Post on 03-Jul-2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Polimer
Polimer adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari molekul-molekul kecil
dalam jumlah yang sangat banyak. Molekul kecil yang menjadi unsur dasar pembentuk
polimer disebut monomer. Proses pembentukan polimer ini disebut dengan istilah
polimerisasi. Jumlah monomer yang terlibat dapat mencapai ratusan, ribuan, bahkan lebih.
2.1.1. Polimerisasi
Reaksi polimerisasi dapat dilakukan dengan 2 proses, berdasarkan pada
mekanisme yang terjadi selama proses polimerisasi, yaitu Step Polymerization dan Chain
Polymerization. Step Polymerization adalah reaksi polimerisasi dimana mekanisme reaksi
monomer-monomer yang ada terjadi secara bertahap (stepwise). Maksudnya bertahap
disini adalah jumlah komponen –mer yang terbentuk berurutan, dari monomer, dimer,
trimer, dan seterusnya sampai terbentuk polimer yang berantai panjang, yang jika ditulis
dalam bentuk reaksi adalah sebagai berikut :
- Monomer + Monomer → Dimer
- Monomer + Dimer → Trimer
- Dimer + Dimer → Tetramer
- Trimer + Dimer → Pentamer
dan seterusnya sampai terbentuk polimer berantai panjang bergantung pada monomer
yang tersedia sebagai reaktan dalam reaksi polimerisasi. Sebagian besar reaksi
polimerisasi yang mengikuti mekanisme jenis ini menghasilkan produk samping berupa
molekul kecil (misalnya air). Karena seringkali step polymerization menghasilkan air
sebagai produk dalam polimerisasi ini, Step Polymerization seringkali disebut juga
Condensation Polymerization, walaupun sebenarnya, ada beberapa reaksi lain yang
menghasilkan produk selain air, bahkan ada pula reaksi yang tidak menghasilkan produk
samping apapun. Contoh reaksi polimerisasi yang mengikuti mekanisme Step
Polymerization adalah pembuatan polimer Polyamide dan pembuatan polimer
Polyurethane.[2]
4
5
Jenis reaksi polimerisasi yang kedua adalah Chain Polymerization. Chain
Polymerization adalah reaksi polimerisasi dimana reaksi antara monomer-monomernya
terjadi secara berantai (chain). Artinya adalah monomer-monomer yang ada langsung
saling “menyatu” membentuk rantai polimer yang panjang, sangat berbeda dengan Step
Polymerization yang reaksi antar monomernya terjadi secara bertahap. Contoh reaksi
polimerisasi yang mengikuti mekanisme reaksi seperti ini adalah reaksi pembuatan
Polyethylene.
Jika dibandingkan, ada factor-faktor mendasar yang membedakan antara Step
Polymerization dengan Chain Polymerization, yaitu :
a. Monomer pada Step Polymerization harus memiliki gugus fungsi (seperti gugus
karboksilat, alkohol, dll) sedangkan monomer pada Chain Polymerization hanya
memiliki ikatan rangkap (dua atau tiga). Pada Step Polymerization, penyatuan 2
monomer terjadi pada gugus fungsi monomer tersebut dan penyatuan tersebut
disertai dengan proses pelepasan molekul kecil (seperti air) sedangkan pada Chain
Polymerization, terjadi pemutusan ikatan rangkap untuk kemudian monomer-
monomer tersebut dapat menyatu. Karena inilah, Chain Polymerization disebut juga
dengan Addition Polymerization.
b. Suhu dan tekanan operasi pembentukan polimer dengan mekanisme Step
Polymerization relatif lebih rendah dari Chain Polymerization.
c. Jika dilihat dari kecepatan pembentukan polimernya, polimerisasi dengan mekanisme
Chain Polymerization akan menghasilkan polimer dengan lebih cepat dibandingkan
dengan Step Polymerization (dilihat dari massa molekul relatif polimer pada suatu
waktu tertentu). Ini bisa terjadi dikarenakan pada Step Polymerization, reaksi
pembentukannya terjadi secara bertahap (stepwise) sehingga membutuhkan waktu
lebih lama.
d. Pada Chain Polymerization, mutlak dibutuhkan senyawa yang dapat bertindak
sebagai inisiator reaksi polimerisasi (inisiator ini mirip fungsinya sebagai katalis,
membuat reaksi polimerisasi dapat berjalan) . Untuk Step Polymerization, reaksi
polimerisasi dapat berjalan walaupun tidak ada katalis, yang terpenting adalah
pengambilan molekul-molekul kecil yang terbentuk (karena produk molekul kecil
akan menyebabkan perubahan arah kesetimbangan reaksi).
6
Dalam membuat polimer, perlu diperhatikan kondisi operasi agar reaksi
polimerisasi dapat berjalan dengan sempurna dan didapatkan hasil yang diharapkan.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut[2]:
- Reaktan yang digunakan
Reaktan yang digunakan sebaiknya memiliki kemurnian yang tinggi (hanya
mengandung monomer saja, tidak ada pengotor) karena dengan kemurnian yang
tinggi, reaksi polimerisasi dapat berjalan dengan lebih cepat sehingga waktu bisa
ditekan tidak terlalu lama.
