati melalui metode yang efektif. Untuk

dapat menarik keyakinan kesalahan tersangka, sehingga dapat dihindari

kekeliruan dalam menetapkan salah atau tidaknya seseorang yang diduga

melakukan.

31

Mujiyono, Agus Sri., Analisis Perlindungan Hukum Hak Tersangka Dan Potensi Pelanggaran

Pada Penyidikan Perkara Pidana, Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret, 2009, hlm. 17-

18

28

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai masterpiece (karya

agung) bangsa Indonesia memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusiahak-hak yang dilindungi KUHAP terhadap tersangka atau terdakwa

antara lain:

a. Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum (entitled

without any discrimination to equal protection of the law);

b. Harus dianggap tidak bersalah dengan dasar-dasar: (1) presumption of

innocent; (2) kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan

yang bebas dan jujur (fair trial); (3) persidangan harus terbuka untuk umum;

(4) tanpa intervensi pemerintah/kekuatan politik. Terdakwa diadili dalam

peradilan yang mengemban independent judicial power

withoutencroachcments by government of political parties;

c. Penangkapan penahanan didasarkan bukti permulaan yang cukup dan

dibatasi secara limitatif.32

D. Dasar Pertimbangan Hakim dan Metode Penafsiran Hakim dalam

Menjatuhkan Putusan Pidana

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo

et bono) dan mengandung kepastian hukum. Disamping itu juga mengandung

manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini

harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak

teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan

hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

Tugas pokok hakim dalam mengadili perkara pidana adalah melakukan kegiatan

yuridis sendiri tidak sekedar melakukan silogisme belaka. Hakim ikut serta dalam

32

M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Bandung, Citra

Aditya Bakti, 1995, hlm. 23

29

pembentukan hukum, bukan pula secara objektif seperti yang diciptakan

pembentuk undang-undang yang abstrak, tetapi menerapkan teks Undang-Undang

yang abstrak kedalam peristiwa kongkret. Proses menerapkan teks Undang-

Undang yang bersifat umum dan abstrak kedalam peristiwa yang kongkret perkara

hukum pidana, pada hakikatnya merupakan kegiatan membaca dan menafsirkan

teks Undang-Undang yang bersifat umum dan abstrak kedalam peristiwa

kongkret. Penafsiran hukum merupakankegiatan yang mutlak terbuka untuk

dilakukan, sejak hukum di konsepkan sebagai teks Undang-Undang tertulis,

sehingga muncul adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum”.33

Tugas hakim yang berkaitan dengan penerapan teks Undang-Undang ke dalam

peristiwa kongkret.Disinilah terletak kebebasan hakim dalam peristiwa perkara

pidana sebagai kegiatan penafsiran hukum. Kegiatan menafsirkan teks Undang-

Undang ke dalam peristiwa kongkret pada hakikatnya merupakan kegiatan

penilaian hukum, yaitu produk proses pemaknaan akal-budi dan hati nurani

terhadap hasil persepsi manusia tentang situasi kemasyarakatan dalam kerangka

pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan keyakinan etis dengan nilai-nilai

yang di anut. Kegiatan penilaian hukum mencari nilai-nilai dan makna yang

tersembunyi dalam teks Undang-Undang, yaitu nilai-nilai justice, utility,

dolmatigheid, bilijkheid, sehingga setiap kali membaca teks peraturan, maka harus

mencari makna lebih dalam yang ada di belakang peraturan tersebut.34

Kebebasan hakim dapat di uji ke dalam dua hal, yaitu ketidakberpihakan

(impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political

33

Satjipto Raharjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006, hlm. 163 34

Ibid., hlm. 169

30

insularity).35

Prinsip ketidakberpihakan hakim akan tercermin dalam argumentasi

hukum dan putusan yang tidak ada relasi kepentingan dengan perkara, sedangkan

prinsip keterputusan dengan aktor politik akan tercermin dari daya laku putusan

yang adil dan diterima masyarakat pencari keadilan.

