Post on 27-Jan-2020
POLA PENYELESAIAN HADITS-HADITS MUKHTALIF Telaah Atas Hadits-Hadits “Minum Sambil Berdiri”
Oleh : M. Nawawi*
Abstraksi. Dalam kitab-kitab hadis terdapat riwayat yang menuturkan bahwa Nabi saw melarang meminum dengan posisi berdiri,. Tetapi pada saat yang sama terdapat riwayat sebaliknya bahwa Nabi saw melakukan minum dalam posisi berdiri. Hadits yang demikian ini dinyatakan sebagai hadits mukhtalif. Dalam kehidupan sehari-hari juga terdapat norma bahwa minum sambil berdiri itu merupakan perbuatan yang tidak baik, tetapi seiring dengan perkembangan, maka nilai tersebut berangsur mulai terkikis. Untuk menjawab bagaimana sesungguhnya petunjuk yang benar tentang etika minum, maka menyelesaikan ikhtilaf hadits tentang tata-kerama minum ini menjadi sangat bermakna. Para ulama sepakat bahwa dalam menghadapi hadits mukhtalif perlu ditempuh cara penyelesaian Al-Jam’u (kompromi mencari titik temu). Namun jika tidak tercapai maka diambil cara nasih mansuh atau tarjih. Dalam konteks hadits ini maka penyelesaian dengan pendekatan al-Jam’u terasa lebih adil dan realistic.
Kata Kunci : Tata Krama minum, Hadits Mukhtalif
Pendahuluan
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menuturkan paling tidak tiga
hadits yang melarang minum sambil berdiri. Demikian pula sebaliknya,
terdapat riwayat yang menuturkan bahwa Nabi SAW melakukan minum
sambil berdiri. 1
Secara tekstual, kedua riwayat tersebut dapat dikatakan sebagai
“mukhtalif”, sebab hadits yang pertama sifatnya melarang, sedang hadits
kedua memberi petunjuk yang bersifat ibahah (kebolehan). Al-Nawawi
dalam syarah Muslim mengemukakan bahwa sebagian ulama menganggap
makna hadits di atas sebagai “musykil”. Karena itu mengundang berbagai
pendapat. Bahkan terdapat ulama yang menganggap derajat hadits tersebut
berstatus dho’if.2
* M. Nawawi adalah dosen mata kuliah Ilmu Hadits di Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
1
Dalam masyarakat kita terdapat suatu norma bahwa minum sambil
berdiri adalah suatu perbuatan tercela. Namun hal itu berangsur-angsur
terkikis oleh arus modernisasi. Bahkan di kalangan birokrat terdapat pola
baru cara minum sambil berdiri, hususnya pada acara ramah tamah
kenegaraan dan lain sebagainya, maka dalam konteks kedua tradisi yang
berkembang dan saling berbenturan di atas, penyelesaian ikhtilaf hadits
tersebut amat berarti. Sebab dengan selesainya ikhtilaf hadits bersangkutan,
akan segera dapat ditentukan mana tradisi cara minum yang sesuai dengan
sunnah Rasul; apakah salah satu, atau keduanya. Dengan demikian
pengembangan tradisi yang benar akan dapat dibangun sesuai dengan
semangat nilai sunnah Nabi saw.
Makalah ini ditulis dalam rangka menggali penyelesaian iktilaf hadits
tersebut yang berkembang di kalangan para ulama’ untuk selanjutnya
dianalisis mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling kuat, sesuai
kaidah pemahaman hadits yang berlaku.