- Suhu operasi
Reaksi yang berbeda membutuhkan kondisi operasi yang berbeda pula. Temperatur
operasi harus optimum sesuai reaksi yang ada sehingga reaksi bisa berjalan dan
didapatkan hasil yang diharapkan, yaitu polimer yang memiliki massa molekul yang
besar.
- Arah kesetimbangan
Hampir semua Condensation Polymerization merupakan reaksi kesetimbangan. Oleh
karena itu, reaksi polimerisasi hendaknya didorong ke arah produk (polimer). Salah
satunya caranya adalah mengambil molekul kecil yang terbentuk sehingga
kesetimbangan diharapkan mengarah ke pembentukan produk polimer.
- Katalis / inisiator
Secara umum, Chain Polymerization membutuhkan katalis dalam prosesnya
sedangkan untuk Step Polymerization tidak diperlukan katalis karena memang reaksi
secara Step Polymerization dapat berjalan walaupun tidak ada katalis.
2.1.2. Sifat Fisika dan Kimia
Secara umum, polimer memiliki sifat fisika juga sifat kimia yang khas, yang
sangat berbeda dengan monomer pembentuk polimer itu sendiri. Contohnya, karakteristik
Polyethylene berbeda dengan monomernya, yaitu ethylene (etena). Berikut adalah
karakter fisik (dan kimia) yang dapat ditentukan dari suatu polimer :
7
- Massa molekul relatif
Massa molekul relatif polimer memperlihatkan kekuatan polimer terhadap perlakuan
mekanis dan termal. Semakin besar massa molekul relatifnya, semakin kuat pula
polimer tersebut (dalam hal termal maupun mekanis).
- Bentuk struktur (structural shape)
Menyatakan bentuk ikatan yang terjadi antara monomer-monomer sampai terbentuk
suatu polimer. Bentuk struktur polimer dibagi menjadi 3, yaitu linear (lurus),
branching (bercabang), dan crosslinking (saling berikatan antar polimer). Bentuk
struktur ini akan mempengaruhi sifat fisik polimer, terutama pada kekuatan mekanis
dan termal.
- “Crystalline Melting Temperature” (Tm) dan “Glass Transition Temperature” (Tg)
“Crystalline melting temperature” adalah suhu dimana domain Kristal dari suatu
polimer mulai meleleh sedangkan Glass Transition Temperature adalah suhu dimana
domain amorf dalam polimer mulai mengeras / membeku seperti layaknya gelas.
Nilai Tm dan Tg ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bentuk struktur
polimer, kristalinitas, dan kepolaran Kristal dalam domain polimer.
- Kristalinitas (crystalines)
Kristalinitas menunjukkan keteraturan molekul polimer dalam struktur mikroskopis.
Kristalinitas dibagi menjadi 3 macam, yaitu crystalline, semi-crystalline, dan
amorphous. Polimer dengan struktur crystalline memiliki susunan molekul yang
teratur dan kompak dalam suatu struktur kristal. Polimer dengan struktur semi-
crystalline mirip crystalline tetapi tidak terlalu teratur. Polimer dengan struktur
amorphous tidak memiliki struktur kristal.
Karakter fisik yang ditentukan untuk karakterisasi suatu polimer adalah massa
molekul relatif polimer (Mn) tersebut. Dalam kasus polimer, massa molekul relatif yang
diukur adalah massa molekul relatif rata-rata. Ini dikarenakan selain polimer itu sendiri,
terdapat juga senyawa-senyawa lain selain polimer itu sendiri, misalnya molekul kecil
hasil samping dari Step Polymerization. Secara umum, kekuatan polimer (mekanis dan
termal) mulai terlihat seiiring dengan meningkatnya massa molekul polimer.
Massa molekul relatif untuk polimer bermacam-macam jenisnya, tetapi berikut
adalah 3 jenis massa molekul relatif yang paling penting adalah :
8
- Number-average molecular weight, disimbolkan dengan Mn, adalah massa
molekular yang didapat dari pengukuran atau pengamatan sifat fisik dari polimer
tersebut, seperti penurunan titik beku, kenaikan titik didih, tekanan osmotic, dan
penurunan tekanan uap.
- Weight-average molecular weight, disimbolkan dengan Mw, adalah massa molekular
yang didapat dari komposisi massa di dalam campuran polimer.
- Viscosity-average molecular weight, disimbolkan dengan Mv, adalah massa
molekular yang didapat dari perhitungan viskositas polimer tersebut.
