PENDIDIKAN KEJUJURAN DALAM PERSPEKTIF HADITS...
Transcript of PENDIDIKAN KEJUJURAN DALAM PERSPEKTIF HADITS...
PENDIDIKAN KEJUJURAN DALAM PERSPEKTIF HADITS
DALAM KITAB SHAHIH MUSLIM
(KAJIAN MATERI DAN METODE PEMBELAJARAN)
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun oleh:
MUHAMMAD SHIRAJUL ILMI
NIM: 1112011000032
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Muhammad Shirajul Ilmi, NIM: 1112011000032, Pendidikan Kejujuran
dalam Perspektif Hadits dalam Kitab Shahih Muslim (Kajian Materi dan
Metode Pembelajaran)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui materi dan metode apa saja
yang bisa digunakan untuk mengajarkan sifat jujur kepada anak dalam perspektif
hadits Shahih Muslim.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan kepustakaan (library research). Adapaun
sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Shahih
Muslim sebagai sumber primer, dan buku-buku lainnya sebagai sumber sekunder.
Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik content analysis. Adapun dalam
pembahasannya menggunakan metode deskriptif karena data yang dikumpulkan
berupa kata-kata bukan angka-angka.
Hasil penelitian ini adalah mengenai materi dan metode pembelajaran
yang sesuai untuk mengajarkan sifat jujur kepada anak di sekolah maupun di
rumah. Materi yang bisa diajarkan kepada anak sebagai pembelajaran kejujuran
adalah kejujuran membawa kepada surga, kejujuran dalam jual beli, dusta adalah
salah satu tanda kemunafikan. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode
targhib dan tarhib, atau yang biasa kita sebut metode ganjaran dan hukuman.
vi
ABSTRACT
Muhammad Shirajul Ilmi, NIM: 1112011000032, Honesty Education in
Hadits Perspective in Shahih Muslim book (Study of Material and Learning
Methods)
This study aims to determine what materials and methods can be used to
teach honesty to children in the perspective of Saheeh Muslim hadith.
The type of research used in this study is a type of qualitative research
with a library approach. There are several research sources used in this study,
namely Saheeh Muslim as a primary source, and other books as secondary
sources. The analysis technique in this study is content analysis technique. The
discussion uses descriptive methods because the data collected is in the form of
words rather than numbers.
The results of this study are about the appropriate learning materials and
methods to teach honesty to children at school and at home. The material that can
be taught to children as a learning honesty is honesty brings to heaven, honesty in
buying and selling, lying is one sign of hypocrisy. While the method used is the
method of targhib and tarhib, or what we usually call the method of reward and
punishment.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji kehadirat Allah Swt yang awal
dan yang akhir, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan segala macam
petunjuk serta kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Shalawat dan salam tercurah limpah kepada junjungan alam Nabi besar
Muhammad Saw yang telah menjadi uswah hasanah dalam segala segi kehidupan,
semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumil qiyamah , aamiin.
Dengan penuh rasa syukur skripsi berjudul “Pendidikan Kejujuran
dalam Perspektif Hadits dalam Kitab Shahih Muslim (Kajian Materi dan
Metode Pembelajaran)” ini akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi yang memuat
sudut pandang hadits dalam memandang pendidikan kejujuran ini tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan, dorongan, dan do’a dari banyak pihak. Maka
seyogyanya penulis haturkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada seluruh
pihak yang telah membantu, mendukung, dan mendo’akan penulis dalam
menempuh tugas akhir ini. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA, selaku
Ketua Jurusan dan Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.
3. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag, selalu Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu
meluangkan waktu dan tiada henti memberikan semangat, arahan, bimbingan
dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Drs. Achmad Gholib, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik. Serta bapak
dan ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
viii
yang telah mengarahkan, mendidik, membimbing, dan memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat untuk penulis.
5. Orang tua tercinta (H. Badaruddin dan Hj. Hadijah), adik-adik (Nurul Ihsan,
Shaniatun, Lea Sundari) beserta seluruh keluarga yang telah memberikan
motivasi, dorongan, cinta kasih dan do’a yang tulus tanpa batas.
6. Hanny Puspitasari untuk waktu luang, bantuan serta supportnya kepada
penulis dalam menulis skripsi ini. Semoga selalu bahagia dunia dan akhirat.
7. Keluarga Santri Soleh, Agus Setiawan, Ichsan Saputra, Andra Kurnia,
Ilhamsyah, Indra Saputra, Labib Fauzan, Murtadlo, Rahmatullah Basri,
Rendy Iskandar Chaniago, Muhammad Yusuf Kurniawan, Budi Firmansyah,
Panji Buana, Syahrul Falakh, Muzakka, Khairul Anam, Ikhwan Hakim
Rangkuti, Joko Lebowo, Arief Dermawan, Azhar Nur Fajar Alam dengan
tanpa rasa bosan selalu ada untuk penulis dalam suka maupun duka.
8. Kawan-kawan seperjuangan PAI kelas A 2012, yang selalu menyemangati
penulis selama belajar di kampus ini. Semoga sukses kawan, perjuangan kita
masih panjang.
9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis baik secara moril maupun materiil. Penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a semoga amal kebaikan mereka diterima
oleh Allah Swt serta mendapat imbalan yang semestinya. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Aamiin ya rabbal ‘alamin.
Jakarta, 29 April 2019
Muhammad Shirajul Ilmi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI……………………………………………..i
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………….ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING…………………………...iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………………………...iv
ABSTRAK………………………………………………………………………...v
ABSTRACT………………………………………………………………………vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………...1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………...8
C. Pembatasan Masalah…………………………………………..9
D. Perumusan Masalah…………………………………………...9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Teori Pendidikan Akhlak…………………………………….11
1. Pengertian Pendidikan Akhlak…………………………...11
2. Dasar-dasar pendidikan Akhlak………………………….13
3. Tujuan Pendidikan Akhlak……………………………….14
4. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak……………………...16
B. Teori Kejujuran………………………………………………16
1. Pengertian Kejujuran……………………………………..16
2. Keutamaan Jujur………………………………………….17
x
3. Manfaat Kejujuran……………………………………….21
4. Pembelajaran Kejujuran…………………………………22
C. Teori Hadits…………………………………………………26
1. Pengertian Hadits………………………………………..26
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits…………………………..27
3. Hadits Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan.......................30
D. Hasil Penelitian yang Relevan……………………………….33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian…………………………………………….35
B. Jenis Penelitian………………………………………………36
C. Sumber Data…………………………………………………36
D. Metode Pengumpulan Data………………………………….37
E. Teknik Analisis Data………………………………………...38
F. Pedoman Penulisan…………………………………………..39
BAB IV ANALISIS HADITS MATERI DAN METODE PENDIDIKAN
KEJUJURAN
A. Materi Pendidikan Kejujuran………………………………..40
1. Kejujuran Membawa kepada Surga……………………..40
2. Kejujuran dalam Jual Beli……………………………….46
3. Dusta adalah Salah Satu Tanda Orang Munafik………...50
B. Metode Pembelajaran Kejujuran…………………………….53
Metode Targhib dan Tarhib………………………………….53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..60
B. Implikasi……………………………………………………...61
C. Saran………………………………………………………….61
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jujur, satu kata yang sering diucapkan tetapi untuk dipraktikkan dalam
kesehariannya menemui berbagai kendala. Setiap orang tua yang peduli dengan
pendidikan akhlak anak-anaknya pasti selalu menekankan mereka untuk
berperilaku jujur di setiap waktu dan tempat. Jujur itu adalah perbuatan yang
terpuji, semua orang setuju dengan itu. Mengatakan sesuatu berdasarkan apa yang
dilihat, didengar, dilakukan dan dirasakan itulah kejujuran. Dengan berkata jujur
dapat menenangkan batin walaupun nantinya timbul konsekuensi yang harus
dihadapi, entah itu berbentuk apresiasi atau hukuman. Syukur-syukur kalau
mendapat apresiasi, kalau mendapat hukuman bagaimana? Orang yang berkata
jujur juga belum tentu mendapatkan apresiasi yang setimpal dari masyarakat.
Ketakutan akan respon negatif dari masyarakat akhirnya mendorong
banyak orang enggan dan tidak berani berkata jujur terutama ketika melakukan
suatu kesalahan. Hingga akhirnya terjadilah krisis kejujuran pada masyarakat kita.
Maka jangan heran jika korupsi merajalela di Negara kita ini lantaran krisisnya
sifat jujur dalam diri setiap individunya. Yang akhirnya tidak hanya merugikan
diri sendiri, akan tetapi juga merugikan orang banyak, terutama merugikan Negara
kita tercinta ini.
Di Negara kita krisis kejujuran tergolong besar, hal ini terbukti dari
banyaknya kasus korupsi yang merajalela. “Korupsi sudah menjadi cara atau jalan
hidup bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia”.1 International
Transparency, pada tahun 2018, dalam laporannya sebagaimana dimuat dalam
koran online suara.com, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
1 Anshori LAL, Pendidikan Islam Transformatif, (Ciputat: Referensi, 2012), Cet. I, h. 113
1
2
terkorup di dunia, yaitu peringkat ke 96 dari 180 negara yang disurvey oleh
Transparency International.2
Sebagaimana yang dikatakan Anshori dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Islam Transformatif bahwasanya “korupsi adalah produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran
dan sebagai kekuasaan mutlak”.3 Mereka menghalalkan segala cara untuk
memperoleh banyak uang untuk kepentingan dan kepuasan pribadinya tanpa
mempedulikan dampak dari apa yang telah mereka lakukan bagi kemaslahatan
bersama.