Cara Menyelesaikan Hadits Mukhtalif
Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits (atau lebih) yang saling
bertentangan pada makna lahiriahnya, kemudian keduanya dikompromikan
atau ditarjih salah satunya.3
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa tidak semua hadits yang
secara tekstual bertentangan, tertutup untuk dikompromikan. Untuk itu
Syarafuddin Ali al-Rajihi mendefinisikan hadits mukhtalif sebagai berikut :
“Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadits tersebut masih mungkin untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar)”4
2
Imam al-Syafi’I berkata : “ … Demikianlah, tidak pernah kami
temukan dua hadits yang kontradiksi, kecuali ada saja jalan keluarya. Atau
ditemukan petunjuk yang yang memberikan isyarah mana hadits yang lebih
otentik, baik atas dasar kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadits Nabi, atau
berdasarkan dalalah (petunjuk) lainnya.”5
Dengan demikian, maka tidak akan ditemukan hadits-hadits yang
bertentangan secara lahiriyah, kecuali ditemukan jalan keluar untuk
menghilangkan sifat kontradiksinya, baik melalui jalan kompromi (al-jam’u),
tarjih, atau nasih mansuh.
Cara yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan ikhtilaf hadits
adalah sebagai berikut :
1. Apabila mungkin, supaya diupayakan untuk dikompromikan keduanya,6
baik melalui pendekatan kaidah ushul fiqh, pendekatan konteks,
pendekatan korelatif, pendekatan ta’wil, atau pendekatan dari sudut
pandang al-tanawwu’ al-ibadah.7
2. Apabila mustahil dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya,
dan bila ditemukan sejarah yang menunjukkan mana yang lebih awal dan
lebih akhir wurudnya, maka diselesaikan melalui pendekatan nasih
mansuh.
3. Apabila tidak dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama-tama
supaya diamalkan secara sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi
masing-masing. Namun bila tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa
dilakukan tarjih.8 Dalam hal ini Muhammad Utsman al-Hasyit membagi
tarjih ke dalam empat kategori; yaitu tarjih dari sudut sanad, dari sudut
matan, dari sudut makna yang dimaksud (madlul), dari sudut yang
datangnya dari luar.9
3
Sungguhpun demikian, pendekatan pertama, yaitu al-jam’u
(kompromi), merupakan cara terbaik, yang diakui sejumlah ulama’,
sebagaimana dituturkan al-Kandahlawi.10
Untuk itu, sebagai pengetahuan mengenai pemahaman terhadap hadits
(sunnah) Nabi secara lebih baik perlu menyimak pendapat as-Syafi’i. Ia
berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan dengan al-Qur’an,
baik sunnah itu bersifat sebagai tafsir, atau sebagai ketentuan tambahan.
Sebab al-Qur’an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya. Oleh karna itu
apabila terdapat hadits yang sama-sama shahih, tidak mungkin terjadi
pertentangan. Sabda Nabi Muhammad saw dalam Haditsnya kadang
ditujukan sebagai ketentuan yang bersifat umum, tetapi yang umum itu
kadang dimaksudkan sebagai ketentuan khusus. Demikian pula (dalam
sabdanya itu) kadang dimaksudkan oleh Nabi sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu, tetapi kadang ia
menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam konteks
yang lain. Atas dasar paradigma itulah, maka as-Syafi’i berkeyakinan bahwa
tidak ada dua hadits yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan keluar
untuk mempertemukannya.11
Hadits-Hadits Yang Terkesan Berlawanan
Redaksi hadits bersangkutan diambil dari kitab Shahih Muslim. Hal
ini dilakukan atas pertimbangan bahwa kitab shahih Muslim merupakan salah
saatu kitab shahih yang menduduki peringkat kedua setalah shahih al-
Bukhari. Mengapa tidak mengambil dari kitab Shahih al-Bukhari ?. karena
dalam kitab yang terakhir ini hadits yang dimuat hanya mengenai riwayat
yang menuturkan bahwa Nabi SAW meminum air Zam-zam dengan berdiri.
Sedangkan mengenai larangan Nabi tidak dimuatnya. Jadi disamping alasan
4
di atas, kitab shahih Muslim dalam hal ini menyebutkan kedua hadits yang
berlawanan.
Redaksi hadits yang dimaksud, baik yang bersifat larangan maupun
kebolehan (ibahah), masing-masing diriwayatkan tidak kurang dari empat
jalur sanad. Secara rinci hadits dimaksud adalah sebagai berikut :12
1. Hadits yang bersifat larangan. Hadits ini ada yang disusun dengan
menggunakan lafadz “ زجر “ dan ada yang menggunakan “ نهى “.