Untuk number-average molecular weight, nilainya merupakan berat molekul campuran
polimer yang memiliki massa molekular yang kecil sedangkan weight-average molecular
weight merupakan massa molekular berat molekul bagian campuran polimer yang
memiliki massa molekular yang besar. Nilai viscosity-average molecular weight kurang
lebih sama dengan weight-average molecular weight. Kedua nilai Mn dan Mw perlu
ditentukan sehingga dapat diketahui komposisi dalam suatu campuran polimer, apakah
lebih banyak senyawa bermassa molekul besar atau senyawa dengan massa molekul
kecil.[1]
Perbandingan antara Mw dengan Mn dapat disebut angka polidispersitas.[1]
Polidispersitas menunjukkan rentang berat molekul polimer yang ada. Semakin besar
nilai polidispersitas, semakin heterogen campuran polimer tersebut. Hal ini perlu
dihindari karena diinginkan polimer dalam kuantitas yang kurang lebih seragam. Jika
polidispersitas bernilai 1, maka didapatkan polimer yang kira-kira seragam dalam hal
panjang molekul dan jumlah ikatan yang ada. Secara umum, Mw mewakili massa
molekul relatif senyawa yang memiliki massa molekul yang besar (karena sifat polimer
sangat bergantung pada senyawa yang memiliki massa molekul yang besar) sedangkan
Mn membantu kita untuk mengetahui tingkat heterogen suatu campuran polimer dengan
melihat senyawa yang jumlah molekulnya lebih pendek.
Seperti yang telah dijelaskan, polimer merupakan suatu makromolekul yang
terbentuk karena adanya ikatan sejumlah monomer menjadi satu kesatuan. Ada 3
kemungkinan struktur ikatan yang dapat terjadi dalam pembbentukan polimer :
- Lurus (linear) → ikatan yang terbentuk lurus
- Bercabang (branch) → ikatan yang terbentuk bercabang
9
- Saling berikatan antar polimer (crosslinking) → ikatan yang terbentuk antara
molekul-molekul polimer yang ada
Untuk struktur linear, polimer tersusun secara teratur (lain halnya dengan 2 struktur
lainnya). Keteraturan ini member efek langsung pada kekuatan polimer dalam hal
mekanis dan termalnya. Polimer yang memiliki struktur linear lebih tahan suhu tinggi
(terdekomposisi pada suhu yang relatif tinggi) dan memiliki tensile strength yang besar.
Polimer yang memiliki struktur linear cenderung lebih teratur sehingga pada proses
kristalisasi suatu polimer (contohnya dengan mendinginkan polimer tersebut), Kristal
yang terjadi akan lebih padat karena struktur penyusun Kristal berbentuk teratur sehingga
dalam 1 kristal, polimer berstruktur linear akan menempati “tempat” dalam Kristal lebih
banyak dan kompak. Contoh polimer dengan struktur semacam ini adalah polyethylene.[3]
Pada struktur bercabang (branch), strukturnya relatif tidak teratur jika
dibandingkan dengan linear. Ketidak-teraturan ini memberikan kecenderungan pada
suatu polimer untuk tidak membentuk suatu struktur Kristal, melainkan struktur amorf
(amorf). Struktur ini bisa terbentuk jika monomer yang digunakan memiliki ikatan yang
bercabang (seperti polyisobutylene). Polimer yang memiliki struktur semacam ini
cenderung tidak memiliki daya tahan termal yang baik. Tetapi, struktur ini memberikan
keuntungan dalam hal daya tahan mekanis karena ketika diberi gaya (misalnya ditarik),
polimer akan mengalami pemanjangan (elongation). Dalam hal ini, kelebihan struktur ini
ada dalam hal fleksibilitasnya karena bersifat elastis. Contoh polimer dengan struktur ini
adalah polyisobutylene.[3]
Untuk struktur saling terhubung (crosslinking), strukturnya relatif lebih teratur
dari branching. Keteraturan ini terlihat dari strukturnya yang saling bercabang tetapi
membentuk struktur tertutup. Polimer dengan struktur seperti ini memiliki kelebihan pada
hal kelarutan. Polimer semacam ini tidak mudah larut dalam pelarut-pelarut. Semakin
kompleks struktur yang ada, semakin sulit pula polimer ini dilarutkan. Jika dibandingkan
dengan struktur linear, polimer dengan struktur crosslinking memberikan ketahanan
termal yang lebih baik karena struktur molekulnya sudah tertentu sehingga sangat
kompak. Jika dilihat dari sisi lingkungan, polimer semacam ini tidak diharapkan karena
proses degradasi polimer ini akan memakan waktu yang lama (bisa disebut juga non
degradable). Contoh polimer dengan struktur semacam ini adalah polyethylene dengan
derajat polimerisasi yang besar.[3]
10
Gambar 2.1 Struktur polimer (a)linear, (b)branch, (c)crosslinking
Secara umum, ketika polimer dengan struktur linear dipanaskan sampai suhu
tertentu diatas suhu glass-transitionnya, maka yang akan terjadi adalah struktur kristal
polimer akan meleleh sehingga polimer akan berfasa cairan yang viskos sehingga dapat
mengalir. Ketika dilakukan pendinginan, dengan segera molekul polimer akan
membentuk struktur kristal dengan mudah karena struktur linear yang sederhana sehingga
senyawanya mudah membentuk struktur kristal. Polimer semcam ini disebut sebagai
thermoplastic polymers[1].