Krisis moneter dan diikuti krisis ekonomi yang telah melanda bangsa
Indonesia boleh jadi berpangkal pada krisis akhlak. Banyak kalangan
menyatakan persoalan bangsa tersebut akibat merosotnya moral bangsa
dengan mewabahnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) diberbagai
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu semenjak awal
reformasi, tuntutannya melakukan reformasi secara menyeluruh harus
menyentuh pada aspek yang berkaitan dengan bidang akhlak. Sebab
akhlak yang buruk serta rendahnya kualitas keimanan dan ketaqwaan
masyarakat Indonesia merupakan faktor utama tumbuh suburnya praktek-
praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme.4
Korupsi di Indonesia bagaikan sebuah penyakit yang sulit untuk
disembuhkan dan sudah menjadi sebuah permasalahan yang rumit. Untuk
memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan tindakan
pemberantasan, namun juga perlu diadakan pencegahan agar tindak pidana
korupsi jangan sampai terjadi lagi. خ ة اي ق الو ر ي ج ل ع ال ن م (mencegah lebih baik dari
pada mengobati). Salah satu upaya pencegahannya adalah dengan cara
menumbuhkan sikap peduli untuk melawan korupsi5 dan juga menanamkan
pendidikan akhlak khususnya sifat jujur dalam segala hal kepada anak. Mengapa
2 https://www.suara.com/news/2018/02/23/165022/indonesia-jadi-negara-terkorup-
nomor-96-di-dunia diakses 9 April 2019 pukul 11.47 3 Anshori, Op.Cit, h. 114 4 Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam, Cet II (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), h. 25 5 Eko Handoyo, dkk., Penanaman Nilai-Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan Anti Korupsi
Di Sma 6 Kota Semarang, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, (Portal Garuda:
Jurnal) h. 1
3
dimulai dari anak-anak? Karena di tangan merekalah nasib Indonesia di masa
depan nanti. Merekalah calon-calon pemimpin masa bangsa di masa yang akan
datang.
Menanamkan sifat jujur pada diri tidaklah mudah, butuh waktu dan proses
yang lama, agar sifat jujur tidak hanya sekedar diketahui dan dipelajari saja, akan
tetapi juga harus menjadi bagian dari akhlak seseorang atau spontan dilakukan
oleh pelakunya tanpa pikir-pikir terlebih dahulu. Itulah mengapa penting sekali
menanamkan sifat jujur sedini mungkin, sehingga jujur itu sudah menjadi bagian
dalam diri, dan ketika ia melakukan sebaliknya ada rasa berdosa dan penyesalan
yang sangat mendalam dalam dirinya sehingga ia berani menanggung segala
konsekuensi dari perbuatan yang telah ia lakukan. Dalam hal ini pendidikan,
formal maupun non formal menjadi solusi paling strategis untuk menanamkan
sifat jujur dalam diri anak-anak penerus bangsa.
Pendidikan di Negara kita berdasarkan UUD 1945 memiliki fungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.6 Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan menanamkan sifat jujur kepada
setiap individu. Karena bangsa yang bermartabat serta beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa pasti memiliki sifat jujur dalam dirinya dan
senantiasa berperilaku jujur dalam segala hal.
Penting juga untuk diketahui bahwa tujuan awal pendidikan dalam Islam
yaitu menjadikan anak mampu dalam menata kehidupannya sendiri, dengan
dibekali ilmu dan keterampilan yang memadai. Sedangkan mengenai tujuan akhir
6Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, (Jakarta : Dinas
Pendidikan, 2007), h.1
4
dari pendidikan dalam Islam yaitu mewujudkan anak dengan tingkat spiritualitas
yang tinggi dan berakhlakul karimah.7
Saleh Abdul Aziz dalam buku Konsep Dasar Pendidikan Akhlak Dalam
al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits karangan Mahjuddin
mengatakan bahwasanya, “rumusan tujuan dasar pendidikan Islam adalah
menciptakan kemampuan bekerja bagi anak, untuk mampu hidup dengan baik dan
menanamkan nilai spiritual dalam dirinya, untuk mendapatkan ridha Allah”.8
Sifat jujur merupakan salah satu unsur dalam pendidikan akhlak yang
harus diberikan kepada anak tanpa mengesampingkan unsur lainnya dalam
pendidikan akhlak, agar hidup anak menjadi lebih tertata dan senansiasa
berakhlakul karimah di sepanjang hidupnya demi mendapatkan ridha Allah Swt.
Pada dasarnya, segala ilmu yang diberikan kepada anak semestinya harus
selalu memiliki nuansa pendidikan akhlak. Agar segala ilmu yang mereka
dapatkan selalu terkait dengan nilai-nilai akhlak. Sehingga ketika ilmu tersebut
diamalkan, akan diamalkan untuk kebaikan bukan untuk sebaliknya.9 “Ini
merupakan suatu upaya untuk memagari dan memberikan rambu-rambu kepada
setiap ilmu dan keterampilan yang telah diberikan kepada anak, sehingga ilmu dan
keterampilannya tidak digunakan untuk menyusahkan orang lain, tetapi
sebaliknya, selalu digunakan untuk kemakmuran, keamanan, dan ketentraman
hidup bagi manusia”.10
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan akhlak memiliki
peran yang penting dalam pendidikan, karena akhlak merupakan dasar dan
landasan yang kokoh untuk kehidupan manusia agar selalu bermanfaat bagi
bangsa maupun agama.
Prof. KH. Farid Ma’ruf dalam buku Akhlak Tasawuf karya Drs. H. A.
Mustofa mengatakan bahwasanya Akhlak adalah “Kehendak jiwa manusia yang
menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan
7Mahjuddin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), Cet. I, h.
13 8Ibid, h. 13 9Ibid, h. 13-14 10Ibid, h. 14
5
pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.11
Itulah mengapa persoalan akhlak
mendapat perhatian sangat besar dalam Islam. Dalam ajaran Islam, kaidah untuk
mengerjakan baik dan buruk telah tertera dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam hal
ini Rasulullah Saw adalah teladan yang ideal. Rasulullah menjadi sumber segala
rujukan akhlak ummat Islam. Hal tersebut telah ditetapkan oleh Allah Swt
sebagaimana firman-Nya:
هللا و ذ ك ر ر ال خ م ي ر ج وا هللا و ال ي و ك ان ة ح س ن ة ل م ن و أ س هللا ر س و ل ف ل ك م ك ان ل ق د را ث ي ك
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab: 21)
Sejatinya, akhlaklah yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia
yang tidak memiliki akhlak (mulia) akan cenderung menuruti hawa nafsunya. Ia
akan melakukan apa saja yang ia sukai. Sementara manusia yang berakhlak mulia
akan dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan
hawa nafsu syahwatnya, berpegang teguh kepada sendi-sendi agama.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita harus meniru akhlak mulia
Rasulullah Saw. Karena salah satu tujuan Rasulullah diutus ke dunia ini adalah
untuk menyempurnakan akhlak. Pembentukan akhlak mulia ini bisa dilakukan
melalui pendidikan. Dengan demikian masalah akhlak harus diperhatikan.
Terutama dari kalangan pendidik, alim ulama, pemuka masyarakat dan orang tua.
Akhlak terbagi menjadi dua, yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela. Sifat
jujur termasuk ke dalam akhlak terpuji, “Kejujuran adalah dasar dari komunikasi
yang efektif dan hubungan yang sehat. Ini membuktikan bahwa kejujuran sangat
penting, supaya hubungan anak dan keluarga dapat terjalin dengan harmonis”.12
11 H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), Cet. VI, h. 13-14 12 Yunia Rahma Utami, dkk., Peranan Orang Tua Terhadap Penanaman Nilai Kejujuran
Anak Dalam Lingkungan Masyarakat Di Dusun I Dan Ii Desa Teba Jawa Kabupaten Pesawaran
Tahun 2013, (Portal Garuda: Jurnal), h. 3
6
Dalam hal ini, pendidikan mempunyai posisi yang sangat penting dan
strategis dalam mengembangkan akhlak anak. “Peranan guru sangat penting
dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran pada siswa, karena guru sering
bersentuhan langsung dengan anak-anak didiknya dalam proses pembelajaran.
Saat proses itulah peran-peran guru menanamkan tradisi kejujuran kepada siswa-
siswinya”.13
Dalam proses pendidikan, pada dasarnya ada tiga unsur utama yang harus
terpenuhi, yaitu:
1. Pendidik (orang tua/guru/ustadz/dosen/ulama/pembimbing).
2. Peserta didik (anak/santri/siswa/mahasiswa).
3. Ilmu atau pesan yang disampaikan (nasihat, materi
pelajaran/kuliah/ceramah/bimbingan).14
Unsur-unsur tersebut tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi saling
mempengaruhi dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Jika salah satu dari
unsur-unsur tersebut tidak ada, maka proses pendidikan tidak dapat berjalan
dengan baik.
Selain itu ada tiga unsur lain sebagai pendukung atau penunjang dalam
proses pendidikan agar mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu:
1. Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai.
2. Metode yang menarik.
3. Pengelolaan/manajemen yang profesional.15
Unsur utama dan unsur pendukung tersebut merupakan suatu yang sangat
penting untuk diperhatikan. Semua unsur tersebut sangat berkaitan erat dengan
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai tidak akan tercapai jika
salah satu diantara unsur-unsur tersebut tidak ada.