Hadits yang menggunakan “ زجر “ diriwayatkan Imam Muslim dari dua
jalur sanada, yaitu :
a. Dari Haddab bin Khalid, dari Hammam, dari Qatadah, dari Anas;
b. Dari Haddab bin Khalid, dari Hammam, dari Qatadah, dari Abi Isa
al-Aswari, dari Abu Sa’id al Hudazri.
Sedangkan hadits yang menggunakan kata “ نهى “ juga diriwayatkan
Imam Muslim dari dua jalur sanad, yaitu :
a. Dari Muhammad bin al-Mutsanna, dari Abd. Al-A’la, dari Sa’id, dari
Qatadah, dari Anas.
b. Dari Zuher bin Harb, Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Bassyar.
Mereka bertiga menerima dari Yahya bin Sa’id, dari Syu’bah, dari
Qatadah, dari Abu Isa al-Aswari, dari Abu Sa’id al-Khudzri.
2. Haditsyang bersifat memberi ijin kebolehan (ibahah) adalah disusun
dengan redaksi sebagai berikut :
��ة أبو ح��دثنا الجح��دري كامل أبو حدثنا عن عوان م عن عاص��عبي اس ابن عن الش ول سقيت قال عب ه رس�� لى الل ه ص�� الل
م عليه قائم وهو فشرب زمزم من وسل
5
ه عبد بن محمد حدثنا فيان حدثنا نمير بن الل عن س�� م عاص��عبي عن اس ابن عن الش بي أن عب ه صلى الن م عليه الل وسل
قائم وهو منها دلو من زمزم من شرب
األح��ول عاصم أخبرنا هشيم حدثنا يونس بن سريج حدثنا ومعيل ال��دورقي يعق��وب ح��دثني و ح بن وإس�� الم ق��ال س��
يم ح��دثنا يعق��وب قال و أخبرنا إسمعيل م ح��دثنا هش�� عاص��عبي عن ومغيرة األحول اس ابن عن الش ول أن عب ه رس�� الل
ه صلى م عليه الل قائم وهو زمزم من شرب وسل
Semua hadits di atas diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas
melalui empat jalur sanad berikut :
a. Dari Abu Kamil al-Jahdari, dari Abu Uwanah, dari ‘Ashim, dari al-
Sya’biy, dari Ibnu Abbas;
b. Dari Muhammad bin Abdullah bin Numair, dari Sufyan, dari ‘Ashim,
dari al-Sya’bi, dari Ibnu Abbas;
c. Dari Syurej bin Yunus, Ya’qub al-Duraqi dan Isma’in bin Salim.
Semuanya menerima dari Hasyim, dari Ashim al-Ahwal dan
Mughirah, dari al-Sya’bi, dari Ibnu Abbas.
d. Dari Ubaidillah bin Mu’ad, dari ayahnya sendiri, dari Syu’bah, dari
“Ashim, dari al-Sya’bi, dari Ibnu Abbas.13
Menurut penelitian yang dilakukan Imam Nawawi, penulis kitab
Syarah Muslim, semua hadits tersebut di atas, bersetatus shahih. Bahkan
mengecam pendapat yang mengatakan bahwa sebagian hadits tersebut
sebagai dha’if.14 Pendapat al-Nawawi ini kemudian dikutip oleh banyak
penulis syarah hadits, seperti Ibnu Hajar al-Atsqalaniy, Abu Thayyib
Muhammad Syamsul Haq Abady (penulis ‘Awnul Ma’bud), Muhammad
Zakaria al Kandahlawi (penulis Awjazul Masalik), Al-Syaukani dan lain-lain.
Pendapat Para Ulama Dalam Menyelesaikan Ikhtilaf
6
Inti yang dimaksud hadits pertama melarang (mengecam) orang yang
minum dalam keadaan berdiri. Sedangkan inti maksud hadits kedua
menjelaskan bahwa Nabi SAW meminum air zam-zam dengan berdiri.