Jika polimer dengan struktur crosslinking dipanaskan, struktur molekularnya
tidak akan berubah seperti yang terjadi pada struktur linear. Strukturnya akan tetap pada
bentuk awal dan tidak berubah fasa menjadi cairan, melainkan berbentuk padatan[1]. Di
fasa ini, polimer tidak akan larut pada pelarut-pelarut yang ada. Polimer semacam ini
dapat disebut thermosets polymers[1].
Derajat polimerisasi (degree of polymerization / DP) adalah jumlah unit
monomer yang berulang pada suatu unit polimer[3].Secara umum, semakin besar derajat
polimerisasi, semakin banyak pula unit monomer yang berulang dalam suatu polimer.
Sebagai contoh, jika dalam suatu polylactic acid terdapat 100 unit monomer asam laktat,
maka dapat dikatakan bahwa nilai DPnya adalah 100. Semakin besar DP suatu polimer,
semakin besar pula massa molekul relatif polimer karena unit monomer dalam polimer
semakin banyak.
Salah satu aspek untuk karakterisasi suatu polimer adalah ketaktisan strukturnya
(tacticity). Tacticity adalah susunan molekular polimer dalam menempati struktur
geometris / ruangnya[1]. Tacticity suatu polimer dilihat dari karbon kiral yang ada dalam
struktur polimer. Karbon kiral adalah atom karbon yang memiliki 4 ikatan kovalen
dengan senyawa-senyawa lain yang saling berbeda[3]. Tacticity sendiri terdiri dari 3
macam, yaitu syndiotactic, isotactic, dan atactic. Pada isotactic, atom karbon kiral yang
ada menempati struktur ruang yang sama dengan atom karbon kiral lain yang ada. Pada
11
syndiotactic, atom karbon kiral menempati struktur geometris yang berbeda dengan atom
karbon kiral kedua tetapi sama dengan atom karbon kiral yang ketiga (alternating). Pada
atactic, atom karbon kiral menempati struktur geometris yang tidak teratur[3]. Jika
dibandingkan, struktur geometris isotactic merupakan struktur yang paling teratur
sedangkan atactic merupakan struktur yang paling tidak teratur.
Gambar 2.2 Tacticity struktur polimer
Tacticity yang dimiliki polimer akan mempengaruhi kristalinitasnya (crystalline). Polimer
dengan struktur isotactic memiliki kristalinitas yang tinggi karena molekul polimer akan
menempati struktur Kristal dengan lebih kompak dan padat. Sedangkan untuk atactic,
strukturnya tidak teratur sehingga Kristalinitas yang dimiliki polimer kurang tinggi.
Dengan tingkat kristalinitas yang tinggi, ketahanan polimer dalam hal panas akan makin
baik. Ini dapat dilhat dari nilai glass-transition temperature dan melting temperature
yang relatif tinggi. Sebagai contoh, isotactic polipropilena memiliki suhu leleh 160oC
sedangkan atactic polipropilena memiliki suhu leleh sebesar 75oC[3].
2.1.3. Perhitungan Viscosity-Average Molecular Weight
Secara umum, jika hendak mencari viscosity-average molecular weight atau Mv,
perlu diukur terlebih dahulu waktu yang dibutuhkan polimer untuk mengalir pada pipa
kapiler di viskometer Ostwalt. Selain itu, perlu juga diukur waktu yang dibutuhkan
senyawa yang digunakan sebagai pelarut polimer yang ada untuk mengalir. Setelah itu,
nilai viskositas relatif (relative viscosity) dicari dengan rumus
µr = t / to
12
dimana t dan to adalah waktu yang dibutuhkan suatu polimer dan suatu pelarut dari
polimer untuk menempuh pipa kapiler pada viscometer Ostwald. Setelah itu, hitung nilai
ln(μr / c) dimana c adalah konsentrasi polimer dalam suatu campuran. Dengan “bantuan”
beberapa data viskositas relatif di berbagai nilai c, diharapkan nilai ln(µrc
) dapat
diekstrapolasi sehingga bisa didapat nilai viskositas intrinsic ( [µ] ). Kemudian, nilai
viskositas intrinsik dapat digunakan untuk mendapatkan nilai viscosity-average
molecular weight dengan rumus
[µ] = K Ma
M = [[µ ]K
]a
dimana K dan a adalah konstanta Mark-Houwink. Nilai K ada di rentang 0,0005 - 0,5
sedangkan nilai a berada di rentang 0,6 – 0,8.[2]
2.2. Asam Laktat
2.2.1. Sifat Fisika dan Kimia
Asam laktat (lactic acid) merupakan nama dagang dari asam-2-hidroksi
propanoat (2-hydroxypropionic acid)[5]. Nama lain dari asam laktat adalah α-
hydroxypropionic acid[6]. Asam laktat terdiri dari 2 gugus fungsi, yaitu gugus hidroksil /
alkohol (-OH) dan gugus karboksil (-COOH). Kehadiran gugus hidroksil membuat
molekul ini bersifat asam karena senyawa dengan gugus karboksil cenderung melepas ion
H+ dan membuat senyawa menjadi bersifat asam[6].