13 Hestia, dkk., Peranan Guru Dalam Menanamkan Nilai Kejujuran Pada Siswa Kelas
VIII Smp Negeri 1 Jati Agung Tahun Pelajaran 2012/2013, (Portal Garuda: Jurnal), h. 2 14 Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, Cet.1,
2005), h. 14-15 15 Ibid, h. 15
7
Diantara rujukan yang digunakan sebagai sumber dari pendidikan akhlak
adalah hadits Nabi. Hadits Nabi merupakan penjelas dan penguat hukum-hukum
dalam al-Qur’an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia
dalam semua aspeknya dan sudah tidak bisa diragukan lagi. Hal ini disebabkan,
meskipun secara umum bagian terbesar dari syari’at Islam telah terkandung dalam
al-Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung belum mengatur berbagai
dimensi aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analitis.
Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Fungsi hadits sebagai penjelas al-Qur’an menempatkan hadits pada posisi yang
sangat sentral dalam Islam. Sebenarnya, antara al-Qur’an dan hadits tidak dapat
dipisahkan. Munculnya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw
pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan dari wahyu al-Qur’an. Oleh karena
itu kedua sumber ini tidak bisa dipisahkan.
Hadits Nabi yang jumlahnya ribuan bahkan ratusan ribu mengandung
aneka nilai yang cukup kaya. Itu semua merupakan sumber inspirasi yang tidak
akan pernah habis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak sekali
perintah Nabi dalam haditsnya yang mengharuskan kita berakhlak mulia dalam
keseharian hidup kita, karena keuntungan berakhlak mulia kembali kepada diri
kita masing-masing.
Nabi Muhammad Saw adalah seorang pendidik yang sangat profesional.
Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam diri Nabi Muhammad Saw menunjukkan
bahwa beliau telah berhasil menjadi guru yang profesional. Beliau mampu
berkomunikasi dengan setiap orang sesuai dengan kadar kesanggupan orang
tersebut.16
Banyaknya pendidik yang tidak meneladani cara-cara mendidik
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw namun lebih kepada
pemikiran pendidikan dari Barat, membuat penasaran penulis untuk
16 Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005), cet I, h. 28
8
mengungkapkan konsep pendidikan bukan hanya dari pemikiran para tokoh Barat
saja, tetapi juga dari perspektif al-Qur’an dan Hadits. Karena bagaimanapun, jauh-
jauh hari sebelumnya kedua sumber ajaran Islam ini telah memberikan pelajaran
kepada kita akan pentingnya berakhlak mulia.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa hadits memuat prinsip-
prinsip akhlak dalam membangun kehidupan. Secara tidak langsung hadits
memiliki peran penting sebagai rujukan dalam penyelesaian masalah-masalah
yang terjadi, terutama permasalahan korupsi yang dilatari oleh minimnya sifat
jujur.
Maka berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tergerak untuk
mengetahui pendidikan kejujuran seperti apa yang diajarkan Islam melalui hadits-
hadits Nabi. Yaitu secara spesifik lagi hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim. Penulis hanya berusaha untuk meneliti pendidikan kejujuran seperti apa
yang diajarkan Islam melalui hadits-hadits Nabi dalam sebuah kitab fenomenal
karangan Imam Muslim yaitu kitab Shahih Muslim. Maka dari itu penulis tergerak
untuk menyusun sebuah tulisan yang semoga dapat menjadi suatu bahan acuan
bagi penulis, maupun seluruh pelaku pendidikan pada umumnya dengan judul
“Pendidikan Kejujuran dalam Perspektif Hadits dalam Kitab Shahih
Muslim (Kajian Materi dan Metode Pembelajaran).”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Lemahnya sifat jujur pada kebanyakan warga Negara Indonesia.
2. Kurangnya perhatian dan kesadaran orang tua, guru, serta masyarakat sekitar
dalam membina akhlak yang baik.
3. Korupsi merajalela dikarenakan kurangnya sifat jujur dalam diri.
4. Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia menurut International
Transparancy
9
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam
pembahasannya, maka perlu adanya pembatasan masalah terkait masalah-masalah
yang akan diteliti secara lebih mendalam. Dalam hal ini penulis mencoba
mengungkap materi dan metode pembelajaran kejujuran dengan membatasi
hadits-hadits no 89, 147, 2825, dan 4721, dalam kitab Shahih Muslim karangan
Imam Muslim.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah yang diteliti adalah:
1. Bagaimana materi pendidikan kejujuran dalam perspektif hadits Shahih
Muslim?
2. Bagaimana metode pendidikan kejujuran dalam perspektif hadits Shahih
Muslim?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode pendidikan kejujuran dalam perspektif hadits
dengan mengkaji hadits-hadits tentang kejujuran dalam buku Shahih Muslim.
2. Untuk mengetahui materi pendidikan kejujuran dalam perspektif hadits
dengan mengkaji hadits-hadits tentang kejujuran dalam buku Shahih Muslim.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1. Penulis, hasil penelitian ini merupakan modal awal dalam mengetahui segala
sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan akhlak dalam perspektif hadits
dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang ideal.
2. Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam
mengetahui perspektif hadits terhadap pendidikan akhlak.
10
3. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk dijadikan salah satu acuan dalam pembenahan pendidikan yang
semestinya.
4. Dunia pendidikan secara umum dalam menambah khazanah ilmu
kependidikan khususnya tentang pendidikan akhlak dalam perspektif hadits.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari
kata “pendidikan” dan “akhlak”. Sebelum penulis menjelaskan mengenai
pendidikan akhlak, terlebih dahulu akan penulis jelaskan mengenai
pengertian pendidikan, kemudian pengertian akhlak dan selanjutnya
pengertian pendidikan akhlak yang merupakan penggabungan dari kata
pendidikan dan kata akhlak.
Pendidikan secara etimologi berasal dari kata “didik” yang berarti
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan”.1
Sedangkan secara terminologi, menurut Hasbullah dalam bukunya
yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, pendidikan adalah usaha
manusia untuk menyesuaikan kepribadian dirinya dengan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau bisa juga diartikan
sebagai bimbingan yang dengan sengaja diberikan kepada peserta didik,
agar ia menjadi dewasa.2
Pendidikan menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya yang
berjudul Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis adalah “Segala usaha orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. Atau bisa
disebut sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), ed. 3, cet. II, h. 263 2 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.
1
11
12
anak-anak, agar mereka dapat bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan
masyarakat.3
Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.4
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan
bahwasanya pendidikan adalah suatu proses penanaman potensi dalam
diri anak, di mana proses tersebut memberikan perkembangan kepada
anak didik untuk terus berkembang menuju kedewasaan agar berguna
untuk dirinya dan masyarakat sekitarnya.
Sedangkan pengertian akhlak, secara etimologi akhlak berarti
“budi pekerti, kelakuan”.5 Kata akhlak berasal dari bahasa Arab ( قلخأ )
yang sudah di Indonesiakan. Kata قلخأ adalah bentuk jamak dari kata
قلال dan yang berarti قلال المروءة , العادة , جية الس ,dan الطبع .6
Akhlak secara terminologi adalah “keadaan jiwa seseorang yang
selalu mewarnai setiap tindakan dan perbuatannya, tanpa pertimbangan
lama ataupun keinginan”.7
3 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), h. 10
4 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit., h. 20 6 Fr. Louis Ma‟luf al-Yassu‟i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, al-Munjid, (Beirut:
Maktabah As-Syaraqiyyah, 1986), h. 194 7 Mahmud al-Mishri Abu Umar, Ensiklopedia Akhlak Muhammad Saw, Terj. dari
- , oleh Abdul Amin, dkk., (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011), Cet.
II, h. 6
13
Sedangkan menurut al-Ghazali akhlak adalah:
ر تا عف ة ررا ة الف ي ستللةوسسرعبارةع عا الف م 8حاجةإلفكرورؤسة
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan.
Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah
mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan
perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.9
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
akhlak adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak
didik melalui proses pengajaran, pembinaan, pelatihan, pengasuhan, dan
tanggung jawab untuk diarahkan kepada suatu arah dan kebiasaan yang
baik dan mulia, baik aspek jasmaninya maupun rohaninya secara terus
menerus dan bertahap, agar anak didik tersebut dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk sehingga menjadi anak yang berakhlak
mulia.
Sejalan dengan usaha membentuk dasar keyakinan/keimanan
maka diperlukan juga usaha membentuk akhlak yang mulia. Berakhlak
yang mulia adalah merupakan modal bagi setiap orang dalam menghadapi
pergaulan antara sesamanya.
2. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Dasar merupakan suatu yang sangat penting untuk diperhatikan,
karena dasar menjadi syarat penting agar sesuatu dapat berdiri dengan
tegak dan kokoh. Seperti layaknya sebuah bangunan, bangunan tersebut
tidak akan dapat berdiri tegak dan kokoh kalau dasarnya tidak kuat begitu
8 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Semarang: Toha Putra), Jilid 3, h. 52 9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 5
14
juga sebaliknya. Hubungannya dengan pendidikan adalah agar pendidikan
selalu memiliki kekuatan dan selalu mampu untuk berjuang, dengan
adanya dasar-dasar sebagai landasan atau tempat berpijak yang kuat dan
kokoh.10
Rasulullah Saw bersabda:
رنأهغلهنأكالمعنث حو وهيلعىللالصللال قمل تكراكمبمتكساتاملل ضلسرمأمكيف )رواهمالك(هيبنةفوللا ابتا
“Aku tinggalkan padamu dua perkara; jika kamu berpegang teguh
padanya kamu tidak akan tersesat sesudahku, yaitu Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya.” (HR. Malik)
Dari hadits di atas tergambar dua dasar pendidikan yang
monumental yang dijadikan sebagai sumber dalam melaksanakan
pendidikan Islam, sekaligus dia juga sebagai sumber syari‟at dalam Islam
yang harus dipegang secara utuh. Dasar pendidikan tersebut secara jelas
adalah al-Qur‟an dan Hadits. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa
dasar dan pijakan pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan Hadits Nabi.