Dari sini dapat difahami bahwa antara hadits pertama dengan hadits
kedua terdapat ikhtilaf. Hadits pertama bersifat melarang, sedang yang kedua
membolehkan, sebab Nabi sendiri melakukannya. Berarti ada pertentangan
ucapan dan perbuatan. Dalam hadits riwayat Muslim melalui jalur Abu
Hurairah, dituturkan bahwa Nabi bersabda :15
��د ح��دثني ار عب الف��زاري يعني م��روان ح��دثنا العالء بن الجبي غطف��ان أبو أخبرني حمزة بن عمر حدثنا ه الم��ر مع أن س��
1
Catatan Akhir
? Abul Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-naisaburi, Shahih Muslim, juz II (bandung : dakhlan, tth) hal. 208-209
2 Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawi, juz XIII (Mesir al-Mishriyah, 1924) hal 195
3 Dr. Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin fi Naqdi Matn al-Hadits al-Nabawi, (Mu’assasah al-Karim, tth) hal 368
4 Dr. Edi Safri, al-Imam al-Syafi’I; Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif (Desertasi) tidak dipublikasikan, IAIN Jakarta, 19990, hal. 129, dikutip dari Syarafuddin Ali al-Rajihi, Mushtalah al-Hadits wa Atsaruhu ‘Ala al-Darsi al-Lughowi ‘Inda al-‘Arab (Bairut : Dar al-Nadhah, tth) hal. 217.
5 Untuk lebih rinci bisa dibaca Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, tahqiq Muhammad Sayyid al-Kailaniy (Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabiy, 1969) hal. 98 - 101.
6 Dr. Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin … hal. 3727 Dr. Edi Safri, al-Imam al-Syafi’i… hal. 152, 160, 171, 180, 2058 Dr. Muhammad Thahir al-Jawabiy, Juhud al-Muhadditsin … hal. 372Baca Muhammad Utsman al-Kasyit, Mafatihu Ulum al-Hadits wa Thuruqu Tahrijih
(Kairo : Maktabah al-Qur’an, tth) hal. 126-127
9Muhammad Utsman al-Kasyit, Ibid, hal. 12810 Muhammad Zakariya al-Kandahlawi (selanjutnya disebut al-Kandahlawi),
Awjazu al-Masalik ila Muwatha’ Malik, juz XIV (Bairut : Dar al-Fikr, tth) hal 27011 al-Syafi’i, al-Risalah, … hal. 98-10112 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim … hal. 20813 Ibid, hal. 208-20914Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi , … hal. 19515 Ibid, hal. 209
7
ول قال يقوال هريرة أبا ه رس�� لى الل ه ص�� ��ه الل م علي ل ال وس��فليستقئ نسي فمن قائما منكم أحد يشربن
Namun Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Nu’aim, dari Mis’ar, dari
Abd. Malik bin Maisarah, dari al-Nazzal, berkata :16
أبو حدثنا رة بن الملك عبد عن مسعر حدثنا نعيم عن ميس��ال ز ي علي أتى ق��ال الن ه رض�� ��ه الل ��اب على عن ��ة ب حب الر
��ره ناسا إن فقال قائما فشرب رب أن أح��دهم يك وه��و يش��ي ق��ائم بي رأيت وإن لى الن ه ص�� ��ه الل م علي ل كما فع��ل وس��
فعلت رأيتموني
Maka semakin jelas, bahwa secara tekstual, terdapat pertenatangan
(ikhtilaf) antara ucapan dan perbuatan nabi SAW. Timbullah pertanyaan;
Mungkinkah terdapat pertentangan dalam sunnah Nabi yang disepakati
sebagai pedoman hidup muslimin?. Untuk itu perlu ditemukan penyelesaian.
Sebab tidak mungkin ada dua hadits yang bertentangan kecuali terdapat jalan
keluar untuk dipertemukan. Demikian kata al-Syafi’i.