Gambar 2.3 Struktur Molekular Asam Laktat
Asam laktat larut di dalam air dengan komposisi 86% di suhu 20oC[5]. Selain itu,
asam laktat sangat larut dalam kloroform dengan koefisien distribusi yang sangat besar [5].
Koefisien distribusi asam laktat dalam pelarut adalah perbandingan konsentrasi asam
laktat yang terlarut dalam pelarut organik dibandingkan dengan konsentrasi asam laktat
13
yang terlarut dalam pelarut air. Berikut disajikan tabel pengaruh pelarut yang digunakan
terhadap koefisien distribusi asam laktat yang didapat :
Tabel 2.1 Koefisien Distribusi Asam Laktat dalam Pelarut-pelarut[5]
Pelarut Temperatur (oC)
Koefisien distribusi
Isobutanol 31 1,37Isopropyl ether 28 35
Diisobutyl ketone 25 36Ethyl Carbonate 25 21
Kloroform 25 106Kloroform 28 100
Asam laktat bersifat non-volatile (tidak mudah menguap), tidak berbau
(odorless), dan tidak berwarna (colourless). Selain itu, karena bersifat asam dan
cenderung bersifat sebagai akseptor electron, asam laktat bereaksi dengan logam
membentuk gas hydrogen dan garam logam (metal salt)[5].
2.2.2. Struktur Optis
Pada suatu struktur ruang, atom karbon kiral tersebut dapat menempati keadaan
yang berbeda. Perbedaan tersebut didasarkan pada letak senyawa yang berikatan pada
atom karbon kiral tersebut pada struktur 3 dimensi. Susunan letak senyawa yang
berikatan dengan atom karbon kiral pada struktur 3 dimensi ini dapat disebut
konfigurasi[4]. Berdasarkan arah putaran atom karbon kiral yang terjadi, konfigurasi dapat
dibedakan menjadi 2 macam[4] :
- Rectus (disimbolkan dengan R), arah putaran atom karbon kiral searah jarum jam
(clockwise)
- Sinister (disimbolkan dengan S), arah putaran atom karbon kiral berlawanan arah
jarum jam (counter clockwise)
Berdasarkan pada konfigurasi yang ada, asam laktat dibedakan menjadi (S)-asam laktat
dan (R)-asam laktat. Secara fisik, perbedaan antara (S)-asam laktat dan (R)-asam laktat
adalah titik lelehnya. Untuk (S)-asam laktat, titik lelehnya sebesar 53oC sedangkan (R)-
14
asam laktat mempunyai titik leleh 52,8oC[5]. Keduanya merupakan senyawa dasar untuk
membentuk polylactic acid.
Gambar 2.4 (S)-asam laktat (kiri) dan (R)-asam laktat
Selain dilihat dari perputaran atom karbon kiralnya, suatu senyawa dapat
diketahui struktur geometrinya dari arah perputaran bidang polarisasi cahaya oleh
senyawa[4] (senyawa harus memiliki karbon kiral). Menurut arah perputaran yang terjadi,
dapat dibedakan menjadi 2 macam :
- Dextrorotatory (disimbolkan dengan d, bukan D), senyawa memutar bidang
polarisasi searah jarum jam (clockwise)
- Levorotatory (disimbolkan dengan l), senyawa memutar bidang polarisasi
berlawanan arah jarum jam (counter-clockwise)
Asam laktat yang memutar bidang polarisasi secara dextrorotary disebut juga (d)-asam
laktat atau (+)- asam laktat sedangkan untuk asam laktat yang memutar bidang polarisasi
secara levorotatory disebut juga dengan (l)-asam laktat atau (-)-asam laktat[4].
Secara umum, tidak ada hubungan antara konfigurasi asam laktat (dinyatakan
dengan R dan S) dengan perputaran bidang polarisasi yang dilakukan oleh asam laktat
(dinyatakan dengan d dan l) karena perbedaan prinsip penentuan perputaran / rotasi. Pada
penentuan konfigurasi, penamaan dilakukan dengan melihat perputaran atom kiral saja
sedangkan pada perputaran bidang polarisasi, penamaan dilakukan berdasarkan pada
perputaran yang dilakukan oleh seluruh senyawa, dalam hal ini dilakukan oleh asam
laktat secara keseluruhan, bukan dari perputaran atom karbon kiralnya.
Asam laktat dengan konfigurasi (S), (S)-asam laktat, seringkali disebut juga
dengan L-asam laktat. Asam laktat dengan konfigurasi (S) memutar bidang polarisasi
searah jarum jam. Oleh karena itu, (S)-asam laktat seringkali ditulis dalam bentuk lain,
15
yaitu L-(+)-asam laktat. Stereoisomer dari L-(+)-asam laktat adalah D-(-)-asam laktat.