Kebebasan hakim dalam menafsirkan hukum merupakan kegiatan yang bersifat

individual. Kebebasan hakim sebagai ekspresi intelektual dan moral yang

bersumber dari individu hakim memerlukan persyaratan kompetensi dan integritas

tinggi dalam rangka menggali makna-makna tersembunyi di balik teks Undang-

Undang. Terdapat beberapa persyaratan untuk menjamin kompetensi dan

integritas hakim agar tetap dipercaya masyarakat; Pertama, sejauhmana hakim

bisa bekerja dengan objektif, apakah hakim yang di konstruksikan sebagai

manusia bebas (kebebasan hakim) tidak bias atau berat sebelah, dan apakah

senantiasa berpihak pada kebenaran. Kedua, apakah benar hakim yang baik,

secara sadar atau tidak sadar tidak akan di pengaruhi sikap prejudice, disebabkan

latar belakang sosial politiknya ketika memutus perkara, padahal seharusnya

bersikap objektif dan imparsial. Ketiga apakah sikap bias di pengaruhi cara hakim

dalam memahami kedudukan dan fungsinya, karena setiap mengadili perkara akan

terjadi pro dan kontra.36

Batasan atau rambu-rambu yang harus di perhatikan dalam implementasi

kebebasan hakim, terutama berkaitan dengan aturan-aturan hukum. Batasan aturan

hukum terhadap kebebasan hakim dalam mengadili baik segi prosedural dan

35

A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di bawah Suharto, Jakarta, ELSAM,

2004, hlm. 45 36

Jimly Assidhiqie, dalam Luhut Pangaribuan, “Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Studi Teoritis

mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2009, hlm. 188.

31

substansial, merupakan batasan kekuasaan kehakiman agar indenpendensinya

tidak melanggar hukum, bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah

“subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem”.

Kebebasan hakim juga terikat pada tanggung jawab atau akuntabilitas, karena

antara tanggung jawab dan akuntabilitas seperti kedua sisi koin mata uang yang

saling melekat. Kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah di imbangi

dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).

Bentuk tanggung jawab peradilan adalah “Sosial Accountability”, karena badan

kehakiman melaksanakan Public Service di bidang keadilan.Konsep independensi

peradilan yang dijalankan hakim, pada umumnya selalu dikaitkan dengan konsep

akuntabilitas, sebagai sarana keterbukaan menerima kritik dan kontrol dari luar

serta kesadaran yang bertanggung jawab.37

Kebebasan hakim dalam mengadili perkara pidana bertujuan untuk menghasilkan

putusan yang adil dan diterima masyarakat perlu mendapat jaminan perlindungan,

agar tidak ada intervensi kekuasaan dan kepentingan. Putusan dibuat dengan

landasan rasionalitas argumentasi hukum objektif dan kandungan etis moral yang

kuat, dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat pencarikeadilan. Jaminan

hukum terhadap kebebasan hakim dalam menjalankan tugas peradilan (within the

exercise of the juditial function), diatur dalam Konstitusi Negara dan Undang-

Undang. Pengaturan kebebasan hakim dalam mengadili diatur dalam konvensi

Internasional, menjamin kebebasan hakim dalam mengadili dan imunitas dari

segala tuntutan hukum. Jaminan hukum terhadap kebebasan hakim dalam

mengadili yang bersumber dari asaa-asas peradilan, yaitu Ius Curia Novit (hakim

37

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH IBLAM,

2004, hlm. 10

32

di anggap tahu hukum), Res Judicata Pro Varitate Habetur(putusan hakim

dianggap benar). Sedangkan dalam mengadili, hakim dibebaskan dari segala

tuntutan hukum, apabila hakim di anggap melakukan kesalahan teknis yuridis,

bukan etik moral.(Pasal 24 UUD 1945 (amandemen ketiga) dan Pasal 1 Ayat (1)

UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu

didasarkan kepada teori dan hasil penelitian. Sehingga didapatkan hasil penelitian

yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha

untuk mencapai kepastian hukum kehakiman adalah dimana hakim merupakan

aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya

suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX

Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman

yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan

Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun

1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.38

38

Ibid, hlm. 142

33

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Dalam ketentuan ini

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur

tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut

dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang

yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan

rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan

Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.39

Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan

dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju

kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya apabila tidak

ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan

yang bebas dan tidak memihak sebagai salah satu unsur Negara Hukum.

Pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai

kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan

oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan

terhadap perkara yang diajukan, dimana dalam perkara pidanatidak terlepas dari

sistem pembuktian negatif yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak

atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat

39

Andi Hamzah, 1996,KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta, 1996, hlm.94

34

bukti menurut Undang-Undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi

dengan integritas moral yang baik.40

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin

pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal yaitu doktrin. Hakim

dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat.Hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dilakukan dengan keyakinan.Putusan

hakim merupakan mahkota dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili.

Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan

segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian dan

menghindariketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai

dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.Jika hal negatif tersebut dapat

dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan

berkembangnya sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang

dibuatnya itu menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama atau dapat menjadi

bahan referensi bagi kalangan teoritis maupun praktis hukum serta kepuasan

nurani sendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang

lebih tinggi.41

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

40

Op.cit Ahmad Rifai, hlm. 103 41

Ibit, hlm. 94

35

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal

183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah : a) Keterangan saksi; b)

Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; dan e) Keterangan Terdakwa atau hal yang

secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184

KUHAP).42

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang

saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 menyebutkan

ketentuantersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah

lainnya (unus testis nullus testis).43

Hakim pengadilan mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,

mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan

disini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana

tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara

normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat

harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran

normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai

motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

42

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1998, hlm. 11 43

Ibidhlm. 18

36

3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut.

4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat

mempengaruhi putusan hakim dan memperingan hukuman pelaku.

5) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan

dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan

ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian

secara kekeluargaan.

6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, menjelaskan tidak

berbelit-belit, menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat

pelaku berlaku sopan dan mau bertanggungjawab, juga mengakui semua

perbuatannya dengan berterus terang dan berkata jujur.

7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak

pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya

tersebut. Membebaskan rasa bersalah kepada pelaku, memasyarakatkan pelaku

dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik

dan berguna.

37

8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Suatu tindak pidana dalam masyarakat yang menilai bahwa tindakan pelaku

adalah suatu perbuatan tercela. Jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi

hukuman agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk

tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal

tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.44

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri Negara Hukum. Sistem hukum yang dianut di Indonesia dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim adalah harus aktif

bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh

penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu jugaterhadap

penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil.

Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.45

3. Metode Penafsiran Hukum

Hakim dalam menemukan hukum dapat dilakukan dengan metode penafsiran dan

metode konstruksi hukum. Metode penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan

dalam Undang-Undang, tetapi tetap berpegangan pada kata-kata atau bunyi

peraturannya. Sedangkan konstruksi hukum adalah penaralan logis untuk

mengembangkan suatu ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak lagi

berpegang pada kata-katanya, tetapi harus memperhatiakan hukum sebagai suatu

44

Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,

Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 77 45

Op.cit Ahmad Rifai, hlm. 112

38

sistem. Adapun jenis-jenis penemuan hukum melalui interprestasi hukum adalah

sebagai berikut:46

a. Interpretasi subsumptif, yaitu hakim menerapkantext atau kata-kata suatu

ketentuan Undang-Undang terhadap kassus tanpa menggunakan penalaran

sama sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut;

b. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata yang berada dalam

Undang-Undang sesuai dengan kaidah tata bahasa;

c. Interpretasi ekstentif, yaitu penafsiran yang lebih luas daripada penafsiran

gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi

ketentuan umum sesuai kaidah dan tata bahasanya;