Menghadapai persoalan tersebut, sikap para ulama’ tidak mengambil
jalan yang sama. Di antara mereka ada yang menempuh tarjih, ada yang
menempuh nasih-mansuh, dan ada yang menempuh jalan al-jam’u.17
Abu Bakar al-Atsram mengambil pendekatan tarjih, di mana hadits
yang membolehkan dinyatakan sebagai lebih rajih dibanding hadits yang
melarangnya, walau sebenarnya kedua hadits itu sama-sama shahih. Alasan
yang dijadikan dasar adalah sebagai berikut :
16 al-Hafidz Ahmad bin Aly bin Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, juz XI (Bairut : Dar al-Fikr, tth) hal. 212-213
17 Lihat pada Ibnu Hajar, Fath al-Bariy … hal. 215-216, dan al-Kandahlawi, Awjaz al-Masalik, … hal. 280-281
8
Pertama, hadits yang secara gamblang dinyatakan sendiri oleh Nabi,
yang sifatnya melarang, adalah diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Redaksi
hadits tersebut adalah :
��د ح��دثني ار عب الف��زاري يعني م��روان ح��دثنا العالء بن الجبي غطف��ان أبو أخبرني حمزة بن عمر حدثنا ه الم��ر مع أن س��
ول قال يقوال هريرة أبا ه رس�� لى الل ه ص�� ��ه الل م علي ل ال وس��فليستقئ نسي فمن قائما منكم أحد يشربن
Namun pada saat yang sama terdapat riwayat yang menuturkan bahwa Abu
Hurairah berkata: 18
قائما بالشرب بأس ال قال أنه هريرة أبي عن ويروىKedua, ulama’ telah sepakat, bahwa orang yang meminum berdiri
karena lupa, tidak wajib memuntahkan air yang telah diminum, padahal bila
memperhatikan hadits riwayat Abu Hurairah di atas, orang tersebut wajib
memuntahkannya.19
Memperhatikan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
menurut pendapat Abu Bakar al-Atsram, meminum sambil berdiri itu
hukumnya boleh (ibahah) secara mutlaq, tidak makruh dan tidak khilaf al-
awla.
Agak mirip dengan pendapat Abu Bakar al-Atsram adalah pendapat
Ibnu Syahin yang menggunakan pendekatan nasih-mansuh. Ia berpendapat
bahwa hadits Anas (bin Malik tentang larangan minum dengan berdiri)
adalah mansuh oleh hadits yang membolehkannya.20 Alasan yang digunakan
sebagai dasar adalah sebagai berikut :
18 Muhammad bin Aly bin Muhammad al-Syawkany, Nail al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, juz VIII (Mesir : Mustafa al-Babiy al-Halabiy, tth) hal. 219. Lihat pula pada Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy … hal. 215
19 Al-Kandahlawi, Awjaz al-Masalik … hal. 270 dan al-Syawkaniy, Nail al-Awthar, … hal. 219
9
Pertama, bahwa hadits yang memberi ijin dan memperbolehkan
minum dengan berdiri (berupa hadits fi’liyah) adalah terjadi lebih akhir; yaitu
pada saat Nabi sedang melaksanakan haji wada’.21
Kedua, bahwa Khulafa’ al-Rasyidin dikabarkan melakukan perbuatan
minum sambil berdiri. Demikian pula diriwayatkan bahwa sayyidah ‘Aisyah
berpendapat: “Tidak apa-apa seorang yang minum dengan berdiri”. Imam
Malik meriwayatkan dari Abu Ja’far al-Qariy bahwa ia telah mengetahui
(menyaksikan) abdullah bin Umar bin al-Khatthab minum sambil berdiri.22
Dengan begitu berarti para sahabat banyak yang melakukannya. Atas dasar
pertimbangan dan logika inilah para ulama’ seperti Ibnu Syahin berpendapat
bahwa hadits Nabi yang melarang minum sambil berdiri telah mansuh. Oleh
karena itu mereka berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri hukumnya
boleh secara mutlak.