Dari dasar dan pedoman itulah dapat diketahui kriteria suatu perbuatan itu
baik ataupun buruk. Prinsip menjadikan al-Qur‟an dan Hadist sebagai
dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran
keyakinan semata. Namun kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran
yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah.
3. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak menurut para ahli di antaranya menurut
Mahmud Yunus: “tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk putra-
putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemauan
10 Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), h. 58
15
keras, beradab, sopan santun, baik tingkah lakunya, manis tutur
bahasanya, jujur dalam segala perbuatannya, suci murni hatinya.”11
Adapun menurut Yatimin Abdullah tujuan dari pembinaan akhlak
adalah menjadikan manusia bertakwa dan selalu dekat dengan Allah.
Manusia yang bertakwa kepada Allah akan selalu menjaga kebersihan diri
dan kesucian jiwanya. Jiwa yang suci membawa budi pekerti yang baik
dan luhur. Ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas hanya untuk
Allah.12
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana
yang dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah:
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan
dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.13
Sejalan pula dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang
berdasarkan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.14
Dari beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak yaitu mendidik budi pekerti
dan jiwa sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan
pendidikan akhlak juga adalah untuk mempersiapkan anak didik atau
11 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 22 12 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007),
h. 5 13 Lembaga Penelitian IAIN, Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta, Lembaga
Penelitian IAIN, 1983), h. 17-18 14 UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2, Bab 4
16
individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani
maupun rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat
hidup dan berkehidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota
masyarakat bagi dirinya dan umat.
4. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dalam Islam, diantara
ruang lingkup pendidikan akhlak adalah sebagai berikut:
a. Akhlak terhadap Allah ( liq).
b. Akhlak terhadap makhluk, terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Akhlak terhadap manusia, antara lain:
a) Akhlak terhadap Rasulullah Saw.
b) Akhlak terhadap orang tua.
c) Akhlak terhadap diri sendiri.
d) Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat.
e) Akhlak terhadap tetangga.
f) Akhlak terhadap masyarakat.
2) Akhlak terhadap bukan manusia.15
a) Hewan
b) Tumbuh-tumbuhan
B. Teori Kejujuran
1. Pengertian Kejujuran
Kata kejujuran secara etimologi berasal dari kata “jujur”, dan
memiliki banyak arti, antara lain: “lurus hati, tidak berbohong, tidak
curang, tulus, ikhlas”.16
Dalam bahasa Arab kejujuran disebut juga as-
shidq ( ق ال ) yang berasal dari kata shadaqa ( ق ص ). Jujur (as-shidq)
juga merupakan antonim dari kata bohong (al-kadzb).
15 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998), h.
356-359 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op.Cit., h. 479
17
Secara istilah, jujur atau as-shidq berarti antara berita dan
kenyataan yang terjadi sebenarnya bersesuaian, sedangkan bohong atau
al-kadzb berarti sebaliknya, yaitu tidak adanya kesesuaian antara berita
dan kenyataan yang terjadi sebenarnya.17
Menurut Imam Raghib al-
Ashfahani sebagaimana yang dikutip oleh Yanuardi Syukur dalam
bukunya yang berjudul Terapi Kejujuran, “kejujuran adalah kesesuaian
perkataan hati nurani dan informasi terhadap perkataan itu bersama-
sama”. Jujur juga berarti “adanya kesamaan antara realitas (kenyataan)
dengan ucapan”.18
Dapat disimpulkan bahwa kejujuran adalah suatu pernyataan atau
tindakan yang sesuai dengan faktanya sehingga dapat dipercaya dan dapat
memberikan pengaruh bagi karakter seseorang. Kejujuran itu ada pada
ucapan dan juga pada perbuatan, sebagaimana seseorang melakukan suatu
perbuatan, tentu sesuai dengan apa yang ada pada batinnya. Orang yang
berbuat riya tidaklah dikatakan sebagai orang yang jujur karena dia telah
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan
dalam batinnya. Begitu pula orang yang munafik tidaklah dikatakan
sebagai orang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai
seorang yang bertauhid, padahal tidak demikian adanya.
2. Keutamaan Jujur
Kejujuran merupakan sifat terpuji dan kunci sukses dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang jujur dengan mudah dapat
meningkatkan harkat dan martabatnya. Salah satu contoh misalnya, kisah
Nabi Muhammad Saw sebelum menjadi Nabi, ketika beliau diberikan
tugas oleh Siti Khadijah untuk menjalankan usaha dagang. Karena
kejujuran beliau dalam berdagang, maka usaha tersebut berhasil dan
17 Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta:
Rumah Kitab, 2014), Cet. I, h. 235 18 Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. IV, h. 16
18
meraih keuntungan yang besar. Di samping itu nama beliau sebagai
seorang yang jujur semakin terkenal di mana-mana.
Di bawah ini beberapa keutamaan sifat jujur, diantaranya:
a. Mukadimah Akhlak Mulia
Bersikap jujur merupakan mukadimah bagi terciptanya akhlak
yang mulia. “Seorang yang jujur, dia akan mengakui kesalahannya,
dan berusaha keras untuk menjadikan dirinya mulia. Ia tidak ragu
berubah kalau ada hal-hal buruk dalam hidupnya”.19
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dari kisah
seorang sahabat Nabi yaitu Umar bin Khattab ‘ . Dia
yang awalnya adalah seorang kafir yang sangat benci dan memerangi
umat Islam, akan tetapi karena kejujurannya akhirnya ia pun masuk
Islam. Setelah mendengarkan ayat al-Qur‟an di rumah saudarinya, ia
sangat takjub dengan kandungan dari ayat al-Qur‟an yang dibacakan
oleh saudarinya Fatimah binti Khattab bin Naufal al-Quraisyi. Karena
ia memiliki sifat jujur, ia pun mengakui bahwasanya al-Qur‟an itu
bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan benar-benar merupakan
kalam Allah Swt. Seketika itu juga ia menemui Nabi Muhammad Saw
lalu mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan Nabi dan para
sahabat lainnya. Kisah ini adalah salah satu contoh bahwasanya sifat
jujur menjadikan kita berakhlak mulia.20
Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwasanya, tidak salah
jika sifat jujur dapat menjadi pengantar kita berakhlak mulia. Jika
setiap orang dari kita berani berlaku jujur terhadap diri sendiri dan
orang lain, pastilah tidak akan ada satu orang pun di muka bumi ini
yang memiliki akhlak tercela dalam dirinya. Hal ini bisa kita kaitkan
dengan kasus-kasus korupsi yang telah merajalela di negara kita ini.
Jika setiap koruptor memiliki sifat jujur di dalam dirinya, pastinya dia
tidak akan mampu dan tidak akan mau melakukan korupsi karena ia
19 Yanuardi Syukur, Terapi Kejujuran, (Jakarta: Niaga Swadaya) Cet. I, h. 9 20 Ibid, h. 10
19
tahu dan sadar bahwasanya hal itu akan berdampak buruk bagi dirinya
dan juga banyak orang.
b. Alamat Keislaman Seseorang
Diantara keutamaan-keutamaan dari sifat jujur adalah
bahwasanya “kejujuran merupakan alamat bahwasanya seseorang itu
muslim”.21
Inilah yang membedakan antara orang muslim dan orang
kafir. Begitu banyak orang-orang non muslim di luar sana yang tahu
akan kebenaran Islam. Bahkan tidak hanya sekedar tahu, mereka
mempelajari Islam. Akan tetapi mereka masih tetap kukuh di dalam
kekufurannya karena kurangnya sifat jujur dalam diri mereka. Kalau
mereka berani jujur terhadap diri mereka sendiri, pasti mereka akan
menerima kebenaran Islam dan masuk ke dalamnya.
c. Jembatan Menuju Kebaikan
Keutamaan lainnya dari sifat jujur adalah sebagai jembatan
yang mengantarkan manusia menjadi orang yang baik. Sebaliknya,
sifat bohong juga jembatan yang mengantar menuju yang buruk.
“Mereka yang jujur akan diantarkan menuju surga, sedangkan yang
bohong akan mengarah pada neraka”.22
Pernyataan di atas secara jelas sudah tercantum di dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi di bawah
ini:
الب وإن الب ست يإل ق ال إن لم و صلىاللعليه الل ل ر قاالكببست يست يإلال سكت ص سااوإن قح الرج لي فةوإن
سكت ح ليكبب الرج وإن الفار ست يإل جلر ال وإن جلر ال إلاب 23كب
21 Ibid, h. 11 22 Ibid, h. 12 23 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), Juz 13, h. 14
20
Rasulu
mengantarkan ke
(HR. Muslim)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwasanya jika kita
berlaku jujur, secara tidak langsung kita telah melatih diri kita untuk
selalu berbuat baik. Dan setiap kebaikan yang kita perbuat pasti akan
diberi balasan oleh Allah Swt. Walaupun terkadang berlaku jujur itu
sangat sulit untuk dipraktekkan, akan tetapi tetap harus kita
perjuangkan. Karena meski ganjarannya tidak kita dapatkan di dunia,
pasti akan kita dapatkan di akhirat nanti. Berlaku jujurlah walaupun
pahit terasa, karena buah dari kejujuran itu akan terasa lebih manis
dari pada madu sekalipun.
d. Senantiasa Mendatangkan Berkah
Selanjutnya keutamaan atau manfaat yang kita dapat jika
memiliki sifat jujur adalah “senantiasa mendatangkan berkah.