d. Interpretasi sistematis, yaitu menafsirkan Undang-Undang sebagai bagian dari

keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan;

e. Interpretasi sosiologi atau teologi, yaitu menafsirkan makna atau substansi

Undang-Undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga

masyarakat;

f. Interpretasi historis,yaitu penafsiran berdasarkan sejarah Undang-Undang dan

penafsiran berdasarkan sejarah hukum;

g. Interpretasi komparatif, yaitu penafsiran yang membandingkan antara berbagai

sistem hukum yang ada di dunia, sehingga hakim dapat mengambil putusan

yang sesuai dengan perkara yang ditangani;

h. Interpretasi restriktif,yitu penafsiran yang sifatnya membatasi suatu peraturan

Undang-Undang terhadap peristiwa konkrit.;

46

Sudikno Mertokusum, Mengenai Hukum, Yogyakarta, penerbit Liberty, hlm. 168

39

i. Interpretasi futuristis, yaitu menjelaskan suatu Undang-Undang yang berlaku

sekarang dengan berpedoman dengan Undang-Undang yang diberlakukan.

Selanjtnya jenis-jenis metode penemuan hukum oleh hakim dengan cara kontruksi

hukum adalah sebagai berikut47

:

a. Analogi atau argumentum penganalogian yaitu penemuan hukum yang mencari

esensi peristiwa yang khusus menjasi peristwa yang umum;

b. Argumen a’contrario yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang

pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut

tidak boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau dikembalikannya.

c. Fiksi Hukum yaitu penemuan hukum dengan menggambaran suatu peristiwa

kemudian menganggapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi fakta baru.

E. Prapradilan Setalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014

Pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 memuat tentang keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan dan

penyitaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014 tanggal 28

April 2015 yang akhirnya secara normative memperluas wewenang praperadilan

yaitu penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Salah satu Amar

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyatakan bahwa Pasal 77 huruf (a)

bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan

tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Adapun Pernyataan dalamPasal 77

huruf (a) KUHAP,yaitu:“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan

memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

47

Ibid, hlm. 176

40

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan...”.

Artinya, jika dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan

praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penuntutan. Maka melalui putusan ini, Mahkamah

Konstitusi memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan

tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah konstitusi membuat putusan

ini dengan mempertimbangkan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan

bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga asas due process of law harus

dijunjung tinggi oleh seluruh pihak lembaga penegak hukum demi menghargai

hak asasi seseorang. Menurut Mahkamah Konstitusi, KUHAP tidak memiliki

check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena

tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum

Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh

karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti

tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” ujar Hakim Konstitusi

Anwar Usman membacakan Pertimbangan Hukum.48

Penambahan objek

kewenangan praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka,

penggeledahan dan penyitaan sebagaimana telah diuraikan perkembangannya

melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menjadikan

objek tersebut termasuk dalam objek kewenangan praperadilan. Dasar

48http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796#.WJKeJST1zE8,

(di akses tanggal 2 februari 2017, pukul 08.45 WIB)

41

penambahan objek tersebut adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap tindakan

kesewenang-wenangan penyidik dalam menetapkan status tersangka yang tidak

sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam KUHAP. Dalam

perkembangannya, banyak peristiwa yang menjadi dasar penambahan objek

kewenangan praperadilan ini diantaranya yang paling mendasar adalah tindak

penyidik yang memutar balikan prosedur dalam KUHAP khususnya dalam hal

penyidikan, dimana seharusnya dalam proses penyidikan mengumpulkan bukti-

bukti untuk menemukan tersangka namun dalam beberapa peristiwa tersangka

ditetapkan terlebih dahulu untuk menemukan barang bukti. Hal ini lah yang

dijadikan dasar oleh mahkamah konstitusi untuk membentuk norma yang

memperluas wewenang praperadilan termasuk menguji sah atau tidaknya

penetapan tersangka.