Berlawanan dengan pendapat Ibnu Syahin - walau pendekatan yang
digunakan sama, yaitu nasih mansuh - adalah pendapat Ibnu Hazmin. Ia
berpendirian bahwa hadits yang mansuh justru yang beresifat membolehkan
(ibahah) dengan dasar bahwa kebolehan adalah hukum asal, kemudian
datanglah hadits yang melarangnya untuk menetapkan hukum syari’at. Di
samping itu dasar yang dipakai oleh pendapat yang mengatakan bahwa hadits
larangan itu mansuh, adalah tidak bisa dibenarkan, sebab hal itu hanya
berdasar dugaan. Dan yang demikian itu tidak bisa dibenarkan.23 Oleh karena
itu Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukum minum sambil berdiri, hukumnya
haram.24
20 Al-Syawkaniy, Nail al-Awthar … hal. 220, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy … hal. 219, al-Kandahlawiy, Awjaz al-Masalik … hal. 270
21 Abi al-Thayib Muhammad Syamsu al-Haq al-Adzim al-Abadiy, Awnu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz X (Maktabah Salafiyah, tth) hal. 183
22 Lihat Muwattha’ Malik Bab Minuman, lihat pula al-Kandahlawi, Awjaz al-Masalik … hal. 282, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, … hal. 216
23 Ibu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, … Ibid24. Muhammad bin Isma’il al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul al-Salam, juz II,
(Bandung : Dakhlan, tth) hal. 156
10
Pendekatan ketiga, adalah menggunakan cara (metode) al-jam’u;
suatu pendekatan yang ingin mencarikan titik temu antara dua hadits yang
bertentangan, sehingga kedua hadits bersangkutan sama diperlakukan secara
adil, tanpa mengabaikan salah satunya. Sungguhpun demikian, dalam hal ini
para ulama tidak berada pada pemahaman yang sama. Jumhur ulama’
berpendapat bahwa hukum meminum dengan berdiri itu boleh, hanya saja
kurang disukai (makruh tanzih atau khilaf al-awla).25 Pendapat ini sama
dengan pendirian Imam Nawawi sebagaimana dijelaskan dalam kitab syarah
Muslim. Ia menjelaskan bahwa kedua hadits (yang terkesan bertentangan) itu
sama-sama shahih, namun tidak mengandung pertentangan. Larangan yang
ada pada hadits Anas bin Malik dan Abu Sa’id Al-Khudzri itu sifatnya tidak
mutlaq. Hal ini disimpulkan dari peristiwa minumnya Nabi. Tidak mungkin
Rasulullah melakukan sesuatu yang telah dilarangnya sendiri. Oleh karena itu
perbuatan Nabi SAW (hadits fi’liyah berupa minum sambil berdiri) harus
difahami sebagai penjelasan terhadap hadits Anas bin Malik dan Abu Sa’id
al-Khudzri. Karena berfungsi sebagai penjelas, maka perbuatan Nabi itu
sifatnya tidak bisa dihukumi sebagai perbuatan yang makruh atau khilaf al-
awla.26 Sama dengan pendapat di atas adalah al-Khatthabiy, Ibnu Batthal dan
al-Thabariy. Mereka berpendapat bahwa larangan meminum dengan berdiri
itu sifatnya hanya sebagai irsyad dan ta’dib, bukan sebagai keharaman.27
Agak berbeda dengan pemahaman al-jam’u di atas, adalah pendapat
Abu al-Faraj al-Tsaqafiy. Metode al-jam’u yang dipergunakan ialah dengan
melakukan ta’wil. Makna yang dimaksud oleh kata adalah بالقيام“ “
راألم في قام “ Seorang dikatakan .(berjalan) “ المشي “ apabila ia
telah menempuh dan bergumul dengan perkara tersebut.28 Jadi yang
dimaksud oleh larangan tersebut adalah minum dengan berjalan. Oleh 25 Ibid, hal. 156-15726 Shahih Muslim bi Shah al-Nawawi, … hal. 19527 Al-Syawkaniy, Nail al-Awthar, … hal. 22028 Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, … hal. 216
11
karena itu apabila hanya minum sambil berdiri dengan tenang, maka hal itu
tidak termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh hadits Nabi SAW
tersebut. Ibnu Qutaibah memberi penegasan bahwa yang dimaksud oleh
larangan tersebut, supaya orang-orang yang sedang minum itu melakukannya
dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Tujuannya supaya air yang masuk
dapat berjalan dengan baik dan tidak nyangkut di dada.29 Menyimak apa yang
diterangkan Ibnu Qutaibah ini, tampaknya yang dituju oleh hadits Nabi yang
melarang minum sambil berdiri tersebut adalah kenyamanan dan kesehatan
orang yang sedang minum. Mereguk minuman dengan duduk akan
mendatangkan kenyamanan dan kesehatan. Sebaliknya, meminum dengan
berdiri dihawatirkan akan mendatangkan kemadzaratan dan penyakit.