Berkahnya itu kadang tidak singka-sangka datangnya”.24
Perbedaan
antara orang yang bersifat jujur dan bohong adalah, meskipun orang
yang berlaku jujur hidupnya tidaklah kaya secara materi bahkan
tergolong pas-pasan, akan tetapi hidupnya akan lebih tenang jika
dibanding orang yang mendapatkan kekayaan dengan cara berbohong.
Bagi orang yang jujur, meski tidak menjadikan hidupnya kaya raya
secara materi, akan tetapi baginya hatinya harus lebih kaya. Karena ia
lebih mementingkan keberkahan hidup daripada kekayaan hidup.
Keberkahan hidup tidak harus berbentuk harta, tetapi juga bisa dalam
bentuk kebahagiaan hati.
24 Yanuardi Syukur, Op.Cit., h. 14
21
e. Disukai Orang
Secara naluri, manusia memang tidak suka dibohongi. Itulah
mengapa jika kita dibohongi oleh orang lain, maka kita akan merasa
sakit hati. Jika kita tidak suka dibohongi oleh orang lain, maka
janganlah kita membohongi orang lain.25
Orang yang selalu berlaku jujur senantiasa disenangi oleh
orang banyak karena memang pada hakikatnya kita sebagai manusia
sangat senang jika dihargai. Dengan berlaku jujur kepada siapa saja,
secara tidak langsung kita telah melakukan penghargaan yang besar
kepada setiap orang. Karena merasa kita hargai, akhirnya orang-orang
pun senang kepada kita.
3. Manfaat Kejujuran
Sifat jujur sangatlah bermanfaat bagi diri kita maupun orang-
orang disekeliling kita. Ada tiga golongan manfaat yang bisa didapat
kalau kita bersifat jujur. Pertama, manfaat bagi pribadi. Kedua, manfaat
bagi keluarga. Ketiga, manfaat bagi sosial.
a. Manfaat Pribadi
Kejujuran memiliki manfaat pribadi atau personal. Sebagai
contoh orang yang jujur itu disenangi oleh orang lain, “kalau kita
bertemu dengan orang jujur, kita merasa senang karena mereka tidak
akan mengkhianati kita”.26
Dari sini jelas sekali manfaat kejujuran
bagi diri kita pribadi, disenangi oleh orang banyak, dipercaya oleh
orang banyak, bahkan karna sifat jujur bisa mendatangkan rejeki yang
berlimpah. Orang yang jujur senantiasa merasakan damai dihatinya,
hidupnya pun selalu tenang, dan kecintaannya kepada kebenaran pun
semakin bertambah. Kebahagiaan inilah yang akan selalu orang jujur
rasakan dalam dirinya.
25 Ibid, h. 18 26 Ibid, h. 45
22
b. Manfaat Keluarga
Kejujuran juga bermanfaat bagi keluarga, diantaranya adalah
sifat jujur dapat menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.27
Keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah tidak bisa
didapatkan jika tidak ada kejujuran dalam berumah tangga. Sebagai
contoh, jika tidak ada kejujuran antara suami dan istri, maka hilanglah
kepercayaan antara keduanya. Karena kejujuran dalam berumah
tangga senantiasa melahirkan rasa percaya antara satu dengan lainnya.
Dan jika sudah saling percaya antar satu dan lainnya, pastilah akan
tercipta kerukunan dan kebahagiaan dalam keluarga.
c. Manfaat Sosial
Kejujuran juga bermanfaat secara sosial. Diantaranya adalah
terciptanya sebuah ikatan sosial yang kuat, juga akan tercipta keadilan
dalam segala hal, serta mengundang keberkahan dari Allah Swt.28
Jika
sesama masyarakat saling berlaku jujur, maka akan timbul rasa saling
percaya antara sesama masyarakat. Jika sudah terdapat rasa saling
percaya dalam kehidupan bermasyarakat, terjalinlah sebuah ikatan
yang kuat antara satu dengan lainnya. Juga keadilan dalam hidup
bermasyarakat, akan terwujud jika pemimpin dan yang dipimpin
memiliki sifat jujur dalam diri masing-masing. Kesemuanya itu
pastinya akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt.
4. Pembelajaran Kejujuran
Kejujuran adalah salah satu hal yang pertama harus diajarkan
dalam dunia pendidikan. Karena dengan mengajarkan dan membiasakan
perilaku jujur kepada anak akan menjadikan mereka memiliki akhlak
yang mulia. Mengajarkan anak tentang kejujuran harus dimulai sejak
mereka kecil. Karena anak di usia dini ini adalah peniru yang sangat hebat
27 Ibid, h. 54 28 Ibid, h. 58-63
23
dan apapun yang ia tiru ketika ia kecil pasti melekat dalam dirinya dan
akan menjadi watak dan tabiatnya di kemudian hari.
a. Ciri khas pembelajaran kejujuran menurut Anas Salahudin dan
Irwanto Alkrienciehie dalam buku mereka yang berjudul Pendidikan
Karakter adalah belajar orang dewasa, ciri khas belajar orang dewasa
adalah sebagai berikut:
1) Orang dewasa memiliki pengalaman hidup yang banyak.
2) Mereka lebih senang menemukan sesuatu sendiri.
3) Mereka lebih senang menerima saran dari teman sejawat daripada
guru.
4) Orang dewasa menyenangi hal-hal yang bersifat praktis.
5) Senang memperoleh umpan balik dari apa yang dikerjakan.
6) Mereka akan lebih tertarik untuk belajar apabila mendapat
dorongan dan dukungan.
7) Lebih senang belajar dalam suasana yang bebas dari konflik
ataupun frustasi.
8) Senang apabila diperlakukan dengan sifat ikhlas, adil, dan masuk
akal29
Menurut penulis, pembelajaran dengan metode yang
dipaparkan oleh Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie hanya bisa
dilakukan kepada anak-anak yang telah remaja dan dewasa.
Sedangkan untuk menanamkan sifat jujur kepada anak-anak haruslah
dimulai sejak usia dini dan dimulai dengan pembiasaan dari orang tua
masing-masing. Peran orang tua dalam mengembangkan nilai
kejujuran pada anak sejak usia dini sangat penting dan itu akan
mempengaruhi sikapnya pada usia remaja bahkan hingga dewasa.
Orang tua harus menerapkan kejujuran dalam lingkungan keluarga
dan harus memberi contoh atau panutan terhadap anak-anak mereka.
Dengan demikian anak akan tumbuh dengan nilai kejujuran yang
tinggi dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Orang tua harus
mendorong dan mendukung anak untuk berkata jujur, dan tidak
meminta anak untuk berkata tidak jujur demi kepentingan orang tua.
29 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis
Agama dan Budaya Bangsa), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Cet. I, h. 205
24
Selain itu, orang tua juga tidak boleh memanggil anaknya dengan
sebutan pembohong karena akan membuat anak bertumbuh menjadi
pembohong.
b. Metode Pembelajaran Kejujuran
Metode pembelajaran kejujuran adalah jalan atau cara yang
dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan
kejujuran kepada anak didik agar terwujud kepribadian yang jujur.30
Metode bisa disebut juga sebagai alat, alat yang digunakan
untuk pembelajaran kejujuran adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran kejujuran. Metode
atau alat pembelajaran kejujuran harus searah dan berbasis agama,
agar kelak peserta didik menjadi manusia yang selalu berlaku jujur
dan berakhlak mulia. Untuk mewujudkan itu semua maka
dilakukanlah pendekatan-pendekatan.
Ada banyak sekali pendekatan yang bisa dilakukan dalam
pembelajaran kejujuran, diantaranya:
1) Pendekatan Pengalaman, yaitu “pemberian pengalaman berbasis
nilai agama dan budaya bangsa kepada peserta didik dalam
rangka penanaman nilai-niai agama dan budaya”.31
Dalam hal ini peserta didik akan diberi kesempatan untuk
mendapatkan pengalaman berbasis agama dan budaya bangsa,
baik secara individual maupun kelompok yang berpusat pada
tujuan memberi arti kehidupan kepada peserta didik.
Metode yang dapat dipakai:
a) Metode pemberian tugas belajar dan resitasi
b) Metode drill, metode sosio-drama dan permainan peran
c) Metode eksperimen32
30 Ibid, 218 31 Ibid, h. 219 32 Ibid, h. 220
25
2) Pendekatan Pembiasaan, yaitu “suatu tingkah laku tertentu yang
sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku
begitu saja tanpa dipikirkan lagi”.33
Dalam hal ini membiasakan segala perbuatan baik kepada
peserta didik atau anak dalam masa-masa pertumbuhan dan
perkembangannya. Karena hal-hal yang selalu dibiasakan kepada
peserta didik atau anak semenjak masa-masa petumbuhan dan
perkembangannya akan menjadi watak dan tabiatnya dikemudian
hari.