42

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

menganalisanya.49

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, yaitu:

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan

mentelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-

asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum

dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian

ini.Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk

memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala

dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas

kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui

statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan

pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah;

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam

kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan,

49

Ibit Soerjono Soekanto dan Sri Mahuji hlm. 43

43

baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang

didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Adapun sumber dan

jenis data yang akan dipergunakan dalam penulisan skripsi ini terbagi atas dua

bagian, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.50

Dengan begitu data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan

wawancara kepada narasumber untuk memperoleh informasi dan data yang

dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang berasal dari hasil penelitian kepustakaan dengan

melalui studi peraturan perundang-undangan, tulisan atau makalah-makalah,

buku-buku, dokumen, arsip, dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal

yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan mempelajari hal-hal yang

bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin, asas-asas hukum,

serta bahan lain yang berhubungan dan menunjang dalam penulisan skripsi

ini.Data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer, adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

50

Ibit Soerjono Soekanto dan Sri Mahuji hlm. 12

44

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana;

4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi;

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia;

b. Bahan Hukum Sekunder,yaitu bahan hukum yang berhubungan dengan bahan

hukum primer, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan

Negeri Tanjung KarangNomor 14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Judicial Review Pasal

77 KUHAP.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

teori atau pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai referensi serta

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian.

45

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk

memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang

2. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang

Jumlah :3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pada penelitian hukum normatif pengumpulan data dilakukan melalui studi

kepustakaan dengan menggunakan penelusuran katalog yang merupakan suatu

daftar yang memberikan informasi tentang koleksi yang dimiliki kepustakaan.

Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini berupa data yang berasal dari studi

pustaka terhadap bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan

bahan-bahan hukum tersier dianalisis secara kualitatif dengan memperhatikan

konsep hukum sebagai keputusan-keputusan yang diciptakan hakim (in concreto)

dalam proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim untuk menyelesaikan

sengketa atau perkara.51

51

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2001, hlm. 33

46

Untuk memperoleh data penelitian, akan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan (library research)

Pengumpulan data melalui studi kepustakaan ini akan dilakukan menggunakan

teknik content identification terhadap bahan-bahan Hukum yang akan diteliti,

yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi

atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti berkaitan dengan masalah

penelitian yang sudah dirumuskan, meliputi data-data sebagai berikut :

a. Buku-buku literature

b. Perundang-undangan.

2. Studi Lapangan (field research)

Dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden sebagai

usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.

3. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data

lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah

permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data, data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui

kelengkapan data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang

diteliti;

b. Klasifikasi Data, penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah

ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan

akurat untuk kepentingan penelitian;

c. Sistematika Data, penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan

satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok bahasan sesuai

sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

47

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara

dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca

dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab

permasalahan dari penelitian. Analisis data dilakukan secara deskripstif kualitatif,

artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian

kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik

kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu menarik

kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara

umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

80

IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Berdasarkan uraianpenelitian, maka dapat disimpulkan bahwadasar

dikabulkannya permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk adalah adanya dugaaan Tindak Pidana Korupsi proyek

pengadaan perlengkapan sekolah siswa kurang mampu

SD/MI/SMP/MTSTahun Anggaran 2012 Dinas Pendidikan Provinsi

lampung.Jaksa Penuntut Umum selaku Termohon dalam persidangan ini telah

menetapkan Pemohon atas nama Mohammad Reza Pahlevi sebagai Tersangka,

berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: 25/N.8/Fd.1/08/2016 danSurat

Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Nomor: Print-

27/N.8/Fd.1/08/2016 tanggal 29 Agustus 2016 untuk dilaksanakannya

penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsidengan alat bukti berupa keterangan

saksi dan alat bukti surat hasil Audit BPKP serta alat bukti petunjuk. Selain itu,

Hakim dalampengadilantelah mempertimbangkan bahwa penetapan Pemohon

sebagai Tersangka adalah tidak sah berdasarkan syarat yang ditentukan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 mengenai penetapan