Keduanya merupakan senyawa dasar untuk membuat polylactic acid.
Senyawa asam laktat yang ada dapat ditemui dalam bentuk L-(+)-asam laktat
murni, D-(-)-asam laktat murni, atau campuran dari kedua stereisomer asam laktat. Jika
kadar L-(+)-asam laktat dalam campuran lebih besar dari D-(-)-asam laktat, maka
campuran tersebut memutar bidang polarisasi searah jarum jam dan begitu juga untuk
campuran dengan D-(-)-asam laktat yang lebih banyak. Ketika komposisinya sama,
campuran tersebut tidak akan memutar bidang polarisasi ke arah kiri maupun kanan.
Campuran semacam ini disebut sebagai campuran rasemic[4].
2.2.3. Sintesis Asam Laktat
Secara umum, asam laktat merupakan produk dari fermentasi karbohidrat dalam
suasana anaerob. Karbohidrat yang digunakan dapat berupa pentose (pentose, jumlah
atom karbon sebanyak 5) dan atau heksosa (hexose, dengan jumlah atom karbon
sebanyak 6). Sumber karbohidrat dapat berupa tebu, pati, sampai selulosa[5]. Berikut
adalah reaksi yang terjadi :
Gambar 2.5 Proses Pembentukan Ion Laktat
Fermentasi dilakukan dengan bantuan bakteri agar dapat memecah struktur yang
relatif kompleks menjadi asam laktat. Perbedaan pada bakteri yang digunakan akan
menghasilkan asam laktat dengan struktur geometris yang berbeda. Contoh bakteri yang
dapat menghasilkan L-(+)-asam laktat adalah Lactobacillus sp, Rhizopus sp,
Streptococcus sp, dan Sporolactobacillus inulinus[5]. Bakteri yang dapat menghasilkan D-
(-)-asam laktat adalah Sporolactobacillus laevovolacticus dan Lactobacillus
delbrueckii[5].
16
Selain dengan proses fermentasi, D-(-)-asam laktat dapat diperoleh dengan
proses rasemisasi (racemization) senyawa L-(+)-asam laktat pada suhu tinggi dengan
bantuan katalis logam, seperti logam natrium dan potasium[7].
Alternatif lain dalam memproduksi asam laktat adalah dengan mereaksikan
asetaldehida (acetaldehyde) dengan hidrogen sianida (hydrogen cyanide) sehingga
terbentuk lactronitrile kemudian dihdrolisis sehingga terbentuk asam laktat[5].
2.2.4. Laktida, Senyawa Turunan Asam Laktat
Laktida (lactide) merupakan senyawa siklik yang terbentuk karena proses
kondensasi dimer dari asam laktat (seringkali disebut Lactoyl Lactic Acid)[5]. Laktida
memiliki nama IUPAC 3,6-dimetyhl-1,4-dioxane-2,5-dione. Terbentuknya laktida
dikarenakan adanya proses transesterifikasi secara spontan dari asam laktat pada suhu
diatas 200oC dengan kehadiran logam Al dan Fe[5].
Karena laktida terbentuk karena reaksi antara 2 asam laktat, maka laktida sendiri
memiliki 2 karbon kiral. Jika dilihat dari struktur optiknya, laktida memiliki 3 buah
stereoisomer, yaitu (R,R)-laktida / D-laktida, (S,S)-laktida / L-laktida, dan (R,S)-laktida /
meso-laktida[5]. Laktida merupakan senyawa dasar untuk membuat polylactic acid dengan
mekanisme Ring Opening Polymerization (ROP)[5].
Gambar 2.6 Stereoisomer dari Senyawa Laktida
2.3. Poli(Asam Laktat)
Poli(asam laktat) merupakan polimer yang disintesis dengan menggunakan
senyawa asam laktat sebagai basis pembuatannya. Poli(asam laktat) merupakan polimer
yang dapat dengan mudah terdegradasi jika dibandingkan dengan polyethylene dan polimer
semacamnya[5]. Oleh karena inilah poli(asam laktat) seringkali disebut biopolymer.
17
2.3.1. Sintesis Poli(Asam Laktat)
Sintesis poli(asam laktat) dapat dilakukan dengan 2 metode umum, yaitu
Polycondensation dan Ring Opening Polymerization (ROP)[5]. Perbedaan antara 2 metode
tersebut berada pada mekanisme yang dilalui agar didapat polimer poli(asam laktat).
Secara umum, metode Polycondensation melibatkan reaksi langsung antara oligomer-
oligomer asam laktat yang ada, sedangkan pada ROP, pembentukan polimer akibat
adanya reaksi antara senyawa laktida yang ada[5].