Salah satu pemahaman al-jam’u yang lain adalah pemahaman
konteks. Hadits yang bersifat melarang berlaku dalam keadaan normal, di
mana dimungkinkan untuk melakukan minum dengan duduk. Sedangkan
hadits yang bersifat memberikan kebolehan (ibahah) berlaku apabila keadaan
tidak memungkinkan seorang untuk minum dengan duduk. Pemahaman ini
disimpulkan dari keadaan sewaktu Nabi melakukan minum dengan berdiri,
yaitu ketika sedang melakukan haji. Peristiwa ini melahirkan pemahaman,
bahwa Nabi tidak sempat duduk untuk minum air zam-zam, karena situasi
dimana para jama’ah haji sedang berdesakan.30
Dari penjelasan tersebut di atas, penulis cenderung dengan pendekatan
al-jam’u, sebab pendekatan ini terasa lebih adil. Disamping itu tidak
ditemukan alasan yang kuat untuk menolak pendekatan ini. Sedang
pemahamannya bisa memilih dari berbagai pemahaman yang telah
dikemukakan di atas. Bagi penulis pemahaman itu bisa mengikuti
29 Abdulah bin Muslim bin Quthaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, Tahqiq Muhammad Abd. Rahim (Bairut : Dar al-Fikr, 1995) hal. 301
30Abi al-Thayyib Muhammad Syamsu al-Haq Abadiy, Uwn al-Ma’bud, … hal. 183
12
perkembangan sesuai dengan konteks dan semangat moral yang ada dalam
petunjuk kandungan hadits.
Dalam konteks ikhtilaf tersebut di atas, penulis cenderung kepada
pemahaman jumhur ulama, al-Khatthabiy, Ibnu Batthal dan al-Thabariy.
Hanya saja ada sedikit catatan tambahan. Sebagaimana disebut di atas bahwa
jumhur ulama’ berpendapat : “minum sambil berdiri itu tidak apa-apa
(ibahah) tetapi kurang disukai (makruh tanzih atau khilaf al-awla). Hadits
yang sifatnya melarang fungsinya hanya sebagai ta’dib dan irsyad.