Metode yang dapat dipakai:
a) Metode demonstrasi dan eksperimen
b) Metode drill (latihan)
c) Metode pemberian tugas34
3) Pendekatan emosional, yaitu “usaha untuk menggugah perasaan
dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran agama dan budaya
bangsa serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang
buruk”.35
Dalam hal ini peserta didik diminta untuk
mengekspresikan perasaannya dalam bentuk cerita, drama, atau
ceramah. Guru berperan penting di sini, untuk mengajarkan
kepada peserta didik agar menumpahkan seluruh isi hatinya
dalam bentuk karya dengan sejujur jujurnya.
Metode yang dapat dipakai:
a) Metode bercerita
b) Metode sosio-drama
c) Metode ceramah36
33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid, h. 221
26
Inilah tiga diantara banyaknya pendekatan yang bisa
dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik dalam upaya
memberikan pembelajaran kejujuran. Dalam menyajikan materi dan
bahan pembelajaran kejujuran kepada peserta didik, pendidik harus
menyesuaikan metode yang akan digunakan dengan keadaan,
kemampuan, dan perkembangan peserta didik. Pendidik tidak boleh
hanya mementingkan materi atau bahan ajar saja dengan
mengorbankan kemampuan dan perkembangan peserta didik.
C. Teori Hadits
1. Pengertian Hadits
Hadits secara etimologi berasal dari akar kata “ ثح ” yang berarti
.(meriwayatkan hadits ) روىوأوردال سث37
Dari segi terminologi, hadits menurut muhadditsin adalah:
أوفع أوارسرأوصةأضيفإلالفبصلىللاام قل لمم عليهو
“ yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan
atau perbuatan atau persetujuan atau sifat.38
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hadits
merupakan sumber berita yang diperoleh dan datang dari Nabi
Muhammad Saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan,
sikap persetujuan, dan sifat-sifatnya baik sifat fisik (khalqiyah) dan sifat
perangai (khuluqiyah), baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Hadits
merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan dakwah
Islam.
37 Fr. Louis Ma‟luf al-Yassu‟i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, Op.Cit, h. 121 38 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), Cet. VII, h. 2-
3
27
Definisi diatas mengatakan bahwasanya hadits dapat dibagi
kepada empat bagian:
a. Hadits Qauli (perkataan), misalnya “Jika dua orang muslim bertemu
dengan pedangnya, maka pembunuh dan terbunuh di dalam neraka.
(HR. Bukhari)”.39
b. Hadits Fi‟li (perbuatan), yaitu perbuatan Nabi yang diriwayatkan oleh
para sahabat seperti wudlu, shalat, dan ibadah Nabi Saw.40
c. Hadits Taqriri (persetujuan), yaitu perbuatan atau perkataan para
sahabat yang disetujui Nabi baik beliau diam ketika mengetahuinya
(tanda setuju) atau menggaris bawahinya.41
d. Hadits Washfi (sifat), sifat Nabi adakalanya sifat fisik (khalqiyah) dan
sifat perangai (khuluqiyah).42
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits
a. Kedudukan Hadits
Hadits Nabi Saw merupakan sumber kedua hukum-hukum
Islam, yang menjadi sumber utama hukum-hukum Islam adalah al-
Qur‟an. Dan kedudukannya pun jelas berada setelah al-Qur‟an. Salah
satu alasan mengapa kedudukan hadits berada setelah al-Qur‟an
adalah karena “al-Qur‟an bersifat karena mutawatir, sedangkan
hadits bersifat zhanni karena terkadang banyak yang ahad. Yang
didahulukan atas yang zhanni. Oleh karenanya harus
mendahulukan al-Qur‟an atas Hadits”.43
Allah Swt Berfirman:
ل وأطيعلاالر آمفلاأطيعلاالل يأس تاالبس
39 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2015), Ed. 2, Cet. III, h. 3 40 Ibid 41 Ibid 42 Ibid, h. 4 43 Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010),
Cet. V, h. 34
28
Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan
taatlah kalian kepada Rasul (QS. an-Nisa: 59)
Dari ayat al-Qur‟an di atas kita dapat menyimpulkan
bahwasanya kita sebagai umat Islam wajib mentaati Allah terlebih
dahulu, barulah mentaati Rasul. Bentuk ketaatan kita kepada Allah
yaitu kita taat kepada al-Qur‟an, dan bentuk ketaatan kita kepada
Rasulullah Saw yaitu kita taat kepada hadits-hadits Rasulullah Saw.
b. Fungsi Hadits
Adapun hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an.
Untuk menjelaskan makna kandungan al-Qur‟an yang sangat dalam
dan global atau lil al-Bayan (menjelaskan)44
sebagaimana tertuang
dalam firman Allah:
م يتمولعلت إل مان للفا ن بكرلتب كال اإلي لف روأن اتوال بلبيفكرون ست
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan. (QS. an-Nahl: 44)
Segala hal yang terdapat dalam hadits pada dasarnya sudah
terdapat dalam al-Qur‟an, akan tetapi masih dalam bentuk global dan
butuh penjelasan yang mendalam. Di sinilah hadits berfungsi sebagai
penjelas segala ayat-ayat yang ada dalam al-Qur‟an. Dari sini kita
ketahui bahwasanya segala hal yang terdapat dalam hadits berasal dari
al-Qur‟an, karena al-Qur‟an sudah mencakup seluruh permasalahan
secara lengkap.
44 Abdul Majid Khon, Op.Cit., h. 57
29
Beberapa fungsi hadist diantaranya adalah:
1) Bayan Taqrir
Bayan taqrir bisa juga disebut dengan atau
bayan itsbat. Bayan taqrir maksudnya adalah menjelaskan,
menetapkan, serta memperkuat apa yang telah dijelaskan dalam al-
Qur‟an.45
2) Bayan Tafsir
Bayan tafsir maksudnya adalah bahwa adanya hadits
berfungsi sebagai penjelas dan rincian terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an.46
Dalam hal ini penjelasan yang diberikan ada 3 macam:
a) Tafshil al-Mujmal
Maksud dari tafshil mujmal adalah hadits berfungsi
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang masih bersifat global.47
b) Tafshil al-„Amm
Maksud dari tafshil al-‘ di sini adalah bahwasanya
hadits juga berfungsi untuk mengkhususkan ayat-ayat al-
Qur‟an yang bersifat umum, sebagian ulama menyebutnya
bayan takhshish.48
c) Taqyid al-Mutlaq
Makna dari ayat-ayat al-Qur‟an bersifat mutlak, lalu
hadits berfungsi untuk membatasi ayat-ayat al-Qur‟an tersebut
dengan hadits-hadits yang muqayyad. Sebagian ulama
menyebutnya bayan taqyid.49
3) Bayan Naskhi
Hadits juga berfungsi menghapus hukum yang dijelaskan
dalam al-Qur‟an. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya
45 Munzier Suparta, Op.Cit,. h. 58 46 Abdul Majid Khon, Op.Cit., h. 19 47 Ibid. 48 Ibid, h. 20 49 Ibid, h. 20-21
30
dengan syarat hadits tersebut harusnya hadits yang mutawatir atau
masyhur.50
4) Bayan Tasyri‟
Dalam hal ini hadits berfungsi menciptakan syariat yang
belum dijelaskan dalam al-Qur‟an.51
Dapat disimpulkan bahwasanya fungsi hadits adalah sebagai
penjelas dari ayat-ayat al-Qur‟an. Allah Swt menurunkan al-Quran
bagi umat manusia untuk dapat dipahami dan diamalkan, maka untuk
memahaminya diutuslah Nabi Muhammad Saw sebagai rasul yang
menjelaskan kandungannya dan mencontohkan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada kita melalui hadits-haditsnya.
3. Hadits Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
Sebagai sumber kedua hukum Islam, hadits telah menjadi faktor
pendukung utama kemajuan ilmu pengetahuan umat Islam. Banyak hadits
yang berbicara seputar ilmu pengetahuan, terutama mengenai keutamaan
ilmu. Bahkan kewajiban yang dipikulkan kepada umat Islam untuk
menuntut ilmu justru ditemukan dalam hadits. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah Saw bersabda:
م علىك سلمطل العلمفرسضة
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim. (HR.
Ibnu Majah)
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa hukum menuntut ilmu
adalah wajib/fardhu (faridhah) yang mengandung arti berdosa jika kita
tidak melaksanakannya, dan berpahala jika kita menjalankannya.
50 Ibid 51 Ibid
31
Terlepas dari penafsiran-penafsiran di atas, satu hal yang pasti
bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi umat islam. Apabila kita
melaksanakan kewajiban ini dengan sungguh-sungguh, tidak mustahil
umat Islam akan mencapai tingkat yang gemilang dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Menurut Yusuf Qardlawi dalam bukunya yang berjudul Fiqih
Peradaban hadits (sunnah) juga merupakan sumber dari ilmu-ilmu
pengetahuan keagamaan. Rasulullah Saw dalam haditsnya memberikan
penjelasan mengenai hal-hal gaib, hal-hal yang sudah lampau seperti
penciptaan makhluk dan lainnya, serta mengenai persoalan yang
berkaitan dengan masa depan seperti hari kiamat dan lain sebagainya.52
Fakta-fakta yang menakjubkan tentang berbagai fenomena alam
dan sosial, seperti tentang hujan sebagai rahmat, inter-relasi tubuh,
keajaiban tulang ekor, gerhana matahari dan bulan, bahkan akibat seks
bebas telah diungkap dalam berbagai hadits. Mungkin saja pada masa
Nabi dan sahabat, maksud dari hadits-hadits masih tersembunyi, dan baru
tersingkap melalui teori-teori ilmiah modern.