Gambar 2.7 Mekanisme Sintesis Polylactic Acid dengan ROP[7]
2.3.1.1. Polycondensation Polymerization
Polycondensation merupakan salah satu metode untuk membuat poli(asam
laktat) yang cukup banyak dilakukan. Polycondensation merupakan metode
pembuatan poli(asam laktat) dengan mekanisme reaksi antara senyawa-senyawa
oligomer dari asam laktat yang telah terbentuk sehingga oligomer tersebut akan saling
menyatu sehingga membentuk ikatan yang panjang[5]. Bersatunya oligomer-oligomer
yang ada akan disertai dengan proses kondensasi (pelepasan molekul air).
Proses polycondensation dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi
(<200oC) karena pada suhu tinggi, dapat terjadi transeterifikasi asam laktat menjadi
laktida. Kehadiran laktida ini akan menyebabkan massa molekular polimer menjadi
rendah (akibat campuran menjadi tidak seragam) karena ukuran molekul dalam
campuran menjadi tidak seragam (dengan asam laktat[5])dan membuat yield operasi
18
menjadi kecil[5]. Selain itu, karena proses polimerisasi asam laktat merupakan reaksi
kesetimbangan, maka reaksi harus didorong ke arah pembentukan produk agar yield
yang diperoleh dapat besar. Salah satunya adalah dengan mengambil air yang
terbentuk selama proses polimerisasi sehingga laju pembentukan produk polimer akan
lebih baik[5]. Selain itu, penerapan kondisi vakum selama proses operasi dapat
mempercepat laju reaksi ke arah pembentukan produk[5].
Metode pembentukan poli(asam laktat) secara polycondensation sendiri
dibagi lagi menjadi 3 macam[5], yaitu :
a. Direct Condensation
Pada metode ini, proses polimerisasi dilakukan melalui 3 tahap yaitu
penghilangan air yang terkandung dalam umpan asam laktat yang dipakai, reaksi
mengubah asam laktat menjadi poli(asam laktat) dengan massa molekular yang
rendah, dan penghilangan air yang terbentuk selama proses polimerisasi.
Polimerisasi dilakukan dalam reactor yang memiliki pengaduk karena semakin
lama, campuran polimer akan semakin viscous[5]. Selain itu, sistem harus dibuat
vakum agar proses penghilangan air yang terbentuk selama reaksi dapat berjalan
dengan lebih mudah. Kelemahan dari metode ini adalah massa molekular polimer
yang didapat relatif kecil karena suhu operasi yang terbatas[5].
b. Solid-state Polycondensation
Metode ini identik dengan metode direct condensation hanya ditambah 1 tahap
lagi, yaitu proses pendinginan di bawah melting temperature. Di bawah melting
temperature, campuran akan terdiri dari fasa Kristal dan fasa amorf. Ada asumsi
bahwa reaksi polimerisasi akan terjadi secara terpusat pada interphase dari fasa
Kristal dengan fasa amorf yang ada. Dengan pendinginan yang dilakukan,
diharapkan asam laktat yang masih ada dapat bereaksi menjadi poli(asam laktat).
Ini akan membuat massa molekular yang didapat akan semakin besar dan
meningkatkan yield operasi[5].
c. Azeotropic Dehydration
Metode ini identik dengan direct condensation tetapi terdapat perbedaan pada
proses penghilangan kandungan air yang terbentuk dalam campuran. Secara
umum, proses polimerisasi dilakukan dalam larutan solvent, seperti pelarut
organic dan diphenyl ether. Selama proses polimerisasi, air yang terbentuk akan
larut dalam pelarut yang digunakan. Ini akan membuat reaksi kesetimbangan
19
berjalan ke arah pembentukan produk. Kelemahan dari metode ini adalah kurang
ekonomis (terutama jika menggunakan pelarut organik)[5].
Penggunaan katalis dapat meningkatkan laju reaksi polimerisasi secara
signifikan, dilihat dari massa molekul polimer yang didapat. Dengan menggunakan
katalis titanium (IV) butoxide, weight-average molecular weight poli(asam laktat)
yang didapat adalah 130000 grammol
dengan metode direct condensation sedangkan
dengan menggunakan katalis stannum chloride, weight-average molecular weight dari
poli(asam laktat) yang didapat bisa mencapai 320000grammol
dengan metode azeotropic
dehydration[5].
2.3.1.2. Ring Opening Polymerization (ROP)
Metode ini merupakan metode yang paling banyak dipakai di berbagai
industri untuk memproduksi poli(asam laktat). Metode ini lebih disukai karena
mudahnya melakukan kontrol dan massa molekular poli(asam laktat) yang dapat
diperoleh relatif lebih besar dari poli(asam laktat) yang dibuat dengan metode
polycondensation[5].
Pada metode ini, reaktan yang digunakan adalah laktida, dapat berupa L-
laktida, D-laktida, maupun meso-laktida. Senyawa yang digunakan dan komposisi
campuran laktida akan mempengaruhi sifat dan struktur poli(asam laktat) yang
dihasilkan. Sesuai namanya, struktur siklik dari laktida akan terpecah dan berikatan
dengan molekul laktida yang lain disertai dengan proses kondensasi. Begitu seterusnya
sampai terbentuk poli(asam laktat) berantai panjang.