Tersangka haruslah terlebih dahulu memiliki minimal 2 (dua) alat bukti yang

sah.Hakim mengabulkan putusan praperadilan tentang tidak sahnya penetapan

sebagai Tersangka dengan mengabaikan alat bukti surat yang diajukan oleh

81

Penuntut Umum yang dianggap hanya salinan fotokopi tanpa membuktikan

keasliannya dalam proses persidangan, sebagaimana termuat dalam pasal 1888

KHUPerdata.Oleh karena itu, alat bukti surat berupa putusan hakim hanyalah

sekedar dapat digunakan oleh Termohon atau penyidik sebagai acuan petunjuk

(bukan dalam pengertian alat bukti petunjuk yang dimaksud Pasal 187 Huruf d

KUHAP) dalam rangka untuk mengumpulkan minimal dua alat bukti diluar

Putusan. Selanjutnya Hakim menegaskan bahwa alat bukti petunjuk yang

digunakan oleh Jaksa Penuntut Umumharus ditolak, karenaalat bukti petunjuk

hanya dapat digunakan oleh Hakim sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 183

ayat (3) KUHAP. Selanjutnya berdasarkan realita dalam prakteknya

praperadilan, berbagai putusan praperadilan sering muncul dimana hakim

praperadilan cenderung mengakomodir untuk melakukan pemeriksaan

mendalam atas subtansi pada alat bukti yang ditemukan penyidik. Seharusnya

prosedur administratif yang dimaksud adalah hanya sebatas pemeriksaan

terhadap kelengkapan surat dan memeriksa atas layak atau tidaknya saksi yang

diajukan Termohon sebagai alat bukti, bukan kepada pemeriksaan lebih lanjut

mengenai saksi dan alat bukti surat tersebut.

2. Berdasarkan hasil kajian, hasil pembahasan dan hasilpenelitian di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa Akibat Hukum dari Putusan Praperadilan Nomor

14/Pid.Pra/2016/PN.Tjk adalah tidak dapat mengajukan upaya hukum lain

yaitu kasasi dan berakhir pada tingkat Pengadilan Negeri, sehingga putusan

praperadilan tersebut merupakan putusan tingkat akhir berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 yang menjelaskan bahwa

tidak ada upaya hukum apapun yang dapat ditempuh atas putusan praperadilan,

82

baik mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya

penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian atau

rehabilitasi, pengeledahan dan penyitaan berdasarkanUndang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana secara yuridis formil serta putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (perluasan objek

praperadilan), tidak memberikan peluang dan tidak membenarkan upaya

hukum dalam perkara praperadilan di Indonesia. Namun, prinsip tersebut

tidak bersifat mutlakdan Peninjauan Kembali dapat dilakukan apabila terdapat

“penyelundupan hukum” sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2013 sebagai

Pedoman Pelaksana tugas bagi Pengadilan.

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian, hasil pembahasan dan hasil penelitian di atas, maka

saran dari peneliti adalah Praperadilan harus melakukan pengaturan yang lebih

sistematis, rinci dan lebih jelas lagi dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana mengenai upaya hukum serta dapat dijadikan sebagai upaya kontrol

peradilan. Menurut peneliti, akan lebih baik proses Praperadilan berdasarkan

RUU KUHAP, karena pada prakteknya diharapkan Sistem Hakim Komisaris

menjadi lembaga pengawasan aparat penegak hukum yang terbuka dan

akuntabilitas serta mampu melakukan pengawasan secara baik.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Alatas, Husein Syed. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan

Dara Kontemporer, LP3ES: Jakarta.

Amin, S.M. 1971. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnja Paramita: Jakarta.

Anwar, Mochamad. 1989. Praperadilan, Ind-Hil-Co: Jakarta.

Andrisman, Tri. 2010 Hukum Acara Pidana, Buku Ajar: Bandar Lampung.