Penemuan-penemuan ilmiah modern di berbagai bidang telah
banyak membantu kita memahami maksud-maksud yang tersembunyi
dari banyak hadits dan juga dari al-Qur‟an. Penemuan-penemuan modern
ini sering digunakan sebagai media dakwah dan untuk menjadi dalil
bahwa Islam adalah agama yang benar karena benar-benar berasal dari
Allah Swt. Alasannya adalah fakta-fakta yang demikian menakjubkan
dari kedua sumber agama Islam yaitu al-Qur‟an dan hadits tidak mungkin
bisa diketahui oleh seseorang, kecuali apabila orang itu mendapatkan
informasi tersebut dari sang Kebenaran itu sendiri, yaitu Allah Swt.53
Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan, merupakan tafsir ilmiah
terhadap beberapa pernyataan yang luar biasa dari hadits-hadits tertentu
52 Yusuf al Qardlawi, Fiqih Peradaban, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), Cet. I, h. 107
53 Ibid, h. xv
32
Nabi, yang rahasianya baru bisa disibakkan melalui teori-teori ilmiah
modern setelah 14 abad berlalu.54
Sehingga, hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan bukan sekedar
sains yang dihubungkan dengan hadits, ataupun sekedar pembuktian,
tetapi lebih untuk memberikan pengetahuan bahwa di dalam hadits
mengandung ilmu. Jika kedepannya ada penemuan yang melebihi ilmu
dalam hadits tersebut, bukan berarti ilmu dalam hadits itu tidak benar
karena pada faktanya pernah dibuktikan kebenarannya. Semuanya untuk
memberi tahu kita bahwa jauh sebelum ditemukannya sebuah instrumen
pengetahuan itu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw kepada kita.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, akal dan panca indera
dianggap sebagai wahana terpenting yang dapat membantu manusia
menciptakan peradaban di muka bumi dan melaksanakan tugas
kekhalifahan sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt.
Allah swt memberi petunjuk tentang ilmu pengetahuan melalui
indera, dan indera yang paling penting dalam hal ini adalah indera
pendengaran dan indera penglihatan. Akan tetapi, sesempurnanya indera
pun memiliki keterbatasan, terkadang penglihatan manusia bisa saja salah
dan pendengaran manusia sangat terbatas. Karena itulah Allah swt
menganugerahkan akal sebagai suatu petunjuk yang lebih tinggi, yang
dapat memahami masalah-masalah yang bersifat rasional murni.55
Akal
inilah yang membedakan manusia dengan hewan, akal inilah yang
membuat manusia lebih beradab dan mulia dari segala makhluk.
Akan tetapi, walaupun akal dianggap sangat penting dalam proses
mencari ilmu pengetahuan, menghimpun dan menyimpulkan kebenaran,
akal pun tidak luput dari kesalahan karena tergesa-gesa, sombong, atau
dikuasai ambisi. Karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh
Muhammad Abduh dalam Yusuf Qaradlawi, akal memerlukan
pembimbing yang dapat membawa ke jalan yang benar, ketika ia melalui
54Ibid, h. xvii
55 Ibid, h. 104-105
33
persimpangan jalan, jalan yang licin dan jalan-jalan yang tidak jelas
dalam pandangan akal.56
Wahyu itulah pembimbing akal. Wahyu akan mengajarkan
kepada akal apa-apa yang belum diketahui dan membawanya keluar dari
gelapnya kebingungan dan pertentangan. Wahyu akan memberikan
cahaya kepada akal, sehingga akal merasakan kedamaian atas ilmu yang
diperoleh. Wahyu diturunkan Allah swt kepada para Nabi-Nya. Allah
dengan segala keMahaan-Nya menurunkan wahyu berupa al-Qur‟an
kepada Nabi penutup zaman, wahyu terbesar dan terakhir yang dapat
menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia.57
Sunnah atau hadits Nabi
inilah yang berperan menjelaskan dan menguraikan kandungan yang ada
dalam al-Qur‟an.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah sebagai berikut:
1. Jurnal yang berjudul Model Pembinaan Nilai Kejujuran Melalui
Pendidikan Matematika Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Moral
Peserta Didik yang disusun oleh Fadillah (IP, FKIP, Universitas
Tanjungpura, Pontianak) tahun 2011. Jurnal ini menjelaskan bahwasanya
pembinaan nilai kejujuran melalui pendidikan matematika merupakan
salah satu bentuk pendidikan nilai yang diintegrasikan dalam mata
pelajaran.
2. Jurnal yang berjudul Penanaman Nilai-nilai Kejujuran Melalui Pendidikan
Anti Korupsi di SMA 6 Kota Semarang yang disusun oleh Eko Handoyo,
Subagyo, Martien Herna Susanti, dan Andi Suhardiyanto dari Fakultas
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Jurnal ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa efektifkah kegiatan penanaman nilai-nilai kejujuran
melalui pendidikan anti korupsi di SMA 6 kota Semarang dan diharapkan
56 Ibid, h. 106 57 Ibid.
34
melalui sosialisasi ini dapat merubah sikap siswa yang sebelumnya
membiarkan, memahami dan memaafkan korupsi ke sikap menolak
korupsi.
3. Skripsi dengan judul Nilai-nilai Kejujuran dan Optimisme dalam Buku
Habibie & Ainun serta Relevansinya Terhadap Kompetensi Kepribadian
Guru PAI yang disusun oleh Yogi Pramesti Utomo jurusan Pendidikan
Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014. Skripsi
ini menjelaskan bahwasanya seorang guru harus berupaya menampilkan
pribadi yang berakhlak mulia dan menjadi teladan utama bagi peserta
didik, maupun bagi lingkungan sekitarnya. KeLi
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian adalah proses yang digunakan untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi guna meningkatkan pemahaman pada suatu topik.
Penelitian menjadi penting karena beberapa alasan, diantaranya penelitian dapat
menambah pengetahuan, yaitu penelitian berguna untuk memberikan kontribusi
pada informasi yang ada mengenai suatu permasalahan. Penelitian juga
meningkatkan praktik, karena penelitian memberikan ide-ide baru sebagai bahan
pertimbangan saat menjalankan pekerjaan. Terakhir, penelitian dapat
menginformasikan perdebatan kebijakan, karena penelitian memberikan
percakapan mengenai isu-isu penting ketika pembuat kebijakan melakukan
perdebatan pada suatu topik kebijakan.
Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini, metode penelitian tersebut meliputi waktu penelitian,
jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan
teknik penulisan yang akan diuraikan sebagai berikut:
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pendidikan Kejujuran dalam Perspektif
Hadits dalam Kitab Shahih Muslim (Kajian Materi dan Metode
Pembelajaran)” ini dilakukan dalam waktu beberapa bulan, dengan
pengaturan waktu sebagai berikut: dua bulan digunakan untuk pengumpulan
data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari textbook yang ada
di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian. Tiga bulan
digunakan analisis seluruh data yang telah terkumpul.
35
36
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan
analisis proses dari proses berfikir secara induktif yang berkaitan dengan
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dan senantiasa
menggunakan logika ilmiah.1 Penelitian kualitatif mengutamakan makna.
Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang mengenai suatu peristiwa.
Penelitian kulitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting). Alat
pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah
penulis sendiri. Jadi penulis merupakan key instrument.
Karena skripsi ini mengkaji sumber data dari materi atau literatur
yang relevan dengan judul skripsi yang terdapat dalam sumber-sumber
pustaka, maka skripsi ini secara khusus bertujuan mengumpulkan data atau
informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang
perpustakaan, baik itu berupa buku, majalah ataupun surat kabar, buku-buku
kependidikan yang ada kaitannya dengan skripsi ini dengan cara menelaah
dan menganalisa sumber-sumber tersebut dan mencatat hasilnya untuk
kemudian dikualifikasikan menurut kerangka yang sudah ditentukan.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber manusia (human resources),
melalui observasi dan wawancara. Akan tetapi ada juga sumber bukan
manusia (non human resources) di antaranya dokumen, foto, dan bahan
statistik.2 Sumber data dalam skripsi ini adalah dokumen atau literatur yang
berupa karya ilmiah, baik itu buku, makalah, artikel, dan lain-lain yang
relevan dengan pembahasan permasalahan. Sumber data tersebut dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
1 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. I, hal.
80 2 Ibid, hal. 179
37
1. Sumber Primer
Sumber data primer adalah sumber data utama dari berbagai referensi atau
sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.3
Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah
kitab hadits al-Jami’ al-Shahih lil Muslim.
2. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-
sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan
memberi interpretasi terhadap sumber primer.4 Adapun data sekunder
dalam penelitian ini adalah buku-buku pendidikan, buku hadits tarbawi,
artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan pembahasan
skripsi ini.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah
metode dokumentasi. Yang dimaksud dengan metode dokumentasi yaitu
mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa buku-buku, jurnal, surat
kabar, majalah dan lain sebagainya yang representatif, relevan dan
mendukung terhadap objek kajian sehingga diperoleh jawaban yang dapat
dipertanggung jawabkan dari permasalahan yang telah dirumuskan. Dokumen
yang telah diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan dan dipadukan
membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Dalam hal
pengumpulan data ini penulis menggunakan bantuan aplikasi ma a a
milah guna mempermudah pencarian hadits-hadits dalam kitab Shahih
Muslim no 89, 147, 2825, dan 4721.
3 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) , hal. 89 4 Ibid, hal. 91
38
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian
karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif
maupun formal. Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah kegiatan untuk
mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan
mengategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau
masalah yang ingin dijawab.