Untuk ROP, reaksi polimerisasi dilakukan dalam kondisi suhu yang relatif
lebih tinggi, 130oC-230oC pada kondisi tekanan rendah[5]. Selain itu, seringkali
digunakan katalis untuk mempercepat laju reaksi. Katalis yang umum digunakan
adalah tin(II)bis-2-ethylhexanoic acid (tin octoate)[7]. Selain dapat meningkatkan laju
reaksi, tin octoate sering digunakan karena kelarutan yang tinggi dalam laktida cair
dan sedikit menyebabkan rasemisasi (racemization) pada laktida yang ada, dan
tentunya konversi yang diperoleh besar (>90%)[7]. Pada perkembangannya, katalis tin
20
octoate mulai dicari subtituennya karena katalis dengan basis tin bersifat racun[5].
Alternatif lain yang bisa digunakan sebagai katalis adalah Zinc lactate[5].
2.3.2. Struktur & Sifat Fisika dan Kimia dari PLA
Berdasarkan pada struktur optik yang terdapat pada struktur, poli(asam laktat)
sendiri dapat dibedakan lagi menjadi 3 macam Poly-(L)-Lactic Acid (PLLA), Poly-(D)-
Lactic Acid (PDLA), dan Poly-(DL)-Lactic Acid (PDLLA). PLLA dibuat dengan
mereaksikan L-asam laktat murni, PDLA dibuat dengan mereaksikan D-asam laktat
murni, sedangkan PDLLA didapat dengan mereaksikan campuran rasemik (campuran
yang komposisinya sama) dari L-asam laktat dengan D-asam laktat[5]. Struktur optis yang
berbeda akan memberikan sifat fisika dan kimia yang berbeda pula.
Jika dilihat dari struktur Kristal yang terbentuk, PLLA dan PDLA menghasilkan
struktur Kristal yang teratur dan kompak karena ukuran molekular yang lebih seragam
dibandingkan dengan PDLLA. Keteraturan struktur Kristal ini akan memberikan
perbedaan dalam hal ketahanan mekanis dan termal. Glass-temperature (Tg) dari PLLA
dan PDLA sedikit lebih besar dari PDLLA; Tg PLLA dan PDLA berkisar antara 55-65 oC
sedangkan Tg PDLLA bernilai 53oC[7].
PLLA dan PDLA bersifat kristalin sedangkan PDLLA bersifat amorf. Oleh
karena inilah PLLA dan PDLA lebih kuat tetapi bersifat brittle pada suhu kamar,
sedangkan PDLLA bersifat lebih lentur dan plastis karena dapat mengalami pemanjangan
dan pemendekan (elongation)[7].
Secara umum, PLA merupakan polimer dengan struktur linear, dimana
monomer-monomernya terhubung secara lurus tanpa adanya cabang-cabang. Oleh karena
struktur inilah PLA merupakan polimer dengan sifat thermoplastic[5] yang dapat diubah
bentuknya sesuai kebutuhan. Selain itu, PLA lebih mudah terdegradasi karena
strukturnya yang relatif sederhana.
Jika digunakan campuran reaktan L-asam laktat dan D-asam laktat dengan
komposisi yang berbeda, maka ada kemungkinan poli(asam laktat) yang terbentuk
memiliki struktur khusus, yaitu stereoblock dan stereocomplex[5]. Stereocomplex
polylactic acid, atau seringkali ditulis sc-PLA, merupakan PLA yang terdiri dari
campuran PLLA dan PDLA yang terpisah satu sama lain dengan komposisi tertentu
sedangkan stereoblock polylactic acid, ditulis sb-PLA, merupakan PLA yang terbentuk
karena adanya interaksi PLLA dengan PDLA pada sb-PLA menjadi 1 kesatuan sehingga
21
membentuk suatu block, dimana block tersebut dibagi menjadi block PLLA dan block
PDLA[5].
Gambar 2.8 Pembentukan sb-PLA dan sc-PLA
PLA yang memilki struktur stereoblock mempunyai ketahanan termal dan fisik
yang lebih baik dari PLA tanpa struktur stereoblock[5]. Tg dari sc-PLA bernilai 65-72oC
sedangkan Tm dari sc-PLA bernilai 220-240oC[5], lebih besar dari PLA yang nilai Tg-nya
hanya 50-65oC dan Tm-nya 170-190oC[5]. Selain itu, sc-PLA lebih plastis dari PLA
karena dapat mengalami elongasi sebesar 30% (PLLA hanya dapat mengalami elongasi
sebesar 12-26%)[5]. Sc-PLA dapat dibuat dengan melakukan pencampuran antara lelehan
PLLA dan PDLA (secara melt blend) sedangkan sb-PLA dibuat dari sc-PLA melalui
proses solid-state polycondensation[5].