Dalam hal ini penulis memberikan tambahan dengan menggunakan
pendekatan konteks. Bahwa minum sambil berdiri yang dikategorikan khilaf
al-awla atau makruh tanzih (kurang disukai) itu sifatnya tidak mutlaq, tetapi
hanya berlaku di tempat-tempat dimana akan menjadi penyebab menurunnya
(jatuhnya) muru’ah dan derajat seseorang, seperti minum di pinggir jalan dan
sebagainya. Oleh karena itu apabila minum sambil berdiri itu dilakukan di
dalam rumah sendiri, atau dilakukan karena hajat (kebutuhan yang tidak
mengurangi muru’ah), maka hal itu diperbolehkan secara mutlaq. Dasar
pertimbangan ini adalah pemahaman atas hadits-hadits berikut :
1. Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas
م عن شعبة حدثنا أبي حدثنا معاذ بن الله عبيد حدثني عاص&&مع عبي س& مع الش&& قيت ق&ال عباس ابن س& ول س& الله رس&رب زمزم من وسلم عليه الله صلى قى قائما فش&& واستس&&البيت عند وهو
2. Hadits Riwayat Imam Ahmad dari Ummu Sulaim/Umi Anas bn Malik
اج ح&&دثنا ق&&ال ج&&ريج ابن ح&&دثنا وروح ج&&ريج ابن عن حج بن أنس بنت ابن زي&&د بن الب&&راء أن الك&&ريم عب&&د أخبرني بن أنس أم عن يح&&دث مال&&ك بن أنس أن أخب&&ره مال&&كلى النبي دخ&&ل ق&&الت مال&&ك لم علي&&ه الله ص&& علينا وس&&
ة وقرب&&ة رب م&&اء فيها معلق&& لى النبي فش&& علي&&ه الله ص&&
13
لم امت القرب&&ة في من قائما وس&& أم فق&& ليم في إلى س&&فقطعته القربة
Dari kedua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa minum
Nabi dengan berdiri itu dilakukan ketika beliau sedang di dalam rumah,
sehingga tidak akan sampai menurunkan muru’ah (kepribadian). Atau
dilakukan karena keadaan dimana tidak dimungkinkan duduk. Dari hadits
Ummu Sulaim di atas jelas tergambar bahwa tempat air minumnya
tergantung di dinding, maka tidak mungkin dilakukan minum dengan duduk.
Demikian pula peristiwa minumnya Nabi SAW, pada saat sedang
menjalankan ibadah haji. Hal ini sangat dimungkinkan karena tempat sekitar
sumur zam-zam itu sangat berdesakan, sehingga tidak memungkinkan minum
dengan duduk.31
31 Secara lebih jelas bisa dilihat pada Awnul Ma’bud, … hal. 183
14
Penutup
Memperhatikan berbagai penjelasan tersebut di atas, dapat difahami
bahwa penyelesaian ikhtilaf hadits tentang minum sambil berdiri yang
ditempuh para ulama’ sangat beragam. Namun dari sekian cara tersebut, yang
paling adil adalah cara al-jam’u. sebab dengan cara ini semua hadits shahih
yang berkaitan dengan permasalahan dapat terakomodir dan berfungsi
sebagaimana mestinya.
Kesimpulan penyelesaian melalui al-jam’u menempatkan hadits Anas
(bin Malik) dan Abu Sa’id al-Hudzri, yakni hadits yang bersifat larangan,
sebagai hadits yang bersifat umum; apakah sifat larangan mutlaq atau relatif,
dalam arti menunjuk kepada hukum tahrim, makruh atau khilaf al-awla.
Untuk itu perlu penjelasan lain. Nah dalam konteks inilah hadits Ibnu Abbas,
yang bersifat ibahah, datang menjadi penjelas terhadap hadits Anas dan Abu
Sa’id. Maka larangan minum dengan berdiri yang terkandung dalam hadits
Anas dan Abu Sa’id sifatnya tidak mutlak. Oleh karena itu hukumnya
menjadi makruh atau khilaf al-awla. Namun sampai pada tahap ini masih
menimbulkan pertanyaan;apakah hukum makruh atau khilaf al-awla tersebut
berlaku secara mutlaq, atau mempunyai konteks tertentu. Untuk menjawab
pertanyaan tadi, hadits Ibnu Abbas dan Ummu Sulaim memberikan
pemahaman, bahwa hukum makruh atau hilaf al-awla hanya berlaku dalam
keadaan yang dapat mengurangi atau menurunkan muru’ah dan kepribadian
seseorang. Atau dalam keadaan dimana sangat mungkin dilakukan minum
sambil duduk.
Maka atas pemahaman di atas, minum sambil berdiri boleh dilakukan
secara mutlaq, dalam keadaan dimana tidak akan menjadi penyebab yang
menurunkan muru’ah. Demikian pula bila dilakukan dalam keadaan
15
sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin dilakukan dengan duduk. Dalam
konteks ini, maka minum sambil berdiri dalam resepsi kenegaraan sudah
menjadi tradisi, adalah diperbolehkan
16