Sesuai dengan jenis serta sifat data yang diperoleh dalam penelitian
ini, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis atau
analisis isi yang lebih mengarah kepada kajian pustaka. Di samping itu,
dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain
dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu, penulisannya
maupun mengenai standar kualitas buku-buku tersebut dalam mencapai
sasarannya sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat atau kelompok
masyarakat tertentu.
Kajian isi (content analysis document) menurut Weber dalam buku
Metode Penelitian Kualitatif karya Imam gunawan adalah “metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen.”5
Teknik analisis data yang penulis lakukan dalam analisis data yaitu
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, yakni membuat catatan data yang dikumpulkan
melalui studi dokumentasi yang dilakukan terhadap kitab Shahih Muslim.
Dalam hal ini penulis mencari hadits-hadits dalam kitab Shahih Muslim
menggunakan aplikasi ma a a milah dengan kata kunci nomor
hadits 89, 147, 2825, dan 4721.
2. Reduksi data, yaitu merangkum, menyeleksi, memfokuskan pada hal-hal
penting, dan mencari tema dan polanya, sehingga dengan direduksinya
data tersebut dapat memudahkan dalam melakukan pengumpulan data.
Dalam proses reduksi data ini, penulis mengumpulkan data atau hadits
5 Imam Gunawan, op.cit., hal. 181
39
yang telah didapat melalui pencarian di maktabah syamilah. Setelah itu
penulis membaca dan mencocokan terkait dengan materi dan metode
pendidikan kejujuran.
3. Penyajian data. Setelah membaca dan memilah-milah hadits, langkah
selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengolah data-data dan hadits-
hadits tersebut untuk kemudian disajikan secara sistematis. Bentuk
penyajian data yaitu dengan teks naratif atau deskriptif, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Menerjemahkan hadits-hadits ke dalam Bahasa Indonesia dengan
tetap mencantumkan teks asli hadits.
b. Mengulas isi hadits menggunakan buku-buku syarh hadits Shahih
Muslim.
c. Menelaah hadits dengan cara mengaitkannya dengan buku-buku
pendidikan.
Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan tetap
mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Yang menjadi
fokus utama dalam penelitian skripsi ini adalah pembentukan teori
dalam kajian ini, sedapat mungkin oleh penulis akan didasarkan
kepada data yang ditemukan dari hadits-hadits tersebut.
4. Penarikan kesimpulan. Setelah data yang terkumpul di reduksi dan
selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis
data penelitian ini adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dari data
yang diperoleh penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan untuk
menjawab rumusan masalah.
F. Pedoman Penulisan
Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Materi Pendidikan Kejujuran
a. Materi pertama yang perlu diajarkan kepada anak adalah
mengajarkannya tentang apa keuntungan jika kita memiliki sifat
jujur, dan apa kerugian yang akan kita terima jika kita berbuat dusta.
Sifat jujur akan selalu membawa kita untuk melakukan kebaikan,
dan jika kita selalu berbuat baik maka ganjarannya dari Allah akan
mendapat Surga. Sedangkan sifat sebaliknya yaitu dusta, akan selalu
menggiring kita melakukan maksiat dan hal-hal lain yang dilarang
oleh Allah Swt, dan ganjarannya adalah neraka.
b. Materi yang kedua yang bisa diajarkan untuk menumbuhkan sifat
jujur dalam diri anak adalah perkara jual beli atau berdagang.
Pedagang yang jujur senantiasa mendapat keberkahan dalam
hartanya, sedangkan pedagang yang tidak jujur akan menghilangkan
keberkahan dari harta yang ia dapat dari hasil berdagang.
Kesuksesan dalam berdagang yang diraih oleh Rasulullah adalah
buah dari kejujuran yang beliau terapkan dalam perdagangannya.
c. Materi yang ketiga adalah mengenai sifat dusta. Untuk mengajarkan
kejujuran kepada anak, perlu juga diberi pengetahuan mengenai sifat
kebalikannya dan kerugian apa yang akan kita dapat jika kita
memiliki sifat tersebut. Salah satunya adalah, dusta menjadi salah
satu tanda orang munafik, dan orang munafik sangat dibenci oleh
Allah dan ganjaran yang akan ia terima adalah berupa neraka di
akhirat nanti.
60
61
2. Metode Pendidikan Kejujuran
Metode yang Rasulullah gunakan untuk mengajarkan sifat jujur adalah
menggunakan metode targhib dan tarhib. Yaitu metode ganjaran dan
hukuman. Anak diberitahu mengenai ganjaran atau imbalan apa saja
yang akan dia dapatkan jika ia berlaku jujur, dan juga hukuman apa yang
akan ia dapat jika ia berbuat dusta.
B. Implikasi
Implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Perkataan dan perbuatan Nabi yang terkandung dalam hadits dapat
dijadikan sumber rujukan bagi para pendidik dalam melakukan
pengajaran yang baik dalam pendidikan Islam.
2. Berbagai pelatihan mengenai peningkatan kompetensi pendidik harus
senantiasa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pendidik dalam
mengajar siswa mengenai kejujuran.
C. Saran
1. Bagi orang tua dan pendidik, hendaknya menanamkan sifat jujur kepada
anak sedini mungkin, dan juga bersabar dalam mengajarkan sifat jujur
kepada anak. Karena agar anak memiliki sifat jujur, membutuhkan waktu
yang lama dan secara terus menerus, tidak bisa instan.
2. Bagi lembaga pendidikan, hendaknya mendukung segala upaya yang
dilakukan orang tua dan juga pendidik dalam menanamkan sifat jujur
pada anak dari segi apapun.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah,
2007
al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Semarang: Toha Putra. Jilid 3
al-Hajjaj, Muslim bin. al-Jami’ al-Shahih lil Muslim. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
Juz 1
al-Hajjaj, Muslim bin. al-Jami’ al-Shahih lil Muslim. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
Juz 8
al-Hajjaj, Muslim bin. al-Jami’ al-Shahih lil Muslim. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
Juz 13
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Madarijus Salikin. Cairo: Daarul Hadits. Cet. II
al-Munawar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Ciputat Press. Cet. II, 2005
al-Qardlawi, Yusuf. Fiqih Peradaban. Surabaya: Dunia Ilmu. Cet. I, 1997
al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Cet. V, 2010
al-Yassu’i, Fr. Louis Ma’luf dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i. Al Munjid. Beirut:
Maktabah As-Syaraqiyyah, 1986
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo,
1998
An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan metode pendidikan Islam.
Bandung: Diponegoro, 1992
Azwar, Saefudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
62
63
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 2013
Handoyo, Eko, dkk. Penanaman Nilai-Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan Anti
Korupsi Di Sma 6 Kota Semarang. Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang. Portal Garuda: Jurnal
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006)
Hestia, dkk. Peranan Guru Dalam Menanamkan Nilai Kejujuran Pada Siswa
Kelas VIII Smp Negeri 1 Jati Agung Tahun Pelajaran 2012/2013. Portal
Garuda: Jurnal
Kesuma, Dharma, dkk. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. IV, 2013
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah. Ed. 2. Cet. III, 2015
LAL, Anshori. Pendidikan Islam Transformatif. Ciputat: Referensi. Cet. I, 2012
Lampiran Permendiknas. No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta : Dinas
Pendidikan, 2007
Lembaga Penelitian IAIN. Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga
Penelitian IAIN, 1983
Mahjuddin. Konsep Dasar Pendidikan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. I, 2000
Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Cet.1, 2005
Muslim, Imam. Al-Jami’ as-Shahih lil Muslim, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
2008, Juz 1
Muslim, Imam. Al-Jami’ as-Shahih lil Muslim, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
2008, Juz 13
Mustofa, H. A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Cet. VI, 2014
64
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Nata, Abuddin. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005
Nata, Abuddin dan Fauzan. eds. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits. Ciputat:
UIN Jakarta Press. Cet. I, 2005
Nawawi, Imam. Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi. Beirut: Muassasah
Qurthubah, Jilid 2
Nawawi, Imam. Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi. Beirut: Muassasah
Qurthubah, Jilid 10
Nawawi, Imam. Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi. Beirut: Muassasah
Qurthubah., Jilid 16
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2007
Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. Pendidikan Karakter (Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa). Bandung: Pustaka Setia, Cet. I,
2013)
Sastrapradja, M. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha
Nasional, 1981
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Cet. VII, 2011
Syukur, Yanuardi. Terapi Kejujuran. Bekasi: al-Maghfiroh. Cet. I
Thalib, Muhammad. Pendidikan Islam Metode 30 T. Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1996
Tim Penulis Rumah Kitab. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren.
Jakarta: Rumah Kitab. Cet. I, 2014
65
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, ed. 3. Cet. II, 2002
Umar, Mahmud Al-Mishri Abu. Ensiklopedia Akhlak Muhammad Saw. Terj. dari
aus ’a min l ur- as l. oleh Abdul Amin. Dkk. Jakarta: Pena
Pundi Aksara. Cet. II, 2011
Utami, Yunia Rahma, dkk. Peranan Orang Tua Terhadap Penanaman Nilai
Kejujuran Anak Dalam Lingkungan Masyarakat Di Dusun I Dan Ii Desa
Teba Jawa Kabupaten Pesawaran Tahun 2013. Portal Garuda: Jurnal
UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 2. Bab 4
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab 1. Pasal 1
Yunus, Mahmud. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990
https://www.suara.com/news/2018/02/23/165022/indonesia-jadi-negara-terkorup-
nomor-96-di-dunia