Ashshofa, Burhan. 2001. Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta: Jakarta.

Asrun, A. Muhammad. 2004. Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di bawah

Suharto, ELSAM: Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers:

Jakarta.

_________, Jimly. 2009. Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Studi Teoritis mengenai

Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Papas Sinar Sinanti: Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali, Sinar Grafika: Jakarta.

_______, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan danPenuntutan, Sinar Grafika: Jakarta.

_______, M. Yahya. 1995. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Jilid I, Citra Aditya Bakti: Bandung.

Hartono. 2010. Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan

Hukum Progesif), Sinar Grafika:Jakarta.

Hamzah, Andi. 2007. Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

______, Andi. 1996. KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta: Jakarta.

Husin, Kadri dan Husin Riski. 2012. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,

Lembaga Penelitian Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Kufal, HMA. 2010. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM Pres:

Malang, 2010.

Mulyadi, lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik,

Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti: Bandung.

Marpaung, Laden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika:

Jakarta.

Mertokusumo, S. 1991. Mengenal hukum, Liberti, Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta: Jakarta.

Moeljatno. 2009. Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara: Jakarta.

Muladi dan Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni:

Bandung.

Muchsin. 2004. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi”,

STIH IBLAM: Jakarta.

Nawawi Arief Bardah, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Prints, Darwan. 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Penerbit

Djambatan: Jakarta.

Poernomo, Bambang. 1992. Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia: Jakarta.

Projodikoro, Wirjono. 1974. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung:

Bandung.

Rifai, Ahmad. 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif, Sinar Grafika: Jakarta.

Raharjo, Satjipto. 2006 Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press: Jakarta 2006.

______, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum: Jakarta.

Priyanto, Anang. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia, Ombak: Yogyakarta.

Sudarto. 1996. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni: Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Mahuji Sri,1986. Pengantar Penelitian Hukum, Rineka

Cipta: Jakarta.

Soeparmono, R. 2003 Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian

Dalam KUHAP, Mandar Maju: Bandung.

Sri, Agus dan Mujiyono. 2009. Analisis Perlindungan Hukum Hak Tersangka dan

Potensi Pelanggaran Pada Penyidikan Perkara Pidana, Skripsi

Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR).

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 tahun 2003

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan

larangan diajukannya kasasi terhadap putusan Praperadilan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan kedua atas Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 memberikan kewenangan Mahkamah

Agung untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan

Peradilan.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan

Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011 tentang

Penghapusan Pemberian Hak Banding Kepada Penyidik dan Penuntut

Umum.

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 14/Pid.Pra/2016/Tjk

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang

Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (PERMA Nomor 4

Tahun 2016).

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman

Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

Wawancara

Hasil wawancara dengan Elza Oriza, Jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung, Rabu

22 Maret 2017 Pukul 10.30 WIB.

Hasil wawancara dengan Akademisi Hukum Universitas Lampung, Maroni selaku

Dosen Fakultas Hukum Unila, Rabu 22 Februari 2017 Pukul 13.30 WIB.

Hasil wawancara dengan Novian Saputra, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung

Karang, Kamis 2 Maret 2017 pukul 08.30 WIB

Website

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/21_PUU-XII_2014

http://mahkamahkonstitusi.go.id/BeritaSidang/MK:PenetapanTersangkaMasukLi

ngkupPraperadi lan,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796#.

WJKeJST1zE8,

http://digilib.unila.ac.id/5337/8/BAB%20II.pdf.

https://m.detik.com/news/berita/d-3381553/jejak-hukum-la-nyalla-dideportasi-3-

kali-menang-praperadilan-dan-vonis-bebas

http://www.kompasiana.com/www.hitori.com/hak-habeas-corpus-untuk

praperadilan_54f35f88745513982b6c736e

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51ab049c2a0d2/kekuatan-pembuktian-

fotokopi-dokumen

http://www.hukum-hukum.com/2016/08/putusan-praperadilan-tak-dapat-

diajukan.html?m=1